CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG KOLOPAKING DI DESA KALIJIREK KECAMATAN KEBUMEN KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH (Suatu Tinjauan Folklor)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: Renggo Jatmiko C0104029
JURUSAN SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 i
CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG KOLOPAKING DI DESA KALIJIREK KECAMATAN KEBUMEN KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH (Suatu Tinjauan Folklor)
Disusun oleh : Renggo Jatmiko C0104029 Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum. NIP. 130 935 347
Pembimbing II
Dra. Sundari, M. Hum. NIP. 130 935 348
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M. Hum. NIP. 131 695 222
ii
CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG KOLOPAKING DI DESA KALIJIREK KECAMATAN KEBUMEN KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH (Suatu Tinjauan Folklor)
Disusun oleh : Remggo Jatmiko C0104029
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret pada tanggal 2009
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum. NIP. 131 569 259
..................
Sekretaris
Siti Muslifah, SS. M. Hum NIP. 132 309 444
..................
Penguji I
Drs. Christiana D. W, M. Hum. NIP. 130 935 347
……….......
Penguji II
Dra. Sundari, M. Hum. NIP. 130 935 348
...………....
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A NIP. 131 472 202 iii
PERNYATAAN Nama : Renggo Jatmiko NIM : C0104029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, skripsi berjudul Cerita Rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggumg Kolopaking di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten kebumen Jawa Tengah (Suatu Tinjauan Folklor) adalah betul-betul karya sendiri, dan bukan plagiat, dan tidak dibuatkan orang lain. Halhal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda atau kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta,
2009
Yang membuat pernyataan
Renggo Jatmiko
iv
MOTTO
Percayalah pada dirimu sendiri dan apapun yang kamu impikan. Jangan pernah katakan “aku tak bisa ” tapi katakanlah “aku pasti bisa” dan kau akan mendapat impianmu (Penulis)
“Kalau anda tidak berpikir tentang masa depan, Anda tidak akan pernah memilikinya ” (John Gale)
“Masa depan tidak pernah terjadi begitu saja Masa depan itu mesti diciptakan” (Will and Ariel Durrant)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk: 1. Bapak, Ibu tercinta 2. Almamaterku 3. Kekasih tercinta “Mediawati Fitriani”
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat petunjuk dan kemudahan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Cerita Rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Suatu Tinjauan Folklor). Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dorongan, bantuan dan bimbingan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Drs Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah mengijinkan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, yang telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum. selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
vii
4. Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum. selaku Pembimbing I yang telah memberi bimbingan dengan tulus dan dorongan sebagai sumber inspirasi untuk penulisan skripsi ini. 5. Dra. Sundari, M. Hum. selaku Koordinator Bidang Sastra, sekaligus Pembimbing II yang banyak memberi nasehat dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Drs. Wakit Abdullah, M. Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah membembing penulis selama setudi di Jurusan Sastra Daerah, dengan penuh perhatian dan kebijaksanaan. 7. Seluruh Dosen-dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan ilmunya sebagai bekal untuk penulis semoga bermanfaat khususnya penulis sendiri dan bagi masyarakat umumnya. 8. Pimpinan Staf Tata Usaha Fakultas Sastra dan seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dalam Administrasi. 9. Kepala dan Staf perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam pelayanan kepada penulis, khususnya selama menyelesaikan skripsi. 10. Kakak-kakakku, Mas Pur, Mas Aris, Mas Dodo, Mas Koko, Mas Uung, Mas Ambar, keceriaan, kesedihan dan dorongan moril kalian memberikan motivasi kepada penulis. 11. Keluarga besar Bapak Sugeng Riyadi, S,Pd. yang telah memperlakukan penulis layaknya anak sendiri, terima kasih atas kebaikan yang telah diberikan pada saat penelitian dilaksanakan.
viii
12. Bapak Mulyadi, Juru Kunci Makam Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking, yang telah banyak memberikan informasi mengenai data skripsi ini. 13. Bapak Amad Miftahudin,selaku Kepala Desa Kalijirek yang telah menerima penulis dengan baik. 14. Keluarga Bapak Margo Mulyono, yang telah banyak mendukung atas pembuatan skripsi ini, terima kasih atas suport dan doa-doanya. 15. Sahabat-sahabatku yang selalu ceria: Didik, Nana, Licka, Landung, Dewi dan Ayu Jurusan Sastra Daerah angkatan 2004. 16. Teman seperjuangan Amad, Arif, Galih, Wira, Redes, Bakti, dan anakanak Gedung Putih yang tidak bisa saya sebutkan satu-per satu. Terima kasih atas semua bantuan, dukungan dan doanya. 17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan dorongannya selama menjalankan penulisan skripsi ini. Semoga kebaikan dan ketulusan hati semua pihak yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala dan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, segala kritik dan saran yang bersifat membangun terbuka bagi penulis. Semoga hasil penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta,
Penulis
ix
2009
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................
x
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................
xiii
DAFTAR TABEL..........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xv
ABSTRAK .....................................................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................
1
B. Perumusan Masalah ....................................................................
10
C. Tujuan Penelitan..........................................................................
11
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
12
E. Sistematika penulisan...................................................................
13
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Cerita Rakyat ............................................................
14
B. Ciri-ciri Cerita Rakyat.................................................................
15
x
C. Bentu-bentuk Cerita Rakyat ........................................................
16
D. Fungsi Cerita Rakyat...................................................................
17
E. Pendekatan Folklor......................................................................
17
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ........................................................................
20
B. Bentuk Penelitian ........................................................................
20
C. Sumber Data dan Data ................................................................
21
D. Populasi dan Sampel ...................................................................
22
E. Teknik Pengumpulan Data..........................................................
23
F. Validitas Data..............................................................................
25
G. Teknik Analisis Data...................................................................
25
BAB IV ANALISIS A. Profil Masyarakat Desa Kalijirek................................................
27
1. Demografi Masyarakat ...........................................................
27
2. Keadaan Penduduk .................................................................
27
B. Bentuk dan Deskripsi Cerita K.R.A.T. Kolopaking....................
34
1. Bentuk Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking..........................
34
2. Deskripsi Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking......................
35
C. Artefak-artefak dan Tradisi Budaya yang terkait dengan Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking ..................................................................
51
1. Artefak-artefak K.R.A.T. Kolopaking....................................
51
2. Tradisi Budaya Masyarakat....................................................
51
D. Nilai-nilai
yang
terkandung
dalam
Cerita
Rakyat
K.R.A.T.
Kolopaking..................................................................................
xi
53
1. Kesetiaan ................................................................................
54
2. Kasih Sayang..........................................................................
56
3. Keberanian..............................................................................
59
4. Patriotisme..............................................................................
61
5. Tanggung Jawab...................................................................... 63 6. Kejujuran................................................................................. 64 E. Respon Masyarakat Desa Kalijirek terhadap Cerita K.R.A.T. Kolopaking..................................................................................
65
1. Generasi muda mengaku asing...............................................
65
2. Ceritanya telah lama terkubur ................................................
68
3. Perlu dilakukan penggalian data-data sejarah Kolopaking ....
70
4. Belum masuk ke bahan ajar sekolah sebagai muatan lokal....
71
5. Belum dipandang sebagai suatu aset ......................................
72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................
73
B. Saran............................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
79
LAMPIRAN ..................................................................................................
80
xii
DAFTAR SINGKATAN
Dok
: Dokumen
Dll
: Dan lain-lain
Dsb
: Dan sebagainya
Ha
: Hektar
K.R.A.T. Kolopaking : Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking Kab.
: Kabupaten
Kec.
: Kecamatan
Km
: Kilometer
M
: Meter
MAN
: Madrasah Aliyah Negeri
SDN
: Sekolah Dasar Negeri
SMA
: Sekolah Menengah Atas
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
SWT
: Subbhannaahu Waa Ta’ala
Th
: Tahun
YME
: Yang Maha Esa
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Tabel 2. Jumlah komposisi penduduk berdasarkan pendidikan di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Tabel 3. Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan atau mata pencaharian di Desa Kalijirek Kecematan Kebumen Kabupaten Kebumen Tabel 4. Penganut agama dan kepercayaan di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Tabel 5. Jumlah sarana peribadatan di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen
xiv
DAFTAR GAMBAR
Petilasan (Makam) K.R.A.T. Kolopaking Gambar 1 : Area Makam K.R.A.T. Kolopaking. Gambar 2 : Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking. Gambar 3 : Peneliti Renggo Jatmiko di Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking. Gambar 4 : Makam K.R.A.T. Kolopaking I dan II. Gambar 5 : Makam K.R.A.T. Kolopaking III. Gambar 6 : Makam K.R.A.T. Kolopaking IV. Gambar 7 : Makam Keluarga K.R.A.T. Kolopaking. Gambar 8 : Peneliti dengan Juru Kunci. Gambar 9 : Makam Tan Peng Nio dilihat dari depan. Gambar 10: Makam Tan Peng Nio dilihat dari samping. Gambar 11: Peziarah Mengadakan Tahlilan. Gambar 12: Rombongan Bupati Membaca Doa. Gambar 13: Doa Penutup oleh Pak Kyai Sahiyat. Gambar 14: Persiapan Penaburan Bunga. Gambar 15: Penaburan Bunga oleh Peziarah. Gambar 16: Silsilah Keluarga K.R.A.T. Kolopaking. Gambar 17: Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Gambar 18: Reruntuhan yang berdiri di tanah Sikenceng.
xv
Masjid Kalijirek Gambar 19: Masjid Mubarok di Desa Kalijirek dilihat dari depan. Gambar 20: Masjid Mubarok di Desa Kalijirek dilihat dari samping. Desa Kalijirek Gambar 21: Kantor Kepala Desa Kalijirek dilihat dari samping. Gambar 22: Kantor Kepala Desa Kalijirek dilihat dari depan.
xvi
ABSTRAK Renggo Jatmiko C0104029. Cerita Rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Suatu Tinjauan Folklor). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Latar belakang Penelitian ini adalah Cerita Rakyat dapat di kategorikan sebagai Sastra lisan. Sastra lisan merupakan manifestasi kreativitas manusia yang hidup dalam kolektifitas masyarakat yang memilikinya dan diwariskan turuntemurun secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking mengandung nilai-nilai, kegunaan, sehingga perlu penguraian terhadap nilai-nilai kultural bagi masyarakat pendukungnya dan melalui penelitian ini dapat diketahui pula sejauh mana profil masyarakat Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, bentuk, dan isi Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking, adat atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar petilasan K.R.A.T. Kolopaking dalam merawat serta melestarikannya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah profil masyarakat pemilik cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (2) Bagaimanakah bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (3) Adakah artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (4) Nilai-nilai ajaran apakah yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (5) Bagaimanakah respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan profil masyarakat pemilik cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (2) Mendeskripsikan bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (3) Menjelaskan artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (4) Mendeskripsikan nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (5) Menjelaskan respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. Manfaat penelitian berkaitan dengan penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang diantaranya sumber data dan data. Sumber data primer adalah data utama, dalam penelitian ini sumber data primernya adalah informan atau responden yang mengetahui cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. Sumber data sekunder adalah data pelengkap atau data pendukung yang sedikit banyak membantu kesahihan suatu penelitian. Data juga dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah hasil wawancara dengan informan tentang cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. Data sekunder adalah keterangan dan data yang terambil dari buku-buku atau referensi yang relevan dengan topik penelitian. Metode penelitian yang digunakan sebagai berikut: Lokasi penelitian berada di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa xvii
Tengah. Penelitian ini bertumpu pada landasan teori Folklor dan pendekatan yang dipakai ialah Folklor. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini dengan mengunakan teknik wawancara, observasi langsung (lapangan), studi dokumen atau kepustakaan, dan teknik analisis isi (content analisys). Teknis analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penganalisaan dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Profil masyarakat pemilik cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, ditinjau dari segi geografis, demografis, agama dan kepercayaan, sosial budaya, tradisi masyarakat. (2) Bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking juga mengandung mite, diantaranya kepercayaan bahwa tokoh ceritanya memiliki kekuatan istimewa. Misalnya tetesan darah K.R.A.T. Kolopaking berubah menjadi ular-ular “jadijadian”. Selain itu cerita rakyat tersebut juga mengandung legenda, yaitu kejadian atau penamaan suatu tempat. Misalnya pemberian nama pesawahan Si Kenceng dan asal mula Desa Jatimalang. (3) Artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, tidak ada peninggalan benda-benda pusaka selain makam tersebut,lemari, dan meja ukir. Sedangkan tradisi budaya berupa ritual doa bersama, tahlilan, membaca surat-surat pendek,dan tabur bunga. (4) Nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, sebagai berikut: kesetiaan, kasih sayang, keberanian, patriotisme, tanggung jawab dan kejujuran. (5) Respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking adalah sebagai berikut: generasi muda mengaku asing, ceritanya telah lama terkubur, perlu dilakukan penggalian data-data sejarah Kolopaking, belum masuk ke bahan ajar sekolah sebagai muatan lokal, belum dipandang sebagai suatu aset.
BAB I
xviii
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Warisan budaya nenek moyang kita mengandung nilai-nilai atau ajaran luhur seperti kejujuran, keberanian, patriotisme, kesetiaan, kasih sayang, rela berkorban, dan sebagainya. Nilai-nilai atau ajaran luhur tersebut bersifat universal , tak lekang dimakan usia dalam arti tetap aktual dan sesuai diterapkan di segala zaman. Warisan nilai-nilai budaya adi luhur tersebut banyak terdapat dalam folklor. Folklor adalah suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki budaya lain (Laelasari dan Nurlaela, 2006: 100). Folklor juga didefinisikan sebagai bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-menurun di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (James Danandjaja, 1984: 2). Folklor berupa karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk baku dan disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama disebut cerita rakyat (James Danandjaja, 1984: 4). Salah satu cerita rakyat yang hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat Kebumen adalah kisah tentang Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking selanjutnya ditulis K.R.A.T. Kolopaking. Kisah yang tepat dikelompokkan ke dalam epos tersebut diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan. Pernah pula dipentaskan melalui sebuah pertunjukan kethoprak pada acara memperingati Hari Jadi Kebumen. K.R.A.T. Kolopaking adalah penguasa Kebumen yang pada waktu itu masih bernama Panjer Roma.
Wilayahnya meliputi
Rowo Ambal, Bocor, Petanahan, Puring,
Gombong, Karanganyar, Panjer, Kutowinangun, dan Prembun dengan ibukota
Panjer.
K.R.A.T. Kolopaking adalah sosok yang teguh dalam berpendirian, memiliki kesetiaan atau loyalitas yang tinggi, dan berani menentukan pilihan dengan berbagai resikonya.
xix
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Istana Kerajaan Mataram berhasil direbut oleh pemberontak bernama Pangeran Trunojoyo dari Madura. Raja Mataram, yakni Sunan Amangkurat I menyingkir. Sunan bersama rombongannya bergerak menuju Kasunanan Cirebon. Beberapa hari kemudian, pada waktu menjelang Magrib, Sunan dan rombongannya tiba di Rowo Ambal. K.R.A.T. Kolopaking yang masih mengakui Sunan Amangkurat I sebagai raja yang sah menjemputnya dan mempersilakannya singgah di Panjer. Keputusan menerima Sunan Amangkurat I, di satu sisi merupakan bentuk kesetiaan atau loyalitasnya yang tinggi terhadap raja Mataram yang sedang dalam pelarian itu. Di sisi lain menunjukkan keberaniannya dalam menentukan pilihan yang mengandung resiko besar, sebab jika hal itu diketahui oleh Pangeran Trunojoyo, maka ia dianggap oleh penguasa baru itu membantu pelarian dan hukumannya tidak ringan. K.R.A.T Kolopaking melihat Sunan Amangkurat I, selain menderita kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang juga mengidap suatu penyakit. Setelah melakukan analisa K.R.A.T. Kolopaking mendiagnosa Sunan Amangkurat I menderita keracunan. Ia segera mencari buah kelapa untuk diambil airnya sebagai penawar racun. Oleh karena keadaan Sunan sudah sangat gawat, maka buah kelapa yang kulitnya sudah kering ( klapa aking) pun jadilah. Air kelapa segera diminumkan dan tak lama kemudian Sunan muntahmuntah. Selanjutnya keadaannya berangsur-angsur membaik. Beliau selain menderita penyakit fisik seperti kelelahan dan keracunan, Sunan Amangkurat I menderita batin yang luar biasa. Ia telah dilengserkan dari kursi kekuasaannya dan harus berkelana. Ketika banyak orang menghargai orang lain karena kedudukannya, K.R.A.T. Kolopaking tidak. Sunan Amangkurat I, walaupun tahtanya telah direbut orang lain dan tidak lagi memiliki kekuasaan, K.R.A.T.. Kolopaking masih menganggap dan memperlakukannya sebagai raja. Sikap demikian dapat dikatakan sebagai nguwongake atau menghargai orang lain pada tataran terhormat. Di sisi lain sikap dan K.R.A.T. Kolopaking merupakan obat bagi penyakit batin yang sedang diderita oleh Sunan Amangkurat I. Semua itu dilakukan K.R.A.T. Kolopaking dengan tanpa pamrih.
xx
Jiwa patriotisme dan kepahlawanan ditunjukkan oleh K.R.A.T Kolopaking masa pecahnya Perang Diponegoro. K.R.A.T. Kolopaking secara terang-terangan membela Pangeran Diponegoro dalam usahanya memerangi Kolonial Belanda. Ia mengerahkan seluruh kemampuan yang ada guna membantu Pangeran Diponegoro yang berperang demi menjaga martabat tanah kelahirannya. Akibat dari sikapnya itu, karena Belanda menerapkan siasat adu domba, K.R.A.T. Kolopaking harus berhadapan dengan Adipati Arungbinang. Akibat yang lebih parah ia harus menyerahkan kekuasaannya atas Panjer Roma (Kebumen) kepada Adipati Arungbinang yang mendapat bantuan penuh dari Kolonial Belanda. Berani menjatuhkan pilihan harus berani pula menanggung resikonya. Akibat memilih membantu perjuangan Pangeran Diponegoro K.R.A.T. Kolopaking
kehilangan
kedudukannya. Ia juga harus menyaksikan pembantu-pembantu setianya satu-persatu ditangkap dan dihukum mati. Bahkan K.R.A.T. Kolopaking sendiri harus beradu satu lawan satu melawan Adipati Arumbinang. Menurut cerita peristiwa itu terjadi di sawah Sikenceng yang sekarang lokasinya di timur Stadion Candradimuka, Kebumen. Pada pertarungan itu lengan K.R.A.T. Kolopaking terluka dan mengeluarkan darah. Sebagian masyarakat masih percaya bahwa ceceran darahnya berubah menjadi banyak ”ular”. Sampai sekarang sawah Sikenceng terkenal angker dan dihuni banyak ular yang bukan ular biasa Mitos tersebut masih hidup hingga kini. Terbukti rumah yang dibangun di sudut sawah Sikenceng hanya beberapa hari dihuni setelah dibangun, karena ”ular” sering mengganggu penghuninya. Hal itu terjadi pada tahun 1980-an dan hingga kini pondasi rumah dan puing-puingnya masih terlihat. K.R.A.T. Kolopaking juga merupakan sosok yang tidak memandang suku dalam pergaulannya. Untuk membantu Pangeran Mas Garendi yang sedang berperang melawan Kolonial Belanda, K.R.A.T. Kolopaking merekrut pemuda-pemuda Cina untuk dilatih kemiliteran dan kemudian diperbantukan kepada Pangeran Mas Garendi di BoyolaliKartosuro Mataram (Kotapraja). Sampai beberapa tahun kemudian ia bersahabat dengan pemuda Cina bernama Tan Ping.
xxi
Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita rakyat tentang K.R.A.T. Kolopaking dan
relevan di-ejawantah-kan pada kehidupan masa kini. Adapun alasan
mengapa Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking penulis pilih sebagai objek kajian dapat diterangkan sebagai berikut: 1.
Kejujuran Pada waktu Mataram merencanakan penyerangan terhadap VOC di Batavia
(Jakarta), penguasa Panjer Roma dipercaya menjadi Adipati bidang pangan. Didirikanlah lumbung-lumbung sebagai tempat penyimpanan bahan pangan yang disediakan bagi tentara yang akan mengadakan perjalanan jarak jauh ke Batavia. Penunjukan penguasa Panjer Roma sebagai Adipati bidang pangan tentu ada alasannya. Satu hal yang pasti adalah kejujuran. Tanpa memiliki predikat jujur mustahil dia diberi jabatan ”basah” itu. Bagi orang yang tidak kuat imannya atau tidak jujur, jabatan itu dapat digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau yang sekarang populer dengan sebutan korupsi. Pada era sekarang kita mendambakan pemimpin-pemimpin yang jujur. Kita tak ingin mendengar lagi berita: oknum Kepala Dinas ”anu” ; Gubernur ”itu”; Bupati ”sana”; Ketua ”apa” ; atau pemegang jabatan strategis lainnya dimasukkan penjara gara-gara korupsi. Uang negara dicatut mulai dari ratusan juta hingga milyaran, bahkan sampai trilyunan rupiah berpindah ke pundi-pundi kekayaan pribadi para koruptor. Sementara di pihak lain, rakyat masih menderita. Kita menginginkan pemimpin yang dapat membawa rakyatnya sejahtera. Pemimpin yang mampu berbuat seperti itu adalah pemimpin yang jujur. Pepatah: siapa jujur akan hancur hendaknya dibuang jauh-jauh dari benak pemimpin-pemimpin masa kini. Kejujuran dalam Cerita Rakyat Kolopaking ini bisa dijadikan satu teladan. 2.
Keberanian Sikap berani letaknya di dalam hati. Keberanian itu baru dapat dilihat dari tindakan
yang dilakukan oleh si pemilik hati . Wujud dari sikap berani dapat bermacam-macam. Kolopaking memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro memerangi VOC termasuk manifestasi keberanian itu. Tanpa memiliki keberanian mustahil ia memilih jalan itu.
xxii
Bukankah dengan memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro sama dengan mengambil Belanda sebagai musuh? Padahal kita tahu persenjataan mereka lebih modern dan pengikutnya lebih banyak, termasuk orang-orang pribumi pengkhianat. Keberanian semacam itu juga ditunjukkan oleh Kolopaking ketika menerima Amangkurat I singgah di Panjer Roma. Padahal pada waktu itu beliau adalah raja yang terusir dari tahtanya oleh Pangeran Trunojoyo. Berani menampung Amangkurat I sebagai pelarian berarti menjadi musuh Pangeran Trunojoyo. Keberanian juga penting dimiliki oleh pemimpin masa kini, tentu saja untuk membela kebenaran dan kepentingan rakyat. Berita-berita mengecewakan tentang pemimpin yang ”tidak mau” menunjukkan sikap keberaniannya santer terdengar akhir-akhir ini. Misalnya kasus pembalakan liar terus saja terjadi, walaupun banyak pihak menyerukan hal itu agar segera dihentikan. Pelaku yang telah tertangkap juga tak diberi ganjaran hukuman setimpal. Ada sinyalemen ”Sang Pemimpin” takut karena si pembalak di-beking-i oleh seseorang yang sangat disegani. Dengan kata lain ”Sang Pemimpin” takut resiko, misalnya jabatannya dicabut. Demikian pula dalam beberapa kasus lainnya. Cukuplah keberanian Kolopaking jadi teladan. 3.
Patriotisme Pada sisi yang lain ketetapan Kolopaking memilih bergabung dengan Amangkurat I
dan Pangeran Diponegoro di masa berikutnya adalah karena didorong oleh kecintaannya terhadap negeri tumpah darahnya. Sedumuk bathuk, senyari bhumi, itulah semboyan yang terpatri di sanubarinya. Jiwa dan raga ia relakan demi kejayaan negeri. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah. Oleh karena itu kehilangan jabatan bukanlah hal yang ditakuti. Apalagi berjuang mempertahankan kejayaan negara termasuk ibadah. 4.
Kesetiaan Kesetiaan bisa jadi berkait erat dengan sikap teguh dalam berpendirian. Kesetiaan
dapat ditujukan kepada seseorang, dapat pula terhadap prinsip atau keyakinannya sendiri. Di mata Kolopaking, Amangkurat I, sekalipun telah terusir dari istananya tetaplah Raja Mataram. Oleh karena itu kedatangannya di Panjer Roma dalam pelariannya menuju Cirebon
xxiii
disambut dengan sangat hormat. Andaikata Amangkurat I berkenan pasti dimohon untuk tetap tinggal di Panjer Roma. Keputusan semacam itu, termasuk ketika memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda tentu telah melalui berbagai pertimbangan. Pilihan itulah akhirnya yang diyakini paling benar. Oleh karena itu selanjutnya ia berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan prinsipnya. Dengan kata lain ia setia terhadap pilihan atau keyakinannya itu. Kesetiaan dan sikap teguh dalam berpendirian juga relevan dimiliki oleh generasi sekarang, bukan hanya para pemimpin, melainkan juga rakyat jelata. Suap-menyuap dan politik uang tak mungkin dapat dijalankan jika setiap orang memilih kesetiaan terhadap ”nilai-nilai kebenaran” dan teguh dalam berpendirian. Sayangnya semangat seperti itu telah mengendor. Bahkan pada pemilihan kepala desa saja, jika tidak ada money politics atau wuwuran para calon pemilihnya mengancam tidak akan menggunakan hak pilihnya. Parah sekali. Keinginan berpolitik uang yang pada mulanya inisiatif dari calon pemimpin, ternyata gayung bersambut dengan yang dimaui calon rakyatnya. Dengan demikian nilai-nilai luhur dari cerita-cerita rakyat, termasuk Cerita Rakyat Kolopaking perlu dimunculkan lagi dan dipersering agar dapat merasuk ke sanubari generasi muda. 5.
Kasih-sayang Seorang pemimpin yang disegani bukanlah pemimpin yang otoriter, yang
menjalankan kekuasaanya dengan tangan besi dan tanpa kasih-sayang. Sebaliknya dengan kasih-sayang seseorang, bukan hanya pemimpin dapat menjadi sosok yang sangat dihormati. Kasih-sayang semacam itu yang ditunjukkan oleh Kolopaking ketika masih bernama Kertowongso, antara lain ketika melihat Amangkurat I dalam kondisi sangat kritis karena menderita keracunan. Bagai seorang dokter terhadap pasiennya, Kertowongso meracik ramuan berupa air kelapa agar diminum oleh Amangkurat I. Kertowongso juga
sangat
memahami bahwa ketika itu Sang Raja sedang menderita lahir batin. Dengan kasih-sayang yang diwujudkan melalui penerimaan yang ramah dan bentuk penghormatan lainnya ia berharap penderitaan batin Amangkurat I berkurang. Perasaan kasih-sayang juga diwujudkan
xxiv
oleh Kolopaking dengan menerima orang lain tanpa mempermasalahkan latar belakang. Ia dapat menjalin hubungan yang wajar dengan warga keturunan Cina, maupun suku lain. Semangat kasih sayang tetap relevan dikembangkan dalam kehidupan masa kini. Dengan semangat kasih-sayang persatuan dan kesatuan bangsa dapat diwujudkan. Dengan kasih-sayang akan terbina hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, antar warga masyarakat, bahkan antar elemen suatu bangsa. 6.
Rela berkorban Kerelaan berkorban dapat diartikan sebagai bentuk keikhlasan melaksanakan atau
menerima akibat dari sebuah pilihan yang telah dijatuhkan. Kerelaan berkorban juga berarti kesediaan melepaskan segala sesuatu miliknya menjadi milik pihak lain tanpa rasa berkeberatan. Satu contoh: Kolopaking memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro, maka ia pun harus menerima akibat bahwa dirinya akan menjadi musuh VOC Belanda. Ia harus pula merelakan apa saja miliknya untuk kepentingan memperjuangkan keyakinannya. Jadi, kerelaan berkorban adalah syarat wajib bagi orang yang bertanggung-jawab, lebih-lebih seorang pemimpin. Nilai-nilai luhur lainnya tentu masih banyak yang tersirat dalam Cerita Rakyat Kolopaking. Nilai-nilai luhur tersebut dapat diwariskan kepada generasi muda antara lain melalui media cerita rakyat.
B.
PERUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah profil masyarakat Desa Kalijirek, khususnya sebagai pemilik cerita rakyat K.R.A.T Kolopaking?
2.
Bagaimanakah bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking?
3.
Adakah artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking?
xxv
4.
Nilai-nilai ajaran apakah yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking dan Relevansinya pada masa kini bagi masyarakat Kebumen?
5.
Bagaimanakah respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? C. TUJUAN
Dari beberapa permasalahan tersebut penulis menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan profil masyarakat Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen sebagai pemilik cerita rakyat K.R.A.T Kolopaking. 2. Mendeskripsikan bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. 3. Menjelaskan artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. 4. Mendeskripsikan nilai-nilai ajaran apakah yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking dan Relevansinya pada masa kini bagi masyarakat Kebumen. 5. Menjelaskan respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dalam hal manfaat berkaitan dengan penelitian ini, maka dari obyek kajian, batasan masalah serta tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, diantaranya sebagai berikut.
1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan terhadap kajian Folklor, selain itu hasil penelitian ini menambah khasanah penelitian folklor di tanah air.
2.
Manfaat Praktis
xxvi
Memberikan dorongan kepada pihak-pihak terkait, misalnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kesenian, Tokoh-tokoh Pendidikan, dan Penerbit untuk melakukan kegiatan pendokumentasian cerita rakyat Kolopaking untuk kepentingan pelestarian dan upaya penanaman nilai-nilai luhur warisan para pendahulu, khusunya bagi masyarakat Kebumen dan umumnya generasi muda. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat pula sebagai: a)
Sebagai bahan dokumentasi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking.
b) Dapat dipahami sebagai referensi ajaran moral dan etika bagi masyarakat.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, ruang lingkup, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: LANDASAN TEORI Landasan teori meliputi definisi cerita rakyat. Pendekatan cerita rakyat terdiri dari pengertian cerita rakyat, jenis, ciri dan fungsi dari cerita rakyat,bentuk-bentuk cerita rakyat.
BAB III
: METODE PENELITIAN Metode penelitian meliputi lokasi penelitian, bentuk penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, validitas data dan teknik analisa data.
BAB IV
: PEMBAHASAN Pembahasan meliputi deskripsi dan analisis.
BAB V
: PENUTUP Penutup meliputi kesimpulan dan saran.
xxvii
BAB II LANDASAN TEORI
Definisi Cerita Rakyat Menurut Atar Semi (1993: 74) cerita rakyat adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan. Tokoh-tokoh cerita atau peristiwa-peristiwa yang diungkapkan dianggap pernah terjadi dimasa lalu atau merupakan suatu kreasi atau hasil rekaman semata yang terdorong oleh keinginan untuk menyampaikan pesan atau amanat tertentu, atau merukan suatu upaya anggota masyarakat untuk memberi atau mendapatkan hiburan atau sebagai pelipur lara. Menurut James Danandjaya (1984:4) cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk baku, disebarkan di antara kalangan tertentu dan dalam waktu yang relatif lama. Menurut Elli Konggas Maranda berpendapat ( dalam Yus Rusyana 1981:10 ) bahwa cerita rakyat adalah cerita lisan sebagai bagian dari folklor dan merupakan bagian persediaan cerita yang telah mengenal huruf maupun belum. Perbedaannya dengan sastra tulis adalah bahwa sastra lisan tidak mempunyai tulisan. Walaupun jika cerita lisan itu ditulis, maka naskah itu hanya merupakan catatan dari sastra lisan itu, misalnya mengenai guna dan perilaku yang menyertainya. Dengan demikian, sastra lisan akan lebih mudah dipahami sebab ada unsur-unsur yang mudah dikenal oleh masyarak setempat (Rusyana, dalam sastra lisan Wolio: 1978). 1. Ciri-Ciri Cerita Rakyat James Danandjaya ( 1984:4 ) berpendapat bahwa cerita rakyat sebagai folklor mempunyai beberapa ciri pengenal yang membedakan dari kesusasteraan secara tertulis sebagai berikut. a.
Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
xxviii
b.
Cerita rakyat memiliki versi yang berbeda-beda karena penyebarannya secara lisan.
c.
Cerita rakyat bersifat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
d.
Cerita rakyat anonim karena pengarangnya tidak diketahui lagi, maka cerita rakyat telah menjadi milik masyarakat pendukungnya.
e.
Cerita rakyat selalu menggunakan bentuk berpola yaitu menggunakan kata-kata klise, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan mempunyai pembukaan dan penutupan yang baku. Gaya ini berlatar belakang kultus terhadap peristiwa dan tokoh utamanya.
f.
Cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif yaitu sebagai sarana pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g.
Cerita rakyat mempunyai sifat-sifat prologis, dalam arti mempunyai logika tersendiri, yaitu tentu saja lain dengan logika umum.
h.
Cerita rakyat menjadi milik bersama dari suatu kolektif tertentu. Dasar anggapan ini sebagai akibat sifatnya yang anonim.
i.
Cerita rakyat bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatan kasar, terlalu spontan. 2. Bentuk-Bentuk Cerita Rakyat Cerita rakyat memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di muka dan
memiliki bentuk-bentuk seperti di bawah ini. a.
Mite mengandung tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya di tempat lain dan masa terjadinya jauh di masa purba.
b.
Legenda adalah cerita yang mengandung ciri-ciri hampir sama dengan mite. Tokoh dalam legenda tidak disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaib, tempat terjadinya di
xxix
dunia kita. Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya tempat, seperti pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya. c.
Dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh ketentuan tentang pelaku, waktu dan tempat. Dongeng hanyalah cerita khayalan belaka. 3. Fungsi Cerita Rakyat James Danandjaja (1984:19), berpendapat bahwa cerita rakyat memiliki
fungsi sebagai berikut. a.
Sistem proyeksi (projective system) sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.
b.
Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan.
c.
Alat pendidikan anak (paedagogical devide).
d.
Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi. 4. Pendekatan Folklor Secara etimologis, kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris
folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaan, yang diwariskan secra turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (James Danandjaya, 1991:1). Definisi folklor secara keseluruhan menurut James Danandjaya adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar yang diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (James Danandjaya 1991 : 1-2).
xxx
Pendekatan folklor terdiri dari tiga tahap, yaitu pengumpulan, pengulangan, dan penganalisaan. Dalam hal ini yang akan diterapkan mengenai tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian folklor. James Danandjaya berpendapat, ada tiga tahap yang harus dilakukan oleh seorang peneliti di objek. 1.
Tahap pra penelitian di tempat Sebelum memulai penelitian, yaitu terjun ke tempat atau daerah, kita hendak melakukan penelitian suatu bentuk folklor, kita harus mengadakan persiapan matang, jika hal ini tidak kita lakukan maka usaha penelitian kita akan mengalami banyak hambatan yang seharusnya tidak akan terjadi.
2.
Tahap penelitian di tempat sesungguhnya Tahap ini dimaksud untuk menjalin hubungan yang haronis dengan informan, maka sebagai peneliti harus jujur, rendah hati, dan tidak bersikap menggurui. Sikap yang demikian akan membuat informan dengan cepat menerima dan memberikan semua keterangan yang diperlukan. Sedangkan cara yang dapat dipergunakan untuk memperoleh semua bahan folklor di tempat adalah melalui wawancara dengan informan dan melakukan pengamatan.
3.
Cara pembuatan Naskah Folklor bagi Kearsipan Pada setiap naskah koleksi folklor harus mengandung tiga macam bahan yaitu: a.
Teks bentuk folklor yang dikumpulkan
b.
Konteks teks yang bersangkutan
c.
Pendekatan dan penilaian informasi maupun pengumpulan folklor
(James Danandjaya, 1991 : 193). Jadi kesimpulannya jika folklor itu belum diakui atau dipercaya oleh masyarakat, maka bukan termasuk cerita rakyat. Cerita rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking (K.R.A.T. Kolopaking) telah diakui keberadaannya oleh masyarakat pemiliknya yaitu masyarakat Desa Kalijirek,
xxxi
Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen dan sekitarnya. Masyarakat di Desa Kalijirek sebagai pemilik cerita tersebut masih melaksanakan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang timbul karena adanya cerita tersebut.
xxxii
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian meliputi alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Selain itu metode juga berarti cara mengamati atau menganalisis suatu fenomena. Penelitian mencakup kesatuan atau serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sample data, teknik pengumpulan dan ada analisis data.
1.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terletak di Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Di desa Kalijirek K.R.A.T. Kolopaking dan keluarganya dimakamkan.
2.
Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu bentuk penelitian yang berupa kumpulan data-data berwujud kata-kata, kalimat atau gambar-gambar yang memiliki arti lebih luas dibanding sekedar angka-angka atau jumlah. Penelitian ini berusaha menganalisis data dengan semua kekayaan wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya seperi pada waktu dicatat. (H.B. Sutopo,2002:35). Penelitian ini dilakukan terhadap tingkah laku manusia dalam kehidupannya sehari-hari dalam keadaan yang rutin dan secara wajar. Hasil analisis yang dicapai diusahakan sedekat mungkin sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan, yaitu dengan cara mendiskripsikan peristiwa yang sebenarnya.
3.
Sumber Data dan Data Penelitian
a. Sumber Data
xxxiii
Sumber data primer adalah data utama. Dalam penelitian ini sumber data primernya adalah informan atau responden yang mengetahui dan paham cerita tentang cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking dan informan atau orang-orang yang ziarah ke makam K.R.A.T. Kolopaking, baik penduduk asli maupun pendatang. Sumber data sekunder adalah data pelengkap atau data pendukung yang sedikit banyak membantu kesahihan suatu penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan oleh peneliti adalah buku-buku yang relevan dengan penelitian yaitu berupa dokumen; buku-buku, peta, monografi, hasil rekaman. b. Data Penelitian. Data penelitian juga dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data lisan, berwujud hasil wawancara dengan informan tentang cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, dan data mengenai penghayatan masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking tersebut. Sedangkan data sekunder penelitian ini ialah data tulis yaitu data yang terambil dari buku-buku atau referensi yang relevan dengan topik penelitian.
4.
Populasi dan Sampel
a. Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda, hewan, dan sebagainya yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1983).
Dalam
penelitian
kali
ini
penulis menetapkan populasi penelitian antara lain, pejabat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen, pejabat di Dinas Pariwisata dan Kesenian Kabupaten Kebumen, para tokoh masyarakat terutama seniman atau budayawan yang relevan dengan cerita rakyat tersebut, yaitu para pemain kethoprak dan dalang. b. Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Kalijirek, sebagai pemilik Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking yang mengetahui dan memahami Cerita
xxxiv
Rakyat tersebut. Dalam penentuan sampel dalam populasi yang tinggi tersebut digunakan cara purposive sampling (penentuan sampel). Dalam purposive sampling subyeknya didasarkan atas diri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut dengan ciri-ciri sifat populasi itu sendiri (Sutrisno Hadi, 1982: 29)
5.
Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara Wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interviewe), pedoman wawancara, dan situasi wawancara. Pewawancara adalah pengumpul informasi. Oleh karena itu pewawancara diharapkan dapat menyampaikan semua pertanyaan dengan jelas, merangsang responden untuk menjawab semua pertanyaan, dan mencatat semua informasi yang dibutuhkan dengan benar. Responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan dengan jelas dan lengkap. Untuk itu diperlukan motivasi atau kesediaan responden menjawab pertanyaan dan hubungan selaras antara responden dengan pewawancara, Pedoman wawancara yang digunakan pewawancara harus menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Dalam hal ini penulis berusaha menghindari pertanyaan yang sulit dan peka karena dapat menghambat jalannnya wawancara. Hasil wawancara diperoleh dari wawancara kepada masyarakat setempat dan pendatang yang berziarah, serta instansi Pemerintahan khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen, sedangkan yang menjadi responden antara lain juru kunci K.R.A.T. Kolopaking, tokoh masyarakat, para pengunjung makam K.R.A.T. Kolopaking dan masyarakat umum yang benar-benar mengetahui dan paham tentang
xxxv
cerita tersebut, responden yang diambil meliputi orang-orang atau masyarakat dari golongan tua yang berumur 30 tahun keatas dan responden dari golongan muda yang berumur 20-29 tahun. b.Teknik Pengamatan Dalam teknik pengamatan, peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap subjek penelitian. Berdasarkan pelaksanaannya, pengamatan ini dibedakan menjadi pengamatan langsung dan pengamatan tak langsung. Pengamatan langsung adalah teknik pengamatan dilaksanakan secara langsung dengan indera peneliti, tanpa menggunakan peralatan khusus. Sedangkan pengamatan tak langsung menggunakan bantuan peralatan, misalnya mikroskop, kamera, tape rekorder, dan sebagainya. Pengamatan dapat dilakukan terhadap situasi sebenarnya dan dapat pula pada situasi buatan, misalnya dengan permainan peran ( roleplaying ) yang direkam atau dishooting. c. Teknik Kepustakaan Teknik kepustakaan adalah teknik pengumpulan data terhadap buku-buku dan atau catatan yang ada dan relevan dengan subjek penelitian. Cara kerjanya adalah dengan mengumpulkan data yang bersumber dari penelitian, seminar dan sebagainya. Dalam analisis dokumen yang penting untuk diperhatikan adalah reabilitas data. Pengecekan atau penegasan reliabilitas hasil kesimpulan dicapai dengan menginformasikan hasil kesimpulan tersebut kepada informan yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran informasi, mengingat cara penyampaianya yang berbeda.
6.
Validitas Data
Dalam suatu penelitian data yang telah dikumpulkan wajib diusahakan kemantapannya, artinya peneliti harus berupaya meningkatkan validitas data yang diperoleh.
xxxvi
Teknik tringulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk pengecekan sebagai pembanding data. Tringulasi metode yaitu wawancara, observasi, dan analisis dokumen untuk mengecek kevalidan data yang diperoleh. (Lexy J. Moleong, 1990: 178).
7.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa interaktif. Teknik interaktif adalah penelitian yang bergerak diantara tiga komponen, yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Wujud data merupakan suatu kesatuan siklus yang menempatkan peneliti tetap brrgerak diantara ketiga siklus. Untuk lebih jelasnya, proses analisa data dengan model interaktif ini dapat dilihat dari bagan sebagai berikut di bawah:
PENGUMPULAN DATA
REDUKSI DATA
SAJIAN DATA
PENARIKAN KESIMPULAN Bagan 1. Analisis Data Interaktif (Millis dan Huberman, dalam H.B. Sutopo, 2002: 96)
xxxvii
BAB IV PEMBAHASAN
A. Profil Masyarakat Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen 1.
Letak dan Luas Desa yang luasnya 138 hektar itu terletak 3,5 kilometer di sebelah timur ibu kota
kabupaten yaitu Kebumen. Keadaan wilayah desa tersebut adalah 68,5 % dari luas wilayahnya berupa tanah kering atau seluas 85 hektar yang terdiri atas tanah pekarangan dan tegalan. Selebihnya 31,5 % merupakan tanah sawah atau seluas 39 hektar. 2.
Keadaan Penduduk Berdasarkan data yang tertera pada Buku Potensi Desa Kalijirek, jumlah
penduduk Desa Kalijirek pada Akhir September 2008 adalah 1.743 jiwa, terdiri dari 902 orang penduduk laki-laki dan 841 orang penduduk perempuan. Untuk mempermudah pelayanan di bidang pemerintahan, maka di Desa Kalijirek dibentuk 2 wilayah Rukun Warga (RW) dan 9 wilayah Rukun Tetangga (RT).
a.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur Tabel 1. Komposisi Penduduk Desa Kalijirek menurut Usia dan Jenis Kelamin Bulan Oktober Tahun 2008.
Umur
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
tahun
83
79
162
5 – 14 tahun
348
284
632
15 - 24 tahun
178
141
319
25 - 64 tahun
214
241
455
Lebih dari 65 th
83
92
175
0 –4
xxxviii
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek, Kec. Kebumen, Oktober 2008 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kelompok usia terbesar terdapat pada kelompok usia 5 – 14 tahun yaitu dengan jumlah 632 jiwa, yang terdiri dari 348 laki-laki dan 284 perempuan.Sedangkan kelompok usia terendah terdapat pada kelompok usia 0 – 4 tahun dengan jumlah 162 jiwa yaitu terdiri dari 83 laki-laki dan 79 perempuan. Sehingga dapat diketahui bahwa desa Kalijirek memiliki sumber daya manusia yang berpontensial untuk dikembangkan. Dari sumber daya manusia tersebut diharapkan dapat di manfaatkan secara maksimal untuk menunjang pembangunan wilayah desa Kalijirek.
b.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Sarana pendidikan merupakan unsur yang terpenting guna menunjang
kemajuan dan perkembangan bagi suatu daerah, karena hal tersebut sangat berhubungan erat dengan pola sikap dan tingkah laku masyarakat di suatu daerah. Sarana pendidikan yang memadai akan memungkinkan perkembangan masyarakat dan budaya semakin baik. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga dapat membawa bangsa Indonesia ke arah lebih lanjut. Fasilitas pendidikan yang terdapat di Desa Kalijirek hanya untuk tingkat SD / sederajat yaitu memiliki 2 ( dua ) buah gedung SD ( Sekolah Dasar ) dan 2 ( dua ) buah gedung MI ( Madrasah Islam ). Keterbatasan ini yang menyebabkan anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus keluar desanya. Sehingga akan menambah kebutuhan biaya sekolah dan biaya hidup warga. Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Kalijirek menurut Tingkat
Pendidikan
(
bagi umur 5 tahun ke atas) Belum bersekolah
179 orang
Tamat SD atau yang sederajat
886 orang
Tamat SMP atau yang sederajat
298 orang
xxxix
Tamat SMA atau yang sederajat
234 orang
Diploma II/III
4 orang
Sarjana
3 orang
Tidak tamat SD
139 oorang
Jumlah
1.743 orang
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek Kec. Kebumen Oktober 2008 c.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Sebagian masyarakat Desa Kalijirek bermata pencaharian Buruh Tani dan
Wiraswasta. Hal itu disebabkan karena Sesa Kalijirek sebagian besar wilayahnya terdiri dari dataran tinggi yang berupa perbukitan dan memiliki hawa yang sejuk, sehingga lahan-lahan yang ada sangat cocok sekali digunakan untuk bercocok tanam, dan kemudian hasil-hasil panennya dapat diperjual-belikan. Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa penduduk Desa Kalijirek sebagian besar sebagai buruh tani dan tani. Sedangkan yang bermata pencaharian berternak hanya 2 orang. Hal ini disebabkan oleh kondisi daerah sebagai daerah pebukitan sehingga lahannya dipakai untuk bercocok tanam. Begitu pula pengrajin hanya 5 orang, karena masyarakat belum dapat memanfaatkan secara maksimal potensi alam yang tersedia. Adapun proposisi penduduk desa Kalijirek dapat diamati pada tabel di bawah ini:
Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Kalijirek, Kec. Kebumen menurut Mata Pencaharian / Pekerjaan ( Umur 10 th ke atas )
Petani
220 orang
Buruh Tani
327 orang
Wiraswasta
79 orang
xl
Pegawai Negeri Sipil
14 orang
Perajin
5 orang
Pedagang
10 orang
Peternak
2 orang
Pensiunan
70 orang
Perangkat Desa
11 orang
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek Kec. Kebumen Oktober 2008.
3.
Agama dan Kepercayaan Sebagian besar masyarakat di pedesaan Indonesia terutama di pulau Jawa
memeluk agama Islam dan sebagian kecil lagi memeluk agama lain seperti agama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Agama-agama tersebut oleh masyarakat desa diyakini kebenarannya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa masih berpegang pada Kejawen, yaitu masih menghormati kepercayaan asli yang tumbuh dalam masyarakat. Orang-orang pedesaan khususnya masyarakat di Desa Kalijirek bersifat sangat religius, sifat ini di tandai dengan agama atau dengan kepercayaan yang mereka anut. Pengakuan dan keyakinan atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa tercemin dalam pemeluk agama di Desa Kalijirek yaitu Islam.Untuk lebih jelasnya, di bawah ini merupakan jumlah penduduk di Desa Kalijirek menurut agama dan kepercayaan yang mereka anut, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4. Banyaknya Pemeluk Agama di Desa Kalijirek No
Agama
Jumlah
1.
Islam
1785 orang
2.
Kristen Protestan
- orang
3.
Katholik
- orang
xli
4.
Hindu
- orang
5.
Budha
- orang
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek, Kec. Kebumen Oktober 2008 Macam-macam sarana peribadahan yang beradsa di Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5. Jumlah Sarana Peribadatan di Desa Kalijirek No
Sarana Peribadatan
Jumlah
1.
Masjid dan Mushola
4 buah
2.
Gereja
- buah
3.
Pura
- buah
4.
Vihara
- buah
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek, Kec. Kebumen, Oktober 2008 Berdasarkan data di atas diketahui bahwa mayoritas penduduk desa Kalijirek memeluk Agama Islam. Hal ini terbukti adanya sarana ibadah yang ada di Desa Kalijirek yaitu Masjid dan Mushola. Penduduk di desa Kalijirek yang mayoritas beragama Islam masih melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan keagamaan ini meliputi Tahlilan atau Wiridan dan pengajian di selenggarakan oleh kelompok pria dan kelompok wanita. Sedangkan upacara-uapacra keagamaan atau ritual biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara tradisi leluhur, yaitu berupa selamatan ( Kenduren ), bersih desa, memberikan sesaji untuk roh-roh penunggu atau roh-roh leluhur yang telah meninggal. Para petani biasanya selalu mengadakan upacara ritual, seperti selamatan dan sesaji serta doa yang dilakukan dalam rangka memulai usaha seperti halnya akan menanam padi, menanam palawija, dan lain-lain. Serta etika akan panen mereka melakukan hal itu untuk menjaga keseimbangan dengan alam sekitarnya. Di samping
xlii
dilakukan selamatan dengan doa secara Islam, juga dilakukan persembahan berupa makanan atau sesaji untuk roh-roh leluhur atau roh-roh lain yang dianggap dapat membantu terkabulnya doa mereka. Orang-orang percaya akan adanya Tuhan, Nabi dan Rasul, namun mereka juga percaya adanya alam gaib atau mahluk gaib dan kekuatan sakti atau kejadian aneh yang kadang-kadang muncul di sekitarnya yang tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia, namun mereka tidak memuja penghuni alam gaib. Kepercayaan adat istiadat dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka masih merupakan hal utama dalam kehidupan mereka, sehingga tidak mengherankan apabila ada hari-hari tertentu yang dianggap keramat oleh masyarakat desa pada umumnya yaitu seperti halnya malam jum’at kliwon atau malam sabtu suro, masih sering dijumpai orang-orang, melakukan tahlilan atau wiridan, selamatan (kenduren) dan penyediaan sesaji ( sajen ) di tempattempat keramat misalnya di Petilasan Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking.
B. Bentuk dan Deskripsi Cerita K.R.A.T Kolopaking 1.
Bentuk Cerita K.R.A.T. Kolopaking Cerita K.R.A.T. Kolopaking pada mulanya diwariskan oleh generasi pendahulu
ke generasi berikutnya dan seterusnya secara lisan. Hal itu menjadikan cerita tersebut memiliki berberapa versi. Walaupun demikian antara versi satu dengan yang lainnya tidaklah jauh berbeda. Cerita rakyat K.R.A.T Kolopaking juga mengandung mite, diantaranya kepercayaan bahwa tokoh ceritanya memiliki kekuatan istimewa. Misalnya tetesan darah K.R.T.A Kolopaking berubah menjadi ular-ular ”jadi-jadian” yang sangat berbisa. Selain itu cerita rakyat tersebut juga mengandung legenda, yaitu kejadian atau penamaan suatu tempat. Misalnya pemberian nama persawahan Si Kenceng dan asal mula desa Jatimalang.
xliii
K.R.A.T. Kolopaking sebenarnya tokoh nyata yang pernah hidup, bahkan menjadi tokoh penting di Kebumen, maka ada upaya-upaya untuk penggalian data-data sebenarnya. Hal itu antara lain dilakukan oleh Keluarga Besar Trah Kolopaking
2.
Deskripsi Cerita K.R.A.T. Kolopaking Raden Tirto Wenang Kolopaking adalah salah satu di antara keturunan K.R.A.T.
Kolopaking. Beliau ingin mengungkapkan cerita K.R.A.T. Kolopaking berdasarkan fakta atau sejarah. Namun diakuinya bahwa data-data yang mendukung masih sangat terbatas, sehingga selebihnya merupakan cerita rakyat. Raden Tirto Wenang Kolopaking mengemas ceritanya tersebut dalam bentuk tulisan atau buku yang hanya dibaca oleh kalangan terbatas. Dalam sampul bukunya ditulisi ” Untuk Kalangan Sendiri”. Adapun isinya adalah sebagai berikut. Raden Kyai Ageng Kertowongso adalah penguasa wilayah Panjer Roma yang merupakan daerah perdhikan, yaitu daerah otonom dengan dikepalai oleh seorang Demang.
Wilayahnya
meliputi
Ambal,
Bocor,
Petanahan,
Puring,
Gombong,
Karanganyar, Panjer, Kutowinangun, dan Prembun. Pada tahun 1677 terjadi pemberontakan di Mataram yang dikomandoi Pangeran Trunojoyo, seorang pangeran dari Madura. Pasukan pemberontak berhasil merebut ibu kota Mataram. Raja Mataram, yaitu Sunan Amangkurat Agung I beserta keluarga dan beberapa pengawalnya meninggalkan istana. Mereka berjalan ke barat. Tempat yang dituju adalah Cirebon karena wilayah tersebut masih merupakan kekuasaan Mataram. Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I memasuki wilayah Panjer Roma, yaitu di Rowo Ambal. Beliau dijemput oleh Raden Kyai Ageng Kertowongso dan langsung dibawa ke Panjer untuk diadakan perjamuan. Pada waktu itu Raden Kyai Ageng Kertowongso melihat ada yang tidak wajar pada diri Sunan Amangkurat Agung I. Badannya lemas dan mukanya pucat. Raden Kyai Ageng Kertowongso memastikan bahwa hal itu bukan penyakit biasa, malainkan karena keracunan. Oleh karena itu Raden Kyai Ageng Kertowongso berinisiatif mengambil buah
xliv
kelapa yang telah kering sabutnya ( klapa aking, jawa ) dan airnya diminumkan kepada Sunan Amangkurat Agung I dengan maksud untuk menawarkan racun di dalam badannya. Konon beberapa saat kemudian Sunan Amangkurat Agung I muntah-muntah dan racun di tubuhnya turut keluar. Untuk memulihkan kesehatannya Sunan Amangkurat Agung I beristirahat beberapa hari di Panjer dibawah pengawasan Raden Kyai Ageng Kertowongso. Sunan Amangkurat Agung I merasa sangat berterima kasih kepada Raden Kyai Ageng Kertowongso. Selain telah memberikan penyambutan yang menyenangkan, Raden Kyai Ageng Kertiowongso juga telah membebaskannya dari keracunan. Atas jasa baiknya itu, maka Sunan Amangkurat Agung I menganugerahinya pangkat Raden Adipati Tumenggung dan sebuah gelar Kelapa Aking I yang kemudian disingkat menjadi Kolopaking I. Raden Kyai Ageng
Kertowongso juga diambil menantu oleh Sunan
Amangkurat Agung I dinikahkan dengan Raden Ayu Dewi Mulat. Pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I bersama rombongannya bermaksud melanjutkan perjalanan mereka ke barat. Raden Kyai Ageng Kertowongso mengantar beliau melalui Bocor, Petanahan, Puring, dan berpisah di Gombong. Sunan Amangkurat Agung selanjutnya beristirahat di Napudadi. Di sana beliau disambut oleh Pangeran Adipati Anom (Tedjo Ningrat). Raden Kyai Ageng Kertowongso atau Ki Kertowongso yang telah mendapat gelar Kanjeng Raden Adipati Tumenggung (K.R.A.T) Kolopaking I memanggil orangorang kepercayaannya. Beliau berencana menyerbu kedudukan Pangeran Trunojoyo di Mataram. Beliau kemudian memerintahkan para Adipati untuk mengumpulkan para pemuda untuk dididik ilmu perang dan ilmu kanuragan. Pusat pelatihan tersebut berada di desa Karangwono. K.R.A.T Kolopaking I menugasi Ki Demang Margonoyo untuk melayani segala keperluan untuk kegiatan tersebut, antara lain perlengkapan senjata dan konsumsi. Desa Karangwono, pusat penggemblengan para pemuda
yang semula sepi
menjadi ramai. Dibangunlah beberapa tempat pelayanan masyarakat. Desa itu kemudian
xlv
diganti namanya menjadi Kutho Winangun (kota yang dibangun). Sekarang namanya menjadi Kutowinangun. K.R.A.T Kolopaking I mengangkat Ki Honggoyudo (anak dari Ki Demang Margonoyo) sebagai Demang Kutowinangun. Ki Honggoyudo menikah demngan Putri Klegen dan beranak 7 orang. Salah seorang diantaranya diberi nama Raden Honggoyudo atau yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Jaka Sangkrib. Pada pertengahan tahun tersebut Pangeran Puger dan Senopati Mertoseno dengan dibantu oleh laskar Panjer Roma dan laskar dari Bagelen menyerbu Mataram. Laskar Panjer Roma dipimpin oleh Raden Mendingen, anak K.R.A.T Kolopaking I. Pada saat yang hampir bersamaan, dari sisi yang lain, Pangeran Adipati Anom juga menyerang Mataram. Pangeran Adipati Anom adalah Raja Mataram yang diakui oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Beliau diberi gelar oleh Pemerintah Penjajah Belanda Amangkurat Amral (Admiral). Amangkurat Amral menyerang Mataram dengan mendapat bantuan tentara Belanda dari Semarang. Pangeran Trunojoyo berhasil diusir dari Mataram. Pangeran Trunojoyo mundur hingga ke Kediri, namun terus dikejar oleh tentara Amangkurat Amral. Akhirnya Pangeran Trunojoyo berhasil ditangkap dan dibunuh. Pasukan Panjer Roma tidak ikut dalam pengejaran tersebut, melainkan tetap berada di ibu kota Mataram. Pangeran Puger menyerahkan tahta Mataram kepada Amangkurat Amral. Pemerintah Penjajah Belanda atau yang sering disebut Kompeni mulai diberri wewenang dan kekuasaan yang lebih luas dalam urusan Kerajaan Mataram. Prajurit Panjer Roma yang merasa tidak dapat bekerja sama dengan Pemerintah Belanda memilih meninggalkan ibu kota Mataram dan kembali ke wilayahnya. K.R.A.T. Kolopaking I setelah bertahta selama 46 tahun K.R.A.T. Kolopaking I menyerahkan kekuasaan atas Panjer Roma kepada putranya, yaitu Ki Kertowongso Mendingen. Selanjutnya Ki Kertowongso Mendingen bergelar K.R.A.T. Kolopaking II. K.R.A.T. Kolopaking II, pada tahun 1741 merekrut para pemuda untuk dilatih olah keprajuritan. Tidak sedikit pemuda keturunan Cina yang mengikuti pelatihan tersebut.
xlvi
Setelah dipandang cukup para pemuda itu dikirim ke Mataram untuk membantu Pangeran Mas Garendi yang sedang bertempur melawan Penjajah Belanda yang telah terlalu jauh mencampuri dan mendikte kebijakan dan urusan Kerajaan Mataram. Sunan Pakubuwono II, yang berkuasa di Mataram pada saat itu dinilai terlalu lemah dan selalu tunduk kepada kehendak Pemerintah Penjajah Belanda. Pasukan dari Panjer Roma dipimpin oleh R. Sulaiman Kertowongso, anak sulung K.R.A.T. Kolopaking II. R.Sulaiman Kertowongso turut mengenakan pakaian seragam seperti yang dipakai oleh kebanyakan pemuda Cina. Dalam rombongan tersebut ada seorang gadis yang menyamar sebagai laki-laki. Di medan pertempuran R. Sulaiman Kertowongso dan gadis Cina yang menyamar sebagai laki-laki itu sering bahu-mambahu dalam melawan musuh. Oleh karena itu keduanya lalu bertambah akrab. Pangeran Mas Garendi berhasil menguasai Keraton Mataram dan Sunan Pakubuwono II terpaksa lari dan mengungsi ke Ponorogo. Pangeran Garendi yang juga cucu dari Sunan Amangkurat III diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat IV. Beliau kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, karena yang mengangkat beliau adalah para pemuda keturunan Cina yang berkulit kuning. Para pemuda Cina setelah melihat situasi aman, para pemuda Cina itu kembali ke Panjer Roma. Dalam perjalanan pulang R. Sulaiman Kertowongso banyak bertukar pengalaman dengan gadis Cina yang menyamar sebagai laki-laki itu dan mengaku bernama Tan Ping. Pada suatu sore, ketika rombongan itu memutuskan untuk bermalam, R. Sulaiman Kertowongso bermaksud berjalan-jalan menyusuri bukit. Tanpa disengaja terlihat olehnya Tan Ping membuka topinya. Rambutnya yang panjang tergerai hingga ke punggung. R. Sulaiman Kertowongso bergemetar kakinya. Tak disangka pemuda yang akrab dengannya ternyata seorang gadis yang sangat menawan. Untunglah Tan Ping tak mengetahui hal itu, sehingga sampai di Panjer Roma mereka bergaul sebagaimana biasa. Pada suatu hari R. Sulaiman Kertowongso berziarah ke makam eyangnya K.R.A.T Kolopaking I di Desa Kalijirek. Tan Ping diajak serta. Di perjalanan mereka beradu kepandaian dan kesaktian. Mereka bertaruh, siapapun yang kalah harus mau
xlvii
mengikuti kemauan yang menang. Setelah bersepakat mereka mulai bertarung hingga sehari penuh. Dalam pertarungan itu R. Sulaiman Kertowongso berhasil menjamah ikat topi Tan Ping hingga terlepas dan terurailah rambutnya yang panjang. Tan Ping terperanjat dan menyesal karena kedok penyamarannya terbuka. Dengan secepat kilat Tan Ping melarikan diri dengan merobohkan beberapa pohon jati untuk menghalangi langkah R. Sulaiman Kertowongso yang hendak mengejarnya. Sekarang tempat itu diberi nama Desa Jatimalang. Tan Ping memang tidak terkejar pada waktu itu. Pemuda Tan Ping sebenarnya bernama Tan Peng Nio. Kelak ia menjadi istri R. Sulaiman Kertowongso yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi penguasa Panjer Roma dan bergelar K.R.A.T. Kolopaking III. Sementara itu Demang Kutowinangun, Ki Honggoyudo mempunyai 7 orang anak, yaitu (1) Nyai Wirarana, (2) Ki Honggowongso, (3) Nyai Wirawijaya, (4) Nyai Wirawangsa, (5) Ki Sutajaya, (6) Nyai Suradjaya, dan (7) Ki Djoko Sangkrib. Setelah menginjak usia dewasa Ki Djoko Sangkrib mengembara ke Mataram. Ki Djoko Sangkrib diterima menjadi abdi di keraton karena memiliki banyak kelebihan. Selain terampil berolah kanuragan ia juga jujur dan berani bertanggungjawab. Konon dialah yang diberi tugas untuk mencari tempat di Solo yang banyak ditumbuhi bunga
yang
segar
dan
harum
dibangun
menjadi
Kotapraja
Surakarta
Hadiningrat.Selanjutnya Ki Djoko Sangkrib diangkat menjadi nayago dan diberi gelar Adipati Arumbinang I.
Sunan Pakubuwono II diikat oleh suatu perjanjian bahwa untuk pengangkatan seorang Patih harus mendapatkan persetujuan pihak Pemerintah Penjajah Belanda. Selain itu tanah di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Tegal hingga Jawa Timur ke selatan dan seluruh Pulau Madura boleh disewa atau diminta oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Hal inilah yang membuat Pangeran Mangkubumi berselisih paham dengan Sunan Pakubuwono II. Terjadilah perang saudara. Dalam hal ini K.R.A.T. Kolopaking II
xlviii
memihak kepada Pangeran Mangkubumi dengan mengirim pasukan dipimpin oleh R. Sulaiman Kertowongso. Pada tahun 1749 Sunan Pakubuwono II meninggal. Pemerintah Penjajah Belanda kemudian mengangkat anak dari Sunan Pakubuwono II dengan diberi gelar Sunan Pakubuwono III. K.R.A.T. Kolopaking II setelah memerintah selama 28 tahun kemudian mengangkat putranya, yaitu R. Sulaiman Kertowongso menggantikan kedudukannya dan memberinya gelar K.R.A.T. Kolopaking III. Pada awal pemerintahannya K.R.A.T. Kolopaking III masih banyak meninggalkan Panjer Roma, karena beliau masih menjadi senopati perang membantu Pangeran Mangkubumi hingga tercapainya Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Mataram dibagi dua, yakni Negara Surakarta Hadiningrat dengan
ibukota
Surakarta
dan
Keraton
Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Pangeran
Mangkubumi kemudian menjadi raja dan bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Setelah itu K.R.A.T. Kolopaking III dapat berkonsentrasi menjalankan pemerintahannya di Panjer Roma. K.R.A.T. Kolopaking III mengutamakan kemajuan di bidang pertanian dan perdagangan. Di Keraton Surakarta Hadiningrat Adipati Arumbinang I setelah bertugas selama 33 tahun digantikan oleh anaknya dan diberi gelar Adipati Arumbinang II. Adipati Arumbinang II beertugas selama 30 tahun dan kemudian digantikan oleh putranya dengan memperoleh gelar Adipati Arumbinang III. Beliau juga diangkat menjadi Adipati untuk Kadipaten Gunung Kutowinangun. Sedangkan wilayah Kutowinangun masuk wilayah Kasultanan Ngayogyakarta dan pemerintahannya dipegang oleh K.R.A.T. Kolopaking III. K.R.A.T. Kolopaking III memegang pemerintahan selama 58 tahun. Setelah wafat beliau digantikan oleh anaknya yang bernama R. Kertowongso yang selanjutnya bergelar
K.R.A.T.
Kolopaking
IV.
K.R.A.T.
Kolopaking
IV
berkonsentrasi
mengembangkan usaha pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri. Di bawah pemerintahan K.R.A.T. Kolopaking IV Panjer Roma mengalami zaman keemasan. Pada bulan Juli 1825 Perang Diponegoro sudah meluas hingga ke daerah Kedu, Pekalongan, Tegal, Banyumas, dan Bagelen. Pada suatu hari datanglah utusan Pangeran
xlix
Diponegoro yang berkedudukan di Ledok ( hulu Sungai Serayu), yaitu Senopati Suro Mataram dan Adipati Sigaluh ( Ki Kertodrono) ke Panjer Roma. Utusan itu disambut oleh K.R.A.T. Kolopaking IV, Senopati Gumowidjoyo, Banaspati Djojomenggolo, dan Ki Tjokronegoro ( Karang Tengah ) yang kebetulan sedang bertamu di Panjer Roma. Pada malam hari itu juga mereka langsung mengadakan perundingan. Mereka sepakat membantu Pangeran Diponegoro melawan Penjajah Belanda. Penjajah Belanda menerapkan politik adu domba. Mereka melibatkan Pasukan Mangkunegoro, Kasunanan Pakubuwono Surakarta, dan Pasukan Keraton Ngayogyakarta di bawah pimpinan Pangeran Murdaningrat, Pangeran Panular, Pengeran Hadiwinoto, dan Pangeran Hadiwijoyo. K.R.A.T. Kolopaking IV diberi tugas menyediakan logistik dan perlengkapan senjata. Sebagian prajurit Panjer Roma dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo berperang melawan pasukan Penjajah Belanda di daerah Banjarnegara dan meluas hingga ke Banyumas. Pertempuran besar terjadi di Purworejo Klampok. Pasukan Belanda mundur dan bersembunyi di Benteng Sokawara. Pangeran Diponegoro bersama prajurit Panjer Roma menunggu sambil beristirahat di Somagede. Senopati Gomowijoyo dan Ki Kertodrono berembug tentang strategi peperangan. Tanpa disangka-sangka mereka diserang dari arah utara dan timur. Pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Biskus dan Magilis. Pasukan Pangeran Diponegoro terpaksa mundur ke selatan. Mereka berjalan melalui lereng dan lembah pegunungan sambil melakukan konsolidasi dengan pasukan yang terpencar. Di pihak lain, Bala bantuan tentara Penjajah Belanda berdatangan dari Surakarta dan Batavia (Jakarta) dengan persenjataan modern. Mereka lalu mendesak pasukan Pangeran Diponegoro yang dibantu pasukan dari Panjer Roma hingga ke kabupaten Sigaluh. Di situ pasukan Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan matimatian hingga sebulan lamanya. Api peperangan berkobar di mana-mana di Pulau Jawa bagian tengah. Kedua belah pihak mengalami banyak kerugian jiwa dan material. Belanda lalu mengggunakan strategi lain, yaitu membujuk para pejabat dengan hadiah-hadiah yang jumlahnya banyak dan juga jabatan-jabatan yang menggiurkan. Tidak sedikit pejabat-pejabat yang tergiur dan
l
menuruti ajakan Belanda. Akhirnya perang saudara berkecamuk di berbagai tempat. Ini adalah bagian dari politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda. Sayang hal itu tidak disadari oleh pejabat-pejabat yang haus harta dan pangkat. Pada bulan November 1828 Pangeran Diponegoro hampir tertangkap di Lobangadung setelah jatuh sakit beberapa hari. Untunglah ia masih diselamatkan oleh Tuhan. Selanjutnya beliau berangkat ke Panjer Roma untuk menemui K.R.A.T. Kolopaking IV dan para pemimpin prajurit Panjer Roma. Di Perjalanan Pangeran Diponegoro dan Raden Basah Mertonegoro bersama dengan para pengiringnya mendapat serangan mendadak dari paasaukan Belanda. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya turun dari kuda masing-masing dan bersembunyi dalam jurang. Pasukan Belanda tidak berhasil menemukan mereka. Pangeran Diponegoro sampai di Panjer Roma disambut oleh K.R.A.T. Kolopaking IV. Kemudian Pangeran Diponegoro mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin prajurit di antaranya Senopati Gomowijoyo, Banaspati Djoyomenggolo, dan Penasihat Endang Kertowongso. Ketika berada di Panjer Roma sakit Pangeran Diponegoro kambuh, sehingga beliau harus beristirahat beberapa hari. Setelah sembuh barulah beliau berangkat ke Dekso melalui hutan Laban dan Desa Sebodo. K.R.A.T. Kolopaking IV terus mengirimkan peralatan perang dan logistik bahan pangan dari Panjer Roma melalui Kaliwero, Tunggoro, Sadang, Tuk Pitu, Kutowaringin, ke Sigaluh dan Mandireja. Di Panjer Roma, pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Sanopati Suro Mataram berhasil mengambil alih Kadipaten Kutowinangun. Arumbinang III selaku penguasa Kadipaten Kutowinangun ditawan. Atas saran K.R.A.T. Kolopaking IV, Arumbinang III dibebaskan karena usianya yang telah uzur. Selanjutnya Arumbinang III dipulangkan ke Kasunanan Surakarta. Pada saat mengikuti perundingan ( 28 Maret 1830) Pengeran Diponegoro ditangkap oleh Penjajah Belanda. Beberapa hari kemudian para pengikut Pangeran Diponegoro juga ditangkap. Di antaranya adalah Sunan Pakubuwono VI yang secara diam-
li
diam membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.Sunan Pakubuwono VI dibuang ke Ambon. Sebagai penguasa Kasunanan Surakarta diangkatlah Pangeran Purboyo yang kemudian diberi gelar Sunan Pakubuwono VII. Kedatangan Arumbinang III di Kesunanan Surakarta disambut dingin, karena gagal mempertahankan Kadipaten Kutowinangun. Belanda dan Sunan Pakubuwono VII marah. Seketika itu juga jabatannya selaku Adipati dicabut dan diserahkan kepada anaknya yang kemudian diberi Gelar Adipati Arumbinang IV. Kadipaten Sigaluh diserang oleh pasukan Belanda dari arah barat. Prajurit Sigaluh dengan dibantu pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan dari Panjer Roma mengadakan perlawanan. Perang seru berlangsung hingga dua bulan. Karena unggul dalam peralatan perang pasukan Belanda berhasil memaksa lawannya mundur. Pasukan Pangeran Diponegoro, pasukan Si Galuh, dan dari Panjer Roma bertahan di pegunungan. Sementara itu bala bantuan tentara Belanda berdatangan. Mereka kemudian menggempur daerah Buntu. Karena persenjataan yang tidak seimbang, maka perlawanan terhadap pasukan Belanda dilakukan secara bergerilya. Selama beberapa bulan kedua belah pihak saling serang. Garis depan pertempuran secara silih berganti dikuasai oleh kedua belah pihak. Sekarang daerah itu diberi nama Sumpiuh (sampyuh= jawa). Bala bantuan pasukan Belanda terus didatangkan dengan dilengkapi persenjataan yang lengkap. Kali ini bantuan itu datang dari Batavia (Jakarta). Prajurit Panjer Roma yang berkedudukan di Gunung Ijo digempur oleh pasukan Belanda hingga tercerai-berai. Prajurit Panjer Roma mundur. Mereka lalu bertahan di gua-gua yang banyak terdapat daerah Rowokele, Ayah, dan Buayan. Pangeran Diponegoro setelah tertangkap, perlawanan terhadap Belanda terus berkobar, namun tidak sekuat dahulu. Apalagi banyak pimpinan lainnya yang juga ditangkap dan ditawan. Sekarang Panjer Romalah sebagai benteng terakhir pasukan Pangeran Diponegoro. Adipati Arumbinang IV diangkat menjadi Senopati Perang pasukan Surakarta. Dengan dibantu pasukan Belanda mereka bergerak menuju Panjer Roma. Pasukan Belanda
lii
dari Semarang juga datang. Pasukan Arumbinang menyerang Panjer Roma dari arah timur. Terjadilah pertempuran sengit di daerah rawa-rawa. Pasukan Panjer Roma yang dipimpin oleh Ki Djoyo Lurik kewalahan menghadapai mereka. Akhirnya daerah Rawa berhasil diduduki oleh Arumbinang IV. Prajurit Panjer Roma mundur ke Ambal. Di Kadipaten Kutowinangun Senopati Suro Mataram menyerahkan jabatan senopati diserahkan kepada K.R.A.T Kolopaking IV. Pertahanan parajurit Panjer Roma di Ijo dan Rowokele bobol diserbu oleh pasukan Belanda. Prajurit Panjer Roma mundur untuk menghindari perang berhadap-hadapan. Pasukan Panjer Roma mundur ke Sikayu dan Rowokele. Sebagian yang lain mundur ke Sempor dan akhirnya bertahan di Grenggeng. Di sini pasukan yang dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo berhasil menyergap pasukan Belanda yang sedang menyeberangi Sungai Kemit dan memaksa mereka mundur. Banyak pasukan Belanda yang terbunuh dalam penyergapan tersebut. Di bagian timur pasukan Adipati Arumbinang IV yang dibantu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Royen menggempur parjurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Ki Demang Djoyo Lurik. Ki Demang Djoyo Lurik gugur di medan pertempuran. Pasukan Adipati Arumbinang IV berhasil mengobrak-abrik prajurit Panjer Roma yang akhirnya mundur ke Kutowinangun. Kedudukan prajurit Panjer Roma mendapat serangan dari berbagai penjuru. Mereka
terus
menjalankan
perang
gerilya.
Akhirnya
Senopati
Gomowijoyo
memerintahkan agar semua kekuatan dikonsentrasikan ke Bocor dan sebagian bertahan di sepanjang Sengai Lukulo. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor Magelis dan Mayor Biskus terus mendesak prajurit Panjer Roma hingga ke Sungai Lukulo. Dari arah timur pasukan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Adipati Arumbinang IV dan dibantu oleh pasukan Belanda terus bergerak maju. Jebakan-jebakan berupa lubang-lubang, jala, dan panah, meskipun dapat menghambat pergerakannya namun akhirnya dapat dilewati. Barak-barak dan lumbung-lumbung tempat penyimpanan bahan makanan dibakar. Orang-
liii
orang yang setia membantu K.R.A.T. Kolopaking IV ditangkap dan disiksa. Kadipaten Kutowinangun akhirnya jatuh ke tangan Adipati Arumbinang IV. Prajurit Panjer Roma membuat pertahanan di daerah-daerah Wonosari, Buluspesantren, Sruni, Selang, Kedawung, Sruweng, Karangpule, Kebagoran, dan Panjer Roma. Perlengkapan sejata mereka berupa tombak, tolop beracun, lembing, dan pedang atau parang. Mereka akan mati-matian mempertahankan Panjer Roma. Pasukan gabungan antara Pasukan Kasunanan Surakarta dengan pasukan Belanda mulai melakukan gempuran lagi terhadap Panjer Roma. Satu persatu daerah pertahanan Panjer Roma dijatuhkan. Gempuran tersebut juga mereka lakukan dari arah barat. Akhirnya Panjer Roma dikepung dari berbagai arah. Selanjutnya pertempuran sengit terjadi hingga beberapa minggu. Pada suatu hari Adipati Arumbinang IV berhadapan langsung dengan K.R.A.T. Kolopaking IV. Terjadilah pertarungan satu lawan satu
lahan sawah si Kenceng.
Lokasinya sekarang di sebelah timur Stadion Candradimuka. Keduanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Oleh karena itu pertarungan berjalan dengan sangat seru. Pada suatu kesempatan Adipati Arumbinang IV berhasil melukai lengan K.R.A.T. Kolopaking IV sehingga mengucurkan darah. Anehnya kucuran darah dari lengan K.R.A.T. Kolopaking IV setelah menyentuh tanah berubah menjadi ular. Ular-ular tersebut kemudian secara bersama-sama menyerang Adipati Arumbinang IV. Adipati Arumbinang IV cepat-cepat menyingkir. K.R.A.T. Kolopaking IV kondisinya terus memburuk karena darah terus mengucur dari lukanya. Pada saat sudah tidak berdaya akhirnya ia berhasil ditawan oleh pasukan Belanda dan akhirnya meninggal. Sawah Si Kenceng hingga sekitar tahun 1990-an masih terkenal angker. Sebuah rumah di sudut sawah Si Kenceng hanya dihuni beberapa minggu sejak selesai dibangun. Konon penghuninya sering diganggu oleh ular-ular jadi-jadian. Di bawah tudung saji tanpa diketahui dari mana masuknya ternyata ada ular. Di lemari pakaian juga ada ular. Di bak mandi juga sering terlihat ada ularnya. Akhirnya rumah itu tak pernah dihuni dan rusak
liv
dengan sendirinya. Hingga sekarang (tahun 2008) pondasi rumah itu masih dapat kita saksikan. C. Artefak-artefak dan Tradisi Budaya yang terkait dengan Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking 1. Artefak-artefak Artefak adalah suatu peninggalan pada zaman dahulu yang berupa bendabenda pusaka seperti keris, tombak dan ada juga yang berupa patung, batu, petilasan, dan sebagainya. Di dalam Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking sebenarnya tidak ada peninggalan benda-benda pusaka, tetapi beliau hanya meninggalkan sebuah lemari ukir dan meja ukir yang di serahkan pada juru kunci yang sekarang sudah meninggal dan kemudian di turunkan kepada anaknya yang bernama Bapak Mulyadi guru SMA mengajar di Gombong, dan tidak ada benda-benda pusaka yang berupa keris atau tombak. 2. Tradisi Budaya Masyarakat Dewasa ini masyarakat desa dalam kehidupannya masih diwarnai oleh berbagai ragam tradisi yang berbeda-beda. Dalam mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhan (hambluminnallah), manusia dengan sesama manusia (habluminnannas), manusia dengan lingkungannya diliputi dengan simbol-simbol dan tradisi-tradisi kebudayaan. Orang Jawa pada dasarnya memiliki identitas diri (sebagai hakekat Jawa) yaitu pandangan ”kejawen” yang mengatur perilaku kehidupan manusia Jawa. Tradisi kejawen misalnya ritual, mempersembahkan sesaji atau sesajen khususnya pada masyarakat Jawa, sangat kaya dan telah hidup selama seribu tahun, dan kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Jawanisme. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mandalam dan dapat dianggap sebagai kejawen Unsur utama pandangan kejawen adalah kesadaran adanya kesatuan eksistensi secara kosmologi, kesatuan yang meliputi segalanya. Hukum kosmis adalah hukum pinesthi. Kesatuan eksistensi mencapai puncaknya pada pusat yang meliputi segalanya
lv
pada Yang Maha Tunggal (Hyang Suksma) yang hidup (urip) dan yang ada dan tiada, yang kepada setiap manusia itu kembali (inna lillahi wa inna ilaihi rojiun) Masyarakat di Desa Kalijirek, tradisi nenek moyang seperti slametan dan mengikuti tata cara yang selalu dilaksanakan maka masyarakat Desa Kalijirek pada umumnya akan di jaga keselamatannya serta diberi (rejeki) yang melimpah. Masyarakat di Desa Kalijirek yang merupakan bagian dari masyarakat Jawa, dalam kehidupan mereka sehari-hari masih diwarnai berbagai macam tradisi religius maupun non religius. Tradisi religius yang begitu kuat mengikat dalam diri manusia semenjak manusia ada dalam kandungan, contoh upacara mitoni (biasanya menyiapkan umbarampe antara lain tumpeng merupakan simbol keselamatan, jenang abang putih agar si jabang bayi kelak dapat menjalani kehidupannya di dunia yang penuh dengan warna-warni), selapanan, khitanan, perkawinan, dan lain-lain. Dalam masyarakat Desa Kalijirek hal-hal semacam itu masih mereka lakukan karena merupakan warisan nenek moyangnya. Selain itu mereka menganggap bahwa upacara-upacara yang mereka lakukan itu terkandung maksud untuk membina kerukunan antar anggota masyarakat. Pola kebudayaan daerah (Jawa) yang telah berakar pada jiwa setiap pendukungnya diwariskan dari generasi berikutnya yang dinamai tradisi daerah. Tradisi daerah yang berkaitan dengan kematian biasanya diwujudkan dalam bentuk pembuatan makam dan upacara penghormatan kepada para leluhur mereka. Seperti halnya yang dilakukan masyarakat Desa Kalijirek dan sekitarnya melakukan tradisi ziarah ke petilasan K.R.A.T. Kolopaking. Sebagaimana umumnya makam orang-orang dianggap linuwih pada masa hidupnya, petilasan K.R.A.T. Kolopaking dari dahulu hingga sekarang menjadi tempat ziarah yang selalu ramai. Tradisi ziarah bertujuan untuk mendoakan arwah para leluhur, dan biasanya tradisi ini disertai dengan wiridan (pembaca ayat-ayat sucu Al’Quran atau tahlilan) yang banyak dilakukan khususnya pada hari-hari tertentu yaitu syawal dan hari jadi Kebumen.
D. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Cerita K.R.A.T Kolopaking
lvi
Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam cerita K.R.A.T. Kolopaking. Nilai-nilai luhur itu tidak akan lekang dimakan oleh zaman sehingga tetap sesuai diterapkan di zaman sekarang. Nilai-nilai luhur itu juga bersifat manusiawi dan universal sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya manapun. Nilai-nilai luhur tersebut di antaranya sebagai berikut. 1. Kesetiaan Ki Kertowongso (K.R.A.T. Kolopaking I ) menyadari sepenuhnya bahwa wilayah Panjer Roma yang dikuasainya adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Ia sangat menghormati Raja Mataram yang berkuasa melalui suksesi yang wajar. Oleh karena itu ketika tampuk kekuasaan direbut paksa oleh Pangeran Trunojoyo melalui suatu pemberontakan, kesetiaannya tidak ditujukan kepada Pangeran dari Madura itu, melainkan tetap kepada Sunan Amangkurat I, Raja Mataram yang terpaksa meninggalkan istananya untuk menyelamatkan diri. Bahkan ketika Sunan Amangkurat I berserta para pengikutnya sampai di wilayahnya dalam perjalanannya menuju Cirebon, dia menjemput mereka secara pribadi di perbatasan. Ia mempersilakan Sunan Amangkurat I dan para pengikutnya singgah di Panjer Roma dengan tetap memperlakukannya sebagai Raja Mataram. Kesetiaan yang serupa juga ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking II. Ia mengirimkan para pemuda Panjer Roma yang telah dilatih olah kaparajuritan guna membantu Pangeran Mas Garendi (Sunan Amangkurat V ) yang sedang bertempur melawan tentara Belanda yang telah mendikte Raja Mataram. Para pemuda Panjer Roma itu dipimpin oleh Raden Sulaiman Kertowongso yang kelak menjadi K.R.A.T. Kolopaking III. Pada waktu itu suksesi di tampuk kekuasaan Mataram telah dikotori oleh campur tangan Belanda, sehingga kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang yang dapat diajak kerjasama oleh Belanda. Hal ini di luar adat dan bertentangan dengan tatanan yang telah ada. Oleh karena itu kesetiaan K.R.A.T. Kolopaking IV ( anak K.R.A.T. Kolopaking III ) tetap ditujukan kepada trah Mataram yang diyakininya sah. Ketika pecah Perang
lvii
Diponegoro, K.R.A.T. Kolopaking IV dengan sepenuh daya membantu perjuangan Pangeran Dipongoro hingga menjelang ajalnya. Kesetiaan yang ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking bukanlah kesetiaan buta, melainkan telah diselaraskan dengan nilai-nilai adat dan norma yang berlaku. Di sisi lain banyak orang menyatakan kesetiaannya kepada seseorang yang telah berjaya. Ketika orang yang berjaya itu jatuh, maka kesetiaannya dialihkan kepada orang baru yang berjaya. Kesetiaan semacam ini biasanya didorong oleh pamrih untuk mendapat keuntungan secara pribadi. Bukan kesetiaan semacam itu yang ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking. Perwujudan kesetiaan di zaman sekarang tentu sangat luas pengejawantahannya. Kesetiaan atau loyalitas semacam itu tidak sekedar harus dimiliki oleh para menteri terhadap presidennya, melainkan juga pegawai, karyawan, bahkan para siswa. Seorang pegawai yang kurang setia akan bekerja seolah-olah baik di depan pimpinannya dan sebaliknya jika ditinggal. Kesetiaan seperti ini adalah palsu. Akibatnya si pemilik kesetiaan palsu tidak dapat memperoleh hasil kerja yang maksimal. Biasanya pemilik kesetiaan palsu hanya mengharapkan keuntungan duniawi saja yang bersifat material. Orang semacam itu tidak memiliki etos kerja yang tinggi dan tidak melandasi kerjanya dengan nilai-nilai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Kasih Sayang K.R.A.T. Kolopaking juga sebagai pribadi yang penuh kasih sayang. Perasaan kasih sayang ini hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang memiliki empati, artinya dapat merasakan kesedihan, kepedihan, dan penderitaan oleh orang lain. Kasih sayang tulus hanya dimiliki oleh seorang pemimpin sejati (Andreas Harefa, Mengasah Indera Pemimpin), terlepas orang itu mendapat kesempatan memegang jabatan formal atau tidak. Artinya jika orang itu berkesempatan memegang jabatan tertentu, maka ia dapat mewujudkan kasih sayangnya kepada para bawahan dan orang-orang di sekitarnya. Jika tidak, maka perasaan kasih sayangnya itu tercurah kepada orang-orang di sekitarnya.
lviii
Ki Kertowongso ( K.R.A.T. Kolopaking I ) menjemput Sunan Amangkurat I dan para pengikutnya di perbatasan Panjer Roma ketika dalam pelariannya merupakan satu wujud kasih sayangnya, selain kesetiaan yang telah diungkapkan sebelumnya. Secara de facto Sunan Amangkurat I pada waktu itu bukanlah Raja Mataram lagi, karena kekuasannya telah jatuh ke tangan Pangeran Trunojoyo. K.R.A.T. Kolopaking melihat dengan mata kasih sayangnya, bahwa saat itu Sunan Amangkurat I sedang sakit luar dalam. Sakit luarnya adalah sakit dalam arti fisiknya, karena beliau kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang. Sedangkan batinnya remuk karena tersingkir dari istana. Penyambutan yang dilakukan oleh K.R.A.T. Kolopaking sungguh menjadi obat sakit batin yang diderita oleh Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I batinnya merasa terhina karena pemberontakan telah mencampakkannya hingga menjadikan dirinya seorang pelarian yang harus segera ditangkap dan dibunuh atau seperti gelandangan yang yang tak punya rumah. Justru pada saat dia dipuncak kepedihannya, K.R.A.T. Kolopaking berada di depannya dengan tetap mengakuinya sebagai Raja Mataram yang sah. Dalam hal ini sikap yang ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking I adalah sikap nguwongake. Sikap nguwongake dapat diartikan sebagai mengormati seseorang pada kedudukannya yang mulia. Setiap orang mengharapkan perlakuan demikian. Buktinya banyak orang menjadi marah ketika harga dirinya direndahkan oleh orang lain. Sikap menghormati tidak hanya ditunjukan oleh K.R.A.T Kolopaking kepada rajanya, melainkan juga kepada semua orang, termasuk rakyatnya di Panjer Roma. Para pemuda keturunan Cina tidak dianggap sebagai orang lain. Mereka diperlakukan sama dengan pemuda pribumi, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketika K.R.A.T. Kolopaking mengadakan pelatihan olah kanuragan dan keprajuritan, para pemuda Cina juga turut dilibatkan. Kasih sayang kapada rakyatnya diwujudkan dengan memajukan bidang pertanian dan perdagangan. Kedua bidang tersebut diyakininya dapat mengantar rakyatnya ke gerbang kesejahteraan. Pemimpin sejati adalah orang yang berusaha membuat kehidupan rakyatnya bahagia lahir maupun batin. Dan hal itu terbukti. Ketika
lix
Mataram hendak mengadakan penyerbuan ke Batavia (Jakarta), K.R.A.T. Kolopaking ditugasi mengurus logistik bahan pangan. Salah satu alasannya adalah karena di Panjer Roma tersedia bahan pangan yang cukup melimpah. Sikap kasih sayang tentu masih relevan untuk terus dikembangkan di zaman sekarang. Apalagi kita tumbuh sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai ragam suku, agama, budaya, sosial lainnya. Terjadinya kesenjangan yang jauh antara si kaya dan si miskin antara lain karena kurangnya kasih sayang. Seandainya para orang kaya menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyantuni yang miskin, maka sedikit akan memperkecil kesenjangan tersebut. Terjadinya bentrok antar warga juga karena kurangnya kasih sayang, termasuk dari pemimpinnya. Pemimpin yang memiliki empati pasti telah mendengar berbagai keluhan warganya. Kesalah-pahaman di antara warganya telah diketahui sejak dini sehingga tidak sampai pecah menjadi bentrokan. Hingga sekarang masih banyak pemuda yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi karena tidak memiliki dana yang cukup. Keadaan ini dapat diatasi dengan kasih sayang. Di antaranya orang-orang kaya menghimpun dana untuk dijadikan beasiswa. Para pengelola perguruan tinggi, walaupun penyelenggaraan kuliah bermutu memang membutuhkan dana besar, tetapi tidak memaksakan kepada yang miskin untuk turut menanggungnya. Orang yang duduk di pemerintahan maupun para wakil rakyat di DPR hendaknya juga memiliki perasaan kasih sayang semacam ini. 3.
Keberanian Keberanian K.R.A.T. Kolopaking mengemuka ke dalam berbagai bentuk, di
antaranya dalam bentuk menentukan pilihan dengan resiko besar. Keputusannya menerima Sunan Amangkurat I ketika dalam pelariannya menuju Cirebon termasuk sebuah keputusan yang berani. Betapa tidak, pada waktu itu kekuasaan atas Mataram telah jatuh ke tangan Pangeran Trunojoyo. Melindungi Sunan Amangkurat I sama saja dengan membangkang kepada Pangeran Trunojoyo. Salah satu resiko yang mungkin adalah Panjer Roma dihancurkan pula oleh Pangeran Trunojoyo. Namun K.R.A.T. Kolopaking tetap yakin terhadap pilihannya itu.
lx
Keberanian yang luar biasa juga diperlihatkan oleh K.R.A.T. Kolopaking II. Ia mengirimkan pasukannya yang dipijmpin oleh R. Sulaiman Kertowongso untuk membantu Pangeran Mangkubumi yang sedang berperang melawan Sunan Pakubuwono II yang dibantu oleh Belanda. Jika disadari bahwa kekuatan Belanda pada waktu itu demikian kuatnya dengan persenjataan yang lengkap dan modern, maka keputusan K.R.A.T. Kolopaking tergolong berani. K.R.A.T. Kolopaking III juga memiliki keberanian yang tidak kalah dibanding Kolopaking sebelumnya. Berkat keberanian K.R.A.T. Kolopaking III
(R.Sulaiman
Kertowongso) peperangan dihentikan dan diadakan perjanjian antara dua pihak yang bertikai yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Gianti. Pada waktu Panjer Roma dikuasakan kepada K.R.A.T. Kolopaking IV keadaannya sudah demikian gawat. Namun demikian K.R.A.T. Kolopaking IV tetap pada pendiriannya. Ia memutuskan untuk membantu Pangeran Diponegoro berperang melawan Penjajah Belanda. K.R.A.T. Kolopaking bahkan harus bertarung satu lawan satu dengan Arungbinang IV yang samasama berasal dari Panjer Roma. K.R.A.T. Kolopaking IV sampai terluka dalam pertempuran tersebut dan tak lama setelah itu meninggal. Zaman sekarang keberanian juga sangat diperlukan. Mengatakan sesuatu yang benar itu benar dan yang salah itu salah tidak selamanya mudah. Seorang bawahan di suatu instansi, misalnya, belum tentu mampu mengingatkan atasannya yang bertindak melawan hukum. Berani berkata benar, walaupun dilakukan dengan penuh hormat dan hati-hati bisa membuat atasannya tersinggung. Akibat tindakan ”berani” itu seorang bawahan bisa terhambat kariernya. Ia tak akan diberi jabatan tertentu di instansi itu. Pangkatnya bisa terhenti. Bahkan bisa dipecat karena dinilai tidak loyal. Terungkapnya beberapa kasus korupsi di lembaga-lembaga atau instansi pemerintah akhir-akhir ini antara lain akibat dari tidak adanya keberanian mengatakan yang salah itu salah. Segala sesuatu yang dikatakan oleh seorang atasan dianggap sebagai suatu kebenaran. Memang keberanian mengandung resiko. Kadang-kadang resikonya sangat buruk dan mengancam jiwa. Namun, bagi orang yang telah tertanam nilai ketakwaan di
lxi
dalam hatinya, mati demi membela kebenaran bukanlah hal yang harus ditakuti. Sikap berani juga perlu ditanamkan kepada jiwa generasi muda, bahkan sejak dini. Melalui latihan Pramuka, Mata Pelajaran Agama, Pendidikan Budi Pekerti, maupun cerita-cerita sikap berani berusaha ditanamkan ke dalam dada para siswa. 4.
Patriotisme Patriot adalah pembela negara. Patriotisme adalah sikap atau semangat yang
gigih dalam mempertahankan keutuhan dan kehormatan negaranya. Jiwa patriotisme ini benar-benar melekat pada diri K.R.A.T. Kolopaking mulai dari yang pertama hingga yang keempat. Ketika Mataram berencana menyerbu Batavia (Jakarta), K.R.A.T. Kolopaking I ditugasi menyiapkan lumbung-lumbung bahan pangan. K.R.A.T. Kolopaking II mengirimkan prajuritnya di bawah pimpinan R. Sulaiman Kertowongso ke Mataram untuk membantu Pangeran Mangkubumi termasuk tindakan seorang patriot. Pada waktu itu Penjajah Belanda telah melakukan campur tangan terlalu dalam terhadap urusan kerajaan di bawah kekuasaan Sunan Pakubuwono II. Pangeran Mangkubumi tidak dapat membiarkan hal itu berlanjut. Oleh karena itu ia melakukan pemberontakan. Demi untuk menjaga kehormatan kerajaan Mataram, K.R.A.T. Kolopaking mengirimkan prajuritnya untuk membantu Pangeran Mangkubumim memerangi Penjajah Belanda. K.R.A.T. Kolopaking II melatih para pemuda Cina untuk dilatih ilmu keprajuritan (perang). Para pemuda keturunan Cina itu kemudian dikirim untuk membantu Pangeran Garendi yang sedang berperang melawan Panjajahan Belanda di Boyolali-Kartosuro. Perjuangan tersebut diteruskan oleh K.R.A.T. Kolopaking III. Perjuangan tersebut dilakukannya dengan sangat gigih hingga diadakan Perjanjian Giyanti. Pada waktu K.R.A.T. Kolopaking IV berkuasa di Panjer Roma, permusuhan dengan Panjajah Belanda telah demikian meruncing. K.R.A.T. Kolopaking IV memihak kepada Pangeran Diponegoro. Bahkan akhirnya K.R.A.T. Kolopaking IV harus bertarung satu lawan satu berhadapan dengan Adipati Arumbinang IV. Ia terluka tangannya dan meninggal dunia selang beberapa bulan kemudian.
lxii
Patriotisme perlu terus digelorakan di dada generasi muda Indonesia hingga sekarang. Wujud tindakan yang mencerminkan jiwa patriotisme di antaranya adalah mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Wujud lain dari jiwa patriotisme adalah kerelaan berkorban untuk kepentingan umum. Para patriot di masa lampau rela mengorbankan harta maupun jiwa dan raganya demi menjaga keutuhan dan kehormatan negerinya. Perjuangan para patriot bangsa dewasa ini tentu berbeda, namun tujuannya sama, yaitu demi menjaga keutuhan negara dan mengharumkan nama Indonesia. Tindakan korupsi, penyelundupan, penjarahan hutan, dan mempermainkan hukum adalah tindakan-tindakan yang bertentangan dengan jiwa patriotisme. Tingkat korupsi yang tinggi bukan saja merusak sendi-sendi perekonomian negara juga menimbulkan citra buruk bagi Negara Indonesia. Demikian pula penjarahan hutan dan tindakan mempermainkan hukum. Hukum diperjual-belikan sehingga rasa keadilan menjadi hilang. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menipis. Akibatnya tindakan-tindakan anarkis merajalela. Masyarakat cenderung bertindak main hakim sendiri. Jiwa patriotisme sungguh wajib dimiliki oleh para penegak hukum, aparat pemerintah, dan seluruh warga negara lainnya. Upaya menanamkan jiwa patriotisme dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, di antaranya adalah melalui media cerita rakyat. Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking ini merupakan satu di antara sekian banyak cerita rakyat lainnya. 5.
Tanggung Jawab K.R.A.T. Kolopaking merupakan sosok yang penuh tanggung jawab. Tanpa
memiliki sifat mulia, yaitu bertanggung jawab tak mungkin penguasa Mataram memberinya kepercayaaan yang begitu besar. Pada waktu Mataram berencana menyerang Batavia (Jakarta) K.R.A.T. Kolopaking diberi tugas membangun lumbung-lumbung persediaan makanan dan perlengkapan senjata. Tugas besar itu mustahil diberikan kepada K.R.A.T. Kolopaking jika citranya selama ini buruk. Tugas-tugas besar lainnya terus dipercayakan kepada K.R.A.T. Kolopaking, antara lain untuk memimpin parajurit hingga
lxiii
menjadi penguasa di Panjer Roma. Sikap tanggung jawab diwujudkan antara lain dengan berupaya menjalankan tugas sebaik-baiknya agar sukses. Kalaupun akhirnya gagal, ia harus berani menanggung akibatnya. Sikap tanggung jawab juga penting diwariskan kepada generasi muda. Generasi muda hendaknya memiliki jiwa tanggung jawa. Tanggung jawab menuntut dimilikinya kecakapan dan semangat pantang menyerah. Artinya untuk menyelesaikan tugas yang dipikulkan kepadanya seseorang harus memiliki kecakapan atau kemampuan yang memadai serta semangat yang terus menyala dan tidak mudah menyerah. 6.
Kejujuran Kejujuran jelas dimiliki oleh K.R.A.T. Kolopaking. Mengelola lumbung pangan
dan perlengkapan senjata, bagi orang yang tidak jujur bisa dipandang sebagai tempat yang ”basah” atau ”subur” Artinya di situ orang bisa melakukan tindakan-tindakan kotor untuk memperkaya diri sendiri. Namun hal itu tidak dilakukan oleh K.R.A.T. Kolopaking. Ia bahkan rela mengorbankan sebagian miliknya demi menjaga kejujuran itu. Jiwa kejujuran sungguh harus ditanamkan kepada generasi muda. Pameo ”siapa jujur akan hancur” harus disirnakan dan diganti dengan ”siapa jujur bakal mujur dan makmur”. Kemujuran dan kemakmuran hendaknya tidak dilihat sebagai kesuksesan dalam arti berhasil menumpuk-numpuk kekayaan, melainkan kedamaian dan ketenangan batin. Orang yang berhasil menumpuk harta dari korupsi hendaknya tidak dipandang sebagai sebuah kesuksesan, melainkan mengundang malapetaka, baik bagi diri dan keluarganya maupun negaranya.
E. Respon Masyarakat Desa Kalijirek terhadap Cerita K.R.A.T Kolopaking 1.
Generasi muda mengaku asing Responden dari kalangan siswa SD dan SMP kebanyakan mengaku tidak tahu
tentang cerita Kolopaking. Mereka hanya mengetahui bahwa Kolopaking adalah nama sebuah pemakaman di wilayah desa mereka. Kuburan itu berada di atas bukit kecil dan tidak
lxiv
digunakan untuk umum. Mereka juga menyatakan belum pernah memasuki areal pekuburan itu. Sebagian mengaku hanya sering lewat jalan di dekatnya karena mobilitasnya memang harus melalui jalur jalan itu. Mereka tidak mengamati berapa nisan yang ada di pemakaman itu. Maklumlah karena pemakaman tersebut berada di atas bukit. Nisan-nisan yang ada tidak nampak dari jalan yang letaknya di bawah. Untuk dapat menghitung berapa batu nisan yang ada harus menaiki bukit yang diselimuti semak-semak dan dipayungi beberapa batang pohon jati. Mereka mengaku takut memasuki areal pekuburan karena menurut kabar yang mereka yakini bahwa kuburan itu ”angker” atau ”wingit” Apakah pernah ada kejadian aneh yang menimpa atau dialami oleh seseorang? Mereka tidak dapat menjelaskannya. Siswa-siswa SMA dan mahasiswa mengetahui sedikit tentang Kolopaking. Menurut mereka Kolopaking adalah seorang yang pernah menjadi Bupati Kebumen pada masa lalu. Mereka pun mengaku belum pernah mengetahui ada berapa batu nisan dan jenazah siapa saja yang dimakamkan di pekuburan itu. Mereka juga turut percaya bahwa kuburan itu angker tanpa dapat menjelaskan alasannya. Menurut mereka makam itu pernah didatangi oleh Bupati Wanita pertama di Kebumen pada awal masa pemerintahannya. Begitu juga pada malam menjelang peringatan Hari Jadi Kebumen yang jatuh setiap tanggal 1 Januari. Kegiatan itu biasanya dilakukan dengan pengamanan yang ketat sehingga orang awam tidak dapat menyaksikannya. Kadang-kadang makam itu didatangi pula oleh orang-orang yang disebut ”Trah” Kolopaking. Selebihnya orang-orang yang datang berziarah ke makam tersebut pada waktu-waktu tertentu, konon, adalah orang yang menginginkan kesaktian dan semacamnya. Suatu kenyataan yang memprihatinkan adalah merek terkesiap ketika diberitahu bahwa Kolopaking bukan nama seseorang, melainkan sebuah gelar. Mereka bahkan tidak mengenal Ki Kertowongso, orang yang oleh Sunan Amangkurat I diberi gelar K.R.A.T. Kolopaking I, apalagi yang diberi gelar K.R.A.T. Kolopaking II, III, dan IV. Jika diingat bahwa tokoh-tokoh yang menerima gelar Kolopaking begitu besar jasanya bagi negeri ini, maka kenyataan itu sungguh ironis. Para pemuda dan mahasiswa, kebanyakan kalangan tua juga tidak mengetahui tentang cerita Kolopaking. Mereka hanya mengetahui bahwa Kolopaking pernah menjadi
lxv
penguasa Kebumen dan pernah berseteru dengan Arumbinang. Mereka pun mengenal Arumbinang sebagai sebuah nama, bukan gelar. Oleh karena itu mereka sempat bingung ketika ditanya Kolopaking keberapa dan Arumbinang keberapa yang berseteru. Mereka memang dapat menceritakan bahwa pertarungan satu lawan satu antara keduanya berlangsung di sawah ”si Kenceng” yang letaknya di timur Stadion Candradimuka sekarang. Mereka dapat menceritakan bahwa lokasi sawah tersebut ”angker”, terutama di pojok timur-utara atau timur laut.. Terbukti sebuah rumah yang didirikan di tempat itu kemudian tidak ditinggali lebih dari sebulan oleh pemiliknya. Menurut cerita mereka ”ular jadi-jadian” selalu mengganggu penghuni rumah itu. Ketika pemilik rumah hendak mandi, ternyata ular ada di bak mandi. Saat mau makan ular sudah berada di balik tutup saji. Begitu juga ketika hendak berangkat tidur, ulau-ular pengganggu telah lebih dahulu di tempat tidur, walaupun beberapa saat sebelumnya baru saja dibersihkan. Keanehan-keanehan itulah yang membuat penghuni rumah itu hengkang dan membiarkan rumah itu rusak. Sekarang puing-puing rumah itu masih dapat disaksikan. Menurut penuturan kalangan orang tua, bahwa keberadaan ular-ular yang mengganggu penghuni rumah tersebut di atas ada hubungannya dengan cerita di akhir pertempuran antara Kolopaking dan Arumbinang. Pada pertarungan itu lengan Kolopaking terkena sabetan pedang Arumbinang sehingga meninggalkan luka. Tetesan darah dari luka itulah yang menjadi ular-ular jadi-jadian. Konon karena takut Arumbinang melarikan diri. Kolopaking yang terluka menyingkir. Seorang Juru Kunci Makam seharusnya mengetahui secara persis cerita di sekitar tokoh yang jenazahnya dimakamkan di pekuburan yang dijaganya. Sayang tidak demikian yang ada di Pemakaman Kolopaking. Mungkin karena jabatannya sebagai Juru Kunci hanya jabatan sampingan. Beliau sendiri berprofesi sebagai guru dan mengajar di sebuah SMA di Gombong. Beliau juga mengaku masih baru menyandang jabatan tersebut. Tugasnya sebagai Juru Kunci sebatas membukakan gerbang manakala ada peziarah yang datang dengan pemberitahuan dahulu.
lxvi
Sang Juru Kunci maupun kalangan tua terkesan enggan menceritakan kisah sekitar Kolopaking. Berbagai alasan mereka kemukakan, mulai dari tidak tahu, enggan bercerita, takut salah, dan alasan lainnya. Mereka terkesan ingin menghindar dari pertanyaan sekitar Kolopaking. Hal ini sungguh ironis. Bagaimana mungkin kisah perjuangan Kolopaking yang menyimpan nilai-nilai luhur dan patut diwariskan kepada generasi penerus justru tidak dipublikasikan.
2.
Ceritanya telah lama terkubur Responden yang berprofesi guru dan penulis buku nonfiksi menyatakan bahwa
keengganan atau perasaan takut salah jika menceritakan kisah seputar Kolopaking sudah terjadi sejak dahulu. Hal yang sama disampaikan pula oleh seorang pensiunan Penilik Kebudayaan yang pernah berdinas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kebumen. Menurut mereka kengganan masyarakat menceritakan kisah sekitar Kolopaking memang telah terjadi sejak zaman dahulu. Bahkan di masa lalu bukan hanya enggan, melainkan takut,bukan sekedar takut salah. Kondisi seperti itu bermula sejak Arumbinang IV dinobatkan menjadi Bupati Kebumen. Kedua responden tersebut tidak yakin, bahwa pada masa lalu pernah dilakukan pelarangan terhadap orang untuk bercerita tentang Kolopaking oleh Arumbinang sendiri. Jika ada, maka pelarangan itu barangkali dilakukan oleh orang di sekitarnya. Bisa saja pelarangan itu datang secara otomatis di hati tiap orang Kebumen sebagai bentuk perasaan ”ewuh” atau tidak etis menceritakan ”keunggulan” yang dimiliki oleh musuh ”gustine”. Siapapun orangnya, tanpa dicegah oleh orang lain pantang melanggar etika itu. Hal demikian telah menjadi budaya. Orang Jawa ”tabu” menceritakan hal-hal yang bukan kebaikan yang dimiliki ”gustine”, apalagi hal-hal yang telah benar-benar merupakan ’wadi”. Menceritakan patriotisme K.R.A.T. Kolopaking IV bisa ditafsiri sedang memposisikan Arumbinang IV pada peran antagonis. Anggapan seperti itu pun Tentu hal ini membahayakan bagi pengisahnya karena Arumbinang IV adalah penguasa. Itulah sebabnya banyak orang yang kemudian mengunci mulutnya rapat-rapat dari menceritakan kisah
lxvii
Kolopaking. Apalagi sebuah kewajaran bahwa di sekitar penguasa selalu ada para penjilat. Orang pun menjadi sangat berhati-hati jika mengungkapkan sesuatu berkaitan dengan Kolopaking, Bisa-bisa apa yang dikatakan orang itu sampai ke telinga penguasa. Berziarah ke makam Kolopaking sangat jarang dilakukan, bahkan seolah-olah dilarang. Jika ada seorang wedono, camat, glondhong, maupun lurah ketahuan berziarah ke makam tersebut, konon, pemecatan adalah resiko yang harus diterima. Ini baru cerita orang yang harus diteliti kebenarannya. Akan tetapi isu tersebut telah menyebar dan diterima mentah-mentah oleh umum. Itulah sebabnya kemudian tak seorang pun pamong praja yang berani mengelebat di dekat kuburan tersebut. Mereka takut keberadaannya di dekat pekuburan itu akan sampai di telinga atasannya sebagai sedang berziarah. Kalangan pedagang juga dihantui ketakutan jika hendak mendatangi pemakaman itu. Entah siapa yang mula-mula mengembuskan isu bahwa pedagang yang berziarah ke makam tersebut akan segera bangkrut. Nasib sial konon akan menimpa siapa saja yang berziarah ke makam Kolopaking. Akibat sangat jarang dikunjungi peziarah, maka pantaslah tempat itu dianggap wingit.
3.
Perlu dilakukan penggalian data-data sejarah Kolopaking. Responden yang berprofesi sebagai penulis buku nonfiksi dan pensiunan Penilik
Kebudayaan mempunyai pendapat senada, yaitu bahwa perlu dilakukan penggalian data-data sejarah berkaitan dengan perjuangan Kolopaking. Upaya ini bukan ditujukan untuk memposisikan tokoh yang pernah berseteru dengannya di peran antagonis. Menurut pendapat Bapak Sardjoko dan Bapak Sugeng, bahwa perseteruan antara Kolopaking IV dengan Arumbinang IV pada waktu itu mirip dengan
”Lakon Karna
Tandhing” dalam dunia perwayangan. Arjuna dari Pandawa melawan Adipati Karna dari Kurawa. Keduanya bersaudara, kakak beradik. Keduanya maju ke medan laga demi memperjuangkan kebenaran. Arjuna berperang demi membela tanah airnya, sedangkan Adipati Karna demi membalas budi dan demi menunjukkan loyalitasnya kepada Kurawa. K.R.A.T. Kolopaking IV berperang demi membela tanah airnya, sedangakan Arumbinang IV
lxviii
demi menjalankan tugas yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda. Apakah Arumbinang IV dalam hal ini salah? Tentu tidak semudah itu menilainya. Arumbinang IV bertempur melawan Kolopaking IV karena sedang dalam menjalankan tugasnya. Dia mendapat tugas meberangus para pembangkang dan para pemberontak. Mengenai predikat pembangkang atau pemberontak maupun pengkhiatan harus dilihat secara arif. Pandangan sebagai pemberontak maupun pembangkang jika dilihat satu pihak. Namun dari sudut yang lain aksi itu justru sebagai tindakan patriotisme.
4.
Belum masuk ke bahan ajar sekolah sebagai muatan lokal Para guru mengakui, bahwa kurikulum sekolah dasar yang berlaku sekarang ini,
khususnya pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas 4, salah satu kompetensi dasarnya adalah menggali informasi sejarah termasuk tentang tokoh sejarah yang ada di wilayahnya. Untuk para siswa sekolah dasar di Kebumen menggali informasi tentang Kolopaking tentu sangat tepat. Namun untuk melakukan itu para guru masih ragu-ragu. Alasan utamanya mereka merasa kurang ahli sehingga takut membuat kesalahan. Kesalahan dalam hal ini, menurut mereka, dapat berakibat fatal. Bisa dianggap memfitnah bahkan yang lebih mengerikan lagi. Alasan lainnya adalah bahwa buku-buku sumber yang memuat kisah perjuangan Kolopaking belum mereka temukan. 5.
Belum dipandang sebagai suatu aset. Keberadaan Makam Kolopaking di Desa Kalijirek, menurut penulis dan pensiunan
Penilik Kebudayaan sebetulnya merupakan keuntungan utamanya bagi Desa Kalijirek itu sendiri. Makam itu dapat dijadikan sebagai objek wisata sejarah. Untuk menarik wisatawan bisa dibangun sebuah museum di dekat pemakaman tersebut. Tentu saja harus dipersiapkan informasi sejarah yang lengkap tentang Kolopaking sejak yang pertama hingga terakhir yang ke IV. Berbagai barang peninggalan yang masih ada diinventarisasi. Hal ini mungkin dapat ditempuh dengan menghubungi keturunan dan para kerabatnya yang tergabung dalam ”Trah Kolopaking”.
lxix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melakukan serangkaian kegiatan di lapangan berkaitan dengan cerita tentang Kolopaking penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Profil masyarakat Desa Kalijirek Profil masyarakat Desa Kalijirek sebagian besar berpendidikan SMA ke bawah dari 1.743 orang penduduknya hanya 7 orang yang melanjutkan pendidikan tinggi, penduduk yang bersekolah di SMA atau yang sederajat sebanyak 234 orang atau 13 %, penduduk yang tamat SMP atau yang sederajat sebanyak 298 orang atau 17 %, dengan kata lain penduduk Desa Kalijirek sebagai pemilik cerita rata-rata berpendidik rendah, terutama hanya tamat SD. Yaitu sebanyak 886 orang atau 50 % sangat di pahami jika warga Desa Kalijirek sendiri merasa asing terhadap cerita rakyat Kolopaking. 2. Bentuk dan isi cerita rakyat Kolopaking Cerita rakyat Kolopaking sebenarnya bertolak dari fakta sejarah yaitu kisah hidup Ki Kertowongso yang kemudian diberi gelar Kolopaking I dan Kolopaking-kolopaking berikutnya hingga Kolopaking IV. Kolopaking I hingga Kolopaking IV setia kepad pemimpin atau penguasa yang sah pada masanya dan turut berjuang mempertahankan jatidiri bangsanya atau tanah tumpah darahnya. 3. Artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat Kolopaking Artefak-artefak dari zaman Kolopaking tidak banyak yang tersisa hingga kini, beberapa artefak yang masih dapat diselamatkan hanya 1 buah meja dan 1 buah lemari milik Kolopaking IV dan sekarang berada di rumah penjaga kunci makam, artefak lainnya adalah makam Kolopaking tersebut di Desa Klijirek.
lxx
Tradisi budaya terkait dengan cerita Kolopaking yang masih hidup hingga sekarang juga tidak ada lagi. Pada menjelang perayaan hari jadi Kebumen setiap tahunnya, para pejabat di lingkungan Pemda Kabupaten bersama pejabat Bupati mengadakan upacara ziarah ke makam Kolopaking di Desa Klijirek. 4. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kolopaking Sarat dengan nilai-nilai luhur yang pantas diwariskan kepada generasi muda cerita tentang Kolopaking benar-benar sarat dengan nilai-nilai luhur yang patut diwariskan kepada generasi muda dan tetap relevan diterapkan dalam kehidupan saat ini. Nilai-nilai luhur itu nampak mulai dari kisah Ki Kertowongso yang bergelar K.R.A.T Kolopaking I hingga Kolopaking IV meskipun permasalahan dan tantangan yang dihadapi berbeda-beda. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain kesetiaan, kerja keras, patriotisme, kejujuran, keberanian, bertanggung jawab, dan masih banyak lagi. 5. Respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat Kolopaking Ceritanya telah lama terkubur dan dilupakan orang cerita tentang Kolopaking memang telah lama terbenam, yaitu sejak Arumbinang IV menjadi penguasa di Kebumen. Walaupun demikian bukan berarti bahwa pelarangan mengisahkan cerita Kolopaking datang dari Arumbinang. Pelarangan itu bisa saja datang dari orang-orang dekatnya di kala itu maupun masyarakat sendiri yang masih menjunjung tinggi pantang membuka ”wadi” lebih-lebih dari penguasa di wilayahnya. Sayangnya keengganan dan ada juga ketakutan bercerita tentang Kolopaking berlanjut hingga sekarang. Bahkan keengganan menceritakan kisah Kolopaking dikait-kaitkan dengan hal-hal mistik, misalnya pedagang yang berziarah ke makam Kolopaking akan mengalami kebangkrutan. Perlu
dilakukan
upaya
penggalian
lxxi
data-data
sejarah
tentang
Kolopaking.Kalangan tua menghimbau pemerintah atau instansi terkait untuk dilakukan upaya menggali informasi sejarah mengenai Kolopaking.
B. Saran Ki Kertowongso adalah tokoh yang telah memberi warna bagi Kebumen. Karena jasanya kemudian diberi gelar K.R.A.T. Kolopaking I oleh Sunan Amangkurat I dari Mataram. Penerusnya, yaitu Kolopaking II hingga IV terus berkiprah bagi kemajuan Kebumen di zamannya. Mereka juga berperan dalam usaha mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Dengan gagah berani mereka menerjang lawan, bahkan sampai daerah di luar Kebumen, misalnya ketika harus membantu pasukan Mataram di Karanganyar, Surakarta. Ketika Mataram bermaksud melakukan penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Batavia (Jakarta) Kolopaking bertugas menyediakan lumbung pangan. Beliau juga membantu perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda yang arogan. Masih banyak lagi sepak terjangnya, sayang sekarang kisahnya hilang bagai ditelan bumi. Oleh karena itu, sependapat dengan para responden dari kalangan tua dan berpengetahuan luas, penulis menyarankan hal-hal berikut. a.
Perlu upaya-upaya melestarikan cerita-cerita sekitar Kolopaking. Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita atau kisah tentang Kolopaking yang pantas diteladani oleh generasi muda masa kini. Oleh karena itu perlu ada upaya-upaya serius melestarikannya. Salah satu alternatif, misalnya, dengan membuka sayembara penulisan naskah cerita tentang Kolopaking. Pada gilirannya naskah yang menjadi juara dibukukan. Jika dikemas dengan perwajahan yang menarik pasti akan banyak dibaca oleh anakanak.
b.
Perlu penggalian fakta-fakta dan data-data sejarah berkait dengan Kolopaking.
lxxii
Harus diakui bahwa betapa besar sumbangsih Kolopaking bagi negeri ini, khususnya Kebumen dan Mataram. Didasarkan pada fakta-fakta yang ada, paling tidak menurut penuturan para tokoh yang dianggap mengetahui tentang Kolopaking, maka tidaklah berlebihan kiranya jika Kolopaking diusulkan agar diakui menjadi salah satu pahlawan agar diakui oleh pemerintah. Kolopaking memang besar artinya bagi negeri dan bangsa ini, maka upaya penggalian data sejarah yang lebih akurat. Dengan demikian kepahlawanan Kolopaking paling tidak diketahui oleh generasi muda Kebumen, khususnya, dan Indonesia umumnya. Tanpa mengetahui kisahnya, mana mungkin seseorang akan menghargai jasa-jasanya. Peribahasa mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Tanpa ada data yang akurat , maka perjuangan yang dilakukan Kolopaking tak pernah diketahui dan dihargai orang. Artinya, kita belum bisadikatakansebagai bangsa yang besar, karena data tentang salah seorang pahlawannya tercecer.
c.
Pemakaman Kolopaking untuk dijadikan objek wisata sejarah. Makam Kolopaking sebetulnya termasuk makam yang istimewa, paling tidak bagi warga Kebumen. Lokasi itu berpotensi untuk dikembangkan menjadi sebuah objek wisata sejarah. Tentu saja di lokasi itu harus dilengkapi museum. Museum itu dapat diisi dengan berbagai benda peninggalan Kolopaking mulai dari yang pertama hingga keempat. Benda-benda itu bisa didapatkan dari keturunan dan kerabat beliau yang tergabung dalam ”Trah Kolopaking.
lxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Danandjaja, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafitti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Struktur Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Dekdikbut. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisasi. Yogyakarta: Pustaka Jaya. Koentjaraningrat. 1983. Beberapa Dasar Metode Statistik dan Sampling Dalam Penelitian Masyarakat Dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Laelasari dan Nurlaela. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia. Moleong, Laxy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rusda Karya. Mursal Esten. 1984. Kesustraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Panuti Sudjiman. 1992. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutopo, HB. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teori Praktis. Surakarta: UNS Press. Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wasita, Hermawan, Drs. 1992. Pengantar Metode Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
lxxiv
LAMPIRAN
CERITA RAKYAT K.R.A.T KOLOPAKING
lxxv
Raden Kyai Ageng Kertowongso adalah penguasa wilayah Panjer Roma yang merupakan daerah perdhikan, yaitu daerah otonom dengan dikepalai oleh seorang Demang. Wilayahnya meliputi Rowo Ambal, Bocor, Petanahan, Puring, Gombong, Karanganyar, Panjer, Kutowinangun, dan Prembun. Pada tahun 1677 terjadi pemberontakan di Mataram yang dikomandoi Pangeran Trunojoyo, seorang pangeran dari Madura. Pasukan pemberontak berhasil merebut ibu kota Mataram. Raja Mataram, yaitu Sunan Amangkurat Agung I beserta keluarga dan beberapa pengawalnya meninggalkan istana. Mereka berjalan ke barat. Tempat yang dituju adalah Cirebon karena wilayah tersebut masih merupakan kekuasaan Mataram. Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I memasuki wilayah Panjer Roma, yaitu di Rowo Ambal. Beliau dijemput oleh Raden Kyai Ageng Kertowongso dan langsung dibawa ke Panjer untuk diadakan perjamuan. Pada waktu itu Raden Kyai Ageng Kertowongso melihat ada yang tidak wajar pada diri Sunan Amangkurat Agung I. Badannya lemas dan mukanya pucat. Raden Kyai Ageng Kertowongso memastikan bahwa hal itu bukan penyakit biasa, malainkan karena keracunan. Oleh karena itu Raden Kyai Ageng Kertowongso berinisiatif mengambil buah kelapa yang telah kering sabutnya ( klapa aking, jawa ) dan airnya diminumkan kepada Sunan Amangkurat Agung I dengan maksud untuk menawarkan racun di dalam badannya. Konon beberapa saat kemudian Sunan Amangkurat Agung I muntah-muntah dan racun di tubuhnya turut keluar. Untuk memulihkan kesehatannya Sunan Amangkurat Agung I beristirahat beberapa hari di Panjer dibawah pengawasan Raden Kyai Ageng Kertowongso. Sunan Amangkurat Agung I merasa sangat berterima kasih kepada Raden Kyai Ageng Kertowongso. Selain telah memberikan penyambutan yang menyenangkan, Raden Kyai Ageng Kertiowongso juga telah membebaskannya dari keracunan. Atas jasa baiknya itu, maka Sunan Amangkurat Agung I menganugerahinya pangkat Raden Adipati Tumenggung dan sebuah gelar Kelapa Aking I yang kemudian disingkat menjadi Kolopaking I. Raden Kyai Ageng Kertowongso juga diambil menantu oleh Sunan Amangkurat Agung I dinikahkan dengan Raden Ayu Dewi Mulat. Pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I bersama rombongannya bermaksud melanjutkan perjalanan mereka ke barat. Raden Kyai Ageng Kertowongso mengantar beliau melalui Bocor, Petanahan, Puring, dan berpisah di Gombong. Sunan Amangkurat Agung selanjutnya beristirahat di Napudadi. Di sana beliau disambut oleh Pangeran Adipati Anom (Tedjo Ningrat). Raden Kyai Ageng Kertowongso atau Ki Kertowongso yang telah mendapat gelar Kanjeng Raden Adipati Tumenggung (K.R.A.T) Kolopaking memanggil orang-orang kepercayaannya. Beliau berencana menyerbu kedudukan Pangeran Trunojoyo di Mataram. Beliau kemudian memerintahkan para Adipati untuk mengumpulkan para pemuda untuk dididik ilmu perang dan ilmu kanuragan. Pusat pelatihan tersebut berada di desa
lxxvi
Karangwono. K.R.A.T Kolopaking I menugasi Ki Demang Margonoyo untuk melayani segala keperluan untuk kegiatan tersebut, antara lain perlengkapan senjata dan konsumsi. Desa Karangwono, pusat penggemblengan para pemuda
yang semula sepi menjadi
ramai. Dibangunlah beberapa tempat pelayanan masyarakat. Desa itu kemudian diganti namanya menjadi Kutho Winangun (= kota yang dibangun). Sekarang namanya menjadi Kutowinangun. K.R.A.T Kolopaking I mengangkat Ki Honggoyudo (anak dari Ki Demang Margonoyo) sebagai Demang Kutowinangun. Ki Honggoyudo menikah demngan Putri Klegen dan beranak 7 orang. Salah seorang diantaranya diberi nama Raden Honggoyudo atau yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Jaka Sangkrib. Pada pertengahan tahun tersebut Pangeran Puger dan Senopati Mertoseno dengan dibantu oleh laskar Panjer Roma dan laskar dari Bagelen menyerbu Mataram. Laskar Panjer Roma dipimpin oleh Raden Mendingen, anak K.R.A.T Kolopaking I. Pada saat yang hampir bersamaan, dari sisi yang lain, Pangeran Adipati Anom juga menyerang Mataram. Pangeran Adipati Anom adalah Raja Mataram yang diakui oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Beliau diberi gelar oleh Pemerintah Penjajah Belanda Amangkurat Amral (Admiral). Amangkurat Amral menyerang Mataram dengan mendapat bantuan tentara Belanda dari Semarang. Pangeran Trunojoyo berhasil diusir dari Mataram. Pangeran Trunojoyo mundur hingga ke Kediri, namun terus dikejar oleh tentara Amangkurat Amral. Akhirnya Pangeran Trunojoyo berhasil ditangkap dan dibunuh. Pasukan Panjer Roma tidak ikut dalam pengejaran tersebut, melainkan tetap berada di ibu kota Mataram. Selanjutnya Pangeran Puger menyerahkan tahta Mataram kepada Amangkurat Amral. Pemerintah Penjajah Belanda atau yang sering disebut Kompeni mulai diberri wewenang dan kekuasaan yang lebih luas dalam urusan Kerajaan Mataram. Prajurit Panjer Roma yang merasa tidak dapat bekerja sama dengan Pemerintah Belanda memilih meninggalkan ibu kota Mataram dan kembali ke wilayahnya. Setelah bertahta selama 46 tahun K.R.A.T. Kolopaking I menyerahkan kekuasaan atas Panjer Roma kepada putranya, yaitu Ki Kertowongso Mendingen. Selanjutnya Ki Kertowongso Mendingen bergelar K.R.A.T. Kolopaking II. K.R.A.T. Kolopaking II, pada tahun 1741 merekrut para pemuda untuk dilatih olah keprajuritan. Tidak sedikit pemuda keturunan Cina yang mengikuti pelatihan tersebut. Setelah dipandang cukup para pemuda itu dikirim ke Mataram untuk membantu Pangeran Mas Garendi yang sedang bertempur melawan Penjajah Belanda yang telah terlalu jauh mencampuri dan mendikte kebijakan dan urusan Kerajaan Mataram. Sunan Pakubuwono II, yang berkuasa di Mataram pada saat itu dinilai terlalu lemah dan selalu tunduk kepada kehendak Pemerintah Penjajah Belanda. Pasukan dari Panjer Roma dipimpin oleh R. Sulaiman Kertowongso, anak sulung K.R.A.T. Kolopaking II.
lxxvii
R.Sulaiman Kertowongso turut mengenakan pakaian seragam seperti yang dipakai oleh kebanyakan pemuda Cina. Dalam rombongan tersebut ada seorang gadis yang menyamar sebagai laki-laki. Di medan pertempuran R. Sulaiman Kertowongso dan gadis Cina yang menyamar sebagai laki-laki itu sering bahu-mambahu dalam melawan musuh. Oleh karena itu keduanya lalu bertambah akrab. Pangeran Mas Garendi berhasil menguasai Keraton Mataram dan Sunan Pakubuwono II terpaksa lari dan mengungsi ke Ponorogo. Pangeran Garendi yang juga cucu dari Sunan Amangkurat III diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat IV. Beliau kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, karena yang mengangkat beliau adalah para pemuda keturunan Cina yaang berkulit kuning. Setelah situasi aman, para pemuda Cina itu kembali ke Panjer Roma. Dalam perjalanan pulang R. Sulaiman Kertowongso banyak bertukar pengalaman dengan gadis Cina yang menyamar sebagai laki-laki itu dan mengaku bernama Tan Ping. Pada suatu sore, ketika rombongan itu memutuskan untuk bermalam, R. Sulaiman Kertowongso bermaksud berjalan-jalan menyusuri bukit. Tanpa disengaja terlihat olehnya Tan Ping membuka topinya. Rambutnya yang panjang tergerai hingga ke punggung. R. Sulaiman Kertowongso bergemetar kakinya. Tak disangka pemuda yang akrab dengannya ternyata seorang gadis yang sangat menawan. Untunglah Tan Ping tak mengetahui hal itu, sehingga sampai di Panjer Roma mereka bergaul sebagaimana biasa. Pada suatu hari R. Sulaiman Kertowongso berziarah ke makam eyangnya K.R.A.T Kolopaking I di Desa Kalijirek. Tan Ping diajak serta. Di perjalanan mereka beradu kepandaian dan kesaktian. Mereka bertaruh, siapapun yang kalah harus mau mengikuti kemauan yang menang. Setelah bersepakat mereka mulai bertarung hingga sehari penuh. Dalam pertarungan itu R. Sulaiman Kertowongso berhasil menjamah ikat topi Tan Ping hingga terlepas dan terurailah rambutnya yang panjang. Tan Ping terperanjat dan menyesal karena kedok penyamarannya terbuka. Dengan secepat kilat Tan Ping melarikan diri dengan merobohkan beberapa pohon jati untuk menghalangi langkah R. Sulaiman Kertowongso yang hendak mengejarnya. Sekarang tempat itu diberi nama Desa Jatimalang. Tan Ping memang tidak terkejar pada waktu itu. Pemuda Tan Ping sebenarnya bernama Tan Peng Nio. Kelak ia menjadi istri R. Sulaiman Kertowongso yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi penguasa Panjer Roma dan bergelar K.R.A.T. Kolopaking III. Sementara itu Demang Kutowinangun, Ki Honggoyudo mempunyai 7 orang anak, yaitu (1) Nyai Wirarana, (2) Ki Honggowongso, (3) Nyai Wirawijaya, (4) Nyai Wirawangsa, (5) Ki Sutajaya, (6) Nyai Suradjaya, dan (7) Ki Djoko Sangkrib. Setelah menginjak usia dewasa Ki Djoko Sangkrib mengembara ke Mataram. Ki Djoko Sangkrib diterima menjadi abdi di keraton karena memiliki banyak kelebihan. Selain terampil berolah kanuragan ia juga jujur dan berani bertanggungjawab. Konon dialah yang diberi tugas untuk mencari tempat di Solo yang banyak ditumbuhi bunga yang segar dan harum untuk dibangun menjadi Kotapraja Surakarta
lxxviii
Hadiningrat.Selanjutnya Ki Djoko Sangkrib diangkat menjadi nayago dan diberi gelar Adipati Arumbinang I. Sunan Pakubuwono II diikat oleh suatu perjanjian bahwa untuk pengangkatan seorang Patih harus mendapatkan persetujuan pihak Pemerintah Penjajah Belanda. Selain itu tanah di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Tegal hingga Jawa Timur ke selatan dan seluruh Pulau Madura boleh disewa atau diminta oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Hal inilah yang membuat Pangeran Mangkubumi berselisih paham dengan Sunan Pakubuwono II. Terjadilah perang saudara. Dalam hal ini K.R.A.T. Kolopaking II memihak kepada Pangeran Mangkubumi dengan mengirim pasukan dipimpin oleh R. Sulaiman Kertowongso. Pada tahun 1749 Sunan Pakubuwono II meninggal. Pemerintah Penjajah Belanda kemudian mengangkat anak dari Sunan Pakubuwono II dengan diberi gelar Sunan Pakubuwono III. K.R.A.T. Kolopaking II setelah memerintah selama 28 tahun kemudian mengangkat putranya, yaitu R. Sulaiman Kertowongso menggantikan kedudukannya dan memberinya gelar K.R.A.T. Kolopaking III. Pada awal masa pemerintahannya
K.R.A.T. Kolopaking III masih banyak
meninggalkan Panjer Roma, karena beliau masih menjadi senopati peerang membantu Pangeran Mangkubumi hingga tercapainya Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Mataram dibagi dua, yakni Negara Surakarta Hadiningrat dengan ibukota Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja dan bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Setelah itu K.R.A.T. Kolopaking III dapat berkonsentrasi menjalankan pemerintahannya di Roma. K.R.A.T. Kolopaking III mengutamakan kemajuan di bidang pertanian dan perdagangan. Di Keraton Surakarta Hadiningrat Adipati Arumbinang I setelah bertugas selama 33 tahun digantikan oleh anaknya dan diberi gelar Adipati Arumbinang II. Adipati Arumbinang II beertugas selama 30 tahun dan kemudian digantikan oleh putranya dengan memperoleh gelar Adipati Arumbinang III. Beliau juga diangkat menjadi Adipati untuk Kadipaten Gunung Kutowinangun. Sedangkan wilayah Kutowinangun masuk wilayah Kasultanan Ngayogyakarta dan pemerintahannya dipegang oleh K.R.A.T. Kolopaking III. K.R.A.T. Kolopaking III memegang pemerintahan selama 58 tahun. Setelah wafat beliau digantikan oleh anaknya yang bernama R. Kertowongso yang selanjutnya bergelar K.R.A.T. Kolopaking IV. K.R.A.T. Kolopaking IV berkonsentrasi mengembangkan usaha pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri. Di bawah pemerintahan K.R.A.T. Kolopaking IV Panjer Roma mengalami zaman keemasan. Pada bulan Juli 1825 Perang Diponegoro sudah meluas hingga ke daerah Kedu, Pekalongan, Tegal, Banyumas, dan Bagelen. Pada suatu hari datanglah utusan Pangeran Diponegoro yang berkedudukan di Ledok ( hulu Sungai Serayu), yaitu Senopati Suro Mataram dan Adipati Sigaluh ( Ki Kertodrono) ke Panjer Roma.Utusan itu disambut oleh K.R.A.T. Kolopaking IV, Senopati Gumowidjoyo, Banaspati Djojomenggolo, dan Ki Tjokronegoro (Karang Tengah) yang kebetulan sedang bertamu di Panjer Roma. Pada malam hari itu juga mereka langsung
lxxix
mengadakan perundingan. Mereka sepakat membantu Pangeran Diponegoro melawan Penjajah Belanda. Penjajah Belanda menerapkan politik adu domba. Mereka melibatkan Pasukan Mangkunegoro, Kasunanan Pakubuwono Surakarta, dan Pasukan Keraton Ngayogyakarta di bawah pimpinan Pangeran Murdaningrat, Pangeran Panular, Pengeran Hadiwinoto, dan Pangeran Hadiwijoyo. K.R.A.T. Kolopaking IV diberi tugas menyediakan logistik dan perlengkapan senjata. Sebagian prajurit Panjer Roma dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo berperang melawan pasukan Penjajah Belanda di daerah Banjarnegara dan meluas hingga ke Banyumas. Pertempuran besar terjadi di Purworejo Klampok. Pasukan Belanda mundur dan bersembunyi di Benteng Sokawara. Pangeran Diponegoro bersama prajurit Panjer Roma menunggu sambil beristirahat di Somagede. Senopati Gomowijoyo dan Ki Kertodrono berembug tentang strategi peperangan. Tanpa disangkasangka mereka diserang dari arah utara dan timur. Pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Biskus dan Magilis. Pasukan Pangeran Diponegoro terpaksa mundur ke selatan. Mereka berjalan melalui lereng dan lembah pegunungan sambil melakukan konsolidasi dengan pasukan yang terpencar. Di pihak lain, Bala bantuan tentara Penjajah Belanda berdatangan dari Surakarta dan Batavia (Jakarta) dengan persenjataan modern. Mereka lalu mendesak pasukan Pangeran Diponegoro yang dibantu pasukan dari Panjer Roma hingga ke kabupaten Sigaluh. Di situ pasukan Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan mati-matian hingga sebulan lamanya. Api peperangan berkobar di mana-mana di Pulau Jawa bagian tengah. Kedua belah pihak mengalami banyak kerugian jiwa dan material. Belanda lalu mengggunakan strategi lain, yaitu membujuk para pejabat dengan hadiah-hadiah yang jumlahnya banyak dan juga jabatan-jabatan yang menggiurkan. Tidak sedikit pejabat-pejabat yang tergiur dan menuruti ajakan Belanda. Akhirnya perang saudara berkecamuk di berbagai tempat. Ini adalah bagian dari politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda. Sayang hal itu tidak disadari oleh pejabat-pejabat yang haus harta dan pangkat. Pada bulan November 1828 Pangeran Diponegoro hampir tertangkap di Lobangadung setelah jatuh sakit beberapa hari. Untunglah ia masih diselamatkan oleh Tuhan. Selanjutnya beliau berangkat ke Panjer Roma untuk menemui K.R.A.T. Kolopaking IV dan para pemimpin prajurit Panjer Roma. Di Perjalanan Pangeran Diponegoro dan Raden Basah Mertonegoro bersama dengan para pengiringnya mendapat serangan mendadak dari paasaukan Belanda. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya turun dari kuda masing-masing dan bersembunyi dalam jurang. Pasukan Belanda tidak berhasil menemukan mereka. Pangeran Diponegoro sampai di Panjer Roma disambut oleh K.R.A.T. Kolopaking IV. Kemudian Pangeran Diponegoro mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin prajurit di antaranya Senopati Gomowijoyo, Banaspati Djoyomenggolo, dan Penasihat Endang Kertowongso. Ketika berada di Panjer Roma sakit Pangeran Diponegoro kambuh, sehingga beliau harus beristirahat beberapa hari. Setelah sembuh barulah beliau berangkat ke Dekso melalui hutan Laban
lxxx
dan Desa Sebodo. K.R.A.T. Kolopaking IV terus mengirimkan peralatan perang dan logistik bahan pangan dari Panjer Roma melalui Kaliwero, Tunggoro, Sadang, Tuk Pitu, Kutowaringin, ke Sigaluh dan Mandireja. Di Panjer Roma, pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Sanopati Suro Mataram berhasil mengambil alih Kadipaten Kutowinangun. Arumbinang III selaku penguasa Kadipaten Kutowinangun ditawan. Atas saran K.R.A.T. Kolopaking IV, Arumbinang III dibebaskan karena usianya yang telah uzur. Selanjutnya Arumbinang III dipulangkan ke Kasunanan Surakarta. Pada saat mengikuti perundingan ( 28 Maret 1830) Pengeran Diponegoro ditangkap oleh Penjajah Belanda. Beberapa hari kemudian para pengikut Pangeran Diponegoro juga ditangkap. Di antaranya adalah Sunan Pakubuwono VI yang secara diam-diam membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.Sunan Pakubuwono VI dibuang ke Ambon. Sebagai penguasa Kasunanan Surakarta diangkatlah Pangeran Purboyo yang kemudian diberi gelar Sunan Pakubuwono VII.. Kedatangan Arumbinang III di Kesunanan Surakarta disambut dingin, karena gagal mempertahankan Kadipaten Kutowinangun. Belanda dan Sunan Pakubuwono VII marah. Seketika itu juga jabatannya selaku Adipati dicabut dan diserahkan kepada anaknya yang kemudian diberi Gelar Adipati Arumbinang IV. Kadipaten Sigaluh diserang oleh pasukan Belanda dari arah barat. Prajurit Sigaluh dengan dibantu pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan dari Panjer Roma mengadakan perlawanan. Perang seru berlangsung hingga dua bulan. Karena unggul dalam peralatan perang pasukan Belanda berhasil memaksa lawannya mundur. Pasukan Pangeran Diponegoro, pasukan Si Galuh, dan dari Panjer Roma bertahan di pegunungan. Sementara itu bala bantuan tentara Belanda berdatangan. Mereka kemudian menggempur daerah Buntu. Karena persenjataan yang tidak seimbang, maka perlawanan terhadap pasukan Belanda dilakukan secara bergerilya. Selama beberapa bulan kedua belah pihak saling serang. Garis depan pertempuran secara silih berganti dikuasai oleh kedua belah pihak. Sekarang daerah itu diberi nama Sumpiuh (sampyuh= jawa). Bala bantuan pasukan Belanda terus didatangkan dengan dilengkapi persenjataan yang lengkap. Kali ini bantuan itu datang dari Batavia (Jakarta). Prajurit Panjer Roma yang berkedudukan di Gunung Ijo digempur oleh pasukan Belanda hingga tercerai-berai. Prajurit Panjer Roma mundur. Mereka lalu bertahan di gua yang banyak terdapat daerah Rowokele, Ayah, dan Buayan. Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap, perlawanan terhadap Belanda terus berkobar, namun tidak sekuat dahulu. Apalagi banyak pimpinan lainnya yang juga ditangkap dan ditawan. Sekarang Panjer Romalah sebagai benteng terakhir pasukan Pangeran Diponegoro. Adipati Arumbinang IV diangkat menjadi Senopati Perang pasukan Surakarta. Dengan dibantu pasukan Belanda mereka bergerak menuju Panjer Roma. Pasukan Belanda dari Semarang juga datang. Pasukan Arumbinang menyerang Panjer Roma dari arah timur. Terjadilah pertempuran sengit di daerah rawa-rawa. Pasukan Panjer Roma yang dipimpin oleh Ki Djoyo Lurik kewalahan menghadapai mereka.
lxxxi
Akhirnya daerah Rawa berhasil diduduki oleh Arumbinang IV. Prajurit Panjer Roma mundur ke Ambal. Di Kadipaten Kutowinangun Senopati Suro Mataram menyerahkan jabatan senopati diserahkan kepada K.R.A.T Kolopaking IV. Pertahanan parajurit Panjer Roma di Ijo dan Rowokele bobol diserbu oleh pasukan Belanda. Prajurit Panjer Roma mundur untuk menghindari perang berhadap-hadapan. Pasukan Panjer Roma mundur ke Sikayu dan Rowokele. Sebagian yang lain mundur ke Sempor dan akhirnya bertahan di Grenggeng. Di sini pasukan yang dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo berhasil menyergap pasukan Belanda yang sedang menyeberangi Sungai Kemit dan memaksa mereka mundur. Banyak pasukan Belanda yang terbunuh dalam penyergapan tersebut. Di bagian timur pasukan Adipati Arumbinang IV yang dibantu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Royen menggempur parjurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Ki Demang Djoyo Lurik. Ki Demang Djoyo Lurik gugur di medan pertempuran. Pasukan Adipati Arumbinang IV berhasil mengobrak-abrik prajurit Panjer Roma yang akhirnya mundur ke Kutowinangun. Kedudukan prajurit Panjer Roma mendapat serangan dari berbagai penjuru. Mereka terus menjalankan perang gerilya. Akhirnya Senopati Gomowijoyo memerintahkan agar semua kekuatan dikonsentrasikan ke Bocor dan sebagian bertahan di sepanjang Sengai Lukulo. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor Magelis dan Mayor Biskus terus mendesak prajurit Panjer Roma hingga ke Sungai Lukulo. Dari arah timur pasukan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Adipati Arumbinang IV dan dibantu oleh pasukan Belanda terus bergerak maju. Jebakan-jebakan berupa lubang-lubang, jala, dan panah, meskipun dapat menghambat pergerakannya namun akhirnya dapat dilewati. Barak-barak dan lumbung-lumbung tempat penyimpanan bahan makanan dibakar. Orang-orang yang setia membantu K.R.A.T. Kolopaking IV ditangkap dan disiksa. Kadipaten Kutowinangun akhirnya jatuh ke tangan Adipati Arumbinang IV. Prajurit Panjer Roma membuat pertahanan di daerah-daerah Wonosari, Buluspesantren, Sruni, Selang, Kedawung, Sruweng, Karangpule, Kebagoran, dan Panjer Roma. Perlengkapan sejata mereka berupa tombak, tolop beracun, lembing, dan pedang atau parang. Mereka akan mati-matian mempertahankan Panjer Roma. Pasukan gabungan antara Pasukan Kasunanan Surakarta dengan pasukan Belanda mulai melakukan gempuran lagi terhadap Panjer Roma. Satu persatu daerah pertahanan Panjer Roma dijatuhkan. Gempuran tersebut juga mereka lakukan dari arah barat. Akhirnya Panjer Roma dikepung dari berbagai arah. Selanjutnya pertempuran sengit terjadi hingga beberapa minggu. Suatu hari Adipati Arumbinang IV berhadapan langsung dengan K.R.A.T. Kolopaking IV. Terjadilah pertarungan satu lawan satu lahan sawah si Kenceng. Lokasinya sekarang di sebelah timur Stadion Candradimuka. Keduanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Oleh karena itu pertarungan berjalan dengan sangat seru. Pada suatu kesempatan Adipati Arumbinang IV berhasil melukai lengan K.R.A.T. Kolopaking IV sehingga mengucurkan darah. Anehnya kucuran
lxxxii
darah dari lengan K.R.A.T. Kolopaking IV setelah menyentuh tanah berubah menjadi ular. Ularular tersebut kemudian secara bersama-sama menyerang Adipati Arumbinang IV.
Adipati
Arumbinang IV cepat-cepat menyingkir. K.R.A.T. Kolopaking IV kondisinya terus memburuk karena darah terus mengucur dari lukanya. Pada saat sudah tidak berdaya akhirnya ia berhasil ditawan oleh pasukan Belanda dan akhirnya meninggal. Sawah Si Kenceng hingga sekitar tahun 1990-an masih terkenal angker. Sebuah rumah di sudut sawah Si Kenceng hanya dihuni beberapa minggu sejak selesai dibangun. Konon penghuninya sering diganggu oleh ular-ular jadi-jadian. Di bawah tudung saji tanpa diketahui dari mana masuknya ternyata ada ular. Di lemari pakaian juga ada ular. Di bak mandi juga sering terlihat ada ular. Akhirnya rumah itu tak pernah dihuni dan rusak dengan sendirinya. Hingga sekarang (tahun 2009) pondasi rumah itu masih dapat kita saksikan.
Interview Guide Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking
lxxxiii
Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Pertanyaan kepada: Berprofesi Penulis, Guru, P dan K dan Dinas Pariwisata Nama : Tahun :
Usia:
Alamat:
1.
Siapakah sebenarnya tokoh Kolopaking itu?
2.
Bagaimana hubungan antara Kolopaking dengan Arumbinang?
3.
Mengapa cerita Kolopaking kurang dikenal oleh masyarakat?
4.
Apakah cerita Kolopaking mengandung nilai-nilai yang baik diwariskan untuk generasi muda?
5.
Apa sajakah jasa-jasa Kolopaking bagi Kebumen khusunya dan Indonesia umumnya?
6.
Apakah ada upaya-upaya menyebarluaskan cerita Kolopaking?
7.
Mengapa sejarah Kolopaking belum dijadikan bahan ajar di SD sebagai muatan lokal?
Interview Guide Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Pertanyaan kepada: Kepala Desa dan Perangkat Desa Nama : Tahun :
Usia:
lxxxiv
Alamat:
1. Siapakah sebenarnya tokoh Kolopaking itu? 2.
Bagaimana hubungan antara Kolopaking dengan Arumbinang?
3.
Mengapa cerita Kolopaking kurang dikenal oleh masyarakat?
4.
Apakah belum ada rencana untuk mengelola Makam Kolopaking sebagai tempat tujuan wisata sejarah?
5.
Apa sajakah kendalanya?
6.
Menurut Bapak apakah nilai-nilai luhur dalam cerita Kolopaking pantas untuk diwariskan kepada generasoi muda?
7.
Tindakan apakah yang sudah pernah Bapak lakukan guna melestarikan cerita Kolopaking?
Interview Guide Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Pertanyaan kepada: Juru Kunci Makam Nama : Tahun :
Usia:
Alamat:
1. Sudah berapa tahun Anda diberi tugas sebagai Juru Kunci Makam? 2.
Adakah hal-hal aneh yang Bapak alami atau saksikan selama menjadi Juru Kunci?
3.
Kapankah makam itu ramai dikunjungi peziarah?
lxxxv
4.
Siapa sajakah yang biasanya datang berziarah ke makam itu?
5.
Jenazah siapa sajakah yang dimakamkan di pemakaman itu?
6.
Selain menjaga makam apakah Bapak merawat benda-benda peninggalan Kolopaking, seperti pakaian kebesaran, senjata, atau yang lainnya?
7.
Mohon kesediaan Bapak menceritakan kepada saya kisah perjuangan Kolopaking!
Interview Guide Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Pertanyaan kepada: Para Peziarah Nama : Tahun :
Usia:
Alamat:
1.
Bagaimanakah isi Cerita Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking?
2.
Menurut bapak apakah nilai-nili luhur dalam cerita Tumenggung Kolopaking pantas diwariskan untuk generasi muda?
3.
Tradisi apakah yang masih hingga sekarang dilaksanakan oleh masyarakat?
4.
Benda-benda apa saja yang masih dapat dikenang oleh masyarakat?
5.
adakah hari khusus menurut kepercayaan pengunjung?
6.
mengapa cerita Tumenggung Kolopaking kurang dikenal masyarakat?
7.
Apakah ada kekuatan magis atau kepercayaan masyarakat mengenai keberadaan peninggalan petilasan Tumenggung Kolopaking?
8.
Apakah upaya pemerintah daerah memajukan obyek wisata ini?
lxxxvi
DAFTAR PEMBERI INFORMASI (INFORMAN)
1.
Siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah 1. Muhammad Soleh 2. Dias Pratama
L L
3. Kukuh Tejo Mukti 4. Nuril Anwar
Kelas V L
Kelas VI
L
5. Akhmad Fadilah
2.
Kelas V
Kelas VI L
Kelas VI
Siswa Sekolah Menegah Pertama/ Madrasah Tsnawiyah 1. Atiek Nurkhasanah 2. Desti Pratiwi
(P) Kls. VIII SMP Negeri 1 Kebumen (P) Kls. VII
SMP Muhammadiyah 1
3. Akhmad Lutfi Hakim (L) Kls. IX
3.
4.
SMP Negeri 7
Kebumen
4. Fajar Mahargyono
(L) Kls. VIII MTsN Kebumen
5. Muhammad Rizki Fauzi
(L) Kls. VII
MTsN Kebumen
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Mahasiswa 1. Syarief H
(L) Kls. X
2. Tri Uji Rahayu
(P) Kls. XII
3. Rakhmat W
(L) Kls. X
4. Rizqi Habibie
(L) Kls. XII
5. Khisnatul M
(P) Kls. XII
SMA Negeri 2 Kebumen SMA Muhammadiyah
MAN 1 Kebumen MAN 1 Kebumen SMA Muhammadiyah
Guru-guru dan Kepala SD Kalijirek 1. Niken Suwardani,S.Pd (P) 43 tahun
Kepala Sekolah
2. Imam Supardi HS
(L) 58 tahun
Guru Kelas II
3. Hj. Suripah
(P) 56 tahun
Guru Kelas I
4. Sri Sumyati, A.Ma.Pd (P) 49 tahun
Guru Kelas IV
5. H. Dalilan, S.Pd
(L) 56 tahun
Guru Agama Islam
6. Musiyati, A.Ma.Pd
(P) 42 tahun
Guru Kelas V
7. Sri Mumi, A.Ma
(P) 40 tahun
Guru Kelas VI
8. Khanifah Hermawati,S.Pd
(P) 30 tahun
Guru Kelas III
9. Siti Nurul Khikmah
(P) 27 tahun
Guru Penjaskes
10.Moh Sobirin
(L) 40 tahun
Penjaga Sekolah
lxxxvii
5.
Kepala Desa dan Perangkat Desa Kalijirek 1. Akhmad Miftahudin
(L) 28 tahun
2. M. Muchtarom
(L) 52 tahun
Kadus I
3. M. Tarman
(L) 35 tahun
Kadus II
4. Makhludin
6.
Kepala Desa
(L) 49 tahun
Kaur Pemerintahan
5. M. Badri
(L) 40 tahun
Kaur Pembangunan
6. M. Nasir
(L) 38 tahun
Kaur Keuangan
7. N. Kholis
(L) 40 tahun
Kaur Kesra
(L) 60 tahun
Pensiunan Penilik
Informan Lainnya 1. Sardjoko 2. Sugeng Riyadi,S.Pd
(L) 46 tahun
Guru/Penulis
3. Sudibyo
(L) 56 tahun
Dinas Pariwisata Kebumen
4. Sadiyo
(L) 49 tahun
Pensiunan Dinas P dan K
5. Mulyadi
(L) 51 tahun
Juru Kunci Makam
DATA-DATA PENELITIAN
1.
2.
Pernahkan Anda mendengar Cerita Kolopaking? a.
Pernah
SD= 3
SMP=2
SMA/MHS=3
b.
Tidak
SD= 7
SMP=8
SMA/MHS=7
Dari siapa Anda mendengar Cerita Kolopaking? a.
Orang tua
SD=1
SMP=1
lxxxviii
SMA/MHS=1
3.
4.
5.
6.
7.
b.
Guru
SD=1
SMP=0
SMA/MHS=1
c.
Bacaan
SD=0
SMP=0
SMA/MHS=0
d.
Lainnya SD=1
SMP=1
SMA/MHS=1
Apakah Anda bersedia menceritakan Cerita Kolopaking? a.
Tidak
b.
Bersedia SD=1
SD=2
SMP=2 SMP=0
SMA/MHS=2 SMA/MHS=1
Jika Anda tidak bersedia menceritakannya apakah alasan Anda? a.
Tidak tahu
SD=1
SMP=2
SMA/MHS=0
b.
Ragu-ragu
SD=1
SMP=0
SMA/MHS=2
c.
Alasan lain
SD=0
SMP=0
SMA/MHS=0
Pernahkan Anda masuk ke areal Makam Kolopaking? a.
Pernah
SD=0
SMP=0
SMA/MHS=0
b.
Tidak
SD=10
SMP=10
SMA/MHS=10
Jika belum pernah masuk Makam Kolopaking apakah Alasan Anda? a.
Takut
b.
Tidak ada perlu SD=0
c.
Alasan lain
SD=10
SMP=3 SMA/MHS=4 SMP=5 SMA/MHS=5
SD=0
SMP=2 SMA/MHS=1
Apakah Anda ingin mengetahui Cerita Kolopaking? a.
Ya
SD=8
SMP=6 SMA/MHS=4
b.
Ragu-ragu
SD=2
SMP=1 SMA/MHS=3
c.
Tidak
SD=0
SMP=3 SMA/MHS=3
lxxxix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PEMBERI INFORMASI (INFORMAN)
1.
Sardjoko, lahir di Klaten 4 Agustus 1949, anak kelima dari seorang dalang di Dukuh Corocanan ( 4 kilometer utara Prambanan), Desa Saladiran, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Sejak pindah ke Kebumen, 1 Mei 1971, ia aktif melatih seni tari dan karawitan di berbagai tempat di wilayah kebumen. Pada 1 Maret 1976 namanya tercatat sebagai salah seorang staf di Seksi Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen. Mulai Juli 1986 dia diangkat menjadi Penilik Kebudayaan di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Alian hingga masa pensiunnya. Selain kegiatan tersebut di atas, Sardjoko juga aktif mencipta tari dan lagu-lagu (gendhing) yang diiringi alat musik gamelan. Beberapa karya tari dan lagulagunya adalah: a. Sedratari Jaka Sangkrib b. Dramatari Menakjinggo Lena c. Dramatari Kabut Wirata
xc
d. Dramatari Ngundhuh Sarang Burung Lawet e. Tari Wajib Belajar 9 Tahun f.
Gendhing Kebumen Binuka
g. Gendhing Wajib Belajar 9 Tahun h. Gendhing Gebyar Warna Kuning i.
Gendhing HUT PGRI
j.
Gendhing HUT Golkar
k. Gendhing Lawet Aneba Di antara tari-tari dan gendhing-gendhing di atas dalam penciptaannya memerlukan dukungan pengetahuan tentang sejarah Kebumen, misalnya Sendratari Jaka Sangkrib dan Gendhing Kebumen Binuka. Oleh karena itu sejak lama ia telah menggali dan mengumpulkan berbagai informasi sejarah tentang Kebumen dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya kisah tentang Kolopaking. Selain itu sejarah lokal (dalam hal ini Kebumen) memang menjadi salah satu bidang garapannya selaku Penilik Kebudayaan. Sardjoko memaparkan, bahwa dalam kisah tentang Kolopaking terdapat banyak sekali nilai luhur yang sebaiknya diteladani oleh generasi masa kini. Nilai-nilai luhur itu antara lain sikap andhap asor, aja dumeh, jujur, suka bekerja keras, cinta tanah air atau patriotisme (handarbeni hangrungkebi), mengormati, dan masih banyak lagi lainnya. Sardjoko mengakui, bahwa dalam rangka memasyarakatkan kisah tentang Kolopaking masih menghadapi kendala. Pada masa lalu kendalanya adalah perasaan ewuh pakewuh. Sebagaimana telah diketahui bahwa setelah Kolopaking surut, tampuk kekuasaan di Kebumen dipegang oleh Arumbinang yang berseteru dengan Kolopaking. Tidak etis rasanya bagi orang-orang yang hidup pada waktu itu menceritakan kebaikan Kolopaking di hadapan Arumbinang. Akibatnya kisah tentang Kolopaking bagai terkubur, apalagi beberapa pengganti penguasa Kebumen berikutnya masih merupakan Trah Arumbinang.
xci
Sebagai fakta sejarah Sardjoko berpendapat bahwa kisah Kolopaking baik untuk dimasyarakatkan. Tidak ada masalah. Paparkan saja seperti apa adanya. Masyarakat sekarang sudah dewasa.
2. Sugeng Riyadi,S.Pd, lahir di Kalirancang, Alian, Kebumen pada 27 Maret 1963. Sejak menjadi guru, 1 April 1983 aktif mengikuti berbagai lomba dan sayembara menulis naskah buku bacaan dan pengayaan, terutama yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan, Depdiknas Jakarta. Hingga tahun 2006 telah lima kali juara di Tingkat Pusat. Selain itu ia pernah menjuarai Lomba Menulis yang diselenggarakan oleh majalah Bobo. Beberapa buku tulisannya telah diterbitkan oleh penerbit-penerbit Jakarta(Depdiknas, PT Margi Wahyu, Intimedia) , Bandung (Rosda Karya), Yogyakarta (Adi Cita), dan Surakarta (Tiga Serangkai). Buku-bukunya yang berkait dengan Kebumen, antara lain Kebumen pada Masa Perang Kemerdekaan (1949-1950), Kebumen Beriman, dan Jakasura. Pendapatnya mengenai Kisah Kolopaking tak berbeda jauh dari Sardjoko. Ia membenarkan bahwa banyak nilai luhur yang terkandung dalam kisah Kolopaking yang pantas diwariskan kepada generasi muda sekarang. Ia juga setuju jika Kisah Kolopaking diungkap secara terbuka dan jujur. Sugeng Riyadi sendiri menulis tentang Jaka Sangkrib (yang kemudian menjadi Arumbinang I) dengan judul Jakasura berbentuk buku bergambar yang bagus dibaca oleh anak-anak kelas I-III. Menurutnya, dari kisah seseorang ada nilai-nilai positif yang bisa dijadikan pelajaran, tentu saja termasuk kisah hidup Kolopaking. DATA INFORMAN
xcii
Nama : Jabatan : Usia :
1.
Ceritanya begini, saat Sunan Amangkurat Agung I pemimpin kerajaan Mataram sedang mengadakan perjalanan bersama pengawalnya kewilayah Roma beliau di jemput oleh Kyai AgengKertowongso, atau nama lain dari Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking 1, beliau bersamasama akan mengadakan pertemuan. Di lihatnya Raja Agung Mataram, nampak sangat pucat seperti orang yang sedang sakit, kemudian Raden Kolopaking berinisiatif untuk mengambilkan sebuah penawar racun yaitu buah pohon kelapa yang sudah kering istilah Jawa adalah Aking atau Garing. Setelah airnya diminum Raja Agung, wajah beliau nampak lebih terlihat sehat dan racun di dalam tubuhnya dapat keluar. Raja Agung sangat berterima kasih dan memberikan gelar Kyai Ageng Kertowongso Raden Kolopaking I dan dinikahkan dengan Raden Ayu Mulat setelah menikah Raden Kolopaking bersama mertuanya melanjutkan perjalanan kewilayah barat, mereka berencana akan menyerbu pasukan Trunojoyo di Mataram. Setelah terjadi peperangan di kutowinangun Raden Kolopaking mengangkat seorang putera dari Demang Kutowinangun dan dinikahkan dengan putri Klegen. Selama bertahta kurang lebih 46 tahun Raden Kolopaking I menyerahkan tahtanya kepada putranya Ki Kertowongso Mendingen dan di juluki sebagai Raden Kolopaking II untuk memimpin kekuasaan Panjer Roma. Setelah berkuasa kurang lebih 28 tahun, Raden Kolopaking II menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yang bernama Raden Sulaiman Kertowongso dan mendapatkan gelar Raden Kolopaking III disini ia membantu Pangeran Mangkubumi untuk menciptakan Perjajian Giyanti, isinya tidak lain adalah membagi wilayah Mataram menjadi 2, yakni Surakarta Hadiningrat beribu Kota di Solo sedangkan Kraton Ngayogyokarto berada di Yogyakarta, setelah berkuasa kurang lebih 58 tahun sesampai wafatnya Raden Kolopaking III diganti putranya Raden Kolopaking IV dan seterusnya.
xciii
2.
Ya pasti, soalnya mengandung petuah-petuah yang dapat memberikan contoh positif bagi anak-anak sekarang untuk senantiasa berbuat baik, diantaranya saling menolong sesama, berjiwa kepahlawanan membela yang benar karena terdapat jiwa patriotismenya.
3.
Tradisi biasanya mengadakan slametan pembacaan doa-doa, seperti tahlilan, yasinan berdoa agar diberikan keselamatan di dalam keluarganya maupun penduduk setempat agar aman terhindar dari mara bahaya.
4.
Benda-benda diantaranya ada lemari ukir dan meja ukir, adapun petilasan Raden Kolopaking sendiri yang masih sampai sekarang.
5.
Hari khusus bagi pengunjung ngga ada, tapi biasanya pengunjung yang datang ke Makam Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking adalah rewah menjelang puasa.
6.
Ya, bukannya dikenal tapi generasi sekarang itu paling males mendengar cerita Raden Kolopaking ini bagi Masyarakat Desa sini tidak asing lagi, tapi yang namanya lupa-lupa ingat gitu.
7.
Kepercayaan gaib itu sih tergantung manusia ada yang percaya dan ada yang tidak percaya, tetapi ada kejadian yang sangat di takuti oleh masyarakat jika mendirikan bangunan rumah di sawah sikenceng rumah itu akan di jadikan sebagai sarang ular dan apabila oarang yang lagi kerja di sawah sikenceng tersebut melebihi batas waktu akan di ganggu ular itu masih terjadi sampai sekarang.
8.
Upaya pemerintah saya berharap dari Dinas Pariwisata untuk membangun obyek wisata ziarah tersebut, dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang memadahi.
xciv
Nama : Jabatan : usia :
1. Cerita Kolopaking itu, nama aslinya Raden Kyai Kertowongso pemimpin wilayah Panjer Roma, pada awalnya berebut kekuasaan wilayah kekuasaan Mataram yang pada waktu itu masih dipimpin oleh Sunan Agung Amangkurat I, nah pada waktu pemimpin Mataram memasuki wilayah Panjer Roma tidak terjadi permusuhan melainkan Raja Mataram disambut dengan lapang dada diadakan perjamuan, diobatinya Raja Mataram yang kelelahan habis perjalanan dengan air kelapa tua (degan tua). Setelah sembuh Raden Kolopaking diambil menantu dan dijadikan pemimpin pasukan perang setelah sekian lama bertahta Raden Kolopaking merasa sudah tidak sanggup lagi untuk memipin dan akhirnya digantikan puteranya dan di beri gelar Raden Ageng Kolopaking II, hingga seterusnya. Munculah perjanjian giyanti yang isinya diantaranya adalah membagi dua wilayah Kraton Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Paku Buwono, sedangkan Kraton wilayah Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Pada masa pemerintahan Kolopaking IV terjadi perebutan kekuasaan dengan pangeran Diponegoro dan Belanda. 2. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita sangat baik jika diterangkan kepada generasi muda karena mengandung perbelajaran buat kita semua, jadi pada intinya Raden Kolopaking sangat tangguh tidak takut musuh. 3. Tradisi ziarah berupa tahlilan dan berdoa di makam Raden Kolopaking paling begitu. 4. Benda-benda yang masih ada berupa bangunan rumah yang konon banyak dihuni ular-ular konon cerita zaman dahulu dan hingga sampai sekarang.
xcv
5. Tidak ada hari khusus buat para pengunjung karena peziarah yang berdatangan tidak pasti tergantung keperluan para peziarah yang datang ke makam Raden Kolopaking tersebut. 6. Kurang di kenalnya masyarakat karena masyarakat tidak memperdulikan cerita akan tetapi lebih kerealisasi contohnya meskipun tidak tau cerita aslinya namun mereka tetap ingin menghormati Raden Kolopaking dengan ziarah misalnya. 7. Kekuatan magis itu ada di masing-masing jiwa, kalau kita tidak percaya ternyata nyatanya juga ada hal-hal gaib, hal begitulah yang bisa dikatakan magis. 8. Upaya pemerintah khususnya Dinas Pariwisata sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaharui kondisi makamnya dan mendokumentasi ceritanya dalam bentuk buku-buku yang saat ini sudah mulai kami realis buat generasi mendatang.
Nama : Jabatan : Usia :
1. Raden Kolopaking menika pemimpin kerajaan saking Panjer Roma (Raden Kolopaking itu pemimpin kerajan dari Panjer Roma). Pada mulanya Kebumen dahulubernama Panjer Roma sempat terjadi kekacauan pada saat terjadi pertempuran di wilayah Mataram yang pada saat itu dipimpin oleh Amangkurat I, ia bertanding dengan Trunojoyo yang dari Madura, tetapi setelah Trunojoyo berhasil menduduki kekuasaan Mataram hanya sebentar kemudian tumbang dan dihukum yang berat. Dilihatnya Sunan Amangkurat oleh Raden Kolopaking sangat kecapaian ia diduga sudah keracunan, akhirnya diberi penawar oleh Raden Kolopaking hingga kemudian
xcvi
Raden Kolopaking diberi kepercayaan untuk memimpin tahta kerajaan hingga ke 3 keturunannya di beri jabatan untuk memimpin pertempuran. Maaf mas saya tidak bisa menceritakan semua karena tidak begitu paham. 2. Sangat pantas sekali, apalagi jiwa kepahlawannanya patut di contoh untuk para generasi muda, tetapi jangan sampai generasi muda jadi sok pahlawan untuk tidak yang berguna, jadilah pahlawan yang membela kebenaran bagi bangsa dan negara ini. 3. Tradisi yang ada pada makam Raden Kolopaking hanyalah berupa slametan, tahlilan dan hanya berziarah biasa dengan doa-doa. 4. Benda-benda peninggalan hanyalah berupa makam, benda-benda antik yang berupa lemari ukir, meja ukir setahu saya cuma itu. 5. Hari khusus buat peziarah sebenarnya tidak ada karena tergantung keperluan para peziarah, tetapi paling banyak peziarah yang berdatangan pada waktu rewah mendekati puasa. 6.
Kurang dikenal kayaknya ga juga karena masyarakat dan anak-anak za yang tidak mau memahami cerita rakyat Raden Kolopaking tersebut, padahal sebenarnya ceritanya bagus banget buat anak-anak atau generasi muda karena terdapat nilai-nilai yang sangat patut di contoh atau sebagai syuri tauladan.
7. Kekutan magis ada sebagian masyarakat yang percaya dan ada yang tidak akan tetapi saya sendiri percaya dikarenakan dah terbuktinya dengan adanya ular-ular yang berdatangan di daerah sawah sikenceng tempat terjadinya perkelahian antara Kolopaking dengan Arumbinang, untuk memperebutkan daerah kekuasaan Panjer Roma. 8. saya berharap bagi Dinas Pariwisata agar jalan menuju loksi makam di perlebar dan area makam yang sudah hancur dan berantakan agar segera di perbaiki buat kenyamanan para peziarah dan pengujung yang berdatangan.
xcvii
Nama : Jabatan : Usia :
1. Saya diberi kepercayaan sebagai juru kunci atau yang menangani area makam K.R.A.T. Kolopaking sudah hampir 1 tahun 4 bulan sampai sekarang. 2. Hal-hal yang aneh selama saya manjadi juru kunci tidak ada masalah dan selama itu juga saya tidak pernah di ganggu dan tidak pernah terjadi pada diri saya pribadi dan keluarga. 3. Para peziarah yang banyak berdatangan sebenarnya tidak pasti karena tergantung keperluan peziarah yang datang, akan tetapi peziarah yang banyak berdatangan yakni rewah mendekati bulan puasa dan hari jadi kota Kebumen biasanya yang datang Bupati Kebumen beserta rombongannya yang akan mengadakan tahlilan dan membaca doa-doa, yaitu pada tanggal 31 desember atau 1 januari. 4. Yang datang ke makam Raden Kolopaking kebanyakan dari derah Jawa Timur dan dari Yogyakarta, belum lama juga rombongan dari keluarga keraton kasunanan dari Yogyakarta berziarah ke makam K.R.A.T. Kolopaking bilau berdoa dan mengadakan tahlilan meminta keselamatan, kesejahteraan buat masyarakat sekitar. 5. Jenazah yang di makamkan di Desa Kalijirek adalah Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking 1-3 beserta keluarga-keluargannya. 6. Saya selain sebagai juru kunci (penjaga makam) juga mengajar di SMU Gombong yang kurang lebih 20 Km dari rumah, sedangkan buat peninggalan dari Raden Kolopaking sebenarnya tidak ada tetapi saya cuma ada benda-benda antik yang berupa lemari ukir dan meja ukir selebihnya tidak ada, lemari dan meja tersebut yang konon zaman dahulu buat menyimpan baju-baju dan buat meja tamu.
xcviii
7. Ceritanya begini, saat Sunan Amangkurat Agung I pemimpin kerajaan Mataram sedang mengadakan perjalanan bersama pengawalnya kewilayah Roma beliau di jemput oleh Kyai AgengKertowongso, atau nama lain dari Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking 1, beliau bersamasama akan mengadakan pertemuan. Di lihatnya Raja Agung Mataram, nampak sangat pucat seperti orang yang sedang sakit, kemudian Raden Kolopaking berinisiatif untuk mengambilkan sebuah penawar racun yaitu buah pohon kelapa yang sudah kering istilah Jawa adalah Aking atau Garing. Setelah airnya diminum Raja Agung, wajah beliau nampak lebih terlihat sehat dan racun di dalam tubuhnya dapat keluar. Raja Agung sangat berterima kasih dan memberikan gelar Kyai Ageng Kertowongso Raden Kolopaking I dan dinikahkan dengan Raden Ayu Mulat setelah menikah Raden Kolopaking bersama mertuanya melanjutkan perjalanan kewilayah barat, mereka berencana akan menyerbu pasukan Trunojoyo di Mataram. Setelah terjadi peperangan di kutowinangun Raden Kolopaking mengangkat seorang putera dari Demang Kutowinangun dan dinikahkan dengan putri Klegen. Selama bertahta kurang lebih 46 tahun Raden Kolopaking I menyerahkan tahtanya kepada putranya Ki Kertowongso Mendingen dan di juluki sebagai Raden Kolopaking II untuk memimpin kekuasaan Panjer Roma. Setelah berkuasa kurang lebih 28 tahun, Raden Kolopaking II menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yang bernama Raden Sulaiman Kertowongso dan mendapatkan gelar Raden Kolopaking III disini ia membantu Pangeran Mangkubumi untuk menciptakan Perjajian Giyanti, isinya tidak lain adalah membagi wilayah Mataram menjadi 2, yakni Surakarta Hadiningrat beribu Kota di Solo sedangkan Kraton Ngayogyokarto berada di Yogyakarta, setelah berkuasa kurang lebih 58 tahun sesampai wafatnya Raden Kolopaking III diganti putranya Raden Kolopaking IV dan seterusnya.
xcix
FHOTO ATAU DOKUMENTASI
c
Gambar 1. Area Makam K.R.A.T. Kolopaking
ci
Gambar 2. Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking
Gambar 3. Peneliti di Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking
Gambar 4. Makam K.R.A.T. Kolopaking I dan II
cii
Gambar 5. Makam K.R.A.T. Kolopaking III
Gambar 6. Makam K.R.A.T. Kolopaking IV
ciii
Gambar 7. Makam Keluarga K.R.A.T. Kolopaking
Gambar 8. Peneliti dengan Juru Kunci
civ
Gambar 9. Makam Tan Peng Nio dilihat dari depan
Gambar 10. Makam Tan Peng Nio dilihat dari samping
Gambar 11. Peziarah mengadakan tahlilan
cv
Gambar 12. Rombongan Bupati membaca doa
Gambar 13. Doa Penutup oleh Pak Kyai
cvi
Gambar 14.Persiapan Penaburan Bunga
Gambar 15. Penaburan Bunga oleh Peziarah
Gambar 16. Silsilah Keluarga K.R.A.T. Kolopaking
cvii
Gambar 17. Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Gambar 18. Reruntuhan Rumah yang berdiri di tanah Sikenceng
cviii
Gambar 19. Masjid di Desa Kalijirek dilihat dari depan
Gambar 20. Masjid di Desa Kalijirek dilihat dari samping
Gambar 21. Kantor Kepala Desa Kalijirek di lihat dari samping
cix
Gambar 22. Kantor Kepala Desa Kalijirek di lihat dari depan
cx
cxi