Deri Prabudianto
Satu Kebun Sayur suasananya begitu tenang. Selalu ada kicau burung di pagi hari dan kokok ayam bersahut-sahutan untuk membangunkan manusia agar melakukan aktivitas sehari-hari. Acu selalu bangun pada saat ayam berkokok. Dengan memakai baju tebal ia membawa bayi dalam perutnya berjalan di kebun untuk melancarkan peredaran darah di tubuhnya. Bidan mengatakan ia harus banyak bergerak agar gampang melahirkan. Ia tak berani berjalan terlalu jauh, hanya di sekitar belakang rumah, ini untuk memudahkan Ping An mencarinya. Ping An bangun lebih lambat. Biasanya Acu bangun jam 5.30 dan Ping An menyusulnya jam 6 pagi, menemaninya berjalan sebentar, setelah itu pulang untuk sarapan bersama. Setelah kematian Cetepe yang tragis, yang menghebohkan Bengkalis, dan Ping An dituduh pengirim foto-foto penyebab kematian Cetepe, seminggu kemudian Ping An tetap segar bugar tanpa disambar petir. Semua yakin bukan Ping An pengirim foto-foto itu. Siapa sesungguhnya pengirim foto-foto itu? Apa mungkin ada orang lain yang 1
Tagihan Cinta Masa Lalu
memotret selain Kim Pek? Pertanyaan ini terus menjadi pertanyaan, baik di benak Acu maupun Ping An. Bisnis Ping An semakin bagus setelah kematian Cetepe. Tanpa saingan toko motornya semakin laris. Kabar terakhir yang didengarnya keluarga Chang menutup toko plus salon itu, menghukum Ahuan tinggal selama 6 bulan di rumah walet, Geisha diusir mertuanya dan pulang ke rumah orang tuanya di Dumai. Selfie mulai kewalahan mengurus bisnis pelayarannya. Setiap sore Ping An pulang ke Kebun Sayur. Acu tetap setia menunggu kepulangan suaminya di depan rumah. Harihari berjalan terus hingga suatu sore Acu merasa perutnya sakit. Bidan yang menjaganya mengatakan itu gejala ingin melahirkan. Persiapan segera dilakukan. Ping An bertanya pada Tan Pek apakah Acu perlu dibawa ke rumah sakit. Tan Pek mengatakan bidan yang menangani Acu adalah bidan yang paling berpengalaman di Kebun Sayur, sudah menolong puluhan kelahiran dengan selamat, ia percaya kemampuan bidan itu. Sebelumnya seorang tukang urut telah memastikan posisi bayi dalam keadaan normal. Tak ada yang perlu dikhawatirkan menurut Tan Pek. Ping An percaya omongan mertuanya. Jam 8 malam Acu merasakan kesakitan yang kedua. Kali ini wajahnya meringis. Ping An selalu mendampingi Acu. Ia duduk di samping pembaringan, memegang tangan Acu dengan erat. “MaaĤan aku membuatmu kesakitan seperti ini,” kata Ping An dengan perasaan bersalah. “Nggak apa-apa kok. Semua orang merasakan kesakitan yang sama saat melahirkan. Pergilah menonton TV, 2
Deri Prabudianto
atau bercanda dengan Ali-Atan.” Saran Acu agar tak melihat kekhawatiran di wajah suaminya. “Aku ingin menemanimu sampai bayi kita keluar dan memanggilku papa.” Walau kesakitan, Acu berusaha menjawab dengan canda. “Bayi yang baru dilahirkan kebanyakan menangis. Suaranya owek owek, bukan papa papa.” Mau tak mau Ping An tersenyum. Tan Pek yang ikut menemani juga tersenyum. Bidan geleng-geleng kepala melihat keintiman keluarga ini. Biasanya lelaki jika melihat istrinya melahirkan merasa hatinya teriris-iris, memilih menyingkir agar tidak melihat kesakitan istrinya. Ping An tetap menemani istrinya. Ini hal yang jarang ditemuinya. Ali dan Atan masuk sebentar. Begitu melihat cecenya kesakitan, mereka keluar dan pergi berdoa. Mereka mengharapkan Acu segera melahirkan agar tak perlu menderita kesakitan. Semakin lama kesakitan yang dialami Acu semakin menghebat. Jam 12 tengah malam bidan menyuruh Lena memasak air panas. Katanya tak lama lagi bayi akan keluar. Jam 1.30 pagi Acu disuruh mendorong dengan kuat. Tubuh Acu berbaring telentang dengan kedua kakinya ditekuk untuk memudahkan keluarnya bayi. Ping An dan Tan Pek diminta keluar dari kamar. Acu kesakitan tapi hanya memperlihatkan wajah meringis. Jam 2 pagi terdengar suara tangisan bayi melengking. Wajah Tan Pek tersenyum. Ping An tak sabar ingin melihat anaknya. Ia membuka pintu dan langsung dibentak bidan.
3
Tagihan Cinta Masa Lalu
“Sabar, papa muda! Nanti setelah bayinya dimandikan dan dibedung barulah lelaki boleh masuk! Keluar dulu ya.” Ping An dengan patuh keluar lagi. Tan Pek berteriak “Lelaki atau perempuan!” “Lelaki!” jawab bidan. “Anakku sehat-sehatkah?” tanya Tan Pek lagi. “Anak dan cucu sehat. Besok kita berpesta, Tauke Atan!” balas Bidan. “Setuju! Tiga hari 3 malam!” balas Tan Pek. Ping An lega mendengar bidan mengatakan istri dan anaknya sehat. Ini kabar yang paling ditunggu-tunggu. “Acu, kenapa diam saja?” tanya Ping An setengah berteriak. Ia takut Acu pingsan setelah melahirkan. Bidan terlalu sibuk sehingga melupakan Acu. “Acu sedang menangis sambil menatap bayi kita, buah cinta kita.” “Curang! Kenapa selalu ibu yang duluan menggendong bayi? Kenapa bukan papanya?” protes Ping An. “Aku belum menggendongnya, aku hanya menatap bayi kita yang sedang dimandikan. Biar adil, nanti kakeknya yang pertama menggendong,” balas Acu. “Kenapa kamu tidak pingsan?” tanya Ping An. “Kenapa kamu mengharapkan Acu pingsan?” “Kalau kamu pingsan, aku yang menggendong bayi kita duluan.” “Kalau begitu, aku mulai pingsan. Aku ingin pingsan 2 hari 2 malam.” “Jangan, pingsannya cukup 2 menit saja. Aku menangis kalau kamu pingsan 2 hari 2 malam.” 4
Deri Prabudianto
Acu ketawa. Ali dan Atan keluar dari kamarnya dan ikut bergabung di depan pintu kamar cecenya. “Cece, Atan sudah jadi Diku ya?” tanya Atan (diku, paman kedua dari pihak ibu). “Cece, Ali udah jadi Toayi ya?” tanya Ali tak mau kalah (bibi pertama dari pihak ibu). “Bukan, kamu bukan Toayi, tapi Sueyi alias bibi paling kecil,” debat Atan. “Huh, sok tahu lu. Sueyi itu artinya istri muda, bukan bibi kecil. Kamu mengharapkan aku jadi istri simpanan orang ya!” tuduh Ali dengan tampang jutek. “Eh, betul juga ya. Sueyi artinya istri muda. Maaf deh kalau begitu. Maksudku Ayi Suesiaoyi,” Atan sengaja melete. Suesiaoyi artinya bibi yang sedang sial. Tak pelak lagi telinganya ditarik Ali dengan keras. Tan Pek ketawa melihat ulah kedua adik Acu ini. “Oke, kalian boleh masuk! Pelan-pelan, jangan membuat bayinya menangis,” seru Bidan dari dalam kamar. Ping An langsung menyerbu masuk, diikuti Tan Pek, belakangnya Ali dan Atan. Acu sedang berbaring dengan wajah agak berminyak, mungkin keletihan setelah melahirkan. Bayinya telah dibedung dan ditaruh di kotak bayi. Tan Pek menyiapkan segalanya untuk menyambut kelahiran cucunya. Kotak bayi itu dipesan dari Singapura. Empat orang mengerubungi kotak bayi. Menatap bayi yang merah mungil yang bergerak pelan sekali. Wajahnya begitu menggemaskan. Rambutnya halus sekali, agak merah.
5
Tagihan Cinta Masa Lalu
“Aku kakeknya, aku menggendong duluan,” kata Tan Pek. “Aku papanya, aku yang menggendong duluan,” kata Ping An tak mau kalah. “Aku Diku-nya, aku menggendong duluan,” Atan ikut nimbrung. “Aku ayi-nya. Aku yang gendong duluan!” Masing-masing hanya berbicara, tapi tak ada yang bergerak. Bidan menengahi. “Di mana-mana yang pertama menggendong bayi itu ibunya.” Bidan mengambil bayi dan diserahkan pada Acu. Acu meraih bayinya, langsung diciumnya. Semua langsung mengerubuti Acu. “Siapa yang menjadi penggendong berikutnya?” tanya Acu sambil menatap Ping An dan Tan Pek bergantian. “Aku!” seru Tan Pek. “Aku!” Ping An tak mau kalah. “Hompimpa!” Acu menengahi. Sibuklah mertua menantu itu beradu jari. Ternyata Ping An yang menang. Tan Pek dengan sikap jentelmen menyilakan Ping An yang menggendong bayi yang digendong Acu. Ia bergabung dengan Ali dan Atan. “Kalian pergilah tidur. Besok kalian sekolah. Pulang sekolah baru giliran kalian yang menggendong ponakan kalian,” ucap Tan Pek. Atan langsung pergi, Ali juga tidak membantah. Tan Pek kembali menengok cucunya, kali ini Ping An langsung menyerahkan bayi kepada mertuanya. Tan Pek menatap bayi itu dengan senyum berbinar. Mungil sekali, manis sekali, ia mengulurkan jarinya, 6
Deri Prabudianto
menyentuh pipi bayi dengan lembut. Ia ingin mencium bayi itu, namun takut janggutnya membuat bayi itu kaget. Ia hanya menggendong sebentar setelah itu bayi kembali diserahkan pada Acu. “Kita beri nama apa anak kita?” tanya Ping An. “Jangan sembarang memberi nama. Besok kamu pulang ke Bengkalis, beri tahu papa dan mamamu, setelah itu kamu ke kelenteng, berdoa. Minta Asiu mencarikan nama yang bagus buat bayi kalian,” saran Tan Pek. “Baik, Papa Mertua.” Semua mengerubuti bayi mungil itu hingga pagi. Begitu pagi, bidan meminta Ping An menggali sebuah lubang di samping rumah. Bidan mengatakan tugas pertama seorang papa adalah menguburkan ari-ari bayi. Ari-ari dianggap teman baik sang bayi, harus dikuburkan dengan baik dan layak. Di dalam kandungan bayi ditemani ari-ari, setelah dilahirkan ia akan ditemani seorang khue bu (mama angkat yang tak kasatmata). Khue bu ini bertugas mengajari bayi tersenyum, menangis, minta susu, termasuk nanti belajar berbicara dan merangkak. Pagi ini Ping An berangkat dengan hati berat. Rasanya ia ingin seharian bersama bayinya, tapi ia harus mengabarkan kelahiran anaknya kepada papa dan mamanya. Begitu Ping An mengabarkan kelahiran anaknya, Wu Se Kiong dan Ahue kontan berangkat ke Kebun Sayur dengan speedboat. Mereka tak sabar ingin menengok cucu mereka. Setibanya di Kebun Sayur, Ahue yang paling tak sabaran. Begitu turun dari boncengan suaminya, ia kontan bertanya dengan penuh ketidaksabaran pada Tan Pek. 7
Tagihan Cinta Masa Lalu
“Di mana cucuku? Aku sudah tak sabar ingin menengoknya.” “Masuklah, cucumu ada di kamar paling depan nomor 1 sebelah kiri,” jawab Tan Pek. Ahue langsung menerobos masuk. “Mama...,” panggil Acu, suaranya agak lemas. “Aduh, Acu. Kamu sudah melahirkan ya, cucuku lakilaki ya?” tanya Nyonya Wu nervous. “Betul, Mama. Cucu Mama lelaki... manis sekali....” Ahue langsung menggendong cucunya. Di luar, Tan Pek dan Wu Se Kiong bersalaman dengan erat. “Generasi penerusmu sudah lahir, Kiong. Selamat!” ucap Tan Pek. “Terima kasih, Atan. Kamu telah ikut menjaga cucuku dengan baik.” Keduanya masuk ke kamar untuk menengok cucu mereka. Tuan Wu menatap cucunya dengan takjub. Ia sudah jadi Akong. Itu akan membuatnya naik sederajat di mata masyarakat. Menjadi Akong menobatkannya sebagai golongan tua. Sebuah keluarga dengan 3 generasi dianggap keluarga yang komplet. Tidak kaya pun dihormati orang. Kalau bisa punya cicit lebih komplet lagi. Ahue menggendong bayinya berkeliling di dalam kamar. Sebelum 30 hari bayi tak boleh diajak keluar kamar untuk menghindari gangguan yang tak diinginkan. Orang tua di zaman ini percaya bayi punya indra keenam yang bisa melihat khue bu-nya, termasuk roh halus yang gentayangan. Untuk menghindari kejadian tak diinginkan makanya bayi dipingit hingga 30 hari agar kuat jantungnya. Setelah beramah tamah menengok cucu, Tan Pek mengajak Wu Se Kiong berkeliling di rumahnya. Tibalah 8
Deri Prabudianto
mereka di kamar koleksi lukisan. Wu Se Kiong tak menyangka lukisan yang dipesan Tan Pek melalui dirinya, yang dibelikan Jenni di Singapura ternyata tersimpan baik dalam satu ruangan. Ruangan ini penuh lukisan. Harganya pasti tak ternilai. “Kamu masih belum berhasil melupakannya,” ucap Se Kiong. Pernyataan, bukan pertanyaan. “Bagaimana mungkin aku melupakannya? Ia terkait begitu mendalam dalam hidupku, menggores begitu banyak kenangan dalam hatiku, membuat banyak pertanyaan dalam benakku, kemudian dia mati begitu saja,” ucap Tan Pek agak meracau. “Lupakanlah... dia sudah pergi untuk selamanya,” ucap Se Kiong. “Begitu banyak pertanyaan yang disisakan untukku. Siapa pria yang dicintainya? Kenapa ia menutup hatinya demikian rapat? Kenapa ia membeli rumah tapi merahasiakan dariku? Aku memintanya menjaga Acu pada saat masih bayi tanpa memberi tahu bahwa Acu anakku. Dia menjaga Acu dengan baik, berkali-kali ia berhasil mencegah Ahun mencekik Acu. Ahun pasti dendam padanya. Tanpa dia mungkin Acu sudah tak bernyawa. Sialan Gi Tong. Berkalikali kuminta pertolongan Jenni, menyuruh Jenni memohon agar Acu diberikan pada Jenni sebagai anak angkat. Gi Tong menolak terus dengan alasan Acu bukan anaknya, dia tak berhak menentukan hidup Acu. Hanya Ahun yang berhak memberikan anaknya pada Jenni. Jenni tak berani meminta dari Ahun. Ini yang membuatku putus asa sehingga lama-kelamaan tak datang lagi ke Jalan Rumbia. Ini yang 9
Tagihan Cinta Masa Lalu
membuatku terputus tali kasih dengan Acu demikian lama. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kenyataan Acu yang ke Singapore menjemput abu jenazah Jenni. Aku jadi bertanyatanya, apakah sebelumnya Acu pernah mengakui Jenni sebagai ibu angkat? Kalau tidak, kenapa ia sudi ke Singapore menjemput abu jenazah Jenni, bahkan Jenni mewariskan rumahnya pada Acu. Ini terlalu mustahil. Kupikir, Jenni terlalu banyak membohongiku!” Wu Se Kiong kasihan melihat kebingungan sahabatnya. Andai Jenni tidak memintanya tutup mulut, andai Jenni mengizinkannya bicara, tentu Atan Canggung tak sebingung ini. “Tan, pada saat Acu ingin menjemput abu jenazah Jenni, kebetulan aku terlibat. Jenni meninggal di Singapore. Tak ada yang mengurus jenazahnya. Wendi mengirim surat memberitahukan hal itu pada Yanti. Termasuk padaku. Yanti berembuk dengan Asiu, Asiu meminta pendapat kami. Kamilah yang meminta Acu berangkat dengan menyuap Ahun. Pada awalnya Ahun tak mengizinkan anaknya pergi, kami menyuap Beng Huat agar merayu adiknya mengizinkan Acu berangkat. Setahuku, gara-gara sumpah keluarga, Jenni tak pernah berkenalan dengan Acu secara langsung. Mereka bertemu gara-gara Acu bekerja dengan Yanti dan Yanti merupakan sahabat Jenni. Pertemuan mereka tanpa sengaja, Atan. Jangan terlalu banyak berprasangka.” Tan Pek tercenung mendengar penjelasan sahabatnya. Lama ia tercenung. “Betul, mungkin aku yang terlalu berprasangka,” ucapnya lirih.
10