1 Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Dengan Strategi Pemecahan Masalah Siswa Kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya. Diplan Kata Kunci: Memahami isi bacaan, strategi pemecahan masalah. The improvement on students’ ability on comprehending the text content in the teaching and learning process as a research focus is based on the fact that the teaching and learning of reading comprehension in elementary school is not optimum yet. Consequently, the students are not active, creative, and they are not interested in reading subject. The students’ lack of interest on reading comprehension happens due to the fact that the teaching and learning process of reading subject is focused on the mechanics and the teaching strategy used by the teachers hasn’t been oriented to the enjoyable reading comprehension learning. Due to that fact, we need such teaching strategy which is able to motivate students’ interest to study more on reading comprehension. One of the strategies used in teaching reading comprehension is problem solving strategy. This strategy encourages students to be active, creative and feel interested on the reading comprehension subject delivered by their teacher. This study aims at implementing the problem solving strategy in improving the students’ reading comprehension ability of grade five of elementary school which involves the strategy of implementing the problem solving strategy on reading comprehension subject in the (1) pre-reading activity, (2) reading activity, and (3) post-reading activity.
Pembelajaran komponen kebahasaan, pemahaman dan penggunaan itu dapat dilaksanakan secara terpadu, atau dapat saja dilaksanakan secara terpisah, atau difokuskan pada salah satu komponen atau keterampilan. Membaca dalam komponen pemahaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran membaca disajikan secara terpadu dengan keterampilan berbahasa yang lain, yaitu dengan keterampilan berbicara, menyimak, dan menulis (Depdikbud,1994/1995:21-24). Untuk menguasai sebuah bahasa dengan baik, seperti bahasa Indonesia, seseorang harus memiliki empat keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan berbahasa itu adalah (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilam menulis (Tarigan, 1987:1).
2 Membaca adalah salah satu dari empat keterampilan berbahasa dan juga biasanya disebut keterampilan reseptif. Pada tingkat membaca permulaan terjadi proses pengubahan dan proses yang harus dibina dan dikuasai anak-anak, khususnya pada tahun permulaan di sekolah (Tampubolon, 1985:5). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelajaran membaca jenis apapun adalah bagian integral dari bidang studi bahasa. Maka pelajaran membaca pemahaman sebagai salah satu ragam membaca sangat penting untuk diperhatikan. Masalahnya sekarang, sudahkah kemampuan membaca pemahaman siswa sekolah dasar di Indonesia memainkan peran untuk belajar bidang studi lain, dan pengembangan daya-daya psikis manusia untuk memperkaya ilmu dan kepribadiannya?. Masalah ini tidak dapat dipisahkan dengan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar maupun pengajaran bahasa Indonesia di tingkat nasional. Masalah pengajaran bahasa Indonesia adalah masalah nasional yang memerlukan pengolahan yang berencana, terarah, dan teliti (Halim, 1975:3). Oleh sebab itu, masalah kemampuan membaca merupakan masalah bahasa Indonesia secara nasional yang perlu digarap. Untuk meningkatkan mutu pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, khususnya peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa, maka perlu dicari letak berbagai kelemahannya yang salah satunya adalah belum optimalnya proses pengajaran yang disampaikan. Hal itu sejalan dengan pendapat Oka (1972:9) yang menyatakan bahwa lemahnya kemampuan siswa dalam membaca pemahaman tidak terlepas dari rendahnya pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Maka peningkatan mutu dalam proses pembelajaran perlu dilaksanakan karena tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi,
3 serta tuntutan kebutuhan hidup masyarakat moderen saat ini yang juga semakain meningkat. Sudah selayaknya kemampuan membaca mendapat pembinaan yang sebaikbaiknya. Tindakan ini dimaksudkan sebagai salah satu langkah permulaan ikut membina dan meningkatkan mutu pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Beberapa alasan mengapa masalah Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas V Sekolah Dasar penting diteliti hal itu akan diuraikan berikut ini. Pertama, kemampuan membaca pemahaman merupakan kunci penguasaan bahasa yang cukup penting, terutama penguasaan bahasa tulis secara reseptif. Kehidupan dalam era informasi hampir selalu terkait dengan perlunya kemampuan membaca. Pada era itu penyampaian informasi secara tertulis sudah demikian pesatnya, sehingga hampir setiap aspek kehidupan menuntut kemampuan memahami tulisan, misalnya tulisan pada brosur, papan pengumuman, kemasan makanan, resep pengolahan makanan, dan lainlain. Pada era itu informasi tertulis tidak hanya disampaikan melalui media cetak atau media-media sebagai mana disebutkan di atas, melainkan juga melalui media elektronik, misalnya internet. Dengan demikian kemampuan memahamai informasi tertulis merupakan suatu keharusan bagi orang yang hidup di era tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Burn, Roe, dan Ross (1996) bahwa kemampuan membaca merupakan suatu kemampuan yang vital dalam masyarakat yang berbudaya tulis. Fakta di lapangan menunjukkan keadaan yang lain . Burn, Roe, dan Ross (1996) mengemukakan bahwa tidak semua siswa menyadari pentingnya kemampuan membaca. Hal itu didasarkan pada kebiasaan bahwa tidak semua anak yang pertama kali masuk ke sekolah sudah memiliki kesadaran akan pentingnya belajar di sekolah, lebih-lebih
4 kesadaran terhadap pentingnya kemampuan membaca. Kedatangan siswa pertama kali ke sekolah sering disebabkan oleh faktor-faktor ekstrinsik, misalnya atas kemaun orang tua atau terpaksa ke sekolah akibat usianya yang sudah mencukupi batas usia masuk sekolah. Dengan demikian siswa yang datang ke sekolah belum memiliki kesadaran akan tujuan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah manfaat belajar dan kemampuan membaca, sebagaimana dikemukakan di atas. Pemberian bantuan agar siswa mengetahui pentingnya kemampuan membaca, merupakan salah satu tugas guru di sekolah atau dalam pembelajaran . Guru perlu memperlihatkan kepada siswa bahwa membaca dapat semakin menarik bagi seseorang karena adanya berbagai faidah yang didapatkanya, misalnya untuk rekreasi, mengetahui masa depan, memperoleh kenikmatan atau keindahan, dan mengetahui berbagai peristiwa masa lalu maupun peristiwa yang aktual (Burn, Roe, dan Ross, 1996:6). Kedua, siswa kelas V SD yang hampir menamatkan pelajarannya : mereka adalah out put program pengajaran bahasa Indonesia dan juga out put program pengajaran membaca pemahaman pada lembaga pendidikan resmi. Oleh karena itu, mereka dianggap dapat dipakai sebagai ukuran standar kemampuan membaca pemahaman siswa pada sekolah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan pendapat Burns, Roe, dan Ross (1996) yang menyatakan bahwa kemampuan membaca merupakan kemampuan yang vital dalam masyarakat melek huruf seperti masyarakat dewasa ini. Kemampuan membaca merupakan kemampuan yang amat diperlukan, karena dengan kemampuan itu orang akan mampu menyerap atau memahami informasi yang disampaikan secara tertulis. Dapat diartikan, bahwa dengan kemampuan membaca akan diperoleh kemampuan melaksanakan tugas sehari-hari secara efektif, mengetahui berbagai informasi, dan
5 rekreasi (Burn, Roe, dan Ross, 1996:5). Anak yang tidak memahami betapa pentingnya kemampuan membaca akan kehilangan motivasi belajar. Sebaliknya, anak yang berhasil memanfaatkan keterampilan membaca dalam kehidupan personal akan lebih mampu untuk bekerja keras. Ketiga, dengan mengetahui tingkat kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V SD, maka sangat memungkinkan dapat mengambil tindak lanjut yang efektif terhadap pembinaan dan peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di SD. Hal ini dikarenakan pembelajaran membaca di sekolah dasar (SD) merupakan kunci untuk pembelajaran bidang studi lainnya. Tanpa kemampuan membaca yang memadai siswa sekolah dasar sulit untuk dapat menguasai bidang studi yang lain dengan baik. Upaya pembinaan dan peningkatan mutu tersebut sudah mulai tampak salah satunya adalah telah dilakukan penyempurnaan kurikulum yang disertai pula dengan penyempurnaan penggunaan pendekatan pengajaran bahasa. Penerapan kurikulum yang baru menggunakan pendekatan komonikatif sebagai pengganti pendekatan struktural yang digunakan dalam kurikulum lama. Penggunaan pendekatan komonikatif ini diharapakan dapat mengubah orientasi proses belajar-mengajar dari belajar tentang bahasa menjadi belajar menggunakan bahasa. Dengan kata lain, proses belajar-mengajar bahasa Indonesia diarahkan kepada hakikat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Keempat, hasil penelitian Cahyono. (1998) menyatakan bahwa berdasarkan profil kemampuan membaca di SD secara keseluruhan, skor membaca pemahaman siswa termasuk kategori rendah. Rendahnya skor kemampuan membaca tersebut disebabkan oleh minat membaca yang rendah, sedangkan minat baca yang rendah, cendrung disebabkan oleh cara guru mengajar yang belum sesuai dengan kemampuan siswa dan
6 atau sarana yang kurang memadai. Disamping itu ada kemungkinan bahwa cara guru mengajarkan membaca selama ini kurang dapat membangkitkan minat siswa untuk membaca. Akibatnya siswa tidak gemar membaca. Tidak gemarnya siswa membaca pada giliranya menyebabkan kemampuan membaca bagi siswa tidak berkembang. Kelima, hasil pengamatan peneliti selama melaksanakan kegiatan observasi pada Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) tahap I di SD Laboraturium Universitas Negeri Malang (2006) dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dalam pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman di kelas V SDN 5 Palangka Raya (2007) menunjukkan bahwa pembelajaran membaca pemahaman di kelas V secara umum kurang optimal. Pada kegiatan pembelajaran tersebut di temukan hal-hal sebagai berikut. (a) guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman menggunakan strategi pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran secara individu kompetitif. Pembelajaran diawali oleh guru dengan memilih buku bacaan kemudian menyuruh siswa (secara klasikal) untuk membaca. Sebelum mengakhiri kegiatan pembelajaran, guru terlebih dulu membarikan/mengajukan pertanyaan tentang isi bacaan. Hasilnya digunakan guru sebagai nilai kemampuan membaca bagi siswa. (b) pada saat siswa membaca bacaan, guru sering tidak melakukan tindakan yang mendukung proses pembelajaran, tetapi mengerjakan tugas administrasi misalnya mengoreksi hasil pekerjaan siswa, atau keluar kelas. Akibanya ada siswa bermain dengan siswa lain. Guru kurang menyadari bahwa cara membaca pemahaman tersebut membuat siswa kurang berminat melakukan aktivitas membaca dan membosankan. (c) siswa kurang aktif berpikir dalam proses membaca baik berpikir kritis maupun kreatif. Di sini siswa hanya memahami unsur-unsur literal dalam membaca. (d) interaksi yang intensif antara guru-
7 siswa dan siswa-siswa kurang terjalin, dan terakhir siswa mendapat hambatan dan kesulitan dalam memahami isi informasi dan unsur-unsur kebahasaan dari bacaan yang dibaca. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, maka kemampuan membaca siswa perlu ditingkatkan. Ini terbukti bahwa (1) siswa belum mampu memprediksi isi bacaan berdasarkan gambar atau judul bacaan, (2) siswa belum terampil menemukan ide pokok dan ide penjelas dalam paragraf, dan (3) siswa belum berani mengemukakan pendapat secara individu dalam kelompok. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1) guru belum dapat merancang pembelajaran dengan baik, (2) guru belum dapat melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman secara efektif, dan (3) guru belum dapat mengevaluasi pembelajaran membaca secara tepat. Dengan kata lain guru dalam membelajarakan pembelajaran membaca belum berperan secara aktif dalam meningkatkan kemampuan membaca siswa. Guru hendaknya berperan sebagai fasilitator, mitivator, sumber belajar, dan organisator. Untuk mengoptimalkan membaca pemahaman di SD perlu dilakukan tindakan pembelajaran yang memenfaatkan berbagai strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan pengalaman dan pemahamannya. Keenam, hasil penelitian Baradja (1990:105) menyatakan bahwa keterampilan membaca tidak mendapat perhatian sebagai mana mestinya dalam pendidikan, sehingga masih banyak anggota masyarakat yang telah berpendidikan memiliki keterampilan berbahasa yang rendah. Ketujuh, kenyataan yang terjadi di lapangan ialah bahwa kemampuan membaca siswa di SD di Jakarta, menurut hasil penelitian Akhadiah (1991:15), baik pada kelas
8 rendah maupun kelas tinggi belum berhsil seperti yang diharapkan. Sebagai contoh , pada akhir catur wulan ke dua siswa kelas rendah masih banyak yang belum dapat membaca dengan lancar dan belum dapat membaca dengan intonasi yang benar. Pada kelas tinggi, kemampuan mereka memahami isi bacaan rata-rata 60%. Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa pengajaran membaca dengan metode tradisional belum berhasil. Itulah sebabnya upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa dengan metode yang tepat sangat diperlukan. Agar membaca pemahaman dapat mencapai sasaran yang diharapkan maka perlu dilakukan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan berbagai strategi. Strategi yang dimaksud adalah strategi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang diharapkan. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan adalah strategi pemecahan masalah. Oleh sebab itu penelitian ini difokuskan pada pembelajaran membaca pemahaman di SD kelas V. Secara lebih khusus, yang dimaksud di sini adalah mengajarkan membaca pemahaman dengan strategi pemecahan masalah (problem solving). Keterampilan pemecahan masalah dapat dikembangkan melalui diskusi, negosiasi, penjelasan ide-ide, dan evaluasi ide-ide teman sekelas (Burn, dkk. 1996:296). Tujuan utama pembelajaran bahasa melalui strategi ini adalah membangun pemahaman. Tujuan tersebut dinilai penting karena pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Untuk mengembangkan pemecahan masalah, guru dapat menggunakan teks bacaan yang bervariasi, yakni yang terdapat masalah yang perlu dipecahkan. Tiap siswa diberi satu teks bacaan dan diberi kesempatan kepada siswa untuk membaca. Kemudian
9 guru dapat menanyakan hal-hal yang menjurus pada pemecahan masalah, misalanya: (1) masalah apa yang dihadapi tokoh dalam cerita?, (2) bagaimana masalah tersebut ditangani?, (3) apakah solusinya merupakan solusi yang terbaik?, (4) adakah solusi yang lain yang anda pikirkan?, dan (5) apakah anda lebih suka solusi dalam teks. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti menganggap bahwa penelitian tentang pembelajaran membaca pemahaman dengan strategi pemecahan masalah perlu dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan membaca khususnya membaca pemahaman. Dengan alasan tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan dengan judul ” Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Dengan Strategi Pemecahan Masalah Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 5 Panarung Palangka Raya. Sesuai dengan latar belakang permasalahan, maka masalah dalam penelitian ini secara umum adalah ”Bagaimana meningkatkan kemampuan membaca pemahaman dengan menggunakan strategi pemecahan masalah pada siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya”. Secara khusus masalah tersebut dirinci sebagai berikut. 1. Bagaimanakah proses implementasi strategi pemecahan masalah untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya tahun pelajaran 2007/2008 dalam pelaksanaan pembelajaran pada tahap prabaca, saatbaca, dan pascabaca? 2. Bagaimanakah hasil peningkatan kemampuan membaca siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya tahun pelajaran 2007/2008 dalam memahami isi bacaan melalui implementasi strategi pemecahan masalah pada tahap pelaksanaan pembelajaran?
10 3. Bagaimanakah sikap guru dan siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya tahun pelajaran 2007/2008 terhadap implementasi strategi pemecahan masalah dalam pemerolehan membaca pemahaman pada tahap pelaksanaan pembelajaran? Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah penelitian yaitu memperoleh gambaran tentang bagaimana mengembangkan pembelajaran membaca pemahaman kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya dengan strategi pemecahan masalah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya tahun pelajaran 2007/2008 melalui implementasi strategi pemecahan masalah dalam pelaksanaan pembelajaran pada tahap prabaca, saatbaca, dan pascabaca 2. Meningkatkan hasil dari siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya tahun pelajaran 2007/2008 dalam memahami isi bacaan melalui implementasi strategi pemecahan masalah pada tahap pelaksanaan pembelajaran. 3. Meningkatkan sikap guru dan siswa kelas V SDN 5 Panarung Palangka Raya tahun pelajaran 2007/2008 terhadap implementasi startegi pemecahan masalah dalam meningkatkan membaca pemahaman pada tahap pelaksanaan pembelajaran.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena diupayakan untuk mendapatkan data verbal dan non verbal yang secara potensial dapat memberikan makna dan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan demikian langkah-langkah
11 pelaksanaan penelitian ini mengikuti prinsip dasar yang berlaku dalam penelitian tindakan. Sejalan dengan fokus dan latar alamiah yang berwujud aktivitas di dalam kelas, penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Tujuan utama penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang bagaimana mengembangkan pembelajaran membaca pemahaman kelas V SDN 5 Palangka Raya dengan strategi pemecahan masalah. Model rancangan ini adalah model rancangan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (dalam Rofi’udidin 2002:27). Model ini dimulai dengan mengadakan studi awal dan pencarian fakta kemudian secara berdaur ulang (1) menyusun perencanaan, (2) melakukan tindakan, ( 3) pengamatan, dan (4) refleksi. Sesuai dengan prinsip umum penelitian tindakan setiap tahapan dan siklusnya selalu dilakukan secara partisipatoris dan kalaboratif antara peneliti dengan praktisi (guru dan kepala sekolah) dalam sistem sekolah. Dalam penelitian ini kegiatan penelitian dimulai dari refleksi awal untuk melakukan kajian pendahuluan tentang kondisi obyektif yang terjadi di lapangan sesuai pemberian refleksi setiap tindakan. Langkah ini dilakukan untuk berbagai kesenjangan, dan hambatan yang mendesak untuk dipecahkan. Setelah itu dilakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Kegiatan ini mungkin diikuti oleh perencanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang, dan refleksi ulang. Alur penelitian menurut Kemmis dan McTaggart (1988) disajikan pada bagan 3.1
12 HASIL Berdasarkan data yang terkumpul pada bab IV kemampuan membaca pemahaman siswa pada tiap siklus selalu meningkat di mana keadaan awal membaca pemahaman siswa berdasarkan hasil pretes menunjukkan nilai rata-rata 53,7 (kurang) pada siklus pertama nilai rata-rata 66,72 dan pada siklus kedua nilai rata-rata 74,87 sedangkan pada siklus ketiga 85, 53 nilai rata-rata. Kemampuan membaca pemahaman siswa pada tiap siklus tersebut tergambar pada Tabel berikut. Keberhasilan Siswa dalam Memahami Isi Bacaan No
Siklus
Nilai Rata-rata
1
prites
58,3
2
I
61,33
3
II
70
4
III
77, 66
Berdasarkan hasil analisa data di uraikan di atas maka kegiatan pembelajaran pada siklus III telah mencapai kriteria keberhasilan. Dengan demikian disimpulkan bahwa tindakan pada siklus III telah memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian tindakan kelas. Hal ini karena, pada siklus I baru dilaksanakan penerapan strategi pemecahan masalah dalam pembelajaran membaca pemahaman, pada siklus II sudah dua kali dilaksanakan penerapan strategi pemecahan masalah dalam pembelajaran membaca pemahaman, dan pada siklus III sudah tiga kali dilaksanakan penerapan strategipemecahan masalah dalam pembelajaran membaca pemahaman dan tampak lebih lancar.
13 Serta karena adanya keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran dan kemampuan siswa menyelesaikan tugas-tugas.
PEMBAHASAN Tahap prabaca pada siklus I, terungkap bahwa perhatian siswa masih lebih banyak kepada guru dan cendrung menunggu arahan guru, saat guru mengajak siswa berdiskusi atau tanya jawab siswa masih banyak yang diam dan dan ragu-ragu untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Sedangkan pada siklus berikutnya perhatian siswa tidak lagi terlalu terfokus pada guru, siswa sudah berani mengemukakan pendapat dan menambahkan pendapat temannya. Suasana kelas terlihat aktif dan siswa antusias. Pada kegiatan awal pembelajaran terlebih dahulu guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan dilanjutkan dengan pembentukan kelompok. Jumlah siswa kelas V SD Negeri 5 Panarung Palangka Raya diteliti adalah 58 orang, sehingga siswa dibentuk kelompok menjadi 12 kelompok. Jumlah tiap kelompok empat atau lima orang. Pembentukan kelompok didasarkan pada kedekatan tempat duduk. Saat guru membentuk kelompok, beberapa siswa menolak dan ingin tetap duduk bersama temannya selama ini. Setelah guru memberi pengertian akhirnya pengelompokan siswapun teratasi. Berkaitan dengan pembentukan kelompok Djajadisastra (1981:46-49) menyatakan bahwa dalam membentuk kelompok dapat dilakukan dengan ketentuan: (a) letak tempat duduk, (b) jumlah anggota dalam setiap kelompok, dan (c) keadaan taraf kecerdasan setiap anggota kelompok. Hal ini dimaksudkan agar semua anggota kelompok itu dapat bekerja sama secara harmonis. Pada siklus I ditemukan juga sebagian siswa masih kesulitan dalam penggalian skemata mereka. Untuk mendorong agar siswa mampu mengungkapkan pengalaman,
14 maka perlu dibangkitkan skematanya. Kegiatan membangkitkan skemata siswa dilakukan dengan cara menyimak gambar dan judul bacaan. Pada kegiatan siklus I siswa menyimak gambar Keadaan Terumbu Karang, pada siklus II skemata siswa sudah dapat dibangkitkan atas dasar pengalaman, gambar, judul bacaan serta ilustrasi hanya saja masih belum maksimal dimana siswa menyimak gambar keadaan tenaga kerja yang membludak dengan judul bacaan Mengalirnya Tenaga Kerja dari Desa Ke kota, sedangkan pada siklus III siswa menyimak gambar keadaan air yang tercemar dengan judul bacaan Setetes Air dan skemata siswa sudah dapat dibangkitkan atas dasar pengalaman, gambar , judul bacaan serta ilustrasi dengan baik. guru mengatasinya dengan memasang gambar dua hari sebelum pembelajaran berlangsung sehingga pengamatan gambar dapat dilakukan siswa waktunya di luar jam pembelajaran sehingga siswa sudah bisa memprediksi makna gambar dan isi bacaan melalui gambar yang dipajang tersebut. Dengan teknik membangkitkan skemata ini, siswa dapat termotivasi minatnya untuk membaca bacaan. Tumbuhnya minat atau motivasi siswa berguna untuk menunjang keberhasilan memahami isi bacaan. Setiap anak mempunyai minat dan kebutuhan sendiri-sendiri. Sesuatu yang menarik minat dan dibutuhkan anak, akan menarik perhatiannya, dengan demikian mereka akan bersungguh-sungguh dalam belajar. Kegiatan membangkitkan skemata dengan mengamati gambar, ilustrasi, dan judul bacaan merupakan proses awal dalam memulai kegiatan membaca (Tierny, 1991:265). Hal ini, perlu dibiasakan dalam setiap mengawali pembelajaran.
15 Sedangkan pada kegiatan terakhir yaitu memprediksi isi bacaan pada siklus I siswa masih kesulitan dalam memprediksi isi bacaan namun pada siklus berikutnya yaitu siklus II dan III siswa sudah bisa memprediksi isi bacaan dengan baik ini karena kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam membantu siswa memprediksi isi bacaan dengan menggunakan ilustrasi, gambaran umum, judul, dan bertanya jawab. Berkaitan dengan prediksi isi bacaan Rhodes dan Marling (1988:152) mengatakan bahwa prediksi isi bacaan dapat dilakukan dengan ilustrasi, gambaran umum, chart, judul, subjudul, pertanyaan, dan ringkasan. Pembelajaran membaca pemahaman dengan strategi pemecahan masalah melalui kegiatan tahap saat-baca merupakan aktivitas dalam kegiatan inti pembelajaran, yaitu : menugasi siswa untuk membaca dalam hati, menugasi siswa untuk memahami istilahistilah baru dalam bacaan, menugaskan siswa secara kelompok untuk mengidentifikasi masalah, dan mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat. Dari sekian kegiatan siswa tersebut di atas tercacat pada siklus I bahwa siswa mengalami kesulitan memahami tentang istilah-istilah baru dalam setiap bacaan, mengalami kesulitan dalam memprediksi isi bacaan, dan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi masalah. Akan tetapai pada siklus II sudah mengalami perbaikan sedikit demi sedikit bahkan pada siklus III masalah tersebut sudah tidak tampak lagi. Hal itu karena guru mengatasinya dengan baik yaitu mengarahkan dan membimbing setiap kelompok untuk membuka kamus mencari istilah atau kata-kata yang belum mereka ketahui dan membimbing siswa terlebih dahulu mengidentifikasi masalah atau mengenali masalah, menetapkan masalah secara jelas, menjelaskan masalah, menggali ide-ide, dan
16 menemukan efek. Dengan demikian maka siswa akan mudah memahami isi bacaan dan mengidentifikasi masalah yang ada dalam bacaan. Dalam proses memahami isi bacaan diperlukan strategi mengidentifikasi masalah. Berkaitan dengan pemahaman isi bacaan, Branford dan Steins (dalam Burns, dkk. 1996:296) berpendapat bahwa pemahaman dapat dicapai dengan menggunakan teknik "IDEAL", yaitu kegiatan pembelajaran membaca pemahaman dimulai dari mengidentifikasi masalah atau mengenali masalah, menetapkan masalah secara jelas, menjelaskan masalah, menggali ide-ide, dan menemukan efek. Pada tahap pascabaca kegiatan diteruskan dengan melaporkan hasil diskusi. Kegiatan melaporkan hasil diskusi kelompok dilakukan oleh perwakilan kelompok. Pada siklus I kelompok melaporkan hasil diskusi tentang bacaan Terumbu Karang, Pada siklus II kelompok melaporkan hasil diskusi tentang bacaan Mengalir Tenaga Kerja dari Desa ke Kota. Pada siklus III kelompok melaporkan hasil diskusi tentang bacaan Setetes Air. Semua kelompok memperhatikan laporan yang dibacakan oleh kelompok pelapor dan menanggapinya. Selanjutnya dilanjutkan kegiatan diskusi secara klasikal. Kegiatan diskusi secara klasikal dimaksudkan untuk melatih siswa agar berani mengemukakan pendapat, bersedia mendengarkan pendapat orang lain, dan menerima perbedaan pendapat. Dari setiap siklus terdapat peningkatan dalam melaporkan hasil diskusi kelompok mereka, hal ini terlihat pada keberanian siswa untuk mengungkapkan pendapat mereka di depan teman-temannya.
SIMPULAN Sehubungan dengan respon siswa dan guru terhadap pembelajaran membaca pemehaman dengan menggunakan strategi pemecahan masalah dari siklus I, II, dan III semua subjek
17 mengatakan bahwa mereka senang belajar seperti ini, karena pada pembelajaran ini siswa lebih aktif, kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah dan materi pelajaran dikaitkan langsung dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari serta peranan guru tidak lagi sebagai penceramah atau yang hanya menerangkan tetapi lebih pada pasilitator sehingga mereka lebih cepat mengerti dan dapat mengetahui manfaat dari materi yang sedang dipelajari. Respon siswa dan guru ketika digunakanya stretgi pemecahan masalah dalam meningkatkan membaca pemahan sangat positif, ini terbukti dari berhasilnya pencapaian nilai yang maksimal yang telah diharapkan oleh siswa dan berdasarkan wawancara dengan angket yang telah diisi oleh siswa dan guru.
SARAN-SARAN Dalam mengadopsi strategi pemecahan masalah untuk meningkatkan membaca pemahaman siswa Sekolah Dasar, materi pelajaran yang digunakan guru disarankan untuk mengaitkan dengan pengalaman siswa, melihat kondisi siswa, dan mengangkat bacaan yang berbeda, dan guru harus menguasai seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran mulai dari membangkitkan skemata, mengidentifikasi masalah atau mengenali masalah, menetapkan masalah secara jelas, menjelaskan masalah, menggali ide-ide, dan menemukan efek. Disamping itu guru harus membiasakan diri menggunakan alat peraga dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini bertujuan agar siswa mudah untuk berkonsentrasi terhadap materi pelajaran. Pembelajaran membaca pemahaman dengan tujuan utama untuk memahami isi bacaan, dapat menggunakan strategi pemecahan masalah, mulai dari mengidentifikasi masalah atau mengenali masalah, menetapkan masalah secara jelas, menjelaskan
18 masalah, menggali ide-ide, dan menemukan efek. Untuk menunjang pemahaman makna kata-kata sulit dalam setiap bacaan, dapat menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Media yang digunakan, harus disesuaikan dengan topik dan judul bacaan. Agar siswa tertarik dengan alat peraga sebagai alat bantu pembelajaran, guru dapat memberikan kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk memecahkan masalah dengan menggunakan alat peraga. Untuk siswa disarankan agar strategi pembelajaran masalah dalam pembelajaran membaca pemahaman dapat diterapkan dengan baik dengan hasil yang lebih baik maka siswa harus lebih aktif, kreatif baik dalam tahap prabaca, saat baca, dan sampai pada pasca baca. Dalam kegiatan mengidentifikasi masalah diperlukan kecermatan siswa setiap membaca teks bacaan. Kegiatan mengidentifikasi masalah dalam bacaan dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami isi bacaan. Namun, penggunaan strategi memecahkan masalah dalam pembelajaran membaca pemahaman harus diikuti dengan keaktifan, kekriatifan, dan kerjasama dari siswa, agar memudahkan siswa untuk mengidentifikasi masalah dalam rangka meningkatkan pemahaman isi bacaan. Untuk peneliti lanjutan disarankan membuat pembelajaran membaca pemahaman dengan menggunakan strategi pemecahan masalah yang lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan dengan menjadikan penelitian ini sebagai pertimbangan untuk mengadakan penelitian selanjutnya yang mana lebih difokuskan pada penguasaan penggalian ide-ide pada teks bacaan. Sebab, hasil penelitian ini menunjukkan pemahaman isi bacaan dengan cara menggali ide-ide perlu ditingkatkan.
19
DAFTAR RUJUKAN
Burn, Roe, Ross.1996. Teaching Reading in Today’s Elementary Shcools. Bosston: Hougton MIffli Company. Cahyono, B.Y. 1998. Aplikasi Teori Schema, Struktur Teks dan Metakognitif pada Pembelajaran Bahasa Inggris. Tesis ini diterbitkan. Malang. PPS: IKIP Malang. Depdikbud, 1972. Didaktik Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Jakarta: CV Gunung Mas. ------------, 1994. Kurikulum Sekolah Dasar Kelas V Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Jakarta:Depdikbud Dirjen Dikti. Halim, Amran. 1974. Ujian Bahasa. Jakarta:Ganaco Kemmis, Stephen dan McTaggart, Robin. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University Press. Oka, I.G.N,1972, Pokok-pokok Pikiran Untuk Menyusun Buku Pegangan (Teks Book) Membaca dan Menulis Permulaan dalam Rangka Perbaikan Rencana Pendidikan Sekolah Dasar. Malang. IKIP Malang. Rofi’uddin, Ahmad.1998.Rancangan Penelitaian Tindakan. Makalah disajiak pada lokakarya tingkat lanjut penelitian kualitataif angkatan VII tahun 1998/1999. Depdikbud. Malang: IKIP Malang Lembaga Penelitian. Tampubolon, DP. 1985. Kemampuan Membac Teknik Membaca Efektif dan Efesien. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa. Tierny, R.J. & J.W. Cunningam. 1984. Research on Teaching Reading Comprehension. Dalam R.C Anderson dan Reason, P.D. Handbook of Reading Research. New York: Longman.
20
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN DENGAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI 5 PANARUNG PALANGKARAYA
ARTIKEL
Oleh DIPLAN NIM : 106652551572
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD UNIVERSITAS NEGERI MALANG 2008
1
ABSTRAK Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi dengan Media Gambar pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Bangkuang Kabupaten Barito Selatan . Ichyatul Afrom The objective of teaching writing in elementary school is focused on the accomplishment on students ability to express opinion, idea, experiences, messages, information, the use of spelling, and the ability of making use of literary language in their writing. The accomplishment of those goals is affected by some factors one of which is teaching media. The teaching media can improve students’ motivation in creating a collaborative learning environment and make students active. One of teaching media that can be used to improve students’ activity is picture media. In teaching writing, especially writing a poem, a picture media can solve problems which the students usually encounter, integrate the four aspects of language skills, and give students opportunity to be actively involved in writing process. This study which aims at improving the effectiveness of picture media on the pre-writing, writing, and post –writing stages can be seen from the improvement made by students in writing a poem by using that media. Kata Kunci: media gambar, pembelajaran menulis, menulis puisi
Ada empat keterampilan berbahasa yakni, keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan tersebut saling berhubungan. Menurut Syafi’e (1993:2) pada hakikatnya keempat keterampilan berbahasa itu sama-sama bersumber dari kemampuan kebahasaan dan kemampuan komunikatif. Kedua kemampuan tersebut merupakan target pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
2 berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu keterampialan berbahasa adalah menulis. Menulis merupakan cara pembelajaran yang sangat berharga yang telah banyak diterapkan dalam lintas kurikulum. Siswa-siswa belajar menulis secara informal lalu mereka pun belajar bagaimana membuat sintesa dari apa yang mereka tulis dan lalu mereka akan menerapkan secara formal pengetahuannya itu dalam menulis laporan dan buku yang lain. Menulis adalah kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menghasilkan tulisan. Orang yang melakukan kegiatan coret-mencoret di tembok itu juga bisa dikatakan dia sedang menulis dengan atau tanpa maksud dan perangkat tertentu, namun demikian menulis yang dimaksudkan adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang dalam rangka mengungkapkan bahwa menulis yang baik adalah menulis yang bisa dipahami oleh orang lain. Tarigan (1986:26) mengatakan bahwa menulis adalah melukiskan lambanglambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafis tersebut. Siswa kelas V perlu diajari menulis puisi dengan menggunakan media sebagai salah satu bentuk ekspresi siswa dalam menuangkan pikiran atau gagasan dalam menulis. Berdasarkan pendapat Tompkins (1991:227) yang mengemukakan bahwa pembelajaran menulis hendaknya ditekankan pada proses. Pada model pembelajaran
3 ini guru bergeser sebagai pemberi tugas menjadi teman kerja siswa. Pembelajaran ini mengarah pada pembelajaran secara kolaboratif antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru sebagai cara untuk meningkatkan motivasi siswa dalam kegiatan menulis. Hal ini sesuai dengan konsep pendekatan proses yang memusatkan pada aktivitas siswa (Burn dan Ross 1996:385). Sejalan dengan uraian di atas, Collins (dalam Masdulhak, 2005:15) mengemukakan bahwa idealnya dalam pembelajaran, menulis siswa menjadi partisipan aktif dalam keseluruhan proses menulis. Perihal keterlibatan ini, menarik untuk dikutip. Menurut Norton (1993:44) bahwa siswa dapat meningkatkan keterampilan menulisnya dengan cara mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan keterlibatannya dalam mengevaluasi dan mengembangkan tulisan mereka. Belajar mengajar adalah suatu proses yang mengolah sejumlah nilai untuk dikonsumsi oleh setiap anak didik. Nilai-nilai itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi terambil dari berbagai sumber. Sumber belajar sesungguhnya banyak sekali terdapat dimana-mana; di sekolah, di halaman, di pusat kota, di pedesaan, dan sebagainya. Saripudin dan Winataputra (1991: 65) mengelompokkan sumber-sumber belajar menjadi lima kategori, yaitu manusia, buku/perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Karena itu, sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat di mana bahan pengajaran terdapat atau asal belajar seseorang. Media pendidikan sebagai salah satu sumber belajar ikut membantu guru memperkaya wawasan anak didik. Aneka macam bentuk dan jenis media pendidikan yang digunakan oleh guru menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak didik. Dalam menerangkan suatu benda, guru dapat membawa bendanya secara langsung ke
4 hadapan anak didik di kelas. Dengan menghadirkan bendanya seiring dengan penjelasan mengenai benda itu, maka benda itu dijadikan sebagai sumber belajar. Anjuran agar menggunakan media dalam pengajaran terkadang sukar dilaksanakan, disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari akan hal itu, disarankan kembali agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pendidikan yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Cukup banyak bahan mentah untuk keperluan pembuatan media pendidikan, untuk tercapainya tujuan pengajaran tidak mesti dilihat dari kemahalan suatu media, yang sederhana juga bisa mencapainya, asalkan guru pandai menggunakanrnya. Maka guru yang pandai menggunakan media adalah guru yang bisa memanipulasi media sebagai sumber belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan kepada anak didik dalam proses belajar mengajar. Penggunaan media, terutama gambar dapat membantu siswa dalam memahami, mengembangkan gagasan dan dapat memunculkan ide untuk dituangkan dalam tulisan. Hal tersebut dapat berpengaruh pada motivasi siswa dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran menulis. Tompskin (1994) mengatakan, jika guru ingin siswa menulis dengan lancar, penggunaan media gambar adalah salah satu pilihan yang baik. Melalui gambar kemampuan anak dalam mengembangkan imajinasi akan tersalurkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Wright (1992) yang menyatakan bahwa gambar memiliki beberapa peran dalam keterampilan menulis, seperti dapat memotivasi siswa, berkontribusi terhadapt teks yang digunakan, dapat digunakan untuk menjelaskan secara objektif atau menginterprestasikan, dan dapat memberi informasi. Selain itu, penggunaan media gambar dalam pembelajaran menulis puisi diharapkan dapat membantu siswa untuk memunculkan gagasan yang dapat mencipkatan suasana belajar yang menyenangkan.
5 Karya sastra menjurus pada pemakaian bahasa yang bermakna konotasi. Pembelajaran menulis secara umum dan pembelajaran menulis karya sastra (puisi) berbeda ditinjau dari segi teknik dan tujuannya. Dari segi teknik, untuk menulis puisi ada aturan-aturan yang harus diketahui. Misalnya, dalam menulis puisi ada unsurunsur yang terkandung dalam puisi tersebut, seperti diksi, bahasa estetik, kalimatkalimat yang bersifat konotatif. Ditinjau dari segi tujuannya, menulis puisi atau menulis sastra bertujuan untuk menambah pengetahuan dalam mengolah kata (Diana, 2006:2) Menulis sastra dapat meningkatkan kemampuan apresiasi, memberikan tambahan pengetahuan sastra pada penulisnya, dan dapat memperlancar seseorang dalam mengungkapkan idenya. Hal ini akan membuat karya sastra itu semakin produktif, jika kemampuan berbahasa yaitu menulis puisi dapat berkembang. Selain itu, pengembangan tersebut juga tidak terlepas dari kemampuan berbahasa lainnya yaitu yang termasuk kemampuan berbahasa yang bersifat reseptif. (Roekhan, 1991:63). Berdasarkan uraian di atas, penulis mengadakan penelitian untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi dengan Media Gambar pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri I Bangkuang. Dipilihnya SD Negeri I Bangkuang, karena berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V SD Negeri I Bangkuang, selama ini pembelajaran menulis puisi belum mencapai seperti apa yang diharapkan. Pembelajaran menulis dilaksanakan hanya dengan menugasi siswa menulis dalam waktu yang ditentukan, guru memberi tugas kepada siswa untuk menulis puisi dengan tema yang ditentukan dari buku paket. Para siswa terkadang kesulitan dalam menyusun kosa kata dan mengembangkan ide. Oleh karena itu, penulis mencoba menggunakan media gambar untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis
6 puisi. Dengan gambar anak dapat terinspirasi dalam menulis sebuah puisi, karena apa yang akan mereka tulis terlihat dalam gambar. Kelas V SD dipilih sebagai objek penelitian, karena baru di kelas V SD siswa dibelajarkan menulis atau mencipta puisi (Depdiknas, 2003 :42). Hal ini merupakan pelajaran menulis lanjut setelah pembelajaran menulis permulaan di kelas I, II dan III. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar, dengan rincinan sebagai berikut. (1) Bagaimana meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar pada tahap pratulis? (2) Bagaimana meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar pada tahap menulis? (3) Bagaimana meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar pada tahap pascatulis?
Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa kelas V SD Negeri I Bangkuang dengan menggunakan media gambar dengan rincian sebagai berikut. (1) Meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar pada tahap pratulis. (2) Meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar pada tahap menulis. (3) Meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang dalam menulis puisi dengan media gambar pada tahap pascatulis.
7
METODE Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian tindakan kelas. Dipilihnya rancangan ini karena ia memiliki karakteristik yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, yakni untuk memperbaiki dan meningkatkan kegiatan praktik pembelajaran menulis puisi di SD. Di samping itu, dengan penelitian tindakan ini dimungkinkan siswa berperan aktif dalam pelaksanaan tindakan. Siswa bukan sebagai objek yang dikenai tindakan, tetapi sebagai subjek tindakan pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Elliot (1991:69) bahwa penelitian tindakan merupakan suatu kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas praktik, yakni kualitas praktik pembelajaran. McNiff (1992:4) juga berpendapat bahwa penelitian tindakan adalah suatu strategi untuk meningkatkan pendidikan (pembelajaran) melalui perubahan dengan mendorong guru untuk menyadari praktik mengajar mereka, kritis terhadap praktik mengajar dan siap terhadap perubahan. Proses pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini dirancang empat tahap secara berdaur ulang yang meliputi (1) mengembangkan rencana, (2) melakukan tindakan sesuai rencana, (3) melakukan observasi terhadap tindakan, dan (4) melakukan refleksi (Kemmis dan Taggart, 1988). Kegiatan ini dimulai dari refleksi awal untuk melakukan kajian pendahuluan tentang kondisi objektif di lapangan. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kesulitan yang dialami oleh guru dan siswa, lalu mencarikan pemecahannya. Selanjutnya, dilakukan kegiatan rencana tindakan, observasi, analisis, dan refleksi seperti terlihat dalam bagan 3.1 pada alur penelitian tindakan. Dalam pelaksanaannya, penelitian tindakan ini bersifat kolaboratif partisipatoris.
8 Mengacu pada pendapat Kemmis dan Taggart di atas, penelitian tindakan ini disusun dengan rancangan yang meliputi tahap (1) refleksi awal, (2) perencanaan tindakan, (3) pelaksanaan tindakan, dan (4) pengamatan. Penelitian tindakan dapat dipandang sebagai suatu siklus spiral dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah guru, dan juga siswa kelas V SD Negeri 1 Bangkuang yang berjumlah 9 orang siswa, dengan rincian sesuai dengan prestasi belajar mereka yaitu 3 siswa dan kelompok atas, 3 siswa dan kelompok tengah, dan 3 siswa dan kelompok bawah. Untuk menetapkan kesembilan siswa tersebut, peneliti melaksanakan tes awal. Dan tes tersebut peneliti menentukan siswa yang menjadi subjek penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Bangkuang. Sekolah ini berada di pedalaman Kalimantan Tengah tepatnya di desa Bangkuang, Kecamatan Karau Kuala, Kabupaten Barito Selatan. Pemilihan SD Negeri 1 Bangkuang sebagai tempat penelitian didasari pertimbangan bahwa (1) guru-guru di SD ini cukup akomodatif untuk menerima pembaruan-pembaruan, (2) guru-guru masih belum memiliki wawasan yang cukup dalam mengembangkan pembelajaran, (3) siswa-siswa yang sekolah di SD ini mayoritas berasal dari desa Bangkuang, (5) permasalahan menulis puisi merupakan salah satu kendala yang dihadapi guru di sekolah ini, dan (6) penelitian tentang menulis puisi belum pemah dilaksanakan di sekolah ini. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut (1) studi pendahuluan, (2) rencana tindakan,(3) pelaksanaan tindakan, dan (4) pengamatan. Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan studi pendahuluan di SD Negeri 1 Bangkuang, sejak tanggal 17 September sampai dengan 20 September 2007. Kegiatan ini dilaksanakan dengan mengadakan observasi awal terhadap
9 pembelajaran menulis puisi di kelas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi guru dan siswa di kelas terkait dengan pembelajaran menulis puisi dan strategi yang digunakan dalam pembelajaran menulis puisi. Studi pendahuluan dilakukan dengan mengamati proses belajar mengajar menulis puisi di kelas, mewawancarai guru dan siswa tentang praktik belajar mengajar menulis puisi yang sudah dilaksanakan selama ini. Pembelajaran menulis dilaksanakan hanya dengan menugasi siswa menulis dalam waktu yang ditentukan, guru memberi tugas kepada siswa untuk menulis puisi dengan tema yang ditentukan dari buku paket. Evaluasi yang banyak dilakukan adalah evaluasi hasil, bukan evaluasi proses.
HASIL Dalam tahap pratulis pada siklus II ini guru merangsang motivasi belajar siswa dengan mengadakan suatu permainan dengan tujuan agar para siswa lebih berani dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Permainan tersebut adalah tebak gambar, guru menggambar sesuatu dipapan tulis, dan siswa menebak gambar apa yang dibuat oleh guru. Para siswa antusias secara berebutan menebak gambar yang dibuat oleh guru tersebut, kadang tebakan mereka dibantah oleh temannya yang lain, ada juga yang mendukung tebakan temannya, sehingga kelas menjadi ramai. Berdasarkan analisis terhadap hasil kegiatan pembelajaran, dapat dikatakan bahwa kegiatan pada saat pratulis dalam siklus II ada peningkatan dan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Para siswa tidak lagi pasif melainkan mulai aktif terhadap kegitan pembelajaran. Pada tahap menulis, siswa diminta untuk mendeskripsikan gambar yang mereka pilih sesuai pengamatannya. Lembar bergambar yang dibagikan kepada siswa sedikit berbeda dengan gambar di siklus I, pada siklus II ini gambar yang disajikan
10 lebih banyak pilihannya meskipun ada pula gambar yang sama dengan gambar di siklus I. Pada tahap menulis dalam siklus II, dapat disimpulkan bahwa pada indikator mengidentifikasi gambar, siswa sudah bisa dan hanya sebagian kecil saja yang masih kurang. Hal ini hanya karena sebagian siswa tersebut kurang teliti dalam mengidentifikasi gambar. Pada indikator menentukan ide puisi, siswa tidak lagi membuat ide puisi tersebut menjadi judul puisi, para siswa sudah bisa memahami antara menentukan ide dan menentukan judul puisi. Pada indikator pembuatan draf para siswa juga sudah memahami apa tujuan dari pembuatan draf puisi tersebut dan apa saja yang ditulis dalam draf puisi tersebut, siswa menulis puisi tidak lagi sama persis dengan draf puisi yang mereka tulis. Sebelum hasil karya siswa dipublikasikan terlebih dahulu mereka diminta untuk membacakan hasil karya mereka di depan kelas agar teman-temannya yang lain bisa mendengarkan dan memberi tanggapan terhadap hasil karya temannya yang dibacakan itu. Selain itu guru juga memberi masukan yang sekiranya perlu dalam perbaikan terhadap hasil puisi tersebut.
PEMBAHASAN Proses pembelajaran menulis puisi dengan media gambar dilaksanakan melalui tiga tahap yakni (1) tahap pratulis, (2) tahap tulis, (3) tahap pasca tulis. Pada awal kegiatan pembelajaran, guru melakukan tanya jawab singkat tentang kabar dan perasaan siswa sebagai usaha menciptakan suasana akrab dan terbuka antara guru dan siswa. Suasana akrab dan terbuka menjamin munculnya interaksi yang positif dalam pembelajaran, yakni antara guru dan siswa maupun siswa dengan siswa. Interaksi pembelajaran yang positif pada hakikatnya dimaksudkan untuk
11 mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya (Depdiknas, 2003:6) Selanjutnya, guru menyampaikan tujuan, manfaat, dan langkah-langkah pembelajaran menulis puisi. Penyampaian tujuan, manfaat dan langkah-langkah pembelajaran menulis puisi ini adalah untuk memberi kejelasan dan kemudahan kepada siswa dalam mengikuti pelajaran serta membangkitkan motivasi agar siswa belajar dengan sungguh-sungguh. Kegiatan ini tidak dilakukan guru melalui penjelasan langsung, tetapi melalui strategi tanya jawab dalam rangka membangkitkan motivasi siswa dan menumbuhkan sikap dan persepsi siswa terhadap pembelajaran puisi. Motivasi siswa akan muncul apabila mereka mengetahui tujuan, manfaat, dan langkah-langkah dalam mempelajari sesuatu yang dipelajarinya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Nurhadi (2002:14) yang mengatakan bahwa bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Sesuai urutan kegiatan, langkah berikutnya adalah membentuk siswa di dalam kelas menjadi lima kelompok. Melalui kelompok ini, siswa lebih mudah dan lancar dalam dalam menyelesaikan setiap tugas atau pun permasalahan yang dihadapinya. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Pembagian kelompok dilakukan secara acak dengan memperhatikan heterogenitas dan kemampuan akademis anggota kelompok untuk menciptakan interaksi yang positif antar siswa. Vygotsky (dalam Cox. 1999:7) mengemukakan bahwa ada tiga alasan pengelompokan yang dilakukan secara heterogen. Pertama, kelompok heterogen memberi kesempatan untuk saling mengajar (peertutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini dapat meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik dan gender. Ketiga, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan
12 adanya orang yang mempunya kemampuan akadeis tinggi, guru mendapat satu asisten dalam setiap kelompoknya. Penggunaan media gambar dalam pembelajaran menulis puisi pada tahap pratulis diawali dengan guru terlebih dahulu mempersiapkan siswa untuk megikuti pelajaran bahasa Indonesia, yaitu mengecek kehadiran siswa dan menginformasikan tentang kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran pada tahap pratulis adalah melakukan tanya jawab dengan tujuan membangkitkan skemata siswa mengenai pemahaman mereka tentang puisi, dalam pembangkitan skemata ini hasil yang diharapkan adalah siswa memperhatikan penjelasan guru. Pada bagian ini guru menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan puisi dan unsur-unsurnya serta perbedaan puisi anak dengan puisi dewasa. Kegiatan pembangkitan skemata ini sesuai dengan teori Piaget (dalam Suparno, 1997:33) yang menyatakan bahwa dalam pikiran seseorang terdapat struktur pengetahuan awal yang disebut dengan skemata. Pengalaman baru yang ditemuinya akan dihubungkan dengan apa yang diketahui seseorang untuk membentuk pengetahuan baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Parson (dalam Burns, 1996:207) yang menyatakan bahwa pembangkitan skemata dapat menyebabkan terjadinya proses penghubungan informasi tekstual, pengetahuan, atau pengalaman yang telah dimiliki siswa. Hal lain yang diharapkan dari tahap pratulis ini adalah siswa dapat berinteraksi dengan siswa lain, bisa mengemukakan pertanyaan apabila kurang memahami materi, bisa menjawab pertanyaan dari guru tentang puisi. Selanjutnya guru membacakan sebuah puisi dan menawarkan kepada siswa untuk membaca puisi yang diberikan oleh guru. Selanjutnya untuk memfokuskan kegiatan belajar guru memperlihatkan sebuah gambar, gambar tersebut adalah gambar seorang nelayan yang sedang menangkap
13 ikan di laut. Pilihan kegiatan ini sejalan dengan pendapat Campbell (2002:154) yang menyatakan bahwa gambar dapat mendukung konsep ilmu pengetahuan dengan efektif dan dapat memotivasi siswa untuk menulis pelajaran ilmiahnya. Guru meminta siswa untuk memperhatikan dan mendeskripsikan gambar yang sedang diperlihatkan oleh guru. Setelah itu, siswa diminta mencocokan gambar tersebut dengan pengalamannya dengan cara bertanya jawab. Berdasarkan analisis terhadap hasil kegiatan pembelajaran dapat dikatakan bahwa kegiatan pada saat pratulis dalam siklus 1 belum sesuai dengan hasil yang diharapkan, para siswa cenderung pasif terhadap kegitan pembelajaran. Dalam siklus II terjadi peningkatan, guru merangsang motivasi belajar siswa dengan mengadakan suatu permainan dengan tujuan agar para siswa lebih berani dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Permainan tersebut adalah tebak gambar, guru menggambar sesuatu dipapan tulis, dan siswa menebak gambar apa yang dibuat oleh guru. Para siswa antusias dan berebutan menebak gambar yang dibuat oleh guru tersebut. Kadang tebakan mereka dibantah oleh temannya yang lain, ada juga yang mendukung tebakan temannya, sehingga kelas menjadi ramai. Begitu juga pada saat guru bercerita mengenai perlombaan membaca puisi, para siwa pun berani menceritakan pengalamannya tentang pembacaan puisi, dan teman-temannya yang lain juga termotivasi untuk menceritakan pengalamannya. Ketika mereka diberikan pertanyaan tentang puisi dan unsur-unsurnya secara umum sebagian besar dari mereka bisa menjawab. Pada siklus 1 siswa harus ditunjuk terlebih dahulu agar bersedia kedepan kelas membacakan puisi tersebut. Pada siklus II ini awalnya mereka saling dorong dan akhirnya salah satu dari mereka mau membacakan puisi di depan kelas.
14 Berdasarkan analisis terhadap hasil kegiatan pembelajaran, dapat dikatakan bahwa kegiatan pada saat pratulis dalam siklus II ini ada peningkatan dan sesuai dengan yang diharapkan, para siswa tidak lagi pasif melainkan mulai aktif terhadap kegitan pembelajaran. Hasil belajar yang diharapkan dalam tahap menulis adalah siswa mampu (1) mengidentifikasikan gambar, (2) menentukan ide sesuai gambar, (3) mengembangkan ide menjadi draf, (4) mengembangkan draf tersebut menjadi sebuah puisi Menulis puisi dengan media gambar pada tahap menulis, diawali dengan kegiatan mengidentifikasi gambar. Guru terlebih dahulu membagikan beberapa gambar kepada siswa dan diminta untuk memperhatikan gambar-gambar tersebut, memilih gambar yang mereka sukai, serta mengidentifikasi apa saja yang ada dalam gambar tersebut. Temuan penelitian pada siklus 1 menunjukkan siswa tampak penasaran terhadap gambar yang dibagikan. Setelah semua mendapatkan masing-masing dua lembaran bergambar, mereka langsung mendeskripsikan gambar tersebut dengan berinteraksi dengan temannya. Dalam penentuan ide para siswa cenderung melihat gambar yang mereka pilih secara keseluruhan, artinya mereka tidak memperhatikan gambar itu per bagian, sehingga ide yang mereka tentukan sama dengan judul puisi yang akan mereka tulis. Begitu pula ketika guru meminta mereka menuliskan draf puisi, para siswa masih belum bisa memahami dalam penulisan draf hasilnya, draf yang mereka tulis sama dengan puisi yang mereka buat. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan tahap menulis dalam siklus 1 pada indikator mengidentifikasi gambar, sebagian siswa sudah bisa dan sebagian lagi masih kurang, hal ini terjadi karena siswa yang kemampuan identifikasinya kurang melihat bagian yang paling menonjol saja, sedangkan siswa yang hasil identifikasinya bagus
15 melihat semua bagian gambar. Menurut Campbell (2002:162), seringkali ketika diminta untuk menulis cerita atau puisi, siswa mengeluh tidak tahu dari mana atau bagaimana memulainya. Gambar dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi, meransang majinasi, dan memunculkan ide yang diinginkan. Pada indikator menentukan ide puisi, semua siswa membuat ide tersebut menjadi judul puisi, ini dikarenakan para siswa masih belum memahami antara menentukan ide dan menentukan judul puisi. Pada indikator pembuatan draf juga masih kurang, karena para siswa belum sepenuhnya memahami apa tujuan dari pembuatan draf puisi tersebut, dan kebanyakan siswa menulis draf puisi tersebut sama persis dengan puisi yang mereka tulis. Pada siklus II kemampuan siswa pada indikator mengidentifikasi gambar, sudah bisa dan hanya sebagian kecil saja yang masih kurang, hal ini hanya karena sebagian siswa tersebut kurang teliti dalam mengidentifikasi gambar. Pada indikator menentukan ide puisi, siswa tidak lagi membuat ide puisi tersebut menjadi judul puisi, para siswa sudah bisa memahami perbedaan antara menentukan ide dan menentukan judul puisi. Pada indikator pembuatan draf para siswa juga sudah memahami apa tujuan dari pembuatan draf puisi tersebut dan apa saja yang ditulis dalam draf puisi tersebut. Siswa menulis draf puisi tidak lagi sama persis dengan puisi yang mereka tulis. Setelah selesai penulisan puisi, guru meminta siswa untuk melakukan kegiatan pemublikasian, yakni pembacaan karya mereka di depan kelas dan dilanjutkan pemajangan di majalah dinding atau papan pengumuman. Hal ini sesuai dengan pendapat Tompkins (1994:127) yang menyatakan bahwa cara siswa berbagi tulisan antara lain dengan membacakan karangannya di depan kelas atau di luar kelas.
16 Sebelum dilaksanakan pembacaan puisi, guru memberikan penjelasan cara pembacaan yang baik dengan memperhatikan kejelasan suara, lafal dan intonasi yang tepat. Pada siklus 1, siswa belum berani membacakan hasil karyanya dan merespon karangan teman. Dengan adanya motivasi dan penguatan yang diberikan oleh guru maka pada siklus II siswa telah mampu dan berani membaca dan merespon hasil karya temannya. Tompkins (1991:24) menyatakan bahwa pada tahap pascatulis, siswa memublikasikan hasil tulisannya dan bersama-sama menilainya dengan teman sejawat dan guru. Kegiatan ini mampu membangkitkan semangat dan keinginan berkarya yang lebih baik serta memupuk rasa menghargai dan bangga terhadap karya sendiri dan orang lain. Setiap kelompok harus mengutus wakilnya yang dipilih atas kesepakatan kelompok untuk membacakan hasil tulisannya. Kelompok dengan pembacaan terbaik mendapat penghargaan dari guru. Pujian yang mereka dapatkan mendorong mereka tetap dalam keadaan prima dalam pembelajaran berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat DePorter (1992:31) bahwa guru layak menanamkan bibit kesuksesan dan selalu menghubungkan dengan penghargaan atau perayaan. Perayaan membangun keinginan untuk sukses. Pemublikasian dangan cara memajangkan hasil karya dilakukan untuk menumbuhkan rasa menghargai dan bangga terhadap karya sendiri. Berdasarkan temun dan hasil refleksi penelitian yang dikemukakan dalam bab IV, diketahui bahwa guru dan siswa berhasil dengan baik melaksanakan kegiatan pemublikasian. Dari refleksi di atas dapat disimpulkan bahwa siswa sangat senang dengan metode pembelajaran yang digunakan guru. Bagi mereka setiap tahap pembelajaran yang diikuti merupakan pengalaman asyik, berkesan, tidak sulit, dan menghibur. Proses belajar cenderung menjadi lebih mudah.
17 Selain itu, hasil belajar yang diperoleh menunjukkan peningkatan yang signifikan, baik dilihat dari segi proses maupun hasilnya. Dari segi proses terlihat bahwa pembelajaran menulis puisi dengan media gambar menciptakan dinamika kelas yang kondusif, nyaman, santai dan menyenangkan sehingga menjamin munculnya aktivitas dan sikap guru maupun siswa secara prima. Dari segi hasil terlihat bahwa media gambar efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Peningkatan ini dapat dibuktikan dari produk tulisan siswa yang rata-rata mendapat kualifikasi baik, baik dari segi isi, pilihan ide maupun kata. Proses pembelajaran menulis puisi dengan mendia gambar pada tahap pascatulis terbukti efektif untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memublikasikan hasil karangan. Karangan hasil perbaikan dibacakan di depan kelas. Indikator yang ditetapkan dalam pemublikasian karya adalah sebagai berikut (1) membaca dengan penuh rasa percaya diri, (2) membaca dengan intonasi yang tepat. (3) merespon isi karya yang dibacakan, dan (4) menunjukkan hasil karya di mading atau papan pengumuman.
18 DAFTAR RUJUKAN
Aminudin, 1996. Pengajaran Melalui Penelitian Area Isi Teks. Malang: IKIP Malang Bogdan, R.C & Biklen. S.K. 1992. Qualitative Research for Education: An Intruduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Burns, P.C, Roe, B.D & Ross, P.E. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary School. Boston: Haughton Mifflin Company. Campbell, Linda 2002. Multiple Intelligences: Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan. Terjemahan oleh Tim Inisiasi Depok: Inisiasi Press. Cox, Carole. 1999. TeachingLanguage Arts: A Student and Resposnse-Centered Clasroom. Boston: Allyn and Bacon. Cullinan, E. Bernie. 1989. Literature and The Child. New York. Harcort Brace Jovanovich, Publishers. Depdiknas. 2003, Standar Kompetensi. Jakarta: Depdiknas Depdiknas. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas. DePorter, Bobbi, & Hernacki, Mike. 1992. Quantum Learning:Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan oleh Alwiyah Abdurahman. Bamdung: Kaifa Diana, Novi. 2006. Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi dengan Strategi Permodelan Pada Siswa Kelas V SD Negeri Penanggungan Malang. Elliot, John. 1991. Action Research for Educational Change. Milton Kegnes, Philadelphia: Open university Press. Ellis, Arthur. 1989. Elementary Language Arts Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Farris, J. Pamela. 1993. Language Arts: A Process Aproach. Madison: Brown & Benemark. Gerlach, Vernon S. dan Ely, Donald P. 1980. Teaching and Media: A Systematic Approach. New Jersey: Prentice Hall. Graves, D. H. 1994. A Fresh Look at Writing. Portsmouth: Heinemann. Kemmis, S. & McTaggart. R 1988. The Action Researt Planner. Melbourne: Deakin University Press.
19 McNiff, Jean. 1992. Action Research: Principles and Practice. London: Macmillan Education. Miles, M. B. & Huberman, A.M. 1992. Qualitative Data Analysis: A Source Book of New Methods. London: Sage. Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ningrum, R. 2005. Mendidik Secara Cerdik. Solo: Tiga Serangkai. Nurgiyantoro, B. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Nurudin. 2007. Dasar-Dasar Penulisan.Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Pradopo, Rachmad. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Rofi’uddin, A. 1998. Rancangan Penelitian Tindakan. Makalah disajikan dalam Lokakarya Tingkat Lanjut Penelitian Kualitatif Angkatan VII, Lembaga Penelitian IKIP Malang, Malang, 28 September – 18 November. Routman, Regie. 1994. Invitation Changing as Thechers and Learners K-12. Portsmauth. Heinemann. Rubin, D. 1995. Teaching Elementary Language Art: An Integrated Approach. Boston: Allyn and Bacon. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media. Soeharto, K. 2003. Teknologi Pembelajaran; Pendekatan Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media. Surabaya : SIC Suparno. 2007. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: University Terbuka. Sutherland, Zena & Monson L, Dianne. 1981. Children & Books. Glenview, Illinois: Scott Foresman and Company. Syafi’ie, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Jakarta Syamsudin & Damaianti, S. Vismaia. 2006 Metodologi Penelitian Bahasa. Jakarta: Remaja Rosdakarya
20 Tarigan, H. G. 1986. Menulis, Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tompkins, G.E. & Hoskinsson, K. 1991. Language Arts. Content and Teaching Strategies. New York: Macmillan. Tompkins, Gail. E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan. Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Winataputra, Udin Saripudin dan Ardiwinata, Rustana 1991. Materi Pokok Perencanaan Pengajaran Modul 1-6. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam dan Universitas Terbuka.
21
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI DENGAN MEDIA GAMBAR PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI 1 BANGKUANG KABUPATEN BARITO SELATAN
ARTIKEL
OLEH
ICHYATUL AFROM NIM 106652551574
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD Juli 2008
IMPLEMENTASI STRATEGI PEMETAAN PIKIRAN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS CERITA SISWA KELAS IV SD NEGERI 11 MATARAM Oleh: S. Rohana Hariana Intiana ABSTRACT The research problem is formulated as follows,” how is the process and the implementation of mind mapping strategy in improving the students ability of fourth grade students of elementary school in Mataram 11 in the stage of suggesting idea, developing idea, writing, and publishing. The main instrument in collecting the data is the writer herself assisted by a collaborator teacher by using the observation sheet, interview guidelines, and writing test. The criteria of success in this teaching and learning process of writing skill is about 75% to which students can get the competency standard about 70 in their grade. The result of the mind mapping strategy in improving students of fourth grade of Mataram 11 elementary school is significant enough. In the stage of idea suggesting, there are 46 students able to show their ideas (Cycle I) and it improves into 100% (cycle II0. in the stage of idea development there are 60 % students are able to develop their ideas and increases into 98% (cycle II). In the writing stage there are 58% (cycle I) of those able to write a story from their idea and it then improves into 85% (cycle II). In the publishing stage, there are 59% (cycle I) students are able to publish their writing well and it then increases into 81% (Cycle II). It then concluded that the average score of students writing in the first cycle is about 64.7% (average), it improves into 81.8% in second cycle (very good). Keywords: Mind mapping strategy, skill, writing a story I. PENDAHULUAN Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif (Tarigan, 1986:3-4). Hal senada diketengahkan pula oleh Nurgiyantoro (1987:273) bahwa dilihat dari segi kemampuan berbahasa, menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan melalui media bahasa. Aktivitas yang pertama menekankan unsur bahasa, sedang yang kedua menekankan unsur gagasan. Secara rinci Suparno dan Yunus (2002:13) mengatakan bahwa menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan.
2 Menulis merupakan sarana pembelajaran yang membantu anak-anak dan orang dewasa menjadi lebih memahami keyakinan pribadi, mengembangkan teknik evaluasi dan interpretasi, dan merumuskan keputusan terkait (Farris, 1993:214). Menurut Newman (dalam Farris, 1993:214) seseorang mengembangkan diri menjadi seorang penulis setiap kali ia berkecimpung dalam proses menulis. Odeli (dalam Farris, 1993:214) menyarankan bahwa menulis sebenarnya dapat mendukung proses pembelajaran bahasa. Abel (dalam Farris, 1993:2 14) menyetujui pendapat itu dengan menyatakan bahwa menulis merupakan media bukan hanya bagi pembelajar namun untuk mengajarkan kepada siswa bagaimana belajar. Demikian pula Graves (1978) lebih jauh mengatakan bahwa menulis meningkatkan pembelajaran. Setiap kali anakanak menulis, periode penemuan terjadi: mereka mendapatkan pengetahuan baru tentang menulis, membaca, dan berpikir selain pemaknaan yang lebih baik tentang diri sendiri. Anak-anak tidak tumbuh menjadi penulis melalui kemajuan linier tetapi karena berulang-ulang (rekursif). Menulis merupakan salah satu cara paling tertata dalam menciptakan makna dan metode paling efektif yang bisa digunakan untuk memonitor pikiran seseorang. Oleh karena tindak menulis merupakan tindak berpikir, para guru perlu mencermati hal ini dengan jalan melatih keterampilan menulis secara kontinyu dan teratur sejak usia sekolah dasar. Menurut Syafi’ie (1993:52) keberhasilan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam menulis. Oleh karena itu, pembelajaran keterampilan menulis mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pendidikan dan pengajaran. Keterampilan menulis harus dikuasai oleh anak sedini mungkin dalam kehidupannya di sekolah. Kemampuan dan keterampilan membaca dan menulis merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan lain yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengajaran membaca dan menulis
3 di sekolah dasar harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan sehingga memberikan manfaat bagi siswa dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan yang lain. Penanaman kebiasaan yang baik dan teratur dalam melatih keterampilan menulis, secara formal dimulai sejak anak-anak menjejakkan kaki di bangku sekolah dasar. Pada jenjang sekolah dasar keterampilan menulis itu sendiri sudah tercantum sebagai salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa yang mulai dilatih sejak kelas-kelas awal sampai di kelas-kelas tinggi. Menulis itu sendiri merupakan aktivitas kognitif yang kompleks, yang perlu dikembangkan dengan pelatihan dan pembiasaan (Bell dan Burnaby, dalam Nunan,1991:6). Salah satu aktivitas yang dianggap paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah pendidikan dan pembinaan melalui sekolah, terutama pendidikan dan pengajaran melalui bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Keluhan tentang rendahnya kemampuan lulusan sekolah dasar dalam hal baca tulis masih sering terdengar. Farris (1993:180) menyatakan bahwa menulis sulit dipelajari siswa dan sulit diajarkan oleh guru, khususnya sekolah dasar. Hal yang senada dikatakan oleh Rofi’uddin dan Zuchdi (1999:37) sampai saat ini, penguasaan kemampuan baca tulis lulusan SD masih jauh dari harapan. Sejauh pengamatan penulis selama ini terhadap pembelajaran menulis, tampak bahwa para guru lebih mengutamakan hasil menulis daripada proses menulis. Dengan demikian, siswa tidak mendapatkan pengalaman menulis dengan menulis tetapi siswa dipaksa menulis untuk memperoleh nilai. Menurut Elbow, ketidaktertarikan siswa terhadap pembelajaran menulis juga disebabkan oleh pembelajaran menulis yang cenderung bersifat mekanis, penekanan pada hal-hal yang bersifat mekanis sehingga membuat tulisan mati dan gagasan siswa tidak tercurah secara alami (dalam Tompkins, 1994:210).
4 Pada studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis pada bulan Oktober dan Desember 2007 terhadap guru-guru sekolah dasar negeri 11 Mataram Kabupaten Lombok Barat (ketika melaksanakan tugas observasi) terungkap bahwa masalah pembelajaran bahasa Indonesia yang dihadapi di lapangan adalah masalah pembelajaran menulis terutama dalam hal menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan. Melalui wawancara dengan guru kelas IV SD Negeri 11 Mataram ditemukan dua hal: (1) pembelajaran menulis masih jarang dilaksanakan, (2) anakanak memiliki kemampuan menulis rendah karena malas mengarang, (3) cara yang ditempuh guru untuk membelajarkan keterampilan menulis kepada siswa adalah dengan menjelaskan bagaimana menulis, teori tentang menulis, menunjukkan contoh tulisan (tetapi masih sangat sedikit), dan menugaskan siswa menulis dengan topik tertentu, (4) ketika menulis, siswa kesulitan memunculkan gagasan pokok dari tulisan, kesulitan mengembangkan gagasan pokok menjadi gagasan pengembang, kesulitan melakukan peragaan yang mendukung isi pembicaraan, dan kurang memiliki keberanian yang memadai, dan (5) anak-anak malas membaca sehingga kemampuan mengarangnya rendah. Dari 36 siswa kelas IV, hanya 10 sampai 13 orang yang dapat memperoleh nilai baik (nilai 7 ke atas). Artinya, hanya 25% dari jumlah siswa dalam satu kelas yang mempunyai kemampuan menulis yang baik. Untuk memecahkan masalah tersebut, guru bersama peneliti merancang pembelajaran menulis dengan strategi pemetaan pikiran. Strategi pemetaan pikiran (SPP) adalah suatu teknik grafis untuk mempresentasikan gagasan dengan menggunakan kata-kata kunci, imaji lambang dan warna (Buzan, 2004). Pemetaan pikiran didasarkan pada pola-pola penemuan di alam dan penelitian tentang bagaimana manusia berpikir dan menggunakan pikiran (Johnson, 2007: 145). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rico (dalam Hernowo, 2006: 159), manusia mampu memproses dunia dalam dua cara yaitu melalui otak belahan kiri (otak tanda) dan otak belahan kanan (otak rancang). Otak tanda berpikir secara linier, per bagian
5 secara logis, satu persatu, sementara otak rancang berpikir secara keseluruhan (nonlinier), menggambarkan secara imaji jaring emosional, pola sensorik, seperti pada memori yang tiba-tiba muncul sekilas dalam kesadaran sebagai suatu keseluruhan (dalam Hernowo, 2006:159). Strategi pemetaan pikiran menerapkan kerja otak secara non-linier melalui proses berpikir otak rancang. Pemetaan pikiran dapat meningkatkan kualitas pikiran. Ia membantu sistem berpikir kreatif, menyediakan suatu pandangan representasi visual, memperlihatkan kaitan gagasan dan sintetisnya serta memfasilitasinya (Wycoff, 2004). Ia membantu siswa berpikir kreatif, membolehkan siswa untuk mengakses inteligensi multipel dan menghasilkan gagasan-gagasan baru. Pemetaan pikiran membantu siswa mengorganisasikan gagasan yang ada dalam pikiran siswa dan lingkungan. Penciptaan peta pikiran dapat meningkatkan ingatan dan pembelajaran pemetaan pikiran sangat baik untuk menghasilkan dan menata gagasan sebelum mulai menulis (Silberman, 2006:200). Bila guru meminta siswa untuk membuat peta pikiran, hal ini memungkinkan siswa untuk mengidenitifikasi dengan jelas dan kreatif apa yang telah mereka pelajari atau apa yang tengah mereka rencanakan. Berdasarkan ilustrasi di atas, hal utama yang perlu segera dicarikan pemecahannya adalah bagaimana memanfaatkan media dan strategi pembelajaran yang variatif, dalam pembelajaran keterampilan menulis cerita, yaitu dengan memanfaatkan strategi pemetaan pikiran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirancang penggunaan strategi pemetaan pikiran untuk meningkatkan kemampuan menulis cerita siswa kelas IV SD Negeri 11 Mataram. Secara umum masalah penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan strategi pemetaan pikiran dala meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram pada tahap (1) pemunculan gagasan, (2) pengembangan gagasan, dan (3) penulisan, dan (4) penyajian. Oleh karena itu, tujuannya adalah mendeskripsikan penggunaan strategi
6 pemetaanpikiran dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas IV SD Negeri 11 Mataram pada tahap (1) pemunculan gagasan, (2) pengembangan gagasan, dan (3) penulisan, dan (4) penyajian. II. METODE A. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan metode deskriptif kualitatif. Alasan lebih rinci peneliti memilih metode kualitatif dalam penelitian ini adalah: (1) data-data yang dikaji dalam penelitian ini adalah data verbal dan nonverbal (tuturan dan tindakan) yang secara potensial dapat menghasilkan makna dan informasi yang sesuai dengan penelitian ini; (2) data-data tersebut diperoleh pada seting alamiah, yakni tuturan dan tindakan guru dan siswa ketika pembelajaran berlangsung; (3) data-data tersebut dianalisis secara induktif pada saat dan setelah pengumpulan data dilaksanakan; (4) dalam penelitian ini peneliti menjadi instrumen kunci; dan (5) penelitian ini menekankan proses dan hasil (Bogdan dan Biklen, 1992:33-36). Rancangan penelitian ini mengacu pada rancangan Penelitian Tindakan Kelas yang berupa siklus-siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap kegiatan yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection). Untuk rancangan siklus I mengacu pada hasil studi pendahuluan. Rancangan siklus II akan mengacu pada hasil siklus I. Demikian seterusnya, perencanaan siklus ke-n akan didasarkan pada hasil siklus sebelumnya.
B. Rancangan Tindakan Rancangan tindakan pada setiap tahapan pembelajaran berbicara dengan strategi pemodelan di SD Negeri 11 Mataram dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
7 Tabel 1 Skenario Pembelajaran Menulis Cerita dengan Strategi Pemetaan Pikiran Tahap Pembelajaran Pemunculan Gagasan
Kegiatan Pembelajaran Membangkitkan skemata siswa dengan memperagakan beberapa gambar yang sesuai dengan tema pembelajaran
Pengembangan Gagasan
Mengembangkan gagasan pokok
Penulisan
1. Mengembangkan Gagasan Pokok
2. Perbaikan Draf Karangan
Penyajian
Pemublikasian Karangan
Hasil Belajar Yang Diharapkan Siswa mengamati gambar dan mampu mengungkapan isi gambar sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya Siswa dapat memilih salah satu gambar untuk ide tulisan Siswa mampu menjawab pertanyaan guru tentang hal-hal yang menarik dari gambar Siswa mampu memunculkan gagasan pokok dari jawaban berdasarkan gambar yang dipilih. Siswa mampu menceritakan gagasan pokok yang telah dipilih. Siswa dapat meletakkan gagasan pokok di tengah kertas Siswa dapat membuat gambar dan warna gagasan pokok sesuai selera Siswa mampu memetakkan kata-kata yang dekat hubungannya dengan gagasan pokok dan mengembangkannya hingga rinci. Siwa dapat membuat cabang berupa garis linier di sekitar gagasan pokok ke segala arah sesuai dengan peta kata-kata dan rinciannya Siswa dapat mewarnai kata-kata yang telah dipetakkan sesuai selera Siswa mampu mengembangkan gagasan pokok dengan gambar dan kata kunci Siswa mampu menentukan judul cerita sesuai dengan gagasan pokok Siswa mampu menyusun dan mengembangkan gagasan yang berupa kata kunci berdasarkan urutan peta pikiran yang telah dibuat Siswa dapat mengembangkan kata-kata kunci menjadi kalimat Siswa mampu menata kalimat menjadi karangan dengan bahasa yang baik Siswa mampu menyusun cerita dengan ejaan dan tanda baca yang tepat Siswa dapat memperbaiki karangan dari segi ejaan dan tanda baca Siswa dapat memperbaiki karangan dari segi pilihan kata Siswa dapat memperbaiki karangan dari segi sruktur kalimat Siswa dapat memperbaiki karangan dari penataan paragraf Siswa dapat membaca hasil karyanya dengan lafal dan intonasi yang tepat Siswa mampu membacakan hasil karyanya dengan penuh rasa percaya diri Siswa mampu memberi komentar dan saran terhadap karangan teman lainnya Siswa dapat memajang karyanya.
8 C. Pengumpulan dan Perekaman Data Pengumpulan dan perekaman data dalam PTK merupakan bagian dari observasi. Adapun teknik pengumpulan dan perekaman data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) wawancara, (2) observasi, dan (3) tes. Wawancara khusus dilakukan peneliti kepada siswa yang melakukan tindakan intervensi langsung di kelas terutama berkaitan dengan pelaksanan pembelajaran menu1is cerita dengan strategi pemetaan pikiran. Hal ini ditujukan untuk memperjelas perilaku belajar dan proses berpikir siswa selama proses belajar mengajar berlangsung. Observasi, dilakukan untuk mengamati prosedur dan aktivitas siswa dalam pembelajaran menulis cerita dengan strategi pemetaan pikiran. Dengan berpedoman pada lembarlembar observasi, peneliti mengamati apa yang terjadi dalam proses pembelajaran, yakni (a) pada tahap pemunculan gagasan, yaitu respon siswa terhadap penjelasan guru tentang tujuan dan langkah-langkah pembelajaran, membangkitkan skemata siswa, keterlibatan siswa dalam menginterpretasi serta menemukan ide berdasarkan gambar yang dipajang, dan menceritakan hal-hal yang menarik dari gambar yang dipajang (b) tahap pengembangan gagasan yaitu keterlibatan siswa dalam mengembangkan gagasan pokok dan membuatnya dalam bentuk pemetaan pikiran, (c) pada tahap penulisan, yakni keterlibatan siswa dalam menyusun dan mengembangkan pemetaan pikiran dalam bentuk tulisan cerita, dan (d) tahap penyajian, yakni keterlibatan siswa dalam memperbaiki dan merevisi draf cerita yang telah disusun dan pemublikasiannya baik dalam pembacaan dan pemajangan. Sementara itu, tes dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan kemampuan menulis siswa setelah tindakan dilaksanakan. Data-data yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan, dan tes dikumpulkan dan direkam dengan menggunakan instrumen sebagai berikut. Pertama, data-data yang diperoleh melalui wawancara dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pedoman wawancara untuk memperoleh data yang
9 dikumpulkan melalui teknik wawancara. Kedua, data-data yang diperoleh melalui pengamatan dikumpulkan dengan menggunakan panduan pengamatan. Panduan pengamatan untuk memperoleh data yang dikumpulkan melalui teknik pengamatan dapat dilihat pada lampiran 3 dan 4 laporan penelitian ini. Ketiga, data-data yang diperoleh melalui tes dikumpulkan dengan satu jenis tes. Tes dimaksud adalah postes. Postes dilakukan pada setiap setiap tindakan pada setiap siklus. Adapun postes yang dilakukan disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama setiap siklus. Adapun bentuk tes kemampuan menulis yang dipakai pada postes penelitian ini adalah bentuk tes memilih dan menceritakan hal-hal yang menarik dari gambar, menuliskan gagasan pokok dari gambar pada tahap pemunculan gagasan; mengembangkan gagasan sehingga membentuk gambar peta pikiran pada tahap pengembangan gagasan, dan menyusun kata-kata kunci dari peta pikiran, mengembangkannya menjadi kalimat dan paragraf yang utuh pada tahap penulisan. Dalam hal ini, akan memanfaatkan lembar observasi produk berupa panduan pengamatan dan rambu-rambu analisis data produk pembelajaran menulis dengan strategi pemetaan pikiran yang telah disiapkan. Untuk siklus pertama postesnya berupa memilih, menceritakan dan menuliskan salah satu kegiatan dengan tema liburan, siklus kedua berupa memilih, menceritakandan menuliskan kegemaran sendiri.Peneliti juga akan memanfaatkan catatan lapangan/jurnal harian selama kegiatan berlangsung untuk membantu melengkapi data-data yang mungkin tidak terekam melalui instrumen tersebut. D. Analisis Data Analisis data dalam PTK termasuk pada tahap refleksi. Analisis data dilakukan pada tahap refleksi setiap siklus. Dalam hal ini, akan menggunakan model alir (flow model) dari Miles dan Huberman (1992:16-20). Teknik ini terdiri atas tiga fase kegiatan, yaitu: (1) mereduksi data, yakni kegiatan pemilahan data-data yang relevan, penting, dan bermakna untuk menjelaskan sasaran analisis dengan cara
10 membuat fokus, klasifikasi, dan abstraksi data kasar menjadi data bermakna; (2) penyajian data, berupa narasi-deskripsi dan visual gambar agar mudah dipahami, lalu disajikan secara sistematis dan logis; dan (3) penarikan simpulan dan verifikasi data untuk menguji kebenaran, kekokohan, dan kecocokan dari semua fakta yang dihimpun sehingga mencapai tingkat validitas yang akurat. Kriteria keberhasilan tindakan dilihat dari dua segi, yakni proses dan produk (hasil). Dari segi proses, tindakan penelitian ini dikatakan berhasil jika respons tindakan dalam semua tahapan pembelajaran dilaksanakan oleh sebagian besar atau rerata respons siswa terteliti minimal 75%. Sementara itu, dilihat dari segi produk (hasil), tindakan dianggap berhasil jika kualitas kemampuan menulis cerita seluruh siswa yang dijadikan fokus penelitian sekurang-kurangnya mencapai skor minimal 75 atau secara klasikal 75% siswa memperoleh nilai lebih besar atau sama dengan 75. III. HASIL A. Hasil Siklus I (1) Tahap Pemunculan dan Pengembangan Gagasan Proses peningkatan tahap pemunculan dan pengembangan gagasan siklus I adalah nampak pada respons siswa yatu (1) sebagian besar siswa aktif dan terlibat dalam pemodelan pemunculan dan pengembangan gagasan yang dibuat guru meskipun beberapa siswa lain melakukannya sambil bermain, (2) sebagian besar siswa memperhatikan gambar yang di pajang dengan penuh perhatian dan mengungkapkan hal-hal yang menarik dari gambar, (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru serta sebagian besar siswa terlibat dalam pemunculan dan pengembangan gagasan berdasarkan gambar yang dipilih (4) beberapa siswa mengaitkan pengetahuan atau pengalamannya terkait pemunculan dan pengembangan gagasan berdasarkan gambar yang dipilih, dan (5) beberapa siswa senang dan termotivasi memunculkan dan mengembangkan gagasan dalam bentuk peta pikiran.
11 Sementara itu proses peningkatan pada tahap pemunculan dan pengembangan gagasan adalah lima siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75% yaitu 100%). Siswa terteliti dimaksud adalah DS, HA, AGK, HSH, dan IGW. Sementara itu, empat siswa lainnya belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya baru mencapai 50%. Siswa-siswa yang belum berhasil dimaksud adalah DDJ, KSW, KRC, dan RMH. (2) Tahap Penulisan Proses peningkatan pada tahap penulisan menunjukkan bahwa (a) semua siswa merespons secara antusias pemodelan menulis cerita dengan pemetaan pikiran dan menemukan persamaan serta perbedaan antara pemetaan pikiran dengan cerita; (b) semua siswa secara aktif dan antusias mengembangkan gagasan pokok yang berupa kata-kata kunci menjadi kalimat; (c) siswa terlibat secara aktif mengembangkan kalimat-kalimat menjadi paragraf utuh dilakukan oleh enam siswa, yakni DS, AGK, DDJ, HSH, KSW, SU, sedangkan HA dan IGW, RMH tidak melakukannya; (d) semua siswa aktif merevisi hasil tulisan cerita siswa lain dengan cara berpasangan; (e) semua siswa aktif menulis kembali cerita berdasarkan hasil revisi teman sebangku, dan; (f) siswa senang dan termotivasi menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan teman pada saat menganalisis tulisan cerita. Siswa mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menulis ceria dilakukan oleh semua siswa. Sementara itu hasil proses pada tahap penulisan cerita adalah tiga siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75%). Ketiga siswa dimaksud adalah DS DDJ, dan HSH, yakni 86%. Sementara itu, enam siswa lainnya belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswa-siswa yang belum lulus adalah HA 67%, AGK 67%, IGW 57%, KSW 67%, dan KRC 67%.
12 (3) Tahap Penyajian Proses peningkatan pada tahap penyajian menunjukkan bahwa (a) semua siswa memperhatikan dengan antusias model pembacaan cerita yang disajikan guru; (b) siswa mengungkapkan kembali hal-hal yang harus dilakukan selama penyajian cerita dilakukan oleh empat siswa, yaitu AGK, IGW, KSW, dan KRC, sedangkan lima orang lainnya yaitu DS, HA, DDJ, HSH, dan RMH tidak melakukannya; (c) siswa menyajikan cerita di depan kelas dengan penampilan yang diusahakan semaksimal mungkin dan sungguh-sungguh dilakukan lima siswa, yaitu DS, HA, DDJ, HAS,dan RMH, sedangkan lima siswa lainnya yaitu AGK, IGW, KSW, KRC, dan RMH, tidak melakukannya; (d) siswa mengomentari tentang penampilan penyajian cerita temannya di depan kelas dilakukan oleh semua siswa; (e) siswa memajang ceritanya di majalah dinding sekolah dilakukan oleh enam siswa, yakni DS, HA, AGK, DDJ, HSH, dan ainnya yaitu AGK, IGW, KSW, KRC, dan RMH, tidak melakukannya; (d) siswa mengomentari tentang penampilan penyajian cerita temannya di depan kelas dilakukan oleh semua siswa; (e) siswa memajang ceritanya di majalah dinding sekolah dilakukan oleh enam siswa, yakni DS, HA, AGK, DDJ, HSH, dan IGW, sedangkan KSW, KRC, dan RMH tidak melakukannya; dan (f) siswa meminta bantuan guru saat mereka kesulitan dalam penyajian cerita baik dalam pembacaan maupun dalam pemajangan di mading hanya dilakukan oleh dua siswa, yakni HA dan DDJ, sedangkan tujuh siswa lainnya yaitu DS, AGK, HSH, IGW, KSW,KRC, dan RMH tidak melakukannya. Sementara itu proses peningkatan pada tahap penyajian adalah tiga siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responnya di atas 75%). Ketiga siswa dimaksud adalah HA, AGK, dan HSH dan FSA, yakni 83%. Sementara itu, enam siswa lainnya belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswa-siswa yang belum lulus dimaksud adalah DS 67%, AGK 67%, HSH 50%, IGW 67%, KSW 50%, dan KRC 50%.
13 Apabila persentase ketiga tahapan kegiatan di atas digabungkan, hasil yang ditunjukkan siswa dalam proses pembelajaran keterampilan menulis cerita dari segi proses dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Presentase Respon Siswa Terteliti Siklus Pertama Indikator Tindakan Jumlah Kemunculan Tindakan Jumlah Tindakan Ideal Kemunculan Tindakan %
Kemunculan Tindakan Siswa* AGK DDJ HSH IGW KSW KRC RMH
DS
HA
16
16
16
13
15
13
11
11
11
19
19
19
19
19
19
19
19
19
82%
82%
82%
68%
79%
68%
58%
58%
58%
Berdasarkan Tabel 2, disimpulkan bahwa dari segi proses, penelitian ini belum berhasil. Hal ini karena belum semua siswa terteliti mencapai target yang telah ditetapkan, yakni minimal 75%. Pada siklus pertama ini, sebanyak empat siswa telah lulus. Keempat siswa dimaksud adalah LDS 82%, HA 82%, AGK 89%, dan HSH 79%. Sementara itu, lima siswa lainnya belum lulus. Kelima siswa dimaksud yaitu DDJ 63%, KSW 58%, KRC 58%, dan RMH 58%. Hasil kualitas tulisan siswa pada siklus pertama dapat direkapitulasi sesuai dengan Tabel 3 Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Peningkatan Penulisan Cerita Siklus Pertama N Nama Siswa o 1 Dina Susanti (DS) 2 Hanissatunisa (HA) 3 Agil Gendis Kunihariani (AGK) 4 Diki Dwi Jayanto (DDJ) 5 Hari Sugih Hartono (HSH) 6 Imam Gada Wira Putra (IGW) 7 Kadek Sulistia Wati (KSW) 8 Kristian Dwi Cahyo (KDC) 9 Rizal Ma’sum Hamdani (RMH) Jumlah Rerata
A 3 4 2 4 3 2 3 2 2
B 3 4 3 4 4 3 4 3 3
Aspek Penilaian* C D E F G 3 3 2 3 3 3 2 4 2 3 3 2 2 3 3 3 3 4 2 3 2 2 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 4 3 2 2 2 3 3 2 2 2 3
H 4 3 3 2 2 2 3 2 2
I 3 3 2 3 2 2 2 2 2
Nilai
Ket.
72 88 61 80 63 61 78 58 58 618 64,7
BT T BT T BT BT T BT BT BT
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah siswa yang tuntas adalah tiga karena nilainya telah mencapai 70. Ketiga siswa dimaksud adalah HA (88), DDJ (80), dan KSW (78). Sementara itu, enam siswa lainnya yaitu DS (69), AGK (61), HSH (63), IGW (61), KRC (58) dan RMH (58) belum tuntas. Adapun rata-ratanya adalah 64,7.
14 Dengan demikian, dari segi hasil, siklus pertama penelitian ini belum berhasil karena belum semua siswa terteliti mencapai target yang telah ditentukan, yaitu nilai 70 (rata-rata baru mencapai 64,7). Secara klasikal, jumlah siswa yang mencapai target pada siklus pertama ini adalah 19 siswa dari 36 siswa. Jika dipersentasekan, siswa yang mencapai target baru 51,3%. Penelitian tindakan kelas ini dilanjutkan pada siklus kedua. B. Hasil Siklus II (1) Tahap Pemunculan dan Pengembangan Gagasan Respon siswa pada proses peningkatan tahap pemunculan dan pengembangan gagasan siklus 2 adalah (1) sebagian besar siswa aktif dan terlibat dalam pemodelan pemunculan dan pengembangan gagasan yang dibuat guru secara klasikal, (2) sebagian besar siswa ikut menuangkan idenya tentang tema kegemaran yang disenangi. dan mengungkapkan hal-hal yang menarik dari kegemaran, (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru serta sebagian besar siswa terlibat dalam pemunculan dan pengembangan gagasan berdasarkan kegemaran yang dipilih (4) beberapa siswa mengaitkan pengetahuan atau pengalamannya terkait pemunculan dan pengembangan gagasan berdasarkan kegemaran yang dipilih, dan (5) beberapa siswa senang dan termotivasi memunculkan dan mengembangkan gagasan dalam bentuk peta pikiran. Sementara itu, hasil proses peningkatan tahap pemunculan dan pengembangan gagasan ditunjukkan siswa terteliti adalah (a) siswa terlibat dalam model pemunculan dan pengembangan gagasan secara klasikal dengan membuat peta pikiran di papan tulis, dilakukan oleh semua siswa terteliti (9 orang); (b) siswa mengungkapkan mengungkapkan hal-hal menarik dari kegemaran dilakukan oleh semua siswa; (c) siswa memunculkan dan mengembangkan gagasan berdasarkan gagasan yang dipilih dilakukan oleh semua siswa dan semua siswa memunculkan dan mengembangkan gagasan berdasarkan gagasan yang dipilih (d) siswa mengaitkan pengetahuan, pengalaman, atau pikirannya dalam pemunculan dan pengembangan gagasan
15 berdasarkan kegemaran dilakukan oleh semua siswa; (e) siswa senang dan termotivasi untuk memunculkan dan mengembangkan gagasan dalam bentuk peta pikiran dilakukan semua siswa. Berdasarkan hasil proses pada tahap pemunculan dan pengembangan gagasan disimpulkan semua siswa terteliti berhasil (kemunculan tindakan adalah 100%). (2) Tahap Penulisan Proses peningkatan tahap penulisan siklus 2 menunjukkan bahwa (a) semua siswa merespon secara antusias pemodelan menulis cerita dengan pemetaan pikiran dan menemukan persamaan serta perbedaan antara pemetaan pikiran dengan cerita; (b) semua siswa secara akif dan antusias mengembangkan gagasan pokok yang berupa kata-kata kunci menjadi kalimat; (c) Siswa terlibat secara aktif mengembangkan kalimat-kalimat menjadi paragraf utuh, dilakukan oleh delapan siswa, yakni DS, HA, AGK, DDJ, HSH, IGW, KSW, dan RMH, hanya KRC yang tidak melakukannya; (d) semua siswa aktif merevisi hasil tulisan cerita siswa lain dengan cara berpasangan; (e) semua siswa aktif menulis kembali cerita berdasarkan hasil revisi teman sebangku dan; (f) siswa senang dan termotivasi menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan teman pada saat menganalisis tulisan cerita siswa, mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis tulisan dilakukan oleh semua siswa. Hasil proses peningkatan pada tahap penulisan cerita siklus kedua adalah delapan siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75%). Kedelapan siswa dimaksud adalah DS, AGK, DDJ, HSH, IGW, KSW, KRC, dan RMH. Sementara itu, seorang siswa belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswa yang belum lulus adalah HA yaitu 67%. (3) Tahap Penyajian Proses peningkatan tahap penyajian cerita ini menunjukkan bahwa (a) semua siswa memperhatikan dengan antusias model pembacaan cerita yang disajikan guru; (b) siswa mengungkapkan kembali hal-hal yang harus dilakukan selama
16 penyajian cerita dilakukan oleh empat siswa, yaitu DDJ, KSW, KRC, dan RMH, sedangkan lima orang lainnya yaitu DS AGK, HSH KSW, KRC, dan RMH tidak melakukannya; (c) siswa menyajikan cerita di depan kelas dengan penampilan yang diusahakan semaksimal mungkin dan sungguh-sungguh dilakukan empat siswa, yaitu LDU, MAP, FSA, dan RW, sedangkan empat siswa lainnya yaitu SA, WPR, IA, dan SU tidak melakukannya; (d) siswa mengomentari tentang penampilan penyajian cerita temannya di depan kelas dilakukan oleh semua siswa; (e) siswa memajang ceritanya di majalah dinding sekolah dilakukan oleh semua siswa, dan (f) siswa meminta meminta bantuan guru saat mereka kesulitan dalam penyajian cerita baik dalam pembacaan maupun dalam pemajangan di mading hanya dilakukan oleh tiga siswa, yakni HA, AGK, dan HSH, sedangkan enam siswa lainnya yaitu DS, DDJ, IGW, KSW, KRC, dan RMH tidak melakukannya. Data siswa terteliti proses peningkatan tahap penyajian adalah delapan siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responnya di atas 75%). Kedelapan siswa dimaksud adalah DS, HA, AGK, DDJ, HSH, IGW, dan RMH, yakni 83%, sedangkan KRC yakni 100%. Sementara itu, seorang siswa belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswa yang belum berhasil dimaksud adalah KSW yaitu 67 %. Tabel 4. Persentase Respons Siswa Terteliti Pada Pembelajaran Menulis dengan Strategi Pemetan Pikiran Siklus Kedua Indikator Tindakan Jumlah Kemunculan Tindakan Jumlah Tindakan Ideal Kemunculan Tindakan %
Kemunculan Tindakan Siswa* AGK DDJ HSH IGW KSW
DS
HA
KRC
RMH
18
17
18
18
17
17
17
18
18
19
19
19
19
19
19
19
19
19
95%
80%
95%
95%
89%
89%
89%
95%
95%
Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi proses, penelitian ini pada sklus kedua sudah berhasil. Hal ini karena semua siswa terteliti mencapai target yang telah ditetapkan, yakni minimal 75%. Pada siklus kedua ini, sebanyak empat siswa mencapai tingkat keberhasilan 89%. Keempat siswa
17 dimaksud adalah HA, HSH, IGW, dan KSW. Sementara itu, lima siswa lainnya mencapai tingkat keberhasilan 96 %. Mereka adalah DS, AGK, DDJ,KRC, dan RMH. Adapun hasil produk pembelajaran yang berupa kualitas penampilan menulis cerita siswa pada siklus ketiga dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Rekapitulasi Penilaian Penulisan Cerita Siswa dengan Strategi Pemetaan Pikiran Siklus Kedua No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Siswa
1 Dina Susanti (DS) 4 Hanissatunisa (HA) 4 Agil Gendis Kunihariani (AGK) 4 Diki Dwi Jayanto (DDJ) 4 Hari Sugih Hartono (HSH) 4 Imam Gada Wira Putra (IGW) 4 Kadek Sulistia Wati (KSW) 4 Kristian Dwi Cahyo (KDC) 4 Rizal Ma’sum Hamdani (RMH) 4 Jumlah Rerata
2 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Aspek Penilaian* 3 4 5 6 7 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 3 2 3 2 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 \3 3 4 3 2 3 3 3 2 2 3 4 3
8 3 3 3 3 3 3 3 3 2
9 3 2 4 2 2 3 3 3 2
Nilai
Ket.
92 86 75 89 78 83 83 78 72 736 81,8
B B B B B B B B BB B
Keterangan: 1 = Pemunculan Gagasan, 2 = Pengembangan gagasan, 3 = Kesesuaian judul dan isi, 4 = Pemlihan dan Penggunaan kosa kata, 5 = Keutuhan paragraf, 6 = Penerapan unsur-unsur mekanik, 7 = lafal, 8 = intonasi, 9 = ekspresi B = Berhasil , BB = Belum berhasil Tabel 5 juga menunjukkan bahwa jumlah siswa yang berhasil menulis cerita dengan strategi pemetaan pikiran sebanyak delapan siswa karena nilainya telah mencapai 75. Kedelapan siswa dimaksud adalah DS (92), HA (88), AGK (75), DDJ (89), HSH (78), IGW (83), dan KSW (78). Sedangkan seorang siswa yaitu RMH belum berhasil karena nila yng diperoleh kurang dari matas minmal yaitu 72. Adapun rata-ratanya adalah 81,8. Dengan demikian, dari segi hasil, siklus kedua penelitian ini sudah berhasil karena semua siswa terteliti mencapai nilai target yang telah ditentukan, yaitu 70 (rata-rata sudah mencapai 81,8). Secara klasikal, jumlah siswa yang mencapai target pada siklus kedua ini adalah 31 siswa dari 36 siswa. Jika diprosentasikan, secara klaskal 86 % siswa telah mencapai target keberhasilan dalam menulis cerita dengan strategi pemetaan pikiran. Oleh sebab itu penelitan ini dihentikan hanya sampai siklus kedua.
18 IV. PEMBAHASAN A. Tahap Pemunculan Gagasan Pada tahap pemunculan gagasan, fokus pembelajaran diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memunculkan gagasan yang akan dijadikan sebagai gagasan pokok pada penulisan cerita. Pemunculan gagasan pada siklus 1 dimulai dengan mengarahkan siswa mengamati dan merenungkan gambar yang dipilih dari beberapa gambar yang ada, siswa diajak untuk menemukan hal-hal yang menarik dari gambar yang direnungkannya, siswa menuliskan hal-hal yang menarik dari gambar atau dari pengalamannya. Hal-hal menarik yang diungkapkan siswa disempurnakan, sehingga menjadi gagasan pokok. Gagasan pokok yang sudah dipilih siswa merupakan hal yang pernah dialaminya sendiri. Dengan demikian siswa dapat memberi alasan mengapa memilih gagasan pokok tersebut atau menceritakannya secara mendetail. Hal ini akan membantu siswa untuk mengembangkan gagasan pokok dan akhirnya menjadi sebuah cerita. Pada pemunculan gagasan pada sklus 1 gambar yang dipilih siswa hanya dua yaitu pantai dan kolam renang. Dari kedua gambar tadi siswa dapat memunculkan lebih dari empat gagasan pokok yaitu berlibur, berenang , ke pantai, dan senangnya berenang. Siswa dapat juga menceritakan gagasan pokok yang diplih. Pada siklus 2 tema kegemaran yang dipilih siswa ada 9 yaitu: menulis, memasak, bermain bola, berenang, memelihara bunga, berkemah, memelihara kucing dan main layangan. Dari kesembilan jenis kegemaran itu siswa dapat memunculkan lebih dari tiga gagasan. B. Tahap Pengembangan Gagasan Pada tahap ini siswa diharapkan dapat mengembangkan gagasan pokok menjadi gagasan yang lebih kecil. Dengan memilih gagasan pokok yang sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman akan memudahkan siswa mengembangkannya. Gagasan
pokok tersebut kemudian dikembangkan dengan menggunakan peta pikiran. Kegiatan pengembangan gagasan dimulai dengan menulis gagasan pokok dan membuat gambar yang ditempatkan ditengah kertas. Gagasan tersebut dapat ditambah dengan gambar
19 dan dilengkapi warna. Untuk menghubungkan antara gagasan-gagasan digunakan garis nonlinier sehingga berbentuk cabang-cabang pohon. Garis-garis nonlinier yang menghubungkan antara gagasan diperindah dengan warna (digaris menggunakan spidol warna) dan dilengkapi gambar. Pada siklus pertama kegiatan pengembangan gagasan belum dilakukan secara optimal. Siswa masih kesulitan dalam mengembangkan gagasan. Sebagian gagasan yang dibuat siswa belum diurutkan secara rinci dan sebagian gagasan ditulis dengan dua atau lebih kata. Siswa belum menggunakan gambar pada peta pikiran, siswa juga belum berani menggunakan warna. Pada siklus kedua kesulitan tersebut sudah teratasi. Hal ini terjadi karena guru telah melibatkan siswa pada saat pemodelan dan bimbingan telah dilakukan baik secara klasikal kelompok maupun indivdu. Hasil pada tahap ini sudah menunjukkan peningkatan. C. Tahap Penulisan Pada tahap penulisan, pembelajaran diarahkan untuk mengorganisasikan gagasan-gagasan yang telah dikembangkan pada tahap pengembangan gagasan. Untuk mencapai tahapan tersebut, aktivitas pembelajaran diarahkan pada kegiatan penyusunan gagasan yang berupa kata kunci, pengembangan kata kunci menjadi kalimat, menata kalimat menjadi cerita dan merevisi cerita. Kegiatan penyusunan gagasan diawali dengan menugasi siswa menulis judul cerita yang diambil baik dari gagasan pokok maupun hasil perenungan siswa terhadap peta pikiran selanjutnya siswa menyusun gagasan yang berupa kata kunci yang telah dipetakan pada peta pikiran sesuai dengan judul cerita. Kata-kata yang sudah disusun kemudian dikembangkan menjadi kalimat. Pengembangan kata menjadi kalimat dapat dilaksanakan dengan menggabungkan kata, dan memperluas kata menjadi kalimat. Kalimat yang dikembangkan selalu dikaitkan dengan judul, sehingga hubungan kalimat sesuai dengan judul dan hubungan antar kalimat lebih bermakna dan padu.
20 Kalimat yang sudah dikembangkan kemudian ditata menjadi paragraf yang padu. Penataan kalimat menjadi paragraf yang padu dilakukan dengan memendekkan kalimat yang panjang menjdi dua kalimat, menambah, mengurangi dan memperbaiki kata-kata dalam kalimat. Penataan kalimat selalu memperhatikan judul sehingga penataan kalimat selalu padu dan bermakna. Kegiatan terakhir dari kegiatan menulis cerita adalah merevisi cerita yang sudah dibuat siswa. Kegiatan ini dilakukan secara berpasangan dengan cara menukarkan tugasnya dengan teman sebangku. Siswa saling memberi masukan terhadap cerita yang ditulisnya. Pada siklus pertama, sebagian siswa menghasilkan tulisan yang isi ceritanya kurang sesuai dengan judul. Penataan organisasi ide belum sempurna, antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam satu paragraf masih belum terjalin kepaduan. Selain itu masih banyak terdapat kesalahan ejaan. Pada siklus kedua, kesulitan itu sudah teratasi. Sebagian besar siswa menghasilkan cerita yang sesuai dengan judul. Penataan ide sudah sempuna, antara kalmat yang satu dengan kalimat yang lain dalam paragraf sudah terjalin kepaduan. Kesalahan ejaan pun sudah tidak terjadi lagi. D.Tahap Penyajian Penyajian cerita yang telah ditulis siswa dilakukan dengan dua cara yaitu dibacakan di depan kelas dan dipajang di mading kelas dan mading sekolah. Kegiatan pemodelan membaca cerita dilakukan dengan memberi kesempatan pada dua orang siswa untuk membaca cerita di depan kelas. Selesai membaca guru meminta siswa lain untuk memberi komentar tentang pembacaan cerita yang telah dilaksanakan. Kemudian guru menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca cerita. Selesai kegiatan pemodelan, siswa secara bergiliran membaca cerita ke depan dan siswa lain mengomentari penampilanya. Kegiatan penyajian cerita berikutnya adalah pemajangan cerita. Pemajangan dilakukan di majalah dinding kelas dan majalah dinding sekolah. Karya cerita siswa yang dipajang di mading kelas diwakili satu dari setiap kelompok, sedangkan untuk
21 majalah dinding sekolah dipilih tiga yang terbaik dari seluruh siswa. Pemilihan dilakukan karena tempat pemajangan terbatas. Setelah selesai pemajangan, siswa diminta untuk mengomentari hasil pemajangan. V. SIMPULAN A. Tahap Pemunculan Gagasan Kemampuan siswa dalam memunculkan gagasan dalam menulis cerita meningkat, siswa mampu memunculkan tiga gagasan pokok dari sebuah gámbar yang dipajang. Melalui perenungan tema kegemaran yang ditawarkan, siswa mampu menceritakan dengan rinci hal-hal yang menarik dari gambar. Siswa mampu memunculkan gagasan pokok dari gambar yang dipilih. Secara kuantitatif, kemampuan siswa menulis cerita pada tahap pemunculan gagasan menunjukkan peningkatan. Pada sklus pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa 46 % dari jumlah siswa mampu memunculkan gagasan sesuai dengan kriteria yang ditentukan, sedangkanpada siklus kedua hasilnya meningkat menjadi 100 %. B. Tahap Pengembangan Gagasan Kemampuan siswa meningkat ketika mengembangkan gagasan pokok menjadi gagasan pengembang sehingga akhirnya membentuk gambar pemetaan pikiran. Siswa sudah dapat mengembangkan gagasan pokok menjadi lebih dari 3 cabang gagasan pengembang yang dirinci menjadi lebih dari 3 gagasan lagi. Pada pengembangan gagasan dan rincian yang dibuat siswa sudah menampakkan kesesuaian dengan gagasan pokok yang dimunculkan. C. Tahap Penulisan Strategi pemetan pikiran pada tahap penulisan mampu meningkatkan kemampuan siswa. Pada penulisan judul, siswa sudah menulis judul sesuai dengan gagasan pokok dan sangat bervariasi sehingga menarik, penyusunan kata-kata kunci sudah baik dan sesuai dengan gambar pemetaan pikiran, pada pengembangan katakata kunci menjadi kalimat, siswa sudah memperlihatkan hasil yang baik, kalimat
22 yang dihasilkan sudak efektif dan sesuai dengan kata kunci. Pada kegiatan menata kalimat menjadi paragraf, siswa sudah melakukannya dengan baik. Antara kalimat yang satu dengan lainnya dalam satu paragraf sudah terjalin dengan padu dan utuh. Secara kuantitatif, kemampuan siswa menulis cerita pada tahap penulisan menunjukkan peningkatan. Pada siklus pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa 59% dari jumlah siswa mampu menyusun cerita sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, sedangkan pada siklus kedua hasilnya meningkat menjadi 85%. D. Tahap Penyajian Peningkatan pada tahap penyajian sudah tampak baik dari setiap siklus. Siswa sudah tampil dalam pembacaan cerita dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang baik Siswa sudah berani dan tidak malu-malu, bahkan berebut untuk mendapat giliran. Pada kegiatan penyampaian komentar, siswa sudah berani. Pujian bagi penampilan yang baik sudah dilontarkan, demikian juga pada penampilan yang masih kurang tetap dikomentari, bahkan diberi solusi perbaikannya. Pada kegiatan pemajangan, dilakukan siswa sudah lebih terarah. Siswa menggilir hasil karya siswa yang belum sempat dipajang, Siswa membaginya berdasarkan kelompok. Hasil karya yang dipajang tidak hanya yang berkualifikasi baik dan sangat baik saja, tetapi yang kurang baikpun mendapat kesempatan. Secara kuantitatif, kemampuan siswa menulis cerita pada tahap penyajian menunjukkan peningkatan. Pada siklus pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa 59 % dari jumlah siswa mampu membuat cerita sesuai dengan kriteria yang ditentukan, sedangkan pada siklus kedua hasilnya meningkat menjadi 81 %. VI. SARAN Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan dan disimpulkan di atas, dapat diajukan beberapa saran. Saran-saran dimaksud sebagai berikut. (1) Kepada para pengembang kurikulum pendidikan guru, disarankan untuk memasukkan PTK sebagai mata kuliah wajib agar calon guru memiliki
23 pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk melaksanakan PTK sehingga kelak dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis dalam pembelajaran yang dihadapinya; (2) Kepada para kepala sekolah dasar disarankan agar memberikan peluang kepada guru untuk menerapkan pembelajaran keterampilan menulis dengan strategi pemetaan pikiran. Dengan upaya seperti ini, pembelajaran keterampilan menulis dapat ditingkatkan kualitasnya dan diharapkan berdampak positif bagi peningkatan kemampuan siswa dalam menulis; (3) Kepada para guru sekolah dasar disarankan agar hasil penelitian ini dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran keterampilan berbicara, bahkan dapat dicobakan untuk pembelajaran keterampilan yang lain. (4) Kepada para peneliti berikutnya kiranya dapat merancang penelitian baru yang berkaitan dengan penerapan strategi pemetaan pikiran dalam pembelajaran keterampilan menulis atau pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya di sekolah dasar. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1990. Tingkat Perkembangan Anak dan Kegiatan Bersastra. Malang: PPS IKIP Malang Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research For Education: An Intoduction toTheori and Methods. Boston: Allyn and Baccon Buzan, T. 2004. Mind Map Untuk Meningkatan Kreativitas. (Alih Babasa Eric Suryaputra). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama DePorter, Bobbi dan Hernacki. 2007. Quantum Teaching. Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. (Penerjemah: Ary Nilandary). Bandung: Kaifa Farris P.J.1993. Language Arts: A Process Aproach. Madison, Wisconsin: Brown and Benchmark Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching & Learning. Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC Latief, M. Adnan. 2003. Penelitian Tindakan Kelas Pembelajaran Bahasa Inggris; Dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Juni 2003, Jilid 10, Nomor 2. ISSN 02159643. Malang; Lembaga pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
24 Liotohe, Wimanjaya K. 1991. Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak. Jakarta Balai Pustaka Muslich, Mansur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara Nunan, D. 1991. Language Teaching Metthodology: A text book for Teachers. New York : Prentice Hall Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yokyakarta: BPFB Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak. Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusa Media Suparno dan Yunus, M. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Syafi’ie. Imam. 1988. Retorika dalam Menulis dan Prinsip-Prinsip Pengajaran Bahasa dan Satra. Jakarta: Depdikbud Syafi’ie, Imam.1993. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta: Depdikbud Tarigan, H.G. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Tompkins, Gail E. dan Kenneth Hoskinson. 1993. Language Arts: Content and Teachig Strategies. New York: Mcmillan Tompkins, Gail E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Temple, C., Nathan, Burris, N., & Temple, F. 1988. The Beginning of Wraitng.. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon
PENGGUNAAN STRATEGI PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS IV SD NEGERI 5 MATARAM Oleh: Syaiful Musaddat
ABSTRACT The research problems is how is the action and the result of students speaking skill by doing the modeling strategy of the fourth grade students of state elementary school 5 Mataram in the stage of (1) listening to the model when speaking; (2) analyzing the model when speaking, and (3) practicing to speak. The research design used is descriptive. In addition, this is an action classroom research. There are three conclusions that the researcher get from this study. First, in the stage of listening to the model when speaking, the average of students response is 89,5% in the cycle III. Secondly, in the state of analyzing the model when speaking, the average of students action is 93% in the cycle III. Third, in the stage of practicing to speak, the average of students action is 91,5%.The number of students whose scores is the same or more than the standardized grade that is 75 in the cycle III it becomes 31 students (83,7%).
Key words: modeling strategy, improving, speaking skill I. PENDAHULUAN Berbicara merupakan salah satu kegiatan berbahasa yang cukup dominan dalam kehidupan manusia. Menurut Morley (1984:7), dalam kehidupan seharihari kegiatan menyimak mencapai 50%, berbicara 25%, membaca 15%, dan menulis 10%. Sebagian besar aktivitas kehidupan manusia dilalui dengan menyimak dan berbicara. Dalam berinteraksi dengan orang lain, sebagai konsekuensi keberadaannya sebagai makhluk sosial, manusia cenderung melakukan kegiatan berbicara. Hal ini menunjukkan bahwa berbicara merupakan keterampilan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Berbicara tentu bukan hanya mengucapkan bunyi-bunyi yang tidak jelas. Berbicara bukan pula sekedar mengungkapkan perasaan tanpa memperhatikan pilihan bahasa dan lawan bicara. Dalam aktivitas berbicara, banyak hal yang harus dicermati, baik yang berhubungan dengan apa yang akan dibicarakan, bahasa yang dipakai, maupun lawan bicara. Berbicara merupakan kemampuan untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan
2
kebutuhan pendengar (Tarigan, 1987:15). Sementara itu, Djiwandono (1996:68) menjelaskan bahwa berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang aktif produktif dari seorang pemakai bahasa, yang menuntut prakarsa nyata dalam penggunaan bahasa untuk mengungkapkan diri secara lisan. Oleh karena itu, kemampuan berbicara menuntut penguasaan terhadap beberapa aspek dan kaidah penggunaan bahasa, misalnya, kaidah kebahasaan, urutan isi pesan, dan cara penyampaiannya. Keberhasilan berbicara tergantung pada dua hal, yaitu: (1) kelengkapan peralatan vokal seseorang, misalnya, selaput suara, lidah, bibir, hidung, dan telinga. Seseorang yang memiliki peralatan vokal yang lengkap akan dapat memproduksi berbagai jenis suara dari bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara; dan (2) rasa percaya diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggung jawab dengan melenyapkan problemproblem kejiwaan yang dapat mengganggu pembicaraan seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, dan berat lidah (Ahmadi, 1990:18). Menurut Keraf (2001) dan De Vito (1997), keberhasilan berbicara juga ditentukan oleh dua hal yaitu persiapan dan penyampaian. Persiapan meliputi ketepatan memilih topik, menentukan tujuan, menganalisis pendengar dan situasi, mengembangkan topik, dan menyusun teks pembicaraan termasuk latihan dan memperbaiki cara penyampaian. Sedangkan, penyampaian meliputi tingginya rasa percaya diri dan kredibilitas pembicara, ketepatan oleh vokal dan olah visual (DeVito, 1997: 361-421; Keraf, 2001:317-338). Salah satu aktivitas yang dianggap paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah pendidikan dan pembinaan melalui sekolah, terutama pendidikan dan pengajaran melalui bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Terkait dengan pembelajaran berbicara, Fowler (dalam Ahmadi, 1990:1920) mengemukakan empat tujuan pembelajaran berbicara. Pertama, siswa harus mendapat kesempatan berlatih berbicara sampai mereka terampil berbicara secara wajar, lancar dan menyenangkan, baik di dalam kelompok kecil maupun di hadapan pendengar umum dalam jumlah besar. Kedua, siswa memperoleh kesempatan berlatih sampai dapat berbicara dengan tepat dan jelas baik artikulasi maupun diksi kalimat, serta gagasan yang disampaikan tersusun logis. Ketiga, siswa dapat berbicara secara bertanggung jawab yaitu tidak mengelabui
3
kebenaran, topik dan tujuan pembicaraan dipikirkan dengan penuh kesungguhan. Keempat, siswa diharapkan menjadi pendengar yang kritis, yakni mampu mengevaluasi kata-kata, minat, dan tujuan berbicara secara implisit. Pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD), tujuannya adalah siswa diharapkan mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku, dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi. Khusus untuk kelas IV SD, pembelajaran keterampilan berbicara dirancang agar siswa mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan secara lisan melalui menceritakan pengalaman, membahas masalah-masalah aktual, mendeskripsikan benda atau seseorang menjelaskan petunjuk penggunaan, berdiskusi, dan menyampaikan pesan melalui telepon serta menceritakan kembali isi dongeng dan bermain peran (Depdiknas, 2004:41). Sampai saat ini, masih terjadi berbagai kesenjangan antara teori dan praktek dalam kaitannya dengan pengajaran keterampilan berbicara. Kesenjangankesenjangan dimaksud antara lain: (1) di bidang percaya diri, teori menghendaki bahwa untuk menjadi pembicara yang baik diperlukan rasa percaya diri yang tinggi, namun kenyataannya sebagian besar mahasiswa/siswa justru memiliki percaya diri yang rendah; (2) di bidang olah vokal, teori menghendaki bahwa untuk menjadi pembicara yang baik harus memiliki kualitas vokal yang memadai, kenyataannya sebagian besar mahasiswa/siswa justru kualitas vokalnya masih kurang; (3) di bidang unsur kinesik atau bahasa tubuh, teori menuntut bahwa untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan kemampuan mengoptimalkan penggunaan unsur kinesik, tetapi kenyataannya sebagian besar mahasiswa/siswa belum mampu menggunakan unsur kinesiknya dengan baik dalam berbicara; dan (4) di bidang penyajian isi, teori menuntut bahwa pembicara yang baik harus mampu memilih, mengemas, dan menata pesan, namun kenyataannya mahasiswa/siswa masih kesulitan untuk menyajikan apa yang akan disampaikan.
4
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru bahasa Indonesia, wawancara peneliti dengan siswa kelas IVB SD Negeri 5 Mataram, dan hasil pengamatan peneliti terhadap pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di kelas diperoleh informasi bahwa (1) keterampilan berbicara telah diajarkan kepada siswa sejak siswa berada di kelas rendah (utamanya kelas 3), tetapi hasilnya belum maksimal; (2) cara yang ditempuh guru untuk membelajarkan keterampilan berbicara kepada siswa adalah dengan menjelaskan bagaimana berbicara, teori tentang berbicara, menunjukkan contoh pembicaraan (tetapi masih sangat sedikit), dan menugaskan siswa berbicara dengan topik tertentu, (3) pembicaraan yang dijadikan contoh dalam pembelajaran berbicara diambil dari buku paket tanpa dianalisis terlebih dahulu, (4) pembelajaran berbicara cenderung teoritis dan dibelajarkan pada pertemuan dan pokok bahasan tertentu, (5) pembelajaran berbicara masih jarang dilaksanakan, (6) ketika berbicara, siswa kesulitan mengungkapkan isi pembicaraan, kesulitan menggunakan intonasi yang tepat, kesulitan melakukan peragaan yang mendukung isi pembicaraan, dan kurang memiliki keberanian yang memadai, dan (6) rerata nilai kemampuan berbicara siswa kelas IV B SD Negeri 5 Mataram semester 1 menunjukkan, siswa yang lulus (mencapai SKBM 70) baru berjumlah 10 orang (sekitar 27%) dari 37 siswa. Sisanya, sebanyak 27 orang (73%) belum lulus (Asyari, 2007). Untuk memecahkan masalah tersebut, guru bersama peneliti merancang pembelajaran berbicara dengan strategi pemodelan. Pemodelan merupakan proses menunjukkan atau mendemonstrasikan kepada seseorang tentang bagaimana menggunakan atau melakukan sesuatu (Cooper, 1993:391). Pada konteks pembelajaran, pemodelan dapat diartikan sebagai proses yang ditunjukkan oleh seorang ahli (guru) kepada orang yang belum ahli (siswa) tentang tata cara melakukan suatu tugas sehingga siswa itu mampu membangun pemahaman sendiri dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Melalui pemodelan, pelatih (guru) mendemonstrasikan bagaimana melakukan suatu keterampilan, siswa mengobservasi tingkah laku guru selanjutnya meniru model/guru. Belajar dengan strategi pemodelan mengikuti empat fase (Bandura dalam Dahar, 1988:34; Trianto 2007:31-33), yaitu: fase perhatian (attention phase), fase retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivation phase).
5
Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini difokuskan pada penggunaan strategi pemodelan dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram. Secara umum masalah penelitian ini adalah bagaimana penggunaan strategi pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram pada tahap (1) mendengarkan model berbicara, (20 menganalisis model berbicara, dan (3) latihan berbicara? Oleh karena itu, tujuannya adalah mendeskripsikan penggunaan strategi pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram pada tahap (1) mendengarkan model berbicara, (20 menganalisis model berbicara, dan (3) latihan berbicara. II. METODE A. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan metode deskriptif kualitatif. Alasan lebih rinci peneliti memilih metode kualitatif dalam penelitian ini adalah: (1) data-data yang dikaji dalam penelitian ini adalah data verbal dan nonverbal (tuturan dan tindakan) yang secara potensial dapat menghasilkan makna dan informasi yang sesuai dengan penelitian ini; (2) datadata tersebut diperoleh pada seting alamiah, yakni tuturan dan tindakan guru dan siswa ketika pembelajaran berlangsung; (3) data-data tersebut dianalisis secara induktif pada saat dan setelah pengumpulan data dilaksanakan; (4) dalam penelitian ini peneliti menjadi instrumen kunci; dan (5) penelitian ini menekankan proses dan hasil (Bogdan dan Biklen, 1992:33-36). Rancangan penelitian ini mengacu pada rancangan Penelitian Tindakan Kelas yang berupa siklus-siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap kegiatan yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection). Untuk rancangan siklus I mengacu pada hasil studi pendahuluan. Rancangan siklus II akan mengacu pada hasil siklus I. Demikian seterusnya, perencanaan siklus ke-n akan didasarkan pada hasil siklus sebelumnya. B. Rancangan Tindakan Rancangan tindakan pada setiap tahapan pembelajaran berbicara dengan strategi pemodelan di SD Negeri 5 Mataram dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
6
Tabel 2.1 Rancangan Tindakan Pembelajaran Keterampilan Berbicara dengan Strategi Pemodelan Siswa Kelas IVB SD Negeri 5 Mataram No 1.
Tahapan Tindakan Tahap Mendengarkan Model Berbicara.
Tindakan Guru Menjelaskan tujuan kegiatan mendengarkan model berbicara. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mendengarkan model berbicara. Mengomunikasikan intonasi, pelafalan, dan kata yang diikuti gerakan kepada siswa.
Mengaitkan pemahaman siswa tentang intonasi, pelafalan, dan kata yang diikuti gerakan dengan pengetahuan atau pengalamannya. Memberi penguatan kepada siswa yang menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan teman. 2.
Tahap Menganalisis Model Berbicara.
Menjelaskan tujuan kegiatan menganalisis model berbicara. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menganalisis model berbicara.
Mengomunikasikan hasil analisis yang dilakukan siswa secara bersama-sama (klasikal).
3.
Tahap Latihan Berbicara.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh dari kegiatan menganalisis model berbicara. Memberi penguatan kepada siswa yang menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan teman pada saat menganalisis model berbicara. Menjelaskan tujuan kegiatan latihan berbicara kepada siswa. Menjelaskan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan selama latihan berbicara. Mengingatkan siswa terhadap pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya pada tahap mendengarkan dan menganalisis model berbicara. Memberi tugas latihan berbicara kepada siswa sambil mengingatkan siswa agar memanfaatkan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh pada tahap mendengarkan dan menganalisis model serta mendorong siswa meniru model. Guru mengamati dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan pada saat berlatih berbicara.
Indikator Tindakan (Tindakan Siswa) Siswa mengungkapkan kembali tujuan mendengarkan model berbicara. Siswa mendengarkan model berbicara dengan penuh perhatian. Siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan teman. Siswa mengulangi intonasi, pelafalan, dan kata yang diikuti gerakan pada model berbicara. Siswa mengungkapkan pengetahuan, pengalaman, atau pikirannya terkait dengan intonasi, pelafalan, dan kata yang diikuti gerakan pada model berbicara Siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya terhadap model berbicara Siswa mengungkapkan kembali tujuan menganalisis model berbicara. Siswa mendengarkan kembali model berbicara dengan penuh perhatian. Siswa menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan kata yang diikuti gerakan. Siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan teman. Siswa menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata yang diikuti gerakan sekaligus letak-letaknya pada model berbicara. Siswa mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis model berbicara. Siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman atau pengetahuannya terhadap model berbicara. Siswa mengungkapkan kembali tujuan latihan berbicara. Siswa mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan selama latihan berbicara. Siswa mengungkapkan kembali pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya pada tahap mendengarkan dan menganalisis model berbicara. Siswa berlatih secara sungguh-sungguh di dalam kelompok (terutama terkait dengan kelancaran, pemahaman isi pembicaraan, dan volume suara). Siswa meniru model berbicara secara konsisten. Siswa meminta bantuan guru jika kesulitan dalam berlatih berbicara.
7
C. Pengumpulan dan Perekaman Data Pengumpulan dan perekaman data dalam PTK merupakan bagian dari observasi. Adapun teknik pengumpulan dan perekaman data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) wawancara, (2) pengamatan, dan (3) tes. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi tentang permasalahan yang dihadapi oleh guru bahasa Indonesia dan siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram dalam pembelajaran berbicara. Pengamatan dilakukan untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran meningkatkan keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan. Sementara itu, tes dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan keterampilan berbicara siswa setelah tindakan dilaksanakan. Data-data yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan, dan tes dikumpulkan dan direkam dengan menggunakan instrumen sebagai berikut. Pertama, data-data yang diperoleh melalui wawancara dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pedoman wawancara untuk memperoleh data yang dikumpulkan melalui teknik wawancara dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2 dalam laporan penelitian ini. Kedua, data-data yang diperoleh melalui pengamatan dikumpulkan dengan menggunakan panduan pengamatan. Panduan pengamatan untuk memperoleh data yang dikumpulkan melalui teknik pengamatan dapat dilihat pada lampiran 3 dan 4 laporan penelitian ini. Ketiga, data-data yang diperoleh melalui tes dikumpulkan dengan satu jenis tes. Tes dimaksud adalah postes. Postes dilakukan pada tindakan (pertemuan kedua) pada setiap siklus. Adapun postes yang dilakukan disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama setiap siklus. Adapun bentuk tes kemampuan berbicara yang akan dipakai pada postes penelitian ini adalah bentuk tes berbicara singkat dan menceritakan kembali. Dalam hal ini, akan memanfaatkan lembar observasi produk berupa panduan pengamatan dan rambu-rambu analisis data produk pembelajaran berbicara dengan strategi pemodelan yang telah disiapkan. Untuk siklus pertama postesnya berupa mendeskripsikan ciri-ciri seseorang/benda, siklus kedua berupa menceritakan pengalaman atau kegemaran sendiri, dan siklus ketiga berupa menceritakan kembali isi dongeng. Peneliti juga akan memanfaatkan catatan lapangan/jurnal harian selama kegiatan berlangsung untuk membantu melengkapi data-data yang mungkin tidak terekam melalui instrumen tersebut.
8
D. Analisis Data Analisis data dalam PTK termasuk pada tahap refleksi. Analisis data dilakukan pada tahap refleksi setiap siklus. Dalam hal ini, akan menggunakan model alir (flow model) dari Miles dan Huberman (1992:16-20). Teknik ini terdiri atas tiga fase kegiatan, yaitu: (1) mereduksi data, yakni kegiatan pemilahan datadata yang relevan, penting, dan bermakna untuk menjelaskan sasaran analisis dengan cara membuat fokus, klasifikasi, dan abstraksi data kasar menjadi data bermakna; (2) penyajian data, berupa narasi-deskripsi dan visual gambar agar mudah dipahami, lalu disajikan secara sistematis dan logis; dan (3) penarikan simpulan dan verifikasi data untuk menguji kebenaran, kekokohan, dan kecocokan dari semua fakta yang dihimpun sehingga mencapai tingkat validitas yang akurat. Kriteria keberhasilan tindakan dilihat dari dua segi, yakni proses dan produk (hasil). Dari segi proses, tindakan penelitian ini dikatakan berhasil jika respons tindakan dalam semua tahapan pembelajaran dilaksanakan oleh sebagian besar atau rerata respons siswa terteliti minimal 75%. Sementara itu, dilihat dari segi produk (hasil), tindakan dianggap berhasil jika kualitas keterampilan berbicara seluruh siswa yang dijadikan fokus penelitian sekurang-kurangnya mencapai skor minimal 75 atau secara klasikal, 75% siswa memperoleh nilai lebih besar atau sama dengan 75. III. HASIL A. Hasil Siklus I (1) Tahap Mendengarkan Model Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap mendengarkan model berbicara siklus I adalah (1) sebagian besar siswa aktif mengungkapkan kembali tujuan mendengarkan model berbicara sebagaimana telah dijelaskan guru meskipun beberapa siswa lain melakukannya dengan membaca yang telah ditulis guru di papan tulis, (2) semua siswa mendengarkan model berbicara dengan penuh perhatian, (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru serta sebagian besar siswa mengulangi perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, (4) beberapa siswa mengungkapkan pengetahuan atau pengalamannya terkait dengan model berbicara yang telah
9
ditampilkan guru, dan (5) beberapa siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya terhadap model berbicara. Sementara itu, respons yang ditunjukkan siswa terteliti pada tahap mendengarkan model berbicara ini adalah empat siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75% yaitu 100%). Siswa terteliti dimaksud adalah semua siswa kelompok atas (LDU, MAP) dan dua siswa kelompok sedang (FSA, RW). Sementara itu, empat siswa lainnya (dua siswa kelompok sedang dan semua siswa kelompok bawah) belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya baru mencapai 50%. Siswasiswa yang belum berhasil dimaksud adalah SA, WPR, IA, dan SU. (2) Tahap Menganalisis Model Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap mendengarkan model berbicara siklus I adalah (1) tidak seorang pun di antara siswa yang mengungkapkan kembali tujuan menganalisis model berbicara, tetapi semua siswa mencatat tujuan menganalisis model berbicara yang telah dijelaskan guru, dan telah ditulis guru di papan tulis, (2) semua siswa mendengarkan kembali model berbicara dengan penuh perhatian dan beberapa siswa menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan kata-kata yang disertai gerakan (gesture), (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan temannya serta sebagian besar siswa menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, (4) semua siswa mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis model berbicara, dan (5) sebagian besar siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman atau pengetahuannya terhadap model berbicara. Sementara itu, respons yang ditunjukkan siswa terteliti pada tahap menganalisis model berbicara ini adalah tiga siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75%). Ketiga siswa dimaksud adalah LDU, FSA, dan RW, yakni 86%. Sementara itu, lima siswa lainnya belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswa-siswa yang belum lulus adalah MAP 67%, SA 67%, WPR 57%, IA 67%, dan SU 67%.
10
(3) Tahap Latihan Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap latihan berbicara siklus I adalah (1) beberapa siswa mengungkapkan kembali tujuan latihan berbicara, hampir semuanya dari siswa itu melakukannya dengan membaca tujuan latihan berbicara yang ditulis guru di papan tulis, (2) beberapa siswa mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada saat latihan berbicara, tetapi semua siswa mencatatnya, (3) beberapa siswa mengungkapkan kembali pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh pada tahap mendengarkan dan menganalisis model berbiara, (4) sebagian besar siswa berlatih berbicara secara sungguhsungguh dalam kelompoknya serta sebagian besar siswa terlihat meniru model berbicara secara konsisten pada saat latihan berbicara, dan (5) beberapa siswa meminta bantuan guru saat mereka kesulitan dalam berlatih berbicara dengan meniru model berbicara yang telah ditampilkan. Sementara itu, respons yang ditunjukkan siswa terteliti pada tahap menganalisis model berbicara ini adalah dua siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responnya di atas 75%). Kedua siswa dimaksud adalah MAP dan FSA, yakni 83%. Sementara itu, enam siswa lainnya belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswasiswa yang belum lulus dimaksud adalah LDU, 67%, SA 67%, RW 50%, WPR 67%, IA 50%, dan SU 50%. Pada tahap ini, juga terdapat hasil produk pembelajaran yang berupa kualitas penampilan berbicara siswa. Adapun hasil produk dimaksud dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut. Tabel 4.1 Kualitas Penampilan Berbicara Siswa Siklus I No
Nama Siswa
1 LDU 2 MAP 3 SA 4 FSP 5 RW 6 WPR 7 IA 8 SU Jumlah Rerata
1
Aspek Penilaian* 2 3 4 5 6
7
3 3 3 3 3 3 2 3
3 3 3 3 3 3 3 3
4 3 3 3 3 2 2 3
3 3 3 3 3 3 3 2
3 3 2 3 3 3 3 3
3 3 2 3 3 3 3 2
3 3 2 3 3 3 2 3
Nilai
Ket.
79 75 64 75 75 71 64 68 571 71,4
L L BL L L BL BL BL BL
11
Keterangan: 1 = Pemahaman terhadap isi pembicaraan, 2 = Kelancaran, 3 = Pelafalan, 4 = Intonasi, 5 = Pemanfaatan gerak tubuh (gesture), 6 = Volume suara, dan 7 = Keberanian Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah siswa yang lulus adalah empat siswa karena nilainya telah mencapai 75. Keempat siswa dimaksud adalah LDU, MAP, FSA, dan RW. Sementara itu, empat siswa lainnya yaitu SA (64), WPR (71), IA (64), dan SA (68) belum lulus. Adapun rata-ratanya adalah 71,4. Dengan demikian, dari segi hasil, siklus pertama penelitian ini belum berhasil karena belum semua siswa terteliti mencapai target yang telah ditentukan, yaitu 75. Secara klasikal, jumlah siswa yang mencapai target pada siklus pertama ini adalah 19 siswa dari 37 siswa atau 51,3% (lihat lampiran 7). B. Hasil Siklus II (1) Tahap Mendengarkan Model Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap mendengarkan model berbicara adalah (1) sebagian besar siswa aktif mengungkapkan kembali tujuan mendengarkan model berbicara sebagaimana telah dijelaskan guru meskipun beberapa siswa lain melakukannya dengan membaca yang telah ditulis guru di papan tulis, (2) semua siswa mendengarkan model berbicara dengan penuh perhatian, (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru serta sebagian besar siswa mengulangi perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, (4) sebagian besar siswa mengungkapkan pengetahuan atau pengalamannya terkait dengan model berbicara yang telah ditampilkan guru, dan (5) sebagian besar siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya terhadap model berbicara. Sementara itu, hasil siswa terteliti pada tahap mendengarkan model berbicara adalah enam siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75% yaitu 83% dan 100%). Siswa terteliti dimaksud adalah semua siswa kelompok atas dan kelompok sedang. Sementara itu, dua siswa lainnya (semua siswa kelompok bawah) belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya baru mencapai 67%. Siswa-siswa yang belum lulus dimaksud adalah IA dan SU.
12
(2) Tahap Menganalisis Model Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap menganalisis model berbicara adalah (1) beberapa siswa mengungkapkan kembali tujuan menganalisis model berbicara meskipun semua siswa mencatat tujuan menganalisis model berbicara yang telah dijelaskan guru, dan telah ditulis guru di papan tulis, (2) semua siswa mendengarkan kembali model berbicara dengan penuh perhatian dan sebagian besar siswa menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan katakata yang disertai gerakan (gestur), (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan temannya serta sebagian besar siswa menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, (4) semua siswa mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis model berbicara, dan (5) semua siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman atau pengetahuannya terhadap model berbicara. Sementara itu, hasil siswa terteliti pada tahap menganalisis model berbicara adalah tujuh siswa terteliti telah berhasil karena kemunculan tindakannya lebih dari 75%. Ketujuh siswa dimaksud adalah LDU, MAP, SA, FSA, RW, WPR, dan SU. Empat dari tujuh siswa tersebut mencapai 100%, sedangkan tiga lainnya 86%. Sementara itu, satu siswa belum lulus karena responsnya baru mencapai 71%, yaitu IA. (3) Tahap Latihan Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap menganalisis model berbicara adalah (1) sebagian besar siswa mengungkapkan kembali tujuan latihan berbicara, (2) beberapa siswa mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada saat latihan berbicara, tetapi semua siswa mencatat kegiatan-kegiatan itu, (3) beberapa siswa mengungkapkan kembali pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh pada tahap mendengarkan dan menganalisis model berbiara, (4) sebagian besar siswa berlatih berbicara secara sungguh-sungguh dalam kelompoknya serta sebagian besar siswa terlihat meniru model berbicara secara konsisten pada saat latihan berbicara, dan (5) beberapa siswa meminta bantuan
13
guru saat mereka kesulitan dalam berlatih berbicara dengan meniru model berbicara yang telah ditampilkan. Sementara itu, hasil siswa terteliti pada tahap latihan berbicara adalah lima siswa terteliti telah berhasil karena kemunculan tindakan/responsnya di atas 75%, yakni 83%. Kelima siswa dimaksud adalah LDU, MAP, SA, RW, dan IA. Sementara itu, tiga siswa lainnya belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya di bawah 75%. Siswa-siswa yang belum berhasil dimaksud adalah FSP, 50%, WPR 67%, dan SU 67%. Pada tahap ini juga terdapat hasil produk pembelajaran yang berupa kualitas penampilan berbicara siswa. Adapun hasil produk pembelajaran pada siklus pertama dimaksud dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut. Tabel 3.2 Kualitas Penampilan Berbicara Siswa Siklus II No
Nama Siswa
1 LDU 2 MAP 3 SA 4 FSP 5 RW 6 WPR 7 IA 8 SU Jumlah Rerata
1
Aspek Penilaian* 2 3 4 5 6
7
4 3 4 3 4 3 3 3
3 3 3 3 4 3 3 3
4 4 3 4 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 4 3 3
3 3 3 3 3 4 3 3
3 3 3 4 3 4 2 3
Nilai
Ket.
82 79 79 82 82 86 71 75 636 79,5
L L L L L L BL L L
Keterangan: 1 = Pemahaman terhadap isi pembicaraan, 2 = Kelancaran, 3 = Pelafalan, 4 = Intonasi, 5 = Pemanfaatan gerak tubuh (gesture), 6 = Volume suara, dan 7 = Keberanian Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah siswa yang lulus adalah tujuh siswa karena nilainya telah mencapai 75. Ketujuh siswa dimaksud adalah LDU, MAP, SA, FSA, RW, WPR, DAN SU. Sementara itu, seorang siswa lainnya belum lulus. Siswa yang belum lulus dimaksud adalah IA (71). Adapun rataratanya adalah 79,5. Dengan demikian, dari segi hasil, siklus kedua penelitian ini belum berhasil karena masih terdapat seorang siswa yang belum mencapai target yang telah ditentukan, yaitu 75. Namun demikian reratanya sudah mencapai 79,5 (sudah melebihi target keberhasilan). Secara klasikal, jumlah siswa yang mencapai target pada siklus kedua ini adalah 28 siswa dari 37 siswa atau 75,6%.
14
C. Hasil Siklus III (1) Tahap Mendengarkan Model Berbicara Hasil proses pembelajaran pada tahap mendengarkan model berbicara siklus III adalah (1) sebagian besar siswa aktif mengungkapkan kembali tujuan mendengarkan model berbicara sebagaimana telah dijelaskan guru meskipun beberapa siswa lain melakukannya dengan membaca yang telah ditulis guru di papan tulis, (2) semua siswa mendengarkan model berbicara dengan penuh perhatian, (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru serta sebagian besar siswa mengulangi perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, (4) sebagian besar siswa mengungkapkan pengetahuan atau pengalamannya terkait dengan model berbicara yang telah ditampilkan guru, dan (5) sebagian besar siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya terhadap model berbicara. Sementara itu, hasil siswa terteliti pada tahap mendengarkan model berbicara adalah tujuh siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75% yaitu 83% dan 100%). Siswa terteliti dimaksud adalah semua siswa kelompok atas dan kelompok sedang. Sementara itu, satu siswa lainnya (siswa kelompok bawah) belum berhasil karena persentase kemunculan tindakan atau responsnya baru mencapai 67%. Siswa yang belum lulus dimaksud adalah IA. (2) Tahap Menganalisis Model Berbicara Hasil proses pembelajaran tahap menganalisis model berbicara siklus III ini adalah (1) sebagian besar mengungkapkan kembali tujuan menganalisis model berbicara, tetapi semua siswa mencatat tujuan menganalisis model berbicara yang telah dijelaskan guru dan telah ditulis guru di papan tulis, (2) semua siswa mendengarkan kembali model berbicara dengan penuh perhatian dan semua siswa menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan kata-kata yang disertai gerakan (gestur), (3) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab
15
pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan temannya serta sebagian besar siswa menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, (4) sebagian besar mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya tentang perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, dan (5) semua siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman atau pengetahuannya terhadap model berbicara. Sementara itu, hasil yang ditunjukkan siswa terteliti pada tahap menganalisis model berbicara adalah semua siswa terteliti telah berhasil melakukan semua respons tindakan. Semua siswa menunjukkan respons tindakan di atas 75%, yakni 86% dan 100%. Adapun siswa- siswa yang kemunculan tindakannya 100% adalah LDU, MAP, FSA, dan IA. Sementara itu, siswa-siswa yang memiliki respons tindakan 86% adalah SA, RW, WPR, dan SU. (3) Tahap Latihan Berbicara Hasil proses pembelajaran pada tahap latihan berbicara adalah (1) sebagian besar siswa mengungkapkan kembali tujuan latihan berbicara, (2) sebagian besar siswa mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada saat latihan berbicara, tetapi semua siswa mencatat kegiatan-kegiatan itu, (3) sebagian besar siswa mengungkapkan kembali pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh pada tahap mendengarkan dan menganalisis model berbiara, (4) semua siswa berlatih berbicara secara sungguh-sungguh dalam kelompoknya serta semua siswa terlihat meniru model berbicara secara konsisten pada saat latihan berbicara, dan (5) sebagian besar siswa meminta bantuan guru saat mereka kesulitan dalam berlatih berbicara dengan meniru model berbicara yang telah ditampilkan. Sementara itu, hasil siswa terteliti pada tahap latihan berbicara adalah semua siswa terteliti telah berhasil (kemunculan tindakan/responsnya di atas 75%), yakni 83% dan 100%. Empat siswa mencapai 100%, yaitu LDU, FSP, RW, dan WPR. Sementara itu, empat siswa lainnya mencapai 83%, yaitu MAP, SA, IA, dan SU. Adapun hasil produk pembelajaran yang berupa kualitas penampilan berbicara siswa pada siklus ketiga dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut.
16
Tabel 3.3 Kualitas Penampilan Berbicara Siswa Siklus III No
Nama Siswa
1 LDU 2 MAP 3 SA 4 FSP 5 RW 6 WPR 7 IA 8 SU Jumlah Rerata
1
Aspek Penilaian* 2 3 4 5 6
7
4 4 4 3 4 4 3 3
3 3 4 3 4 3 3 3
4 4 4 4 4 4 3 4
3 3 4 3 3 3 3 3
4 3 3 3 3 4 3 3
4 3 3 4 3 4 4 4
3 4 3 4 3 4 3 3
Nilai
Ket.
89 86 89 86 86 93 79 82 689 86,1
L L L L L L L L L
Keterangan: 1 = Pemahaman terhadap isi pembicaraan, 2 = Kelancaran, 3 = Pelafalan, 4 = Intonasi, 5 = Pemanfaatan gerak tubuh (gesture), 6 = Volume suara, dan 7 = Keberanian Tabel di atas menunjukkan bahwa semua siswa telah lulus karena nilainya telah mencapai 75. Semua siswa lebih tinggi dari nilai 75. LDU (89), MAP (86), SA (89), FSA (86), RW (86), WPR (92), IA (79), dan SU (82). Adapun rataratanya adalah 86,1. Dengan demikian, dari segi hasil, siklus ketiga penelitian ini telah berhasil karena semua siswa telah mencapai target yang telah ditentukan, yaitu 75. Bahkan rata-ratanya telah mencapai 86,1. Secara klasikal, jumlah siswa yang mencapai target pada siklus ketiga ini adalah 31 dari 37 siswa atau 83,7%.
IV. PEMBAHASAN A. Tahap Mendengarkan Model Berbicara Jika dicermati perkembangan keterlibatan siswa pada tindakan pembelajaran tahap mendengarkan model berbicara pada setiap siklus diperoleh informasi bahwa: (a) sebagian besar siswa aktif mengungkapkan kembali tujuan mendengarkan model berbicara sebagaimana telah dijelaskan guru meskipun beberapa siswa lain melakukannya dengan membaca yang telah ditulis guru di papan tulis (pada siklus I, II, dan III), (b) semua siswa mendengarkan model berbicara dengan penuh perhatian (pada siklus I, II, dan III), (c) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru serta sebagian besar siswa mengulangi perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan (pada siklus I, II, dan III), (d) beberapa siswa mengungkapkan pengetahuan atau pengalamannya terkait dengan model berbicara yang telah ditampilkan guru (pada siklus I), tetapi pada siklus II dan III dilakukan oleh
17
sebagian besar siswa, dan (e) beberapa siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya terhadap model berbicara (pada siklus I), tetapi pada siklus II dan III dilakukan oleh sebagian besar siswa. Dengan demikian, terjadi peningkatan jumlah siswa yang terlibat yakni semua siswa atau dari beberapa siswa menjadi sebagian besar siswa. Pada tahap ini, sampai dengan siklus III hanya satu siswa terteliti yang kemunculan tindakannya 67%. Sementara itu, tujuh siswa lainnya mencapai 83% dan 100%. Adapun rerata kemunculan respons siswa terteliti pada tahap ini juga menunjukkan peningkatan dari 75% pada siklus I, menjadi 87,5% pada siklus II, dan 89,5% pada siklus III. Tingginya intensitas kemunculan tindakan ini, membuktikan bahwa siswa telah memberikan perhatian pada model yang ditampilkan. Dengan demikian, fase perhatian (attention fhase) sebagai tahapan awal belajar dari model telah dilakukan siswa dengan baik. Hal ini sejalan dengan pandangan Bandura (dalam Surya, 2004) yang menyatakan bahwa tingkat perhatian siswa dalam pembelajaran dengan strategi pemodelan dapat dilihat melalui keterlibatannya dalam merespons model yang ditampilkan. B. Tahap Menganalisis Model Berbicara Berdasarkan paparan tindakan pembelajaran tahap menganalisis model berbicara pada setiap siklus diketahui bahwa: (a) tidak seorang pun siswa yang mengungkapkan kembali tujuan menganalisis model berbicara meskipun mereka mencatatnya (pada siklus I), tetapi dilakukan oleh beberapa siswa pada siklus II dan sebagian besar siswa pada siklus III, (b) semua siswa mendengarkan kembali model berbicara dengan penuh perhatian (pada semua siklus) dan beberapa siswa menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan kata-kata yang disertai gerakan (gesture) (pada siklus I), tetapi dilakukan oleh sebagian besar siswa pada siklus II dan oleh semua siswa pada siklus III, (c) sebagian besar siswa terlibat secara aktif menjawab pertanyaan guru atau menanggapi pernyataan temannya serta sebagian besar siswa menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan (pada semua siklus), (d) semua siswa mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis model berbicara (pada semua siklus), dan (e) sebagian besar siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman atau pengetahuannya terhadap model berbicara (pada siklus I), tetapi dilakukan oleh semua siswa pada siklus II dan III.
18
Sama halnya dengan tahap mendengarkan model berbicara, pada tahap menganalisis model berbicara ini juga terjadi peningkatan kuantitas siswa yang terlibat dalam tindakan pembelajaran. Tindakan-tindakan pembelajaran itu dilakukan oleh sebagian besar, bahkan semua siswa. Juga terdapat kegiatan yang dilakukan oleh semua siswa pada setiap siklus. Pada tahap ini, sampai pada siklus III, kemunculan tindakan semua siswa terteliti telah mencapai 86% dan 100%. Adapun reratanya adalah 72,8% pada siklus I, 91,2% pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 93%. Sementara itu, kemunculan tindakan guru mencapai 100% pada setiap siklus. Berdasarkan hasil pembelajaran tahap ini, diketahui bahwa fase retensi (retention fhase) juga telah dilalui siswa dengan baik. Intensitas keterlibatan siswa yang terus meningkat, menunjukkan bahwa siswa berhasil menghubungkan pemahamannya dengan model yang diamati. Melalui kegiatan menganalisis model, guru membimbing siswa melakukan pengaitan untuk melakukan apa yang diperoleh melalui proses pemodelan (Trianto, 2007:32) C. Tahap Latihan Berbicara Berdasarkan uraian tindakan pembelajaran tahap latihan berbicara pada setiap siklus, diketahui bahwa intensitas keterlibatan siswa meningkat dai beberapa siswa menjadi sebagian besar, bahkan semua siswa. Dalam hal ini diketahui bahwa: (1) beberapa siswa mengungkapkan kembali tujuan latihan berbicara, hampir semuanya dari siswa itu melakukannya dengan membaca tujuan latihan berbicara yang ditulis guru di papan tulis (pada siklus I), tetapi pada siklus II dan III dilakukan oleh sebagian besar siswa, (2) beberapa siswa mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada saat latihan berbicara, tetapi semua siswa mencatatnya (pada siklus I dan II), tetapi pada siklus III dilakukan oleh sebagian besar siswa, (3) beberapa siswa mengungkapkan kembali pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh pada tahap mendengarkan dan menganalisis model berbiara, (pada siklus I dan II), tetapi pada siklus III dilakukan oleh sebagian besar siswa, (4) sebagian besar siswa berlatih berbicara secara sungguh-sungguh dalam kelompoknya serta sebagian besar siswa meniru model berbicara secara konsisten pada saat latihan berbicara, (pada siklus I dan II), tetapi pada siklus III dilakukan oleh semua siswa, dan (5) beberapa siswa meminta bantuan guru saat mereka kesulitan dalam berlatih berbicara dengan meniru model berbicara yang telah ditampilkan (pada siklus I dan II), tetapi pada siklus III dilakukan oleh sebagian besar siswa.
19
Pada tahap ini, kemunculan tindakan semua siswa terteliti telah mencapai 83% dan 100% sampai pada siklus III. Rerata respons siswa terteliti juga meningkat dari 64,6% pada siklus I, 74,9% pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 91,5%. Sementara itu, kemunculan tindakan guru mencapai 100% pada setiap siklus. Respons tindakan siswa berdasarkan hasil proses siklus pertama, kedua, dan ketiga menunjukkan perkembangan. Untuk perkembangan siklus pertama ke siklus kedua, tujuh siswa mengalami peningkatan dan seorang siswa mengalami penurunan. Semua siswa kelompok atas meningkat 13% dan 2%, dua siswa kelompok sedang meningkat 26%, satu siswa kelompok sedang lainnya meningkat 10%, satu siswa kelompok sedang lainnya turun 5%, dan semua siswa kelompok bawah meningkat masing-masing 21%. Sedangkan untuk perkembangan siklus kedua ke siklus ketiga lima siswa mengalami peningkatan, dua siswa tetap, dan seorang siswa mengalami penurunan. Kelompok atas, seorang siswa meningkat 11% dan seorang lainnya tetap; kelompok sedang, dua siswa meningkat 16%, 11%, satu tetap, dan satu menurun 5%; dan kelompok bawah, semua siswa meningkat masing-masing 5% dan 16%. Hal ini dapat dicermati pada tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Perkembangan Respons Tindakan Siswa Sampai Siklus III No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Siswa LDU MAP SA FSP RW WPR IA SU
% Respons Siklus I
% Respons Siklus II
% Respons Siklus III
% Perkembangan
Ket.
82% 82% 63% 89% 79% 58% 58% 58%
95% 84% 89% 84% 89% 84% 79% 79%
95% 95% 84% 100% 89% 95% 84% 95%
13%; 0% 2%; 11% 26%; -5% -5%; 16% 10%; 0% 26%; 11% 21%; 5% 21%; 16%
L L L L L L L L
Hasil pembelajaran tahap latihan berbicara, yang berupa kualitas penampilan berbicara siswa juga menunjukkan peningkatan. Jumlah siswa yang nilainya mencapai 70 sebagai SKBM sekolah meningkat dari 10 siswa sebelum diberi tindakan menjadi 21 siswa setelah diberi tindakan pada siklus I. Sementara itu, jumlah siswa yang nilainya mencapai 75 sebagai standar kelulusan yang ditetapkan adalah 19 (51,3%) pada siklus I, 28 (75,%) pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 31 (83,7%). Sementara itu, 4 (50%) siswa terteliti di siklus I, 7 (87%) di siklus II, dan menjadi 8 (100%) di siklus III.
20
Perkembangan kemampuan berbicara siswa terteliti berdasarkan hasil produk (kualitas penampilan berbicara siswa) siklus pertama, kedua, dan ketiga juga menunjukkan peningkatan. Untuk siklus pertama ke siklus kedua, semua siswa kelompok atas meningkat 3 dan 4 angka, dua siswa kelompok sedang meningkat 15 angka, dua siswa kelompok sedang lainnya dan semua siswa kelompok bawah meningkat masing-masing 7 angka. Untuk siklus kedua ke siklus ketiga, kelompok atas, masing-masing meningkat 7 angka, kelompok sedang, meningkat masing-masing 10, 4, 4, dan 6, serta kelompok bawah, masingmasing 8 dan 7 angka. Hal ini dapat dicermati pada tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Perkembangan Kualitas Penampilan Berbicara Siswa Sampai Siklus III Nama Siswa
LDU MAP SA FSP RW WPR IA SU
Nilai Siklus I
Nilai Siklus II
Nilai Siklus III
Perkembangan
Ket.
79 75 64 75 75 71 64 68
82 79 79 82 82 86 71 75
89 86 89 86 86 92 79 82
3; 7 4; 7 15; 10 7; 4 7; 4 15; 6 7; 8 7; 7
L L L L L L L L
Berdasarkan tabel 4.1 dan 4.2, diketahui bahwa peningkatan respons tindakan sangat berpengaruh terhadap hasil kemampuan berbicara siswa. Jika respons tindakan meningkat, hasil kemampuan berbicara juga meningkat. Pada pembelajaran dengan strategi pemodelan, sangat tergantung pada tahap reproduksi atau latihan dan umpan balik. Dengan demikian, khusus siswa SA dan FSP, yang respons tindakannya terjadi penurunan tetapi hasilnya tetap meningkat karena intensitas tindakannya pada tahap latihan berbicara terus meningkat. Seperti telah diuraikan di atas, pada tahap latihan berbicara rerata respons siswa meningkat sampai dengan 91,5% pada siklus III. Demikian halnya dengan pembentukan kelompok, yang terutama dimaksudkan untuk memudahkan siswa latihan berbicara, saling berdiskusi, dan mendorong siswa berani berbicara melalui tahapan di kelompok kecil ke kelompok besar (kelas). Pembentukan kelompok belajar dengan memperhatikan heterogenitas kemampuan, jenis kelamin, dan latar budaya siswa serta masing-masing kelompok terdiri atas 4 – 5 orang, turut menunjang
21
tingginya intensitas keterlibatan siswa. Hal ini sesuai dengan saran Piaget (dalam Surya, 2004:40), dalam pembelajaran di kelas sebaiknya siswa diberi peluang yang banyak untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan temantemannya. Pembentukan kelompok turut berpengaruh positif terhadap hasil pembelajaran siswa yang terus mengalami peningkatan. Melalui kelompok siswa dapat berlatih mengembangkan aspek-aspek kompetensi kemampuan berbicara atau melakukan tahap reproduksi dengan lebih maksimal. Melalui kelompok itu pula, guru dapat mengamati kesesuaian perilaku yang ditampilkan siswa dengan model. Prilaku yang sesuai diberi penguatan, sedangkan perilaku yang salah dikoreksi. Hal ini sekaligus sebagai perwujudan tahap motivasi dari strategi pemodelan (Bandura dalam Trianto, 2007:33). Terkait dengan aspek-aspek penilaian hasil (kualitas penampilan berbicara siswa), yang terdiri atas tujuh indikator tersebut, menunjukkan usaha guru untuk mendapatkan informasi tentang keefektifan berbicara siswa. Menurut (Taryono, 1999; Arsjad dan Mukti, 1988), faktor penunjang keefektifan berbicara terdiri atas faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Dari tujuh aspek tersebut, yang terkait dengan faktor kebahasaan adalah intonasi dan pelafalan. Sementara itu, volume suara, pemahaman terhadap isi pembicaraan, pemanfaatan gerak tubuh dan keberanian terkait dengan faktor nonkebahasaan. Hal ini sekaligus mengarah pada pendeteksian penghambat keefektifan berbicara siswa. Taryono (1999:68-77) menjelaskan bahwa faktor penghambat keefektifan berbicara terdiri atas hambatan internal dan eksternal. Melalui usaha semacam ini, guru memperoleh informasi tentang penyebab rendahnya kemampuan berbicara siswa. Dengan demikian, dapat ditentukan cara yang lebih tepat untuk mengatasinya. V. SIMPULAN A. Tahap Mendengarkan Model Berbicara Pada tahap ini terjadi peningkatan jumlah siswa yang terlibat yakni semua siswa atau dari beberapa siswa menjadi sebagian besar siswa. Untuk kegiatan mengungkapkan kembali tujuan mendengarkan model berbicara dan mengulangi perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan tetap bertahan dilakukan oleh sebagian besar siswa pada setiap siklus. Kegiatan mendengarkan model berbicara dengan penuh perhatian dilakukan oleh semua siswa pada semua siklus. Sementara itu, kegiatan mengungkapkan pengetahuan atau pengalamannya terkait dengan model berbicara yang telah ditampilkan guru
22
dan siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya meningkat dari beberapa siswa menjadi sebagian besar siswa pada siklus III. Sampai dengan siklus III hanya satu siswa terteliti yang kemunculan tindakannya 67%. Sementara itu, tujuh siswa lainnya mencapai 83% dan 100%. Adapun rerata kemunculan respons siswa terteliti pada tahap ini juga menunjukkan peningkatan dari 75% pada siklus I, menjadi 87,5% pada siklus II, dan 89,5% pada siklus III. B. Tahap Menganalisis Model Berbicara Pada tahap menganalisis model berbicara juga terjadi peningkatan kuantitas siswa yang terlibat dalam tindakan pembelajaran. Tindakan-tindakan pembelajaran itu dilakukan oleh sebagian besar, bahkan semua siswa. Juga terdapat kegiatan yang dilakukan oleh semua siswa pada setiap siklus. Kegiatankegiatan yang mengalami peningkatan yaitu menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan kata-kata yang disertai gerakan (gesture), menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, dan mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis model berbicara. Pada tahap ini, kemunculan tindakan semua siswa terteliti telah mencapai 86% dan 100% sampai siklus III. Adapun reratanya adalah 72,8% pada siklus I, 91,2% pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 93%. Sementara itu, kemunculan tindakan guru mencapai 100% pada setiap siklus. C. Tahap Latihan Berbicara Pada tahap ini, kemunculan tindakan semua siswa terteliti telah mencapai 83% dan 100% sampai pada siklus III. Rerata respons siswa terteliti juga meningkat dari 64,6% pada siklus I, 74,9% pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 91,5%. Demikian pula dengan keterlibatan siswa secara umum, meningkat dari beberapa siswa menjadi sebagian besar, bahkan semua siswa. Peningkatan terjadi pada tindakan mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada saat latihan berbicara, berlatih berbicara secara sungguh-sungguh dalam kelompoknya, dan meminta bantuan guru saat mereka kesulitan dalam berlatih berbicara
23
Demikian pula dengan kualitas berbicara siswa, terjadi peningkatan yang signifikan. Jumlah siswa yang nilai kemampuan berbicaranya lebih besar atau sama dengan 75 sebagai standar kelulusan yang ditetapkan adalah 19 (51,3%) pada siklus I, 28 (75,%) pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 31 (83,7%). Sementara itu, 4 (50%) siswa terteliti di siklus I, 7 (87%) di siklus II, dan menjadi 8 (100%) di siklus III. VI. SARAN Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan dan disimpulkan di atas, dapat diajukan beberapa saran. Saran-saran dimaksud sebagai berikut. (1) Kepada para pengembang kurikulum pendidikan guru, disarankan untuk memasukkan PTK sebagai mata kuliah wajib agar calon guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk melaksanakan PTK sehingga kelak dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis dalam pembelajaran yang dihadapinya; (2) Kepada para kepala sekolah dasar disarankan agar memberikan peluang kepada guru untuk menerapkan pembelajaran keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan. Dengan upaya seperti ini, pembelajaran keterampilan berbicara dapat ditingkatkan kualitasnya dan diharapkan berdampak positif bagi peningkatan kemampuan siswa dalam berbicara; (3) Kepada para guru sekolah dasar disarankan agar hasil penelitian ini dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran keterampilan berbicara, bahkan dapat dicobakan untuk pembelajaran keterampilan yang lain. Dalam hal ini, guru semestinya berusaha melaksanakan pembelajaran yang bercirikan PAKEM, termasuk dengan berusaha mengatasi berbagai hambatan yang mungkin timbul, misalnya dengan cara-cara seperti telah diuraikan di atas atau dengan cara-cara inovatif lainnya; dan (4) Kepada para peneliti berikutnya kiranya dapat merancang penelitian baru yang berkaitan dengan penerapan strategi pemodelan dalam pembelajaran keterampilan berbicara atau pembelajaran keterampilan lainnya di sekolah dasar sehingga nantinya siswa sekolah dasar lebih terampil dalam berbagai keterampilan berbahasa.
24
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, M. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: IKIP Malang Arsjad, MG. dan Mukti US 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Burns, A. & Hellen J. 1999. Focus on Speaking. Sydney: Macquarie University Cooper, J. David. 1993. Literacy. New York: Houghton Mifflin Dahar, R. Wilis. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdikbud Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia: Kuliah Dasar (Edisi Kelima). Alih bahasa oleh Agus Maulana MSM. Jakarta: Professional Books Djiwandono, M. Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB Bandung Djiwandono, S. Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Hasanah, M. 2006. Pembelajaran Kemampuan Berbahasa Indonesia Berbasis Cerita Fiksi Kontemporer Anak-anak untuk Siswa Kelas 5 SD. Disertasi tidak diterbitkan: PPS Universitas Negeri Malang Kasali, R. 2001. Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Kanisius Kasbolah, K. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta: PPGSD Dirjen Dikti Depdikbud Keraf, G. 2001. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah Mahsun. 1998. Etnis Sasak dalam Cermin Bahasa, Sebuah Renungan Introspeksi. Makalah Seminar Bahasa, 29 November. Mataram: FKIP Unram Miles, Matthew B., and Huberman, A. Michael. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi R. Jakarta: UI Press Moleong, L. J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya Muslich, M. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konteksual. Jakarta: Bumi Aksara Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual. Malang: UM Press
25
Oka, Djohana D. 2002. Kumpulan Materi TOT CTL Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Rakhmat, J. 2004. Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Rofi’uddin, A. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Malang: PPS UM Sagala, S. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta Soeharo, K., Suprajitno, Sudjimat, dan Sulton. 2003. Teknologi Pembelajaran: Pendekatan Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media. Surabaya: SIC Surya, M. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy Suyono, 2004. Peningkatan Kemampuan Menulis Deskripsi dengan Strategi Modeling pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Kauman 1 Kota Malang. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Usman, M. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya Wiraatmadja, R. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS DESKRIPSI BERDASARKAN STRATEGI PENGAMATAN LINGKUNGAN SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI 2 BENGKEL KECAMATAN LABUAPI KABUPATEN LOMBOK BARAT NUSA TENGGARA BARAT Oleh: Yusman Mansyur ABSTACT The problems in this study are (1) how are the process and the result of improving students’ writing skill by observing environment by the fourth grade of state 2 Bengkel elementary school, Labuapi Subdistrict, Lobok Barat Regency, West Nusa Tenggara at the stage of (a) prewriting, (b) writing, and (c) postwriting? Findings show three conclusions. Firstly, PMD process through SPL at the prewriting stage show improvement from the average category (68.9) in cycle I to the advance category (87.3) in cycle II and become the excellent category (89.9) in cycle III. Secondly, PMD process through SPL at the writing stage show improvement from the average category (60.8) in cycle I to the advance category (81.6) in cycle II and become the excellent category (87.4) in cycle III. Thirdly, PMD process through SPL at the postwriting stage show improvement from the average category (68.3) in cycle I to the advance category (83.3) in cycle II and become the excellent category (86.6) in cycle III. The quality of students’ descriptive writing skill (KMD) also shows the significant improvement from the average category of 73.3 (advance, unpass) in cycle I to the advance category of 83.3 (advance, pass) in cycle II and become the excellent category 90 (excellent, pass) in cycle III. Key terms: Improvement, skill, descriptive writing, strategy, environment observation
I PENDAHULUAN Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam kurikulum, 1994 dan KBK, dikemukakan bahwa siswa hendaknya mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, pengalaman, dan pesan secara lisan dan tertulis (Depdiknas, 2001:14). Dengan demikian, keterampilan menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa merupakan suatu keterampilan yang perlu dimiliki siswa sekolah dasar agar mampu berkomunikasi dengan baik secara tertulis. Keterampilan/kemampuan menulis merupakan produk pembelajaran berkelanjutan yang perlu dilakukan secara berkesinambungan sejak di sekolah dasar (SD). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan menulis di sekolah dasar merupakan kemampuan dasar sebagai bekal belajar menulis pada jenjang berikutnya. Kemampuan menulis yang maksimal dapat dicapai melalui
2 latihan dan bimbingan yang intensif. Kemampuan menulis bukanlah kemampuan yang diwariskan secara terus-menerus, tetapi merupakan hasil proses belajar mengajar dan ketekunan berlatih (Akhadiah, 1992/ 1993:111). Uraian di atas menunjukkan pentingnya siswa memiliki kemampuan menulis yang memadai. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa masih jauh dari harapan. Badudu (dalam Suyuno, 2004:5) mengatakan bahwa keterampilan menulis siswa masih rendah. Rendahnya keterampilan menulis siswa tersebut ditandai oleh: (1) frekuensi kegiatan menulis yang dilakukan oleh siswa sangat rendah, (2) kualitas karya tulis siswa sangat buruk, (3) rendahnya antusiasme dalam mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia umumnya, dan pembelajaran menulis pada khususnya, (4) rendahnya kreativitas belajar siswa pada saat kegiatan belajar mengajar menulis sedang berlangsung. Pandangan lain dikemukakan oleh Rofi'uddin dan Zuhdi (1999:37) yang mengatakan bahwa sampai saat ini, penguasaan kemampuan baca tulis oleh siswa SD masih jauh dari harapan. Keluhan tentang rendahnya kemampuan lulusan SD dalam hal baca tulis terus dikumandangkan. Berbagai hasil penelitian mendukung keluhan tersebut. Upaya demi upaya telah dirancang, dikembangkan, dan dilaksanakan untuk mencari jalan keluarnya. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan adalah peningkatan efektivitas pengajaran membaca dan menulis. Dari hasil wawancara peneliti dengan guru kelas IV SDN 2 Bengkel Kabupaten Lombok Barat (2007) terungkap bahwa: (1) dalam pembelajaran yang dituntut orang tua adalah siswa dapat nilai rapor yang tinggi, sehingga guru banyak mengarahkan siswanya untuk menyelesaikan soal-soal ulangan, akibatnya kurang memperhatikan penilaian proses, (2) tugas mengarang lebih banyak dilaksanakan di rumah, sehingga siswa kurang mendapat bimbingan dalam menulis, (3) dalam menilai karangan siswa guru cenderung pada banyaknya kata-kata dalam karangan, kurang mengarah pada ejaan dan penulisan huruf besar, (4) topik ditentukan oleh guru, dan (5) dalam pembelajaran guru belum pernah menampilkan model karangan secara utuh yang bisa dicontoh oleh siswa. Dari hasil observasi dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran menulis di atas, diketahui bahwa kegiatan pembelajaran menulis yang dilakukan kurang efektif dan prestasi menulis siswa rendah. Hal ini terbukti
3 pada pencapaian rata-rata nilai kemampuan menulis siswa semester 1 baru mencapai 6,0. Dengan demikian, diperlukan suatu pendekatan atau metode yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis khususnya menulis deskripsi. Salah satu strategi yang dianggap mampu memecahkan masalah tersebut adalah strategi pengamatan lingkungan yang merupakan salah satu komponen dalam pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual mempunyai beberapa keunggulan. Keunggulan tersebut dapat dijadikan peneliti sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis deskripsi di sekolah dasar. Pembelajaran yang kontekstual memiliki acuan konsep mengajar dan belajar yang membantu guru dalam menghubungkan isi pembelajaran dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa dalam menghubungkan pengetahuan dan menerapkan pengetahuannya itu dalam kehidupan seharihari (Suparno, 2001:2). Salah satu komponen dari pembelajaran kontekstual adalah proses melakukan pengamatan lingkungan untuk mendapatkan bahan dasar menulis deskripsi. Pengamatan lingkungan adalah aktivitas siswa untuk melakukan kegiatan melihat, mendengar, dan merasakan suasana di sekitar lingkungannya untuk mendapat ilustrasi berupa kata-kata dan kalimat sebagai bahan untuk pengembangan tulisan dalam bentuk deskriptif. Menggunakan lingkungan sebagai sarana belajar dapat menciptakan belajar yang efektif yaitu belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan” (Nurhadi,2004:18). Hal lainnya yang menyebabkan kehadiran penelitian ini semakin penting karena sejauh ini belum ditemukannya penelitian sebelumnya yang terkait penggunaan strategi pengamatan lingkungan untuk meningkatkan kemampuan menulis deskripsi siswa sekolah dasar. Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah proses peningkatan kemampuan menulis deskripsi berdasarkan strategi pengamatan lingkungan pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 2 Bengkel Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat pada tahap (a) pratulis, (b) saattulis, dan (c) pascatulis? dan (2) Bagaimanakah hasil peningkatan kemampuan menulis deskripsi berdasarkan strategi pengamatan lingkungan pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 2 Bengkel Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat pada tahap (a) pratulis, (b) saattulis, dan (c) pascatulis?
4 II METODE A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penggunaan rancangan ini didasarkan kepada adanya kesesuaian antara karakteristik penelitian tindakan kelas dengan tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan tindakan dan hasil peningkatan kualitas pembelajaran menulis di kelas. Rancangan penelitian ini mengacu pada ancangan PTK yang merupakan rangkaian ”riset-tindakan-riset-tindakan- ...” yang dilakukan secara siklik dalam rangka memecahkan masalah. Rancangan siklus I didasarkan pada hasil studi pendahuluan. Rancangan siklus II mengacu pada hasil siklus I. Demikian seterusnya, rancangan siklus ke-n akan mengacu pada hasil siklus sebelumnya. B. Rancangan Tindakan Rancangan tindakan dalam alur penelitian ini adalah sebagai berikut. Langkah awal kegiatan penelitian dimulai dengan observasi konteks penelitian, meliputi latar SD tempat penelitian, termasuk kondisi sekolah, guru-guru, siswa, serta kegiatan belajar mengajar, khususnya dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Selanjutnya, diadakan analisis hasil observasi dan diperoleh temuan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang sesuai sehingga kurang bisa mengembangkan kemampuan menulis secara maksimal. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti bersama guru (kolaborator) menyusun rencana tindakan untuk diterapkan dalam pembelajaran menulis. Rencana tindakan tersebut dilaksanakan dalam siklus-siklus pembelajaran. Pada setiap selesai tindakan satu siklus diadakan refleksi yang digunakan sebagai dasar perbaikan tindakan siklus berikutnya hingga tujuan penelitian tercapai. C. Pengumpulan dan Perekaman Data Pengumpulan dan perekaman data dilakukan dengan menggunakan instrumen utama dan instrumen penunjang. Instrumen utama adalah peneliti itu sendiri yang memiliki sifat dinamis dan memiliki kemampuan untuk menyeleksi, menilai, mengumpulkan dan menentukan data. Instrumen penunjang adalah pedoman observasi, catatan lapangan, dan dokumen tertulis (hasil tulisan siswa). Selama pengumpulan data, peneliti dan guru juga melakukan refleksi untuk menyusun perencanaan tindakan selanjutnya.
5 D. Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Analisis tersebut menyatakan sejumlah langkah, yaitu: menelaah seluruh data yang telah terkumpul, mereduksi data, menyajikan data, dan menyimpulkan atau verifikasi. Dalam realisasinya, analisis data merupakan proses siklus dan interaktif sehingga langkah-langkah analisis itu saling terkait dan bolak-balik. Hal ini seperti yang diungkapkan Rofi'uddin (1998), analisis data berupa linier (mengalir) maupun bersifat sirkuler, dilakukan selama proses pengumpulan data, yakni segera dianalisis setelah data terkumpul sampai semua data selesai dikumpulkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari penumpukan data dan peneliti dapat dengan segera memberikan refleksi terhadap data sehingga proses pemaknaan dan simpulan yang diambil bisa lebih tepat. III HASIL A. Hasil Peningkatan KMD berdasarkan SKL Siklus III (1) Hasil Peningkatan pada Tahap Pratulis Sampai dengan siklus III, proses peningkatan PMD dengan SKL pada tahap ini dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini. Tabe1 4.1 Peningkatan Proses Pembelajaran Tahap Pratulis Siklus III Indikator SB a. Keterlibatan dalam pembangkitan skemata b. Membentuk kelompok belajar c. Memperhatikan tujuan pembelajaran d. Melakukan pengamatan lingkungan e. Memperhatikan langkah-langkah menulis Rata-rata
Kualifikasi B C K
Skor
Nilai
SK
5
1
29
96,6
5
1
29
96,6
2
4
26
86,6
1
5
25
83,3
2
4
26
86,6
Refleksi Hasil Tindakan 1) Skemata siswa sudah terarah 2) Kelompok terbentuk dengan baik 3) Tujuan pembelajaran terperinci 4) Langkahlangkah menulis sudah konkret
89,9
Dari tabel di atas dapat diuraikan bahwa keterlibatan siswa dalam (a) pembangkitan skemata mencapai nilai rerata 96,6, lima siswa terteliti berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya bekategori baik; (b) membentuk kelompok belajar mencapai nilai rerata 96,6, lima siswa berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya berkategori baik; (c) memperhatikan tujuan pembelajaran mencapai
6 nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (d) melakukan pengamatan lingkungan mencapai nilai rerata 83,3, satu siswa berkategori sangat baik dan lima lainnya berkategori baik; dan (e) memperhatikan langkah-langkah menulis mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik. Dengan demikian, rerata aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi pengamatan lingkungan pada tahap pratulis adalah mencapai nilai rerata 89,9 sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas kegiatan PMD tergolong sangat baik. Artinya, terjadi peningkatan dari kategori cukup (68,9) siklus I menjadi kategori sangat baik (87,3) siklus II dan sangat baik (89,9) siklus III. (2) Hasil Peningkatan pada Tahap Saattulis Pada tahap ini semua siswa terteliti juga mampu menghasilkan draf karangan yang lebih baik daripada draf karangan pada siklus-siklus sebelumnya. Adapun hasil proses peningkatan PMD dengan SKL pada tahap ini dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini. Tabe1 4.2 Peningkatan Proses Pembelajaran Tahap Saattulis Siklus III Indikator SB a. Menuliskan draf karangan deskripsi b. Menuliskan karangan deskripsi c. Menyelesaikan tugas menulis karangan deskripsi d. Melakukan revisi dan penyuntingan karangan Rata-rata
Kualifikasi B C K
Skor
Nilai
SK
2
4
26
86,6
2
4
26
86,6
2
4
26
86,6
3
3
27
90
Refleksi Hasil Tindakan 1) Menulis draf karangan sudah lancar 2) Bimbingan penggunaan tanda baca dan ejaan diperlukan 3) Motivasi dan pujian diperlukan pada siswa tertentu
87,4
Dari tabel di atas dapat diuraikan bahwa keterlibatan siswa dalam (a) menuliskan draf karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (b) menuliskan karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (c) menyelesaikan tugas menulis karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat
7 lainnya berkategori baik; (d) melakukan revisi dan penyuntingan karangan mencapai nilai rerata 90, tiga siswa berkategori sangat baik dan tiga lainnya berkategori baik. Dengan demikian, rerata aktivitas siswa dalam mengikuti PMD dengan SPL pada tahap saattulis mencapai nilai rerata 87,4 sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas PMD tergolong sangat baik. Artinya, terjadi peningkatan dari kategori cukup (60,8) siklus I menjadi kategori baik (81,6) siklus II dan menjadi kategori sangat baik (87,4) siklus III. (3) Hasil Peningkatan pada Tahap Pascatulis Pada tahap pascatulis semua siswa telah mampu menghasilkan karangan deskripsi sesuai dengan hasil pengamatannya. Dengan demikian pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi hasil pengamatan lingkungan telah terlaksana dengan baik. Adapun hasil proses peningkatan PMD dengan SPL pada tahap ini dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini. Tabe1 4.3 Peningkatan Proses Pembelajaran Tahap Pascatulis Siklus III Indikator a. Membacakan hasil karangan b. Memberikan tanggapan karangan siswa lain c. Melakukan penyempurnaan karangan d. Memanjangkan hasil karangan Rata-rata
Kualifikasi SB B C
K
Skor
Nilai
Refleksi Hasil Tindakan 1) Membaca hasil karangan lancar 2) Keterampilan berbicara lancar 3) Bimbingan intensif dibutuhkan 4) Pemajangan memerlukan ketelitian
SK
4
2
28
93,3
2
4
26
86,6
2
4
26
86,6
2
4
26
86,6 88,2
Dari tabel di atas dapat diuraikan bahwa keterlibatan siswa dalam (a) membacakan hasil karangan mencapai nilai rerata 93,3, empat siswa berkategori sangat baik dan dua siswa lainnya berkategori baik; (b) memberikan tanggapan karangan siswa lain mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik; (c) melakukan penyempurnaan karangan mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik; dan (d) memajankan hasil karangan mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya
8 berkategori baik. Dengan demikian, rerata aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran pada tahap pascatulis adalah mencapai nilai rerata 88,2 sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas kegiatan PMD tergolong sangat baik. Jika diakumulasi semua tahapan pembelajaran tersebut (pratulis 89,9, saattulis 87,4, dan pascatulis 88,2), rerata aktivitas siswa dalam PMD dengan SPL mencapai nilai rerata 88,6 sehingga dapat dikatakan kualitas PMD pada siklus III tergolong sangat baik. Artinya, terjadi peningkatan dari kategori cukup (66) siklus I menjadi kategori baik (84,1) siklus II dan menjadi sangat baik (88,6) pada siklus III. Sementara itu, peningkatan kemampuan menulis deskripsi (KMD) siswa dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini. Tabel 4.4 Peningkatan Kemampuan Menulis Deskripsi Siswa Siklus III
No
Nama Siswa
1 Dwi Andika 2 Rehanun 3 Eka Wati 4 Farida Lila 5 Mawadah Rahman 6 Diana Lestari Jumlah Nilai rerata setiap komponen
1 4 4 4 4 4 4 24 100
Aspek Penilaian* 2 3 4 4 3 3 3 3 3 19 79
3 4 3 4 3 3 20 83
4 4 4 4 3 4 23 95
Jlh
Nilai
Ket.
19 19 18 19 16 17
95 95 90 95 80 85 540 90
L L L L L L
5 4 4 4 4 3 3 22 92
L
Keterangan: 1. Paragraf 2. Mengembangkan ide 3. Urutan dan struktur bahasa 4. Tanda baca dan ejaan 5. Informasi fakta Dari sebaran nilai yang terdapat pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hasil karangan siswa mendapat nilai rata-rata 90 (sangat baik). Nilai tertinggi adalah 95 atas nama siswa DA dan Rh dari kelompok atas, sedangkan nilai terendah adalah 80 atas nama MR dari kelompok bawah. Sedangkan komponenkomponen yang menjadi penilaian dalam karangan siswa dapat dijelaskan (1) paragraf rata-rata 100 (sangat baik), (2) mengembangkan ide rata-rata 79 (baik), (3) urutan dan struktur bahasa rata-rata 83 (baik), (4) tanda baca dan ejaan ratarata 95 (sangat baik), dan (5) informasi fakta rata-rata 92 (sangat baik).
9 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KMD siswa dengan SPL mendapat nilai rata-rata 90 sehingga dapat dikatakan kualitas KMD siswa tergolong sangat baik. Artinya, dibandingkan dengan hasil pada siklus I dan II, terjadi peningkatan dari rata-rata 73,3 (baik, belum lulus) siklus I menjadi 83,3 (baik, lulus) siklus II dan menjadi 90 (sangat baik, lulus) pada siklus III. IV PEMBAHASAN A. Tahap Pratulis Peningkatan proses PMD dengan SPL tahap pratulis menunjukkan bahwa pada siklus I, pencapaian aktivitas siswa terteliti adalah (a) keterlibatan dalam pembangkitan skemata mencapai nilai rerata 80, semua siswa terteliti berkategori baik; (b) membentuk kelompok belajar mencapai nilai rerata 80, semua siswa terteliti berkategori baik; (c) memperhatikan tujuan pembelajaran mencapai nilai rerata 60, semua siswa terteliti berkategori cukup; (d) melakukan pengamatan lingkungan mencapai nilai rerata 70, tiga siswa terteliti berkategori baik dan tiga lainnya berkategori cukup; dan (e) memperhatikan langkah-langkah menulis mencapai nilai rerata 53, seorang siswa berkategori baik dan lima siswa berkategori cukup. Adapun persentase reratanya mencapai nilai 68,6 (cukup). Pada siklus II diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam (a) pembangkitan skemata mencapai nilai rerata 96,6, lima siswa terteliti berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya bekategori baik; (b) membentuk kelompok belajar mencapai nilai rerata 93,3, empat siswa berkategori sangat baik dan dua siswa lainnya berkategori baik; (c) memperhatikan tujuan pembelajaran mencapai nilai rerata 80, semua siswa terteliti berkategori baik; (d) melakukan pengamatan lingkungan mencapai nilai rerata 83,3, satu siswa berkategori sangat baik dan lima lainnya berkategori baik; dan (e) memperhatikan langkah-langkah menulis mencapai nilai rerata 83,3, seorang siswa berkategori sangat baik dan lima siswa lainnya berkategori baik. Rerata pencapaian aktivitas siswa mencapai nilai 87,3 (sangat baik). Pada siklus III diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam (a) pembangkitan skemata mencapai nilai rerata 96,6, lima siswa terteliti berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya berkategori baik; (b) membentuk kelompok
10 belajar mencapai nilai rerata 96,6, lima siswa berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya berkategori baik; (c) memperhatikan tujuan pembelajaran mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (d) melakukan pengamatan lingkungan mencapai nilai rerata 83,3, satu siswa berkategori sangat baik dan lima lainnya berkategori baik; dan (e) memperhatikan langkah-langkah menulis mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik. Adapun reratanya mencapai nilai 89,9 (sangat baik). Dengan demikian, terjadi peningkatan dari kategori cukup (68,6) siklus I menjadi kategori sangat baik (87,3) siklus II dan sangat baik (89,9) siklus III. Hasil penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran menulis deskripsi dengan pengamatan lingkungan pada tahap pratulis juga menunjukkan bahwa enam siswa terteliti mampu menentukan topik, judul, dan kerangka karangan. Hal ini terjadi karena sebelum menentukan topik, judul, dan kerangka karangan, siswa mengamati objek/lingkungan yang akan dideskripsikan. Upaya lain yang dilakukan dalam penerapan strategi hasil pengamatan lingkungan dalam pembelajaran menulis deskripsi adalah penggunaan lingkungan/gambar sambil bertanya jawab dengan siswa tentang detail lingkungan/gambar itu. Tujuannya adalah untuk membangkitkan skemata siswa tentang tema yang sedang dibahas. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya mengonkretkan sesuatu, sehingga hal yang dipelajari tidak bersifat abstrak. Molenda (dalam Suharji, 2003:75) menyatakan bahwa fungsi utama gambar adalah memberi arti konkret. Sejalan dengan itu Bruner (dalam Suharji, 2003:86) menegaskan pula bahwa gambar dapat membuat ide yang abstrak menjadi lebih konkret. Dengan demikian, pengamatan langsung objek yang akan ditulis yang sebelumnya didemonstrasikan guru melalui gambar serta pembimbingan pada siswa secara intensif dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis deskripsi pada tahap pratulis (pemilihan topik, judul, dan kerangka karangan). B. Tahap Saattulis. Peningkatan proses PMD dengan SPL pada tahap saattulis menunjukkan bahwa pada siklus I, pencapaian aktivitas siswa adalah (a) menuliskan draf karangan deskripsi mencapai nilai rerata 70, tiga siswa berkategori baik dan tiga lainnya berkategori cukup; (b) menuliskan karangan deskripsi mencapai nilai
11 rerata 60, semua siswa berkategori cukup; (c) menyelesaikan tugas menulis karangan deskripsi mencapai nilai rerata 60, semua siswa berkategori cukup; (d) melakukan revisi dan penyuntingan karangan mencapai nilai rerata 53, seorang siswa berkategori baik dan lima lainnya berkategori cukup. Rerata aktivitas PMD siswa tersebut mencapai nilai 60,8 (cukup). Pada siklus II diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam: (a) menuliskan draf karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (b) menuliskan karangan deskripsi mencapai nilai rerata 80, semua siswa berkategori baik; (c) menyelesaikan tugas menulis karangan deskripsi mencapai nilai rerata 80, semua siswa berkategori baik; (d) melakukan revisi dan penyuntingan karangan mencapai nilai rerata 83, semua siswa berkategori baik. Adapun rerata aktivitas PMD siswa mencapai nilai 81,6 (berkategori baik). Sementara itu, pada siklus III diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam: (a) menuliskan draf karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (b) menuliskan karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (c) menyelesaikan tugas menulis karangan deskripsi mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (d) melakukan revisi dan penyuntingan karangan mencapai nilai rerata 90, tiga siswa berkategori sangat baik dan tiga lainnya berkategori baik. Rerata aktivitas PMD siswa mencapai nilai 87,4 (berkategori sangat baik). Dengan demikian, terjadi peningkatan dari kategori cukup (60,8) siklus I menjadi kategori baik (81,6) siklus II dan menjadi kategori sangat baik (87,4) siklus III. Pembentukan kelompok belajar yang dilaksanakan pada tahap saattulis sesuai dengan tujuan pembelajaran menulis deskripsi dengan memperhatikan kemampuan dan jumlah anggota terdiri atas 6 orang siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasibuan (dalam Suyono, 2004:231) yang menyatakan bahwa pembentukan kelompok diskusi harus memenuhi syarat (1) terdiri atas 5-9 orang, (2) berlangsung dengan interaksi bebas, (3) mempunyai tujuan, dan (4) berlangsung sesuai proses sistematis menuju suatu simpulan. Demikian pula
12 dengan pendapat Djajadisastro (1981:46) yang menyatakan bahwa dalam pembentukan kelompok dapat dilakukan dengan ketentuan (1) letak tempat duduk, (2) jumlah anggota dalam setiap kelompok, (3) keadaan taraf kecerdasan setiap anggota kelompok. Hal ini dimaksudkan agar semua anggota kelompok bekerjasama secara harmonis. Dalam proses penyusunan draf karangan, siswa menjadi pembelajar yang aktif dengan motivasi yang tinggi untuk dapat menuangkan gagasannya secara tertulis berdasarkan kerangka karangan dan topik yang diminatinya. Pada kegiatan ini, seperti yang dikemukakan oleh Koutman (1994:66) guru hanya berperan sebagai fasilitator membantu siswa menemukan dan menuangkan ide-ide ke dalam draf karangan secara bermakna, kohesif, koherensif, bergaya, berbentuk, dan mencerminkan karakteristik individual. Dengan demikian dalam proses pembelajaran tahap menulis guru berperan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi para siswa untuk berani dan termotivasi dalam menuliskan draf karangan tanpa memperhatikan benar tidaknya penerapan aspek mekanik dalam menulis. Saat kegiatan revisi dan penyuntingan karangan, beberapa siswa terteliti mengalami perbedaan pendapat dengan teman dalam kelompoknya tentang penggantian atau penambahan kata dalam kalimat. Pada awal kegiatan mereka juga mengalami kesulitan dalam melakukan perbaikan terhadap draf karangan teman mereka atau karangan sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan Olson (1992:18) yang mengatakan bahwa kegiatan sharing kadangkadang tidak berhasil karena siswa tidak memiliki persiapan yang cukup tentang bagaimana merespons sejumlah pertanyaan atau saran teman sejawat dan penulis tidak memahami bagaimana menerima umpan balik. Namun demikian, setelah guru membimbing dan memotivasi siswa bagaimana melakukan perbaikan berdasarkan berbagai masukan, siswa dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran tahap perbaikan dengan baik karena sesungguhnya sering sangat penting dalam meningkatkan kualitas tulisan. Temuan ini sejalan dengan pandangan Ellis dkk. (1989:160) bahwa cara efektif yang dapat membantu penulis untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilan menulis adalah dengan mengadakan temu pendapat dengan teman sejawat.
13 Melalui proses pembelajaran perbaikan, siswa dapat memperoleh pengalaman dan dapat memahami bahwa menulis merupakan kegiatan yang bersifat berulang-ulang (rekursif) seperti yang ditegaskan oleh Murray (dalam Cleary, 1993:338) bahwa proses menulis tidak bersifat linear namun rekursif. Menulis merupakan suatu proses penuangan gagasan secara tertulis yang perlu diproses ulang atau diperbaiki. Perbaikan itu berupa mengganti, menghilangkan, menambah, menyusun ulang kata, frase, kalimat, atau paragraf. Dengan kata lain, pembelajaran perbaikan mengarahkan siswa untuk mampu memperbaiki gagasan yang tertuang dalam draf karangan agar pembaca dapat membaca tulisan tersebut dengan jelas, menarik, dan bermakna. C. Tahap Pascatulis Peningkatan proses PMD dengan SPL tahap pascatulis menunjukkan bahwa pada siklus I keterlibatan siswa dalam (a) membacakan hasil karangan mencapai nilai rerata 80, semua siswa berkategori baik; (b) memberikan tanggapan karangan siswa lain mencapai nilai rerata 66, dua siswa berkategori baik dan empat lainnya berkategori cukup; (c) melakukan penyempurnaan karangan mencapai nilai rerata 66, dua siswa berkategori baik dan empat lainnya berkategori cukup; dan (d) memajankan hasil karangan mencapai nilai rerata 60, semua siswa berkategori cukup. Adapun rerata PMD siwa mencapai nilai 68,3 (cukup). Pada siklus II diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam: (a) membacakan hasil karangan mencapai nilai rerata 93, empat siswa berkategori sangat baik dan dua siswa lainnya berkategori baik; (b) memberikan tanggapan karangan siswa lain mencapai nilai rerata 80, semua siswa berkategori baik; (c) melakukan penyempurnaan karangan mencapai nilai rerata 80, semua siswa berkategori baik; dan (d) memajankan hasil karangan mencapai nilai rerata 80, semua siswa berkategori baik. Rerata aktivitas PMD siswa mencapai nilai 83,3 (baik). Sementara itu, pada siklus III diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam: (a) membacakan hasil karangan mencapai nilai rerata 93,3, empat siswa berkategori sangat baik dan dua siswa lainnya berkategori baik; (b) memberikan tanggapan karangan siswa lain mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik; (c) melakukan
14 penyempurnaan karangan mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik; dan (d) memajankan hasil karangan mencapai nilai rerata 86,6, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik. Adapun rerata PMD siswa adalah mencapai nilai rerata 88,2 (sangat baik). Dengan demikian, kualitas PMD siswa menunjukkan peningkatan dari kategori cukup (68,3) pada siklus I, menjadi kategori baik (83,3) pada siklus II, dan pada siklus III menjadi berkategori sangat baik (86,6). Sama halnya dengan PMD siswa, kemampuan menulis deskripsi (KMD) siswa juga menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Pada siklus I, nilai tertinggi adalah 85 atas nama siswa Rh dari kelompok atas, sedangkan nilai terendah adalah 65 atas MR dan DL dari kelompok bawah. Sedangkan komponenkomponen yang menjadi penilaian dalam karangan siswa dapat dijelaskan (1) paragraf rata-rata 83 (sangat baik), (2) mengembangkan ide rata-rata 75 (baik), (3) urutan dan struktur bahasa rata-rata 67 (cukup), (4) tanda baca dan ejaan rata-rata 71 (baik), dan (5) informasi fakta rata-rata 71 (baik). Adapun nilai rata-rata KMD siswa adalah 73,3 atau berkategori baik. Pada siklus II, nilai tertinggi adalah 95 atas nama siswa Rh dari kelompok atas, sedangkan nilai terendah adalah 70 atas nama DL dari kelompok bawah. Sedangkan komponen-komponen yang menjadi penilaian dalam karangan siswa dapat dijelaskan (1) paragraf rata-rata 91 (sangat baik), (2) mengembangkan ide rata-rata 75 (baik), (3) urutan dan struktur bahasa rata-rata 79 (baik), (4) tanda baca dan ejaan rata-rata 87 (baik), dan (5) informasi fakta rata-rata 78 (baik). Nilai rata-rata KMD siswa adalah 83,3 atau berkategori baik. Pada siklus III, nilai tertinggi adalah 95 atas nama siswa DA dan Rh dari kelompok atas, sedangkan nilai terendah adalah 80 atas nama MR dari kelompok bawah. Sedangkan komponen-komponen yang menjadi penilaian dalam karangan siswa dapat dijelaskan (1) paragraf rata-rata 100 (sangat baik), (2) mengembangkan ide rata-rata 79 (baik), (3) urutan dan struktur bahasa rata-rata 83 (baik), (4) tanda baca dan ejaan rata-rata 95 (sangat baik), dan (5) informasi fakta rata-rata 92 (sangat baik). Nilai rata-rata KMD siswa pada siklus ini adalah 90 atau berkategori sangat baik.
15 Dengan demikian, kualitas KMD siswa juga menunjukkan peningkatan dari rata-rata 73,3 (baik, belum lulus) siklus I menjadi 83,3 (baik, lulus) siklus II dan menjadi 90 (sangat baik, lulus) siklus III. Semua siswa terteliti mengalami peningkatan kualitas tulisan deskripsinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan SPL dapat meningkatkan KMD siswa kelas IV SD Negeri 2 Bengkel Lombok Barat. Pada tahap pascatulis ini siswa diberi kesempatan untuk membaca hasil karangannya di muka kelas. Hasil karangan tersebut dibacakan di hadapan siswa, guru, dan peneliti. Dari kegiatan ini siswa dituntut untuk menghasilkan karangan yang baik dan cara membaca yang baik pula. Dengan demikian tampak adanya kesungguhan siswa terteliti untuk menghasilkan tulisan dan membaca dengan baik (intonasi, lafal, tanda baca, kelancaran, dan kejelasan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I para siswa masih ragu-ragu, bahkan takut untuk membaca di depan kelas. Namun dengan motivasi yang diberikan oleh guru, pada siklus II dan III para siswa tidak lagi merasa ragu-ragu dan takut. Dengan demikian motivasi terhadap siswa sangat diperlukan dalam pembelajaran. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengadakan penyuntingan terhadap hasil karangan teman sejawat atau karangan sendiri dan kegiatan pemajanan hasil karangan, akan menumbuhkan sikap positif dan kritis bagi siswa. Sikap kritis tersebut adalah kritis dan konstruktif, dapat bekerja sama dengan baik, toleran dalam berbeda pendapat, terbuka menerima pendapat, percaya diri, berani, dan bertanggung jawab. Sikap positif yang demikian merupakan sikap yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran. Siswa tidak hanya memperoleh dampak pembelajaran penyuntingan dan pemajanan hasil karangan, melainkan juga memperoleh dampak pengiring, yaitu sikap positif terhadap pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan kegiatan sharing dan pemajanan, siswa menjadi antusias dan dapat berkomunikasi, bertukar pikiran, dan berdialog dengan teman sejawat dalam suasana yang aktif komunikatif, lebih-lebih, saat pemajanan hasil karangan pada majalah dinding. Dalam konteks ini, dapat meningkatkan keterampilan berbahasa siswa dan memberi kesempatan pada siswa untuk beraktivitas sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Tompkins (1994:26) yang mengatakan bahwa sharing karangan adalah aktivitas
16 sosial. Melalui sharing, siswa dapat mengembangkan sensitifitas kepada audiens dan kepercayaan diri yang besar sebagai pengarang. Kegiatan ini merupakan puncak unjuk kerja siswa dalam proses menulis. V SIMPULAN A. Tahap Pratulis Proses PMD dengan SPL tahap pratulis menunjukkan peningkatan dari kategori cukup (68,9) siklus I menjadi kategori sangat baik (87,3) pada siklus II dan pada siklus III menjadi sangat baik (89,9). Sampai dengan siklus III diketahui bahwa (a) keterlibatan dalam pembangkitan skemata, lima siswa terteliti berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya berkategori baik; (b) membentuk kelompok belajar, lima siswa berkategori sangat baik dan satu siswa lainnya berkategori baik; (c) memperhatikan tujuan pembelajaran, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (d) melakukan pengamatan lingkungan, satu siswa berkategori sangat baik dan lima lainnya berkategori baik; dan (e) memperhatikan langkah-langkah menulis, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik. B. Tahap Saattulis Proses PMD dengan SPL tahap saattulis juga menunjukkan peningkatan dari kategori cukup (60,8) siklus I menjadi kategori baik (81,6) pada siklus II dan pada siklus III menjadi kategori sangat baik (87,4). Sampai siklus III, diketahui bahwa (a) menuliskan draf karangan deskripsi, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (b) menuliskan karangan deskripsi, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (c) menyelesaikan tugas menulis karangan deskripsi, dua siswa berkategori sangat baik dan empat lainnya berkategori baik; (d) melakukan revisi dan penyuntingan karangan, tiga siswa berkategori sangat baik dan tiga lainnya berkategori baik. C. Tahap Pascatulis Sampai dengan III, diketahui bahwa keterlibatan siswa dalam (a) membacakan hasil karangan, empat siswa berkategori sangat baik dan dua siswa lainnya berkategori baik; (b) memberikan tanggapan karangan siswa lain, dua
17 siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik; (c) melakukan penyempurnaan karangan, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik; dan (d) memajankan hasil karangan, dua siswa berkategori sangat baik dan empat siswa lainnya berkategori baik. Sementara itu, untuk KMD siswa sampai dengan siklus III, diketahui bahwa (1) paragraf (sangat baik), (2) mengembangkan ide baik, (3) urutan dan struktur bahasa baik, (4) tanda baca dan ejaan sangat baik, dan (5) informasi fakta sangat baik. Proses PMD dengan SPL tahap pascatulis juga menunjukkan peningkatan dari kategori cukup (68,3) pada siklus I, menjadi kategori baik (83,3) pada siklus II, dan pada siklus III menjadi berkategori sangat baik (86,6). Demikian pula dengan kualitas kemampuan menulis deskripsi (KMD) siswa, menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari rata-rata 73,3 (baik, belum lulus) siklus I menjadi 83,3 (baik, lulus) siklus II dan menjadi 90 (sangat baik, lulus) siklus III. Semua siswa terteliti mengalami peningkatan kualitas tulisan deskripsinya. VI SARAN-SARAN Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan dan disimpulkan di atas dapat diajukan saran-saran sebagai berikut. (1) Kepada kepala sekolah dasar disarankan agar memberikan peluang kepada guru untuk menerapkan pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi hasil pengamatan lingkungan. Dengan upaya seperti ini, pembelajaran menulis deskripsi dapat ditingkatkan kualitasnya dan diharapkan berdampak positif bagi peningkatan kemampuan siswa dalam menulis deskripsi maupun menulis secara umum. (2) Kepada para guru sekolah dasar disarankan agar hasil penelitian ini, berupa strategi mengembangkan kemampuan siswa membuat kerangka karangan, menyusun draf karangan, menulis karangan utuh, melakukan penyuntingan, dan melakukan publikasi karangan, dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran menulis di Sekolah Dasar Negeri 2 Bengkel Lombok Barat khususnya, dan dapat disebarluaskan hasilnya ke sekolah lain. (3) Kepada para guru disarankan agar dapat merancang model pembelajaran dengan menggunakan gambar atau lingkungan yang dapat diamati, dicermati, dan dicontoh siswa sehingga dapat memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran, terutama dalam
18 pembelajaran menulis deskripsi. Adapun strategi pembelajarannya dapat dicermati pada uraian skenario pembelajaran di RPP. (4) Kepada para peneliti berikutnya kiranya dapat merancang penelitian baru yang berkaitan dengan penerapan strategi hasil pengamatan lingkungan dalam pembelajaran menulis deskripsi di sekolah dasar. Dengan demikian diharapkan siswa sekolah dasar lebih terampil dalam menulis deskripsi.
19 DAFTAR RUJUKAN Akhadiah M. K. Sabarti; Arsjad, Maidar G; Ridwan, Sakura H; Z.F, Zulfahnur; dan US, Mukti. 1992/1993. Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Cox, Carole. 1999. Teaching Languge Arts: A Student-And Response-Centered Classroom. Boston: Allyn And Bacon Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan. Pusat Kurikulum Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang Depdiknas Dimyati dan Mudjiono, 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Ellis, Arthur; Standal, Timothy; Pennau, Joan; dan Rummel, Mary Kay. 1989. Elementary Language Arts Instruction. Englewood Cliffs: Prentice Hall Endre, Fachruddin A. 1988. Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Farris, Pamela J. 1993. Language Arts: A Process Approach. Madison, Wisconsin: Brown & Benchamark Keraf, Gorys. 1997. Komposisi (Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa). Jakarta: Nusa Indah. Husen, Ahlan. 1992. Meningkatkan Kemampuan Menulis Sebagai Upaya Pemantapan Sekolah Dasar. Bandug: Mimbar Pendidikan No.1 Th.XI, April H.45 Universitas Prees IKIP Bandung Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching And Learning. Thousand Oaks: Corwin Press Kamsah. 2004. Meningkatkan Kemampuan Menulis Paragraf Siswa Kelas 2 SMP Negeri 6 Malang dengan Strategi Meniru Model (SMM) Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang Latief, M.A. 2002. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Bahasa Inggris. Makalah. Malang: Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang Machmoed, Zaini. 1983. Beberapa Aspek Pengajaran Menulis: Sebuah Catatan tentang Pemilihan Tugas Latihan Menulis bagi Siswa Sekolah Dasar. Yogyakarta: Makalah Seminar Bahan Pengajaran Bahasa, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Marahimin, Ismail. 2001. Menulis Secara Populer. Jakarta : Pustaka Jaya Miles, Matthew B dan Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nurgiyantoro, B. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
20 Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning (CTL). Malang: Universitas Negeri Malang Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press Rofi'uddin, Ahmad. 1998. Rancangan Penelitian Tindakan. Makalah disajikan pada Lokakarya Tingkat Lanjut Penelitian Kualitatif Angkatan VII tahun 1998/1999. Depdikbud. Malang: Lembaga Penelitian IKIP Malang Rofi'uddin Ahmad. 2002. Metode Penelitian kualitatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabet Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Perdana Media Grup Suharji. 2003. Peningkatan Kemampuan Menulis Paragraf dengan Media Gambar bagi Siswa Kelas II SLTP Negeri 9 Probolinggo. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang Suparno. 2000. Budaya Komunikasi yang Terungkap dalam Wacana Bahasa Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang pada tanggal 20 November 2000 Suparno. 2001. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Kontekstual. Makalah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Suparno dan Yunus, M. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Tcrbuka Suyanto, Kasihani K.E. 2002. Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Refleksi Pengajaran. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Suyono, 2004. Peniningkatan Kemampuan Menulis Paragraf dengan Strategi Modeling. Tesis Tidak diterbitkan. Malang. PPS Universitas Negeri Malang Syafi'ie, Imam. 2001. Language Arts (Kemahiran Berbahasa). Makalah Disampaikan pada Program Prapascasarjana Juli 2001. Malang: Universitas Negeri Malang Tompkins, Gail E. 1993. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan Pubishing. Wahab, Abdul dan Lestari, Lies Amin. 1999. Menulis Karya Ilmiah Surabaya: Airlangga University Press Winkel, W. S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Grasindo Zuchdi, Darmiyati dan Budiasih. 1997. Pendidikan Bahasa Indonesia Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud
Meningkatkan Keterampilan Menulis Deskripsi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang melalui Strategi Roulette Writing. Oleh: Erna Febru Aries S. Abstrak: Penelitian dengan judul “Meningkatkan Keterampilan Menulis Deskripsi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang melalui Strategi Roulette Writing telah dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan April 2008. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran keterampilan menulis deskripsi siswa kelas IV SD Islam Sabilillah Malang melalui strategi Roulette Writing. Subyek penelitian adalah seluruh siswa kelas 4 SD Islam Sabilillah Malang. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah Strategi Roulette Writing. Hasil penelitian pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi Roulette Writing menunjukkan peningkatan pada hasil belajar menyusun karangan deskripsi. Aspek yang mengalami peningkatan adalah (1) peningkatan dalam menuangkan ide secara tertulis, (2) peningkatan dalam mengorganisasi ide tertulis, (3) peningkatan dalam memilih dan menggunakan kosakata, serta (4) peningkatan pada penerapan unsur mekanik, seperti penggunaan ejaan dan tanda baca. Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada guru Sekolah Dasar agar dapat memanfaatkan teori keterampilan menulis dengan strategi Roulette Writing dengan cara mengimplementasikan dalam pembelajaran pada mata pelajaran bahasa khususnya untuk meningkatkan keterampilan menulis deskripsi. Memberikan pemahaman kepada para guru bahwa pembelajaran menulis tidak selalu dilakukan siswa dengan memberikan tugas secara individu. Siswa dapat menghasilkan tulisan dengan lebih maksimal jika kegiatan menulis dilakukan dengan berkerjasama. Kata kunci: keterampilan, menulis deskripsi, strategi roulette writing. Keterampilan berbahasa yang paling kompleks untuk dipelajari dan diajarkan adalah menulis (Farris, 1993). Dalam menulis seorang penulis dituntut mampu menerapkan sejumlah keterampilan sekaligus. Sebelum menulis, penulis perlu membuat perencanaan, misalnya menyeleksi topik, menata dan mengorganisasikan gagasan, serta mempertimbangkan bentuk tulisan sesuai dengan calon pembacanya. Pada saat menuangkan ide, penulis perlu menyajikannya secara teratur. Begitu juga penggunaan tata bahasa seperti bentukan kata, diksi dan kalimat perlu disusun secara efektif. Penerapan ejaan
dan tanda baca perlu dilakukan secara tepat dan fungsional (Suwignyo, 1997). Sejumlah keterampilan tersebut menjadi bukti betapa sulit dan kompleksnya keterampilan menulis. Oleh karena itu, pembelajaran menulis harus diajarkan dengan porsi yang cukup dan dengan proses pembelajaran yang optimal. Keterampilan menulis diajarkan agar siswa mempunyai kemampuan dalam menuangkan ide, gagasan, pikiran, pengalaman, dan pendapatnya dengan benar. Sebagai sebuah keterampilan, menulis memiliki sifat seperti keterampilan berbahasa yang lain. Oleh karena itu, menulis perlu dilatihkan dengan optimal. Latihan menulis memberikan peluang agar tulisan siswa berkualitas lebih baik. Latihan dalam menulis sebaiknya berlangsung dalam konteks aktual dan fungsional agar tugas menulis dapat memberikan manfaat secara nyata dalam kehidupan. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Menulis adalah suatu proses penuangan ide dalam bentuk simbol-simbol bahasa (Nurhadi,1995). Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis, penulis harus terampil memilih dan memanfaatkan berbagai kosa kata. Keterampilan menulis tidak bisa dikuasai secara otomatis, melainkan harus melalui latihan serta praktik berulang (Tarigan, 1986). Sebagai sebuah proses penuangan ide diharapkan siswa selalu berlatih berulang-ulang. Melalui praktik yang berulang diharapkan kualitas hasil tulisan siswa menjadi lebih baik. Di sekolah dasar keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan yang ditekankan pembinaannya, disamping keterampilan membaca dan berhitung. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) ditegaskan bahwa siswa sekolah dasar perlu belajar bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Keterampilan menulis di sekolah dasar dibedakan atas keterampilan menulis permulaan dan keterampilan menulis lanjut. Keterampilan menulis permulaan ditekankan pada kegiatan menulis dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi, menyalin, dikte,
melengkapi cerita, dan menyalin puisi sedangkan keterampilan menulis lanjut diarahkan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk percakapan, petunjuk, pengumuman, pantun anak, surat, undangan, ringkasan, laporan, puisi bebas, dan karangan (Depdiknas, 2006). Dalam pembelajaran menulis, bentuk karangan yang dapat disajikan dan dilatihkan adalah bentuk wacana narasi, eksposisi, argumentasi, dan deskripsi. Salah satu bentuk karangan yang dipilih untuk dilatihkan dan diteliti adalah karangan deskripsi. Karangan deskripsi merupakan satu bentuk tulisan yang relatif mudah dilatihkan untuk siswa sekolah dasar. Kata deskripsi berasal dari bahasa latin describere yang berarti melukis atau menggambarkan sesuatu. Karangan deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium dan merasakan) yang dilukiskan itu sesuai dengan citra penulis (Suparno dan Yunus, 2002:4-5). Agar siswa sekolah dasar memiliki kemampuan menulis deskripsi sesuai dengan yang diharapkan, sudah selayaknya jika pengajaran menulis itu mendapat perhatian yang serius. Di samping itu, sekolah dasar merupakan cikal bakal untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan berbahasa. Keterampilan menulis di sekolah dasar yang baik akan berdampak positif terhadap keterampilan dan budaya menulis pada jenjang berikutnya. Berdasarkan pengamatan peneliti pada studi pendahuluan, ditemukan bahwa ketika siswa diberikan tugas menulis deskripsi secara individu, siswa cenderung mengalami kesulitan dalam menulis. Kesulitan yang dialami siswa tersebut menjadikan tulisan yang diproduksi belum maksimal. Berdasarkan kesulitan yang dialami siswa dalam menyusun karangan deskripsi dapat diidentifikasi beberapa kelemahan, yaitu (1) siswa mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide secara tertulis, (2) siswa mengalami kesulitan dalam mengorganisasi ide, (3) siswa belum mampu memilih kosa kata yang spesifik dalam mempertajam tulisan deskripsinya, dan (4) siswa kurang termotivasi saat pembelajaran berlangsung, dan (5) siswa cenderung tidak bersemangat karena tugas menulis diberikan secara individu.
Sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis deskripsi, maka peneliti menggunakan strategi Roulette Writing. Strategi Roulette Writing lebih mengutamakan aktivitas pembelajaran menulis secara kolaborasi atau kerjasama sehingga semua siswa mendapat bagian dalam menuangkan ide secara tertulis (Farris, 1993). Penelitian ini merupakan pelengkap dari penelitian yang sudah ada. Penelitian ini mengangkat permasalahan pembelajaran menulis deskripsi dengan mengembangkan strategi yang berbeda. Pada penelitian ini mengimplementasikan strategi Roulette Writing. Strategi Roulette Writing merupakan suatu cara untuk mengembangkan keterampilan menulis dengan mengutamakan kerja kolaborasi (Farris, 1993). Kelebihan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada pemberian kebebasan pada siswa untuk berkreativitas dalam kelompok. Siswa belajar dalam kelompok kecil dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat (sharing ideas). Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerja sama dan saling tolongmenolong dalam menghadapi tugas yang diberikan. Thompson (1995) mengemukakan, bahwa cooperative learning turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran. Di dalam cooperative learning siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4-6 orang dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, budaya, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Lie (2000) menyebut cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstuktur. Lebih jauh dikatakan, cooperative learning hanya berjalan kalau sudah
terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa belajar secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Lebih lanjut Djajadisastra (1982) mengemukakan bahwa metode belajar kelompok atau lazim disebut dengan metode gotong royong, merupakan suatu metode mengajar di mana siswa dalam kelompok pada waktu menerima pelajaran atau mengerjakan soal dan tugas-tugas. Roulette Writing merupakan perwujudan Cooperative learning sehingga dapat dikatakan Roulette Writing adalah suatu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada siswa (studend oriented) terutama untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi siswa agar siswa menjadi aktif dan nyaman selama proses pembelajaran berlangsung. Hal senada diungkapkan Nasution (1989) belajar kelompok itu lebih efektif apabila setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompok. Anak turut berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang konstruktif pada prilaku seseorang dan setiap anggota aman dan puas di dalam kelas. Pembelajaran dengan menggunakan pola belajar kelompok dapat membantu siswa untuk lebih aktif dalam mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulis. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas. Sebagai penelitian tindakan kelas, masalah yang dipecahkan dalam penelitian ini berasal dari praktik pembelajaran di kelas, yaitu berdasarkan pengamatan selama mengajar di kelas empat. Dari pengamatan tersebut, ditemukan bahwa ketika siswa diberikan tugas menulis secara individu, ternyata tulisan yang diproduksi belum menampakkan hasil yang maksimal. Kenyataan tersebut mengilhami peneliti untuk mengembangkan strategi Roulette Writing. Penelitian ini merupakan penellitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang berusaha menjelaskan suatu fenomena secara obyektif. Penjelasan fenomena secara obyektif dilakukan dengan cara memaparkan data empiris yang ditemukan selama penelitian dilakukan. Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada data alamiah yang berupa kata-kata dalam mendeskripsikan
objek yang diteliti melalui kegiatan pengumpulan data dari latar yang alami (Rofi’uddin, 2005:1). Pelaksanaan penelitian ini di SD Islam Sabilillah Malang. Pemilihan penelitian di SD terteliti didasarkan pada kriteria: (1) peneliti adalah guru di sekolah tersebut sehingga secara moral bertanggung jawab untuk berusaha meningkatkan kinerja pembelajaran yang dilakukan, (2) sekolah menerapkan sistem guru kelas untuk kelas bawah dan sistem guru bidang studi di kelas tinggi sehingga setiap guru dapat memperdalam disiplin ilmu yang dikuasi sesuai dengan kelas yang dibimbingnya, (3) sekolah senantiasa mendukung upaya yang dilakukan guru dalam meningkatkan pembelajaran, (3) orang tua siswa mendukung penuh semua sistem yang berlaku di SD terteliti, (4) seluruh guru berkulifikasi pendidikan minimal sarjana sehingga iklim kerja dan SDM mendukung setiap penelitian yang dilakukan. Rancangan tindakan pembelajaran dalam penelitian ini disusun setelah studi pendahuluan dilakukan dan sebelum tindakan pertama dilaksanakan. Tindakan yang disusun berupa perbaikan pembelajaran menulis deskripsi. Bentuk rancangan tindakan dalam penelitian ini adalah (1) menentukan strategi Roulette Writing yang akan digunakan dalam menulis deskripsi, (2) menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan strategi Roulette Writing, dan (3) menyusun alat evaluasi proses dan hasil pembelajaran. Jenis data pada penelitian ini berasal dari hasil pemberian tindakan yang berupa data proses dan data hasil. Data proses berupa data verbal serta tingkah laku subjek terteliti yang meliputi (1) respon siswa, (2) motivasi, (3) kerja sama, dan (4) kepercayaan diri siswa saat pembelajaran dilakukan. Data hasil berupa karangan siswa yang dievaluasi berdasarkan rubrik penilaian dengan aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian adalah (1) penuangan ide, (2) pengorganisasi ide, (3) pemilihan dan penggunaan kosa kata, serta (4) penerapan unsur-unsur mekanik. Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatoris (Spradley, 1980). Observasi bertujuan mengamati aktivitas pembelajaran
yang dilakukan dengan cara pengamat terlibat langsung dalam aktivitas pembelajaran di kelas. Instrumen penelitian yang digunakan untuk merekam seluruh data penelitian adalah, (1) catatan dokumen, berupa lembar kerja untuk mengetahui prestasi akademik atau nilai yang diperoleh setiap siswa setelah pemberian tindakan. Penilaian dilakukan dengan berpedoman pada rubrik penilaian karangan deskripsi, (2) lembar pengamatan/catatan lapangan, untuk mendeskripsikan kesulitan dan kemajuan yang dialami siswa selama pembelajaran menulis berlangsung, serta (3) lembar respon siswa yang berisi pertanyaan yang memunculkan tanggapan siswa pada pembelajaran yang telah dilakukan,siswa diberi kesempatan untuk memberikan komentar secara tertulis pada lembar respon siswa. Rumusan rencana tindakan mencakup hal-hal berikut, (1) menyusun rencana pembelajaran, yang meliputi aspek-aspek: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator hasil belajar, pengalaman belajar, menentukan media yang sesuai, memilih sumber belajar yang tepat, skenario pembelajaran dengan strategi Roulette Writing, melakukan evaluasi proses, dan melakukan evalusi hasil pembelajaran, (2) menyusun kriteria pengukur keberhasilan, serta (3) menyusun instrumen pengumpul data yang meliputi: lembar kegiatan siswa, rubrik penilaian karangan deskripsi, catatan lapangan, format penilaian, dan lembar respon siswa. Pada kegiatan pratulis fokus kegiatannya meliputi hal-hal berikut, (1) membangkitkan semangat dan motivasi siswa, (2) menyampaikan tujuan pembelajaran, (3) melakukan tanya jawab dengan siswa tentang makna tulisan deskripsi kemudian menjelaskan langkah-langkah menulis desripsi, (4) memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dan menentukan tema yang akan dikembangkan menjadi judul (tema yang disepakati setelah diskusi kelas adalah lingkungan sekolah), (5) mengarahkan siswa untuk melakukan pengamatan lingkungan, (6) membimbing siswa untuk membentuk kelompok belajar, (7) membimbing siswa dalam diskusi untuk menentukan lokasi pengamatan yang akan dipilih masing-masing kelompok, (8) memberikan lembar
pengamatan, (9) membimbing siswa melakukan pengamatan di lingkungan sekolah, dan (10) siswa melaporkan hasil pengamatan. Pada tahap menulis, kegiatan pembelajarannya meliputi, (1) membimbing siswa dalam menentukan beberapa judul karangan (judul disesuaikan dengan lokasi pengamatan masing-masing), (2) membimbing siswa dalam menentukan beberapa judul karangan secara individu, (3) menugaskan siswa untuk menyusun kerangka karangan, (dengan strategi Roulette Writing), (4) menugaskan siswa untuk mengembangkan kerangka karangan (dengan strategi Roulette Writing). Pada pascatulis kegiatan pembelajarannya meliputi: (1) menugaskan siswa untuk membaca hasil karangan deskripsinya (dengan strategi Roulette Writing), (2) menugaskan siswa untuk memberikan tanggapan dan saran secara lisan pada karya teman, (3) menugaskan siswa untuk memberikan masukan dan saran secara tertulis pada karya teman (dengan strategi Roulette Writing), (4) menugaskan siswa untuk melakukan perbaikan atau penyuntingan secara kelompok (dengan strategi Roulette Writing), (5) menugaskan siswa untuk mengetik di laboratorium komputer serta mengedit hasil penggunaan unsurunsur mekaniknya, dan (6) menugaskan siswa untuk mempublikasikan tulisan di majalah dinding. Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti sebagai guru sekaligus sebagai peneliti karena guru yang melakukan penelitian di kelasnya telah memahami karakter setiap siswanya. Seperti yang dikatakan Louis dan Manion (1994:189) bahwa penelitian tindakan kelas dapat dilaksanakan dalam tiga kemungkinan, yaitu (1) guru tunggal yang mengajar di kelasnya sendiri, (2) kelompok guru dengan guru yang lain, (3) kerja sama antara guru dengan peneliti. Dari segi pemahaman, peneliti yang sekaligus sebagai guru merupakan subjek yang tahu persis tentang data dan cara menyikapinya. Guru yang mengajar di kelasnya sendiri yang tahu persis karakter siswa dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai guru dapat dikatakan guru sebagai instumen kunci. Sebagai
instrumen kunci peneliti mempunyai kemampuan untuk menyeleksi, menilai, menyimpulkan, dan memutuskan data (Lincoln dan Guba,1985). Pada tahap pelaksanaan ini merupakan implementasi strategi Roulette Writing dalam pembelajaran menulis deskripsi. Pelaksanaan tindakan berpedoman pada rencana pembelajaran yang telah disusun dengan menerapkan strategi Roulette Writing sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam perencanaan. Tindakan tersebut meliputi, kegiatan pembelajaran perencanaan menulis deskripsi, pelaksanaan menulis deskripsi, perbaikan menulis deskripsi, melakukan evaluasi proses dan evaluasi hasil. Setelah pelaksanaan pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi Roulette Writing, secara umum penelitian ini dapat disimpulkan bahwa strategi Roulette Writing dapat meningkatkan keterampilan menulis deskripsi siswa kelas IV Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang. Secara rinci peningkatan tersebut meliputi aspek berikut (1) penuangan ide, (2) pengorganisasian ide, (3) pemilihan dan penggunaan kosakata, serta (4) penerapan unsur-unsur mekanik. Pada aspek penuangan ide, siswa sangat menguasai karakter objek karena sebelum pelaksanaan kegiatan menulis, siswa melakukan pengamatan lingkungan dan membaca biografi tokoh idola. Pengembangan ide tuntas dan menyeluruh sesuai dengan objek (tempat dan orang) yang didiskripsikan. Pengorganisasian ide, siswa dapat menulis deskripsi dengan susunan kalimat sangat runtut, pokok-pokok pikiran terdeskripsikan dengan sangat jelas, dan hubungan antar bagian sangat logis. Kemampuan dalam mengoragnisasi ide ini semakin meningkat karena pengalaman siswa ketika membaca karangan milik teman. Pengalaman tersebut membantu siswa mengorganisasi ide dengan baik. Pemilihan dan penggunaan kosakata, dari hasil membaca karangan siswa lain menjadikan perbendaharaan kosakata lebih banyak, pemilihan, dan penggunaan kosakata sangat tepat serta sangat sesuai dengan karakteristik karangan deskripsi. Penerapan unsur-unsur mekanik, pembiasaan untuk saling memberi masukan dan memperbaiki tulisan teman membuat siswa paham dan sangat
menguasai aturan penulisan serta pemakaian tanda baca. Penempatan tanda baca sesuai pada kalimat yang disusun setiap siswa. Peningkatan juga terjadi pada proses pembelajaran. Aspek-aspek yang mengalami peningkatan adalah semua aspek yang telah ditetapkan dalam kriteria keberhasilan yang tergambar pada prilaku siswa saat pembelajaran dengan menunjukan sikap, (1) senang, saat pembelajaran berlangsung siswa menunjukan raut wajah yang bergembira dan banyak tersenyum. Hal ini menandakan suasan hati yang senang (2) siswa termotivasi, saat pembelajaran berlangsung siswa bersemangat dan dengan segera merespon setiap instruksi dan tugas dari guru, (3) suasana kelas kondusif, saat pembelajaran berlangsung guru memberikan aba-aba untuk memutar tulisannya, siswa dengan kompak memutar karya dengan menyerukan yel-yel yang telah disepakati (4) kerja sama, siswa mudah diajak bekerjasama dengan teman sekelompok, dan (5) siswa lebih percaya diri dalam memberikan ide saat pembelajaran karena apabila ada kesalahan akan dikoreksi bersama teman sekelompok. Selain peningkatan yang tergambar dari paparan di atas, strategi Roulette Writing dapat diterapkan karena dapat memberikan pengalaman baru pada siswa dalam menyumbang ide. Dengan menyumbangkan ide tertulis kepada siswa lain diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Ketika pembelajaran siswa diberi kebebasan memilih topik berdasarkan kesepakatan kelompok. Hal ini merupakan salah satu aspek yang penting agar siswa dapat menulis dengan lancar berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini dibuktikan mayoritas siswa memilih topik sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman membaca yang pernah mereka lakukan. Dengan strategi Roulette Writing setiap siswa dapat menemukan formulasi gagasan dalam mengorganisasi ide yang berbeda karena setiap siswa berkesempatan memberi ide kepada teman lain. Penerapan strategi Roulette Writing dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan siswa. Strategi Roulette Writing dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran karena dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam menggali gagasan.
Strategi Roulette Writing dimungkinkan meningkatkan kemampuan terhadap daya imajinasi siswa sehingga membuat kemampuan siswa dalam menulis menjadi lebih meningkat. Strategi Roulette Writing mampu mengembangkan rasa sosial pada siswa karena dengan penerapan strategi Roulette Writing siswa lebih sering berkolaborasi dengan teman untuk berbagi gagasan. Strategi Roulette Writing memudahkan siswa dalam pembelajaran menulis. Strategi Roulette Writing memberikan manfaat pada siswa sehingga lebih terampil dalam menulis dan dengan strategi Roulette Writing setiap siswa dapat menghargai pendapat orang lain karena mereka berkesempatan menerima dan memberi ide. Pemberian kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki karangan dengan strategi Roulette Writing dapat menumbuhkan sikap kritis dan toleransi. Sikap kritis dan toleransi ini terlihat dari bentuk kerja sama yang dilakukan siswa. Siswa dengan teliti, percaya diri, berani, dan bertanggung jawab saat memberikan ide pada teman. Siswa dengan lapang dada mau menerima masukan dari teman jika dirasa masukan tersebut relevan dengan tulisan yang diproduksi. Kegiatan publikasi dengan memajangkan hasil karya tulis di majalah dinding memberikan kesempatan pada siswa untuk mengkomunikasikan ide dengan terbuka kepada siswa lain di luar kelompok. Dari kegiatan ini siswa dapat saling bertukar pikiran, betukar pengalaman, berdialog dengan teman dalam suasana kondusif. Siswa dapat saling memberikan masukan dan memberikan pujian terhadap karya yang dipublikasikan. Dengan demikian kegiatan ini dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam beraktivitas sosial dan saling berbagi. Dampak pengiring setelah pelaksanaan pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi Roulette Writing, siswa cenderung senang melakukan aktivitas berkelompok. Siswa menerapkan strategi Roulette Writing di luar pembelajaran, misalnya saat istirahat siswa meminta teman untuk memberikan masukan pada teman untuk mengevaluasi cerpen atau puisi yang sedang mereka produksi. Hal ini berarti siswa mampu mengaplikasikan strategi Roulette Writing dalam kegiatan yang berbeda.
Pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan revisi terhadap karangan teman dapat menumbuhkan sikap positif. Sikap positif tersebut, misalnya siswa dapat bekerja sama dengan siapa saja dan kapan saja, siswa lebih terbuka dalam menerima pendapat, kepercayaan diri semakin meningkat, berani mengemukakan pendapat, dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan. Sikap positif yang demikian merupakan sikap yang diharapkan dimiliki siswa setelah pembelajaran dengan strategi Roulette Writing dilakukan. Kegiatan penilaian pembelajaran menulis deskripsi dengan strategi Roulette Writing dilakukan melalui penilaian proses dan penilaian hasil pembelajaran. Penilaian hasil dilakukan dengan cara membaca seluruh karangan siswa yang telah direvisi kemudian memberikan penilaian dengan panduan rubrik karangan deskripsi. Aspek yang menjadi fokus penilaian hasil karangan adalah (1) peningkatan dalam menuangkan ide secara tertulis, (2) peningkatan dalam mengorganisasi ide tertulis, (3) peningkatan dalam memilih dan menggunakan kosakata, serta (4) peningkatan pada penerapan unsur mekanik, seperti penggunaan ejaan dan tanda baca. Penilaian hasil pembelajaran mengalami peningkatan sebesar 11% pada Siklus 1, dan 18% pada Siklus 2. Penilaian proses dilakukan dengan cara mengamati aktivitas siswa ketika pembelajaran menulis deskripsi. Aspek yang menjadi fokus penilaian meliputi: (1) respon siswa pada pembelajaran, (2) motivasi siswa saat pembelajaran dilakukan, (3) keaktifan saat pembelajaran dilakukan, (4) kejasama antar anggota kelompok saat mengerjakan tugas yang diberikan, dan (5) rasa percaya diri ketika siswa saling mengemukakan gagasan. Penilaian proses pembelajaran mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu 35% pada Siklus 1, dan 46% pada Siklus 2. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian untuk meningkatnya keterampilan menulis deskripsi siswa kelas IV SD Islam Sabilillah Malang melalui strategi Roulette Writing telah tercapai dengan hasil yang sangat baik.
DAFTAR RUJUKAN Achmadi, M. 1990. Materi Dasar Pengajaran Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, P2LPTK. Ahmad, F. 2006. Peningkatan Kemampuan Menuangkan Gagasan dalam Menulis Deskripsi dengan Strategi Menulis Terbimbing Siswa Kelas V SDN Sumbersari II Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Akhadiah, S. 1986. Evaluasi dalam pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud. Dikti. Akhadiah, S. dkk. 1993. Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Aminuddin. 1997. Isi dan Strategi Bahasa dan Sasta: Pendekatan Terpadu dan Pendekatan Proses. Malang: FPBS IKIP Malang. Ambari, A. dan Arifin, Z. 1999. Petunjuk Guru: Penuntun Terampil Berbahasa Indonesia. Bandung: Triaga Karya. Armstrong. T. 2002. Setiap Anak Cerdas : Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intelligence-nya. Jakarta: Gramedia. Baskoff, F. 1975. A Writing Laboratory for Beginning Students of English. The Art of Tesol English Teaching Forum Part Two. Wasington DC: Vol XII, Number 3&4: 227-232. Bogdan, R. C. And Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Burns, P.C., Roe, B. D., Ross, E. P. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary Schools. Boston: Houghton Mifflin. Cleary, L. M. dan Linn, M. D. 1993. Linguistics for Teachers. New York: McGrawHill, Inc. Cox, C. 1999. Teaching Language Arts A Student and Response Centered Classroom. Boston: California State University, Long Beach Djajadisastro, J. 1982. Metode-metode Mengajar 2. Bandung: Angkasa. Djiwandono, M. S. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung:ITB Press. Djamarah, S. B. dan Zain, A. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Reneka Cipta. Depdiknas. 2006. Lampiran 1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Badan Nasional Standar Pendidikan.
Dubin, F. dan Elite, O. 1986. Course Design: Developing Program and Masterial for Language Learning. Cambridge: University Press Ellis, A. 1987. Elementary Language Arts Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Farris, P. J. 1993. Language Arts: A Process Approach. Madison: Brown & Bencmark Publishers. Gardner. H. 1993. Multiple Intelligences : The Theoy in Practice. New York : Basic Books. Graves, D. H. (1983). Writing: Teachers and Children at Work. Exeter, NH: Heinemann Educational Books. Hurlock, E. B. 1992. Developmental Psychology: A Life Span Approach. New York: McGraw-Hill. Hasanah. M. 2003. Penilaian Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Makalah disajikan pada Pemagangan Dosen PGSD Universitas Negeri Bengkulu di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, November 2003. FS-UM. Jubaidah, S. 2004. Peningkatan Pembelajaran Menulis Deskripsi dengan Strategi Belajar Kelompok. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Kemmis, S. Dan McTaggart, R. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University. Keraf, G. 1989. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende-Flores: Nusa Indah. Keraf, G. 1991. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Latief. M. A. 2003. Assesing Progress in Language Learning. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengembangan Model asesmen Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi 13-15 Agustus 2003. FS-UM. Latief, M. A. 2003. Jurnal Pendidikan. Penelitian Tindakan Kelas Pembelajaran Bahasa Inggris. Malang: Universitas Negeri Malang. Lincoln dan Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage. Lie. A. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo. Louis, C. dan Lawrence, M.1994. Research Methods in Education (4 th edition) London: Routledge. Mahsun. 1998. Etnis Sasak dalam Cerminan Bahasa: Sebuah Renungan Intropeksi. Makalah disajikan dalam Seminar Bahasa. 29 November 1998. FKIP- Unram.
Mason, M. J. 1989. Reading and Writing Connections. Boston: Allyn and Bacon. McNiff, Jean. 1992. Action Research: Principles and Practice . London: Macmillan Education Ltd. Miles, M. B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya. Murray, D. H. 1985. A Writer Teachers Writing. Second Edition. Boston: Hougton Miffin. Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan: Landasan Menyusun Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. Nurgiyantoro, B. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE. Papas, C. K. 1993. Integrated Language Approach in the Elementary School. New York: Longman Publishers. Pamela, J. P. 1993. Language Arts a Process Approach in the Elementary School. New York: Longman Publishers. Piaget, Jean. 1951. The Child’s Conception of The World. London : Routledge & Kegan Paul Ltd. Rubin, D. 1995. Teaching Elementary Language Arts: An Integrated Approach. Boston: Allyn and Bacon. Roekhan. 1997. Seputar Pengajaran Bahasa Indonesia. Malang: Bagian Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas Proyek IKIP Malang. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rofi’uddin. A. 1996. Penilaian Pengajaran Bahasa Indonesia di SD. Makalah disajikan dalam Seminar Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD, 13 Januari 1996. PPS-UM. Rofi’uddin, A. 1998. Rancangan Penelitian Tindakan. Materi Lokakarya Tingkat Lanjut: Penelitian Kualitatif Angkatan VII Tahun 1998/1999. Tanggal 28 September s.d 18 November 1999. Malang: UM. Samsuri. 1983. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Semi, A. 1990. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya. Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning. Second Edition. USA: Allyn and Bacon.
Stahl, R.J. 1994. Cooperative Learning in Social Studies: A Handbook for Teacher. United States of America: Addison Wesley Publishing Company, Inc Sudjana, N. dan Rivai, A. 1997. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Sujanto, J. Ch. 1988. Keterampilan Berbahasa Membaca-Menulis untuk Matakuliah Dasar Umum. Jakarta: Depdikbud. Suwignyo, H. 1997. Pembelajaran Proses Menulis untuk Pembentukan Keruntutan Karangan Murid Kelas V SD. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Suparno & Yunus. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Syafi’ie, I. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud. Syafi’ie, I. 1993. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta : Depdikbud. Tarigan, H. G. 1997. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Temple, C. 1988. The Beginnings of Writing. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc. Tompkins, G. E. dan Hoskinson, K. 1991. Language Arts Contents and Teaching Strategies. New York: MacMillan Publishing Company. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing. Balancing Process and Product. New York: MacMillan Publishing Company. Walija. 1996. Komposisi: Mengelola Gagasan Menjadi Karangan. Panebar Aksara: Jakarta.
1
Implementasi Pendekatan Proses Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Narasi Siswa Kelas V SD 1 Inpres Tanah Tinggi Ternate Kodrat Hi. Karim Abstract: This study is based on the problems that the writer found out when conducting the preliminary study in the reseached school. From that preliminary study, it is found out that the problems faced by in writing lesson is the difficulty students face in expressing the idea and in organising as well. Beside that, by means of interview by a teacher of the fifth grade school especially those relating with the narative writing skill , it is then revealed that in the writing skill lesson, the teacher tend to focus on a writing based on the result instead of the process. By saying this, it means that the process aprpproach has never been applied in this writing lesson. That is why, the writer proposes the problem solving alternative by implementing the process approach in narrrative writing lesson. Kata kunci: pendekatan proses, keterampilan menulis narasi. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan dan menggunakan kemampuan analitis serta imajinatif yang ada dalam dirinya, Depdiknas (2006:1). Lebih lanjut ditegaskan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan Indonesia. Aktualisasi pembelajaran keterampilan berbahasa dapat terlihat pada keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Diantara empat keterampilan berbahasa tersebut, keterampilan menulis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruh proses belajar yang dialami siswa
2
selama menuntut ilmu di sekolah. Sebagaimana dikemukakan Hardjono (1988:86), bahwa dalam pembelajaran di kelas, di antara empat keterampilan berbahasa khususnya keterampilan menulis diharapkan secara kongkrit dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa tulis. Kemampuan yang dimaksudkan adalah kemampuan reproduktif, reseptif-produktif, dan produktif. Permasalahan yang sering terjadi dalam pembelajaran menulis selama ini adalah kurangnya motivasi guru dan siswa sehingga ketiga kemampuan di atas tidak berkembang pada diri siswa. Disamping itu kesulitan lain yang biasanya ditemukan dalam kegiatan pembelajaran adalah kurangnya variasi metode dan pilihan materi. Oleh karena itu, guru bahasa Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melakukan perbaikan dalam menyajikan pembelajaran di kelas. Uraian tersebut senada dengan Akhadiah, dkk. (1996:ii) bahwa masalah yang sering dilontarkan dalam pengajaran menulis adalah kurang mampunya siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini terlihat dari pilihan kata yang kurang tepat, kalimat yang kurang efektif, sukar mengungkapkan gagasan karena kesulitan memilih kata atau membuat kalimat, bahkan kurang mampu mengembangkan ide secara teratur dan sistematis. Disamping itu kesalahan ejaan pun sering kita jumpai. Kurang memadainya kemampuan menulis siswa ini disebabkan kurangnya pembinaan. Pengajaran tentang peningkatan kemampuan berbahasa sering ditekankan pada pengetahuan kebahasaan, bukan sebaliknya siswa diarahkan agar belajar dan mampu menerapkan pengetahuan tersebut. Slamet (2007:140) mengemukakan meskipun telah disadari bahwa penguasaan bahasa tulis mutlak diperlukan dalam kehidupan modern, kenyataannya dalam pengajaran bahasa keterampilan menulis kurang mendapatkan perhatian. Pelajaran mengarang sebagai salah I aspek dalam pengajaran bahasa Indonesia kurang ditangani secara sungguh-sungguh. Akibatnya, siswa kurang memiliki keterampilan dalam bidang menulis. Syafi’ie (1993 dalam Slamet 2007), mengemukakan bahwa dewasa ini kegiatan menulis dipandang sebagai kegiatan berbahasa yang paling sulit dibandingkan dengan kegiatan berbahasa
3
lainnya. Oleh karena itu perlu dicarikan pendekatan, metode, atau teknik yang dapat mempermudah kegiatan menulis. Hasil studi pendahuluan di SD Inpres 1 Tanah Tinggi Ternate terkait dengan kegiatan pembelajaran menulis di kelas, ditemukan permasalahan sebagai berikut (1) implementasi pembelajaran menulis pada umumnya masih berorientasi pada produk atau hasil, bukan pada proses, (2) kegiatan menulis khususnya menulis narasi masih disikapi sebagai kegiatan pembelajaran tambahan, bukan sebagai pembelajaran pokok dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, dan (3) kegiatan pembelajaran menulis narasi belum pernah menggunakan pendekatan proses, yakni pendekatan yang menuntut terciptanya interaksi multi arah: antara siswa-siswa maupun siswa-guru. Justru yang tampak adalah guru lebih cenderung menerapkan menulis sebagai aktivitas pengungkapan gagasan tertulis yang boleh sekali jadi. Dampaknya adalah siswa tidak mampu menuangkan gagasannya (berkesulitan menulis) dan siswa tidak mampu mengorganisasi gagasannya (menata tulisan) secara logis dan sistematis. Beranjak dari permasalahan tersebut, peneliti bersama guru merancang kegiatan pembelajaran menulis dengan mengimplementasikan pendekatan proses. Pendekatan proses sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis karangan khususnya karangan narasi. Bentuk peningkatan yang diharapkan antara lain siswa terampil dalam menggunakan pilihan kata, terampil mengorganisasi gagasan, dan terampil menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
METODE Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK), dengan metode deskriptif kualitatif, yakni penelitian penelitian tindakan yang dilakukan secara berdaur ulang meliputi studi pendahuluan, perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana peningkatan keterampilan menulis narasi siswa kelas V SD Inpres 1 Tanah Tinggi Ternate melalui pendekatan proses yang meliputi: pada tahap pra-menulis, tahap menulis, dan tahap pasca-menulis. Analisis data dilakukan dengan
4
cara deskriptif, yaitu mendeskripsikan hasil temuan dalam bentuk uraian untuk mengetahui ketercapaian siswa setelah diberi tindakan pembelajaran menulis narasi melalui pendekatan proses.
HASIL Implementasi pendekatan proses dalam meningkatkan ketermpilan menulis narasi dilaksanakan melalui tiga tahap pembelajaran, yakni tahap pra-menulis, tahap menulis, dan tahap pasca-menulis. Tindakan pembelajaran yang dilakukan pada tahap pra-menulis difokuskan pada kegiatan (1) guru membangkitkan skemata siswa dengan membacakan contoh karangan narasi, (2) guru mengarahkan siswa untuk mengembangkan tema menjadi subtema, mengembangkan subtema menjadi topik, memilih topik karangan, menyusun kerangka karangan, dan menentukan judul karangan, (3) guru mengarahkan siswa memeriksa kerangka karangan. Kagiatan pembelajaran pada tahap menulis adalah (1) guru melakukan apersepsi tentang kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya dengan yang akan dilakukan pada tahap ini, (2) guru memberikan contoh di papan tulis cara mengembangkan kerangka cerita menjadi karangan, dan (3) guru menugasi siswa mengembangkan kerangka ceritanya/karangan. Tindakan pembelajaran yang dilakukan pada tahap pasca-menulis adalah (1) guru menjelaskan bahwa pembelajaran tahap pasca-menulis adalah membacakan karangan di depan kelas, (2) guru memberikan contoh cara membaca karangan dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat, dan (3) guru memanggil siswa satu demi satu untuk membacakan karangannya, siswa yang lain menyimak dan mengomentari isi maupun bacaan yang dilakukan oleh siswa tersebut. Hasil penelitian pembelajaran menulis narasi yang dicapai pada tahap pramenulis menunjukkan bahwa upaya meningkatkan keterampilan siswa menulis narasi melalui pendekatan proses dengan fokus kegiatan perumusan subtema, pemilihan topik, penulisan judul, dan penyusunan kerangka karangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan yang signifikan pada tahap pramenulis dar siklus I ke siklus II.
5
Pada siklus I hasil capaian siswa rerata 77,5%, sedangkan pada siklus II hasil capaian meningkat menjadi 90, 75%. Adapun hasil penelitian pada tahap menulis menunjukkan bahwa pengembangan kerangka karangan menjadi draf awal karangan hingga kegiatan revisi dan edit draf awal karangan menunjukkan peningkatan dari satu siklus ke siklus berikutnya. Hasil rerata pada siklus I adalah 61.25% untuk tahap menulis draf awal, hasil tersebut meningkat menjadi 68.75 setelah diberi tindakan revisi dan edit. Sedangkan hasil rerata pada siklus II adalah 72.5% untuk tahap menulis draf awal, kemudian meningkat menjadi 88.5% setelah diberi tindakan revisi dan edit. Hasil penelitian tahap pasca-menulis/publikasi karangan menunjukkan bahwa upaya meningkatkan keterampilan siswa menulis narasi melalui pendekatan proses tahap publikasi mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam membacakan karangannya di depan kelas. Dengan melalui pemberian contoh oleh guru, dapat mengurangi kesalahan siswa dalam menggunakan lafal dan intonasi saat melakukan pembacaan karangan. Selain itu, dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa untuk mengemukakan pendapatnya baik berupa pertanyaan maupun komentar terhadap isi karangan teman sekelasnya. Hasil rerata siswa dalam menulis narasi jika dilihat persiklus maka ditemukan pada siklus I rerata nialai siswa 73.25% dengan kualifikasi baik, sedangkan pada siklus II rerata nilai siswa meningkat menjadi 90.5% dengan kalifikasi sangat baik. Untuk melihat secara keseluruhan hasil yang dicapai siswa terteliti, berikut ditampilkan pada tabel di bawah ini.
6
Tabel 1. Hasil Akhir Pembelajaran Menulis Narasi Siklus I Tahapan yang Dinilai Jumlah Skor No
Nama
Pra-menulis
Menulis
Revisi & Edit
1-5
1-5
Tingkat Keberhasilan
1-5
Penyajian Unsur Narasi 1-5
20
0-100%
1
AM
5
4
4
4
17
85%
2
MRN
5
3
4
3
15
75%
3
DA
5
4
4
4
17
85%
4
RK
4
4
4
4
16
80%
5
AS
4
3
4
4
15
75%
6
RH
4
3
4
4
15
75%
7
SU
4
3
4
4
15
75%
8
RQ
4
3
3
3
13
65%
9
SW
5
3
4
4
16
80%
10
DM
4
2
3
3
12
60%
11
MAP
4
4
4
3
15
75%
12
RP
3
3
3
3
12
60%
13
SK
5
4
4
4
17
85%
14
RS
3
3
3
3
12
60%
15
SHT
4
2
3
3
12
60%
16
IT
4
3
4
3
14
70%
17
FT
4
3
3
3
13
65%
18
JMS
4
2
3
3
12
60%
19
IK
4
3
4
4
15
75%
20
MS
4
3
3
3
13
65%
20 Hasil Akhir
286 286/20 = 14.3 x 100/20 = 71.5%
Jika dilihat hasil capaian siswa per-aspek atau per-tahap pada Tabel 1 di atas, maka ditemukan (1) tahap pra-menulis, terdapat 5 orang siswa atau 25% mencapai kualifikasi sangat baik, 13 orang siswa atau 65% mencapai kualifikasi baik, dan 2 orang siswa atau 10% mencapai kualifikasi cukup; (2) tahap menulis terdapat 5 orang siswa atau 25% mencapai kualifikasi baik, 12 orang siswa atau 60% mencapai kualifikasi cukup, 3 orang siswa atau 15% mencapai kualifikasi kurang; (3) tahap revisi dan edit terdapat 12 orang siswa atau 60% mencapai kualifikasi baik, 8 orang
7
siswa atau 40% mencapai kualifikasi cukup; dan (4) aspek penyajian unsur-unsur narasi ditemukan 9 orang siswa atau 45% mencapai kualifikasi baik, 11 orang siswa atau 55% mencapai kualifikasi cukup. Hasil Rerata yang dicapai siswa terteliti adalah 71.5%, yakni berkualifikasi baik. Pada Tabel 2. berikut ini adalah hasil capaian keseluruhan siswa setelah diberi tindakan pembelajaran siklus II. Tabel 2. Hasil Akhir Peningkatan Keterampilan Menulis Narasi Siklus II Tahapan yang Dinilai Jumlah Skor No
Nama
Pra-Menulis
Menulis Revisi & Edit
Keselarasan
Tingkat Keberhasilan
Isi Narasi
1-5
1-5
1-5
1-5
20
0-100%
1
AM
5
4
5
5
19
95%
2
MRN
5
4
5
4
18
90%
3
DA
5
5
5
5
20
100%
4
RK
5
4
5
4
18
90%
5
AS
5
4
5
5
19
95%
6
RH
5
4
5
4
18
90%
7
SU
5
4
5
4
18
90%
8
RQ
5
4
5
4
18
90%
9
SW
5
4
5
4
18
90%
10
DM
5
3
4
4
16
80%
11
MAP
5
4
5
4
18
90%
12
RP
5
3
5
4
17
85%
13
SK
5
4
5
4
18
90%
14
RS
4
4
4
4
16
80%
15
SHT
5
3
5
4
17
85%
16
IT
5
3
4
4
17
85%
17
FT
5
3
5
3
16
80%
18
JMS
5
3
4
4
16
80%
19
IK
5
4
5
4
18
90%
20
MS
4
3
5
4
16
80%
20 Nilai Rerata
351 351/20 = 17.55 x 100/20 = 87.75%
8
Jika dilihat hasil capaian siswa per-aspek atau per-tahap pada Tabel 2. di atas, maka ditemukan (1) tahap pra-menulis, terdapat 18 orang siswa atau 90% mencapai kualifikasi sangat baik, dan 2 orang siswa atau 10% mencapai kualifikasi baik; (2) tahap menulis terdapat 1 orang siswa atau 5% mencapai kualifikasi sangat baik, 12 orang siswa atau 60% mencapai kualifikasi baik, 7 orang siswa atau 35% mencapai kualifikasi cukup; (3) tahap revisi dan edit terdapat 4 orang siswa atau 20% mencapai kualifikasi sangat baik, 16 orang siswa atau 80% mencapai kualifikasi baik; dan (4) aspek penyajian unsur-unsur narasi ditemukan 3 orang siswa atau 15% mencapai kualifikasi sangat baik, 16 orang siswa atau 80% mencapai kualifikasi baik, dan 1 orang siswa atau 5% mencapai kualifikasi cukup. Hasil Rerata yang dicapai siswa terteliti adalah 87.75%, yakni berkualifikasi sangat baik. Dari hasil analisis pada Tabel 1 dan 2. di atas disimpulkan bahwa secara keseluruhan kemampuan siswa kelas V SD Inpres 1 Tanah Tinggi Ternate dalam menulis narasi melalui implementasi pendekatan proses mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Hal ini dapat terlihat dari capaian siswa pada siklus I 71.5% dengan kualifikasi baik meningkat menjadi 87.75%, dengan kualifikasi sangat baik. Atas dasar temuan itu, dapat disimpulkan bahwa implementasi pendekatan proses dalam pembelajaran menulis narasi mampu meningkatkan keterampilan menulis siswa terteliti khususnya keterampilan menulis narasi siswa kelas V SD Inpres 1 Tanah Tinggi Ternate Tahun Pelajaran 2007/2008.
PEMBAHASAN Peran guru dalam pembelajaran menulis narasi melalui implementasi pendekatan proses pada tahap pengedrafan/pengembangan gagasan bersifat sebagai inspirator. Guru tidak melakukan intervensi secara langsung terhadap ide yang dituangkan dalam karangan. Guru memberikan bimbingan dan arahan terhadap siswa yang mengalami kesulitan dan hambatan dalam mengerjakan tugas menulisnya. Pembelajaran menulis narasi melalui implementasi pendekatan proses pada tahap pra-menulis terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan siswa menulis karangan. Siswa mampu melakukan aktivitas pengembangan tema hingga kerangka
9
karangan dengan kreatif dan bervariasi. Dengan pemilihan topik yang didasarkan pada minat, pengalaman, dan pengetahuan sendiri, siswa mampu mengembangkan topik tersebut menjadi kerangka karangan. Tompkins (1990:230) mengemukakan, dalam pemilihan dan pengembangan topik, guru dapat membantu siswa melalui curah pendapat untuk memilih salah satu topik yang diminati dan diketahuinya. Selain itu, Farris (1993:183) juga menguraikan bahwa motivasi merupakan komponen penting dalam tahap pembelajaran pra-menulis karena dapat mempermudah siswa dalam membangkitkan gagasan untuk menyelesaikan tugas menulisnya. Pada siklus II terlihat siswa lebih cepat menyelesaikan darf karangan dibandingkan siklus I. Setelah kegiatan pengembangan kerangka karangan menjadi draf karangan, pembelajaran dilanjutkan dengan kegiatan mengedit dan merevisi draf karangan dimaksud. Kegiatan merevisi dan mengedit karangan yang dilakukan siswa ditekankan pada aspek isi karangan dan maupun aspek mekanik. Burns, dkk. (1996:387) menguraikan bahwa kegiatan perbaikan karangan yang dilakukan dapat berupa menambahkan informasi yang kurang, membuang bagian yang berulang, menjelaskan makna kalimat, dan mengubah isi tulisan. Hasil temuan pada siklus I siswa belum mampu memperbaiki karangan dengan baik. Namun demikian, dengan bimbingan dan arahan serta motivasi yang diberikan guru pada siklus II, siswa mampu melakukan perbaikan dengan tepat. Tepat dalam mengganti dan menempatkan pilihan kata, menggunakan ejaan tanda baca, serta unsur-unsur kebahasaan lainnya. Kegiatan pembelajaran pasca-menulis atau publikasi karangan pada siklus I adalah siswa belum mampu merespon pertanyaan guru maupun teman sejawatnya dengan baik. Namun dengan adanya motivasi yang diberikan guru, hasil yang ditunjukkan siswa pada siklus II benar-benar mengalami penigkatan. Siswa telah mampu membaca karangannya dengan baik, mampu merespon pertanyaan dari guru maupun teman sejawatnya dengan tepat, serta siswa juga berani mengajukan pertanyaan dan komentar terhadap hasil bacaan maupun isi karangan teman. Tompkins (1994:24) menguraikan bahwa pada tahap pasca-menulis, siswa
10
mempublikasikan hasil tulisannya, sedangkan teman sejawat dan guru memberikan penilaian.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proses implementasi pendekatan proses menulis narasi pada tahap pra-menulis difokuskan pada (1) pengembangan tema menjadi subtema, (2) pengembangan subtema menjadi topik, (3) pengembangan topik menjadi kerangka cerita, dan (4) penulisan judul karangan. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada tahap pramenulis adalah (1) guru membacakan contoh karangan narasi, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab antara guru-siswa tentang isi dari contoh karangan tersebut, (2) guru mengarahkan siswa untuk mengembangkan tema menjadi subtema, mengembangkan subtema menjadi topik, mengembangkan topik menjadi kerangka cerita, serta menulis judul karangan, (3) kegiatan pembelajaran diakhiri dengan pemeriksaan kerangka cerita oleh masing-masing siswa. Pada tahap menulis, kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah (1) guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan memberikan contoh di papan tulis cara mengembangkan kerangka karangan; (2) guru menugasi siswa mengembangkan kerangka karangannya secara berurutan dengan memperhatikan pilihan kata yang tepat, menyusun kalimat yang benar, menyusun paragraf yang padu, serta menyajikan unsur-unsur narasi yang logis dan padu; (3) guru menugasi siswa merevisi dan mengedit karangan. Revisi dan edit dilakukan dengan cara revisi dan edit mandiri serta revisi dan edit teman sejawat. Pada tahap pasca-menulis kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah (1) pemodelan atau pemberian contoh oleh guru sehingga para siswa dapat meniru contoh tersebut; (2) menugasi siswa membacakan karangannya, sementara siswa yang lain menyimak dan mencatat kekurangan atau kesalahan dalam karangan maupun pembacaannya; (3) tanya jawab guru-siswa maupun siswa tentang isi dari karangan yang bacakan.
11
Hasil tindakan pembelajaran tahap pra-menulis ditandai dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam hal (1) mengembangkan tema menjadi subtema, (2) mengembangkan subtema mejadi topik, (3) mengembangkan topik menjadi kerangka cerita, dan (4) menentukan judul cerita dengan tepat. Secara kuantitatif hasil tindakan siklus I adalah 77, dan pada siklus II adalah 90,75. Hasil tindakan pembelajaran tahap menulis mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan, yang ditandai dengan (1) mengembangkan kerangka cerita menjadi draf awal cerita, (2) mengorganisasi peristiwa dengan baik, (3) menggunakan unsur-unsur kebahasaan dengan tepat, (4) menyajikan unsur-unsur narasi yang logis dan padu. Secara kuantitatif hasil siswa menulis draf awal cerita adalah 61,25 pada siklus, meningkat menjadi 68.75 setelah diberi tindakan revisi dan edit, dan pada siklus II 72,5 meningkat menjadi 88,5 setelah diberi tindakan revisi dan edit. Selain itu, kemampuan siswa dalam menyajikan unsur-unsur narasi juga mengalami peningkatan yang baik. Pada siklus I rerata nilai siswa adalah 66, pada siklus II rerata nilai yang dicapai meningkat menjadi 88,5. Hasil yang dicapai pada tahap pasca-menulis adalah berkembangnya kemampuan siswa dalam mempublikasikan karangan, yang ditandai dengan (1) keberanian siswa membacakan karangan di depan kelas, (2) menggunakan lafal dan intonasi yang tepat, dan (3) mampu merespon pertanyaan dari teman, (4) mampu mengemukakan pendapatnya berupa pertanyasan dan saran terhadap isi karangan teman. Secara kuantitatif hasil rerata siklus I adalah 71,15, yakni berkualifikasi baik, dan pada siklus II meningkat menjadi 87,75, yakni berkualifikasi sangat baik.
Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan: (1) Kepada kepala sekolah maupun guru di sekolah terteliti agar menerapkan pendekatan proses dalam pembelajaran menulis khususnya menulis narasi karena pendekatan proses terbukti meningkatkan keterampilan menulis siswa, (2) Kepada para guru sekolah dasar, agar hasil penelitian ini dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran
12
keterampilan menulis atau diterapkan untuk pembelajaran keterampilan yang lain. (3) Diharapkan kepada pembaca terutama guru di sekolah terteliti agar mempublikasikan hasil penelitian ini kepada guru lain yang belum memiliki wawasan tentang menulis narasi melalui pendekatan proses agar para guru memahami keunggulan dari pendekatan ini.
DAFTAR RUJUKAN Akhadiah, S., Arsjad, G.M. & Ridwan, S.H. 1996. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta. Erlangga. Burns, Paul C., Roe, B.D. & Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary School. Boston. Hougthon Company. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Farris, P.J. 1993. Language Arts: A Process Aporach. Madison: Brown and Benchmark. Hardjono, S. 1988. Prinsip-prinsip Pengajaran Bahasa dan Sastra. Depdikbud. Jakarta Tompkins, G.E. 1990. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan. Slamet, Y. 2007. Dasar-dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Dasar. Surakarta. UNS Press.
1
PEMANFAATAN BUKU CERITA BERGAMAR UNTUK MENINGKATKAN MINAT DAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN SISWA KELAS I SEKOLAH DASAR Mayske Rinny Liando
ABSTRACT The teaching of pre-reading in elementary school aims at helping students to know and master the writing system so that they can read by using that system. Students of the elementary school should be able to read accurately. This study aims at improving and developing the use of picture story books including the process and its use. This study uses qualitative approach and classroom action research design. The results of this research show that the use of picture story book in teaching pre-reading is proven to be effective. Key words: picture story book, pre-reading activity, studnts’ interest and ability Pendahuluan Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Selain membaca, keterampilan berbahasa lain yang diajarkan di SD adalah menulis, menyimak, dan berbicara. Keempat aspek tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) keterampilan yang bersifat menerima (reseptif) yang meliputi keterampilan membaca dan menyimak, (2) keterampilan yang bersifat mengungkapkan (produktif) yang meliputi keterampilan menulis dan berbicara. Sejalan dengan hal tersebut, Baraja (dalam Nisrina, 2000:1) menyatakan bahwa membaca sebagai suatu kegiatan reseptif berbahasa tidak pernah lepas dari proses kognitif seseorang. Proses membaca ini terjadi dalam otak manusia dan tidak tampak
2
dengan jelas dari luar. Oleh sebab itu, proses membaca sebagai proses yang terjadi ‘black box’ otak manusia. Kemampuan membaca sangatlah penting pada sebuah masyarakat yang melek huruf. Tetapi meskipun demikian anak-anak yang tak tahu betapa membaca itu penting tak akan bisa termotivasi untuk belajar membaca. Produk atau hasil dari proses membaca itu adalah komunikasi dari pemikiran dan emosi antara penulis dan pembaca. Komunikasi ini timbul sebagai akibat dari konstruksi makna yang dilakukan oleh pembaca yang mana makna ini digali dari proses pemahaman pembaca atas apa yang dibacanya dan dibantu oleh pengetahuan yang telah ia miliki sebelumnya, (Burn, Roe, dan Ross) (1996). Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekolah dasar 2006, salah satu tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya satra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain tujuan itu ada juga standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini yang merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global (Depdiknas, 2006). Tujuan membaca permulaan di kelas I adalah agar “siswa membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat dan membaca nyaring kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat (Depdiknas, 2006;3). Ketepatan
3
membaca permulaan sangat dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang mengajar di kelas I. Keberhasilan belajar mereka dalam mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di kelas ditentukan oleh penguasaan kemampuan membaca mereka. Siswa yang tidak mampu membaca dengan baik akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami informasi yang disajikan dalam berbagai buku pelajaran, buku bacaan penunjang, dan sumber-sumber belajar tetulis yang lain. Siswa tersebut akan lamban sekali menyerap pelajaran. Akibatnya, kemajuan belajarnya juga lamban (Syafi’ie, 1999). Untuk mengatasi belum maksimalnya pembelajaran membaca permulaan tersebut salah satu alternatif yang dapat dilakukan ialah memanfaatkan buku cerita bergambar. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan siswa melalui kegiatan membaca gambar, membaca kata ataupun kalimat sederhana melalui pemanfaatan buku cerita. Karena alternatif ini dianggap sesuai dengan karakteristik anak yang suka dibacakan cerita atau berfantasi. Zulkifli (1986:33) menyatakan bahwa pada akhir masa kanak-kanak sifat fantasi mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan pikirannya. Bila fantasi tidak mendapat kesempatan untuk berkembang, keadaan itu dapat menimbulkan hambatan dalam kemajuan perkembangan anak. Charlotte Buhler (dalam Zulkifli, 1986:33)telah meneliti tentang fantasi anak-anak yang dirangkumnya sebagai berikut: (a) masa pertama: usia sampai 4 tahun. Masa ini disebut masa “Struwelpetr”. Dalam masa anak-anak gemar dibacakan cerita tentang anak yang nakal, anak yang berkuku panjang dan kotor, anak berambut gondrong dan sebagainya, (b) masa kedua: usia
4
4-8 tahun. Dalam masa ini anak-anak suka sekali dibacakan cerita tentang kehidupan. Seperti contoh: Timun Mas, Cinderela, Bawang Putih, dsb, mereka dengar berulang-ulang dengan tidak bosan-bosannya sampai mereka ingat benar sampai susunan kata-kata maupun jalan ceritanya, (c) masa ketiga: usia 8-12 tahun. Masa ini dilkemukakan lebih lanjut nanti dalam masa anak sekolah. Buku cerita dapat menjadi media bagi pengembagan sikap sosialemosional, dan potensi intelektual anak-anak sebagaimana dilaporkan oleh Knoller (1994), Friend dan Davis (1993), serta ackerman (1991), dalam Hasanah dan Suyitno (2003). Berdasarkan penelitian eksploratif yang dilakukan atas seorang guru yang memanfaatkan cerita melalui diskusi, Knoller, (1994) dalam Hasanah (2003) menemukan bahwa selain kemampuan mengapresiasi dan baca tulis, berkembang juga aspek sosial pada diri siswa. Buku-buku bacaan yang diberikan kepada anak untuk “dibaca” haruslah buku-buku yang sengaja dirancang untuk anak-anak usia persekolahan, dan bukubuku yang umum digunakan adalah buku-buku bergambar dengan sedikit tukisan. Gambar dan tulisan itu haruskah berhubungan dengan kerangka pola yang pasti dan konsisten sehingga memudahkan anak untuk mengenalinya. Senada dengan hal itu, Nurgiantoro (2005:148) menyatakan ada dua jenis buku cerita yang sering menjadi panduan bagi guru untuk mengajarkam membaca permulaan yaitu buku gambar tanpa kata dan buku bergambar. Buku gambar tanpa kata adalah buku gambar cerita yang alur ceritanta disajikan lewat gambar-gambar (Huck, 1987:176), atau gambar-gambar itu secara sendiri menghadirkan cerita (Mitchell, 1991:75). Kalaupun dalam gambar itu disertai kata-kata, bahasa verba tersebut
5
sangat terbatas. Sedangkan buku bergambar yang dimaksud adalah buku bacaan cerita anak yang di dalamnya terdapat gambar-gambarnya. Minat, tingkah laku/sikap, dan konsep diri adalah tiga macam aspek afektif dari proses membaca. Tiga aspek inilah yang akan menentukan seberapa berat anak-anak melalui proses membaca. Misalnya saja anak yang tertarik dengan bahan bacaan akan melakukan usaha yang jauh lebih keras dibandingkan dengan mereka yang tak begitu tertarik dengan bacaan tertentu (Burn, dkk:1996). Burn, dkk (1996) menyatakan bahwa hal yang sama kita temui pada anak yang memiliki pandangan positif atas kegiatan membaca ia akan melakukan usaha yang jauh lebih baik daripada mereka yang memiliki pandangan negative terhadap kegiatan membaca. Sikap positif atas kegiatan membaca bisa tumbuh sejak kecil di kehidupan rumah yaitu dengan cara sikap positif orang tua yang selalu melatih dan menyemangati anaknya dalam membaca atau dalam kehidupan kelas yang mana seorang guru tak akan bosan memberikan muridnya kesempatan untuk membaca dan membaca sebagai salah satu aktivitas santai dan menyenangkan bagi anak. Untuk meningkatkan minat dan kemampuan membaca permulaan di SD terteliti perlu dilakukan penelitian tindakan dengan pemanfaatan buku cerita yang diakui telah memikiki pengaruh dalam meningkatkan minat dan kemampuan membaca siswa. Oleh sebab itu peneliti mencoba mengadakan penelitian tindakan yang berjudul “Pemanfaatan Buku Cerita Bergambar untuk Meningkatkan Minat dan Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Kelas I Sekolah Dasar”dengan harapan dapat memberikan solusi bagi guru dan siswa dalam memanfaatkan buku
6
cerita untuk meningkatkan minat kemampuan membaca permulaan siswa kelas I SD. Penelitian tindakan ini dilaksanakan di kelas I berdasarkan pertimbangan bahwa anak pada usia ini berkisar 6-7 tahun. Menurut Piaget, dalam ( Suparno, 2001:69) bahwa pada masa ini anak berada pada tahap operasional konkret yang ditandai kemampuan mengembangkan sistem pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi. Zulkifli (2005:33) menyatakan pada masa usia 4-8 tahun anak-anak suka sekali mendengarkan cerita sampai berulang-ulang dengan tidak bosan-bosannya sampai mereka ingat benar susunan kata-katanya maupun jalan ceritanya. Berdasarkan latar belakang yang disampaikan di atas, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan buku cerita bergambar untuk meningkatkan minat dan kemampuan siswa kelas I SD Negeri Sumbersari II Malang dalam membaca permulaan, dengan rincian berikut berikut. (1) Bagaimana strategi pemanfaatan BCB untuk meningkatkan pembelajaran membaca permulaan yang di jabarkan dalam pendahuluan, inti, dan penutup. (2) Bagaimana hasil pembelajaran membaca permulaan dengan pemanfaatan BCB dilihat dari minat dan kemampuan siswa. Berdasarkan masalah penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan dengan strategi pemenfaatan BCB, dengan rincian berikut. (1) Meningkatkan minat dan kemampuan pembelajaran membaca permulaan siswa dengan strategi pemanfaatan BCB
7
(2) Meningkatkan hasil pembelajaran membaca permulaan dengan pemanfaatan BCB berdasarkan minat dan kemampuan siswa. METODE Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan. Dengan demikian langkah-langkah pelaksanakan penelitian ini mengikuti prinsip dasar yang berlaku dalam penelitian tindakan. Esensi dari penelitian tindakan terletak pada adanya tindakan dalam situasi yang alami untuk memecahkan permasalahan praktis atau untuk meningkatkan kualitas praktis, (Rofi’uddin, 1998:2). Menurut Kemmis & Mc Taggart (1988;10) proses penelitian tindakan adalah proses siklus atau daur ulang mulai dari perencanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi (perenungan, pemikiran, dan evaluasi. Sesuai dengan prinsip umum penelitian tindakan setiap tahap dan siklusnya selalu dilakukan secara partisipatoris dan kolaboratif antara peneliti dengan praktisi (guru dan kepala sekolah) dalam sistem sekolah (Sumarno, 1997:1) Dalam penelitian ini, kegiatan penelitian dimulai refleksi awal untuk melakukan kajian pendahuluan tentang kondisi objek yang terjadi di lapangan sampai dengan pemberian refleksi setiap tahapan. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh berbagai kesenjangan, dan hambatan yang mendesak untuk dipecahkan. Setelah itu dilakukan perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Penelitian tindakan ini dilaksanakan di kelas I berdasarkan pertimbangan bahwa (1) siswa kelas I lebih senang kalau dibacakan cerita yang menonjolkan gambar-gambar yang menarik, (2) kognisi mereka telah berkembang walaupun
8
masi terbatas pada operasional konkrit, (3) dalam hal sosial serta emosional, siswa masi mendambahkan pengalaman yang terjadi di rumah bisa dirasakan di lingkungan sekolah. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I SD Negeri Sumbersari II yang berjumlah 25 siswa. Subjek berasal dari keluarga kelas menengah yang sebagian besar orang tua bekerja sebagai suasta dan pegawai negeri sipil. Dalam pelaksanaan tindakan , seluruh siswa diperlakukan sama. Namun untuk keperluan pengelolahan data untuk meningkatkan minat baca siswa dipilih 9 siswa yang menjadi fokus penelitian, yang diambil acak mulai dari anak yang kemampuannya di atas, sedang, dan bawah. Penelitian pendahuluan dilakukan peneliti dengan mewawancarai guru dan siswa kelas I SD Negeri Sumbersari II Malang pada tanggal 11 Agustus 2008. Dari hasil wawancara itu diketahuai bahwa kelas I SD Sumbersari II ini menganut sistim guru kelas. Wawancara dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran membaca permulaaan. Pada awal pertemuan peneliti mengamati proses belajar mengajar khususnya pembelajaran membaca yang dilaksanakan di kelas terteliti. Peneliti melihat prosesnya dilaksanakan guru sesuai dengan prosedur yang dicantumkan dalam program pembelajaran, penguasaan siswa dalam membaca sangat beragam ada yang suda mulai bisa membaca dan ada yang masi mengeja, dan bahkan ada yang belum bisa membaca. Dengan mengamati proses belajar mengajar membaca di kelas peneliti memperoleh gambaran nyata mengenai masalah yang digali dari wawancara dengan guru kelas. Pengamatan pelaksanaan pembelajaran juga dimaksudkan
9
untuk semakin mengenal situasi dan kondisis kelas yang nantinya akan dijadikan fokus penelitian. Pengamatan tersebut dilakukan juga dengan memperoleh data minat dan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I. Pendataan nilai kemampuan membaca permulaan siswa dilaksanakan sebagai pengganti tes awal dan sekaligus menentukan siswa yang dijadikan fokus penelitian. Pendataan nilai kemampuan membaca permulaan siswa, dilakukan juga untuk mengetahui posisi kemampuan membaca permulaan siswa kelas I sebelum diberi tindakan. Selain pendataan nilai dilakukan wawancara dengan guru dan siswa tentang jenis cerita yang disukai dan dipakai sebagai bahan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui minat siswa terhadap jenis cerita yang disukai. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut, maka peneliti ingin mengadakan penelitian dilokasi yang sama untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dialami oleh guru khususnya dalam meningkatkan minat dan kemampuan membaca permulaan siswa melalui pemanfaatan BCB dalam pembelajaran. Dalam penelitian tersebut peneliti ingin mengadakan penelitian tindakan dengan menawarkan strategi yang sudah dirancang oleh peneliti melalui kolaborasi guru kelas. Peneliti dan guru merumuskan permasalahan yang akan diangkat sebagai permasalahan penelitian, yakni melaksanakan pembelajaran membaca permulaan dengan strategi pemanfaatan BCB yang meliputi tahap (1) pendahuluan,yang berisi pengelompokan, (2) inti, yamg berisi pemasangan, penyusunan, dan pembahasan, dan (3) penutup. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, guru diberi pelatihan. Pada tahap ini guru dipahamkan dengan konsep pembelajaran membaca permulaan dengan strategi pemanfaatan BCB dan praktik belajar kelas sebagai bentuk aplikasi
10
langsung dari pembelajaran membaca permulaan dengan strategi BCB. Hal ini dilaksanakan agar guru terampil mengimplementasikan program dalam pembelajaran di kelas. HASIL Berdasarkan pengamatan tehadap pelaksanaan siklus II ini menggambarkan bahwa pembelajaran yang dilakukan dalam 1 kali pertemuan dapat terlaksana dengan baik. Tujuan dan langkah-langkah pembelajaran sama dengan siklus I tetapi materi atau BCB yang digunakan berbeda. Pemanfaatan BCB pada pembelajaran membaca permulaan dapat dilakukan dengan baik. Beberapa peningkatan yang berhasil dicapai secara umum yaitu guru sudah bisa menggunakan waktu sebaik mungkin sesuai dengan waktu yang ditentukan, guru tidak datang terlambat sehingga pembelajaran membaca dilaksanakan sesuai waktu yang ditentukan, dalam menyampaikan pembelajaran guru terlihat santai dan tidak tergesa-gesa, guru dapat menyemangati siswa yang pemalu sehingga berani melakukan tugas membaca dengan baik. Beberapa peningkatan dalam pelaksanaan pembelajaran tergambar pada tahap-tahap berikut. Pada tahap pendahuluan upaya untuk menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman siswa, memotivasi siswa, dan menggambarkan secara garis besar isi cerita sudah dilaksanakan guru dengan baik. BCB yang ditampilkan dengan menunjukkan halaman depan buku, membacakan judul, dan penampilan gambar pada halaman depan BCB merupakan gambaran isi cerita yang akan menjadi materi pembelajaran. Guru menganalisi huruf, suku kata, kata, dan kalimat yang ada pada bagian judul buku. Guru berusaha mengarahkan semua siswa untuk siap belajar
11
Strategi pemanfaatan BCB dalam pembelajaran membaca permulaan pada tahap inti sudah dilaksanakan guru dengan baik. Guru mengawali kegiatan pada tahap inti dengan membacakan kembali judulnya dan secara berulang guru mengajak siswa membaca dengan suara nyaring dengan lafal dan intonasi yang tepat. Guru membaca cerita dari awal sampai akhir. Seperti pada kegiatan siklus I, disela penceritaan guru sering menganalis huruf, suku kata, kata, dan kalimat yang menarik perhatian siswa. Guru melaksanakan pembelajarn sesuai dengan tujuan yaitu mengarahkan siswa supaya dapat (1) membaca dan mengenal huruf, (2) membaca suku kata, (3) membaca kata, dan (4) membaca kalimat sederhana dengan suara nyaring dengan intonasi dan lafal yang tepat. Guru menanyakan bagian gambar yang ada dalam BCB. Guru bertanya jawab dengan siswa tentang gambar sambil mengarahkan semua siswa agar aktif dan bersemangat saat pembelajaran dilaksanakan. Guru mengajak siswa untuk dapat malaksanakan tugas bacanya dengan baik. Kegiatan membaca dalam urutan yang logis dilaksanakan guru dengan memberi kesempatan kepada siswa secar berkelompok dan individu untuk membaca kalimat sederhana yang ditulis dipapan tulis. Dalam kegiatan kelompok, guru membagi siswa dalam satu kelompok empat orang untuk melaksanakan tugas bacanya dipapan tulis secara bergantian. Bacaan dimulai dari awal sampai akhir sehingga siswa tidak bingung. Guru melakukan kegiatan ini secara berulang-ulang sehingga membuat pemahaman siswa terhadap cerita bisa terarah. Setelah kegiatan berkelompok guru melanjutkan dengan kegiatan membaca perorangan dengan membaca bacaan yang sama di papan tulis. Kegiatan seperti ini sangat membuat siswa merasa tertarik dengan BCB dan ingin membaca dan memilikinya. Guru sengaja menanamkan perhatian dan minat siswa terhadap
12
BCB karena hal tersebut sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa kelas I. Pada tahap ini guru berusaha membangkitkan semangat siswa dengan mengajak siswa bertanya jawab dengan teman-temannya dengan suara nyaring dan intonasi dan lafal yang tepat. Kegiatan ini diawali guru dengan terlebih dahulu memberikan contoh bagaimana cara membacanya. Guru memfokuskan perhatian kepada anak-anak yang agak pemalu supaya mereka berani melakukan tugas bacanya. Dalam pelaksanaan pembelajarn pada siklus II ini guru sudah bisa mengelola waktu pembelajaran dengan baik. Guru datang tepat waktu sehingga waktu pembelajaran tidak tersita. Untuk tahap pembahasan guru berusaha secara komunikatif berinteraksi dengan siswa sehingga kegiatan belajar terfokus kepada semua siswa dan siswa tidak merasa canggung untuk belajar. Guru mengajak siswa mengingat kembali dengan menampilkan alur cerita dari awal sampai akhir serta menanyakan bagian-bagian yang paling menarik dan disukai siswa. Guru memotivasi siswa agar rajin membaca, guru mengadakan tanya jawab dengan siswa seputar isi cerita dan gambar yang di tampilkan dalam BCB. Hal ini dilakukan guru untuk mengecek daya ingat siswa. Guru berusaha menumbuhkan kepercayaan kepada siswa dengan memberi kesempatan siswa untuk berani membaca tanpa bimbingan guru. Kesempatan ini dimanfaatkan guru untuk melaksanakan evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa pada siklus II. Guru mengajak siswa satu per satu maju dan melaksanakan tugas bacanya di meja guru dengan materi tes yang diambil guru dari BCB yang baru dibacakan. Pada umumnya semua siswa dapat melaksanakan tugas bacanya dengan baik sehingga
13
hasilnya pun sangat memuaskan. Guru langsung mengoreksi hasil membaca siswa. Tahap penutup pada pembelajaran siklus II telah dilaksanakan guru sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam RPP. Guru memberi pujian kepada semua siswa sambil mengajak siswa menyanyikan sebuah lagu secara bersama-sama. Setelah itu guru memberi kesempatan kepada beberapa siswa untuk menyampaikan kesan pembalajaran. Beberapa siswa mengungkapkan kesan pembelajaran dan pada umumnya siswa mengatakan senang dan tertarik dengan cara belajar seperti ini. Guru menutup pelajaran dengan mengajak siswa merapihkan alat-alat yang diguanakan dalam pembelajaran dan menyampaikan salam. Untuk siklus II data evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan minat dan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I SD Negeri Sumbersari II Malang dengan strategi pemanfaatan BCB proses dan perangkat tesnya sama dengan yang dipaparkan pada siklus pertama tapi materi tesnya berbeda dan disesuaikan dengan BCB yang dipakai, dan data evaluasi pada siklus II ini merupakan hasil pengamatan dan penilaian tindakan pembelajaran yang dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Data evaluasi pembelajaran ini diambil ketika tes membaca siswa dilaksanakan. Tes ini dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan membaca siwa setelah mendapat tindakan. Perangkat tes diambil dari BCB yang sudah dibacakan, berupa gambar kemudian siswa menebak gambar yang ditunjuk guru, setelah itu membaca kalimat yang berhubungan dengan gambar tersebut. Selain gambar guru menunjuk huruf-huruf yang ada di BCB sebagai bentuk pengenalan huruf, serta
14
menganalisis kata dan suku kata yang sudah disediakan guru yang diambil dari BCB. Untuk membaca gambar, ada tiga aspek yang dinilai yaitu; a) ketepatan menyuarakan atri gambar, b) kewajaran lafal, dan c) kejelasan suara, dengan skor maksimal 5. Membaca huruf, ada dua aspek yang dinilai; a) ketepatan menyuarakan tulisan, dan b) kejelasan suara, dengan skor maksimal 10. Membaca suku kata, ada lima aspek yang dinilai; a) ketepatan menyuarakan tulisan, b) kewajaran lafal, c) kewajaran intonasi, d) kelancaran, dan d) kejelasan suara dengan skor maksimal 20. Membaca kata, aspek yang dinilai sama dengan membaca suku kata dengan skor maksimal 25. Membaca kalimat, aspek yang dinilai juga sama dengan membaca suku kata dengan skor maksimal 40. Jumlah skor maksimal keseluruhan 100. Untuk menentukan minat baca siswa, peneliti menggunakan format wawancara dan memanfaatkan kartu control/jurnal baca siswa selama perlakuan. Dalam jurnal baca siswa akan dilihat frekuensi baca dan ketertarikan siswa dalam BCB dilihat dari alasan memilih dan membaca BCB. Untuk menentukan minat baca dipilih 9 siswa yang dijadikan fokus yang diambil secara acak dari kemampuan atas 3 siswa, sedang 3 siswa, dan bawah 3 siswa.
PEMBAHASAN Dari hasil penelitian pemanfaatan BCB dalam pembelajaran membaca permulaan, guru telah melaksanaan pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang telah disusun secara kolaborasi antara guru dan peneliti. Langkah-langkah pembelajaran tersebut meliputi tahap pendahuluan, tahap inti, dan tahap penutup. Langkah-langkah tersebut dapat dicermati pada uraian berikut.
15
Tahap pendahuluan sudah berhasil dilaksanakan guru dengan efektif dan efisien. Tahap ini dilaksanakan guru dengan membuka pelajaran, memotivasi siswa dan memberikan gambaran secara garis besar isi cerita. Pada tahap pelaksanaan membuka pelajaran guru mengemukakan tujuan pembelajaran yang harus dicapai pada pembelajaran yaitu; (1) siswa dapat mengenal huruf, (2) siswa dapat membaca suku kata dengan lafal yang tepat, (3) siswa dapat membaca kata dengan lafal yang tepat, dan (4) siswa dapat membaca kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat dengan suara nyaring. Guru mengaitkan materi dengan latar yang dimiliki siswa dan guru mengkondisikan siswa untuk siap belajar. Guru memotivasi siswa dengan menunjukkan BCB yang akan digunakan dalakam pembelajaran membaca permulaan. Kegiatan ini sangat baik kerena terlihat siswa sangat berminat dan tertarik dengan tampilan BCB yang ditunjukkan guru. Bersamaan dengan hal tersebut guru memberikan gambaran secara singkat isi BCB yang akan dibacakan. Dua kegiatan ini sangat menarik perhatian siswa dan kelihatannya siswa sangat senang dan tertarik untuk mengikuti pembelajaran membaca dengan strategi seperti ini. Hal tersebut didukung dengan antusias siswa ketika membaca judul cerita dan menganalisis huruf, suku kata, kata, dan kalimat yang ada pada judul bacaan. Pada umumnya siswa yang ditugasi membaca dapat melaksanakannya dengan baik, walaupun pada siklus I ada siswa yang masih malu-malu untuk melaksanakan tugas bacanya secara individu. Namun, hal tersebut dapat diperbaiki pada siklus II dimana semua siswa dapat melaksanakan tugas bacanya dengan berani walaupun tanpa bimbingan guru. Kegiatan tersebut sejalan dengan Lukens (2003) yang menyatakan bahwa buku cerita dirancang khusus untuk menumbuhkan minat
16
membaca permulaan siswa. Ketika orang dewasa menunjukkan gambar-gambar di buku, tulisan-tulisan yang menyertai gambar-gambar, dan membacakan tulisantulisan itu anak mulai menyadari bahwa di dalam buku terdapat sesuatu yang menyenangkan. Di dalam diri anak tumbuh kesadaran bahwa jika dapat membaca tulisan-tulisan itu, ia akan memperoleh cerita dan informasi yang dibutuhkan. Inilah saat-saat yang pekah untuk memperkenalkan literasi kepada anak lewat media cetak. Nah, buku cerita fiksi yang dipilih ini diharapkan mampu membangkitkan minat membaca permulaan. Kebiasaan orang dewasa membacakan cerita, menunjukkan gambar-gambar dan membacakan tulisantulisan yang menyertainya akan membuat anak senang, puas, dan termotivasi untuk menirukannya. Untuk pelaksanaan tahap inti pembelajaran telah berlangsung dengan baik. Pembelajaran diawali guru dengan menunjukkan gambar-gambar yang ada dalam BCB, membaca BCB dan menganalis kata-kata yang menarik perhatian siswa. Ketika guru menunjukkan gambar-gambar yang ada dalam BCB, guru menanyakan gambar apa yang dilihat siswa, siswa berusaha menjawab pertanyaan guru dengan berteriak dan kelihatannya sangat senang dan gembira menyaksikan tampilan gambar yang menarik dan lucu. Hal ini sejalan dengan Mitchell (2003:87) yang menyatakan bahawa dalam setiap buku bacaan cerita anak pasti terdapat gambar ilustrasi yang menarik, dan pada umumnya penuh dengan warnawarni. Gambar-gambar tersebut bahkan sudah terlihat di halaman sampul buku, dan hal itu tampaknya sengaja dipakai sebagai salah satu cara penting untuk menarik perhatian anak dan pembaca pada umumnya. Selain menampilkan gambar, guru juga membacakan isi cerita yang sangat menarik perhatian siswa.
17
Hal itu terlihat ketika pada siklus I, guru sengaja menghentikan pembacaan cerita tepat di bagian yang paling menegangkan pada saat anak-anak ingin mengetahui siapa sebenarnya pencuri yang ada dalam peternakan petani Jones. Guru malakukan hal tersebut dengan tujuan ingin mengetahui respons siswa pada saat buku ditutup. Apakah reaksi siswa biasa-biasa saja atau mengajak guru untuk melanjutkan bacaan ceritanya. Ternyata anak-anak penasaran ingin mengetahui kelanjutan ceritanya dan mengajak guru untuk melanjutkan bacaan ceritanya. Sikap rasa ingin tahu siswa tesebut menunjukkan bahwa isi BCB sangat manarik minat dan kemampuan baca siswa. Hal tersebut sependapat dengan Lukens, (2003: 97) yang menyatakan bahwa anak-anak selalu memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar daripada orang dewasa, baik tentang aksi, peristiwa, pertanyaan yang membutuhkan jawaban, penemuan bagaimana peristiwa muncul dan bergerak, jawaban atas solusi yang sesuai dengan pertanyaan dan penyelesaian cerita yang membahagiakan atau tidak membahagiakan. Pelaksanaan pada tahap inti dilakukan selain membacakan cerita dan menampilakan gambar-bambar guru juga menganalisis kata kata yang menarik perhatian siswa mulai dari penegenalan huruf, membaca suku kata, membaca kata, sampai membaca kalimat sederhana yang diambil dari teks bacaan yang diambil dari BCB yang dipakai dalam pembelajaran. Guru menganalisis kata dan kalimat sesuai dengan langkah-langkah yang diterapkan dalam metode Struktur Analisis Sintesis (SAS). Guru menganalisis Kalimat dan memilih kata yang menarik perhatian siswa, menganalisis huruf-huruf yang ada dalam sebuah kata, menganalis suku kata yang ada dalam sebuah kata, menganalisis kata yang ada dalam sebuah kalimat, sampai kembali seperti pembacaan semula. Hal ini sejalan
18
dengan Depdikbud (1994) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan metode SAS dapat memperbaiki pembelajaran membaca permulaan. Pembelajaran dengan metode ini dimulai dengan menampilkan struktur kalimat secara utuh dahulu, lalu kalimat utuh itu dianalisis dan pada akhirnya kembali pada bentuk semula. Metode SAS dianggap baik. Ada bebrapa alasan yang mendasari penggunaan metode SAS, yaitu (1) metode ini menerapkan ilmu bahasa, bahwa bentuk bahasa yang terkecil adalah kalimat, bagian kalimat adalah kata, suku kata, dan akhirnya fonem, (2) metode ini memperhitungkan pengalaman bahasa siswa, pengalaman bahasa siswa dijadikan titik tolak belajar bahasa karena dengan pengalaman bahasa siswa sudah merasa akrab dengan sesuatu yang diketahui sebelumnya, (3) metode ini menganut prinsip menemukan sendiri. Prinsip ini sangat ditekankan dalam proses belajar mengajar. Melalui kegiatan menganalisis diatas kelihatan guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan strategi SAS ini dapat dikuasai oleh guru karena siswa terlihat antusias dalam pelaksanaan analisis tersebut. Kegiatan analisis guru dan siswa tersebut sejalan dengan (Depdikbud (1994), Purwanto, (1997), Tarigan dan Mulyati (1997) metode SAS menyajikan kalimat secara utuh, kemudian dianalisis sampai ke huruf-huruf, huruf-huruf itu di rangkai kembali dalam struktur di atasnya sampai dengan membentuk kalimat utuh seperti pada kalimat semula. Pelaksanaan pembelajaran pada tahap inti dilanjutkan guru dengan membaca kalimat sederhana secara berulang-ulang dari individu, kelompok, sampai kalsikal. Pembelajaran pada tahap inti sudah dilaksanakan guru sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Guru mengajak semua siswa supaya aktif dalam kegiatan pembelajaran. Guru berusaha mengarahkan siswa dengan menuntun
19
siswa yang berkesulitan belajar. Dalam berkelompok, guru membagi siswa satu kelompok 4 orang untuk diajak maju kedepan dan membaca bacaan yang di tulis guru dipapan tulis. Secara individu guru mengajak siswa untuk mampu dan berani melaksanakan tugas bacanya dengan baik. Siswapun melaksanakan kegiatan membaca sesuai tugas guru. Guru berusaha mengarahkan semua siswa agar aktif dalam kegiatan membaca. Hal yang paling menarik dalam kegiatan ini adalah tidak bosan-bosannya guru mengarahkan dan mendampingi serta menuntun siswa yang berkesulitan belajar. Usaha guru tersebut sejalan dengan Burn, Roe, dan Ross (1996) menyatakan sikap positif atas kegiatan membaca bisa tumbuh sejak kecil di kehidupan rumah yaitu dengan cara sikap positif orang tua yang selalu melatih dan menyemangati anaknya dalam membaca atau dalam kehidupan kelas yang mana seorang guru tak akan bosan memberikan muridnya kesempatan untuk membaca dan membaca sebagai salah satu aktivitas santai dan menyenangkan bagi anak. Di kelas I SD tertelitih, ada dua siswa yang tergolong berkesulitan belajar yaitu Almer dan Ratih. Perilaku kedua anak ini aneh tetapi bukan berarti kedua anak ini tidak bisa melaksanakan tugas yang diberikan guru tetapi berperilaku seperti orang yang tidak bisa berkompromi dengan lingkungan sekitar. Guru berusaha agar kedua siswa tersebut tidak merasa ada hal yang berbeda dari temantemannya. Hal tersebut sejalan dengan Syafi’ie (1999:5) yang menyatakan bahwa untuk mengatasi kesulitan membaca yang dialami anak-anak di kelas awal tersebut, para guru SD yang mengajar di kelas awal perluh mengetahui sebabsebab timbulnya kendala-kendala yang dihadapi oleh anak yang sangat rendah kemampuan membacanya. Selanjutnya mencari sebab-sebab timbulnya kendala
20
itu dan cara-cara mengatasinya. Dengan demikian guru dapat memberikan bantuan yang tepat kepada anak-anak yang mengalami kesulitan dalam membaca tersebut. Pada tahap pembahasan secara komunikatif guru beriteraksi dengan siswa. Guru membantu siswa mengingat kembali isi cerita dari awal sampai akhir dan siswa terkesan sangat senang dengan pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan BCB, guru bertanya jawab dengan siswa bagian-bagian yang paling menarik yang disukai siswa. Sehubungan dengan teknik tanya jawab yang selalu diterapkan guru sejalan dengan Soejono (1983) mengemukakan bahwa guru diharapkan dapat menciptakan situasi dan mengembangkan teknik pembelajaran yang memungkinkan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran membaca permulaan. Guru memberikan motivasi kepada siswa agar siswa rajin membaca. Guru menumbuhkan kepercayaan kepada siswa dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk berani membaca tanpa bimbingan guru dan pada kesempatan itu semua tugas guru dilaksanakan oleh siswa dengan baik dan siswa melaksanaan tugas baca denga berani. Hal tersebut sejalan dengan Burn, Roe, dan Ross (1996:14) yang menyatakan proses membaca adalah suatu proses yang harus dipelajari. Dengan kata lain orang belajar untuk membaca dan membaca untuk belajar. Belajar membaca bergantung pada motivasi, latihan, dan semacam penguatan tertentu. Guru harus belajar bagaimana menyakinkan siswa kalau membaca sangat berguna dalam berbagai macam hal misalnya; meningkatkan prestasi belajar di sekolah, menaikkan status, dan sebagai sarana rekreasi. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada tahap inti terlihat pada akhir siklus II semua siswa telah dapat mengenal dan membaca huruf, suku kata, kata, dan
21
kalimat sederhana dengan intonasi dan lafal yang tepat dengan suara nyaring. Berati tujuan pembelajarannya telah tercapai dengan baik. Pelaksanaan pembelajaran pada tahap penutup sudah terlaksana dengan baik. Guru dan siswa terlihat sangat gembira karena telah meksanakan pembelajaran yang menyenangkan. Guru mengajak siswa menyanyikan lagu, guru memberi pujian kepada semua siswa, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan kesan pembelajaran. Beberapa siswa secara individu menyampaikan kesan pembelajaran dengan strategi BCB sangat menyenangkan. Pendapat siswa juga secara klasikal menyatakan bahwa siswa senang dengan pembelajaran tersebut. Kesan yang disampaikan siswa menunjukkan bahwa ada perbandingan ketika mereka masih menggunakan buku paket sebagai bahan pembelajaran dan hal tersebut menambah pengalaman baru tentang pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan Culinan (1989:153) mengemukakan bahwa buku merupakan bagian dari hidup anak-anak dan dasar bagi mereka untuk membandingkan, berbagi, dan belajar; buku menawarkan pengalamanpengalaman dimana seolah-olah anak mengalami sendiri apa yang mereka lihat dalam kehidupan dunia. Selain temuan di atas, keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dapat juga dilihat pada penyediaan bahan dan media pembelajaran. Penyediaan bahan pembelajaran yang selama ini digunakan guru (sebelum ada tindakan) selalu diambil pada buku-buku paket yang disediakan sekolah. Namun, stelah ada kolaborasi dengan peneliti guru telah dapat mengembangkan sendiri bahan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa yaitu dengan memanfaatkan BCB sebagai bahan untuk membaca permulaan. Pemilihan bahan
22
tersebut tentu sangat menarik perhatian siswa karena terlihat pada saat pembelajaran siswa terkesan senang dan antusias menjawab semua pertanyaan guru. Dengan memanfaatkan BCB sebagai bahan pembelajaran membaca membuat siswa lancar membaca karena tertarik dengan gaya penulisan yang khas dan indah. Gaya penulisan seperti ini dapat memudahkan siswa menguasai isi bacaan. Hal ini sejalan dengan Hasanah (2006:22) menyatakan bahwa buku cerita dapat mengembangkan kelancaran membaca karena buku cerita ditulis dengan gaya yang khas dan indah. Buku cerita yang digunakan sebagai bahan pembelajaran membaca permulaan—Lazimnya terprediksi—mudah dikuasai anak karena kata-kata yang muncul berikutnya berulang-ulang. Pemilihan BCB sebagai bahan pembelajaran membaca permulaan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap peningkatan minat dan kemampuan siswa. Hal itu terbukti pada frekuensi baca siswa yang sangat tinggi dan hasil kemampuan membaca siswa yang meningkat pada setiap siklus. Berati pemanfaatan BCB dalam meningkatkan pembelajaran membaca permulaan serta meningkatkan minat baca siswa telah terlaksana dengan baik dan efektif. Pengaruh ini disebabkan karena penggunaaan bahasa yang ada pada BCB sangat sederhana dan singkat sehingga mudah di baca dan dipahami siswa. Tampilan gambar dan tulisan yang besar-besar merupakan daya tarik yang sangat memikat siswa. Hal ini sependapat dengan Suryono dan Muslich ( 1996:80) yang menyatakan bahwa bahan pembelajaran dipilih dan dikembangkan untuk membantu siswa memiliki perilaku-perilaku khusus sebagaimana yang tertuang dalam tujuan. Untuk itu bahan pembelajarab harus memenuhi beberapa kriteria yaitu (1) secara langsung menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang
23
dirtumuskan, (2) dikemas dalam bentuk unit, (3) dapat memberi pengalaman belajar yang berawal dari suku kata dan berakhir pada wacana, (4) kandungan unsur-unsur bahasa disajikan secara induktif-integratif, dan (5) dapat memberi pengalaman belajar yang utuh. Sejalan dengan hal tersebut Godman (1988:12) menyatakan yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan (termasuk pembelajaran membaca permulaan) adalah (1) bahasa bersifat menyeluruh dan relevan bagi pebelajar, (2) bertujuan, (3) bermakna, dan (4) mempeunyai pengaruh yang kuat terhadap siswa. Seperti penjelasan sebelumnya bahwa selain bahan, media juga dapat membuat pelaksanaan pembelajaran berhasil. Guru telah berhasil memikat perhatian siswa. Ketika guru melaksanakan pembelajaran di kelas guru dapat menguasai situasi kelas termasuk membuat siswa memperhatikan apa yang dijelaskan guru. Metode tanya jawab, pembagian kelompok, dan kegiatan membaca secara individu yang diterapkan guru membuat para siswa aktif dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran. Gaya guru mengajar, bahasa yang digunakan guru dan cara guru menuntun siswa dalam membaca merupakan media yang sangat berharga, karena guru merupakan salah satu media yang hidup di dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasyat (2003:199) yang menyatakan bahwa guru adalah salah satu media pembelajaran yang hidup di dalam kelas. Oleh sebab itu, penampilan guru ikut menentukan keberhasilan belajar siswa. Selain itu guru juga menggunakan gambar, papan tulis, spidol, mistar panjang untuk menunjuk tulisan agar siswa terfokus pada tulisan yang dituju sebagai media pembelajaran. Guru sangat kreatif memnggunakan mediah pembelajaran yang relefan atau sesuai dengan tujuan pembelajaran. Hal tersebut
24
sejalan dengan Subyakto (2003:181) menyatakan bahwa media dalam pembelajaran bahasa adalah segala alat yang digunakan guru dan siswa untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan. Hal tersebut sejalan dengan Ibrahim dan Syaodah (1991:78) menyatakan bahwa pada prinsipnya media pembelajaran merupakan sesuatu yanag dapat digunakan untuk menyalurkan isi pembelajaran, merangsang pikiran, perasaan, dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar. Media harus relevan, esensial, menarik, dan menantang sehingga tidak membosankan bagi siswa.
SIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan Buku Cerita Bergambar (BCB) dalam pembelajaran membaca permulaan terbukti efektiv. Efektivitas tersebut telihat pada hal brikut. (1) Pemanfaatan BCB dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan gembira, bebas, aktif, dan produktif, sehingga kendala psikologis yang sering menghambat siswa seperti rasa enggan, takut, malu dapat teratasi. Hal ini terlihat ketika siswa melaksanakan kegiatan membaca yang semula malu dan takut untuk membaca menjadi lebih bergairah, gembira, dan semangat dalam melaksanakan kegiatan membaca. (2) Hasil membaca permulaan siswa semakin meningkat, dari kurang mampu mengenali gambar menjadi tertarik untuk mengenalinya, dari kurang mampu membaca huruf, suku kata, kata, dan kalimat sederhana menjadi tertarik menganalisisnya sampai bisa menguasai kalimat sederhana dengan baik. Dari kurang berminat membaca, menjadi tertarik dan penasaran ingin membaca dan memiliki BCB. Frekuensi baca menjadi meningkat dibanding ketika masih
25
menggunakan buku paket. (3) Siswa terlatih untuk berani mengemukakan kesan pembelajaran dan berani membaca tanpa bimbingan guru. Pelaksanaan pembelajaran membaca sebagaimana diuraikan pada bab IV memberi simpulan bahwa pembelajaran dilaksanakan melalui proses membaca dengan tahap-tahap pendahuluan, inti, dan penutup. Proses tersebut disimpulkan seperti berikut. Tahap pendahuluan merupakan kegiatan awal pembelajaran. Kegiatan ini diawali guru dengan tahap pengelompokkan dengan kegiatan pramembaca. Tahap ini dimaksudkan sebagai upaya mempersiapkan diri siswa untuk siap membaca. Pembelajaran dilaksanakan dengan cara berikut ini. Pertama, guru membuka pelajaran dengan menarik perhatian siswa dengan menunjukkan BCB yang akan digunakan dalam kegiatan membaca. Kedua, menyampaikan tujuan pembelajaran. Ketiga, mengenalkan huruf-huruf yang terdapat pada judul BCB, membagi siswa kedalam bebarapa kelompok karena BCB yang digunakan terbatas. Keempat, memotivasi siswa untuk siap belajar dengan membacakan sedara garis besar isi cerita. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tujuan agar siswa terarah dan mengetahui tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran dan mengetahui kegiatana yang akan dilaksanakan siswa berhubungan dengan kegiatan membaca. Pembelajaran membaca permulaan pada tahap inti dilaksanakan dengan aktivitas seperti berikut. Pertama, kegiatan diawali dengan tahap pemasangan. Guru membaca BCB, guru berinteraksi dengan siswa dengan bertanya jawab soal gambar yang terdapat dalam BCB, guru memfasilitasi siwa dengan memberi petunjuk tebtang gambar yang ada dalam BCB. Kegiatan selanjutnya adalah
26
kegiatan membaca BCB dalam urutan yang logis. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menirukan kalimat yang dibacakan guru dari awal sampai akhir secara berulang-ulang, menganalisis huruf awal yang terdapat pada gambar yang ada dalam BCB, menganalisis kalimat yang terdapat dalam BCB mulai dari pengenalan huruf, suku kata, kata dan teks sederhana, membaca kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat, Tanya jawab antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dengan lafal dan intonasi yang tepat, guru menuntun siswa membaca teks sederhana dengan suara nyaring. Kedua, kegiatan penyusunan dilaksanakan untuk membaca secara individual, kelompok dan klasikal. Siswa melaksanakan kegiatan membaca teks pendek dan menganalisisnya, menggunakan bahasa lisan dan tulisan sertas isyarat. Ketiga, tahap pembahasan dilaksanakan dengan memicuh dan memlihara keterlibatan siswa, membantu siswa mengingat kembali isi cerita dai awal sampai akhir, menanyakan bagian yang paling menarik yang disukai siswa, memotivasi siswa, merespons dan menanggapi secara positif siswa yang telah melaksanakan tugas bacanya dengan baik. Guru menumbuhkan kepercayaan siswa dengan memberi kesempatan kepada siswa berani membaca tanpa bimbingan guru, siswa melaksanakan kegiatan membacanya secara individu dengan menaggapi gambar yang ada dalam BCB, membaca huruf, membaca suku kata, membaca kata, dan membaca teks sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat dengan suara nyaring. Guru mengoreksi hasil membaca siswa. Melalui kegiatan-kegiatan membaca yang dilaksanakan tersebut siswa mampu membaca huruf, membaca suku kata, membaca akat, dan membaca kalimat sederhana dengan berani secara individu
27
tanpa bimbingan guru, dan melalui kegiatan-kegiatan membaca tersebut siswa tidak malu-malu lagi untuk melaksanakan kegiatan membacanya dengan baik. Kegiatan pembelajaran pada tahap penutup dilaksanakan dengan aktivitas seperti berikut. Pertama, memberi pujian kepada semua siswa karena telah mampu dan berani membaca tanpa bimbingan guru. Hal ini dilaksanakan agar siswa merasa dihargai karena telah melaksanakan kegiatan membaca dengan baik. Kedua, memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan kesan pembelajaran. Hal tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui minat dan respons siswa terhadap BCB. Ketiga,mengajak siswa untuk merapikan kembali alat-alat yang digunakan dalam pembelajaran. Hal ini sebagai bentuk taggung jawab siswa terhadap segala sesuatu yang telah digunakan dalam pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran membaca permulaan dengan memanfaatkan BCB mencakup evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dilaksanakan selama kegiatan pembelajaran berlangsung guna mengamati aktivitas siswa baik secara individu maupun kelompok. Kegiatan pengamatan dilaksanakan secara terus menerus untuk mengetahui keberadaan pembelajaran apakah ada kemajuan atau kesulitan yang dialami siswa selama pembelajaran. Pengamatan juga dilaksanakan terhadap proses interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, serta media pembelajaran yang digunakan praktisi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pedoman observasi menunjukkan bahwa keberhasilan guru dalam pembelajaran ditentukan oleh skor pencapaian yang tersedia dalam descriptor pemunculan pelaksanaan kegiatan guru. Pada siklus I skor capaian 32 dari 40 skor yang
28
ditentukan dengan presentase 80%, siklus II skor capaian 40 sesuai dengan skor yang ditentukan dengan presentase 100%. Evaluasi hasil dilaksanakan setiap akhir siklus. Evaluasi hasil dilaksanakan guru dengan memberikan tes membaca dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada kemajuan atau peningkatan kemampuan membaca siswa terutama pengenalan huruf, pengenalan suku kata, dan pengenalan kalimat. Setiap siswa melaksanakan tahapan tes yang sama yaitu (1) membaca gambar, (2) membaca huruf, (3) membaca suku kata, (4) membaca kata, dan (5) membaca teks/kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat dengan suara nyaring. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa rerata hasil tes kemampuan membaca siswa siklus I adalah 74.26. rerata hasil tes siklus II adalah 77,23. Hasil tes menunjukkan ada peningkatan stiap siklus dari siklus I ke siklus II. Selain peningkatan kemampuan membaca siswa, terjadi peningkatan terhadap frekuensi baca siswa setiap siklus atau selama perlakuan. Minat siswa terhadap BCB diperoleh dari hasil pengamatan terhadap 9 siswa yang dipilih dari kemampuan atas 3 siswa, kemampuan sedang 3 siswa, kemampuan bawah 3 siswa. Pengamatan ini dilaksanakan dengan memanfaatkan jurnal baca/kartu kontrol yang telah dibuat oleh guru dan peneliti. Kartu kontrol/jurnal baca ini dibagikan kepada siswa terteliti untuk diisi setiap kali mengambil/memilih BCB kesukaannya. Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui alasan memilih dan membaca BCB serta frekuensi baca siswa selama perlakuan. Pada siklus I sejak awal perlakuan siswa yang menjadi focus penelitian berhasi memilih dan membaca BCB sebanyak 9 buku, siklus II sampai akhir perlakuan siswa berhasil memilih dan membaca BCB sebanyak 12 buku. Berarti selama perlakuan 9 siswa
29
yang menjadi fokus penelitian telah berhasil membaca 21 buku. Frekuensi baca siswa terlihat sangat meningkat dan minat siswa terhadap BCB juga meningkat. Berdasarkan peningkatan keberhasilan yang dicapai oleh guru dan siswa selama pembelajaran maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan BCB efektif dalam pembelajaran bahasa Indonesia, terutama dalam pembelajaran membaca permulaan bagi siswa kelas I SD Negeri Sumbersari II Malang. Berdasarkan hasil penelitian pemanfaatan BCB dalam pembelajaran membaca permulaan nagi siswa kelas I SD Negeri Sumbersari II Malang menunjukkan bahwa kegiatan membaca permulaan sangat membutuhkan strategi dan metode yang tepat. Untuk itu peneliti ingin menawarkan saran seperti berikut. Pertama, disarankan kepada guru. Hasil penelitian membuktikan bahwa strategi yang ditawarkan oleh peneliti berhasil diterapkan, hal itu terlihat pada setiap silkusnya. Berdasarkan hasil tersebut peneliti ingin menyarankan kepada guru untuk dapat menggunakan strategi pemanfaatan BCB sebagai salah satu alternative dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya membaca permulaan di SDN Sumbersari II Malang, dan umumnya SD setara sekolah tersebut. Dialam merancang pembelajaran disarankan mempertimbangkan kurikulum, kebutuhan, dan minat siswa. Guru SD pada umumnya juga harus bisa mengoptimalkan proses pembelajaran membaca permulaan melalui pemanfaatan BCB. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat mengembangkan peranannya sebagai fasilitator dan motivator, partisipan, pemantau, konselor, evaluator dalam pembelajaran membaca permulaan agar terwujudlah fungsi ganda seorang guru. Kedua, disarankan kepada penulis buku ajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan media dan bahan pembelajaran yang tepat dapat
30
menunjang keberhasilan pembelajaran. Berarti buku ajar yang dipilih haruslah buku ajar yang berkualitas yang dapat dipahami oleh guru dan siswa. Untuk itu para penulis buku ajar khususnya buku pelajaran bahasa Indonesia SD, disarankan untuk dapat melengkapi bacaan dengan gambar dan warnah yang menarik yang berkaitan dengan isi bacaan. Tujuannya untuk menarik simpatik siswa agar gemar membaca. Ketiga, disarankan kepada peneliti berikutnya. Penelitian pemanfaatan BCB ini hanya terbatas pada membaca permulaan. Untuk itu disarankan kepada peneliti berikutnya untuk dapat merancang penelitian baru yang diharapkan munculnya penelitian replikasi atau penelitian sejenis dengan mengambil keterampilan berbahsa yang lain yang mungkin dapat disandingkan dengan strategi atau metode-metode yang cocok yang lebih menarik dan inovatif.
31
DAFTAR RUJUKAN
Baraja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP Malang Burns, Paul. C. dkk. 1996. Teaching Reading in Todays Elementary Schools. Boston: Houghton Mifflin Company. Cullinan. 1989. Literature and The Child. New York University: Harcourt Brance Jovanolich Publisher. Depdikbud.1994. Kurikulum Sekolah dasar: GBPP Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar. Jakarta: Depdknas. Depdikbud.1994. Metodik Khusus Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah dasar: GBPP Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud . Goodman, K. 1988. The Reading Process. Dalam Carell, P.Devine,J. dan Eskey,D. (eds) Interactive Approach to second Languange Reading, Combridgde Cabridge University Press. Hasanah dan Suyitno.2003. Model Cerita Fiksi Kontemporer Anak-Anak Untuk Pengembangan Kemahirwacanaan Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Laporan Penelitian Dasar. Depdiknas: Universitas Negeri Malang. Hasanah, M.2006. Pembelajaran Kemampuan Berbahasa Indonesia Berbasis Cerita Fiksi Kontenporer Anak-anak Untuk Siswa Kelas 5 SD. Disertasi tidak diterbitkan: PPS. Universitas Negeri Malang. Huck, Charlotte S, Susan Helper, dan Janet Hicman. 1987. Children’s Literature in the Elementary School. New York: Holt Peirhart and Winston. Lukens, Rebecca, J. 2003. A. Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman. Milles, Matthew B. Hubberman, Michael A. 1992. Analisis Data Kulitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohandi Rohidi. Jakarta: UI Press. Mitchell, Clare Scot.1991. “Futher Flight: The Picture Book”, dalam Manice Saxby dan Gordon inch (eds) Give Them Wings, The EXperince of Children’s, Melbounrne: The Macrmillan Company, hlm.75-190. Mitchell, Diana. 2003. Choldren’s Literature, an Invitation to the World. Boston: Ablogman.
32
Nisriana, siti. 2000. Pembelajaran Membaca Permulaan Melalui Permainan Bahasa di Kelas I Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan: PPS UM. Nurgiyantoro. 2005. Sastra Anak. PengantarPemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gaja mada University Press. Rasyad, Amiruddin. 2003. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Uhamka Press. Rofi’uddin, Ahmad dan Zuhcdi, Dimyati, 1998/1999. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Depdikbud Dirjen Dikti P2 PGSD IBRD: Loan 3496-IND. Syafi’ie, Imam. 1999. Pengajaran Membaca di Kelas-kelas Awal Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa Indonesia pada FPBS Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang. Soejono, A. 1983. Metodik Khusus Bahasa Indonesia. Bandung: Bina Karya. Suparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa Indonesia. Kalten Intan Pariwara. Suryona dan Muslich, Mansyur. 1996. Panduan Pengajaran Bahasa Indonesia. Malang: YA3 Malang. Subyakto, Sri Utami. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK. Zulkifli, L.1986. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Oleh. Tasrif Akib ABSTRAK Kata kunci: menulis, karangan narasi, media gambar seri, meningkatkan Salah satu bentuk menulis adalah menulis narasi yang sengaja dipilih dalam penelitian ini karena merupakan bentuk karangan yang bertujuan menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang peristiwa pada suatu waktu kepada pembaca. Hal terpenting dalam karangan narasi adalah unsur tindakan sehingga ketika membaca karangan narasi pembaca seolah-olah melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu sendiri. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan siswa yang pada penelitian ini difokuskan pada bagaimanakah meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare dalam hal pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, dan penggunaan ejaan dan penggunaan tanda baca. Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan jenis penelitian tindakan kelas dengan langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas III. Berdasarkan hasil analisis data penelitian, diketahui bahwa proses pengajaran diwujudkan dalam pembelajaran dengan menggunakan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi dalam hal pengorganisasi karangan, kualitas gagasan, dan penggunaan ejaan dan tanda baca. Kegiatan diawali dengan apersepsi dengan pusat perhatian ditujukan kegambar seri yang ditampilkan, menginterpretasikan setiap urutan gambar, kemudian mengarahkan topik karangan yang sesuai dengan gambar seri lalu menentukan atau memilih salah satu topik karangan yang sesuai dengan gambar seri. Setelah itu pembahasan kalimat-kalimat secara klasikal untuk membuat kerangka karangan dalam bentuk draf sesuai dengan urutan gambar seri. Proses selanjutnya mengembangkan kerangka karangan dengan memperhatikan pengembangan ide, penggunaan unsur kebahasaan, dan penggunaan gaya bahasa. Pada tahap akhir pembelajaran diarahkan untuk mengedit karangan berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat yang digunakan sehingga hasil karangan dapat dipublikasikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media gambar seri dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas paragraf yang dihasilkan. Kegiatan menulis karangan narasi dengan media gambar seri juga membuat kegiatan menulis menjadi lebih menarik dan bermakna bagi siswa. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari upaya guru memberi respon, mengembangkan dialog, memodelkan cara menulis karangan yang benar, mencermati kesalahan yang kerap dilakukan siswa, membiasakan secara tetap, serta memberikan berbagai arahan untuk membangkitan kreativitas siswa dalam menulis karangan narasi.
2 ABSTRACT Key Words : Writing, Narrative, Serial Pictures Medium, Increasing. One of the writing forms is narrative writing which has been used in this research because it was an essay form that described with clearly to the reader about event. One of the important narrative essays is action part so that when the reading a narrative essay, the readers were similar view. In reality, the skill of narrative essay of the students still lower. To overcome this problem, series pictures medium was used to increase the students’ skill of narrative essay in this research these focuses at (1) how to increase the skill of narrative essay of the students at the third grades SD Negeri 46 Parepare in organizing essay, ideas quality, and alphabet and the uses of punctuation. To answer that problems, class action research was used by using the steps, planning, action, and evaluation of the learning of uses of series pictures medium to increase the students’ skill of third grades in narrative essay. Based on the data analysis, that in learning process using serial pictures Medium in writing narrative essay to increase narrative writing in terms of essay organization, ideas quality, and alphabetical usage and punctuation. The activity began apperception directed to serial pictures, interpreting each picture and than directed to the essay topic in accordance with the serial picture and determine one of essay topics according the serial picture. The next activity was discussion on sentences classically to make essay frame according to the serial picture. The next process is to develop the essay frame by paying attention ideas development, language element usage, and the used of language style. Finally, the instruction is specialized to editing the essay on the basis of writing syllable, capital letters, vocabularies, and sentence structure that are used in narrative essay writings so that they can be published. The research result showed that the uses of series picture medium can be increase the skill of students’ writing narrative essay, whether quantities or qualities of paragraph was result it. Writing activity in narrative essay by using series picture medium also made writing activity more interesting and understandable for the students. That increased was an effort of the teachers by giving response, dialogue development, the modeling of how to write a good narrative essay, understand the error that used by the students, and giving any ways to increasing the students’ creativity in writing narrative essay. BAB I PENDAHULUAN Menulis sering menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, kemampuan menulis hanya bisa dicapai melalui proses pembelajaran, bukanlah kemampuan yang dapat dikuasai dengan sendirinya juga karena sangat penting bagi seseorang, terutama bagi siswa. Pentingnya menulis tersebut tampak dalam uraian Darmadi (1996:3) yang menyatakan bahwa kemampuan menulis penting untuk dikuasai seseorang. Hal itu disebabkan oleh beberap hal, yaitu sebagai berikut. (1) Kegiatan menulis adalah satu sarana untuk
3 menemukan sesuatu. Dalam artian, menulis dapat merangsang pemikiran dalam rangka mengangkat ide dan informasi yang ada di alam bawah sadar pemikiran. (2) Kegiatan menulis dapat memunculkan ide baru. (3) Kegiatan menulis dapat melatih kemampuan mengorganisasi berbagai konsep atau ide yang kita miliki. (4) Kegiatan menulis dapat melatih sikap objektif pada diri seseorang. (5) Kegiatan menulis dapat membantu untuk menyerap dan memproses informasi. (6) Kegiatan menulis memungkinkan seseorang untuk berlatih memecahkan beberapa masalah sekaligus. (7) Kegiatan menulis dalam sebuah bidang ilmu akan memungkinkan seseorang untuk menjadi aktif dan tidak hanya menjadi penerima informasi. Atas dasar asumsi di atas, sungguh tepat bila upaya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia harus dijembatani dengan menggalakkan kegiatan menulis. Kemampuan menulis membutuhkan penguasaan materi-materi pendukung sebagai modal dasar, seperti penguasaan kosakata, diksi, penyusunan kalimat, pembentukan paragraf, pemahaman secara aplikatif tentang ejaan dan tanda baca, logika, serta struktur berpikir yang runtut. Keterampilan menulis oleh para ahli pengajaran bahasa ditempatkan pada tataran paling tinggi dalam proses pemerolehan bahasa, karena keterampilan menulis merupakan keterampilan produktif yang hanya dapat diperoleh sesudah keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca hal ini pula yang menyebabkan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang dianggap paling sulit. Meskipun keterampilan menulis itu sulit, namun perannya dalam kehidupan manusia sangat penting sepanjang zaman. Kegiatan menulis dapat ditemukan dalam aktivitas manusia setiap hari, seperti menulis surat, laporan, buku, artikel, dan sebagainya. Kenyataan di atas mengharuskan pembelajaran menulis digalakkan sedini mungkin. Tidak mengherankan jika dalam kurikulum 1994 sampai kurikulum 2006 yang digunakan sekarang ini, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pembelajaran menulis menjadi aspek pembelajaran bahasa Indonesia yang mendapat porsi lebih besar daripada keterampilan berbahasa yang lain. Hal ini terlihat pada banyaknya porsi kegiatan keterampilan menulis dalam pembelajaran bahasa Indonesai di SD, SLTP, dan SMA. Pembelajaran keterampilan menulis memiliki berbagai macam bentuk. Salah satunya adalah keterampilan menulis karangan. Dalam pembelajaran menulis, siswa diharapkan tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan
4 namun juga memiliki kecermatan untuk membuat argumen, memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk dibaca. Menurut Temple (1987) menulis pada dasarnya mengekspresikan pikiran melalui simbol tulisan. Tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran menulis adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara tertulis serta memiliki kegemaran menulis. Ada empat jenis tulisan, yaitu (1) narasi, (2) deskripsi, (3) eksposisi, dan (4) argumentasi. Menulis menurut Suparno (2002: 41) adalah suatu kegiatan yang kompleks. Kegiatan tersebut melibatkan serangkaian aktivitas seseorang dalam mengungkapkan dan menyampaikannya gagasan melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami tepat seperti apa yang dimaksudkan pengarang (penulis). Ada lima bentuk utama penyampaian gagasan, yakni (1) narasi (penarasian), (2) deskripsi (pelukisan), (3) eksposisi (pemaparan), (4) argumentasi (pembahasan), dan (5) persuasi. Salah satu dari kelima bentuk tersebut adalah bentuk menulis narasi sengaja dipilih dalam penelitian ini karena merupakan bentuk karangan yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang peristiwa pada suatu waktu kepada pembaca. Hal terpenting dalam karangan narasi adalah unsur tindakan sehingga ketika membaca karangan narasi pembaca seolah-olah melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Menulis narasi juga diajarkan di kelas III sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam menulis diperlukan metode yang tepat sehingga siswa dapat lebih memacu diri dalam menulis. Salah satunya adalah menggunakan media gambar seri sebagai media pembelajaran penyalur pesan pembelajaran. Menurut Wright (dalam Adryana, 2001: 5) gambar sebagai media pembelajaran memiliki beberapa peran di dalam keterampilan menulis seperti dapat memotivasi siswa, berkontribusi terhadap konteks bahasa yang digunakan, dapat digunakan untuk menjelaskan secara objektif atau menginterpretasikan, dan dapat memberi informasi. Sejalan dengan itu menurut Wijayanti (2007) media pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Di samping dapat menarik perhatian siswa, media pembelajaran juga dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam pembelajaran. Dalam penerapan pembelajaran di sekolah, guru dapat menciptakan suasana belajar yang menarik perhatian dengan memanfaatkan media pembelajaran yang kreatif, inovatif dan variatif, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan mengoptimalkan proses dan berorientasi pada prestasi belajar.
5 Secara khusus, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2007) dan yang dilakukan oleh Adryana (2001) tentang penggunaan media gambar seri dalam menulis karangan narasi dapat meningkatkan beberapa hal sebagai berikut (1) kemampuan siswa dalam menyusun cerita berdasarkan rangkaian gambar secara urut sehingga menjadi karangan narasi yang utuh, (2) kemampuan siswa dalam memadukan kalimat menjadi karangan narasi yang padu dengan menggunakan kata sambung yang tepat, dan (3) kemampuan siswa dalam menggunakan ejaan dan tanda baca secara benar dalam karangan narasiyang diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberi perolehan tentang deskripsi pembelajaran menulis karangan narasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dibeberapa sekolah proses dan hasil pembelajaran dengan menggunakan media gambar seri belum dikembangkan dalam pembelajaran menulis karangan artinya belum digunakan strategi pembelajaran dengan media gambar seri dan masih berorientasi pada pendekatan produk, guru lebih menitikberatkan pada pencapaian target kurikulum, program semesteran dan mengisyaratkan pula bahwa pembelajaran dilaksanakan cenderung berorientasi pada buku teks, khususnya pembelajarannya tidak banyak bersifat mendidik, membina, dan melatih sehingga pembelajaran kurang menarik bagi siswa. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses dan hasil penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan kemampuan menulis karangan narasi siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare dalam pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, dan penggunaan ejaan dan tanda baca?” dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis karangan narasi dalam pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, dan penggunaan ejaan dan tanda baca. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Keterampilan Menulis Pada hakikatnya keterampilan menulis dapat dikuasai seseorang dengan jalan banyak berlatih karena keterampilan menulis mencakup penggunaan sejumlah unsur yang kompleks secara serempak. Menurut Tarigan (1983:3-4) menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain, dan merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam menulis orang harus terampil memanfaatkan huruf grafologi, struktur, dan kosakata. Selain itu, Byrne (1988:1) mengemukakan bahwa menulis menggunakan simbol yaitu huruf atau kombinasi huruf yang
6 melambangkan bunyi bahasa. Menulis lebih dari sekadar memproduksi simbol, tetapi simbol harus diatur untuk membentuk kata dan harus diatur untuk membentuk kalimat. Kalimat harus menjadi paragraf, dan paragraf harus menjadi sebuah wacana yang utuh dan selesai. Menulis bukan hanya menyusun satu kalimat atau beberapa kalimat yang tidak berhubungan, melainkan menghasilkan rangkaian kalimat yang berhubungan satu dengan yang lain dan gaya tertentu. Lebih lanjut Sokolik (2003) dalam Linse dan Nunan (2006), mengemukakan menulis adalah kombinasi antara proses dan produk. Prosesnya yaitu pada saat mengumpulkan ide-ide sehingga tercipta tulisan yang dapat terbaca oleh para pembaca yang merupakan produk dari kegiatan yang dilakukan oleh penulis. Berdasarkan konsep di atas dapat dikatakan bahwa menulis merupakan komunikasi tidak langsung yang berupa pemindahan pikiran atau perasaan dengan memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata dengan menggunakan simbolsimbol sehingga dapat dibaca seperti apa yang diwakili oleh simbol tersebut. 2.2 Hakikat Menulis Narasi Menurut Keraf 1994 (dalam Adryana, 2001:17) narasi adalah bentuk wacana atau cerita yang berusaha menyajikan peristiwa sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh penulisnya. Dalam memulai menulis narasi hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu menetapkan calon pembaca tulisan dan menetapkan tujuan dari penulisan narasi tersebut. Penetapan calon pembaca sangat penting untuk menetapkan pola bahasa yang akan digunakan dalam menulis narasi. Menulis narasi untuk anak-anak akan sangat berbeda dengan menulis narasi untuk remaja. Penetapan tujuan juga sangat penting sebelum menulis narasi yaitu apakah tulisan tersebut mempunyai tujuan menceritakan kehidupan sehari-hari, untuk menceritakan sejarah, atau bertujuan untuk menghibur pembaca. Dengan adanya dua penetapan ini akan memudahkan penulis dalam menulis narasi sehingga akan menghasilkan narasi yang berkualitas. Untuk menghasilkan tulisan narasi yang berkualitas dan bermutu, menulis narasi adalah menulis kronologi, artinya sangat memperhatikan dimana cerita itu terjadi dan kapan kejadian itu terjadi. Ada empat hal penting dalam penulisan narasi yaitu latar belakang, masalah, puncak masalah, dan penyelesaian. Latar belakang adalah hal-hal yang mendasari penulisan narasi yaitu karakter, tempat, dan waktu yang akan memudahkan pembaca dalam mengikuti alur cerita. kemudian terdapat
7 masalah yang akan diselesaikan di akhir cerita. Masalah ini akan memuncak dan penuh dengan kejadian-kejadian yang tidak terduga. Puncak masalah ini diikuti oleh penyelesaian masalah. 2.3 Penggunaan Media Gambar Seri dalam Pembelajaran Menulis Proses belajar-mengajar yang optimal dapat dicapai dengan berbagai cara, salah satunya adalah pemanfaatan media pengajaran. Penggunaan media pengajaran yang diintegrasikan dengan tujuan dan isi pelajaran dimaksudkan untuk mempertinggi mutu belajar-mengajar. Dalam pengajaran menulis dengan gambar berseri terdapat hal-hal yang dilarang dalam penulisan. Hal ini dikemukakan oleh Comics Magazine Association of America Comics Code (dalam Beatty, 2004) bahwa kata-kata, simbol, atau gerakan yang berhubungan dengan cacat fisik, suatu penyakit, kesukuan, hal yang berbau seks, dan kepercayaan, tidak dapat diterima sebagai suatu cerita dari gambar seri. Sebagaimana diketahui bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada tahap berpikir operasional konkret maka pembelajaran diupayakan untuk mengkonkretkan sesuatu yang abstrak sehingga siswa dapat mengikuti pembelajaran secara berkesinambungan dengan motivasi dan minat belajar yang cukup baik. Menurut Wright (dalam Ardyana 2001: 35) gambar berseri memiliki peran dalam menulis, yaitu dapat memotivasi siswa, berkontribusi terhadap konteks bahas yang digunakan, dapat dijelaskan secara objektif, diinterpretasikan, dan dapat memberi informasi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK), karena didasari oleh permasalahan yang ada di lapangan yang sangat membutuhkan tindakan sehingga permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Wiriaatmadja (2007:29) mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas adalah salah satu jalan untuk pendidik yang ingin menambah ilmu pengetahuan, melatih pembelajaran di kelas dengan berbagai model yang akan mengaktifkan guru dan siswa. Sesuai dengan jenisnya, prosedur langkah-langkah pelaksanaan penelitian ini akan mengikuti prinsip-prinsip penelitian tindakan kelas yang umum dilakukan. Langkah-langkah dimaksud adalah prosedur berdaur ulang (cyclical) yang terdiri atas empat tahap, yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection) (Kemmis dan McTaggart dalam Wiriaatmadja, 2006:66-67) keempat tahapan tersebut merupakan proses siklus.
8 Pada konteks penelitian diuraikan beberapa hal pokok sebagai berikut, pertama lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 46 Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare. Kedua mata pelajaran. Mata pelajaran yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah mata pelajaran bahasa Indonesia, hal ini sesuai dengan judul penelitian ini yang pada khususnya pada aspek keterampilan menulis karangan narasi. Ketiga kelas penelitian. Pada penelitian ini yang menjadi kelas penelitian adalah pada kelas III karena sesuai fokus masalah yang diangkat pada penelitian ini tentang menulis karangan narasi berdasarkan media gambar seri dan sesuai dengan kurikulum yang digunakan di sekolah tempat penelitian. Keempat subjek penelitian. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare tahun pelajaran 2007/2008 karena PTK adalah penelitian yang mengikuti alur pembelajaran sebenarnya. Kelima mitra penelitian. Mitra penelitian ini adalah guru kelas III SD 46 Parepare yang juga sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus guru kelas. Keenam waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada semester 2 tahun ajaran 2007/2008. sesuai program SD Negeri 46 Parepare selama dua bulan yang dimulai pekan kedua April sampai dengan awal Juni 2008. Rancangan tindakan pembelajaran yang diterapkan pada pembelajaran keterampilan menulis karangan narasi dengan media gambar seri siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare disusun untuk dua kali pertemuan seperti pada Tabel 3.1 di bawah Tabel 3.1 Rancangan Tindakan Pembelajaran Tindakan Pokok 1. Pemahaman konsep tentang menulis karangan dengan media gambar seri
2. Pelaksanaan menulis karangan narasi dengan media gambar seri
Pokok Pembelajaran a. Membangkitkan skemata siswa b. Mendiskusikan dan menjelaskan tentang menulis paragraf yang baik serta menyajikan model atau contohnya sesuai dengan gambar seri yang diamati. c. Menyusun kerangka karangan berdasarkan urutan atau alur gambar seri yang ditampilkan guru.
Langkah-langkah pembelajaran 1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan kegiatan yang akan dilakukan selama pembelajaran. 2. Siswa mengamati gambar seri yang diperagakan atau ditunjukkan oleh guru 3. Membangkitkan skemata siswa tentang teknik pengembangan paragraf yang baik dilakukan dengan menginterpretasikan gambar seri yang diamati 4. Guru dan siswa mendiskusikan paragraf yang telah dibuat, diskusi diarahkan pada keruntunan dan kelogisan gagasan dan ketepatan penulisan. 5. Guru menyajikan contoh-contoh paragraf dengan pola pengembangan yang lain. Siswa mengamati contoh-contohcontoh itu lalu diminta membuat sebuah paragraf berdasarkan gambar seri. 6. Guru menghubungkannya konsep menulis karangan narasi dengan pengalaman siswa yang dilihat dalam kehidupan sehari-hari, 7. Siswa menjawab pertanyaan guru tentang hal diatas, guru mengarahkan pada diskusi tentang konsep menulis karangan narasi dengan menggunakan media gambar seri. a. mengembangkan 1. Guru memberikan bantuan berupa kalimat-kalimat kerangka karangan pertanyaan atau pernyataan yang dapat dikembangkan dalam bentuk draf secara oleh siswa menjadi sebuah kerangka karangan. individu 2. Siswa melanjutkan mengembangkan kerangka karangan b. memperbaiki atau narasi, guru akan memberi respon pada pertemuan merevisi draf sesuai berikutnya. dengan tema, alur ,latar 3. Guru menugasi siswa memperbaiki atau merevisi draf
9 urutan, dan pelaku yang ada dalam gambar seri tentang peristiwa alam. c. Mengedit, menyunting dan memeriksa hasil karangan narasi sesuai dengan media gambar seri d. Mempublikasikan hasil karangan
sesuai dengan tema, alur urutan, latar, dan pelaku yang ada dalam gambar seri tentang peristiwa alam. 4. Guru menugasi siswa untuk mengedit dan memeriksa hasil karangan dengan draf berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat secara individu atau berkelompok. 5. Menugasi siswa untuk mempublikasikan hasil karangannya dengan menunjukkan kepada guru, teman sekelas, dan terakhir memajangkan di majalah dinding sekolah
Data dalam penelitian ini adalah data tulisan mengenai penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyusun karangan karangan narasi utuh. Media gambar seri yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 (satu) gambar untuk setiap siklus yang dibagi menjadi empat bagian gambar seperti pada gambar 3.1 dan 3.2 di bawah ini
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Pengumpulan dan perekaman data yang digunakan dalam peneltian ini berupa (1) data hasil tes awal dan akhir kemampuan menulis siswa, (2) data aktivitas guru di kelas, (3) data aktivitas siswa di kelas, (4) data proses belajar mengajar di kelas, dan (5) data catatan harian/jurnal harian guru selama kegiatan berlangsung. Pengumpulan dan perekaman dilakukan untuk melihat aktivitas guru dan siswa selama berlangsung proses pembelajaran menulis narasi dengan menggunakan media gambar seri baik data utama maupun data penunjang dalam konteks pembelajaran.Hasil dari proses pengamatan didiskusikan dengan guru sebagai bahan refleksi untuk perencanaan tindakan berikutnya. Proses pengamatan dilakukan untuk mengamati beberapa hal berikut (1) pelaksanaan pembelajaran, (2) kendala yang dihadapi saat pelaksanaan tindakan pembelajaran (3) pemaknaan terhadap tindakan yang telah dilakukan dan kendala yang dihadapi untuk persiapan tindakan selanjutnya. Analisis data dilakukan pada tahap refleksi setiap siklus dengan tujuan untuk mengkaji data yang terkumpul, mereduksi data, dan menyimpulkan. Tahap penyajian data dilakukan dengan cara menyusun informasi secara naratif yang diperoleh dari hasil reduksi data sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang proses pembelajaran,
10 perkembangan kemampuan siswa, kesulitan yang dialami siswa, serta hasil yang diperoleh sebagai akibat pemberian tindakan. Tahap penyimpulan dilakukan berdasarkan data yang disajikan, dan merupakan pengungkapan akhir dan hasil tindakan penggunaan cerita bergambar sebagai media yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyusun cerita berdasarkan rangkaian gambar secara urut sehingga menjadi karangan narasi yang utuh. 3.2 Penelitian Pendahuluan Dari hasil analisis dan diskusi yang dilakukan peneliti pada studi pendahuluan disimpulkan faktor utama sebagai penyebab rendahnya keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare adalah strategi pembelajaran yang digunakan guru dalam keterampilan menulis karangan. Ada beberapa indikator faktor penyebab yang berhubungan dengan strategi dan proses pembelajaran menulis karangan yaitu (1) pembelajaran menulis karangan yang dikembangkan masih dilakukan dengan cara mengutamakan aspek teoritis, mekanis, dan kurang variatif, (2) siswa belum dibiasakan untuk menulis secara berkesinambungan (3) bimbingan dan penguatan yang diberikan guru terhadap kegiatan menulis yang dilakukan siswa belum optimal, (4) pembelajaran menulis yang dilaksanakan cenderung ekslusif, tidak terpadu dengan pembelajaran aspek keterampilan berbahasa lain, dan (5) pembelajaran menulis belum mengefektifkan penggunaan media pembelajaran. 3.3 Pelaksanaan Tindakan Pada tahap ini, guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun bersama peneliti. Adapun materi yang diajarkan adalah materi menulis karangan narasi dengan media gambar seri untuk mengetahuai kemampuan menulis karangan narasi siswa dalam hal (1) pengorganisasi karangan (2) kualitas gagasan (3) Penggunaan ejaan dan tanda. Sesuai Tindakan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan model siklus. Tindakan pembelajaran siklus I dilakukan dua kali pertemuan dengan alokasi waktu setiap pertemuan 2 x 35 menit (2 jam pelajaran). Pertemuan pertama difokuskan pada kegiatan pemahaman konsep. Pertemuan selanjutnya difokuskan pada pelaksanaan menulis karangan narasi dengan media gambar seri dengan tindakan. Ketika proses pembelajaran berlangsung dilaksanakan pengamatan dengan mencatat aktivitas guru dan siswa termasuk proses belajar mengajar. Pengamatan dilakukan agar diperoleh informasi tentang kekurangan, kendala, atau kekuatan dari pelaksanaan tindakan yang dilakukan selama proses pembelajaran. Dari hasil pengamatan tersebut
11 kemudian dilaksanakan refleksi yang dilakukan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan tindakan dan dilakukan segera setelah pelaksanaan tindakan. Pada tahap refleksi, peneliti dan praktisi mendiskusikan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan. Dari hasil refleksi yang dilakukan selanjutnya diadakan perbaikan rancangan tindakan siklus selanjujtnya. Tahap ini merupakan perbaikan rancangan tindakan untuk siklus II yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi dan refleksi siklus I. Perbaikan rancangan tindakan untuk siklus II, yaitu (1) guru harus lebih aktif memberikan penguatan tentang hal-hal yang ada di sekitar lingkungan siswa yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas (2) guru memberikan waktu yang lebih banyak untuk menyelesaikan karangan narasi (3) guru harus lebih banyak berinteraksi secara individu kepada siswa atau memberikan masukan secara persuasif, dan (4) melibatkan peneliti dalam membimbing siswa. Tindakan pembelajaran siklus II dilakukan dalam dua kali pertemuan dengan alokasi waktu setiap pertemuan 2 x 35 menit (2 jam pelajaran) sama dengan tindakan pada siklus I. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan sama dengan pada tindakan siklus I. Dari hasil refleksi yang lakukan maka tindakan pada siklus II lebih ditingkatkan guru lebih banyak menggunakan pendekatan secara individu dengan pemberian model dan menghubungkannya konsep menulis karangan narasi dengan pengalaman siswa yang dilihat dalam kehidupan sehari-hari melalui pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan gambar seri yang disajikan. Pertemuan berikut tindakan pokok difokuskan pada pelaksanaan menulis karangan narasi dengan media gambar seri dengan pokok pembelajaran sama yang dilakukan pada tindakan siklus I dan pokok pembelajaran kemudian dikembangkan melalui langkah pembelajaran. Pengamatan pada siklus II terhadap tindakan proses pembelajaran dilakukan selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan memanfaatkan instrumen pengamatan. Pengamatan berlangsung dengan mencatat aktivitas guru dan siswa termasuk proses belajar mengajar. Pengamatan dilakukan agar diperoleh informasi tentang pelaksanaan tindakan yang dilakukan selama proses pembelajaran. Seperti tindakan pengamatan yang dilakukan pada siklus I pada pengamatan siklus II. BAB IV PAPARAN PROSES DAN HASIL PENELITIAN 4.1 Proses dan Hasil Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Siklus I Berdasarkan masalah penelitian, pada bahasan ini diuraikan proses dan hasil penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan
12 narasi dalam hal pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, penggunaan ejaan dan tanda baca. Pada proses pembelajaran dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu tahap pra-menulis, menulis, dan pasca-menulis yang mengarah pada hasil pencapaian pembelajaran penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi dalam hal pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, penggunaan ejaan dan tanda baca. 4.1.1 Proses Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Siklus I Proses pembelajaran pada siklus I dilaksanakan mencakup mencakup tiga tahap yaitu tahap pra-menulis, menulis, dan pasca menulis. Proses pembelajaran pada tahap pra-menulis dimulai dengan memusatkan perhatian siswa pada gambar seri yang ditampilkan, menginterpretasikan setiap urutan gambar yang ada pada gambar seri, kemudian mengarahkan topik/judul karangan yang sesuai dengan gambar seri lalu menentukan atau memilih salah satu topik/judul karangan yang sesuai dengan gambar seri seperti gambar 4.1 di bawah ini
Gambar 4.1 Contoh Media Gambar Seri Selanjutnya menugasi siswa untuk memperbaiki atau merevisi draf yang telah ditulisnya berdasarkan kesesuaian tema, urutan, latar, dan pelaku dengan gambar seri. Adapun aspek-aspek yang menjadi fokus penentuan keberhasilan siswa dalam pembelajaran tahap pra- menulis adalah (1) kesesuaian topik (2) identitas penanda paragraf, (3) kronologis peristiwa. Tindakan pembelajaran yang dilakukan dalam pembelajaran pada tahap ini adalah penggunaan teknik pemodelan yaitu memberikan contoh di papan tulis cara membuat kerangka karangan yang akan dengan tujuan agar siswa memperoleh pemahaman dalam menulis. Selain itu, guru melakukan bimbingan untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menuangkan gagasan. Memasuki tahap selanjutnya yaitu pada tahap menulis yang diawali dengan diawali apersepsi dari guru tentang materi pertemuan pertama yang dipelajari sebelumnya. Pada proses selanjutnya siswa ditugasi untuk mengembangkan kerangka
13 karangan dalam bentuk draf sesuai dengan urutan gambar. Pada proses ini guru tetap memberi bimbingan kepada siswa dengan memberi bantuan kalimat ataupun katakata sesuai dengan gambar seri. Setiap kerangka karangan yang dikembangkan siswa diberikan batasan dengan aspek penilaian untuk menentukan keberhasilan siswa dalam pembelajaran adalah (1) pengembangan ide, (2) penggunaan unsur bahasa dan, (3) penggunaan gaya bahasa. Tahap terakhir proses pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi dengan media gambar seri yaitu tahap pasca-menulis yang merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya. Pembelajaran tahap pasca-menulis dilaksanakan menugasi siswa untuk mengedit karangan secara individu berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat. Pada kegiatan akhir guru menugasi siswa untuk mempublikasikan karangan dengan menunjukkan hasil karangan kepada guru, menunjukkan hasil karangan kepada teman sejawat, membacakan hasil karangan di depan kelas, dan memajangkan hasil karangan. Selanjutnya guru memberikan penilaian atas hasil karangan siswa berdasarkan penggunaan ejaan, penulisan huruf kapital, dan penulisan struktur kalimat. 4.1.2 Hasil Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Siklus I Pada bagian ini dipaparkan hasil pembelajaran menulis karangan narasi dengan media gambar seri dalam (1) pengorganisasian karangan, (2) kualitas gagasan, dan (3) penggunaan ejaan dan tanda baca. Berdasarkan pengamatan penulis selama pelaksanaan kegiatan pembelajaran, tindakan yang dilakukan guru yaitu menghubungkan konsep karangan dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan bantuan berupa kalimat pertanyaan atau pernyataan yang dapat dikembangkan oleh siswa menjadi sebuah kerangka karangan. Selanjutnya siswa mengembangkan kerangka karangan sesuai dengan gambar seri yang disediakan guru sehingga identitas penanda karangan jelas dan kronologis peristiwa sesuai dengan gambar seri yang disediakan. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru belum maksimal karena guru hanya memberikan pengantar diawal pembelajaran dan menjelaskan secara singkat maksud dari pembelajaran kemudian siswa melanjutkan dengan menyelesaikan tugas tanpa adanya bimbingan secara berkesinambungan oleh guru. Secara keseluruhan dalam pengorganisasian karangan, hasil temuan penelitian pada siklus I menunjukkan bahwa tulisan siswa belum mendapatkan hasil
14 maksimal walaupun pada tataran pelaksanaan sudah menggunakan media gambar seri dan urutan pelaksanaannya sudah baik namun kemampuan siswa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat pada pencapain hasil evaluasi dengan indikator keberhasilan dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut (1) aspek kesesuaian topik, (2) identitas penanda paragraf, dan (3) kronologis peristiwa. Hasil pembelajaran pengorganisasian karangan dapat disimpulkan bahwa rerata nilai seluruh siswa terteliti dalam dalam pengorganisasian karangan mencapai 70,37% dengan hasil capaian berkualifikasi Baik. Hasil capaian tersebut apabila dilihat nilai per-aspek ditemukan bahwa (a) kesesuaian topik; sebanyak 1orang siswa atau 3,70% dengan kualifikasi kurang, 8 orang siswa atau 29,63% dengan kualifikasi cukup, dan 18 orang siswa atau 66,67% dengan kualifikasi baik (b) identitas penanta paragraf; sebanyak 2 orang siswa atau 7,41% dengan kualifikasi kurang, dan 13 orang siswa atau 48,15% dengan kualifikasi cukup, dan 12 orang siswa atau 44,44 dengan kualifikasi baik, (c) kronologis peristiwa; sebanyak 10 orang siswa atau 37,03% dengan berkualifikasi cukup, dan sebanyak 17 orang siswa atau 62,97% dengan berkualifikasi baik. Hasil dalam hal kualitas gagasan dapat diketahui dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kegiatan diawali apersepsi dari guru tentang materi pertemuan sebelumnya selanjutnya siswa ditugasi untuk mengembangkan kerangka karangan dalam bentuk draf sesuai dengan urutan gambar, pada proses ini guru tetap memberi bimbingan kepada siswa dengan memberi bantuan kalimat-kalimat ataupun kata-kata yang sesuai dengan gambar seri dengan mencontohkan di papan tulis. Memasuki tahapan pengembangan kerangka karangan, guru mengarahkan siswa untuk mengembangkan secara berurut kerangka yang dimilikinya. Hasil temuan bahwa siswa diberi empat gambar yang akan dikembangkan, siswa diarahkan untuk mengembangkan dari gambar pertama, kemudian gambar kedua, dan dilanjutkan pada gambar ketiga yang terakhir gambar keempat. Hal ini dilakukan agar siswa dengan mudah meruntutkan cerita dalam karangannya. Setiap kerangka karangan yang dikembangkan siswa diberikan batasan dengan aspek yang menjadi fokus penilaian untuk menentukan keberhasilan siswa dalam pembelajaran menulis narasi dalam kualitas gagasan adalah (1) mengembangkan ide, (2) penggunaan unsur kebahasaan dan, (3) penggunaan gaya bahasa. Penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa dalam hal kualitas gagasan secara keseluruhan pada siklus I menunjukkan bahwa tulisan siswa belum mendapatkan hasil maksimal walaupun pelaksanaannya sudah menggunakan media gambar seri dan urutan pelaksanaannya
15 sudah baik hal ini dapat dilihat pada pencapain hasil proses pembelajaran dengan indikator keberhasilan dapat dilihat dari pengembangkan ide, penggunaan unsur kebahasaan dan, penggunaan gaya bahasa. Hasil dalam hal kualitas gagasan menunjukkan bahwa paragraf yang ditulis siswa umumnya telah memiliki gagasan utama dan pengembang yang jelas. Gagasan itu dikembangkan secara logis dengan pengorganisasian yang baik. Struktur kalimat dan peralihan antar gagasan dalam paragraf sudah memperlihatkan keefektifan. Beberapa kesalahan dalam mengembangkan ide masih diketemukan, tetapi tidak sampai mengaburkan makna gagasan yang dikemukakan. Rerata nilai siswa terteliti dalam hal kualitas karangan mencapai 66,42 % dengan hasil capaian berkualifikasi Cukup. Dengan hasil per-aspek ditemukan adalah (1) pengembangan ide; terdapat 22 orang siswa atau 81,48% dengan kualifikasi cukup, 5 orang siswa atau 18,52% dengan kualifikasi baik (2) penggunaan unsur bahasa; terdapat 1orang siswa atau 3,70% dengan kualifikasi kurang, 9 orang siswa atau 33,33% dengan kualifikasi cukup, 17 orang siswa atau 62,97% dengan kualifikasi baik, dan (3) majas; terdapat 1 orang siswa atau 3,70% dengan kualifikasi kurang, 20 orang siswa atau 74,08% dengan kualifikasi cukup, dan 6 orang siswa atau 22,22% dengan kualifikasi baik. Pembelajaran selanjutnya yaitu dalam hal penggunaan ejaan dan tanda baca merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya dilaksanakan pada tahap pengeditan. Hasil temuan menunjukkan bahwa guru menugasi siswa untuk mengedit karangan secara individu berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat. Pada tahap terakhir siswa mempublikasikan karangan dengan menunjukkan hasil karangan kepada guru, menunjukkan hasil karangan kepada teman sejawat, membacakan hasil karangan di depan kelas, dan memajangkan hasil karangan. Hasil pembelajaran dalam penggunaan ejaan dan tanda baca menunjukkan bahwa beberapa kesalahan dalam penggunaan tanda baca dan ejaan masih ditemukan, tetapi sampai mengaburkan makna gagasan yang dikemukakan. Rerata nilai siswa dalam penggunaan ejaan dan tanda baca mencapai 67,65% dengan hasil capaian berkualifikasi Cukup. Dengan hasil per-aspek ditemukan sebagai berikut (1) aspek penggunaan ejaan; terdapat 13 orang siswa atau 48,15% dengan kualifikasi cukup, 14 orang siswa atau 51,85% dengan kualifikasi baik, (2) aspek penulisan huruf kapital; terdapat 1 orang siswa atau 3,70% dengan kualifikasi kurang, 13 orang siswa atau 48,15% dengan kualifikasi cukup, 13 orang siswa atau 48,15% dengan kualifikasi baik, dan (3) aspek penulisan struktur kalimat; terdapat 2 orang siswa atau 7,41% dengan kualifikasi kurang, 18 orang siswa atau 66,67% dengan kualifikasi cukup, dan 7 orang siswa atau 25,92% dengan kualifikasi baik.
16 4.1.3 Refleksi dan Revisi Penelitian Siklus I Hasil keseluruhan yang dicapai siswa terteliti dalam pembelajaran menulis karangan narasi dengan menggunakan media gambar seri disiklus I menunjukkan bahwa beberapa kesalahan dalam penggunaan ejaan dan tanda baca masih ditemukan, tetapi tidak sampai mengaburkan makna gagasan yang dikemukakan. Refleksi terhadap pelaksanaan tindakan pembelajaran pada siklus I dilakukan dengan memperhatikan pencapaian dan proses pembelajaran maka pada siklus II dilakukan tindakan, antara lain: memberikan penguatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau yang berhubungan dengan gambar seri yang disediakan, pemusatan perhatian siswa terhadap pembelajaran sehingga siswa lebih cepat memahami apa yang harus dilakukan, dan memberikan pemahaman tentang penyusunan paragraf yang baik sesuai dengan gambar seri yang digunakan sehingga menghasilkan organisasi karangan, kualitas gagasan dan ejaan dan tanda baca yang tepat. Langkah pembalajaran yang akan dilaksanakan pada siklus II tetap sama, tetapi lebih bervariasi dibanding langkah pembelajaran pada siklus I. Pada pelaksanaan siklus II guru memberi ransangan atau penguatan gagasan siswa untuk menulis dengan berandai-andai melalui kegiatan tanya-jawab. Kegiatan tanya jawab dilakukan untuk menjalin komunikasi yang akrab antara guru dan siswa dan untuk memancing gagasan yang lebih kreatif da1am menulis karangan. Sebelum menulis, guru menanyakan tentang kejadian yang tertera pada gambar dengan mengajak siswa berimajinasi tentang kejadian yang ada pada gambar seri. Selain itu pemberian respon sebaiknya diberikan guru secara tertulis, tetapi respon yang diberikan bukan hanya mengoreksi kesalahan siswa. Respon diberikan mengarah pada tanggapan guru terhadap isi/hal yang dikemukakan siswa. 4.2 Proses dan Hasil Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Siklus II Proses dan hasil penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi dalam hal pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, penggunaan ejaan dan tanda baca. Pada proses pembelajaran dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu tahap pra-menulis, menulis, dan pasca-menulis 4.2.1 Proses Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Siklus II Sebagaimana uraian pada siklus I maka pada siklus II dilakukan dalam tiga tahapan proses pembelajaran sebagai berikut (1) pramenulis, (2) menulis, dan (3)
17 pasca menulis. Seperti halnya pada siklus I Pelaksanaan siklus II ini gambar yang dijadikan sebagai media pembelajaran berbeda dengan pada siklus sebelumnya. Gambar seri yang dijadikan sebagai media pembelajaran terdiri dari empat gambar sesuai dengan rancangan pembelajaran yang telah dibuat. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar seri di bawah 4.2 dibawah ini.
Gambar 4.2 Contoh Media Gambar Seri Tindakan pembelajaran pada tahap pra menulis dilakukan guru dengan menggunakan teknik pemodelan yaitu memberikan model atau contoh di papan tulis cara membuat kerangka karangan yang akan dikembangkan. Untuk mencapai hasil yang maksimal guru tetap membimbing siswa dalam menemukan topik yang kemudian dikembangkan menjadi kerangka karangan sehingga menghasilkan draf awal yang sesuai dengan gambar seri yang digunakan, sehingga penanda peragraf menjadi jelas dan kronologis cerita yang sesuai dengan gambar seri yang diberikan. Penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa pada tahap pramenulis pada siklus II terdiri atas beberapa kegiatan pembelajaran yaitu (1) penyampaian apersepsi tentang pembelajaran yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya, kemudian guru menjelaskan fokus kegiatan yang akan dilaksanakan, (2) sebelum menugasi siswa untuk membuat kerangka karangan berdasarkan gambar seri, guru memberikan contoh cara membuat kerangka karangan dengan tetap memperhatikan kesesuaian topik, penanda paragraf jelas, dan alur cerita tepat dengan gambar seri yang diberikan, (3) guru menugasi siswa membuat kerangka karangan dalam bentuk draf tanpa ketentuan waktu, dan (4) guru lebih banyak memberikan bimbingan secara langsung. Pelaksanaan pembelajaran selanjutnya pada tahap menulis diawali dengan kegiatan apersepsi dari guru tentang materi yang telah dipelajari. Proses selanjutnya siswa ditugasi untuk mengembangkan kerangka karangan dalam bentuk draf sesuai dengan urutan gambar, pada proses ini guru tetap memberi bimbingan kepada siswa dan lebih banyak menggunakan metode tanya jawab untuk memberikan pemahaman
18 kepada siswa dilanjutkan pada tahap pengembangan kerangka karangan dengan mengarahkan siswa untuk mengembangkan kerangka karangan yang dimilikinya. Contohnya, siswa diberi empat gambar yang akan dikembangkan, maka siswa diarahkan untuk mengembangkan dari gambar pertama, kemudian gambar kedua, dan dilanjutkan pada gambar ketiga serta yang terakhir gambar yang keempat. Hal ini dilakukan agar siswa dengan mudah meruntutkan cerita dalam karangannya sehingga semua ide yang dikembangkan jelas dan mudah dipahami, penggunaan unsur kebahasaan tepat, dan kaya dan tepat penggunaan gaya bahasanya sehingga menarik dan menghasilkan kualitas gagasan yang baik. Adapun aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian untuk menentukan keberhasilan siswa dalam pembelajaran menulis narasi dalam hal kualitas gagasan adalah (1) mengembangkan ide, (2) penggunaan unsur kebahasaan dan, (3) penggunaan gaya bahasa. Pada siklus II proses pembelajaran menulis karangan narasi dengan media gambar seri pada tahap pasca menulis merupakan proses pengeditan hasil karangan. guru menugasi siswa untuk mengedit karangan secara individu berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat. Kegiatan terakhir guru menugasi siswa untuk mempublikasikan karangan dengan menunjukkan hasil karangan kepada guru, menunjukkan hasil karangan kepada teman sejawat, membacakan hasil karangan di depan kelas, dan memajangkan hasil karangan. Penggunaan media gambar seri dalam siklus II ini diberikan dua kali pertemuan, dengan pokok bahasan bencana alam. Selama perlakuan berlangsung, kolaborator mengobservasi kegiatan pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi dan mencatat segala sesuatu yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. Temuan-temuan yang didapatkan dicatat dalam lembar catatan lapangan. 4.2.2 Hasil Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Siklus II Pada bagian ini dipaparkan hasil pembelajaran penelitian dalam hal (1) pengorganisasian karangan, (2) kualitas gagasan, dan (3) penggunaan ejaan dan tanda baca. Seperti halnya pada siklus I temuan penelitian tindakan pembelajaran dalam pengorganisasian karangan pada siklus II, guru menggunakan teknik pemodelan yaitu memberikan model cara membuat kerangka karangan yang akan dikembangkan dengan pemberian bimbingan secara klasikal untuk mengatasi kesulitan-kesulitan siswa dalam menuangkan gagasannya. Pemberian bimbingan lebih sering dilakukan untuk memahamkan siswa mengerjakan tugas yang diberikan,
19 sehingga siswa dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan untuk menemukan topik untuk dikembangkan menjadi kerangka karangan dan menghasilkan draf awal yang sesuai dengan gambar seri yang digunakan, penanda paragraf menjadi jelas dan mendapatkan hasil atau kronologis cerita yang betul-betul sesuai dengan gambar seri yang diberikan guru dengan memberikan waktu yang lebih banyak dari pertemuan sebelumnya kepada siswa serta menjelaskan tentang cara membuat kerangka karangan yang baik dengan menyajikan contoh dan memahamkan sesuai dengan gambar seri yang diamati oleh siswa dengan cara guru menghubungkan gambar seri dengan kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk menambah perbendaharaan kata siswa untuk dituangkan dalam karangan. Hasil pembelajaran dalam hal pengorganisasian karangan dapat dilihat dari rerata nilai seluruh siswa terteliti yang mencapai 78,77% dengan hasil capaian berkualifikasi baik. Hasil capaian tersebut apabila dilihat nilai per-aspek ditemukan bahwa (a) aspek kesesuaian topik; sebanyak 7 orang siswa atau 25,93% berkualifikasi cukup, 16 orang atau 59,26% berkualifikasi baik dan 4 orang siswa atau 14,81% berkualifikasi sangat baik, (b) aspek paragraf; sebanyak 6 orang siswa atau 22,22% berkualifikasi cukup, 19 orang siswa atau 70,37% berkualifikasi baik, dan 2 orang siswa atau 7,41% berkualifikasi sangat baik (c) aspek alur; sebanyak 3 orang siswa atau 11,11% berkualifikasi cukup, sebanyak 19 orang siswa atau 70,37% berkualifikasi baik, dan 5 orang siswa atau 18,52% berkualifikasi sangat baik. Hasil temuan pembelajaran menulis karangan narasi dengan media gambar seri dalam hal kualitas gagasan pada siklus II menunjukkan bahwa tindakan dilakukan dengan teknik pemodelan dan bimbingan secara individu dengan hasil yaitu paragraf yang ditulis siswa umumnya telah memiliki gagasan utama dan pengembang yang jelas. Struktur kalimat dan peralihan antar gagasan dalam paragraf sudah memperlihatkan keefektifan.Alur cerita yang digunakan juga cukup tepat dan mewakili gagasan yang dikemukakan. Beberapa kesalahan dalam mengembangkan ide masih ditemukan. Dari hasil tersebut ketercapaian belajar siswa dalam hal kualitas gagasan mencapai rerata nilai 78,22% dengan hasil capaian berkualifikasi baik. Hasil tersebut dapat dilihat per-aspek sebagai berikut (1) pengembangan ide; 2 orang siswa atau 7,41% berkualifikasi cukup, 24 orang siswa atau 81,48% berkualifikasi baik, dan 1 orang siswa atau 3,70 berkualifikasi sangat baik, (2) penggunaan unsur bahasa; 8 orang siswa atau 29,63% berkualifikasi cukup dan 19 orang siswa atau 70,37% berkualifikasi baik, (3) majas; 7 orang siswa atau 25,93% berkualifikasi cukup, dan 20 orang siswa atau 74,07% berkualifikasi baik.
20 Selanjutnya penggunaan ejaan dan tanda baca yang merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya dilaksanakan pada tahap pengeditan. Tindakan yang dilakukan guru yaitu menugasi siswa untuk mengedit karangan secara individu berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat tetapi guru tetap memberikan bimbingan kepada siswa secara individu. Pada tahap yang terakhir guru menugasi siswa untuk mempublikasikan hasil karangan dengan menunjukkan kepada guru, teman sejawat, membacakan di depan kelas, dan memajangkan hasil karangan. Hasil dalam penggunaan ejaan dan tanda baca menunjukkan bahwa beberapa kesalahan dalam tanda baca dan ejaan masih ditemukan, tetapi tidak sampai mengaburkan makna gagasan yang dikemukakan serta cerita masih mudah dipahami. Ketercapaian hasil belajar siswa dalam hal penggunaan ejaan dan tanda baca menunjukkan rerata nilai 76,54% dengan hasil capaian berkualifikasi baik. Hasil dapat dilihat per-aspek sebagai berikut (1) penggunaan ejaan; 14 orang siswa atau 51,85% berkualifikasi cukup, dan 13 orang siswa atau 48,15% berkualifikasi baik, (2) penulisan huruf kapital; 2 orang siswa atau 7,41% berkualifikasi cukup, 23 orang siswa atau 85,18% berkualifikasi baik, 2 orang siswa atau 7,41% berkualifikasi sangat baik, dan (3) penulisan struktur kalimat; 27 orang siswa atau 100% berkualifikasi baik. 4.2.3 Refleksi Penelitian Siklus II Berdasarkan proses dan hasil pembelajaran pada siklus II, dapat dinyatakan bahwa penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare sudah menunjukkan peningkatan. Rerata nilai siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare dalam menulis karangan narasi dengan menggunakan media gambar seri pada siklus II adalah 77,12 dengan kualifikasi baik. Atas dasar temuan itu, peneliti memandang bahwa penggunaan media gambar seri dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare. Berdasarkan hasil observasi berupa catatan lapangan selama pembelajaran menulis karangan narasi pada setiap siklusnya dapat diketahui sebagai berikut. (1) Dalam pembelajaran menulis karangan narasi strategi yang digunakan guru sama pada setiap siklus, yaitu strategi tanya jawab, curah pendapat, bimbingan klasikal dan individu, maupun pemodelan. Kegiatan siswa pada setiap tahap adalah mengorganisasikan karangan untuk menghasilkan kualitas gagasan dan penggunaan
21 ejaan dan tanda baca yang benar. (2) Guru selalu memberi penguatan sehingga siswa mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menulis karangan narasi dengan menggunakan media gambar seri pada awal pertemuan disetiap siklus. (3) Penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi yang dilakukan guru juga berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan menulis siswa karena Guru tidak sekedar memberikan tugas untuk menulis pada siswa tetapi juga memberikan informasi yang berguna untuk perencanaan dan penyesuaian kebutuhan belajar siswa. BAB V PEMBAHASAN 5.1 Bahasan Proses Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Bahasan proses pembelajaran penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare di fokuskan pada tiga tahap proses pembelajaran yaitu (1) pra-menulis, (2) menulis, dan (3) pasca-menulis. Sebelum pembelajaran menulis karangan narasi berlangsung, perencanaan pengajaran dipandang penting karena dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis karangan narasi dengan menggunakan media gambar seri. Menurut Munandir (1987:199), perencanaan pembelajaran yang dilakukan secara cermat sebelum pembelajaran berlangsung dan menentukan apakah sudah ada material yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Berdasarkan hasil penelitian, perencanaan pembelajaran yang telah disusun dalam tindakan pada siklus I dan II sudah mengalami peningkatan berdasarkan hasil temuan penelitian. Dalam temuan tersebut diketahui bahwa tindakan pembelajaran pada tahap pra-menulis guru menggunakan teknik pemodelan untuk lebih memahamkan siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan, dan insensitas guru dalam memberi bimbingan lebih banyak sehingga siswa dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Selain itu, guru tidak mengharuskan siswa memberikan jawaban yang benar, tetapi cenderung menyemangati siswa agar berpikir kreatif untuk mengemukakan ide-idenya secara interpretatif. Dalam proses tersebut, guru dapat berperan sebagai pemicu kegiatan belajar dan siswalah yang berperan sebagai pemacu diri untuk belajar. Dalam hal lain untuk mengarahkan siswa memperhatikan kesesuaian topik, penanda paragraf jelas, dan alur cerita tepat dengan gambar seri yang diberikan, guru dapat membantu siswa melalui curah pendapat sebagaimana dikemukakan Tompkins (1994:230)
22 bahwa, dalam pemilihan dan pengembangan topik, guru dapat membantu siswa melalui curah pendapat untuk memilih salah satu topik yang diminati dan diketahuinya. Setelah proses pembelajaran tahap pra-menulis dilanjutkan pada tahap menulis. Pada tahap menulis proses pembelajaran diarahkan pada pengembangan kerangka karangan dengan mengarahkan siswa untuk mengembangkan secara berurut kerangka yang dimilikinya. Akhadiah, dkk. (1996:25) menuturkan menyusun kerangka karangan merupakan suatu cara untuk menyusun suatu rangkaian yang jelas dan struktur yang teratur dari karangan yang akan digarap. Proses pembelajaran penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa pada tahap menulis pada siklus I menunjukan bahwa draf awal yang dihasilkan siswa belum sepenuhnya terorganisir dengan logis dan sistematis. Pada siklus II tahap menulis fokus pembelajaran adalah (1) mengembangkan ide, (2) penggunaan unsur kebahasaan dan, (3) penggunaan gaya bahasa. Untuk mendukung ketercapaian siswa pada tahap menulis tindakan pembelajaran yang dilakukan guru yaitu menggunakan media gambar seri dengan teknik pemodelan yaitu memberikan contoh di papan tulis cara mengembangkan kerangka karangan menjadi sebuah cerita yang utuh. Guru juga melakukan lebih banyak bimbingan secara individu dan lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi baik antar siswa maupun interaksi dengan guru untuk mengatasi kesulitan siswa menuangkan gagasannya.Bimbingan yang dilakukan guru terbukti membuat siswa termotivasi untuk mengembangkan kerangka karangannya sehingga menghasilkan kualitas gagasan yang baik. Pada siklus II terlihat siswa lebih cepat menyelesaikan dan memahami karangan yang dikembangkan sesuai dengan urutan, latar, pelaku, penggunaan unsur kebahasaan dan kaya penggunaan gaya bahasa dibandingkan siklus I. Langkah-langkah yang dilakukan guru adalah (1) menjelaskan aspek-aspek yang harus diperbaiki, (2) memberikan contoh di papan tulis cara memperbaiki karangan, dan (3) memotivasi dan membimbing siswa agar serius melakukan revisi dan edit karangan. Teknik ini digunakan sebagai upaya agar siswa mengenal dan memahami secara baik aspek yang perlu diedit dan direvisi. Proses pembelajaran tahap pascamenulis yang merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya. Pada tahap ini guru menugasi siswa untuk mengedit karangan secara individu berdasarkan penulisan ejaan, huruf kapital, kosakata, dan struktur kalimat seperti halnya yang dilakukan pada siklus II yaitu menunjukkan hasil kepada guru, teman sejawat, membacakan di depan kelas, dan memajangkan.
23 Proses pembelajaran siklus I pada tahap pasca-menulis siswa belum mampu merespon pertanyaan guru maupun teman sejawatnya dengan baik. Namun dengan adanya motivasi dan bimbingan dan penggunaan gambar seri sebagai, hasil yang ditunjukkan siswa pada siklus II terjadi peningkatan. Siswa telah mampu membaca karangannya dengan baik, mampu merespon pertanyaan dari guru maupun teman sejawatnya dengan tepat, serta siswa juga berani mengajukan pertanyaan dan komentar terhadap hasil karangan teman. Sesuai pendapat Tompkins (1994:24) bahwa siswa mempublikasikan hasil tulisannya, sedangkan teman sejawat dan guru memberikan penilaian. Pelaksanaan publikasi dimaksudkan untuk melihat hasil penggunaan ejaan dan tanda baca. Seperti pada siklus I proses pembelajaran menunjukkan masih terdapat kesulitan yang dialami siswa dari hasil yang dicapai. Bentuk kesulitan yang dialami adalah kurang tepatnya menggunakan pilihan kata, belum padunya paragraf dalam karangan, serta masih ditemukan kesalahan dalam menggunakan imbuhan.Untuk mengatasi hal tersebut pada siklus II guru memberikan bimbingan dan pemberian model dengan media gambar yang disajikan agar kesulitan yang dialami seperti masih kurang tepatnya penggunaan pilihan kata, belum padunya paragraf dalam karangan, serta masih ditemukan kesalahan dalam menggunakan imbuhan, penggunaan huruf kapital, struktur kalimat, dan penggunaan ejaan bisa teratasi dan dapat menghasilkan karangan yang baik. 5.2 Bahasan Hasil Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Media Gambar Seri Bahasan hasil pembelajaran penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas III SD Negeri 46 Parepare di fokuskan pada tiga hal sesuai dengan masalah, dan tujuan penelitian ini yaitu dalam (1) pengorganisasian karangan, (2) kualitas gagasan, dan (3) penggunaan ejaan dan tanda baca. Hasil dalam pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, dan penggunaan ejaan dan tanda baca seperti pada penjelasan bab IV secara keseluruhan temuan penelitian pada siklus I menunjukkan bahwa tulisan siswa belum mendapatkan hasil maksimal walaupun pada tataran pelaksanaan sudah menggunakan media gambar seri dan urutan pelaksanaannya sudah baik namun kemampuan siswa belum maksimal hal ini dapat dilihat pada pencapain hasil evaluasi. Hasil pelaksanaan siklus II menunjukkan tindakan pembelajaran dalam pengorganisasian karangan, kualitas gagasan, dan penggunaan ejaan dan tanda baca, guru membangkitkan skemata siswa dengan menggunakan teknik pemodelan yaitu memberikan model contoh di
24 papan tulis cara membuat kerangka karangan yang akan dikembangkan sesuai dengan gambar seri. Pemberian bimbingan juga dilakukan guru dalam mengembangkan karangan sesuai dengan gambar seri yang digunakan. Selanjutnya guru memberikan pemahaman kepada siswa tentang proses merevisi dan mengedit karangan melalui penjelasan dan pemberian contoh. Teknik ini digunakan sebagai upaya agar siswa mengenal dan memahami secara baik aspek-aspek yang perlu diedit dan direvisi. Hasil temuan pada siklus I siswa belum mampu memperbaiki karangan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya kesalahan dalam pilihan kata maupun penggunaan awalan. Namun demikian, dengan bimbingan dan arahan serta motivasi yang diberikan guru pada siklus II, siswa mampu melakukan perbaikan dengan tepat. Tepat dalam mengganti dan menempatkan pilihan kata, menggunakan ejaan tanda baca, serta unsur-unsur kebahasaan lainnya. Melalui proses perbaikan ini, siswa mendapatkan pengalaman dan pemahaman baru tentang kegiatan menulis yang merupakan sebuah kegiatan yang tidak sekali jadi, tetapi melalui porses dan tahapan yang perlu dilalui. BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Pada pelaksanaan pembelajaran dalam tiap siklusnya dilakukan tiga pokok hal pokok yang ingin dicapai, yaitu (1) bagaimana pengorganisasian karangan, (2) bagaimana kualitas gagasan, dan (3) bagaimana penggunaan ejaan dan tanda baca. Proses dan hasil pembelajaran dalam hal pengorganisasian karangan, diketahui bahwa guru dapat melaksanakan semua rancangan tindakan dengan baik. Pada setiap siklus kemunculan tindakan guru cukup efektif, tetapi tidak demikian dengan kemunculan tindakan pada siswa. Dalam hal ini, terdapat sejumlah indikator tindakan yang tidak semua siswa melakukannya atau hanya muncul pada beberapa siswa. Adapun indikator yang ingin dicapai yaitu (1) kesesuaian topik (2) identitas penanda paragraf, dan (3) kronologis peristiwa. Selanjutnya dalam hal kualitas gagasan indikator yang ingin dicapai yaitu (1) pengembangan ide, (2) penggunaan unsur kebahasaan dan, (3) penggunaan gaya bahasa. Kemudian dalam hal penggunaan ejaan dan tanda baca, diketahui bahwa guru dapat melaksanakan semua rancangan tindakan dengan baik. Pada setiap siklus kemunculan tindakan guru sangat baik, tetapi tidak demikian dengan kemunculan tindakan pada siswa. Adapun indikator yang ingin dicapai yaitu (1) penggunaan ejaan, (2) penulisan huruf kapital, dan (3) penulisan struktur kalimat.
25 Pada pengevaluasian proses pembelajaran menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terutama dari aspek siswa. Jumlah siswa yang terlibat dalam setiap tahapan kegiatan meningkat dari beberapa siswa menjadi sebagian besar, bahkan semua siswa. Berdasarkan penilaian proses, dapat terungkap bahwa respons siswa mencapai persentase 68,15% pada siklus I, 77.12% pada siklus II. Dengan demikian penggunaan media gambar seri untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi ini dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan secara tertulis. Dengan terbiasa dan lebih sering menulis, kualitas paragraf-paragraf yang dihasilkan dapat semakin baik. Dengan, terbiasa menulis kreativitas siswa dalam menulis pun meningkat. Siswa semakin mudah dan terbiasa menemukan berbagai bahan atau gagasan yang dapat ditulisnya. Penggunaan media gambar seri untuk menulis karangan narasi oleh siswa dapat memberi pengaruh yang besar terhadap peningkatan keterampilan menulis siswa. Dengan media gambar seri siswa dapat mengkonstruksi dan menemukan sendiri pengetahuannya, siswa juga dapat belajar dari berbagai kesalahan untuk menulis lebih baik. Disisi lain guru juga dapat memanfaatkan hasil yang diinginkan dalam tulisan siswa sebagai sumber informasi untuk melibat perkembangan belajar siswa. Dalam pelaksanaannya, penggunaan media gambar seri dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa dan dapat meningkatkan kemampuan kreatifitas dalam menulis. 6.2 Saran Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, penulis mengemukakan saran berikut: 1
Bagi guru bahasa Indonesia maupun guru mata pelajaran lain disarankan kegiatan menulis utamanya menulis karangan narasi dengan media gambar seri ini dapat terus diterapkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran karena selain memberikan gambaran tentang perkembangan keterampilan menulis juga memberikan gambaran tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan hasil belajar dan perkembangan psikologi siswa dan adanya kegiatan menulis karangan narasi dengan media gambar seri dapat dijadikan model pembelajaran kreatif dan inovatif bagi siswa.
2
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian tindakan serupa disarankan untuk melakukannya dalam konteks tataran program studi atau mata pelajaran lain karena menulis merupakan proses kognitif dan afektif yang mencakup berbagai bidang.
26 DAFTAR RUJUKAN Adryana,I. K. 2001. Penggunaan Media Gambar Berseri dalam Pembelajaran Keterampilan Menuls Narasi di Kelas IV SD. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang Akhadiah, S., Arsjad, G.M. & Ridwan, S.H. 1996. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta. Erlangga. Beatty, K. 2004. Read and Think. Hongkong. Pearson. Byrne, D. 1988. Teaching Writing Skills. London dan New York: Longman. Darmadi, K. 1996. Meningkatkan Kemampuan Menulis: Panduan untuk Mahasiswa dan Calon Mahasiswa. Yogyakarta: ANDI. Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka Elliot, J. 1991. Action Reseach for Educational Change. Buckingham: Open University Press. Ellis, A., Panunu, J., Standal, T., & Rummel, M.K. 1989. Elementary Language Arts Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Printice Hall. Farris, P.J. 1993. Language Arts: A Process Aporach. Madison: Brown and Benchmark. Kemmis, S. and McTaggart, R. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University. Keraf, G. 1984. Komposisi. Endeh: Nusa Indah. Linse, Caroline T. 2006. Practical English Language Teaching Young Learner, Texas: Mc Graw Hill. Munandir. 1987. Rancangan Sistem Pengajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Nunan, D. 2003. Practical English Language Teaching. Singapore. Mc Graw Hill Rofi’uddin, A. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Malang: PPS UM Tarigan, H. G. 1983. Menulis sebagai suatu Keterampilan Berbahasa.Bandung. Angkasa. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company. Wijayanti, A. 2007. Pengajaran Bahasa yang Efektif. http://lubisgrafura.wordpress.com Wiraatmadja, R. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.