Deri Prabudianto
Satu Pesta malam itu meriah sekali. Selfie merasa bahagia sekali. Ia mendapatkan seorang suami yang ganteng, kaya lagi. Tapi sesungguhnya ia tak menikmati kegembiraannya. Malam pengantin dirasanya hambar sekali. Ahuan memang melakukan tugasnya dengan baik, dan ia menyerahkan kesuciannya sebagai seorang istri yang masih perawan. Semua berjalan normal. Di mana-mana berhiaskan kain merah, kertas merah bergambar Double Happiness (Siang Hi), perlambang kebahagiaan ganda. Tapi, apakah ini betul-betul double happiness atau hanya single happiness? Sejak SMP ia sudah mengenal uang sebagai sumber kebahagiaan, sumber kesenangan, sumber segala harapan di masa depan. Keluarganya memang diakui salah satu keluarga kaya di Bengkalis, tapi siapa yang tahu kondisi sebenarnya. Berkali-kali ia mendengar papa dan mamanya berunding di dalam kamar, mengatakan mereka masih berjaya karena Atan Canggung tidak menarik investasi yang ditanam pada bisnis
1
Bulan Jatuh ke Kolam
pelayaran keluarganya. Sejak itu ia sadar orang yang kaya itu bukan papanya, tapi Atan Canggung atau yang sehari-hari ia memanggilnya Tan Pek. Usia Tan Pek lebih tua dari papanya sehingga ia harus memanggil A Pek, yang artinya paman lebih tua dari papa. Sejak itu ia berusaha menarik perhatian Tan Pek yang selama ini memang dekat dengan keluarga Wu. Tapi tampaknya Tan Pek lebih sayang terhadap abangnya, Wu Ping An. Ping An orangnya pendiam, tak suka bertingkah, dan penyabar. Ia orang yang tak mampu menahan nafsu. Melihat makanan enak, ingin membeli, melihat pakaian bagus, ingin membeli, melihat apa saja yang bagus, ingin memiliki. Meminta kepada orang tuanya, hanya ibunya yang bersedia memenuhi permintaannya, sedangkan papanya tak pernah mau tahu. Bagi papanya anak perempuan tak harus dipenuhi kehendaknya. Setelah menikah pasti ikut suami. Ping An begitu tamat SMA langsung dikuliahkan ke Jakarta. Ia merengek setengah mati baru diizinkan. Selama ini ia selalu berhasil memanfaatkan kelemahan Tan Pek. Tan Pek tak punya anak, Tan Pek suka terhadap anak-anak. Ia sengaja bermanjamanjaan dengan Tan Pek dengan harapan suatu saat Tan Pek mengangkatnya sebagai anak. Ping An anak tertua keluarga Wu, tak mungkin papanya mengizinkan andai Tan Pek ingin mengangkat Ping An sebagai anak angkat. Menyadari hal ini, Selfie semakin yakin suatu saat dialah pewaris Paviliun Hong Leong dengan kekayaannya yang luar biasa. Ia sudah sering diajak ke Kebun Sayur. Baginya, itu tempat yang mengerikan. Sepi sekali dan penduduknya jarang-jarang. Jalannya kalau musim hujan becek sekali. Ia tak menyukai Kebun Sayur, tapi Tan Pek betah tinggal di sana. Berkali-kali ia meminta Tan 2
Deri Prabudianto
Pek pindah ke Bengkalis. Tan Pek berdalih Bengkalis bukan tanah keberuntungan baginya. Selfie tidak putus asa. Bila ia diangkat sebagai anak angkat, ia pasti mewarisi seluruh harta Tan Pek. Ia akan menjual Kebun Sayur dan menikmati hidupnya dengan tetap tinggal di Bengkalis. Tan Pek semakin lama semakin sayang padanya, buktinya ia diberi kamar no. 1, kamar yang pernah menjadi simbol senioritas dalam sebuah keluarga. Tiba-tiba semua harapannya tercabut dan terhempas, hanya gara-gara kehadiran seorang penjual ikan asin yang ditaksir abangnya untuk dijadikan istri. Sejak semula ia tak suka terhadap Acu, tapi entah kenapa papa dan mamanya tidak menentang. Ia tak mungkin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap calon kakak iparnya, oleh sebab itu ia menghasut Akuan yang bodoh agar menggaet Acu di saat abangnya sedang di Jakarta. Sayangnya si bodoh Akuan berhasil dipecundangi dengan mudah oleh penjual ikan asin itu. Geramnya setengah mati. Celakanya, tahun berikutnya ia pulang, Tan Pek sudah berkenalan dengan Acu, bahkan mengajak Acu ke Kebun Sayur. Selfie merasa posisinya terancam. Ia ingin mencekik Ping An seandainya bisa. Ping An yang telah mengenalkan Acu dengan Tan Pek sehingga semua rencananya berantakan. Sampai sekarang ia masih heran, kenapa Tan Pek bisa suka terhadap seorang gadis penjual ikan asin yang jelas-jelas anak haram! Ia tahu dengan jelas Acu bukan anak Gi Tong, dan entah kenapa papa dan mamanya tak mempersoalkan, padahal jelas-jelas jika Ping An menikah dengan seorang perempuan yang belum ketahuan marganya, itu akan 3
Bulan Jatuh ke Kolam
memalukan keluarga Wu. Papa-mamanya mulai sinting, atau jangan-jangan didukuni oleh si penjual ikan asin itu. Ketika Tan Pek semakin sering menyinggung nama Acu, ia tahu posisinya semakin terancam, tapi setelah tahu kamarnya digeser ke nomor 2 di Paviliun Hong Leong, ia tahu ia sudah tak punya harapan lagi. Acu telah merampas segalanya dari tangannya, dan orang tuanya tidak membelanya sama sekali. Seharusnya papa-mamanya membelanya, bukankah jika ia mendapatkan warisan Tan Pek, akan mengharumkan nama keluarga Wu. Bukan saja papanya tidak membelanya, bahkan menamparnya. Dulu papanya tak pernah menamparnya. Kenapa papanya begitu membela si penjual ikan asin? Acu jelas-jelas hanya seorang anak yang tak jelas marganya, kenapa harus dibela, bahkan terkesan terlalu dibela sampai mengesampingkan anaknya sendiri! Aku benci Papa! Aku benci Acu! Aku benci Wu Ping An! Aku Benci Tan Pek! Mulai detik ini aku bukan Wu She Fi lagi, mulai detik ini aku Nyonya Chang Tung Huan, dan akan kuajak suamiku melibas orang-orang yang kubenci, termasuk Papa! Kita lihat nanti keluarga Wu, keluarga Auyang, dan keluarga Chang, mana yang lebih unggul! Siapa orang kaya Bengkalis yang sesungguhnya! *** Acu mengamati motor pemberian Tan Pek. Jari-jarinya mengkilat, tidak menempel debu sebutir pun. Motor ini akan 4
Deri Prabudianto
membawanya ke Ulupulau, menemui adik-adiknya. Jarak Bengkalis ke Selatbaru 18 km, untuk sampai ke Ulupulau 22 km. Jika naik sepeda, itu butuh 2 jam lebih. Dengan motor cukup 1 jam. Dengan sepeda harus mengayuh hingga sakit pinggang. Dengan motor bisa bersantai dan menikmati pemandangan di jalan. “Duh… duh… duh, beginilah enaknya menjadi calon istri seorang Wu Ping An,” cerocos Yanti yang dari tadi iri setengah mati melihat Acu mendapat motor segampang membalikkan telapak tangan. “Tan Pek mengatakan motor ini untukku, karena aku bekerja padanya, bukan karena aku calon istri Wu Ping An,” protes Acu. “Tanpa diajak Ping An menemuinya apa mungkin kamu mengenal seorang Tan Pek?” balas Yanti. Acu kontan terdiam. Tanpa Ping An ia bukan apaapa, tanpa Ping An ia masih seorang gadis penjual ikan asin. Hidupnya diangkat berkat Wu Ping An. Sanggupkah aku menyalahkan Ping An andai suatu saat ia mengkhianatiku? “Betul. Hidupku berubah karena Ping An dan sebuah kompor, aku harus berterima kasih padanya, dan selamanya berterima kasih padanya,” gumam Acu seperti orang linglung. Bulan Februari ia sudah mengambil seluruh hari liburnya. Maret ia merencanakan akan menaiki motor ini untuk menjumpai adik-adiknya. Mudah-mudahan ibunya tidak mengusirnya, doanya dalam hati. Selama 3 tahun berturut-turut, Wu Se Kiong mengalami karam kapal 3 kali. Ketiga kapalnya tidak diasuransikan berhubung sudah uzur. Pada kasus pertama, kapal yang 5
Bulan Jatuh ke Kolam
dibawa Gi Tong, Se Kiong tidak menderita kerugian karena Gi Tong menjaminkan rumahnya, tapi kapal kedua berangkat atas perintahnya. Kerugiannya ditanggung dirinya sendiri. Kapal ketiga tersangkut beting pasir dan karam. Itu juga kerugian yang harus ditanggungnya sendiri. Kehilangan 3 kapal sangat memukul bisnisnya, apalagi biaya kuliah ketiga anaknya di Jakarta selama ini sangat tinggi. Walau perekonomiannya sedang menuju kehancuran, Se Kiong tak ingin keterpurukannya tercium oleh orang lain. Bisnis ibarat berebut tulang di antara sesama serigala, dan sesama serigala adakalanya saling memangsa. “Sudahlah, Kiong. Jangan terlalu memikirkannya.” Ahue mengelus bahu suaminya. Sudah lama sejak akhirakhir ini suaminya terserang insomnia. “Kita berharap kepada Acu. Mudah-mudahan ia tidak memutuskan Ping An secara mendadak. Atan sudah tua, sudah malas berinvestasi. Kita berharap Acu tidak keras kepala ketika Atan mengakui dosa-dosanya.” “Tidurlah, jangan memikirkan bisnis lagi. Kesehatanmu harus dijaga. Selfie sudah menikah, berkurang satu bebanmu. Kita harus rajin berdoa agar Acu tidak menuduh kita tahu masa lalunya tapi sengaja menutupi dari pengetahuannya.” “Ya, tampaknya aku harus rajin berdoa dan berharap Acu tidak menyimpan sakit hati terhadap kita.” Ahun mengecilkan lampu, berusaha membuat suaminya nyaman agar cepat terlena. Keduanya sama sekali tak tahu sesuatu yang hebat akan mengancam bisnis mereka. *** 6
Deri Prabudianto
Acu menunggu dengan penuh kesabaran. Belum sebulan berpisah dengan adik-adiknya, tapi kangennya sudah segunung. Ia rindu celoteh Ali yang ceria, ia rindu tingkah Atan yang nakal. Betapa inginnya ia berangkat sekarang, tapi Tan Pek orang yang gampang berubah pikiran. Betul, saat memberikan motor ia mengatakan akan membagi 2 hari liburnya agar Acu bisa menemui adik-adiknya, tapi bisa saja tiba-tiba ia berubah pikiran, muncul tiba-tiba dan meminta Acu ikut dengannya. Acu ingin Tan Pek mengajaknya duluan, dan setelah itu jika masih tersisa 2 hari, barulah ia mengunjungi adik-adiknya. Jadi orang harus memegang teguh janji, jangan sampai ia dinilai Yanti terlalu memanfaatkan kebebasan sehingga kebablasan. Tanggal 15 Maret Tan Pek muncul tiba-tiba sekitar jam 10 pagi. Acu berusaha bersikap tenang dalam menghadapi lelaki tua yang dinilainya tak berani bertanggung jawab. Dia tak bersedia mengakui aku sebagai anaknya, aku juga bisa berlagak beloon, pura-pura tak tahu ia papa kandungku. Biar kita bertahan siapa yang buka rahasia duluan, tekad Acu dalam hati. “Liburmu sisa berapa hari?” tanya Tan Pek begitu tiba di hadapan Acu. “Empat!” Acu mengacungkan 4 jari. “Kenapa tidak mengunjungi adik-adikmu?” “Acu takut Tan Pek berubah pikiran. Jadi, sebaiknya menunggu ada sisa cuti baru ke Selatbaru.” “Kalau sudah kubilang 2 hari ke Kebun Sayur dan 2 hari untukmu mengunjungi adik-adikmu, itu pasti kutepati.” “Jadi, Tan Pek orang yang bisa dipercaya?” tantang Acu berani. 7
Bulan Jatuh ke Kolam
“Tentu saja. Umurku sudah 55 tahun! Selama ini omonganku selalu bisa dipercaya.” “Pernahkah Tan Pek melakukan sebuah kesalahan tapi enggan mengakuinya?” Tan Pek tersentak. Dia sudah tahu! keluhnya dalam hati. Sejauh mana dia tahu? tanyanya pada dirinya sendiri. “Apa yang kamu maksudkan?” tanya Tan Pek dengan wajah pucat. Acu melihat Tan Pek berkeringat dingin. Ia semakin berani. “Acu sengaja menunggu Tan Pek datang, ingin meminta Tan Pek menemani Acu ke Ulupulau. Acu belum mahir naik motor, Acu lihat Tan Pek sangat ahli. Gimana jika Tan Pek memboncengku ke Ulupulau, menjumpai mamaku, berkenalan dengannya, sekaligus Acu pamit agar bisa ikut Tan Pek bekerja ke Kebun Sayur. Bukankah begitu baru namanya Tan Pek bisa dipercaya omongannya dan kunilai bertanggung jawab?” Acu menatap Tan Pek, ingin melihat reaksi Tan Pek. Wajah Tan Pek yang sudah pucat semakin pucat, keringat dingin mengucur deras di dahinya. Ia harus menjumpai Ahun? Ini tak boleh terjadi. Ini yang paling ditakuti seumur hidupnya. Tiba-tiba ia merasa dadanya sesak dan lambungnya terasa perih, serasa perutnya ingin meledak. Ia memegang dadanya dan merintih. “Karma. Dosa yang mengejarku. Ya, Tuhan. Ampuni aku, ya Tuhan.” Acu melihat wajah Tan Pek pucat pasi. Ia mengira Tan Pek hanya ketakutan, sama sekali tak tahu Tan Pek sedang diserang rasa sakit di dada dan perutnya. Tubuh gempal itu oleng hampir mengenai kaca etalase andai Acu tidak menahannya. 8
Deri Prabudianto
“Tan Pek!!! Kenapa, Tan Pek??!” jeritnya. Yanti memburu ke arahnya, berusaha membantu Acu menahan tubuh itu agar jangan terguling. “Karma. Dosa yang mengejar... ahhh...,” rintih Tan Pek lirih. “Tan Pek!!! Tan Pek!!! Jangan membuatku ketakutan. Aduh, maafkan Acu. Acu tak bermaksud mendesak Tan Pek. Tan Pek!!! Tan Pek!!!” jerit Acu keras. “Sui Ling! Panggil becak!!! Cepat!!!” teriak Yanti. Sui Ling berlari ke jalan mencegat becak yang lewat, sementara Yanti dan Acu menopang Tan Pek dibawa berjalan menuju becak yang kebetulan lewat dan langsung berhenti. “Ke rumah sakit!” teriak Yanti kepada tukang becak. Acu terbengong. Andai Tan Pek kena serangan jantung akibat desakannya, dosanya tak terampunkan. Acu merasa sangat berdosa. Ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun saat becak mulai berjalan setelah ia naik, Yanti menyusul naik motor, sementara toko ditinggal begitu saja hanya dijaga Sui Ling. Satu jam kemudian Acu mendapati dirinya duduk terbengong di depan kamar gawat darurat seorang diri. Ia meremas tangannya, gelisahnya tak tertahankan. Kenapa aku harus mendesaknya? Dari dulu Ping An mengatakan Tan Pek sakit ginjal. Sekarang ia tahu Tan Pek bukan hanya sakit ginjal, tapi mungkin jantungnya juga lemah. Aku baru tahu dia ayah kandungku, aku sudah mendesaknya hingga sakit parah begini. Andai dia meninggal, alangkah berdosanya diriku. Sejelekjeleknya dia, lebih berharga hidup daripada mati. Aku berjanji, andai dia sehat seperti semula, aku tidak akan mendesaknya lagi. Biarlah 9
Bulan Jatuh ke Kolam
kebenaran yang mengungkapkan apakah betul dia ayah kandungku atau bukan. “Ya, Tuhan. Tolong sembuhkan Tan Pek. Tolong biarkan dia hidup lebih lama. Aku berjanji akan merawatnya dengan baik. Aku akan menganggapnya sebagai ayahku entah dia betul-betul ayahku atau bukan. Tuhan, berikan kasih-Mu agar Tan Pek sehat kembali. Apa pun yang terjadi, Acu berjanji akan merawatnya dengan baik.” Waktu berjalan dengan lambat. Penyesalan Acu semakin mendalam. Andai ia tak mendesak Tan Pek untuk menjumpai ibunya, tak mungkin Tan Pek kaget dan jatuh sakit. Dari dulu Tan Pek tak suka terhadap ibunya, tak bersedia bertemu ibunya, kenapa ia harus mendesak Tan Pek? Yanti hanya mengantar sampai rumah sakit. Setelah Tan Pek dimasukkan ke ruang ini, Yanti kembali ke toko. Acu tinggal sendirian menunggu dalam ketidakpastian. Dunianya sudah terasa sepi sejak pindahnya adik-adiknya ke Selatbaru, akan bertambah sepi jika Tan Pek meninggal. Selama ini walau Tan Pek sering bersikap dingin dan misterius, tapi Acu suka padanya. Acu seakan-akan menemukan pengganti Gi Tong pada diri Tan Pek. Ternyata sangat berkemungkinan Tan Pek ini ayah kandungnya. Hari ini ia mendesak Tan Pek hingga ketakutan, hingga terserang penyakit jantung, Acu merasa sangat berdosa. Jam demi jam berlalu, dan rasanya sangat tersiksa menunggu dalam ketidakpastian. Perawat keluar masuk, tapi tetap tak mengizinkannya masuk. Acu gelisah setengah mati. Hampir jam 5 baru dokter menjumpainya. “Masa kritis sudah lewat, kamu boleh menjumpainya, tapi hanya boleh melihat, jangan mengajaknya bicara. Kalau 10