DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis PADA SAPI PERAH DI KABUPATEN BANDUNG DAN BANYUMAS
RAHMAT SETYA ADJI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
tesis
dengan
judul
Deteksi
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
Rahmat Setya Adji NRP. B151060081
ABSTRACT
RAHMAT SETYA ADJI. Detection of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis in Dairy Cattle in Bandung and Banyumas Regency. Under direction of FACHRIYAN H. PASARIBU and LILY NATALIA
Paratuberculosis or Johne’s Disease is a granulomatous enteritis chronic disease of domestic and wild ruminants caused by infection with Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis. The disease commonly infects dairy cattle with clinical signs of chronic diarrhoea, decreased body weight, low milk production, oedema, anemia and occasionally infertility. The aim of this research is to study M. paratuberculosis infection in dairy cattle. One hundred eigthy four samples of serum and faeces were taken from dairy cattle in Bandung and Banyumas regency. Three diagnostic methods used in this study were serological test by Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), culture and Polymerase Chain Reaction (PCR) IS900 and F57 as confirmation test. Results of serological test showed 8 positives for paratuberculosis out of 184 samples. PCR test from all faecal sample showed negative results. Twelve culture isolates were grown in Herrold’s Egg Yolk Medium (HEYM) with mycobactin J for 24 weeks incubation period, but only 2 isolates were confirmed M. paratuberculosis by PCR IS900 and F57. These data revealed that M. paratuberculosis have infected dairy cattle in Bandung and Banyumas regency with 2 % of prevalence. Key words : Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, dairy cattle, ELISA, PCR
RINGKASAN RAHMAT SETYA ADJI. Deteksi Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Dibimbing oleh FACHRIYAN H. PASARIBU dan LILY NATALIA
Paratuberkulosis atau lebih dikenal dengan Johne’s Disease merupakan penyakit enteritis granuloma kronik yang terutama menyerang hewan ruminansia baik domestik maupun liar dan juga merupakan penyakit zoonosis potensial. Penyakit ini lebih sering menginfeksi sapi perah dengan klinis berupa berupa diare, penurunan berat badan dan produksi susu, oedema, anemia dan dapat menyebabkan kemandulan sehingga sangat merugikan secara ekonomi. Penyebab Johne’s Disease adalah Mycobacterium paratuberculosis yang termasuk dalam kelompok Mycobacterium avium complex. Bakteri ini berbentuk batang, non motil, Gram positif, merupakan bakteri tahan asam dan sangat tergantung dengan mycobactin untuk pertumbuhannya. Di beberapa negara seperti Australia dan New Zealand prevalensi penyakit ini pada kelompok sapi perah relatif cukup tinggi, yaitu 17 % dan 22 %. Indonesia pernah mengimpor bibit sapi dari negara tersebut untuk pengembangan peternakan, baik sapi perah ataupun sapi potong, hal ini memungkinan penyakit tersebut terbawa masuk ke Indonesia dan menginfeksi hewan terutama sapi perah karena masa inkubasi penyakit yang sangat lama (2-4 tahun), yaitu sejak hewan masih muda (umur 0-6 bulan) dan penyakit akan muncul setelah umur 2 tahun ke atas karena bersifat kronis. Paratuberkulosis pada hewan terutama sapi perah di Indonesia, masih belum banyak diteliti, sehingga data – data tentang penyakit ini masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi tentang infeksi M. paratuberkulosis pada sapi perah baik secara serologi dengan teknik ELISA, deteksi material genetik bakteri dengan PCR maupun secara kultur. Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel serum dan feses sapi perah dari Kabupaten Bandung (Lembang dan Pangalengan) dan Banyumas (Baturaden) sebanyak 184 sampel. Pengambilan sampel tersebut menggunakan winepiscope 2.0 sofware dengan asumsi prevalensi 2 % dan tingkat kepercayaan 95 %, artinya prevalensi akan terpenuhi jika minimal ada 1 yang positif paratuberculosis dari jumlah sampel tersebut. Selanjutnya sampel tersebut diuji dengan berbagai teknik, meliputi uji serologi dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan ruminants serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis), sedangkan sampel feses dikultur dengan menggunakan Herrod’s Egg Yolk Medium Agar (HEYM) dengan dan tanpa ditambah mycobactin J. Sampel feses tersebut juga diuji langsung dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi material genetik M. paratuberculosis yang mungkin ada dalam sampel tersebut. Isolat yang tumbuh pada HEYM juga diuji menggunakan PCR untuk
konfirmasi hasil. Isolat acuan yang digunakan adalah M. paratuberculosis (A6/ Jerman dan ATCC 19698) dan M. avium (B6/Jerman). Primers yang digunakan untuk PCR adalah IS900 (TJ1-TJ2) dan F57. Hasil uji serologi menunjukkah ada 8 sampel yang positif paratuberkulosis dari 184 sampel, yaitu 2 dari Kabupaten Bandung dan 6 dari Kabupaten Banyumas. Intepretasi hasil ELISA ini menggunakan % E/P, yaitu jika % E/P di bawah 40 adalah negatif dan jika sama dengan atau lebih besar dari 40 adalah positif. Hasil PCR dengan sampel feses semuanya negatif, sedangkan hasil kultur menunjukkan ada 12 isolat yang tumbuh pada media HEYM, tetapi hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis setelah dikonfirmasi dengan PCR IS900 dan F57. Data di atas memperlihatkan bahwa ada 8 sampel yang positif secara serologi dan hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis. Hal ini karena respon imun humoral (antibodi) terhadap paratuberkulosis dapat dideteksi 6 bulan pasca infeksi tanpa diikuti dengan adanya bakteri yang dikeluarkan melalui feses, disamping itu mungkin juga karena jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses belum cukup banyak, sehingga hasil isolasinya negatif. Hasil positif secara serologi mungkin juga karena adanya reaksi silang dengan infeksi M. avium dan M. intraseluler sehingga menimbulkan positif palsu. Metode uji ini sering digunakan dan direkomendasikan untuk program screening dan kontrol paratuberkulosis karena biaya lebih murah dan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kultur maupun PCR, tetapi untuk menentukan status infeksi harus diikuti dengan uji lain berupa faecal culture dan PCR. Uji serologi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas ELISA terhadap kultur 25 % dengan tingkat spesifitas 96,8 %. Isolasi dan identifikasi bakteri dengan metode kultur dari sampel feses merupakan gold standard uji. Metode ini relatif lebih mahal dan lama (12 – 24 minggu) dibandingkan dengan ELISA dan PCR , tetapi cara ini masih sebagai acuan dalam pengujian dan direkomendasikan untuk penentuan status infeksi suatu peternakan dan program eradikasi. Hasil kultur dari sampel feses memperlihatkan adanya beberapa bakteri tahan asam yang tumbuh pada media HEYM dengan mycobactin J (12 isolat) tetapi setelah dikonfirmasi dengan PCR hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis. Inkubasi dari dua isolat tersebut memerlukan waktu yang sangat lama yaitu masing – masing 19 minggu dan 22 minggu. Data di atas menunjukkan bahwa mycobateria yang ada di lingkungan terutama dalam feses dapat tumbuh pada media tersebut, sehingga dapat menggangu pertumbuhan M. paratuberculosis yang waktu inkubasinya sangat lama (lebih lama daripada jenis mycobacteria lain). Disamping itu juga ada kontaminasi dari jamur ataupun bakteri lain yang ada di feses sehingga sangat menganggu dan berpengaruh pada kemampuan tumbuhnya. Pada beberapa kasus terutama awal kejadian penyakit ataupun kasus subklinis, shedding bakteri melalui feses sering tidak teratur dengan jumlah bakteri yang sangat sedikit serta prosesing sampel yang bertahap, mungkin menyebabkan bakteri akan kehilangan kemampuan tumbuhnya. Metode diagnosis dengan PCR pada umumnya menggunakan primers IS900, tetapi beberapa peneliti melaporkan masih ada reaksi silang dengan Mycobacterium
avium complex, sehingga pada penelitian ini digunakan primers IS900 dengan urutan basa yang berbeda yaitu TJ1-TJ2. Uji dengan menggunakan primers ini dilaporkan tidak menunjukkan reaksi silang dengan Mycobacterium avium complex Disamping menggunakan primers IS900 juga digunakan primers F57 untuk memastikan hasil yang didapat dengan primers sebelumnya. Primers F57 dilaporkan mempunyai spesifitas dan sensitifitas yang tinggi, karena mampu mendeteksi sampai 1 cfu, sehingga PCR dengan dua primers ini sangat direkomendasikan untuk meningkatkan validitas uji. Teknik ini dapat langsung digunakan untuk sampel feses ataupun susu dan cukup baik untuk konfirmasi terhadap kultur. Hasil PCR sampel feses semuanya negatif, tetapi ada 2 yang positif dari sampel kultur. Hal ini kemungkinan karena jumlah bakteri yang ada dalam sampel sangat sedikit, karena paratuberculosis dapat dideteksi dengan PCR langsung dari feses jika kandungan bakteri dalam sampel tersebut minimal 102 cfu/g. Disamping itu ekstraksi DNA terhadap kuman ini sangat sulit karena mempunyai struktur dinding yang komplek, dan mengandung zat lilin sehingga sangat sulit untuk dilysiskan. Hal ini dapat menyebabkan konsentrasi DNA yang didapat kemungkinan juga rendah dan akan mempengaruhi dalam hasil PCR. Hasil PCR terhadap isolat yang tumbuh (12 isolat) menunjukkan hasil 2 positif M. paratuberculosis baik itu menggunakan primers IS900 ataupun F57. Hal ini karena uji PCR terhadap isolat untuk uji konfirmasi cukup bagus dan akurat , yaitu untuk IS900 dapat mendeteksi bakteri kurang dari 20 cfu dan dengan F57 mampu mendeteksi 1 cfu. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa telah terjadi infeksi M. paratuberkulosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Prevalensi penyakit tersebut berkisar 2%, karena dari 184 sampel yang diambil ada 2 yang positif paratuberkulosis.
Kata – kata kunci : Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, sapi perah, ELISA, PCR
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis PADA SAPI PERAH DI KABUPATEN BANDUNG DAN BANYUMAS
RAHMAT SETYA ADJI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
: Deteksi Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas
Nama
: Rahmat Setya Adji
NRP
: B 151060081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu Ketua
drh. Lily Natalia, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sains Veteriner
Dr. drh. Bambang Pontjo P., MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 10 September 2008
Tanggal Lulus : 15 September 2008
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga
tesis
berhasil
diselesaikan
dengan
baik.
Penelitian
dilaksanakan dari Bulan Januari 2008 sampai dengan Juli 2008 dengan judul Deteksi Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Pada Sapi Perah Di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu dan Ibu drh. Lily Natalia, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. drh. Bambang Pontjo P., MS. selaku ketua program studi Sains Veteriner. Disamping itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada drh. Widagdo, M.Si. yang telah banyak membantu dengan memberikan isolat M. paratuberculosis (A6/German) dan M. avium (B6/German) yang digunakan sebagai isolat acuan dalam penelitian. Penghargaan dan ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri dan anak tercinta atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2008
Rahmat Setya Adji
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 26 Oktober 1974 dari Ayah W. Sadji dan Ibu Siti Umilah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan UGM, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf peneliti di bagian Bakteriologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor sejak tahun 2001.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xv
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................
1
Tujuan Penelitian ................................................................................
3
Hipotesis .............................................................................................
3
Manfaat Penelitian ….……………………………………………….
3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….
4
Paratuberkulosis (Johne’s Disease) ...……………………………….
4
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) …….……………….
11
Polymerase Chain Reaction (PCR) ...……………………………….
12
BAHAN DAN METODE ......……………………………………………….
14
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
14
Metode Penelitian ...............................................................................
14
Analisis Data ..……………………………………………………….
19
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
20
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
32
Kesimpulan ..........................................................................................
32
Saran ....................................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
33
LAMPIRAN .....................................................................................................
40
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Daftar antibiotik yang peka terhadap M. paratuberculosis ...................
10
2. Intepretasi hasil ELISA ..........................................................................
15
3. Hasil uji serologi, kultur dan PCR terhadap paratuberkulosis ...............
20
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Struktur mycobactin ...............................................................................
6
2. Respon imun humoral dan shedding bakteri ..........................................
23
3. Morfologi koloni M. paratuberculosis pada HEYM ..............................
25
4. Mikroskopik M. paratuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen ....
25
5. Hasil PCR IS900 (TJ1-TJ2) sampel feses …..…………........................
27
6. Hasil PCR F57 sampel feses ...…………………………………………
28
7. Hasil PCR IS900 (TJ1-TJ2) isolat ......…………………………………
29
8. Hasil PCR F57 isolat ..…………………………………………………
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Gambar patologi anatomi usus besar kasus paratuberkulosis koleksi LPPH 1958 (sekarang BBalitvet) .........................................................
40
2. Gambar hasil ELISA paratuberkulosis ................................................
40
3. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria (AFB) dari feses yang positif (isolat Baturaden) ....................................................
41
4. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria (AFB) dari feses yang positif (isolat Lembang) ....................................................
41
5. Gambar hasil PCR feses IS900 sampel no. 23-43 (1-21) …………...
42
6. Gambar hasil PCR feses F57 sampel no. 23-43 (1-21) .……..............
42
7. Gambar kit ELISA (ruminants serum t paratuberculosis confirmation kit) ..................................................................................
43
8. Gambar kit ekstraksi DNA dari feses (QIAmp stool mini kit) .............
43
1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu ternak yang relatif banyak dipelihara untuk memproduksi
susu. Populasi sapi perah di Indonesia sampai saat ini sebanyak
± 377.772 ekor. Sapi perah yang ada di Indonesia sebagian besar berjenis Friesian Holstein (FH) dan diimpor dari luar negeri, terutama dari Eropa, Australia dan New Zealand (Ditjennak 2007). Minum susu masih belum membudaya pada masyarakat di Indonesia, tetapi akhir – akhir ini ada kecenderungan peningkatan minat untuk mengkonsumsi susu. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya taraf pendidikan dan kesadaran akan kebutuhan protein dan gizi bagi pertumbuhan dan kecerdasan terutama bagi anak – anak. Adanya peningkatan kesadaran akan konsumsi susu ini tidak diimbangi dengan produksi dan ketersediaan susu secara nasional. Produksi susu dalam negeri pada tahun 2007 sebesar ± 638.957 ton , sedangkan kebutuhan susu secara nasional mencapai ± 2.555.273 ton. Produksi susu nasional tersebut masih belum mampu mencukupi permintaan pasar, sehingga harus menambah kebutuhan susu tersebut dengan mengimpor produk susu dari luar negeri sebanyak ± 1.772.200 ton (Ditjennak 2007). Kualitas dan keamanan susu yang dikonsumsi oleh masyarakat harus baik, hal ini karena target utama pemasaran susu dan produk olahannya adalah anak – anak. Kondisi ini perlu diperhatikan mengingat tatacara peternakan di Indonesia, terutama sapi perah masih kurang higienis. Sapi perah yang dipelihara peternak rakyat di Indonesia terkadang mengalami penurunan produksi, penurunan berat badan dan diare yang bersifat sporadis. Kondisi ini sering dianggap sebagai hal yang biasa, sehingga kurang menjadi perhatian peternak. Kondisi ini kemungkinan dapat terjadi karena
infeksi
bakteri
Mycobacterium
avium
subspecies
paratuberculosis
(M. paratuberculosis), dan salah satu gejala klinik dari penyakit ini adalah diare, kurus dan terjadinya penuruan produksi (OIE 2004).
2
Paratuberkulosis atau lebih dikenal Johne’s Disease (JD) merupakan penyakit enteritis granuloma kronik yang terutama menyerang pada ternak ruminansia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri M. paratuberculosis. Gejala klinis penyakit pada ternak ruminasia bersifat enteritis kronis dengan gejala-gejala, antara lain : diare, penurunan berat badan pada kondisi penyakit yang progresif, penurunan produksi susu sapi sehingga sangat merugikan secara ekonomi
(Bannantine et al. 2003; OIE 2004).
Penyakit ini bersifat zoonosis potensial, karena bakteri M. paratuberculosis dilaporkan juga dapat menginfeksi manusia dan lebih dikenal dengan sebutan Crohn’s Disease (CD). Hal ini dapat mengancam kesehatan manusia dan merugikan bagi masyarakat. Paparan penyakit ini pada manusia umumnya pada umur 15 – 24 tahun dan terkadang pada keluarga dengan kualitas higiene yang baik (Anonim 2000; Grant et al. 2002). Paratuberkulosis banyak dilaporkan terjadi di
berbagai belahan dunia baik
negara maju, seperti: Australia, New Zealand, Belanda, Jerman, Denmark, Inggris, Austria, Amerika Serikat ataupun negara sedang berkembang. Prevalensi penyakit ini sangat beragam di antara negara – negara tersebut. Di Australia dilaporkan bahwa ada 1 negara bagian yang merupakan endemik paratuberkulosis dengan prevalensi penyakit kurang lebih 14 - 17%, sedangkan di New Zealand prevalensinya mencapai 60%. Di Amerika Serikat prevalensi penyakit ini berkisar antara 10 – 22% dan kerugian ekonomi akibat paratuberkulosis ini diperkirakan dapat mencapai US $ 1,5 milyard per tahun (Floron et al. 1999; Harris & Barletta 2001). Dalam pengembangan peternakan di Indonesia, pernah diimpor bibit ternak sapi dari negara-negara tersebut di atas terutama dari Australia dan New Zealand. Hal tersebut
memungkinkan penyakit
paratuberkulosis terbawa masuk bersama ternak impor, karena masa inkubasi penyakit tersebut sangat lama, yaitu sejak hewan masih menyusu induknya dan baru muncul setelah
ternak
tersebut
dewasa,
jadi
penyakit
ini
bersifat
kronis
(Harris & Barletta 2001). Penyakit paratuberkulosis pada hewan terutama sapi perah dan penyakit Croh’n Disease pada manusia di Indonesia, masih belum banyak diteliti, sehingga data – data tentang penyakit ini masih sangat terbatas. Pengendalian terhadap penyakit paratuberkulosis didasarkan pada identifikasi hewan terinfeksi dan melakukan pengafkiran pada ternak tersebut. Teknik deteksi dan
3
diagnosa terhadap penyakit ini dilakukan terutama dengan metode bakterioskopi (mikroskopik), kultur, Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Deteksi keberadaan penyakit ini di Indonesia secara pasti dan akurat dengan berbagai teknik terutama pada sapi perah sangat perlu dilakukan. Informasi ini sangat penting dalam rangka pengendalian penyakit dan menjamin kesehatan masyarakat. Hal inilah yang mendasari untuk melakukan penelitian studi tentang infeksi M. paratuberkulosis pada sapi perah baik secara serologi dengan teknik ELISA, deteksi material genetik bakteri dengan PCR maupun secara kultur.
Tujuan Penelitian Untuk melakukan studi tentang infeksi M. paratuberculosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas secara serologi, kultur dan PCR
Hipotesis Penyakit paratuberkulosis telah ada dan menginfeksi sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi gambaran data yang pasti dan akurat tentang keberadaan penyakit paratuberkulosis pada sapi perah, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengendalian penyakit, peningkatan kesehatan dan higiene susu dalam menjamin kesehatan masyarakat.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Paratuberkulosis (Johne’s Disease) 1.1 Sejarah Penyakit M. paratuberculosis pertama kali ditemukan di Jerman oleh H.A. Johne dan L. Frothingham pada tahun 1894. Mereka dapat menemukan bakteri tahan asam dan mengisolasinya dari jaringan usus sapi perah yang dapat menyebabkan bentuk atypical tuberculosis dan mereka menamakan “pseudotuberculous enteritis”. Pada tahun 1910, bakteri tersebut diberi nama Mycobacterium enteritidis chronicae pseudotuberculosis bovis johne. Pada perkembangan selanjutnya bakteri tersebut dikelompokkan dalam Mycobacterium avium complex, dengan nama Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, sedangkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini dikenal dengan nama paratuberkulosis atau Johne’s Disease (Harris & Barletta 2001; Anonim 2000; Griffiths 2003). Infeksi M. paratuberculosis pada manusia pertama kali diketahui pada tahun 1913 oleh Dlazil di daerah Western Infirmay, Glasgow. Pada awalnya penyakit ini dikenal hanya terjadi di daerah ileum, tetapi pada tahun 1960 Lockart-Mumnery dan Marson mengidentifikasi adanya radang pada kolon dan membentuk granuloma, karena daerah terinfeksi dan radang lebih banyak terjadi pada usus besar, maka sering juga disebut chronic inflammatory bowels disease (IBD). Saat ini penyakit pada manusia yang disebabkan oleh bakteri tersebut diatas lebih dikenal dengan sebutan Crohn’s Disease (Anonim 2000; OIE 2004). Kejadian paratuberkulosis di Indonesia pernah dilaporkan oleh Lembaga Pusat Penyakit Hewan (sekarang BBalitvet) pada tahun 1958. Penyakit ini terjadi pada sapi perah di Bogor dengan gambaran patologi anatomi berupa granuloma pada usus besar dan usus halus. Sedangkan dari hasil uji serologi (ELISA), paratuberkulosis juga pernah dilaporkan terjadi di Medan tahun 1998 ( 1 ekor), di Lembang tahun 2004 (3 ekor) dan di Baturaden pada tahun 2005 (2 ekor) dan 2007 (6 ekor). Hasil kultur positif isolat
5
M. paratuberkulosis sampai saat ini belum pernah dilaporkan, sehingga data untuk menentukan status infeksi paratuberkulois pada sapi perah belum lengkap. Karena itu , Indonesia masih dianggap bebas dari penyakit ini.
1.2 Etiologi dan Ekologi Paratuberkulosis atau Johne’s Disease merupakan penyakit infeksius yang terutama dapat menyerang hewan ruminansia baik domestik maupun liar dengan manifestasi klinis berupa enteritis granuloma kronik, terutama pada ileum dan sekum. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri M. paratuberculosis (Harris & Barletta 2001; Quinn et al. 2006). M. paratuberculosis termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae dan selanjutnya dikelompokkan dalam kelompok Mycobacterium avium complex, dimana anggota dari jenis ini adalah M. avium, M. paratuberculosis
dan
M. silvicatum
(Harris & Barletta 2001; Collins 2003). M. paratuberculosis dapat ditemukan di alam, merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0,2 – 0,7 x 1,0 – 2 µm, non motil, merupakan bakteri tahan asam, suhu pertumbuhannya antara 25 – 43 oC dan optimal pada 39 oC (Griffiths 2003; Quinn et al. 2006), waktu tumbuhnya 4 – 24 minggu (Yokomizo 1997; OIE 2004; Quinn et al. 2006) dan mampu tumbuh pada konsentrasi garam kurang dari 5% pada pH 5,5 (Griffiths 2003). Bakteri ini sangat tergantung dengan senyawa mycobactin untuk pertumbuhannya secara in vitro, karena M. paratuberculosis tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesis senyawa ini dalam jumlah yang cukup. Mycobactin merupakan senyawa yang dihasilkan oleh Mycobacteriaceae terutama Mycobacterium phlei yang mempunyai fungsi sebagai pengikat dan atau untuk transpor besi ke dalam sel. Zat besi sangat diperlukan dalam metabolisme bakteri ini dan pemenuhan zat ini diperoleh dari lingkungannya. Masuknya zat besi ke dalam sel membutuhkan senyawa pengikat besi (iron-binding compound) yang diproduksi oleh bakteri itu sendiri atau oleh bakteri lainnya. Ketidakmampuan M. paratuberculosis untuk mensintesis mycobactin dalam jumlah yang cukup, menyebabkan bakteri ini sangat tergantung dengan senyawa ini dalam pertumbuhannya secara in vitro. Hal ini
6
dapat digunakan sebagai dasar untuk membedakan M. paratuberculosis dengan bakteri dari golongan Mycobacteriaceae lainnya (Collins & Manning 2004).
Gambar 1. Struktur Mycobatin Bentuk, ukuran dan tekstur koloni M. paratuberculosis sangat tergantung pada media yang digunakan untuk pertumbuhannya secara in vitro. Pada Herrold Egg Yolk Medium Agar (HEYM) dengan mycobactin J, koloni bakteri ini kecil, permukaan halus sampai dengan agak kasar dan berwarna agak putih sampai dengan kuning. Koloni yang berwarna kuning dilaporkan merupakan galur M. paratuberculosis yang ditemukan pada domba. Pada media Middlebrook Agar tanpa tween 80, bentuk koloni sangat kasar di permukaannya dan mirip dengan bentuk koloni M. tuberculosis, sedangkan pada media tersebut di atas yang ditambah dengan tween 80, koloni akan berkembang dan mempunyai bentuk halus dan cembung mirip dengan koloni M. avium (Yokomizo 1997; Collins & Manning 2004) M. paratuberculosis bukan merupakan bakteri yang dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan (free-living), hal ini karena bakteri ini tidak mempunyai kemampuan
menghasilkan
mycobactin
yang
cukup
untuk
pertumbuhannya.
Mikroorganisme ini hanya dapat tumbuh dan bermultiplikasi di dalam sel, tempat bakteri ini dapat mengambil zat besi dari sel inang (makrofag), sehingga bakteri ini dikatagorikan
sebagai
obligat
patogen
(Harris
&
Barletta
2001;
Collins & Manning 2004). M. paratuberculosis dapat bertahan hidup di air, feses, tanah dan lumpur kandang dalam waktu yang relatif lama (± 250 hari), tergantung dari kondisi lingkungannya tersebut (Whittington
et al. 2004; Whan et al. 2005;
Grewal et al. 2006). Kemampuan hidup bakteri ini akan lebih pendek jika kondisinya
7
kering (suhu tinggi), terkena sinar matahari secara langsung, pH tinggi dan rendahnya kadar zat besi (Collins & Manning 2004). Bakteri tersebut diatas dapat menginfeksi hewan ruminansia baik domestik maupun liar, antara lain : sapi, kambing, domba, rusa, unta, antelope dan
bison.
Paratuberkulosis juga dapat ditemukan pada hewan nonruminansia (kuda, babi, ayam, kelinci,
srigala),
primata
dan
juga
manusia
(Whittington
et
al.
2000;
Buergelt et al. 2000; Harris & Barletta 2001).
1.3 Patogenesis M. paratuberculosis merupakan salah atau bakteri yang tahan terhadap fagositosis makrofag dan juga mampu tumbuh dan berkembang didalamnya (Bannantine et al. 2003; Griffiths 2003). Secara umum, bakteri ini tahan terhadap makrofag karena mempunyai beberapa komponen, yaitu : (1) struktur dinding sel dari bakteri ini yang tersusun oleh lapisan zat lilin tebal yang merupakan campuran dari lipid dan polisakarida dan (2) faktor yang dihasilkan oleh M. paratuberculosis yang dapat menetralisasi
komponen
kimia
yang
dihasilkan
didalam
makrofag
(Gyles & Thoen 1993; Collins 2003). Secara alami penyakit terjadi apabila bakteri M. paratuberculosis yang mengkontaminasi lingkungan (air, pakan, susu dan padang rumput / pengembalaan) tertelan masuk ke dalam tubuh. Beberapa minggu kemudian bakteri ini akan mengalami germinasi, multiplikasi dan kolonisasi pada diding usus halus. Lesi awal akan terjadi pada dinding usus halus dan berlanjut pada limfo nodul mesenterika. Penyakit ini akan berkembang dengan terjadinya kerusakan pada ileum, jejunum, ujung dari usus halus, sekum, kolon dan pada limfo nodul mesenterika, hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya protein malabsorbtion syndrome, sehingga akan terjadi defisiensi protein. (OIE 2004; Wu et al. 2007). Masa inkubasi penyakit pada umumnya terjadi antara 2 sampai 4 tahun. Kejadian penyakit bisa bersifat klinis maupun subklinis, sedangkan gejala klinis yang timbul akibat penyakit ini pada umumnya terjadi pada sapi yang mulai dewasa antara lain diare, penurunan berat badan dan produksi susu, anemia, oedema
dan
dapat
menyebabkan
kemandulan
(Collins
&
Manning
2004;
8
Vansnick et al. 2004). Pada sapi perah, awal gejala klinis dapat muncul pada umur 2 tahun, paling lambat umur 12 tahun dan paling sering muncul pada umur 5 tahun, atau secara umum pada masa laktasi ke-2, ke-3 atau ke-4 (Collins & Manning 2004; Wu et al. 2007). Kejadian pre-klinis atau sub-klinis ditandai dengan belum adanya gejala klinis yang muncul, walaupun sebenarnya sapi tersebut terinfeksi. Fase ini dapat terjadi antara 1 sampai dengan 10 tahun (Collins & Manning 2004).
1.4 Penularan Penyakit Johne’s Disease dilaporkan terjadi di semua belahan dunia, yaitu dari benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan hewan ruminansia yang lain, sedangkan pada ruminansia kecil di beberapa negara lebih sering terjadi pada kambing dan domba (Collins & Manning 2004). Pada kelompok sapi perah, prevalensi penyakit ini di Amerika dilaporkan mecapai 22%, Australia (Victoria) mencapai 14 – 17%, New Zealand 60%, Belanda 55%, Austria 7%, Belgia 22%, Inggris 17%, Denmark 47% dan Jerman mencapai 10 – 30% (Collins & Manning 2004). Tempat infeksi dari bakteri M. paratuberculosis adalah usus (ileum-sekum), sehingga hewan yang terinfeksi akan mengeluarkan bakteri ini melalui feses. Di dalam kotoran terutama yang cair, mikroorganisme ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang tercemar oleh kotoran ini merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama ternak – ternak yang masih muda (Michel et al. 2005; Collins & Manning 2004). Susu dari induk yang terinfeksi merupakan sumber infeksi yang kedua, tempat M. paratuberculosis akan semakin banyak disekresikan seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung
bakteri
ini,
sehingga
ternak
yang
menyusu
akan
terinfeksi
(Ebert et al. 2000; Lombard et al. 2006). Padang pengembalaan atau padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi (Collins & Manning 2004).
9
Penularan penyakit paratuberkulosis pada umumnya bersifat horisontal, yaitu dari hewan terinfeksi (umumnya hewan dewasa) ke hewan lainnya (umumnya hewan muda) melaui susu, air atau pakan yang tercemar oleh bakteri M. paratuberculosis , dengan estimasi dosis infeksi 103 cfu/hewan (Collins 2003; Wu et al. 2007). Ternak dewasa (umur diatas 2 tahun) lebih resisten dibandingkan dengan ternak muda (0 – 6 bulan), karena itu biasanya ternak terinfeksi pada waktu pedet dan penyakit akan muncul pada umur 2 tahun ke atas, hal ini karena perjalanan penyakit bersifat kronis. Penularan penyakit dilaporkan juga bisa bersifat vertikal melalui uterus (transuterine) (Grant et al. 1998; Harris & Barletta 2001).
1.5 Genetik M. paratuberculosis Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) M. paratuberculosis mempunyai kemiripan lebih dari 90% dengan M. avium, hal inilah yang menjadikan alasan bahwa banyak karateristik yang mirip antara kedua bakteri tersebut (Collins & Manning 2004). Secara fenotipik, M. paratuberculosis dapat dibedakan dengan M. avium maupun dengan mycobacteria yang lain berdasarkan ketergantungannya pada mycobactin (Harris & Barletta 2001). Secara genetik, M. paratuberculosis dapat dibedakan dengan M. avium berdasarkan adanya multipel copy dari elemen short DNA, yang umumnya disebut dengan insertion sequence (IS). IS dari M. paratuberculosis adalah IS900, M. avium IS901 dan M. silvicatum IS902 (Collins & Manning 2004; Harris & Barletta 2001). Homologi urutan DNA IS900 dengan IS901 hanya 60% dan untuk asam aminonya adalah 47%, sedangkan homologi IS900 dengan IS902 pada urutan DNAnya adalah 60% dan untuk asam aminonya adalah 50% (Harris & Barletta 2001).
1.6 Diagnosis Diagnosis penyakit paratuberkulosis pada umumnya berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Uji untuk penyakit ini dibedakan dalam 3 kategori, yaitu : (1) identifikasi M. paratuberculosis, yang meliputi : nekropsi, mikroskopik, kultur, DNA probe dan PCR (2) uji serologi, yang meliputi : Complement Fixation Test (CFT), Enzyme Linked
10
Immunosorbent Assay (ELISA) dan Agar Gel Immunodiffusion Test (AGID) dan (3) uji Cell-Mediated Immunity (CMI), yang meliputi : Gamma Interferon Assay dan Delayed Type Hypersensitivity (OIE 2004).
1.7 Pengendalian Penyakit Pengobatan penyakit paratuberkulosis pada sapi terinfeksi mungkin dapat dilakukan, tetapi tidak efektif dan ekonomis (Jones 1999). Beberapa antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Pemberian antibiotik ini hanya menghilangkan gejala klinik, tetapi tidak
dapat
mengeliminasi penyakit, sehingga pengobatan pada sapi akan memerlukan biaya yang cukup tinggi
(1.000 – 2.000 USD/ekor/6 bulan) dan tidak memberikan hasil yang
memuaskan (Collins & Manning 2004). Tabel 1. Daftar antibiotik yang peka terhadap M. paratuberculosis (Collins 2003) Golongan antibiotik
Antibiotik yang diuji
Hasil uji (in vitro)
Antibiotik untuk M. tuberculosis
Rifampicin, Ethambutol,
Resisten
Isoniazid, Pyrazinamide Aminoglikosida
Amikacin,
Peka
Fluoroquinolon
Ofloxacin, Ciprofloxacin
Resisten
Sparfloxacin,
Peka
Clarithromycin
Peka
Macrolida
Vaksinasi untuk paratuberkulosis mungkin dapat dilakukan, tetapi cara ini tidak dapat mengeliminasi penyakit dari peternakan, walaupun dapat menurunkan gejala klinik dan mengurangi jumlah bakteri M. paratuberculosis yang dikeluarkan melalui feses. Program ini hanya membantu dalam mengurangi kerugian ekonomi akibat penyakit paratuberkulosis (Jones 1999). Pengendalian penyakit paratuberkulosis dapat dilakukan pada peternakan yang telah terinfeksi. Pada umumnya pengendalian penyakit ini membutuhkan waktu yang relatif cukup lama, yaitu lebih dari lima tahun. Program pengendalian mungkin juga dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat, tetapi memerlukan biaya yang
11
cukup tinggi. Prosedur dasar yang perlu dilakukan untuk mengendalikan penyakit paratuberkulosis di peternakan adalah sebagai berikut : (1) Pencegahan infeksi baru pada pedet, dengan melakukan penanganan yang baik dan benar terhadap kotoran sapi. Hal ini sangat penting karena jumlah
M. paratuberculosis dalam feses yang
dikelurakan dari sapi terinfeksi sangat banyak. Pedet harus ditempatkan pada tempat dan lingkungan yang kering serta terhindar dari kontaminasi feses ternak yang terinfeksi. Selain itu, dilakukan penanganan susu pada peternakan yang telah terinfeksi, hal ini karena banyak ternak sakit yang akan mensekresikan M. paratuberculosis melalui susunya terutama pada kasus yang klinis. Pemberian formula susu penganti yang bebas bakteri ini mungkin juga dilakukan atau susu yang akan diberikan pada pedet sebaiknya dilakukan pasteurisasi terlebih dahulu. Kolostrum yang akan diberikan pada pedet sebaiknya berasal dari sapi yang bebas paratuberkulosis (Collins & Manning 2004; Ebert et al. 2000). (2) Identifikasi dan mengeluarkan sapi terinfeksi dari peternakan. Prosedur ini dilakukan dengan cara uji dan afkir, melakukan desinfeksi dan jika memungkinan melakukan vaksinasi (Collins & Manning 2004).
2. Enzyme Linked Immunosorbent Assay Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA/EIA) merupakan suatu teknik biokimiawi yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen yang ada dalam sampel dengan penanda berupa enzyme. Teknik ini sekarang banyak digunakan sebagai alat untuk diagnosa pada ilmu kedokteran dan patologi tanaman dan juga sebagai alat untuk kontrol mutu pada berbagai industri (Harlow & Lane 1988; Kemeny & Challacombe 1989) Pada
tahun
1960
Rosalyn
Sussman
Yalow
dan
Solomon
Berson
mempublikasikan teknik immunoassay dengan menggunakan zat radioaktif untuk melabel antigen atau antibodi yang dikenal dengan Radioimmunoassay (RIA). Pada teknik ini, zat radioaktif akan memberikan tanda yang mengindikasikan adanya antigen atau antibodi spesifik dalam sampel. Karena penanda pada teknik RIA merupakan zat radioaktif yang dapat membahayan bagi kesehatan, maka dikembangkan teknik yang
12
menggunakan zat non-radioaktif berupa enzyme sebagai penanda (Lequin 2005; Kemeny & Challacombe 1989). ELISA / EIA dipublikasikan pertama kali oleh Engvall dan Perlmann pada tahun 1971 di Swedia. Publikasi ini berisi tentang pengukuran secara kuantitatif IgG serum kelinci dengan menggunakan label enzyme alkaline phosphatase. Pada tahun yang sama, Van Weeman dan Schuurs berhasil mengukur secara kuantitatif konsentrasi human chorionic gonadotropin (HCG) dalam urin dengan menggunakn teknik ELISA (Lequin 2005). Enzyme sebagai penanda untuk metode ini biasanya menggunakan horseradish peroxidase (HRP) atau alkaline phosphatase (AP). Teknik ELISA yang sekarang banyak digunakan untuk deteksi antibodi atau antigen di dalam bidang imunologi adalah : indirect ELISA, sandwich ELISA dan competitive ELISA (Harlow & Lane 1988; Kemeny & Challacombe 1989).
3. Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik amplifikasi cepat fragmen DNA secara in vitro. Prinsip dasar dari teknik ini adalah reaksi rantai berdasarkan proses replikasi DNA. Metode ini biasanya untuk mengamplifikasi daerah pita DNA yang spesifik (DNA target), ini dapat berupa satu gen, bagian dari gen atau non-coding
sequence
(Sambrook
et
al.
1989;
Koolman
&
Rohm
1994;
Viljoen et al. 2005). Prinsip dasar teknik PCR pertama kali dikenalkan oleh Kary Banks Mullis pada tahun 1983. Pada saat itu ia bekerja di salah satu perusahaan pertama dalam bidang bioteknologi yaitu Cetus Corporation yang terletak di Emeryville, California dan ia juga menerima hadiah nobel pada tahun 1993 dalam bidang kimia. Dia mencoba metode amplifikasi DNA dengan siklus berulang menggunakan suatu enzyme yang disebut DNA Polymerase. Enzyme ini secara alami ada dalam organisme hidup, dimana kerja enzyme ini adalah melakukan duplikasi DNA pada saat sel mengalami mitosis dan meiosis. DNA polymerase akan melekat pada rantai tunggal DNA dan akan membentuk untaian rantai DNA pasangannya. DNA Polymerase yang sekarang banyak digunakan
13
untuk PCR berasal dari Thermus aquaticus dan disebut dengan Taq DNA Polymerase (Sambrook et al. 1989; Viljoen et al. 2005). Untuk melakukan teknik PCR perlu beberapa komponen dan reagen, yaitu ada 4 komponen utama untuk metode ini, antara lain : (1) templat DNA, pada bagian ini mengandung DNA region (target) yang akan diamplifikasi, (2) primers, bagian ini merupakan komplementer dari DNA region (target), (3) DNA Polymerase atau Taq DNA Polymerase, ini merupakan enzyme yang berperanan dalam melakukan duplikasi atau replikasi DNA dan (4) Deoxynucleotide triphosphates (dNTPs), merupakan pengaman
DNA
polymerase
dalam
mensintesis
untaian
DNA
baru
(Sambrook et al. 1989; Viljoen et al. 2005). Tujuan dari PCR adalah membuat kopian gen dalam jumlah yang sangat banyak. Metode ini mempunyai 3 tahapan utama dalam siklus reaksinya, antara lain : (1) Denaturasi, pada tahap ini reaksi akan terjadi pada suhu 94 – 98 oC dengan tujuan untuk membuka rantai ganda DNA menjadi rantai tunggal, (2) Annealing, pada tahap ini reaksi terjadi pada suhu 50 – 65 oC, yaitu akan terjadi perlekatan antara primers dengan rantai tunggal DNA templat yang sesuai. Polymerase akan berikatan dengan ikatan primer – templat yang sesuai tersebut diatas dan mulai melakukan sintesis DNA dan (3) Extension, suhu pada tahap ini tergantung dari DNA polymerase yang digunakan, jika menggunakan Taq Polymerase maka suhu yang sesuai adalah 70 – 80 oC (optimum 74 oC). Pada tahap ini, DNA polimerase akan mensintesis untaian baru DNA yang komplementer dengan untaian DNA templat dengan adanya penambahan dNTPs (Sambrook et al. 1989; Viljoen et al. 2005). PCR untuk deteksi material genetik M. paratuberculosis dapat langsung dilakukan dari sampel susu maupun feses. Primers yang umum digunakan untuk teknik ini adalah IS900. Metode PCR untuk sampel feses dilaporkan mempunyai sensitifitas 30 % dengan spesifitas 90 % (Collins et al. 2006).
14
BAB III BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di bagian Bakteriologi, Balai Besar Penelitian Veteriner. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Bulan Januari sampai dengan Juli 2008.
Metode Penelitian Pengambilan Sampel Sampel serum dan feses diambil dari sapi perah umur 2 tahun ke atas (Berghaus et al. 2006) di Kabupaten Bandung (Pangalengan dan Lembang) dan Banyumas (Baturaden) sebanyak 184 sampel. Pada umumnya sampel di ambil dari sapi yang kondisi tubuhnya relatif kurus. Feses diambil langsung dari daerah rektum sebanyak 5 – 10 gram. Banyaknya sampel dihitung menggunakan win episcope 2.0 sofware dengan asumsi prevalensi 2% dan tingkat kepercayaan 95%. Prevalensi penyakit berkisar 2% akan terpenuhi jika dari jumlah sampel tersebut minimal ada 1 yang positif partuberkulosis.
Uji Serologi Uji serologi dilakukan dengan teknik ELISA. Uji ini menggunakan ruminants serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis), dengan prosedur sebagai berikut : Pre-incubation, pada tahap ini serum sampel dan serum kontrol (positif dan negatif) diabsorbsi terlebih dahulu dengan menggunakan antigen M. phlei yang ada dalam dilution buffer. Pengenceran serum sampel dan kontrol adalah 1/20 dan diinkubasikan selama 15 menit pada suhu kamar. Serum kontrol positif dimasukkan kedalam lubang plat A1 dan A2 sebanyak 100 µl, sedangkan serum kontrol negatif dimasukkan pada lubang B1 dan B2 dengan jumlah yang sama. Sampel dimasukkan sebanyak 100 µl ke dalam lubang plat yang lain secara duplo. Plat ditutup dengan plastik dan diinkubasikan
15
selama 16 – 18 jam pada suhu 5 oC. Setelah itu, plat dicuci sebanyak 4 kali dengan menggunakan washing solution. Konjugat diencerkan 1/100 dan dimasukkan ke dalam lubang plat sebanyak 100 µl , diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 37 oC. Plat dicuci kembali dengan menggunakan washing solution sebanyak 4 kali. Setelah itu larutan substrat dimasukkan ke dalam semua lubang plat sebanyak 100 µl, diinkubasikan selama 10 menit pada suhu ruang dan ditempatkan pada tempat yang gelap, kemudian stop solution sebanyak 100 µl dimasukkan pada tiap lubang plat untuk menghentikan proses reaksi. Pembacaan dilakukan dalam rentang waktu 30 menit setelah penambahan stop solution dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Hasil ELISA kemudian dikonversi menjadi % E / P. Kalkulasi hasil untuk tiap sampel dan kontrol dihitung Corrected Optical Densitynya (ODc) dengan rumus sebagai berikut : ODc = OD Bacterial Antigen – OD Control Antigen. Rumus untuk kalkulasi % E / P = (ODc Sampel / ODc m PC) x 100. Sedangkan intepretasi hasil dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Intepretasi hasil ELISA HASIL
SAMPEL
Negatif
% E / P < 40
Positif +
40 ≤ % E / P ≤ 200
Positif ++
200 < % E / P ≤ 300
Positif +++
300 < % E / P ≤ 400
Positif ++++
% E / P > 400
Kultur Isolasi dan identifikasi M. paratuberculosis dilakukan dari sampel feses dengan menggunakan media Herrold’s Egg Yolk Medium Agar (HEYM) dengan mycobactin J dan HEYM tanpa mycobactin J. Sampel feses yang diproses untuk kultur dikumpulan terlebih dahulu dari 3-5 ekor sapi untuk tiap kelompok ternak dan juga feses dari tiap sapi perah yang menunjukkan hasil positif secara serologi
(Collins et al. 2006;
Schaik et al. 2003; Whittington et al. 2000). Metode kultur yang digunakan sesuai dengan standar OIE ( 2004) dengan langkah sebagai berikut :
16
Sampel feses sebanyak 1 gram diambil dan dimasukkan ke dalam tabung 50 ml yang berisi 20 ml aquadest steril, kemudian divorteks untuk mencampur. Kemudian dilakukan shaking selama 30 menit menggunakan horizontal shaker dan didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit. Suspensi yang paling atas diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung 50 ml baru yang berisi 20 ml hexadecylpyridinium chloride (HPC) 0,75%, kemudian tabung dibolak – balik beberapa kali agar larutan tersebut tercampur dengan baik dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 18 jam. Setelah masa inkubasi selesai, diambil 0,1 ml lapisan pelet yang paling atas secara hati – hati dengan menggunakan pipet pasteur steril dan diinokulasikan pada media tersebut diatas (0,1 ml untuk tiap media) dan kemudian diratakan pada permukaan media. Pelet juga diambil dan dibuat preparat untuk pewarnaan Ziehl-Neelsen dengan tujuan untuk melihat kuman tahan asam secara mikroskopik. Tabung media selanjutnya diposisikan miring atau horisontal selama 1 minggu pada suhu 37 oC dengan tutup dikendorkan. Setelah 1 minggu, selanjutnya tabung media diposisikan tegak, tutup dirapatkan dan diinkubasikan kembali selama 12 – 24 minggu dengan pengamatan 1 minggu sekali.
Polymerase Chain Reaction (PCR) Ekstraksi DNA M. paratuberculosis dari feses. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan QIAmp stool mini kit (Jerman), dengan langkah sebagai berikut : Sampel feses sebanyak 1 gram
dimasukkan ke dalam tabung 15 ml steril dan
ditambahkan buffer ASL sebanyak 10 ml, kemudian divorteks selama 1 menit sampai sampel feses homogen. Lysate diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf, kemudian dilakukan pemanasan dalam waterbath pada suhu 80 oC selama 5 menit. Selanjutnya larutan tersebut divorteks selama 15 detik dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit. Supernatan diambil sebanyak 1,2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf, kemudian ditambahkan 1 tablet InhibitEX dan divorteks sampai tablet tersebut terlarut, selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Semua
17
supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf , selanjutnya disentrifugasi kembali dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Proteinase K sebanyak 15 µl dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang baru, kemudian supernatan tersebut diatas diambil 200 µl dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang mengandung proteinase K. Setelah itu ditambahkan buffer AL sebanyak 200 µl dan divorteks selama 15 detik, diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 70 oC (dalam waterbath). Selanjutnya lysate ditambah dengan 200 µl etanol 96 % dan divorteks untuk mencapur larutan tersebut. Larutan tersebut diambil 500 µl dan dimasukkan ke dalam QIAmp spin column yang dilengkapi dengan tabung koleksi, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut
diambil kembali dan
dipasang lagi dengan tabung koleksi yang baru. Selanjutnya buffer AW1 sebanyak 500 µl dimasukkan ke dalam column tersebut dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan dipasang lagi dengan tabung koleksi yang baru. Selanjutnya buffer AW2 sebanyak 500 µl dimasukkan ke dalam column tersebut dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan dipasang lagi dengan tabung Eppendorf. Kemudian buffer AE1 sebanyak 200 µl dimasukkan ke dalam column tersebut, diinkubasikan selama 1 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan
tabung Eppendorf
yang
mengandung filtrat diambil, kemudian disimpan pada suhu – 20 oC.
Ekstraksi DNA M. paratuberculosis dari kultur (isolat) Ekstraksi DNA dari kultur dilakukan sesuai metode Mokrousov dan Narvskaya (2004) dengan langkah sebagai berikut : Kultur diambil satu ose penuh dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang berisi 400 µl 1 x 10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA, pH 8,0 (TE) buffer. Diinkubasikan pada suhu 80 oC (dalam waterbath) selama 20 – 25 menit dan didinginkan dalam suhu ruang. Selanjutnya larutan tersebut ditambah 50 µl lysozyme (10 mg/ml) dan diinkubasikan
18
selama 1 jam pada suhu 37 oC. Kemudian ditambahkan 70 µl larutan sodium duodecyl sulfate (SDS) 10% + 5 µl proteinase K (10 mg/ml) dan diinkubasikan pada suhu 65 oC selama 1 jam. Setelah itu ditambahkan 100 µl 5 M Natrium Chloride (NaCl) dan selanjutnya ditambahkan 100
µl
larutan cetyltrimethylammonium bromide
(CTAB)/NaCl, kemudian divorteks selama 10 detik sampai kelihatan seperti susu. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 65 oC selama 15 – 20 menit dan didinginkan selama 5 menit. Chloroform:isoamylalkohol (24:1) ditambahkan dengan volume sama banyak (700 – 750 µl ), divorteks untuk mencampur larutan dan disentrifugasi pada suhu 10 oC atau suhu ruang (18 – 28 oC) dengan kecepatan 14.000 rpm selama 15 menit. Larutan paling atas yang mengandung DNA diambil sebanyak 180 µl dan dimasukkan ke dalam tabung yang baru dan ditambah 0,6 volume isopropanol (420 µl) untuk mempresipitasikan DNA, bolak – balik dengan tangan beberapa kali dan diinkubasikan semalam pada suhu – 20 oC. Selanjutnya disentrifugasi pada suhu 10 – 20 oC selama
10 – 15 menit dengan kecepatan 13.000 – 14.000 rpm, kemudian
supernatan dibuang. Selanjutnya pelet dicuci dengan menambahkan etanol 70 % sebanyak 1 ml, kemudian disentrifugasi pada suhu 10 – 20 oC selama 10 – 15 menit dengan kecepatan 13.000 – 14.000 rpm, supernatan dibuang dan DNA dikeringkan dengan membuka tutup tabung Eppendorf pada suhu ruang selama 1 jam atau selama 30 menit pada suhu 37 oC. Selanjutnya pelet dilarutkan dengan menambahkan 0,5 x TE buffer sebanyak 30 – 50 µl.
Amplifikasi DNA menggunakan primers IS900 (TJ1-2) dan F57 Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan primers IS900, forward (TJ1) 5’-GCT GAT CGC CTT GCT CAT-3’ dan reverse (TJ2) 5’-CGG GAG TTT GGT AGC CAG TA-3’ (Bull et al. 2003; Tasara et al. 2005) dan juga menggunakan primers F57, yaitu forward (F57) 5’-CCT GTC TAA TTC GAT CAC GGA CTA GA-3’ dan reverse (R57) 5’-TCA GCT ATT GGT GTA CCG AAT GT-3’ (Vansnick et al. 2004). PCR dilakukan dengan total volume 50 µl larutan reaksi yang terdiri dari 34.25 µl aquadest (DNAse, RNAse free), 5 µl 10 X PCR buffer (Vivantis), 1,5 µl MgCl2 (Vivantis, 50 mM), 1.0 µl dNTP (Bioron, 10 mM), 1.5 µl
19
primers (Midland, 10 pmol/µl), 0,25 µl Taq Polymerase (Vivantis, 5 U/µl ) dan 5 µl DNA templat. Kontrol positif dan negatif harus diikutkan dalam setiap amplifikasi. PCR dilakukan dengan siklus sebagai berikut, 1 siklus pada suhu 94 oC selama 2 menit, 40 siklus pada suhu 94 oC selama 1 menit, 58 oC selama 1 menit dan pada suhu 72 oC selama
3 menit, dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72 oC selama 7 menit. Produk PCR (amplikon) diambil 10 µl dan dicampur dengan 2 µl loading dye
(Vivantis), selanjutnya diseparasi menggunakan 2 % agarose (Promega) yang telah ditambahkan ethidium bromide (Applichem) 0,5 µg/ml pada tegangan 120 V selama 50 menit dengan menggunakan marker 100 bp DNA ladder (Vivantis). Hasil elektroforesis selanjutnya dilihat dengan menggunakan Gel Documentation System (Vilber Lourmat).
Analasis Hasil (Data) Hasil atau data – data dari berbagai teknik uji, baik secara serologi (ELISA), kultur maupun PCR akan dinalisis secara diskriptif
20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Uji serologi dengan sampel serum sapi perah menunjukkan hasil 8 positif terhadap paratuberkulosis, yaitu 2 dari Kabupaten Bandung dan 6 dari Kabupaten Banyumas. Sedangkan 176 sampel yang lain menunjukkan hasil negatif. Uji ini menggunakan ruminants serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis), jika nilai % E/P sama dengan atau diatas 40 menunjukkan hasil positif terhadap paratuberkulosis, sedangkan nilai % E/P dibawah 40 adalah negatif. Hasil kultur dari sampel feses dengan HEYM yang ditambah mycobactin J setelah diinkubasikan selama 24 minggu menunjukkan hasil 2 positif M. paratuberculosis setelah dikonfirmasi dengan uji PCR, yaitu 1 dari Kabupaten Bandung dan 1 dari Kabupaten Banyumas. Sedangkan uji PCR dengan sampel feses menunjukkan hasil negatif. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji serologi, kultur dan PCR terhadap paratuberkulosis Asal sampel
Jumlah sampel
Metode uji ELISA
Kultur
PCR Feses IS900
PCR Isolat
F57
IS900
F57
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
Kab.
Pangalengan
66
1
65
0
66
0
66
0
66
0
66
0
66
Bandung
Lembang
100
1
99
1*
99
0
100
0
100
1
99
1
99
Kab.
Baturaden
18
6
12
1*
17
0
18
0
18
1
17
1
17
184
8
176
2
182
0
184
0
184
2
182
2
182
Banyumas
Total
*) kultur positif ini hasil dari sampel yang ELISAnya positif, yaitu dari Kabupaten Bandung dengan angka positif + dan Kabupaten Banyumas dengan angka positif ++ Ada beberapa tahapan dalam perkembangan infeksi M. paratuberculosis pada sapi perah, yaitu bahwa infeksi awal pada sapi muda akan ditandai dengan dapat dideteksinya gama interferon. Hal ini terjadi karena bakteri yang masuk akan
21
difagositosis oleh makrofag, dan mengalami multiplikasi didalamnya. Limfosit akan mengeluarkan zat kimia yang dinamakan sitokin untuk menarik makrofag lebih banyak lagi ke tempat infeksi untuk meningkatkan daya fagositosisnya. Makrofag – makrofag ini selanjutnya akan berfusi menjadi giant cell untuk meningkatkan daya bunuh terhadap mycobacteria (Collins 2003; Wu et al. 2007). Pada tahap pertengahan infeksi, ditandai dengan banyaknya infiltrasi limfosit dan makrofag ke jaringan yang terinfeksi sehingga menyebabkan terjadinya penebalan dari usus, terutama ileum dan juga terjadi dilatasi dari pembuluh limfe. Pembuluh inilah yang akan mengalirkan M. paratuberculosis ke limfo nodus, dimana hanya di Peyer’s patches inilah bakteri tidak dapat dirusak oleh makrofag dan melakukan multiplikasi di limfo nodus. Karena itu, perubahan patologi yang paling banyak terjadi hanya di saluran usus (terutama ileum – sekum)
dan limfo nodus lokal (Buergelt et al. 2000;
Collins 2003). Tahap akhir dari perkembangan penyakit ditandai dengan mulai meningkatnya antibodi, tetapi antibodi ini tidak mampu mencegah multiplikasi dari bakteri ini. Perubahan patologi pada usus dengan adanya radang granuloma akan menyebabkan terjadinya diare, malabsorbsi protein dan hewan akan mengalami kekurusan. M. paratuberculosis akan banyak tersebar di ileum dan limfo nodus lokal, karena itu bakteri ini dapat diisolasi dari limpa, hati, glandula mamaria dan juga uterus. Pada fase ini antibodi akan tinggi, jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses juga banyak, tetapi
respon dari gama interferon
akan sangat sedikit bahkan tidak ada. Dapat
dideteksinya antibodi dengan titer tinggi dan banyaknya bakteri dalam feses sebagai indikator bahwa fase penyakit sudah memasuki tahap klinis (Collins 2003; Waters et al. 2003). Uji serologi untuk paratuberkulosis menurut OIE (2004) antara lain : ELISA, complement fixation test (CFT) , agar gel immunodifussion (AGID). ELISA mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan kedua metode tersebut, yaitu 31 – 88 % dan 91 – 97 % (Collins et al. 2006; Roussel et al. 2007), tetapi pada kasus subklinis sensitivitasnya hanya 15 % (Stabel et al. 2002). Umumnya antigen yang digunakan untuk coating adalah
22
protoplasmik, ekstraks seluler
ataupun lipoarabimanan (LPA), dan penggunaan
antigen – antigen tersebut masih sering menimbulkan reaksi silang dengan infeksi mycobacteria lain sehingga untuk meningkatkan spesifitasnya biasanya serum diabsorbsi terlebih dahulu menggunakan M. phlei (Ferreira et al. 2002; Cho & Collins 2006), dan akhir – akhir ini telah dikembangkan ELISA dengan antigen yang lebih spesifik seperti
MP-34kd-C ataupun culture filtrate, penggunaan kedua antigen ini
dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesivitas uji (Cho & Collins 2006; Malamo et al. 2006). Metode uji ini sering digunakan dan direkomendasikan untuk program screening dan kontrol paratuberkulosis karena biaya lebih murah dan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kultur maupun PCR, tetapi untuk kasus subklinis dan pada fase awal sekali kejadian penyakit, teknik ELISA ini kurang sensitif, disamping itu juga masih sering terjadi reaksi silang dengan Mycobacterium avium complex dan menghasilkan positif palsu. Pada kasus klinis dan adanya pengeluaran bakteri yang cukup banyak di dalam fesesnya, metode ini mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (Mc Kenna et al. 2005; Malamo et al. 2006; Waters et al. 2003). Untuk menentukan status infeksi suatu peternakan, bisanya uji serologi dengan ELISA diikuti dengan uji lain yaitu Fecal Culture dan PCR (Collins et al. 2006). Data di atas memperlihatkan bahwa dari 8 sampel yang positif secara serologi dan hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis. Isolat tersebut berasal dari sampel yang serologinya positif + (% E/P 41) dan positif ++ (% E/P 283). Hal ini karena respon imun humoral (antibodi) terhadap paratuberkulosis dapat dideteksi 6 bulan pasca infeksi tanpa
diikuti
dengan
adanya
bakteri
yang
dikeluarkan
melalui
feses
(Waters et al. 2003), disamping itu mungkin juga karena jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses belum cukup banyak, sehingga hasil isolasinya negatif (Collins et al. 2006). Hal lain karena kejadian penyakit paratuberkulosis terbagi dalam 3 tahap, yaitu preklinis tanpa shedding bakteri melalui feses, preklinis dengan shedding dan klinis dengan shedding, dalam kasus ini mungkin respon imun humoral sudah dapat dideteksi pada kasus preklinis tanpa shedding ataupun preklinis dengan shedding, karena itu kemungkinan hanya 2 sampel di atas yang mengandung M. paratuberculosis dengan jumlah yang cukup dalam fesesnya sehingga dapat terisolasi. Titer antibodi akan
23
semakin tinggi seiring dengan tingkat keparahan penyakit terutama pada kasus klinis yang diikuti dengan pengeluaran bakteri melalui feses dalam jumlah yang banyak (Carpenter et al. 2004). Hubungan antara respon imun humoral dengan shedding bakteri dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil positif secara ELISA mungkin juga karena adanya reaksi silang dengan infeksi M. avium dan M. intraseluler sehingga menimbulkan positif palsu (Osterstock et al. 2007). Uji serologi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas ELISA terhadap kultur 25 % dengan tingkat spesifitas 96,8 %. Uji serologi dengan ELISA dapat digunakan untuk screening awal terhadap
infeksi
paratuberculsosis pada sapi perah, tetapi untuk penentuan status infeksi pada kelompok ternak perlu tambahan uji berupa kultur dan PCR untuk konfirmasi.
Gambar 2. Respon imun humoral dan shedding bakteri (Kurade et al. 2004) Isolasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit dengan metode kultur masih merupakan gold standard uji. Metode kultur yang konvensional dengan menggunakan media padat (HEYM dengan mycobactin J ) memerlukan waktu yang relatif lebih lama, yaitu antara 12 – 24 minggu, tetapi dengan media ini morfologi koloni dapat diamati dan masih merupakan acuan dari beberapa teknik kultur lain (OIE 2004; Ristow et al. 2006). Sedangkan teknik kultur yang lain yaitu menggunakan media cair middlebrook 7H9, yang merupakan pengembangan dari metode untuk deteksi
24
M. tuberculosis, yaitu (1) Bactec system (Radiometric) , metode ini memerlukan waktu tumbuh yang lebih singkat, yaitu 8 – 16 minggu, tetapi cara ini memerlukan biaya yang cukup tinggi, alat untuk membaca, penanganan radioisotop, tingkat kontaminasi tinggi jika sampel langsung dari feses dan tidak dapat melihat morfologi koloni (Whittington et al. 1998; Collins & Manning 2004; Shin et al. 2007) dan (2) Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT), metode ini lebih murah, lebih cepat, lebih akurat dan lebih sensitif dibandingkan dengan Bactec system, tetapi cara ini juga mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi, harus memerlukan alat untuk inkubasi dan pembacaan hasil serta tidak dapat melihat morfologi kultur secara langsung (Shin et al. 2007). Untuk memastikan bahwa bakteri yang tumbuh adalah M. paratuberculosis, maka memerlukan uji konfirmasi berupa sifat ketergantungan terhadap mycobactin dan deteksi material genetiknya dengan PCR (Shin et al. 2004). Kultur memerlukan waktu yang lebih lama dan mahal jika dibandingkan dengan ELISA dan PCR, tetapi cara ini direkomendasikan untuk penentuan status infeksi suatu peternakan dan program eradikasi (Collins et al. 2006) Hasil kultur dari sampel feses memperlihatkan adanya beberapa bakteri tahan asam yang tumbuh pada media HEYM dengan mycobactin J (12 isolat) , tetapi setelah dikonfirmasi dengan PCR hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis, yaitu 1 isolat berasal dari sapi perah di daerah Lembang dengan umur 3,5 tahun dan kondisi berat badan yang relatif kurus, sedangkan isolat yang lain berasal dari sapi perah di daerah Baturaden dengan umur 4 tahun dan kondisi berat badan yang cukup baik . Inkubasi dari dua isolat tersebut memerlukan waktu yang sangat lama yaitu masing – masing 19
minggu
(isolat
Baturaden)
dan
22
minggu
(isolat
Lembang).
Isolat
M. paratuberculosis yang tumbuh dan gambaran mikroskopik acid fast bacteria (AFB) dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
25
Gambar 3. Morfologi isolat M. paratuberculosis pada HEYM dengan mycobactin J. Sebelah kiri merupakan isolat acuan (A6/Jerman) dan sebelah kanan isolat dari sampel (MAP/BTR 53/08)
Gambar 4. Mikroskopik M. paratuberculosis isolat sampel dengan pewarnaan Ziehl – Neelsen (warna merah)
26
Shedding bakteri melalui feses pada kasus paratuberculosis terbagi dalam 3 kategori, yaitu : low shedder ( kurang dari 3 x 102 cfu/g), moderate shedder (3 x 102- 3 x 103 cfu/g) dan high shedder (lebih dari 3 x 103 cfu/g) (Stabel et al. 2002). Pada kejadian klinis bakteri M. paratuberculosis yang dikeluarkan melalui feses mencapai 106 – 108 cfu/g (Wu et al. 2007). Data hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mycobateria yang ada di lingkungan terutama dalam feses dapat tumbuh pada media HEYM, sehingga ini mungkin dapat menggangu pertumbuhan M. paratuberculsosis yang waktu inkubasinya sangat lama (lebih lama daripada jenis mycobacteria lain) (Roussel et al. 2007), disamping itu juga ada kontaminasi dari jamur ataupun bakteri lain yang ada di feses sehingga sangat menganggu dan berpengaruh pada kemampuan tumbuhnya (Ristow et al. 2006). Hal lain mungkin karena pada beberapa kasus terutama awal kejadian penyakit ataupun kasus subklinis, shedding bakteri melalui feses sering tidak teratur dengan jumlah bakteri yang sangat sedikit serta prosesing sampel yang bertahap, ini mungkin menyebabkan bakteri akan kehilangan kemampuan tumbuhnya (Stabel et al. 2002). Terjadinya kontaminasi dan penurunan viabilitas bakteri yang dapat tumbuh pada HEYM dengan mycobactin J sangat tergantung pada proses sampling, penyimpanan, prosesing sampel serta metode kultur yang digunakan, karena dilaporkan metode kultur dengan HEYM mempunyai sensitivitas 60 % dengan spesifitas 99,5 % dan jumlah bakteri yang terdapat dalam feses minimal harus mengandung 10 cfu/g (Ristow et al. 2006; Collins et al. 2006). Metode diagnosis dengan PCR pada umumnya berdasarkan urutan basa yang ada pada insertion squence dari M. paratuberculsosis, sehingga primers yang umum digunakan adalah IS900, tetapi beberapa peneliti melaporkan masih ada reaksi silang dengan Mycobacterium avium complex, karena itu ada beberapa primers yang dikembangkan berdasarkan sequence yang ada pada IS900 untuk mengeliminasi adanya reaksi silang dengan mycobacteria lain. Pada penelitian ini menggunakan primers IS900 dengan urutan basa yang berbeda (TJ1-TJ2), karena uji dengan menggunakan primers ini dilaporkan tidak menunjukkan reaksi silang dengan Mycobacterium avium complex (Bull et al. 2003), dan juga menggunakan primers F57 untuk memastikan hasil yang didapat dengan primers sebelumnya. Primers F57 dilaporkan mempunyai
27
spesifitas dan sensitifitas yang tinggi, karena mampu mendeteksi sampai 1 cfu (Vansnick et al. 2004), sehingga PCR dengan dua primers ini sangat direkomendasikan untuk meningkatkan validitas uji. Teknik ini dapat langsung digunakan untuk sampel feses
ataupun
susu
dan
cukup
baik
untuk
konfirmasi
terhadap
kultur
(Wells et al. 2006; Collins et al. 2006). Hasil PCR dari sampel feses baik menggunakan primers IS900 atupun F57 semuanya menunjukkan hasil negatif. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5. Hasil PCR IS900 (TJ1-TJ2) sampel feses, pada kolom 1 – 22 adalah sampel, kontrol positif pada kolom 24 dan 25 (M. paratuberculois A6/German dan ATCC 19698), sedangkan kontrol negatif pada kolom 23 dan 26 (M. avium B6/German dan TE buffer).
28
Gambar 6. Hasil PCR F57 sampel feses, pada kolom 1 – 22 adalah sampel, kontrol positif pada kolom 24 dan 25 (M. paratuberculois A6/German dan ATCC 19698), sedangkan kontrol negatif pada kolom 23 dan 26 (M. avium B6/German dan TE buffer). Hasil PCR feses semuanya negatif, tetapi dari hasil kultur ada 2 yang positif paratuberculosis,
ini
karena
kemampuan
metode
ini
untuk
mendeteksi
M. paratuberculsosis dalam feses sangat terbatas, yaitu hanya mampu mendeteksi kandungan bakteri dalam feses minimal 102 cfu/g (Stabel & Bannantie 2005). Disamping itu ekstraksi DNA dari sampel feses sangat sulit karena banyaknya material feses, sehingga terkadang bakteri tidak bisa keluar dari material tersebut. Selain itu, M. paratuberculosis mempunyai struktur dinding yang kompleks, dan mengandung zat lilin yang tebal sehingga sangat sulit untuk dilysiskan. Hal ini dapat menyebabkan konsentrasi DNA yang didapat kemungkinan juga rendah dan akan mempengaruhi dalam hasil PCR (Amita et al. 2002)
29
Hasil PCR konvensional dengan primers IS900 memperlihatkan adanya pita DNA pada kolom 5 (isolat Lembang) dan 6 (isolat Baturaden) merupakan isolat yang tumbuh pada HEYM dengan mycobactin J, sedangkan pada kolom 14 dan 15 merupakan kontrol positif (M. paratuberculosis A6/German dan ATCC 19698) serta kontrol negatif pada kolom 13 dan 16 (M. avium B6/German dan TE buffer). Amplifikasi dengan primers F57 juga memperlihatkan adanya pita DNA pada kolom 5 (isolat Baturaden) dan 7 (isolat Lembang) yang merupakan isolat yang sama dengan yang diuji dengan primers IS900, sedangkan kontrol positif pada kolom 14 dan 15 dan kontrol negatif pada kolom 13 dan 16. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Gambar 7. Hasil PCR IS900, pada kolom 5 (isolat Lembang) dan 6 (isolat Baturaden) terlihat adanya pita DNA, sedangkan pada kolom 14 dan 15 kontrol positif serta kolom 13 dan 16 kontrol negatif.
30
Gambar 8. Hasil PCR F57, pada kolom 5 (isolat Baturaden) dan 7 (isolat Lembang) terlihat adanya pita DNA, sedangkan pada kolom 14 dan 15 kontrol positif serta kolom 13 dan 16 kontrol negatif. Berdasarkan data hasil PCR terhadap isolat yang tumbuh pada media HEYM terlihat bahwa metode ini untuk konfirmasi isolat yang tumbuh cukup bagus dan akurat. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Shin et al. (2004) bahwa PCR dapat digunakan dan cukup bagus untuk uji konfirmasi terhadap kultur dan dapat mendeteksi bakteri kurang dari 20 cfu untuk primers IS900 (Taddei et al. 2004) serta dapat mendeteksi 1 cfu untuk F57 (Vansnick et al. 2004). Hasil ini juga tidak menunjukkan adanya reaksi silang dengan M. avium karena tidak adanya pita DNA pada kolom kontrol negatif. Penelitian
ini
memberikan
gambaran
bahwa
telah
terjadi
infeksi
M. paratuberculosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Prevalensi penyakit tersebut berkisar 2%, karena dari 184 sampel yang diambil ada 2 yang positif paratuberkulosis. Hal ini sesuai dengan asumsi waktu pengambilan sampel, yaitu prevalensi 2 % akan terpenuhi jika dari jumlah sampel tersebut minimal ada 1 yang menunjukkan positif paratuberkulosis.
31
Adanya program pengembangan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu nasional, maka kasus infeksi paratuberkulosis sangat perlu diperhatikan. Mengingat sifat penyakit ini kejadiannya kronis dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi serta sangat susah dalam pengendaliannya.
32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Penyakit paratuberkulosis telah ditemukan dan menginfeksi sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas, hal ini karena bakteri M. paratuberculosis dapat diisolasi dari ternak di kedua wilayah tersebut dengan prevalensi penyakit berkisar 2 %. Sensitivitas dan spesifitas uji serologi (ELISA) menggunakan ruminants serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis) adalah 25% dan 96,8%. Metode PCR dengan primers IS900 (TJ1-TJ2) dan F57 dapat digunakan untuk uji konfirmasi terhadap isolat M. paratuberculosis, karena dapat memberikan hasil yang baik dan akurat.
SARAN 1. Semua ternak sapi yang akan diimport harus bebas paratuberkulosis yang dinyatakan dengan hasil ELISA. 2. Ternak sapi import yang masuk ke Indonesia harus dikarantina dan dilakukan pemeriksaan kembali terhadap paratuberkulosis. 3. Pusat pembibitan harus diuji kesehatan hewannya secara periodik dan dinyatakan bebas paratuberkulosis. 4. Jika ditemukan ada hewan yang positif paratuberkulosis, maka kelompok ternak tersebut harus dikarantina dan diafkir apabila memungkinkan. Sedangkan kandang dan peralatan peternakan harus dilakukan pembersihan dan didekontaminasi. 5. Perlu pengembangan teknik diagnosa cepat dan akurat dengan antigen spesifik, sehingga dapat digunakan untuk deteksi dini terhadap penyakit dan perlu melakukan penelitian lanjutan dengan wilayah yang lebih luas baik pada ruminansia besar maupun kecil serta mengkarakterisasi secara molekuler untuk genotyping isolat lokal M. paratuberculosis tersebut.
33
DAFTAR PUSTAKA Amita J, Vandana T, Guleria RS, Verma RK. 2002. Qualitative Evaluation of Mycobacterial DNA Extraction Protocols for Polymerase Chain Reaction. Molecular Biology Today. 3:43-50 Anonim. 2000. Possible Links Between Crohn’s Disease and Paratuberculosis. Scientific Commitee Health and Animal Welfare. European Commision. Directorate-General Health and Consumer Protection. Bannantine JP, Huntley JF, Miltner E, Stabel JR, Bermudez LE. 2003. The Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis 35 kDa Protein Plays a Role in Invasion of Bovine Epithelial Cells. Microbiol.149:2061-2069. Buergelt CD, Layton AW, Ginn PE, Taylor M, King JM, Habecker PL, Maudlin E, Whitlock R, Rossiter C, Collins MT. 2000. The Pathology of Spontaneous Paratuberculosis in the North American Bison (Bison bison).
Vet Pathol
37:428–438. Berghaus RD, Farver TB, Anderson RJ, Adaska JM, Gardner IA. 2006. Use of Age and Milk Production Data to Improve the Ability of Enzyme Linked Immunosorbent Assay Test Results to Predict Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis Fecal Culture Status. J Vet Diagn Invest. 18:233–242. Bull TJ, McMinn JE, Boumedine KS, Skull A, Durkin D, Neild P, Rhodes G, Pickup R, Taylor HJ. 2003. Detection and Verification of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Fresh Ileokolonic Mucosal Biopsy Specimens from Individuals with and without Crohn’s Disease. J Clin Microbiol. 41:2915-2923. Carpenter TE, Gardner IA, Collins MT, Whitlock RH. 2004. Effects of Prevalence and Testing by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay and Fecal Culture on The Risk of Introduction of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis – Infected Cows Into Dairy Herds. J Vet Diagn Invest.16:31-38.
34
Cho D, Collins MT. 2006. Comparison of The Proteosome and Antigenicities of Secreted and Cellular Proteins Produced by Mycobacterium paratuberculosis. J Clin Vacc Immun.1155-1161 Collins MT. 2003. Update on Paratuberculosis. Irish Vet. J. 56:565-623. Collins MT, Manning E. 2004. Paratuberculosis in Dairy Cattle. School of Veterinary Medicine. University of Wisconsin. Collins MT, Gardner IA, Garry FB, Rousel AJ, Wells SJ. 2006. Consensus Recommendation on Diagnostic Testing for The Detection of Paratuberculosis in Cattle in the United States. JAVMA. 229: 1912-1919. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan Tahun 2007. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Ebert MN, Kraft SA, Grant IR, Donaghy J, Rowe MT, Seyboldt C. 2000. Isolation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis from Bovine Colostrum by Immunomagnetic Separation. Research Center for Medical Technology and Biotechnology (fzmb e.V.). Department of Veterinary Diagnostic. Erfurt. Germany. Ferreira R, Fonseca L, Lilenbaum W. 2002. Comparison Between a Commercial and an In-house ELISA for anti-M. avium subsp. paratuberculosis Antibodies detection in dairy Herds in Rio de Janeiro. Revista Latinoamerica de Microbiologia. 44:129-132 Floron C, Allen Jr, Ellen JR, Sandra RS, Sandra DM. 1999. Bovine Paratuberculosis of Dairy Cattle. Texas Agricultural Extension Services. The Texas A.& M University System. 1-4 Grant IR, Ball HJ, Rowe MT. 1998. Isolation of Mycobacterium paratuberculosis from Milk
by Immunomagnetic Separation.
J Appl
Environ
Microbiol.
64: 3153-3158 Grant IR, Ball HJ, Rowe MT. 2002. Incidence of Mycobacterium paratuberculosis in Bulk Raw and Commercially Pasteurized Cows Milk from Approved dairy processing Establishments in the United Kigdom. Microbiol. 68: 2428-2435.
35
Grewal SK, Rajeev S, Sreevatsan S, Michel FC. 2006. Persistence of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis and Other Zoonotic Pathogens during Simulated Composting, Manure Packing, and Liquid Storage of Dairy Manure. J Appl Environ Microbiol. 72:565-574. Griffiths M. 2003. Mycobacterium paratuberculosis. In: Food-borne Pathogens. 1st ed. Woodhead Pub. Ltd. And CRC press LLC. Gyles CL, Thoen CO. 1993. Mycobacterium. In : Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. 2nd ed. Iowa State University Press. Harlow E, Lane D. 1988. Immunoassay. In: Antibodies a Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Harris NB, Barletta RLG. 2001. Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Veterinary Medicine. Clin Microbiol Review. 14:489 – 512. Jones HP. 1999. Living with Johne’s Disease. Holstein J. 1:61-62 Kemeny DM, Challacombe SJ. 1989. ELISA and Other Solid Phase Immunoassays Theoritical and Practical Aspects. A Wiley Medical Publication. John Wiley & Sons. Koolman J, Rohm KH. 1994. Color Atlas of Biochemistry, Georg Thieme Verlag, Stuttgart. Germany. Kurade NP, Tripathi BN, Rajukumar K, Parihar NS. 2004. Sequential Development of Histologic Lesions and Their Relationship with Bacterial Isolation, Fecal Shedding, and Immune Responses during Progressive Stages of Experimental Infection of Lambs with Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis. Vet Pathol. 41:378-387 Lequin R. 2005.Enzyme Immunoassay (EIA) / Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). J Clin Chem. 51 : 2415-2418. Lombard JE, Byrem TM, Wagner BA, McCluskey BJ. 2006. Comparison of Milk and Serum Enzyme Linked Immunosorbent Assays for Diagnosis of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Infection in Dairy Cattle. J Vet Diagn Invest., 18:448–458.
36
Malamo M, Sakoda Y, Ozaki H, Kida H. 2006. Development of ELISA to Detect Antibodies Specific to Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis with Truncated 34 kDa proteins. Jpn J Vet Res. 54:99-107. McKenna
SLB,
Sockett
DC,
Keefe
GP,
McClure
J,
VanLeeuwen
JA,
Barkema HW. 2005. Comparison of Two Enzyme-Linked Immunosorbent Assays for Diagnosis of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis. J Vet Diagn Invest. 17:463–466. Michel FC, Grewal SJ, Sreevastan S. 2005. Persistence of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis and other Pathogens during Composting, Manure Pack and Liquid Storage of Dairy Manure. Dept. of Food, Agricultural and Biological Engineering. The Ohio State University-OARDC. Wooster. Ohio Mokrousov I, Narvskaya O. 2004. Methods for DNA Fingerprinting and Genotypic Detection of Drug Resistance of Mycobacterium tuberculosis. S. Angeloff Institute of Microbiology. Bulgarian Academy of Sciences. Motiwala, AS, Strother, M, Theus NE, Stich RW, Bryum B, Shulaw WP, Kapur V, Sreevatsani S. 2005. Rapid Detection and Typing of Strains of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis from Broth Cultures. J
Clin
Microbiol.
43:2111-2117. [OIE] Office International des Epizooties. 2004. Paratuberculosis. In : Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. World Organization for Animal Health. Osterstock, JB, Fosgate, GT, Norby B, Manning E, Collins, MT. 2007. Contribution of Environmental Mycobacteria to False-Positive Serum ELISA Results for Paratuberculosis. JAVMA. 203:896-901 Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnely WJC, Leonard FC. 2006. Mycobacterium spesies. In : Veterinary Microbiology and Microbial Disease. 6th ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company.
37
Ristow P, Silvas MG, Fonsecas SL, Lilenbaum W. 2006. Evaluation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis Fecal Culture Protocols and Media. Pesq Vet Bras. 26:1-4 Roussel JA, Fosgate TG, Manning JB, Collins MT. 2007. Association of Fecal Shedding of Mycobacteria with High ELISA-Determined Seroprevalence for Paratuberculosis in Beef Herds. JAVMA. 230:890-895 Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. In Vitro Amplification of DNA by the Polymerase Chain Reaction. In : Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor, N.Y: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Schaik GV, Stehman SM, Schukken YH, Rossiter CR, Shin SJ. 2003. Pooled Fecal Culture Sampling for Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis at Different Herd Sizes and Prevalence. J Vet Diagn Invest. 15:233–241. Shin JS, Chang YF, Huang CH, Zhu J, Huang L, Yoo HS. 2004. Development of a Polymerase Chain Reaction Test to Confirm Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Culture. J Vet Diagn Invest. 16:116–120 Shin JS, Han JH, Manning E, Collins MT. 2007. Rapid and Reliable Method for Quantification of Mycobacterium paratuberculosis by Use of the BACTEC MGIT 960 System. J Clin Microbiol. 45:1941-1948. Stabel JR, Well SJ, Wagner BA. 2002. Relationships Between Fecal Culture, ELISA, and Bulk Tank Milk Test Results for Johne’s Disease in US Dairy Herds. J Dairy Sci., 85:525-531. Stabel JR, Bannantie JP. 2005. Development of a Nested PCR Method Targeting a Unique Multicopy Element, ISMap02, for Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Fecal Samples. J Clin Microbiol. 43:4744-4750 Taddei S, Robbi C, Cesena C, Rossi I, Schiano E, Arrigoni N. 2004. Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Bovine Fecal Samples: Comparison of Three Polymerase Chain Reaction–Based Diagnostic Tests with a Conventional Culture Method. J Vet Diagn Invest. 16:503–508
38
Tasara T, Hoelzle LE, Stephan R. 2005. Development and Evaluation of a Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) Specific Multiplex PCR Assay. J Food Microbiol. 104:279-287. Vansnick E, Rijk DP, Vercammen F, Geysen D, Rigouts L, Portaels F. 2004. Newly Developed Primers for The Detection of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis. Vet Microbiol. 100:197-204. Viljoen GJ, Neland LH, Crowther JR. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook, Springer Publication, Netherlands. Waters WR, Miller JM, Palmer MV, Stabel JR, Jones DE, Koistinen KA, Steadham EM, Hamilton MJ, Davis WC, Bannantine JP. 2003. Early Induction of Humoral and Cellular Immune Responses During Experimental Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis Infection of Calves. J Infect Immun.71:5130-5138 Wells SJ, Collins MT, Faaberg KS, Wees C, Tavornpanich S, Petrini KR, Collins JE, Cernicchiaro N, Whitlocks RH. 2006. Evaluation of a Rapid Fecal PCR Test for Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Dairy Cattle. J Clin Vacc Immunol.,13:1125-1130. Whan L, Ball HJ, Grant IR, Rowe MT. 2005. Occurrence of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Untreated Water in Northern Ireland. J Appl Environ Microbiol. 71:7107-7112. Whittington RJ, Marsh I, Turner MJ, McAllister S, Choy E, Eamens GJ, Marshall DJ, Ottaway S. 1998. Rapid Detection of Mycobacterium paratuberculosis in Clinical Samples from Ruminants and in Spiked Environmental Samples by Modified BACTEC 12B Radiometric Culture and Direct Confirmation by IS900 PCR. J Clin Microbiol. 36:701-707 Whittington RJ, Fell S, Walker D, McAllister, Marsh I, Sergeant E, Taragel CA, Marshall DJ, Links IJ. 2000. Use of Pooled Fecal Culture for Sensitive and Economic Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis Infection in Flocks of Sheep. J Clin Microbiol. 38:2550-2556.
39
Whittington RJ, Marshall DJ, Nicholls PJ, Marsh IB, Reddacliff LA. 2004. Survival and Dormancy
of
Mycobacterium
avium
subsp.
paratuberculosis
in
the
Environment. J Appl Environ Microbiol. 70:2989-3004. Wu CW, Livesey M, Schmoller SK, Manning EJB, Steinberg H, Davis WC, Hamilton MJ, Talaati AM. 2007. Invasion and Persistence of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis during Early Stages of Johne’s Disease in Calves. J Infect Immun. 75:2110-211. Yokomizo Y.1997. Isolation and Identification of Mycobacterium paratuberculosis, National Institut of Animal Health. Japan.
40
LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar patologi anatomi usus besar kasus paratuberkulosis LPPH (1958)
Lampiran 2. Gambar hasil ELISA paratuberkulosis (serum ruminants paratuberculosis confirmation kit)
41
Lampiran 3. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria dari sampel feses positif (isolat Baturaden)
Lampiran 4. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria dari sampel feses positif (isolat Lembang)
42
Lampiran 5. Gambar hasil PCR feses IS900 sampel no 23 – 43 (1-21), kontrol positif kolom 23 dan 24, kontrol negatif kolom 22 dan 25.
Lampiran 6. Gambar hasil PCR feses F57 sampel no 23 – 43 (1-21), kontrol positif kolom 23 dan 24, kontrol negatif kolom 22 dan 25.
43
Lampiran 7. Gambar kit ELISA (ruminants serum paratuberculosis confirmation kit, LSI, Perancis)
Lampiran 7. Gambar kit ekstraksi DNA dari feses (QIAmp stool mini kit, Qiagen, Jerman)