Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007
DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA1 dan EKO HANDIWIRAWAN2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
ABSTRAK Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 3.753.052 ha, memiliki salah satu agroekosistem lahan rawa yang berpotensi sebagai kawasan sentra pengembangan kerbau kalang sebagai sumber plasma nutfah ternak, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala. Kerbau kalang dipelihara secara tradisional yaitu pagi hari dilepas di areal rawa dan pemiliknya tidak menyediakan rumput atau konsentrat, dan sore hari mereka kembali ke atas kalang. Peranan kerbau kalang adalah sebagai penghasil daging, sumber pendapatan petani dan objek wisata. Dari aspek pemasaran, daging kerbau kalang merupakan komoditas yang diminati konsumen, terutama pada hari-hari raya besar Islam mencapai 22% dan pemasarannya tidak terdapat kendala. Permasalahan yang menghambat perkembangannya antara lain disebabkan oleh masih rendah produktivitas dan pertambahan populasi dari tahun ke tahun relatif lambat, dan semakin berkurangnya ketersedian hijauan pakan. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas, perlu meningkatkan kemampuan reproduktivitas, dan menata kembali daya dukung areal lahan rawa yang diperuntukan sebagai kawasan sentra pengembangan kerbau kalang, dengan memperhatikan pertumbuhan vegetasi hijauan pakan secara terencana dan berkelanjutan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan daya dukung lahan rawa sebagai sentra pengembangan kerbau kalang dalam rangka mendukung kecukupan daging di Kalimantan Selatan. Kata kunci: Daya dukung rawa, kawasan, kerbau kalang
PENDAHULUAN Luas wilayah Kalimantan Selatan 3.753.052 ha, terdiri atas kondisi agroekosistem lahan kering 423.306 ha, pasang surut 184.099 ha, lebak 202.690 ha, tadah hujan 184.240 ha, irigasi 63.377 ha, dan rawa 800.000 ha. Potensi lahan tersebut baru dimanfaatkan untuk usaha pertanian antara 5575% (BADAN PUSAT STATISTIK, 2005), termasuk lahan rawa yang telah digunakan untuk peternakan itik Alabio dan kerbau kalang (BPTP KALIMANTAN SELATAN, 2006). Kerbau kalang atau kerbau rawa merupakan salah satu ternak ruminansia sebagai sumber plasma nutfah, yang sudah lama dipelihara dan berkembang secara turuntemurun di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS) (BPPH V dan SUB BALITVET BANJARBARU, 1991), dan Kabupaten Barito Kuala (ROHAENI et al., 2006). Peranan kerbau kalang adalah sebagai penghasil daging dan sumber pendapatan bagi peternak, dan oleh
pihak Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, ternak ini sejak tahun 1991 telah ditetapkan sebagai salah satu objek wisata yaitu berupa pacuan kerbau dengan cara berenang (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999; PUTU, 2003; SURYANA, 2007). Dalam mendukung produktivitas kerbau kalang, usaha pemeliharaannya masih sangat tergantung kepada ketersediaan lahan berupa rawa dan hijauan pakan ternak alami. Menurut SOFYAN (2006), untuk menciptakan pengembangan ternak yang baik dan menguntungkan, maka program pengembangan kawasan peternakan akan ditata dengan ketentuan sebagai berikut: 1) lokasinya sesuai dengan agroekosistem dan tata ruang wilayah, 2) berbasis komoditas unggulan dan strategis, 3) memiliki infrastruktur yang baik (pasar hewan, sumber air, jalan dll.), dan 4) didukung dengan persediaan teknologi dan jaringan kelembagaan yang baik. Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa pemeliharaan kerbau kalang ini masih dilakukan secara tradisional, diumbar di areal rawa (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999).
149
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007
Pada pagi hari dilepas dan mencari pakan sendiri sambil berenang dan merenggut hijauan yang ada di hamparan rawa, dan peternak tidak menyediakan pakan tambahan maupun konsentrat, sedangkan pada sore hari kerbau kembali dan beristirahat di atas kalang (SURYANA, 2007). Menurut SEMALI et al. (2001) keberhasilan usaha ternak ruminansia di daerah lahan pasang surut dan rawa tidak terlepas dari masalah ketersediaan pakan, khususnya pakan hijauan secara berkesinambungan. Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang mutlak diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun. Sumberdaya alam berupa lahan rawa yang luas dengan beragam vegetasi hijauan yang tersedia merupakan kekuatan yang dimiliki Kalimantan Selatan dalam rangka mendukung pengembangan ternak ruminansia khususnya kerbau kalang, walaupun di daerah lain seperti Kalimatan Tengah dan Timur kawasan pemeliharaan kerbau tersebut juga sudah ada, tetapi populasinya tidak sebesar di Kalimantan Selatan (KRISTIANTO, 2006). Makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi dan permasalahan dalam pemanfaatan lahan rawa sebagai kawasan sentra pengembangan kerbau kalang yang merupakan alternatif penghasil daging di Kalimantan Selatan. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN POTENSI LAHAN RAWA Wilayah Kalimantan Selatan merupakan salah satu propinsi di Indonesia memiliki areal lahan kering, tegalan, padang penggembalaan, hutan, perkebunan, rawa dan, tambak. Sebagian besar luas wilayah Kalimantan Selatan didominasi oleh agroekosistem lahan kering (1.825.170 ha) dan hutan (1.325.024 ha). Luas padang penggembalaan sekitar 145.805 ha, dan rawa 181.169 ha, dengan jumlah penduduk 3.201.962 jiwa. Sementara lahan rawa yang banjir sepanjang tahunnnya tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian tanaman pangan. Berdasarkan jangkauan luapan air pasang, lahan rawa pasang surut dibagi dalam 4 tipe luapan, yaitu tipe A: lahan yang selalu terluapi air pasang; tipe B: lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar; tipe C: lahan yang tidak
150
pernah terluapi pasang besar, air pasang mempengaruhi hanya secara tidak langsung, air tanah dekat permukaan kurang dari 50 cm, dan tipe D adalah lahan yang tidak pernah terluapi dan air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah (WIDJAJA-ADI, 1986). Menurut DIREKTORAT RAWA dalam DHALIMI dan TAHER (1996) rawa non pasang surut, rawa pedalaman dan rawa lebak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: 1) lebak pematang adalah lahan yang terletak di sepanjang tanggul alur sungai dengan tofografi relatif tinggi, dan genangan air nya dangkal serta singkat, 2) lebak dalam yaitu lahan yang terletak di sebelah dalam dan merupakan suatu cekungan tergenang relatif dalam dan terus menerus, dan 3) lebak tengahan adalah lahan yang terletak di antara lebak dalam dan lebak pematang. MAAS (2002) menyatakan bahwa permasalahan usahatani di lahan rawa yang paling mendasar dibanding dengan lahan kering, terletak pada perbedaan prinsip pengelolaan lahan rawa, baik dari segi pemanfaatan air maupun lahannya itu sendiri. Pemanfaatan yang bijak dan pengelolaan yang serasi dengan karakteristik dan sifat lahan, serta pembangunan prasarana fisik (terutama tata air), sarana pembinaan sumber daya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi, perlu dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan rawa secara lestari dan berkesinambungan. Lahan rawa yang digunakan untuk pemeliharaan kerbau kalang terdapat di Kabupaten HSS, HST, HSU (TARMUDJI et al., 1990), dan Barito Kuala (ROHAENI et al., 2005). Di Kabupaten HSU, khususnya Kecamatan Danau Panggang merupakan salah satu daerah sentra yang potensial untuk pengembangan kerbau kalang, karena mempunyai areal lahan rawa yang luas dan sumber pakan hijauan alami yang tersedia sepanjang tahun. Beberapa desa di wilayah tersebut yang sudah dimanfaatkan lahannya untuk peternakan kerbau kalang adalah Desa Palbatu, Tampakang, Bararawa, Sapala, Ambahai dan Paminggir (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999; PUTU 2003; ROHAENI et al. 2006; SURYANA, 2007). Di Kabupaten HST (Kecamatan Labuan Amas Utara) meliputi Desa Sungai Buluh, Mantaas dan Rantau Bujur, sedangkan di Kabupaten HSS (Kecamatan Daha Utara) yakni Desa
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007
Teluk Haur, Hamayung, Pandak Daun dan Paharangan, Kecamatan Daha Selatan meliputi Desa Bajayau Baru dan Bajayau Lama. Selanjutnya Kabupaten Barito Kuala (Kecamatan Kuripan) yakni Desa Tabatan dan Tabatan Baru (HAMDAN et al., 2006). POTENSI KERBAU RAWA SEBAGAI PENGHASIL DAGING Menurut WIRDAHAYATI (2006) populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan cukup drastis selama dekade 1985 - 2001, yakni dari 3,3 juta ekor pada tahun 1985 menjadi 2,4 juta ekor ditahun 2001, dan pada tahun 2005 populasinya menjadi 2,4 juta ekor, atau meningkat 1,04% (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006). PRIYANTI dan SAPTATI (2006) menyatakan bahwa secara umum populasi kerbau berkembang lamban, hal ini akibat rendahnya produksi dan produktivitas yang tercermin dari angka kelahiran rendah dan kematian anak pra sapih tinggi. YUSDJA et al. (2003) menyatakan bahwa sebagai penghasil daging populasi kerbau di Indonesia relatif rendah, yakni sekitar 2.4 juta ekor (2003) dan pada tahun 2006 tercatat 2.2 juta ekor atau sekitar 21,85% dibanding populasi sapi potong tahun 2003 sejumlah 10.5 juta ekor, dan pada tahun 2006 sekitar 10.8 juta ekor. Lebih lanjut dikemukakan bahwa permasalahan yang sering dihadapi peternak kerbau pada umumnya adalah panjangnya selang beranak (calving interval), keadaan ini berhubungan dengan kurangnya ketersediaan pejantan. Menurut BALIARTI dan NGADIYONO (2006) penampilan reproduksi kerbau dikenal masih kurang baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena peternak sulit mendeteksi saat berahi (kerbau sering berahi pada malam hari), pemberian pakan kurang memenuhi syarat baik secara kuantitatif maupun kualitatif, manajemen kurang memadai serta lingkungan yang kurang mendukung. Walaupun demikian kerbau tetap mempunyai kelebihan yaitu dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi
yang basah sampai dengan kondisi yang kering (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006). SUHARDONO (2004) melaporkan bahwa selama 5 tahun terakhir populasi kerbau kalang mengalami penurunan. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami, tingginya jumlah kematian dan kelahiran rendah, penampilan produksi tidak maksimal, dewasa kelamin dan jarak beranak relatif panjang, dan kurang tersedianya pejantan, hal ini terkait dengan sifat–sifat biologis yang dimilikinya. Populasi kerbau kalang di Kalimantan Selatan sampai tahun 2005 sekitar 13.659 ekor (34,01%) dari total populasi kerbau yang ada sekitar 40.163 ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006), tersebar di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) 7.771 ekor, Hulu Sungai Selatan (HSS) 3.136 ekor, Hulu Sungai Tengah (HST) 1.895 ekor, dan Barito Kuala 857 ekor (DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN, 2005), dengan trend pertumbuhan rata-rata selama empat tahun terakhir sebesar 27,0% (HAMDAN et al., 2006). Proyeksi produksi daging ternak ruminansia di Kalimantan Selatan tahun 2005 - 2009, dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa rataan sasaran produksi daging kerbau relatif kecil dibanding sapi, domba dan kambing, yakni sebesar 0,60%. Sebagai salah satu ternak asli daerah yang mempunyai potensi penghasil daging, kerbau kalang telah dikembangkan sebagai usahatani spesifik lokasi pada agroekosistem lahan rawa dengan pemeliharaan menggunakan ”kalang”. Kalang adalah kandang tanpa atap yang dibuat dari balok-balok gelondongan kayu blangiran (shore balangeran) dengan diameter 10 - 20 cm, disusun teratur berselang-seling dari dasar rawa sampai tersembul di atas permukaan air dengan tinggi kalang ± 2,5 - 3 m, panjang mencapai 25 m dan lebar 10 m, atau ukuran kalang disesuaikan dengan jumlah kerbau yang ada. Bagian atas dibuatkan lantai dari belahan kayu yang disusun rapat untuk kerbau beristirahat, dan pada bagian sudut dibuatkan sekat-sekat dan pakan atap untuk kerbau induk melahirkan dan merawat anaknya. Umumnya kalang berbentuk empat persegi panjang dengan letter L atau T, yang terdiri atas
151
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007
Tabel 1. Sasaran produksi daging ruminansia di Kalimantan Selatan 2005 - 2009 Jenis ternak Tahun
Kerbau
Laju pertumbuhan (%)
Sapi
L`aju pertumbuhan (%)
Domba
Laju pertumbuhan
Kambing
(%)
Laju pertumbuhan (%)
2005
45.816
0,65
391.880
3,11
87.174
3,10
71.229
2,30
2006
46.123
0.67
403.911
3.07
89.905
3,13
72.761
2,15
2007
46.436
0,68
416.109
3,02
92.725
3,14
74.216
2,00
2008
46.467
0,07
428.467
2,97
95.393
2,88
75.589
1,85
2009
47.084
1,33
440.893
2,90
98.098
2,84
76.874
1,70
Jumlah
231.926
3,39
2.081.260
15,07
463.295
15,08
370.669
10,00
Rataan
46.385
0,68
416.252
3,01
92.659
3,02
74.134
2,00
Sumber: TOELIHERE dan ACHYADI (2005)
beberapa ancak atau petak kalang, setiap ancaknya berukuran 5 x 5 m mampu menampung 10 - 15 ekor kerbau dewasa. Pada bagian sisi kalang dibuatkan tangga selebar ± 2,5 m untuk turun dan naiknya kerbau (DILAGA 1987; TARMUDJI et al., 1990; SURYANA dan HAMDAN, 2006). Kepemilikan kerbau masing-masing petani bervariasi berkisar antara 3 - 90 ekor. Kerbau mencari makan sendiri dengan cara berenang sambil merenggut rumput, sesekali menyelam dan secara bebas memilih hijauan yang disukainya, hal ini mereka lakukan menurut kebiasaannya. Menurut PUTU et al. (1994) tingkah laku kerbau kalang dibedakan atas tingkah laku merumput dan kawin. Tingkah laku merumput yaitu satu kelompok kerbau dipimpin oleh seekor pejantan yang mengarahkan ke tempat-tempat padang penggembalaan, mereka berenang sambil merenggut hijauan yang terapung. Menurut PUTU (2003) potensi ternak kerbau kalang di Kalimantan Selatan menunjukkan kontribusi yang positif sebagai penghasil daging untuk daerah pedalaman terutama agroekosistem rawa dengan kedalaman 3 - 5 m. Pemeliharaan kerbau kalang sangat berbeda dengan pemeliharaan kerbau atau sapi umumnya yang dilakukan di lahan kering. Perbedaan tersebut terletak pada cara-cara penanganan penggembalaan untuk mendapatkan rumput. Sekitar pukul 7 atau 9 pagi hari kerbau diturunkan untuk mencari makan dan sore hari pulang ke kalang.
152
Sebaliknya pada musim kemarau aktivitas kerbau lebih banyak di padang penggembalaan dan jarang pulang ke kalang. Pada lahan rawa yang tanahnya kering dibuatkan pagar keliling sebagai tempat penampungan sementara, dan untuk membatasi agar kerbau tidak berjalan terlalu jauh (HAMDAN et al., 2006). MASALAH DAN PELUANG PEMASARAN Menurut DIWYANTO dan SUBANDRYO (1995) kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi petani, yakni sebagai tabungan hidup, menunjang status sosial, sumber tenaga kerja, penghasil daging, susu dan pupuk. Namun untuk kerbau rawa di Kalimantan Selatan hanya berfungsi sebagai penghasil daging saja. Fungsi lainnya sejak tahun 1991 pemerintah daerah menetapkan kerbau rawa sebagai salah satu objek wisata, dan Kecamatan Danau Panggang merupakan daerah tujuan wisata berupa perlombaan atau pacuan kerbau kalang yang dilaksanakan di sungai Paminggir Desa Bararawa, Kecamatan Danau Panggang (TARMUDJI et al., 1990; DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999; SURYANA, 2007). Daging kerbau kalang sejak dahulu cukup diminati konsumen. Konsumen tertentu di pasaran cenderung membeli daging kerbau, terutama untuk perayaan hari-hari raya besar Islam dan kenduri sebesar 22% (QOMARIAH et al., 2006),
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007
dan pemasarannya tidak menjadi kendala (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, PETERNAKAN PROPINSI 1999). DINAS KALIMANTAN SELATAN melaporkan bahwa kerbau kalang memberikan kontribusi sekitar 15% dari total produksi daging ternak ruminansia di Kalimantan Selatan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rantai pemasaran kerbau kalang di Kalimantan Selatan dimulai dari peternak ke pedagang mengumpul, pedagang besar kemudian dijual oleh pedagang pengecer atau keliling kepada konsumen luas. Menurut HAMDAN et al. (2006), pemasaran kerbau kalang umumnya dilakukan peternak dengan cara pembeli datang ke desa, dan hanya sebagian kecil saja peternak membawanya ke pedagang. Penjualan kerbau tersebut dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Dinamika perkembangan kerbau dan produksi daging kerbau di Kalimantan Selatan, tertera pada Tabel 2. Kendala pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan antara lain disebabkan: 1) areal padang penggembalaan semakin berkurang dan terbatas akibat bertambahnya jumlah penduduk, pergeseran penggunaan lahan menjadi lahan usahatani tanaman pangan (padi, palawija dan sayuran), terutama di Kabupaten HSS, HST dan sebagian kecil HSU, 2) ketersediaan hijauan tergantung musim. Musim hujan dengan genangan air tinggi merupakan areal padang rumput lebih subur dan potensial sebagai pakan kerbau, namun sebaliknya pada musim kemarau di beberapa lokasi penyediaan pakan mengalami kesulitan baik dari segi jumlah maupun kualitasnya (MAHENDRI dan HARYANTO, 2006). Terbatasnya ketersedian hijauan pakan, terutama pada musim kemarau panjang
mempunyai konsekuensi terhadap kerbau itu sendiri yang harus berjalan beberapa kilometer dari kalang untuk mencari pakan. Adanya hama keong mas yang menyerang dan merusak hijauan pakan kerbau terutama bagian daun rumput menyebabkan kerbau tidak kebagian pakan, 3) penurunan mutu bibit, rendahnya produktivitas dan terjadinya inbreeding, 4) penjualan pejantan yang tinggi, 5) lokasi pemeliharaan ternak kerbau terlalu jauh dari tempat permukiman penduduk sehingga sulit mengakses penyuluhan yang rutin dilakukan, 6) musim kemarau mengalami kekeringan sehingga ternak kekurangan air minum, serta 7) terjadi serangan penyakit yang menyebabkan kematian (QOMARIAH et al., 2006). KRISTIANTO (2006) menyatakan bahwa salah satu hambatan lambatnya perkembangan kerbau kalang yaitu: panjangnya interval kelahiran, siklus estrus yang tidak nampak dan angka kebuntingan rendah. Rendahnya angka kebuntingan tersebut disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan anak kerbau yang buruk, termasuk pemberian pakan, kegagalan teknik perkawinan dan faktor internal hewan. Penyakit-penyakit yang sering menyerang kerbau kalang antara lain parasitik (trypanosomiasis atau surra dan fasciolosis), bakterial (penyakit ngorok atau SE dan clostridiosis yang disebabkan Clostridium novyi dan C. Ferferingens) (TARMUDJI 2003; SUHARDONO, 2004; SURYANA, 2006), yang menyebabkan kematian sejumlah besar kerbau rawa pada tahun 1989 - 1999, serta penyakitpenyakit lain yang disebabkan kausa viral di antaranya MCF atau Malignant Catarhall Fever (TARMUDJI, 2003; MUHARSINI et al.
Tabel 2. Dinamika perkembangan kerbau di Kalimantan Selatan 2003 - 2006 Tahun Uraian
2003
2004
2005
2006
Populasi (ekor)
37.550
38.488
40.163
48.613
Pemasukan (ekor)
1.344
341
0
0
Pengeluaran (ekor)
1.143
896
183
924
Pemotongan (ekor)
3.535
3.825
3.901
4.016
733
756
819
821
Produksi daging (ton)
Sumber: DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (2006)
153
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007
2006), dan black NATALIA, 2006).
disease
(PRIADI
dan
PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan rawa di Kalimantan Selatan mempunyai potensi untuk pengembangan kerbau kalang, dengan dukungan pakan hijauan alam yang ada, dan prospek pemasaran yang baik. Untuk lebih meningkatkan daya dukung lahan dan hijauan pakan, perlu dilakukan upaya penataan kembali kawasan areal rawa dan dilakukan pergiliran penggembalaan (grazing rotation), sehingga ketersediaan hijauan dapat berlangsung sepanjang tahun. Beberapa kendala dalam pengembangan kerbau kalang antara lain keterbatasan hijauan pakan pada musim kemarau panjang, rendahnya produktivitas, serangan penyakit yang dapat mengancam kematian. DAFTAR PUSTAKA BADAN PUSAT STATISTIK. 2005. Kalimantan Selatan Dalam Angka. Banjarmasin. BALAI PENYIDIKAN PENYAKIT HEWAN V dan SUB BALAI PENELITIAN VETERINER BANJARBARU. 1991. Penelitian pendahuluan tentang kerbau rawa dan penyidikan penyakitnya di Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Banjarbaru. BALIARTI, E. dan N. NGADIYONO. 2006. Peran Perguruan Tinggi Dalam Pengembangan Ternak Kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. hlm. 155-156. BPTP KALIMANTAN SELATAN. 2006. Laporan Tahunan. Banjarbaru. DHALIMI, A dan S. TAHER. 1996. Pengembangan tanaman industri pada lahan rawa sejuta hektar di Kalimatan Tengah. Makalah disampaikan pada Seminar Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Tengah. Palangka Raya, 34 hlm.
154
DILAGA, S.H. 1987. Suplemantasi kalsium dan fosfor pada kerbau rawa Kalimantan Tengah yang mendapat ransum padi hiyang (Oryza sativa forma spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA. 1999. Laporan Tahunan. Amuntai. 135 hlm. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMATAN SELATAN. 2005. Statistik Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi kalimantan Selatan. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 2005. Database Peternakan 2005. Banjarbaru. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. DIWYANTO, K. dan SUBANDRIYO. 1995. Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV (4): 92-101. DIWYANTO, K dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 3-12. HAMDAN A., E.S. ROHAENI dan A. SUBHAN. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm.170-177. KRISTIANTO, L.K. 2006. Pengembangan perbibitan kerbau kalang dalam menunjang agrobisnis dan agrowisata di Kalimantan Timur. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007
Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 208-212. MAAS, A. 2002. Lahan rawa sebagai lahan pertanian kini dan masa depan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering dan Rawa. Banjarbaru, 18 -19 Desember 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. MAHENDRI, I.G.A.P. dan B. HARYANTO. 2006. Respons ternak kerbau terhadap penggunaan pakan jerami padi fermentasi pada usaha penggemukan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. ”Cakrawala baru IPTEK menunjang Revitalisasi Peternakan”. Buku I. Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm. 323328 MUHARSINI, S., L. NATALIA, SUHARDONO dan DARMINTO. 2006. Inovasi teknologi dalam pengendalian penyakit kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 41 - 48. PRIADI, A. dan L. NATALIA. 2006. Bakteri penyebab diare pada sapi dan kerbau di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. ”Cakrawala baru IPTEK menunjang Revitalisasi Peternakan”. Buku I. Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm. 38-44. PRIYANTI, A. dan R.A. SAPTATI. 2006. Analisis ekonomi dan tata niaga usaha ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 142 - 150. PUTU, I.G.M., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHANIAGO, SATOSO, TARMUDJI, SUPRIADI A.D. dan P. OKTAVIANA. 1994. Peningkatan produksi dan reproduksi kerbau kalang pada agroekosistem rawa di Kalimantan Selatan.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak bekerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 54 hlm. PUTU, I.G. 2003. Aplikasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan performans produksi ternak kerbau di Indonesia. Wartazoa 13 (4): 172 - 180. QOMARIAH, R., E.S. ROHAENI dan A. HAMDAN. 2006. Studi permintaan pasar kerbau rawa dalam menunjang pengembangan lahan rawa dan program kecukupan daging di Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm.178 - 184. ROHAENI, E.S., ARIEF DARMAWAN, A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN. 2005. Inventarisasi dan Karakterisasi Ternak Kerbau di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan. ROHAENI, E.S., A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN. 2006. Inventarisasi dan Karakterisasi Ternak Kerbau di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru. SEMALI, A., B. SETIADI dan H.M. TOGATOROP. 2001. Prospek pengembangan hijauan pakan ternak di lahan pasang surut dan rawa. Wartazoa 2 (1-2): 11-14. SUHARDONO. 2004. Penyakit dan upaya penanggulangannya untuk menekan kematian pada kerbau. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Pusat Bioteknologi LIPI. Banjarmasin,7 - 8 Desember 2004. 11 hlm. SOFYAN, A. 2006. Dukungan kebijakan perluasan areal untuk pengembangan kawasan ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan
155
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007
Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 13 – 20. SURYANA dan A. HAMDAN. 2006. Potensi lahan rawa di Kalimantan Selatan untuk pengembangan peternakan kerbau kalang. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 201 - 207. SURYANA. 2006. Tinjauan aspek penyakit pada ternak ruminansia besar dan upaya penanggulangannya di Kalimantan Selatan. Prosiding Workshop Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis. Jakarta, 12 Juli 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hlm.144 – 150. SURYANA. 2007. Usaha pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. In press. TARMUDJI, K., P KETAREN, D.D. SISWANSYAH dan ACHMAD. 1990. Studi pendahuluan peternakan kerbau rawa dan identifikasi parasit darahnya di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan XXII (40): 106 - 111.
156
TARMUDJI. 2003. Beberapa penyakit penting pada kerbau di Indoanesia. Wartazoa 13 (4): 160171. TOELIHERE, M.R dan K. ACHYADI. 2005. Desain program pengembangan ternak kerbau di Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2006 2010. Makalah disampaikan pada Forum Konsultan Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 34 hlm. WIDJAJA-ADI. 1986. Pengelolaan rawa pasang surut. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1(2): 1 - 9. WIRDAHAYATI, R.B. 2006. Usaha ternak kerbau di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Melalui Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Lumbung Pangan Nasional. Palembang, 26 - 27 Juli 2006. BPTP Sumatera Selatan bekerjasama dengan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hlm. 445 - 449. YUSDJA, Y., N. ILHAMDAN W. K. SEJATI 2003. PROFIL dan PERMASALAHAN PETERNAKAN. Forum Penelitian Agro Ekonomi 21 (1): 44 56.