Deri Prabudianto
Satu Namanya Bai Siancu. Siancu artinya mutiara dewa, namun orang-orang memanggilnya Acu. Keluarga Acu bukan pedagang seperti layaknya keturunan Tionghoa yang bermukim di Kota Bengkalis. Papanya Acu bekerja di kapal pengangkut barang, jarang berada di rumah. Penghasilan papanya Acu tidak terlalu tinggi sehingga Acu terpaksa bekerja meski baru berusia 15 tahun. Acu masih bersekolah di kelas 3 SMPN Bengkalis. Pagi-pagi ia sudah bangun, memasak bubur untuk sarapan pagi, setelah itu berangkat sekolah dengan memakai seragam. Jam 5.45 ia sudah berangkat. Ini terlalu pagi untuk bersekolah. Namun sebelum ke sekolah, ia harus membantu pamannya membuka toko dan menata barang dagangan. Pamannya bernama Beng Huat, membuka toko sembako di depan pasar ikan. Di depan pasar ikan terdapat Kelenteng Hok An Kiong. Sebelum membantu pamannya, Acu singgah ke kelenteng, menghidupkan dupa, dan berdoa bagi keselamatan papanya yang sedang berlayar di lautan. Setelah berdoa ia berjalan 1
Namaku Acu
ke gang kecil di samping kelenteng. Di situlah pamannya membuka toko. Jam 6 pagi Toko Makin Jaya dibuka oleh Beng Huat, Acu datang membantu pamannya menata barang. Acu menata ikan asin yang dipajang di dalam keranjang agar enak dilihat dan menarik bagi pejalan kaki yang lewat di samping kelenteng menuju pasar ikan. Udang Ebi digemburkan dengan tangan supaya yang besar timbul di permukaan. Acu mengambil 2 ekor yang kecil dan memakannya. Ini penambah gizi karena buburnya tidak memakai lauk apa pun. Cabai kering diperciki sedikit air agar kelihatan manis dan menantang. Tahu kering, bumbu masakan yang telah dibungkus, dan barang ringan digantung di depan toko. Lobak asin disejajarkan dalam sebuah wadah segi empat. Jam 6.45 ia pamit untuk berangkat ke sekolah. Pamannya memberi upah sekadarnya. Inilah uang yang digunakan Acu sebagai uang jajan, sebagian lagi ditabung untuk membayar SPP dan keperluan sekolah. Ia bersekolah dari jam 7 pagi hingga 12.30 siang. Pulang sekolah ia langsung ke toko pamannya. Ia mendapat jatah makan seadanya, terkadang sisa lontong yang tak habis dijual penjual lontong. Setelah makan siang ia membantu pamannya melayani pembeli. Pamannya hanya mempekerjakan seorang pekerja, selebihnya dikerjakan sendiri. Menurut pamannya, keuntungan tokonya tidaklah besar sehingga tidak bisa menggaji lebih dari seorang pekerja. Sorenya toko tutup jam 5 sore. Acu memasukkan barang yang dipajang ke dalam toko. Ini rutinitasnya setiap hari. Barang yang dimasukkan harus ditaruh dengan baik. 2
Deri Prabudianto
Tahu kering tidak boleh patah, begitu juga kayu manis Cinnamomum verum (penyedap masakan). Kalau patah, ia kena omel pamannya. Jam 5.30 pekerjaannya beres. Pamannya memberinya upah lagi. Upah sore ini tergantung rezeki pamannya. Jika penjualan hari itu bagus, Acu mendapat upah yang lebih banyak, tapi jika sedang musim hujan, pembeli sedikit, upah yang diterimanya juga ikut sedikit. Setelah capek bekerja, Acu bersantai ke dermaga pasar ikan. Sesekali Acu membeli sebatang es lilin, dan berjalan ke pasar ikan. Di belakang pasar ikan terdapat dermaga kecil tempat nelayan membongkar muatan, juga merupakan dermaga bagi perahu yang datang dari desa-desa di seluruh Kabupaten Bengkalis. Acu duduk di dermaga. Tatapannya diarahkan ke laut. Di depannya terdapat Pulau Sumatera yang memanjang dari kiri ke kanan seakan-akan tak ada ujungnya. Pantulan sinar mentari yang akan terbenam membias di permukaan air, menciptakan warna keemasan. Es lilinnya mulai mencair, dijilatnya dengan lidahnya. Rasanya sangat nikmat. Inilah kemewahan yang bisa dinikmatinya sesekali. Di rumahnya tak pernah ada susu. Gula hanya tersedia jika papanya pulang. Setiap hari meneguk air putih atau teh pahit, makan bubur dengan lauk seadanya. Seadanya artinya sup sawi, lobak asin ceplok telur, goreng ikan asin, atau taoco asin dikasih bawang dan ikan teri. Bahkan lebih sering mereka makan bubur daripada nasi agar gampang ditelan. Ibunya seorang pembuat keripik singkong. Adiknya 3 orang. Semua butuh makan, butuh biaya hidup.
3
Namaku Acu
Di dermaga ini Acu suka sekali menatap ikan tembakol (atau disebut juga ikan glodok). Ikan tembakol sejenis ikan yang aneh, bersirip kecil agak lebar ke samping, tapi bisa digunakan sebagai kaki untuk meluncur di permukaan lumpur, bahkan bisa untuk memanjati akar bakau yang tumbuh di tepi pantai. Kadang-kadang timbul sifat usilnya. Jika melihat ikan tembakol berkumpul beberapa ekor, Acu akan melempar sesuatu ke arah ikan-ikan itu. Ikan-ikan itu meluncur menghindari timpukan. Acu tertawa melihat ulahnya. Ia sering mengukur seberapa jauh seekor tembakol bisa menghindari timpukannya. Ternyata jauh juga. Sekali meluncur bisa 3 - 5 meter. Siklus air pasang berubah setiap hari. Ini membuat Acu tidak bisa setiap hari menikmati tontotan Pertandingan Meluncur - Ikan - Tembakol - Gara-Gara - Dilempari - Acu. Fase perputaran bulan mengelilingi bumi menyebabkan siklus pasang surut tidak sama setiap hari. Jika bulan sedang berada di atasnya, maka saat ia berada di dermaga, air akan pasang memenuhi pantai, saat seperti itu tak mungkin ia melihat ikan tembakol meluncur di pantai, melainkan digantikan oleh anak-anak yang berenang di air yang menurut Acu kotor sekali. Banyak orang membuang sampah ke laut, dan jika pasang, sampah itu dibawa ombak kembali menghempas ke pantai. Walau dermaga itu menjorok agak jauh ke laut, tetap saja menurut Acu airnya kotor. Anak-anak selain berenang juga suka mengganggu Acu. Jika Acu duduk di dermaga, mereka suka melompat dari tonggak yang tinggi sehingga airnya muncrat mengenai Acu. Acu memaki mereka, tapi mereka semakin getol mengerjai Acu. 4
Deri Prabudianto
“Siancu ancur lebur! Suka termenung seorang diri! Pengin jadi hai oo!!!” ejek salah seorang anak, tetangganya Acu, namanya Wu Bengkai, tapi hanya dipanggil Akai. Hai ou artinya burung camar, tapi dalam bahasa Hokkian hai ou diucapkan mirip phai poo yang artinya pelacur. “Bangkai, bangkai, mandinya sampah dan air bangkai! Pengin jadi okui!!!” balas Acu. Okui merupakan ledekan bagi orang yang berprofesi sebagai penjual wanita atau germo. Keduanya saling mengejek, dan itu sudah terjadi sejak lama sekali. Acu sudah tak ingat sejak kapan mereka saling mengejek, mungkin sudah sejak SD. Aslinya mereka bertetangga karena rumah mereka bersebelahan. Setiap ketemu, di mana pun dan kapan pun, keduanya saling mengejek. Acu memaki Akai okui, dan Akai memaki Acu hai ou. Sore ini tak ada sesiapa di pantai. Air sedang surut, tak mungkin orang terjun berenang kecuali mau berkubang di lumpur. Acu menjilati es lilinnya hingga licin, setelah itu membuang tangkainya. Ia menatap langit dan berdoa.... “Ya, Tuhan, berkati agar Papa selalu selamat dalam pelayarannya. Semoga ia membawa pulang uang yang banyak untuk kami. Berkati Mama agar selalu sehat dan kuat, agar kami tidak menderita kelaparan. Para Dewa yang bersemayam di langit, berkati agar kehidupan kami membaik. Adik-adik sehat dan akur, dapat bersekolah terus hingga tamat.” Acu menaruh kedua tangannya di dada, menatap langit, menatap laut, kemudian berjalan pulang ke rumahnya.
5
Namaku Acu
Pulang ke rumah, Acu mengambil sapu dan menyapu dedaunan yang bertebaran di halaman. Rumah mereka berukuran 10 x 25 m. Lima meter di depan merupakan halaman yang lega. Acu menanam berapa bunga soka. Di sudut rumah ada sebatang pohon jambu air. Antara rumahnya dan rumai Akai hanya dibatasi sebuah parit kecil. Di sebelahnya, bagian sudut rumah Akai yang berbatas dengan jalan, terdapat sebatang pohon mangga. Pohonnya sudah tinggi, tapi belum pernah berbuah. Pohon jambu dan pohon mangga inilah penebar dedaunan yang menambah pekerjaan Acu di sore hari. Rumah Acu berukuran 8 x 16 m, terdapat 3 buah kamar, dapur, ruang tamu, dan sebuah gudang. Di samping rumah bagian kiri dan kanan masih tersisa tanah sekitar 1 meter, dan di belakangnya masih ada tanah kosong sekitar 4 meter, tempat berdirinya sebuah kandang ayam, sumur kecil, kamar mandi kecil, dan tempat menjemur pakaian. Kondisi rumah Akai tak jauh berbeda. Rumah mereka terletak di sebuah gang bernama Gang Sawo di ujung Jalan Rumbia. Rumah yang terletak di gang pertanda penghuninya bukan orang yang makmur perekonomiannya. Setelah menyapu halaman, Acu pergi mandi. Sambil mandi ia mencuci seragamnya yang merangkap baju kerja dan pakaian sehari-hari. Semua bajunya baju seragam, tak ada baju warna-warni. Bajunya tak pernah putih lagi, agak kekuningan karena dicuci dengan air sumur yang agak kehitaman. Ia mempunyai 7 setel pakaian seragam. Setiap hari berganti baju tapi tetap dengan warna yang sama. Kalau ia malas mencuci atau besoknya memakai baju yang sama, 6
Deri Prabudianto
maka teman-temannya akan meledeknya bau ikan asin, dan menutup hidung dengan jari, satu orang memulai dan diikuti sekelas. Mau tak mau Acu harus rajin mencuci baju setiap hari. Makan malam tak ada acara makan bersama. Siapa lapar makan duluan. Kedua adik lelakinya selalu makan duluan. Keduanya berumur 8 dan 12 tahun, sedang masa kuat makan. Adik terkecilnya perempuan, baru 6 tahun, baru masuk SD, namanya Sian Li (bidadari kayangan). Acu selalu makan bareng dengan Ali, dan berusaha mengajak ibu mereka makan bersama, namun jika ibunya sedang sibuk, mereka disuruh makan duluan. Ibunya selalu sibuk mengupas singkong, mengiris singkong, menjemur singkong, menggoreng singkong, dan membungkus keripik singkong. Setelah makan malam, Acu membantu ibunya menyusun singkong yang telah diiris di atas lempengan anyaman bambu agar irisan singkong tidak saling lengket satu sama lain. Jika saling lengket saat digoreng lambat kering atau tidak masak sama sekali. Acu tidur bersama Ali dalam satu kamar. Sebelum tidur ia belajar sejenak. Tidak ada lampu listrik, yang ada hanya lampu teplok bersumbu kain dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Ali ikut belajar bersamanya, sedangkan kedua adik lelakinya, Atan dan Aming selalu membuat keributan. Entah apa yang mereka ributkan, yang pasti mereka tidak berkelahi. Kalau berkelahi, ibu mereka akan berteriak memarahi mereka. Mereka kontan diam. Tak ada yang berani melawan omongan ibu mereka. Semua tahu penderitaan ibu mereka sudah cukup pahit, tak perlu 7
Namaku Acu
ditambah dengan kenakalan mereka. Sebelum jam 10 mereka sudah tidur. Sebelum tidur Ali selalu mengajukan pertanyaan yang sama dengan wajah polosnya: “Kapan kita kaya, Kak?” yang selalu dijawab Acu dengan jawaban yang sama: “Tunggu kita diberkati Dewa-dewa. Bersabar ya.” Tapi malam ini Ali mengajukan pertanyaan yang berbeda sama sekali dari malam-malam sebelumnya. “Tadi Sellin memamerkan boneka barunya. Matanya bisa menutup dan membuka sendiri. Kalau dipencet ia bisa menangis owek-owek!” cerita Ali dengan kalem sambil menatap kakaknya. Boneka yang dipencet bisa menangis merupakan boneka paling modern di masa ini, dekade 7080-an. “Terus?” tanya Acu. “Kapan kita sekaya keluarga Wu, Kak?” Acu tercenung mendengar pertanyaan adiknya. Mungkin harus menunggu bintang jatuh dari langit adikku, atau menunggu kamu besar dan diculik oleh pangeran keluarga Wu. Walau hatinya berkata demikian, namun ia selalu memberi harapan pada adiknya. “Jika kita rajin bekerja, rajin menabung, suatu saat kita pasti sekaya mereka.” Ali menganggukkan kepala. Entah sudah mengerti, belum mengerti sama sekali, atau malas bertanya lagi. Ia menutup mata dan pindah ke dunia impiannya. Acu juga menutup matanya. Kelelahan membuatnya gampang tidur. ................
8
Deri Prabudianto
Keluarga Wu merupakan salah keluarga kaya di Bengkalis pada dekade 70 hingga akhir dekade 80-an. Keluarga ini menguasai jalur pelayaran dan perdagangan. Rumah keluarga Wu terletak di pinggir laut, tak jauh dari gedung bioskop. Rumah ini terkenal besar dan mewah, mirip istana. Keluarga Wu juga terkenal dengan kedermawanannya. Setiap akhir tahun, menjelang perayaan Imlek, keluarga Wu akan memberikan sumbangan buat keluarga keturunan yang tak mampu. Pada saat ini, kepala keluarga Wu bernama Wu Se Kiong. Wu Se Kiong mempunyai beberapa putra dan putri, salah satunya bernama Wu Ping An. Wu Ping An paling sayang terhadap ibunya yang bernama Tan Mei Hue. Ke mana pun ibunya pergi, Ping An selalu menemani, termasuk ke kelenteng untuk berdoa. Pada saat cerita ini berlangsung, kebanyakan penduduk Bengkalis hanya mengenal sepeda sebagai kendaraan sehari-hari. Alat transportasi yang paling umum adalah becak. Motor baru satu-dua orang yang memakainya. Ping An bersekolah di SMA Negeri Bengkalis. Walau baru berusia 17 tahun, sikapnya sangat terpuji. Ia berwajah tampan, sopan, dan ramah terhadap setiap orang yang ditemuinya. Tubuhnya kerempeng. Sebagai bawaan orang kaya, ia malas berolahraga. Sore-sore ia sering menemani ibunya berdoa ke kelenteng. Mei Hue dan Ping An selalu ke kelenteng dengan menaiki becak. Setelah berdoa, mereka berjalan-jalan sambil berbelanja. Di Bengkalis berbelanja selalu dilakukan oleh ibu rumah tangga, jarang sekali menyuruh pembantu. Sore ini Nyonya Mei Hue membeli sebuah kompor hock, dan 9
Namaku Acu
kerepotan membawanya pulang berhubung naik becak bersama Ping An. Selain kompor, mereka juga membawa beberapa belanjaan lain. “Mama pulang naik becak, biar aku berjalan kaki,” ucap Ping An setelah naik ke becak turun lagi berhubung kompor itu jika dipegang menghalangi pandangan mereka. Padahal tujuan ibunya selain berdoa, berbelanja, juga bersantai menikmati sore. Di Bengkalis orang-orang mempunyai semacam kebiasaan, bangga sekali keliling kota dengan berbecak. Istilahnya sek kuei (berkeliling jalan). “Janganlah. Lebih baik kita panggil becak satu lagi,” ucap Nyonya Wu. Mereka melongok ke jalan di depan kelenteng. Tak ada becak sama sekali berhubung sore-sore begini banyak yang Sek Kuei alias berbecak ria. Dari tadi Acu mengamati tingkah ibu dan anak ini. Toko pamannya sudah tutup. Ia tak punya uang untuk ikut Sek Kuei, itu sebabnya ia menyendiri ke dermaga. Orang lain menikmati keramaian di jalan raya, ia menikmati keindahan di dermaga. Acu tak terlalu kenal dengan keluarga Wu. Ia hanya mendengar cerita orang bahwa Mei Hue ini orang yang sangat dermawan, dan Ping An merupakan anak kesayangan Wu Se Kiong. Ia mengamati Ping An. Secara keseluruhan penampilan Ping An cocok menjadi seorang pangeran. Senyumnya ramah. Tanpa sadar Acu menghampiri Nyonya Wu yang sedang melongok kebingungan mencari becak. “Cari apa, Nyonya Wu?” sapa Acu. “Oh, aku sedang mencari becak,” jawab Mei Hue ramah.
10