i
DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... ...... 1 I.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 I.2 Tujuan dan Sasaran .................................................................. 3 I.3 Sumber Data............................................................................... 4 I.4 Sistematika Penulisan ................................................................ 5
BAB II
Metodologi ....................................................................................... 6 2.1 Konsep Pembangunan Manusia................................................. 6 2.2 Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia .......................... 7
BAB III
GAMBARAN UMUM .......................................................................... 17 3.1 Profil Kabupaten Ponorogo ........................................................ 17 3.2 Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo .......... 20 3.2.1 Bidang Pendidikan ............................................................ 20 3.2.2 Bidang Kesehatan Masyarakat ......................................... 28 3.2.3 Bidang Perekonomian....................................................... 33 3.2.4 Bidang Ketenagakerjaan ................................................... 34 3.2.5 Bidang Perumahan ........................................................... 36
BAB IV
STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PONOROGO ........ 42 4.1 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo................................. 42 4.2 Perkembangan Komponen IPM ................................................. 44 4.2.1 Indeks Kesehatan .............................................................. 44 4.2.2 Indeks Pendidikan ............................................................ 47 4.2.3 Indeks Daya Beli ................................................................ 52 4.3 Reduksi Shortfall ........................................................................ 54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 56 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 56 5.2 Saran........................................................................................... 58
ii
DAFTAR TABEL HALAMAN Tabel 1
Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM .................................. 9
Tabel 2
Tingkatan Status Nilai IPM .................................................................... 10
Tabel 3
Jenjang Pendidikan & Tahun Konversi (Skor) Yang Digunakan Untuk Menghitung Rata-rata Lama Sekolah ........................................ 13
Tabel 4
Komoditi Terpilih Susenas Untuk Standar Penghitungan PPP ............. 15
Tabel 5
Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan Tahun 2013 ........................................................................................... 19
Tabel 6
Persentase Penduduk Kabupaten Ponorogo Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan ......................... 24
Tabel 7
Rasio Murid-Guru & Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2013/2014 ................................................................................ 27
Tabel 8
Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 ......................................................................... 30
Tabel 9
Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2011 - 2013 .............................................................. 31
Tabel 10 Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013.. 32 Tabel 11 PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2013 ...... 34 Tabel 12 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 .................................................... 35 Tabel 13 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013 .................................................................................. 46 Tabel 14 Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013 .................................................................................. 47 Tabel 15 Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013 .................................................................................. 49 Tabel 16 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013 ................................................................... 51 iii
Tabel 17 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013 .................................................................................. 52 Tabel 18 Pengeluaran Riil Perkapita se-eks Karesidenan Madiun dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2013 (000 rupiah).......................................... 53 Tabel 19 Indeks Daya Beli Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013 .................................................................................. 54
iv
DAFTAR GAMBAR HALAMAN Gambar 1 Diagram Penghitungan IPM .............................................................. 8 Gambar 2 Peta Kabupaten Ponorogo ................................................................ 17 Gambar 3 Luas Wilayah Per Kecamatan ............................................................ 18 Gambar 4 Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 ........................................... 21 Gambar 5 Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 ................................................ 23 Gambar 6 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Tahun 2011 - 2013 ............................................................................ 25 Gambar 7 Angka Kematian Bayi Per 1000 Kelahiran Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun 2009 - 2013 ........................................ 29 Gambar 8 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 .................................................... 38 Gambar 9 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Penerangan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 .................................................... 39 Gambar 10 Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 .................................................... 40 Gambar 11 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 - 2013 ........................... 41 Gambar 12 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 .......... 43 Gambar 13 IPM Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tahun 2013 ....................................................................................... 44 Gambar 14 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 (Tahun) ................................................................ 45 Gambar 15 Perkembangan Angka Melek Huruf Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 ......................................................................................... 48 Gambar 16 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 .... 50 Gambar 17 Reduksi Shortfall IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 ....... 55
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting yang perlu menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan. SDM yang berkualitas akan menjadi potensi suatu wilayah. Sebaliknya bila SDM tidak berkualitas maka akan menjadi beban dalam pembangunan. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya, oleh karena itu rancangan pembangunan manusia yang sesungguhnya adalah menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Kualitas manusia (SDM yang tangguh) di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan di wilayahnya.
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah menyejahterakan seluruh penduduk. Bertitik tolak dari tujuan ini maka manusia ditempatkan sebagai titik sentral dalam pembangunan yang mempunyai ciri dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah berupaya meningkatkan kualitas penduduk sebagai kekayaan sumber daya baik dari aspek kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan). Hal ini merupakan suatu kenyataan yang sederhana, namun seringkali terlupakan oleh kesibukan jangka pendek yang berorientasi pada hal-hal yang bersifat materi.
Berbagai ukuran telah banyak digunakan untuk menilai kinerja pembangunan, namun tidak semua ukuran yang dibuat dapat digunakan sebagai ukuran standart yang dapat dibandingkan antar daerah. Oleh karena itu United Nation Development
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
1
Programme (UNDP) menetapkan suatu ukuran standart pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).
IPM dibentuk melalui pendekatan tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Setiap dimensi direpresentasikan oleh masing-masing indikator. Dimensi umur panjang dan sehat direpresentasikan oleh indikator Angka Harapan Hidup (e0); dimensi pengetahuan direpresentasikan oleh indikator angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS); dan dimensi kehidupan yang layak direpresentasikan oleh indikator kemampuan daya beli (DB). Dengan demikian peningkatan dari IPM sebagai manifestasi pembangunan
manusia
dapat
ditafsirkan
sebagai
keberhasilan
meningkatkan
kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan penduduk yang mencakup pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Untuk meningkatkan IPM, tidak hanya tergantung pada pertumbuhan ekonomi belaka namun juga peningkatan di bidang pendidikan dan kesehatan. Agar pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pembangunan manusia maka harus disertai dengan pemerataan pendapatan dan alokasi belanja publik. Kedua hal tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh penduduk dapat menikmati hasil pembangunan. Selain itu faktor pendidikan dan kesehatan merupakan faktor penting yang sangat efektif dalam pembangunan manusia. Kedua faktor ini adalah kebutuhan dasar yang perlu dimiliki oleh penduduk agar mampu meningkatkan kapabilitas dasarnya. Semakin tinggi kapabilitas dasar yang dimiliki suatu daerah, semakin tinggi pula peluang untuk meningkatkan potensi daerah tersebut. Hal ini pada gilirannya akan menaikkan indikator/komponen IPM.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
2
Isu pembangunan manusia saat ini menjadi perhatian pemerintah, hal ini ditandai dengan diikutkannya IPM sebagai salah satu alokator dana alokasi umum (DAU) sejak tahun 2004 untuk mengatasi kesenjangan keuangan wilayah (fiscal gap). Alokator lainnya adalah luas wilayah, jumlah penduduk, produk domestik bruto, dan indeks kemahalan konstruksi. Melalui hal ini diharapkan agar wilayah dengan IPM rendah secara perlahan dapat mengejar ketertinggalannya karena memperoleh alokasi dana yang berlebih.
Dalam konteks perencanaan pembangunan yang baik, maka diperlukan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan informasi menjadi mutlak diperlukan sebagai bahan untuk mengevaluasi sasaran pembangunan yang telah dicapai. Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran tentang pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo, disusunlah publikasi “Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo Tahun 2014”.
Dengan diterbitkannya publikasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi atas pembangunan yang telah dilakukan serta dapat dijadikan masukan dalam penentuan kebijakan pembangunan di Kabupaten Ponorogo.
1.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari penulisan ini adalah menyajikan data dan informasi tentang kondisi penduduk dan permasalahannya sebagai dampak dari pembangunan yang telah dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanan dan pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan sumberdaya manusia di Kabupaten Ponorogo, termasuk penentuan sektor-sektor prioritas dalam pembangunan manusia. Publikasi ini menyajikan data dan analisis IPM
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
3
selama tahun 2009-2013. Selain itu publikasi ini juga menganalisis perkembangan masing-masing komponen IPM.
Sasaran yang ingin dicapai dalam publikasi ini meliputi:
a. Teridentifikasinya kondisi beberapa variabel sektoral dalam pembangunan manusia, meliputi sektor-sektor: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi di Kabupaten Ponorogo. b. Memberikan gambaran permasalahan yang ada di bidang pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo c. Diperolehnya gambaran tentang perkembangan ukuran pembangunan manusia (IPM) dan indikator-indikator sosial lainnya di Kabupaten Ponorogo. d. Terumuskannya implikasi masalah dan kebijakan untuk menangani berbagai masalah yang merupakan bagian dari perencanaan dan penanganan pembangunan manusia.
1.3. Sumber Data
Dalam penyusunan publikasi ini, sumber data utama berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) disamping data sensus maupun survei BPS lainnya. Sumber data lain berasal dari publikasi-publikasi BPS kabupaten, BPS provinsi maupun BPS RI, antara lain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
4
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan buku Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 ini mencakup 5 bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab I
merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan dan sasaran, sumber data, dan sistematika penulisan.
Bab II
berisi tentang metodologi penghitungan IPM secara rinci dari masing-masing komponen IPM.
Bab III
membahas mengenai gambaran umum keadaan di Kabupaten Ponorogo yang mencakup keadaan sosial ekonomi masyarakat Ponorogo..
Bab IV
membahas mengenai analisis IPM beserta komponen-komponennya dan dikaitkan dengan beberapa indikator tunggal seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Bab V
merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari uraian pada bab-bab sebelumnya.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
5
BAB II METODOLOGI
2.1. Konsep Pembangunan Manusia Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas) manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal.
Paradigma pembangunan lama menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan pendapatan sebagai acuan, dan yang menjadi alat ukurnya adalah GNP atau GDP per kapita. Alat ukur ini dirasa kurang komprehensip karena hanya melihat satu sisi kehidupan manusia. Sejak tahun 1990, UNDP mengadopsi suatu paradigma baru mengenai pembangunan. Paradigma ini melihat manusia dari sisi yang lebih baik dan komprehensip karena disamping memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek ekonomi, juga memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek non-ekonomi. Paradigma pembangunan yang dimaksud tersebut mengandung empat komponen utama yaitu : a. Produktivitas. Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam mencari penghasilan dan lapangan kerja. Oleh karena itu pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan manusia. b. Pemerataan. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan,
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
6
sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari peluang yang sama. c. Berkelanjutan. Akses terhadap peluang/kesempatan harus tersedia bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua sumber daya harus dapat diperbaharui. d. Pemberdayaan. Semua orang diharapkan berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dalam proses aktivitasnya.
Penyertaan
konsep
pembangunan
manusia
dalam
kebijakan-kebijakan
pembangunan sama sekali tidak berarti meninggalkan berbagai strategi pembangunan terdahulu, antara lain mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan mencegah perusakan lingkungan. Namun perbedaannya adalah bahwa dari sudut pandang pembangunan manusia, semua tujuan tersebut diletakkan dalam kerangka untuk memperluas pilihan-pilihan bagi manusia.
2.2. Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah variabel tak bebas yang bersifat state, yaitu suatu variabel yang perubahannya berlangsung lambat dan akan meningkat/menurun sedikit demi sedikit sebagai respon terhadap perubahan berbagai kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Agar mudah dipahami, maka variabelvariabel sosial dan ekonomi tersebut disusun menjadi indeks komposit yang digabung menjadi indeks tunggal.
Angka IPM sangat penting untuk melihat sampai seberapa jauh pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan mampu secara nyata memberikan output berupa peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
7
melakukan pilihan-pilihan. Diagram di bawah ini menyajikan gambar indeks-indeks yang disajikan pada Indeks Pembangunan Manusia yang dihitung dan diperlihatkan secara jelas persamaan dan perbedaan antara masing-masing indeks.
Gambar 1. Diagram Penghitungan IPM UMUR PANJANG
DIMENSI
DAN SEHAT
INDIKATOR
Angka Harapan Hidup pada saat lahir
PENGETAHUAN
KEHIDUPAN YANG LAYAK
Angka Melek
Rata-rata Lama
Pengeluaran per Kapita
Huruf (Lit)
Sekolah (MYS)
Riil yang Disesuaikan (PPP Rupiah)
INDEKS
Indeks Harapan Hidup
Indeks Pendidikan
Indeks Pendapatan
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
Secara umum metode penghitungan IPM yang digunakan di Indonesia sama dengan metode penghitungan yang digunakan oleh UNDP. IPM di Indonesia disusun berdasarkan tiga komponen indeks, yaitu: 1) Indeks angka harapan hidup ketika lahir; 2) Indeks pendidikan, yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah (rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani) dan angka melek huruf (Latin atau lainnya pada penduduk usia 15 tahun atau lebih); serta
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
8
3) Indeks standar hidup layak, yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP-Purchasing Power Parity / paritas daya beli dalam rupiah).
Masing-masing terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai 0 (buruk) dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan analisa biasanya dikalikan 100. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut:
IPM
3
1 3
I (i )
dimana
i 1
I (i )
{ X (i ) Min. X (i ) } {Max. X (i ) Min. X (i ) }
dimana: I(i)
: Indeks komponen IPM ke i (i=1,2,3)
X(i)
: Nilai indikator
Max.X(i)
: Nilai maksimum X(i)
Min. X(i)
: Nilai minimum X(i)
komponen IPM ke i
Berdasarkan nilai IPM yang diperoleh, kita dapat melakukan analisis lebih lanjut, diantaranya tingkat status pembangunan manusia dan tingkat pertumbuhan IPM. Nilai maksimum dan minimum yang digunakan dalam penghitungan IPM menurut BPS sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Komponen IPM
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Catatan
Angka Harapan Hidup
25,0
85,0
Standart UNDP
Angka Melek Huruf
0
100
Standart UNDP
Rata-rata Lama Sekolah
0
15
Standart UNDP
360.000 a)
732.720 b)
Disesuaikan
Purchasing Power Parity *) Catatan *
a) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki tingkat konsumsi per kapita terendah pada tahun 1990 (daerah pedesaan di Sulawesi Selatan). Untuk tahun 1999, nilai minimum disesuaikan menjadi Rp. 360.000. Penyesuaian ini dilakukan karena krisis ekonomi telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat secara drastis sebagimana terlihat dari peningkatan angka kemiskinan dan penurunan upah riil. Penambahan sebesar
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
9
Rp. 60.000 didasarkan pada perbedaan antara garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru yang jumlahnya Rp. 5000 per bulan (= Rp. 60.000 per tahun). b) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi di Indonesia yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan tingkat pertumbuhan daya beli sebesar 6,5 persen pertahun selama 1993 – 2018.
Hasil penghitungan IPM akan memberikan gambaran seberapa jauh suatu wilayah telah mencapai sasaran yang ditentukan. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, maka semakin dekat pula wilayah tersebut dengan sasaran yang ingin dicapai. Untuk memahami makna nilai IPM, maka PBB malalui UNDP memberikan kriteria sebagai berikut: Tabel 2. Tingkatan Status dan Kriteria Nilai IPM
Tingkatan Status Rendah
Kriteria IPM < 50
Menengah bawah
50 ≤ IPM < 66
Menengah Atas
66 ≤ IPM < 80 IPM ≥ 80
Tinggi
IPM juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pencapaian terhadap sasaran ideal (IPM=100) yang biasanya disebut reduksi shortfall per tahun. Angka tersebut mengukur rasio pencapaian kesenjangan antara jarak yang sudah ditempuh dengan yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi yang ideal. Dalam pengertian sehari-hari reduksi shortfall dikatakan sebagai suatu kepekaan terhadap perlakuan yang diberikan berkaitan dengan pembangunan manusia. Semakin tinggi nilai reduksi shortfall di suatu wilayah, maka semakin cepat pula kenaikan IPM yang dicapai dalam suatu periode. Berikut cara penghitungan reduksi shortfall per tahun yang dinyatakan dengan rumus :
IPM t1 - IPM to R =
IPM ref – IPM to
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo Ff
1/n
X 100
10
dimana : R
: reduksi short fall per tahun
IPM t0
: IPM tahun awal observasi
IPM t1
: IPM tahun akhir
IPM ref
: IPM acuan atau ideal yang dalam hal ini sama dengan 100
n
: tahun akhir – tahun awal. Ada 4 kategori reduksi shortfall per tahun, yaitu sangat lambat jika < 1,3; lambat
jika 1,3 – 1,5; menengah jika 1,5 – 1,7; dan cepat jika > 1,7. Semakin besar reduksi shortfall per tahun maka semakin besar kemajuan yang dicapai daerah tersebut dalam periode itu.
Sedangkan untuk menghitung masing-masing komponen IPM adalah sebagai berikut : a. Angka Harapan Hidup (e0)
Pembangunan manusia harus lebih mengupayakan agar penduduk dapat mencapai usia hidup yang panjang dan sehat. Sebenarnya banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur usia hidup, tetapi dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara global, UNDP memilih indikator angka harapan hidup waktu lahir (e0). Angka harapan hidup adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Di Indonesia angka harapan hidup dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Prosedur penghitungan angka harapan hidup yang diperoleh dengan metode tidak langsung ini merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
11
Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara di dunia). Pada komponen ini, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini diambil sesuai standart.
b. Rata-rata Lama Sekolah (MYS) dan Angka Melek Huruf (Lit)
Pengetahuan
diakui
secara
luas
sebagai
unsur
mendasar
dari
pembangunan manusia. Dua indikator yang digunakan untuk menghitung komponen indeks pendidikan, yaitu Angka Melek Huruf penduduk dewasa (Lit) dan Rata-Rata Lama Sekolah (MYS). Angka Melek Huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Sedangkan Rata-Rata Lama Sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal.
Untuk penghitungan indeks pendidikan ini, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara. Batas maksimum untuk Angka Melek Huruf (Lit) adalah 100 dengan batas minimum 0. Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai 0 mencerminkan kondisi sebaliknya. Sementara itu batas maksimum untuk Rata-Rata Lama Sekolah (MYS) adalah 15 tahun dan batas minimum adalah 0 tahun. Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan maksimum yang ditargetkan adalah setara lulus Sekolah Menengah Atas. Populasi yang digunakan dalam penghitungan MYS dibatasi pada penduduk berumur 15 tahun ke atas, dengan alasan penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun masih dalam proses sekolah Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
12
sehingga angka lebih mencerminkan pada kondisi yang sebenarnya, dengan asumsi bahwa program wajib belajar 9 tahun dianggap sudah tuntas.
Langkah penghitungannya adalah pertama-tama memberi bobot variabel pendidikan yang ditamatkan (jenjang pendidikan). Tabel di bawah menyajikan faktor konversi dari tiap-tiap jenjang pendidikan yang ditamatkan.
Tabel 3.
Jenjang Pendidikan dan Tahun Konversi (Skor) Yang Digunakan Untuk Menghitung Rata-rata Lama Sekolah
No.
Jenjang Pendidikan
Tahun Konversi (Skor)
1.
Tidak/belum pernah sekolah
0
2.
SD
6
3.
SLTP
9
4.
SLTA/SMU
12
5.
Diploma I
13
6.
Diploma II
14
7.
Akademi/Diploma III
15
8.
Diploma IV/Sarjana
16
9.
Magister (S2)
18
Doktor (S3)
21
10.
Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata tertimbang dari variabel tersebut sesuai dengan bobotnya, dengan rumus sebagai berikut :
MYS
fi si
fi
di mana : MYS
:
rata-rata lama sekolah (dalam tahun)
fi
:
frekuensi penduduk yang berumur 15 tahun ke atas untuk jenjang pendidikan ke-i
si
:
skor masing-masing jenjang pendidikan i
i
:
jenjang pendidikan (i=1,2,.......), lihat tabel di atas
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
13
Setelah mendapatkan nilai Lit dan MYS, maka dilakukan penyesuaian dengan memberi bobot pada masing-masing indikator tersebut. Rata-rata Lama Sekolah diberi bobot sepertiga, sedangkan Angka Melek Huruf diberi bobot dua pertiga. Adapun Indeks Pendidikan tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut: IP = 2/3 Indeks Lit + 1/3 Indeks MYS
c. Standar Hidup Layak
Untuk mengukur indikator Standart Hidup Layak, UNDP menggunakan GDP per kapita yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita). Namun dalam penghitungan IPM sub nasional (propinsi dan kabupaten/kota) tidak dapat menggunakan data PDRB per kapita yang kurang lebih setara dengan ukuran UNDP. Hal ini dikarenakan PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mampu menggambarkan daya beli riil dari masyarakat yang merupakan fokus dari IPM. Sedangkan data pengeluaran per kapita yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) merupakan pendekatan dari daya beli masyarakat lokal yang lebih baik.
Untuk mengukur daya beli masyarakat antar kabupaten/kota, digunakan rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari hasil Susenas yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat dan telah distandarkan agar dapat dibandingkan antar daerah dan antar waktu serta disesuaikan dengan indeks PPP. Adapun 27 jenis komoditi standart dapat dilihat pada daftar dibawah ini:
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
14
Tabel 4. Komoditi Terpilih Susenas Untuk Standar Penghitungan PPP
Komoditi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Beras Tepung Terigu Ketela Pohon Ikan Tongkol Ikan Teri Daging Sapi Daging Ayam Kampung Telur Ayam Susu Kental Manis Bayam Kacang Panjang Kacang Tanah Tempe Jeruk Pepaya Kelapa Gula Pasir Kopi Bubuk Garam Merica/Lada Mie Instan Rokok Kretek Filter Listrik Air Minum Bensin Minyak Tanah Sewa Rumah
Unit Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 Gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 Gram 10 Batang Kwh M3 Liter Liter Unit
Proporsi dari total konsumsi (%) 7,25 0,10 0,22 0,50 0,32 0,78 0,65 1,48 0,48 0,30 0,32 0,22 0,79 0,39 0,18 0,56 1,61 0,60 0,15 0,13 0,79 2,86 2,06 0,46 1,02 1,74 11,56
PPP dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan penurunan utilitas marginal yang dihitung dengan formula Atkinson. Penghitungan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang telah disesuaikan dilakukan melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut :
1) Menghitung rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dengan menggunakan data Susenas. Hasil penghitungan dikali 12 untuk memperoleh angka tahunan (misal A).
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
15
2) Menghitung nilai pengeluaran riil (B) yaitu dengan membagi rata-rata pengeluaran (A) dengan IHK pada tahun yang bersangkutan. 3) Menghitung
PPP
(unit)
semacam
faktor
pengali
(misal
C)
untuk
menghilangkan perbedaan antar daerah. 4) Menghitung nilai PPP dalam rupiah (Y*) dengan cara membagi B dengan C. 5) Menghitung penyesuaian PPP (rupiah) atau rata-rata konsumsi riil dengan menggunakan formula Atkinson (Y**) : Y**
= Y*
jika Y* ≤ Z
= Z + 2(Y* - Z)(1/2)
jika Z < Y * ≤ 2Z
= Z + 2Z (1/2) + 3 (Y* -2Z) (1/3) = Z + 2Z
(1/2)
+ 3 (Y*-2Z)
(1/3)
jika 2Z < Y* ≤ 3Z (1/4)
+ 4 (Y*-3Z)
jika 3Z < Y* ≤ 4Z)
dimana: Y* : konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dengan PPP/unit Z : Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp. 549.500 per kapita setahun atau Rp. 1.500 per kapita per hari.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
16
BAB III GAMBARAN UMUM
3.1. Profil Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang ada di bagian barat Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.371,78 km 2 yang terletak antara 111°17' sampai dengan 111°52' Bujur Timur dan 7°49' sampai dengan 8° 20' Lintang Selatan. Kabupaten Ponorogo secara langsung berbatasan dengan
Kabupaten
Magetan,
Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk di sebelah Utara. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Wilayah Kabupaten Ponorogo terbagi habis atas 21 Kecamatan yang terdiri dari 307 desa/kelurahan.
Gambar 2.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
17
Kondisi topografi Kabupaten Ponorogo bervariasi mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu sebesar 78,83% terletak di ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, 14,66% berada di antara 500-700 meter, dan sisanya 6,51% berada pada ketinggian di atas 700 meter. Secara klimatologis Kabupaten Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis yang mengalami dua musim yaitu kemarau dan penghujan dengan suhu berkisar 18° 31°C. Kecamatan Ngrayun mempunyai wilayah terluas (184,76 Km2) dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Ponorogo, sementara wilayah terkecil adalah Kecamatan Ponorogo (22,31 Km2).
Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2014, BPS
Berdasarkan hasil proyeksi BPS tahun 2013, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo sebesar 863.900 jiwa, yang terdiri dari 431.400 jiwa penduduk laki-laki dan 432.500 jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 630 jiwa/km2. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Ponorogo hampir seimbang. Tercatat rasio jenis kelamin (Sex Ratio) sebesar 99,75 yang berarti bahwa secara rata-rata pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
18
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan Tahun 2013 No
Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Sex Ratio
1
Ngrayun
27.984
28.429
56.413
98.43
2
Slahung
23.699
24.708
48.407
95.92
3
Bungkal
16.939
17.307
34.246
97.87
4
Sambit
17.308
17.649
34.957
98.07
5
Sawoo
25.233
26.708
51.941
94.48
6
Sooko
10.802
11.621
22.423
92.95
7
Pudak
4.849
4.310
9.159
112.51
8
Pulung
23.096
23.032
46.128
100.28
9
Mlarak
21.132
15.831
36.963
133.48
10
Siman
22.207
21.471
43.678
103.43
11
Jetis
13.879
14.381
28.260
96.51
12
Balong
20.094
20.571
40.665
97.68
13
Kauman
18.243
18.922
37.165
96.41
14
Jambon
18.867
19.603
38.470
96.25
15
Badegan
14.331
14.749
29.080
97.17
16
Sampung
16.919
17.458
34.377
96.91
17
Sukorejo
25.941
25.340
51.281
102.37
18
Ponorogo
38.906
39.677
78.583
98.06
19
Babadan
33.802
34.515
68.317
97.93
20
Jenangan
27.204
26.663
53.867
102.03
21
Ngebel
9.965
9.555
19.520
104.29
Jumlah
431.400
432.500
863.900
99.75
Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2014, BPS
Dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Ponorogo merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu 78.583 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 3.522 jiwa/Km2, diikuti oleh Kecamatan Babadan 68.317 jiwa (1.555 jiwa/Km2) dan Kecamatan Ngrayun 56.413 jiwa (305 jiwa/Km2). Sementara kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit sekaligus tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Pudak 9.159 jiwa dengan tingkat kepadatan 187 jiwa/Km 2.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
19
Jika dilihat menurut sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur, mayoritas penduduk Kabupaten Ponorogo merupakan penduduk produktif dengan persentase penduduk usia 15-64 tahun sebesar 68,01%. Sedangkan penduduk usia di bawah 15 tahun sebesar 21,04% dan penduduk usia 65 tahun ke atas sebesar 10,95%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa angka rasio ketergantungan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2013 mencapai 47,05 yang berarti secara rata-rata dari setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 47 penduduk usia tidak produktif.
3.2
Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo
Sebagaimana paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik sentral dari pembangunan itu sendiri, maka upaya-upaya peningkatan kualitas manusia baik secara fisiologis, ekonomis, maupun spiritual perlu diupayakan. Dalam menggambarkan upaya-upaya pembangunan manusia tersebut biasanya digunakan indikator-indikator sosial ekonomi yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, ketenagakerjaan, maupun pertumbuhan ekonomi.
3.2.1. Bidang Pendidikan
Pendidikan
merupakan
salah
satu
aspek
penting
dalam
proses
pengembangan pola pikir konstruktif dan kreatif sumber daya manusia, baik itu pendidikan yang diperoleh secara formal maupun informal sebagai bekal atau modal dalam menjalani interaksi sosial dalam bermasyarakat, pendidikan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan manusia.
Perencanaan yang cepat, tepat dan terarah dalam pembangunan pendidikan mutlak diperlukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, akan mempengaruhi kualitas sumber dayanya. Pendidikan bukan hanya merupakan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
20
tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat dan keluarga. Pendidikan yang memadai dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki setiap individu.
Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang salah satu misinya adalah “menjamin terwujudnya kepastian akses dan mutu pelayanan dasar masyarakat secara optimal yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur baik pedesaan maupun perkotaan, serta menjamin kepastian penyediaan pelayanan publik dengan model pelayanan yang efektif dan efisien”. Pendidikan yang berbasis pengetahuan dan moral sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi abad globalisasi dimana berbagai pengaruh dari luar yang masuk dengan bebas ke negeri ini.
Gambar 4. Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013
88,99
89,37
87,32
85,72
85,73
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Jawa Timur 2013
Kemampuan baca tulis adalah kemampuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia. Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan baca tulis maka akan meningkat pula akses terhadap berbagai informasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan pengetahuan secara umum. Kemampuan baca tulis tercermin dari tinggi rendahnya angka melek huruf. Dalam hal ini merupakan persentase Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
21
penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya.
Persentase angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 89,37 persen pada tahun 2013 atau naik 0,38 persen poin dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 88,99 persen.
Tingkat melek huruf yang tinggi menunjukkan adanya sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan/atau program keaksaraan yang memungkinkan sebagian besar penduduk untuk memperoleh kemampuan menggunakan kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari dan melanjutkan pembelajarannya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pencapaian program wajib belajar 9 tahun dapat dilakukan dengan cara mengakses seluruh fasilitas pendidikan yang ada bagi penduduk usia sekolah. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat pemanfaatan atau jangkauan pendidikan, maka digunakan indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS).
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka partisipasi dapat menjadi indikator proses di bidang pendidikan yang menggambarkan proses partisipasi aktif penduduk usia belajar dalam proses belajar. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya APS setiap kelompok umur.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
22
Gambar 5. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Sumber : BPS Jawa Timur 2013
Dari grafik di atas diketahui bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 tahun yang mempresentasikan usia di tingkat sekolah dasar/sederajat mencapai 99,46 persen pada tahun 2013. APS usia 13-15 tahun yang mempresentasikan usia sekolah tingkat lanjutan pertama sebesar 97,04 persen. Upaya peningkatan pendidikan dasar bagi masyarakat melalui program wajib belajar sembilan tahun (setara SLTP) telah membawa dampak meningkatnya angka partisipasi sekolah khususnya pada kelompok usia sasaran program ini hingga berada pada kisaran di atas 95 persen.
Angka
partisipasi
sekolah
kelompok
usia
16-18
tahun
yang
mempresentasikan usia sekolah tingkat lanjutan atas juga mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Terjadi peningkatan sebesar 8,92 persen poin yaitu dari 65,60 persen pada tahun 2011 menjadi 74,52 persen pada tahun 2013.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
23
Hal ini memberikan gambaran bahwa di Kabupaten Ponorogo secara ratarata pada setiap 100 anak usia 7-12 tahun (SD/MI) sekitar 1 anak diantaranya sedang tidak bersekolah, sementara untuk setiap 100 anak usia 13-15 tahun (SMP/MTs) dan usia 16-18 tahun (SLTA sederajat) masing-masing terdapat 3 anak dan 26 anak yang sedang tidak bersekolah.
Angka APS tersebut
menunjukkan tren penurunan seiring dengan kenaikan usia, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah persentase penduduk yang sedang bersekolah.
Tabel 6. Persentase Penduduk Kabupaten Ponorogo Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan No
Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan
2011
2012
2013
1
Tidak/Belum Pernah Sekolah
7,83
5,83
7,31
2
Tidak/Belum Tamat SD
22,42
24,01
20,11
3
SD/MI sederajat
29,20
30,46
30,07
4
SLTP/MTs sederajat
19,87
19,45
19,19
5
SMU sederajat
11,02
10,79
13,11
6
SMK sederajat
5,70
4,96
5,40
7
Perguruan Tinggi
3,96
4,50
4,81
100,00
100,00
100,00
Total Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2011-2013)
Persentase pendidikan yang ditamatkan dapat digunakan sebagai bahan acuan perencanaan pembangunan terutama untuk melakukan perencanaan penawaran tenaga kerja, dengan menyesuaikan kualifikasi pendidikan angkatan kerja di suatu wilayah. Hal tersebut menunjukkan pula tingkat pendidikan pada suatu wilayah tertentu.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
24
Apabila dilihat menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, pada tahun 2013 hampir 49,26 persen penduduk Kabupaten Ponorogo usia 10 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan tertingginya minimal setingkat SLTP sederajat. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah masih terdapat penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak mempunyai ijazah atau belum sekolah yaitu sebesar 7,31 persen karena tidak sejalan dengan program pendidikan dasar selama 9 tahun yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang ada.
Terjadi peningkatan yang cukup berarti pada persentase penduduk yang telah menamatkan pendidikan tingkat SLTA sederajat maupun perguruan tinggi, dari 15,75 persen pada tahun 2012 menjadi 18,51 persen pada tahun 2013 untuk tingkat SLTA sederajat dan 4,50 persen pada tahun 2012 menjadi 4,81 persen pada tahun 2013 untuk tingkat perguruan tinggi.
Gambar 6. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2011- 2013
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013)
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
25
Angka rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. Lamanya sekolah atau years of schooling adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir.
Angka rata-rata lama sekolah merupakan kombinasi antara partisipasi sekolah, jenjang pendidikan yang sedang dijalani, kelas yang diduduki, dan pendidikan yang ditamatkan. Tetapi jumlah tahun bersekolah ini tidak mengindahkan kasus-kasus tidak naik kelas, putus sekolah yang kemudian melanjutkan kembali, dan masuk sekolah dasar di usia terlalu muda atau sebaliknya, sehingga nilai dari jumlah tahun bersekolah menjadi terlalu tinggi (overestimate) atau bahkan terlalu rendah (underestimate).
Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2013 untuk mengenyam pendidikan formal adalah 7,49 tahun. Apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan maka hal ini sejalan dengan banyaknya penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo yang menamatkan pendidikannya hanya sebatas SD sederajat. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dari 6,99 tahun pada tahun 2011 meningkat menjadi 7,49 tahun pada tahun 2013.
Selain indikator mengenai angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan rata-rata lama sekolah, informasi tentang banyaknya sarana pendidikan, tenaga pengajar, kelas, perpustakaan dan lain-lain mutlak diperlukan guna mengetahui sejauh mana ketersediaan fasilitas pendidikan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
26
yang ada. Walaupun informasi ini belum dapat mendeteksi kualitas dari sarana pendidikan tersebut. Untuk menggambarkan ketersediaan fasilitas pendidikan paling tidak digunakan dua indikator, yaitu rasio murid-guru dan rasio muridsekolah.
Rasio murid guru diperoleh dari perbandingan antara jumlah murid dan jumlah guru. Angka rasio ini digunakan untuk menggambarkan beban kerja guru dalam mengajar. Sedangkan rasio murid sekolah didapat dari perbandingan jumlah murid dan jumlah sekolah, dimana angka rasio ini dapat digunakan untuk memantau daya tampung sekolah. Pada tahun ajaran 2013/2014, angka rasio murid guru di Kabupaten Ponorogo cukup rendah. Secara rata-rata setiap guru pada setiap jenjang pendidikan mengajar 10 orang murid. Melalui hal ini diharapkan pengawasan dan perhatian guru terhadap siswa didiknya dapat lebih fokus sehingga pada akhirnya mutu pengajaran di kelas akan meningkat.
Tabel 7. Rasio Murid-Guru dan Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2013/2014 Rasio
Rasio
Murid-Guru
Murid-Sekolah
(1)
(2)
(3)
SD sederajat
10
110
SMP sederajat
10
243
SMA sederajat
10
280
Jenjang Pendidikan
Sumber : Dinas Pendidikan & Departemen Agama Kabupaten Ponorogo
Sementara untuk rasio murid terhadap sekolah, semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar pula angka rasio murid-sekolah. Untuk SD sederajat rata-rata satu sekolah menampung 110 murid, SMP sederajat 243 murid, dan SMA sederajat sebanyak 280 murid. Rasio murid-sekolah merupakan cerminan
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
27
perhatian pemerintah dalam menyediakan sarana belajar bagi anak usia sekolah. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk tentunya juga harus diiringi penambahan fasilitas belajar berupa sekolah selain juga perlu diperhatikan tingkat penyebaran guru dan sekolah yang seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan.
3.2.2. Bidang Kesehatan Masyarakat
Pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata, mudah dan murah. Kesehatan merupakan aspek mendasar yang dibutuhkan semua orang. Dengan kondisi sehat setiap orang dapat melakukan semua aktivitasnya untuk mencapai apa yang diinginkan. Tubuh yang sehat secara fisik memungkinkan seseorang untuk melakukan segala kegiatan sehingga mencapai hasil yang optimal dan mampu menjadi manusia berkualitas. Derajat atau tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku individu, keturunan, pelayanan kesehatan dan lingkungan.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan antara lain ditandai oleh semakin menurunnya angka kematian bayi (AKB) dan semakin meningkatnya angka harapan hidup (AHH). Penurunan angka kematian bayi secara tidak langsung berhubungan dengan angka kemiskinan di suatu daerah. Pada daerah yang angka kemiskinannya tinggi biasanya angka kematian bayinya juga tinggi. Hal ini antara lain disebabkan pola konsumsi penduduk miskin yang belum mempertimbangkan kecukupan asupan gizi pada ibu-ibu hamil.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
28
Sumber : BPS Jawa Timur 2013
Angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi usia dibawah 1 tahun dalam kurun waktu setahun per 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Kematian bayi di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh kondisi kehamilan ibu, penolong persalinan, perawatan bayi baru lahir, tingkat gizi yang diberikan pada bayi dan kualitas tempat tinggal. Selama periode lima tahun terakhir angka kematian bayi menunjukkan kecenderungan menurun, dari 30 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2009 menjadi 25 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2013.
Dalam usaha mengurangi angka kematian bayi diperlukan penanganan yang intensif baik dari faktor eksternal maupun internal, antara lain melalui keberadaan penolong persalinan yang mumpuni dan kemudahan akses ke tempat pelayanan kesehatan serta peningkatan perawatan bayi seperti pemberian asupan makanan yang cukup serta pemberian ASI dan imunisasi.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
29
Dalam proses kelahiran faktor penolong persalinan sangat mempengaruhi keselamatan ibu dan bayi. Kekeliruan penanganan baik pada saat melahirkan maupun pasca kelahiran akan berakibat fatal bagi kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Penolong persalinan yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga berpengalaman yang sudah dibekali dengan pengetahuan serta kemampuan kebidanan akan membantu kelancaran proses persalinan.
Tabel 8. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 Tenaga Kesehatan
Penolong Pertama Kelahiran
Penolong Terakhir Kelahiran
(1)
(2)
(3)
Dokter
17,56
28,14
Bidan
78,08
68,46
-
-
4,36
3,40
-
-
100,00
100,00
Tenaga Medis Lain Dukun Famili/Lainnya Jumlah
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013)
Di tahun 2013 mayoritas kelahiran di Kabupaten Ponorogo ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter/bidan/paramedis) yaitu sebesar 95,64 persen pada awal kelahiran dan 96,60 persen pada tahap akhir kelahiran. Dapat dikatakan bahwa sebesar 4,36 persen proses kelahiran tahun 2013 yang pada tahap awal proses kelahirannya ditolong oleh tenaga non medis, sebanyak 0,96 persen diantaranya dirujuk ke tenaga medis dimungkinkan karena mengalami kesulitan pada proses persalinannya.
Selain penolong kelahiran, pemeriksaan kehamilan juga merupakan hal yang penting untuk mengurangi resiko kematian ibu ataupun bayi yang dilahirkan.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
30
Tabel 9. Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2011 - 2013 Keluhan Kesehatan
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
Tidak ada keluhan kesehatan
72,58
73,64
73,98
Ada keluhan kesehatan dan menyebabkan terganggunya pekerjaan, sekolah dan kegiatan sehari-hari
12,86
10,55
11,60
Ada keluhan kesehatan tetapi tidak menyebabkan terganggunya pekerjaan, sekolah dan kegiatan sehari-hari
14,56
15,80
14,42
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2011-2013)
Indikator lain yang terkait dengan kesehatan masyarakat yaitu keluhan kesehatan yang dialami oleh penduduk. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2013, sekitar 26,02 persen penduduk Kabupaten Ponorogo menyatakan bahwa sebulan yang lalu mengalami keluhan kesehatan. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar 0,33 persen poin.
Dari 26,02 persen penduduk yang menyatakan bahwa sebulan yang lalu mengalami keluhan kesehatan sebanyak 11,60 persen diantaranya mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan, sekitar 44 persen diantaranya mengaku keluhan kesehatan tersebut mengganggu kegiatan sehari-harinya.
Peningkatan status dan derajat kesehatan masyarakat tentunya harus didukung dengan ketersediaan fasilitas kesehatan karena pelayanan kesehatan kepada masyarakat terkait erat dengan jumlah fasilitas kesehatan. Di Kabupaten Ponorogo terdapat 6 rumah sakit umum, 31 puskesmas, 57 puskesmas pembantu, 46 puskesmas keliling, 1.122 posyandu dan sejumlah fasilitas kesehatan lainnya. Sementara jumlah tenaga medis yaitu dokter sebanyak 143 orang dan paramedis (perawat dan bidan) sekitar 1.424 orang. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
31
Tabel 10. Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 Fasilitas Kesehatan
Jumlah
(1)
(2)
Sarana Kesehatan Rumah Sakit Umum Puskesmas Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Balai Pengobatan Posyandu Dokter Praktek Apotik
6 31 57 46 26 1.122 128 54
Tenaga Kesehatan Dokter Perawat dan Bidan
143 1.424
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo
Dengan jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo yang mencapai 863.900 jiwa, maka dapat diketahui bahwa secara rata-rata setiap puskesmas (termasuk pustu dan pusling) harus siap melayani sekitar 6.447 penduduk, setiap dokter praktek melayani hampir 6.749 penduduk, dan setiap apotik harus melayani sekitar 15.998 penduduk. Terlihat bahwa angka-angka tersebut masih tidak sebanding dengan beban yang harus dilayani terutama ketersediaan sarana apotik, sehingga biasanya akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan.
Yang perlu menjadi perhatian adalah tingkat penyebaran dari sarana kesehatan tersebut, karena masih terdapat beberapa kecamatan yang sama sekali tidak memiliki apotik dan dokter praktek yang ada tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Apalagi rumah sakit yang ada seluruhnya berada di Kecamatan Ponorogo, padahal pasien yang dilayani tidak hanya berasal dari Kabupaten Ponorogo tetapi juga daerah sekitar Ponorogo.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
32
3.2.3. Bidang Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan suatu keharusan
bagi
kelangsungan
pembangunan
ekonomi
dan
peningkatan
kesejahteraan. Tingkat pertumbuhan ekonomi haruslah lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk, agar peningkatan pendapatan perkapita dapat tercapai.
Menurut beberapa ahli, perekonomian daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan lapangan kerja. Besarnya pertumbuhan ekonomi tergantung dari nilai PDRB setiap tahunnya. Sedangkan penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan setelah terjadi akumulasi aliran modal. Aliran modal masuk akan berdampak pada tersedianya lapangan kerja yang seluasluasnya.
Dengan membagi PDRB atas dasar harga berlaku dengan jumlah penduduk pertengahan tahun akan menghasilkan PDRB per kapita yang merupakan indikator dalam melihat tingkat kesejahteraan penduduk secara makro. Meskipun PDRB per kapita ini tidak dapat menggambarkan secara riil pendapatan yang diterima masyarakat, namun indikator ini masih relevan untuk mengetahui apakah secara rata-rata pendapatan masyarakat mengalami peningkatan atau tidak. Jumlah penduduk dapat dijadikan penimbang karena jumlah penduduk merupakan pelaku pembangunan yang menghasilkan output.
Nilai nominal PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi di Kabupaten Ponorogo dalam lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan peningkatan. Namun pada tahun 2013 ini perekonomian Kabupaten Ponorogo menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat dari tahun sebelumnya yaitu dari
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
33
6,52 persen pada tahun 2012 menjadi 5,67 persen pada tahun 2013. Hal ini disebabkan merosotnya produksi sektor pertanian yang merupakan sektor paling dominan dalam pembentukan PDRB Kabupaten Ponorogo.
Tabel 11. PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2013
No
Uraian
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
PDRB ADHB (Juta Rupiah)
2
Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa) PDRB Per Kapita (Rupiah)
8.404.945,13 859.302
9.486.200,08 10.692.392,15 861.806
863.890
9.781.153,41 11.007.426,41 12.376.886,39
Sumber : PDRB Kabupaten Ponorogo 2009-2013, BPS
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun PDRB per kapita penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami kenaikan. PDRB per kapita penduduk Kabupaten Ponorogo tahun 2011 adalah 9,78 juta rupiah per penduduk per tahun dan meningkat menjadi 12,38 juta rupiah per penduduk per tahun di tahun 2013. Bila dilihat dari persentase kenaikannya, maka terdapat kenaikan sebesar 12,54 persen dari tahun 2011 ke tahun 2012, dan terdapat kenaikan sebesar 12,44 persen dari tahun 2012 dan 2013.
3.2.4. Bidang Ketenagakerjaan
Dalam tinjauan makro ekonomi, salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari sejauh mana angkatan kerja di daerah tersebut terserap ke dalam lapangan kerja yang ada. Penyerapan angkatan kerja ke dalam lapangan kerja yang tersedia di daerah tertentu nantinya akan berhubungan dengan tingkat pengangguran di daerah tersebut.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
34
Penduduk yang termasuk dalam kategori angkatan kerja adalah penduduk yang secara ekonomis berpotensi menghasilkan output atau pendapatan, baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan pengangguran meliputi penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (putus asa), atau sudah diterima bekerja namun belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran merupakan perbandingan antara jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja.
Tabel 12. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 No
Variabel Ketenagakerjaan
Agustus 2013
(1)
(2)
(3)
1
Angkatan Kerja (Jiwa)
481.685
2
Bekerja (Jiwa)
465.871
3
Pengangguran (Jiwa)
4
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
15.814 3,28
Sumber : BPS Jawa Timur (Sakernas 2013)
Dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dapat diketahui bahwa jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2013 di Kabupaten Ponorogo mencapai 481.685 jiwa atau sebesar 55,76 persen dari total penduduk di Kabupaten Ponorogo. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 465.871 jiwa atau 96,72 persen dari total angkatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 3,28 persen, sedikit lebih tinggi dibanding tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2012 yang mencapai 3,26 persen.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
35
Angka tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Ponorogo ini masih lebih rendah dibanding angka Jawa Timur yang mencapai 4,33 persen, namun masih lebih tinggi dibanding Kabupaten Pacitan (1,00 persen) dan Kabupaten Magetan (3,02 persen). Namun kedepannya pemerintah harus terus berupaya menciptakan lapangan kerja dengan memaksimalkan dan menggunakan seefisien mungkin segala sumber daya yang ada agar angka pengangguran dapat ditekan pada level yang rendah.
3.2.5. Bidang Perumahan
Rumah adalah salah satu hak dasar rakyat, oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga berfungsi sebagai pusat pendidikan keluarga dan penyiapan generasi muda, sehingga rumah dengan lingkungan yang layak dan sehat merupakan wadah untuk pengembangan sumber daya masyarakat di masa depan. Sebagai tempat tinggal, idealnya rumah yang layak huni memiliki fasilitas kamar tidur, kamar mandi, dapur, kakus (WC) tersendiri, adanya penerangan listrik serta sumber air bersih.
Ketersediaan air bersih di rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi sangat penting karena berdampak terhadap tingkat kesehatan. Semakin tinggi persentase rumah tangga yang menggunakan air bersih, semakin baik kondisi kesehatan rumah tangga di daerah tersebut.
Oleh sebab itu air yang
diperlukan rumahtangga harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu mencakup fisik, kimia dan bakteriologis.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
36
Pada tahun 2013 di Kabupaten Ponorogo terdapat sekitar 80,07 persen rumah tangga menggunakan sumber air minum yang layak, dan sekitar 19,93 persen lainnya menggunakan sumber air minum yang tidak layak. Hal ini perlu menjadi perhatian karena masih ada seperlima rumah tangga yang mengkonsumsi sumber air minum tidak layak, karena bisa menimbulkan masalah kesehatan di kemudian hari.
Rumah tangga dikatakan memiliki sumber air minum layak apabila pada rumah tangga tersebut ada akses terhadap sumber air minum terlindungi. Sumber air minum terlindungi dapat berasal dari leding meteran atau eceran, air hujan, sumur bor/pompa/terlindung dan mata air terlindung dengan syarat jarak ke penampungan kotoran/limbah lebih dari 10 meter. Sedangkan apabila syarat jarak tidak terpenuhi tetapi rumah tangga menggunakan sumber air mandi/cuci berasal dari air terlindungi bisa dikatakan rumah tangga memiliki akses terhadap sumber air minum layak.
Rumah tangga yang menggunakan sumber air minum yang berasal dari air kemasan bermerk dan air isi ulang, dikatakan tidak memiliki akses sumber air minum yang layak jika rumah tangga tersebut tidak menggunakan sumber air mandi/cuci berasal dari air terlindungi. Sebaliknya jika menggunakan sumber air mandi/cuci berasal dari air terlindungi walaupun untuk sumber air minum menggunakan air kemasan bermerk/isi ulang berarti rumah tangga tersebut memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak. Untuk rumah tangga yang menggunakan akses sumber air minum tidak terlindungi (sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan lainnya) dikatakan memiliki akses sumber
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
37
air minum yang layak apabila rumah tangga tersebut juga menggunakan sumber air mandi/cuci berasal dari air terlindungi.
Gambar 8. Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013)
Penggunaaan listrik juga menjadi salah satu indikator perumahan yang cukup penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Penggunaan listrik dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan umum dan kemampuan masyarakat untuk membeli pelayanan tersebut. Penyediaan tenaga listrik bertujuan untuk meningkatkan perekonomian serta memajukan kesejahteraan masyarakat. Tersedianya listrik misalnya, dapat berpeluang memperpanjang waktu belajar anak sekolah dan membuka kesempatan anggota rumah tangga untuk berproduksi. Saat ini ketersediaan energi listrik menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting untuk mendukung aktivitas rumah tangga, baik untuk keperluan penerangan maupun mengakses berbagai kebutuhan lain. Semakin berkembangnya sektor kelistrikan akan sangat memberikan pengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ponorogo. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
38
Gambar 9. Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Penerangan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013)
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa sebesar 99,85 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo sudah menggunakan listrik sebagai penerangan. Namun masih ada 0,15 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo yang menggunakan penerangan bukan listrik seperti pelita atau sentir. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk menjalin kerjasama yang lebih nyata dengan seluruh pemangku kepentingan kelistrikan seperti PT. PLN dan pihak swasta lainnya untuk meningkatkan akses listrik bagi masyarakat Kabupaten Ponorogo.
Komponen perumahan lainnya yang cukup penting untuk dilihat kaitannya dengan kesejahteraan rakyat yaitu jenis lantai terluas. Jenis lantai terluas dibedakan menjadi dua yaitu tanah dan bukan tanah. Kriteria ini dibedakan berdasarkan syarat minimal rumah sehat. Rumah yang memiliki jenis lantai tanah dapat menyebabkan mudahnya terjangkit berbagai penyakit. Dari segi sosial ekonomi jika jenis lantai terluas adalah tanah dapat menggambarkan tingkat sosial Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
39
ekonomi penghuninya lebih rendah dibandingkan penghuni rumah yang jenis lantai terluasnya bukan tanah. Gambar 10. Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013)
Dari gambar di atas yang menginformasikan mengenai persentase rumah tangga menurut jenis lantai terluas di Kabupaten Ponorogo, dapat diketahui bahwa sebanyak 83,83 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo memiliki jenis lantai terluasnya adalah bukan tanah sedangkan rumah tangga yang lantai terluasnya tanah sebanyak 16,17 persen.
Pola hidup bersih akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Oleh karena itu keberadaan sanitasi menjadi sangat penting di dalam setiap rumah tangga. Bahan buangan (limbah) yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti tinja manusia atau binatang, dapat dicegah dengan menggunakan teknologi sederhana seperti membuat kakus dan tangki septik. Derajat kesehatan masyarakat akan meningkat bila penyediaan sarana sanitasi dibarengi dengan perbaikan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sanitasi tersebut.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
40
Gambar 11. Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012-2013
Sumber : BPS Jawa Timur (Susenas 2013)
Berdasarkan data Susenas 2013, rumah tangga di Kabupaten Ponorogo yang menggunakan fasilitas tempat buang air besar sendiri sebesar 73,89 persen. Fasilitas tempat buang air besar umum dan rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,4 persen dan 1,41 persen. Dengan demikian secara keseluruhan persentase rumah tinggal yang bersanitasi (mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri, bersama, umum) ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya dari 92,08 persen tahun 2012 menjadi 93,49 persen pada tahun 2013. Peningkatan persentase rumah tangga yang bersanitasi ini tentunya akan meningkatan pula tingkat kesehatan masyarakat.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
41
BAB IV STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN PONOROGO
4.1. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo
Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, IPM merupakan indeks komposit yang disusun melalui tiga dimensi dasar dengan cakupan yang sangat luas. Selanjutnya, ketiga dimensi tersebut terangkum dalam satu nilai tunggal yaitu angka IPM. Angka IPM tidak memiliki makna apabila dalam analisis tidak menyertakan angka IPM tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan angka IPM daerah lain untuk melihat posisi relatif IPM suatu daerah dengan daerah lain.
Data IPM digunakan sebagai rujukan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan penentuan dana perimbangan daerah melalui DAU. IPM juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang terkait dengan peningkatan kapasitas dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, serta ekonomi. Untuk itu, pemerintah sangat berkepentingan dengan data IPM sebagai bahan perencanaan, evaluasi, dan monitoring.
Berdasarkan skala internasional, capaian IPM dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu kategori tinggi (IPM>80), kategori menengah ke atas (66
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
42
Gambar 12. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013
Dari grafik di atas diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Ponorogo selama tahun 2009-2013 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 IPM Kabupaten Ponorogo sebesar 69,75 naik hingga mencapai 72,61 di tahun 2013 atau rata-rata tumbuh 0,81 persen per tahun. Nilai yang meningkat telah menaikkan peringkat IPM Kabupaten Ponorogo di Provinsi Jawa Timur dari peringkat 22 pada tahun 2012 menjadi peringkat 20 dari 38 kabupaten/kota pada tahun 2013. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan angka IPM menandakan pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik. Meskipun menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya, namun angka IPM Kabupaten Ponorogo masih rendah bila dibandingkan dengan angka IPM Provinsi Jawa Timur. Bila dibandingkan dengan angka IPM se-Karesidenan Madiun, angka IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke empat setelah Kota Madiun, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Pacitan.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
43
Secara umum, IPM Kabupaten Ponorogo dibanding kabupaten lain se-eks Karesidenan Madiun berada diatas Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi, tetapi masih lebih rendah daripada IPM Provinsi Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo masih perlu ditingkatkan dengan terus memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada di Kabupaten Ponorogo.
4.2. Perkembangan Komponen IPM
Perkembangan IPM yang terjadi dipengaruhi oleh perubahan pada komponenkomponen pembentuk IPM. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan atau penurunan indeks dari setiap komponen penyusun IPM, yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Perubahan pada komponen-komponen ini sangat dipengaruhi oleh optimalisasi terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah.
4.2.1. Indeks Kesehatan
Indikator penyusun indeks kesehatan adalah Angka Harapan Hidup. Angka harapan hidup adalah perkiraan banyaknya tahun yang dapat ditempuh oleh
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
44
seseorang selama hidup (secara rata-rata). Angka harapan hidup merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan.
Dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan ini, pemerintah daerah perlu mengupayakan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses sarana kesehatan, peningkatan kualitas dan pembangunan sarana kesehatan yang memadai, serta aktif memberikan pembinaan kepada masyarakat untuk selalu menerapkan pola hidup sehat. Capaian komponen angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo selama periode 2009-2013 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meski tidak terlalu signifikan.
Gambar 14. Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 (Tahun)
Dari grafik di atas terlihat bahwa angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dari periode 2009 hingga 2013. Tahun 2009 tercatat angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo adalah 69,62 tahun dan terus mengalami kenaikan menjadi 70,85 tahun pada tahun 2013. Angka ini masih jauh
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
45
dibawah standar global atau selisih 14,15 tahun, dimana standar harapan hidup ideal adalah 85 tahun.
Jika dibandingkan dengan angka harapan hidup dengan kabupaten/kota lain se-eks Karesidenan Madiun, angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo pada tahun 2013 berada pada urutan kelima tidak berubah dari tahun sebelumnya yaitu setelah Kabupaten Pacitan (72,18 tahun), Kabupaten Magetan (71,96 tahun), Kota Madiun (71,89 tahun) dan Kabupaten Ngawi (70,97 tahun). Namun bila dilihat secara umum, rata-rata angka harapan hidup tahun 2013 dari seluruh kabupaten/kota seeks Karesidenan Madiun mencapai 71,26 tahun mengalami peningkatan dibanding tahun 2011 (70,61 tahun) dan 2012 (70,83 tahun). Hal ini mengindikasikan bahwa derajat kesehatan penduduk di eks Karesidenan Madiun mengalami peningkatan.
Tabel 13. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013
Tahun
Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Kota Madiun
2011
71,48
70,24
69,07
71,41
70,24
71,22
2012
71,69
70,40
69,25
71,66
70,57
71,42
2013
72,18
70,85
69,68
71,96
70,97
71,89
Berdasarkan nilai angka harapan hidup tersebut dapat disusun indeks kesehatan sebagai salah satu komponen dalam penghitungan IPM. Pada tahun 2013 indeks kesehatan Kabupaten Ponorogo berada pada angka 76,41, masih lebih tinggi dibanding indeks kesehatan Provinsi Jawa Timur yang sebesar 75,62.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
46
Tabel 14. Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013
Tahun
Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Kota Madiun
2011
77,47
75,40
73,45
77,35
75,40
77,03
2012
77,82
75,67
73,75
77,77
75,95
77,37
2013
78,63
76,41
74,47
78,26
76,62
78,15
4.2.2. Indeks Pendidikan
Indeks pendidikan disusun oleh komponen angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Kemampuan baca tulis merupakan kemampuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia. Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan baca tulis maka akan meningkatkan pula akses terhadap berbagai informasi. Dengan kemampuan baca tulis yang dimiliki setiap individu akan mempunyai peluang yang lebih baik untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Selain menjadi gambaran kasar terhadap akses pendidikan, melek huruf juga menjadi dasar bagi setiap manusia agar dapat mempelajari dan mengetahui bagaimana upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Hal inilah yang menjadikan indikator melek huruf sebagai indikator paling esensial di antara indikator pembangunan manusia yang lain. Demikian pentingnya indikator ini untuk
mengukur
dimensi
pengetahuan,
maka
dalam
formulasi
indeks
pembangunan manusia tingkat melek huruf memiliki bobot yang lebih tinggi (2/3) dibanding rata-rata lama sekolah.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
47
Semakin rendah angka melek huruf di suatu daerah menunjukkan semakin banyak penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis, artinya semakin banyak pula penduduk yang tidak mampu mengakses perkembangan informasi yang ada sehingga mengindikasikan kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut masih rendah.
Gambar 15. Perkembangan Angka Melek Huruf Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013
Angka Melek Huruf Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 angka melek huruf tercatat 85,72 persen. Tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 85,73 persen. Pada tahun 2011 dan 2012 angka ini kembali mengalami kenaikan menjadi 87,32 persen dan 88,99 persen serta 89,37 persen pada tahun 2013. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2013 penduduk yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya sebesar 89,37 persen. Namun bila dibandingkan dengan angka ideal untuk angka melek huruf, angka untuk Kabupaten Ponorogo masih dibawah standar internasional atau selisih 10,63 persen. Standar angka melek huruf yang ideal adalah 100 persen. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
48
Tabel 15. Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013
Tahun
Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Kota Madiun
2011
91,60
87,32
89,55
90,56
85,54
97,80
2012
91,63
88,99
89,61
91,08
85,58
97,84
2013
91,67
89,37
90,04
91,42
85,99
98,15
Bila dibandingkan dengan angka melek huruf dengan kabupaten/kota seeks Karesidenan Madiun pada tahun 2013, angka melek huruf untuk Kabupaten Ponorogo menduduki peringkat ke-5 dari 6 kabupaten yang ada. Sedangkan untuk angka melek huruf tertinggi kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun adalah Kota Madiun dengan angka sebesar 98,15 persen. Bila dibandingkan dengan angka melek huruf se-Provinsi Jawa timur yang tercatat sebesar 90,49 persen, angka melek huruf di Kabupaten Ponorogo masih lebih rendah.
Angka ini mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Ponorogo harus memberikan prioritas dan pemantauan secara terus menerus akan program pemberantasan buta huruf. Dalam hal ini, pemerintah dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan angka melek huruf, antara lain melalui pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang proses belajar mengajar, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar.
SDM yang berkualitas merupakan aset paling penting bagi pembangunan. SDM yang berkualitas adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual, watak, moral, akhlak, dan fisik yang prima. Keadaan ini dapat terbentuk apabila setiap warga dapat memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang merata
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
49
dan bermutu. Rata-rata lama sekolah dapat digunakan sebagai indikator SDM yang berkualitas
serta
salah
satu
komponen
penyusun
IPM.
Indikator
ini
menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk berumur 15 tahun ke atas dalam menempuh semua jenis pendidikan formal.
Gambar 16. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2009-2013 (Tahun)
Dari grafik di atas diketahui bahwa rata-rata lama sekolah di Kabupaten Ponorogo periode 2009-2013 mengalami peningkatan walaupun dalam skala yang cukup kecil yaitu 6,61 tahun pada tahun 2009 hingga 7,49 tahun pada tahun 2013. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara rata-rata tingkat pendidikan penduduk yang berumur 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo adalah selama 7 tahun atau hampir setara dengan kelas satu sekolah menengah pertama. Kondisi ini masih belum sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Bahkan angka ini masih sangat jauh di bawah standar rata-rata lama sekolah internasional yaitu 15 tahun.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
50
Tabel 16. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013
Tahun
Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Kota Madiun
2011
6,94
6,99
7,39
7,60
6,99
10,44
2012
6,96
7,18
7,44
7,85
7,02
10,46
2013
7,01
7,49
7,47
7,86
7,06
10,54
Bila dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun, angka rata-rata sekolah di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2013 menempati posisi ketiga dengan nilai 7,49 tahun, naik satu peringkat dari posisi keempat pada tahun 2012. Sedangkan rata-rata lama sekolah se-eks Karesidenan Madiun yang tertinggi adalah Kota Madiun dengan rata-rata lama sekolah berkisar 10,54 tahun atau setara dengan kelas satu sekolah menengah atas. Peningkatan rata-rata lama sekolah sebesar 0,31 persen poin pada tahun 2013 di Kabupaten Ponorogo cukup signifikan dibanding kelima kabupaten/kota di wilayah eks Karesidenan Madiun lainnya. Namun bila dibandingkan dengan ratarata lama sekolah Jawa Timur yang sebesar 7,53 tahun, rata-rata lama sekolah Kabupaten Ponorogo masih di bawah angka Jawa Timur.
Hal ini mengindikasikan bahwa masih diperlukan kerja keras dari semua pihak untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Ponorogo. Diperlukan pula komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya pendidikan bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas yang nantinya akan membangun serta meningkatkan kesejahteraan penduduk di Kabupaten Ponorogo.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
51
Dari kedua komponen tersebut dapat disusun indeks pendidikan, dengan besaran angka indeks pendidikan untuk Kabupaten Ponorogo pada tahun 2013 mencapai 76,22.
Tabel 17. Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013
Tahun
Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Kota Madiun
2011
76,49
73,76
76,13
77,27
72,56
88,39
2012
76,56
75,28
76,28
78,15
72,64
88,47
2013
76,68
76,22
76,62
78,42
73,02
88,84
4.2.3. Indeks Daya Beli
Indeks daya beli disusun berdasarkan komponen pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan. Secara umum banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat daya beli masyarakat adalah pengeluaran riil perkapita. Rata-rata pengeluaran riil merupakan komponen dalam penyusunan Indeks Standar Hidup.
Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh hargaharga riil antar wilayah karena nlai tukar yang digunakan dapat menaikkan atau menurunkan nilai daya beli. Dengan demikian, kemampuan daya beli masyarakat satu wilayah akan berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan ini menyebabkan kemampuan daya beli masyarakat belum dapat dibedakan, sehingga diperlukan
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
52
standarisasi agar satu rupiah di satu wilayah mempunyai nilai yang sama dengan satu rupiah di wilayah yang lain. Dengan cara ini kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah di Indonesia dapat dibandingkan.
Tabel 18. Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan se-eks Karesidenan Madiun dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2013 (Ribu Rupiah) Kabupaten
2009
2010
2011
2012
2013
Pacitan
626,79
631,40
634,70
638,09
640,29
Ponorogo
632,84
636,80
638,25
640,30
642,06
Madiun
622,39
625,21
627,94
630,89
633,89
Magetan
634,61
637,09
640,82
643,97
647,09
Ngawi
620,09
622,75
624,99
628,38
632,35
Kota Madiun
637,39
640,32
644,61
648,46
652,16
Jawa Timur
640,12
643,60
647,46
651,04
654,02
Dari tabel di atas diketahui bahwa kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 nilai daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo sebesar 632,84 ribu rupiah. Kemudian nilai tersebut terus mengalami peningkatan hingga di tahun 2013 mencapai 642,06 ribu rupiah.
Bila dibandingkan dengan nilai daya beli masyarakat se-eks Karesidenan Madiun, nilai daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo dari tahun 2009-2013 selalu menduduki peringkat ke tiga teratas setelah Kota Madiun dan Kabupaten Magetan. Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan nilai daya beli Provinsi Jawa Timur yang sebesar 654,02 ribu rupiah, nilai daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo masih berada jauh dibawah nilai daya beli masyarakat Jawa Timur.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
53
Tabel 19. Indeks Daya Beli Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun 2011-2013
Tahun
Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Kota Madiun
2011
63,48
64,30
61,92
64,90
61,24
65,77
2012
64,26
64,78
62,60
65,62
62,02
66,66
2013
64,77
65,18
63,30
66,34
62,94
67,52
4.3. Reduksi Shortfall
Keberhasilan pembangunan suatu daerah tidak hanya dilihat dari rangking atau urutan posisi IPM nya saja, tetapi juga dilihat dari nilai reduksi shortfall. Berdasarkan nilai reduksi shortfall ini dapat dilihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia di suatu daerah. Reduksi shortfall digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pencapaian terhadap sasaran ideal (IPM=100). Angka tersebut mengukur rasio pencapaian kesenjangan antara jarak yang sudah ditempuh dengan yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi yang ideal. Semakin tinggi nilai reduksi shortfall suatu wilayah, maka semakin cepat kenaikan IPM yang dicapai dalam suatu periode.
Ada 4 kategori reduksi shortfall per tahun, yaitu sangat lambat jika reduksi shortfall < 1,3; lambat jika reduksi shortfall berkisar antara 1,3-1,5; menengah jika reduksi shortfall berkisar antara 1,5-1,7; dan kategori cepat bila reduksi shortfall > 1,7. Semakin besar reduksi shortfall per tahun, maka semakin besar pula kemajuan yang dicapai suatu daerah dalam periode tersebut.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
54
Dari gambar grafik di atas diketahui bahwa reduksi shortfall per tahun Kabupaten Ponorogo pada tahun 2009 sebesar 2,2 yang masuk dalam kategori cepat. Angka ini mengalami penurunan di tahun 2010 sebesar 0,41 poin menjadi 1,79. Namun pada tahun 2011 kembali naik cukup cepat menjadi 2,92.
Di tahun berikutnya, yaitu tahun 2012, nilai reduksi shortfall Kabupaten Ponorogo mengalami sedikit penurunan yaitu pada angka 2,63 dan kembali melambat pada tahun 2013 pada kisaran angka 2,47, meskipun angka ini masih masuk dalam kategori cepat. Besarnya reduksi shortfall dipengaruhi oleh selisih antara IPM tahun sebelumnya dengan IPM yang dicapai. Semakin besar selisihnya, reduksi shortfall akan semakin besar, begitu juga sebaliknya
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis Penyusunan Indeks Pembangunan Manusia ini diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo selama periode 2009-2013 mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan naiknya nilai IPM dari tahun ke tahun. Tahun 2013 nilai IPM Kabupaten Ponorogo tercatat sebesar 72,61 meningkat dibandingkan tahun 2009-2011 yaitu masing-masing sebesar 69,75; 70,29; 71,15 dan 71,91. 2. Selama tahun 2013 Kabupaten Ponorogo mengalami laju pencapaian sebesar 2,47 yang berarti terjadi pengurangan jarak (shortfall reduction) IPM terhadap IPM ideal (100) mencapai 2,47. Menurut kategori IPM Kabupaten Ponorogo berada pada status menengah atas, dengan laju percepatan pembangunan berkategori cepat. 3. Peningkatan nilai IPM ini indikasi keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang terkait dengan peningkatan dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. 4. Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain se-eks Karesidenan Madiun, pada tahun 2013 posisi IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke empat setelah Kota Madiun, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Pacitan. Peringkat Kabupaten
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
56
Ponorogo pada lingkup kabupaten/kota se-Jawa Timur mengalami peningkatan yaitu peringkat 22 pada tahun 2012 menjadi peringkat 20 pada tahun 2013 dari 38 kabupaten/kota. Namun angka IPM Kabupaten Ponorogo masih lebih rendah bila dibanding dengan angka IPM Provinsi Jawa Timur.Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo masih perlu lebih ditingkatkan. 5. Dari aspek pendidikan dapat dilihat bahwa penduduk Kabupaten Ponorogo yang dapat membaca dan menulis terus meningkat. Angka partisipasi sekolah anakanak
usia
7-12
tahun
pun
sudah
menunjukkan
persentase
yang
menggembirakan, yaitu sebesar 99,46 persen di tahun 2013 dengan tren menurun seiring dengan kenaikan usia. Namun di sisi lain masih harus diberikan perhatian yang lebih terhadap sarana dan prasarana sekolah baik dari segi jumlah, aksesibilitas dan pemerataannya. 6. Dari aspek ekonomi, kesejahteraan penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dengan ditandai semakin tingginya daya beli masyarakat Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, pengeluaran per kapita riil disesuaikan masyarakat Kabupaten Ponorogo sebesar 642,06 ribu rupiah meningkat dibandingkan tahun 2011 dan 2012 yang masing-masing sebesar 638,25 ribu rupiah dan 640,30 ribu rupiah. 7. Dari aspek kesehatan, angka harapan hidup penduduk Kabupaten Ponorogo juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 angka harapan hidup penduduk
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
57
Kabupaten Ponorogo telah mencapai 70,85 tahun yang meningkat dibandingkan tahun 2011 dan 2012 yang masing-masing sebesar 70,24 tahun dan 70,40 tahun. 5.2. Saran Berdasarkan hasil analisis, maka diharapkan pemerintah meningkatkan kapasitas dasar penduduk melalui berbagai program yang berbasis pada pelayanan dasar masyarakat yang mencakup berbagai aspek termasuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Oleh karena itu langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain : 1. Mengintensifkan sosialisasi pentingnya pendidikan untuk menekan angka putus sekolah. 2. Meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan meningkatkan fasilitas pendidikan seperti perlengkapan dan sarana belajar-mengajar. 3. Mengupayakan pemerataan fasilitas dan tenaga pendidikan di seluruh wilayah Kabupaten Ponorogo. 4. Dalam perspektif peningkatan derajat kesehatan, karena komponen indeks kesehatan pada penghitungan IPM dicerminkan oleh besaran angka harapan hidup, maka untuk memaksimalkan peningkatan angka harapan hidup yaitu dengan usaha menurunkan tingkat kematian bayi dan kematian ibu melahirkan harus terus menjadi prioritas. Beberapa faktor yang cukup sensitif terhadap perubahan angka kematian bayi dan ibu seperti pola makanan yang bergizi dan penolong kelahiran/persalinan, perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
58
5. Ketersediaan dan kualitas fasilitas serta tenaga kesehatan harus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. 6. Mengoptimalkan pemberian bantuan pembiayaan kesehatan kepada masyarakat yang kurang mampu di Kabupaten Ponorogo. 7. Memberikan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat akan pentingnya perilaku dan lingkungan hidup yang sehat untuk menekan angka kesakitan. 8. Menjaga stabilitas harga-harga untuk mencegah penurunan daya beli masyarakat. 9. Mendorong pertumbuhan dan kelangsungan usaha mikro, kecil dan menengah yang menyerap banyak tenaga kerja agar dapat mengurangi pengangguran yang pada gilirannya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. 10. Memberikan perhatian dan pengembangan yang lebih baik terhadap produk unggulan daerah sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo
59
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO JL. ALON – ALON UTARA NO. 4 PONOROGO