Mahwi Air Tawar, lahir di Pesisir Sumenep, Madura, 28.10.83. Jebolan Sejarah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menulis cerpen, puisi, dan sesekali esai. Karyanya dimuat di Kompas, Horison, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan Jurnal Sajak, Kumpulan cerpennya adalah Mata Blater dan Karapan Laut. Buku kumpulan puisinya adalah Tanean. Ia pernah mengikuti Bengkel Penulisan Mastera untuk esai.
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Abdul Hadi W.M. penyair dan Guru Besar Universitas Paramadhina.
MAHWI AIR TAWAR
Lima puisi esai Mahwi Air Tawar dalam buku ini sangatlah unik. Berbeda dengan puisi umumnya, termasuk dalam puisi esai, yang mengangkat tema sosial atau keagamaan, bahkan cinta lewat pengalaman dan impresi pribadi penulisnya, puisi-puisi esai ini mengangkat tema-tema tersebut lewat “sejarah” dan jalan hidup tokoh-tokoh sastrawan yang kongkret dan bukan fiktif. Saya kira, tradisi Pesantren yang dijalani Mahwi di usia mudanya di Madura yang membawa dia pada pilihan menarik ini. Salah satu tradisi pesantren yang penting dan patut diteladani adalah rasa takzim dan penghormatan tulus pada guru, salah satunya dengan mencatat ajaran atau menulis biografi sang guru. Dengan bukunya ini Mahwi secara menarik menunjukkan pada pembaca rasa hormatnya pada sang guru dengan penghormatan puitis.
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa Buku Puisi Esai
Mahwi Air Tawar
Mahwi Air Tawar
Mahwil Air Tawar
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Cerah Budaya 2016 i
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa © Mahwi Air Tawar all right reserved Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dan penulis/penerbit. Desain Cover: arsdesign Tata Letak: Andez Amsed Cetakan ke-1 Juli 2016 Diterbitkan pertama kali oleh Cerah Budaya ISBN:
ii
Mahwi Air Tawar
Lima Puisi Sebelum Liburan Tiba Mahwi Air Tawar
SETELAH berbulan-bulan mengerjakan penulisan puisi tentang lima tokoh penyair Indonesia; Umbu Landu Paranggi, Saini KM, A. Mustofa Bisri, Nh, Dini, dan D. Zawawi Imron, pagi ini, 6 Juni 2015, saya merasa amat sangat bahagia. Kebahagiaan saya bukan dikarenakan lima puisi lima tokoh itu selesai, bukan pula karena langit Ciputat teramat cerah, tetapi kebahagiaan saya dikarenakan guru dan sekaligus sahabat yang baik hati, Jamal D. Rahman, mengizinkan saya pulang! Ya, sebelum puisi yang saya tulis belum selesai Jamal D. Rahman agak keberatan saya meninggalkan rumahnya, terutama sebelum puisi tentang sosok penyair Ahmad Mustofa Bisri diselesaikan. Maka, jadilah saya nyantri di rumahnya, di daerah Ciputat, yang sejuk dan damai. Bersama Jamal D. Rahman, nyaris setiap malam saya menyenandungkan puisi tentang Ahmad Mustofa Bisri, dan apabila ada kalimat atau metrum kurang bagus beliau tak segan-segan mengoreksinya. Selama dua minggu di rumah Jamal D. Rahman, saya seperti berada di pondok pesantren. Setiap bakdza magrib saya selalu mendengar beliau iii
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
mengaji al-quran, sementara saya sendiri khusyuk menulis puisi, sesekali saya menadamkannya sehingga suasana di dalam rumah itu nyaris seperti majelis ta’lim, tempat para santri mengaji. Saya merasa seperti berada di lingkungan pondok pesantren yang khas dan puitik. Entah mengapa, di pesantren, yang jadwal “bersantairia” lebih sedikit ketimbang jadwal mengaji, sorogan, menghafal nadhoman, menghafal al-quran serasa tidak berat, bahkan kami menjalaninya dengan penuh suka ria. Kini saya tahu alasannya, salah satu alasan mengapa para santri tak merasa jenuh dengan jadwal pengajian barangkali dikarenakan para santri dalam mempelajari kitab dengan cara menadhomkan atau menyanyikan. Saya kutip puisi tentang Ahmad Mustofa Bisri: Ahmad Mustofa Bisri penyair Abjad puisimu terus mendesir Abaikan ombak teori Amir Asal-usul diri narasi dzikir Memang terasa lebih berat menulis puisi tentang lima tokoh, terutama tentang Ahmad Mustofa Bisri. Pasalnya, dalam puisi yang saya tulis ini bukan hanya sekedar bersandar pada imajinasi, tapi lain dari itu dalam penulisan puisi ini saya harus melakukan penelitian, menggali mencatat data baik mengenai asal-usul Ahmad Mustofa Bisri, pondok pesantren-pondok pesantren yang pernah menjadi tempat Ahmad Mustofa Bisri nyantri, kegiatan nyeleneh beliau waktu masih muda, dan lain dari itu, mempertimbangkan metrum, balaghah sehingga puisi yang dihasilkan bisa disenandungkan, ya, sebagaimana para santri yang setiap saat menyenandungkan kitab-kitab emriti, alfiyah, Aqidatul ‘awam, Barzanji, yang tak hanya ketat dalam isi, rima, tapi yang lebih penting adalah metrum yang terjaga sangat ketat. Tentu ini berbeda dengan ketika saya menulis puisi-puisi bebas, yang tak mesti menimbang rima awal-rima akhir, metrum dan lain sebagainya. Oleh karena suasana hati saya masih merasa berada di lingkungan pondok pesantren, saya juga diingatkan pada kenangan lima belas tahun silam, yakni ketika saya masih menjadi santri di Pondok Pesantren iv
Mahwi Air Tawar
Mathali’ul Anwar, Pangarangan, Sumenep, Madura. Kegiatan di pesantren selain mengikuti pengajian yang ketat saya selalu mencari waktu untuk melanggar. Ketika para santri mengikuti pengajian kitab kuning diam-diam saya menyelinap keluar dari majelis pengajian. Saya masuk ke kamar dan naik ke dek lalu bersembunyi di sana. Di atas dek itu lah saya membuka tiga buku karya Emha Ainun Nadjib, Syair Lautan Jilbab, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, dan Kiai Kocar-Kacir. Tiga buku karya Emha ini saya baca dalam waktu dua hari, di antara tiga buku itu yang membuat hati saya terkesan adalah buku Syair Lautan Jilbab. Tetapi keterkesanan saya terhadap tiga buku Emha segera tergantikan oleh biografi Emha sendiri: bahwa ia aktif di komunitas PSK dan belajar kepada seorang penyair legendaris, Umbu Landu Paranggi. Siapakah Umbu Landu Paranggi sehingga sanggup melahirkan penulis sebesar Emha Ainun Nadjib? Pertanyaan itu terus melekat dalam ingatan sebelum akhirnya mengabur oleh karena banyak kegiatan di pesantren, mengaji dan menghafal. Ya, dengan banyaknya jadwal mengaji rasanya tak ada alasan bagi saya untuk terus mengingat Umbu, yang entah seperti siapa orangnya. Tahun 2005 saya hijrah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, saya bertemu banyak penulis, penyair dan seniman dari berbagai genre. Di kota ini rasa-rasanya puisi tersaji setiap hari demikian juga oborolan-obrolan ringan senantiasa meletup nama Umbu tanpa diminta, rasa-rasanya tidak sah membicarakan tentang sastra tanpa melibatkan nama Umbu. Setiap orang mendengungkan namanya sampai saya tiba pada titik kebosanan bila mendengarkan nama Umbu diceritakan dengan penuh heroik. Diam-diam saya pun mendatangi beberapa penyair yang sempat bersinggungan dengan Umbu, Iman Budi Santosa, Mustofa W. Hasyim, dan Sutirman Eka Ardana, misalnya. Kedatangan saya tentu saja tidak dalam rangka mendengar dongeng tentang Umbu, tapi yang saya inginkan adalah melihat dan membaca karya-karya Umbu, sehingga v
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
membuat penyair-penyair Yogyakarta terpukau kagum. Tapi ternyata tak banyak yang saya temukan karya Umbu, ya, hanya beberapa lembar saja. Selebihnya catatan harian, surat-surat kepada calon penyair muda. Tak lebih, tak kurang. Tahun 2010 saya terlibat dalam proyek penyusunan buku OrangOrang Malioboro bersama Mustofa W. Hasyim, Iman Budi Santosa, Emha Ainun Nadjib, dan beberapa penulis lain. Saya merasa beruntung dilibatkan dalam proyek penyusunan buku Orang-Orang Malioboro, setidaknya, saya yang masih belia bisa belajar banyak kepada mereka. Oleh karena buku Orang-Orang Malioboro berisi tentang sejarah perjalanan komunitas Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastra yang sempat eksis di tahun 1975, dan bermarkas di sepanjang Malioboro, terutama di depan hotel Mutiara. Dari sana juga saya dapat membaca kesaksian penyair-penyair yang pernah terlibat dalam komunitas PSK terhadap kiprah Umbu Landu Paranggi. Dari hasil bacaan kesaksian penyair-penyair yang menulis tentang perjalanan PSK dan penjaga gawangnya, Umbu Landu Paranggi, muncul gagasan untuk menulis tentang Umbu dalam bentuk puisi. Dayung pun bersambut. Penyair Agus R. Sarjono, pimpinan umum Jurnal Sajak meminta saya untuk menulis esai tentang Umbu Landu Paranggi. Permintaan itu dengan senang hati saya terima, tentu dengan satu syarat, saya tak mau menulis dalam bentuk esai, “tidak menarik kalau ditulis dalam bentuk esai,” sela saya. “Bagaimana kalau ditulis dalam bentuk puisi?” “Bagus.” jawab, Agus R. Sarjono. Puisi tentang Umbu Landu Paranggi ternyata tak semudah saya bayangkan, cukup berat dan menantang menulis sosok Umbu, terlebih data tentang Umbu tak seabrek yang diceritakan oleh penyair-penyair di Yogyakarta. Namun bagi saya sangat mustahil dan tak mungkin saya berkompromi dengan diri hanya karena kesulitan data tentang Umbu. “Jangan menyerah!” tegas guru dan sekaligus sahabat saya, Agus R. Sarjono. Entah dari mana penyair yang juga sahabat, Agus R. Sarjono, vi
Mahwi Air Tawar
tahu kalau saya sedang dalam kesulitan menggarap dan mencari data tertulis tentang Umbu. Bulan April 2012 terbit sebuah buku puisi dengan judul Atas Nama Cinta, buku bergenre Puisi Esai yang digagas dan ditulis oleh Denny JA ini sontak menjelma “badai” yang meruntuhkan “bangunan-bangunan rumah” puisi konvensional, puisi yang selama ini berkutat dengan tematema kesunyian dan cinta dengan bahasa, yang menurutnya susah dimengerti bahkan oleh publik sastra sendiri. Denny JA menegaskan bahwa dalam penulisan Puisi Esai penyair dianjurkan menggali tema-tema sosial, dan dalam Puisi Esai penyair tak hanya berdasarkan imajinasi semata namun juga harus melakukan penelitian lapangan, ada pun hasil dari penelitian penyair harus mencantumkannya dalam catatan kaki berdasarkan dari hasil penelitiannya. Sebagai penyair muda berbakat, saya pun diam-diam tertantang untuk melakukan apa yang telah dilakukan Denny JA. Namun begitu, bila dalam Puisi Esai yang yang dimulai oleh Denny JA cenderung pada tema-tema sosial namun saya lebih fokus pada tentang sosok atau tokohtokoh sastrawan. Tak berlebihan kiranya bila kegelisahan yang sempat mendera saya dalam menulis tentang Umbu Landu Paranggi saya tulis dalam bentuk Puisi Esai, dan sudah pasti mencantumkan catatan kaki berdasarkan riset dan sedikit data yang saya peroleh dari penyusunan Orang-Orang Malioboro dan dokumentasi pribadi alamarhum penyair Ragil Suwarna Pragolapati. *** Suatu hari, teman sejawat Umbu Landu Paranggi, penyair Iman Budi Santosa, yang saya jadikan nara sumber bercerita, bahwa tujuan pengembaraan Umbu setelah Yogyakarta adalah kota Bandung, bukan Bali. Menurutnya, Umbu ingin merintis komunitas semacam PSK di Bandung, tetapi niat itu diurungkan karena di Bandung sudah ada Saini KM., yang mengasuh kolom budaya Pertemuan Kecil Harian Umum vii
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Pikiran Rakyat. Saini KM., sebagaimana disampaikan beberapa nara sumber yang saya wawancarai dan berdasarkan esai-esai pendek yang mengulas dan mengoreksi puisi-puisi yang dimuat di Pertemuan Kecil memiliki kesamaan dengan Umbu dalam memperlakukan puisi dan menempa calon-calon penyair muda, mengoreksi dan mengarahkan penyair muda. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam puisinya, berikut saya kutip: Kepada Penyair Muda 1. Sebelum tintamu menjadi darah, kata-kata Akan tetap sebagai bunyi, kebisingan lain Di tengah hingar bingar dunia: Deru mobil Guntur meriam dan gunjing murah koran got. Kau meniup suling tapi kau sendirilah sulingnya :Itulah nasibmu. Kepenyairan adalah ziarah Tanpa peta, pelayaran tanpa bintang Padahal dunia menawarkan begitu banyak jalan. Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi : Keheningan pertama saat roh memandang dirinya. Saini KM., sebagaimana disampaikan penyair Acep Zamzam Noor, yang pernah bersentuhan dan belajar kepadanya mengakui sebagaimana berikut: SAYA mengenal nama Saini K.M. lewat ulasan-ulasannya tentang puisi yang sangat memukau di lembaran “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat, sejak tahun 1979. Bagi seorang pemula yang dahaga seperti saya, membaca ulasan-ulasan tersebut seperti mendapatkan siraman rohani yang sangat menyegarkan. Saini membahas teknik-teknik dasar viii
Mahwi Air Tawar
menulis puisi seperti tema, pencitraan, rancang bangun dan proses kreatif dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Bukan hanya teknikteknik dasar tadi, tapi juga soal logika dan bahasa puisi yang sering membingungkan bagi penyair pemula. Yang paling mengesankan bagi saya adalah ketika secara bersambung menguraikan hubungan antara seniman dan masyarakat. Di sini Saini seperti seorang kiyai yang mengajarkan kepada santri-santrinya tentang pentingnya “akhlak” bagi seorang penyair. Saini menekankan pentingnya ketulusan dan kejujuran sebagai syarat terciptanya puisi yang baik. Menurutnya, seorang penyair menulis puisi harus karena dorongan murni dari dalam dirinya, bukan karena pengaruh dari luar seperti ingin terkenal, ingin berpengaruh, ingin berkuasa atau ingin sekedar disebut “penyair”. Menulis puisi karena dorongan popularitas hanya akan menghasilkan puisi yang dibuat-buat. Ulasan-ulasannya yang seperti petuah ini terus hidup dalam pikiran saya hingga kini. Ulasan-ulasannya ini pula yang kemudian membuat saya mampu membedakan mana penyair dan mana penyanyi dangdut, meskipun keduanya sama-sama seniman. Mana seniman dan mana politisi, meskipun keduanya sama-sama penting untuk sebuah negara. Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi, demikian kalimat Saini dalam puisi Kepada Penyair Muda. Seorang penyair dalam menulis puisi harus karena dorongan murni dari dalam dirinya, bukan karena pengaruh dari luar seperti ingin terkenal, ingin berpengaruh, ingin berkuasa atau ingin sekedar disebut “penyair”. Demikian sang murid, Acep Zamzam Noor, mengabadikan nasihat sang guru, Saini KM. Tentu bukan hanya Saini, Umbu, dan Ahmad Mustofa Bisri, yang lebih memilih jalan sunyi dalam menjalani proses menjadi penyair. Pastilah tak terhitung jumlahnya penyair yang juga melakukan hal serupa, penyair yang sepenuhnya sadar bahwa bahwa menulis puisi bukan atas dasar dorongan ingin terkenal, ingin berpengaruh, atau hanya sekedar ingin disebut dirinya sebagai penyair. *** ix
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Setelah meniti jalan sunyi ketiga penyair Indonesia, Ahmad Mustofa Bisri, Umbu, dan Saini, saya semakin penasaran dengan jalan yang pernah ditempuh oleh penulis lain. Penulis genre lain, penulis novel misalnya. Seperti apakah mereka menjalani hari-harinya selain menulis, dan bagaimana mereka bersikap, bergaul dalam kehidupan sehari-hari? Pada suatu hari saya bersama tiga penulis, sahabat dan sekaligus guru saya, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, dan Jamal D. Rahman, bertamasya ke kepulauan Gili Yang, sebuah pulau kecil di Sumenep, Madura. Sepanjang perjalanan menuju pulau Gili Yang, entah kenapa tibatiba saya disergap sebuah ingatan pada sebuah setting novel fenomenal, Twenty Thousand Leagues Under The Sea, novel yang ditulis oleh Jules Verne. Dalam novel itu Jules Verne berkisah tentang keberadaan sebuah kapal raksasa dan tenggelam 20. 000 mill di bawah laut. Sangat mengesankan. Entah kenapa pada saat itu pikiran saya merasa sedang tidak bersama Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, dan Jamal D. Rahman. Pikiran dan emosi saya berkecamuk antara teringat dan terpukau dengan narasi dalam novel Twenty Thousand Leagues Under The Sea, dan tiba-tiba saya merinding ketika saya teringat kejadian mengerikan, yakni tragedi memilukan yang terjadi sekitar tahun 1994, kapal Tampomas yang membawa ratusan penumpang meledak dan terbakar di perairan Masalembu. Tak ingin larut dalam peristiwa menyedihkan, saya beranjak mendekati Agus R. Sarjono yang duduk di anjungan, maksud saya ingin ngobrol, tapi niat saya urungkan ketika melihatnya asyik dengan kesendiriannya, saya menangkap pesan, pikiran Agus R. Sarjono barangkali sedang bersama Derek Walcott, penyair kenamaan yang begitu mengesankan ketika menulis tentang laut. Demikian juga dengan cerpenis Joni Ariadinata, barangkali juga tengah asyik membayangkan Ernest Hemingway saat menulis novel mengesankan, Lelaki Tua dan Laut. Demikian juga dengan Jamal D. Rahman. Tak mau kalah dengan ketiga sahabat seperjalanan, saya pun diamdiam memikirkan tubuh elok sang penari, Sri. Tiap kali membayangkanx
Mahwi Air Tawar
nya saya tak henti-hentinya mengulum senyum. Saya seperti tengah bermuka-muka dengan Sri, salah satu tokoh novel Nh. Dini dalam buku Pada Sebuah Keberangkatan. Tak lama berselang, perahu yang kami tumpangi mulai menepi. Sementara Sri, tokoh utama dalam novel Pada Sebuah Kapal, karya sastrawan terkemuka Indonesia, Nh. Dini, terus membuntuti, menggoda, dan berbisik, “tulis tentang saya dalam puisimu,” bisiknya lembut, selembut angin kepulauan Gili Yang. Gagasan dan gambaran tentang Nh. Dini semakin sempurna seakan kehidupan Nh. Dini sudah menjelma puisi dalam batin saya. Sehingga ketika saya menuliskannya nyaris tak menemukan kesulitan. Sepulang dari pulau Gili Yang, kami mampir ke rumah penyair D. Zawawi Imron. Kami tiba di rumahnya jam 00. 30. Zakki, putra tertua D. Zawawi Imron menyambut kami dengan kalimat. “Bapak lagi di Makassar,” katanya sambil mempersilahkan kami duduk. Di ruang tamu yang penuh dengan lukisan penyair D. Zawawi Imron itu, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, dan Jalam D. Rahman terlibat dalam sebauh obrolan santai, dari ngobrolin tentang tembakau sampai tentang cara membuat kopi Madura, yang unik. Meski secara fisik saya berada di tengah-tengah mereka namun pikiran saya larut dalam suasana perkampungan yang tenang sambil membayangkan bulan (yang) tertusuk ilalang. Ya, sepanjang berada di ruang tamu penyair D. Zawawi Imron, saya lebih banyak diam, saya terbawa oleh suasana pedesaan yang kemudian ditulis dalam puisi oleh penyair D. Zawawi Imron dengan sangat indah. Alangkah beruntungnya penyair D. Zawawi Imron, gumam saya dalam hati. Alangkah kerasnya perjuangan sang penyair yang hanya untuk mendapatkan buku bacaan harus berjalan kaki dari rumahnya ke perpustakaan Kecamatan. Dari sanalah gagasan menulis puisi tentang kehidupan penyair D. Zawawi Imron muncul. Akhirnya, kepada lima penyair, Ahmad Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Nh. Dini, Saini KM, dan Umbu Landu Paranggi yang terus xi
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
berkelana dalam batin, dengan tanpa mengurangi rasa takzim buku Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa ini saya persembahkan. Kepada pembaca yang budiman, sebelum saya menutup catatan ini izinkan saya menadomkan rasa takzim saya terhadap Lima Sastrawam, Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa saya. Dialun kidung tembang laras Umbu berlagu di tapal batas Sumba, Sabana, berselempang rindu Bunda terkasih sandaran kalbu Sumedanglarang, Sumedanglarang Gending Kiara renggong goyang Di gaduh renungan hening Pasundan Lengang Gending Saini tembangkan Aduhai Ahmad Mustofa Bisri Ke Multazam, ratapmu bersura Kecupan hangat rindu bersemi Kekasih hati kekasih sunyi Aku Dini, Sri, penari pipih Menyanyi sunyi ditinggal kekasih Di pucuk bunga taman Tuileris Tangisku pilu di jantung Paris Di bawah bintang sebelum hujan Zawawi mandi sambil menari Di bawah bulan di tengah tegalan Zawawi mandi sambil bernyanyi Ciputat-Cimanggis, 2015-2016
xii
Mahwi Air Tawar
Daftar Isi
Pengantar penulis
Ahmad Mustofa Bisri D. Zawawi Imron Nh. Dini Saini KM Umbu Landu Paranggi
Biodata Penulis
iii 1 19 29 39 51 71
xiii
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
xiv
Mahwi Air Tawar
Untuk mata cintaku: Are Timur Daya, Bunda, dan rumah idaman
xv
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
xvi
Mahwi Air Tawar
Ahmad Mustofa Bisri
Akan tiba nazam nan sunyi hening Al-Ibriz matan Nusantara nyaring Asal muasal kelahiran bening Ananda sayang, ananda diiring Belas kasih ibunda tak terperi Belaian cinta berdenyut di nadi Barisan terentang rindu nafiri Bintang sembilan di langit hati Di teduh surau lalu, di tepian jalan asin dan bentangan sawah sendu pantura Tebaran sentir dzikir suluhi subuh harapan Ahmad Mustofa Bisri di anut, di rindu dan diabaikan Di timang, di kenang Rembang gamang impian
1
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Di ruang tamu tempat menampung yang pilu Aku pun merajut payang dengan benang sarung kusam Meski diri tak kuasa menderas cakrawala hidupmu Tapi di tubir kesunyian, izinkan aku, Mahwi, nyanyikan biru riwayatmu Mahallulqiyam.... Ahmad Mustofa Bisri Kiai Aku susuri leluhurmu sunyi Ada senandung nazam emriti Al-Ibriz1 berdenyut di lubuk hari Angin jejakmu sepagi kasturi Asapi lembaran dongeng peri Anggun menari dendam terpatri Alangkah lusuh bendera negeri Ada riap merah di beranda Ada tembang sumbang nada Ada irama nyanyian tiada Alief kusam di baris persada
— 1
K itab Tafsir Al-Ibriz atau al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz adalah kitab tafsir al-quran yang ditulis oleh Mbah Khlil Bisri, ayah Ahmad Mustofa Bisri. Adapaun kandungan dalam kitab tafsir Al-Ibriz adalah tafsir terhadap surat-surat dan ayat-ayat al-quran dengan penulisan bahasa Jawa. 2
Mahwi Air Tawar
Api menyala di jantung sabda Angin hembuskan tuga muda Apa kiranya gandrung di dera Air mata rindu beku di dada Di tepian jubah perenang seputih buih Membuncah, menggerus perahu perih Menjadikan bulir tasbih kail pancing lusuh Berharap riak di atas buncahan gelombang O, alangkah malang kerlip di jantung petang Di jantung malam majelis terakhir Di lembar lontar menggema zikir Denyut soroganmu2 suluri takdir Duhai kiai, aduhan penyair Ahmad Mustofa Bisri penyair Abjad puisimu terus mendesir Abaikan ombak teori Amir Asal-usul diri narasi dzikir
— 2
Sorogan adalah suatu metode pengajaran atau cara santri mendalami satu bidang kitab baik kitab yang dipilihnya sendiri maupun kitab yang dipilih oleh kiai. Dalam sorogan seorang santri biasanya datang menghadap langsung kepada kiai yang dipilihnya. Sorogan dilakukan dimaksudkan untuk mendalami salah satu keilmuan yang bersumber dari kitab. Oleh karena dalam sorogan itu seorang santri berintraksi langsung dengan kiai, maka, santri tidak hanya mendengarkan, bisa saja santri mengajukan beberapa pertanyaan yang sebelunya sudah ia siapkan sebelum datang atau lebih jauh dalam sorogan terjadi diskusi antara santri dan kiai. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar santri mudah dan cepat mencerna apa yang disampaikan oleh kiai. 3
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Ini puisi tentangmu, Gus Mus3 Impian santri fajar berhembus Irama mengalun seiring tadarus Iringi senandung kiai Mahrus4
— 3
Gus Mus, demikian panggilan akrab Kiai Ahmad Mustofa Bisri, kiai yang tak hanya dikenal sebagai ulama, pelukis, tapi juga penulis cerpen, puisi, dan esai. Gus Mus lahir dan besar di desa Lateh, Rembang, 10 Agustus 1944 dari pasangan Mbah Bisri Mustofa, Nyai Hj. Marafah Cholil. Kiai yang mendapatkan Doctor Honoris Causa dari U in Sunan Kalija ini dikenal khalayak luas sebagai kiai yang humoris dan humanis. Di tengah-tengah tumbuh-kembangnya radikOleh banyak kalangan Gus Mus tak hanya dikenal humoris tapi juga ia dikenal humanis. Gus Mus menghabiskan masa remajanya mendalami ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, dan terakhir ia melanjutkan jenjang pendidikan ke Al-Azhar, Mesir. Gus Mus yang kini tinggal di Rembang dan mengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin semasa menjadi santri baik di Lirboyo maupun di Krapyak, Gus Mus juga dikenal santri yang hobi ilmu kanoragan, dan diamdiam selama di Krapyak Gus Mus juga belajar melukis kepada pelukis maestro Indonesia, Afandi. 4 Kiai Mahrus yang dimaksud dalam puisi ini adalah KH. Mahrus Aly, adalah ulama terkemuka Indonesia. Nyaris sepanjang hidupnya ia habisnya untuk mempelajari ilmu dan mendalami ilmu agama, tabarukan dari pesantren yang satu ke pesantren lain. Kiai kelahiran yang di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Aly bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa’id, 1906 M, ini pernah nyantri di Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan K iai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Kemudian beliau pindah ke melanjutkan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil. Setelah 5 tahun menuntut ilmu di pesantren ini (sekitar tahun 1936 M) KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Tiga tahun kemudian Kiai Mahrus Aly dinikahkan dengan Zaenab, putri KH. Abdul Karim Pada tahun 1944 M, KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman di sebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan 4
Mahwi Air Tawar
Se susun suku kata kalimat Serat batin mengiris hikmat Suar suluhi narasi pekat Sendu kalbu bait keramat Di lapis gelap tangis terdengar Puisi hidupmu riap bersuar Negeri sayang, merah berkibar Negeri sayang putih bersinar Dalam bait puisimu, Petapa Menggema negeriku, Indonesia Anyir sengsara rakyat merana Nyinyir penyair puisi bunga Ahmad Mustofa Bisri pelukis Alief digurat dikanvas amis Antara diri dan ormas bengis Antara Inul5 dan gamis turis
— 5
Inul atau Inul Daratista, adalah penyanyi dangdut Indonesia, yang pada awal kemunculannya sekitar tahun 2003-an, menunai kontoroversi karena goyangan ngebornya. Bahkan pelantun lagu dangdut senior seperti Rhoma Irama turut mengecamnya. Di tengah-tengah kontroversi itulah, Gus Mus, menggelar pameran lukisan dengan judul “Berdzikir Bersama Inul”. Lukisan berukuran 60 x 70 cm, dipamerkan di ruang Ash-Shofa Masjid Agung AlAkbar, Surabaya, Jawa Timur, dalam rangka Pekan Muharam. Sontak lukisan Gus Mus ketika itu mendapat menuai protes dari berbagai kalangan ormas Islam. Namun Gus Mus, menanggapinya dengan santai, “Kalau ndak ribut bukan orang Indonesia,” jawab Gus Mus ketika seorang wartawan bertanya. 5
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Ahmad Mustofa Bisri mencari Apatah kiranya gandrung nyeri Affandi inikah potret negeri Adakah kuas bersabut duri Ada lukisan cerita misteri Amplop abu-abu gambaran diri Ahmad Mustofa Kiai Bisri Akulah rupiah yang kebiri Bara kisahmu letupan sukma Berdenyar batin cinta menggema Baris aksara sulaman purnama Bait hidupmu se alun se irama Bersulam benang Lateh serabu Bayangan seribu fajar jejakmu Berselempang kasih jahitan ibu Beban di pundak ramuan jamu Dengan puisi jejakmu kususuri Di ambang sunyi di bentangan hari Duhai Kiai Ahmad Mustofa Bisri Dendang nazammu sedia kucari Duhai Kiai Ahmad Mustofa Bisri Deras riwayatmu se pagi kasturi Di Negeri Daging dongengan peri Damai mengalun dendam menari
6
Mahwi Air Tawar
Di tujuh pintu tujuh impian Di tujuh jalan bersua panutan Di nun Lirboyo menderas sorogan Di jantung Krapyak, khusyuk tabarukan Mustofa, ya, Mustofa bin Mbah Kholil Bisri, Bila senja menjelang, senandung kidung, sealun nazam menyesup iringi petang. Dibawanya Mustofa menjumpa para guru dan Kiai, mengaji diri menderas hati. Mustofa, ya Mustofa, pandangi cakrawala bersuar. Ada awan berarak, ada desau berhembus samar-sesamar dzikir dan sajak. Mustofa pun beranjak, berjalan menuju mimbar. Ada rasa haru membiak di hati mendengar senandung puisi tentang diri. Di jantung malam majelis terakhir Di lembar lontar menggema zikir Denyut sorogan suluri takdir Duhai Kiai, aduhai penyair Engkau, Mustofa, menangis perih Enggan terbang di bintang masyaih Epos leluhur di nisan putih Enggan dilumur darah beserpih
7
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Duhai Mustofa, penyair perupa Dari Madura namamu kueja Di tepian jantungmu kubawa Di larung syair Indonesia Di ujung alief fajar nun mekar Di ujung semadi puisi bersinar Dendang nazaman di hati nanar Di baris mantra hizib6 akbar
— 6
Hizib adalah sebuah kumpulan (wirid), yang amal-amalan di dalamnya berasal dari Al-qur ’an dan hadist Nabi, yang digunakan untuk mendapatkan permohonan atau pertolongan kepada Allah dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup; baik lahir maupun batin, baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Adapun kaitan hizib dalam teks puisi ini, adalah ilmu hizib yang digemari Gus Mus semasa mudanya. Berbagai sumber yang penulis temui mengatakan bahwa pada masa mudanya, Gus Mus, bisa menghiang, dan konon, rambut Gus Mus tak bia dipotong. Ada kisah menarik perihal Gus Mus dengan Kiai Cholil Bisri, kakak kandung Gus Mus, ketika masih menjadi santri di pondok pesantren Lirboyo. Pada masanya, Lirboyo dikenal gudangnya ilmu hikmah dan kanuragan. Suatu hari, ketika liburan pondok, Gus Mus dan Kiai Cholil Bisri, yang memang dikenal gemar mempelajari ilmu hizib ingin mempraktekkannya. Bersepakatlah Gus Mus dan Kiai Cholil. Keduanya pulang dengan pakaian tak seperti kebanyakan santri yang memakai sarung/celana, baju putih dan memakai kopiyah. Tapi Gus Mus dan Kiai Cholil yang memang berniat ingin mempraktekkan ilmu hizibnya berpakaian layaknya seorang pendekar, celana komprang setengah lutut, baju hitam, dan udeng. Sepanjang jalan perjalanan pulang, keduanya terlihat sangat meyakinkan bahkan ketika tiba di terminal penampilan keduanya menarik perhatian penumpang lain. Namun setiba di rumah, betapa pun nekad keudanya yang ingin mencoba ilmu hizib tak berkutit di hadapan Mbah Cholil Mustofa, yang tak lain adalah abah mereka. Mbah Cholil, yang kecewa denga kelakuan kedua adiknya segera menyuruh santri segera membakar pakaian keduanya, dan menggunting rambut Gus Mus dan Kiai Cholil Bisri, tanpa mengalami kesulita n. Tak dinyana setiba di rumah, kedua “pendekar” itu mendadak keder ketika berhadapan dengan abahnya, Kiai Bisri, yang marah dan membakar rambut dan pakaian Gus Mus yang semula sehelai pun tak mempan dipotong. Bisa dibayangkan, rambutnya saja tak bisa dipotong apalagi tubuhnya? 8
Mahwi Air Tawar
Bayangan diri sesakti Khidir Gus Mus pagari diri Kiai Tembusi lapis semesta lahir Dengan bayangan sang musafir Kiai Ahmad Mustofa Bisri Tepikan prahu lesatkan diri Ke bukit Lirboyo, Gus Mus, mendaki Mencari berkah, Mbah Marzuqi Sembilan tangga jenjang kiai Sembilan suluk khasiat wali Ke Kediri, Gus Mus, trus mencari Sosok petapa raga dan hati Bersama Ibriz renungan Abah Gus Mus suluhi aksara rahasia Renungi jejak Bisri Mustofa Gamang hati kitari karomah Senyum kiai terus mengembang Lembaran Ibriz jadi selendang Di muka guru takzim diretas Di jantung malam kitab dideras
9
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Aduhai, Ahmad Mustofa Bisri Pohon usia tak henti panjati Berkalung tasbih mantra gaib Samarkan wujud dengan hizib Bertahun sudah, Gus Mus, terkepung Di dalam hutan aksara tebu Mencecap manis ilmu sang guru Dibatsul masail 7 ilmu dijunjung Lirboyo tiada henti bertadarus Deras rimbun aksara kehidupan Menguak rimba titi keheningan Membelai hangat Kiai Mahrus Gus Mus ikuti saudara sekandung Menujum awan tepis mendung Di jalan, Gus Mus, siap tarung Berterompa kayu melepas sarung Tiadalah orang bersalam muka Diri terbang sekelebat angin Gus Mus lah sakti tiada dua Di hadapan Abah tunduk dingin
— 7
Batsul Masa’il adalah sebuah forum yang membahas suatu permasalahan yang berkaitan dengan persoalan hukum (fiqih) dan masalah-amasalah keagamaan (al-masa’ilud-dinyah) 10
Mahwi Air Tawar
Aduhai Ahmad Mustofa Bisri Perahu layari lautan puisi Geladak sajadah dayung bahasa Seberangi Sembilan laut ulama Wahai Ahmad Mustofa Bisri Terimalah salam takzim santri Lewat nadhoman dan puisi Nyanyian santri nahwu emriti Luluh runtuh pesantrenku sudah Ditinggal berlari pendaki alim Acuhi kaum takzim dan talim Kopiyah, sarung, tasbih, dan Madrasah Santri gamang di jalan ulama Madah syair terdengar samar Hinggap dan senyap dalam belukar Bila kiranya balagha menggema Ini syair salam santri Sepoi sepi penyair Kiai Aduhai, Ahmad Mustofa Bisri Mari melagu kerinduan hati
11
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Dari Madura aku berlari Iringi Ahmad Mostofa Bisri Meniti sunyi jembatan puisi Di jantung hari majelis santri Lara hitam langit kelam Payungi jalan puisi gamang Takjub hati fajar membayang Dalam lipatan sarung bersulam Di langit Rembangmu, Gus Mus, keheningan batin nanar terbakar, mawar cintamu sunyi tak mekar. Lagu-sendu-lagu menggema dari pangkalan dan pematang, dari rumah-rumah tak berpintu-tak berpalang. Ya, iya, siapa tahan orangnya dalam dekapan ombak, tidur berbanjar beralas geladak. Ya, iya, siapa tahan mengukir kobaran rindu di jenjang anjungan, melipat rengsa layar badai dalam kesunyian. Wahai, Kiai Bisri Mustofa Wahai, Kiai Cholil Bisri Kiai Bisri, Kiai Mustofa Kiaiku, Ahmad Mustofa Bisri
12
Mahwi Air Tawar
Rembang dibayang ombak gulita Merana hati tergerus lara Pelaut petani didera sengsara Di punggung musim luka menganga Di dalam lumbung, di pelabuhan kelam Kotamu, kiai, berselempang langgam Payang biru pinjaman rentenir Padi biru mendesir getir Pelaut berbanjar beralas kayu Petani berselimut panen layu Deru hasrat menggeliat linu Di atas perahu dan sawah bisu Lautmu, Kiai, berombak pasang Pelaut berbantal arus gelombang Pundakmu, Kiai, pikuli beban Dari lereng bukit hingga lautan Ke mana sakal hembuskan harap Ke gumuk ataukah ke bilik langgar Teratak lumbung anyaman lontar Terbangkan hasil panen senyap
13
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Alangkah panjang ini penantian Alangkah dangkal muara perjumpaan Alangkah sayup senandung syairan Sesayup jejakmu, jauhi kegaduhan Aduhai Ahmad Mustofa Bisri Ke Multazam, ratapmu bersurai Kecupan hangat rindu bersemi Kekasih hati kekasih sunyi Kaukah tembang gandrung kalbu Ketukan senyap nada sendu Kaukah kasih berkerudung biru Ke muka pintu seangin lalu Bilalah benar kabarkan padaku Biar kutulis kisah untukmu Bilalah tidak isyaratkan padaku Biar kutumpahkan puisi rinduku Lirik mahabbah sendu beralun Lili kelopak di pagi berembun Lirik cinta tak kuasa kususun Lirik dan nada terasa ngungun
14
Mahwi Air Tawar
Ke dalam diri nada dan lagu Khusyuk menderas putih cintamu Kepada ibu batinku berseru Kenapa cintaku b’rujung pilu Akulah tembang laras ibunda Api cintaku menyala-nyala Asapi pandangan penuh ra’hsia Antarkan kasih pinangan Kanda Tapi siapa tasbihkan samsara Tak ‘kan perih beserpih di dada Terasa lara mendera jiwa Tinggallah aku semakin fana Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu8.
— 8
dikutib dari puisi serat Chentini 15
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Kita ‘kan terus nadhomkan cinta Kinanti usia nyala asmara Kemana mesti kedipkan mata Ketika cinta berujung duka Biarlah diri jauh mencari Berselempang sorban sulaman diri Betapa, Ahmad Mustofa Bisri Berat meniti kesunyian hati Ya, Ahmad Mustofa Bisri Ke Multazam, ratapmu suci Basah kecupan rindu bersemi Cintamu derai kasihmu sunyi Surat cintamu putih berserat Susuri diri di malam k’ramat Serak dan parau tiadalah nikmat Sendulah kalbu ditinggal hasrat Maka biar lah kekasih hati Meskipun lebam luka di diri M’rana sendiri hari jalani Menembus lapis musim berganti
16
Mahwi Air Tawar
Ibu, kau tahu rahasia buyung Ilahi bersuar iringi jantung Isyaratkan bagi diri bingung Inikah kehendak Ilahi Agung Ibu Kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu sekian lama Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku melepas lelah dan nestapa gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam mata air yang tak brenti mengalir membasahi dahagaku telaga tempatku bermain berenang dan menyelam.9 Adikku gandrung dan terluka Akan bersua kekasih jiwa Arifi gerak g’lombang asmara Akankah cinta jadi angkara Wahai Ahmad Mustofa Bisri Ke Multazam, ratapmu suci Basah kecupan rindu bersemi Cintamu menderai kasihmu sunyi
— 9
Di kutib dari Puisi “Ibu” karya Ahamd Mustofa Bisri 17
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Asytaghfirullah Robbal baroyah asytaghfirullah minal khotoyah Robbi zidni ‘elman nafi’a Wawafiqni ‘amalan maqbula Ya, Allah huya Muhammad Ya, Abu Bakrinissidiq Ya, ‘Umar Utzman wa’ali Sitti Fatimah binti Rosuli Dengan berbunga kubawa raga Dekaplah wahai belahan jiwa Denyut cintamu mrasuk sukma Dikaulah mawar mekar di dada Langitku biru lautku biru Luhur kasihmu, wahai istriku Luruhkan cokelat layu kalbuku Lekaslah sayang, peluklah aku Perahu cintaku tak retak lagi Pusaran gelombang tiada arti Pupus asmara kenangan menepi Perih di nadi sudah terobati Jogjakarta-Ciputat, 2014-2015
18
Mahwi Air Tawar
D. Zawawi Imron
Dari Sumba Landu Paranggi Sumedang Priyangan puisi Saini Di Rembang Gus Mus, Dini menari Di atas anjungan perahu Zawawi Olle ollang, olle ollang Geladak perahu daun ilalang Layar sulaman benang sajak Perahu, Zawawi, terus bergerak Ke bentangan sagara10 ibu diburu Bersampan sajadah layar rindu Kitari tanah leluhur se pulau Singgahi Bugis dan Masalembu
— 10 Bahasa Madura: Laut
19
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Bayang perahu bersandar di bandar Ambil muatan lembaran riwayat Amboi, alangkah manis airmata selat Iringi runcing karat jangkar Pelabuhan kecil, di laut manakah Kularungkan saji semerbak sajak Bapakku sayang berkalung ombak Madura-Bugis berlayar muruah Sungai kecil, sungai kecil! Basahi dahaga rongga dan nadi Dengan mataair doa hati Sungai keci, sungai kecil! Mengalirlah terus ke rongga jantungku Dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang jelita kutemukan buat kasihku! 11 Olle ollang, olle ollang Olle ollang layar terkembang Zawawi layari keheningan puisi berbantal ombak berselimut badai
— 11
Sumber: D. Zawawi Imron, Madura Akulah Darahmu, Grasindo, Jakarta, 1998. 20
Mahwi Air Tawar
Ketika bulan tertusuk ilalang Zawawi mendaki bukit ingatan Menjilat manis empedu dan lahang Bekali diri dalam pelayaran Asin puisi garam mayang Bulan Madura suar benderang Selaputi denyut nadi sunyi Di malam hening Zawawi bernyanyi Kasidah itu, aturannya tak boleh didengar telinga Agar daun-daun rahasia semakin memancarkan pesona12 Maka, di tapal batas impian Kusenandungkan riwayatmu, Zawawi Agar daun dan ilalang tak merasa sendiri Agar angin siwalan sampai ke pertapaan Kutulis dan kususuri lorong hidupmu Meski keringat berdenting di saku Agar jejakmu di semak dan batu Terdengar lagi di jalan berliku
— 12
Sumber: D. Zawawi Imron, Kujilat Manis Empedu, Gama Media, Yogyakarta, 2013. 21
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Biarlah bening riwayat di hati Denyutan rahasia urat nadi Di hati, diri, dan hari-hari Puisi hidupmu tak henti dicari Olle Ollang, Zawawi mengalir Di atas kanvas guratan takdir Anugerah terpahat hati mendesir Anak ibu pelukis penyair Kuamini jalan puisi ibumu Di jalan sunyi ‘kan terdedah Lukisan puisi suara kalbu Hiasi dinding seisi rumah Kepada airmata kandungan dendam Goresan merah penyair demam Zawawi melagu tembang malam Celaka ‘kan berujung celah Bila dada tak kunjung dibelah Oleh celurit berlumur doa Diri setia dengan derita Tapi, seperti kata saloka, Zawawi
22
Mahwi Air Tawar
Jha’ nobi’an kole’na oreng Mon kole’na dibi’ etobi’ acerreng!13 Bango’ daddiya cetakka bilis Etembhang daddi bunto’na kandhilis14 Kuamini kesunyian puisimu, Zawawi Dalam diri, puisi tak enggan memberi! Di bawah langit di punggung bukit Tubuhmu, Madura, bertingkah genit Kemarau dibelai hujan ditimang Panggung musim berhias ilalang Setegak Alief, Zawawi, sarungkan pedang Peluh dikayuh tinggalkan tang-batang Ke Taman Sari15 pagi mengaum Di pasar Dungkek senyum terkulum
— 13
Jangan mencubit (menyakiti) kulit orangk kalau kamu sendiri mengerang sakit saat dicubit. Sumber: Pribahasa Madura. 14 Lebih baik menjadi kepala semut dari pada jadi ekol ular kobra. Sumber: Pribahasa Madura 15 Taman Sari. Nama desa di kecamatan Dungkek. Ketika amsih muda, setiap pagi Zawawi sering melewati desa Taman Sare menuju pasar Dungkek, membantu mertuanya berjualan. 23
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Kain panjang mutif pesisir Beli dan pakailah saat berdzikir Allah memang tak pandang dahir Senyum di hati terpancar dibibir Matahari menepi di tepi lapak Di lorong pasar, Zawawi, gelar sajak Ini batik bersulam jalak Kubawa dari kota Salak Kalian tahu kota Salak? Kota kelahiran sang ulama’ Syaikhona Kholil, jangan dilupa Utusan Allah, ulama Madura Merah saga meriap di cakrawala Zawawi bergegas menerobos petang Ke sumber mata air puisi dijelang Sebelum peluh kering di dada Di bawah bintang sebelum hujan Zawawi mandi sambil menari Dibawah bulan lagukan harapan Zawawi mandi sambil bernyanyi
24
Mahwi Air Tawar
Di pematang bulan tertusuk ilalang Padi menguning akan dijelang Bukit doa tertunduk hening Menyimak detak nadi bening Di lereng bukit puisi Zawawi berkelok Lewat merah tanah derita Garam meriap di pelana sonok16 Menari di tambak garam gulana Madura Zawawi, Zawawi Madura Dengan puisi celurit diasah Lontar dihelai serat terdedah Nenek moyang Zawawi aimata Engkaukah airmata ibu sejarah Mengalir dari repihan silsilah Tubuh laut tak berbuih Tempat berlayar para masyaih17 Zawawi menyesap manis empedu Hangat dirasa seperti madu Di depan tungku doa ibu Bara meriap dari lubuk kalbu
— 16
Sonok: mengacul pada Sapi Sonok. Sapi Sonok adalah sapi betina yang dihias dan diperlakukan seperti seorang gadis dalam kontes kecantikan. 17 Masyaih, sebutan kepada ulama atau Kiai 25
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Di lenganmu, Zawawi, celurit tak berulu Menebas gumpalan keringat kuning emas Bukan karena darah sungguh Madura ranggas Tapi luruh batin di jembatan Suramadu Acuhi tangis saudara serabu Olle ollang, olle ollang Saronen melengking Madura gersang Musim berdenting di lumbung malam Zawawi meniti tanah garam Di atas jembatan selendang berkibar Zawawi bernyanyi dalam siar Keteplak-ketepluk kendang di mulut18 Nyaring mendengking si gadis imut Gitar dipetik berlenting-lenting Jatuh berdebam si cengkir gading Gadis desa miskin berkulit langsat Diantar germo ke hotel bertingkat19
— 18
Sekitar tahun 2000-an, penyair D. Zawawi Imron membuat kelompok musik mulut. Adapun munculnya gagasan musik mulut ini, Zawawi berangkat dari akar kesenian dan sastra lisan Madura, di mana sastra lisan di Madura jauh lebih berkembang sastra turlis, terutama di kalangan masyarakat petani dan nelayan. 19 Sumber: Kujilat Manis Empedu. Keroncong Air Mata, D. Zawawi Imron. Gama Media, Yogyakarta, 2003. 26
Mahwi Air Tawar
Masyaallah, Puisi Zawawi sunyi menderai Jauh ke batas negeri pertiwi Bersama kasih istri tercinta Berjalan beriring kitari peta Meskilah terkadang Zawawi lupa20 Istri ditinggal di barisan aksara Bila cinta bersemi di jiwa Serasa airmata sedap dirasa Zawawi santri, Zawawi penyair Bila gelisah puisi tak singgah Diselaminya rukun wajib dan sunnah Abaikan godaan Tardji21 yang ngebir
— 20
Ada kisah menarik berkaitan dengan istri penyair, D. Zawawi Imron. Sekali waktu ia diundang mengisi sebuah acara sastra di Surabaya. Dari Madura Zawawi berangkat bersama istrinya, tiba di terminal Bungurasi Surabaya, Zawawi langsung turun dan menumui panitia yang menjemput. Karena takut telat Zawawi langsung mengajak panitia ke tempat acara. Zawawi lupa bahwa dari Madura ia berangkat bersama istrinya. Sementara sang istri yang tertinggal di terminal itu hanya senyam-senyum tanpa curiga dan bahkan kesal terhadap Zawawi yang telah meninggalkannya seorang diri di terminal. Dalam hati sang istri hanya berdoa: “semoga Pak Haji (panggilan untuk Pak Zawawi) tak lupa membawa amplop dari panitia.” 21 Tardji yang dimaksud dalam puisi ini adalah Sutardji Calzoum Bachri, penyair besar Indonesia, yang juga sahabat karib D. Zawawi Imron. Dalam setiap kesempatan keduanya selalu bercanda, saling meledak, dan Sutardi sendiri tak pernah bosa menggodanya. 27
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Zawawi celurit olle ollang Ke Ronggojampi22 kenangan dijelang Olle ollang Zawawi Badik Ke Bugis, silsilah luhur diselidik Olle ollang, olle ollang Saronen melengking Madura gersang Musim berdenting di lumbung malam Zawawi meniti tanah garam Zawawi mandi sambil menari Di bawah bintang sebelum hujan Zawawi mandi sambil bernyanyi Dibawah bulan lagukan harapan Ciputat, 2015
— 22
Ronggojampi adalah nama desa di di Kabupaten Banyuwangi. Di desa Ronggojampi ini sang kakek dari D. Zawawi Imron memiliki rumah. Sampai sekarang, kalau ke betulan ke Banyuwangi, Zawawi selalu tinggal di rumah kakeknya di Ronggojampi. Dan, di rumah Ronggojampi ini pula puisi berjudul Ibu, karya D. Zawawi Imron, dicipta. 28
Mahwi Air Tawar
Nh. Dini
Selamat pagi pendengar radio Semesta Raya Telah tiba riap cahaya matahari Seusai mecium kelopak bunga Kini singgah di jendela Membelai kalender di balik lemari Tempat menyimpan lipatan kenangan hati Disisirnya cermin retak tak berbingkai Seusai mencecap dinding kusam Ia beranjak mengiringi jejak pagi Melompati rentangan waktu kelam
29
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Alangkah hangat pelukan udara Ranting luruh dari pohon duka Yang merambat di dahan usia Terusir sudah dari dada Ya, pendengar yang berbahagia Di sini cuaca sedang cerah Tapi bagi anda yang ingin berjalan ke batas harapan Jangan lupa membawa peta Antena dan pemancar Biar terpancang sepanjang pandang23
— 23
Dalam sebuah acara pembacaan puisi ini berlangsung, dan berjudul Nh. Dini, seorang penonton yang duduk di samping saya dengan heran bertanya, “Mas, ini pembacaan puisi apa siaran radio sih?” “Kenapa, Mas?” tanya saya sambil memerhatikan postur, raut wajahnya yang kusut, dan rambutnya yang gondrong. “Kalau puisinya seperti orang siaran di radio, ya, mending saya di rumah, Mas, mendengarkan radio, Mas.” Gerutunya. “Mas penyair, ya?” tanya saya. “Kok tahu kalau saya penyair?” katanya dengan wajah sumringah. “Kelihatan dari penampilannya,” jawab saya sekenanya. “Kenapa penampilan saya, Mas?” tanyanya sambil dengan riang. “Kusut dan bau.” Sontak ia terperanjat, senyuman dan keriangan yang baru saja ia sajikan mendadak hilang. Tak lama kemudian ia beranjak. “Dasar tak tahu kehidupan penyair!” gerutunya sambil berlalu pergi. Sambil menahan rasa geli pandangan saya kembali terarah ke panggung di mana pembacaan puisi tentang Nh. Dini masih berlangsung. 30
Mahwi Air Tawar
Demikian sedikit informasi saya layangkan Izinkan saya merebahkan kesunyianku di Sendowo Sebelum rasa sakit dilulur koyo Marilah sejenak kita berbagi senyuman Dalam bentangan perjalanan panjang Sri pemetik bunga Sekayu24 Lintasi ambang pekarangan petang Meniti jembatan impian sang ibu Sehabis hujan bayang menggenang Di balik pintu menuju senja Dipandanginya lukisan air mata Di ambang petang ayah dijelang
— 24
Sekayu adalah nama kampung tempat Nh. Dini lahir. Tentang Sekayu, Nh. Dini mengabadikannya dalam sebuah novel dengan judul yang sama, Sekayu.dalam novel ini, penulis seakan hendak membawa oembaca memasuki dunia dan mengenali kehidupan Nh. Dini semasa remaja. Nh. Dini sangat menicntai tanah kelahirannya, Sekayu sebagimana ia tulis dalam puisinya: Kepada ramuna guruku Kepada kampungku sekayu Dengan harapan dia tidak akan Berganti nama di masa mendatang 31
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Pelukan hangat bunda berkecai Ke tubir sunyi rumah abadi Dupa mewangi ranting luruh Lubuk kalbu bersuar suluh Tembusi kenasi, Sri rahayu Tinggalkan Sekayu, muasal rindu Ke Kincir Angin, Keberangkatan25 menepi Iringi perjumpaan dua hati Berselempang rajutan kembang melati Dalam senarai pupuh Kinanthi26 Lamun sira ameguru kaki Amiliha manungsa Ingkang becik martabate Serta weruh ing ukum
— 25
Keberangkatan adalah judul novel Nh. Dini. Untuk kata/ metafor Kincir Angin mengarah pada bagian dari setting dalam novel ini, Belanda, yang dikenal sebagai Negara Kincir Angin-nya. 26 Pupuh dalam kamus KBBI lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata dalam satu bait, jumlah larik, dan permainan lagu )bentuk lagu tradisional Jawa dan Sunda). 32
Mahwi Air Tawar
Kang Ibadah lan kang wirangi Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul Tan gumantung liyan Iku wajib guronana kaki. Sertane kawruhanana27 Akulah Sri dalam cerita Berjalin rupa antara Jawa dan Eropa Susuri sebuah lorong di kotaku Seberangi sungai Siene28 rantau Kucari peta pelaut Jules Verne29 Dua puluh ribu mill di kedalaman laut Barangkali di sana bersua Raja Ali Haji 30 Pelantun gurindam baris dan makna
— 27
Dua bait macapat Jawa, Dangdanggula, yang artinya: Jika engkau meminta nasihat dariku// Pilihlah manusia sejati// Yang baik martabatnya// Serta mengenal hukum// Yang taat beribadah dan menjalankan ajaran agama// Apalagi mendapat orang suka prihatin yang Sudah mumpuni// Yang tak tergantung orang lain//. Kepadanyalah engkau wajib berguru// Serta belajar kepadanya. 28 Nama sungai di Prancis. Setting sungai Siene dalam cerpen Nh. Dini, terdapat dalam judul cerpen dengan judul Tuileries. Cerpen tersebut terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Pencakar Langit. (Bandung: Pustaka Jaya, cet I, 2014) 29 Jules Verne adalah novelis Prancis, salah satu bukunya yang fenomenal adalah Vingt Mille Lieus Sous Les Mers, novel tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nh. Dini. (Yogyakarta: Enigma, 2004) 30 Sastrawan dan tokoh besar Indonesia yang dikenal dengan sajaknya Gurindam Duabelas. 33
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Pada sebuah kapal kulempar jaring Giwang kujadikan kail dan pancing Amir Hamzah31 hanyut aku Dalam sajakmu tak kujumpa kalbu Suatu senja di pelabuhan kecil Kutandai namanya bukan Chairil 32 Penyair kusam bertubuh dekil Menanti Rimbaud 33 di taman eiffel Aku Dini, Sri34 penari pipih Menyanyi sunyi ditinggal kekasih Di pucuk bunga taman Tuileris Tangisku pilu di jantung Paris
— 31
Nh. Dini menulis tentang Amir Hamah dalam sebuah novel dengan judul: Amir Hamzah Pangeran dari Seberang. (Jakarta: PT. Gaya Favorit Press, 1981) 32 Chairil Anwar, penyair besar Indonesia. 33 Arthur Raimbaud adalah seorang penyair Prancis. Penyair yang lahir dari keluarga kelas menengah ini bernama lengkap Jean Nicolas Arthur Rimbaud. Rimbaud lahir pada 20 Oktober 1854. Karya-karya Arthur Rimbaud antara lain: Poesies, Le bateau, Une Saison enfer, dan Illuminations. 34 Sri, nama tokoh dalam puisi esai di sini tak lain adalah Dini itu sendiri. Sri, di samping mengacu kepada salah satu tokoh utama dalam novel Pada Sebuah Kapal . 34
Mahwi Air Tawar
Siapakah berpaling di sisa hari Menjanjikan petang dan Malamku sangatlah sendiri Mampus hati dikoyak sepi35 Adakah pendengar merasai udara Mengembun dari lumbung Dini Mengabur dari beranda pagi Pendengar radio Semesta Raya Tapi baiklah, pendengar setia Harap tak usa menggeser gelombang Sebelum tembang Ngesti Pandawa36 Dari jantung kekasih tersayang
— 35
Pada bait ini saya sengaja mengebolarasikan antara puisi dalam pembuka novel Amir Hamzah Pengarang dari Seberang, dan salah satu baris puisi Chairil Anwar. 36 Ngasti Pendawa adalah nama Komunitas Kesenian di Kampung Nh. Dini. Dalam novel terbarunya, Nh. Dini menyebut nama komunitas ini ketika ia tengah menonton pertunjuka Kabuki, Jepang. Pikiranku melayang kepada Ngesti Pandawa, kelompok pertunjukan wayang wong di kota kelahiranku. Masing-masing memiliki kekayaan spiritual yang sepadan, namun kemewahan dan kemodernan sarana mereka seperti bumi dan langit. (Hal: 177. Jakarta: Gramedia, 2015) 35
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Sebab alamat tak pernah tiba Diharap penerima bersabar sejenak Dan disarankan menjaga jarak Dari pertunjukan tarian Subadra Sri Sindoro37, Sri gadis Jawi Digaris hening pasrahkan diri Sri tembangkan serat Centhini Di tubir Merapi cinta berapi Pendengar radio Semesta Raya Di rimba birahi mana pun anda berada Dimohon tidak memetik kenanga Dari pohon rambat hingga ke dada Bila mawar tak lagi mekar Dini ‘kan enggan berkabar Kantil dan melati tumbuh bersemi Di lubuk Sri sang penari Satu tembang dendang menggema Dini harap pendengar bahagia Bersanding bersama batin dahaga Sampai menepi kapal di dermaga
— 37
Nama gunung di Jawa Tengah.
36
Mahwi Air Tawar
Pada Sebuah Kapal Sri larungkan diri ke dalam laut kembara Geladak berderak gelombang menggemuruh Tepian dan pelabuhan semakin jauh Kenangan, kenangan menjelma sakal Patahkan dayung hingga terpental Ke mana tepi mesti dicari Ke hati jua diri selidiki Gema gulana tiada arti Dalam gelombang ajal menanti Dalam arus Sri menantang Ombak pasang siap diterjang Sri gamang menimang gelombang Terkenang Bunda tempat berpulang Dari Ngalian Ke Sendowo Bunda membayang sepanjang jalan Di tapal batas garis kesunyian Bundalah, Dini, tempat tumpuan Tangerang, 2015
37
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
38
Mahwi Air Tawar
Saini K.M Berbekal peta lusuh di dalam saku Kususuri kota, desa, gunung-gunungmu Kusingkap halaman-halaman kisah yang pilu yang gagah yang resah Di Gending38, di senandung, di lagu Saini, biru riwayatmu terus kuburu
— 38
Gending adalah nama kampung — tempat Saini dilahirkan—. Saini K.M. lahir dan tumbuh di tengah keluarga dan lingkungan yang sudah tak asing lagi dengan dunia kesenian. Kakek Saini sendiri pemain gambang, dan sementara ayahnya adalah pemain kecapi dan suling dalam sebuah kelompok kecapisuling. Semasa kecil Saini kerap menyaksikan bahkan terlibat sebagai penabuh gamelan dalam setiap pementasan baik pementasan yang digelar di halaman rumah kakeknya maupun pementasan-pementasan yang digelar di luar Kampung dan Desa. Keterlibatan Saini dalam setiap pementasan musik membuatnya lebih dikenal sebagai musikus. Namun seiring perjalanan waktu, Saini yang lahir di Kampung Gending 19 Juni 1938 ini, karena alasan kesehatan yang tak memungkinkan baginya untuk selalu keluar malam bersama rombongan kelompok musik akhirnya Saini mengurangi kegiatannya dalam bermusik. Saini merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara ini sudah sejak kecil, berada dalam lingkungan pencinta seni dan masyarakat tempat di mana keluarganya tinggalsebagai perajin membuat barangbarang kerajinan yang terbuat dari tembaga, besi, kuningan, emas, dan perak. Sumber: diolah dari berbagai sumber. 39
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Dari gunungan suluk madah puisimu Kumasuki cermin-cermin bagai pintu Senandung nyanyian pilu dan parau Mengalunkan tanah kelahiran dan rantau: Di pangkuan musim, senja menepi Meremangi kelam mimpi petani Embun yang tak pernah ingkari fajar Berlinangan di putik mawar dan belukar Di perapatan negeri kudengar lagi dan lagi Nyanyian Tanah Air, alun seruling dan kecapi Desauan pilu merah Malela39 gunung, dan pasir Berkobar mesra, girang dan sunyi penyair Dalam letupan kelam Tampomas40 Kalam menjurai ke pematang nahas berkalang sejarah Sumedang Larang Lembu bunting di tengah padang.
— 39
Malela adalah suatu peristiwa aneh yang terjadi antara abad 14-16 di Sumedanglarang, yakni berubahnya warna langit menjadi merah. Konon, hal ini terjadi secara tiba-tiba. Peristiwa tersebut terjadi ketika peralihan kerajaan yang semula dipimpin oleh Prabu Aji Putih dan kemudian kerajaan diwariskan kepada Prabu Aji Malela. 40 Tampomas adalah sebuah gunung berapi yang terletak di sebelah utara Sumedang. Ketinggian gunung Tampomas mencapai 1684 meter memiliki sumber air panas yang keluar dari sekitar kaki gunung. 40
Mahwi Air Tawar
Insun medang-insun madangan41 Adakah puisi jadi penerang Berkawan desir kenangan Kiara42 kalbu penyair berselendang bara. Sumedanglarang, Sumedanglarang Gending Kiara renggong43 goyang Di gaduh renungan di hening perang Lengang Gending Saini tembangkan Drama dan puisi asyik begadang. Busur suluri silsilah diri Cecapan darah nadi sangsai Saini, Saini, sungai puisi
— 41
Insun medanginsun madangan: saya lahir, saya jadi penerang. Kiara nama sebuah desa yang konon merupakan cikal bakal berdirinya Sumedanglarang 43 Kuda Renggong adalah kuda penarik kendaraan transportasi atau kendaraan perang. Ia mempunyai karakter yang berbeda dengan binatang ternak lainnya, maka oleh para Dalem Sumedang disimbolkan sebagai lambang jiwa ksatria yang selalu taat pada majikan. Perkembangan ternak kuda tumbuh subur pada zaman pemerintahan Bupati Surya Atmadja yang bergelar Pangeran Mekah. Beliau mendatangkan bibit unggul dari Sumbawa. Sejak itulah muncul berbagai Kalangenan para Dalem yang menggunakan kuda, seperti pacuan kuda atau balap kuda. Lapangan pacuan kemudian ditetapkan di daerah Angkrek, sekarang dikenal sebagai kampung pacuan. Sumber: dokumentasi budaya/kesenian sumedang.doc 42
41
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Di rumah cermin engkau berdiri Saini menderas jalan simpang Tinggalan silam, lembah nan ngarai Di tapal waktu, rindu menggenang Di negeri Saini tak terpermanai. Sunyi dan nyanyi angin Priangan Goyang renggong kidungan Sumedang Ke Yunani Saini gemar bertandang Menggali filsafat sepanjang pematang Hilang bentuk jenjang ingatan Negeri setia negeri membelot Tapi siapa bilang Saini Godot? Di sini lahir bangsa musafir Berkawan lembah gunungmu di dada Jalan kenangan tak henti berdesir Puisimu kembarai dusun dan kota. Saini, ke manakah Priangan menderai Jika bukan di kalbumu teguh dan permai Alangkah lengang kelak Pasundan Ditinggal puisimu termangu sendirian.
42
Mahwi Air Tawar
Sejauh-jauh Saini mengembara Ada Sebuah Negeri terus memanggil Bendera darah dan Airmata penyair Sepuluh orang Utusan44 hadir bergilir. : Menghapus kota dari peta hidupmu. Saatnya tiba melupakan batas-batas dan jadi warga dunia. Tak ada kita, katamu, bumilah kini tempat tinggalku45 . Adakah karena Serikat Kaca Mata Hitam Negeri indah berubah jadi Madesu11 Puragabaya kian lama kian temaram Silam pula Suntenjaya dan Sang Prabu Di kerajaan burung dan angin lalu Drama dan sajak-sajakmu terus berlagu.
— 44
Judul kumpulan puisi Saini KM. berisi kesaksian mulai tukang becak sampai Suryomentaram. 45 Dikutip dari puisi “Bandung”, Saini KM. Ibid. Ia memilih kata pada saat perangkat lain sudah hilang daya. Seperti Arjuna Pada saat penentuan mengambil pasopati. Bermula adalah kehidupan: Kebisingan/ Gebalau guruh yang membisukan sukma/Penyair, kau bina hidup dengan sisa hening,/hikmah bisik: Terakhir adalah kata. 43
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Kau meniup suling tapi kau sendirilah sulingnya : Itulah nasibmu. Kepenyairan adalah ziarah Tanpa peta, pelayaran tanpa bintang. Padahal dunia menawarkan begitu banyak jalan46 Dengan sukma segala sukma Jendela aksara dan tanah air derita Kau pancangkan ujung pena Ke lubuk rahim semesta raya Ke laga puisi sastrawan muda! Kembali sepuluh orang utusan Dengan tegas engkau kirimkan Semacam catatan semacam gugatan Dari jelata korban ketidakadilan Yang dipunguti Saini sepanjang jalan Semoga segala cerita gundah Bisa menjelma menjadi Mawar Merah. Penyair adalah dia yang terpaksa memilih kata pada saat perangkat lain sudah hilang daya. Seperti Arjuna Pada saat penentuan mengambil pasopati.
— 46
Madesu adalah drama Saini KM. Judul ini berupa singkatan dari Masa Depan Suram. Sedang Puragabaya adalah kisah epos silatnya yang cukup panjang. Semua kisah jagoan olah kanuragan ini dimuat sebagai cerita bersambung di Pikiran Rakyat tahun 70-an, kini diterbitkan dalam 3 buku tebal oleh Bentang Budaya. Berikutnya berturut-turut adalah karya drama Saini KM, yakni Pangeran Sunten Jaya, Sang Prabu dan sebuah drama anakanak: Kerajaan Burung.
44
Mahwi Air Tawar
Bermula adalah kehidupan: Kebisingan Gebalau guruh yang membisukan sukma Penyair, kau bina hidup dengan sisa hening, hikmah bisik: Terakhir adalah kata. Saini, Saini, kemana lagi diri mencarimu di Pertemuan Kecil Aku ke kanan aku ke kiri Bulan memanggilmu sambil menggigil. Akhirnya samar-samar kau kutemukan Di lumpur sawah sajak Cipasung47 di baris-baris Lumbung Perjumpaan48 Serasa namamu terus bergaung.
— 47
Cipasung” adalah karya Acep Zamzam Noor. Penyair ini intens bersentuhan dengan Saini KM dan sajak-sajak awalnya banyak terbit di rubrik “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat yang diasuh Saini K.M. Boleh dibilang ia adalah murid Saini KM yang berhasil. Acep Zamzam Noor telah menerbitkan banyak buku puisi, di antaranya Di Atas Umbria, Menjadi Penyair Lagi, Bagian dari Kegembiraan, dan Coretan Pada Dinding. Ia pernah mendapat Penghargaan Khatulistiwa Award dan Anugerah Hari Puisi Indonesia. 48 Lumbung Perjumpaan adalah buku kumpulan puisi Agus R. Sarjono, juga murid Saini KM yang berhasil. Ia mendapatkan Penghargaan Sastra Mastera dari Malaysia dan Sunthon Phu Award dari Thailand. Sajak-sajak awalnya juga muncul di rubrik “Pertemuan Kecil” asuhan Saini KM. Kedekatannya dengan Saini KM tak dapat diragukan lagi karena kepadanya lah Saini KM mempercayakan bahasanbahasannya dalam rubrik “Pertemuan Kecil” yang diasuhnya belasan tahun untuk dikumpulkan, disunting, dan dipengantari. Hasilnya adalah Saini K.M. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit ITB. Ia juga yang menyunting dan memberi pengantar kumpulan puisi Saini KM. Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo. Mereka yang kepenyairannya juga mendapat sentuhan tangan Saini KM antara lain: Juniarso Ridwan, Beni Setia, Soni Farid Maulana, Ahda Imran, dll. 45
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Di bawah bintang di bawah rembulan Ide dan nyanyi, hati dan puisi Asyik begadang berjalan-jalan Mengusir ungkapan-ungkapan basi. Ada Penunggang Kuda Malam49 Saini dipijak Malna dijunjung Puisi lelaki menjelma perawan Di Pertemuan Kecil dulu bermalam. Kutemukan juga Soni Farid Maulana50 Menulis puisi dengan menggila Seolah seluruh kalender di atas meja Hendak diisi dengan buku puisi semua
— 49
Penunggang Kuda Malam adalah buku kumpulan puisi Ahda Imran. Ahda Imran juga menerbitkan sajak awalnya di “Pertemuan Kecil” Saini KM. Meski begitu pada kumpulan puisinya bukan ketaatan rima dan metrum gaya Saini yang terasa melainkan justru gaya puisi-puisi Afrizal Malna yang cenderung tak berima maupun bermetrum, sebuah gaya dan sikap kepenyairan yang “kurang dikehendaki” Saini K.M. 50 Soni Farid Maulana, salah satu di antara penyair-penyair Jawa Barat, yang juga menjadi bagian dari “Pertemuan Kecil”. Soni telah menerbitkan banyak kumpulan puisi, bahkan nyaris setiap tahun. Penyair yang pada tahun 2014, meluncurkan puisi Sonian ini sekarang tinggal di Bandung, tempat ia lahir dan besar. 46
Mahwi Air Tawar
Kadang hati bertanya-tanya Sempatkan kiranya menikmatinya. Riuh soneta dangdut pantura Bergoyang panas di udara hampa Di taman puisi Saini yang jingga Terobati haus laparku akan makna. Ingatkah saat pulang dari Afrika Kau berjalan ke Arafah sendirian Rindu berjumpa dengan Tuhan Namun enggan di keramaian Enggan dalam barisan kerumunan. Dan kau mencatat diam-diam Tentang orang-orang yang tak sabar Hendak menjadi Imam Besar Dengan amarah dan agama berkobar Berkata bangga: “Tuhan, telah Kumusnahkan musuh-musuhMu!”51
— 51
Sajak “Imam Besar ” dalam Saini KM. 1996. Rumah Cermin (Editor dan Pengantar Agus R. Sarjono). Bandung: Forum Sastra Bandung. 47
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Tapi Saini, wahai Saini Kau tak bisa dibohongi Karena hati dan puisimu tahu Pada saat itu Tuhan tengah menangis Bersama janda dan piatu. Maka di saat-saat aku gamang bernegeri Kucari-cari jejakmu Saini Seperti mencari jejak mawar mera pada Nyanyian Tanah Air yang bergairah. Saini puisi Saini mimpi Dimanakah jejakmu kini Kucari-cari di lorong-lorong STSI52 Yang kini berubah menjadi ISBI53 Tapi gemamu tiada lagi Yang ada cuma bising mahasiswa dan seniman-seniman tak jadi Yang marah-marah dan patah hati Putus asa mencari-cari jatidiri lewat demonstasi penuh caci maki.
— 52 53
48
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Institut Seni Budaya Indonesia
Mahwi Air Tawar
Saini puisi Saini mimpi Dari Madura namamu kupanggili Seperti memanggil baris-baris puisi Nyanyian negeri dan cinta yang sunyi Agar kita dapat berbagi dalam bening kemurnian puisi. Sudah kucoba menjadikan ini hati Sebagai pelaminan sepi Dan gempita kehidupan Kucari gelora dan titik embun tempat fajar bercermin dan pagi membagi senyum54 Namun antara doa dan amin Embun puisiku belum kunjung tersusun. Maka Saini puisi Saini mimpi Diam-diam kujadikan diri ini puisi Karena bukankah telah menjadi hukum Bahwa semata hanya dengan puisi Sang puisi dapat semajelis dan sekaum. Tepi Kali Bedog, Januari, 2015
— 54
Sajak Saini KM “Kepada Penyair Muda” 49
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
50
Mahwi Air Tawar
Umbu Landu Paranggi
Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.55 Dialun kidung tembang laras Umbu berlagu di tapal batas Sumba, Sabana, berselempang rindu Bunda terkasih sandaran kalbu
— 55
Sumber: Centhini: Nafsu Terakhir, Elizabeth D. Inandiak, Galangpress, Yogyakarta, cetakan 1, 2006. 51
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Di tujuh pintu sebelas kidung Tujuh ketukan menderas petang Tujuh kelokan cinta dan gandrung Anak, cucu, dan pilu menggenang. Murung hati sang Bapak meradang Ditinggal berpacu anak tersayang Ke laga rimba, laga usia nan rawan Menyeberang gelombang laut selatan. Suar sajak bening dan pedih Nestapa sunyi terburai berserpih Di tubir malam di tubir pagi Umbu, Umbu Landu Paranggi Senyap harap terdedah perih Persada ditimang puisi gamang Sabana dipeluk mesra berkobar Umbu menderu batin terbakar: Tebarkan cahaya di menara waktu Tembusi untung malang nasibmu56 Olideli! Olideli! Kudaku Janggi Umbu Sumba Landu Paranggi Umbu menderu Umbu berlari Di baris hening nyanyi puisi.
— 56
Dikutip dari sajak Solitude. Sumber: Linus Suryadi AG, Tonggak, hal 239.
52
Mahwi Air Tawar
Kami anak-anak rantau Disekap nasib ketat dan parau Impian kami seremang angkring57 Peluh dan sunyi berteriak nyaring. Kami pelbagai tanaman riuh Sepanas secangkir minuman uwuh58 Semak ilalang dari imogiri Menjadi segelas wayang sang resi.
— 57
Angkringan ialah sejenis warung dengan memakai gerobak beratap terpal yang biasa dijumpai di pingggir-pinggir jalan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Makanan yang tersedia macammacam: nasi bungkus dengan harga sangat murah, gorengan, dan cemilancemilan kecil. Adapun kaitan dengan konteks puisi di atas, tahun (1966-1977), angkringan menjadi tempat paling “puitik” bagi teman-teman penyair yang tergabung dalam Persada Studi Klub. Angkringan menjadi pilihan paling diminati oleh Umbu dan kawan-kawan penyair, bukan karena harganya yang murahmeriah, namun angkringan juga menjadi jembatan, ruang untuk merekatkan keguyuban antara penyair tahun 1970-an. 58 Wedang uwuh adalah jenis minuman tradisional. Di Yogyakarta, wedang uwuh biasa diproduksi di daerah Imogiri. Wedang uwuh menjadi salah satu jenis yang unik, jika dilihat dari namanya. Wedang dalam bahasa Jawa artinya minuman, sementara uwuh sendiri artinya sampah. Namun jangan salah, Wedang uwuh ini bukan sembarang minuman sampah, tetapi sampah yang dimaksud di sini adalah dedaunan organik, yang tentunya mengandung banyak khasiat. 53
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Tuhan! Alangkah tak tertahankan Ini tetek bengek kehidupan Andai dari bentangan misteri Kami tak Kau beri sebaris puisi! Maka dengan puisi kami bertahan Jalani ganas hari laut selatan. Beliung bahasa menggali diri Dalam meditasi serupa paderi Babad dan abjad sepekat abu Di Jogja, di Jogja segala termaktub Menjelma saudara senadi serabu dalam pelukan Persada Studi Klub.59 Ragil Suwarna Pragolapati!60 Meniti nyeri jeruji puisi
— 59
Persada Studi Klub (PSK) adalah komunitas sastra nirlaba yang berdiri tahun 1970-an dan bermarkas di kantor Mingguan Pelopor Yogya. PSK dimotori oleh Umbu Landu Paranggi dkk. Pada masanya, PSK mempunyai andil besar dalam pertumbuhan sastra Indonesia baik untuk skala Yogyakarta maupun nasional. Sumber: Mahwi Air Tawar dkk. (ed.). 2010. Orang-Orang Malioboro, Pusat Bahasa, Jakarta. 60 Penyair Ragil Suwarna Pragolapati, lahir di Pati, lahir 22 Januari 1948. Sejak raib pada hari Senin 15 Oktober 1990 di Pantai Selatan Yogyakarta, dia terus hidup dalam kenangan para sahabat sesama penyair. Ketika Umbu meninggalkan Yogya dan bermukim di Bali, Ragil Suwarna Pragolapati tetap bersastra di Yogya. Penyair yang dikenal sebagai dokumentator sastra ini menemukan hubungan yang penting antara sastra, yoga, dan agama. Ia pun mendalami yoga. Pengalaman beryoga dan pengalaman memandang Indonesia dari perspektif yoga ia tuangkan dalam puisi-puisi dari tahun 1980 hingga 1989. Ia kemudian mendefinisikan puisi-puisinya itu sebagai puisi yogawi. Konsep puitika tentang ini, ia tulis untuk memperkukuh pilihannya. 54
Mahwi Air Tawar
Mendekap harap Pati menanti Tempe, bayem, nasi, dan ubi Bersama doa hangat tersaji Di meja makan kesunyian abadi Olideli! Olideli! Kudaku janggi menghela sangsai Malioboro Canting terbakar lilin puisi Sepanjang tugu ke Kadipiro. Kami orang-orang terusir dan demam Di sepertiga jalan, di sepertiga malam di sepertiga goresan kalam. Kami orang-orang terusir Di sepertiga malam, di sepertiga takdir Di sepertiga jalan, nasib mendesir Dengan segala daya dan lapar Kami buru nasib menggelepar Gairah tersirap di gang-gang senyap Di labirin harap kami kepakkan sayap Terbang! Terbang! hasrat meninggi Puisi tak pernah enggan mencari.
55
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Linus Suryadi AG61 di bumi Mataram Menjahit sobekan kelambu Pariyem62 Menggelinjang di ranjang Pakualaman Diremuk syahwat Sang Abdi Dalem. Gending bertalu, gendingku rahayu Linus menembang mainkan wayang Karawitan sumbang Pariyem Umbu Dicumbu puisi langit berbayang. Duka dan rasa Iman Budi Santosa Meluku sejarah tanah Jawa Kuda Sumba meringkik di dada Madahkan syair rama dan sinta. Penyair dan pengamen tembangkan bolero63 Tak putus-putus mewiridkan Malioboro
— 61
Linus Suryadi AG. Penyair kelahiran Yogyakarta, 3 Maret 1951. Karya-karya Linus di antaranya, Citra Kamandanu; Langit Kelabu; dan Pengakuan Pariyem. Ia bersama Umbu Landu Paranggi, Iman Budi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati, Ipan Sugiyono Sugito, dan Teguh Ranusastra Asmara, mendirikan komunitas sastra Persada Studi Klub. 62 Pariyem adalah tokoh dalam puisi liris Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem. 63 Bolero adalah jenis musik berasal dari Spanyol dan Kuba. Meski namanya sama, namun relatif berbeda. Bolero di sini mengacu pada musik Kuba, musik bertempo tenang dan lazimnya berisi lantunan cinta. 56
Mahwi Air Tawar
Mata kami Malioboro Hati kami Malioboro Buku kami Malioboro Puisi kami Malioboro64 Maka, susurilah tubuh kami Singkaplah tirai dan masuki kami Meski diri kami centang perenang dipenuhi jejak riang para pendatang. Di dinding-dinding kusam Ada secarik pesan rahasia Terus digumamkan diam-diam Nyaring bergema di puat dada:
— 64
Malioboro, adalah nama wilayah di Yogya. Ia jadi tempat wisata baik kuliner maupun perbelajaan batik di Yogyakarta. Di Maliobro inilah pada tahun 1970-an, Umbu Landu Paranggi bersama teman-teman penyair yang tergabung dalam komunitas Persada Studi Klub bertemu setiap malam: saling mengasah dalam diskusi sastra. Hal ini digambarkan oleh penyair Iman Budi Santosa dengan sangat bagus: Menyusuri Malioboro, pagar tembok jadi bangku// taman dan pokok asam merangkum sunyi// lebih indah dan santun dari hening rumah sendiri. // Kadang ada debat, mengadu kutipan-kutipan dari buku tua// menguji jejak pujangga, menukar pena dengan tajamnya lidah// yang tak terukur oleh rumus matematika. Sumber: Orang-Orang Malioboro 1962, Intan Cendikia, Yogyakarta, cet 1, Maret 2013 57
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Bagaimana belajar menjadi batu Yang tak lapuk diterkam waktu. Di gang belakang Pasar Kembang65 Gadis-gadis mekar menanti kumbang: Betapa, keperjakaan dan keperawanan selusuh sehelai celana dalam Malang dan untung saling berlawan Prosa dan puisi terjang-menerjang nilai-nilai bergulat di ranjang Benar dan salah setipis kutang. Di depan museum benteng Vredeburg66 Emha Ainun Nadjib melawan pageblug Gelandangan pun berdedang gayeng Dalam suluk puisi Sang Kyai Kanjeng Kepada engkau yang diam-diam menyimpan kesengsaraan dalam kebisuan Kepada engkau yang menangis malam-malam
— 65
Pasar Kembang: nama sebuah kampung, terletak di belakang Malioboro. Pasar Kembang lebih dikenal sebagai tempat prostitusi. 66 Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah banteng yang terletak di depan Gedung Agung dan Istana Kesultanan Yogyakarta. 58
Mahwi Air Tawar
Di resahnya batin karena kerap dikalahkan Kerap diusir dan disingkirkan, kerap ditinggalkan dan sulit menjumpa keadilan Aku ingin bertamu ke lubuk hatimu, saudara-saudaraku Untuk mengajakmu istirah ke lubuk paling sunyi Untuk sejenak mengendapkan hati dan bernyanyi.67 Sementara diam-diam, dari stasiun kehidupan Umbu berderap melintasi palang Susuri jalur hening dan gamang Susuri rel silsilah tanah kelahiran Bersungkup cerobong tanah perantauan. Olideli! Olideli! Kudaku Janggi Umbu Sumba Landu Paranggi Umbu menderu Umbu berlari Di baris hening nyanyi puisi Asap membubung ke angkasa Yogya Di langit biru yang diharu-biru masalalu Di kedai penjual nasi, puisi, dan cinta Di atas tanah keluhan gempa dan rindu
— 67
Sumber: Emha Ainun Nadjib: Lirik Lagu, Tombo Ati. 59
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Pertapa muda meraba stupa Penyair nyinyir hembuskan dupa Guru agung, Umbu nan dewa Duh, penyair langit kesumba. Sampai kapan haru-biru masa lalu Memburumu ke padang-padang kelu Seribu kuda Sumba berderap memburu Langit batinmu yang terdedah selalu Kudaku janggi, kudaku janggi Umbu Sumba Landu Paranggi. Di rimba raya hutan bahasa Di dalam gua-gua sunyi puisi Pertapa muda tundukkan kepala Menggosok lumut di dinding hati. Olideli! Olideli! Kudaku Janggi Umbu mendaki lembah Merapi Olideli, Umbu bernyanyi Lagukan puisi gunung berapi. Hembuskan nafas kuda Sabana Bagi pertapa belia sengsara Dengus dan makna bersalin rupa Surai berkibar Umbu kesumba.
60
Mahwi Air Tawar
Penyair sunyi terbakar api Di riuh nadi jantung puisi Didera kelu masalalu Merayakan pedih langit biru Taji puisi mimpi mimpi Mimpi taji puisi puisi Sembunyi, sembunyi dalam diri Di sela sempalan hati baiduri. Dalam gusar hari-hari penyair Samar kudengar Umbu berkabar Ke laut selatan berhembus syair Menyelinap ke helai-helai lontar Waktu liurkan busa cerita ngungun Dalam puisi-puisi fana dan anggun Tentangmu, Umbu, jejakmu, Umbu Tahun tujuh puluh lima68 yang kelabu.
— 68
Tahun 1975, Penyair Umbu Landu Paranggi pergi dari Jogjakarta tanpa banyak yang tahu kota mana yang hendak dituju. Baru pada tahun 1980-an diketahui ternyata Umbu tinggal di Bali, membina anak-anak muda. Sumber: wawancara dengan Iman Budi Santosa, 23 Mei 2014. jam, 22.00- 02.30. 61
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Di kusam gang Pasar Kembang Birahi dan puisi mencari arti Riwayatmu gelisah menggelinjang Gelandangan sejati mencari diri Dalam kerja lumuran duka dan riang Dalam sunyi dan rindu dan nyanyi Hikmah rahasia melipur damai puisi.69 Duh, Penyair! Pulangku ke Yogya menjadi rerasan publik Kantor-gaji-jabatan kucampakkan. Anak-istri kutinggalkan Kugelandangi Yogya tanpa KTP dan uang, berpuasa 55 bulan Dari kawan ke kawan aku jualan khayal dan dustaku memelas Sajak-sajakku mbludak, oleh sengsara dan kehidupan bebas70 Di manakah Umbu Landu Paranggi? Aku yang berjalan resah di jalur puisi Tak bisa mengelak runcing sosokmu Olideli Yang terus ditancapkan ke batin generasi kini Alangkah gelap mata, alangkah buta Di bawah benderang kau punya cahaya!
— 69
Dikutip dan dielaborasi dari bait puisi “Melodia”, karya Umbu Landu Paranggi 70 Ragil Suwarno Pragolapati, sajak “Salam Penyair ” dalam Seniman Gelandangan. Yogyakarta: Bentang (2002: 15). 62
Mahwi Air Tawar
Di manakah Umbu Landu Paranggi berdiam? Adakah dia melintas batas lautan selatan Menembus gelora samudera pasang Menyebrangi ganasnya alun gelombang Lanjutkan pelayaran, menyusul teman Si penyulam layar kapal puisi kelam? Di sana Ragil Suwarna Pragolapati Moksa ke dalam baris-baris puisi. Syair penyair Penyair syair Enggan berlari Enggan berbagi. Hidup memang fana, duhai Umbu Tapi engkau menjelma waktu Terus bersyair terus berlagu Sampai bila, aku tak tahu. Tapi siapa yang menyimpan getir Di lubuk rahasia kalbu penyair Masih terdengar panggilan mair Dari tanah tandus tempatmu lahir.
63
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Lonceng-lonceng yang bertalu, memanggil belainya di tengah kesunyian71 Asahlah pedang puisimu Di sini, di medan pertempuran usia insan Di titik kata penghabisan sekali Pertapa muda sedia menanti. Umbu, di titik nol dan kantor pos besar Jejak dan surat-suratmu hangus terbakar Puisi-puisimu tinggal rangka Di desau angin tenggara. Di punggung kuda Sumba Penyair getir berpacu jiwa Memburu bayang-bayang bahasa Sebatas pandang sekedip mata. Seakan waktu: hari-hari, tahun-tahun Tak pernah bergulir, berdiam ngungun dan penyair-penyair enggan bertukar kabar getir rawan. Di remang pelataran hotel Garuda72 Bahasamu terburai ke angkasa.
— 71
Dikutip dari sajak Umbu Landu Paranggi: Di Sebuah Gereja Gunung. Sumber: Korri Layun Rampan (editor), Suara Pancara Sastra, Jakarta: Yayasan Arus, 1984. 72 Hotel Mutiara terletak di jalan Maliobro, konon dulu di pelataran hotel Mutiara menjadi tempat anak-anak PSK berdiskusi. Sumber: wawancara dengan Iman Budi Santosa, 23 Mei 2014. 64
Mahwi Air Tawar
Dua sajak adik yang pertama berhasil untuk Persada: Sajakmu untuk Sabana, sayang belum apa-apa. Adik terlalu tergesa, kurang pengendapan, dan minim sekali perbendaharaan kata. Tapi, jangan putus harapan. Satu bulan lagi asal adik terus berlatih dengan keras pasti adik berhasil. Sebab kemauan kamu besar, tapi masih belum tergali. Sabana dengan Sabar menanti kehadiranmu.73 Tapi kini surat-surat nasihatmu tersirat Di Minggu penantian penyair nan pucat Di punggung Persada dan padang Sabana Kami menanti kematian di dada. Kuamini kepergianmu, Umbu Tinggalkan muram tanah Mataram Suram mata penyair tambal-sulam Melulu berharu-biru dengan hati beku Emha Ainun Nadjib meniti jalan sunyi, Iman Budi Santosa menziarahi tanah Jawa, Linus Suryadi AG, Ragil Suwarna Pragolapati Dan WS. Rendra bermuka-muka di alam baka Diskusikan puisi-puisi Indonesia terkini didera nestapa: Rendra melihat ucapan dan keprihatinannya
— 73
Surat Umbu Landu Paranggi kepada seorang penyair yang mengirim puisi kepada Persada ketika Umbu menjadi redaktur Mingguan Pelopor Yogya. 65
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Membentur jidat penyair-penyair salon, Yang bersajak tentang anggur dan rembulan Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya, Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan Termangu-mangu di kaki dewi kesenian,74 Olideli! Olideli! Kudaku Janggi Umbu berpacu di padang seni Desah bisik nyanyian sepi Menyanyikan gunung lembah puisi. Di alam kubur sana, WS. Rendra, Ragil dan Linus menerka-nerka sebab-sebab kepergianmu dari Jogja lantaran putus asa, tak sanggup Lahirkan puisi yang membuat berdetak denyut nadi. Bukankah puisi-puisimu lahir tercecer, dan tak dikehendaki di tanah lahir? Oh, Lihatlah, di labirin Persada Berputaran Teguh Ranusastra Asmara Lalu Ipan Sugiyanto Sugito merana Bernostalgia di labirin kitab Sabana.
— 74
Dikutip dari sajak WS. Rendra, 2013.”Sajak Sebatang Lisong” dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, Jakarta: Pustaka Jaya. 66
Mahwi Air Tawar
Maka, kuamini kepergianmu, Umbu Sebab di gelanggang, Mingguan Pelopor Yogya Sabana, dan Persada, lama luluh terserpih jauh Menghilang di ketiak waktu, tak tersentuh. Maka, kuamini kepergianmu, Umbu Jauh ke selat Bali, ke pusat bisu Memetik kidung kebeningan embun Menyusuri jejak aksara ngungun Menjaga kemurnian rasa dahaga Dan lapar gamelan sukma kelana Jika kematian kebahagiaan kayangan Maka sia-sia derita mengempang raga Masih misteri sisa warna matahari75 Olideli! Olideli! Kudaku Janggi Umbu berpacu menunggang puisi Di padang gersang Sabana menanti Umbu, Umbu Landu Paranggi
— 75
Dikutip dari sajak Umbu Landu Paranggi, “Ni Reneng” dalam Sutardji Calzoum Bachri (editor). 2001. Gelak Esai & Ombak Sajak Anna, Jakarta, Kompas, 2001. 67
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
Antara ringkik kuda dan gumam puisi Engkau timang angin harapan Antara kerontang Sumba dan Selat Bali Engkau timang nasib dan keberuntungan Kemarau Sumba yang kau rindu Nafas tandus bunda tetap menanti Nyanyian lelaki, berkuda di tepi hari Di tebing gersang dan risau puisi Melapangkan gerbang bagi petualang Yang lupa mencari jalan pulang. Olideli! Olideli! Kudaku bertolak Kitari anak usiran sang Bapak Di jantung rantau sajak berdetak Dikoyak risau hati tak mengelak. Di kaki bukit bahasa Sabana Di sunyi puisi kalbumu berkelana Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, Membawa langkah kemana saja76 Di padang manakah engkau berpacu Memburu hari-hari tak pasti Menunggang kemarau berdebu Masihkah kau daki terjal puisi.
— 76
Dikutip dari sajak Umbu Landu Paranggi, “Ni Reneng” dalam Sutardji Calzoum Bachri (editor). 2001. Gelak Esai & Ombak Sajak Anna Jakarta, Kompas, 2001. 68
Mahwi Air Tawar
Katamu, hidup tak pernah aman Kapan pun di mana, cerah pun kelam Duka dan bahaya selalu mengancam. Belas derita, kasih, rindu, dan cinta Olideli Olideli, tangismu membahana Hangat mentari padang kasih Bunda Jinak matamu meramu kelam tahta Leluhur dan puisi berebut mahkota. Tunas luka derita biarlah, Tegak lurus tanah semadi Di urat nadi puisi merekah Dalam racikan puisi abadi. Anakmu sayang, mengeja cita cinta Agar ratap tak terhambur sia-sia Kusesap udara puisi-puisi sabana, Di sini, di lubuk sajak pengembara Kurangkum Umbu dan langit dukana. Kepulauan Gili Yang-Cimanggis-Laut Selatan, 2014 .
69
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
70
Mahwi Air Tawar
Biodata Penulis
Mahwi Air Tawar, Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah karyanya cerpen dan puisinya terbit di pelbagai surat kabar. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit Mata Blater (2010), mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta (2011), Karapan Laut (2014). Buku kumpulan puisinya Tanéyan (2015). Selain mengikuti berbagai program sastra di berbagai wilayah di Indonesia, Ia juga mengikuti Bengkel Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera).
71
Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa
72