Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
FLUKTUASI POPULASI SPESIES PENGGEREK BATANG PADI DI KABUPATEN KONAWE Idris Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Fluktuasi populasi pengerek batang padi di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara telah diteliti pada musim kemarau 2001. Penelitian menggunakan perangkap seks feromon untuk empat species penggerek batang yang ditempatkan di Desa Duriasih Kecamatan Pondidaha, dan Desa Langgomea Kecamatan Lambuya. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tangkapan ngengat jantan, dan serangan penggerek batang. Di Pondidaha dan Lambuya species penggerek yang paling dominan adalah penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata Wlk) sedangkan spesies yang lain tidak terdeteksi. Serangan penggerek di lapangan tergantung pada lokasi, varietas, dan waktu tanam. Kata Kunci : Hama, Penggerek batang, Padi sawah
PENDAHULUAN Di
perubahan
Sulawesi
Tenggara
hama
enam
berbagai
spesies
penggerek batang padi merupakan hama
penggerek
kedua terluas serangannya
(Scirpophaga
hama tikus.
setelah
faktor.
Diantara
tersebut,
hanya
batang
padi
innotata
putih
Wlk)
Kehilangan hasil setiap
mengalami
tahun dapat mencapai 10-30%, bahkan
penggerek
dapat menyebabkan tanam padi puso.
(Scirpophaga
Rata-rata
banyak dijumpai pada tanaman padi
serangan
dalam
5
tahun
terakhir mencapai 4.365 ha/tahun (Balai Perlindungan
Tanaman
Pangan
dan
diapause,
yang
batang
sedangkan padi
incertulas
kuning
Wlk)
lebih
yang ditanam terus-menerus. Pemantauan
ngengat
Hortikultura, 2007). Hama Penggerek
batang
batang
pertanaman
mendeteksi secara dini tentang adanya
mulai dari persemaian sampai menjelang
serangan penggerek batang pada padi.
panen.
stadia
Pemantauan dapat menggunakan lampu
vegetatif, ternyata tanaman dapat meng-
perangkap atau sex feromon. Sedang-
kompensasi kerusakan hama penggerek
kan pemantauan pada tingkat kerusakan
sampai 30% (Rubia, et al., 1990).
dilakukan
padi
menyerang
Hasil
simulasi
pada
Menurut Hattori dan Siwi (1986), ada
enam
spesies
dominan
hama
penggerek batang padi di Indonesia yang
dapat
berubah-ubah
karena
merupakan
penggerek
aplikasi
untuk
kegiatan
menentukan
insektisida
(Hendarsih
untuk
waktu dan
Rahayu, 1995). Penelitian
ini
bertujuan
untuk
memperoleh informasi tentang spesies
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
1
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
penggerek
batang,
dan
penentuan
ulangan
dan
ketinggian
perangkap
pengendalian penggerek batang pada
disesuaikan dengan kanopi tanaman.
tanaman padi.
Jarak antar ulangan 100 m. Perangkap diberi
BAHAN DAN METODE Penelitian
campuran
air
dan
deterjen,
kemudian atraktan dipasang 15 cm dari
dilaksanakan
di
permukaan air.
Pengamatan tingkat
Kecamatan Lambuya dan Kecamatan
serangan dilakukan dengan mengamati
Pondidaha pada MK 2001, dengan
100 rumpun dari daerah yang mengalami
mengamati ngengat
spesies
jantan
penggerek
dari
batang.
dan
fluktuasi
serangan paling parah. Selain itu dicatat
empat
spesies
pula varietas dominan dan waktu tanam.
Menggunakan Tingkat serangan hama peng-
perangkap air dengan ukuran diameter 30
cm.
Penggunaan
seks
feromon
Y
sintesis untuk penggerek batang padi
A
100%
putih (S. innotata Wlk) Beevor et al.,
gerek padi dapat dihitung dengan rumus:
1994), penggerek batang padi kuning (S.
A
: Anakan terserang penggerek
incertulas Wlk) (Cork dan Basu, 1996),
B
: Anakan sehat
penggerek batang padi bergaris (Chilo
Y
: tingkat serangan
supperssalis Wlk) (Casagrande, 1993) dan penggerek batang padi merah jambu
HASIL DAN PEMBAHASAN
(Sesamia inferens Wlk). Masing-masing
Luas Serangan Hama Di Sultra
dipasang
sebagai
atraktan
terhadap
Selama
lima
tahun
terakhir
ngengat jantan pada satu perangkap.
(2003-2007) di Sulawesi Tenggara, luas
Setiap unit percobaan terdiri dari empat
serangan hama tikus menempati urutan
perangkap, diulang sebanyak tiga kali.
pertama diikuti oleh penggerek batang
Jarak antara perangkap 25 m dalam satu
(Tabel 1).
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Luas serangan Hama tanaman padi selama 5 (lima) tahun di Sultra tahun 2003- 2007. Luas serangan (ha) Hama 2003
2004
2005
2006
2007
Tikus
8.294
5.328
7.646
7.356
7.850
Penggerek batang
2.635
2.249
5.453
4.532
6.958
Hp/HPP
296
530
791
1.626
2.307
Walang sangit
626
421
1.200
1.224
1.786
Keong mas
458
558
534
1.959
1.130
Ulat grayak
679
750
1.692
731
1.125
14
303
239
141
195
Burung
Sumber : BPTPH Prov. Sultra (2003-2007).
Tangkapan Ngengat Jantan
fase vegetatif (sundep) baik di Lambuya
Populasi penggerek batang pada
maupun di Pondidaha yaitu rata–rata
saat percobaan tergolong rendah. Hal ini
3% dan 5%. Pada fase generatif (beluk)
terlihat
di Lambuya relatif rendah namum di
dari
hasil
tangkapan
setiap
perangkap yang jumlahnya sedikit. Pada
Pondidaha cukup tinggi yaitu
stadia pertumbuhan jumlah tangkapan
15%. Hal ini disebabkan di Lambuya
ngengat setiap perangkap hanya 166
petani menanam serempak sedangkan
ekor di Lambuya dan 183 ekor dalam 3
di Pondidaha tidak serempak. Varietas
minggu. Kondisi ini menyebabkan gejala
yang dominan ditanam petani baik di
serangan penggerek pada tanaman padi
Lambuya maupun di Pondidaha adalah
juga rendah.
IR 66 dan Ciliwung. Tingkat serangan pada
varietas
IR
66
rata-rata
lebih
tinggi
Tingkat serangan penggerek batang padi putih
dibanding Varietas Ciliwung yaitu 17%
Tingkat serangan penggerek batang
(1992) disimpulkan bahwa ada varietas
pada tanaman padi masih rendah pada
yang lebih rentan pada fase vegetatif
dan 12%. Hasil penelitian Djafar Baco
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
3
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
dan ada yang rentan pada fase generatif,
pengendalian penggerek batang padi
disamping
itu
mendapat dibanding
ada
varietas
yang
putih, peranan varietas dapat menjadi
lebih
tinggi
pertimbangan
serangan varietas
memberikan
lainnya.
indikasi
hal
bahwa
ini
dalam
pengendalian
hama terpadu.
untuk
Tabel 2. Komposisi spesies penggerek batang padi berdasarkan tangkapan ngengat jantan oleh perangkap feromon seks Lambuya dan Pondidaha MK 2001.
Lokasi
Bulan
Lambuya
Juli Agustus September
Pondidaha
Rerata Jumlah Tangkapan Ngengat Jantan P. kuning P. putih P. merah jambu P. bergaris Siincertulas S. innotata Sesamia inferens Chilo spp 47 74 45 -
Juli Agustus September
-
25 115 43
KESIMPULAN Spesies
yang
ditemukan
di
adalah penggerek batang padi putih (Scipohaga innotata wlk). Tingkat serangan penggerek batang padi pada penanaman
bulan Maret
mencapai
pada
27%
dan
bulan
Februari kurang dari 10%. Serangan penggerek batang pada varietas IR 66 lebih tinggi dibanding Ciliwung,
baik
Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2007. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. Beevor, P. S., D. R. Hall, and S. Hendarsih. 1994. Identification and field evaluation of the female sex pheromone of the white stemborer scirpophaga innotata. Proc. 4th international conference on plant protection in the tropics. 28-31 march 1994. Kualalumpur Malaysia. P: 140-142.
pada
penanaman bulan Februari maupun pada bulan Maret.
4
-
DAFTAR PUSTAKA
Kecamatan Lambuya dan Pondidaha
varietas
-
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Casagrande, E. 1993. The commercial implementation of mating discruption for the control of the stem borer Chillo suppressalis on rice in Spain. In Mc Veigh L.J. Hall D.R. and P.S. Beevor. Proc of Working Group Meeting. Chatham ( United Kingdom 11-14 may 1993. IOBC/WPRS bulletin OILB/SROP. 16(10) : 82-89. Cork, A. and S.K. Basu. 1996. Control of the yellow stroberer, Scirpophaga intercullas by mating discruption with a PVC resin formulation of the sex pheromon of Chilo suppressalis (Lepidoptera: Pyralidae ) in India. Bulettin of Entomological Research 86: 1-9.
Hendarsih dan Rahayu. 1995. Pemanfaatan seks feromon buatan di dalam pengendalian penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Wlk. Laporan Hasil Penelitian Balitpa. 9 Hal. Hattori, I., dan S. S. Siwi. 1986. Rice stemborers in Indonesia Tropical Agricultural Research Centre, Tarq. 20(1) p: 25-30. Rubia EG, De Vries F. W and T. Penning. 1990. Simulation of rice yield reduction caused by stemborer (SB). IRRN 15 (1): 3445.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
5
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
KARAKTERISTIK BIJI KEDELAI UNTUK PRODUKSI TAHU DAN TEMPE DI KENDARI, SULAWESI TENGGARA Suharno, dan Didik Harnowo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Tahu dan tempe merupakan jenis makanan yang digemari penduduk Indonesia termasuk di Kendari, Sulawesi Tenggara. Bahan baku pembuatan tahu dan tempe adalah kedelai dimana biji kedelai mengandung protein 35-40%, lemak 18-22% dan karbohidrat 30-35%. Petani kedelai di Sulawesi Tenggara sebagian besar menghasilkan kedelai dengan ukuran biji kecil hingga sedang. Petani belum beroientasi kepada besar kecilnya ukuran biji, akan tetapi lebih bergantung kepada ketersediaan benih pada saat menjelang musim tanam. Luas tanam kedelai di Sulawesi Tenggara tahun 2006 yaitu 3.499 ha dengan produksi 2.982 ton atau produktivitas 852 kg per hektar. Tulisan ini bertujuan untuk menggali informasi tentang karaktersitik kedelai yang dibutuhkan oleh produsen tahu dan tempe, khususnya di kendari, Sulawesi Tenggara. Hasil pengamatan di Kendari tahun 2008 menunjukkan bahwa produsen tahu dan tempe menggunakan kedelai biji besar yang berasal dari impor. Berdasarkan pendalaman dari beberapa hasil penelitian terdahulu, maka diperoleh kesimpulan bahwa produsen tempe lebih memilih bahan baku kedelai dengan warna biji kuning dan ukuran biji besar, sedangkan produsen tahu dapat menggunakan bahan baku kedelai dengan warna biji kuning, kuning kehijauan maupun kehijauan dengan ukuran biji kecil hingga besar. Informasi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam rangka pengembangan kedelai di Sulawesi Tenggara.
Kata Kunci: Kedelai, Tahu, Tempe
PENDAHULUAN Tahu makanan
mengandung protein 35-40%, lemak 18-
dan
yang
tempe
merupakan
digemari
22% dan karbohidrat 30-35%.
penduduk
Menurut Susanto dan Saneto
Indonesia, termasuk di kota Kendari,
(1994) ukuran biji kedelai tergolong kecil
karena dapat digunakan sebagai lauk
apabila memiliki bobot 8-10 gr/100 biji,
pauk maupun snack. Pengolahan tahu-
berukuran sedang bila memiliki bobot 10-
tempe di Sulawesi Tenggara dimulai
13 gr/100 biji dan berukuran besar bila
tahun 1982. Pada awalnya tahu maupun
memiliki bobot >13 gr/100 biji. Petani
tempe diproduksi oleh masyarakat dari
kedelai di Sulawesi Tenggara sebagian
daerah Konda dan Ranomeeto.
besar menghasilkan
Ditinjau dari nilai gizi, tahu dan
kedelai dengan
ukuran biji kecil hingga sedang. Petani
tempe merupakan lauk-pauk yang kaya
belum
protein karena bahan bakunya berasal
kecilnya ukuran biji, akan tetapi lebih
dari
bergantung kepada ketersediaan benih
kedelai.
Dimana
biji
kedelai
berorientasi
kepada
pada saat menjelang tanam.
6
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
besar
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Luas tanam kedelai di Sulawesi
tahu (tidak ada bau langu). Dengan
Tenggara tahun 2006 yaitu 3.499 ha
demikian maka mutu bahan baku sangat
dengan
mempengaruhi produk akhir.
produksi
2.982
ton
atau
produktivitas 852 kg/ha (BPS, 2007).
Secara umum tempe yang ada di
Apabila konsumsi kedelai rata-rata 9
masyarakat dibuat dari bahan kedelai.
kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk
Produsen tempe umumnya menyukai biji
Sultra 2 juta jiwa maka kebutuhan
kedelai dengan ukuran biji besar. Ukuran
kedelai di Sulawesi Tenggara sekitar
biji juga berpengaruh terhadap peman-
18.000
faatan
ton/tahun. Dengan demikian,
kedelai.
Menurut
Krisdiana
kebutuhan kedelai jauh di atas kemam-
(2004), sekitar 93% pengrajin tempe
puan produksi.
menyukai
Tulisan
ini
bertujuan
untuk
biji
kedelai
yang
warna
kulitnya kuning dan ukurannya besar,
menggali informasi tentang karaktersitik
karena
menghasilkan
kedelai yang dibutuhkan oleh produsen
warnanya cerah dan ukurannya besar.
tahu dan tempe di Kendari dan sekaligus
Oleh karena itu pengrajin tempe lebih
dapat dijadikan informasi bagi pengambil
memilih kedelai impor yang ukuran
kebijakan dalam rangka pengembangan
bijinya besar, seragam dan kualitasnya
kedelai di Sulawesi Tengara.
lebih baik, sehingga tidak membutuh-kan tambahan
Karaktristik Biji Kedelai untuk Tahu dan Tempe
tenaga
dan
tempe
waktu
yang
untuk
membersihkan sebelum diolah menjadi tempe. Beberapa varietas unggul kedelai
Tahu
dan
tempe
merupakan
produk olahan dari kedelai yang disukai oleh masyarakat. Rendemen protein dan mutu tahu dipengaruhi antara lain oleh varietas kedelai, cara penggilingan, jenis penggumpal dan proses sanitasi. Produsen tahu lebih menyukai kedelai lokal karena rendemennya lebih tinggi daripada kedelai impor (Ginting dan Tastra, 2007). Penggilingan dalam kondisi panas akan meningkatkan rendemen dan mutu
yang dilepas akhir-akhir ini umumnya berwarna kuning dan memiliki ukuran biji besar
seperti Argomulyo, Burangrang,
Panderman dan Anjasmoro. Standar mutu biji kedelai baik yang kuning, hitam dan hijau maupun campuran ditetapkan dalam SNI 013922-1995,
yang
mengklasifikasikan
mutu kedelai dalam 4 tingkatan (Ginting dan Tastra, 2007) yakni mutu I, II, III dan IV (Tabel 1).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
7
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Persyaratan mutu biji kedelai menurut SNI 01-3922-1995. Persaratan mutu
Jenis Uji Kadar air ( maksimum)
Satuan %
I 13
Il 14
Ill 14
lV 16
Butir belah(maksimum)
%
1
2
3
5
Butir rusak (maksimum)
%
1
2
3
5
Butir warna lain (maksimum)
%
1
3
5
10
Butir keriput ( maksimum)
%
0
1
3
5
Kotoran (maksimum)
%
0
1
2
3
Untuk kedelai campur, tidak perlu memasukkan komponen mutu butir warna lain Sumber :SNI 1995 dalam Ginting danTastra, 2007)
Persyaratan Bahan Baku
kedelai warna kuning kehijauan, 2%
Menurut Krisdiana (2007), preferensi
penggunaan
kedelai
warna kuning keputihan dan 9% kedelai
untuk
warna hijau. Sedangkan produsen tempe
berbagai industri pangan olahan relatif
95% menghendaki kedelai warna kuning
berbeda. Industri tahu menginginkan
dan 5% kuning keputihan. Tentang
kedelai berukuran sedang hingga besar,
ukuran biji untuk produksi tahu,
berkadar pati tinggi, berwarna kuning
produsen
dan berkulit tipis. Sedangkan varietas
besar, 16% biji sedang, 4% biji kecil dan
unggul kedelai dengan kualitas biji bagus
7% apa saja. Sedangkan untuk produksi
dapat diterima oleh industri tahu maupun
tempe
tempe.
ukuran biji besar dan 3% biji sedang.
Berdasarkan hasil penelitian
Krisdiana
di
Jawa
Tengah
(2007)
menghendaki
97%
produsen
73%
kedelai
biji
menghendaki
Survey terhadap produsen tahu
diperoleh gambaran bahwa industri tahu
dan
pada umumnya tidak mempersoalkan
Sulawesi Tenggara belum dilakukan.
ukuran biji maupun warna biji, namun
Namun demikian hasil survey di Jawa
produsen
Tengah (Tabel 2) mungkin dapat menjadi
tempe
lebih
cenderung
tempe
secara
gambaran
warna biji kuning, sebagaimana disajikan
produsen tahu dan tempe di Sultra
Tabel 2.
(terutama
di
preferensi
di
memilih biji kedelai ukuran besar dan
Dari Table 2 diketahui bahwa
tentang
menyeluruh
Kendari),
para
mengingat
produsen tahu dan tempe di Kendari dan
untuk memproduksi tahu 67% produsen
sebagian
menghendaki kedelai warna kuning, 22%
olahan tersebut adalah wong Jawa.
8
besar
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
konsumen
produk
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 2. Persentase responden bagi persyaratan kedelai yang diminta oleh industri tahu dan tempe, di Jawa Tengah, 2003. Para meter
Tahu (%)
Tempe (%)
67 22 2 9
95 5 -
73 16 4 7 -
97 3 -
98 2 -
93 4 3
Warna biji - Kuning - Kuning kehijauan - Kuning keputihan - Kuning kilap, kencang - Hijau Ukuran biji - Besar - Sedang - Kecil - Apa saja - Besar biji seragam - Kulit biji - Tipis - Tebal - Apa saja Sumber: Krisdiana (2007).
Keragaan Kedelai untuk Tahu Tempe di Kendari Produsen
pengrajin
Produksi
bahan baku kedelai yang digunakan oleh dua pengrajin tahu dan tempe disajikan
tahu
dan
pada Tabel 3.
tempe di Kendari pada umumnya adalah warga ex transmigran. Semula mereka tinggal di daerah transmigrasi, namun karena tuntutan ekonomi dan mendekat ke pasar maka para pengrajin tersebut
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengrajin tahu di Kendari selama 9 bulan menggunakan kedelai impor walaupun harganya lebih tinggi daripada kedelai lokal.
pindah dari lokasi transmigrasi ke kota Kendari. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengrajin diketahui
Alasan produsen tahu terhadap pemilihan bahan baku kedelai impor. 1.
bahwa kegiatan usaha produksi tahu-
Kendari hanya dalam kurun waktu 3
tempe yang dilakukan di Kendari sudah berjalan sejak tahun 1987. Pada awalnya pengrajin tahu menggunakan penggiling
Ketersediaan biji kedelai lokal di
bulan, 2.
Kedelai
lokal
hanya
mampu
disimpan selama 1 bulan sedangkan
batu namun saat ini sudah menggunakan penggiling mesin.
Gambaran
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
9
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
kedelai
3.
impor
mampu
disimpan
harus
menambah bila
25%
kedelai.
dalam waktu 3 bulan,
Misalnya,
menggunakan
Untuk memproduksi jumlah tahu
kedelai impor 40 kg maka dengan
yang sama dengan menggunakan
kedelai lokal diperlukan bahan baku
bahan baku kedelai lokal, produsen
50 kg.
Tabel 3. Keragaan bahan baku tahu dan tempe di Kendari, 2008.
No.
Kelompok Pengrajin
1
Produsen Tahu: Kelompok Campur Sari
2
Produsen Tempe Kelompok Lalombaku
Bahan Baku Kedelai Impor ex Thailand (selama 9 bulan) didatangkan dari Surabaya Kedelai lokal (selama 3 bulan)
Kebutuhan Kedelai/hari (kg) 40 kg
Kedelai Impor ex Amerika (selama 12 bulan) didatangkan dari Surabaya
Harga (Rp/kg) 7.900
50 kg
6.500
40 kg
8.500
Sumber : Hasil wawancara dengan produsen di Kendari, Juli 2008.
Alasan produsen tempe terhadap
hanya mampu memenuhi kebutuhan
pemilihan bahan baku kedelai impor
produsen tahu selama 3 bulan, adapun
adalah :
daya tahan simpan kedelai lokal yang
1.
Kedelai impor butiran bijinya besar-
hanya 1 bulan kemungkinan disebabkan
besar,
oleh kurang sempurnanya pengeringan
2.
berukuran
seragam
dan
berwarna kuning cerah.
sehingga biji belum kering sempurna
Hasil tempe dari kedelai impor lebih
(kadar air tinggi). Alasan penambahan
baik
permukaan
bahan baku untuk memproduksi tahu
potongan tempenya dengan penam-
dengan jumlah hasil yang sama, hal ini
pakan
lebih-lebih
kemungkinan disebabkan oleh karena
tempe bungkus daun pisang yang
masih ada petani yang belum menjaga
tebalnya 3 cm.
mutu hasil. Sedangkan alasan produsen
penampakan
biji-biji
besar,
Beberapa alasan produsen tahu
tempe memilih bahan baku impor karena
lebih menyukai kedelai impor karena
tempe yang dihasilkan kualitasnya lebih
ketersediaan produksi kedelai di Sultra
10
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
baik dan lebih disukai konsumen di
1992
pasar.
produk makanan hasil fermentasi biji Produsen
sesungguhnya
definisi
tempe kedelai
adalah
tidak
kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk
membedakan kedelai impor maupun
padatan kompak dan berbau khas serta
lokal, akan tetapi yang terpenting adalah
berwarna putih atau sedikit ke abu-
berbiji besar. Di Sulawesi Tenggara,
abuan.
produk kedelai yang dihasilkan petani
disajikan pada Tabel 4.
pada umumnya berupa biji campuran
Syarat
mutu
Dalam
tempe
persyaratan
kedelai
tersebut
sedang dan kecil. Menurut Krisdiana
tempe kedelai disyaratkan agar memiliki
(2006), kedelai yang diinginkan industri
bau normal, rasa normal khas tempe dan
tahu adalah yang berwarna kuning,
warna normal. Protein minimal 20%, air
berukuran biji besar dan berkulit tipis.
maksimal 65%. Dalam tulisan ini tidak
Selain berwarna kuning, warna kuning
dikemukakan uraian hasil analisis mutu
kehijauan dan hijau serta berukuran biji
kedelai di Kendari, namun produksi
sedang dan kecil juga dipilih. Varietas
tempe di Kendari umumnya memeiliki
kedelai nasional yang berbiji besar yang
rasa normal (khas tempe).
diminati
produsen
tahu
misalnya
Argomulyo. Sedangkan untuk industri
Pemasaran tahu dan tempe di Kendari
tempe kedelai yang diinginkan adalah
Hasil tahu-tempe yang diproduksi
mutlak berwarna kuning, berukuran biji
oleh pengrajin di Kendari umumnya
besar dan berkulit tipis. Varietas kedelai
memiliki pasar yang cukup baik.
nasional yang diminati produsen tempe misalnya Burangrang. Di
umumnya
Sulawesi
Tenggara
para
petani belum sepenuhnya menggunakan varietas unggul kedelai seperti yang diinginkan
produsen
tahu
maupun
tempe. Hal ini kemungkinan diketersediaan masih terbatas.
pasar
tahu
memasarkan
Mandonga.
Standardisasi
tempe
hasilnya
Produsen
pagi
seluruh
tahunya
ke tahu
telah
terjual.
Sedangkan produsen tempe rata-rata jam 9 pagi seluruh tempenya telah Para
pembeli
tempe sebagian besar Badan
dan
menjelaskan bahwa rata-rata jam 10
terjual.
Mutu Tempe Menurut
Produsen
tahu
maupun
(80%) adalah
para pedagang sayur keliling sedangkan
Nasional (2009) dalam SNI 01-3144-
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
11
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
sisanya (20%) adalah konsumen rumah tangga Tabel 4. Syarat mutu tempe kedelai. No 1
2 3 4 5
Kriteria Uji
Satuan
Keadaan 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna Air, % b/b Abu, % b/b Protein (Nx 6,25), % b/b Cemaran microba - Coli - Salmonela
Persyaratan Normal Normal (khas tempe) Normal Maksimal 65 Maksimal 1,5 Minimal 20
AMP/S
Maks 10 Negatif /25 gr
Sumber. BSN, diakses melalui internet tgl 10 Maret 2009.
Keragaan pemasaran
tahu
produksi maupun
tempe
dan di
Kendari disajikan pada Tabel 5.
belum
dihitung
biaya
produksi
dan
transport ke pasar). Untuk produk tempe, hasil yang diperoleh adalah 350 bungkus
Tabel 5 tersebut ternyata bahwa
dengan harga Rp 1.700 per bungkus
dengan 40 kg kedelai dihasilkan 3.300
atau senilai Rp 585.000,- Harga kedelai
potong tahu putih dengan harga Rp 125
yaitu 40 kg a Rp 8.500,- atau senilai Rp
per potong atau senilai Rp 412.500,-.
340.000.Selisih nilai tempe dengan nilai
Harga kedelai yaitu 40 kg a Rp 7.900
kedelai
atau senilai Rp 316.000,- Selisih nilai
berupa nilai kotor yang belum dihitung
tahu dengan nilai kedelai yaitu Rp
biaya
96.500,- (Nilai ini berupa nilai kotor
transport ke pasar).
yaitu
Rp
produksi,
245.000,-(nilai
nilai
bungkus
ini
dan
Tabel 5. Produksi dan pemasaran tahu-tempe di Kendari.
No 1 2
Jenis Produk Tahu Tempe
Jumlah Bahan Baku (kg) 40 40
Jumlah Produksi ( 3.300 potong (tahu putih) 200 ptg (bungkus plastik) 150 ptg (bungkus daun)
Sumber:Hasil wawancara dengan produsen, Juli 2008.
KESIMPULAN
12
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Harga Jual (Rp) 125/potong 1.700/potong
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Berdasarkan
pendalaman
dari
beberapa tulisan terdahulu, maka dapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Produsen tempe di Kendari lebih memilih bahan baku kedelai yang warna biji kuning dan ukuran besar. 2. Produsen tahu di Kendari dapat menggunakan bahan baku kedelai biji besar atau campuran dengan warna biji kuning, kuning kehijauan maupun kehijauan. IMPLIKASI KEBIJAKAN Sosialisasi
varietas
unggul
kedelai kepada petani maupun produsen tahu-tempe di Sulawesi Tenggara sangat diperlukan sehingga para petani dapat memproduksi kedelai sesuai dengan kebutuhan produsen. Hal ini sangat tepat apabila Pemerintah Daerah atau Dinas Pertanian memberikan dukungan berupa penyediaan benih varietas unggul yang didasarkan
kepada
tingkat
produksi,
ukuran biji dan warna biji kedelai.
DAFTAR PUSTAKA BPS Sulawesi Tenggara. 2007. Sulawesi Tenggara Dalam Angka. Badan Standardisasi Nasional. 2009. Syarat Mutu Tempe Kedelai. Diakses melalui internet tgl 10 Maret 2009. Ginting, E, dan Tastra, I. K. 2007. Standar Mutu Biji Kedelai dalam Kedelai,Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian.Puslitbangtan 2007. Krisdiana. R. 2004. Preferensi industri tahu tempe dalam menggunakan bahan baku kedelai di Jawa Timur. Dalam A. K. Makarim, Marwoto, M. M. Adie, A. A Rahmiana, Heriyanto, dan I. K. Tastra (Eds). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacangkacangan dan Umbi-Umbian. Puslitbangtan. Bogor. Krisdiana. R. 2007. Preferensi Industri tahu tempe terhadap ukuran dan warna biji kedelai dalam Iptek Tanaman Pangan. Puslitbangtan Badan Litbang Pertanian. Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Bina Ilmu Surabaya.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
13
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
PENYAKIT VASCULAR-STREAK DIEBACK (VSD) DAN PENGENDALIANNYA PADA TANAMAN KAKAO Abdul Wahab dan Ahmad Sulle Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Penyakit vascular-streak dieback (VSD) pada tanaman kakao disebabkan oleh jamur Oncobasidium theobromae merupakan ancaman yang serius terhadap produksi kakao di Indonesia. Infeksi oleh basidiospora pada daun muda terjadi pada malam hari. Jamur tumbuh sampai ke jaringan xilem sehingga menyebabkan kematian bibit atau ranting pada tanaman berproduksi. Kehilangan hasil mencapai 25-40%. Patogen berkembang pesat pada kondisi kelembaban tinggi sehingga epidemi umumnya terjadi setelah musim hujan. Gejala khas vascularstreak dieback adalah klorosis pada daun dengan bintik-bintik berwarna hijau, pembengkakan lentisel sehingga kulit ranting menjadi kasar, tiga bintik berwarna coklat pada tempat menempelnya daun klorotik pada ranting, pertumbuhan tunas aksiler, klorosis atau nekrosis di antara tulang daun pada daun flush, garis coklat pada ranting atau batang, dan mati pucuk. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan melalui : a) Menempatkan pembibitan yang jauh dari tanaman sakit serta karantina kurang lebih 6 bulan, b) Pemangkasan cabang kakao yang sakit sekali sebulan dan pohon pelindung secara teratur serta perbaikan drainasi, c) Penanaman klon unggul atau hibrida resisten, dan d) Pengendalian dengan fungisida propiconazole dan biloxazol. Kata kunci : Kakao, VSD, pengendalian
PENDAHULUAN
Sumber inokulum biasanya dari
Vascular-streak dieback (VSD) merupakan tanaman
penyakit
kakao.
penting
Penyakit
ini
pada dise-
babkan oleh jamur kelompok Basidiomycetes, yaitu Oncobasidium theobro-
Indonesia,
penyakit
VSD
ditemukan pertama kali pada tahun 1960-an (Tan, 1992). Penyakit dieback (mati
pucuk)
ini
mudah
dibedakan
dengan mati pucuk yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun oleh
menghasilkan
angin. Kehilangan produksi karena penyakit VSD diperkirakan mencapai 2540% (Byrne, 1976). Menurut Sukamto
kakao (PBK) dan penyakit busuk buah (Phytoptora palmivora), penyakit VSD telah menjadi masalah yang serius bagi petani
kakao
umumnya
di
Sulawesi
pada
dan khususnya Sulawesi
Tenggara. Serangan yang berat dari jamur tersebut dapat mematikan tanaman, dan pada
14
sudah
yang menyebar ke tanaman lain melalui
serangan hama (Shaw, 1962; Bridgland et al., 1966). Infeksi
yang
(2008), selain hama penggerek buah
mae Talbot and Keane. Di
tanaman
tanaman
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
belum
menghasilkan
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
(TBM)
sampai
70%.
Penyakit
ini
klon kakao.
Selain itu inokulum dari
menimbulkan kerusakan paling berat
patogen yang terdapat dalam jaringan
pada tanaman muda kurang dari 10
tanaman, misalnya daun atau tangkai
bulan
yang
(sebelum
membentuk
jorket).
masih
segar
Tanaman muda tersebut terserang pada
banyak
batang utama sehingga mati. Semakin
sambung samping.
muda umur tanaman yang terserang, semakin
tinggi
kemungkinan
yang
digunakan
sekarang
untuk
bahan
Infeksi yang berat dilaporkan terjadi di Maluku seluas 2.010 hektar,
kematiannya (Keane, 1981). Selanjut-
Kalimantan
Timur
nya Zainal et al., (1981) mengatakan
ditemukan
secara sporadis di tujuh
bahwa di Malaysia, 4 sampai 29%
lokasi di Jawa Barat, dua lokasi di Jawa
infeksi per tanaman per bulan terjadi
Timur, satu lokasi
pada tanaman menghasilkan. Di Jawa
Sumatra Utara,
Barat, jumlah tanaman terinfeksi pada
Irian
tanaman umur 12 tahun meningkat dari
Purwantara,
1992).
30% menjadi 90% dalam waktu 10
pada
tahu
bulan.
serangan
Sedangkan pada pertanaman
Jaya
769
hektar,
dan
di Jawa Tengah,
Sulawesi Utara, dan
(Pawirosoemarjo
lima
dan
Perkembangan terakhir
penyakit
ternyata
Vascular-streak
kakao rakyat umur 2 tahun di Sulawesi
dieback sudah menyerang 20 propinsi
Tenggara,
dari
dilakukan penyakit
penanaman se-banyak
4
ulang kali
Vascular-streak
telah karena
33
propinsi
sentra
kakao
di
Indonesia (Halima dan Sukamto, 2007).
dieback
(Pawirosoemardjo & Purwantara, 1992).
Gejala Penyakit Infeksi terjadi ketika basidiospora
KARAKTERISTIK PENYAKIT VSD
yang
Sebaran Penyakit
malam hari di bawah oleh angin dan
Daerah sentra pengembangan
dilepaskan
mendarat
dari
basidia
pada daun muda.
pada
Spora
kakao di Indonesia sudah terserang
berkecambah dan menembus langsung
penyakit Vascular-streak dieback . Hal
kutikula di atas vena ke dalam xilem dari
ini dapat terjadi karena serangan jamur
daun ke ranting. Gejala pertama pada
O.
Keane
bibit (umur 3-6 bulan) terjadi 2-4 bulan
dipengaruhi oleh virulensi, strain lokal,
(Keane et al., 1972; Prior, 1978; Keane,
parasit dan kerentanan varietas atau
1981). Selama waktu tersebut, tanaman
theobromae
Talbot
and
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
15
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
muda atau ranting menumbuhkan 2
pucuk pada tanaman muda atau ranting
atau 3 flush, sehingga menimbulkan
yang terjadi hanya beberapa minggu
gejala khas yang sama pada batang
pada bibit sangat muda atau 5 bulan
tanaman muda atau ranting, yaitu : (1)
pada ranting tanaman dengan panjang
Gejala
bintik-bintik
1 m (Gambar 1j). Pengamatan morfologi
yang tetap berwarna hijau) pada satu
jamur pada bahan tanaman dari PNG,
daun (Gambar 1a dan 1b), biasanya
Malaysia dan Indonesia menunjukkan
pada flush kedua atau ketiga di belakang
bahwa jamur patogen Vascular-streak
pucuk (Gambar 1c); daun ini gugur
dieback sama (Zainal et al., 1981,
dalam waktu 2-3 hari, diikuti oleh daun di
Keane & Prior, 1991). Demikian pula,
atas
semua gejala penyakit yang berasosiasi
klorosis
dan
di
(dengan
bawahnya
sehingga
menampakkan pola khas yang berupa
dengan
VSD
ditemukan
di
Jawa
ranting ompong, yaitu daun-daun yang
(Pawirosoemardjo & Purwantara, 1989;
termuda dan tertua pada ranting masih
Purwantara & Pawirosoemarjo, 1989b).
utuh, sementara daun-daun di antaranya gugur (Gambar 1d), (2) Pembengkakan
Epidemiologi
lentisel pada batang atau ranting di bawah
daun
yang
basah, hifa tumbuh dari tapak daun
kasar
membentuk sporokarp yang tampak
(Gambar 1e), (3) Tiga noktah hitam
seperti lapisan beludru putih menutup
pada jaringan pengangkut yang tampak
tapak
apabila bekas tapak daun yang gugur
sekitarnya (Gambar 1k). Pembentukan
pada ranting disayat (Gambar 1f), (4)
basidia dan pelepasan basidiospora
Tunas aksiler yang tumbuh sepanjang
terjadi
batang
1g),
setelah sporokarp basah oleh air hujan
(5) Klorosis dan nekrosis di antara vena
atau embun (Keane et al., 1972).
daun muda pada flush terakhir dari
Suasana gelap merangsang sporulasi,
ranting atau cabang sakit (Gambar 1h),
basidiospora terbentuk 8-12 jam setelah
(6) Garis coklat pada batang atau
gelap (Prior, 1982).
mengakibatkan
atau
terinfeksi
Ketika daun gugur pada cuaca
kulit
ranting
tampak
(Gambar
daun
dan
terutama
ranting sampai 16 cm di bawah dan 6 cm di atas daun (Gambar 1i), (7) Mati
16
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
kulit
pada
ranting
malam
di
hari
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
a
b
f
g
c
h
d
e
i
j
k
Gambar 1. Gejala Penyakit VSD pada tanaman Kakao (Purwantara, 2003) Sporokarp tetap fertil selama
sporokarp secara sporadis ketika daun
rata-rata 10 hari pada ranting yang
gugur pada cuaca basah, kurang dari
masih di pohon, tetapi segera berhenti
10%
menghasilkan spora setelah 2 hari pada
menghasilkan
ranting yang dipangkas. Basidiospora
mempunyai
tidak mengalami dormansi dan memer-
pada sporokarp hanya terjadi pada
lukan air bebas untuk perke-cambahan
malam hari dan hanya bila cukup
spora dan infeksinya. Apabila suspensi
lembab.
spora ditempatkan pada daun muda,
daun
yang
sporokarp,
umur
Spora
gugur
O.
mampu sporokarp
pendek,
sporulasi
theobromae
dapat
spora berkecambah dalam waktu 30
terbawa angin dan menginfeksi dengan
menit jika air tidak menguap, tetapi
baik jika angin bertiup pelan (Keane et
segera berhenti tumbuh apabila daun
al., 1971). Udara yang tenang menye-
menguap (Prior, 1979). Perkembangan
babkan spora turun dengan kecepatan
penyakit sangat terbatas, infeksi sulit
0,5–20
mm/detik
terjadi pada jarak lebih dari 80 m dari
ukuran
spora
tanaman kakao sakit.
Halimah
Hal ini terjadi
karena beberapa pembatas, antara lain setiap
infeksi
hanya
dan
tergantung
(Semangun, Sukamto
pada 2001).
mengatakan
bahwa angin yang perlahan, meng-
menghasilkan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
17
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
akibatkan spora pada flush sehingga terjadi proses infeksi. Infeksi
dan
b. Kultur teknis Infeksi
yang
sangat
tinggi
perkembangan
(sampai 67%) pernah dilaporkan di
penyakit VSD sangat ditentukan juga
pembibitan yang dibangun dekat atau di
oleh kelembaban udara. kelembaban
bawah tanaman kakao sakit (Zainal et
udara
al., 1984; Sidhu, 1987).
yang
tinggi
dapat
terjadi
Pembibitan
kondensasi yang menyebabkan spora
dapat dilindungi dari infeksi dengan cara
lebih berat sehingga lebih mudah jatuh.
memberi naungan dari daun kering atau
(Keane et al., 1971). Kecepatan spora
naungan plastik agar daun tetap kering.
jatuh dua kali lipat pada udara yang
Dengan
lembab dibandingkan pada udara kering
kakao di Bunisari Jawa Barat, infeksi
(Halimah
dapat ditekan sampai di bawah 1%.
dan
Sukamto,
2007).
Semagun (2001) menyatakan bahwa
cara
demikian
pembibitan
Pada tanaman kakao yang telah
kondisi udara yang lembab menyebab-
menghasilkan
kan spora O. theobromae menjadi lebih
dengan pangkasan secara teratur pada
kuat dan sebaliknya pada tanaman
ranting sakit, mencegah perkembangan
menyebabkan sukulentis yang dapat
penyakit
mengurangi
dengan membuang tempat sporulasi
ketahanan
terhadap
patogen.
dan
cara
pengendaliannya
mengurangi
inokulum
patogen. Pangkasan dan sanitasi setiap 2 minggu selama 2 tahun berhasil
PENGENDALIAN
mempertahankan
a. Karantina tanaman
melalui biji, setek dan bahan tanam lainnya (Chan & Syed, 1976; Prior, Keane,
1972).
Informasi
ini
menjadi dasar pengendalian penyakit dengan karantina, yaitu setek atau batang bawah yang telah diokulasi
Pangkasan
di
dilakukan
dengan
memotong ranting sakit +30 cm di bawah ujung gejala garis coklat, karena patogen dapat berkembang sampai kirakira 10-20 cm dari gejala garis coklat (Keane et al., 1972; Purwantara & Pawirosoemardjo, 1989).
harus dikarantina selama 6 bulan.
18
serangan
bawah 1% (Purwantara, 2003).
Penyakit VSD tidak ditularkan
1985;
luas
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
c.
Penanaman resisten
klon
atau
hibrida
resisten cukup efektif mengendalikan penyakit
Vascular-streak
dieback. Klon-klon yang direkomendasikan
mempunyai
terhadap
Pengendalian penyakit VSD dapat dilakukan melalui : a) Karantina bibit
Penanaman klon atau hibrida
penyakit
2.
potensi
penyakit
resisten
Vascular-streak
dieback adalah KW
162, KW165,
selama 6 bulan, b) Kultur teknis, yaitu pemangkasan cabang kakao yang sakit dan pohon pelindung serta perbaikan drainasi, agar tidak lembab, c) Penanaman klon atau hibrida resisten, dan d) Pengendalian secara kimiawi.
KW523, Sca 6, K 14, Sca 12, KW 215, KW 427, KW 44, KW 426 dan DRC
SARAN
15(Halima dan Sukamto, 2007). Hasil
Penyakit VSD perlu diantisipasi
kerjasama antara Australian Center for
karena
International
kehilangan hasil sampai 40%.
(ACIAR)
Agricultural
dan
Badan
Research
Litbang
15 dan KA 2106 sebagai klon resisten Vascular-streak
dieback
(Anonim, 2007). d. Kimiawi Fungisida seperti
sistemik
propiconazole
dan
triazole biloxazol
dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit
Vascular-streak
menyebabakan
Dept.
Pertanian merekomendasikan klon DRC
terhadap
dapat
dieback
(Mainstone et al., 1983; Prior, 1987).
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Klon-klon terseleksi tahan hama PBK (Conopomorpha cramerella, Snel.), Penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) dan VSD (Oncombasidium theobroma) di Sulawesi. Poster Hasil kerjasama antara Australian center for international agricultural research (ACIAR) dan Badan Litbang Deptan. Pertanian Republik Indonesia. The first SUCCESS Alliance Regional Cocoa Conference, Makassar Indonesia. Oktober 5 – 7 2004.
mencapai lebih dari 60% wilayah
Bridgland LA, Richardson JM & Edward IL. 1966. Dieback diseases of cocoa (Part I). South Pacific Planter 1, 13-20.
propinsi dari 33 propinsi sentra
Byrne
KESIMPULAN 1. Serangan
penyakit
VSD
produksi kakao di Indonesia.
telah
PN. 1976. Vascular-streak dieback of cocoa in Papua New Guinea and Peninsular Malaysia. Planter, Kuala Lumpur 52, 49-53.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
19
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Chan
CL & Syed KSW. 1976. Vascular-streak dieback of cocoa in Peninsular Malaysia. In Cocoa Coconut Seminar, East Malaysia Planters’ Assoc., Tawau, Sabah, 134-144.
Halimah dan Sri-Sukamto. 2007. Intensitas penyakit Vascular Streak Dieback pada sejumlah klon kakao koleksi pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia. Pelita Perkebunan 23(2),118-128. Keane PJ 1981. Epidemiology of vascular-streak dieback of cocoa. Annals of Applied Biology 88, 227141. Keane PJ, Flentje NT & Lamb KP. 1972. Investigation of vascularstreak dieback of cocoa in Papua New Guinea. Australian Journal of Biological Sciences 25, 553564. Keane PJ. 1972. Aetiology and epidemiology of vascular-streak dieback of cocoa. PhD thesis. University of Papua New Guinea. Mainstone BJ, Zainal Abidin MA & Varghese G. 1983. Cocoa dieback pathogen : Oncobasidium theobromae. In Exotic Plant Quarantine Pests and Procedures for Introduction of Plant Materials (ed. KG Singh), 97-106. ASEAN Plant Quarantine Centre and Training Institute. Pawirosoemardjo S & A. Purwantara. 1989. Gejala penyakit vascularstreak dieback pada tanaman kakao di Indonesia. Menara Perkebunan 57, 74-78.
20
Pawirosoemardjo, S. & A. Purwantara. 1992. Occurance and control of VSD in Java and Southeast Sulawesi.p. 209-214. In. P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Management in Southeast Asia and Australasia, FOA. Purwantara, A. 2003. Pengenalan dan pengendalian penyakit Vascularstreak dieback (VSD) pada tanaman kakao. Workshop kerjasama antara Australian center for international agricultural research (ACIAR) dan Badan Litbang Dept. Pertanian Republik Indonesia. Prior C. 1978. A method of inoculating young cocoa plants with basidiospores of Oncobasidium theobromae. Annals of Applied Biology 88, 357-362. Prior C. 1979. Resistance of cocoa to vascular-streak dieback disease. Annals of Applied Biology 92, 369376. Prior C. 1982. Basidiospore production of Oncobasidium theobromae in dual culture with cocoa callus tissue. Transactions of the British Mycological Society 78, 571-574. Prior C. 1985. Cocoa quarantine : measures to prevent the spread of vascular-streak dieback in planting material. Plant Pathology 34, 355-360. Prior C. 1987. Chemical control of vascular-streak dieback disease of cocoa in Papua New Guinea. Plant Pathology36, 355-360.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Shaw DE. 1962. Diseases of cacao in Papua New Guinea. The Papua and New Guinea Agricultural Journal 15, 79-90. Sidhu
M. 1987. Some short-term investigations into the management of vascular-streak dieback disease of young cocoa in Giram Estate, Sabah, Malaysia. Planter, Kuala Lumpur 63, 47-58.
Sri-Sukamto. 2008. Pengenalan dan pengendalian penyakit tanaman kakao , materi pelatihan Linkages visit staf BPTPs ACIAR-SADI di Puslitkoka Indonesia, Jember 7 s/d 11 Juli 2008.
Zainal Abidin MA, Varghese G & Mainstone BJ. 1981. Vascularstreak dieback of cocoa in Malaysia – (1) a survey of its incidence and identification of the pathogen involved. Planter, Kuala Lumpur 57, 3-13. Zainal Abidin MA, Varghese G & Mainstone BJ. 1984. Aspects of the epidemiology of vascularstreak dieback of cocoa in Malaysia. Proceedings 1984 International Conference on Cocoa and Coconuts, 405-411.
Tan, G.Y. (1992) . Cocoa breeding in Papua New Guinea and its relevance to pest and disease control, p.117-128. In. P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Management in Southeast Asia and Australasia, FOA.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
21
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
STATUS KOMODITAS KAKAO DI KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA Sri Bananiek dan Zainal Abidin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sub sektor perkebunan Sulawesi Tenggara yang berperan penting dalam perekonomian daerah. Luas areal pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara adalah 192.008 ha, dimana produksi dan produktivitasnya mencapai 126.813 ton dan 1.033 kg/ha. Sentra pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara adalah di Kabupaten Kolaka dengan luas areal 70,78% dari total pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui status komoditas kakao terhadap berbagai komoditas perkebunan, di Kabupaten Kolaka. Penelitian dilaksanakan di Desa Lambandia Kabupaten Kolaka. Pengumpulan data primer melalui wawancara secara terstruktur. Sedangkan untuk melihat keragaan sosial ekonomi dan potensi pengembangan usaha tani, digunakan analisis Location Quotient (LQ). Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa dari 14 kecamatan yang mengembangkan kakao, dua kecamatan yang memiliki nilai LQ > 1, yakni Lambandia (1,26) dan Ladongi (1,16). Sedangkan 12 kecamatan lainnya memiliki nilai LQ < 1 meliputi Mowewe (0,93), Wolo (0,90), Wundulako (0,87), Watubangga (0,85), Kolaka (0,81), Samaturu (0,77), Tirawuta (0,78), Uluiwoi (0,76), Baula (0,75), Latambaga (0,58), Tanggetada (0,35), dan Pomalaa (0,24). Disimpulkan bahwa di kecamatan Lambandia dan Ladongi, komoditas kakao merupakan basis, serta memiliki keunggulan komparatif. Kata Kunci: Kakao, Location Quotient, Kolaka
PENDAHULUAN
industri
kakao
sebagai
pendorong
Kakao merupakan salah satu
pertumbuhan dan distribusi pendapatan.
komoditas perkebunan andalan nasional
Oleh karena itu perkem-bangan tanaman
yang
kakao
berperan
penting
bagi
per-
ekonomian Indonesia, terutama dalam
bagi negara. Menurut Zaenuddin dan Baon (2004), Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan agribisnis kakao karena sebagai daerah tropis, tersedia lahan cukup luas dan tenaga kerja serta adanya
dukungan
lembaga-lembaga
penelitian. Peluang pasar industri kakao masih
cukup
terbuka,
sehingga
membuka potensi untuk menggunakan
22
tahun
ke
tahun
terus
meningkat secara signifikan.
hal penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani dan sumber devisa
dari
Luas total areal kakao nasional pada tahun 2005 mencapai 777.000 ha yang
sebagian
perkebunan
besar
kakao
merupakan
rakyat
(Anonim,
2006). Perkembangan kakao Indonesia yang pesat ini belum diikuti dengan tingkat
produktivitas dan mutu hasil
yang tinggi. Produktivitas rata-rata kakao Indonesia masih rendah, mutu biji yang dihasilkan juga masih rendah. tercermin dari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Hal ini
banyaknya biji kakao
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
yang ditolak pembeli maupun yang
Kabupaten
dikenakan potongan harga (Prawoto,
sentra produksi Kakao
1993).
dikenal sejak lama dan merupakan Di
Sulawesi
merupakan
Tenggara
komoditas
kakao
andalan
sub
sektor perkebunan yang mempunyai peran
penting
dalam
perekonomian
daerah. Pada tahun 2005 tercatat luas areal pertanaman
kakao di Sulawesi
Tenggara seluas 192.008 ha. Sementara produksi dan produktivitasnya mencapai 126.813 ton dan 1.033 kg/ha (Dinas Perkebunan
dan
Hortikultura
Sultra,
2006). Potensi pengembangan kakao di sultra masih cukup besar. Ada beberapa sumber potensi yang bisa dioptimalkan dalam pengembangan kakao di Sultra
Kolaka
merupakan yang
sudah
daerah penghasil kakao terbesar di Sulawsi Tenggara. Luas areal pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka pada tahun 2005
seluas 78.055,30 ha,
terbagi menjadi tiga kelompok tanaman yaitu
tanaman
belum
menghasilkan
(TBM) seluas 30.139,85 ha,
tanaman
menghasilkan (TM) seluas 46.597,45 ha dan
sisanya
adalah
tanaman
tidak
produktif seluas 1.318,00 ha, sementara produksi mencapai 45.599,30 ton dan produktivitas mencapai 978,58 kg/ha. (Disbunhor Sultra, 2006). Tujuan
penelitian
ini
untuk
yaitu: (a) Secara umum petani di Sultra
mengetahui status komoditas kakao di
sudah terbiasa dan mempunyai banyak
Kabupaten Kolaka.
pengalaman dalam kegiatan usahatani kakao,
khususnya pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat produktivitas masih rendah, (c) Peremajaan tanaman kakao pada lahan-lahan yang umur kakaonya sudah tua atau mengalami kerusakan, dan (d) Perluasan pertanaman kakao pada
METODE PENELITIAN
(b) Peningkatan produktivitas
daerah
yang
potensial
untuk
pengembangan kakao akan semakin besar jika didukung oleh berkembangnya industri pengolahan yang lebih lanjut.
Penelitian
dilakukan
dengan
analisis data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik dan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Prop Sultra tahun 2006. Selanjutnya data tersebut diperkuat oleh data hasil wawancara terstruktur
(directed/guide
interview)
menggunakan kuisioner (Sudana et al., 1999) terhadap 70 orang responden yang dipilih berdasarkan strata kepemilikan lahan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
23
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Analisis LQ, digunakan untuk melihat
present
status
dan
potensi
Keterangan : S1
=
Jumlah produksi/luas areal kegiatan i di daerah yang diamati (kecamatan).
S
=
Jumlah produksi/luas areal seluruh kegiatan di daerah yang diamati.
N1
=
Jumlah produksi/luas areal kegiatan i di daerah yang lebih luas dan daerah yang diamati menjadi bagiannya.
N
=
Jumlah produksi/luas areal seluruh kegiatan di daerah yang lebih luas, dan daerah yang diamati menjadi bagian-nya.
pengembangan usaha tani (Hood, 1998). LQ merupakan salah satu teknik yang dapat
digunakan
untuk
mengetahui
tingkat kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan (komoditas) tertentu. Namun
demikian
dalam
prakteknya,
metode LQ dapat pula digunakan untuk menentukan
komoditas
unggulan
(komoditas basis) dalam suatu wilayah dengan dasar ukur bisa produktivitas, luas
areal,
produksi,
pendapatan,
kesempatan kerja maupun dasar ukur lainnya.
Berdasarkan
unggulan
tersebut
komoditas
dapat
diturunkan
Hasil analisis LQ menghasilkan 3 (tiga) kriteria sebagai berikut : LQ > 1
Artinya
Komoditas tersebut menjadi basis atau sumber pertumbuhan Komoditas memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah sendiri tetapi juga dapat di eksport keluar wilayah.
LQ = 1
Artinya
LQ < 1
Artinya
Komoditas tersebut tergolong non basis, tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri. Komoditas ini juga termasuk non basis. Produksi komoditas di suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar.
seperangkat masalah dan kendala dalam pengembangannya yang dapat dijadikan dasar
penentuan
prioritas
penelitian
(Syafa’at et al, 2004). Dalam analisis ini digunakan
dasar
ukur
berdasarkan
jumlah produksi. Rumus LQ dinyatakan sebagai berikut: (S1/S) LQ = (N1/N)
24
(S1/S) atau LQ = (S/N)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
HASIL DAN PEMBAHASAN
diusahakan rakyat di kabupaten Kolaka
Sumber Daya Alam dan Pertanian
terdiri dari 17 jenis yaitu: Kelapa, Kopi,
Luas
di
Kapuk, Lada, Pala, Cengkeh, Jambu
Kabupaten Kolaka adalah 695.329 Ha.
Mete, Kemiri, Coklat, Enau, Kapas,
Sebagian besar lahan didominasi oleh
Tembakau, Asam, Pinang, Panili, Tebu
hutan negara
dan
perkebunan
penggunaan
tanah
(60,41%), sawah dan (18,46%)
dan
sagu.
Beberapa
komoditi
per-
lainnya
kebunan memiliki potensi untuk ber-
(21,13%) ,dimana untuk pengembangan
kembang di masa yang akan datang,
pertanian sebesar 2,45% berupa tanah
misalnya
sawah dan 16,01% untuk perkebunan.
tanaman cengkeh mengalami pening-
Nampak bahwa penggunaan tanah di Kabupaten Kolaka belum
cengkeh.
Luas
areal
per-
katan dari 1.610,89 ha pada tahun 2004
optimal.
menjadi 1.635,34 ha pada tahun 2005.
Masih banyak terdapat tanah-tanah yang
Dari sejumlah jenis tanaman perkebunan
seharusnya bisa diolah misalnya untuk
rakyat yang diusahakan dan di kem-
perkebunan
me-
bangkan tersebut, baru terdapat enam
nganggur. Dengan belum tergarapnya
jenis tanaman yang dieksport yaitu:
tanah secara optimal memungkinkan
Kakao, Kelapa, Kopi, Lada, Cengkeh,
pemerintah bersama masyarakat me-
dan
mikirkan
tersebut,
ternyata
dibiarkan
bersama bagaimana cara
Jambu
hadap
bisa senantiasa menghasilkan,
Kabupaten
akhirnya
Berdasarkan
hal
status komoditas kakao ter-
pengolahan tanah yang baik sehingga pada
Mete.
komoditas
perkebunan
Kolaka dibatasi
di
terhadap
penggunaan lahan secara
komoditi tersebut, karena dianggap telah
optimal dapat meningkatkan produksi
mewakili komoditas perkebunan lainnya.
pangan yang akan dapat meningkatkan
Keragaan perkembangan luas areal (ha)
pendapatan masyarakat.
dan produksi (ton) beberapa komoditas
Keragaan Komoditas Perkebunan di Kabupaten Kolaka
perkebunan unggulan
Sub memegang
sektor peranan
perkebunan penting
di Kabupaten
Kolaka, pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 1.
dalam
pengembangan agribisnis di Kabupaten Kolaka.
Tanaman
perkebunan
yang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
25
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Keragaan perkembangan produksi (ton) berbagai komoditas menurut kecamatan di Kabupaten Kolaka, 2006. No
Produksi (ton) 2006 Kecamatan
Kakao 3.992,00 221,44
Kelapa 1.629,39 240,87
Kopi 38,83 7,98
Lada 16,80 16,37
Cengkeh 0,10 0,22
J.Mete 388,43 312,71
73,17
23,16
0
4,24
0,93
284,63
1 2
Watubangga Tanggetada
3
Pomalaa
4 5
Wundulako Baula
420,68 244,46
70,11 109,40
93,80 25,26
13,48 19,44
9,91 10,75
6,16 2,04
6 7.
Ladongi Lambandia
9.625,27 16.852,93
529,17 47,29
22,67 6,29
54,91 3,44
0 0
254,13 14,46
8 9
Tirawuta Kolaka
3.188,50 305,25
160,75 55,27
1.100,08 4,66
620,59 0,83
1,22 92,35
74,13 17,52
10 11
Latambaga Wolo
323,76 3.415,22
55,86 1.143,05
51,47 62,48
4,46 28,57
233,76 117,04
37,79 16,61
12
Samaturu
4.755,12
2.635,01
179,28
28,61
128,56
37,62
13
Mowewe
1.226,28
364,78
56,50
9,35
5,49
4,04
14
Uluiwoi
955,43
437,36
158,95
12,16
0
34,40
Sumber : Dinas Pekebunan dan Hortikulutra Prov. Sultra (2006).
Status Nilai LQ berbagai Komoditas Perkebunan
Tanggetada (0,35), Pomalaa (0,24). Hal
Hasil analisis LQ yang dilakukan
Lasusua dan Ladongi, komoditas kakao
ini berarti bahwa
sudah
rapa komoditas perkebunan unggulan di
pertumbuhan, memiliki keunggulan kom-
Kabupaten
14
paratif, serta hasil komoditas tersebut
kecamatan yang mengembangkan kakao
tidak saja dapat memenuhi kebutuhan
hanya dua
untuk wilayah sendiri tetapi juga dapat
menunjukkan,
kecamatan yang memiliki
keluar
basis
kecamatan
terhadap volume produksi pada bebe-
Kolaka
menjadi
di
nilai LQ > 1, yakni Lambandia (1,26) dan
dieksport
Ladongi (1,16). 12 kecamatan lainnya
kecamatan lainnya belum.
atau
wilayah,
sumber
sementara
memiliki nilai LQ < 1 yaitu Mowewe
Jika mengacu pada nilai LQ > 1,
(0,93), Wolo (0,90), Wundulako (0,87),
maka dari beberapa komoditas per-
Watubangga
kebunan
(0,85),
Kolaka
(0,81),
yang
dianalisis,
komoditas
Samaturu (0,77), Tirawuta (0,78), Uluiwoi
Kelapa dan Jambu Mete merupakan
(0,76), Baula (0,75), Latambaga (0,58),
komoditas yang paling unggul, karena
26
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
sebarannya yang memiliki kriteria > 1
Ladongi (1,16) dan Lambandia (1,26).
terdapat
Selengkapnya
pada
7
kecamatan
yakni
hasil
analisis
LQ
masing-masing di kecamatan Samaturu
berbagai komodittas unggulan tertera
(2,61), Tanggetada (2,32), Watubangga
pada Tabel 2.
(2,07), Wolo (1,84), Uluiwoi (2,1), Baula
Jika dilihat dari potensi pengem-
(2,05) dan Mowewe (1,68). Sedangkan
bangan komoditas perkebunan menurut
komoditas jambu mete terdapat di di
kecamatan berdasarkan nilai LQ > 1
Kecamatan Pomalaa (36,8), Tanggetada
maka
(19,55), Watubangga (3,2), Latambaga
gaman komoditas
(2,67), Kolaka (1,84), Ladongi (1,21) dan
yaitu Baula dengan 4 komoditas yaitu
Uluiwoi (1,08).
Kelapa,
lainnya
yang
Komoditas perkebunan memiliki
kecamatan yang memiliki kera-
Kopi,
unggulan
Lada
dan
tertinggi
Cengkeh.
keunggulan
Kemudian Tanggetada (kelapa, lada dan
berdasarkan LQ > 1 adalah Kopi (6
jambu mete), Wundulako (Kopi, Lada
kecamatan), cengkeh (6 kecamatan) dan
dan
lada (4 kecamatan). Komoditas kakao,
cengkeh
yang merupakan komoditas unggulan
Uluiwoi (Kelapa, Kopi dan jambu mete)
daerah terdapat di 2 kecamatan yaitu
(Tabel 3).
cengkeh), dan
Latambaga jambu
(Kopi,
mete)
serta
Tabel 2. Hasil analisis LQ terhadap produksi beberapa komoditas perkebunan unggulan di Kabupaten Kolaka. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecamatan Watubangga Tanggetada Pomalaa Wundulako Baula Ladongi Lambandia Tirawuta Kolaka Latambaga Wolo Samaturu Mowewe Uluiwoi
Nilai LQ Kakao 0,85 0,35 0,24 0,87 0,75 1,16 1,26 0,78 0,81 0,58 0,90 0,77 0,93 0,76
Kelapa 2,07 2,32 0,46 0,89 2,05 0,39 0,02 0,24 0,89 0,61 1,84 2,61 1,68 2,1
Kopi 0,21 0,33 0,00 5,09 2,05 0,07 0,01 7,13 0,33 2,43 0,43 0,72 1,13 3,31
Lada 0,28 2,05 1,10 2,20 4,73 0,52 0,02 12,06 0,17 0,63 0,60 0,37 0,56 0,76
Cengkeh 0,02 0,03 0,24 1,61 2,61 0,00 0,00 0,02 19,4 33,06 2,46 1,66 0,33 0,00
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
J. Mete 3,2 19,55 36,8 0,50 0,25 1,21 0,04 0,72 1,84 2,67 0,17 0,24 0,12 1,08
27
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 3. Potensi pengembangan komoditas perkebunan unggulan menurut Kecamatan berdasarkan hasil analisis LQ. No
Komoditas
1 2
Kakao Kelapa
3
Kopi
4 5 6
Lada Cengkeh J.Mete
Kecamatan Lambandia dan Ladongi Samaturu, Tanggetada,Watubangga, Wolo, Uluiwoi Baula, dan Mowewe Tirawuta,Wundulako, Uluiwoi, Latambaga, Baula, dan Mowewe Tirawuta, Baula, Wundulako Tanggetada, dan Pomalaa Latambaga, Kolaka, Baula, Wolo Samaturu dan Wundulako, Pomalaa, Tanggetada, Watubangga, Latambaga Kolaka, Ladongi, dan Uluiwoi pendapatan total rumahtangga semakin
Kontribusi Kakao dalam Perekonomian Rumah Tangga Usahatani
kakao
sumber
pendapatan
tangga.
Hasil
besar. Hal ini sangat logis mengingat
merupakan rumah
maka semakin besar produksi yang
menunjukkan
dapat diperoleh dari usahatani terutama
bahwa sumber pendapatan responden
kakao. Peranan masing-masing sumber
berasal dari beberapa cabang usaha dan
pendapatan terhadap pendapatan total
komoditas. Pendapatan total responden
rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 5
disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 1.
dan Gambar 1.
survey
utama
semakin luas kepemilikan lahan kakao
Pada Tabel 4, nampak bahwa semakin luas kepemilikan lahan, maka
Tabel 4. Pendapatan Total Petani pada berbagai strata kepemilikan lahan (Tahun 2006). Strata Kepemilikan Lahan (ha) < 1,5 ha
Sumber pendapatan Lainnya 939.500
Usaha tani Kakao
Usahatani Pisang
Usaha Ternak
5.215.500
76.000
0
1,5 – 3 ha
10.712.300
173.000
450.000
583.000
11.918.300
> 3 ha
24.216.500
221.500
800.000
539.000
25.777.000
Sumber : Analisis data rumahtangga tani, 2006.
28
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Pendapatan Total (Rp.) 6.231.000
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 5.
Persentase Sumber Pendapatan Terhadap Pendapatan Total Petani Desa Lambandia pada berbagai strata kepemilikan lahan (Tahun 2006).
Strata Kepemilikan Lahan Koperator < 1,5 ha
Kakao (%)
Pisang (%)
Kambing (%)
Lainnya (%)
59
1
0
40
1,5 – 3 ha
70
1
3
26
> 3 ha
93
1
3
3
Sumber : Data primer diolah. Petani Kooperator 100
Persentase
80 60
Kakao
40
Pisang Kambing
20
Lainnya
0 < 1,5 ha
1,5 – 3 ha
> 3 ha
Strata Luas Lahan (ha)
Gambar 1. Persentase Sumber Pendapatan Terhadap Pendapatan Total Rumah Tangga Petani.
Pada Tabel 5 nampak bahwa usahatani
kecamatan yaitu Lambandia dan Ladongi
kakao memberikan sumbangan yang
yang memiliki nilai LQ > 1, ini berarti
dominan
total
bahwa di Kecamatan tersebut, komo-
rumahtangga. Selanjutnya bahwa ada
ditas kakao sudah menjadi basis atau
kecenderungan
sumber
kakao
terhadap
pendapatan
semakin
persentase
luas
pendapatan
lahan dari
pertumbuhan
dan
memiliki
keunggulan komparatif.
usahtani kakao juga semakin besar. Komoditas pisang dan kambing mem-
DAFTAR PUSTAKA
berikan
Anonim. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta.
peranan
yang
kecil
dalam
pendapatan total rumahtangga.
Dinas
KESIMPULAN Dari hasil penelitian diperoleh, dari 14 kecamatan di Kolaka mengembangkan
kakao,
hanya
yang
Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. 2006. Statistik Perkebunan. 2006.
dua
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
29
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Dirjenbun. 2009. Pedoman Umum Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional 20092010. Departemen Pertanian. Hood, R. 1998. Ekonomic Analysis: A Location Quotient. Primary. Principal Sun Region Associates, Inc. Prawoto, A. 1993. Prospek Indonesia sebagai Produsen Kakao Dunia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 14, 1-8. Sudana, I.W., K.D. Sadra, S. Nyak Ilham dan R.R. Suhaeti. 1999. Metodologi Penelitian dan Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. Tim Asistensi Pusat Pebelitian Sosek Pertanian, Bogor.
30
Syafa’at, N., M Maulana dan P Simatupang. 2004. Metode Kuantitatif Penentuan Prioritas Penelitian dan Pengkajian dalam Kerangka Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian Nasional dan Daerah: Pendekatan Analisis Location Quotient Sederhan (Simple Location Quotient). Modul Penelitian Analisis Finansial dan Ekonomi Bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Kerja sama Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek Pengkajian Teknologi Partisipatif (PAATP). Badan Litbang Pertanian. Bogor. Zaenuddin dan J.B. Baon. 2004. Prospek Kakao Nasional Satu Dasawarsa (2005-2014) Mendatang. Antisipasi Pengembangan Kakao Nasional menghadapi Regenerasi Pertama Kakao di Indonesia. Makalah Simposium Kakao 2004. Jogjakarta, 4-5 Oktober 2004, 10 hal.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
NILAI TAMBAH EKONOMI SISTEM USAHATANI INTEGRASI TERNAK KAMBING DAN JAMBU METE Julian Witjaksono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Jambu mete merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Tenggara setelah tanaman kakao yang banyak diusahakan oleh masyarakat dan tersebar di beberapa wilayah. Kondisi tanaman jambu mete pada saat ini sebagian besar sudah merupakan tanaman tua yang kurang produktif , selain itu skala usaha yang kecil dan terpencar-pencar mengakibatkan tingkat produktivitas semakin rendah. Salah satu solusi atau alternative yang dapat membantu petani meningkatkan pendapatan rumah tangga adalah sistem integrasi tanaman jambu mete dan ternak kambing. Sistem integrasi tersebut diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan produktivitas jambu mete melalui penggunaan pupuk organik tetapi juga diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani dengan menjual hasil ternak kambing. Produk sekunder yang dihasilkan dari sistem integrasi ini seperti pupuk kandang adalah satu alternative yang terbaik yang dapat dimanfaatkan oleh petani selain pupuk anorganik yang semakin langka dan mahal harganya. Hasil kajian yang dilaksanakan oleh BPTP Sulawesi Tenggara selama 2 tahun di Kabupaten Muna menunjukan bahwa sistem usaha tani Integrasi ini memiliki nilai tambah ekonomi bagi rumah tangga petani yaitu : (1) nilai tambah peningkatan bobot badan ternak kambing sebesar Rp. 1.500 per ekor per hari; (2) nilai tambah kotoran ternak yang dihasilkan sebesar Rp. 165 per ekor per hari; dan (3) nilai tambah penjualan pupuk organik sebesar Rp. 390 per ekor per hari. Hasil analisis ekonomi menunjukan bahwa nilai tambah pendapatan petani jambu mete di Sulawesi Tenggara melalui teknologi sistem Integrasi ternak diperoleh tambahan sebesar Rp. 2.055 per ekor per hari. Kata Kunci : Integrasi, Kambing, Jambu Mete, Nilai Tambah, Pendapatan
PENDAHULUAN
terintegrasi yang bersinergi, efisien dan
Komoditas ternak dalam proses pengembangannya
sudah
mengalami
berkelanjutan produksi
sehingga
dapat
factor-faktor
dioptimalkan
dalam
perubahan paradigma dalam pengertian
bentuk (Low External Input Sustainable
tidak lagi berdiri sendiri akan tetapi harus
Agriculture). Untuk menindaklanjuti hal
bersinergi dengan komoditas lain bahkan
tersebut diatas, salah satu upaya yang
lebih lanjut lagi harus terintegrasi dalam
dapat dilakukan adalah integrasi ternak
satu kesatuan system usahatani (crop
dengan jambu mete.
livestock system).
menstimulasi komoditas yang produk-
Sulawesi Tenggara merupakan wilayah
yang
menurun
tajam.
Seperti
kekuatan
halnya beberapa tahun terakhir pro-
ekonomi di bidang pertanian sehingga
duktivitas jambu mete menurun sehingga
dalam
komoditas
proses
memiliki
tivitasnya
Hal ini bertujuan
pengelolaannya
dan
pengembangan hendaknya pula dapat
yang
teritegrasi
dapat
menyokong perekonomian petani disisi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
31
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
lain ada kesempatan untuk memperbaiki
setara dengan 4-5 ekor kambing/ha/
kinerja produksi (Recovery). Beberapa
tahun (Sulle et al.,
penelitian
bertujuan untuk menyajikan data dan
mengenai
integrasi
ternak
dengan komoditas pertanian lain akan
informasi mengenai
mampu
nomi
meningkatkan
efisiensi
dan
pada
2005). Tulisan ini
nilai tambah eko-
sistem
integrasi
ternak
optimalisasi penggunaan lahan 30–40%
kambing
(Lompengeng, 2005).
mete berdasarkan hasil pengkajian yang
Dalam sistem usahatani jambu mete,
pemanfaatan
kotoran
ternak
ke dalam usahatani jambu
dilakukan
oleh
Balai
Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP)
Sulawesi
kambing sebagai bahan pupuk organik
Tenggara selama 2 tahun di Kabupaten
merupakan salah satu strategi efisiensi
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
alokatif
pada
hubungan
karena
selain
efisiensi
input-output biaya
juga
diharapkan dapat meningkatkan produk-
STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN USAHA TERNAK KAMBING
tivitas lahan dan tanaman jambu mete. Untuk
mencukupi
kebutuhan
rumah tangga jenis usaha dikembangkan seluas mungkin melalui diversifikasi atau ragam usaha berdasarkan lokasi spasial,
Analisis usahatani
untuk hasil ternak yang dijual langsung. Untuk keperluan analisis ini satuan luasnya disamakan dalam satuan ekor ternak (Tabel 1).
selanjutnya pengembangan diversifikasi dapat
ditekan
pada
pola
usahatani
ganda yang saling bersinergisme dalam input-output, salah satu contoh adalah pola integrasi tanaman-ternak. Kontribusi usaha ternak terhadap usahatani jambu mete mencapai 39,85% sedangkan nilai kontribusi
usahatani
terhadap
usaha
jambu
ternak
mete kambing
mencapai 60,15%. Berdasarkan perhitungan pakan yang tersedia dibawah jambu mete, potensi untuk menampung ternak 1,8 UT (+ 2 ekor sapi/ha/tahun),
32
difokuskan
Tabel 1 memberikan gambaran bahwa struktur biaya usahatani ternak kambing petani jambu mete di lokasi kajian dari sisi tenaga kerja keluarga memiliki
peran
terutama
yang
dalam
cukup hal
besar aktivitas
pemeliharaan ternak sehingga mampu memberikan
kontribusi
dalam
hal
efisiensi biaya produksi usahatani ternak. Bentuk penerimaan usahatani meliputi hasil
penjualan
ternak,
penjualan
kompos dan penjualan kotoran ternak. Hal tersebut merupakan nilai tambah dari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
usaha diversifikasi untuk menambah
bahwa pendapatan atas biaya tunai yang
penghasilan keluarga. Dari analisis biaya
diperoleh petani jambu mete sebesar
dan pendapatan usaha ternak kambing
Rp. 1.190.000 per tahun.
petani jambu mete di Desa Liabalano Kec. Kontunaga Kab. Muna menunjukan Tabel 1.
Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Kambing Petani Jambu mete per ekor per Tahun di Desa Liabalano Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Uraian
Petani Ternak Kambing
Biaya variabel (Rp) Biaya tetap (Rp) Biaya total (Rp) Pemilikan ternak layak jual (ekor) Biaya rata-rata (Rp/ekor) Biaya variabel rata-rata (Rp/ekor) Rata-rata Penjualan Ternak (ekor/tahun) Nilai rata-rata penjualan ternak (Rp./tahun) Harga (Rp./ekor) - Jantan dewasa - Betina dewasa Penerimaan (Rp/ekor) - Penjualan ternak - Penjualan kompos - Penjualan kotoran ternak Pendapatan atas biaya yang diperhitungkan (Rp) Pendapatan atas biaya tunai (Rp) R/C ratio BEP Sumber : Sulle et al. (2006). NILAI TAMBAH EKONOMI SISTEM INTEGRASI TERNAK KAMBING Sistem integrasi ternak kambing
100.000 700.000 800.000 2 400.000 50.000 1 850.000 900.000 550.000 850.000 300.000 140.000 490.000 1.190.000 1,7 765.027
tambah ekonomi bagi pendapatan rumah tangga petani jambu mete di lokasi kajian.
Pada
Tabel
2
memberikan
dan pertanaman jambu mete merupakan
gambaran bahwa sistem integrasi ternak
sistem
kambing petani jambu mete di Desa
diversifikasi
usaha
yang
diharapkan mampu memberikan nilai
Liabalano
Kec.
Kontunaga
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
mampu
33
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
memberikan nilai tambah ekonomi bagi
keluarga petani di Sulawesi Tenggara
pendapatan rumah tangga petani. Selain
hanya 25,98%. Ciri pengusahaan jambu
pendapatan dari hasil penjualan ternak,
mete di Sulawesi Tenggara umumnya
petani
kotoran
dalam skala kecil, terpencar dan tidak
ternak kambing untuk diolah menjadi
intensif dengan keterbatasan teknologi
kompos dan dijual untuk menambah
budidaya dan modal. Oleh sebab itu
penghasilan rumah tangga.
pengembangan usahatani jambu mete
dapat
Nilai
memanfaatkan
tambah
ekonomi
sistem
usahatani Integrasi ternak kambing dan
perlu dilaksanakan secara terpadu dan berorientasi agribisnis.
jambu mete dengan skala usaha 7 ekor
Salah satu upaya untuk mening-
dalam jangka waktu produksi 5 tahun
katkan pendapatan petani jambu mete
dengan asumsi tingkat kelahiran 48,6%
adalah
dan tingkat kematian 35,63% per tahun
melalui pola diversifikasi. Pola diver-
(asumsi berdasarkan hasil Penelitian di
sifikasi yang dimaksud adalah pola
lokasi kajian) maka petani jambu mete
integrasi ternak dan tanaman.
memiliki 3 nilai tambah yaitu (1) nilai tambah
penambahan
berat
kambing
meningkatkan
skala
usaha
Hasil Penelitian Integrasi ternak seperti yang dilaporkan oleh Haryanto
sebesar Rp. 1.500,- per ekor per hari, (2)
(2003),
nilai
kambing
menghasilkan kotoran (feses) sebanyak
sebesar Rp. 165 per ekor per hari, dan
8–10 kg per hari, apabila kotoran sapi ini
(3) nilai tambah kompos sebesar Rp. 390
bersama alas kandang diproses menjadi
per ekor per hari. Dengan demikian total
pupuk organiK, maka akan menghasil-
nilai tambah ekonomi yang diperoleh
kan 4–5 kg pupuk oganik per hari. Hal
petani jambu mete sebesar Rp. 2.055
ini
per ekor per hari. Jika, seorang petani
penghasilan tambahan bagi petani jambu
memiliki 3 ekor kambing maka nilai
mete.
tambah
dari
kotoran
tambah yang diperoleh adalah sebesar Rp. 2.250.225,- per tahun.
bahwa
dapat
seekor
dijadikan
Introduksi Peranakan
Etawah
sapi
sebagai
pejantan (PE)
mampu
sumber
unggul
diharapkan
Menurut Indrawanto et al., (2003)
mampu memperbaiki kualitas genetik
bahwa kontribusi penghasilan kebun
ternak melalui perkawinan silang dengan
jambu mete terhadap penghasilan total
kambing kacang yang banyak dipelihara
34
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 2. Nilai Tambah Ekonomi Sistem Usahatani Integrasi Ternak Kambing Petani Jambu Mete di Desa Liabalano Kec. Kontunaga Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. No.
Parameter
Nilai
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Skala Usaha (ekor) Jangka waktu produksi (Tahun) Tingkat kelahiran (%) Tingkat Kematian (%) Upah tenaga kerja (Rp./hari) Harga Induk (Rp./ekor) - Jantan - Betina 7. Harga jual induk (Rp./ekor) 8. Harga Jual ternak Jantan (Rp./ekor) 9. Harga jual anak kambing (Rp./ekor) - dara - jantan 10. Harga jual kotoran ternak (Rp./kg) 11. Harga Jual kompos (Rp./kg) 12. Harga jual kulit ternak (Rp./kg) 13. Nilai tambah penambahan berat kambing (Rp./ekor/hari) 14. Nilai tambah dari kotoran kambing (Rp./ekor/hari) 15. Nilai tambah dari kompos (Rp./ekor/hari) 16. Nilai tambah pendapatan petani (Rp./ekor/hari) (13+14+15) Sumber : Sulle et al. (2006).
oleh
petani
jambu
mete,
sehingga
7 5 48,6 35,63 20.000 700.000 500.000 400.000 600.000 250.000 400.000 7.000/30 10.000/30 3.500 1.500 165 390 2.055
KESIMPULAN
diharapkan mampu meningkatkan posisi
1. Sistem integrasi ternak dan tanaman
tawar pada tingkat harga jual yang lebih
jambu mete merupakan salah satu
tinggi. Dengan demikian selain kotoran
upaya
ternak
rumah tangga petani melalui usaha
kambing
yang
dapat
diolah
menjadi pupuk organik, juga perbedaan bobot badan anatar ternak kacang dan PE merupakan nilai tambah ekonomi
peningkatan
pendapatan
diversifikasi 2. Pola
usahatani
integrasi
ternyata
mampu memberikan nilai tambah bagi
bagi penghasilan rumah tangga petani.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
35
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
petani
dari
hasil
produk
primer
maupun produk sekundernya. 3. Nilai tambah ekonomi dengan pola integrasi jambu mete dengan ternak kambing PE, yaitu : (1) dari penambahan berat kambing sebesar Rp. 1.500,- per ekor per hari, (2) dari kotoran kambing sebesar Rp. 165 per ekor per hari, dan (3) dari kompos sebesar Rp. 390 per ekor per hari.
DAFTAR PUSTAKA Ella, A. Gatot Kartono dan A. B. Lompengeng Ishak. 1998. Peluang Diversifikasi Usahatani Ternak Ruminansia Pada Lahan Perkebunan Jambu Mete di Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Pertemuan TahunanKomda HITI 1998 p 418 -423. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Komda Jawa Timur. Malang. Haryanto, B. 2003. Jerami padi Fermentasi Sebagai Ransum Dasar Ruminansia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25 (3) : 1-2. Indrawanto, C., Wulandari, C., dan Wahyudi, A. 2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usahatani Jambu Mete di Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. 9 (4) : 141-148. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
36
Lompengeng, A. B. 2005. Perbaikan Struktur Dinamika Populasi Melalui Metode Open Nucleus Breeding. Suatu Studi Kasus Pengembangan Ternak Kambing Di Kec Kelara kab Jeneponto. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi “Akselerasi Pemasyarakan Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Revitalisasi Pertanian” Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Departemen Pertanian. Sulle, A., J. Witjaksono, S. Ruku, A. B. Lompengeng Ishak, M.Z. Kanro, M. Hidayat. 2005. Laporan Hasil Pengkajian SUT Lahan Kering Iklim Kering Berbasis Jambu mete di Sulawei Tenggara. Laporan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sultra Tahun 2005. Sulle, A., J. Witjaksono, S. Ruku, A. B. Lompengeng Ishak, M. Hidayat, Rusdi, Syahrizal Muttakin. 2006. Laporan Hasil Pengkajian SUT Lahan Kering Iklim Kering Berbasis Jambu mete di Sulawei Tenggara. Laporan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sultra Tahun 2006.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIJI KAKAO KERING MENJADI PRODUK OLAHAN SETENGAH JADI Subaedah Ruku Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Biji kakao Indonesia sebagian besar (60%) diekspor dan selebihnya digunakan untuk kebutuhan industri pengolahan biji kakao dalam negeri. Industri pengolahan kakao sebagian besar mengolah biji kakao hanya sampai tingkat produk setengah jadi yakni produk-produk seperti cocoa butter, cocoa paste dan cocoa powder dan hanya sebagian kecil industri tersebut yang mengolah kakao menjadi produk jadi untuk pasar dalam negeri. Pasta coklat (cocoa paste) dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses, sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau semi cair. Pasta coklat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk coklat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan minuman. Lemak kakao banyak diolah untuk produk makanan setelah dicampur dengan pasta, gula dan bahan-bahan lainnya. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap rendemen hasil pasta, lemak dan bungkil coklat adalah spesifikasi dari biji kakao kering sangat mempengaruhi rendemen hasil pasta, lemak dan bungkil coklat yang dihasilkan. Proporsi rendemen hasil olahan yang diperoleh tidak selalu tetap karena pengaruh kadar air, kadar lemak dan kadar kulit biji kakao. Kata kunci : Biji kakao, pengolahan, pasta coklat, lemak kakao dan bubuk coklat
PENDAHULUAN
bentuk produk primer (cocoa bean)
Kakao merupakan salah satu
sedangkan dalam bentuk olahan baru
komoditas andalan yang mempunyai
mencapai 20% (Sukrisno dan Mulato,
peranan
perekonomian
2004). Beberapa produk turunan kakao
Nasional, terutama dalam hal penye-
masih sangat potensial untuk dikem-
diaan lapangan kerja, sumber penda-
bangkan khususnya untuk pasar dalam
patan petani dan sumber devisa bagi
negeri (seperti cocoa powder, cocoa
negara. Keadaan iklim dan kondisi tanah
batter dan cocoa paste).
penting
bagi
yang tersedia dan sesuai untuk per-
Industri
pengolahan
kakao
tumbuhan kakao memungkinkan pe-
sebagian besar mengolah biji kakao
ngembangan kakao di Indonesia.
hanya sampai tingkat semi finished
Biji kakao Indonesia sebagian
products yakni produk-produk seperti
besar atau sekitar 60% diekspor dan
cocoa butter, cocoa paste dan cocoa
selebihnya digunakan untuk kebutuhan
powder,
industri pengolahan biji kakao dalam
dipasarkan
negeri. Ekspor kakao yang dilakukan
sebagian kecil industri tersebut yang
selama ini sebagian besar masih dalam
mengolah
dan ke
sekitar luar
kakao
90% negeri.
menjadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
hasil
ini
Hanya
finished
37
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
products untuk pasar dalam negeri.
tingkat
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
secara manual.
menambah
pengetahuan
petani
dan
petani
umumnya
Pembersihan
dilakukan
secara
perbedaan
mekanis
masyarakat tentang teknologi pengo-
memanfaatkan
lahan biji kakao kering menjadi produk
(ukuran) dan sifat magnet (logam dan
olahan setengah jadi.
monilogam)
antara
biji
sifat
kakao
kontaminan-kontaminannya
fisik
dan
sebagai
TAHAPAN PENGOLAHAN SEKUNDER
proses pembersihan. Kontaminan padat
Dari biji kakao dapat dihasilkan
dari bahan anorganik akan menyebab-
berbagai
produk
setengah jadi
dan
kan
pencemaran
produk,
kesulitan
olahan. bubuk, lemak, bungkil dan pasta
proses lanjut dan kerusakan mesin.
adalah
Beberapa
yang
produk dihasilkan
antara dari
(intermediate)
peralatan
dasar
untuk
pengolahan
pembersihan biji secara mekanis adalah
sekunder biji kakao. Sedang bubuk
pengayak bertingkat, pengisap debu dan
kakao merupakan produk antara yang
penangkap
paling banyak dikenal dan digunakan
magnet.
oleh masyarakat (Misnawi, 2004)..
logam
Untuk
dengan
sistem
mendapatkan
hasil
Tahapan pengolahan biji kakao
pengolahan yang optimal, maka syarat
menjadi produk setengah jadi (pasta,
mutu bahan baku sebaiknya meng-
lemak dan bubuk coklat)
gunakan
dapat dilihat
pada Gambar 1.
biji
kakao
yang
telah
difermentasi secara sempurna, bebas dari jamur, ukuran biji yang seragam.
Penyiapan bahan/penyortiran
Fermentasi tidak hanya bertujuan untuk
Penyiapan bahan dimulai dari
membebaskan biji kakao dari pulp dan
tahap pemisahan biji kakao yang akan
mematikan biji, namun terutama juga
diolah dari biji-biji muda, kotoran dan
untu
benda-benda asing lain, serta melindungi
citarasa
alat-alat pengolahan dari benda-benda
menyenangkan serta mengurangi rasa
yang membahayakan, seperti; logam-
sepat dan pahit pada biji (Widyotomo et
logam. Pembersihan biji kakao umumnya
al., 2004). Persyaratan mutu biji kakao
dilakukan secara mekanis, namun di
disajikan pada Tabel 1.
38
memperbaiki coklat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
dan yang
membentuk enak
dan
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Biji kakao kering
Penyortiran
Penyangraian
Pemisahan kulit
Kulit biji
Daging biji (nib)
Pemastaan
Pasta coklat
Pengempakan
Lemak coklat
Bungkil coklat
Gambar 1. Diagram alir tahapan pengolahan biji kakao menjadi produk setangah jadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
39
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Syarat mutu biji kakao untuk bahan baku produk olahan. Kriteria Mutu
Syarat
Tingkat fermentasi, hari
5
Kadar air (%)
7
Kadar kulit (%)
12 – 13
Kadar lemak (%)
50 – 51
Ukuran biji
Seragam
Kadar kotoran
Nihil
Jamur
Nihil
Benda asiing lunak
Nihil
Benda asing keras
Nihil
Sumber: Mulato et al., (2004).
Penyangraian
pengaruhi oleh panas, waktu dan kadar
Proses penyangraian bertujuan
air.
membentuk aroma dan citarasa khas
Selama proses penyangraian, air
coklat dari biji kakao, serta memudahkan
akan menguap dari biji dan kulit yang
pengeluaran lemak dari dalam biji. Biji
menempel di permukaan inti biji terlepas,
kakao
sementara inti biji menjadi coklat dan
yang
dikeringkan
telah
difermentasi
dengan
baik
dan
banyak
beberapa
senyawa
seperti
asam,
mengandung senyawa calon pembentuk
aldehid, furan, pirazin, alkohol dan ester
citarasa dan aroma khas coklat, antara
akan menguap.
lain; asam amino dan gula reduksi.
Suhu
sangrai
yang
umum
Selama penyangraian, kedua senyawa
disarankan untuk biji kakao berkisar
tersebut
membentuk
antara 99-104◦C dengan waktu sangrai
senyawa Maillard. Sedangkan senyawa
antara 10-35 menit tergantung pada
gula non reduksi
(sukrosa) akan ter-
jumlah biji kakao yang disangrai dan
hidrolisis oleh air membentuk senyawa
kadar airnya. Untuk mencegah biji kakao
gula
menjadi
akan
reduksi
bereaksi
dan
kemudian
melanjutkan reaksi Maillard.
akan
Selain itu
gosong,
dilakukan
pendinginan sekitar 8–10 menit.
kesempurnaan penyangraian juga di-
40
maka
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Pemisahan biji dan kulit dari lembaga
Penghancuran
Biji kakao yang telah disangrai
Agar biji kakao dapat digunakan
kemudian dipecah untuk memisahkan
sebagai
kulit dengan inti biji. Karena inti biji
minuman, maka keping biji yang semula
bersifat elastis, pecahan biji mempunyai
berbentuk butiran padat kasar harus
ukuran yang relatif besar dan seragam.
dihancurkan dengan mesin penggiling
Sebaliknya
sampai ukuran tertentu (< 20 mμ) dan
kulit
biji
bersifat
rapuh
bahan
makanan
menjadi
Dengan perbedaan ukuran fisik yang
serbuk. Proses penghancuran ini sangat
mencolok, keduanya mudah dipisahkan
menentukan kehalusan partikel coklat
menggunakan
kipas.
dalam makanan. Proses penghancuran
Pecahan inti biji yang lebih berat akan
atau pemastaan kakao dilakukan dalam
tertampung di bawah, sedang pecahan
dua tahap, yaitu; penghancuran untuk
kulit yang halus dan ringan akan terisap
merubah biji kakao padat menjadi pasta
ke dalam kantong sistem penyaring
dengan kehalusan butiran
udara.
dengan menggunakan mesin pemasta, Komponen
biji
kakao
yang
dan
pasta
proses pelumatan
kental
dan
mempunyai ukuran yang lebih halus.
hembusan
bentuk
baku
atau
> 40 mμ
dengan
berguna untuk bahan pangan adalah
penghalus
daging
menghasilkan kehalusan pasta dengan
biji
(nib),
sedang
kulit
biji
pasta atau refiner
alat
partikel
<20
mμ.
untuk Proses
merupakan limbah yang saat ini banyak
ukuran
dimanfaatkan sebagai campuran bahan
pelumatan ini dilakukan secara
pakan ternak.
ulang-ulang, dimana pasta yang di-
ber-
Kulit dan lembaga merupakan
hasilkan pada proses ini dapat langsung
komponen biji yang sulit dihaluskan,
digunakan sebagai bahan baku untuk
karena itu perlu dipisahkan dari biji.
berbagai jenis makanan, roti, kue atau
Untuk memisahkan biji dari kulit dan
permen coklat.
lembaga, biji kakao dipecah kemudian dipisahkan
secara
mekanis
meng-
gunakan mesin penampi. Pemisahan ini
PRODUK OLAHAN SEKUNDER Pasta coklat
cukup sulit karena biasanya kulit keping
Pasta coklat atau cocoa mass
biji masih mengandung kulit sekitar 1,5%
atau cocoa paste dibuat dari biji kakao
(Yusianto et al., 1998).
kering melalui beberapa tahapan proses
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
41
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
sehingga biji kakao yang semula padat
ukuran partikel < 75 mμ. Pengempaan
menjadi bentuk cair atau semi cair.
dilakukan dalam tabung dengan tekanan
Pasta coklat dapat diproses lebih lanjut
hidrolik sampai 40 atm yang dapat
menjadi lemak dan bubuk coklat yang
digerakkan dengan mesin atau secara
merupakan
manual.
bahan
baku
pembuatan
produk makanan dan minuman.
Lemak kakao merupakan lemak
Pecahan-pecahan inti biji hasil
nabati alami yang mempunyai sifat unik
penyangraian didinginkan dan dilumat-
yaitu tetap cair pada suhu di bawah titik
kan
bekunya, bersifat plastis, kandungan
(dihaluskan).
Proses
pelumatan
dilakukan dua atau tiga tingkat, diawali
senyawa
dengan menggunakan mesin pelumat
warna putih- kekuningan dan mempunyai
tipe
bau khas coklat (Mulato et al., 2002).
silinder
kemudian
atau
dengan
kasar,
padat
tinggi,
Lemak
kakao
lanjut dengan silinder berputar sampai
produk
makanan
diperoleh pasta coklat dengan kehalusan
dengan pasta, gula dan bahan-bahan
tertentu. Selama proses pelumatan, suhu
lainnya.
pasta dikontrol sedemikian rupa se-
dipakai sebagai bahan baku industri
hingga proses sangrai lanjut fase cair
farmasi dan kosmetika.
berlangsung.
Setelah
banyak
relatif
pelumatan
tidak
diikuti
pemasta
lemak
Lemak
diolah
setelah
kakao
untuk
dicampur
juga
banyak
proses
pelumatan selesai, pasta yang terbentuk disimpan dalam wadah yang higienis.
Bubuk coklat Bubuk coklat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan
Lemak kakao
cara
bungkil (cocoa cake) hasil pengempaan.
Lemak kakao diperoleh dengan
Bungkil
mengepres
dihaluskan
partikel-partikel
biji
inti
biji
hasil
dengan
alat
pengempaan penghalus
kakao. Rendemen lemak yang diperoleh
(breaker). Untuk memperoleh ukuran
dari pengempaan sangat dipengaruhi
fraksi yang seragam, setelah peng-
suhu, inti biji, kadar air, ukuran partikel
halusan
inti biji, kadar protein inti biji, tekanan
kakao relatif sulit dihaluskan dibanding-
kempa dan waktu pengempaan. Lemak
kan biji-biji dari produk pertanian lainnya,
kakao akan relatif mudah dikempa pada
karena pengaruh kadar lemak. Lemak
◦
suhu antara 40–5 C, kadar air < 4% dan
42
dilakukan
pengayakan.
Biji
yang tersisa di dalam bubuk akan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
meleleh saat dihaluskan karena gesekan
Rendemen
dan menyebabkan komponen peralatan
Salah satu faktor yang sangat
penghalus tidak dapat bekerja secara
berpengaruh terhadap rendemen hasil
optimal. Jika suhu penghalusan di bawah
pasta, lemak dan bungkil coklat adalah
◦
34 C, fraksi gliserida di dalam lemak
spesifikasi dari biji kakao kering. Syarat
kakao menjadi tidak stabil dan me-
mutu dari proporsi hasil pengolahan 100
nyebabkan bubuk menggumpal kembali
kg bahan baku (biji kakao kering) dapat
membentuk bongkahan (lump). Untuk itu
dilihat pada Tabel 2.
selama
proses
penghalusan
penghalusan
harus
dikontrol
suhu agar
diperoleh bentuk bubuk yang stabil, baik warna maupun sifat-sifatnya.
Tabel 2. Proporsi Hasil Pasta, Lemak dan Bungkil coklat per 100 kg biji kakao.
Penyangraian
Susut berat % 7,00
Berat sisa kg 93,00
Pemisah kulit
13,00
80,90
Pemasta kasar
0,0
80,50
Pemasta halus
0,50
80,10
Pengempaan
0,50
Tahap
Rendemen ( %)
Pasta kg
Lemak kg
Bungkil kg
80,10
39,10
41,00
80,10
39,10
41,00
Sumber: Mulato et al. (2004)
Proporsi rendemen hasil olahan biji
KESIMPULAN
kakao menjadi produk setengah jadi
Teknologi ini perlu dikembangkan
yang diperoleh tidak selalu tetap dan
untuk mendapatkan produk sekunder
akan berubah seandainya ada per-
dari biji kakao berupa pasta, lemak dan
ubahan spesifikasi biji kakao, seperti
bubuk coklat karena produk ini dapat
kadar air, kadar lemak dan kadar kulit
dimanfaatkan sebagai bahan baku pada
biji kakao sebagai bahan baku produk
industri
(Mulato et al., 2004).
kosmetika. Tahapan proses pengolahan biji
kakao
makanan,
menjadi
farmasi
produk
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
dan
olahan
43
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
setengah jadi yang berasal dari 100 kg biji kakao kering diperoleh 80,10 kg pasta coklat, 39,10 kg lemak coklat dan 41
kg
bungkil
ketahuinya
coklat.
Dengan
di-
teknologi pengolahan
biji
kering menjadi produk olahan setengah jadi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah kakao dan sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani kakao.
DAFTAR PUSTAKA Misnawi. 2004. Pola Agroindustri Untuk Pengembangan Industri Kakao Skala Usaha Kecil/Menengah Di Indonesia. Prosiding Simposium Kakao. Jogjakarta, 4 – 5 Oktober 2004. Mulato, S., S. Widyotomo dan Handaka. 2002. Disain Teknologi Pengolahan Pasta, Lemak dan Bubuk Cokelat untuk Kelompok Tani. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Diakses melalui http://pustaka.bogor.net. 21 Juli 2008.
44
Mulato, S., S. Widyotomo, Misnawi, Sahali dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Sukrisno, W. dan Sri Mulato. 2004. Rekayasa Proses Dan Alat-Mesin Pengolahan Produk Hilir Kakao Untuk Skala Usaha Kecil Menengah. Prosiding Simposium Kakao. Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia. Jogjakarta 4-5 Oktober 2004. Widyotomo, S, Sri Mulato dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 26 (2): 2 halaman. Yusianto, T. Wahyudi dan Sulistyowati. 1998. Pengolahan dan Pengaruhnya Terhadap Citarasa Kakao. Makalah Disampaikan pada Acara Pelatihan Uji Citarasa Kakao Tanggal 27 – 29 Oktober 1998 di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) TATARAN KONSEPTUAL DAN IMPLEMENTASI AWAL DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2008 Entis Sutisna Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan program terobosan Departemen Pertanian yang dilatarbelakangi oleh masalah kemiskinan dimana sampai pada tahun 2007 masih terdapat 37,2 juta penduduk miskin yang sebagian besar berada di perdesaan dan bekerja sebagai petani. Sejalan dengan itu program ini secara umum bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan terutama bagi masyarakat petani di perdesaan. Implementasi program PUAP di Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 meliputi 323 desa/gapoktan dengan nilai dana PUAP sebesar Rp 32,3 Milyar, dialokasikan melalui dana APBN dan APBN-P. Untuk mengarahkan program ini agar berjalan sesuai dengan harapan maka Tim PUAP provinsi Sultra melakukan pendampingan yang dilakukan melalui apresiai gapoktan, pelatihan pengurus gapoktan, dan monitoring melalui pertemuan rutin dengan PMT (Penyelia Mitra Tani) setiap bulan sekali serta kunjungan ke Kabupaten. Implementasinya pendampingan tahun 2008 lebih menitik beratkan pada fase persiapan (mulai pembentukan TIM sampai pada proses dan sampainya dana di rekening Gapoktan). Proses pencairan dana PUAP untuk Sulawesi Tenggara baru dinyatakan selesai pada bulan Oktober 2008, sedang pencairannya sampai Desember 2008 sudah masuk di semua rekening Gapoktan PUAP. Kegiatan usaha Gapoktan PUAP Sulawesi Tenggara tahun 2008 sesuai yang tertuang dalam RUB (Rencana Usaha Bersama) meliputi tujuh jenis usaha yang dikelompokkan dalam usaha on farm dan off farm. Kegiatan On farm terdiri dari usaha budidaya tanaman pangan (30,10 %), hortikultura (9,33 %), peternakan (27,71 %), dan perkebunan (16,02 %). Sedangkan usaha off farm meliputi industri rumah tangga (2,98 %), pemasaran skala kecil/bakulan (8,13 %), dan usaha lainnya berbasis pertanian (5,63 %) dari total dana sebesar Rp 32,2 milyar. Untuk meningkatkan kerjasama Tim, baik di Provinsi maupun di Kabupaten maka telah dilakukan beberapa kali pertemuan. Hal ini menunjukkan bahwa Tim Pembina PUAP provinsi Sulawesi Tenggara telah melakukan koordinasi dan pendampingan, baik intern Tim Provinsi maupun dengan Tim Teknis Kabupaten. Rapat koordinasi dengan PMT bersifat rutin setiap akhir bulan yang dilaksanakan di sekretariat BPTP Sultra.
PENDAHULUAN
belakangi oleh adanya fakta kemiskinan
Pengembangan Usaha Agribisnis
yang masih besar. Pada tahun 2007
Perdesaan (PUAP) merupakan salah
masih tercatat penduduk miskin sebesar
satu Program Nasional Pemberdayaan
37,2 juta, sebagian besar berada di
Masyarakat
yang
pedesaan yang bekerja sebagai petani
diluncurkan oleh Departemen Pertanian,
(BPS, 2007). Program PUAP adalah
dan
kepada
pengentasan
dikelola
lapangan
(PNPM)
langsung
masyarakat langsung
Mandiri
diarahkan
petani
yang
kemiskinan,
kerja
di
penciptaan
perdesaan,
dan
oleh Gapoktan (Gabungan
keseimbangan pembangunan desa-kota
Kelompok Tani). Program ini dilatar-
(Deptan, 2008). Program ini menitik
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
45
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
beratkan pada penguatan kelembagaan
dirinya termasuk dana bantuan Rp 100
kelompok
pelatihan,
juta per gapoktan melalui wadah LKM
pendampingan terhadap Gapoktan, serta
yang harus dibentuk dan ditumbuh-
pemberian modal usaha sebesar Rp 100
kembangkan pada setiap gapoktan
Juta
tani
per
melalui
Gapoktan
melalui
BLM
(Bantuan Langsung Masyarakat).
Implementasi program PUAP di Sulawesi
Dalam mencapai tujuan utamanya
Tenggara
tahun
2008
10
kabupaten meliputi 323 desa, dengan
yaitu mengentaskan kemiskinan dan
rincian
menciptakan lapangan kerja, Program
Kolaka 34 desa, Kolaka Utara 10 desa,
PUAP
Konawe 35 desa, Konawe Utara 35
akan
penumbuhan
ditempuh usaha
melalui
agribisnis
di
sebagai
desa,
berikut:
Konawe
Selatan
Kabupaten
35
desa,
perdesaan dengan menggunakan modal
Bombana 35 desa, Muna 44 desa, Buton
awal Rp 100 Juta/Gapoktan sebagai
35 desa, Buton Utara 30 desa, dan
pengungkit.
Kabupaten Wakatobi 30 desa, dengan
usaha
Mekanisme
agri-bisnis
pelaksanaan
tersebut
ditempuh
total dana 32,3 milyar rupiah.
melalui usulan langsung dari pelaku
Tulisan
ini
bertujuan
untuk
usaha yang terhimpun dalam poktan
memberikan gambaran sekaligus mem-
(Kelompok
berikan
tani)
(Gabungan
dan
kelompok
Gapoktan
mengenai
Pengem-
melalui
bangan Usaha Agribisnis Perdesaan
Usaha
baik pada tataran konseptual maupun
yang dihimpun dalam RUK
implementasi awal (Tahun 2008) di
(Rencana Usaha Kelompok), dan secara
Sulawesi Tenggara. Semoga bermanfaat
keseluruhan di tingkat desa dihimpun
bagi pembaca, khususnya yang memiliki
dalam RUB ( Rencana Usaha Bersama)
atensi
(Deptan, 2008)
perdesaan
penyusunan Anggota)
Strategi
RUA
tani)
laporan
(Rencana
dalam
pengembangan
terhadap
pembangunan
dan
pemberdayaan
masyarakat petani.
usaha agribisnis di perdesaan tersebut akan ditempuh melalui penumbuhan LKM (Lembaga Keuangan Mikro) di setiap
gapoktan.
Artinya
seluruh
gapoktan mempunya kewajiban untuk mengembangkan modal yang ada pada
ORGANISASI DAN HUBUNGAN TATA KERJA Secara
konseptual
Pengem-
bangan Usaha Agribisnis Perdesaan memiliki organiasi yang sangat kuat dan kompleks (melibatkan berbagai pihak),
46
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
mulai dari tingkat pusat sampai di desa.
dari tokoh masyarakat dan penyuluh
Menurut Permentan No.16/ Permentan/
pendamping.
OT.140/2/2008 tentang Pedoman Umum
Pada
tingkat
dibentuk
TIM PUAP pusat yang diketuai oleh
Kabupaten (TIM Teknis) yang dikukuh-
Kepala Badan Sumberdaya Manusia
kan melalui Surat Keputusan Bupati
Pertanian (SDMP) dengan sekretarisnya
masing-masing. Dalam SK Tim Pelak-
Kepala Pusat Penganggaran Deptan
sana
dan beranggotakan Eselon I lingkup
Kepala Dinas pertanian sebagai Ketua
Deptan, termasuk Badan Litbang Per-
Tim,
tanian dan Balai Besar Pengkajian dan
sekretaris, Kecuali di Kabupaten Konawe
Pengembangan Teknologi Per-tanian. Di
Utara,
tingkat Provinsi ada Tim Pembina PUAP
sebagai Ketua TIM, dan sekretarisnya
yang diketuai oleh salah satu Kepala
adalah Kepala BP4K Kabupaten Konawe
Dinas Provinsi, dengan Sekretarisnya
Utara.
Balai
Pertanian
Pengkajian
(BPTP)
dan
PUAP
Pelaksana
telah
PUAP bahwa pada tingkat Pusat ada
Kepala
Tim
kabupaten,
Kabupaten,
dan
Kepala
ditetapkan
PUAP
dikukuhkan
BP4K
Kepala
sebagai
Bappeda
Teknologi
Dalam pelaksanaan kegiatan, TIM
anggotanya
Pelaksana Puap Kabupaten dibantu oleh
meliputi SKPD terkait di tingkat provinsi
Penyelia
dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur
berkedudukan
Sulawesi Tenggara Nomor: 144 tahun
termasuk sebagai anggota Tim PUAP
2008, tanggal 19 Pebruari 2008.
Kabupaten.
Tata
organisasi
PUAP
Di tingkat Kabupaten ada TIM Teknis PUAP kabupaten yang diketuai oleh salah satu kepala dinas tingkat
Mitra
pengendalian
Tani di
dan
(PMT)
yang
kabupaten
dan
hubungan dalam
kerja
kegiatan
pembinaan
dapat
dilihat pada Gambar 1.
kabupaten dengan sekretarisnya kepala lembaga
penyuluhan
yang
ada
di
kabupaten (BP4K). Di tingkat kecamatan ada Tim PUAP kecamatan yang diketua oleh Camat dengan sekretarisnya kepala BPP atau KPK. Demikian juga di tingkat desa ada komite pengarah yang terdiri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
47
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN PUAP
Gambar 1. Skema Pembinaan dan Pengendalian PUAP. Sumber : Panduan UMUM PUAP (Deptan, 2008).
Gambar 1 menunjukkan bahwa
gapoktan.
Selanjutnya dalam melak-
organisasi PUAP mulai pada tataran
sanakan tugasnya gapoktan didampingi
pusat sampai kecamatan/desa. Pem-
oleh penyuluh pendamping dan tim
binaan
dilakukan
teknis kecamatan/desa, membuat pela-
secara bertahap mulai Tim PUAP pusat
poran kepada Tim Teknis kabupaten
melakukan pembinaan/pengendalian ter-
melalui PMT. Berikutnya, laporan
hadap Tim Pembina PUAP Provinsi,
Tim Teknis Kabupaten diberikan ke Tim
kemudian Tim Pembina PUAP provinsi
Pembina Propinsi dan Kepada Tim
melakukan pembinaan/pengendalian ter
PUAP Pusat. Dalam proses yang lebih
hadap
dan
cepat PMT mengkoordinir pelaporan
seterusnya Tim Teknis PUAP kabupaten
Gapoktan, kemudian dilaporkan ke TIM
ke tim teknis Kecamatan sampai pada
PUAP pusat melalui e-form, dan hard
48
dan
Tim
pengendalian
PUAP
Kabupaten,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
dari
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
copynya disampaikan oleh PMT ke BPTP Sulawesi Tenggara.
Pada koordinasi
Apa bila terjadi permasalahan pada
persiapan dipimpin
awal
rapat
langsung
oleh
Kepala Bappeda Sulawesi Tenggara
tingkat Gapoktan, maka penyelesaian-
membahas
persiapan
dan
kriteria
nya merupakan tanggung jawab Tim
penentuan desa PUAP, yang ditindak-
Teknis Kabupaten, dan apabila terjadi
lanjuti dengan pengusulan calon desa
pada tingkat Kabupaten maka meru-
PUAP. Selanjutnya pemantapan per-
pakan tanggung jawab Tim Pembina
siapan pelaksanaan dan pemecahan
PUAP Provinsi, dan seterusnya.
permasalahan yang muncul baik pada level provinsi maupun level kabupaten.
KINERJA KELEMBAGAAN PUAP TAHUN 2008 1. Koordinasi dan Pendampingan
untuk menangani masalah yang muncul, juga untuk kelancaran komunikasi dan informasi, sehingga tercapai kesamaan dan
gerak
langkah
dalam
pelaksanaan program.
dalam bentuk pertemuan antara Tim Pembina PUAP Provinsi dengan Tim Teknis Kabupaten (rapat koordinasi), maupun dalam bentuk kunjungan dalam pendampingan.
Pelaksanaan
koordinasi secara rinci dituangkan pada Tabel 1.
yang ditujukan langsung kepada para Bupati di masing-masing kabupaten. Selain Koordinasi seperti di atas, dilakukan
pula
pendampingan
di
beberapa kabupaten yang dinilai lambat persiapannya. Kegiatan tersebut dila-
Kegiatan koordinasi dilakukan baik
rangka
persiapan biasa juga dilakukan melalui persuratan dari Bapak Gubernur Sultra
Tujuan utama koordinasi selain
persepsi
Dalam percepatan-percepatan langkah
kukan melalui penugasan beberapa Tim Provinsi untuk berkunjung di Kabupaten, sekaligus
memberikan
klarifikasi
terhadap kegiatan-kegiatan yang belum sinkron
dan
memberikan
masukan
kepada Tim Teknis Kabupaten dalam rangka menangani permasalahan pelaksanaan program PUAP (pada tahap persiapan).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
49
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Pelaksanaan Koordinasi dan Pendampingan oleh Tim Pembina PUAP Provinsi Sulawesi Tenggara, sampai September 2008. No
Koordinasi/pendampingan
Prekuensi
1.
Rapat koordinasi dengan TIM PUAP Provinsu Sultra
5 kali
2.
2 kali
3.
Rapat Koordinasi dengan TIM Kabupaten Rapat koordinasi dengan PMT
4.
Pendampingan dan Monitoring
3X 1X
2. Pelatihan, Sosialisasi dan Apresiasi Beberapa
anggota
Tim
PUAP
yang
diselenggarakan
oleh
Bertempat di Kantor Bapeda dan Kantor Distan Prov. Sultra Bertempat di Kantor Dinas Pertanian Dilaksanakan di BPTP Setiap akhir Distan. bulan Prov. Sultra
5 kali
kedua
3 kabupaten 7 kabupaten dilak-sanaakan
merupakan pelatihan yang kedua bagi PMT.
tatacara
pelaksanaan
penganggaran,
program,
sistem
pelaporan,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan.
bulan
Pelatihan elektronik form (e-form)
Departemen Pertanian, baik menyangkut pelaksanaan
pada
Agustus 2008.
Provinsi telah dikirim mengikuti workshop PUAP
Keterangan
Pelatihan
ini
ditujukan
pelaporan
untuk
elektronik
(e-mail) yang dapat langsung diakses oleh
Pusat
data
dan
Informasi
Departemen Pertanian RI. Pelaksanaan a. Pelatihan PMT Pelatihan
pelatihan dilakukan dalam dua tahap awal
bagi
PMT
dilaksanakan di Balai Besar Pelatihan Petugas
Pertanian
Batangkaluku
Sulawesi Selatan, selama satu minggu. Materi
pelatihan
model-model
berkaitan
pelaporan
pendampingan
dan
dalam
dengan strategi upaya
mengembangkan usaha agribisnis di perdesaan. Pelatihan ini dilaksanakan dalam
dua
tahap,
tahap
masing masing selama satu hari. Tahap pertama Pertanian
dilaksanakan
di
BB
Diklat
Batangkaluku-Sulsel
pada
bulan Agustus 2008, sedangkan tahap kedua dilaksanakan di BPTP Sulawesi Tenggara, pada bulan Setember 2008. Instruktur dalam pelatihan ini sebanyak 2 orang
berasal
dari
PUSDATIN
Departemen Pertanian.
pertama
dilaksanakan bulan Maret dan tahap
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
50
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
b. Sosialisasi
ini sangat bermanfaat dalam pening-
Kegiatan sosialisasi dilakukan pada
katan
pemahaman
peserta
(ketua
awal persiapan pelaksanaan program,
gapoktan dan penyuluh pendamping),
tujuan
terutama dalam perbaikan dan per-
utamanya
program
untuk
PUAP,
memahami
sehingga
semua
pelaksana program memiliki pemahaman
cepatan
penyelesaian
administrasi
(persyaratan) pencairan dana gapoktan.
dan gerak langkah yang sama dalam melaksanakan
program
tersebut.
3.
Pelaksanaan Dana PUAP
Proses
Pencairan
Sosialisasi ini dilaksanaan di tingkat Pemberdayaan masyarakat petani
provinsi sampai di kabupaten calon penerima dana PUAP. tingkat
Provinsi
Kegiatan di
dan
Kabupaten
dilakukan dalam kurung waktu April-
diimplementasikan dalam dua kegiatan utama, yaitu pelatihan dan pemberian bantuan modal bagi Gapoktan, yaitu berupa dana BLM sebesar Rp. 100 juta
Agustus 2008.
yang akan ditransfer langsung dari PPK Deptan ke rekening gapoktan. Per-
c. Apresiasi Gapoktan
telah
Kegiatan
apresiasi
gapoktan
dilakukan
oleh
Pembina
Provinsi
yang
Tim
dimotori
oleh
Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sultra dengan menggunakan dana dari Balai
Besar
Pengembangan
Pengkajian Teknologi
dan
Pertanian,
melalui SKPA (Surat Kuasa Pengguna Anggaran). Pelaksanaannya dilakukan mulai tanggal 9 Agustus sampai dengan 24
September
2008,
di
seluruh
kabupaten calon penerima BLM-PUAP (10 Kabupaten), dengan peserta yang
hasil
untuk pencairan dana PUAP adalah : 1) SK
Bupati
Gapoktan
tentang
yang
penunjukkan
mengacu
pada
SK
mentan No. 691 tentang penunjukkan desa-desa PUAP, 2) SK Bupati tentang Penyuluh Usaha
pendamping, Bersama
Perjanjian
3)
(RUB),
Kerjasama
Rencana 4)
Surat
antara
PPK
Deptan dengan Ketua Gapoktan, 5) Surat Perintah Kerja dari PPK Deptan kepada Ketua Gapoktan, 6) Berita acara serah terima Uang, 7) Kuitansi penerimaan uang, 8) Pakta Integritas, 9)
hadir sebanyak 630 orang. Berdasarkan
syaratan administrasi yang digunakan
wawancara
Rekening Gapoktan.
dengan peserta, pelaksanaan apresiasi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
51
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
4. RUB Gapoktan Sesuai Pengusulan RUB (Rencana Usaha Bersama) Gapoktan PUAP merupakan persyaratan utama dalam proses pencairan dana. Dalam RUB tercermin jenis usaha yang akan dikerjakan dan besaran dana yang akan digunakan dalam usaha tersebut. Perkembangannya mulai dari proses penyusunan, pengiriman ke Tim Teknis Kabupaten, Perifikasi awal oleh PMT, disahkan dan ditandatangani oleh ketua tim
teknis
kabupaten,
kemudian
pengiriman dari Kabupaten ke tim PUAP
Pusat. Proses ini berjalan sekitar 5 bulan,
mulai
bulan
Juli
sampai
Nopember 2008. Di dalam RUB Gapoktan PUAP Propinsi Sulawesi Tenggara
terdapat
tujuh jenis usaha yang dikelompokkan dalam usaha on farm dan off farm. Kegiatan on farm terdiri dari usaha budidaya tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan, sedangkan usaha
off
farm
meliputi
industri
rumahtangga, pemasaran skala kecil (bakulan), dan usaha lainnya berbasis pertanian.
Tabel 4. Distribusi penggunaan dana berdasarkan RUB Gapoktan PUAP dan persentse di Sulawesi Tenggara Tahun 2008. No
Jenis Usaha
Jumlah dana (Rp)
1.
Budidaya tanaman pangan
9.782.449.000
30,10
2.
Budidaya Hortikultura
3.024.469.500
9,33
3.
Peternakan
8.977.142.000
27,71
4.
Budidaya Perkebunan
5.189.933.750
16,02
5.
Industri Rumah tangga
964.841.060
2,98
6.
Pemasaran Skala Kecil
2.633.348.240
8,13
7.
Usaha lain berbasis Pertanian
1.827.816.450
5,63
32.200.000.000
100,00
Jumlah
Persentase (%)
Sumber : BPTP Sultra, 2008.
Tabel 4 menunjukkan bahwa usaha on-
27,71%,
ketiga
farm
sebesar
16,02%
dibidang
tanaman
pangan
adalah dan
perkebunan yang
terkecil
menduduki porsi terbesar yaitu 30,10%,
adalah usaha industri rumah tangga,
kedua
yaitu sebesar 2,98%.
52
adalah
peternakan
sebesar
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
PERMASLAHAN DALAM PENDAMPINGAN
b. Koordinasi Pelaporan Dalam
a. Kinerja Tim
Pedum
arus
terlihat secara ekplisiit
Kinerja Tim PUAP baik di tingkat
pelaporan
mulai
pelaporan
adanya jenjang
dari
tingkat
provinsi maupun di tingkat kabupaten
kecamatan,
belum optimal. Di tingkat provinsi belum
tingkat pusat. Dalam pelaksanaan tahun
semua anggota tim bekerjasama, dan
2008 sering informasi dari kabupaten
belum
memahami
langsung ke pusat (tanpa tembusan ke
ini
terjadi
Tim Provinsi), demikian juga informasi
karena sering adanya pergantian pejabat
dari pusat banyak yang langsung ke
SKPD yang terkait dengan keanggotaan
kabupaten (tanpa melalui Tim Provinsi),
pada
semua
pelaksanaan
tim
oordinasi
anggota
PUAP.
PUAP, belum
Hal
kabupaten,
desa/
provinsi
dan
dan
pertemuan/
sementara itu permasalahan yang ada di
intensif.
Sedangkan
Kabupaten,
diminta
penyelesaiannya
pada tingkat kabupaten hubungan antara
oleh tim Provinsi. Akibatnya tim provinsi
ketua dan sekretaris tim masih ada yang
sering
kurang solid.
penyelesaian masalah.
mengalami
kesulitan
dalam
Dana Pendampingan Dana
pendampingan
tingkat
provinsi
maupun
baik
pada
kabupaten
KESIMPULAN Program PUAP
secara umum ber-
belum semuanya lancar. Hal ini kurang
tujuan untuk mempercepat pengen-
menunjang/menjadi kendala bagi kelan-
tasan
caran kinerja tim baik di provinsi maupun
masyarakat
di
Implementasinya
kabupaten.
Penyebabnya
adalah
kemiskinan petani
terutama
bagi
di
perdesaan.
di
Sulawesi
pencairan dana pendampingan tersebut
Tenggara pada tahun 2008 meliputi
terlambat
323 desa/Gapoktan dengan nilai dana
Selain
itu
(sekitar ada
bulan
November).
pergantian
posisi
PUAP
sebesar
Rp
32,3
milyar,
kepengurusan tim. Pada awal kegiatan
dialokasikan melalui dana APBN dan
PUAP koordinasi kegiatan ditangani oleh
APBN-P.
Bappeda (selaku ketua Tim), setelah lahirnya pedum secara berangsur-angsur beralih ke Kepala Dinas sebagai ketua TIM.
Pendampingan
program
PUAP
di
Sulawesi Tenggara dilakukan melalui apresiai gapoktan, pelatihan pengurus gapoktan,
dan
monitoring
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
melalui
53
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
pertemuan rutin dengan PMT setiap
Pemerintah
bulan
provinsi
sekali
Kabupaten.
serta
kunjungan
Implementasi
ke
daerah
maupun
baik
tingkat
kabupaten
perlu
pendam-
menganggarkan biaya pendampingan
pingan PUAP tahun 2008 lebih menitik
secara lebih awal yang diperuntukkan
beratkan pada fase persiapan (mulai
bagi pertemuan berkala (setiap bulan),
pemben-ukan TIM sampai pada proses
pelatihan gapoktan, monitoring dan
dan
koordinasi ke pusat dan daerah.
sampainya
dana
di
rekening
gapoktan).
Mekanisme komunikasi dan pelaporan
Kegiatan
usaha
gapoktan
PUAP
perlu
ditertibkan
sesuai
Pedoman
Sulawesi Tenggara tahun 2008 sesuai
umum. Tim PUAP Kabupaten mem-
yang tertuang dalam RUB meliputi
berikan informasi dan pelaporan ke
tujuh jenis usaha yang dikelompokkan
pusat dengan tembusan ke tim PUAP
dalam usaha on farm dan off farm.
provinsi, sebaliknya tim PUAP pusat
Kegiatan on farm terdiri dari usaha
memberikan informasi ke kabupaten
budidaya tanaman pangan (30,10 %),
dengan tembusan/melalui Tim provinsi
hortikultura
(9,33
%),
peternakan
(27,71 %), dan perkebunan (16,02 %). Sedangkan usaha off farm meliputi industri
rumahtangga
(2,98
dan
usaha
lainnya
BPS.
2007. Badan Pusat Nasional. Jakarta.
BPTP
Sultra. 2008. Laporan Akhir Pendampingan PUAP di Sultra tahun 2008.
%),
pemasaran skala kecil/bakulan (8,13 %),
DAFTAR PUSTAKA
berbasis
Staistik
pertanian (5,63%) dari total dana sebesar Rp 32,2 Milyar.
Deptan. 2008. Panduan Umum PUAP 2008. Departemen Pertanian. Jakarta.
SARAN-SARAN Untuk meningkatkan kerjasama Tim baik di provinsi maupun di kabupaten maka perlu meningkatkan intensitas pertemuan
54
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN KAKAO DAN CARA PENGENDALIANNYA Agussalim Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) atau disebut juga kakao mot (Conopomorpha) dan penyakit busuk buah (Phythopthora palmivora) merupakan hama dan penyakit utama kakao yang menghambat pencapain sasaran produksi dan kualitas hasil kakao. Akibat hama PBK produksi menurun hingga 80%. Serangan hama dapat juga menurunkan kualitas hasil dan meningkatkan biaya panen sehingga mempengaruhi harga produk. Sedangkan penyakit busuk buah (P. palmivora) dapat menurunkan produksi sebesar 52,99%. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan pedoman untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao. Tulisan ini merupakan rangkuman dari hasil-hasil penelitian. Hama dan penyakit penting pada tanaman kakao yang harus diwaspadai adalah antara lain hama penggerek buah kakao, kepik pengisap buah kakao, dan penggerek batang/cabang. Cara pengendalian adalah sanitasi, Pemangkasan, membenam kulit buah, memanen satu minggu sekali, dan hayati/biologi (Pasilomesis fumosoroseus, Beauveria bassiana, atau agen hayati lain) dan kimia dengan insektisida. Penyakit pada tanaman kakao adalah antara lain penyakit busuk buah, VSD, kanker batamg, antraknose, busuk akar, jamur dan jamur upas. Cara pengendalian adalah sanitasi kebun, mekanis (mengumpulkan dan membakar buah yang terserang) dan kultur teknis (Pengaturan pohon pelindung dan pemangkasan tanaman kakao), Penanaman klon resisten atau toleran, hayati/biologi (Trichoderma sp. atau lainnya), dan kimiawi dengan fungisida yang mengandung bahan aktif belerang atau tembaga.
PENDAHULUAN
produktivitas baru mecapai 1,003 t/ha,
Salah satu komoditas pertanian
sedang
potensi
genetiknya
dapat
yang merupakan komoditas unggulan
mencapai 2–4 ton /ha/tahun (Puslitkoka,
Sulawesi
2002).
Tenggara
adalah
tanaman
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
kakao. Secara nasional tanaman ini
sistem usahatani kakao di Sulawesi
menduduki rangking ke 2 dengan nilai
Tenggara masih banyak masalahnya.
LQ = 16,49. Sekitar 80% pertanamannya
Hama Penggerek Buah Kakao
berada pada agroekologi lahan kering
(PBK) atau disebut juga kakao mot
beriklim basah. Luas pertanaman kakao
(Conopomorpha) dan penyakit busuk
di Sultra sudah mencapai 136.344,6 ha,
buah
yang
merupakan hama dan penyakit utama
sudah
99.171,5
ha
menghasilkan dengan
total
99.471,4 ton (Disbunhorti,
seluas produksi
2003). Jika
(Phythopthora
kakao yang
menghambat
sasaran produksi
pencapain
dan kualitas hasil
melihat total produksi tanaman produktif
kakao.
dibandingkan
menurun hingga 80% dan serangan
dengan
luasan,
maka
Akibat
palmivora)
hama
PBK
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
produksi
55
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
hama dapat juga menurunkan kualitas
merupakan rangkuman dari hasil-hasil
hasil dan meningkatkan biaya panen
penelitian yang telah dilakukan oleh
sehingga mempengaruhi harga produk
lembaga penelitian.
(Wardojo, 1980 dan Atmawinata, 1993). Sedangkan
penyakit
(Phythopthora
busuk
palmivora)
buah dapat
menurunkan produksi sebesar 52,99% (Sri-Sukamto, 2003). Pengendalian hama PBK dengan
HAMA DAN PENYAKIT SERTA CARA PENGENDALIANNYA 1. Hama Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella, Hama PBK sangat
merugikan.
Paecilomyces fumosoroseus isolat Pfr-
Serangannya dapat merusak hampir
08 dengan konsentrasi formulasi 5 ml/10
semua hasil. Gejala serangan hama PBK
l air sebanyak lima kali dengan interval
dapa dilihat pada Gambar 1.
10 hari dapat menekan serangan PBK sebesar
52,8%
(Sulistyowati
et
al.,
2002). Penggunaan seks feromon juga dapat mengendalikan populasi hama PBK (Sulistyowati et al., 1995). Penggunaan
Apergillus
ninger
dan pupuk Urea sangat efektif dalam pengendalian penyakit busuk buah (P.
Gambar 1. Gejala serangan hama PBK.
palmivora). A. ninger dapat menekan
Penggerek Buah Kakao dapat
pertumbuhan P. palmivora antara 84,78-
menyerang buah sekecil 3 cm, tetapi
88,79%
umumnya
(Sri-Sukamto
et
al.,
1997).
lebih
menyukai
yang
Sedangkan penyemprotan Urea dengan
berukuran sekitar 8 cm. Ulatnya merusak
konsentrasi 20 g/l air dapat menekan
dengan cara menggerek buah, memakan
pertumbuhan P. palmivora sampai 100%
kulit buah, daging buah dan saluran ke
atau lebih efektif dari fungisida Cu (Sri-
biji. Buah yang terserang akan lebih awal
Sukamto, dan Pujiastuti, 2004).
menjadi
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan dalikan
pedoman
hama
dan
untuk
mengen-
penyakit
yang
berwarna
dan
jika
digoyang tidak berbunyi. Buah yang terseran biasanya lebih berat daripada yang sehat. Biji-bijinya saling melekat,
menyerang tanaman kakao. Pedoman ini
56
kuning,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
berwarna kehitaman serta ukuran biji
teknologi lainnya. Intensitas serangan
lebih kecil (Wardojo, 1998).
PBK hanya 6,96%, selama satu tahun
a. Daur hidup
dengan
kehilangan
hasil
106,49
Telur berwarna jingga, diletakkan
kg/ha/thn sehingga produktivitas yang
satu per satu pada permukaan kulit
dicapai 1,43 t/ha (Agussalim, et al.,
buah. Ulat berwarna putih kekuningan
2006).
atau hijau muda, dengan panjang sekitar 11 mm. Setelah ulat keluar dari dalam buah
dia
berkepompong
pada
2. Hama Kepik pengisap buah kakao Helopeltis spp.,
permukaan buah, daun, serasah, karung atau
keranjang
tempat
buah.
Kepompong berwarna putih. Ngengat
Kepik Helopeltis spp. termasuk hama penting yang menyerang buah kakao dan pucuk/ranting muda.
berukuran panjang 7 mm, aktif pada malam
hari,
yaitu
sejak
matahari
terbenam sampai dengan pukul 20.30. Pada siang hari mereka berlindung di tempat yang teduh. Seekor ngengat betina mampu bertelur 50-100 butir. Gambar 2. Gejala serangan kepik pengisap buah kakao.
b. Pengendalian Hama dengan
ini
dapat
sanitasi,
dikendalikan
Pemangkasan,
pembenaman kulit buah, memanen satu minggu dengan
sekali,
kondomisasi,
cara
serta
hayati/biologi
(Wignyosoemarto, 1981 dan Success Project Sulawesi, 2000). Hasil penelitian di Atula Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka,
Sulawesi
Tenggara
menunjukkan bahwa paket teknologi Pemangkasan + sanitasi + Paecilomyces fumosoroseus lebih baik daripada paket
Gejala
serangan
pada
buah
dapat dilihat pada Gambar 2. Serangan pada buah tua tidak terlalu merugikan, yang sangat merugikan adalah apabila serangan terjadi pada buah muda. Selain kakao, hama ini juga memakan banyak tanaman lain, diantaranya: teh, jambu biji,
jambu
mangga,
mete,
dadap,
lamtoro, ubi
apokat,
jalar
(Pusat
Penelitian Perkebunan, 1994). Buah
muda
yang
terserang
mengering lalu rontok, tetapi jika tumbuh
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
57
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
terus, permukaan kulit buah retak dan terjadi
perubahan
bentuk.
Serangan
3. Hama Penggerek batang/cabang Zeuzera coffeae Gejala
pada buah tua, tampak penuh bercakbercak
cekung
berwarna
coklat
kehitaman, kulitnya mengeras dan retak. Serangan
pada
pucuk
atau
serangan
hama
penggerek batang kaao dapat dilihat pada Gambar 3.
ranting
menyebabkan pucuk layu dan mati, ranting mengering dan meranggas.
a. Daur hidup Telur Helopeltis spp., berwarna putih berbentuk lonjong, diletakkan pada tangkai buah, jaringan kulit buah, tangkai
Gambar 3. Gejala serangan hama penggerek Batang/ cabang kakao.
Nimfa
Ulat hama ini merusak bagian
mempunyai 5 instar. Serangga dewasa
batang/cabang dengan cara menggerek
mampu bertelur hingga 200 butir, waktu
empelur
bertelurnya pagi dan sore. Kehidupannya
Selanjutnya gerekan membelok ke arah
juga terpengaruh cahaya, sehingga bila
atas. Hama ini menyerang tanaman
terlalu panas, nimfa muda akan pergi ke
muda. Pada
pupus dan serangga dewasanya ke sela-
baru digerek sering terdapat campuran
sela daun yang berada di sebelah dalam.
kotoran dengan serpihan jaringan. Akibat
daun
muda,
atau
ranting.
(xylem)
batang/cabang.
permukaan lubang yang
gerekan ulat, bagian tanaman di atas lubang gerekan akan merana, layu,
b. Pengendalain Hama
Helopeltis
spp.,
dapat
kering dan mati.
dikendalikan dengan pemangkasan dan cara hayati. Di Sulawesi Tenggara hama
a. Daur hidup Telur
ini belum menjadi hama utama tanaman kakao.
hama
Zeuzera
coffeae
berwarna kuning kemerahan / kuning ungu dan akan berubah menjadi kuning kehitaman, menjelang menetas. Telur diletakkan di celah kulit kayu.
Ulat
berwarna merah cerah sampai ungu, sawo
58
matang,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
panjangnya
3-5
cm.
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Kepompong berada/terletak dalam liang
gugur sehingga terdapat ranting tanpa
gerekan. Sayap depan ngengat berbintik
daun (ompong). Bila permukaan bekas
hitam
dengan
pandang.
dasar
Seekor
putih
tembus
menempelnya daun diiris tipis, akan
serangga
dewasa
terlihat
gejala
bintik
3
kecoklatan
betina dapat meletakkan telur 340-970
(Gambar 3). Permukaan kulit
ranting
butir.
kasar dan belang, bila diiris memanjang tampak jaringan pembuluh kayu yang
b. Pengendalian Cara
rusak berupa garis-garis kecil (streak)
pengendalian
meliputi
berwarna kecoklatan.
lubang gerekan dibersihkan dan ulat yang
ditemukan
dimusnahkan.
Cara
mekanis yang lain adalah memotong
a. Penyebaran Penyebaran
penyakit
melalui
batang/ cabang terserang 10 cm di
spora yang terbawa angin dan bahan
bawah
vegetatif
lubang
batang/cabang,
gerekan
ke
kemudian
arah
tanaman.
Perkembangan
ulatnya
penyakit dipengaruhi oleh kelembaban.
hayati
Embun dan cuaca basah membantu
menggunakan Beauveria bassiana, atau
perkecambahan spora. Pelepasan dan
agen hayati lain (Puslit Koka, 2006).
penyebaran spora sangat dipengaruhi
dimusnahkan/dibakar.
Cara
oleh cahaya gelap (Puslit Koka, 2006). 4. Penyakit Vascular streak dieback (VSD) Oncobasidium theobromae,
b. Pengendalian Pengendalian
penyakit
dengan
memotong ranting/cabang terserang sampai 30 cm pada bagian yang masih
sehat,
kemudian
tanaman
dipupuk NPK 1,5 kali dosis anjuran. Gambar 4. Gejala serangan VSD.
Pemangkasan bentuk yang sekaligus
Penyakit VSD disebabkan oleh O.
theobromae,
Gejala
tanaman
terserang, daun-daun menguning lebih awal
dari
waktu
yang
sebenarnya
dengan bercak berwarna hijau, dan
mengurangi
kelembaban
dan
memberikan sinar matahari yang cukup. Pemangkasan dilakukan pada saat selesai panen sebelum muncul flush.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
59
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Parit
drainase
dibuat
untuk
menghindari genangan air dalam
a. Penyebaran Penyebaran penyakit ini dibantu oleh keadaan lingkungan yang lembab
kebun pada musim hujan. tidak
terutama pada musim hujan. Buah yang
menggunakan bahan tanaman kakao
membusuk pada pohon juga mendorong
dari kebun yang terserang VSD, dan
terjadinya infeksi pada buah lain dan
menanam klon kakao yang tahan
menjalar
atau toleran terhadap VSD.
Patogen ini disebarkan oleh angin dan
Untuk
pencegahan,
kebagian
batang/cabang.
air hujan melalui spora. Pada saat tidak 5. Penyakit Busuk buah Phytophthora palmivora, Famili Pythiaceae, Ordo Pythiales
ada buah, jamur dapat bertahan di dalam tanah. Penyakit ini dengan
Penyakit jamur
P.
ini
disebabkan
palmivora
yang
oleh dapat
cepat
mempunyai
akan berkembang
pada
curah
daerah hujan
yang tinggi,
kelembaban udara dan tanah yang tinggi
menyerang buah muda sampai masak.
terutama
Buah yang terserang nampak bercak
dengan tajuk rapat (Puslit koka, 2006).
bercak
coklat
kehitaman.
pada
pertanaman
kakao
Serangan b. Pengendalian Pengendalian dilakukan
dengan
penyakit sanitasi
ini kebun,
mekanis (mengumpulkan dan membakar buah yang terserang), dan kultur teknis. Gambar 5. Gejala serangan busuk buah
Pengaturan
pohon
pelindung
dan
pemangkasan tanaman kakao merupabiasanya dimulai dari pangkal, tengah
kan hal yang penting dilakukan terutama
atau ujung buah (Gambar 5).
pada musim hujan. Penanaman klon
Apabila keadaan kebun lembab, maka bercak tersebut akan meluas dengan cepat
ke seluruh permukaan
resisten atau toleran merupakan cara yang wajib diperhatikan. Hasil
Penelitian
di
Atula
buah, sehingga buah menjadi busuk,
Kecamatan Ladogi dan Lambandia Kec.
kehitaman dan apabila ditekan dengan
Lambandia Kabupaten Kolaka, Sulawesi
jari terasa lembek dan basah.
Tenggara, menunjukkan bahwa paket
60
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
teknologi
pemangkasan+sanitasi
Tricoderma daripada
harzianum paket
lebih
teknologi
+
bagian tersebut membusuk dan basah
baik
serta mengeluarkan cairan berwarna
lainnya.
kemerahan.
Jika
lapisan
kulit
luar
Persentase infeksi penyakit busuk buah
dibersihkan, maka lapisan di bawahnya
hanya 10,17%. Sedangkan di Lambandia
tampak membusuk dan berwarna merah
kombinasi pemangkasan + sanitasi +
anggur sampai kecoklatan (Puslit Koka,
penyemprotan
2006).
fugisida
mengandung
belerang mampu ditekan sampai 10%
(Agussalim
et. al.,
5-
2006 dan
a. Penyebaran
Agussalim, et al., 2007).
Penyebaran batang
6. Penyakit Kanker batang Phytophthora palmivora, Famili Pythiaceae, Ordo Pythiales
sama
penyakit
dengan
kanker
penyebaran
penyakit busuk buah. Penyakit ini dapat terjadi karena patogen yang menginfeksi buah menjalar melalui tangkai buah atau bantalan
bunga
dan
mencapai
batang/cabang. Penyakit ini berkembang pada kebun kakao yang mempunyai kelembaban dan curah hujan tinggi atau sering tergenang air. b. Pengendalian Pengendalian
penyakit
dapat
dilakukan dengan mengupas kulit batang Gambar 6. Gejala kanker batang.
Penyakit
ini
disebabkan
yang membusuk sampai batas kulit yang oleh
jamur yang sama dengan penyebab penyakit busuk buah.
Gejala kanker
batang ditunjukkan Gambar 6. Gejala serangan diawali dengan adanya bagian batang/cabang menggembung, berwarna lebih
gelap/kehitam-hitaman
permukaan
kulit
retak.
dan
sehat. Luka kupasan dioles dengan fungisida tertentu. Pemangkasan pohon pelindung dan tanaman kakao dilakukan agar di dalam kebun tidak lembab. Apabila serangan pada kulit batang sudah hampir melingkar, maka tanaman perlu dipotong atau dibongkar.
Selanjutnya
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
61
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
7. Penyakit Antraknose Colletotrichum gloeosporioides, Famili Melanconiacea, Ordo Melanconiales
dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi (Puslit Koka, 2006). b. Pengendalian Pengendalian
penyakit
dilakukan
dengan dengan memangkas cabang dan
ranting
mengambil
yang
dan
terinfeksi,
mengumpulkan
buah-buah kemudian membenamkan
Gambar 7. Gejala serangan antraknose.
atau membakarnya. Penyakit antraknose disebabkan
Melakukan pemupukan (N,P,K) satu
oleh jamur. C. gloeosporioides yang
setengah kali dosis anjuran.
menyerang buah, pucuk/daun muda dan
Pengaturan naungan sehingga tajuk
ranting muda. Gejala serangan dapat
pohon kakao tidak terkena sinar
dilihat pada Gambar 7. Pada daun muda
matahari langsung dan
nampak
bintik-bintik
coklat
drainase tanah untuk menghindari
beraturan
dan
menyebabkan
dapat
tidak
perbaikan
genangan air di dalam kebun.
gugur daun. Ranting gundul berbentuk seperti sapu dan mati. Pada buah muda nampak
bintik-bintik
berkembang
menjadi
coklat
yang
bercak
coklat
8. Penyakit Jamur akar Ganoderma philippii(1), Fomes lamaoensis(2), Rigidoporus lignosus
berlekuk (antraknose). Buah muda yang
Ada tiga jenis penyakit jamur akar
terserang menjadi layu, kering, dan
pada tanaman kakao, yaitu: (1) Penyakit
mengeriput. Serangan pada buah tua
jamur akar merah; (2) Penyakit jamur
akan menyebabkan gejala busuk kering
akar coklat; (3) Penyakit jamur akar
pada ujungnya.
putih. Ketiganya menular melalui kontak akar. Pada umumnya serangan penyakit
a. Penyebaran Penyakit spora
yang
ini
terbawa
melalui
jamur akar terjadi pada pertanaman baru
angin ataupun
di lahan bekas hutan. Pembukaan lahan
tersebar
cepat
yang tidak sempurna, karena banyak
berkembang terutama pada musim hujan
tunggul dan sisa-sisa akar sakit dari
percikan
air
hujan.
Penyakit
tanaman sebelumnya tertinggal di dalam
62
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
tanah, akan menjadi sumber penyakit.
Minimal 4 pohon di sekitarnya diberi
Ketiga jenis penyakit ini mempunyai
Trichoderma sp. 200 gr/pohon pada awal
gejala seperti pada Gambar 8 yakni daun
musim hujan dan diulang setiap 6 bulan
menguning, layu dan gugur, kemudian
sekali sampai tidak ditemukan gejala
diikuti dengan kematian tanaman. Untuk
penyakit akar di areal pertanaman kakao
mengetahui penyebabnya, harus melalui
tersebut.
pemeriksaan akar (Puslit Koka, 2006). 9. Penyakit Jamur upas Corticium salmonicolor, Famili Corticiaceae, Ordo Stereales
a. Pengendalian Pengendalian penyakit dilakukan dengan membongkar semua tunggul yang terinfeksi jamur akar pada saat persiapan
lahan.
Lubang
bekas
bongkaran diberi 150 gr belerang dan dibiarkan minimal 6 bulan.
Gambar 9. Gejala serangan jamur upas.
Penyakit
jamur
upas
dapat
menyerang tanaman kakao, karet, kopi, teh, kina dan lain-lain. Infeksi jamur ini pertama kali terjadi pada sisi bagian bawah cabang ataupun ranting. Apabila
Gambar 8. Gejala serangan jamur akar.
menyerang ranting dan cabang kecil, Pada saat tanam diberi 100 gr
umumnya penyakit ini tidak menimbulkan
Trichoderma sp. per lubang. Pada areal
kerugian yang berarti, karena dengan
pertanaman,
memotong
pohon
kakao
yang
ranting/cabang kecil yang
terserang berat dibongkar sampai ke
terserang cukup untuk mengendalikan
akarnya dan dibakar di tempat itu juga.
jamur ini.
Lubang
bekas
bongkaran
dibiarkan
terkena sinar matahari selama 1 tahun.
Gejala serangan seperti pada Gambar
9,
dimulai
dengan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
adanya
63
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
benang-benang sutera,
jamur
berbentuk
tipis
sarang
seperti
laba-laba.
adalah hama penggerek buah kakao, kepik
pengisap
buah
kakao,
Pada fase ini jamur belum masuk ke
penggerek
dalam jaringan kulit. Pada bagian ujung
pengendalian
dari cabang yang sakit, tampak daun-
pemangkasan, membenam kulit buah,
daun layu dan banyak yang tetap
memanen
melekat pada cabang, meskipun sudah
hayati/biologi
kering. Jamur ini menyebar melalui
fumosoroseus, Beauveria bassiana, atau
tiupan angin atau percikan air. Keadaan
agen hayati lain) dan kimia dengan
lembab
insektisida.
dan
sangat
kurang
sinar
membantu
matahari
perkembangan
penyakit ini (Puslit Koka, 2006).
batang/cabang.
dan Cara
adalah
satu
sanitasi,
minggu
sekali,
dan
(Pasilomesis
Penyakit adalah penyakit
pada tanaman kakao VSD,
busuk buah,
kanker batamg, antraknose, busuk akar, a. Pengendalian
jamur
Pengendalian
dapat
dan
jamur
upas.
Cara
dilakukan
pengendalian adalah sanitasi kebun,
dengan cara mekanis, yaitu memotong
mekanis (mengumpulkan dan membakar
cabang/ranting sakit sampai 15 cm pada
buah yang terserang) dan kultur teknis
bagian
(pengaturan
yang
masih
membersihkan/mengeruk
sehat; benang-
pohon
pemangkasan
pelindung
tanaman
dan
kakao),
benang jamur pada gejala awal dari
penanaman klon resisten atau toleran,
cabang yang sakit, kemudian diolesi
hayati/biologi
dengan fungisida. Cara kedua adalah
lainnya), dan kimiawi yakni dengan
dengan kultur teknis, yaitu pemangkasan
fungisida yang mengandung bahan aktif
pohon
belerang atau tembaga.
pelindung
kelembaban matahari
untuk
kebun
dapat
mengurangi
sehingga
masuk
ke
(Trichoderma
sp.
atau
sinar areal
pertanaman kakao.
2. Saran Pengendalian hama dan penyakit kakao secara bijak harus dimulai dari
KESIMPULAN DAN SARAN
teknis budidaya, penggunaan musuh
1. Kesimpulan
alami, pestisida nabati dan terakhir baru
Hama dan penyakit penting pada
secara kimia.
tanaman kakao yang harus diwaspadai
64
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
DAFTAR PUSTAKA Agussalim, Z Abidin, dan A. Syam. 2006. Kajian Sistem Usahatani pada Agroekologi Lahan kering. Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2006. Agussalim, Entis S., Z. Abidin dan Amiruddin Syam. Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Kering di Kabupaten Kolaka. Laboran Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2007. Disbunhort Sultra. 2003. Statistik Perkebunan dan Hortikulturan Provinsi Sulawesi Tenggara. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan dan Hortikuturan Prov. Sulawesi Tenggara Tahun 2003. Pusat Penelitian Perkebunan (RISPA). 1994. Pedoman Mengenal Hama Helopeltis sp. dan Cara Pengendaliannya pada Kakao. Medan, Sumut. 19 hal. Puslit
Koka. 2002. Petunjuk teknis budidaya kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.
Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2006. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Revisi cetakan ke empat 2006.
Sri-Sukamto, 2003. Pengendalian Secara Hayati Penyakt Busuk Buah Kakao dengan Jamur Antagonis Tricoderma harzianum. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional PFI XVI Bandung, 6-8 Agustus 2003. Sri-Sukamto, dan D. Pujiastuti. 2004. Kefektifan Beberapa Bahan Pengendali Penyakit Busuk Buah
Kakao Phythopthora palmivora. Pelita Perkebunan. 20(3), 2004. Sri-Sukamto, H. Semangun, dan Ambarwati Harsoyo. 1997. Identifikasi Beberapa Isolat Namur dan Sifat Antagonisnya Terhadap Phythopthora palmivora pada Kakao. Pelita Perkebunan. 13(3), 1997. Succes Project Sulawesi. 2000. Pengenalan Gejala Serangan dan Pengendalian Hama PBK. PT. Comestra Majora. ACDI VOCA and Nestle. Sulistyawati, E., A. Adi Prawoto, Suryo Wardani dan Hendro Winarno. 1995. Laporan Kunjungan Kaji Banding Pengendalian Hama PenggerekBuah Kakao di Malaysia. Wata Penelitian Kopi dan Kakao. 11(1), 1995. Sulistyawati, E., Yohanes Djoko Jumiant, Endang Mufriati dan Abd. Wahab. 2002. Keefektifan Jamur Paecilomyces fumosoroseus untuk Mengendalikan Penggerek Buah Kakao. Pelita Perkebunan. 18(3), 2002. Wardojo, S. 1998. Metode Pengamatan Penggerek Buah Coklat. Prosiding Lokakarya Hama Penggerek Buag Coklat. Tanjung Morawa, 16 Pebruari 1981. Hal. 54-67. Wignyosoemarto, S. 1981. Beberapa Sistem Pengendalian Hama pada Budidaya Coklat. Prosiding Lokakarya Hama Penggerek Buah Coklat. Tanjung Morawa, 16 Pebruari 1981. Hal. 29-50.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
65
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
KAJIAN PENGEMBANGAN JAMBU METE RAKYAT SEBAGAI AWAL PERTANIAN ORGANIK DI SULAWESI TENGGARA Ahmad Sulle, Julian Witjaksono dan Miftah Hidayat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Jambu mete di Sulawesi Tenggara sebagian besar dalam bentuk perkebunan rakyat dengan ciri skala keci, terpencar, serta budidaya tanaman mete secara tradisonal yaitu tidak menggunakan pupuk dan pestisida (pertanian organik). Dukungan teknologi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman mete adalah menerapkan pola integrasi ternak kambing dengan jambu mete. Kotoran kambing dan bahan organik lainnya dapat diolah menjadi pupuk organik untuk tanaman mete. Hasil kajian menunjukkan bahwa Model Usahatani yang efisien dan efektif telah mulai tampak hasilnya, yaitu Petani jambu mete dapat mengusahakan ternak kambing, mengolah gelondong menjadi kernel siap saji dalam kemasan, serta mengasilkan sendiri pupuk kompos. Terintergasinya ternak kambing dengan mete mendukung aplikasi pupuk kandang/kompos yang berkesinambungan pada jambu mete. Hal ini memberikan prospek yang mendukung produk pertanian organik pada petani mete. Kata kunci: mete, pupuk, organik
PENDAHULUAN
pendapatan
Pengusahaan jambu mete rakyat
yang
diperoleh
dari
usahatani jambu mete tidak mencukupi
dicirikan oleh skala kecil, terpencar dan
kebutuhan
tidak
keuangan internal dalam keluarga petani
intensif
teknologi
budidaya,
keterbatasan penelitian
dengan
modal.
Indrawanto
menyatakan
bahwa
keterbatasan
Menurut
hasil
modal kapital eksternal seperti kredit
(2003)
tanpa agunan dengan bunga rendah
peng-
juga tidak ada. Petani lebih banyak
kontribusi
hasilan kebun jambu mete terhadap
melakukan
penghasilan total keluarga petani di
meminjam
Sulawesi
pengumpul
sedangkan
Tenggara
Kondisi
dan
al.,
hanya
penghasilan
25,98%
jalan uang yang
sementara
bantuan
pintas kepada
dengan pedagang
umumnya
juga
dari
berprofesi sebagai tengkulak. Menurut
usahatani tanaman pangan (3,95%) dan
data base perkebunan (Puslitbangbun,
dari sektor non pertanian (70,07%),
2002 dalam Indrawanto et al., 2003)
kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
bahwa sekitar 8,35% dari pendapatan
alokasi waktu kerja petani jambu mete di
petani/pekebun jambu mete di Sulawesi
Sulawesi
banyak
Tenggara dialokasikan untuk tabungan
tercurah pada kegiatan di sektor non
dan investasi modal usahatani, dari
pertanian. Hal ini disebabkan oleh nilai
8,35% tersebut sekitar 30% dialokasikan
Tenggara
lainnya
buruk,
tangga.
manajemen
et
tergolong
rumah
lebih
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
66
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
untuk membayar hutang pinjaman rumah
mete di Indonesia. Sulawesi Tenggara
tangga tani.
sebagai wilayah produksi mete adalah
Proses produksi
hingga meng-
merupakan
daerah
produsen
utama
hasilkan kernel sebagai hasil akhir dapat
mete di Indonesia dengan kontribusi
digolongkan dalam pertanian organik
produksi sekitar 30% produksi nasional
karena
(Indrawanto et al., 2003).
secara
menggunakan
umum
petani
tidak
pupuk
kimia
dan
Permasalahan
utama
ádalah
pestisida. Suatu ciri produk jambu mete
penurunan produktivitas secara drastis
dari Sulawesi Tenmggara (Indonesia) .
dari 445 kg ha pada tahun 1993 hingga
Bila
124
produksi
mete
dari
Sulawesi
kg
ha
pada
tahun
2001.
Tenggara dapat diterima di pasar Global
Produktivitas tersebut berfluktuasi dari
sebagai hasil pertanian organic, produksi
tahun ke tahun tergantung dari iklim
mete
tahunan atau terjadinya bulan kering
dapat
terdorong
kepada
nilai
ekonomi yang lebih tinggi. Jambu Tenggara
mente
berurutan minimal 3-4 bulan. Terdapat di
potensi
meningkatkan
produktivitas
komoditas
usahatani melalui kajian pemupukan,
ditunjukkan
Pemangkasan, dan pengendalian gulma.
dengan nilai Location Quotient (LQ)
Demikian juga integrasi dengan ternak
36,37 pada lima tahun terakhir. Luas
dan pengolahan limbah buah semu
areal mencapai 122.744 ha melibatkan
sebagai pakan, serta limbah kotoran
petani sebanyak 119.900 KK. Produksi
sebagai
puncak sebesar 45.325 ton yang me-
Usahatani (SUT) jambu mete sebagai
nempatkan Sulawesi tenggara sebagai
upaya untuk peningkatan produktivitas,
sentra produksi mente di Indonesia yaitu
mutu dan pendapatan petani jambu mete
dengan kontribusi 34%. Saat ini sekitar
pada dasarnya sangat diperlukan untuk
49% produksi mete Indonesia diekspor
melihat kesesuaian teknologi terhadap
dalam bentuk gelondong (36%), maupun
kondisi
dalam
circumstances) dimana teknologi yang
unggulan
merupakan
Sulawesi
nasional
bentuk
yang
kacang
mete
(13%),
pupuk.
sosial
Pengkajian
ekonomi
diyakini
Sistem
(farmers
sedangkan sisanya (51%) untuk me-
diterapkan
akan
menuhi kebutuhan domestik. Komposisi
menjawab
tersebut menggambarkan bahwa pasar
Pengertian pengkajian Sistem Usahatani
internasional sangat penting bagi industri
(SUT) jambu mete adalah kajian tahap
permasalahan
mampu
yang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
ada.
67
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
lanjut untuk merakit paket teknologi
Kegiatan integrasi ternak kambing pada
usahatani jambu mete spesifik lokasi
areal mete seluas 6,0 ha dari 3 petani
sesuai dengan keunggulan sumberdaya
koperator memelihara ternak kambing
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
dan memiliki kebun jambu mete. Setiap
petani jambu mete.
peternak
Kajian ini bertujuan Meningkatkan produktivitas,
mutu
dan
pendapatan
membuat
satu
kandang
kambing berukuran 3 m x 5 m. Introduksi ternak kambing masing-masing satu ekor
petani jambu mente dalam suatu model
pejantan
Usahatani yang efisien menuju pertania
Konstruksi
organik secara berkelanjutan.
luasan yang ideal sesuai dengan jumlah ternak
METODOLOGI
PE
(peranakan
kandang
yang
etawah).
dibuat
dimiliki,
yang
dengan
meliputi
kandang panggung, sekat di dalam
Pengkajian
dilaksanakan
pada
kandang, pembuatan tempat pakan dan
tahun 2005-2006, di Desa Liabalano
minum
Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna
pengolahan buah semu menjadi kernel
Sulawesi
30
siap saji dengan melibatkan ibu-ibu
pada
petani koperator dan non koperator.
Dosis
Peningkatan
petani
Tenggara.
koperator
Melibatkan
jambu
mete
hamparan areal seluas 30 ha.
bagi
ternak.
mutu
Demonstrasi
gelondong
dan
pupuk yang digunakan pada tanaman
olahan buah semu dikaji di laboratorium
adalah 500 gr/urea, 1000 gr Phonska
BPTP
(15:15:15:10) ditambah kotoran kambing
sosial ekonomi ini merupakan kegiatan
10 kg/pohon.
Pemupukan dilakukan 2
pengumpulan data dan informasi secara
kali setahun yaitu 70% pada awal musim
reguler dengan teknik Farm Record
hujan Nopember-Dsember dan 30% dua
Keeping
bulan berikutnya. Pemangkasan cabang
lapangan ke lokasi lahan petani jambu
tidak produktif yaitu cabang bawah yang
mete. Lokasi kunjungan akan berada
bersifat
mati/sakit/
pada wilayah kajian yang bertempat di
terserang hama, dan cabang ektensif.
Desa Liabalano Kecamatan Kontunaga
Pengendalian
cara
Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.
membabat semak secara mekanis dan
Responden terdiri dari petani kooperator
herbisida terhadap gulma rerumputan
jambu mete, dan petani kooperator
berdaun lebar dan berdaun sempit.
integrasi ternak (30) responden serta
68
parasit,
cabang
Gulma
dengan
Sulawesi
Tenggara.
melalui
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
seri
Kegiatan
kunjungan
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
petani
non
kooperator
pembanding
sebanyak
Pengumpulan data terhadap
dengan
menggunakan Keeping
5
orang.
dilakukan secara
reguler
Record
sebagai
responden
petani
teknik
jambu
mete
yang
utama
adalah
pemupukan, pemangkasan dan pengendalian gulma.
Farm
Ketersedian
hara
diharapkan
dikelompokan
terpenuhi dengan introduksi teknologi
dalam 7 kelompok cluster (Data Primer).
pemupukan. Materi pupuk anorganik dan
Setelah diklarifikasi melalui diskusi tim
organik dapat secara bersama-sama
peneliti untuk mengetahui sejauh mana
meningkatkan pembentukan bunga dan
akurasi
buah.
data
yang
pertanian organik. Intensifikasi budidaya
yang
diperoleh,
maka
tahapan berikut adalah menghimpun
Dinamika pembentukan bunga
dan buah disajikan pada Gambar 1.
data, mengedit, dan tabulasi data secara
Pada Gambar 1 menunjukkan
sistematis. Setelah itu dilakukan analisis
bahwa aplikasi pupuk anorganik dan
data baik secara deskriptif, tabulasi
organik
silang, dan analisis finansial.
meningkatkan hingga
HASIL DAN PEMBAHASAN
(PK)
secara
bersama-sama
pembentukan
80%,
pemupukan
dibandingkan (XTPT)
yang
bunga tanpa hanya
Introduksi Teknologi Budidaya
mencapai tingkat pembungaan 60%.
mete yang disertai pendampingan yang
Penambahan tingkat pembungaan 20%
intensif mampu meningkatkan produk-
menjadi potensi pembentukan buah lebih
tivitas jambu mete
banyak. Dinamika pembentukan bunga
penerapan pupuk
270%. Tingkat
pemupukan
organik,
anaorganik, dan
bahwa bunga yang gagal membentuk
masing-masing
buah pada tahap awal semakin sedikit
70,83%; 10 ; 41,67%; dan 100%. Kete-
potensi buah yang dapat terbentuk pada
patan waktu pupuk 68%-100% dengan
bunga berikutnya. Tingkat pembungaan
ketepatan dosis 77%-83%.
yang
penghendalian
waktu
dan
Pemangkasan
yang semakin menurun mengindikasikan
gulma
cara
Ketepatan
pemangkasan
dan
lebih
tinggi
pemupukan
secara
pada
perlakuan
konsisten
pada
pengendalian gulma yang kurang yaitu
setiap periode pembungaan disbanding-
berkisar
kan
15%
hingga 62%.
Aplikasi
dengan
tanpa
pemupukan.
pupuk kandang/kompos yang berke-
Selanjutnya pembentukan buah disajikan
sinambungan pada jambu mete mem-
pada Gambar 2.
berikan
prospek
yang
mendukung
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
69
Pembentukan Bungah (%)
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
90 80
PK 80.13
70 TPK
63.68
60 50
XTPK
40 30 20
17.82
10
10.91
3.04
0
5.69
Keterangan : PK = Pemupukan anorganik dan organik, TPK= Pemupukan anorganik; XTPK=Tanpa Pemupukan
Pembentukan Buah (%)
Gambar 1. Dinamika Pembentukan Bunga Jambu mete terhadap pupuk organik dan anorganik
PK TPK
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 -
XTPK 11.94
11.24 9.65 9.22 7.75 5.61
2.00 0.95
7.08
6.73
5.36 4.03 2.14
5.91 4.49
7.54
5.52
3.16
Keterangan : PK= Pemupukan anorganik dan organic, TPK= Pemupukan Unorganik; XTPK=Tanpa Pemupukan
Gambar
2. Dinamika Pembentukan Buah Jambu mete terhadap pupuk organik dan anorganik.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
70
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Puncak pembentukan buah terjadi pada
kandang dan pertanaman jambu mete
akhir bulan oktober dan awal bulan
berdekatan. Kondisi ini yang mendukung
November.
tingkat
pertanian organik dengan cara meng-
pembentukan buah pada pemupukan
integrasikan pertanaman jambu mete
yang lengkap (PK) cukup pantastis
dengan ternak kambing. Aplikasi pupuk
karena secara konsisten lebih tinggi dari
kandang
tanpa
dapat mengurangi atau menggantikan
Demikian
pemupukan
pula
dan
pemupukan
anorganik pada setiap periode pemben-
yang
demikian
sangat
meyakinkan
bahwa pemupukan lengkap signifikan meningkatkan produktivitas gelondong mete. Sebaliknya pada petani yang tidak memupuk (XTPK) tingkat pembuahannya hanya berkisar 2%-6%. Hal ini menunjukkan
bahwa
dinamika
pem-
bentukan buah sangat respon dengan pemupukan (Gambar 2).
Gambar 3 menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknologi pemupukan yang benar dapat meningkatkan produktivitas masing-masing 270% dan 182% terpemupukan
organik+anorganik
lengkap (PK) dan pemupukan anorganik (TPK), dibandingkan tanpa pemupukan (XTPK). Perlakuan pemu-pukan seperti ini sangat menjanjikan apabila pupuk telah tersedia di tingkat petani. Pupuk kandang yang digunakan dari petani koperator
mudah
diperoleh
Perbaikan tatalaksana pemeliharaan ternak kambing pada integrasi tanaman
jambu
mete
meningkatkan
beberapa indikator seperti pertambahan berat badan 46,3 g/hr, tingkat kelahiran 48,6
%,
kurangnya
penyakit
yang
muncul, dan mortalitas yang rendah. Introduksi pejantan PE yang mempunyai perfoma unggul beberapa parameter seperti rataan berat lahir
3,5–3,8 kg,
57,14% PE dengan penampilan secara
Produktivitas jambu mete pada
hadap
berkesinambungan
pupuk anorganik.
tukan buah. Tingkat pemben-tukan buah mencapai 6%-12%. Tingkat pembuahan
secara
karena
genetic PE 40 % litter size
1,67–1,75
ekor, dan calving interval 4-5 bulan. Pemanfaatan buah semu jambu mete sebagai
pakan
dapat
mensubtitusi
kekurangan pakan pada musim kemarau dengan potensi 2046 kg/ha bahan segar, setara dengan 109 kg/ha bahan kering. Proses pengolahan secara fermentasi dengan Aspesgillus niger,
pada kadar
air 12,14% kandungan Protein, lemak, BETN masing-masing 3,96%; 16,17%; dan 47,96%. Dari ketiga jenis kacang mete olahan yang dihasilkan, panelis
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
71
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Produktivitas gelondong mete (kg/ha)
300
272.88
250 184.15
200 150
101.00 100 50 0 PK
TPK
XTPK
Keterangan : PK= Pemupukan anorganik dan organic, TPK= Pemupukan anorganik; XPTK=Tanpa Pemupukan
Gambar 3.
Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap produktivitas jambu mete, Muna, 2006.
umumnya sangat menyukai dari segi
rumput alam diantara pepohonan mete.
rasa dan aromanya. Tingkat kerusakan
Kotoran kambing dapat menjadi sumber
yang diakibatkan proses pengupasan
hara
gelondong (10%) lebih besar dibanding
memperbaiki kesuburan tanah. Menurut
dengan
Lompengeng et al., (2003) daya dukung
kerusakan
yang
diakibatkan
pengupasan kulit ari (6%). Salah
satu
lahan kering iklim kering utamanya pada
upaya
yang
diperlukan untuk meningkatan produktivitas dan pendapatan petani secara sinergis
dan
melalui
berkelanjutan
integrasi
ruminansia
(salah
adalah
dengan
ternak
satunya
adalah
kambing) ke dalam pertanaman jambu mete. Manfaat diperoleh secara timbal balik
antara
ternak
dan
tanaman.
Diantara lahan pertanaman jambu mete tersebut
terdapat ruang
dan bahan organik yang dapat
untuk per-
tumbuhan rumput berkualitas seperti Arachis pintoi, LCC, rumput raja, dan
areal tanaman perkebunan di Sulawesi Tenggara untuk ternak kambing 2 – 4 ekor, dan 8–10 ekor untuk kambing. Menurut
Devendra,
(1993)
dalam
Dwiyanto et al., (2002) bila petani memelihara kambing berat badan 350 mampu menghasilkan kotoran ternak 4,40
kg/ekor/hari
(kg
DM)
dengan
kandungan N 0,73% (DM) sehingga produksi N per
tahun 11,70 kg .
Demikian pula dengan ternak kambing berat badan 20 kg mampu menghasilkan kotoran
0,30
kg/ekor/hari
(kg
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
DM)
72
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
dengan
kandungan
N
1,32%
(DM)
kesuburan
tanah,
peningkatan
daya
sehingga produksi N per tahun 1,50 kg.
dukung lahan. Pada lahan kering iklim
Bedasarkan nilai ini dapat diestimasi
basah di pulau Jawa, kemapuan lahan
hubungan timbal balik antara ternak dan
(daya dukung ) per hekter untuk ternak
tanaman
dapat
2-6 ekor kambing, 16–30 ekor kambing
ditentukan. Iniguez dan Sanchez, (1990)
domba. Sedang menurut Lompengeng,
bahwa
dan
nilai
integrasi
kontribusi
pendapatan
ternak
dalam
et al., (2003) daya dukung lahan kering
dalam
sistem
iklim
petani
integrasi tanaman ternak
pada lahan
kering
tanaman
utamanya
perkebunan
pada di
areal
Sulawesi
perkebunan jambu mete, integrasi untuk
Tenggara untuk ternak kambing 2–4
ternak kambing 75% dan untuk domba
ekor, dan 8–10 ekor untuk kambing. Hal
dan kambing 15–20%.
ini
disebabkan
rendahnya
produksi
Pentingnya peranan ternak di
biomassa dan kualitas hijauan serta iklim
dalam sistem usahatani dalam dekade
di Sulawesi Tenggara sangat sulit untuk
terakhir semakin diperhatikan oleh para
diprediksi,
peneliti, pelaku pertanian dan ekonom di
integrasi tanaman ternak CLS (crop
Indonesia bahkan juga di kawasan Asia.
livestock system) adalah salah satu
Hal
perubahan
upaya untuk peningkatan peroduktivitas
paradigma pertanian global yang ramah
lahan untuk mengantisipasi rendahnya
lingungan
produksi dan gagal panen pada tanaman
ini
disebabkan oleh
dan
(Indonesia)
paradigma
yaitu
regional
pengembangan
sehingga
penerapan
pola
jambu mete.
pertanian sudah tidak lagi menganut
Ada beberapa keuntungan CLS
sistem eksploitasi lahan yang seluas-
(crop livestock system) terutama pada
luasnya,
lahan
akan
sumberdaya mungkin
tetapi
seefiisien termasuk
pemanfaatan dan
optimal
peningkatan
kering
adalah:
penggunaan
diversifikasi
sumberdaya
produksi;
mengurangi terjadinya resiko; efisiensi
prduktivitas lahan, pemanfaatan limbah
penggunaan
yang dikelolah secara ramah lingkungan
pemggunaan
(Dwiyanto, 2002). Selanjutnya dikatakan
mengurangi ketergantungan nergi kimia
bahwa peningkatan produktivitas lahan
dan
melalui integrasi tanaman dan ternak
sumberdaya lainnya dari luar;
akan mengarahkan kita ke peningkatan
ekologi
energi
tenaga
kerja;
komponen
biologi
lebih
produksi;
serta
lestari
efisiensi
masukan
dan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
sistem tidak
73
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
menimbulkan polusi sehingga melindungi
hubungan timbal balik antara ternak dan
lingkungan hidup; meningkatkan output;
tanaman
dan
ditentukan.
mengembangkan rumah tangga
petani
yang
lebih
nilai
integrasi
dapat
(Devendra,
Analisis usahatani menunjukan
1993). Integrasi ternak dengan per-
nilai R/C ratio usahatani jambu mete
kebunan jambu mete sangat dibatasi
petani kooperator adalah sebesar 2,16
oleh rendahnya hijauan yang eksis di
dengan
lahan perkebunan tersebut sehingga
950.570 per ha per tahun, dan nilai
memelukan
agar
pendapatan usahatani atas biaya tunai
beberapa sisi lahan dapat ditanami
mencapai Rp. 510.470 per ha per tahun.
hijauan pakan ternak atau penanaman
Perubahan struktur biaya ini disebabkan
tanaman penutup tanah LCC pada lahan
oleh adanya peningkatan tenaga kerja
di sela tanaman muda.
keluarga
tata
stabil
dan
ruang
tanam
Dalam pola integrasi ternak dan
nilai
teknologi
produksi
akibat
sebesar
aktivitas
introduksi,
aplikasi sebab
pemanfaatan
yaitu manfaat yang diperoleh tanaman
merupakan faktor yang penting dan
dari ternak begitu pula dengan manfaat
dominan dalam efisiensi biaya produksi,
yang diperoleh ternak dari tanaman
karena dari sisi pengeluaran tunai tidak
(Lompengeng, 2004).
sebesar biaya tenaga kerja keluarga
dasar
manfaat
tersebut
menurut
yang
diperhitungkan
kerja
itu
tanaman fokus kita sangat sederhana
Selajutnya atas
tenaga
oleh
Rp.
keluarga
(biaya
tetap).
Devendra, (1993) dalam Dwiyanto et al.,
Sedangkan
(2002) bila petani memelihara kambing
struktur
berat badan 350 mampu menghasilkan
panen dan pembersihan lahan. Hasil
kotoran ternak 4,40 kg/ekor/hari (kg DM)
analisis usahatani memberikan jawaban
dengan
bahwa nilai pendapatan usahatani ternak
kandungan
N
0,73%
(DM)
biaya variabel dilihat dari
biaya
hanya
kooperator
biaya
sehingga produksi N per tahun 11,70 kg .
kambing
Demikian pula dengan ternak kambing
integrasi ternak
berat badan 20 kg mampu menghasilkan
memberikan kontribusi yang cukup besar
kotoran
0,30
dengan
kandungan
sistem
– tanaman mampu
(kg
DM)
bagi penghasilan keluarga petani yaitu
1,32%
(DM)
sebesar Rp. 1.190.000 per tahun. Harga
sehingga produksi N per tahun 1,50 kg.
ternak di lokasi kajian memberikan minat
Bedasarkan nilai ini dapat diestimasi
yang cukup besar bagi masyarakat
74
kg/ekor/hari
petani
meliputi
N
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
petani dan hasil sampingan lainnya.
KESIMPULAN
secara keseluruhan nilai pendapatan
1.
Introduksi Teknologi Budidaya mete
petani kooperator yang berasal dari hasil
yang disertai pendampingan yang
penjualan ternak dan hasil samping
intensif
lainnya,
produktivitas jambu mete 270%.
penjualan
gelondongan
dan
penjualan hasil olahan kacang mete
2.
mampu
Aplikasi
pupuk
meningkatkan
kandang/kompos
mencapai Rp. 2.591.470 per tahun, lebih
secara
tinggi bila dibandingkan dengan petani
tanaman
non kooperator dari sumber yang sama
mendukung pertanian organik.
yaitu Rp. 2.125.500 per tahun. Nilai tambah
ekonomi
tersebut
3.
meliputi
berkesinambungan jambu
Pemanfaatan mete
mete
buah
sebagai
dapat
kekurangan
pakan
jual kotoran ternak dan nilai penjualan
pada musim kemarau.
pendapatan
petani
keseluruhan
nilai
kooperator
yang
4.
Introduksi teknologi sistem integrasi ternak
pada
berasal dari hasil penjualan ternak dan
mete
mampu
hasil
tambah
samping
lainnya,
penjualan
jambu
pakan
mensubtitusi
secara
dapat
semu
peningkatan bobot badan ternak, nilai
kompos.
pada
pertanaman
jambu
memberikan
ekonomi
nilai
meliputi
gelondongan dan penjualan hasil olahan
peningkatan bobot badan ternak,
kacang mete. peningkatan pendapatan
nilai jual kotoran ternak dan nilai
petani kooperator pada kajian sistem
subtitusi penjualan kompos.
usahatani berbasis
lahan
kering
pendapatan
usahatani
berbasis
dan efektif telah mulai tampak hasilnya.
mencapai 22%.
mengusahakan
mente
ternak
22
Peningkatan
persen. Model Usahatani yang efisien
jambu
mencapai
5.
pada
Petani
mete
iklim
kooperator
Yaitu
jambu
kering
dalam
kemasan,
jambu
sistem mete
dapat
kambing,
mengolah gelondong menjadi kernel siap saji
kajian
petani
menghasilkan
sendiri pupuk kompos dalam kemasan, sumber pupuk dari ternaknya sendiri,
DAFTAR PUSTAKA Devendra, C. 1993. Sustainable Animal Production from small farm system in Southeast Asia. FAO Animal Production and Health Paper. FAO Rome.
limbah buah semu diolah menjadi pakan ternak.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
75
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Diwiyanto, K., Bambang, R. Prawiradiputra dan Darwinsyah Lubis. 2002. Integrasi Tanaman ternak dalam Pengembangan agribisnis yang berdaya saing, Berkelanjutan dan berkerakyatan. Bulletin Ilmu Peternakan Indonesia Wartazoa. Puslitbangnal. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Vol. 12 No. 1 p 1-8 Haryani, K., S. N. Tambing dan M. S. Hamzah, 2006. Unit Komersialisasi Teknologi. Usaha Pemeliharaan Ternak Kambing. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Departemen Pertanian. Indrawanto Chandra, Suci Wulandari dan Agus Wahyudi. 2003. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara. Jurnal penelitian tanaman industri Vol. 9 (4) : 141 – 148. Pusat penelitian dan pengembangan perkebunan. Bogor Lompengeng, A. B. 2004. Perbaikan Struktur Dinamika Populasi Melalui Metode Open Nucleus Breeding. Suatu Studi Kasus Pengembangan Ternak Kambing di Kec Kelara kab Jeneponto. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian/ Pengkajian Spesifik Lokasi “Akselerasi Pemasyarakan Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Revitalisasi Pertanian” Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Departemen Pertanian.
76
Lompengeng, A. B. 2004. Peluang pengembangan sistem integrasi ternak pada lahan persawahan irigasi teknis di Kab. Sopeng Sulawesi Selatan. Makalah Sarasehan pengembangan produktivitas lahan melalui sistem integrasi tanaman ternak CLS (crop livestock system). Proyek pengembangan pengelolaan tanaman-ternak terpadu. Dinas ketahanan pangan Kab. Sopeng Sulawesi Selatan. ----------------------, A. B. 2005. Crop livestock system merupakan alternative dalam meningkatkan efisiensi dan optimalisasi lahan di Kawasan BOSOWASIPILU (Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang dan Luwu). Makalah “Tudang Sipulung Launruma” Pertemuan KTNA Sulawesi Selatan di Kabupaten Soppeng. (Tidak dipublikasikan). -----------------------, A. B., Jasmal A. Samsoe dan Rika Haryani. 2006. Keragaan Sumber-Sumber Pakan dari Limbah Di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi “Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Revitalisasi Pertanian” Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Departemen Pertanian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
ANALISIS LUAS PENGUSAHAAN LAHAN MINIMUM KOMODITAS PERKEBUNAN UNTUK MENCAPAI NILAI UPAH MINIMUM PROVINSI DI SULAWESI TENGGARA Zainal Abidin. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Abstrak Komoditas perkebunan merupakan komoditas penting di Sulawesi Tenggara, karena komoditas tersebut adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada tahun 2005 PDRB dari sub sektor perkebunan mencapai Rp. 1.036.868.410.000. atau sekitar 13 % dari dari total PDRB Sultra. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran apakah tingkat pendapatan petani komoditas perkebunan telah mencapai tingkat Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Tenggara atau belum, dan menentukan batas luas minimal komoditas perkebunan yang harus diusahakan agar diperoleh pendapatan yang setara dengan UMP Sultra. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2005 menggunakan metode survey terhadap 30 responden pada masing masing komoditas perkebunan yaitu jambu mete, kakao, kelapa, dan lada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai nilai UMP Sultra tahun 2005 sebesar Rp. 498.000 per bulan per orang dengan teknologi budidaya yang diterapkan saat ini, maka seorang petani harus mengusahakan 5,3 ha jambu mete, atau 1,6 ha lada, atau 0,9 ha kakao, atau 1,7 ha kelapa. Dengan luas pengusahaan lahan dan produksi yang dicapai petani saat ini, hanya tanaman kakao yang mampu memberikan pendapatan setara UMP Sultra. Kata Kunci: Luas Pengusahaan Minimum, Komoditas Perkebunan, Upah Minimum Provinsi
PENDAHULUAN Komoditas
perkebunan
meru-
patan yang diperoleh dari komoditas
pakan salah satu komoditas penting di
tersebut juga relatif rendah. Hasil survey
Sulawesi Tenggara, karena komoditas
Sahardi et al., (2003) menunjukkan
tersebut merupakan salah satu sumber
bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejak
dapatan petani jambu mete sebesar Rp.
tahun 2000–2005 sumbangan sub sektor
3.925.000 per tahun; petani lada sebesar
perkebunan
terus
Rp. 7.209.000 per tahun; kakao sebesar
meningkat. Pada tahun 2005 PDRB dari
Rp. 15.607.500 per tahun; cengkeh
sub sektor perkebunan mencapai Rp.
sebesar Rp. 2.600.000 per tashun dan
1.036.868.410.000. atau sekitar 13% dari
kelapa sebesar Rp. 3.537.500 per tahun.
dari total PDRB Sultra (BPS Sultra,
Pada sisi lain pemerintah telah
terhadap
PDRB
2006).
di
Sulawesi
Tenggara,
pen-
menetapkan Upah Minimum Provinsi Usahatani perkebunan di Sultra
didominasi
oleh
perkebunan
rakyat,
dengan luas pengusahaan yang relatif
(UMP) yang biasanya digunakan sebagai ukuran standar pemberian upah bagi pekerja industri dan jasa.
Ironisnya
sempit. Hal ini menyebabkan penda-
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
77
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
sektor pertanian sebagai salah satu
cara
wawancara
sektor penyerap
tenaga kerja belum
responden
diketahui apakah pendapatan mereka
komoditas
telah mencapai upah minimum provinsi,
responden dilakukan secara random
yang di Sultra mencapai Rp 498.000 per
sampling. (Nasir, 1986).
pada
terhadap
30
masing-masing
perkebunan.
Pemilihan
bulan per orang (Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sultra, 2005). Penelitian
c. Metode Analisis
dilakukan
untuk
Analisis
yang
digunakan
adalah
mendapatkan gambaran luas pengusa-
analisa uashatani yang kemudian
haan minimum petani perke-bunan yang
dibandingkan dengan Nilai UMP. Ada
pendapatannya
Upah
dua jenis peubah dalam analisa
Sulawesi
usahatani yaitu peubah riil (R), yang
Minimum
sama
Provinsi
dengan
(UMP)
Tenggara.
artinya peubah tersebut sebenarnya digunakan dalam usahatani, tetapi
METODOLOGI
tidak
a. Waktu Dan Tempat
misalnya tenaga kerja keluarga dan
diperhitungkan
petani
Penelitian dilakukan pada bulan Mei–
peralatan usahatani milik keluarga.
September 2005. Tempat penelitian
Sebaliknya
disesuaikan dengan sentra pengem-
hitungkan (T) yaitu peubah yang
bangan komoditas perke-bunan yaitu
benar-benar dikeluarkan secara tunai
untuk komoditas jambu mete di
oleh petani dalam melaksanakan
Kabupaten Muna, lada di Kabupaten
usahataninya.
Konawe,
tersebut dilakukan dua perhitungan
komoditas
kakao
dan
kelapa di Kabupaten Kolaka.
Beberapa jenis data yang dikumpulkan meliputi : jenis input dan harga input yang digunakan dalam usahatani komoditas perkebunan, produksi
peubah
yang
diper-
Berdasarkan
hal
yaitu : a. Analisa
b. Jenis dan cara pengumpulan data
usahatani
memperhitungkan
dengan semua
variabel R dan T. b. Analisa usahatani hanya memperhitungkan biaya yang benarbenar dibayar oleh Petani (T).
dan harga komoditas perkebunan. Pengumpulan data dilakukan dengan
78
oleh
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Untuk mengestimasi nilai luas pengusahaan minimum pada masingmasing
komoditas
didasarkan
hasil
NLPM =
UMP PjYj ] [
[
PiXi ]
ha
Keterangan :
analisis ekonomi usahatani sebagaimana yang dilakukan Swastika, 2000 pada usahatani
ternak.
Berdasarkan
hal
tersebut dilakukan analisis dengan dua tahapan :
NLPM = Nilai Luas Pengusahaan Lahan Minimum UMP = Upah Minimum Provinsi Pj = Harga output ke-j Yj = Jumlah output ke-j Pi = Harga input ke-i Xi = Jumlah input ke-i
Tahap Pertama, dihitung B/C (Debertin, 1986; Samuelson and Nordhaus, 1995; Malian et al. 1987; Gittinger, 1982) pada
HASIL DAN PEMBAHASAN
masing - masing komoditas yaitu :
Luas Pengusahaan Lahan, Produksi dan Pendapatan Responden
[
Luas pengusahaan lahan, produksi dan
B/C
TB TC
PjYj [
PiXi]
PiXi] S
pendapatan responden disajikan pada Tabel 1.
Keterangan :
Pada Tabel 1 nampak bahwa B/C= Benefit Cost Ratio TB = Pendapatan Bersih TC = Total Biaya Yj = Jumlah produksi dari jenis komoditas ke-j Pj = Harga produksi dari jenis produksi ke-j Xi = Jumlah sarana produksi ke-i Pi = Harga sarana produksi ke-i S = Penyusutan, karena nilainya sangat kecil, maka diabaikan
tanaman kakao memiliki luas peng-
Batasan : B/C > 1 = Usahatani layak dikembangkan sebagai bagian dari agribisnis
pengusahaannya adalah tanaman lada.
Tahap
kedua,
dihitung
Nilai
Luas
Pengusahaan Minimum (NLPM) agar mencapai (UMP)
Upah
dihitung
Minimum dengan
Provinsi
usahaan yang paling luas dan yang paling rendah adalah lada. Tingginya luas
pengusahaan
lahan
kakao
menunjukkan bukti bahwa tanaman ini merupakan
komoditas
primadona
di
Sultra. Sementara itu yang paling rendah
Hal
ini
banyak
pengusahaan membutuhkan
disebabkan komoditas
curahan
karena tersebut
tenaga
kerja
yang relatif tinggi.
persamaan
(Swastika, 2000) :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
79
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Luas Pengusahaan Lahan, Produksi dan Pendapatan Responden Komoditas Perkebunan di Sultra tahun 2005. Luas Pengusahaan Lahan oleh Petani (ha)
Komoditas
Produksi Per ha yang di capai
Pendapatan yang diperoleh (Rp./tahun)
a. Kakao
1,6
1.080
17.746.560
b. Kelapa (kopra)
1,0
2.625
5.512.500
c. Jambu Mete
1,2
375
2.385.000
d. Lada
0,6
380
3.648.000
Analisis Ekonomi Usahatani Komoditas Perkebunan
hitungkan
memperhitungkan
Analisis ekonomi mencerminkan profitabilitas
suatu
maupun
usahatani.
dengan
tenaga
tidak
kerja
dan
sumber daya keluarga. Lebih lanjut
Hasil
dapat diketahui bahwa komoditi yang
analisis usahatani disajikan pada Tabel
memberikan pendapatan bersih tertinggi
2. Pada Tabel 2 nampak bahwa seluruh
berturut-turut adalah kakao, kelapa, lada
komoditas perkebunan layak diusahakan
dan jambu mete.
secara ekonomi baik dengan memper-
Tabel 2. Analisis Usahatani Komoditas Perkebunan di Sultra, 2005. Analisis Usahatani (T) Jenis Komoditi
Analisis Usahatani (R + T)
Pendapatan Bersih
Total Biaya
Pendapatan Bersih
Total Biaya
B/C
Jambu mete
1.977.500
150.000
13,18
1.307.500
680.000
1,92
Lada
5.382.500
697.500
7,72
4.227.500
1.852.500
2,28
Kakao
8.684.600
2.407.000
3,61
7.484.600
3.607.000
2,08
Kelapa (Kopra)
4.402.500
1.110.000
3,97
4.002.500
1.510.000
2,65
B/C
Sumber : Analisis data rumah tangga tani 2005
Khususnya untuk tanaman jambu
produksi yang dicapai sangat rendah
rendahnya
bersih
yaitu hanya 350 kg/ha/tahun. Dari sisi
yang diperoleh erat kaitannya dengan
pembiayaan tunai juga sangat rendah.
mete,
80
pendapatan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Hal ini karena sistem usahatani yang
paling besar yaitu 13,18 dan yang
dilakukan petani, yang tidak memberikan
menunjukkan nilai B/C yang paling kecil
input luar misalnya pupuk dan racun.
adalah usahatani kakao. Sebaliknya jika
Dari
kerja,
semua biaya diperhitungkan termasuk
usahatani jambu mete membutuhkan
biaya dari pemanfaatan sumber daya
serapan tenaga kerja yang cukup rendah
rumahtangga nampak bahwa usahatani
yaitu hanya 30–40 HOK per tahun,
kelapa memberikan nilai B/C yang paling
dimana seluruh kebutuhan tenaga kerja
besar yaitu 2,65 dan yang paling kecil
dapat
yaitu usahatani jambu mete sebesar
sisi
penyerapan
dipenuhi
tenaga
dari
tenaga
kerja
keluarga.
1,97.
Berkaitan dengan hal tersebut di
Nilai B/C yang lebih besar tidak
atas Abidin et al., (2004) melaporkan
serta
bahwa hasil penelitian di Kabupaten
usahatani
Muna
pada
usahatani yang memberikan nilai B/C
awalnya produktivitas relatif tinggi, yaitu
yang lebih kecil. B/C hanya memberikan
500–1.000 kg/ha, pada umur tanaman
arti bahwa jika > 1 adalah layak dan jika
7–10 tahun. Namun demikian dengan
< 1 adalah tidak layak (Kadariah, 1988,
semakin bertambahnya umur tanaman,
Gittinger 1982 dan Debertin, 1986).
kanopi tanaman juga semakin merapat
Penentuan usahatani yang paling baik
satu dengan yang lainnya. Hal ini
juga
menyebabkan produksi jambu mete yang
pendapatan bersih yang tertinggi. Jika
dicapai juga semakin menurun. Hingga
hasil tersebut diperhatikan maka nampak
saat ini produksi yang dicapai bervariasi
bahwa usahatani yang paling prospek
antara 50–200 kg/ha. Dengan produksi
untuk dikembangkan adalah cengkeh,
yang dicapai tersebut jelas sangat tidak
kakao, lada, kelapa dan yang paling
memungkinkan lagi dijadikan sebagai
akhir adalah jambu mete meskipun B/C
sumber penghasilan utama masyarakat.
nya paling besar.
menunjukkan
bahwa
merta
dapat
menunjukkan
tersebut
lebih
bahwa
baik
dari
mempertimbangkan
nilai
Jika dikaitkan dengan nilai B/C nampak
bahwa
sumberdaya hitungkan
jika
keluarga
nampak
biaya tidak
bahwa
dari diper-
usahatani
jambu mete memberikan nilai B/C yang
Luas Penguasaan Lahan Minimum Sebagaimana
yang
telah
dikemukakan dalam sebelumnya bahwa langkah kedua yang harus dilakukan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
81
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
untuk mendapatkan nilai pengusahaan
komoditas perkebunan disajikan pada
lahan minimum adalah hasil analisis luas
Tabel 3.
pengusahaan
minimum
usahatani
Tabel 3. Hasil analisis luas pengusahaan minimum usahatani komoditas perkebunan di Sulawesi Tenggara. Luas Pengusahaan = UMP
Komoditas
Usahatani (T)
Usahatani (R + T)
Jambu mete
3,5
5,3
Lada
1,3
1,6
Kakao
0,8
0,9
Kelapa
1,6
1,7
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari
Perluasan
kepemilikan
lahan
produksi
agar
empat komoditas perkebunan, hanya
untuk
tanaman
mampu
mencapai UMP bukanlah satu-satunya
memberikan pendapatan yang setara
jalan yang dapat dilakukan. Perbaikan
dengan UMP walaupun tenaga kerja dan
teknologi usahatani untuk meningkatkan
barang modal keluarga diperhitungkan,
produktivitas adalah salah satu upaya
sementara
nilai
yang dapat ditempuh. Hal ini mengingat
pendapatannya masih di bawah UMP
produktivitas komoditas perkebunan di
Sultra tahun 2005, meskipun tenaga
Sultra masih relatif rendah. Produktivitas
kerja dan barang modal keluarga tidak
jambu mete hanya 375 kg/ha, sementara
diperhitungkan. Hal ini karena saat ini
potensi produktivitas tanaman jambu
rata–rata luas pengusahaan komoditas
mete bisa mencapai 900–2.250 kg/ha
kakao sekitar 1,6 ha per KK. Sementara
(Dhalimi, 1997). Bahkan di Australia
itu rata-rata luas pengusahaan tanaman
produktivitas jambu mete bisa mencapai
kelapa 0,6 ha, jambu mete 1,2 ha, dan
4.000 kg/ha (Suharman et al., 1997).
lada 0,6 ha, lebih rendah dari rata-rata
Selanjutnya
luas
produktivitasnya hanya 380 kg per ha,
kakao
komoditas
pengusahaan
yang
lainnya
minimum
yang
menambah
tanaman
diperlukan untuk mencapai UMP Sultra
sementara
2005.
mencapai 577,92 kg/ha (Kiswanto, 2001)
82
lada
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
di
Lampung
lada
bisa
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
dan bahkan menurut Yuhono (1996)
petani
dengan
tepat,
tanaman jambu mete minimal 3,5
produktivitas lada bisa mencapai 1.680
ha, atau tanaman lada minimal
kg per ha.
1,3 ha atau tanaman kakao 0,8
teknologi
Meskipun
yang
mengusahakan
tanaman
ha, atau tanaman cengkeh 0,8 ha
kakao memberikan pendapatan yang
atau 1,6 ha tanaman kelapa
telah mencapai UMP, akan tetapi dari
(tenaga
kerja
keluarga
dan
sisi produktivitas masih relatif rendah.
barang
modal
keluarga
tidak
Iswanto
diperhitungkan),
(2004)
usahatani
harus
berpendapat
bahwa
Namun
jika
paling tidak terdapat 13 klon kakao yang
tenaga kerja keluarga dan barang
telah diuji cobakan di Indonesia memiliki
modal
potensi produksi antara 1,5 – 2,7 t/ha/
diperhitungkan, maka luas lahan
tahun. Dengan produktivitas tersebut,
minimal yang harus diusahakan
maka luas lahan minimal yang dapat
petani
diusahakan oleh petani dapat menjadi
pendapatan setara dengan UMP
lebih rendah.
adalah 5,3 ha jambu mete, atau
Lain halnya dengan tanaman
milik
untuk
keluarga
memperoleh
1,6 ha lada, atau 0,9 ha kakao,
kelapa yang memilki produktivitas relatif
atau 1,7 ha kelapa.
sudah tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
Dengan luas pengusahaan dan
produktivitas
produksi yang diperoleh saat ini,
kelapa
(setara
kopra
nasional) yang hanya 2. 688 kg per ha
maka
(Nogoseno, 2004). Rendahnya penda-
yang
patan usahatani kelapa sehingga tidak
pendapatan yang setara dengan
dapat mencapai UMP lebih disebabkan
UMP Sultra tahun 2005.
oleh harga produksi yang rendah yaitu
Seluruh komoditas perkebunan
hanya 2.100 per kg.
layak
hanya
ekonomi
tanaman
mampu
kakao
memberikan
diusahakan baik
secara dengan
KESIMPULAN DAN SARAN
memperhitungkan maupun tanpa
1. Kesimpulan
memperhitungkan tenaga kerja
Dengan teknologi eksisting saat
dan sumber daya keluarga. Nilai
ini, maka untuk mencapai nilai
BCR berkisar antara 1,9–2,6 jika
UMP Sultra (tahun 2005) seorang
tenaga kerja dan barang modal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
83
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
keluarga
diperhitungkan
dan
berkisar antara 3,6–13,18 jika tenaga kerja dan barang modal keluarga tidak diperhitungkan.
2. Saran Untuk mencapai nilai UMP Sultra tahun 2005, maka upaya yang paling relistis
adalah
perbaikan
teknologi,
sehinga produktivitas tanaman dapat ditingkatkan. Saat ini terdapat banyak kajian
dan
studi
tentang
teknologi
budidaya komoditas perkebunan, akan tetapi belum sampai ke ”lahan” petani, baru
terbatas
olehnya
harus
pemegang
pada ada
”meja’
peneliti,
kemauan
kebijakan
dari untuk
”membumikan” hasil – hasil penelitian teknologi perkebunan. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z., D. Sahara, Dahya, Julian. W., Yusuf, Muh. Alwi. M. dan A. Syam. 2004. Kajian indikator pembangunan pertanian sulawesi tenggara. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Sultra. Kendari. Abidin,
Z. 2000. Kebijakan pembangunan pertanian di provinsi Sultra. Prosiding Seminar Sehari Lustrum I BPTP kendari. BPTP Kendari.
BPS Sultra. 2006. Statistik Perkebunan dan Hortikultura. Dinas Perkebunan dan Hortikultura
84
Provinsi Kendari.
Sulawesi
Tenggara.
Debertin, D.L. 1986. Agricultural production economics. Machmillan publishing company. New York. Dhalimi A. 1997. Stutus dan Program penelitian Perbenihan Jambu Mete dan Jahe di Indonesia. Prosiding Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Badan Penelitian Tanaman Rempah dan obat. Bogor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara. Laporan Tahun 2005. Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Tenggara. Kendari. Gittinger, J.P. 1982. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UIPress. Jakarta. Iswanto A. 2004. The prospect for local selection of improved planting material, conservation and sustainable production of cocoa in Indonesia. Dalam Selection for resistance and quality in cocoa in Indonesia. ACIAR. Bogor. Kadariah, 1988. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta Kiswanto, 2001. Adopsi dan Difusi Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan pada Usahatani Lada di Kabupaten Lampung Utara. Tesis S2 Fak. Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Malian. H. A, Aman. J.dan M.G.Van Der Veen. 1987. Analisis Ekonomi Dalam Penelitian Sistem Usahatani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Nasir, 1986 . Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nogoseno. 2004. Informasi Perkelapaan. Dalam Prosiding. Hari Perkelapaan. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan. Bogor hal 8 – 21. Parenta, I. 1980. Analisis Ekonomi. Dalam Penataan Ruang untuk pembangunan Wilayah Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Lembaga Penelitian Unhas–Makassar. Sahardi, Z. Abidin, A. Baso L, E. Sutisna dan Suharno. 2003 Kajian indikator Pembangunan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Sultra. Kendari
Samuelson , P.A. and W.D. Nordhaus. 1995. Mikro Ekonomi. Erlangga. Jakarta. Suharman, Maharani, Hasanah, Devi Rusmin dan Rumiati, 1997. Teknologi Produksi Benih Jambu Mete. Prosiding Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Badan Penelitian Tanaman Rempah dan obat. Bogor. Swastika D.K.S. 2000. Beberapa Metdoe Analisis Sederhana untuk Evaluasi KelayakanTeknologi Tepat Guna. Modul Pelatihan B12. Proyek Manajemen Penelitian Pertanian ARM-II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Yuhono, J.T. 1996. Usahatani dan sistem kelembagaan dalam rangka peningkatan pendapatan petani lada. Laporan Bulanan Puslitbangtri, Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
85
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
KERAGAAN KLINIK TEKNOLOGI PERTANIAN (KLITTAN) DI TIGA KABUPETAN DI SULAWESI TENGGARA Syamsiar, Suharno, Idris, M. Rusman, Rusdin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK Klinik Teknologi Pertanian (KLITTAN) merupakan salah satu cara untuk menyampaikan informasi teknologi pertanian kepada petani dan pengguna teknologi pertanian lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu petani memecahkan masalah usahataninya serta mempercepat proses transfer dan adopsi teknologi kepada petani. Kegiatan ini dilakukan pada bulan JanuariDesember tahun 2007 di tiga Kabupaten se Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan dengan jumlah petani kooperator 364 orang. Kegiatan yang dilakukan: Pelayanan sarana produksi pertanian, pelayanan konsultasi teknologi pertanian dan pelayanan informasi teknologi pertanian (perpustakaan). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa keberadaan Klinik Teknologi Pertanian di pedesaan dapat membantu petani dalam memenuhi kebutuhan sarana produksinya secara tepat (waktu, jumlah), mempercepat proses transfer dan adopsi teknologi pertanian, sehingga dapat membantu petani dalam memecahkan masalah usahataninya. Kata Kunci: Klittan, Teknologi pertanian, Pedesaan
PENDAHULUAN
proses penyebaran teknologi (Badan
Pembangunan pertanian merupakan bagian
penting
dari
pembangunan
Litbang Pertanian dalam BPTP Sulawesi Utara, 2004).
nasional yang bertujuan untuk mening-
Sulawesi Tenggara memiliki potensi
katkan pendapatan dan kesejahteraan
yang cukup besar dalam mendukung
petani. Sejalan dengan hal tersebut
pembanguna pertanian karena ditunjang
maka ada 3 hal penting yang perlu
dengan tersedianya lahan yang cukup
mendapat
dalam
luas untuk dijadikan basis kegiatan
meningkatkan pembangunan pertanian,
pertanian yaitu lahan kering seluas
yaitu 1) sumberdaya manusia yang
3.147.000 hektar, dan lahan sawah
mampu
2)
sekitar 944.148 hektar. Sampai saat ini
proses
lahan yang sudah eksis diusahakan
komunikasi hasil penelitian pertanian
untuk perkebunan 407.791 hektar, dan
yang sistematis, efektif, efisien, dan
lahan
berkelanjutan termasuk proses umpan
Sultra,
baliknya;
manajemen
tersebut juga didukung dengan potensi
komunikasi yang baik diantara berbagai
sumberdaya manusia di pedesaan yang
pihak yang terlibat langsung dalam
sebagian besar bekerja pada sektor
perhatian
merespon
metodologi
86
dan
3)
serius
teknologi;
mekanisme
terciptanya
sawah 2004).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
91.025
hektar
(BPTP
Selain
potensi
lahan
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
pertanian sekitar 550.274 jiwa (BPS
petani, dan keterbatasan keterlibatan
Sultra, 2004).
petani dalam pengembangan teknologi.
Pelaksanaan
pembangunan
per-
Salah
satu
upaya
yang
perlu
tanian di Sulawesi Tenggara masih
dilakukan dalam mengatasi tantangan
mengalami tantangan dan hambatan
dan hambatan pembangunan pertanian
terutama dalam proses transfer dan
tersebut adalah perlu adanya pelayanan
adopsi teknologi yaitu petani masih
teknologi spesifik lokasi untuk meme-
lamban
cahkan
dan
belum
mampu
secara
permasalahan
petani
optimal mengadopsi teknologi introduksi
berusahatani
pada usahataninya sehingga masalah
sarana
usahatani yang mereka hadapi masih
kebutuhan petani di pedesaan. Bentuk
lamban dicarikan solusinya. Rendahnya
pelayanan
kemampuan petani dalam mengadopsi
Teknologi Pertanian (KLITTAN).
teknologi introduksi tersebut antara lain disebabkan
karena
produksi
pelayanan
pertanian
tersebut
adalah
sesuai
Klinik
KLITTAN diperlukan keberadaannya
pela-
di pedesaan karena merupakan salah
yanan, keterbatasan modal usaha tani,
satu metode penyuluhan yang bertujuan
rendahnya
terhadap
membantu petani dalam menyelesaikan
teknologi, kurang tersedianya sarana
masalah usahatanianya, mempercepat
produksi pertanian sesuai kebutuhan
proses transfer dan adopsi teknologi
petani secara tepat di pedesaan, dan
spesifik
kurang
keterampilan petani
respon
kurangnya
diantaranya
dalam
petani
seimbangnya
harga
sarana
lokasi
serta
meningkatkan
produksi dan harga hasil pertanian di pedesaan.
Hal
ini
sejalan
dengan
pandangan Soethama (2004) menyatakan
bahwa
berbagai
aspek
yang
METODOLOGI Kegiatan ini dilaksanakan di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Konawe,
menjadi kendala dalam percepatan hasil
Kabupaten
penelitian
Konawe Selatan pada bulan Januari-
di
tingkat
petani
adalah
Kolaka
adanya keterbatasan pelayanan input
Desember 2007
produksi, keterbatasan modal, lemahnya
kooperator.
akses petani dalam bidang informasi dan komunikasi,
lemahnya
kelembagaan
dan
Kabupaten
dengan 364
petani
Kegiatan yang dilaksanakan pada kegiatan ini adalah: pelayanan sarana produksi, pelayanan konsultasi teknologi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
87
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
pertanian
dan
pelayanan
informasi
pertanian (perpustakaan). Dalam pelayanan sarana produksi, masing-masing
disesuaikan dengan kebutuhan petani di masing-masing KLITTAN. Data
yang
dikumpulkan
pada
KLITTAN menyiapkan saranan produksi
pengkajian ini adalah: jenis saprodi yang
yang dibutuhkan petani, seperti: pupuk,
tersedia di masing-masing KLITTAN,
benih, kapur, bibit, pestisida, herbisida
jumlah petani yang berkonsultasi dan
dll. Pada pelayanan konsultasi teknologi
materi
pertanian,
masing-masing
dilaksanakan
secara
ber-
yang
dikonsultasikan KLITTAN.
yang
pada
Data
dikumpulkan
dan
jenjang yaitu: peneliti-penyuluh mem-
informasi
berikan informasi teknologi pertanian
pengkajian ini adalah data primer. Data
kepada pengurus KLITTAN, selanjutnya
tersebut
pengurus KLITTAN memberi pelayanan
menggunakan analisis deskriptif.
kemudian
dianalisa
pada
dengan
konsultasi kepada petani dan pengguna lainnya. Pelayanan konsultasi dilakukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
secara informal dalam bentuk diskusi
A. Hasil
ataupun tukar menukar pengalaman.
Pelayanan Sarana Produksi Pertanian
Pada
pelayanan
informasi
pertanian
Pelayanan sarana produksi untuk
dengan
masing-masing klinik teknologi pertanian
pelayanan
di 4 lokasi pada tahun 2007 dapat dilihat
(perpustakaan)
dilaksanakan
menyediakan
fasilitas
informasi (perpustakaan) yang dikelola
pada
oleh pengurus KLITTAN dan kelompok
produksi disesuaikan dengan kebutuhan
tani guna melayani kebutuhan informasi
petani. Sarana produksi yang disediakan
teknologi pertanian setiap saat. Oleh
meliputi bibit, pupuk dan pestisida.
karena
itu
masing-masing
KLITTAN
Tabel
1.
Penyediaan
sarana
Klinik teknologi pertanian di 4 lokasi
dilengkapi dengan berbagai
media
pada
informasi
leaflet,
pelayanan
brosur, petunjuk teknis rakitan teknologi
pertanian.
pertanian,
dilakukan ialah konsultasi antara petani
pertanian
bulletin
seperti:
teknologi
dan
tahun
2007
juga
konsultasi Bentuk
teknologi
konsultasi
dengan
penelitian, warta penelitian dll yang
penyuluh setempat. Jumlah petani yang
dikelola oleh pengurus KLITTAN. Bahan
melakukan konsultasi dapat dilihat pada
bacaan (media informasi) yang disiapkan
Tabel 2.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
KLITTAN
yang
informasi pertanian, monograph, jurnal
88
pengurus
melakukan
dan
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 1. Jenis saprodi yang tersedia pada KLITTAN Sultra di 4 lokasi pada tahun 2007. No
Lokasi klittan
Jenis saprodi
1
Klittan Winetoro
Pupuk urea, SP-36 KCl, Kasta, Puja, bibit cengkeh, bibit kakao, bibit lada, dan pestisida.
2
Klittan Tunas Mekar
Urea, SP-36, KCl, NPK, kapur, dan pestisida.
3
Klittan Usada Segar Rahayu
Urea, SP-36, KCl, benih padi, dan pestisida.
4
Klittan Watabenua Mandiri
Urea, SP-36, KCl, bibit sayuran, dan pestisida.
tanaman
Tabel 2. Jumlah petani yang berkonsultasi pada tahun 2007. No
Nama Klittan
Jumlah pengunjung yang berkonsultasi
1
Klittan Winetoro
137 orang
2
Klittan Tunas Mekar
96 orang
3
Klittan Usada Segar Rahayu
84 orang
4
Klittan Watabenua Mandiri
47 orang
Jumlah
364 orang
Pelayanan Konsultasi Teknologi Pertanian
pertanian
yang
dilakukan,
bentuk
penyediaan
bahan bacaan di sekretariat KLITTAN
Berdasarkan pelayanan konsultasi teknologi
dalam
materi
teknologi yang dikonsultasikan di 4 lokasi KLITTAN dapat dilihan pada Tabel 3.
seperti leaflet, brosur, buletin teknologi pertanian,
petunjuk
teknis
teknologi
pertanian, monograph, jurnal penelitian dll.
Pelayanan
informasi
pertanian
tersebut dikelola oleh pengurus KLITTAN Pelayanan Informasi Pertanian (Perpustakaan) Pelayanan
informasi
pertanian
dan
kelompok
tani
guna
melayani
kebutuhan informasi teknologi setiap saat.
yang dilakukan adalah dengan menyediakan
fasilitas
pelayanan
informasi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
89
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
Tabel 3. Materi konsultasi teknologi pada KLITTAN Sultra di 4 lokasi pada tahun 2007. No
Nama Klittan/Lokasi
Usaha tani dominan
1
Klittan Winetoro
Kakao, lada
Budidaya kakao, PHT kakao, pengolahan hasil kakao, PHT lada, peng-olahan lada, pemasaran.
2
Klittan Tunas Mekar
Padi sawah, kakao
Budidaya padi, PHT tanaman padi, PHT kakao, pengolahan hasil kakao.
3
Klittan Usada Segar Rahayu
Padi sawah, sapi
Integrasi padi dengan ternak, fermentasi jerami, pemanfaatan kompos, PHT tanaman padi, varietas dan pergiliran varietas padi
4
Klittan Watabenua Mandiiri
Padi, sayuran, ternak sapi
Budidaya padi, budidaya tomat, pakan ternak sapi dan kesehatan ternek sapi.
B. Pembahasan
Materi konsultasi
Pelayanan Konsultasi Teknologi
Pelayanan Sarana Produksi
Keberadaan KLITTAN di pedesaan,
Keberadaan Klinik Teknologi Per-
dapat membantu petani dalam meme-
tanian (KLITTAN) di pedesaan dapat
nuhi kebutuhan teknologi usahataninya,
membantu petani mengatasi masalah
meningkatkan pengetahuan, kecakapan,
usahataninya dalam hal ketersediaan
keterampilan sehingga dapat menum-
sarana produksi. Hal tersebut dapat
buhkan kemandirian petani. Hal tersebut
dilihat pada Tabel 1, dimana masing-
dapat dilihat pada Tabel 3 di mana
masing KLITTAN melakukan pelayanan
masing-masing
sarana
pelayanan
produksi
untuk
menyediakan
KLITTAN
konsultasi
melakukan
teknologi
yang
sarana produksi yang diperlukan sesuai
materinya disesuaikan dengan kebu-
dengan kebutuhan petani dan pengguna
tuhan petani dan pengguna lainnya
lainnya,
sehingga
sehingga
kebutuhan
petani
terhadap pupuk, pestisida, herbisida dll dapat terpenuhi dengan tepat jumlah).
teknologi
pertanian
yang
diperlukan petani dapat terpenuhi.
(waktu, Pelayanan Informasi Pertanian (Perpustakaan) Kebutuhan teknologi di pedesaan, selain
90
didapatkan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
dari
pelayanan
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008
konsultasi teknologi, juga didapat dari pelayanan informasi pertanian. Pelayanan
informasi
pertanian
MANFAAT DAN DAMPAK 1.
dilakukan
terutama di daerah Klittan dapat
dengan menyediakan fasilitas pelayanan informasi
pertanian
dalam
KLITTAN seperti: leaflet, brosur, buletin teknologi
pertanian,
terpenuhi secara cepat dan tepat
bentuk
penyediaan bahan bacaan di seketariat
petunjuk
teknis
teknologi pertanian, jurnal penelitian dll. Dari ketiga pelayanan yang dilakukan pada KLITTAN diharapkan dapat
Kebutuhan sarana produksi petani
(waktu dan jumlah). 2.
Dengan
adanya
perpustakaan
teknologi pertanian dan konsultasi teknologi pertanian di lokasi Klittan, kebutuhan teknologi yang diperlukan oleh petani pengguna dapat terlayani lebih cepat.
membantu petani dalam memecahkan masalah usahataninya yang selanjutnya dapat
meningkatkan
produksi
DAFTAR PUSTAKA
dan
pendapatan petani sehingga kesejah-
BPS Sulawesi Tenggara. 2004. Sulawesi Tenggara dalam Angka.
teraan petani dapat meningkat. BPTP Sulawesi Tenggara. 2004. Satu Dasawarsa Kiprah BPTP Sultra. KESIMPULAN 1. Klinik Teknologi Pertanian (KLITTAN) di pedesaan dapat membantu petani dalam memenuhi kebutuhan sarana produksi secara tepat. 2. Klinik
Teknologi
membantu transfer
Pertanian
mempercepat dan
adopsi
dapat proses
BPTP Sulawesi Utara. 2004. Pedoman Umum KLITTAN Edisi Kedua. Soethama. 2004. Pertanian dalam Tindakan. Sebuah Konsep Pemikiran Pembentukan KLITTAN. Prosiding Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian di Manado. 810 Juni 2004.
teknologi
pertanian spesifik lokasi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
91