Lima puisi esai yang ditulis lima orang penyair dari berbagai penjuru tanah air ini telah hadir di hadapan kita dengan tema dan gaya ungkap berbeda satu sama lain. Yang menggembirakan, kelima penyair ini masing-masing telah menunjukan sudut pandangnya sendiri terhadap konsep puisi esai yang ditawarkan Denny JA, terutama dalam hubungan antara fakta dan fiksi. Meskipun kelimanya tetap berpegang pada konsep dasar puisi esai, namun penekanan maupun konsentrasinya tidak sama. Ada yang dominan fiksinya, ada yang dominan faktanya, ada pula yang tarik menarik antara kekuatan fiksi dan fakta. Kiranya hal ini akan menjadi hidayah tersendiri yang bisa memperkuat bahkan memperkaya kerangka dasar puisi esai yang belum lama ditancapkan. Dengan hadirnya puisi esai, para penyair liris yang selama ini hanya mengandalkan imajinasi mulai dikenalkan --bahkan dibiasakan-- dengan riset atau penelitian, sekalipun hanya riset kecil-kecilan. Mudah-mudahan suatu hari kelak genre puisi ini akan menjadi sumbangan yang berarti bagi taman perpuisiaan Indonesia. [] Acep Zamzam Noor, penyair
Dari Rangin ke Telepon
Agus R. Sarjono, Ketua Juri Lomba Menulis Puisi Esai
Kumpulan Puisi Esai
Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya tema. Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden yang kecewa, orang Kubu, masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional dan lokal, sosok pemberitaan, pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang ingin bunuh diri, etnis minoritas merangkap pelaku transgender, warga Tionghoa Singkawang yang “dijual” ke Taiwan, buruh tani, TKW, pemain band, politisi, perusuh, dll. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah membuka katup tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”— disuarakan dalam puisi konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat, tibatiba muncul dengan penuh warna.[]
Dari Rangin ke Telepon Kumpulan Puisi Esai Kedung Darma Romansha Katherina Achmad Yustinus Sapto Hardjanto Rahmad Agus Supartono Wendoko
Pengantar
Acep Zamzam Noor
Ilustrasi
Arif Bahtiar
DARI RANGIN KE TELEPON Kumpulan Puisi Esai Katherina Achmad Kedung Darma Romansha Rahmad Agus Supartono Wendoko Yustinus Sapto Hardjanto
KUMPULAN PUISI ESAI
1
DARI RANGIN KE TELEPON Kumpulan Puisi Esai © Jurnal Sajak Hak cipta dilindungi undang-undang. All right reserved. Editor dan Pengantar Acep Zamzam Noor Ilustrasi Arif Bahtiar Disain Sampul & Reka Letak Andi Espe Cetakan ke-1, Januari 2013 132 hlm. 13 x 18,5 cm
ISBN 978-602-17438-5-0
Diterbitkan pertama kali oleh PT JURNAL SAJAK INDONESIA Jl. Bhineka Permai Blok T No. 6 Mekarsari, Depok, Indonesia Telp/Faks. 021-8721244 Email:
[email protected]
2
DARI RANGIN KE TELEPON
Daftar Isi
Pengantar Hidayah Berpuisi Acep Zamzam Noor
5
Rangin Kedung Darma Romansha
23
Dalam Belenggu Dua Dunia Katherina Achmad
43
Ziarah Tanpa Ujung Yustinus Sapto Hardjanto
71
Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas Rahmad Agus Supartono
89
Telepon Wendoko
115
Biodata Penyair
131
KUMPULAN PUISI ESAI
3
4
DARI RANGIN KE TELEPON
Hidayah Berpuisi Acep Zamzam Noor
K
etika pertama kali membaca puisi esai Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta timbul pertanyaan dalam diri saya, apa bedanya puisi tersebut dengan puisi naratif yang sudah lebih dulu ditulis para penyair kita seperti Rendra, Ajip Rosidi, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Nadjib atau Linus Suryadi AG. Tulisannya sama-sama panjang dan bentuknya mengandung kisah, bercerita tentang seseorang atau suatu peristiwa. Dalam khasanah kesusastraan Sunda bentuk naratif ini juga sudah biasa ditulis, temanya kebanyakan mengenai tokoh-tokoh lokal dalam kaitannya dengan kepahlawanan, atau tentang perjalanan spiritual yang sifatnya pribadi. Ajip Rosidi pernah menulis tentang keberanian dan keperkasaan dalam puisi Jante Arkidam, Bagus Rangin dan Bendara Ikin, Sayudi pernah menulis tentang kesejatian seorang lelaki dalam puisi Lalaki di Tegal Pati, atau Enas Mabarti yang dengan sangat lembut menuliskan pengalaman spiritualnya sewaktu melaksanakan ibadah haji dalam prosa liris Gunem, Rencep, Sidem. Puisi naratif semacam ini tentu saja terdapat juga dalam khasanah kesusastraan Melayu, Aceh, Jawa, Bali dan lain sebagainya. Dalam kata pengantar untuk buku Atas Nama Cinta, Denny JA menjelaskan bahwa puisi esai merupakan medium baru dalam mengungkapkan gagasan, perhatian dan
KUMPULAN PUISI ESAI
5
kepeduliannya atas fakta dan fenomena sosial. Sebagai ilmuwan sosial Denny merasa medium yang telah digelutinya sekian lama seperti esai, kolom, artikel atau makalah ilmiah tidak pernah memuaskan hatinya karena kurang bisa menyentuh serta menggugah perasaan atau batin pembaca. Sebaliknya, puisi-puisi konvensional yang ditulis para penyair juga kurang memuaskannya pula karena terlalu sulit untuk dipahami dan dinikmati, apalagi oleh masyarakat kebanyakan. Maka sebagai medium alternatif, puisi esai yang merupakan gabungan antara fakta dan fiksi baginya adalah medium yang pas dalam mengungkapkan berbagai fenomena sosial, politik dan budaya secara artistik. Lebih jauh Denny juga menyatakan bahwa puisi esai sedikit berbeda dengan puisi naratif atau prosa liris yang ada selama ini, terutama karena dalam puisi esai catatan kaki sebagai penguat fakta menjadi krusial. “Karangan ini ditargetkan berhasil jika ia tak hanya menggetarkan hati tapi juga membuat pembaca lebih paham sebuah isu sosial di dunia nyata,” tulisnya. Dalam tulisan singkat ini saya tidak berniat untuk mempermasalahkan lebih jauh tentang apa itu puisi esai. Sebagai orang yang kurang suka menghabiskan enerji untuk berdebat mengenai sebuah definisi, saya justru merasa bersyukur karena ada ilmuwan sosial yang telah mendapat hidayah dengan menulis puisi. Sebelumnya saya juga bersyukur ketika ada pengusaha, pengacara, pejabat, politisi dan kiai yang juga menulis puisi. Puisi terbuka untuk ditulis oleh siapa saja, dan jika ditulis dengan tulus dan serius pasti ada hikmahnya. Sebelum terpilih menjadi presiden, konon SBY juga banyak menulis puisi. Saya tidak tahu apakah
6
DARI RANGIN KE TELEPON
waktu itu SBY menulis dengan tulus dan serius atau hanya sekedar pencitraan politik menjelang kampanye. Jika puisipuisinya tersebut ditulis dengan tulus dan serius niscaya akan ada dampak nyata pada kepemimpinannya sekarang, misalnya terlihat pada kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Apakah kebijakannya demi kesejahteraan rakyat atau untuk kepentingan pihak asing? Saya percaya pada titik tertentu puisi tidak akan berbohong. Lebih jauh, saya juga gembira ketika mendengar kabar bahwa Denny JA tidak sendirian, secara diam-diam ia telah menularkan hidayah berpuisi pada teman-teman diskusinya di Ciputat School. Ahmad Gaus, Elza Peldi Taher, Jonminofri Nazir, Novriantoni Kahar dan beberapa lagi yang merupakan para intelektual kini mulai terjangkit untuk mengekspresikan hasil-hasil riset sosialnya dalam wujud puisi esai. Saya percaya para intelektual dan akademisi serius dan tulus ini akan menulis puisi esai dengan serius dan tulus pula sehingga menimbulkan aura positif pada ketajaman pikiran serta kedalaman batin mereka. Bukan hanya itu, Denny juga kemudian menyelenggarakan lomba menulis puisi esai untuk umum. Dengan demikian ia telah menyebarkan hidayah berpuisi ke kalangan yang lebih luas lagi, ke tengah-tengah masyarakat. Ia telah menyebarkan puisi esai sebagai salah satu konsep dalam penulisan puisi. Banyak penyair serius dan tulus dari berbagai penjuru tanah air ikut terlibat dalam ajang lomba ini. Denny JA merumuskan puisi esai dengan cukup jelas, yakni puisi yang mengemukakan sisi batin seorang atau beberapa tokoh dalam larik-larik yang puitis, lalu secara langsung mengaitkannya pada konteks, data dan fakta lewat KUMPULAN PUISI ESAI
7
catatan kaki. Dengan demikian puisi esai merupakan fiksi yang ditulis lewat larik-larik puisi, yang secara sadar dan terencana dikaitkan pula dengan realitas yang ada. Rumusan Denny yang kemudian diwujudkannya sendiri lewat karyakaryanya, dalam tafsiran saya sifatnya masih terbuka sehingga memberikan peluang bagi kemungkinan terciptanya bentuk atau warna lain dari puisi esai. Ahmad Gaus misalnya, meskipun menulis dengan berpegang teguh pada kriteria yang digariskan Denny namun bentuk akhirnya justru jadi berlainan dengan apa yang ditulis Denny. Jika puisi esai Denny menempatkan fiksi dalam tubuh puisi dan menyimpan fakta pada catatan kaki, Gaus justru secara langsung memfiksikan fakta karena tokoh-tokoh yang diangkatnya berasal dari kehidupan nyata. Mungkin puisi esai Elza, Jonminofri dan Novriantoni nanti sudut pandangnya akan lain lagi. Saya kemudian membayangkan munculnya keragaman bentuk, warna atau varian lain dari para peserta lomba, yang tentunya akan lebih memperkaya puisi esai itu sendiri.
*** Lomba menulis puisi esai selain menetapkan tiga pemenang, sepuluh pemenang hiburan dan dua belas yang dianggap menarik. Dari keduapuluhlima puisi esai tersebut yang kemudian mencuat adalah beragamnya tema yang ditulis para peserta. Tema-tema tersebut mungkin termasuk langka dalam perpuisian konvensional kita, yang antara lain meliputi persoalan hukum dan peradilan, kepemimpinan tokoh lokal, korupsi dan manipulasi, kemantapan hati seorang pemberontak, konflik etnis dan budaya, kekerasan sosial, penghancuran alam dan lingkungan, eksploitasi
8
DARI RANGIN KE TELEPON
tambang yang semena-mena, problem dunia pendidikan, nasib suku terasing, petualangan penari erotis, kekosongan di tengah keriuhan kota besar, komunikasi kaum urban dan nasib TKW di luar negeri. Dengan demikian aku liriknya pun menjadi beragam pula. Ada tokoh sejarah nasional, ada tokoh pemberontak lokal, ada anak koruptor, ada pengagum presiden, ada mantan pejabat yang bertobat, warga suku terasing, orang kesepian yang ingin bunuh diri, anggota etnis minoritas, kaum urban yang galau, gadis yang mau dijual ke Taiwan, penari erotis dan sebagainya. Beragamnya tema maupun aku lirik yang muncul dalam puisi esai menunjukkan bahwa puisi esai secara tidak langsung telah membuka katup tematik berbagai masalah di tanah air yang selama ini kurang mengemuka dan jarang terdengar suaranya dalam puisi konvensional. Kebhinekaan yang selama ini tidak begitu nampak, lewat ajang lomba menulis puisi esai ini tiba-tiba mencuat dengan penuh warna dan nuansa. Memang banyak dari dari karya mereka yang belum sepenuhnya berhasil baik sebagai puisi esai yang benar-benar utuh dan memikat, namun kenyataan bahwa banyak segi dalam kehidupan yang mulai disentuh jelas merupakan sesuatu yang menggembirakan. Di masa depan mungkin bisa diharapkan bahwa dunia perpuisian kita tidak hanya terpaku pada tema-tema individual dan subjektif saja, melainkan juga memasuki segala macam keunikan, kekayaan, keragaman, keluasan, kedalaman beserta segala permasalahannya, yang konon semuanya dimiliki negara bernama Indonesia.
*** KUMPULAN PUISI ESAI
9
Antologi puisi esai Dari Rangin ke Telepon yang kini berada di tangan pembaca hanya berisi lima dari sepuluh puisi esai pemenang hiburan, sedang lima pemenang hiburan lainnya termuat pada antologi yang berbeda. Baiklah saya mulai saja ulasan ringan ini dengan menjumpai “Rangin” karya Kedung Darma Romansha. Lewat puisi esainya penyair berkisah tentang kemantapan hati Ki Bagus Rangin untuk melawan kesewenang-wenangan penjajah. Dengan pasukan serta persenjataan yang seadanya ia memberontak terhadap Belanda berikut antek-anteknya. Sebelum bertempur Ki Bagus Rangin berkhotbah keliling desa dengan memakai pakaian putih sebagai tanda kesiapannya untuk mati sahid. Ki Bagus Rangin merasa harus melakukan pemberontakan tersebut karena sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat. Rakyat diperkuda dengan bekerja rodi dan tanam paksa, sementara dalam waktu bersamaan mereka juga diperas tengkulak Cina yang menyewa tanah-tanah desa atas izin Belanda. Meskipun mengangkat seorang tokoh lokal yang melegenda di sekitar wilayah Cirebon, pada dasarnya Kedung tetap bergulat menaklukan kata-kata, menaklukan bahasa yang menjadi media ungkapnya. Di sana nampak kerja kerasnya sebagai penyair dalam menyusun diksi, menghadirkan metafor, menempatkan irama pada setiap baris serta mempertimbangkan hadirnya metrum pada setiap bait. Dengan demikian puisinya terasa padat meski tidak kehilangan unsur esai di dalamnya, di mana ia tidak lupa menyertakan sejumlah catatan kaki sebagai pelengkap data sejarah. Memang tidak pada setiap bagian unsur esainya tampil kentara, pada bagian-bagian tertentu justru ia hanya
10
DARI RANGIN KE TELEPON
melukiskan suasana atau mengatur irama, sehingga jika dibaca secara keseluruhan alur dalam puisi esai tersebut terjaga. Saya kutip salah satu bagiannya: Dia dilahirkan dari ledakan, bau mesiu, kematian, dan aroma sejarah yang berabad-abad kita hisap dalam ingatan. Beginikah sejarah? Kebohongan yang diciptakan untuk membuatmu betah berlama-lama dalam dongeng. Ketika kebohongan dan fitnah ditanam di dusun-dusun. Ketika mata mereka sudah menjadi pisau dan saling curiga. Ketika harga perut lebih tinggi dari nyawa maka pemberontakan mesti dihunuskan. Untuk tebu-tebu yang tumbuh subur dan darah yang mengalir di dalamnya. Yang dihadirkan Kedung Darma Romansha bukanlah sebuah biografi utuh tentang pahlawan rakyat yang diangkatnya, namun hanya sebuah momen ketika seseorang harus mengambil sikap, ketika seseorang harus menunjukkan eksistensi dirinya di hadapan orang lain. Dalam hal ini, ketika Ki Bagus Rangin harus memimpin pasukan untuk berperang melawan kesewenang-wenangan meski hanya bersenjatakan keyakinan dan keimanan. Puisi esai ini bisa jadi merupakan kritik tajam terhadap pemerintahan sekarang yang selalu tunduk dan menghamba pada kepentingan pihak asing hingga lupa dengan tugas
KUMPULAN PUISI ESAI
11
utamanya, yakni menyejahterakan rakyatnya sendiri. Pada masa penjajahan antek-antek asing itu diwakili para bupati dan residen yang merupakan perpanjangan tangan Belanda. Pendekatan yang sedikit mirip dilakukan Katherina Achmad pada karyanya “Dalam Belenggu Dua Dunia”. Puisi esai ini berkisah tentang tokoh nyata yang bernama Raden Saleh Syarif Bastaman. Yang dikisahkan Katherina bukan semata kehebatan Raden Saleh sebagai pelukis realis yang penguasaan teknis melukisnya diakui dunia internasional, namun lebih pada sisi nasionalisme sang pelukis. Yang menarik, rasa nasionalisme tersebut antara lain ditunjukkan dengan cara menikahi wanita Belanda yang kaya raya. Ia ingin membuktikan bahwa sementara wanita-wanita pribumi dijadikan gundik lelaki Belanda, ia justru mampu menaklukkan wanita Belanda. Lalu ia pun dengan tegas menolak masuk Kristen ketika banyak pribumi ikut-ikutan menganut agama yang dibawa penjajah dengan harapan akan mengubah status sosial mereka. “Bagaimana saya bisa menjadi Kristen ketika banyak kekejian dilakukan penganut agama ini,” katanya. Dalam puisi esai ini Katherina Achmad menciptakan tokoh fiktif bernama Ferdinand Wymart Russelhoff, seorang ahli botani Belanda yang kemudian menjadi sahabat sejati Raden Saleh sampai akhir hayatnya. Dengan tokoh fiktif ini kerap terjadi dialog yang menempatkan di mana sebenarnya posisi pelukis flamboyan ini dalam perjuangan bangsa. Raden Saleh membuat lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang merupakan bentuk dari perjuangan simboliknya dalam menentang segala macam penindasan yang dilakukan penjajah, hingga akhirnya sang pelukis
12
DARI RANGIN KE TELEPON
meninggal secara misterius. Khaterina cukup lancar mengatur alur cerita dalam puisi esai ini, ia memilih bahasa yang transparan dan nampak lebih fokus pada isi ketimbang mendandani sisi artistiknya. Dengan demikian karyanya menjadi lugas dan mudah dipahami, perjalanan sang maestro yang hidupnya terombang-ambing di antara dua dunia pun tergambar jelas dari awal sampai akhir. Setelah memasuki ranah sejarah yang heroik dan romantik saya ingin berkunjung ke pedalaman Kalimantan untuk menjumpai Yustinus Sapto Hardjanto yang menulis “Ziarah Tanpa Ujung”. Bagi saya puisi esai tentang lingkungan ini cukup menarik, bercerita tentang hutan Kalimantan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai adat dan budaya, yang konon secara sistemik telah dihancurkan keserakahan manusia. Yustinus banyak mengungkapkan data penting baik yang melekat dalam tubuh puisi maupun yang terdapat pada catatan kaki. Informasi tentang kondisi hutan tergambarkan lengkap, begitu juga nilai-nilai adat dan budaya dalam kaitannya dengan falsafah hidup serta kelestarian alam. Yustinus menampilkan tokoh Amai Pesuhu, seorang tetua adat dari suku Dayak, yang memimpin rombongan keluarga bergerak dari satu hutan ke hutan lain, berladang dengan cara bepindah-pindah tempat. Tokoh tetua dalam puisi esai ini bercerita dengan cara kilas balik, mengenang kehidupan masa lalu yang kemudian dikaitkannya dengan kenyataan sekarang. Kadang ia membandingkan kearifan tradisi dengan modernisasi, menghadapkan kerusakan alam dengan pembangunan, mempertentangkan kepemilikian lahan dengan perampasan, membenturkan kepercayaan KUMPULAN PUISI ESAI
13
lelehur dengan agama, bahkan pada beberapa bagian terasa ada gugatan yang keras. Di bawah ini saya kutip bagian dari puisi esainya tersebut: Tak selalu mudah bertemu, hidup bersama orang lain. Orang hutan itu sebutan kami. Ada cerita dusta kalau kami berekor. Gemar memuja roh-roh di pepohonan. Mereka bilang kami kafir, hanya karena tak menyebut-nyebut nama Tuhan. Mereka bilang kami kafir, hanya karena kami tak mempunyai kitab suci. Bagi saya, “Ziarah Tanpa Ujung” karya Yustinus Sapto Hardjanto termasuk puisi esai yang pengolahan diksinya cukup rapih dan terpola, di mana kata-kata liris yang dipilihnya saling berkaitan satu sama lain, saling mengisi dan melengkapi. Dengan demikian bait demi baitnya pun berjalan runtut, dengan irama yang kadang turun kadang naik. Meskipun begitu, pada beberapa bagian saya masih merasakan adanya ungkapan yang mungkin terlalu melankolis sehingga terkesan seperti merintih-rintih dan menghiba-hiba. Amai Pasuhu sendiri merupakan tokoh nyata yang keberadaannya dalam puisi esai ini mampu menghidupkan alur fiksi yang dirancang penyair. Teknik bercerita kilas balik juga terdapat pada “Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas” karya Rahmad Agus Supartono. Puisi esai ini merupakan sebuah solilokui tentang perjalanan spiritual, sebuah percakapan tentang rahasia dan
14
DARI RANGIN KE TELEPON
hakikat kehidupan antara diri dengan bayangan dirinya, antara kesadaran dengan alam bawah sadarnya, antara hamba dengan Khalik-nya. Percakapannya sendiri berlangsung khusyuk serta banyak melontarkan metaformetafor puitik yang sublim. Tadinya saya mengira puisi esai ini menggambarkan percakapan sufistik antara seorang santri dengan kiainya, atau antara seorang sufi dengan mursyid yang membimbingnya. Namun di akhir tulisan baru saya sadar bahwa tokoh rekaan ini ternyata seorang koruptor, seorang mantan pejabat yang di akhir hayatnya mendapat semacam pencerahan ketika terbaring di rumah sakit. Dengan strategi ini sang penyair telah berhasil menyelipkan sebuah kejutan kecil di antara bait-bait puisi esainya yang panjang. Saya kutip salah satu bagiannya: “Setelah itu, ambillah kapas dalam karung kecil di sudut gudang. Bawalah.” “Kemudian naiklah ke bukit itu. Sesampai engkau di puncaknya, ambil sejumput demi sejumput. Tiupkanlah ke udara. Ikutilah setiap tiupannya dengan mengingat-ingat wajah orang-orang yang telah kau perdayakan. Ucapkan permintaan maaf kepada mereka.” “Begitu seterusnya jangan berhenti. Hingga kapas di dalam karung kecil tersebut habis.” KUMPULAN PUISI ESAI
15
“Ya. Ucapkan permohonan maaf kepada mereka semua. Agar orang-orang yang kamu sengsarakan secara struktural agar orang-orang yang dinistakan kehidupannya agar orang-orang yang terkena dampak sistemik dari kebijakan politik selama lima tahun kekuasaanmu memaafkan kebijakanmu. Memaafkan kesalahanmu”. Terakhir, saya akan menjumpai Wendoko yang puisi esainya “Telepon” terasa unik, segar dan lain dari yang lain. Wendoko hanya menceritakan seorang perempuan urban, mungkin pembantu rumah tangga atau buruh serabutan, yang menelepon Bu Broto di Gunung Kidul, Yogyakarta, lewat telepon umum di tengah keramaian kota Jakarta. Cerita tersebut dibangun dalam sebuah monolog di mana Siyem, aku lirik dalam puisi esai ini, bicara nyerocos terus menerus. Dari pembicaraannya tersebut tergambarlah situasi Jakarta dengan segala permasalahan serta keruwetan. Misalnya, bagaimana kesibukan dan kemacetan lalu lintas, bagaimana keramaian dan kemajuan pembangunan, bagaimana hubungan antar manusia, bagaimana arus urbanisasi, dan tentu saja berbagai peristiwa dalam kaitannya dengan persoalan moral, sosial, hukum, budaya dan politik di Jakarta, yang tidak lain merupakan gambaran nyata dari kondisi Indonesia itu sendiri. Puisi esai yang didekasikan untuk HUT Jakarta ke-470 ini menggunakan bahasa sehari-hari yang akrab, hangat dan hidup, terutama karena kemampuan penyair dalam mengolahnya sehingga memunculkan hal-hal yang segar dan lucu di sana sini. Kita simak salah satu bagiannya:
16
DARI RANGIN KE TELEPON
Apa, Bu…? Oh, soal Jakarta? Sama saja, Bu Broto! Jakarta masih macet. Padahal di sini jalan-jalan terus dibikin. Selama tiga tahun, rasanya Jakarta makin macet. Kalau ibarat penyakit, ini penyakit yang makin parah. Bagaimana kagak macet, Bu…? Tiap tahun penduduk bertambah. Lalu yang namanya angkutan juga bertambah. Itu yang bikin Jakarta makin ruwet. Padahal, kalau dipikir, persoalannya sepele saja. Semua orang pingin ke Jakarta! Seperti Mas Beno dulu. Ya, seperti Mas Beno dulu! Lalu, lihat tiap kali habis mudik Lebaran. Pasti ada yang ke Jakarta dengan membawa teman. Mungkin tetangga, saudara, atau entah apa. Bisa satu, dua, atau malah sepuluh. Padahal di Jakarta kagak bisa dibilang enak! Eh, ini betul, Bu! Aku sudah tiga tahun di sini. Jadi aku tahu persis soal ini.
*** Demikianlah, lima buah puisi esai yang ditulis lima penyair dari berbagai penjuru tanah air ini telah hadir di hadapan kita dengan tema dan gaya ungkap yang berbeda satu sama lain. Yang menggembirakan kelima penyair ini masing-masing telah menunjukan sudut pandang serta tafsirnya sendiri terhadap dasar-dasar teoritis konsep puisi esai yang ditawarkan Denny JA, terutama dalam hubungan antara fakta dan fiksi. Meskipun kelimanya berpegang pada
KUMPULAN PUISI ESAI
17
konsep dasar hubungan antara fakta dan fiksi, yang juga dikuatkan dengan sejumlah cacatan kaki, namun penekanan maupun konsentrasinya masing-masing tidak sama. Ada yang dominan pada unsur fiksinya, ada yang dominan pada unsur faktanya, ada pula yang tarik menarik antara unsur fiksi dan fakta. Kiranya keragaman akan menjadi hidayah tersendiri yang dapat memperkuat bahkan memperkaya kerangka dasar puisi esai yang belum lama ditancapkan ini. Dan sebaliknya, lewat puisi esai secara tidak langsung para penyair yang cenderung mengagungkan imajinasi akan dihadapkan pada pentingnya riset atau penelitian terhadap realitas, yang tentunya akan memperkaya imajinasi itu sendiri. Bukankah dalam kehidupan sosial maupun politik kita belakangan ini banyak sekali hal-hal faktual yang kedahsyatannya melebihi imajinasi? Ketika pimpinan DPR merencanakan perbaikan WC di kantornya dengan anggaran puluhan milyar rupiah, kita terperangah karena realitas tersebut telah jauh melampaui imajinasi paling liar, paling gila, paling porno, paling surealis dan paling absurd dari penyair mana pun. Begitu juga ketika diberitakan media massa bahwa ada bupati yang menikahi gadis di bawah umur selama empat hari dan menceraikannya hanya lewat SMS, kita semua menjadi heboh. Apalagi ketika sang bupati yang selalu memakai peci dan fasih mengutip ayat-ayat suci serta rajin berkonsultasi dengan para ulama itu kemudian mengibaratkan mantan istrinya sebagai pakaian sobek atau kendaraan yang onderdilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Konon untuk pernikahan siri yang singkat
18
DARI RANGIN KE TELEPON
tersebut sang bupati telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 250 juta. “Meniduri artis saja tidak akan semahal itu,” katanya enteng. Realitas-realitas surealistik dan imajinatif dalam kehidupan sosial seperti di atas nampaknya belum banyak terekam apalagi bersemayam dalam ruang-ruang gelisah proses penciptaan. Namun ke depannya bisa jadi realitasrealitas surealistik dan imajinatif yang tergelar dengan sangat gamblang di hadapan kita tersebut akan menjadi sebuah tantangan sekaligus rintangan kreativitas tersendiri bagi para penulis puisi. Maka dengan begitu saya ucapkan selamat melakukan riset dan membuat catatan kaki, termasuk catatan kaki tentang pernikahan siri. []
Cipasung, 15 Desember 2012
KUMPULAN PUISI ESAI
19
20
DARI RANGIN KE TELEPON
Rangin Puisi Esai Kedung Darma Romansha
KUMPULAN PUISI ESAI
21
22
DARI RANGIN KE TELEPON
Rangin1
Siapa yang akan menentukan nasibmu? Hanya sunyi yang tumbuh ketika malam memanggilmu dan bulan yang gendut terkantuk-kantuk melihatmu termenung-menung sendiri. Lalu kisah itu merayap dalam ingatanmu bahwa segalanya jadi sukar untuk diceritakan. Ini cerita tentang orang-orang bernyali yang memilih jalan hidupnya bukan untuk pribadi bukan pula untuk kelompoknya. Ia penggal nafsu dalam diri Ia usir diri dalam hati. Ini cerita tentang darah dan keberuntungan yang dibeli oleh sekelompok kekuasaan. 1
Ki Bagus Rangin lahir di Majalengka pada tahun 1761. Ia merupakan putra Ki Buyut Sentayem.
KUMPULAN PUISI ESAI
23
Dermayu2 pergi, ia berlari menuju masa lalu seperti kijang mas yang hilang di bantaran Cimanuk. Ini cerita tentang politik dan kekuasaan yang melumpuhan kaki kiri tanah Jawa.3 Adalah nasib, yang dirampas dari tangan ibumu adalah kamu, yang tumpas masa depanmu. Kapan kau akan pulang dan menyalakan lampu? Jam berapa sekarang? Apa yang kau tahu tentang sejarah?
2 3
Indramayu. Raden Sawerdi Wiralodra III mempunyai putra empat orang ; R. Benggala, R. Benggali, R. Singawijaya dan Nyi Ayu Reksawinata. Setelah Wiralodra III wafat terjadilah perebutan tahta kekuasaan antara R. Benggala dan R. Benggali, adiknya merasa lebih berhak atas kedudukan itu sehingga berkeinginan kuat untuk menggantikan kakaknya yang sudah menduduki Pedaleman dengan gelar Wiralodra IV. Sehingga terjadilah perpecahan dalam keluarga Pedaleman itu yang kemudian dalam penyelesaiannya dicampurtangani oleh Belanda.
24
DARI RANGIN KE TELEPON
Jangan lupa menutup pintu ketika magrib tiba banyak serangga yang menyerang matamu. Seperti itukah sejarah? Ini tidak baik bagi kenangan yang lupa untuk dikabarkan. Bagi dongeng yang menyedihkan sebagai pengantar tidurmu. *** Dia dilahirkan dari ledakan, bau mesiu, kematian, dan aroma sejarah yang berabad-abad kita hisap dalam ingatan. Beginikah sejarah? Kebohongan yang diciptakan untuk membuatmu betah berlama-lama dalam dongeng.4 Ketika kebohongan dan fitnah ditanam di dusun-dusun. Ketika mata mereka sudah menjadi pisau dan saling curiga.
4
Disebutkan bahwa dalam babad Dermayu/babad Cirebon II tahun candra sangkala, Ki Bagus Rangin adalah seorang perampok yang meresahkan masyarakat dan mengancam kerajaan-kerajaan di Jawa terutama Cirebon dan Indramayu. Sementara dalam cerita rakyat, Ki Bagus Rangin adalah seorang pahlawan yang difitnah menjadi perampok.
KUMPULAN PUISI ESAI
25
Ketika harga perut lebih tinggi dari nyawa maka pemberontakan mesti dihunuskan5. Untuk tebu-tebu yang tumbuh subur dan darah yang mengalir di dalamnya. Ki Bagus Rangin membangkitkanmu dari kematian yang berabad-abad lamanya, dan masa lalu yang hilang dari kepalamu. Inilah tanahmu sorga yang diam-diam dirampas, kesadaran yang pelan-pelan tumpas. Jendral Deandels. Semua kendali ada di tangannya. Bila membangkang dipenggal kepalanya. Ketakutan tumbuh subur di dusun-dusun. Keberanian sembunyi dalam gelap di mana kau akan mengadukan nasibmu? ***
5
Ia melawan kebijakan Belanda dengan cara menentang residen dan bupati di Cirebon (1805).
26
DARI RANGIN KE TELEPON
Masing-masing saling menuding dan menyalahkan. Mereka tak tahu yang mana wajah mereka sebenarnya. Siapa lawan, siapa kawan, tak ada yang paham. Masing-masing sibuk dengan kekuasaan. Dari situlah Welanda6 campur tangan, alih-alih ingin membantu kawan.7 Maka disebutkan dalam riwayat kerajaan Raden Benggali8 diboyong ke Batavia. Di sana Welanda meracuni pola pikir sang raja. Peraturan-peraturan yang lama mati, diganti dengan peraturan-peraturan milik kompeni. Krisis pangan terjadi dimana-mana, menjalar ke pelosok-pelosok dusun. Orang-orang disibukkan untuk memikirkan perut sendiri. Lalu mereka saling makan antar saudara sendiri.
6 7
8
Belanda. Atas pengaruh politik Belanda, gelar Wiralodra diganti dengan Singalodra, yang masing-masing mendapat giliran masa jabatan 3 tahun. Raden Semaun.
KUMPULAN PUISI ESAI
27
Kerusuhan terjadi di dusun-dusun dan kota-kota. Keributan ras dan agama menjadi sasaran empuk politik Welanda. Kaum Tionghoa menjadi tersangka utama. Sebab hampir separuh perdagangan dikuasai Tionghoa. Welanda iri hati dan menutup mata Tapi Welanda memegang kunci, kendali atas peristiwa ini. Perampokan terjadi di mana-mana, rakyat dicekam ketakutan. Dari sinilah, Welanda memfitnah Ki Bagus Rangin sebagai dalang dari semua kerusakan ini. Pada masa kalangkabut ini, Raden Benggali lebih banyak mengadakan pesta-pesta. Dia hanya berpangku tangan pada Welanda sementara di luar banyak perampokan, dan rakyat semakin sengsara. Kekejaman Deandels semakin mencekik para petani. Beban-beban tidak terpikul oleh rakyat. Ki Bagus Rangin terpukul hatinya lalu membara hatinya maka ia sulut bara itu lebih besar dari rasa takutnya. 28
DARI RANGIN KE TELEPON
Sejak saat itu dikisahkan, Ki Bagus Rangin melakukan perlawanan.9 Namun ruang gerak Ki Bagus Rangin terbatas sebab fitnah Welanda telah memenjarakannya. Perlengkapan perang pun tak memadai. Maka ia bergerak ke dusun-dusun. Ia berpidato di dusun-dusun Ia mengabarkan kebohongan Welanda yang mencuri hak hidupnya, hak rakyatnya. Welanda bermaksud mengadu domba janji-janji tipu muslihatnya. Semua kendali ada di tangan Welanda termasuk perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh raja-raja di Jawa.10
9 10
H.A. Dasuki, Sejarah Indramayu, 1977. Berdasarkan piagam perjanjian tertanggal 5 Oktober 1705, antara Susuhunan Pakubuwono I dengan kompeni. Piagam itu mengakibatkan adanya batas wilayah kekuasaan kompeni, yaitu dari Cilosari di sebelah utara dan Cidonan di sebelah selatan. Oleh sebab itu, tidak hanya seluruh Priangan melainkan juga wilayah Cirebon menjadi daerah kekuasaan kompeni. Dengan surat keputusan tertanggal 13 Nopember 1705, pengawasan terhadap seluruh wilayah itu diserahkan kepada Pangeran Aria Cirebon. Pengangkatan itu ditetapkan dengan Surat Keputusan tertanggal 9 Februari 1706 (Van Meerten 1887: 10–11). Jabatan Pangeran Aria Cirebon adalah “Opsigter en Regent Over alle de Priangse Landen en inwoorders” (De Haan 1912: 245).
KUMPULAN PUISI ESAI
29
Bikin hilang harga dan nyawa negara bikin malu dan rusak ini bangsa. Maka benar adanya, dikisahkan masa itu kedudukan Welanda lebih tinggi dari raja-raja di Jawa.11 Tanam paksa membabi buta semua di bawah bayang-bayang Welanda. Orang menginjak seperti tidak di tanah sendiri. Mereka lupa tempat lahir mereka, siapa yang membesarkan mereka, dan dari mana asal mereka? Perjanjian-perjanjian yang pernah ada tak lepas dari tipu muslihat tangannya.
Dalam surat keputusan itu, Pangeran Aria Cirebon mendapat perintah: (1) kepala-kepala daerah Priangan harus menghentikan pengambilan wilayah atau penduduk dan harus tetap berdasarkan alokasi yang telah dimilikinya; (2) diwajibkan menangkap semua penjahat, perampok dan pemberontak yang melawan kompeni dari Kerajaan Cirebon dan membawa mereka ke kota Cirebon; (3) setiap distrik harus memajukan penanaman padi; (4) para kepala dan penduduk Priangan diwajibkan bertanam kapas, lada dan nila, setiap tahun harus dijual kepada kompeni dan dibayar tunai dengan harga yang telah ditetapkan; (5) rakyat Priangan harus diperintah berdasarkan adat kebiasaan dan hukum pribumi Jawa, tetapi para bupati dapat naik banding kepada Pemerintah Tinggi (kompeni) apabila kepada mereka dijatuhi hukum denda atas kesalahannya. 11 AJTA, Purwaka Caruban Nagari, 1986.
30
DARI RANGIN KE TELEPON
Namun demikian, tidak semua para penggede di Jawa tunduk pada Welanda.12 Kasultanan Cirebon dengan sembunyi-sembunyi Mengirim para Elang13 ke dusun-dusun untuk membantu gerakan melawan kebiadaban Welanda. *** Di hari yang cerah ketika cahaya matahari mengambang di daun-daun lalu menerobos ke celah-celah ranting dan jatuh ke tanah. Di sebuah hutan yang teduh Ki Bagus Rangin siaga untuk menerima gempuran dari Dermayu Bantarjati namanya. Tapi sebelumnya Ki Bagus Rangin berserta ketiga temannya Ki Bagus Kandar, Ki Bagus Serit, dan Ki Bagus Leja berangkat menemui Kiai Badhowi memohon nasihat atas tindak dan pangucapnya.
12
Sementara itu, di Cirebon sendiri terjadi perlawanan yang pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Surjanegara (1753-1773). Yang kedua, pemberontakan yang terjadi pada tahun 1818 M, atau di masa Sultan Sepuh VIII. 13 Raden, petinggi kerajaan. KUMPULAN PUISI ESAI
31
Kiai Badhowi menghitung bulan dan jatuhnya penanggalan. Diriwayatkan, bila Dermayu menyerang ke Bantarjati di situlah hari sialnya. Setiba di Bantarjati didengarlah kabar bahwa esok hari Dermayu akan menyerang Ki Bagus Rangin teringat apa yang dikatakan Kiai Badhowi. Maka ia tak gentar sedikitpun dikumpulkannya prajurit dan bersamanya merancang setrategi. Bila selatan mendekat, separuh barat dan timur merapat ke utara begitulah cara menjaring lawan. Kemudian bergeraklah ke satu titik, Rangin namanya. Maka Ki Bagus Leja bergerak ke timur Ki Bagus Serit ke barat dan Ki Bagus Kandar Pertemuan antar keduanya.
32
DARI RANGIN KE TELEPON
Maka habislah prajurit Dermayu. Ia datang dengan kesombongan dan pulang dengan hati yang kosong. Ia membawa dendam dan segera ingin ia lunaskan. Raden Benggali tak puas hatinya ia dicekam ketakutan yang dalam Rangin seperti hantu yang ingin membunuhnya bagai bayang-bayang ia berklebat di siang dan malam. Bila kantuk datang menyerang risau hatinya tak kunjung redam. Bila lelap sudah ia terbangun tiba-tiba. Nafasnya seperti berkejaran dengan detak jantungnya memburunya dari mimpi di malam lagi sepi. Ia mimpi buruk tahtanya ambruk Ki Bagus Rangin mimpi buruknya ia sang celaka yang merongrong kerajaannya.
KUMPULAN PUISI ESAI
33
Lalu ia meminta bantuan gubernur jendral Deandels dari Batavia agar padam risau hatinya agar lunas dendamnya. Maka datanglah 700 pasukan yang langsung dipimpin tuan Deler perlengkapan perangnya modern jauh dibanding Dermayu. Lalu dikirimlah surat tantangan ke Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin menerima tantangan itu. Tak kecil sedikitpun hatinya tak gentar bila maut datang menyergap. Ia bersiap-siap, mengumpulkan prajurit dan merancang strategi perang. Maka berangkatlah Ki Bagus Rangin dengan bala tentaranya ketika malam menghitamkan dusun dan hutan-hutan. Lalu, ketika sampai di perbatasan mereka rehat sejenak mengumpulkan tenaga dan menyiapkan perlengkapan perang. Tapi sebelum mulai berangkat perang
34
DARI RANGIN KE TELEPON
Ki Bagus Rangin berpidato kepada prajuritnya. Kata-katanya menggetarkan suaranya lantang, menusuk sampai palung hatimu. Dan genderang perang pun ditabuh. Kematian Itulah hasil dari peperangan Mereka berperang entah untuk siapa Tak ada yang tahu Dan barangkali mereka pun tak tahu O, prajurit-prajurit yang malang Pada siapa kaujual darahmu? Apa yang kaubela? Jika kau hanya mesin kendalian orang lain O, prajurit-prajurit yang malang Kemana kautambatkan perjuanganmu Sudahkah kau mencium tangan ibumu? Ki Bagus Rangin dan pasukannya dipukul mundur. Jumlah pasukan Dermayu empat kali lipat banyaknya perlengkapan perangnya lengkap dan modern dan Ki Bagus Rangin kalah strategi. Lalu ia dan pasukannya masuk ke dalam hutan.
KUMPULAN PUISI ESAI
35
Dermayu menang. Ia mengadakan pesta berbulan-bulan lamanya sementara rakyat semakin sekarat di bawah raja yang laknat. Maka Ki Bagus Rangin melakukan gerakan ke dusun-dusun. Ki Bagus leja, Ki Bagus Kandar, dan Ki Bagus Serit ditugaskan untuk menyebar ke dusun-dusun mengabarkan berita guna memangkas fitnah Welanda dan menghimpun kekuatan. Mula-mula ia basmi perampok bayaran Welanda dari situ rakyat terpikat hatinya. Ki Bagus Rangin mengirim surat ke para Elang Untuk melawan Belanda dan antek-anteknya. Maka pada masa itu disebutkan, para Elang yang tak sepakat dengan Residen dan Bupati di Cirebon keluar dari keraton guna mengadakan perlawanan. Tak sepaham pikiran, rahmat namanya. Tapi kalau ada kelaliman, bencana akibatnya. 36
DARI RANGIN KE TELEPON
Duh, kata-kata... Licin bagai lidah Mudah berkilah Mudah dibelokkan Mudah dibengkokkan Apalah guna, karena sesal di kemudian Ki Bagus Rangin masih tak kecil hati tak ciut nyali tak gentar mati. Ia wakafkan keringat dan darahnya Di jalan Alloh. Sebab ia tak mau lagi dengar rakyat melarat Ia tak lagi mau dengar rakyat sekarat. Lalu ia nyalakan api itu api yang berkobar-kobar di dadanya ia hembuskan ke rakyat dan prajuritnya. Ia tiupkan api kemenangan ia kobarkan semangat perjuangan.
KUMPULAN PUISI ESAI
37
“Saudara-saudaraku sekalian! Sekarang kita berkumpul, untuk menyatukan tekad kita. Untuk mengambil hak kita, hak tanah tempat dulu kita lahir. Hak hidup kita hak kekayaan bumi yang kita pijak sekarang ini. Apa kalian akan diam saja? Saudara-saudaraku, lebih baik mati daripada selamanya jadi budak. Artinya apa? Kita harus mengambil hak-hak kita yang sudah dirampas. Apa kalian siap?” Orang-orang bersorak-sorai menyambutnya. Suara mereka menggema suara anak zaman yang sempat hilang dicuri Betarakala. Kini ia kembali ke pangkuan ibunya anak zaman yang sungsang nasibnya. Dari sinilah sejarah mesti diluruskan dari pikiran-pikiran kotor dan tangan-tangan kotor.
38
DARI RANGIN KE TELEPON
Ki Bagus Rangin dan rakyat manunggal. Bila perang datang dia melenggang di garis depan. Bila sekali pelor panas melayang maka di dadanya bersarang. Bila busur panah melesat, maka dialah yang terkena paling cepat. Ki Bagus Rangin tumbuh subur di susun-dusun melawan ketakutan dan kelaliman. Ki Bagus Rangin14 tak akan pernah mati ia tumbuh di hatimu. Seperti sejarah yang menggali kenangannya sendiri. Ia abadi dalam rindu datang bila kelaliman menyergap kalbu.
14
Ki Bagus Rangin tidak pernah menyerah melakukan perlawanan meskipun ia selalu kalah. Karena bala tentara lawan jumlahnya lebih banyak dan perlengkapan perangnya memadai, ditambah bantuan dari Belanda, akhirnya ia ditangkap dan kepalanya dipenggal di dekat Cimanuk.
KUMPULAN PUISI ESAI
39
Sun besuk maria eman yen sampun wonten grahanane sasi srengenge kembar lima lintang alit gumelaring siti sawiji tan nana urip iwal kula lan sampean matia mungga suarga neraka bareng ngleboni menjang bela kula sirna sampean sampurna....15
15
Di kemudian hari aku akan setia kalau sudah ada gerhana bulan, matahari kembar lima, bintang kecil berderet di bumi. Salah satu tak ada yang hidup, kecuali aku dan kamu. Suatu saat, mati pun kita bertemu di surga, dan neraka pun kita tempati bersama. Kemudian aku hilang, dan kamu hidup sempurna.
40
DARI RANGIN KE TELEPON
Dalam Belenggu Dua Dunia Puisi Esai Katherina Achmad
KUMPULAN PUISI ESAI
41
42
DARI RANGIN KE TELEPON
Dalam Belenggu Dua Dunia
1 Angin laut bertiup agak kencang, memacu ombak penampar karang. Sebuah kapal baru saja meninggalkan Selat Makassar, bergerak menuju Pulau Jawa.1 Sepucuk pistol dan buku Revolution de 18482 tercatat dalam manifes pelayaran, milik seorang pria perlente yang sedang berdiri di buritan.
1
Tahun 1852, Raden Saleh kembali ke tanah airnya, Pulau Jawa, Hindia Belanda. Ia seorang inlander yang mendapat beasiswa belajar seni lukis di Belanda. Pada 1829 ia berangkat ke Belanda, atas rekomendasi Gubernur Jenderal G.A.G.P. Baron van Der Capellen, C.G.C. Reindwart, J.B. de Linge, dan A.A.J Payen.
2
Dalam sebuah manifes pelayaran yang dicatat syahbandar Makassar (1851), di antara barang-barang pribadi Raden Saleh terdapat sepucuk pistol dan buku Revolution de 1848. Sumber: Jim Supangkat, “Raden Saleh dan Revolusi 1848,” Kompas, 1 Januari 2000.
KUMPULAN PUISI ESAI
43
Angin laut bertiup makin keras, kapal terguncang. Pria berkumis itu masih berdiri tegak dan tetap tenang. Perawakannya tak terlalu tinggi, parasnya cakap dengan mata setajam harimau Sumatra. Pakaiannya membuat ia tampak berbeda. Benar apa kata orang, pria ini laiknya seorang pangeran dari Timur dengan penampilannya yang kerlap. Sulam emas menghiasi kerah hingga dadanya, motif sulaman yang indah dan berlekuk megah. “Kau yang bernama Saleh?” sapa lelaki tambun yang sedari tadi berdiri tak jauh darinya. Angin bertiup lebih kencang, “Raden Saleh Syarif Bustaman”3 sang Flamboyan menegaskan suaranya di antara deru angin yang berdesau risau.
3
Raden Saleh Syarif Bustaman lahir di Terboyo, Semarang pada bulan Mei 1811. Tanggal kelahiran ini, menurut Kraus (2005), ditulis sendiri oleh Raden Saleh dalam sketsa dirinya yang dibuat oleh Carl Christian Vogel van Vogelstein (1839). Beberapa ahli lain menyebut tahun 1807, 1814, atau tahun lainnya dengan alasan berbeda, sebagai tahun kelahirannya. Ia memiliki bakat melukis yang menakjubkan. Pada 1817, pamannya, Adipati Surohadimenggolo (bupati Terboyo), membawa Raden Saleh kecil ke Batavia. Gubernur Jenderal tertarik melihat bakatnya dan menyerahkan pendidikannya kepada C.G.C. Reindwardt.
44
DARI RANGIN KE TELEPON
Si Tambun Pirang mengulurkan tangannya, “Namaku Ferdinand Wymart Russelhoff”4 panggil aku Wymart saja....” Raden Saleh melunakkan pandangannya. Angin laut menerpa rambut mereka, beberapa ekor camar menukik menyambar ikan-ikan yang berenang di permukaan. Wymart tersenyum, “Saya seorang ahli botani yang akan bekerja di ‘Lands Plantentuin.”5 “Saya kenal tempat itu, sebuah dunia hijau yang unik dan sejuk,” ucap Raden Saleh kepada sahabat barunya. Selaksa rindu menyemai, selalu ada tempat untuk pulang sejauh apapun menjalani kembara.
4
Ferdinand Wymart Russelhoff adalah tokoh fiktif ciptaan penulis. Tokoh yang ikut mendramatisasi puisi esai ini.
5
Lands Plantentuin (Kebun Raya Bogor) didirikan oleh C.G.C. Reindwardt, 18 Mei 1817. Pada awal pendiriannya, kebun raya ini berfungsi sebagai tempat penelitian, pendidikan guru pertanian dan mengoleksi tumbuhan, yang kemudian berkembang menjadi tempat reintroduksi tumbuhan.
KUMPULAN PUISI ESAI
45
2 Mereka berpisah di Pelabuhan Sunda Kalapa. Wymart melaju ke Buitenzorg. Raden Saleh menetap di Batavia, di sebuah kawasan bernama Cikini, berbaur dengan masyarakat kelas tinggi dan merasa setara dengan kaum penguasa. Namun ternyata, semua itu tak sebaik di negeri seberang. Di tanah leluhurnya sendiri ia masih dianggap inlander yang berkulit coklat dan berpikiran Barat. Di kalangan masyarakat yang satu leluhur dengannya, ia pun tak sepenuhnya diterima karena melukis makhluk-makhluk bernyawa6 dan punya pemikiran yang kelewat maju.
6
Ketika Raden Saleh kembali ke tanah air pada 1852 (sebagian ahli menyebutkan akhir 1851), sikap kebarat-baratannya tak sepenuhnya diterima di kalangannya sendiri, kaum bangsawan pribumi. Ia pun mengalami sedikit benturan dari kaum agamis yang menyoroti kebiasaannya melukis manusia dan hewan. Sumber: Soekondo Bustaman, Raden Saleh Pangeran di Antara Para Pelukis Romantik, Abardin, Bandung, 1990, hlm. 20.
46
DARI RANGIN KE TELEPON
Raden Saleh tak peduli, ia adalah manusia bebas yang merdeka. Ia menikahi janda kaya beranak satu dari seorang pemilik pabrik gula, ia menikahi wanita Belanda7 itu ketika para wanita inlander dijadikan gundik oleh pria Belanda dan dipanggil Nyai. Ia menolak dikristenkan oleh Duchess of Kent8 dan menjawab lugas, “Bagaimana saya bisa menjadi Kristen ketika banyak kekejian dilakukan penganut agama ini.”
7
8
Raden Saleh menikahi Constancia van Winkelhagen pada tahun 1856. Janda dari pemilik perkebunan tebu yang kaya raya ini sudah memiliki seorang anak perempuan. Pernikahannya dengan wanita Belanda ditanggapi dengan sikap sumir. Lihat: Soekondo Bustaman, Raden Saleh Pangeran di Antara Para Pelukis Romantik, Abardin, Bandung, 1990, hlm. 20. Pernikahan ini menunjukkan kesetaraannya dengan bangsa asing karena menikah secara resmi dan dalam kedudukan yang terhormat. Sebuah status yang menarik perhatian di tengah fenomena status gundik para wanita inlander yang dinikahi para tuan tanah Belanda. Sikap menentang penindasan seperti terlihat pada lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Juga tercermin pada pandangannya ketika Duchess of Kent (ibunda Ratu Victoria) mencoba mengkristenkannya. Raden Saleh menjawab, “Bagaimana saya bisa menjadi Kristen ketika banyak kekejian dilakukan penganut agama ini.” Sumber: Jim Supangkat, “Raden Saleh dan Revolusi 1848,” Kompas, 1 Januari 2000.
KUMPULAN PUISI ESAI
47
Ia menolak dikristenkan, ketika para inlander masuk Kristen agar mereka bisa menikah di catatan sipil agar nama anak-anak mereka dicatat pada Burgelijke Stand,9 yang menahbiskan mereka menjadi Belanda meski tak sepenuhnya membuat mereka seistimewa orang Belanda asli, mereka tak peduli.
9
Sekitar 1860-an, banyak orang pribumi jadi Kristen, sebagian karena ingin mencapai kedudukan yang lebih tinggi, karena Pasal 119 Regeerings Reglement (undang-undang dasar untuk daerah jajahan Belanda) menyatakan bahwa semua orang Kristen adalah “orang Belanda”. Orang Kristen pribumi juga diizinkan menikah di catatan sipil dan nama anak-anak mereka dicatat pada Burgelijke Stand (Catatan Sipil). Namun demikian, kedudukan sipil yang sederajat dengan orang Belanda tidak membuat orang Kristen pribumi mendapat kemudahan-kemudahan yang istimewa. Menurut Milone, dalam soal hak istimewa, orang Kristen pribumi tidak lebih penting dari orang Eropa atau Indo dalam hal kesempatan kerja, tingkat gaji, serta kehidupan sosial, sekalipun mereka berpendidikan lebih tinggi dan mencapai kedudukan sipil disamakan dengan orang Eropa. Sumber: Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu dan Perwakilan KITLV, Jakarta, 2003, hlm. 17. Penolakan Raden Saleh dikristenkan dapat ditafsirkan sebagai sikap enggan jadi “Belanda”. Bila dikaitkan dengan fenomena banyaknya kaum pribumi yang memilih masuk Kristen –yang notabene mengubah status sosialnya jadi “sederajat” dengan bangsa Belanda– sikap Raden Saleh jelas merupakan sikap menentang arus.
48
DARI RANGIN KE TELEPON
Di rumahnya yang megah10 berhalaman luas dihiasi tanaman eksotik dan koleksi hewan kesukaannya, Wymart acapkali diundang menghadiri pesta dansa dalam gemerlap lampu kristal11 dan hingar bingar musik walsa. Pada senja yang suram Raden Saleh berkata pada sahabatnya, “Istriku memilih hidup berpisah daripada dimadu.” Dengan berat hati ia mengabulkan permintaan sang Isteri yang bersikukuh pada pilihannya. 10
Raden Saleh tinggal dalam sebuah rumah mewah yang sekarang masih ada (Rumah Sakit Cikini, Jakarta). Bahkan kemewahan itu ia sempurnakan dengan area kebun binatang pribadi (sekarang Taman Ismail Marzuki). Rumah besar berhalaman luas itu ia rancang sendiri, mirip sebuah kastil bergaya German Gothic, yaitu Puri Rosenau di Coburg, Jerman. Puri tersebut milik keluarga Pangeran Albert, suami Ratu Victoria dari Inggris. 11 Raden Saleh mengisi rumahnya dengan perabot rumah tangga antik yang mahal, sebagian model Timur dan sebagian model Barat, lampu gantung mewah dari kristal dan karpet yang mahal. Di depan rumahnya terdapat kebun yang luas, tumbuhan yang anggun, juga sekumpulan hewan, di antaranya beberapa ekor harimau, macan tutul, rusa dan ular yang digunakannya sebagai model dalam studi membuat sketsa hewan. Ia mempunyai serombongan pembantu, dan juga mempunyai banyak kuda dengan keretanya. Sumber: Soekondo Bustaman, Raden Saleh Pangeran di Antara Para Pelukis Romantik, Abardin, Bandung, 1990, hlm. 21. KUMPULAN PUISI ESAI
49
Malam pun semakin karam, hidup di tanah leluhur tak seindah di tanah Eropa, kaum inlander hanyalah warga kelas empat12 di negerinya sendiri.
12
Sejak zaman kompeni, masyarakat kolonial sebagian besar dikelompokkan berdasarkan bangsa. Menjelang pertengahan abad ke-19, orang Eropa asli yang bekerja di bidang pelayanan umum, usaha swasta, dan tentara menduduki lapisan teratas pada hierarki status. Meskipun orang Indo dan pribumi Kristen secara hukum dikelompokkan sebagai Eropa, dalam kenyataan mereka tetap mendapat status yang lebih rendah ketimbang Eropa asli. Lapisan di bawahnya adalah orang Tionghoa dan Arab, yang mulai berdatangan dalam jumlah besar pada awal abad ke-19. Sedangkan strata sosial paling bawah ditempati pribumi Muslim, yang biasanya disebut orang Selam. Sumber: Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan Perwakilan KITLV, Jakarta, 2003, hlm. 17.
50
DARI RANGIN KE TELEPON
3 Ada belenggu tak kasatmata menahan gerak langkah jadi tak leluasa. Ketika sang Maestro ingin berkarya, dua kali memohon izin, selalu ditolak.13 Ia ingin lakukan penelitian ke berbagai daerah tempat perang besar pernah berlangsung. Karena hasratnya ini, reaksi bermusuhan didapatkannya dari dua pihak: para pejabat Belanda dan penguasa Jawa. Dengan terpaksa lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dikerjakan di studio, sikap menentang penindasan tergambar di situ.
13
Raden Saleh sempat mengajukan permohonan resmi dua kali kepada pemerintah Belanda, yaitu tahun 1852 dan 1857, agar ia dapat melakukan penelitian ke beberapa daerah di Jawa Tengah, tempat perang besar itu pernah berlangsung. Ia ingin membuat sketsa-sketsa suasana pertempuran bersejarah tersebut yang nantinya akan dituangkan dalam sebuah lukisan dan kemudian dipersembahkan kepada Raja Belanda. Namun permohonan ini ditolak Belanda. Ia mendapatkan reaksi bermusuhan dari para pejabat Belanda setempat maupun para penguasa Jawa. Lihat: Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham, Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, hlm. 93.
KUMPULAN PUISI ESAI
51
Lukisan itu dihadiahkan pada Raja Willem III sebagai hadiah ulang tahun. Kelak, para kritikus seni rupa menyebut karyanya sebagai koreksi atas lukisan Nicolaas Pieneman dengan objek yang sama,14 yaitu “Penaklukan Pangeran Diponegoro.” Kelak, karyanya terbaca menyimpan perlawanan simbolik yang paling pekat nasionalismenya. Ia mengguratkan geram di wajah Diponegoro, gusar menantang Jenderal de Kock dan bawahannya yang dilukis kerdil berkepala besar. Ia sengaja mengabaikan bendera dan lambang kerajaan Belanda, walau Pieneman melukiskannya.
14
Lihat: Jim Supangkat, “Raden Saleh dan Revolusi 1848,” Kompas, 1 Januari 2000, dan Peter Carey, Asal-Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, LKiS, Yogyakarta, 2004, hlm. 147-148.
52
DARI RANGIN KE TELEPON
Ia melukiskan sosok dirinya sebagai cameo15 pertanda simpatinya pada perjuangan sang Pangeran, atau bisa juga sebagai rasa duka atas sebagian keluarganya yang gugur dibantai peperangan itu. Selaksa duka tercurah atas derita sang Paman tercinta16 yang diasingkan ke Maluku bersama saudara sepupunya karena terlibat perang yang membuat Belanda nyaris terpuruk, merugi harta, merugi ribuan nyawa.
15
Raden Saleh mencantumkan sosok dirinya dalam lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” baik secara utuh maupun wajahnya saja. Ia melukis wajah seorang pengikut Diponegoro seperti wajahnya sendiri. Sumber: Peter Carey, Asal-Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, LKiS, Yogyakarta, 2004, hlm. 204-205.
16
Pada awal Perang Diponegoro (1825), pamannya, Adipati Surohadimenggolo dan putranya Raden Saleh Ario Notonegoro, ditahan Belanda lalu diasingkan ke Maluku. Surohadimenggolo terbukti mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro. Dua saudara sepupu putra pamannya ini, yaitu Raden Sukur dan Raden Saleh Ario Notonegoro, bahkan terlibat langsung dalam peperangan. Raden Sukur sempat bergabung dengan pasukan rakyat yang dipimpin Pangeran Serang. Sumber: Sagimun M.D., Pahlawan Dipanegara Berdjuang, Gunung Agung, Jakarta, 1965, hlm.108
KUMPULAN PUISI ESAI
53
“Berperang tak selalu harus mengangkat senjata, kuas dan kanvas pun bisa lebih menghujam daripada peluru,” cetus Raden Saleh kepada Wymart, di meja perjamuan makan malam. Beberapa lukisan yang dibuatnya, kelak ditafsirkan menyimpan perlawanan simbolik dari seorang inlander.
4 Simpatinya kepada sang Pangeran Jawa, mengimbas pula pada pilihan hidupnya ia meminang Raden Ayu Danudirejo, putri Raden Tumenggung Kalapa Aking, bekas panglima pasukan Pangeran Diponegoro. Diboyongnya sang Istri ke Buitenzorg, kota yang mengukir sejarah awal kiprahnya saat ia ditemukan Reinwardt, belajar melukis pada A.A.J. Payen17 dan Johannes Theodorus Bik di Lands Plantentuin yang kelak disebut Kebun Raya Bogor.
54
DARI RANGIN KE TELEPON
Ia kerapkali diajak eksplorasi ke seluruh penjuru Jawa, Maluku dan Sulawesi membuat gambar-gambar pemandangan, tanaman dan hewan juga orang-orang pribumi dan budayanya. Nasib baik mengantarnya ke Belanda, tahun 1829 ia berangkat bersama Inspektur Keuangan J.B. de Linge dan berperan sebagai pendamping de Linge dalam urusan budaya, bahasa Melayu juga Jawa. Peluang memperdalam seni lukis diraihnya, ia berguru pada pelukis-pelukis piawai menyerap budaya dan peradaban modern. Belajar dalam kesetaraan bersama para pemuda Eropa tanpa mempersoalkan asal muasal yang mengalir pekat di dalam darahnya atau warna legam yang tampak pada kulitnya. 17
Antoine Auguste Joseph Payen adalah guru Raden Saleh, terutama untuk menggambar tumbuhan dan pemandangan alam Indonesia. Atas persetujuan keluarga Raden Saleh, Payen membawanya ke Cianjur dan disekolahkan di sana, di sebuah sekolah pribumi yang didirikan oleh Residen Letkol. J.R.L. Jasper van der Capellen, adik gubernur jenderal. Lihat: Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham, Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, hlm. 4-5 dan 72, dan I Ketut Winaya, Lukisan-Lukisan Raden Saleh, Ekspresi Anti Kolonial, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 53.
KUMPULAN PUISI ESAI
55
Masa depan cemerlang menjadi harapannya. Nasib yang lebih baik daripada kaum inlander di tanah leluhurnya, menjadi sebuah mimpi yang akan segera diwujudkannya. Larutlah ia dalam gemerlap kehidupan kaum bangsawan Eropa, ia tampil sebagai Pangeran Timur yang menawan. Bergaul dengan para filsuf, politikus, pemusik, ilmuwan, dan sastrawan kenamaan dunia. Dari negara yang pernah disinggahinya Belanda, Austria, Perancis, Italia, Aljazair dan lainnya, Jerman adalah negara yang paling disukainya18 kebebasan berpikir ia dapatkan di sini, perbedaan ras dan agama bukan halangan untuk berkawan dengan siapa pun.
18
Di Jerman, Raden Saleh dihormati sebagai pelukis Kerajaan Belanda dan karena itu pandangan-pandangannya dicatat. Namun dokumen-dokumen tentang Raden Saleh ini –di antaranya catatan setebal 300 halaman– terceraiberai ketika pasukan Rusia menyerang Jerman pada Perang Dunia II dan mengangkut isi berbagai museum. Dalam dokumen Hindia Belanda, catatan tentang Raden Saleh tidak terlalu berarti. Bagian yang terbanyak pada catatan ini adalah permintaan kenaikan tunjangan. Sumber: Jim Supangkat, “Raden Saleh dan Revolusi 1848,” Kompas, 1 Januari 2000.
56
DARI RANGIN KE TELEPON
Sebut saja Alexandre Dumas, pengarang novel yang mashur musikus Robert Schumann, si Raja Dongeng Hans Christian Andersen atau Eugène Sue yang merekam sosoknya jadi tokoh novel Pangeran Jalmo.19 Di kota Maxen, tak jauh dari Dresden Mayor Serre mendirikan sebuah paviliun kecil20 untuk sahabat Jawanya, di paviliun yang disebut Blaue Moschee itu ada tulisan berbunyi: “Muliakan Tuhan dan Cintailah Sesama Manusia” dalam bahasa Jerman kuno dan tulisan Jawa.
19
Penampilan Raden Saleh menginspirasi seorang novelis terkenal Eugène Sue menciptakan tokoh “Pangeran Jalmo” dalam novelnya yang bertajuk Le Juif Errant (Si Yahudi yang Mengembara). Sue menggambarkan Pangeran Jalmo sebagai sosok seorang pangeran dari Timur yang berkarakter seperti Raden Saleh. Sumber: Soekondo Bustaman, Raden Saleh Pangeran di Antara Para Pelukis Romantik, Abardin, Bandung, 1990, hlm. 15 dan 17.
20
Di Dresden, Raden Saleh tinggal di Jalan Neue Alle 134, rumah milik Mayor Friedrich Anton Serre, ajudan gubernur militer Dresden, yang punya selera seni tinggi. Mayor Serre, yang menjadi pelindung Raden Saleh selama berada di Jerman, terpikat oleh karyanya. Sumber: Pudyastuti Baumeister dan Kurniawan, Tempo Online, 5 Juli 2010. Blaue Moschee (Mesjid Kubah Biru) atau Blaue Häusel (Rumah Biru) arsiteknya adalah Raden Saleh sendiri. Bangunan berukuran 5x5 meter ini sengaja dibangun Mayor Friedrich Anton Serre sekitar tahun 1848 untuk Raden Saleh. Lokasinya di atas bukit yang diteduhi pepohonan dan kini menjadi ikon wisata kebanggaan kota Maxen.
KUMPULAN PUISI ESAI
57
Kalimat ini menjadi titik tolak pemikiran humanis yang membekas dalam benaknya sebagai bagian dari kaum yang tertindas. Pergaulan sang Maestro mengasah kepekaan humanismenya, menjadi saksi mata Revolusi Prancis 1848, cikal bakal tumbuhnya demokrasi. Humanismenya diasah pula oleh perang yang masih berkecamuk saat ia meninggalkan Pulau Jawa. Belanda tak sepenuhnya percaya kepada sang Inlander, apalagi suatu ketika sebuah laporan pers di Prancis memicu ketegangan antara kedua negara ini.21
21
Pada 1848, hubungan Belanda dan Prancis sempat diwarnai ketegangan, menyusul sebuah pemberitaan pers Prancis yang melaporkan perlakuan kasar dan tidak manusiawi pemerintah Belanda terhadap Pangeran Diponegoro di tempat pembuangannya. Raden Saleh –yang saat itu tinggal di Dresden namun sering ke Paris– ditengarai sebagai tokoh di balik layar yang memberikan keterangan tersebut kepada pers.
58
DARI RANGIN KE TELEPON
Dikabarkan, perlakuan Belanda terhadap Pangeran Diponegoro di tempat pengasingannya, amatlah kasar dan tidak manusiawi.
Berita tersebut menimbulkan banyak reaksi, bahkan pemerintah Prancis pun melayangkan protes resmi kepada pemerintah Belanda. Menteri Daerah Jajahan Belanda, Jean Chretien Baud melaporkan serta memberikan klarifikasi atas peristiwa ini kepada Raja Belanda. Selanjutnya Baud telah memerintahkan duta besar Belanda di Paris untuk menolak keras tuduhan yang disampaikan oleh pers Prancis itu. Pemerintah Belanda sangat ingin tahu siapa yang telah menyebarluaskan berita memalukan itu. Mengingat ketatnya pengawasan keamanan yang mengelilingi Diponegoro di dalam pengasingan (terutama setelah 1837) serta kerahasiaan yang begitu mendalam yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda di dalam penyamaran yang mereka lakukan ketika memindahkan Diponegoro dari Menado ke Makasar, pada Juli 1833, maka siapakah lagi yang mungkin dapat memberikan keterangan mengenai Diponegoro kepada pers Prancis? Sumber: Peter Carey, Asal-Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, LKiS, Yogyakarta, 2004, hlm. 150. KUMPULAN PUISI ESAI
59
5 Kesangsian Belanda pun selalu tumbuh walau ia sudah menginjak Tanah Jawa. Meski menyandang predikat pelukis kerajaan, mendapat bintang penghargaan para raja dari Belanda, Austria, Jerman dan Prussia,22 sekali inlander tetap inlander, ia tetap di bawah pantauan ketat sang Penguasa. Sikap paranoid Belanda semakin pekat. Ketika ada pemberontakan petani di Tambun, Bekasi23 Raden Saleh jadi tersangka utama, ia dicurigai menyembunyikan sejumlah pemberontak rumahnya di kepung 50 tentara bersenjata.
22
Semasa hidupnya Raden Saleh mendapatkan gelar kehormatan dari beberapa raja Eropa. Tahun 1845 Raja Willem II, atas nama Kerajaan Belanda mengangkat Raden Saleh sebagai bangsawan dan menganugerahkan gelar Ridder in de Orde van de Eikenkroon. Selanjutnya, gelar kehormatan lainnya diperoleh Raden Saleh dari Austria, Prusia dan Jerman, yaitu Commander with the Star in Orders of Csar Franz Josef of Austria, Knight in the Order of the Crown of Prussia, dan Knight in the Order of White Falcon of Saxe-WeimerEiseimach. Lihat: Soekondo Bustaman, Raden Saleh Pangeran di Antara Para Pelukis Romantik, Abardin, Bandung, 1990, hlm. 15 dan 113, dan Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham, Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, hlm. 69.
23
Pada 1869 terjadi pemberontakan petani di Tambun, Bekasi. Pemberontakan yang menewaskan seorang administrator dan seorang polisi Belanda ini,
Peristiwa ini sangat menarik perhatian dan membuat masyarakat bertanya-tanya dosa apa gerangan yang diperbuat oleh pelukis sohor yang karib dengan sang Tiran. Sang Maestro diinterogasi, sang Isteri sempat depresi. Kusir kereta dan pelayan menunggu di luar sambil diikat dengan tali.
menggiring prasangka Belanda pada Raden Saleh sebagai penggerak utama. Ketika Raden Saleh sedang bepergian, rumahnya dikepung 50 tentara Belanda. Ia disangka menyembunyikan para pemberontak di rumahnya. Usai diinterogasi, ia diminta agar mengizinkan jaksa menggeledah rumahnya dan memeriksa surat-suratnya. Akhirnya diketahui, pemimpin pemberontak itu bernama Bassa Kolot yang sengaja berpenampilan dan mengaku sebagai Raden Saleh untuk menghimpun kekuatan dan mencari pengikut. Raden Saleh adalah konservator benda-benda bersejarah, ia sering menggunakan jasa Bassa Kolot untuk melaksanakan tugasnya. Meski sudah terbukti Raden Saleh tidak bersalah, Belanda tetap mencurigai bahwa antara pemberontakan Bekasi, Diponegoro dan Raden Saleh ada kaitannya. Raden Saleh merasa sangat terpukul dan dipermalukan atas perlakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap dirinya. Sumber: Soekondo Bustaman, Raden Saleh Pangeran di Antara Para Pelukis Romantik, Abardin, Bandung, 1990, hlm.33. Juga Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham, Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, hlm. 22-27, dan I Ketut Winaya, Lukisan-Lukisan Raden Saleh, Ekspresi Anti Kolonial, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 103.
Meskipun kemudian terbukti bahwa pemberontakan itu didalangi oleh Bassa kolot yang menyamar sebagai Raden Saleh, dan sering membantu tugas sang Maestro mencari benda-benda purbakala, perlakuan Belanda itu sangatlah membekas, membuat Raden Saleh terpukul dan merasa sangat dipermalukan. Statusnya sebagai pelukis kerajaan tak juga membuat ia mendapat kehormatan selayaknya. Walau Perang Diponegoro sudah lama usai Belanda selalu curiga dan mengawasi, karena selalu dihubungkan dengan keluarganya di Terboyo yang mendukung perjuangan Diponegoro. Ironisme ini menekan batin Raden Saleh, kesangsian Belanda mengoyak segala kebanggaan, mencabik semesta pujian yang pernah dilimpahkan. Banyak sahabat Belanda menjauhi dirinya karena peristiwa pemberontakan itu, namun Wymart tetaplah sahabat sejatinya. Ketulusan dan saling percaya mewarnai persahabatan mereka, dua anak manusia yang sungguh berbeda. 62
DARI RANGIN KE TELEPON
6 Di pagi yang muram, sepulang jalan-jalan Raden Saleh jatuh sakit dan tertidur. Sebelum ajal menjemput, dia sempat bercuriga pada sang Pembantu yang masuk bui karena dituduh mencuri lukisan mungkin istri pembantunya dendam dan meracun dirinya. Wymart datang menjenguk, namun sang Sahabat sudah berpulang kepada Khaliknya. Petang hari yang malang, sang Maestro wafat dengan seribu tanya apakah ia diracun oleh orang dekatnya atau oleh Belanda yang selalu was-was memantau sepak terjangnya yang menyimpan benih-benih anarkis secara terselubung?
KUMPULAN PUISI ESAI
63
Ia dimakamkan dua hari kemudian,24 setelah visum dokter menyatakan Raden Saleh wafat karena komplikasi pendarahan di jantungnya. Tak sepenuhnya orang percaya kepada para penguasa yang dikenal sangat licik dan pandai memperdaya. Kabar lain menyebutkan,
24
Raden Saleh wafat 23 April 1880, dan dimakamkan dua hari kemudian di daerah Bondongan, di perkampungan orang-orang keturunan Arab. Tersiar kabar bahwa ia telah diracun. Sebab, tidak lama sebelum wafat, ia mengajukan ke pengadilan seorang pembantu rumah tangga yang mencuri lukisan dan kemudian dijatuhi hukuman berat. Isteri si terpidana diduga meracuni sang pelukis karena balas dendam. Bahkan sebelum meninggal pada sore hari, Raden Saleh menyatakan kecurigaannya bahwa dia diracuni orang sebagai akibat kasus sang pelayan. Dua orang dokter umum yang membuat visum et repertum menyatakan Raden Saleh mengalami serangan trombosis, yaitu penggumpalan darah pada pembuluh darah di jantung yang menyebabkan berhentinya sirkulasi darah. Selain itu, diduga jenis racun yang digunakan adalah arsenik dan ada pula yang menduga ia mati bunuh diri. Lihat: Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham, Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, hlm. 68 dan Mikke Susanto, Majalah Pigura, Galeri Nasional, No. 2, 2007, hlm. 10. Meski sudah ada pemberitahuan resmi dari dokter, dugaan kematian yang tak wajar masih saja beredar. Bahkan dugaan itu mengarah pula pada adanya skenario yang dirancang sedemikian rupa dan semua itu di bawah kendali Belanda. Berita yang simpang-siur perihal penyebab kematian Raden Saleh mewariskan misteri lebih daripada peristiwanya itu sendiri. Sikap paranoid Belanda kepada Raden Saleh pun erat kaitannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro.
64
DARI RANGIN KE TELEPON
ia wafat karena racun arsenik, bahkan ada yang menduga karena bunuh diri. Ah sudahlah, beberapa kematian pada zamannya25 masih menjadi misteri sampai sekarang, Sultan Hamengkubuwono III, ayahanda Pangeran Diponegoro,
25
Sekadar catatan, dalam rentang waktu yang sama dengan masa hidup Raden Saleh, ihwal kematian yang tidak wajar menimpa beberapa tokoh lainnya pula. Antara lain:Sultan Hamengkubuwono III. Sultan HB III, yang juga ayahanda Pangeran Diponegoro, mangkat tahun 1814 semasa pemerintahan Inggris. Sultan Hamengkubuwono IV (1804-1822) wafat ketika sedang bertamasya. Sultan remaja yang masih berusia 18 tahun ini kemudian mendapat julukan anumerta Sultan Seda ing Pesiyar (Pangeran yang wafat ketika sedang pesiar). Berlatar intrik di balik tembok istana dan panasnya situasi politik pada saat itu, ditengarai Belanda ikut memainkan perannya. Peristiwa tewasnya sultan muda itu –juga mangkatnya Sultan HB III saat Inggris masih berkuasa– dibuat dengan cara yang tampak kelihatan wajar. Alami tapi penuh rekayasa. Hampir dua abad kemudian, Remy Sylado mengangkat peristiwa ini sebagai bagian dari novelnya yang bertajuk Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah. Sylado acapkali mengangkat berbagai fakta sejarah menjadi bagian karya fiksinya. Mengenai kisah tragis yang menimpa Hamengkubuwono IV, Remy Sylado mengatakan bahwa kisah yang diangkat ke dalam novelnya itu berdasarkan data otentik yang ia peroleh dari penelitian yang dilakukannya di Belanda (wawancara dengan Remy Sylado, Bandung, 3 Januari 2010).
KUMPULAN PUISI ESAI
65
Sultan Hamengkubuwono IV, sultan remaja yang disebut Sultan Seda ing Pesiyar. Kemudian, Ronggowarsito pujangga Keraton Surakarta,26 diduga menemui ajal yang tak wajar. Sebelumnya, sang Ayah, Raden Pajangswara, tewas disiksa Belanda di dalam penjara mayatnya dibuang ke laut, ia dihukum karena mendukung Diponegoro.
26
Ronggowarsito (1802-1873), pujangga Keraton Surakarta dan redaktur surat kabar Bramartani, mengalami kisah tragis pula. Kematiannya menyimpan misteri dan nyaris sama dengan kisah kematian ayahnya, Raden Pajangswara atau Ronggowarsito II, yang terang-terangan menentang Belanda. Pajangswara dibawa ke Batavia dan tidak pernah kembali. Menurut laporan Belanda, ia tidak mau kembali ke Surakarta, karena telah mendapatkan kedudukan yang enak di Batavia. Namun menurut hasil penyelidikan, ternyata ia disiksa dan dibunuh, mayatnya dibuang ke laut. Pajangswara adalah pendukung Diponegoro. Belanda menjadi sangat peka terhadap pihak-pihak yang memberi dukungan terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro dan melakukan penangkapan tanpa pandang bulu. Penangkapan ini terus berlangsung. Puncaknya adalah ketika Belanda menangkap Paku Buwono VI, yang diindikasikan sudah terlalu banyak memberikan bantuan kepada pasukan Diponegoro, dan banyak menimbulkan kerugian bagi pihak Belanda. Raja itu kemudian diasingkan ke Ambon. Paku Buwono VI dikabarkan oleh Belanda meninggal tahun 1849, karena kecelakaan tertimpa tiang layar. Namun ketika tahun 1957 mayatnya digali dan dipindahkan ke Imogiri, Yogyakarta, ditemukan lubang di tengkorak kepalanya, tepat di atas mata kanan. Ia mati dibunuh. Sumber: Ahmad Norma Permata, Zaman Edan Ronggowarsito, 2007, hlm. 186.
66
DARI RANGIN KE TELEPON
Lalu, Paku Buwono VI, dikabarkan tewas tertimpa tiang layar, namun ketika makamnya digali dan dipindahkan ke Imogiri, sebuah lubang menganga di dahinya, tepat di atas mata kanan. Ia mati ditembak. Adakah kata-kata lain yang dapat menjelaskan ihwal kematian Raden Saleh secara jujur dan berpihak pada kebenaran sejarah?
7 Diiringi selaksa doa dari para sahabat, pemuka agama, pejabat Belanda dan murid-murid sekolah Landbouw,27 juga buliran bening di sudut mata Wymart yang tak sempat bertemu muka, sang Maestro kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
27
Sumber: Koran de Java Bode, 28 April 1880, yang dikutip oleh Suwarno Wisetrotomo. Koran tersebut diperoleh dari Ny. Harsya W. Bachtiar.
KUMPULAN PUISI ESAI
67
Dalam tidurnya yang panjang di pemakaman keluarga Raden Panoeripan, di kota yang mengasuhnya sejak kecil, Raden Saleh masih menyimpan selaksa cerita ada yang terbuka, ada yang masih tertutup. Ia pernah hidup dalam dua dunia, tempat penghargaan dan kehinaan disematkan di dadanya, tempat kecurigaan dan pujian dilimpahkan kepadanya. Segala kehormatan yang pernah dianugerahkan, tak juga mampu menahan kekejian yang sudah ditorehkan pada sebagian kisah hidupnya. Adakah kata-kata yang lebih tepat melukiskan sejarah akurat dari seseorang yang bukan ekspatriat, sosok istimewa yang terpinggirkan terbelenggu dalam dua dunia yang sangat dicintainya yang melambungkan namanya, tapi juga pernah menistakannya? Buitenzorg, 28 Juli 2012 68
DARI RANGIN KE TELEPON
Ziarah Tanpa Ujung Puisi Esai Yustinus Sapto Hardjanto
KUMPULAN PUISI ESAI
69
70
DARI RANGIN KE TELEPON
Ziarah Tanpa Ujung
“Dulu air sungai ini jernih sekali, dasar sungai dan ikan di dalamnya kelihatan dari sini.” Diarahkannya pandang ke batang sungai Berambai, Amai Pesuhu1 membabar kilas kisah hidupnya. Batang kayu jembatan kian rapuh dimakan usia berderit menyangga tubuh yang makin renta. 20 tahun sudah mengolah belukar ini jalan dari Apokayan2 hingga Berambai masih terus bergelombang.
1
2
Amai Pesuhu (71 tahun), salah satu tetua kampung Berambai, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun 1990 bersama 36 kepala keluarga lainnya dia datang ke Berambai setelah bermukim di berbagai tempat. Salah satunya adalah lokasi proyek respen (resetlement penduduk) di Data Bilang. Wilayah Apokayan masuk Kabupaten Bulungan. Dalam laporan majalah Tempo (24 Mei 1984) dengan judul “Desa-desa Makin Sepi” diungkapkan tentang fenomena perpindahan, migrasi penduduk keluar dari Kayan secara bergelombang, keluar dari sana menuju Kutai Kartanegara, Samarinda bahkan hingga ke Malaysia.
KUMPULAN PUISI ESAI
71
Terbayang kala susah hidup di sana lamin mulai ditinggalkan karena pesan pembangunan. Desa jadi sepi, harga-harga melambung tinggi anak muda malu kalah gengsi. Hanya besi bersayap yang singgah berkala tiada jalan merayap di daratan. Anak sungai mengular di antara rimbunan hutan perlu berhari-hari hanya untuk sebongkah garam. Dari Apokayan, semua berpencar. Ada yang hingga Malaysia ada tersinggah Kutai Kartanegara. Ada pula yang mencapai Samarinda. Bukan hanya hitungan hari bulan bahkan mencapai tahun. Kaki terus melangkah kanak dan tetua dibawa dalam pikulan. Di beberapa tepian kami bangun penyinggahan. Berburu dan berladang sementara menabung tenaga dan semangat untuk melangkah ke hilir sana.
72
DARI RANGIN KE TELEPON
Tak selalu mudah bertemu, hidup bersama orang lain. Orang hutan itu sebutan kami. Ada cerita dusta kalau kami berekor, gemar memuja roh-roh di pepohonan. Mereka bilang kami kafir, hanya karena tak menyebut-nyebut nama Tuhan. Mereka bilang kami kafir, hanya karena kami tak mempunyai kitab suci.3 Siapa bilang kami tak berjunjungan? Siapa bilang kami tak punya ajaran suci? Siapa bilang kami tak mempercayai dunia atas? Mengapa kami disebut animis primitif?4
3
4
Van Linden, seorang antropolog Belanda, pernah mengatakan bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Senada dengan itu, Magenda (1991) melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang massif baik oleh kekuatan politik kolonial, nasional dan lokal. Citra populer sebagai kelompok yang “terbelakang, primitif dan liar” semakin memperparah marjinalisasi yang mereka derita. Setelah peristiwa G30S/PKI, suku Dayak menjadi obyek untuk diagamakan. Mereka harus memilih untuk menganut agama resmi yang diakui negara, entah itu Muslim atau Kristen. Sekelompok masyarakat Dayak di wilayah Kalimantan Tengah tetap berupaya menjadikan kepercayaan adat mereka menjadi agama, namun tak berhasil. Hingga kemudian mereka menyebut diri sebagai penganut Agama Hindu (Kaharingan) dengan Panuturan sebagai kitabnya.
KUMPULAN PUISI ESAI
73
Tiada benar kami memuja pohon tiada benar kami percaya kekuatan batu. Sejatinya hutan dan seisinya kami hormati kami jaga selayaknya sebuah harga diri. Hutan perlambang kehidupan swalayan, supermarket penyedia segala kebutuhan. Pohon tiada ditebang tanpa alasan kuat ladang tak dipaksa terus menerus menghasilkan panen. Bumi perlu sesekali istirahat memulihkan duka dan luka. Membiarkan apapun tumbuh di atasnya bebas. Ladang berpindah,5 itu cara menghormati bumi. Atas nama pembangunan demi langkah mengejar kemajuan. Modernisasi mengejar ketertinggalan dari luar negeri.
5
Perladangan berpindah adalah salah satu cara masyarakat Dayak dalam menjaga daya dukung tanah (natural resources management). Mereka berladang secara alamiah sehingga penting untuk menjaga kesuburan alami tanah. Dengan berpindah mereka melakukan jeda tanam atas ladang mereka untuk kembali memulihkan kesuburan alamiahnya. Namun perladangan ini menjadi tidak populer karena dianggap memicu kebakaran hutan. Sistem ini juga tidak cocok dengan sistem kepemilikan individual dan menyulitkan pemberian hak penguasaan hutan kepada investor.
74
DARI RANGIN KE TELEPON
Demi mengejar impian kemajuan demi modernitas. Sejahtera keluar berpencar mendekati kota. Bukankah di kota semua kebutuhan lebih mudah didapat? Tapi sebenarnya kota tetap selalu jauh di sana di pinggiran dalam kami berlabuh. Tetap kami masih dipandang udik tetap kami disebut masyarakat terpencil. Tanpa jalan aspal tanpa angkutan umum. Objek dan bukan subjek diagamakan. Disatukan dalam sebuah pemukiman dan hutan yang kami tinggalkan dibagi-bagi untuk pemegang HPH.6 6
Di masa Orde Baru, masyarakat Dayak yang hidup dalam lamin (rumah panjang, rumah komunal) diberi rumah-rumah individual, dan warga dalam berbagai lamin disatukan dalam satu wilayah administratif (regrouping desa), serta diberi ladang menetap (seperti transmigran). Proyek ini mengeluarkan mereka dari wilayah hutan yang secara tradisional mereka kuasai. Hutan yang ditinggalkan kemudian dibagi-bagikan kepada para pemegang HPH untuk mengolahnya menjadi industri kayu.
KUMPULAN PUISI ESAI
75
Bukan hanya tanah dan hutan yang hilang kebudayaan fisik pun dihabisi. Tatto dipandang sebagai budaya preman, telinga panjang diolok-olok sebagai sebuah keanehan. Habis sudah harga diri simbol dan artefak kebudayaan dirampas tangan penguasa. menghias gedung dan fasilitas kebanggaan kota. Entah menjadi milik siapa?7 Kami adalah penanda tanah ini, identitas, jatidiri dan wajah nan tersurat. Namun adab sesungguhnya telah mati, kami bahkan tak lagi memiliki diri kami sendiri. Dari tanah terpencil, kemudian berdiam di tanah pinggir memandang dari jauh hinggar binggar kota. Pekik derita dan nestapa, tertelan dalam senyap kejauhan, makin pudar oleh deru pengeruk batubara.
7
Artefak atau simbol-simbol kebudayaan Dayak (ragam hias, lamin, dll.) secara mencolok bisa ditemui dalam berbagai gedung dan fasilitas umum di Kalimantan Timur. Seolah warna kebudayaan Dayak sangat menonjol. Namun sesungguhnya semua hanya dalam bentuk benda-benda mati. Kebijakan yang berpihak pada kebudayaan yang hidup sangat tidak komprehensif. Warga dan kebudayaan Dayak terus menjadi obyek pembangunan terutama wisata.
76
DARI RANGIN KE TELEPON
“Tahun 1990, rombongan 36 keluarga tiba disambut belukar dan pokok-pokok tinggi. Yang punya ngijin kami membuka belukarnya,” ujar Amai Pesuhu mengingat kembali saat itu. Hidup indah terbayang di mata air berlimpah, tanah subur, sungai penuh dengan ikan. Keberkahan terus tiba tanah dan ladang diberi selembar tanda kepemilikan. Dusun Berambai, menjadi bagian Bukit Pariaman. Urusan semakin mudah, tak perlu bersampan dan berjalan kaki demi selembar kertas bercap di Separi. Pokok coklat tumbuh menantang langit bunga mekar berbuah padat. Panenan demi panenan hidup kian tertata. Tak ada angin tak ada hujan buldozer membuka jalanan. Lebar dan panjang perlambang keterbukaan namun ternyata adalah petaka.8
8
Wilayah dusun Berambai dan ladang mereka terkepung oleh lahan konsesi perusahaan tambang PT Mahakam Sumber Jaya. Untuk masuk dusun
KUMPULAN PUISI ESAI
77
Tanah kami masuk konsesi tambang besar Amai menghela nafas panjang. Hidup perlahan terancam sungai kian coklat tanda pelumpuran. Gemericik air dan lalu lalang ketinting, kicau dan kepak burung, hilang terbuang berganti deru pengangkut raksasa yang selalu bergegas. Kebun kami terbelah satu di sisi kanan satu di sisi kiri. Debu di kala panas, limpas air lumpur di kala hujan. Berpacu dengan waktu kami ingin terus bertanam. Perusahaan ingin segera menggali kami harus bertahan.
Berambai, orang harus melalui jalan hauling yang selain berdebu juga berbahaya karena lalu-lalang truk pengangkut batubara. Dusun ini seperti dusun terpencil, tanpa akses jalan masuk, tidak dialiri aliran listrik dan tak ada angkutan umum ke sana. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara.
78
DARI RANGIN KE TELEPON
Ke kebun kami ingin berladang berarak membawa cangkul dan parang. Mereka mengira kami hendak menghadang dan menghalang satu peleton aparat bersenjata datang meradang. Kami diam tak melawan hanya sekedar mempertahankan tanah kami. Kami ditangkapi dikriminalisasi karena menghalang-halangi investasi. Bermalam kami di balik jeruji9 serasa mati berdiri. Ancaman pasal demi pasal sungguh menakutkan tak pernah kami berurusan dengan aparat yang tak ramah. Sendiri Tak tahu pada siapa dan kemana mesti bersandar banyak organisasi dan lembaga yang bervisi membela. Hanya tiada yang datang menemani, mendampingi kami.
9
Aksi damai warga dusun Berambai berakhir dengan penangkapan sebagian warga. Mereka dikriminalisasi dan hingga kini beberapa di antaranya berstatus sebagai tersangka. Mesti tidak ditahan, mereka dikenai wajib lapor. Dan ini sungguh memberatkan karena mereka harus rutin bolak-balik ke Tenggarong yang tentu saja memerlukan biaya besar untuk ongkos kendaraan.
KUMPULAN PUISI ESAI
79
Aparat dan hukum jelas menakutkan apalagi ditopang mesin investasi. Uang dan kuasa mereka punya penguasa membela dan berdiri di belakangnya. Perusahaan kerap bernama Jaya, Sejahtera, Prima, Lestari juga Abadi. Nama indah dan mulia, berpondasi nista, duka dan celaka bagi kami. Otonomi dan reformasi hanyalah janji indah kemandirian masyarakat lokal hanyalah candu. Kami terpuruk di tanah sendiri dalam iklim demokrasi berbaju reformasi. Di mana keterbukaan? Kalau investasi datang dan ditentukan diam-diam? Bukan maling tapi perampok besar menyingkirkan kami terang-terangan. Di mana partisipasi? Di mana kami bisa menentukan apa yang baik bagi kami jika kemudian hanya karena selembar kertas, mereka bisa seenaknya merusak dan merampas bumi kami?
80
DARI RANGIN KE TELEPON
Sudahlah kami yang tua ini bagaimana dengan anak-anak dan cucu kami. Lihatlah sekolah kosong, guru tak sudi lagi tinggal di sini rumah-rumah mulai dibiarkan, sebagian sudah berpindah. Andai kami menyingkir dari sini lagi-lagi kami akan kalah. Berpindah dan terus berpindah sampai kapan akan berakhir? Ini tanah kami, ladang kehidupan untuk masa depan. Berlawan bukan tanda tak taat pada negara ada hak kami tertulis di atas tanah ini. Kalau bukan kami yang menjaga dan menghormatinya, lalu siapa lagi? Ditatapnya air sungai yang kian coklat ikan hilang. Perahu karam. Kulit gatal, tumbuh kudis kalau mandi di situ, keluhnya dalam.
KUMPULAN PUISI ESAI
81
Sebenarnya hidup semakin sulit jangankan menabung, makan hari ini saja belum tentu ada. Dusun semakin muram tiang-tiang lamin tak jadi dibangun berhias ilalang. Sakit, sunyi, sendiri biarlah duka ini tersimpan dalam di hati. Tak ingin kami ribut, apalagi mengamuk, bakar membakar, membabi buta. Meski hati berontak raga tersiksa. Pikiran tak lagi tenang tak sedikitpun makar terbersit. Tak butuh lebih cukup hargai, akui dan hormati hak kami. Beri kami kepastian bukan terombang-ambing dalam pusaran. Amai duduk termenung disenandungkan sebuah tembang. Kita harus tetap bersatu, meski berat beban yang harus dipikul.
82
DARI RANGIN KE TELEPON
Angkatlah, angkat biarpun berat hanya inilah yang tersisa. Jika ingin tetap bertahan dan menang tak lagi mengayun kaki kelana. Amai duduk termenung riuh celoteh cucunya. Memanjat-manjat pohon, melompat ke batang air sungai. Sebentar lagi mereka akan pergi tak mungkin menuntut ilmu di sini. Meski sebenarnya tak tega, membiarkan mereka pergi keluar sana. Amai duduk tersenyum cucunya datang membawa setangkai ihai. Buat manis yang masih tersisa meski tinggal di pucuk tingginya. Amai duduk tersenyum cucunya masih bisa menari. Bahkan ikut delegasi seni hingga luar negeri walau budaya kini jadi komoditi.
KUMPULAN PUISI ESAI
83
Amai duduk tersenyum masih terdengar bunyi lesung. Alu berpadu emping beras ketan penawar rindu. Tinggal sedikit, selesailah kami Amai tak berniat tenggelam dalam keluh. Tak bakal lagi ada yang bisa memahat tak ada lagi yang menganyam Anjat. Bocah-bocah itu lebih suka bermain gitar ketimbang memetik sampeg. Bocah-bocah itu lebih suka bermain handphone daripada mengayun parang dan cangkul. Bocah-bocah itu tak lagi tahu Balian dedaunan bukan lagi obat. Akar-akar tak lagi diseduh menambah semangat pupur mengantikan lulur di wajah gadis-gadis. Perubahan tak mesti harus ditolak karena perubahan adalah keniscayaan. Namun semua mesti dilandasi atas kesadaran bukan dirampas dari genggam tangan.
84
DARI RANGIN KE TELEPON
Terlalu lama hidup kami ditentukan orang dan kekuasaan Amai tegas mengambil kesimpulan. Dalam usianya yang kian senja Amai memutuskan untuk menentukan nasibnya sendiri. Kebun umat, itu masa depan kami berkumpul, bersekutu untuk bahu membahu. Mengerjakan ladang kehidupan memutuskan untuk tak lagi menyingkir. Nyanyian Amai semakin perlahan bocah-bocah lelah dalam peraduan. Gelap mulai menyergap desing dan kepak nyamuk keras berirama. Dua puluh tahun telah lewat berambai semakin kusam. Amai berniat dalam tekad ini adalah tanah terakhir, persinggahan paripurna.
Samarinda, 24 Juni 2012
KUMPULAN PUISI ESAI
85
86
DARI RANGIN KE TELEPON
Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas Puisi Esai Rahmad Agus Supartono
KUMPULAN PUISI ESAI
87
88
DARI RANGIN KE TELEPON
Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas 1 Seorang diri. Dia menaiki perahu kecil yang pelan merangkak, menuju tengah lautan. Sesekali tergopoh-gopoh Tangannya menggerakkan dayung, mempertahankan agar dadanya selalu menghadap kiblat. Tiga hari tiga malam terus begitu Tak berhenti begitu kecuali perutnya lapar kecuali matahari memberitahu bahwa waktu shalat tiba.
KUMPULAN PUISI ESAI
89
Tak berhenti begitu meski sengatan terik membakar kulit arinya yang sudah tidak muda atau guyuran hujan yang menggigilkan tubuhnya yang tak lagi perkasa. Selalu dengan wajah menunduk lamur. Mulut tak berhenti bergerak-gerak, bersuara lirih: Menggumamkan istighfar. Datar. Tanpa nada. Statis satu gumam istighfar, satu butir garam dia lempar ke laut. Terus-menerus. Sampai tenggorokannya mengering. Sampai garam dalam gantang menipis. Habis. Satu. Ya, hanya satu yang dia harapkan. Tuhan tiba-tiba iba, lalu mengampuni segala kesalahan yang makin hari makin meruah. Atau, Tuhan menjadi pemurah, lalu memberinya sekarung maghfirah.
90
DARI RANGIN KE TELEPON
2 Tiga hari yang lalu dia bertanya pada Sangkarib, Apakah Tuhan akan memaafkanku setelah sekian lama aku meninggalkanNya? Apakah Tuhan mengutukku setelah sekian waktu aku mengkhianatiNya? Sangkarib hanya diam. Tak menjawab. Dengan bahasa isyarat, Sangkarib mengajaknya berjalan keluar dari surau. Berdua. Beriringan menuju pantai. Lalu Sangkarib berkata: “Bawalah segantang garam ini. Bawalah perahu kecil itu menuju ke laut. Sesampai engkau di tengah lautan, menghadaplah ke kiblat lalu ambil sebutir demi sebutir garam dan lemparkan ke laut. Ikutilah setiap lemparanmu dengan bacaan Istighfar.“
KUMPULAN PUISI ESAI
91
“Begitu seterusnya. Jangan kembali ke surau untuk menemuiku kecuali garam dalam gantang itu habis tak bersisa. Semoga tenggorokanmu menjadi kering karena ucapan istighfarmu. Semoga Allah mengampunimu, memaafkanmu’’. Dia tak membantah. Meskipun dia tahu. Ini bukan cara beristighfar yang lazim. Mungkin ini satu-satunya tawassul1 terbaik, untuk mengiba permaafan dari-Nya. Begitu pikirnya tiga hari yang lalu.
1
Tawassul: cara berdoa, perantara dalam doa. Pada mazhab tertentu, seorang Muslim diperbolehkan menggunakan tawassul, atau metode berdoa tertentu yang diyakininya akan menjadikan doa lebih cepat dikabulkan.
92
DARI RANGIN KE TELEPON
3 Gantang garam itu telah kosong bersih tak bersisa. Segera dia membawa sampan menepi menuju pantai kembali. Menuju surau. Menemui Sangkarib. Dengan wajah bergurat pucat, dia bersila di hadapan Sangkarib. Berkata dengan suara yang berat: ‘’Setelah apa yang kulakukan, apakah kiranya Tuhan mengampuni kesalahanku?’’
4 Sangkarib tak menjawab. Hanya diam. Dingin. Namun tetap dengan mata yang menyorot tajam ke arahnya. KUMPULAN PUISI ESAI
93
Cara menatap yang makin menampar kesadaran mencabut satu persatu semua kehormatan. Tanpa jeda, tanpa sisa.
5 Pikirannya mengembara. Menuju ruang gelap. Lalu: Hllhhaappp!! Sebuah screen film terhampar di hadapannya: kaleidoskop kehidupan yang dilaluinya diputar ulang. Detail. Tak ada yang terpotong atau tersensor. Semuanya: Oh… alimnya dia. Salehnya dia... Di masa mudanya... Mungkin saja. Tiba-tiba dia seperti berucap sendiri. Menjawab pertanyaan yang pernah ditanyakan kembali kepada Sangkarib beberapa saat lalu. Tapi ya, tapi telah lama Tuhan dia tipu: Alim di setiap tampilan layar televisi. Bijak di depan mikrofon.
94
DARI RANGIN KE TELEPON
A family man di forum ibu-ibu. Murah senyum saat melambaikan tangan kepada khalayak. Santun di atas podium. Religius saat berada dalam forum ormas keagamaan. Fasih menderaskan ayat suci di ruang publik. Khusyuk saat sorot kamera menyapu dalam acarat peringatan hari-hari besar keagamaan. Tapi di balik itu: Jiwanya mengagamakan patgulipat perburuan kekuasaan. Bertahun-tahun politik menjelma menjadi Tuhannya, uang menjadi nabinya, laporan lembaga survei menjadi kitab sucinya, dan sang istri menjadi Jibrilnya. Sudah lama: Kebiasaan gelengan kepala, karena transenden dalam zikir di tempat yang hening. Berubah menjadi ekstase orasi saat lampu kamera televisi menyorotnya. (Kerap kali juga dia transeden dalam hingar-bingar panggung hiburan sambil ditemani para rupawan yang didatangkan agensi penjual moral)
KUMPULAN PUISI ESAI
95
Sudah lama: Zakat sedekahnya tak lagi disalurkan di rumah piatu atau penghuni rumah-rumah kardus melainkan mengalir deras ke dalam rekening para agensi penjual massa. (Kerap kali juga dia salurkan kepada para molek yang rapi-jali tersimpan dalam apartemen-apartemen tersembunyi) Sudah lama: Sa’i-nya 2 tak lagi melewati rute perjalanan Dewi Hajar, saat mencari air pembuang dahaga Ismail kecil melainkan rute-rute pembicaraan setengah kamar bersama para gangster berseragam partai politik dan ormas primordial. (Kerap kali juga dia menyusuri bentangan padang rumput hijau, sambil ditemani para caddy yang pusarnya menggemulai manja).
2
Sa’i: salah satu rukun ibadah haji, ritual berjalan kaki napak tilas perjalanan Siti Hajar, bersama puteranya Nabi Ismail semasa bayi saat mencari air minum karena kehausan.
96
DARI RANGIN KE TELEPON
Di tempat-tempat seperti itu: rupiah dan dolar tanpa nomor seri mengalir deras di bawah meja tanpa jejak catatan. Di tempat seperti itu: berbagai kata sandi diciptakan agar transaksi rapat tertutup isolasi dan anjing pengendus menjadi tak berhidung. Di tempat seperti itu: Segala topeng dikenakan agar malaikat pencatat makin tak mengenali.
5 Tiba-tiba suara Sangkarib menghentikan kecamuk pikirannya, memecah kesunyian surau: ‘’Kawan, lihatlah sekelilingmu.” “Lihatlah dengan mata hati bukan dengan mata statistika. Bukan dengan hitungan rating pesona yang mengakibatkan perolehan suara partaimu melejit tajam‘.’
KUMPULAN PUISI ESAI
97
“Tengoklah gang-gang kumuh datangi rumah-rumah tiap pengikutmu. Kunjungi emperan-emperan toko tempat tinggal abadi mayoritas rakyatmu.” “Berhentilah di lampu merah tengoklah pengamen anak-anak dan pengemis yang semakin banyak.’’ “Telusurilah satu persatu nurani mereka bukan fisik mereka.” “Datangi semuanya jangan ada satu pun yang terlewati. Semuanya. Semua orang yang mempercayaimu. Semua jiwa yang telah memintamu untuk menjadi pemimpinnya.”
6 ‘’Kawan, mungkin Tuhan telah memaafkanmu dengan sebaik-baik permaafan.”
98
DARI RANGIN KE TELEPON
“Namun, tahukah engkau, hanya orang bodoh yang berusaha keras menggarami lautan. Hanya orang tak berakal yang mencoba menebar garam di pusat garam itu dibuat!” “Itulah dirimu dirimu lima tahun lalu… Kamu mengira telah melakukan hal besar. Kamu mengira kebijakan yang lahir dari tanganmu membuka pelurusan hukum, menaikkan angka kepercayaan investasi, mencuatkan pendapatan per kapita, meninggikan angka kemakmuran, menolong orang miskin.” “Padahal. Semuanya adalah kesia-siaan.” 7 “Kamu bersusah payah melakukan sesuatu yang kamu anggap besar. Kamu merasa telah berbuat banyak. Padahal hanya menggarami lautan. Itulah dirimu. Dirimu bersama lima tahun kekuasaanmu.” KUMPULAN PUISI ESAI
99
8 “Tengoklah tokoh idolamu di masa kecil. Umar bin Khatab. Sendirian meronda gang-gang sempit di wilayah kekuasaannya hampir tiap malam. Sendirian pula yang ia panggul gandum atau kurma untuk diserahkan kepada warganya yang luput dari kesejahteraan.” “Tengoklah tokoh idolamu di masa muda. Ummar bin Khattab. Khalifah yang bila sudah selesai menjalankan tugas kenegaraannya, segera mengganti lampu penerangan, alat transportasi dan menanggalkan semua fasilitas negara dengan peralatan hidup pribadi yang sederhana.” “Tengoklah tokoh idolamu sebelum dirimu menjadi pemimpin....” “Tengoklah….”
100
DARI RANGIN KE TELEPON
9 Dia makin tergeming tak beringsut menunggu kalimat Sangkarib berikutnya. Dia mulai tahu. Bahwa apa yang telah dia lakukan di atas perahu kecil tiga hari lalu adalah kesia-siaan. Laut tak butuh digarami. Dia tahu pula, bahwa Tuhan memang Maha Pemaaf. Tapi puluhan bahkan ratusan atau jutaan orang yang telah dia tipu melalui politik salon dan kejaiman sekian lama tersebut, tak akan gampang untuk memberinya maaf. 10 Sangkarib mendekatinya. Mendekap tubuhnya. Kemudian melepaskan rangkulannya, dan berkata pelan: ‘’Kawan. Mungkin Tuhan telah memaafkanmu dengan sebaik-baik permaafan. Meski setiap hari engkau menipu-Nya berkali-kali karena Tuhan memanglah Maha Pemaaf.”
KUMPULAN PUISI ESAI
101
“Namun, puluhan ataupun hampir ratusan juta orang yang kamu tipu, mereka tak akan pernah memaafkanmu. Sekarang atau nanti.“ 11 “Sekarang makanlah, makanlah hidangan yang kupersiapkan ini.” 12 “Setelah itu, ambillah kapas dalam karung kecil di sudut gudang. Bawalah.” “Kemudian naiklah ke bukit itu. Sesampai engkau di puncaknya, ambil sejumput demi sejumput. Tiupkanlah ke udara. Ikutilah setiap tiupannya dengan mengingat-ingat wajah orang-orang yang telah kau perdayakan. Ucapkan permintaan maaf kepada mereka.” “Begitu seterusnya jangan berhenti. Hingga kapas di dalam karung kecil tersebut habis.” 102
DARI RANGIN KE TELEPON
“Ya. Ucapkan permohonan maaf kepada mereka semua. Agar orang-orang yang kamu sengsarakan secara struktural. Agar orang-orang yang dinistakan kehidupannya, Agar orang-orang yang terkena dampak sistemik dari kebijakan politik selama lima tahun kekuasaanmu. Memaafkan kebijakanmu. Memaafkan kesalahanmu.”
13 “... Lalu setelah kapas di kecil tak bersisa turunlah turunlah dari bukit. Kumpulkan setiap kapas yang kamu tiup sebelumnya masukkan kembali ke dalam karung kecilmu.” “Jika kapas yang engkau tiupkan tersebut telah engkautemukan semuanya. dan karung kecilmu penuh kapas seperti sediakala.
KUMPULAN PUISI ESAI
103
Maka… hampir aku pastikan puluhan ratusan ribuan atau bahkan jutaan orang yang telah kau sengsarakan hidupnya akan memaafkanmu...”
14 “Oh, iya. Aku akan menjawab pertanyaan yang tersimpan dalam hatimu sepulangmu dari mengumpulkan kapas yang telah kau tiup di atas bukit itu, lanjut Sangkarib sambil menunjuk ke arah bukit yang jaraknya hanya selemparan batu itu.”
15 Dia terdiam. Mulutnya terkatup. Telinganya terkunci. Nafasnya nyaris terhenti. 104
DARI RANGIN KE TELEPON
Rasa sesak di dadanya yang tadi mulai ringan, kini memberatinya lagi. Tidak. Dia tidak sedang pingsan. Dia masih sadar. Meski nafasnya seperti tak melewati paru-parunya lagi. Hening. Senyap. Hanya suara degup jantungnya saja yang terdengar. Makin lama makin keras berdegup. Lalu. Perasaan yang tak terdefinisikan meluncur deras begitu saja. Kali ini tak lagi bisa dia cegah. Hanya gerakan tangan kanannya, yang berusaha mengusap tetesan kecil air yang makin deras keluar dari bagian dalam matanya.
KUMPULAN PUISI ESAI
105
16 Dia mengerti makna kalimat perintah Sangkarib. Dia mulai mengerti bahwa keburukan yang keluar dari kebijakan politiknya tak akan pernah mampu dikontrol pergerakannya. Seperti kapas yang akan ditiupnya.
17 Kini dia melangkah menuju bukit untuk meniupkan helai demi helai kapas. Untuk meniupkan semua kapas yang ada di dalam karung kecil yang dipanggulnya sekaligus mengumpulkannya kembali sampai karung kecil kapasnya penuh seperti sediakala. Terus saja dia melangkah menuju bukit. Kali ini tidak dengan harapan baru seperti ketika dia menuju tepian pantai tiga hari yang lalu melainkan dengan kepasrahan yang menjelma menjadi keputusasaan baru. 106
DARI RANGIN KE TELEPON
Makin jauh dia melangkah menuju bukit makin jauh jarak bukit yang ditujunya. Bukit itu seperti berjalan menghindarinya bergerak lebih cepat melebihi kecepatan langkahnya yang makin melambat. Makin tak bertenaga. Lunglai.
18 Tittt... tiiiitt... tiiit... Suara mesin pendeteksi detak jantung berkedip cepat. Bergerak naik turun. Dia Tak Tak Tak Tak
membuka mata. ada Sangkarib. ada pantai. ada bukit. ada karung kapas kecil
KUMPULAN PUISI ESAI
107
Hanya seorang dokter. Didampingi beberapa perawat serta berbagai macam selang menempel di tangan, mulut dan saluran pembuangannya. Semua terhubung dengan mesin yang bermonitor. Di belakang paramedis, tampak istri dan anak-anaknya. Juga menantunya. Wajah mereka seragam: sembab seperti orang yang sudah kehabisan air mata. Mulut mereka seragam: berkomat-kamit seperti sedang melafalkan sesuatu. Pandangan mata mereka juga seragam: pandangan kegelisahan yang penuh harap. Sudah delapan belas hari dia terkapar di rumah sakit. Kehilangan kesadaran. Sejak sebuah komisi anti korupsi menetapkannya menjadi tersangka. Matanya menerawang. Mengapa dia seperti sedang berada di rumah sakit? Mengapa banyak orang yang tak dia kenali berada di sekelilingnya? Mengapa mereka menangisinya?
108
DARI RANGIN KE TELEPON
Ke mana karung kecil berisi kapas yang dipikulnya? Ke mana Sangkarib? Sangkarib? Hah? Bukankah dia tak pernah memiliki karib? Bukankah tempat mengajinya di masa kecil adalah daerah persil. Bukan di sebuah kampung yang berdekatan dengan pantai? Bukan pula di sebuah kampung nelayan yang berdekatan dengan perbukitan?
17 Tiba-tiba dia teringat wajah Sangkarib. Ya, Sangkarib. Wajahnya sangat dia ingat sekarang. Hidungnya, matanya, rambutnya, bahkan postur tubuhnya. Mengapa sangat mirip dia? Mengapa postur tubuhnya juga tinggi besar sepertinya? Ya dia ingat betul. Ya Sangkarib itu sangat persis dengan dirinya. Atau jangan-jangan…
KUMPULAN PUISI ESAI
109
Makin meremang pandangannya. Meremang. Tak terlihat lagi wajah-wajah yang tadi dilihatnya. Makin meremang. Lalu terdengar suara koor dengan nada tak jelas. Bukan. Itu bukan suara koor paduan suara, melainkan suara orang menangis. Kemudian terdengar lamat-lamat suara orang mengucapkan sesuatu di dekat telinganya. Suara seseorang melafalkan sesuatu. Tak jelas. Gelap.
110
DARI RANGIN KE TELEPON
Telepon Puisi Esai Wendoko
KUMPULAN PUISI ESAI
111
112
DARI RANGIN KE TELEPON
Telepon
Halo! Halo! Haloooo… Bisa lebih keras? Suara situ kagak terdengar di sini. Maklum, ini telepon umum di pinggir jalan. Halo! Haloooo… Ya, ya, sudah lebih jelas. Bisa bicara dengan Bu Broto? Apa? Siapa Bu Broto? Situ kagak tahu Bu Broto? Tapi ini kagak salah sambung, ‘kan? Lho, kok malah tanya Bu Broto siapa? Bu Broto ya… istrinya Pak Broto. Yang dulu punya nama kecil Sutinem. Yang dulu sekolah di Inpres.1 Tapi kagak tamat, dan lantas kawin dengan Broto. Yang dulu rumahnya di ujung kampung. Tanahnya tiga hektar. Kerbaunya lima. Belum lagi ayam buras dan kambingnya.
KUMPULAN PUISI ESAI
113
Kata orang, ia kawin dengan Broto lantaran bunting. Tapi… masih sih aku mesti ngomong begini? Betul situ kagak tahu Bu Broto? Apa? Ini dari siapa? Oh, bilang sama Bu Broto, ini dari Siyem… Iya! Siyem yang dulu teman main Bu Broto. Yang sama-sama di Inpres, tapi Siyem ini lebih pintar. Ini Siyem yang tetangga tiga rumah dengan Bu Broto. Yang dulu juga naksir Broto tapi kawin dengan Beno. Siyem yang tiga tahun lalu ke Jakarta. Sudah dua kali pulang kampung, tapi… Apa…? Ini Bu Broto? Ini Bu Broto! Eee, ini Siyem, Bu! Siyem, Bu Broto!
1
Inpres, singkatan dari Instruksi Presiden, yaitu sekolah-sekolah di pedesaan/ pedalaman yang gencar didirikan semasa rezim Soeharto. Dalam perjalanan waktu, terbukti banyak dari sekolah-sekolah ini yang rendah kualitasnya, baik mutu pendidikan, tenaga pengajar, maupun sarana pendidikan. Baca misalnya nurfaizi.wordpress.com/2007/06/06/ujian-nasional-dan-sdinpres/ dan isroi.com/2008/03/08/sekolah-di-sd-inpress/. Belakangan disinyalir, hal ini dikarenakan dana yang tidak disalurkan meski sudah turun dari pusat. Beberapa pemberitaan di media massa menyebutkan, antara lain gaji tenaga pengajar yang tidak dibayar selama beberapa bulan.
114
DARI RANGIN KE TELEPON
Aduh, apa kabarnya, Bu? Kenapa kagak bilang kalau ini Bu Broto? Bagaimana…? Oh! Ha, ha, ha, ha! Baik, Bu Broto! Baik! Semua baik-baik di sini. Aku, Mas Beno, Kadir… Bu Broto sendiri? Eh, kabarnya Bu Broto sekarang sudah enak. Makin dilindungi dan dikasihi Allah Subhanahuwata’alla. Iya… Eh, ini tak mengada-ada, lho Bu. Ini kata tetangga yang sekali waktu ketemu di Jakarta. Katanya, Pak Broto sebentar lagi jadi Sekdes. Seto, anak Ibu, masuk STM di Yogya. Lalu Tinah, anak Ibu yang paling sulung… Ya, Tinah! Katanya sebentar lagi jadi pengantin. Betul itu, Bu Broto…? Betul? Aduh, selamat, Bu! Selamat!
KUMPULAN PUISI ESAI
115
Kenapa, Bu? Oh itu! Sudah, Bu Broto! Sudah! Sudah terima undangannya. Tapi aku kagak bisa datang… Iya, Bu. Aku kagak bisa datang! Tahun ini aku dan Mas Beno belum bisa pulang. Kenapa? Ya… meski ngomong apa lagi. Tapi itu kenyataannya. Bu Broto tahulah! Ini soal keadaan yang belum memungkinkan. Sejak datang ke Jakarta, Mas Beno kerja macam-macam. Pertama, jualan sate kambing. Lalu nasi campur. Terakhir ini bakmi goreng… Tapi semuanya gagal! Pernah pingin jualan rokok, tapi duit kagak ada. Sekarang Mas Beno cuma tukang sapu di jalan. Kadir malah lebih enak, Bu Broto. Itu anak tiap pagi ke luar rumah. Kalau pulang, kadang bawa duit kadang tidak. Tapi selalu cerita ikut mobil mewah. Mencegat di lampu merah, lalu turun di tengah jalan. Di depan gedung-gedung mewah.2 Tapi… eee? Iya, Bu Broto. Aku akan berusaha datang. Betul, Bu Broto! Iya!
116
DARI RANGIN KE TELEPON
Apa, Bu…? Oh, soal Jakarta? Sama saja, Bu Broto! Jakarta masih macet. Padahal di sini jalan-jalan terus dibikin. Selama tiga tahun, rasanya Jakarta makin macet. Kalau ibarat penyakit, ini penyakit yang makin parah. Bagaimana kagak macet, Bu…? Tiap tahun penduduk bertambah. Lalu yang namanya angkutan juga bertambah. Itu yang bikin Jakarta makin ruwet. Padahal, kalau dipikir, persoalannya sepele saja. Semua orang pingin ke Jakarta! Seperti Mas Beno dulu. Ya, seperti Mas Beno dulu!
2
Beberapa jalan di Jakarta, pada jam-jam tertentu, hanya bisa dilewati kendaraan pribadi berpenumpang tiga atau lebih. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi kepadatan lalu-lintas, terutama pada jam berangkat dan pulang kerja. Tapi kondisi ini lalu menimbulkan persoalan lain, yaitu munculnya joki-joki 3 in 1. Mereka ini menawarkan jasa penumpang pada kendaraan yang akan melewati jalan-jalan tersebut. Umumnya mereka adalah anak-anak di bawah umur, kadang ibu dengan bayi dalam gendongan. Menurut cerita beberapa teman, mereka biasa diturunkan di depan kantor pemilik kendaraan. Beberapa kali dilakukan razia terhadap joki-joki ini, tapi jumlahnya terus bertambah.
KUMPULAN PUISI ESAI
117
Lalu, lihat tiap kali habis mudik Lebaran. Pasti ada yang ke Jakarta dengan membawa teman. Mungkin tetangga, saudara, atau entah apa. Bisa satu, dua, atau malah sepuluh.3 Padahal di Jakarta kagak bisa dibilang enak! Eh, ini betul, Bu! Aku sudah tiga tahun di sini. Jadi aku tahu persis soal ini Bu Broto, di Jakarta itu kagak enak! Di sini apa-apa mesti cepat. Orang maunya buru-buru… Tapi kagak jelas apa yang diburu. Di sini orang berdasi banyak. Lebih banyak dari yang kita lihat di Yogya. Tapi mereka kalau jalan sudah mirip bebek. Cepat! Cepat! Cepat! Kerja mesti cepat. Makan mesti cepat. Pulang-pergi mesti cepat.
3
Gejala ini pernah disorot banyak media ibukota, lewat artikel atau gambar karikatur. Kecenderungan urbanisasi terus meningkat, karena tak adanya pemerataan pembangunan. Selain itu, program pemberdayaan di daerah tidak berjalan, sehingga Jakarta masih menjadi tumpuan penghidupan. Baca radiosmasher.blogspot.com/2010/10/urbanisasi-menjadi-dilema-dijakarta.html dan jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2012/05/19/ pencegahan-urbanisasi-solusi-untuk-jakarta/.
118
DARI RANGIN KE TELEPON
Cepat! Cepat! Malah kalau bisa berak juga mesti cepat! Padahal, kalau dipikir, kelewat buru-buru itu tak baik. Suka kurang hati-hati. Suka ceroboh, kata orang. Mungkin itu sebabnya di Jakarta banyak kecelakaan. Iya, Bu! Di sini banyak kecelakaan! Ada orang jatuh dari gedung bertingkat. Ada orang diseruduk mobil atau diseret truk. Ada mobil nyelonong ke trotoar. Ada mobil nubruk pagar rumah orang. Ada bus nabrak mobil lain dan terbakar.4 Bahkan di sini ada jembatan ambruk. Betul, Bu Broto! Ada jembatan ambruk! Sebetulnya bukan jembatan sih… tapi jalan bertingkat. Bayangkan! Di sini ada jalan bertingkat!
4
Mengacu pada fakta banyaknya pengemudi angkutan umum yang ugalugalan di Jakarta. Beberapa yang terkena razia selalu berdalih, mereka hanya mengejar setoran. Puncak dari kondisi ini adalah terbakarnya sebuah bus di jalan tol Jagorawi, setelah menabrak kendaraan lain. Dalam peristiwa ini hampir seluruh penumpang bus dilaporkan tewas. Baca www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/06/0077.html
KUMPULAN PUISI ESAI
119
Kalau rumah dibikin bertingkat, itu sudah biasa, Bu. Di sini ada jalan bertingkat! Hebat ya, bisa bikin jalan seperti itu. Tapi kok ya ambruk? Lalu ada yang bilang, itu karena imannya kagak kuat.5 Lalu ada soal lain yang bikin Jakarta kagak enak. Di sini orang-orang kelewat kasar. Kalau bicara kayak membentak-bentak! Eh, Ibu tahu, orang Jakarta itu suka berantem. Banyak cerita soal ini, Bu Broto! Misalnya, sama-sama ketemu di jalan. Lalu saling melotot dan akhirnya berantem. Mobil kena senggol, entah disengaja atau tidak. Lalu melotot dan akhirnya berantem. Dibentak sedikit juga berantem… Kata orang, ini lantaran di Jakarta banyak orang stres. Ini lantaran hidup yang kelewat sumpek. Aduh, apa stres itu ya…. Susah dijelaskan, Bu Broto! Tapi stres itu penyakit. Tidak sehat! 5
Mengacu pada runtuhnya loop ramp jalan tol Grogol pada Maret 1996 yang menewaskan sejumlah orang. Umumnya adalah para pekerja proyek. Kasus ini kemudian dipetieskan, sementara orang yang bertanggungjawab (seorang ‘insinyur’ asal Korea Selatan) hilang tak ada beritanya. Baca www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/03/25/0009.html. Sebuah harian ibukota, lewat cerita karikatur edisi Minggu, menyindir peristiwa ini dengan kalimat “…imannya nggak kuat.”
120
DARI RANGIN KE TELEPON
Lalu ada yang bilang, ini karena… Bahasa kerennya: kesenjangan sosial yang kelewat tajam. Itu lho, Bu. Maksudnya orang kayak Pak Rachmat itu. Orang kayak Pak Rachmat di sini kelewat banyak. Lho, kok Pak Rachmat siapa? Pak Rachmat, yang rumahnya gedongan! Yang bininya tiga dan tanahnya di mana-mana. Tapi di sini yang namanya kere juga seabrek. Mungkin itu sebabnya banyak kejahatan di Jakarta. Saban hari ada yang bunuh diri. Ada saja yang mati. Entah ditusuk, diketok kepalanya, atau dipukuli. Saban hari ada yang ditodong. Ada yang digarong. Banyak yang dijambret, atau malah diperkosa. Bahkan ada yang diperkosa ramai-ramai.6 Sekarang malah ada orang sinting keliaran. Membunuh dan memperkosa anak-anak.7 6
7
Mengacu pada apa yang menimpa istri dan dua anak perempuan Acan, asal Bekasi, pada 24 Juli 1995. Dalam peristiwa ini yang menonjol adalah kasus perkosaannya, dibandingkan kerugian materi hanya dua gram kalung emas. Peristiwa ini memenuhi halaman pemberitaan sejak Agustus 1995 sampai Maret 1996. Seorang kawan wartawan menyebutnya insiden Bekasi. Baca www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/07/30/0005.html. Mengacu pada Robot Gedek alias Siswanto yang membunuh dan menyodomi anak-anak di bawah umur. Kebanyakan korbannya adalah anak-anak pemulung, yang jelas tak akan dicari jika tiba-tiba lenyap. Kasus ini diberitakan sepanjang Juli sampai akhir tahun 1996. Bahkan berlanjut hingga Mei 1997. Baca museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_robotgedek.html
KUMPULAN PUISI ESAI
121
Kayaknya yang begini tak bakal ada di kampung kita. Tapi orang Jakarta tingkah-polahnya memang aneh. Di sini banyak tempat mangkal banci… Itu, Bu, seperti anaknya Pak Darmin. Laki-laki tapi suka dandan kayak perempuan. Perempuan nakal juga di mana-mana. Mulai dari yang murah sampai 1-2 tahun gaji Mas Beno. Lalu ada perempuan pacaran sama perempuan. Lelaki sama lelaki. Ada anak-anak yang kumpul-kumpul saban malam. Terus jingkrak-jingkrak sampai pagi. Ada pil yang katanya bisa bikin teler… Ah, sudahlah, Bu Broto! Tak usah bicara soal begini. Bikin ngeri, tapi kagak juga bisa dimengerti. Kenapa, Bu…? Oh, itu! Ibu dengar juga rupanya? Ya, Jakarta akhir-akhir ini memang banjir. Ada yang sedengkul. Ada yang nyaris tenggelam. Ada yang malah sudah tenggelam! Orang bilang, itu banjir kiriman.
122
DARI RANGIN KE TELEPON
Tapi masak sih, banjir kok bisa dikirim-kirim? Lalu ada yang bilang, itu akibat tanah resapan tak ada.8 Yang terakhir ini kayaknya betul, Bu Broto. Orang Jakarta memang rakus dan seenak perutnya! Mulai dari kakilima sampai yang berdasi. Contoh paling gampang, di sini mana ada got yang beres? Semuanya penuh sampah! Airnya sampai hitam begitu. Mampet, bau, tercampur macam-macam kotoran… Lalu ada yang bilang, ini soal rekayasa. Eh, Bu Broto, istilah rekayasa sedang top di Jakarta. Aduh, apa rekayasa itu ya… Rekayasa itu sesuatu yang dibikin-bikin. Sesuatu yang tak ada, tapi dibikin seolah-olah ada. Ah, kagak tepat juga! Sudahlah! Ibu terima dulu ya istilah rekayasa.
8
Banjir besar yang melanda Jakarta tahun 1997 pernah disinyalir seorang pejabat sebagai banjir kiriman dari Puncak, akibat lahan-lahan yang digunakan untuk pembangunan vila secara tidak sah (dalam arti tak ada perizinan). Tetapi beberapa pengamat menyoroti hal ini sebagai akibat berkurangnya daerah resapan di ibukota, akibat sekian megaproyek. Lihat misalnya http:/ /greenimpactindo.wordpress.com/2010/03/20/sejarah-singkat-danpenyebab-banjir-dki-jakarta-dan-usulan-solusinya/.
KUMPULAN PUISI ESAI
123
Nah, di sini ada orang ditangkap. Dituduh mau macam-macam, lalu disuruh minta maaf. Orang bilang, ini rekayasa. Ada orang dibunuh, tapi yang membunuh kagak jelas.9 Di kampung kita, nyolong ayam aja kena tiga bulan. Di sini malah kagak diapa-apakan! Orang bilang, ini rekayasa. Lalu ada orang korup, tapi bisa kabur dan lenyap.10 Orang bilang, ini rekayasa. Di sini saban hari anak-anak sekolah berantem. Sampai ada yang tewas. Orang bilang, ini rekayasa. Ada kerusuhan, ada demonstrasi. Terus banyak yang diusut.11 Orang bilang, ini juga rekayasa…
9
Ketika menulis bait ini, saya teringat kasus Dietje, Marsinah, dan Udin yang sampai sekarang tak juga tuntas. Banyak pengusutan, tapi pelakunya tetap tidak jelas. Baca misalnya dekade80.blogspot.com/2009/01/pak-dedan-misteri-pembunuhan-ditje.html (kasus Dietje), id.wikipedia.org/wiki/ Marsinah dan id.wikipedia.org/wiki/Fuad_Muhammad_Syafruddin.
10
Mengacu pada perkara penggelapan kredit Bank Bapindo oleh bos Golden Key, Eddy Tanzil. Perkaranya sudah disidangkan, dan tokoh ini divonis 20 tahun penjara. Tetapi ia lalu diberitakan kabur dari LP Cipinang dan lenyap begitu saja (dalam arti tak jelas lagi keberadaannya). Baca rahimnetwork. blogspot.com/2012/04/edy-tansil-dan-kisah-pelariannya-dari.html.
11
Mengacu pada Peristiwa 27 Juli 1996. Campur tangan aparat keamanan dalam aksi penyerbuan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI),
124
DARI RANGIN KE TELEPON
Bu Broto, inilah Jakarta! Dari jauh muka Jakarta kayaknya mulus. Tapi begitu agak dekat, ternyata banyak bopengnya. Itu sebabnya aku bilang, di sini kagak enak! Jakarta makin banyak masalah. Makin banyak yang tak tuntas. Tapi sebetulnya kagak juga begitu. Kata orang, sudah sejak dulu Jakarta begitu. Kata orang, ini penyakit kota besar. Kita saja yang selama ini kagak tahu… Mungkin lantaran kita malas baca koran, ya Bu? Padahal koran saban hari ditempel di kantor Kades. Mungkin di kampung malah lebih enak, Bu Broto. Betul! Di kampung bisa jadi lebih enak! Contohnya, ya Bu Broto ini. Suami makin sukses. Anak-anak tambah gede, pintar, dan mulai jadi orang…
akibat kekisruhan dalam tubuh partai politik itu, telah berbuntut pengrusakan, pembakaran dan penjarahan oleh massa. Sejumlah anak muda yang menamakan diri Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituding sebagai dalang peristiwa ini. Baca misalnya id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_27_Juli. Ironisnya, peristiwa serupa (pengrusakan, pembakaran, dan penjarahan) dalam skala lebih besar terulang dalam Peristiwa 13-14 Mei 1998.
KUMPULAN PUISI ESAI
125
Eh…! Suduh dulu, Bu Broto! Di sini mulai panas. Jalan-jalan sebentar lagi macet. Aku mesti bantu Mas Beno. Nanti keburu truk sampahnya datang. Sudah ya, Bu! Kapan-kapan aku telepon lagi. Aku punya koin juga mau habis. Eh, Bu Broto tahu koin itu apa…? He, he, he, he. Koin itu uang receh cepek yang sekarang dipakai telepon. Dari Jakarta ke Gunung Kidul! Sudah ya, Bu. Kenapa…? Oh, itu! Soal pernikahan Tinah ya? Ya, Bu. Aku akan berusaha datang. Betul, Bu! Iya! Amit, Bu Broto… ***
126
DARI RANGIN KE TELEPON
Perempuan itu meletakkan gagang telepon. Lalu ia meraih sapu ijuk di sampingnya. Tangannya bergerak mengibas-ngibaskan sapu. Lalu ia menjauh dari kotak telepon. Beberapa orang yang lewat di jalan itu tertawa. Beberapa orang di dalam mikrolet tertawa. Satu-dua orang menirukan gerak tangannya saat menelepon. Satu-dua orang meletakkan telunjuk melintang di jidat. Di kotak telepon tertempel pengumuman: RUSAK, SEDANG DALAM PERBAIKAN. ***
(kado ulang tahun Jakarta ke-470 yang sangat terlambat diberikan)
KUMPULAN PUISI ESAI
127
128
DARI RANGIN KE TELEPON
Biodata Penyair Kedung Darma Romansha, lahir di Indramayu, 1984. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Uiversitas Negeri Yogyakarta. Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa, baik lokal maupun nasional, dan beberapa antologi. Beberapa kali mendapat penghargaan di bidang cipta puisi dan baca puisi. Segera terbit novel pertamanya, Slindet, dalam bentuk digital (Bentang Pustaka, 2012). Bergiat di Rumah Lebah, Sanggar Suto, Rumah Poetika, dan Saturday Acting Club (SAC). Kini menetap di Krapyak Kulon, Yogyakarta. Katherina Achmad, alumnus FIK Jurnalistik Universitas Bandung (Unisba), 1996. Meneruskan studinya di Program Pascasarjana Unisba, Prodi Ilmu Komunikasi, pada tahun 2007 dan mengangkat lukisan Raden Saleh sebagai topik penelitiannya. Puisinya dimuat dalam 10 antologi puisi dan menjuarai 6 (enam) lomba cipta puisi. Novel pertamanya, Pulau Guara Cinta yang Tak Pernah Selesai (Medpress, 2008). Cerbernya, ”Pitaloka”, dimuat Femina, 2009. Cerbernya, “Roti Buaya”, terpilih sebagai Pemenang III Sayembara Cerber Femina 2009. Kemudian, cerber “Dunia Angke” dimuat Femina, Maret-April 2012, dan cerber “Sewangi Alamanda” dimuat Femina, Agustus–September 2012). Baru saja menuntaskan novel inspiratif “Pacarku Preman Pasar” dan novel komedi romantis “Mamie Kompeni.” KUMPULAN PUISI ESAI
129
Yustinus Sapto Hardjanto, peneliti Subkultur di Naladwipa Institute Samarinda. Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 6 Juli 1970. Pernah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Perhatiannya pada kelompok marjinal dan isu-isu sosial dimulai sejak tahun 1996 saat bergabung dengan salah satu NGO di Manado. Hingga saat ini terus bekerja dengan komunitas akar rumput untuk mengkampanyekan persoalan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Di samping aktif menulis, ia kini memfokuskan diri untuk mengembangkan video activism dengan memproduksi dan melakukan pemutaran film dokumenter tentang lingkungan, masyarakat dan pertambangan, serta tema-tema sosial lainnya. Tinggal di Samarinda. Rahmad Agus Supartono, lahir di Madiun, 14 April 1969. Mengasuh Surau Kami, sebuah pesantren yang juga merupakan rumah singgah kebudayaan, khususnya seni pedalangan di Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah. Wendoko, menulis puisi dan cerita. Lulusan Teknik Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tahun 2002 menerima SIH Award dari Jurnal Puisi. Dua buku puisinya, Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008) dan Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009) masuk dalam shortlist Khatulistiwa Literary Award 2008 & 2009. Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dengan judul Selected Poems (2010). Buku puisinya yang lain Oratorio (edisi kedua, 2011) dan Jazz! (2012). Sekarang tinggal di Serpong, Tangerang, Banten.
130
DARI RANGIN KE TELEPON
KUMPULAN PUISI ESAI
131
Lima puisi esai yang ditulis lima orang penyair dari berbagai penjuru tanah air ini telah hadir di hadapan kita dengan tema dan gaya ungkap berbeda satu sama lain. Yang menggembirakan, kelima penyair ini masing-masing telah menunjukan sudut pandangnya sendiri terhadap konsep puisi esai yang ditawarkan Denny JA, terutama dalam hubungan antara fakta dan fiksi. Meskipun kelimanya tetap berpegang pada konsep dasar puisi esai, namun penekanan maupun konsentrasinya tidak sama. Ada yang dominan fiksinya, ada yang dominan faktanya, ada pula yang tarik menarik antara kekuatan fiksi dan fakta. Kiranya hal ini akan menjadi hidayah tersendiri yang bisa memperkuat bahkan memperkaya kerangka dasar puisi esai yang belum lama ditancapkan. Dengan hadirnya puisi esai, para penyair liris yang selama ini hanya mengandalkan imajinasi mulai dikenalkan --bahkan dibiasakan-- dengan riset atau penelitian, sekalipun hanya riset kecil-kecilan. Mudah-mudahan suatu hari kelak genre puisi ini akan menjadi sumbangan yang berarti bagi taman perpuisiaan Indonesia. [] Acep Zamzam Noor, penyair
Dari Rangin ke Telepon
Agus R. Sarjono, Ketua Juri Lomba Menulis Puisi Esai
Kumpulan Puisi Esai
Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya tema. Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden yang kecewa, orang Kubu, masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional dan lokal, sosok pemberitaan, pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang ingin bunuh diri, etnis minoritas merangkap pelaku transgender, warga Tionghoa Singkawang yang “dijual” ke Taiwan, buruh tani, TKW, pemain band, politisi, perusuh, dll. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah membuka katup tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”— disuarakan dalam puisi konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat, tibatiba muncul dengan penuh warna.[]
Dari Rangin ke Telepon Kumpulan Puisi Esai Kedung Darma Romansha Katherina Achmad Yustinus Sapto Hardjanto Rahmad Agus Supartono Wendoko
Pengantar
Acep Zamzam Noor
Ilustrasi
Arif Bahtiar