BAB II LANDASAN TEORI
A.
Strategi Pemecahan Masalah Akademis
1.
Pengertian Strategi Pemecahan masalah Menurut Debono (dalam Elliot, Thomas, Joan, dan John, 1999) strategi
pemecahan masalah adalah cara menempatkan hal-hal pada tempatnya dengan cermat dan dengan penuh pemikiran dengan harapan sesuatu akan terjadi dari kondisi yang sebelumnya. Sedangkan, menurut Henson & Ben (1999) strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik penyelesaian masalah yang digunakan dalam pencarian solusi. Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Beberapa strategi yang sering digunakan adalah: 1. Algoritma. Algoritma adalah metode yang selalu menghasilkan suatu solusi yang benar dari setiap penyelesaian masalah (Matlin, 2005). Algoritma merupakan sebuah langkah prosedur yang menjamin kesuksesan jika langkah-langkah prosedur tersebut diikuti dengan benar. Dengan kata lain, algoritma memiliki susunan urutan yang baku dalam menyelesaikan suatu masalah dan berlaku secara umum.
Universitas Sumatera Utara
2. Heuristik Menurut Matlin (2005) dalam pemecahan masalah, heuristik adalah suatu strategi yang mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk mendapatkan suatu solusi. Bagaimanapun, heuristik tidak menjamin individu akan memecahkan masalah dengan benar. Menurut Matlin (2005), ada tiga heuristik yang paling sering digunakan yaitu: 1. Heuristik Hill-Climbing Salah satu strategi pemecahan masalah yang paling mudah biasanya disebut dengan heuristik hill-climbing. Heuristik hill-climbing adalah ketika individu memiliki masalah, maka individu tersebut memilih solusi secara sederhana terhadap alternatif jawaban yang tampak untuk menyelesaikan masalah. (Lovett dalam Matlin, 2005). Heuristik hill-climbing dapat digunakan ketika individu tidak cukup menemukan informasi mengenai alternatif-alternatif solusi yang dipilih oleh individu tersebut (Dunbar dalam Matlin, 2005). Heuristik hillclimbing digunakan oleh individu ketika: a. Memilih solusi yang tampak secara cepat dan sederhana dari masalah yang dihadapi b. Apabila solusi pertama dianggap gagal, maka individu memilih solusi berikutnya dari masalah yang dihadapi
Universitas Sumatera Utara
2. Heuristik Means-Ends Menurut Matlin (2005), heuristik Means-Ends memiliki dua komponen yaitu: a. Individu membagi masalah kedalam sub-sub masalah atau kedalam masalah yang lebih kecil b. Individu mencoba untuk mengurangi perbedaan mengenai keadaan awal dengan kondisi tujuan terhadap masing-masing sub masalah Heuristik means-ends tepat karena mengharuskan individu untuk mengidentifikasi tujuan yang diinginkan dan kemudian mencari tahu cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
3. Pendekatan analogi Menurut Matlin (2005) ketika individu menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan analogi, individu menggunakan solusi yang sama dengan masalah sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang baru. Adapun indikator individu menggunakan pendekatan analogi, antara lain: a. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa terhadap masalah serupa yang ia hadapi. b. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa ketika masalah yang ia hadapi sama atau serupa dengan masalah yang pernah dihadapi oleh orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan dari beberapa strategi pemecahan masalah yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan oleh individu untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalahnya, antara lain dengan menggunakan teknik algoritma atau heuristik.
2. Masalah Akademis Menurut Witz (2000), masalah akademis adalah kurangnya kemampuan siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu secara keseluruhan, sehingga mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut. Rathvon
(2004)
menyatakan
bahwa
masalah
akademis
dapat
dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar untuk memahami materi. Kekurangan keterampilan mengacu pada kurangnya keahlian yang memadai yang berkaitan dengan keterampilan akademis yang telah diajarkan sebelumnya. Kurangnya kelancaran mengacu pada kurangnya keterampilan yang dilakukan secara akurat. Siswa yang memiliki kekurangan dalam hal kinerja memiliki keterampilan yang memadai dan kelancaran tetapi tidak menghasilkan karya dengan kuantitas maupun kualitas yang memuaskan. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masalah akademis merupakan kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu
Universitas Sumatera Utara
materi pelajaran tertentu secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut.
3. Strategi Pemecahan Masalah Akademis Strategi pemecahan masalah akademis merupakan penggunaan teknik algoritma atau heuristik untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalah akademis siswa yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Pemecahan Masalah Menurut Matlin (2005), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi pemecahan masalah adalah: 1. Keahlian Individu yang memiliki keahlian dapat menjelaskan secara konsisten dalam menampilkan kinerja yang luar biasa dalam mengerjakan tugas dengan sesuatu dengan cara yang khusus (Ericsson & Lehmann). Hal tersebut dapat dilihat melalui individu yang memiliki pengetahuan dasar, memori, representasi, kecepatan dan keakuratan, serta kemampuan metakognitif.
Universitas Sumatera Utara
2. Mental set Ketika pemecahan masalah menggunakan mental set, individu terus menggunakan solusi yang sama yang telah mereka gunakan pada masalah sebelumnya, meskipun masalah tersebut dapat dipecahkan menggunakan metode berbeda yang lebih mudah. Mental set adalah kebiasaan mental yang mencegah individu untuk berhati-hati dalam memikirkan masalah dan pemecahannya secara efektif. (Langer, 1997; Langer & Moldoveanu, 2000 ; Lovett, 2002 dalam Matlin, 2005)
B. Tunanetra 1. Pengertian Tunanetra Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa: “tuna” adalah rugi dan “netra” adalah mata dan secara keseluruhan tunanetra adalah cacat mata. Istilah tunanetra yang mulai popular dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan istilah “buta” pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian (sebelah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (Pradopo dkk, 1977). Menurut Hallahan & Kauffman (1998) menyatakan bahwa tunanetra ialah seseorang yang memiliki ketajaman visual dari 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan meskipun baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti
Universitas Sumatera Utara
dimana seseorang tersebut dapat melihat 20 kaki sedangkan 200 kaki bagi orang yang berpenglihatan normal. Sedangkan menurut Heward (1996), seseorang dapat dianggap tunanetra apabila: a. Akuitas penglihatan seseorang adalah 20/200 atau kurang pada mata normal setelah koreksi sebaik mungkin dengan lensa atau lensa kontak. b. Bidang penglihatannya sangat terbatas. Disaat memandang lurus ke depan, mata normal mampu melihat objek-objek dalam interval sekitar 180 derajat. Beberapa individu yang memilki bidang penglihatan terbatas, menjelaskan persepsinya seperti melihat dunia melalui tabung sempit ataupun jalur komunikasi yang kecil. c. Jika dibatasi sampai daerah 20 derajad atau kurang dari bidang normal 180 derajat bagi individu yang memiliki fungsi visual yang normal, maka akan menurun secara perlahan selama periode waktu tertentu dan penurunan ini tidak terdeteksi pada anak-anak dan orang dewasa. Menurut Geniofam (2010), individu yang dikatakan tunanetra adalah jika tidak dapat melihat dua jari dimukanya atau hanya melihat sinar yang dapat digunakan untuk orientasi mobilitas dan individu tunanetra tidak dapat meggunakan huruf selaian huruf Braille. Jadi, individu yang dikatakan tunanetra adalah
mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan.
Universitas Sumatera Utara
2. Klasifikasi Tunanetra Menurut Pradopo, dkk (1977), klasifikasi tunanetra secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu: 1.
Waktu terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra.
Apakah sejak lahir, semasa usia sekolah, sesudah dewasa, ataukah usia lanjut dalam rangka program pendidikan penderita tunanetra. Ditinjau dari terjadinya kecacatan tersebut diatas, para penderita tunanetra dapat digolongkan sebagai berikut: a. Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan. b. Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, adalah yang sudah memiliki kesan-kesan mengenai pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. c. Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, adalah yang memiliki kesan-kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi. d. Penderita tunanetra pada usia dewasa, adalah yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri. e. Penderita tunanetra dalam usia lanjut, adalah yang sebagaian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan menyesuaikan diri. 2.
Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat, yakni sebagai berikut: a. Penderita tunanetra ringan (defective vision/low vision), yakni mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan, seperti para
Universitas Sumatera Utara
penderita rabun, juling, myopia ringan. Mereka ini masih dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum atau masih mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan penglihatan yang baik. b. Penderita tunanetra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan. Hanya dengan menggunakan kacamata pembesar mereka masih bisa mengikuti program pendidikan biasa atau masih mampu membaca tulisan-tulisan yang berhuruf tebal. c. Penderita tunanetra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat, atau yang biasa disebut oleh masyarakat dengan istilah buta. Disamping kedua pembagian tersebut diatas, Slayton French (dalam Pradopo dkk, 1977), menggolongkan para tunanetra sebagai berikut: a. Buta total, ialah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang. Indera penglihatannya demikian rusak atau kedua matanya sama sekali telah dicabut. b. Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan antara terang dan gelap, dalam wujud bayangan objek, melalui sinar langsung atau reflek cahaya. c. Penderita tunanetra yang masih bisa membedakan terang dan gelap serta warna, sampai ke tingkat pengenalan bentuk dan gerak objek dan masih bisa melihat judul tulisan biasa huruf-huruf besar.
Universitas Sumatera Utara
d. Penderita tunanetra yang kekurangan daya penglihatan (defective vision), dimana mereka dengan pertolongan alat atau kacamata masih mampu memperoleh pengalaman visual yang cukup. e. Buta warna, yakni mereka yang mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak dapat membedakan warna-warna tertentu
3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan Menurut Pradopo, dkk (1977), ada dua faktor pokok yang menyebabkan seorang anak menderita tunanetra, yaitu: 1. Faktor endogen, adalah faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan yang disebabkan faktor keturunan ini, dapat dilihat pada sifat-sifat keturunan yang mempunyai hubungan pada garis lurus, silsilah dan hubungan sedarah. Anak tunanetra yang lahir sebagai akibat faktor endogen (faktor keturunan) memperlihatkan cirri-ciri: bola mata yang normal, tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar. Kadang-kadang seluruh bola matanya seperti tertutup oleh selaput putih dan keruh. Kelainan lain pada indera penglihatan yang bersifat faktor pembawaan ialah juling, teleng, dan myopia. 2. Faktor exogeen adalah faktor luar, misalnya yang disebabkan oleh penyakit seperti:
Universitas Sumatera Utara
a. Xerophthalmia, yakni suatu penyakit karena kekurangan vitamin A. Penyakit ini terdiri atas stadium buta senja, stadium xerosis (selaput putih kiri-kanan dan selaput bening kelihatan kering) dan stadium keratomalacia (selaput bening menjadi lunak, keruh dan hancur). b. Trachoma, dengan gejala bintil-bintil pada selaput putih, kemudian perubahan pada selaput bening dan pada stadium terakhir selaput putih menjadi keras, sakit dan luka. c. Cataract,
Glaucoma,
dan
penyakit
lain-lain
yang
dapat
menimbulkan ketunanetraan Faktor exogeen lain ialah kecelakaan yang langsung dan tidak langsung mengenai bola mata. Misalnya kecelakaan karena kemasukan kotoran karena barang keras, benda tajam atau kena barang cairan yang berbahaya.
4. Karakteristik Ketunanetraan 1.
Karakteristik Psikologi Tunanetra Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera
penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tunanetra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan berkembang anak tunanetra dibanding dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang yang dialami oleh anak normal. Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tunanetra menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi
Universitas Sumatera Utara
anak normal tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual. Sehubungan dengan hal tersebut, maka timbul berbagai masalah antara lain ialah tumbuhnya rasa curiga terhadap orang lain, sangat mudah tersinggung perasaannya dan tumbuhnya rasa ketergantungan yang berlebihan (Pradopo dkk, 1977) a.
Curiga terhadap orang lain Rasa curiga mula-mula timbul oleh karena terbatas kemampuan anak
tunanetra berorientasi terhadap lingkungannya. Keterbatasan ini menimbulkan pengalaman yang kurang enak bagi dirinya yang menumbuhkan rasa kecewa. Apabila tumbuh secara berlebihan menjadikan anak tunanetra mudah curiga terhadap orang lain. b.
Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung pada anak tunanetra dapat pula disebabkan
oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterimanya, tetapi tidak diimbangi dengan memberikan peranan lebih oleh indera yang lainnya, sehingga karena pengalaman sehari-hari menumbuhkan perasaan kecewa membuat anak-anak tunanetra menjadi lebih emosionil sekalipun terhadap hal-hal kecil dan tidak perlu. c.
Ketergantungan yang berlebihan Yang dimaksud dengan ketergantungan adalah suatu sikap yang tidak mau
untuk mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung untuk mengharapkan pertolongan orang lain. Pada anak tunanetra rasa ketergantungan yang berlebihan tumbuh karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum
Universitas Sumatera Utara
berusaha
sepenuhnya
dalam mengatasi
persoalan-persoalan
dirinya
dan
mengharapkan pertolongan atau disebabkan oleh rasa kasih sayang yang berlebihan dari pihak lain dengan cara selalu memberkan pertolongan-pertolongan kepada anak tunanetra sehingga karenanya ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun. Oleh karena itu, untuk mengatasinya anak tunanetra perlu diberi kesempatan untuk menolong dirinya sendiri.
2.
Perkembangan Bahasa Kebanyakan ahli percaya bahwa kurangnya fungsi penglihatan tidak dapat
mengubah kemampuan untuk mengerti dan menggunakan bahasa. Dari studi yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa siswa tunanetra tidak berbeda dengan orang yang melihat dalam tes intelegensi verbal. Hanya beberapa aspek komunikasi seperti gestur memiliki perbedaan pada individu yang memiliki kekurangan pada fungsi penglihatan. Anak tunanetra tetap dapat mendengar bahasa dan mungkin lebih termotivasi dibandingkan anak yang dapat melihat karena merupakan hal yang utama bagi anak-anak tunanetra dalam berkomunikasi (Hallahan & Kauffman, 1998). Kelompok profesional lainnya juga mempercayai bahwa anak tunanetra memiliki perkembangan bahasa yang berbeda, karena anakanak tunanetra tersebut memiliki kelebihan dan memilki kekurangan.
3.
Kemampuan Intelektual Menurut Hallahan & Kauffman (1998), beberapa kemampuan intelektual
pada tunanetra adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Performansi Pada Standarisasi Tes Inteligensi Samuel P.Hayes dalam Contributions to a Psychology of Blindness melaporkan bahwa ketunanetraan tidak secara otomatis menghasilkan intelegensi yang rendah. Pada studinya tahun 1950, Hayes mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menemukan siswa tunanetra dalam keadaan yang merugikan, terutama sekali dalam intelegensi verbal dan tidak ada hubungan antara kebutaan dengan IQ (Intelligence Quotient). b. Kemampuan Konseptual Perkembangan konseptual atau kemampuan kognitif pada anak yang mengalami kebutaan cenderung tertinggal daripada anak yang dapat melihat. Pada anak tunanetra, besar kemungkinan lebih rendah dalam tugas yang menuntut berpikir abstrak dan lebih mungkin untuk menyelesaikan tugas secara konkrit. c. Konsep Spasial Konsep yang muncul pada anak yang mengalami kebutaan lebih sulit dibandingkan yang lainnya. Tetapi banyak penelitian menunjukkan bahwa konseptualisasi spasial tidaklah mustahil bagi anak tunanetra. Individu yang tunanetra, ternyata belajar konsep spasial dengan penggunaan indera perasa selain indera penglihatan. d. Tactual dengan Pengalaman Visual Menurut Lowenfeld (dalam Hallahan, 1998) persepsi tactual dibedakan atas dua yakni synthetic touch dan analytic touch. Synthetic touch berdasar pada eksplorasi tactual seseorang dari objek yang cukup kecil yang dapat dipegang dengan satu atau kedua tangan. Sedangkan analytic touch yaitu meliputi sentuhan
Universitas Sumatera Utara
pada berbagai bagian dari suatu objek dan kemudian secara mental membentuknya menjadi bagian yang terpisah.
4.
Pencapaian Prestasi Menurut Hallahan & Kauffman (1998) sangat sedikit studi mengenai
pencapaian prestasi pada anak yang mengalami gangguan pada penglihatan dengan anak yang penglihatannya normal. Ada sedikit bukti yang menyatakan bahwa baik anak yang sebagian fungsi penglihatannya masih dapat digunakan dan anak yang buta, mental age nya berada di belakang teman sebaya mereka yang dapat melihat. Kesimpulan lainnya adalah bahwa pencapaian prestasi pada anak yang memiliki gangguan pada penglihatannya tidak berpengaruh besar seperti yang ada pada anak yang mengalami gangguan penglihatan. Pada proses belajar mendengar lebih penting daripada melihat. Oleh karena itu stimuli untuk belajar lebih mudah dan efektif diberikan pada individu yang tidak dapat melihat daripada individu yang tidak dapat mendengar.
5.
Karakterisrik Perilaku Tunanetra Menurut
Heward
(1996),
orientasi
adalah
kemampuan
untuk
menyeimbangkan satu posisi dan hubungannya dengan lingkungan melalui penggunaan alat indera yang tertinggal. Mobilitas adalah kemampuan berpindah dengan aman dan efisien dari satu poin ke poin lain. Untuk kebanyakan murid lebih banyak membutuhkan usaha untuk teknik orientasi dibanding teknik
Universitas Sumatera Utara
mobilitas. Anak dengan kesulitan pengihatan diajarkan tentang konsep dasar yang familiar dengan mereka melalui tubuh dan lingkungan mereka.
5. Pendekatan Pendidikan Ketika berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan kita sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti braille, alat perekam, dan lain-lain. Walaupun media dan material ini mempunyai peran penting dalam pendidikan anak dengan gangguan penglihataan, namun guru yang efektif harus lebih tahu daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan belajar oleh siswa yang mengalami gangguan penglihatan (Heward, 1996). Braille adalah sarana utama keaksaraan untuk orang-orang yang buta (Schroeder dalam Smith, 2006). Braille adalah sistem membaca dan menulis berupa huruf, kata, angka, dan sistem lain yang dibuat dari pengaturan titik yang timbul. Sistem ini dikembangkan sekitar tahun 1830 oleh Louis Braille, seorang berkebangsaan Perancis muda yang buta. Meskipun sistem braille sudah lebih dari 165 tahun, namun ini adalah cara yang paling efisien untuk membaca dengan sentuhan dan merupakan keterampilan penting bagi orang-orang yang memiliki susah untuk membaca cetak. Siswa yang buta bisa membaca huruf braille jauh lebih cepat daripada dari alphabet standar. Pendekatan pendidikan lain yang dapat membantu siswa tunanetra dalam belajar menurut Smith (2006) adalah calculation aids (alat bantu menghitung). Dalam pelajaran matematika, sempoa telah menjadi suatu alat bantu yang penting
Universitas Sumatera Utara
bagi siswa tunanetra, dengan memainkan biji sempoa penghitungan matematika dasar dapat dilakukan dan hasilnya terdapat dalam bentuk taktil yang dapat diraba dengan jari tangan.
C. Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam Yayasan Perguruan Trisakti Lubuk Pakam merupakan suatu sekolah yang berbasis swasta yang beralamat di Jl. P. Siantar No.80A Lubuk Pakam, kabupaten Deli Serdang. Yayasan pendidikan ini terdiri dari beberapa lembaga pendidikan yaitu SD Trisakti, SMP Trisakti, SMA Trisakti, STM, SMK Pariwisata, dan SMK Akutansi. Namun, peneliti hanya menyoroti permasalahan yang terjadi di tingkat SMA-nya saja. Yayasan Perguruan Trisakti menerima siswa yang berkebutuhan khusus, yaitu siswa yang menyandang tunanetra namun masih dalam kategori/tingkatan rendah (mereka masih bisa mengikuti proses belajar-mengajar). Yayasan Perguruan Trisakti menerima siswa tunanetra dikarenakan siswa tunanetra memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di jenjang pendidikan yang mereka inginkan. Setiap tahunnya sekolah ini menamatkan siswa yang berkebituhan khusus tersebut. Dalam proses belajar mengajar mereka disamakan dengan siswa normal lainnya dan ketika ujian mereka dipisah. Selama belajar mereka diperlengkapi dengan alat bantu seperti huruf Braille dan mesin ketik. SMA Trisakti sendiri memiliki harapan untuk mengahasilkan siswa-siswi yang berkualitas dalam setiap bidang dan tetap mengutamakan aspek moralitas
Universitas Sumatera Utara
yang dijunjung tinggi. Harapannya ke depan SMA Trisakti ini bisa menjadi salah satu sekolah yang terbaik di Provinsi Sumatera Utara.
1. Struktur Kurikulum SMA Trisakti Lubuk Pakam Struktur kurikulum SMA Trisaksti Lubuk Pakam meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas X sampai dengan kelas XII dan terdiri atas sejumlah mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Struktur kurikulum disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Kompetensi mata Pelajaran (SKMP). Pengorganisasian kelas pada SMA Trisakti Lubuk Pakam dibagi dalam dua kelompok yaitu kelas X merupakan program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik dan kelas XI dan XII merupakan program penjurusan yang terdiri atas dua program yaitu IPA dan IPS. Pendidikan kecakapan hidup yang meliputi kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademis dan atau kecakapan vokasional juga dikembangkan di SMS Lubuk Pakam secara terintegrasi dalam setiap kegiatan pembelajaran untuk seluruh mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri.
Tabel struktur kurikulum kelas XI dan XII IPA Komponen
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan
XI IPA Semester 1 2
XI IPA Semester 2 2
XII IPA Semester 1 2
XII IPA Semester 2 2
2
2
2
2
Universitas Sumatera Utara
3. Bahasa indonesia 4. Bahasa inggris 5. Matematika 6. Fisika 7. Biologi 8. Kimia 9. Seni Budaya 10. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan 10. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan 11. Teknologi Informasi & Komunikasi 12. Bahasa Perancis A. Muatan Lokal/Elektronika B. Pengembangan Diri JUMLAH
4 4 4 5 5 4 2 2
4 4 4 5 5 4 2 2
4 4 4 5 5 4 2 2
4 4 4 5 5 4 2 2
2
2
2
2
2
2
2
2
2 2
2 2
2 2
2 2
2* 42
2* 42
2* 42
2* 42
* Ekuivalensi 2 jam pembelajaran
Tabel struktur kurikulum kelas XI dan XII IPS Komponen
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa indonesia 4. Bahasa inggris 5. Matematika 6. Geografi 7. Sosiologi 8. Sejarah 9. Ekonomi 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan 12. Teknologi Informasi & Komunikasi
XI IPS Semester 1 2
XI IPS Semester 2 2
XII IPS Semester 1 2
XII IPS Semester 2 2
2
2
2
2
4 4 4 3 3 3 5 2 2
4 4 4 3 3 3 5 2 2
4 4 4 3 3 3 5 2 2
4 4 4 3 3 3 5 2 2
2
2
2
2
Universitas Sumatera Utara
13. Bahasa Perancis B. Muatan Lokal/Elektronika C. Pengembangan Diri JUMLAH
2 2
2 2
2 2
2 2
2* 42
2* 42
2* 42
2* 42
* Ekuivalensi 2 jam pembelajaran
D. Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar diri siswa tunanetra. Melalui indera penglihatan, sebagian besar rangsangan atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsangan tersebut (Matlin, 2005). Hal ini tidak dialami oleh siswa tunanetra sehingga kecenderungan siswa tunanetra menggantikan indera penglihatan dengan pendengaran sebagai saluran utama dalam penerimaan informasi dari luar dan mengakibatkan pembentukan pengertian atau konsep hanya berdasar pada suara atau bahasa lisan (Somantri, 2007). Menurut Hallahan & Kauffman (1998) tunanetra adalah seseorang yang memiliki ketajaman visual kurang lebih 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan meskipun baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad. Pada saat ini walaupun pemerintah sudah mendirikan sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan bagi individu yang berkebutuhan khusus terutama bagi siswa tunanetra yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusi, namun ternyata tidak semua siswa tunanetra dapat
Universitas Sumatera Utara
bersekolah di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan dalam mendirikan sekolah tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan demi menunjang kelancaran akademis siswa tunanetra. Selain masalah biaya, ternyata sumber daya manusia
juga terbatas sehingga
membuat terbatasnya akses pada siswa-siswa tunanetra dalam pendidikan. Dengan kondisi seperti ini mengharuskan individu tunanetra untuk menuntut ilmu di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Salah satu sekolah yang menerima siswa tunanetra adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti, Lubuk Pakam. Sekolah ini menerima siswa yang berkebutuhan khusus yaitu siswa yang menyandang tunanetra namun masih dalam kategori/tingkatan rendah (mereka masih bisa mengikuti proses belajar-mengajar). Setiap tahunnya sekolah ini menamatkan siswa yang berkebutuhan khusus tersebut. Dalam proses belajar mengajar mereka disamakan dengan siswa normal lainnya. Berdasarkan fenomena di lapangan yaitu di SMA Trisakti sendiri ditemui bahwa siswa tunanetra yang bersekolah disekolah umum tersebut, menemukan masalah akademis karena siswa tunanetra sendiri harus menyesuaikan diri untuk belajar bersama dengan siswa normal dengan metode belajar yang sama. Menurut Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kekurangan keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar memahami materi. Kekurangan keterampilan mengacu pada kurangnya keahlian yang memadai yang berkaitan dengan keterampilan akademis yang telah diajarkan sebelumnya. Kurangnya kelancaran mengacu pada kurangnya keterampilan yang dilakukan secara akurat. Siswa
Universitas Sumatera Utara
dengan kurangnya kinerja memiliki keterampilan yang memadai dan kelancaran tetapi tidak menghasilkan karya dengan kuantitas maupun kualitas yang memuaskan. Kondisi yang demikian membuat siswa tunanetra harus tetap semangat untuk mengikuti proses kegiatan akademis untuk dapat mengoptimalkan potensi mereka dan meningkatkan prestasi belajar melalui strategi pemecahan masalah akademis yang dilakukan oleh siswa tunanetra. Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara atau pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut. Berdasarkan penelitian Taplin (1994) ketika siswa tidak mencapai jawaban yang memuaskan dari solusi terhadap permasalahan mereka, maka siswa tersebut akan memutuskan untuk mengambil beberapa tindakan lagi dan memodifikasi atau mengubah strategi dengan segera. Terlebih lagi, siswa tersebut akan mengeksplorasi pertanyaan tentang penggunaan strategi pemecahan masalah untuk menjadi fleksibel dalam menggunakan strategi tersebut. Hal ini menggambarkan urutan strategi yang digunakan paling konsisten oleh siswa yang sukses. Dalam strategi pemecahan masalah terdapat tiga strategi pemecahan masalah heuristik yang paling sering digunakan yaitu heuristik hill-climbing, heuristik means-ends, dan pendekatan analogi (Matlin, 2005). Dalam strategi pemecahan masalah terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu keahlian dan mental set.
Universitas Sumatera Utara
Paradigma Berpikir
Pendidikan
Siswa berkebutuhan khusus
Siswa tunanetra
- Sekolah Luar Biasa (SLB) - Sekolah Inklusi
Sekolah umum
Menemukan masalah akademis kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu pelajaran tersebut (Rathvon, 2004) Heuristik Hill-Climbing
Diatasi dengan strategi pemecahan masalah
Heuristik Means-ends
Pendekatan Analogi
Faktor-faktor yang mempengaruhi Keahlian Mental set
Universitas Sumatera Utara