DAFTAR ISI Moch Jalal Kontradisksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa - 1 Made Pramono Etika Sosialisme Religius Bung Hatta - 9 Ida Nurul Chasanah Representasi Reaksi-Kreatif Literer atas Penguasa Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia - 19 Nur Wulan Gender Relations in Late Colonial Indonesia: A Brief Overview and Their Portrayal in Three Modern Indonesia Novels - 28 Diah Ariani Arimbi Politics and Social Representation in Literatures: A Feminist of Ratna Indraswari Ibrahim’s Work - 36 Edi Dwi Riyanto Korelasi antara Pengguna Multimedia Komputer dengan Peningkatan Skor TOEFL Peserta Self Acces UNAIR - 50 Purnawan Basundoro Menggagas Historiografi (Indonesia) yang Demokratis
- 58
Sarkawi B Husain Resensi Buku Keroncong Cinta Karya Ahmad Faishal “Antara Cara Pemahaman, Cara Perhubungan, dan cara Penciptaan”
- 67
KONTRADIKSI LOGIKA FILSAFAT DENGAN LOGIKA SIMBOLISASI BAHASA Moch. Jalal*) )
Abstract Not agreement between Ianguage base aspect with philosophy logic characteristic non meaning both this science area have to be dissociated in order not to each other bringing into contact. Philosophy logic always claim truth, accuracy, decision, and universality. On the other side, Ianguage simbol measure up to base which contradiction with philosophy logic demand. Related to this problem both science area, Ianguage and also philosophy do not have to avoiding each other. Without have logic, study to reality problem of usage of Ianguage will never earn to find problems answer. On the other hand, philosophizing impossible can be conducted without using Ianguage media to pour all object presentation and also all behavior which is contemplating. On the contrary, both have to earn is searching each other gap among to pruduce of interesting and sharper multidimensional science. Keywords: Philosophy logic, Language base aspect
Pendahuluan Dalam kajian filsafat, eksistensi Logika dapat diibaratkan sebagai ujung tombak yang kedudukannya sangat dikedepankan serta mendapatkan porsi sorotan terpenting. Dikatakan demikian, mengingat dalam kegiatan berfilsafat, cara berpikir dan bernalar secara benar merupakan syarat utama yang selalu harus dijunjung tinggi. Tata cara benalar dan berpikir secara benar dan logis inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah logika. Secara singkat dapat dikatakan, logika merupakan ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus atau tepat. Mengingat ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan tentang objek tertentu, ke sa t uan yan g s i s t e m at i s , s e rt a memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Segala penjabaran tentangnya harus dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai
sebab musababnya. Aspek penjelasan sebab musabab secara masuk akal dan ilmiah juga merupakan bidang logika. Lapangan pengetahuan logika kefilsafatan secara umum yaitu meliputi asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Dalam hal ini logika menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan hukum yang harus ditepati agar manusia dapat berpikir lurus, tepat, dan teratur. Popkin dan Stroll (Bawengan, 1990: 64) berpendapat bahwa logika merupakan salah satu cabang filsafat yang tergolong penting sekali. Semua bagian atau cabang-cabang filsafat tidak dapat lepas pada penggunaan pikiran atau cara berpikir. Apakah pikiran itu benar atau keliru akan tergantung pada penyesuaiannya dengan asas-asas logika. Disitulah letak logika diperlukan sebagai dasar penggunaan pikiran. Menurut Sudarsono (Sudarsono, 1993: 146), Logika memiliki objek
)
* Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlanga, telp (031) 5035676
1
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 material yaitu berpikir. Sedangkan yang dimaksud dengan berpikir ialah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Apabila seseorang berpikir, maka berarti dia mengolah, mengajarkan pengetahuan yang diperoleh. Dengan demikian berarti dalam hal ini telah terjadi kegiatan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian yang satu dengan lainnya secara teratur dan acak. Sedangkan objek formalnya adalah berpikir benar dan tetap. Selanjutnya dalam logika kefilsafatan ini akan diatur bagaimana tata cara berpikir dan benalar yang benar. Sebab ada dua kemungkinan implikasi cara berpikir dalam berfilsafat, logis atau tidak logis. Jika hasil kegiatan berpikir dan bernalar itu telah sesuai dengan syarat-syarat logika yang benar, berarti hasil pemikiran itu dapat dikatakan logis. Sebaliknya, jika kurang memenuhi syarat logika yang benar, berarti kurang atau bahkan dianggap tidak logis. Selain logika, dalam kegiatan berfilsafat ternyata masih terdapat perangkat alat yang tak kalah pentingnya, yaitu bahasa. Barangkali tidak satu pun linguis yang meragukan adanya pendapat bahwa antara ilmu filsafat dengan ilmu linguistik (kajian terhadap bahasa) terdapat kedekatan hubungan. Pendapat adanya kedekatan hubungan ini jauh-jauh hari memang sengaja diperkenalkan, bahkan menjadi semacam warning bagi para pemerhati ilmu linguistik agar segera membuka jendela wawasannya. Karena mengkaji persoalan linguistik mau tidak mau akan dihadapkan pada persoalanpersoalan nonlinguistik yang tidak jarang justru mampu secara sinergis mempertajam serta melengkapi kajian
2
terhadap berbagai persoalan bahasa. Warning tentang kedekatan hubungan tersebut sebenarnya tidak hanya ditujukan terhadap bidang filsafat, namun juga berbagai disiplin ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan kedokteran. Khusus bidang filsafat, hubungan antara keduanya memang telah terjalin sejak masa-masa awal kelahiran kedua bidang keilmuan tersebut, baik itu bidang filsafat maupun linguistik. Secara mendasar, antara keduanya bahkan cenderung menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Pada kegiatan berfilsafat, bahasa menjadi sarana terpenting dalam rangka keberlangsungannya. Dengan kata lain dalam setiap aktifitas berfilsafat atau berpikir tidak akan pernah dapat berlangsung tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Hal itu masuk akal, mengingat apapun dunia fakta yang menjadi objek perenungan dapat dipastikan telah tertransformasikan dalam dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa. Objekobjek yang dipikirkan dan direnungkan dalam filsafat tidak lain adalah realitas alam maupun perilaku yang telah terlabelisasi dalam bentuk-bentuk simbolsimbol bahasa. Seperti langit, bintangbintang, hukum, aturan, norma, kearifan, kejahatan, dan lain-lain. Dalam sebuah pe-mikirannya, ahli filsafat W.D. Whitney pernah mengungkapkan bahwa Language is not only necessary for the formulation of thought but is part of the thinking process it self. we cannot get outside language to reach thought, nor outside language to reach language.( Bolinger & Sears, 1981: 135)
Kontradiksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa
Di sisi lain, jika dilihat dari sudut pandang linguistik, bidang kajian ini pun tidak akan pernah dapat dipisahkan dari kegiatan berfilsafat. Sebab pada dasarnya semua kegiatan kaji-mengkaji keilmuan itu tidak akan pernah terlepas dari kegiatan berpikir dan bernalar. Sebagai salah satu cabang keilmuan yang sudah mendapatkan pengakuan secara universal, di dalam kajian linguistik tentu saja terdapat kegiatan berpikir dan bernalar. Senada dengan hal itu Durant (1933: 14) pernah berpendapat jika filsafat itu pada dasarnya merupakan awal atau langkah pertama dari berbagai kegiatan keilmuan. Jika diibaratkan sebagai strategi militer, filsafat merupakan pasukan marinir yang diterjunkan pertama kali ke medan perang guna mencari jalan bagi pasukan infantri (bidang ilmu yang dimaksud), yang selanjutnya akan mengadakan penyerangan dan aksi lanjutan. Tanpa keberadaan pasukan marinir tersebut maka juga tidak akan pernah terdapat kegiatan penyerangan dan aksi lanjutan oleh pasukan infantri. Ilustrasi Durant ini sebenarnya ingin menunjukkan bagaimana posisi filsafat —yang dalam hal ini diibaratkan sebagai pasukan marinir— dengan ilmu lain yang diibaratkan sebagai pasukan infantri. Sehingga makin jelaslah bahwa mungkin tidak akan pernah muncul kajian tentang bahasa yang selanjutnya dikenal dengan linguistik jika seandainya manusia tidak melakukan kegiatan berfilsafat. Tulisan singkat ini ingin menjabarkan kontradiksi yang terdapat antara kelogisan bernalar pada logika filsafat dengan logika simbolisasi bahasa, terutama yang terepresentasikan dalam beberapa sifat bahasa yang dicetuskan
oleh Alston (1964: 6), yaitu vagueness, inexplicitness, ambiguity, contextdependence, dan misleading-ness. Pembahasan Hubungan kedekatan yang ter-dapat antara kajian filsafat secara umum dengan bahasa bukan berarti antara keduanya memiliki sistematika serta cara bernalar yang sama. Bahkan dalam hal-hal tertentu dapat dijumpai adanya sistematika atau cara bernalar filsafat yang sering tersandung dengan logika simbolisasi dalam bahasa. Untuk itu melalui makalah singkat ini, penyusun sangat tertarik untuk mem-bahas salah satu kontradiksi yang cukup tampak, terutama tentang sifat-sifat dasar bahasa yang dianggap sebagai kekurangan atau penghambat jika dibenturkan dengan tuntutan kelogisan bernalar dalam kajian filsafat secara umum. Kepemilikan dan pemakaian bahasa merupakan satu hal yang menunjukkan keunggulan serta nilai lebih luar biasa dari diri manusia dibandingkan dengan mahluk lainnya. Sehubungan dengan hal itu Ernst Cassirer (Cassirer, An Essay on Man (1944) menyebut manusia adalah animal simbolicum, yaitu makhluk yang meng-gunakan media berupa simbolsimbol kebahasaan dalam memberi arti serta mengisi dan mengatur kehidupannya secara keseluruhan. Cassirer lebih lanjut menyatakan bahwa keberadaan manusia sebagai animal simbolicum ini dianggap lebih berarti daripada keberadaannya sebagai Homo sapiens, yaitu makhluk yang memiliki kemampuan berpikir. Alasannya, media bahasa dengan s im bol- si m bol yang te rdapat d i dalamnyalah yang mampu menjadikan manusia untuk melangsungkan kegiatan
3
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 berpikirnya. Tanpa memiliki kemampuan berbahasa ini tidak mungkin kegiatan berpikir secara teratur dan sistematis dapat dilakukan. Selain itu, dengan adanya simbol-simbol bahasa pula yang memungkinkan manusia tidak hanya sekedar berpikir, namun sekaligus mengadakan kontak dengan realitas kehidupan di luar lingkungannya serta memanfaatkan hasil berpikirnya itu untuk kelangsungan kehidupan dunia. Ibarat sebagai suatu alat, bahasa merupakan kendaraan yang telah dan akan membawa filsafat dalam menjelajahi alam semesta. Namun sayang, sebagai kendaraan yang seharusnya sehati dan sejalan, bahasa ternyata masih memiliki cela atau kelemahan dalam mengantarkan filsafat ke tujuan akhir petualangannya. Kelemahan mendasar bahasa dalam hal ini terletak pada sifat-sifat dari bahasa sendiri yang terkadang memang tidak memiliki konsistensi acuan yang tetap. Padahal ciri pemikiran filsafat jelas-jelas menuntut dan mensyaratkan adanya konsistensi pada setiap gejala realitas yang menjadi objek perenungannya. Filosof Bertrand Russel berpendapat bahwa menyusun simbol kebahasaan secara logis merupakan dasar dalam memahami struktur realitas secara benar. Sebab itu, kompleksitas simbol bahasa juga harus memiliki kesesuaian dengan kompleksitas realitas itu sendiri. Sehingga antara keduanya akan dapat ber-hubungan secara tepat dan benar (Alston, 1964: 2). Bagi aliran filsafat analitik —termasuk di dalamnya logical positivism, logical empirism, scientific empirism, dan lainlain— bahasa bahkan bukan saja hanya sebagai alat berpikir atau berfilsafat, melainkan merupakan bahan dasar dan
4
bah-kan hasil akhir dari kegiatan filsafat itu sendiri. (Kaplan, 1961: 61) Bahasa jika dikaitkan dengan seperti yang diharapkan Russel di atas ternyata masih memiliki kelemahan-kelemahan. Sifat-sifat bahasa yang dianggap sebagai kelemahan di dunia kefilsafatan pernah diformulasikan oleh Alston, yaitu: vagueness, inexplicitness, ambiguity, context-dependence, dan misleadingness. Sifat vagueness berarti samar, artinya, simbol-simbol bahasa itu pada dasarnya masih bersifat samar dan abstrak. Dengan kata lain keberadaan-nya sering tidak mampu mewakili sebuah realitas secara jelas. Kejelasan acuannya baru dapat muncul ketika orang langsung dihadapkan pada realitasnya. Misalnya jika kita menjabarkan tentang parahnya kekeringan di wilayah Trenggalek, simbol yang kita gunakan untuk mewakili realitas itu cenderung kurang mampu secara jelas dalam menggambarkan kondisi riilnya. Kata-kata yang kita pilih guna melukiskan kondisi kekeringan itu mungkin hanya dapat menyiratkan kondisi kuranglebihnya. Sedangkan yang paling tepat dan benar hanyalah realitasnya. Hal itu pula yang me-nyebabkan bahasa sering dikatakan memiliki sifat inexplicitness. Sifat inexplicitness ini ditekankan pada anggapan mengenai kemampuan perujukan simbol-simbol bahasa dengan realitas yang diacunya itu hanya bersifat implisit saja. Dengan kata lain bahasa kurang dapat secara eksplisit dan tepat dalam mewakili realitas yang dibicarakannya. Misalnya ketika kita mengambarkan adanya sebuah kejadian kecelakaan antara sepeda motor dan becak, dengan konstruksi simbol bahasa “Becaknya hancur!”. Maka kata hancur
Kontradiksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa
ini mungkin tidak akan dapat sama dan tepat dalam menggambarkan atau mewakili kondisi riil becak yang tertabrak sepeda motor itu. Sifat ketiga, ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan (Aminuddin, 1988: 19). Setiap konstruksi simbol bahasa hampir selalu memiliki potensi untuk mengacu pada lebih dari satu referensi atau realitas. Konsep “kendaraan” misalnya, bisa mengacu pada motor, mobil, andong, dan lain-lain. Demikian juga kata “naik” dapat mengacu pada menggunakan kendaraan, gerak dari bawah ke atas pada konteks pemakaian “naik pohon”, dari jenjang rendah ke yang lebih tinggi pada konteks pemakaian “naik kelas”, mendaki pada “naik gunung”, dan lain-lain. Acuan dari suatu konsep simbol bahasa baru benar-benar dapat dimaknai ketika konteks pemakaian-nya jelas. Maka sifat selanjutnya, yaitu context-dependence dianggap sebagai sisi kelemahan dari bahasa juga. Sifat context-dependence dapat dimaknai sebagai sifat ketergantungan bahasa terhadap berbagai setting konteks, baik itu gramatikal, situasional, sosial, dan setting konteks komunikasinya. Simbol “bunga” baru dapat bermakna ketika konteks pemakaiannya telah jelas. Pada kon-teks gramatikal “Bunga desa itu kini telah tidak secantik dulu lagi”, bunga berarti gadis, namun pada konteks yang lain juga akan bermakna lain pula. Sifat kelemahan bahasa selanjut-nya adalah misleadingness. Hal ini berkaitan dengan potensi kesalahan atau ketidaktepatan penafsiran simbol bahasa dalam mengacu pada realitas yang
diwakilinya. Pada realitas pemakaian bahasa, potensi kesalahan penafsiran ini mungkin dapat terjadi pada tingkat encoding (penyusunan pesan) maupun tingkat decoding (penerimaan pesan). Misalnya, “Istri profesor yang baru itu sangat cantik”. Potensi makna dari penafsiran per-nyataan tersebut dapat muncul sebagai, pertama, yang baru itu keprofesorannya, kedua, yang baru adalah istri cantiknya. Bagi bidang filsafat, sifat-sifat seperti yang telah dirumuskan Alston di atas jelas-jelas merupakan sifat kelemahan yang kontradiktif dengan karakteristik metode berpikir ilmiah dalam dunia kefilsafatan. Sebagaimana yang diungkapkan Sudarsono (1993: 165), Logika berpikir dalam filsafat memiliki objek material cara berpikir itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah berpikir benar dan tetap. Di setiap aktivitas berpikir haruslah ditunjukkan dalam logika wawasan berpikir yang tepat atau ketepatan pemikiran, yang pada penggarisan logika lebih dikenal dengan istilah berpikir logis. Dengan demikian, kalau kita melihat berbagai ciri sifat bahasa di atas, jelas-jelas acuan dari pemakaian simbol bahasa itu seringkali tidak dapat tepat dalam mengacu realitasnya. Sedangkan ketepatan dan kebenaran jelas-jelas sangat dituntut dan menjadi syarat mutlak pada model berpikir logis dalam filsafat. Kondisi yang demikian itu merupakan contoh dari kontradiksi yang terjadi antara kelogisan berpikir dalam filsafat dengan bahasa sebagai alat atau kendaraan dalam rangka berpikir. Jelas sekali bahwa bahasa memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi dalam hal sering
5
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 berubah dan sering tidak tepat dalam mengacu realitas. Persoalannya, justru tingkat fleksibilitas yang tinggi ini akan dim ak nai denga n baha sa l ogika kefilsafatan menjadi tidak konsisten, ambigu, bahkan tidak memiliki ketepatan dan ketetapan dalam merujuk dunia luar. Sehingga wajar jika kemudian muncul pernyataan dari beberapa kalangan pemikir/filosof bahwa bahasa seringkali tidak konsisten. Padahal konsistensi ini sangatlah disyaratkan dan menjadi ciri utama dalam setiap pemikiran filsafat. Akhirnya persoalan bahasa memang benar-benar menjadi objek kajian serius bagi filosof-filosof modern. Dengan ciri, sifat, dan karakteristik unik dari bahasa, seringkali perenungan terhadapnya mengalami jalan buntu atau seringkali belum selesai sampai tuntas. Senada dengan kondisi ini Wittgenstein (dalam Suriasumantri, 2001: 187) pernah menyatakan, bahwa kekacauan dalam filsafat antara lain disebabkan banyaknya pernyataan dan pertanyaan filosof yang timbul dari kegagalan mereka dalam menguasai logika bahasa. Wittgenstein pernah menawarkan dengan apa yang disebutnya sebagai metode netral dalam melihat bahasa. Dalam kajian bahasa jangan lagi dilihat kaitan antara bahasa dengan acuan dunia nyata, tetapi harus lebih ditekankan pada bagaimana bahasa dapat direalisasikan penggunaannya. Meskipun dalam hal itu justru berdampak pada mun-culnya kekacauan dan kekeliruan logis jika dikaitkan dengan logika pada umumnya. Bagi Wittgenstein tidak penting benar salahnya acuan ataupun ucapan dalam berbahasa. Yang lebih penting adalah bahwa dibalik realisasi bahasa tersebut terdapat maksud
6
dan makna yang dapat diterima pemakaiannya. Kontradiksi lain antara bahasa dengan ciri pemikiran filsafat adalah pada persoalan universalitas. Ciri utama dari pemikiran filsafat adalah hasil-hasil pemikirannya akan men-capai pada tingkat kebenaran yang universal, yaitu kebenaran yang bersifat umum dan tidak terbatas oleh ruang maupun waktu. Kebenarannya akan berlaku untuk kapan dan di mana saja (Sudarsono, 1993: 102103). Kalau kita menengok pada bahasa, rupa-rupanya bahasa dengan segala latar belakang penciptaannya hingga pada pemakaiannya secara praktis, tidak terdesain seperti itu. Kita tentunya sudah sering menemukan bukti adanya teori-teori yang diciptakan dalam rangka perenungan terhadap suatu bahasa yang ternyata memang sering tidak dapat diberlakukan untuk bahasa-bahasa lainnya. Misalnya Hukum Grim yang terkenal juga hanya dapat diberlakukan untuk sebagian bahasa-bahasa Proto Indo-Jerman saja. Di sisi lain, sistem alfabet latin yang sangat luar biasa dalam mewakili bunyi bahasabahasa major language dunia, ternyata juga masih terdapat kekurangan di sanasini ketika diterapkan untuk bahasabahasa lain di berbagai belahan dunia. Kondisi itu membuktikan bahwa bahasa dengan berbagai realitas dan persoalannya telah gagal dalam menyamai hukum universalitas dalam logika pemikiran filsafat pada umumnya. Jika pemikiran logis filsafat menghasilkan pernyataan: “Semua manusia dilahirkan dan akan mati. Eman Suherman adalah manusia. Maka Eman Suherman pasti dilahirkan dan nanti pasti akan mati juga”. Sedangkan dalam bahasa,
Kontradiksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa
pemunculan dan pemakaiannya sangat ditentukan oleh keberagaman latar belakang dan setting konteks kemasyarakatan yang seringkali berbeda antara satu dengan yang lain. Penutup Sebagai kesimpulan penulis ingin menegaskan bahwa dalam mengacu dunia luar, antara logika simbolisasi bahasa dengan logika dunia kefilsafatan memang memiliki sisi perbedaan. Sisi perbedaan ini muncul karena antara keduanya berangkat dari visi dan fungsi yang berbeda. Logika filsafat menekankan pada aspek kelogisan berpikir, dalam hal ini memuat ketepatan, kebenaran, konsistensi, serta keuniversalan fenomena pada setiap objek kajian berpikir. Sedangkan dalam logika bahasa lebih banyak ditekankan pada sisi pragmatik, aspek fungsional, serta aspek komunikatif dalam pemakaian riil berbahasa. Hal itu jelas-jelas merupakan dua aspek yang jauh berbeda latar belakang keberangkatannya. Melihat kenyataan adanya ketimpangan antara sistem logika pemikiran filsafat dengan kenyataan fleksibilitas cara kerja bahasa hendaknya dilihat bukan dari kacamata kelemahan atau kekurangannya. Namun harus disadari bahwa masing-masing pada hakikatnya terlahir dan diciptakan untuk tujuan berbeda. Sudah menjadi ciri dari pola kelogisan berpikir filsafat bahwa kebenaran, ketepatan, ketetapan, dan universalitas merupakan syarat yang selalu dipegang teguh. Sedangkan bahasa tercipta dan dipakai semata-mata bukan hanya untuk mengejar acuan kebenaran, ketepatan, ketetapan, dan selain itu masing-masing bahasa juga hidup dalam
sistemnya sendiri-sendiri. Fungsi dan peran bahasa bersifat multidimensional. Dalam praktik pemakaiannya, misalnya selain memiliki fungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi afektif dan emotif. Namun banyak juga yang berpendapat bahwa keberagaman fungsi dan fleksibilitas karakter dan peran yang dimiliki simbol bahasa itu justru menjadi kelebihan dari bahasa itu sendiri. Sampai kapan pun filsafat tidak akan pernah dapat menghindar dari realitas bahwa bahasa akan tetap menjadi mitra atau kendaraannya. Adanya kontradiksi yang disebabkan oleh sifat-sifat bahasa seperti yang telah diuraikan tidak mungkin dapat mengubah kenyataan bahwa kalau hendak berfilsafat juga harus berbahasa. Mungkin sebagai jalan t e nga hny a a da l a h ke t i ka m e ng komunikasikan suatu pemikiran filsafat, sedapat mungkin menghindari pemakaian simbol-simbol bahasa yang dapat menimbulkan aspek emotif.
DAFTAR PUSTAKA Alston, P. William. 1964. Philosophi of Language, London: Prentice-Hall. Aminuddin. 1988. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: CV Sinar Baru Offset. Bawengan, G.W. 1990. Sebuah Studi tentang Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta. Bolinger, Dwight L., & Sears, A. Donald. 1981. Aspects of Language, New
7
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man. New Heaven: Yale University Press. Durant, Will. 1933. The Story of Philosophy. New York: Simon & Schuster. Kaplan, Abraham. 1961. The NewWorld of Philosophy, New York:Alfred A. Knopf & Random House Inc. Sudarsono. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
8
ETIKA SOSIALISME RELIGIUS BUNG HATTA Made Pramono*) Abstrak Hatta’s ideas about religious socialism is an entry point to his other ideas such as in economic, cooperation, politic, democracy, an Pancasila. This paper discusses the ideas from the perspective of ethical values. the discussion is initiated by looking at the basic elements of the ideas itself that is religious imperative, rebellious characteristic of Indonesian people, and indigenous to Indonesian values. those three factors are analyzed and it shows that those ethical values inherit the previous athical values. the relevance of Bung Hatta’s idea and the recent context becomes an important final stage in this paper, using critical evaluation, refer to further construction of the ideas. Keyword: Hatta, ethic, religious socialism
Pendahuluan Pemikiran tentang sosialisme religius bukan barang baru dan asing. Wacana pemikiran tentang sosialisme religius dalam tradisi agama besar dunia dapat dirunut ratusan tahun lampau. Dalam konteks Indonesia, antara lain pernah dikemukakan oleh Haji Misbach yang meramu Islam dan marxisme serta H.O.S Cokroaminoto yang telah meletakkan dasar sosialisme religius dalam magnus opus-nya: Islam dan Sosialisme (Dahlan, 2000: xix). Pada zaman pergerakan nasional, para pemimpin Indonesia banyak yang mengadopsi pemikiran tersebut seperti Soekarno, M. Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain. Bung Hatta menyatakan sosialisme religius pertama kali pada pidatonya di bukit tinggi tahun 1932, kemudian oleh Bung Karno dan juga Soeharto dalam pidato pada Dies Natalis Universitas Indonesia tahun 1975 (Swasono, 1987: 138). Pemikiran Bung Hatta tentang sosialisme religius tidak dapat dilepaskan *)
dari peran dirinya sebagai tokoh yang mengalami langsung jaman pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka yang penuh lika-liku. Cita-cita sosialisme lahir dari pergerakan kebangsaan Indonesia, dalam per-gerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan (Hatta, 1967: 13). Selain itu cita-cita tersebut tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang menghendaki pelaksanaan perintah Allah Yang Pengasih dan Penyayang serta Adil dalam dunia yang tidak sempurna, supaya manusia hidup dalam sayang-menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong menolong (Hatta, 1967: 13). Pemikiran Hatta tentang sosialisme religius berhubungan dengan pemikiranpemikiran lainnya yang memang sangat luas, tidak cukup ratusan halaman untuk mengungkapkan sepenuhnya diri Bung Hatta dengan ide-idenya membangun bangsa dan negara ini (Swasono, 1995: 94). Sosialisme bukanlah semata-mata persoalan ekonomi, akan tetapi juga mempunyai bidang sosial dan kultur yang luas. Ia meliputi seluruh hidup manusia,
Pengajar Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Keolahragaan, email:
[email protected]
9
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 memberikan kepercayaan kepada manusia, bahwa hidup dalam dunia fana ini diliputi kebahagiaan. Tetapi ekonomi adalah dasarnya, sebab masyarakat yang tidak mem-punyai dasar ekonomi yang kuat, tidak sanggup melaksanakan pendidikan yang sempurna dan perbaikan sosial serta tidak sanggup menikmati kebudayaan (Hatta, 1967: 27). Atas dasar kesengsaraan dan kemiskinan hidup rakyat Indonesia, maka dasar perekonomian rakyat mestilah usaha bersama dikerjakan secara kekeluargaan. Yang dim aks ud usaha bersam a berdasarkan kekeluargaan ialah koperasi (Abdulmanap, 1987: 66). Sosialisme menghendaki suatu pergaulan hidup, di mana tidak ada lagi penindasan dan penghisapan, dimana tiap-tiap orang dijamin kemakmurannya, kepastian penghidupannya serta perkembangan kepribadiannya (Hatta, 1967: 12). Sosialisme yang mempunyai dasar-dasar peri-kemanusiaan dan keadilan sosial yang seperti itulah yang dapat menjadi akar demokrasi Indonesia. Demokrasi barat bersumber dari revolusi Perancis hanya membawa kepada persamaan politik. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama, hal itu dikarenakan berkobarnya semangat individualisme yang menumbuhkan kapitalisme. Maka menurut Hatta demokrasi politik saja tidak cukup, di sebelahnya harus ada demokrasi ekon omi (Hat ta, 1967: 22-23). Demokrasi bukan hanya persamaan dalam politik, tetapi demokrasi adalah sesuatu yang harus, dan kadang-kadang mesti, me-nyinggung kehidupan rakyat sehari-hari dalam segala hal (Hatta, 1957: 51). Demokrasi yang sesuai cita-
10
cita demokrasi Indonesia itu ialah demokrasi sosial (Hatta, 1966: 24). Menurut Bung Hatta dalam Filsafat Negara Kita (1966) cita-cita demokrasi sosial itulah dasar bagi pembentukan Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Citacita tersebut dituangkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Terdapat tiga pernyataan penting dalam pembukaan tersebut yaitu pertama, pernyataan dasar politik dan cita-cita bangsa Indonesia; kedua, pernyataan tentang berhasilnya tuntutan politik bangsa Indonesia, dengan kurnia Allah; dan ketiga, pernyataan tentang Pancasila sebagai filsafat atau ideologi negara (Hatta, 1966: 29-30). Berangkat dari beberapa hal di atas, dapat dinyatakan bahwa pemikiran Bung Hatta tentang Sosialisme Religius berhubungan dengan pemikiran-pemikiran pokok Bung Hatta yang lain seperti konsepsi ekonomi, koperasi, demokrasi, politik, sampai dengan dasar negara pancasila. Dengan adanya hubunganhubungan tersebut, maka pemikiran Sosialisme Religius dapat menjadi salah satu titik masuk untuk dapat melihat pemikiran-pemikiran Bung Hatta lainnya. Itulah salah satu alasan untuk menulis tentang pemikiran Sosialisme Religius Bung Hatta ter-utama dari nilai-nilai etis yang terkandung di dalamnya. Sosialisme Religius Menurut Bung Hatta sosialisme Indonesia timbul dari tiga faktor, singkatnya sebagai berikut: Pertama, Sosialisme Indonesia timbul karena suruhan agama. Karena adanya etik agama yang menghendaki adanya rasa persaudaraan dan tolong menolong antara
Etika Sosialisme Religius Bung Hatta
sesama manusia dalam pergaulan hidup, orang mendorong ke sosialisme. Melaksana-kan bayangan kerajaan Allah di atas dunia adalah tujuannya. Kedua, Sosialisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah. Sosialisme Indonesia lahir dalam pergerakan menuju kebebasan dari penghinaan dan dari penjajahan. Ketiga, Sosialisme Indonesia adalah sosialisme yang mencari sumbersumbernya dalam masyarakat sendiri, karena tidak dapat menerima pandangan berdasarkan materialisme. Sosialisme adalah suatu tuntutan jiwa, kemauan hendak mendirikan suatu masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari segala tindasan. Sosialisme dipahamkan sebagai tuntutan institusional, yang bersumber d a l a m l u b uk h a t i ya ng n ur a n i , berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial (Swasono, 1987: 138139,Swasono, 1995: 84-85, Hatta, 1967: 1-29) Di atas tiga faktor itulah dibangun pemikiran Bung Hatta tentang Sosialisme Religius. Dengan menganalisa ke tiga faktor tersebut akan didapatkan nilai-nilai etis yang terkandung dalam pemikiran itu. Suruhan Agama Sosialisme Indonesia muncul dari nilai-nilai agama (Islam) yang terlepas dari marxisme. Artinya, yang ada hanyalah perjumpaan cita-cita sosialdemokrasi barat dengan sosialismereligius (Islam), di mana marxisme sebagai pandangan hidup materialisme tetap ditolak. Sosialisme memang tidak harus merupakan marxisme, tidak harus diartikan sebagai hukum dialek-tika,
tetapi sebagai tuntunan hati nurani, sebagai pergaulan hidup yang menjamin kemakmuran bagi segala orang, memberikan kesejahteraan yang merata, bebas dari segala tindasan (Swasono, 1987: 139). Jadi sosialisme bagi Bung Hatta sudah me-ngandung nilai etik, karena setiap keputusan (moral) memang harus diambil sesuai dengan suara batin, walaupun harus terus-menerus disesuaikan dengan apa yang objektif betul, dan oleh karena itu wajib memperhatikan semua argumen, unsurunsur, informasi-informasi, pertimbangan-pertimbangan dan lain-lain yang didapat (Suseno, 1975: 33). Karena sosialisme Indonesia muncul dari nilai-nilai agama, maka Bung Hatta mendasarkannya pada nilai-nilai etik agama, terutama agama Islam. Sendi pandangan hidup Islam adalah bahwa bumi dan alam sekitarnya bukanlah kep unyaa n m anus i a , m el a in - k an kepunyaan Allah, Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang menjadikan alam dan bumi tempat kediaman manusia. Kedudukan manusia di atas bumi tidak lain melainkan sebagai jurukuasa, yang bertanggung jawab atas keselamatannya dan generasi penerusnya. Sebab itu kewajiban manusia yang mendiami bumi Allah ini ialah memelihara sebaikbaiknya dan me-ninggalkannya kepada angkatan kemudian dalam keadaan lebih baik dari yang diterimanya dari angkatan yang terdahulu dari dia (Hatta, 1957, 27-28). Dari pandangan di atas maka dapat dilihat beberapa hal, antara lain: pertama, bahwa bukan hanya alam dan bumi, bahkan manusia sendiri adalah merupakan ciptaan Allah. Sebagai ciptaan
11
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 Allah maka manusia mencerminkan adanya kualitas Tuhani dalam diri manusia (Hasan, 1987: 163). Implikasi etis (normatif) nya adalah bahwa menghormati martabat manusia berarti menghormati ke-mahadaulatan Tuhan. Dan sebalik-nya, tidak mungkin m e n g h o r m a t i Tu h a n k a l a u k i t a memperkosa martabat manusia (Suseno, 2000: 15). Menurut Frans Magnis Suseno, hormat terhadap manusia berarti: mengakui kedudukannya yang sama, tidak memperlakukannya sebagai objek perencanaan, berorientasi pada harapanharapannya, tidak pernah mengorbankan pihak yang satu demi keuntungan pihak yang lain, tidak membeli kemajuan dengan menyengsarakan yang lain. Sedangkan bagi Hatta, melaksanakan perbuatan baik (terhadap manusia lain) di dunia fana adalah sebuah pujian yang dipanjatkan kepada-Nya. Karena kalau tidak: apalah artinya pujian yang sebanyak itu dipanjatkan ke hadiratAllah? Tuhan tidak kekurangan apapun juga, tidak kurang besar dan tidak kurang hormat. Ia adalah Dzat yang lengkap dengan segala rupa (Hatta, 1957: 22). Akhirnya Bung Hatta (1957: 18) mengutip salah satu ayat Al Qur’an: “ ...... dan berbuat kebajikanlah (kepada orang lain) sebagai Tuhanpun berbuat kebajikan kepadamu, dan janganlah berusaha menimbulkan kebinasaan di muka bumi; Tuhan tidak menyukai orangorang yang berbuat kebinasaan”. Kedua, Untuk dapat memelihara sebaik-baiknya dan meninggalkan kepada angkatan kemudian dalam keadaan lebih baik, maka manusia dianugerahkan akal budi oleh Tuhan. Dengan akal manusia bisa menciptakan ilmu yang bisa
12
digunakan untuk memelihara dan mengelola alam ini, juga dengan akal, manusia dapat berpikir bahwa apa yang telah dia perbuat sekarang adalah bukan hanya untuk kepentingannya sekarang, tetapi juga demi kepentingan generasi mendatang yang tentu tujuan akhirnya adalah melestarikan peradaban manusia. Implikasi etisnya (normatif) adalah bahwa manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, ia tidak pernah boleh digunakan sebagai sarana untuk tujuan lebih lanjut, manusia tidak boleh dibiarkan, apalagi disebabkan, menderita apabila dapat dicegah. Penderitaan seseorang tak pernah boleh menjadi sarana bagi masyarakat atau negara untuk memperoleh suatu keuntungan (Suseno, 2000: 17-18). Ilmu adalah alat; tujuan ialah kemakmuran jasmani dan rohani ! Negara bukan tujuan tersendiri, melainkan alat untuk mencapai kebahagiaan, perdamaian dan kemerdekaan bagi rakyat. Bukan rakyat untuk negara, melainkan sebaiknya negara untuk rakyat (Hatta, 1957, 27). Kemudian seperti dikatakan Bung Hatta, etik Islam yang mengandung kebenaran dan keadilan – benar karena berasal dari Tuhan dan manusia adalah khalifahnya di dunia, serta adil karena manusia diper-lakukan sama dan sederajat sebagai tujuan pada dirinya – harus memerlu-kan keberanian untuk bertindak dan memperjuangkannya di atas bumi ini, keberanian menghadapi berbagai kesulitan, keberanian menderita dan berkurban untuk kemenangan cita-cita (Hatta, 1957: 19). Etika adalah bagaimana ia harus bertindak (Suseno, 1975: 13). Maka tugas seorang muslim adalah mencapai masyarakat, yang menjamin
Etika Sosialisme Religius Bung Hatta
kebahagiaan dan keselamatan hidup bagi segala orang (Hatta, 1957: 21). Jiwa Pemberontak Bangsa Indonesia Jiwa pemberontak itu berasal dari perlakuan tidak adil dari penjajah. S os i al i s me Indone s ia la hi r da ri pergerakan menuju kebebasan dari penghinaan dan penjajahan (Swasono, 1987: 139). Penjajahan bersifat tidak adil karena memperlakukan secara sewenangwenang rakyat dari negara yang dijajah, menindas, menghisap sumber daya jajahan atau seperti yang dikatakan Bung Hatta (1957: 54), struktur ekonomi negara jajahan ditujukan untuk keuntungan kaum penjajah, bukan kaum jajahan, aktivitet ekonomi kaum yang dijajah dibatasi sampai pada saluran-saluran yang menguntungkan kaum penjajah. Maka bangsa Indonesia berontak dengan kondisi ini dan menuntut keadilan, karena keadilan adalah suatu norma dasar moral yang mengandung kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang demi mencapai kebahagiaan manusia (Suseno, 1975: 105). Selain tidak adil, penjajahan juga bertentangan dengan perikemanusiaan, yaitu kondisi dasar manusia, kebebasan. Penjajahan bersifat mengekang kebebasan rakyat negara jajahan, membatasi dan bahkan menghancurkannya. Seseorang disebut bebas apabila kemungkinankemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh sesuatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Itulah titik tolak etika dari paham kebebasan, bebas dari paksaan (Suseno, 1975: 44). Menurut K. Bertens (1993: 94-95) kebebasan dibedakan dua, yaitu: pertama, kebebasan sosial-politik – yang subjeknya bangsa
atau rakyat; kedua, kebebasan individual – yang subjeknya manusia perorangan. Salah satu bentuk kebebasan sosialpol it i k i tu a dal ah s uat u pro s e s dekolonisasi yang biasanya kita sebut “kemerdekaan”. Ide di belakang proses ini bersifat etis, suatu ke-yakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa lain dan karena itu situasi kolonialisme tidak pernah boleh terjadi lagi, sistem kolonialisme ditolak secara umum sebagai tidak etis (Bertens, 1993: 98). Alasan etis itulah yang memunculkan tekad kuat bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan “. Pengalaman dengan pemerintahan autokrasi kolonial dalam bentuk negarapolisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia cita-cita negara hukum yang demokratis. Negara itu harusl ah berbentuk rep ublik berdasarkan kedaulatan rakyat (Hatta, 1966: 22). Dalam karya Ke Arah Indonesia Merdeka tahun 1932, Bung Hatta mengatakan bahwa arti kedaulatan rakyat adalah tidak adanya lagi orang seorang atau kumpulan orang pandai atau satu golongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Karena rakyat itu badan dan jiwa bangsa, rakyat itulah ukuran tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Kebebasan rakyat tidak boleh lagi dirampas oleh diktator siapa pun juga. Kedaulatan harus
13
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 tetap di tangan rakyat dan tidak boleh berada pada instansi lain. Itulah suatu tuntutan etis (Bertens, 1993: 97). Kedaulatan rakyat inilah dasar demokrasi, demokrasi adalah pe-merintahan rakyat, yaitu rakyat memerintah diri sendiri (Hatta, 1995: 168). Dalam demokrasi, kemerdekaan pribadi warganegara mesti dijamin, karena kemerdekaan pribadi adalah urat tunggang demokrasi, akan tetapi kemerdekaan pribadi itu berada di dalam lingkungan tanggung jawab bersama atas nama bangsa, negara, pemerintah dan kemakmuran rakyat (Hatta, 1957: 58). Maka dari itu pemerintahan rakyat harus membawa keadilan dan kesejahteraan bagi orangorang, karena kalau tidak akan lahir tenaga dan aliran yang menentang, yang membawa robohnya. Pendapat itu sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Teichman (1998: 28) bahwa ketika orang mulai merasa bahwa hukum-hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak adil atau pelaksanaannya menyeleweng atau secara umum membuat kehidupan bukannya lebih baik, melainkan justru lebih buruk, maka gagasan tentang hak kodrati akan tampak atau tampak kembali. Yang dimaksudkan oleh Teichman adalah bahwa ada hak-hak kodrati yang fundamental dan bersifat universal, sesuatu yang dimiliki oleh semua manusia. Sesuatu yang dimiliki oleh semua manusia semata-mata karena ia manusia adalah premis dasar yang diperlukan untuk menjamin legitimasi dan kewajaran hukum dan pemerintahan. Jadi kemerdekaan pribadi adalah merupakan hak-hak kodrati yang universal. Hak-hak itu antara lain hak untuk hidup, hak untuk kebebasan, hak milik, hak untuk mencapai
14
kebahagiaan, hak untuk merasa aman, hak untuk melawan penindasan. Suatu pendasaran etis haruslah sesuai dengan kondi si manusia, harus bersi fat manusiawi, tidak boleh memperlakukan fungsi-fungsi sosial yang salah, yang dihasilkan dari situasi perang, kemiskinan ekstrem dan kolonisasi yang brutal sebagai standar untuk ditiru (Teichman, 1998: 6). “Kita mempunyai kewajiban terhadap peri kemanusiaan”, begitulah kira-kira seruan yang selalu diulang oleh Bung Hatta. Mencari Sumber-Sumber Sosialisme dalam Masyarakat Sendiri Karena marxisme yang mempunyai pandangan materialisme tidak dapat diterima, maka ia harus dicari di dalam masyarakat sendiri. Selain itu juga dengan dicarinya dasar-dasarnya pada masyarakat sendiri akan membuat sosialisme menjadi bukan sekedar utopia (Hatta, 1967: 16). Sosialisme Indonesia adalah suatu tuntutan jiwa, kemauan hendak mendirikan suatu masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari segala tindasan (Hatta, 1967: 15). Dasar-dasar bagi sosialisme Indonesia terdapat pada masyarakat desa yang asli, yang bercorak kolektif, yang banyak sedikitnya masih bertahan sampai sekarang (Hatta, 1967: 16). Pada bagian lain Bung Hatta juga menyebutnya sebagai desa demokrasi (Hatta, 1995: 178). Menurut Hatta, masyarakat Indonesia asli tidak ada perpisahan tegas antara apa yang dikatakan hukum publik dan hukum prive, seperti yang lazim dibuat masyarakat Barat berdasarkan individualisme. Hatta setuju dengan yang dikatakan Van Vollenhoven tentang hukum adat Indonesia yang menyatakan
Etika Sosialisme Religius Bung Hatta
bahwa hukum adat hanya dapat dipahami bi la or ang mem perha ti kan s ifa t perkauman yang kuat dalam pergaulan hidup di Jawa dan Madura, tetapi Hatta menambahkan bahwa sifat perkauman tidak saja terdapat pada hukum adat di Jawa dan Madura, juga terdapat di seluruh Indonesia (Hatta, 1967: 18-19). Sifat perkauman hukum adat tersebut adalah bahwa pada pusat penghidupan hukum terletak masyarakat, orang seorang terutama dipandang sebagai anggauta masyarakat, sebagai alat yang hidup untuk melaksanakan tujuan masyarakat (Hatta, 1967: 19). Menurut Frans Magnis Suseno (1975: 20) hukum adat seperti itu termasuk dalam normanorma hukum, yaitu norma yang pelaksanaannya dapat dituntut dan dipaksakan serta pelanggarannya ditindak dengan pasti oleh penguasa syah dalam masyarakat. Walaupun hukum adat ini termasuk norma hukum tetapi biasanya berlaku tidak berdasarkan perundangundangan (yang positif). Cita-cita perkauman, kolektivitet, persekutuan hidup itulah yang merupakan cikal bakal demokrasi asli Indonesia yang telah hidup di desa-desa di seluruh pelosok Indonesia. Adapun demokrasi asli yang ada di desa-desa di Indonesia mempunyai tiga sifat utama, yaitu cita-cita rapat yang ada dalam sanubari rakyat Indonesia; cita-cita massa protest, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil; cita-cita tolong menolong ! Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektivitet (Hatta, 1995: 179180). Pada bagian lain (Hatta, 1966: 26), disebutkan adanya lima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong royong,
hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja. Anasir-anasir itu berhubungan erat dengan adat perkauman seperti telah disebutkan diatas, sebagaimana dikatakan Hatta (1966: 25-26) bahwa adat semacam itu (perkauman) itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala yang mengenai kepent ingan um um dipersoalk an bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat menimbulkan istitut rapat pada rapat tertentu, dibawah pimpinan kepala desa, dan tentu saja anasir gotong-royong atau tolongmenolong. Karena anasir-anasir tersebut berlaku berdasarkan kebiasaan-kebiasaan, maka menurut Frans Magnis Suseno (1975: 20) termasuk dalam norma sopan santun, yaitu norma yang berlaku berdasarkan suatu kebiasaan atau konvensi atau menurut pendapat kebanyakan orang saja. Sedangkan dua anasir lainnya (hak untuk protes dan hak untuk menyingkir) lebih dekat dengan hukum adat karena cara-cara untuk melakukannya diatur oleh adat antara lain misalnya dalam penggunaan hak protes dilakukan apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakyat datang banyak sekali ke alun-alun di muka rumahnya dan duduk di situ beberapa lama dengan tiada berbuat apa-apa (Hatta, 1966: 26). Norma-norma yang telah disebutkan di atas merupakan hasil cetusan pengalaman masyarakat yang perlu diperhatikan, tetapi tidak langsung boleh diikuti dengan mutlak karena masih ada norma-norma moral yang menjadi dasar
15
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 penilaian kita terhadap norma-norma lain yang berlaku, termasuk ketentuan pe-nguasa. Terhadap norma-norma moral, semua norma yang lain mengalah (Suseno, 1975: 20-21). Sikap kritis itu kita ambil sebagai tanggung jawab moral yang menuntut agar kita terus menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil dan supaya orang dapat hidup lebih berbahagia. Kaidah-kaidah norma moral dasar itu adalah kaidah sikap baik dan kaidah keadilan (Suseno, 1975: 103104). Bila pendapat tersebut dihubungkan dengan pembicaraan kita tentang anasir-anasir demokrasi asli Indonesia, maka norma-norma yang terdapat dalam anasir-anasir tersebut harus dapat dikembalikan pada dua kaidah norma moral dasar itu. Norma dalam anasir gotong-royong atau tolongmenolong dapat dikembalikan pada kaidah sikap baik dalam artian bahwa kita memandang seseorang atau sesuatu tidak hanya berguna bagi saya. Norma dalam anasir rapat dan mufakat selain mengandung kaidah sikap baik, dalam artian kita menghormati pendapat orang lain, juga membiarkan seseorang atau sesuatu berkembang demi kepenting-an dia sendiri, juga mengandung kaidah keadilan dalam arti memberikan hak yang sama kepada semua orang untuk hadir dan berpendapat. Norma dalam anasir hak untuk protes dan hak untuk menyingkir dapat dikembalikan kepada kaidah norma moral dasar keadilan karena hak protes adalah untuk menyatakan bahwa bahwa mereka butuh keadilan dari keputusan yang dibuat oleh penguasa, sedangkan dalam hak untuk menyingkir terdapat terdapat hak
16
seorang untuk menentukan nasibnya sendiri (Hatta, 1966: 26). Relevansi Pemikiran Proses terjadinya suatu pemikiran pada suatu masa berhubungan dengan kondisi lingkungan sosial budaya pada masa ketika proses pemikiran tersebut terjadi, demikian juga dengan pemikiran Bung Hatta. Perubahan kondisi lingkungan sosial budaya tentunya telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang sampai masa sekarang, yang mau tidak mau ikut berpengaruh terhadap pemikiran Bung Hatta, sehingga pemikiran tersebut perlu diinterpretasikan kembali sejalan dengan perubahan yang terjadi agar tetap aktual. Pertama, Pemikiran tentang sosialisme sebagai counter dari kapitalisme memang pada jaman Bung Hatta sedang subur, apalagi yang berbau marxisleninisme yang waktu itu baru saja menang di Rusia. Walaupun sosialisme yang dimaksudkan Hatta ada perbedaan dari sosialisme Barat (apalagi historis materialisme Marx), tapi seperti yang diakui Hatta sendiri ada titik temu antara keduanya. Mereka (Sosialisme Indonesia dan Sosialisme Barat) sama-sama mengkritik kapitalisme yang menindas dan menghisap masyarakat bawah dengan cara akumulasi dan konsentrasi kapital pada golongan tertentu. Tapi kritik tersebut telah me m bua t kapi t a li s m e m engo rek s i kelemahan-kelemahannya dan memperbaikinya (antara lain dikenal lewat “welfare state”, Hatta tahu juga tentang itu), yang menjadikannya mampu bertahan terhadap kritik sosialisme, bahkan sosialisme sendiri yang kedodoran dengan sistemnya yang cenderung sentralistik (malahan sosialisme yang berhaluan marxisme/komunisme sudah hancur
Etika Sosialisme Religius Bung Hatta
berkeping-keping). Maka seruan yang berkali-kali diteriakkan Hatta bahwa dalam Sos ial isme, tidak adanya kemiskinan dan kemelaratan hidup terasa naif dan malah menjadi utopia (yang mau dia hancurkan dengan cara mencari sumber sosialisme di bumi Indonesia sendiri). Data menunjukkan bahwa justru di negara-negara sosialis jumlah penduduk miskin dan melarat lebih banyak dari negara kapitalis dan sekarang kapitalisme malahan telah mengglobal ke seluruh pelosok dunia (sebuah akhir sejarah kata Fukuyama). Tapi di lain pihak teriakan itu justru mengungkapkan harapan-harapannya yang tulus yang menunjukkan bahwa Hatta adalah seorang yang religius, yang mendasarkan pada Etik Islamnya, bahwa kemiskinan, kemelaratan, penindasan adalah tidak adil pada dirinya, manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan itulah yang relevan sekarang ini, dimana kemiskinan terjadi dimana-mana (apalagi di Indonesia), penindasan (dalam bentuk apapun), manusia diperlakukan layaknya binatang (dibakar, ditembak, dipancung, dll), dan memang itu semua harus kita perangi dan dicoba untuk dihapuskan, walaupun (mungkin) tidak melalui sosialisme (lagi)! Kedua, Konsistensinya dalam menentang segala penindasan dan penjajahan di dunia bersumber dari nilainilai etis humanismenya, walaupun sekarang hampir tidak ada penjajahan dalam arti konvensional (pendudukan suatu wilayah oleh negara lain). Nilai etis humanismenya terletak pada bahwa suatu penindasan atau penjajahan tidak bisa dibalas dengan penindasan atau pejajahan baru, tidak dibenarkan aksi balas
membalas yang tidak ada akhirnya dan mengajak negara-negara untuk bersamasama menjaga perdamaian dunia, membangun kesejahtera-an dunia, menghormati kemerdekaan masingmasing negara, menghapuskan kekerasan dan eksploitasi seperti dikatakannya dalam IndonesianAims dan Ideals: Men of all nations wanted lasting peace, prosperity for the whole world and freedom for every country. They wanted to make it possible for all peoples to be rid of evi t s of oppresi on and exploitation”
Tentunya patut diperhitungkan bahwasanya sekarang penjajahan itu lebih bersifat hegemonis, sangat halus yang datang bersama globalisasi, tapi kalaupun arti kemerdekaan Hatta lebih cenderung dalam arti konvensional sesuai dengan masa itu, itupun tetap bernilai karena itu paling tidak menjadi kondisi dasar kita untuk menjadi titik tolak ke arah refleksi dan antisipasi tentang adanya penjajahan bentuk lain. Ketiga, Keinginannya untuk “membumikan” demokrasi dengan mencarinya di desa demokrasi membuatnya sampai pada kenyataan bahwa sifat dasar kita adalah kolektivitet. Lepas dari benar tidaknya kenyataan tersebut, “pembelaannya” cenderung bersifat ideologis karena dia sampai pada pernyataan bahwa individu adalah alat untuk melaksanakan tujuan masyarakat, dengan mengatakan bahwa dia telah berjuang menentang individualisme yang berkaitan dengan perlawanannya terhadap kapitalisme (walaupun pada bagian lain menyatakan bahwa manusia (individu) harus diperlakukan pada dirinya; ilmu adalah alat, negara adalah
17
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 alat untuk kepentingan rakyat, yang mempunyai hak-hak individu seperti hak berserikat, berkumpul, hak menyatakan pendapat, dan lain lain). Memang perdebatan tentang apakah individu atau masyarakat yang lebih didahulukan telah menjadi klasik tetapi tetap relevan sampai dewasa ini, secara kongkrit hal itu bisa dilihat dewasa ini, dimana kapitalisme telah meresapi setiap relung hati manusia, semangat individual terasa dominan dan cenderung egoistik. Disinilah letak relevansi pemikiran Hatta, menjadi semacam sentakan dengan membalikkannya bahwa masyarakatlah yang utama. Sentakan itu merupakan kritikan yang tajam dimana bila sesuatu menjadi dominan maka cenderung hegemonis, tetapi bersifat otokritik juga karena bila masyarakat menjadi dominan maka cenderung hegemonis juga.
DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. , 1993, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Frans Magnis Suseno, 1975, Etika Umum: Masalah-masalah pokok filsafat moral, Penerbitan Yayasan Kanisius, Yogyakarta. ____________ , 2000, Kuasa dan Moral, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kum pul an Kar anga n, Pemi k i ra n Pembangunan Bung Hatta, 1995, LP3ES, Jakarta. Mohammad Hatta, 1945, Indonesian Aims and Ideals, Yayasan Idayu,
18
Jakarta. ____________ , 1954, Kumpulan Karangan Jilid III, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta. _____________ , 1954, Kumpulan Karangan Jilid IV, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta. ____________ , 1957, Demokrasi dan Perdamaian, Tintamas, Jakarta. ____________ , 1957, Islam, Ilmu dan Masyarakat, Tintamas, Jakarta. ____________ , 1966, Demokrasi Kita, PT. PustakaAntara, Jakarta. ____________ , 1967, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, Djambatan, Jakarta. Muhidin M. Dahlan (Ed.), 2000, Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat?, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Sri Ed Swasono (Ed.), 1987, Membangun Sistem Ekonomi Nasional: Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, UI-Press, Jakarta. Teichman, Jenny, 1998, Etika Sosial, Pustaka Filsafat Kanisius, Yogyakarta.
REPRESENTASI REAKSI-KREATIF LITERER ATAS PENGUASA ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN SOEHARTO DALAM CERPEN INDONESIA Ida Nurul Chasanah*) ABSTRACT The varians imaging on New Order’s rezime is represented by the text structure of Soeharto dalam Cerpen Indonesia (SDCI). The relation of SDCI’s text structure represents the characteristics of Soeharto’s power which is run arrogantly, for the sake of personal needs. This phenomena is applied in varians policies New Order Government, which underlines the whole idea of the story. All seven short stories that are made as the research objects averagely shows the Java culture setting variously. This implies how influential Java culture was on the New Order government. Various Soeharto’s imaging as a literary creative-reaction of New Order’s rezime could be classified as (1) Soeharto’s image as an animal; (2) Soeharto’s image as a fictimal character; (3) Soeharto’s image as a dalang; (4) Soeharto’s image as a character in wayang; (5) Soeharto’s image as a village chief. The hegemonics relation between the people and New Order’s rezime on the short stories anthology SDCI shows a hegemony which put dominance in the front line, which means using coersive apparatus to up hold hegemony. By so, the representation of New Order’s rezime hegemony which puts dominance in the front line. Key words: Soeharto, New Order’s rezime, hegemony, and literary creative-reaction
Pendahuluan Seiring dengan perkembangan media massa, khususnya koran dan majalah, cerita pendek Indonesia akhirnya memiliki kecenderungan mengikuti tradisi jurnalistik: memburu keaktualan. Tema-tema yang diangkat para penulis mempunyai per-singgungan yang mesra dengan peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat. Sebagai genre sastra yang banyak mendapat kapling di media massa, juga karena iklim politik yang mencengkeram, cerita pendek Indonesia menjadi sangat akrab dengan tema-tema sosial politik dalam nuansa kritik. Dalam tahap ini, cerita pendek Indonesia merupakan documentary meaning, yakni hubungan antara karya dengan konteks sosial penciptaan: pengaruh-pengaruh sosial
politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya. Suatu karya sastra adalah dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran dimana suatu karya diciptakan (Kleden, dalam Kompas, 1997:126). Pada dekade terakhir ini (1990 – 2000), tema-tema cerita pendek Indonesia juga diwarnai oleh tema-tema kritik sosial politik. Para penulis yang terlibat tematema ini diantaranya Satyagraha Hoerip, Y.B. Mangunwijaya, M. Fudoli Zaini, Hamsad Rangkuti, Moes Loindong, F. Rahardi, Yudhistira A.N.M. Massardi, Seno Gumira Ajidarma, Jujur Prananto, Bonari Nabonenar, Agus Noor, dan masih banyak lagi. Sasaran kritis mereka adalah rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai titik sentralnya. Beberapa dari cerpen-
*) Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UNAIR telp (031) 5035676
19
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 cerpen tersebut pada akhirnya diterbitkan dalam sebah kumpulan cerpen yang berjudul Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Sebagai sosok atau bahkan “ikon” Orde Baru” maka berbicara tentang Soeharto berarti pula membicarakan tentang kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan menghegemoni rakyat dari segala lapisan. Rezim otoriter Orde Baru yang ditancapkan oleh Golkar-SoehartoMiliter selama 30 tahun lebih mengumandangkan kengerian dan keangkeran panjang di negeri ini. Kekuasaan dan simbol-simbol yang mengiringi atau sengaja mereka ciptakan pun menjadi demikian sakral, sehingga tak seorang pun boleh dan berani menyentuhnya. Apalagi mengkritik, mengecam, atau menghujatnya (Massardi, dalam Forum Keadilan, 2000:90). Cerita pendek Indonesia, sebagai ekspresi pengarang yang hidup dalam sistem yang dibangun Soeharto, sudah semestinya pula jika ada yang berbicara tentang Soeharto itu, baik sebagai pribadi maupun sebagai rezim dengan sistem kenegaraan yang dibangunnya. Soeharto tidak lain adalah simbolisasi Orde Baru. Soeharto dalam Cerpen Indonesia merupakan kumpulan cerpen Indonesia yang mengambil tokoh Soeharto sebagai sumber inspirasinya. Tokoh utama Orde Baru itu memang merupakan ladang inspirasi yang subur untuk dieksploitasi; beragam pencitraan sebagai reaksi-kreatif literer atas tokoh tersebut, muncul dalam kumpulan cerpen ini. Kumpulan cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia (selanjutnya disebut SDCI) memuat 17 cerpen karya 13
20
sastrawan Indonesia yang diedit oleh M. ShoimAnwar dan diterbitkan pertama kali o l e h Ya y a s a n B e n t a n g B u d a y a . Ketujuhbelas cerpen tersebut mempunyai kesamaan indeks tentang citra “keSoeharto-an” sebagai penguasa Orde Baru. Berdasar uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kumpulan cerpen ini m e ng ed e pa nka n be r ba ga i r ag a m pencitraan kekuasaan Orde Baru, khususnya pencitraan Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Pen-citraan ini diwujudkan melalui gaya dan simbolisasi yang berbeda dari masing-masing pengarang. Hasil tulisan pengarang merupakan suatu hasil reaksi-kreatif literer atas pembacaan mereka terhadap sosok penguasa Orde Baru. Dengan demikian karya sastra merupakan salah satu sarana untuk merepresentasikan kekuasaan melalui berbagai simbol dan pencitraan. Berbagai reaksi-kreatif literer atas penguasa Orde Baru yang terkumpul dalam kumpulan cerpen SDCI antara lain mengedepankan mengenai fenomena kekuasaan di Indonesia. Berbagai ragam pencitraan mengenai fenomena kekuasaan di Indonesia yang ditampilkan dalam kumpulan penelitian ini menarik peneliti untuk membacanya dengan memanfaatkan teori hegemoni Gramsci dan teori semiotik. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi ragam pencitraan penguasa Orde Baru dalam struktur teks SDCI, representasi reaksi-kreatif literer atas penguasa Orde Baru dalam kumpulan cerpen SDCI dan makna relasi hegemoni antara rakyat dan penguasa Orde Baru yang tercermin dalam kumpulan cerpen
Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...
SDCI. Metode Penelitian ini menggunakan karya sastra (kumpulan cerpen) sebagai objek kajian. Hal ini berarti penelitian ini merupakan model kajian tekstual (textual research) dengan memanfaatkan metode content analysis melalui pembacaan sastra: heuristik dan hermeneutik. Dalam proses meraih makna pada saat pembacaan hermeneutik, penelitian ini memanfaatkan teori hegemoni dan semiotik sebagai alat menganalisis model kekuasaan Orde Baru yang diekspresikan dalam teks. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: Pertama, Menentukan objek penelitian, yaitu kumpulan cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia (2000); Kedua, Menentukan korpus pe-nelitian, yaitu tujuh cerpen dari tujuh belas cerpen dalam SDCI yang memuat wacana kekuasaan sebagai reaksi-kreatif literer atas penguasa Orde Baru. Ketujuh cerpen tersebut adalah, Menembak Banteng karya F. Rahardi; Paman Gober karya Seno Gumira Ajidarma; Diam karya Moes Loindong; Tembok Pak Rambo karya Taufik Ikram Jamil; Bukan Titisan Semar karya Bonari Nabonenar; Celeng karya Agus Noor; Senotaphium karya Agus Noor. Ketiga, Menganalisis korpus penelitian dengan memanfaatkan teori hegemoni dan teori semiotik, dengan langkah-langkah sebagai berikut; melakukan pembacaan heuristik, dengan mendata kata-kata yang bersifat ungramatikalitas pada kartu data. Berdasarkan pembacaan heuristik ini diharapkan dapat diketahui model-model
kekuasaan Orde Baru yang ditampilkan dalam karya sastra (kumpulan cerpen) ini; melakukan pembacaan he rm en eut i k, m e nca ri i nf orm a s i mengenai kata-kata yang bersifat ungramatikalitas pada data sekunder (artikel, rujukan tentang relasi hegemoni antara rakyat dan penguasa) dan melakukan analisis semiotik (memaknai simbol-simbol yang digunakan) dengan meman-faatkan teori hegemoni dan semiotik; merumuskan makna relasi hegemoni antara rakyat dan penguasa serta merumuskan fungsi sosial teks bagi masyarakat. Pembahasan Karya sastra merupakan dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran tempat suatu karya sastra dicipta dan dilahirkan (Kleden, 1997:126). Karya sastra yang mengangkat tema-tema sosial politik pasti lebih banyak me-nohok para penguasa, baik penguasa sebagai pribadi maupun sistem yang dibangunnya. Ketika penguasa dan sistem yang dibangunnya semakin tidak demokratis. Semakin banyak pula karya sastra yang berusaha membebaskannya. Soeharto dalam Cerpen Indonesia merupakan kumpulan cerpen Indonesia yang mengangkat tema-tema sosial politik, dengan merepresentasikan tokoh Soeharto sebagai penguasa (tokoh utama) Orde Baru. Tokoh utama Orde Baru ini memang merupakan ladang inspirasi yang subur untuk dieksplorasi dan dieksploitasi melalui beragam pencitraan sebagai hasil reaksi kreatif literer atas penguasa Orde Baru tersebut.
21
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 Ragam Pencitraan Penguasa Orde Baru dalam Struktur Teks SDCI Ragam pencitraan penguasa Orde Baru direpresentasikan melalui struktur teks SDCI. Struktur karya sastra pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari unsur luar karya sastra atau dunia nyata, maka beragam pencitraan sebagai hasil reaksi kreatif literer atas penguasa Orde Baru dalam kumpulan cerpen SDCI direpresentasikan melalui struktur teks SDCI yang meliputi cover (kulit muka) buku, judul, tokoh, latar dan alur. Representasi reaksi kreatif literer atas penguasa Orde Baru dihadirkan melalui cover Soeharto berbusana Raja Jawa lengkap dengan atributnya plus lambang garuda sebagai ikon Indonesia. Atribut tersebut antara lain adalah hiasan sumping makara di telinga, kuluk kanigara (tutup kepala yang menyerupai bentuk kaleng), celana cindhe, baju berupa sikepan bludiran, kalung berupa rantai yang dikaitkan pada baju, rantai arloji. Beberapa atribut yang dikenakan tersebut seperti atribut yang biasa dikenakan oleh raja Jawa. S e h ub un ga n de ng a n ha l i n i Condronegoro (1995) mengemukakan bahwa salah satu atribut yang dipakai raja adalah hiasan sumping mangkara di telinga. Hiasan ini hanya dikenakan bagi raja dan putra mahkota. Selain itu, pakaian raja terdiri dari celana cindhe, kuluk kanigara (tutup ke-pala), sikepan bludiran (baju), rantai yang dikalungkan di leher, dan karset (rantai arloji). Segala atribut yang dikenakan oleh tokoh yang berwajah “Soeharto” dalam cover kumpulan cerpen ini merupakan simbol. Dengan demikian cover kumpulan cerpen SDCI yang memuat gambar Soeharto berpakaian raja Jawa
22
dengan segala atributnya plus lambang burung Garuda merupa-kan salah satu representasi tentang Soeharto sebagai tokoh penguasa Orde Baru yang menjalankan kekuasaannya di Indonesia dengan model kekuasaan seorang raja Jawa. Konsep kekuasaan yang dipegang oleh raja-raja Jawa bersifat absolut (mutlak) yang biasa dikenal dengan doktrin ke-agungbinataraan. Dalam bahasa pe-dalangan kekuasaan demikian disebut gung binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa duia) dank arena itu raja dikatakan wenang wisesa ing sanagari (memegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri) (Moedjanto, 1987:123). Judul kumpulan yang secara eksplisit menyebutkan nama Soeharto juga mengacu pada satu sosok pe-nguasa Orde Baru sebagai bahasan sentral kumpulan cerpen ini. Masing-masing cerpen mempunyai alur yang koheren dengan peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru. Ketujuh cerpen yang dijadikan objek penelitian ini rata-rata menggambarkan latar budaya Jawa secara variatif. Hal ini mengimplikasikan besarnya pengaruh budaya Jawa pada pemerintahan Orde Baru. Latar yang dihadirkan baik berupa latar tempat ataupun waktu berlaku sebagai penanda terhadap latar Indonesia (khususnya masa pemerintahan Orde Baru). Penokohan atas penguasa Orde Baru dicitrakan sangat variatif dengan penekanan karakter yang berbeda-beda. Relasi struktur teks SDCI merepresentasikan karakteristik kekuasaan Soeharto yang dijalankan secara semenamena demi kepentingan pribadi.
Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...
Fenomena ini teraplikasikan dalam berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang mendasari ide keseluruhan cerita. Representasi Reaksi-Kreatif Literer Atas Penguasa Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen SDCI Berdasarkan analisis struktur ke tujuh cerpen di atas, ditemukan relasi cerpen-cerpen tersebut dengan fenomena per-politikan Indonesia pada masa orde baru, baik yang berlaku untuk rezim orde baru secara umum maupun yang menunjuk secara spesifik kepada peristiwa atau momen tertentu. Beberapa cerpen juga menunjuk kepada person penguasa Orde Baru secara langsung
meskipun sebenarnya antara Soeharto dengan Orde Baru mempunyai hubungan persamaan yang timbal balik. Ragam pencitraan penguasa Orde Baru dalam tujuh cerpen yang dijadikan objek penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Secara umum, ketujuh cerpen yang menjadi objek penelitian ini berelasi secara afirmatif atau mengikuti fakta perpolitikan Orde Baru. Benang merah dari relasi ketujuh cerpen di atas terdapat pada aspek ke-Soeharto-an. Aspek keSoeharto-an yang dimaksud hingga tahap tertentu memiliki keseragaman, meskipun m as i ng-m a si ng c e rpe n m e m i li k i karakteristik yang membedakannya dengan cerpen lain.
Tabel 1. Ragam Pencitraan Orde Baru pada Tujuh Cerpen dalam SDCI Judul Cerpen “Menembak Banteng”
“Paman Gober”
“Diam”
“Tembok Pak Rambo”
“Bukan Titisan Semar”
“Celeng”
“Senotaphium”
Reaksi Kreatif Literer 1. Jenderal Purnawirawan Basudewo 2. Menembak Banteng 3. Banteng jantan tua
Acuan 1. Jenderal Purnawirawan Soeharto 2. Menghambat Perkembangan PDI 3. Soerjadi
1. Paman Gober 2. Kota bebek 3. Ketua terlama Perkumpulan Unggas Kaya 4. Gudang Uang Paman Gober
1. Soeharto 2. Indonesia pada masa Orde Baru 3. Presiden terlama di Indonesia 4. Kekayaan Soeharto 1. Soeharto 2. Rakyat Indonesia 3. Tidak bersuara karena adanya tekanan 1. Soeharto 2. B.J. Habibie 3. Pertahanan Status Quo
1. Dalang 2. Penonton wayang 3. Diam 1. Pak Rambo 2. Syam 3. Tembok tidak tembus pandang
Relasi Kontekstual Campur tangan pemerintah untuk menggagalkan terpilihnya Soerjadi kembali pada Munas PDI IV di Medan karena dianggap telah menaikkan perolehan suara PDI dalam Pemilu Perilaku politik Soeharto selaku individu dan pemimpin negara terutama tentang status quo dan represifitas Represi terhadap kritik dan beda pendapat Usaha mempertahankan kekuasaan dan sistem keamanan yang dibangun oleh Soeharto
1. Kepala Desa Kadhung Makmur 2. Hari jadi kelimapuluh sekian 3. Pagelaran wayang dgn lakon Semar
1. Soeharto 2. Hari jadi Ind ke 52-53 (1997-1998) 3. Pagelaran wayang: “Semar Mbabar Jati Diri”
Peristiwa menjelang kejatuhan Soeharto dari jabatan kepresidenan dan masalah represifitas
1. Celeng 2. Jalan Cendana 3. Orang yang berseragam dan bersenjata 4. Pembunuhan warga kota 1. Papa Hartanaga 2. Jendral Wirenatopolus 3. Inklonesia 4. Jalan Canderanasia 5. Bukit Harbangus 6. Neo Sliokartus
1. 2. 3. 4.
Fenomena penghilangan paksa (militerisme)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Soeharto Kediaman Soeharto ABRI Pembunuhan anggota masyarakat Soeharto Jenderal Wiranto Indonesia Jalan Cendana Bukit Astana Giri Bangun Solo atau Surakarta
Rekayasa seputar penghentian penyidikan terhadap Soeharto
23
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 Keragaman wujud pencitraan Soeharto sebagai reaksi kreatif literer atas penguasa Orde Baru dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal, yaitu (1) Pencitraan Soeharto sebagai binatang; (2) Pencitraan Soeharto sebagai tokoh fiktif; (3) Pencitraan Soeharto sebagai dalang; (4) Pencitraan Soeharto sebagai tokoh pewayangan; dan (5) Pencitraan Soeharto sebagai Kepala Desa. Relasi Hegemoni antara Rakyat dan Penguasa Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen SDCI Hegemoni memiliki makna ideologi dominan. Pada rezim Orde Baru ideologi dominan yang dijadikan pembenaran kebijakan bagi apparatus pemerintah yaitu “pembangunan”. Di Indonesia kata “pembangunan” sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan material. Pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi (Budiman, 1995:1). Pembangunan selalu dijadikan pembenaran terhadap setiap kebijakan yang diambil masyarakat politik (political society). Di Indonesia, penguasa sangat sedikit yang mendapatkan persetujuan total (hegemoni total tanpa dominasi atas masyarakat). Negara Orde Baru justru lebih mengedepankan dominasi, yang berarti penggunaan apparatus koersif untuk penegakan hegemoni. Hal ini dapat terbaca melalui pola tindakan yang diambil terhadap masyarakat apabila mereka melakukan oposisi politik secara terbuka. Para buruh, mahasiswa, dan
24
intelektual lebih sering berhadapan secara frontal dengan aparat kekerasan negara seperti militer, polisi, dan penjara, setiap kali menyuarakan pendapat yang beroposisi dengan hegemoni politik penguasa (Patria danArif, 1999:185). Kisah dalam cerpen “MB” mengindikasikan proses pergantian kepemimpinan dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1993. Relasi hegemoni antara rakyat dan penguasa yang tercermin dalam cerpen “MB” adalah bahwa pemerintah, dalam usahanya untuk membatasi populasi banteng atau pendukung PDI, juga melakukan infiltrasi ke dalam tubuh partai politik. Soerjadi atau “banteng jantan tua” sebagai ground-nya, menjadi ketua umum PDI akibat campur tangan pemerintah. Artinya, bisa jadi pemerintah mencoba memasukkan orang-orang yang dianggap “dapat dikendalikan” ke dalam tubuh parpol untuk mencegah parpol tersebut melakukan manuver-manuver yang mengancam stabilitas politik. Soerjadi sendiri bisa jadi pula tidak mengetahui skenario tersebut, sehingga ketika langkah-langkah politiknya mulai melenceng dari garis yang ditetapkan pemerintah atau penguasa, ia harus dihentikan. Dengan demikian, salah satu kecenderungan perpolitikan Soeharto sebagai penguasa Orde Baru berupa manipulasi serta rekayasa politik. Artinya, semua aset politik dalam sistem pemerintahan, dikelola serta dikondisikan sedemikian rupa hingga mencapai stabilitas yang menguntungkan penguasa itu sendiri. Fenomena ini bisa jadi merupakan alat untuk melegitimasi awetnya pemerintahan Soeharto. Cerpen “PG” mengisahkan tentang
Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...
ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi seorang penguasa beserta sistem yang dibangunnya. Penduduk tiap hari berharap agar ada kabar tentang kematian penguasa tersebut. Fenomena ini me-nunjukkan adanya keterpaksaan untuk mengakui dominasi penguasa yang sedang berkuasa. Kekuasaan hegemonik dalam cerpen ini ditunjukkan dengan m e m p e rgu n a ka n “ m us uh ” u nt u k melegitimasi kekuasaannya dan melalui pembangunan-pembangunan yang telah dilaksanakan. Paman Gober berusaha m e m a p ar ka n t e nt a n g h as i l - ha s i l pembangunannya untuk kemajuan kota bebek. Warga kota bebek sebenarnya tidak setuju, tetapi mereka tidak kuasa, tidak ada yang berani melawan kebesaran Paman Gober. Kekuasaan hegemonik dapat dilihat dengan berjalannya demokrasi, tetapi tidak pernah bergantinya pimpinan. Cerpen “Diam” mengabstraksikan kehidupan politik masyarakat Indonesia yang beku. Masyarakat diumpamakan seperti menonton pertunjukan wayang kulit, di mana sang dalang berperan sebagai aktor tunggal. Tidak boleh ada yang mencampuri, sebab dalang telah men-jalankan pakemnya. Relasi hegemoni dalam cerpen “Diam” tampak pada situasi “pasif” dari penonton yang sengaja diciptakan. Hal ini merupakan representasi dari tokoh Soeharto yang dalam gelaran wayang Orde Baru juga menjadikan rakyat pasif. Partisipasi politik yang dibangun adalah partisipasi semu, demokrasi yang dibangun adalah demokrasi terpimpin (serupa dengan Orde Lama) yang mengakibatkan bencana. Cerpen “Tembok Pak Rambo” berbicara tentang usaha mempertahankan
kekuasaan dan sistem keamanan yang dibangun oleh Soeharto. Relasi hegemoni dalam cerpen “TPR” antara lain tercermin melalui kata-kata berikut “kekuasaan yang ada padaku”, dan “menolak permintaan Pak Rambo pula, sama artinya membenturkan muka ke dinding sampai hancur”. Kekuasaan hegemonik ditunjukkan dengan ditampilkannya beberapa orang dekat Pak Rambo yang mengatakan bahwa tembok Pak Rambo yang sedang dibangun Syam tembus pandang. Padahal dalam kenyataannya, tembok tersebut sama sekali tidak tembus pandang. Dengan menggunakan kekuasaannya, Pak Rambo dapat menekan siapapun untuk mengatakan sesuatu seperti apa yang dikehendaki-nya. Cerpen “BTS” merupakan representasi dari Soeharto yang dalam rangka HUT RI ke 50 mengumpulkan para dalang untuk menggelar pertunjukan wayang dengan lakon “Semar Mbabar Jati Diri”. Lakon tersebut dipergunakan sebagai alat untuk melegitimasi diri dan kekuasaannya. Relasi hegemoni dalam cerpen “BTS” tampak pada sikap Kepala Desa yang memaksa para dalang untuk menggelar pertunjukan dengan lakon sesuai pesanannya. Konsep dasar hegemoni adalah kesepakatan (konsesus) bukan paksaan, namun fenomena di lapangan menunjukkan bahwa posisi tawar-menawar dalang dengan kepala desa sangat lemah, sebab diibaratkan sebagai hubungan buruh dan majikan. Dalang dalam hal ini memposisikan dirinya sebagai alat legitimasi kekuasaan Kepala Desa. Dalam hal ini, pembangunan ternyata selalu menguntungkan apparatus negara namun
25
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 menyengsarakan rakyat. Dalang sebagai intelektual tradisional di pedesaan seharusnya independent dalam pertautannya dengan negara, namun dominasi negara tidak ter-hindarkan. Fenomena di atas merupakan representasi dari tindakan Soeharto pada awal tahun 1995, dimana pada saat itu para dalang berkumpul dan sepakat akan me-mainkan lakon “Semar Mbabar Jati Diri” sebagai pelegitimasi kekuasaan dirinya sebagai pemimpin negara. Cerpen “Celeng” menceritakan fenomena penghilangan paksa. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa banyak warga kota yang mati terbunuh atau hilang karena serangan celeng. Warga kota pun memburu celeng sampai akhirnya berhenti di ibukota, tepat di Jalan Cendana. Relasi hegemoni dalam cerpen “Celeng” ini tampak pada fenomena dihadangnya para pembur celeng itu oleh orang-orang yang berseragam dan bersenjata. Fenomena ini merupakan representasi dari para mahasiswa atau masyarakat yang sedang melakukan demontrasi pada penguasa, tetapi pada saat mereka demonstrasi mereka sering di-hadapkan secara frontal dengan aparat kekerasan negara seperti polisi dan militer. Fenomena ini selalu terjadi setiap kali anggota masyarakat menyuarakan pendapat yang beroposisi dengan hegemoni politik pe-nguasa. Cerpen “Senotaphium” mengisahkan tentang rekayasa seputar penghentian penyidikan terhadap kasus Soeharto. Kisah dalam cerpen ini merupakan representasi dari rekayasa seputar dihentikannya penyidikan terhadap mantan Presiden Soeharto. Artinya, alasan sakit yang digunakan
26
Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan terhadap Soeharto hanyalah strategi yang dijalankan untuk mengamankan Soeharto dari jeratan hukum. Sementara di tempat perlindungannya, Soeharto tengah mempersiapkan diri atau penerusnya untuk kembali berkuasa di bumi Indonesia. Asumsi ini tampaknya hampir menjadi kebenaran dengan munculnya Tutut atau Siti Hardiyanti Indra Rukmana, putri tertua Soeharto dalam kancah perpolitikan Indonesia. Tutut yang dikenal paling aktif dalam bidang politik, pada kampanye Pemilu legilatif 2004 dicalonkan oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) sebagai calon presiden. Rekayasa di atas merupakan salah satu bentuk kekuasaan hegemonik yang dapat terjadi karena Soeharto masih mempunyai kekuasaan cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan dalam negeri Indonesia melalui tangan para loyalisnya dalam struktur pemerintahan. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa relasi hegemoni dalam kumpulan cerpen SDCI menghadirkan hegemoni yang mengedepankan dominasi, yang berarti dengan menggunakan apparatus koersif untuk penegakan hegemoni. Dengan demikian, representasi hegenoni penguasa Orde Baru lebih mengedepankan dominasi. Hal ini dapat terbaca melalui pola tindakan yang diambil terhadap masyarakat apabila mereka melakukan oposisi politik secara terbuka. Mereka akan lebih sering berhadapan dengan aparat kekerasan negara secara frontal dalam menyuarakan pendapat yang beroposisi dengan hegemoni politik penguasa.
Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...
Simpulan Ragam pencitraan penguasa Orde Baru direpresentasikan melalui struktur teks SDCI mulai dari cover, judul kumpulan SDCI, judul cerpen, rangkaian alur, latar, dan tokoh. Relasi Struktur teks SDCI merepresentasikan karakteristik kekuasaan Soeharto yang dijalankan secara semena-mena demi kepentingan pribadi. Fenomena ini teraplikasikan dalam berbagai kebijakan pemerintah Or de B ar u yan g me nda s ari i de keseluruhan cerita. Keragaman wujud pencitraan Soeharto sebagai reaksi kreatif literer atas penguasa Orde Baru dapat dikelompokkan menjadi (1) pencitraan Soeharto sebagai binatang; (2) pencitraan Soeharto sebagai tokoh fiktif (3) pencitraan Soeharto sebagai dalang (4) pencitraan Soeharto sebagai tokoh pewayangan (5) pencitraan Soeharto sebagai Kepala Desa. Relasi hegemoni antara Rakyat dan Penguasa Orde Baru dalam kumpulan cerpen SDCI menghadirkan hegemoni yang mengedepankan dominasi, yang berarti menggunakan apparatus koersif untuk penegakan hegemoni. Dengan demikian, representasi hegemoni penguasa Orde Baru lebih mengedepankan dominasi.
Gramedia Pustaka Utama. Condronegoro, Mari S. 1995. Busana Adat Kraton Yogyakarta 1977-1937: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Kleden, Ignas. 1997. “Simbolisme Cerita Pendek” dalam Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan. Cerpen Pilihan Kompas 1997. Kompas, hal 126. Massardi, Noorca M. 2000. “Awas, Orde Baru….!” dalam Forum Keadilan, No. 35, 3 Desember 2000, hal 90. Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh RajaRaja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Patria, Nezar dan Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, M. Shoim (editor). 2001. Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT.
27
GENDER RELATIONS in LATE COLONIAL INDONESIA: A BRIEF OVERVIEW and THEIR PORTRAYAL in THREE MODERN INDONESIAN NOVELS Nur Wulan*) Abstract In late colonial period of Dutch colonisation in the Indies, reformative policies in education and marriage potentially opened up more room for women’s autonomy. These policies challenged the full autonomy of indigenous men. However, the growth of the nationalist spirit of the period had the effect of re-asserting hegemonic masculinity. The ambivalences and ambiguities accompanying the interference of the colonial authority in gender-related matters, such as marriage and education for girls, can be seen in the representation of male protagonists in three novels written in the late phase of Dutch colonisation. These novels are Belenggu, Layar Terkembang, and Manusia Bebas. There are clear indications in all three novels that modern values are important and are to be embraced. Yet, reluctance to adopt modern ideas emerges when they can potentially reduce the privileges and autonomy that have been long enjoyed by men. This emerges in the writers’ portrayals of their female characters as they pursue and enact their own ideals of autonomy. In all cases, the novels represent changes which are occurring in gender relations among the urban, nationalist elite of the time. They do not speak for changes in Indonesian society as a whole, but they point towards changes that were to affect broader segments of Indonesian society in the postcolonial period. Keyword: gender relation, colinal indonesia, novel
Introduction Colonialism is a form of cultural contact which is influential in the construction of gender relations. Beside Indian and Islamic influences, European influences brought about by Dutch colonialism were pivotal in the construction of gender relations during the process of state formation that eventually resulted in the modern nation state of Indonesia. In relation to the construct of masculinities, the rising awareness of women’s rights as one of the impacts of m od er ni t y i ntr oduced by Dutc h colonisation needs to be taken into account. The awareness emerged as Dutch colonial policies to reform the wellbeing of indigenous people became *)
institutionalised in the late phase of colonial period.This article discusses the ways these reformative policies affected woman’s identity and how they challenged indigenous masculinities in the late stages of the colonial encounter. Sources discussed are drawn both from historical accounts on the impacts of the policies on education for girls and marriage, as well literary representations that touch on related issues. Colonial intrusion and its impacts on gender relations and masculinities In late colonial period, both in Indonesia and elsewhere, female colonial subjects often became the object and site of the imposition of reformative colonial policies. In the minds of reformist and
Departemen sastra Inggris Fakultas sastra UNAIR telp (031) 5035676, email
[email protected]
28
Gender Ralation in Late Colonial Indonesia ...
liberal colonial authorities, these policies often reflected a modernist intention to ‘liberate’ native women. The modernist intention can be seen in, among other things, education and marriage. It is hardly surprising that the process accompanying the formulation and implementation of these policies was often imbued with controversies and debates, since they drew together diverse and contradictory ideologies represented by the social elements involved. These elements included local and Dutch political elites, proponents of feminism, religious leaders and people of high rank in indigenous society. In spite of the fact that the reformative policies revolved around the position and roles of women, the complexities and ambiguities that characterised the implementation of these policies are relevant because they also reveal aspects of the ways in which indigenous masculinities were challenged and changed in the late stages of the colonial encounter. Something of this process can be understood from the literature on the impact of reformative colonial policies on education for girls and polygamous marriage. Since the beginning of the twentieth century, the colonial government began to be more active in initiating reformative policies on the education of girls. This was reflected in two congresses on the subject, which were held in the Dutch capital, The Hague, in 1916 and 1919 (Blackburn 2004, 42). In the 1916 congress, views on the importance of education for girls were slightly varied, with most of the a rg um e n t s r e vo l v e d a r o un d t he significance of girls’ education for improving their knowledge and skills in
household matters (Blackburn 2004, 4346). A. Limburg, whose ideas were very influential in this congress, asserted that education for girls should be practical, covering issues such as “...hygiene of body, house and yard, domestic science, handicrafts, singing, nursing of young children and the sick, good manners, and a feeling for all that is fine and good and true” (Blackburn 2004, 43). Limburg’s affirmation of the feminine roles of women was closely related to the glorification of motherhood in early twentieth century Britain. According to Ann Davin, at a time when population growth was considered crucial to sustain the superiority of the imperial race, “the authority of state over individual, of professional over amateur, of science over tradition, of male over female, of ruling class over working class, were all involved in the redefining of motherhood in this period, and in ensuring that the mothers of the race would be carefully guided, not carried away by selfi m p o r t a n c e ” ( D a v i n 1 9 78 , 1 3 ) . Meanwhile, the ideas about virile and physically healthy males who were produced by responsible mothers were valorised as the primary role of men was to defend the imperial race (Davin 1978, 15). In the colonial context, these reformative policies intended to reinforce the domestic and nurturing roles of women had ambiguous, and sometimes contradictory outcomes. For young women who first gained access to modern education through the expansion of education for girls, the modern ideal of woman as manager of her own domestic sphere was accompanied by a much higher level of participation in the public
29
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 sphere. Women in the Indies during the 1920s and 30s became much more prominent in social and political activism, standing alongside young educated men, even as they maintained domestic roles and responsibilities. Furthermore, there are indications that far from circumscribing the role and selfawareness of women, modern European notions of woman as wife and mother managing her own nuclear family household actually had a liberating and affirming role for many Indonesian women, rather than “re-traditionalising” their roles. The introduction of the Westernised notion of nuclear family and the concept of housewife as being responsible for household matters was responded enthusiastically by many young educated women in the 20s and 30s as a form of “liberation rather than confinement” (Barbara Hatley 2002, 168). Marriage was another aspect of colonial life on which the colonial government began to exercise control. As in the case of education and female labour, the colonial rule attempted to mould the social institution based on modern Western values. Locher-Scholten’s study on marriage in the colonial Indies points out that the Dutch government’s attempt to impose modern monogamous marriage as an ideal form of marriage to replace polygamous marriages invoked protests and debates from various groups. The oppositions mainly came from Islamic clerks, as polygamy in the Koran is not explicitly prohibited. The reformative marriage law manifested, among other things, in the 1937 marriage draft was mainly motivated by the request from the 1
30
Minister of the colonies, H. Colijn. His intention in proposing the draft was to protect European women who married to Indonesian (Islamic) men from the practice of polygamy (Locher-Scholten 2000, 194). The protests from Islamic organisations against the draft resulted in the withdrawal of the draft in February 1938 (Locher-Scholten 2000, 206). In protecting women’s rights in marriage and accommodating these objections simultaneously, secular women’s organisations proposed the reinforcement of conditional repudiation or the ta’lik (Locher-Scholten 2000, 209). Through the ta’lik, women can have more access for divorce. Opposition by native males against colonial interferences in their most private affairs in colonised societies were in most cases coloured by anti-colonial and nationalist spirit. In the Indonesian context, the colonial state’s attempts to intrude in marriage laws were potential sites utilised by religious groups to maintain the distance between Indonesian Islamic society and the “non-believers”. This could effectively justify the inappropriateness of colonial interferences in marriage and family matters because the colonial government was the heathens who did not have any rights to regulate Islamic marriage. Besides, family in Islam is considered to be the most fundamental institution in which religious belief is inculcated (Cammack, Young, and Heaton 1996, 50). The non-interference policy in marriage laws was disadvantageous for women as it reduced their autonomy in marriage. In the context of nationalist ideology, they assert the conception that women are expected to
Gender Ralation in Late Colonial Indonesia ...
be the bearers of cultural maintenance and purity. Women are supposed to remain pure, untainted by modern influences. Meanwhile, men are more associated with progress characterising nationalist movements. Overall, it can be said that despite some compromises and failures in instituting reformist laws designed to improve women’s condition in the Indies along the lines of Western notions of modernity, the modern and feminist ideas reflected in these policies did potentially succeed in opening up more room for women’s autonomy. In some areas, and to some extent, the full autonomy of indigenous men was challenged and reduced by the impact of these policies. However the growth of the nationalist spirit in the later period of Dutch colonisation had the effect of re-asserting hegemonic masculinities. The centrality of this masculinity was brought to the fore within nationalist ideology. Nevertheless, it did not go unchallenged by indigenous women. Compromises and ambiguities which ultimately affected Indonesian men, and notions of masculinities, continued to be present. Gender Relations Portrayed in Modern Indonesian Literature The dominance of men’s roles in the nationalist movements partly incited by Western modernity, and the challenges to them which modern women’s identities posed, can be seen in three late colonial Indonesian novels, namely Layar Terkembang (With Sails Unfurled), Belenggu (Shackles), and Manusia Bebas (Free Human Beings). Written in the late period of Dutch colonisation, the novels portray in different ways the emerging
identity of modern men within the framework of the nationalist movement and how this is related to changing perspectives on women’s roles. The social settings of these novels are nationalist and women’s movements that intensified their activities during the final phase of Dutch colonisation in the 1930s. Despite the presence of main female figures with their feminist vision in the three texts, Belenggu is the one which places the ambiguities and uncertainties of a modern man in the centre of the novel. Depicting a triangle love relationship involving Sukartono, his wife Tini, and Sukartono’s mistress, Yah, Belenggu captures Sukartono’s ambivalent attitudes in embracing modern values. Sukartono’s ambiguities as a modern man are apparent in his attitudes toward his wife, Tini. Tini is a beautiful, outgoing, and energetic woman whose involvement in women’s organisations required her to be constantly active outside her home. Her social activities make her unable to play her ‘natural’ role as a dutiful wife who can give emotional warmth to her husband. This is what Tono expects her to be, especially when he arrives home from his work as a general practitioner. The clash between Tono’s traditional expectations of his wife and Tini’s westernised views of a modern woman results in her rebellious attitudes in her relationship with Tono. As Barbara Hatley notes, this is apparent in the opening paragraph of the novel in which Tini removes the notebook containing telephone messages from Tono’s patients. According to Hatley, Tini’s deliberate action in hiding the notebook is a form of provocative protest at her expected role as an obedient wife
31
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 whose duty at home is taking telephone messages from Tono’s patients (Hatley 2002, 158). The representation of Tini as an overly westernised woman is in stark contrast with Yah. As the other woman in Tono’s life, Yah is portrayed as being able to provide emotional comfort that Tono is unable to obtain in his marriage with Tini. Yah is an independent but emotionally expressive woman who can fulfil Tono’s conservative expectations of a good woman. Yah is even willing to take off Tono’s shoes when he visits her. The description of Tini as a flirtatious and rebellious wife can be seen as the male writers’ way of highlighting the idea that a modern woman can potentially destabilise the harmony of a marital life. The contrasting portrayals of Tini and Yah can be said to be the embodiment of Tono’s ambiguous attitudes toward the changing roles of women in modern time. Despite the dominance of rationality and analytical thinking that governs his views, his perspectives on women’s roles seem to be less progressive. Hatley asserts that the contradictions are some of main themes that the novel reveals (Hatley 2002, 159). He feels emotionally secure with Yah, who is devoted and can provide him with affection that his marriage with Tini lacks. He thinks that Jah is a ‘wanita sedjati’ (Pane 1961, 28), a real woman who can show her affection openly. Meanwhile, Tini is too independent to be controlled and willing to express her longing for Tono’s attention. Tono’s conservative views of an ideal woman are significantly different from Sudarmo’s in Manusia Bebas . Running an independent school not
32
funded by the colonial government as a form of active involvement in nationalist struggles, Sudarmo expects his wife to be extremely tough and resilient. Because of their independent and nationalist commitment not to cooperate with the colonial authority, they have to be willing to work underground and move from one place to another. This difficult situation demands them to be mentally strong. Sudarmo thinks that his wife, Sulastri, is bourgeois when she pays attention to trivial things, such as the furniture and decoration of their house, and her dress when they go out to a meeting discussing the operation of their school. Even though Sudarmo is not depicted as craving for womanly affection as Tono does in Belenggu, deep in his heart he cannot accept the fact that Sulastri goes on her own ways and does not listen to his advice when they are in marital disagreement. Sudarmo finds it unacceptable as he considers a woman’s position in marriage is lower than man, despite his modern views of women’s equality: “He is hurt and humiliated, because according to traditional cultures, a woman’s position is lower than a man’s, although theoretically he has modern views of women’s liberation and equality.” In this situation, it is Sulastri who usually takes an initiative to apologise. Sulastri’s initiative confirms her “womanly desire for marital harmony” (Hatley 2002, 165). It is by no means easily taken as she frequently is sceptical about her ability to endure this situation in her marriage and has to subdue her own pride. Sulastri herself is an intellectual and socially active woman who participates significantly as a teacher in her husband’s 2
Gender Ralation in Late Colonial Indonesia ...
independent school. Unlike Tini in Belenggu, who totally challenges the traditional role of a woman in marriage, Sulastri painstakingly attempts to reconcile the demands of her idealist and nationalist vision with her traditional duties in marriage. This makes her portrayal as a modern woman trying to fit in with a changing world plausible. By bringing a woman’s experiences in undergoing conflicts, pains, and the ups and downs of marital life to the centre of the text, Manusia Bebas does not explore much of Sudarmo’s experiences in reconciling his modern views of women’s roles with his long-held opinion of women’s status in marriage. Although this conflict is apparent in his unwillingness to take the initiative to ask for forgiveness when he is in disagreement with Sulastri, his internal hesitation is not elaborated as much as Sulastri’s. S u d a r m o ’s p e r s i s t e n c e a n d determination to realise his nationalist vision is very strong, although he has to sacrifice financially and mentally. This also demands a strong commitment from his wife, his loyal partner in marriage and his nationalist struggle. He is never presented as having uncertainty in pursuing his goals. On the other hand, Sulastri is frequently depicted as being mentally exhausted, having to move from one place to another without being accompanied by her husband. Being used to be living in an independent household, separated from Sudarmo’s and her own extended family, she has to sacrifice her independence and live with her sister’s family when her financial ability requires her to do so. In one time, she complains to her husband about their nomadic life-style,
and Sudarmo replies straightforwardly: “You are materialistic and troublesome with your views of the future. If you love me, be loyal to me. You can go if you don’t stand it anymore” . This brings a sharp contrast between Sudarmo’s total determinacy and certainty in pursuing his nationalist visions and Sulastri’s frequent hesitation and uncertainty to move on. Conflicts experienced by a modern woman in her attempts to negotiate progressive gender conceptions with traditional gender expectations are illustrated in a more clear-cut manner in the third text, Layar Terkembang. The female protagonists of the novel, Tuti and Maria, have opposing characteristics. Tuti represents an intellectual, independent, and modern woman, who is very active in women’s organisations promoting women’s equality. The portrayal of her personality is in stark contrast with her sister, Maria, who is more feminine, sociable, affectionate, and emotionally expressive. To some extent, Maria’s personality echoes Yah’s in Belenggu. Maria is engaged to Yusuf, a student in a medical school, who is also active in nationalist movements. The story ends tragically with Maria’s death of tuberculosis and, in order to realise Maria’s wish, Yusuf and Tuti get married. The complexity accompanying a modern woman’s attempts to fit in with a modernised world is negated by the fact that Tuti’s internal conflicts between the demands of her activities in feminist movements and her womanly desire for a man’s love are easily resolved when she considers of accepting Supomo’s marriage proposal. Although Tuti finally rejects his proposal, she thinks the two can 3
33
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 coexist harmoniously. Another part of the novel which is somewhat illogical is the decision of Tuti and Jusuf, who previously do not have romantic relationship, to get married to realise Maria’s last wish. Conclusion The i ll ust rat i on of m ode rn, intellectual, and independent women represented in different ways through Tini, Sulastri, and Tuti, can be used as a means to examine how male protagonists view the roles of women in a changing world. Belenggu and Layar Terkembang, written by Armyn Pane and Sutan Takdir Alisyahbana respectively, can also be read as the projection of the male writers’ perspectives in viewing the emergence of feminist ideas within the context of nationalism. In Belenggu, Tono reflects traditional and less progressive remnants of patriarchal values which assume the idea that women should be able to provide emotional comfort to men. The portrayal of Yusuf in Layar Terkembang, despite his explicit opinion that young people, women and men, should participate actively in progressive movements to improve the wellbeing of their people, also affirms Tono’s tendency to be more co mfortable with women whose personality is similar to Yah. Yusuf likes Maria more than Tuti as Maria is more expressive and affectionate. Manusia Bebas, being written by a female writer, can articulate in more convincing ways how a modern, intellectual, and independent woman finds it very difficult to negotiate traditional and normative expectations of women’s roles with her own struggle to be able to voice her individuality.
34
In terms of the depiction of male protagonists in the three novels, all of them represent normative masculinities of the period when the coming of European modern values shaped the formation of their identity as modern men, at the same time when they also clashed with less progressive cultural values. This results in ambivalent modern men represented by Tono, Yusuf, and Sudarmo. Tono is a doctor whose formal training in medical science forms his analytical thoughts profoundly. Although he is not politically active as the other two protagonists, his modern perspectives are apparent in his tendency to analyse events happening in his life. Yusuf displays his progressive attitudes through his suggestion to Maria to be actively involved in nationalist movements. Sudarmo is the most radical nationalist among the three. He is also the most determined in his pursuit of nationalist visions. In short, they are all the embodiment of rationalist and progressive men characterising Western modernism. In spite of their strongly progressive outlooks, the three male protagonists seem to struggle to embrace modern values fully when they come to terms with the emerging ideas of women’s liberation and equality. Their vision of ideal women has not shifted from traditional notions of women’s roles. This can be seen from Tono’s preference for Yah who still retains traditional characteristics of an ideal woman, namely being able to soothe and give emotional comfort to men. Similar to Tono, Yusuf also prefers an emotionally expressive woman. Slightly different from the two, Sudarmo displays more progressive views in relation to modern
Gender Ralation in Late Colonial Indonesia ...
women’s roles. However, as it has been discussed above, he also holds less progressive gender values apparent in his reluctance to take an initiative to apologise when he is in disagreement with his wife.
and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press Pane, Armyn. 1961. Belenggu. Djakarta: P.T. Pustaka Rakjat.
DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, Sutan Takdir. 1937. Layar Terkembang . Jakarta: Balai Pustaka. Blackburn, Susan. 2004.Women and the State in Modern Indonesia . Cambridge: Cambridge University Press. Cammack, Mark, Lawrence A. Young, Tim Heaton. 1996. “Legislating Social Change in an Islamic Society-Indonesia’s Marriage Law”. The American Journal of Comparative Law 44(1): 45-73. Davin, Anna. 1978. “Imperialism and Motherhood”. History Workshop no. 5:9-57. Djojopuspito, Suwarsih. 2000. Manusia Bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hatley, Barbara. 2002. “Postcoloniality and the feminine in modern Indonesian literature” in Clearing a Space: Postcolonial readings of modern Indonesian literature edited by Keith Foulcher and Tony Day. Leiden: KITLV Press. Locher-Scholten, Elsbeth. 2000. Women
35
POLITICS AND SOCIAL REPRESENTATIONS IN LITERATURES: A FEMINIST READING OF RATNA INDRASWARI IBRAHIM’S WORKS Diah Ariani Arimbi*) Abstract This paper aims to scrutinize the works of Ratna Indraswatio Ibrahim, one of Indonesian female writers who gives a strong concern on the politics of women’s identity in fiction. Her works are truly reflections of how literary fictions can house as representations of female identities. From the perspective of feminist readings, in her narratives women function as objects inherited from a society that says women matter less than men: a society that thinks women barely belong to the culture that marginalizes and silences them through domesticity. Ratna raises critical issues about the subjugation and domination of women, and captures the imbalance in social relations. Yet Ratna’s women are not all submissive: those denied their rights respond to the injustice they experience. Through her narratives Ratna acknowledges the struggles of women, especially those in under-privileged conditions. Key words: politics, representation, women and identity
The Politics1 of Literature Literature is political, Judith Fetterley argues in ‘Introduction to The Politics of Literature.’(Fetterly, 1978: XIII) She further claims that like in the politics of anything else which power is the main issue, so is in literature. The core of power in literary politics is consciousness: Consciousness is power. To create a new understanding of our literature is to make possible a new effect of that literature on us. And to make possible a new effect is in turn to provide the conditions for changing the culture that the literature reflects. To expose and question that complex of ideas and mythologies about women and men which exist in our society and are confirmed in our literature is to make the system of power embodied in the literature open not only to discussion
*)
even to change. Such questioning and exposure can, of course, be carried on only by a consciousness radically different from the one that informs that literature. Such a closed system cannot be opened up from within but only from without. It must be entered into from a point of view which questions its values and assumptions and which has its investment in making available to consciousness precisely that which the literature wishes to keep hidden. Feminist criticism provides that point and embodies that consciousness. (Fetterley, 1978)
It is also such new consciousness of feminist readings that meticulously offer new ways of reading and interpreting literary writings. Catherine Belsey and Jane Moore posit that there is no such thing as neutral approach to literature. All readings/interpretations are political.
Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra UNAIR telp (031) 5035676
36
Politics and Social Representation in Literatures ...
(Belsey, 1989: I-XX) Necessarily all specific kinds of readings inexorably count for or against certain kinds of issues, addressing them in ways such issues explicitly or implicitly are talked about. Feminist literary critique may question, among other things, the ways in a particular text represent women, how it portrays gender relations, how it labels sexual different, how it terms powerrelation between different gender roles, and so forth. Even if a particular text says nothing about gender relations, depicts no women at all, it is too a pivotal signification for feminist critique. Literature is no longer a special category simply depicting reality, embodying timeless truths and neutral agendas. Literature is then ceased to be unbiased, making it parallel to the impossibility to approach any human problem with a free mind, as de Beauvoir states, “The ways in which the questions are put, the points of view assumed, presuppose a relativity of interest; all characteristics imply values, and every objective description, so called, implies an ethical background.( Beauvoir, 1953: xxvi) Hence, literature is also perceived as interpretations of the world, just like other kinds of art. Writing is no longer an individual phenomenon, as it is a social and cultural institution, in which its social contexts are more than just shadowing backgrounds. Fiction becomes a manifestation in which its various forms are subjective to the ways societies comprehend and identify themselves and the world they live in or imagine. Therein lies the importance of history for feminist criticism as literature has in this term turned to be exceptionally historical.
Between Facts and Fiction: The Problematic Images of Women in Fiction
Can fiction be accounted for true representation of actual life? The notion that fiction and reality is cut cleanly seems rather opaque when the difference of how fictitious is fact and how factual is fiction is quintessentially blurring. On one hand, the claim that literature is a mere fictitious world is problematic. Since there is no real woman in the literature, only representation itself, then there is no one to liberate. In this respect, feminism becomes dematerialised and in the end will simply turn as anachronism. Yet, there are still women who experience sexual discrimination, who are not being able to find jobs because they are women, who are denied their rights because they are women, who are written out of history because they are women, and there are also women who write out these imperishable facts in literature. On the other hand, taking literature as fact will unavoidably neglect that literature is a home-made world, a world made with the assistance of imaginative creative process of the author. A literary product does not automatically duplicate the real. For this reason, it holds its reflections, exemplifying representations of the real. Indeed, representation of the real does not come into a linear singularity. Asserting a singularity of representation ignores the dynamic of social-historical notions of women crossing the spaciotemporality of their subsistence. With the help of deconstructionist theories that aim to decentre the subject, the relationship of female subjective identity to sex is intricate. As identity is an on-growing process, a fixation of identity reflective to
37
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 all women all ages is an absolute impossibility: Literary works gives images of women that are not absolutely identical, and the differences among them must be significant. Historical flux and change should not be prematurely ended in symbolic stasis that women can suffer once and for all an identity fixation on the level of style, releasing action only to ‘the woman’of the semiotic.(Todd, 1988)
For literary analysis, the images of women in fiction result in critical reading of the text to a degree that fiction is reflection to a history and narrative of contexts, within which the structures of ideology lie. As ideology does not appear as mere ideology, rather as subtle network representing “the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence,”(Althusser, 1988: 85) in this respect, literature is ideological in its nature, “[i]n imaginative works a moving ideology can be fixed and brought to consciousness and its contradictions can be made visible.”(Althusser, 1988: 86) Perhaps, it may be added that in literary works, the structures of ideology do not appear as immediately as thematic signification, but disperse in every elements of the works. Thus, any literary analysis in conjunction with other theoretical criticism is crucial in disclosing how the notion of ideology and its structures are maintained as literature as one of many sides of culture - is the domain where ideology is fabricated and refabricated. The inclusion of analysis of ideology in literary analysis is therefore crucial: Criticism using the notion of
38
ideology focuses both on what is stressed as intentional and what appears subliminal, discordant and unintentional. With the notion, we can read against the grain, not aiming to uncover a truth but investigating how a transcendental concept of truth was formed at all. Literature inevitably colludes with ideology, which is in turn inscribed in literary forms, style, conventions, genres and institution of literary production. But it does not simply affirm, and it can expose and criticize as well as repeat.(Althusser, 1988: 86)
Even, in the case where ideological structures seem to be missing in the literary production – identifying them proves difficulty, feminist criticism must take such absence into a considerable account as the absence and presence of any ideological structures symbolise underlying construction from which a literary production is taken shape. Images of women in maledominated literary production are made problematic, particularly by feminist critiques. Cornillion’s Images of Women in Fiction Feminist Perspectives (1972) is considered to be one amongst the antecedent writings that scrutinise women images in literary production. Through literature, Cornillion believes, the historicity of women’s oppression can be traced, and by understanding their subjection, women can raise new consciousness of how women were, now and might become, provoking new directions for women in reading and understanding fiction which in the end may contribute to women’s personal growth.(Cornillon, 1973: ix-x) The problematic of images of women criticism does not inevitably say that they cannot
Politics and Social Representation in Literatures ...
function as a focus for feminist literary analysis, as such criticism may serve as a part of “solution” as Ruth Robbins argues. Literary images are definitely different from reality, however those images or representations are reflection of reality: to a certain degree, the presence of reality is incorporated in them. Analysis of literary representations presents a locus of importance for feminists who examine the ways in which representations of women and their real lives are dissimilar. Through the means of representations, a politicised analysis of reality may derive, and by reading against the grain of such representations, one can change perceptions of reality. (Robbins: 2000: 51) Reading images is not all times onesided direction of the viewer looking at an image. Who is the viewer, what images she looks, and how images are looked at complicate the problem. Looking itself is a complicated and ambiguous act of reading, working multiple directions and creating multiple impacts: The way a woman looks might mean either a description of her appearance, or a description of her act of looking at others; the two kinds of looking might even be modified by each other. As such, images at which one looks can e simultaneously both a call towards or a warning against a particular way of looking . . . and an opportunity to look differently, to criticise or refuse that look in favour of another way of looking. (Robbin, 2000: 57)
One may respond differently to a given image, depending on one’s conditions of times and places. The notion of looking (the ways one looked then, one looks now, one may look tomorrow and
one’s perception of looking at looking and re-looking) denies an assumption that a given set of images subsists and carries a fixed meaning once for all therefore easily shape one woman’s experience and sense of her struggle in being and becoming. Looking at images, or reading images of women in fiction is then not a simple act of reading but a rich and complicated ways of looking, looking at what others look at how women were defined, are defined and may defined. Accordingly, feminist literary criticism develops a critical presentation of such looking by adding the dynamic of the whole process of reading/looking aiming to invigorate multiple relationships between the female subjective and the social and they appear in fiction through literary representations. For literary analysis fiction is no longer read without critically questioning images produced within its narrative. As ficti on is constructed from t he interweavings of cultural narratives, it thus for feminists is “a cultural strategy for performing identity claims,” when these feminist “become aware of the huge impact that literary works can have on public opinion.” (Lara, 1998: 92) In fiction, identity formation is amongst the most observable materials constantly located within its narratives. Through narratives which, by and large, is drawn on the materials of everyday life, characters living in the narratives generate their identity formation translating each individual meanings through their stories. For the readers, reading such stories – looking at other stories – creates a bound connecting the readers and the characters that continuously engage themselves in the process of identity formation:
39
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74
Women have use the word ‘personal’because emplotment has been their tool to create individual meaning through other stories – of the women of the past – in order to tie into a historical understanding the ongoing content of women’s lives within narratives that offer a wider conception of ‘agents’ as moral subjects. In this sense, individuals do not simply have memories in the historical sense, but, by adopting everchanging attitudes toward them, continuously reconstructing them, they can develop new interpretations. . . . Identity is conceived differently in narratives not only because past experiences are rewoven through time, but also because each new and broader narrative gives new meaning to society’s own larger narrative.(Lara, 1998: 93)
The problematic of fictitious fact or factual fiction lies on the fact that the exchange between renders it difficult to solely divorce each other. But, as fiction is one of privileged sites of representation, it does celebrate its positioning of as downright subject of images of women criticism, as fiction translates the very dichotomy – fiction/fact, art/life into hybrids of forms and languages. Ratna Indraswari Ibrahim and Her Challenges to Gender Inequality In Indonesian Literary tradition, one of authors strongly presents politics of gender and social representations, especially of women in fictions is Ratna Indraswari Ibrahim. Since she started writing in 1975, numerous of her short stories were published in collections including Namanya Masa (2001), Noda Pipi Seorang Perempuan (2003), Aminah Di
40
Satu Hari (2002), Lakon di Kota Kecil (2002), Bukan Pinang Dibelah Dua (2003), and her recent novel Lemah Tanjung (2003). Ratna is probably part of Sastra Koran tradition as her works were scattered in various newspapers such as Kompas, Jawa Pos before issued in collection of short stories mentioned afore. Not so dissimilar with other women authors, Ratna’s writing object is women whom she knows well. She believes that her narratives shapes a women’s movement as it also functions as counter discourse of masculinity that has been rooted in Indonesian public for times. She writes: Saya kira negeri ini berkarakter maskulin. Karena itu dia suka pada simbol simbol kekerasan. Sebagai ilustrasi, bias-bias ideologi patriarki yang ada di negeri kita memunculkan sebuah dampak yang besar, melebar pada system di negeri ini. Artinya negeri dalam konteks ini lebih mempresentasikan laki-laki. Dan perempuan seperti apakah yang dibesarkan oleh tradisi maskulin? Seperti biasanya, mereka terbentuk menjadi silence mass dan masyarakat marjinal. Disadari atau tidak, lelaki di negeri ini masih beranggapan, peranan perempuan berada tetap di domestic social. Jadinya dalam cerita apapun yang jadi super hero adalah lakilaki.(Ibrahim, 2003: 1)
Consequently in a country like Indonesia which is largely characterised by masculinity, women’s literature is, to a certain extend, marginalised. However, by the same token, literature can play as a powerful means to vocalise against such marginalisation it is put into. Literature
Politics and Social Representation in Literatures ...
alone, for Ratna is capable of protesting the marginalisation and victimisation of women. Taken within the standpoint of literature and women’s movement, resistance writings are explorative and powerful media against injustice and oppression. Through writings, Ratna concludes, she can break the women’s silence mass, and enunciate injustices forced upon them. At the same time, to bring women’s voice into public hearing, she attempts to smash women’s marginalisation by repositioning them from the periphery to the central. She exemplifies further with her newest novel Lemah Tanjung, a novel based on true story. All female characters in the novel are resisting domination forced against them. Ibu Indri, one protagonist in the novel, for example, never surrenders her struggles to protect the only green area in her city against attempt transferring it into a shopping mall. Nevertheless, Bu Indri’s struggles are kept silenced by simply being unrecorded in the public mind. Ratna’s retelling Bu Indri’s story marks her struggle to reconstitute one local woman’s history into the public memory. This is exactly how Ratna positions her role as an author: believing that with her writings she can record the history of the women’s struggles and bring it to the public’s attention. Ketertarikan saya itu karena . . .saya bukan ahli sejarah . . . tapi saya mencoba. Tokoh ini namanya Ibu Indrasih, sekarang beliau sakit keras tidak bisa jalan, tapi dia memperjuangkan sendiri dengan tiga anaknya, dengan komunitas kita sampai hari ini. Kembali ke masalah sejarah tadi, saya coba merekamnya, sejarah
lokal ini. . . . Jadi semuanya itu true story. . . . Tapi karena saya bukan ahli sejarah, saya mencoba meramunya dalam segi fiksi. 2
A literary work is the soul of its author, Ratna strongly believes. However it is a product of literary imagination, the factuality in this so-called imaginative world is still reflective of the real: the represented real of its author and her surrounding world, creating the world in it a reality of its own. Through her stories Ratna presents us the revival of social realities in fiction. Her fiction is not a product of literary imagination per se rather her fiction shows a reality and awakens our dreams in a story. In an interview, Ratna reveals that her narratives are based on factual researches, which then blended with her imagination, and certainly her reading of such experience. Her works thus are speaking reality. Furthermore, the politics of her works lies on her goal to treat her fiction as a witness of injustice. She states: 3
Saya dapat melihat dan merasakan maskulinitas itu dari “teks-teks” sosial yang sarat dengan pelecehan sosial terhadap perempuan. Dan saya kira itu semua akibat hegemoni patriarki yang telah tumbuh cukup lama dalam negeri ini. Untuk itu, saya tertantang untuk menulis cerpen sebagai saksi atas ketidakadilan. (Subiantoro, 2002: 103114)
Ratna’s short stories are shaped to tell the tales of injustices and repression in Indonesian lives, especially experienced by women. Through them only Ratna has her ways in showing her concerns of women’s problems. Accordingly, fiction
41
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 is a reflection of culture. The more women write from their own perspectives, especially in fiction, the more they are aware of their domestic and public roles, and this awareness will empower them to defend their rights out of men’s exploitation. (Ibrahim, 2003: 2) Ratna’s foremost depiction of female characters in her narratives is marginalised and victimised Muslim women who largely dwell in rural areas, especially in Malang and its surrounding areas. According to her, these women are usually erased from public remembering as they are simply forgotten or assumed to be unimportant, while they are typical to around 70% of Indonesian women. It is her privilege to enliven them in her stories, narrating their pain and misery mostly due to patriarchal dominated culture which gives these women no room for their autonomy. Her narratives indeed project a variety of images of Indonesian Muslim women. Her refusal to portray urban and cosmopolitan women who are autonomous individuals as in sastra wangi’s writings breaths souls to the women who are not urban and who are still by and large victims of patriarchal domination, reminding us that feminism still has a long way to go: to finally reach its ideal of justice and equality for all women. Her narratives are also a reminiscence stating that most Indonesian women are still experiencing gender-bias system lamentably placing them in ambivalence position bordering between traditionalism and modernism. She says: Kalau kita bicara masalah perempuan Indonesia, satu kakinya di tradisional, satu kakinya di modern, dia sendiri ambigu. . . . Tapi saya kira
42
masyarakat Indonesia, perempuan, ideologinya itu masih ideologi laki-laki. Cinderella complex. 4
Tradisionalism she means is the notion of domestication of women, while modernism tends to situate them in public social arenas. This is her other message worthy of noting on the ambiguity of women’s position in Indonesian society. Claiming her writings to be counter discourse of sastra wangi which cite frequently open sex discourse, Ratna insists that there should be no such talk in women’s writing, for it is the language of man that performs sex as open and vulgar. Woman language is more lyrical and refined as it is closer to affection yet unemotional. Her opposition to sastra wangi is made clear when saying that it is erroneous to juxtapose sexual liberation and feminism. Sexual liberation, as much seen as the most salient feature of sastra wangi, is a narrowly defined feminism. The danger of exposing sex and sexual activity openly lies on its presumption that it is feminism in its nature. Femininity is of natural God given, thus its much exploration will reduce its beauty, and so is sex, she reasons furthermore. She observes that the vulgar sexual discourse is undeniably written in bahasa laki-laki (male language) as opposed to bahasa perempuan. This is the trap that she necessitates to avoid in her writings. Writing in female language and privileging female experiences is her essential proposal since the achievement of equality for both sexes is crucial in any women’s movement. Denying to labelled feminist, Ratna is, in a number of ways, a feminist for in her writings she puts “the woman
Politics and Social Representation in Literatures ...
question” into account, attempting to critically read and attack sexual division of labour since such division is reflective of patriarchy and gender bias, not of natural order. Islam, in Ratna’s opinion, has introduced justice and equality for b o t h s e x e s s i n c e M u h a m m a d ’s prophethood began. As a reference to the Prophet’s attempt to position men and women of equality the hadith literature have shown these evidences. Alas, in most Muslim world, women are historically limited only to domesticity and denied their public rights. Like other Muslim feminists, Ratna believes that it is not Islam that is oppressive to women, it is the culture, and Islam alone is protective to freedom and the rights of women. Documenting social history in local, national or global level is necessary in order to continuously challenge the prevailing roles of women assumed to be the second sex. Valuing the Price of A Woman: Female Subjectivity, Identity and The Body In her introduction to one collection of her short stories entitled Noda Pipi Seorang Perempuan (a spot in a woman’s cheek) Ratna professes that most of her writings are interconnected with a single grand theme: t he dispowerment (ketidakberdayaan) of those marginalised like children, women and the elderly against the power of superiority; be it the superiority of the state, of the patriarchal domination or even of the feudalism legitimised by the New Order regime speaking only in the name of authority and dominance.(Ibrahim, 2003: viii) Her short story entitled Noda Pipi Seorang
Perempuan exemplifies her argument clearly. This story narrates the fear of a wife believing that she was no longer attractive as she had a spot at her cheek. She told herself that it was a problem that she was beautiful then and not now: Sekarang dia merasa menyeret beban yang berkepanjangan. Rasanya tidak ada orang lagi yang memuji kecantikannya. Padahal dulu, sekalipun masih kanak-kanak, dia merasa punya kelebihan yang dibanggakan orang. Sekali lagi dia berkaca di depan cermin itu. Lalu dia mulai mengeluh, “Kau lihat, betapa jeleknya noda di pipi saya. (Ibrahim, 2003:9)
Believing that previously was respected due to her beauty, loosing her beauty equalled her to those disabled, deeming that her attractive nature had left her in despair with huge burden of being not beautiful. Beauty seems to be a primary category of how a woman is valued as she underwent a medical treatment for her cheek and persistently wished for a cosmetic surgery in case her medication failed. When her husband declined her need for the surgery, she was furious and initiated to find another man who desired and found that she was still beautiful. When this other man asked her to be his mistress she suddenly realised that she did not want to betray her marriage and decided to tell her husband honestly that her intention was merely to prove herself still beautiful even with a spot in her cheek. Her husband simply replied that it started out with a spot on her cheek. In the end of the story, the spot removal was not implemented, in fact she finally decided not to problematise it and
43
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 accepted as a mark on her body. Noda Pipi Seorang Perempuan is tactical as it brings the notion of woman’s body right to the centre of representation of women in the literary and cultural expressions in Indonesian tradition. In Ratna’s argument, woman’s beauty which is indeed much appreciated by women themselves, evidenced with the numerous circulations of women magazines mostly dictating women tips to be physically attractive and beautiful, is however problematic. The close association between woman and her body, and how she is valued and devalued in terms of her beauty reformulate what has been sustaining so long in a society where femininity should be articulated only through woman’s body. The body narrative in women’s literatures calls into question the necessarily “true” vision on valuing woman, at the same time it proposes the articulation of woman’s body through female narrative voices which aims to ascertain that woman’s body is not just woman’s own affairs. Woman’s body has became a battle field where politics of female positioning is debated and polemicised, and that woman’s body is never free from any interpretation, particularly from male vision attempting to dominate with his superior status. Even if the story ends with this woman valuing her body, such valuing results from male’s interfere, her other man. Her early rejection of her body is then negated by man’s acceptance. Here, it suggests that woman’s body can never radically escape from male gaze, signifying that woman is by and large identified under the man’s eyes. Nevertheless, the male gaze for her body does not rest and stop all together,
44
she returns such gaze by looking at her body and feeling that her burden has been lifted. Looking at her own body signals the gaze returned which commemorates her return in valuing female body. In other words, the woman’s identity operates in a circular motion of how woman devalues herself from male gaze from which she returns the gaze and enables herself to value her body. She then begins visible, turning herself from observed and passive object to active subject defining her ownership of the body. The main character in Noda Pipi remains nameless throughout the narrative. By not naming her main character, not determining a special individual Ratna seems to view that the problems of woman’s beauty might be applicable to all women, making it central to woman’s identity. The nameless woman has generated two dichotomised interpretations. On one hand, nameless woman involves a lacking of identity, of a personhood that is essential in any individual. On the other hand, this nameless woman transports her act from specific to general. This goes the same with the husband who also remains nameless throughout the story. The parallelisation between the nameless husband and wife (of man and woman) acts progressively playing the gender politics of equality between nameless man and woman. Nevertheless, the relative absence of personhood of common women in every day life story must be critically signalled as it may embody attempts of dominating authority to simply erase these woman’s voices from the historical documentations in both forms of fictional writing and non
Politics and Social Representation in Literatures ...
fictional writings. Rambutnya Juminten (Juminten’s hair) as Noda Pipi also centralises on the politics of woman’s body. Ratna herself admits that this story was created as a result of patriarchal ideology imposing a husband’s authority on his wife’s body, her hair for this matter.(Ibrahim, 2002) The story recalls how Juminten must submit her wish to model her hair under her husband’s command. Panuwun, Juminten’s husband, never ceased to remind her that she beautified herself for her husband only. At first Juminten wanted to have her hair cut for easier care but Panuwun declined her request saying that with long hair she would look like Nawang Wulan, a beautiful goddess. Despite her allergy to the shampoo Panuwun gave her, and showing her loyalty to Panuwun, Juminten persisted to grow her hair. The long hair Juminten was seen to be more beautiful that she attracked Nardi, the son of Panuwun’s employer. Caught in jealousy, Panuwun limited Juminten to only domestic presence, she was prohibited to leave their house without her husband’s escort, even to join female congregation of Qur’anic reading and reciting (pengajian). This raised pros and cons on Panuwun’s decision. Some villagers supported his prohibition while others deemed that Panuwun oppressed his wife. Believing that it was all because of her hair, despite her protest, Panuwun finally ordered Juminten to have her hair cut very short. An Indonesian proverb says that hair is a woman’s crown. This, by and large, places woman’s body central to female’s identity that dialogically woman’s subjectivity and the body are parcelled
and policed through discursive system that establish identity through the process of relationship between a part of the body and assigned cultural meaning in the body politics. Hair representing the body becomes a fragmented agent in determining the sexual identification, strongly suggesting that the body parts must implement specific functions and be situated in appropriate places to be considered normal. This what Judith Butler calls as the “integrity” and “unity” of the body. Drawing her reading from Monique Wittiq’s theory on sex and gender, Butler posits that “numerous features [of the body] gain social meaning and unification through their articulation within the category of sex [consequently] “integrity” and “unity” of the body, often thought to be positive ideals, serve the purposes of fragmentation, restriction and domination.”(Butler, 1990: 114-115) As a part of her body, Juminten has no right over her hair. She must relinquish her ownership and is subjected to her husband’s order. The cultural meaning assigned to this material body part pervades the body politics through the metaphorisation of the social through the body. Hair then signifies fragmentation, restriction and domination at the same time. Because of this part of the body, Juminten is confined not to expose it to public admiration. Public act of brazen stare to Juminten’s hair showing admiration must certainly be prohibited and declared to be a breach of refined manners. As this was caused by Juminten’s hair, placing the blame on Juminten alone is necessary. The problematic body part in the story stimulates subject position and narrative
45
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 paradigm in which the contemporary women take up the body through literary practices. The body story, for the author, the character and the reader, functions simultaneously as a personal and political, psychological and ideological boundary of meaning, a subjected agency through which identity and objectification emerge. The corporeal body is turned into a cultural “body” in which oppressive cultural identification is clearly visible and articulated. This short story is indeed interesting as the author illustrates the repression and the marginalisation of the female body by unfolding the power of domination and directly scrutinising the body and its cultural meanings. In so doing, this particular story is in itself a cultural critique to the patriarchal hegemony and at the same time creating an awareness of the relationship between a specific body to the cultural “body” and the body politics. Delimitation and Definition of Female Identity Lebur (melted)(Ratna,2002) engages the story of Liana who had to accept a man’s marriage proposal against her wish. This story is not in comparable to Siti Nurbaya’s force marriage. Eventually Liana would accept Jono’s proposal but the timing was not right. She was not ready for marriage as she preferred to have a job of her own which enabled her to finance the education of her younger siblings. As the eldest child, her mother – her father deceased – relied heavily on her to help financing her siblings’ education. This is typical in Indonesian values: the eldest child culturally has more responsibility in
46
helping the family’s financial sources. As she failed to have a job, Liana had no choice but to accept Jono’s proposal for Jono had promised her and her mother to finance her siblings’ education. Here, economic hardship becomes central in defining female identity. Liana must surrender her own wish and submit to the family’s interest, never her own. Jono’s wealth and Liana’s poverty is juxtaposed to give readers clear distinction that the politics of economy is closely intertwined in shaping female subjectivity and identity. Liana was, by no means, unconscious of her situation. She understood that her life was similar to Cinderella story which she objected. Having no intention of becoming a victim of Cinderella complex, she still was incapable in reacting against economic positioning. Liana then exchanged her freedom with economic position, and most importantly being a “true” woman who was expected to sacrifice her own will. Her identity has already been fixed and delimited; martyrdom is a female affair. The value of this story lies in its ability to explore subtly the cultural norms which largely delimit female space without blatantly attacking on such oppression. The author concurrently informs readers of the marginality and exploitations endured by Muslim women. Bunga Mentega (a flower name)(Ratna, 2002) is yet another restriction of female space and freedom. The story narrates about Rusmini, a junior high school teacher who has to give up her dream of becoming a flight attendant due to her sex. In this story, public and domestic space is sharply divided. Only men can occupy public space while
Politics and Social Representation in Literatures ...
women domestic. By cultural norms and sex, Rusmini had abandoned her yearning to “see the world” and it was her who had to reside in domestic world and took care of her ill mother and not her brother who was given opportunities to “see the world.” Adventure is not woman’s world, only man can travel and be adventurous. Female domestic and male public is natural division. If Rusmini is confined into solely domestic world, her brother Rahman is given vast opportunity to live the outside world. He decided to quit his university study so he could see the world. “Seorang laki-laki harus melihat dunia dulu sebelum menikah,”(Ratna, 2002: 42) their mother replied when Rahman told her his desire. But when Rusmini mentioned the same thing as her application to be a flight attendant was accepted, her mother and all family members simply said, “Kau sebaiknya menjadi guru dan menemani Ibumu di rumah. Kalau kau dan adikmu kepingin keliling dunia, dengan siapa Ibumu tinggal?”(Ratna, 2002: 43) For Rusmini her identity has already been fixed and sealed that she soon was to get married with Hadi her boyfriend or Yusuf, her suitor. For woman, marriage is their final goal, and only through it in the eyes of cultural norms she rests firmly her identification. It is culturally determined that as a daughter Rusmine must attend the domestic world, caring for the elderly, experiencing the strict confinement of women in society because she is a woman. Rusmini’s restriction to live outside domestic world functions both sign and proof of the culture’s devaluation of women.
It is indeed interesting that the author uses “the female job” in juxtaposing the strict dichotomy between domestic and public sphere. Flight attendance is largely regarded as woman’s job as it mainly provides services and cares which are closely associated with female world. Therein, it shows that the author attempts to indicate that to a certain degree women are essentialised with women’s culture and constructed world of domesticity. She critically accommodates what society has placed women even in different spheres, that the subject status of women embodies tactical reintepellations of dominant patriarchal ideologies, and that the sharp division between women’s and men’s sphere becomes powerful ways of expelling patriarchal transcriptions. Within the delimitation of women’s identity, one discursive practice contributing to such delimitation is the limited freedom given for women. If men are supported to extend their private territorial boundaries, women are discouraged. If freedom is associated with men, women are restriction. Women are more or less defined limitedly as wives, mothers and bearers of future citizens rather than in terms of their social roles that portray them as full social beings endowed with autonomy, social control, and prestige in their own right. Women’s freedom often becomes social baggage only situated at home, constructing femaleness that is consciously forged by ideologies that women are moral guardians, domestic managers whose roles are only meaningful through domesticity. Freedom is certainly a contested arena, strongly administered to ensure that it will not contradict women’s
47
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 domesticity. Conclusion In Ratna’s narratives, women function as objects inherited from a society that says women matter less than men do, a society that think women barely belong to in the culture that defines them at best marginal and silent members of a house called domesticity. Raising critical issues on how women are subjugated and objects of domination, Ratna is productive is capturing a vision of art and of imbalanced social relations. Yet, Ratna’s women are not all submissive; those who have been denied their rights are also responsive to injustices they experience. In so doing, the author acknowledges the existence and struggle of women, especially those of under privilege conditions. Ratna has indeed created “feminist novels”, opening up silence and providing room for expression. Her works, in ethical and moral position, consist of didactic element related to the project of cultural transformation, of establishing new values which underline justice and equality. She is revisionist mythmakers, refusing to keep being silent by replacing heroes with heroines, and revising stories of grand heroic figures with stories of ordinary women. Female survival may be found in the different ways in which women have responded to their historical situations, and indeed these authors celebrate such survival in anyway at all cost.
DAFTAR PUSTAKA Althusser, 1988,‘Ideology and State Apparatuses,’ quoted in Janet Todd, Feminist Literary History A Def e nce , Pol i t y P res s , Cambridge and Oxford, . Belsey, Catherine and Jane Moore,1989, ‘Introduction: The Story So Far,’ The Feminist Reader Essays in Gender and the Politics of Literary Criticism, ed. Catherine Belsey and Jane Moore, Macmillan Education, Ltd., London, . Butler, Judith, 1990,Gender Trouble Feminism and The Subversion of Identity, Routledge, New York London, . de Beauvoir, Simone, 1953,The Second Sex, trans. and ed. H.M. Parshley, Jonathan Cape, London, . Cornillon, Susan K,1973, Images of Women in Fiction, Rev. ed., Bowling Green University Popular Press, Bowling Green, Ohio. Fetterley, Judith, 1978, ‘Introduction on the Politics of Literature,’ The Resisting Reader A Feminist Approach to American Fiction, Indiana University Press, Bloomington. Ibrahim, Ratna Indraswari, Sastra Dan Gerakan Perempuan, unpublished manuscript, paper presented on a seminar held by
48
Politics and Social Representation in Literatures ...
Jawa Pos, April 19, 2003 in Graha Pena Surabaya. Ibrahim, Ratna Indraswari, ‘Bunga Mentega’. Aminah di Satu Hari, Galang Press, Yogyakarta, 2002. Ibrahim, Ratna Indraswari, 2002, ‘Lebur’. Aminah Di Satu Hari, Galang Press, Yogyakarta. Ibrahim, Ratna Indraswari, 2002, ‘Bunga Mentega’. Aminah Di Satu Hari, Galang Press, Yogyakarta. Ibrahim, Ratna Indraswari, ‘Noda Pipi Seorang Perempuan’. Noda Pipi Seorang Perempuan. Ibrahim, Ratna Indraswari, 2002, ‘Rambutnya Juminten’. Lakon Di Kota Kecil, Penerbit Jendela, Yogyakarta. Lara, Maria Pia, 1998, Feminist Narratives in the Public Sphere, Polity Press. Robbins, Ruth, 2000, Literary Feminisms, MacMillan Press, London. Subiantoro, Eko Bambang, 2002, ‘Ratna Indraswari Ibrahim; Menulis Cerpen Mengabarkan Kenyataan,’ Jurnal Perempuan No. 23. Todd, Janet, 1988, Feminist Literary History A Defence, Polity Press, Cambridge and Oxford. Interview with Ratna Indraswari Ibrahim, 20 July 2004, Malang, Jawa Timur, Indonesia..
49
KORELASI ANTARA PENGGUNAAN MULTI MEDIA KOMPUTER DENGAN PENINGKATAN SKOR TOEFL PESERTA SELF ACCESS UNAIR Edi Dwi Riyanto*) Abstract This article is about the correlation between multimedia computer usage and toefl score improvement among Self Access member at UNAIR. 44 students were treated using multimedia computer and then tested using toefl. The students were suggested to use multimedia computer as facitilites available at Self Access. The toefl tests are conducted three time, pre, mid, and post test. Using one way Anava analysis, the result shows a positive corelation between the length of multimedia computer usage and the toefl score in which the longer the usage the higher the score. Keyword: multimedia computer, toefl score
Latar Belakang Pada dekade sekarang ini, berbagai sarana pembelajaran bahasa Inggris telah dipakai untuk meningkatkan keberhasilan proses pembelajaran bahasa Inggris baik kepada anak usia dini, bahkan balita, remaja dan orang tua. Yang paling sederhana adalah buku bergambar atau yang biasa dikenal dengan dictionary picture . Buku bergambar memberi gambaran secara visual menunjukkan kosakata bahasa Inggris dalam buku tersebut. Namun bentuk ini memiliki kelemahan secara audio, karena pemberian rangsang pendengaran kurang peka. Untuk mengatasi hal ini , berkembanglah model audio dengan cassette recorder. Namun model kedua ini memiliki kelemahan dalam aspek visual. Penampakan objek tidak ada sehingga bentuk dari benda yang disebutkan tidak tergambar secara nyata. Perkembangan teknologi telah menutupi kelemahan yang ada, yaitu pengajaran bahasa melalui VCD atau
*)
media televisi. Melalui model ini diharapkan kelemahan pada media sebelumnya dapat diatasi selain penyajiannya yang tidak menimbulkan kebosanan pada peserta belajar. Perkembangan teknologi yang bisa dikatakan paling mutakhir adalah komputer multimedia. Komputer ini memiliki berbagai macam kemampuan media dalam satu perangkat yang meliputi audio dan video. Sehingga komputer multimedia bisa dipakai untuk mendengarkan ucapan-ucapan yang baik dan benar serta dapat melihat dan membaca teks maupun konteksnya. Lebih dari itu multimedia memungkinkan dilakukannya ‘interaksi maya’ antara komputer dengan peserta. Sifat interaktif ini memungkinkan keaktifan peserta sesuai dengan keadaan dan kemampuannya dan kemudian mendapatkan respon yang bisa langsung dilakukan oleh komputer. Respon ini bisa berupa pemberian ‘punishment’ kalau salah atau pun ‘reward’ kalau benar.
Departemen Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Airlangga, 031-5035676
50
Korelasi antara Penggunaan Multimedia ...
Karena tidak melibatkan orang lain sama sekali, maka ‘punishment’ yang sangat jelek sekali pun tidak perlu membuat malu peserta. Internet juga sesungguhnya merupakan sumber dan sarana belajar yang luar biasa besar dan bermanfaat bagi mahasiswa. Di internet terdapat informasi mengenai hampir semua hal. Namun demikian menghadirkan komputer multimedia dan internet dalam kerangka pembelajaran tidaklah mudah. Ada masalah-masalah yang kemungkinan besar muncul. Pertama dan pasti adalah pembiayaan. Yang kedua adalah struktur informasi di internet maupun pada komputer multimedia perlu diselaraskan dengan tujuan-tujuan pembelajaran itu sendiri. Masalah lain adalah kemandirian peserta; serta berbagai masalah yang bisa saja muncul ketika sedang berlangsungnya proses pembelajaran melalui komputer multimedia dan internet ini. Masalah-masalah tersebut di atas juga bisa diperkirakan akan muncul ketika Self Access Center di Unair yang menghadirkan sejumlah multimedia komputer yang diharapkan akan membawa peningkatan intensitas proses pembelajaran bahasa Inggris bagi mahasiswa Unair. Harapan selanjutnya adalah pada giliranya nanti kemampuan bahasa Inggris mahasiswa Unair juga meningkat. Bagaimanapun juga kedua hal di atas adalah harapan yang perlu diuji paling tidak oleh potensi masalah yang tertulis di depan. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk mengadakan kajian secara khusus mengenai kedua hal tersebut yaitu antara harapan peningkatan intensitas dan harapan peningkatan kemampuan bahasa
Inggris mahasiswa yang disebabkan oleh keberadaan komputer multimedia dan internet. Namun masih ada satu masalah mendasar dari korelasi tersebut, yaitu alat ukur. Seperti sering disebutkan bahwa salah satu masalah utama dari sebuah proses adalah pengukuranya. Adakah cara terbaik untuk bisa mengukur keberhasilan sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris? Bagaimana caranya bisa diyakinkan bahwa kenaikan skor tertentu disebabkan oleh faktor tertentu? Berbagai test kemampuan bahasa Inggris yang tersedia antara lain adalah IELTS, TOEIC, dan TOEFL. Sementara itu bisa dikatakan bahwa TOEFL (Test of English as a Foreign Language) lebih bersifat universal secara internasional. Test ini juga mengukur kemampuan bahasa Inggris dari berbagai aspek ketrampilan misalnya mendengar, tata bahasa dan membaca. Kadang-kadang TOEFL juga dilengkapi dengan test tulis. Sampai saat ini TOEFL dianggap sebagai salah satu alat ukur bahasa Inggris terbaik. Seperti kita ketahui test ini dipakai sebagai standar penerimaan mahasiswa di graduate maupun post graduate hampir semua perguruan tinggi di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan lainnya. Sejak tahun ajaran 2002/2003 ini Universitas Airlangga telah mewajibkan seluruh mahasiswa barunya untuk mengikuti test TOEFL sebagai bagian dari proses registrasi. Keputusan ini sempat mengundang berbagai pertanyaan yang kritis maupun bersifat protes. Hal ini terutama disebabkan karena beberapa sebab antara lain: (1) keputusan ini baru pertama kali dilakukan sehingga pihak
51
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 penyelenggara maupun pihak lain yang terkait juga masih meraba-raba apa yang akan terjadi pada pelaksananaan nanti, (2) keputusan ini terkesan mendadak, terutama bagi peserta, (3) peserta harus menanggung biaya tambahan untuk proses registrasi mereka, dan (4) test ini masih dikira sebagai bagian dari seleksi masuk sehingga banyak peserta atau orang tua mereka yang khawatir tentang kelulusan test TOEFL ini. Pada akhirnya test TOEFL berjalan dengan lancar dan sangat baik. Hampir semua pihak merasa puas. Permasalahan berikut muncul antara lain ketika para mahasiswa yang merasa perlu meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya tidak bisa mengikuti kursus konvensional. Jumlah mereka sangat bes a r d i ba ndin g denga n jum l a h mahasiswa yangmempunyai waktu serta dana untuk mengikuti kursus baik di dalam kampus Unair maupun di luar. Alternatif utama pemecahan ini adalah penyediaan Self Access. Salah satu bagian penting dari layanan ini adalah penyediaan multimedia komputer sebagai sarana bantu belajar. Berkaitan dengan itu perlu kiranya diadakan penelitian mengenai efektifitas manfaat komputer multimedia bagi peningkatan skor toefl. Oleh karena itu peneliti mengajukan topik penelitian kali ini berupa hubungan antara penggunaan multeimedia komputer dengan peningkatan skor toefl peserta self access. Masalah yang diteliti adalah apakah penggunaan komputer multimedia bisa mempengaruhi peningkatan skor TOEFL anggota Self Access Unair. Secara khusus masalah yang akan diteliti meliputi peningkatan pada skor TOEFL, berapa
52
lama anggota Self Access Unair menggunakan komputer multimedia, dan program-program apa saja yang dimanfaatkan mereka. Aspek Komunikasi versus Aspek Pengukuran Belakangan diketahui bahwa belajar bahasa Inggris harus menekankan pada aspek komunikasi. Tujuannya adalah mengasah kemampuan komunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Sehingga kemampuan berkomunikasi akan langsung meningkat pada murid. Maka pendekatan komunikatif perlu diterapkan. Berbagai buku sudah diterbitkan menyangkut hal ini. Contoh penting adalah Literature in the Language Classroom (Collie dan Slater, 1987) yang menekankan pada pemanfaatan karya sastra dalam pengajaran Bahasa Inggris dan The Web of Words (Carter dan Long, 1987) yang mengambil sudut pandang linguistik (dalam Elisabeth B. Ibsen 1995). Selain dari itu, minat memegang peranan penting dalam keberhasilan belajar seseorang. Berbagai buku mutakhir tent ang teknik belajar menekankan pada aspek kesiapan mental yang menyebutkan bahwa sisi afeksi atau emosi sangat menentukan keberhasilan belajar, secara sempit, atau keberhasilan hidup secara luas. Teori seperti Quantum Learning mendukung hal itu. Gordon Dryden dan Jeannette Vost dalam bukunya Revolusi Belajar (1999) sangat menekankan aspek “fun” atau unsur kesenangan dalam belajar. Bagi mereka, tanpa rasa senang maka keberhasilan belajar akan minimal. Dengan demikian permainan juga bisa digunakan untuk alat pendidikan karena permainan bisa memberikan rasa kepuasan, kegembiraan,
Korelasi antara Penggunaan Multimedia ...
dan kebahagiaan kepada diri peserta didik. (Kartono, Kartini, Psikologi Anak. Hal. 117-122). Aspek komunikatif dan menyenangkan semakin mendapat tempat dengan adanya teknologi multimedia dan internet. Richard I. Arends dalam bukunga Learning to Teach ( 2001: 85) mengatakan bahwa sebagian besar guru yang menggunakan teknologi di dalam proses belajar mengajar mendapat peningkatkan aspek motivasi dalam hal pemakaian komputer dan internet. Dengan menggunakan simulasi komputer dan website yang kreatif maka para siswa tertantang untuk terus menerus belajar seraya meningkat ke tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Dibagian lain Arends mengatakan bahwa komputer multimedia juga bisa membuat presentasi jauh lebih menarik; misalnya dengan menggunakan software Powerpoint, ClarisWorks, atau Persuasion. Teknologi ini bisa membantu guru dan siswa dalam membuat ilustrasi dan menampilkan laporan, cerita, maupun kegiatan-kegiatannya. (2001: 253). Secara khusus Arends menegaskan bahwa internet bisa sangat membantu proses pembelajaran dengan pengawasan tertentu (2001:361). Bahkan internet juga memungkinkan adanya proses pembelajaran secara online dengan cara masuk terlibat ke “chat room” atau forumforum diskusi lainnya. (2001:393). Komputer multimedia dan internet yang secara khusus diperuntukkan bagi pembelajaran bahasa bisa disediakan di Self Access Center. Di dalam Self Access ini lingkungan luas di luar kelas yang beragam dan bisa menjadi pendukung atau penghambat proses belajar dipilih
dan dihadirkan secara ‘mini’di dalam satu ruangan atau satu gedung. Keterbatasan ruang kelas bisa sangat terbantu dengan adanya fasilitas ini. David Nunan mengatakan bahwa tidak semua hal bisa diajarkan di dalam ruang kelas (Nunan 1988a:3 dalam Harmer 2001 : 335). Untuk mengurangi dampak dari keterbatasan kelas ini maka siswa harus mampu mengembangkan strategi belajar mandiri. Di dalam melaksanakan belajar mandiri ini siswa memerlukan Self Access Center yang, bagi Harmer sudah bukan hanya melengkapi ruang kelas tetapi bahkan bisa menjadi penggantinya (2001 : 340). Ketersediaan komputer multimedia di dalam ruang ini saat ini sudah menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi mengingat manfaat dan kegunaannya sedemikian besar. Namun peluang yang begitu besar untuk meningkatkan efektifitas proses pem-belajaran dengan memanfaatkan teknologi tidak bisa dengan mudah diterapkan terutama untuk kasus Self Access Unair ini. Masalah pertama adalah sifat Self Access yang menuntut kemandirian para peserta. Secara umum bisa dirujuk sebuah penelitian yang dilakukan oleh Marie-Christine Press sebagai bagian dari disertasi M.A.nya. Press mencoba menghubungkan antara umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan etnis dengan tingkat kemandirian dalam belajar. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa para siswa yang berasal dari Asia yang meliputi antara lain Pakistan, India, Cina dan Jepang mempunyai tingkat kemandirian yang paling rendah. (Phil Benson, 2001 : 193-197). Ketidakmandirian ini sedikit banyak terkait dengan latarbelakang
53
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 budaya komunal orangAsia. Kemandirian orang Asia yang relatif rendah ini bisa saja membuat penyediaan sarana belajar mandiri menjadi tidak terlalu efektif. Kenyamanan ruang, kelengkapan koleksi dan sarana belajar serta tersedianya teknologi canggih di suatu self access terasa menjadi sia-sia dikarenakan kebutuhan peserta akan ‘instruktur’ masih tinggi. Lalu muncul pertanyaan apakah sebenarnya self access dengan berbagai macam fasilitasnya bisa benar-benar meningkatkan kemampuan para peserta yang ‘seharusnya’ belajar mandiri. Mas alah yang bisa diaj ukan kemudian adalah bagaimana cara pengukuran keberhasilan itu. Di sini ada kontradiksi yang sangat menonjol mengenai pengukuran yaitu bahwa dalam prinsip belajar mandiri seharusnya sasaran, tujuan, maupun hasil akhir proses belajar ditentukan dan diukur secara mandiri oleh peserta. Tetapi untuk tujuantujuan penelitian (dalam kasus ini) tujuan, sasaran, dan standar proses belajar ditentukan peneliti yaitu skor TOEFL. Satu hal mendasar dalam pengukuran kemampuan bahasa yang sangat sulit dipenuhi adalah pengukuran yang sesuai d e n ga n p r o gr a m p e l a t i h a n a t a u pengajaran yang telah diberikan. (Beretta, 1986). Beretta lebih lanjut menjelaskan bahwa pengukuran terstandar yang diberikan memang sangat perlu dan membantu skoring bisa diterima oleh banyak orang di banyak tempat, tetapi secara langsung hal ini seringkali bertentangan dengan kondisi khusus program yang telah atau akan diberikan. Bahkan Arthur Hughes mengatakan bahwa seringkali test atau pengukuran
54
yang dilakukan mempunyai dampak negatif atau merusak terhadap proses belajar mengajar dan gagal mengukur secara tepat apa-apa yang ingin di ukur. Sebuah kurikulum yang berisi proses pembelajaran bahasa tidak bisa disebut kurikulum tanpa adanya evaluasi untuk mengukur keberhasilan program yang telah dilaksanakan sekaligus menjadi acuan untuk merancang program selanjutnya. David Nunan dalam bukunya The Learner-Centred Curriculum; A Study in Second Language Teaching (1988) menjelaskan bahwa pengukuran bisa bersifat mikro dan makro. Pengukuran mikro dilakukan di dalam kelas. Sedangkan pengukuran makro bisa besifat nasional bahkan internasional. Resiko ketimpangan pada program pengukuran makro mungkin saja terjadi, tetapi pada saat tertentu hal ini harus dilakukan. B a ga i m a na pu n v al i di t a s d an reliabilitas pengukuran mikro sering terlalu berbeda dari satu kelas ke kelas lain. Pengukuran yang bersifat makro lebih memungkinkan dalam menjaga kedua hal tersebut yang oleh Nahla Nola Bacha dalam Testing Writing in the EFL Classrom (dalam jurnal English Teaching Forum, April 2002) sebagai unsur-unsur yang sangat vital bagi suatu test atau pengukuran. Untuk kedua hal ini maka TOEFL bisa dikatakan cukup memenuhi syarat bila dilihat dari dua sisi: (1) klaim ETS (Educational Testing Service) sebagai ‘pemilik’ TOEFL dan (2) pengguna. Dari brosur resmi yang diterbitkan oleh Educational Testing Service , Univesitas Princeton, (1999) disebutkan bahwa tujuan test TOEFL adalah untuk
Korelasi antara Penggunaan Multimedia ...
mengukur kemampuan mengenali bahasa Inggris standar; baik mendengarkan, tatabahasa, membaca, maupun menulis. Yang dimaksud dengan standar di sini adalah bahasa Inggris yang dipakai di benua Amerika bagian utara yang meliputi Amerika Serikat dan Kanada; jadi bukan bahasa Inggris Australia atau Kerajaan Inggris, apalagi bahasa Inggris Singapura atau Hong Kong. Dari sisi pengguna di Amerika dan Kanada sendiri terdapat 2.400 perguruan tinggi yang mensyaratkan TOEFL (ETS. 1999). Michael Thompson dalam Jurnal English Teaching Forum (Juli, 2001) menambahkan bahwa dua universitas di Milan, Italia, sekarang ini juga sudah mewajibkan TOEFL bagi mahasiswanya. Di Indonesia sendiri pemakaian TOEFL untuk program pascasarjana sudah lama diterapkan seperti di UI, UGM, UNAIR dan lainnya. Bahkan di sejumlah perguruan tinggi, seperti ITS misalnya, sudah mensyaratkan TOEFL bagi mahasiswa S-1-nya. UNAIR baru memulai program itu tahun ajaran 2002/2003 ini. Bagi lulusan S-1 yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Amerika, Inggris, Australia, dan lainnya bisa melampirkan skor TOEFL sebagai bukti awal tingkat kemampuan bahasa Inggris mereka. Saat ini bahkan TOEFL sudah merambah ke dunia nonakademik, yaitu profesional. Pada berbagai lowongan pekerjaan nampak jelas mereka meminta skor TOEFL tertentu. Validitas dan reliabilitas test TOEFL sudah diakusi secara luas. Rektor UNAIR sudah memutuskan untuk mengadakan test TOEFL bagi mahasiswanya. Masalahnya sekarang
a dal ah k et i ka m aha s i s wa Una i r mempunyai keinginan belajar meningkatkan skor TOEFLnya, apakah sarana yang disediakan Unair cukup memadai, efektif, dan terjangkau? Penelitian ini hanya dimaksudkan untuk melihat salah satu dari ketiga aspek tadi, yaitu aspek efektifitas salah satu saranyanya,dalam hal ini komputer multimedianya. Hubungan Keduanya TOEFL test dilakukan secara berulang sebanyak tiga kali dengan jangka waktu yang berbeda. Data dari tes pertama diambil dari data tes TOEFL sampel ketika mereka berada di semester I (Pretest), yaitu sekitar September 2002. Tes kedua (Midtest) dilakukan pada 23 September 2004 dan tes ketiga (Posttest) pada 7 Oktober 2004. Antara tes kedua dan ketiga diisi kegiatan pembelajaran bahasa Inggris oleh sampel dengan memanfaatkan sarana yang terdapat di SelfAccess. Dari sebanyak 52 mahasiswa, beberapa gugur di tengah jalannya penelitian sehingga pada akhir penelitian hanya 44 mahasiswa saja yang dapat dianalisis hasilnya. Data hasil tes tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis varians satu jalur (AnavaA). Berdasarkan hasil analisis varians, secara umum dapat dikatakan bahwa lama belajar dan media belajar yang digunakan mahasiswa diikuti dengan peningkatan nilai TOEFL secara signifikan. Hal ini berarti bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi “Lama dan cara penggunaan komputer multimedia meningkatkan skor TOEFL anggota Self Access Unair” terbukti dengan nilai F test sebesar 28.215 (p< 0.01) (dengan Anava satu jalur). Hasil deskriptif menunjukkan bahwa nilai
55
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 tengah akhir (midtest) memiliki rata-rata yang lebih baik dari tes-tes yang lain. Kesimpulan ini juga didukung oleh data deskriptif yang menunjukkan bahwa sampel penelitian yang memiliki nilai TO E F L t i n g g i ( k e l o m p o k a t a s ) menggunakan waktu belajar yang lebih lama dan lebih banyak menggunakan media komputer dan internet jika dibandingkan dengan sampel penelitian yang memiliki nilai TOEFL rendah (kelompok bawah). Namun demikian, berdasarkan data deskriptif saja tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa faktor lama belajar dan media yang digunakan berpengaruh langsung terhadap nilai TOEFL. Dari hasil analisis regresi terhadap masing-masing section tes TOEFL terhadap nilai post test menunjukkan bahwa nilai post test TOEFL lebih banyak berasal dari section 2 (dari sumbangan relatif section 2 (grammar) sebesar 42.825 % dibandingkan dengan section 1 sebesar 31.651 % dan section 3 sebesar 25.523 %). Namun peningkatan nilai menunjukkan bahwa peningkatan terbesar berasal dari section 3 (reading), yaitu dari rata-rata 50.5682 pada midtest menjadi 53.7500 pada posttest (Tabel 1), sedangkan section 1 dan 2 justru mengalami penurunan. Jika dibandingkan dari hasil data gaya belajar, kebiasaan membaca buku memberikan kontribusi cukup besar terhadap peningkatan kemampuan reading (baca buku: 84% pada kelompok atas dan 100% pada kelompok bawah). Dari hasil dan pembahasan di atas secara teoretis bisa dikatakan di sini bahwa komputer multimedia membantu peningkatan perolehan hasil belajar. Hal
56
ini sesuai dengan pendapat Richard I. Arends dalam Learning to Teach yang menyatakan bahwa pemakaian komputer multimedia di kelas terbukti meningkatkan aspek motivasi siswa (2001: 235). Sedangkan kelebihan lain adalah komputer multimedia tidak terlalu membutuhkan ruang yang terlalu besar, kalau pun harus diadakan di luar kelas. Sementara kapasitas komputer multimedia yang sangat besar, apalagi yang sudah tersambung ke jaringan internet, bisa memenuhi banyak hal yang dikatakan oleh David Nunan sebagai tidak bisa diajarkan di dalam ruang kelas (dalam Harmer 2001: 335). Lama peserta menggunakan komputer multimedia kelompok bawah berbeda dari kelompok atas. Kelompok bawah hanya menggunakan komputer rata-rata 4.04 jam per minggu, sedangkan kelompok atas menggunakannya selama 7.65 jam / minggu. Sedangkan pertanyaan ketiga dalam perumusan masalah berupa “programprogram apa saja yang dimanfaatkan peserta” tidak bisa dijawab. Hal ini disebabkan oleh karena sampai dengan laporan ini disusun pengadaan multimedia komputer yang dijadwalkan dalam program SP-4 untuk bisa direalisasikan pada bulan Juli belum terlaksana. Pendeknya, komputer belum tersedia di SelfAccess. Kesimpulan Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan didapat kesimpulan sebagai berikut: Pertama,terdapat peningkatan skor pada peserta. Kelompok atas mengalami kenaikan dari Pre test ke Mid test dan dari Mid test ke Post test. Kelompok bawah
Korelasi antara Penggunaan Multimedia ...
mengalami kenaikan dari Pre test ke Mid test tetapi mengalami penurunan dari Mid test ke Post test. Kedua, kelompok atas lebih lama memanfaatkan komputer multimedia dibanding dengan kelompok bawah. Ketiga, karena kendala teknis, pertanyaan tentang program yang dipakai peserta tidak bisa dijawab.
DAFTAR PUSTAKA Arends, I. Richard. 2001. Learning to th Teach. 5 edition. New York. McGraw-Hill.
Cambridge University Press. Ibsen, Elizabeth H. 1998. “The Double Role of Fiction in Foreign Language Learning: towards a Creative Methodology” dalam Creative Training: a user’s guide. Quezon City.Philippine. Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Perkembangan. Jakarta. Erlangga. Nunan, David. 1988. The Learner Centered Curriculum. New York. Cambridge University Press.
Benson, Phil. 2001. Teaching and Res earching Autonomy i n Language Learning. Pearson Education Limited, England. Dryden, Gordon dan Jeannete Vost. 1999. (terjemahan) Revolusi Belajar Belajar akan Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan “Fun”. Kaifa. Bandung. Hadi, Sutrisno. 1996. Statistik 2; Cetakan XVI. Yogyakarta.Andi Offset. Hadinoto,S.R. dkk. 1999. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching . England. Longman. Hughes, Arthur. 1989. Testing for Language Teachers. Cambridge.
57
MENGGAGAS HISTORIOGRAFI (INDONESIA) YANG DEMOKRATIS Purnawan Basundoro Abstract
Largery people view history submissive to its creator. This condition often traps history to the complicated reality because it is frequently used as a justification for the authority. in this situation history shows its tyranny and to be very undemocratic. recentlym there is a movement in the society to democratize the history. in other words, the history, which tends to take side to power, must be deconstructed in order to be closer to the reality of the common people. This article is intended to discuss the effort that need to be done so that the history can be more democratic and to be able to express reality as the way it is. Kata kunci: historiografi, demokratis, Indonesia sentris
Ak h i r- akh i r i ni di k al a nga n sejarawan beredar wacana tentang pentingnya mendemokrasikan sejarah atau historiografi. Wacana tersebut tentu saja didasari asumsi atau pemikiran bahwa historiografi yang berkembang saat ini adalah historiografi yang tidak demokratis. Oleh karena itu perlu dipertanyakan ramai-ramai agar lebih jelas maksudnya. Apa yang dimaksud dengan historiografi yang demokratis? Apakah yang dimaksud demokratis di sini sama maknanya dengan demokrasi dalam sebuah sistem politik, yaitu sebuah sistem di mana segala hal yang berlaku di dalamnya harus melibatkan anggota sistem? Kita mengenal jargon demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebuah jargon yang tidak pernah bisa dibuktikan efektifitasnya dimana pun di belahan bumi ini, karena pada kenyataannya dalam sistem politik mana pun siapa yang paling menguasai sumber daya maka dialah yang ditakdirkan paling *)
berkuasa. Amerika Serikat selalu gembargembor agar sistem politik yang berlaku di dunia ini adalah sebuah sistem yang mayoritas didukung oleh rakyat (yang dimaknai sebagai sistem yang paling demokratis), tetapi ketika Hamas di Palestina memenangkan pemilihan umum, yang artinya didukung sepenuhnya oleh rakyat, Amerika Serikat seperti kebakaran jenggot. Buntutnya, semua bantuan yang tadinya disediakan oleh Amerika Serikat untuk Palestina dicabut. Bahkan Amerika Serikat juga mengompori negara donatur yang lain untuk mengikuti langkahnya. Dalam konteks ini demokrasi yang didengung-dengungkan dan dipuja-puja oleh Amerika Serikat bak harimau ompong yang paranoid. Historiografi Orang Besar Di setiap episode sejarah, biasanya orang besar merupakan aktor utama dalam panggung sejarah. Ketika sejarah pertama kali digagas oleh Herodotus maka yang pertama kali diangkat adalah perang
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UniversitasAirlangga, tlp 031-5035676 email:
[email protected]
58
Menggagas Historiografi (Indonesia) ...
Persia. The Histories yang berisi kisah tentang perang antara Yunani versus Persia merupakan karya pertama sejarah kritis yang ditulis oleh Homerus. Ia banyak me-wawancarai para jendral yang terlibat dalam peperangan tersebut, disamping ia sendiri adalah jendral yang juga terlibat dalam perang itu. Karena yang ia wawancarai adalah orang-orang besar yaitu para jendral, maka sejarah tentang perang antara Yunani dan persia tersebut pada hakekatnya juga sejarah orang-orang besar. Tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh Herodotus, Thucydides dalam karyanya History of the Peloponessian War juga lebih banyak mengungkap peranan para jendral dan kelompok militer dalam peperangan antara polis Athena dengan polis Sparta. Mereka adalah orang-orang besar yang berada di panggung sejarah pada zamannya. Tradisi penulisan sejarah pada periode selanjutnya juga masih tidak mampu untuk melepaskan diri dari keterlibatan tokoh politik, raja-raja, dan kelompok bangsawan lainnya dari perjalanan sejarah sebuah bangsa. Ketika terjadi revolusi Perancis pada abad ke-18 maka yang paling banyak diekspos dalam sejarah adalah kelompok borjuis, kaum militer, dan kaum bangsawan. Jarang disinggung misalnya bagaimana anakanak pada saat terjadinya revolusi tersebut, di mana kaum perempuan berada dan posisinya bagaimana dalam revolusi itu. Dalam tradisi penulisan sejarah, kelompok-kelompok kedua (the second class) selalu tidak jelas posisinya serta dianggap sebagai kelompok-kelompok yang tidak memiliki sejarah, tidak terlibat dalam menciptakan perubahan.
Perubahan adalah milik orang besar atau milik the first class. Dalam pandangan Suhartono, sejarah secara umum selalu menguntungkan pihak the rulling class atau the rulling government, sebaliknya wong cilik yang karena struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat menyebabkan mereka terpinggirkan ketika sejarah direkonstruksi. Dalam berbagai rekonstruksi sejarah posisi wong cilik lenyap “ditelan” orang-orang besar karena posisi mereka dianggap tidak penting. Mereka ibarat “gupak pulut ora mangan nangkane” (Pranoto; 2001:ix). Dengan posisi yang demikian maka benar apa yang dikatakan oleh Purwanto bahwa sebagian besar historiografi tidak pernah menampilkan rakyat secara maksimal dalam panggung sejarah. Hal ini terjadi karena sebagian besar historiografi masih berkutat pada sejarah politik daripada menampilkan historiografi sosial secara luas yang mampu menghadirkan rakyat secara utuh. Situasi yang demikian telah menyebabkan banyak orang baik sebagai individu maupun kelompok tidak memiliki sejarah atau dianggap tidak berhak memiliki sejarah, walaupun mereka semua memiliki masa lampau, sehingga muncul situasi atau ungkapanungkapan seperti rakyat tanpa sejarah, atau sejarah tanpa rakyat, perempuan tanpa sejarah, atau sejarah tanpa perempuan (Purwanto, 2006: xiv). Historiografi orang besar adalah historiografi yang elitis dan formal yang tidak memberi ruang pada keseharian, kemanusiaan, dan segala sesuatu yang terpinggirkan. Historiografi seperti ini sangat tidak demokratis karena biasanya
59
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 hanya memiliki interpretasi tunggal, yaitu interpretasi masa lalu oleh orang-orang besar. Seolah-olah merekalah aktor utama dalam panggung sejarah. Di Indonesia tradisi penulisan sejarah dengan orang besar sebagai aktor utama telah terjadi sejak lama dan belum terkikis habis hingga hari ini. Kalaupun orangorang kecil semisal petani miskin diungkap dalam historiografi, tetap saja keberadaan mereka sebenarnya tidak terlepas dari sejarah orang-orang besar. Berbagai risalah tentang kemiskinan dan kehidupan petani yang miskin pada abad ke-19 yang diakibatkan kebijakan sistem tanam paksa, konteksnya adalah sejarah kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (Jawa), yang merupakan kebijakan kaum elit. Dengan demikian alur sejarah orang kecil dalam konteks ini juga mengekor pada alur sejarah orang besar, yaitu para pembuat kebijakan di Jawa pada waktu itu. Bisa dilihat misalnya pada disertasi Surojo tentang kemiskinan yang melanda Kedu pada abad ke-19 yang diakibatkan oleh kebijakan Sistem Tanam Paksa yang sangat eksploitatif dan sangat memeras tenaga kerja kaum tani (Surojo, 2000). Apa yang diungkap oleh Surojo pada hakekatnya tetap saja sejarah orang besar, sejarah para pembuat kebijakan (yang merupakan kolusi antara pemerintah kolonial dengan pemerintahan tradisional setempat) yang berimbas pada orangorang kecil seperti petani. Padahal, dalam konteks ini sebenarnya petani memiliki sejarahnya sendiri yang bisa jadi terlepas dan tidak terkait dengan Sistem Tanam Paksa. Banyak sisi terang dari petani pada waktu itu yang tidak pernah diungkap. Banyak sejarawan yang terjebak
60
dalam kelatahan dan hanya mengekor tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya, yang cenderung menampilkan kaum elit. Hal ini tercermin pada periodisasi yang mereka buat dalam berbagai kajiannya. Suhartono misalnya memulai kajian untuk perubahan sosial di Surakarta pada tahun 1830, bersamaan dengan dimulainya kebijakan Sistem Tanam Paksa di Jawa (Pranoto, 1991). Apakah perubahan sosial baru bisa dimulai ketika eksploitasi terhadap masyarakat pribumi mulai dilakukan oleh pemerintah kolonial? Padahal jauh sebelum pemerintah kolonial memberlakukan Sistem Tanam Paksa, masyarakat pribumi telah mengalami berbagai tekanan yang diakibatkan oleh perilaku eksploitatif dari para penguasa pribumi dalam bentuk berbagai upeti dan kerja wajib lainnya. Di sisi yang lain, bukankah perubahan senantiasa terjadi setiap saat, yang berarti setiap saat pula perubahan sosial terusmenerus terjadi dan melibatkan rakyat pedesaan? Periodisasi yang dibuat oleh Suhartono adalah periodisasi sejarah orang besar di Jawa. Masih banyak contoh karya-karya sejarah yang jatuh pada pilihan-pilihan dengan mengikuti alur sejarah orang besar. Padahal masingmasing kelompok masyarakat, entah itu petani, kelompok-kelompok keagamaan, orang miskin, kaum perempuan, anakanak, maupun yang lain memiliki sejarahnya sendiri yang independen dan terlepas dari mainstream. Kita tidak harus ikut-ikutan memaksakan diri “memasang” alur sejarah orang besar pada sejarah yang memiliki alurnya sendiri.
Menggagas Historiografi (Indonesia) ...
Nasionalisme dan Penyeragaman Sejarah Kemerdekaan Indonesia ditandai oleh berdirinya negara yang disebut Indonesia, yang wilayahnya adalah daerah-daerah bekas jajahan kerajaan Belanda yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari bermacam-macam etnis di dalamnya. Negara yang demikian besar ini dan pernah me-rasakan perasaan senasib sepenanggung-an, ketika menjadi daerah jajahan memerlukan legitimasi berupa sejarah nasional. Yaitu sebuah sejarah yang bisa melukiskan situasi masa lalu yang “seolah-olah” mereka memiliki persamaan nasib. Dari sinilah maka lahir “Sejarah Nasional Indonesia” yang berisi cerita yang seragam untuk masing-masing wilayah dan masing-masing etnis. Sejarah yang seragam ini kemudian disebarluaskan. Semua murid-murid dari SD sampai SMA diberi bacaan sejarah yang sama di mana pun mereka berada dan dari etnis apa pun asal mereka. Muridmurid di Aceh terbingung-bingung ketika mereka membaca bahwa Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Padahal nenek moyang mereka baru merasakan benar-benar diperlakukan sebagai orang yang terjajah pada akhir abad ke-19, yang artinya tidak lebih dari 100 tahun sampai Indonesia merdeka. Tidak kalah bingungnya murid-murid di Indonesia Timur yang diberi bacaan yang sama dengan murid-murid di Aceh. Betulkah kita yang tinggal di Indonesia Timur telah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda? Kebingungan ini adalah dampak penyeragaman sejarah dengan dali h unt uk m enumbuhkan j iwa nasionalisme.
Menumbuhkan rasa nasionalisme bagi sebuah bangsa yang baru saja merdeka memang wajar, apalagi bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan beribu-ribu etnis yang mencoba “disatukan” dalam satu kesatuan yang disebut bangsa Indonesia. Dari ribuan menjadi satu tentu saja membutuhkan tali pengikat, yang salah satunya adalah sejarah. Pulau-pulau dan etnis-etnis di wilayah yang saat ini disebut Indonesia pada awalnya adalah wilayah yang berada dalam yurisdiksi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga sejarah yang mula-mula mereka kenal adalah sejarah versi kolonial Hindia Belanda. Mereka mengenal ikatan kebangsaan mereka sebagai bangsa Hindia-Belanda, yang diperintah oleh pemerintahan penjajah. Ketika Jepang mulai menduduki wilayahwilayah yang semula disebut HindiaBelanda, maka istilah Hindia-Belanda berangsur-angsur hilang. Seiring dengan semangat kebangsaan yang mencapai puncak istilah tersebut berganti menjadi Indonesia. Dengan demikian maka sejarah yang dikenal menjadi sejarah Indonesia walaupun isinya belum sepenuhnya “sejarah Indonesia”. Menurut Ali pada saat itulah lahirnya sejarah Indonesia (Ali, 2005: 139) . Bukan lagi sejarah Hindia-Belanda, bukan sejarah Nusantara atau sejarah Hindia, tetapi sejarah Indonesia. Pada periode inilah istilah historiografi Indonesiasentris lahir, menggantikan historiografi yang Nerlando-sentris atau histriografi kolonialsentris. Permasalahan yang muncul kemudian adalah ketika apa yang disebut sebagai sejarah Indonesia mulai lahir sifat kediktatoran, sehingga sejarah Indonesia
61
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 mulai mengabaikan “anak-anaknya” yang berupa sejarah lokal. Sejarah Indonesia berubah menjadi sejarah dengan monoperspektif tanpa melihat aspek lokalitas yang juga memiliki masa lalu, dalam arti daerah-daerah, etnis-etnis dari yang besar (dalam skala propinsi) sampai yang kecilkecil (kabupaten, kecamatan, bahkan desa) juga memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah telah kehilangan fungsinya untuk “mengikat” unsur-unsur kebangsaan itu menjadi satu kesatuan. Yang muncul kemudian adalah meleburkan serta mancampurkan unsur-unsur sebuah bangsa menjadi satu, sehingga warna lokalnya menjadi tidak kelihatan. Di mana letak sejarah “orang Madura” dalam sejarah Indonesia? Di mana posisi sejarah Bali, Ambon, Ternate, dan seterrusnya dalam perjalanan bangsa Indonesia? Sifat kediktatoran sejarah Indonesia menampakkan wajahnya dengan garang ketika Suharto yang berasal dari militer mulai memerintah negeri ini. Dalam bidang penulisan sejarah, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (pada waktu itu) memiliki otoritas penuh dan menjadi satu-satunya pintu keluar bagi sejarah yang akan diberikan kepada masyarakat. Instrumen utama dari tindakan ini adalah sebuah buku babon yang berjudul “Sejarah Nasional Indonesia” yang proses penyusunannya dilakukan dan disponsori oleh pemerintah. Semua buku sejarah yang akan diberikan kepada masyarakat harus merujuk kepada babon sejarah tersebut. Penulisan buku sejarah versi lain sulit dilakukan, dan dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Dengan kontrol yang ketat ini maka ratusan hasil penelitian sejarah yang dilakukan oleh para
62
akademisi tetap dibiarkan menjadi penghuni abadi rak-rak perpustakaan di universitas-universitas. Nasib kurang baik diterima oleh Muljono, karena bukunya tentang keruntuhan Majapahit dilarang beredar oleh pengadilan. Sejarah betul-betul menjadi elitis dan formal, yang tidak memberi ruang kepada keseharian, kemanusiaan, dan berbagai hal yang terpinggirkan. Dalam kacamata Bambang Purwanto, sejarah Indonesia pasca kemerdekaan seakan-akan hanya pengumbar nafsu kebangsaan tanpa melihat dimensi lain yang membentuk masa lalu yang dilalui oleh bangsa ini (Purwanto, 2006: xiv). Dalam konteks ini maka Ali menjadi contoh yang paling nyata dari generasi yang mengendaki sejarah sebagai aspek paling mendasar untuk menjadi legitimasi keberadaan “Indonesia”, sehingga sejarah masih berkutat apakah kata “Indonesia” dapat digunakan atau tidak untuk menggantikan kata “Hindia-Belanda”. Karena sejarah hanya berkutat pada persoalan pemupukan paham kebangsaan atau nasionalisme, maka bisa kita lihat pada pembahasan sejarah Indonesia untuk rentang waktu 1900-1942 yang menjadi pokok pembicaraan adalah bangkitnya semangat nasionalisme para pemuda Indonesia. Lalu di mana posisi orangorang desa, para petani, para pedagang kecil di perkotaan, anak-anak, ibu rumah tangga pada waktu itu? Historiografi menjadi sangat tidak demokratis karena elitis dan tidak mampu menguak masa lalu rakyat Indonesia (sebagai elemen utama bangsa ini) apa adanya. Rekonstruksi masa lalu bangsa Indonesia hanya dilakukan secara parsial dan sangat tidak demokratis.
Menggagas Historiografi (Indonesia) ...
Demokratisasi Historiografi Sejarah orang besar bukan berarti hanya mengungkap kisah besar mereka. Orang besar juga mempunyai kisah-kisah “kecil”. Sukarno misalnya, selama ini hanya di kenal sebagai pe juang, proklamator, dan orator ulung yang mampu memukau rakyat Indonesia. Sejarawan selalu gagal (atau tidak mau) mengungkap sisi-sisi kemanusiaan Sukarno apa adanya, Sukarno sebagai manusia yang suka makan tempe dan nasi pecel misalnya, atau Sukarno yang suka dengan parfum tertentu untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Kita tahu bahwa Sukarno adalah pencinta wanita, sehingga istri resminya pun lebih dari tiga belum lagi yang tidak resmi. Kita tidak pernah berusaha mengungkap para pahlawan dari sisi humanisme mereka. Kita hanya terpukau dengan sepak terjang mereka dalam bidang politik yang tampil dengan wajah ’orang besar’ tanpa cela. Bisa dicontohkan misalnya tulisan Lubis, Kehidupan Kaum Menak Periangan 1800-1942, yang mengangkat eksistensi kaum priyayi Sunda dalam pentas politik Indonesia sejak abad ke-19 sampai zaman Jepang (Lubis, 1998). Membaca buku itu ibarat kita disuruh menyelami kehidupan para priyayi lengkap dengan segala kepahlawanan mereka. Paling tidak ada dua hal yang perlu dilakukan oleh para sejarawan agar historiografi (Indonesia) menampakkan wajahnya lebih demokratis dan humanis. Pertama harus dilakukan dekonstruksi tentang makna sejarah. Saat ini sebagian besar sejarawan melupakan kenyataan penting bahwa sejarah sebagai realitas objektif yang terjadi pada masa lalu merupakan tindakan apa saja yang bersifat
sangat manusiawi, bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia secara normatif. Kecenderungan yang terjadi saat ini, sebagai sebuah peristiwa, sejarah hanya dikaitkan dengan sesuatu yang penting secara sosial. Sehingga ketika orang akan menulis sejarah kemiskinan yang melanda sebuah wilayah akan selalu dikaitkan dengan kebijakan tertentu yang monumental semisal Sistem Tanam Paksa atau kebijakan pemerintahan tertentu yang tidak tepat. Bagi peristiwa yang dianggap tidak memiliki arti penting secara sosial, yang sebagian besar merupakan sejarah masyarakat kebanyakan, maka seolah-olah tidak ada sejarah di dalamnya. Apakah perubahan upacara slametan beserta perubahan-perubahan berbagai uba rampe di dalamnya bukan termasuk sejarah? Dulu orang menyebut ritual tertentu yang ditujukan kepada “kekuatan yang berpengaruh atas manusia” dengan istilah slametan. Kemudian ada tahapan di mana orang menyebut kegiatan tersebut sebagai kenduren, dan saat ini ketika dimensi keagamaan mulai mengental pada masyarakat Jawa khususnya agama Islam, maka istilah tersebut berubah menjadi tahlilan atau tasyakuran yaitu pembacaan doa-doa yang diakhiri dengan pembagian makanan. Selain itu, berbagai uba rampe dalam ritual itu pun mengalami perubahan. Dalam slametan misalnya, makanan utama yang akan dihidangkan di hadapan undangan adalah tumpeng berbentuk gunungan atau kukusan yang dikelilingi berbagai lauk-pauk khas desa. Setelah acara doa selesai tumpeng tersebut akan dibagi-bagi dan dibungkus dengan daun pisang kemudian dibawa pulang. Proses pembungkusannya cukup
63
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 ribet dan kurang praktis. Saat ini dimana kepraktisan lebih diutamakan, kerapian juga diperhatikan, serta berbagai uba rampe juga menjadi bagian dari kelas sosial dari siapa yang menyelenggara-kan tahlilan, maka tumpeng digantikan dengan makanan yang dikemas dengan kotak kardus yang rapi. Lauk-pauk khas desa semisal urap-urap, peyek, atau ikan asin, digantikan dengan menu-menu khas restoran semisal empal, rendang, atau cap cay. Namun, apakah kita menganggap hal ini sebagai sejarah? Padahal upacara slametan, kenduren, atau tahlilan atau tasyakuran memiliki makna humanis yang luar biasa, karena dalam ritual semacam ini kita dibuat untuk guyubrukun antar sesama tetangga. Sejak zaman mbah-mbah kita sampai saat ini dimana sistem sosial sudah banyak mengalami perubahan, ritual-ritual semacam ini masih etap lestari walaupun mengalami berbagai perubahan. Ini adalah bagian sejarah penting bagi manusia Indonesia. Agar historiografi menjadi lebih demokratis maka kajian sejarah sejenis subaltern harus menjadi perhatian atau underside harus mulai diperhatikan dan harus diberi tempat yang memadai dalam sejarah Indonesia. Sayang sekali sampai saat ini sebagian besar sejarawan Indonesia masih terpaku kepada penulisan-penulisan yang dapat dikatakan mainstream, dan cenderung mengulangulang yang sudah ditulis. Periodisasi yang dibuat juga mengekor kepada periodisasi sejarah indonesia yang sudah kadaluarsa. Perhatian kepada sejarah subaltern justru datang dari sejarawan asing. Frederick misalnya telah merekonstruksi kehidupan keseharian masyarakat kota Surabaya pada periode 1926-1946. Dengan
64
pembacaan sumber yang luar biasa banyak ia bisa mengungkap kehidupan masyarakat kampung-kampung di kota kita dengan sangat bagus (Federick, 1998). Hal serupa dilakukan oleh Ingleson yang merekonstruksi kehidupan buruh di pelabuhan, prostitusi, serta kehidupan masyarakat kecil lain di perkotaan (Ingleson, 1986). Untuk menciptakan historiografi yang demokratis tentu saja kita tidak boleh terpaku kepada sumber-sumber tertulis semata. Masalahnya berbagai realitas keseharian masyarakat tidak pernah terekam dalam sumber-sumber sejarah formal (tertulis), karena yang terbesar justru yang mengendap dalam memori-memori masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian maka yang kedua, perlu dilakukan reorientasi pemahaman atas sumber-sumber sejarah. Saat ini sejarawan terlalu mendewadewakan sumber tertulis. Hal ini tercermin dalam jargon yang selalu didengung-dengungkan oleh sejarawan bahwa no document no history. Jargon semacam ini harus sudah dilenyapkan dari pemikiran siapapun yang menginginkan agar historiografi menjadi lebih demokratis. Persoalannya adalah, tindakan masyarakat yang terekam di dalam sumber-sumber tertulis rata-rata (atau sebagian besar) adalah tindakan dan perilaku orang besar, bukan perilaku rakyat kebanyakan. Rekaman-rekaman tertulis masa lalu rata-rata hanya berisi berbagai tindakan yang pada waktu itu dianggap penting, bukan tindakan keseharian. Oleh karena itu metode sejarah lisan menjadi sangat penting. Kita harus menyadari bahwa “yang tidak terjadi” dan tidak terekam dalam
Menggagas Historiografi (Indonesia) ...
dokumen juga merupakan bagian dari sejarah. Tuyul misalnya, ia banyak dibicarakan oleh masyarakat Jawa, tetapi karena tidak terekam dalam dokumen maka tuyul dianggap bukan bagian dari sejarah. Demikian juga dengan perilaku babi ngepet, nyupang, atau tindakan yang dianggap bekerja sama dengan makhluk halus juga tidak pernah dianggap sebagai bagian dari dinamika perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat agraris, karena tidak pernah terekam dalam dokumen tertulis. Setelah Boomgard menulis hubungan antara perubahan ekonomi dengan tuyul, maka baru muncul kesadaran bahwa yang tidak terjadi ternyata bagian dari sejarah Indonesia (Bambang Purwanto, 2006: 44). Realitas keseharian semacam inilah yang perlu mendapat perhatian para sejarawan. Ketiga, keterlibatan negara dalam penulisan sejarah hendaknya dikurangi atau malah ditiadakan. Serahkan penulisan dan penafsiran masa lalu kepada masyarakat. Biarkan masyarakat menilai dengan kritis masa lalu mereka. Penyeragaman sejarah oleh negara yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru justru telah menjerumuskan generasi sesudahnya. Bagaimana tidak bingung misalnya, ketika orang-orang yang tinggal di Kediri dipaksa untuk memahami bahwa telah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Jakarta, karena mereka tidak pernah merasakannya. Yang mereka lihat justru beberapa bulan setelah bulan Oktober 1965 para tetangga mereka satu per satu mengambang di sungai Brantas dalam kondisi yang tidak bernyawa akibat dibantai (Sulistyo, 2000). Berikan porsi yang lebih luas kepada daerah untuk menampilkan sejarah
lokalnya. Sejarah nasional mestinya tidak dibangun dari keseragaman, tetapi lebih merupakan mozaik dari keragaman sejarah lokal dari berbagai daerah. Penutup Akhirnya perlu dikemukakan bahwa tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjadikan penuntun tentang makna historiografi yang demokratis. Masalahnya, demokrasi sendiri memiliki makna yang amat beragam dan sangat tergantung, siapa yang sedang menginterpretasikan makna demokrasi itu. Seperti dikatakan di bagian awal dari tulisan ini, negara yang menjadi dewa demokrasi di dunia ini pun bertindak sangat tidak demokratis ketika kepentingan mereka terganggu. Apakah historiografi juga akan tetap berkubang pada kepentingan kelompok tertentu, sehingga demokratisasi historiografi juga tidak memiliki makna yang baku? Semua kembali kepada masing-masing sejarawan, yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda-beda atas sejarah yang sedang dibangun.
DAFTAR PUSTAKA Ali, R. Moh.. 2005. Pengantar Ilmu LkiS: Sejarah Indonesia , Yogyakarta, hlm. 139 Frederick, William H.. 1989. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), Gramedia: Jakarta Ingleson, John, 1986. Search of Justice: Work and Union in Colonial Java,
65
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 1908-1924, Oxford University Press: Singapore Lubis, Nina Herlina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Periangan 18001942, Pusat Informasi Kebudayaan Sunda: Bandung Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, Ombak, Yogyakarta Surojo, Djuliati. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890, YUI: Yogyakarta Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di L a d a n g Te b u : S e j a r a h Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), KPG: Jakarta Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1930, Tiara Wacana: Yogyakarta Suhartono W. Pranoto. 2001. Serpihan Budaya Feodal, Agastya Media: Yogyakarta
66
RESENSI BUKU KERONCONG CINTA: ANTARA CARA PEMAHAMAN, CARA PERHUBUNGAN dan CARA PENCIPTAAN Sarkawi B. Husain 1
“Perang terlalu besar untuk diberikan pada jenderal saja, dan sastra terlalu penting dibiarkan untuk sastrawan saja!” (Abdullah, 1986: 10-11)
Prolog Kalimat di atas adalah petikan pernyataan Taufik Abdullah (seorang sejarawan terkemuka Indonesia) dalam buku Apa dan Siapa sejumlah orang Indonesia 1985-1986. Bagi Taufik, sastra sangat dekat dengan sejarah. Menurutnya, sejarawan terkemuka pastilah seorang literer. Bagi Taufik, novel memperkaya pengertian tentang dinamika dan sejarah. Selain Taufik, Kuntowijoyo (alm.) adalah sejarawan terkemuka lainnya yang sangat akrab dengan karya sastra. Menurutnya karya sastra adalah simbol verbal yang mempunyai beberapa peranan, antara lain sebagai cara pemahaman ( mode of comprehension), cara perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Obyek karya sastra adalah realitas – apa pun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imaginer dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah; kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi
*)
pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu persitiwa sejarah; dan ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imaginasi pengarang (Kuntowijoyo, 1999:127). Lebih jauh Kuntowojiyo menjelaskan, dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan simbol itu dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengerangnya. Sebagai cara pemahaman, misalnya, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas atau kadar faktisitasnya, akan lebih tinggi daripada kadar imaginasi pengarang. Dalam karya yang berupa cara perhubungan, kedua unsur itu sama kadarnya. Dan dalam karya sastra sebagai penciptaan, kadar aktulitas atau faktisitasnya lebih rendah dibanding imaginasi pengarang. Namun demikian, Kuntowijoyo mengingatkan bahwa perbedaan itu lebih merupakan asumsi teoretis yang dalam pelaksanaannya sulit
Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Airlangga, tlp 031-5035676
67
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 membedakan cara-cara itu dalam sebuah atau di antara karya-karya sastra. Antara Historiografi dan Karya Sastra Historiografi dan karya sastra keduanya merupakan simbol verbal, tapi memiliki perbedaan yang tegas antara keduanya. Untuk memperjelas perbedaan ini, klasifikasi yang dilakukan oleh Koestler (dalam Kuntowijoyo, 1999: 128) kiranya dapat membantu. Menurut Koestler penemuan manusia bergerak dari dari bentuk yang objective-verifiable ke yang subjective-emotional dengan uruturutan: Kimia, Biokimia, Biologi, Kedokteran, Psikologi, Antropologi, Sejarah, Biografi, Novel, Epik, dan Lirik. Dari deretan ini tampak bahwa antara sejarah dan novel memiliki hubungan yang dekat untuk saling melakukan hubungan. Menurut Collingwood (dalam Kuntowijoyo, 1999: 128) pertanggungjawaban sejarah dan sastra berbeda. Sejarah mempunyai tugas kembar. Pertama, sejarah bertujuan menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Sejarah mengemukakan gambaran tentang hal-hal sebagai adanya dan kejadian-kejadian sebagai sesungguhnya terjadi. Kedua, sejarah harus mengikuti prosedur tertentu: harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, harus konsisten dengan unsurunsur lain seperti topografi dan kronologi, dan harus berdasarkan bukti-bukti. Karya sastra tidaklah seketat sejarah. Dia tidak tunduk pada metode-metode tertentu. Karya sastra seperti kata Henry James, mempunyai sedikit pembatasan tetapi mempunyai kesempatan yang tidak terhitung jumlahnya. Peristiwa sejarah sebagai bahan baku diolah secara berbeda oleh tulisan sejarah
68
dan oleh karya sastra. Dalam tulisan sejarah, bahan baku telah diproses melalui prosedur tertentu. Dari sumber-sumber sejarah, sejarawan melakukan kritik (ekstern dan intern), analisis, dan sintesis sampai pada penyuguhan dalam bentuk rekonstruksi sejarah. Sebaliknya, karya sastra memiliki pendekatan lain. Peristiwa sejarah dapat menjadi titik tolak bagi sebuah karya sastra, menjadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggungjawabkan terlebih dahulu. Persitiwa sejarah, situasi, kejadian, perbuatan, cukup diambil dari khazanah accepted history bagi hal-hal dari masa lalu atau dari common sense bagi peristiwa-persitiwa kontemporer. Prosedur kritik, interpretasi, dan sintesa, tidak diperlukan oleh sastrawan (Kuntowijoyo, 1999: 130). Membaca “Keroncong Cinta” & Beberapa Catatan Kecil Sebagai seorang [calon] sejarawan dan tentu sebagai sastrawan, Ahmad Faishal tahu persis bagaimana memperlakukan fakta sejarah sebagai bahan untuk novelnya. Jika memakai pembagian Kuntowijoyo tentang peranan karya sastra, tampak Ahmad Faishal memperlakukan novelnya dalam tiga perspektif, yakni sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Namun demikian, cara yang pertama dan kedua lebih dominan dibandingkan dengan cara yang ketiga. Dengan bahasa yang baik, mengalir, dan mengesankan, penulis novel ini berhasil melakukan pemahaman dan penciptaan terhadap sepotong fenomena sejarah yang terjadi di Surabaya bahkan di Indonesia. Namun demikian, ada
Resensi Buku: Keroncong Cinta ....
beberapa catatan kecil yang hendak saya sampaikan. Pertama, Tahun 1930 misalnya, sebagai titik tolak dari awal cerita novel ini merupakan pilihan yang tepat untuk menggambarkan tumbuh kembangnya pergerakan nasional. Taylor Scraap, putra Robert Neiss dan Nyai Zubaidah yang baru pulang menempuh studi di negeri Belanda yang kemudian mengorganisir secara diam-diam pemuda-pemuda Surabaya untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda lewat pers merupakan contoh keterlibatan kaum intelektual dalam menumbuhkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Dalam berbagai analisis sejarah pergerakan, keterlibatan kaum intelektual dalam menumbuhkan nasionalisme telah banyak mendapat perhatian ilmuan. Mereka mengembangkan suatu analisis yang menempatkan kaum intelektual sebagai penggerak utama dari berbagai gerakan nasionalis. John Kautsky misalnya, setelah mengidentifikasi kelaskelas “tradisional” dan “baru” di dalam masyarakat berkembang, berpendapat bahwa peranan sebagai pemrakarsa utama dalam mengerahkan dukungan rakyat dan mengorganisasi suatu pergerakan politik nasionalis dimainkan oleh kaum intelektual yang telah menyerap sejumlah wawasan dan nilai peradaban barat melalui pendidikan yang disediakan oleh negara penjajah dan merasa frustrasi karena keterbatasan kesempatan politik dan kesempatan yang lain di dalam rezim kolonial (Kautsky, 1963: 44-56; Legge, 1993: 23). Menurut J. D. Legge, mereka yang telah memperoleh pendidikan di berbagai
lembaga pendidikan yang ada, baik di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda merasa sebagai partisipan dalam – meminjam kata-kata Shills – “kebudayaan intelektual modern” atau yang lebih tegas disebutkan Hildred Geertz tentang suatu “Superkultur Metropolitan Indonesia” ( Indonesia metropolitan superculture ), yang mencakup orang-orang berpendidikan barat yang antara lain memungkinkan mereka menguasai bahasa asing dan pekerjaan serta tingkat penghasilan yang sesuai (Geertz, 1967:33-41). Akan tetapi, implikasi kehadiran intelektual berubah menjadi suatu bumerang bagi sistem kolonial Belanda. Hal tersebut tidak hanya karena mereka telah mengetahui (lewat bangku sekolah) rahasia kekuatan dan keunggulan Eropa, tetapi juga karena mereka mendapat kenyataan bahwa preferensi hanya diberikan kepada orang-orang Belanda dan Indo-Eropa. Kesadaran tentang kondisi yang mereka alami diwujudkan d a l a m b e r b a ga i be n t u k , s e pe r t i pembentukan organisasi, penerbitan surat kabar [seperti yang dilakukan oleh Taylor Scraap], kelompok studi, pemogokan, dan partai politik (Scherer, 1985: 52). Keragaman bentuk perjuangan ini mengalami pertumbuhan yang pesat pada paruh pertama abad ke-20, sehingga awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai babakan bar u dal am m enenta ng imperialisme Belanda. Sayang sekali, tahun 1930 sebagai zaman Malaise (sering diplesetkan menjadi zaman meleset) tidak dijadikan sebagai latar sosial oleh penulis untuk menceritakan pengaruh krisis ekonomi terhadap pertumbuhan pers yang dikelola
69
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 oleh Taylor dan kawan-kawannya. [Tapi buat apa mengharapkan sesuatu yang tidak hendak ditulis oleh penulis he…he…] Dari aspek temporal (yang menjadi salah satu ciri pokok sejarah) segera bisa disimpulkan bahwa cerita dalam novel ini berlangsung antara tahun 1930 hingga 1942. Akan tetapi, Faishal “kecolongan”dari aspek spatial (yang menjadi ciri pokok lain dari sejarah). Di halaman pertama memang disebutkan bahwa sepulang dari negeri Belanda Taylor Scraap menjadi redaktur koran berbahasa Belanda di Surabaya. Namun dalam episode-episode selanjutnya kita kehilangan jejak di mana peristiwa itu berlangsung. Misalnya: apa nama koran itu dan berkantor di jalan mana? Gereja bergaya barok yang ujung-ujung atapnya tinggi mengerucut (hal. 103) terletak di mana? Kafe tempat Melissa dan Frederick banyak menghabiskan waktu (hal. 136) terletak di mana? Gunung Geger dan Pasar Jurang tempat Taylor melarikan diri (hal. 194) berada di mana? Berbeda dengan Keroncong Cinta yang aspek spasialnya kabur, novel sejarah Mencari Sarang Angin karya Suparto Brata (2005) misalnya memulai kalimat pertamanya dengan “Darwan sampai di Embong Malang”. Dalam bagian selanjutnya disebutkan dengan jelas tempat episode berlangsung di Blauran, Ketandan, Tembok, Gunung Sari, dan lain-lain. Demikian pula dengan novel sejarah lainnya Sang Penasihat yang ditulis oleh H.J. Friedericy (1990) dengan jelas menyebut tempat berlangsungnya persitiwa yang diceritakan: Makassar, Gowa, Jongaya, Takalar, Jeneponto, dan lain-lain.
70
Kedua,Taylor Scraap sebagai seorang Indo (putra Robert Neiss dan Nyai Zubaidah) yang berhaluan nasionalis adalah fenomena yang banyak dijumpai dalam sejarah Indonesia. Douwes Dekker adalah salah seorang Indo yang sangat terkenal dalam sejarah pergerakan Indonesia. Untuk mewujudkan gagasannya dalam hal persamaan warna kulit, keadilan sosial ekonomi, dan kemerdekaan penuh, atas dasar kerjasama orang Eurasia-Indonesia, Douwes Dekker dan kawan-kawannya berhasil mendirikan suatu partai politik pada bulan Desember 1912, dikenal sebagai Nationale Indische Partij (N.I.P.). Mottonya adalah: “Hindia Belanda adalah untuk mereka yang berkehendak terus tinggal di sana”, dan di samping 1300 orang Indonesia, perkumpulan itu segera menarik sekitar 6.000 orang Indo, terutama mereka yang menolak untuk ikut serta dalam pertumbuhan persaingan dari makin banyak orang Belansa totok untuk pulang ke negeri Belanda setelah karirnya di Hindia berakhir seperti umum dilakukan. Selama setahun, partai itu mendapat tekanan, dan Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, serta Suwardi Soeryaningrat (kelak dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro), keduanya orang Indonesia, dipenjarakan, tetapi diizinkan pergi ke negeri Belanda. Dengan demikian, ancaman pertama dan terakhir dari kombinasi orang Indonesia dan Eurasia melawan pemerintah Belanda akan lenyap. Pada Kabinet Sjahrir Ketiga (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi) ditunjuk menjadi Menteri Negara (Kahin, 1995: 91; 246).
Resensi Buku: Keroncong Cinta ....
Ketiga, Nyai Zubaidah, “istri” dari Robert Neiss, mengingatkan kita pada cerita tentang Nyai Dasima. Cerita tersebut (yang terjadi pada awal abad ke19) mengisahkan kehidupan Dasima, gadis malang yang menjadi “nyai” seorang Inggris. Dengan “pernikahan” ini lahir seorang anak bernama Nancy. Kemudian Dasima jatuh ke tangan seorang petualang Sunda yang mengawininya secara paksa, padahal ia h a n y a m e ng i n c a r h a r t a ny a l a l u membunuhnya. Munculnya banyak nyai dalam sejarah Indonesia terutama terjadi pada abad ke-19 di mana orang-orang Eropa terutama kalangan militer diperkenankan mempunyai gundik pribumi, yang anak-anaknya mendapat sebutan khas “anak kolong”. Karena prasangaka-prasangka tertentu, wanita seperti ini dan anak yang dilahirkannya cenderung tidak dihargai (Lombard, 2000: 80; 264). Penulis novel ini menceritakan dengan sangat baik bagaimana rendahnya status seorang nyai dan anak Indo di mata Belanda totok. Ketika Frederick (anak Jenderal L.S. Covet dan Ny. Wenny Vrije) mengutarakan niatnya untuk menikahi Melissa (anak Nyai Zubaidah dan Robert Neiss), Ny Wenny serta merta menjadi berang. … “Saya betul-betul mencintainya, Ma. Apa Mama tidak mencintai Frederick?” Nyonya Wenny mengangkat tangan ke pinggangnya, “Cinta tidak diletakkan di sembarang tempat, Frederick! Dan perempuan itu terlalu hina untuk berdampingan denganmu. Apa pantas sepatu diletakkan di atas piring, Frederick?”
kepala begitu. Tolong hargai pilihan Frederick, Ma.” “Saya tidak akan menghargai apa pun dari kecoak. Dan perempuan itu bukan pilihan, tapi kutukan atas keluarga besar kita.” “Saya mencintainya, Ma.” “Jangan mengumbar kata cinta, Frederick. Percuma kamu lulus sekolah tinggi-tinggi jika masih dapat dibodohi pelacur keturunan itu. Buka pikiranmu Frederick, pandanglah dunia ini.” (hal. 176)
Sayang sekali kisah tentang Nyai (Nyai Dasima, Nji Paina, Nji Sarikem dll.) hanya dapat ditemui dalam karya-karya sastra. Saya sependapat dengan Lombard tentang jarangnya fenomena per-Nyai-an dijelaskan dalam perspektif sosiologis yang melatarinya. Padahal, hal tersebut dapat dilihat sebagai akibat “menurunnya status” istri pribumi yang tersingkir ke tingkat gundik setelah kedatangan wanita Eropa secara besar-besaran pada abad ke20. Keempat, Pendidikan yang diskriminatif, segregatif, dan colour line. Pembelaan yang dilakukan oleh Jenderal L.S. Covet ketika mengadili Taylor yang dianggap menghianati pemerintah Belanda adalah pembelaan yang khas kolonial. Hal tersebut digambarkan dengan baik oleh penulis novel ini. “Pemerintah sudah memberikan perbaikan pendidikan. Kamu tahu itu, kan? Tapi nyatanya mereka tetap saja buta huruf. Apa itu bukan nilai positif dari pemerintah? Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka hanya
“Mama, Mama jangan terlalu keras
71
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 bisa membaca aksara Jawa kuno.” “Betul sekali, Jenderal. Tapi Jenderal jangan lupa bahwa mereka yang dapat memebaca dipekerjakan oleh pemerintah hanya sebagai pegawai administrasi rendahan. Itu pun untuk mempermudah kerja dan kontrol pemerintah Hindia belaka.” Mendengar ucapan Taylor, Jenderal L.S. Covet menyemprotkan ludahnya ke wajah Taylor. “Tutup mulutmu, pengkhianat” Taylor langsung membersihkan ludah Jenderal L.S. Covet, lantas tangan yang dipenuhi ludah tersebut diciumnya, “Ludah Tuan harum, tapi lebih wangi darah dan keringat yang diderita oleh orang pribumi.” (hal. 133-134)
Akses yang agak lebih luas terhadap pendidikan bagi pribumi ditandai dengan pidato tahunan Ratu Wilhelmina pada September 1901 tentang era baru dalam politik kolonial yang ditandai dengan politik etis: edukasi, irigasi, dan emigrasi (trilogi kebijakan). Hal ini dianggap sebagai “Kewajiban moral” dan “hutang budi” (een eereschuld) terhadap tanah jajahan. “Kewajiban moral” dan “hutang budi” pernah dikemukakan pada tahun 1899 oleh C.Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah menetap di Indonesia selama 1880-1897 & menulis artikel tersebut dlm majalah de Gids. Namun demikian, kebijakan ini dikritik oleh kaum Marxis yang melihat kentalnya m ot i v as i dan ke pe nt i nga n y an g menyertanya. Menurut mereka seluruh kebijakan sebagai suatu muslihat kapitalis-kapitalis, dan apa saja yg
72
diusulkan dan dijalankan pemerintah Belanda adalah untuk kepentingan keuangan dan kapitalis negeri Belanda. Kepentingan ekonomi pemerintah kolonial sangat berkaitan dengan situasi pada akhir abad ke-19 & awal abad ke-20 yang merupakan periode tumbuh pesatnya perkebunan swasta & perusahaan lain, baik di Jawa maupun luar Jawa. Perkembangan ini harus ditunjang oleh sistem administrasi, sistem produksi, manajemen modern, dan birokrasi (pemerintah yg bersifat legal rasional, yang butuh tenaga-tenaga ahli). Dalam posisi inilah pribumi-pribumi yang sudah mendapat pendidikan rendahan dipekerjakan. Kelima, Kekalahan Belanda, Pendudukan Jepang, dan nasib perempun Indo dan pribumi (hal. 197213). Masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya sebagai kota besarnya merupakan salah satu kota pertama yang memperhitungkan secara serius kedatangan perang. Pemerintah Hindia Belanda membentuk korps sipi l pertahanan udara sejak tahun 1937, serta mulai melembagakannya dalam peringatan-peringatan. Ketika negeri Belanda dapat dijatuhkan oleh Jerman yang merupakan kelompok Jepang dan Italia pada bulan Mei 1940, kegelisahan akan serangan yang akan dilancarkan oleh Jepang mulai menampak dengan pemadaman lampu, serta munculnya usulusul yang secara serius menjadi pembicaraan tentang pendirian kantor penerangan berbahasa Indonesia dan penempatan radio umum di setiap kampung (Soeara Oemoem, 24 Agustus 1941). Menjelang awal tahun 1941,
Resensi Buku: Keroncong Cinta ....
Surabaya mulai di ambang keruntuhan. Pengungsian masyarakat Surabaya terjadi besar-besaran dan terus menerus ke wilayah pedalaman dan segera diikuti dengan gerak yang berkebalikan yang dilakukan oleh para pangreh praja dan orang-orang Belanda menuju ke kota. Gelombang perpindahan masyarakat awam ini dipicu oleh ketidakstabilan karena pokok perhatian pemerintah kota hanya kepada persiapan-persiapan militer, sehingga timbul kecemasan-kecemasan akan terjadinya perang yang besar di Surabaya. Sampai bukan Januari hingga Februari 1942, perang yang sebelumnya masih tampak samar-samar dan jauh, kini tiba-tiba datang dan jelas menjadi ke n ya t aa n s a a t p a su ka n J e pa n g melakukan pengeboman pertama dari lebih enam puluh jkali di atas kota Surabaya selama kurang dari satu bulan (Frederick, 1989: 110). Ketika pasukan Jepang berbaris memasuki kota Surabaya, masyarakat memberikan sambutan yang luar biasa. Sambutan ini digambarkan oleh Faishal sebagai berikut: Di jalan kota, pasukan Jepang melakukan pawai keliling kota. Kendaraan-kendaraan militer dan pasukan-pasukan Jepang memenuhi jalan. Jenderal Nakabata melambailambaikan tangannya ke orang pribumi yang menyambutnya dengan antusias dan bahagia. Orang pribumi menyambut lambaian tangan mereka sambil berteriak, “Merdeka! Merdeka! Merdeka!.” (hal. 207-208)
Dalam berbagai sumber, misalnya
dalam novel Idrus yang berjudul “Surabaya” dan film-film dokumenter Jepang memang terlihat sambutan yang luar biasa dari rakyat, tetapi teriakan mereka bukan kata Merdeka, melainkan Banzai!, Banzai!, Banzai! yang artinya Hidup! Hidup! Hidup!. Tentang tindakan tentara Jepang yang menangkap orang-orang Belanda dan dimasukkan ke dalam kamp, seperti yang digambarkan dengan sangat baik oleh penulis, memang itulah yang terjadi. Ada dua prioritas kebijakan Jepang pasca kemenangannya terhadap Belanda, yaitu menghapus pengaruh Barat di kalangan rakyat dan memobilisasi rakyat demi kemenangannya. Untuk kepentingan tersebut, secara cepat Jepang mengambil alih kekuasaan atas Indonesia dari tangan Belanda dengan memecat dan menggiring semua personil Belanda, Indo, dan orangorang yang dicurigai untuk dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi. Dalam keadaan inilah mereka yang masih muda dan cantik menjadi “santapan” tentara Jepang yang digambarkan dengan sangat hidup oleh mas Faishal. Mereka inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Jugun Ianfu. Keenam, Ada beberapa hal kecil yang menggelitik saya. Pertama, dalam melakukan penyiksaan terhadap Robin Joong, tentara Belanda dibantu oleh Sersan Jono (hal. 90). Dalam sejarah Indonesia adalah jamak diketahui pemerintah Hindia Belanda merekrut orang-orang pribumi sebagai tentaranya yang umumnya adalah orang-orang Ambon. Akan tetapi, dari namanya Sersan Jono pastilah orang Jawa, bukan Ambon. Kedua, tokoh Rusmanto yang mencemburui Qomar dan Aminah tiba-
73
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1 Januari-Juni 2007: 1 - 74 tiba muncul di sekitar rumah Haji Anwar ( ba p a k A m i na h ) , s e hi ng g a bi s a mengetahui sepak terjang Aminah dan Qomar. Tidak diceritakan dalam novel apakah Rusmanto juga anak buah dari HajiAnwar di pasarnya atau bukan. Epilog Terlepas dari beberapa catatan kecil di atas, saya sangat menghargai kerja keras mas Faishal dalam menulis novel ini. Terpilihnya novel ini sebagai novel unggulan dan diterbitkan oleh Grasindo (PT. Gramedia Widiasarana) bersama R a d i o N e d e r l a n d We e l d o m r o e p merupakan garansi akan layaknya novel ini menjadi bacaan bagi kalangan yang mendedikasikan dirinya pada studi sejarah dan sastra atau mereka yang suka menikmati karya sastra dan sejarah. Jika banyak tulisan sejarah harus dibaca dengan kening yang mengkerut, maka novel ini akan menambah pengetahuan kita tentang sejarah tanpa harus mengerutkan kening. Tentunya apa yang ditulis dalam novel ini tidak serta merta merepresentasikan realitas sejarah yang sesungguhnya terjadi di Surabaya. Seperti kata Els Bogaerts di suatu kesempatan, “Sejarah adalah jalan panjang dan berliku, kita tidak boleh mencari dan melewati jalan tikus untuk segera sampai pada tujuan”. Demikian pula, novel ini tidak bisa dijadikan jalan tikus untuk memahami sepotong sejarah Surabaya, karena bagaimanapun “Membaca adalah wajib hukumnya, tapi tidak wajib untuk percaya pada isi bacaan”.
74
DAFTAR PUSTAKA Apa & Siapa sejumlah orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Grafitipers, 1986. Geertz, Hildred, “Indonesian Cultures and Communities” dalam Ruth T. McVey, peny. Indonesia. New Haven, Conn.: Human Relation Area Files Press, 1967. Kahin, George Mc Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Jakarta: Sinar Harapan, 1995. Kautsky, John H., “An Essay in the Politics of Development” dalam John H. Kautsky, ed. Political Change in Underdeveloped Countries: Nationalism and Communism. New York: Wiley, 1963. Kuntowijoyo. Budaya & Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Legge, J.D. Kaum Intelektual dan P e r j u a n g a n K e m e rd e k a a n . Peranan Kelompok Syahrir . Jakarta: Grafiti, 1993. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1. Jakarta: Gramedia, 2000. Scherer, Savitri Prastiti. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiranpemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad 20. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.