CHALLENGES AND OPPORTUNITIES OF ISLAMIC BANKING DEALING IN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY ( AEC ) Wartoyo Lecturer in Prodi Perbankan Syarian Sharia and Islamic Economy Faculty of IAIN Syekh Nurjati Cirebon e-mail :
[email protected] ABSTRACT Implementation of free trade in the ASEAN region is now in sight. There are optimistic Indonesia will control AEC 2015, but there are also very pessimistic responded to the implementation of ASEAN's market liberalization. Therefore, when the AEC 2015 officially enforced, then the Indonesian market will be flooded by foreign workers who come from other ASEAN countries. The presence of the ASEAN Economic Community (AEC) will provide opportunities and challenges for the Indonesian economy not least the Islamic finance industry. There are at least three Islamic financial constraints in the face of the Asean Economic Community (AEC) by 2015. First, the market share is still small. Second, product development, Third, qualified human resources crisis. However, opportunities still remain wide open, because the potential and opportunities for Indonesia to become a global Islamic financial player is huge, especially to face MEA, including: (i) the number of large Muslim population into potential clients Islamic finance industry; (Ii) a bright economic prospects, reflected relatively high economic growth (range of 6.0% -6.5%) were underpinned by solid economic fundamentals; (Iii) an increase in Indonesia's sovereign credit rating to investment grade which will increase the interest of investors to invest in the domestic financial sector, including Islamic finance industry; and (iv) has abundant natural resources that can be used as underlying Islamic finance industry. Therefore, we are more appropriate to look at the MEA competition is with a sense of optimism than pessimistic, because when all interested parties were able to work together and cooperate, then there is impossible for Indonesian Islamic banking industry will be a leader in the ASEAN region and even internationally. Keywords: Islamic Bankning, MEA, and Islamic Financil.
Pendahuluan Arus globalisasi semakin deras dan tidak dapat dibendung. Pesatnya perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi semakin mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Globalisasi seakan-akan menghapuskan batas antar negara-negara di dunia. Dalam hal ini,
globalisasi ibarat menjadi pisau bermata dua yang bisa bermanfaat sekaligus sewaktu-waktu bisa mencelakai. Oleh karena itu, manusia harus pandai-pandai dalam menyikapi pengaruh globalisasi itu sendiri. Globalisasi telah mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia di seluruh negara di dunia dan menuntut setiap negara untuk mengikuti dinamika dunia dalam segala bidang kehidupan seperti bidang sosial, pendidikan, budaya, politik, serta ekonomi. Hal ini mendorong banyak negara untuk terus berlomba mengembangkan segala aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi guna terciptanya stabilitas dalam negara. Di kawasan asia tenggara, perkembangan ekonomi tahun 2014 mencapai 5,2%. Nilai tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2013 yang hanya 4,8%. Hal ini menjadi peluang besar bagi negara-negara di asia tenggara untuk semakin berkembang1. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, baik dari segi luasnya wilayah maupun besarnya jumlah penduduk, menjadikan Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam percaturan politik dan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN. Posisi strategis Indonesia ini secara tidak langsung membawa dampak yang besar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN. Terlebih tepat pada tanggal 1 Januari 2015 yang lalu bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos dan Myanmar akan memasuki era baru dalam hubungan integrasi perekonomian dan perdagangan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara di kawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas teritorial negaranya dalam satu pasar bebas yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian di kawasan Asia setelah negara adidaya Tiongkok. Pemberlakuan perdagangan bebas di kawasan ASEAN kini sudah di depan mata. Ada yang optimis Indonesia bakal menguasai MEA 2015, tetapi tidak sedikit pula yang pesimis merespons diterapkannya liberalisasi pasar ASEAN ini. Sebab, ketika MEA 2015 resmi diberlakukan, maka pasar Indonesia akan dibanjiri oleh tenaga kerja asing yang berasal dari negara-negara ASEAN lainnya. Kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini akan memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian Indonesia tak terkecuali industri keuangan syariah. Memang tidak mudah mengembangkan keuangan syariah Indonesia untuk dapat bersaing dan beroperasi lintas negara ASEAN mengingat industri keuangan syariah Indonesia merupakan pendatang baru jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang sudah lebih dulu mengembangkan keuangan syariah2. Apalagi keuangan syariah di negeri ini masih menghadapi 1
Irfan Maulana Ubaidillah, Sistem Perbankan Syariah dalam Menghadapi Persaingan MEA 2015.http//www.kompas.com/kompasiana/ekonomi. Diakases pada 24 Februari 2015. 2 Kondisi ini dapat dilihat data respective Bank’s Financial Reports pada 31 Desember 2012. Aset lima bank syariah besar di Indonesia, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Muamalat Indonesia, BRI Syariah, BNI Syariah dan Bank Syariah Mega Indonesia kalah jauh dari perbankan Malaysia. Jika aset BSM 5,1 miliar dolar AS, maka itu kalah jauh dengan Maybank Islamic (Malaysia) yang memiliki aset 19,9 miliar dolar AS. Aset BSM bahkan masih kalah jika dibandingkan RHB Islamic (Malaysia) yang asetnya 8,4
berbagai kendala yang bisa menjadi penghambat pengembangan keuangan syariah ke depan. Dideklarasikannya MEA, tentu saja membawa angin perubahan positif bagi masyarakat ASEAN. Sebab MEA diharapkan dapat menciptakan komunitas regional yang diproyeksikan dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan dayasaing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standard hidup penduduk negara anggota ASEAN.3 Terutama bagi Indonesia yang memiliki penduduk terbesar di ASEAN dengan lebih dari 250 juta jiwa, yang secara makro menyumbangkan 40% pasar bagi barang dan jasa yang diperdagangan oleh negara-negara ASEAN, sehingga secara tidak langsung negara-negara ASEAN lainnya akan menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama pemasaran barang dan jasa yang mereka miliki. Maka dari itu Indonesia sebagai salah satu bagian dalam integrasi MEA tentu harus bersiap menghadapi era pasar bebas tanpa batas ala MEA ini. Perekonomian Indonesia secara nasional diharapkan dapat terus tumbuh dengan baik untuk menunjang persaingan (competitiveness) di kawasan ASEAN. Industri ekonomi dan perbankan syariah sebagai bagian struktur perekonomian bangsa Indonesia juga tidak lepas dari tuntutan. Namun, realita yang ada adalah bahwa sebagian pihak masih mengkhawatirkan hadirnya MEA sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Padahal, kekhawatiran tersebut sesungguhnya tidak beralasan jika memang kita mampu menunjukkan daya saing (competitiveness) yang tinggi. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri dan keuangan syariah di ASEAN bahkan dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangatlah besar. Sehingga Indonesia melalui industri keuangan dan perbankan syariahnya akan mampu bersaing dalam kancah MEA. Meskipun tentu saja diakui bahwa di balik peluang dan kondisi yang dapat mendorong hal ini, juga terdapat ancaman-ancaman yang justru dapat menghambat perkembangan dan penguatan industri keuangan dan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyokong perekonomian bangsa Indonesia.4 Apa itu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)? Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) merupakan sebuah kesepakatan di antara negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai bentuk pertahanan dari goncangan global. Implementasi kebijakan ini mirip dengan Free Trade Area (FTA) yang akan yang dilaksanakan pada tahun 2020 nanti, namun dalam cakupan yang lebih kecil yaitu ASEAN. Kebijakan ini telah direncanakan jauh hari sebelumnya, miliar dolar AS, padahal bank ini menduduki posisi kelima, sementara BSM posisi pertama di Indonesia. 3 Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA 2015 : Peluang dan Tantangan Kontemporer. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/. Diakses pada 12 Maret 2015. 4 Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA.................hal.3
namun karena kebutuhan yang mendesak khususnya dalam hal kerja sama bilateral dan penguatan negara-negara ASEAN dari serangan produk luar negeri maka diajukanlah implementasi MEA paling lambat tahun 2015. Dalam integrasi MEA, terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan sebagai momentum yang baik bagi bagsabangsa di ASEAN5. Pertama, negara-negara di kawasan ASEAN ini akan dijadikan sebagai sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan ASEAN. Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation dan e-commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem double taxation dan meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online. Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global, dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negaranegara di kawasan ASEAN pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara- negara anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global. Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggotaanggota di dalamnya. MEA dapat mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN. MEA merupakan terobosan baru yang disetujui oleh para kepala negara di ASEAN. Hal ini tentu saja dipilih sebagai pembangkit ekonomi yang pernah ambruk pada tahun 1997 dan pernah juga krisis pada tahun 2009. Tentu kita tak ingin sekadar bangkit saja, tetapi juga ingin mempercepat pertumbuhan perekonomian. Kita tahu pasar terbesar ada di Asia. Selain sebagai pasar, Asia 5
Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA................hal 3-5.
juga telah bangkit untuk mengekspansi negara-negara besar, seperti produkproduk buatan China dan India yang telah mengekspansi negara-negara besar di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka percepatan pembaharuan ekonomi, kebijakan MEA menjadi sangat dibutuhkan agar ASEAN tak hanya sebagai loser dalam persaingan global. Kondisi Perbankan Syariah Indonesia Dalam dua dekade terakhir, industri jasa keuangan syariah global telah berkembang cukup pesat. Termasuk di tengah ketidakpastian pemulihan pasar keuangan dunia saat ini. Begitu pula halnya dengan di Indonesia. Dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia diperkirakan mampu tumbuh menjadi salah satu negara dengan potensi perkembangan industri keuangan syariah yang sangat besar. Berdasar penilaian Global Islamic Finance Report (GIFR) 2013, Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan potensi pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, naik dua peringkat dari tahun 2012.6 Di tingkat domestik, industri jasa keuangan syariah juga berkembang pesat dan secara perlahan mampu berperan serta dalam mendukung perekonomian nasional. Dari kondisi tersebut, terlihat setidaknya ada tiga alasan utama mengapa industri keuangan syariah Indonesia harus terus dikembangkan menurut Halim Alamsyah.7 Pertama, inklusi keuangan, dalam hal ini kita harus meningkatkan penyediaan layanan perbankan untuk masyarakat yang tidak menggunakan jasa keuangan konvensional. Kedua, financial deepening, yakni meningkatkan peran jasa keuangan untuk melayani ekonomi dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan instrumen keuangan yang unik. Dan alasan ketiga, sebagai instrumen untuk memfasilitasi aliran modal, terutama bagi mereka yang memiliki preferensi khusus pada keuangan syariah. Saat ini Indonesia telah memiliki industri keuangan syariah yang cukup lengkap. Mulai industri perbankan syariah, industri keuangan non-bank syariah, dan pasar modal syariah. Selama dua dekade terakhir, tiga sektor industri jasa keuangan syariah tersebut telah menunjukkan perkembangan cukup pesat. Hingga triwulan kedua 2014 ini, nilai aset industri perbankan syariah telah mencapai Rp 250,55 triliun. Pertumbuhan industri perbankan syariah sepanjang tiga tahun terakhir rata-rata mencapai 36 persen. Masih lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan industri perbankan konvensional. Dengan rata-rata pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, industri perbankan syariah berhasil meningkatkan market share-nya hingga hampir mencapai 5 persen. Nilai aset industri keuangan non-bank syariah (IKNB syariah) pada triwulan kedua 2014 mencapai Rp 43,65 triliun dengan market share hampir mencapai 10 persen. Sementara itu, pada triwulan kedua 2014, nilai kapitalisasi saham syariah dan sukuk negara syariah di pasar modal masing-masing mencapai Rp 2.955,8 triliun serta Rp 179,1 triliun 6
Muliaman Hadad, Strategi Keuangan Syariah Menghadapi MEA.http://www.jpnn.co.id. diakses pada 10 maret 2015. 7 Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012.
dengan market share saham dan sukuk negara syariah masing-masing 58,63 persen dan 9,83 persen.8 Dari sisi perkembangan kelembagaan, jumlah lembaga keuangan syariah Indonesia juga terus bertambah. Hingga triwulan II 2014 ini, jumlah perbankan syariah di Indonesia telah mencapai 12 bank umum syariah (BUS), 21 unit usaha syariah (UUS), dan 163 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) dengan total jaringan kantor mencapai 2.582 kantor, yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Sementara itu, hingga triwulan II 2014, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah di Indonesia telah mencapai 48 lembaga asuransi syariah dan 48 perusahaan pembiayaan syariah. Pada 2015 Indonesia akan memasuki suatu era perekonomian baru. Pada tahun tersebut negara-negara ASEAN bersepakat untuk melakukan integrasi perekonomian dalam bentuk a single ASEAN market. Di level ASEAN, industri JKS Indonesia hanya kalah oleh Malaysia yang menduduki posisi kedua dunia. Berdasar laporan dari Islamic Financial Services Board tahun 2013, dilihat dari rasio profitabilitasnya, industri perbankan syariah Indonesia lebih kompetitif jika dibandingkan dengan Malaysia. Hal itu terlihat dari nilai return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) perbankan syariah Indonesia yang mengalahkan Malaysia. Sementara dilihat dari besaran market share perbankan syariah di level ASEAN, GIFR menempatkan Indonesia (5 persen) pada peringkat kedua setelah Malaysia (18 persen). Modal itu cukup membuat kita lebih optimistis menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia Sejak tahun 1992, industri perbankan di indonesia memulai babak baru dengan lahirnya undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, di mana pada tahun yang sama berdiri untuk pertama kalinya bank yang menjalankan sistem syari’ah yaitu Bank Mu’amalat Indonesia. Perkembangan perbankan syari’ah semakin pesat setelah disahkannya undang-undang nomor 10 tahun 1998, dimana dalam undang-udang tersebut sudah secara spesifik menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syari’ah.9 Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, bank syariah biasa disebut dengan Islamic Banking atau interest fee banking, yaitu system perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan system bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar)10. Perbankan syariah tentunya berbeda dengan perbankan konvensional, dan hal yang sangat mendasarinya adalah praktik-praktik yang terjadi di dalamnya. 8
Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia.............hal.6 9 Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2005). Hal. 14 10 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations (Leiden: E.J. Brill, 1996). Hal. 7
Jika bank konvensional menggunakan bunga untuk mendasari segala kegiatannya, dalam bank syariah tidaklah demikian. Bank syariah menggunakan system bagi hasil antara nasabah dan pihak bank. Keharaman bunga ini sudah Allah firmankan dalam Q.S Albaqarah: 275: Artinya: “…..mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Albaqarah: 275) Pembiayaan di bank syari’ah dibedakan berdasarkan jenisnya, dan terdapat 3 (tiga) jenis pembiayaan yang merupakan ciri khas dari bank syari’ah, pertama, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dengan menggunakan akad (kontrak) mudharabah dan musyarakah, kedua, pembiayaan dengan prinsip jual beli dengan menggunakan akad murabahah, salam dan istishna’ dan ketiga pembiayaan dengan prinsip sewa dengan menggunakan akad ijarah dan ijarah muntahiyah bitamlik (IMBT).11 Memasuki tahun 2014, Bank Indonesia memiliki beberapa skenario dan faktor-faktor penunjang untuk meningkatkan market share perbankan syariah. Skenario Pesimis; tekanan ekonomi khususnya, pengaruh eksternal (defisit transaksi perdagangan dan nilai tukar) masih menghambat kinerja sektor riil. Skenario Moderat; iB memanfaatkan sumber dana lain, seperti dana haji, private placement dan GRES untuk meningkatkan sumber dan pemanfaatan dana. Skenario Optimis: kinerja sektor riil segera pulih di tahun 2014, iB memanfaatkan sumber dana lain untuk meningkatkan sumber dan pemanfaatan dana, dan realisasi bank BUMN Syariah. Proyeksi pada akhir 2014, total asset perbankan syariah diperkirakan Rp 255,2 triliun (pesimis), Rp 283,6 triliun (moderat) dan maksimal Rp 312 triliun (optimis). Sementara total DPK diperkirakan di kisaran Rp 209,6 triliun (pesimis), Rp 220,7 triliun (moderat) dan Rp 232,8 triliun (optimis). Sedangkan total pembiayaan akan mencapau minimal Rp 216,7 triliun (pesimis), Rp 228 triliun (moderat) dan maksimal Rp 239,5 triliun (optimis). Berdasarkan tiga skenario tersebut, pangsa pasar perbankan syariah pada akhir tahun 2014 diperkirakan antara 5,25% – 6,25%.12 Tantangan Perbankan Syariah di Indonesia Dalam setiap kesempatan mestilah memiliki risiko atau tantangan yang melekat, begitu juga dengan MEA ini. Setidaknya ada tiga kendala keuangan syariah dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 13. Pertama, pangsa pasar yang masih kecil. Market share perbankan syariah Indonesia yang masih kecil akan menjadi penghambat dalam menghadapi MEA 2015. Perbankan syariah per Maret 2013 mencapai pertumbuhan sebesar 37,8 persen dengan total aset mencapai Rp 214,5 triliun. Namun, market share industri perbankan syariah baru menembus 4,9 persen dari total aset industri perbankan hingga Maret 2013. 11
Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2007). Hal. 22 12 Outlook Perbankan Syariah 2014. www.bi.go.id.diakses pada 16 Maret 2015. 13 Hermansyah, MEA 2015 dan Masa Depan Keuangan Syariah Kita. http://www.luwuraya.net/2014. Diakses pada 20 Maret 2015.
Pangsa pasar perbankan syariah ini masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan pangsa pasar industri perbankan konvensional yang sudah mencapai 95,1 persen. Industri perbankan syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia14. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan. Halim Alamsyah dalam sebuah analisisnya, dengan menggunakan indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing kategori terlihat bahwa bank syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank konvensional. Namun dari sisi Net Operational Margin (NOM), beberapa bank syariah lebih unggul. Dari sisi profitabilitas, Return On Asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank konvensional, namun dari sisi Return On Equity (ROE) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih kecil dibanding bank konvensional. Kedua, pengembangan produk. Tidak sedikit masyarakat yang beropini bahwa produk-produk yang ditawarkan oleh keuangan syariah sama saja dengan produk keuangan konvensional. Menurut mereka tidak ada bedanya produk keuangan syariah dengan produk yang ada di keuangan konvensional. Anggapan ini telah menimbulkan stigma negatif di kalangan masyarakat akan keberadaan industri keuangan syariah yang tidak lain adalah konvensional yang dibungkus dengan kata syariah. Pesimistis masyarakat muncul karena produk yang ditawarkan keuangan syariah kurang inovatif dan juga terbatas. Padahal untuk mendorong keuangan syariah dalam pengembangan produk Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2011 telah mengeluarkan regulasi kepada bank syariah berupa aturan di mana bank syariah boleh meluncurkan produk baru. Dalam regulasi ini bank lain tidak boleh meniru produk yang dikeluarkan bank tersebut selama dua tahun. Regulasi dari BI ini merupakan peluang besar bagi keuangan syariah untuk mempromosikan produk-produk unggulannya. Dengan aturan ini diharapkan keuangan syariah di Tanah Air bisa bersaing, baik di dalam maupun di tingkat ASEAN. Kurangnya inovasi dalam pengembangan produk-produk perbankan syariah disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga maqasid syariah. Hal ini berbeda dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan.
14
Hermansyah, MEA 2015 dan Masa Depan Keuangan Syariah Kita...................hal.4
Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding dengan negara lain. Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrument bank sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal. Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi ‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang berkelanjutan pada industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.15 Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap Sumber Daya Insani (SDI) dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Keberadaan skilled labours adalah faktor penting dalam menghadapi MEA 2015. Bila boleh dikatakan, barang, jasa, investasi, dan modal semua dikendalikan oleh skilled labours. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang mempuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Jika kita jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labours Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan bahwa kualitas skilled labours Indonesia masih jauh di bawah tiga negara penghuni kasta teratas yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Inilah tantagan yang kita hadapi saat ini. Di mana keberadaan skilled labours yang berbasiskan syariah alias para sarjana ekonomi islam? Seberapa besar kontribusinya untuk perekonomian dan industri perbankan syariah Indonesia saat ini? Para sarjana ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung liberal dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan
15
Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia.............hal.9
lebih rendah daripada itu. Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian Indonesia masih terbilang belum optimal.16 Secara logika, untuk mengurus dan merebut pasar domestik saja para praktisi ekonomi islam Indonesia masih ‘gelabakan’, apalagi jika harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang mana tambahan target pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non muslim. Ditambah lagi dengan kompetitor dari negara lain yang memiliki persiapan, strategi, dan modal yang lebih mumpuni dibandingkan para paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai contoh negara Malaysia yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya terhadap pengembangan perekonomian secara syariah. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi ekonomi Indonesia terutama melalui jalur syariah?, ataukah tunas perkembangan ekonomi syariah di tanah air akan sirna olehnya? Sekali lagi, inilah tantangan kontemporer bagi perkembangan industri keuangan dan perbankan syariah. Ketiga, krisis SDM yang berkualitas. Problem SDM khususnya di tubuh keuangan syariah sebenarnya merupakan masalah klasik yang hingga kini belum sepenuhnya bisa teratasi. Padahal masa depan industri keuangan syariah sangat bergantung pada pemenuhan SDM yang benar-benar berkualitas. Fakta di lapangan menyebutkan, setiap tahunnya industri keuangan syariah membutuhkan SDM kurang lebih 11.000. Sementara lembaga pendidikan saat ini hanya mampu menutupi kebutuhan SDM itu sekitar 3.750 per tahun. Di sini terjadi ketimpangan antara permintaan pasar dengan SDM yang tersedia. Akhirnya, untuk memenuhi SDM sebesar 11.000 itu dilakukan dengan cara memberikan training kepada SDM konvensional yang kemudian mereka disalurkan ke lembaga-lembaga keuangan syariah. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), total sumber daya manusia (SDM) bank umum syariah (BUS) serta unit usaha syariah (UUS) pada akhir Juni 2013 mencapai 34.726 karyawan, meningkat 9.972 karyawan atau 40 persen dari tahun lalu. Peningkatan SDM ini belum seberapa jika dibandingkan dengan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang melebihi 10.000 per tahun.17 Karenanya, krisis SDM ini perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua pihak terutama pemerintah dan kalangan lembaga pendidikan untuk menciptakan SDM-SDM yang siap pakai, kreatif da inovatif. SDM yang berkualitas adalah faktor kunci bagi masa depan keuangan syariah di Indonesia. Di era pasar bebas ASEAN yang akan berlaku 2015, SDM yang berkualitas akan menjadi penentu apakah keuangan syariah kita mampu bersaing atau tidak di tingkat ASEAN. Untuk melahirkan SDM yang siap pakai sesuai kebutuhan pasar, calon karyawan atau bankir harus menguasai dua disiplin ilmu sekaligus. Di samping paham akan ilmu ekonomi konvensional, para calon karyawan atau praktisi bank syariah harus memiliki pengetahuan syariah yang memadai. Jika dua keilmuan tersebut tidak bisa dipadukan, perkembangan industri perbankan syariah 16
Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA 2015 : Peluang dan Tantangan Kontemporer. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/. Diakses pada 12 Maret 2015 17 Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA................. Diakses pada 12 Maret 2015
bisa menemui kendala yang sangat serius. Dengan demikian, berbagai peluang dan tantangan dalam pengembangan keuangan syariah di era pasar bebas Asean 2015 harus menjadi perhatian bersama. Pemerintah, akademisi, praktisi, ulama dan masyarakat perlu bersatu dan bergandengan tangan memperbaiki berbagai kendala yang dihadapi keuangan syariah. Jika hal ini bisa dilakukan, Indonesia tidak perlu pesimis mengahadapi MEA 2015. Peluang Industri Perbankan Syariah Indonesia Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi dan peluang Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar khususnya dalam mengahdapi MEA, diantaranya : (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.18 Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Arab Saudi, dan Malaysia sebagai salah negara di kawasan ASEAN, di mana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen. Lebih jauh Halim dalam sebuah kajiannya menyatakan bahwa peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia menuju global player juga terlihat dari meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada 18
Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA ............... Diakses pada 12 Maret 2015.
tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$7,2 miliar. Dengan melihat perkembangan pesat keuangan syariah, terutama perbankan syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga rankingnya akan meningkat signifikan.19 Hal yang paling pokok adalah bahwa industri perbankan syariah memiliki peluang yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah dibuktikan ketika Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Bank Indonesia pun memberikan perhatian yang serius dalam mendorong perkembangan perbankan syariah, dikarenakan keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah memberikan dampak yang lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua, tidak terdapat produkproduk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak. Pemerintah pun Melalui Otorita Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan beberapa langkah strategis guna mengantisipasi hal ini, diantaranya adalah dengan20 : Pertama, OJK akan secara terus-menerus melakukan edukasi dan capacity building bagi industri jasa keuangan syariah Indonesia. Kedua, OJK harus mendorong terciptanya sinergi dan kerja sama di antara pelaku pasar di industri keuangan syariah, yaitu pasar modal syariah, perbankan syariah, asuransi syariah, koperasi syariah, dan lembaga keuangan mikrosyariah lainnya. Ketiga, OJK akan mendorong penguatan infrastruktur manajemen risiko dan budaya risiko di industri untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya gejolak/volatilitas ekonomi di masa depan. Keempat, OJK bakal secara kontinu menyiapkan kerangka regulasi serta pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan syariah. Kelima, OJK akan terus meningkatkan kerja sama dengan semua pihak, baik di level domestik maupun internasional, untuk senantiasa mengikuti arah perkembangan kebijakan keuangan syariah di dunia internasional. Selain itu OJK juga sedang menyusun masterplanpengembangan keuangan syariah. Dengan begitu, pengembangan industri jasa keuangan syariah Indonesia ke depan dapat dilaksanakan secara optimal. Khususnya dalam menyambut era 19
Halim Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia.............hal.12 20 Muliaman Hadad, Strategi Keuangan Syariah Menghadapi MEA.http://www.jpnn.co.id. diakses pada 10 maret 2015.
MEA 2015 untuk IKNB syariah dan pasar modal syariah serta MEA 2020 untuk perbankan Penutup Bila melihat pada uraian di atas, mengenai tantangan dan peluang perbankan syariah di Indonesia dalam menghadapi MEA, tentu tidak ada salahnya kita bersikap lebih optimistis daripada pesimis. Hal ini antara lain disebabkan oleh besarnya ketergantungan negara-negara ASEAN lainnya terhadap Indonesia, terlebih dalam industri keuangan syariah. Oleh sebab itu, diperlukan keterpaduan langkah dan sinergitas yang solid bagi semua pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adalah pemerintah, akademisi dan praktisi agar terwujud suatu kerjasama yang saling mendukung dan saling menguntungkan, sehingga industri perbankan syariah Indonesia menjadi leader di kawasan ASEAN atau bahkan dunia internasional. Dafar Pustaka Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2007). Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations (Leiden: E.J. Brill, 1996). Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2005). Alamsyah, Halim, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015,” makalah disampaikan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 tanggal 13 April 2012. Azwar, Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA 2015 : Peluang dan Tantangan Kontemporer. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/. Diakses pada 12 Maret 2015 Bank Indonesia, 2015. Outlook Perbankan Syariah 2014. www.bi.go.id.diakses pada 16 Maret 2015. Hermansyah, MEA 2015 dan Masa Depan Keuangan Syariah Kita. http://www.luwuraya.net/2014. Diakses pada 20 Maret 2015 Irfan Maulana Ubaidillah, Sistem Perbankan Syariah dalam Menghadapi Persaingan MEA 2015.http//www.kompas.com/kompasiana/ekonomi. Diakases pada 24 Februari 2015. Muliaman Hadad, Strategi Keuangan Syariah Menghadapi MEA.http://www.jpnn.co.id. diakses pada 10 maret 2015