DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL
DWI MUSLIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Dwi Muslianti, SE NRP H151090314
ABSTRACT
DWI MUSLIANTI. Impact of Local Fiscal Policy on Poverty in Indonesia in Decentralization Era. Supervised under WIWIEK RINDAYATI and YETI LIS PURNAMADEWI. Local government spending has been increasing from year to year during decentralization era, which the largest proportion derives from central government. Nevertheles, the economic performance, mainly poverty decrease very slowly, far from the government target in 2009. Therefore, this research has aim 1) to determine the dynamic of local fiscal, output and poverty, 2) to determine factors that affect fiscal policy, output and poverty, 3) to analyze the impact of fiscal policy on output and poverty. This study uses simultaneous equations model (SEM) to identify the factors that affect local government revenues and spending and their impact on fiscal and economic performance of regions. The result shows that government revenue is affected by GDRP, fiscal gap, and population. Government spending is affected by GDRP, revenue, and spending the previous year. Increased government revenues and spending has a positive impact on economic performance and negatif impact on poverty. Combination of spending on education and health, and agriculture provides the greatest impact to decrease poverty.
Keywords : local fiscal policy, poverty, simultaneous equation models (SEM)
RINGKASAN DWI MUSLIANTI. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI dan YETI LIS PURNAMADEWI. Pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, namun juga harus dapat mengurangi tingkat kemiskinan, menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan penyediaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan harus dilaksanakan secara simultan melalui berbagai kebijakan pembangunan ekonomi, sehingga seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses tersebut, tidak terkecuali penduduk miskin (Todaro dan Smith, 2006). Peningkatan peran serta penduduk miskin tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan tersebut akan mendorong penurunan angka kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan (Adam, 2004). Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Berbagai kebijakan internasional maupun nasional telah dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan, seperti PBB dengan program Millenium Development Goals 2000-2015 (Tambunan, 2009) dan Indonesia dengan visi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Persentase penduduk miskin di Indonesia selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Namun, krisis ekonomi global pada tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun hingga minus 13.13%, sehingga persentase penduduk miskin meningkat menjadi 24.23% dan kembali menjadi perhatian yang serius. Krisis global yang turut mempengaruhi perekonomian Indonesia tersebut membuat pemerintah mengubah sistem ekonomi dan pemerintahan menjadi terdesentralisasi pada tahun 2001. Pemerintah daerah yang berada dekat dengan masyarakat diharapkan dapat berinteraksi langsung dalam melayani kebutuhan rakyatnya (Oates, 1972), mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing daerah (Tanzi, 2002), mengurangi budget deficit dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional (Zhang dan Zou, 1998). Desentralisasi fiskal yang telah bergulir di Indonesia selama sembilan tahun ini diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk dialokasikan pada pelayanan publik dasar (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur) serta sektor-sektor yang memihak pada kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun demikian, selama pelaksanaan desentralisasi fiskal berlangsung, terjadi peningkatan jumlah dana perimbangan yang merupakan stimulus pemerintah pusat pada daerah, sementara itu kinerja perekonomian khususnya pengurangan penduduk miskin belum mencapai target sesuai dengan visi pembangunan yang diharapkan .
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengkaji kondisi kinerja fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder panel 26 propinsi di Indonesia pada periode 2003-2009. Data yang digunakan antara lain yaitu data APBD, data PDRB, jumlah tenaga kerja, luas wilayah, jumlah penduduk miskin serta jumlah penduduk. Analisis dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dilakukan dengan menggunakan sistem persamaan simultan yang mengacu pada model penelitian Yudhoyono (2004), Sumedi (2005) dan Usman (2006) dan terdiri dari blok fiskal daerah, blok output dan blok kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja fiskal selama tahun 2003-2009 cukup rendah, dengan nilai derajat desentralisasi fiskal sebesar 14.60%, derajat potensi daerah sebesar 15.67% dan derajat ketergantungan sebesar 63.06%. Sebagian besar propinsi memiliki ketergantungan pada sektor Pertanian yang terlihat dari relatif besarnya proporsi PDRB pertanian. Jumlah penduduk miskin banyak terdapat di pulau Jawa, namun persentase penduduk kemiskinan terbesar terdapat pada propinsi-propinsi yang berada di kawasan Indonesia Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan adalah sebagai berikut: 1) penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak, 2) penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB dan lag BHPBP, 3) pengeluaran pemerintah di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur adalah berbagai penerimaan daerah (PAD, DAU dan dana perimbangan) serta masing-masing lag pengeluaran daerah, 4) PDRB dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis pengeluaran daerah, dan 5) jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag jumlah penduduk miskin. Berdasarkan simulasi kebijakan fiskal yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa seluruh simulasi kebijakan fiskal daerah memberikan dampak positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dengan besaran yang berbeda-beda. Dampak terbesar dari kebijakan fiskal terhadap penurunan penduduk miskin tersebut berasal dari simulasi kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran pertanian dan peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah: 1) peningkatan penerimaan daerah melalui peningkatan jumlah potensi pajak dan sumberdaya alam daerah agar tercapai kemandirian keuangan daerah, 2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian perlu lebih diperhatikan karena merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga berpotensi menurunkan jumlah penduduk miskin, 3) peningkatan pelayanan publik dasar seperti sektor pendidikan dan kesehatan perlu lebih ditingkatkan untuk menciptakan sumberdaya daerah yang lebih handal, 4) pengeluaran infrastruktur perlu lebih ditingkatkan guna melancarkan aktivitas masyarakat dalam perekonomian dan mempermudah akses kepada pelayanan publik. Kata kunci: kebijakan fiskal daerah, kemiskinan, model persamaan simultan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL
DWI MUSLIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ali Said
Judul Tesis Nama NRP
: Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal : Dwi Muslianti : H151090314
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Ketua
Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 21 Juli 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Pertama, Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul ”Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal” telah dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dimulai sejak November 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama Penulis mengikuti program Tugas Belajar. 3. Kepala BPS Provinsi Gorontalo beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan dan membantu kelancaran administrasi kepegawaian selama Penulis menempuh pendidikan. 4. Ibu Wiwiek Rindayati dan Ibu Yeti Lis Purnamadewi selaku Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini. 5. Bapak Ali Said (Kepala sub Direktorat Indikator Statistik BPS), selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat sehingga tesis ini semakin baik. 6. Ibu Widyastutik sebagai penguji dari IPB, yang telah memberikan masukan-masukan demi semakin baiknya penulisan tesis. 7. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar dan penulisan tesis. 8. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya Program Studi Ilmu Ekonomi, yang telah bersama-sama saling mendukung dalam suka dan duka selama menempuh pendidikan. 9. Bapak dan Mama dengan segenap do’a, kasih sayang, dukungan dan perhatian yang tidak putus-putus. 10. Adik-adik tercinta, Widi Septia Musrini, Felisia Mustari dan Wahyu Ismoyo atas do’a, kasih sayang, dukungan dan pengertinannya selama Penulis menyelesaikan pendidikannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2011
Dwi Muslianti, SE
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1980 dari pasangan Mustopo dan Halimah. Penulis menempuh pendidikan Diploma IV Statistik di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, dan lulus pada tahun 2002 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan. Penulis kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo sejak tahun 2002. Pada tahun 2009 memperoleh kesempatan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi melalui beasiswa BPS dalam Program Alih Jenjang pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun yang sama pula penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Ekonomi, minor Ekonomi Regional melalui beasiswa BPS. Bidang tugas yang menjadi tanggung jawab penulis sampai penulis mengikuti program pascasarjana adalah seksi Neraca Pengeluaran pada Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, BPS Provinsi Gorontalo.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xix
1 PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .....................................
8
2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................
11
2.1 Tinjauan Teoritis .................................................................................
11
2.1.1
Teori Peranan Pemerintah .....................................................
11
2.1.2
Konsep Desentralisasi Fiskal ................................................
14
2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal ..........................................................
26
2.1.4
Teori Pertumbuhan Ekonomi ................................................
27
2.1.5 Konsep Kemiskinan ..............................................................
29
2.1.6 Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi .......................
34
2.1.7 Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan ........................................
37
2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu ........................................................
40
2.3 Kerangka Pemikiran ..........................................................................
45
2.4 Hipotesis Penelitian ...........................................................................
47
3 METODE PENELITIAN .........................................................................
49
3.1 Jenis dan Sumber Data......................................................................
49
3.2 Metode Analisis ................................................................................
49 xi
3.2.1 Analisis Deskriptif .................................................................
50
3.2.2 Analisis Model Ekonometrika ...............................................
52
3.1.2.1 Spesifikasi Model Ekonometrika.............................
55
3.1.2.2 Identifikasi dan Estimasi Model ..............................
60
3.1.2.3 Validasi Model.........................................................
63
3.3 Simulasi Model .................................................................................
61
4 DINAMIKA PEREKONOMIAN DAERAH ...........................................
69
4.1 Fiskal Daerah ....................................................................................
69
4.1.1 Penerimaan Keuangan Daerah ................................................
69
4.1.2 Pengeluaran Keuangan Daerah ..............................................
73
4.2 Output Daerah...................................................................................
77
4.3 Tenaga Kerja.....................................................................................
80
4.4 Kemiskinan .......................................................................................
83
5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FISKAL DAERAH, OUTPUT DAN KEMISKINAN .............................................................. 5.1 Analisis Umum Model Dugaan ........................................................ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fiskal Daerah, Output dan 5.2 Kemiskinan ....................................................................................... 5.2.1 Penerimaan Daerah .................................................................
6
87 87 88 88
5.2.2 Pengeluaran Daerah ...............................................................
93
5.2.3 Output ....................................................................................
96
5.2.4 Kemiskinan ............................................................................
100
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN ......................................................................................... 6.1 Validasi Model.................................................................................. 6.2 Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan ................
103 103 105
6.2.1
Dampak Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah ...............
106
6.2.2
Dampak Peningkatan Penerimaan BHPBP........................
107
6.2.3
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian ....................
108
6.2.4
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pendidikan ................
109 xii
6.2.5 6.2.6 6.2.7
Dampak Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur ............... Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian dan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan ............................
110 111
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, dan Pengeluaran Infrastruktur .........................
113
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Infrastruktur .......................................................................
114
7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
117
7.1 Kesimpulan .......................................................................................
117
7.2 Implikasi Kebijakan ..........................................................................
119
7.3 Saran .................................................................................................
121
Daftar Pustaka ................................................................................................
123
Lampiran ........................................................................................................
129
6.2.8
xiii
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Skala interval derajat desentralisasi fiskal ...........................................
52
2 Keterangan variabel penelitian dan satuannya .....................................
60
3 Simulasi dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan .....................
64
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut propinsi Indonesia 2007-2009 ............................................................................................
84
5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan pajak daerah ............
88
Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) ......................................................................................
90
7 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan dana BPBP ..............
92
8 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pertanian ..................
93
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan dan kesehatan ..............................................................................................
94
10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur .............
95
11 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB pertanian ...........................
96
12 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB industri ..............................
98
13 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB jasa ....................................
99
14 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB lainnya ..............................
99
15 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan ...................................
100
16 Nilai validasi variabel endogen pada persamaan simultan ..................
104
17 Dampak peningkatan penerimaan pajak daerah sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ........................................................
106
18 Dampak peningkatan penerimaan BHPBP sebesar 45% terhadap kemiskinan di Indonesia.......................................................................
108
4
6
9
xv
19 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% terhadap kemiskinan di Indonesia.......................................................................
109
20 Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ...............................................
110
21 Dampak peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ........................................................
111
22 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% dan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia.......................................................................
112
23 Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia.......................................................................
113
24 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30%, pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ..............
114
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 19762009 ...........................................................................................................
3
2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tahun 1976-2009 ....
4
3 Efisiensi produksi barang publik ...............................................................
18
4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB .................................................. 35 5 Hubungan kebijakan fiskal dengan pertumbuhan output ..........................
36
6 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve thesis) .................................
38
7 Kerangka pemikiran ..................................................................................
46
8 Kerangka analisis ......................................................................................
50
9 Tahapan membangun model analisis ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ......................................................... 53 10 Keterkaitan antar blok dalam model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ......................................................... 55 11 Diagram keterkaitan antar peubah dalam model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ................................................ 56 12 Derajat desentralisasi fiskal, derajat potensi daerah, dan derajat ketergantungan daerah propinsi di Indonesiam tahun 2003-2009 (%)...... 70 13 Derajat kemandirian fiskal daerah provinsi di Indonesia, tahun 20032009 (%) .................................................................................................... 72 14 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) 73 15 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur propinsi-propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) 75 16 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, industri, jasa di propinsi-propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) ..... 77 xvii
17 Rata-rata laju pertumbuhan PDRB seluruh propinsi di Indonesia, tahun 2004-2009 (%) .......................................................................................... 78 18
Rata-rata proporsi PDRB pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia, tahun 2003-2009 (persen) ........................................................ 79
19
Rata-rata proporsi PDRB pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia menurut propinsi, tahun 2003-2009 (persen) ............................ 80
20
Laju pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian, industri, jasa dan lainnya di indonesia, tahun 2004-2009 (%)............................................... 81
21
Rata-rata proporsi tenaga kerja pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) ............................................................... 82
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil pengujian persamaan struktural dengan order condition ................
129
2 Hasil pendugaan model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal ................................................ 130 3 Model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal ................................................................................... 135 4 Hasil penghitungan validasi model dengan menggunaan koefisien determinasi (R2) ........................................................................................ 136
xix
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Tujuan
pembangunan
ekonomi
bukan
hanya
semata-mata
untuk
menciptakan pertumbuhan GDP yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an, namun lebih luas daripada itu. Tujuan utama dari pembangunan ekonomi selain pertumbuhan yang tinggi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan bukan merupakan hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi telah dirumuskan agar seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses pertumbuhan ekonomi tersebut, termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan pelayanan publik seperti perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah merupakan trade off dengan pemerataan pendapatan dalam upaya pengurangan kemiskinan, namun keduanya harus dilaksanakan secara simultan. Pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan secara konsisten akan mendorong penurunan angka kemiskinan dalam jangka panjang dan menciptakan peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004). Di sisi lain, permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Menurut Galor (2000), terhambatnya laju pertumbuhan ekonomi tersebut terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus
2
berlanjut, maka pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap bahwa kemiskinan sebagai salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang merupakan tantangan besar bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan, sehingga hal tersebut dijadikan tujuan utama kebijakan di banyak negara khususnya negara berkembang. Oleh karena itu, PBB menempatkan peniadaan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem pada urutan pertama dari kedelapan tujuan pembangunan abad milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang disepakati oleh 191 negara pada tahun 2000 dan harus dicapai pada tahun 2015 (Tambunan, 2009). Di Indonesia, pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi. Hal tersebut tercantum sebagai salah satu visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 20052025 maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 20042009. Visi RPJPN 2005-2025 adalah mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan melalui pengurangan kesenjangan sosial secara menyeluruh, serta penanggulangan kemiskinan. Pembangunan ekonomi ditujukan untuk memperkuat struktur perekonomian dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dan pertambangan yang efisien, serta kegiatan jasa yang efektif. Peningkatan kesejahteraan penduduk dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok penduduk yang kurang beruntung, terutama penduduk miskin. Penanggulangan kemiskinan diarahkan pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang meliputi antara lain pekerjaan yang layak, perlindungan hukum, kebutuhan hidup (makanan, pakaian, dan tempat tinggal), pendidikan, dan kesehatan secara bertahap dengan mengutamakan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi. Sedangkan visi RPJM tahun 2004-2009 yaitu menentukan pilihan strategi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan. Pemerintah berusaha mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatkan pendapatan perkapita yang diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan dan
3
pengentasan kemiskinan. Kebijakan ekonomi ditujukan untuk mendukung program-program yang berorientasi pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan pekerjaan (pro job), pemerataan pendapatan (equity) dan pengentasan kemiskinan (pro poor). Distribusi pendapatan Indonesia yang digambarkan melalui angka Gini Ratio selama periode 1980-1990an mengalami fluktuasi, menurun perlahan pada awal 1980an, namun kembali meningkat pada periode 1990an dengan rentang berkisar antara 0.31-0.36 dan termasuk ke dalam kategori sedang (Oshima, 1970). Hal yang sama juga dialami oleh tingkat kemiskinan di Indonesia yang mengalami dinamika pasang surut. Persentase penduduk miskin selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Penurunan yang pesat dalam persentase penduduk miskin selama kurun waktu 1976-1996 tersebut tentu tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang cukup baik, dengan laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6.58% per tahun.
Sumber: Tambunan, 2009.
Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 19762009. Perekonomian Indonesia selama kurun waktu 1976-1996 memang mengalami pertumbuhan yang spektakuler. Pada tahun 1968 pendapatan perkapita nasional Indonesia masih pada kisaran US$60. Nilai tersebut masih jauh apabila
4
dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya seperti India, Pakistan, dan Sri Lanka. Namun sejak Pelita I dimulai, pendapatan nasional perkapita Indonesia mengalami peningkatan yang relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$ 500 (Tanzi, 2002).
Sumber: BPS, berbagai tahun.
Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tahun 1976-2009 (%). Namun krisis moneter yang menghantam Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai minus 13.13%, sementara persentase penduduk miskin kembali mengalami peningkatan menjadi 24.23%. Dengan jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar tersebut, maka kemiskinan di Indonesia masih dianggap sebagai persoalan yang serius. Terpuruknya Indonesia sebagai dampak terjadinya krisis ekonomi internasional disinyalir juga disebabkan karena ekonomi fundamental Indonesia yang terbilang lemah dengan sistem sentralistiknya. Program-program dan kebijakan saat itu dibuat di tingkat pusat dan diimplementasikan untuk seluruh wilayah Indonesia secara seragam, sehingga dinilai tidak mampu menjangkau permasalahan yang berbeda-beda di masing-masing daerah. (Tanzi, 2002).
5
Sistem ekonomi dan pemerintahan Indonesia yang tersentralisasi tersebut kemudian diubah pada tahun 2001 menjadi sistem yang bersifat desentralisasi. Prinsip desentralisasi tersebut diarahkan untuk mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat di daerah melalui perwujudan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif. Selain itu, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah masingmasing (Tanzi, 2002). Desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan/pendanaan. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada, baik dari sumber penerimaan pusat maupun daerah (Bahl, 1998). Selain itu, desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pada sektor publik (pemerintah) karena pemerintah daerah sebagai institusi yang dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya (Oates, 1972), mengurangi budget deficit dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional (Zhang dan Zou, 1998). Pemerintah daerah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pemerintahan di era desentralisasi tersebut tentunya memegang peranan penting dalam mengelola keuangan daerah untuk membiayai program-program pembangunan terutama pada sektor publik dan mengoptimalkan potensi daerah yang ada guna menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan tingkat kemiskinan di daerah masing-masing.
1.2
Perumusan Masalah Desentralisasi fiskal yang telah bergulir di Indonesia selama sembilan tahun
ini diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan fiskal daerah dalam pengelolaan keuangan daerah terutama pada pelayanan publik
6
dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, serta sektor-sektor yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan seperti pertanian, sehingga bermuara pada kinerja perekonomian seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penurunan ketimpangan pendapatan dan penurunan jumlah penduduk miskin. Dana perimbangan sebagai salah satu komponen dalam sistem desentralisasi hanyalah merupakan dana stimulus dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya dalam kerangka sistem desentralisasi fiskal. Dengan adanya dana stimulus tersebut dapat melancarkan peerintah darerah dalam menggali potensi-potensi daerah
dan melakukan
pelayanan yang efisien kepada masyarakat, sehingga perekonomian di daerah dapat meningkat, tercapai kemandirian daerah, dan mengurangi ketergantungan terhadap pusat. Namun, penerimaan daerah berasal dari Dana perimbangan berjumlah hampir sepertiga dari APBN 2007 meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp 153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 220 triliun pada 2006 atau meningkat 43%, dan pada tahun 2007 mencapai Rp 258,8 triliun atau meningkat 17.6%. Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang diprioritaskan untuk peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, mengalami kenaikan pesat sebesar 64% dari Rp 88,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 145,6 triliun pada tahun 2006, dan naik kembali sebesar 13% menjadi Rp 164,8 triliun pada tahun 2007. Sementara itu, bagian Dana Perimbangan lainnya yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik tertentu di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, dan lain-lain juga mengalami peningkatan tajam dari Rp 4,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 11,5 triliun tahun 2006 atau melonjak 145% dan terus meningkat sebesar 48% menjadi Rp 17,1 triliun tahun 2007. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2001-2009 sangat fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 sebesar 3.64% dan meningkat menjadi 4.56% pada tahun 2009 dengan rata-rata pertumbuhan 5.12%.
7
Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat pada era desentralisasi fiskal seharusnya juga dapat mendorong peningkatan pendapatan perkapita dan perbaikan distribusi pendapatan. Namun kenyataannya, justru terjadi peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang ditunjukkan dengan angka Gini ratio yang semakin tinggi. Selama tahun 2002-2006, angka Gini Ratio Indonesia mengalami peningkatan dari 0.31 pada tahun 2002 menjadi 0.33 pada tahun 2006.
Angka tersebut kemudian meningkat kembali pada tahun 2008
menjadi 0.35. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik pasca krisis dan dalam era desentralisasi seharusnya juga berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pada periode 2000-2005 persentase penduduk miskin cenderung menurun namun meningkat kembali pada tahun 2006. Tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun 2009 persentase jumlah penduduk miskin mencapai 14.15%, namun angka ini masih jauh dari target sebesar 8.2% yang ditetapkan pemerintah dalam RPJM tahun 2004-2009. Fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah terjadinya peningkatan dana perimbangan pada satu sisi, sementara belum memuaskannnya kinerja perekonomian yang dicapai pada sisi yang lain. Sehubungan dengan gambaran diatas, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam yang mengkaji keterkaitan antara kinerja fiskal (penerimaan dan pengeluaran), perekonomian (output), dan kemiskinan dalam suatu model ekonomi daerah, serta mengkaji optimalisasi kebijakan fiskal daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengurangi kemiskinan yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana gambaran kinerja fiskal daerah, output dan kondisi kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal?
2.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal?
3.
Bagaimana pemerintah mengoptimalkan perannya dalam mengurangi kemiskinan melalui kebijakan fiskal daerah?
8
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut: 1.
Mengkaji kinerja fiskal daerah, output dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal.
3.
Menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan.
1.4 1.
Manfaat Penelitian Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengelola kebijakan pembangunan khususnya yang berkaitan pengelolaan keuangan daerah.
2.
Sebagai salah satu sumber informasi bagi pemangku kepentingan dalam upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.
3.
Sebagai refererensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.
4.
Sebagai satu prasyarat bagi peneliti dalam memenuhi kelulusan Program Master pada Sekolah Pascasarjana IPB serta sebagai suatu latihan akademik dari ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah 26 propinsi di Indonesia selama tahun
2003-2009. Beberapa propinsi pemekaran (Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat) digabung ke dalam propinsi induknya. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar merupakan data pada tingkat propinsi. Data penerimaan dan pengeluaran daerah dibentuk dari aggregasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan data APBD propinsi di masing-masing propinsi. Data penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut tidak memasukkan data dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan dengan alasan terbatasnya data yang tersedia.
9
Desentralisasi
fiskal
merupakan
suatu
kebijakan
yang
berada
di
kabupaten/kota sebagai ujung tombak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk melakukan pengelolaan keuangan. Penelitian ini menggunakan level propinsi dengan asumsi bahwa level tersebut merupakan aggregat dari kebijakan fiskal yang dilakukan pada level kabupaten/kota. Penelitian ini hanya fokus pada bagian kecil dari kebijakan keuangan pemerintah, yaitu perubahan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan fiskal yang berasal dari APBD, sehingga aspek kebijakan moneter tidak termasuk dalam penelitian ini meskipun kebijakan pemerintah umumnya dilakukan secara bersamaan antara moneter dan fiskal. Aspek kajian hanya dibatasi pada aspek ekonomi dan pengurangan kemiskinan, tanpa mengikutsertakan aspek sosial politik, transparansi pemerintah, dan korupsi, dengan pertimbangan bahwa datadata indikator aspek-aspek tersebut tidak tersedia dengan kurun waktu yang digunakan dalam penelitian ini. Model yang dibangun dalam penelitian ini bukan merupakan model yang ideal, namun merupakan model operasional yang optimal berdasarkan ketersediaan data time series dan cross section. Apabila kendala tersebut dapat diatasi, maka model yang dibangun diharapkan dapat lebih baik lagi.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Peranan Pemerintah Sistem desentralisasi fiskal memberikan peranan yang cukup penting terhadap fungsi dan wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi fiskal, peranan pemerintah daerah dalam melakukan upaya fiskal, yaitu dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan peranan pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik akan sangat mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Berkaitan dengan pengaruhnya tersebut, maka peranan pemerintah daerah harus dioptimalkan agar dalam melakukan intervensi dengan biaya sosial tertentu akan memberi dampak yang maksimal terhadap kinerja perekonomian. Selain itu, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sedapat mungkin harus dapat menghindarkan terjadinya distorsi yang dapat menimbulkan kegagalan pasar. Oleh karena itu, pembahasan mengenai peranan pemerintah sangat penting dalam upaya mendapatkan gambaran yang lengkap tentang lingkup peranan pemerintah, bagaimana pemerintah harus berperanan dalam sistem perekonomian dan bagaimana mengoptimalkan peranan tersebut dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga peranannya tidak bersifat kontraproduktif dan justru menimbulkan permasalahan dalam perekonomian. Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi yang sangat terbatas, yaitu (1) memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) menyelenggarakan peradilan, (3) menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti jembatan, jalan, saluran irigasi, dan lain-lain. Fungsi pemerintah tersebut sangat sedikit berkaitan dengan ideologi kapitalis yaitu perekonomian dapat berkembang secara maksimum tanpa campur tangan pemerintah. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan yang tidak kentara karena setiap individu paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri (Mangkoesoebroto, 2000).
12
Namun dalam prakteknya, prinsip kebebasan ekonomi sering menghadapi perbenturan kepentingan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya koordinasi dalam mewujudkan harmonisasi dalam kepentingan masing-masing individu. Seperti contohnya kepentingan pengusaha yang sering tidak berjalan beriringan dengan kepentingan pekerja, bahkan sering terjadi pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkukan bahwa sektor swasta tidak dapat mengatasi masalah perekonomian sepenuhnya. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi modern, peranan pemerintah diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar, yaitu (1) peran alokasi, (2) peran distribusi, dan (3) peran stabilisasi (Mangkoesoebroto, 2000). Peranan pemerintah yang pertama adalah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien. Barang dan jasa yang beredar di masyarakat tidak seluruhnya dapat disediakan oleh sektor swasta. Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta atau sistem pasar melalui transaksi antara penjual dan pembeli tersebut disebut barang publik. Sementara itu, barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar tersebut menyebabkan kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi karena sistem pasar tidak dapat menyediakan barang dan jasa tersebut, karena manfaatnya tidak hanya dapat dirasakan secara pribadi, namun juga dapat dinikmati oleh orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang memiliki sifat pengecualian. Pengecualian atas sebagian barang publik dapat dilakukan secara ekonomi maupun teknis, sementara untuk sebagian barang publik pengecualian secara teknis tidak dapat dilakukan karena biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar apabila dibandingkan manfaatnya, walaupun secara ekonomi dapat dibedakan (Mangkoesoebroto, 2000). Barang-barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena barang-barang tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen sepatu dapat mengecualikan setiap orang untuk menikmati sepatu yang dihasilkannya apabila orang yang bersangkutan bersedia mengemukakan preferensinya atas
13
barang tersebut (revealing preference). Pengungkapan preferensinya tersebut dengan cara membayar sejumlah uang yang diminta produsen (Mangkoesoebroto, 2000). Nilai kesukaan seseorang terhadap suatu barang swasta ditentukan oleh harga barang tersebut. Namun hal tersebut tidak terjadi pada barang publik, karena nilai kesukaan seseorang tidak dapat diukur dengan nilai barang publik tersebut. Oleh karena tidak ada seorang pun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga tidak ada orang/pengusaha yang mau menyediakan barang tersebut. Dengan demikian tugas pemerintah untuk menyediakan barang publik tertentu bagi masyarakat, melalui sistem pemungutan suara berdasarkan kriteria tertentu yang akan memuaskan banyak pihak dan memperoleh hasil yang efisien seperti halnya sistem pasar. Di sinilah peranan pemerintah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien (Mangkoesoebroto, 2000). Peranan pemerintah berikutnya adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung pada pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari pendidikan, bakat, dan sebagainya. Sedangkan warisan tergantung dari hukum yang berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor produksi. Permintaan dan penawaran faktor produksi menentukan harga faktor produksi tersebut. Permintaan akan faktor produksi tergantung pada teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih besar daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi dan juga warisan yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan, semakin rendah harga yang didapat pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000). Menurut masyarakat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar dapat dianggap sangat tidak adil. Masalah keadilan dan efisiensi
14
merupakan trade off sehingga sehingga sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah tersebut harus dipisahkan. Perubahan ekonomi dapat dikatakan efisien apabila perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan golongan yang lain. Namun, pada kenyataannya tidak ada satu pun tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain secara negatif maupun positif (Mangkoesoebroto, 2000). Pemerintah dalam peranannya sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan melalui kebijakan fiskal dan moneter dapat merubah keadaan masyarakat sehingga sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih ringan bagi orang miskin, disertai dengan subsidi bagi orang miskin. Pemerintah dapat juga secara tidak langsung memengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah, misalnya pendidikan dan kesehatan bagi golongan tertentu (Pogue dan Sqontz, 1978; Stiglitz, 2000). Peran
pemerintah
yang
terakhir
adalah
sebagai
alat
stabilisasi
perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah, gangguan permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan menimbulkan pengangguran dan tenaga kerja yang akan mengganggu stabilitas ekonomi, seperti contohnya inflasi dan deflasi, sehingga masalah tersebut harus diselesaikan oleh pemerintah melalui pendekatan moneter (Mangkoesoebroto, 2000; Reksodiprodjo, 2001).
2.1.2 Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal/daerah, serta kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya sebagai daerah otonom. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi (Ulla, 2003; Smoke, 2001).
15
Terdapat dua sisi dalam melihat konsep desentralisasi, yaitu meningkatkan efisiensi
dan
efektivitas
administrasi
pemerintah
pusat
(nasional)
dan
mengaktualisasi representasi lokal (Ebel dan Yilmaz, 2002). Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah. Undang-undang tersebut terdiri dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Tujuan perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Vasquez dan McNab, 2001; Simanjuntak, 2002). Kebijakan desentralisasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya krisis moneter dunia yang berimbas kepada krisis di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi terpuruk akibat tidak sanggup bertahan dari krisis yang terjadi di dunia. Kerentanan Indonesia tersebut disinyalir akibat dari sistem sentralistik yang berlaku di Indonesia selama ini. Sistem sentralistik dianggap tidak dapat membidik sasaran pembangunan dengan tepat sehingga tidak mampu menangkal krisis yang terjadi, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin Indonesia menjadi bertambah (Sidik, 2002). Fenomena desentralisasi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di beberapa negara berkembang lainnya. Dorongan desentralisasi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi, dan banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintah sentralistik dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik, 2002). Menurut Tanzi dalam Widhiyanto (2008), faktor-faktor yang memicu diberlakukannya desentralisasi bersifat internal dan eksternal. Faktor internal di dukung oleh pengalaman dan sejarah negara itu sendiri, seperti semakin baiknya demokrasi di dalam kalangan atau daerah tertentu, semakin meningkatnya
16
pendidikan dan tingkat kesejahteraan dan pendidikan, meningkatnya pelayanan publik, fenomena disintegrasi negara, respon terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal antara lain berupa tekanan dari negara maupun lembaga donor yang memiliki pengaruh terhadap negara penerima donor berkaitan dengan desentralisasi. Konsep desentralisasi ditujukan untuk meningkatkan peran serta pemerintah daerah. Beberapa kebijakan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat akan
dilimpahkan
kepada
pemerintah
daerah,
dimana
kabupaten/kota
mendapatkan kewenangan khusus, sedangkan propinsi mendapatkan kewenangan terbatas. Sementara itu, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada kepentingan militer, agama, keuangan negara dan hukum. Secara umum, desentralisasi mencakup 1) aspek politik (political decentralization) yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan, 2) aspek administratif (administrative decentralization) yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumberdaya antar berbagai tingkat pemerintahan, dan 3) aspek fiskal (fiscal decentralization) yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumbersumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi (Litvack dalam Abimanyu dan Megantara, 2009). Desentralisasi fiskal sering didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan dan sumberdaya daerah menjadi lebih besar. Sebelum desentralisasi, seluruh kebutuhan pelayanan publik dikelola oleh pemerintah pusat secara seragam, padahal kebutuhan publik antar daerah berbeda-beda. Oleh karena itu pelayanan publik pada masa sentralisasi kurang efisien. Desentralisasi fiskal dapat mewujudkan efisiensi terhadap alokasi sumberdaya sektor publik, karena disesuaikan dengan kebutuhan publik masingmasing daerah. Selain itu, terjadi kompetisi antar pemerintah daerah dalam pelayanan publik sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.
17
Ketertarikan terhadap desentralisasi fiskal meningkat diantara negara transisi dan berkembang karena diyakini sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan efisiensi dalam pengeluaran publik. Selain itu, desentralisasi fiskal dianggap sebagai sistem yang bagus terhadap kegagalan sistem sentralisasi selama dekade terakhir ini yang terjadi di negara transisi dan berkembang. Prud’homme (1995) mengatakan bahwa karena perbedaan kebutuhan dan mobilitas individu di tiap daerah, maka desentralisasi menjadi lebih efisien. Oates (1993) juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena posisi pemerintah daerah yang lebih dekat kepada masyarakat sehingga dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat di daerah. Tolok ukur dalam analisis desentralisasi fiskal adalah efisiensi dan efektivitas dalam pengeluaran pemerintah dan pemerataan pendapatan sehingga bermuara pada kesejahteraan rakyat. Perbedaan kebijakan antar daerah menyebabkan adanya kemungkinan keputusan dalam penyediaan barang publik yang juga berbeda-beda antar daerah, sesuai dengan preferensi masyarakat masing-masing daerah terhadap jenis dan jumlah barang publik. Perbedaan preferensi masyarakat terhadap barang publik dipengaruhi oleh perbedaan selera dan tingkat pendapatan antar daerah. Pada kondisi ini, efisiensi alokasi lebih tinggi pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Alasan ini mendasari kesimpulan bahwa desentralisasi pemerintah akan lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dibandingkan dengan pemerintahan terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis (Stiglitz, 2000). Tiebout Hypotesis ini merupakan analog dari konsep pareto optimum, dimana dalam kondisi pasar persaingan sempurna, harga merupakan sinyal dalam alokasi sumberdaya sehingga tercipta kondisi yang efisien. Demikian pula dengan barang publik, bahwa kompetisi dalam suatu komunitas akan menjamin efisiensi dalam penawaran barang publik, sebagaimana perusahaan menjamin efisiensi penawaran barang privat. Keterbatasan hipotesis ini terkait dengan asumsi pasar persaingan, yaitu adanya kegagalan pasar, sistem perpajakan, dan redistribusi pendapatan. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana atau sampai tingkat pemerintah mana desentralisasi sebaiknya dilakukan. Pada prinsipnya, semakin
18
dekat dengan masyarakat, maka akan semakin baik. Besarnya peningkatan efisiensi yang terjadi karena perubahan dari keputusan yang bersifat sentralistik ke desentralistik dapat diilustrasikan pada gambar 3. Diasumsikan terdapat dua daerah, yang masing-masing memiliki fungsi permintaan terhadap barang publik
∑ DA
dan
terhadap barang publik tersebut adalah
∑ DB
∑ DN
, sehingga permintaan nasional
. Diasumsikan masyarakat dalam
daerah A tidak dapat menikmati barang publik yang diproduksi pada daerah B dan sebaliknya. Barang publik tersebut adalah barang publik lokal, yaitu dapat diproduksi oleh masing-masing daerah maupun oleh pemerintah pusat. Sementara preferensi masyarakat di daerah A dan daerah B dapat berbeda sesuai dengan selera dan tingkat pendapatannya. Biaya marginal untuk produksi barang tersebut diasumsikan sama sebesar MC. Marginal Cost/Value
∑ DN
∑ DB
∑ DA
MC
qA
q
qB
qN
Sumber: Pogue dan Sqontz, 1978
Gambar 3 Efisiensi poduksi barang publik.
Quantity
19
Apabila produksi barang tersebut dilakukan secara sentralistik, maka jumlah yang diproduksi secara nasional sebesar qN atau pada tingkat efisien dalam skala nasional, yaitu pada saat nilai marginal sama dengan biaya marginal. Distribusi pada masing-masing daerah sebesar q. Pada tingkat produksi q, pada daerah A, nilai marginal lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya marginal. Sementara pada daerah B terjadi sebaliknya, nilai marginal lebih tinggi dibandingkan dengan biaya marginal. Efisiensi secara nasional di sini tidak menjamin terjadinya efisiensi pada tingkat daerah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan dan selera. Jika produksi dilakukan secara desentralisasi, yaitu pada saat masing-masing daerah akan memproduksi barang pada kondisi nilai marginal sama dengan biaya marginal (kondisi efisien), maka akan diperoleh tingkat produksi masing-masing qA untuk daerah A dan qB untuk daerah B. Besarnya
peningkatan
efisiensi
yang
ditunjukkan
dengan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh daerah yang diarsir. Dengan demikian untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah, efisiensi alokasi sumberdaya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara desentralistik. Namun, untuk barang publik yang bersifat nasional, yaitu pada saat seluruh masyarakat di negara tersebut dapat memanfaatkan barang tersebut, sistem produksi pada masingmasing daerah yaitu qA dan qB akan menghasilkan barang yang lebih kecil dari tingkat efisiensi nasional, yaitu pada saat
∑ DN
berpotongan dengan MC. Dengan
demikian, barang publik ini akan lebih efisien apabila diproduksi secara sentralistik. Alasan barang publik nasional sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat menurut Pogue dan Sgontz (1978) adalah: 1. Skala ekonomi. Efisiensi dalam pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring
kebijakan
pemerintah.
Proses
pengambilan
keputusan,
implementasi dan monitoring dan evaluasi beragam antar jenis program, populasi penduduk, dan luas wilayah. Keputusan mengenai pembangunan fasilitas umum, untuk suatu wilayah dan populasi tertentu menjadi lebih mahal jika wilayah tersebut dibagi, sehingga terdapat unit pengambilan keputusan yang lebih banyak. Pada kasus ini biaya pengambilan keputusan menurun jika
20
skalanya meningkat, pada kasus lainnya biaya pengambilan keputusan menjadi lebih murah jika dilakukan untuk wilayah dan populasi yang terbatas. Pada kasus pertama pada saat diperlukan skala ekonomis yang besar, pengambilan keputusan cenderung efisien apabila dilakukan secara sentralistik dan sebaliknya. 2. Distribusi pendapatan. Kebijakan redistribusi pendapatan secara umum akan menurunkan kesejahteraan sebagian masyarakat. Masyarakat yang kaya akan dirugikan sementara masyarakat yang miskin lebih diuntungkan. Apabila kebijakan ini dilakukan secara parsial, berbeda antar daerah, maka akan memberikan insentif kepada kelompok masyarakat kaya untuk pindah ke daerah yang lebih menguntungkan (yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan lebih rendah). Sementara itu, sebaliknya untuk masyarakat yang lebih miskin akan memiliki insentif migrasi pada arah sebaliknya. Dengan demikian daerah yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan yang lebih besar akan kehilangan masyarakat yang kaya. Secara umum, pemerintah suatu daerah tidak ingin kehilangan kelompok masyarakat kaya, sehingga akhirnya semua daerah
akan mengurangi program redistribusi pendapatan. Dengan
demikian, program redistribusi pendapatan akan lebih baik jika dilakukan secara aggregat dan bersifat sentralistik, sehingga tidak ada ekses negatif berupa migrasi masyarakat kaya dan miskin. Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, program bantuan kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, terkadang dalam format yang sangat rigid, sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif. Pada sistem desentralisasi fiskal pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi dalam bentuk block grant, sehingga perencanaan program implementasi serta monitoring dan evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
21
sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan penerimaan lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana BHPBP berfungsi dalam memperkecil kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber dana BHPBP berasal dari pajak dan bukan pajak (sumber daya alam). BHPBP berasal dari pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan BHPBP yang berasal dari sumber daya alam berasal dari kegiatan di sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi. Selain dana BHPBP tersebut, komponen dana perimbangan lainnya adalah DAU dan DAK, yang merupakan implementasi dari block grant dalam sistem desentralisasi fiskal ini. DAU memiliki fungsi dalam memperkecil kesenjangan horisontal antar daerah. DAU ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah dan berjumlah minimal 26 persen dari total APBN. Apabila celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka besar DAU yang diterima sebesar alokasi dasar yang diterima. Namun, apabila celah fiskal tersebut negatif dan lebih besar dari alokasi dasar, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Dengan
22
demikian, semakin tinggi potensi suatu daerah maka akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang semakin kecil, dan sebaliknya. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen dana perimbangan yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan telah ditetapkan dalam APBN. Sementara itu komponen lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sisi pembiayaan terdiri dari SILPA, Dana pinjaman, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pinjaman bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat. Selama berlangsungnya kebijakan desentralisasi fiskal, telah diberlakukan perbaharuan di bidang fiskal oleh pemerintah, terutama berhubungan dengan sisi pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 merupakan sumber pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan panganggaran dan belanja negara yang mengacu pada tiga pila penganggaran yaitu penganggaran terpadu (uniified budgeting), penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework). Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu tersebut menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan, namun dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Sehingga apabila rincian belanja sebelumnya berdasarkan pendekatan sektor, subsektor, program dan kegiatan, maka berubah menjadi pendekatan berdasarkan fungsi, subfungsi, program dan kegiatan. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran (output) dan/hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi
dalam
pencapaian
hasil
dan
keluaran
tersebut.
Selanjutnya
pemberlakukann konsep kerangka pengeluaran jangka menengah menyebabkan perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja seharusnya dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun.
23
Bentuk pengeluaran/belanja APBD dapat dirinci menurut beberapa bentuk antara lain: menurut urusan pemerintahan (urusan wajib dan urusan pilihan), menurut program, menurut organisasi, menurut kegiatan, menurut kelompok, menurut jenis, menurut objek/rincian objek belanja. Format pengeluaran berdasarkan urusan diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Format berdasarkan urusan tersebut terbagi atas urusan wajib dan pilihan. Format urusan wajib terdiri atas urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial dan tenaga kerja. Format
pengeluaran
pemerintah
berdasarkan
bidang
diatur
dalam
Kepmendagri No 29 tahun 2002 yang terdiri dari bidang administrasi pemerintahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal dan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang,
pemukiman,
pekerjaan
umum,
perhubungan,
lingkungan
hidup,
kependudukan, olahraga, kepariwisataan dan pertanahan. Menurut Mangkoesoebroto (2000), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Perubahan permintaan terhadap barang publik. 2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik. 4. Perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan
24
prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek, misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Dengan demikian, pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak (eksternalitas) negatif dari polusi dan juga melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara- negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin besar disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas
25
bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu, peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran tersebut adalah penerimaan pemerintah dari pajak juga harus meningkat. Pemerintah akan meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan pengalihan aktivitas swasta kepada aktivitas pemerintah. Perang ternyata tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibat hal tersebut, tarif pajak yang seharusnya dapat diturunkan oleh pemerintah setelah perang, tidak dapat dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Pninngkatan pengeluaran pemerintah karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Gangguan sosial juga dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan dari swasta kepada tangan pemerintah. Hal tersebut dikenal dengan istilah efek konsentrasi (concentration effect). Ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Pemerintah
memiliki
kecenderungan
untuk
senantiasa
berusaha
memperbesar pengeluaran pemerintahnya, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun, masyarakat mempunyai suatu tingkat
26
toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini menjadi barrier bagi pemerintah untuk tidak dapat menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena (Mangkoesoebroto, 2000). 2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka untuk meningkatkan pengeluaran agregat (atau merangsang pengeluaran agregat). Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun berrsifat kontraktif dan ekspansif. Keynes menjelaskan modelnya dalam General Theory sebagai berikut: C + I + G + (X-M) ................................................................................................ (1) Dimana: C
=
total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa
I
=
total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap barang dan jasa
G
=
(X – M) =
total nilai pengeluaran pemerintah terhadap barang dan jasa ekspor bersih barang dan jasa
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal melalui instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1) Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) Kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan 3) Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu 1) menganalisis pengaruh permintaan dan pengeluaran negara bagi perbaikan kondisi perekonomian, penurunan tingkat
27
pengangguran, dan kestabilan harga, 2) pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilitasi ekonomi, 3) pengembangan aspek sosial seperti pemerataan pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan instrumen kebijakan fiskal yang terdiri dari pengeluaran pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apabila pemerintah ingin menciptakan stabilisas harga, maka kebijakan fiskal yang dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan aggregat akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan meningkatkan permintaan aggregat dalam perekonomian.
2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan berbagai model pertumbuhan ekonomi yang secara dinamis bermunculan mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Adam Smith melalui Teori Klasiknya beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output produksi yang dihasilkan. Selain Adam Smith, David Ricardo juga berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, apabila pertambahan penduduk menjadi semakin besar hingga mencapai dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja tersebut akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah yang semakin kecil tersebut kemudian hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Teori Klasik tersebut kemudian dikembangkan menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord-Domar dan Robert Solow. Harrord-Domar
28
beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan model Solow yang merupakan pengembangan dari model Harrod-Domar sekaligus merupakan pilar yang kontributif bagi pengembangan teori Neoklasik menambahkan
faktor
tenaga
kerja
dan
teknologi
ke
dalam
model
pertumbuhannya. Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah. Sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan, maka memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale). Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang positif. (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi pada skala nasional maupun dalam skala daerah/regional. Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya mengunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara aggregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Richardson (2001) adalah titik berat dalam perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya. Menurut BPS (2008), pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat pada satu periode waktu tertentu. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud tersebut diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar
29
mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga. Konsep yang digunakan oleh BPS untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah tersebut melalui pendekatan (proxy) PDB/PDRB. Pada tingkat nasional, pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada tingkat daerah merupakan laju dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari performa perekonominan dalam memproduksi barang dan jasa. PDB/PDRB dapat dihitung berdasarkan pendekatan Pengeluaran, Pendapatan dan Sektoral/Lapangan Usaha. Dalam
penelitian
ini,
PDB/PDRB
yang
digunakan
adalah
pendekatan
sektoral/lapangan usaha. Nilai PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari nilai tambah beberapa sektor perekonomian yang ada di daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut diantaranya adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. PDRB suatu daerah berdasarkan sektor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sektor besar, yaitu sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan pertambangan, sektor sekunder terdiri atas sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor bangunan, dan sektor tersier terdiri atas sektor sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. Pengelompokan tersebut biasanya diperlukan untuk melihat perubahan struktur ekonomi. Namun dalam penelitian ini, PDRB dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu Pertanian, Industri, Jasa (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa-jasa), serta Lainnya (pertambangan, listrik-gas-air, dan konstruksi) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumedi (2005).
2.1.5 Konsep Kemiskinan Konsep dan definisi kemiskinan yang ada selama ini sangat beragam. Keberagaman tersebut selain disebabkan oleh data dan metodologi yang berbeda, juga oleh latar belakang ideologi yang dianut oleh para ahli maupun
30
lembaga, sehingga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah secara sosial dan ekonomi. Friedman (2003) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah perbedaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial yang meliputi: aset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisasi sosial politik, dan jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Berdasarkan definisi diatas, kemiskinan tidak hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, namun juga sebagai kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Menurut Sen (1985) kemiskinan adalah kegagalan untuk berfungsinya beberapa kapabilitas dasar. Seseorang dikatakan miskin jika kekurangan kesempatan untuk mencapai/mendapatkan kapabilitas dasar ini. Sen juga menyatakan bahwa kemiskinan tidak boleh hanya dianggap sebagai pendapatan rendah (low income), tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap). Kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya, sebagaimana digambarkan oleh World Bank (2000) dalam Harniati (2007) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan pangan dan tempat berlindung, rendahnya tingkat kesehatan, tidak dapat bersekolah dan membaca, tidak memiliki pekerjaan, kekhawatiran akan masa depan, tidak berdaya dan tidak memiliki kebebasan. Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) melibatkan multidimensi, multidefinisi dan alternatif pengukuran. Kemiskinan diukur dalam dua dimensi yaitu dimensi income (kekayaan) dan dimensi non-faktor keuangan. Kemiskinan dalam dimensi income (kekayaan) tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena biasanya bersifat sementara, namun juga diukur melalui kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya ketidakberdayaan atau keputusasaan yang menimpa rumah tangga
31
berpenghasilan rendah. Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering digunakan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, perumahan, pakaian, transportasi dan kesehatan dasar. Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingkan pendapatan rumah tangga dengan rata-rata pendapatan nasional. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan fatalistis. Dalam kaitan tersebut, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz, 1988) Menurut Bank Dunia (2005), penduduk miskin di dunia secara langsung maupun tidak langsung tergantung pada sektor pertanian. Sekitar 70 persen dari penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari mereka hidup dengan bergantung pada sektor pertanian. Penduduk miskin akan diuntungkan dengan adanya pembangunan di sektor pertanian. Pembangunan tersebut tidak hanya akan meningkatkan pertanian, namun juga akan meningkatkan ketahanan pangan nasional dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Sehingga pembangunan pertanian akan menjadi sumber pertumbuhan seluruh negeri. Berkaitan dengan akses yang terbatas sebagai salah satu indikator kemiskinan, penduduk miskin biasanya berada pada daerah-daerah yang minim akses dan cenderung terisolasi dengan daerah sekitarnya. Hal tersebut membuat mobilitas mereka terbatas. Keterbatasan ini membuat mereka tidak dapat mengambil keuntungan dalam berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Peran infratruktur seperti jalan akan menyebabkan terbukanya akses daerah tersebut, sehingga dapat menurunkan biaya produksi dan
32
dapat menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat ekonomi serta menjadikan akses pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah. Infrastruktur seperti jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi, baik di sektor pertanian maupun non-pertanian, sehingga menciptakan kesempatan ekonomi baik bagi masyarakat desa maupun kseseluruhan (Kwon, 2001). Terdapat beberapa faktor penyebab kemiskinan. Menurut Alfian (1980), terdapat dua hal penyebab kemiskinan, yaitu penyebab struktural dan kultural. Kemiskinan struktural disebabkan oleh berubahnya kondisi sosial ekonomi yang bersifat periodik, seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Sementara kemiskinan kultural disebabkan oleh budaya kaum miskin yang enggan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, karena mereka telah terjebak dalam budaya kemiskinan. Sehingga sumber kemiskinan ada pada masyarakat miskin itu sendiri. Penanggulangan kemiskinan kultural akan memerlukan waktu lebih lama karena diperlukan perubahan pandangan hidup. Sementara kemiskinan struktural dapat diatasi dengan perubahan struktur, baik lembaga ekonomi, sosial maupun lembaga lainnya. Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, sesuai dengan konsep dan definisi yang diusung oleh masing-masing lembaga dalam mengukur kemiskinan. Bank Dunia menyatakan bahwa kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Kemiskinan dapat dihitung berdasarkan ukuran kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak
33
mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut adalah tetap (tidak berubah) dalam hal standar hidup, sehingga garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan dapat dibandingkan antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia menggunakan dua ukuran kemiskinan absolut, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara, sehingga bermanfaat dalam menentukan fokus penyaluran sumberdaya finansial (dana) yang ada, dan untuk menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Penelitian ini menggunakan konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Seseorang dikatakan miskin apabila kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari atau setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan dan kebutuhan non makanan
34
minimum yang dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi dengan besaran yang berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi. Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar tersebut, terdapat tiga indikator yang digunakan yaitu
1) Head Count Index (HCI) yaitu persentase jumlah
penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK), 2) Poverty Gap Index
atau kedalaman/jurang kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini, maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk, 3) Poverty Severity Index yaitu ukuran yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka semain tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
2.1.6 Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Davoodi dan Zou (1998) melihat bahwa desentralisasi fiskal merupakan bagian dari suatu paket reformasi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, meningkatkan kompetisi diantara pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Davoodi dan Zou menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan di negara maju. Namun sebaliknya terdapat hubungan yang negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena pemerintah daerah kurang dapat mengalokasikan pengeluarannya kepada sektor-sektor yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin melambat. Oates (1993) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui pelimpahan wewenang fiskal yang lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan pelayan publik
35
kepada masyarakat. Peningkatan pelayanan publik tersebut merupakan indikator dari pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal juga digambarkan oleh kurva Scully. Kurva Scully ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan
tingkat
pertumbuhan
diformulasikan
Scully,
porsi
ekonomi. pengeluaran
Dalam
model
pemerintah
kuadratik menjadi
yang
variabel
independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 4. t
g Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
Sumber: Chao dan Grubel, 1997
Gambar 4
Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB.
Hubungan mengenai kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi juga dapat digambarkan melalui hubungan antara kurva perpotongan Keynesian, kurva IS-LM dan kurva AD-AS. Misalkan di dalam suatu perekonomian terdapat perubahan dalam salah satu kebijakan fiskalnya, yaitu kenaikan belanja pemerintah. Belanja pemerintah merupakan salah satu komponen pengeluaran, sehingga kenaikan pada belanja pemerintah tersebut akan mengakibatkan peningkatan pengeluaran yang direncanakan untuk semua tingkat pendapatan.
Pengeluaran
36
E
Pengeluaran Aktual, Y=E Pengeluaran
E2 yang
direncanakan,
B
E2=Y2
E1 E=C+I+G
ΔG A
E1=Y1
Tingkat Bunga
Y1
Y2
Y Pendapatan, Output
r LM B r2 A r1 ΔG/(1-MPC) IS2 IS1 Y1
Y2
Y Pendapatan, Output
Harga
P AS B P2 A P1
AD2 AD1 Y1
Y2
Output
Y
Sumber: Mankiw, 2006
Gambar 5
Hubungan kebijakan fiskal dengan pertumbuhan output.
37
Pada kurva perpotongan Keynesian, hal tersebut dicerminkan dengan pergeseran garis E1 ke E2 sebesar ΔG . Perubahan dalam belanja pemerintah kemudian akan menggeser titik keseimbangan dari A menjadi B, dan menggeser pendapatan menjadi meningkat dari dari Pergeseran titik keseimbangan tersebut Y1 menjadi Y2. Kenaikan belanja pemerintah tersebut akan mendorong kenaikan pendapatan yang lebih besar karena adanya multiplier effect. Perubahan dalam kenaikan belanja pemerintah yang menyebabkan kenaikan pendapatan sehingga meningkatkan permintaan akan barang dan jasa tersebut akan menggeser kurva IS ke kanan dalam pasar barang dan jasa. Pergeseran kurva IS ke arah kanan, yaitu dari IS1 ke IS2 tersebut tentunya akan menggeser titik keseimbangan. Apabila semula keseimbangan berad berada pada titik A, maka sekarang keseimbangan tersebut terletak pada titik B. Perubahan titik keseimbangan tersebut juga akan menggeser output dari Y1 menjadi Y2. Pergeseran output dari Y1 menjadi Y2 tersebut menunjukkan adanya suatu peningkatan output. Pada kurva AD-AS, peningkatan output dari Y1 menjadi Y2 akan meningkatkan aggregat demand. Peningkatan aggregat demand tersebut ditandai dengan bergesernya kurva AD dari AD1 menjadi AD2.
2.1.7 Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan Widhiyanto (2008) menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga semakin tinggi share dana perimbangan terhadap pengeluaran pemerintah daerah, maka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan memiliki hubungan negatif terhadap kesenjangan pendapatan perkapita antar daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi upaya penurunan kemiskinan melalui berbagai cara yang berbeda di masing-masing negara baik melalui jalur langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut disebabkan kemiskinan didefinisikan sebagai penurunan kualitas berbagai aspek kehidupan, baik kebutuhan dasar, pendapatan rumah tangga maupun keamanan. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam rangka menurunkan kemiskinan merupakan dampak kebijakan desentralisasi yang cukup penting. Sementara melalui jalur tidak langsung, kebijakan desentralisasi juga akan mempengaruhi peningkatan dan
38
redistibusi pendapatan, penguatan dan partisipasi rakyat miskin serta kerentanan terhadap goncangan dari luar (Boex et al, 2006) Sepulveda dan Vazques (2010) menemukan bahwa penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari adanya kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memiliki peranan penting melalui kebijakan yang terbuka dan langsung. Kebijakan fiskal akan memiliki dampak dalam penurunan kemiskinan melalui pertumbuhan tanpa mengesampingkan kondisi dari ketimpangan distribusi pendapatan pada suatu daerah. Kuznets (1955) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Hasilnya, ada suatu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan, yang kemudian dikenal dengan hipotesis kurva U terbalik (Inverted U-curve Hypothesis).
Sumber: Kuznets (1955)
Gambar 6 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve hypothesis) Berdasarkan hipotesis Kuznets tersebut, ketimpangan pendapatan dalam suatu negara akan meningkat pada tahap awal pertumbuhan ekonominya, kemudian pada tahap menengah cenderung tidak berubah dan akhirnya menurun ketika negara tersebut sejahtera. Ketimpangan pendapatan yang besar pada fase
39
awal pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh proses perubahan yang terjadi dalam perekonomian suatu negara dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Kuznets menitikberatkan pada perubahan struktural yang terjadi pada pembangunan ekonomi. Ketika peranan sektor industri semakin meningkat, maka akan terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri modern termasuk industri pengolahan dan jasa. Dalam transisi ekonomi ini, produktivitas tenaga kerja pada sektor industri modern lebih tinggi daripada produktivitas pada sektor pertanian. Kondisi tingginya produktivitas tenaga kerja pada sektor industri modern tersebut menyebabkan pendapatan per kapita pada sektor industri modern juga akan lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan perkapita yang diperoleh pada sektor pertanian. Perbedaan pendapatan perkapita tersebut akan menyebabkan ketimpangan antara kedua sektor itu yang semakin meningkat pada tahap awal pembangunan dan kemudian menurun pada tahap selanjutnya. Kuznets juga mengemukakan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar
juga dapat terjadi pada negara-negara yang belum berkembang
(under-developed countries). Hal tersebut berkaitan dengan rata-rata pendapatan per kapita yang lebih rendah. Kuznets mengasumsikan bahwa ketimpangan pendapatan ada bersama (presumably coexisted) dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang rendah. Namun, hubungan mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan memiliki bentuk hubungan yang berbeda-beda di setiap negara, yang semuanya itu tergantung pada proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara. Dalam suatu penelitian pada 13 negara berkembang mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan, diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap negara. Korea Selatan dan Taiwan mengalami
laju
pertumbuhan
yang
tinggi
dan
distribusi
pendapatan
masyarakatnya mengalami perbaikan, atau setidaknya tidak bertambah buruk. Namun demikian Panama dan Meksiko juga mengalami pertumbuhan ekonoi yang tinggi, namun hal tersebut disertai dengan semakin buruknya kondisi distribusi pendapatan. Negara India, Peru dan Filipina memiliki laju pertumbuhan yang rendah, juga distribusi pendapatan yang buruk bagi 40 persen penduduknya
40
yang paling miskin. Meskipun Srilanka, Kolombia, Kostarika, dan El Salvador memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun mereka dapat memperbaiki kesejahteraan ekonomi penduduknya yang berpendapatan rendah. Penduduk miskin pada semua negara yang diteliti tersebut ikut menikmati manfaat pertumbuhan ekonomi walaupun tidak terdapat hubungan yang langsung dan positif antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat perbaikan pemerataan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi perbaikan taraf hidup masyarakat miskin atau tidak sangat bergantung pada karakter pertumbuhan ekonomi tersebut, yaitu bagaimana cara mencapainya, siapa yang berperan serta, sektor-sektor mana saja yang mendapat prioritas, lembaga-lembaga apa yang menyusun dan mengaturnya, dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dialokasikan pada sektor-sektor pro poor akan dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin (Todaro dan Smith, 2006).
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di
Indonesia pada masa desentraliasi fiskal ini masih relevan dilakukan walaupun penelitian serupa telah banyak dilakukan. Namun, penelitian-penelitian mengenai desentralisasi fiskal yang telah dilakukan mencakup kurun waktu awal pelaksanaan desentralisasi fiskal. Padahal di sisi lain sistem desentralisasi fiskal sampai saat ini masih berjalan, dan tentunya terdapat perkembanganperkembangan dalam implementasinya, sehingga diperlukan penelitian pada kurun waktu terbaru. Selain itu perubahan dalam format anggaran penerimaan dan belanja pemerintah daerah turut menjadi perhatian dalam penelitian ini yang belum dicakup dalam penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebijakan fiskal dan kemiskinan dan menjadi bahan rujukan penelitian ini adalah sebagai berikut: Ravallion (2001) melakukan penelitian di 50 negara sedang berkembang pada tahun 1990an, ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan kemiskinan dan pertumbuhan pendapatan rata-rata, tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan
41
pendapatan; pertumbuhan ekonomi akan memiliki dampak pengurangan kemiskinan yang kuat jika tingkat ketimpangan awal rendah; dan terdapat konvergensi di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia. Dagderiven (2002) meneliti 50 negara sedang berkembang selama kurun waktu 1980-1990an dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak merupakan selalu cara yang terbaik untuk mengurangi kemiskinan, suatu kombinasi pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan merupakan cara paling efektif (the most effective way) untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara, dan tidak semua kebijakan redistribusi memiliki tingkat efektifitas yang sama bagi setiap negara berkembang. Sepulveda dan Vazques (2010) melakukan penelitian mengenai kebijakan desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Penelitian tersebut dilakukan terhadap beberapa negara yang berada pada level pembangunan yang berbeda-beda selama kurun waktu 1971-2000 dengan menggunakan analisi data panel dengan model nonlinear. Hasil yang didapat adalah bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh nyata terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal memiliki dampak mengurangi kemiskinan sepanjang pengeluaran pemerintah untuk transfer tidak lebih dari sepertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah. Sementara desentralisasi fiskal juga akan membantu mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan apabila pemerintah umum mewakili secara nyata bagian dari perekonomian sebesar lebih dari dua puluh persen. Penelitian menngenai kebijakan desentraliasi fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan tidak hanya dilakukan di luar negeri. Beberapa penelitian mengenai kebijakan fiskal berkaitan dengan sistem desentralisasi di Indonesia telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut yaitu: Brodjonegoro, Anton dan Riatu (2001) melakukan penelitian mengenai alokasi sumberdaya alam dalam rangka desentralisasi. Penelitian tersebut menganalisis pengaruh dan efektivitas
UU No. 25 Tahun 1999 terhadap
pemerataan pendapatan daerah, pertumbuhan ekonomi daerah serta pengaruhnya terhadap beberapa variabel makroekonomi seperti konsumsi dan investasi yang dilakukan dilakukan dengan model ekonometrika desentralisasi. Model yang
42
mengacu pada sistem ekonomi tertutup tersebut menggunakan data tahun 19911995 terhadap daerah potensial sumberdaya alam dan non potensi sumberdaya alam menunjukkan hasil analisis bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, kebijakan alokasi sumberdaya alam dan dana alokasi umum yang merupakan kebijakan yang saling terkait serta berdampak yang cukup besar terhadap perekonomian makro. Sartiyah (2001) melakukan penelitian mengenai dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara dengan menggunakan data panel makroekonomi kedua kabupaten selama kurun waktu 1988-1997. Hasil penelitian dengan menggunakan persamaan simultan tersebut memberikan hasil bahwa implementasi desentralisasi fiskal menunjukkan fenomena yang berbeda di kedua daerah. Sementara itu, hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suku bunga berdampak positif terhadap perekonomian di kabupaten Aceh Besar, sedangkan peningkatan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan memberikan dampak positif dan cukup besar bagi perekonomian kabupaten Aceh Utara. Sumedi (2005) melakukan penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dan kinerja perekonomian nasional dan daerah. Penelitian ini dilakukan terhadap propinsi-propinsi di Indonesia dan terhadap kabupaten/kota di Jawa Barat dengan menggunakan analisis persamaan simultan terhadap data panel tahun 1995-2002. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa implementasi kebijakan fiskal tersebut memberikan dampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah, dan kinerja perekonomian baik pada skala nasional maupun di Jawa Barat. Namun implementasi tersebut di sisi lain meningkatkan kesenjangan antar daerah pada awal tahun 2001, yang kemudian berangsur menurun seiring dengan perbaikan formulasi DAU. Hasil analisis dampak yang memberikan hasil terbesar pada kinerja fiskal dan perekonomian daerah adalah realokasi anggaran rutin kepada anggaran pembangunan, dan menurunkan kesenjangan antar daerah (KBI dan KTI), sementara pada kasus Jawa Barat dampak realokasi tersebut meningkatkan kesenjangan.
43
Nanga (2006) dalam studinya yang bertujuan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap aspek-aspek fiskal maupun kinerja perekonomian yang berfokus pada distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang terdiri atas 6 blok persamaan. Penelitian tesebut dilakukan terhadap 25 propinsi selama kurun waktu 1999-2002 yang menunjukkan hasil bahwa transfer fiskal di Indonesia cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan; kemiskinan ternyata dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan dan hal tersebut ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan pada indeks Gini. Panjaitan (2006) meneliti mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara dan melakukan simulasi kebijakan dengan menggunakan model ekonometrika persamaan simultan. Berdasarkan pengolahan terhadap data 17 kabupaten/kota selama kurun waktu 1990-2003 diperoleh hasil bahwa dampak desentralisasi fiskal melalui peningkatan DAU akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja serta distribusi pendapatan khususnya di perkotaan. Usman (2006) meneliti mengenai desentralisasi fiskal, distribusi pendapatan dan kemiskinan terhadap 308 kab/kota yang diaggregasi menjadi 26 propinsi selama kurun waktu 1995-2003. Penelitian menggunakan data panel dalam menentukan dampak desentralisasi fiskal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal terindikasi dapat menciptakan pemerataan distribusi pendapatan, namun pengaruhnya belum terbukti nyata secara statistik karena baru berjalan selama tiga tahun, dan mengurangi kemiskinan secara nyata. Sektor pertanian terbukti paling efektif dalam penciptaan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan, sementara sektor pendidikan dan kesehatan merupakan sektor yang harus di prioritaskan. Astuti (2007) meneliti mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian daerah di propinsi Bengkulu terhadap 3 kabupaten dan satu kota selama kurun waktu 1993-2003 dengan menggunakan persamaan simultan dalam membangun model ekonometrika. Hasil penelitian
44
tersebut menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal seluruh kinerja ekonomi daerah dan keuangan di kabupaten sebagian besar dipengaruhi oleh realokasi anggaran rutin kepada anggaran pembangunan, sementara di daerah perkotaan dipengaruhi oleh peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran pemerintah. Hermami (2007) melakukan penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di dua daerah yaitu kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal melalui peningkatan DAU, PAD, dana bagi hasil, realokasi pengeluaran rutin kepada pengeluaran pembangunan dan pengeluaran sektor infrastruktur memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah, sera mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Rozi (2007) melakukan penelitian di Propinsi Riau mengenai dampak otonomi
daerah
terhadap
pengurangan
kemiskinan.
Penelitian
tersebut
menggunakan persamaan simultan terhadap data panel kabupaten/kota tahun 1996-2004. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah mampu meningktakan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah. Pakasi (2008) dalam penelitiannya mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Sulawesi Utara menemukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah. Dampak desentralisasi fiskal tersebut apabila dilihat menurut sisi pendapatan dan pengeluaran terlihat bahwa dampak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sementara dampak investasi memiliki dampak lebih besar terhadap perekonomian daerah. Penelitian tersebut menggunakan persamaan simultan terhadap data panel 5 kabupaten/kota di Sulawesi Utara selama tahun 1989-2002. Widhiyanto
(2008)
meneliti
peran
desentralisasi
fiskal
terhadap
pembangunan daerah dan disparitas pendapatan regional di Indonesia selama kurun waktu 1994-2004. Penelitian ini menggunakan analisis data panel terhadap variabel-variabel PDRB, IPM, kepadatan penduduk, tingkat desentralisasi fiskal,
45
indeks theil, pengeluaran pemerintah daerah dan PAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1994-2000 terjadi divergensi ekonomi, sementara pada kurun waktu 2001-2004 terjadi konvergensi ekonomi. Selain itu desentralisasi fiskal memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan memiliki dampak negatif terhadap disparitas pendapatan perkapita regional. Rindayati (2009) meneliti mengenai dampak dari desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat. Penelitian tersebut menggunakan persamaan simultan yang terdiri dari empat blok persamaan yaitu blok Fiskal Daerah, PDRB, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan terhadap data 13 kabupaten selama kurun waktu 1995-2005. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah; pertumbuhan ekonomi Jawa Barat meningkat selama periode desentralisasi fiskal walaupun masih di bawah nasional; pada masa desentralisasi fiskal terdapat perlambatan pada laju penurunan jumlah penduduk miskin dan terjadi peningkatan penduduk rawan pangan; dan terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi.
2.3
Kerangka Pemikiran Sistem desentralisasi yang digulirkan berdasarkan UU No.22/1999 (UU
No.33/2004) dan UU No.25 tahun 1999 (UU No.33/2004) memberikan kewenangan terhadap daerah untuk dapat mengatur pemerintahan daerahnya masing-masing secara politik, administrasi dan fiskal. Desentralisasi pada sisi fiskal memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan keleluasaan mengatur dana yang diperolehnya melalui dana perimbangan seperti DAU maupun mobilisasi potensi sumberdaya daerah seperti pajak dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak secara optimal. Penerimaan daerah tersebut kemudian dialokasikan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dan pelayanan masyarakat sesuai dengan tujuan daerah. Tujuan daerah salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk pada daerah tersebut. Oleh karena itu pengalokasian kepada sektor-sektor yang mengutamakan kepentingan publik atau rakyat sangat diperhatikan.
46
Desentralisasi
Politik
Administrasi
Fiskal
Kinerja Fiskal Daerah
Alokasi Pengeluaran Daerah pada sektor pro poor: • Pertanian • Pendidikan dan Kesehatan • Infrastruktur
Penerimaan Daerah • Pajak • DAU • BHPBP
• Peningkatan Output • Perbaikan Distribusi Pendapatan
Kemiskinan Keterangan: ----- = tidak termasuk di dalam penelitian
Gambar 7 Kerangka Pemikiran. Pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini dibagi kepada sektor pelayanan publik dan sektor yang memiliki kaitan erat dengan kemiskinan (pro poor) yaitu bidang pertanian, bidang pendidikan dan kesehatan dan bidang infrastruktur. Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki share besar pada perekonomian hampir seluruh propinsi di Indonesia dan memiliki tingkat penyerapan tenaga
47
kerja yang tinggi. Selain itu, penduduk miskin di Indonesia sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Bidang pendidikan dan kesehatan berperan dalam peningkatan sumberdaya manusia. Semakin baiknya kondisi sumberdaya manusia akan
dapat
meningkatkan
produktivitas
yang
selanjutnya
akan
dapat
meningkatkan output. Sementara itu bidang infrastruktur berperan dalam memperlancar akses kepada sumber-sumber ekonomi dan memudahkan akses kepada fasilitas-fasilitas publik. Perubahan kebijakan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan penerimaan daerahnya kepada sektor publik yang memihak kepada upaya-upaya pengurangan kemiskinan tersebut diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perekonomian daerah, salah satunya
yaitu output sektoral.
Peningkatan output sektoral tersebut kemudian akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi output yang meningkat dan distribusi pendapatan yang semakin baik tersebut kemudian akan dapat memperbaiki taraf hidup penduduk miskin, dan kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin. Kerangka pemikiran dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dapat dilihat pada gambar 7.
2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis Penelitian terbagi menjadi dua yaitu hipotesis mayor dan hipotesis
minor. Hipotesis-hipotesis tersebut adalah: a) Hipotesis mayor adalah kebijakan fiskal daerah berpengaruh positif terhadap output dan pengurangan kemiskinan. b) Hipotesis minor yang menghubungkan keterkaitan antar blok dalam sistem persamaan penelitian adalah: 1.
Penerimaan pajak daerah yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin akan berpengaruh positif terhadap pengeluaran daerah melalui PAD dan penerimaan daerah.
2.
Pengeluaran daerah akan berpengaruh positif terhadap output melalui pembiayaan pada pengeluaran pembangunan terhadap sektor pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
3.
Output daerah akan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan
48
4.
Kemiskinan
akan
berpengaruh
negatif
terhadap
fiskal
daerah
(penerimaan) melalui penerimaan pajak daerah. Hipotesis secara keseluruhan dari model sistem persamaan dalam penelitian tercermin dari tanda parameter pada setiap persamaan struktural pada model penelitian.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data panel yang mencakup 26 provinsi selama kurun waktu tahun 2003-2009. Data tersebut merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dirjen Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan. Data yang digunakan antara lain adalah data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan propinsi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) propinsi, data kemiskinan propinsi, tenaga kerja dan jumlah penduduk propinsi. Data-data pendukung lainnya seperti buku, artikel dan jurnal diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, dan situs-situs yang berkaitan dengan penelitian.
3.2 Metode Analisis Pada masa desentralisasi fiskal, salah satu visi pembangunan Indonesia yaitu penurunan tingkat kemiskinan masih belum tercapai. Hal tersebut terlihat dari persentase kemiskinan Indonesia yang belum dapat mencapai target RJPM 2004-2009 yaitu sebesar 8.2%. Padahal, dana perimbangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai stimulus bagi daerah untuk dapat menjalankan pemerintahan dan memacu perekonomian daerah semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut, maka kemudian dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana dinamika kinerja fiskal, output daerah dan kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal, melalui suatu analisis deskriptif. Selain itu ingin dianalis pula faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan dengan menggunakan analisis model persamaan simultan. Setelah diketahui faktor-faktor tersebut, kemudian dilakukan analisis simulasi untuk melihat kebijakan fiskal daerah pada sisi penerimaan dan pengeluaran APBD yang memiliki dampak positif terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Hasil dari ketiga analisis tersebut kemudian dijadikan dasar bagi pengambilan kebijakan berkaitan dengan hasil penelitian ini.
50
PERMASALAHAN • Dana Perimbangan semakin meningkat • Tingkat Kemiskinan berada di bawah target RPJM 2004-2009
Gambaran Fiskal Daerah, Output dan Kemiskinan
Keterkaitan antara Fiskal Daerah, Output dan Kemiskinan
Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan
Analisis Deskriptif
Analisis Ekonometrika Model Persamaan Simultan
Analisis Simulasi
Implikasi Kebijakan
Gambar 8 Kerangka Analisis.
3.2.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini berisi mengenai dinamika fiskal daerah, output dan kemiskinan tersebut dan juga gambaran mengenai kinerja fiskal daerah. Kinerja fiskal daerah tersebut dilihat dari ketersediaan fiskal (Fiscal Available) yang terbagi menjadi tiga sumber, yaitu: (1) Fiskal yang tersedia murni dari dearah tersebut, yang dihitung melalui Derajat Desentralisasi Fiskal, yaitu rasio dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah. Secara umum rasio dapat diformulasikan sebagai berikut : DDF =
PAD ………………………………………….............…………. (2) TPD
Keterangan : DDF = Derajat desentralisasi fiskal PAD
= Penerimaan Asli Daerah (Milyar Rupiah)
TPD
= Total penerimaan daerah (Milyar Rupiah)
51
(2) Fiskal yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah berupa Dana Bagi Hasil yang dihitung melalui Derajat Potensi Daerah. Derajat Potensi Daerah merupakan rasio dana bagi hasil terhadap total penerimaan daerah yang menunjukkan seberapa besar potensi daerah berupa sumberdaya manusia dan sumberdaya alam terhadap total penerimaan daerah tersebut. Secara umum Derajat Potensi Fiskal dapat diformulasikan sebagai berikut: DPS =
BHPBP ……………………….........................……………………..(3) TPD
Keterangan : DPS
= Derajat potensi sumberdaya alam dan manusia
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Milyar Rupiah) TPD
= Total penerimaan daerah (Milyar Rupiah)
(3) Fiskal yang tersedia merupakan pembagian dari pusat berupa DAU dan DAK. Besarnya fiskal yang tersedia dari pusat bagi daerah tertentu ditunjukkan melalui Derajat Ketergantungan Daerah. Ukuran ini dihasilkan berdasarkan rasio DAUdan DAK terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar nilai Derajat Ketergantungan Daerah maka menunjukkan belum mandirinya suatu daerah. Secara umum Derajat Ketergantungan Daerah dapat diformulasikan sebagai berikut: DKP =
DAU + DAK …………………………………………………...….. (4) TPD
Keterangan : DKP
= Derajat ketergantungan terhadap pemerintah pusat
DAU
= Dana Alokasi Umum (Milyar Rupiah)
DAK
= Dana Alokasi Khusus (Milyar Rupiah)
TPD
= Total penerimaan daerah (Milyar Rupiah)
Kinerja keuangan yang dilihat dari sisi penerimaan khususnya komponen PAD yang dibandingkan dengan TPD (Total Penerimaan Daerah) dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori merujuk pada suatu skala interval. Pengelompokan berdasarkan skala interval menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) ditunjukkan pada Tabel 1.
52
Tabel 1 Skala interval derajat desentralisasi fiskal PAD/Penerimaan Daerah (%)
Kemampuan Keuangan daerah
00 - 10.00
Sangat Kurang
10.01 - 20.00
Kurang
20.00 - 30.00
Cukup
30.01 - 40.00
Sedang
40.01 - 50.00
Baik
> 50.00
Sangat Baik
Sumber : Tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan, 2005.
Selain ukuran-ukuran di atas, salah satu pengukuran dalam menilai kinerja fiskal adalah dengan mengukur derajat kemandirian daerah. Dengan mengukur derajat kemandirian daerah, dapat dilihat perkembangan seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Menurut Halim (2007), terdapat empat (4) formula yang dapat digunakan untuk mengukut derajat kemandirian daerah. Masing-masing formula dibandingkan dengan sisi penerimaan dan sisi pengeluaran.
Namun, penelitian ini hanya
menggunakan dua formula dari empat formula yang ada: DK =
PAD ……………………..………...........................………………….… (5) TKD
DKP =
PAD + BHPBP …………………………………....................……..…… (6) TKD
Keterangan: DK
= Derajat kemandirian daerah
PAD
= Pendapatan Asli Daerah (Milyar Rupiah)
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Milyar Rupiah) TKD
= Total pengeluaran Daerah (Milyar Rupiah)
3.2.2 Analisis Model Ekonometrika Model ekonometrika yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah model persamaan simultan. Model persamaan simultan adalah suatu model ekonometrika terdiri dari beberapa persamaan yang perilaku variabel-variabelnya saling berkaitan dan ditentukan secara bersamaan. Persamaan simultan biasa
53
digunakan untuk pemodelan ekonomi dan bisnis, karena proses dan perilaku ekonomi dan bisnis tersebut dapat direpresentasikan dengan baik melalui beberapa persamaan simultan yang saling memiliki ketergantungan. LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN TEORI • Peranan Pemerintah • Kebijakan Fiskal • PDRB • Kemiskinan
TUJUAN PENELITIAN
KERANGKA PEMIKIRAN
EMPIRIS Penelitian: • Yudhoyono (2004) • Sumedi (2005) • Usman (2006)
PENDEKATAN Model Ekonometrika Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan
PEMILIHAN DAN SPESIFIKASI MODEL 1.Blok Fiskal Daerah 2. Blok Output 3. Blok Kemiskinan
IDENTIFIKASI MODEL Overidentified
ESTIMASI MODEL 3-SLS (Three Stage Least Squares) EVALUASI (Intepretasi Hasil)
VALIDASI MODEL Uji Statistik RMSPE, U-Theil dan R2
SIMULASI MODEL
Gambar 9 Tahapan membangun model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia.
54
Dalam model persamaan simultan, masing-masing persamaan menjelaskan satu variabel yang ditentukan dalam model tersebut. Persamaan simultan terdiri atas dua jenis persamaan yaitu 1) persamaan struktural, merupakan persamaan yang berupa suatu fungsi, terdiri dari variabel-variabel yang diambil berdasarkan teori ekonomi yang ada, dan 2) persamaan identitas, yaitu persamaan yang bukan merupakan fungsi, namun hanya persamaan yang terdiri dari penjumlahan beberapa variabel. Variabel-variabel dalam persamaan identitas dapat berasal dari variabel dependen pada persamaan struktural, maupun variabel yang berasal dari luar persamaan struktural. Variabel yang digunakan dalam persamaan simultan dibedakan menjadi beberapa jenis. Variabel-variabel tersebut adalah 1) variabel endogen, yaitu variabel yang nilainya ditentukan dalam persamaan struktural dan 2) variabel predetermined yaitu variabel yang nilainya ditentukan terlebih dahulu. Variabel predetermined sendiri terbagi menjadi dua, yaitu a)
variabel eksogen, yaitu
variabel yang nilainya sepenuhnya ditentukan dari luar model persamaan dan b) variabel lagged endogen yaitu variabel yang nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan struktural, namun berdasarkan nilai yang telah lalu (Juanda, 2009). Analisis dengan model ekonometrika persamaan simultan ini diawali dengan spesifikasi model dimana pemilihan variabel dan model tersebut berdasarkan pada teori ekonomi serta penelitian terdahulu. Setelah model dispesifikasi, selanjutnya adalah mengidentifikasi model tersebut berdasarkan order condition dan rank condition. Apabila model telah teridentifikasi, maka model dapat diestimasi dengan menggunakan metode estimasi yang sesuai. Model yang telah diestimasi tersebut kemudian diintepretasikan, baik dari sisi tanda parameter (sign-test) maupun tingkat signifikansi model. Simulasi model dapat dilakukan apabila model tersebut valid. Apabila hasil validasi menunjukkan nilai yang baik, selanjutnya dilakukan simulasi model. Model simultan desentralisasi fiskal dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu menunjukkan jalur yang sederhana, jelas, serta dapat menangkap hubungan kebijakan fiskal daerah tersebut dengan upaya menanggulangi kemiskinan. Tahapan dalam membangun model analisis ekonometrika penelitian dapat dilihat pada gambar 9.
55
3.2.2.1 Spesifikasi Model Ekonometrika Model yang dipilih dalam melihat keterkaitan antara keuangan (fiskal) daerah, output daerah dan kemiskinan adalah model yang mengelompokkan persamaan-persamaan dalam tiga blok, yaitu blok fiskal penerimaan dan pengeluaran daerah, blok output daerah yang diproxy dari PDRB, dan blok kemiskinan. Alur keterkaitan blok-blok tersebut dapat dillihat pada gambar 10. Blok Fiskal Daerah (Penerimaan Daerah) Total Penerimaan Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) • Pajak • Retribusi • BUMD • Lainnya Dana Perimbangan • Dana Alokasi Umum (DAU) • Dana Alokasi Khusus (DAK) • Dana Bagi Hasil (BHPBP) Kapasitas Fiskal
Blok Fiskal Daerah (Pengeluaran Daerah) Total Pengeluaran Daerah • Bidang Pertanian • Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan • Bidang Infrastruktur Kesenjangan Fiskal
Blok Output Total PDRB • PDRB Sektor Pertanian • PDRB Sektor Industri • PDRB Sektor Jasa • PDRB Sektor Lainnya
Blok Kemiskinan • Jumlah Penduduk Miskin
Gambar 10 Keterkaitan antar blok dalam model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia. Selain pemilihan blok-blok dalam model, perlu juga diperhatikan spesifikasi dan pemilihan variabel-variabel yang dimasukkan dalam setiap persamaan dalam model. Pemiliihan variabel-variabel tersebut harus sesuai dengan tujuan penelitian
56
berdasarkan teori maupun fenomena ekonomi yang ada dan harus memiliki keterkaitan antar variabel. Diagram mengenai keterkaitan antar variabel dapat dilihat pada gambar 11. LBHPBP
RET BHPBP PAD
DAPER
PADL
LPJK
DAK
BUMD
PDK
PDL
PJK PD
DAU
LD LDAU
KAPFIS
FISGAP
PDRB PENGTANI TKTANI
LPENGTANI
PDRBTANI LPENGPENDKES LPENGPEND
PENGPENDk PENGPEND KES
TKIND
PDRBIND
TKJASA
PDRBJASA
LPENGINFRA PENGINFRA PENGDRH
TKLAIN
PDRBLAIN
PENGJASA GINI
PENGIND
INV LPDKMISK
PDKMIS
Keterangan:
= Variabel Eksogen = Variabel Endogen
Gambar 11 Diagram keterkaitan antar variabel dalam model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia.
57
Model ekonometrika fiskal daerah, output dan kemiskinan dibangun menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan. Model ini dibangun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan latar belakang teoritis (background theory), fenomena dunia nyata serta berdasarkan penelitian terdahulu yang serupa. Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai fiskal daerah, baik yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan maupun kemiskinan. Namun penelitian mengenai fiskal daerah masih relevan untuk dilakukan berkaitan dengan sistem desentralilisasi yang masih berjalan hingga saat ini sehingga dapat diamati perkembangan sistem tersebut dari tahun ke tahun. Terlebih, penelitian mengenai kebijakan fiskal dan kemiskinan ini berkaitan dengan visi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, penelitian-penelitian sejenis sebagian besar dilakukan pada kurun waktu awal masa desentralisasi fiskal berlangsungm sehingga penelitian dengan menggunakan data terbaru sangat dilakukan agar dengan tersedianya penelitian dengan informasi terbaru dapat memudahkan dalam penggunaan hasil penelitian ini oleh pihak-pihak terkait. Berbeda dengan penelitian terdahulu, penelitian ini menggunakan format keuangan yang merujuk pada anggaran berbasis kinerja dan terpadu seperti yang telah diimplementasikan pada seluruh SKDP pada delapan tahun terakhir ini, yaitu tanpa memisahkan belanja rutin maupun pembangunan. Hal tersebut tentunya diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam dasar pengambilan kebijakan untuk masa mendatang. Beberapa persamaan dalam penelitian merujuk pada penelitian Yudhoyono (2004), Usman (2006), terutama dalam blok pengeluaran pemerintah. Sementara itu beberapa persamaan dalam blok output mengacu pada model penelitian Sumedi (2005) dengan dilakukan beberapa modifikasi sebelumnya. Model tersebut disusun dalam sistem persamaan simultan yang dibagi dalam 3 blok persamaan simultan yaitu Blok Fiskal Daerah, Blok Output, dan Blok Kemiskinan. Secara keseluruhan, model ini dibangun oleh 18 persamaan yang terdiri dari 11 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Model Hubungan Fiskal dengan Kemiskinan tersebut secara rinci dirumuskan sebagai berikut:
58
3.2.2.1.1 Blok Fiskal Daerah 3.2.2.1.1.1 Penerimaan Daerah Penerimaan pajak daerah:
PJK it = α 10 + α 11 PDKMISK it + α 12 PDRBit + α 13 FISGAPit + α 14 LPJK + e .....(7) Hipotesis: α 12 ,α 13 , α 14 > 0 , α 11 < 0 Penerimaan Dana Alokasi Umum: DAU it = α 20 + α 21 PDRBit + α 22 PDK it + α 23 KAPFISit + α 24 LDit + α 25 LDAU it + e ...........(8)
Hipotesis: α 22 , α 24 , α 25 > 0 , α 21 , α 23 < 0 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak: BHPBPit = α 30 + α 31 PDRBit + α 32 LBHPBPit + e ......................................................(9)
Hipotesis: α 31 , α 32 , > 0 Penerimaan Asli Daerah: PADit = PJKit + RETit + BUMDit + PADLNit ..........................................................(10)
Dana Perimbangan: DAPERit = DAU it + DAKit + BHPBPit ...................................................................(11)
Total Penerimaan Daerah:
PDit = PADit + DAPERit + PDLit .....................................................................(12)
3.2.2.1.1.2 Pengeluaran Daerah Pengeluaran Pertanian:
PENGTANI it = α 40 + α 41 PDit + α 42 PDRBTANI it + α 43 LPENGTANI it + e .....(13) Hipotesis: α 41 ,α 42 ,α 43 > 0 Pengeluaran Pendidikan: PENGPENDKE S it = α 50 + α 51 PADit + α 52 DAU it + α 53 LPENGPENDK ES it + e ......(14)
Hipotesis: α 51,α 52,α 53 > 0 Pengeluaran Infrastruktur: PENGINFRAit = α 70 + α 71 PADit + α 72 DAPERit + α 73 LPENGINFRAit + e ..........(15)
Hipotesis: α 71 ,α 72 ,α 73 > 0
59
Total Pengeluaran Daerah: PENGDRH
it
= PENGTANI + PENGIND + PENGJASAit + PENGPENDKES it it it + PENGINFRA + PENGLAIN it it
.......................................................(16)
Kapasitas Fiskal: KAPFIS it = PAD it + BHPBPit ..................................................................................(17)
Kesenjangan Fiskal: FISGAPit = PENGDRH it − KAPFIS it .......................................................................(18)
3.2.2.1.2 Blok Output PDRB Pertanian: PDRBTANI it = α 80 + α 81TKTANI it + α 82 PENGTANI it + α 83 PENGPENDKE S it +α 84 PENGINFRAit + e ...................................................................(19)
Hipotesis: α 81 ,α 82 ,α 83 ,α 84 > 0 PDRB Industri: PDRBIND it = α 90 + α 91TKIND it + α 92 PENGINFRA it + α 92 INV it + e ...................(20)
Hipotesis: α 91 , α 92 ,α 93 > 0 PDRB Jasa: PDRBJASAit = α 100 + α 101TKJASAit + α 102 PENGINFRAit + e .................................(21)
Hipotesis: α 101 , α 102 > 0 PDRB Lainnya:
PDRBLAIN it = α 110 + α111TKLAIN it + α112 PENGINFRAit + e ..........................(22) Hipotesis: α 111 ,α 112 > 0 Total PDRB: PDRB it = PDRBTANI
it
+ PDRBIND it + PDRBJASA it + PDRBLAIN it ........................(23)
3.2.2.1.3 Blok Kemiskinan Jumlah Penduduk Miskin: PDKMISKit = α 120 + α 121GINI it + α 122 PDRBTANIit + α 123 PDRBINDit + α 124 PDRBJASAit
+ α 125 PDRBLAIN it + α 126 PDK it + α 127 LPDKMIS it + e ..........................(24)
Hipotesis: α121 , α126 , α127 > 0 , α122 , α123 , α124 , α125 < 0
60
Tabel 2 Keterangan variabel penelitian dan satuannya Variabel i t e BUMD DAK DAPER DAU FISGAP GINI INV LD LDAU LPDKMIS LPJK LPENGINFRA LPENGPENDKES LPENGTANI PAD PADLN PD PDL PDRB PDRBTANI PDRBIND PDRBJASA PDRBLAIN PDK PDKMIS PENGDRH PENGIND PENGINFRA PENGJASA PENGPEND PENGTANI PENGLAIN PJK RET TKTANI TKIND TKJASA
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Keterangan unit daerah (propinsi) unit waktu (tahun) random error Laba BUMD Dana Alokasi Khusus Dana Perimbangan Dana Alokasi Umum Kesenjangan Fiskal Gini Ratio Investasi (PMTB) Luas Daerah Lag DAU Lag Jumlah Penduduk Miskin Lag Pajak Lag Pengeluaran Infrastruktur Lag Pengeluaran Pendidikan&Kes Lag Pengeluaran Pertanian Penerimaan Asli Daerah Penerimaan Asli Daerah Lainnya Penerimaan Daerah Penerimaan Daerah Lainnya PDRB PDRB Sektor Pertanian PDRB Sektor Industri PDRB Sektor Jasa PDRB Sektor Lainnya Total Penduduk Jumlah Penduduk Miskin Pengeluaran (Belanja) Daerah Pengeluaran Sektor Industri Pengeluaran Bidang Infrastruktur Pengeluaran Sektor Jasa Pengeluaran Bidang Pend & Kes Pengeluaran Sektor Pertanian Pengeluaran Bidang Lainnya Pajak Daerah Retribusi Tenaga Kerja sektor Pertanian Tenaga Kerja sektor Industri Tenaga Kerja sektor Jasa
Satuan
milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah poin milyar rupiah km2 milyar rupiah ribu jiwa milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah ribu jiwa ribu jiwa milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah milyar rupiah jiwa jiwa jiwa
3.2.2.2 Identifikasi dan Estimasi Model Sistem persamaan simultan tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan metode OLS (ordinary least square) yang biasa digunakan dalam persamaan tunggal, akan tetapi harus menggunakan metode ILS, 2SLS, maupun 3SLS
61
berdasarkan hasil identifikasi persamaan. Hal tersebut berarti bahwa sebelum dilakukan pendugaan parameter model, maka harus dilakukan identifikasi terlebih dahulu pada persamaan struktural dalam model. Dengan demikian dapat diketahui apakah persamaan tersebut dapat teridentifikasi (identified) atau tidak. Jika teridentifikasi, apakah bersifat exactly identified atau over identified. Suatu model dikatakan teridentifikasi, jika dapat dinyatakan dalam bentuk statistik unik, yang menghasilkan estimasi parameter yang unik pula. Menurut Koutsoyianis (1977), suatu
persamaan
dapat
dikatakan
teridentifikasi apabila memenuhi order condition. Kondisi order didasarkan atas kaidah penghitungan variabel-variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan tertentu. Cara yang dilakukan menguji persamaan-persamaan struktural ini adalah dengan mengelompokkan terlebih dahulu persamaanpersamaan tersebut ke dalam jumlah total persamaan struktural (total variabel endogen), jumlah variabel dalam model (variabel endogen dan predetermined), dan jumlah variabel dalam persamaan yang diidentifikasi. Identifikasi dengan order condition diekspresikan sebagai berikut: (K-M) ≥ (G-I) ....................................................................................................(25) keterangan: G
= Jumlah persamaan struktural yang terdapat dalam model (jumlah variabel endogen dalam model)
K
= Jumlah total variabel dalam model (variabel endogen dan predetermined)
M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan Persamaan dalam suatu sistem tersebut dapat menunjukkan kondisi: 1) (K-M) < (G-1), maka persamaan disebut under identified 2) (K-M) = (G-1), maka persamaan disebut just identified 3) (K-M) > (G-1) maka persamaan disebut over identified Berdasarkan hasil identifikasi model yang dilakukan, seluruh persamaan struktural dalam model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan ini menunjukkan kondisi overidentified (lihat lampiran). Pendugaan terhadap model yang overidentified tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode 2SLS atau 3SLS. Model dalam penelitian ini menggunakan program Eviews metode 3SLS
62
karena lebih efisien. Hal tersebut disebabkan metode 3SLS menggunakan seluruh informasi yang ada dalam model dan mengasumsikan adanya keterkaitan antar error dalam persamaan. Selanjutnya, untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen pada masingmasing persamaan digunakan statistik uji-t. Sedangkan untuk menguji apakah variabel-variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak tehadap variabel endogen, dilakukan statistik uji-F terhadap masing-masing persamaan. Elastisitas digunakan untuk mengetahui seberapa besar respon variabel endogen terhadap perubahan variabel eksogen dalam suatu jangka waktu, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk mengetahui seberapa besar respon variabel endogen akibat perubahan variabel eksogen pada jangka pendek, maka digunakan elastisitas jangka pendek. Elastisitas jangka pendek dirumuskan sebagai berikut: ∧
Ej = β j
Xj Y
......................................................................................................... (26)
keterangan: E j = elastisitas jangka pendek variabel-j ∧
β j = koefisien parameter variabel-j X j = rata-rata variabel eksogen-j Y
= rata-rata variabel endogen
Elastisitas jangka pendek menggambarkan berapa persen perubahan variabel endogen akibat dari perubahan variabel eksogen sebesar 1 persen. Sementara itu, untuk mengetahui seberapa besar respon perubahan variabel endogen akibat perubahan variabel eksogen dalam jangka panjang digunakan elastisitas jangka panjang. Elastisitas jangka panjang tersebut dirumuskan sebagai berikut: Ep =
Ej ∧
1− βk
keterangan:
......................................................................................................... (27)
63
E p = elastisitas jangka panjang variabel-j E j = elastisitas jangka pendek variabel-j ∧
β j = koefisien parameter variabel-j
Elastisitas jangka panjang menggambarkan berapa persen perubahan variabel endogen akibat perubahan variabel eksogen sebesar 1 persen yang terjadi melalui multiplier effect (Pindyck dan Rubinfield, 1991).
3.2.3.3 Validasi Model Tujuan validasi model adalah untuk mengetahui tingkat representasi model apabila dibandingkan dengan dunia nyata sebagai dasar untuk melakukan simulasi. Validasi dapat dilakukan dengan membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan dari penduga endogen. Terdapat berbagai uji validasi model, namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Koefisien Determinasi (R2). Statistik U-Theil’s dirumuskan sebagai berikut: U=
(
1 n s a ∑ Yt − Yt n t =1
( )
1 n s ∑ Yt n t =1
2
)
2
( )
1 n a + ∑ Yt n t =1
.................................................................................(28)
2
keterangan:
Yt s
= nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
Yt a
= nilai aktual variabel observasi
n
= jumlah periode observasi
Nilai U-Theil’s berkisar antara 0 dan 1, dengan kriteria bahwa semakin kecil nilai
U-Theil’s yang dihasilkan, maka semakin baik model tersebut. Statistik Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dirumuskan sebagai berikut: RMSPE =
s a 1 n ⎛⎜ Yt − Yt ∑⎜ n t =1⎝ Yt a
2
⎞ ⎟ ....................................................................................(29) ⎟ ⎠
64
keterangan:
Yt s
= nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
Yt a
= nilai aktual variabel observasi
n
= jumlah periode observasi
Model dinyatakan valid apabila nilai RMSPE berada di bawah 100. Sedangkan statistik Koefisien Determinasi (R2) dinyatakan valid apabila bernilai mendekati 1 (Pindyck dan Rubienfield, 1991).
3.3
Simulasi Model Menurut Sinaga (1997), simulasi adalah suatu pendekatan untuk mengetahui
arah (sign) dan besar (size) perubahan dari suatu atau beberapa variabel endogen (decision variabel) dengan melakukan perubahan satu atau beberapa variabel endogen. Oleh karena itu, simulasi model adalah suatu perubahan yang dilakukan di dalam model tanpa merubah sistem atau dunia nyata.
Simulasi memiliki
beberapa tujuan yaitu: (1) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model (ex-
post), (2) mengevaluasi kebijakan pada masa lampau (backasting), (3) membuat peramalan pada masa datang (ex-ante). Tabel 3 Simulasi dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan No
Jenis Simulasi
Besar Simulasi
1
Peningkatan Penerimaan Pajak
35%
2
Peningkatan Penerimaan BHPBP
45%
3
Peningkatan Pengeluaran Pertanian
30%
4
Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan
35%
5
Peningkatan Pegeluaran Infrastruktur
35%
6
Peningkatan Pengeluaran Pertanian dan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan
30%, 35%
7
Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Infrastruktur
35%, 355
8
Peningkatan Pengeluaran Pertanian, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Infrastruktur
30%, 35%, 35%
65
Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi historis (ex-post simulation). Analisis simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak dari kebijakan fiskal pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari APBD. Simulasi model digunakan untuk menerangkan perilaku dan kondisi kinerja fiskal daerah terhadap kemiskinan di Indonesia. Terdapat delapan simulasi kebijakan yang yang akan dilakukan dan digambarkan melalui tabel 3. Simulasi pertama adalah kenaikan penerimaan pajak sebesar 35% . Simulasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam masa pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mencari dan mengelola sendiri berbagai sumber-sumber penghasilan daerah. Sumber penghasilan tersebut antara lain penerimaan pajak, sehingga memiliki potensi dalam meningkatkan sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar (Hermami, 2007). Besarnya simulasi berdasarkan rata-rata penerimaan pajak pertahun selama tahun 20032009. Simulasi yang kedua adalah kenaikan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP). Seperti halnya pajak, bagi hasil pajak dan bukan pajak merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. selain itu, salah satu tujuan dari diberlakukannya desentralisasi adalah dapat menggali potensi daerah dengan lebih efisien dan optimal, sehingga pemerintah daerah dapat membiayai kebutuhan daerahnya dengan lebih optimal. Peningkatan penerimaan dari bagi hasil pajak dan bukan selain dapat meningkatkan penerimaan daerah guna membiayai kebutuhan daerahnya, juga sebagai salah satu cara dalam pengoptimalan potensi daerah. Besarnya simulasi bagi penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar 45% ini diperoleh dari rata-rata penerimaan BHPBP per tahun selama tahun 2003-2009 Simulasi ketiga adalah kenaikan pengeluaran pemerintah bidang Pertanian. Besarnya simulasi yaitu 30% yang diperoleh dari rata-rata pengeluaran pemerintah untuk bidang Pertanian per tahun selama tahun 2002-2009. Pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas bagi penduduk miskin. Selain itu, sebagian besar negara berkembang yang memiliki penduduk miskin relatif besar,
66
umumnya menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Sehingga, peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang Pertanian diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin. Simulasi ketiga yaitu kenaikan pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35% berdasarkan rata-rata pengeluaran tersebut per tahun selama 2003-2009. Sektor pendidikan dan Kesehatan merupakan sektor yang sangat penting untuk meningkatkan perekonomian daerah, karena pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi suatu daerah. Sumber daya manusia yang handal dan memiliki kapabilitas tinggi sangat diperlukan dalam membangun suatu daerah, dan hal tersebut hanya dapat diwujudkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan melalui jalur pendidikan dan juga kondisi kesehatan yang baik. Simulasi keempat adalah kenaikan pengeluaran bidang Infrastruktur. Sektor infrastruktur merupakan salah satu sektor yang yang harus diperhatikan dalam pembangunan. Beberapa infrastruktur dasar yang penting adalah keadaan jalan dan akses sambungan listrik. Jalan dan jembatan serta irigasi merupakan infrastruktur penting dalam memudahkan mobilitas manusia dan barang, sedangkan listrik dapat menciptakan efisiensi dalam proses produksi. Selama tahun 2003-2009 pengeluaran bidang Infrastruktur tumbuh dengan rata-rata 35% per tahun, sehingga ingin dianalisis apakah peningkatan pengeluaran Infrastruktur tersebut dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Kombinasi kebijakan dilakukan untuk melihat sinergi dari beberapa kebijakan dan dampaknya terhadap penurunan penduduk miskin. Simulasi kelima adalah simulasi kebijakan di bidang Pertanian sebesar 30% yang dilakukan bersamaan dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35%. Kombinasi simulasi kebijakan tersebut diharapkan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin lebih besar lagi. Selain simulasi kombinasi pengeluaran Pertanian dan pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, simulasi keenam ini juga memadukan simulasi kebijakan pengeluaran bidang Pendidikan dan Kesehatan dengan pengeluaran bidang Infratruktur. Perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pengeluaran di bidang Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35% yang dibarengi
67
dengan perbaikan kualitas sumberdaya fisik melalui peningkatan pengeluaran Infrastruktur sebesar 35% diharapkan dapat meningkatkan output yang lebih tinggi, dan kemudian mampu menurunkan jumlah penduduk miskin. Simulasi terakhir adalah kombinasi dari seluruh peningkatan pengeluaran pemerintah yang berkaitan upaya pengurangan jumlah penduduk miskin, yaitu peningkatan pengeluaran bidang Pertanian, pengeluaran bidang Pendidikan dan Kesehatan, dan pengeluaran bidang Infratruktur. Perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pengeluaran di bidang pendidikan dan kesehatan yang dibarengi dengan perbaikan kualitas sumberdaya fisik melalui peningkatan pengeluaran infrastruktur diharapkan dapat meningkatkan output yang tinggi. Apabila dibarengi dengan perbaikan di sektor pertanian yang merupakan sektor dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi tersebut, maka diharapkan kemudian akan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin.
68
Halaman ini sengaja dikosongkan
4. DINAMIKA FISKAL PEREKONOMIAN DAERAH
4.1 Fiskal Daerah 4.1.1 Penerimaan Keuangan Daerah Penerimaan keuangan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah tersebut. Penerimaan daerah dapat bersumber dari dalam daerah itu sendiri, maupun dari pemerintah pusat. Penerimaan yang bersumber dari dalam daerah itu sendiri disebut Pendapatan Asli daerah (PAD) yang terdiri dari pendapatan pajak, retribusi, laba/bagi hasil Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan asli daerah lainnnya. Sedangkan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat biasa disebut dana perimbangan. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan BHPBP (Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak) dan penerimaan daerah lainnya. Kinerja keuangan suatu daerah dapat dilihat ataupun diukur berdasarkan proporsi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah tersebut maupun yang berasal dari luar daerah tersebut terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar proporsi penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah tersebut terhadap total penerimaan, menandakan semakin baiknya kinerja keuangan daerah tersebut. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah daerah dapat mengelola sumbersumber yang ada di daerah dengan efisien sehingga dapat membiayai sebagian besar kebutuhan pembangunan daerahnya dengan sumber penerimaan keuangan yang berasal dari dalam daerah tersebut. Kemampuan suatu daerah dalam membiayai pembangunannya melalui sumber yang berasal dari daerah tersebut dapat dilihat dari proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah melalui ukuran derajat desentralisasi fiskal. Sementara itu besarnya sumber penerimaan daerah yang berasal dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut dapat dilihat dari derajat potensi daerah yang diukur dari besarnya bagi hasil pajak/bukan pajak daerah tersebut terhadap total penerimaan daerah. Sedangkan ketergantungan penerimaan keuangan suatu daerah terhadap pemerintah pusat, dapat dilihat dari besarnya jumlah Dana
70
Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap penerimaan total daerah tersebut yang disebut derajat ketergantungan. Penjelasan masing-masing rata-rata kinerja keuangan provinsi di Indonesia selama tahun 2003-2009 dapat dilihat pada gambar 12.
Sumber: Kementrian Keuangan, diolah
Gambar 12 Derajat desentralisasi fiskal, derajat potensi daerah dan derajat ketergantungan daerah provinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%). Selama tahun 2003-2009, rata-rata derajat desentralisasi fiskal propinsipropinsi yang ada di Indonesia sebesar 14.60%. Nilai tersebut menurut ukuran derajat desentralisasi fiskal tim Fisipol UGM ternasuk dalam kategori kurang. Propinsi yang memiliki derajat desentralisasi fiskal sangat baik adalah DKI Jakarta dengan nilai derajat desentralisasi sebesar 58.95%. Sebagai kota perdagangan dan jasa, DKI Jakarta memiliki pendapatan asli daerah yang cukup tinggi dari pajak, retribusi dan laba BUMD. Propinsi-propinsi dengan kategori derajat desentralisasi fiskal cukup dengan rentang derajat 20-30% adalah propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Sementara itu, sembilan propinsi lain memiliki derajat desentralisasi fiskal dengan kategori kurang, yaitu dengan nilai kurang dari 10%. Propinsi-propinsi tersebut adalah NAD, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku dan Papua.
71
Derajat potensi daerah propinsi-propinsi di Indonesia secara rata-rata bernilai 15.67%. Dilihat dari nilainya, derajat potensi daerah propinsi-propinsi tersebut masih terbilang cukup rendah. Propinsi-propinsi yang memiliki derajat potensi sumber daya cukup tinggi adalah Kalimantan Timur dan Riau. Kedua propinsi ini memiliki derajat potensi daerah masing-masing sebesar 66.10% dan 58.76%. Kedua daerah tersebut memiliki nilai derajat potensi yang tinggi karena kedua daerah tersebut merupakan penghasil minyak dan tambang yang cukup besar di Indonesia. Daerah penghasil bahan tambang dan minyak lainnya yang memiliki derajat potensi daerah cukup tinggi adalah NAD (21.87%) dan Sumatera Selatan (29.39%). Walaupun DKI Jakarta bukan merupakan daerah penghasil migas, namun propinsi tersebut memiliki derajat potensi daerah yang cukup tinggi (37.97%) yang berasal dari pendapatan bagi hasil pajak. Propinsi lainnya dengan derajat potensi daerah berkategori rendah yaitu dibawah 10% adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian
besar
propinsi-propinsi
di
Indonesia
masih
memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap dana perimbangan dari pusat, khususnya dana yang berasal dari DAU dan DAK. Berdasarkan rata-rata, nilai derajat ketergantungan fiskal propinsi-propinsi di Indonesia adalah sebesar 63.06%. Tiga daerah tercatat memiliki derajat ketergantungan yang cukup rendah. Dua daerah pertama merupakan daerah penghasil tambang dan minyak utama, yaitu propinsi Riau dan Kalimantan Timur dengan nilai derajat ketergantungan masing-masing 20.89% dan 14.26%. Daerah lainnya adalah DKI Jakarta yang merupakan daerah perdagangan dan jasa dengan nilai derajat ketergantungan sebesar 10.15%. Sedangkan propinsi lainnya memiliki derajat ketergantungan yang sangat tinggi yaitu dengan kisaran nillai antara 53 -88%. Selain proporsi penerimaan daerah terhadap total penerimaan, terdapat ukuran lain dalam mengukur tingkat kemandirian fiskal daerah, yaitu dengan membandingkannya dengan total penerimaan daerah. Menurut Halim (2007), tingkat kemandirian daerah dapat diukur melalui proporsi PAD terhadap total
72
pengeluaran daerah dan proporsi jumlah PAD dan BHPBP terhadap total pengeluaran daerah.
Sumber: Kementrian Keuangan, diolah
Gambar 13 Derajat kemandirian daerah provinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%). Berdasarkan gambar 13, dapat dilihat bahwa rata-rata derajat kemandirian fiskal yang diukur dari proporsi PAD terhadap total pengeluaran daerah masih terbilang rendah sekali, yaitu hanya sebesar 10%. Hanya tujuh propinsi yang memiliki nilai derajat kemandirian diatas rata-rata seluruh propinsi, yaitu DKI Jakarta (43.91%), Bali (22.04%), Jawa Barat (19.02%), DIY (16.54%), Jawa Timur (14.65%), Jawa Tengah (13.42%), dan Sumatera Utara (12.61%). Sementara itu, rata-rata derajat kemandirian fiskal yang diukur melalui proporsi jumlah PAD dan BHPBP terhadap total pengeluaran daerah adalah 20.88%. Nilai tersebut sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan derajat kemandirian fiskal yang berasal hanya dari PAD. Namun, apabila dilihat dari nilai derajat kemandirian per propinsi, terlihat bahwa terdapat tiga propinsi yang memiliki nilai kemandirian fiskal cukup tinggi. Propinsi-propinsi tersebut adalah Riau (49.01%), DKI Jakarta (72.19%) dan Kalimantan Timur (48.92%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga propinsi tersebut memiliki nilai dana bagi hasil pajak dan bukan pajak yang cukup tinggi.
73
4.1.2 Pengeluaran Keuangan Daerah Dana yang diterima oleh daerah baik dari pusat dalam bentuk dana perimbangan, maupun yang di peroleh dari hasil penggalian potensi dan sumber daya yang ada di daerah kemudian dikelola dan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah daerah dalam rangka mencapai tujuan daerah masing-masing. Pengeluaran daerah selama masa desentralisasi fiskal telah mengalami berbagai perubahan format penyajian dalam rangka menghasilkan laporan pengeluaran daerah yang semakin baik. Pada penelitian ini, berkaitan dengan tujuan penelitian, maka diambil empat komponen pengeluaran daerah yang berhubungan erat dengan dengan usaha pengurangan kemiskinan. Komponenkomponen tersebut adalah pengeluaran pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan, serta pengeluaran infrastruktur.
Sumber: Kementrian Keuangan, diolah
Gambar 14 Proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) Pengeluaran pemerintah selama kurun waktu 2003-2009 didominasi oleh pengeluaran pada bidang pendidikan. Pemerintah mengalokasikan dana bagi kepentingan pendidikan rata-rata sebesar 23.93% pertahun dari total pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pendidikan ini meliputi pengeluaran untuk pendidikan
74
formal dan non formal seperti pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan atas, kursus-kursus keterampilan dan pelatihan. Selain itu, pengeluaran pendidikan digunakan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dari sisi penyediaan buku-buku pelajaran dan bahan ajar serta tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas. Pengeluaran pendidikan yang tinggi ini berkaitan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui penggangaran minimal 20% bagi pengeluaran pendidikan guna memenuhi program wajib belajar pendidikan dasar sebagai salahsatu implementasi
dari
tujuan
RPJM
2004-2009
bidang
penddidikan
yaitu
meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Pembangunan infrastruktur yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi maupun sosial masyarakat. Pengeluaran infrastruktur menempati urutan kedua dalam pengeluaran dengan rata-rata pengeluaran sebesar 15.99% per tahun. Pengeluaran infrastruktur ini digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan, gedung dan perumahan, pengembangan dan pengelolaan jaringan pengairan, irigasi, energi dan lainnya. Secara umum, pengeluaran kesehatan di Indonesia selama kurun waktu 2003-2009 masih sangatlah rendah dengan rata-rata pengeluaran per tahun sebesar 7.16%. Padahal, kondisi kesehatan masyarakat sangatlah penting dalam kelancaran aktivitas. Apabila kondisi kesehatan baik, maka kesempatan seseorang untuk mendatangi pusat-pusat pendidikan (sekolah) semakin besar, kemampuan untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi pun semakin meningkat. Pengeluaran bidang kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah meliputi pengeluaran untuk obat-obatan dan perbekalan kesehatan, program upaya kesehatan perorangan (pelayanan pada pusat-pusat kesehatan), program upaya kesehatan masyarakat (jaminan kesehatan, penyuluhan kesehatan), dan pencegahan serta pemberantasan penyakit. Pertanian merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, Indonsia masih memiliki ketergantungan yang sangat besar pada sektor pertanian. Namun, pemerintah tampaknya kurang memberikan perhatian pada sektor Pertanian ini. Hal tersebut terlihat dari minimnya anggaran pemerintah yang dialokasikan pada sektor pertanian. Selama tahun 2003-2009 ini, pemerintah
75
hanya mengalokasikan rata-rata 3.84% dari seluruh anggarannya untuk kepentingan di sektor pertanian yang meliputi program pengembangan agribisnis, program ketahanan pangan, program peningkatan kesejahteraan petani, serta program pembangunan dan rehabillitasi infrastruktur jalan usaha tani dan irigasi tingkat usaha tani. Proporsi pengeluaran pemerintah apabila dilihat berdasarkan masingmasing propinsi memiliki gambaran yang tidak jauh berbeda apabila dibandingkan dengan gambaran secara nasional. Masyarakat dengan pendapatan rendah dan kondisi yang kurang baik sebagian besar memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pelayanan publik di bidang pertanian. Pada masa desentralisasi fiskal terlihat bahwa proporsi pengeluaran pertanian secara rata-rata terhadap total pengeluaran daerah masih relatif kecil, yaitu hanya sebesar 4.24%.
Sumber: Kementrian Keuangan, diolah
Gambar 15 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di propinsi-propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) Selama tahun 2003-2009, rata-rata pengeluaran pendidikan memiliki persentase yang paling tinggi dari seluruh propinsi di Indonesia, yaitu sebesar 21.28%. Besarnya proporsi pengeluaran pendidikan tersebut berkaitan dengan
76
kebijakan pemerintah pusat agar pemerintah daerah menaikkan pengeluaran pendidikan sebesar 20% untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Namun, terdapat beberapa propinsi yang memiliki proporsi dibawah 20%, yaitu NAD, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Kesehatan merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan kualitas sumber
daya
manusia.
Oleh
karena itu pengeluaran kesehatan dapat
mencerminkan kondisi kesehatan suatu daerah. Rata-rata proporsi pengeluaran kesehatan propinsi-propinsi ada masa desentralisasi fiskal cukup besar, yaitu 7.01%. DIY memiliki proporsi pengeluaran kesehatan terbesar terhadap total pengeluaran, yaitu sebesar 9.04%. Infrastruktur tidak dapat dipisahkan dari upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan dapat memperlancar kegiatan dan akses masyarakat baik untuk mencapai lokasi kegiatan produksi, pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses kepada fasilitas-fasilitas publik. Pengeluaran infrastruktur rata-rata propinsi di Indonesia mencapai 15.02% terhadap total pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dalam pembangunan. Apabila pengeluaran daerah diambil hanya sektor-sektor ekonomi yang dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok sektor yaitu pertanian, industri dan jasa, maka terlihat seperti pada gambar 16. Rata-rata proporsi pengeluaran jasa sangat besar apabila dibandingkan dengan total pengeluaran daerah. Proporsi pengeluaran jasa tersebut mencapai 45.65% terhadap total pengeluaran daerah. Hal tersebut cukup beralasan, karena pengeluaran daerah untuk sektor jasa ini meliputi pengeluaran dari beberapa sektor yaitu sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa lainnya Sementara itu rata-rata proporsi pengeluaran industri terhadap total pengeluaran memiliki nilai yang sangat kecil, yaitu hanya mencapai 0.46%. Peran pemerintah dalam sektor industri biasanya hanya berupa hal-hal yang berkaitan dengan adminsitrasi, regulasi dan perijinan. Sehingga wajar apabila peran pemerintah dalam perindustrian tidak begitu besar. Selain itu, industri pada umumnya didominasi oleh investasi dari sektor swasta.
77
Sumber: Kementrian Keuangan, diolah
Gambar 16 Rata-rata proporsi Pengeluaran Daerah menurut bidang Pertanian, Industri dan Jasa di propinsi-propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%)
4.2 Output Daerah PDRB merupakan salah satu tolok ukur bagi kinerja perekonomian suatu daerah. PDRB mencerminkan produktivitas yang dilakukan suatu daerah yang tergambar dari besarnya jumlah barang dan jasa diproduksi di daerah tersebut. PDRB terdiri dari 9 sektor atau lapangan usaha, namun dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan 4 sektor utama yaitu pertanian, industri, jasa dan sektor lainnya. Jumlah PDRB propinsi-propinsi di Indonesia selama 2003-2009 mengalami pertumbuhan yang pesat. Secara nominal, jumlah PDRB meningkat dari 1 538.60 trilyun rupiah pada tahun 2003, menjadi sebesar 2 076.48 trilyun rupiah pada tahun 2009, atau tumbuh sebesar 34.96% dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai 5.83%. Laju pertumbuhan masing-masing sektor PDRB selama tahun 2003-2009 cukup stabil. PDRB jasa memiliki rata-rata pertumbuhan tertinggi dan merupakan
78
satu-satunya sektor yang berada di atas rata-rata laju pertumbuhan total PDRB. yaitu sebesar 6.88%. Sektor pertanian selama kurun waktu penelitian memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4.06%. Walaupun sektor tersebut melaju di bawah rata-rata total PDRB, namun masih berada sedikit di atas rata-rata laju pertumbuhan sektor industri yang melaju dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.99%. Sementara itu PDRB pertambangan, LGA dan konstruksi yang tergabung dalam PDRB lainnya melaju dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.22%. Berikut adalah gambar rata-rata laju pertumbuhan total PDRB seluruh propinsi di Indonesia tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 17 Rata-rata laju pertumbuhah PDRB seluruh propinsi di Indonesia, tahun 2004-2009 (%) PDRB Indonesia sebagian besar dibentuk oleh PDRB jasa yang merupakan gabungan dari perdagangan, komunikasi dan transportasi, keuangan dan jasa-jasa. PDRB jasa ini hampir menguasai setengah dari PDRB yang dihasilkan di Indonesia dengan kecenderungan yang semakin membesar. Pada tahun 2003, share PDRB jasa sebesar 41.56% dan meningkat pada tahun 2009
menjadi
45.89%. Industri menempati urutan kedua dalam kontribusinya terhadap PDRB Indonesia. Sektor ini memberikan sekitar 25% terhadap total PDRB dengan kecenderungan proporsi yang semakin menurun. Hal tersebut sejalan dengan fenomena deindustrialisasi yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini.
79
Pertanian merupakan sektor ketiga penyumbang terbesar bagi PDRB Indonesia. Share Pertanian ini berada sedikit di atas share PDRB lainnya, yaitu sekitar sebesar 15%. Apabila dilihat proporsi PDRB pertanian ini, terlihat bahwa sharenya
mengalami
penurunan
dari
waktu
ke
waktu.
Hal
tersebut
mengindikasikan semakin bergesernya peranan pertanian ke arah jasa yang pada sisi lain semakin menujukkan peningkatan proporsi.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 18 Rata-rata proporsi PDRB Pertanian, Industri, Jasa dan Lainnya di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) Perekonomian propinsi-propinsi di Indonesia masih di dominasi oleh sektor pertanian. Hal tersebut terlihat dari cukup tingginya share PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB di sebagian besar propinsi. Secara rata-rata seluruh propinsi, share PDRB pertanian terhadap total PDRB mencapai 25.06%. Sebagian besar propinsi memiliki share PDRB pertanian sekitar 20-45%. Hanya propinsi tertentu yang memang menggantungkan perekonomiannya pada sektor jasa dan pertambangan seperti DKI Jakarta dan Kalimantan Timur memiliki share PDRB pertanian relatif kecil yaitu hanya sebesar masing-masing 0.09% dan 6.67%. Sektor industri yang memiliki nilai tambah terbesar dalam proses produksinya memiliki rata-rata share yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan sektor pertanian. Rata-rata share PDRB sektor industri seluruh propinsi
80
selama tahun 2003-2009 sebesar 15.28%. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur merupakan propinsi dengan share PDRB terbesar yaitu masing-masing sebesar 44.85%, 31.83% dan 34%.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 19 Rata-rata proporsi PDRB Pertanian, Industri, Jasa dan Lainnya menurut propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) Sementara itu PDRB jasa yang merupakan gabungan dari sektor perdagangan, pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa berkontribusi sebesar 45.14% terhadap total PDRB. DKI Jakarta sebagai daerah dengan perekonomian berbasis jasa dan perdagangan memiliki share terbesar, mencapai 72.00%. Sedangkan PDRB lainnya yang merupakan gabungan dari PDRB sektor pertambangan, sektor listrik, gas dan air, dan sektor konstruksi memiliki rata-rata share PDRB sebesar 17.52%. 4.3 Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki arti penting dalam suatu perekonomian. Jumlah penyerapan tenaga kerja di Indonesia selama 2003-2009 meningkat sebesar 12.99%. Penyerapan tenaga kerja tersebut tersebar ke dalam beberapa sektor ekonomi dan fluktuatif dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada gambar 20. Penyerapan tenaga kerja pada sektor jasa
81
dan sektor lainnya pada tahun 2005 menunjukkan penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sedikit imbas dari krisis keuangan yang dipicu oleh macetnya kredit perumahan di Amerika, sehingga menyebabkan menurunnya tenaga kerja di sektor jasa khususnya keuangan dan perdagangan, serta sektor lainnya terutama konstruksi yang membutuhkan investasi yang tinggi. Laju pertumbuhan tenaga kerja selama tahun 2004-2009 sangat fluktuatif. Apabila dilihat pada gambar 20, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian sangat rendah dan berada pada kisaran 0-1%, bahkan sempat berkurang menjadi sebesar minus 5.66% pada tahun 2004. Apabila dilihat dari rata-rata laju pertumbuhan selama kurun waktu 2004-2009 tersebut, pertumbuhan tenaga kerja pertanian tumbuh minus 0.52 persen per tahun. Semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin berkurangnya insentif pertanian akibat dari beban ongkos produksi yang semakin tinggi menyebabkan semakin berkurangnya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 20 Laju pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia, tahun 2004-2009 (%) Rata-rata laju pertumbuhan tenaga kerja industri per tahun sebesar 1.92%. Rendahnya rata-rata laju pertumbuhan tenaga kerja sektor industri ini berkaitan dengan fenomena deindustrialisasi yang terjadi beberapa tahun belakangan ini yang ditandai dengan semakin melambatnya laju pertumbuhan PDRB industri.
82
Tenaga kerja sektor jasa mengalami rata-rata laju pertumbuhan sebesar 4.63% dengan laju pertumbuhan yang sangat fluktuatif. Hal tersebut disebabkan banyaknya usaha-usaha informal mendominasi sektor jasa. Usaha-usaha informal tersebut memiliki karakteristik mudah untuk keluar-masuk pasar, sehingga para pelakunya pun memiliki kemudahan untuk keluar masuk sektor tersebut. Sementara itu, sektor lainnya (konstrutsi, pertambangan dan LGA) mengalami rata-rata laju pertumbuhan per tahun sebesar 5.83%.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 21 Rata-rata proporsi tenaga kerja pertanian, industri, jasa dan lainnya menurut propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Selama tahun 2003-2009, sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar rata-rata per propinsi sebesar 50.22% dari total tenaga kerja. Beberapa propinsi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian terhadap total tenaga kerja yang cukup tinggi adalah Papua (73.53%), NTT (72.19%) dan Bengkulu (65.49%). Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian ketiga propinsi tersebut memiliki beban penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi, sebab di sisi lain PDRB pertanian ketiga propinsi tersebut bukan merupakan sektor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB.
83
Tenaga kerja yang bekerja di sektor industri secara rata-rata propinsi berjumlah 8.04% terhadap total tenaga kerja. Adapun propinsi-propinsi yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja industri yang tinggi terhadap total tenaga kerja di masing-masing propinsi tersebut memang dikenal merupakan daerah yang memiliki sentra-sentra industri yang cukup besar, bersifat padat karya dan umumnya terpusat dalam suatu kawasan. Jawa Barat memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja industri yang cukup tinggi, yaitu sebesar 18.20% terhadap total tenaga kerja di Jawa Barat. Sebagian besar tenaga kerja tersebut terpusat pada kawasan insustri yang berada di daerah Cikarang. Jawa Tengah memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri sebesar 17.26%. Jenis industri yang menyerap banyak tenaga kerja di Jawa Tengah ini adalah industri rokok yang tersebar di beberapa wilayah di daerah Jawa Tengah. Bali merupakan daerah tujuan wisata dan terkenal dengan keanekaragaman kerajinan yang indah. Tidaklah mengherankan apabila sentra-sentra kerajinan banyak tersebar di seluruh bagian Bali. Sentra-sentra kerajinan tersebut memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan total tenaga kerja di Bali, yaitu sebesar 14.15%. DKI Jakarta merupakan propinsi yang bertumpu pada sektor jasa, sehingga tidaklah mengherankan apabila tenaga kerja pada jasa di DKI ini cukup besar yaitu 76.63 persen apabila dibandingkan dengan total tenaga kerja di DKI Jakarta. Sementara itu propinsi yang memilik tingkat penyerapan tertinggi pada sektor lainnya dibandingkan dengan total tenaga kerja pada propinsi tersebut adalah Kalimantan Timur. Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor lainnya di Kalimantan Timur ini mencapai sebesar 12.14% yang sebagian besar merupakan tenaga kerja di sektor pertambangan migas. Pertambangan migas tersebut merupakan subsektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap total PDRB Kalimantan Timur. 4.3 Kemiskinan Tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Tingkat kemiskinan propinsi-propinsi tersebut memiliki kecenderungan semakin mengecil selama kurun waktu tiga tahun terakhir. Berdasarkan tingkat
84
kemiskinan, beberapa propinsi dengan tingkat kemiskinan jauh di atas tingkat nasional (14.15%) pada tahun 2009 merupakan berada di luar pulau Jawa. Tabel 4
Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut propinsi di Indonesia 2007-2009
PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulteng Gorontalo Sulbar Maluku Malut Papua Barat Papua Indonesia Sumber: BPS
Jumlah Penduduk Miskin (000) 2007 1083.7 1768.5 529.2 574.5 281.9 1331.8 370.6 1661.7 95.1 148.4 405.7 5457.9 6557.2 633.5 7155.3 886.2 229.1 1118.6 1163.6 584.3 210.3 233.5 324.8 250.1 557.4 1083.4 465.4 241.9 189.9 404.7 109.9 266.8 793.4 37 168.3
2008 885.79 1474.23 426.11 532.26 244.97 1129.96 317.91 1496.92 76.01 125.33 339.65 4852.52 5655.41 574.92 5860.74 775.79 173.62 1014.75 1021.75 425.39 166.92 188.03 245.05 210.05 483.12 936.90 403.12 165.11 155.29 369.11 99.13 227.58 709.39 34 963.3
2009 963.44 1566.81 465.51 554.01 259.02 1234.18 329.67 1594.32 80.81 132.54 342.47 5178.42 6143.99 610.22 6551.80 836.59 201.29 1056.55 1105.48 499.25 195.07 211.34 260.72 216.11 525.75 1042.64 439.91 180.62 171.14 391.25 103.88 237.36 704.32 32 530.0
Persentase Penduduk Miskin 2007 26.65 13.90 11.90 11.20 10.27 19.15 22.13 22.19 9.54 10.30 4.61 13.55 20.43 18.99 19.98 9.07 6.63 24.99 27.51 12.91 9.38 7.01 11.04 11.42 22.42 14.11 21.33 27.35 19.03 31.14 11.97 39.31 40.78 16.58
2008 23.58 12.12 10.38 10.22 9.21 17.39 19.16 20.89 7.95 8.78 3.86 12.57 19.05 18.06 18.20 8.26 5.73 23.13 25.67 10.79 8.40 6.21 8.57 9.71 20.63 13.42 19.50 20.21 16.66 29.42 11.09 33.50 35.29 15.42
2009 21.61 11.27 9.45 9.45 8.55 15.68 18.14 19.34 7.37 7.98 3.80 11.58 17.48 16.86 16.22 7.46 4.88 21.88 23.41 9.05 7.01 5.44 7.86 9.32 18.61 11.93 17.44 18.34 14.96 27.29 10.34 31.43 34.77 14.15
85
Propinsi-propinsi tersebut adalah NAD (21.61%), NTB (21.88%), NTT (23.41%), Maluku (27.29%), Papua (34.77%) dan Papua Barat (31.43%). Namun, apabila dilihat dari jumlah penduduk miskin, terlihat bahwa sebagian besar penduduk miskin berada di pulau Jawa. Jumlah penduduk miskin yang berada di pulau jawa tersebut mencapai rata-rata 19.81 juta jiwa atau sebesar 57.52% dari seluruh total penduduk miskin. Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi pada tahun 2009, yaitu sebesar 6 551.80 ribu jiwa, disusul dengan Jawa Tengah sebesar 6 143.99 ribu jiwa dan Jawa Barat sebesar 5 178.42 persen.
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FISKAL DAERAH, OUTPUT DAN KEMISKINAN
5.1 Analisis Umum Model Dugaan Bab ini berisi penjelasan mengenai nilai-nilai hasil pendugaan parameter dari persamaan struktural pada model Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan. Sebelumnya, dalam proses spesifikasi model ini telah dilakukan beberapa kali modifikasi karena ditemukan parameter-parameter yang tidak sesuai dengan teori melalui uji tanda (sign-test) maupun dalam hal signifikansi. Model yang dihasilkan ini merupakan model optimal berdasarkan data cross section dan time series yang tersedia dan dinilai dapat menggambarkan fenomena yang ada berdasarkan nilai dugaan parameter yang dihasilkan. Nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan struktural dalam model berkisar antara 0,45-0,99. Hal tersebut mengandung arti bahwa peubahpeubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural secara umum dapat menjelaskan dengan baik keragaman dari setiap peubah endogen. Selain itu, seluruh peubah penjelas tersebut memiliki parameter dugaan dengan tanda yang sesuai dengan harapan teori maupun fenomena ekonomi. Nilai statistik F yang digunakan untuk melihat kemampuan variasi peubahpeubah penjelas secara bersama-sama dalam menjelaskan variasi peubah endogennya menunjukkan nilai yang besar. Nilai F statistik tersebut berkisar antara 160.00 sampai 6179.49. Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi peubah endogen dengan baik. Hasil t-statistik untuk menggambarkan kemampuan variasi peubah penjelas secara individual dalam menjelaskan variasi peubah endogen. Sebagian besar nilai t-statistik memiliki nilai yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf nyata α=0.10. Namun apabila memakai taraf nyata sebesar α=0.20, maka lebih besar lagi jumlah variabel peubah penjelas yang berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan struktural dalam model.
88
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fiskal Daerah, Output dan Kemiskinan 5.2.1 Penerimaan Daerah Fiskal daerah secara garis besar dapat dilihat dari penerimaan dan pengeluaran daerah. Penerimaan daerah terdiri dari Penerimaan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan penerimaan daerah lainnya. PAD merupakan penerimaan yang berasal dari penggalian potensi daerah tersebut dan terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya. Sedangkan dana perimbangan adalah dana yang berasal dari pemerintah pusat yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bgai Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Dalam studi ini, tidak semua peubah di atas dikaji secara mendalam terkait faktor-faktor yang mempengaruhinya. Peubah-peubah yang dikaji dalam studi ini yaitu Pajak Daerah dan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag pajak. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan penerimaan pajak daerah ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pajak sebesar 82%. Tabel 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah
Variabel
Label Variabel
Intercept
Elastisitas
Parameter Estimasi
tstatistik
Prob
11.22160
0.137
0.891
-0.25212
-6.015
0.000
-0.366
-0.445
0.229
1.496
PDKMISK
Jumlah Penduduk Miskin
PDRB
PDRB
0.01715
12.490
0.000
FISGAP
Kesenjangan Fiskal
0.00296
0.444
0.657
LPJK
Lag Pajak
0.17811
2.782
0.006
F-hitung 2
Adj-R
Jangka Pendek
Jangka Panjang
278.50 0.824
Sumber: hasil pengolahan
Apabila dilihat dari aspek ekonomi, tanda estimasi parameter sudah sesuai dengan hipotesis. PDRB, kapasitas fiskal dan lag pajak memiliki pengaruh positif
89
terhadap penerimaan pajak. Sementara itu, jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan pajak. Hal tersebut memiliki arti bahwa dengan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin menandakan semakin meningkatnya jumlah penduduk dengan jumlah pendapatan yang memungkinkan untuk dipungut pajak (sebagai objek pajak). Penambahan jumlah objek pajak tersebut kemudian akan semakin meningkatkan penerimaan pajak daerah. Penelitian Rindayati (2009) juga memberikan hasil yang sama bahwa penurunan jumlah penduduk miskin akan berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak. PDRB memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Peningkatan PDRB yang merupakan proxy output menunjukkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi. Apabila perekonomian suatu daerah meningkat, maka akan semakin besar potensi daerah tersebut dalam menggali objek pajak yang kemudian dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah.
Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Yudhoyono (2004), Barbara (2008) dan Rindayati (2009). Dalam jangka pendek, peningkatan PDRB memiliki elastisitas yang tidak elastis. Peningkatan sebesar 1% PDRB hanya akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar 0.23%. Namun dalam jangka panjang, melalui multiplier effect dari peningkatan PDRB yaitu misalnya peningkatan konsumsi dan peningkatan investasi maka peningkatan PDRB sebesar 1% akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar 1.50%. Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah kesenjangan fiskal. Tidak terpenuhinya kebutuhan keuangan daerah melalui pembiayaan yang bersumber dari penerimaan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak ditandai dengan kesenjangan fiskal yang meningkat. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan semakin meningkatkan usaha pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah, salah satunya melalui peningkatan penerimaan pajak. Namun demikian, pengaruh meningkatnya kesenjangan fiskal ini tidak begitu nyata dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dana Alokasi Umum (DAU) dipengaruhi oleh PDRB, jumlah penduduk, kapasitas fiskal, luas daerah dan lag DAU. Secara ekonomi, hampir seluruh tanda koefisien parameter telah sesuai dengan teori dan hipotesis. PDRB menunjukkan
90
pengaruh yang negatif terhadap penerimaan daerah dari DAU. Tujuan pemberian DAU adalah sebagai sarana untuk meningkatkan otonomi daerah, selain sebagai sarana
penyeimbang
penyediaan
pelayanan
publik
pemerintah
daerah.
Peningkatan PDRB suatu daerah akan meningkatkan penerimaan daerah yang bersumber dari dalam daerah tersebut melalui penerimaan pajak daerah maupun dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Peningkatan penerimaan daerah tersebut kemudian akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Kapasitas daerah yang semakin meningkat menandakan bahwa daerah tersebut sudah semakin mandiri sesuai dengan tujuan otonomi daerah, sehingga pemberian DAU sebagai dana transfer dari pemerintah pusat pun semakin berkurang. Hubungan DAU dan PDRB yang negatif ini juga sejalan dengan hasil temuan Astuti (2007). Tabel 6 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) Variabel
Label Variabel
Intercept
Elastisitas
Parameter Estimasi
tstatistik
-173.82700
-0.715
0.475
-0.00614
-1.789
0.074
Prob
Jangka Pendek
Jangka Panjang
PDRB
PDRB
PDK
Jumlah Penduduk
0.11738
3.717
0.000
0.263
1.135
KAPFIS
Kapasitas Fiskal
0.14087
2.558
0.011
0.086
0.369
LD
Luas Daerah
0.01180
5.917
0.000
0.224
0.966
LDAU
Lag DAU
0.76786
9.141
0.000
F-hitung
160.26
2
Adj-R
0.784
Sumber: hasil pengolahan
Jumlah penduduk memperlihatkan hubungan yang positif terhadap penerimaan DAU. Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah, maka akan semakin banyak kebutuhan penduduk tersebut yang dipenuhi dan dilayani oleh pemerintah daerah dalam rangka mensejahterakan penduduk daerah tersebut. Padahal di sisi lain, pemerintah daerah memiliki sumber pembiayaan yang terbatas. Oleh karena itu peningkatan jumlah penduduk suatu daerah akan diiringi pula oleh peningkatan penerimaan DAU kepada pemerintah daerah sebagai dana transfer yang diterima oleh daerah tersebut.
91
Kapasitas fiskal mencerminkan kemampuan daerah untuk menghimpun penerimaan yang murni berasal dari sumberdaya suatu daerah. Penerimaan tersebut berasal dari pendapatan asli daerah, dan dana bagi hasil pajak/bukan pajak. Pemberian DAU pada sisi lain dilakukan dalam rangka pemerataan antar daerah, sehingga secara teori kapasitas fiskal memiliki pengaruh yang negatif terhadap penerimaan DAU. Penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal memiliki pengaruh yang positif terhadap penerimaan DAU, yang berarti bahwa semakin tinggi kapasitas fiskal maka akan semakin tinggi pula penerimaan DAU. Hal tersebut disebabkan pada periode penelitian ini, pemberian DAU masih menganut sistem hold harmless, yaitu bahwa penerimaan DAU tahun ini tidak boleh lebih rendah daripada penerimaan tahun lalu, sehingga fluktuasi kapasitas fiskal tidak memberikan pengaruh terhadap penerimaan DAU karena jumlah DAU yang diterima oleh suatu daerah terus meningkat setiap tahunnya. Luas daerah memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan DAU. Semakin luas suatu daerah, maka semakin besar biaya yang diperlukan untuk melayani penduduk dalam wilayah yang luas tersebut. Selain itu, daerah yang luas membuat pemerintah daerah memiliki tugas lebih besar untuk membangun daerahnya agar setiap wilayah dapat mendapatkan hasil pembangunan secara merata. Besarnya kebutuhan untuk membangun daerah yang luas tersebut tentunya akan berimbas pada besarnya pengeluaran pemerintah, sehingga menimbulkan kesenjangan fiskal karena pengeluaran yang besar tersebut belum dapat dipenuhi oleh kapasitas fiskal yang ada. Meningkatnya kesenjangan fiskal tersebut berimplikasi pada semakin besar DAU yang diterima daerah guna membiayai pembangunan daerah dalam rangka mencapai tingkat pemerataan antar daerah. Dalam jangka pendek DAU tidak terlalu responsif terhadap perubahan luas daerah. Hal tersebut memiliki arti bahwa apabila terdapat perubahan pada luas suatu daerah maka tidak langsung direspon oleh perubahan besarnya DAU yang diterima. Tidak responsifnya besarna DAU yang diterima akibat dari perubahan luas daerah tersebut disebabkan besarnya pemberian DAU telah ditetapkan terlebuh dahulu dengan bobot DAU pada periode 2 tahun sebelumnya.
92
Tabel 7 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) Variabel
Label Variabel
Intercept
Elastisitas
Parameter Estimasi
tstatistik
221.73660
1.531
0.126
Prob
PDRB
PDRB
0.00198
1.459
0.145
LBHPBP
Lag BHPBP
1.02858
16.430
0.000
Jangka Pendek
Jangka Panjang
F-hitung 360.39 2 Adj-R 0.667 Sumber: hasil pengolahan
Persamaan struktural bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) dipengaruhi secara positif oleh peubah PDRB dan lag BHPBP. Bagi hasil pajak antara lain terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor. Sementara itu, bagi hasil sumber daya alam antara lain berasal dari hasil usaha-usaha sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan pertambangan. Dengan demikian, semakin meningkat PDRB suatu daerah, maka akan semakin meningkatkan penerimaan daerah yang berasal dari bagi hasil pajak antara lain akibat dari peningkatan jumlah penerimaan PPN dan PPh. Selain itu peningkatan usaha penggalian usmber daya alam utamanya pada sektor pertanian dan pertambangan seperti telah disebutkan sebelumnya akan meningkatkan PDRB. Peningkatan PDRB tersebut akan meningkatkan bagi hasil sumberdaya alam yang akan diterima oleh daerah tersebut. Peningkatan BHPBP tahun sebelumnya juga akan meningkatkan penerimaan BHPBP tahun berikutnya. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan penerimaan BHPBP ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan BHPBP sebesar 67%.
5.2.2 Pengeluaran Daerah Pengeluaran daerah dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan berhubungan dengan bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur. Terkait dengan bidang pertanian, sebagian besar penduduk di Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Penduduk yang menggantungkan hidupnya pada pertanian tersebut sebagian besar berada pada
93
kondisi serba kekurangan (miskin). Dengan demikian, besarnya pengeluaran pemerintah di sektor pertanian tentunya penting bagi perbaikan sektor tersebut. Pengeluaran bidang pertanian dipengaruhi oleh penerimaan daerah, PDRB pertanian dan lag pengeluaran bidang pertanian. Tabel 8 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pertanian
Variabel
Label Variabel
Intercept
Parameter tProb Estimasi statistik 82.14197
5.477
0.000
PD
Penerimaan Daerah
0.00256
1.291
0.197
PDRBTANI
PDRB Pertanian
0.00147
1.912
0.056
LAG PENGTANI
Lag Pengeluaran Pertanian
0.91302
21.310 0.000
F-hitung
403.41
2
Adj-R
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.040
0.464
0.818
Sumber: hasil pengolahan
Penerimaan daerah berpengaruh secara positif terhadap pengeluaran pertanian. Semakin tinggi penerimaan daerah suatu daerah baik yang berasal dari pajak, BHPBP maupun lainnya, maka semakin leluasa daerah tersebut untuk dapat mengalokasikan dana yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan daerahnya, termasuk kebutuhan
pada
bidang
pertanian
seperti
program
ketahanan
pangan,
pengembangan agribisnis, peningkatan kesejahteraan petani, dan program rehabilitasi usaha tani. Hasil tersebut sejalan dengan teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan bahwa peningkatan penerimaan pemerintah akan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Penelitian sebelumnya yang memiliki hasil sejalan berkaitan dengan peubah penerimaan daerah adalah penelitian Yudhoyono (2004). Lag pengeluaran pertanian memiliki hubungan yang positif terhadap pengeluaran pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa apabila kondisi pengeluaran pertanian periode sebelumnya meningkat, maka hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran pertanian periode berikutnyanya. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran pertanian ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pengeluaran pertanian sebesar 82%. Pelayanan publik berupa pelayanan kesehatan dan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penduduk. Penduduk yang semakin berkualitas akan
94
semakin meningkatkan tingkat produktivitas dalam bekerja, sehingga pendapatan penduduk meningkat dan jumlah penduduk miskin dapat dikurangi. Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dipengaruhi oleh PAD, DAU, dan lag pengeluaran pendidikan. Seluruh parameter variabel penjelas bertanda positif, yang berarti bahwa peningkatan variabel-variabel tersebut akan meningkatkan pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Semakin besar penerimaan daerah yang berasal dari PAD dan DAU akan semakin meningkatkan pengeluaran pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman tentang pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran tersebut tentunya akan meningkatkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan pula untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pencapaian target pendidikan dasar sembilan tahun serta peningkatan upaya kesehatan baik perorangan maupun masyarakat. Penelitian Yudhoyono (2004) juga menunjukkan bahwa penerimaan daerah memiliki pengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Tabel 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan dan kesehatan
Variabel
Label Variabel
Intercept
Parameter tEstimasi statistik
Elastisitas Prob Jangka Pendek
20.46684
0.246
0.806
Jangka Panjang
PAD
PAD
0.09884
3.530
0.000
0.045
0.694
DAU LAG PENGPENDKES F-hitung
DAU Lag Pengeluaran Pendidikan&Kesehatan 1540.83
0.17240
7.410
0.000
0.218
3.386
0.93557
25.340
0.000
Adj-R2
0.945
Sumber: hasil pengolahan
Peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan pada tahun sebelumnya akan meningkatkan pengeluaran pendidikan dan kesehatan pada tahun berikutnya terlihat pula dari parameter koefisien yang bertanda positif. Peningkatan PAD baik pada jangka pendek maupun jangka panjang menunjukkan ketidakelastisan terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran pendidikan tidak mampu hanya ditopang oleh penerimaan dari PAD
95
saja. Sebaliknya, DAU dalam jangka pendek tidak elastis, namun bersifat sangat elastis pada jangka panjang. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran pendidikan ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pengeluaran pendidikan dan kesehatan dengan cukup bagus yaitu sebesar 94.5%. Peningkatan pengeluaran infrastruktur pun tak kalah pentingnya disamping pengeluaran pertanian, pendidikan dan kesehatan dalam upaya pengurangan jumlah penduduk miskin. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan penting dalam memperlancar penduduk kepada kegiatan ekonominya, efisiensi biaya dan juga penting dalam memperlancar akses penduduk kepada sarana-sarana publik, salah satunya pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran infrastruktur dipengaruhi oleh PAD, dana perimbangan, dan lag pengeluaran infrastruktur dengan arah yang positif. Peningkatan PAD dan dana perimbangan akan meningkatkan penerimaan daerah, yang kemudian akan meningkatkan
pengeluaran
daerah,
termasuk
pengeluaran
infrastruktur.
Peningkatan PAD tidak terlalu nyata dalam mempengaruhi peningkatan pengeluaran infrastruktur karena dana PAD umumnya hanya sedikit dan di sisi lain pengeluran infrastruktur memerlukan dana yang cukup besar. Tabel 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur
Variabel
Label Variabel
Intercept
Elastisitas
Parameter Estimasi
tstatistik
111.62510
1.519
0.129
Prob
PAD
PAD
0.02097
0.837
0.403
DAPER
Dana Perimbangan
0.07821
5.554
0.000
LPENGINFRA
Lag Infrastruktur
0.84460
15.128
0.000
F-hitung
431.45
2
R
Jangka Pendek
Jangka Panjang
0.267
1.721
0.828
Sumber: hasil pengolahan
Peningkatan pengeluaran infrastruktur tahun lalu secara nyata semakin meningkatkan pengeluaran infrastruktur pada tahun berikutnya. Perubahan
96
pengeluaran infrastruktur lebih responsif terhadap perubahan dana perimbangan dalam jangka panjang. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini memiliki nilai Adj-R2 sebesar 0.828, yang artinya bahwa sebesar 82.8% variasi dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural ini.
5.2.3 Output Blok Output terdiri atas persamaan PDRB Pertanian, PDRB Industri dan PDRB Jasa serta PDRB Lainnya. PDRB pertanian dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan, dan pengeluaran infrastruktur. Variabel-variabel penjelas tersebut mempengaruhi PDRB pertanian secara positif dan nyata. Tabel 11 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Pertanian
Variabel
Label Variabel
Intercept
Parameter Estimasi -584.05300
Elastisitas
tstatistik
Prob
-1.255
0.210
TKTANI
Tenaga Kerja Pertanian
0.00526 27.068
0.000
PENGTANI PENGPEND KES PENGINFRA
Pengeluaran Pertanian
1.87347
1.211
0.226
Pengeluaran Pend&Kes
0.56049
3.491
0.001
Pengeluaran Infrastruktur
0.30498
0.971
0.332
Jangka Pendek
Jangka Panjang
0.481 0.097
F-hitung 633.72 2 Adj-R 0.914 Sumber: hasil pengolahan
Sektor pertanian merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga jumlah tenaga kerja pertanian memberikan pengaruh positif yang nyata terhadap output (PDRB) pertanian. Semakin besar tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian maka akan meningkatkan PDRB pertanian. Namun, dalam jangka pendek respon PDRB pertanian terhadap perubahan jumlah tenaga kerja pertanian kurang elastis. Hal tersebut terlihat dari PDRB pertanian hanya meningkat sebesar 0.48%
apabila jumlah tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 1%.
Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumedi (2005)
97
bahwa peningkatan tenaga kerja pertanian akan mempengaruhi peningkatan PDRB pertanian. Pengeluaran pertanian memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan PDRB pertanian. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Astuti (2007) bahwa pengeluaran untuk sektor pertanian merupakan hal yang penting berkaitan dengan sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja. Peningkatan pendidikan dan kesehatan guna menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas berpengaruh positif dan nyata pula terhadap PDRB pertanian. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengalokasikan pengeluaran pemerintahnya terhadap belanja di bidang pendidikan dan kesehatan menjadi sangat penting. Semakin meningkat pengeluaran pendidikan dan kesehatan, maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang berkualitas, tidak terkecuali tenaga kerja di bidang pertanian. Peningkatan kualitas tenaga kerja tersebut dapat berupa peningkatan kecakapan dalam penguasaan teknologi pertanian, yang kemudian nantinya akan berdampak pada meningkatkan output dari sektor pertanian. Namun, karena pendidikan dan kesehatan memerlukan waktu yang lama, sehingga dalam jangka pendek elastistasnya bersifat inelastis, yaitu sebesar 0.1% peningkatan PDRB pertanian yang akan terjadi apabila jumlah pengeluaran pendidikan dan kesehatan meningkat sebesar 1%. Peningkatan infrastruktur seperti jalan dan jembatan akan meningkatkan akses petani dalam pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses menuju tempat kegiatan ekonominya. Hal tersebut tentunya dapat menciptakan efisiensi biaya produksi dan nantinya akan meciptakan harga jual produk yang kompetitif. Kemudahan tersebut tentunya akan berimbas pada peningkatan produksi petani dan selanjutnya akan meningkatkan PDRB pertanian. Fan dan Kang (2004) dalam penelitiannya mengenai dampak pembangunan infrastruktur terutama jalan terhadap pertumbuhan ekonomi menemukan hubungan positif pula antara pengeluaran infratruktur terutama jalan terhadap PDRB pada sektor pertanian, PDRB industri dipengaruhi oleh tenaga kerja industri, pengeluaran infrastruktur dan investasi secara positif dan nyata. Peningkatan tenaga kerja industri sebagai salah satu faktor produksi secara signifikan akan meningkatkan PDRB industri. Peningkatan jumlah tenaga kerja sektor industri sebesar 1% pad
98
jangka pendek akan langsung meningkatkan PDRB industri sebesar 0.61%. Pengaruh positif tenaga kerja industri terhadap PDRB industri ini sejalan pula dengan hasil penelitian Astuti (2007) dan Sumedi (2005). Tabel 12 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Industri
Variabel
Label Variabel
Intercept
Parameter Estimasi
Elastisitas t-statistik Prob
Jangka Pendek
-4454.02100 -3.672
0.000
0.02301 20.754
0.000
0.612
PENGINFRA Pengeluaran Infrastruktur
2.27888
3.766
0.000
0.213
INV
0.47327 11.384
0.000
0.421
TKIND
Tenaga Kerja Industri Investasi
F-hitung 2
Adj-R
Jangka Panjang
832.97 0.903
Sumber: hasil pengolahan
Kegiatan industri sangat memerlukan sarana infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan pengeluaran infrastruktur sangat berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan PDRB industri. Selain ketersediaan infrastruktur, kegiatan industri juga memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat investasi (PMTB). Semakin tinggi tingkat investasi, maka akan meningkatkan output dari kegiatan industri. Pada jangka pendek, elastisitas perubahan PDRB industri terhadap perubahan tenaga kerja industri, pengeluaran infrastruktur dan investasi bersifat inelastis. Sektor jasa terdiri atas sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor transportasi dan komunikasi, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. PDRB Jasa dipengaruhi oleh tenaga kerja jasa dan pengeluaran infrastruktur secara positif dan nyata. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini memiliki nilai R2 sebesar 0.516, yang artinya bahwa sebesar 51.6% variasi dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural ini. Peningkatan tenaga kerja jasa sebagai salah satu faktor produksi secara signifikan akan meningkatkan PDRB jasa. Elastisitas jumlah tenaga kerja jasa terhadap PDRB jasa ini cukup elastis. Peningkatan jumlah tenaga kerja sektor jasa sebesar 1% akan direspon dengan meningkatkan PDRB jasa sebesar 1.83%.
99
Penelitian Sumedi (2005) memberikan hasil yang tidak berbeda dalam melihat keterkaitan tenaga kerja pada sektor jasa dengan PDRB jasa. Tabel 13 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Jasa Variabel
Label Variabel
Intercept
Parameter Estimasi
tstatistik
Elastisitas Prob
Jangka Pendek
-5938.96900
-1.348
0.178
Tenaga Kerja Sektor Jasa
0.01317
8.722
0.000
1.825
PENGINFRA Pengeluaran Infrastruktur
9.61274
4.396
0.000
1.471
TKJASA F-hitung 2
Adj-R
Jangka Panjang
192.03 0.516
Sumber: hasil pengolahan
Kegiatan jasa sangat memerlukan sarana infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan pengeluaran infrastruktur sangat berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan PDRB jasa. Peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 1% akan meningkatkan PDRB jasa sebesar 1.47%. Tabel 14 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Lainnya Elastisitas
tstatistik
Prob
-212.61780
-0.179
0.858
Tenaga Kerja Sektor Lain
0.00413
1.604
0.109
PENGINFRA Pengeluaran Infrastruktur
5.53243
9.843
0.000
Variabel
Label Variabel
Intercept TKLAIN F-hitung 2
R
Parameter Estimasi
Jangka Pendek
Jangka Panjang
0.847
149.30 0.453
Sumber: hasil pengolahan
PDRB lainnya merupakan gabungan dari PDRB yang dihasilkan oleh sektor pertambangan, sektor listrik, gas dan air bersih, serta sektor konstruksi. PDRB lainnya ini dipengaruhi secara positif walaupun tidak nyata oleh tenaga kerja lainnya. Selain itu, PDRB lainnya juga dipengaruhi secara positif oleh pengeluaran infrastruktur. Bagi sektor lainnya ini, pengeluaran infrastruktur sangatlah penting, karena kegiatan pertambangan, kegiatan pembangkitan listrik, gas dan air bersih serta kegiatan konstruksi sangatlah memerlukan infrastruktur yang memadai.
100
Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan PDRB lainnya ini memiliki nilai R2 sebesar 0.453, yang artinya bahwa sebesar 45.3% variasi dalam persamaan PDRB lainnya ini dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural ini. 5.2.4 Kemiskinan Kemiskinan pada penelitian ini menggunakan ukuran jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh indeks Gini, PDRB pertanianm PDRB industri, PDRB jasa, PDRB lainnya, jumlah penduduk, dan lag jumlah penduduk miskin. Indeks gini berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin yang berarti bahwa penurunan indeks Gini akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin,walaupun pengaruhnya tidak nyata. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Nanga (2006) yang menyebutkan bahwa kemiskinan memiliki hubungan yang responsif dan elastis terhadap perubahan indeks Gini. Tabel 15 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan
Variabel
Label Variabel
Intercept GINI
Indeks Gini
Parameter Estimasi
tstatistik
Elastisitas Prob
-73.18015
-0.797
0.426
172.40380
0.628
0.530
Jangka Pendek
Jangka Panjang
PDRBTANI
PDRB Pertanian
-0.01046
-3.375
0.001
-0.080
-1.351
PDRBIND
PDRB Industri
-0.00498
-2.112
0.035
-0.062
-1.042
PDRBJASA
PDRB Jasa
-0.00098
-3.218
0.001
-0.021
-0.356
PDRBLAIN
PDRB Lainnya
0.00402
2.453
0.014
0.031
0.513
PDK
Jumlah Penduduk
0.03032
2.770
0.006
0.186
3.126
LPDKMISK
Lag Penduduk Miskin
0.94055
32.525
0.000
F-hitung
6179.49
2
Adj-R
0.994
Sumber: hasil pengolahan
Penurunan
nilai
indeks
Gini
tersebut
menggambarkan
penurunan
ketimpangan distribusi pendapatan. Apabila ketimpangan menurun, maka rentang pendapatan rumahtangga golongan atas dengan rumahtangga golongan bawah semakin kecil, hal tersebut berarti semakin meningkatnya pendapatan masyarakat
101
golongan bawah. Pendapatan masyarakat golongan bawah yang semakin meningkat tersebut menunjukkan penduduk miskin semakin berkurang. PDRB pertanian berpengaruh negatif secara nyata terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin tinggi peningkatan PDRB pertanian, maka akan semakin meningkatkan pendapatan penduduk. Hal tersebut disebabkan karena adanya penyerapan tenagakerja yang sangat banyak pada sektor pertanian. Pendapatan penduduk yang meningkat tersebut akan menurunkan jumlah penduduk miskin, karena sebagian besar penduduk miskin bekerja pada sektor pertanian. Peningkatan PDRB pertanian pada jangka panjang bersifat elastis terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Peningkatan sebesar 1% PDRB pertanian tersebut akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 1.35%. Peningkatan PDRB industri berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah penduduk miskin pada taraf nyata α=5%. Respon perubahan jumlah penduduk miskin terhadap perubahan PDRB industri ini cukup elastis pada jangka panjang. Peningkatan PDRB industri sebesar 1% akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 1.04%. Peningkatan PDRB jasa secara nyata berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. PDRB sektor jasa banyak didiami oleh pekerja sektor informal, terutama pada sektor perdagangan, sehingga peningkatan PDRB jasa dapat memberikan pengaruh bagi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun penurunan jumlah penduduk miskin terhadap peningkatan PDRB jasa ini bersifat inelastis pada jangka pendek dan panjang. Kegiatan pertambangan, konstruksi dan LGA menghasilkan nilai tambah yang biasanya dinikmati oleh kalangan pemilik modal. Selain itu kegiatan sektor lainnya ini, khususnya pertambangan mengurangi kegiatan di sektor pertanian, akibat pembukaan lahan dan hutan yang biasanya di garap oleh petani. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan PDRB lainnya khususnya dari pertambangan justru akan semakin meningkatkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin. Penurunan jumlah penduduk akan meringankan beban pemerintah daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Penurunan jumlah penduduk dapat meningkatkan kesempatan kerja, sehingga mengurangi pengangguran dan menurunkan jumlah penduduk miskin. Respon perubahan jumlah penduduk
102
miskin terhadap perubahan jumlah penduduk pada jangka panjang lebih elastis apabila dibandingkan respon pada jangka pendek.
103
6. DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia memiliki tujuan antara lain menciptakan pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisen sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Dari sudut pandang tersebut, kebijakan-kebijakan yang lahir pada masa kebijakan desentralisasi fiskal berpotensi terhadap kebijakan yang mendukung penangggulangan kemiskinan. Kebijakan-kebijakan yang berpotensi dalam mendukung penanggulangan kemiskinan tersebut dapat dilihat melalui berbagai simulasi kebijakan pemerintah daerah. Sebelum melakukan simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model untuk mengetahui daya prediksi model. Model dikatakan cukup valid untuk digunakan dalam simulasi kebijakan apabila memenuhi keseluruhan atau minimal salah satu kriteria berikut: nilai Root Mean Squares Percent Error (RMPSE) di bawah 100%, Theil’s Inequality (U-Theil’s) mendekati 0, dan koefisien determinasi (R2) mendekati 1.
6.1 Validasi Model Hasil validasi model kebijakan fiskal daerah untuk rata-rata nasional, dapat dilihat pada tabel 16. Secara rata-rata nasional terlihat bahwa seluruh nilai RMSPE berada di bawah 100%, indeks Theil’s seluruhnya mendekati 0, dan Koefisien Determinasi (R2) sebagian besar berkisar antara 0,68-0,99. Hal ini menunjukkan bahwa daya prediksi dari model sudah cukup baik sehingga simulasi kebijakan sudah layak untuk dilakukan. Persamaan pada sisi penerimaan daerah terdiri dari persamaan Pajak, DAU dan BHPBP. Persamaan-persamaan tersebut menunjukkan nilai validasi yang cukup baik. Nilai indeks U-Theil’s, RMPSE, dan R2 untuk persamaan pajak masing-masing adalah 0.121, 42.078% dan 0.610. Persamaan DAU memiliki nilai indeks U-Theil’s, RMPSE, dan R2 masing-masing 0.128, 32.851% dan 0.653. Persamaan BHPBP memiliki nilai indeks U-Theil’s, RMPSE, dan R2 masingmasing 0.127, 47.254% dan 0.231.
104
Tabel 16 Nilai validasi variabel endogen pada persamaan simultan NASIONAL VARIABEL ENDOGEN U-Theil
RMSPE (%)
R2
PJK (Pajak)
0.121
42.078
0.610
PAD (Pendapatan Asli Daerah)
0.087
27.087
0.747
DAU (Dana Alokasi Umum)
0.128
32.851
0.653
BHPBP (Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak)
0.127
47.254
0.231
DAPER (Dana Perimbangan)
0.114
31.800
0.753
PD (Pendapatan Daerah)
0.097
27.480
0.842
PENGTANI (Pengeluaran Pertanian)
0.064
21.602
0.546
PENGPENDKES (Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan)
0.095
24.938
0.858
PENGINFRA (Pengeluaran Infrastruktur)
0.067
18.847
0.650
PENGDRH (Pengeluaran Daerah)
0.070
19.422
0.960
KAPFIS (Kapasitas Fiskal)
0.161
55.546
0.526
FISGAP (Kesenjangan Fiskal)
0.055
17.958
0.932
PDRBTANI (PDRB Pertanian)
0.039
7.515
0.913
PDRBIND (PDRB Industri)
0.051
10.030
0.899
PDRBJASA (PDRB Jasa)
0.094
18.478
0.485
PDRBLAIN (PDRB Lainnya)
0.174
36.852
0.161
PDRB (Total PDRB)
0.088
17.365
0.765
PDKMISK (Jumlah Penduduk Miskin)
0.027
5.053
0.991
Sumber: Hasil pengolahan.
Persamaan pada sisi pengeluaran daerah menunjukkan bahwa hampir seluruh persamaan memiliki angka indeks U-Theil’s mendekati 0. Pengeluaran pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan serta pengeluaran infrastruktur memiliki angka indeks U-Theil’s masing-masing sebesar 0.064, 0.095 dan 0.067. Nilai RMSPE berada di bawah 100%, masing-masing sebesar 21.602%, 24.938% dan 18.847%. Nilai R2 masing-masing bernilai 0,546, 0.858 dan 0.650.
105
PDRB beserta komponennya yaitu PDRB pertanian, PDRB industri, PDRB jasa dan PDRB lainnya memiliki nilai indeks U-Theil’s masing-masing 0.088, 0.039, 0.051, 0.094 dan 0,174. Nilai RMSPE masing-masing sebesar 17.365%, 7.515%, 10.030%, 18.478% dan 36.852%. Nilai R2 masing-masing sebesar 0.765, 0.913, 0.899, 0.485, dan 0.161. Persamaan jumlah penduduk miskin memiliki nilai indeks U-Theil’s, RMSPE dan nilai R2 masing-masing sebesar 0.027, 5.053% dan 0.991.
6.2 Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan Analisis dampak dilakukan melalui simulasi terhadap model yang telah dibangun. Simulasi ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu mempelajari dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan. Terdapat delapan skenario simulasi yang dilakukan baik dari sisi penerimaan (penerimaan pajak dan BHPBP) maupun dari sisi pengeluaran (pengeluaran pertanian, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur, kombinasi pengeluaran pertanian, pendidikan dan kesehatan dan infrastruktur). Nilai simulasi diambil berdasarkan rata-rata pertumbuhan pertahun masing-masing peubah yang akan disimulasi selama tahun 2003-2009. Dasar penggunaan rata-rata pertumbuhan pertahun dalam pengambilan nilai simulasi tersebut disesuaikan rata-rata penerimaan yang dapat diperoleh oleh pemerintah daerah selama ini dan rata-rata kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang tersedia (yang mampu diperoleh) kepada berbagai bidang yang mendukung upaya penurunan kemiskinan. Simulasi dampak yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kenaikan penerimaan pajak sebesar 35%. 2) Kenaikan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) sebesar 45%. 3) Kenaikan Pengeluaran Pertanian sebesar 30%. 4) Kenaikan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35%. 5) Kenaikan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 35%. 6) Kenaikan Pengeluaran Pertanian sebesar 30% dan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35%.
106
7) Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35% dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 35%. 8) Pengeluaran Pertanian sebesar 30%, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan sebesar 35% dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 35%.
6.2.1 Peningkatan Penerimaan Pajak Peningkatan penerimaan pajak yang berasal dari peningkatan potensi pajak sebesar 35% akan meningkatkan penerimaan asli daerah sebesar 25.44%. Peningkatan PAD tersebut selanjutnya akan meningkatkan penerimaan daerah dan juga akan meningkatkan pengeluaran daerah beserta komponen-komponennya. Penerimaan daerah meningkat sebesar 5.61%, pengeluaran daerah meningkat sebesar 1.69%, dan peningkatan komponen-komponen pengeluaran yaitu peningkatan pengeluaran pertanian naik 0.81%, pengeluaran pendidikan dan kesehatan naik sebesar 3.90%, dan pengeluaran infrastruktur naik sebesar 1.94%. Tabel 17
No
Dampak peningkatan penerimaan pajak daerah sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia Uraian
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persentase Perubahan
1
PJK (milyar rupiah)
1166.019
1574.126
408.107
35.00
2
PAD (milyar rupiah)
1603.939
2012.046
408.107
25.44
3
DAU (milyar rupiah)
4934.243
5048.330
114.087
2.31
4
BHPBP (milyar rupiah)
1809.282
1813.201
3.919
0.22
5
DAPER (milyar rupiah)
7172.047
7290.053
118.006
1.65
6
PD (milyar rupiah)
9375.119
9901.232
526.113
5.61
7
PENGTANI (milyar rupiah)
458.883
462.601
3.718
0.81
8
PENGPENDKES (milyar rupiah)
3947.317
4101.363
154.047
3.90
9
PENGINFRA (milyar rupiah)
2055.280
2095.155
39.875
1.94
13805.502
14038.558
233.056
1.69
11 KAPFIS (milyar rupiah)
3413.222
3825.247
412.025
12.07
12 FISGAP (milyar rupiah)
10392.280
10213.310
-178.970
- 1.72
13 PDRBTANI (milyar rupiah)
11412.793
11518.262
105.469
0.92
14 PDRBIND (milyar rupiah)
18321.999
18412.869
90.870
0.50
15 PDRBJASA (milyar rupiah)
33601.444
33984.754
383.310
1.14
16 PDRBLAIN (milyar rupiah)
12145.541
12366.147
220.607
1.82
17 PDRB (milyar rupiah)
75481.776
76282.032
800.256
1.06
18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
1341.188
1338.851
-2.337
-0.17
10 PENGDRH (milyar rupiah)
107
Peningkatan pengeluaran daerah pada bidang-bidang yang berpotensi mengurangi kemiskinan tersebut akan meningkatkan output daerah melalui peningkatan komponen-komponen PDRB yaitu PDRB pertanian sebesar 0.92%, PDRB industri sebesar 0.50%, PDRB jasa sebesar 1.14% dan PDRB lainnya sebesar 1.82%, dan meningkatkan total PDRB sebesar 1.06%. Peningkatan PDRB tersebut
melalui
komponen-komponennya
kemudian
akan
menurunkan
kemiskinan sebesar 0.17%.
6.2.2 Peningkatan Penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) Bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang berasal dari penggalangan pajak nasional maupun pengelolaan potensi sumberdaya alam di daerah. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan BHPBP sebesar 45% secara langsung akan meningkatkan dana perimbangan sebesar 14.38%. Peningkatan dana perimbangan tersebut akan meningkatkan penerimaan daerah sebesar 11.68%. Dari sisi kapasitas fiskal, terjadi peningkatan sebesar 25.72% akibat dari kenaikan penerimaan BHPBP tersebut sehingga kesenjangan fiskal berkurang sebesar 5.40%. Peningkatan penerimaan daerah tersebut kemudian akan diikuti dengan peningkatan pengeluaran daerah melalui komponen-komponennya, terutama yang berhubungan dengan kepentingan publik. Pengeluaran pertanian meningkat sebesar 1.57%, pengeluaran pendidikan dan kesehatan meningkat sebesar 2.57%, dan
pengeluaran
infrastruktur
meningkat
sebesar
8.99%.
Peningkatan
pengeluaran-pengeluaran tersebut kemudian akan meningkatkan pengeluaran daerah
sebesar
2.29%.
Peningkatan
pengeluaran
daerah
tersebut
akan
mempengaruhi output melalui peningkatan output (PDRB) sebesar 4.43%. Adapun komponen-komponen PDRB mengalami kenaikan masing-masing yaitu PDRB pertanian sebesar 1.11%, PDRB industri sebesar 2.30%, PDRB jasa sebesar 5.29% dan PDRB lainnya sebesar 8.42%. Peningkatan PDRB melalui komponen-komponennya tersebut kemudian akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.17%.
108
Tabel 18
No
Dampak peningkatan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) sebesar 45% terhadap kemiskinan di Indonesia Uraian
1 PJK (milyar rupiah) 2 PAD (milyar rupiah) 3 DAU (milyar rupiah) 4 BHPBP (milyar rupiah) 5 DAPER (milyar rupiah) 6 PD (milyar rupiah) 7 PENGTANI (milyar rupiah) 8 PENGPENDKES (milyar rupiah) 9 PENGINFRA (milyar rupiah) 10 PENGDRH (milyar rupiah) 11 KAPFIS (milyar rupiah) 12 FISGAP (milyar rupiah) 13 PDRBTANI (milyar rupiah) 14 PDRBIND (milyar rupiah) 15 PDRBJASA (milyar rupiah) 16 PDRBLAIN (milyar rupiah) 17 PDRB (milyar rupiah) 18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persentase Perubahan
1166.019 1603.939 4934.243 1809.282 7172.047 9375.119 458.883 3947.317 2055.280 13805.502 3413.222 10392.280 11412.793 18321.999 33601.444 12145.541 75481.776 1341.188
1229.676 1667.596 5151.605 2623.460 8203.587 10470.315 466.107 4048.921 2240.087 14121.671 4291.056 9830.616 11539.638 18743.154 35377.949 13167.975 78828.715 1338.929
63.657 63.657 217.362 814.177 1031.539 1095.196 7.224 101.604 184.807 316.169 877.834 -561.664 126.845 421.154 1776.505 1022.434 3346.939 -2.259
5.46 3.97 4.41 45.00 14.38 11.68 1.57 2.57 8.99 2.29 25.72 -5.40 1.11 2.30 5.29 8.42 4.43 -0.17
6.2.3 Peningkatan Pengeluaran Bidang Pertanian Sektor pertanian merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja sektor pertanian sebagian besar merupakan penduduk miskin, sehingga peningkatan pengeluaran pertanian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Selama masa desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian tumbuh paling rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan meningkatkan kinerja sektor pertanian yang terlihat dari peningkatan PDRB sektor pertanian. Peningkatan pengeluaran pertanian akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 2.27%, dan peningkatan tersebut akan meningkatkan total PDRB sebesar sebesar 0.35%. Peningkatan PDRB pertanian akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.54%. Selain itu, peningkatan total PDRB tersebut akan meningkatkan PAD sebesar 0.49% yang berasal dari peningkatan pajak sebesar
109
0.67%. Peningkatan PAD tentunya kemudian akan meningkatkan penerimaan daerah sebesar 0.09%. Gambaran lengkap mengenai hasil simulasi dampak kebijakan fiskal terhadap pengeluaran pertanian dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19
Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% terhadap kemiskinan di Indonesia
No
Uraian
1 PJK (milyar rupiah) 2 PAD (milyar rupiah) 3 DAU (milyar rupiah) 4 BHPBP (milyar rupiah) 5 DAPER (milyar rupiah) 6 PD (milyar rupiah) 7 PENGTANI (milyar rupiah) 8 PENGPENDKES (milyar rupiah) 9 PENGINFRA (milyar rupiah) 10 PENGDRH (milyar rupiah) 11 KAPFIS (milyar rupiah) 12 FISGAP (milyar rupiah) 13 PDRBTANI (milyar rupiah) 14 PDRBIND (milyar rupiah) 15 PDRBJASA (milyar rupiah) 16 PDRBLAIN (milyar rupiah) 17 PDRB (milyar rupiah) 18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
1166.019 1603.939 4934.243 1809.282 7172.047 9375.119 458.883 3947.317 2055.280 13805.502 3413.222 10392.280 11412.793 18321.999 33601.444 12145.541 75481.776 1341.188
1173.829 1611.750 4933.421 1810.885 7172.828 9383.710 596.548 3948.863 2055.741 13945.541 3422.634 10522.906 11671.712 18323.051 33605.883 12148.095 75748.742 1333.883
Besar Perubahan 7.810 7.810 -0.821 1.602 0.780 8.591 137.665 1.547 0.462 140.038 9.412 130.626 258.919 1.051 4.438 2.554 266.966 -7.305
Persentase Perubahan 0.67 0.49 -0.02 0.09 0.01 0.09 30.00 0.04 0.02 1.01 0.28 1.26 2.27 0.01 0.01 0.02 0.35 -0.54
6.2.4 Peningkatan Pengeluaran Bidang Pendidikan dan Kesehatan Pendidikan dan kesehatan berkaitan erat dengan kualitas suatu masyarakat, sehingga pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan sangat penting dalam peningkatan output melalui peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35%, secara rata-rata nasional akan berpengaruh terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah daerah sebesar 10.05%. Peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan tersebut juga akan meningkatkan PDRB terutama PDRB pertanian sebesar 6.84%. Peningkatan PDRB pertanian akan meningkatkan total PDRB sebesar 1.07%. Selain meningkatkan total PDRB, PDRB pertanian juga akan menurunkan kemiskinan
110
sebesar 1.60%. Peningkatan total PDRB tersebut kemudian akan meningkatkan PAD sebesar 1.66% melalui peningkatan pajak sebesar 2.29%. Peningkatan PAD akan menyebabkan peningkatan penerimaan pemerintah daerah sebesar 0.32%. Tabel 20
No
Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia Uraian
Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persentase Perubahan
1
PJK (milyar rupiah)
1166.019
1192.672
26.653
2.29
2
PAD (milyar rupiah)
1603.939
1630.593
26.653
1.66
3
DAU (milyar rupiah)
4934.243
4932.684
-1.558
-0.03
4
BHPBP (milyar rupiah)
1809.282
1813.989
4.707
0.26
5
DAPER (milyar rupiah)
7172.047
7175.195
3.148
0.04
6
PD (milyar rupiah)
9375.119
9404.921
29.802
0.32
7
PENGTANI (milyar rupiah)
458.883
461.965
3.082
0.67
8
PENGPENDKES (milyar rupiah)
3947.317
5328.877
1381.561
35.00
9
PENGINFRA (milyar rupiah)
2055.280
2056.935
1.655
0.08
13805.502
15193.143
1387.640
10.05
10 PENGDRH (milyar rupiah) 11 KAPFIS (milyar rupiah)
3413.222
3444.582
31.360
0.92
12 FISGAP (milyar rupiah)
10392.280
11748.561
1356.281
13.05
13 PDRBTANI (milyar rupiah)
11412.793
12193.426
780.633
6.84
14 PDRBIND (milyar rupiah)
18321.999
18325.770
3.771
0.02
15 PDRBJASA (milyar rupiah)
33601.444
33617.353
15.909
0.05
16 PDRBLAIN (milyar rupiah)
12145.541
12154.696
9.156
0.08
17 PDRB (milyar rupiah)
75481.776
76291.247
809.470
1.07
18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
1341.188
1319.774
-21.414
-1.60
6.2.5 Peningkatan Pengeluaran Bidang Infrastruktur Infrastruktur merupakan sarana yang sangat penting dalam menghubungkan dan memperlancar aktivitas ekonomi dan mobilisasi masyarakat. Peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% akan meningkatkan pengeluaran daerah sebesar 5.54% secara rata-rata nasional. Peningkatan infrastruktur tersebut kemudian juga meningkatkan output daerah (PDRB) melalui komponenkomponen PDRBnya. PDRB pertanian meningkat sebesar 2.13%, PDRB industri meningkat sebesar 8.95%, PDRB jasa meningkat sebesar 20.58% dan PDRB lainnya meningkat sebesar 32.77%. Peningkatan komponen PDRB tersebut kemudian akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.28%.
111
Total PDRB sebagai akibat dari peningkatan komponen-komponen PDRB tersebut juga akan turut meningkat sebesar 16,93%. Peningkatan PDRB tersebut kemudian akan meningkatkan penerimaan asli daerah melalui pajak. Pajak meningkat sebesar 21.81% dan kemudian akan meningkatkan PAD sebesar 15.85%. Peningkatan PAD tersebut kemudian meningkatkan penerimaan daerah sebesar 2.75% Tabel 21
Dampak peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia Nilai Dasar
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persentase Perubahan
1 PJK (milyar rupiah)
1166.019
1420.323
254.304
21.81
2 PAD (milyar rupiah)
1603.939
1858.244
254.304
15.85
3 DAU (milyar rupiah)
4934.243
4863.555
-70.687
-1.43
4 BHPBP (milyar rupiah)
1809.282
1883.635
74.352
4.11
5 DAPER (milyar rupiah)
7172.047
7175.712
3.664
0.05
6 PD (milyar rupiah)
9375.119
9633.088
257.969
2.75
No
Uraian
7 PENGTANI (milyar rupiah)
458.883
461.357
2.474
0.54
8 PENGPENDKES (milyar rupiah)
3947.317
3981.610
34.294
0.87
9 PENGINFRA (milyar rupiah)
2055.280
2774.628
719.348
35.00
13805.502
14569.998
764.495
5.54
11 KAPFIS (milyar rupiah)
3413.222
3741.878
328.656
9.63
12 FISGAP (milyar rupiah)
10392.280
10828.119
435.839
4.19
10 PENGDRH (milyar rupiah)
13 PDRBTANI (milyar rupiah)
11412.793
11656.032
243.239
2.13
14 PDRBIND (milyar rupiah)
18321.999
19961.309
1639.309
8.95
15 PDRBJASA (milyar rupiah)
33601.444
40516.345
6914.901
20.58
16 PDRBLAIN (milyar rupiah)
12145.541
16125.285
3979.745
32.77
17 PDRB (milyar rupiah)
75481.776
88258.969
12777.193
16.93
18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
1341.188
1337.396
-3.792
-0.28
6.2.6 Peningkatan Pengeluaran Bidang Pertanian dan Pengeluaran Bidang Pendidikan dan Kesehatan Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya bersifat parsial, namun dapat dilakukan dengan memadukan beberapa kebijakan sekaligus. Tujuan dari paduan berbagai kebijakan tersebut adalah agar dampak atau hasil dari kebijakan yang dilakukan lebih besar dan terasa. Paduan simulasi kebijakan peningkatan pengeluaran pertanian dan pengeluaran pendidikan dan kesehatan memberikan dampak pada peningkatan pengeluaran daerah sebesar 22.31%.
112
Pengeluaran tersebut berpengaruh terhadap peningkatan total PDRB melalui komponen-komponennya. PDRB pertanian naik sebesar 11.25% sebagai dampak dari peningkatan pengeluaran pertanian dan pengeluaran pendidikan dan kesehatan tersebut. PDRB industri naik sebesar 10.24%, PDRB jasa naik sebesar 23.56%, PDRB lainnya naik sebesar 37.51%, sehingga total PDRB naik sebesar 20.71%. Kenaikan komponen-komponen PDRB tersebut akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 2.39%. Peningkatan total PDRB dan penurunan jumlah penduduk miskin akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak sebesar 614.40%. Selain itu, BHPBP juga meningkat sebesar 4.65% sebagai dampak dari peningkatan total PDRB. Peningkatan penerimaan pajak akan meningkatkan PAD sebesar 446.65%, dan bersama-sama dengan BHPBP akan meningkatkan kapasitas fiskal sebesar 212.36%. Peningkatan tersebut akan menaikkan penerimaan daerah sebesar 101.09% dan menurunkan kesenjangan fiskal sebesar 40.10%. Tabel 22
No
Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% dan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia Uraian
1 PJK (milyar rupiah) 2 PAD (milyar rupiah) 3 DAU (milyar rupiah) 4 BHPBP (milyar rupiah) 5 DAPER (milyar rupiah) 6 PD (milyar rupiah) 7 PENGTANI (milyar rupiah) 8 PENGPENDKES (milyar rupiah) 9 PENGINFRA (milyar rupiah) 10 PENGDRH (milyar rupiah) 11 KAPFIS (milyar rupiah) 12 FISGAP (milyar rupiah) 13 PDRBTANI (milyar rupiah) 14 PDRBIND (milyar rupiah) 15 PDRBJASA (milyar rupiah) 16 PDRBLAIN (milyar rupiah) 17 PDRB (milyar rupiah) 18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
Nilai Dasar 1166.019 1603.939 4934.243 1809.282 7172.047 9375.119 458.883 3947.317 2055.280 13805.502 3413.222 10392.280 11412.793 18321.999 33601.444 12145.541 75481.776 1341.188
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persen Perubahan
8330.093 8768.013 7162.859 1893.455 9484.835 18851.981 596.548 5328.877 2878.693 16886.052 10661.467 6224.584 12696.179 20198.461 41516.696 16701.018 91112.354 1309.198
7164.073 7164.074 2228.616 84.172 2312.788 9476.862 137.665 1381.561 823.413 3080.549 7248.245 -4167.696 1283.386 1876.461 7915.251 4555.477 15630.578 -31.990
614.40 446.65 45.17 4.65 32.25 101.09 30.00 35.00 40.06 22.31 212.36 -40.10 11.25 10.24 23.56 37.51 20.71 -2.39
113
6.2.7 Peningkatan Pengeluaran Bidang Pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Bidang Infrastruktur Paduan simulasi kebijakan peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan dengan pengeluaran infrastruktur akan memberikan dampak pada peningkatan
pengeluaran
daerah
sebesar
21.09%.
Pengeluaran
tersebut
berpengaruh terhadap peningkatan total PDRB melalui komponen-komponennya. PDRB pertanian naik sebesar 9.91% sebagai dampak dari peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan dan pengeluaran infrastruktur tersebut. Selain PDRB pertanian, PDRB industri mengalami kenaikan sebesar 8.95%, PDRB jasa naik sebesar 20.58%, PDRB lainnya naik sebesar 32.77%, sehingga total PDRB naik sebesar 18.10%. Kenaikan komponen-komponen PDRB tersebut akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 2.09%. Tabel 23
No
Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia Uraian
1 PJK (milyar rupiah) 2 PAD (milyar rupiah) 3 DAU (milyar rupiah) 4 BHPBP (milyar rupiah) 5 DAPER (milyar rupiah) 6 PD (milyar rupiah) 7 PENGTANI (milyar rupiah) 8 PENGPENDKES (milyar rupiah) 9 PENGINFRA (milyar rupiah) 10 PENGDRH (milyar rupiah) 11 KAPFIS (milyar rupiah) 12 FISGAP (milyar rupiah) 13 PDRBTANI (milyar rupiah) 14 PDRBIND (milyar rupiah) 15 PDRBJASA (milyar rupiah) 16 PDRBLAIN (milyar rupiah) 17 PDRB (milyar rupiah) 18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
Nilai Dasar 1166.019 1603.939 4934.243 1809.282 7172.047 9375.119 458.883 3947.317 2055.280 13805.502 3413.222 10392.280 11412.793 18321.999 33601.444 12145.541 75481.776 1341.188
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persen Perubahan
8296.403 8734.324 7173.018 1888.804 9490.344 18823.801 532.288 5328.877 2774.628 16717.332 10623.128 6094.204 12544.052 19961.309 40516.345 16125.285 89146.992 1313.174
7130.384 7130.384 2238.776 79.522 2318.297 9448.682 73.405 1381.561 719.348 2911.830 7209.906 -4298.076 1131.260 1639.309 6914.901 3979.745 13665.216 -28.014
611.52 444.55 45.37 4.40 32.32 100.78 16.00 35.00 35.00 21.09 211.23 -41.36 9.91 8.95 20.58 32.77 18.10 -2.09
Peningkatan total PDRB dan penurunan jumlah penduduk miskin akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak sebesar 611.52%. Selain itu, BHPBP juga
114
meningkat sebesar 4.40% sebagai dampak dari peningkatan total PDRB. Peningkatan penerimaan pajak akan meningkatkan PAD sebesar 444.55%, dan bersama-sama dengan BHPBP akan meningkatkan kapasitas fiskal sebesar 211.23%. Peningkatan tersebut akan menaikkan penerimaan daerah sebesar 100.78% dan menurunkan kesenjangan fiskal sebesar 41.36%.
6.2.8 Peningkatan Pengeluaran Bidang Pertanian, Bidang Pendidikan dan Kesehatan dan Bidang Infrastruktur Simulasi kebijakan yang terakhir ini adalah dengan memadukan ketiga kebijakan pemerintah dari sisi pengeluaran daerah. Peningkatan pengeluaran pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan dan pengeluaran infrastruktur akan memberikan dampak pada peningkatan pengeluaran daerah sebesar 21.56%. Pengeluaran tersebut berpengaruh terhadap peningkatan total PDRB melalui komponen-komponennya. Tabel 24
No
Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30%, pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia Uraian
1 PJK (milyar rupiah) 2 PAD (milyar rupiah) 3 DAU (milyar rupiah) 4 BHPBP (milyar rupiah) 5 DAPER (milyar rupiah) 6 PD (milyar rupiah) 7 PENGTANI (milyar rupiah) 8 PENGPENDKES (milyar rupiah) 9 PENGINFRA (milyar rupiah) 10 PENGDRH (milyar rupiah) 11 KAPFIS (milyar rupiah) 12 FISGAP (milyar rupiah) 13 PDRBTANI (milyar rupiah) 14 PDRBIND (milyar rupiah) 15 PDRBJASA (milyar rupiah) 16 PDRBLAIN (milyar rupiah) 17 PDRB (milyar rupiah) 18 PDKMISK (ribu jiwa) Sumber: Hasil pengolahan.
Nilai Dasar 1166.019 1603.939 4934.243 1809.282 7172.047 9375.119 458.883 3947.317 2055.280 13805.502 3413.222 10392.280 11412.793 18321.999 33601.444 12145.541 75481.776 1341.188
Nilai Simulasi
Besar Perubahan
Persen Perubahan
8295.257 8733.178 7171.326 1889.624 9489.471 18821.781 596.548 5328.877 2774.628 16781.407 10622.801 6158.606 12664.441 19961.309 40516.345 16125.285 89267.382 1309.409
7129.238 7129.238 2237.083 80.341 2317.424 9446.663 137.665 1381.561 719.348 2975.905 7209.579 -4233.674 1251.648 1639.309 6914.901 3979.745 13785.606 -31.779
611.42 444.48 45.34 4.44 32.31 100.76 30.00 35.00 35.00 21.56 211.23 -40.74 10.97 8.95 20.58 32.77 18.26 -2.37
115
PDRB pertanian naik sebesar 10.97% sebagai dampak dari paduan pengeluaran-pengeluaran tersebut. Selain PDRB pertanian, PDRB industri mengalami kenaikan sebesar 8.95%, PDRB jasa naik sebesar 20.58%, PDRB lainnya naik sebesar 32.77%, sehingga total PDRB naik sebesar 18.26%. Kenaikan komponen-komponen PDRB tersebut akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 2.37%. Peningkatan total PDRB dan penurunan jumlah penduduk miskin akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak sebesar 611.42%. Selain itu, BHPBP juga meningkat sebesar 4.44% sebagai dampak dari peningkatan total PDRB. Peningkatan penerimaan pajak akan meningkatkan PAD sebesar 444.48%, dan bersama-sama dengan BHPBP akan meningkatkan kapasitas fiskal sebesar 211.23%. Peningkatan tersebut akan menaikkan penerimaan daerah sebesar 100.76% dan menurunkan kesenjangan fiskal sebesar 40.74%. Simulasi yang merupakan kombinasi seluruh peningkatan pengeluaran ini ternyata memiliki dampak yang lebih kecil terhadap upaya pengurangan jumlah penduduk miskin, apabila dibandingkan dengan simulasi yang terdiri dari kombinasi pengeluaran pemerintah bidang pertanian dan pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pembangunan infrastruktur yang bias perkotaan, sehingga kurang dapat menyentuh kepentingan masyarakat miskin.
116
Halaman ini sengaja dikosongkan
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Berdasarkan dinamika fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan yang telah diteliti ditemukan hal-hal sebagai berikut: a) Kinerja fiskal daerah propinsi-propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal (2003-2009) tercatat cukup rendah. Hal tersebut tergambar melalui nilai derajat desentralisasi fiskal yang relatif rendah yaitu hanya sebesar 14,60%, nilai derajat potensi daerah hanya sebesar 15,67% dan derajat ketergantungan daerah yang masih cukup tinggi, yaitu sebesar 63,06%. Hanya sebagian kecil propinsi yang memiliki kinerja fiskal cukup baik, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Riau. b) Proporsi pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor yang mendukung upaya penurunan kemiskinan yaitu pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur pada masa desentralisasi fiskal di dominasi oleh pengeluaran pendidikan, dengan rata-rata proporsi 21.28%, dilanjutkan dengan pengeluaran infrastruktur (15.02%), kesehatan (7.01%) dan terakhir adalah pertanian (4.24%). c) Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi masih cukup rendah, karena sebagian besar sektor (pertanian, industri, lainnya) tumbuh dibawah rata-rata pertumbuhan total. Hanya PDRB jasa yang tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan total. Sementara itu walaupun secara nasional proporsi PDRB industri berada di atas proporsi PDRB pertanian, namun PDRB pertanian (25.06%) merupakan penyumbang cukup besar terhadap PDRB tiap propinsi, bahkan melampaui PDRB industri (15.28%). d) Rata-rata laju pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian paling rendah diantara sektor lainnya, bahkan mencapai minus 0.52% selama tahun 2004-2009. Hal tersebut mengindikasikan semakin berkurangnya insentif di sektor pertanian yang disebabkan oleh semakin sempitnya lahan
118
pertanian dan semakin meningkatnya ongkos produksi. Padahal sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar (rata-rata proporsi tenaga kerja pertanian terhadap total tenagakerja mencapai 50.22%). e) Persentase penduduk miskin di Indonesia lebih banyak berada di luar pulau Jawa, terutama di Kawasan Indonesia Timur. Namun, jumlah penduduk miskin terbesar berada di pulau Jawa dengan persentase sebesar 57.52% terhadap total penduduk. 2.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di jelaskan sebagai berikut: a) Penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak b) Penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB, PDRB pertambangan dan lag BHPBP periode sebelumnya c) Penerimaan DAU dipengaruhi oleh PDRB, jumlah penduduk, kapasitas fiskal, luas daerah, dan lag DAU. d) Pengeluaran pemerintah di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur dipengaruhi oleh berbagai jenis penerimaan daerah yang terdiri dari PAD, DAU dan dana perimbangan, serta lag masingmasing pengeluaran daerah. e) PDRB pertanian, industri, jasa, dan lainnya dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis pengeluaran daerah. f)
Jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag jumlah penduduk miskin.
3.
Berdasarkan simulasi skenario kebijakan fiskal daerah yang dilakukan terhadap kemiskinan, diperoleh dampak positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dengan besaran yang berbeda-beda, yaitu: a) Simulasi peningkatan penerimaan pajak daerah sebesar 35% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.17% b) Simulasi peningkatan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar 45% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.17%
119
c) Simulasi peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.54% d) Simulasi peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1.60% e) Simulasi peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.28% f)
Simulasi
peningkatan
pengeluaran
pertanian
sebesar
30%
dan
pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2.39% g) Simulasi peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2.09% h) Simulasi peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30%, pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2.37% Berdasarkan keseluruhan simulasi dampak tersebut, kombinasi peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang pertanian dan pengeluarandi bidang pendidikan dan kesehatan memiliki dampak terbesar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, yaitu sebesar 2.39%.
7.2 Implikasi Kebijakan Berdasarkan pada kesimpulan sebelumnya, maka dapat dituliskan beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Penerimaan daerah selama masa desentralisasi fiskal masih rendah berdasarkan nilai derajat desentralisasi fiskal daerah dan derajat potensi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan penerimaan daerah melalui peningkatan penerimaan pajak yang bukan berasal dari peningkatan rate pajak, melainkan melalui perluasan objek/potensi pajak (ekstensifikasi). Peningkatan penerimaan pajak melalui ekstensifikasi pajak hanya dapat dilakukan apabila terjadi
120
peningkatan taraf hidup dan perbaikan pendapatan pada masyarakat, tidak terkecuali masyarakat miskin. Selain itu, penggalian potensi daerah juga diperlukan guna meningkatkan penerimaan pajak yang bersumber dari dana bagi hasil sumberdaya alam yang dilakukan dengan efisien dan tetap memperhatikan sustainable environment. 2. Pengeluaran pemerintah untuk pertanian masih sangat kecil, padahal di sisi lain tiap propinsi masih menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertanian yang dibuktikan dengan masih relatif besarnya share PDRB pertanian dan juga tingginya tingkat penyerapan tenaga kerja di bidang pertanian. Selain itu, sebagian besar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian tergolong sebagai penduduk miskin. Oleh karena itu, untuk menurunkan jumlah penduduk miskin, perlu dilakukan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian terutama yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan petani, pengembangan program agribisni agar sektor pertanian memiliki nilai tambah yang lebih baik, serta program ketahanan pangan agar penduduk miskin tetap memiliki akses terhadap pangan yang terjamin 3. Berdasarkan simulasi dampak baik secara parsial maupun simulasi dampak yang dikombinasikan dengan pengeluaran pertanian, peningkatan pengeluaran pada sektor pendidikan dan kesehatan memberikan hasil yang besar terhadap penurunan penduduk miskin. Hal tersebut disebabkan pula oleh besarnya proporsi pengeluaran pendidikan yaitu minimal 20% dari total pengeluaran. Oleh karena itu, perlu dipertahankan dan apabila memungkinkan untuk lebih ditingkatkan pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan tersebut agar berkesinambungan dalam menurunkan jumlah penduduk miskin melalui program-program pendidikan dan pelatihan serta pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat yang berkualitas. Dengan demikian dapat tercipta sumberdaya daerah yang berkualitas dari sisi pendidikan dan kesehatan, sehingga selain memiliki produktivitas yang tinggi sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, juga memiliki kapabilitas dalam pengelolaan keuangan agar lebih baik dan meningkatnya peran serta dalam masyarakat.
121
4. Infrastruktur memiliki peranan positif dalam penurunan jumlah penduduk miskin berdasarkan simulasi dampak yang dilakukan, namun dampak yang terjadi tidak sebesar sektor publik lainnya, walaupun pengeluaran infrastruktur memiliki proporsi terbesar kedua setelah pendidikan. Oleh karena itu perlu semakin dilakukan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur guna melancarkan aktivitas masyarakat dalam perekonomian dan mempermudah akses kepada pelayanan publik. Pelaksanaan peningkatan kualitas infrastruktur tersebut, salah satunya yaitu berupa jalan, tidak hanya berupa perbaikan dan pemeliharaan jalan seperti yang banyak terjadi saat ini, namun lebih kepada pembukaan atau pembangunan jalan baru pada daerah-daerah yang masih terisolasi atau memiliki akses yang minim terhadap lingkungan di luar daerahnya.
7.3 Saran Beberapa saran yang dapat dilakukan untuk penelitian berikutnya agar lebih baik lagi adalah: 1.
Desentralisasi fiskal merupakan sistem yang menempatkan kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelaksana sistem tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik apabila pada penelitian berikutnya analisis dilakukan pada level kabupaten/kota.
2.
Penambahan data time series menjadi lebih pajang, dapat pula dengan membandingkan dengan keadaan sebelum masa desentralisasi, agar semakin panjang series data sehingga model dapat menjadi lebih baik.
3.
Penambahan lebih banyak lagi variabel-variabel yang sesuai dengan teori, seperti sisi permintaan aggregat, upah, penyerapan tenaga kerja, perdagangan antar daerah dan lain-lain sehingga dapat semakin memperkaya dan mempertajam analisis.
122
Halaman ini sengaja dikosongkan
123
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, A. dan A. Megantara. 2009. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Jakarta: Kompas. Adam, R. 2004. Economic Growth, Inequality and Poverty: Estimating the Growth Elasticity of Poverty. World Development Journal. 32(12):19892014. Alfian. 1980. Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Astuti, U.P. 2007. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu: Suatu Pendekatan Ekonometrika. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bahl, R. 1998. Implementation Rules for Fiscal Decentralization. Washington D.C: The World Bank Institute Barbara, B. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Timur. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bellinger, W.K. 2007. The Economic Analysis of Public Policy. London: Routledge. Boex. J., E. H. Ortiz, J. Martinez-Vasquez, A. Timofeev, dan G. Yao. 2006. Fighting Poverty Through Fiscal Decentralization. United States Agency for International Development. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia 2003. Jakarta: BPS. 2005. Statistik Indonesia 2004. Jakarta: BPS. 2006. Statistik Indonesia 2005. Jakarta: BPS. 2007. Statistik Indonesia 2006. Jakarta: BPS. 2008. Statistik Indonesia 2007. Jakarta: BPS. 2009. Statistik Indonesia 2008. Jakarta: BPS.
124
2010. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS. Brodjonegoro, B., A. Hendranata dan M. Riatu. 2001. Model Ekonometrika Desentralisasi: Analisis Dampak Alokasi SDA dan DAU terhadap Pemerataan dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah. Jakarta: LPEM-UI Chao, J. C. P dan H. Grubel, 1997. Optimal Levels of Spending and Taxation in Canada.Unpublished Paper. Department of Economics, Simon Fraser University Davoodi, H dan H. Zou. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study. Journal of Urban Economics. 43(2):244-245. Dagderiven, H., R. Van der Hooeven dan J. Weeks. 2002. Redistribution Does Matter: Growth and Redistribution for Poverty Reduction. Discussion Paper United Nation University/WIDER. 5. Dornbusch, R., S. Fischer dan R. Startz. 2008. Macroeconomic 10th Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Ebel, R.D dan S. Yilmaz. 2002. On the Measurement and Impact of Fiscal Decentralization. http//www.worldbank.org/decentralization Fan, S dan C.C. Kang. 2004. Road Development, Economic Growth and Poverty Reduction in China. Development Strategy and Governance Division International Food Policy Research Institute Discussion Paper. 12. Friedman, J. 2003. How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality and Growth in Indonesia. World Institute for Development Economics Research Discussion Paper. 57. Galor, O. 2000. Income Distribution and the Process of Development. European Economic Review. 44:706-712. Halim A. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: STIM YKPN. Heinz, K. 1988. Politik dan Kebijakan Pembangunan Pertanian. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hermami, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
125
Kementrian Keuangan. 2010. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 20032009. http//www.djpk.depkeu.go.id. Koutsoyiannis, A. 1997. Theory of Econometric: An Introduction Exposition of Econometric Methods. London: MacMillan Press. Ltd. Kuznets S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review 45: 1-28. Kwon, E. 2001. Infrastructure, Growth, and Poverty Reduction in Indonesia: A Cross Sectional Analysis. Manila: Asian Development Bank. Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi. Mankiw, N. Gregory. 2006. Macroeconomics 6th Edition. New York: Worth Publisher Musgrave, R.A dan B.M Peggy. 1991. Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw-Hill Book Company. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia.: Suatu Analisis Kebijakan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Oates, W. E. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development. National Tax Journal. 2(46). Oates, W. E. 1972. Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace Jvanovich Oshima, H. T. 1970. Income Inequality and Economic Growth: The Postwar Experiences of Asian Countries,. Malayan Economic Review. 15(2):13. Pakasi, C.B. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Propinsi Sulawesi Utara. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pindyck, R.S dan D.L. Rubienfield. 1991. Econometrics Models and Economic Forecast. Singapore:McGraw-Hill International Edition.
126
Pogue, T.F dan L.G. Sgontz. 1978. Government and Economic Choices: An Introduction to Public Finance. Boston: Houghton Miffin Company. Prud’homme, R. 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Research Observer. 10(2). Rindayati, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Reksodiprodjo, S. 2001. Ekonomi Publik. Yogyakarta: Balai Penerbit Fakultas Ekonomi. Rozi, M.F. 2007. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sartiyah. 2001. Dampak Implementasi Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara: Suatu Aplikasi Simulasi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sepulveda, C.F dan J.M. Vazquez. 2010. The Consequences of Fiscal Decentralization on Poverty and Income Equality. International Studies Program Working Paper. 10(2). Sen, A. 1985. A Sosiological Approach to the Measurement of Poverty: A Reply to Professor Peter Townsend. Oxford Economic Papers. 37: 669-676. Sidik, M. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal: Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Paper disampaikan pada Seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, 13 Maret 2002. Simanjuntak, R.A. 2002. Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktek di Beberapa Negara. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit Kompas. Sinaga. B.M. 1997. Pendekatan Kuantitatif dalam Agribisnis. Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics Institut Pertanian Bogor. 10(1):48-64. Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan antar Daerah dan Kinerja Perekonomian Nasional dan Daerah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
127
Stiglitz, J. 2000. Economics of the Public Sector. New York: W.W. Norton. Tangkilisan, H. N. 2005. Managemen Publik. Jakarta: Gramedia Widiasono. Tambunan, T. 2009. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tanzi, V. 2002. Pitfalls on the Roads to Fiscal Decentralization: Managing Fiscal Decentralization. London : Routledge. Todaro, M. P and S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Alih Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.. Ulla, M. 2003. Implikasi Otonomi Daerah terhadap Politik, Hukum dan Ekonomi. http//www.otda.co.id/artikel/implikasi ekonomi. Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan tingkat Kemiskinan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Vasquez, J.M dan R.M. McNabb. 2001. Fiscal Decentralization and Economic Growth. International Studies Program Working Paper. http//www.worldbank.oarg/decentralization. Widhiyanto, I. 2008. Fiscal Decentralization and Indonesia Regional Income Disparity (1994-2002). Jurnal Keuangan Publik. 5(1): 19-53. Wodon, Q.T dan S. Yitzhaki. 2002. Inequality and Social Welfare: A Sourcebook for Poverty Reduction Strategies. Washington D.C: The World Bank Institute. World Bank. 2005. Agriculture Growth for the Poor: an Agenda for Development. Washington D.C: The World Bank Institute. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Sosial Politik Kebijakan Fiskal. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zhang, T dan H. Zhou. 1998. Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China. Journal of Public Economics. 67: 221-240.
128
Halaman ini sengaja dikosongkan
129
Lampiran 1 Hasil pengujian persamaan struktural dengan order condition No
Persamaan
K
M
G
K-M
G-1
Hasil Uji
1
PJK (Pajak)
38
5
18
33
17
Overidentified
2
38
6
18
32
17
Overidentified
38
3
18
35
17
Overidentified
38
4
18
34
17
Overidentified
38
4
18
34
17
Overidentified
6
DAU (Dana Alokasi Umum) BHPBP (Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak) PENGTANI (Pengeluaran Pertanian) PENGPENDKES (PDRB Pendidikan dan Kesehatan) PENGINFRA (PDRB Infrastruktur)
38
4
18
34
17
Overidentified
7
PDRBTANI (PDRB Pertanian)
38
5
18
33
17
Overidentified
8
PDRBIND (PDRB Industri)
38
4
18
34
17
Overidentified
9
PDRBJASA (PDRB Jasa)
38
3
18
35
17
Overidentified
10
PDRBLAIN (PDRB Lainnya)
38
3
18
35
17
Overidentified
11
PKMISK (Jumlah Penduduk Miskin)
38
8
18
30
17
Overidentified
3 4 5
130
Lampiran 2 Hasil pendugaan model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal System: SYS01 Estimation Method: Three-Stage Least Squares Date: 07/17/11 Time: 19:46 Sample: 2004 2009 Included observations: 156 Total system (balanced) observations 1872 Linear estimation after one-step weighting matrix
C(1) C(2) C(3) C(4) C(5) C(6) C(7) C(8) C(9) C(10) C(11) C(12) C(13) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(21) C(22) C(23) C(24) C(25) C(26) C(27) C(28) C(29) C(30) C(31) C(32) C(33) C(34) C(35) C(36) C(37) C(38) C(39) C(40) C(41) C(42) C(43) C(44) C(45) C(46) C(47)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
11.22160 -0.252120 0.017154 0.002955 0.178107 -173.8270 -0.006139 0.117384 0.140869 0.011803 0.767861 221.7366 0.001982 1.028583 82.14197 0.002555 0.001471 0.913020 20.46684 0.098843 0.172396 0.935565 111.6251 0.020972 0.078212 0.844603 -584.0530 0.005258 1.873472 0.560493 0.304975 -4454.021 0.023010 2.278883 0.473274 -5938.969 0.013172 9.612735 -212.6178 0.004128 5.532433 -73.18015 172.4038 -0.010459 -0.004978
81.67948 0.041918 0.001373 0.006654 0.064011 243.0041 0.003432 0.031581 0.055069 0.001995 0.084002 144.8178 0.001359 0.062604 14.99776 0.001980 0.000769 0.042845 83.18572 0.028001 0.023265 0.036920 73.49609 0.025060 0.014081 0.055832 465.5412 0.000194 1.547052 0.160566 0.313995 1212.935 0.001109 0.605087 0.041575 4404.444 0.001510 2.186702 1184.713 0.002573 0.562080 91.80586 274.7134 0.003099 0.002358
0.137386 -6.014656 12.49034 0.444091 2.782466 -0.715326 -1.788642 3.716903 2.558026 5.917435 9.140989 1.531142 1.458727 16.42988 5.476948 1.290808 1.912165 21.30993 0.246038 3.529947 7.410258 25.34015 1.518790 0.836838 5.554381 15.12764 -1.254568 27.06809 1.210995 3.490730 0.971273 -3.672101 20.75398 3.766210 11.38371 -1.348404 8.722029 4.395996 -0.179468 1.604114 9.842781 -0.797119 0.627577 -3.374923 -2.111695
0.8907 0.0000 0.0000 0.6570 0.0055 0.4745 0.0738 0.0002 0.0106 0.0000 0.0000 0.1259 0.1448 0.0000 0.0000 0.1969 0.0560 0.0000 0.8057 0.0004 0.0000 0.0000 0.1290 0.4028 0.0000 0.0000 0.2098 0.0000 0.2261 0.0005 0.3315 0.0002 0.0000 0.0002 0.0000 0.1777 0.0000 0.0000 0.8576 0.1089 0.0000 0.4255 0.5304 0.0008 0.0348
131
Lampiran 2 Lanjutan
C(48) C(49) C(50) C(51)
-0.000977 0.004015 0.030323 0.940547
Determinant residual covariance
0.000304 0.001636 0.010946 0.028917
-3.217998 2.453250 2.770144 32.52524
0.0013 0.0143 0.0057 0.0000
3.31E+72
Equation: PJK=C(1)+C(2)*PDKMISK+C(3)*PDRB+C(4)*FISGAP+C(5)*PJK( -1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.828905
Mean dependent var
1050.144
Adjusted R-squared
0.824373
S.D. dependent var
1805.426
S.E. of regression
756.6167
Sum squared resid
86442796
Durbin-Watson stat
2.225756
Equation: DAU=C(6)+C(7)*PDRB+ C(8)*PDK+C(9)*KAPFIS+C(10)*LD +C(11)*DAU(-1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.790607
Mean dependent var
4116.798
Adjusted R-squared
0.783628
S.D. dependent var
3920.266
S.E. of regression
1823.544
Sum squared resid
4.99E+08
Durbin-Watson stat
1.418738
132
Lampiran 2 Lanjutan
Equation: BHPBP=C(12)+C(13)*PDRB+C(16)*BHPBP(-1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.671203
Mean dependent var
1510.555
Adjusted R-squared
0.666905
S.D. dependent var
2538.051
S.E. of regression
1464.820
Sum squared resid
3.28E+08
Durbin-Watson stat
2.931981
Equation: PENGTANI=C(17)+C(18)*PD+C(19)*PDRBTANI+C(20) *PENGTANI(-1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.821941
Mean dependent var
434.1444
Adjusted R-squared
0.818426
S.D. dependent var
303.1274
S.E. of regression
129.1670
Sum squared resid
2535987.
Durbin-Watson stat
2.071819
Equation: PENGPENDKES=C(21)+C(22)*PAD+C(23)*DAU+C(24) *PENGPENDKES(-1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.946165
Mean dependent var
3297.571
Adjusted R-squared
0.945103
S.D. dependent var
3315.658
S.E. of regression
776.8627
Sum squared resid
91734385
Durbin-Watson stat
2.502707
133
Lampiran 2 Lanjutan
Equation: PENGINFRA=C(25)+C(26)*PAD+C(27)*DAPER+C(28) *PENGINFRA(-1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.831525
Mean dependent var
1802.342
Adjusted R-squared
0.828200
S.D. dependent var
1581.352
S.E. of regression
655.4503
Sum squared resid
65301489
Durbin-Watson stat
2.051822
Equation: PDRBTANI=C(29)+C(30)*TKTANI+C(31)*PENGTANI+C(32) *PENGPENDKES+C(33)*PENGINFRA Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.916597
Mean dependent var
10925.13
Adjusted R-squared
0.914388
S.D. dependent var
11952.18
S.E. of regression
3497.156
Sum squared resid
1.85E+09
Durbin-Watson stat
0.095320
Equation: PDRBIND=C(34)+C(35)*TKIND+C(36)*PENGINFRA+C(37)*INV Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.904856
Mean dependent var
17745.58
Adjusted R-squared
0.902978
S.D. dependent var
32682.41
S.E. of regression
10180.01
Sum squared resid
1.58E+10
Durbin-Watson stat
0.083648
134
Lampiran 2 Lanjutan Equation: PDRBJASA=C(38)+C(39)*TKJASA+C (40)*PENGINFRA Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.522408
Mean dependent var
31170.02
Adjusted R-squared
0.516165
S.D. dependent var
52607.54
S.E. of regression
36592.89
Sum squared resid
2.05E+11
Durbin-Watson stat
0.043118
Equation: PDRBLAIN=C(41)+C(42)*TKLAIN+C (43)*PENGINFRA Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.460434
Mean dependent var
10746.18
Adjusted R-squared
0.453381
S.D. dependent var
13640.45
S.E. of regression
10084.88
Sum squared resid
1.56E+10
Durbin-Watson stat
0.185127
Equation: PDKMISK=C(44)+C(45)*GINI+C(46)*PDRBTANI+C(47) *PDRBIND+C(48)*PDRBJASA+C(49)*PDRBLAIN+C(50)*PDK+C(51) *PDKMISK(-1) Instruments: PJK(-1) DAU(-1) PENGTANI(-1) PENGPENDKES(-1) PENGKES(-1) PENGINFRA(-1) PENGIND PENGJASA PENGLAIN KAPFIS FISGAP PDRB PDRB(-1) TKTANI TKIND TKJASA TKLAIN PDK GINI(-1) PDKMISK(-1) GINI PDRBTANI(-1) PAD PD BHPBP(-1) C Observations: 156 R-squared
0.994592
Mean dependent var
1390.422
Adjusted R-squared
0.994336
S.D. dependent var
1916.127
S.E. of regression
144.2023
Sum squared resid
3077556.
Durbin-Watson stat
2.070321
135
Lampiran 3 Syntax model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal
pjk = c(1) + c(2) * pdkmisk + c(3) * pdrb + c(4) * fisgap + c(5) * pjk(-1) BHPBP = C(12) + C(13) * pdrb + C(16) * BHPBP(-1) dau = c(6) + c(7) * pdrb + c(8) * pDK + c(9) * kapfis + c(10) * ld + c(11) * dau(-1) pengtani = c(17) + c(18) * PD + c(19) * pdrbtani + c(20) * pengtani(-1) pengpendkes = c(21) + c(22) * PAD + c(23) * dau + c(24) * pengpendkes(-1) penginfra = c(25) + c(26) * PAD + c(27) * daper + c(28) * penginfra(-1) pdrbtani = c(29) + c(30) * tktani + c(31) * pengtani + c(32) * pengpendkes + c(33) * penginfra pdrbind = c(34) + c(35) * tkind + c(36) * penginfra + c(37) * INV pdrbjasa = c(38) + c(39) * tkjasa + c (40) * penginfra pdrbLAIN = c(41) + c(42) * tkLAIN + c (43) * penginfra pdkmisk = c(44) + c(45) * gini + c(46) * pdrbtani + c(47) * pdrbind + c(48) * pdrbjasa + c(49) * pdrblain + c(50) * pdk + c(51) * pdkmisk(-1) pd = pad + daper + pdl daper = dau + dak + bhpbp pad = pjk + ret + bumd + padln pengdrh = pengtani + pengind + pengjasa + pengpendkes + penginfra + penglain kapfis = pad + bhpbp fisgap = pengdrh - kapfis pdrb = pdrbtani + pdrbind + pdrbjasa + pdrblain
136
Lampiran 4
Hasil penghitungan validasi model dengan menggunakan koefisien determinasi (R2)
Dependent Variable: PJK Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:38 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PJK_0
-41.85941 0.936523
114.1421 0.059966
-0.366731 15.61744
0.7143 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.612972 0.610459 1126.824 1.96E+08 -1316.585 243.9044 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1050.144 1805.426 16.90493 16.94403 16.92081 0.793357
Dependent Variable: PAD Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:40 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PAD_0
-81.20452 0.978384
116.4293 0.045684
-0.697458 21.41633
0.4866 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.748637 0.747004 1130.095 1.97E+08 -1317.037 458.6590 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1488.065 2246.770 16.91073 16.94983 16.92661 0.793428
137
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: DAU Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:41 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DAU_0
506.1881 0.731746
280.6983 0.042793
1.803317 17.09969
0.0733 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.655017 0.652777 2310.040 8.22E+08 -1428.571 292.3994 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4116.798 3920.266 18.34066 18.37976 18.35654 0.688550
Dependent Variable: BHPBP Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:42 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C BHPBP_0
109.7782 0.774217
270.4508 0.112417
0.405908 6.887027
0.6854 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.235471 0.230506 2226.398 7.63E+08 -1422.818 47.43115 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1510.555 2538.051 18.26690 18.30600 18.28278 0.502086
138
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: DAPER Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:42 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DAPER_0
413.5253 0.786714
332.0585 0.036112
1.245339 21.78520
0.2149 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.755009 0.753418 2595.462 1.04E+09 -1446.745 474.5947 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
6055.876 5226.779 18.57365 18.61275 18.58954 1.010005
Dependent Variable: PD Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:40 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PD_0
293.8649 0.837238
364.6448 0.029167
0.805894 28.70501
0.4215 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.842532 0.841510 3013.022 1.40E+09 -1470.017 823.9773 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8143.073 7568.344 18.87201 18.91111 18.88789 1.150334
139
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: PENGTANI Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:43 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PENGTANI_0
-9.645662 0.967110
36.29429 0.070614
-0.265762 13.69572
0.7908 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.549144 0.546217 204.1971 6421252. -1050.125 187.5727 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
434.1444 303.1274 13.48879 13.52789 13.50467 0.434342
Dependent Variable: PENGPENDKES Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:44 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PENGPENDKES_0
243.5215 0.773703
141.0099 0.025219
1.726981 30.67877
0.0862 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.859385 0.858472 1247.359 2.40E+08 -1332.438 941.1870 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3297.571 3315.658 17.10818 17.14728 17.12406 0.417248
140
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: PENGINFRA Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:45 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PENGINFRA_0
236.6840 0.761774
118.7636 0.044836
1.992900 16.99009
0.0480 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.652106 0.649847 935.7454 1.35E+08 -1287.598 288.6633 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1802.342 1581.352 16.53330 16.57240 16.54918 0.505593
Dependent Variable: PENGDRH Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:46 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PENGDRH_0
25.88545 0.861645
269.3201 0.014119
0.096114 61.02837
0.9236 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.960294 0.960036 2321.286 8.30E+08 -1429.329 3724.462 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
11921.33 11611.61 18.35037 18.38947 18.36625 0.507960
141
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: KAPFIS Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:47 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KAPFIS_0
-114.3857 0.783742
291.0795 0.059644
-0.392971 13.14028
0.6949 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.528572 0.525511 2598.486 1.04E+09 -1446.927 172.6670 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2560.700 3772.308 18.57598 18.61508 18.59186 0.608210
Dependent Variable: FISGAP Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:47 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C FISGAP_0
34.19649 0.897439
285.3563 0.019496
0.119838 46.03167
0.9048 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.932246 0.931806 2509.768 9.70E+08 -1441.507 2118.914 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
9360.633 9610.792 18.50651 18.54561 18.52239 1.094269
142
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: PDRBTANI Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:51 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRBTANI_0
269.4395 0.933662
386.0810 0.023113
0.697883 40.39630
0.4863 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.913767 0.913207 3521.188 1.91E+09 -1494.330 1631.861 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10925.13 11952.18 19.18372 19.22282 19.19960 0.058186
Dependent Variable: PDRBIND Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:51 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRBIND_0
144.9484 0.960628
955.4306 0.025806
0.151710 37.22487
0.8796 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.899980 0.899330 10369.63 1.66E+10 -1662.823 1385.691 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
17745.58 32682.41 21.34389 21.38299 21.35977 0.058825
143
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: PDRBJASA Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:52 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRBJASA_0
2743.645 0.845987
3827.089 0.069825
0.716901 12.11583
0.4745 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.488020 0.484696 37764.16 2.20E+11 -1864.450 146.7932 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
31170.02 52607.54 23.92885 23.96795 23.94473 0.010420
Dependent Variable: PDRBLAIN Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:53 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRBLAIN_0
4210.191 0.538139
1545.536 0.097007
2.724098 5.547416
0.0072 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.166549 0.161137 12493.22 2.40E+10 -1691.887 30.77382 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10746.18 13640.45 21.71650 21.75560 21.73238 0.014667
144
Lampiran 4
lanjutan
Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:53 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRB_0
4379.795 0.877127
4740.317 0.039005
0.923945 22.48744
0.3570 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.766555 0.765039 46402.31 3.32E+11 -1896.584 505.6850 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
70586.91 95728.68 24.34082 24.37992 24.35670 0.022610
Dependent Variable: PDKMISK Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:30 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 156 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDKMISK_0
9.828248 1.029382
18.21684 0.007981
0.539514 128.9792
0.5903 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.990828 0.990768 184.1067 5219874. -1033.968 16635.63 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1390.422 1916.127 13.28165 13.32075 13.29753 0.633358