DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi........................................................................ Abstrak.........................................................................................
iii - vi vii - xiii
Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis Terhadap UU NO. 56/PRP/ Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian) oleh: Sulasi Rongiyati..................................................................
1 - 15
Tinjauan Yuridis atas Pemanfaatan Ruang di Bawah Tanah oleh: Harris Y. P. Sibuea..............................................................
17 - 34
Penguatan Lembaga Adat sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh: Nikolas Simanjuntak...........................................................
35 - 66
Redenominasi Rupiah dalam Prespektif Hukum oleh: Trias Palupi Kurnianingrum..............................................
67 - 85
Upaya Perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi oleh: Puteri Hikmawati............................................................... 87-104 Penghapusan Tahapan Penyelidikan dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana oleh: Marfuatul Latifah...............................................................
105 - 123
Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia oleh: Andy Wiyanto.....................................................................
125 - 151
PENGANTAR REDAKSI
Pada edisi bulan Juni ini, Jurnal Negara Hukum (JNH) tetap memuat hasil kajian, penelitian, dan analisis hukum dalam berbagai bidang, seperti hukum ekonomi, pidana, dan ketatanegaraan. Edisi ini memuat 7 (tujuh) tulisan yang bervariasi sesuai dengan bidang kajian hukum yang disebutkan sebelumnya. Istimewanya, JNH kali ini memuat 2 (dua) tulisan yang berasal dari luar peneliti hukum P3DI, yaitu dari Tenaga Ahli Fraksi dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI. Tulisan pertama ditulis oleh Sulasi Rongiyati, berjudul “Land Reform melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis terhadap Undang-Undang No. 56/PRP/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)”. Dalam tulisan ini dikatakan, bahwa Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Analisis dilakukan terhadap pelaksanaan land reform di Indonesia yang didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT). Berdasarkan hasil analisis Penulis, Land Reform dalam UU tersebut diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan pendukung yang belum memadai. Selanjutnya, Harris Y. P. Sibuea menulis tentang “Tinjauan Yuridis atas Hak Guna Ruang Bawah Tanah sebagai Lembaga Hak Baru dalam Hukum Tanah Nasional Indonesia”. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload, disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Dalam hasil analisisnya, Penulis mengatakan bahwa peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, dan publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan
PENGANTAR REDAKSI
iii
perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Oleh karena itu, hukum harus merespon kekosongan hukum tersebut di mana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria. Tulisan Nikolas Simanjuntak berjudul “Penguatan Lembaga Adat sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Dalam tulisan ini disebutkan, bahwa para sarjana post-kolonial telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu diketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran). Penulis mengemukakan, bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No.30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multikrisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Melalui tulisan ini, penulis berharap lembaga hukum adat bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan, bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini. Tulisan Trias Palupi Kurnianingrum dengan judul “Redenominasi Rupiah dalam Perspektif Hukum”. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa redenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, masih banyak pro-kontra. Berdasarkan analisis penulis, redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Oleh karena itu, perlu persiapan yang dilakukan, seperti mempersiapkan landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan infrastruktur yang tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan mewujudkan apa yang bermanfaat bagi banyak orang. iv
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Tulisan Puteri Hikmawati berjudul “Upaya Perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Dalam analisisnya, penulis mengemukakan, bahwa kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Penulis merekomendasikan, dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci. Tulisan berjudul “Penghapusan Tahapan Penyelidikan dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana”, ditulis oleh Marfuatul Latifah. Dalam tulisan ini dikemukakan, bahwa penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia. Dalam analisisnya, Penulis mengemukakan, mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, maka hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan. PENGANTAR REDAKSI
v
Tulisan Andy Wiyanto berjudul “Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam tulisan ini dikemukakan, bahwa historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan di tengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Berdasarkan hasil analisis, sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mengkaji hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem check and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah negara. Pemikiran-pemikiran dalam tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Negara Hukum ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca dan dapat menjadi referensi, baik untuk penelitian atau membuat kajian lanjutan, maupun perumusan kebijakan publik. Selamat membaca. Jakarta, Juni 2013 Redaksi
vi
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
LAND REFORM MELALUI PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN) Sulasi Rongiyati Abstrak Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT). Land Reform dalam UU ini diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan pendukung yang belum memadai. Abstract Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who lessland. Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA restrictions governing the ownership and control of land and described by Act No. 56/Prp/ 1960 on Agricultural Land Area Determination. Land Reform Act is implemented through setting minimum and maximum area of agricultural land and land redistribution. However, the implementation of this Act has not been effective because some provisions could potentially do to avoid smuggling law provision barring agricultural land and supporting policies that have not been adequate.
ABSTRAK
vii
TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG BAWAH TANAH Harris Y. P. Sibuea Abstrak Pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload yang disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Hukum harus merespon terhadap kekosongan hukum tersebut dimana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria. Abstract Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the increasing urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not offset by the amount of land area on the surface of the earth is ultimately looking for underground space for use as a place of residence, business interests, public. Legal certainty over ownership of the land was legal basis, but the vacancy against setting use of underground space. Underground spaces such as in Kota and Blok-M is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized for the business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian areas regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which required a policy governing the use of the right underground space, to prevent conflicts in the future and where a legal certainty in the field of agrarian.
viii
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
PENGUATAN LEMBAGA ADAT SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Nikolas Simanjuntak Abstrak Para sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran). Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini. Abstract The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law based on genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various tribes in more than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this country, each of the society has separately developed their traditional law with its particular court institution, from splendid isolation rural area context into Indonesian modern era of urban migran open society. Alternative Dispute Resolution thereof has been promulgated as the Law number 30 of 1999. It was prepared during the Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much more expectation is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices to the private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution within the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice concept, combining traditional isolation context during the ancient rural area within the open society in modern global context.
ABSTRAK
ix
REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM Trias Palupi Kurnianingrum Abstrak Redenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat masih banyaknya pro-kontra di dalamnya. Redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Kiranya perlu adanya persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia seperti mempersiapkan landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan infrastuktur yang sudah disetting dengan tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi banyak orang. Abstract Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to effecting the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes of the International. But to achieve this goal is not easy, since there are many pros and cons in it. Redenomination does provide many benefits but also can negatively impact the price inflation due to rounding. However, the preparations should be done by Indonesia such as ensuring legal certainty and legal protection, setting up the infrastructure that has been configured in a proper and giving intensive socialization to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal certainty so can giving the benefits for many people.
x
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Puteri Hikmawati Abstrak Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Oleh karena itu, dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci. Abstract Corruption remains a serious problem in Indonesia, many cases are yet to be revealed. One reason is the lack of witness evidence. This witnesses were reluctant to testify because it might receive threats or intimidation from perpetrators. Witnesses and complainants receive less legal protection. In the handling of corruption cases that the term whistleblower and justice collaborator. This review is intended to assess the formulation of legal norms that regulate the protection of witnesses and reporting of corruption and its implementation. Witness protection regulation in corruption has been stipulated in Law no. 31 of 1999 on Eradication of Corruption and Law no. 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. While the witness and victim protection provisions generally are specifically provided in Law no. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. While protection of the complainant is not regulated in detail in the Law no. 13 of 2006. Therefore, cause problems in the implementation Supreme Court Circular (SEMA) no. 4 of 2011 was made to adopt the term whistleblower and justice collaborator. However, the provisions of the SEMA causes problems. On of them, the provisions of Law no. 13 of 2006 closed opportunity for a reporting as whistleblower, who has a good faith, to be prosecuted either criminal or civil. However, SEMA no. 4 of 2011 gives the opportunity to process the whistleblower for the report had to say. Therefore, in the revised Law no. 13 of 2006 should be set against the whistleblower and justice protection in detail. ABSTRAK
xi
PENGHAPUSAN TAHAPAN PENYELIDIKAN DALAM RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Marfuatul Latifah Abstrak Penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengkaji penghapusan penyelidikan dan konsekuensi yang akan ditimbulkan. Mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan. Abstract The Removal of Investigation at Criminal Law Procedure bill, would change the system of criminal law procedure in Indonesia. This paper intends to analyze the removal of investigation and the consequences. Considers that the investigation have been used for over thirty years at the criminal justice system in Indonesia and many criminal offences solved by using the investigation method, for example Narcotics and Corruption. It might be caused fundamental change in the practice of criminal procedure law and raises barriers to the completion of the criminal cases in particular fond-case.
xii
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Andy Wiyanto Abstrak Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah Negara. Abstract Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President of Indonesia has twice lowered in the middle of his tenure. The historical record apparently leaves a polemics. In this case under the leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of the reform. The changes are not only revise mechanism of impeachment in Indonesia, but also makes the 1945 Constitution no longer as temporary as stated Soekarno in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Indonesia Independence Preparatory Committee meeting dated August 18, 1945. even impeachment process after reformation is form of Checks and balances on the direct election of the President. so there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side, and the other side it is balanced measurable accountability proccess. Academically, the concept is certainly based on science. How this implemented in the form of regulation , start from basic laws to other rules it below to be explanations more detail and clear. This paper try to explain these cases started from criticism structure of Indonesia constitutional after the reform that embracing Checks and Balances principle. Then followed by a review of the impeachment process in Indonesia, and then the end of two variables are elaborate more deeply with teories Checks and Balances system in the state system in a country.
ABSTRAK
xiii
LAND REFORM MELALUI PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN) Sulasi Rongiyati* Abstract Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who lessland. Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA restrictions governing the ownership and control of land and described by Act No. 56/Prp/ 1960 on Agricultural Land Area Determination. Land Reform Act is implemented through setting minimum and maximum area of agricultural land and land redistribution. However, the implementation of this Act has not been effective because some provisions could potentially do to avoid smuggling law provision barring agricultural land and supporting policies that have not been adequate. Kata kunci: Land reform, redistribusi tanah, dan UU No. 56/Prp/Tahun 1960.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan agraria yang populis di Indonesia ditandai dengan diundangkannya suatu produk hukum yang sangat fundamental, yaitu UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menggantikan hukum tanah produk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam perkembangannya penerapan hukum tanah yang pro-rakyat berdasarkan UUPA, mengalami pergeseran setelah pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan pertanahan di Indonesia lebih berpihak pada kepentingan investor. Kondisi tersebut terus berlangsung, meski sudah lebih dari setengah abad UUPA berlaku. Sebagai dampaknya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang semula dibentuk dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945),dalam pelaksanaannya “jauh panggang dari api”. Bahkan banyak peraturan perundang
*
Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI (e-mail:
[email protected]).
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
1
undangan yang dalam implementasinya mengesampingkan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat kecil yang tidak memiliki akses permodalan. Keadaan tersebut telah menimbulkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah dan berdampak pada timbulnya konflik tanah yang dari tahun ke tahun menujukan peningkatan dan penyelesaiannya berlarut-larut. UUPA sendiri telah melihat potensi ketimpangan kepemilikan tanah ini sejak awal. Oleh karenanya beberapa ketentuan dalam UUPA mengatur mengenai pembatasan dan kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian. Pasal 7 UUPA junto Pasal 17 UUPA melarang kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas dan mengamanatkan pengaturan pembatasan luas kepemilikan dan penguasaan tanah dalam perundang-undangan. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU PLTP) yang diundangkan pada tanggal 19 Desember 1960. Meskipun terbatas pada pengaturan batas kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian, UU PLTP sering disebut sebagai UU Land Reform Indonesia. Aspek land reform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Hal tersebut sejalan dengan produk yang dihasilkan dalam masa reformasi dalam konteks Reforma Agraria, yaitu Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001. Ketetapan tersebut secara tegas memberikan mandat untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfataan tanah (land reform) yang berkeadilan. Penetapan luas tanah pertanian melalui pembatasan luas maksimum dan minimum, memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia yang dulu dikenal sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Namun, pertambahan penduduk dan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang berorientasi pada bidang pertanian menyebabkan kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian oleh petani mengalami penurunan secara signifikan. Alih fungsi lahan pertanian marak terjadi di hampir semua daerah dan konflik pertanahan pun tidak terhindarkan. Konferensi La Via Campesina (LVC) atau Gerakan Petani Sedunia ke-6 yang berlangsung di Jakarta tanggal 6-13 Juni 2013 menilai konflik agraria di dunia yang memicu petani kehilangan akses terhadap lahan sudah semakin mencemaskan, oleh karenanya kalangan petani internasional mendesak agar konflik lahan sebagai persoalan paling krusial, segera diatasi. Besarnya konflik agraria di dunia ditunjukan dengan maraknya pembelian lahan oleh perusahaan besar yang mencapai 50 juta hektar sejak tahun 2008. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan petani yang 2
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
umumnya relatif rendah memaksa petani harus melepaskan tanahnya kepada pengusaha dan perusahaan transnasional. Petani kecil perlahan menghilang dan perusahaan besar semakin berkuasa. Kesenjangan ini membuat petani tidak mampu mengakses lahan pertanian.1 Pembatasan luas maksimum dan minimum kepemilikan dan penguasaan tanah sebagaimana diatur dalam UU PLTP dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada petani agar dapat mengakses tanah pertanian sebagai bidang usahanya dan menghindarkan pemusatan kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian pada pemilik modal tertentu. UU PLTP juga mengatur larangan pemindahtanganan tanah pertanian yang berakibat kepemilikan tanah kurang dari batas minimum luas tanah pertanian. B. Permasalahan Penetapan luas tanah maksimum merupakan amanat UUPA telah lebih dari 50 tahun diatur dalam UU PLTP dan belum pernah sekalipun dilakukan revisi atau perubahan. Namun, praktik di lapangan menunjukan kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian oleh petani jauh dari luas minimum yang ditentukan dalam UU PLTP. Pada sisi lain, di lapangan banyak ditemukan penguasaan lahan pertanian lebih dari ketentuan luas maksimum. Berdasarkan permasalahan tersebut, pertanyaan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana ketentuan Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional? 2. Mengapa ketentuan tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sebagaimana diatur dalam UU PLTP tidak implementatif? C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan penulisan ini untuk mengetahui ketentuan Land Reform dalam hukum tanah nasional dan pelaksanaan UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Sedangkan kegunaan dari tulisan ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca di bidang hukum pertanahan sekaligus sebagai masukan bagi anggota DPR RI dalam menjalankan fungsinya baik fungsi legislasi maupun pengawasan yang berkaitan dengan masalah-masalah pertanahan. II. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Pengertian Land Reform Reforma Agraria dalam arti luas meliputi pelaksanaan pembaharuan hukum agraria; penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; “Konferensi La Via Campesina: Konflik Agraria Dianggap Persoalan Paling Krusial,” Kompas,13 Juni 2013.
1
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
3
mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah; perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana, sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.2 Pelaksanaan Reforma Agraria yang ke-4 dikenal sebagai kebijakan Land Reform atau Reforma Agraria dalam arti sempit, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Pada tataran implementasi, istilah Land Reform sering dipadankan atau diidentikkan dengan istilah agrarian reform atau reforma agraria, karena land reform secara langsung dapat menunjukkan hasil yang lebih nyata melalui perombakan pemilikan dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagai misal, Elias H. Tuma menyatakan bahwa “dalam praktiknya konsep land reform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan”, oleh karenanya konsep ini kemudian menjadi sinonim bagi konsep reforma agraria.3 AP. Parlindungan berpendapat, bahwa land reform adalah bukan sekedar membagi-bagi tanah, ataupun bersifat politis, akan tetapi merupakan suatu usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi.4 Peter Donner dalam S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi mengatakan bahwa sistem penguasaan tanah meliputi pengaturan-pengaturan secara legal maupun adat yang dengan hal tersebut petani memperoleh akses terhadap kesempatan-kesempatan produktif atas tanah. Sistem ini merupakan tatanan dan prosedur yang mengatur hak, kewajiban, kebebasan dalam penggunaan dan pengawasan sumber daya tanah dan air. Dengan kata lain sistem penguasaan tanah turut membentuk pola penyebaran pendapatan dalam sektor pertanian, oleh karenanya land reform berarti mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur di dalam usaha membuat sistem penguasaan tanah itu konsisten dengan persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi.5 Tujuan dari land reform adalah untuk menyempurnakan pemerataan tanah. Terdapat dua dimensi dalam tujuan ini yaitu, pertama: untuk menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah dan untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang merupakan upaya Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007, hal.17. 3 “Dalam Untung Rusli Tandi, Redistribusi Tanah,” http://redistribusitanah.blogspot.com/diakses 5 Mei 2013. 4 A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 60. 5 S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Mas ke Masa,Jakarta: Yayasan Obor, 2008, hal.378. 2
4
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
memperbaiki penghasilan dan taraf hidup para petani secara menyeluruh. Kedua: untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.6 Pelaksanaan land reform untuk tanah-tanah pertanian (daerah pedesaan) dapat dilaksanakan dengan model seperti distribusi tanah, redistribusi tanah, rekonsentrasi tanah dan non redistribusi, sedangkan land reform untuk tanahtanah di daerah perkotaan dilaksanakan melalui kebijakan konsolidasi tanah daerah perkotaan.7 2. Redistribusi Tanah Dalam pelaksanaannya land reform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah secara intensif dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah.8 Program redistribusi tanah dalam pelaksanaan land reform mempunyai arti pokok yang berhubungan dengan suatu perubahan yang disengaja dalam sistem land tenure (penguasaan dan pemilikan tanah) yaitu penyusunan kembali sistem land tenure, pengawasan hakhak atas tanah dan lain-lain yang berhubungan dengan tanah.9 Menurut Gunawan Wiradi, redistribusi tanah meliputi pemecahan, penggabungan satuan-satuan usaha tani dan perubahan skala kepemilikan.10 Retribusi tanah diperuntukkan bagi tanah pertanian yang akan diberikan pada petani yang memiliki mata pencaharian mengusahakan tanah pertanian dengan syarat-syarat tertentu, yang berasal dari tanah kelebihan luas batas maksimum; tanah absente, tanah swapraja, tanah bekas swapraja, dan tanah yang dikuasai negara.11 III. ANALISIS 1. Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional Berlakunya UUPA telah memberikan perubahan alur politik agraria dari politik agraria kolonial ke poltik agraria nasional.12 Politik agraria nasional mengedepankan kesejahteraan rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber agraria terutama tanah. Khusus terkait kebijakan land reform, upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat diwujudkan melalui pemberlakuan beberapa peraturan pelaksana UUPA, antara lain: UU PLTP, PP No. 10 Tahun 1961 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 203 BPN-RI, Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI, Pemaparan Kepala BPN-RI pada pembukaan Rakernas, 2010, hal.17. 8 Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hal.11. 9 Ari Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah..., hal. 19. 10 Dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Masyarakat, Tesis, Universitas Sumatera Utara, hal. 45. 11 Chadidjah Dalimunthe dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform..., hal 46. 12 Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994,hal.3. 6 7
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
5
tentang Peraturan Pendaftaran Tanah, dan PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.13 UUPA menjadi induk pelaksanaan land reform di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari upaya pembentuk UUPA mencoba mencari solusi untuk mengatasi persoalan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia yang sudah terjadi sejak Negara Indonesia diproklamirkan, dengan merumuskan prinsip-prinsip land reform dalam substansi pengaturan UUPA. Pasal-pasal yang menjadi landasan yuridis pelaksanaan land reform tersebut yaitu Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17 UUPA. Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 10: 1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. 2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. 3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 17: 1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/ atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. 2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat. 3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. 4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Sejalan dengan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu salah satunya untuk memajukan kesejahteraan umum, maka prinsip tersebut
Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2009, hal.8.
6
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
13
menjadi acuan dalam sistem hukum tanah nasional. Larangan pemilikan dan penguasaan tanah melebihi batas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPA pada dasarnya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemusatan kepemilikan dan penguasaan tanah pada golongan tertentu sehingga merugikan golongan lain yang secara finansial memiliki keterbatasan untuk mengakses tanah. Sifat tanah yang terbatas dan konstan serta nilai tanah yang tidak terbatas pada sosial, ekonomis, politis, bahkan religi menyebabkan tingginya potensi disparitas kepemilikan dan penguasaan tanah antara golongan pemilik modal dan ekonomi lemah. Boedi Harsono menyatakan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melebihi batas merugikan kepentingan umum karena hal ini berhubungan dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah padat penduduk, hal ini berpotensi berkurangnya lahan pertanian atau bahkan dapat berpotensi hilangnya kemungkinan banyak petani untuk memiliki tanah pertanian sendiri.14 Lebih lanjut UUPA dalam Pasal 10 juga mewajibkan kepada pemilik tanah untuk mengusahakan dan mengerjakan sendiri tanahnya. Hal ini dimaksudkan untik mencegah cara-cara pemerasan terutama bagi pemilik tanah yang tidak mampu mengusahakan tanahnya sendiri karena keterbatasan modal dan kemudian menggadaikannya kepada pihak lain secara berkelanjutan,sehingga menghilangkan kesempatan pemilik tanah yang tidak mampu menebus gadainya, untuk memperoleh hasil dari tanah yang dimilikinya. Merujuk pendapat A.P. Parlindungan bahwa land reform adalah menata kembali hubungan antara manusia dengan tanah yang antara lain dilakukan melalui membagikan tanah, maka jelas Pasal 17 UUPA yang mengatur pembatasan luas tanah maksimum dan minimum merupakan ketentuan yang mendasari pelaksanaan Land Reform di Indonesia. Ketentuan ini dipertegas dengan bunyi Pasal 17 ayat (3) UUPA yang mengatur perlakuan terhadap tanah yang merupakan kelebihan luas tanah maksimum. Prinsip-prinsip Land Reform ini kemudian dijabarkan dalam UU PLTP melalui ketentuan penetapan luas batas minimum dan maksimum tanah pertanian, pembagian tanah untuk petani tidak bertanah (landless), dan pengalihan tanah hasil kelebihan luas maksimum tanah pertanian dalam rangka meningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.15 Secara umum, substansi UU PLTP memuat program land reform yang meliputi: a. Pembatasan luas maksimum pemilikan tanah; 14 15
Dalam Supriadi, Hukum Agraria..., hal.204. Lihat Penjelasan Umum UU PLTP
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
7
b. Larangan pemilikan tanah secara “absentee” atau “guntai”, redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara; c. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; d. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan e. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Relevan dengan pendapat Peter Donner dan Gunawan Wiradi, UU PLTP menjadi acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan land reform secara teknis, karena konsekuensi implementasi UU PLTP adalah mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur di dalam usaha membuat sistem penguasaan tanah dengan membuka peluang bagi petani untuk mampu mengakses kesempatan-kesempatan produktif atas tanah. Dalam sistem penguasaan tanah mecakup tatanan dan prosedur yang mengatur hak, kewajiban, kebebasan dalam penggunaan dan pengawasan sumber daya tanah dan air. Melalui UU PLTP diupayakan perubahan skala kepemilikan tanah dengan cara membatasi kepemilikan dan penguasaan luas tanah pertanian dan kemudian mendistribusikan tanah kelebihan luas tanah maksimum tersebut untuk petani tidak bertanah atau yang memiliki tanah pertanian di bawah luas minimum. Selain ketentuan yang berkaitan dengan luas minimum dan maksimum tanah pertanian, pada hakekatnya UU PLTP juga mengamanatkan dalam Pasal 12 bahwa luas maksimum dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah. Sayangnya sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut, khusunya berkaitan dengan pembatasan maksimum luas dan jumlah tanah untuk bangunan yang dapat dimiliki oleh orang perorangan belum dibentuk. Pemerintah baru mengatur pembatasan luas tanah untuk perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan izin lokasi melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Dalam ketentuan tersebut luas maksimum luas tanah yang dapat diberikan ditentukan berdasarkan jenis usaha, seperti: pengembangan perumahan dan pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan tambak untuk tiap provinsi di Indonesia.16
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2008, hal.5.
8
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
16
2. Implementasi UU PLTP a. Batas Minimum Luas Tanah Pertanian. Ketentuan mengenai batas minimum kepemilikan luas tanah pertanian sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 UU PLTP adalah 2 (dua) hektar. Hal ini maksudkan dengan kepemilikan tanah minimum sebanyak 2 hektar diharapkan petani dapat mengusahakan tanahnya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraannya, sebagaimana tujuan akhir diadakannya Land Reform yaitu kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Seiring dengan perkembangan jaman, penerapan ketentuan luas batas minimum tanah pertanian semakin sulit terwujud. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, antara lain: bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tanah untuk kegiatan non-pertanian. Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani, PhD, pada 1980-an pemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, tahun 2010 kepemilikan lahan pertanian hanya 0,25 hektar. Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun 1993-2003 meningkat rata-rata sebesar 2,6 persen per tahun. Di Pulau Jawa, jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani.17 Berkurangnya luas lahan pertanian juga terjadi karena meluasnya alih fungsi lahan. Di Indonesia luas lahan pertanian yang beralih fungsi setiap tahun mencapai 40.000-100.000 hektar, 50% diantaranya terdapat di pulau Jawa. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan, Achmad Suryana, alih fungsi lahan terjadi akibat peruntukan areal pemukiman, perkantoran, dan bangunan lain. Untuk menekan alih fungsi lahan pertanian telah dibentuk UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menjadi dasar peraturan daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Namun, dalam realisasinya aturan ini seringkali dilanggar dan kepala daerah turut berperan mengalihkan lahan pertanian.18 Data Kementerian Pertanian menyebutkan, luas sawah irigasi di Indonesi mencapai 4.784.974 hektar dan luas sawah tidak non-irigasi sebanyak 7.748.348 hektar. Berdasarkan data sensus pertanian oleh BPS tahun 2003 rata-rata luas lahan yang dikuasai petani di Pulau Jawa hanya 0,3 hektar per keluarga, yang berarti menurun dibandingkan 10 tahun yang lalu yang mencapai 0,48 hektar per keluarga. Anggota La Via Campesina, Wildan Tarigan, menambahkan bahwa masalah keterbatasan lahan menjadi persoalan paling krusial yang dialami petani di Indonesia. Petani tidak lagi berdaulat sesuai 17 18
“Ironi Pembangunan di Jawa”, Tempo, 11 Juni 2011 “Lahan Pertanian 100.000 Ha Lahan Beralih Fungsi”, Kompas, 13 Juni 2013.
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
9
predikat yang disandangnya karena tak lagi memiliki lahan. Sebagian besar petani hanya menjadi buruh penggarap lahan.19 Orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi, tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah pertanian untuk kegunaan yang lain. Padahal penyusutan/penyempitan lahan pertanian secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah petani gurem. Faktanya kebijakan Pemerintah yang cenderung mengejar industrialisasi pertanian tetapi kurang memperhatikan struktur penguasaan tanah, semakin mempersulit terpenuhinya batas minimum kepemilikan tanah pertanian. Program pembangunan bidang perkebunan dengan memberikan kemudahan perizinan bagi perusahaan perkebunan skala besar tanpa sadar menjadi salah satu pemicu terusirnya petani dari tanahnya. Sangat disadari, orientasi pengelolaan pertanahan diwaktu lampau tidak diarahkan kepada upaya pemerataan aset produksi. Tanah lebih ditekankan sebagai aset produksi dan dialokasikan kepada sektor ekonomi kuat dan besar, karena diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akibatnya petani kecil semakin terpinggirkan dan menjadi penggarap yang semakin kecil atau menjadi buruh tani. Akibatnya petani miskin bertambah miskin, hal ini semakin parah karena tanah pertanian juga diubah menjadi daerah perumahan, perluasan kota, pengembangan prasarana, dsb. Keadaan ini juga berdampak kepada meningkatnya konflik - konflik pertanahan. Disatu pihak, petani kecil membutuhkan tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lainnya (pemodal) pada umumnya memerlukan tanahtanah tersebut untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi. b. Batas Maksimum Luas Tanah Pertanian Pasal 1 ayat (2) UU PLTP menyebutkan bahwa seorang atau orang-orang dalam satu keluarga dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor lainnya ditentukan penguasaan tanah pertanian tidak melebihi 20 hektar. Sedangkan untuk daerah yang sangat khusus berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum tersebut menjadi 25 hektar. Ketentuan batasan luas maksimum tersebut dimaksudkan agar tanah pertanian tidak hanya dimonopoli oleh orang atau golongan tertentu yang memiliki kekuatan modal. Sangat disayangkan baik UUPA maupun UU PLTP tidak mengatur ketentuan luas maksimum tanah pertanian untuk tanah dengan Hak Guna Usaha dan hakhak yang bersifat sementara. Pasal 1 ayat (4) UU PLTP menyebutkan bahwa luas maksimum tersebut pada ayat (2) pasal ini tidak berlaku terhadap tanah pertanian yang dikuasai dengan Hak Guna Usaha atau hak-hak lainnya yang 19
10
“Pangan Jadi Alat Spekulasi: Konferensi Petani Internasional di Jakarta”, Kompas, 5 Juni 2013
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah, yang dikuasai oleh badan-badan hukum. Tidak tersedianya dasar yuridis maksimum kepemilikan atau pengusahaan tanah pertanian dengan HGU berpotensi penguasaan tanah pertanian oleh pemodal besar yang berarti mempersempit peluang akses petani tanpa tanah untuk memiliki tanah garapan. Demikian juga dengan pembatasan terhadap tanah-tanah nonpertanian, dalam Pasal 12 UU PLTP menyebutkan mengenai perlunya pembatasan luas maksimum luas tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya, namun hingga kini Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan yang diamanatkan pasal tersebut belum diterbitkan. Implementasi luas batas maksimum tanah pertanian juga terkendala sikap pasif BPN dalam melakukan pengawasan kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum. Hal ini salah satunya disebabkan ketentuan Pasal 3 UU PLTP meletakan kewajiban kepada pemilik atau penguasa tanah untuk melaporkan atas kelebihan dari batas maksimum tanah pertanian kepada Kepala Agraria daerah kabupaten/kota. Sedangkan tindak lanjut penyelesaian atas tanah kelebihan luas maksimum pengaturannya tidak diatur dalam UU PLTP tetapi didelegasikan kepada peraturan pemerintah dengan memperhatikan keinginan pihak yang memiliki kelebihan luas tanah maksimum (Pasal 5 UU PLTP). Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya, umumnya tidak terdapat laporan adanya kelebihan luas batas maksimum terhadap penguasaan tanah pertanian. Penguasaan terhadap tanah hanya dapat terdeteksi dari tanah-tanah yang terdaftar (bersertifikat) saja, atau peguasaan tanah pertanian yang terdaftar di BPN pada umumnya tidak ada yang melebihi batas maksimum. Dinyatakan lebih lanjut bahwa pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum tersebut umumnya dilakukan melalui modus tidak mendaftarkan tanah miliknya atau kelebihan luas tanah didaftarkan atas nama orang lain, sehingga kepemilikan batas maksimum tidak selalu dapat terdeteksi.20 Mekanisme penyelesaian kelebihan batas luas maksimum, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, jo Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang tahapannya meliputi penghitungan sisa tanah luas batas 20
Hasil wawancara dengan Kepala Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat dalam rangka Pemantauan Pelaksanaan UU PLTP di Padang tanggal 20 Maret 2013
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
11
maksimum; penaksiran harga ganti kerugian sisa tanah oleh Panitia Land Reform Daerah; dan pemberian ganti kerugian terhadap sisa tanah kelebihan luas maksimum. Lemahnya penegakan hokum terhadap kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimun juga disebabkan rendahnya nilai ganti kerugian yang diberikan pada pemegang hak, yaitu hanya dinilai seharga 3,5 juta Rupiah per hektar sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1992, yang semula 50.000 Rupiah dikonversi menjadi 3,5 juta Rupiah per hektar, sehingga Panitia Pertimbangan land reform tidak dapat bekerja maksimal, karena tingginya potensi gugatan perdata oleh pemegang hak yang memiliki kelebihan batas luas maksimum tanah pertanian. Disamping itu dengan dibubarkannya Pengadilan Land Reform (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964) berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 jo UndangUndang Nomor 7 Tahun 1970, maka perlindungan terhadap kerja Panitia Land Reform dinilai kurang memadai yang berdampak Panitia Land Reform tidak dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal. Selain itu ketentuan Pasal 4 UU PLTP terkait mengenai larangan untuk memindahkan hak milik atas seluruh atau sebagian tanah kelebihan (maksimum) kecuali dengan izin kepala agraria daerah kabupaten/kota, dalam pelaksanaannya tidak optimal karena adanya pendapat bahwa hak milik atas tanah merupakan hak keperdataan dan hak milik atas tanah merupakan hak yang sempurna sehingga pemegang hak memiliki kewenangan untuk memindahtangankan hak atas tanahnya. Meskipun demikian berdasarkan data BPN, Land Reform dalam arti redistribusi tanah mulai dilaksanakan sekitar tahun 1961, namun setelah tahun 1965 kegiatan redistribusi tanah untuk pertanian tetap dilakukan tetapi tidak terlalu signifikan. Sampai dengan tahun 2000, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar tanah obyek Land Reform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar di seluruh Indonesia. Tahun 2007 Pemerintah mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional dengan target mendistribusikan tanah 8-9 juta lahan pemerintah kepada masyarakat dan tahun 2010 Pemerintah melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta hektar dan diperuntukan bagi kegiatan redistribusi tanah pertanian. Redistribusi tanah merupakan pembagian tanah-tanah yang dikuasai negara dan telah ditegaskan menjadi obyek Land Reform yang diberikan kepada petani penggarap yang telah memenuhi syarat pembagian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1979 12
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
jo PP Nomor 224 Tahun 1961, redistribusi tanah diperuntukan bagi petani yang memiliki kriteria sebagai berikut: a) Berdomisili di daerah setempat atau setidak-tidaknya berbatasan dengan kecamatan dimana letak tanah itu berada (untuk menghindari terjadinya ketentuan tentang guntai); b) Pekerjaan penerima redistribusi tanah wajib sebagai petani (benivecier/farmer); c) Tidak dalam keadaan mempunyai tanah melebihi batas maksimum (latifundia); d) Sedikit/kurang memiliki tanah (minifundia); e) Sama sekali tidak memiliki tanah (landless/tunakisma) IV. PENUTUP A. Kesimpulan Land Reform di Indonesia didasarkan pada Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17 UUPA yang kemudian dijabarkan dalam UU PLTP. Berdasarkan UU PLTP Land Reform penetapan batas minimum dan maksimum luas tanah pertanian serta redistribusi tanah baik dari tanah negara maupun tanah kelebihan luas maksimum yang telah diambil alih pemerintah melalui pemberian ganti kerugian. Pelaksanaan UU PLTP kurang efektif karena beberapa kendala seperti penetapan batas luas minimum tanah pertanian sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tanah, faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat pemegang hak atas tanah pertanian, serta keterbatasan kebijakan pendukung pengusahaan tanah pertanian. Sedangkan ketentuan batas luas maksimum tanah pertanian implementasinya terkendala antara lain oleh faktor yuridis formal sehingga berpotensi terjadinya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan maksimum luas tanah pertanian dan kurangnya pengawasan dari Pemerintah. B. Saran Mengingat peran penting ketersediaan tanah pertanian guna menopang ketahanan pangan nasional serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan petani Indonesia, khususnya petani tanpa lahan dan petani dengan lahan di bawah batas minimum kepemilikan tanah pertanian maka UU PLTP masih diperlukan dengan beberapa penyempurnaan sesuai kondisi masyarakat serta dengan memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah. Penyempurnaan terhadap UU PLTP dapat dilakukan melalui Revisi UU No. 56/Prp/tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian atau dengan memuat substansi pengaturan UU PLTP ini ke dalam RUU tentang Pertanahan yang saat ini sedang dipersiapkan untuk dibahas bersama antara DPR RI dengan Pemerintah. SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
13
DAFTAR PUSTAKA
Buku A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1989. Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985. Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1994. Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2008. S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor, 2008. Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2009. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. BPN-RI, “Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI”, Pemaparan Kepala BPN-RI pada pembukaan Rakernas, 2010. “Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007. Surat Kabar “Konferensi La Via Campesina: Konflik Agraria Dianggap Persoalan Paling Krusial”, Kompas,13 Juni 2013. “Lahan Pertanian 100.000 Ha Lahan Beralih Fungsi”, Kompas, 13 Juni 2013. “Pangan Jadi Alat Spekulasi: Konferensi Petani Internasional di Jakarta”, Kompas, 5 Juni 2013
14
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Peraturan Perundang-Undangan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah...
15
TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG DI BAWAH TANAH Harris Y. P. Sibuea* Abstract Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the increasing urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not offset by the amount of land area on the surface of the earth is ultimately looking for underground space for use as a place of residence, business interests, public. Legal certainty over ownership of the land was legal basis, but the vacancy against setting use of underground space. Underground spaces such as in Kota and Blok-M is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized for the business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian areas regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which required a policy governing the use of the right underground space, to prevent conflicts in the future and where a legal certainty in the field of agrarian. Kata Kunci: Hak guna ruang bawah tanah, kepastian hukum, dan kekosongan hukum.
A. Latar Belakang Pemikiran atas lahirnya hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru sudah lama ada yang digagas oleh salah satu pakar hukum agraria Indonesia yaitu almarhum Boedi Harsono. Pemikiran beliau menurut penulis berdasarkan adanya dugaan di masa yang akan datang atau sekarang ini dipastikan pemanfaatan atau penggunaan bidang tanah akan semakin terbatas. Terbatasnya tanah tersebut dikarenakan arus urbanisasi terutama ke kota-kota besar yang memerlukan bertambahnya penyediaan tempat bermukim baik untuk kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis. Pemikiran tersebut terbukti benar bahwa semakin sulitnya mencari bidang tanah untuk dimanfaatkan dengan status hak-hak atas tanah primer. Sebagaimana diketahui penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi alas hak atas tanah yang diatur dalam hukum tanah nasional sesuai dengan status hukum yang menguasai dan peruntukan penggunaan tanahnya. Sekarang ini hak-hak atas tanah yang tersedia
*
Penulis adalah Peneliti Pertama Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail:
[email protected]
HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
17
untuk penggunaan di wilayah perkotaan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai yang merupakan hak-hak atas tanah yang primer artinya yang diberikan langsung oleh Negara. Selain itu tersedia berbagai hak sekunder yang bisa diberikan oleh pihak yang memiliki tanah kepada pihak lain seperti hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan.1 Semua alas hak tersebut baik yang primer maupun sekunder dilengkapi dengan sertipikat sebagai alat bukti kepemilikan bidang tanah yang terkuat dan terpenuh. Hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan ruang di bawah tanahnya adalah terletak pada pintu keluar masuk antara permukaan bumi dengan ruang di bawah tanah. Apabila antara ruang di atas permukaan bumi dengan ruang dibawah tanah dimiliki oleh orang yang sama tidak menimbulkan masalah karena alas hak di bawah tanah mengikuti induknya yaitu alas hak di atas permukaan buminya. Masalah muncul ketika kepemilikan yang berbeda antara ruang di atas permukaan bumi dengan ruang dibawah tanah. Bangunan-bangunan yang memerlukan ruang di dalam tubuh bumi yang secara fisik tidak ada kaitannya dengan bangunan yang berada di permukaan bumi di atasnya, misalnya bangunan untuk kegiatan usaha pertokoan, restoran, stasiun dan jalan kereta api bawah tanah dan lain-lain. Untuk masuk dan keluar ruang yang bersangkutan memang diperlukan penggunaan sebagian permukaan bumi untuk lokasi pintu. Tetapi karena bagian utama struktur bangunan berada di dalam tubuh bumi, isi kewenangan yang bersumber pada hak atas tanah sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 4 UUPA tidak mungkin ditafsirkan juga keberadaan dan penguasaan bangunan-bangunan di bawah tanah.2 Konsepsi komunalistik religius dalam hukum tanah nasional tampaknya sekarang ini mulai tersingkirkan bahkan sudah tidak dapat diimplementasikan lagi. Komunalistik religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Artinya seluruh wilayah Indonesia adalah milik dari seluruh rakyat Indonesia. Setiap individu bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai hak untuk memperoleh tanah dan/atau manfaat dari tanah tersebut, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya demi pemenuhan kebutuhan akan keberlangsungan hidup dan kehidupannya sebagai suatu hak asasi manusia. 1
2
18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Ed. Rev., Cet. 7, (Jakarta: Djambatan, 1997), Hal. 416. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: ... , Hal. 419.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Kondisi sulitnya mendapatkan atau menggunakan bidang permukaan bumi di daerah perkotaan menyebabkan masyarakat mulai mencari bidangbidang tanah di bawah permukaan bumi. Sebagai contoh di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta terdapat kawasan ruang bawah tanah di Kota dan Blok-M, yang digunakan sebagai tempat bisnis sekaligus jalan keluar bagi penumpang kereta api dan bus way. Di Makassar terdapat bangunan di bawah Lapangan Karebosi yang digunakan untuk kepentingan usaha atau bisnis dimana menjadi salah satu pusat perbelanjaan di Makassar. Penguasaan tanah di bawah tanah tersebut belum diatur alas hak nya sehingga siapapun dapat memanfaatkannya baik menyewa dari instansi yang berkaitan maupun dengan cara yang ilegal yakni membayar uang sewa kepada oknum. Kondisi ini disebut kekosongan hukum dimana jika dibiarkan maka akan menimbulkan suatu konflik karena adanya ketidakpastian hukum atas kepemilikan suatu ruang di bawah tanah. Tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal, antara lain:3 1. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi; 2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya; 3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi; 4. Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan dan inovasi pembangunan yang dapat mengatasi perkembangan kebutuhan masyarakat tersebut, yaitu ruang di bawah permukaan bumi (ruang bawah tanah). Namun demikian, terobosan dan inovasi tersebut tentunya membutuhkan dukungan perangkat hukum agar dalam perwujudannya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, tentunya kita harus kembali pada landasan hukum pertanahan nasional yaitu UUPA. Pemenuhan kebutuhan akan tanah tersebut diatur oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang diberikan kewenangan oleh UndangUndang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa “Atas dasar 3
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Ed. I, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal. 1.
HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
19
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Kewenangan negara tersebut yang disebut hak menguasai negara atas tanah yang diartikan negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan hukumnya mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Negara harus merespon dengan kebijakan untuk mengakomodir kekosongan hukum yang terjadi berkaitan dengan alas hak bagi masyarakat yang memanfaatkan dan menggunakan ruang bawah tanah. Sehingga nantinya tidak akan muncul saling memiliki dan konflik antara masyarakat dalam hal kepemilikan ruang bawah tanah. Berbagai permasalahan pemanfaatan ruang bawah tanah yang belum ada alas haknya serta penggunaan tanah atau permukaan bumi yang sudah ada alas haknya berdasarkan UUPA membuat penulis merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan data kepustakaan berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak guna ruang bawah tanah kemudian dianalisis secara deskriptif analitis sehingga dapat digambarkan secara jelas mengenai permasalahan terhadap hak guna ruang bawah tanah yang tidak digunakan sebagai hak kepemilikan ruang di bawah permukaan bumi di bidang agraria. B. Perumusan Masalah Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan pemanfaatan ruang di bawah tanah yang tidak diakomodir jenis alas haknya di dalam bidang agraria dengan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah? 2. Bagaimana substansi pengaturannya terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah? C. Tujuan Penulisan Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. mengetahui urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah; 2. mengetahui substansi peraturan terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah. 20
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
D. Kerangka Teori Nonet dan Selznick dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial, menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological jurisprudence. Bahkan menurut Nonet dan Selznick, hukum responsif merupakan progam dari sosiological jurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut, pada initinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.4 Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.5 Hukum responsif itu melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua doktrin utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.6 Kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan: (1). Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum; (2). Peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan; (3). Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat; (4). Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan; (5). Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan; (6). Moralitas kerja sama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum; (7). Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; (8). Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum; (9). Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.7 4
7 5 6
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. ke - III, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), Hal. 205. Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 206. Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 207. Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 207.
HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
21
Pendek kata, bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.8 Hukum responsif menurut Nonet dan Seznick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang. Jadi, teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet dan Seznick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial.9 Teori hukum responsif di atas dilengkapi dengan asas yang melandasi kepemilikan atas tanah sebagai landasan pemikiran serta untuk menganalisis hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan ruang di bawah tanahnya. Asas tersebut yaitu asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dengan bangunan baik yang terdapat di atasnya maupun di bawahnya. Terdapat 2 (dua) asas yaitu asas perlekatan dan asas pemisahan. Asas perlekatan horizontal sebagaimana diatur dalam Pasal 588 KUHPerdata menyatakan bahwa segala apa yang melekat pada suatu barang, atau yang merupakan sebuah tubuh dengan barang itu, adalah milik orang yang menurut ketentuan-ketentuan tercantum dalam pasal-pasal berikut dianggap sebagai pemiliknya. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diatur Pasal 571 KUHPerdata menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Sedangkan asas pemisahan horizontal adalah hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.10
8 9
10
22
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 210. Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 211. Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hal. 4-6.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
E. Pembahasan 1. Urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini diakomodir di dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa: 1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Kemudian selanjutnya Pasal 4 UUPA menyatakan bahwa: 1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. 2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
23
itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. 3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 UUPA serta Pasal 4 tersebut tersebut jelas hanya mengatur mengenai alas hak atas tanah di atas permukaan bumi saja yaitu bumi, air dan ruang angkasa baik dari peruntukannya, hubungan hukum maupun perbuatan hukumnya. Padahal sekarang ini sudah banyak tersedia ruang di bawah tanah yang sudah berfungsi untuk kepentingan bisnis tanpa adanya bukti kepemilikan atas kepemilikan ruang di bawah tanah itu. Hukum harus responsif terhadap permasalahan ini melalui kebijakan legislasi yang mengatur alas hak bagi kepemilikan ruang di bawah tanah. Dapat dikaji dari 9 ciri-ciri hukum responsif Nonet dan Selznick yang telah digambarkan pada kerangka teori dapat diambil 4 ciri yang berkaitan langsung dengan apa yang harus dilakukan terhadap kebijakan pemanfaatan ruang di bawah tanah di Indonesia khususnya di kota-kota besar yaitu: peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan; pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat; kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial. Pertama, peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan. Dapat dilihat kajian dari hubungan antara Pasal 33 UUD 1945, Pasal 2 UUPA serta Pasal 4 UUPA yang menjelaskan bahwa Negara hanya membuat peraturan yang mengatur mengenai pemanfaatan dan penggunaan tanah di permukaan bumi saja. Peraturan yang menjadi landasan hukum untuk kepemilikan ruang bawah tanah belum diatur secara nasional. Sertifikat atas ruang bawah tanah merupakan bukti kepemilikan yang kuat dan penuh dalam arti sudah jelas secara hukum kepemilikan atas ruang bawah tanah tersebut. Adapun diambil contoh Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 yang mengatur tentang syarat teknis penggunaan ruang di bawah tanah namun tidak ada induk peraturan perundangundangan yang mengatur alas hak pemanfaatan ruang di bawah tanah yang digunakan sebagai bukti kepemilikan ruang di bawah tanah. Pasal 198 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, menyatakan bahwa: 1) Pemanfaatan ruang di atas dan/atau di bawah tanah yang melintasi prasarana dan/atau sarana umum mengikuti arahan: 24
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
a. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal; b. tidak menggangu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawah tanah; c. memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan gedung; d. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan gedung; e. mempertimbangkan daya dukung lingkungan. 2) Pemanfaatan ruang di bawah dan/atau di atas air mengikuti arahan: a. Tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan fungsi lindung kawasan; b. Tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan; c. Tidak menimbulkan pencemaran; dan d. Telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung. 3) Pemanfaatan ruang di atas prasarana dan/atau sarana umum mengikuti arahan: a. Tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya; b. Tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya; dan c. Memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan sesuai fungsi gedung. 4) Pembangunan ruang bawah tanah untuk kepentingan perorangan dan umum mempunyai batasan kedalaman tertentu sesuai dengan fungsi yang akan dikembangkan dan akan diatur dengan peraturan sendiri 5) Ketentuan lebih lanjut tentang pembangunan dan pemanfaatan ruang di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana dan sarana umum ditetapkan oleh Gubernur. Kedua, pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat. Tujuan diakomodirnya kebijakan atas hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru adalah demi kepastian hukum atas kepemilikan ruang-ruang di bawah tanah yang selama ini sudah berjalan, seperti ruang-ruang bawah tanah di Kota dan Blok-M. akibat dari adanya kebijakan tersebut maka sedikitnya sudah ada payung hukum atas kepemilikan ruang di bawah tanah, sehingga suatu ketika baik instansi maupun masyarakat yang menggunakan dan memanfaatkan ruang bawah tanah sudah jelas ada landasan hukumnya. Pertimbangan hukum atas hak guna ruang bawah tanah akan dijadikan salah satu hak atas ruang pada legislasi akan sangat berguna seperti halnya pendapat dari Hendricus Andy Simarmata, pengamat perkotaan Universitas HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
25
Indonesia, yang menyatakan bahwa ruang bawah tanah dapat digunakan untuk 5 (lima) kegiatan utama, yakni: transportasi massal, kegiatan produksi, aktifitas komersial, kegiatan pergudangan dan kegiatan lainnya seperti pengembangan ilmu kebumian. MRT hanya merupakan salah satu pemanfaatan ruang bawah tanah. Pembangunan MRT seharusnya diintegrasikan dengan tata ruang bawah tanah yang sesuai visi pembangunan Jakarta masa depan.11 Semua kegiatan tersebut perlu didukung dengan alas hak yang memberikan kepastian hukum dalam melakukan semua aktifitas tersebut. Ketiga, kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat. Kekuasaan ada pada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di bidang legislasi untuk membuat suatu peraturan yang mengakomodir kepentingan rakyat yang memanfaatkan dan menggunakan ruang bawah tanah dengan adanya kepastian hukum yaitu sertipikat. Keempat, akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial. Partisipasi dapat dilakukan dengan adanya uji publik terhadap kebijakan legislasi yang sedang disusun serta adanya rapat dengar pendapat umum dengan pakar-pakar bidang hukum agraria dan tata ruang. Hal ini sangat berguna agar terjadinya sinkronsisasi peraturan antar isntansi pemerintah yang sudah berjalan selama ini. Sudah saatnya Indonesia melengkapi peraturan pemanfaatan atas tanah yaitu membuat peraturan induk sebagai alas hak pemanfaatan ruang di bawah tanah mengingat sudah sangat overload penggunaan tanah di atas permukaan bumi yang disebabkan semakin meningkatnya arus penduduk masuk ke kotakota besar yang mengakibatkan terbatasnya lahan atau tanah di atas permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 2. Substansi pengaturan terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah. Kekosongan hukum atas tidak adanya induk peraturan atas alas hak guna ruang di bawah tanah menjadi tantangan tersendiri bagi pengambil kebijakan untuk mengakomodir subtansi tentang hak guna ruang bawah tanah di dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memberikan masukan terhadap penerapan hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga baru dalam hukum tanah nasional didefinisikan terlebih dahulu tentang hak guna ruang bawah tanah. Secara sederhana hak guna ruang bawah tanah diartikan sebagai suatu hak bagi pemegang hak yang memanfaatkan ruang di bawah tanah baik untuk tujuan pribadi maupun bersama-sama. 11
26
DKI Butuh Tata Ruang Bawah Tanah, http://www.bkprn.org/v2/subpage.php?id=205, diakses 2 Juni 2013.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Hak guna ruang bawah tanah dapat didefinisikan lebih rinci sebagai berikut: (1). Hak guna ruang bawah tanah meliputi hak atas permukaan bumi yang merupakan pintu masuk/keluar tubuh bumi dan hak membangun dan memakai ruang dalam tubuh bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk ruang dalam tubuh bumi; (2). Hak guna ruang bawah tanah tidak terlepas dari hak atas tanah yang untuk memiliki/ menggunakan tanah sebagai pintu masuk/ keluar tubuh bumi harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah; (3). Sebagai landasan hak untuk menggunakan/memiliki ruangan di dalam tubuh bumi, di bawah tanah yang menjadi hak orang lain; (4). Untuk kepastian hukum dalam kepemilikan bangunan dalam ruang di dalam tubuh bumi.12 Hak guna ruang bawah tanah disebut juga hak di bawah permukaan bumi yang mana merupakan hak yang mengandung unsur-unsur: (1). Hak atas tanah untuk ruang tempat masuk ke dalam bangunan; (2). Mempertimbangkan hak keperdataan pihak yang ada di atasnya (di atas tanah); (3). Hak mendirikan dan memiliki bangunan di bawah tanah serta memanfaatkan ruang bangunannya dengan mempertimbangkan kedalaman dan luas bangunan yang boleh digali di bawah permukaan bumi berdasarkan faktor-faktor keselamatan, kesehatan, keamanan, tingkat teknlogi yang digunakan dan kelestarian lingkungan bagi pengguna bangunan, pemilik tanah di atasnya dan masyarakat luas lainnya; (4). Hak guna ruang bawah tanah harus dikenakan untuk setiap kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang bawah tanah seperti bangunan fisik, aliran listrik/gas/telepon, dan sebagainya; (5). Pemilik hak guna ruang bawah tanah harus bertanggung jawab kepada pemilik tanah yang ada di atasnya dan masyarakat luas lainnya atas segala resiko kerugian yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut; (6). Hak guna ruang bawah tanah seyogyanya jangka waktunya lebih pendek dibandingkan hak atas tanah yang ada di atasnya, dan dapat diperpanjang; (7). Hak guna ruang bawah tanah dapat berlaku penuh di perkotaan, namun terbatas di pedesaan/pertanian mengingat aliran air bawah tanah dan kondisi alam lainnya.13 Setelah definisi dan unsur-unsur atas hak guna ruang bawah tanah jelas maka diperlukan subtansi yang perlu diakomodir dalam penerapannya dalam peraturan perundang-undangan. Beberapa pakar bidang agraria di Indonesia mempunyai berbagai macam pemikiran yang dapat menjadi bahan masukan untuk subtansi legislasi perundang-undangan. Boedi Harsono, pakar hukum 12
13
Indra Gumilar, dkk, Dir. Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang, http://eleveners.wordpress. com/2010/01/19/dir-pendaftaran-hak-tanah-dan-guna-ruang/, diakses 5 Juni 2013. Asmadi Adnan, Keberadaan dan Pengaturan Hak-Hak Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah, Jurnal Ilmiah:Hasil-Hasil Penelitian Dan Kajian Pertanahan, Ed. IX, No. 1, 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 2007, ISSN: 1410-1971, Hal. 5.
HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
27
agraria, memberikan pemikirannya terkait hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru yaitu:14 1. Nama haknya: Hak Guna Ruang Bawah Tanah (HGRBT); 2. HGRBT memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk membangun dan memiliki bangunan di dalam tubuh bumi tertentu, berupa ruang berdimensi tiga serta menggunakan bagian-bagian permukaan bumi tertentu di atasnya sebagai jalan masuk dan keluar bangunan yang bersangkutan; 3. Bangunan yang dibangun bisa terdiri atas bagian-bagian tertentu yang dapat digunakan secara terpisah satu dengan yang lain serta bagian-bagian lain, seperti lorong, tangga dan lain-lainnya digunakan secara bersama. Bagianbagian yang dapat digunakan secara terpisah tersebut dapat disewakan kepada pihak lain oleh pemegang HGRBT. 4. HGRBT diberikan oleh Negara dengan jangka waktu selama-lamanya sekian tahun, dengan kemungkinan diperpanjang dengan jangka waktu selamalamanya sekian tahun; 5. HGRBT dapat beralih melalui pewarisan dan pemindahan hak; 6. HGRBT dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan menurut ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996; 7. HGRBT dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan badan-badan hukum yang didirikan di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 8. HGRBT didaftar dalam buku tanah yang dilengkapi dengan sertipikat sebagai surat bukti haknya, menurut peraturan tentang pendaftaran hak atas tanah, yang dilengkapi dengan ketentuan untuk mengidentifikasi letak, ukuran dan luas bangunan dan bagian-bagiannya; 9. Pembangunan dan penggunaan ruang yang bersangkutan oleh pemegang HGRBT tidak boleh mengakibatkan kerusakan pada tubuh bumi dan tanah di atasnya serta tidak boleh menimbulkan gangguan pada pemagang hak atas tanah di atasnya; 10. Penggunaan tanah di atasnya oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan juga tidak boleh mengakibatkan kerusakan atau gangguan dalam penggunaan ruang bawah tanah tersebut; 11. Tanpa mempunyai HGRBT pemegang hak atas tanah dilarang membangun atau memberi izin pihak lain untuk membangun di dalam tubuh bumi di bawah tanah yang dihaki, jika dibangun yang dibangun itu tidak ada hubungan fisik dengan bangunan yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Selanjutnya Arie S. Hutagalung, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berpendapat terkait hak guna ruang bawah 14
28
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: ... , Hal. 420-422.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
tanah dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Perubahan Atas UUPA yang diselenggarakan oleh DPR RI, memberikan masukan bahwa jenis-jenis hak terkait agraria setelah UUPA dirubah adalah sebagai berikut: (1). Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; (2). Hak Sewa, membuka tanah, memungut hasil hutan; (3). Hak-atas ruang lainnya: a. Hak Milik atas Satuan Bangunan Bertingkat, b. Hak Guna Ruang Atas Tanah, Hak Guna Ruang Bawah Tanah. Adapun Maria Sumardjono, pakar hukum agraria Universitas Gajah Mada, menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan ruang di bawah tanah, maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:15 1. Pertama, bila subyek hak di atas tanah sama dengan subyek hak di bawah tanah, maka hak yang diberikan untuk ruang di bawah tanah sama dengan hak yang berada di atasnya. Misalnya: suatu bank pemerintah membangun fasilitas parkir di bawah tanah untuk kelancaran pelayanan kepada nasabahnya, maka dapat diberikan hak milik. Bila yang membangun sarana parkir itu suatu hotel untuk keperluan pengoperasian hotel tersebut, maka HGB dapat diberikan; 2. Kedua, bila hak di bawah tanah terpisah dengan penguasaannya di atasnya, maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi: (1) untuk pembangunan subway (terminal berikut jaringan), bila yang membangun, memiliki, dan mengoperasikan seluruhnya pemerintah, maka dapat diberikan hak pengelolaan; (2) bila subway dibangun, dimiliki, dan dioperasikan oleh pihak swasta, maka dapat diberikan HGB; (3) bila subway dibangun oleh pemerintah, tetapi dikelola/dioperasikan oleh pihak swasta, maka pemerintah mempunyai hak pengelolaan dan di atas hak pengelolaan tersebut dapat diberikan HGB kepada pihak swasta; 3. Ketiga, untuk pembangunan business center, maka dapat diberikan HGB; 4. Keempat, kemungkinan yang bersifat hipotesis, yakni apabila badan-badan hukum yang diperkenankan mempunyai hak milik (bank-bank pemerintah, organisasi keagamaan, dan sebagainya) yang memohon hak atas ruang di bawah tanah, kiranya dapat juga diberikan hak milik; 5. Kelima, untuk membedakan (sekedar nama) antara hak-hak yang diperoleh terkait ruang di bawah tanah dan di permukaan bumi, maka penyebutannya dapat ditambah dengan, misalnya Hak Milik Bawah Tanah (HMBT), Hak Guna Bangunan Bawah Tanah (HGBBT), dan sebagainya; 15
Maria S. W. Sumardjono, Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), Hal. 131-132.
HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
29
6. Keenam, pembentukan lembaga hak atas tanah yang baru belum diperlukan, pilihan apa pun yang akan dijatuhkan dalam menghadapi perkembangan serta era globalisasi, seyogianya dilakukan dengan tetap mengingat tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang. Dari sisi teknis tata ruang, Hendricus Andy Simarmata, pengamat perkotaan Universitas Indonesia, mengatakan bahwa jika selama ini pemikiran tentang pemanfaatan ruang bawah tanah di Jakarta berkembang hanya sebatas pembangunan subway sebagai bagian dari Mass Rapid Transit (MRT), sebenarnya pemanfaatan tersebut bisa dikembangkan untuk menjawab masalah kependudukan di Jakarta yang sudah overload. Berdasarkan pengalaman negara Belanda, ruang bawah tanah dapat dikembangkan untuk struktur kota seperti fondasi dan struktur untuk bangunan dan jaringan jalan, parkir mobil, stasiun bawah tanah, sinema, perkantoran, bangunan komersial, pusat perbelanjaan dan perumahan. Beliau mengatakan bahwa harus digalakkan upaya menyakinkan masyarakat dan sektor privat tentang keamanan dan kenyamanan tinggal dan berada di kedalaman 4-16 meter di bawah permukaan tanah. Justru di kedalaman itu suhu udara lebih stabil daripada seperti di permukaan. Idealnya, lapisan pertama di kedalaman sekitar 4 meter untuk publik, sedangkan lapisan kedua di kedalaman 16 meter bisa disewakan untuk sektor swasta. Tetapi yang paling penting adalah aturan yang melibatkan instansi pemerintahan yang sama sampai tahap yang detail.16 Dari sekian banyak pernyataan dari pakar hukum agraria Indonesia terkait urgensi akan adanya payung hukum penggunaan HGRBT dapat penulis simpulkan bahwa untuk membuat suatu kebijakan atas HGRBT tersebut harus dikaji dari berbagai unsur-unsur yang mendukung HGRBT tersebut. Unsur-unsur tersebut antara lain: (1) nama hak dan definisinya; (2) subyek hak; (3) jangka waktu hak; (4) tata cara pemindahan hak; (5) hapusnya hak. Pertama, nama hak dilihat dari letak sasaran hak adalah bawah tanah maka nama yang dapat dijadikan opsi antara lain Hak Guna Ruang Bawah Tanah atau Hak Milik Bawah Tanah atau Hak Guna Bangunan Bawah Tanah. Definisi dapat dilihat dari nama hak tersebut yang dapat dipisah-pisah katanya yakni hak, guna dan ruang bawah tanah. Hak merupakan kewenangan yang dipunyai oleh pemegang hak. Guna merupakan tujuan atau sasaran dari hak untuk menggunakan bagian dari tubuh bumi yaitu ruang bawah tanah. Selanjutnya ruang bawah tanah merupakan bagian bawah permukaan bumi atau tanah. Jadi dapat didefinisikan secara sederhana bahwa misalnya yang digunakan 16
30
Ruang Bawah Tanah, Solusi Kependudukan Jakarta?, http://www.forumbebas.com/thread-79576. html, diakses 12 Juni 2013.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
namanya adalah Hak Guna Ruang Bawah Tanah, didefinisikan suatu hak yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menggunakan, memiliki dan membangun bangunan pada ruang di bawah permukaan bumi tertentu. Kedua, subyek hak merupakan siapa pemegang hak yang dapat menggunakan, memiliki maupun membangun sebuah bangunan di ruang bawah tanah. Subyek hak ini sangat penting untuk dikaji siapa saja yang dapat memiliki hak guna ruang bawah tanah nantinya. Apakah Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing dapat memiliki ruang bawah tanah ini dengan berbagai batasan yang diatur. Hak pemanfaatan ruang bawah tanah tidak seperti hak milik atas tanah yang kepemilikannya terkuat dan terpenuh selama tidak ada kepentingan umum di atas hak milik atas tanah tersebut. Penulis memberikan opsi bahwa subyek hak atas pemanfaatan ruang bawah tanah antara lain (a) Warga Negara Indonesia; (b) Badan Hukum Indonesia artinya menutup pihak asing untuk memiliki ruang bawah tanah atau pihak asing dapat juga memiliki dengan pembatasan sebagai berikut: (a) Warga Negara Indonesia; (b) Badan Hukum Indonesia; (c) Warga Negara Asing dengan pembatasan; (d) Badan Hukum Asing dengan pembatasan. Ketiga, jangka waktu hak harus dibatasi dalam penggunaan dan pemanfaatan ruang bawah tanah. Pembatasan ini bertujuan agar tidak terjadinya penelantaran ruang bawah tanah yang pada akhirnya akan mengurangi fungsi pemeliharaan dari ruang bawah tanah tersebut. Jangka waktu hak tersebut terdiri dari jangka waktu awal kemudian dapat diperpanjang dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain tidak ditelantarkan, pemeliharaannya baik selama menggunakan ruang bawah tanah tersebut. Jangka waktu yang tepat antara 10 sampai 30 tahun dengan perpanjangan antara 10 sampai 20 tahun. Keempat, hak atas ruang bawah tanah dapat dipindahtangankan baik jual beli, dijaminkan, sampai pada sewa menyewa. Dari ketiga jenis pemindahan hak ruang bawah tanah sangat penting untuk dibatasi dengan syarat-syarat yang diatur lebih khusus pada peraturan pelaksana dimana akan lebih rinci pengaturannya dalam peraturan khusus tersebut. Kelima, hapusnya hak ruang bawah tanah dapat terjadi antara lain: (a) jangka waktunya berakhir dimana kemudian hak tersebut akan kembali menjadi milik negara; (b) ruang bawah tanahnya musnah akibat force majeur misalnya bencana alam yang memusnahkan ruang bawah tanah itu; (c) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena syarat yang ditidak dipenuhi; (d) pelepasan hak oleh pemegang hak; (e) dicabut atas dasar kepentingan umum yang dilaksanakan oleh negara (f) ditelantarkan oleh pemegang hak. Menurut uraian di atas beberapa pemikiran baik secara subtansi maupun teknis dapat dijadikan bahan masukan dalam mengambil kebijakan dalam bidang HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
31
agraria khususnya dalam mengakomodir alas hak guna ruang bawah tanah untuk pemanfaatan dan pengunaan ruang di bawah tanah. Hal ini karena hukum yang responsif itu digambarkan dari kebijakan yang mengerti akan adanya kekosongan hukum yang terjadi di masyarakat, sehingga masyarakat juga mendapat kepastian hukum dan aman dalam menggunakan dan memanfaatkan ruang di bawah tanah. F. Penutup 1. Kesimpulan Urgensi peraturan yang menjadi landasan hukum atas pemanfaatan ruang bawah tanah dirasa kurang karena ada kekosongan hukum yang menjadi induk peraturan atas alas hak pemanfaatan hak guna ruang bawah tanah. Hal ini dibuktikan sampai saat ini UUPA maupun peraturan perundang-undangan yang lain belum mengatur secara jelas mengenai alas hak guna ruang bawah tanah sebagai payung hukum penggunaan ruang bawah tanah. Pengaturan hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru dalam hukum tanah nasional sangat diperlukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang agraria dengan subtansi sebagai berikut: nama hak, subyek hak, obyek hak, jangka waktu pemanfaatan hak, hak dan kewajiban pemegang hak. Selain itu dari segi tata ruang diperlukan peraturan teknis seperti ukuran kedalaman dari ruang di bawah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun bersama. 2. Saran Berbagai opsi dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan khususnya dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yakni Pertama, kebijakan yang membiarkan kepemilikan ruang di bawah tanah tanpa ada alas hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berdampak akan terjadinya konflik kepemilikan atas ketidakpastian hukum di masa yang akan datang; Kedua, kebijakan yang merespons kekosongan hukum yang terjadi di masyarakat terkait belum diaturnya alas hak bagi penggunaan dan pemanfaatan ruang di bawah tanah yang dampaknya akan sangat berguna di berbagai bidang baik ekonomi, hukum, sosial maupun politik. Hal ini dapat diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sedang disusun oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai usul inisiatif dengan induknya UUPA. Terkait dengan memenuhi hukum yang responsif, maka diharapkan diakomodir tentang kepemilikan hak guna ruang bawah tanah yang perlu diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksananya.
32
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA
Buku Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Ed. Rev. Cet. 7. (Jakarta: Djambatan, 1997). Sumardjono, Maria S. W. Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009). Supriadi. Hukum Agraria. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Ed. I. Cet. IV. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Tanya, Bernard L., dkk. Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Cet. ke - III. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010). Artikel Jurnal Adnan, Asmadi, Keberadaan dan Pengaturan Hak-Hak Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah, Jurnal Ilmiah:Hasil-Hasil Penelitian Dan Kajian Pertanahan, Ed. IX, No. 1, 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 2007, ISSN: 1410-1971. Artikel Internet DKI Butuh Tata Ruang Bawah Tanah, http://www.bkprn.org/v2/subpage. php?id=205, diakses 2 Juni 2013. Indra Gumilar, dkk, Dir. Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang, http://eleveners. wordpress.com/2010/01/19/dir-pendaftaran-hak-tanah-dan-guna-ruang/, diakses 5 Juni 2013. Ruang Bawah Tanah, Solusi Kependudukan Jakarta?, http://www.forumbebas.com/ thread-79576.html, diakses 12 Juni 2013. Peraturan Perundang-undangan/Dokumen Lain Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis...
33
--------------. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23. --------------.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043). --------------. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30).
34
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
PENGUATAN LEMBAGA ADAT SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Nikolas Simanjuntak* Abstract The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law based on genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various tribes in more than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this country, each of the society has separately developed their traditional law with its particular court institution, from splendid isolation rural area context into Indonesian modern era of urban migran open society. Alternative Dispute Resolution thereof has been promulgated as the Law number 30 of 1999. It was prepared during the Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much more expectation is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices to the private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution within the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice concept, combining traditional isolation context during the ancient rural area within the open society in modern global context. Kata Kunci: Lembaga peradilan adat, penyelesaian sengketa alternatif, era moderenisasi di Indonesia, dan konsep keadilan restoratif.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Entitas “Lembaga Adat” an sich, per se, di era generasi digital1 terkini, sudah menjadi soal yang sarat beban untuk dipahami, terlebih lagi untuk bisa diterapkan sesuai dengan subtansi maksudnya. Dengan sengaja Penulis menegaskan era terkini *
1
Penulis adalah Tenaga Ahli Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR RI Generasi digital, dirujuk dari artikel Radhar Panca Dahana (Kompas, 28/xi/2012, hlm.6) antara lain “Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i:Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital! …Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna, ada dunia di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya… mengakses dan merepsi data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak …generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya…”
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
35
sebagai “generasi digital” untuk menggambarkan betapa kontras latar belakang situasi yang sungguh berbeda dengan era di masa efektif berlakunya suatu entitas Lembaga Adat. Pemahaman “generasi digital” itu sendiri Penulis setuju dengan rumusan yang dilontarkan oleh Radhar Panca Dahana, yang dikenal sebagai budayawan dan intelektual penulis kontemporer masa kini di Indonesia. Pada intinya ‘generasi digital’ adalah mereka yang hidup di alam sosial yang serba terbuka hampir tanpa isolasi dan mereka berpola pikir sangat praktis bahkan hyperpragmatis. Berbeda dengan latar situasi sosial kultural berlakunya suatu Lembaga Adat yang hampir pasti keberadaannya di suatu lingkungan yang pada prinsipnya bernuansa eksklusif atau tertutup dalam ragam aturan, pada intinya berkaitan dengan tujuan isolasi terhadap orang atau masyarakat luar yang tidak berada di dalam adat itu sendiri. Kultur masyarakat adat yang demikian itu, kini berhadapan langsung dengan konteks situasi masyarakat yang telah menjadi urban migran di era zaman open society dan multi-variasi mutasi cepat. Situasi ini telah memposisikan masyarakat lembaga adat menjadi terancam di ambang punah dalam 2-3 generasi dari sekarang. Juga latar situasi yang kurang lebih serupa terjadi dengan upaya memahami praktik lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution) atau yang kita kenal sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (APS) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. ADR/APS yang intinya mempersyaratkan wajib memenuhi itikad baik, serius dan berfokus solusi, selalu menjadi pokok soal tersulit untuk diciptakan dalam penyelesaian kasus-kasus yang beraras mikro, terutama yang makro. Hampir selalu pasti, timbulnya suatu kasus justru disebabkan tiadanya tiga hal itu (itikad baik, serius, fokus solusi) di antara para pihak. Problematika praktis lainnya, juga tergambar dari banyaknya keluhan bahwa APS itu sendiri belum membudaya dihayati oleh para praktisi hukum. Padahal, seharusnya semua Lawyers berusaha menghayati kemudahan dan kesederhanaan acara ini, untuk selanjutnya disosialisasikan segi-segi baik itu kepada klien dan masyarakat umum.2 Di dalam paradoks konteks situasi di atas itu, lalu jika dikehendaki upaya “penguatan” atau rancangan aksi untuk melakukan revitalisasi dan kontekstualisasi Lembaga Adat, maka memang ada banyak segi yang menarik ditelusuri lebih jauh, antara lain, ke arah bentuk dan cara penguatan apa dan bagaimanakah, serta akan berlanjut ke mana implikasi dari upaya ini? Lebih lanjut bisa diharapkan pula, apakah dengan penguatan itu akan menjadi solusi terhadap problematika 2
36
I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Penerbit PT Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta, 2009, hlm. 25;
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
pemajuan praktik APS di masa kini dan ke depan? dan, landasan filsafat apa pula yang bisa kita rujuk untuk proyek penguatan itu ke dalam sistem hukum Indonesia? B. Rumusan masalah Ada ragam soal menarik yang bersifat praktis, teoritis konsepsional beraras sosio-kultural, bahkan yang bersifat filosofis, bisa dikembangkan dari upaya penguatan Lembaga Adat sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di dalam sistem hukum Indonesia masa kini dan ke depan. Namun, di dalam makalah singkat dengan ruang terbatas ini, Penulis hanya bermaksud berusaha membahas secara lebih mendalam mengenai satu masalah pokok saja yang dibatasi berikut ini, yakni: dalam konteks situasi apa dan bagaimakah masih relevan menerapkan Lembaga Peradilan Adat sebagai APS di era modern Indonesia terkini? C. Tujuan penulisan Searah dengan latar situasi kontras yang diuraikan di atas itu, dan menjadi sangat terbatas pada rumusan pokok masalah di atas itu, maka tujuan penulisan ini diharapkan bisa menjadi: a) analisis teoritis yang komprehensif sebagai landasan rencana aksi untuk merancang berbagai upaya penguatan Lembaga Adat sebagai APS; b) pemaparan gambaran situasi mengenai berbagai implikasi praktis dan teoritis untuk menggunakan Lembaga Adat sebagai APS dalam konteks sosio-kultural terkini. C. Metode penulisan Metode penulisan makalah ini pada umumnya akan dilakukan secara deskriptif analitis. Berbagai analisis eksploratif akan dilakukan terhadap yang diperoleh dari sumber literature review. Untuk deskripsi situasi konteks dan narasi dari contoh kasus APS, akan dilakukan sebentuk pendalaman melalui analisis reflektif dengan maksud supaya dapat dikembangkan di kemudian hari oleh Penulis sendiri maupun para Penulis lain-lain. II. KERANGKA PEMIKIRAN A. Lembaga Adat dalam Prinsip Teoritis Pemahaman mengenai realitas Hukum Adat3 dapatlah dikatakan sudah merupakan masa lalu dalam konteks kekinian Indonesia era saat ini dan ke
3
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung Jkt, 1983; Soepomo Prof. Dr, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat; Hazairin, Prof.Dr.SH, Rejang; Nasroen N, Prof. SH, Dasar Falsafah Adat Minangkabau; Soekanto Dr, Meninjau Hukum Adat Indonesia; Ter Haar B., Bzn, Mr, Beginselen en stelsel van Adatrecht; van Vollenhoven C, Mr., Het Adatrecht van Ned. Indie; De ontdekking van het adatrecht; Een Adatwetboekje heel Indie; van Kan J., Mr, Uit de geschidenis onder Codificatie; Snouck Hurgronje, Prof.Dr., De Atjehers; Het Gajoland; Wilken G.A., Dr., Het Strafreht bij de Volken van het Malaische Ras, Verspreide Geschrijften II 1912;
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
37
depan. Pendapat mengenai hal itu didasarkan pada pemahaman kerangka teoritis hukum adat itu sendiri menurut berbagai sumber literatur babon yang telah dikenal selama ini (seperti disebut dalam catatan kaki). Uraian berikut ini pada intinya dipetik dari sumber literatur itu. Struktur persekutuan hukum adat di seluruh nusantara terjadi dengan dipengaruhi oleh dua faktor yakni territorial berdasarkan lingkungan daerah dan genealogis berdasarkan pertalian keturunan. Maine, di dalam bukunya Ancient Law, menyebut ini sebagai dasar pertama timbulnya tribal constitution dan kemudian berkembang menjadi territorial constitution. Persekutuan masyarakat adat di dalam struktur hukum dengan dua prinsip di atas itu, terbentuk menjadi sistem hukum adat yang pada umumnya terdapat dan hidup berkembang di seluruh nusantara (kemudian menjadi wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia). Bentuk badan sebagai subyek hukum dari persekutuan masyarakat adat itu, sekurang-kurangnya terdiri dari 4 (empat) unsur yakni: (1) tata susunan masyarakat yang bersifat tetap, seperti penghuni rumah besar atau jurai di Minangkabau, atau penamaan lain-lain yang semacamnya di daerah masyarakat adat lainnya. (2) Ada pengurus sendiri dengan struktur kepemimpinan yang terdiri dari ketua dan fungsi kepengurusan lainnya untuk memimpin masyarakat itu. (3) Ada harta pusaka sendiri yang diurus oleh pengurus bagi kemaslahatan semua masyarakat adat itu secara kolektif dan juga untuk keperluan yang bersifat privat kekeluargaan. Harta kekayaan ini ada yang bersifat materil dan juga ada yang bersifat immateril. (4) Ada hukum yang berlaku sama bagi semua anggota masyarakat itu sendiri dan aturan itulah yang berlaku, diikuti serta ditaati. Kepentingan dan kegunaan Hukum Adat itu, mengapa masih perlu dipelihara dan dihidupkan serta diberlakukan dalam kebijakan publik dan pemerintahan, antara lain dapat kita ketahui dari uraian penjelas berikut ini. Dari catatan Van Kan, di dalam Uit de Geschiedenis onder Codificatie, kita mengetahui bahwa kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia, ternyata dan memang, tidak pernah masuk dalam perhitungan kebijakan pemerintah kolonial. Lalu, sejak pada awalnya di tahun 1948 setelah Indonesia menyatakan diri merdeka dari pemerintah kolonial Belanda, di masa itu sudah dirasakan sangat perlu adanya penetapan hukum-hukum yang berdasarkan pola di Belanda untuk diberlakukan di Nusantara. Ada banyak alasan mengapa pola Belanda yang dibuat sebagai dasarnya, antara lain karena sistem hukum Indonesia sendiri masih belum terbentuk dan nyata berlaku. Situasi itulah yang terjadi pada waktu hukum adat dimasukkan dalam kebijakan sistem hukum pemerintahan di masa sebelum terbentuknya hukum nasional Indonesia. Posisi-antara, yang terdapat di sela-sela 38
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
itulah, Hukum Adat akan diberi tempat diantara hukum perdata, dagang, acara perdata, dan acara pidana, sebagaimana yang sebelumnya telah terjadi di dalam kebijakan pemerintahan kolonial bagi kepentingan ekonomi dan keamanan wilayah jajahan di kepulauan nusantara. Karakter Hukum Adat itu sendiri tetap dirasakan sangat perlu dan penting dipelihara dan dipertahankan dalam kebijakan publik dan pemerintahan, kendati pun hanya ada di posisi-antara di sela-sela hukum Belanda yang berlaku. Menurut Soepomo, ada sekurang-kurangnya 4 (empat) alasan untuk itu, yakni karena hukum adat (a) mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat; (b) mempunyai corak religio-magis dalam pandangan hidup; (c) diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, yang artinya sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit; dan (d) mempunyai sifat yang visual, yang dalam perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan tanda yang dapat dilihat. Dengan karakter itu, menurut Soepomo, bahwa kedudukan penduduk Indonesia yang serba berada mengakibatkan kesukaran-kesukaran dalam perkembangan ke arah satu hukum seragam. Lagi pula, keseragaman itu tidak perlu harus didasarkan pada sistem hukum Barat/Belanda. Selain itu menurut Soepomo, terdapat nilai-nilai universal hukum adat tradisional yang meliputi adanya (1) asas gotong royong; (2) fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat; (3) asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum; (4) asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Pendapat Soepomo itu masih juga sejalan dengan Ter Haar, murid van Vollenhoven, yang sejak lama (sebelum perang dunia kedua) sudah berusaha supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakan sebagai hal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia dalam kedudukannya. Khususnya tertuju kepada penduduk tani dalam masyarakat-masyarakat agraria, dan dari sistem hukum adat ini akan dapat dilakukan reorganisasi pengadilan, yang melaksanakan pengadilan desa dan memperbaiki peradilan mahkamah yang harus melakukan hukum adat. Ciri-ciri masyarakat adat yang mendukung berlakunya hukum adat itu, digambarkan terjadi dalam hak-hak pertanahan dengan pengelompokan orang yang membuka tanah; orang yang memiliki pekarangan atau rumah atau tegalan; orang yang tidak memiliki pekarangan atau tempat tinggal sebagai penumpang; dan juga cara orang luar masuk ke dalam persekutuan hukum adat yang bisa dimulai dari masuk sebagai hamba atau budak; karena pertalian perkawinan; atau dengn jalan mengambil anak; dalam hal masalah warisan; perkawinan; dan hubungan anak di dalam keluarga.
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
39
Perlu dan pentingnya hukum adat, ternyata sudah sejak lama ditemukan oleh para sarjana Belanda sebelumnya (Mr. Wichers, Van der Putte, dan van Vollenhoven), bahwa dari segi lingkup berlakunya hukum adat tidak ada kecocokan dengan hukum Barat terutama dalam perhubungan-perhubungan hukum bangsa di nusantara, mengenai hukum tanah penduduk desa untuk kepentingan agraria, dan sama sekali tidak mampu memenuhi tuntutan zaman bagi perekonomian dan perdagangan di masa itu. Untuk hal itulah, Van Vollenhoven melakukan riset yang hingga kini telah menjadi referensi babon mengenai perjuangan berlakunya hukum adat (Strijd van het Adatrecht) yang semula hanya bertujuan sebagai kritik keras terhadap pendapat pemerintahnya yang memberlakukan hukum barat di saat itu. B. Lembaga Adat dalam Konteks Modern Terkini Warisan teoritis dari para ahli hukum adat (tradisionalis) masa lalu kepada generasi digital pasca-modern Indonesia terkini, dari uraian di atas itu, telah nampak sebagai fenomena antara mitos dan realitas. Hingga kini secara realistis tak dapat disangkal, adanya lembaga adat terjadi karena masih beralaskan hubungan yang sama menurut kedaerahan (territorial) ataupun atas dasar keturunan (genealogis). Dengan itu lembaga adat hanya mungkin hidup dan berjalan efektif, ketika hubungan hukum yang terjadi atas kesamaan territorial dan/atau genealogis itu masih tetap terpelihara, hidup berkembang dan masih setia diikuti nyata-nyata oleh masyarakat pendukungnya hingga pada saat sekarang ini. Dari segi legal standing, entitas lembaga adat sebagai subyek hukum diharuskan memiliki unsur-unsur lengkap pembentuk kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat tetap seperti kerangka teoritis di atas. Kelengkapan unsur itu meliputi adanya pemimpin formal yang terstruktur, harta kekayaan kolektif yang tak-terbagi secara individual, ada tata hukum khas kultural yang nyata masih dipraktikkan, ada wilayah territorial berlakunya norma hukum adat itu, dan nyata ada masyarakat pendukung yang tetap setia melaksanakan hukum adatnya. Formulasi masyarakat hukum seperti di atas itu dalam realitas sosial terkini, dikenal sebagai masyarakat asli (indigeneous people) yang di dalam prinsip hak asasi manusia (HAM) diberi tempat dengan perlakuan khusus alami (natural particularity). Secara teoritis, mereka adalah kesatuan warga kelompok tertentu yang hidup di wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari 40
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan4. Dengan demikian, terdapat garis kesamaan, namun tidak identik dengan kebijakan pemberlakuan hukum adat masa lalu. Sebab, realitas konteksnya kini telah menjadi imperatif norma HAM terhadap pemerintahan negara sebagaimana di dalam aturan konstitusi dan Undang-undang HAM5. Akan tetapi, formulasi itu bisa jadi juga sekadar mitos, jika pemberlakuan lembaga adat didasarkan pada sebentuk ekspektasi romantika kerinduan masa lalu yang eksklusif dan tertutup bagi orang luar dari kesatuan masyarakat tersebut. Sifat mitologis di era modern itu bisa jadi akan berhadapan langsung dengan norma konstitusional. Sebab, substansi maksud di dalamnya tidak lagi identik sama dengan para tradisionalis ahli hukum adat itu. Aturan konstitusi NKRI, UUD RI Tahun 1945, dalam Pasal 18B Ayat (2) menentukan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI, yang diatur dalam undang-undang.” Ketentuan konstitusi itu pun sejalan dengan aturan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yang kemudian hari ditegaskan lagi secara lebih operasional ke dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Norma yuridis di atas itu, sesungguhnya lebih tampak berfokus pada tujuan khusus untuk solusi masalah hak-hak pertanahan yang berkaitan dengan hakhak masyarakat adat. Namun demikian, substansi pemahaman entitas lembaga adat tampak dalam legitimasi pengakuan konstitusional oleh negara yang sangat tegas menyatakan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Juga Undang-undang yang terkini berlaku tentang Penanganan Konflik Sosial (UU No. 7 Tahun 2012) telah mengatur adanya penyelesaian melalui lembaga adat. Namun, daya ikatnya tetap bersifat tidak final, karena bilamana dengan cara ini tidak selesai juga, maka harus diteruskan lagi menurut hukum acara yang berlaku. Dengan posisi lembaga penyelesaian adat yang tidak final and binding seperti itu, masih ada juga beberapa hukum organik yang diberlakukan oleh Pemerintah 4
5
Formulasi ini juga yang dirumuskan di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28I ayat (4) menentukan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 8 mengatur hal yang persis serupa rumusannya.
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
41
NKRI kini, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Juga masih ada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah. Menindaklanjuti hukum organik di atas itu, lalu kemudian beberapa daerah membuat dan memberlakukan Peraturan Daerah yang bertujuan untuk memfungsikan lembaga adat dengan maksud tujuan yang serupa. Pengakuan dan penghormatan konstitusional terhadap lembaga adat, kini tampak telah menjadi hukum di atas kertas (law in books) seperti di atas. hal itu masih belum menjamin keberlakuan hukum adat sebagai penguatan berlakunya Lembaga Adat yang menjadi imperatif teknokratis sebagai solusi final, baik intrapartes maupun apalagi bukan erga omnes (berlaku umum). Status yuridis itu saja masih lebih menunjukkan legitimasi cita moral semata-mata (sollen juridisch). Posisi ini masih tidak berkepastian sebagai hukum terapan. Lembaga penyelesaian sengketa melalui dan oleh lembaga adat, hingga kini masih belum dapat langsung sebagai realitas hukum (law in action). Artinya, Lembaga Adat sebagai APS masih sekadar ekspektasi mitos. Kasus bisa jadi selesai namun tidak menyelesaikan. C. Konsepsi APS secara Teoritis APS itu sendiri sebagai salah satu Hukum Acara di Indonesia yang bersifat positif, masih belum cukup lama diberlakukan. Masih banyak praktisi hukum dan bisnis yang belum feeling in touch dengan terapan APS ke dalam praktik solusi berbagai kasus yang sedang atau potensial dihadapi. Tentu saja tidak kurang banyak publikasi dan sosialisasi mengenai ada dan sudah berlakunya APS setelah lebih dari duabelas tahun hingga sekarang. Dengan kata lain, mungkin dapat disebut bahwa praktik APS masih terasa belum cukup membudaya seperti misalnya dengan hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara TUN, serta hukum acara peradilan agama. Di samping itu, masih pula ada sisi lain yang perlu dicermati mengenai terjemahan APS itu sendiri. Kini ada yang lazim mengalih-bahasakan itu secara internasional jadi Alternative Dispute Resolution (ADR). Padahal ada implikasi serius di dalamnya, karena justru dengan terjemahan itu tidak menjadi berarti bahwa APS sama dengan ADR. Sebab terjemahan sebagai alih bahasa adalah satu soal tersendiri, yang masih harus dibedakan lagi dengan sistem hukum yang dianut bahasa asal dan sistem budaya hukum pengguna sistem. Oleh karena itu, para praktisi dan intelektual hukum terutama, harus menyadari benar apakah alih bahasa yang digunakan di dalam satu konteks situasi akan menjadi satu 42
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
pemahaman makna yang serupa dari para pihak. Masalah serius masih bisa terjadi, bilamana bahasa yang digunakan dalam komunikasi adalah serupa, tetapi makna yang dipahami untuk diterapkan menjadi berbeda. Situasi itu bisa menjadi beda pendapat, yang justru di dalam APS sebagai hukum acara akan menjadi obyek perkara sebagaimana ditentukan di dalam UU No. 30 Tahun 1999. Keberadaan APS itu sendiri dengan dan di dalam UU No. 30 Tahun 1999 dapat disebut juga merupakan salah satu solusi bagi kebijakan pemerintahan pada saat terjadinya satu era multi-krisis antara tahun 1997-2000. Substansi pokok yang dapat dibaca dari konteks situasi pada masa itu adalah untuk menjawab segala soal situasi dan kondisi carut-marut multi krisis yang dialami perekonomian dan dunia bisnis Indonesia. Betapa parahnya gambaran situasi nasional Indonesia di masa itu, memori kita perlu disegarkan kembali ke situasi di sekitar tahun 1997 s.d. 2000 pada awal era reformasi di hampir segala segi kehidupan masyarakat dan kenegaraan. Pada masa-masa itulah pemikiran para praktisi ekonomi bisnis, hukum, dan sosial politik sangat ramai disibukkan dengan berbagai solusi praktis yang diharapkan cespleng, segera bermanfaat dan berkepastian serta bernilai ekonomis. Di penghujung era Orde Baru itu sudah sangat terang ditengarai oleh para guru bangsa, pengamat, dan masyarakat bahwa kondisi Indonesia telah hampir mencapai bibir jurang kehancuran akibat krisis multi dimensi sosial politik, hukum, ekonomi dan bisnis khususnya. Kurs mata uang asing dan terutama US$ dalam waktu singkat melonjak drastis sekitar 700% dari kisaran Rp2.500,00/US$ menjadi sekitar Rp17.000,00an. Hutang perusahaan swasta dan pemerintah yang ketika itu banyak dibuat patokannya ke dalam mata uang asing, lalu meningkat naik tajam memasuki posisi gagal bayar. Diperkirakan total hutang swasta dan pemerintah ketika itu mencapai kisaran US$ 150 miliar, dan kemudian lagi, bunga bank menjadi gila-gilaan, bahkan pernah mencapai sampai 60% per tahun yang berarti 5% sebulan. Tambahan lagi banyak jenis barang stok dalam negeri menjadi semakin langka. Puncaknya adalah krisis ekonomi politik yang berujung pada demonstrasi massal di seluruh Indonesia untuk menjatuhkan pemerintahan di bawah Soeharto yang telah berkuasa 30-an tahun. Di tengah situasi itu pula, organisasi keuangan international [IFO: International Finance Organizations seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), dsb.] di bawah komando IMF (International Monetary Funds) dapat dikatakan sangat berkuasa di Indonesia. Karena berbagai keputusan dan rekomendasi yang dikeluarkannya harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, seperti misalnya LOI (Letter of Intent) dan seterusnya. Situasi multi krisis itu ternyata semakin menguakkan pula fenomena lain di bidang penegakan hukum Indonesia, yang sudah diketahui terbuka banyak borok NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
43
sehingga masyarakat menyebutnya saja sebagai praktik mafia peradilan. Demikian terhinanya para praktisi dan penegak hukum, bahkan ketika itu terang-terangan ada tuduhan di masyarakat yang mengarah pada kata-kata sangat kasar dan sarkastis terhadap para hakim, jaksa, polisi, dan advokat seperti istilah “maling, garong, rampok, preman”. Semua kata kasar itu disampaikan dengan geram dan penuh amarah oleh masyarakat, seakan-akan tidak menemukan lagi kata lain yang lebih santun. Masyarakat umum beranggapan bahwa kata santun yang disampaikan untuk mengkritik bahkan membombardir para penegak hukum tidak akan dihiraukan, bahkan bisa balik menyerang si pengkritiknya yang jadi terhukum. Umum diketahui ketika itu bahwa mengkritik para ahli hukum seakan membenturkan kepala ke dinding tembok tebal. Arbitrase yang jauh sebelumnya sudah dipelajari di hampir semua Fakultas Hukum di Indonesia sebagai bagian dari hukum acara perdata, pun sekalian termasuk juga yang dimutakhirkan kembali ke dalam UU ini. Maka, judul UU ini jadi tampak aneh, karena justru APS itu sendiri bukan hanya Arbitrase tetapi juga ada 5 (lima) acara lain yakni: Konsultasi, Negosiasi, Konsilisasi, Mediasi, dan Penilaian Ahli (Pasal 1 butir 10 UU No. 30 Tahun 1999). Dan masih lebih aneh lagi, apa dan bagaimana itu proses acara yang lima ini, tidak ada dirumuskan tahapannya di dalam UU No. 30 Tahun 1999, sehingga dianggap saja semua orang sudah tahu dan mengenal acara APS ini. Padahal lagi, masih juga ada beberapa acara ADR yang sudah lazim digunakan oleh masyarakat bisnis internasional, tetapi acara-acara itu tidak dimasukkan ke dalam UU ini. Oleh sebab itu seharusnya bisa juga digunakan sebagai proses acara APS/ADR, yakni antara lain: Compulsory Arbitration, Minitrial, Summary Jury Trial, dan pun juga Settlement Conference. Dengan demikian, seharusnya posisi ke-4 acara yang lazim ini dapat dirancang sebagai hukum acara yang berkedudukan serupa dengan penyelesaian melalui acara Lembaga Adat. Acara itu secara teoritis sangat terbuka dan bisa juga dilakukan bilamana para pihak sepakat dengan prasyarat yang mengandung keseriusan, beritikad baik, dan fokus solusi. Akan tetapi, acara ini sebagai APS, tetap saja berkategori proses non-litigasi [Pasal 6 ayat (1)] yang harus dibuat secara tertulis, dan supaya berlaku final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik, maka wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penyelesaian ini ditandatangani oleh para pihak [Pasal 6 ayat (7)]. D. Implikasi Praktis Aspek Keadilan Penyelesaian Kasus dengan APS Uraian di atas itu sekurang-kurangnya bisa memperjelas APS sebagai sistem hukum positif yang telah berlaku di Indonesia kini. ADR adalah sistem 44
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
hukum lain yang diterapkan di luar wilayah hukum Indonesia. Namun tidak bisa dikatakan bahwa keduanya, APS dan ADR, tidak saling berhubungan. Bahkan, khusus untuk konteks situasi terkini di Indonesia, terdapat saling pengaruh yang memperkaya antara ADR dengan APS bila sistem acara ini digunakan dalam solusi kasus yang sedang dihadapi. Pengalaman atas runyamnya proses penegakan hukum litigasi di masa lalu (dan hingga kini), masih menyisakan adanya hal yang diakui oleh para praktisi, ahli, dan penegak hukum, yaitu bahwa proses acara peradilan di Indonesia memakan waktu yang sangat lama sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde verklaard) untuk bisa dieksekusi. Bahkan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht itu pun juga tidak mudah ditempuh. Jangka waktu 5 (lima) tahun dapat diperkirakan untuk memproses satu perkara perdata sejak gugatan disusun, disidangkan di Pengadilan, banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi ke Mahkamah Agung, serta masih sangat mungkin lagi diajukan peninjauan kembali (PK). Belum terhitung bagaimana mahalnya biaya perkara yang dikeluarkan, banyak energi pikiran dan perasaan harus ditumpahkan, serta liku-liku proses acara di dalam pengadilan resmi maupun berbagai acara yang tidak resmi harus ditempuh bersamaan. Singkatnya, di masa-masa runyam itu terkuak betapa ketidak-percayaan terhadap proses acara pengadilan (litigasi) yang lazim berlangsung. Padahal, dalam situasi dan kondisi ketidak-percayaan itu, ternyata sangat banyak bahkan bertimbun kasus harus segera diselesaikan dengan acara yang berkepastian supaya roda ekonomi dan bisnis bisa terus berlangsung. Berbagai perkara itu meliputi antara lain seperti hutang-hutang yang harus segera diselesaikan dalam kurs mata uang asing atau rupiah, ragam konsultasi dan negosiasi bisnis harus ditempuh untuk melakukan restrukturisasi hutang dan piutang jangka pendek, menengah, dan panjang. Eksekusi barang jaminan hutang harus bisa segera diselesaikan berkepastian agar usaha bisa diteruskan atau dihentikan dan/atau diambil-alih oleh pemberi piutang, dan seterusnya. Belum lagi, banyak usaha yang harus menempuh proses acara pailit karena sudah nyata bangkrut, dan banyak kasus lain-lain lagi yang memerlukan solusi berkepastian yang sangat mendesak. Di tengah situasi dan kondisi multi-krisis itu, pemerintah sendiri tampak kewalahan untuk menghadapi carut-marut soal mendesak. Karena selain situasi sosial politik dalam negeri harus dibereskan, tetapi tak-kurang juga tekanan lembaga internasional dan dunia bisnis global harus dihadapi dengan kepala dingin. Pada saat itulah di sekitar tahun 1998, sekelompok ahli dan praktisi bersama dengan pemerintah menggagas pembuatan dan pemberlakuan APS sebagai UU yang sejak 12 Agustus 1999 oleh Presiden B.J. Habibie diberlakukan NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
45
menjadi UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aspek keadilan dari dan di dalam penyelesaian kasus, yang selama ini mengalami situasi ketidakpastian untuk dapat diterapkan di dalam kehidupan publik, diharapkan bisa dipenuhi dengan pemberlakuan UU ini. Di dalam konsiderans UU ini dapat dibaca sangat eksplisit menyatakan dua hal yakni: (1) acara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, padahal arbitrase itu sendiri selama ini dikenal juga sebagai alternatif penyelesaian perkara; dan (2) kedua instrumen acara itu kini diakui sebagai yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Selanjutnya dikutip, bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa; dan bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Tercapainya kepastian keadilan diharapkan akan bisa diperoleh dari UU APS ini. E. Kombinasi integratif APS ke dalam Lembaga Adat Soal praktis lainnya yang masih tersisa dengan UU No. 30 Tahun 1999, apakah penyelesaian melalui Lembaga Adat yang seringkali juga ditempuh sebelumnya, menjadi tidak berlaku lagi, atau, dapatkah hal itu diterapkan secara bersamaan? Sebagaimana diketahui, selama ini masyarakat sudah mengenal adanya penyelesaian kasus dengan acara perdamaian, baik dikenal sebagai acara musyawarah untuk mufakat, dan juga berbagai jenis acara penyelesaian melalui Lembaga Adat yang ditempuh sesuai dengan kelaziman dan kebiasaan hukum adat tertentu sebagai traditional law. Acara penyelesaian adat di Indonesia bisa bervariasi bentuknya menurut konteks situasi lokal. Situasi ini lazim dikenal sebagai pemberlakuan asas receptio in complexu, yakni berlaku hukum adat yang meresepsi di dalamnya sekaligus hukum agama yang dianut, atau berlaku hukum agama yang diterapkan sekaligus sebagai aturan hukum adat. Dalam banyak kasus di daerah pedalaman (remotes area) yang jauh dari perkotaan dan yang masih nyata hidup dan berkembang dianut hukum adat oleh masyarakatnya, seringkali acara penyelesaian adat sangat efektif sebagai solusi kasus. Selain karena berkepastian, tetapi juga mengandung unsur dasar rekonsiliasi akibat tidak ada yang merasa dikalahkan (win win solution). Dan dengan kenyataan itu, rasanya menjadi sangat disayangkan bilamana solusi rekonsiliatif di dalam acara hukum adat melalui Lembaga Adat menjadi hilang 46
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
ditelan zaman. Apalagi jika ditelusuri lebih mendalam (duc in altum) ke akar filosofi yang terkandung dalam prinsip dasar hukum adat, lazimnya ditemukan ada hal-hal unik yang merupakan kearifan lokal (local genius) yang bahkan dunia peradaban modern perkotaan pun perlu dan layak menimba inspirasi daripadanya. Lagi pula, masyarakat perkotaan Indonesia kini yang umumnya adalah kaum urban migran, sangat terancam pada dua-tiga generasi mendatang akan semakin tercerabut dari akar budaya asli yang membentuk jati-diri kepribadiannya. Acara penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat antar para pihak yang bersengketa, telah lazim dikenal dan ditempuh oleh masyarakat Indonesia selama ini. Bahkan terminologi ‘musyawarah untuk mufakat’ itu dipandang mengandung filosofi kepribadian khas Indonesia, yang dirumuskan ke dalam Pancasila sebagai landasan paling mendasar dalam hidup kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan RI. Namun kini disadari, ada juga sisi skeptis dan sinisme terhadap ‘musyawarah mufakat’ karena degradasi penggunaannya yang lebih kental rekayasa teknik musyarawah untuk mengelabui dan menguasai kaum yang lebih lemah, terutama di masa era Orde Baru dengan sistem komando dari atas ke bawah di segala segi. Ketika itu sudah lazim diketahui bahwa acara ‘musyawarah untuk mufakat’ seringkali ditempuh hanya sebagai acara formalitas belaka sekadar untuk memuluskan agenda kekuasaan para pejabat yang seringkali menyatu dengan kepentingan para pengusaha. Situasi pengalaman itu, misalnya seringkali terjadi dalam kasus-kasus penyelesaian konflik sosial dan ganti rugi tanah masyarakat pedesaan dan pinggiran kota. Juga seringkali terjadi dalam pengambil-alihan barang jaminan pelunasan kredit yang secara tak profesional dipergunakan oleh masyarakat desa yang tak kuasa menolak penawaran yang gencar dari para kreditor. Dalam acara yang seringkali lebih kental sebagai manipulasi terselubung itu, masyarakat yang lebih lemah pada umumnya selalu jadi korban dan bahkan berposisi menjadi kaum tertindas. Dengan pengalaman masyarakat yang lebih banyak diam (the silent majority) dan memendam pengalaman tertindas buntu jalan keluar bagi mereka yang tak-bersuara (the voice of the voiceless), maka bisa dipahami kemudian bahwa penyelesaian perdamaian dengan acara musyawarah untuk mufakat, pun dengan Lembaga Adat, menjadi tidak populer dan sangat rentan untuk disalah-gunakan. Namun bagaimana pun acara itu tetaplah netral. Karena ada juga fakta selama ini bahwa musyawarah untuk mufakat bisa menyelesaikan sengketa dengan baik. Di samping juga secara temporal dan kondisional, selalu saja ada orang/pihak yang senantiasa menyalah-gunakan acara apa pun juga demi kepentingannya sendiri.
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
47
Sejalan dengan cita penggunaan Lembaga Adat, juga ada acara dading yang lazim berlaku di dalam setiap acara perkara perdata, yang masih berlangsung hingga kini. Acara penyelesaian perdamaian di pengadilan perkara perdata, selalu dapat ditempuh sampai dengan putusan perkara itu berkekuatan hukum tetap (inkracht). Hakim pengadilan perdata bahkan senantiasa menyampaikan kepada para Penggugat dan Tergugat supaya perkara ini ditempuh saja dengan perdamaian dan agar isi kesepakatan perdamaian itulah yang dibuat menjadi putusan Hakim Pengadilan. Dengan acara dading, maka Majelis Hakim umumnya merasa lebih dihargai dan dihormati, selain tentu saja lebih ringan tugasnya, karena keputusan Hakim akan menjadi berbunyi: menghukum para pihak Penggugat dan Tergugat untuk mentaati segala isi putusan perdamaian dalam perkara ini. Dengan itu, putusan atas solusi dading menjadi langsung inkracht dan bisa dieksekusi oleh para pihak sendiri. Kombinasi integratif penggunaan Lembaga Adat dengan beberapa bentuk APS menurut UU No. 30 Tahun 1999, kini bahkan diperkuat lagi dengan berlakunya PERMA RI No. 2 Tahun 2003 jo. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai APS, untuk perkara perdata dan publik (terbatas), juga mengatur penggunaan acara Mediasi. Pasal 1 butir 6 merumuskan: Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pasal 1 butir 9 juga mengatur: Sengketa publik adalah sengketa-sengketa di bidang lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan yang melibatkan kepentingan banyak buruh. Pasal 2: (1) Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. (2) Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib menaati kode etika mediator. Pasal 23 yang menentukan syarat-syarat kesepakatan perdamaian yakni: (a) sesuai kehendak Para Pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum; (c) tidak merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; dan (e) dengan itikad baik. Uraian di atas itu bisa menunjukkan kerangka teoritis yuridis untuk berbagai upaya rencana aksi penguatan Lembaga Adat sebagai Acara Penyelesaian Sengketa di luar maupun di dalam pengadilan. Artinya, baik dalam proses litigasi maupun non-litigasi, bisa digunakan lembaga adat. Namun substansi kasus yang disengketakan masih perlu dicermati seksama. III. PEMBAHASAN A. Lembaga Adat dan Implikasi Praktisnya di Era Generasi Modern Terkini Di era modern terbuka saat ini, tampak kuat terjadinya situasi dilematis posisi Lembaga Adat, bilamana dikonstruksi ke dalam konteks seperti adanya di 48
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
masa lalu.6 Gambaran situasi itu bisa dideskripsikan secara psiko-sosio-kultural antara lain sebagai berikut ini. Kelompok orang subyek pendukung Lembaga Adat pastilah berupa kesatuan masyarakat asli yang berbasis territori dan/atau genealogis tertentu yang umumnya secara sosio-kultural bersifat stabil dan rural. Namun praktiknya kini, siapakah dan bagaimana masyarakat adat asli seperti itu masih bisa ditemukan di era modern Indonesia? Konteks situasi psiko-sosio-kultural masyarakat asli kini telah menciptakan mentalitas splitz-personality, yang terjadi dalam pengalaman bersama sebagai masyarakat perkotaan seperti Jakarta dan kota lain-lainnya, yang kini didiami oleh para pendatang berbaur dengan berbagai suku masyarakat asli Indonesia. Konteks situasi dan kondisi masyakarat bauran perkotaan modern Indonesia, nyata tidak lagi rural agraris, tapi menjadi urban migran. Kehidupan modern perkotaan tidak lagi stabil seperti di ragam desa tempat asal muasal para penduduk urban. Tapi nyata irama hidup sangat dinamis, dengan frekuensi mutasi fisik dan psiko-sosiologis yang cepat berubah-ubah. Orang pendatang generasi pertama dan kedua yang kini bermukim di perkotaan seperti Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, nyatanya juga masih tak bisa lepas dari situasi urban migran. Karena senantiasa dia masih disibukkan urusan keluarga dan peristiwa di kampung halaman yang masih rural agraris. Situasi itu sangat nyata dalam acara rutin mudik. Akan tetapi, irama hidup berkeluarga dan pekerjaan harian menuntut sikap tindak profesional dan rasional dengan pertimbangan yang sangat terukur dari segi waktu, biaya, dan enerji penggerak psiko-sosial. Frekuensi perubahan dinamika hidup sangat tinggi, dari satu territori ke wilayah lain di seantero nusantara. Pun topik yang sedang digumuli bisa bergeser begitu saja, langsung dari urusan niaga, bisnis manajemen ke perbincangan tentang keluarga, melompat ke situasi moneter, dan loncat lagi ke berita politik hukum aktual, terus sambil berhitung jam sibuk macet jalanan, dan seterusnya, terus berkejar-kejaran dengan waktu dan situasi. Begitulah wujud nyata hidup pragmatis dan pertimbangan praktis kaum urban migran, yang hidup dalam situasi diaspora terbuka (open society) peradaban global dengan sarana canggih tekno-multimedia. 6
Bagian tulisan ini diolah dari riset Penulis (NS) yang sudah beberapa kali dipresentasikan pada ragam kesempatan, antara lain dari riset ttg ‘Hukum Acara Kanibal dalam Budaya Animis’ di dalam Buku “Acara Pidana dalam SIRKUS HUKUM”, Penerbit Ghalia Ind., Jkt, 2009; riset terbatas ‘Napak Tilas Peta Sejarah dalam Narasi Simanjuntak Sanggamula dari Sidamdamon’ [2006], juga sebagian dari Paper (NS) “Refleksi Historis Religiositas Masyarakat Asli Indonesia” bersama Ahli Arkeologi dan Ahli Sejarah Gereja, dalam Forum Studi Iman Ilmu Budaya, Bhumiksara, Jakarta, Maret 2003;
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
49
Di dalam konteks modern yang urban migran diaspora itu, apakah penguatan terhadap Lembaga Adat masih relevan dilakukan? Nyata, masyarakat perkotaan masih tetap saja mengharapkan kerinduan hidup nyaman dengan sesama masyarakat suku asli, seperti yang akan dapat terpenuhi di dalam acara-acara adat atau upacara khas masyarakat asli. Namun implikasi praktisnya, justru seringkali romantika kerinduan itu seakan fatamorgana. Banyak contoh kasus yang menggambarkan kerinduan seseorang yang merasa sudah berhasil. Lalu agar senantiasa dekat dengan Ayah Ibu yang juga sangat dirindukan oleh anak kandungnya yang mungil, maka orang-tua yang biasa hidup di alam pertanian dusun itu pun ‘dipaksa’ ikut menghidupi udara polusi hiruk pikuk berhimpitan di kota seperti di Jakarta. Si orang tua biasanya tak kerasan meninggalkan sawah ladang dan segala pernik desa sunyi alam asri. Tapi dia juga tak sampai hati meninggalkan cucu tersayang dan anak yang sungguh merindukannya. Itulah potret nyata splitz personality psiko-sosio-kultural kaum urban migran kini, yakni generasi pertama dan kedua hasil bermata-pencaharian di perkotaan modern. Mereka ini ada yang masih terpaut langsung dengan keluarga di tanah asal. Tetapi juga ada yang sudah ‘lebih Jawa dari Jawa’ atau sudah lebih Sunda karena menyunda hidup di Tatar Sunda7 bagi mereka yang berdiam dan bergaul erat dengan masyarakat asli di tanah Jawa, Sunda, dan seterusnya. Jika pun ada beberapa kajian atau buku yang menguraikan situasi budaya masyarakat asli, tidak akan sampai untuk mereka baca. Jika pun buku itu ada, tapi mood psikologis untuk membaca kisah narasi berpanjang-panjang, tidak sesuai dengan alam kondisi mereka yang sangat praktis, perlu singkat, tegas, direktif, terinci, dan bernilai nyata. Dunia hidup mereka di perkotaan dan berbagai wilayah berpengaruh perkotaan, sungguh jauh berjarak tak bisa dikomparasi dengan alam kultur rural agraris masyarakat adat. Satu-satunya penyatuan situasi adalah bahwa mereka itu masih manusia yang tak-lepas dari akar kultur asal di pedesaan. Masa depan masyarakat adat modern terkini, juga sangat ditentukan di sentra wilayah marginal urban migran. Ancaman akan hilangnya generasi (the lost generation) menantang kaum muda dan para profesional terkini untuk menyelamatkannya. Relevansi konteks situasi masyarakat asli yang dulu di pedesaan hampir selalu ‘hadir bersama-sama’ dalam living-in, sudah tak bisa lagi dipertahankan kini. Situasi personal contact yang intim penuh empati, justru sangat dirindukan oleh kaum urban migran. Betapa sering terdengar jeritan tangis, yang mengeluhkan sangat perlunya fasilitasi pendampingan personal kontak bagi kaum pekerja rendahan, buruh, profesional kerah biru dan putih, 7
50
Dr. Togar Nainggolan OFMCap, Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas, disertasi di Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media, 2006;
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
aktivis advokasi, yang juga digumuli oleh orang urban modern di perkotaan padat dan daerah industri. Kesaksian pengalaman nyata menunjukkan juga bahwa mereka itu sangat memerlukan inspirasi, animasi, dan coaching egaliter berbentuk fasilitasi pendampingan yang penuh persahabatan intim bagi kaum muda masyarakat asli yang menyebar diaspora di eksekutif swasta, di lingkungan kerja sosial kemasyarakatan, dan hidup kenegaraan. Nyata, mereka mengalami ragam kesulitan berimplikasi praktis yang muncul dari kerinduan upaya fasilitasi pendampingan dan penguatan. Mereka berharap adanya fasilitator pendamping bagi kaum urban migran dinamis diaspora di perkotaan. Untuk itu diperlukan warisan nilai bersama dari kekayaan, kekuatan daya komunikasi batin kepenuhan hidup spiritual peninggalan masyarakat asli yang dulunya berasal dari wilayah splendid isolation. Kini lagi, berbagai kemudahan dan fasilitas situasi zaman, menjadi “musuh” langsung terhadap kesetiaan nilainilai hidup keutuhan berkeluarga sebagai sesama masyarakat asli. Sederet soal yang berimplikasi praktis dilematis dalam splitz personality, antara mentalitas urban migran berbaur kerinduan rural statis, justru memerlukan redefinisi, reformulasi, dan revitalisasi bagi kerinduan berfungsinya lembaga adat masyarakat asli di era modern. Konteks redefinisi dan revitalisasi masyarakat adat itu, tidaklah bermaksud sekadar untuk pemenuhan entertainment romantis kerinduan situasi rural agraris yang statis. Berbarengan, ada sejumlah ancaman bahaya yang dialami masyarakat urban modern terkini. Mereka pun rentan tercerai berai dan tercerabut dari akar asal-usul kultur asli menuju punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Sebab, bahasa suku asal dan detil tatakrama adat asli yang rumit, tidak lagi mereka hidupi, pun hal itu nyata tidak lagi bernilai praktis dalam pergaulan harian yang berbaur lintas multi-kultural bahkan global. Tantangan nyata itulah yang dihadapi oleh kerinduan penguatan lembaga masyarakat adat, termasuk di dalamnya untuk memotivasi agar bersatu dalam memobiliasi massa bagi tujuan yang tidak sekadar pragmatis, kondisional, situasional partisan, temporer berjangka pendek dengan instrumen ekonomis politis, yang tidak sekadar memuaskan kerinduan romantika mitos masa lalu situasi nyaman lembaga adat. Situasi urban migran masyarakat post-modern dengan generasi digital terkini dalam potret di atas itu, menurut hemat Penulis, tampak menjadi dilematis untuk dikembalikan ke situasi asli Lembaga Adat masa lalu. Namun bisa dipahami, sungguh diperlukan adanya satu gerakan inkulturasi sekaligus dekulturasi untuk melakukan seleksi nilai-nilai local genius dengan eliminasi terhadap ragam nilai lokal masyarakat asli, agar dimodernisasikan sesuai dengan konteks era zaman terkini dan ke depan. Gerakan nasionalisasi nilai-nilai kultural lokal dan NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
51
sekaligus lokasisasi nilai-nilai universal ke dalam modernisasi Lembaga Adat, sesungguhnya bukan hanya dalam rangka penggunaan acara APS. Tetapi realistis kondisional, maksud itu juga meliputi ragam aksi revitalisasi peradaban bangsa masa kini, supaya kebangsaan modern kita mengandung basis akar kultur yang tertanam dalam (rooted embedded) ke dalam konteks yang sudah beratus tahun ada selama ini. B. Manfaat Praktis Konsepsi Hukum Positif APS APS sebagai hukum acara, wajib ditempuh dengan undang-undang atau dalam perikatan yang berkekuatan sebagai undang-undang (KUH-Perdata, Pasal 1320 jo 1338-1339). Dengan dasar itulah, penyelesaian suatu perkara di luar pengadilan selama ini dipraktikkan di Indonesia, pun jauh hari sejak UU No. 30 Tahun 1999 belum diberlakukan. Lalu, manfaat apa yang diharapkan sehingga legislator masih menganggap perlu membuat Undang-undang ini? Ada beberapa alasan sebagai latar belakang untuk dapat melihat manfaat itu. Pertama, demi kepastian dan legalitas APS bagi masyarakat modern Indonesia terkini, terutama karena generasi Indonesia masa sekarang ini sudah tidak hidup lagi di alam masyarakat adat. Lagi pula, adat istiadat dan hukum adat itu sendiri pun sudah mengalami kemunduran pada zaman global sekarang ini yang sudah memasuki era open society. Apalagi, karena hampir semua hukum adat itu tidak tertulis, tetapi hanya ada beberapa yang dituliskan kemudian sehingga tidak mudah ditelusuri lagi kandungan konsep moral filosofis di dalamnya. Generasi muda zaman ini, yang adalah generasi digital, hampir semua tidak lagi menguasai bahasa daerah asal dan detil teknik tatacara hukum adat itu sendiri. Kedua, masyarakat Indonesia zaman kini sudah hidup secara inklusif terbuka, tidak lagi berkelompok seasal suku (genealogis) atau sedaerah (territorial). Pada kenyataannya, hukum adat atau adat istiadat sudah tidak bisa lagi dipraktikkan secara terbuka dalam pergaulan yang berbaur antar suku dan antara daerah, terutama di masyarakat perniagaan dan perkotaan urban migran dengan pergerakan sosial dalam perputaran yang tinggi, baik secara territorial maupun fungsional. Sementara adat istiadat dan hukum adat itu sendiri, bisa dikatakan masih stabil dan susah untuk diubah, agar disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan berlakunya Undang-undang secara nasional, maka segala norma adat istiadat yang baik itu dari masa lalu, menjadi dikristalkan ke dalam satu norma hukum modern dan berlaku umum sebagai undang-undang yang berlaku tidak hanya untuk satu masyarakat adat tertentu saja. Ketiga, Undang-undang APS yang berlaku secara nasional dan umum bagi semua kelompok masyarakat, bisa dikatakan sebagai legalisasi kepastian 52
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
terhadap cara-cara penyelesaian sengketa yang selama ini sudah dikenal oleh banyak masyarakat adat. UU APS sebagai legalisasi dan modernisasi hukum adat sekaligus juga menjadi kristalisasi dari kombinasi cara penyelesaian yang berlaku secara internasional. Oleh sebab itu, acara hukum APS di dalam UU No. 30 Tahun 1999 bisa juga dikatakan sebagai titik pertemuan (melting pots) antara hukum yang berlaku di internasional dengan norma yang selama ini telah ada di tengah-tengah masyarakat adat Indonesia. Oleh sebab itu, dengan APS yang dipahami dan dihayati dengan baik dan benar, maka menjadi lebih jelas lagi bahwa hukum acara ini sesungguhnya merupakan penyederhanaan terhadap kerumitan dan lamanya acara pengadilan yang biasa berlangsung untuk menyelesaikan perkara keperdataan dan publik (seperti kondisi di masa multi-krisis 1997-2001 bahkan hingga sekarang). Sebelum adanya cara penyelesaian dengan APS, kerumitan dan lamanya acara persidangan perkara bukan hanya terjadi dalam Sistem Kontinental (dengan kodifikasi) tetapi juga sebagai ADR dalam Sistem Anglo Saxon (dengan Customary Laws). Situasi ini tentu sangat tidak kondusif dan tidak nyaman, khususnya bagi kalangan kaum bisnis, yang sangat seksama mengkalkulasi segala sesuatunya menjadi uang dan keuntungan yang bernilai ekonomis. Bagi mereka, time is money benar-benar berlaku. Untuk itu, mereka sangat mengutamakan efisiensi dan efektivitas dari setiap proses solusi. Penyederhanaan acara APS akan semakin jelas lagi dan tegas berkepastian, karena beberapa pilihan acara sudah diatur secara tertulis di dalam UU No. 30 Tahun 1999. Dengan mempelajari dan memahami APS secara seksama, baik dan benar (best effort and best practices) maka sesungguhnya bisa dikatakan, singkatnya, para pelaku APS sekaligus menjadi hakim pemutus terhadap perkara mereka sendiri, sehingga mereka yang melaksanakan APS itu tidak lagi memerlukan hakim dan pengadilan. Oleh sebab itu, semakin jelas dan tegas betapa penting dan perlunya mempelajari dan memahami APS/ADR secara mendalam (indepth) dan meluas (broadening), terutama bagi semua orang yang berminat akan pemajuan hukum. Namun sayangnya hingga kini, masih banyak pengamat dan ahli APS/ ADR di Indonesia sering kali kecewa, karena bahkan para praktisi hukum pun tidak menyadari betapa APS/ADR mengandung segi positif dan konstruktif yang sangat baik untuk didalami dan dipahami. C. Implikasi Esensi Keadilan dalam APS ke Arah Restorative Justice Dari manfaat APS seperti uraian di atas, nampak bahwa penguatan Lembaga Adat dengan APS, dari segi lain, bisa juga sekaligus merupakan bagian dari upaya untuk memperoleh esensi keadilan dengan mengembangkan konsepsi dan NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
53
penerapan hukum restoratif di era Indonesia modern kini dan ke depan yang dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Upaya ini bukan hanya dalam penggunaan acara APS untuk berbagai kasus konflik sosial dengan lembaga perdamaian tetapi juga untuk berbagai sengketa lain-lainnya. Tetapi, upaya restoratif itu betapa tidak mudah diperoleh dengan penerapan APS, antara lain bisa kita ketahui dari praktik dua contoh kasus berikut ini. Kasus pertama, dalam sengketa antara PT Jasa Marga (Persero, Tbk)8 selaku Tergugat yang harus membayar kerugian senilai Rp1,24 triliun, atau setara dengan perpanjangan masa kerjasama operasional bagi hasil selama 24 tahun. Penggugatnya adalah PT Tirtobumi Prakarsatama yang ditempuh dengan acara Arbitrase di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan sudah diputuskan pada Juni 2011. Lalu, putusan BANI itu telah didaftarkan oleh Penggugat di PN Jakarta Pusat pada 20 Januari 2012 dan dimohon eksekusi pada 22 Februari 2012. Namun, di pihak lain PT. Jasa Marga telah mengajukan banding lagi atas putusan BANI tersebut kepada PN Jakarta Timur, yang kemudian diputuskan pada 10 Desember 2012 bahwa PT Jasa Marga (Persero, Tbk) dihukum harus membayar ganti rugi tersebut. Pokok soal yang disengketakan adalah perjanjian kerjasama (3 April 1993) bagi hasil pelebaran jalan tol sepanjang 23,20 km dengan biaya pembangunan sebesar Rp108,55 miliar sepenuhnya berasal dari Penggugat sendiri. Penyelesaian kasus ini telah nyata ditempuh dengan acara Arbitrase selaku APS menurut hukum positif yang berlaku. Tetapi nyata, masih juga tidak bisa diselesaikan tuntas bahkan berlanjut seperti acara litigasi yang rumit berbelit berliku-liku. Artinya, tujuan UU No. 30 Tahun 1999 sama sekali tidak terpenuhi di dalam kasus ini, dan upaya restorasi keadilan tidak bisa ditemukan secara esensial, yang bisa jadi karena nilai finansialnya begitu besar berjumlah triliunan rupiah dan berkaitan pula dengan badan usaha milik negara. Lalu, apakah jika jumlah finansial tidak besar, maka sengketa bisa jadi selesai dengan tuntas beresensi keadilan? Kasus kedua, antara Penggugat dengan Tergugat-I dan Tergugat-II sudah membuat dan menandatangani Surat Perdamaian9 pada tanggal 06 Juli 2010, yang pada intinya menyepakati: (1) Tergugat-I dan Tergugat-II telah mengaku bersalah dan dengan ini meminta maaf kepada Penggugat; (2) Penggugat menerima Tergugat-I dan Tergugat-II kembali bergabung bersama ke dalam Perusahaan Penggugat dan/atau membentuk Perusahaan yang baru berdasarkan syarat dan ketentuan bisnis yang berlaku umum; (3) Segala biaya dalam perkara 8 9
54
Sumber: Majalah GATRA, Februari 2013 Dalam perkara Perdata No. 202/Pdt.G/2010/PN.Bks didaftarkan tanggal 24 Mei 2010.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
ini sejak awal pengajuan gugatan menjadi beban tanggungan untuk dilunaskan oleh Tergugat-I dan Tergugat-II secara tanggung-renteng sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Akan tetapi kemudian, Advokat selaku Kuasa Hukum dari para Tergugat, mempersoalkan lagi Surat Perdamaian ini dengan alasan “tidak tercapai kesepakatan antara para Tergugat dengan Penggugat mengenai besaran biaya” padahal yang “tidak sepakat” itu adalah hanya Kuasa Hukum para Tergugat yang mengambil posisi berbeda dengan para Tergugat Principal, in persoon, yang sebelumnya telah sepakat dan telah menanda-tangani Surat Perdamaian. Namun Majelis Hakim setelah lebih dari 20 (dua puluh) hari sidang pada tanggal 25 Januari 2011, kemudian memutuskan perkara ini pada pokoknya menyatakan: “tidak tercapai kesepakatan antara para Tergugat dengan Penggugat mengenai besaran biaya.” Lagi-lagi sengketa APS yang telah ditempuh menurut hukum yang berlaku, masih juga tidak selesai tuntas, walaupun besaran finansial uangnya sama sekali tidak signifikan dipersoalkan. Restorasi esensi keadilan menjadi tidak tercapai, hanya karena kuasa hukum yang dalam hal ini Advokat dan Hakim selaku ahli dan praktisi hukum, meniadakannya. Program restorasi keadilan dengan rehabilitasi melalui acara APS untuk penyelesaian sengketa perdata, pun juga dalam kasus publik, seperti diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagaimana diketahui telah banyak ditempuh oleh berbagai negara. Khususnya dalam kasus yang bertujuan untuk mempercepat reintegrasi narapidana agar lebih siap kembali ke masyarakat. Teori ini telah dianut oleh negara-negara Asia Pasifik seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, Jepang, Korea, Hongkong, India, Thailand, Singapore, Vietnam, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Latar masalah yang muncul dengan penerapan teori itu, semula karena kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan, yang situasinya juga dialami Indonesia. Untuk itu, bahkan dana dari pemerintah diperlukan agar dapat menjalankan berbagai program mencapai tujuan rehabilitasi dan reintegrasi itu. Pengembangan hukum restoratif di atas itu terhadap APS, sebagai benchmarking dalam upaya berbagai rencana aksi penguatan Lembaga Adat, bisa jadi sangat potensial dan relevan dalam rangka revitalisasi penyelesaian sengketa di Indonesia kini dan ke depan. Paparan berikut ini seyogianya dapat disimulasikan sebagai bench-marking aksi bersama upaya bangsa yang bersifat makro. Upaya yang bertujuan sama telah dan sedang dilakukan terhadap rehabilitasi dan reintegrasi narapidana dalam rangka hukum restoratif10. 10
Bagian tulisan ini dipetik dari Buku oleh Penulis “Hukum Acara Pidana Indonesia dalam SIRKUS HUKUM”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
55
Pelaksanaan teori rehabilitasi kepada narapidana (juga seharusnya dalam kasus lain-lain), tampak semakin berkembang lagi dengan didukung pula adanya teori restorasi dalam bidang hukum. Dengan itu, tujuan dari rehabilitasi dalam rangka reintegrasi narapidana ke pergaulan sosial masyarakat bebas, tampak semakin didukung untuk dilaksanakan terutama di negara-negara maju di Asia Pasifik tersebut. Inti pokok dari tujuan rehabilitasi dan restorasi keadilan adalah bahwa penghukuman melalui acara pengadilan, haruslah bertujuan untuk memulihkan hubungan pelaku dengan korbannya dalam keadaan yang direstui oleh masyarakat. “Masyarakat” dalam hal ini menjadi sangat relevan dengan reaktualisasi dan revitalisasi lembaga adat masa lalu ke era konteks sosial modern yang urban migran. Untuk itu, memang diperlukan fasilitasi yang legal formal dilaksanakan juga oleh Pemerintah atas nama Negara. Salah satu contoh yang biasa dikutip oleh para ahli adalah upaya restorasi kerugian korban kejahatan yang diberi ganti rugi atau kompensasi. Contoh seperti ini misalnya, telah diterapkan di Selandia Baru, yang mengadopsi hukum adat orang Maori (penduduk asli Selandia Baru). Seyogianya hukum adat Indonesia modern pun bisa serupa (?) Makna restorasi itu sendiri bertujuan untuk memulihkan situasi micro cosmos dan macro cosmos dalam pemahaman masyarakat asli Maori. Paham yang transenden seperti itu juga kurang-lebih serupa dianut oleh penduduk asli Asia Pasifik. Namun, hal itu di Indonesia masih belum diformalkan ke dalam hukum positif. Konsep praktis seperti itu menjadi bagian terapan dari teori restorative justice dengan rujukan kepada John Braitwhaite (1998) seorang kriminolog terkemuka di Australia. Prinsip-prinsip yang baik dari konsep seperti di atas itu, tampak juga dirindukan oleh para ahli dan praktisi hukum masa kini supaya sebisa mungkin dapat segera diterapkan pula di Indonesia. Dengan bench-marking ini, jelas menunjukkan bahwa ada banyak segi di dalam nilai-nilai kultural masyarakat asli yang bisa ditumbuh-kembangkan ke dalam sistem hukum modern terkini. Penguatan Lembaga Adat di zaman modern Indonesia, bukan tak bisa dilakukan, pun dalam rangka penggunaan acara APS. Namun untuk itu diperlukan keseriusan semua pihak, dan tentu saja dengan restu masyarakat dan fasilitasi dana, keahlian lintas-profesi, dan ragam peralatan dari pihak pemerintah di pusat dan daerah. Penguatan Lembaga Adat bisa dan harusnya bisa dilakukan dengan segala upaya kerja keras kita semua. D. Analisis Keadilan Restoratif: antara Michael Walzer vs John Rawls Dasar argumentasi filosofis penguatan lembaga adat, selain bukan hanya dalam rangka APS, juga sangat relevan untuk diaktualisasikan dalam kondisi terkini untuk penguatan teori keadilan ke dalam Lembaga Adat sebagai kesatuan sistem hukum 56
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
modern Indonesia. Bahan dasar yang Penulis gunakan mendalami pembahasan topik keadilan (justice) disini, dengan sengaja disarikan dari buku buku “Sphere of Justice” oleh Michael Walzer yang merupakan kritik keras terhadap proyek “A Theory of Justice” dari John Rawls. Maksud Penulis, kiranya bisa dipahami, karena lazimnya dalam konsepsi dan teori hukum yang berkembang di Indonesia selama ini, telah banyak dirujuk referensinya seakan-akan hanya ke dalam John Rawls dkk, padahal kaum Rawlsian itu telah mengalami kritik keras kini. Bahan yang diajukan ini merupakan hasil pendalaman reflektif keadilan sebagai alternatif terhadap teori keadilan John Rawls, yang semoga bisa jadi rujukan bagi kita di Indonesia dalam rangka menemukan teori keadilan menurut konteks situasi terkini. Rujukan berikut ini dari buku Sphere of Justice oleh Michael Walzer11 bermaksud utama agar dapat kita gunakan jadi landasan filosofis terhadap niat penguatan Lembaga Adat yang kita kehendaki. Buku Sphere of Justice dari Michael Walzer merupakan salah satu mahakarya, sebagai sebuah kritik keras yang ambisius terhadap proyek A Theory of Justice dari Rawls. Buku Walzer terbit pada 1983, yang sebagian besarnya merupakan hasil seminar bersama Robert Nozick tentang “Capitalism and Socialism” di Universitas Harvard pada tahun akademik 1970-1971. Di dalam buku itu terdapat satu teori keadilan sosial yang sangat berbeda dengan teori keadilan libertarian yang diuraikan oleh Nozick dalam karya utamanya Anarchy, State and Utopia, 1974. Nozick menganggap teori keadilan Rawls kurang liberal dalam kaca mata libertarisme, sedangkan Walzer menganggap teori keadilan Rawls kurang radikal sebagai suatu teori keadilan sosial. Walzer adalah Profesor of Government di Universitas Harvard pada 1966-1980, dan juga sejak 1980 menjadi Profesor di School of Social Science pada Institute for Advanced Study di Princenton, New Jersey, sampai menjadi emeritus. Dia juga dikenal sebagai seorang ahli teori politik Amerika Serikat yang terkemuka, karena banyak menulis tentang teori politik dan filsafat moral, antara lain mengenai kewajiban politis, perang yang adil dan tidak adil, nasionalisme dan etnisitas, keadilan ekonomi, dan negara kesejahteraan. Bagaimana Walzer mengajukan kritik keras terhadap Rawls? Walzer menyerang Rawls dalam pengandaian yang berada di belakang suatu teori keadilan distributif yang tidak menghargai kenyataan pluralisme dalam masyarakat. Teori Rawls yang semacam itu menganggap terlalu yakin adanya “sebuah kriteria, atau sekumpulan kriteria yang saling terkait, untuk semua distribusi”. Walzer membela bentuk pluralistik dari prinsip-prinsip keadilan, dengan mengatakan: “… barang-barang kebutuhan 11
Sumber: A.Widyarsono, DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, Jkt, Vol.10 Apr 2011. Penulis merasa berhutang mohon izin Rm. Widyarsono atas penggunaan referensi ini utk tujuan ilmiah/ akademis.
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
57
sosial seharusnya didistribusikan dengan alasan-alasan yang berbeda-beda, menurut prosedur-prosedur yang berbeda-beda, oleh orang-orang yang berbedabeda pula, dan bahwa segala perbedaan ini berasal dari pemahaman-pemahaman yang berbeda-beda tentang barang-barang kebutuhan itu, yang merupakan hasil yang tak terelakkan dari partikularisme historis dan kultural..”12 Inilah juga yang menjadi inti dari argumen Walzer melawan Rawls. Di dalamnya ada dua kritik berbeda, yang disebut Walzer sebagai kesalahan abstraksi metodologis Rawls. Di satu pihak menyarankan pemahamannya tentang barang-barang kebutuhan yang dikonstruksikan secara sosial, yang oleh Walzer dikatakan “merupakan hasil yang tak terelakkan dari partikularisme historis kultural”. Di lain pihak, bagian pertama itu menyarankan bahwa kita tidak dapat memisahkan metode pendistribusiannya dari makna sosial yang berbeda-beda yang terdapat dalam barang-barang tertentu. Bagian yang pertama itu disebut oleh Mulhall dan Swift sebagai “metodologi partikularis dari teori” (the particularist methodology of the theory) dan bagian kedua sebaga “substansi yang berbeda-beda” (the differentiated substance)13. Pengakuan yang pertama mengandung ide bahwa prinsip-prinsip keadilan distributif haruslah bergantung pada budaya (culture-specific), sedangkan yang kedua adalah pengakuan bahwa prinsip-prinsip keadilan itu juga harus bergantung pada jenis barang kebutuhannya (goods-specific). Inilah yang disebut oleh Walzer bahwa prinsip-prinsip keadilan Rawlsian berakibat negatif bagi harapan untuk membangun suatu teori keadilan “prosedural secara murni” (purely procedural). Kegagalan ini, menurut Walzer, terjadi karena Rawls tidak mempunyai perhatian pada masalah “barang-barang kebutuhan” (the goods) dalam teorinya. Argumen Walzer melawan abstraksi metodologis Rawls dalam dua segi. Pertama difokuskan pada masalah metodologi dengan mengajukan pendekatan partikularisme radikal untuk mengkritik universalisme Rawls. Walzer mengkategorikan Rawls sebagai filosof kontemporer yang menggunakan abstraksi metodologis yang diyakini oleh Walzer sbg metode yang salah dari Rawls untuk membangun teorit keadilan. Dalam membahas “substansi yang berbeda-beda” Walzer merumuskannya sebagai kritik yang lebih positif untuk mengembangkan konsep keadilan yang disebutnya sebagai “kesetaraan yang kompleks”. Metode partikularisme radikal, menurut Walzer, merupakan pendekatan yang tidak mengambil jarak dari konteks masyarakat partikular tempat mereka hidup. Konteks dalam hal ini jangan dinilai dengan kriteria eksternal yang 12
13
58
Sphere of Justice, p.6: (D)ifferent social goods ought to be distributed for different reason, in accordance with different procedures, by different agents; and that all these differences derive from different understandings concerning the social goods themselves – the inevitable product of historical and cultural particularism.” Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberal and Communitarians, pp. 127-128;
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
diabstraksikan dari kontingensi kebudayaan itu sendiri. Dengan mengacu kepada Plato, Walzer berfilsafat untuk berusaha mentransendensikan konteks yang partikular dan menemukan “suatu posisi obyektif dan universal” (an objective and universal standpoint). Ini disebutnya metode pertama, sebagai universalisme abstrak. Sedangkan metode yang kedua adalah “untuk menginterpretasikan dunia makna yang mereka hidup kepada para warga negara lain.” Untuk metode kedua ini disebutnya sebagai pendekatan partikularisme radikal. Menurut Walzer, ketika pendekatan pertama itu diterapkan pada pertanyaan tentang keadilan distributif, maka para filosof politik sejak zaman Plato meyakini bahwa “ada satu, dan hanya satu-satunya, sistem distribusi yang dapat ditemukan secara benar oleh filsafat.” Inilah pengandaian yang diterapkan oleh Rawls dalam teori keadilannya. Dua prinsip keadilan Rawls itu berasal dari suatu prosedur yang diabstraksikan dari partikularisme budaya. Prosedur yang dimaksud itu adalah konsep “posisi asli” (original position) yang diandaikan Rawls dimiliki oleh pihak-pihak yang mau membuat kontrak sosial. Dalam kontrak sosialnya, Rawls meminta kita membayangkan suatu situasi, dimana sekelompok individu berusaha mencapai kesepakatan mengenai konstitusi dasar dari masyarakat yang mau mereka bentuk, tetapi untuk menjamin sikap netral dan tidak memihak (impartiality) mereka, Rawls menempatkan mereka dalam “selubung ketidaktahuan” (a veil of ignorance). Selubung membuat mereka seolah-olah tidak memiliki pengetahuan tentang ras, gender, kelas sosial, talenta dan kemampuan, keyakinan religius dan konsep tentang kebaikan hidup, karena pengetahuan tentang hal-hal itu membuat mereka menjadi berat sebelah untuk menentukan prinsip bersama yang akan disepakati. “Selubung ketidaktahuan” menjadi syarat dasar dari upaya untuk kembali ke “posisi asli” agar semua pihak dapat memilih prinsip-prinsip keadilan secara fair.14 Abstraksi Rawls di atas itu memungkinkannya hanya mempertimbangkan pendistribusian dari apa yang disebutnya sebagai barang-barang kebutuhan primer seperti “hak-hak dan kebebasan, kesempatan dan kekuasaan, pendapatan dan kesejahteraan” yang oleh Rawls diandaikan sebagai diingini oleh semua individu dan tidak tergantung dari kebutuhan dalam budaya tertentu. Konsekuensi lebih jauh dari abstraksi semacam ini ialah bahwa logika distribusi dalam “posisi asli” berlaku sama untuk semua barang-barang kebutuhan primer itu. Justru ini yang ditolak oleh Walzer karena tidak adanya partikularisme kepentingan. Kekurangan Rawls menurut Walzer adalah karena tidak memberi perhatian pada apa yang kita buat dalam kehidupan kita sehari-hari dalam budaya tertentu. Rawls tidak peka akan paham-paham keadilan dalam budaya masyarakat tertentu. 14
Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, 1971, pp.17-22; 137-142
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
59
Walzer mengemukakan dua alasan yakni bersifat konseptual murni dan bersifat politis sebagai argumen demokratis. Argumen konseptual murni mengenai barangbarang kebutuhan dengan enam preposisi berikut ini. Segala barang kebutuhan dalam keadilan distributif adalah barang-barang kebutuhan sosial, yang tidak mungkin memiliki nilai pada dirinya sendiri, tetapi memiliki makna bersama karena penciptaannya merupakan proses-sosial sehingga dia sebagai barang kebutuhan memiliki makna yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Preposisi pertama makna sosial itu mengandung konsekuensi pendekatan partikularisme radikal, yakni: (a) identitas seorang pribadi dibentuk oleh konstruksi sosial barang-barang itu; (b) tidak ada satu kelompok barang primer untuk “segala dunia moral dan material”; (c) makna barang itu harus menentukan cara pendistribusiannya; (d) makna-makna barang-barang itu bersifat historis sehingga penditribusiannya juga “berubah dari waktu ke waktu” dan akhirnya (e) pendistribusian itu harus otonom karena makna barang berbeda-beda. Preposisi inilah yang oleh Walzer digunakan bagi suatu teori barang-barang yang untuk itu prinsip-prinsip keadilan seharusnya bersifat pluralistik. Yang dengan itu, kita akan dapat memisahkan konsepsi tentang keadilan dari konsepsi tentang barang-barang kebutuhan sosial. Prinsip-prinsip distribusi, menurut Walzer, bersifat internal karena instrinsik pada makna barang-barang kebutuhan sosial yang harus didistribusikan. Setiap barang kebutuhan sosial memiliki logika distribusinya sendiri dan setiap masyarakat memiliki peta ruang distributif sendiri yang kompleks. Inilah yang disebut Walzer sebagai konsep “kesetaraan yang kompleks”. Walzer memberi contoh roti, sebagai barang kebutuhan dalam hampir semua konteks partikular tapi memiliki makna sosial yang berbeda-beda dari kebudayaan yang satu dengan yang lain [Sphere of Justice, p.8]. Dan, karena kita memiliki kesulitan akan makna roti sebagai barang sosial, maka menjadi lebih sulit lagi memahami makna barangbarang sosial yang lebih kompleks seperti kebebasan, kekuasaan, kekayaan, dan sebagainya. Dengan itu, Walzer yakin bahwa Rawls telah gagal memberi perhatian yang serius terhadap partikularitas budaya dengan mentransendensikan konteks kultural itu dalam rangka untuk mencari posisi universal dan suatu jawaban tunggal yang benar mengenai keadilan distributif. Kritik Walzer itu berlanjut pada kegagalan Rawls karena kurangnya perhatian pada konteks partikular sehingga meremehkan nilai pendapat warganegara biasa bila dibandingkan dengan filosof-filosof politik yang merumuskan teori keadilan.15 Pertanyaan utama yang diajukannya disitu yakni: apa kedudukan filosof dalam sebuah masyarakat yang demokratis? Jika tujuan filsafat adalah mencari kebenaran, maka ada bahaya bahwa filsafat menghasilkan implikasi-implikasi yang tidak 15
60
Walzer, Philosophy and Democracy” Political Theory, 1981.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
demokratis. Ada bahaya campur tangan filsafat ke dalam ruang demokratis suatu komunitas politik dalam jangkauan yang tersedia bagi warga negara biasa dan wakilwakil mereka dalam demokrasi (yakni para legislator/anggota parlemen) untuk memutuskan kehidupan mereka sendiri. Menurut Walzer, keadilan tidak tergantung pada pengetahuan filosofis, karena komunitas partikular juga memiliki usaha untuk mengartikulasikan kebenaran universal. Sebaliknya, pengetahuan politis berasal dari dalam, dari pengalaman historis yang dimiliki bersama mengenai “negosiasi, intrik, dan perjuangan” yang membentuk suatu kelompok menjadi komunitas politis. Menurut Walzer, pengetahuan filosofis bersifat “universal dan tunggal” dan pengetahaun politis bersifat “partikular dan majemuk”. Bagi Walzer, demokrasi bukanlah mengenai pengetahuan filosofis melainkan pengetahuan politis. Demokrasi harus mendahului filsafat. Apa yang penting dalam demokrasi bukanlah pengetahuan dan pendapat para filosof, melainkan pendapat warga negaranya. Maka bisa jadi semakin buruk, bilamana para filosof berusaha membuat jalan pintas ke arena demokratis dengan membuat kesimpulankesimpulan yang masuk akal dilembagakan secara langsung menjadi hukum, setelah menyadari bahwa warga negara lain menentang atau menghambatnya. Walzer di dalam “Philosophy and Democracy” berusaha memisahkan filsafat dari demokrasi sebagai “dua bidang kegiatan manusia yang sama sekali berbeda”. Dia menyatakan bahwa demokrasi tidak memiliki klaim dalam ruang filsafat, dan para filosof tidak memiliki hak-hak khusus dalam komunitas politis. Dalam dunia opini, kebenaran sesungguhnya hanyalah salah satu opini, dan filsuf hanyalah salah seorang pembuat opini.” (Democracy has no claims in the philosophical realm, and philosophers have no special rights in the political community. In the world of opinion, truth is indeed another opinion, and the philosopher is only another opinion-maker) [p. 397]. Walzer merumuskan teori keadilan secara lebih positif yang disebutnya sebagai teori “substansi yang berbeda-beda” (differentiated substance). Untuk itu dia menerapkan metodologi partikularisme yang menganalisis masyarakat kontemporer. Dia mengembangkan yang disebut sebagai “kesetaraan yang kompleks” (complex equality) sebagai konsepsi untuk menganalisis dominasi dan monopoli dalam masyarakat kontemporer dan untuk itu konsep “kesetaraan yang kompleks” dapat menyediakan jalan keluar yang lebih unggul bagi masalah ini daripada konsep “kesetaraan yang sederhana” dalam konsep keadilan. Menurut Walzer, prinsip-prinsip distributif keadilan itu adalah unik karena kebutuhan sosial itu juga unik menurut makna barang-barang di dalam setiap “ruang bidang” (sphere). Dia menyatakan bahwa setiap barang sosial atau sekumpulan barang-barang sosial itu membentuk suatu ruang distributif, dimana hanya kriteria dan pengaturan tertentu yang cocok. Prinsip itu menjadi proposisi bahwa barang-barang sesuai jenisnya adalah spesifik NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
61
(good-specific) yang merupakan lanjutan dari prinsip bahwa makna barang-barang itu sesuai dengan kebudayaannya (culture specific). Contoh yang diberikan oleh Walzer merujuk pada situasi abad pertengahan di Eropah bahwa “uang adalah tidak cocok dalam bidang jabatan-jabatan gerejawi” karena itu menjadi benar bahwa “barang sosial dan jabatan gerejawi tidak boleh diperjualbelikan”. Jika prinsip ini dilanggar maka akan menimbulkan intervensi masyarakat untuk menolaknya. Disinilah dia berarti sebagai “ruang-ruang keadilan” (sphere of justice) yang berbeda-beda dan memasuki masyarakat secara intuitif. Dengan itu, masyarakat akan membenarkan bahwa “jabatan-jabatan politis tidak boleh diperjual-belikan”. Namun Walzer mengakui pula bahwa memang masyarakat tidak berfungsi secara otonom masing-masing dalam ruang keadilan itu karena masih terjadi monopoli dan dominasi, yakni sejumlah kecil barang-barang sosial memiliki prioritas di atas barang-barang lainnya, seperti emas yang biasanya dimonopoli sehingga diangkat nilainya oleh kekuatan dan kohesi dari para pemiliknya. Monopoli dan dominasi itu adalah konflik sosial dan ketidakstabilan. Dan ini hanya dapat diatasi oleh negara yang kuat. Cara untuk mengatasinya, oleh Walzer disebut sebagai reaksi dari suatu “rezim kesetaraan yang sederhana” (regime of simple equality). Disini yang tidak adil bukan dominasinya tetapi monopolinya. Daripada mengatasi bahaya dominasi dan monopoli dengan memusatkan diri untuk mengatasinya, maka Walzer mengusulkan teori “kesetaraan yang kompleks” yang merupakan lawan dari “kesetaraan yang sederhana”. Kesetaraan yang kompleks harus terlibat pada kritik atas dominasi barang-barang sosial apa pun karena adanya “pluralitas barangbarang sosial” yang artinya tidak ada barang sosial yang dominan karena semuanya memiliki otonomi masing-masing dalam kaitan ruang mereka yang partikular sehingga keunikan masing-masing barang sosial itu dapat saling dipertukarkan dalam “kesetaraan yang kompleks”. Dengan ini Walzer meyakini bahwa sebuah masyarakat yang adil itu mungkin diwujudkan, karena “dominasi barang-baranglah yang membuat dominasi atas manusia.” Pluaritas barang-barang sosial melindungi monopoli kontrol atas barang-barang itu. Manusia yang satu dapat lebih unggul dalam bidang tertentu. Setiap orang memiliki kompetensi yang berbeda-beda menurut bidangnya, sehingga ketidak-samaan memang tidak hilang. Orang-orang yang berbakat mungkin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih terdidik, para pengusaha mungkin tetap memiliki uang yang lebih, namun ketidaksamaan yang unik dalam masing-masing bidang itu tidak menyediakan pengaruh bagi distribusi barang-barang di bidang lain yang tidak ada kaitannya. E. Prediksi Implikatif Reflektif Konteks Adat dan Praktik Hukum Terkini Arah redefinisi dan revitalisasi masyarakat adat sebagai bagian tak62
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
terpisahkan dari berbagai rencana aksi upaya penguatan Lembaga Adat ke depan, bisa dilakukan pertama-tama dengan merancang-ulang mindset yang selama ini menjejali kita dengan konsep pola pikir di sekitar pasca-kolonial. Nomenklatur masyarakat adat di semua literatur masa kolonial dan tak lama sesudahnya, hanya diposisikan sebagai “wewenang urus sendiri” sekadar tidak menjadi soal bagi pemerintah yang mengutamakan keamanan dan ketertiban (rust en orde) agar tidak mengganggu arus hilir mudik politik ekonomi bagi kepentingan kolonial. Konteks dan mindset kita terkini sudah jauh berubah dari tema rust en orde itu. Masa lalu itu harus kita tinggalkan dan bisa kita maafkan, walau tak perlu dilupakan (forgive but not to forget) untuk menjadi bahan pembelajaran ke generasi masa depan. Kesatuan masyarakat adat bagi kita kini dan ke depan adalah soal HAM kolektif dengan tanggungjawab penugasan negara untuk “melindungi, mencerdaskan, memajukan kesejahteraan, dan mendamaikan kehidupannya secara universal” (Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945) dan diimplementasikan dengan ketentuan dalam Pasal 28I ayat (4) jo. UU No.39 Tahun 1999 Pasal 8 mengenai “perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan penegakan HAM, sebagai tanggungjawab negara”. Mindset terkini juga mengharuskan kita merevitalisasi konsep dasar kebenaran dan keadilan. Kebenaran yang tidak hanya empiris positivistik tetapi juga yang etis dan estetis bagi kesatuan masyarakat. Keadilan dalam konsep Rawlsian (The Theory of Justice) harus dirancang-ulang ke dalam sistem hukum yang restoratif dan rekonsiliatif, tidak sekadar “kalah sebagai salah” atau “menang sebagai benar”. Tetapi bagaimana “masalah sosial” dan ragam sengketa privat/publik harus diperiksa dan dinilai cermat teliti untuk menemukan solusi yang mencerdaskan, melindungi, menyejahterakan, dan mendamaikan semua pemangku kepentingan di sekitar kesatuan masyarakat adat (kolektif) dan semua warga lokal (personal). Untuk itu, elaborasi harus dilakukan terhadap deployment “kuasa negara” yang pertama-tama memikul beban tanggungjawab untuk “melindungi, memenuhi, memajukan, dan menegakkan” kepastian kebenaran dan keadilan itu. Kuasa negara itu meliputi 6 (enam) pokok soal teknis yuridis politik hukum yakni: kebijakan (beleids), pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), pengawasan (toezichthoudensdaad), dan kepemilikan yang kolektif rakyat atau yang privat (Putusan MK 15 Des 2004). Ke-6 konsep ini yang harus dipilah-pilah ke dalam rumusan yuridis tanggungjawab bersama dengan fungsi berbeda-beda (common responsibility but different in functions). Yang mana menjadi kepentingan bisnis untuk dikelola secara manajerial, yang mana wewenang publik dengan tindakan hukum bersegi-satu (eenzedigheid) dan terhadap yang mana bisa dilakukan perbuatan hukum bersegi-dua (tweezedigheid) sebagai otonomi wewenang keperdataan. NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
63
Kesatuan masyarakat adat kini tidak mungkin lagi eksklusif sekadar biologis territorial dan genealogis, tetapi merupakan konteks nilai-nilai kultural (cultural values) yang khas partikular alami (natural particularity) sebagai local genius untuk dihidupi semua orang dalam sistem masyarakat yang terbuka (open society) sehingga tidak menjadi beban melainkan memperkaya konteks situasi yang urban migran diaspora terkini. Baik “peradilan adat” yang khusus (jika mau dibentuk) maupun sistem peradilan pada umumnya, seharusnya bisa dikonsepsi-ulang ke arah restoratif dan rekonsiliatif yang bersifat final and binding karena menjadi solusi yang holistik bagi semua pemangku kepentingan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bab-bab yang terdahulu, dengan sasaran untuk menjawab masalah “dalam konteks situasi apa dan bagaimakah masih relevan menerapkan Lembaga Peradilan Adat sebagai APS di era modern terkini”, secara singkat bisa disimpulkan sebagaimana berikut ini. Pertama, Lembaga Adat bisa diperkuat untuk menjadi APS baik untuk obyek sengketa yang bersifat privat dan keperdataan, maupun dalam sengketa berkategori publik menurut aturan pokok di dalam UU No. 30 Tahun 1999 dan dikaitkan dengan aturan di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 serta ragam aturan terkait lain-lainnya. Kedua, solusi penguatan Lembaga Adat sebagai APS yang mengandung keadilan, bisa diterapkan dengan memulai dari perubahan mindset pola pikir di sekitar pasca-kolonial terhadap nomenklatur “masyarakat adat” yang tidak lagi hanya diposisikan sebagai “wewenang urus sendiri” tetapi menjadi kesatuan masyarakat sebagai HAM kolektif dengan tanggungjawab penugasan negara menerapkan kebenaran keadilan yang restoratif. B. Saran Langkah praktis operasional untuk melaksanakan ragam aksi yang dipaparkan dalam makalah ini, disarankan agar bisa ditindaklanjuti dengan berbagai upaya best efforts, best practices and best services yang serius dan tegas dari semua pihak, dan tentu saja fasilitasi berbagai sarana dan dana, serta keahlian lintas-profesi, dengan dukungan masyarakat dan pemerintah di pusat dan daerah. Disamping itu, tentu saja perlu ditindaklanjuti dengan segala upaya kerja keras kita semua sejak tahap awal hingga di tahap evaluasi akhir.
64
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA
GATRA Majalah, Februari 2013; Hamid Shahab, Menyingkap dan Meneropong UU No. 30 Tahun 1999 …, Djambatan, 1999 Harahap Yahya, Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Depkeh RI, 1996; ---------, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, CA Bakti, Bandung, 1997; Hazairin, Rejang, dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Penerbit PT Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta, 2009; Nasroen N, Dasar Falsafah Adat Minangkabau; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; Nolan-Halley, Jaqueline M., Alternative Dispute Resolution,West Pbl.Co., USA, 1992; Perkara Perdata No. 202/Pdt.G/2010/PN.Bks, tanggal 24 Mei 2010, Bekasi. Rawls, John A Theory of Justice, Oxford University Press, 1971; Simanjuntak Nikolas, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta., 2009; Snouck Hurgronje, De Atjehers; Het Gajoland; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983;
NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat...
65
Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberal and Communitarians, dalam Diskursus Jurnal; Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan …, Ghalia, Jakarta., 2000; Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung Jakarta, 1983; Ter Haar B., Bzn, Beginselen en stelsel van Adatrecht; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; Togar Nainggolan, OFMCap., Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas, disertasi di Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media, 2006; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; van Kan J., Uit de geschidenis onder Codificatie; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; van Vollenhoven C, Het Adatrecht van Ned. Indie; De ontdekking van het adatrecht; Een Adatwetboekje heel Indie; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983; Walzer, Philosophy and Democracy” Political Theory, 1981; Widyarsono A., DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, Jakarta, Vol.10 April 2011; Wilken G.A., Het Strafreht bij de Volken van het Malaische Ras, Verspreide Geschrijften II 1912; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983;
66
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM Trias Palupi Kurnianingrum* Abstract Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to effecting the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes of the International. But to achieve this goal is not easy, since there are many pros and cons in it. Redenomination does provide many benefits but also can negatively impact the price inflation due to rounding. However, the preparations should be done by Indonesia such as ensuring legal certainty and legal protection, setting up the infrastructure that has been configured in a proper and giving intensive socialization to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal certainty so can giving the benefits for many people. Kata kunci: Redenominasi, sanering, pro-kontra, dan inflasi.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai amanah Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, redenominasi merupakan salah satu tugas dari Bank Indonesia dalam rangka menjalankan dan menjaga kelancaran sistem pembayaran yang efisien, aman, handal dan cepat di Indonesia.1 Redenominasi rupiah dimaksudkan sebagai penyederhanaan denominasi (pecahan) mata uang dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Jadi nantinya akan ada mata uang baru Rp100 untuk Rp100.000,-, Rp50 baru untuk Rp50.000,- , Rp5 baru untuk Rp5.000,- kemudian Rp50 sen untuk Rp500,- dan seterusnya. Redenominasi rupiah berbeda dengan kebijakan sanering yang dulu pernah dilakukan Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru. Redenominasi adalah pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa harus mengubah nilai tukarnya. Sementara sanering adalah suatu kebijakan memotong nilai uang 50% dari nilai nominal. Sederhananya jika kita mempunyai uang Rp1000,maka nilainya tinggal Rp500,-. Jadi apabila kita mempunyai simpanan deposito sebesar Rp1 miliar maka dalam jangka waktu satu hari, simpanan akan hilang setengahnya. Sayangnya, nilai yang dipotong hanya posisi nilai uang saja
*
1
Penulis adalah Peneliti Muda Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]. Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
67
sementara harga barang tetap. Ini berarti masyarakat akan tetap dirugikan. Ibarat kata penghasilan menurun namun harga barang tetap. Sebenarnya jika dicermati wacana redenominasi sempat masuk ke dalam materi UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang namun kemudian oleh sejumlah kalangan, materi mengenai redenominasi ditarik keluar untuk menjadi undangundang tersendiri. Hal ini dipertegas oleh Pasal 23B UUD Tahun 1945, yang mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang. Selain itu penegasan redenominasi ke dalam undang-undang tersendiri juga diperkuat oleh Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa perubahan harga rupiah diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanah tersebut, maka Pemerintah melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013 telah mempersiapkan Rancangan UndangUndang tentang Perubahan Harga Rupiah untuk segera dibahas bersama dengan DPR RI. Redenominasi pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk menyederhanakan, mengingat pecahan uang rupiah saat ini jumlah digitnya terlalu banyak sehingga akan dapat menimbulkan in-efisiensi dan kurang praktis, karena dengan denominasi yang besar maka nilai mata uang rupiah akan terlihat menjadi rendah di mata dunia internasional. Ini bukannya tanpa alasan mengingat selama ini mata uang rupiah dianggap tidak kompetitif jika dibandingkan dengan mata uang negara lain sehingga mata uang rupiah dengan mudah akan dapat dikalahkan oleh kekuatan mata uang negara lain. Terlebih dalam proses input dan pelaporan data, jumlah digit yang terlalu banyak dirasakan akan merepotkan dan cenderung menimbulkan kesalahan. Namun wacana kebijakan redenominasi yang digulirkan oleh Bank Indonesia ternyata justru menuai kritikan. Banyak pro-kontra di dalamnya, ada yang setuju dan tidak setuju bahkan ada yang salah mengartikan pengertian redenominasi sama dengan sanering. Pada dasarnya perdebatan tersebut lebih dikarenakan adanya kemungkinan timbul inflasi akibat kebijakan redenominasi tersebut. Terlepas dari pro-kontra tersebut, wacana redenominasi memang sangat menarik untuk dikaji mengingat redenominasi sendiri bukan merupakan hal mudah untuk dilakukan, perlu adanya kesiapan dari semua elemen untuk mensukseskan kebijakan redenominasi ini. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi banyak orang.
68
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji redenominasi rupiah dari prespektif hukum. Sudah siapkah Indonesia untuk melakukan redenominasi? tidak disangkal bahwa masih terdapat pro-kontra terkait kebijakan redenominasi rupiah di Indonesia. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dikaji permasalahan bagaimanakah persiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi serta melihat kemungkinan implikasi yang terjadi dari penerapan redenominasi itu sendiri. C. Tujuan dan Kegunaan Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai redenominasi rupiah dalam prespektif hukum, khususnya mengetahui dan memahami bagaimanakah persiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi serta mengetahui dan memahami kemungkinan implikasi yang terjadi dari penerapan redenominasi. Selain itu kajian ini dimaksudkan sebagai masukan bagi anggota DPR RI khususnya Komisi XI dalam rangka mendukung tugas legislasi untuk menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah. II. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Pengertian Redenominasi Secara etimologi, redenominasi berasal dari kata latin “re” yang berarti kembali dan “denominare” yang berarti memberi nama khusus atau memecah. Sementara pengertian redenominasi mata uang menurut kata bahasa inggrisnya adalah “redenomination currency” yang berarti pertama, pecahan mata uang atau penyederhanaan mata uang sebagai dampak inflasi tertinggi (the process whereby a country’s currency is recalibrated due to significant security). Kedua, proses mengubah nilai mata uang demi keamanan sektor keuangan (the process of changing the currency value on a financial security).2 Pengertian redenominasi menurut Bank Indonesia, adalah penyederhanaan dari nilai atau nominal yang tertera pada mata uang tertentu tanpa memotong nilai tukar dari uang itu sendiri, disertai dengan penyesuaian harga komoditas di pasaran dan nilai tukar dengan valuta asing (valas).3 Jadi misalnya uang Rp1.000,- nantinya akan disederhanakan menjadi Rp1. Hal ini berlaku juga menyeluruh ke semua harga-harga barang dan jasa di negara tersebut. Tujuan redenominasi ini adalah sebagai efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran. 2 3
“Pengertian Redenominasi”, http://www.redenominasirupiah.com/, diakses 20 Februari 2013. Kamus Bank Sentral Republik Indonesia, “Pengertian Redenominasi”, http://www.bi.go.id/web/id/ kamus, diakses tanggal 20 Juni 2013.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
69
Redenominasi sukses jika dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi stabil dan rendah. Intinya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak bagi ekonomi. Terdapat tiga hal yang perlu untuk diperhatikan apabila ingin melakukan penyederhanaan satuan nilai tukar, antara lain kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang terjaga rendah dan adanya jaminan stabilitas harga.4 2. Pengertian Sanering Sanering berasal dari bahasa belanda yang berarti penyehatan, pembersihan atau reorganisasi. Dalam ilmu ekonomi, sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga sehingga daya beli masyarakat menurun.5 Sanering pernah dilakukan pada saat Orde Lama, yakni tahun 1950 untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk antara lain hutang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Kebijakan sanering pada waktu itu dikenal dengan sebutan “gunting syariffuddin”, yang kemudian dilanjutkan Pemerintah pada tahun 1959 dan terakhir pada tahun 1965. Gunting Syafruddin adalah sebuah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II yang mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 1950. Menurut kebijakan itu, “uang merah” (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus. Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk (utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung).6 Dampak negatif sanering yang pernah dilakukan pada saat orde pemerintahan lama, yakni: a. kebijakan sanering yang dilakukan pada tahun 1950 dirasakan kurang tepat karena tindakan sanering justru meyebabkan rakyat semakin menderita. Kebijakan sanering cenderung dilakukan demi kepentingan pemerintah semata, yakni untuk melunasi hutang pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan rakyat yang disebabkan pemotongan nilai rupiah tersebut;
4
5
6
70
“BI: Perekonomian Stabil, Syarat Utama Penerapan Redenominasi”, http://www.infobanknews.com/2013/01/ bi-perekonomian-stabil-syarat-utama-penerapan-redenominasi/, diakses tanggal 23 Januari 2013. “Perbedaan Redenominasi dengan Sanering”, http://klik-fe.blogspot.com/2011/03/perbedaan-redenominasidengan-sanering.html, diakses tanggal 20 Februari 2013. “Gunting Syafruddin”, http://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin, diakses tanggal 20 Februari 2013.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
b. sanering kedua yang dilakukan pada tahun 1959, menimbulkan likuiditas dimana-mana; dan c. terjadi depresiasi nilai rupiah yang menyebabkan nilai rupiah semakin menurun dan tidak berharga. 3. Teori Hukum Teori mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan karena teori itu menjelaskan suatu fenomena. Teori menurut Fred N. Kerlinger adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan memerinci hubungan-hubungan antar variabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala itu.7 Hukum pada dasarnya memerlukan kebijakan dalam arti yang positif, karena memang harus diakui bahwa hukum sebenarnya merupakan produk politik. Kebijakan dalam arti positif, mengandung makna sebagai penjamin adanya kepastian hukum (rechtmatigheid) maupun keadilan hukum (doelmatigheid).8 Hukum juga dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk memberikan legitimasi dan juga legalitas terhadap suatu kebijakan yang dihasilkan melalui produk hukum yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Oleh karena itu, di dalam menentukan politik hukum harus bertolak pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama sebagai sasaran yang akan dicapai dalam setiap pembentukan hukum.9 Hukum memiliki suatu tujuan. Menurut teori utilitas (manfaat) yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, digunakan untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Jeremy Bentham melalui bukunya “introduction to the morals and legislation”, berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan, sehingga hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi orang banyak (to serve utility).10 Hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi orang yang satu dapat juga merugikan orang lain, maka tujuan hukum ialah untuk memberi faedah sebanyak-banyaknya sehingga kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan utama daripada hukum. Sayangnya, teori ini 7
8
9
10
Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990, Hal. 14-15. Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Jakarta: Akademia, 2012, hal. 56. Ahmad Muliadi, Politik Hukum, hal. 58. Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan)diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006, hal. 26.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
71
memiliki kelemahan karena hanya memperhatikan hal-hal umum sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan hukum. Agar tujuan hukum dapat tercapai maka hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam penegakkan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.11 Hal senada juga dipertegas oleh Friedman. Penegakan hukum pada prinsipnya harus memberikan manfaat atau berdaya guna (utility) kepada masyarakat, namun disamping itu masyarakat juga menginginkan kepastian hukum untuk mencapai keadilan. III. PEMBAHASAN A. Persiapan Indonesia dalam Menghadapi Redenominasi Rupiah Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator makro yang menggambarkan pertumbuhan barang dan jasa di suatu wilayah pada waktu tertentu. Sedangkan stabilitas perekonomian dalam suatu negara dipandang sangat penting sehingga merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dalam mengarahkan berbagai instrumen fiscal dan moneter. Dengan demikian stabilitas pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kegiatan perekonomian dalam bentuk perdagangan barang atau jasa dan transaksi keuangan. Keadaan ini haruslah diimbangi dengan tersedianya mata uang sebagai alat tukar pembayaran atas barang dan jasa dalam jumlah yang memadai, karena secara tidak langsung keberadaan uang juga menunjukkan kekayaan seseorang dan kedaulatan suatu negara. Dalam dunia perekonomian peranan uang sangat vital. Di dalam lalu lintas perekonomian baik nasional maupun internasional, lazimnya uang diartikan sebagai alat pembayaran yang sah. Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran hutang-hutang. Fungsi uang itu sendiri selain sebagai alat penukar juga digunakan sebagai alat pengukur harga. Uang dikatakan sebagai alat penukar khususnya dalam hubungan transaksi jual beli, sedangkan pengukur harga artinya digunakan untuk penetapan harga. Tanpa uang, perekonomian suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan. Sebenarnya jika dicermati, materi redenominasi awalnya masuk ke dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, namun oleh sebagian kalangan hal tersebut dibatalkan karena redenominasi kemudian akan dibentuk menjadi undang-undang tersendiri. Hal ini diperkuat dalam Pasal 23B UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan 11
72
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hal. 37.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
undang-undang.12 Ketentuan frasa tersebut menjadi sangat penting, mengingat kedudukan uang sangat besar pengaruhnya kepada masyarakat terutama sebagai alat penukar dan pengukur harga. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur harga untuk menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga tersebut mesti tetap harganya, jangan naik turun tidak jelas karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karenanya keadaan uang perlu diatur dengan undang-undang. Penetapan Negara melalui undang-undang dirasakan sangat penting untuk dilakukan, dimaksudkan agar nilai mata uang rupiah tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas yang menggambang (floating). Selain itu amanah pembentukan redenominasi ke dalam undang-undang juga terlihat dalam Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan bahwa perubahan harga rupiah diatur dengan undang-undang.13 Kewenangan redenominasi merupakan kewenangan Bank Indonesia mengingat Bank Indonesia memiliki kebebasan penuh mengambil kebijakan moneter, bebas dari pengaruh campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain.14 Namun meskipun Bank Indonesia memiliki otoritas penuh tetap harus mendapatkan persetujuan DPR RI selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.15 Sebagai perwakilan atau representasi dari rakyat Indonesia secara keseluruhan, dan secara yuridis juga diakui demikian maka proses legislasi di Indonesia dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan berada di tangan DPR RI dan Presiden. Dengan demikian wakil-wakil rakyat merasa ikut andil dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak dipungkiri bahwa wacana redenominasi memang dipandang cukup menarik karena masih banyak adanya perbedaan penafsiran kerangka berpikir masyarakat akan hal tersebut. Masih banyak kalangan yang belum memahami pengertian redenominasi bahkan sempat menyalahartikan dengan sanering. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi sendiri bukan merupakan hal yang baru untuk dilakukan. Sebagai bahan perbandingan, redenominasi justru telah dilakukan di beberapa negara, misalnya Turki. Turki merupakan contoh sukses negara yang melakukan redenominasi dengan menghilangkan 6 angka nol pada mata uangnya. Jadi redenominasi yang dilakukan Turki adalah mengubah 14 15 12 13
Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
73
1.000.000 lira menjadi 1 lira pada tahun 2006. Setelah redenominasi, semua uang lama Turki (yang diberi kode TL) dikonversi menjadi uang baru (dengan kode YTL).16 Turki meredominasi mata uang secara bertahap dengan memperhatikan stabilitas perekonomian dalam negerinya. Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik secara bertahap digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya sebutan “yeni” (baru) pada uang baru dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL dengan nilai redenominasi. Selama tahap redenominasi, keadaan perekonomian tetap terjaga. Selain Turki, negara yang berhasil melakukan redenominasi adalah Polandia, Rumania dan Ukrania. Namun tidak sedikitpula yang gagal melakukan redenominasi, sebagai contoh Argentina, Zimbabwe, Brasil dan Korea Utara. Negara-negara tersebut memberlakukan redenominasi pada saat yang tidak tepat dimana perekonomian tidak stabil dan memiliki tingkat inflansi yang tinggi. Misalnya Korea Utara, pada akhir tahun 2009 melakukan redenominasi 100 won menjadi 1 won namun ketika warga hendak menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru justru tidak tersedia. Brazil juga sempat gagal melakukan redenominasi pada tahun 1986-1989. Brazil melakukan penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado. Namun kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap USD hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap USD. Kegagalan ini terjadi dikarenakan pemerintah Brazil tidak mampu untuk mengelola inflansi yang pada waktu itu mencapai 500% per tahun. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga merupakan faktor kegagalan redenominasi pada tahun 1986 mengingat negeri tersebut masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis kepastian berusaha.17 Salah satu persoalan penting di dalam masyarakat sebagian besar adalah masalah ekonomi. Ekonomi merupakan hal terpenting diantara beberapa hal dalam kehidupan manusia karena peran ekonomi itu sendiri sebagai sebuah aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Terdapat banyak perdebatan mengenai aktivitas ekonomi apalagi jika berhubungan dengan kebijakan yang diambil oleh beberapa pihak khususnya pemerintah. Dalam hal ini, kebijakan ekonomi dapat menjadi sebuah kontroversi ketika kebijakan tersebut diambil secara sepihak dan dalam kondisi yang memaksa kebijakan tersebut untuk dijalankan. Ini terbukti melalui kebijakan sanering yang dilakukan tanpa melalui koordinasi dari Bank Indonesia. 16
17
74
“Redenominasi Rupiah dan Stabilitas Perekonomian”, http://www.setneg.go.id/index.php?Option=com _content&task=view&id=6730&Itemid=29, diakses tanggal 3 Januari 2013. Redenominasi Rupiah dan Stabilitas Perekonomian”, http://www.setneg.go.id/index.php? Option = com _content&task=view&id=6730&Itemid=29, diakses tanggal 3 Januari 2013.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Sanering sendiri merupakan kebijakan yang diambil pemerintah pada tahun 1950 (1950, 1959, dan 1965). Sanering pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang memburuk, yaitu hutang yang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Terbukti pada tahun 1950, sanering digunakan untuk mengatasi situasi ekonomi yang saat itu sedang memburuk dan belum tertata setelah kemerdekaan. Pada tahun 1959, sanering digunakan untuk menekan laju inflasi dan menutup hutang pemerintah di bank yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan deposito) yang diganti dengan simpanan jangka panjang oleh Pemerintah. Sementara pada tahun 1965, sanering dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat hiperinflasi.18 Salah satu mekanisme kebijakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah pada saat itu : a. penurunan nilai uang kertas Rp500 dan Rp1000 diganti menjadi Rp50 dan Rp100. b. pembekuan sebagian simpanan pada bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah.19 Sayangnya upaya sanering yang dilakukan justru menyebabkan resiko atau dampak negatif sehingga masyarakat semakin menderita. Tahun 1959, kebijakan sanering menyebabkan bank-bank mengalami likuiditas, sehingga akhirnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 1959 dan Perpu No.3 Tahun 1959 yang isinya melakukan penurunan nilai rupiah dan pembekuan simpanan di bank-bank.20 Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran masyarakat apabila rencana redenominasi akan diberlakukan, karena tidak sedikit yang menyalahartikan kebijakan redenominasi akan berakibat sama seperti sanering yang pernah dilakukan pada tahun 1959. Jika dicermati, terdapat perbandingan antara redenominasi dengan sanering, antara lain sebagai berikut:
18
19
20
“Redenominasi dan Sanering”, http://setiyonoachmad.blogspot.com/2012/12/redenominasi-dansenering_16.html, diakses tanggal 20 Februari 2013. Pasal 3 Perpu No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan Sebagian Dari Simpanan Pada Bank-Bank. Perpu No. 2 Tahun 1959 tentang Penurunan Nilai Uang Kertas dan Perpu No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan Sebagian Dari Simpanan Pada Bank-Bank.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
75
PERBEDAAN REDENOMINASI DAN SANERING No. 1.
Redenominasi Pengertian: redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut, misal Rp1.000,- menjadi Rp1. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Sanering Pengertian: sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang sehingga daya beli masyarakat menurun.
2.
Dampak masyarakat: tidak ada kerugian karena daya beli masyarakat sama.
Dampak masyarakat: menimbulkan banyak kerugian karena daya turun masyarakat drastis.
3.
Tujuan: penyederhanaan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakukan transaksi serta mempersiapkan kesetaraan ekonomi dengan negara regional.
Tujuan: mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Dilakukan karena hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
4.
Nilai uang terhadap barang: tidak berubah karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan. Kondisi saat dilakukan: kondisi makro ekonomi stabil dan ekonomi tumbuh serta inflasi terkendali.
Nilai uang terhadap barang: berubah menjadi lebih kecil karena yang dipotong adalah nilainya.
5.
6.
Kondisi saat dilakukan: dilakukan pada saat kondisi makro ekonomi tidak sehat serta hiperinflasi.
Masa transisi: dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
21
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi yang rendah, dan mata uang negara lain yang tercermin dari stabilitas kurs valuta asing.22 Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di 21
22
76
Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah “Redenominasi Bukan Sanering”, Jakarta 23 Januari 2013. Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
bidang perekonomian.23 Untuk mencapai tujuan yang dimaksud tersebut, maka Bank Indonesia mempunyai tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi bank serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Pelaksaan ketiga tugas tersebut mempunyai keterikatan satu dengan lainnya dan saling mendukung. Tugas melaksanakan kebijakan moneter dilakukan melalui pengendalian jumlah uang yang beredar dan pengaturan suku bunga. Agar efektif maka memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal memerlukan sistem perbankan yang sehat karena sistem perbankan yang sehat selain mendukung kinerja sistem pembayaran juga mendukung kinerja pengendalian moneter, mengingat pelaksanaan kebijakan moneter dan efektivitasnya sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi rill untuk mencapai stabilitas nilai rupiah. Dalam rangka untuk menciptakan sistem pembayaran yang efisien, aman, handal dan cepat inilah Bank Indonesia melakukan redenominasi. Jadi dapat dikatakan bahwa redenominasi merupakan salah satu langkah kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia. Memang tidak dipungkiri bahwa redenominasi sarat dengan problematika. Hal ini semakin terlihat ketika pada saat pembahasan RUU Mata Uang, banyak perdebatan di dalamnya dimana kemudian materi redenominasi justru dikeluarkan untuk dibentuk menjadi undang-undang tersendiri sesuai amanah Pasal 23B UUD Tahun 1945. Namun terlepas dari pro-kontra tersebut, redenominasi selayaknya menjadi wacana yang patut untuk diperhitungkan namun dengan berbagai catatan tentunya karena memang disadari atau tidak, nominal mata uang rupiah yang sudah sangat besar tentu memberikan efek pada segala macam transaksi keuangan terutama pada transaksi yang melibatkan valuta asing. Kuotasi rupiah terhadap dollar AS dan Euro hampir mencapai 4-5 desimal di belakang koma, dan hal ini dinilai jelas tidak praktis serta tidak nyaman. Selain itu redenominasi diperlukan untuk membangun infrastruktur pembayaran non tunai di masa depan, sebab semakin tinggi digit angka maka sistem pencatatan dan akutansi akan semakin sulit. Kesulitan mucul jika sistem pencatatan (mesin hitung) tidak dapat mengantisipasi bertambahnya digit angka dalam bertransaksi sehingga sangat dipahami apabila Indonesia memerlukan redenominasi rupiah yang bertujuan untuk mengantisipasi in-efisiensi akibat semakin banyaknya waktu dan biaya transaksi yang semakin membesar. 23
Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
77
Hal ini sesuai dengan teori utilitas yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dimana dia berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan, sehingga hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi orang banyak. Teori ini dirasakan sangat penting karena digunakan untuk menganalisis manfaat (faedah) redenominasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan kata lain teori ini bertujuan untuk melihat sejauhmana kebijakan redenominasi akan memberikan manfaat (faedah) bagi masyarakat Indonesia. Misalnya manfaat yang dirasakan tersebut akan membuat masyarakat dapat melakukan transaksi dengan nilai yang lebih mudah, sehingga hal ini akan berimbas positif pada kemudahan pencatatan keuangan yang dibuat oleh perusahaan. Kemudian akan meningkatkan faktor psikologis bangsa Indonesia selaku pemilik mata uang rupiah di mata dunia Internasional yang selama ini nominal rupiah terkenal terlalu besar dan sehingga perlu adanya penyederhanaan. Akan tetapi, untuk mencapai itu semua bukanlah perkara yang mudah. Oleh karena itu diperlukan beberapa persiapan yang harus dilakukan Indonesia dalam menghadapi redenominasi, antara lain: Pertama, menyiapkan landasan hukum yang kuat untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat serta menerapkan regulasi tersebut pada saat yang tepat. Saat ini Pemerintah telah menyiapkan draft RUU Perubahan Harga Rupiah untuk segera dibahas bersama dengan DPR RI. Pengaturan redenominasi ke dalam undang-undang tersendiri merupakan amanah dari Pasal 23B UUD Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan bahwa perubahan harga rupiah diatur dengan undangundang. Regulasi dan timing implementation menjadi faktor penting bagi keberhasilan redenominasi. Pemerintah beserta DPR RI harus menyiapkan regulasi yang tegas karena redenominasi akan berdampak pada peraturan perundang-undangan lainnya, hal ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Kedua, sosialisasi secara intensif kepada masyarakat. Sosialisasi kiranya memegang peranan penting, hal ini dapat dilakukan pada saat sebelum dan setelah redenominasi karena jika Bank Indonesia salah melakukan sosialisasi maka yang terjadi adalah kepanikan masyarakat secara meluas dan hal ini akan berdampak buruk pada sistem perekonomian Indonesia. Kesiapan masyarakat akan menjadi poin penting bagi Bank Indonesia selaku bank sentral. Bank Indonesia dapat melakukan kajian insentif dampak redenominasi pada stabilitas ekonomi, misalnya melalui seminar, road show ke kampus-kampus, dan lainnya. Tidak disangkal bahwa segala hal yang berhubungan dengan uang termasuk nilai serta fungsinya menjadi sangat sensitif untuk diperbincangkan sehingga masyarakat harus dimintai pendapatnya terlebih dahulu secara langsung. Kesiapan masyarakat sangat diperlukan karena tanpa adanya kesiapan masyarakat 78
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
justru akan menyebabkan gejolak ekonomi dimana nantinya berimbas kepada kepanikan di masyarakat. Hal ini jelas sangat berbahaya seperti kasus sanering yang dulu terjadi sejak pemerintahan Orde Lama. Ketiga, sebelum melakukan kebijakan redenominasi, Bank Indonesia perlu untuk meyakinkan bahwa seluruh infrastruktur sudah disesuaikan dan disetting sedemikian rupa sehingga kompatibel dengan mata uang baru dengan lebih sedikit nol. Seluruh sistem penghitungan komputer di Indonesia termasuk akutansi, electronic data processing, stok gudang, cash flow, pengiriman dan sebagainya harus terlebih dahulu diubah dan perubahan itu harus dapat mengakomodir hasil penghitungan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu mesin ATM, mesin SPBU, mesin argo taksi, mesin kasir seluruh toko juga harus diubah. Menurut data dari Bank Indonesia pelaksanaan tahap-tahap redenominasi akan dilakukan pada tahun 2011-2016, dengan perhitungan sebagai berikut :24 Tahun 2010 2011-2012
Tahap Transisi Wacana redenominasi dimunculkan oleh Gubernur Bank Indonesia. Sosialisasi serta persiapan sistem akutansi dan pencatatan seluruh kegiatan perekonomian (perbankan, perdagangan dan lainnya)
2013-2015 2016 2016-2018 2019-2022
Masa transisi, dua nilai rupiah berlaku Periode transisi selesai Semua uang kertas lama ditarik habis. Proses penarikan selesai pada tahun 2018 Rupiah dengan nilai baru berlaku menyeluruh
Tahun 2013-2015 dikatakan sebagai masa transisi. Pada masa transisi nanti akan digunakan dua mata uang rupiah, yakni uang rupiah lama dan uang rupiah baru hasil redenominasi. Pada masa ini masyarakat dapat menggunakan dua mata uang tersebut dalam melakukan transaksi sampai akhirnya uang rupiah lama akan ditarik oleh Bank Indonesia (tahun 2016-2018). Tahun 2019-2022 semua masyarakat akan melakukan transaksi dengan uang rupiah yang telah diredenominasi. Secara garis besar pelaksanaan redenominasi mata uang dilakukan menjadi 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyiapan, tahap pemantapan, tahap implementasi dan transisi, serta tahap phasing out, yakni suatu tahap dimana seluruh transaksi nantinya akan menggunakan mata uang rupiah baru. B. Kemungkinan Implikasi Yang Terjadi dari Penerapan Redenominasi Ada beberapa faktor dampak negatif dari digit rupiah yang terlalu besar, antara lain sebagai berikut: 25 24
25
“Ingat Selalu, Jadwal-Jadwal Pelaksanaan Redenominasi Rupiah”, http://bisnis.liputan6.com/read/498131/ ingat-selalu-jadwal-jadwal-pelaksanaan-redenominasi-rupiah, diakses 20 Juni 2013. Kiki Afiyanti, “Lima Dampak Ekonomi Akibat Nilai Rupiah Terlalu Besar”, http://bisnis.liputan6.com/ read/494726/lima-dampak-ekonomi-akibat-nilai-rupiah-terlalu-besar, diakses tanggal 30 Januari 2013.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
79
1. Input data, pengelolaan database, laporan data dan penyimpanan data cenderung tidak efisien. Begitupula dengan sistem akutansi dan laporan teknologi informasi; 2. Digit yang terlalu banyak menyebabkan pemborosan dalam penyajian laporan dan akutansi; 3. Pemborosan juga dialami dalam penggunaan memori dalam berbagai perangkat teknologi informasi; 4. Nilai uang dengan jumlah digit yang terlalu banyak akan membuat kerumitan dalam penghitungan transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan dan memakan waktu yang lama; dan 5. Dari sisi pembayaran non tunai, jumlah digit yang besar dapat menyebabkan permasalahan transaksi akibat nilai transaksi yang melampaui digit yang dapat ditolerir sistem pembayaran dan pencatatan. Ketidakefisien tersebut membuat Bank Indonesia berinisiatif untuk melakukan kebijakan redenominasi mengingat redenominasi merupakan salah satu bagian dari tugas Bank Indonesia dalam melaksanakan dan menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia.26 Nilai rupiah yang mempunyai digit yang cukup banyak dirasakan tidak mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, terlebih Indonesia akan memasuki Asean Community 2015 dimana kesetaraan regional mata uang negara-negara Asean sangat diperlukan. Selain itu manfaat redenominasi lainnya adalah untuk memudahkan perekonomian menjadi lebih efisien, meningkatkan kebanggan terhadap rupiah. Namun selain manfaat juga terdapat kemungkinan-kemungkinan implikasi yang timbul dari penerapan redenominasi, seperti inflasi. Hal ini sangat rentan mengingat inflasi dapat terjadi dikarenakan adanya pembulatan harga ke atas apabila tidak terdapat pecahan kecil untuk mata uang baru. Misalnya, semula harga cabai per kilogram Rp8700,- kemudian setelah redenominasi menjadi Rp8,7. Dengan angka tersebut terdapat kemungkinan pedagang cabai akan nakal untuk membulatkan angka menjadi Rp9. Hal inilah yang dapat menyebabkan inflasi. Jika dicermati pembulatan harga disebabkan efek psikologis masyarakat yang terserang kepanikan luar biasa serta perilaku moral hazard yang memanfaatkan asymmetric information untuk spekulasi menyimpan barang dan menaikkan harga. Oleh karena itu kebijakan redenominasi memang sangat penting untuk diperhatikan dengan seksama, karena kebijakan ini tidak sekedar membuang tiga angka di belakang koma. 26
80
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Selain itu, kemungkinan implikasi lainnya juga berdampak pada peraturan perundang-undangan dimana dengan diberlakukannya redenominasi maka seluruh penyebutan dan/atau penggunaan rupiah akan dinyatakan dalam rupiah baru (hasil setelah redenominasi). Hal ini tentu saja akan berdampak pada segala macam pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan (penerapan sanksi denda), keputusan pengadilan, perjanjian, surat berharga, dokumen keuangan dan sebagainya. Ini bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Sebagai contoh, legalitas kontrak-kontrak investasi yang nantinya juga dipertanyakan. Oleh karenanya perlu adanya pengharmonisasian ketentuan perundang-undangan yang sudah ada dan perlu diatur di dalam ketentuan peralihan di dalam RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Redenominasi memang merupakan wacana yang sangat menarik akan tetapi perlu untuk ditinjau kembali karena persiapan haruslah matang, tidak tergesatega dan sebisa mungkin menutup flaw yang mungkin dapat terjadi di dalam implementasinya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pihak Pemerintah, mengingat kondisi perekonomian Indonesia belumlah stabil karena redenominasi sebaiknya dilakukan pada saat kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang terjaga rendah serta adanya jaminan stabilitas harga. Jika memang ketiga syarat mutlak tersebut dapat dijaga, maka redenominasi akan berjalan sebagaimana mestinya. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Redenominasi yang merupakan salah satu program kebijakan Bank Indonesia untuk menyederhanakan nilai mata uang ternyata menuai pro-kontra di dalamnya, hal ini dikarenakan adanya perdebatan masyarakat mengenai hal tersebut. Ada yang setuju, tidak setuju bahkan sempat menyalahartikan pengertian redenominasi dengan sanering yang dulu pernah diberlakukan pada saat pemerintahan Orde Baru. Kekhawatiran masyarakat cukup beralasan mengingat kebijakan sanering yang diberlakukan justru semakin membuat rakyat menderita. Materi redenominasi yang dulu sempat masuk dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang akhirnya dikeluarkan untuk menjadi undangundang tersendiri, sesuai amanah Pasal 23B UUD Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ada beberapa point penting kesiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi, yakni: Pertama, perlu adanya payung hukum atau landasan hukum tegas yang mengatur mengenai redenominasi untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini telah diantisipasi oleh Pemerintah melalui RUU tentang Perubahan Harga Rupiah yang akan segera dibahas bersama DPR RI. Kedua, sosialisasi intensif TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
81
terkait RUU tentang Perubahan Harga Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia beserta Pemerintah kepada masyarakat. Ketiga, kesiapan infrastruktur untuk disesuaikan dan disetting sedemikian rupa sehingga kompatibel dengan mata uang baru dengan lebih sedikit nol. Tidak dipungkiri bahwa redenominasi diberlakukan selain untuk memudahkan perekonomian menjadi lebih efisien juga untuk meningkatkan kebanggaan terhadap rupiah. Namun disamping manfaat-manfaat tersebut, redenominasi juga dapat menimbulkan dampak negatif misalnya berpeluang untuk menimbulkan inflasi akibat pembulatan harga, dikarenakan efek psikologis masyarakat yang terserang kepanikan luar biasa serta perilaku moral hazard yang memanfaatkan asymmetric information untuk spekulasi menyimpan barang dan menaikkan harga. Selain itu redenominasi juga akan berdampak kepada peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya dalam hal penerapan sanksi denda. Oleh karenanya perlu adanya pengharmonisasian ketentuan perundangundangan yang sudah ada dan perlu diatur di dalam ketentuan peralihan di dalam RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah, mengingat kondisi perekonomian Indonesia saat ini belumlah stabil. Kewibawaan suatu negara tidak diukur dari nilai tukar mata uang terhadap mata uang negara lainnya, melainkan dipandang dari struktur, kekuatan dan kedaulatan ekonomi suatu negara tersebut. B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka terdapat beberapa masukan atau saran diantaranya sebagai berikut : 1. Salah satu resiko yang dapat terjadi di dalam kebijakan redenominasi adalah potensi kenaikan harga. Hal ini dipicu akibat pembulatan harga-harga ke atas secara berlebihan dikarenakan adanya kepentingan pribadi. Oleh karenanya resiko ini dapat diminimalisir melalui undang-undang yang tegas mengatur praktek pembulatan harga, termasuk kriteria kewajaran, pengawasan dan penindakan yang tegas bagi yang melanggar. Materi ini kiranya dapat dimasukkan ke dalam draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah. 2. Perlu adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dalam hal ini institusi penyusunan standard akutansi privat (IAI) dan penyusun standar akuntansi pemerintah (KSAP) untuk memperoleh rekomendasi terkait proses pencatatan dan pelaporan keuangan dengan adanya kebijakan redenominasi. Dari sisi pemerintah, UU Perubahan Harga Rupiah harus mencantumkan peraturan mengenai mekanisme penyusunan APBN untuk tahun awal 82
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
diberlakukannya kebijakan redenominasi. Dari sisi sektor privat, pencatatan dan pelaporan keuangan harus diseragamkan dalam hal pencantuman nilai nominal agar otoritas pajak dapat memotong dan memungut pajak sesuai nilai yang seharusnya. 3. Perlu adanya sosialisasi intensif terkait redenominasi kepada masyarakat, tidak hanya pada kota-kota besar saja namun juga menyeluruh sampai ke pelosok daerah terpencil termasuk juga daerah perbatasan. Sosialisasi tersebut tidak hanya sekedar memperkenalkan mata uang baru saja namun juga mensosialisasikan kesetaraan nilai rupiah lama dan rupiah baru.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
83
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan) diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006. Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1997. Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990. Khalwaty, Tajul. Inflasi dan Solusinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah “Redenominasi Bukan Sanering”, Jakarta 23 Januari 2013. Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010. Muliadi, Ahmad. Politik Hukum, Jakarta: Akademia, 2012. Peraturan Perundang-undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5223. Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1959 tentang Penurunan Nilai Uang Kertas Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan Sebagian dari Simpanan Pada Bank-Bank.
84
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Website BI: Perekonomian Stabil, Syarat Utama Penerapan Redenominasi, http://www. infobanknews.com/2013/01/bi-perekonomian- stabil- syarat-utamapenerapan-redenominasi/, diakses tanggal 23 Januari 2013. Gunting Syafruddin, http://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin, diakses tanggal 20 Februari 2013. Ingat Selalu, Jadwal-Jadwal Pelaksanaan Redenominasi Rupiah, http:// bisnis. liputan6.com/read/498131/ingat-selalu-jadwal-jadwal-pelaksanaanredenominasi-rupiah, diakses tanggal 20 Juni 2013. Kamus Sentral Bank Indonesia, Pengertian Redenominasi, http://www.bi.go.id/ web/id/ kamus, diakses tanggal 20 Juni 2013. Kiki Afiyanti, Lima Dampak Ekonomi Akibat Nilai Rupiah Terlalu Besar, http:// bisnis.liputan6.com/read/494726/lima-dampak-ekonomi-akibat-nilairupiah-terlalu-besar, diakses tanggal 30 Januari 2013. Pengertian Redenominasi, http://www.redenominasirupiah.com/, diakses tanggal 20 Februari 2013. Perbedaan Redenominasi dengan Sanering, http://klik-fe.blogspot.com/2011/03/ perbedaan-redenominasi-dengan-sanering.html, diakses tanggal 20 Februari 2013. Redenominasi Rupiah dan Stabilitas Perekonomian, http://www.setneg.go.id/ index.ph p?option=comcontent&task=view&id=6730&Itemid=29, diakses tanggal 3 Januari 2013. Redenominasi dan Sanering, http://setiyonoachmad.blogspot.com/2012/12/ redenominasi-dan-senering_16.html, diakses tanggal 20 Februari 2013. Redenominasi Rupiah, Siapa Takut? http://majalah.pialangindonesia.com/images/ edisimajalah/f_Pialang%20Indonesia%20Maret%202013.pdf, diakses tanggal 20 Februari 2013.
TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah...
85
UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Puteri Hikmawati* Abstract Corruption remains a serious problem in Indonesia, many cases are yet to be revealed. One reason is the lack of witness evidence. This witnesses were reluctant to testify because it might receive threats or intimidation from perpetrators. Witnesses and complainants receive less legal protection. In the handling of corruption cases that the term whistleblower and justice collaborator. This review is intended to assess the formulation of legal norms that regulate the protection of witnesses and reporting of corruption and its implementation. Witness protection regulation in corruption has been stipulated in Law no. 31 of 1999 on Eradication of Corruption and Law no. 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. While the witness and victim protection provisions generally are specifically provided in Law no. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. While protection of the complainant is not regulated in detail in the Law no. 13 of 2006. Therefore, cause problems in the implementation Supreme Court Circular (SEMA) no. 4 of 2011 was made to adopt the term whistleblower and justice collaborator. However, the provisions of the SEMA causes problems. On of them, the provisions of Law no. 13 of 2006 closed opportunity for a reporting as whistleblower, who has a good faith, to be prosecuted either criminal or civil. However, SEMA no. 4 of 2011 gives the opportunity to process the whistleblower for the report had to say. Therefore, in the revised Law no. 13 of 2006 should be set against the whistleblower and justice protection in detail. Kata kunci: Whistleblower, justice collaborator, perlindungan hukum, dan tindak pidana korupsi.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Tindak pidana ini telah menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Data dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat pertama sebagai negara terkorup dari 16 negara
*
Peneliti Bidang Madya Bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI, email:
[email protected]
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
87
Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi, dengan skor korupsi Indonesia 9,27.1 Selama ini banyak tindak pidana korupsi yang telah terungkap. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, kerugian negara dari kasus korupsi sudah menembus angka Rp39 triliun. Wakil Ketua KPK, Busyro Muqqodas, mengatakan, dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, 4 Desember 2012, bahwa sepanjang 2004-2011, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tercatat sebesar Rp 39,3 triliun.2 Kerugian dari kasus korupsi yang tidak terungkap, nilainya mungkin tidak kalah besar. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Keberhasilan penyelesaian suatu tindak pidana sangat tergantung pada keterangan saksi yang berhasil diungkap. Dalam proses penyelesaian perkara korupsi terutama yang berkenaan dengan saksi, tidak sedikit perkara yang kandas di tengah jalan disebabkan karena ketiadaan saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Keberadaan saksi merupakan unsur yang sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”3 Peran saksi dalam proses peradilan pidana sangat penting. Saksi merupakan kunci untuk memperoleh kebenaran materil. Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Pasal 184 KUHAP menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selanjutnya, Pasal 185 ayat (2) menyatakan “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakannya kepadanya.” Ayat (3)nya menyatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang
1
2
3
88
“PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia Pasifik”, http://metrotvnews.com/read/news/2011/08/11/60962/ PERC-Indonesia-Negara-Terkorup-di-Asia-Pasifik, diakses tanggal 1 Februari 2012. “Korupsi Rugikan Negara Rp 39 T”, http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_ content&view=article&id=17564:korupsi-rugikan-negara-rp-39-t-&catid=6:ekobis&Itemid=8, diakses tanggal 5 Maret 2013. Pasal 1 angka 27 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
sah lainnya”. Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari satu orang saksi saja tanpa disertai dengan alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, saksi perlu aman dan bebas saat diperiksa di muka persidangan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun mungkin keterangannya itu memberatkan terdakwa. Kecenderungan yang terjadi, banyak saksi yang membongkar kasus tetapi dijadikan tersangka, salah satu contohnya adalah mantan Kabareskrim Kepolisian RI Susno Duadji pada tahun 2010, mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena merasa keselamatan diri dan keluarganya terancam setelah membongkar perkara makelar kasus pajak Gayus Tambunan, tetapi kemudian yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus PT Salmah Arowana Lestari di Riau. Susno dituduh telah menerima suap sebesar Rp 500 juta dari Haposan Hutagalung selaku pengacara investor PT SAL, Mr. Ho, melalui Sjahril Djohan. Selain itu, ia juga dijerat kasus korupsi dana pengamanan pemilihan gubernur Jawa Barat 2008 saat menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.4 Peran saksi dalam proses penyelesaian perkara selama ini sangat jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya perkara-perkara yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena keengganan saksi untuk memberikan keterangan saksi kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak-pihak tertentu. Padahal, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mewajibkan seorang saksi untuk memberikan keterangan dan diancam sanksi pidana jika tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 224). Dalam penanganan tindak pidana korupsi, terkait dengan istilah saksi, kini muncul istilah whistleblower dan justice collaborator. LPSK berpandangan Susno Duadji sebagai ‘peniup peluit’ atau whistleblower mesti dilindungi secara fisik dan pemenuhan hak hukum. Berkaitan dengan itu, Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat diterapkan terhadap Susno.5 Istilah whistleblower dan justice collaborator muncul dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Tindak pidana tertentu 4
5
“Polri: LPSK Lindungi Saksi, Susno Tersangka”, http://log.viva.co.id/news/read/153472-polri__lpsk_ lindungi_saksi__susno_tersangka, diakses tanggal 5 Maret 2013. “Susno Tetap dalam Perlindungan LPSK”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4d47d6096983a/ susno-tetap-dalam-perlindungan-lpsk, diakses tanggal 5 Maret 2013.
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
89
yang dimaksud dalam SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. SEMA tersebut dikeluarkan karena ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Dalam kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, selain Susno Duadji yang dianggap sebagai ‘peniup peluit’ atau whistleblower, setidaknya ada dua orang yang sudah disebut sebagai justice collaborator. Pertama, mantan Anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang divonis bersalah menerima suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Agus sudah memperoleh pembebasan bersyarat sejak akhir Oktober 2012. Selain Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator. Rosa telah divonis bersalah karena menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. LPSK bersama KPK mengajukan permohonan agar Rosa diberikan pengurangan hukuman (remisi) yang diharapkan bisa berujung ke pembebasan bersyarat.6 Kini Rosa tengah menunggu pembebasan bersyarat. B. Permasalahan Dengan berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum yang menjadi salah satu prasyarat dalam suatu negara hukum, saksi dan pelapor dalam tindak pidana korupsi harus pula diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan hukum. UU No. 13 Tahun 2006 yang mengatur perlindungan saksi dan korban, dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah dan perbedaan pendapat, apakah whistleblower (pelapor), seperti Susno dan justice collaborator perlu dilindungi. Ada perbedaan persepsi antara LPSK dengan Mabes Polri perihal penempatan rumah tahanan. Menurut Lili, LPSK berpandangan bahwa Susno menjadi whistleblower dalam kasus Gayus sehingga layak dilindungi, sebaliknya, Mabes Polri beranggapan Susno menjadi tersangka dalam kasus SAL sehingga tak bisa mendapat perlindungan. Awalnya LPSK akan menempatkan Susno pada tempat yang aman, namun Polri berpendapat Susno layak ditempatkan pada Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok Jawa Barat.7 Perbedaan persepsi ini timbul karena ketidakjelasan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini akan mengkaji bagaimana formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi (justice collaborator) dan pelapor (whistleblower) tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana pelaksanaannya. “Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-justice-collaborator-i, diakses tanggal 16 Maret 2013. 7 Ibid. 6
90
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Anggota DPR RI dalam merevisi UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. II. KERANGKA PEMIKIRAN Politik hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum nasional. Politik hukum pidana didefinisikan secara garis besar sebagai cara bertindak, atau siasat dari pemerintah (negara) dalam bentuk hukum pidana, sebagai garis besar pedoman untuk mencapai tujuan/sasaran tertentu (dalam menghadapi kejahatan). Hal ini sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Sudarto. Berpijak dari pengertian tersebut, lebih lanjut Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan “Politik Hukum Pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.8 Dalam bagian lain dia menyatakan bahwa melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti “Usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadilan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”.9 Sementara itu, menurut Marc Ancel, politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, yang tidak saja kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.10 Kemudian A. Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (Strafrecht Politiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berhak perlu diubah atau diperbaharui. b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. 8 9
10
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 93. Ibid., hal. 109. Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hal. 1.
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
91
Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, sehingga politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.11 Sedangkan politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undangundang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.12 Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, sehingga eksistensinya tidak dipersoalkan lagi. Berdasarkan uraian tersebut, maka usaha untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Politik hukum pidana dapat diidentikkan dengan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Berpijak dari keseluruhan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang meliputi bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan hukum pidana. Politik hukum pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan undang-undang, yang diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasannya. Sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi adalah tahap penerapan suatu undang-undang, yang berkaitan erat dengan proses peradilan. Berkaitan dengan perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi, tahap formulasi adalah tahap perumusan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam melindungi saksi dan pelapor tindak pidana korupsi. Sementara itu, tahap aplikasi dan tahap eksekusi adalah bagaimana aparat penegak hukum menerapkan ketentuan UU 11 12
92
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997, hal. 21. Ibid., hal. 23.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
No. 13 Tahun 2006, UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 30 Tahun 2002 dalam melindungi saksi dan pelapor tindak pidana korupsi agar dapat memberikan keterangan secara aman dalam proses peradilan. III. PEMBAHASAN A. Analisis terhadap Formulasi Norma Hukum Pengaturan Perlindungan Saksi (justice collaborator) dan Pelapor Tipikor (whistleblower) Selama ini perhatian para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum lebih mengarah terhadap pelaku tindak pidana, sangat kurang terhadap saksi dan pelapor yang ikut berperan dalam mengungkap tindak pidana. Padahal, telah ada undang-undang yang khusus mengatur perlindungan saksi, yaitu UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konsiderans UU tersebut, disebutkan bahwa UU ini diperlukan karena mengingat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban sebagai salah satu alat bukti dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, sementara penegak hukum sering mengalami kesulitan disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau karena adanya ancaman terhadap saksi, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sebelum pembentukan UU No. 13 Tahun 2006, kebijakan perlindungan saksi untuk tindak pidana tertentu telah diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan. Dalam peraturan-peraturan tersebut terdapat perbedaan para pihak yang perlu mendapat perlindungan. Dalam pelanggaran HAM misalnya, perlindungan saksi dan korban diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat (peraturan pelaksana ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), perlindungan saksi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang (peraturan pelaksana ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003), dan perlindungan saksi tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme (peraturan pelaksana ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang).
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
93
Khusus untuk tindak pidana korupsi, perlindungan saksi diatur dalam Pasal 41 ayat (2) huruf e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa “masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat perlindungan hukum, dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Selain itu, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur perlindungan saksi. Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2002 menyebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.” Adapun peraturan pelaksana dari ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 adalah PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 ayat (1) PP tersebut mengatakan bahwa “Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat, yang memberikan informasi disertai keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi, berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman.” Tetapi perlindungan hukum tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan.13 Perlindungan hukum juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain.14 Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan saksi tersebut dianggap tidak memadai, sehingga perlu dibuat UU yang khusus mengatur perlindungan saksi dan korban. Oleh karena itu, lahirlah UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketentuan mengenai perlindungan dan hak saksi dan korban dalam UU No. 13 Tahun 2006 diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10. Berbagai hak dapat diberikan kepada seorang saksi dan korban untuk memberikan rasa aman dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Hak-hak tersebut meliputi: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 13
14
94
Lihat Pasal 5 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 ayat (3) PP No. 71 Tahun 2000.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.15 Satu hal yang menarik dalam UU No. 13 Tahun 2006. UU ini mengatur perlindungan saksi dan korban dan dalam Pasal 1 disebutkan definisi saksi dan korban. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.16 Sedangkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.17 Tetapi di dalam bab mengenai perlindungan saksi dan korban, yaitu dalam Pasal 10 tiba-tiba muncul istilah “pelapor”, yang bunyinya: “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”18 Kemudian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan, bahwa “yang dimaksud dengan “pelapor” adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.” Jika dilihat Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang merupakan RUU Usul DPR RI, pada saat diajukan kepada Presiden dengan surat No. RU.02/4428/DPR-RI/2005, tertanggal 30 Juni 2005, RUU tidak menyebutkan istilah “pelapor” dalam salah satu pasalpun. Draf awal RUU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan pengertian saksi, yang pengertiannya hampir sama dengan pengertian saksi dalam UU KUHAP, dan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selanjutnya, Pasal 10 RUU mengatakan “seorang saksi yang termasuk sebagai tersangka terus kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiannya 17 18 15 16
Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006. Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2006. Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006. Pasal 10 ayat (1) UU No 13 Tahun 2006.
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
95
dapat dijadikan pertimbangan hakim terus meringankan pidana yang akan dijatuhkannya.” Pada saat pembahasan RUU terjadi perdebatan mengenai perlunya memberikan perlindungan terhadap pelapor. Pemerintah (diwakili oleh Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM) dalam Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Komisi III DPR RI, tanggal 17 Mei 2006, menjelaskan bahwa istilah “pelapor” bukan merupakan istilah yang baru. Kata “pelapor” telah ada dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 43 UU tersebut mengatakan, bahwa “pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/ atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.19 Penjelasan Pemerintah ini muncul karena adanya perdebatan mengenai perlunya memberikan perlindungan saksi dalam bentuk hak untuk mendapatkan keringanan atau bahkan penghapusan dari segala tuntutan terhadap apa yang dia sampaikan atau keterangan yang dia berikan, untuk memotivasi/mendorong seseorang yang mengetahui betul tindak pidana korupsi dan ingin membongkarnya. Usul ini disampaikan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) yang diwakili oleh Lukman Hakim Saifuddun.20 Terkait dengan hal ini, F-PPP sejak awal mengusulkan pasal ini untuk memerangi korupsi. Pada saat pembahasan RUU, istilah “Mr. Blower” telah muncul bagi saksi yang mempunyai keberanian untuk memberikan kesaksian dalam konteks korupsi.21 Jadi politik hukum pada saat pembahasan RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah ingin melindungi whistleblower khusus menyangkut korupsi. Pada akhirnya, UU No. 13 Tahun 2006 menentukan bahwa “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian, yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”22 Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Walaupun pembuktian mengenai ada tidaknya itikad baik seseorang sulit dibuktikan. Perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan yang diberikan terhadap seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama. UU menetapkan “Seorang saksi yang 19
20
21
22
96
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 17 Mei 2006, Buku I Proses Pembahasan RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Setjen DPR RI, 2006, hal. 443. Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 15 Maret 2006, hal. 326-327. Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 17 Mei 2006, op.cit., hal. 432-433. Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”23 Jadi, whistleblower dan justice collaborator sebenarnya telah masuk dalam lingkup pihak-pihak yang perlu dilindungi dalam UU No. 13 Tahun 2006, namun karena ketentuan yang kurang tegas, maka timbul permasalahan dalam pelaksanaannya. B. Pelaksanaan Perlindungan Justice Collaborator dan Whistleblower: Kendala dan Solusinya Persoalan pembuatan peraturan termasuk peraturan perlindungan saksi dan korban adalah masalah kebijakan. Kebijakan adalah suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif. Kebijakan pembuatan perundangan-undangan merupakan tahap yang strategis dalam mendasari kebijakan selanjutnya. Perlindungan saksi, korban, dan pelapor dalam proses peradilan pidana merupakan suatu kebijakan yang dibuat dalam bentuk undang-undang. Pemerintah dan DPR RI membentuk Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang disahkan pada tanggal 18 Juli 2006. Dengan demikian, saksi dan pelapor tindak pidana diharapkan akan mendapatkan pelindungan dalam memberikan keterangannya. Namun, kenyataan yang terjadi ada kelemahan dari UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Ada perbedaan yang mencolok dalam melindungi seorang pelapor dan seorang saksi, sehingga seorang pelapor tidak mendapatkan perlindungan seperti perlindungan yang didapat oleh seorang saksi. Dalam menyebutkan hak-hak yang diberikan kepada Saksi, UU tidak menyebutkan kata “pelapor”, tetapi hanya menyebutkan hak seorang Saksi dan Korban. Pasal 5 ayat (1) mengatakan “Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 23
Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006.
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
97
g. h. i. j. k. l. m.
mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapat identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Hal ini tentunya akan menimbulkan keengganan pelapor untuk melaporkan suatu tindak pidana, seperti kasus korupsi. Untuk mengungkap suatu tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tetapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat besarnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran pelapor (whistleblower) sangat menentukan. Kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum dapat terungkap tidak lain karena peran whistleblower. Khairiansyah pernah mendapat perlindungan dari KPK karena membantu membongkar kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Namun, belakangan, ia menjadi tersangka dalam kasus Dana Abadi Umat Departemen Agama. Di mata Khairiansyah, mantan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu perlindungan yang mestinya dipertimbangkan adalah, saksi yang membuka kasus korupsi dibebaskan dari tuduhan kasus lain. Khairiansyah mengibaratkan orang yang melaporkan kasus korupsi itu seperti orang membeli polis asuransi. Orang itu memberi uang premi dalam bentuk kasus, KPK memberi jaminan.24 Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai adanya keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh, ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya. Dalam hal ini, UU tentang Perlindungan Saksi jelas diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi. Undang-undang ini diharapkan mampu memotivasi orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi untuk berani menguak kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh konspirasi dari para koruptor. Istilah whistleblower merupakan istilah baru dalam hukum acara pidana di Indonesia. Whistleblower adalah orang-orang yang berani dalam mengungkapkan
“Silang Pendapat Perlindungan Saksi”, http://jurnalis.wordpress.com/2006/01/31/silang-pendapatperlindungan-saksi/, diakses tanggal 17 Mei 2010.
98
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
24
kasus, terlepas adanya dendam pribadi ataupun karena panggilan hati nurani. Jika melihat definisi pada Penjelasan Pasal 10, maka ada kemiripan antara istilah whistleblower dengan pelapor. Bahkan di dalam wacana yang berkembang, konsep whistleblower juga dikaitkan dengan saksi yang berasal dari kelompok pelaku, misalnya Kasus Agus Condro dan Kasus M. Nazaruddin. SEMA No. 4 Tahun 2011 sudah mengadopsi definisi whistleblower. Pada angka 8 huruf a ditegaskan bahwa “Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa sistem hukum di Indonesia menyamakan kedudukan Pelapor sebagai whistleblower. Namun ketentuan SEMA tersebut justru bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2006 dengan dimasukannya huruf b pada angka 8, yaitu “Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.” Jika dibandingkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, yang menegaskan, bahwa “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”, maka di dalam UU No. 13 Tahun 2006 telah tertutup bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan kalimat “………..penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.” Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa jika perkara yang dilaporkan oleh seorang whistleblower selesai disidangkan, maka kemudian perkara yang dilaporkan oleh terlapor akan dapat diproses, sehingga seorang whistleblower akan menghadapi tuntutan pidana dan/atau perdata atas perkara yang ia laporkan. Jelas di dalam SEMA tersebut, MA menggunakan kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda. Mengapa tidak ditegaskan saja bahwa seorang whistleblower yang dengan itikad baik tidak bisa dilaporkan kembali karena laporannya. Suatu ketentuan yang digunakan sebagai ketentuan pelaksanaan undangundang lazimnya dibuat dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan lainnya yang lebih rendah. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji mengenai kedudukan surat edaran dalam tata hukum Indonesia. Produk hukum dalam bentuk ”Surat PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
99
Edaran” baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sekarang diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011, tidak dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 (UU No. 12 Tahun 2011). Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen No. 22 Tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah “Naskah Dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Selanjutnya di Permendagri No. 55 Tahun 2010 Pasal 1 angka 43 dijelaskan:25 Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu, Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir Peraturan Menteri, Perpres atau PP, apalagi UU, tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.26 Sehingga SEMA atau Surat Edaran Mahkamah Agung adalah merupakan surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup kewenangannya. Tetapi SEMA No. 4 Tahun 2011 ini masih membutuhkan petunjuk lebih lanjut. Dalam banyak hal SEMA tersebut justru tidak memberikan petunjuk pelaksanaannya, bahkan masih menimbulkan beberapa permasalahan, antara lain bila terjadi conflict of interest, seperti pada kasus Komjen Pol Susno Duadji, institusi mana yang berwenang memberikan perlindungan hukum? Karena SEMA ini hanya berlaku pada ruang lingkup penuntutan dan pemeriksaan di dalam sidang. Sedangkan pada tahap Kepolisian hanya sebagai tembusan artinya tidak mengikat kepada POLRI. SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan tidak menjelaskan mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan diberikan kepada justice http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.55-2010.doc Sri Hariningsih, “Kedudukan Surat Edaran dalam Tata Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia: Implementasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Materi yang disampaikan dalam Kegiatan Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, http://www.djpp.info/index.php/ component/content/article/89-implementasi/282-implementasi-ternate, diakses tanggal 8 April 2013.
25 26
100
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
collaborators. Kalau dilihat pada Kasus Agus Condro yang dituntut 1 tahun 5 bulan oleh JPU dan mendapat keringanan oleh Majelis Hakim karena Agus Condro sebagai pelapor hanya 3 bulan, menjadi 1 tahun 3 bulan. Sebegitu besarnya kasus yang diungkap oleh Agus Condro, namun hanya mendapat keringanan 3 bulan. Selanjutnya, digolongkan sebagai apakah ketika seseorang melaporkan dugaan tindak pidana dan ternyata ia juga sebagai salah satu pelaku? Saksi Pelaku ataukah Pelapor? Bagaimana jika seorang Pelapor kehilangan imunitasnya karena ada itikad tidak baik? Apakah laporannya secara otomatis ditolak atau bagaimana? LPSK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah seseorang layak mendapat perlindungan hukum atau tidak. Jika dianggap layak, maka seseorang akan berada di dalam salah satu status, saksi kah, saksi pelaku kah, korban kah atau Pelapor kah? Persetujuan atas suatu permohonan dituangkan ke dalam sebuah perjanjian. Apakah kemudian Perjanjian tersebut kemudian dijadikan acuan oleh Jaksa untuk menyusun tuntutannya ataukah Perjanjian itu dijadikan salah satu alat bukti yang meringankan oleh Hakim? Karena di dalam SEMA, ditegaskan agar Hakim tetap wajib mempertimbangkan. Di dalam angka 7 SEMA No 4 Tahun 2011, ditegaskan agar Hakim memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya bagi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. Ini juga poin yang menyesatkan, karena kewenangan untuk memberikan perlindungan hukum yang diberikan oleh UU No. 13 Tahun 2006 adalah kepada LPSK bukan kepada Hakim, kecuali ditegaskan atas permintaan Hakim kepada LPSK untuk memberikan perlindungan hukum, karena di dalam proses pemeriksaan, saksi pelaku pantas untuk dilindungi. Terkait dengan angka 7 SEMA tersebut, apakah bisa seorang saksi pelaku mengajukan permohonan kepada Hakim untuk diberikan perlindungan hukum. Padahal, Pasal 29 huruf a jo Pasal 32 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2006, dimana disebutkan bahwa “perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan …. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan.” Ketentuan dalam SEMA yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk pelaksana dari Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006, justru semakin menambah permasalahan. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai definisi whitleblower yang belum jelas, sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 menimbulkan kejanggalan. SEMA ini bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2006, karena itu dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 ketentuan whistleblower dan justice collaborator harus dirumuskan secara tegas dan rinci. PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
101
IV. PENUTUP Kerugian negara karena kasus korupsi sangat besar, tetapi masih banyak korupsi yang tidak terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Padahal, keberadaan saksi merupakan unsur yang sangat penting dalam proses peradilan pidana. Dalam penanganan tindak pidana korupsi, muncul istilah whistleblower dan justice collaborator. Istilah whistleblower dan justice collaborator muncul dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA tersebut dikeluarkan karena ketidakjelasan ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Ketentuan perlindungan saksi dan korban dalam UU No. 13 Tahun 2006 yang mengatur perlindungan saksi dan korban, dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah dan perbedaan pendapat. Permasalahannya, terdapat perbedaan persepsi apakah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelapor yang bekerjasama) mendapat perlindungan. Whistleblower dan justice collaborator sebenarnya telah masuk dalam lingkup pihak-pihak yang perlu dilindungi dalam UU No. 13 Tahun 2006, namun karena ketentuan yang kurang tegas, maka timbul permasalahan dalam pelaksanaannya. Ada kelemahan dari UU No. 13 Tahun 2006, terdapat perbedaan yang mencolok dalam melindungi seorang pelapor dan seorang saksi, sehingga seorang pelapor tidak mendapatkan perlindungan seperti perlindungan yang didapat oleh seorang saksi. Jika ketentuan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 dibandingkan dengan ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006, maka UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Selain itu, SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan tidak menjelaskan mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan diberikan kepada justice collaborators. Ketentuan dalam SEMA yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk pelaksana dari Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006, justru semakin menambah permasalahan. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai ketentuan whitleblower belum jelas, sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 menimbulkan kejanggalan. SEMA ini bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2006, karena itu dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 ketentuan whistleblower dan justice collaborator harus dirumuskan secara tegas dan rinci. 102
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA
Buku Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992. Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku, 2012. M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983. Internet “PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia Pasifik”, http://metrotvnews.com/ read/ news/2011/08/11/60962/PERC-Indonesia-Negara-Terkorup-di-AsiaPasifik, diakses tanggal 1 Februari 2012. “Korupsi Rugikan Negara Rp 39 T”, http://www.jambi-independent.co.id/jio/ index.php?option=com_content&view=article&id=17564:korupsi-rugikannegara-rp-39-t-&catid=6:ekobis&Itemid=8, diakses tanggal 5 Maret 2013. “Polri: LPSK Lindungi Saksi, Susno Tersangka”, http://log.viva.co.id/news/ read/ 153472-polrilpsk_lindungi_saksi__susno_tersangka, diakses tanggal 5 Maret 2013. “Susno Tetap dalam Perlindungan LPSK”, http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt4d47d6096983a/susno-tetap-dalam-perlindungan-lpsk, diakses tanggal 5 Maret 2013. “Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator”, http://www.hukumonline. com/ berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-justicecollabo-rator-i, diakses tanggal 16 Maret 2013. “Silang Pendapat Perlindungan Saksi”, http://jurnalis.wordpress.com/2006/ 01/31/silang-pendapat-perlindungan-saksi/, diakses tanggal 17 Mei 2010. http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.552010.doc
PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower...
103
Sri Hariningsih, “Kedudukan Surat Edaran dalam Tata Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia: Implementasi Pembentukan Peraturan Perundangundangan”, Materi yang disampaikan dalam Kegiatan Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, http://www.djpp.info/index. php/component/content/article/89-implementasi/282-implementasi-ternate, diakses tanggal 8 April 2013. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lain-lain Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 17 Mei 2006, Buku I Proses Pembahasan RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Setjen DPR RI, 2006. Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 15 Maret 2006. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
104
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
PENGHAPUSAN TAHAPAN PENYELIDIKAN DALAM RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Marfuatul Latifah* Abstract The Removal of Investigation at Criminal Law Procedure bill, would change the system of criminal law procedure in Indonesia. This paper intends to analyze the removal of investigation and the consequences. Considers that the investigation have been used for over thirty years at the criminal justice system in Indonesia and many criminal offences solved by using the investigation method, for example Narcotics and Corruption. It might be caused fundamental change in the practice of criminal procedure law and raises barriers to the completion of the criminal cases in particular fond-case. Kata Kunci: Investigasi, hukum acara pidana, dan penegakan hukum.
I. LATAR BELAKANG Setelah 31 (tiga puluh satu) tahun menjadi Pedoman bagi proses beracara pidana di Indonesia, upaya penggantian terhadap UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana akhirnya menjadi prioritas bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi salah satu rancangan Undang-undang yang akan dibahas bersama dengan pemerintah melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas).1 Perubahan tersebut dianggap sangat mendesak, sebab dalam waktu yang cukup lama telah terjadi perubahan yang besar dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagai undang-undang yang merupakan produk tahun 1981, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dirasa telah memiliki banyak kelemahan substansi yang kemudian menghambat dalam pelaksanaan pedoman beracara hukum pidana di Indonesia. Upaya tersebut merupakan upaya nyata untuk melakukan pembaruan hukum nasional baik secara formil maupun materiil, penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) juga diarahkan untuk mewujudkan demokratisasi dan konsolidasi hukum pidana serta adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi.2
*
1
2
Peneliti Pertam Bidang Ilmu Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. “Revisi KUHAP dan KUHP Masuk Prolegnas DPR 2013”, http://news.okezone.com/read/2012/12/17 /339/733176/revisi-kuhap-dan-kuhp-masuk-prolegnas-dpr-2013, diakses tanggal 19 Desember 2012. “Komisi III DPR mulai membahas RUU tentang KUHP dan RUU tentang KUHAP”, http://www. bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=news, diakses tanggal 8 Maret 2013.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
105
RUU KUHAP telah diajukan oleh pemerintah pada DPR untuk segera dibahas bersama dan kemudian disahkan. Dalam rancangan undang-undang tersebut, terdapat beberapa hal baru yang dianggap dapat mengisi kekosongan hukum dan membantu pelaksanaan hukum acara pidana dengan baik guna menghindari penyimpangan serta mempermudah bagi warga negara untuk mencapai keadilan. Salah satu perubahan yang terdapat dalam RUU KUHAP yang telah diajukan oleh pemerintah pada DPR adalah penghapusan tahapan penyelidikan. Penyelidikan dihapuskan karena proses penyelidikan tidak lagi dianggap sebagai proses pro-yustisia karena dalam proses penyelidikan upaya paksa tidak diperbolehkan. Dalam RUU ini, proses penegakan hukum diawali dengan tahapan penyidikan, karena sering kali terdapat anggapan bahwa proses penyelidikan merupakan proses yang sangat subjektif karena kewenangan memutuskan adanya indikasi terjadinya tindak pidana hanya menjadi domain aparat penyelidik dan atasannya langsung. Hal tersebut berkebalikan dengan pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), yang mengatur bahwa penyelidikan merupakan tahapan yang dilakukan sebelum dilakukan penyidikan. Dalam tahapan penyelidikan, penyelidik pada umumnya mendapatkan laporan atau pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan dalam menjalankan kewenangannya. Tujuan dari diadakannya penyelidikan adalah memberikan tanggung jawab kepada aparat penyelidik, agar tidak melakukan tindakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Berpijak pada kedua keadaan yang berkebalikan tersebut, penulis beranggapan bahwa perlu dilakukan kajian terhadap penghapusan tahapan penyelidikan yang dituangkan dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana sebagai penggantian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan konsekuensi apa yang akan timbul dengan dihapusnya proses penyelidikan dalam proses acara pidana. Kajian yang akan dilakukan diharapkan dapat menjadi masukan bagi RUU tentang Hukum Acara Pidana yang dalam waktu dekat akan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hukum yang ada di Indonesia. II. KERANGKA PEMIKIRAN a. Penyelidikan Penyelidikan adalah memeriksa, mensurvey, mempelajari dan meneliti fakta dan/atau keadaan, situasi, insiden dan skenario, baik terkait atau tidak, dengan 106
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
tujuan untuk menjelaskan suatu hal yang tidak jelas menjadi sebuah kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ketika seseorang melakukan penyelidikan, maka ia akan membuat sebuah penyelidikan sistematis, menganalisa dengan mendalam, dan mengamati informasi yang ada. Oleh karena itu, penyelidikan dilakukan berdasarkan pada sebuah evaluasi lengkap tidak berdasarkan dugaan, spekulasi atau anggapan.3 Dalam beberapa sistem hukum negara lain, tidak dikenal adanya pemisahan istilah untuk pemeriksaan pendahuluan, dengan bahasa yang berbeda-beda pemeriksaan pendahuluan disebut sebagai investigation di Inggris dan Amerika Serikat. Sedangkan di Belanda pemeriksaan pendahuluan dikenal dengan opsporing. Sedangkan dalam KUHAP terdapat pemisahan istilah antara penyidikan dan penyelidikan. Pemisahan tersebut memberikan penegasan bahwa terdapat dua tahapan yang berbeda walaupun keduanya berasal dari dasar yang sama, yaitu sidik yang memiliki pengertian memeriksa atau meneliti. Kata sidik dalam penyelidikan diberi sisipan -el- menjadi selidik yang diartikan sebagai banyak menyidik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kata menyelidik dan menyidik sebenarnya memiliki pengertian yang sama hanya saja sisipan -elhanya mempertegas pengertian dari menyidik menjadi banyak menyidik.4 Berdasarkan KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan atas peristiwa tersebut menurut cara yang diatur dalam undang-undang.5 Pada dasarnya KUHAP memberikan batasan yang limitatif antara penyelidikan dengan penyidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan dipisahkannya kedua kewenangan tersebut dalam bab pengaturan yang berbeda dan dibedakannya tugas dan wewenang antara penyelidik dengan penyidik. Namun beberapa literatur mengatakan bahwa penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyidikan.6 Menilik dari sejarah, sebelumnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal proses penyelidikan sebagai salah satu tahapan dalam penyelesaian perkara pidana. Hal tersebut karena dalam HIR hanya dikenal istilah opsporing (penyidikan). Istilah penyelidikan kemudian dibawa oleh rezim UU No. 11/ Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Pasal 2 huruf (b) dan 3
6 4 5
Charles M. Alifano, Fundamentals Of Criminal Investigation, Worldwide Law Enforcement Consulting Group, Inc, 2006, http://www.worldwidelawenforcement.com/docs/fundamentals%20 of%20criminal%20investigations.pdf, hlm. 1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 6, 2012 hlm. 119. Lihat Pasal 1 angka 5 KUHAP. Pedoman Pelaksanaan KUHAP, hlm 27.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
107
(d).7 Dalam rezim undang-undang tersebut digunakan istilah penyelidikan yang sebelumnya belum pernah digunakan dalam peraturan hukum manapun yang berlaku di Indonesia. Dalam rezim UU tersebut belum ada prosedur bagaimana melakukan penyelidikan yang benar. Selanjutnya, penyelidikan kemudian diperkenalkan dalam KUHAP. Pengaturan penyelidikan dalam KUHAP didasarkan pada upaya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan pembatasan ketat terhadap upaya paksa yang dilakukan di dalam proses penyidikan sehingga dengan adanya penyelidikan maka upaya paksa hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dilakukan demi kepentingan yang lebih luas.8 Karena dengan adanya penyelidikan maka dilakukanlah upaya pendahuluan terhadap tindakan-tindakan lain yang digunakan untuk menentukan apakah sebuah peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dapat diteruskan pada proses penyidikan atau tidak. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 4 KUHAP, penyelidikan hanya dapat dilakukan oleh setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, setiap polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan bertindak sebagai penyelidik, dan hal itu berlaku bagi seluruh polisi dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi. Dalam menjalankan penyelidikan, penyelidik memiliki wewenang antara lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; mencari keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; serta mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut: tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; tindakan tersebut harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam lingkungan jabatan; dan dilakukan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; menghormati hak asasi manusia.9 Penyelidik selain menjalankan kewenangannya juga menjalankan tindakan yang dianggap perlu berdasarkan perintah penyidik.10 Tindakan tersebut antara lain penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari dan memotret seseorang; membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Setelah menjalankan 7 8
9
10
108
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia… A.C.’t Hart dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986, hlm. 9. Lihat Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 KUHAP. Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
tugasnya, penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada penyidik. Laporan tersebut tidak hanya laporan yang bersifat lisan, laporan juga harus berbentuk laporan tertulis. Hal tersebut berfungsi sebagai sistem pengawasan vertikal bagi penyelidik. Selain kewenangan penyelidik baik yang merupakan kewenangannya sendiri maupun kewenangan yang didapatkan atas perintah penyidik, perlu dijelaskan juga mengenai mekanisme terkait dengan kewenangan penyelidikan. penyelidikan dilakukan berdasarkan penilaian terhadap informasi atau data-data yang diperoleh. Informasi atau data yang diperoleh dapat berasal dari laporan langsung yang diterima oleh penyelidik yang dituangkan dalam berita acara penerimaan laporan. Informasi dan data dapat juga didapatkan melalui orang lain, tulisan dalam media massa sepanjang informasi atau data tersebut berasal dari sumber terpercaya. Dalam penyidikan dilakukan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan tidak hanya menjadi domain polisi saja, karena selain polisi penyidik juga dapat berasal dari pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang terkait dengan tindak pidana tertentu yang membutuhkan keahlian khusus tidak hanya keahlian penyidikan. Sebagai contoh penyidik pegawai negeri bea cukai, selain harus memiliki kemampuan penyidikan, seorang penyidik pegawai negeri bea cukai harus memiliki pemahaman tentang tindak pidana bea cukai.11 Dalam menjalankan fungsi penyidikan, penyidik memiliki tugas dan wewenang. Tugas yang dimiliki oleh penyidik adalah mengawasi, mengoordinasi dan memberi petunjuk; pelaksana pada waktu dimulai penyidikan, dan memberi tahu kepada penuntut umum; pelaksana jika penyidikan dihentikan; pelaksana jika minta ijin atau lapor kepada ketua pengadilan jika melakukan penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat; pelaksana jika melakukan pemeriksaan tambahan jika diperlukan; dapat memberikan alasan baru untuk melakukan penuntutan dalam hal telah dilakukan penghentian penuntutan; pelaksana atas kuasa penuntut umum, mengirim berkas acara cepat ke pengadilan; pelaksana untuk menyampaikan amar putusan acara cepat kepada terpidana; menerima pemberitahuan jika tersangka dalam acara cepat mengajukan perlawanan. Setelah selesai mengadakan penyidikan dan ditemukannya bukti yang cukup untuk menyatakan telah terjadi tindak pidana dan penyidikan sudah dianggap 11
Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
109
selesai, maka penyidik menyerahkan berkas perkara dan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti yang mendukung perkara kepada penuntut umum. b. Fungsi Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana memiliki tujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. Jika kebenaran materiil sulit untuk didapatkan maka hukum pidana dilaksanakan untuk melakukan upaya yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil. Dalam sistem hukum Indonesia, upaya mendapatkan kebenaran materiil tersebut menjadi tugas hakim dan hakim dalam menjalankan tugasnya mencari kebenaran materiil dibatasi oleh dakwaan jaksa, karena hakim tidak dapat memutus melebihi tuntutan yang diajukan jaksa.12 Menurut Van Bammelen terdapat 3 (tiga) fungsi hukum acara pidana. Ketiga fungsi tersebut adalah:13 1. Mencari dan menemukan kebenaran; 2. Pemberian keputusan oleh hakim; 3. Pelaksanaan keputusan. Dari ketiga fungsi yang ada, mencari dan menemukan kebenaran merupakan fungsi yang paling penting karena kedua fungsi yang lain bertumpu pada upaya pencarian dan penemuan kebenaran. Setelah kebenaran akan sebuah peristiwa ditemukan melalui alat bukti dan barang bukti maka seyogyanya akan dicapai putusan yang adil dan tepat. Dengan adanya putusan yang adil dan tepat maka dapat dicapai pelaksanaan putusan yang adil. Masih menurut Bammelen, dalam hukum acara pidana pengaturan yang ada mencakup: terjadinya sebuah peristiwa yang kemudian diduga sebagai delik pidana, sampai dengan dilaksanakannya putusan pidana terhadap pelaku delik pidana tersebut. Hal tersebut kemudian diartikan secara bebas oleh Andi Hamzah yaitu dalam hukum acara pidana terdapat 7 tahapan, dalam tahapan tersebut tidak hanya permulaan dan akhirnya saja. tahapan tersebut mencakup seluruh substansi yang ada dalam hukum acara pidana, yaitu:14 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 14 12 13
110
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm. 2. Ibid., hlm 8. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 9-10.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
1. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 2. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 3. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Dalam tahapan tersebut tujuan awal adanya hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. Apabila kebenaran materiil tidak dapat tercapai, setidaknya akan dicapai hal yang mendekati kebenaran materiil tersebut. c. Model Penegakan Hukum Menurut Herbert L Packer, terdapat dua model utama dalam penegakan hukum yaitu crime control model (CCM) dan due process of law (DPL).15 Dalam CCM, digunakan metode penekanan pelaku kejahatan atau the repression of the criminal conduct yang melihat penegakan hukum dari perspektif hasil. Pendekatan CCM dilakukan utamanya lebih ditujukan pada “the eficiency” dan dilakukan dengan cara “de-emphasize adversary aspect of the process” serta praduga bersalah (a presumption of guilt). Praduga bersalah ini adalah produk sampingan atau merupakan sub-culture aparatur dari operasionalisasi CCM dan bukan merupakan lawan dari the presumption of innocent. Sedangkan pendekatan due procces of law model (DPM) melihat penegakan hukum dari sisi proses dan cenderung menempatkan secara sentral aspek proses yang bersifat adversary. Titik tolak yang dipentingkan dalam DPM adalah “the agreement that the process has, for everyone subjected to it” . Dengan kata lain, dalam DPM terdakwa dan penuntut sama-sama subyek dalam proses penyelesaian perkara. Oleh karena itu, model DPM menolak cara-cara yang bersifat informal dan non ajudikatif fact finding karena dengan hal demikian akan mungkin terjadi kesalahan-kesalahan. Kedua pendekatan penegakan hukum tersebut sampai saat ini secara faktual masih diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) di negara manapun. Dari hasil kajian dan studi hukum, pendekatan DPM sangat efektif dalam penegakan hukum yang memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilainilai Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan pendekatan CCM sangat efektif untuk menciptakan ketertiban dan memfasilitasi tujuan negara. Kedua model penegakan hukum tersebut dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan sehingga ada proses tarik ulur pendekatan CCM dan DPM. Proses tersebut 15
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: Universitas Muhammadiyah Press, 2005, hlm. 256.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
111
merupakan dinamika dalam mengelola negara sehingga negara sebagai entitas mampu mengakomodasi kepentingan yang laten terhadap pendekatan CCM dan laten terhadap pendekatan DPM. III. PEMBAHASAN a. Kedudukan Penyelidikan dalam Penegakan Hukum Acara Pidana di Indonesia Penyelidikan seperti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan upaya permulaan sebelum dilakukannya penyidikan terhadap sebuah peristiwa yang diduga merupakan delik pidana. Penyelidikan bertujuan untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup sehingga proses dapat ditingkatkan pada tahapan penyidikan. Pemisahan fungsi penyidikan dan penyelidikan dimaksudkan untuk mempertegas diferensiasi fungsi dalam penegakan hukum, seperti yang selama ini dianut dalam KUHAP. Diferensiasi fungsi antara penyelidikan dengan penyidikan telah membentuk tahapan-tahapan tindakan dalam proses awal perkara sehingga diharapkan dapat menghindari cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa yang dapat menimbulkan pelanggaran hak seseorang saat terjadinya pemeriksaan. Selain itu dengan adanya penyelidikan maka diharapkan aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.16 Pemisahan fungsi penyelidikan dan penyidikan terkadang menimbulkan kerancuan dalam praktek lapangan. Status kasus pada tahap penyelidikan dan penyidikan seringkali membuat masyarakat bingung. Bahkan tidak jarang terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan polisi sendiri mengenai status suatu kasus, apakah masih dalam tahap penyidikan atau penyelidikan.17 Namun penyelidikan bukanlah proses yang berdiri sendiri terpisah dari penyidikan18 dan dipisahkannya fungsi penyelidikan dalam KUHAP merupakan upaya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia. Pada tanggal 6 Mei 1966 telah dilakukan simposium Angin baru di Universitas Indonesia. Dalam simposium tersebut berhasil dirumuskan pokok-pokok pikiran sebagai bagian dari usaha untuk memulihkan kehidupan negara hukum.19 Pokok-pokok pikiran tersebut adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural 16
17
18
19
112
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi ke2, Cet. 14, Jakarta: 2012, Sinar Grafika, hlm. 102. Adrianus Meliala, “Beda Penyelidikan dari Penyidikan”, Koran Tempo, 3 April 2009. Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung: MandarMaju, 2001, hlm. 36-37. A.C.’t Hart dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986, hlm. 9.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
dan pendidikan; peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan apapun; legalisasi dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan KUHAP dilakukan dengan mengedepankan hak-hak individu dalam proses penegakan perkara. Hakhak individu tersebut antara lain hak dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan hukum yang bersifat tetap, hak untuk menuntut kerugian untuk penahanan yang tidak sah, hak untuk diperiksa dalam pengadilan yang terbuka. Sehingga dinilai penting dibentuk suatu tahapan yang di dalamnya terdapat pembatasan yang tegas mengenai upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Oleh karena itu, dibentuklah fungsi penyelidikan yang dalam menjalankan wewenangnya dalam batasan-batasan yang ketat dan di bawah pengawasan langsung dari penyidik. Pentingnya fungsi penyelidikan bertujuan agar dapat dinilai apakah setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana sehingga perlu ditemukan landasan yang kuat agar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, sebelum melangkah pada fungsi penyidikan yang di dalamnya terdapat upaya paksa, maka perlu ditentukan terlebih dahulu apakah sebuah peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan berdasarkan data atau informasi yang didapatkan dari tahapan penyelidikan. Karena dalam upaya paksa terdapat potensi pelanggaran HAM apabila upaya paksa tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Selain dibentuk penjenjangan fungsi antara penyelidikan dengan penyidikan, dalam memberikan jaminan individu dibentuk juga lembaga praperadilan yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan pengujian mengenai sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan; sebagai sarana untuk tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi dalam pelaksanaan kewenangan yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, praperadilan juga dapat dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.20 Hukum acara pidana memiliki tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, berdasarkan hal tersebut maka menurut Van Bamellen hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi yang salah satunya adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran. Pada dasarnya setiap wewenang yang dilaksanakan oleh penyelidik dalam tahapan 20
Lihat PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
113
penyelidikan merupakan upaya pencarian bukti permulaan yang akan digunakan untuk menemukan kebenaran materiil. Bukti tersebut kemudian akan dibawa pada tahapan selanjutnya yaitu Penyidikan dan tahapan tahapan lanjut lainnya sehingga dapat digunakan sebagai pembuktian sehingga didaptkan kebenaran materiil atas sebuah peristiwa. Dalam setiap tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh setiap penjabat penyelidik terdapat upaya negara untuk memeriksa apakah ditemukan indikasi terjadinya tindak pidana dalam sebuah peristiwa. Oleh karena itu, penyelidikan dapat disetarakan sebagai tahapan pertama dalam tujuh tahapan hukum acara pidana seperti yang telah dikemukakan oleh Van Bammelen. b. Konsekuensi Penghapusan Fungsi Penyelidikan dalam RUU KUHAP Berdasarkan Naskah Akademik RUU KUHAP yang disusun oleh Pemerintah, konsep yang ingin dibangun dalam sistem peradilan pidana adalah kewenangan yang jelas antara tiap aparat penegak hukum21. Setiap aparat penegak hukum memiliki kewenangan masing-masing yang saling berhubungan sehingga membentuk sebuah sistem peradilan pidana. Dalam RUU HAP akan diatur mengenai kewenangan aparat penegak hukum secara umum sesuai dengan masing-masing fungsi yang ada dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan kewenangan yang bersifat khusus diatur secara mendalam dan detail dalam undang-undang teknis sesuai dengan instansi masing-masing seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan, serta peraturan pelaksanaannya. Hal tersebut karena dalam RUU KUHAP kewenangan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh Polisi dan PPNS, penyidikan juga dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum lainnya. Yang dimaksud dengan oleh “aparat penegak hukum lainnya” adalah pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan.22 Sehingga berdasarkan hal tersebut selain Polisi dan PPNS, saparat penegak hukum lainnya yang dapat melakukan penyidikan adalah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena mendapatkan wewenang dari UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Jaksa berdasarkan UU No. 17 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penyidik KPK merupakan penyidik yang bertugas di KPK dan diangkat serta diberhentikan oleh KPK. Dalam bertugas penyidik KPK melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK.23 23 21 22
114
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, hlm. 7. Lihat Pasal 6 Huruf c draf RUU tentang Hukum Acara Pidana. Lihat Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Selain penyidik KPK, Jaksa juga merupakan aparat penegak hukum lain yang memiliki kewenangan penyidikan. Kewenangan tersebut diberikan melalui Pasal 30 Ayat 1 Huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa memiliki tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.24 Dalam penjelasan pasal tersebut, di jelaskan lebih lanjut bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap HAM berat. Sehingga berdasarkan RUU HAP, dapat disimpulkan bahwa penyidikan tidak hanya mutlak kewenangan Polisi. Penyidikan dapat dilakukan oleh Polisi bagi seluruh tindak pidana, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kewenangan yang melekat pada lembaganya, Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana HAM berat, serta Penyidik KPK dalam tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK. Selain memberikan pengakuan dan legalitas bagi “aparat penegak hukum lain” yang menjalankan kewenangan penyidikan, dalam konsep RUU HAP tahap awal pada proses peradilan pidana adalah penyidikan bukan lagi penyelidikan. Sehingga tahapan penyelidikan yang dilakukan sebelum penyidikan tidak menjadi tahapan yang harus diatur dalam mekanisme yang ada karena metode yang digunakan dapat beragam sesuai dengan ciri khas masing-masing instansi yang memiliki kewenangan penyidikan. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan anggapan adanya upaya untuk mengebiri kewenangan Polisi untuk melakukan penyelidikan karena selama ini kewenangan melakukan penyelidikan menurut ketentuan yang ada dalam KUHAP adalah mutlak milik Polisi.25 Hal tersebut sama sekali berbeda dengan praktek di lapangan. Pada dasarnya setiap instansi yang memiliki kewenangan penegakan hukum telah melakukan fungsi penyelidikan walaupun tanpa pengaturan dalam KUHAP. sehingga pengaturan penyelidikan dalam KUHAP yang mengatur tentang penyelidikan yang hanya menjadi kewenangan Polisi saja pada dasarnya tidak sesuai lagi dengan praktek yang terjadi di lapangan. Indonesia telah menggunakan KUHAP selama lebih dari 30 tahun. Undangundang sebagai hukum yang tertulis dalam teks tentunya tidak selalu sama dengan kehidupan manusia yang dinamis dan selalu berkembang. Dalam jangka waktu lebih dari 30 tahun telah banyak undang-undang yang telah berubah dan telah mencantumkan hukum acara di dalamnya. 24 25
Lihat Pasal 30 Ayat 1 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. RM. Panggabean, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dari Perspektif Polri sebagai Penyidik, Jurnal Supremasi Hukum Vol. II No. 2, http://supremasihukumusahid.org/jurnal/87-volume-ii-no-2. html, diakses tanggal 15 Februari 2013.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
115
Berdasarkan hal tersebut, kebutuhan akan perubahan KUHAP yang selama ini dijadikan pedoman dalam praktek beracara pidana dirasakan sangat mendesak. Hal itu kemudian diwujudkan dengan upaya yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI bersama-sama dengan pemerintah untuk melakukan penggantian KUHAP melalui pembahasan RUU HAP. Dalam RUU HAP tersebut terdapat banyak substansi yang berubah terkait dengan hukum acara pidana di Indonesia, baik perubahan yang hanya sedikit penyesuaian maupun perubahan yang bersifat mendasar. perubahan mendasar antara lain perubahan sistem pemeriksaan persidangan. Dalam KUHAP dianut sistem inquisitorial yang artinya dalam pemeriksaan persidangan hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara. Hakim juga bersifat aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Berbeda dengan sistem pemeriksaan yang dianut dalam KUHAP, RUU KUHAP menganut sistem pemeriksaan persidangan adversarial yang memandang dalam pemeriksaan persidangan selalu ada dua pihak yang saling bertentangan dan memiliki kedudukan yang sama dalam menghadirkan bukti. Dengan demikian, dianutnya sistem adversarial maka akan terjadi perubahan peran hakim karena hakim hanya bersifat pasif namun demikian hakim memiliki kebebasan memberikan penafsiran terhadap sebuah undang-undang. Karena terjadinya perubahan sistem pemeriksaan peradilan, maka pengaturan mengenai subsistem yang mendukung juga ikut mengalami perubahan. Salah satunya adalah fungsi penyelidikan. Berbeda dengan ketentuan mengenai penyelidikan yang menjadi Bab tersendiri dalam KUHAP, RUU KUHAP tidak menuangkan penyelidikan dalam ketentuan yang berada di dalamnya. Penulis hanya melihat satu bab pengaturan mengenai penyidikan yang sebelumnya merupakan tahapan selanjutnya dari fungsi yang dijalankan dalam hukum acara pidana. Dianulirnya ketentuan mengenai penyelidikan merupakan perubahan yang cukup signifikan bagi mekanisme penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Karena selama ini fungsi tersebut telah dijalankan oleh seluruh anggota kepolisian. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis berkesimpulan kewenangankewenangan yang ada dalam fungsi penyelidikan tidak dihilangkan sama sekali dalam RUU KUHAP, kewenangan tersebut dikategorikan sebagai kewenangan yang dimiliki dan dijalankan oleh penyidik. Sebagai contoh dalam Pasal 5 KUHAP penyelidik memiliki kewenangan menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai, dan tindakan lain menurut hukum. 116
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Dalam draf RUU HAP hal tersebut tidak hilang sama sekali hanya saja diatur dalam ketentuan Pasal 7 RUU HAP tentang tugas dan wewenang penyidik. Kewenangan menerima laporan atau pengaduan terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf a yang berbunyi “menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana” hal tersebut merupakan penyempurnaan dari ketentuan kewenangan penyelidik dalam KUHAP. Selain itu kewenangan “menyuruh berhenti orang yang dicurigai” dari KUHAP, disempurnakan pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf c draf RUU HAP, yang berbunyi “menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa surat atau tanda pengenal diri yang bersangkutan”. Kewenangan penyelidik terkait dengan “tindakan lain menurut hukum” juga disempurnakan melalui Pasal 7 Ayat (1) huruf j, yaitu “melakukan tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Berdasarkan hal tersebut penulis menganggap bahwa penyusun RUU KUHAP tidak memisahkan fungsi yang ada dalam penyelidikan. Tindakantindakan yang diambil terhadap sebuah peristiwa yang dianggap perkara pidana untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk menentukan sebuah peristiwa tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, hanya dilakukan dalam tahapan penyidikan dan hanya dapat dilakukan oleh penyidik. Oleh karena itu, tindakantindakan yang dilakukan oleh penyidik tersebut hanya dapat dilakukan demi kepentingan hukum (pro-Justitia) dan harus melalui birokrasi formil terlebih dahulu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya jabatan penyelidik yang dihilangkan sebagai subsistem dalam hukum acara pidana dalam RUU KUHAP, namun fungsi penyelidikan yang dimaksudkan untuk mendapatkan bukti permulaan yang cukup bagi sebuah perkara sudah menjadi bagian dari kewenangan penyidik dari fungsi penyidikan. Hal tersebut sesuai model penegakan hukum yang kedua yaitu due process of law yang menitikberatkan penegakan hukum yang memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam prinsip ini penegakan hukum dilihat dari sisi proses dan cenderung menerapkan sistem pemeriksaan persidangan yang bersifat adversary. Dalam prinsip due process of law setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Dalam prinsip ini, tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian dari ketentuan hukum dengan dalih menggunakan bagian hukum yang lain. Oleh karena itu, model yang dianut dalam prinsip ini menolak cara-cara yang bersifat informal dan non ajudikatif fact finding karena dengan hal demikian akan mungkin terjadi kesalahan-kesalahan. MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
117
Masih berdasarkan prinsip due process of law segala tindakan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang ada di undang-undang baik dari segi mekanisme maupun cara yang akan ditempuh. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan penyelidikan yang memberikan kebebasan bagi penyelidik untuk menempuh cara-cara tertentu guna mendapatkan bukti permulaan terhadap sebuah perkara yang memiliki indikasi tindak pidana. Sehingga dengan dihilangkannya jabatan penyelidik yang dimiliki oleh seluruh anggota kepolisian negara Republik Indonesia dalam RUU KUHAP, maka telah dilakukan penyesuaian tahapan hukum acara pidana yang menitik beratkan pada perlindungan terhadap hak asasi manusia. Karena setiap tindakan yang dilakukan penyidik baik dalam rangka menemukan bukti permulaan yang cukup ataupun menindaklanjuti sebuah peristiwa sehingga dapat disebut sebagai peristiwa pidana dan dapat diketahui siapa pelaku dari tindak pidana tersebut, harus berdasarkan ketentuan yang telah diatur pokok-pokoknya dalam ketentuan undang-undang sehingga kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dapat ditekan dan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penyelidikan. Dalam sebuah perubahan khususnya berkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, selain membawa perubahan menuju keadaan yang lebih baik, pasti juga membawa keadaan negatif yang jika diketahui lebih awal maka dapat diperbaiki guna mencegah adanya celah hukum dalam pelaksanaan ketentuan tersebut. Hilangnya tahapan penyelidikan yang berarti menghilangkan jabatan penyelidik akan berpeluang menghambat penegakan hukum bagi tindak pidana yang ditindak berdasarkan hasil penyidikan (found case). Sebagai contoh tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana narkotika, pada umumnya dilakukan penyelidikan terhadap indikasi peredaran dan penyalahgunaan narkotika baru kemudian dapat ditemukan perkara peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Ketika hilangnya tahapan penyelidikan maka tindakan penyelidikan guna penegakan hukum atas tindak pidana narkotika dapat mengalami penurunan, sebab dalam tidak pidana narkotika sangat kecil kemungkinan terdapat laporan akan terjadinya tindak pidana sehingga aparat penegak hukum harus melakukan upaya pengungkapan perkara guna mengumpulkan bukti yang kemudian akan diolah dalam tahapan penyidikan guna dinilai apakah bukti tersebut layak digunakan sebagai alat bukti. Hal yang serupa terjadi juga dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, khususnya yang dilakukan oleh KPK. Dalam penegakan hukum 118
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
oleh KPK, dilakukan upaya penemuan bukti terhadap sebuah peristiwa sebelum peristiwa tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana melalui penyelidikan. Upaya penemuan tersebut dilakukan dengan melakukan penyadapan, pengintaian dan kewenangan penyelidikan lain yang dilakukan atas perintah penyidik. Ketika penyelidikan dihilangkan hal tersebut akan mengakibatkan jumlah temuan kasus yang ditangani KPK melalui upaya pengumpulan bukti akan mengalami penurunan drastis yang hal tersebut dapat dikatakan menjadi hambatan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Lebih lanjut menurut Chandra Hamzah, dengan hilangnya kewenangan penyelidikan maka dapat menyebabkan kewenangan penindakan yang dimiliki oleh KPK akan hilang, sebab selama ini kewenangan penyelidikan di KPK digunakan untuk mendapatkan 2 alat bukti guna menyatakan adanya tindak pidana korupsi ketika kewenangan itu hilang maka KPK akan sulit untuk menemukan 2 alat bukti.26 Selain itu, hilangnya kewenangan penyelidikan yang menyebabkan hapusnya jabatan penyelidik akan berimplikasi pada penyelidik yang ada di KPK sebab tidak seperti pada lembaga lain, pada lembaga KPK penyelidik merupakan jabatan tersendiri yang jumlahnya tidak sedikit. Ketika dihilangkan kewenangan penyelidikan maka jabatan penyelidik KPK juga akan terhapuskan yang hal itu akan menghambat penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Menanggapi kedua kondisi yang dipaparkan dalam contoh yang sebelumnya, menurut Andi Hamzah, hilangnya tahapan penyelidikan dalam RUU KUHAP dapat disiasati dengan melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan intelijen yang dimiliki oleh aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, maupun PPNS serta aparat penegak hukum lain yang dapat melakukan penyidikan berdasarkan RUU KUHAP.27 Pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan intelijen tersebut dapat dilakukan dalam UU yang mengatur mengenai kewenangan masing-masing aparat penegak hukum seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan atau UU mengenai aparat penegak hukum yang lain. Dalam ketentuan mengenai kegiatan intelijen tersebut dapat diatur mengenai tindakan apa saja yang dapat menjadi kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan intelijen. Terbuka juga kemungkinan bahwa dalam pengaturan kewenangan intelijen diatur kewenangan-kewenangan yang semula ada dalam tahapan penyelidikan. 26
27
Chandra Hamzah, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisioner KPK Jilid II atas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Randangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Komisi III DPR RI, 11 Juni 2013. Andi Hamzah, dalam Focus Group Discussion dengan tema “Penangguhan Penahanan dalam Pemeriksaan Perkara Pidana”, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, 21 Mei 2013.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
119
Lebih lanjut, ketika hilangnya tahapan penyelidikan di dalam penegakan acara pidana di Indonesia maka perlu dilakukan perubahan terhadap mekanisme penghentian penyidikan. Karena dengan ditiadakannya proses penyelidikan maka besar kemungkinan akan dilakukannya upaya penyidikan terhadap peristiwa yang dilaporkan pada penyidik. Sedangkan tidak dalam semua perkara ternyata ditemukan alat bukti yang sah sehingga penyidikan tersebut dapat dilanjutkan dalam tahapan selanjutnya yaitu persidangan guna mendapatkan putusan hukum yang mengikat. IV. PENUTUP Upaya perubahan atas UU No. 8 Tahun 1981 yang saat ini sedang dilakukan oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah akan membawa perubahan mekanisme mendasar dalam penegakan hukum acara pidana di Indonesia khususnya dalam tahapan awal penindakan perkara karena tidak seperti ketentuan yang ada dalam KUHAP, dalam draf RUU KUHAP tidak dicantumkan tahapan penyelidikan dalam ketentuan tersendiri. Dalam draf RUU KUHAP terdapat konsep baru yang ingin dibangun dalam sistem peradilan pidana, yaitu kewenangan yang jelas tiap aparat penegak hukum yang diatur secara mendalam dan detail dalam undang-undang teknis. Selain itu, dalam konsep RUU KUHAP tahap awal pada proses peradilan pidana adalah penyidikan bukan lagi penyelidikan. Sehingga tahapan penyelidikan yang dilakukan sebelum penyidikan tidak menjadi tahapan yang harus diatur dalam mekanisme yang ada karena metode yang digunakan dapat beragam sesuai dengan ciri khas masing-masing instansi yang memiliki kewenangan penyidikan. Penulis beranggapan dengan menganulir pengaturan terkait penyelidikan dalam bab tersendiri, penyusun draf RUU KUHAP menggunakan Model Penegakan Hukum kedua yaitu due process of law yang menitikberatkan penegakan hukum yang memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan penyidikan sebagai tahap awal dalam penegakan hukum maka diharapkan akan tercipta sistem yang penuh dengan kehati-hatian oleh aparat penegakan hukum. Sehingga setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Hilangnya tahapan penyelidikan yang berarti menghilangkan jabatan penyelidik akan menimbulkan beberapa konsekuensi yang harus disadari sejak awal oleh pembentuk undang-undang. Dengan hilangnya tahapan penyelidikan maka perkara-perkara pidana yang penindakannya banyak didapatkan melalui penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi serta 120
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
beberapa tindak pidana lain, akan mengalami hambatan tersendiri karena sulitnya pengungkapan perkara-perkara tersebut tanpa adanya penyelidikan. Hal tersebut dapat disiasati dengan melakukan pengaturan lebih lanjut tentang kegiatan intelijen dalam UU yang mengatur mengenai kewenangan masing-masing aparat penegak hukum seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan atau UU mengenai aparat penegak hukum yang lain. Kegiatan intelijen tersebut dapat mencakup kegiatan yang semula dilakukan dalam penyelidikan. Guna melakukan penyesuaian, maka dengan dianulirnya tahapan penyelidikan maka perlu dilakukan perubahan atas mekanisme penghentian perkara. Sebab tinggi kemungkinannya dibutuhkan mekanisme penghentian penyidikan yang lebih mudah dan memiliki mekanisme yang lebih jelas karena banyaknya perkara yang akan disidik oleh aparat penegak hukum yang tidak dapat dilanjutkan dalam tahapan selanjutnya yaitu persidangan guna mendapatkan putusan hukum yang mengikat.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
121
DAFTAR PUSTAKA
Buku Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 6, 2012. Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi ke-2, Cet. 14, Jakarta: 2012, Sinar Grafika. Hart, A.C.’t dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: 1986, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana. Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: 2007, PT. Alumni. Mulyadi, Lilik, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Bandung: 2007, PT. Citra aditya Bakti. Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: 2001, Mandar Maju. Sunaryo, Sidik, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: 2005, Universitas Muhammadiyah Press. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 tentang Badan-Badan Dan Peraturan Pemerintah Dulu. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang: Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
122
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Internet dan Surat Kabar “Komisi III DPR mulai membahas RUU tentang KUHP dan RUU tentang KUHAP”, http://www.bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=news, diakses tanggal 8 Maret 2013. “Revisi KUHAP dan KUHP Masuk Prolegnas DPR 2013”, http://news. okezone.com/read/2012/12/17/339/733176/revisi-kuhap-dan-kuhp-masukprolegnas-dpr-2013, diakses tanggal 19 Desember 2012. Adrianus Meliala, “Beda Penyelidikan Dari Penyidikan”, Koran Tempo, 3 April 2009. Alifano, Charles M., “Fundamentals Of Criminal Investigation”, Worldwide Law Enforcement Consulting Group, Inc, 2006, http://www.worldwidelawenfor cement.com/docs/fundamentals%20of%20criminal%20investigations.pdf. Diakses tanggal 19 Desember 2012. Panggabean, RM., Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dari Perspektif Polri sebagai Penyidik, Jurnal Supremasi Hukum Vol. II No. 2, http:// supremasihukumusahid.org/jurnal/87-volume-ii-no-2.html, diakses tanggal 15 Februari 2013 Lain-lain Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kementrian Hukum dan HAM, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, 2010.
MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan...
123
PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Andy Wiyanto* Abstract Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President of Indonesia has twice lowered in the middle of his tenure. The historical record apparently leaves a polemics. In this case under the leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of the reform. The changes are not only revise mechanism of impeachment in Indonesia, but also makes the 1945 Constitution no longer as temporary as stated Soekarno in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Indonesia Independence Preparatory Committee meeting dated August 18, 1945. even impeachment process after reformation is form of Checks and balances on the direct election of the President. so there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side, and the other side it is balanced measurable accountability proccess. Academically, the concept is certainly based on science. How this implemented in the form of regulation, start from basic laws to other rules it below to be explanations more detail and clear. This paper try to explain these cases started from criticism structure of Indonesia constitutional after the reform that embracing Checks and Balances principle. Then followed by a review of the impeachment process in Indonesia, and then the end of two variables are elaborate more deeply with teories Checks and Balances system in the state system in a country. Kata Kunci: Perubahan UUD 1945, checks and balances, dan pemakzulan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembahasan perubahan UUD 1945, alasan pemberhentian Presiden disesuaikan dengan lampiran Keputusan MPR No. IX/MPR/2000, yaitu masuk dalam kewenangan MPR dengan dua alternatif. Alternatif pertama tanpa melibatkan Mahkamah Konstitusi, yaitu “Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar UUD, melanggar haluan negara, mengkhianati negara, melakukan tindak pidana kejahatan, melakukan tindak pidana penyuapan, dan/atau melakukan perbuatan tercela”. Dan alternatif
*
Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI A-124, email:
[email protected]
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
125
kedua dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi, yaitu “Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar UUD, melanggar haluan negara, menghianati negara, melakukan tindak pidana kejahatan, melakukan tindak pidana penyuapan, dan/atau melakukan perbuatan yang tercela, berdasarkan putusan MK”. Pada dasarnya semua Fraksi bersepakat bahwa MK harus dilibatkan dalam proses pemakzulan. Meskipun demikian, setiap fraksi memiliki pemikiran yang berbeda-beda dalam implementasinya.1 Berdasarkan hasil pembahasan perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai peranan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 24C ayat (2). Kewenangan ini dipisahkan dari kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1). Ketentuan ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal 7A yang mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan terkait juga dengan ketentuan dalam Pasal 7B ayat (1) yang mengatur prosedur atau tata cara beracara dalam rangka pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.2 Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus dilalui dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika terbukti pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden, putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara otomatis dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena hal itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, jika putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan terbukti bersalah, maka DPR meneruskan usul pemberhentian itu kepada MPR. Persidangan MPR nantinya, yang akan menentukan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diusulkan pemberhentiannya oleh DPR, dapat diberhentikan atau tidak dari jabatannya.3 Konteks peletakan ketentuan Pasal 24C ayat (2) dipisah dari ayat (1) dimaksud harus dilihat dari proses yang sudah mulai diatur dalam Pasal 7B tersebut, di mana proses hukum 1
2
3
126
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 541. Ibid, hlm. 718. Ibid, hlm. 595.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
ketatanegaraan kita masih diteruskan walaupun proses hukum di Mahkamah Konstitusi telah selesai.4 Menanggapi kondisi ini Iwan Permadi berpendapat bahwa hal ini sangatlah bertolak belakang dengan semangat demokrasi, karena telah menganulir keputusan hukum yang bersifat final dengan suatu kebijakan yang bersifat politik.5 Menarik untuk menjadikan hal tersebut sebagai sebuah diskursus pasca perubahan UUD 1945, karena Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat,6 sehingga memberikan legitimasi yang kuat bagi Presiden dan Wakil Presiden. Pilihan ini merupakan penegasan terhadap sistem presidensil7, dalam hal ini adalah adanya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang pasti (fixed term). Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang pasti ini tercermin dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Sehingga dalam hal sistem pemerintahan, pasca perubahan UUD 1945 Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya.8 Hal ini sesuai dengan kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang terdiri atas lima butir yaitu:9 4 5
6
7
8
9
Ibid, hlm. 719. Iwan Permadi, “Impeachment MK terhadap Presiden dan Kekuasaan Mayoritas di MPR” Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 3 (September, 2007), hlm. 132. Pasal 6A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Dalam sistem presidensil, setidaknya terdapat ciri-ciri: 1) Adanya masa jabatan Presiden yang bersifat pasti (fixed term); 2) Presiden disamping sebagai kepala negara, sekaligus sebagai kepala pemerintahan; 3) Adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi; 4) Adanya mekanisme impeachment. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 56.] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 317. Menurut Sri Soemantri Mertosuwignyo sebelum diubah, UUD 1945 juga menganut ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer. [Sri Soemantri Mertosuwignyo, Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 5.] Ia menambahkan bahwa sistem pemerintahan presidensil untuk pertama kali dianut dan dilaksanakan di Amerika Serikat. Itulah sebabnya sistem pemerintahan ini oleh Maurice Duverger diberi nama sistem pemerintahan pola Amerika Serikat. Dalam kepustakaan Inggris oleh SL. Witman dan JJ. Wuest sistem pemerintahan ini juga disebut Presidential Government dan oleh CF. Strong disebut sebagai the fixed excecutive. [Ibid, hal. 3.] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., 13.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
127
1. 2. 3. 4.
Tidak mengubah pembukaan UUD 1945; Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mempertegas sistem pemerintahan presidensil;10 Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh); 5. Melakukan perubahan dengan cara adendum. Sekalipun demikian, sebagai bentuk imbangan atas legitimasi yang besar tersebut dirumuskan dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila telah terbukti melakukan pelanggaran hukum maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali karena hal-hal yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Disini terlihat konsistensi penerapan paham negara hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap Presiden sekalipun.11 Mengenai hal ini penulis bependapat bahwa: “Dalam sistem Pemilihan Presiden secara langsung, tidaklah mungkin dapat memberhentikan Presiden di tengah masa jabatannya oleh MPR yang jumlahnya hanya beberapa ratus orang, sementara yang memilih presiden adalah mayoritas rakyat yang jumlahnya ratusan juta orang. Hal ini akan menjadi pengecualian ketika Presiden telah melakukan pelanggaran yang begitu besar sehingga tidak terampuni lagi dan dapat diturunkan dari jabatannya.”12
Implikasi dan konsekuensi hukum dari pengisian jabatan Presiden melalui pemilihan langsung adalah pertanggungjawaban Presiden harus langsung kepada rakyat, tidak lagi kepada MPR. Karena tidak ada lagi hubungan pertanggungjawaban antara Presiden dengan MPR, maka sebagai gantinya diperlukan adanya pranata pemakzulan dalam hubungannya dengan konsep tindakan terhadap pelanggaran 10
11
12
128
Kesepakatan ini dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil. Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidensil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Prsiden. [Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 4.] Ibid, hlm. 56. Andy Wiyanto, “Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3 (Juni, 2010), hlm. 212.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
oleh Presiden.13 Penulis menangkap hal yang mendasar dari implikasi dan konsekuensi hukum tersebut adalah karena legitimasi Presiden yang begitu besar. Maka harus dibuat mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Untuk itulah ada mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang merupakan pertanda adanya penyeimbang kekuatan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif dan yudikatif.14 Oleh sebab itu, pemakzulan dan pelaksanaan mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi menarik untuk dikaji. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah di atas, maka untuk dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkenaan dengan pemakzulan dan pelaksanaan makanisme checks and balances di Indonesia perlu diadakan kajian secara akademis. Penulis akan membatasi permasalahan dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perspektif ilmu hukum memandang proses pemakzulan di Indonesia baik sebelum maupun sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Dan 2. Bagaimanakah perspektif ilmu hukum memandang mekanisme checks and balances dalam proses pemakzulan di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas bertujuan untuk: 1. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum mengenai proses pemakzulan di Indonesia baik sebelum maupun sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan 2. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum mengenai mekanisme checks and balances dalam proses pemakzulan di Indonesia. Sedangkan manfaat dari penelitian dengan uraian latar belakang dan permasalahan seperti diatas adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan pemakzulan di Indonesia, khususnya berkenaan dengan pelaksanaan mekanisme check and balances dalam prosesnya.
13
14
Jimly Asshiddiqie, et al, Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 47-48. Andy Wiyanto, op.cit., hal. 227.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
129
D. Metodologi Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti data sekunder berupa bahan-bahan primer, sekunder dan tersier. Data-data tersebut amat berguna dalam memahami teori-teori hukum dan perundang-undangan yang digunakan dalam proses pemakzulan di Indonesia. Dari data-data tersebut pula, kemudian dihubungkan satu sama lain dan/atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian. II. KERANGKA PEMIKIRAN Perlu kita ketahui bahwa konsep negara hukum tidak terlepas dari sejarah panjang terbentuknya konsep negara hukum itu sendiri. Konsep negara hukum yang biasa kita pahami sebagai konsep yang lahir dalam tradisi Eropa Kontinental dan Anglo Saxon tidak lahir dalam waktu sekejap dan tanpa pengorbanan yang besar. Konsep negara hukum terlahir dengan latar belakangnya masing-masing dan seringkali harus dibayar dengan nilai yang tidak sedikit. Sudjito bin Atmoredjo merujuk pada Satjipto Rahardjo15 menggambarkan bahwa sejarah panjang terbentuknya negara hukum dalam kerangka rechtsstaat adalah sebagai berikut: “Rechtstaat adalah konsep negara modern yang pertama kali muncul di Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kemunculannya bukan secara tiba-tiba melalui sebuah rekayasa penguasa, melainkan melalui sejarah pergulatan sistem sosial. Secara singkat dapat diceritakan bahwa Eropa sebelum abad 17 diwarnai oleh keambrukan sistem sosial yang berlangsung secara susul-menyusul dari sistem sosial satu ke sistem sosial lain. Dimulai dari feodalisme, Staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Eropa, sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. Masing-masing keambrukan sistem sosial tersebut memberi jalan kepada lahirnya negara hukum modern. Ambil contoh, Perancis. Negara ini harus membayar mahal untuk bisa menjadi negara konstitusional, antara lain diwarnai dengan pemenggalan kepala raja dan penjebolan penjara Bastille. Belanda, harus memeras negeri jajahan (Indonesia) dengan cara mengintroduksi sistem tanam paksa (kultur stelsel, supaya bisa tetap hidup (survive). Hanya dengan pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian, Belanda bisa berjaya kembali.”16 15
16
130
Satjipto Rahardjo, “58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai.”, Kompas, 11 Agustus, 2003 Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila (Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta, 2009, hal. 6.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, dapat dilihat dari bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).17 Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri akan adanya:18 a. Jaminan perlindungan hak asasi manusia; b. Peradilan yang merdeka; c. Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara, maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum. Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan negara hukum di dunia, yaitu negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang disebut rechtsstaat dan negara hukum dalam tradisi anglo saxon yang disebut rule of law.19 Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum yang disebut civil law, sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law.20 Menurut Roscoe Pound karakteristik rechtsstaat adalah administratif, sedangkan karakteristik rule of law adalah judicial.21 Sedangkan menurut Mohammad Mahfud MD perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut: “Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechsstaat terletak pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus menurut paham civil law (legisme) di dalam Rechtsstaat adalah hakim yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan paham legisme di Rechtsstaats karena menekankan pada ‘kepastian hukum’. Sedangkan kebenaran hukum dan keadilan di dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis, bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang lebih dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan 19 17 18
20 21
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 46. Ibid, hal. 46-47. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. [Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983, hal. 161.] Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 20. Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 12.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
131
dan membuat putusan-putusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari masyarakat. .... Pemberian keleluasaan bagi hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis disini karena penegakan hukum di sini ditekankan pada pemenuhan ‘rasa keadilan’ bukan pada hukum-hukum formal.”22
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami perumusan yang bermacam-macam. Misalnya dalam kerangka rechtsstaat, Immanuel Kant menyebutkan bahwa negara hukum memiliki unsur-unsur sebagai berikut:23 a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia; b. Pemisahan kekuasaan. Sementara itu Frederich Julius Stahl menambahkan unsur-unsur yang disebutkan oleh Kant tersebut menjadi:24 a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia; b. Pemisahan kekuasaan; c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan d. Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri. Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara Hukum dalam kerangka rechtsstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut dengan rule of law. A.V. Dicey salah seorang pemikir Inggris yang termasyur, mengemukakan tiga unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah hukum (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law dan constitution based on individual right.25 Unsur-unsur tersebut sebagaimana tergambar dalam uraiannya mengenai doktrin rule of law sebagai berikut:26 a. Tidak seorang pun yang dihukum atau membayar denda atas perbuatan yang tidak secara jelas dilarang oleh hukum; b. Hak hukum atau kewajiban setiap orang hampir tanpa kecuali ditentukan oleh pengadilan umum di wilayahnya; dan c. Hak hukum setiap individu sama sekali bukan hasil dari konstitusi, melainkan landasan konstitusi. Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah didesain sebagai negara hukum yang berkedaulatan rakyat.27 Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 24 25 26 27 22 23
132
Ibid. hal. 12. Nukthoh Arfawie Kurde, op.cit., hal. 17. Ibid, hal. 18. Ibid, hal. 18-19. AV. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Nurhadi, Bandung: Nusamedia, 2007, hal. 37. Lihat Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum .... ” dan lihat juga Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, “ .... maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .... ” Menurut Bung Hatta apabila kekuasaan negara digantungkan kepada diri seorang raja ataupun digenggam oleh seorang diktator yang bukan raja,
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.28 Konsepsi Negara hukum yang dahulu dikesankan menganut rechtsstaat29 sekarang dinetralkan menjadi Negara hukum saja30, tanpa embel-embel rechtsstaat di belakangnya yang diletakkan di dalam kurung. Oleh sebab itu politik hukum Indonesia tentang konsepsi negara hukum Indonesia menganut unsur-unsur yang baik dalam rechtsstaat dan rule of law atau bahkan sistem hukum lain sekaligus.31 Di Indonesia unsur negara hukum dalam rechtsstaat salah satunya terlihat dengan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan administrasi negara.32 Sedangkan unsur negara hukum dalam rule of law terlihat dengan adanya jaminan konstitusional mengenai kesamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law).33
28
29
30
31
32
33
maka kedaulatan tersebut tidaklah bisa kekal. Karena dengan lenyapnya dia dari muka bumi atau dari kedudukannya, maka lenyap pula kekuasaan itu. Oleh karena itu, dasar yang teguh untuk susunan negara haruslah diserahkan kepada pemerintahan yang berdasar pada pertanggungjawaban yang luas dan kekal, yaitu dalam paham kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah jenis yang kekal, yang hidupnya tak bergantung pada umur manusia yang menyusunnya. Manusia akan lenyap berganti, tetapi rakyat tetap ada. Selama ada negara, ada rakyatnya. [Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 17.] Pada hakikatnya kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan melakukan partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari kebebasan dan kemerdekaan. [Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1 (Juli-Desember, 2009), hal. 27.] Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah negara hukum dalam Pasal UUD 1945 dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 46.] Vide Penjelasan UUD 1945, “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat)”. Vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007,. 50-51. Dalam tulisan yang lain Mahfud MD mengatakan bahwa UUD 1945 yang telah diperubahan memberi arahan kepada hukum adat untuk dipertahankan sebagaimana dimaksud Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut pasal tersebut hukum adat yang diakui adalah hukum adat yang masih nyata-nyata hidup, jelas materi dan lingkup masyarakat adatnya dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional…., op.cit., hal. 16.] Vide Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Vide Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
133
Dapat dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah negara hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum yang memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada umumnya dan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi keindonesiaan yaitu nilai fundamental dari Pancasila.34 Sehingga menurut Darji Darmodiharjo dan Shidarta materi hukum di Indonesia harus digali dan dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Indonesia. “Nilai-nilai itu dapat berupa kesadaran dan cita hukum (rechtsidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian, cita politik, sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sedapat mungkin hukum Indonesia harus bersumber dari bumi Indonesia sendiri.”35
Negara hukum Indonesia merupakan konsep yang khas Indonesia. Indonesia merupakan negara hukum, namun Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga merupakan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat.36 Dari ketentuan tersebut telah nyata bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam hukum yang terukur kebenaran dan keadilannya.37 Menurut Jean Jacques Rousseau dalam teori kontrak sosialnya sumber dari segala sumber hukum menurut paham ini adalah kedaulatan rakyat itu sendiri.38 Akan tetapi catatan diberikan oleh Darji Darmodiharjo dan Shidarta bahwa: 34 35
36
37
38
134
Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia, 2005, hal. 86. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 209. Vide Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan sebelum perubahan kedaulatan sepenuhnya dilakukan oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan ketentuan setelah perubahan ini kedaulatan berada tetap ditangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional kepada organ-organ konstitusional. [Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, ...., op.cit., hal. 3-4.] Kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam hukum adalah sebagaimana konsepsi Bung Hatta mengenai kedaulatan rakyat sebagai pemerintahan rakyat yang dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan bermusyawarah. [Mohammad Hatta, op.cit., hal. 18.] Paham negara hukum Indonesia juga terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materil yang sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 48.] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 212.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
“Teori kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat dari Negara Pancasila, karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat kita pun berbeda dengan teori kedaulatan rakyat dari Hobbes (yang mengarah ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah ke demokrasi parlementer).”39
Mohammad Hatta memaksudkan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat diatas dasar permusyawaratan. Kedaulatan rakyat memberi kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat, tetapi juga memberi tanggung jawab yang terbesar. Sehingga merupakan dasar pemerintahan yang adil, karena siapa yang mendapat kekuasaan dia itulah yang bertanggung jawab. Manakala rakyat seluruhnya merasa kewajibannya untuk mencapai keselamatan bersama, maka tertanamlah sendi negara yang kokoh.40 Berbicara mengenai Negara Hukum tidak akan lepas dari sejarah ketatanegaraan pemerintahan-pemerintahan di berbagai macam belahan dunia, yang mana hal ini turut menentukan hingga akhirnya konsep Negara Hukum menjadi populer hingga saat ini. Jika kita tarik ke belakang, hingga abad ke18 seringkali pemerintahan dalam suatu negara bersifat despotis, hingga pada akhirnya seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari Perancis bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de Montesquieu memisahkan kekuasaan memerintah negara yang dilaksanakan oleh masing-masing badan yang berdiri sendiri. Dengan ajarannya itu Montesquieu berpendapat bahwa: “Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenangwenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.”41
Pembagian kekuasaan-kekuasaan itu kedalam tiga pusat kekuasaan oleh Immanuel Kant kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan) atau tiga Pusat/Poros Kekuasaan Negara.42 Ajaran Trias politica ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari ajaran John Locke. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi:43 41 42 39 40
43
Ibid. hal. 212. Mohammad Hatta, op.cit., hal. 14-15. Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2004, hal. 117. Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 74. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 13.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
135
a. Fungsi Legislatif; b. Fungsi Eksekutif; dan c. Fungsi Federatif. Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia tahun ajaran 1961-1962, Padmo Wahjono membandingkan keduanya sebagai berikut: “Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan dalam bidang Exekutif, sebab Pengadilan itu adalah melaksanakan hukum. Jadi dalam hal adanya perselisihan, maka itu menjadi wewenang daripada fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu mengeluarkannya dari Exekutif karena Montesquieu melihat kedalam di Perancis dengan adanya penggabungan itu timbul kesewenang-wenangan. Oleh karena itu harus dipisahkan agar supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Disini terletak perbedaan peninjauan fungsi Yudikatif antara Montesquieu dengan John Locke. John Locke melihat secara prinsipel yaitu sebagai pelaksanaan hukum. Dilihat hasilnya untuk keadilan, maka fungsi judikatif itu dikeluarkan dari bidang Exekutif oleh Montesquieu. Dan ajaran Montesquieu lebih populer daripada John Locke. Hanya kemudian, dimanakah disalurkan wewenang Diplomasi dalam Trias Montesquieu? Dan ini oleh Montesquieu dimasukkan dalam fungsi legislatif, oleh karena hubungan Diplomasi menciptakan ketentuan-ketentuan yang berlaku buat negara itu dengan negara lain.! Jadi dimasukkan dalam bidang Legislatif karena membuat peraturanperaturan.”44
Sejalan dengan perkembangan konsep pemisahan kekuasaan dalam negara hukum, dikenal pula konsep checks and balances di dalamnya. Butterworths Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances menjadi “A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.”45 Sedangkan Black’s Law Dictionary mengartikannya sebagai “arrangement of governmental powers whereby powers of one governmental branch check or balance those of other brances.” Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar-cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan 44
45
136
Teuku Amir Hamzah, Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, Jakarta: Indo Hill Co., 2003, hal. 164-165. http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-prinsip-checks.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
tertentu.46 Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan, dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi Amerika Serikat (US Constitution 1789). Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki sistem checks and balances yang efektif jika tidak ada satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective system of checks and balances if no one branch of government holds total power, and can be overridden by another).47 Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian, checks and balances sesungguhnya bukanlah tujuan dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara. Konsep ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan citacita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis, bersih dan kuat melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara pilar-pilar kekuasaan dalam negara.48 Konsep inilah yang mengilhami MPR dalam melakukan perubahan UUD 1945 untuk tidak meletakkan kekuasaan pemerintah yang hendak dibangun pada satu badan, hingga terjadilah checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi absolutisme di Indonesia. III. ANALISIS A. Pemakzulan di Indonesia Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali MPR memberhentikan Presiden di tengah masa jabatannya. Pertama adalah pada saat pemberhentian Presiden Soekarno yang dianggap bersalah karena ketidakmampuannya memberikan pertanggungjawabannya atas 46
47
48
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/ diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-balances.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 Ibid.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
137
peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S)49 serta kemerosotan ekonomi dan kemerosotan akhlak rakyat. Kedua adalah pada saat pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid yang dianggap bersalah karena ketidakmampuan (keengganan) Presiden memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang Istimewa MPR, kesalahan Presiden yang dengan sengaja mengeluarkan maklumat pembubaran MPR serta tidak menjalankan ketetapan-ketetapan MPR dan undang-undang yang berlaku di Indonesia.50 Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang menjelaskan alasan pemberhentian tersebut sebagai berikut: 1. Atas permintaan sendiri; 2. Berhalangan tetap; dan 3. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Tap MPR No. III Tahun 1978 mengatur prosedur pemakzulan sebelum perubahan konstitusi.51 Prosedur ini mensyaratkan dikeluarkannya dua kali surat peringatan secara berturut-turut. Memorandum pertama memperingatkan Presiden tentang pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya. Jika setelah tiga bulan kemudian Presiden tidak menanggapi surat peringatan itu secara memuaskan, memorandum kedua dilayangkan. Dan jika satu bulan kemudian tanggapan Presiden masih juga tidak memuaskan, MPR akan menggelar sebuah Sidang Istimewa untuk membahas kedua memorandum itu berikut tanggapan dari Presiden. Sidang ini kemudian akan memutuskan apakah Presiden akan diberhentikan atau tidak. Menurut Denny Indrayana prosedur pemakzulan Indonesia ini problematik, apalagi kalau dibandingkan dengan prosedur serupa milik Amerika Serikat.52 Hal inilah yang turut menjadikan alasan untuk mengakomodir mekanisme pemakzulan yang lebih adil dalam perubahan ketiga UUD 1945. Munculnya mekanisme pemakzulan secara limitatif dalam perubahan UUD 1945 sesungguhnya sebagai konsekuensi logis dari adanya penegasan sistem
49
50
51 52
138
Tulisan ini tidak lagi menggunakan istilah rezim orde baru yaitu G30S/PKI melainkan Gerakan 30 September saja. Ada beberapa versi tentang peristiwa itu dan PKI hanya salah satu versi. Oleh sebab itu lebih objektif dengan menyebut Gerakan 30 September tanpa embel-embel apapun. [Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal 176.] Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal. 81 Ibid, pasal. 7. Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007, hal. 245-246.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
presidensil dalam perubahan UUD 1945. Dalam Buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa: “Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, menjadikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih mempunyai legitimasi yang lebih kuat. Jadi, adanya ketentuan tersebut berarti memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang kita anut dengan salah satu cirinya adalah adanya periode masa jabatan yang pasti (fixed term) dari Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia lima tahun. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hukum berdasar hal-hal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui suatu prosedur konstitusional yang populer disebut impeachment.”53
Sekalipun Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya, namun karena alasan-alasan tertentu dalam rangka pertanggungjawaban dengan mekanisme yang diatur secara konstitusional Presiden dan/atau Wakil Presiden masih memungkinkan untuk diberhentikan, sebagaimana pendapat Mohammad Laica Marzuki berikut: “Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan konstitusi bagi pemberhentian presiden dan wakil presiden hasil pemilihan langsung, yang sesungguhnya -dalam keadaan biasa (normal procedure)- tidak dapat diberhentikan selama masa jabatan. Pengecualian yang diberikan konstitusi terhadap MPR tidak dapat dipahami seketika selaku wewenang MPR”54
Dalam hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat dengan membandingkan proses pemakzulan pada saat pra dan pasca perubahan UUD 1945 sebagai berikut: “Pada masa lalu pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya hanya didasarkan pada pertimbangan politik yang diatur dalam Tap MPR Nomor III/MPR/1978 dengan alasan melanggar haluan negara yang penafsirannya sangat luas. Namun pada saat ini Presiden hanya dapat dijatuhkan (melalui impeachment) dengan alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan lebih dulu secara hukum (melalui forum previlegiatum). Di sini, memenangkan suara dalam demokrasi dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur hukum berdasar nomokrasi”55
Kendatipun mekanisme pemakzulan telah diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun masih terdapat beberapa persoalan yang belum sepenuhnya dapat terjawab dengan 53 54
55
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 56. Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 40. Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara...., op.cit., hal. xvi.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
139
sepenuhnya dalam konstitusi hasil perubahan tersebut. Menurut hemat penulis, masalah yang paling mendasar adalah mengenai tidak mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR setelah diteruskan DPR kepada MPR. Artinya sejauh apa pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam rapat paripurna MPR.56 Akan memungkinkan ketika Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR atas alasan pemakzulan, namun dalam rapat paripurna MPR majelis justru tidak memutuskan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan alasan-alasan yang bersifat politis. Dengan kondisi ini, mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga tidak terjadi sebagaimana gagasan dasar dalam hasil perubahan UUD 1945. Penulis menilai hal ini juga tidak sejalan dengan semangat pengawasan yang dilakukan oleh DPR kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Karena pasca perubahan UUD 1945 ada perumusan secara limitatif terhadap alasan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi alasan hukum saja, maka bentuk pengawasan yang dilakukan oleh DPR yang berujung pada pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah masuk dalam pengawasan hukum.57 Oleh sebab itu dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah pertanggungjawaban hukum tata negara. Sementara itu pengawasan yang dilakukan DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal kebijakan yang telah diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijadikan sebagai landasan pemakzulan karena masuk dalam pengawasan politik yang sanksinya ada pada pemilihan umum selanjutnya. Karena semakin sering DPR menggunakan haknya58 dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, maka dapat disimpulkan oleh rakyat bahwa kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah merupakan kebijakan yang berpihak bagi rakyat, atau setidaknya menurut DPR. Sehingga 56
57
58
140
Bahkan menurut Ali Murtopo dalam mekanisme ini terdapat kerancuan karena efektifitas putusan Mahkamah Konstitusi tertunda sebab DPR harus meneruskan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. [Ali Murtopo, “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Bidang Impeachment Presiden di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1 (Februari, 2006), hal. 69.] Pasal 7B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
dalam pemilihan umum selanjutnya rakyat dapat menilai bahwa mereka atau partai politik yang mengusung mereka tidak layak untuk dipilih kembali apabila kembali mencalonkan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, sejatinya apabila fungsi itu telah dijalankan yang didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi59, maka semestinya putusan Mahkamah tersebut turut mengikat MPR sebagai tindak lanjut dari proses pengawasan tersebut. Perumusan dalam Pasal 7B Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 194560 yang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat MPR justru membuat fungsi pengawasan yang telah dilakukan oleh DPR menjadi serba tidak pasti. Karena pasal tersebut bukannya menguatkan fungsi pengawasan yang telah dilakukan DPR, melainkan justru membuat fungsi pengawasan tersebut menjadi terombang-ambing dengan keputusan sidang MPR yang sarat kepentingan karena tidak terikat kepada putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi pun turut membuat kondisi ini menjadi semakin larut dalam ketidakpastian. Melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 dirumuskan dalam Pasal 19 Ayat (5) bahwa “Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan.”. Perumusan pasal ini dapatlah dimaklumi, sebab sebagaimana visi Mahkamah Konstitusi, peraturan yang dibuatnya pun haruslah dibuat dalam rangka menegakkan konstitusi.61 Menjadi ironis dan kedepannya hal ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia karena senyatanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang terbingkai dengan norma hukum yang terukur kebenarannya. Ironisnya terletak pada kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya penjaga dan penafsir UUD dan diberi wewenang untuk memutuskan pernyatan DPR tentang pelanggaran hukum Presiden, tetapi keputusan terakhir yang memberi sanksi pemberhentian atau sanksi lainnya terhadap Presiden berada pada MPR.62 59
60
61
62
Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud adalah yang membenarkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 7B Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan “Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.” Visi Mahkamah Konstitusi RI adalah “Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.” Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung: Yrama Widya, 2007, hal. 176-177.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
141
B. Mekanisme Checks and Balances dalam Proses Pemakzulan di Indonesia Turut sertanya Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan merupakan langkah tepat agar dalam proses pembuktian bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa terlepas dari biasnya kepentingan partai politik yang bertarung dalam proses ini. Pelibatan Mahkamah Konstitusi juga sebagai konsekuensi logis karena dasar-dasar pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut merupakan alasan hukum, sehingga yang bisa membuktikannya hanya lembaga yang masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman. Selain itu bila proses tersebut diserahkan hanya kepada DPR dan MPR saja sebagaimana pengalaman di masa lalu, maka proses pembuktian tersebut akan tidak memiliki batasan yang jelas dan mudah dibajak oleh kepentingan sesaat para politisi yang bermain kekuasaan, sehingga untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya ketidakadilan yang timbul karena proses pemakzulan Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi suatu keniscayaan. Dalam Putusan ini akan nampak terbukti atau tidaknya pelanggaran yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, namun hal ini tidak ditujukan pada pertanggungjawaban pidana melainkan untuk pertanggungjawaban hukum tata negara Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan konstruksi ini, maka Putusan Mahkamah Konstitusi berkedudukan sebagai landasan berhentinya Presiden dan/ atau Wakil Presiden di tengah masa jabatan. Putusan ini menjadi jembatan bagi eksekusi pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR. Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut penulis secara filosofis Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan suatu jabatan yang harus diemban oleh orang yang baik mulai dari awal pencalonannya hingga pada saat menjabat. Kategori baik ini dirumuskan dalam persyaratan calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian ketika Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah menjabat, maka kategori baik berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah tidak melakukan hal-hal yang dilarang sebagai dasar pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dirumuskan dalam pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga menjadi tidak layak seseorang mencalonkan dan menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila tidak memenuhi kriteria orang yang baik tersebut. 142
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Untuk itulah ketika seseorang telah menjabat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden kemudian ada dugaan bahwa ia tidak memenuhi kriteria tersebut, maka hal itu haruslah dibuktikan, baru kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dapat diberhentikan dari masa jabatannya. Pembuktian tersebut bukanlah dengan maksud untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana sebagaimana yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, namun lebih karena pertanggungjawaban hukum tata negara Presiden dan/atau Wakil Presiden. Karena menurut hukum tata negara Presiden dan/ atau Wakil Presiden haruslah orang baik sebagaimana telah dirumuskan oleh MPR yang tercermin dari Pasal 6 dan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Karena kedua pasal tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum tata negara63, maka dengan demikian konsep pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah pertanggungjawaban hukum tata negara dan bukan merupakan pertanggungjawaban pidana, apalagi pertanggungjawaban politik. Kemudian timbul persoalan secara filosofis, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di satu sisi bila turut mengikat bagi MPR, artinya merupakan kemenangan bagi kedaulatan hukum sebab dengan itu menjadi optimal fungsi pengawasan yang telah dilakukan oleh DPR sebagai pertanda adanya mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pendek kata, tiada kekuasaan yang tidak terbatas. Namun di sisi lain MPR yang merupakan gabungan dari anggota DPR dan DPD yang notabene dipilih oleh rakyat merupakan gambaran dari kemenangan kedaulatan rakyat bila putusan Mahkamah Konstitusi hanya diposisikan hanya sebatas jembatan bagi proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Untuk menjawab problematika ini, selanjutnya akan diulas (juga) secara filosofis mengenai pertarungan antara paham kedaulatan hukum dengan paham kedaulatan rakyat yang terjadi sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Dalam negara hukum yang demokratis, kekuasaan haruslah dibatasi. Bentuk pembatasan itu adalah dengan tidak meletakkan kekuasaan pada satu tangan atau 63
Menurut Mahfud MD, hukum tata negara adalah bukan apa yang ada di dalam teori atau yang berlaku di negara lain, betapapun itu dianggap sudah sangat mapan. Hukum tata negara adalah apa yang digagas dan kemudian ditulis di dalam konstitusi oleh bangsa suatu negara, jadi hukum tata negara adalah apa yang diperdebatkan dan ditulis sebagai pilihan politik di dalam konstitusi. Lebih lanjut dengan meminjam ungkapan KC Wheare, Mahfud mengatakan bahwa konstitusi adalah resultante atau kesepakatan yang dibuat oleh bangsa yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu serta situasi. [Mohammad Mahfud MD, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita, dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007, hal. 10.]
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
143
satu lembaga negara. Sehingga antara lembaga negara tersebut memiliki kekuasaan yang sama kuat dan dapat saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain antar lembaga negara. Dalam konteks pemakzulan, sesungguhnya hal ini merupakan bentuk dari pengawasan antara lembaga legislatif terhadap eksekutif. Masuknya lembaga yudikatif dalam proses pengawasan ini disebabkan karena yang menjadi alasan dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah merupakan alasan hukum. Sehingga dalam mekanisme pemakzulan dapat ditemukan prinsipprinsip negara hukum yang demokratis, karena terdapat fungsi saling mengawasi dan mengimbangi antara lembaga legislatif dan yudikatif terhadap lembaga eksekutif. Prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis tersebut akan dengan jelas tergambar ketika pemakzulan sebagai fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden dapat berjalan dengan optimal tanpa dikaburkan dengan hasil sidang MPR yang dimungkinkan beda simpulan dari serangkaian proses sebelumnya. Namun bagi penganut paham demokrasi mau tidak mau suara rakyat harus benar-benar diperhatikan, artinya dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan kehendak rakyat. Vox Populi Vox Dei64 kata pepatah politik kuno, pepatah yang menunjukkan betapa tingginya rakyat dalam konteks negara, terutama negara yang menganut paham demokrasi. Sekalipun ungkapan itu tidak dimaksudkan untuk membandingkan kekuasaan Tuhan yang sakral dengan kekuasaan politik yang sekuler, namun itu bermakna bahwa bagaimanapun tanpa kehadiran rakyat, tanpa keterlibatannya, suatu negara demokratis tidak akan pernah ada. Hal ini adalah sejalan dengan paham kedaulatan rakyat. Akan tetapi menurut Mohammad Mahfud MD dalam kuliah umum bertema “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Hukum dan Demokrasi”, demokrasi adalah konsep yang biasanya setiap keputusannya berdasarkan menang-kalah, berdasarkan suara terbanyak, meskipun mungkin belum tentu benar hasil yang disepakatinya. Hal ini justru berbahaya, untuk itu demokrasi harus tetap dipertahankan tanpa menggesernya dari konsep asli dengan cara membangunnya bersama-sama dengan nomokrasi (negara berdasar hukum). Demokrasi dan nomokrasi dibangun secara interdependen. “Politik tanpa hukum itu dzalim. Sebaliknya, hukum tanpa dikawal kekuasaan politik akan lumpuh.”65 Pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut sesuai dengan maksud Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” 64
65
144
Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan). Dalam konteks ini pepatah tersebut sesuai dengan prinsip Salus Populi Suprema Lex (Suara Rakyat Adalah Hukum Tertinggi). Wiwik Budi Wasito, “Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen”, Majalah Konstitusi, No. 34 (November, 2009), hal. 62.
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Bila diteliti sesungguhnya terdapat hubungan yang erat antara kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum. Menurut Krabbe hukum itu berdaulat karena ia bersumber kepada kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat, sehingga kedaulatan hukum merupakan kelanjutan dari kedaulatan rakyat.66 Kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat tersebut bila dikaitkan dengan paham kedaulatan rakyat Rousseau adalah merupakan kehendak umum (volonte generale). Sebagaimana perkataan Rousseau mengenai kedaulatan rakyat, bahwa kehendak umum merupakan pimpinan tertinggi atau kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Berikut rumusannya: “Masing-masing dari kita menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk kepentingan bersama, di bawah pimpinan tertinggi yaitu kehendak umum, dan di dalam korps kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan. .... Pribadi sosial yang dibentuk sedemikian itu oleh penyatuan semua pribadi, dahulu disebut Negara kota, sedangkan sekarang disebut Republik atau korps politik. Sebagai korps yang pasif disebut Negara oleh anggotanya, sebagai korps yang aktif disebut Souverain, dan disebut kekuasaan apabila dibandingkan dengan korps-korps yang sejenis.”67
Secara filosofis, kehendak umum sejatinya adalah gagasan bahwa kekuasaan tidak dapat dijalankan oleh kehendak pribadi. Dengan kata lain kekuasaan harus dibatasi, sehingga manifestasi dari kehendak umum adalah hukum. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kant bahwa individu hanya menaati hukum yang diamini secara rasional dan kolektif. Hukum mendapatkan kekuatannya apabila dikehendaki sebagai aturan umum.68 Dari rangkaian logika diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum baru akan menjadi kedaulatan tertinggi bila hukum itu sudah sesuai dengan kehendak umum sebagai manifestasi kedaulatan rakyat. Bila dihubungkan dengan konstruksi ini, maka kaitan antara putusan Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemakzulan dengan prinsip supremasi hukum adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut baru akan memiliki kekuasaan tertinggi bila sudah sejalan dengan kehendak umum rakyat. Persoalannya adalah kehendak umum rakyat tersebut tidak lagi dapat digambarkan dalam keputusan MPR. Sebab MPR tidak lagi seperti dahulu sebelum perubahan UUD 1945 yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes) dan pelaksanaan kedaulatan rakyat pasca perubahan UUD 1945 adalah didistribusikan secara langsung kepada tiap 66 67
68
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hal. 135. Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, terjemahan Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hal. 16. Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Depok: Penerbit Koekoesan, 2010, hal. 97.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
145
lembaga tinggi negara sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Polemik selanjutnya timbul ketika kenyataan sosiologis berbicara bahwa MPR kini tidak lagi merepresentasikan rakyat yang telah memilihnya, tarik ulur dalam pengambilan keputusan selama ini hanya berdasarkan kepentingan partai politik yang ada di belakang mereka. Terlebih yang menjadi alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah alasan hukum, tentunya putusan Mahkamah Konstitusi merupakan parameter yang jelas dan menjadi realistis bila turut mengikat MPR sebagai pertanda kuatnya mekanisme checks and balances antar lembaga negara. IV. PENUTUP Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 relatif belum sejalan dengan prinsip supremasi hukum dan mekanisme hukum tata negara dalam proses ini turut dicampuri oleh mekanisme politik. Sehingga mekanisme checks and balances dalam proses ini belum terjadi. Belum sejalannya mekanisme pemakzulan dengan prinsip supremasi hukum disebabkan karena hakikat pemakzulan sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan sebagai pertanda adanya mekanisme checks and balances menjadi sumir akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang dijadikan jembatan dalam mekanisme tersebut tidak secara eksplisit ditentukan turut mengikat bagi MPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengawasan tersebut adalah pengawasan terhadap pelanggaran hukum tata negara yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atas proses ini masuk dalam kategori pertanggungjawaban hukum tata negara. Sekalipun mekanisme checks and balances tersebut belum terjadi dengan sempurna karena MPR dimungkinkan memberikan putusan yang berbeda dari putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi mekanisme yang ada tetaplah merupakan mekanisme hukum tata negara. Sebab pemakzulan terjadi dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif sebagai bagian dari mekanisme checks and balances yang merupakan sendi dari prinsip supremasi hukum. Hanya saja karena MPR dimungkinkan memberikan putusan yang berbeda, maka mekanisme hukum tata negara dalam proses pemakzulan juga dicampuri oleh mekanisme politik. Hal ini menjadi persoalan ketika pemakzulan yang merupakan manifestasi dari pengawasan hukum tata negara dimaksudkan 146
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
dalam rangka pertanggungjawaban hukum tata negara. Sehingga untuk mekanisme politik seharusnya cukup diletakkan dalam menjalankan fungsi pengawasan politik (pengawasan atas kebijakan) dalam rangka pertanggungjawaban politik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sekalipun mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia pasca perubahan UUD 1945 masih memiliki kekurangan bila disandingkan dengan prinsip checks and balances dalam konsep negara hukum. Namun secara garis besar setidaknya proses tersebut menjadi koreksi atas proses sebelumnya ketika belum diadakan perubahan UUD 1945. Pembenahan sistem lebih lanjut tidak dapat dilakukan dengan melakukan perubahan UndangUndang Makhamah Konstitusi, Tata Tertib DPR, Peraturan Mahkamah Konstitusi maupun peraturan-peraturan terkait lainnya, melainkan dengan melakukan perubahan UUD 1945 kembali dengan menyempurnakan proses pemakzulan di Indonesia. Penyempurnaan tersebut tentu haruslah menempatkan pelaksanaanpelaksanaan fungsi DPR, Putusan Mahkamah Konsitusi serta Putusan MPR sebagai satu kesatuan yang linear dan utuh apabila kemudian MPR tetap mempertahankan gagasan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
147
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adam, Asvi Warman. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2007. Adian, Donny Gahral. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Depok: Penerbit Koekoesan, 2010. Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. ---------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007. Asshiddiqie, Jimly, et al. Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Atmoredjo, Sudjito bin. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila (Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta, 2009. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. Dicey, AV. Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the Constitution), diterjemahkan oleh Nurhadi. Bandung: Nusamedia, 2007. Fadjar, Abdul Mukthie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia, 2005 Firdaus. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi. Bandung: Yrama Widya, 2007. Hamzah, Teuku Amir. Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, SH. Jakarta: Indo Hill Co., 2003. Hatta, Mohammad. Kedaulatan Rakyat. Surabaya: Usaha Nasional, 1980. Indrayana, Denny. Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung: Mizan, 2007.
148
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Koesnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Koesnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. Kurde, Nukthoh Arfawie. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mahfud MD, Mohammad. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. ---------, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita, dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007. ---------, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008. Marzuki, Mohammad Laica. Berjalan-Jalan di Ranah Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (Du Contrat Social), diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat. Jakarta: Dian Rakyat, 1989. Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004. Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 19992002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008 Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
149
Jurnal/Majalah Madjid, Nurcholish. Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara. Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1. Juli-Desember 2009. Murtopo, Ali. Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Bidang Impeachment Presiden di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1. Februari 2006. Permadi, Iwan. Impeachment MK terhadap Presiden dan Kekuasaan Mayoritas di MPR. Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 3. September 2007. Wasito, Wiwik Budi. Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen, Majalah Konstitusi, No. 34. November 2009. Wiyanto, Andy. Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3. Juni 2010. Surat Kabar Rahardjo, Satjipto. 58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai. Kompas, 11 Agustus 2003. Website http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/ diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-danprinsip-checks.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-andbalances.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 Makalah Asshiddiqie, Jimly. Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006.
150
NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013
Mertosuwignyo, Sri Soemantri. Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006. ---------, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006.
ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme...
151
PEDOMAN PENULISAN JURNAL NEGARA HUKUM
1. Naskah yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum adalah tulisan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan hukum dan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 2. Naskah dapat berupa hasil penelitian, pengembangan, gagasan konseptual, atau tinjauan kepustakaan yang belum pernah dipublikasikan. 3. Sistimatika tulisan hasil pemikiran/gagasan konseptual meliputi: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak, kata kunci, pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori atau kerangka pemikiran, analisis, kesimpulan dan saran (jika ada). 4. Sistimatika tulisan hasil penelitian meliputi: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak (maksimal 250 kata), kata kunci, pendahuluan yang berisi: latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan, teori atau kerangka pemikiran, metode penelitian, hasil penelitian, kesimpulan dan saran (jika ada). 5. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word di atas kertas ukuran A4 dengan jarak spasi rapat (satu spasi), jumlah halaman 15-20, huruf Arial, font 10. Penulis wajib menyerahkan tulisan dalam bentuk hard copy dan soft copy (disket/CD) ke Redaksi Jurnal Negara Hukum e-mail: negarahukum_
[email protected] 6. Naskah diterima oleh Redaksi Jurnal Negara Hukum selambat-lambatnya awal Maret untuk terbitan bulan Juni dan awal September untuk terbitan bulan November. 7. Penulisan sumber kutipan atau rujukan menggunakan sistem catatan kaki (footnote) dengan urutan: nama pengarang/editor (tanpa gelar akademik), judul karangan (ditulis dengan huruf miring/italic, kota penerbit, nama penerbit, tahun penerbitan, dan nomor halaman yang dirujuk atau dikutip. Contoh: Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 23. Sumber kutipan berikutnya yang menunjuk kepada sumber yang telah disebut dalam catatan kaki di atasnya, menggunakan Ibid (jika halaman sama) atau Ibid.hal. 35. (jika berbeda halaman).
Penulisan sumber kutipan yang telah disebut sebelumnya dan telah disisipi sumber kutipan lain, sbb: nama pengarang, judul singkat, hal (tidak menggunakan op.cit, loc.cit). Contoh: Andrian Sutedi, Prinsip Kepentingan Umum, hal. 56. 8. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis, sebagai berikut: Buku: Sutedi, Andrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Jurnal/majalah: Samsul, Inosentius. Pengaturan Kerangka Hukum Alternatif Penanganan Konflik Sosial: Studi Terhadap Upaya Pelestarian dan Pemberdayaan Adat Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Era Hukum. No.1/Tahun 16. September 2008. Terjemahan: Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi (Law and Sosiety in Transition: Toward Responsive Law), diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco. Jakarta: HuMa, 2003. Surat Kabar: Negara Ikut Lemahkan KPK. Media Indonesia, 9 November 2010. Website: Mulhadi, Relevansi Teori Sosiological Yurisprudensi dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia. http://www.search-ebooks.com, diakses tanggal 4 Juni 2010. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia. Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25, LN No. 67 tahun 2007. TLN. No. 4724.