PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DAN PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
MOCHAMAD ALI MAULUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Mochamad Ali Mauludin NIM I353100071
RINGKASAN MOCHAMAD ALI MAULUDIN. Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Dibimbing oleh Djuara P. Lubis dan Winati Wigna. Penelitian tentang Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini mengkaji permasalahan mengapa dan bagaimana peternak sapi perah di Pangalengan masih tetap bertahan hingga sekarang, selain itu bagaimana penetrasi modernisasi peternakan di Pangalengan berdampak pada perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain : 1) Menganalisis perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas peternak sapi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa dan formasi sosial yang terbentuk setelah terjadi penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan, 2) Menganalisis dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui modernisasi peternakan terhadap struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan, dan 3) Menganalisis perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis dan menggunakan metode kualitatif. Dengan demikian untuk pengumpulan data melalui indepth interview, studi arsip, dokumen, dan studi pustaka, sedang analisinya digunakan model analisis interaktif. Dalam upaya memperoleh validitas data yang sebenarnya dapat diyakini, keabsahan data diuji melalui teknik triangulation data dan metode. Hasil penelitian menunjukan, bahwa pada pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan mengalami perjalanan panjang atau periodisasi dimulai pada masa kolonial Belanda hingga sekarang. Periodisasi tersebut antara lain : 1) periode penjajahan (sebelum tahun 1945), 2) periode perintis (tahun 1945 sampai 1975), dan 3) periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang). Periodisasi pengembangan peternakan sapi perah mengakibatkan perubahan moda produksi. Perubahan moda produksi pada usaha peternakan sapi perah berupa peralihan alatalat produksi, cara-cara produksi, dan pola-pola hubungan produksi dari cara-cara produksi tradisonal ke cara produksi yang lebih modern. Hasil studi mengungkapkan bahwa perubahan moda produksi (kekuatan produksi dan hubungan produksi) yang diartikulasikan peternakan sapi perah berdampak pada perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Periodisasi dalam pengembangan peternakan sapi perah mengungkapkan bahwa setiap periode akan membentuk formasi sosial. Formasi sosial capitalist terjadi pada periode penjajahan (sebelum tahun 1945) dan pada periode perintis (tahun 1945 sampai1975) terbentuk formasi sosial semi-petty commodity serta yang terjadi pada periode kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) terbentuk formasi sosial petty commodity. Moda produksi yang dominan di antara moda produksi yang lain memberikan gambaran dalam suatu komunitas peternak sapi perah pada periode tertentu. Dominasi moda produksi capitalist pada periode penjajahan menghasilkan akumulasi modal, polarisasi peguasaan lahan dan ternak, sedangkan dominasi moda produksi semi-petty commodity pada periode perintis mengungkapkan bahwa pasar yang dibentuk oleh kolektor (pengumpul susu) dan kelembagan lokal adalah pasar persaingan
sempurna yaitu hanya komoditi produksi susu, sedangkan periode kontemporer dominasi moda produksi petty commodity membentuk peternakan sapi perah terbagi dalam stratifikasi peternak yaitu peternak kelas atas, peternak kelas menengah, dan peternak kelas bawah. Tipe ekonomi yang berkembang adalah peternak sapi perah sebagai penjual dan koperasi peternakan adalah sebagai pembeli. Perubahan struktur komunitas peternak sapi perah terjadi setelah adanya penetrasi modernisasi peternakan di Pangalengan. Perspektif penetrasi modernisasi adalah kebijakan pemerintah mengenai pembangunan di berbagai sektor peternakan, pendirian industri pengolahan susu, dan melalui koperasi (agent of change) yaitu adopsi inovasi teknologi dalam produksi usaha peternakan sapi perah. Hasil penelitian menunjukan adanya perubahan struktur komunitas dengan melihat sebelum dan sesudah penetrasi modernisasi peternakan antara lain pembagian kelas lebih menyebar sehingga terbentuk peternak kelas atas, peternak kelas menengah, dan peternak kelas bawah. Selanjutnya buruh ternak terbagi dalam buruh lepas (tidak menginap) dan buruh tetap (menginap di rumah peternak), selanjutnya perubahan hubungan sosial terjadi antara peternak dengan peternak, peternak dengan institusi. Dengan perubahan struktur komunitas tersebut mengakibatkan kemunculan struktur pekerjaan baru antara lain penyedian pakan ternak baik konsentrat maupun hijauan di luar dari koperasi dan dibangunnya home industry dalam pengolahan susu. Kata kunci: Fomasi Sosial, Moda Produksi, Pengembangan Peternakan Sapi Perah, Struktur Sosial.
SUMMARY MOCHAMAD ALI MAULUDIN. Development of Dairy Farming and the Change of Social Structure in Pangalengan Sub-District, Bandung Regency Supervised by Djuara P. Lubis and Winati Wigna. Research on Development of Dairy Farming and the Change of Social Structure in Pangalengan Sub-District, Bandung Regency studied the questions of why and how dairy farmers in Pangalengan keep surviving until recently, meanwhile it also studied how modernization penetration of animal husbandry in Pangalengan has given impact on structural change of dairy farmer community. The aims of this research were: 1) to analyze mode of productions changes occured on dairy farmer community in the dairy farming devlopment from time to time and social formation formed in the post-modernization penetration of dairy farming in Pangalengan, 2) to analyze the impact of dairy farming development through animal husbandry modernization on the structure of dairy farmer community in Pangalengan, and 3) to analyze whether the changes of mode of productions have impact on small-scale dairy farming sustainability. This research was based on critical paradigm that methodologically implied on the use of qualitative method. Thus, data gathering was conducted through indepth inteview, archives, documentary and bibliographic studies, and the analysis used interactive analysis model. In the efforts of finding data validity which was truly reliable, data validity were tested through triangultion techniques on data and method. The result showed that the development of dairy farming in Pangalengan has been through long journey or can be described into periodization which has begun in Dutch Colonialization until recently. The periodization consisted of three parts: 1) Colonial period (before 1945), 2) Pioneering period (1945-1975, and 3) Contemporary period (1975-now). The periodization of dairy farming development has given impact on mode of production. Mode of production changes on dairy farming business were on the shift of production tools, production ways, and production patterns from traditional ways of productions to more modern production ways. The study results revealed that mode of production changes (production forces and production relations) which were articulated by dairy farmer has given impact on structural changes of dairy farmer community. Periodization in the development of dairy farming revealed that each period would form the social formation. Capitalist social formation took place in the Colonial period (before 1945) and in the Pioneering period (1945-1975) a semi-petty production social formation was formed and in the contemporary period (1975-now) petty commodity social formation was formed. Dominant mode of production among other mode of productions gave description in a dairy farmer community in a particular period. The domination of Capitalist mode of production in the colonial period created capital accumulation, polarization of land and dairy cow ownership. Meanwhile, the domination of semi-petty commodity mode of production in the Pioneering period revealed that market which was formed by collectors (dairy collectors) and local institution was the perfect competition
market that was merely dairy product commodity, and in the Contemporary period, the domination of petty commodity mode of production formed dairy farming which was divided into farmer stratification as upper class farmer, middle class farmer and lower class farmer. Developing economic type was dairy farmer as seller and dairy Cooperation as buyer. The structural changes of dairy farmer community occured after the penetration of dairy farming modernization took place in Pangalengan. The perspective of modernization penetration belonged to the Government Policy on Multisectors Development of Animal Husbandry, the build of dairy manufacturing industry and through Coopration (agent of change) that was adoption of technological inovation in the production of dairy farming business. The result showed there has been structural changes on community by looking at the condition of pre and post dairy farming modernization penetration that class division was more distributive thus formed upper class, middle class and lower class dairy farmer. Meanwhile, the laborers was divided into loose laborers (who did not reside in the dairy farmer‟s house) and permanent laborer (who stayed in dairy farmer‟s house), then social relations changes took place between dairy farmer and dairy farmer, dairy farmer and institution. By the structural changes on community gave impact on the emergence of new occupational structures as to provide the cattle feeding both in concentrate and green grass outside the cooperation and the establishment of dairy manufacturing home industry. Key words : Dairy Farming Development, Mode of Production, Social formation, Social Structure.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DAN PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
MOCHAMAD ALI MAULUDIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA
Judul Tesis : Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Nama : Mochamad Ali Mauludin NIM : I353100071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua
Dra Winati Wigna, MDS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Arya H Dharmawan, MScAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 13 Juni 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan segala rahmat, karunia dan ridha-Nya penulisan tesis dengan judul “ Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB dapat penulis selesaikan pada waktunya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra Winati Wigna, MDS atas bimbingan, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis selama proses pengerjaan tesis ini. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, juga kepada Penguji Luar Komisi Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A yang telah memberikan masukan dan pencerahan dalam penulisan tesis ini. Pada kesempatan ini Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar di Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan moral. Teman-teman seperjuang SPD FEMA IPB 2010 yang selalu kompak dan memberi semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis mengucapakan terima kasih kepada KPBS Pangalengan melalui Pengurus, Manajer dan Koordinator Rayon serta Staf di bawahnya yang telah sangat membantu penulis dalam berdiskusi dan pengumpulan data primer maupun sekunder. Penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada para informan dan responden di dua desa yaitu Desa Margamukti yaitu Komunitas Peternak Sapi Perah di TPK Los Cimaung I dan II serta Desa Margamekar yaitu Komunitas Peternak Sapi Perah di TPK Babakan Kiara dan TPK Cisangkuy yang telah meluangkan waktunya untuk dapat berdiskusi dan menjawab pertanyaanpertanyaan yang penulis ajukan. Penulisan tesis ini juga dapat terwujud berkat doa dan dukungan moral yang tiada putus-putusnya dari kedua orang tua tercinta yaitu Ibunda Hj. Entit Sri Warty dan H. Deden Djakaria dan saudara-saudara penulis. Demikian juga doa dan segenap pertolongan baik moril maupun materil dari mertua penulis, H. Mahyuddin dan Hj. Bismar Haryati. Untuk itu semua, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka. Terakhir, kepada isteri tercinta Viani Puspita Sari yang telah sangat sabar mendampingi hidup penulis dan terus menyemangati penulis, menjadi sahabat dan pemberi inspirasi dalam diskusi yang panjang serta brain storming dalam penyelesaian tesis ini, juga kepada anak-anak penulis, Hafidzah Alivia Sybilla Mauludin dan Muhammad Ikram Syafiq Mauludin yang selalu memberikan kebahagian dan keceriaan serta kelengkapan dalam hidup dan sebagai motivasi penulis untuk dapat segera menyelesaikan tesis ini. Bandung, Juni 2014
Mochamad Ali Mauludin
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................ .............. DAFTAR GAMBAR .............................................................................. ........... DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... ..........
xiv xv xvi
I PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................................... Perumusan Masalah .................................................................................. Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 5 6 7
II TINJAUAN PUSTAKA Paradigma Pembangunan ......................................................................... Moda Produksi .......................................................................................... Formasi Sosial ....................................................................................... .. Struktur Sosial .......................................................................................... Kerangka Pemikiran ................................................................................. Hipotesis Pengarah ................................................................................... Batasan Konsep ........................................................................................
8 9 12 15 17 19 19
III METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian ................................................................................. Metode Penelitian ..................................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ Teknik Analisis Data .................................................................................
21 21 22 24 25
IV LATAR HISTORIS PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DI PANGALENGAN Gambaran Umum Kecamatan Pangalengan.............................................. Geografis dan Demografis ................................................................ Budaya Masyarakat Pegunungan ...................................................... Sosial Ekonomi ................................................................................. Profil Dua Komunitas Peternak Sapi perah di Dua Desa Kasus .............. Desa Margamekar (Geografis dan Demografis) ............................... Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamekar ............... ...... Desa Margamukti (Geografis dan Demografis) ............................... Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamukti ...................... Perbandingan Dua Desa Kasus dan Kesimpulan ...................................... Perkembangan Peternakan Sapi Perah di Pangalengan ............................ Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) ....................................... . Periode Perintis (tahun 1945 sampai 1975) ....................................... Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) ........................ Ikhtisar .................................................................................................... . .
27 27 30 31 34 34 39 41 42 44 45 46 48 50 52
V DINAMIKA MODA PRODUKSI DI BIDANG PETERNAKAN DAN PEMBENTUKAN FORMASI SOSIAL Moda Produksi pada Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) .............. Kekuatan Produksi ............................................................................. Hubungan Produksi ........................................................................... Formasi Sosial Capitalist.................................................................... Moda Produksi pada Periode Perintis (tahun 1945 Sampai 1975) ........... Kekuatan Produksi ............................................................................. Hubungan Produksi ........................................................................... Formasi Sosial Semi-Petty Commodity............................................. . Moda Produksi pada Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Petty Commodity............. Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist .................. ..... Hubungan Produksi dalam Moda Petty Commodity....................... ... Hubungan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist................ ....... Formasi Sosial Petty Commodity........................................................ Ikhtisar ...................................................................................................... VI PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL PADA KOMUNITAS PETERNAK SAPI PERAH Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Sebelum Penetrasi Modernisasi ............................................................................... Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Setelah Penetrasi Modernisasi ............................................................................... Perubahan Startifikasi Sosial ........................................................... .. Perubahan Hubungan Sosial .............................................................. Ikhtisar ..................................................................................................... .
55 56 57 59 60 61 62 64 65 65 68 69 70 72 73
75 78 78 80 80
VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................... Saran ..........................................................................................................
83 84
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... LAMPIRAN ............................................................................................ ............ RIWAYAT HIDUP ................................................................................. ...........
85 89 97
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tipe-tipe Moda Produksi .................................................................................... 10 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2011 .............................. .. 29 3. Luas Lahan Kecamatan Panglengan Menurut Peruntukannya Tahun 2012 ..... .. 32 4. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan / Matapencaharian Tahun 2012 ........................................................................ . .. 33 5. Komposisi Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Margamekar Tahun 2011 ......................................................................................................... 34 6. Komposisi Luas Tanaman Pangan Menurut Komoditas Desa Margamekar Tahun 2011 ........................................................................................................ 35 7. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Cisangkuy ...................... 40 8. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Babakan Kiara ............... 40 9. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung I ............. . 43 10. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung II ............... 44 11 Struktur „pemain‟ Pada Peternakan Sapi Perah ................................................ 54 12. Moda Produksi Capitalist Kolonial Belanda dan Subsistence.......................... 58 13. Moda produksi Subsistence dan Moda Produksi Semi-Petty Commodity ..... . 64 14. Moda produksi Moda Produksi Petty Commodity dan Moda Produksi Capitalist ............................................................................... . 72 15. Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah di Pangalengan Sebelum dan Setelah Penetrasi Modernisasi .......................................................................... 81
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Moda Produksi ...................................................................................... ... 2. Formasi Sosial Masyarakat ....................................... ....................................... .. 3. Bagan Alur Berfikir ............................................................................................ 4. Lokasi Penelitian .................................................................................................. 5. Komposisi Sarana Perekonomian di Pangalengan Tahun 2012 ....................... ... 6. Komposisi aset tanah Desa Margamekar Tahun 2011 ...................................... ... 7. Komposisi Jenis Ternak Desa Margamekar Tahun 2011............ ..................... .. 8. Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Desa Marga Mekar Tahun 2011 ............. 9. Komposisi Jenis Mata Pencaharian Desa Margamekar Tahun 2011 ............... . 10. Komposisi aset tanah Desa Margamukti Tahun 2011 ..................................... 11. Alur Pemasaran Susu Periode Perintis .............................................................
11 13 18 23 34 36 36 37 38 42 77
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Kecamatan Pangalengan .................................................... ...................... 2. Data Populasi dan Produksi Susu Di Pangalengan .......................................... 2. Pedoman Wawancara ............................................................................... ....... 3. Foto-foto Penelitian ................................................................................. ........
89 90 91 94
I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangalengan sudah sejak lama dikenal sebagai sentra peternakan sapi perah dan dapat dikatakan sebagai gambaran peternakan sapi perah Jawa Barat. Menurut Homzah (1986) ternak sapi perah masuk ke Pangalengan sebelum tahun 1860 dan dipelihara oleh keluarga Belanda dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangganya. Sementara itu Syarief (1997) menyebutkan bahwa pada Zaman Belanda di Pangalengan terdapat empat perusahaan peternakan sapi perah besar diantaranya de Friesche Trep, Almanak, Van der Est dan Bigman, dengan target pemasarannya sebagian besar adalah orang-orang Belanda yang berdomisili di Pangalengan dan kawasan Bandung dan sekitarnya. Selanjutnya terjadi dinamika yang cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama setelah terjadinya peralihan penjajahan dari Belanda kepada Jepang pada tahun 1942. Menurut Umboh (1954) yang dikutip oleh Subandriyo dan Adiarto (2009) pada periode pendudukan Jepang, perusahaan sapi perah Belanda diambil alih oleh Pemerintahan Jepang. Pada masa itu, pengelolaannya berlangsung secara darurat sehingga menyebabkan ketersediaan bahan baku konsentrat mengalami keterbatasan. Implikasi yang diperoleh adalah produksi susu sapi mengalami penurunan yang tajam sedangkan harga pakan konsentrat mengalami peningkatan. Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mengakibatkan banyak perusahaan susu yang terlantar dan mengakibatkan stok sapi penghasil susu pun mulai tidak terkelola dengan benar. Sebagian ternak sapi secara berangsur-angsur dipotong dan dikonsumsi, sementara sebagian lainnya mulai tersebar di kalangan masyarakat setempat. Sapi-sapi tersebut yang berada di tangan masyarakat setempat diperihara dan dikembangkan hingga sekarang sehingga merupakan cikal-bakal usaha peternakan sapi perah rakyat (Dasuki, 1983). Istilah, konsep, dan paradigma pembangunan dikenal luas di era tahun 1950-1970-an. Pada rentang waktu tersebut banyak Negara Dunia Ketiga yang baru memperoleh kemerdekaannya dan dihadapkan pada persoalan krusial yaitu penanganan dengan segera masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Pendapat Seers yang dikutip oleh Chaniago (2012) menyatakan, bahwa pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau dua dari tiga kondisi, yaitu kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menjadi lebih buruk, meskipun pendapatan perkapita melambung tinggi. Dalam perkembangannya, ada beberapa negara yang berhasil dalam menjalankan pembangunan sehingga mampu mengejar ketertinggalan dan masuk dalam negara industri baru. Jika ditilik dari aspek sejarah dari waktu ke waktu, pemerintahan baru di berbagai negara yang menyatakan dirinya sedang berkembang cepat merasa perlu untuk menyajikan usaha pembangunan di bidang sosial, ekonomi atau politik yang dapat dianggap sebagai aspek-aspek modernisasi. Aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi suatu masyarakat adalah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisonal ke cara-cara modern, yang tertampung dalam pengertian revolusi industri (Schoorl, 1980).
1
2
Pembangunan di Indonesia sendiri diawali setelah negara terbebas dari belenggu penjajahan yaitu dimulai setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945 sampai dengan saat sekarang1. Modernisasi di bidang pertanian melalui revolusi hijau menjadikan perubahan yang sangat mendasar pada kehidupan masyarakat Indonesia, hal serupa terjadi pula pada sub sektor peternakan. Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan juga tidak terlepas dari pembangunan nasional. Pembangunan peternakan yang berkelanjutan mengoptimalkan bagaimana permintaan terhadap komoditas hasil peternakan sebagai sumber protein hewani (daging dan susu) dapat tersedia keberadaannya. Iklim pembangunan pertanian dalam hal ini subsektor peternakan menghendaki pembaharuan-pembaharuan melalui modernisasi. Modernisasi di negara-negara berkembang melalui peningkatan arus modal dan teknologi maupun industrialisasi di berbagai bidang memberikan perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Perubahan yang mendasar pada struktur masyarakat tersebut ditandai dengan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dan meningkatnya spesialisasi pekerjaan sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat. Bierstedt (1970) mengemukakan pemikiran terhadap pembagian kerja yang terbagi menjadi tiga antara lain: (1) merupakan fungsi dari ukuran masyarakat, semakin besar masyarakat semakin nyata pembagian kerja; (2) merupakan syarat untuk terbentuknya kelas/ pelapisan; dan (3) menghasilkan ragam posisi/ status dan peranan yang berbeda, yang satu dinilai lebih tinggi dari yang lainnya. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
1
Pembangunan di awali pada masa pemerintahan Soekarno. Ia menyelenggarakan Pembangunan Berencana (1956-1961) dan Pembangunan Nasional Semesta (1961-1968), dengan ketidakstabilan politik pada masa tersebut mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam pembangunan. Hal lainnya, di masa tersebut yaitu pada tahun 1963 Indonesia turut menunjang Revolusi Hijau (Tjondronegoro, 2011). Revolusi Hijau sebagai tonggak penting pembangunan pertanian dengan program intensifikasi pertanian tanaman pangan yang berhasil menggunakan varietas bibit baru yang sangat responsif terhadap pemupukan dan penggunaan pestisida. Selanjutnya, pembangunan berlangsung pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (19691999) melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan hukum perencanaan pembangunan dengan penjabarannya yaitu Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA). Dengan model pembangunan yang top-down, birokratis dan sentralistik menjadikan pemerintah sangat berperan dalam pembangunan di berbagai sektor terutama pada periode awal yaitu PELITA I (1 April 1969 - 31 Maret 1974) yang menekankan pembangunan pada sektor pertanian. Periodisasi pembangunan yang terjadi pada masa Pemerintahan Soeharto berlangsung dari Pelita I sampai dengan Pelita VI yang hampir semua kebijakan pembangunan mengarahkan kepada sektor pertanian dan pengembangan industri. Kesempurnaan rencana pembangunan tidak berjalan optimal, hal tersebut terlihat pada Repelita VI bergulir, ternyata tidak sampai tuntas disesebabkan pada tahun 1997-an terjadi reformasi di berbagai bidang sehingga terjadi krisis multidimensional, dan berujung pada krisis kepercayaan terhadap pemerintahan sehingga berdampak pada lengsernya presiden Soeharto. Selanjutnya, program pembangunan nasional dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Megawati (tahun 2000-2004) melalui Propenas (Program Pembangunan Nasional) dan Repeta (Rencana Pembangunan Tahunan) dan yang terakhir dan masih berjalan untuk program pembangunan nasional yaitu pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - sekarang) melalui Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
3
dengan adanya modernisasi memperlihatkan adanya perubahan struktur dan perbedaan posisi atau kelas di masyarakat. Dalam rangka usaha modernisasi peternakan terdapat 7 unsur penting antara lain : 1) penggunaan jenis ternak unggul, 2) keterampilan teknologi, 3) kontinuitas suplai sarana produksi, 4) pengendalian penyakit yang efektif, 5) modal untuk investasi dan eksploitasi, 6) tanah sebagai input utama sumber hijauan makanan ternak, dan 7) bantuan penyempurnaan organisasi pemasaran. Sedangkan dalam pelaksanaan operasional lebih dipusatkan kepada apa yang dinamakan dengan Panca Krida Usaha Peternakan, yaitu : 1) penyempurnaan bibit, 2) penyempurnaan gizi dan pemberian makanan, 3) pengendalian penyakit secara efektif, 4) penyempurnaan manajemen, dan 5) penyempurnaan organisasi pemasaran (Atmadilaga, 1991). Pembangunan subsektor peternakan, khususnya pengembangan usaha peternakan sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein (susu dan daging). Peternakan sapi perah sejak dahulu sudah ada di daerah Jawa, terutama Jawa Barat. Salah satu jenis atau bangsa sapi perah yang berkembang dan menjadi preferensi adalah bangsa Fries Holland (FH)2 di samping bangsa sapi perah lainnya seperti Jersey, Ayreshire, Hereford dan Shorthorn (Subandriyo dan Adiarto, 2009). Bangsa sapi perah FH sangat adaptif di daerah Pangalengan, tidak ada lagi bangsa sapi perah FH yang murni melainkan hasil perkawinan dan melahirkan keturunan dari bangsa FH. Jadi ternak sapi perah yang berkembang di Pangalengan saat ini adalah peranakan sapi perah FH atau dikenal dengan peranakan Fries Holland (PFH). Pangalengan sebagai salah satu sentra peternakan sapi perah selain Lembang dan Garut, sudah ada sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan mulai terasa setelah kemerdekaan Republik Indonesia terutama pada masa Orde Baru. Perubahan yang terjadi di Pangalengan dalam pengembangan peternakan sapi perah yaitu terjadinya penetrasi modernisasi pada usaha peternakan sapi perah dan melalui pembangunan kelembagaan lokal sebagai penghimpun dan penyaluran (pemasaran) susu, sehingga terbentuk komersialisasi untuk produk peternakan sapi perah yaitu susu. Tercatat data bahwa perubahan sangat drastis terjadi dalam peningkatan jumlah populasi ternak sapi perah di Pangalengan yang semakin bertambah. Data awal populasi ternak sapi perah pada tahun 1969 berjumlah 2.608 ekor dan di tahun 2013 berjumlah 13.428 ekor (diolah dari laporan tahunan dan dokumen KPBS). Peningkatan sebesar kurang lebih 4.7 kali dari jumlah awal selama kurun waktu kurang lebih 44 tahun memberikan gambaran terhadap perkembangan peternakan sapi perah di Pangalengan. Hal tersebut berkorelasi dengan produksi susu yang dihasilkan pada tahun 1969 yaitu 1.360.486 liter dan pada tahun 2013 menghasilkan susu sebanyak 32.118.305 liter (lampiran 2). Berbagai studi mengenai modernisasi dan pembangunan yang berimplikasi terhadap perubahan struktur masyarakat pedesaan, kebanyakan 2
Fries Holland (FH) berasal dari Belanda dengan ciri-ciri umum adalah sebagai berikut 1) berwarna belang hitam dan putih, atau coklat dan putih, 2) pada kaki bagian bawah dan ekornya berwarna putih, 3) tanduk pendek dan mengahadap ke muka, 4) terkadang pada dahinya terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga, 5) sifatnya jinak dan mudah dikuasai, 6) tidak tahan panas, 7) lambat dewasanya, 8) berat badan jantan rata-rata 850 kg atau lebih, sedang yang betina bisa mencapai 650 kg, dan 9) tubuhnya tegap.
4
masih berpusat pada kasus masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah dan perkebunan serta pada sektor perikanan (masyarakat pesisir). Perubahan sosial masyarakat pesisir (nelayan) melalui modernisasi mengakibatkan perubahan moda produksi terutama alat produksi (perahu, alat tangkap dan lainlain). Selanjutnya, modernisasi terjadi pada masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah merepresentasikan masyarakat dengan moda produksi sederhana atau bahkan komersial, dimana moda produksi kapitalis yang padat teknologi belum berkembang, sehingga dinamika formasi sosial belum terlalu tinggi (Satria, 2000) Selanjutnya, bagaimana dengan studi masyarakat pegunungan dalam konteks peternakan sapi perah sebagai perekonomian lokal yang sudah muncul pada masa kolonial Belanda dan berkembang hingga sekarang dimana hasil produksi utama berupa susu belum banyak dilakukan di Indonesia3, padahal studi perubahan sosial komunitas peternak sapi perah sangat penting untuk dapat menggambarkan potret masyarakat pegunungan dimana aktivitas kehidupan ekonomi lokalnya dalam sektor pertanian (palawija), perkebunan dan peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah dapat berkembang terlebih kesesuain ternak sapi perah dari bangsa PFH sangat cocok untuk dikembangkan di daerah dataran tinggi yang bertemperatur dingin. Pemahaman mendalam terhadap sosiologi komunitas peternak sapi perah akan bermanfaat dalam upaya penyiapan tatanan kelembagaan dalam meyongsong sebuah gerakan revolusi putih. Dengan demikian, subsektor peternakan sapi perah menjadi sangat menarik untuk diteliti dan dikaji serta ditelaah lebih dalam mengenai perubahan struktur pada komunitas peternak sapi perah yang keberadaannya pada awal kemerdekaan masih bersifat tradisional hingga sekarang yang sudah banyak perubahan dalam alat produksi, manajemen dan hubungan produksi terlebih munculnya modernisasi peternakan, sehingga memungkinkan terdiferensiasi ataupun terjadinya stratifikasi sosial pada komunitas peternak sapi perah serta terbentuknya kelas atau dominasi dari peternak dengan skala besar terhadap peternak skala kecil. Salah satu sentra peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung provinsi Jawa Barat yaitu di Kecamatan Pangalengan. Pangalengan menarik untuk dijadikan kasus dalam studi ini dengan alasan bahwa dari 31 kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung hanya satu kecamatan yaitu Pangalengan yang memiliki kesejarahan dalam peternakan sapi perah hingga saat ini dan masih bertahan dalam pengmbangan peternakan sapi perah serta kecamatan Pangalengan merupakan salah satu yang terbesar dari jumlah populasi sapi perah yang terdapat di daerah selatan Kabupaten Bandung selain Kertasari, Pacet, Ciwidey dan Pasir Jambu. Sebelum modernisasi, komunitas peternak sapi perah belum terlalu terstratifikasi karena pola produksi masih bersifat homogen. Bila penguasaan alat produksi berupa tanah dan ternak dijadikan dasar startifikasi maka hanya terbagi menjadi dua yakni peternak berskala kecil dan peternak berskala besar. dengan terjadinya penetrasi modernisasi, terjadi perubahan dalam startifikasi karena tingkat usaha yang semakin besar, akses yang tinggi untuk peningkatan produksi, 3
Studi tentang aspek sosial ekonomi peternakan masih jarang dilakukan dibandingkan dengan aspek biologis dan teknis, oleh karena itu studi sosial ekonomi sangat penting dalam upaya perbaikan kinerja usaha peternakan baik budidaya maupun pemasaran.
5
dan perubahan dalam kelembagaan kerja. Adanya perubahan-perubahan tersebut, memunculkan pertanyaan: Bagaimana posisi peternak berskala kecil, apakah mengalami perubahan setelah terjadi modernisasi? atau bagaimana peternak berskala kecil masih tetap bertahan hingga sekarang walaupun munculnya penetrasi kapitalis di usaha peternakan sapi perah? Jawaban inilah yang menentukan apakah modernisasi akan sama dengan pembangunan ataukah tidak. Jika dalam modernisasi peternakan sapi perah tersebut para peternak berskala kecil tidak mengalami perubahan atau bahkan mereka mengalami proletarisasi . maka apa yang dikatakan Sajogyo (1982) “modernization without development “ terbukti. Dengan demikian persoalan yang dihadapi peternak sapi perah sangat kompleks terutama peternak dengan skala kecil yang sulit untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas produksi susu. Hal tersebut dapat diketahui dari alat produksi dan hubungan produksi yang terjadi. Perubahan moda produksi peternakan sapi perah sebagai dampak dari modernisasi peternakan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan peternak, justru sebaliknya dapat menjadi penyebab termajinalnya peternak sapi perah khususnya peternak degan skala kecil. Selanjutnya perubahan moda produksi dapat mendorong terbentuknya ketimpangan struktur sosial dan kesenjangan ekonomi.
Perumusan Masalah Peternak sapi perah di Kecamatan Pangalengan tampak tidak hanya menghadapi persoalan dalam dimensi kultural seperti keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi semata, tetapi juga menyangkut dimensi struktural seperti struktur sosial masyarakat peternak sapi perah itu sendiri, tata niaga produksi susu dan sapi perah serta ekonomi global. Dalam struktur ekonomi global tampaknya terbangun suatu mekanisme pemasaran dan distribusi perdagangan produk olahan susu4 di tingkat internasional yang menyebabkan susu Indonesia tidak menjadi komoditas global melainkan hanya melengkapi untuk perusahaan pengolahan susu. Tercatat sepanjang tahun 2013 produksi susu sebesar 32.118.305,08 liter dengan rata-rata produksi susu perhari di wilayah kerja koperasi peternakan sapi perah Pangalengan adalah 87.995,56 liter/ hari terdistribusi penyaluran dan pemasaran kepada IPS sebesar 92 % dan sisanya 8 % untuk diolah di milk treatment dan home industry (diolah dari data laporan tahunan KPBS). Ketergantungan koperasi terhadap IPS menjadikan lemahnya dalam posisi tawar terutama masalah harga. Permainan pada tingkat makro melalui pasar bebas menjadikan IPS memiliki otoritas yang tinggi untuk mengatur berapa persentase produksi susu lokal yang terhimpun dalam koperasi peternakan sapi perah dapat diterima oleh IPS. Sementara itu hingga saat ini
4
Whole milk (susu utuh yang belum diolah/susu murni ) dapat dipecah menjadi 12 produk yang berguna untuk campuran olahan lain yang siap dikonsumsi. Duabelas produk tersebut antara lain 1) FCMP (Full Cream Milk Powder), 2) SMP (Skim Milk Powder), 3) Milk Protein Consentrate (Powder), 4) Casein, 5) Caseinates, 6) AMF (Anhydrous Milk Fat, Butter), 7) BMP (Butter Milk Powder), 8) BMP (Butter Milk Powder), 9) Cheese, 10) Whey Powder, 11) Demineralised whey Powder, dan 12) WPC (Whey Protein Consentrat Powder)
6
secara jelas dan tegas tidak ada tata niaga susu nasional, jadi untuk komoditas susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat hanya dikelola oleh koperasi primer yang ada di Pangalengan. Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa peternak sapi perah yang menguasai sumberdaya ekonomi terutama peternak sapi perah berskala besar dengan kepemilikan ternak lebih dari 10 ekor laktasi pada umumnya menyerahkan pekerjaannya pada buruh ternak dengan pembayaran secara upah atau dengan sistem gaduh atau maro, selanjutnya peternak dengan penguasaan ternak dengan skala besar tersebut dengan mudah mengakses atau menguasai faktor-faktor produksi. Di sisi lain peternak sapi perah dengan penguasaan ternak sapi perah skala kecil hanya mendapatkan sedikit akses dan menguasai faktorfaktor produksi. Bertitik tolak dari hal-hal itulah maka yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana dan sejauhmana perubahan moda produksi yang diakibatkan oleh modernisasi peternakan dapat memicu perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah. Penelitian ini menfokuskan diri pada proses perubahan struktur ekonomi lokal yaitu usaha peternakan sapi perah di Pangalengan dengan menguraikan dinamika perubahan-perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Dengan demikian perubahan sruktur ekonomi lokal dapat dibedah menggunakan konsep formasi sosial sebagai turunan teori sosiologi aliran Marxis. Untuk lebih memperjelas arah penelitian ini, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan moda produksi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa? Dan bagaimana formasi sosial yang terbentuk setelah penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan? 2. Bagaimana dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui penetrasi modernisasi peternakan sapi perah terhadap struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan? 3. Sejauhmana perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil?
Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menelusuri dan menganalisis perubahan moda produksi yang diakibatkan oleh modernisasi peternakan dan perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah di Pangalengan. Secara lebih rinci tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas peternak sapi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa dan formasi sosial yang terbentuk setelah terjadi penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan. 2. Menganalisis dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui modernisasi peternakan terhadap struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan. 3. Menganalisis perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil.
7
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan dalam khasanah keilmuan dalam bidang sosiologi pedesaan dalam hal struktur sosial masyarakat pedesaan khususnya komunitas peternak sapi perah. Selain itu, Pengembangan pengetahuan dalam kajian dampak perubahan moda produksi terhadap perubahan formasi sosial yang terjadi pada komunitas peternak sapi perah. Berdasarkan pengetahuan tersebut, melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan terkait dengan pembangunan dan pemberdayaan pada peternak sapi perah rakyat umumnya dan khususnya peternak dengan skala kecil. Selain itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat menjadi acuan penting untuk dapat mengetahui peta permasalahan dan potensi yang mungkin dikembangkan
8
II TINJAUAN PUSTAKA Paradigma Pembangunan Paradigma pembangunan dimulai sejak istilah pembangunan (development) mulai dikenalkan oleh Negara Amerika Serikat pada tahun 1947, bersamaan dengan hal tersebut para ahli ekonomi dan guru besar ekonomi alumni Berkeley turut mengembangkan pemikiran tentang pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu karakteristik atau ciri pokok adalah berorientasi pada pertumbuhan dan pro modal asing. Dialektika paradigma pembangunan terus mengalami perkembangan hingga sekarang, berbagai definisi bermunculan dari waktu ke waktu. Kurang lebih lima dekade sejak program pembangunan digulirkan untuk negara-negara Dunia Ketiga terdapat banyak perdebatan teoritik dan kontestasi berbagai perspektif dalam melihat pembangunan. Berbagai pandangan dari para ahli, bahwa mereka tidak bersepakat bagaimana pembangunan dikerjakan, namun ada suatu kesepakatan luas bahwa harus ada usaha-usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Winarno, 2013). Adrian Leftwich (2000) dalam Winarno (2013), mengemukakan bahwa pemahaman pembangunan yang paling umum dapat dikatagorikan ke dalam Sembilan pendekatan pokok, yakni pembangunan dilihat sebagai kemajuan historis (development as historical progress), pembangunan sebagai eksploitasi sumber daya alam (development as the exsploitation of natural resources), pembangunan sebagai promosi kemajuan ekonomi, dan (kadangkala) sosial, dan politik yang direncanakan (development as the promotion of planned economic, and (sometimes) social and political advancement), pembangunan sebagai suatu kondisi (development as a condition), pembangunan sebagai suatu proses (development as a process), pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi (development as economic growth), pembangunan sebagai perubahan struktural (development as structural changes), pembangunan sebagai modernisasi (development as modernization), dan pembangunan sebagai suatu peningkatan kekuatan produksi (development as an increase in the force of production). Diantara pendekatan tersebut, pertumbuhan, modernisasi, dan perubahan struktur telah menjadi ortodoksi dominan menyangkut makna dan tujuan pembangunan pada tahun-tahun segera setelah Perang Dunia II. Ortodoksi semacam ini muncul bersamaan dengan peristiwa rekontruksi dan pembangunan ekonomi di negara-negara barat sebagai benteng dari komunisme (Leftwitch, 2000 dalam Winarno 2013). Selanjutnya, secara universal politik Marshall Plan hadir untuk mengalahkan ideologi Komunis dari Unisoviet dalam perang dingin. Sehingga, Sekitar tahun 1950-an Paradigma Teori Modernisasi Muncul untuk mendukung Marshall Plan yang menancapkan kapitalisme di negara dunia ketiga. Memasuki tahun 1960-an paradigma tersebut dikritik oleh Paradigma Teori Ketergantungan. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dialektika paradigma teori di atas menghasilkan Paradigma Teori Sistem Dunia. Menurut Suwarsono dan So (2006) menyebutkan paradigma teori modernisasi, pengertian pembangunan (development) disamakan dengan evolusi (evolution), artinya masyarakat yang
9
disebut mengalami modernisasi adalah masyarakat yang berkembang dari kesederhanaan (tradisional) menjadi terdiferensiasi dan kompleks dalam aspek kehidupannya. Paradigma modernisasi dalam keilmuan sebenarnya lahir dari teori evolusi yang digagas oleh Darwin. Konsep modernisasi menekankan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat, melalui pemerataan (trickle down effect). Selain itu, pendapat Schroorl (1980) mengemukakan bahwa modernisasi sering diidentikkan dengan tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri, sehingga seringkali modernisasi itu identik dengan industrialisasi. Perkembangan teori pembangunan tidak selamanya bertahan, kritikan dan sanggahan mengemuka kepermukaan. Hal tersebut di kritik oleh Frank (1984) bahwa pembangunan melalui modernisasi menyebabkan ketergantungan Negara Dunia Ketiga terhadap Negara Maju. Konsep trickle down effect ternyata tidak berjalan dan kesejahteraan tidak merata. Kemiskinan dan keterbelakangan yang terdapat di negara-negara dunia ketiga yang mengkhususkan diri pada produk pertanian (tradisional) dipandang sebagai struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana negara maju melakukan eksploitasi terhadap dunia ketiga. Akibatnya surplus dari negara-negara dunia ketiga beralih ke negaranegara industri maju. Paradigma teori sistem dunia memandang bahwa dalam dunia terdapat suatu sistem antar negara dari negara-negara maju yang saling bertentangan dan terjalin terhadap dunia ketiga dan dengan ekonomi dunia kapitalis. Immanuel Wallerestein dengan teori ketergantungan menyebutkan bahwa negara-negara berkembang sekarang adalah akibat dari dominasi kelompok kapitalis pusat yang berabad-abad. Negara-negara berkembang menerapkan pembangunan sebagai proses perubahan sosial yang berencana yang berupaya untuk membebaskan masyarakat dari tradisionalisme. Menurut Dharmawan (2007), bahwa pembangunan dipahami sebagai proses transformasi sosio-ekonomi-kultural yang sengaja dan direncanakan untuk menuju derajat kemajuan tertentu sesuai standar ukuran-ukuran kuantitatif maupun kualitatif pada suatu masyarakat sebagaimana kemajuan yang di capai oleh negara-negara Barat.
Moda Produksi Realitas sosial dapat dijelaskan dengan pendekatan dua konsep penting dalam tradisi Marxis yaitu moda produksi (mode of production) dan formasi sosial (social formation). Secara umum, moda produksi merepresentasikan “cara” yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses produksi (way of production) guna menyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan materil (Shanin, 1990). Secara khusus, Russel (1989) menyebutkan bahwa moda produksi atau cara produksi terbagi atas : 1) kekuatan/ daya produksi (force of production) yang mempengaruhi produktivitas, dan 2) hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior dan posisi subordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan produksi.
10
Menurut Russel (1989), bahwa kekuatan produksi (force of production) terdiri dari kekuatan tenaga kerja manusia (human labour power), instrumen atau alat-alat produksi, dan bahan baku, teknologi produksi, manajemen produksi, modal uang, kreativitas, ide, pengetahuan, dan motivasi, bangunan, tanah dan energi. Dengan kata lain, kekuatan produksi merupakan basis materil yang terdiri dari “keterampilan pekerja dan alat produksi” (means of powers). Sementara itu, relasi produksi atau hubungan sosial produksi terdiri dari hubungan antara satu aktor dengan aktor lainnya atau struktur sosial yang mengatur relasi antar manusia dalam satu proses produksi barang dan jasa kebutuhan manusia. Hubungan sosial tersebut mencakup : pemilikian (property), hubungan kekuasaan (power), dan pengawasaan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation) serta hubungan antar kelas masyarakat. Selanjutnya Russel (1989) membagi menjadi tiga tipe moda produksi yang berbeda antara lain: 1) tipe egalitarian, 2) tipe kelas, dan 3) tipe transisi. Adapun penjelasan terhadap tipe tersebut tertuang pada Tabel 1.
No 1
2
3
Tabel 1. Tipe-tipe Moda Produksi Tipe Keterangan Egalitarian a. Komunal Disusun oleh kekuatan yang masih dasar dan hubungan produksi egalitarian yang sederhana. b. Komunis Disusun oleh kekuatan yang maju dan hubungan produksi egalitarian yang komplek. Kelas a. Negara Didasarkan pada aturan negara yang menerapkan pajak secara eksploitatif dan upeti dari masyaraat (rest society). b. Budak Didasarkan pada pemilik budak yang mengeksploitasi tenaga kerja budak. c. Feodal Didasarkan pada tuan tanah yang mengeksploitasi sewa dari pada petani (peasant). d. Kapitalis Didasarkan atas pemiilik kapitalis yang mengeksploitasi nilai surplus dari pekerja. Transisi a. Petani Berdasarkan rumahtangga yang otonom, terisolasi Bebas atau dikelompokan di desa, memiliki lahan sendiri. Berdasarkan atas rumah tangga dengan pemilikan b. Pemilikan alat produksi yang tidak setara dalam hal lahan dan Sederhana ternak, tetapi hubungan sosial produksi tidak memperkejakan atau mengeksploitasi aktor lain. Berdasarkan kepemilikan oleh negara atas alat-alat c. Sosialis produksi penting dan bermaksud mengejar keadilan sosial. Sumber : Russel (1989)
Pada tipe egalitarian ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi masih setara dan berkembang pada masa berburu dan meramu. Moda produksi tersebut memiliki ciri sebagai berikut : 1) kekuasaan setara pada seluruh
11
area produksi dalam komunitas, 2) anggota komunitas berperan sebagai tenaga kerja kooperatif dan mereka memiliki posisi yang setara sehingga perbedaan dalam kerja hanya terjadi karena perbedaan usia tenaga kerja, 3) penguasaan alat produksi sama untuk semua anggota komunitas, dan 4) anggota komunitas menerima pangan dan kebutuhan lain dengan jumlah yang sama. Sedangakan pada tipe kelas ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi bersifat eksploitatif dan ketidaksetaraan kekuasaan akan muncul pada seluruh aspek kehidupan. Pengembangan moda produksi kapital akan mendorong akumulasi kapital; rasionalisasi produksi; dan industri. Proses tersebut kemudian akan menyebabkan disintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena kalah bersaing dengan usaha besar. Sementara itu, pada tipe transisi meskipun hubungan sosial produktif mulai tidak setara tetapi belum menunjukan sifat hubungan yang eksploitatif. Ketidaksetaraan tersebut tumbuh dikarenakan berbagai hal antara lain : 1) partisipasi kerja, 2) kontrol terhadap alat produksi, dan 3) konsumsi. Menurut Russel (1989) menyatakan bahwa, Tumbuhnya ketidaksetaraan hanya dapat melahirkan moda produksi transisional, yaitu moda produksi yang sudah meninggalkan moda produksi komunal tetapi belum sepenuhnya berlandaskan moda produksi kelas. Selain timbulnya ketidaksetaraan, tumbuhnya proses produksi yang berorientasi pasar juga membutuhkan kondisi yang membawa pada situasi semakin menurunnya moda produksi komunal. Moda produksi terartikulasikan pada kehidupan sehari-hari dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Artikulasi merupakan bentuk strukturalisasi moda produksi pada budaya setempat berbentuk kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, kerajinan, perkebunan, peternakan, perdagangan, pariwisata, dan jenisjenis kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing kegiatan ekonomi dapat mencerminkan moda produksi apa yang digunakan, dengan melihat ciri-ciri kekuatan produksi dan hubungan/ relasi sosial produksinya (Peet, 2009). Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut: IDEOLOGI DAN KEBUDAYAAN Kepercayaan, Representasi, Diskursus
KEKUATAN PRODUKSI Angkatan kerja, Alat-alat, Mesin
NEGARA DAN POLTIK Pemerintah, Sistem Hukum, Polisi, Tentara, Pelayanan Publik
RELASI PRODUKSI Kerabat, Kelas, Gender
LINGKUNGAN ALAMI Lanskap, Sumber daya, Wilayah, Tempat, Ruang Sosial
Gambar 1. Skema Moda Produksi Moda produksi mampu mereproduksi sistem yang dikembangkan yang akan bertahan dan yang dominan yang akhirnya mendominasi struktur sosial, nilai, kepercayaan, dan ideologi masyarakat. Seluruh interelasi antar moda
12
produksi tersebut, serta unsur-unsur lain yang melingkupi bekerjanya moda produksi menggambarkan bentuk formasi sosial dalam sebuah masyarakat.
Formasi Sosial Formasi sosial (social formation) adalah kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu masyarakat dimana salah satu akan mendominasi. Kemampuan mendominasi ditentukan oleh kekuatan masing-masing moda produksi untuk memperoleh sistemnya.Perubahan moda produksi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan moda produksi dan hubungan sosial produksinya. Kekuatan produksi lokal yang dulunya mengandalkan tanah pertanian, telah bergeser dengan berkembangnya usaha-usaha lain yang mengandalkan modal uang sebagai kekuatan produksi utama. Relasi produksi yang dulunya bersifat egaliter karena tenaga kerja berasal dari keluarga, berubah menjadi herakhis karena tenaga kerja mengandalkan buruh upahan. Pola perubahan moda produksi tersebut, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu, dan dalam sebuah sistem sosial mencerminkan arah perkembangan kapitalisme. Jenis penguasaan kekuatan produksi dalam masyarakat bermacam-macam, sehingga hubungan sosial produksi yang terbangun juga bermacam-macam pula. Paling tidak ada dua tipe utama yakni non-kapitalis dan kapitalis, yang kehadirannya dapat dalam satu kontinum, namun juga dapat hadir secara bersamaan. Moda produksi kapitalis berbasis pada penguasaan modal uang sebagai kekuatan produksi, sementara nonkapitalis lebih pada penguasaan atas tanah dan tenaga kerja. Dalam satu sistem sosial moda produksi tidak mungkin tunggal dan selalu hadir lebih dari satu moda produksi. Kehadiran secara bersama ini membentuk sebuah konstelasi, dan akan terjadi persaingan antar keduanya. Kehadiran secara bersamaan dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi disebut sebagai formasi sosial. Kajian formasi sosial yang merupakan bentuk lebih menyeluruh atas struktur sosial lebih tepat digunakan. Althouser dalam Taylor (1989:106) mengungkapkan bahwa formasi sosial merupakan perwujudan secara keseluruhan sejumlah praktek yang komplek dalam ekonomi, politik, ideologi, dan teoritisasi. Gambaran formasi sosial sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu mendominasi telah ditemukan beberapa ahli. Kahn (1980) mengemukakan formasi sosial dengan merujuk pembagian moda produksi yang berlangsung pada masyarakat Minangkabau, moda produksi didefinisikan berdasarkan pembagian moda produksi ke dalam tiga bagian, terdiri dari: 1) produksi subsisten (subsistence production), yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti antara pekerja yang bersifat egaliter; 2) produksi komersil (petty commodity production), yaitu usaha pertanian atau luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi merujuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan hubungan sosial antara pekerja (umumnya anggota keluarga/ kerabat) bersifat egaliter tetapi kompetitif; dan 3) produksi kapitalis (capitalist production), yaitu usaha padat-modal berorientasi pasar dimana hubungan mencakup struktur majikan buruh atau “pemilik modal-pemilik tenaga” (Sitorus 1999).
13
Curahan waktu kerja pada moda produksi subsisten menyumbang kepada moda produksi komersil dan kepada buruh upahan dalam perusahaan kapitalis. Curahan waktu kerja yang diserap produksi komersil dari produksi subsisten tadi dalam kenyataannya dialihkan langsung ke moda produksi kapitalis melalui suatu proses pertukaran yang timpang. Barang yang dihasilkan produksi komersil dijual ke pasaran (domestik dan ekspor) dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa moda produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh moda produksi subsisten. Sebagai indikatornya Kahn menunjuk antara lain upah buruh yang lebih rendah dari total biaya reproduksi buruh (Sitorus 1999: 17–18). Teori atau konsep formasi sosial yang diuraikan tersebut, merupakan tingkat tertinggi bangunan teori Marx (Sztompka 2004), dimana dalam produksi sosial kehidupan manusia memasuki hubungan tertentu yang sangat diperlukan dan terlepas dari kemauan mereka. Sementara itu, Sztompka (1994:172) menjelaskan bahwa perubahan formasi sosial terjadi di tiga tempat yang berbasis kontradiksi, yaitu: pertama, diperbatasan antara masyarakat dan lingkungan (alam) seperti kontradiksi yang terus muncul antara tingkat perkembangan teknologi tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh kondisi sosial maupun kondisi biologis. Kontradiksi ini mendorong perkembangan permanen dalam kekuatan produksi; kedua, kontradiksi lain muncul antara tingkat teknologi yang dapat dicapai dan organisasi produksi yang ada, yang tak sesuai dengan kekuatan produksi yang tersedia. Kontradiksi ini mendorong terjadinya perubahan progresif dalam hubungan produksi; dan ketiga, kontradiksi terakhir muncul antara hubungan produksi yang baru terbentuk dan sistem politik tradisional. Dalam kondisi seperti ini, pranata hukum dan ideologi tak lagi berfungsi membantu substruktur ekonomi. Kontradiksi ini menyebabkan terjadinya transformasi rezim politik dan tatanan hukum masyarakat. Oleh karena adanya kontradiksi internal dan tekanan terus-menerus ke arah penyelesaiannya, maka masyarakat dengan sendirinya menampakkan kecenderungan terus menerus pula ke arah perubahan (Sztompka, 1994). Politik dan Suprastruktur legal (Ideologi) 3
Bentuk Kesadaran Sosial (Seni, kesusastraan dan religi)
Hubungan Produksi Moda Produksi
2
Kekuatan Produksi Produksi
Keterangan : 1
2
Formasi Sosial
3
1
Alam Kekuatan utama dialektika
Gambar 2. Formasi Sosial Masyarakat Selanjutnya, Jeffrey Paige dalam Roxborough (1986:103-104) menguraikan artikulasi berbagai moda produksi dalam masyarakat perkebunan dibedakan dalam lima artikulasi yakni sistem (1) Manor komersial atau hacienda.
14
Merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikerjakan secara hak usaha oleh buruh upahan lokal atau ulang alik setiap hari dari lahan subsistensi didekatnya, (2) perkebunan bagi hasil, merupakan juga bersifat individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikelola petani bagi hasil atau penyewa, (3) perkebunan yang menggunakan buruh migrasi, merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dan digarap oleh tenaga pindahan, (4) perkebunan besar, perusahaan dimiliki oleh perusahaan swasta atau perusahaan pemerintah atau oleh individu, menggunakan mesin, serta tenaga kerja upahan dari wilayah itu untuk jangka waktu setahun atau lebih, dan (5) pertanian kecil milik keluarga, merupakan usaha individual, digarap pemilik dan keluarganya. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam sistem perkebunan besarlah yang paling mendominasi, sehingga seluruh bangunan politik, norma, dan ideologi ditentukan olehnya. Kajian Kano (1990) di Desa Pagelaran, Kabupaten Malang, memperlihatkan masih adanya ciri produksi non-kapitalis dengan merujuk pada sistem pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah meski memiliki hasil cukup besar tidak menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor kapitalis. Usaha padi sawah kurang terkomersialisasi, akibat orientasi produksi untuk keperluan sendiri dan sedikit dipertukarkan. Di sisi lain, pertanian tebu di sana sangat komersial sebagai artikulasi ciri kapitalis. Peran para pedagang sangat dominan dalam membawa usaha tani tebu menjadi usaha berciri kapitalis. Perluasan tanaman tebu pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional). Sementara itu, Penelitian Hefner (1999) di pegunungan Tengger memperlihatkan bila transformasi cara produksi tradisional non-kapitalis ke kapitalis melalui proses komersialisasi ditandai masuknya tanaman berorientasi pasar, program modernisasi berupa revolusi hijau, juga konflik sosial dalam masyarakat akibat politik negara. Ciri-ciri tradisional memudar seiring semakin terkomersialisasinya kehidupan ekonomi, dimana cara-cara produksi tradisonal berubah menjadi pertanian intensif berorientasi pasar. Studi Sitorus (2004) pada masyarakat Situwu, memperlihatkan bahwa masuknya cara produksi baru yang diartikulasikan dalam tanaman komersial telah merubah formasi sosial lokal. Terjadi perubahan struktur agraria ditandai dengan munculnya kelompok petani komersial yang menggeser petani tradisional imigran bugis yang terbiasa dengan cara produksi komersial memonopoli sumber produksi dan merubah struktur agraria yang ada. Sementara orang Kaili sebagai penduduk asli terlempar dan membuka lahan ke lereng-lereng gunung, sebuah daerah yang dulu tidak tersentuh aktivitas ekonomi. Dalam sektor Perikanan, penelitian Satria (2000) menyebutkan bahwa modernisasi menyebabkan terciptanya formasi baru dimana cara produksi lama yang tradisonal harus bersaing dengan cara produksi yang baru lebih modern, yang ternyata diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi, sehingga dalam dinamika formasi sosial dalam penangkapan ikan di pekalongan terbentuk kelembagaan kerja yang tercipta dalam cara produksi modern tersebut cenderung mengarah pada proses eksploitasi. Selanjutnya, penelitian Purnomo (2005) yaitu studi moda produksi di Desa Pegunungan Jawa menunjukkan, bahwa pada masa kolonial moda produksi
15
yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan adalah pertanian tradisional (petani biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina). Sementara pada masa Orde Lama tetap, yakni pertanian tradisional (petani biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis pertanian (petani kaya dan pengusaha Cina). Memasuki Orde Baru adalah pertanian semikomersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Memasuki reformasi, moda produksi tetap, tetapi jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan dan industri agro berkembang. hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang berasal dari luar sistem sosial. Sementara itu, dalam komunitas petani, elemen-elemen moda produksi kapitalis masuk dengan cara “merembes” melalui aktivitas baru, yaitu melalui : 1) berbagai aktivitas pengusaan modal non lahan, khususnya pada proses produksi padi sawah, dan 2) berbagai aktivitas penjualan hasil produksi kebun, terutama buah kakao. Pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis, sehingga para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi yang berbeda secara bersamaan, yaitu: elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen moda produski yang sudah mempunyai ciri kapitalis, atau elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya (Fadjar, 2009).
Struktur Sosial Menurut Schaefer (2012) menyebutkan bahwa struktur sosial merujuk pada bagaimana masyarakat terbentuk dalam hubungan–hubungan yang dapat diprediksi. Selanjutnya Korblum (1999) dalam Schaefer (2012) menyebutkan bahwa struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Maka konsesp dasar dalam pembahasan struktur sosial adalah pola perilaku yang berulang dari individu atau kelompok yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi. Sementara itu, Linton (1967) dalam Schaefer (2012) membahas tentang struktur sosial yaitu adanya peran dan status. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Pembagian atau tipologi yang di rumuskan oleh Linton antara lain 1) pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (aschieved status). Status yang diperoleh adalah stastus yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir, sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi. Selanjutnya, Schaefer (2012) menyebutkan terdapatnya elemen-elemen struktur sosial yang berkembang melalui proses seumur hidup dari sosialisasi,
16
sedangkan pembagian struktur sosial dibagi ke dalam lima elemen yaitu status, peran sosial, kelompok, jaringan sosial, dan lembaga sosial. Status, Istilah status merujuk pada salah satu dari banyak posisi sosial dalam kelompok yang lebih besar atau masyarakat dari yang terendah sampai yang tertinggi. Seseorang dapat memiliki sejumlah status pada saat yang bersamaan, status yang diberikan (ascribed status) diberikan kepada seseorang oleh masyarakat tanpa memperhatikan bakat atau karakter unik seseorang. Setiap orang memiliki banyak status yang berbeda dan terkadang saling bertentangan, hal tersebut sependapat dengan Hughes (1945) dalam Schaefer (2012) menyebutkan masyrakat berhadapan pada inkonsistensi dengan menyetujui bahwa status tertentu lebih penting dari pada yang lain, sehingga memuculkan status utama yang mendominasi yang lain sehingga menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Peran sosial, peran sosial merupakan komponen penting dalam struktur sosial. Menurut Schaefer (2012) mendefinisikan bahwa peran sosial adalah serangkaian harapan dari orang ketika menduduki suatu posisi atau status sosial tertentu. Jika melihat perspektif fungsionalis, peran sosial berkontribusi pada stabilitas masyarakat dengan memungkinkan anggota masyarakat untuk mengantisipasi perilaku orang lain, sekaligus menjaga tindakannya sendiri agar sesuai dengan pola yang ada. Kelompok, kebanyakan interaksi sosial terjadi diantara kelompokkelompok serta dipengaruhi oleh norma-norma dan sanksi-sanksi yang berlaku dalam kelompok itu. Menurut Schaefer (2012), kelompok (group) adalah sejumlah orang dengan norma-norma, nilai-nilai, dan harapan-harapan yang sama yang saling berinteraksi secara teratur. Kelompok-kelompok memainkan peran vital dalam struktur sosial dalam masyarakat. Lembaga sosial, adalah pola-pola keyakinan dan perilaku yang terorganisasi berdasarkan kebutuhan sosial tertentu. Ada beberapa perspektif dalam memandang lembaga sosial, diantaranya : 1) perspektif fungsional, yaitu memandang lembaga sosial dengan melihat bagaimana mereka memenuhi fungsi-fungsi pentingnya. Bradford (1979) dalam Schaefer (2012) mengidentifikasi lima tugas utama atau prasyarat fungsional yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat atau kelompok sosial jika ingin tetap bertahan. Prasyarat tersebut antara lain : a) regenerasi, b) melatih anggota baru, c) memproduksi serta mendistribusikan barang dan jasa, d) menjaga ketertiban, dan e) menyediakan dan memelihara tujuan. Perspektif fungsional struktural menganggap bahwa setiap struktur dalam sistem sosial adalah fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Selanjutnya persepektif konflik , pengorganisasian dari lembaga-lembaga sosial yang ada bukanlah tidak sengaja. Lembaga-lembaga utama membantu memelihara keistimewaan individu dan kelompok yang kuat dalam masyarakat, sekaligus berkontribusi pada ketidakberdayaan bagi yang lain. Sedangkan, perspektif interaksionis memberikan gambaran bahwa lembaga-lembaga sosial memengaruhi perilaku sehari-hari. Teori interaksionis menekankan bahwa perilaku sosial dikondisikan oleh peran-peran dan status-status yang diterima, kelompok-kelompok, dan lembaga-lembaga tempat fungsi dijalankan.
17
Kerangka Pemikiran Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dimensi struktural dalam perubahan sosial komunitas peternak sapi perah. Perubahan sosial yang terjadi dikarenakan adanya faktor pendorong yaitu penetrasi modernisasi peternakan terutama peternakan sapi perah. Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa pembangunan di segala sektor sudah menggeliat dari dahulu setelah negara kita terbebas dari belenggu penjajahan. Terutama dirasakan pada masa orde baru yang sangat gencar dalam upaya pembangunan di semua sektor tidak terlepas peternakan. Pangalengan merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat yang sudah ada sejak jaman kolonial Belanda dan berlanjut sampai dengan sekarang tidak terlepas dari peran pemerintah dalam mengembangkan peternakan sapi perah. Seiring dengan pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan dan ditetapkan sebagai sentra peternakan sapi perah, Pangalengan tidak terlepas dari kondisi yang terkontruksi dan melalui proses panjang serta kompleks dari beberapa moda produksi yang terbentuk dalam usaha peternakan sapi perah serta peran pmerintah dalam berbagai kebijakan yang terkait kepada usaha peternakan sapi perah. Perjalanan panjang usaha peternakan sapi perah di Pangalengan memberikan gambaran terhadap perubahan moda produksi usaha peternakan sapi perah yang berupa peralihan alat-alat produksi, cara produksi dan hubungan produksi dari moda produksi tradisional hingga moda produksi modern. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan di berbagai aspek kehidupan peternak sapi perah seperti perubahan hubungan dan pola kerja, serta perubahan struktur dan formasi sosial pada komunitas peternak sapi perah. Dengan munculnya penetrasi modernisasi di Pangalengan terhadap usaha peternakan sapi perah diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan pendapatan peternak sapi perah, akan tetapi hal tersebut tidak sejalan dengan kondisi peternakan sapi perah dengan skala kecil yang tidak mengalami keuntungan ekonomi. Sebaliknya dengan para peternak dengan penguasaan ternak banyak atau skala menengah ke atas, mereka mendapatkan surplus atau keuntungan ekonomi yang cukup serta akses yang maksimal dan penguasaan terhadap faktorfaktor prduksi dalam usaha peternakan sapi perah. Selama kurang lebih 35 tahun terakhir pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan berlangsung relatif cepat. Hal tersebut merupakan awal dari penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan melalui dibukanya keran impor sapi perah yang ditujukan kepada peternak sapi perah dengan tujuan untuk meningkatkan populasi ternak sapi perah melalui sistem kredit melalui mekanisme Bank ataupun Koperasi serta mulai menjamurnya pembangunan Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai penampung hasil susu domestik. Berbagai intervensi pemerintah dalam menggerakan perkembangan usaha peternakan sapi perah salah satunya adalah pembangunan IPS yaitu melalui Penanaman Modal Asing (PMA) sedangkan, untuk budidaya sapi perah tertutup bagi modal asing. Berbagai alasan yang mendasari kebijakan tersebut antara lain : 1) komoditas susu merupakan komoditas yang cepat rusak dan memerlukan pengelolaan dengan teknologi yang memadai dalam penanganan pasca panen, 2) harga susu dunia relatif lebih murah dibanding dengan domestik, 3) harga susu domestik yang relatif tinggi kemungkinan sebagai akibat skala usaha yang kecil
18
dengan motif semikomersil sehingga mengakibatkan total biaya produksi relatif tinggi (Arief, 2010). Dengan kurun waktu tersebut, secara bersamaan telah terjadi pertemuan antara moda produksi dan menimbulkan formasi sosial baru. Perwujudan formasi sosial dari komunitas peternak sapi perah ditandai dengan munculnya beberapa moda produksi (kekuatan dan hubungan produksi) pada usaha peternakan sapi perah dimana dari moda produksi tersebut terdapat moda produksi yang mendominasi dari moda produksi yang lain. Moda produksi usaha peternakan sapi perah di Pangalengan setelah datangnya penetrasi modernisasi kemungkinan muncul beberapa moda produksi baru, sehingga berdampak pada perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Perubahan yang mendasar pada struktur masyarakat tersebut ditandai dengan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dan meningkatnya spesialisasi pekerjaan sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat. Bierstedt (1970) mengemukakan pemikiran terhadap pembagian kerja yang terbagi menjadi tiga antara lain: (1) merupakan fungsi dari ukuran masyarakat, semakin besar masyarakat semakin nyata pembagian kerja; (2) merupakan syarat untuk terbentuknya kelas/ pelapisan; dan (3) menghasilkan ragam posisi/ status dan peranan yang berbeda, yang satu dinilai lebih tinggi dari yang lainnya. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembangunan melalui penetrasi modernisasi memperlihatkan adanya perubahan struktur dan perbedaan posisi atau kelas di masyarakat. Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan pengkajian tentang sejarah dan formasi sosial lokal pada komunitas peternak sapi perah di Pangalengan dimulai pada masa perkembangan sapi perah di Pangalengan Kabupaten Bandung serta penetrasi modernisasi peternakan sapi perah yang berimplikasi terhadap perubahan struktur sosial maka alur pemikiran yang akan diikuti dan dilakukan digambarkan sebagai berikut: Visi Pembangunan
Kebijakan Pemerintah
Penanaman Modal Asing (PMA)
Pendirian Industri Pengelolaan Susu (IPS)
Penetrasi Modernisasi Peternakan
Munculnya Moda Produksi Baru - Kekuatan Produksi - Hubungan Produksi
Perubahan Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah
Perusahaan Peternakan Sapi Perah Formasi Sosial Baru Capitalist Production
Gambar 3. Bagan Alur berfikir
Petty Commodity Production
Subsistence Production
19
Hipotesis Pengarah Sebagai penelitian kualitatif, dan sesuai dengan rincian rumusan masalah, kerangka teoritis dan konsep dalam penelitian ini maka menggunakan hipotesis pengarah sebagai upaya dalam mengembangkan pertanyaan, dan mencari ada atau tidaknya sesuatu gejala yang bersifat terpola dalam lingkungan sosial yang diteliti. Dalam hal ini hipotesis pengarah dirumuskan bersifat fleksibel, longgar, dan terbuka untuk dilakukan perubahan-perubahan bahkan pergantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan dalam penelitian ini, maka dirumuskan hipotesis pengarah sebagai berikut: 1. Periodisasi dalam pengembangan peternakan sapi perah mengindikasikan terjadinya perubahan moda produksi yang berupa peralihan alat-alat produksi dari yang tradisional menuju modern. Dalam proses produksi usaha peternakan sapi perah modern dibutuhkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan peternak sehingga terjadi diferensisasi dalam pembagian kerja yang pada akhirnya akan mengubah struktur sosial dan formasi sosial pada komunitas peternak. 2. Pembentukan struktur sosial sebagai konstruksi Pengembangan peternakan sapi perah melalui penetrasi modernisasi peternakan terdiferensiasi dalam kepemilikan ternak dan memunculkan status dan kelas-kelas baru dalam kegiatan usaha produksi peternakan sapi perah. 3. Perubahan moda produksi melalui periodisasi pengembangan peternakan sapi perah menjadikan penguasaan ternak dengan skala kecil dan buruh ternak berpotensi pada posisi marginal. Hal ini antara lain tercermin dari struktur sosial yang terdiferensiasi bahkan menuju polarisasi dimana peternak dengan penguasaan ternak skala kecil dan buruh ternak hanya bergerak dalam rutinitas produksi, tidak memiliki akses lebih terhadap faktor-faktor produksi lain.
Batasan Konsep 1. Pengembangan peternakan sapi perah merujuk pada peningkatan populasi ternak sapi perah dan produksi susu serta peningkatan kemampuan dalam manajemen beternak sapi perah. 2. Moda produksi peternakan sapi perah merujuk pada kekuatan produksi yang merupakan basis material produksi dan hubungan produksi yang mengacu pada pola hubungan yang terjadi dikalangan peternak sapi perah. 3. Modernisasi peternakan merujuk pada hal-hal yang baru dalam proses produksi peternakan dari yang sederhana atau tradisonal sampai dengan yang kompleks atau modern berupa penerapan teknologi baru dengan tujuan untuk meningkatkan atau melipatgandakan hasil produksi. 4. Struktur sosial merujuk pada bentuk interaksi yang terpola dan berulangulang yang memunculkan hubungan antar individu, antar kelompok dalam organisasi sosial. Pembahasan struktur pada penelitian ini dibatasi pada struktur yang terbentuk oleh hubungan produksi pada usaha peternakan sapi perah.
20
Konsep ternak, peternak dan peternakan mengacu pada Undang-undang no 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan : 1. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. 2. Peternak adalah perorangan warga Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan. 3. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik benih, benih, dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan budi daya ternak, panen, pasca panen, pengolahan, pemasaran dan pengusahaannya.
21
III METODOLOGI PENELITIAN Paradigma Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis yang secara ontology memaknai realitas dibentuk oleh sejarah sosial, politik dan ekonomi. Dilihat dari sisi epistemologi memaknai hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional, termediasi nilai dan aksiologinya memandang ilmu tida bebas nilai, etika dan pilihan moral menentukan pilihan penelitian. Penggunaan paradigma kritis dimaksudkan agar dapat menelusuri lebih mendalam dimensi struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah. Harapan yang disemaikan adalah mendorong munculnya kesadaran kolektif (collective conscious-ness) tineliti untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang termarjinalkan. Menurut Guba dan Lincoln dalam Salim (2001) menuturkan bahwa paradigma penelitian dibangun oleh beberapa aspek antara lain : 1) ontologis, 2) epistemologi, 3) metodologis dan, 4) axiologis. Melalui ontologis dapat diajukan pertanyaan mendasar tentang bentuk dan sifat realitas serta tentang hal apa yang dapat diketahui mengenai realitas tersebut, sehingga dalam paradigma kontruktivisme menyebutkan bahwa realitas merupakan kontruksi sosial dan kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Sedangkan melalui aspek epistemologi dapat diajukan pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk mengetahui realitas dan bagaimana hubungan sosial antara peneliti dengan yang diteliti sehingga pemahaman tentang suatu realitas atau temuan sutu penelitian merupakan produk interaksi diantara peneliti dan yang diteliti. Hal lain dalam aspek axiologis adalah menekankan pada aspek nilai, etika dan pilihan moral yang merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan sehingga terbentuk rekontruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti. Sementara itu, aspek metodologis dapat dipilih peralatan dan cara terbaik untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas sehingga menekankan empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan responden untuk rekontruksi realitas yang diteliti melalui metode-metode kualitatif. Bertolak dari pemahaman tentang paradigma penelitian tersebut, maka penelitian ini akan mengacu terutama pada paradigma kritis. Dalam penelitian ini hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional dalam arti terjadlin interaksi dan dialog, realitas dan temuan diletakan dalam erangka pemikiran dunia peneliti dan tineliti.
Metode Penelitian Pemilihan paradigma kritis menekankan penggunaan metode kualitatif, hal tersebut dikarenakan realitas sosial tidak semata-mata objektif, tetapi terdapat makna dibalik yang objektif tersebut dan untuk dapat mengungkap makna yang terkandung dalam realitas sosial itulah diperlukan metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan agar dapat memberikan pemahaman yang lebih
22
baik tentang bagaimana dan mengapa realitas terbentuk serta bagaimana dan mengapa realitas tersebut dapat memberi arti dan makna baik pada individu maupun komunitas, sehingga tujuan dari penelitian kualitatif pada dasarnya adalah untuk mendapatkan pengertian atas subjek dari sudut pandang subjek tersebut. Melalui metode kualitatif, realitas sosial yang dijadikan lapangan studi dipahami sebagai realitas historis. Menurut Koentjaringrat (1994) teknik life history diperlukan untuk : 1) memperoleh pandangan dari dalam mengenai gejala-gejala sosial dalam suatu masyarakat, 2) mencapai pengertian mengenai masalah individu warga masyarakat yang suka berkelakuan lain dari yang biasa, 3) memperoleh pengertian mendalam tentang hal-hal psikologis yang tak mudah diobservasi dari luar, dan 4) memperoleh gambaran mendalam tentang detail dari hal yang tidak mudah diceritakan orang dengan metode interview berdasarkan pertanyaan langsung. Penelitian dengan metode kualitatif digali data yang bersifat subyektif dan historis, sehingga tujuan yang ingin dicapai menggunakan strategi studi kasus. Strategi tersebut dipilih untuk mengungkap, mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya yang secara alamiah tanpa adanya intervensi dari luar (Salim, 2001). Inti dari studi kasus adalah bahwa studi ini berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan: mengapa keputusan tersebut diambil, bagaimana diterapkan dan apakah hasilnya (Schramm dalam Yin, 1997:17). Strategi studi kasus tepat untuk sebuah studi yang berkaitan dengan “bagimana (how)” dan “mengapa (why)”, akan diarahkan kepada serangkaian peristiwa kontemporer, dimana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 1997:13). Pendapat lain ditambahkan oleh Nazir (1988:67) yaitu bahwa tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu yang kemudian sifat-sifat yang khas tersebut dijadikan suatu hal yang umum.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat dan pemilihan daerah dilakukan secara purposive. Sebagai dasar perimbangannya adalah pertama, bahwa Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah terbesar sebelum Kabupaten Bandung mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Bandung Barat. Terlebih Kabupaten Bandung menjadi tempat pengembangan peternakan sapi perah pada jaman kolonial Belanda dengan mendirikan empat perusahaan peternakan sapi perah. Kedua, Kabupaten Bandung memiliki 31 kecamatan hanya 4 kecamatan yang memiliki jumlah ternak sapi khususnya ternak sapi perah di atas 2.000 ekor antara lain Kecamatan Pasir Jambu jumlah populasi 2.245 ekor, Kecamatan Cilengkrang jumlah populasi 2.416 ekor, Kecamatan Kertasari jumlah populasi 5.382 ekor dan Kecamatan Pangalengan jumlah popluasi 11.891 ekor (Kabupaten Bandung dalam angka 2010)
23
Ketiga, jumlah populasi ternak sapi perah yang besar di Kecamatan Pangalengan tidak terlepas dari keberadaan institusi atau kelembagaan formal yaitu koperasi peternakan (KPBS). Koperasi tersebut berdiri sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang. sebelum KPBS berdiri, di wilayah Pangalengan sudah berdiri kelembagaan lokal yang menangani sapi perah, kelembagaan tersebut bernama GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan) yang didirikan pada tahun 1959 dengan fungsi hampir sama dengan koperasi sekarang, yang membedakan adalah badan hukum. Sementara itu berhubung produksi susu dan populasi ternak sapi perah Kabupaten Bandung terkonsentrasi di tiga kecamatan, yaitu Kertasari, Pangalengan dan Cilengkrang, maka lokasi penelitian hanya fokus di satu wilayah yaitu Pangelengan dan dipilih dua desa sebagai lokasi penelitian yaitu Desa Margamekar dan Desa Margamukti. Pemilihan desa-desa tersebut didasarkan atas pertimbangan, Desa Margamekar dan Desa Margamukti adalah desa dari 13 desa yang ada di Kecamatan Pangalengan yang memiliki nilai sejarah dalam pengembangan sapi perah dan memiliki jumlah populasi sapi perah yang cukup besar posisi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4:
Lokasi Penelitian Desa Margamekar & Desa Margamukti (Kecamatan Pangalengan)
Gambar 4. Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Desember 2012. Selama empat bulan dikumpulkan data dan informasi primer maupun sekunder.
24
Teknik Pengumpulan Data Proses keseluruhan dalam pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa teknik, antara lain : wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan berperan serta (participant obeservation), dan studi arsip dan dokumen serta studi pustaka. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan kepada informan sebagai pemberi keterangan tentang orang lain dan responden sebegai pemberi keterangan tentang dirinya sendiri. Responden meliputi peternak sapi perah yang memiliki jumlah ternak di bawah 4 ekor dan di atas 5 ekor sapi laktasi, buruh ternak, buruh ternak perusahaan, manajer dan staf koperasi, manajer dan staf perusahaan, pedagang, dan birokrat. Indepth interview dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dan detail mengenai alur mata rantai produksi (kekuatan dan hubungan produksi) peternakan sapi perah serta hubungan-hubungan sosial yang terbangun. Kegiatan interview dilakukan pada subyek penelitian (tineliti) agar dapat berlangsung secara efektif dan efisien, terlebih dahulu dilakukan pendekatan personal terhadp tokoh-tokoh masyarakat baik dari unsur formal maupun nonformal (Lipton & Moore, 1980). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti (tineliti). Dengan kata lain, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan penelitian merupakan hasil proses “interaksi asosiatif”. Oleh sebab itu, pengumpulan data dan informasi dilakukan bersama-sama antara peneliti dengan yang diteliti dan dilakukan secara dialogis atau dialektikal agar realitas hubungan sosial (produksi), kesadaran/ makna di balik hubungan dimaksud, serta proses pemaknaan hubungan sosial dapat terungkap secara tepat karena berdasarkan konsesus bersama. Participant obeservation merupakan suatu cara khusus dimana peneliti tidak bersifat pasif sebagai pengamat tetapi memainkan berbagai peran yang mungkin dalam berbagai situasi atau bahkan dapat berperan mengarahkan peristiwa-peristiwa yang sedang diteliti (Spradley, 1980 dalam Rochwulaningsih 2008). Dalam participant obeservation ini peneliti menerapkannya pada komunitas di lokasi penelitian yaitu komunitas yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat pada aktivitas produksi beserta hubungan-hubungan sosial yang melingkupinya. Aktifnya peneliti dalam hal ini adalah keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari pihak tineliti, peneliti mengamati secara cermat segala tindakan tineliti dalam segala keadaan dan situasi yang terkait dengan produksi. Selama berlangsungnya participant obeservation, peneliti juga melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang dipandang penting dan melakukan pengambilan foto yang relevan dengan permasalah penelitian. Studi dokumen dan studi pustaka ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan proses pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa, hal-hal yang berkaitan dengan pengusahaan ternak seperti gambaran umum sejarah pengusahaan ternak, kebijakan pemerintah dalam pengembangan peternakan sapi perah beserta tata niaga produksi susu, jejaring atau simpul-simpul mata rantai produksi susu, karakteristik daerah dan masyarakat pegunungan yang merupakan bagian integral dari komunitas peternak sapi perah.
25
Studi dokumen dan studi pustaka dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah metode sejarah dengan cara melakukan penelusuran bahan dokumen dan pustaka yang berupa arsip, dokumen, hasil-hasil penelitian, bukubuku, berbagai penerbitan pemerintah, dan jurnal yang memiliki relevansi dengan objek kajian. Pentingnya studi dokumen juga ditegaskan oleh Kartodirdjo (1992) dalam Rochwulaningsih (2008), bahwa data yang terdapat dalam bahan dokumenter tidak saja diperuntukan bagi peneliti sejarah, tetapi juga dapat digunakan dalam penelitian sosial (sosiologi). Hal ini mengingat masyarakat sebagai gejala mempuyai dimensi temporal dan sistem sosial dalam masyarakat terdiri atas interaksi yang telah dipranatakan dan mempunyai kontinuitas.
Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap peryataan umum tentang hubungan antara berbagai katagori data untuk membangun pemahaman konseptual tentang realitas sosial berdasarkan temuan data empirik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Patton dalam Marvati (2004) yang menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah proses pengatur urutan data, mengorganisasinya ke dalam suatu pola katagori dan satuan uraian dasar. Pengkatagorian data disesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini dan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan interpretasi, seleksi, dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis. Tahapan analisis data dalam penelitian kualitatif dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa tahapan. Hal tersebut dikemukakan Glasser & Strauss (1980) dalam Rochwulaningsih (2008) menyebutkan tahapan tersebut antara lain: 1) membandingkan kejadian yang cocok dengan kategorinya, 2) mengintegrasikan kategori dengan ciri-cirinya, 3) merumuskan pemahaman konseptual, dan 4) menuliskan pemahaman konseptual yang telah didapat. Pada tahap pengkategorian kejadian atau fenomena sosial dimulai dengan mengelompokan berdasarkan nama, fungsi atau alasan tertentu. Dalam prooses kategorisasi kejadian atau fenomena dengan sendirinya dilakukan indentifikasi, komparasi, dan konseptualisasi. Pada tahap mengitegrasikan, selain melakukan komparasi juga menghubungkan antar kategori dalam tata hubungan berdasarkan atribut secara eksplisit, untuk selanjutnya dirumuskan kontruksi konsep dan teori. Sebelum perumusan konsep dan teori, kategori yang tersusun dimungkinkan untuk dimodifikasi sesuai dengan data yang terkumpul. Selain itu analisis kualitatif dilakukan terhadap data dan informasi tentang proses kejadian/ peristiwa, tentang motivasi yang melandasi tindakan sosial seorang aktor atau tindakan aktor lain yang berkaitan dengan tindakan sosial. Selain hal di atas tersebut, pengumpulan data primer dan data sekunder dianalisis dengan menelaah data yang tersedia. Untuk kejadian sosial disusun menurut urutan sejarahnya, untuk menentukan hubungan antara faktor atau gejala dari perubahan sosial. Selanjutnya, data atau informasi tersebut dianalisis dengan menggunakan alat-alat analisis seperti tabulasi atau tabel-tabel selanjutnya dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian. Kasus-kasus yang terjadi pada masa lalu dicatat di catatan lapangan dan hasil
26
wawancara ditulis ke dalam catatan harian. Untuk melakukan wawancara mendalam dengan para responden atau informan diperlukan kesediaan dan waktu mereka. Tidak jarang peneliti mengalami kesulitan untuk menemui informan. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas peternak sapi perah yang padat dari subuh hingga sore hari, sehingga untuk menyiasatinya peneliti mencari waktu di selasela atau pada saat para peternak sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Selain analisis data yang telah disebutkan sebelumnya, Miles & Huberman (1984) membuat model analisis data dan dibagi dalam tiga komponen pokok yang harus disadari oleh peneliti antara lain, yaitu: (1) reduksi data, yaitu memilih, dan menyederhanakan data kasar yang diperoleh di lapangan. Proses analisa data tersebut merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus, dimana data yang telah dikumpulkan akan diolah dan dianalisa dengan memahami motif dan makna gejala serta tindakan yang dilihat; (2) penyajian data, yaitu penyajian data dilakukan dengan menggunakan tabel atau matriks supaya memudahkan dalam melihat apa yang sedang terjadi dan terkait dengan tema rencana penelitian; dan (3) penarikan kesimpulan dengan cara melakukan verifikasi selama penelitian berlangsung secara berulang-ulang guna memperoleh kebenaran data atau informasi yang valid. Selanjutnya data tersebut diinterpretasikan secara deskriptif, kemudian ditarik suatu kesimpulan. Sementara itu dalam upaya memperoleh validitas data yang kebenarannya dapat diyakini, keabsahan data diuji melalui teknik triangulasi (triangulation). Hal tersebut antara lain dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan salah intepretasi. Menurut Stake (2000) menyebutkan triangulasi merupakan proses penggunaan banyak persepsi (multi perception) dalam mengklarifikasi arti (meaning) dan dalam memverifikasi pengulangan pelaksanaan observasi dan interpretasi. Selanjutnya Moleong (1998) Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut. Teknik triangulasi menggunakan sumber data dilakukan dengan jalan 1) membandingkan data hasil penelitian dengan hasil wawancara, 2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, 3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan orang sepanjang waktu, 4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat dan pandangan orang lain, dan 5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 1998). Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda (sumber data dan metode)5. 5
Triangulasi sumber data diperoleh dari para informan langsung yaitu peternak sapi perah, selanjutnya data atau informasi tersebut di check, recheck dan cross check dengan data yang diperoleh dari sumber lain seperti peternak sapi perah yang lain, Koperasi peternakan, atau dokumen serta arsip lain yang merujuk dan keterkaitan terhadap permasalahan yang sedang di bahas. Sedangkan triangulasi metode dilakukan bila cara atau metode memperoleh informasi tidak dapat diselesaikan dengan satu metode atau cara. Tetapi, diupayakan dengan cara lain seperti menginginkan informasi mengenai kesejarahan peternakan di Pangalengan. Bisa saja menggunakan cara melalui wawancara mendalam kepada tokoh tetapi bila merasa kurang informasi tersebut dapat dilakukan dengan penelusuran informasi melalui mekanisme bola salju.
27
IV LATAR HISTORIS PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DI PANGALENGAN Gambaran Umum Kecamatan Pangalengan Geografis dan Demografis Kabupaten Bandung memiliki 31 Kecamatan dengan topografi sebagian besar merupakan pegunungan atau daerah perbukitan dengan ketinggian di atas permukaan laut bervariasi dari 500 m sampai 1800 m. Salah satu kecamatannya di sebelah selatan adalah kecamatana Pangalengan dengan bentangan wilayah yang terluas di antara kecamatan yang lain, dengan luas wilayah sebesar 27.295,71 ha atau 272,95 km2 dan topografi berupa daratan, lereng atau punggung bukit serta bentangan alam atau bentuk wilayah dari datar sampai berombak sebesar 29 % dan berombak sampai berbukit sebesar 33 % serta berbukit sampai bergunung sebesar 38 %. Wilayah ini terletak sekitar 41 Km ke arah selatan dari ibu kota propinsi dan 23 Km dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung. Adapun batas-batas geografis kecamatan Pangalengan sebagai berikut : sebelah utara adalah kecamatan cimaung; sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Kertasari; sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Pasir Jambu dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra hindia. Sementara itu Pangalengan berada pada ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut sehingga suhu minimum sampai dengan maksimum berkisar antara 13 oC – 25 oC. Secara fisiografi kecamatan Pangalengan meliputi jajaran pegunungan yang membentang dari timur ke barat, sehingga hasil hutan dan perkebunan menjadi prioritas atau aset yang terus dikembangkan. Terdapat tiga buah gunung yang menjadi perhatian di daerah Pangalengan diantaranya adalah Gunung Wayang (ketinggian ± 2.181 m), Gunung Malabar (ketinggian ± 2.343 m) dan Gunung Windu (ketinggian ± 1.848). Disela-sela daerah perbukitan terdapat dataran-dataran rendah yang permukaannya merupakan hasil masyaraakt sekitar pada waktu dulu sehingga membentuk sebuah dua buah situ lumayan luas yaitu sekitar ± 180 ha dan ± 210 ha yang letaknya berada diantara desa Warnasari dan desa Pulosari. Situ tersebut berasal dari aliran air kali Cileunca yang sengaja dibendung pada masa kolonial Belanda.Diantara Gunung Wayang dan Gunung Windu terdapat situ Cisanti yang merupakan hulu dari sungai Citarum. Sungai Citarum secara historis memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan perekonomian di kawasan Pangalengan dan Kertasari. Terlebih fungsi aliran sungai Citarum dimanfaatkan untuk pertanian dan peternakan serta penghidupan masyarakat yang berada pada daerah aliran sungai Citarum. Situ Cileunca dan aliran sungai Citarum dijadikan sumber utama bagi para peternak dalam penyediaan air minum untuk ternak sapi perah. Terlebih karakteristik ternak sapi perah dari bangsa PFH sangat memerlukan banyak air minum guna menghasilkan produksi susu yang maksimal selain pakan dan konsentrat. Kondisi geologis telah memungkinkan Pangalengan memiliki tipologi sebagai kawasan atau daerah-daerah bergunung dan berbukit yang secara langsung berpengaruh terhadap sumber matapencaharian pendudukan. Daerah tersebut dimanfaatkan untuk sektor kehutanan seperti kayu jati, pinus dan tanamana keras lainnya sedangkan untuk sektor pertanian dimanfaatkan untuk
28
pertanian huma seperti kentang, kubis, wortel, jagung, dan lain-lain. Selanjutnya, daerah pegunungan dan perbukitan sangat cocok dimanfaatkan sebagai perkebunan seperti teh, kina dan kopi. Penelusuran dari informan DDS (tokoh masyarakat, 60 tahun) menyebutkan bahwa : “kata Pangalengan berasal dari kata Pengalengan yang pada waktu dulu pada masa penjajahan kolonial Belanda, daerah ini (Pangalengan) dijadikan sebagai pengasil kopi terbaik dan dikemas dalam bentuk Kaleng(Pengalengan) kopi dengan tujuan untuk komersial (ekspor)”. Sementara itu salah satu perekonomian lokal lainnya yang berkembang hingga saat ini di daerah pegunungan atau perbukitan yang cenderung cuaca dingin adalah sub-sektor peternakan. Peternakan sapi perah yang berkembang di Pangalengan sudah memiliki catatan historis tersendiri selain perkebunan kopi, teh dan kina. Dengan karakteristik sapi perah PFH sangat dimungkinkan untuk beradaptasi dalam kondisi lingkungan dengan suhu yang rendah. Peternakan sapi perah berkembang di Pangalengan didukung oleh infrastruktur dalam hal ini adalah pembangunan institusi atau kelembagaan penerimaan susu dari peternak berupa koperasi. Tidak jarang kita temui di daerah pegunungan atau perbukitan dimana terdapat komunitas peternak sapi perah tentu terdapat penampungan susu baik berupa kolektor ataupun koperasi. Hal tersebut dikarenakan karakteristik susu yang tidak tahan lama bertahan dalam dalam keadaan ruang terbuka. Hal tersebut dikarenakan susu mudah tercemar (rusak) dan menyebabkan tumbuhnya bakteri, sehingga sangat dibutuhkan penanganan yang cepat untuk mengantisipasi hal tersebit terjadi. Sementara itu kondisi demografi saat di daerah Pangalengan dapat diketahui dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung adalah dari 13 Desa dan 43 Dusun yang tersebar dengan total jumlah penduduk sebanyak 136.678 orang yang terdiri dari laki-laki 68.774 orang dan perempuan 67.904 orang serta kepala keluarga sebanyak 36.578 orang (disajikan dalam lampiran 1). Dengan jumlah penduduk tersebut tingkat kepadatan untuk lingkungan daerah kabupaten Bandung termasuk dalam katagori rendah yaitu 500,74 jiwa per km2. Dengan demikian jika mencermati distribusinya, tampak bahwa untuk daerah pedesaan agraris apalagi yang berada dalam kawasan perbukitan Bandung selatan tingkat kepadatannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah daratan rendah. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut dapat disusun komposisinya menurut kelompok umur. Hal tersebut dapat dijadikan untuk mengetahui struktur umur yang bermanfaat untuk ikut memetakan permasalahan yang dihadapi pendudukan serta upaya penanganannya. Bagaimana gambaran jumlah penduduk Kecamtan Pangalengan menurut kelompok umur pada tahun 2012 dapat diperhatikan tampilan tabel 2.
29
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2011 Kelompok Umur Jumlah Penduduk (orang) 0 - 4 tahun 16.492 5 - 9 tahun 14.539 10 - 14 tahun 11.935 15 - 19 tahun 10.416 20 - 24 tahun 13.888 25 - 29 tahun 9.982 30 - 34 tahun 12.803 35 - 39 tahun 10.633 40 tahun ke atas 25.710 Jumlah 126.398 Sumber : Monografi Kecamatan Pangalengan 2012 Berdasarkan data tabel 2 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi kependudukan kecamatan Pangalengan termasuk dalam katagori struktur muda. Artinya, kelompok penduduk umur 0-24 tahun jumlah relatif besar yaitu 53,2 %, hampir mendominasi jumlah total penduduk daerah ini. Kelompok umur 0-4 tahun masih mendominasi di daerah Pangalengan, sementara itu posisi dominan lainnya berturut-turut adalah kelompok umur 5-9 tahun, berikutnya penduduk kategori remaja yang berumur 20-24 tahun dan 10-14 tahun. Kondisi kependudukan tersebut tentu tida terlepas dari adanya intervensi berbagai program kependudukan yang mulai diimplementasikan pada tahun 1970-an antara lain adalah program Keluarga Berencana (KB), pendewasan usia kawin dan lain-lain yang didukung oleh penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang lebih baik. Berbagai sarana dan prasarana seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang diperuntukan bagi masyarakat umum maupun yang diperuntukan khsusus bagi kelompok Ibu dan Anak seperti Posyandu (pos pelayanan terpadu) tersedia di Pangalengan. Hingga tahun 2012 di Kecamatan Pangalengan terdapat sejumlah 1 rumah sakit swasta, 3 Puskesmas, dan 1 Puskesmas Pembantu serta 228 Posyandu yang tersebar diseluruh Desa (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2012). Selain itu dengan kondisi komposisi penduduk sebagaimana tercermin dalam tabel 2, maka terdapat hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dan diantisipasi kemungkinan timbulnya permaasalahan yang menyertainya. Pertama, komposisi penduduk seperti itu dalam jangka pendek/ sangat mendesak diperlukan ketersediaan fasilitas pendidikan lanjut yang representatif dan proporsional dengan penduduk golongan usia sekolah dan remaja yang merupakan jumlah yang cukup besar. Kedua, perlu diperluas kesempatan kerja dan peluang berusaha, mengingat penduduk golongan umur bekerja merupakan peringkat berikutnya. Kesempatan kerja dan peluang berusaha tampaknya benar-benar menjadi persoalan krusial dari komposisi penduduk sebagaimana tercermin pada tabel ttersebut. Apabila hal tersebut tidak diupayakan secara maksimal, maka yang terjadi adalah jumlah anak yang terancam putus sekolh, tidak sekolah dan tidak melanjutkan sekolah semakin meningkat dan tingkat pengangguran serta jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Berdasarkan tabel 2 tersebut, komposisi
30
penduduk untuk golongan 0-4 tahun terbilang besar dibanding dengan golongan umur yang lain. Hal tersebut berkorelasi dengan data dari Kabupaten Bandung dalam angka 2010 menyebutkan bahwa mutasi penduduk di kecamatan Pangalengan adalah untuk kelahiran laki-laki dan perempuan berjumlah 3.209 orang, kematian (laki-laki dan perempuan) berjumlah 293 orang, dan kedatangan (laki-laki dan perempuan) ke Pengalengan berjumlah 5.180 orang serta pindah dari pangalengan (laki-laki dan perempuan) berjumlah 2.858 orang. Dari data tersebut jumlah kelahiran lebih banyak ± 10 kali dari pada kematian sedangkan kedatangan lebih besar ± 1,8 kali sebesar dari pada kepindahan dari Pangalengan menuju keluar daerah tersebut. Budaya Masyarakat Pegunungan Jawa Barat identik dengan kebudayaan sunda yang dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang berusia tua di antara suku-suku bangsa di Indonesia. Hal tersebut dilihat dari pengenalan terhadap budaya tulis yang sudah berkembang pada masa kegemilangan kebudayaan sunda pada masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda. Kata sunda yang artinya bagus/ baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan (bahasa sunda), sedangkan menurut bahasa arab kata sunda berarti wilayah yang bergunung-gunung. Pemaknaan kata sunda sendiri tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tetapi di dalam dalam hati. Beberapa etos atau watak dalam budaya sunda menjadi bagian intergral masyarakat pegunungan Pangalengan. Lima etos atau watak budaya sunda yang melekat pada masyarakat Jawa Barat antara lain cageur, bageur, bener, singer, dan pinter. 1) Cageur adalah kondisi tubuh dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, seha berfikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan batim, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme., 2) Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit, tidak emosional baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan dan mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja, 3) Bener yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam, 4) Singer, yaitu penuh mawas diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya, dan 5) Pinter, yaitu pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain. Pangalengan terletak di sebelah selatan ibukota propinsi Jawa barat memiliki kondisi bentangan alam yang berombak sampai berbukit serta pegunungan. Tidak salah bahwa Bandung sering disebut “dilingkung ku gunung”artinya bahwa Bandung dikelilingi oleh Gunung. Hal tersebut menjadikan masyarakat Pangalengan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat daerah dataran rendah atau daerah pesisir.
31
Sebagaimana daerah pegunungan pada umumnya, masyarakat Pangalengan tidak memiliki startifikasi sosial yang ketat sebagimana daerah sawah atau pesisir. Tidak ketatnya stratifikasi sosial dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari antara pekerja dengan juragan. Meski orang bekerja pada seorang juragan dan sangat bergantung secara ekonomi, namun mereka tidak menunjukan kesan sebagai hamba sahaya. Dalam budaya sunda saling menghargai merupakan karakteristik utama, walaupun saat ini kondisi sudah berubah dengan digerusnya oleh modernisasi dan globalisasi di segala aspek atau bidang. Perubahan tetap ada di dalam masyarakat Pangalengan tetapi perubahan tersebut tidaklah menjadi bias dalam kehidupan sehari-hari apalagi bahwa karakateristik masyarakat pegunungan yang hidupnya sebagian besar di sektor petanian, perkebunan dan peternakan, menjadikan mereka para petani, peternak ataupun buru tani, buruh ternak dan buruh pekebun senantiasa selalu menjaga hubungan antar sesama, hubungan dengan alam atau lingkungan sekitar serta hubungan dengan khalik-Nya. Pandangan hidup orang sunda yang melekat di masyarakat Panggalengan dan berdasarkan data dari monografi kecamatan Pangalengan 2012 menyebutkan hanya ± 30 orang sebagai warga negara indonesia keturunan asing yaitu Cina RRC sedangakan sisanya adalah orang sunda. Pandangan hidup orang sunda adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dana menerangkan segala masalah hidup didalam dunia ini. Sedangkan pengertian orang sunda dapat diartikan, mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang-orang lain sebagai orang sunda. Orang-orang lain itu baik orang-orang sunda sendiri maupun orang-orang yang bukan sunda (Warnaen yang dikutip oleh Suryani 2010). Kehidupan masyarakat Pangalengan selalu mengadopsi budaya sunda yaitu bagaimana hubungan antara manusia dengan sesama manusia harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Sosial Ekonomi Pangalengan dalam perspektif geografis mengarah pada suatu kehidupan perekonomian lokal dengan kondisi perbukitan sampai pegunungan. Secara garis besar gambaran perekonomian di Pangalengan yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat adalah kehidupan agraris. Corak kehidupan pertanian dan perkebunan mendominasi kehidupan di Pangalengan. Baru pada akhir abad ke-19 baru dimulai kehidupan peternakan sapi perah. Semua struktur perekonomian lokal tersebut berlanjut hingga sekarang. Distribusi struktur perekonomian lokal di Pangalengan yang menjurus pada agraris disajikan beradasarkan informasi Kabupaten Bandung dalam angka 2010 antara lain : sektor pertanian dengan aktivitas pertanian palawija dan hortikultura sebesar 5.851 orang, perkebunan 569 orang, perikanan 31 orang, kehutanan 9 orang dan peternakan 4.406 orang serta buruh tani 20.177 orang. Berdasarkan data mengenai mata pencaharian di Pangalengan masih didominasi oleh buruh tani. Buruh disisni bisa sebagai buruh dipertanian, peternakan atau perekebunan. Pangalengan dengan kondisi lahan yang bervariasi
32
mulai dari datar, berombak hingga berbukit dan bergunung. Upaya masyarakat dalam memanfaatkan kondisi lahan tersebut mulai dari bersawah bagi memiliki lahan yang cukup datar, berladang dengan tumbuhan palawija atau hortikultura. Masyarakat yang berada dekat dengan situ Cileunca aktivitas mereka adalah sebagai pencari ikan atau aktivitas lain yang dapat mendatangkan penghasilan dan melanjutkan aktivitas kehidupan. Selanjutnya, jumlah peternak di Pangalengan lebih banyak jika dibandingkan dengan peternak sapi perah di kecamatan lain diwilayah Kabupaten Bandung. Kondisi lingkungan inilah yang mendukung para petani, peternak atau masyarakat lainnya untuk beraktivitas di sektor agraris. Sebagai daerah pegunungan, wilayah di Kecamatan Pangalengan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, buruh perkebunan, industri dan lain lain. Perbedaan ketinggian tempat menyebabkan keragaman vegetasi yang tumbuh di sana. Sektor pertanian dengan produk utama seperti kentang menjadi kebanggaan daerah ini, dan juga hasil palawija seperti wortel, kubis, kol dan lain-lain. Sektor lain seperti perkebunan tetap menjadikan prioritas utama bagi daerah ini walaupun ada yang milik swasta maupun milik Negara. Sementara itu sub-sektor peternakan terutama peternakan sapi perah menjadikan Pangalengan terkenal akan sentra peternakan dan juga koperasinya yaitu Koperasi Peternakan Bandung Selatan. Institusi inilah yang banyak memberikan manfaat kepada masyarakat Pangalengan dalam kehidupannya. Banyak masyarakat petani menjadi peternak ataupun mereka yang sudah turun temurun dari kakek buyutnya yang memelihara ternak sapi. Hal tersebut tidak terlepas dari keterbatasan aksesibilitas penduduk terhadap ases-aset produktif yang ada dilingkungannya dan salah satunya adalah lahan. Adapun total luas lahan di Kecamatan Pangalengan saat ini adalah 27.295,71 hayang terdiri dari lahan sawah, kering, hutan, perkebunan dan lahan untuk fasilitas umum. Untuk jelasnya tentang luas lahan menurut peruntukannya dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Luas Lahan Kecamatan Panglengan Menurut Peruntukannya tahun 2012 No Peruntukan Luas (ha) 1 Lahan Sawah 959,91 2 Lahan Kering 7.710,62 3 Lahan Basah 71,34 4 Lahan Hutan 9.316,81 5 Lahan Perkebunan 7.052,68 6 Lahan Keperluan FasilitasUmum 344,05 Jumlah 27.295,71 Sumber : Monografi Kecamatan Pangalengan 2012 Berdasarkan tabel 3 bahwa lahan di Pangalengan menurut peruntukannya didominasi oleh lahan hutan, lahan perkebunan dan lahan kering. Memang tampak jelas bahwa Pangalengan merupakan daerah dataran tinggi sehingga cocok untuk perkebunan dan tanaman palawija atau hortikultura. Lahan sawah walaupun ada tetapi tidak dapat menjadi tumpuan sumber nafkah penduduknya.
33
Lahan kering yang ada dimanfaatkan untuk tanaman palawija, kebun rumput dan lain-lain. Padahal mayoritas penduduk di Pangalengan bermatapencaharian sebagai petani, sebagaiana tamapk pada tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan / Matapencaharian Tahun 2012 No Mata Pencaharian Jumlah (orang) 1 Pertanian 52.270 2 Peternakan 4.099 3 Pengrajin / Industri Kecil 2.675 4 Pedagang 3.466 5 PNS dan TNI 3.817 6 Pensiunan PNS dan TNI 2.271 7 Buruh Industri 4.035 8 Buruh Bangunan 1.417 9 Buruh Perkebunan 4.778 10 Angkutan 1.687 11 Penguasa Sedang / Besar 993 Jumlah 81.508 Sumber : Monografi Kecamatan Pangalengan 2012 Dari data pada tabel 4 tersebut tampak jelas bahwa sektor pertanian menjadi andalan sumber nafkah bagi masyoritas penduduk di Pangalengan, yaitu sebanyak 52.270 orang atau 64,13 % dari total penduduk umur > 15 tahun. Dalam hal ini penduduk yang bekerja di sektor pertanian termasuk didalamnya adalah petani penggarap dan buruh ternak. Selanjutnya, buruh perkebunan menjadi mayoritas kedua setelah pertanian yaitu 4.778 orang atau 5,86 %. Hasil utama perkebunan di Pangalengan adalah teh yang di bawah kordinasi PTPN VIII Jawa Barat. Sementara itu, penduduk yang bermatapencaharian di sektor peternakan berada pada posisi ke tiga setelah pertanian dan buruh perkebunan. Jumlah peternak yang ada di Pangalengan adalah 4.099 orang atau 5,01 % dari total penduduk berumur > 15 tahun. Dalam konteks peternakan, lebih dari setengahnya beternak sapi perah dan sisannya adalah peternak domba, ayam, itik dan lain-lain. Meskipun jumlah peternak sapi perah tidak begitu banyak dibandingkan dengan petani atau buruh ternak, tetapi keberadaannya dapat mendongkrak kehidupan masyarakat lain terlebih dengan berdirinya koperasi peternakan. Selain itu, sektor peternakan sapi perah dengan komoditi utama adalah susu dan daging dapat membuka peluang usaha bagi masyarakat lain seperti terdapatnya home industry dalam pengolahan hasil olahan susu, toko dan juga sebagai salah satu tujuan pariwisata di Pangalengan. Dengan begitu selain pertanian dan buruh perkebunan, secara kumulatif sebenarnya banyak pennduduk yang menggantungkan sumber nafkah dari peternakan sapi perah. Sementara itu, untuk menunjang dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat di Pangalengan dibutuhkan sutau sarana perekonomian. Untuk lebih jelasnya tentang komposisi sarana perekonomian dapat dilihat pada gambar 5.
34
3704
56
4
9
1
6
105
Gambar 5. Komposisi Sarana Perekonomian di Pangalengan tahun 2012
Profil Dua Komunitas Peternak Sapi perah di Dua Desa Kasus Desa Margamekar (Geografis dan Demografis) Desa Margamekar berjarak sekitar 44,3 km dari ibu kota provinsi dan jarak sekitar 32,2 km di sebelah selatan pemerintahan Kabupaten Bandung atau sekitar 3,2 km dari Kecamatan Pangalengan. Secara administratif Desa Margamekar sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangalengan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Banjarsari, Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukamanah dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pulosari. Berdasarkan topografi atau bentangan wilayah Desa Margamekar termasuk desa berbukitbukit dan termasuk kawasan campuran, dengan besarnya curah hujan 2.200 mm serta memiliki suhu rata-rata atau berkisar antara 16oC s/d 19oC. daerah tersebut berada di 1.449,93 m di atas permukaan laut yang merupakan daerah berbukit. Melihat potensi alam sangat mendukung dalam pengembangan sektor pertanian dan peternakan, pengembangan pertanian lebih mengarah kepada tanaman pangan dan untuk pengembangan sub sektor peternakan diorientasikan kepada ternak besar sapi dan domba. Tabel 5. Komposisi Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Margamekar Tahun 2011 No Kepemilikan lahan Pertanian Jumlah Keluarga 1 Jumlah Keluarga memiliki lahan pertanian 725 2 Tidak Memiliki lahan pertanian 1694 3 Memiliki lahan pertanian kurang 1 ha 393 4 Memiliki lahan pertanian 1,0 – 5,0 ha 88 5 Memiliki lahan pertanian 5,0 - 10 ha 10 6 Jumlah Total Keluarga Petani 491 Sumber : Data Profil dan Potensi Desa Margamekar 2011
35
Pada sektor pertanian, komoditas tanaman pangan lah yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat Desa Margamekar. Hal tersebut terlihat dalam distribusi jenis dan hasil tanaman pangan yang diperoleh. Tabel 6. Komposisi Luas Tanaman Pangan Menurut Komoditas Desa Margamekar tahun 2011 No Jenis Tanaman Pangan Luas (ha) Produktivitas (ton/ha) 1 Jagung 102 28,00 2 Kacang Merah 27 1,60 3 Cabe 42 12,50 4 Tomat 128 30,00 5 Sawi 165 23.50 6 Kentang 583 19,70 7 Kubis 431 26,00 8 Wortel 169 27,50 9 Labu Siam 32 12,00 Sumber : Data Profil dan Potensi Desa Margamekar 2011 Kondisi basis ekologi yang terdiri dari pertanian, perbukitan dan perkebunan mempunyai implikasi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya, sehingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat lebih banyak mengandalkan pada potensi lingkungan alamiahnya. Pola kehidupan sosial masyarakat bercorak kehidupan pedesaan dengan nilai-nilai sosial yang bercorak tradisional agamis dan kehidupan ekonomi yang bercorak ekonomi produksi pertanian. Desa Margamekar yang penduduknya memiliki mata pencaharian yang bervariasi menjadikan aset tanah sebagai kekuatan produksi dalam mengembangkan berbagai usaha. Tidak terkecuali dalam sektor pertanian lebih diprioritaskan melihat potensi ekologis yang sangat memungkinkan. Banyak pola atau mekanisme dalam pengelolaan tanah, mulai dimanfaatkan oleh pemilik atau oleh buruh tani, melalui sistem “maro” atau bagi hasil serta melalui sewa kepada para petani. Hasil dari pertanian hanya sebagian kecil yang dikonsumsi, sementara sisanya siap dijual ke pasar atau melalui pengumpul (Bandar). Distribusi pasar yang dituju selain di daerah pangalengan sendiri Pasar Banjaran, Pasar Soreang sampai dengan masuk kepada Pasar Induk di Caringin dan Gede Bage, Kota Bandung. Selain untuk tanaman pangan atau pertanian, peruntukan tanah juga digunakan oleh para peternak untuk menanam hijauan untuk ternak seperti jenis rumput yaitu rumput gajah (penisetum purperium), rumput raja (king grass) dan rumput jenis lain (sebangsa serealia). Adapun komposisi aset tanah di Wilayah Desa Margamekar antara lain :
36
4 6 18 20 22 30 34 42 50 54 58 62
> 10 ha 5,0 - 10 ha 1,0 - 5,0 ha 0,91 - 1,0 ha 0,81 - 0,9 ha 0,71 - 0,8 ha 0,61 - 0,7 ha 0,51 - 0,6 ha 0,41 - 0,5 ha 0,31 - 0,4 ha 0,21 - 0,3 ha 0,1 - 0,2 ha Tidak Memiliki Tanah
Orang
1694 0
500
1000
1500
2000
Gambar 6. Komposisi Aset Tanah Desa Margamekar Tahun 2011 Kecamatan Pangalengan identik dengan pertanian dan peternakan terutama peternakan sapi perah. Dalam sub-sektor peternakan, peran ternak sangat memberikan kontribusi terhadap pembangunan wilayah di Desa Margamekar. Keberadaan Koperasi dalam hal ini KPBS memberikan pengembangan masyarakat di daerah Bandung Selatan dari tahun 1970an hingga sekarang. Kondisi KPBS sendiri akan dibahas pada bab lain. Adapun ditribusi dari komoditas peternakan di daerah ini terlihat pada gambar 7. 4801 5000
Orang
Ekor
4000 3000 2000 1000
768
1031
270
994
919 8
19
310
124
Domba
Kelinci
0 Sapi
Ayam Kampung
Kuda
Gambar 7. Komposisi Jenis Ternak Desa Margamekar Tahun 2011 Berdasarkan jenis ternak maka diperoleh produksi peternakan berupa susu sebesar 10.724 kg/ tahun dan untuk daging sebesar 14,36 kg/ tahun. Untuk kebutuhan pakan melalui hijauan maka data dari monografi Desa Margamekar tercatat 23 ha perolah untuk tanaman pakan hijauan (rumput gajah dan lain-lain) yang dengan luas area tersebut kira-kira memperoleh produksi sebesar 621 ton/
37
ha. Melihat kondisi wilayah di Desa Margamekar distribusi pekerjaan menyesuaikan dengan sumberdaya alam serta terbentuknya institusi yang dapat menopang dalam kehidupannya. Kondisi ini tampak pula dalam jenis mata pencaharian penduduk yang umumnya bekerja di bidang pertanian dan pertenakan serta serta bidang lain yang memungkinkan, tidak ada pemilahan untuk bekerja yakni jenis kelamin perempuan tidak menutup kemungkinan untuk bekerja yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Latar belakang kehidupan masyarakat Desa Margamekar dengan etnis Sunda menjadikan kehidupan yang memberikan harmonisasi sosial yang didukung dengan kerukunan warga yang ditopang oleh institusi atau kelembagaan lokal di wilayah ini. Berdasarkan data monografi desa di daerah ini semua beragama Islam dengan komposisi laki-laki sebanyak 4052 orang dan perempuan sebanayak 4004 orang. Tingkat kepadatan penduduk untuk lingkungan daerah ini termasuk dalam katagori sedang, yaitu 985 per km2. Meskipun demikian jika mencermati distribusinya, tampak bahwa untuk daerah pedesaan agraris apalagi yang berada dalam kawasan perbukitan tingkat kepadatannya relatif sedang dibandingkan dengan daerah dataran rendah seperti Banjaran. Kondisi tersebut tampaknya berpengaruh terhadap berkembangnya keanekaragaman mata pencaharian penduduk termasuk keberadaan pengusahaan ternak. Untuk mencermati hal tersebut dari jumlah penduduk dapat disusun komposisi menurut kelompok umur dan jenis kelamin serta komposisi jenis mata pencaharian. Hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengetahui struktur umur yang bermanfaat untuk ikut memetakan permasalahan yang dihadapi pendudukan serta upaya penanganannya. Bagaimana gambaran jumlah penduduk Desa Margamekar menurut umur dan jenis kelamin pada tahun 2011 dapat diperhatikan dalam gambar 8. 65 thn + 60 - 64 thn 55 - 59 thn 50 - 54 thn 45 - 49 thn 40 - 44 thn 35 - 39 thn 30 - 34 thn 25 - 29 thn 20 -24 thn 15 - 19 thn 10 - 14 thn 5 - 9 thn 0 - 4 thn -600
Perempuan Laki-laki
-400
-200
0
200
400
600
Gambar 8. Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Desa Marga Mekar Tahun 2011 Dari Gambar 7 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi kependudukan desa Marga Mekar termasuk dalam katagori struktur muda. Artinya kelompok
38
penduduk 0 – 29 tahun jumlahnya relatif besar. Kondisi kependudukan tersebut tidak terlepas dari adanya intervensi berbagai program kependudukan yang mulai diimplementasikan pada tahun 1970-an antara lain rogram KB, pendewasaan usia kawin dan lain-lain yang didukung oleh penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang lebih baik. Kondisi selanjutnya mengenai komposisi penduduk sebagaimana tercermin pada gambar 7, maka terdapat hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dan diantisipasi kemungkinan timbulnya permasalahan yang menyertainya. Pertama, komposisi penduduk seperti itu dalam jangka pendek/ sangat mendesak diperlukan ketersediaan fasilitas pendidikan lanjut yang representatif dan proporsional dengan penduduk golongan remaja dan usia sekolah yang merupakan jumlah terbesar. Perhatian kedua, adalah diperluasnya kesempatan kerja dan peluang berusaha, mengingat penduduk golongan umur bekerja merupakan peringkat berikutnya setelah golongan umur remaja dan sekolah. Kesempatan kerja dan peluang berusaha tampaknya benar-benar menjadi persoalan krusial dari komposisi penduduk sebagaimana tercermin pada gambar tersebut. Apabila hal tersebut tidak dapat diupayakan, maka yang terjadi adalah jumlah anak yang terancam putus sekolah, tidak sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah semakin meningkat dan tiingkat pengangguran tinggi serta jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Oleh karena itu dalam konteks ini, upaya pengembangan dalam pengusahaan ternak dan tergabung dalam Koperasi dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Secara garis besar, gambaran historis perekonomian Desa Margamekar dapat dibagi menjadi dua, yaitu perekonomian agraris dalam hal pertanian dan perekonomian mengenai beternak sapi perah. Adapun komposisi jenis mata pencaharian di wilayah Desa Margamekar antara lain. 931
1000
409
392
400 200
Perempuan
731
800 600
Laki-laki
174 170 0
15 14
7
253 125 0
0
221 145 32 0
0
Gambar 9. Komposisi Jenis Mata Pencaharian Desa Margamekar Tahun 2011
39
Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamekar Berdasarkan data monografi Desa Margamekar yang telah diulas di atas, bahwa Desa Margamekar merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Sukamanah dan Desa Sukamanah sendiri berasal dari pemekaran Desa Pangalengan. Kecamatan Pangalengan yang sekarang memiliki 13 Desa yang tersebar, awalnya hanya satu wilayah daerah Bandung Selatan yaitu Pangalengan. Selanjutnya, dimekarkan menjadi tiga wilayah besar yaitu Desa Sukamanah, Desa Warnasari dan Desa Margamulya. Desa Margamekar memiliki luas wilayah 1.635,98 ha dan jumlah penduduk sebanyak 8.056 jiwa yang tersebar ke dalam dua Dusun dan terbagi menjadi 13 RW dengan total 58 RT. Kehidupan masyarakat Desa Margamekar adalah 75% di sektor pertanian dan dan subsektor peternakan dan sisasnya pada sektor lain. Etnis atau suku sunda mendominasi daerah Desa Margamekar dan kehidupan keagamaan sangat kental dengan suasana islami. Hal tersebut terlihat terdapatnya masjid dan pesantren yang berkembang di Desa Margamekar. Hal lain, Berdasarkan para informan yang terdiri dari para tetua atau sesepuh Desa, pada tahun 1900-an wilayah pangalengan termasuk di dalamnya sekarang Desa Margamekar sudah terdapat beberapa perusahaan peternakan sapi perah antara lain de Friesche Trep, Almanak, Van der Est dan Bigman yang dikuasi oleh kolonial Belanda. Perjalanan panjang dilalui di daerah ini dari beberapa masa atau periode penjajahan hingga sekarang dalam pengembangan peternakan sapi perah dan mengalami berbagai dinamika perkembangan. Perusahaan peternakan sapi perah yang tumbuh dan berkembang pada periode tersebut hanya bertahan pada masa kolonial dan dilanjutkan atau dipindahtangan kepada Jepang. Hanya satu dari keempat perusahaan yang masih bertahan yaitu perusahaan sapi perah Almanak. Ketiga perusahaan yang lain sudah tidak beroperasi dan tidak tahu keberadaanya. Lain hal dengan perusahan ternak sapi Almanak, informasi dan observasi dilapangan didapatkan bahwa perusahaan peternakan sapi perah yang dimiliki kolonial Belanda pada waktu dulu ternyata bertempat di daerah Desa Margemekar sekarang ini dan tepatnya di Dusun 1 RW 1. Berdasarkan data dari informan dan sesepuh masyarakat bahwa nama Almanak terus berlanjut sampai tahun 1993 yang orientasinya tetap terhadap pengembangan usaha peternakan sapi perah. Selanjutnya, nama Almanak diganti nama dengan nama Almanak Baru (ALBA) yang orientasi usaha kepada sapi perah dan perkebunan teh dengan kepemilikan usaha dibawah bendera PT. Ultrajaya. Perkembangan usaha peternakan sapi perah ditindaklanjuti dengan maksimal yaitu pada tahun 2008 dibangun ditempat yang sama hasil kerjasama antara PT. Ultrajaya dengan KPBS untuk mendirikan perusahaan peternakan sapi perah berstandar internasional bernama Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS). Melihat perkembangan komunitas peternak sapi perah, bahwa komunitas peternak sapi perah sebenarnya sudah terbentuk pada awal kemerdekaan Republik Indonesia sekitar tahun 1949 dengan dibentuknya GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan). Kelembagaan ini berawal dari para peternak atau buruh ternak di perusahaan peternakan belanda dan merupakan cikal bakal dari terbentuknya koperasi peternakan sapi perah yang berada di
40
Pangalengan saat ini. Keberadaan GAPPSIP benar-benar dirasakan oleh para peternak sapi perah, dengan fungsi yang mirip dengan koperasi yaitu mensejahterakan anggota dengan memenuhi kebutuhan anggotanya serta aktivitas melalui penerimaan susu dari peternak, menjual ke konsumen, simpan pinjam, dan penyediaan konsentrat serta lain sebagainya. Pembentukan koperasi peternakan dipangalengan (KPBS) meberikan ruang bagi para peternak untuk lebih mengoptimalkan dalam beternak sapi perah. KPBS memiliki tiga wilayah kerja yaitu Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet yang di dalam pelaksanaan operasionalnya di dukung oleh Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) yang tersebar di 37 titik diwilayah kerja KPBS. Dalam satu Desa minimal terdapat 1 TPK dan 1 TPK terdapat dari beberapa kelompok serta yang membedakan dengan koeprasi lain adalah dalam satu kelompok dibagi ke dalam beberapa kelompok harga. Nama TPK sendiri berasal dari nama Komisaris Daerah atau yang dikenal dengan nama (KOMDA). Fungsi KOMDA hampir sama dengan TPK, yaitu sebagai perwakilan koperasi di daerah wilayah kerja KPBS dan tersebar di 37 tiitk di Kecamatan pangalengan, Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet. Desa Margamekar memiliki dua TPK yaitu TPK Babakan Kiara dan TPK Cisangkuy. Biasanya nama TPK berdasarkan atas nama kampung dimana TPK itu berada atau tempat yang biasa orang lebih banyak mengenalnya. Jumlah peternak di Desa Margamekar atau masing-masing TPK mengalami fluktuasi sejalan dengan perkembangan jaman. TPK Babakan Kiara memiliki 9 kelompok dengan jumlah anggota rata-rata di tahun 2012 sebanyak 166 orang. Sedangkan, TPK Cisangkuy memiliki total kelompok sebanyak 5 buah dengan total anggota sebanyak 138 orang. Tabel 7. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Cisangkuy
Jumlah Anggota Peternak Populasi Ternak Sapi Perah Induk Sapi Perah
2006 108 319 186
2007 103 299 185
TPK Cisangkuy 2008 2009 2010 107 117 126 334 404 482 213 226 237
2011 134 463 268
2012 138 554 342
Sumber : Diolah dari Data Primer Penelitian, 2012-2013 Setiap TPK memiliki jumlah ternak dan anggota peternak yang berbedabeda walaupun TPK tersebut terdapat dalam satu wilayah Desa. Tabel 8. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Babakan Kiara
Jumlah Anggota Peternak Populasi Ternak Sapi Perah Induk Sapi Perah
2006 217 698 397
2007 170 480 278
TPK Babakan Kiara 2008 2009 2010 169 172 173 476 578 671 282 320 329
Sumber : Diolah dari Data Primer Penelitian, 2012-2013
2011 177 661 331
2012 166 615 346
41
Desa Margamukti (Geografis dan Demografis) Desa Margamukti, sejalan dengan kemajuan pada Kecamatan Pangalengan, infrastuktur dasar di Desa ini tergolong lengkap, baik mencakup infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, kesehatan dan pendidikan. Penguatan infrastruktur ini sejalan dengan peningkatan kelembagaan ekonomi dalam bentuk penanaman sayuran, dan tanaman perkebunan serta perkembangan kelompokkelompok peternak sapi perah. Desa Margamukti memiliki batas-batas administrasi di antaranya sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Desa Pangalengan. Sedangkan untuk perbatasan di sebelah Selatan dengan Desa Sukamanah dan di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tarumajaya yang merupakan Desa dari Kecamatan Kertasari. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Margamukti secara umum berupa dataran dan pegunungan yang berada pada ketinggian antara 1.200 m 1.400 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar 16 oC – 20 oC. luas wilayah Desa Margamukti 2.613.049 Ha dengan topografi daratan seluas 345.859 Ha dan pegunungan 2.267.195 Ha. Desa Margamukti dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit dan diperkirakan berjarak 2 km dari kantor Kecamatan Pangalengan memiliki 3 Dusun dan 26 Rukun Warga serta 120 Rukun Tetangga. Jumlah penduduk Desa Margamukti berdasarkan monografi dan daftar isian data tingkat perkembangan Desa dan Kelurahan tahun 2011 terbilang 16.255 orang dengan perbandingan laki-laki sebanyak 8.242 orang dan perempuan sebanyak 8.013 orang. Sedangkan, jumlah rumah tangga di Desa Margamukti sebesar 4.838 KK. Jumlah keluarga tersebut tersebar dalam beberapa sektor usaha seperti pertanian yang memiliki jumlah rumah tangga petani sebesar 1.912 keluarga, jumlah total anggota rumah tangga petani sebesar 6.012 orang dan jumlah rumah tangga buruhpetani sebesar 3.041 keluarga serta jumlah rumah tangga buruh petani sebesar 9210 orang. Selain pertanian sektor usaha lainnya adalah perkebunan. Jumlah rumah tangga perkebunan sebesar 164 keluarga dengan jumlah total anggota rumah tangga perkebunan sebesar 2.894 orang serta jumlah rumah tangga buruh perkebunan sebesar 15.532 orang. Sektor usaha peternakan tercatat jumlah rumah tangga peternakan sebesar 671 keluarga dengan jumlah total anggota rumah tangga peternakan sebesar 2.031 orang dan jumlah rumah tangga buruh peternakan sebesar 1.381 keluarga dengan jumlah anggota rumah tanga buruh peternakan sebesar 4.067 orang. Sektor usaha lain yang ada di Desa Margamukti adalah kehutanan. Dalam hal ini tidak ada pemilik atau rumah tangga kehutanan yang ada melainkan jumlah rumah tangga buruh kehutanan sebesar 168 keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga buruh kehutanan sebesr 512 orang. Disamping empat sektor usaha yaitu pertanian, perkebunan, dan peternakan serta kehutanan, terdapat pula sektor usaha lain yang jumlahnya tidak terlalu banyak antara lain sektor usaha kerajinan, industri kecil, menengah dan besar serta sektor usaha jasa dan perdagangan. Desa Margamukti yang mayoritas bekerja di sektor pertanian, maka aset yang utama dalam beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah seberapa besar lahan atau tanah yang dimiliki. Berdasarkan data yang diperoleh maka aset tanah yang dimiliki di Desa Margamukti terdapat dalam Gambar 11.
42
1
> 10 ha
10
5,0 - 10 ha
120
1,0 - 5,0 ha
10
0,91 - 1,0 ha 0,81 - 0,9 ha
57
0,71 - 0,8 ha
54
0,61 - 0,7 ha
61
0,51 - 0,6 ha
48 87
0,41 - 0,5 ha 0,31 - 0,4 ha 0,21 - 0,3 ha 0,1 - 0,2 ha Tidak Memiliki Tanah
130 278 920 0
2467 500
1000
1500
2000
2500
Gambar 10. Komposisi Aset Tanah Desa Margamukti tahun 2011 Masyarakat Desa Margamukti adalah orang Sunda yang sejak dahulu sudah bermukim di tempat tersebut. Hal tersebut terlihat dari berdirinya perkebunan teh. Berbicara mengenai perkebunan yang pernah ada di Indonesia, perkebunan teh merupakan salah satu yang menarik perhatian. Hal tersebut tidak terlepas dari aspek kesejarahan perkebunan teh yang ada di Pangalengan. Salah satu perkebunan teh tersebut adalah perkebunan Kertamanah. Salah satu kampung yang berdampingan dengan perkebunan teh Kertamanah ialah Kampung Rancamanyar. Secara administratif pada tahun 1982 wilayah Pangalengan mengalami pemekaran sehingga terdapat beberapa desa baru salah satunya Desa Margamukti yang sebelumnya bernama Cantilan Cipanas. Pembangunan di desa sudah mulai dijalankan semenjak awal pelita I, tetapi maraknya di Desa Margamukti dimulai pada tahun 1980an. Perkembangan tersebut ditunjukan oleh diferensiasi pekerjaan. Salah satu pekerjaan adalah di subsektor peternakan yaitu peternakan sapi perah. Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamukti Latar belakang berdirinya komunitas peternak sapi perah di Margamukti berbeda dengan berdirinya komunitas peternak sapi perah di Desa Margamekar. Melihat kesejarahan Desa Margamukti, bahwa perkembangan menuju komunitas peternak khususnya peternak sapi perah berangkat dari perkembangan komunitas pekebun atau buruh kebun. Di wilayah Margamukti terdapat PTPN VIII Kertamanah yang dahulu dikelola oleh pihak kolonial Belanda. Di dalam areal perkebunan terdapat sebuah kampung yang berdasarkan informasi adalah kampung yang awal berdirinya yaitu kampung Pangkalan. Kampung ini terbentuk dari tempat tinggal sementara (mangkal) para migran, terutama asal Garut. Para
43
migran ini sangat memungkinkan untuk migrasi ke wilayah kabupaten Bandung bagian selatan. Sebagaimana lazimnya pola migrasi warga desa, para migran biasanya menentap dan tinggal sementara bersama kerabat atau kenalannya, selanjutnya mereka ada yang kembali ke kampung halaman atau menetap menjadi warga daerah tersebut dan akhirnya membentuk suatu komunitas. Perkembangan komunitas peternak sapi perah di wilayah Desa Margamukti tidak terlepas dari peran kelembagaan GAPPSIP yang sudah berkembang pada awal kemerdekaan. Mobilitas sosial terjadi di daerah perkebunan kertamanah memberikan ruang terhadap pengembangan peternakan didaerah Margamukti. Pada awalnya mereka yang bekerja di perkebunan kertamanah masih menggeluti pekerjaannya hingga sekarang tapi ada dari beberapa pekebun yang melihat peluang atau munculnya kegiatan ekonomi lokal selain perkebunan yaitu peternakan. Aktivitas yang dilakukan buruh perkebunan adalah selain bekerja mejadi buruh diperkebunan mereka juga mencari rumput atau hijauan yang berada di daerah perkebunan. Luas wilayah Desa Margamukti lebih besar dari Desa Margamekar begitu pula dengan jumlah penduduknya. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPBS bahwa wilayah Desa Margamukti memiliki 5 Tempat Pelayanan Koperasi antara lain TPK Pangkalan, TPK Cipanas II, TPK Los Cimaung I, TPK Los Cimaung II dan PK Rancamanyar. Wilayah Desa Margamukti yang terbentang luas (2.613.049 ha) menjadikan daerah tersebut sebagai populasi ternak sapi perah terbesar di Pangalengan atau wilayah kerja KPBS. Pembahasan komunitas untuk kajian ini dibatasi hanya 2 TPK yaitu TPK Los Cimaung I dan TPK Los Cimaung II. Dua TPK ini memberikan informasi terhadap perkembangan masyarakat di wilayah Margamukti terlebih terdapat beberapa tokoh yang dapat memberikan informasi mengenai perkembangan peternakan sapi perah dan juga dalam perjalanan perkembangannya di wilayah tersebut terdapat panas bumi yang sekarang dikembangkan menjadi Panas bumi atau geothermal Wayang Windu yang berdekatan dengan TPK Los Cimaung. Keadaan populasi ternak sapi dan jumlah anggota koperasi yang ada di TPK Los Cimaung I dan Los Cimaung II mengalami fluktuasi sama seperti di Desa Margamekar. Dua TPK yaitu Los Ciamung I dan TPK Los Cimaung II sama-sama memiliki 6 kelompok. Tabel 9. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung I
Jumlah Anggota Peternak Populasi Ternak Sapi Perah Induk Sapi Perah
2006 110 478 327
2007 107 452 263
TPK Los Cimaung I 2008 2009 2010 111 115 116 608 651 675 376 367 320
2011 126 623 264
2012 119 661 393
Sumber : Diolah dari Data Primer Penelitian, 2012-2013 Letak TPK Los Cimaung I dan TPK Los Cimaung II bersebelahan tapi untuk komunitas peternaknya dipisahkan oleh jalan, yang satu sebelah timur untuk (los Cimaung II) dan sebelah barat untuk (Los Cimaung I) dan Setiap TPK memiliki jumlah ternak dan anggota peternak yang berbeda-beda walaupun TPK tersebut terdapat dalam satu wilayah Desa.
44
Tabel 10. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung II
Jumlah Anggota Peternak Populasi Ternak Sapi Perah Induk Sapi Perah
2006 112 639 402
2007 116 567 405
TPK Los Cimaung II 2008 2009 2010 116 124 132 500 569 664 353 369 360
2011 133 675 400
2012 131 737 490
Sumber : Diolah dari Data Primer Penelitian, 2012-2013 Perbandingan Dua Desa Kasus dan Kesimpulan Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh maka dari dua Desa di Kecamatan Pangalengan memberikan gambaran dari segi penghidupan secara umum yaitu di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan. Untuk pembagian wilayah dengan konsentrasi perkebunan dan peternakan terdapat di Desa Margamukti. Dengan topografi yang sama yaitu berupa dataran dan pegunungan yang berada pada ketinggian antara 1200 m–1400 m di atas permukaan laut serta dengan suhu rata-rata berkisar 160C–200C. Dengan kondisi wilayah tersebut sangat cocok bagi pengembangan usaha peternakan sapi perah. Jenis bangsa sapi perah yang di pelihara pada umumnya adalah jenis sapi perah Fries Holland. Melihat mata pencaharian secara menyeluruh dari 13 Desa yang ada di Kecamatan Pangalengan, bahwa mata pencaharian utama adalah petani. Untuk sektor perkebunan dan peternakan merupakan pelengkap daerah Pangalengan. Tapi dengan perkembangan zaman melalui globalisasi dan modernisasi memberikan posisi Pangalengan menjadi sentra peternakan atau ikon dari Jawa Barat dalam hal pengembangan peternakan sapi perah melalui Koperasi peternakan. Keberadaan KPBS memberikan ruang bagi masyarakat Pangalengan untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah. Dengan hal tersebut mengakibatkan angka pengangguran menjadi berkurang dan pengembangan infrastruktur menjadi lebih baik dengan memperhatikan sarana transportasi maupun lainnya dalam menunjang pelaksanaan produksi peternakan sapi perah. Hasil susu yang diperoleh dari peternakan di setor kepada koperasi dan selanjutnya disetor kembali ke Industri Pengolahan Susuyang sebelumnya di susu tersebut di tamping di milk treatment yang jaraknya tidak jauh dari kantor KPBS. Akses jalan dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, jarak dari kantor Kecamatan ke Desa Margamukti hampir sama dengan jarak ke kantor Desa Margamekar yaitu kurang lebih 3 km, yang membedakannya adalah posisi kantor Desa. Jika melihat kantor Desa Margamekar posisi kantornya lebih ke dalam dan untuk menuju kesana melalui jalan yang berkelok. Sedangkan, kantor Desa Margamukti adalah sebaliknya dari kantor Desa Margamekar yang cenderung terbuka dan tidak ditemukan banyak tikungan. Berdasarkan ketersediaan transportasi umum, hanya ojek yang dapat digunakan sedangkan angkutan pedesaan hanya sampai di terminal yaitu di pusat Kecamatan Pangalengan. Hal ini yang menjadikan keterbatasan gerak untuk menyelesaikan administrasi di kantor Desa. Jadi akses dari ibukota propinsi Jawa Barat menuju Pangalengan bisa ditempuh menggunakan trasportasi umum yaitu bis ¾ atau masyarakat sekitar sering menyebutnya elf. Ada juga transportasi angkutan pedesaan dengan trayek Banjaran-Pangalengan.
45
Berdasarkan riwayat pembentukan komunitas, awal pembentukan komunitas adalah komunitas perkebunan selanjutnya komunitas petani dan terakhir adalah komunitas peternak. seluruh komunitas peternak di dua desa yaitu Desa Margamekar dan Desa Margamukti merupakan komunitas yang sudah terbentuk sejak lama. Komunitas peternak sapi perah di Desa Margamekar merupakan komunitas yang terbentuk sejak awal kemerdekaan, hal yang melatarbelakanginya adalah bahwa di Desa Margamekar terdapat perusahan peternakan sapi milik kolonial Belanda. Selanjutnya, pihak jepang merebutnya sampai dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Alhasil ternak sapi yang ada di perusahaan sebagian ada yang dipelihara oleh masyarakat sekitar dan ini merupakan cikal bakal dalam peternakan rakyat dan selanjutnya para peternak tersebut membentuk suatu komunitas. Hal tersebut dikuatkan lagi dengan dibentuknya kelembagaan masyarakat Pangalengan yang konsentrasi pada ternak sapi perah yang memiliki kemiripan dengan koperasi yaitu GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan). Selanjutnya, komunitas peternak sapi perah di Desa Margamukti terbentuk setelah berubahnya GAPPSIP kepada KPBS yaitu sekitar tauhun 1969. Walaupun pada kenyataanya bahwa masyarakat Desa Margamukti sudah mengetahui adanya kelembagaan GAPPSIP tapi mereka belum bergabung, mereka masih bermata pencaharian sebagai buruh perkebunan teh. Keterlambatan dalam pembentukan komunitas peternak sapi perah tidak menjadi kelemahan malahan menjadi awal dari suatu pembangunan peternakan menjadi lebih baik, hal tersebut dikarenakan wilayah lain sebagai contoh dalam pengembangan peternakan sapi perah. Bertolak dari latarbelakang etnis, bahwa etnis dalam komunitas peternak sapi perah semuanya etnis sunda, hamper tidak ditemukan etnis di luar dari sunda. Terlebih bahwa Pangalengan berada dalam tatar sunda dari kerajaan Pajajaran. Dengan etnis sunda untuk komunitas peternak sapi perah, ditambah semua anggota komunitas merupakan pemeluk agama yang sama (Islam). Perkembangan komunitas peternak sapi perah yang terjadi saat sekarang di dua tempat yaitu Desa Margamekar dan Desa Margamukti mengalami peningkatan, terlebih dari komunitas tersebut di bagi ke dalam beberapa kelompok dan yang terbaru penulis menemukan informasi di lapangan bahwa dalam satu kelompok di bagi lagi ke dalam beberapa kelompok harga. Kelompok harga ini merupakan inovasi terbaru dari KPBS untuk meningkatkan keterampilan peternak dan juga mengklasifikasikan mana peternak yang memiliki kemampuan atau keterampilan beternak yang baik.
Perkembangan Peternakan Sapi Perah di Pangalengan Perkembangan peternakan sapi perah di Pangalengan Kabupaten Bandung Jawa Barat mendapat perhatian maksimal dan dipandang positif dari sisi peningkatan penghidupan peternak dan tambahan pendapatan daerah serta menjadikan wilayah ini menjadi pusat pengembangan sapi perah di Jawa Barat. Hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan lokal di sektor peternakan sapi perah yang menjadikan keberlanjutan kehidupan para peternak sapi perah. Dalam bab ini dipaparkan bagaimana ternak sapi perah yang ada di
46
Pangalengan dari dulu hingga sekarang dapat berkembang dan bagaimana usaha pengembangan yang telah dilakukan. Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) Perkembangan usaha peternakan sapi perah tidaklah berdiri dengan sendirinya melainkan melaui proses yang panjang. Proses yang panjang tersebut dipandang dari perjalanan waktu dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Perkembangan peternakan sapi perah dibagi dalam beberapa masa atau periode yang dinilai pada masa tersebut terdapat makna atau perubahan dalam proses pengembangan peternakan sapi perah. Munculnya komoditas sapi perah di Jawa Barat khususnya di Pangalengan tidak terlepas dari peran pemerintahan kolonial belanda, maka tidaklah salah bahwa awal dari pembentukan atau mulainya peternakan sapi perah pada saat kolonial belanda yang menjajah Indonesia pada waktu dulu. Berdasarkan informasi yang didapatkan dilapangan bahwa hampir semua informan tidak dapat menyebutkan kapan pastinya ternak sapi perah hadir di Pangalengan. Mereka hanya menyebutkan bahwa ternak sapi perah di datangkan dari Eropa dalam hal ini Belanda dan pihak Belanda membuat perusahaan peternakan sapi perah. Kapan dan dimana awal berdirinya perusahan tersebut tidak dapat diperoleh data sedikitpun dari para informan. Dalam penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari informasi yang didapatkan melalui penelusuran dokumen dan arsip serta beberapa penelitian terhadap peternakan sapi perah di Pangalengan. Kehadiran ternak sapi perah di Indonesia khususnya di Jawa Barat berdasarkan penelusuran dokumen dan arsip yaitu sebelum tahun 1860 dimana ternak sapi perah masuk ke Desa Pangalengan dan dipelihara oleh beberapa keluarga Belanda (Homzah, 1986). Selanjutnya, informasi kehadiran ternak sapi perah menjadi sebuah peternakan pertama di Indonesia khususnya Bandung (lembang dan Pangalengan) terjadi pada tahun 1880 dengan mengimpor sapi Friesian Holstein (FH) dari Belanda (Indonesian Commercial Newsletter, 14 Mei 2002). Hal tersebut senada dengan Dasuki (1983), menyatakan bahwa ternak sapi perah bangsa Fries Holland telah lama di datangkan ke Indonesia sejak sebelum abad ke-19. Setidaknya sebelum tahun 1900 atau pada terakhir abad ke 18 ternak sapi perah sudah berada di Pangalengan dan berkembangan hingga sekarang6. Peternakan sapi perah dari bangsa Fries Holland dikelola oleh bangsa Belanda dan akhirnya terbentuklah beberapa perusahaan peternakan sapi perah antara lain De Friesche Terp, Almanak, Bigman, dan Els. Berdasarkan data dari Indonesian Commercial Newsletter (27 April 1999) menyebutkan bahwa pada tahun 1891 usaha peternakan sapi perah mulai dilaksanakan dengan empat perusahaan peternakan sapi perah yang berada di Pangalengan. Kondisi ini merupakan program kampanye untuk mengkonsumsi susu bagi tentara kolonial 6
Dds (60 tahun), Wawancara tanggal 4 Mei 2012. Pada Jaman Belanda sudah hadir ternak sapi perah dan berdiri beberapa perusahaan peternakan sapi perah dari bangsa Fries Holland yaitu sebelum tahun 1900 dan salah satu perusahaan yang terkenal hingga sekarang ini adalah Almanak. Perusahaan tersebut menjadi titik awal dalam pengembangan sapi perah di Pangalengan. Kolonial Belanda awalnya tidak fokus terhadap dunia peternakan (sapi perah) mereka lebih mengarah kepada hasil perkebunan terutama kina dan kopi.
47
Belanda yang ada di Indonesia sehingga langkah yang konkrit adalah mengimpor bibit sapi perah dari bangsa FH untuk di ternakan di Jawa. Perjalanan waktu perkembangan sapi perah di Pangalengan melalui perusahaan peternakan sapi perah menjadikan pihak kolonial Belanda melakukan ekspansi di daerah Lembang, Cisarua dan Cimahi. Pada masa ini masyarakat Pribumi (orang asli Pangalengan) dilibatkan dalam kehidupan usaha peternakan sapi perah. Tetap saja secara posisi atau status sosial berada paling bawah yaitu sebagai buruh ternak, yang senantiasa tereksploitasi oleh pihak majikan dalam hal ini adalah kolonial Belanda. Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) oleh pihak kolonial Belanda. Pemasaran susu dari perusahaan peternakan sapi perah pada masa kolonial Belanda didistribusikan ke Bandoengsche Melk Center (BMC)7 sebagai tempat penampungan dan penyaluran yang berada di Bandung. Warga pribumi yang ada disekitar perusahaan dilibatkan dalam kehidupan peternakan sapi perah dan bekerja sebagai buruh. Tidak ditemukan data lengkap tentang berapa jumlah dan posisi pekerjaan dalam perusahaan tersebut. Data menyebutkan bahwa masyarakat sekitar perusahaan dilibatkan menjadi buruh dan buruh ternak inilah yang menjadi cikal bakal peternak rakyat yang ada di Pangalengan. Setelah Belanda mengalami kekalahan dalam menahan serangan tentara Jepang, maka wilayah Indonesia/ Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan penjajah Jepang. Setelah berhasil menundukan Belanda, pemerintah pendudukan Jepang segara melakukan kosolidasi dan melaksanakan agenda-agenda untuk mengontrol semua sektor kehupan rakyat. Dalam hubungan itu sektor perekonomian rakyat juga tidak luput dari kontrol pemerintah pendudukan Jepang. Bahkan mereka lebih keras dibandingkan dengan pemerintah kolonial Belanda. Mobilitas tenaga kerja dan sumber makanan diatur oleh pemerintah dalam kerangkan Perang Dunia II. Tidak lama bangsa Jepang mengusai Indonesia perkiraan tahun 1942 sampai dengan 1945 tetapi memberikan dampak yang dapat dibilang merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia terutama pada masyarakat pedesaan. Dalam rentang kurang lebih tiga tahun Jepang memanfaatkan sumber daya yang ada selain sumberdaya manusia yang tereksploitasi dalam sistem kerja paksa (Romusha)8. Bergulirnya perang dunia ke 2 menjadikan Jepang mempersiapkan amunisi dan logistik untuk siap bertempur dalam upaya memperluas kekuasaannya, hal tersebut menjadikan eksploitasi terjadi di berbagai sektor (peternakan didalamnya). Peternakan sapi perah yang ada di Pangalengan tidak terlepas dari kondisi tersebut sehingga pada masa atau rentang antara peralilah kekuasaan dari kolonial Belanda ke Jepang sampai Indonesia merdeka, menjadikan perusahaan peternakan sapi perah di Pangalengan mengalami kemunduran.
7
Bandoengshe Melk Center atau dikenal dengan BMC Merupakan salah satu tempat di Bandung tepatnya di jalan Aceh No 30 berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan penyaluran susu. Fungsi tersebut dilakukan pada masa pemerintahan kolonial hingga pasca kemerdekaan. Tempat tersebut menjadi bangunan sebagai warisan bersejarah (heritage) kota Bandung dan sekarang dijadikan sebagai rumah makan / Restoran. 8 Memperkerjakan secara paksa rakyat Indonesia (petani) untuk kepentingan Jepang. halnya sama seperti kolonial Belanda dengan tanam kerja paksa.
48
Masa tersebut merupakan yang terburuk bagi perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sulitnya bahan baku pakan terutama konsentrat sehingga produksi susu menurun. Kehadiran Jepang sebagai penjajah membuat kehidupan menjadi semrawut di usaha peternakan sapi perah. Hal tersebut terlihat dari adanya pengurasan ternak sapi, melalui pemotongan ternak secara besar-besaran yang diperuntukan kebutuhan tentara Jepang. Data Bappenas (1999) dalam Firman (2010) menyebutkan pada periode 1942 sampai dengan 1945 populasi sapi (termasuk sapi perah) mengalami penurunan dari 4.604 juta ekor menjadi 3.840 juta ekor atau turun 16,5 %. Hal tersebut terjadi pula di Pangalengan. Periode Perintis (tahun 1945 sampai 1975) Setelah Belanda mengalami kekalahan dalam menahan serangan tentara Jepang, maka wilayah Indonesia/ Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan penjajah Jepang. Setelah berhasil mendudukan Belanda, pemerintahan pendudukan Jepang segera melakukan konsolidasi dan melaksanakan agendaagenda untuk mengontrol semua sektor kehidupan rakyat. Dalam hubungan itu sektor perekonomian rakyat juga tidak luput dari kontrol pemerintah pendudukan Jepang, bahkan mereka lebih keras atau agresif diberbagai hal dibandingkan dengan pemerintahan kolonial Belanda serta pendudukan Jepang melakukan mobilitas tenaga kerja dan sumber makanan diatur oleh pemerintah dalam kerangka Perang Dunia II. Perubahan-perubahan besar terjadi setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Perubahan itu tidak hanya menyangkut status Indonesia yang menjadi negara merdeka, tetapi juga konsekuensi yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagai negara merdeka. Setelah memasuki periode kemerdekaan Indonesia menjadikan negara yang bebas dan merdeka dan siap membangun negaranya merupakan idealis dari para negarawan Indonesia. Tetpai hal tersebut tidak begitu mudah dikarenakan Indonesia harus berhadapan kembali dengan kekuatan Belanda yang ingin kembali menegakan pemerintahan kolonial di Indonesia. Dengan adanya kenyataan seperti itu maka meletuslah perang kemerdekaan antara Indonesia dengan Belanda. Perang kemerdekaan ini juga membawa dampak tertentu terhadap aktivitas kehidupan masyarakat Jawa Barat terutama Bandung. Sejarah mencatat bahwa rencana wilayah Bandung akan dijadikan sebagai markas startegis militer Inggris dan sekutunya maka wilayah Bandung tersebut dibumihanguskan atas prakarsa dan diskusi antara Sutan Sjahrir dengan Jend. A.H. Nasution. Dengan kejadian Bandung Lautan Api masyarakat di daerah Bandung banyak mengungsi ke daerah selatan. Hal tersebut mempengaruhi dinamika masyarakat di Pangalengan dalam hal menyedian pakan dan distribusi susu di Bandung. Awal kemerdekaan menjadi bagian pertama atau babak dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Pangalengan. Empat Perusahaan yang berkembangan di Pangalengan hanyalah tinggal sepenggal sejarah yang menjadikan Pangalengan sebagai sentra peternakan sapi perah. Awal kemerdekaan populasi ternak sapi mengalami penurunan dikarenakan kondisi negara masih belum aman dan stabil dalam menjalankan roda pemerintahan.
49
Ditambah agresi militer Belanda yang terjadi di Indonesia. Keadaan awal kemerdekaan dalam pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan masih bersifat tradisional. Peternakan yang berkembang adalah peternakan rakyat dengan penguasaan ternak skala kecil. Pada tahun 1949 terbentuk kelembagaan lokal atas inisiatif para tokoh di Pangalengan. Kelembagaan lokal tersebut hampir meyerupai koperasi peternakan dengan nama GAPPSIP. Dalam upaya pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia, selain membentuk kelembagaan lokal pemerintah juga mengusahakan dengan mengimpor sapi Fries Holland dari Denmark melalui PN Perhewani pada tahun 1962 dan pada tahun 1964 dilanjutkan kembali untuk mengimpor sapi Fries Holland dari negeri Belanda yang disertai dengan kartu silsilah lengkap. Pengimporan bibit sapi perah tersebut dimaksudkan untuk mengingkatkan mutu sapi-sapi perah di Indonesia yang akhirnya akan meningkatkan produksi susu (Sudono, 1983). Kiprah dan sepak terjang GAPPSIP di Pangalengan dapat diandalkan dan dapat bertahan hingga kurun waktu ± 10 tahun dari awal berdirinya. Gappsip mengkordinir dan menampung susu serta melakukan pemasaran ke Bandung. Karakteristik susu yang mudah cepat rusak dan tidak tahan lama menjadikan bahwa penjualan harus segera dilakukan pada hari itu juga. Keberlanjutan Gappsip hanya sampai di tahun 1963, setelah itu kondisi peternakan di Pangalengan mengalami ketidakpastian dalam penyaluran komoditi susu. Dampak yang dirasakan ketika Gappsip mengalami kebubaran adalah pemasaran susu tergantung dari masing-masing peternak. Dengan kondisi seperti itu, para kolektor (penampung susu) mulai bermunculan layaknya jamur yang mengambil alih peran dari Gappsip. Disini tidak ada bargaining position bagi peternak dalam menentukan harga melainkan para kolektor yang memiliki peran tersebut. Keberadaan para kolektor di Pangalengan lumayan bercokol cukup lama, dengan hal tersebut bahwa peternak tidak memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya terlebih upaya atau kempuan peternak untuk menjual produksi susu keluar Pangalengan terbatas dengan kemampuan modal yang ada. Hal tersebut menjadikan peternak apatis terhadap kehidupan menjadi peternak sapi perah. Ada yang masih bertahan sebagai peternak sapi perah ada juga pindah mata pencaharian menjadi buruh tani dan lain-lain. Dengan kondisi tersebut, pada tahun 1969 sebagai tahun dimulainya pembangunan diberbagai sektor yang digalakan oleh pemerintah maka tepatnya pada tanggal 1 April 1969 di bentuk sebuah koperasi peternakan sapi perah di Pangalengan yaitu KPBS. KPBS yang berbadan hukum ini memiliki fungsi yang hampir sama dengan Gappsip yang dulu, yang membedakan adalah menyediakan berbagai sarana dan prasarana bagi ternak ataupun peternaknya, serta memiliki akses yang besar untuk pendistribusian dan pemasaran. Pada masa orde baru perhatian dalam pengembangan peternakan sapi perah mulai menggeliat dan difokuskan pada kegiatan rehabilitasi, konsolidasai dan peningkatan produksi pada populasi ternak. Pengembangan peternakan sapi perah baik di pedesaan maupun di sekitar kota, diusahakan melalui penyediaan dan pengadaan bibit unggul, intensifikasi inseminasi buatan serta usaha penyediaan pakan ternak bermutu. Selain itu upaya perbaikan penyaluran susu, dibina organisasi dan peningkatan fasilitas pemasaran serta pengolahan, perbaikan mutu, dan nilai kebersihannya.
50
Perencanaan dan implementasi dari program pemerintah dapat dirasakan oleh peternak sapi perah di Pangalengan, baik langsung kepada peternak maupun melalui koperasi peternakan. Disamping peran pemerintah dalam upaya pengembangan peternakan sapi perah, pemerintah juga sudah mulai untuk merencanakan Penanaman Modal Asing (PMA) melalui investasi terhadap Industri Pengolahan Susu. Bebrapa IPS yang menjalin kerja sama dengan pihak koperasi antara lain PT. Indomilk, FFI (Frisian Flag Indonesia), dan PT. Ultra Jaya Milk Indonesia. Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) Pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan mulai terlihat akan peningkatan dan dapat dikatakan sebagai masa menuju keemasan, hal tersebut dapat dilihat baik dari aspek kualitas maupun kuantitas komoditi produksi susu yang dihasilkan oleh para peternak dan disetorkan kepada koperasi. Selanjutnya, upaya yang menonjol pada periode ini atau sekitar tahun 1979-an dikembangnya penyediaan fasilitas kredit melalui sistem Panca Usaha yang dibarengi dengan meningkatkan fungsi koperasi sapi perah sebagai pengumpul dan pengolah produksi susu dalam negeri. Pembangunan di Indonesia mengadopsi pembangunan konsep Rostow yiatu ada 5 tahapan pembangunan. Salah satu tahapan yaitu era tinggal landas. Pada masa ini merupakan proses kemajuan menuju masyarakat yang maju, adil, makmur, dan lestari yang ditandai oleh tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi, efisien dan mendorong kreativitas serta partisipasi masyarakat. Wawasan pembangunan pada era ini harus dipandang sebagai industri biologis yang dikendalikan manusia dengan empat aspek (Soehadji, 2009) yaitu: 1) peternak sebagai subyek pembangunan yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejateraannya, 2) ternak sebagau obyek pembangunan yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, 3) lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya yang harus diamankan, dan 4) teknologi sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan peternakan. Pengimplementasian wawasan pembanguan peternakan dalam hal ini komoditas ternak sapi perah mengetengahkan pendekatan dengan konsep Industri Peternakan sapi perah Rakyat (Innayat), sebagai usaha peternakan yang bukan lagi mengimplemtasikan usaha peternakan tradisional. Pendekatan tersebut dilakukan sejak pengadaan dan penyaluran sarana produksi, budidaya, pengolahan sampai pemasaran. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi susu maupun populasi ternak sapi perah nasional. Dinamika perkembangan peternakan sai perah baik dalam lingkup lokal maupun nasional memberikan warna dalam kehidupan para peternak sapi perah. Dimulai dari ketidakmampuannya kelembagaan lokal seperti Gappsip yang ada di Pangalengan yang tidak dapat bertahan dikarenakan situasi sosial, ekonomi dan politik di negara kita pada saat itu keadaan negara belum stabil, peran IPS yang belum dapat diandalkan untuk menyerap produksi susu dari peternakan rakyat, dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten mengenai penetapan tarif bea masuk susu impor yang berupa susu bubuk, serta yang terbaru adalah kebijakan pemerintah mengenai Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang dapat dirasakan imbasnya oleh peternak sapi perah dimana sapi perah yang
51
orientasikan produksinya adalah susu segar berubah menjadi daging sapi dikarenakan harga daging sapi dipasaran sangat menggiurkan yaitu kurang lebih Rp 75 000/ kg. Keberlanjutan peternakan sapi perah tidak dapat dilepaskan dari kelembagaan lokal seperti koperasi. Fungsi koperasi disini sebagai penampung dan penyaluran susu ke IPS selain koperasi tersebut memiliki Milk Treatment sebagai tempat penyimpanan dan pengolahan susu di koperasi. Sangatlah sulit bagi peternak sapi perah jika tidak terdapatnya koperasi primer. Dengan koperasi menjadikan kehidupan peternak menjadi lebih aman dalam hal penyaluran dan penampungan susu. KPBS Pangalengan sebagai koperasi primer yang sudah berdiri sejak tahun 1969 hingga saat ini memberikan dampak yang baik bagi kehidupan masyarakat Pangalengan. Hal tersebut dikarenakan memberikan peluang bagi masyarakat Pangalengan menjadi sebagai usaha pengganti selain pertanian atau perkebunan ditambah membuka lapangan pekerjaan. Data perkembangan sapi perah dari awal berdiri sampai dengan sekarang mengalami pertambahan yang luar biasa, terlihat area kerja KPBS yang awalnya hanya satu tempat saja yaitu Kecamatan Pangalengan sekarang bertambah menjadi dua wilayah kerja diantaranya Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet. Perkembangan peternakan sapi perah di wilayah Bandung selatan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat (lampiran 2). Tampak bahwa waktu mulai berdirinya KPBS pada tahun 1969 sampai dengan tahun 1977 populasi ternak sapi perah belum mengalami kenaikan dan penurunan secara drastis, hal tersebut dikarenakan kondisi KPBS yang masih mulai dalam pembenahan institusi dan mulai untuk membuka peluang terhadap mitra dalam penampungan akhir produksi susu yaitu Industri Pengolahan Susu. Selanjutnya, setelah tahun 1977 hingga tahun 1987 populasi ternak sapi perah di wilayah Bandung selatan yaitu Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet mengalami pertambahan populasi yang sangat besar. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1978-an keran impor sapi perah berlangsung yang ditujukan kepada peternak yang sudah lama maupun peternak baru yang mau bergabung masuk kedalam anggota KPBS. Mereka memperoleh ternak sapi perah melalui kredit yang bekerja sama dengan bank BRI. Bertambahnya populasi ternak sapi perah sejalan dengan meningkatnya produksi susu yang dihasilkan. Makin banyak jumlah ternak sapi perah makin tinggi produksi susu yang dihasilkan makin besar pendapatan yang diperoleh. Penambahan populasi ternak sapi perah yang tampak pada tabel 10 dengan penambahan atau penurunan pertahunnya memberikan gambaran bahwa dinamika kehidupan peternakan sapi perah di wilayah Bandung Selatan sanagat dinamis. Rasionalitas terjadi dalam peternak sapi perah sehingga langkah konkrit apa yang dapat dilakukan demi peningkatan produksi susu ataupun bertambahnya populasi ternak yang dimiliki. Berbagai upaya dilakukan melalui hubungan produksi dengan mekanisme berbagai bantuan atau kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi perah. Sebagai salah satu contoh yang diriwayatkan oleh beberapa peternak mengenai bantuan yang datang ke Pangalengan yaitu dimana pada tahun 2010 terjadi gempa bumi yang lumayan cukup besar yang berdampak pada kerusakan kandang hingga matinya ternak sapi perah. Berbagai bantuan datang menghampiri masyarakat yang terkena musibah tersebut dari mulai moral, materil
52
ataupun ternak sapi perah itu sendiri. Sementara itu, kebijakan pemerintah mengenai PSDSK memberikan dampak yang buruk terhadap keberlangsungan peternakan sapi perah. Hal tersebut terlihat pada tahun 2011 sampai dengan 2012 tercatat sekitar 5.000 ekor lebih ternak sapi perah tidak ada di wilayah atau area kerja KPBS. Hal tersebut berdampak terhadap keberlanjutan koperasi dan menjadikan peternak sapi perah menjadi ketergantungan terhadap bandar atau jagal (RPH) karena dengan harga yang lumayan menggiurkan bagi peternak. Selama kurun waktu kurang lebih 44 tahun KPBS Pangalengan berdiri, tampak pada tabel bahwa populasi ternak sapi perah pada tahun 1969 sampai dengan 2012 mengalami peningkatan sebesar 6,5 kali dari jumlah 2.608 ekor pada tahun 1969. Apabila dilihat dari produksi susu pertahun pada tahun 1969 adalah 1.360.468 liter, sedangkan pada tahun 2012 adalah 44.118.384 liter/ tahun. Ini menunjukan kenaikan prooduksi susu sebesar 32 kali selama kurang lebih 44 tahun KPBS berdiri. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan sebesar 6.5 kali populasi ternak sapi perah diikuti dengan naiknya produksi susu sapi perah sebesar 32 kali selama 44 tahun terakhir terjadi di wilayah kerja KPBS Pangalengan. Faktor-faktor yang mengakibatkan kenaikan produksi susu lebih tinggi di bandingkan dengan kenaikan populasi sapi perah adalah sebagai berikut : 1. perbaikan bibit ternak sapi perah yang selalu update, pada mulanya peternak menggunakan bibit Peranakan Fries Hollands (PFH) terus mengalami kondisi perbaikan bibit melalui keran impor sehingga diperoleh bibit sapi perah yang berkualitas. 2. Sebagai akibat dari “kawin suntik” atau articicial insemination atau yang lebih dikenal dengan IB (Inseminasi Buatan), menghasilkan sapi perah yang lebih baik dibandingkan dengan PFH sebelumnya. Terlebih daerah Lembang Kabupaten Bandung Barat didirikan Balai Inseminasi Buatan yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan semen beku. 3. Perbaikan kualitas makanan ternak dengan didukung makanan penguat (konsentrat) 4. Tim medis ternak sudah di terjunkan sehingga mengurangi kematian ternak sapi perah 5. Dilihat dari aspek kelembagaan, pengaruh peranan KPBS Pangalengan yang semakin baik mampu memberikan pelayanan-pelayanan yang menguntungkan peternak. Bentuk pelayanan antara lain : a) memberikan kredit ternak sapi perah, b) penyediaan makan ternak, c) sarana kesehatan ternak dan peternak sapi perah, d) memberikan harga produksi susu yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang terjadi, e) didirikannya sarana yang menunjang dalam proses produksi susu seperti transportasi ataupun tempat penampungan susu yang tidak jauh dari peternak sapi perah, dan f) didirikannya bank perkreditan rakyat yang manfaatnya dapat dirasakan oleh anggota KPBS Pangalengan.
Ikhtisar Kondisi geografis dan ekologis di daerah pegunungan selatan Kabupaten Bandung yaitu Pangalengan sangat potensial bagi pembudidaya peternakan sapi
53
perah telah memprekondisikan wilayah ini memiliki sejarah yang panjang dalam pengusahaan ternak sapi perah. Pengusahaan ternak sapi perah telah mewarnai baik sejarah, ekonomi, sosial budaya maupun politik di daerah pegunungan Pangalengan. Pada masa kolonialisme Belanda kurang lebih sekitar tahun 1880 atau sebelum abad ke 19, sapi perah dari bangsa Fries Holland (FH) sudah berada di Indonesia khususnya pulau Jawa melalui proses impor dari negara Belanda. Perkembangan peternakan sapi perah semakin maju terbukti dari adanya perusahaan peternakan sapi perah di daerah Pangalengan antara lain : de Friesche Trep, Almanak, Van der Est dan Bigman. Dibangunnya perusahaan ini tidak lain adalah diperuntukan bagi kolonial Belanda yang ada di sekitar Pangalengan dan di Bandung. Perusahaan peternakan sapi perah dikelola oleh pihak kolonial Belanda dan sebagai buruh ternaknya adalah masyarakat Pangalengan dan hasil produksi susu didistribusikan ke Bandoengsche Melk Center (BMC). Dalam konteks perpolitikan luar negeri, bangsa Jepang akhirnya menjadi penjajah di Indonesia menggantikan Kolonial Belanda. Berbagai sektor dikelola oleh pihak Jepang tidak terlepas perusahaan peternakan sapi perah yang berada di Pangalengan. Tidak lama Jepang menguasai Indonesia kurang lebih 3 tahun setengah tetapi kondisi kehidupan bangsa Indonesia porak-poranda. Dieksploitasinya berbagai sumberdaya. Di sektor peternakan, populasi ternak sapi perah menurun karena sebagian ternak sapi perah yang harusnya diorientasikan sebagai penghasil susu tetapi malah sebaliknya. Konsumsi daginglah menjadi prioritas utama untuk kebutuhan tentara Jepang. Hal tersebut berdampak pada menurunnya jumlah populasi ternak sapi perah. Kekalahan Jepang dalam perang dunia ke II mengantarkan jepang untuk keluar dari wilayah negara Indonesia. Disektor peternakan khususnya sapi perah di Pangalengan yang sebelumnya dikelola oleh pihak Jepang akhirnya di sebar ternak tersebut ke para pegawai ataupun masyarakat sekitar Pangalengan. Awal kemerdekaan sampai dengan sekarang, cikal bakal peternakan rakyat sudah ada di Pangalengan. Terlebih pada tahun 1949 dibentuknya GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan). Kelembagaan ini hampir menyerupai koperasi. Fungsi dan perannya sangat bermanfaat bagi masyarakat Pangalengan. Akhirnya dengan kondisi kehidupan perpolitikan di negara Indonesia yang masih labil akhirnya bubar dan sebagai pegantinya, pada tahun 1969 dibentuk sebuah koperasi primer peternakan sapi perah yaitu KPBS (Koperasi Peternakan bandung Selatan) yang berbadan hukum. Institusi ini memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat Panglengan. Dinamika perkembangan terjadi di lembaga ini, mulai dari kurangnya bibit, keberadaan cooling unit ataupun Milk Treatment, penyediaan ternak melaui kredit, masalah hubungan sosial, dan kebijakan pemerintah yang tidak selalu meihak kepada peternak sapi perah. Dalam konteks ini dapat dikemukakan, bahwa pengembangan pengusahaan ternak sapi perah sejak jaman kolonial Belanda sampai dengan Indonesia kontemporer menunjukan dinamika dan perubaha-perubahan penting terutama dalam tingkat struktur atau „pemain‟ dalam peternakan sapi perah sebagaimana tampak pada matrik tabel 11.
54
Tabel 11. Struktur „pemain‟ Pada Peternakan Sapi Perah Periode
Pemain
Pola Hubungan
Posisi Peternak
Kolonial Belanda
- Pemerintah kolonial - Dinas Kehewanan / Jawatan Kehewanan - Perusahaan Peternakan Sapi Perah - Buruh Ternak (pribumi)
Industrial Monopolistik
Dominasi kekuatan kapitalis
Imperialis Jepang
- Pemerintah Jepang - Dinas Kehewanan - Perusahaan Peternakan Sapi Perah - Buruh ternak (pribumi)
Industrial Monopolistik
Dominasi kekuatan kapitalis
Awal Kemerdekaan
-
Peternak skala kecil Kelembagaan lokal Kolektor Pedagang Buruh Ternak
Saling ketergantungan
Peternak dalam kontrol kolektor dan kelembagaan lokal (Gappsip)
Indonesia Kontemporer
- Pemerintah (Perdagangan, dan Peternakan ) - Koperasi - Perusahaan Peternakan Sapi Perah - Pedagang - Pengusaha - Peternak (Subsisten, menengah dan Besar) - Buruh ternak
Saling ketergantungan
Peternak dalam kontrol dan pengelolaan koperasi
55
V DINAMIKA MODA PRODUKSI DI BIDANG PETERNAKAN DAN PEMBENTUKAN FORMASI SOSIAL Pemahaman moda produksi mengacu pada “mode of production” yang merupakan kombinasi dan dua elemen penting yang saling terkait, yaitu “force of production” (kekuatan produksi) dan “relation of production” (hubungan produksi) yang membahas mengenai realitas sosial dalam membentuk sebuah sejarah yang spesifik dari organisasi sosial. Secara umum, moda produksi merepresentasikan “cara” yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses produksi (way of production) guna menyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan materil (Shanin, 1990). Pada bagian ini, perspektif moda produksi di tinjau dari aspek historis. Hal tersebut bertujuan untuk memetakan tipe-tipe moda produksi yang hadir dari masa ke masa serta formasi sosial yang terbangun di Pangalengan. Sebagaimana telah di bahas pada bab sebelumnya, bahwa pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan terjadi dalam beberapa periode, diantaranya : periode penjajahan (sebelum tahun 1945), Periode Perintis (1945 sampai 1975) dan Periode kontemporer (1975 sampai sekarang). Pembagian periode tersebut berdasarkan faktor dominan yang mempengaruhi moda produksi perkembangan peternakan sapi perah di Pangalengan sehingga terjadi perubahan-perubahan dalam struktur komunitas peternak sapi perah.
Moda Produksi pada Periode Penjajahan (Sebelum tahun 1945) Periode ini merupakan awal dari pembentukan usaha peternakan sapi perah, diawali dari masa kolonial Belanda dilanjutkan dengan penjajahan oleh Jepang. Periode penjajahan ini merupakan masa pembentukan formasi sosial capitalist awal, hal tersebut di tandai dengan masuknya moda produksi capitalist kolonial melalui perkebunan sebagai artikulasinya9 dan dilanjutkan dengan peternakan sapi perah sebagai artikulasinya. Eksploitasi terhadap hasil perkebunan seperti teh, kopi dan kina merupakan komoditi komersial tinggi yang digunakan untuk ekspor, hal tersebut bertolak belakang atau berbeda dengan peternakan sapi perah yang sudah masuk ke Indonesia khususnya Pangalengan sebelum abad ke-19 atau sekitar tahun 1880-an. Pemerintah kolonial Belanda mengimpor sapi dari bangsa Fries Hollands ke Indonesia dengan orientasi awal adalah pengembangkan peternakan sapi perah yang berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan para penjajah dalam mengkomsumsi susu dan selanjutnya terjadi komersialisasi. Penyebaran ternak sapi di daerah Pangalengan pada periode ini tidak sebanyak yang sekarang. Namun, dengan waktu berjalan akhirnya didirikan empat perusahaan peternakan sapi perah yang berkembang di Pangalengan 9
Mengartikulasikan dan mengkontruksi bagaimana moda produksi pada masa kolonial terbentuk atau hadir pada masa ini didasarkan pada wawancara terhadap tokoh atau sesepuh orang tua yang dahulu pernah bekerja di perkebunan dan digabungkan dengan kontruksi yang telah dilakukan peneliti lain untuk di daerah pegunungan di jawa.
56
diantaranya de Friesche Trep, Almanak, Van der Est dan Bigman. Kempat perusahaan ini diorientasikan kepada komoditi produksi susu dengan penyebaran di daerah Pangalengan dan diwilayah Bandung dan sekitarnya. Menurut TRM (perangkat desa, 56 tahun) bahwa dahulu ada perusahaan peternakan sapi perah di daerah kami (sekarang berada di wilayah Desa Margamekar) yang lumayan cukup besar dengan nama Almanak. Sedangkan keberadaan tiga perusahaan lainnya berada di wilayah Pangalengan tetapi untuk posisi tepatnya semua informan tidak mengetahuinya. Pangalengan dulu dan sekarang berbeda, yang membedakannya adalah dulu hanya satu wilayah yaitu pangalengan saja tetapi sekarang terjadi pemekaran sehingga Kecamatan Pangalengan terbagi menjadi 13 Desa. Menurut DDS (Tokoh Masyarakat, 60 tahun) menyebutkan bahwa nama Pangalengan yang sekarang berasal dari kata pengalengan, yang menurut informan menyebutkan bahwa kantor Kecamatan yang sekarang berdiri dan tegak dan bersampingan dengan terminal bis merupakan tempat pengalengan kopi. Komoditas utama dari pangalengan pada periode ini adalah disektor perkebunan antar lain kopi, teh dan kina. Produksi perkebunan tersebut berorientasi ekspor dengan perusahaan sebagai unit produksinya. Teknologi budidaya dan alat yang digunakan perkebunan lebih modern. Paling tidak sudah diperkenalkan mesin angkut dan pengolahan hasil perkebunan. Tenaga kerja mengandalkan buruh upahan sehingga hubungan sosial produksi lebih cenderung kearah hubungan hierarkis. Awal pembentukan moda produksi yang diartikulasikan peternakan sapi perah terus berjalan hingga saat ini, moda produksi peternakan sapi perah di Pangalengan pada waktu periode ini hanya satu yang terbentuk dan tidak memunculkan moda produksi peternakan sapi perah yang lain. Hal tersebut dikarenakan kekuasaan kolonial Belanda sangat besar dan kuat, sehingga tidak memungkinkan munculnya tipe-tipe moda produksi yang lain. Kekuatan Produksi Artikulasi Moda produksi usaha peternakan sapi perah dengan kekuatan produksi (alat produksi, modal, unit produksi, dan tenaga kerja utama) dan hubungan produksi (batas sosial hubungan produksi, struktur hubungan produksi, dan sifat produksi hubungan produksi) berkembang di Pangalengan pada masa penjajahan. Kekuatan produksi peternakan sapi perah mengandalkan kemampuan modal uang untuk menggerakan usaha peternakan sapi perah. Tidak ada segala kebutuhan tidak membutuhkan uang, meskipun lahan yang ada dapat dimiliki secara gratis tetapi biaya operasional lainnya membutuhkan biaya. Dukungan pendanaan yang kuat diperlukan untuk mengimpor sapi dari tempat asalnya dan mendatangkannya ke Pangalengan. Walaupun jalan menuju Pangalengan sudah di buka aksesnya dengan mengembangkan di sektor perkebunan. Tetapi hal tesebut tetap menjadi suatu perhatian dalam mengoperasionalkan usaha peternakan sapi perah. Selain pengadaan ternak melalui impor, modal uang digunakan untuk pembangunan kandang, penyediaan pakan (konsentrat), mengupah buruh, membeli alat-alat pendukung produksi dan lain-lain. Alat produksi yang utama sebagai salah satu kekuatan produksi adalah lahan dan ternak sapi itu sendiri. Jenis sapi yang dikembangkan di pangalengan
57
adalah jenis atau bangsa Fries Holland yang berasal dari Belanda. Adapun ciriciri dari sapi perah FH adalah 1) berwarna belang hitam dan putih, atau coklat dan putih, 2) pada kaki bagian bawah dan ekornya berwarna putih, 3) tanduk pendek dan mengahadap ke muka, 4) terkadang pada dahinya terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga, 5) sifatnya jinak dan mudah dikuasai, 6) tidak tahan panas, 7) lambat dewasanya, 8) berat badan jantan rata-rata 850 kg atau lebih, sedang yang betina bisa mencapai 650 kg, dan 9) tubuhnya tegap. Artikulasi peternakan sapi perah hampir sama dengan artikulasi perkebunan dalam cara atau moda produksi, yang membedakan adalah penggunaan alat teknologi. Kekuatan produksi peternakan mengandalkan kemampuan modal untuk menggerakan produksi. Ternak sapi perah sebagai kekuatan produksi utama dilanjutkan dengan lahan dalam pengembalaan atau penyediaan hijauan, serta kandang yang disiapkan untuk ternak sapi. Berdasarkan organisasi atau unit produksi bahwa peternakan sapi perah yang berada di Pangalengan pada periode ini adalah berbentuk perusahaan. Dengan organisasi atau unit produksi usaha peternakan sapi perah adalah sebuah perusahan, maka pastilah bahwa para pekerja atau buruh ternak yang dilibatkan adalah masyarakat sekitar perusahaan. Karakteristik penjajah dan lamanya menjajah di Indonesia akan membedakan terhadap moda produksi usaha peternakan sapi perah yang berkembang di Pangalengan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pada masa kolonial Belanda tidak ada upaya bagi masyarakat untuk dapat mengakses terhadap kekuatan produksi yang ada adalah mereka selalu menjadi buruh ternak. Berbeda dengan kondisi pada masa pendudukan Jepang, kekuatan produksi tetap di kuasai oleh Jepang tetapi sebagian buruh ternak sudah dapat memelihara ternak yang sudah afkir tetapi masih berproduksi. Hal tersebut dikarenakan bahwa kondisi penjajah Jepang masih dalam kondisi yang tidak aman, dan membutuhkan logistik untuk siap berperang. Dengan kondisi yang terjadi pada masa pendudukan Jepang terdapat moda produksi subsistence dalam usaha peternakan sapi perah yang dikelola oleh masyarakat sekitar perusahaan dalam hal ini adalah buruh ternak. Kekuatan produksi dalam usaha peternakan sapi perah rakyat antara lain : bahwa modal dalam artian uang adalah sangat terbatas, pengadaan sapi diperoleh dari pemberian dari pihak Jepang dikarena telah bekerja sebagai buruh ternak di perusahaan sapi perah, lahan yang dipergunakan untuk kandang terbatas dengan artian ternak sapi perah dipelihara di samping atau dibelakang rumah. Selanjutnya kekuatan produksi yang berkembang untuk peternakan sapi perah secara subsistence antara lain : organisasi atau unit produksi dan tenaga kerja utama dilakukan oleh keluarga inti (semua terlibat dalam struktur keluarga). Hubungan Produksi Hubungan produksi dalam moda produksi capitalist kolonial usaha peternakan sapi perah tercermin dari batasan sosial. Batas sosial yang terbentuk adalah perusahaan dengan jelas berbagai aturan dalam pelaksanaan kegiatan produksi peternakan sapi perah serta perhitungan dalam analisis pengeluaran dan pemasukan keuangan. Dalam situasi sekarang, jika perusahan berdiri dan menggerakan produksi suatu barang maka pembagian yang tampak diperusahaan
58
tersebut didasarkan atas tingkatan atau level yang diperolehnya. Hal tersebut akan sama dan terjadi pada perusahaan peternakan sapi perah yaitu sudah jelas tentang pembagian kerja serta akses yang diperoleh dari masing-masing pekerja dalam suatu struktur pekerjaan. Buruh ternak jika dipandang dari stratifikasi dalam suatu perusahaan maka buruh ternak mendapati pada level yang paling bawah. Selanjutnya, mandor, manajer hingga sampai pemilik. Hal inilah yang menjadikan struktur hubungan produksi menjadi suatu hierarkis atau adanya suatu tingkatan dalam pekerjaan, seperti antara majikan dan buruh dimana terdapat jarak diantara mereka sehingga akan memunculkan bahkan dialami oleh setiap buruh yaitu adanya eksploitatif dalam mengerjakan aktivitas pekerjaannya. Perkembangan cara produksi capitalist Belanda di Pangalengan tidak dapat dipisahkan dari skema kapitalisme kolonial secara nasional dan dunia. Masuknya moda produksi capitalist kolonial yang diartikulasikan pada peternakan sapi perah selain perkebunan teh dan kina di Pangalengan secara perlahan mengintegrasikan ekonomi desa pada aktivitas peternakan. Tenaga kerja yang dulunya hanya untuk pertanian keluarga terseret menjadi buruh upahan dalam perusahaan peternakan sapi perah milik kolonial Belanda. Hal lain dengan pendudukan Jepang dengan waktu yang cukup singkat tersebut ditambah kebutuhan tentara Jepang untuk mempertahankan dan ekspansi wilayah dalam perang dunia II menjadikan perhatian tidak maksimal dalam pengembangan peternakan sapi perah yang sudah di rintis sebelumnya oleh pihak kolonial Belanda. Hal ini yang menjadi para buruh ternak dapat memelihara ternak sapi perusahaan dilingkungannya. Moda produksi subsistence yang terbentuk pada usaha peternakan rakyat, memberikan informasi tentang hubungan produksi. Batas sosial yang terbentuk dalam usaha peternakan sapi perah adalah keluarga inti yang terlibat. Tidak ditemukan hubungan produksi seperti di perusahaan yaitu buruh dan majikan, sedangakan struktur hubungan produksi adalah egaliter antar sesama anggota keluarga. Hal lain yang di perhatikan adalah bagaimana sifat dari hubungan produksi yang terbentuk. Sifat hubungan produksi adalah tidak ditemukannya eksploitatif terhadap unit atau orrganiasi produksi. Mengenai aspek moda produksi yang berkembang pada periode penjajahan (sebelum tahun 1945) terdapat pada tabel 12. Tabel 12. Moda produksi Capitalist Kolonial Belanda dan subsistence Aspek Moda Produksi Capitalist Kolonial Subsistence A 1
Kekuatan Produksi Alat Produksi
2 3
Organisasi (unit) Produksi Tenaga Kerja Utama
B 1 2
Hubungan Produksi Batas Sosial Hubungan Produksi Struktur Hubungan Produksi
3
Sifat Hubungan Produksi
Ternak Sapi perah & Lahan Perusahaan Buruh Upahan
Ternak Sapi perah & Lahan Keluarga Inti Keluarga Inti
Perusahaan Hierarkis (majikan dan buruh) Eksploitatif
Keluarga Inti Egaliter (antar keluarga inti) Non-Eksploitatif
59
Formasi Sosial Capitalist Formasi sosial sering digunakan untuk mengetahui tipe-tipe moda produksi mana yang tumbuh dan berkembang serta dari moda produksi tersebut mana yang mendominasi. Melihat struktur perekonomian lokal di Pangalengan Jawa Barat bahwa moda moda produksi capitalist kolonial yang diartikulasikan pada perkebunan teh, kina dan kopi berkembang pada periode kolonial Belanda. Sementara itu usaha peternakan sapi perah baru muncul pada abad ke-19 akhir. Dengan dibukanya perkebunan tersebut, maka penyedia buruh adalah masyarakat Pangalengan sekitar ataupun yang di luar wilayah Pangalengan sehingga terjadi pengintegrasian seluruh ekonomi desa pada aktivitas perkebunan. Produksi lokal yang sebelumnya hanya untuk keluarga dipaksa untuk dapat memenuhi kebutuhan buruh. Selain itu tenaga kerja yang dulunya hanya untuk pertanian keluarga terseret menjadi buruh upahan, serta siap mengikuti aturan-aturan yang diterapkan di perkebunan. Setelah memperhatikan pembentukan moda produksi baru yaitu melalui penetrasi oleh pihak kolonial Belanda maka tidak menutup kemungkinan bahawa pihak kolonial Belanda akan membentuk moda produksi baru dengan komoditas baru pula. Melalui inisiatif kolonial Belanda akhirnya di tahun 1860-an ternak sapi perah masuk di Pangalengan dan berkembang menjadi perusahaan peternakan sapi perah. Perkembangan peternakan sapi perah di Pangalengan pada periode penjajahan kolonial Belanda mengupayakan sistem yang digunakan atau moda produksi yang dibentuk diselaraskan dengan perkebunan teh, kina atau kopi. Bagian yang membedakan adalah kekuatan produksi yaitu ternak sapi perah. Ternak sapi perah didatangkan langsung dari tempat aslinya yaitu negeri Belanda dari bangsa sapi FH. Hubungan produksi usaha peternakan sapi perah memiliki kesamaan dengan hubungan produksi perkebunan, sehingga moda produksi yang terbentuk adalah capitalist. Perpindahan kekuasaan dari penjajah Belanda kepada Jepang, tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat di Pangalengan khususnya buruh ternak, terjadi kerusakan tatanan lokal dan sendi-sendi ekonominya10. Upaya eksploitasi terhadap masyarakat dilakukan serta pengurasan ternak yang ada di perusahaan peternakan sapi perah. Dalam rentang waktu ± 3,5 tahun pendudukan Jepang di Pangalengan, tidak terjadi peningkatan usaha di bidang peternakan sapi perah. Berdasarkan data dari Bappenas yang dikutip oleh Firman (2010) menyebutkan bahwa terjadi pengurasan melalui pemotongan ternak yang besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang. Jumlah penyusutan sapi termasuk sapi perah dari 4,604 juta ekor menjadi 3,840 ekor atau turun sekitar 16,5 %. Produksi susu menurun sebanding dengan kuantitas ternak sapi perah. Dengan kondisi yang tidak stabil dalam usaha peternakans sapi perah banyak sapi perah yang sudah afkir atau tidak berproduksi maksimal dipelihara oleh warga sekitar (buruh ternak). Dengan demikian ternak sapi perah yang berada di buruh ternak menjadi cikal bakal peternakan rakyat di Pangalengan. Dengan kondisi 10
HEM (Tokoh Masyarakat dan peternak sapi perah senior, 73 tahun) mengatakan bahwa pada jaman Jepang, kehidupan terasa berbeda di banding dengan Belanda. Kelayakan hidup serba minim, pakaian yang digunakan terbuat dari karung goni (karung beras), makanan tidak lagi beras tetapi burgur (ampas jagung).
60
tersebut, tergambarkan bahwa peternakan sapi perah yang dikelola di masyarakat menjadikan munculnya moda produksi subsistence. Hasil komoditi produksi susu yang diperoleh belum diorientasikan untuk dijual, terlebih karakter bangsa Indonesia yang jarang minum susu. Artikulasi moda produksi di bidang peternakan yang berlangsung di Pangalengan terutama pada akhir kekuasaan pendudukan Jepang memberikan gambaran bahwa moda produksi capitalist masih menjadi moda produksi yang dominan dibandingkan dengan moda produksi subsistence, sehingga formasi sosial yang terbentuk di Pangalengan pada periode penjajahan adalah moda produksi capitalist.
Moda Produksi pada Periode Perintis (tahun 1945 sampai 1975) Pada periode ini seluruh aktivitas peternakan sapi perah sudah mulai dengan lembaran baru, tidak seperti pada jaman penjajah yang memiliki sifat hubungan produksi eksploitatif. ternak sapi perah yang dipelihara oleh warga sekitar diperoleh sebagai dampak dari menyerahnya jepang terhadap sekutu. Ternak sapi perah yang ada di perusahaan peninggalan Belanda dilimpahkan kepada Jepang selanjutnya dengan kekalahan jepang sisa-sisa ternak banyak dipelihara oleh warga sekitar dan inilah awal atau perintisan usaha peternakan sapi perah rakyat di Pangalengan. Pengembangan peternakan sapi perah tidak semulus apa yang dicitacitakan, tantangan terbesar adalah bagaimana keberlanjutan peternakan sapi perah tetap berjalan sedangkan ketidaktersedianya konsentrat atau pakan pendukung selain hijauan yang susah untuk diperoleh dan juga hasil pemerahan yang berupa susu yang tidak mungkin untuk dikomsumsi terus menerus dengan kata lain butuh pasar alias konsumen dalam penerimaan susu segar. Pada periode ini mengalami ketidakpastian dalam usaha peternakan sapi perah dan akhirnya untuk mendukung hal tersebut para tokoh masyarakat Pangalengan membentuk suatu kelembagaan yang dinamakan GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan) dan peran kolektor (penampung susu) sudah mulai hadir di Pangalengan. Dibentuknya Gappsip memberikan ruang untuk dapat mengembangkan usaha peternakan lebih maju. Tapi hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Masalah yang dihadapi adalah masalah internal dan eksternal yaitu ketidaksalingpercayaan diantara anggota dengan pengurus dan situasi serta kondisi perpolitikan Negara Indonesia yang masih labil. Hal tersebut mempengaruhi kehidupan para petani peternak sapi perah yang ada di Pengalengan. Moda produksi yang berkembang pada periode dibagi menjadi dua tipe moda produksi antara lain moda produksi subsistence dan moda produksi semi-petty commodity11 teradaptasi pada usaha peternakan sapi perah.
11
Penggunaan istilah semi-petty commodity dimaksudkan untuk membedakan pengertiannya dengan petty commodity, menunjukan bahwa telah ada penyesuaian dengan petty commodity tetapi belum murni seutuhnya dalam hal ini surpus yakni tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, namun sudah ada orientasi untuk memenuhi kebutuhan lain dan dalam bentuk tabngan meskipun sangat jauh untuk dapat dikatakan sebagai akumulasi modal.
61
Kekuatan Produksi Berbicara cara atau moda produksi sebagai artikulasi peternakan sapi perah tidak terlepas dari kekuatan produksi dan hubungan produksi. Moda produksi di periode perintisan atau di awal tahun 1945 sampai 1975 memunculkan dua moda produksi. Salah satu moda produksi di awal kemerdekaan adalah moda produksi subsistence. Kekuatan produksi yang terbentuk pada moda produksi ini berupa alat-alat produksi yang tercermin dalam penguasaan jumlah ternak dan luasnya lahan yang diperuntukan untuk kandang dan kebun rumput sebagai pakan hijauan. Pada awal atau periode perintisan pengembangan peternakan sapi perah bahwa penguasaan ternak sapi perah banyak di perihara oleh para buruh ternak yang dulu pernah bekerja pada perusahaan peternakan sapi perah dan juga sebagian lagi adalah petani yang menggarap lahan untuk hasil palawija atau hortikultura. Sebutan peternak murni belum melekat pada periode ini, kebanyakan mereka adalah petani peternak dengan memelihara ternak sapi perah sebagai mata pencaharian sampingan bukan pekerjaan utama. Orientasi pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan oleh petani peternak adalah mencari limbah dari kotoran sapi yang diperuntukan sebagai pupuk alami, sedangkan komoditi produksi susu jarang untuk dikomersialisasi. Hal tersebut sesuai dengan salah satu informan HEM (Tokoh masyarakat, 73 tahun) menuturkan : “kapungkur, ngurus ternak mah kanggo sambilan wae. Da nu dipilarian ku petani mah ngan hungkul berakna, upami susu na mah jarang di anggo”(dahulu, mengurus ternak hanya sampingan saja. yang di cari oleh petani hanya limbah ternak sedangkan susu tidak begitu digunakan). Alat-alat produksi yang lainnya adalah kandang, struktur kandang yang dibangun masih sangat tradisional dengan bahan-bahan yang digunakan dari lingkungan sekitar seperti untuk dinding digunakan kayu atau bambu, sedangkan atapnya menggunakan ijuk. Penguasaan ternak sapi perah masih sangat minim yaitu berada di bawah 3 ekor dan dapat dikatakan berada dalam skala kecil. Aktivitas peternakan hanya dilakukan oleh pihak keluarga inti artinya peran bapak dan ibu serta anak dilibatkan dalam aktivitas produksi sapi perah. Mulai dari mencari pakan hijauan, memerah dan juga membersihkan sapi dan kandang. Unit produksi petani peternak sapi perah adalah usaha rumah tangga yang secara manajemen usaha dilakukan dengan sederhana dengan pengetahuan yang minimal. Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha peternakan sapi perah adalah struktur keluarga. Kekuatan produksi pada moda produksi subsiten masih sangat minim dan terbatas tidak ada orientasi lebih dalam upaya pengembangan peternakan sapi perah. Hasil produksi susu masih minimal dikarenakan pakan penguat seperti konsentrat sulit didapatkan oleh petani-peternak. Pada periode ini untuk sumber pakan hijauan masih berlimpah terlebih jumlah petani-peternak masih sedikit dan jumlah ternak pun masih kecil. Moda produksi yang muncul dan berkembang pada periode ini adalah moda produksi semi-petty commodity disamping moda produksi subsistence.
62
Moda produksi semi-petty commodity berkembang disaat para petani-peternak sudah banyak memelihara sapi perah dan membentuk suatu komunitas petanipeternak sapi perah dengan nama Gappsip. Fungsi Gappsip hampir menyerupai koperasi yang berkembang pada saat sekarang. Teknis sederhana yang dilakukan oleh Gappsip adalah peternak memerah susu, ditampung oleh ember dan antarkan ke tempat penampungan susu dan akhirnya di bawa ke Gappsip, setelah itu baru Gappsip membawa susu dari peternak kepada pembeli di Bandung. Menelaah moda produksi semi-petty commodity tidak terlepas dari dua poin penting yaitu kekuatan produksi dan hubungan produksi. Berdasarkan informasi didapatkan bahwa kekuatan produksi pada moda produksi semi-petty commodity antara lain : alat-alat produksi berupa ternak sapi perah yang kepemilikannya sudah lebih besar dari yang subsistence, jika dilihat dari jumlah ternak yang dipelihara tidak lebih dari 5 ekor ekor sapi laktasi. Hal tersebut dikarena bahwa petani-peternak sudah mulai memahami bahwa komoditi produksi susu sudah memilki nilai jual dan dapat menjadi sumber keuangan tambahan. Mengenai unit produksi usaha peternakan sapi perah pada moda produksi semi-petty commodity masih menggunakan keluarga inti sebagai penggerak produksi peternakan sapi perah. Keluarga inti disini adalah keterlibatan dari orang tua dan anak, bahkan ada beberapa kerabat (masih dalam satu keluarga) diperbantukan dalam usaha peternakan sapi perah. Hubungan Produksi Hubungan produksi mengacu pada bentuk hubungan antara produsen dan non produsen, dalam hal ini produsen adalah aktivitas peternak untuk memperoleh produksi susu melalui pemerahan dan non produksi adalah hubungan yang terjalin antara peternak dengan pembeli, peternak dengan peternak lain ataupun peternak dengan institusi atau kelembagaan. Hubungan produksi dalam moda produksi subsistence tidak ada hierarkis yang ada adalah bersifat egaliter. Hal tersebut disebabkan karena unit produksi dan tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga inti, yang merupakan unit terkecil dalam satu komunitas. Hubungan produksi bersifat sederhana yang dicirikan oleh terbatasnya spesialisasi pekerjaan, yang hanya terdiri dari peternak sapi perah dan pembeli hasil produksi susu. Peternak sapi perah pada umumnya mengerjakan kegiatan yang terkait dengan aktvitas atau proses produksi, yaitu mulai membersihkan kandang, memandikan ternak sapi, memberi pakan dan melakukan pemerahan. Hasil yang diperoleh berupa susu murni siap untuk dipasarkan. Pemasaran yang berhasil jika produksi susu dapat diterima oleh pembeli atau penampung dalam hal ini kolektor susu. Dalam periode perintis, moda produksi subsistence dan semi-petty commodity terjadi dalam proses pengembangan peternakan sapi perah. Moda produksi subsistence mengarah pada nilai guna atau pakai sehingga komoditi produksi susu hanya digunakan untuk keperluan atau kepentingan dalam kelangsungan hidup. Selanjutnya, moda produksi semi-petty commodity mengarah pada nilai tukar, sehingga nilai suatu susu dapat di tukar dengan sesuatu yang berharga dan bernilai. Dengan melihat kepada nilai tukar, maka posisi komoditi produksi susu sudah dapat perhatian lebih untuk dioptimalkan sebagai sumber keuangan. Maka
63
dari itu upaya telah dilakukan oleh para sesepuh atau tokoh masyarakat yang peduli terhadap keberlanjutan usaha peternakan sapi perah dengan membentuk suatu kelembagaan lokal. Keberadaan lokal tersebut berbarengan hadir dengan para kolektor (pengumpul susu) secara individual. Para kolektor memiliki akses dan hubungan dengan pasar di luar Pangalengan, begitu pula kelembagaan lokal (Gappsip) yang lumayan berkiprah di Pangalengan ± 14 tahun dapat memberi manfaat kepada para petani-peternak Dalam konteks struktur hubungan produksi, tidak ada dominasi petanipeternak terhadap struktur keluarga yang membantu, karena mereka masih dalam satu usaha bersama dalam keluarga inti. Sebagai unit produksi keluarga, maka kegiatan produksi dilakukan bersama-sama dengan landasan saling membantu dalam keluarga. Bentuk hubungan lebih berorientasi pada hubungan sosial daripada hubungan ekonomi, karena saling bantu dalam keluarga tidak dinilai secara ekonomi berupa upah dari tenaga yang telah dikeluarkan oleh anggota keluarga. Dengan demikian surplus produksi diserap oleh keluarga inti petanipeternak sapi perah, sehingga sifat hubungan produksi tidak menunjukan adanya gejala eksploitasi. Menurut Watson (1997) yang dikutip Jary and Jary (2000), menyebutkan konsep hubungan produksi bahwa hubungan produksi menggambarkan hubungan ekonomi dan sosial antara produsen dan non produsen dalam produksi ekonomi. Hubungan produksi dalam moda produksi subsistence tidak menggambarkan pola hubungan yang berorientasi ekonomi namun yang menonjol adalah orientasi pada hubungan sosial. Hal ini dapat di pahami bahwa unit produksi adalah keluarga. Jumlah peternak sapi perah pada awal kemerdekaan tidak sebanyak pada awal berdirinya kelembagaan lokal. Antuasiasme masyarakat menjadi lebih tinggi untuk memelihara ternak sapi perah. Hal tersebut diyakini masyarakat bahwa ternak sapi perah bukan hanya memiliki nilai guna atau pakai melainkan nilai tukar dengan prospek kedepan sangat menjanjikan. Model pengadaan ternak sapi perah dapat dilakukan dengan cara membeli langsung kepada peternak lain atau melalui sistem gaduh. Pola penggaduhan dengan metode bagi hasil dapat dilaksanakan oleh pihak yang mau melakukan penggaduhan. Dengan rasa saling percaya dan jujur serta adanya saling menghormati satu sama lain menjadikan pola penggaduhan dapat dilaksanakan. Hubungan produksi dalam moda produksi semi-petty commodity mengarah kepada batas sosial yaitu bahwa pekerja dalam hal ini adalah petani-peternak masih dalam satu keluarga atau famili. Perbedaan yang muncul dalam setiap moda produksi yang berkembang adalah penguasaan ternak yang dimiliki, baik ternak sapi perah jantan maupun betina, pedet atau dara terlebih adalah jumlah ternak sapi perah laktasi (menghasilkan susu). Struktur hubungan produksi dalam hal ini adalah keluarga, maka tidak ada kesenjangan yang terjadi masih egaliter antar anggota keluarga inti. Kecuali jika petani-peternak dibantu oleh orang lain baik masih dalam satu keluarga/ kerabat atau diluar itu, tentulah struktur hubungan produksi akan berubah terhadap potensi hierarkis. Budaya yang bekembang di Pangalengan yang saling menghargai sesama manusia tercermin dalam usaha peternakan sapi perah. Telah disinggung sebelumnya bahwa sifat hubungan produksi dalam moda produksi subsistence
64
adalah non eksploitatif berbeda pula jika moda produksi semi-petty commodity dalam sifat hubungan produksi berpotensi eksploitatif tapi hal tersebut tidak pernah ditemukan dalam usaha peternakan sapi perah pada periode perintis. Mengenai aspek moda produksi tersebut diuraikan dalam tabel 13. Tabel 13. Moda produksi Subsistence dan Moda Produksi Semi-Petty Commodity Aspek Moda Produksi A. Kekuatan Produksi 1. Alat Produksi 2. Organisasi (unit) Produksi 3. Tenaga Kerja Utama B. Hubungan Produksi 1. Batas Sosial Hubungan Produksi 2. Struktur Hubungan Produksi 3. Sifat Hubungan Produksi
Subsistence
Semi-Petty Commodity
Ternak Sapi dan Lahan Keluarga Inti
Ternak Sapi dan Lahan Keluarga Inti
Keluarga Inti
Keluarga Inti + (pegawai) Buruh ternak
Keluarga Inti
Keluarga Inti
Egaliter (antar keluarga inti)
potensi Hirearkis, lebih banyak Egaliter (antar keluarga inti) Non-Eksploitatif
Non-Eksploitatif
Formasi Sosial Semi-Petty Commodity Periode setelah penjajahan atau pada periode perintis (tahun 1945 – 1975), formasi sosial Pangalengan dibangun oleh dua moda produksi yaitu moda produksi subsistence dan moda produksi semi-petty commodity yang diartikulasikan dalam peternakan sapi perah. Komoditi produksi susu sudah mengalami perubahan fungsi atau nilai, diawali pada periode perintis bahwa produksi susu memiliki nilai guna atau pakai selanjutnya menjadi nilai tukar yang bermanfaat dalam kelangsungan hidup petani-peternak. Nilai tukar dari produksi susu akan bermanfaat jika tersedianya pasar, dalam hal ini adanya pembeli. Petani-peternak sapi perah sebagai produsen dalam hal memerah ternak sapi berharap bahwa hasil perahaannya dapat dibeli dengan harga yang lumayan tinggi oleh pembeli. Akan tetapi, hal tersebut tidak dengan mudah untuk melakukan penjualan secara individual, walaupun hal tersebut dapat dilakukan. Untuk mengatasi hal seperti itu, kelembagaan lokal dituntut untuk dibangun dan siap untuk menampung produksi susu dengan catatan bahwa pasar atau pemasaran susu sudah tersedia. Sementara itu, kolektor (penampung susu) sudah mulai menjamur di Pangalengan yang siap menerima susu dari petani-peternak. Dengan karakeristik susu yang cepat rusak (basi) dan membutuhkan waktu yang cepat untuk penyalurannya, jika hal tersebut dibiarkan maka bakteri akan tumbuh dan berkembang dengan pesat ditambah alat-alat penyimpanan yang kurang higienis akan menambah laju pertambahan bakteri dalam susu. Melihat rentang waktu pada periode perintis (tahun 1945 sampai 1975), yaitu ± 30 tahun perkembangan peternakan sapi perah sudah tampak kepermukan dan menjadi salah satu perekonomian lokal di Pangalengan. Lalu cara moda
65
produksi mana yang dominan saat itu? Jika melihat dari banyaknya jumlah petani peternak bergabung dalam suatu komunitas dan keterlibatan dalam kelembagaan lokal maka peternakan sapi perah memiliki potensi untuk dapat berkembang walaupun dinamika pemasaran susu selalu tidak pernah stabil dalam artian keberlanjutan pemasaran dapat pengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal, dan juga peran kolektor yang masih membayang-bayangi para petani-peternak. Tinggal mana yang akan bertahan dan terus berlanjut atau membentuk sesuatu yang baru yang dapat mengakomodir para petani-peternak. Dengan demikian formasi sosial yang terbangun lebih menuju pada semi-petty commodity.
Moda Produksi pada Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) Periode ini merupakan periode yang memiliki karakter tersendiri, dan menjadi gambaran peternakan sapi perah yang ada di Pangalengan. Melihat populasi ternak sapi perah yang ada di Pangalengan pada periode ini mengalami peningkatan dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Pangalengan. Kebanggan peternak bergabung dalam komunitas peternak sapi perah serta keterlibatan menjadi anggota koperasi menjadikan para peternak semangat bekerja untuk dapat menglangsungkan kehidupannya sebagai peternak. Hal tersebut membuka peluang bagi masyarakt lain untuk terlibat dan tergabung dalam prekonomian lokal (peternakan sapi perah). Dengan begitu para peternak ikut bertambah banyak sehingga pekerjaan pun menjadi lebih terbuka. Hal yang menjadikan kondisi ini menjadi lebih baik dari sebelumnya adalah adanya itikad untuk memperbaiki institusi yang sudah pernah ada dan berkembang di Pangalengan yaitu Gappsip. Institusi ini tidak berjalan lagi setelah ketidakmampuan untuk mengelola organisasi dan kondisi perpolitikan yang belum stabil yang terjadi pada tahun 1963. Tahun 1969 merupakan awal dari pembentukan pembangunan Negara Indonesia melalui Pelita dan Repelita yang tertuang dalam GBHN. Dengan waktu yang bersamaan pula daerah Pangalengan dengan para penggagas dan para tokoh masyarakat kembali membangun usaha peternakan sapi perah menjadi lebih baik yang sempat terhenti ± 7 tahun dimulai dari tidak beropersinya Gappsip sampai akhirnya dibentuk koperasi yang berbadan hukum yaitu Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Dinamika perkembangan peternakan sapi perah tidak selesai dengan dibetuknya sebuah institusi yang menaungi para peternak sapi perah. Melainkan bagaimana keberlanjutan usaha para peternak sapi perah di Pangalengan siap menghadapi penetrasi modernisasi peternakan. Moda produksi yang berkembang di Pangalengan pada periode kontemporer ini dibagi dalam 2 moda produksi, antara lain : moda produksi petty commodity dan moda produksi capitalist yang diartikulasikan peternakan sapi perah. Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Petty Commodity Moda produksi petty commodity yang diartikulasikan peternakan sapi perah tampil semenjak tahun 1975 ketika hadirnya Industri Pengolahan Susu
66
(IPS) yang diprakarsai oleh kebijakan pemerintah tentang Penanaman Modal Asing (PMA), lebih dari 5 perusahaan yang terbangun di Indonesia telah siap menerima susu dari peternak rakyat. Moda produksi petty commodity adalah moda produksi yang menghasilkan komoditas untuk kepentingan pasar domestik (memiliki nilai tukar / exchange value). Moda produksi commodity memiliki ciriciri antara lain peranan modal relatif lemah, tenaga kerja umumnya berasal dari lingkungan luar keluarga atau kerabat, dan organisasi produksinya relatif sederhana menunjuk pada organisasi produksi keluarga atau rumah tangga (Kahn yang dikutip oleh Sitorus 1999). Merujuk pada usaha peternakan sapi perah di Pangalengan, peternak dapat digolongkan menurut kepemilikin ternaknya. Jumlah ternak yang dimiliki banyak maka lahan yang dimiliki juga cukup luas. Hal ini berkorelasi dikarenakan lahan digunakan untuk penyediaan tempat (kandang), gudang pakan, dan lahan untuk kebun rumput. Pembagian dalam penguasaan ternak terbagi ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan jumlah ternak yang dimiliki yaitu peternak dengan skala kecil yaitu (kurang dari 3 ekor sapi laktasi), skala menengah (antara 4 – 8 ekor sapi laktasi) dan skala besar (lebih dari 9 ekor sapi laktasi). Modal, modal yang diperlukan untuk beternak sapi perah bisa diawali dengan membeli sapi kepada bandar atau melalui kredit ke bank atau koperasi. Kebanyakan dari para peternak diawali pada saat itu dengan mulai mencoba beternak sapi perah dengan cara menggaduh dari para peternak yang sudah lebih dahulu dan memiliki ternak yang lumayan cukup banyak. Jika di nominalkan dengan harga pasaran sekarang bahwa ternak dapat dibeli dengan harga ± RP 15.000.000,- dengan asumsi 1kg daging adalah Rp 75.000,- dan berat yang ditaksir perkiran di posisi 200 kg, sehingga jika menginginkan 2 ekor ternak maka jumlah uang yang haris disediakan ± Rp 30.000.000,-. Melihat jumlah nominal seperti itu sangatlah tinggi maka upaya yang lain dengan menggaduh kepada pihak penggaduh (peternak lain dengan jumlah ternak cukup banyak disertai adanya kesepakatan untuk membagi rata hasil yang diperoleh). Selain dari penggaduhan terhadap ternak sapi ada juga beberapa cara peternak memperoleh modal usahanya yakni dengan pengajuan kredit usaha kepada bank atau koperasi dengan memenuhi sejumlah persyaratan. Peternak mempunyai pertimbangan sendiri untuk melakukan kemana ia harus mendapatkan modal usaha. Jika peternak menjatuhkan pilihannya untuk meminjam bank atau koperasi, maka ia harus menyiapkan agunan sebagai syarat dan sadar akan konsekuensi untuk mengangsur hutangnya setiap bulan dengn jumlah rupiah tertentu yang telah disepakati dan besarnya angsuran tetap. Besarnya pinjaman kepada bank atau koperasi dihitung berdasarkan kemampuan rata-rata peternak yang bersangkutan dalam mengangsur hutang tiap bulan. Pembayaran biasanya melalui produksi susu yang disetorkan ke koperasi, nanti dihitung di akhir bulan apakah cicilan dapat terpenuhi dengan produksi susu yang dihasilkan oleh peternak. Berbagai penelusuran tentang keberadaan awal ternak sapi yang dimiliki oleh para peternak. WRS (Tokoh Peternak sapi Perah, 68 Tahun) menyebutkan : “simkuring ngawitan beternak sapi kalayan sepuh nyalira oge kantos ngingu sapi janten abdi tos biasa, teras babantos sepuh milarian jukut ka leuweng di sakitaran lereng gunung windu” (saya mulau beternak sapi
67
dikarenakan orang tua juga pernah memelihara sapi jadi saya sudah terbiasa, lalu membantu orag tua untuk mencari rumput di hutan di keliling atau sekitaran lereng gunung windu. Sementara itu penulusuran EMH (Ketua Kelompok Peternak sapi perah, 48 tahun) menuturkan : “pun Bapa kantos ngingu sapi ti kapungkur, abdi sering di piwarang babantos anu tiasa abdi bantos. Nya alhamdulillah pangalaman kapungkur janten hasilna ayeuna, karaos manfaat tina ngurus sapi teh (tiasa nyakolakeun murangkalih, kangge tabungan malihan tiasa ngagadegkeun bumi). Murangkalih Bapa nu aya di pasihan modal sapi kanggo ngalajengkeun hirup. Janten sapi teh ngawitan aya kusabab sepuh masihan”. (bapak saya pernah memelihara sapi sejak dahulu, saya sering di suruh untuk membantu apa yang bisa saya bantu. Ya Alhamdulillah dengan pengalaman yang dulu jadi ada hasilnya. Terasa manfaat dari memelihara sapi: bisa menyekolahhkan anak-anak, jadi tabungan, sampai mendirikan/ membangun rumah. Anak-anak Bapak yang ada diberi modal sapi untuk melanjutkan hidup, jadi sapi yang dimiliki berasal dari orang tua. Sementara itu, banyak peternak melakukan penggaduah sapi dari pihak peternak lain dengan dasar kepercayaan sehingga si peternak yang mau menggaduh mau bekerjasama. Tidak ada perjanjian secara tertulis yang ada adalah kepercayaan diantara mereka. Hal tersebut pernah dialami oleh hampir semua peternak yang ada di Pangalengan. Biasanya mereka mencari siapa peternak yang mau menggaduh ternaknya. ini merupakan salah satu bagi hasil di dunia peternakan sapi perah. Biasanya ternak yang digaduh adalah sapi perah dara yang sudah di sepet/ IB (Inseminasi Buatan). Sebelum memulai penggaduhan, harga ternak disepakati terlebih dahulu selanjutnya setiap pakan ternak (konsentrat) yang dikonsumsi tenak tersebut dihitung. Jika setelah disuntik ternyata berhasil sampai hamil dan akhirnya melahirkan pedet maka pembagian bisa dari pedet tersebut atau pedet dijual nanti hasilnya di bagi dua. Semuanya tergantung hasil kesepakatan bersama. Unit produksi. Usaha peternakan sapi perah merupakan usaha individu tidak berkelompok walaupun dalam satu wilayah terdapat banyak kelompok. Hal ini dikarenakan ketika peternak melakukan penyetoran susu ke TPK maka nama anggota yang tertera sebagai penyetor susu. Hampir seluruh peternak di Pangalengan unit produksinya adalah rumah tangga. Tinggal melihat apakah jumlah ternak yang dimiliki tergolong pada skala apa (kecil, menengah atau besar). Karena hal tersebut akan menentukan pegawai atau buruh ternak yang dilibatkan dalam usaha peternakan sapi perah. Pelibatan anggota keluarga dalam usaha peternakan masih banyak terlihat. Biasanya kepala keluarga menjadi center point dalam usaha peternakan sapi perah mulai dari bersihkan kandang, mencari rumput, memeras ambing sapi sampai penyetoran ke TPK. Sedangkan instri membantu dalam penyediaan air hangat, menyiapkan makanan dan ada juga yang membersihkan kandang sapi.
68
Tenaga kerja. Dengan skala kecil dan menengah usaha peternakan sapi perah dirasa masih bisa dikondisikan oleh keluarga inti tetapi jika skala pemilikan besar maka mau tidak mau harus mendatangkan pegawai dalam hal ini adalah buruh ternak. Hal tersebut menjadi beban tambahan yang harus dikeluarkan untuk mengupah buruh tersebut, sedangkan jika menggunakan keluarga inti sebagai tenaga kerja maka tidak ada orientasi ekonomi dari masing-masing anggota keluarga yang ada adalah sikap kekeluargaan dan merasa bahwa usaha ini adalah usaha keluarga yang harus dibangun dengan dasar keikhlasan. Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist Melihat karakteristik moda produksi capitalist antara lain modal relatif kuat, tenaga kerja terutama berasal dari luar keluarga atau kerabat, organisasi produksinya relatif kompleks (umumnya menunjuk pada unit produksi berupa perusahaan skala kecil sampai besar). Hampir memiiki kesamaan antara moda produksi petty commodity dengan moda produksi capitaslist yaitu menghasilkan komoditas berorientasi nilai tukar (exchange value). Atau dengan kata lain, bahwa petty commodity belum tentu capitaslit tetapi kapitalis sudah pasti petty commodity. Moda produksi capitalist terbentuk dari penetrasi kapital melalui industri pengolahan susu. Ekspansi yang dilakukan oleh IPS sebagai bagian strategi peningkatan produksi, pada tahun 2008 membangun perusahaan berskala internasional di daerah Pangalengan. Bangunan kandang, mess, dan gudang serta kantor berada di wilayah Pangalengan yang dulu pernah hadir tepat di salah satu perusahaan pada jaman kolonial Belanda yaitu Almanak. Modal. Perusahaan peternakan sapi perah yang hadir di Pangalengan ± 5 tahun yang lalu memberikan warna dalam usaha peternakan sapi perah di Pangalengan. industri pengolahan susu tidak ragu-ragu mengeluarkan modal yang besar untuk dapat mendirikan perusahaan tersebut. Melihat skala dalam jumlah ekor ternak yang dipelihara pada saat sekarang berjumlah ± 3000 ekor dan kurang lebih 2000 an ekor yang laktasi dilanjutkan dengan pendidirian kantor, kandang, mess karyawan, dan gudang tentulah akan mengeluarkan modal yang cukup besar dan beraktivitasnya perusahaan peternakan tersebut berharap dapat mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Pendirian perusahaan peternakan sapi yang dibangun di Pangalengan tergantung modal atau saham yang dimiliki oleh IPS. Melihat struktur bangunan dan sistem yang dilakukan layaknya sebuah perusahaan yang direncanakan untuk pengembangan sapi perah modern dan berstandar internasional. Alat-alat produksi berupa lahan dan ternak sapi perah menjadi hal utama dalam pendirian sebuah perusahaan. Peralatan dalam menunjang aktivitas produksi sudah berskala internasional, salah satu peralatan yang tidak ditemukan di peternakan rakyat adalah proses pemerahan yang tidak dilakukan seecara konvensional atau manual yaitu menggunakan tangan melainkan dengan mesin perah yang sudah disiapkan sebanyak 40 ekor, serta dari masing-masing sapi dikalungkan sebuah benda kecil yang di dalamnya terdapat sofware dan GPS untuk dapat mengetahui recording dalam produksi susu, birahi, serta posisi dimana ternak tersebut. Informasi dapat diakses langsung di perusahaan tersebut atau di pantau jarak jauh di luar perusahaan peternakan sapi tersebut.
69
Unit Produksi. Perusahaan peternakan sapi perah pasti didatangkan dari luar artinya perusahaan tersebut menerima karyawan yang nantinya ditempatkan sebagai buruh ternak. Pembagian kerja sudah jelas dilakukan di perusahaan tersebut. Sebagian karyawan ada yang sibuk di bagian administarsi, gudang dan juga berada di kandang. Berdirinya perusahaan peternakan sapi perah telah bekerja sama dengan pihak koperasi, malahan buruh ternak yang bekerja di perusahaan tersebut memiliki keanggotaan koperasi peternakan.Tenaga kerja. Dalam konteks buruh ternak, pembagian kerja dibagi dalam beberapa shift (giliran) serta dibagi beberapa kelompok. Tiga shift dibagi dalam mengurus ternak sapi yang ada diperusahaan tersebut dan aktivitas terbagi dalam mengurus ternak di kandang (memberikan makan, membersihkan kandang, menggiring atau mengarahkan ternak), bagian gudang (melihat stok makanan yang masih tersedia), bagian penyabitan rumput sebagai pakan hijauan. Hubungan Produksi dalam Moda Produksi Petty Commodity Hubungan produksi dalam moda produksi petty commodity merujuk pada skala kepemilikan ternak sapi perah (kecil, menengah dan besar). Tidak ada hierarkis murni yang terjadi pada moda produksi petty commodity, kecenderungan ada tetapi tidak dominan dan itu ditemukan pada kepemilikan ternak berskala besar. Budaya yang berkembang menjadikan toleransi sebagai acuan dalam hubungan peternak dengan buruh. Berbeda pula dengan moda produksi capitalist yang sudah dibentuk untuk menjadi beberapa stratifikasi dalam pekerjaan. batas sosial dalam hal ini jumlah tenaga kerja masih tercukupi oleh keluarga inti kecuali beberapa peternak dengan skala menengah atau besar yang membutuhkan pegawai atau buruh ternak. Tidak ditemukan adanya kontrak pekerjaan antara peternak pemilik dengan buruh ternak yang ada adalah kesaling pemahaman dan mengetahui masing-masing posisi dalam beraktivitas dala usaha produksi. Keterkaitan hubungan kerja dengan buruh bisa jadi dari keluarga terdekat ataupun tetangga yang membutuhkan pekerjaan menjadi buruh ternak. Aktivitas buruh ternak adalah semua pekerjaan dikerjakan mulai dari bersih-bersih kandang, ternak sapi, dilanjutkan dengan pemberikan rumput atau konsentrat, serta pemerahan dan dilanjutkan dengan loper (penyetoran susu ke TPK). Struktur. Struktur yang berlaku pada moda produksi petty commodity tergolong egaliter, semua sama dalam struktur anggota keluarga kecuali kepala keluarga memiliki peran yang lebih dominan berdasarkan usia, pengalaman dan akses yang luas. Kecenderungan hierarkis muncul jika skala kepemilikan ternak tergolong besar, makna atau panggilan majikan atau juragan serta buruh tidak diberlakukan di Pangalengan. Hal tersebut dikarenakan budaya yang berkembang, saling menghargai, toleransi masih berlaku pada masyarakat Pangalengan. Dengan struktur yang berlaku dalam hubungan produksi, menjadikan posisi kepala rumah tangga sebagai penggerak kehidupan peternak sapi perah, hal tersebut dikarenakan kepala keluarga terdaftar sebagai anggota koperasi. Dalam perkembangannya bahwa peran perempuan dalam usaha peternakan sapi perah sudah ada sejak dahulu. Keterlibatan perempuan tercipta
70
dalam keanggotaan di koperasi. Hal ini menjadikan aktivitas produksi dapat dilakukan oleh perempuan. Sesuai dengan penuturan EMH (Ketua Kelompok Peternak sapi perah, 48 tahun) menuturkan : “teu lepat didikan sepuh, simkuring ayena tiasa ngurus ternak kalayan abdi istri malahan kapilih janten ketua kelompok di TPK Babakan Kiara. Se’eur ayeuna istri terlibat ka dunia persapian, ka hetang janten anggota koperasi oge “ (tidak salah ajaran atau pendidikan yang diberikan oleh orang tua, saya sekarang bida mengurus/ memelihara ternak walaupun saya perempuan yang ada saya dipilih menjadi ketua kelompok di TPK Babakan Kiara. Banyak juga perempuan sekarang terlibat pada dunia persapian dan akhirnya jadi anggota koperasi juga. Karena sifat struktur yang masih sederhana dan belum banyak spesialisasi, maka ada beberapa peran yang dilakukan oleh orang yang sama. Peran rangkap ini tidak membawa konsekuensi pada sistem pengupahan terlebih peternak pemilik selalu terlibat dan membantu dalam aktivitas produksi, bisa jadi yang memerah adalah pemilik produksi hal tersebut beranggapan bahwa ternak sapi yang sering dipegang oleh pemiliknya memiliki hubungan yang erat. Hal tersebut sesuai dengan penuturan WRS (Tokoh Peternak sapi Perah, 68 Tahun) : “ari ngurus sapi teh kudu bener-bener ulah asal, tong hayang geura beres. Ngurus sapi kudu sapikireun artina sapi oge boga perasaan, mun urang lembut (aya perhatian) insya Allah produksi susu na oge maksimal” (kalau mengurus sapi harus benar-benar jangan asal dan jangan ingin segera selesai. Memelihara atau mengurus sapi harus satu pikiran dengan artian sapi juga memiliki perasaan, kalau kita lembut / halus ada perhatian Insya Allah produksi susu akan maksimal. Sifat produksi. Dengan manajemen keuangan yang sederhana, segala kerusakan alat produksi dan kekurangan hasil produksi menjadi tanggung jawab peternak pemilik. Hal tersebut bukti bahwa sifat produksi yang non eksploitatif masih berlaku pada aktivitas produksi. Hal yang lain jika telah terjadi kesepakatan antara peternak pemilik dengan buruh ternak atau antara peternak yang satu dengan peternak yang lain melalui proses penggaduhan ternak sapi. Modal kepercayaan yang dimiliki masing-masing peternak menjadikan keharmonisan diantara peternak. Berbeda dengan hubungan yang terjalin antara peternak dengan pengurus. Asa saling ketidakpercayaan dari peternak terhadap pengurus terlebih banyaknya kebijakan yang diterapkan tetapi tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan peternak sapi perah. Hal tersebut sering dimunculkan ketika terjadi ketidakpuasan terhadap hasil yang diperoleh perbulan atas susu yang telah disetorkan. Hubungan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist Hubungan produksi dalam moda produksi capitalist merujuk pada status sosial yang terbagi dalam beberapa katagori yaitu buruh ternak, karyawan tetap,
71
manajer dan pemilik modal. Interaksi yang sering dilakukan adalah antara buruh ternak, manajer dan karyawan tetap, sedangkan pemilik modal ada di pusat atau IPS. Batas sosial dalam hubungan produksi adalah perusahaan diserahkan kepada orang lain, pemilik tidak terjun langsung di perusahaan peternakan. Karyawan terbagi dalam bebarapa bagian diantaranya karyawan tetap, karyawan tidak tetap, dan karyawan borongan. Sedangkan sebagai bagian dari CSR perusahaan peternakan memberikan tempat untuk menjadi pegawai di perusahaan. Perekrutan dilakukan memalui sistem tes kepada calon. Dibukanya pendaftaran secara terbuka dan diprioritaskan adalah anak atau kerabat dari peternak sapi perah yang masuk ke dalam anggota koperasi. Sesuai dengan penuturan AGS (buruh ternak di perusahaan sapi perah, 32 tahun) : “kapungkur abdi nyobi daftar ka perusahaan kusabab aya peluang, ditambih sepuh lebet kana anggota koperasi”.(dulu saya mencoba daftar ke perusahaan dikarenakan adanya peluang, ditambah orangtua termasuk kedalam anggota koperasi. Kekurangan buruh ternak selalu di informasikan kepada koperasi atau buruh yang bekerja sehingga kekosongan yang ada di posisi tersebut dapat tergantikan. Ciri khas yang sering menjadi permasalahan adalah perusahaan yang membuka outsourching dalam pengadaan karyawan inilah yang menjadi awal konflik dari perusahaan dengan warga sekitar. Perusahaan dengan standar internasional menjadikan aturan sebagai kiblat dalam bekerja, salah satunya adalah pemberlakuan jam masuk dan pulang yang menggunakan sistem elektronik (cek clock). Struktur. Perusahaan dengan jumlah karyawan dan buruh ternak yang banyak menjadikan posisi atau struktur menjadi tampak jelas. Keegaliteran tidak terlihat dari perusahaan ini yang ada adalah hierarkis dan spesialisasi pekerjaan yang terdiferensiasi. Hal ini bisa menjadi bumerang jika potensi ekspolitatif terjadi antara majikan dengan bawahan antara manajer dengan buruh ternak. Kecenderungan tersebut dapat terlihat dari target dalam penyabitan rumput hijauan uuntuk pakan ternak yang ditargetkan sebesar 2 ton/ perhari/ orang. Sifat struktur yang tidak lagi sederhana melainkan sudah kompleks serta didukung dengan spesialisasi pekerjaan, maka tidak ada peran yang dilakukan oleh orang lain. Tidak ada peran rangkap dalam pekerjaan, walaupun ada hanya dalam tataran administrasi sedangkan bagi buruh ternak karena bekerja berdasarkan shift dan kelompok maka dapat saling mengisi jika ada kekurangan atau kekosongan dalam bekerja di perusahaan peternakan sapi perah. Sifat produksi. Karyawan, manajer, dan buruh ternak mereka bekerja pada perusahaan tersebut untuk mendapatkan upah atau gaji yang diperolehnya. Dengan sifat produksi yang jelas-jelas eksploitatif manjadikan para pegawai harus siap ditindak dan menurut atas perintah atasan. Hal tersebut tampak pada atasan yang selalu memerintah terhadap bawahan. Mandor wilayah yang memiliki peran dapat menegur atau memerintah buruh ternak. Mengenai artikulasi dua moda produksi pada periode kontemporer dilihat dalam tabel 14.
72
Tabel 14. Moda produksi Moda Produksi Petty Commodity dan Moda Produksi Capitalist Aspek Kekuatan Produksi Alat Produksi / modal
Produksi susu Penyaluran Susu Unit Produksi Tenaga Kerja Utama Aspek Hubungan Produksi Pola Hubungan Produksi
Pola Hubungan Pemasaran
Moda Produksi Petty Commodity Capitalist Lahan (kandang, kebun - Lahan (kandang, kebun rumput) rumput) ≥ 1 ha Jumlah ternak sapi laktasi - Jumlah ternak sapi laktasi (induk) lebih dari 3 ekor (induk) ≥ 1000 ekor Kandang Konvensional - Kandang Permanen Milkcan ukuran 10 dan 15 - Gudang pakan liter - Mesin perah permanen langsung ke penyimpanan (cooling unit) 10 – 15 liter / hari/ ekor 30 – 35 liter / hari/ ekor TPK , Milk Treatment IPS Keluarga Inti Karyawan, buruh ternak Anggota keluarga inti + Karyawan, buruh ternak pegawai (buruh ternak)
Batas Sosial : Jumlah tenaga kerja tercukupi oleh famili + pegawai (buruh ternak) Struktur : egaliter (antar anggota keluarga inti), potensi hierarkis pada skala kepemilikan besar Sifat Produksi : Noneksploitatif Langsung berhubungan dengn koperasi
Batas Sosial : usaha diserahkan orang lain Struktur : hierarkhis terlihat spesialisasi Sifat Produksi : eksploitatif , atasan dengan bawahan tampak.
Tidak ada perantara langsung dengan pabrik/ IPS
Formasi Sosial Petty Commodity Melihat periodisasi dalam pembentukan moda produksi pada usaha peternakan sapi perah mencerminkan adanya dinamika atau transformasi dalam pengembangan usaha peternakan sapi perah. Formasi sosial yang terbentuk di tiap-tiap periode mencerminkan bahwa banyaknya moda produksi yang berkembang tetapi hanya satu yang dominan pada masyarakat atau komunitas peternak sapi perah. Hal tersebut muncul dalam periode kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang), moda produksi yang berkembang adalah moda produksi petty commodity dan moda produksi capitalist. Moda produksi petty commodity yang diartikulasikan peternakan sapi perah memberi gamabaran bahwa peternakan sapi perah yang ada di Pangalengan sudah berorientasi usaha, dimulai komoditi produksi susu sebagai penghasilan utama dibandingan produksi daging. Perputaran keuangan dirasakan oleh para peternak di Pangalengan, mereka menganggap bahwa menjadi peternak sapi perah sama saja dengan pegawai negeri yang bekerja dikantoran dan mendapat gaji setiap bulan. Hal ini lah yang menjadi daya pikat peternakan sapi perah di
73
Pangalengan, selain itu yang perlu diperhatikan adalah skala usaha yakni dalam kepemilkian ternak. Seorang peternak dapat untung atau surplus jika memiliki ternak dengan skala menengah atau besar, tinggal bagaimana dapat mengelolanya dengan baik jangan tergiur oleh kebijakan pemerintah (program PSDSK) yang secara tidak langsung dapat mengurangi ternak sapi perah di Pangalengan. Rasionalitas peternak sapi perah dalam membandingkan pekerjaan dengan peluang yang ada didepan mata yaitu mengenai harga daging yang melonjak tinggi. Pilihan yang bijak untuk dapat melanjutkan usaha peternakan sapi perah asalkan didukung oleh peran pemerintah yang pro terhadap peternak terutama peternak kecil. Disisi lain penetrasi kapital dalam pendirian perusahaan peternakan sapi perah di Pangalengan memberikan warna dalam kehidupan peternak. Hidup berbarengan dalam konteks usaha peternakan sapi perah dapat menjadi suatu bumerang dalam aktivitas selanjutnya. Terlebih jika pemerintah atau pihak koperasi lebih pro atau dominan kepada perusahaan tersebut. Berdasarkan tipe-tipe moda produksi yang terbentuk maka diantara moda produksi tersebut ada yang mendominasi yaitu moda produksi petty commodity.
Ikhtisar Pengembangan peternakan sapi perah terjadi di Pangalengan mulai dari pemerintahan kolonial Belanda hingga sekarang memberikan informasi terhadap moda produksi yang berlangsung. Perubahan moda produksi menjadikan adanya suatu penetrasi yang terjadi di Pangalengan salah satunya adalah modernisasi. Modernisasi berlangsung mulai dari tahun 1975-an dengan peningkatan kelembagaan dan pengupayaan melalui sitem kredit yang digulirkan oleh pemerintah maupun koperasi persusuan. Berdasarkan periodisasi kejadian bahwa moda produksi peternakan sapi perah dapat dibagi dalam tiga periode yaitu periode sebelum kemerdekaan (sebelum tahun 1945) yaitu pada masa kolonial Belanda dan Jepang. Selanjutnya, periode perintis (tahun 1945 sampai 1975), dan yang terakhir pada periode kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang). Periode sebelum kemerdekaan moda produksi peternakan sapi perah didominasi oleh perusahaan peternakan sapi perah yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Empat perusahaan yang berkembang di Pangalengan menjadikan nama Pangalengan dikenal sebagai sentra peternakan sapi perah. Perusahaan yang berdiri menjadikan posisi siapa pemilik dan siapa buruh. Pemilik jelaslah orang Belanda dan buruh adalah orang pribumi. Sifat produksi yang terjadi adalah eksploitatif dan hubungan produksi yang terjadi adalah hierarkis. Pada periode ini tidak di temukan peternakan rakyat yang berkembang. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sekitar perusahaan dilibatkan untuk bekerja menjadi buruh. Sehingga, pembentukan formasi sosial yang berkembang adalah moda produksi capitalist kolonial. Pada periode selanjutnya adalah periode perintis yaitu awal tahun 1945 sampai 1975. Pada periode ini tercatat bahwa tidak ditemukannya perusahaan peternakan sapi perah melainkan peternakan rakyat yang berkembang di Pangalengan. Peternakan rakyat yang bersifat tradisional dimiliki oleh warga Pangalengan yang sebelumnya pernah berkerja pada perusahaan peternakan pada jaman Belanda maupun Jepang. Moda produksi yang berkembang pada usaha
74
peternakan sapi perah tercatat moda produksi subsistence dan moda produksi semi-petty commodity. Moda produksi semi-petty commodity menjadi yang dominan melihat sudah berkembangnya pasar melalu institusi atau kelembagaan lokal serta munculnya para kolektor (pengumpul susu), sehingga peternak fokus terhadap usaha peternakan sapi perah walaupun pada awal-awal pembentukan masih berpandangan bahwa komoditi produksi susu hanya sebatas nilai pakai atau guna belum mengoptimalkan kepada nilai tukar. Proses pengembangan peternak dalam usaha peternakan terlihat bahwa unit produksi terjadi pada keluarga inti dan strukturr yang hubungan produksi masih bersifat egaliter dan tidak tampak eksploitatif. Periode yang terakhir dan masih berkembang adalah periode kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang), moda produksi yang terbentuk adalah moda produksi petty commodity dan moda produksi capitalist. Moda produksi petty commodity pada peternakan sapi perah terlihat dari kekuatan produksi yaitu jumlah ternak yang dimilik lebih besar dibanding yang semi-petty commodity begitupun dengan kepemilikan lahan yang dimiliki yang cukup besar dan berguna dalam pemenuhan kebutuhan hijauan. Struktur hubungan produksi yang tampak cenderung hierarkis tapi lebih banyak egaliter walaupun buruh ternak sudah dilibatkan dalam usaha peternakan sapi perah. Sementara itu moda produksi capitalist yang berkembang atas penetrasi kapital oleh Industri Pengolahan Susu memberikan gambaran tentang pola hubungan produksi melalui batas sosial yaitu usaha yang dijalankan menggunakan atau diserahkan kepada orang lain, struktur hubungan produksi tergambarkan hierarkis dan sifat produksi jelas mengarah kepada eksploitasi. Berdasarkan moda produksi yang terjadi pada periode kontemporer maka formasi sosial yang terbentuk adalah moda produksi petty commodity. Hal tersebut dikarenakan dalam usaha produksi orientasi kepada komoditi susu menjadi fokus utama dan masih ditindak lanjuti hingga sekarang walaupun berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap peternakan sapi perah rakyat.
75
VI PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL PADA KOMUNITAS PETERNAK SAPI PERAH Perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah dilihat sebagai suatu proses perubahan sosial dalam masyarakat Pangalengan sebagai dampak dari pengembangan peternakan sapi perah melalui penetrasi modernisasi. Perspektif ini mempunyai pandangan bahwa penetrasi modernisasi dapat diartikan sebagai peningkatan atau berkembangnya teknologi, banyaknya kebijakan pemerintah dalam bidang peternakan, dan masyakat menyadari adanya perubahan dalam kehidupannya atau komunitas. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Harper (1989) dan Lauer (1989) bahwa dengan adanya teknologi baru dan moda produksi ekonomi menyebabkan perubahan-perubahan dalam interkasi sosial, organisasi sosial, nilai-nilai budaya dan kepercayaan dan norma-norma. Untuk memahami perubahan struktur, maka bahasan difokuskan pada struktur komunitas peternak sapi perah sebelum dan sesudah penetrasi modernisasi hadir di Pangalengan.
Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Sebelum Penetrasi Modernisasi Pengembangan peternakan sapi perah rakyat tercatat dalam sejarah dimulai pada awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Perjalanan waktu yang terjadi di Pangalengan memberikan sekat-sekat informasi kondisi dan situasi kehidupan peternakan sapi perah. Pengembangan peternakan sapi perah di awal kemerdekaan atau pada masa perintis memberikan gambaran bahwa komunitas peternak sudah mulai terbentuk tetapi penyebarannya masih dalam lingkup kecil belum meluas hingga sekarang yaitu sampai dua wilayah diluar Pangalengan yaitu Kertasari dan Pacet. Kehidupan masyarakat Pangalengan masih difokuskan pada pertanian dan perkebunan serta sedikit yang terlibat dalam peternakan sapi perah. Pada masa itu, peternakan hanyalah sebagai pekerjaan sambilan selain pertanian dan perkebunan. Waktu luang digunakan petani untuk mencari rumput untuk ternaknya ataupun disela-sela pekerjaan di perkebunan ada waktu untuk mencari rumput di daerah perkebunan atau naik ke pegunungan/ hutan untuk mencari rumput bagi ternaknya. Jumlah kepemilikan ternak masih sangat kecil yaitu dibawah 2 ekor, walaupun terdapat beberapa tokoh di Pangalengan yang memiliki jumlah ternak lebih dari 3 ekor. Keberadaan peternakan sapi perah rakyat yang ada di Pengalengan berasal dari warga sekitar atau pribumi yang bekerja di perusahaan peternakan sapi perah milik Belanda dan Jepang. Dengan dasar pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari perusahaan peternakan sapi perah menjadikan warga tersebut menjadi paham untuk memelihara ternak sapi. Kendala dan tantangan pasti menghampiri kehidupan peternak sapi perah terutama makanan penguat seperti konsentrat. Berbicara pakan hijauan sangatlah berlimpah dibandingkan dengan sekarang. Open acces terjadi dalam perolehan hijauan tidak ada batasan atau dikotomi dalam penguasaan lahan terutama daerah perkebunan atau lahan milik
76
perhutani. Hal tersebut dikarenakan jumlah peternak masih sangat sedikit berbeda dengan saat ini dimana jumlah peternak yang tergabung dalam koperasi berjumlah ribuan dibandingkan dengan dahulu. Struktur dan stratifikasi sosial di Pangalengan cenderung sangat ditentukan oleh penguasaan aset dan alat produksi berupa lahan dan ternak. Stratifikasi sosial yang muncul di Pangalengan dapat diidentifikasikan dengan jelas dengan melihat ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan masyarakat yang ditandai dengan kepemilikan kendaraan bermotor, kecukupan sandang dan pangan serta kemampuan menunaikan haji. Khususnya bagi masyarakat yang sudah mampu menunaikan ibadah haji akan mempunyai panggilan khusus yang merujuk pada status sosial di Pangalengan. Bagi kaum laki-laki yang menunaikan ibadah haji, maka masyarakat umum akan memanggil “Pak Haji” atau Haji ditambah namanya. Dalam startifikasi masyarakat Pangalengan dapat dikelompokan dalam tiga posisi status sosial ekonomi yaitu 1) kelas atas, yang terdiri dari masyarakat yang memiliki lahan yang luas (tuan tanah), 2) kelas menengah, yang terdiri dari pegawai dan pedagang, dan 3) kelas bawah yang terdiri dari buruh tani, buruh ternak dan buruh non pertanian. Strata tersebut adalah gambaran umum dari masyarakat Pangalengan. Berbeda juga dengan stratifikasi pada subsektor peternakan sapi perah. Pembentukan straifikasi sosial pada peternak dimulai pada rentang waktu yaitu tahun 1945 sampai dengan 1975 atau pada periode perintis, komunitas peternak sapi perah sudah terbentuk melalui kelembagaan lokal yang mirip fungsinya dengan koperasi yaitu GAPPSIP. Peran kelembagaan tersebut memberikan posisi para aktor dalam pengembangan usaha peternakan sapi perah. Peternak sapi perah ada yang berasal dari petani dan juga dari pengusaha lokal yang mencoba peruntukannya di dunia peternakan sapi perah. Stratifikasi sosial yang muncul di dunia peternakan terbagi dalam dua tingkatan antara lain : 1) peternak lapisan atas yakni mereka yang menguasai lebih dari 0,5 ha dicirikan dengan (a) penguasaan ternak sapi perah lebih dari 3 ekor, (b) asal ternak dari Kredit Investasi Kecil Program Usaha Pengembangan Sapi Perah (KIK-PUPS) atau membeli, (c) kandang ternak terpisah dari bangunan rumah atau berada jauh dari rumah dan 2) peternak lapisan bawah yakni mereka yang menguasai lahan sangat sempit di bawah 0,25 ha atau dapat disebut sebagai peternak kecil, dicirikan dengan (a) penguasaan ternak lebih kecil dari 2 ekor, (b) asal ternak dari koperasi, bantuan presiden, (c) bangunan kandang berada dalam area rumah tempat tinggal, (d) terkadang terlibat menjadi buruh ternak di kepemilikan yang lebih banyak. Dengan melihat stratifikasi sosial yang terbentuk di komunitas peternak sapi perah dapat ditarik benang merah bahwa kehidupan peternak pada masa ini masih bersifat konvesional tidak ada orientasi untuk mengembangkan lebih besar walaupun peran kelembagaan lokal ada dalam penanganan produksi susu dan sarana serta prasarana yang disediakan. Moda produksi subsistence dan semipetty commodity terbentuk dalam pengelolaan usaha peternakan sapi perah di Pangalengan. Moda produksi subsistence terbentuk pada awal kemerdekaan sedangkan moda produksi semi-petty commodity terbentuk ketika pasar sudah terbentuk dan kelembagaan lokal sudah ada ditambah para kolektor susu yang mulai merambah di Pangalengan pada saat kelembagaan lokal sudah terbentuk. Menanggapi hal tersebut kebingunan dan skeptis dari peternak kepada siapa susu
77
ini akan di setorkan, dan bagaimana keberlanjutannya? Pada periode perintis, peran kolektor susu dan kelembagaan lokal sama-sama penting dihadapan para peternak. Dalam hubungan produksi usaha peternakan sapi perah, pihak kelembagaan lokal yang di dalamnya adalah para pengurus sekaligus peternak dengan jumlah populasi yang banyak sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha peternakan sapi perah yang lain. Kondisi ini tidak bertahan lama dikarenakan goyahnya perpolitikan di negara kita dan berimbas kepada situasi di pedesaan. Tercatat dari terbentuknya GAPPSIP di tahun 1949 dan tidak beroperasinya pada tahun 1963. Pada rentang waktu tersebut tidak hanya kelembagaan lokal GAPPSIP yang berkibar di Pangalengan melainkan peran para kolektor (pengumpul susu) yang bermunculan. Sehingga, tidak ada upaya untuk mempertahankan peternak untuk berada pada kelembaan lokal tersebut. Peran kolektor sangat memberikan ruang bagi perternak untuk memilih kepada siapa produksi susu ini akan disetorkan. Pilihan ada pada peternak tetapi harga susu tidak dapat dinegosiasikan. Peternak hanya menerima berapa harga yang ditetapkan oleh kolektor walaupun harga tersebut tidak dapat menutupi modal yang sudah dikeluarkan. Jalur pemasaran yang terjadi pada masa ini dapat terlihat dari gambar 11.
Pengumpul susu di GAPPSIP
Peternak sapi perah Kolektor Susu
Kolektor Susu
Konsumen
Konsumen
Penampungan di BMC
Loper Susu
Konsumen
Konsumen
Gambar 11. Alur Pemasaran Susu Periode Perintis Periode perintis pada awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1975, bahwa komoditi produksi susu merupakan barang yang berdasarkan proses produksi atau pembuatannya ternasuk barang dasar atau mentah, yang memerlukan proses terlebih dahulu untuk dapat dikonsumsi. Penyetoran ke tempat pengumpul dilakukan dua kali setiap hari yaitu pagi hari sekitar jam 05.00 – 06.00 dan sore hari yaitu antara jam 15.00 – 16.00. Dalam hubungan produksi subsistence tidak terlihat adanya eksploitasi dalam upaya pengelolaan usaha peternakan sapi perah. Lain hal dengan hubungan produksi semi-petty commodity yang terbentuk terdapat struktur dalam pekerjaan tetapi sangat kecil eksploitatif yang terjadi antara pemilik dengan buruh yang terjadi hubungan struktural fungsional di antara para peternak pemilik dan buruh ternak.
78
Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Setelah penetrasi modernisasi Rentang waktu dari tahun 1975 sampai dengan sekarang tercatat banyak mengalami perubahan dalam struktur komunitas peternak sapi perah. Terlebih penetrasi modernisasi di berbagai sektor terjadi begitu pula pada peternakan sapi perah. Pada masa kontemporer ini peternak ada yang tergugah untuk dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih baik yang ditandai dengan penguasaan ternak menjadi banyak begitu pula lahan yang dimiliki menjadi besar. Tapi hal tersebut tidaklah mudah dikarenakan pengetahuan dan akses yang dimiliki peternak masih dalam taraf tradisional. Perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah dapat dipahami sebagai dampak munculnya kelembaan lokal yang sudah menjadi institusi yang berbadan hukum yang didalamnya syarat akan aturan main serta kebijakan-kebijakan yang diilontarkan koperasi, selain itu penetrasi modernisasi dalam hal berkembangnya teknologi dan juga peran Industri Pengolahan Susu yang sudah mulai terlibat dalam penyerapan output susu setelah dikumpulkan dari koperasi. Dalam perubahan struktur komunitas peternak sapi perah terdapat beberapa hal yang penting untuk dikaji yaitu mengenai stratifikasi sosial. Pelapisan diantara peternak sapi perah dalam satu komunitas memberikan potret kehidupan peternakan sapi perah di Pangalengan. Perubahan Stratifikasi Sosial Pembedaan atas status sosial ekonomi memberikan perbedaan pada masyarakat Pangalengan. Dalam struktur sosial terdapat ketidaksamaan yang mengacu pada stratifikasi sosial. Bentuk stratifikasi sosial berkaitan dengan alami, kondisi yang bersifat individual, perbedaan terjadi karena ciri perorangan, umur, jenis kelamin, kekuatan dan priviledge (Bteille, 19977; Charo, 1980). Berdasarkan kriteria status sosail ekonomi masyarakat seperti terungkap dalam stratifikasi sosial sebelum penetrasi modernisasi berkembang di Pangalengan, maka dapat dikatakan bahwa pasca penetrasi modernisasi melalui peningkatan teknologi, dibukanya keran impor dan hubungan terhadap penegakan industri pengolahan susu serta beberapa kebijakan pemerintah di bidang peternakan khusus peternakan sapi perah terjadi perubahan posisi dalam startifikasi sosial masyarakat Pangalengan. Ukuran sosial ekonomi, kebendaan dan posisi dalam masyarakat menjadi patokan untuk menilai status sosial ekonomi seseorang, semakin banyak harta fisik yang dimilikinya makin tinggi status sosial ekonomi seseorang ditambah posisi sebagai alim ulama di wilayahnya. Penuturan HEM (Tokoh masyarakat, 73 tahun) : “upami ningal posisi jalmi ulah dina kakayaan wae, emang eta janten salah sahiji tapi tingal oge dina hubungan kamasyarakatan anjeuna tiasa nempatkeun henteu? Biasanamah anu dianggap ku massyarakat teh anu bijak, luhur elmuna deet hatena (ustadz)” (kalau melihat posisi orang jangan dilihat dari kekayaannya, memang itu merupakan salah satu yang diperhatikan tetapi lihat juga dari hubungan kemasyarakatan yang
79
dilakukan, apakah bisa menitipkan diri? Biasanya yang selalu dianggap oleh masyarakat adalah yang bijak, tinggi ilmu-rendah hati (ustadz). Dalam perkembangan kehidupan peternak sapi perah di Pangalengan, kondisi stratifikasi sosial akan muncul jika dia memiliki lahan yang luas, ternak sapi perah yang banyak serta askses yang luas serta kondisi rumah atau tempat tinggal layak serta keadaan anak yang berhasil untuk melanjutkan studi lebih tinggi. Kondisi tersebut jarang ditemukan di Pangalengan, di mana hanya beberapa orang saja yang bisa meraih posisi tersebut. Johnson (1988) memberi tanggapan bahwa perubahan cara produksi dan hubungan produksi dapat mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kelas, hubungan kepemilikan, munculnya kelas baru, mundurnya kelas lama, dan perubahan sosial lainnya. Perubahan stratifikasi sosial mengacu pada meningkatnya status sosial ekonomi pada peternak sapi perah. Hasil menunjukan bahwa pembagian strata masyarakat berdsarkan kelas sosial ekonomi mengacu tetap mengacu pada tiga posisi yaitu (1) Kelas Atas : Kepemilikan lahan luas baik yang pribadi ataupun menyewa kepada instasi pemerintah yang diperuntukan untuk pakan hijauan ataupun tanaman palawija, merupakan tokoh masyarakat, kepemilikan ternak sapi banyak lebih dari 10 ekor sapi plaktasi dan ternak tersebar di orang lain melalui mekanisme gaduh (maro), alat-alat produksi lengkap (copper, milk can dengan ukuran 25 liter, 15 liter), (2) Kelas Menengah : Kepemilikan Lahan sedang, lahan menyewa di instansi ada tapi tidak terlalu luas, kepemilikian ternak sapi perah sedang sedang yaitu sekitar 5 sampai dengan 8 ekor laktasi, alat-alat sederhana (tidak memiliki copper, milk can dengan ukuran 15 liter dan 10 liter), (3) Kelas Bawah : lahan sedikit, akses sangat terbatas, kepemilikan ternak sedikit yatuu di bawah 4 ekor laktasi, dan alat-alat produksi minim. Selain stratifikasi pada peternak sapi perah, ternyata buruh ternakpun terdapat pembagian dalam hal : 1) buruh ternak tetap : merupakan buruh yang bekerja pada peternak yang memiliki ternak dengan jumlah banyak, biasanya mereka diupah per dua minggu dan mereka tinggal di tempat tinggal peternak, 2) buruh ternak lepas: merupakan buruh yang bekerja kepada peternak kelas menengah sampai dengan kelas atas. Biasanya mereka yang bekerja hanya buruh harian / lepas. Buruh tersebut melakukan penyabitan rumput untuk pakan ternak atau melakukan pemerahan dan membawanya ke TPK. Berdasarkan kasus subyek penelitian ditemukan di lapangan, dapat dikemukakan bahwa para peternak kelas atas berasal dari golongan elit lokal / desa yang memiliki ternak sudah lama dan turun temurun. Terjadi peningkatan jumlah ternak dikarenakan memahami situasi dan kondisi daerah Pangalengan sebagai sentra peternakan sapi perah, sedangkan kelas menengah pada peternak sapi perah merupakan peternak yang berasal dari kelas ekonomi menengah. Bahkan ada peternak sapi perah yang berasal dari kelas bawah dalam stratifikasi peternak sapi perah di Pangalengan, yang kemudian dalam waktu pengembangan peternakan sapi perah dapat meningkat status menjadi peternak yang berhasil (peningkatan jumlah ternak sapi perah, kandang yang terpisah dan permanen, memiliki lahan (kebun rumput), alat-alat produksi mendukung). PUU (tokoh peternak sapi perah, 54 tahun) menuturkan :
80
“upami ngurus sapi mah kudu leukeun sareng telaten. Insya Allah rizki mah moal kamana-mana. Alhamdulillah bapa ayeuna gaduh sapi lumayan seeur, kagungan dua padamel nu sok ngabantosan” (mengurus atau memelihara sapi harus sabar dan serius, Insya Allah rezeki tidak akan kemana-mana. Alhamdulillah, bapak sekarang memiliki sapi lumayan banyak dan punya dua orang pekerja yang suka membantu. Perubahan Hubungan Sosial Peternak sapi perah di Pangalengan sebagian besar memeliharan sapi Peranakan Fries holland (PFH) sudah tidak ada bangsa sapi perah yang murni FH. Pada awal pembentukan atau periode perintis masih bisa ditemukan peternak yang memiliki ternak dari bangsa sapi FH murni, tapi dengan perjalanan waktu semua sudah berubah. Perubahan hubungan sosial dirasakan setelah penterasi modernisasi peternakan masuk di Pangalengan. berdasarkan salah satu informan PAM (tokoh peternak sapi perah, 58 tahun) menuturkan : “ kapungkur, upami bade macekeun sapi bikang anu birahi kedah dibantun ka salah sahiji tokoh peternak (Pa Umri) Anjeuna kagungan sapi jalu (Laksana) anu sae, sateuacan di pacek ku jalu, si jalu di pasihan jajamu (endog, kecap, gula jeung sajabana) teras upami janten engkin masihan ceceh ka Pa Umri” (dahulu, kalau mau mengawini sapi betina birahi, harus dibawa ke salah satu tokoh peternak (Pa Umri), dia memiliki penjatan (nama nya : Laksana) tangguh, bagus. Sebelum mau dikawinkan sama pejantan, si penjantan diberi jamu-jamu (campuran telur, kecap, gula dan lain-lain), jika jadi (berhasil) nanti kasih uang ke Pa umri. Keadaan dulu berbeda dengan sekarang, seperti apa yang sudah di utarakan bahwa hubungan sosial diantara masyarakat dalam hal ini peternak dengan peternak untuk perbibitan dilakukan secara langsung dengan artian ternak sapi jantan degan ternak sapi betina, selanjutnya peternak dengan peternak. Hubungan saling menguntungkan terjadi, karena menganggap bahwa silaturahmi merupakan dasar utama dan kekeluargaan adalah dasar kehidupan di Pangalengan. Perubahan terjadi setelah penetrasi modernisasi peternakan terjadi di Pangalengan. alat-alat produksi mengalami kemajuan dan komersialisasi sudah mulai terbentuk. Penuturan PAM (tokoh peternak sapi perah, 58 tahun) : “di daerah ieu, kapungkur ngan aya 5 peternak upami ngaloper susu teh ngangge bes nu didamelna ku seng nu dipatri teras dicandak ka kolektor di daerah citere.” (di daerah ini, dulu Cuma ada 5 peternak kalau mau menyetor susu menggunakan milk can yang terbuat dari seng yang dipatri lalu dibawa ke kolektor (pengumpul susu) di daerah citere. Hubungan sosial yang terjadi antara peternak dengan penjual pakan konsentrat di pasar Pangalengan, sedangkan sekarang semua alat produksi, sarana dan prasarana sudah disediakan oleh koperasi, ataupun melalui TPK (tempat pelayanan koperasi) yang ada dimasing-masing wilayah kerja. Penetrasi modernsiasi peternakan berdampak kepada hubungan sosial menjadi kurang
81
harmonis walaupun kekeluargaan dijunjung tinggi. Unit produksi dalam peternakan sapi perah adalah keluarga inti. Semua skala atau stratifikasi peternak sebagian besar menggunakan keluarga inti. Dimana semua struktur keluarga dilibatkan mulai dari orang tua, anak, mantu atau mertua tergantung siapa yang menjadi anggota dalam koperasi peternakan. Dalam struktur keluarga tidak ada saling mengeksploitasi yang ada adalah saling mendukung demi keberlanjutan usaha peternakan sapi perah. Berdasarkan uraian tersebut dapat dituangkan dalam tabel 15. Tabel 15. Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Sebelum dan Sesudah Penetrasi Modernisasi Peternakan di Pangalengan No 1
2
3
Struktur Sebelum Penetrasi Komunitas Peternak Modernisasi Stratifikasi Peternak - Peternak lapisan Atas : Kepemilikan lahan Luas, ternak Banyak, kandang terpisah dgn rumah, dinding semi permanen - Kelas bawah : Kepemilikan Lahan terbatas, ternak sedikit, kandang samping rumah, dinding kayu Buruh Ternak - Jarang ditemukan (jumlah ternak masih sedikit), buruh lepas (tidak menginap).
Hubungan Sosial
- Orientasi hubungan dalam keluarga inti belum menuju komersialisasi, hanya sampai semi komersial
Setelah Penetrasi Modernisasi - Kelas Atas : Kepemilikan lahan luas, tokoh masyarakat, ternak banyak, alat-alat produksi lengkap - Kelas Menengah : Kepemilikan Lahan sedang, ternak sedang, alat-alat sederhana. - Kelas Bawah : lahan sedikit, ternak sedikit, alatalat minim. - Banyak ditemukan pada peternak kelas Atas dan menengah sebagai buruh tetap (menginap ) dan buruh lepas (tidak menginap). - Sudah mulai komersialisasi, keluarga inti di bantu dengan pegawai (buruh ternak) peternak kelas Atas dan menengah
Ikhtisar Pada kasus peternakan sapi perah di Pangalengan, perubahan struktur komunitas peternak sapi perah dipahami berdasarkan kondisi sebelum dan sesudah penetrasi modernisasi peternakan hadir di Pangalengan. awal dari pemebntukan peternak sapi perah diawawali dari para petani yang hobi untuk memelihara ternak sapi perah yang dapat dimafaatkan daging dan susunya. Mereka para petani yang memiliki ternak berada ada posisi atau stratifikasi yang tinggi dikarenakan memiliki lahan yang cukup dan ternak sapi perah yang dimiliki. Sedangkan pada posisi yang rendah adalah para buruh tani yang bekerja
82
di lahan pemilik. Keterbatasan dan ketidakmampuan dalam mengakses menjadikan buruh selalu termarjinalkan. Perubahan struktur komunitas peternakan sapi perah membentuk beberapa lapisan atau stratifikasi antara lain peternak kelas atas, peternak kelas menengah, dan peternak kelas bawah. Bukan startifikasi peternak melainkan buruh ternak pun terbagi dalam dua bagian antara lain dalam buruh lepas (tidak menginap) dan buruh tetap (menginap di rumah peternak), Selanjutnya perubahan hubungan sosial terjadi antara peternak dengan peternak, peternak dengan institusi. Dengan perubahan struktur komunitas tersebut mengakibatkan pemunculan dalam struktur pekerjaan baru antara lain penyedian pakan ternak baik konsetrat maupun hijauan diluar dari koperasi dan dibangunya home industry dalam pengolahan susu
83
VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pangalengan sebagai salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat mengalami perkembangan dari jaman kolonial Belanda hingga sekarang. Peternakan sapi perah di Pangalengan mengalami proses penetrasi modernisasi terhadap aktivitas pengelolaan dan cara-cara produksi. Perspektif penetrasi modernisasi adalah kebijakan pemerintah mengenai pembangunan di berbagai sektor peternakan, pendirian Industri Pengolahan susu (IPS), dan melalui koperasi (agent of change) teknologi cara-cara produksi berkembang. Berdasarkan analisis terhadap berbagai fakta sosial dalam pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan dapat diklasifikasikan berdasarkan periodisasi waktu yaitu periode penjajahan (sebelum tahun 1945), periode perintis (tahun 1945 sampai 1975) dan periode kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang). Disetiap periode diperoleh gambaran mengenai moda produksi yang terbentuk. Tekait dengan dengan fakta tersebut, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Moda produksi yang terbentuk dari masing-masing periode menggambarkan keadaan dari suatu komunitas peternak sapi perah. Dimana pada periode sebelum kemerdekaan atau sebelum tahun 1945 hanya terbentuk moda produksi capitalist pada usaha peternakan sapi perah, selanjutnya pada masa perintis yaitu pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1975 terlihat muculnya dua moda produksi yaitu moda produksi subsistence dan moda produksi semi-petty commodity, dan yang terakhir adalah pada periode kontemporer yaitu dimulai tahun 1975 sampai sekarang terbentuk dua moda produksi usaha peternakan yang berkembang yaitu moda produksi petty commodity serta moda produksi Capitalist. Dari ketiga moda produksi tersebut yang mendominasi usaha peternakan sapi perah di Pangalengan adalah moda produksi petty commodity. 2. Melalui penetrasi modernsiasi peternakan, di Pengalengan terjadi perubahan moda produksi yang diartikulasikan peternakan sapi perah dan berimbas pada berubahnya struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan. Hasil menunjukan antara lain pembagian kelas peternak lebih menyebar yaitu peternak kelas atas, peternak kelas menengah, dan peternak kelas bawah. Selanjutnya buruh ternak terbagi dalam buruh lepas (tidak menginap) dan buruh tetap (menginap di rumah peternak), selanjutnya perubahan hubungan sosial terjadi antara peternak dengan peternak, peternak dengan institusi. Pembagian stratifikasi tersebut terlihat dari moda produksi yang dominan usaha peternakan sapi perah terutama pada aspek kekuatan produksi dimana lahan dan jumlah penguasaan ternak menjadi hal yang mutlak serta hubungan produksi yang dijalankan oleh peternak dalam meningkatkan akses guna meningkatkan produktivitas peternakan sapi perah. 3. Perubahan moda produksi usaha peternakan sapi perah tidak memberikan hasil yang maksimal terhadap peternak lapisan bawah untuk dapat
84
melakukan mobiltas sosial menjadi peternak lapisan menengah ataupun peternak lapisan atas. Hal tersebut dikarenakan upaya yang dilakukan peternak sapi perah lapisan bawah hanya menerima dan tidak mau meningkatkan produktivitas usaha peternakan tersebut sedangkan dilain hal koperasi peternakan membuat aturan terhadap kualitas susu yang disetorkan oleh peternak.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dipahami bahwa proses penetrasi modernisasi melalui kebijakan pemerintah mengenai pembangunan di sektor peternakan, pendirian Industri Pengolahan susu, dan melalui koperasi (agent of change) berdampak pada perubahan moda produksi usaha peternakan sapi perah di Pangalengan, oleh karena itu melalui hasil penelitian ini diajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Menerapkan berbagai kebijakan baik dari pemerintah maupun institusi koperasi peternakan hendaknya mempertimbangkan moda produksi yang berkembang dalam komunitas peternak sapi perah, sehingga tidak terbentuk dominasi dari peternak kelas atas dan menengah yang dapat mengakses alat-alat produksi dan teknologi. Sedangkan peternak kelas bawah hanya pada posisi yang tidak menguntungkan bahkan menjadi bumerang bagi keberlanjutan koperasi peternakan. Dengan demikian upaya revitasliasi institusi koperasi peternakan harus berjalan sehingga peternak kelas bawah dapat meningkatkan usaha dan terjadi mobilitas ke atas. 2. Kebijakan pemerintah harus memperhatikan di berbagai aspek. Seperti kebijakan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang secara tidak langsung mengurangi populasi ternak sapi perah sehingga dampak yang dihadapi peternak menjadi dilema akan posisi mereka sebagai anggota KPBS. 3. Institusi koperasi peternakan harus dapat memposisikan diri sebagai pembeli dari komoditi produksi susu yang pro kepada peternak. Jangan terlalu bergantung besar kepada perusahaan atau industri pengolahan susu. Optimalkan milk treatment yang ada dengan memproduksi berbagai hasil olahan susu.
85
DAFTAR PUSTAKA Arief, Hasni. 2010. Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Terhadap Peternakan Sapi Perah Rakyat di Pulau Jawa.[Disertasi]. Universitas Padjadjaran Bandung. Anonim, Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2008. Anonim. Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 2010. Penerbit. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Anonim, Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010 – 2014. Anonim, Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Dana ABN tahun 2011. Atmadilaga Didi. 1977. Potensi Pengembangan dan Peningkatan Usaha Sapi Perah di Indonesia. Seminar Pengembangan Usaha dan Usaha Peternakan di Indonesia. Jakarta. Di dalam Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T, Editor. 2009 _____________ 1991. Modernisasi Peternakan ditinjau dari Segi Potensi dan Masalah Gizi. Di dalam Prof. Didi Atmadilaga dengan karya-karyanya. Bierstedt, R. 1970. The Social Order An Introduction to Sociology. New York: McGraw Hill Book Co. Di dalam Kolopaking, et.al, Editor. 2003. Sosiologi Umum Ed ke-1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda Bogor. Chaniago A. Adrianof. 2012. Gagalnya Pembangunan : Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru. Penrbit LP3ES. Jakarta. Creswell, John W. 1994. Research Design :Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publication. Inc. Dasuki MA. 1983. Perspektif Perkembangan Peternakan Sapi Perah Sebagai landasan Kesepadanan Mengisi Kebutuhan Susu di Jawa Barat.[disertasi]. Bandung. Universitas Padjadjaran. Denzin NK dan Lincoln YS. 2003. Collecting and Interpreting Qualitative Materials. Sage Publication. London. Dharmawan, A. H. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan : Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Madzhab Barat dan Madzhab Bogor. Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol.01, No.02, Agustus 2007. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. IPB.Bogor. Fadjar U. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial Pada Komunitas Petani (Studi Kasus pada empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darusalam) [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Frank. A.G. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi. YIIS. Jakarta. Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bharatara Karya Aksara. Jakarta. Hasyim, Wan. 1988. Peaseant Under Peripheral Capitalism. Penerbit Universiti Kebangsaan Maslaysia. Hayami, Yuziro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
86
Hefner, R.W. 1999. Geger Tengger (Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik). LKIS Yogyakarta dan The Asia Foundation. Yogyakarta. Homzah, Siti. 1986. Peranan Wanita dalam Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat (studi kasus di Desa Pangalengan, Kabupaten Bandung). [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Johnson PJ. 1981. Indonesian Comercial Newsletter, 27 April 1999, http://www.thefreelibrary.com/MILK+INDUSTRY+SEES+MOUNTING +PRESSURES+ON+ITS+GROWTH.-a054574500. Johnson PJ. 1981. Sociological Theory: Classical Fouunders and Contemporary Perspective. New York-Chichester-Brisbane-Toronto, John Wey and Sons. Kahn, J.S. 1980. Minangkabau Social Formation, Indonesian Peaseant and the World Economy. Cambridge University Press. London. Kano, H. 1990. Pagelaran; Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyrakat Tani Sebuah Desa di Jawa Timur, UGM Press. Jogyakarta. Koentjaraningrat. 1994. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. Kolopaking, et.al, Editor. 2003. Sosiologi Umum Ed ke-1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda Bogor. Lipton, Michael & moore, Mick. 1980. The Methodology of Village Studies In Less Development Countries. Terj. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta. Yayasan Ilmu-ulmu sosial. Moleong, Lexi J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Remaja Rosda Karya. Bandung. Marvati, AZ.B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction. Sage Publ. Inc. Thousand Oaks. Merkens, J. 1922. De Oeconomische Beteekenis Van den Veestapel in Ned. Ooct Indie; Ned. Ind. Bl. Voor diergenoesk en Dierentoelt. __________1926. De Paarden-en Runderteelt in Nederlandsch-India; Veeartsenijkundige Mededeling. Di dalam Dasuki AM (1983). Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analiysis : A Sourch of New Methodes. Sage Publications. Beverly Hills. Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Peet, R. And Hatwick, E. 2009. Theories of development, The Guilford Press. Prasojo NW, Pandjaitan NK. 2003. Stratifikasi Sosial. Di dalam : Kolopaking, et.al, Editor. Sosiologi Umum Ed ke-1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda Bogor. Purnomo, M. 2005. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa.[tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ray, C. 2002. A Mode of Prodution For Fragile Rural Economic: the Teritorial Accumulation of Form of Capital, Journal of rural Studies, Volume 18 (2002) 225-231. Russel, W. James, 1989. Modes of Production in World History, London and New York, Routlge. Rochwulanningsih, Yety. 2008. Marjinalisasi Petani garam dan Ekspansi Ekonomi Global.: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
87
Roxborough, 1986. Teori-teori Keterbelakangan. LP3ES, Jakarta. Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T, Editor. 2009. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Satria A, Rustiadi E, Purnomo AM, Editor. 2011. Menuju Desa 2030. Cetakan ke-1. Crestpent Press. Bogor. Satria A. 2000. Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah) [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sajogyo. 1982. Modernization Without Development In Rural Java. The Joornal of Social Studies. Dacca. Bangladesh _______. 2002. Struktur Agraria, Proses Lokal, dan Kekuasaan dalam S.M.P. Tjondronegoro, S. Rusli, dan U. Tuanaya (penyunting) Ilmu Kependudukan: Suatu Kumpulan Bacaan. Erlangga. Jakarta Schafer, Richard T. 2012. Sosiologi. Penerbit Salemba Humanika. Schoorl J.W. 1980. Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negaranegara sedang Berkembang. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Scott, James. 1981. Moral Ekonomi Petani. LP3ES. Jakarta. Shanin, Teodor. 1990. Defining Peaseant. Wssays Coserning Rural Societies, Exspolary Economies, and Learning From Them in The Contemporary World. Basil Blackwell. Cambridge. Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. _______________. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Penguasa Tenun dalam Masyarakat Batak Toba [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. _______________. 2004. Tiga Jalur Reforma Agraria: Konsep dan Prakteknya di Indoensia, 1960 – 2004. Bogor, 14 – 15 September 2004. Soedono, A. 1983. Perkembangan Ternak Ruminansia Besar di Tinjau dari Ilmu Pemulian Ternak Perah di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, 6-9 Dsember 1982. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Di dalam Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T, Editor. 2009. Soekanto, Soejono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. _______________.1983. Beberapa Teori Sisiologi tentang Struktur Masyarakat. Penerbit PT. Rajawali. Jakarta Soehadji. 2009. Sejarah Perkembangan Industri Persusuan. Direktorat Jendral Industri Agro dan kimia, Departemen Perindustrian, Jakarta. Di dalam Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T, Editor. 2009 Soemardjan, S dan Soemardi, S. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Sorokin PA. 1959. Social Mobility, in Social and Cultural Mobility. Chap. Ii, pp. 11-17, Twith the permission of The Fre press. Di dalam Soemardjan, S dan Soemardi, S. 1964
88
Stake, Robert E. 2000. “Case Studi” dalam Norman K. Denzin & Lincoln, eds. Handbook of Qualitative Research. Sage Publications. Inc. London United Kindom. Subandriyo dan Ardiarto, 2009. Sejarah Perkembangan Peternakan Sapi Perah dalam Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Oleh Santosa, dkk. LIPI Press. Bogor. Sujatmiko, Iwan Gardono. 1996. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jurnal Sosiologi Indonesia Nomor 1/Juli/1996. Sunarto K. 2000. Peengantar Sosiologi. Edisi kedua. Jakarta., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Suryani, Elis. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Penerbit Pt. Ghalia Indonesia. Bogor. Suwarsono dan So, Alvin Y. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Syarief A. 1997. Membangun Usaha Koperasi Persusuan Mandiri. Dokumen Koperasi Peternakan Bandung Selatan Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. Sztompka, Piotr. 1994. The Sociology of Social Change. Oxford: Blackwell Publishers. Taylor, G, Jhon, 1989. Form Modernization to Mode of Production: A Critique of the Sociologies of Development and Under Development, MacMilan. Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sihth Edition. Wadsworth Publishing Company. Newyork. Tjondronegoro SMP. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. Fakultas ekologi Manusia. IPB. Bogor ________________. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Akatiga. ________________. 2011. Desa : Retropeksi ke-180 Menuju Prospek 2030. Dalam Menuju Desa 2030. Editor Satria, dkk. Dicetak oleh Percetakan Pohon Cahaya. Yogyakarta. Umboh, th.E.W. 1954. Perusahaan Susu di Pasar Minggu dan Sekitarnya. Hemera Zoa 61 (7-8):208-218. Di dalam Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T, Editor. 2009 Winarno, Budi. 2013. Etika Pembangunan. PT. Buku Seru. Jakarta Yin. Robert. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Penerbit. Rajawali Pers. Jakarta. __________. 2002. Metode Studi Kasus. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Zanden, Vander James W, Kroehler CJ, Hughes M. 2002. Sociology ; the Core. 6th.ed. McGraw Hill Publishing. London.
89
Lampiran 1 Peta Kecamatan Pangalengan
90
Lampiran 2 Data Populasi dan Produksi Susu Di Pangalengan
Tahun
Jumlah Ternak (ekor)
Kenaikan atau Penurunan
Persentase (%)
Jumlah Produksi (Liter)
(ekor)
Kenaikan atau Penurunan
Persentase (%)
(Liter)
1969
2.608
1.360.486
1971
2.642
34
1,30
1.529.437
168.951
12,42
1973
2.271
-371
-14,04
1.135.151
-394.286
-25,78
1975
2.375
104
4,58
1.236.716
101.565
8,95
1977
2.635
260
10,95
1.428.451
191.735
15,50
1979
4.262
1.627
61,75
2.601.140
1.172.689
82,10
1981
6.719
2.457
57,65
6.996.098
4.394.958
168,96
1983
10.404
3.685
54,84
12.651.376
5.655.278
80,83
1985
12.779
2.375
22,83
21.621.955
8.970.579
70,91
1987
14.405
1.626
12,72
27.911.537
6.289.582
29,09
1989
14.951
546
3,79
37.473.498
9.561.961
34,26
1991
14.927
-24
-0,16
37.711.670
238.172
0,64
2001
12.190
-2.737
-18,34
35.433.134
-2.278.536
-6,04
2005
15.196
3.006
24,66
36.514.718
1.081.584
3,05
2006
15.991
795
5,23
34.523.452
-1.991.266
-5,45
2007
16.098
107
0,67
34.932.365
408.913
1,18
2010
21.595
5.497
34,15
46.068.491
11.136.126
31,88
2011
21.991
396
1,83
47.400.444
1.331.953
2,89
2012
16.952
-5.039
-22,91
44.118.384
-3.282.060
-6,92
2013
13.428
-3.524
-20,79
32.118.305
-12.000.079
-27,20
Sumber : Diolah Dari Data Laporan Tahunan dan Dokumen KPBS
91
Lampiran 3 Pedoman Wawancara PEDOMAN WAWANCARA (Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung) No : Hari, Tanggal : Tempat : I. Identitas Responden 1. Nama Lengkap 2. Umur, Jenis Kelamin 3. Alamat 4. Pendidikan Terakhir 5. Pekerjaan utama atau sampingan 6. Lama Beternak (Untuk Peternak) 7. Mulai Menjadi Anggota Koperasi 8. No.Id, Kelompok, dan TPK 9. Jumlah Tanggungan Keluarga 10. Pendidikan Orang Tua
: : : : : : : : : :
II. Moda Produksi 1. Kekuatan Produksi a. Peralatan yang digunakan dalam usaha peternakan (dulu-sekarang). b. Dari mana alat tersebut diperoleh dan bagaimana prosesnya? c. Berapa harga masing-masing alat tersebut? d. Bagaimana pembayaran alat produksi tersebut (cash, kredit, atau pinjam) e. Alternatif pembayaran selain membelinya dengan uang, dan bagaimana mengatasinya? f. Adakah perubahan yang terjadi dahulu hingga saat ini mengenai jenis, jumlah dan kualitas? g. Untuk proses produksi adakah perbedaan dan persamaan antara kapitalis dan non kapitalis? h. Adakah peran teknologi dalam usaha peternakan? i. Bagaimana mekanisme atau proses produksi secara tradisional maupun modern dalam usaha peternakan? j. Bagaimana keterlibatan tenaga kerja secara masal, statusnya dan hal-hal yang mendasarinya? k. alokasi curahan tenaga kerja atau jam kerja dalam proses produksi usaha peternakan sapi perah? l. Manajemen dan kepemilikan dalam proses produksi? m. Kualitas produksi susu yang dihasilkan untuk yang peternakan rakyat dan perusahaan besar? n. Bagaimana bentuk ekspansi usaha yang dilakukan? o. Siapa saja yang menentukan atau bereran penting dalam kegiatan proses produksi? p. Bagaimana memperoleh pakan hijauan dan konsentrat?
92
q. Bagaimana menghadapi hambatan atau tantangan adakah kegiatan produksi yang dipengaruhi musim? 2. Hubungan Produksi a. Sistem rekruitmen buruh (seleksi dengan kriteria tertentu, family, teman dekat, tetangga dekat dll) dengan pertimbangan argumentasi dan pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi? b. Adakah pola pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di dalam Rumah Tangga? c. Bagaimana perbedaan akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap keuangan rumah tangga? d. Bagaimana Sistem pengupahan (gaji bulanan/ tetap, harian, mingguan, borongan, bagi hasil, dll) dengan dasar argumentasi dan pertimbanganpertimbangan sosial ekonomi? e. Dalam hal apa saja peternak bekerjasama dengan peternak lain? f. Bagaimana mekanisme dalam hal bagi hasil, Paro, atau gaduh? g. Bagaimana penentuan kelompok harga? Berdasarkan apa? Dan bagaimana mekanismenya? h. Untuk standar upah, kisaran besarnya upah dari waktu ke waktu dan dasar-dasar yang dijadikan pedoman dalam penentuan upah? i. Apakah ada konflik yang pernah muncul antara buruh dan majikan, dalam bentuk yang bagaimana dan mengapa demikian? j. Berbicara kapitalisme kecil aras lokal dengan case study satu atau beberapa pengusaha lokal dalam usaha produksi peternakan sapi perah. Dengan melihat a) sejarah berdirinya usaha, b) jatuh bangunnya usaha, c) ekspansi usaha dan kiat untuk bisa bertahan. III. Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah 1. Kedudukan sosial : di dasarakan pada usia dalam keluarga, kekayaan, derajat pengaruh atau tradisi, pendidikan, pekerjaan, dan penghormatan. - Bagaimana posisi peternak dengan skala pemilikan ternak sapi perah kecil, mengah, dan besar. - Bagaimana peran struktur keluarga dalam aktivitas peternakan sapi perah? - Siapa yang mendominasi dalam struktur tersebut? - Bagaimana tradisi yang berkembang dalam pemeliharaan ternak sapi perah? - Apakah dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi keberlanjutan usaha peternakan sapi perah? - Penghormatan atau penghargaan yang seperti apa yang diberikan oleh komunitas peternak sapi perah? 2. Lembaga-lembaga sosial yang tercakup pola perilaku yang terorganisasi ke dalam lembaga-lembaga politik, ekonomi, agama, pendidikan keluarga, dan kelompok formal dan informal. - Keterlibatan peternak sapi perah dalam kelembagaan masyarakat? Mana yang paling menonjol? - Apakah dengan keterlibatan berorganisasi di lembaga-lembaga masyarakat dapat meningkatkan posisi di komunitas peternak?
93
3. Derajat konformitas terhadap pelaku yang pantas atau yang dikehendaki oleh masyarakat mencakup titik paling patut sampai pada penyimpangan dan penyelewengan. - Seberapa besar konformitas dari peternak dengan skala kepemilikan ternak besar? - Siapa yang biasanya didengar dalam pengambilan keputusan berkelompok dalam komunitas peternak sapi perah? 4. Kelompok-kelompok sosial yang didasarkan pada ciri atau pola perilaku yang nyata - Bagaimana peran ketua kelompok dalam meningkatkan pencitraan kelompoknya? - Dalam perkembangannya, beraoa jumlah kelompok yang terbentuk dan apa alasannya? 5. Gaya hidup (life style) - Bagaimana gaya hidup bagi peternak dengan skala kepemilikan kecil, menengah dan besar? - Apa yang mempengaruhi dalam perubahan gaya hidup? - Siapa yang berperan besar dalam perubahan gaya hidup? 6. Dimensi pola-pola hubungan sosial yang ada dalam masyarakat. - Bagaimana hubungan peternak dengan peternak lain? - Bagaimana hubungan peternak dengan kelembagaan lokal? - Bagaimana hubungan peternak dengan penyedia input produksi? - Bagaimana hubungan peternak dengan instansi pemerintahan? - Bagaimana menjaga hubungan tetap harmonis?
94
Lampiran 4 Foto-foto Penelitian Kecamatan Pangalengan
Gambar 1 Peternakan Sapi Perah Rakyat di Pangalengan
95
Gambar 2 Perusahaan Peternakan Sapi Perah Di Pangalengan
96
Gambar 3 Penyetoran Susu ke Tempat Pelayanan Koperasi (TPK)
Gambar 4 Cara Pengangkutan Pakan Hijauan di Pangalengan
97
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi Jawa Barat pada tanggal 29 Januari 1981 dari pasangan H. Deden Djakaria dan Hj. E. Sri Warty. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis selesaikan di kota kelahiran. Pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan menamatkan pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sebelum melanjutkan pendidikan lanjutan, penulis dipercaya mengikuti pendidikan SUSCADOS DIKWAR (Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaran) tingkat Nasional. Selain mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang diampu, penulis menjadi asisten dosen dalam beberapa mata kuliah seperti Sosiologi Umum, Sosiologi Pedesaan, Sosiologi Pembangunan dan mata kuliah yang lainnya. Penulis melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan Beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPPS) pada tahun 2010. Pada tanggal 14 Maret 2009 penulis menikah dengan Viani Puspita Sari dan dikaruniai 2 orang anak yang pertama pada tanggal 12 Maret 2010 bernama Hafidzah Alivia Sybilla Mauludin dan yang kedua dengan nama Muhammad Ikram Syafiq Mauludin pada tanggal 1 Juni 2013.