BEREBUT OTORITAS: Antara Kilau Emas versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat “Adat”Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
SULTHAN ZAINUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Berebut Otonomi: Antara Kilau Emas versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat“Adat” Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah) adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun keperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November, 2012
Sulthan Zainuddin NRP.I.363080011
iv
v
ABSTRACT SULTHAN ZAINUDDIN.: Autonomy Dispute: Between glitter of gold and conservation (Special Study on Traditional Gold Mining in Kaili Custom Community at Poboya, Palu City, under the supervisor of ENDRIATMO SOETARTO, SOERYO ADIWIBOWO AND NURMALA K. PANJAITAN) The presence of conflict involving the custom community, the government and the corporation is caused by a different understanding of seeing the natural resources. This different understanding has caused a different management and utilization of natural resources. This often leads to a conflict of interest among the government, corporation, and local community. According to the macro perspective, this research actually aims to explore the question about the management conflict of Poboya HRD, actors involved in getting access and control of HRD, the group that get impacts of benefits and loss from the relation between the existing authority and custom people‟s representatives in the middle of it. To give direction and clarity of methodology in this research, multi-paradigms, that is critical paradigm and constructive paradigm, are used. To overcome the conflict, the researcher looked at Marx‟ views on class conflict and the presence of opposing actions: Dahrendorf‟s views on domination of the government power towards public domain; and Randall Collin‟s views on the control of a group of people on resources. By using the conflict perspectives coated with ecology-politic perspective, this research shows that the conflict happening in Poboya is a dispute among the actors of different ideologies. Those who act on behalf of “custom”, together with a number of local ORNOP (ecopopulism) build community power to dominate and get an access to HRD in Poboya. This cannot be separated from the presence of a group of ideologists and custom community, and “shared authority” in the local political elites due to double interests. On the other hand, the custom community, which should have become the final “shelter” for natural resource conservation, has, in fact, become involved in the dispute itself. If this did not manage well, Poboya would be trapped in “natural resources curse”: a country that is rich in natural resources (gold), but its people live in poverty. (Auty, 1993) Key words: Conflict, Authority, Custom Community, People‟s Mining
vi
vii
RINGKASAN
SULTHAN ZAINUDDIN. Berebut Otonomi: Antara Kilau Emas Versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat ”Adat” Kaili di Poboya Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengan, dibawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO, SOERYO ADIWIBOWO AND NURMALA K.PANDJAITAN Dorongan kuat keberpihakan kepada masyarakat lokal dan perjuangan penyelamatan lingkungan adalah dua kutub yang saling berbenturan (konflik), Terjadinya konflik yang melibatkan komunitas masyarakat adat Kaili dengan Pemerintah Daerah serta korporasi disebabkan karena adanya perbedaan dalam melihat Objek yang sama. Bagi masyarakat Poboya beserta beberapa LSM lokal menganggap bahwa tambang emas yang ditemukan itu adalah anugerah bersama (common property) yang harus dimanfaatkan masyarakat lokal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sementara bagi pemerintah penambangan emas yang dilakukan masyarakat itu dapat mengancam ekosistem, bukan hanya masyarakat Poboya sendiri tapi juga pemukiman masyarakat perkotaan. Meski sudah dilakukan pertemuan atas pihak-pihak yang berkonflik, nampaknya pemerintah belum mampu mengotrol sepenuhnya pengelolaan SDA di Poboya yang ditandai dengan semakin maraknya aktivitas penambangan dan meningkatnya eskalasi konflik. Secara makro penelitian ini sesungguhnya ingin mengeksplorasi pertanyaan tentang konflik pengelolaan SDA di Poboya, aktor yang terlibat untuk mendapatkan akses dan kontrol atas SDA, kelompok yang menerima manfaat dan kerugian dari relasi kekuasaan yang terbangun serta reperesentasi masyarakat adat di tengah arus pusaran pertarungan akses SDA di Poboya. Untuk memberikan arah dan kejelasan metodologis dalam penelitian ini maka digunakan multi paradigma menurut Guba & Lincoln (dalam Denzin, 2000), yaitu paradigma kritis dan paradigma kostruktivis. Keduanya sama-sama varian anti positivistik. Paradigma teori kritis (subjectivism) dapat digunakan untuk membongkar masalah relasi kekuasaan dan kontestasi para aktor yang mendasari pola-pola penguasaan, pemanfaatan dan pemilikan sumber daya Alam di Poboya, sedangkan konstruktivis (Interpretivism) digunakan untuk melihat bagaimana masyarakat adat mengkonstruksi alam dan lingkungannya sehingga mereka dapat merefresentasikan diri dan mengambil manfaat di tengah arus pusaran pertarungan akses SDA. Untuk memberi pemahaman dasar tentang konflik, peneliti perlu mereview beberapa definisi yang sudah dikemukakan para ahli, seperti; Fisher, (2001); Fauzi, (2000); Peluso, (1992); Nader dan Todd, (1978).
viii
Untuk mengurai permasalahan konflik sumberdaya alam di kawasan penambangan Poboya, peneliti mengacu pada definisi Peluso (1992) dan Fauzi, (2000) karena mewakili aspek materi penelitian yakni konflik sumberdaya alam. Atas dasar itu, peneliti mendefinisikan konflik sumberdaya alam sebagai ketimpangan penguasaan, akses, kontrol serta klaim sepihak atas sumberdaya alam berdasarkan sejarah, pengalaman dan kepentingan. Untuk membedah mengapa dan bagaimana konflik itu terjadi, peneliti merilik pemikiran Marx, Dahrendorf, dan Randall Collin. Penjelasan dari ketiga tokoh tersebut dapat digunakan sebagai alat analisis untuk memahami konflik antara pemerintah, korporasi dan komunitas yang ditandai dengan hadirnya gerakan perlawanan (resistensi) komunitas lokal terhadap kekuasaan yang mendominasi (Marx), di mana Kemunculan perlawanan tersebut tidak terlepas dari kontradiksi struktural dalam masyarakat yang mewarisi akar konflik atau karena akibat dominasi kekuasaan Negara terhadap ranah publik (Dahrendorf) serta control sekelompok orang atas sumberdaya (Collin). Sebagai alat bantu untuk mengurai konflik, peneliti mengadopsi pemikiran Moore (dalam Fuad & Maskanah, 2000) tentag pemetaan konflik dan Fisher, (2001) tentang penahapan konflik. . menurut Moore konflik dapat dipetakan ke dalam ruang-ruang konflik; (a) Konflik data, (b) Konflik Kepentingan, (c) Konflik hubungan antar manusia, (d) Konflik nilai, (e) Konflik struktural. Kelima ruang konflik tersebut merupakan satu sistem kesatuan. Sementara dari Fisher, (2001) menjelaskan penahapan konflik dimulai dari (a) Pra Konflik, (b) Konfrontasi, (c) Krisis, (d) Akibat, (d) Pasca Konflik. Selain perspektif konflik, peneliti juga menggunakan perspektif perlindungan sumberdaya alam dari Witter dan Bitmar, (2005) yang memperkenalkan tiga wacana atau aliran pemikiran (school of thought) yang sangat berpengaruh dan mewarnai kebijakan pembangunan sumberdaya alam yaitu: konservasionime, eko-populisme dan developmentalisme. Konflik pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi yang sering kali melibatkan pemerintah, masyarakat adat dan korporasi sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari pilihan paradigma yang digunakan dalam pengelolaan konservasi itu sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konflik di Poboya bukalan konflik yang berdiri sendiri. Konflik yang terjadi sifatnya mengemuka dan tersembunyi (semu) dengan dinamika temporal. Jika dipetakan berdasarkan aras meliputi aras kekuasaan, kebijakan dan komunitas. Pada aras kekuasaan terlihat dengan keterlibatan elit-elit politik lokal. Sedangkan pada aras kebijakan terkait dengan penetapan kawasan TAHURA dan Perwali. Jika dipetakan berdasarkan aktor, maka konflik di Poboya melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta dan LSM.
ix
Konflik yang sedang terjadi di Poboya saat ini adalah pertautan konflik penting antar aktor yang masing-masing mengusung isu yang berbeda seperti aktor legal formal yang berorientasi pada PAD dengan pemberian kesempatan yang besar kepada perusahaan dalam bentuk konsesi. Sementara aktor yang lain LSM lokal (eko-populisme) berorientasi pada keadilan sosial dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Sedangkan aktor yang lain, LSM hijau, berorientasi pada penyelamatan atau perlindungan lingkungan hidup. Adapun Aktor yang berkepentingan di Poboya yakni; Pemerintah Pusat, elit politik lokal (Gubernur, Walikota), Aparat Keamanan, Korporasi, Komunitas Adat. Reperesentasi komunitas adat diwujudkan dalam bentuk merebut kendali akses dan kontrol SDA di Poboya.
Kata Kunci: Konflik, Otoritas, Komunitas adat, Tambang Emas
x
xi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bantuk apapun tanpa izin IPB.
xii
xiii
BEREBUT OTORITAS: Antara Kilau Emas versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat “Adat”Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
SULTHAN ZAINUDDIN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
xiv
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA (Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan (FEMA- IPB) 2. Dr. Saharuddin, MSi (Dosen Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA- IPB)
Penguji Luar KomisipadaUjian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Muh. Basir Cyio, SE,MS 2. Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
xv
Judul Disertasi
: Berebut Otoritas: Antara Kilau Emas versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat “Adat” Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah)
Nama Mahasiswa
: Sulthan Zainuddin
NIM
: I363080011
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Prof.Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Anggota
Dr. Nurmala K. Pandjaitan,MS.DEA Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr NIP. 19630914 1990003 1 002
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr NIP. 19610905 198609 1 001
Tanggal Ujian : 20 November 2012
Tanggal Lulus:
xvi
xvii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan disertasi yang judul “Berebut Otoritas: Antara Kilau Emas versus Konservasi” akhirnya dapat diselesaikan. Penelitian ini mengambil studi kasus penambangan emas tradisional pada komunitas masyarakat “adat” Kaili di Poboya Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan peneliti terhadap kerusakan ekologi Poboya sebagai kawasan konservasi Tahura akibat dari pertarungan
kepentingan
yang
mengatasnamakan
komunitas
“adat”.
Pertarungan kepentingan itu ibarat sebuah pentas opera yang sempurna memainkan alur cerita tentang keterbelakangan, kemiskinan dan marjinalitas. Menarik dari pentas opera ini adalah penulis skenario tidak berada di belakang layar tapi tampil sebagai pemain didukung oleh aktor-aktor yang punya otoritas dan bersama-sama memanfaatkan isu masyarakat adat Poboya sebagai simbol perjuangan. Dominasi negara dalam pentas “Opera Van Poboya” melahirkan elit lokal yang kuat dalam melakukan negosiasi maupun renegosiasi terhadap sumberdaya alam Poboya. Tapi bagi masyarakat adat Poboya yang sesusungguhnya yang ada di ujung pelosok negeri Poboya, apa yang mereka dapatkan dari negosiasi di pentas opera itu, kecuali menggali kuburnya sendiri. Memang sangat ironis, kekayaan sumberdaya alam di masa otonomi daerah, seharusnya mensejahterakan masyarakat tapi kenyataannya masyarakat yang hidup di atas tumpukan emas mungkin
hidup terbelenggu dalam kemiskinan, dan
inilah opoera van Poboya yang terperangkap dalam “kutukan
sumberdaya alam” seperti yang diperkenalkan Richard Authy (1993). Upaya mengungkap pentas Opera Van Poboya yang mempertontonkan perebutan sumberdaya oleh aktor yang berkepentingan (negara, Komunitas dan LSM) dalam sebuah disertasi yang tipis ini, tentunya tidak lepas dari dukungan banyak pihak. Saya merasa sangat beruntung karena sejak dari awal studi sampai pada penyelesaian akhir di Mayor Sosiologi Pedesaan IPB.
xviii
Saya merasa bersyukur karena berkesempatan dipertemukan dengan orangorang yang punya jejak arkeologi pengetahuan yang jelas. Untuk itusaya Sulthan Zainuddin yang lahir di Sidrap, Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Juli 1969, ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA (Ketua Komisi); Dr. Soeryo Adiwibowo, MS (Anggota Komisi) dan Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS.DEA(Anggota Komisi) yang di tengah kesibukan mereka yang begitu padat, tapi masih sempat meluangkan waktu, penuh perhatian dan kesabaran untuk pembimbingan disertasi ini Secara khusus ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Agr. Ketua program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan (SPD) yang setia setiap saat „diganggu’ untuk diajak berdiskusi dalam rangka memperkaya substansi disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Basir Cyio, SE.MS. Rektor Universitas Tadulako yang ditengah kesibukan Beliau yang begitu padat, masih sempat meluangkan waktu datang ke IPB Bogor untuk menjadi penguji luar komisi. Ucapan terima kasih dan penghargaan secara khusus harus pula saya sampaikan kepada bapak Dr. Felix Sitorus, orang yang paling berjasa dalam meruntuhkan tembok kesombongan intelektual saya dan meletakkan prisipprinsip metodologi penelitian kepada saya selama mengikuti kuliah-kuliah beliau. Saya merasa kehilangan beliau karena tidak sempat bertemu pada detik-detik yang paling bersejarah dalam hidup saya. Selanjutnya ucapan terima kasih tak lupa saya sampaikan juga kepada Bapak Drs. Muhammad Marzuki, MSi, ketua Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dan menyediakan fasilitas kantor untuk mempermudah penulisan disertasi ini. Saya juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada Tokoh Masyarakat Poboya Khususnya Bapak Ali Djaluddin (Ketua
xix
“Adat” Poboya) yang bersedia menerima dan meluangkan waktu untuk wawacara di rumah kediaman beliau di Poboya Secara khusus disertasi ini saya dedikasikan kepada kedua Orang Tua saya; Ibunda tercinta Hj. Baiduri (Alm) dan ayahanda tercinta H. Zainuddin (Alm) yang dengan susah payah mendidik dan membesarkan saya, meletakkan nilainilai kejujuran, kerja keras dan pantang menyerah, tapi tidak sempat menyaksikan anaknya meraih gelar Doktor. Akhirnya, ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya saya tujukan kepada Istri tersayang Fatmawati Patarong beserta putra-putra ku; Prayudi Sultan, Hendra Gunawan dan Tribuana Tovani, yang dengan penuh kesabaran mengikuti ambisi saya untuk meraih gelar tertinggi dibidang akademik. Mereka adalah orang-orang yang berada di balik keberhasilan saya yang selalu memberi dukungan moral, semangat dan do‟a kepada penulis. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala pengorbanan dan bantuannya. Amiin. Penulis berharap agar disertasi ini memberi manfaat dan kontribusi yang berarti kepada masyarakat, pemerintah dan peneliti-peneliti berikutnya. Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan dan membuka diri untuk menerima saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan disertasi ini.
Bogor, November 2012
Sulthan Zainuddin
xx
xxi
RIWAYAT HIDUP
Sulthan Zainuddin lahir di Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan padatanggal 15 Juli 1969, dari keluarga yang sederhana, pasangan H. Zainuddin (alm) dan Ibu Hj. Baiduri (alm). Peneliti adalah anak ke-2 dari tiga bersaudara. Sejak usia 2 (dua) tahun peneliti bersama ibunda hijrah dari Sulawesi Selatan menuju Kalimantan Timur, tepatnya di Berau. Tidak lama kemudian pindah dan menetap di Tarakan. Di kota minyak inilah peneliti menghabiskan masa kanak-kanakhingga menyelesaikan pendidikan dasar dan menegah dari SD Muhammadiyah II Tarakan dan SMP Muhammadiyah Tarakan. Setamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), peneliti kemudian pindah ke Tanjung Selor dan berhasil menamatkan Pendidikan di SMA Negeri I Bulungan Kalimantan Timur pada tahun 1987. Setamat dari Sekolah Menegah Atas (SMA), peneliti hijrah ke Palu dan sempat menimba ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Palu. Tapi karena merasa tidak betah, akhirnya peneliti memutuskan untuk mengikuti Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) untukmasuk perguruan tinggi negeripada tahun 1988 dan berhasil diterima pada jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako. Semasa menjadi mahasiswa di Fisip Untad, peneliti aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan pernah menjadi
Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa
(BPM) dan sempat mendapat beasiswa dari Supersemar. Selain beasiswa Supersemar, peneliti juga mendapat tawaran penerima beasiswaTunjangan Ikatan Dinas (TID)dari departemen pendidikan dan kebudayaanyang kemudian merubah perjalanan hidup peneliti, hingga berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana sosiologi pada tahun 1993. Selepas
dari bangku kuliah, peneliti
langsung bergabung dengan civitas akademika Fisip Untad sebagai staf pengajar. Pada akhir Tahun 1996, peneliti
melanjutkan pendidikan
magister pada
program studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (PPW) Universitas
xxii
Hasanuddin Ujung Pandang (sekarang Makassar) di bawah sponsor Dikti melalui
Beasiswa
Pendidikan
Pascasarjana
(BPPS)
dan
berhasil
menyelesaikan pendidikan magisterpada tahun 1999. Sepulang dari Makassar, selain aktif mengajar di Universitas Tadulako dan Sekolah Tinggi ilmu Administrasi Pembangunan (STIAP)
Palu, peneliti diangkat sebagai
Sekretaris Badan Penerbit (Tadulako Press) Universitas Tadulako, kemudian dipilih menjadi Anggota senat Fisip Untad serta Ketua Lab. Sosiologi Fisip Universitas Tadulako, hingga kemudian memutuskan untuk melanjutkan studi Program Doktor pada program studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008. Saat ini peneliti dikaruniai 3 (tiga) orang putra; Parayudi Nugraha Sultan; Hendra Gunawan dan Tribuana Tovani, buah dari pernikahan dengan Fatmawati Patarong.[]
xxiii
DAFTAR ISI
ABSTRACT RINGKASAN HALAMAN PEGESAHAN PRAKATA RIWAYAT HIDUP DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I
II
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Kegunaan Penelitian 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelusuran Pustaka dan Proses Penemuan Kebaruan (Novelty)
IV
VI
Perspektif Konflik Perspektif Wacana Perlindungan Sumberdaya Alam Perspektif Ekologi Politik Masyarakat Adat Kerangka Pemikiran Hipotesis Pengarah
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode 3.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 3.3. Lokasi, Tahapan dan Waktu Penelitian POBOYA: POTRET KEMISKINAN DI ATAS TUMPUKAN EMAS Latar Belakang Kelurahan Poboya Tata Pemerintahan di Poboya Tata Kelola Peruntukan Lahan 4.1. Potensi Sumberdaya Alam 4.2. Interaksi Sosial
30 43 54 70 78 81 84 89 97
99 101 110 111 112
LEGENDA ASAL-USUL TO KAILI Asal-Usul To Kaili Persekutuan Hidup To Kaili Kearifan Lokal Masyarakat Poboya Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat To Kaili Eksistensi Masyarakat “Adat” di Poboya
VII
1 8 13 14 15 16
PENDEKATAN TEORITIS 2.12.
III
v vii xv xvii xxi xxiii xxv xxvii xxix
115 117 119 125 127
xxiv
REZIM TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN DINAMIKA PENAMBANGAN EMAS DI POBOYA REZIM TATA KELOLA Rezim Kolonial Rezim Orde Lama Rezim Orde Baru Rezim Orde Reformasi DINAMIKA PENAMBANGAN EMAS DI POBOYA Perubahan Moda produksi: Dari Sistem Dulang ke Sistem Tromol Dampak Ekonomi Kegiatan Penambangan Di Poboya Permasalahan Penambangan Emas Di Poboya VIII
153 166 169
KONFIGURASI KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI POBOYA : ANTARA KILAU EMAS DAN KONSERVASI
8.1 8.2
IX
140 144 146 150
Sejarah Terjadinya Konflik Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Struktur Konflik Peta Aktor dan Kepentingannya Tahapan-Tahapan Konflik
181 182 184 187 225
PENUTUP 9.1. Kesimpulan 9.2. Implikasi Kebijakan Epilog: Menakar Antara Masyarakat Adat dan Kelompok ideologis
229 233 235
DAFTAR PUSTAKA
240
DAFTAR LAMPIRAN
249
xxv
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Kajian Terdahulu Tentang Konflik SDA
27
Tabel 2
Tinjauan Dari Tiga Wacana Konservasi
47
Tabel 3
Konservasi Dilihat Dari Berbagai Perspektif
49
Tabel 4
Mitos-Mitos dan Pemikiran Baru tentang Kemiskinan dan Lingkungan
57
Tabel 5
Status Kepemilikan SDA
64
Tabel 6
Keterkaitan Permasalahan dengan Metode Penelitian
Tabel 7
Tahapan-Tahapan Penelitian
Tabel 8
Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kelurahan Poboya 2009
106
Tabel 9
Laju Pertumbuhan Penduduk Periode 2007-2008 di Kelurahan Poboya
107
Tabel10
Komposisi Penduduk menurut Kelompok Umur di Kelurahan Poboya, 2009
107
93 98
Tabel 11 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
108
Tabel 12
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Poboya, 2009
109
Tabel 13
Jumlah Penduduk Menurut Agama di Poboya 2009
110
Tabel 14
Struktur Kelembagaan Kerajaan berdeasarkan adat-istiadat di Sulawesi Tengah
130
Tabel 15
Struktur Kelembagaan berdeasarkan adat-istiadat pada masa Sistem Kerajaan di Kabupaten Donggala dan Lembah Palu
130
Tabel 16 Struktur penggorganisasi pemerintahan Lembaga Adat Desa Mataue-Kulawi.
131
Tabel 17 Struktur Kelembagaan Adat Topomaradia Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala
132
Tabel 18 Tahapan Proses dan Cara kerja Penambangan Emas Tradisional di Poboya
157
Tabel 19
Peluang Usaha dari Penambangan di Poboya
167
Tabel 20
Rencana Penambangan CPM di Sulawesi Tengah
215
Tabel 21
Karakteristik Aktor dan wacana konservasi di Poboya
219
Tabel 22 Hubungan antar Aktor di Poboya
224
xxvi
xxvii
DAFTAR GAMBAR
.
Gambar 1
Ruang-Ruang Konflik
37
Gambar 2
Kerangka Pemikiran
80
Gambar 3
Peta Kelurahan Poboya
101
Gambar 4
Kondisi morfologi di lokasi penggalian wilayah Tambang Poboya
103
Gambar 5
Jaringan Pipa Air bersih di Poboya
104
Gambar 6
Peta Geologi Wilayah Palu Timur, ukamtom 1975 (dalam Lemlit Untad, 2009)
105
Gambar 7
Struktur Kelembagaan Adat Poboya
133
Gambar 8
Tahapan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam di Poboya
163
Gambar 9
Pohon Permasalahan Penambangan Emas di Poboya
171
Gambar 10
Struktur Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam di Poboya
185
Gambar 11
Pemetaan Hubungan antar Aktor di Poboya
187
Gambar 12
Peta Kontrak Karya CPM
216
Gambar 13
Tahapan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam di Poboya
226
xxviii
xxix
DAFTAR LAMPIRAN
1
Permohonan perubahan batas Taman Hutan Raya Provinsi Dati I Sulawesi Tengah Dari Gubernur HB. Paliudju
249
2
Permohonan Percepatan perubahan batas Taman Hutan Raya Provinsi Dati I Sulawesi Tengah dari Gubernur
251
HB. Paliudju 3
Dukungan perubahan batas Taman Hutan Raya Provinsi Sulawesi Tengah dari Bupati Donggala H. Nabi bidja
253
4
Rekomendasi dari Ketua DPRD Kota Rusdy Mastura
255
5
Permohonan pergeseran sebagian tata batas TAHURA Propinsi Sulawesi Tengah untuk keperluan proyek Pertambangan PT. Citra Palu Minerals dari Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro
257
6
Laporan Hasil Pengkajian Lapangan Usulan Perubahan Batas TAHURA Sulteng dari Direktur Konservasi Kawasan Departemen Kehutanan dan Perkebunan
259
7
Jawaban Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail, atas Surat Gubernur HB. Paliudju
261
8
Peraturan Walikota Palu No. 6 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pengelolaan Pertambangan Emas di Kota Palu
263
9
Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penambangan Rakyat
271
10
Peta Kawasan Hutan Untuk Pencadangan Penambangan
291
11
Peta Lokasi Kontrak Karya
293
12
Dokumen Palu Prospect-Foto Udara dari Newcrest Mining Ltd
295
13
Peta Prospek Status Batas Tahura
297
14
Wilayah Minimum yang diusulkan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah untuk penambangan
299
15
Sejarah Prospek Palu dari PT. Citra Palu Mineral
301
16
Tingkat Obligasi Kontrak Karya PT. CPM
303
1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Akhir-akhir ini konflik perebutan kuasa atas hak akses untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam semakin mengemuka. Berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai dengan tahun 2008 sedikitnya ada 7.491 konflik.1 Sementara Data per 23 Maret 2001 dari KPA menunjukkan bahwa di seluruh Indonesia telah terjadi sekitar 1.500 kasus sengketa dan konflik struktural yang mencakup luasan lahan sekitar 2.136.603 Hektar dan mengakibatkan tidak kurang dari 236.761 KK menjadi korban. Pada catatan KPA tersebut, terdapat 571 kasus konflik antara negara yang berlawanan langsung dengan rakyat. Sementara hasil survei ARD, Inc. (2004) menunjukkan bahwa sejak Maret 2002 – Februari 2003 telah terdokumentasikan 845 konflik, atau dengan kata lain telah terjadi lebih dari dua konflik per hari. Khusus di Sulawesi Tengah, WALHI telah melaporkan bahwa sejak tahun 1995 perlawanan buruh, tani, bangsa-bangsa pribumi, mahasiswa, kaum miskin kota, profesional kota ada sekitar 87 kejadian, baik perampasan tanah maupun penggusuran, pada tahun berikutnya meningkat menjadi 95 kejadian dalam bentuk protes dan aksi mogok. Lima tahun kemudian menjadi 212 kasus, meningkat menjadi lebih dua kali lipat bentuk mogok unjuk rasa, dan periode 1980-2002 telah melahirkan 500 ketegangan antara rakyat korban di satu sisi, dan di sisi lain pemerintah dan investor yang berlatar konflik sumberdaya alam dan lingkungan (Muin, 2009).
1
Prudensius Maring, et al, (2011). Laporan Penelitian : Studi Pemahaman dan Praktik Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh Kelembagaan Mediasi Konflik Sumberdaya Alam di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, Scale up Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan
2 Bersamaan dengan konflik-konflik tersebut terjadi pergeseran pola hubungan antara masyarakat adat dengan pemerintah. Pergeseran karakter pola hubungan tersebut terjadi dari pola hubungan yang bersifat harmoni-dominasi ke hubungan yang bersifat konfliktual. Hubungan yang bersifat konfliktual itu tampak pada semakin kuatnya ketegangan antara masyarakat adat dengan pemerintah, bahkan sudah merambah pada kalangan swasta (korporasi). Penyebab terjadinya konflik tersebut cukup beragam, namun di beberapa tempat menunjukkan bahwa konflik antara pemerintah dan komunitas lokal terjadi karena adanya ketidakadilan atau ketimpangan penguasaan sumberdaya alam di mana posisi masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari sumberdaya alam berbasis tanah (hutan, perkebunan dan tambang) secara sistematis diperlemah, sementara sektor swasta (korporasi) berskala besar yang bergerak di bidang industri seperti; perkebunan, kehutanan dan pertambangan mendapat dukungan dari negara (pemerintah).2 Munculnya ketimpangan tersebut tidak terlepas dari adanya perbedaan pemaknaan terhadap sumberdaya alam. Bagi Negara kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan masih dimaknai secara ekonomi dan Politik (Robinson,1986; McCarthy, 2000), di mana sumberdaya alam dipandang sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional sehingga atas nama pembangunan dan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth development) maka eksploitasi sumberdaya alam dilakukan secara masif dianggap hal biasa tanpa menghiraukan prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam itu sendiri. Hal ini bertolak belakang dengan hasil Perhitungan Green Accounting oleh Repetto (1989) yang telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade 80-an ternyata tidak sebanding dengan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan yang sudah mengalami eksploitasi berlebih. 2
Penelitian Dody Payogo (2004), tentang “Konflik antara Korporasi dengan Komunitas Lokal, studi kasus pada Industri Geotermal di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat” menemukan bahwa dari berbagai factor penyebab konflik ternyata factor ketimpangan merupakan penyebab utamanya. Komunitas lokal selaku “pemilik” SDA yang secara turun-temurun berada di sumber kekayaan dipaksa menerima kenyataan di mana investor sebagai pendatang memperoleh keuntungan besar. “Disana ada soal ketidak adilan dan distribusi ekonomi yang tidak merata.
3 Pemaknaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang semata-mata mementingkan target pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata tidak saja menimbulkan kerusakan ekologis tapi juga menimbulkan implikasi-implikasi sosial-budaya dengan tercerabutnya masyarakat adat dari kampung halamannya sendiri. Hal inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan masyarakat adat terhadap negara dan swasta (korporasi). Berbeda dengan negara, masyarakat adat lebih menghargai lingkungannya dengan memaknai sumberdaya alam sebagai nilai budaya yang bersifat ekologis dan
sangat
mendukung
keberhasilan
pengelolaan
lingkungan.
Seperti
ditunjukkan beberapa kajian terdahulu tentang kelembagaan lokal. Ostrom (2003); Murray et all. (2006); Campbell (2003) yang menemukan sejumlah faktor yang dapat mendukung keberhasilan pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat adat, seperti pengaturan hak kepemilikan (property right) yang jelas, serta berfungsinya dengan baik sistem kelembagaan lokal yang meliputi Norma (norm), sanksi (sanction), nilai (value), dan kepercayaan
(belief), yang
mengakar di tengah komunitas. Demikian pula hasil studi yang dilakukan Atmadja (1993) di Bali melalui Desa Adat, mekanisme kontrol sosial terhadap sumberdaya alam (hutan) tetap terjamin. Hal yang sama ditemukan pada komunitas masyarakat adat Ngata Toro di Kulawi yang mengelompokkan sumberdaya alam (hutan) ke dalam beberapa jenis (Sangaji, 2001). Penelitian lainnya disampaikan oleh Rathakette (1984) yang mengambil lokasi studi di Thailand menemukan adanya unsur kepercayaan masyarakat berupa “Taboos” pada suatu kawasan hutan keramat (Phipulu), yang secara tidak langsung berdampak positif bagi konservasi. Kajian-kajian di atas menunjukkan bahwa masyarakat adat, dengan pengetahuan lokalnya serta didukung oleh identitas komunal yang kuat terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan hutan. Artinya mereka tidak selamanya terbukti sebagai perusak, sebagaimana yang dituduhkan selama ini. Masyarakat adat meski menjadikan sumberdaya alam (hutan) sebagai basis nafkah (livelihood), tetapi dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki mereka tidak mengambil sumberdaya alam tersebut melebihi dari kebutuhannya, karena mereka punya
4 “kepercayaan”
yang mengendalikan perilakunya
dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam. Hal ini tentu saja sangat mendukung upaya konservasi. Seperti yang dikemukakan Berkes (1995) bahwa pengetahuan lokal dalam aspek ekologis dan juga pengetahuan lokal tentang sistem nafkah, sangat penting peranannya pada konservasi lingkungan. Menurut Berkes (1995) kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dalam aspek ini adalah: 1.
Self-interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi, karena kekuatannya datang dari dalam dan bukan dari luar.
2.
Sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologis komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad.
3.
Pengetahuan sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumberdaya yang efektif, karena dukungan lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangan practicability-nya yang tinggi.
Namun akhir-akhir ini pengetahuan lokal tersebut semakin kehilangan eksistensinya terutama ketika dihadapkan dengan cara berpikir pemerintah yang lebih rasional. Pengetahuan pemerintah menjadi standar baku dan dianggap yang paling benar sehingga menegasikan keberadaan masyarakat adat dengan semua kearifannya. Hal inilah yang kemudian membangkitkan resistensi masyarakat adat. Meningkatnya konflik yang melibatkan pemerintah, korporasi dan masyarakat adat juga tidak terlepas dari semangat reformasi dan desentralisasi. Pada masa Orde Baru, konflik tersebut masih dapat diredam melalui tindakan represif pemerintah, namun pasca kejatuhan Orde Baru dengan semangat reformasi dan desentralisasi, masyarakat adat yang sudah mengalami “pencerahan” bersama sejumlah ORNOP-L mencoba membangkitkan kembali kerinduan masa lalu tentang “masyarakat adat”. Dengan label “masyarakat adat”, mereka menuntut pengakuan dan pengembalian hak-hak adat untuk penguasaan atas sumberdaya
5 alam, dan sering kali tuntutan itu disertai dengan letupan –letupan baru (McCarty, 2005). Menyikapi meningkatnya konflik agraria yang melibatkan antara masyarakat adat dengan pemerintah (atas nama negara) serta korporasi di kawasan konservasi menurut Kartodihardjo (2006) tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekonomi politik pemanfaatan SDA sejak dari zaman kolonial sampai saat ini yang masih menyisakan empat masalah mendasar yang belum terselesaikan, yakni ; 1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa disertai dengan kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, yang mengakibatkan pengurasan SDA oleh berbagai pihak, baik secara legal oleh yang mendapat ijin maupun secara ilegal yang tidak mendapat ijin; 2) Substansi Undang-Undang maupun peraturan perundangan lain, termasuk Perpu yang menjadi landasan kerja semua sektor cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA; 3) Tindakan eksploitasi SDA secara ilegal telah menjadi instrumen memperoleh keadilan pemanfaatan SDA bagi sebagian rakyat yang tinggal di dalam dan di sekitar lokasi SDA; 4) Prosesproses politik terutama di lembaga legislatif Pusat maupuh Daerah cenderung mengarah pada kebijakan SDA eksploitatif melalui mobilitas suara. Sebagian ahli melihat permasalahan agraria disebabkan karena ketidakpastian yang ditetapkan oleh negara dan pihak-pihak terkait di dalamnya. Lembaga negara hanya bisa mengklaim kewenangannya atas sebagian besar wilayah Indonesia, namun pada praktiknya tidak mampu menunjukkan kemampuannya mengelola wilayah yang luas tersebut serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan dan pengelolaan yang dibutuhkan baik oleh masyarakat setempat maupun kepentingan industri kehutanan (Contreras, 2006). Kebijakan atau aturan hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumbersumber alam lainnya sering kali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telah turun-temurun berlaku dalam sebuah masyarakat (Afiff, 2005). Pandangan yang lebih luas dan merangkum pendapat sebelumnya dikemukakan oleh Wiradi (2009), bahwa pada dasarnya semua jenis konflik sumberdaya alam
6 timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian atau kesenjangan, yakni kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang saling bertentangan. Dari pandangan di atas menunjukkan bahwa konflik-konflik yang berlatar belakang perebutan akses sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat adat dengan pemerintah serta korporasi adalah persoalan yang kompleks dan rumit sehingga harus dilihat dari multi aras, tidak cukup dengan pendekatan teknis – manajerial, sehingga yang dibutuhkan adalah pendekatan sosial-ekonomi, proses politik dan budaya (Adiwibowo, 2007). Salah satu wilayah yang sedang mengalami konflik adalah kawasan konservasi TAHURA Poboya. Mulanya Poboya ditetapkan sebagai Cagar Alam Poboya berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 309/Kpts/Um/6.1973 Tanggal 6 juni 1973. Status Poboya kemudian berubah sebagai bagian dari Wilayah Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 461/KptsII/1995 yang kemudian diperbaharui melalui SK Menteri Kehutanan
No.
24/Kpts-II/1999. Penetapan kawasan Poboya sebagai Cagar Alam maupun sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA)
hampir tidak menemui hambatan,
kalaupun ada hanya pada saat awal ketika rencana tersebut dimulai karena adanya klaim-klaim sepihak yang dilakukan pemerintah, sementara di kawasan tersebut secara de facto telah dihuni oleh Masyarakat adat lintas generasi.3 Konflik antara pemerintah,
korporasi dengan masyarakat adat mulai terasa
ketika terjadi pergeseran isu dari TAHURA ke penambangan. Pada saat itu Poboya menjadi arena pertarungan kepentingan antar aktor yang mengusung isu
3
Penelitian yang dilakukan Lahandu, (2007) Tentang “Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah” menyatakan bahwa masyarakat adat Kaili secara de facto telah membangun sistem integratif dengan alam kehidupannya secara lintas generasi, namun kenyataan menunjukkan lain, kenyamanan terganggu tatkala kawasan ini diklaim menjadi kawasan pelestarian yang membatasi ruang gerak untuk mengakses sumberdaya (hasil kebun) yang berbeda dari sebelumnya. Selanjutnya dikatakan akses masyarakat adat Kaili di wilayah ini telah berlangsung ratusan tahun, namun dengan adanya klaim pemerintah, maka di dalam wilayah itu terdapat kelompok kepemilikan sumberdaya yaitu kepemilikan komunal (communal property), kepemilikan warga (private) dan kepemilikan negara (state property). Jika dikelompokkan terdapat dua sifat kepemilikan yakni de facto dan de jure. Adanya dua kepemilikan tersebut menimbulkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas sumberdaya (lahan, tanah, hutan).
7 yang berbeda seperti aktor legal formal seperti Pemerintah Daerah dan Kota (developmentalism) yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan pemberian kesempatan yang besar kepada perusahaan untuk melakukan eksplorasi. Sementara aktor yang lain, masyarakat “adat” bersama sejumlah LSM lokal (eko-populism) yang berorientasi pada keadilan sosial berjuang untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk ikut berpartisipasi (mengelola) dan mengambil manfaat sumberdaya alam Poboya. Sedangkan aktor LSM hijau (konservasionisme) yang berorientasi pada penyelamatan atau perlindungan lingkungan hidup terus berkampanye dan mendesak pemerintah untuk melakukan penyelamatan lingkungan di Poboya. Sesungguhnya konflik yang sedang terjadi di Poboya adalah pertautan dari ketiga aktor di atas. Mereka yang mengatasnamakan “adat” bersama dengan sejumlah ORNOP-Lokal membangun kekuatan komunitas untuk mendominasi dan merebut akses atas SDA di Poboya. Sementara kalangan NGO (Walhi dan Jatam) terus berkampanye
perlunya
penyelamatan
ekosistem
Poboya
dan
mendesak
dilakukannya moratorium atas penambangan di Poboya. Demikian pula dengan pemerintah, dengan kekuasaan yang dimilikinya berencana melakukan penertiban (penutupan) Penambangan tradisional Tanpa Izin (PETI) dengan melibatkan aparat keamanan. Kehadiran kelompok kepentingan (aktor) menunjukkan adanya Kontestasi yang berujung pada konflik di mana masing-masing aktor menunjukkan eksistensinya. Penelitian ini ingin menyorot keberadaan penambangan emas tradisional di Poboya yang telah mengalami kerusakan sumberdaya alam dan menimbulkan konflik. Kasus ini menarik karena dimensinya berbeda dengan kasus-kasus yang lain meski temanya tetap sama yakni konflik sumberdaya alam. Di banyak tempat sumberdaya alam yang diperebutkan adalah hutan karena kekayaan sumberdaya alam yang punya nilai ekonomi tinggi yakni kayu gelondongan dan selanjutnya lahan yang kayunya sudah dikuras habis disulap menjadi lahan pertanian dan perkebunan walaupun statusnya berada dalam kawasan hutan lindung. Namun berbeda dengan kasus di Poboya meski berada di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA), sumberdaya yang diperebutkan bukan hutan
8 (karena hutannya sudah habis) melainkan lahan tambang emas yang melibatkan banyak kelompok kepentingan, seperti negara, korporasi, komunitas lokal, LSM, dan lain-lain.
Rumusan Masalah Mengamati Poboya dengan segala dinamika yang ada di dalamnya maka harus diteropong dari hulu persoalan terkait dengan perubahan politik dan kebijakan di tingkat nasional sampai ke tingkat daerah. Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang mengakomodir kepentingan kapitalis asing sehingga terjadi ekspansi kapitalis pada semua kawasan yang mempunyai sumberdaya alam bernilai ekonomi tinggi. Hal itu dapat dilihat dari latar belakang diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang prinsipnya menegaskan kembali bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No. 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Secara tidak langsung Perpu tersebut menganulir ketentuan pada pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999 yang melarang kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Artinya secara tidak langsung pemerintah ingin mengakomodir kepentingan kapitalis asing dengan memberikan kepastian hukum dan keamanan investasi agar mereka tetap eksis dalam bisnis pertambangan di Indonesia. Realitas ini mencerminkan tidak adanya perubahan sistem dan kekuasaan yang memihak rakyat. Hal ini sangat relevan dengan tesis bahwa dalam formasi sosial kapitalis berbagai keputusan hukum, ekonomi dan politik dikontrol untuk melindungi kaum penguasa pemilik modal dan para birokrat. Akibat dari kebijakan itu adalah hadirnya korporat besar atau multinasional yang izin penambangannya sudah habis untuk kembali bermain dalam
perebutan
sumberdaya alam. Kondisi ini semakin diperburuk dengan perubahan sikap pemerintah daerah yang memberikan peluang kepada investor luar untuk berinvestasi di bidang penambangan di Poboya, karena bagi pemerintah
9 penambangan merupakan jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun sikap pemerintah yang mengundang investor asing untuk berinvestasi di Poboya oleh sekelompok orang (terutama LSM Hijau) dianggap tidak tepat karena dapat mengancam lingkungan. Persoalan semakin rumit ketika Komunitas “adat” dengan logika sederhana menuntut hal yang sama bahwa jika perusahaan besar diberikan izin oleh pemerintah, maka masyarakat “adat” sebagai pemilik sumberdaya dengan sendirinya boleh melakukan penambangan dan memanfaatkan kekayaan SDA yang ada agar terbebas dari kemiskinan. Atas dasar itu sangat ironis jika masyarakat menderita kemiskinan di atas tumpukan emas. Atas logika sederhana itu, sejak bulan November 2008, masyarakat lokal Poboya dibantu oleh masyarakat dari luar yang lebih berpengalaman, aktif melakukan penambangan. Dengan menggunakan peralatan sederhana, mereka menggali bukit Poboya dan membangun terowongan untuk mengangkut bebatuan (rep) yang diperkirakan mengandung emas. Penambangan emas tradisional di Poboya semakin sulit terbendung ketika aktivitas penambangan dilakukan tanpa kontrol oleh pemerintah sehingga menimbulkan dampak ekologis seperti kerusakan alam, pencemaran air dan udara karena penggunaan zat kimia berbahaya (seperti penggunaan air raksa), yang tidak hanya berdampak langsung bagi perubahan kehidupan masyarakat “adat” di Poboya, tetapi juga mengancam keberlangsungan kehidupan sosial ekonomi masyarakat kota Palu. Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam seperti ini, maka narasi keberadaaan adat melalui kearifan lokalnya semakin dipertanyakan keberadaannya dalam konteks pertarungan gagasan dan kekuasaan antara tradisional dan modern dalam pengelolaan sumberdaya alam, karena ternyata pelaku utama dalam eksploitasi sumberdaya alam (setidaknya di Poboya) tidak hanya domain pemerintah dan kuasa kapitalis, tapi juga karena kuasa komunitas lokal yang berlindung di balik eksistensi lembaga Adat yang memberi ruang kepada “orang luar” yang tidak lain adalah
kapitalis-kapitalis
domestik
untuk
bersama-sama
mengeksploitasi
10 sumberdaya alam Poboya. Pada tataran ini konsep kearifan lokal sebenarnya sudah tergerus oleh nilai-nilai ekonomi yang kapitalis yang melihat sumberdaya alam dari nilai ekonomi semata. Tarik menarik kepentingan semakin keras dengan hadirnya elemen dari luar yakni LSM dengan ideologi yang berbeda, yakni LSM Hijau (konservasionisme) yang berorientasi pada penyelamatan lingkungan dan LSM merah (ekopopulisme) yang berorientasi pada perlindungan komunitas lokal. Kuat dugaan bahwa keberanian komunitas lokal untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kebijakan pemerintah, tidak murni datang dari komunitas itu sendiri tanpa campur tangan LSM yang selama ini melakukan penguatan kepada komunitas lokal. Dari penjelasan di atas, Poboya dengan potensi sumberdaya alam (emas) yang dimiliki sesungguhnya menjadi arena pertarungan kepentingan antar aktor seperti negara, korporasi, komunitas lokal dan kelompok ideologis (LSM). Namun pertarungan yang mereka“mainkan” hanya bersifat semu. Kehadiran para aktor yang berkonflik tidak sampai melahirkan benturan fisik (konflik semu) atau saling menjatuhkan. Pihak-pihak yang berkonflik hanya menunjukkan eksistensinya, di mana negara hadir melalui aturan-aturan formal yang mengikat bahwa kawasan tersebut tidak boleh dijamah karena berada di kawasan konservasi TAHURA, meski pada kenyataannya Negara menerapkan standar ganda karena larangan itu hanya diperuntukkan bagi penduduk lokal (penambang tradisional) tetapi tidak demikian halnya dengan pihak swasta (korporasi), mereka mendapat perlindungan bahkan difasilitasi oleh pemerintah untuk melakukan eksplorasi. Dengan latar belakang demikian maka penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pertanyaan - pertanyaan berikut;
Bagaimana dinamika konflik SDA di Poboya dan di arena mana konflik tersebut terjadi?
Mengapa konflik perebutan sumberdaya alam di Poboya tidak “mencuat” seperti konflik-konflik serupa di tempat lain. Adakah kekuatan yang mengendalikan konflik tersebut sehingga cenderung teratur dan terukur?
11
Mengapa Komunitas “adat” yang tidak mempunyai otoritas dan wewenang tapi mempunyai kekuasaan untuk mendominasi dan mendapat dukungan luas dari komunitas untuk mengambil kendali akses dan kontrol terhadap penambangan di Poboya. Apakah Komunitas “adat” yang ada saat ini benar-benar masih merupakan satu kesatuan hukum adat atau hanya simbol perlawanan yang anti terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populis?.
Bagaimana dampak sosial-ekonomi dan ekologi yang timbul dari aktivitas penambangan di Poboya?
Pertanyaan pertama merupakan pintu masuk untuk memahami konflik di Poboya, di mana konflik yang terjadi pada ruang-ruang kekuasaan yang melibatkan negara/pemerintah, komunitas lokal dan korporasi. Pengalaman masa lalu di mana negara/pemerintah begitu kuat mendominasi masyarakat Poboya melalui kebijakan yang sewenang-wenang dan sangat merugikan masyarakat terutama berkaitan dengan penetapan TAHURA, karena lahan perkebunan yang mereka kelola secara turun-temurun atau lintas generasi secara sepihak diklaim pemerintah sebagai tanah negara. Hal yang menarik kemudian adalah kenapa masyarakat pada saat itu tidak melakukan protes atau perlawanan, dan kenapa baru sekarang mereka berani melakukan penuntutan pengakuan hak ulayat. Pertanyaan kedua merupakan refleksi peneliti setelah membandingkan berbagai konflik sumberdaya alam yang terjadi beberapa waktu yang lalu, di mana konflikkonflik tersebut nyata dan menimbulkan korban. Hal yang berbeda tidak kita temukan di Poboya. Sekalipun terminologi yang digunakan sama yakni Konflik perebutan sumberdaya alam. Satu-satunya peristiwa yang menyerupai konflik Poboya dengan beberapa konflik di tempat lain adalah terjadinya konsentrasi massa yang melakukan aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Kota, Kantor Gubernur atau Kantor Walikota untuk menunjukkan sikap dan penentangan atas kebijakan pemerintah yang dinilai memihak kepada swasta, dan itu pun dilakukan secara terorganisir dan temporal. Setelah itu mereka kembali ke “kandang” melakukan aktivitas penambangan dan disibukkan dengan deru mesin tromol. Sebenarnya beberapa di antara penambang enggan melakukan aksi demo/unjukrasa, karena menurut mereka waktu adalah emas. Namun karena mereka dimobilisasi dan
12 tuntutan kebersamaan, senasib dan seperjuangan, maka mereka terpaksa megikuti ajakan untuk berdemo/berunjuk rasa tersebut. Dari kenyataan yang ada, sepintas konflik di Poboya tidak menimbulkan masalah. Tapi jika dicermati lebih dalam, betapa sumberdaya alam Poboya dieksploitasi tanpa batas dan tanpa kendali menunjukkan adanya relasi antara kuasa ekonomi dan kuasa politik. Poboya menjadi panggung masing-masing aktor-aktor memainkan peran yang berbeda. Pemerintah sebagai representasi negara seolaholah sibuk membuat aturan main untuk menyelamatkan Poboya dari kerusakan sumberdaya, tetapi mereka tidak pernah melakukan aksi nyata untuk melindungi Poboya dari ekspansi kapitalis, bahkan mereka sesungguhnya adalah bagian dari pelaku kerusakan sumberdaya alam itu sendiri, sehingga eksploitasi sumberdaya alam terus mengalir. Demikian pula dengan kehadiran sejumlah ORNOP-L yang tidak bebas dari kepentingan sendiri. Mereka memberi penguatan kepada komunitas “adat”. Dengan label masyarakat “adat” mereka mampu merebut kuasa untuk mengakses sumberdaya di Poboya bahkan lebih dari itu upaya Penambangan Tanpa Izin (PETI) seolah-olah mendapat pembenaran (legitimate). Pertanyaan ketiga lahir dari keprihatinan peneliti melihat fakta-fakta di lapangan betapa kerusakan sumberdaya alam akibat dari relasi kuasa ekonomi dan kuasa politik yang begitu sempurna “berselingkuh” untuk memanfaatkan sumberdaya alam (tambang emas) di Poboya dengan mengatasnamakan komunitas adat. Keterlibatan masyarakat “adat” dalam aktivitas penambangan yang “merusak” adalah sesuatu yang tidak lazim, karena dimana pun di belahan dunia ini ketika membicarakan komunitas “adat” maka orientasi kita mengarah kepada kearifankearifan lokal dengan pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge) yaitu kebijaksanaan manusia yang bersandar pada nilai-nilai filosofi, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional, sehingga bukan hal yang baru kalau dikatakan bahwa mereka punya proteksi dini (early warning system) terhadap alam dan lingkungannya. Tapi kita juga tidak perlu kaget kalau ternyata dari sekian banyak Komunitas “adat” di Indonesia, ternyata hanya tinggal 10 persen dari komunitas “adat” yang benar-benar mempertahankan identitas
13 kulturalnya. Selebihnya sudah mengalami pergeseran-pergeseran nilai, tergerus oleh modernitas dan mungkin salah satunya adalah komunitas “adat” Poboya. Atas dasar itu, penggunaan terminologi komunitas “adat” di Poboya menjadi pertanyaan apakah mereka benar-benar masih ada, dan apa keuntungan yang mereka dapatkan dengan “mementaskan adat” di tengah pertarungan sumberdaya alam, atau seperti dikemukakan McCarthy (2005) bahwa di Indonesia, sejak akhir rezim Orde Baru yang otoriter (1966-1998) kelompok-kelompok lokal telah menghidupkan kembali hak adat di sejumlah besar perebutan sumberdaya alam. Oleh sebab itu menjadi penting mempertanyakan kembali, apakah benar Komunitas “adat” yang ada di Poboya masih merupakan satu kesatuan hukum adat, atau justru semua ini hanya keinginan beberapa kelompok lokal untuk membangkitkan kerinduan masa lalu dan menjadikan komunitas “adat” sebagai media perlawanan atau untuk menentukan posisi “menawar” kepada kelompok lain yang mempunyai kekuasaan terhadap sumberdaya alam di Poboya.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang yang mendasari munculnya beberapa pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) Memahami sejarah dan dinamika konflik yang terjadi di Poboya. 2) Mendalami konflik dan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan atau mengendalikan konflik di Poboya. 3) Mendalami keberadaan kelembagaan adat sebagai media perlawanan sosial yang mempunyai kekuasaan mendominasi dan mengendalikan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam di Poboya. 4) Mengetahui dampak sosial ekonomi dan penambangan.
lingkungan dari aktivitas
14 Kegunaan Penelitian
Penting ditekankan bahwa menafikan faktor penduduk dalam suatu pengelolaan lingkungan akan melahirkan berbagai benturan antara kepentingan pelestarian dengan kepentingan kesejahteraan. Benturan dua kepentingan yang berbeda tersebut mendorong meningkatnya eskalasi konflik yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada semua komunitas masyarakat Adat termasuk Komunitas “adat” Poboya. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan teoretis terhadap beberapa hal: 1)
Hasil penelitian ini akan menjadi bahan referensi bagi pemerintah dalam menangani pemasalahan konsevasi SDA dan lingkungan pada kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) di mana terdapat komunitas masyarakat adat yang secara hukum dan kultur diakui keberadaan dan hak-haknya sebagai bagian dari sebuah ekosistem, tidak hanya di Poboya tapi mungkin di tempattempat lain yang menghadapi kasus yang sama.
2)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik vertikal (pemerintah versus masyarakat adat) dan konflik horizontal (antar sesama penambang) di dalam kawasan konservasi TAHURA.
3)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mencegah terjadinya kerusakan ekosistem agar tetap lestari melalui pengakuan dan peran aktif komunitas masyarakat adat.
4) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan solusi bersama cara pengelolaan SDA dan Lingkungan yang menguntungkan semua pihak dengan tetap memperhatikan dimensi keadilan, kesejahteraan, keberlanjutan dan dimensi sosial. 5)
Hasil penelitian ini akan memperkaya wacana dalam pengembangan ilmu pengetahuan
sosial,
khususnya
peran
sosiologi
permasalahan-permasalahan SDA dan lingkungan aktual.
dalam
menjawab
15 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memberi kejelasan analisis dan metodologi dalam penelitian tentang perebutan otoritas dalam pengelolaan sumberdaya alam di Sulawesi Tengah, maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada struktur pembahasan berikut: 1) Poboya; Kemiskinan di atas tumpukan emas. Pada bagian ini menjelaskan sejarah singkat Kelurahan Poboya, Meneropong Poboya, Peruntukan Lahan, dan iteraksi Sosial Masyarakat di Poboya. 2) Dinamika Penambangan Emas di Poboya. Pada bagian ini dijelaskan perubahan moda produksi dari sistem dulang ke sistem Tromol; dampak kegiatan penambangan dan permasalahan penambangan emas di Poboya. 3) Legenda Asal-Usul To Kaili. Pada bagian ini yang diungkapkan adalah Asalusul to Kaili, persekutuan hidup to Kaili, kearifan lokal to Kaili di Poboya, dan sistem penguasaan tanah to Kaili. 4) Rezim tata kelola sumberdaya alam dan dinamika penambangan di Poboya. Pada bagian ini menjelaskan perubahan rezim pengelolaan SDA sejak zaman kolonial hingga zaman reformasi dan dinamika dari penambangan emas di Poboya 5) Konfigurasi Konflik sumberdaya hutan di Poboya: Antara kilau emas dan konservasi. Substansi yang dikemukakan pada bagian ini adalah sejarah terjadinya konflik, faktor penyebab terjadinya konflik, struktur konflik, peta aktor dan kepentingannya serta tahapan-tahapan konflik. 6) Penutup. Pada bagian ini berisi kesimpulan dan saran-saran. Dari penjelasan ruang lingkup tersebut, maka garis besar (out line) penelitian ini disusun sebagai berikut : Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Bab 7 Bab 8
Pendahuluan Pendekatan Teoretis Metodologi Penelitian Poboya: Potret Kemiskinan di atas tumpukan emas Legenda Asal-Usul To Kaili Rezim Tata Kelola Sumberdaya Alam dan Dinamika Penambangan Emas di Poboya Konfigurasi Konflik Sumberdaya Hutan di Poboya: Antara Kilau Emas dan Konservasi penutup
16 Penelusuran Pustaka dan Proses Penemuan Kebaruan (Novelty)
Tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian tentang konflik sumberdaya alam di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Tema tentang konflik sumberdaya alam sudah banyak diteliti sehingga terkesan tidak menarik atau biasa-biasa saja. Tapi bagi penulis, penelitian ini menjadi penting, tidak sekedar mengungkap secara obyektif fenomena konfliknya, tapi yang lebih penting adalah keinginan untuk menyelamatkan ekosistem sumberdaya alam Poboya dari kerusakan dan membebaskan masyarakat dari kekuatan kelompok yang mengusung kesadaran semu sebagai sebuah komunitas adat. Beberapa penelitian terdahulu yang mengungkap permasalahan konflik serupa (lihat Tabel 1). Namun anatomi konflik di Poboya berbeda dengan analisis konflik-konflik sebelumnya meski isunya tetap sama yakni konflik sumberdaya alam. Di banyak tempat yang sudah dikaji, umumya konflik sumberdaya alam sifatnya nyata (mengemuka) yang melibatkan masyarakat adat versus negara atau masyarakat adat versus korporasi. Konflikkonflik yang terjadi tidak sekedar klaim hak kepemilikan atau hak akses terhadap sumberdaya alam tertentu, tapi sering kali klaim tersebut disertai dengan letupanletupan sosial. Beberapa studi kasus tentang konflik sumberdaya alam yang melibatkan komunitas lokal versus negara atau komunitas lokal versus korporasi, dapat dilihat dari penelitian sebabai berikut:
Penelitian yang dilakukan Prayogo (2008) Konflik Antara Korporasi Dengan Komunitas Lokal: Sebuah Kasus Empirik Pada Industri Geotermal di Jawa Barat (Disertasi, Universitas Indonesia). Dalam penelitian tersebut Dody Prayogo mengamati relasi korporasi dengan komunitas lokal yang tidak harmonis sehingga memunculkan konflik-konflik dengan berbagai tingkatan. Peneliti menemukan bahwa konflik antara korporasi dengan komunitas lokal disebabkan oleh karena faktor ketimpangan dan ketidakadilan di mana distribusi ekonomi yang tidak merata. Komunitas lokal selaku pemilik SDA
17 yang secara turun-temurun berada di sumber kekayaan dipaksa menerima kenyataan di mana investor sebagai pendatang memperoleh keuntungan besar. Munculnya permasalahan tersebut tidak terlepas dari peran negara dengan berbagai kebijakannya yang tidak memperhatikan komunitas lokal sebagai pemilik SDA.
Penelitian yang dilakukan Firmansyah, (2004), Studi Konflik Lahan Perkebunan Kopi Rakyat dalam Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu (Tesis, Institut Pertanian Bogor). Menurut penelitian ini, konflik terjadi karena keterbatasan kepemilikan lahan oleh masyarakat dan kurangnya kesempatan kerja atau kegiatan usaha di luar sektor pertanian. Hal ini berakibat pada tekanan masyarakat akan kebutuhan lahan demi memenuhi kebutuhan hidup. Ketidak-jelasan mengenai hak-hak kepemilikan (property right) mengakibatkan lahan atau hutan menjadi akses terbuka (open access). Dengan menggunakan teori permainan (game theory), peneliti menemukan bahwa terjadinya konflik disebabkan karena ketidakadilan yang bersumber dari keberpihakan pemerintah kepada swasta dan lemahnya aturan
yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam atau
hutan. Dengan teori permainan (game theory) terlihat masyarakat bekerjasama, sementara pemerintah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan) tidak mau bekerjasama. Berbagai upaya pernah dilakukan seperti Kawasan Industri Masyarakat dan program reboisasi namun mengalami kegagalan, tapi upaya yang relatif berhasil yakni program hutan kemasyarakatan. Peneliti menyarankan bahwa untuk melestarikan hutan maka pemerintah perlu melibatkan semua pihak terutama kelembagaan masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Lintong, (2005) dengan judul penelitian Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara (Tesis, Institut Pertanian Bogor) juga mengangkat konflik perebutan akses sumberdaya alam terutama komoditi emas. Dalam penelitian ini ditemukan dua jenis konflik di TNBNW, yakni konflik vertikal (pemerintah vs masyarakat adat) dan konflik horizontal (antara sesama penambang). Menurut peneliti, terjadinya kedua konflik tersebut disebabkan karena tidak adanya
18 kepastian hak pengelolaan sumberdaya alam (mineral) karena status kawasan sebagai Taman Nasional. Namun status sebagai state property tidak diikuti dengan
penguatan
kelembagaan
sehingga
menciptakan
terbentuknya
“kelembagaan ilegal” yang mengelola komoditi emas di TNBNW, mengakibatkan terjembataninya
tidak berjalannya network
antara
fungtioning government dan tidak kelompok-kelompok
sosial,
yang
mengakibatkan konflik semakin sulit diselesaikan. Peneliti menyarankan perlunya dilakukan mediasi yang menghasilkan konsensus bersama antara Penambang Tanpa Izin (PETI) BTNBNW untuk memutus jaringan “kelembagaan ilegal”.
Penelitian yang dilakukan Kuswijayanti (2007) yang berjudul; Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik (Tesis, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor). Penelitian ini mengamati relasi pihak-pihak yang berkepentingan di kawasan Gunung Merapi. Secara garis besar pihak-pihak tersebut memiliki kesamaan kepentingan dan cara pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam melalui konservasi Taman Nasional Gunung Merapi. Namun yang menjadi perdebatan adalah bentuk mekanisme pengelolaan sumberdaya alam (hutan) di lereng gunung Merapi antara perspektif biofisik dan ekonomi versus pergerakan sosial. Pemerintah kemudian memilih mekanisme konservasi melalui Taman Nasional, hal ini kemudian mendapat penentangan dari Ornop-L dan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dengan menggunakan pendekatan akses peneliti mencoba mengajukan sejumlah pertanyaan tentang aktor yang terlibat, apa kepentingannya, dan formasi kekuasaan sampai pada titik akhir, siapa yang mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan menggunakan analisis ekologi politik, hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan TNGM hanya menguntungkan mereka yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan wisata alam, tetapi memberikan ketidak pastian pada mereka yang tinggal di kawasan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian sebagai petanipeternak. Selain itu, konflik yang terjadi antara pemerintah dan Ornop-L adalah konflik Wacana. Peneliti menyarankan bahwa strategi untuk
19 pengelolaan TNGM adalah; (1) pemerintah hendaknya memahami bagaimana mekanisme akses sumberdaya alam yang selama ini bekerja di kawasan Merapi; (2) pemerintah hendaknya bekerjasama dengan organisasi akar rumput untuk menerapkan kebijakan di tingkat lapangan dan bekerjasama dengan Ornop-L untuk mengembangkan wacana konservasi di Indonesia.
Penelitian dilakukan oleh Lahandu, (2007). Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah (Tesis, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor). Penelitian ini menyoroti kebijakan TAHURA yang berimplikasi pada akses masyarakat atas sumberdaya alam (SDA) sebagai sumber penghidupan petani. Klaim sepihak yang dilakukan pemerintah berdampak pada terbatasnya akses masyarakat pada sektor produksi khususnya sumberdaya lahan, hutan (rotan, bambu, kayu bakar) dan sumberdaya tambang (emas dan batu kali). Dengan menggunakan metode partisipatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mengakses sumberdaya alam dengan kemampuannya sendiri, tanpa mendapatkan hak kelola (property right) dari yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan
mengamanatkan
bahwa
masyarakat
(stakeholders) berkenaan mendapatkan hak pengelolaan dari pemerintah dengan prosedur dan mekanisme yang jelas namun tidak dilakukan. Hal ini berekses pada buruknya relationship (masyarakat vs pemerintah) dan rendahnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan TAHURA. Peneliti juga menyoroti kehadiran instansi terkait seperti Dinas Kehutanan sebagai pemegang wewenang untuk mengendalikan akses sumberdaya, tetapi kurang mengambil tanggung jawab. Sementara berbagai produk perundangundangan seperti PERDA No. 2/2004 belum mengakomodir isi Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001, UU No. 41/1999, PP No. 68/1998, Perda Tentang TAHURA dan petunjuk teknis termasuk institusi pengelolaan belum ada. Lemahnya koordinasi, informasi, transaksi dan kapasitas kelembagaan pemerintah, merupakan indikator tidak berjalannya sistem resources governance. Karena itu, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal
20 penting; (1) peran hukum atas hak-hak masyarakat, pengakuan formal terhadap istitusi adat, (2) penguatan kelembagaan stakeholders melalui pelatihan dan pendampingan intensif; (3) menjalin kemitraan dengan pihak independen dan memberikan peran sesuai fungsinya; (4) menindaklanjuti aksi penolakan masyarakat terhadap pertambangan emas di Poboya; (5) peningkatan
koordinasi,
informasi,
transaksi
pembenahan sistem resource governance dan
inter/antar
stakeholders,
peningkatan kapasitas
kelembagaan daerah; (6) menerbitkan peraturan pemerintah tentang pengelolaan TAHURA beserta infrastruktur pendukungnya.
Penelitian yang dilakukan Antoro (2010) Konflik-Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) [Tesis, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor]. Penelitian ini berangkat dari realitas lapangan terjadinya perubahan sosial sebagai akibat perubahan ekosistem pada masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana pada tahun 2006 pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Kebijakan tersebut tidak hanya memicu konflik antar pemerintah, masyarakat, dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan evolusi pengetahuan, ekosistem, dan eksistensi masyarakat. Penelitian yang dilakukan
Kus Sri Antoro (2010) mencoba mengungkap
struktur konflik, pembentukan jejaring SDA, dan pola-pola penerapan kekuasaan atas SDA. Dengan menggunakan konsep Govermentality sebagai alat analisis, peneliti menunjukkan
bahwa; 1) Konflik sumberdaya alam
disebabkan oleh faktor yang berdimensi material, yaitu sistem politik dan struktur agraria dan faktor yang berdimensi immaterial yaitu politik ekonomi dan ketidakadilan, konflik bersifat laten dan manifest; 2) Proses politik kebijakan menunjukkan keterlibatan kepentingan ekonomi politik dari agen ekonomi global dalam konteks perubahan-perubahan agraria; 3) Struktur konflik bersifat kompleks dan terjadi pada aras kekuasaan, kebijakan dan
21 komunitas, dan 4) Relasi kekuasaan atas sumberdaya alam dari pemerintah, masyarakat, dan swasta bersifat mutual, konfliktual dan netral. Kesimpulan dari penelitian ini adalah; 1) Struktur konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo bersifat multi aktor, multi dimensi, multi materi, manifest dan laten, serta sementara dan berlangsung terus menerus; 2) jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo terbentuk melalui artikulasi struktur penguasaan sumberdaya alam, proses politik kebijakan dan struktur konflik struktur konflik sumberdaya alam; 3) konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo berhubungan secara sinergis dengan krisis sumberdaya alam dan krisis sosial politik setempat; 4) alternatif pengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo sulit terbentuk karena ketiadaan kepercayaan, keterbukaan informasi dan komunikasi, kesetaraan kekuasaan antara pemerintah, masyarakat dan swasta.
Penelitian yang dilakukan Tangketasik (2010); Antara Negara dan Tongkonan: Ruang-Ruang Negoisasi Baru Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia). Dibandingkan
dengan
penelitian-penelitian
yang
sudah
disebutkan
sebelumnya, kajian Jansen Tangketasik ini lebih mewakili konflik antar ruang kekuasaan
karena menghadirkan simbol budaya (Tongkonan) sebagai
representasi Komunitas “adat” dan pemerintah daerah sebagai representasi negara. Bagaimana para pihak memerankan otoritas secara berubah-ubah dalam penguasaan hutan serta bagaimana kekuasaan bekerja
dan strategi untuk
memenangkan proses pembuatan konsensus baru melalui proses negosiasi mencari titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan antar para pihak dalam menyelesaikan konflik menjadi inti permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini. Kajian ini memperlihatkan bahwa dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antar pihak
22 dipengaruhi klaim otoritas masing-masing pihak berbasis hukum negara dan adat. Dualisme kekuasaan dengan basis hukum berbeda tersebut terlihat dalam strategi yang dijalankan. Para agen memerankan strategi peran ganda dengan cara mengedepankan kekuatan regulasi formal yang berasal dari negara atau pemerintah dan kekuatan norma-norma adat dan simbol simbol tongkonan untuk mencapai tujuannya. Usaha menonjolkan regulasi formal dan simbol negara bertujuan menciptakan suatu order kepada masyarakat. Namun, pada saat tertentu simbol kekuatan lokal seperti tongkonan beserta adat-istiadatnya ditonjolkan untuk meraih kepatuhan masyarakat dan menawar kekuasaan negara.
Penelitian yang dilakukan Rahasthera (2007). Konflik Kepentingan Pada Pengelolaan Jasa Ekosistem Hutan Lindung (SK Pengelolaan Air Antara Pemangku Kepentingan pada Hutan Lindung Sungai Wain, Kotamadya Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur (Tesis, Pascasarjana Universitas Indonesia). Penelitian ini menarik karena bersifat tripolar; negara, korporasi dan komunitas. Meski temanya konfik sumberdaya alam, namun nuansa penelitian ini lebih spesifik karena menyoroti permasalahan ekowisata, konflik tata ruang, dan kepemilikan tanah antara penduduk di sekitar HLSW, konflik pengelolaan air dalam konteks relasi hulu-ilir. Peneliti berasumsi bahwa konflik pengelolaan air di HLSW disebabkan karena adanya interaksi antara komponen lingkungan alam (HLSW), lingkungan buatan (industri, pertanian, pemukiman) dan lingkungan sosial (kelembagaan negara-masyarakat-swasta). Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan terhadap keberadaan HLSW adalah pemerintah, masyarakat sipil dan swasta. Terjadinya konflik disebabkan karena adanya kepentingan yang berbeda atas fungsi
HLSW.
Masing-masing
sektor
masih
mengedepankan
etika
antriposentrisme dalam membangun relasi dengan HLSW. Kepentingan PT. Pertamina terhadap HLSW adalah jaminan kontinuitas air dari HLSW untuk kegiatan operasional kilang minyak Balikpapan. Sementara bagi pemerintah, keberadaan HLSW sebagai penyedia air alternatif bagi Kota Balikpapan, sedangkan bagi masyarakat di sekitar HLSW adalah adanya kontribusi atas
23 usaha mereka menjaga kawasan hulu. Melihat permasalahan itu, peneliti mengajukan alternatif penyelesaian konflik melalui rekonsiliasi dan negosiasi. Pembayaran jasa lingkungan KLSW merupakan salah satu solusi karena dipercaya semua pihak dapat menjadi sarana penyelesaian konflik.
Demikian pula dengan penelitian Yudhantara (2006) Konflik Antara BP Dengan Komunitas Lokal di Teluk Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Irian Jaya Barat.
Penelitian ini mengangkat permasalahan-permasalahan
tentang bentuk konflik yang terjadi terkait dengan pembangunan dan pengoperasian kilang LNG, dan bagaimana respon komunitas lokal (suku Sebyar) sebagai pemilik hak ulayat yang terkena dampak dari pembangunan kilang LNG tersebut, serta implikasi kebijakan-kebijakan yang berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Menurut penelitian ini konflik terjadi ketika BP memulai pelaksanaan pembangunan Kampung Tanah Merah dan Saengga sebagai bagian komitmen terhadap penduduk yang dipindahkan akibat proyek. BP juga melakukan penerimaan tenaga kerja untuk pekerjaan pembangunan Kampung Tanah Merah dan Saengga serta pembangunan Kilang LNG di Tanah Merah. Namun pelaksanaan pembangunan kedua desa tersebut ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari komunitas lokal Suku Sebyar karena merasa merekalah yang paling berhak atas kompensasi hasil gas alam. Konflik awalnya berjalan dengan laten, berupa pertanyaan-pertanyan ketidakpuasan dan protes-protes dari anggota komunitas, tapi kemudian berkembang menjadi manifest berupa ancaman, penahanan fasilitas dan penyerangan camp. Peneliti menyimpulkan bahwa ada tiga masalah yang menyebabkan konflik, yaitu harapan komunitas lokal yang tidak terpenuhi, peran pemerintah yang lemah dan penguatan civil society yang menyempit. Melihat permasalah itu, maka strategi utama yang perlu disusun adalah penguatan civil society, pengembangan kapasitas bagi pemerintah dan kerjasama dengan stakeholders lainnya.
Penelitian yang agak berbeda ditemukan dari hasil penelitian Hidayat (2010). Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani Dalam Pengelolaan
24 Lahan Rawa Pasang Surut
Kalimantan Selatan (Disertasi, Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor). Meski tidak fokus pada konflik, tapi kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal, penelitian ini dapat menjadi rujukan karena penggunaan paradigma kritis untuk mengungkap faktor dominasi sains dalam konteks kontestasi. Untuk mengungkap proses interaksi antara pengetahuan lokal dengan sains, dan struktur mendominasi sebagai inti permasalahan, maka penelitian ini menggunakan grounded research dengan paradigma teori kritis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa; 1) pengetahuan lokal terbentuk dan berkembang dari interaksi masyarakat dengan dinamika kondisi lingkungan lahan rawa pasang surut; 2) Masuknya sains melalui pengembangan pertanian modern dalam kehidupan petani di lahan rawa pasang surut menciptakan kontestasi dengan pengetahuan lokal petani setempat. Bentuk kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal ditentukan oleh sifat dan peranan sains tersebut terhadap pengetahuan lokal; 3) Sistem sosial akan memberikan respon terhadap proses kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal. Sains yang mampu mengisi kekurangan dan kelemahan pengetahuan lokal dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut mudah diterima sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat setempat; 4) eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pada era modernisasi pertanian saat ini ditentukan oleh; a) bentuk kontestasinya dengan sains, b) perubahan lingkungan biofisik, c) respon sistem sosial, d) kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Penelitian Taufik Hidayat ini memang mengeksplorasi pengetahuan lokal sebagai produksi pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kondisi lingkungan spesifik setempat. Namun dalam pembahasannya kurang menonjolkan proses kontestasi yang terjadi, sehingga yang terlihat adalah kontestasi dua tipe
pengetahuan pertanian lahan rawa pasang surut.
Sebenarnya dalam analisisnya tidak ditemukan proses dominasi, karena ternyata masyarakat adat tetap dengan pilihan dan caranya sendiri, meski tidak menutup mata terhadap masuknya pengetahuan baru (sains) dalam
25 proses pertanian lahan pasang surut tersebut. Di samping itu penelitian ini bukan dalam kategori konflik meski judul utamanya adalah kontestasi. Tapi secara paradigmatik penelitian ini menarik karena keberpihakan peneliti terhadap obyek yang diteliti dan mampu menjabarkan keunggulan pengetahuan lokal dibanding dengan sains. Dari abstraksi beberapa penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa konflik sumberdaya alam disebabkan oleh banyak faktor. Konflik bisa terjadi karena adanya ketidakadilan/ketimpangan dan marginalitas (Prayogo, 2008; Yudhantara, 2006); Adanya ketidakjelasan mengenai hak-hak kepemilikan (property right) [Firmansyah, 2004; Lahandu, 2007; Antoro, 2010]; Tarik menarik kepentingan (Kuswijayanti, 2007; Rahasthera, 2007; Tangketasik, 2010). Penelitian ini tentu mempunyai kemiripan dengan penelitian-penelitian terdahulu, namun tetap memiliki perbedaan. Beberapa faktor pembeda penelitian yang saya lakukan adalah dimensi dan anatomi konfliknya. Pada umumnya peneliti mengadopsi terminologi “masyarakat adat” yang diyakini mewarisi kearifan lingkungan dengan pengetahuan lokalnya. Hampir tidak ada satu penelitian yang mempertanyakan sejauh mana legalitas keberadaan masyarakat adat dan benarkah mereka masih mempunyai kearifan-kearifan lokal. Sering kita jumpai komunitas “adat” selalu berada pada posisi terhegemoni, termarjinalkan atau tersubordinasi. Hal inilah yang menjadi salah satu pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya di mana obyek penelitian ini adalah Komunitas “adat” yang memegang kendali akses terhadap sumberdaya alam di Poboya. Demikian pula dengan karakteristik aktor yang berkonflik. Umumnya konflik yang terjadi akibat dari tarik-menarik kepentingan, atau karena perebutan sumberdaya alam melibatkan dua pihak atau lebih. Setidaknya hasil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa konflik sumberdaya alam bersifat bipolar atau tripolar, yakni konflik antara komunitas lokal versus negara, komunitas lokal versus korporasi, negara versus korporasi atau komunitas lokal versus negara versus korporasi. Dari beberapa penelitian terdahulu, aktor-aktor yang berkonflik
26 berdiri pada satu posisi yang jelas sehingga apa yang diperjuangkan menjadi jelas. Hal inilah yang menjadi pembeda berikutnya, karena ternyata aktor yang berkepentingan di Poboya, posisinya tidak jelas akibat adanya “otoritas terbagi” dikalangan elit politik lokal karena kepentingan ganda. Pemerintah di satu sisi adalah kelompok pemilik otoritas yang seharusnya mengatur sumberdaya alam tapi justru secara personal juga terlibat dalam perebutan sumberdaya emas di Poboya, sementara di sisi lain komunitas “adat” yang seharusnya menjadi “jangkar” terakhir perlindungan sumberdaya alam, justru hanyut dalam pusaran perebutan sumberdaya alam. Karena itu agak mustahil untuk menertibkan penambangan tanpa izin di Poboya karena adanya otoritas terbagi, di mana pemegang kendali mempunyai kepentingan ganda terkait dengan kelangsungan investasinya. Hal yang sama terjadi di kalangan ORNOP-L. Mereka yang tergabung dalam LSM Hijau (konservasionisme), meski sibuk mengkampanyekan perlunya penyelamatan lingkungan di Poboya dengan mengusulkan moratorium, tapi secara personal beberapa kawan-kawan dari LSM hijau juga terlibat dalam aksi-aksi lokal yang mendorong kemandirian komunitas dalam mengeksplorasi sumberdaya emas di Poboya. Faktor pembeda berikutnya adalah karakteristik konfliknya. Dari abstraksi penelitian sebelumnya menunjukkan konflik lebih banyak ditampilkan dalam bentuk konflik terbuka (manifest). Hal ini tidak terjadi di Poboya. Konflik yang ada di Poboya bersifat laten atau konflik maya (semu). Disebut konflik maya (semu) karena apa yang dipermasalahkan selama ini yakni menolak korporasi di Poboya, faktanya di Poboya (setidaknya sampai akhir 2011) korporasi belum masuk di Poboya sementara isu yang diusung kalangan ORNOP-L setiap kali melakukan demonstrasi adalah menolak korporasi (CPM) karena dikhawatirkan akan terjadi kerusakan lingkungan yang masif. Tapi kecenderungan keberpihakan mereka kepada komunitas, ternyata telah merusak lingkungan tanpa usaha mengendalikannya.
27 Selain anatomi konflik sebagai pembeda, pilihan metodologi (kumpulan metode) juga membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, terutama penggunaan pendekatan kritis. pendekatan yang sering dilakukan dalam kasuskasus penambangan adalah pendekatan konstruktivisme yang lebih condong mendeskripsikan temuan penelitian. Tapi dengan paradigma kritis, penelitian ini tidak sekedar mendeskripsikan realitas yang mendominasi masyarakat, tapi peneliti mempunyai tanggung jawab untuk melakukan perubahan (cara berpikir) dalam melihat keberadaan sumberdaya alam (tambang emas) dengan membuka selubung dominasi pada masyarakat tersebut.
28 Tabel 1. Kajian Terdahulu Tentang Konflik SDA Peneliti
Tahun
Topik
Pendekatan
Prayogo
2008 UI
Konflik Antara Korporasi dan Masyarakat adat
Postivis*
Firmansyah
2004 IPB
Konflik Lahan Perkebunan Kopi Rakyat di Kawasan Hutan Lindung
Postpositivis*
Lintong
2005 IPB
Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional
Konstruktivis*
Kuswijayanti
2007 IPB
Konservasi SDA di Taman Nasional
Konstruktivis*
Lahandu,
2007 IPB
Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses SDA oleh Masyarakat
Postpositivis*
Antoro,
2010 IPB
Konflik-Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi
Konstruktivis
Tangketasik,
2010 UI
Antara Negara dan Tongkonan: RuangRuang Negoisasi Baru Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan
Konstruktivis*
Rahasthera
2007 UI
Konflik Kepentingan Pada Pengelolaan Jasa Ekosistem Hutan Lindung
Konstruktivis*
Yudhantara
2006 UI
Konflik Antara (Korporasi) dengan Komunitas Lokal
Konstruktivis
Hidayat
2010 IPB
Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal
Kritis
*) Tidak disebutkan secara langsung.
Kultural
Masyarakat adat memiliki sistem adaptasi lingkungan yang paripurna
Basis analisis Struktural
Ketergantungan
Peran negara dalam mengatur resolusi konflik Konflik terjadi krn keberpihakan pemerintah dan lemahnya aturan dalam pengelolaan SDA Konflik terjadi karena peran ganda pemerintah daerah Penolakan ORNOP-L dan masyarakat atas Kebijakan setralistik TN sebagai upaya konservasi Kebijakan penetapan TAHURA yang tidak melibatkan masyarakat adat Kebijakan Pemda Kulon Progo ttg pertambagan pasir besi memicu konflik pemerintahmasyarakat dan swasta
Kekuatan Nilainilai adat (tongkonan) sebagai basis negosiasi – pengelolaan SDA
Masalah identitas budaya antara komunitas lokal dan pendatang Terjadinya pertarungan antara sains &Pengetahuan lokal
Perbedaan kepentingan antara pemerintahmasyarakat & swasta Beberapa kebijakan mempengaruhi terjadinya konflik :
Relasi pemangku kepentingan hulu-ilir atas fungsi HLSW
29
BAB II PENDEKATAN TEORETIS
Dewasa ini isu lingkungan dan pengelolaanya masih terus mengemuka dan bergulir menjadi salah satu wacana yang semakin menarik untuk ditelaah kaitannya dengan pembangunan di Indonesia, terutama setelah munculnya berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga mendorong lahirnya berbagai perspektif tentang perlindungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Seperti yang kita ketahui bahwa di kalangan akademis sedikitnya terdapat tiga perspektif yang berbeda dalam melihat permasalahan SDA dan Lingkungan, yaitu; Pertama,
Teori Konflik sumberdaya alam, yang menjelaskan secara
teoretis terjadinya konflik sosial yang di bingkai persoalan sumberdaya alam; Kedua, perspektif Agraria yang menjelaskan hubungan kepemilikan dan penguasaan SDA; Ketiga, perspektif environmental scarcity (kelangkaan) sumberdaya alam sebagai penyebab kerusakan lingkungan (khususnya yang terbarukan (renewable resources)
dan sangat terkait dengan pertumbuhan
penduduk yang tinggi; Keempat, perspektif ekologi politik, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik berdasarkan dimensi kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal, nasional, global, kesejarahan, gender, dan peran aktor (Peluso dan Watts, 2001). Namun sesuai permasalahan yang diteliti, maka tidak semua perspektif di atas mendapat ruang untuk dibahas.
30 Perspektif Konflik (Pengertian, Paradigma, Tahapan Dan Pemetaan Konflik)
a.
Pengertian Konflik
Dari diskursus mengenai konflik sumberdaya alam, sudah cukup banyak definisi yang dikembangkan oleh para ahli dan pemerhati masalah sosial. Di kalangan sosiolog kadang menggunakan terminologi yang berbeda untuk menjelaskan konflik, seperti sengketa atau kekerasan, meski pengertian tersebut mempunyai makna yang berbeda. Dalam bahasa Inggris, konflik (conflict) dibedakan dengan sengketa (dispute) dan kekerasan. Namun dalam penggunaannya, terminologi konflik sering kali digunakan secara bergantian dengan sengketa atau kekerasan Sengketa sudah pasti mengandung konflik, tapi konflik belum tentu mengandung sengketa. Sengketa adalah kondisi atau situasi konflik yang melibatkan dua pelaku atau lebih yang masing-masing berusaha membenarkan kepentingannya. Sementara konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan kekerasan adalah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher, S, 2001). Dalam koteks penelitian ini, penggunaan kata sengketa atau kekerasan dianggap mempunyai kesetaraan makna dengan konflik. Sekadar memberi patokan apa itu konflik, maka peneliti perlu mereview beberapa definisi yang sudah dikemukakan para ahli, seperti; Fisher (2001); Fauzi (2000); Peluso (1992); Nader dan Todd (1978). Menurut Fisher (2001), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atatu kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Jika diterjemahkan, definisi tersebut terlihat sangat bertumpu pada perbedaan cara pandang yakni sasaran-sasaran (ide, pemikiran, perasaan dan keinginan), sehingga masih sangat abstrak karena tidak membedakan konflik sosial dengan konflik
31 sumberdaya alam. Demikian pula dengan definisi dari Nader dan Todd (1978) yang menyatakan bahwa konflik adalah data mengenai proses sengketa di dapat dari pendokumentasian penggalan sejarah ketidak sepahaman dalam masyarakat atau antar kelompok. Inti dari definisi ini hanya menekankan dua hal yakni ketidak sepahaman antar orang atau kelompok. Definisi ini mempunyai titik kelemahan ketika permasalahan yang dikaji adalah konflik atar ruang kekuasaan di mana konflik terjadi bukan antar orang atau kelompok tapi kebijakan atau kelembagaan. Misalnya Negara versus korporasi korporasi versus dewan adat. Berbeda dengan pejelasan sebelumnya, definisi yang dikemukakan Fauzi (2000) menyentuh aspek sumberdaya alam, bahwa konflik adalah tumbukan klaim hak atas tanah dan/atau sumberdaya alam lain yang berasal dari alas yang berbeda namun masing-masing pihak meyakini kesahihannya sebagai dasar untuk mempertahankan fungsi suatu kawasan berikut sumberdayanya. Sementara menurut Peluso (1992), konflik adalah suatu keadaan di mana ada tingkat perbedaan atau oposisi di antara pihak-pihak dengan kepentingan yang berbeda atas akses dan kontrol potensi sumberdaya alam dan terjawantahkan dalam beturan-beturan sehingga menyebabkan rusaknya lingkungan, kemiskinan dan ambivalen. Makna dari definisi ini menunjukkan bahwa konflik ada benturan, perbedaan kepentingan, akses dan sumberdaya. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mengurai permasalahan konflik sumberdaya alam di kawasan penambangan tradisional Poboya, peneliti mengacu pada definisi Peluso (1992) dan Fauzi (2000) karena mewakili aspek materi disertasi yakni konflik sumberdaya alam. Atas dasar itu, peneliti mendefinisikan konflik sumberdaya
alam
sebagai
ketimpangan
penguasaan, akses, kontrol serta klaim sepihak atas sumberdaya alam berdasarkan sejarah, pengalaman dan kepentingan.
32 b.
Paradigma Konflik
Memahami konflik pengelolaan sumberdaya alam di Poboya tidak cukup hanya bertumpu pada satu perspektif teori, karena melihat dinamika pembentuk konflik cukup beragam dan tidak seperti konflik-konflik pada umumnya. Konflik yang terjadi di Poboya adalah konflik vertikal yang menghadirkan banyak aktor dan kepentingan, seperti pemerintah, korporasi, LSM, Aparat keamanan dan komunitas lokal. Ada ketimpangan kekuasaan, dominasi, marjinalitas, ketidakadilan dan munculnya perlawanan (melalui kelembagaan adat). Karena itu sangat perlu mereview beberapa penelitian sebelumnya yang mempunyai kesamaan obyek yang diteliti, sehingga pilihan teori yang digunakan lebih variatif namun tetap dalam bingkai teori konflik. Dalam tradisi sosiologi, pemikiran tentang konflik tidak dapat dipisahkan dengan pemikiran Marx (1905). Marx merupakan peletak dasar tentang teori konflik. Melalui dialektika antar kelas, Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur sosial yang ada di dalam masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi. Kesenjangan dalam pemilikan barang produksi mendorong terjadinya konflik antar kelas secara revolusioner. Dalam konteks inilah Marx memperkenalkan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya, bahwa dalam masyarakat, ada kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Dalam perjalanannya, kedua kelas tersebut kemudian menimbulkan ketidaksetaraan akses terhadap sumberdaya di mana kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas yang dieksploitasi sehingga melahirkan struktur sosial hirarkhis yang memposisikan dirinya sebagai kelompok ordinat (dominasi) di satu sisi, dan kelompok subordinat
pada sisi lainnya di mana kelompok ordinat (borjuis)
melakukan eksploitasi terhadap kelompok subordinat (proletar) dalam sistem produksi kapitalis. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis dalam diri proletar (Turner, 1998). Penjelasan dialektika kelas oleh Marx di atas dapat digunakan sebagai alat analisis untuk memahami konflik vertikal antara pemerintah, korporasi dan komunitas
33 lokal yang ditandai dengan hadirnya perlawanan atau dalam terminologi Marx disebut gerakan kelas. Kemunculan perlawanan tersebut tidak terlepas dari kontradiksi struktural dalam masyarakat yang mewarisi akar konflik atau karena akibat dominasi kekuasaan Negara terhadap ranah publik yang demikian intensnya (Warsilah, 2003). Permasalahan tentang konflik juga bisa dilacak melalui pemikiran Dahrendorf yang meneropong konflik sebagai akibat dari kuatnya campur tangan Negara (state) terhadap partisipasi publik atau organisasi kekuasaan terhadap kalangan sipil sehingga yang terjadi adalah ketimpangan distribusi kekuasaan. Kekuasaan tidak tercermin dalam penguasaan alat produksi semata, tapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam mengontrol perilaku dan wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran/legitimate (Antoro, 2010). Dahrendorf melihat masyarakat memiliki sifat ganda, yakni sisi konflik dan sisi kerjasama (consesnsus). Konflik tidak mungkin lahir tanpa ada konsensus sebelumnya atau dengan kata lain terjadinya konflik disebabkan karena salah satu pihak melanggar
konsensus
bersama.
sementara
kerjasama
(consensus)
merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan. Pada tataran inilah konsep “otoritas” dan “posisi” memegang peran penting bagi Dahrendorf dalam membangun teorinya. Menurut Dahrendorf, dalam kelompok sosial posisi seseorang sangat menentukan otoritas di atara kelompok yang lain. Otoritas tidak bersifat stabil karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative (mutlak), masyarakat tampak sebagai asosiasi yang dikendalikan oleh hierarkis posisi otoritas, di mana suatu ketika seseorang berada pada posisi superordinate, pada suatu saat yang lain akan berada di posisi subordinat. Untuk memahami posisi aktor sosial berikut otoritasnya, dapat dilihat dalam pembahasannya tentang konsep kepentingan. Menurut Dahrendorf, bahwa yang terlibat konflik ada tiga kelompok, yaitu; kelompok semu (quasi group) yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Kelompok kedua adalah kelompok
34 kepentingan, yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok yang ketiga atau terakhir adalah kelompok konflik yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Dari ketiga kelompok tersebut, Kelompok kepentingan mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. Seperti halnya konsensus dan konflik adalah sebuah realitas sosial. Teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai. Dahrendorf melihat “kepentingan” selalu memiliki suatu harapan-harapan. Perbedaan kepentingan merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan di antara kelompok yang mendominasi, atau kelompok yang didominasi, atau antara pengontrol dan masyarakat yang dikontrol. Seorang penguasa atau kelompok dominan akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Perbedaan berbagai kepentingan itu akan akan menimbulkan polarisasi dan cenderung menimbulkan konflik. Penjelasan tentang konflik dapat pula dirujuk pada pemikiran Coser (dalam Veerger, 1993) yang melihat bahwa konflik adalah perselisihan nilai-nilai, tuntutan mengenai status, kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak dapat memenuhi untuk semua yang membutuhkannya. Karena itu pihak-pihak yang tidak hanya berusaha mendapatkan yang diinginkannya tetapi juga bagaimana mereka saling memojokkan, merugikan atau bila perlu menghancurkan lawannya dan pada saat itulah terjadi konflik. Penjelasan serupa juga dikemukakan Randall Collin, yang menerangkan bahwa dalam struktur sosial masyarakat, di mana ada sekelompok orang atau institusi yang menguasai dan mendominasi sumber-sumber kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial dan alam) untuk memenuhi kepentingan ekonominya maka konflik bisa muncul akibat perbedaan dalam hal penguasaan atau kontrol atas pelbagai sumber-sumber tadi. Atau adanya dominasi atas penguasaan sumberdaya yang diperoleh dari fasilitasi dan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok
35 sosial atau kelompok etnis tertentu. Perbedaan memperoleh akses sumberdaya ini akibat keberpihakan pemerintah yang berat sebelah dalam menuangkan kebijakannya (Warsilah, 2003).
c.
Pemetaan Konflik
Memperhatikan definisi konflik, dan paradigma konflik di atas, maka jelas menunjukkan bahwa ada banyak definisi tentang konflik. Munculnya perbedaan itu disebabkan karena masing-masing melihat dari sudut pandang yang berbeda, sehingga untuk mengungkap konflik sumberdaya alam di Poboya tidak cukup hanya dengan meletakkan pengertian dasar (definisi) tentang konflik yang dirujuk, tapi juga penting melakukan pemetaan konflik agar diketahui situasi, isu dan pihak-pihak yang berkonflik. Dalam kerangka itu Fuad dan Maskanah (2000) mengutip pendapat Moore, memetakan konflik berdasarkan ruang-ruang konflik yaitu ; a) Konflik Data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Konflik data mungkin tidak pelu terjadi karena hal ini disebabkan kurangnya komunikasi. Konflik data lainnya terjadi karena memang disebabkan informasi dan/atau cara yang digunakan oleh orang-orang untuk mengumpukan data tidak sama. b) Konflik Kepentingan, yaitu konflik akibat adanya perbedaan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak sesuai dan melahirkan persaingan antara mereka dalam pemenuhan kepentingan masing-masing. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus dikorbankan. Konflik kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar
36 atau substantif dan dari banyak kasus konflik ini cenderung bersifat terbuka dan nyata. c) Konflik hubungan antar manusia, yaitu konflik yang terjadi karena adanya emosi yang negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotif, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Masahmasalah ini sering menghasilkan adanya konflik yang tidak realistis atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Konflik ini tidak perlu terjadi ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik, seperti terbatasnya sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama yang eksklusif tidak ada. Masalah hubungan antar manusia seperti itu sering kali memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu. d) Konflik Nilai, yaitu konflik yang terjadi disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak sesuai, baik hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak harus menimbulkan konflik, sebab manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sitem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau melakukan klaim terhadap suatu sistem nilai yang ekslusif dan di dalamnya tidak memungkinkan adanya percabangan kepercayaan. Bagi masyarakat tradisional, terutama di negara - negara berkembang yang tengah melakukan modernisasi, konflik nilai amat mudah untuk dijumpai. e) Konflik Struktural, yaitu konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah atau faktor waktu sering kali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Pada akhirnya konflik ini
37 akan banyak berhubungan dengan tidak demokratisnya proses perubahan sosial, misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan. Kelima ruang konflik tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang saling berhubungan dan menempati banyak ruang dan dapat bergeser dari ruang yang satu ke ruang yang lain dan konflik akan semakin berat atau sebaliknya.
Masalah hubungan antar manusia
Perbedaan Nilai
Masalah strukural
Perbedaan data
Kepentingan
Gambar 1. Ruang-Ruang Konflik (Fuad dan Maskanah, 2000)
Pendapat terakhir yang perlu dirujuk sebagai alat bantu untuk membuat pemetaan konflik, pendapat Fisher (2001), layak untuk digunakan. Fisher membagi Pola konflik ke dalam empat bentuk; (1) Tanpa Konflik, yakni situasi damai atau situasi kestabilan yang dinamis. Jika keadaan ini ingin terus dicapai maka orangorang yang ada di dalamnya harus mampu memanfaatkan perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif; (2) konflik tertutup (laten) atau tersembunyi. Suatu konflik sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif; (3) konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya; (4) konflik di permukaan (emerging) memiliki akar yang dangkal atau bahkan tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat di atasi dengan
38 menggunakan komunikasi. Pihak-pihak yang berkonflik telah teridentifikasi, mereka mengakui adanya perselisihan. Untuk memahami pemicu terjadinya konflik, Fisher (2001) mengklasifikasi sumber-sumber konflik berdasarkan teori konflik yang masing-masing dengan metoda dan sasaran yang berbeda. Adapun teori penyebab konflik tersebut adalah sebagai berikut; 1)
Teori Hubungan Masyarakat. Teori ini menekankan bahwa sumber konflik berawal dari ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Di Poboya konflik seperti ini belum terlihat meski tanda-tanda kearah itu mulai ada. Hal itu dapat dilihat dari pertanyaan bernada kritis “kapan orang lokal dapat mengelola sumberdaya alamnya sendiri”. Pertanyaan itu lahir karena melihat bahwa persentse keuntungan dari pengelolaan sumberdaya alam (tambang emas) di Poboya justru lebih banyak dinikmati oleh penduduk dari luar (pendatang), sementara penduduk lokal hanya bekerja di sektor pinggiran sebagai buruh yang keuntungannya tidak seberapa. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah; a) meningkatnya komunikasi dan saling pengertian antar kelompok-kelompok yang mengalami konflik, (b) mengusahakan toleransi agar masyarakat saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2)
Teori Negosiasi Prinsip. Menurut teori ini bahwa konflik terjadi disebabkan oleh karena posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Dalam konteks masyarakat Poboya, kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dengan cara pandang yang berbeda dalam hal pengelolaan sumberdaya alam (tambang emas) merupakan penyebab konflik. Pemerintah berkepentingan dengan memberikan hak kelola melalui Kontrak Karya (KK) kepada PT. CPM, tapi kelompok LSM lokal menghendaki agar sumberdaya alam tersebut dikelola oleh masyarakat sebagai pemilik yang sah (hak Ulayat)
39 sementara Walhi dan Jatam menolak penambangan, baik yang dilakukan pemerintah bersama korporasi maupun yang dilakukan masyarakat adat.4 Sasaran yang ingin dicapai dengan teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka pada posisi tertentu yang sudah tetap, (b) melancarkan proses pencapaian yang menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik. 3)
Teori Kebutuhan Manusia, bahwa konflik terjadi karena kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Dalam konteks kebutuhan yang sering memicu konflik adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Dalam konteks Poboya, konflik yang terjadi antara komunitas masyarakat adat dan Pemerintah karena kebutuhan masyarakat adat yang tidak memperoleh tempat sebagaimana harapan dan persepsi mereka tentang hak milik dan hak untuk berkehidupan, pada lahan dan tempat yang mereka pahami sebagai tanah leluhur yang harus mereka peroleh, dan pertahankan. Sedang dalam konsepsi Pemerintah, masyarakat adat dapat mengancam keutuhan kawasan konservasi. Akibat dari dua kebutuhan yang bertentangan tersebut menciptakan kondisi dan situasi konflik yang menempatkan masyarakat adat
dalam posisi subordinasi
kekuasaan dan kesewenangan yang menciptakan kemiskinan. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah; (a) membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; (b) agar pihak-pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. 4)
Teori Identitas. Menurut teori ini konflik terjadi disebabkan identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. Dalam konteks masyarakat Poboya, jika
4
Secara kelembagaan, Walhi dan Jatam menolak penambangan yang dilakukan di Poboya tapi secara personal, beberapa orang dari kedua lembaga tersebut juga aktif mendukung penambangan yang dilakukan masyarakat.
40 benar sebagai Komunitas “adat”, maka perjuangan pengakuan yang mereka lakukan merupakan perjuangan identitas budaya sebagai masyarakat adat. Melalui teori ini, sasaran yang ingin dicapai adalah; (a) fasilitasi, lokakarya atau dialog antar pihak-pihak yang mengalami konflik sehingga diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka, (b) Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. 5)
Teori Kesalahpahaman Antar Budaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi karena adanya ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Melalui teori ini, sasaran yang ingin dicapai adalah; (a) menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak yang berkonflik; (b) Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, (c) meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya.
6)
Teori Transformasi Konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi disebabkan karena adanya ketidak-setaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Dalam konteks Poboya, komunitas masyarakat lokal merasa mereka termarjinalkan dibanding dengan daerah-daerah di sekitarnya. Secara sosial-ekonomi mereka mendapat perlakukan diskriminatif terutama dalam pelayanan publik, sehingga ketika mereka menyadari memiliki sumberdaya alam yang melimpah
(tambang
emas),
muncul
kesadaran
kolektif
untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat adat melalui kelembagaan “adat”. Melalui teori ini, sasaran yang dingin dicapai adalah menyatukan perbedaan yang ada dalam suatu media. Bagi masyarakat Poboya media tersebut adalah “adat” yang diharapkan dapat membantu masyarakat menyelesaikan konflik yang mereka hadapi. Untuk lebih memahami dan mendalami konflik yang terjadi, Fisher (2001) kemudian memperkenalkan penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat
41 melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini adalah: a) Pra-Konflik: merupakan periode di mana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meski salah satu pihak atau lebih mungkin
mengetahui
potensi
terjadi
konfrontasi.
Mungkin
terdapat
ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain. b) Konfrontasi: pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. c) Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. d) Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian. e) Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal di antara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka saling bertentangan tidak di atasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik. Dari kerangka teoretis yang dikemukakan oleh
Fisher, dkk (2001) di atas,
menunjukkan bahwa ada banyak perspektif yang dapat menjelaskan penyebab konflik. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tetapi melalui serangkaian tahapan proses, mulai dari pra konflik, konfrontasi, krisis, akibat, sampai kepada
42 pasca konflik, meski tidak semua kawasan yang berkonflik melewati tahapan tersebut. Bagaimana konflik kemudian bergeser menjadi bentuk kekerasan, mendapat tempat dalam analisis Camara (2000) melalui bukunya “Spiral Kekerasan”, Camara menjelaskan bahwa penyebab utama munculnya kekerasan bersumber dari praktik ketidakadilan dan penindasan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menimpa secara bersamaan secara personal, institusional dan struktural. Ketidakadilan dan penindasan tersebut melahirkan kondisi sosial yang akut, bersifat sub-human, di mana manusia memilih cara-cara yang tidak lazim untuk mempertahankan hidup. Camara dalam Spiral Kekerasan (2000) mengungkapkan bahwa kekerasan yang dilakukan penguasa melahirkan tindak kekerasan baru yang lebih kompleks dan ini kemudian memancing tindak kekerasan baru dari yang pertama, demikian seterusnya sehingga terjadi rangkaian kekerasan yang disebut "spiral kekerasan”. Varian kekerasan tersebut menurut Camara melalui tiga tahap: Kekerasan Nomor 1, adalah pemicu dan dilakukan oleh penguasa (basic atau established violence) terhadap individu-individu atau kelompok melalui serangkaian kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat, seperti pembatasan akses, klaim sepihak dan pengusiran. Kekerasan Nomor 2, kekerasan secara institusional adalah kekerasan yang terorganisir, biasanya muncul dari dua kelompok masyarakat yakni orang yang benar-benar tertindas dan kaum muda yang mengorganisir gerakan-gerakan massa untuk mengadakan perlawanan demi keadilan dalam memperjuangkan segala kepentingan pribadi maupun kelompok. Kekerasan ini merupakan respon atas kekerasan pertama. Kekerasan Nomor 3, kekerasan secara struktural yang dilakukan oleh lembaga negara (aparat keamanan) sebagai bentuk reaksi atas kekerasan yang mengancam penguasa (negara). Kekerasan ini menurut negara adalah kekerasan “yang dibenarkan” untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum (law and order), dari ancaman pihak-pihak luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) negara.
43 Kekerasan ini adalah respon atas kekerasan nomor 2 dan memposisikan rakyat sebagai korban dan negara sebagai pemenang. Kekerasan ini akan terus berulang, sehingga Camara menyatakan, setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Pemikiran Camara tersebut tampaknya sangat relevan untuk melihat konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Poboya. Kebijakan Pemerintah Daerah yang diskriminatif dan tidak populis untuk mengusulkan Kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi TAHURA, dan klaim sepihak atas tanah-tanah yang merupakan kebun-kebun yang menjadi sumber kehidupan komunitas “adat” Poboya secara turun-temurun, pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam serta kemunculan perlawanan menentang kebijakan pemerintah dan perusahaan serta rencana pihak keamanan untuk menertibkan penambangan di Poboya adalah contoh nyata bekerjanya tahapan spiral kekerasan Camara.
Perspektif Wacana Perlindungan SDA
a.
Pemikiran Konservasi
Konflik pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi yang sering kali melibatkan pemerintah, masyarakat adat dan korporasi sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari pilihan paradigma yang digunakan dalam pengelolaan konservasi itu sendiri. Pilihan mana terkadang berbenturan dengan masyarakat adat di sekitar kawasan tersebut. Selama ini ada tiga pandangan yang cukup dominan atau memberi warna dalam pengelolaan sumberdaya alam; pertama, pandangan berbasis ekologis yang melihat alam sebagai kebutuhan untuk semua mahluk hidup sehingga keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan dan tertutup bagi upaya pemanfaataan. Kedua, pandangan Eko-Politik. Pandangan ini mencoba menggeser pandangan yang pertama, bahwa sumberdaya alam memiliki nilai dan manfaat
44 ekonomi. Karena itu konservasi diartikan sebagai pemeliharaan sekaligus pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana.
Artinya jika suatu kawasan
dilindungi, dirancang dan dikelola secara tepat akan dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat (Alikodra, 2003). Ketiga, Pandangan Sosial-Budaya, yang melihat sumberdaya alam sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Alam tidak dapat dipisahkan dengan manusia karena alam punya nilai dan ritual kemasyarakatan, termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) menuju keberlanjutan untuk sebesar-besarnya demi eksistensi kehidupan masyarakat manusia di dalamnya (Sutaryono, 2008). Selain ketiga pandangan tersebut di atas, pemikiran serupa tentang konservasi sumberdaya alam juga dikemukakan oleh Witter dan Bitmar (2005) yang mengamati peran sejumlah lembaga seperti LSM, pemerintah dan swasta dalam melakukan aktivitas perlindungan (konservasi) terhadap sumberdaya alam. Menurut Witter dan Bitmar (2005) kehadiran lembaga-lembaga tersebut memiliki pandangan yang berbeda terhadap konservasi itu sendiri sehingga terkesan yang terjadi adalah konflik kepentingan. Perbedaan cara pandang tentang konservasi dapat dilihat dari wacana yang berkembang, di mana aliran pemikiran konservasi cenderung memisahkan masyarakat dengan lingkungannya sehingga muncul ketidakadilan, dan sebagai tandingannya adalah munculnya perlawanan (kontra narasi) yang lebih menekankan konsep pembangunan yang berkelanjutan dari sumberdaya alam atau lebih dikenal dengan konservasi berbasis masyarakat sebagai konsep kunci. Kirkby (2000) seperti yang dikutif Witter dan Bitmar (2005) menggunakan konsep ideologi dengan label "eko-imperialisme" untuk narasi konservasi tradisional dan label "eko-populisme" sebagai konter narasi, bahkan konsep tersebut juga digunakan untuk menganalisis pendekatan pembangunan. Dalam kerangka penjelasan pergeseran narasi konservasi tersebut, Witter dan Bitmar (2005) mengambil kasus di Thailand dan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) untuk memperkenalkan tiga wacana atau aliran pemikiran (school of thought) yang sangat berpengaruh dan mewarnai kebijakan pembangunan
45 sumberdaya alam yaitu : konservasionime, eko-populisme dan developmentalisme. Seperti dikemukakan di awal bahwa ketiga wacana tersebut mempunyai pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam melihat objek yang sama, bahkan di antara mereka cenderung saling menyalahkan dan hal itu sangat nyata dalam setiap aksi perjuangan yang mereka lakukan. Penjelasan berikut mengungkap perbedaan ketiga aliran (school of thought) yang cukup berpengaruh;
1) Aliran Konservasionisme Aliran pemikiran konservasionisme dibangun atas keprihatinan sekelompok orang atas kerusakan sistemik terhadap sumberdaya alam yang diakibatkan oleh tangan manusia, sehingga muncul keinginan yang kuat untuk menyelamatkan dan melestarikan lingkungan sumberdaya alam dengan berbagai komponen yang ada di dalamnya. Untuk mencapai keinginan itu maka diperlukan proteksi berupa pranata hukum pada satu kawasan (konservasi) yang bebas dari aktivitas manusia untuk mewujudkan keseimbangan ekologi. Dengan demikian, pada dasarnya aliran pemikiran ini menganggap manusia sebagai “musuh” yang dapat mengancam
kegiatan
konservasi
sumberdaya
alam.
Untuk
mendukung
argumennya, aliran ini selalu merujuk pada analisa ilmu pengetahuan alam, walaupun terkadang analisa tersebut tidak terbukti (Witter dan Bitmar, 2005). Tapi meski demikian beberapa hasil penelitian yang mendukung argumen konservasi seperti ditunjukkan Abel dan Blaikie yang dikutif dalam Blakie (1999) dalam penelitiannya di Negara Zambia dan Nepal yang mengidentifikasi fakta bahwa petani lokal dalam menggunakan dan mengakses sumber-sumber daya secara politis dengan mengedepankan keuntungan semata.
2) Aliran Eko-populis Aliran pemikiran eko-populis dibangun atas kesadaran kritis sekelompok orang yang sangat prihatin terhadap komunitas masyarakat adat yang selalu dipersalahkan terhadap kerusakan lingkungan. Aliran eko-populis secara terangterangan mengkritik lembaga keuangan internasional dan internalisasi konsep
46 pembangunan ala barat. Menurut aliran ini, negara sesungguhnya telah gagal dalam menangani degradasi sumberdaya alam yang serius (Witter dan Bitmar, 2005), akar krisis ekologis terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan (Siva,1993). Menurut aliran ini, masyarakat adat dengan pengetahuan tradisional dan institusi yang mereka miliki telah mampu mempertahankan sumberdaya hutan dan menggunakannya dalam cara yang berkelanjutan untuk generasi yang akan datang (Witter dan Bitmar, 2005). Penduduk asli dengan tekun memelihara hutan di sekitar tempat hidupnya karena beranggapan hutan adalah sumber kehidupan dan anugerah Tuhan. Hutan merupakan lahan komunal, tak ada seorang pun yang bisa mengklaim kawasan hutan sebagai hak milik individual (Peluso, (1992).
3) Aliran Developmentalisme Aliran ini mempunyai pandangan bahwa pertumbuhan populasi yang begitu cepat dan kemiskinan adalah faktor utama penyebab terjadinya kerusakan lingkungan sumberdaya alam di kawasan konservasi. Oleh sebab itu menjadi kewajiban moral bagi aliran ini untuk menaruh perhatian pada upaya pengurangan kemiskinan di sekitar kawasan konservasi melalui tindakan nyata dan terukur seperti penyuluhan pertanian, pembangunan fasilitas irigasi yang berkontribusi langsung dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Aliran developmentalisme mengkritisi cara kerja aliran konservasionis yang dinilai terlalu fokus pada pelestarian binatang “eksotis” semata tanpa berusaha mengurangi kemiskinan pada komunitas masyarakat yang ada di sekitar kawasan konservasi. Sementara aliran eco-populis dinilai terlalu mengagung-agungkan romantisme masa lalu bahkan tidak jarang mereka memanfaatkan kelemahan masyarakat adat untuk tujuan politik mereka sendiri. Dalam banyak kasus pengelolaan lingkungan, aliran Developmentalisme terkadang tidak bekerja sendiri. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa aliran konservasionisme
sering
kali
turut
bergabung
dalam
kerja-kerja
47 developmentalimen sehingga konservasionisme dianggap menjadi kurang rentan terhadap kritik dan mereka mengabaikan dampak lingkungan negatif dari kegiatan
pembangunan
dan cenderung
membela
kepentingan
elit
dan
mengorbankan masyarakat adat (Witter dan Bitmar, 2005). Tabel 2. Tinjauan Tiga Wacana Konservasi Perspektif
Conservationist
Proponen tipekal (organisasi dan disiplin ilmu Argumen
- ONOP-L konservasi - ilmuan biologi, ekologi
- ORNOP-L advokasi - ilmuan antropologi budaya
- Organisasi Pembangunan (Negara, Ornop, Lembaga Donor)
- Perlu melakukan penyisihan lahan untuk preservasi dengan tujuan menghindari penurunan spesies dan mempertahankan keseimbangan ekologi termasuk fungsi hidrologi hutan - Konservasi alam, perlindungsn spesies langka
- Komunitas lokal/tradisional adalah penjaga sejati lingkungan. Mereka telah terbukti mampu melakukan preservasi sumberdaya hutan lebih baik dari Pemerintah - Membiarkan penduduk lokal mempertahankan gaya hidup tradisional mereka - Pembela hak komunitas lokal/tradisional - Negara dan sektor swasta dinggap mengabaikan komunitas lokal - Penganut aliran konservasi dianggap tidak mengindahkan hak-hak manusia
- Peningkatan jumlah penduduk dan kemiskinan merupakan penyebab utama deforestasi ; Pengurangan kemiskinan adalah hal yang penting untuk menyelamatkan lingkungan - Penghapusan kemiskinan
Prioritas/misi
Posisi proponen - Pembela alam dan (perwujudan diri) spesies langka Posisi terhadap lawan (perwujudan diri terhadap yang lain)
Hubungan dengan ilmu pengetahuan
- Menghasilkan ilmuilmu pengetahuan alam (konservasi, biologi, ekologi, hidrologi, dsb) sebagai basis argumentasi. - Eko-populisme
Sumber: Witter dan Bitmar, 2005
Eco-populis
developmentalis
- Penghapusan kemiskinan
- Pembela kemiskinan - Penganut eko-populis dianggap memperalat penduduk lokal. - Penganut konservasi dianggap tidak mengindahkan kebutuhan akan penghapusan kemiskinan
- Aliran kritik post- Bersandar pada disiplin modern terhadap ilmu ilmu teknis (pertanian, pengetahuan mesin dsb) dan kajian - Bersandar pada sosial-ekonomi. kajian kualitatif ilmu sosial - Penghargaan yang tinggi terhadap kearifan lokal.
48 Selain ketiga aliran pemikiran tersebut di atas, beberapa literatur juga menggunakan istilah yang berbeda. Seperti dikemukakan Kuswijayanti (2007) yang mengemukakan dua perspektif dominan dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Pertama; perspektif biofisik dan ekonomi, yang memandang konservasi untuk pelestarian sumberdaya alam sekaligus untuk memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua; Perspektif pergerakan sosial yang memandang keberadaan sumberdaya alam tak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Mereka menjadi satu kesatuan ekologis yang saling mempengaruhi, sehingga upaya konservasi terhadap sumberdaya alam di kawasan tersebut seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat berikut tradisi mereka. Perspektif ini menganggap manajemen pengelolaan konservasi yang dilakukan pemerintah seperti halnya mekanisme taman nasional banyak didominasi pengaruh global dan merugikan masyarakat di kawasan konservasi. Karena itu model pergerakan sosial (Escobar, 1999), mencoba mengkonstruksi strategi politik demi pertahanan teritori, budaya, dan identitas yang terkait dengan tempat-tempat dan teritori tertentu melalui strategi penyadaran diri dan politik yang lebih bersifat kedaerahan. Lebih lanjut, Kuswijayanti (2007) mencoba merangkum beberapa perspektif konservasi dari berbagai sumber dengan perbedaan masing-masing seperti ditunjukkan pada tabel berikut :
49 Tabel 3. Konservasi Dilihat Dari Berbagai Perspektif Perspektif
Biofisik
Ekonomi
Etika Masalah
Biosentrisme Kehidupan alam terancam punah.
Antroposentrisme Kebutuhan manusia terus meningkat.
Ekosentrisme Pasokan SDA terbatas.
Pengelolaan SDA
Kewajiban moral manusia untuk menjaga alam.
Globalisasi ekosentrisme (bumi sebagai eko-sistem raksasa/ biosphere)
Penekanan
Kehidupan alam sama bernilainya dengan kehidupan manusia. Konservasionisme Kelestarian alam
Globalisasi instrumen (pengelolaan SDA untuk menjamin pasokan bagi dunia industri)/Globalocentric Pemanfaatan SDA demi pertumbuhan ekonomi.
Wacana konservasi Sasaran
Aktor penggerak
Pemerintah didukung organisasi konservasi.
Developmentalisme Pembangunan berkelanjutan
Pemerintah didukung organisasi konservasi dan perusahaan swasta. Basis Ilmu-ilmu hayat Ekonomi pengetahuan lingkungan /sumberdaya Sumber : diadaptasi dari Kuswijayanti, 2007
Kritis
Perubahan radikal untuk menyelamtkan bumi dari eksploitasi SDA oleh Barat. Ekopopulisme
Pergerakan Sosial Deep Ecology Kerusakan alam akibat perselisihan kepentingan antar aktor yang tidak setara Globalisasi pergerakan sosial (penyebarluasan wacana anti globalisasi konservasi /globalocentric melalui jaringan ORNOP-L) Kembali ke kearifan tradisional untuk menyelamatkan alam.
Ekopopulisme
Pengelolaan SDA secara lebih efektif ORNOP-L kritis beserta jaringan mereka
Keberlanjutan ekologis
Politik lingkungan
Ekologi politik
Organisasi akar rumput dan masyarakat adat didukung Ornop-L
Penjelasan dari beberapa perspektif tersebut di atas, menunjukkan adanya kesamaan pandangan dengan aliran pemikiran sebelumnya. Perpektif biofisik dan ekonomi mempunyai kesamaan substansi dengan aliran konservasionisme dan developmentalisme dari Witter dan Bitmar (2005), begitu pula perpektif gerakan sosial mempunyai kesamaan substansi dengan aliran eko-populisme.
50 Merujuk pada pemikiran perlindungan sumberdaya alam di atas, dan memperhatikan sejarah terbentuknya TAHURA Palu, maka wacana perlindungan sumberdaya alam mengalami pergeseran paradigma. Pada tahap-tahap awal (pembentukan TAHURA) Tampak paradigma ekologis yang lebih dominan hingga kemudian terbentuknya Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu. Tapi dalam perkembangannya, proses perlindungan sumberdaya alam menjadi perdebatan atara developmentalisme, konservasionisme versus eko-populisme. Kehadiran dua kelompok organisasi non pemerintah (LSM), yakni KORAN (Koalisi ornop untuk hutan Sulawesi Tengah) dan LSM perkumpulan Bantaya, yang menginginkan adanya pengelolaan berbasis komunitas dan ekologis. Kelompok yang pertama melakukan advis penguatan dari aspek kelembagaan adat yang bertumpu pada hak-hak komunal dan hak-hak alam sesuai dengan pengelolaan berdasarkan kearifan yang dimiliki. Sementara kelompok yang kedua memilih aktivitas yang bersifat insidental dengan pertemuan-pertemuan atau lokakarya yang dibiayai oleh salah satu donator (Lahandu, 2007). Kedua kelompok-kelompok ORNOP di atas terus mewarnai perjalan TAHURA, hingga kemudian terjadi peralihan isu dari TAHURA ke isu penambangan meski sebagian membawa bendera masingmasing. Kehadiran sejumlah LSM dengan kepentingan dan cara yang berbeda dalam merespon perlindungan sumberdaya alam berpotensi mengganggu relasi masyarakat adat dengan negara dan korporat (Witter dan Bitmar, 2005), setidaknya kasus Dongi-Dongi mengingatkan kita bahwa aktivitas perlindungan terhadap sumberdaya alam dan komunitas yang tidak melalui kolaborasi antar pihak yang terkait, pada akhirnya menimbulkan konflik dan kerusakan sumberdaya alam, di mana keterlibatan pihak elit masyarakat dan ORNOP atas rusaknya kawasan hutan Dongi-Dongi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan (Adiwibowo, 2005) Fenomena “rebutan” akses pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam di TAHURA Poboya Palu tidak terlepas dari penemuan cadangan emas yang besar sehingga menarik banyak orang untuk datang ke Poboya termasuk kelompokkelompok yang punya kepentingan terhadap penyelamatan sumberdaya alam
51 Poboya. Jika dikelompokkan berdasarkan ideologi yang diusung, maka kita melihat sedikitnya dua kelompok ORNOP yang terus memantau perkembangan di Poboya, yakni kelompok LSM Hijau atau LSM yang beraliran konservasi seperti WALHI dan JATAM. Kelompok yang kedua adalah kelompok LSM merah yang beraliran ekopopulisme. Kedua kelompok inipun mengambil jalan yang berbeda. Kelompok yang pertama sangat aktif mengkampanyekan pelindungan lingkungan bahkan melakukan pressure kepada pemerintah. Sementara kelompok yang kedua sangat aktif mendorong perlindungan komunitas melalui kegiatan pengembangan masyarakat.
b.
Perspektif Etika Lingkungan
Fenomen rebutan lahan garapan untuk perlindungan sumberdaya alam sesungguhnya tidak terlepas dari perdebatan ilmuan tentang cara pandang manusia terhadap alam yang lazim kita sebut paradigma ilmu pengetahuan, yaitu pandangan dunia (world view) di mana teori, praktek dan ilmu pengetahuan di konseptualisasikan. Dalam paradigma terkandung serangkaian asumsi, ide, pemahaman, nilai-nilai (umumnya tidak tertulis) dan aturan – aturan tentang apa yang relevan dan yang tidak relevan dan pengetahuan yang dipandang sah dan apa peraktek-peraktek yang dianggap benar (Adiwibowo,2007:5). Salah satu kekeliruan terbesar menurut Capra (1991) adalah cara pandang yang melihat dunia terdiri atas bagian-bagian yang sangat mekanistik, reduksionis atau atomic, sebagaimana pemikiran Cartesian dan Newtonian salah memandang alam semesta sebagai benda mati (Capra, 1991). Cara pandangan yang demikian menempatkan manusia tidak ubahnya seperti mesin-mesin di mana kehidupan manusia dianggap sebagai kompetitif dan wujud dari kompetisi tersebut adalah kehadiran modernisasi dan kapitalisme global yang menempatkan manusia sebagai pengendali sistem alam semesta, hanya manusia yang mempunyai kepetingan, mempunyai nilai dan manusia dianggap sebagai penguasa alam untuk melakukan apa saja (Adiwibowo,2007). Pemikiran yang demikian adalah wujud budaya modernitas yang sangat mengagungkan rasionalitas di mana nilai kebendaan dan
52 keuntungan ekonomi (rasionalitas ekonomi) sebagai ukuran dalam setiap relasi manusia dengan alam, seperti dikemukakan Diesendorf and Hamilton (1997), bahwa tujuan akhir segala kegiatan manusia adalah peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan sosial-ekonomi yang dapat dicapai melalui akumulasi sebanyakbanyaknya jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi dan semua elemen ekosistem atau sumberdaya alam akan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Melihat sikap manusia yang sangat eksploitatif itu, Curry (2000) menawarkan perlunya perubahan etika dalam memperlakukan lingkungan karena manusia sudah lupa dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam, sehingga manusia memperlakukan alam secara tidak bertanggung jawab dan kehilangan sikap kritis. Oleh karena itulah pendekatan etika dalam menyikapi masalah lingkungan hidup sangat diperlukan. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan dan perspektif etis serta manejemen pengelolaan lingkungan hidup dan seluruh anggota ekosistem di dalamnya. Teori etika lingkungan secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya.
Dalam hal ini, Curry (2000)
memberikan gambaran dan panduan etika ekologi bahwa etika berarti beberapa hal yang berbeda termasuk : (1) sistem nilai dan peraktek-peraktek kebiasaan manusia; (2) aspek-aspek yang membentuk perilaku moral ; (3) studi filosofis prinsip-prinsip moral . Secara umum kita mengenal paling tidak dua tipe pendekatan etika lingkungan hidup yaitu tipe pendekatan human-centered (berpusat pada manusia atau antroposentris) dan tipe pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan atau biosentris).
Menurut
Curry
(2004)
human-centered
(antroposentrisme)
merupakan perspektif dalam eco ‐ethics yang menempatkan manusia pada posisi di atas segala‐galanya di bumi ini. Antroposentrisme memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai kepetingan, mempunyai nilai, dan manusia dianggap sebagai penguasa alam untuk melakuan apa saja. Manusia dianggap berada di luar, di atas, terpisah dengan alam
53 sehingga segala sesuatu yang ada di alam akan mendapat nilai dan perhatian sejauh mendukung dan demi kepentingan manusia. Sebaliknya etika life-centered dianggap lebih memadai sebab dalam praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat dieksploitasi, Tetapi justru sangat menghargai mahluk lain sebagai subyek yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai menurut mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya. Oleh karena itu, mereka juga layak diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap manusia. Dari kedua pendekatan tersebut menunjukkan bahwa selama ini orang lebih suka menggunakan
pendekatan
etika
human-centered
dalam
memperlakukan
lingkungan hidup sehingga terjadi ketidakseimbangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup. Pada tataran praktis, alam dijadikan obyek yang dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan manusia. Oleh sebab itu Curry (2000)
melihat pentingnya peralihan dari etika
antroposentris ke etika ekosentris. Etika ekosentris adalah perspektif dalam eco ‐ethics yang memandang bahwa kedudukan manusia dan alam adalah sejajar di mana hak dan kewajiban manusia serta alam adalah sama. Dalam etika ini dikembangkan prinsip saling menghormati di antara komponen‐komponen biotik dan abiotik yang menyusun keseluruhan sistem biosfer alam. Selanjutnya, Curry (2000) mengemukakan tiga jenis etika lingkungan utama yakni : shallow ecology (etika dangkal) yang berakar pada kekuasaan. Alam hanya memiliki nilai instrumental (atau nilai pakai), sebagai sumberdaya untuk dieksploitasi untuk tujuan manusia dan manusia merupakan satu-satunya yang bernilai), Intermediate ecology atau etika Ekologis menengah (manusia memiliki nilai yang lebih besar, tetapi upaya dilakukan untuk memperluas nilai ke alam, biasanya binatang lain), dan deep ecology atau Etika yang bertentangan dengan kedua asumsi sebelumnya, nilai-nilai bukan hanya manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi juga ekosistem.
54 Pendapat serupa juga dikemukakan Legendre, (2004) dalam tulisannya Eco ‐ethics menyediakan “aturan‐aturan baku untuk bertindak atau berperilaku” (rules of conduct) bagi manusia dalam menjaga hubungan fungsional antara alam dan manusia (compatibility between nature and humanity). Dalam kontek hubungan itu, Legendre (2004) sangat menaruh harapan besar pada interaksi ilmu pengetahuan dan budaya melalui serangkaian hasil penelitian seperti yang dikatakannya bahwa : ...kita bisa mengurangi kecepatan dan menghentikan kemerosotan abad ke-20, melalui lingkaran ke atas dan memulai pada awal abad ke-21 dengan membawa kembali penemuan dan kreatif imajinasi melalui pusat penelitian. Meski agak ragu dengan keberhasilan itu, Legendre (2004) dengan tegas menyatakan bahwa bagaimana pun, tindakan terencana dengan baik oleh beberapa orang bisa memulai suatu gerakan dalam arah yang benar, dapat membuktikan hal-hal yang luar biasa. Otto Kinne dalam Legendre (2004) menyatakan bahwa kelangsungan hidup spesies manusia mungkin sangat tergantung pada pendekatan baru terhadap lingkungan yang disebut Eco‐ethics yang berakar dalam pengetahuan dan sains, kompatibilitas antara Alam dan kemanusiaan. Eco‐ethics adalah teori filsafat moral tentang ekologi di mana tindakan manusia (theory of human actions) yang berkaitan dengan praktek dan ekspektasi manusia terhadap alam sebagai kerangka pencapaian nilai‐nilai luhur (the good) tentang kehidupan di alam semesta. Eco‐ethics adalah aturan‐aturan baku untuk bertindak terhadap alam dengan baik. Legendre (2004), mengusulkan dua target utama untuk etika lingkungan yakni pembangunan berkelanjutan dan pemikiran konservasi.
Perspektif Ekologi Politik
Penggunaan istilah ekologi politik mulai dipublikasikan di kalangan akademisi pada akhir tahun 1960-an dan tahun 1970-an sebagai respon atas penggunaan lahan dari tinjauan ekonomi dan sebagai reaksi atas proses politik dalam
55 memanfaatkan lingkungan (Peet dan Watts, 1996:4) kemudian mengalami perkembangan yang pesat sebagai sebuah pendekatan baru terhadap interaksi manusia dan lingkungan dalam perkembangan wacana pada tahun 1990-an. Merujuk pada Blaikie dan Brookfield (1987) yang mencoba menggabungkan ekologi politik dengan keprihatinan ekologi yang didefinisikan secara luas sebagai ekonomi politik dunia ketiga, seperti dikatakannya: “combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together, this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land~based resources, and also within classes and groups within society it self. Dari kutipan itu Blaikie dan Brookfield (1987) dengan ekologi politik ingin melihat interelasi antara dampak ekologis dan relasi kekuasaan sosial ekonomi. Relasi kekuasaan di sini termasuk masalah perebutan lingkungan, yakni dalam hal penggunaan lahan dan praktik pengaturan yang dominan dalam wilayah tersebut. Sementara Peet dan Watts (1996;4) mendefinisikan ekologi politik sebagai : …“a confluence between ecologically rooted social science and the principle of political economy”. Sedangkan Bryant (1997) mendefinisikan ekologi politik sebagai satu pemanfaatan lingkungan untuk tujuan politik. Ekologi politik mencoba untuk memahami bagaimana interaksi lingkungan dengan manusia dihubungkan dengan penyebaran degradasi lingkungan. Dengan demikian analis menggunakan ekologi politik menekankan pentingnya mengkaji hubungan antara isu lingkungan lokal dan proses ekonomi politik global, termasuk di dalamnya adalah mengkaitkan produksi kapitalis dengan lokalitas-lokalitas yang berbeda, yang dihubungkan dengan eksploitasi sumberdaya (Forsyth, 2003). Pendapat berbeda dikemukakan oleh Schubart (2005) bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumberdaya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi
56 antara akses terhadap dan kontrol atas sumberdaya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan. Menurut Adiwibowo (2005) secara umum bisa dikatakan ekologi politik adalah satu jenis dari penelitian lapangan yang mengkaji hubungan antar ekonomi politik dan komunitas masyarakat terhadap perubahan lingkungan, dan yang dikaji dalam ekologi politik adalah cara-cara bagaimana pengetahuan tentang alam digerakkan dan ditampilkan secara politik. Pengetahuan ini termasuk representasi ekologis dari alam dan pengetahuan lokal (indigenous) yang sering kali memadukan pemahaman proses fisik dengan sejarah sosial dari sebuah kawasan. Dari penjelasan itu, maka yang perlu digarisbawahi bahwa ekologi politik dibangun dari konsep politik dan lingkungan namun harus dibedakan dengan politik lingkungan. Politik lingkungan adalah suatu bidang penelitian di dalam ilmu pengetahuan politik yang menerapkan pertanyaan politis bersifat tradisional terhadap masalah lingkungan. Sebaliknya, ekologi politik mengeksplorasi dimensi politik dari interaksi manusia-lingkungan. Oleh karena itu, ekologi politik mencakup pemahaman yang lebih luas dari "politik" yang ditemukan dalam politik lingkungan. Ekologi politik adalah satu politik dari ilmu pengetahuan lingkungan (Bryant dan Bailey, 1997). Dalam kajian ekologi politik dikenal ada tiga aliran pemikiran yakni strukturalis, Pasca strukturalis dan kritis. Pendekatan strukturalis melihat persoalan degradasi lingkungan sebagai akibat dari kekuatan kapitalisme atau kebijakan negara yang opresif, yang berdampak pada masyarakat adat dan lingkungan (Forsyth, 2003). Aliran pemikiran yang kedua yakni pasca strukturalis. Aliran ini sebenarnya relatif baru dalam kajian ekologi-politik yang berasumsi bahwa kasus di dunia ketiga tidak semata degradasi lingkungan, tapi juga marginalisasi masyarakat adat, justru karena upaya pelestarian lingkungan tersebut. Dalam pandangan pascastrukturalis yang terjadi adalah ketidakadilan ekologis karena pembatasan akses kepada masyarakat adat yang sebenarnya pemilik sumberdaya alam tersebut.
57 Dalam pandangan Forsyth (2003) bahwa proses marjinalisasi masyarakat adat dengan sejumlah kearifan lokal dan pengetahuan tradisional tersebut merupakan salah satu bentuk “ortodoksi lingkungan”. Hal ini terjadi karena adanya asumsi bahwa kemiskinan merupakan akar persoalan lingkungan sehingga masyarakat adat yang miskin selalu dipersalahkan ketika terjadi kerusakan lingkungan. Karena itulah Forsyth (2003) mencoba mendekonstruksi pemikiran ortodoks dengan pemikiran baru yang lebih kritis seperti ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4. Mitos-Mitos dan Pemikiran Baru tentang Kemiskinan dan Lingkungan No
Mitos
Pemikiran Baru
a.
Orang miskin menyebabkan Secara umum orang kaya menggunakan banyaknya kerusakan sumberdaya lebih banyak dan memiliki lingkungan dampak lingkungan yang lebih besar dari orang miskin b. Orang miskin tidak peduli Orang miskin sangat sadar terhadap dampak terhadap lingkungan negatif dari lingkungannya mengingat mereka sering tergantung pada lingkungan untuk hidup c. Orang miskin kurang Orang miskin dapat melakukan pengelolaan memiliki pengetahuan dan lingkungan yang lebih baik, khususnya ketika sumberdaya untuk insentif dan informasi tersedia. Namun memperbaiki sayangnya pengetahuan tradisional mereka lingkungannya sering diabaikan Sumber: Forsyth (2003)
Dari perspektif yang baru, mitos bahwa orang miskin perusak lingkungan telah dianggap kurang memadai. Tesis yang baru bahwa sebenarnya masyarakat adat pun punya adaptasi ekologis, yang dengan caranya sendiri, melakukan mitigasi terhadap degradasi lingkungan. Selain kedua aliran tersebut di atas, masih ada satu aliran yang cukup populer akhir-akhir ini yaitu aliran yang bersumber dari teori-teori kritis yang berusaha menginisiasi
upaya
dekonstruksi
terhadap
ilmu-ilmu
lingkungan
yang
58 dianggapnya "positivistik", yang bila dijadikan landasan kebijakan, akan menghasilkan ketidakadilan. Misalnya saja, program pengelolaan kawasan konservasi atau taman nasional yang sering kali menyebabkan konflik sosial karena kontraproduktif dengan upaya kesejahteraan masyarakat adat. Ini karena masyarakat adat yang sebenarnya punya sistem pengetahuan dan pola adaptasi ekologis sendiri sering diabaikan dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan pengetahuan konservasi dimonopoli pakar atas nama ilmu pengetahuan (Satria, 2006).
Aktor-Aktor dalam Pengelolaan SDA Salah satu pendekatan dalam aliran struktural adalah pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley (2001). Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah lingkungan bukanlah masalah teknis pengelolaan semata. Menurut Bryant dan Beily (2001) ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor ini. Pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. Kedua, bahwa distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor dengan lainnya. Aktor yang pertama adalah negara (state). Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor pengguna maupun pelindung SDA dan Lingkungan, yang karena itu negara juga sering mengalami konflik kepentingan. Namun, secara teoretis, banyak kritik terhadap eksistensi negara ini, seperti yang disampaikan Bryant and Beiley (2001). Salah satunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha mengejar pembangunan ekonomi, termasuk berusaha menarik perusahaan
59 multinasional (MNC) untuk melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan lingkungan. Aktor kedua adalah pengusaha (korporat) baik MNC maupun nasional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan kapitalisme. Aktor lainnya adalah rakyat jelata yang merupakan pihak yang terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses marginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan karena manusia dan alam dilihat sebagai komoditas dan nilai tukar semata sehingga dehumanisasi menjadi tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi terhadap alam (Satria,2006).
Hak Kepemilikan dan Rezim Kepemilikan SDA Mengamati pola hubungan dan penguasaan sumberdaya alam, secara tidak langsung berkaitan dengan bagaimana mengatur hak dan kepemilikan sumberdaya alam itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, Hardin (1968) dalam “The Tragedy of The Commons” mengemukakan bahwa hak untuk mengelola sumberdaya alam agraria merupakan salah satu hak ekonomi, sosial dan budaya yang melekat pada setiap manusia sejak dilahirkan. Hak seperti ini dapat dikategorikan sebagai hak alamiah atau bawaan yang dimiliki setiap orang. Merujuk pada teori Common Property, Garreth Hardin (1968) menyatakan bahwa sumberdaya alam yang ada di bumi ini merupakan sumberdaya yang bebas dimiliki bersama sehingga dalam pengelolaannya setiap individu dapat mengambil bagian dan berusaha memaksimalkan keuntungan dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pada tataran inilah persoalan mulai muncul manakala setiap orang tidak terkendali dan terus berupaya memaksimalkan pengelolaan sumberdaya alam, sehingga sumberdaya alam tersebut menyusut bahkan dalam kurun waktu tertentu akan habis. Kondisi inilah yang dikhawatirkan Hardin (1968) melalui The Tragedy of
60 The Commons5 yang menyimpulkan bahwa : 1)
Penggunaan bersifat egois,
memiliki kemampuan untuk mengutamakan kepentingan ekonomi bagi dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain; 2) Masing-masing pengguna memiliki kemampuan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam “milik umum”, namun laju eksploitasi yang dilakukan oleh seluruh pengguna melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk pulih kembali.; 3) Komunitas masyarakat yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam “milik umum” tidak memiliki institusi atau pranata sosial yang efektif untuk menegakkan perlindungan terhadap sumberdaya alam; 4) Sumberdaya “milik umum” dapat dikelola dengan baik dan efisien, bila sumberdaya tersebut menjadi milik pribadi (private property right), atau pengaturannya dilakukan oleh pemerintah. Untuk mencegah terjadinya The Tragedy of The Commons tersebut, Hardin memperkenalkan konsep hak kepemilikan atas sumberdaya alam berdasarkan atas 4 (empat) status yang berbeda. Pertama, state property, yaitu sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara sehingga negara berhak mengatur dan mengelolanya di mana masyarakat wajib mematuhi peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan kawasan tersebut. Kedua, private property, yaitu hak kepemilikan sumberdaya alam yang dimiliki oleh individu atau perusahaan di mana seorang individu dapat mengelola sumberdaya alamnya sesuai dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Ketiga, common property, yaitu sumberdaya alam yang dimiliki bersama di mana di dalam pengelolaanya ada aturan-aturan yang menjadi kesepakatan bersama yang harus ditaati oleh para anggotanya. Implikasi kepemilikan bersama ini adalah terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Pada rezim sumberdaya bersama (common property regimes), bentuk pengelolaan di mana anggota komunitas memiliki hak-hak hukum (legal rights) untuk memanfaatkan, mengelola dan melarang orang luar memanfaatkan sumberdaya yang dikuasai 5
Teori “The Tragedy of The Commons” dari Hardin (1968) menyatakan : ketika sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya dikuasai oleh semua orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkannya secara intensif yang kemudian berakibat berkurangnya sumberdaya alam tersebut dan semua pihak menjadi merugi. Hardin mencontohkan Dilema padang rumput (pastoral) yang dapat diakses/dimanfaatkan oleh semua peternak: penambahan ternak terus menerus oleh seorang peternak akan meningkatkan keuntungan baginya namun sebagai akibatnya padang rumput mengalami kerusakan/ degradasi yang kemudian harus ditanggung oleh semua peternak termasuk dirinya sendiri.
61 komunitas tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kawasan hutan adat yang dimiliki oleh
kelompok suku
bangsa
yang
mempunyai otoritas
penuh
dalam
pengelolaanya. Kelompok terakhir adalah open acces yaitu bentuk pengelolaan sumberdaya alam di mana semua orang berhak untuk memanfaatkan sumberdaya bersama tersebut. Implikasi luas dari konsep kawasan open acces ini adalah terbukanya peluang bagi semua orang untuk mengelolanya. Kompetisi akan terjadi dan berlanjut pada konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut ketika terdapat pemahaman dalam memahami hak kepemilikan ini, misalnya antara open acces dan common property atau antara state property dan open acces (Hardin, 1968). Namun tesis Hardin melalui “the tragedy of the commons” tidak lepas dari kritik, seperti yang disampaikan Ostrom, (1990) bahwa: (i) Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerja sama dalam pelbagai situasi sumberdaya bersama; (ii) Hardin terlalu berharap pada pemerintah untuk dapat berperan besar dan mengabaikan keberadaan dan peran kelompok atau komunitas lokal dalam menangani masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan; (iii) Hardin mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi/institusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama, termasuk hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut; dan (iv) Privatisasi atau intervensi pemerintah dapat melemahkan, bahkan menghancurkan keberadaan dan peranan institusi atau institusi sosial komunitas pengguna sumberdaya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode waktu yang relatif lama. Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya alam, Wiradi (1998) lebih khusus melihatnya dalam pola hubungan interaksi sosial antara orang dengan orang menurut formasi sosial yang ada. Wiradi (1998)6 mengemukakan beberapa
6
Berdasarkan tipologi yang dikemukakan Wiradi (1998), Indonesia mempunyai kecenderungan untuk dikategorikan ke dalam tipe kapitalis dalam pola hubungan agraria.
62 tipe produksi yang memungkinkan eksis berada dalam masyarakat
dan
menentukan pola hubungan agraria yaitu : (1)
Tipe naturalisme, di mana sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas “adat” yang mengatur kehidupannya secara kolektif;
(2)
Tipe feodalisme, di mana sumber agraria dikuasai oleh minoritas tuan tanah yang juga biasanya sebagai patron politik;
(3)
Tipe kapitalisme, di mana sumber agraria dikuasai oleh non penggarap yang merupakan perusahaan kapitalis;
(4)
Tipe sosialisme, di mana sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kaum pekerja;
(5)
tipe populisme/neo-populisme, di mana sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga petani.
Namun pengelompokan status hak kepemilikan tersebut di atas semakin hari semakin kabur oleh kekuatan korporatokrasi7 di mana banyak negara di dunia telah mengkonsolidasikan kekuatannya dengan mengembangkan kewenangan pada kawasan yang beralaskan lahan, subyek dan sumberdaya. Kewenangan ini meski berbeda-beda dari suatu negara dengan negara lain, tapi intinya tetap sama yaitu klaim yuridiksi penguasaan negara atas lahan sehingga menimbulkan resistensi atau perlawanan dengan masyarakat adat ( lihat: Lynch, 2006).8 Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa peranan negara terlalu dominan dalam pengaturan dan pengurusan sumberdaya alam sehingga sangat terasa bahwa pengelolaan sumberdaya alam sangat jauh dari alam demokrasi dan keadilan masyarakat, hal ini menimbulkan pertanyaan kritis (1) siapa yang berhak menguasai sumber-sumber Alam dan kekayaan alam yang menyertainya; (2) siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber alam dan kekayaan alam itu; (3) siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasan dan pemanfaatan sumber7
Terjadinya akumulasi di mana penguasaan (akses dan kontrol) serta pola produksi distribusi konsumsi atas kekayaan alam, dikendalikan oleh gabungan kekuasaan: (a) modal besar (transnational/multinational corporation atau disingkat TNC/MNC); (b) lembaga keuangan internasional (LKI/International finance institution) seperti Bank Dunia, IMF, ADB, JBIC; serta (c) birokrasi atau elit dalam negeri.
8
Lynch (2006). Sumberdaya Milik Siapa?, siapa Penguasa Barang Publik? (terjemahan), Studio Kendil, Bogor Indonesia.
63 sumber Alam dan kekayaan alam tersebut, (4) siapa mendapatkan keuntungan dari proses pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, dan (5) Siapakah yang menderita kerugian dari semua itu (Dietz, 1998; Escobar, 1999). Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sangat terkait dengan teori kepemilikan hak (property right) dan rezim kepemilikan yang menjadi salah satu kajian dalam ekologi politik. Teori kepemilikan hak (property right) Schlager dan Ostrom, (1990) mengemukakan bahwa hak kepemilikan adalah menggambarkan hubungan individu dengan lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu yang lainnya. Sedangkan Bromley dan Cernea (1989) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihakpihak yang lain respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut. Selanjutnya Schlager dan Ostrom (1990) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusion dan alienation, yang kemudian dapat dibedakan penggunaannya oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu: owner, proprietor, claimant, dan authorized user. Hak akses (access rights), hak pemanfaatan (withdrawal rights), Hak pengelolaan (management rights), Hak eksklusi (exclusion rights) dan hak pengalihan (alienation rights) terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, dijelaskan oleh Schlager dan Ostrom (1990) sebagai berikut: -
Hak akses (access right): hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstaktif
-
Hak pemanfaatan (withdrawal right): hak untuk memanfaatkan sumberdaya atau hak untuk berproduksi
-
Hak pengelolaan (Management right): hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya
-
Hak ekslusi (exslution right): hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain
-
Hak Pengalihan (Alienation right) : hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
64
Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam Pihak yang hanya mendapatkan hak akses statusnya adalah authorized entrant, Sementara pihak yang memiliki hak akses dan hak pemanfaatan dikategorikan sebagai authorized user. Adapun pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hingga hak pengelolaan disebut sebagai claimant. Pihak yang memiliki ketiga hak tersebut termasuk hak ekslusi statusnya disebut proprietor, dan bila memiliki semua hak disebut owner (Satria, 2009). Namun yang perlu di garis bawahi bahwa stastus tersebut tidak bersifat statis tapi dapat berubah-ubah setiap waktu tergantung dari perubahan kebijakan politik yang berlaku. Untuk lebih memahami status kepemilikan hak tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Tipe Hak
Pemilik (Owner)
Akses Pemanfaatan Pengelolaan Ekslusi Pengalihan
X X X X X
Pemilik Terikat (Proprietor) X X X X
Penyewa (Authorized Claimant) X X X
Pengguna (Authorized User) X X
Pengikut (Authorized entrant) X
Sumber: Schlager dan Ostrom (1990).
Pertama, Sumberdaya alam sebagai akses terbuka, maka disana tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, di mana. Dalam kasus Poboya Palu, sebelumnya masyarakat adat sebagai claimant yaitu pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan dan hak pengelolaan SDA. Namun setelah penetapan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) menyebabkan masyarakat hanya sebagai authorized entrant yaitu pihak yang hanya punya hak akses, sementara hak pemanfaatan dan hak pengelolaan masih menjadi perjuangan masyarakat adat dengan pemerintah dan swasta (CPM).
65 Kedua, rezim Negara berada di tingkat daerah hingga pusat. Hak kepemilikan ini perlu berlaku pada sumberdaya yang menjadi hayat hidup orang banyak. Intervensi pemerintah dalam pengelolaan SDA adalah untuk tujuan alokasi, keadilan, dan stabilisasi yang bersifat formal. Ketiga, rezim swasta, baik individu maupun korporat. Rezim kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan yang bersifat temporal karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintah. Pemanfaatan SDA milik swasta adalah tujuan komersial dengan penggunaan teknologi tinggi. Keempat, rezim komunal atau masyarakat bersifat turun-temurun, lokal dan spesifik. Aturanaturan pengelolaan dapat bersifat tertulis atau tidak tertulis. Peraturan dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Sumberdaya milik masyarakat ini sangat penting keberadaannya bagi masyarakat adat sebagai mata pencaharian. Berdasarkan teori kepemilikan hak (property right) dan rezim kepemilikan di atas, maka Satria (2009) menyatakan setidaknya ada dua penyebab konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan pemerintah, dan keduanya sangat relevan untuk analisis konflik di Poboya; Pertama, konflik pemerintah dan masyarakat terjadi ketika pemerintah sebagai pelindung sumberdaya alam menggunakan instrumen kebijakan dengan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi/perlindungan sehingga mengeliminasi
hak-hak
masyarakat
dalam
mengakses
dan
mengontrol
sumberdaya alam, termasuk pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini terjadi di Poboya dengan penetapan kawasan tersebut sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA), praktis membatasi ruang gerak masyarakat. Hal ini semakin diperparah dengan rencana kebijakan penutupan tambang tradisional yang sejak lama dikelola masyarakat. Kedua, Konflik pemerintah dan masyarakat
terjadi, ketika pemerintah
menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada pihak-pihak tertentu. Sumberdaya alam yang tadinya berstatus sebagai common property menjadi privat property. Hal ini juga menimpa masyarakat
66 Poboya, kebijakan pemerintah memberi Hak Konsesi Penambangan kepada perusahaan Internasional/Multinasional seperti PT. Citra Palu Mineral dan PT. Bumi mensyaratkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada korporat sekaligus merubah status lahan yang tadinya milik bersama (common property) menjadi milik pribadi (privat property). Pertautan kedua penyebab konflik tersebut di atas mendapat tempat dalam kajian konflik sosial dari Dharmawan (2007) yang memberi penekanan bahwa Konflik sosial bisa berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan, yaitu ruang kekuasaan negara, masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, dan sektor swasta. Konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: (1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. (2) Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh yang paling nyata adalah perseteruan antara komunitas lokal melawan perusahaan pertambangan multi-nasional. (3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan negara dan sebaliknya. Sementara konflik sosial yang dibingkai dengan persoalan sumberdaya alam pada setiap aras antar-ruang kekuasaan, sebagaimana dijelaskan Dharmawan (2007) tersebut di atas, bisa diurai melalui Peluso dan Watts (2001) yang secara ringkas menyebutkan sejumlah faktor pemicu konflik perebutan sumberdaya alam: 1.
Pola dan regim akumulasi modal yang bernuansa distribusi tidak seimbang secara spasial.
2.
Bentuk-bentuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang juga tidak merata (termasuk hak kepemilikan dan hak penguasaan).
67 3.
Para aktor yang muncul dari hubungan sosial produksi yang tidak seimbang itu (seperti : perusahaan, pekerja, petani, alat negara dan sebagainya).
Kondisi tersebut di atas yang menyebabkan mode hubungan sosial dan kekuasaan yang berlaku dan mewarnai variasi bentuk-bentuk perlawanan lingkungan, atau dengan kata lain, lingkungan menjadi arena pertarungan klaim-klaim kepemilikan aset-aset dan tenaga kerja atau arena kontestasi politik pengakuan atas klaimklaim tersebut (Lan, 2005). Selain pandangan di atas, penyebab konflik juga bisa diurai dari pandangan environmental Scarcity dari Homar-Dixon, (dalam Thung Ju Lan, 2005) bahwa pemicu terjadinya konflik sumberdaya disebabkan oleh beberapa hal;
Supply induced (ketika sumberdaya menyusut)
Demand induced (ketika sumberdaya yang statis terbagi menjadi potonganpotongan kecil sekali untuk setiap individu)
Structural scarcity (ketika beberapa, satu atau dua kelompok tertentu mendapat bagian yang sangat besar atau banyak, sementara yang lainnya sangat kecil atau sedikit.
Menurut Thung Ju Lan, Dari ketiga kelompok di atas, kelompok yang terakhir merupakan pemicu utama terjadinya perebutan sumberdaya antar kelompok. Kondisi ini semakin diperparah pada kompetisi di tingkat internasional yang mencari alat atau senjata untuk competitive strenght yang biasanya terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam besar-besaran. Untuk kasus konflik penambangan emas di Poboya yang terjadi pada aras kekuasaan Negara (pemerintah), Komunitas “adat” dan swasta, tampaknya pemikiran-pemikiran di atas menjadi sangat relevan untuk memahami konflik tersebut. Akses Terhadap SDA Teori Akses sebagaimana didefinisikan Ribot dan Peluso (2003) sebagai “kemampuan untuk memperoleh manfaat dari segala sesuatu (the ability to derive
68 benefit from things). termasuk di antaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dengan menfokuskan pada kemampuan dibandingkan dengan kepemilikan yang ada dalam teori properti. Hal ini jelas menunjukkan kuatnya dimensi kekuasaan atau kumpulan kekuasaan (bundle of powers) yang ditopang oleh unsur-unsur budaya, ekonomi dan politik yang membentuk jaringan kepentingan dan membangun relasi sosial untuk mendapatkan akses SDA. Formulasi itu menunjukkan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang mendesak dan memungkinkan aktor untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa menfokuskan diri pada hubungan properti semata. Hal ini berbeda dengan Teori Kepemilikan Hak (property right) yang selama ini dipahami sebagai “hak untuk memperoleh dari sesuatu”, yang lebih menonjolkan dimensi kumpulan hak (bundle of right) yang membentuk jaringan kepentingan dan relasi sosial yang berkaitan dengan klaim akses terhadap sumberdaya alam. Perbedaan keduanya juga sangat jelas terlihat dari fokus kajian masing-masing, misalnya konflik sumberdaya alam yang berlatar properti sangat menekankan relasi properti berkenaan klaim atas hak seperti siapa yang paling berhak mengelola sumberdaya alam. Sementara dalam kajian teori akses, yang ditekankan adalah bagaimana relasi kekuasaan yang terbangun di kalangan para aktor untuk mendapatkan manfaat dari akses sumberdaya alam. Karena itu pertanyaan utamanya adalah bukan saja bagaimana relasi properti tetapi juga bagaimana relasi kekuasaan, siapa yang sebenarnya yang mendapat keuntungan dari sesuatu dan dalam cara apa dan kapan hal itu dilakukan. Dengan menfokuskan analisa pada sumberdaya alam, maka yang perlu didalami adalah kemampuan orang-orang untuk mendapatkan keuntungan dari keberadaan sumberdaya alam tersebut. Dalam konteks ini, analisa akses membantu untuk memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumberdaya. studi akses juga membantu memahami berbagai jalan orang menarik keuntungan dari sumberdaya, termasuk di antaranya hubungan properti. Karena itu analisis akses adalah suatu proses memetakan mekanisme perolehan dan pemeliharaan dan pengendalian akses melalui: (1) Identifikasi dan pemetaan
69 aliran kepentingan sebagian keuntungan, (2) Identifikasi mekanisme oleh perbedaan aktor yang melatar-belakangi penambahan, pengendalian, pertahankan aliran keuntungan dan distribusinya, dan (3) Analisa hubungan kekuasaan yang menegaskan mekanisme akses yang melibatkan darimana keuntungan didapatkan. Kemampuan mendapatkan keuntungan dari sumberdaya yang dimediasi oleh adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks ekonomi-politik yang bingkai unsur kebudayaan saat pencarian akses terhadap sumberdaya alam berlangsung. Hal inilah yang oleh Ribot dan Peluso (2003) disebut sebagai mekanisme akses struktural dan saling terhubung (structural and relational mechanisms of access). Terkait dengan hal tersebut, Blaikie menjelaskan bahwa modal dan identitas sosial mempengaruhi prioritas akses sumberdaya yang mereka miliki. Selanjutnya Ribot dan Peluso (2003) mengemukakan beberapa mekanisme lain yang membedakan dengan akses SDA berbasis hak, yakni Akses teknologi merupakan suatu cara dalam memediasi akses sumberdaya dengan sejumlah acara. Penggunaan teknologi atau peralatan digunakan untuk mendapatkan sumberdaya dengan cara mengekstraknya. Dengan demikian siapa yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi akan mendapat keuntungan yang lebih besar dibanding dengan mereka yang tidak mendapatkan akses teknologi. Selain akses teknologi, akses yang paling dekat dengan akses SDA adalah Akses modal. Akses modal merupakan suatu faktor yang dapat digunakan untuk mendapatkan
keuntungan
dari
sumberdaya
melalui
pengendalian
dan
mempertahankan akses mereka. Dalam hal ini modal digunakan untuk mengakses pengendalian sumberdaya melalui pembelian kepemilikan. Hal yang sama digunakan untuk mempertahankan dengan cara membayar sewa atau membeli pengaruh orang yamg mengendalikan sumberdaya. Akses pasar merupakan kemampuan untuk menjaga ataupun memelihara hubungan pertukaran sehingga setiap orang atau kelompok mendapat keuntungan dari sumberdaya. Akses pasar adalah pengendalian melalui proses dan sejumlah
70 besar struktur. Hal ini berarti akses modal, struktur pengendalian, praktik, dan bentuk persekongkolan antara aktor pasar atau pendukung kebijakan negara. Akses buruh dan kesempatan buruh juga memegang peranan penting dalam mengambil keuntungan dari sumberdaya. Bagi mereka yang mengendalikan buruh bisa mendapatkan keuntungan dalam tahapan manapun. Selain itu, bagi yang mengendalikan kesempatan buruh bisa mengalokasikan mereka ke dalam bagian hubungan patron-klien. Begitu juga degan akses pengetahuan, kewenangan, identitas sosial dan akses hubungan sosial yang berguna untuk mendapatkan keuntungan dari pengendalian sumberdaya.
Masyarakat Adat Hubungan antara komunitas masyarakat adat dengan lingkungannya sudah banyak dikaji para ilmuan. Misalnya Peets dan Watts (1996) yang memfokuskan diri pada pengetahuan etnoilmiah (ethnoscientific knowledge); Steward (1955) menyoroti inti kebudayaan, yaitu serangkaian inti budaya meliputi pola-pola politik, sosial dan keagamaan yang ditentukan secara empiris memiliki hubungan yang dekat dengan pengelolaan ekonomi; Forsyth yang melihat praktik sosio-kultural (termasuk ritual keagamaan) yang berperan sebagai strategi penggunaan sumberdaya pengatur stabilitas lingkungan. Demikian pula kajian Suparlan (1993) yang melihat bahwa gayutan antara aktivitas manusia dengan lingkungan hidupnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang telah dimiliki masyarakat. Melalui kebudayaan yang dimiliki
tersebut seseorang bertindak dan
tetap
bertahan dalam menggunakan lingkungan hidupnya dalam rangka untuk melangsungkan kehidupannya. Dari pemahaman tersebut, intinya adalah pentingnya konsepsi tentang kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1990), kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan mengintegrasikan lingkungan hidupnya dan menjadi kerangka dasar untuk
71 mewujudkan dan terwujudnya kelakuan. Dengan demikian kebudayaan adalah seperangkat sistem aturan dari kelakuan manusia atau pola kelakuan seseorang sehingga kebudayaan tidak lain adalah sistem nilai budaya yang yang terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam pikiran mayoritas warga masyarakat akan berfungsi sebagai pedoman dan menempati kedudukan tertinggi bagi kelakukan manusia sehingga proses adatasi dengan lingkungannya akan terpola dengan baik. Dari konsep tersebut yang ingin ditonjolkan adalah substansi akan pentingnya arti sistem nilai budaya. Kluckhohn seperti dikutip dalam Kuntjaraningrat (1990) memberi batasan bahwa semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia ini pada dasarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok tersebut adalah: a)
Masalah Mengenai hakekat dari hidup manusia
b)
Masalah mengenai hakekat dari karya manusia
c)
Masalah mengenai hakekat kedudukan manusia dalam ruang waktu
d)
Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
e)
Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Dari penjelasan
tersebut diketahui bahwa hubungan manusia dengan alam
memiliki orientasi nilai budaya yaitu tunduk kepada alam, mencari keselarasan dengan alam dan pada akhirnya menguasai alam. Hal ini menunjukkan bahwa memang mentalitas manusia selalu ingin menguasai alam, tapi meski demikian manusia selalu mencari keselarasan dengan alam karena dilandasi pemahaman bahwa manusia merupakan salah satu bagian dari unsur ekosistem yang mempunyai peran penting, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, sebesar apapun, manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan di sekelilingnya. Senada dengan hal tersebut, Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa orang timur terdapat kecenderungan untuk mencapai keselarasan dengan lingkungannya.
72 Sebenarnya hampir semua kelompok masyarakat memiliki sistem nilai budaya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang lestari yang kita sebut dengan pengetahuan lokal (local knowledge) yang di dalamnya terkandung nilainilai kearifan lokal tentang pengelolaan lingkungan (ecological wisdom) yang ditunjang oleh sistem religi dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat serta norma dan nilai yang terkandung di dalamnya. Ada beberapa Kajian yang mendukung argumentasi tersebut, seperti yang ditulis oleh Ton Diet (1998) tentang etnik Haruku, sebuah desa di kepulauan Lease Maluku Tengah di mana masyarakatnya diatur oleh sebuah lembaga masyarakat adat yang mereka sebut “lembaga Kewang” atau “Kepala Hutan”, salah satu lembaga tradisional yang bertanggung jawab dan mengatasi pelaksanaan hukumhukum adat dalam kehidupan sehari hari khususnya pemanfaatan SDA dan Lingkungan dan pelestarian lingkungan. Penelitian serupa dilakuan oleh Citra (2003) terhadap budaya Topomaradia pada etnik to Balaesang di Kecamatan Balaesang Propinsi Sulawesi Tengah. Adat Topomaradia adalah lembaga adat bagi to Balaesang yang secara leksikal terdiri dari tiga unsur utama yaitu; To, Po dan Maradia. To dalam bahasa Balaesang dan etnik Kaili pada umumnya berarti “orang” sedangkan Po
adalah kata yang
menunjukkan “tempat “atau “wadah” sedangkan Maradia adalah “pemimpin, raja atau keturunan Bangsawan”. Dengan demikian Topomaradia adalah tempat atau wadah bagi para maradia (pemangku adat) untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai badan kontrol atau patron bagi etnik To Balaesang. Topomaradia adalah sebuah lembaga normatif yang di dalamnya terhimpun pranata sosial berupa norma, kaedah dan sistem nilai yang digunakan sebagai wadah pengatur sikap dan perilaku warganya khususnya dalam hubungan manusia dengan alam. Kajian serupa jauh sebelumnya sudah dilakukan oleh Soehardi (1982) terhadap komunitas masyarakat Jawa, bahwa meski pemahaman tentang lingkungan hidup sangat terbatas, ada usaha untuk mempengaruhi kekuatan supernatural dengan menggunakan upacara tertentu seperti sesaji, berkorban, dan sebagainya. Hal ini
73 semua dilakukan dalam rangka menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam lingkungan. Dari beberapa studi terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup cenderung imanen. Sistem biofisik merupakan sumberdaya yang menyediakan semua kebutuhan hidup seseorang namun cara pengambilannya untuk kepentigan sosial harus disertai dengan prilaku terpola untuk tetap menjaga kelestarian dan keserasian ekosistem. Kelemahan yang mendasar dari konsepsi tersebut di atas adalah tidak menjelaskan secara spesifik tentang komunitas masyarakat adat yang tentunya secara sosiologis berbeda maknanya dengan komunitas masyarakat pada umumnya. Sehingga pertanyaannya siapa sesungguhnya yang disebut masyarakat adat itu, kemudian apakah dengan hubungan timbal balik tersebut manusia (dalam hal ini komunitas masyarakat adat) tidak pernah melakukan konflik terhadap lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, Saleh, (2003) dan Sangaji (2001) memberikan pemahaman mendasar tentang komunitas masyarakat adat sedangkan Marzuki, (2004) membahas potensi terjadinya konflik lingkungan di kalangan masyarakat adat dalam hubungannya dengan hak pengelola hutan. Menurut Saleh (2003) istilah masyarakat adat mempunyai banyak pengertian, seperti Masyarakat adat juga dikenal dengan istilah indigenous people yang penekanan terletak pada kelompok masyarakat yang rentan termarjinalkan. Istilah indigenous people lebih mengacu pada pengertian masyarakat dengan identitas dan karakteristik yang lebih spesifik. Sedangkan Bank Dunia mendefinisikan terminologi indigenouspeople sebagai “…sosial groups with a social and cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantaged in the development process”
74 (kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan). Karakteristik Indigenous people antara lain: (1)
Melekat pada wilayah nenek moyang dan pada SDA dan Lingkungan di daerah tersebut;
(2)
Mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi oleh kelompok masyarakat lainnya sebagai anggota kelompok budaya yang berbeda;
(3)
Memiliki bahasa asli yang sering kali berbeda dari bahasa nasional suatu bangsa;
(4)
Adanya institusi sosial-politik; dan
(5)
Pola hidup yang masih bersifat subsisten dan berorientasi produksi.
Dari karakteristik tersebut di atas, Sukmawati (2006) menyimpulkan bahwa: (1) Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang
paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka. (2) Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan
memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka. (3) Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. (4) Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi
harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya. (5) Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja
untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar. Secara harfiah, masyarakat adat juga dikenal dengan istilah masyarakat adat (local communities), penduduk asli (indigenous people), masyarakat setempat, dan masyarakat hukum adat; sebagaimana dipaparkan di atas, mengacu pada satu pengertian yang sama, yaitu masyarakat yang tergantung terhadap kawasan hutan, dan/atau merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan
75 di sekitar kawasan hutan serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya. Selanjutnya Menurut Konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: "masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya, sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003, gerakan masyarakat adat mengalami kemajuan pesat. Lebih dari 130 wakil-wakil masyarakat adat menghadiri pertemuan besar tersebut membuat pernyataan dan rekomendasi. Pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat adat dalam kongres itu menekankan fakta bahwa hak-hak mereka yang telah diakui secara tradisional secara sistematis telah dilanggar di kawasan-kawasan lindung, termasuk hak hidup. Pernyataan ini mengacu pada kebijakan membangun kawasan konservasi yang mengabaikan rakyat setempat. Kebijakan itu bahkan terkadang dilakukan dengan kekerasan dengan cara memindahkan secara paksa penduduk, atau menempatkan mereka dalam suatu wilayah dengan batasan ketat penggunaan sumberdaya alam, lingkungan dan tanah. Kongres itu telah menyepakati rencana aksi dengan target yang konkret, serta kebijakan untuk mencapai apa yang disebutnya sebagai paradigma baru untuk kawasan-kawasan
konservasi.
Kongres
itu
juga
mengadopsi
sejumlah
76 Rekomendasi berkaitan dengan Masyarakat Adat, termasuk dalam pasal 5.24 tentang Masyarakat Adat dan kawasan-kawasan lindung di mana dalam pasal itu memberi rekomendasi bahwa pemerintah, organisasi-organisasi intra-pemerintah, ORNOP, komunitas lokal dan masyarakat sipil, harus: (1)
Menjamin bahwa kawasan lindung yang sekarang ini ada dan yang akan dibuat kemudian akan menghargai hak-hak masyarakat adat;
(2)
Menghentikan pemukiman dan pengusiran paksa masyarakat adat dari tanah mereka dalam kaitannya dengan kawasan lindung, juga pemaksaan penghentian mobilitas masyarakat adat;
(3)
Menjamin bahwa
pembentukan
kawasan lindung didasarkan pada
persetujuan tanpa paksaan (prior informed consent) dari masyarakat adat, selain juga didasarkan pada perhitungan dampak sosial, ekonomi, budaya dan
lingkungan
yang
pelaksanaannya
melibatkan
partisipasi
aktif
masyarakat adat; (4)
Menerapkan undang-undang dan kebijakan yang mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat adat terhadap tanah nenek moyang dan sumber mata air.
Dalam era reformasi ditemukan beberapa produk hukum MPR yang secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap hukum adat antara lain: 1.
TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini menyatakan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindingi selaras dengan perkembangan jaman. Dengan adanya penegasan ini, maka hak-hak dari masyarakat adat yang ada (masyarakat tradisional) ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati. Pemaknaan terhadap ketentuan ini lebih jauh perlu dikaitkan dengan pasal 18 B (2) dan pasal 28 1 (3) UUD 1945 setelah di amandemen.
Pasal 18 B (2) UUD 45: Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip NKRI.
77
Pasal 28 1 (3) UUD 45: Identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 6 secara tegas menyatakan: a). Dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. b). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundanganundangan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa dalam rangka penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan penjelasan tersebut di atas, maka pertanyaannya kemudian adalah benarkah komunitas masyarakat adat kaili di Poboya memang masih benar-benar ada sebagai satu kesatuan hukum masyarakat adat, dan apakah komunitas masyarakat adat tersebut masih memiliki kearifan lokal terhadap lingkungan, mengingat
kerusakan
SDA
dan
lingkungan
di Poboya
sudah sangat
menghawatirkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita tidak sekedar berada dalam keberpihakan yang semu, tetapi juga mampu menunjukkan obyektivitas terhadap realitas yang terjadi.
78 Kerangka Pemikiran Perdebatan tentang keberadaan tambang emas di Poboya menemukan momentum ketika banyak orang mengetahui kandungan mineral yang ada di Poboya mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi yakni 2 juta ons (Sangaji, 2010). Hal inilah yang menyebabkan kontestasi yang melibatkan banyak aktor, mulai dari level regional, nasional sampai internasional untuk mendapatkan klaim atas akses SDA. Pertarungan ini menjadi penting dicermati karena tiga alasan; Pertama; Jika dilihat dari aspek lokalitas, penambangan emas tradisional Poboya berada di kawasan Komunitas “adat”, sementara Komunitas “adat” selama ini diklaim memiliki kearifan lokal terhadap lingkungannya. Karena itu pertanyaannya adalah benarkah komunitas masyarakat adat di Poboya memang masih benar-benar ada sebagai satu kesatuan hukum adat, atau sebaliknya identitas masyarakat adat di Poboya sudah pudar dan berusaha ditumbuhkan kembali oleh elit masyarakat adat karena melihat tambang emas ternyata bisa diakses. Kedua; jika dilihat dari sifat hubungannya dengan Sumberdaya alam dan lingkungan di mana Kebijakan pemerintah untuk mengundang investor asing untuk berinvestasi di Poboya mensiratkan kuatnya dimensi struktural9 yang lebih mementingkan kapitalis dan secara tidak langsung adalah proses memarjinalkan penduduk lokal atau komunitas masyarakat adat Poboya dari kekayaan Sumberdaya alam mereka sendiri. Demikian pula dengan kebijakan pemerintah untuk menutup tambang dengan alasan konservasi dan penyelamatan lingkungan menunjukkan adanya ketidakadilan ekologis di mana kebijakan pemerintah tersebut menutup akses masyarakat adat untuk melakukan aktivitas penambangan dinilai lebih pro kepada kapitalis besar (PT.CPM) sebagai pemilik hak konsesi penambangan.
9
Dimensi strukturalis melihat persoalan degradasi lingkungan sebagai akibat dari kekuatan kapitalisme atau kebijakan negara yang opresif, yang berdampak pada masyarakat adat dan lingkungan (Forsyth, 2003)
79 Ketiga, aspek yang paling penting dan mempunyai keterkaitan kedua faktor sebelumnya yakni perdebatan mengenai bentuk mekanisme perlindungan SDA antara konservasionisme10 developmentalisme11 dan eko-populisme12.ketiga aliran pemikiran tersebut, memegang peran sentral dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terutama pada kawasan konservasi seperti Taman Nasional, dan sudah diperaktekkan selama lebih kurang 32 tahun di bawah rezim Orde Baru. Hanya sedikit pengelola Taman Nasional yang menganut ideologi eko-populis bahkan yang paling sering terjadi adalah mengambil posisi berlawanan.13 Untuk kasus penambangan emas di Poboya, kebijakan yang dipilih adalah kebijakan bernuansa konservasi yang kemudian menimbulkan kontroversi dan resistensi dari masyarakat adat, karena pemerintah cenderung menggunakan standar ganda antara keinginan menyelamatkan lingkungan dengan menutup tambang yang dikelola masyarakat adat, tapi pada saat yang bersamaan membuka peluang masuknya investor yang dapat menjadi perusak terbesar terhadap lingkungan itu sendiri. Dari penjelasan itu menunjukkan bahwa perbedaan perspektif dalam melihat perlindungan sumberdaya alam dapat berpengaruh besar dalam relasi antara negara, korporat dan masyarakat adat yang dapat berujung pada konflik yang berkepanjangan. Karena itu menjadi penting untuk mengkaji interelasi antara dampak ekologis, relasi kekuasaandan sosial ekonomi. 14
10
11
12
13
14
Aliran Konservasionisme menekankan perlunya suatu kawasan yang dilindungi secara hukum yang jauh dari aktivitas manusia untuk mewujudkan keseimbangan ekologi. Aliran Developmentalisme beranggapan bahwa persoalan lingkungan disebabkan oleh karena kemiskinan, karena itu yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan komunitas masyarakat di sekitar hutan tanpa harus mengeluarkan mereka dari lingkungannya. Sedangkan aliran ketiga, eko-populisme beranggapan bahwa masyarakat adat adalah pemilik sesungguhnya SDA dan mempunyai kearifan lokal dalam memperlakukan alam. Tetapi justru mereka yang paling banyak menanggung resiko atas SDA. Karena itu masyarakat adat perlu dilindungi agar mendapatkan hak ekonomi, politik terhadap SDA. Sebagai pengecualian pengelola Taman Nasional Lore Lindu pada masa kepemimpinan Banjar Yulianto yang menyebut dirinya sebagai seorang eko-populis, itu punn punya riwayat yang panjang karena desakan komunitas masyarakat adat yang meminta pengakuan eksistensinya di kawasan lindung Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Tapi setelah itu pengelola Taman Nasional kembali ke ideologi sesungguhnya yakni developmentalisme yang kadang “bekerjasama” dengan konservasionis). Relasi kekuasaan di sini termasuk masalah perebutan sumberdaya alam, yakni dalam hal penggunaan lahan dan praktik pengaturan SDA yang dominan dalam suatu wilayah.
80 Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada kerangka fikir sebagai berikut :
Gambar 2. Kerangka Pikir
81 Hipotesis Pengarah
Dari kerangka pemikiran tersebut di atas, maka disusun hipotesis pengarah sebagai berikut;15
Konflik dalam perebutan kuasa atas hak akses untuk pengelolaan dan pemanfaatan SDA terjadi karena adanya perbedaan pemaknaan terhadap SDA
Tingkat intensitas konflik yang berlangsung antar kelompok kepentingan di Poboya sangat ditentukan (bergantung) pada kejelasan klaim atas penguasaan SDA di kawasan tersebut;
Tingkat kejelasan penguasaan SDA menentukan derajat utilitas dan kerusakan SDA yang ditimbulkan atas pemanfaatan SDA di kawasan tersebut.
Keberadaan penambangan emas di Poboya memberi dampak positif bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekaligus memberi dampak negatif berupa kerusakan ekologi yang dapat mengancam keselamatan masyarakat
15
Hipotesis pengarah dalam penelitian ini bukan untuk membuktikan kebenaran yang sudah disusun sebelumnya, tapi lebih kepada pedoman yang memberi arah dalam kerja penelitian sejak dari awal hingga akhir penelitian.
82
83 BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konflik sumberdaya alam yang terjadi di Poboya adalah konflik vertikal antara pemerintah,
korporasi dan
komunitas masyarakat adat. Konflik Poboya berbeda dengan konflik-konflik sumberdaya alam di beberapa tempat di tanah air, meski isunya tetap sama yakni konflik sumberdaya alam, namun anatomi konfliknya berbeda. Adapun perbedaan yang dimaksud adalah; Pertama, meski dikatakan berkonflik, tapi kita tidak menemukan adanya pertentangan yang tajam di antara kelompok yang berkonflik dan tidak ada saling menyerang apalagi saling menjatuhkan. Yang terjadi di Poboya adalah perbedaan cara pandang atau pemaknaan dalam hal pengelolaan sumberdaya alam (tambang emas) di mana masing-masing pihak (pemerintah, korporasi, LSM dan Masyarakat adat)
saling klaim hak kepemilikan. Sehingga yang berhadapan
adalah state versus komunitas “adat” atau korporasi versus komunitas “adat”, tapi tidak saling menyerang atau menjatuhkan, sehingga konflik yang terjadi sesungguhnya adalah konflik semu, yaitu bagaimana memenangkan klaim tersebut tanpa melalui kekerasan. Kedua, kepentingan aktor yang berkonflik tidak berdiri pada satu garis demarkasi, tapi ada di antara keduanya sehingga posisi aktor sangat membingungkan. Karena di satu sisi “mereka” berbicara sebagai kelompok dominan (superordinate), tapi pada waktu yang lain membela kepentingannya yang tergabung dalam kelompok subordinat atau dengan kata lain berdiri pada dua kelas yang berbeda (bukan di antara dua kelas); Ketiga, Masyarakat adat sebagai simbol identitas perlawanan tidak murni datang dari dalam komunitas, tapi dibentuk oleh kekuatan dari luar yang juga punya kepentingan sehingga kehadiran adat hanya simbolik atau serimonial;
84 Keempat, masyarakat adat yang ada telah mengalami proses transformasi, dari masyarakat yang terhegemoni, terkritisi, menuju masyarakat yang mendominasi. Masyarakat mampu mengekstrak sumberdaya alam (tambang emas) secara masif sehingga meninggalkan jejak-jejak pengrusakan alam. Atas nama adat, mereka membangun pundi-pundi keuntungan yang besar tapi hanya dinikmati oleh segelintir orang. Keuntungan terbesar justru mengalir kepada kompardorkomprador domestik yang datang dari berbagai penjuru di luar kota Palu. Sementara penduduk lokal sudah sangat bangga16 dengan tetesan aktivitas penambangan karena mereka dapat menjadi buruh pikul (kijang) atau penggali batu (cacing tanah) di negerinya sendiri. Melihat fakta-fakta anatomi konflik dari penambangan emas Poboya, menjadi keprihatinan peneliti, betapa masyarakat adat menjadi obyek tawar-menawar oleh kekuatan luar. Betapa kekuatan luar memanfaatkan masyarakat “adat” begitu dominan mengekstrak sumberdaya alam Poboya yang justru mengancam masyarakat Poboya sendiri. Atas dasar itu, peneliti berkeyakinan bahwa ada masalah sosial yang nyata dihadapi masyarakat Poboya, sehingga penjelasan atas fakta-fakta di atas memerlukan metodologi (kumpulan cara) yang tidak sekedar mengungkapkan obyektivitas semata, tapi yang lebih penting adalah bagaimana mencerminkan keberpihakan peneliti kepada masyarakat adat agar mereka bisa lebih jenih dalam melihat “kilau emas” dan bersikap kritis terhadap kekuatan dari luar yang “menjual” identitas kultur leluhurnya.
Metode Dlam suatu aktivitas penelitian, kehadiran suatu paradigma menjadi sangat penting sebagai dasar keyakinan filosofis yang akan memandu seorang peneliti. Bahkan begitu pentingnya, ada yang menganggap bahwa metode penelitian tidak 16
Ada cerita yang berkembang di kalangan penambang di Poboya, bahwa masyarakat Kaili sangat bangga sudah dapat membelikan anaknya mainan (Tetris), karena sebelumnya, sekian tahun bekerja di Pasar Inpres Masoba Palu, Mereka tidak mampu membelikan satupun mainan untuk anaknya, kecuali setelah bekerja di tambang. Seandainya tidak ada tambang mungkin dia tidak mampu membeli mainan tersebut.
85 lain adalah pilihan paradigma itu sendiri. Ritzer (1980) menyatakan paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang
ilmu pengetahuan.
Paradigma dapat juga diartikan sebagai asumsi yang dianggap benar. Oleh karena itu, paradigma penelitian berimplikasi pada pilihan metodologi dan teori yang digunakan dalam suatu penelitian. Terkait dengan hal tersebut Guba dan Lincoln seperti yang dikutip dalam Denzin (2000:160) mengemukakan empat alternatif paradigma dalam penelitian, yaitu ; paradigm positivisme, postpositivisme, teori kritis, konstructivis dan partisipatori. Tetapi dalam perkembangannya, beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik dan pospositivistik merupakan kesatuan paradigma dengan melihat implikasi metodologis dan teknis dari dua paradigma tersebut, dalam prakteknya tidak punya banyak perbedaan, yang sering disebut dengan paradigma klasik. Berdasar pada rumusan masalah dan tujuan penelitian sebelumnya, maka paradigma yang digunakan tidak bersifat tunggal, tetapi multi paradigma yakni paradigma teori kritis dan teori konstruktivisme. Keduanya sama-sama varian anti positivistik. Paradigma teori kritis (subjectivism) dapat digunakan untuk membongkar masalah relasi kekuasaan dan kontestasi para aktor yang mendasari pola-pola penguasaan, pemanfaatan dan pemilikan sumberdaya Alam di Poboya, sedangkan
konstruktivisme
(Interpretivism)
digunakan
untuk
memotret
bagaimana masyarakat adat mengkonstruksi alam dan lingkungannya sehingga mereka dapat merepresentasikan diri dan mengambil manfaat di tengah arus pusaran pertarungan akses SDA. Lebih lanjut Menurut Guba & Lincoln seperti dikutip dalam Denzin (2000:158165) Teori Kritis, dasar ontologinya adalah historical realism (realitas sejarah), epistemologinya adalah transaksional, dan metodologinya adalah bersifat dialogic dan dialectical. Secara umum paradigma ini lebih menyukai pendekatan grounded theory, theory construction, dan case study sebagai fokus analisis. paradigma teori kritis menggunakan kualitatif-emansipatoris.
86 Comstock (1980) menyatakan bahwa penggunaan paradigma kritis dalam penelitin sosial, dimulai dari adanya masalah-masalah sosial nyata yang dialami oleh sekelompok individu, kelompok-kelompok, atau kelas-kelas yang tertindas dan teralienasi dari proses-proses sosial yang sedang tumbuh dan berkembang. Melihat permasalahan itu, Ilmuwan sosial tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat demi mengejar obyektivitas ilmu semata, tetapi harus menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial dan harus menjawab masalahmasalah tersebut dengan mengajak masyarakat untuk kritis melalui aksi-aksi sosial agar mereka yang tertindas mampu melepaskan diri dari belenggu struktur yang menindas. Oleh karena itu implementasi secara praksis dari paradigma ini adalah menjalin hubungan inter subjektif antara peneliti dan tineliti untuk bersama-sama menyusun program aksi untuk merubah kondisi-kondisi sosial yang menindas. Secara analitis penelitian kritis harus dapat menciptakan hubungan dinamis antar subyek dalam situasi sosial. Riset kritis harus melakukan kritik ideologi berdasarkan perbandingan antara struktur sosial buatan dengan struktur sosial nyata. Comstock (1980) mengemukakan setidaknya ada tujuh tahap yang harus dilalui untuk studi kritis adalah :
Identifikasi kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial progresif.
Mengembangkan seluruh hubungan inter-subjektif untuk memahami makna, nilai, motivasi masyarakat lokal.
Mempelajari perkembangan kondisi-kondisi sosial historis dari strukturstruktur sosial masa kini yang menjadi kendala aksi.
Membangun model hubungan antara kondisi sosial, interpretasi, intersubjektif terhadap kondisi-kondisi tersebut dan menjadi partisipan aksi
Menjelaskan kontradiksi-kontradiksi fundamental sebagai hasil dari proses riset yang didasarkan pada: membandingkan kondisi dengan pemahaman, kritik ideologi, dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru untuk aksi.
Partisipasi dalam program pendidikan bersama dengan masyarakat sekaligus mencari cara-cara baru dalam memenuhi dunia mereka
Partisipasi dalam menyusun program aksi untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan melakukan riset kritis lebih lanjut.
87 Dari ketujuh langkah tersebut di atas, terlihat bahwa tujuan penggunaan teori kritis adalah memahami makna-makna dan kondisi sosial saat ini sebagai produk sejarah, kemudian meninjau kembali aksi politik yang dilakukan oleh masyarakat untuk disesuaikan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Olek sebab itu peneliti kritis harus benar-benar dapat menyatu dengan rakyat karena tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran kritis rakyat dalam melakukan suatu bentuk aksi yang terencana dalam periode waktu tertentu. Peran peneliti kritis yang paling utama adalah bagaimana melakukan analisis dan dialog bersama rakyat karena hanya dengan melalui cara itu pengetahuan masyarakat dapat ditingkatkan dan pengalaman mereka dapat digali menjadi bentuk pemikiran bersama. Pada konteks masyarakat Poboya, upaya membangun kesadaran kritis harus dilakukan secara lebih hati-hati, mengingat selama ini Poboya mejadi arena pertarungan kepentingan aktor. Setidaknya hal itu terbaca dengan munculnya gerakan perlawanan “masyarakat adat” yang dikendalikan oleh sejumlah Ornop-L yang berhasil menarik simpati komunitas untuk membangun kesadaran bersama untuk menolak kehadiran korporasi di Poboya. Selain menggunakan paradigma kritis, penelitian ini juga menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba & Lincoln yang dikutip dalam Denzin (2000:158-165), konstruktivisme juga mempunyai dasar filosofis. Dasar ontologinya adalah relativisme, artinya realitas yang dipahami bersifat plural (multiple realitas). Artinya realitas tidak dapat dinyatakan secara jelas dan pasti (intangibele), tetapi konstruksi mental didasarkan atas pengalaman bersifat sosialbudaya, lokal dan dan spesifik. Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Konstruksi harus dilakukan sendiri oleh individu terhadap pengetahuan itu sendiri, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi tersebut sehingga
kostruksi
ilmu
pengetahuan
tidak
bersifat
obyektif-universal.
Konstruktivisme dilihat sebagai kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia
88 realitas yang ada karena akibat dari proses relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang sekitarnya. Individu membangun sendiri realitasnya berdasarkan struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Sementara epistemologinya transaksional dan subyektif, di mana hubungan antara peneliti dan tineliti saling terkait dan interaktif. Adapun metodologinya adalah dialektika hermeneutika. Sebagai pijakan dalam penelitian konstruktivisme, maka ada sejumlah indikator yang perlu diperhatikan, seperti :
Penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan analisa data.
Mencari relevansi indikator kualitas untuk mencari data-data lapangan
Teori-teori yang dikembangkan harus bersifat membumi (grounded theory)
Kegiatan ilmu harus bersifat natural (apa adanya) dalam pengamatan dan menghindari diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat atau berorientasi laboratorium.
Pola-pola yang diteliti berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis dari variabel-variabel yang kaku dan steril
Penelitian lebih bersifat partisipatif. Menurut konstruktivisme teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya.
Selain memperhatikan indikator-indikator di atas, penelitian konstruktivisme harus dilakukan dengan beberapa tahapan, seperti: 1.
Tahap Apersepsi. Tahap ini merupakan tahap kegiatan untuk membangkitkan atau menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan sesuatu yang baru.
2.
Tahap Eksplorasi. Tahap ini merupakan tahap kegiatan menghimpun atau mengumpulkan data atau fakta-fakta untuk menjelaskan sesuatu.
3.
Tahap Diskusi. Tahap ini merupakan tahap kegiatan menguji atau menilai data atau informasi yang berbeda (sama).
4.
Tahap Aplikasi. Tahap ini merupakan tahap menerapkan atau mempraktekkan sesuatu atau konsep menjadi sesuatu atau hal baru.
89 Dengan tahapan itu, maka peneliti dengan pendekatan konstruktivisme dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas obyektif yang berada di luar orang yang diteliti tetapi juga realitas subyektif di dalam diri orang yang diteliti yang menyangkut kehendak dan kesadaranya. Hal ini penting dilakukan karena kedua realitas ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi, dan untuk mencapai hal tersebut, maka peneliti harus melakukan dua hal ;
Pertama,
berjumpa dengan pribadi tineliti, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan
sungguh-sungguh
mau
memahami
(verstehen)
realitas
tersebut
(Lenggono, 2011). Dari kedua paradigma di atas (Kritis dan kontruktivis), kita dapat melihat adanya persamaan dan perbedaan di atara keduanya, yaitu bersifat hermeneutical dan dialektical, di mana teori muncul berdasarkan data yang ada dan difokuskan pada konstruksi,
rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial;
sama-sama
menempatkan nilai, etika dan pilihan moral dalam posisi yang sama, di mana peneliti berperan sebagai passiorate participant, fasilitator yang menjembatani subyektivitas pelaku sosial, sama-sama memiliki tujuan untuk merekonstruksi realitas sosial secara dealektik antara peneliti dan tineliti (Lenggono, 2011: 75).
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Untuk memberikan arah dan kejelasan metodologis maka penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu cara kerja penelitian yang diterapkan terhadap gejalagejala yang sukar diukur (tidak dapat dikuantifikasi, karena lebih bersifat kualitatif). Metode kualitatif intinya adalah upaya interprestasi peneliti atas datadata atau ide-ide (Bogdan dan Biklen, 1992) melalui proses eksplanasi, melalui teknik indepth interview (wawancara mendalam). Teknik penelitian kualitatif dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu interaktif dan non interaktif atau dokumentatif. Teknik interaktif yaitu melalui wawancara baik bersifat formal maupun informal dengan maksud menggali data dan informasi tentang konstruksi masyarakat adat dalam melihat alam dan
90 lingkungannya. Dalam hal ini yang diperlukan sesungguhnya adalah konstruksi pemahaman, pemaknaan, penggambaran dan keberpihakan dari dan kepada subjek tineliti. Melihat permasalahan yang diteliti, maka pilihan strategi yang paling tepat adalah Studi Kasus yang memungkinkan terjadinya dialog antara peneliti dan tineliti seperti dalam teori kritis, maupun interaksi antara peneliti dan tineliti dalam teori konstruktivisme (Denzin, 2000). Sedangkan teknik non interaktif atau dokumentatif yaitu melalui penelusuran terkait dengan review data dan informasi tentang konflik SDA. Need Assesment, review data sekunder meliputi :
Data kondisi SDA dan lingkungan sebelum, pada saat dan sesudah dilakukan penambangan
Dari pemberitaan media massa terutama dari surat kabar yang berskala nasional dan lokal. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ditetapkan surat kabar yang berskala nasional dan lokal. Berskala nasional yaitu KOMPAS, Radar Sulteng dan Media Alhairat. Adapun kebutuhan data yang bersumber dari Surat kabar tersebut adalah data news, opini dan laporan faktual kondisi SDA dan dinamika konflik di Sulawesi Tengah dari kurun waktu tahun 1998 sampai dengan 2010.
Untuk lebih melengkapi data sekunder yang dihimpun melalui pemberitaan media, juga akan ditelaah sebagai pembanding hasil kegiatan dan laporan Lembaga Swadaya Masyarakat dan para peneliti khususnya mengenai konflik SDA di Poboya maupun konflik horizontal lainnya di Sulawesi Tengah.
Proses penelitian ini senantiasa disesuaikan dengan fokus masalah penelitian yang sedapat mungkin terbangun secara alamiah dengan melibatkan upaya verstehen, yaitu suatu upaya yang harus dilakukan oleh peneliti untuk menafsirkan apa yang ada dalam benak orang melalui tulisan atau penyampaian oral dari orang yang bersangkutan. Dengan demikian penelitian ini mengutamakan pandangan dan pendirian subjek penelitian terhadap situasi yang dihadapinya. Data penelitian diperoleh melalui multi-teknik pengumpulan data, seperti untuk data kualitatif dilakukan melalui observation varticipant (pengamatan terlibat),
91 indepth interview (wawancara mendalam) dan Focus Group Discussion (FGD)17 Selanjutnya semua data dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari kondisi alami yang ada. Proses pemaknaan terhadap data dilakukan dengan interpretasi ideografik (ideographic interpretation) [Denzin,2000]. Untuk mendapatkan kredibilitas hasil penelitian maka peneliti menempuh beberapa langkah, seperti yang disarankan Guba dan Lincoln yang dikutip dalam Denzin (2000 ) : 1) Pengamatan berulang, yaitu melakukan penelitian dengan mengunjungi lokasi secara bolak-balik. 2) Triangulasi: bahwa pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, selain dengan wawancara mendalam dengan tokoh kunci, peneliti juga melakukan wawancara
bebas dengan aparat kelurahan di samping
menggunakan data sekunder berupa data monografi desa. 3) Masukan Tineliti, bahwa semua kesimpulan sebagai hasil dari penelitian ini akan dikonfirmasi kembali kepada narasumber untuk mencegah kesalahan penafsiran.
subjek yang akan diwawancarai dalam penelitian ini yaitu komunitas lokal/adat dan kelompok penambang berdasarkan sebaran kedaerahan. Untuk mendalami permasalahan yang ada, maka peneliti juga melakukan indepth interview dengan sejumlah elit lokal sebagai tokoh kunci yang dianggap memahami dengan baik permasalahan yang ada di Poboya. Proses pengumpulan data lainnya (data sekunder) diperoleh dengan menelusuri berbagai dokumen resmi. Tujuannya adalah untuk mengetahui perkembangan dinamika penduduk di Poboya, terutama arus masuk untuk melakukan aktivitas penambangan. Demikian pula dengan perkembangan secara fisik yang terjadi sejak adanya penambangan di Poboya.
17
teknik FGD ini sulit dilakukan karena pada saat studi lapang, komunitas masyarakat sedang dalam kontrol sejumlah ORNOP-L, sehingga peneliti sengaja menghindari perhatian yang mencolok dan kecurigaan pihak lain).
92 Untuk mengetahui keterkaitan antara topik masalah penelitian, tujuan, hipotesis, konsep, teknik pengumpulan data dan sumber data dapat dilihat pada tabel berikut:
93
Tabel 6. Keterkaitan Permasalahan dengan Metode Penelitian Topik Permasalahan Dinamika konflik
Tujuan Menganalisis dinamika konflik
Hipotesis Pengarah Konflik terjadi karena adanya perbedaan pemaknaan terhadap sumberdaya alam (tambang)
Konsep Utama/hubungan antar konsep Konflik konservasi Pemerintah Masyarakat adat Korporasi Ornop-L
Informasi data yang diperlukan Sejarah keberadaan masyarakat adat di Poboya Sejarah pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat di Poboya Kebijakan pembentukan TAHURA Sejarah terjadinya konflik Sikap pemerintah terhadap penambangan di Poboya Sikap masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di Poboya
Teknik pengumpulan data Studi pustaka Penelusuran dokumen tentang pembentukan TAHURA Penelusuran dokumen tentang Kontrak Karya di Kawasan Poboya Dialog kritis dengan masyarakat , baik masyarakat asli Poboya maupun masyarakat penambang dari luar Wawancara
Sumber data Hasil penelitian terdahulu tentang Poboya Dokumendokumen berkaitan dengan persiapan, pembentukan dan penetapan TAHURA Ketua Adat Tokoh Masyarakat Pemerintah Korporasi Masyarakat penambang Akademisi Tokoh LSM Anggota Dewan
94 Sambungan:
Topik Permasalahan Kekuatan yang mengendalikan konflik
Tujuan Mendalami konflik serta kekuatan utama yang mengendalikan konflik
Hipotesis Pengarah Tingkat intensitas konflik yang berlangsung antara kelompok kepentingan di Poboya sangat ditentukan (bergantung) pada kejelasan klaim atas penguasaan SDA di kawasaan tersebut
Konsep Utama/hubungan antar konsep Intensitas konflik Hak kepemilikan Akses Dominasi/ Hegemoni Kekuasaan
Informasi data yang diperlukan Penyebab konflik Tahapan konflik Pemetaan konflik Identifikasi Aktor dan kepentingannya Saluran yangdigunakan Ruang terjadinya konflik
Teknik pengumpulan Sumber data data Review hasil Jurnal, disertasi, penelitian thesis dan laporan Review penelitian beberapa peraturan Peraturan pemerintah Dialog dengan tentang tokoh adat, sumberdaya pemuda dan alam (hutan dan penambang tambang) Diskusi dengan Surat menyurat kelompok LSM berkaitan Diskusi dengan dengan pemerhati pembentukan lingkungan TAHURA (akademisi) Surat menyurat tentang izin penambangan Komunitas adat Kalangan LSM Akademisi AMAN
95 Sambungan:
Topik Permasalahan Dominasi masyarakat adat
Tujuan Mendalami keberadaan masyarakat adat dan sepak terjangnya
Hipotesis Pengarah Masyarakat adat di Poboya sudah pudar namun sengaja dihindupkan kembali oleh kelompok lokal sebagai media tawar-menawar kepentingan elit lokal
Konsep Informasi data Utama/hubungan yang diperlukan antar konsep Masyarakat Legalitas adat masyarakat adat Marginalitas Kelompok Kepentingan kelompok Elit politik lokal kepentingan dominasi Sepak terjang masyarakat adat Pengaruh kelembagaan adat terhadap komunitas Kekuatan masyarakat adat
Teknik pengumpulan data Wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh masyarakat Waancara mendalam dengan penggiat AMAN Sulteng Wawancara mendalam dengan perwakilan Korporasi Wawancara mendalam dengan akademisi
Sumber data Tokoh Adat Tokoh Pemuda Petugas lapangan AMAN LSM Akademisi Korporasi P4K
96 Sambungan;
Topik Permasalahan Dampak sosial, ekonomi dan ekologi dari pertarungan kepentingan di Poboya
Tujuan Mengetahui dampak sosialekonomi dan lingkungan dari aktivitas penambangan
Hipotesis Pengarah Keberadaan penambangan emas di Poboya memberi dampak positif bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekaligus memberi dampak negatif berupa kerusakan ekologi yang dapat mengancam keselamatan masyarakat
Konsep Informasi data Utama/hubungan yang diperlukan antar konsep Penambangan Data hasil tradisional penelitian tetntang sosial ekonomi dampak ekologi lingkungan Konservasi Tanggapan masyarakat atas keberadaan penambangan Jenis usaha yang dikembangkan masyarakat Perubahan sosial yang dirasakan masyarakat Perubahan ekonomi yang dirasakan masyarakat
Teknik pengumpulan data Review hasil penelitian Wawncara dengan masyarakat Poboya Wawancara dengan tokoh masyarakat Wawancara dengan pelaku usaha di Poboya Identifikasi perkembangan usaha masyarakat Identifikassi peluang usaha yang dapat dikembangkan masyarakat
Sumber data Jurnal, laporan hasil penelitian instansi terkait Tokoh masyarakat, Penambang Ibu-ibu RT Lembaga pemerhati lingkungan LSM
97
Adapun proses analisis data mengacu pada teori akses Ribot dan Peluso (2003), Teori Kepemilikan Hak (property right) Ostrom dan Schlager (1990) dan teori aktor dari Bryant and Beiley (2001). Sedangkan perspektif konflik merujuk pada teori konflik dari Marx, Dahrendorf dan Collin. Sedangkan alat bantu untuk menganalisis konflik menggunakan Fisher (2000) dan Camara.
Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Poboya yang merupakan wilayah administratif Kota Palu. Penentuan Kota Palu (khususnya Poboya) sebagai studi kasus penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa Anatomi Konflik Poboya berbeda dengan konflik-konflik sumberdaya alam di tempat lain.
Penelitian ini awalnya direncakan berlangsung selama 1 (satu) tahun dengan perincian waktu yang digunakan mulai dari tahap persiapan bulan Juli 2010 sampai pada tahap pertanggung-jawaban penelitian pada bulan Juli 2011, Tapi kenyataannya penulisan laporan hasil penelitian ini baru dapat dirampungkan dan diseminarkan pada bulan Juni 2012 dan diuji di depan sidang tertutup pada tanggal, 6 Agustus 2012. Adapun tahapan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut;
98 Tabel 7. Tahapan-Tahapan Penelitian Tahapan 1.
Persiapan
2.
Pelaksanaan
3.
Analisis Data
4.
Penulisan Laporan
5.
Pertanggungjawaban Hasil Penelitian
18
Kegiatan yang dilakukan a. Melakukan penelusuran dan mengumpulkan referensi yang sesuai dengan tema penelitian b. Mempersiapkan administratif penelitian c. Kunjungan perkenalan kepada Ketua Adat dan Kepala Kelurahan Poboya d. Melakukan identifikasi aktor kepentingan di Poboya e. menghubungi informan penelitian. a. pengambilan data sekunder untuk melengkapi data yang belum tersedia b. Pengambilan data primer (wawancara mendalam yang tidak terstruktur) c. Focus group discussion (FGD)18 d. diskusi partisipatif dengan informan penelitian. a. Mengidentifikasi temuan berdasarkan tematik penelitian b. Melakukan analisis berdasarkan temuan penelitian; c. Penulisan draft hasil penelitian d. Konsultasi draft hasil penelitiandengan anggota komisi pembimbing e. perbaikan draft disertasi berdasarkan hasil dari komisi pembimbing. a. Melaksanakan Sidang Komisi Pembimbing b. mempersiapkan draft tulisan untuk jurnal c. melakukan sidang-sidang komisi d. Melaksanakan seminar hasil penelitian e. Melaksanakan ujian tertutup f. Melaksanakan ujian terbuka a. Pengumpulan disertasi ke SPs IPB
Karena pertimbangan keamanan, kegiatan FGD tidak dilaksanakan, mengingat Masyarakat Poboya sedang dalam kontrol sejumlah ORNOP-L yang sedang melakukan advokasi dan membangun gerakan sosial.
99 BAB IV
POBOYA: POTRET KEMISKINAN DI ATAS TUMPUKAN EMAS
Latar Belakang Kelurahan Poboya Poboya sebagai suatu tempat pemukiman masyarakat mempunyai sejarah yang panjang. Berdasarkan profil kelurahan Poboya (2007), terungkap bahwa di Poboya awalnya dihuni komunitas masyarakat Kaili yang berdialek Kaili Tara merupakan penduduk asli setempat, hidup menyebar di beberapa tempat pemukiman seperti Boya, Lowe dan Pantosu. Dalam perkembangannya mereka bersama-sama kemudian menetap pada satu tempat yang bernama kampung Binagga Mpondo di mana komunitas penghuninya adalah Suku Kaili yang berasal dari Marima, sebelah utara Gunung Masomba yaitu Rimarina. Ketika terjadi pergolakan yang dipimpin oleh Pue Salangga, Ndipe dan Makeku melakukan perlawanan terhadap Tadulako Pelawa Kecamatan Parigi yaitu Ntiboluka dan Peantoi. Dalam pergolakan tersebut Pue Salangga, Ndipe dan Makeku dibantu oleh Magau atau Raja-raja Pariusi ayah dari Djanggola, mengusulkan agar perkampungan tersebut diberi nama Poboya. Poboya terdiri dari dua suku kata yaitu Po dan Boya. Po berarti tempat atau lokasi sedangkan Boya berarti permukiman dari beberapa Kepala Rumah tangga bersama anggota keluarganya yang mendirikan rumah tinggal di lokasi tersebut. Jadi POBOYA berarti tempat permukiman beberapa Kepala rumah tangga bersama seluruh anggota keluarganya. Poboya (atau Kampung Poboya) mulai dikenal sebagai desa Poboya pada tahun 1812, yang kala itu dipimpin oleh seorang Kepala Desa bernama Rujunjobu, berasal dari Ue Sama yang pada saat itu masih dianggap seorang Raja.
100 Perkembangan selanjutnya, Poboya beralih status menjadi Kelurahan Poboya pada tahun 1981. Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Tanggal 1 Januari 1981 dan tercatat sebagai Lurah pertama adalah Bapak Halipa Djanggola yang menurut silsilah masih mempunyai hubungan dengan Kepala Desa Pertama. Sejak ditetapkan sebagai kelurahan, Poboya sudah mengalami pergantian kepemimpinan sepuluh kali, dan saat ini Kelurahan Poboya dipimpin oleh seorang wanita bernama Nurnaningsih,S.ST. Berikut ini nama-nama dan masa jabatan Kepala Desa dan Kepala Kelurahan Poboya sejak pertama sampai sekarang (Profil Kelurahan Poboya 2007): - Kepala Desa Poboya : 1. Rujunjobu
1901 - 1910
2. Sadumala
1910 – 1920
3. Lamaringgi
1920 – 1931
4. Lanusu
1931 – 1949
5. Yotokodi
1949 – 1959
6. Parilai
1959 – 1971
7. Lamureke
1971 – 1974
8. H. Djanggola
1974 – 1978
9. Muh. Pandejori
1978 – 1980
- Kepala Kelurahan poboya 1. H. Djanggola
1980 – 1993
2. Arifin L. Supunawa
1993 – 2001
3. Muhammad Iqbal DM, S.sos
2001 – 200
4. Drs. Mulyadin Malik
2001 – 2002
5. Hakim Rubama
2002 – 2003
6. Tompa Yotokodi, S.sos
2003 – 200
7. Efendy A
2006-(3 bulan)
8. Asrila, S.sos
2006 – 2010
9. Nurnaningsih,S.ST.
2010 – sampai sekarang
101
Gambar 3. Peta Kelurahan Poboya
Tata Pemerintahan di Poboya
Kelurahan Poboya merupakan salah satu bagian dari Wilayah Kecamatan Palu Timur yang berjarak ± 7,0 km dari arah Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Kelurahan Poboya tergolong ke dalam kelurahan swasembada yang memiliki luas wilayah ± 63,41 Km². Secara administrasi kelurahan Poboya terbagi atas 4 RW dan 8 RT, di mana wilayahnya terdapat pada lingkungan I, RW 01 dan RW 02 (RT. I,II,III,IV) dan lingkungan II, RW 03 dan 04 (RT. V,VI,VII,VIII). Secara topografi wilayah Poboya berada di dataran tinggi dengan suhu udara ratarata 30 -32 ºC dan curah hujan 150 mm/tahun dengan ketinggian dari permukaan laut ± 200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan topografi wilayahnya Kelurahan Poboya dicirikan oleh bentuk topografi perbukitan. Sebagian ke arah Timur
102 perbukitan ini memiliki kemiringan terjal sedangkan ke arah barat bergradasi bergelombang, berombak dan dataran. Secara umum topografi Poboya dapat dikelasifikasi ke dalam tiga zona ketinggian yaitu : 1.
Dataran rendah dengan ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut yang memanjang dari arah Barat ke Timur,
2.
Perbukitan dengan ketinggian antara 200-250 meter di atas permukaan laut yang memanjang dari Barat ke Timur,
3.
Pegunungan dengan ketinggian 250 meter sampai 700 meter di atas permukaan laut.
Wilayah dengan tingkat kemiringan tanah yaitu 0-30 % dengan luas ± 4038,10 Ha (30,12%), sedangkan ketinggian di atas 700 meter dari permukaan laut yang paling luas sebanyak ± 997,98 Ha (70,12%).
103
Gambar 4. Kondisi morfologi di lokasi penggalian wilayah Tambang Poboya
Meski berada di ketinggian, Kelurahan Poboya memiliki sumber mata air yang baik, yakni terletak di RW 02 dan RW 04. Keberadaan sumber mata air tersebut sangat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Untuk Penyaluran air ke rumah penduduk dari sumber mata air menggunakan sistem jaringan pipa. Selain untuk kebutuhan masyarkat Poboya, keberadaan sumber mata air Poboya juga merupakan salah satu sumber mata air bersih untuk masyarakat kota Palu, khususnya yang bermukim di wilayah Kecamatan Palu Timur dan sebagian di wilayah Kecamatan Palu Selatan. Oleh sebab itu, isu tentang pencemaran akibat dari aktivitas penambangan di Poboya sangat merisaukan masyarakat karena sangat berpengaruh terhadap kualitas air bersih yang dikonsumsi oleh sebagian penduduk Kota Palu.
104
Gambar 5. Jaringan Pipa Air bersih di Poboya
Untuk mencapai lokasi penelitian di Poboya, dapat digunakan alat transportasi umum yang tersedia seperti kendaraan roda dua atau roda empat dan didukung jaringan jalan yang kondisinya beraspal dan relatif cukup baik, terkecuali jaringan jalan di sekitar penambangan dalam kondisi rusak. Adapun jalan yang menghubungkan pusat Kota Palu ke kawasan Eksplorasi Tambang Emas di Poboya yang berjarak kurang lebih 7 km juga dalam kondisi baik, hanya beberapa bagian ruas jalan mengalami kerusakan-kerusakan ringan. Tapi secara umum hubungan antar wilayah di Kelurahan Poboya cukup lancar dengan kondisi jalan beraspal, jalan pengerasan dan beberapa bagian jalan yang menghubungkan beberapa wilayah masih berupa jalan tanah, sehingga menghambat perkembangan perekonomian masyarakat setempat. Sedangkan untuk prasarana jembatan yang tersedia di Kelurahan Poboya telah dibangun jembatan permanen dengan konstruksi rangka baja dengan kondisi yang baik. Demikian pula dengan jaringan listrik, saat ini di Kelurahan Poboya sudah terdapat pelayanan listrik dari PLN. Hampir semua rumah tangga sudah memanfaatkan layanan listrik tersebut untuk keperluan rumah tangga maupun
105 untuk kegiatan usaha. Demikian pula untuk penerangan jalan. Selain listrik yang berasal dari PLN, Poboya juga mendapat penerangan dari Usaha Penambangan yang menggunakan Genset, terutama untuk kawasan pegunungan tempat usaha pertambangan sehingga kawasan tersebut menjadi terang dan sangat ramai pada malam hari.
PETA GEOLOGI WILAYAH PALU TIMUR
Lokasi Studi di Poboya Sesar/patahan
Endapan aluvial sungai dan pantai
Teluk Palu Formasi Molase Sarasin dan Sarasin (konglomerat, gravel, batupsir dan batulanau.i Batuan metamorf dominan sekis
Batuan volkanik, bersifat andesitik
Gambar 6. Peta Geologi Wilayah Palu Timur, ukamtom 1975 (dalam Lemlit Untad, 2009)
Jika dilihat dari aspek kependudukan, data Kecamatan Palu Timur Dalam Angka 2009 menunjukkan bahwa Penduduk yang bermukim di Kelurahan Poboya berjumlah 1.334 jiwa atau 403 KK dengan tingkat kepadatan penduduknya 21 jiwa/km². Jika dilihat dari jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki adalah 673 jiwa dan perempuan 661 jiwa. Dengan demikian, maka sex rasionya adalah 102 yang berarti bahwa dari 102 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Kondisi kependudukan ini sedikit berbeda atau mengalami penurunan
106 jika dibanding dengan statistik dua tahun sebelumnya (2007) di mana jumlah penduduk kelurahan Poboya sebanyak 1509 jiwa atau 418 KK. Namun sejak 2009 sampai saat ini jumlah penduduk di Kelurahan Poboya terus bertambah, terutama dengan adanya para penambang yang saat ini diperkirakan mencapai sepuluh ribu orang. Namun kondisi kependudukan tersebut belum sempat terdata oleh pihak kelurahan sehingga jumlahnya belum diketahui secara pasti. Berikut perkembangan kependudukan di Kelurahan Poboya 2007-2008
Tabel 8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kelurahan Poboya, 2009 Tahun
Kecamatan/ Desa
Luas (Km2)
Palu Timur
186,53
2007
Kel. Poboya
63,41
2008
Kel. Poboya
63,41
Jenis Kelamin Lk
Pr
34.110
35.541
Jumlah Kepadtan Jumlah Jiwa KK (Km)
Sex Rasio
69.651
373
18.339
96
21
403
102
1316 673
661
1334
Sumber : Kecamatan Palu Timur Dalam Angka Tahun 2007 – 2009
Dinamika penduduk sangat dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu; Fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian) dan mobilitas penduduk (migrasi penduduk). Hal ini juga yang berlaku di Kelurahan Poboya dalam hal perubahan jumlah penduduk, Menurut data (Kecamatan Palu Timur Dalam Angka Tahun 2009)Penduduk Kelurahan Poboya pada tahun 2007 adalah 1.316 jiwa, tahun 2008 meningkat menjadi 1.334
jiwa. Dengan demikian maka, tingkat
pertumbuhan penduduk Kelurahan Poboya tahun 2007 - 2008 adalah sebesar 1,34 persen pertahun. Tingkat pertumbuhan penduduk Kelurahan Poboya lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan penduduk Kecamatan Palu Timur yang mencapai 1,38 persen, dan angka pertumbuhan penduduk tersebut diperkirakan akan terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya, seiring dengan banyaknya pendatang yang masuk ke wilayah Poboya untuk melakukan aktivitas penambangan.
107 Tabel 9. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kelurahan Poboya, 2009 No
Kecamatan/Desa
1
Kec.Palu Timur
2
Kel. Poboya
Jumlah Penduduk (jiwa) 2007 2008 68.685 69.651 1.316
1.334
Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 1,38 1,34
Sumber: Kecamatan Palu Timur Dalam Angka Tahun 2009
Jika dilihat dari struktur umur penduduk dapat dikatakan bahwa struktur penduduk di Kelurahan Poboya tergolong muda atau berada dalam struktur kelompok umur produktif. Data menunjukkan bahwa kelompok umur 20-24 tahun merupakan kelompok umur terbanyak yaitu 9,98% dari keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Poboya. Kemudian disusul kelompok umur 45-49 tahun sebanyak 9,68 %, selanjutnya kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 9,37%, dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 55 tahun
yakni sekitar 5,55%. Dengan kelompok umur yang
demikian, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di poboya adalah penduduk usia produktif sehingga sangat terkait dengan penyediaan lapangan kerja. Dengan adanya penambangan maka sebagian besar anak-anak usia produktif di Poboya membantu orang tuanya sebagai penambang. Namun ada hal yang menghawatirkan karena sejak adanya penambangan di Poboya terjadi perubahan prilaku dan gaya hidup di kalangan anak remaja yang cenderung mengikuti budaya kota. Tabel 10. Penduduk menurut Kelompok Umur di Kelurahan Poboya, 2009 Jumlah Persentase No Kelompok Umur Jiwa 1 00 - 04 82 6,15 2 05 - 09 89 6,67 3 10 - 14 125 9,37 4 15 - 19 120 8,99 5 20 - 24 132 9,98 6 25 - 29 121 9,07 7 30 - 34 118 8,85 8 35 - 39 102 7,65 9 40 - 44 122 9,15 10 45 - 49 128 9,68 11 50 - 54 121 9,07 12 55 ke atas 74 5,55 Jumlah 1.334 100,00 Sumber : Monografi Kelurahan Poboya tahun 2010.
108 Selanjutnya jika dilihat dari jenis mata pencaharian penduduk di wilayah studi, sebelum adanya penambangan lebih banyak didominasi oleh Petani, yakni sekitar 73 persen, kemudian disusul PNS sekitar 12 persen, wiraswasta sebanyak 5 persen, dan pekerjaan di bidang jasa (tukang batu dan tukang kayu) masing masing 4 dan 3 persen.
Tabel 11. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian, 2009 No.
Kelompok Umur
1 2 3 4 5 6 7
PNS Tukang Batu Tukang kayu TNI/POLRI Wiraswasta Pertanian Pensiunan Jumlah Sumber: Profil wilayah Kelurahan Poboya tahun 2010
Jumlah
Persentse 55 21 14 1 23 337 9 460
11,96 4,57 3,04 0,22 5 73,26 1,96 100,00
Masyarakat yang mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian, cenderung mempertahankan sikap dan pola pikir secara tradisional dan kurang terbuka bila dibandingkan dengan masyarakat yang mempunyai mata pencaharian di sektor lain. Usaha pertanian yang digeluti umumnya berupa pertanian lahan basah (sawah) dan lahan kering. Lahan basah dikelola untuk budidaya tanaman padi, sedangkan lahan kering untuk budidaya tanaman perkebunan (kelapa, kakao, kemiri dan tanaman palawija)
serta budidaya tanaman pangan lainya seperti
(jagung, singkong, merica, pisang dan lain-lain). Besarnya proporsi penduduk yang bermata pencaharian bertani dan berkebun, tidak terlepas dari masih luasnya lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk berusaha tani walaupun lahan-lahan yang diolah tersebut berada di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Poboya. Namun seiring dengan adanya penambangan, telah terjadi perubahan pekerjaan secara besar-besaran dari bertani ke pekerjaan sebagai penambang emas secara tradisional. Bahkan sebagian lahan-lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi area penambangan,
109 dan kalau pun lahan masih ada, akan menghadapi kendala kekurangan air, disebabkan karena sebagian besar debit air di Poboya dialihkan untuk memenuhi kebutuhan penambangan yang sangat rakus air, seperti yang dikemukakan tokoh masyarakat (AR) bahwa sebagian besar masyarakat petani beralih profesi menjadi penambang, karena area pertanian atau kebun tidak mendapatkan air, karena air tersedot ke penambangan dan lahan-lahan masyarakat yang tadinya lahan tidur sekarang menjadi bernilai karena disewakan kepada pengusaha tambang (tromol). Sementara dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk di Kelurahan Poboya umumnya hanya tamat SD atau sederajat. Jumlah penduduk yang tamat SD sebanyak 280 orang atau 42,62 persen, sedangkan penduduk yang berpendidikan SLTP adalah sebanyak 153 orang berpendidikan SLTA sebanyak
atau 23,29 persen, dan penduduk yang
171 orang
atau 26,03 persen dan yang
berpendidikan S1 atau sarjana sebanyak 8 orang atau 1,21 persen. Tabel 12. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Poboya, 2009 No 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentse
45 280 153 171 8
6,85 42,62 23,29 26,03 1,21
657
100
PAUD SD SMP SLTA Sarjana Jumlah
Sumber :Laporan Data Penduduk kelurahan Poboya, 2010
Dilihat dari proporsi pemeluk agama, di Poboya hanya ada tiga kelompok agama, dan sebagian besar penduduk di Poboya beragama Islam, yaitu 1.306 orang atau 97,90 persen, sedangkan yang beragama Kristen sebanyak 22 orang atau 1,65 persen dan selebihnya beragama Hindu sebanyak 6 orang atau 0,44 persen. Hubungan antar pemeluk agama di Poboya juga berjalan dengan baik, di mana masing-masing pemeluk agama saling menghormati. Tabel 13. Jumlah Penduduk Menurut Agama di Poboya, 2009
110 No 1 2 3 4 5
Pemeluk Agama
Jumlah
Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Hindu Budha Jumlah
1.306 22 6 1334
Persentse 97,90 1,65 0,44 100
Sumber :Laporan Data Penduduk kelurahan Poboya, 2010
Saat ini aktivitas keagamaan semakin ramai seiring banyaknya pendatang dari luar dan penambangan memberi dampak positif dengan bertambahnya jumlah mesjid di Poboya.
Tata Kelola Peruntukan Lahan
Hasil penelitian PPLH Untad, (2008) menunjukkan bahwa tata kelola peruntukan lahan wilayah Poboya sebagian besar diperuntukkan sebagai kawasan Suaka Alam dan/atau kawasan konservasi Tahura sebagai kawasan penyangga (buffer), hanya sebagian kecil diperuntukkan sebagai kawasan permukiman, perkebunan kelapa, perkebunan jagung, perkebunan bawang merah, kolam, kuburan, sawah, sarana pendidikan, sarana olahraga, sarana peribadatan, semak dan lahan kosong. Adapun mengenai data peruntukan untuk kegiatan ekonomi seperti usaha yang bergerak di sektor pertanian pada sub sektor pertanian dan peternakan adalah sebagai berikut; -
Sub sektor pertanian yakni sawah 20 ha, kelapa 8 ha/thn, kakao 17,5 ha/thn, bawang merah 5,70 ha/thn, kacang panjang 2,51 ha/thn, padi 3,73 ha/thn, jagung 2,13 ha/thn, kacang tanah 0,73 ha/tahun, mangga 12 ha, nangka 5 ha, kelapa 8 ha, coklat 17,5 ha.
-
Sub sektor peternakan yakni peternakan ayam 1.200 ekor, kambing 315 ekor, sapi 505 ekor, kuda 42 ekor dan domba 425 ekor.
111 Permasalahan yang ditemui di lapangan terkait dengan peruntukan lahan karena kondisi fisik wilayah yang berada pada kemiringan yang terjal sehingga perluasan lahan pertanian agak terbatas, kalaupun harus dilakukan perluasan lahan tentunya dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air mengingat kawasan di sekitar Poboya sangat rentan terhadap gangguan sistem hidrologi seperti berkurangnya persediaan sumber air untuk kebutuhan pertanian. Kondisi tersebut mulai dirasakan masyarakat sejak pertengahan tahun 1990-an, di mana krisis air mulai melanda masyarakat tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tapi juga untuk keperluan petani-ladang dan peternakan juga mulai terhambat. Permasalahan yang tidak kalah pentingnya dalam rangka perlindungan sumberdaya alam khususnya hutan di kawasan TAHURA Poboya adalah permintaan kayu yang meningkat pesat setiap tahun untuk kebutuhan material bahan bangunan sebagai dampak dari semakin meningkatnya pembangunan di Kota Palu. Sementara pasokan dari daerah lain, seperti Pantai Timur dan Pantai Barat semakin berkurang sehingga kegiatan pencurian kayu di dalam kawasan konservasi TAHURA meningkat tajam. Akibat intensifnya pencurian kayu maka terjadi gangguan sistem hidrologi terlihat dari kecenderungan sungai – sungai yang ada di sekitar kawasan Poboya sering meluap menyebabkan terjadinya kerusakan jembatan dan jalan di sepanjang DAS Poboya akibat diterjangan banjir (PPLH Untad, 2008; Lahandu, 2007)
Potensi Sumberdaya Alam
Sebagai kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) yang berfungsi sebagai tempat pendidikan/pelatihan, kegiatan penelitian dan pariwisata berfungsi sebagai pengatur tata air maka potensi ekosistern yang dimiliki merupakan ekosistem khas daerah kering dengan banyaknya tumbuhan atau vegetasi khas daerah kering yang banyak tumbuh di kawasan tersebut, seperti; Cendana (Santalum album), Akasia (Acacia decurens) dan beberapa Anggrek Tanah (Calanthe sp., Arundina bambusa, Spathoglottis sp.) serta rumput-rumputan dan belukar yang terpencarpencar dan sangat luas.
112 Selain kaya dengan berbagai jenis flora, kawasan Poboya juga kaya dengan Fauna Satwa yang banyak ditemui adalah jenis-jenis burung antara lain: Kakatua putih jambul kuning (Cacatua sulphlirea), Tekukur (Geopelia sp), Elang coklat (Elanushypolaneus), Biawak (Varanus,sp.). Namun sangat disayangkan karena hutan yang ada di kawasan Paboya sebagian besar telah mengalami kerusakan dan sudah tidak mencerminkan sebagai hutan alam yang utuh [PPLH Untad, 2008].
Interaksi Sosial Sejarah Kelurahan Poboya menunjukkan bahwa awalnya penduduk
yang
mendiami Poboya bersifat homogen yang masih kental dengan pertalian darah. Mereka adalah suku Kaili yang merupakan penduduk asli Kelurahan Poboya dan sampai sekarang mereka masih tetap mendiami kelurahan tersebut serta menggunakan bahasa sehari-hari yakni
bahasa Kaili Tara. Namun dalam
perkembangannya, dinamika pertambahan penduduk sangat cepat, terutama setelah adanya pertambangan. Penduduk yang mendiami kawasan Poboya saat ini tergolong heterogen dari segi etnis, seperti Bugis, Makassar, Jawa, Gorontalo, Manado, Bali, Halmahera dan berbagai etnis lainnya. Interaksi sosial yang terjadi antar penduduk
yang berbeda latar belakang
sosial budaya sebagai akibat dari perbedaan etnik tersebut masih terdapat hubungan yang harmonis dan saling menghargai. Hal ini ditandai dengan tidak dijumpainya konflik horizontal ataupun hubungan yang dissosiatif di antara penduduk di wilayah studi. Adaptasi sosial berjalan
dengan baik
melalui
interaksi sosial yang intens dan juga terdapat perkawinan antar suku (asimilasi). Namun sejak dibukanya penambangan emas di Poboya, kehidupan sosial masyarakat multi etnik mulai melahirkan persaingan, meski persaingan tersebut belum sampai pada tahap konflik. Kondisi seperti ini kalau dibiarkan berlarut-larut tentunya dapat melahirkan konflik apabila akumulasi dari kekalahan bersaing salah satu etnik, khususnya etnik Kaili sebagai etnik lokal masyarakat setempat. Hasil observasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat, bahwa konflik sosial berupa kekerasan sebagai akibat dari perbedaan agama maupun
113 budaya dapat diredam dengan saling menghargai dan menghormati yang diperankan masing-masing etnis maupun pemeluk agama. Peranan pemuka agama, tokoh masyarakat masih memegang peranan penting dalam memberikan petuah-petuah ataupun nasihat-nasihat terhadap anggota masyarakat. Masyarakat di Kelurahan Poboya, adalah masyarakat yang masih kental dengan pertalian darah antara satu dengan lainnya, maka kegiatan gotong royong dalam membuka lahan, penanaman, perkawinan dan lain sebagainya masih dilakukan secara bersama-sama. Walaupun demikian kemajuan suatu daerah tidak dapat dihindari dengan intensitas orang masuk dan keluar serta pengaruh media massa, maka pengaruh tersebut berdampak pada semakin pudarnya kekuatan adat. Walaupun demikian, pengaruh tokoh masyarakat masih sangat besar, khususnya dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat, seperti dalam musyawarah para peserta selalu mengutamakan pandangan dari tokoh adat atau totua ngata. Tokoh adat berpengaruh dalam meredam konflik internal masyarakat, seperti terdapat perbedaan pandangan antara adanya yang setuju dan yang tidak terhadap rencana penambangan, maka ketua adat menyarankan untuk mempelajari untung dan ruginya suatu pertambangan di Poboya, (Lahandu, 2007; PPLH Untad, 2008). Pola kehidupan masyarakat Poboya cenderung terbuka, dalam artian bahwa masyarakat tersebut tidak bersifat ekslusif (tertutup). Keterbukaan masyarakat ini ditandai dengan kemauan mereka untuk beradaptasi dengan warga pendatang, seperti diungkapkan Ketua Adat Poboya bahwa Masyarakat Poboya tidak pernah mempermasalahkan dari mana mereka, datang, asalkan mau berbuat baik, kita terima sebagai saudara (Ali Djaluddin).19
19
Penilaian Ketua Adat, AD 60 th (Wawancara pada tanggal 24 Januari 2011 di Poboya)
114
115 BAB V
LEGENDA ASAL-USUL TO KAILI
Salah satu kendala yang dihadapi dalam penelitian ini adalah sulitnya mencari dan menemukan informasi tentang asal-usul Komunitas “adat”Kaili di Poboya, sehingga satu-satunya petunjuk yang bisa memberikan informasi adalah merujuk kepada tulisan-tulisan terdahulu tentang masyarakat To Kaili yang punya kesamaan sejarah, kesamaan dialek dan kedekatan geografis. Karena sejarah keberadaan To Kaili begitu luas, ada di semua kabupaten di Sulawesi Tengah, maka studi literatur difokuskan pada masyarakat To Kaili yang ada atau mendiami lembah Palu dan Donggala, karena berdasarkan sejarahnya mereka punya tradisi dan dialek yang hampir sama atau setidaknya masing-masing pihak masih dapat memahami proses komunikasi kedua bahasa yang berbeda. Demikian pula dalam hal tradisi dapat dilihat dari struktur bangunan pemukiman dan persekutuan hidup yang mereka bangun. Atas dasar itu, pembahasan pertama mengenal sejarah To Kaili kemudian memahami sistem persekutuan To Kaili dan dilanjutkan dengan kemunculan dan resistensi masyarakat “adat”.
Asal-Usul To Kaili Studi yang dilakukan Yabes, (2004) menjelaskan bahwa Suku Kaili merupakan penduduk yang mendiami Sulawesi Tengah bagian tengah, mendominasi tempat tinggal dalam Kabupaten Donggala. Disebutkan pula bahwa dahulu tempat kediaman suku ini bernama Sigi, Wilayah Sigi ke pedalaman di hulu. Sekarang orang mengenalnya dengan sebutan negeri Sigi-Lore, meliputi Kulawi, Bada Napu (Sigi Lindu). Sedangkan penduduk Sigi yang berimigrasi ke hilir lembah Palu disebut Negeri Kaili. Dalam perkembangannya Sigi-Lore Napu/Bada dan Kulawi sampai ke lembah Palu wilayah tempat tinggal penduduk asli ini disebut :
116 “Lembah Kaili atau negeri to-Kaili”. Kaili berarti “ke-ilir”. Versi lainnya menyatakan bahwa “KAILI” adalah sejenis pohon
yang dinamai “POHON
KAILI” yang tumbuh menjulang tinggi di suatu negeri bernama KALINJO. Karena tingginya, dalam mitos SAWERIGADING menjadi pedoman singgah ke negeri Kaili/lembah Palu. Legenda lain (Yabes, 2004) menyatakan bahwa penyebutan nama Suku Kaili karena mereka adalah “Tomanuru”, yaitu turunan manusia kayangan yang menjelma dari Daun “tea” yang hanyut ketepian yang dalam bahasa setempat berarti “NOILI”. Putri kayangan NOILI ditemukan oleh seorang jago “TOLANGGAI” (TADULAKO) di sekitar Gunung Nokilalaki. Perkawinan keduanya kemudian melahirkan keturunan yang disebut Suku Kaili. Struktur sosial masyarakat Kaili juga mengenal stratifikasi sosial. Lapisan pertama, golongan Bangsawan (Magau) adalah penghulu negeri Laganunu (Kaili), Baligau (Magau), Madika Matoa (Penghulu/Kepala Suku), Madika Malolo (Penghulu/Kepala Adat). Lapisan kedua, golongan Pelaksanan (Angga Nu Vati) yang di lembang Palu dikenal: 1) Tadulako (Panglima Perang) 2) Ponggawa (Menteri Urusan Dalam) 3) Galara (Menteri Kehakiman) 4) Pabisara (Menteri Penerangan) 5) Ulutumba (Menteri Kesejahteraan) 6) Sabandara (Menteri Pekerjaan/Perhubungan). Lapisan ketiga, yaitu Angga Nu Maradika, termasuk keluarga Bangsawan/Vati galaran. Mereka adalah orang-orang merdeka karena bebas dari membayar upeti atau perintah-perintah lainnya dari penguasa. Lapisan terakhir adalah golongan hawian, yaitu rakyat pada umumnya, termasuk para pekerja dan para budak atau “TODEA”.
117 Sedangkan kepemimpinan masyarakat atau penguasa kerajaan di lembah Kaili punya penyebutan yang berbeda-beda seperti:
Kaili-Pamona
: Langganunu
Kaili Sigi-Napu/Kulawi-Bada
: Tuana/Umama
Kaili Sigi-Donggala/Parigi
: Madika atau Magau
Kaili Palu-Marawola
: Baligau
Persekutuan Hidup To Kaili Selain memiliki struktur sosial yang unik, To Kaili juga memiliki sistem persekutuan hidup yang membedakannya dengan komunitas yang lain. Menurut Toana (1997), Persekutuan hidup bagi masyarakat To Kaili dikenal dengan nama SANTINA. Secara etimologi, Santina terdiri dari dua suku kata. ‘Sa’ berarti merujuk bilangan tunggal (satu) sedangkan ‘ntina’ diartikan ibu atau diartikan sebagai sekeluarga atau serumpun. Dengan demikian persekutuan hidup Santina menunjuk kepada suatu dasar kehidupan yang dibina atas basis hubungan darah atau biasa juga disebut suatu persekutuan yang terbentuk berdasar hubungan kekerabatan atau persekutuan geneologis (Toana, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam persekutuan hidup Santina, dipercaya tentang adanya keturunan leluhur yang menjadi cikal bakal persekutuan itu. Keturunan leluhur tersebut merupakan ahli waris pimpinan persekutuan yang dipandang sebagai Bapak atau sesepuh persekutuan dari garis keturunan tertua yang oleh To Kaili disebut Tupu Santina. Bagi masyarakat Kaili, persekutuan hidup diawali dari sistem pemukiman yang mereka bangun. Masyarakat Kaili mengenal ada tiga sistem pemukiman yang saling interdependensi yang terbentuk berdasarkan kebutuhan kelompok atau keluarga (Toana, 1997) yaitu;
118 a.
Sistem Pemukiman Ponggavia ;
Pemukiman Ponggavia yaitu sistem pemukiman yang dibangun berdasarkan tempat bekerja. Misalnya jika mereka ingin menanam Padi di sawah, maka dibangunlah pemukiman Ponggavia yang dinamakan Popae. Artinya tempat menanam padi. Tapi jika mereka ingin menanam Jagung di kebun, maka dibangunlah pemukiman ponggavia yang dinamakan Pojole (Kaili Tara) atau Podale (Kaili Ledo) yang artinya sama sebagai tempat mengolah kebun. Pemukiman ini sifatnya sementara dan menjadi tonggak awal terbentuknya strukur masyarakat petani To Kaili yang terkenal memiliki konsep gotong-royong yang disebut Sintuvu.
b. Sistem Pemukiman Kinta Yaitu sistem pemukiman yang sesungguhnya bagi To Kaili. Jika pemukiman Ponggavia sudah selesai maka hasilnya dibawa ke pemukiman Kinta. Pada pemukiman Kinta ini terdapat tempat penyimpanan khusus hasil bumi untuk konsumsi anggota keluarga untuk satu musim sebelum musim tanam tiba, diletakkan di halaman rumah yang mereka namakan Gampiri. Jadi pemukiman Kinta bagi To Kaili adalah pemukiman sesungguhnya yang sifatnya menetap yang mereka sebut negeri.
c.
Sistem Pemukiman Ngapa atau Ngata
Sistem pemukiman Ngapa atau Ngata adalah suatu persekutuan hidup yang terdiri dari beberapa kinta atau negeri. Ngapa biasa disebut Ibu Kinta atau Ibu Negeri. Ngapa artinya menunjuk pada suatu daerah, di mana di dalamnya berhimpun beberapa negeri atau Kinta. Nagapa sebagai tempat para pendatang dan Ngapa juga merupakan pusat perkampungan, pusat kerajaan atau pusat kekuasaan. Ketiga sistem pemukiman terseut di atas menyatu ke dalam apa yang dinamakan Hukum Adat. Adat menentukan berapa negeri dalam Ngapa untuk mewakili
119 wilayah atau daerah sehingga terbentuklah apa yang disebut “Dewan Adat”. Bagi masyarakat Kaili dikenal dua sistem keanggotaan dewan adat, yakni ada’ pitunggota (adat tujuh) dan ada’ pattanggota (adat empat). Adapun sistem keanggotaan dewan adat tersebut dapat dilihat dari persekutuan hidup yang tercipta berdasarkan dialek atau bahasa, seperti;
Persekutuan hidup to Kaili
yang berbahasa Ledo (to Kaili Ledo), yaitu
persekutuan hidup negeri Palu dengan 4 negeri (ada pattanggota), Siranindi, Lere, Tatanga dan Besusu. Penduduk keempat negeri tersebut dinamakan To ri Palu yang menjelma menjadi Kerajaan Siranindi.
Persekutuan Hidup To Kaili yang berbahasa Tara atau disebut To Kaili Tara. Terbagai menjadi dua kelompok Yaitu To Kaili Tara Parigi (bagian timur Kota Palu) membentuk ada pattanggota; Mpu’u, Masigi, Dolago yang kemudian membentuk Kerajaan Parigi. Dan kelompok To Kaili Tara di bagian Barat. Mereka kemudian membentuk persekutuan hidup negeri-negeri Poboya; Kavatuna, Lasoani, Tanamodindi, Talise dan Tondo. Dari penjelasan di atas menunjukan bahwa negeri-negeri Poboya merupakan suatu persekutuan hidup yang tentunya punya dewan adat. Tapi Poboya sendiri belum diketahui apakah merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat untuk disebut sebagai masyarakat adat.
Kearifan Lokal Masyarakat to Kaili Idealnya setiap suku bangsa atau kelompok masyarakat pasti memiliki sistem adaptasi ekologi yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih dikenal dengan pengetahuan lokal (lokal knowledge).Pengetahuan lokal tersebut lebih dari sekedar pengetahuan,
yang
ditunjang oleh sistem religi dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Pandangan yang demikian menjadi dasar dalam proses interaksi dengan lingkungan yang menuntut agar manusia selalu berpandangan dan berperilaku yang baik dalam meniti kehidupannya serta menciptakan hubungan yang serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama mahluk hidup.
120 Dalam menciptakan hubungan baik, selain sistem religi dan kepercayaan yang dikenal oleh masyarakat, juga aturan-aturan yang harus ditaati agar dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Untuk mewujudkan hal tersebut diciptakan nilai, norma dan hukum dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Aturan-aturan ini merupakan daya kreativitas akal budi manusia sebagai mahluk yang berfikir. Salah satu bentuk pengelolaan lingkungan secara arif dan bijaksana adalah melalui pemberlakukan sistem nilai dan norma menurut adat – istiadat setempat. Adat-istiadat pada masyarakat desa memiliki kekuatan tersendiri, sebab dalam adat-istiadat terdapat aturan-aturan yang diikuti oleh kelompok masyarakat. Aturan-aturan adat pelaksanaannya terpusat pada badanbadan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memiliki wewenang untuk menetapkan aturan menjadi hukum yang memiliki sanksi. Sebenarnya sejarah to Kaili di Kawasan Tahura Poboya memiliki pranata adatistiadat, seperti yang diungkapkan dari hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Lahandu (2007) dan PPLH Untad (2008) yang menemukan beberapa pranata adat yang berkaitan dengan kebiasaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam, seperti pengelolaan sumber sumberdaya air, penanggulangan gangguan hama pada tanaman, dan kekeringan yang berkepanjangan. Tradisi seperti ini juga dikenal pada umumnya etnik Kaili pada daerah lain, khususnya di wilayah pedesaan. Seperti dalam hal pengelolaan sumberdaya air, masyarakat mempercayakan kepada seseorang yang disebut Punggava yang ditunjuk langsung oleh totua ngata (orang tua kampung) yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Punggawa mengatur pembagian air dengan menggunakan adat pembagian air (Ada Pombagi Uve) dan untuk menanggulangi gangguan pada tanaman (hama dan penyakit) masyarakat kerap melakukan upacara adat yang dikenal dengan sebutan Nompaura atau ritual menolak bala’. Selanjutnya, jika terjadi kekeringan sepanjang tahun masyarakat secara keseluruhan melakukan upacara adat Nora’a Binangga yang dipimpin langsung oleh orang yang dituakan (totua adat). Adapun pelaksanaannya adalah dengan
121 memotong seekor kambing di hulu sungai dan sambil menabuh gendang dan totua adat nogane-gane (membaca mantra-mantra). Semua bentuk ritual tersebut sangat diyakini masyarakat sebab dalam beberapa tempat misalnya ketika terjadi musim kemarau berkepanjangan, maka dilakukan adat mintah hujan dan seketika itu pun turun hujan. Kegiatan seperti ini wajib diikuti masyarakat sekitar sebab semakin
banyak
yang
berdoa
semakin
baik.
Adaptasi
ekologi
yang
dimanifestasikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam disebabkan adanya pandangan bahwa interaksi alam dan kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan, sehingga perlu perlindungan jangan sampai alam menjadi murka dalam wujud bencana-bencana. Interaksi yang harmonis antara manusia dengan alam telah berlangsung lama dan dipertahankan dari generasi ke generasi. Tradisi-tradisi yang menggambarkan adaptasi ekologi tersebut dapat dilihat dari rangkaian proses pertanian. Mulai dari menentukan lokasi boleh atau tidak, jika tidak bagaimana mencari lokasi yang tepat, kemudian untk membuka lahan, mengolah lahan sampai pada proses panen dan rasa syukur kepada sang pencipta. Kebiasaan-kebiasaan yang di bingkai dalam bentuk ritual tersebut seperti kebiasaan Notava’a merupakan kegiatan ritual yang dilakukan oleh pemangku adat yang memahami dan mengenal dengan benar sistem dan pengetahuan tentang bertani. Kegiatan ini dilakukan oleh beberapa orang pemangku adat yang dipimpin oleh pemimpin petani yang disebut Sobo. Sobo adalah totua nu ada (ketua adat) yang diangkat petani melalui musyawarah adat dan dibantu seorang wakil yang dikenal dengan sebutan Tuntu. Jika seorang petani ingin membuka lahan maka ritual adat yang dapat ikut dalam kelompok upacara tersebut adalah pemilik yang akan membuka lahan setelah dimusyawarahkan di pertemuan adat. Bahan-bahan yang diperlukan dalam acara ritual harus disediakan pemilik lahan yang akan membuka. Bahan yang disiapkan adalah: sambulu gana yang meliputi antara lain pinang muda, daun dan buah sirih, kapur sirih satu genggam, gambir, daun taba, daun cocor bebek, dan sesajian lainnya berupa makanan dari beras ketan putih, telur satu butir dan ayam jantan putih satu ekor. Bahan-bahan tersebut disajikan di daun Kambuno dan atau pisang mentah, dan diletakkan pada posisi
122 tengah areal di mana rencana akan dibuat kebun. Selanjutnya Sobo melaksanakan acara ritual diakhiri dengan melepas ayam jantan putih tersebut di areal dimaksud. Proses untuk menunggu apakah areal tersebut dapat dibuka untuk menjadi lahan kebun, ditunggu selama tujuh hari terhitung mulai saat melakukan acara ritual. Informasi atau kontak spritual langsung dilakukan oleh Sobo, petani yang akan membuka areal tersebut datang menanyakan kepada Sobo tentang peluang boleh atau tidaknya membuka lahan di areal dimaksud. Jika informasi yang disampaikan Sobo bahwa areal tersebut tidak boleh diganggu, maka petani tadi mencari lokasi lain untuk dilakukan kembali ritual yang namanya Tava’a. Demikian pula halnya dengan kegiatan membuka lahan atau kebun masyarakat melakukan ritual adat Nantala, di mana masyarakat yang hendak menebang pohon, harus sesuai dengan syarat yang telah ditentukan bahwa pohon yang besar di atas diameter 100 meter tidak boleh ditebang. Untuk mengawali penebangan dilakukan oleh Sobo sebagai prasyarat menandakan lokasi yang telah dilakukan ritualnya tadi telah direstui untuk dijadikan kebun atau ladang. Sobo selain melakukan penebangan awal sebagai pertanda lokasi tersebut dapat dijadikan ladang, sekaligus melaksanakan tugasnya meminta kepada sang pencipta dan penguasa alam untuk memberikan izin dan rezeki pada petani yang bersangkutan agar ladang tersebut menghasilkan produksi yang optimal. Dalam waktu yang bersamaan Sobo menentukan posisi sentral (tengah/ pusat) kebun yang disebut Pobanea dengan syarat tanah subur (kaisia). Setelah dilakukan ritual untuk membuka lahan, maka aktivitas selanjutnya adalah mengolah lahan tersebut. Untuk mengolah lahan yang telah ditentukan maka diharuskan untuk mengadakan ritual Nogane-gane, yaitu rangkaian ritual dalam setiap melakukan aktivitas dan atau akan mengolah lahan, demikian pula halnya akan menerima hasil produksi. Nogane-gane bertujuan untuk memohon sesuatu kepada sang pencipta baik untuk memproteksi gangguan dari dalam maupun dari luar, agar kesinambungan usaha tani dapat berkelanjutan. Novunja, merupakan kebiasaan dalam melakukan adat panen padi atau biasa disebut dengan ada’ Mpae. Sebagian menyebutnya Vunja dan Raego, yaitu semacam pesta panen.
123 Selain kearifan-kearifan di atas terdapat juga beberapa budaya yang menjadi tradisi kuat di kalangan masyarakat Kaili, yaitu : a.
Balia (merupakan acara ritual penyembuhan)
b.
Nompaura (upacara adat 3 bulanan untuk menolak penyakit
c.
Dero (tarian dan nyanyian untuk hiburan)
d.
Regompae (syukuran setelah panen)
e.
Dondi (syukuran setelah panen)
Semua bentuk kearifan-kearifan lokal tersebut di atas berlangsung secara sistematis yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhur kepada keturunan masing-masing keluarga. Lebih lanjut menurut penelitian tersebut, Masyarakat etnik Kaili di kawasan Tahura sangat mempercayai atau meyakini dogma yang diwariskan turun temurun dalam kehidupan keluarga mereka. Bahkan begitu yakinnya masyarakat takut untuk meninggalkan tradisi tersebut karena bila hal ini tidak dilaksanakan akan berdampak pada keluarga dan atau komunitas, berupa sanksi adat yang dalam kepercayaan komunitas masyarakat adat Nerapi tupu ntana yang artinya bila tidak dilaksanakan akan meminta korban (PPLH Untad, 2008). Dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan, komunitas masyarakat di sekitar kawasan Poboya, mengelompokannya dalam landskap hutan menurut perspektif manfaat dan fungsi dari ekosistem yang ada. Masyarakat adat Kaili Ledo dan Kaili Tara membagi hutan dengan fungsi-fungsi tertentu sebagai berikut (lihat Lahandu, 2007): a.
Pangale mbongo dalam perspektif masyarakat adat Tori Tompu, Tori Lando bo Topo Tara, merupakan hutan alam primer yang belum dijamah dan atau disebut dengan hutan alam primer.
b.
Pangale yaitu hutan alam yang pernah dijamak manusia, namun telah kembali pulih hutannya dengan komposisi lengkap seperti semula, atau biasa disebut dengan hutan sekunder.
124 c.
Nava adalah hutan yang telah diberakan selama minimal 10 tahun dan telah ditumbuhi pohon-pohonan dan tegakan yang pohonnya masih di bawah diameter 40 cm.
d.
Tinalu adalah bekas kebun yang mengalami masa bera di bawah 10 tahun atau antara 5-10 tahun.
e.
Ova adalah bekas kebun yang telah mengalami masa bera di bawah lima (< 5) tahun atau dikenal dalam perspektif umum merupakan hutan semak belukar. Ova cukup beragam menurut pemanfaatannya, ciri khasnya adalah telah tumbuh tanaman keras terutama jenis tanaman hortikultura.
f.
Olo, kawasan yang dilarang melakukan aktivitas apapun di dalamnya. Kawasan ini merupakan area yang dijaga sebagai sumber mata air, berelevasi di atas 30% dan zona-zona penyangga dalam beragam perspektif. Selain sebagai zona penyangga, kawasan ini dijaga keutuhannya termasuk sumberdaya tambang, habitat hidupan liar (flora dan fauna) endemik yang harus mendapat perlindungan secara kolektif yang disepakati dalam musyawarah adat, dan telah menjadi komitmen turun-temurun antar generasi.
Dari penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa komunitas masyarakat di sekitar kawasan Tahura Poboya memiliki tradisi dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Jika diperhatikan tradisi tersebut nyaris serupa dengan masyarakat Toro di dataran Lore Lindu (lihat Sangaji, 2001; Adiwibowo, 2005). Namun hasil penelusuran terakhir yang dilakukan peneliti di Poboya sejak awal tahun 2011 menunjukkan bahwa beberapa pranata adat sebagaimana yang telah disebutkan di atas sebenarnya sudah pudar. Kalaupun masih ada hanya sebatas kepercayaan individu dan bukan dalam konteks pranata yang mengatur komunitas.
125 Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat To Kaili Sejarah hukum pertanahan menurut Adat To Kaili di Sulawesi Tengah telah di jelaskan
oleh Yabes, 2004 yang merujuk pada tulisan HBP (2000) sebagai
berikut: a.
Hak-Hak atas Tanah Kepemilikan tanah di kalangan masyarakat adat To Kaili didasarkan pada kepemilikan bersama (hak komunal). Seseorang dapat dikatakan pemilik sebidang tanah apabila; (1)
Ia dianggap penggarap yang pertama atas tanah tersebut dengan tidak dibatasi luasnya. Jadi luasnya
tanah yang telah menjadi haknya
tergantung pada kesanggupannya. (2)
Ia mengeluarkan biaya terhadap penggarapan atau pembukaan lahan yang pertama.
(3)
Luasnya tergantung dari kesanggupannya membiayai pengolahan atau penggarapan tersebut20.
(4)
Para pekerja tidak berhak atas tanah garapan itu karena mereka bekerja dengan mendapatkan uang atau barang lainnya sebagai balas jasa.
b.
Pendirian Dusun Karena pendirian dusun menyebabkan seseorang berkurang tanahnya, maka yang diganti bukan tanah tapi tanaman yang ada di atas sebidang tanah tersebut. Proses penggantian itu dibebankan kepada orang yang mendirikan rumah ditempat tersebut.
c.
Hak Gadai/Jual Tanah, Menyewakan Tanah Dahulu hak gadai, hak jual atau menyewakan tanah tidak dikenal karena luasnya tanah yang belum digarap. Yang dijual atau digadai adalah tanaman yang ada di atas tanah tersebut. Kalaupun ada seseorang ingin mengerjakan
20
Dicontohkan oleh Ketua adat Poboya bahwadahulu untuk pemilikan luas lahan di Poboya ditentukan sejauh orang yang bersangkutan mampu melempar kayu, itulah luas lahan yang menjadi miliknya
126 tanah orang lain, biasanya hanya berupa pinjaman yang sifatnya tidak mengikat. Tapi kondisinya saat ini sudah jauh berbeda. Masyarakat sudah mengenal jual-beli dan gadai tanah. Begitu pula cara pinjaman tanah, makin lama makin tertib, sehingga mengikat kedua belah pihak menjadi bagi hasil.
d.
Menghadiahkan atau Menghibahkan Tanah Menghadiahkan tanah biasanya berlaku apabila tanah tersebut bukan tanah warisan, dilakukan karena balas jasa. Berbeda dengan Menghibahkan tanah, biasanya berlaku pada tanah warisan termasuk yang ada di atas tanah tersebut menjadi milik orang yang dihibahkan dan prosesnya dilakukan secara lisan dan diketahui oleh ahli waris bersama tetua adat.
Secara spesifik lokasi, aspek legalitas pola kepemilikan lahan masyarakat di Kelurahan Poboya, pada umumnya hanya dikuatkan dengan pembuktian suratsurat penguasaan lahan yang dikeluarkan oleh kepala desa ataupun kesaksian dari tokoh masyarakat dan aparat desa, namun sebagian telah memiliki sertifikat khususnya lahan untuk tempat tinggal. Lahan yang dimiliki merupakan lahan yang sudah secara turun temurun. Di samping itu, kepemilikan lahan dimiliki melalui jual beli. Seperti dikemukakan Tokoh adat, bahwa penguasaan lahan oleh masyarakat pada mulanya ditentukan oleh kemampuan menjangkau areal hutan kemudian dirubah menjadi lahan pertanian yang di tandai dengan penanaman tanaman tahunan berupa tanaman kelapa, kakao, kemiri atau tanaman kopi. Saat ini pemanfaatan lahan juga dilakukan dengan sistem sewa, atau bagi hasil ataupun hanya menggarap di mana seluruh hasil untuk pengolah lahan. Pola pemanfaatan lahan dengan sistem sewa, bagi hasil atau hanya menggarap tanpa sewa atau bagi hasil diperkirakan akan bertambah dari tahun ke tahun mengingat makin besarnya proporsi jumlah kepala keluarga yang tidak memiliki lahan akibat semakin terbatasnya ketersediaan lahan. Luas kepemilikan lahan masyarakat Poboya berkisar antara <0,5 ha sampai > 5,0 ha. Di mana persentase terbesar keluarga memiliki lahan antara 1,0 – 2,0 ha/KK. Namun terdapat jumlah kepala keluarga yang tidak memiliki lahan. Jumlah KK tidak punya lahan cenderung meningkat akibat makin terbatasnya lahan dan adanya pembatasan pembukaan
127 lahan di dalam kawasan suaka alam Poboya yang saat ini menjadi bagian dari kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura).
Eksistensi Masyarakat “Adat” di Poboya Meski tidak diketahui secara pasti kapan penyebutan kata “masyarakat adat” pertama kali digulirkan di Poboya, namun memperhatikan kerja-kerja LSM lokal khususnya yang mengadvokasi masyarakat Poboya menunjukkan adanya keterkaitan antara penyebutan masyarakat adat Poboya dengan kerja-kerja LSM tersebut. Misalnya ketika sejumlah LSM pertama kali menolak kehadiran penambangan oleh CPM di Poboya, mereka senantiasa menggunakan kosa kata “masyarakat adat” sebagai sentral isu perjuangan, yang kemudian berkembang sebagai perlawanan dalam menuntut hak pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa media lokal juga sering menggunakan kosa kata yang sama seperti; Lembar Fakta empat Ornop Palu, Mei 2001, Kompas (28 April 2001); Gatra.com, (22, Mei 2001); Info Seputar Sulawesi Tengah (Kamis, 25 Februari 2010); Media Alkhairat (tanggal 1 dan 3 September 2009; tanggal 8 dan 10 Juni 2010). Demikian pula dengan penelitian terdahulu menggunakan kata masyarakat adat, masyarakat asli atau masyarakat adat (lihat Lahandu, 2007), di samping pengakuan oleh masyarakat Poboya sendiri yang menyatakan mereka sebagai masyarakat adat (AR).21 Menurut Sangaji (2001), istilah masyarakat adat di Indonesia dapat ditemukan dalam kosa kata produk perundang-undangan. Misalnya Undang-Undang (UU) No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan tentang masyarakat hukum adat (Pasal 2 ayat 4). Namun istilah tersebut menjadi popular sejak beberapa aktivis ORNOP dan masyarakat melakukan sebuah pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan menyepakati sebutan masyarakat 21
AR (67 th) adalah tokoh masyarakat Poboya yang kemudian diangkat menjadi Ketua Adat Poboya menggantikan Ali Jaluddin (60). Berbeda dengan pendahulunya, AR dengan tegas menyatakan dukungannya kepada perusahaan CPM untuk melakukan eksplorasi di Poboya.
128 adat sebagai terjemahan dari indigenous peoples. Pertemuan ini menyebutkan masyarakat adat adalah : “kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”. Pada Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 mendefinisikan bahwa: Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Sebenarnya pengertian masyarakat adat dalam khasanah kajian peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan terbagi menjadi dua, yakni masyarakat hukum adat dan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Perbedaan masyarakat dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat hukum adat terletak pada acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara, sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan bukan pada hukum negara. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini sering kali disebut pula sebagai masyarakat setempat, sebagaimana halnya penduduk asli (indigenous people). Sementara menurut keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dikatakan; ”Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan” Meski sebutan masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun belum ada satu peraturan pun yang memberi penjelasan tentang apa makna sebenarnya dari masyarakat hukum adat, kecuali
129 dalam kepustakaan ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan Van Vollenhoven tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar (dalam Sembiring dan Husbani, 1999) adalah: ”kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat”. Sementara penggiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah menyatakan bahwa ;
”masyarakat adat adalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah adat yang berdasarkan sejarah asal-usul punya wilayah adat, punya kelembagaan adat, dan punya aturan adat”22 Dari definisi kerja tersebut, maka sedikitnya ada empat syarat untuk disebut sebagai masyarakat adat, yakni; a)
Masyarakat yang tinggal di suatu wilayah adat
b) Berdasarkan sejarah asal-usul c)
Punya kelembagaan adat
d) Punya aturan adat Berdasarkan definisi tersebut, dalam rentang waktu tertentu pada masa yang lalu komunitas masyarakat Poboya dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat, karena memang di Poboya masih ada situs-situs yang menunjukkan sebagai Komunitas “adat”. Mereka punya sejarah dan sudah ratusan tahun bahkan lintas generasi mendiami wilayah tersebut. Mereka juga punya kelembagaan dan aturanaturan adat. Hanya saja masyarakat adat Poboya saat ini kondisinya jauh berbeda, jika dibanding dengan kelembagaan adat sebagaimana yang kita kenal selama ini. Sebagai pembanding dapat dilihat dari struktur kelembagaan adat, seperti ditunjukkan pada tabel 16, 17, 18 dan 19 berikut;
22
Disampaikan oleh RM, Ketua AMAN Sulteng, wawancara pada tanggal 5 Juni 2012
130 Tabel 14. Struktur Kelembagaan Kerajaan berdasarkan adat-istiadat di Sulawesi Tengah Struktur Magau Madika Malolo
Fungsi Raja yang dipilih dan dilantik oleh adat (Raja muda sebagai wakil magau) syaratnya sama dengan pemilihan magau
Madika Matoa
(Perdana Menteri) merangkap urusan luar negeri dan ekonomi, diangkat dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Baligau (Ketua pitunggota)
Baligau
Ketua Kotapitunggota
Punggawa
(Menteri Dalam Negeri),
Galara
(Menteri Kehakiman)
Tadulako
(Menteri Pertahanan dan Keamanan)
Pabicara Sabandara
(Menteri Penerangan) (Menteri Perhubungan Laut)
Sumber : diadaptasi dari Hasan, 2003
Penyebutan dan Struktur tersebut juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain di Sulawesi Tengah, seperti yang ada di Kabupaten Donggala dan Lembah Palu:
Tabel 15. Struktur
Struktur Kelembagaan berdasarkan adat-istiadat pada masa Sistem Kerajaan di Kabupaten Donggala dan Lembah Palu Fungsi
Tadulako
Panglima perang
Ponggawa
Menteri urusan Dalam
Galara
Menteri Kehakiman
Pabisara
Menteri Penerangan
Ulutomba
Urusan Kesejahteraan
Sabandara
(Menteri Pekerjaan/Perhubungan)
Sumber : diadaptasi dari Yabes, 2004
131 Demikian pula dengan struktur kelembagaan adat secara spesifik lokasi dapat dilihat struktur kelembagaan Adat Desa Mataue – Kecamatan Kulawi
Tabel 16. Struktur penggorganisasi pemerintahan Lembaga Adat Desa Mataue-Kecamatan Kulawi. Sebelum Belanda
Setelah Belanda Berkuasa Magau
Maradika Maradika Totua Ngata
Totua Ngata
Galara
Galara
Todea
Todea
Sumber : Dahniar, 2005. Hukum Lokal Sebagai Media Perlawanan Petani (Studi Kasus Gerakan Petani di Kecamatan Kulawi, dimuat dalam :Tanah Masih di Langit,(2005)
Hal yang sama dapat dilihat pada struktur kelembagaan masyarakat adat spesifik lokasi yang lebih kompleks dapat dilihat pada Komunitas adat To Balaesang di Kabupaten Donggala yang terkenal dengan Lembaga Adat Topomaradia-nya. Adat Topomaradia adalah lembaga adat yang bersifat normatif yang di dalamnya terhimpun pranata sosial berupa norma, kaidah dan sistem nilai yang digunakan sebagai pengatur sikap dan perilaku warganya serta dilengkapi dengan sistem sanksi di mana etnis To’Balesang menghormatinya (lihat Dewi, 2003).
132 Tabel 17. Struktur Kelembagaan Adat Topomaradia Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala Struktur
Fungsi
Magau
Pemimpin Lembaga adat Sekretaris yang akan mengemukakan segala permasalahan daerah, keputusan dan sanksi yang telah ditetapkan oleh Magau Pengawal Magau, dalam segala persoalan atau penyelesaian suatu perkara Passipi Magau selalu mendampingi Magau. Pemangku adat yang menangani persoalan yang menyangkut manusia dengan lingkungan alamnya, menyangkut tanah, darat dan laut. Pmangku adat yang bertindak sebagai Hakim dalam musyawarah Pemangku adat yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan sosial Wakil maradia tombang
Pabicara
Passipi Magau
Maradia Tombang
Maradia Moguran Maradia Malolo Siamang Maradia Tombang
Pemangku adat yang bertindak sebagai Imam adat yang akan memimpin mmasyarakat dalam persialan keagamaan. Pemangku adat yang bertindak sebagai penghubung (Humas) dalam lembaga adat
Siman Ada Patula
Sumber : diadaptasi dari Citra, Dewi, 2003
Berbeda dengan struktur di atas, struktur kelembagaan adat Poboya tidak berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari struktur birokrasi pemerintahan kelurahan Poboya yakni berada di bawah koordinasi LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat).
Berdasarkan
penuturan
tokoh
masyarakat
kelembagaan adat Poboya dapat digambarkan sebagai berikut;
(AR),
struktur
133
STRUKTUR PEMERINTAHAN KELURAHAN POBOYA
LPM
LEMBAGA ADAT
Ketua Sekretaris Wakil Ketua
Seksi Pebangunan
Seksi Olahraga
Seksi Kesenian
Seksi PKK
Seksi Keamanan
Petugas Lapangan
Gambar 7. Struktur Kelembagaan Adat Poboya23
Selain struktur kelembagaan adat, perbedaan lainnya dapat dilihat pada hak kepemilikan. Dalam pandangan masyarakat adat, tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah sejauh yang mereka mampu kelola dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik perorangan. Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya (Ter Haar dalam Kalo, S, 2004). Untuk kasus poboya saat ini hak kepemilikan komunal sudah tidak ditemukan. Terlebih sejak adanya penambangan”rakyat”, sistem kepemilikan sumberdaya 23
Struktur tersebut hanya berdasarkan konstruksi peneliti sendiri setelah mendengarkan penuturan Bapak AR. Mungkin masyarakat adat Poboya masa lalu juga punya struktur kelembagaan adat, namun belum tergali dengan baik, karena orang-orang yang menduduki jabatan pemangku adat adalah-orang-orang yang ditunjuk pemerintah sehingga sarat dengan kepentingan (lihat pendapat Ketua AMAN).
134 alam di TAHURA (termasuk Poboya) yang dulunya bersifat komunal sekarang sudah berubah menjadi klaim-klaim sepihak dengan mengatasnamakan tanah leluhur, sehingga nilai-nilai kebersamaan (komunal) menjadi ciri khas masyarakat adat kemudian luntur digantikan oleh nilai-nilai individual. Bahkan lebih parah lagi karena klim sepihak penguasaan sumberdaya alam mulai menjurus kepada sejarah superioritas kekuasaan kerajaan-keraaan kecil masa lalu, sehingga ada kecenderungan ingin kembali kepada kejayaan sistem peodalisme, yang jika itu dilakukan berarti adalah kemunduran. Dari beberapa rujukan tentang kelembagaan adat di atas, kemudian dibandingkan dengan beberapa struktur kelembagaan adat yang ada menunjukkan bahwa eksistensi Komunitas “adat” yang ada di Sulawesi Tengah memiliki lembaga adat yang bersumber dari lokalitas setempat dan terus dipertahankan kemurnianya baik dalam bentuk penyebutan maupun dalam bentuk struktur hirarki jabatan pemangku adat. Namun harus diakui, bahwa mereka yang mengatas namakan diri sebagai “Masyarakat Adat Poboya” belum cukup meyakinkan untuk disebut sebagai masyarakat adat, karena mereka sepertinya tidak mampu menunjukkan struktur kelembagaan adat spesifik lokasi setempat sebagai cerminan suatu kesatuan masyarakat adat. Hasil konstruksi kelembagaan yang ada di Poboya lebih mencerminkan organisasi kemasyarakatan biasa (non adat) dan merupakan bagian dari sistem birokrasi pemerintahan Kelurahan Poboya. Di samping itu, sistem pranata adat yang ada selama ini (sejak lembaga adat digulirkan) cenderung merupakan tafsir tunggal Ketua Adat, dan bersifat instan (setidaknya pada masa kepemimpinan Ali Jaluddin) karena hanya terbatas pada pranata sosial untuk menyelesaikan konflik sosial temporal, tapi tidak menyentuh pada hal-hal yang substantif yang menjadi pedoman bagi komunitasnya dalam berperilaku.24Kalaupun pranata adat itu masih ada, prakteknya hanya terbatas
24
Ketua Adat, Ali Djaluddin (60) menyatakan bahwa adat Poboya mempunyai pranata dalam mengelola lingkungan misalnya adat “ombo” (tanda larangan). Misalnya kapan kapan penambangan itu bisa dilakukan masyarakat namun argumentasi tersebutlebih mirip denganpranata kelembagaan adat diluar Poboya yang sebenarnya tidak tepat diterapkan untuk kasus penambangan di Poboya. Demikian juga dengan sanksi yang diterapkan terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, seperti hukum denda kambing cenderung hanya tafsir tunggal ketua adat ( Wawancara tanggal 25 Januari 2011 di Poboya).
135 pada individu-individu tertentu. Tetapi secara umum kelembagaan adat tempo dulu sudah tidak ada, yang tertinggal hanya romantisme dan bersifat serimonial. Beberapa hal yang mendukung argumentasi di atas dapat dilihat dari fakta bahwa saat ini telah terdaftar 222 Komunitas “adat” di Sulawesi Tengah yang sedang diorganisir oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Tengah (AMAN SULTENG), sementara “Masyarakat Adat” Poboya tidak masuk dalam daftar komunitas masyarakat adat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dengan tidak masuknya masyarakat adat Poboya dalam daftar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjadi sesuatu yang perlu didalami, karena selama ini aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merupakan satu-satunya organisasi kemasyarakatan yang terus memperjuangkan penguatan dan pengakuan terhadap komunitas masyarakat adat. Oleh sebab itu kehadiran AMAN yang selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat adat menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh komunitas masyarakat adat itu sendiri. Menurut penggiat AMAN Sulteng, Masyarakat adat Poboya tidak masuk dalam daftar komunitas masyarakat adat tersebut karena mereka (masyarakat adat Poboya) tidak pernah mendaftarkan diri sebagai masyarakat adat. Sementara perinsip yang digunakan AMAN selama ini tidak mendatangi komunitas untuk didaftar, tapi mereka (komunitas) yang datang ke AMAN untuk didaftarkan sebagai anggota AMAN, kemudian diberikan formulir
pendaftaran sebagai
anggota AMAN. Selain itu, dalam pandangan penggiat AMAN Sulteng, keberadaan komunitas adat dalam arti masyarakat adat sebagai satu kesatuan hukum sudah tidak ada lagi, karena yang ada saat ini adalah masyarakat adat bentukan pemerintah yang memang sarat dengan berbagai kepentingan. Kepentingan pemerintah terhadap Poboya adalah untuk memperlancar penguasan sumberdaya alam, sehingga direkrutlah orang-orang yang berpengaruh, seperti mantan PNS, mantan Kepala
136 Desa yang merupakan tokoh-tokoh kunci di desa. Tapi masyarakat Poboya tidak bisa berbuat apa-apa karena mendapat tekanan dari pemerintah.25
25
Disampaikan oleh RM, Ketua AMAN Sulteng ( wawancara pada tanggal 5 Juni 2012)
137 BAB VI
REZIM TATA KELOLA DAN DINAMIKA PENAMBANGAN EMAS DI POBOYA
REZIM TATA KELOLA Studi agraria di Indonesia menunjukkan bahwa klaim yuridiksi penguasaan sumberdaya alam sudah dimulai pada masa kolonial, kemudian diambil alih oleh pemerintah masa kemerdekaan, dan semakin dipertegas pada masa kepemimpinan Orde Baru (ORBA) hingga masa reformasi. Sebenarnya Sebelum kedatangan penjajah ke Indonesia dikenal dengan teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat. Namun pada masa kolonial terjadi proses perampasan
hak-hak masyarakat adat secara
sistematis dengan
diterapkannya sistem hukum barat (Undang-Undang Agraria 1870) yang dibangun berdasarkan teori Eropa yang menempatkan Raja sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Sebagai negara jajahan Belanda, maka di Indonesia juga menganut teori ini yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik Kerajaan Belanda dan hal itu semakin dipertegas dengan diberlakukaknya azas domein verklaring, yang dengan tegas menyatakan bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan pemiliknya otomatis menjadi tanah negara26 (lihat Peluso, 1992; Kalo, 2004).
Hukum inilah
yang menjadi sumber penindasan,
ketidakadilan, penyingkiran dan eksploitasi terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam (Nababan, 2003). Setelah kemerdekaan, melalui rezim Orde Lama ada upaya pemerintah untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan kolonial tersebut dengan cara mengganti sistem hukum yang pluralis dengan sistem sentralistik di mana semua hak dikuasai oleh negara. UUD 1945, pada pasal 18 merupakan dasar pengakuan dan perlindungan otonomi asli Komunitas “adat” untuk mengatur dan mengurus
26
Peluso, (1992). Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java(California University Press, Berkeley
138 diri sendiri. Sementara pada pasal 33 (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memiliki hak untuk mengelola semua sumberdaya di dalam, di atas, di bawah dan pada tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Tapi hal ini sama sekali menghilangkan keberadaan masyarakat adat, justru menjadi dasar filosifis dalam penyusunan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 seperti tersurat dalam pasal 2 yang berbunyi:
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menguasai semua tanah adalah negara untuk tujuan kesejahtraan rakyat. Hak mengusai Negara bukanlah hak memiliki, karena pemilik tanah yang sebenarnya adalah WNI, sedangkan Negara menjadi pemegang hak kepunyaan yang disebut Hak Menguasai dari Negara (HMDN) atau hak agraria (lihat Soesangobeng, 2012: 242).
139 Namun di masa kepemimpinan Orde Baru, Hak menguasai oleh negara ditafsirkan secara sepihak sesusai dengan kepentingan politiknya. Di bawah kepemimpinan Orde Baru dikarakterisasi dengan meningkatnya perampasan hak–hak komunitas lokal atas tanah dan penghidupannya melalui gerakan korporatokrasi. Kekuasaan korporatokrasi berpraktek untuk menyedot seluruh sumber agraria dan kekayaan alam melalui ekploitasi sumberdaya alam skala besar seperti HPH untuk penebangan hutan, HGU untuk perkebunan, kuasa petambangan dan berbagai proyek lainnya untuk mendapatkan keuntungan dengan menghalalkan segala cara (Usman, 2010)27. Setidaknya Bonie Setiawan (2005)28 dan Lynch (2002) mengingatkan kita tentang bagaimana
korporatokrasi
melakukan
konsolidasi
neo-kolonial
dengan
melakukan berbagai taktik yang sama sekali tidak adil dan tidak demokratis seperti :
Sentralisasi otoritas dan penyederhanaan hak-hak
Komodifikasi berbagai landskap dan sumberdaya dan
Kriminalisasi praktek lokal dan keberadaan dalam kawasan sumberdaya yang diklaim oleh negara.
Kebijakan pemerintah yang sentralistik telah memberikan keuntungan kepada pemerintah pusat, sementara daerah hanya menerima bagian kecil dari hasil eksploitasi kekayaan alamnya. Kebijakan itu dapat kita lihat secara lebih spesifik melalui berbagai produk perundangan-undangan, seperti UU Pokok Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Agraria, dan UU Penataan Ruang yang semuanya merupakan instrumen pengambilalihan sumber-sumber ekonomi
27
28
Erwin, (2010). Gerakan Lingkungan Hidup: Jangan Hilang Perspektif Politik Kerakyatannya, Disampaikan dalam Seminar “Membangun Gerakan Sosial Lingkungan Hidup untuk Penyelamatan Sumber Sumber Kehidupan Rakyat demi Terwujudnya Perdamaian di Kalimantan Barat” yang diselenggarakan WALHI KalimantanBarat, Pontianak, 24 Pebruari 2010. Setiawan (2005), Strategi Pasar (Neo-Liberal) di Bidang Pertanian: Inplikasinya bagi Penguasaan Tanah/Sumber-sumber Alam dan Gerakan Rakyat, Makalah disampaikan pada Konfrensi Internasional Tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah “mempertanyakan kembali Berbagai Jawaban”, Diadakan oleh Konsorsium LSM dengan Koordinator Yayasan Kemala, di Hotel Santika, Jakarta, tanggal 11 Oktober 2004. Dimuat dalam Tanah Masih di Langit, Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi, (2005),Yayasan Kemala, Jakarta.
140 masyarakat adat. Para pemilik modal melalui perusahaan nasional maupun internasional telah dengan sewenang-wenang mengambil tanah-tanah adat untuk dijadikan tambang minyak dan emas. Bahkan hutan produksi dijadikan kota-kota modern bagi penduduk kota yang berasal dari kelompok pendatang (Warsilah, 2004). Hal inilah yang dikhawatirkan Frank (1969) bahwa eksploitasi daerah pinggiran akan memberikan keuntungan pada berbagai tingkatan mulai dari level desa, kabupaten, provinsi, ibu kota dan hingga level internasional, tetapi keuntungan terbesar akan menumpuk pada level metropolis. Atau dengan kata lain eksploitasi daerah pinggiran akan menumpuk di metropolis, sementara daerah pinggiran hanya menjadi ajang pertarungan eksploitasi yang melahirkan sejumlah dampak berupa konflik, kekerasan dan marjinalisasi. Harapan masyarakat adat untuk kembali
menikmati dan mengelola
sumberdaya alamnya sendiri mulai muncul tatkala terjadi perubahan politik nasional dengan berlakuknya Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang dilanjutkan dengan UU No.32/2004 di mana setiap daerah “diperkenankan” untuk mengeksploitasi sumberdaya alam sebanyak mungkin demi terpenuhinya sumber keuangan daerah untuk melaksanakan pembangunan. Pembahasan berikut ini mencoba mengkonstruksi perubahan rezim pengelolaan sumberdaya alam mulai dari masa kolonial, masa Orde Lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi dan implikasi yang ditimbulkannya, khususnya di Sulawesi Tengah.
Rezim kolonial Proses birokratisasi kolonial di Indonesia sudah berlangsung sejak permulaan abad ke–19 di Jawa melalui Daendels (1806-1881) yang membagi pantai Timur laut Jawa menjadi lima prefektur, masing-masing dipimpin oleh seorang prefek yang berkebangsaan Eropa dibawah pengawasan Gubernur Jenderal. Pada masa itu para Bupati kehilangan hak warisannya, sedangkan hak mereka atas tanah, jabatan, jaminan tenaga kerja dan pajak atas hasil produksi, semuanya dikurangi
141 jumlahnya. Sebagai gantinya mereka diangkat menjadi birokrat-birokrat penerima gaji (Hasan, 2003). Selanjutnya pada tahun 1854, pemerintahan Hindia Belanda menerbitkan undangundang (Regering reglement 1854) yang mengatur birokrasi pemerintahan secara rasional berdasarkan khirarki dari pusat ke daerah atau berdasarkan azas desentralisasi dan dekonsentrasi yang membagi wilayah Hindia Belanda menjadi beberapa wilayah adminstratif seperti; Gewesen, Afdelingen, Onderaf-delingen, Districtdan Onderdistrict. Berdasarkan artikel No. 68 ayat 1 tahun 1854 Birokratnya adalah Gubernur dan Residen yang dibantu oleh Asisten Residen dan Kontroleur. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1899 Hindia Belanda dibagi menjadi 38 Provinsi (Gewest) yang terdiri dari 22 provinsi di Jawa-Madura dan 17 provinsi di luar Jawa. Selanjutnya pada tahun 1909 provinsi diperkecil menjadi 36 provinsi, terdiri dari 19 provinsi di Jawa dan Manura dan 17 ptovinsi di luar Jawa. Sampai tahun 1942 hanya tinggal 8 provinsi , masing-masing 3 provinsi di Jawa-Madura dan 5 provinsi di luar Jawa. Berdasarkan Intruksi Gubernur Jenderal Blanda No.21 Bijblaad No.1404/II tanggal 30 Juni 1938 setiap provinsi seperti tersebut di atas harus bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa sistem birokrasi pemerintahan kolonial Belanda yang diterapkan di Indonesia terbagi atas dua bagian (Dirman dalam Dahniar, 2005), yaitu : 1.
Daerah-daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama pemerintah pusat yang biasa disebut daerah Gubernemen:
2.
Daerah-daerah yang tidak langsung dipimpin oleh pemerintah pusat dan sekarang menurut UUDS disebut daerah swapraja.
Hal ini membawa dampak kepada daerah, terutama munculnya dualisme sistem birokrasi, antara sistem birokrasi modern dan sistem birokrasi tradisional lokal. Dampak birokratisasi tersebut dilandasi oleh pemberian otonomi yang didasarkan atas Bestuur shervomingewet 1922 (sebagai penyempurnaan dari Regering Reglement 1854) yang membentuk aturan baru untuk wilayah Jawa dan Madura (Hasan, 2003), yakni;
142 1) Provincie-ordonantie, (memuat ketentuan tentang pembentukan daerah otonomi provinsi) 2) Regenstschaps-ordonantie, (yang memuat ketentuan tentang pembentukan daerah otonomi Kabupaten, 3) Staadsemente-ordonantie, (yang memuat staatsgemente di Jawa dan Madura Sedangkan di luar Jawa dibentuk: 1) Groepsgemeenschaps-ordonantie, (memuat ketentuan tentang pembentukan groepsgemeenschappen daerah yang meliputi daerah administratif gewest dibawah kekuasaan residen) 2) Staadgemeente-ordonantie
Buitengewesten,
(yang
memuat
tentang
pembentukan staadsgemeente di daerah-daerah luar Jawa. Khusus untuk Daerah Sulawesi Tengah, sebagai bagian dari wilayah Indonesia dan jajahan Belanda, menurut Dahniar (2005) secara keseluruhan Sulawesi Tengah termasuk daerah yang tidak langsung dipimpin oleh pemerintah pusat atau swapraja, yaitu daerah dahulu disebut daerah raja-raja atau
zefbesturende
landschappen. Berdasarkan hukum tata Negara, swapraja dibagi atas dua bagian : 1) Swapraja dengan kontrak panjang (lange contrakten); 2) Swapraja dengan pernyataan pendek (korte verklaring) Sementara menurut Hasan (2003) bahwa di wilayah Sulawesi Tengah (midden Celebes) birokrasi pemerintahan kolonial Belanda diterapkan secara langsung atau tidak langsung (dualisme sistem birokrasi), terutama untuk daerah Palu dan Donggala. Dari kedua pandangan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pembentukan sistem birokrasi pemerintahan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah upaya sistematis untuk memudahkan proses penguasaan sumberdaya alam Indonesia. Proses sistematis yang pertama dilakukan adalah mengontrol sumberdaya alam Indonesia melalui produk hukum kolonial yakni Agrarisch Besluit 1870 untuk pertanahan dan Bosch Ordonantie 1927 untuk kehutanan. Kedua produk hukum tersebut hanya menguntungkan penjajah dan sangat merugikan masyarakat adat. Kedua, pemerintah kolonial melakukan reorganisasi sistem pemerintahan dengan
143 menerapkan dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Ada wilayah yang diperintah langsung dan ada wilayah yang tidak diperintah langsung (swapraja). Sulawesi Tengah termasuk daerah yang diperintah langsung dan tidak langsung. Pada tahun 1910 Wilayah Sulawesi Tengah dibagi menjadi 5 afdeeling, yaitu afdeeling Donggala, afdeeling Palu, afdeeling Poso, afdeeling Luwuk dan afdeeling Toli-Toli. Bekas kerajaan-kerajaan yang merdeka memperoleh status sebagai daerah yang dapat dipimpin langsung oleh seorang kepala pribumi (Raja). Sebenarnya dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda di Sulawesi Tengah menggunakan struktur sebagai berikut : underafdeeling yang diperintah langsung oleh seorang kontroleur. Di atas kotroleur adalah asisten resinden yang mengepalai afdeeling, dan di atas asisten residen adalah residen yang mengepalai kresidenan yang dalam hal ini Sulawesi Tengah termasuk dalam residen Manado. Selanjutnya pada tahun 1913 pemerintahan kolonial Belanda menerapkan sistem birokrasi pemerintahan sampai ketingkat distrik, termasuk sistem penggajian para birokratnya. Pada tahun 1939 wilayah-wilayah kerajaan Banawa, Palu, Tawaeli, Sigi Biromaru,
dan Dolo yang merdeka dirubah namanya menjadi swapraja
(zefbestuurland scappen) yang dipimpin oleh seorang zelfbestuurder (raja) dengan menggunakan sistem pemerintahan kolonial Belanda. Pemerintahan swapraja berdiri sendiri dan diberi hak otonomi dan lepas dengan yang lainnya. Mereka (penguasa pribumi yang diangkat dan digaji oleh Belanda) menjadi perantara antara penguasa dengan rakyatnya. Tapi kemudian pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan
penguasa-penguasa
dan
lembaga–lembaga
pribumi
untuk
memperlancar mekanisme sistem birokrasi pemerintahan untuk kepentingan pemerintahan Belanda, seperti memungut hasil produksi rakyat sampai di tingkat pedesaan untuk diserahkan kepada penjajah. Bahkan pihak kolonial memberikan kekuasaan kepada pemimpin lokal (raja) untuk memerintah penduduknya masingmasing, termasuk pengaturan bidang-bidang khusus seperti peningkatan pajakpajak tanah, pasar, rodi dan lainnya untuk kepentingan kolonial Belanda sendiri (Dahniar, 2005; Hasan, 2003). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut di atas dengan struktur
144 birokrasinya tidak dihilangkan sama sekali tapi justru dimanfaatkan oleh Belanda untuk kepentingan kolonial sendiri terutama untuk menarik hasil bumi.
Rezim Orde Lama Setelah kemerdekaan, awal kepemimpinan Orde Lama masih menggunakan sejumlah peraturan buatan Hindia Belanda, seperti Agrarisch Wet yang mengatur tentang perkebunan besar serta Agrarisch Besluit 1870 yang mengandung suatu azas dasar umum tanah Negara
atau pernyataan tanah Negara (algemene
domeinverklaring). Demikian pula dengan peraturan lainnya Bosch Ordonanntie 1927 yang mengatur tentang hutan (lihat Dahniar, 2005). Namun pemerintah berusaha melindungi hak-hak atas tanah kaum tani dengan cara merombak tatanan agraria yang timpang akibat peninggalan sejarah kolonial dan feodalisme. Hal itu dapat dilihat dari perubahan-perubahan struktural yang dilakukan pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang cenderung radikal melalui program yang bercorak populis yakni landreform29 seperti terlihat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960). Dengan berlakukan UUPA 1960, maka secara tidak langsung menghapus keberadaan Agrarisch Wet dan Agrarisch Besluit 1870 sehingga tidak ada lagi dualisme hukum dalam masalah agraria. Adapun hukum-hukum adat lokal yang tumbuh dan berkembang sebelumnya harus tunduk pada hukum kesatuan nasional. Impikasi berlakukanya UUPA tersebut, maka hak menempati individual petani ditingkatkan menjadi hak milik. Hak penggunaan tanah oleh perusahaanperusahaan perkebunan di satukan ke dalam sebuah bentuk hak guna usaha yang baru dan hanya diberikan kepada warga Negara Indonesia atau perusahaanperusahaan domestik. Namun hak milik tanah itu sangat ketat dibatasi dengan 29
Inti prgram landreform Orde Baru bekepentingan untuk mengubah konfigurasi penguasaan tanah yang pada gilirannya mengubah susunan hubungan sosial. Dengan landreform hendak diubah hubungan sosial yang eksploitatif dari bangunan feodalisme dan kapitalisme – kolonial. Program landreform merupakan suatu titik temu kompromi dari kekuatan-kekutan politik yang bekerja di tubuh negara dan masyarakat (Kasim dan Suhendar, 1997).
145 ketentuan bahwa hak milik tersebut dapat diambil alih oleh Negara jika berlawanan dengan kepentingan umum.30 Artinya semua jenis tanah adalah dianggap sebagai tanah Negara walaupun mereka bukan tanah milik Negara (Hiroyoshi Kano, 1997). Hal ini bertentangan dengan hak konstitusional WNI sebagai pemilik sebenarnya atas tanah setelah kemerdekaan Indonesia (Soesangobeng, 2012). Khusus di Poboya tidak ditemukan cukup referensi tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam pada masa Orde Lama, kecuali melalui penelusuran dari orang-orang tua31 yang masih mengingat dengan baik situasi pada saat itu. Seperti hasil penelitian base line (PPLH Untad, 2008) menyatakan bahwa kepemilikan lahan dulunya berdasarkan Undang-undang Agraria, di mana hanya ada dua tipe tanah, yaitu tanah negara atau tanah milik masyarakat. Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah sesuai ketentuan yang berlaku. Tanah milik adalah tanah yang dipunyai oleh perseorangan atau badan usaha berupa tanah pasini atau tanah yang di dapat melalui jual beli atau pemberian hak pakai atau hak guna usaha atas tanah negara. Penguasaan lahan oleh masyarakat pada mulanya ditentukan oleh kemampuan menjangkau areal hutan. Pemanfaatan lahan juga dilakukan dengan sistem sewa, atau bagi hasil ataupun hanya menggarap di mana seluruh hasil untuk pengolah lahan. Pola pemanfaatan lahan dengan sistem sewa, bagi hasil atau hanya menggarap tanpa sewa atau bagi hasil diperkirakan akan bertambah dari tahun ke tahun mengingat makin besarnya proporsi jumlah kepala keluarga yang tidak memiliki lahan akibat semakin terbatasnya ketersediaan lahan.
30
Menurut Soesangobeng, (2012) Negara Republik Indonesia tidak memiliki dasar hukum kekuasaan untuk mencabut hak kepemilikan WNI-nya (2012: 235). Karena berdasarkan teori ‘de facto-de jure’ dengan WNI adalah pemilik tanah sebenarnya, sedangkan negara hanya memiliki hak menguasai sebagai empunya tanah, maka hak kepemilikan atas tanah pun hanya terdiri atas tanah dengan hak milik dan hak kepunyaan. Hak milik dimiliki oleh WNI sedangkan negara RI menjadi pemegang hak kepunyaan yang disebut hak menguasai dari negara (HMDN) dalam pasal 2 UUNo. 5/1960 (UUPA 1960) (2012: 242) Karena negara bukan pemilik tanah, melainkan kewajiban publik tertinggi untuk mengurus, memeliharakesuburan serta menjaga penggunaan maupun pemanfaatan tanah agar berguna dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka negara RI tidak memiliki dasar hukum kekuasaan untuk mencabut hak kepemilikan WNI-nya (2012: 235) 31 Penggunaan Kata ‘orang-orang tua’ sekedar untuk membedakan dengan kata ‘tetua adat’.
146 Rezim Orde Baru Satu hal yang tidak bisa dilupakan ketika berbicara tentang awal kekuasaan Orde Baru bahwa situasi politik dan kondisi ekonomi bangsa Indonesia pada saat itu benar-benar terpuruk. Hal inilah yang menjadi alasan pembenaran atas semua sekenario yang dibangun rezim Orde Baru untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk memulihkan stabilitas politik dan membangun perekonomian bangsa.
Berbeda dengan kepemimpinan rezim
sebelumnya yang cenderung
melakukan perubahan struktur sosial-ekonomi secara radikal dengan gaya populis. Tetapi di bawah kepemimpinan Orde Baru dan para pendukungnya memiliki konsensus tentang perlunya stabilitas, rehabilitas dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis (Mas’oed, 1989). Untuk mendukung konsensus dan mempersiapkan jalan menuju pembangunan kapitalisme, maka pemerintah melakukan reformasi hukum yang bersifat setralistik, seperti: 1.
UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 8 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan peraturan pelaksanaannya. Kebijakan tersebut memungkinkan swasta memainkan peran aktif dalam proses pembangunan di Indonesia. Misalnya pemilik modal asing dapat menggunakan tanah di Indonesia dengan HGU, HGB dan hak pakai.
2.
UU No. 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Kehutanan. Dalam peraturan tersebut nyata sekali dominasi peran pemerintah dalam mendefinisikan suatu wilayah sebagai hutan atau kawasan hutan (Saman dalam Kasim dan Suhendar, 1997). Undang-Undang ini juga memberikan mandat kepada Negara untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan/penguasaan hutan menggunakan pengaturan sesuai wewenangnya. Diikuti dengan munculnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1970 yang pada prinsipnya semakin menghilangkan peran dan akses rakyat dalam penetapan area hutan. Produk hukum bidang kehutanan menciptakan
147 kerangka sistematis bagi para pemilik modal untuk melakukan eksploitasi serta melarang akses masyarakat adat untuk memasuki wilayahnya sendiri. Proses penghancuran sistematis secara yuridis formal mengalami revisi dengan deretan peraturan seperti PP No. 18 tahun 1975 dan PP No. 7 tahun 1990 yang seterusnya semakin merugikan dan menghilangkan sumbersumber kehidupan masyarakat adat (Dahniar, 2005). 3.
UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini disusun untuk memberikan legitimasi hukum terhadap pengembangan industri pertambangan Orde Baru dengan mengganti konsep konsesi dengan Kontrak Karya. Konsep konsesi adalah pemberian penuh dan langsung pada pihak pemegang konsesi untuk mengeksploitasi barang tambang. Sementara Kontrak Karya hanya Negara atau perusahaan melik Negara yang menguasai hak penguasaan pertambangan tersebut32. Keberadaan UU ini juga menimbulkan kontroversi karena beberapa klausul sangat merugikan masyarakat adat karena terkait dengan penguasaan tanah. Pada pasal 26 UU No. 11/1967
menyatakan bahwa masyarakat pemilik tanah diwajibkan
memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di tanahnya dengan dengan musyawarah dan mufakat, jika pemegang kuasa pertambangan sesuai dengan hukum yang berlaku. Klausul ini menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi masyarakat pemegang hak atas tanah kecuali melepaskan haknya kepada pemegang kuasa pertambangan (Noer Fauzi, 1997). 4.
UU No. 7 Tahun 1970 berisi tentang Penghapusan Pengadilan Landreform. Hal ini menunjukkan bahwa rezim Orde Baru memandang permasalahan Pertanahan bukan masalah krusial, karenanya semua program yang berkaitan dengan pertanahan yang bersumber dari UUPA dibekukan atau diabaikan.
5.
UU No. 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. UU ini lahir sebagai respon pemerintah atas program landreform dalam UUPA yang dianggap tidak sejalan. Sebagai gantinya pemerintah Orde Baru lebih memilih program resettlement dari pada melakukan landreform seperti yang
32
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut 35 persen daratan Indonesia, diijinkan untuk dibongkar oleh industry pertambangan. (Sangaji, 2011).
148 ditekankan
dalam
“……pelaksanaan
UUPA.
Dalam
transmigrasi
GBHN
merupakan
1983 usaha
dijelaskan penataan
bahwa kembali
pengguna, penguasaan dan pemilikan tanah baik di daerah asal maupun tujuan…” . program ini kemudian dibeberapa tempat menimbulkan reaksi dan penolakan dari masyarakat adat. 6.
UU. No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kedua UU itu mengantarkan Orde baru berhasil
mengontrol
masyarakat
melalui
bentuk
penataan
struktur
pemerintahan secara seragam mulai dari tingkat pusat sampai pada level desa dan menegasi keberadaan masyarakat hukum adat beserta lembaga adat, dan semakin mempersempit ruang gerak mereka. Demikian pula organisasi sosial di tata menjadi seragam. Hubungan antara masyarakat adat dan negara dalam Orde Baru menampakkan pola yang hegemonik. Dalam hubungan itu, negara secara politis mendominasi rakyat dan kekuatan sosial politik. Selain melalui reformasi perundang-undangan, Orde Baru juga menerapkan berbagai program pembangunan ekonomi yang eksploitatif (lihat Noer Fauzi, 1997; Dahniar, 2005) seperti:
a.
Industri Tambang (Mining Idustry).
Program ini sangat penting karena sumbangannya yang sangat besar bagi pendapatan nasional. Karena itu pemerintah dengan politik hukum pertambangan menerapkan Hak Menguasai Negara yang didukung dengan peraturan perundangundangan, yakni UU No. 11 Tahun 1967. Dengan undang-undang tersebut, pemerintah mendapat legitimasi untuk melakukan pengembangan industri pertambangan melalui Kontrak Karya. Fauzi (1997) menunjukkan bahwa hingga 1994, terdapat 133 kontrak karya yang diberikan kepada pihak asing dan dalam negeri. Di pulai Irian Jaya tercatat 14 kontrak karya, Riau 3 Kontrak karya, di Sulawesi 20 Kontrak Karya, di Kalimantan 522 Kontrak Karya, di Kepulauan Maluku 5 Kontrak Karya, dan di Pulau Jawa 1 Kontrak Karya. Pengalaman di
149 banyak tempat, mekanisme pengelolaan tambang melalui Kotrak Karya telah menimbulkan benturan dengan komunitas lokal.
b.
Eksploitasi Hutan:
1) Program Hak Pengusahaan Hutan (HPH)dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Program ini sangat eksploitatif terhadap sumberdaya alam (terutama hutan). Menurut, Sangaji, (2011), Secara sektoral, ada 301 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) menguasai 42 juta hektar hutan di Indonesia. Dan pemerintah, kapitalis asing, dan pribumi sama-sama menguras rejeki dari HPH ini (Fauzi, 1997).
Khusus di Sulawesi Tengah, upaya untuk menyedot seluruh sumberdaya alam dilakukan melalui eksplorasi dan ekploitasi skala besar seperti HPH untuk penebangan hutan, HGU untuk perkebunan, kuasa petambangan dan berbagai proyek lainnya. Menurut Muin (2009), sampai dengan tahun 1970 ekspansi perusahaan Hak Pengusahaaan Hutan (HPH) yang mengusai sekitar 2.000.000 Hektar hutan dari 6.000. 000 hektar hutan di Sulawesi Tengah. Sedangkan sektor penambangan strategis ada 13 perusahaan skala mengenah dan besar, empat usaha yang mengantongi kontrak karya, delapan usaha yang memiliki kuasa pertambangan dan satu usaha mengantongi Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang menempati areal 2.531.157 hektar. Sementara perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan konservasi dan hutan lindung dengan mengantongi kontrak karya sejak tahun 1997 adalah sebagai berikut :
PT Palu Citra Mineral (PT CPM) seluas 561.050 hektar di Taman Hutan Raya Palu; Selain itu PT. CPM juga beroperasi di wilayah Donggala, Buol, Tolitoli, Luwuk;
PT Mandar Uli Mineral (PT MUM) seluas 590.000 hektar di Taman Nasional Lore Lindu, meliputi wilayah hutan lindung Mamuju, Donggala, Luwuk, dan Poso (Maning Directoy, 2002). Maskapai tambang emas raksasa itu bermarkas di Australia dan Inggris dan 90% sahamnya milik Rio Tinto itu. Jika PT CPM
150 berkonflik dengan orang Poboya dan orang yang tinggal di sekitar wilayah Gunung Kaili, maka PT MUM berkonflik dengan orang-orang Seko di Sulawesi Selatan dan Kaili Da,a di punggung Gunung Palu.
PT Samideco beroperasi di kaki Bukit Hutan Lindung Sojol (Donggala) memanjang hingga Kawasan Lindung Gunung Tinombala di Tolitoli hingga di kawasan konservasi Cagar Alam Gungung Pogogul di Buol dengan luas kekuasaan operasi 247. 880 hektar. Sahamnya 90% dikuasai perusahaan Korea Selatan. Perusahaan ini berkonflik dengan komunitas Laudje, Dondo dan Tolitoli di Gunung Tinombala; Komunitas Pribumi Dampelas di Gunung Sojol; komunitas Pribumi Buol di Pogogul.
PT Inco Salah satu perusahaan yang bermarkas di Kanada dan beroperasi di wilayah Komunitas Pribumi Bahumotefe di Kabupaten Morowali, Sulteng dan Komunitas Pribumi Dongi di Sulawesi Selatan. Perusahaan swasta asing ini, selain berkonflik dengan Komunitas “adat”, juga berkonflik dengan trasmigrasi asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah.
Rezim Orde Reformasi Transisi kepemimpinan dari Orde Baru ke Orde Reformasi menandai perubahan dalam hal pengelolaan SDA, di mana
peran dan kendali pemerintah pusat
”mulai” berkurang. Sebaliknya pemerintah daerah, terutama pada tingkat kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengurus sumberdaya alam di daerahnya. Dengan kewenangan yang besar tersebut, pemerintah daerah diperhadapkan pada tuntutan kemandirian, terutama kemandirian dalam membiayai roda pemerintahan dan pembangunan. Berikut beberapa peraturan yang dilahirkan pada zaman reformasi; UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Implikasi dari terbitnya kedua UU tersebut adalah ekploitasi terhadap sumberdaya alam menjadi tak terhindarkan, tak terkecuali pada kawasan-kawasan lindung
151 sehingga sering kali menimbulkan konflik antara pemerintah, komunitas lokal dan swasta.
UU no 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan batubara. UU ini sebenarnya merupakan perubahan atas UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam UU No. 4 Tahun 2009, pasal 33, pengusahaan pertambangan yang sebelumnya menggunakan rezim kontrak dan perjanjian selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP). Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil. Sementara Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. IPR (Izin Pertambangan Rakyat) yang dapat diberikan kepada perorangan maksimal 1 Ha, Koperasi atau kelompok masyarakat 5 Ha. Di mana perizinan cukup dikeluarkan oleh Walikota atau Bupati, dengan cakupan luas wilayah maksimal 25 Ha.
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. UU ini sebenarnya menggantikan UU Kehutanan sebelumnya (UU No.5 Tahun 1967) yang dinilai sangat eksploitatif dan sumber bagi pemerintah (Dinas Kehutanan) untuk melakukan tindakan-tindakan represif berupa pertiban dan pembekuan hak masyarakat adat. UU No. 41/1999 pada prinsipnya melarang penambangan terbuka di kawasan lindung. Di samping itu UU ini juga sangat memperhatikan keberadaan komunitas di sekitar kawasan hutan. Bahkan beberapa pasal mengamanatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) mempertimbangkan situasi lokal dalam aspek-aspek sosial, budaya masyarakat. Dalam hal ini pemerintah Daerah diberikan wewenang untuk bertindak jika terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat
152 Namun pada masa kepemimpinan Presiden Megawati (2004) dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan yang pada prinsipnya isi perpu tersebut menambah ketentuan baru pada UU No 41/1999, yaitu Pasal 83 (a) dan Pasal 83 (b). Pasal 83 (a) menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Sementara pasal 83 (b) menyatakan bahwa ketentuanketentuan selanjutnya akan diatur dalam Keputusan Presiden. Selain menerbitkan perpu, presiden juga mengeluarkan Keppres No. 41/2004, isinya menunjuk dan memberikan izin kepada 13 perusahaan pertambangan yang sudah memiliki kontrak karya pertambangan sebelum UU No. 41/1999 diberlakukan untuk tetap melanjutkan operasionalnya dan menambang terbuka di hutan lindung. Implikasi dari kebijakan pemerintahan di atas adalah mendorong bagi pengambil kebijakan untuk menempuh jalan pintas dengan mengundang investor asing untuk berinvestasi dengan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di daerahnya untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan meski kawasan tersebut termasuk kawasan lindung. Dan pada saat yang sama beberapa perusahaan asing dengan kemampuan relasi yang dimiliki sudah menunggu kesempatan yang tepat untuk melakukan eksploitasi meski berhadapan dengan dengan komunitas lokal. Hal inilah yang terjadi di Sulawesi Tengah. Saat ini tercatat ada 4 (empat) Perusahaan yang berinvestasi melalui mekanisme kontrak karya (KK) dan kuasa pertambangan (KP), yaitu PT. Citra Palu Mineral (CPM) anak perusahaan PT. Bumi Resources (Bakrie Grup) yang memiliki konsesi tambang emas di kawasan Poboya Palu, PT. Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) yang beroperasi di Kab. Buol, perbatasan Sulawesi Tengah dan Gorontalo melakukan penambangan emas dan; PT. INCO dan PT. Rio Tinto yang memiliki kontrak karya (KK) di Kab. Morowali. Selain itu penguasaan wilayah pertambangan juga dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota berupa kuasa pertambangan (KP)
153 maupun wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang jumlahnya sampai ratusan. Kepentingan pemerintah daerah terhadap pengeluaran izin ini adalah sebagai usaha memperoleh sumber-sumber pendapatan untuk pembangunan ekonomi rakyat
maupun kemandirian daerah (Lemlit Untad, 2008). pada sisi lain,
penemuan emas di beberapa tempat di Indonesia
mendorong munculnya
pertambangan rakyat dalam skala masif. Termasuk di kawasan Poboya yang sebelumnya hanya dilakukan oleh orang-orang lokal menjadi tujuan penambang tradisional. Sampai saat ini, dari data Dinas Pekerjaan Umum dan Sumberdaya Mineral telah terdaftar sebanyak 762 orang pengusaha lokal yang melakukan usaha pertambangan di kawasan Poboya seperti usaha tromol, tumbuk-tumbuk dan tong (cyanidasi). Pemohon usaha/pemilik lubang sebanyak 270 orang, pemilik pengusaha tong (cyanidasi) sebanyak 112 orang. Mereka mengoperasikan sebanyak 15.175 unit tromol, 723 unit tumbuk-tumbuk dan 229 unit tong (cyanidasi) dan jumlah lubang sebanyak 753 lubang. Angka ini tentu saja akan terus berubah (bertambah) seiring dengan semakin meluasnya area penambangan di Poboya.
DINAMIKA PENAMBANGAN EMAS DI POBOYA: Perubahan Moda produksi: Dari Sistem Dulang ke Sistem Tromol Informasi dari hasil penelitian terdahulu (PPLH Untad, 2008; Lahandu, 2007) menyatakan bahwa awalnya aktivitas penambangan yang dilakukan masyarakat Poboya hanya sebatas pekerjaan sampingan. Sehari-harinya masyarakat Poboya adalah bertani dan berladang. Namun karena lahan yang digarap bukan lahan irigasi, sehingga usaha pertanian mereka sangat tergantung pada musim karena terbatasnya debit air. Biasanya aktivitas menambang dilakukan masyarakat ketika selesai membersihkan lahan perkebunan atau setelah selesai panen. Selain itu, pekerjaan menambang juga dilakukan oleh masyarakat pada musim kemarau atau tidak dalam keadaan hujan deras. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya
154 pada saat banjir. Umumnya waktu rata-rata yang digunakan para penambang bekisar antara 8 sampai 10 jam perhari. Demikian pula dengan proses penambangan yang dilakukan masyarakat, masih sangat tradisional dengan menggunakan peralatan seadanya seperti dulang yang terbuat dari kayu yang dibentuk lebih menyerupai talang air. Selain itu peralatan utama yang diperlukan adalah skop, karpet, linggis, ember dan mangkok atau tempurung. Para pencari emas tradisonal ini, melakukan aktivitasnya disepanjang sungai Pondo yang berada di Kawasan Kelurahan Poboya. Aktivitas mereka diawali dengan memasang papan yang berbentuk talang di aliran sungai, lalu kemudian karpet (kesek kaki) ditaruh di atas papan tersebut. Setelah itu, penambang tradisional tersebut menggali pasir campuran tanah dan batu dengan menggunakan linggis dan skop, lalu kemudian diangkat dengan menggunakan skop ke dalam papan yang berbentuk talang yang sudah dialasi dengan karpet. Butiran-butiran pasir halus yang bercampur dengan emas akan meresap ke karpet. Lalu kemudian pasir bercampur emas tersebut diangkat ke dalam ember yang berisi air. Proses selanjutnya adalah mengangkat pasir bercampur emas ke dulang. Dulang kemudian digerak gerakkan di atas permukaan air. Gerakan dulang harus benar, agar air yang masuk di dalam dulang tidak terlalu banyak sehingga dapat menghanyutkan emas. Dengan air di dalamnya dulang di gerakan dengan cara di putar-putar satu arah sekitar 360 derat dengan permukaan di miringkan sedikit agar pasir dan batu dapat terbuang. Pada akhirnya akan tersisa emas dan juga butiran-butiran hitam dan pasir halus. Sedapat mungkin emas harus dipisahkan dengan campuran-campuran tersebut, kemudian emas-emas tersebut di keluarkan dari dalam dulang dan biasanya di simpan di dalam tempurung kelapa, piring, atau mangkuk. Emas di dalam Tempurung kelapa, piring atau mangkuk ini di campur air dan lalu biasanya di simpan di pinggiran sunggai dekat mereka menggali pasir campuran. Pada akhir pengerjaannya, untuk membersihkan emas dari berbagai campuran, masyarakat biasanya menggunakan air raksa atau air perak.
155 Pendapatan masyarakat dalam menambang emas tidak menentu, sangat tergantung pada keberuntungan dan ketahanan fisik dari seorang penambang, seperti
harus berlama-lama terendam air atau tersengat panasnya matahari.
Dalam sehari seorang penambang dapat mengumpulkan emas seberat 2 kaca atau di atas 5 kaca ( 1 kaca harganya Rp15.000). Dengan demikian, maka rata-rata penduduk yang menambang emas secara tradisional dapat memperoleh hasil sekitar Rp 30.000 hingga 75.000 /hari. Hal ini tentu saja memberi tambahan pendapatan di luar usaha pertanian atau perkebunan yang mereka geluti. Namun proses penambangan tradisional sebagaimana yang digambarkan di atas telah mengalami pergeseran, baik dilihat dari segi teknik menambang maupun skala dan orientasi penambangan itu sendiri. Kalau pada mulanya secara teknis mereka menggunakan teknologi sederhana, tapi saat ini meski namanya penambangan tradisional tapi peralatan mereka sudah menggunakan mesin-mesin penggiling seperti Tromol, Tumbuk-tumbuk, dan Tong. Hal ini belum pernah ada sebelumnya. Demikian pula dari segi orientasi menambang, awalnya hanya sebagai kegiatan sampingan, tapi saat ini justru menjadi pekerjaan pokok dan dilakukan secara masif. Banyak warga yang terpaksa meninggalkan usaha pertanian atau perkebunan mereka karena tertarik melihat para penambang yang berdatangan dari luar, seperti dari Gorontalo, Manado, Kendari dan sebagian dari wilayah Sulawesi Selatan bahkan ada juga yang berasal dari Jawa di mana mereka rata-rata memiliki keterampilan bawaan dalam hal penambangan emas. Pasca penemuan butiran emas yang menghebohkan di Poboya 33, aktivitas penambangan sudah jauh lebih kompleks, melibatkan banyak orang dengan cara
33
Ada dua versi yang beredar di kalangan masyarakat terkait dengan penemuan butiran emas di Poboya. Pertama bersumber dari pengalaman seorang guru bernama SY terhadap anak didiknya yang selalu mengantuk di pagi hari. Kedua Kisah Sukses seorang pemuda dari Tana Toraja bernama Dani yang menikahi seorang gadis Poboya. SY adalah seorang guru yang merasa heran dengan perilaku beberapa anak didiknya yang sering mengantuk di pagi hari pada saat jam pelajaran berlangsung. Awalnya kejadian tersebut dianggap hal yang biasa. Tapi karena kejadian tersebut sering terjadi, maka pak guru tersebut mulai curiga dan rasa ingin tahu kenapa mereka sering mengantuk. Pak guru tersebut kemudian menanyai satu persatu siswa tersebut, dan jawaban siswa tersebut hampir sama bahwa mereka mengantuk karena kurang tidur disebabkan mereka membantu orang tuanya mengumpulkan batu dimalam hari. Pak SY kemudian meminta kepada siswa tersebut untuk membawa contoh batu tersebut keesokan harinya.
156 kerja yang berbeda-beda. Berdasarkan struktur dan
rantai produksi
yang
terbangun telah membentuk polarisasi tenaga kerja yang nyata pada setiap tahapan produksi seperti terlihat pada tabel berikut:
Berdasarkan informasi dari anak didiknya serta contoh batu-batuan yang dikumpulkan tadi kemudian oleh pak SY dibawa ke Selatan (Sulawesi Selatan) untuk diperkenalkan kepada anggota keluargnya yang cukup berpengalaman dalam hal penambangan emas. Hasilnya sangat mengejutkan karena ternyata contoh batu-batuan tersebut ternyata mengandung emas yang tinggi. Akhirnya Pak SY kemudian membawa anggota keluarganya tersebut ke Palu dan menambang di Poboya. Dari sinilah informasi tentang keberadaan emas di Poboya beredar dari mulut kemulut hingga mengundang banyak orang untuk datang mengadu nasib di Poboya. Versi kedua (Seputar Rakyat, 2010) menjelaskan bahwa kisah penemuan butiran emas di Poboya berawal dari sebuah berita media elektronik tentang seorang pemuda Tana Toraja bernama Dani yang menikahi gadis Poboya. Dani bekerja sebagai pendulang butiran emas di bantaran sungai Poboya. Dalam wawancaranya dengan media elektronik Dani menjelaskan tentang jumlah pendapatannya sebagai pendulang emas di Kelurahan Poboya. Menurutnya, setiap hari hasil dulangannya mencapai 5 – 10 gram emas. Setelah membaca informasi tersebut di atas, sekelompok penambang emas asal Sulut mencoba melakukan pencarian emas secara sembunyi - sembunyi di bantaran sungai Poboya pada pertengahan April 2008. Namun kehadiran warga dari Sulut tersebut menarik perhatian masyarakat Poboya, terutama setelah mereka membangun tenda dan menggali lubang di hulu Sungai Poboya. Mereka bertanya kepada sekelompok orang tersebut tentang kegiatan yang sedang mereka lakukakan. Menurut pengakuannya mereka sedang melakukan proses pengeboran untuk mencari tahu kandungan emas yang ada di Kelurahan Poboya. Namun akibat desakan warga, para penambang tersebut mengakui kalau mereka sebenarnya sedang mencari butiran emas berdasarkan informasi dari media tentang pengalaman Dani seorang pendulang dari Poboya mampu mengumpulkan 5-10 gram emas perhari. Mendengar penjelasan tersebut, masyarakat langsung meresponya dengan menyita alat-alat penambangan mereka, hingga terjadi kesepakatan bahwa warga bersedia mengembalikan semua peralatan penambangan mereka dengan syarat penambang harus memberitahu masyarakat Poboya berapa jumlah emas yang dihasilkan. Akhirnya penambang tersebut memberitahu masyarakat bahwa hasil emas yang didapatkan sebanyak 80 gram. Mendengar jawaban tersebut masyarakat Poboya kemudian mengambil alih lubang yang telah dibuat para penambang dan mendesak para penambang untuk mengajarkan kepada masyarakat Poboya bagaimana teknik menambang.Dari sinilah cikal-bakal tumbuh dan menjamurnya penambangan emas tradisonal di Poboya (Lihat Seputar Rakyat, Edisi III Tahun 2010)
157 Tabel 18. Tahapan Proses dan Cara kerja Penambangan Emas Tradisional di Poboya No 1
Tahapan Produksi Penggali Lubang (Cacing tanah).
2
Kuli Pikul (Kijang)
3
Mesin Produksi a. Tumbuktumbuk b. Tromol
c. Tong (cyanidasi)
Fungsi Menyediakan bahan/material berupa batu rep yang diisi dalam karung
Mengangkut Batu Rep yang telah diisi dalam karung
Mengolah batu rep menjadi butiran pasir sampai menyerupai serbuk Menghancurkan butiran batu rep menjadi lumpur
Proses pemisahan emas dari lumpur dengan menggunakan zat kimia (cyanidasi)
Sumber: data lapangan, 2011
Cara Kerja
Biaya Produksi
Pekerja pada proses ini diistilahkan sebagai Cacing tanah berjumlah 2 – 10 orang bertugas menggali lubang untuk mengambil batu yang diperkirakan mengandung butiran emas kemudian dimasukkan ke dalam karung Mengangkut batu rep dalam karung dari lubang galian sampai ke tempat pengumpulan batu rep (terminal) berjarak antara 20-50 meter melalui jalan setapak
Setiap Karung batu rep dihargai Rp. 70.000 – 100.000 per karung.
Mesin menumbuk-numbuk batu rep sampai hancur
penghancuran batu rep dgn tumbuk-tumbuk dikenakan biaya Rp. 10 ribu per karung proses pemisahan emas dengan batu melalui tromol dikenakan biaya sebesar Rp. 20.00025.000,- per tabung tromol.
Dalam satu rangkaian produksi terdiri dari 15 – 20 tabung tromol. Setiap tabung tromol diisi bitiran /serbuk batu rep yang telah dihancurkan sebanyak 3 helm dan semua tromol yang sudah terisi dirangkai /saling terkait kemudian digerakkan oleh mesin disel dan terus berputar selama 4-6 jam Lumpur dari proses penggilingan dengan tromol ditampung dalam satu kolam sampai mengendap. Selanjutnya endapan lumpur tersebut dimasukkan ke dalam karung kemudian diangkut ke pengusaha Tong untuk diproses
Setiap orang kuli pikul akan mendapat uapah Rp. 10.000-20.000 per karung
Dalam satu kali proses pengolahan Tong,memuat 300 – 500 karung lumpur (ampas) emas. Satu kali proses dikenakan biaya produksi Rp. 8.000.000,Sampai kemudian mengha-silkan kepingan emas.
158 Berdasarkan tabel di atas, maka tahapan proses penambangan tradisional di Poboya adalah sebagai berikut : (1)
Penggali Lubang (Cacing tanah)
Tahap awal kegiatan penambangan adalah pembuatan lubang tempat penggalian bebatuan yang diperkirakan mengandung butiran emas. Lokasi lubang adalah milik masyarakat adat setempat yang disewakan dengan sistem bagi hasil. Pada umumnya pekerjaan ini dilakukan berkelompok antara 2-15 orang bahkan lebih dan masih mempunyai ikatan emosional dan kedaerahan34. Tapi meski demikian ada juga pekerja tambang yang lebih memilih bekerja sendiri-sendiri. Ke dalaman galian lubang bisa mencapai 15 – 20 meter dari permukaan tanah dan jarak antara lubang galian yang satu dengan lubang galian yang lainnya kurang lebih 15 meter. Tingkat ke dalaman galian sangat tergantung pada ketahanan fisik dan pengetahuan penambang tentang kondisi batuan yang digali. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, para penambang
tinggal berminggu-minggu di lokasi
tambang dengan mendirikan tenda dan peralatan seadanya. Dari sekian banyak kelompok penambang, jika dilihat dari ikatan kedaerahan, Umumnya warga penambang dari Manado yang popular dengan istilah cacing tanah diakui mempunyai pengetahuan yang baik tentang kualitas batu yang mengandung emas. Hal ini dibenarkan salah seorang pengusaha tromol asal Sidrap yang akrab dipanggil PD (50), bahwa penambang-penambang dari Manado bisa mengetahui dengan baik kandungan emas hanya dengan melihat batuan yang ada. Karena itu mereka tidak segan-segan menggali tanah sampai ratusan meter. Seperti dilakukan SO (55), seorang penambang asal Manado yang sudah puluhan tahun menjadi Penambang. Sebelum ke Poboya, SO menambang di bagian utara Taman Nasional Domoga. SO menceritakan pengalamannya sebagai penambang. Dengan peralatan sederhana, SO bersama rekan-rekannya menambang sampai ke dalaman 200-300 meter sewaktu masih di Manado. SO sangat meyakini bahwa pada ke dalaman 34
Dalam satu kelompok kerja, mereka dipimpin dua orang yang mereka sebut “beliau” yakni pemilik tanah dan ketua kelompok.
159 itulah terdapat endapan emas. SO menceritakan bahwa dulu setiap kali keluar dari lubang penambangan, baju yang dikenakan menjadi rebutan karena begitu banyaknya serbuk emas yang menempel. Dengan keyakinan itu, SO mencoba keberuntungan di Poboya, meski sudah dua tahun menjadi penambang dan belum mendapatkan apa-apa, tapi ia tetap yakin bahwa jika sudah mencapai ke dalaman 200-300 meter ia akan menemukan cadangan endapan emas, sebagaimana yang pernah dilakukannya di Manado. Atas dasar pengalaman itu, SO dan rekanrekannya akan meneruskan penggalian sampai impiannya tercapai. Secara tradisional, sebenarnya para penambang hanya mempunyai kemampuan menambang dengan ke dalaman 15 – 30 meter ke dalam tanah. Pada ke dalaman itu mereka kemudian membentuk alur-alur baru secara horizontal, mereka kemudian bekerja selama 14 jam per hari atau menggunakan sistem ship. Mereka mengumpulkan batuan rep ke dalam karung-karung pelastik yang sudah disediakan sebelumnya.. Untuk mendapatkan hasil maksimal maka dibutuhkan waktu 2-4 minggu di lokasi penambangan, dan setiap minggunya mereka dapat mengumpulkan hingga 20 karung batu rep. Setelah batuan rep terkumpul, maka pilihannya adalah apakah menjual batuan tersebut atau mengolahnya sendiri dengan menyewa tromol. Hasilnya tentu saja berbeda, karena harga setiap karung batu rep dipatok antara 75-100 ribu per karung, sedangkan jika diolah sendiri hasilnya bisa lebih banyak atau sebaliknya merugi, karena sangat tergantung dari kualitas kandungan emas pada batuan rep tersebut. Di samping itu jika pilihannya adalah mengolah sendiri maka mereka harus membayar sewa beberapa peralatan pengolahan, seperti tumbuk-tumbuk Rp. 10.000 perkarung dan Rp. 20.000 untuk sewa tromol. Umumnya kadar emas yang ditemukan di Poboya berkisar antara 40-80 persen dengan nilai jual antara Rp. 60.000 – 130.000 ribu per gram. Namun harga tersebut dapat berubah setiap saat karena mengikuti harga nilai jual di pasaran. Karena itu penjual emas biasanya mengikuti perkembangan harga jual emas. Jika harga emas lagi turun maka mereka memilih untuk menyimpan emas sampai harga emas kembali stabil (MA 25).
160 (2)
Kuli Pikul (kijang)
Tahap berikutnya adalah mengangkut hasil galian berupa batu rep kesuatu tempat yang ditentukan sebagai terminal pertama. Dari terminal pertama kemudian proses pengangkutan menuju pengolahan tumbuk-tumbuk menggunakan mobil angkut (truk). Kegiatan pengangkutan ke terminal pertama harus menggunakan kuli pikul atau di kalangan penambang disebut sebagai “kijang” karena jalan yang dilalui hanya jalan setapak dilereng-lereng bukit yang terjal. Kegiatan sebagai kuli pikul menjadi profesi tersendiri dan menjadi pilihan bagi penduduk kota Palu dan sekitarnya. Profesi sebagai Kuli Pikul batu rep dianggap lebih menguntungkan karena tidak mengandung resiko apapun, karena sistem yang digunakan adalah transaksional di mana setiap pekerja Kuli Pikul akan langsung mendapat upah sesuai jumlah karung batu rep yang di pikul, yakni Rp. 10.000-Rp.20.000
per karung, tergantung dari jauh dekatnya
dan kesulitan
medan yang dilalui untuk sampai di terminal pertama yang telah disepakati. Umumnya para Kuli Pikul tersebut mendapat hasil dari jerih payah sebagai kuli antara Rp. 100.000- Rp.200.000 setiap harinya. Hal ini jauh di atas penghasilan mereka sebelumnya yang hanya berkisar Rp. 20.000 per hari sebagai Kuli di Pasar Inpres dan Pasar Masomba. Hal ini pula yang melatar belakangi kenapa warga masyarakat setempat enggan menjadi tenaga kerja di perusahaan tromol, meski kesempatan itu diberikan para pengusaha tromol sebagai kewajiban atas kesepakatan antara pengusaha tromol dan Komunitas “adat” .
(3) Mesin Produksi Tahap Tumbuk-Tumbuk (Crusher) Batuan Rep yang telah terkumpul akan diproses melalui suatu mesin produksi yang disebut tumbuk-tumbuk. Mesin ini berfungsi untuk menghancurkan batuan rep menjadi butiran-bitiran halus. Pada tahapan ini pemilik batu menggunakan mesin tumbuk-tumbuk (crusher) dan dikenakan biaya sewa sebesar Rp. 10.000
161 per karung. Proses penghancuran batu rep sampai benar-benar halus memerlukan waktu yang cukup lama, berkisar antara 1 – 2 jam, dan proses ini dijalankan oleh pemilik batu atau pemilik usaha sesuai dengan kesepakatan.
Tahap Pengolahan Tromol Mesin tromol terdiri dari rangkaian tabung yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memuat material batu rep yang telah dihancurkan melalui mesin tumbuk-tumbuk. Mesin tromol adalah mesin pengolah terbuat dari pipa besar berdiameter ± 40 cm dengan panjang ± 50 cm
kemudian diputar dengan
kecepatan 5 – 7 putaran/detik selama 3 – 4 jam yang bertujuan menghancurkan butiran-butiran batu rep sampai menyerupai lumpur. Dalam kondisi seperti itu diperkirakan emas akan terpisah dari batuan sehingga dengan sentuhan air perak (mercuri) yang ada di dalam tromol, emas tersebut akan mudah tertangkap dan menempel dengan air perak. Untuk menjalankan mesin tromol, biasanya pemilik tromol menyewakan tromol kepada pemilik batu rep dengan biaya Rp.20.000 per tromol. Dalam proses sewa tersebut pemilik tromol harus menyediakan semua keperluan proses pengolahan, seperti air bersih yang cukup banyak karena kegiatan ini sangat rakus air. Untuk mendapatkan air bersih, pengusaha tromol biasanya mendatangkan mobil tangki dari PDAM dengan biaya Rp. 100.000 per tangki. Selain PDAM, kebutuhan air bersih juga dapat diperoleh dari jasa pengusaha tangki yang menyediakan air. Selain Air bersih, kebutuhan berikutnya adalah air perak (mercuri). Pada awalnya pasokan air perak didominasi oleh Perusahaan Daerah (Rusda), tapi saat ini banyak pengusaha tromol yang membeli langsung dari luar, seperti dari Surabaya atau dari Manado dengan harga Rp. 750.000 per kilogram. Setelah kebutuhan terpenuhi, maka rangkaian tromol terdiri dari 10-40 tabung tromol diisi serbuk batu rep hasil olahan tumbuk-tumbuk sebayak 2 helm, kemudian disi air tawar, air perak (merkuri), dan dimasukkan batu kali sebesar
162 bola tenis yang berfungsi sebagai penggiling sehingga butiran batu rep menjadi hancur. Pada bagian akhir isi tromol akan dikeluarkan kemudian dilakukan pencucian dan pemerasan yang di kalangan penambang dikenal dengan istilah oyong yang memakan waktu 1 jam kemudian dilanjutkan dengan pembakaran emas. Dari rangkaian proses ini nantinya akan diketahui kadar dan jumlah emas yang dihasilkan. Pada kondisi normal, diperkirakan setiap tromol dapat menghasilkan 2-4 gram emas, sehingga dalam satu rangkaian tromol (minimal 10 tromol) penambang mendapat hasil minimal 20 gram emas. Namun proses ini tidak selamanya sesuai dengan perkiraan karena terkadang hasil yang diperoleh jauh dari yang diharapkan bahkan terkadang merugi karena batu rep yang diproses ternyata kandungan emasnya sangat rendah sehingga hasilnya sangat sedikit. Hal ini menyebabkan banyak penambang yang gulung tikar karena lebih banyak merugi.
Tahap Pengolahan Ampas (Tong) Jika dibandingkan penghasilan sebagai penambang dengan pengusaha tromol, maka nasib baik masih berpihak kepada pengusaha tromol, karena seseorang pengusaha tromol selain memperoleh penghasilan dari upah menyewakan tromol, mereka juga berpeluang besar mendapat keuntungan dalam bentuk emas yang diperoleh dengan cara mengumpulkan dan mengolah kembali semua limbah hasil pengolahan tromol dalam suatu proses yang disebut dengan Tong. Dalam satu proses, Tong tersebut diperkirakan masih mengandung 20 – 40 persen dari total emas yang dihasilkan melalui tromol. Semua hasil pengolahan limbah tersebut tidak lagi menjadi milik penambang melainkan menjadi milik pengusaha tromol. Kondisi ini sebenarnya sangat menguntungkan pengusaha tromol. Namun proses tersebut telah menimbulkan ketimpangan penghasilan antara pengusaha (pemodal) dengan pekerja tambang. Secara ringkas, keseluruhan proses atau tahapan pengolahan penambangan emas di Poboya dapat digambarkan sebagai berikut :
163 Gambar 8. Tahapan dan Proses Kegiatan Penambangan di Poboya
Penggali Lubang
Kuli Pikul
Mobil Angkutan
Tumbuktumbuk
Limbah/ ampas
Mesin tromol
Limbah/ ampas
Pembakaran
Limbah/ ampas
Tong
Sumber : data lapangan, 2011
Dari seluruh rangkaian (tahapan) aktivitas penambangan emas di Poboya sebagaimana dijelaskan di atas, melahirkan pembagian tenaga kerja yang mengerucut pada satu rantai produksi. Kecenderungan
komunitas tertentu
memilih dan menempatkan diri pada satu moda produksi menciptakan karakteristik tenaga kerja yang secara tidak langsung menunjukkan posisi sosial komunitas tersebut dari penguasaan sumberdaya. Dari proses rantai produksi penambangan emas di Poboya saat ini telah tercipta kategori pekerja tambang seperti; (a) Pekerja tambang lokal dari lingkungan Poboya; mereka ini yang termasuk dalam kategori pekerja yang dalam kebijakan dewan adat menjadi pekerja dari pemodal (tromol, tumbuk-tumbuk dan tong) menempatkan 1 orang lokal ke dalam setiap kelompok pekerja tambang. (b) Pekerja tambang lokal dari wilayah di sekitar kota Palu; mereka ini termasuk kategori pekerja pendatang di Poboya yang menawarkan jasa/tenaga kepada pemilik modal (pemilik lubang, tromol, tumbuktumbuk dan tong)
164 (c) Pekerja tambang dari luar wilayah Sulawesi Tengah; mereka ini berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pekerja ini datang bersama dengan pemodal dari daerah masing-masing dan pola rekrutmen berdasarkan hubungan keluarga dan pertemanan (Lemlid Untad, tanpa tahun). Penentuan kategori pekerja tambang sebagaimana disebutkan di atas, secara tidak langsung menunjukkan adanya disparitas sosial di kalangan pekerja tambang di Poboya karena kecenderungan kategori pekerja terfokus pada satu jenis kegiatan, seperti pekerja tambang lokal Poboya, adalah pekerja untuk pemodal. Artinya kehadiran mereka hanya sebagai buruh yang dipekerjakan oleh pemilik modal berdasarkan sistem upah per bulan. Kondisi ini melahirkan subordinasi di mana pekerja selalu dalam posisi yang rentan, karena penentuan upah dan sitem kerja ditentukan sepihak oleh pemilik usaha. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa pada umumnya upah tenaga kerja (karyawan) pada unit pengolahan berkisar antara 1 – 2 juta perbulan, tergantung dari penghasilan usaha tromol.35 Jika usaha tromol lancar dan keuntungan meningkat maka pekerja akan mendapat tambahan penghasilan.
Tapi meski
demikian, besarnya upah yang diterima sangat tidak sebanding dengan keuntungan dan kesempatan usaha diperoleh pengusaha tromol. Oleh karena itu, penduduk lokal Poboya enggan menjadi pekerja di perusahaan tromol, mereka lebih memilih sebagai pekerjaan kasar atau sebagai kuli pikul dan penggali lubang, karena pekerjaan itu nyata dan cepat menghasilkan uang. 36 Selain pekerja tambang lokal di Poboya, kelompok pekerja yang tergolong sangat rentan lainnya adalah pekerja lokal dari wilayah sekitar kota Palu yang pola rekrutmen pekerja yang tidak memiliki hubungan emosional yang kuat antara pekerja dan pemodal. Kehadiran pekerja sebagai peribadi-peribadi yang tidak terorganisir. Hubungan kerja yang tercipta sifatnya sesaat dan tidak ada ikatan kerja yang mengikat, semuanya transaksional sesuai kondisi. Hak-hak sebagai pekerja tidak terlindungi termasuk jaminan keselamatan dan kesehatan kerja. 35 36
Hasil Wawancara dengan Jufri, pemilik Tromol, pada tanggal 15 Pebruari 2011. Hasil Wawancara dengan MS (Pemilik Modal) 18 Pebruari 2011
165 Pada kegiatan penambangan emas seperti ini, secara populis memang mampu menjawab permasalahan yang dihadapi, yakni tersedianya lapangan kerja untuk saat ini, namun dari segi keberlanjutannya (sustainability) aktivitas tambang rakyat Poboya tidak menjamin adanya perubahan taraf hidup bagi penduduk lokal karena yang tercipta adalah ketergantungan penduduk lokal kepada pengusaha pemilik modal atau dengan kata lain pengusaha memegang kendali dari rangkaian proses produksi penambangan. Situasi yang demikian menimbulkan ketimpangan pola hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha (pemodal) di mana resiko pekerjaan sebenarnya lebih besar dibanding dengan hasil yang didapatkan. Dalam hal ini ada potensi kesenjangan dalam hubungan antara pemodal dan pekerja terkait dengan kesejahteraan. Keuntungan yang berlipat dinikmati oleh pemodal sedangkan bagi pekerja (buruh) hanya dibayar sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Walaupun dalam kenyataannya cenderung mempertahankan hubungan kerja (pemodal dan pekerja), namun tidak sepadan dengan resiko pekerjaan dengan hasil yang diperoleh. Berbeda halnya dengan kedua kelompok kerja sebelumnya, kehadiran pekerja tambang dari luar Sulawesi Tengah, seperti dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Gorontalo dan Halmahera, keadaannya jauh lebih baik. Kehadiran mereka di Poboya tidak secara personal tapi sebagai anggota suatu komunitas yang mempunyai ikatan emosional dengan beberapa penambang, baik karena kekeluargaan atau karena pertemanan sehingga antara mereka terbangun semangat kebersamaan. Sebagai bagian dari rantai produksi, kehadiran pekerja tambang dari luar Sulawesi Tengah juga mempunyai kelebihan dibanding dengan yang lainnya karena mereka pada umumnya bukan pekerja pemula. Mereka sudah cukup berpengalaman dalam hal penambangan, bahkan sebagian di antara mereka adalah kolektor dan pemilik modal (pengusaha). Karena itu investasi di bidang penambangan sudah mereka perhitungkan (termasuk potensi terjadinya konflik sosial) sehingga setiap saat mereka dapat saja melakukan rotasi ke kawasan penambangan yang lain. Tapi
166 meski demikian, baik pekerja lokal maupun pekerja dari luar sama-sama punya ancaman yang sama yakni kebijakan pemerintah yang kadang tidak memihak kepada rakyat kecil dan lebih mengakomodir kepentingan asing (perusahaan asing). Kondisi seperti itu biasanya menyebabkan mereka (pengusaha) menghadapi kendala karena harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Dampak Ekonomi Kegiatan Penambangan Di Poboya Mengacu pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba), dijelaskan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan maka salah satu tujuan pengelolaan mineral adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat adat, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan pertambangan haruslah tetap mengindahkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Demikian pula halnya terhadap aktivitas pertambangan emas tradisional di Kawasan Poboya diharapkan dapat memberikan dampak nyata secara ekonomi berupa peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan pemerintah daerah, dan pembukaan lapangan kerja seluas luasnya sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Maraknya aktivitas penambangan telah merubah wajah Poboya tumbuh menjadi kota kecil yang menarik banyak orang. Di samping itu aktivitas tambang emas juga menciptakan multiplier effect ekonomi seperti terciptanya Peluang ekonomi, baik yang terkait langsung dengan kegiatan pertambangan seperti permintaan investasi peralatan produksi, peralatan penerangan, sarana transportasi, dan pendirian bangunan untuk keperluan proses produksi maupun untuk perumahan pekerja. Sementara itu dampak tidak langsung seperti tumbuhnya berbagai usaha sektor informal untuk memenuhi kebutuhan pekerja.
167 Masyarakat
adat
memanfaatkan
kegiatan
tambang
untuk
menambah
pendapatannya, sebagian masyarakat mendapatkan penghasilan dari uang jasa dari orang-orang yang keluar-masuk areal pertambangan, sewa tromol, tong, menjadi buruh angkut, menjadi pekerja tambang, penjaja makanan, serta aktivitas jasa lainnya. Berikut beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan masyarakat lokal dengan adanya aktivitas penambangan di Poboya.
Tabel 19. Peluang Usaha dari Penambangan di Poboya No
Penggunaan
minimal
Maksimal
1
Sewa lahan untuk pendirian usaha Rp. 3000.000 tromol/lokasi
Rp.
4.000.000
2
Hasil Pengolahan Emas/gram
Rp. 100.000
Rp.
300.000
3
Menjual batuan rep/koli
Rp.
75.000
Rp.
100.000
4
Menjual Karung/lembar
Rp.
5000,-
Rp.
7500
5
Buruh pikul /koli
Rp.
10.000
Rp.
20.000
6
Biaya angkut truk
Rp.
10.000
Rp.
15.000
7
Tenaga kerja di tromol/bulan
Rp.2.000.000
Rp.
3.000.000
8
Biaya sewa tromol/tromol
Rp.
20.000
Rp.
25.000
9
Biaya sewa tumbuk-tumbuk/koli
Rp.
15.000
Rp.
15.000
10
Penjualan Air perak/kg
Rp. 600.000
Rp.
750.000
11
Pembuatan tromol/tabung
Rp.2.000.000
Rp.
2.500.000
12
Pengadaan air tangki
Rp.
80.000
Rp.
100.000
13
Sewa Ojek
Rp.
10.000
Rp.
20.000
Sumber : data lapangan, 2011
Dari sekian banyak peluang usaha yang tersedia, hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan oleh penduduk lokal, terutama yang tidak menggunakan modal besar. Sementara peluang usaha yang menggunakan modal besar lebih banyak dimanfaatkan masyarakat dari luar Poboya, bahkan dari luar Sulawesi Tengah.
168 Kondisi itulah yang menjadikan kawasan Poboya memiliki daya tarik ekonomi yang kuat. Aktivitas penambangan di Poboya telah merubah banyak hal, terutama meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
yang
ditandai
dengan
simbol
kesejahteraan materi seperti kondisi fisik rumah yang lebih baik karena mereka sudah dapat membangun rumah permanen dari hasil menambang. Demikian pula dengan kepemilikan kendaraan. Jika sebelumnya kepemilikan kendaraan bermotor masih sangat terbatas, tapi sejak adanya penambangan, sebagian besar masyarakat Poboya sudah memiliki kendaraan bermotor bahkan beberapa diantaranya sudah mampu membeli mobil. Namun yang menghawatirkan adalah perubahan perilaku masyarakat yang cenderung konsumtif mengikuti gaya hidup (life style) kota, terutama di kalangan generasi muda.37 Oleh karena itu bagi masyarakat Poboya, keberadaan tambang emas adalah anugrah yang membuat perekonomian masyarakat di Poboya berubah dengan cepat. Seperti dikatakan Ketua Adat Poboya (Ali Djaluddin), dibanding dengan semua aktivitas yang pernah digelutinya, seperti bertani, berkebun, merotan, nanti setelah adanya tambang ini kehidupan masyarakat berubah drastis. Demikian juga dengan pembangunan di Poboya, seperti jalan yang sudah beraspal, adanya pembangunan Masjid dan sebagianya.38 Karena itu penambangan emas ini benar benar menjadi berkah bagi masyarakat, dan sulit membayangkan bangaimana seandainya tidak ada penambangan ini, bagaimana masyarakat bisa berubah. Tapi dengan adanya penambangan, daya beli masyarakat meningkat dan bukan hanya masyarakat Poboya tapi sebagian besar masyarakat Kota Palu bahkan dari luar Sulawesi Tengah bayak bergantung dengan adanya penambangan tersebut. Seperti dikatakan seorang Wakil Rakyat, Kalau dulu masyarakat hanya berangan-angan untuk memiliki motor, mobil, tapi sekarang sudah mereka miliki dan tidak perlu susah-susah mencari pekerjaan karena sudah ada. Karena itu apapun konsekuensinya penambangan Poboya harus diperjuangkan. 39
37
Wawancara dengan HE, Tokoh Pemuda Poboya, pada tanggal 15 Januari 2011 Wawacara dengan Ketua adat Poboya, Ali Djaluddin 60 th, pada tanggal 25 Januari 2011 39 Wawancara dengan Sofyan S. Aswin, Anggota DPRD Kota Palu, pada tanggal 9 Maret 2011 di Ruang Komisi III Kantor DPRD Kota Palu)
38
169 Penambangan emas di Poboya tidak hanya merubah status ekonomi masyarakat, tapi lebih dari itu mengangkat harkat dan martabat warga Poboya. Seperti diungkapkan seorang ibu rumah tangga, bahwa sebelum adanya tambang emas masyarakat Poboya hidup dalam kemiskinan, bahkan dikenal sebagai daerah miskin sehingga mereka diperlakukan diskriminatif, terutama pada anak-anak yang sulit diterima di sekolah jika diketahui berasal dari Poboya, dan sangat jarang ada orang yang mau berkunjung ke Poboya karena daerah ini dikenal daerah miskin. Nanti setelah ada penambangan baru semua orang mau datang kemari.40 Bahkan dengan adanya penambangan ini masyarakat Poboya terutama ibu-ibu rumah tangga dapat diberdayakan. Kalau sebelumnya hanya tinggal di rumah, tapi seperti terlihat sekarang ini, ibu-ibu secara bergilir punya kesibukan karena diberdayakan sebagai penjaga pintu masuk sehingga menambah penghasilan rumah tangga.41 Dari hasil wawancara dengan sejumlah tokoh di Poboya tersebut menunjukkan bahwa keberadaan tambang emas tradisional di Poboya telah memberi dampak ekonomi yang luar biasa kepada masyarakat, bukan hanya pada komunitas Poboya tapi juga warga kota Palu bahkan pendatang dari luar Provinsi Sulawesi Tengah.
Permasalahan Penambangan Emas Di Poboya Keberadaan tambang emas di Poboya saat ini memang telah menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk datang ke Poboya, tidak hanya di Kota Palu dan sekitarnya tetapi juga dari berbagai daerah di luar Sulawesi Tengah, seperti dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara (Halmahera) bahkan dari Pulau Jawa. Data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Sumberdaya Mineral Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan saat ini telah terdaftar sebanyak 762 orang pengusaha lokal yang melakukan usaha pertambangan di kawasan Poboya seperti usaha tromol, Tumbuk-Tumbuk 40 41
Wawancara dengan Ibu FI, 35 th pada tanggal 14 Januari 2011 di Pos Penjagaan Pintu Masuk Poboya Wawancara dengan Ibu WA, 30 th pada tanggal 14 Januari 2011 di Pos Penjagaan Pintu Msuk Poboya.
170 (crusher) dan Tong (cyanidasi),
dan pada saat yang sama jumlah pemohon
usaha/pemilik lubang sebanyak 270 orang, pemilik pengusaha Tong (cyanidasi) sebanyak112 orang. Sementara peralatan yang sudah beroperasi saat ini yaitu; 15.175 unit Tromol, 723 unit Tumbuk-Tumbuk (crusher) dan 229 unit tong (cyanidasi). Saat ini diperkirakan lebih dari 10 ribu orang yang datang ke Poboya untuk mengadu nasib sebagai penambang. Hal ini tentu saja akan turut mempengaruhi perubahan struktur, kultur dan tatanan sosial masyarakat Poboya. Perbedaan struktur dan kultur serta adanya kompetisi di antara masyarakat adat dengan para migran tentunya dapat menimbulkan konflik dan ketegangan sosial karena secara sosiologis dikatakan bahwa : “ keanggotaan di dalam kelompok yang sama dan kedekatan status sosial mendorong terjadinya asosiasi sosial, maka makin tinggi tingkat heteroginitas dan atau kesenjangan suatu masyarakat, makin besar hambatan yang timbul bagi terjadinya hubungan-hubungan sosial di antara anggotanya atau terjadinya integrasi Sosial” 42 Selain karena faktor heteroginitas di atas, konflik di Poboya juga dapat berlanjut karena terlalu banyak orang bekerja dalam ruang yang sama dan tidak terdistribusi dengan merata melainkan mengerucut pada satu aktivitas di mana keuntungan masing-masing pihak tidak merata. Pada kondisi yang peluang terjadinya konflik sangat besar terjadi, seperti telah dikemukakan Suliman dalam“rationality and irrationality of violence in sub Sahara Africa (1999) yang menyatakan bahwa “terlalu banyak orang melakukan hal yang sama sehingga tingkat diferensiasi struktural dari ekonomi Negara sangat lambat. Tingkat diferensiasi yang kecil tersebut menyebabkan terbatasnya peluang bagi anggota masyarakat yang bersangkutan untuk melakukan aktivitas yang menguntungkan di luar bidang pertanian dan peternakan di samping karena terlalu banyaknya orang melakukan hal yang sama.
42
Lihat Suharman, Beberapa Masalah Kerukunan Suku: Kasus Pembakaran Pasar Abepura, Irian Jaya, dalam Kritik Sosial, dikutip dalam Mahfud, 1997).
171 Dari penjelasan di atas, maka untuk kasus Poboya, berdasarkan hasil penelusuran peneliti menemukan beberapa permasalahan yang ada dalam masyarakat akibat dari perebutan kepentingan ekonomi terhadap aktivitas penambangan di Poboya. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut (Mengacu pada model analisis (Fisher, 2001);
Gambar 9. Pohon Permasalahan Penambangan Emas di Poboya
1) Arus Migrasi yang besar ke Poboya. Sejak di buka pada akhir tahun 2008 yang lalu, migrasi penduduk dari berbagai daerah telah mengalir ke Poboya. Informasi dari Ketua Adat menyatakan bahwa saat ini jumlah penambang yang ada di Poboya telah melebihi 10 ribu jiwa. dan akan terus bertambah selama tidak ada usaha pembatasan yang dilakukan pemerintah. Kondisi yang terjadi saat ini terlalu banyak orang yang datang ke Poboya dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda untuk melakukan penambangan
172 sehingga dapat menimbulkan gesekan-gesekan budaya, karena masing-masing penambang membawa identitas kultur budaya mereka masing-masing. Kondisi yang demikian sangat tidak kondusif karena kohesivitas sosial menjadi renggang dan bersifat semu dan sangat rentan dengan berbagai konflik, seperti yang dikatakan Homer-Dixon (dalam Lan, 2005:63) bahwa kepunahan lingkungan yang diakibatkan oleh arus migrasi yang besar dan semakin terkotak-kotaknya hubungan antar kelompok bisa mendorong konflik identitas antar kelompok. Besarnya arus migrasi menuju Poboya, jika dibiarkan terus menerus maka suatu ketika konflik di kalangan masyarakat akan terjadi karena masyarakat adat akan termarjinalkan. Tapi untuk saat ini, kelihatannya semua masih berjalan normal dan belum ada konflik yang berarti, dan kalaupun ada, semuanya sudah diantisipasi melalui Dewan Adat Poboya yang memberlakukan hukum adat terhadap setiap orang yang bekerja di kawasan tambang rakyat Poboya yang dianggap melanggar adat dan norma kesusilaan akan dikenakan denda adat minimal 1- 3 ekor kambing atau dikembalikan ke daerah asal. Selama ini pemberlakuan hukum adat dianggap cukup efektif mengontrol perilaku para penambang di kawasan Poboya karena sampai saat ini belum ada yang seorang pun yang mendapatkan sanksi adat. Namun permasalahannya adalah sampai kapan keberadaan Dewan adat mampu mengontrol perilaku penambang yang jumlahnya puluhan ribu penambang.
2) Ketimpangan penguasaan Aset Produksi Mengamati setiap rantai produksi dalam proses penambangan di Poboya maka terlihat jelas bahwa secara struktural telah terjadi pola hubungan patronase dalam aktivitas tambang emas di Poboya, di mana sebagian besar dari rantai produksi dikuasai oleh pemodal dari luar kota Palu bahkan dari luar Sulawesi Tengah. Mereka membangun ivestasi besar-besaran di bidang pengolahan emas, seperti Tromol, Tumbuk-Tumbuk (crusher) dan Tong. Sementara pengusaha lokal dari
173 Poboya jumlahnya tidak lebih dari 5 persen dari keseluruhan pemilik lubang, Tromol, Tumbuk-Tumbuk (crusher) dan Tong. Ketimpangan aset produksi ini sepertinya belum dihiraukan atau menjadi masalah bagi penduduk lokal karena sebagian dari mereka sudah merasakan tetesan dari aktivitas penambangan emas di Poboya berupa keuntungan dari sewa tanah yang kebetulan berada di areal penambangan dan sebagian yang lainnya mendapatkan penghasilan dari uang jasa keluar masuk areal pertambangan atau paling tidak mereka siap menjadi buruh angkut batuan rep yang memang dibutuhkan dalam penambangan tersebut. Tapi kondisi ini tidak menjamin keberlanjutan (sustainability) dan harmonisasi penambangan kedepan. Karena cepat atau lambat, sensitivitas kelompok kedaerahan atau kecemburuan sosial akan muncul. Selama ini, argumentasi penduduk lokal yang membiarkan penduduk dari luar menguasai aset produksi dan tambang karena merasa masih ingin “belajar” cara menambang yang baik dari penduduk pendatang. Menurut mereka kalau saatnya mereka sudah pintar maka pelan-pelan akan mengambil alih penambangan. Tapi merekapun bertanya sampai kapan mereka harus belajar. Disinilah potensi konflik dapat terjadi secara tiba-tiba dengan melibatkan simbol-simbol budaya. Sebenarnya Komunitas “adat” sudah memikirkan berbagai permasalahan tersebut di atas berpotensi melahirkan konflik, sehingga sejak dini membuat aturan atau kontrak kerja antara pemodal dan pekerja tambang dengan Dewan Adat. Seperti setiap pemodal (Tromol, Tumbuk-Tumbuk dan Tong) harus menempatkan 1 orang lokal (penduduk Poboya) ke dalam setiap kelompok pekerja tambang. Selain itu Dewan Adat Rakyat Poboya juga mewajibkan agar setiap 5 orang tenaga kerja yang berasal dari luar wilayah Poboya untuk mengangkat 1 orang tenaga kerja yang berasal dari Poboya sebagai bapak angkat. Kebijakan yang ditempuh Dewan adat tersebut merupakan bentuk respon dini untuk mencegah terjadinya konflik antara penduduk lokal dengan penduduk pendatang dari luar. Tapi fakta di lapangan menunjukkan tidak ada penduduk lokal yang mau bekerja sebagai tenaga kerja di perusahaan tambang (Tromol,
174 Tumbuk-Tumbuk atau Tong). Mereka lebih suka menjadi buruh pikul atau penggali lubang karena pekerjaan yang demikian sifatnya transaksional cepat menghasilkan uang dan tidak ada ikatan yang dapat memberatkan mereka.
3) Lemahnya Aturan dan Kontrol Pemerintah Akibat terlalu banyaknya orang yang melakukan penambangan dan kurangnya regulasi dari Dewan adat dan pemerintah, maka peluang terjadinya perebutan sumberdaya di kalangan penambang semakin tidak terkontrol. Hal ini sudah tampak kepermukaan di mana kesepakatan - kesepakatan sebelumnya antara penambang dengan Komunitas “adat” tentang aturan menambang sudah tidak dihiraukan, seperti dilarang tidur didalam lubang galian, dilarang menambang pada malam hari, kemudian jarak antara satu lubang galian dengan galian yang lain tidak boleh berdekatan. Tetapi yang terjadi saat ini penambang sudah tidak mematuhi aturan kesepakatan bersama antara penambang dengan kelembagaan adat, dan terkesan komunitas “adat” sudah tidak mampu mengontrol perilaku penambang sehingga aktivitas penambangan cenderung menjadi liar dan tak terkendali. Pada situasi seperti ini, potensi konflik terbuka dan adu kekuatan di kalangan penambang semakin besar dan pada saat yang sama potensi kerusakan sumberdaya alam semakin masif dan dapat menimbulkan malapetaka 43 yang akan melahirkan dampak yang jauh lebih besar, seperti yang diramalkan oleh Garrett Hardin sebagai “tragedy of the commons”. Saat ini ancaman itu sudah ada di depan mata karena diyakini telah terjadi pencemaran udara dan air yang tidak
43
Ketua Institut Hijau Indonesia (Chalid Muhammad) bahkan memproyeksikan bahwa penambangan di Poboya sebagai malapetaka (Radar Sulteng, 17 November 2008), dan jika aktifitas di Poboya dilanjutkan tanpa kontrol, maka wilayah tersebut akan menjadi tanah tak bertuan dan masyarakatnya menjadi masyarakat tak bertanah. Jika pengelolaan tambang diserahkan ke perusahaan atau tambang masyarakat yang tidak terkontrol, maka masyarakat setempat akan kehilangan kedaulatannya. Dan jika cadangan emasnya habis, maka warga Poboya akan mengembara ketempat lain untuk mencari tambang baru karena tanah mereka telah hancur (ESILO Media Aspirasi Rakyat, 19 Februari, 2010).
175 hanya mengancam komunitas Poboya, tapi juga seluruh warga kota Palu yang berjumlah 268.322 jiwa. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pencemaran di Poboya akibat penggunaan zat kimia (merkuri) yang menghawatirkan. Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah mencatat bahwa di Kelurahan Poboya tercemar merkuri 0,05 part per million (ppm), jauh melebihi ambang batas yang diperbolehkan yakni 0,001 ppm. Demikian pula temuan tim independen dari ASPERI yang diketuai Prof. DR. Mappiratu, MS (akademisi Universitas Tadulako) menemukan fakta bahwa air PDAM sebagai sumber air bersih benar telah terkontaminasi merkuri 0,005 ppm (Harian Mercusuar, 25-52010) Pembenaran akan adanya pencemaran di Poboya tidak hanya datang dari akademisi di Kota Palu, tapi juga datang dari luar. Yayasan Tambuhak Sinta dari Jakarta atas inisiasi Prof. Dr. Emil Salim dan Pemerintah Kota Palu telah melakukan scoping study44 di kawasan Poboya dan menemukan beberapa titik yang terkontaminasi Merkuri:
Ada tiga lokasi utama sumber kontaminasi telah diidentifikasi (lihat peta terlampir)
Pembakaran amalgam secara terbuka dilakukan di lebih dari 400 lokasi di daerah pengolahan, terutama di dekat lokasi pengolahan tromol dan di tokotoko penjualan emas.
Lebih dari 10.000 orang beresiko tinggi keracunan merkuri. Jumlah ini terdiri dari mereka yang tinggal dan bekerja di tiga wilayah kontaminasi (terutama di Poboya) yang udaranya sudah sangat terkontaminasi akibat pembakaran amalgam secara terbuka, juga kontaminasi lewat kontak langsung melalui kulit serta makanan dan minuman.
44
Yayasan Tambuhak Sinta (2010). Studi Kontaminasi Bahan Beracun dari Pertambangan Emas Skala Kecil, Palu Sulawesi
176
Lebih dari 300.000 orang yang tinggal di kota Palu terancam resiko tingkat rendah akibat dari meningkatnya kadar merkuri di atmosfir, kontaminasi ke dalam rantai makanan, dan meningkatnya kadar merkuri di dalam air minum.
Fakta-fakta tersebut di atas jika tidak diantisipasi sejak dini akan dapat melahirkan konflik yang lebih besar.
4) Teknologi Produksi Aktivitas penambangan
yang dilakukan masyarakat sebenarnya
sangat
membahayakan diri sendiri dan orang lain karena teknologi yang digunakan sangat sederhana dan tidak mempunyai standar pengamanan. Semua aktivitas yang dilakukan berdasarkan pengalaman menambang yang diadaptasi dari luar yang secara teknis geologis struktur dan ketahanannya berbeda. Hal ini sangat beresiko mengingat Poboya yang letaknya di kota Palu berada di jalur gempa sehingga sangat rentan dengan goncangan. Sampai saat ini Informasi dari ketua adat, sudah lebih dari sepuluh korban meninggal dunia akibat dari penambangan.
5) Posisi Penambangan di Tengah Kota Posisi Penambangan Poboya menyimpan masalah tersendiri, karena Jika dilihat dari aspek lokalitas, penambangan emas tradisional Poboya berada di kawasan Komunitas “adat” sehingga asumsi banyak orang bahwa penambangan tersebut terproteksi dengan baik. Padahal penambangan tradisional Poboya merupakan satu-satunya penambangan emas di dunia yang terletak di tengah kota sehingga sulit menghindari panetrasi dari luar yang begitu kuat dan akan terus bermetamorfosa mencari keseimbangan baru. Informasi dari tokoh pemuda di Poboya (HE, 25) menyatakan bahwa dengan adanya penambangan emas di Poboya terjadi perubahan gaya hidup (life style) dari orang-orang Poboya maupun para pendatang. Perilaku konsumtif dari masyarakat Poboya yang sebelumnya hanya bekerja sebagai pencari rotan, menanam bawang yang tujuannya untuk
177 pemenuhan kebutuhan makan, kini beralih kepada pemenuhan kebutuhan sosial lainnya seperti kepemilikan simbol-simbol kesejahteraan berupa kendaraan motor maupun mobil. Demikian pula dengan mode, telah merasuki anak muda. Saat ini banyak anak-anak di Poboya putus sekolah, dan banyak yang mengikuti budaya kota seperti mencat rambut mereka dengan warna pirang. Ketakutan tokoh pemuda Poboya bahwa tambang emas ini jangan sampai merusak nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat.
6) Representasi Komunitas “Adat” Tidak dapat dipungkiri bahwa dewan adat merupakan pintu masuk ke Poboya untuk melakukan aktivitas penambangan. Dewan Adat mendapat dukungan dari pemerintah kota, menjadi media, penyambung aspirasi penambang rakyat dengan pemerintah maupun dengan segala kebijakan yang terkait dengan tambang di Poboya. Tapi karena begitu kuatnya posisi Dewan Adat di Poboya dan peranperan teknis yang dimainkannya maka Kehadiran Dewan Adat di Poboya menjadi taruhan, apakah kehadirannya benar-benar menjadi representasi komunitasnya yang dapat memproteksi masyarakat dan lingkungnnya dari pertarungan kepentingan di Poboya atau menjadi salah satu aktor yang turut berkepentingan terhadap penambangan emas di Poboya. Karena selama ini kehadiran Komunitas “adat” yang seharusnya memproteksi lingkungan dan masyarakatnya dari gangguan dari luar sebagaimana yang terjadi di tempat lain, justru bergerak di luar kelaziman mengejar profit yang menggerus nilai-nilai adat yang penuh dengan kearifan dan dikenal banyak orang. Persoalan lain berkaitan dengan eksistensi Dewan Adat adalah munculnya dualisme kepemimpinan ditingkat kelurahan yang berujung pada konflik kewenangan. Sebenarnya konflik ini sudah terasa meski masih bersifat semu, di mana otoritas kelurahan mempertanyakan siapa sesungguhnya yang lebih berhak mengatur administrasi kependudukan di Poboya, karena faktanya pengurusan
178 surat izin dan KTP semua diambil alih Dewan Adat.45 Jika konflik (semu) dibiarkan berlanjut, maka akan berpengaruh kepada pengembangan Poboya kedepan.
7) Ketidakjelasan Status Hak Kepemilikan Potensi konflik berikutnya adalah status kawasan penambangan di Poboya. Selama ini akses masyarakat adat terhadap kawasan Poboya dan sekitarnya sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Masyarakat adat menganggap kawasan
tersebut sebagai milik bersama (communal property) sehingga siapa saja dapat memanfaatkan kawasan tersebut (open acses). Tapi saat ini kawasan Poboya dan sekitarnya telah diklaim oleh pemerintah sebagai milik Negara (state property) dan ditetapkan sebagai kawasan lindung Taman Hutan Raya (TAHURA). Kondisi ini lebih rumit karena kehadiran perusahaan PT. Citra Palu Mineral (CPM) juga mengklaim sebagai pemilik hak konsesi pertambangan. Dengan demikian konflik Poboya bisa muncul ke permukaan dengan melibatkan antara komunitas lokal berhadapan dengan pemerintah dan swasta (korporasi). Gejala adanya konflik tersebut sudah muncul ke permukaan dengan penolakan terhadap kebijakan penertiban yang dilakukan pemerintah. Demikian pula dengan keberadaan PT. CPM yang mendapat penolakan dari masyarakat, seperti di ungkapkan seorang anggota Dewan Kota Palu Sopyan R. Aswin yang dengan tegas menolak kehadiran PT. CPM di Poboya. Sementara penolakan dari masyarakat luas ditandai dengan spanduk yang bertuliskan “harga mati menolak CPM di Poboya ”kami siap mati menolak CPM di Poboya”. Munculnya penolakan tersebut karena menurut masyarakat sejak awal proses hingga terbitnya Kontrak Karya (KK) sampai dengan saat ini warga tidak pernah dilibatkan. Sementara pihak PT. CPM karena merasa pemilik hak konsesi yang sah siap menggunakan “kekuatan penuh” untuk masuk ke Poboya (Anas, wakil CPM Palu).
45
Pertanyaan yang bernada kekecewaan tersebut disampaikan oleh Kepala Kelurahan Poboya, Nurnaningsih, S.STP. (Wawancara pada tanggal 20 Januari 2011 di Poboya)
179 Dari identifikasi potensi konflik di atas menunjukkan bahwa persoalan penambangan rakyat di Poboya saat ini dan untuk kedepan sangat kompleks dan memprihatinkan karena terkait dengan permasalahan kebijakan, lingkungan fisik, sosial dan budaya. Tambang emas Poboya sebagai suatu sumberdaya alam yang ada memerlukan suatu penanganan yang harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas, seperti kebijakan publik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan lingkungan.
180
181 BAB VII
KONFIGURASI KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI POBOYA: ANTARA KILAU EMAS DAN KONSERVASI
SEJARAH TERJADINYA KONFLIK
Kelurahan Poboya mempunyai catatan yang panjang tentang konflik sumberdaya alam. Jauh sebelum ramai dibicarakan seperti saat ini, poboya sudah diperhadapkan dengan persoalan konflik. Potensi konflik sangat besar terjadi antara pemerintah versus komunitas lokal, pemerintah versus perusahaan (CPM) atau komunitas versus perusahaan. Pertama, konflik pemerintah dan masyarakat terjadi karena pemerintah sebagai pelindung sumberdaya alam menggunakan instrumen kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan dengan Surat No. 461/Kpts-II1995 yang menetapkan kawasan Poboya sebagai kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA) yang sebelumnya sudah didiami dan diamanfaatkan oleh masyarakat adat sehingga hak akses masyarakat lokal menjadi terputus. Kedua, Konflik pemerintah dan komunitas lokal terjadi ketika pemerintah
sebagai
agen
pembangunan
melibatkan
swasta
(korporasi).
Pemerintah menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada perusahaan CPM. Seperti pemberian izin sehingga merubah kepemilikan sumberdaya dari common property menjadi state property atau privat property yang secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian komunitas lokal Poboya. Pada akhirnya konflik bisa terjadi antara masyarakat dengan perusahaan karena ruang gerak untuk mencari kehidupan menjadi semakin sempit. Latar belakang konflik bermula ketika pemerintah mengambil kebijakan untuk menjadikan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan pelestarian dengan nama Taman Hutan Raya (TAHURA). Alasan utama ditetapkanya kawasan ini menjadi TAHURA karena memperhatikan beberapa hal;
182 a. Untuk melindungi flora dan fauna eksotik dan endemik yang mendekati kepunahan b. Sebagai daerah penyangga (buffer area) untuk kota Palu dan sekitarnya c. Sebagai pensuplai air bagi bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, Paneki, Mamara, Ngia dan Vatutela d. Keadaan fisik tanah yang labil (lempung berpasir) yang rawan erosi dan gundul e. Sebagai pengatur iklim mikro Keinginan pemerintah untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai TAHURA tertuang dalam surat usulan Gubernur Sulawesi Tengah dengan SK No. 239/591IX/1987 perihal usulan pembangunan Taman Hutan Raya (TAHURA)
dan
Surat
Keputusan
Nomor:
522.5/2835/Ro.BKLH
tertanggal 13 Juli 1988 Tentang percepatan proses pembangunan TAHURA. Berdasarkan usulan dari pemerinrtah Daerah tersebut maka pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
menindak
lanjuti dengan Surat Keputusan No. 461/Kpts-II/1995 yang menetapkan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu. Kemudian dikukuhkan menjadi TAHURA SULTENG berdasarkan Surat Keputusan Meteri Kehutanan No.24/Kpts-II/1999. Kebijakan pemerintah menetapkan kawasan Poboya sebagai bagian dari TAHURA menyisakan persoalan yang belum tuntas hingga hari ini.
FAKTOR PENYEBAB KONFLIK Mencermati fenomena konflik di Poboya, dari sisi Teori konflik (Fisher, 2001) pada hakekatnya berangkat dari beberapa hal yang mendasar, sebagai faktor penyebab terjadinya konflik antara Komunitas “adat”, Pemerintah dan lembaga swasta (CPM) di Poboya, seperti :
183 Faktor Kebutuhan dan Hambatan Konflik yang terjadi antara Komunitas “adat” Poboya dengan Pemerintah dan perusahaan CPM yang terjadi selama ini karena salah satu faktor yang dominan adalah kebutuhan Komunitas “adat” Poboya tidak memperoleh tempat sebagaimana harapan dan persepsi mereka tentang hak milik dan hak untuk berkehidupan, pada lahan dan tempat yang mereka pahami sebagai tanah leluhur yang harus mereka peroleh dan pertahankan. Sedang dalam pandangan Pemerintah, komunitas “adat” Poboya dapat mengancam keutuhan kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA). Akibat dari dua kebutuhan yang bertentangan tersebut menciptakan kondisi dan situasi konflik yang menempatkan Komunitas “adat” Poboya tersubordinasi oleh kekuasaan dan kesewenangan pemerintah sehingga menciptakan kemiskinan dan penderitaan bagi Komunitas “adat” Poboya.
Faktor Sasaran/Pemenuhan Kebutuhan yang dilihat berbeda Pemenuhan kebutuhan bisa dipahami sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani, ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan yang dimengerti sebagai sesuatu yang bernilai. Kebutuhan itu sendiri mungkin saja dinilai sebagai kebutuhan yang sungguh-sungguh penting. Sebaliknya bisa saja terjadi bahwa kebutuhan yang dirasakan seseorang diingkari oleh orang atau kelompok lain. Sumber pemenuhan kebutuhan sendiri dapat dilihat berbeda, bila menurut persepsi kedua pihak sumber pemenuhan tersebut terbatas, maka konflik bisa terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi pemenuhan itu tidak bisa dilihat sebagai persepsi tetapi sebagai kenyataan. Dari pemikiran tersebut maka pada dasarnya Komunitas “adat” Poboya mampu bertahan sampai hari ini untuk berkonflik dengan Pemerintah dan dan korporasi karena mereka memandang bahwa Poboya adalah tempat kehidupan mereka yang dapat menyediakan kebutuhan hidup mereka akan lahan yang sesuai dengan kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan yang mereka miliki.
184 Faktor Penghambat Terjadinya Konflik antara Komunitas “adat” Poboya versus Pemerintah dan korporasi juga disebabkan oleh adanya hambatan berupa akses terhadap sumberdaya alam di Poboya yang belakangan ini diketahui kaya dengan bahan mineral. Komunitas “adat”’ menempatkan Pemerintah sebagai penghambat, sebaliknya pemerintah menempatkan komunitas “adat” sebagai pihak yang akan menghambat proses penyelamatan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA). Cara pandang yang saling berseberangan tersebut melahirkan suatu kondisi yang tidak menguntungkan, di mana salah satu memandang yang lain sebagai penghambat bagi pencapaian tujuan dan harapan pihak yang lain. Pada situasi yang demikian konflik akan muncul bila salah satu pihak menghambat pihak lain dalam mencapai tujuannya.
Faktor Ketergantungan Pihak yang berkonflik pada umumnya dapat menghambat pihak yang lainnya karena mereka saling tergantung. Ketergantungan berarti masing-masing pihak dapat mengakibatkan sesuatu terjadi pada pihak lain. Konflik yang terjadi antara Komunitas “adat” Poboya dengan Pemerintah dan korporasi karena pada dasarnya Komunitas Lokal memiliki ketergantungan terhadap Pemerintah dan perusahaan berupa pengakuan akan hak-hak tradisi dan hak atas perkampungan mereka, sedang pemerintah dan perusahaan CPM bergantung pula pada keberadaan Komunitas “adat” Poboya yang hidup dan perilaku kultural mereka tidak dapat dipisahkan dari lingkungan Poboya.
STRUKTUR KONFLIK
Konflik yang terjadi adalah konflik semu atau maya dengan dinamika temporal. Jika dipetakan berdasarkan aras meliputi aras kekuasaan, kebijakan dan komunitas. Pada aras kekuasaan terlihat dengan keterlibatan elit politik lokal.
185 Sedangkan pada aras kebijakan terkait dengan penetapan kawasan TAHURA dan Perwali. Jika dipetakan berdasarkan komunitas, maka konflik di Poboya terkait dengan penolakan masyarakat adat terhadap penguasaan aset sumberdaya (Tambang Emas) oleh swasta. Gambar 10. Struktur Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam di Poboya
Sumber : data lapangan, 2011
Dengan demikian yang terjadi dengan Poboya sesungguhnya adalah pertama konflik Nilai. Terjadinya konflik antara pemerintah, komunitas “adat” dan swasta karena
adanya
perbedan nilai terhadap
sumberdaya
alam.
Pemerintah
berkeinginan menjadikan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi yakni Taman Hutan Raya sementara kawasan tersebut sebenarnya sudah diakses oleh masyarakat adat selama ratusan tahun dan lintas generasi. Karena itu ketika pemerintah daerah melakukan pengukuran yang kemudian melintasi kebun-kebun masyarakat, sebenarnya menimbulkan kemarahan dari masyarakat, tapi karena situasi dan kondisi pada saat itu (Orde Baru) yang terkenal sangat represif sehingga masyarakat tidak sertamerta berontak. Kedua, terjadinya konflik struktural. Konflik pemerintah dan komunitas “adat” terjadi ketika Pemerintah pusat mengukuhkan Taman Hutan Raya (TAHURA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 461/Kpts-II/1995 dan No.
186 24/Kpts-II/1999 tapi pada saat yang sama Pemerintah menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada perusahaan CPM seperti pemberian izin sehingga merubah kepemilikan sumberdaya daricommon property menjadi state property atau private property sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian komunitas lokal Poboya, sementara yang mereka ketahui Kawasan tersebut tidak boleh dimasuki46 kecuali untuk kegiatan penelitian. Konflik ini menemukan momentum ketika penambangan emas sedang ramai diperbincangkan, di mana elemen masyarakat berama sejumlah LSM melakukan gerakan perlawanan dengan mengusung simbol budaya yakni masyarat adat untuk menolak kehadiran korporasi di Poboya. Meski konfliknya tidak mengemuka tapi cukup mendapat respon dari pemerintah, terbukti dengan seringnya dilakukan dialog antara LSM, komunitas Lokal (adat) dan pemerintah bahkan dengan aparat keamanan. Ketiga terjadinya konflik kepentingan. Konflik terjadi ketika pemerintah Daerah menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 180/345/Biro Hukum-G.ST/2009. Tentang penertiban terpadu Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Provinsi Sulawesi Tengah. SK tersebut memberi legitimasi kepada aparat keamanan untuk melakukan penertiban Penambangan Tanpa Izin (PETI) yang sudah dikelola masyarakat. Sejak saat itu, konflik terus berlanjut hingga saat ini, terlebih setelah sejumlah LSM yang memberi penguatan kepada masyarakat adat. Bersama dengan Komunitas “adat”, sejumlah LSM kemudian menolak penertiban yang dilakukan terhadap masyarakat penambang. Bahkan LSM Hijau yang semula giat mendukung upaya penertiban di Poboya justru berbalik menentang kebijakan penertiban, karena dinilai upaya penertiban tersebut bukan lagi dalam kacamata untuk melakukan penataan pada tambang Poboya, tapi lebih banyak direduksi oleh kepentingan besar yakni keinginan pengamanan aset PT. Bumi Resources (lihat Seputar Rakyat, III/2010), dan sampai saat ini (akhir 2011) tidak ada kebijakan dan perubahan politik yang terjadi di Poboya. Masyarakat “adat” menjadi satu-satunya lembaga yang tidak punya otoritas tapi mampu mendominasi dan memegang kendali akses dan kontrol sumberdaya alam di Poboya.
46
Informasi dari Ketua Komunitas Adat Poboya, AD 60 th. (Wawancara pada tanggal 25 Januari 2011)
187 PETA AKTOR DAN KEPENTINGANNYA
Untuk memahami aktor dalam pengelolaan sumberdaya alam di Poboya Kota Palu, maka pertama-tama yang harus dilihat adalah siapa saja aktor yang memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam di Poboya, dan bagaimana mereka membangun relasi. Seperti dikemukakan Ribbot dan Peluso (2003), bahwa Akses adalah kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things). Karena itu pada tahap awal yang dilakukan adalah menampilkan aktor dan kepentingannya di Poboya. Hal ini penting dilakukan untuk memberi pemahaman yang baik tentang relasi yang terbangun di antara mereka dan implikasinya terhadap Poboya. Terkait dengan hal tersebut, aktor dan kepentingannya terhadap penambangan emas tradisional Poboya adalah sejumlah elit politik lokal, lembaga dan komunitas (lihat tabel 11) dan jika dipetakan Aktor-aktor tersebut adalah sebagai berikut: Gambar 11. Pemetaan Hubungan antar Aktor di Poboya
PT.CPM PEMERINT AH PUSAT LSM LOKAL
PEMERINTAH PROPVINSI WALHI
PETI PEMERINTAH KOTA
DINAS KEHUTANA
Keterangan : Garis bergelombang Garis putus-puts Garis Tebal Garis tipis
KOMUNITAS ADAT
= = = =
berkonflik Hubungan sedang Hubungan sagat baik Hubungan koordinatif
POLDA
188 NEGARA A. Pemerintah Pusat
Negara merupakan satu-satunya institusi memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai aktor pengguna dan pelindung SDA, Sebagai alat negara, pemerintah juga memiliki kekuasaan yang mutlak, termasuk dalam menentukan siapa yang boleh mengambil sumberdaya alam tersebut. Dalam konteks legal makro pemerintah atas nama negara juga berhak untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45 pasal 33 (3) yang menyatakan bahwa tanah, air dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks kebijakan, berbagai produk perundang-undangan juga memberi legitimasi kepada pemerintah untuk mengatur sumberdaya alam, seperti UU No. 23 Tahun 1997 Tentang PLH yang dengan tegas menyatakan bahwa: “Sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah”. Karena peran ganda tersebut, negara sering mengalami konflik kepentingan, seperti yang disampaikan Bryant and Beiley (2001). Salah satunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ketiga berusaha mengejar pembangunan ekonomi, termasuk berusaha menarik perusahaan multinasional (MNC) untuk menanamkan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang prinsipnya menegaskan kembali bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No. 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Secara tidak langsung Perpu tersebut menganulir
189 ketentuan pada pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999 yang melarang kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Akibat dari kebijakan pemerintah tersebut, maka beberapa perusahaan asing yang izin operasionalnya sudah dibekukan sebelumnya karena bertentangan dengan undang-undang, akhirnya kembali eksis untuk melakukan ekspansi di bidang bisnis pertambangan. Seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah, kehadiran beberapa perusahaan besar akibat dari kepentingan pemerintah pusat yang membuka ruang maraknya bisnis pertambangan seperti; PT Palu Citra Mineral (CPM) anak perusahaan PT. Bumi Resource memiliki Kontrak Karya (KK) seluas 561.050 hektar di Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu; Selain di TAHURA PT. CPM juga beroperasi di wilayah Donggala, Buol, Tolitoli, Luwuk; PT. Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) yang beroperasi di Kab. Buol, perbatasan Sulawesi Tengah dan Gorontalo; PT. Rio Tinto, PT. Inco melakukan eksplorasi tambang di Morowali; PT Mandar Uli Mineral (PT MUM) mempunyai hak konsesi melalui Kontrak Kerja (KK) seluas 590.000 hektar di Taman Nasional Lore Lindu, meliputi wilayah hutan lindung Mamuju, Donggala, Luwuk, dan Poso (Mining Directoy, 2002); PT Samideco Sahamnya 90% dikuasai perusahaan Korea Selatan, beroperasi di kaki Bukit Hutan Lindung Sojol (Donggala) memanjang hingga Kawasan Lindung Gunung Tinombala di Tolitoli hingga di kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Pogogul di Buol dengan luas kekuasaan operasi 247. 880 hektar; PT Expan Tomori Sulawesi yang mengelola perusahaan minyak dengan model Job Operation Body (JOB) Pertamina (lihat Muin, 2009). Khusus di Poboya, kehadiran perusahaan besar melalui Kontrak Kerja (KK) mulai dari PT. Rio Tinto, PT. New Crest sampai kepada PT. Citra Palu Mineral (CPM) selaku pemegang tunggal hak konsesi penambangan saat ini telah mendapat penolakan yang hebat dari masyarakat adat. Alasan masyarakat menolak CPM karena sejak dilakukan Kontrak Kerja (KK) masyarakat tidak pernah dilibatkan, di samping itu perusahaan tersebut (PT.CPM) telah meninggalkan kawasan tersebut dalam kurun waktu cukup lama sehingga kawasan tersebut menjadi terbengkalai,
190 karena itu perusahaan tersebut sudah dianggap tidak berhak.47 Di sisi lain bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (Minerba) membuka peluang bagi pengusahaan tambang rakyat melalui IPR (Izin Pertambangan Rakyat) baik perorangan, berkelompok maupun koperasi.
B. Pemerintah Provinsi a.
Masa Kepemimpinan AAL Sebagai sebuah institusi, Pemerintah Daerah (gubernur) adalah merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah Sulawesi Tengah sekaligus sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Sulawesi Tengah. Pemerintah Daerah dalam hal ini melakukan fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pusat maupun daerah. Salah satu bentuk koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah adalah mempersiapkan rencana pembentukan kawasan konservasi, yakni Cagar Alam Poboya seluas 1000 ha, Hutan Lindung Paneki seluas 7000 ha, dan Areal Pekan Penghijauan Nasional (PPN) ke XXX seluas 100 ha. Ketiga kawasan tersebut nantinya akan menjadi kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu atau TAHURA SULTENG. Mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Keanekaragaman Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan : “Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, Pariwisata dan rekreasi”. Program yang bernuansa koservasi tersebut menjadi primadona dan sumber mendapatkan keuntungan, khususnya bagi pejabat di Daerah. Karena itu Pemerintah Daerah sepertinya sangat berkepentingan dengan rencana tersebut. 47
Wawancara dengan Tokoh Pemuda Poboya (HE, 30 th) tanggal 16 Pebruari 2011
191 Hal ini dapat dilihat dari usulan Gubernur AAL kepada Menteri Kehutanan yang meminta percepatan proses pembangunan Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu dengan Nomor Surat; 522.5/2835/Ro.BKLH, tertanggal 13 Juli 1988. Sebagai rangkaian dari upaya pembangunan TAHURA Palu, maka yang dilakukan pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan) adalah mempersiapkan ketersediaan lahan sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang diminta pemerintah pusat. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka langkah yang ditempuh pemerintah adalah membatasi akses masyarakat adat terhadap sumberdaya alam dengan cara mengambil alih tanah milik masyarakat secara sepihak dengan alasan tanah tersebut milik negara. Untuk melegalkan cara-cara tersebut, Pemerintah membuat payung hukum melalui Surat Keputusan Gubernur No. SK.239/591/IX/1987 Tentang pengawasan Tanah Bumi Roviga. Surat keputusan tersebut Secara subsatantif menetapkan lima poin penting (Lahandu, 2007); (a) Tanah Negara seluas + 6.750 ha dengan keadaan penggunaan tanah berupa semak belukar, padang rumput, hutan belukar, tanah gundul, maupun tanah tegalan dinyatakan berada dibawah pengawasan pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. (b) Bagi masyarakat yang bermaksud memanfaatkan kawasan tersebut, pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah akan mengeluarkan rekomendasi yang dikoordinasikan oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi Tengah. (c) Kepada masyarakat yang merasa menguasai tanah negara di kawasan tersebut dalam waktu tiga (3) bulan setelah dikeluarkannya surat keputusan ini supaya melaporkan kepada pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan membawa bukti penguasaannya untuk pengaturan lebih lanjut. (d) Tidak dibenarkan kepada masyarakat baik yang merasa menguasai tanah maupun yang akan menguasai tanah di kawasan tersebut untuk melakukan pematokan, pemagaran tanpa seizin Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
192 Sikap pemerintah yang memiliki tafsir tunggal atas keberadaan sumberdaya alam dan cenderung mengedepankan kekuasaan tidak ubahnya seperti zaman kolonial dengan konsep domein verklaring, di mana tanah-tanah rakyat yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya otomatis menjadi tanah Negara. Hal inilah yang dikritik oleh Lynch (2002); “Tidak ada Negara lain di Asia tenggara yang masih memiliki mentalitas kolonial-mengutamakan untuk mempertahankan kekuasaan dan kewenangan sentralistik atas sumberdaya alam lokal beserta praktek-praktek pengelolaanyayang begitu dominan seperti di Indonesia. Kawasan hutanya yang sangat luas serta potensinya yang luar biasa untuk menghasilkan keuntungan, tak pelak lagi telah melanggengkan klaim Negara yang mencakup semua kepemilikan atas sumberdaya hutan” Selain membuat kebijakan pembatasan akses kepada masyarakat adat, pemerintah juga berusaha mensterilkan beberapa kawasan dari pemukiman penduduk dengan cara merelokasi penduduk keluar dari tempat huniannya, karena dianggap dapat mengganggu program pelestarian lingkungan, seperti yang dialami penduduk Vatutela, Poboya, Tompu dan Raranggonau (Lahandu, 2007), Padahal menurut Mc Kinnon et al (1993) keberhasilan pengelolaan hutan lindung, cagar alam, atau Taman Nasional, sangat bergantung pada penghargaan yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar dari kawasan yang dilindungi, di mana kalau sebuah kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, maka masyarakat setempat dapat menggagalkan usaha pelestariannya. Tetapi bila dianggap sebagai sesuatu yang positif, maka masyarakat senantiasa akan sangat mendukung bahkan dapat menunjang kawasan yang dilindungi. Adanya tafsir tunggal pemerintah atas sumberdaya alam dan kecenderungan untuk ”meyingkirkan ” masyarakat dari kampung halamannya menunjukkan adanya cara pandang yang salah dari pemerintah, seperti dikemukakan Lynch (2002),
pertama adalah lebel (stereotip) negatif tentang masyarakat adat, masih mewarnai karakter kebijakan negara. Masyarakat adat selalu dianggap tidakada pada bentang wilayah kekayaan dan sumber-sumber alam
193
Anggapan salah kedua adalah, bahwa tata-penyelenggaraan kampung lemah dan tidak memiliki kemampuan sehingga butuh “pembinaan” negara,
Kesalahan yang terakhir, manfaat dan nilai kekayaan dan sumber-sumber alam secara sempit didefinisikan oleh peraturan dan perundang-undangan negara sebagai hal yang murni dan semata-mata ekonomik, sebagai aset bersama yang akan dimanfaatkan untuk memajukan ekonomi nasional. Pandangan ini tidak saja menyangkal hak kepemilikan berbasis masyarakat, tetapi juga menutup peluang penggalian manfaat dan nilai alternatif kekayaan dan sumber-sumber alam.
Sebenarnya antara masyarakat adat dan pemerintah mempunyai pengetahuan yang sama tentang pentingnnya kelestarian hutan. Namun pengetahuan tersebut dimaknai dan diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda. Masyarakat adat Kaili memahami hutan sebagai bagian dari kehidupan dan tradisi nenek moyang sehingga merasa mempunyai hak untuk memanfaatkan maupun kewajiban untuk melestarikan. Sedangkan pemerintah memposisikan dirinya sebagai hutan yang harus lestari, sehingga tidak mengizinkan kegiatan apapun yang dilakukan masyarakat di dalam kawasan. Pemahaman yang berbeda ini menunjukkan adanya perbedaan gagasan antara masyarakat adat dan pemerintah (TAHURA), di mana gagasan masyarakat adat Kaili pada akhirnya menjadi terhegemoni oleh gagasan dari pemerintah yang dianggap memiliki dasar pengetahuan ilmiah dan menempatkan masyarakat adat sebagai ancaman untuk pelestarian hutan. Hal ini didasarkan atas konsep pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) sesuai SK menteri kehutanan No. 461/Kpts-II/1995.
b. Masa Kepemimpinan HBP Pada masa kepemimpinan HBP, isu sentral yang berkembang adalah pengelolaan tambang, khususnya respon positif beliau terhadap rencana penambangan yang dilakukan PT. CPM. Pada hal sejak awal, kehadiran PT. CPM di Poboya sudah mendapat penolakan, tidak hanya dari masyarakat adat, tapi juga elit politik di
194 daerah ini. Ketika masyarakat adat masih diperhadapkan pada arogansi pemerintah yang secara sepihak mengklain tanah-tanah masyarakat sebagai tanah milik Negara kemudian rencana pembentukan Kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA) yang memaksa masyarakat adat dibeberapa desa harus keluar dari kampung halamannya, karena kawasan tersebut harus dilindungi dan bebas dari aktivitas manusia, tapi pada saat yang sama PT. CPM yang mendapat Kontrak Kerja dari Presiden Suharto, justru mendapat izin untuk melakukan eksplorasi di Poboya. Hal ini menimbulkan pertentangan dari msyarakat karena yang mereka pahami bahwa kawasan tersebut “katanya” kawasan lindung yang berarti bebas dari aktivitas, tetapi kenapa perusahaan tersebut diperbolehkan masuk ke Poboya. Dari sinilah benih-benih konflik itu muncul dan menemukan momentum ketika penambangan emas rakyat mulai terbuka dan masyarakat adat mulai menikmati hasil tambang emas, sementara sejumlah
LSM melakukan
pendampingan dan secara terselubung “menentang” kehadiran perusahaan asing di Poboya.
c.
Masa Kepemimpinan AMP
Penolakan terhadap CPM tidak hanya datang dari masyarakat adat, tapi yang paling besar pengaruhnya juga datang dari elit politik di daerah ini, yakni AMP, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. dengan tegas AMP tidak mengizinkan satu pun perusahaan untuk melakukan eksplorasi penambangan di Poboya. Karena menurut AMP, keberadaan Tambang emas sesuai dengan Kontrak Karya (KK) yang dimiliki PT. CPM berada di Kawasan Lindung sehingga tidak ada alasan untuk memberika izin kegiatan pertambangan. Saat ini penolakan dari masyarakat adat masih terjadi bahkan menemukan bentuknya karena sudah terorganisasi. Di mana-mana bertebaran spanduk yang bertuliskan “harga mati menolak CPM di Poboya” atau “penambangan rakyat yes, CPM no”. Tapi tidak demikian halnya dengan sikap pemerintah. Kebijakan Prof. AMP yang menutup pintu bagi perusahaan asing untuk melakukan penambangan di kawasan lindung tidak berlanjut ketika terjadi perubahan
195 kepemimpinan dari AMP kepada HBP yang justru sebaliknya membuka akses bagi perusahaan asing untuk berinvestasi di Sulawesi Tengah, termasuk di TAHURA Poboya. Perubahan sikap tersebut seolah mendapat pembenaran ketika terjadi perubahan politik nasional dengan berlakuknya Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang dilanjutkan dengan UU No.32/2004 di mana setiap daerah berlomba untuk mengeksploitasi sumberdaya alam sebanyak mungkin demi terpenuhinya sumber keuangan daerah untuk melaksanakan pembangunan. Salah satu potensi daerah Sulawesi Tengah yang dapat dikembangkan adalah “pertambangan”, namun potensi tersebut belum tersentuh karena terbatasnya anggaran pemerintah. Oleh karena itu pemerintah sangat berharap adanya perusahaan yang akan berinvestasi di bidang pertambangan. Asumsi pemerintah sangat sederhana bahwa perusahaan tambang dapat mempercepat proses pembangunan Daerah, di samping karena penambangan di beberapa tempat selalu diiringi dengan pembangunan fisik dalam berbagai hal seperti infrastruktur jalan jembatan dan sebagainya. Dan di atas semua itu karena keinginan untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah (PAD). Pada masa kepemimpinan HBP, upaya memfasilitasi kepentingan perusahaan untuk berinvestasi tetap dilakukan, seperti kepentingan PT. Citra Palu Mineral (CPM), anak perusahaan Rio Tinto yang akan melakukan eksplorasi di Poboya namun terbentur pada aturan yang ada karena lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu Karena merasa berkepentingan dengan kehadiran investor tersebut48, maka HBP selaku Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada saat itu mencoba mengatasi hambatan yang dihadapi PT.CPM dengan mengajukan surat permohonan “perubahan tata batas” Taman Hutan Raya (TAHURA) Provinsi
48
Pemerintah merasa berkepentingan dan berharap agar lokasi cadangan mineral yang ditemukan PT. Citra Palu Mineral dapat dikelola dan dikembangkan guna peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), membuka lapangan kerja baru, serta mempercepat pengembangan perekonomian Sulawesi Tengah.
196 Dati I Sulawesi Tengah49 kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan surat Nomor 522/00248/Ro.Ekon, tertanggal 15 Januari 2000. Untuk meyakinkan pemerintah pusat (Menteri Kehutanan), maka HBP dengan menunjuk surat Newcrest Mining Group (Indonesia) Tanggal 3 Juli 2000 perihal eksistensi Proyek Palu, kembali menyurat kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan Surat Nomor : 522/2805/Ro.Ekon, tertanggal 25 Juli 2000 yang intinya agar Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan) dapat mempercepat proses penyelesaian kepastian pergeseran batas Taman Hutan Raya (TAHURA) yang ada di Poboya. Selain surat dari Gubernur HBP, ternyata dukungan terhadap kehadiran CPM di Poboya juga datang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu yang memberikan rekomendasi dengan surat nomor 234VIII/DPRD/200050 yang intinya mendukung rencana penambangan Emas oleh New Crast Mining Indonesia (PT. Citra Palu Minerals) yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Kota Palu RM yang saat ini menjabat sebagai Walikota Palu. Dukungan yang sama juga datang dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Donggala dengan surat nomor: 522/0161/Ekon tertanggal 10 Agustus 200051 yang ditandatangani oleh H.N.Bidja, S.Sos. Berasarkan surat dari Gubernur HBP, RM dan HNB tersebut di atas, maka Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail, MSc memberi jawaban perihal Tindak Lanjut Usulan Perubahan Batas TAHURA Sulteng Dalam Rangka Rencana Kegiatan Pertambangan PT. Citra Palu Minerals (CPM) dengan Surat Nomor : 421/Menhut-V/200152. Substansi dari surat tersebut pada intinya menjawab surat Gubernur No. 522/02.18/Ro.Ekon tanggal 15 Januri 2000 dan Surat No. 522/2805/Ro.Ekon tanggal 25 Juli 2000 serta memperhatikan rekomendasi dari :
49 50 51 52
Bupati Donggala, Surat No. 522/0161/Ekon. Tanggal 10 Agustus 2000
Surat permohonan tersebut dapat dilihat di bagian lampiran Surat Rekomendasi tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran Surat dukungan tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran Surat Jawaban Meteri Kehutanan tersebut menjadi kontropersi karena menurut Nur Mahmudi Ismail, surat tersebut hanya surat biasa, tapi menurut elit lokal surat tersebut dimaknai sebagai bentuk persetujuan. Selengkapnya tentang surat tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran
197
Ketua DPRD Kota Palu; Surat no : 234/VII/DPRD/2000 tanggal 31 Agustus Tahun 2000
Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral; surat nomor : 089/20/MEM.P/2001 tanggal 12 Januari 2001.
Pada prinsipnya menteri Kehutanan akan mempertimbangkan usulan perubahan batas TAHURA SULTENG seluas + 500 ha untuk kegiatan penambangan oleh PT. Citra Palu Minerals. Surat persetujuan perubahan batas TAHURA juga disampaikan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Direktorat Konservasi Kawasan dengan surat Nomor 1807/V/KK.s/2000 yang ditujukan kepada Direktur PT. New Crest Mining Limited di Jakarta yang isinya memuat 2 (dua) hal pokok: (1)
Pada prinsipnya Bapak Menteri Kehutanan dan Perkebunan dapat menyetujui Usulan Tim terpadu melalui Nota Dinas Bapak Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam untuk melanjutkan proses usulan perubahan batas TAHURA Sulteng dengan melakukan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait di Sulawesi Tengah.
(2)
Sehubungan dengan butir 1 (satu) di atas kami harapkan agar segera diadakan pertemuan antara pihak PT. Newcrest Mining Ltd dengan tim terpadu guna melakukan pembicaraan mengenai tindak lanjut dari disposisi Bapak Menteri dimaksud.
Perjuangan pemerintah melalui HBP untuk membuka ruang masuknya perusahaan asing untuk berinvestasi di Poboya memang cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dengan kehadiran PT. CPM yang memilik Kontrak Kerja (KK) menguasai enam blok seluas 138.889 hektar sejak 1997 dan khusus di kawasan Poboya seluas 37.020 hektar. Namun sejak penandatanganan kontrak kerja pada tahun 1997, sampai pada tahun 2008 CPM tidak melakukan apa-apa. Berdasarkan aturan Kontrak Karya, jika tidak melakukan aktivitas selama 7 - 8 tahun, maka dengan sendirinya hak pengelolaan perusahaan tersebut menjadi gugur. CPM baru berencana melakukan eksplorasi dan belum membuat perencanaan strategis
198 sehingga menurut masyarakat CPM terkesan lepas tangan dan tidak bersungguhsungguh untuk mengelola penambangan di Poboya.53 Oleh karena ketidak-pastian itu maka lahan tersebut dimanfaatkan masyarakat adat untuk melakukan penambangan secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana. Di luar dugaan penambangan tradisional tersebut berkembang pesat dan sulit dikontrol sehingga berpotensi menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Melihat kerusakan sumberdaya alam yang demikian masif, maka pihak LSM hijau mendesak pemerintah daerah untuk segera melakukan moratorium di Poboya. Meski menunjukkan respon yang baik, namun kepemimpinan HBP tidak pernah merealisasikan konsep moratorium tersebut sehingga menimbulkan kekecewaan di kalangan pemerhati lingkungan.
C. Dinas Kehutanan Keberadaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah tidak dapat dipisahkan dengan Dinas Kehutanan Provinsi. Secara normatif, Dinas Kehutanan merupakan pelaksana tugas wewenang pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA). Sebagai pelaksana tugas, maka kepentingan Dinas Kehutanan terhadap sumberdaya alam di TAHURA sangat besar, yakni sebagai pelindung dan pelestarian sumberdaya alam. Karena tugasnya sebagai pelindung sekaligus pelestarian alam itu, maka sering kali terjadi konflik kepentingan terutama berkaitan dengan pengaturan hak milik (property right), antara kepemilikan individu
(private);
kepemilikan
communal
(communal
property);
dan
kepemilikan Negara (state property). Sebenarnya masyarakat Kaili yang berada di sekitar kawasan TAHURA sudah mengakses sumberdaya alam selama ratusan tahun. Selama itu hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam dianggap sebagai kepemilikan komunal (communal property) di samping kepemilikan warga (private). Tapi dengan ditetapkanya 53
Penilaian tersebut disampaikan Bapak SRA (Anggota Komisi III DPRD Kota Palu (Wawancara pada tanggal 9 Maret 2011 di Ruang Komisi III Kantor DPRD Kota Palu)
199 kawasan tersebut sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) maka sebagian lahan di kawasan tersebut menjadi milik Negara (state property). Konflik mulai muncul kepermukaan ketika Dinas Kehutanan mengklaim secara sepihak kawasan tersebut sebagai milik Negara. Dalam kasus Poboya, Kebijakan yang ditempuh pemerintah (Dinas Kehutanan) dalam rangka mempersiapkan TAHURA sangat mengabaikan hak-hak komunitas lokal. Terlebih secara de facto kawasan yang di klaim pemerintah tersebut adalah kawasan Komunitas “adat” yang secara sosio-kultural keberadaannya diakui dan dilindungi sebagaimana yang diamanatkan dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 yang menyatakan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindingi selaras dengan perkembangan jaman, atau TAP MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang memberi perhatian khusus kepada masyarakat adat: (a) menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, (b) mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam, (c) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan untuk rakyat (pasal 5 at b), (d) memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunkan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional (pasal 5 at c). Demikian pula dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti UU No. 41/1999 yang memberikan ruang dan peluang yang besar bagi masyarakat adat, karena dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya alam mempertimbangkan situasi lokal dan aspek-aspek sosial, budaya ekonomi dan institusi masyarakat adat yang bermuara pada peningkatan kesejahteran masyarakat. Bahkan turunan dari UU tersebut yakni peraturan teknis pelaksanaan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 31/KptsII/2001 memberikan ruang yang luas bagi masyarakat adat.
200 Selain dari produk hukum di atas, kebijakan pemerintah tentang TAHURA juga berlawanan dengan semangat dari kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) 54 yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003 yang merekomendasikan bahwa pemerintah, organisasiorganisasi intra-pemerintah, ORNOP, komunitas lokal dan masyarakat sipil, harus: 1.
Menjamin bahwa kawasan lindung yang sekarang ini ada dan yang akan dibuat kemudian akan menghargai hak-hak masyarakat adat;
2.
Menghentikan pemukiman dan pengusiran paksa masyarakat adat dari tanah mereka dalam kaitannya dengan kawasan lindung, juga pemaksaan penghentian mobilitas masyarakat adat;
3.
Menjamin bahwa pembentukan kawasan lindung didasarkan pada persetujuan tanpa paksaan dari masyarakat adat, selain juga didasarkan pada perhitungan dampak sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang pelaksanaannya melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat;
4.
Menerapkan undang-undang dan kebijakan yang mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat adat terhadap tanah nenek moyang dan sumber mata air.
Karena kebijakan pemerintah tersebut di atas sangat tidak populis dan cenderung mengedepankan arogansi kekuasaan, maka tidak heran sejak dari awal rencana pembentukan TAHURA pada tahun 1987 sampai keluarnya pengukuhan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 461/Kpts-II/1995 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999, senantiasa mendapat resistensi atau perlawanan dari Komunitas “adat”.55
54
55
Dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003, dihadiri Lebih dari 130 wakil-wakil masyarakat adat . mereka membuat pernyataan dan rekomendasi yang menekankan fakta bahwa hak-hak mereka yang telah diakui secara tradisional 'secara sistematis telah dilanggar di kawasan-kawasan lindung, termasuk hak hidup. Informasi dari Ketua Komunitas Adat Poboya, Ali Djaluddin (60 th) menyatakan bahwa dulu sewaktu mau penetapan tapal batas TAHURA masyarakat dan waliadat samasekali tidak dilibatkan. Bahkan masyarakat dirugikan karena beberapa lahan perkebunan yang sudah diolah dan menghasilkan diambil alih pemerintah dengan dalih tanah ini milik negara (wawancara tanggal 25 Januari 2011 di Poboya).
201 D. Pemerintah Kota Mindset pejabat-pejabat di daerah Sulawesi Tengah ternyata sama dalam melihat keberadaan sumberdaya alam sebagai modal untuk mempercepat pembangunan ekonomi rakyat dan mewujudkan kemandirian daerah. Salah satu pertimbangan hukum yang sering digunakan adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di mana di dalam undang-undang tersebut dinyatakan:
“Daerah berwenang mengelola pertambangan mineral yang berada diwilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 8 UU No.4/2009)56. Kondisi ini semakin dipercepat dengan perubahan sistem pemerintahan dengan berlakukanya Otonomi Daerah (OTDA) berdasarkan UU No. 22/1999 yang berubah menjadi UU No. 32/200457 dengan titik penekanan pada Daerah Kabupaten/Kota sehingga setiap daerah kabupaten/kota berlomba-lomba melakukan ekploitasi sumberdaya untuk kepentingan pembangunan. Seperti halnya pemerintah provinsi, Pemerintah Kota Palu merasa sangat berkepentingan dengan rencana penambangan yang dilakukan PT. CPM karena penambangan tersebut dapat memberi sumbangan ekonomi terbesar, terutama bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Palu. Dukungan Walikota Palu (RM), terhadap kehadiran PT. CPM untuk melakukan penambangan di Poboya cukup besar. Bahkan ketika masih menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Palu, RM sudah memberikan dukungan penuh. Hal itu dapat dilihat dari pemberian Rekomendasi Nomor: 234/VIII/DPRD/2000 tertanggal 31 Agustus 200058 yang isinya adalah pernyataan mendukung rencana kegiatan penambangan Emas oleh News Crast Mining Indonesia (PT. Citra Palu Minerals) dan memohon kepada Menteri Kehutanan dan Pertanian untuk menyetujui perubahan tata batas TAHURA seperti yang dimohon oleh perusahaan yang bersangkutan. Tapi pada 56
57
58
Pasal 8 UU No.4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi salah satu pertimbangan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Palu Tentang Pertambangan Rakyat (poin c) Kebijakan Otonomi Daerah (OTDA), hingga taraf tertentu juga ikut menyumbang memperburuk situasi konflik sosial (Dharmawan, (2006) Surat Rekomendasi Ketua DPRD Kota Palu tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran.
202 tahun 2001 RM bersama organisasi yang dipimpinnya, AMPI juga mendapat proyek reboisasi Jati Super di sekitar Poboya melalui Proyek Reboisasi Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia AMPI (Lihat Muin, 2009). Pada saat menjabat sebagai walikota Palu periode I dan periode II saat ini, faktafakta dukungan RM terhadap Perusahaan CPM dapat dilihat dari beberapa pernyataan yang memberikan pengakuan kalau area penambangan emas di Poboya sebagai milik PT. CPM: ….Saya mendukung itu tambang rakyat tapi saya minta kerja sama komiu-komiu semua saudaraku, agar tambang tromol itu ditutup dulu. Nanti saya usahakan minta sama PT Bumi Resources lahan kira-kira 500 hektar atau 1000 hektar baru kita tata itu tambang rakyat karena kita harus harus mengerti juga le kalau memang itu arealnya orang (PT Bumi Resources)….”59
Dari pernyataan tersebut di atas menunjukkan adanya dukungan atau pengakuan yang nyata dari Pemerintah Kota atas klaim kepemilikan melalui Kontrak Kerja (KK) oleh PT. Bumi Resource (sekarang PT. CPM), Selain melalui pernyataanpernyataan verbal, dukungan atas rencana penambangan oleh PT. CPM juga diberikan melalui kebijakan pemerintah kota, yakni diterbitkannya Peraturan Walikota Palu Nomor 6 Tahun 201060 Tentang Penertiban dan Pengelolaan Pertambangan Emas di Kota Palu. Peraturan Perwali tersebut disinyalir hanya untuk melakukan proteksi agar kawasan milik CPM tersebut tidak semakin jauh dijamah oleh penambang tanpa izin (PATI) dan Perwali tersebut sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang menjadi sorotan publik selama ini seperti isu pencemaran lingkungan, representasi Komunitas “adat”, konflik kewenangan antara adat versus kelurahan, minimnya kontrol pemerintah, arus migrasi yang besar menuju Poboya, kriminalitas, dan keadilan ekologis bagi masyarakat Poboya.
59 60
Pernyataan RM pada Workshop tambang, 2009 (Seputar Rakyat edisi III Tahun 2010) Naskah akademik Peraturan Walikota No. 6 Tahun 2010 dapat dilihat pada bagian lampiran
203 Di balik dukungan yang diberikan RM kepada CPM, Ada hal yang membingungkan dengan keberadaan Perwali tersebut. Sekretaris Daerah Kota Palu, tidak mengakui kalau Perwali No. 6 Tahuhn 2010 adalah sebuah kebijakan,61 melainkan pengaturan biasa tentang kependudukan. Di samping itu Perwali tersebut tidak lazim dalam kaedah hukum yang berlaku di Indonesia, karena bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta peraturan pelaksanaannya yang menyebutkan urutan perundang undangan: a)
UUD 1945
b)
UU/Perpu
c)
PP
d)
Peraturan Presiden
e)
Peraturan Daerah (Perda)
Oleh sebab itu banyak pihak yang mendesak agar Perwali Nomor 6 Tahun 2010 tersebut sebaiknya segera dicabut dan diakomodir ke dalam Rancangan PERDA yang nantinya akan menjadi PERDA Kota Palu yang sedang dalam pembahasan di DPRD Kota Palu.62
61
Menurut Sekretaris Daerah kota Palu, AHL, Perwali tersebut bukan kebijakan pengaturan pertambangan karena Tambang Golongan A itu wewenng pusat. jadPerwali itu hanya pengaturan biasa tentang kependudukan agar penduduk teratur (Wawancara pada tanggal 9 Maret 2011). Tapi setelah mempelajari naskah Perwali tersebut tidak ditemukan pengaturan tentang penduduk melainkan tentang Penertiban Pengelolaan Pertambangan Emas (Bab II), Pengelolaan Lingkungan (Bab III), Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Bab IV), Pengawasan (Bab V).
62
Peneliti mengikuti rapat – rapat di DPRD Kota Palu yang membahas Rancangan Peraturan Daerah Kota Palu No. Tentang Pertambangan Rakyat.. Pada sidang Paripurna tanggal 9 Maret 2011 dengan agenda mendegarkan tanggapan setiap fraksi tentang Rancangan Perda Tentang Pertambangan Rakyat menunjukkan bahwa semua fraksi yng ada di Dewan Kota Palu pada prinsipnya menerima rancangan perda tersebut untuk dibahas tapi sidang ditunda karena harus menghadirkan dan mendengarkan pendapat beberapa ahli yang berkompeten.
204 E. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sejak dari awal, DPRD Kota Palu sudah menaruh perhatian terhadap eksistensi penambangan di Poboya. Hal itu dapat dilihat dari pemberian rekomendasi No. 234/VIII/DPRD/2000 yang ditanda tangani oleh RM selaku Ketua DPRD Kota Palu pada saat itu. Di samping itu mereka sering menjadi sasaran unjuk rasa para penambang dari Poboya yang jumlahnya ribuan orang, Anggota Dewan juga punya kepentingan, di samping karena terkait dengan suara konstituen pemilih, beberapa anggota dewan turut berinvestasi (pengusaha tromol) atas nama orang lain. Respon anggota dewan terhadap permasalahan Poboya bersifat ambivalen, karena tidak semua anggota dewan setuju penambangan emas yang dilakukan CPM, meski sejak tahun 2000 Ketua DPRD Kota Palu sudah memberikan rekomendasi persetujuan atas rencana penambangan oleh CPM. Tapi saat ini, ada ketakutan sebagian anggota dewan untuk membuat kebijakan strategis. Sebagai anggota dewan, mereka diperhadapkan pada situasi sulit karena di satu sisi sebagai wakil rakyat, anggota dewan harus memperjuangkan tuntutan masyarakat yang menjadi konstituennya agar penambangan tanpa izin di poboya dilegalkan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sementara tekanan dari perusahaan juga datang untuk melindungi kawasan yang menjadi hak konsesi perusahaan karena memiliki Kontrak Karya (KK), di mana Kontrak Karya (KK) dalam strukur perundang-undangan setara dengan undang-undang. Karena itu, ketakutan sebagian anggota dewan adalah: “jangan sampai kita mengatur daerah yang sudah masuk daerah yang memiliki Kontrak Karya (KK), sementara KK sederajat dengan undang-undang, pada akhirnya kita akan tersangkut masalah hukum nantinya”.63 Ketakutan anggota dewan tidak hanya
karena faktor legalitas lahan
penambangan di Poboya yang selama ini diklaim milik CPM melalui Kontrak Karya, anggota dewan yang lainnya terus mendorong pemerintah daerah untuk
63
Pernyataan tersebut disampaikan Anggota Dewan, Bapak SRA (wawancara pada tanggal 9 Maret 2011 di Ruang Komisi III DPRD Kota Palu).
205 segera menertibkan penambangan sehingga tidak berdampak pada pengrusakan lingkungan di kawasan Poboya. 64 Tapi meski demikian dalam rapat-rapat anggota dewan yang membahas penambangan di Poboya tidak terlihat perbedaan di kalangan anggota dewan. Bahkan ketika sidang paripurna pada tangga 09 Maret 2011 yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Tentang Penambangan Rakyat, semua fraksi yang ada di Dewan sepakat untuk menerima rancangan peraturan daerah tentang pertambangan rakyat untuk dibahas. Namun rancangan PERDA tersebut terhenti karena harus mendengarkan pendapat ahli yang berkompeten. Memperhatikan pasal-pasal yang yang ada dalam Rancangan Perda Kota Palu Tentang Pertambangan Rakyat, memang terlihat sudah cukup baik karena mengakomodir kepentingan rakyat dan pengelolaannya harus berdasarkan azas manfaat, keadilan dan keseimbangan, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan berkelanjutan. Hal ini sudah sesuai dengan harapan masyarakat yang selama ini mendambakan adanya keadilan dan pengaturan hukum yang memperhatikan kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat. Demikian pula tujuan pengelolaan pertambangan rakyat yakni memberi kepastian hukum (pasal 3 poin c); meningkatkan pendapatan masyarakat adat,daerah, dan Negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat (poin e). Namun ada beberapa pasal berikutnya dapat menimbulkan pro dan kontra karena lebih banyak menciptakan birokratisme terkait pemberian izin
yang pada
pelaksanaannya akan memberatkan masyarakat. Demikian pula kriteria wilayah pertambangan rakyat masih memungkinkan diperdebatkan karena kriteria yang ditentukan: mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai (Pasal 5 poin a) ; luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 Hektar (poin d); merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun 64
Seperti disampaikan Anggota DPRD Sakinah Aljufri bahwa “Jangan karena keinginan dan kesenangan sesaat, tetapi kedepannya malah dapat menyengsarakan masyarakat banyak,” Menurut dia semestinya Pemerintah Daerah, DPRD, Legislatif, maupun semua lapisan masyarakat mendorong pihak kepolisian untuk segera melakukan penertiban kawasan pertambangan emas Poboya (Media Alkhairaat, Kamis 28 Januari 2010).
206 (poin f). Penjelasan pada pasal 5 poin d tersebut sangat jauh dari harapan dibandingkan dengan tuntutan Komunitas “adat” yang meminta lahan + 500 Hektar. Selain masih ada beberapa pasal yang memungkinkan untuk diperdebatkan, permasalahan yang paling urgen saat ini adalah apakah Rancangan PERDA tersebut memungkinkan menjadi PERDA, mengingat sebelumnya sebanyak 20 orang anggota Dewan melakukan konsultasi ke Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan. Dari kementerian ESDM diketahui bahwa tidak ada jalan bagi Pemerintah Kota untuk melahirkan PERDA dalam rangka mendukung keberadaan aktivitas tambang rakyat di Poboya (Radar Sulteng, 24 Januari 2011), bahkan informasi dari anggota Dewan yang mengikuti pertemuan dengan kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan di Jakarta menyatakan bahwa baik penambang rakyat maupun CPM tidak dibenarkan melakukan aktivitas penambangan di Poboya. 65
F. Aparat Keamanan (POLDA) Selama ini kehadiran pihak kepolisian di beberapa tempat adalah untuk menegakkan aturan dan menciptakan kedamaian di lingkungan masyarakat. Namun dalam beberapa kasus kehadiran polisi di Poboya justru menimbulkan rasa takut karena polisi mengintimidasi warga66 Poboya, dan ini bukan yang pertama. Tahun 2009 pihak kepolisian pernah melakukan tekanan mental terhadap penambang dengan melakukan latihan menembak yang berdekatan dengan lokasi pertambangan rakyat. 67 Sebenarnya keterlibatan pihak aparat kepolisian di Poboya adalah dalam rangka menertibkan penambangan tanpa izin (PETI) yang selama ini cukup meresahkan kalangan LSM hijau. Desakan agar pemerintah daerah segera melakukan 65
66 67
Pendapat tersebut disampaikan Bapak SRA yang mengikuti pertemuan dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan. (wawancara pada tanggal 9 Maret 2011 di DPRD Kota Palu). Pernyataan tersebut disampaikan HE, tokoh pemuda. (Wawancara pada tanggal 15 Januari 2011 Lihat Seputar Rakyat, edisi III tahun 2010
207 moratorium direspon pemerintah daerah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. 180/345/Biro huHkum-G.ST/2009 Tentang Tim Penertiban Terpadu Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) tertanggal 14 September 2009. Dalam SK tersebut, Gubernur sebagai Ketua Tim Penertiban sedangkan KAPOLDA Sulteng bertindak sebagai koordinator. Bagi POLDA Sulteng, keberadaan SK Gubernur tersebut adalah bentuk dukungan politik pemerintah kepada aparat kepolisian untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka penertiban PETI di Poboya. Namun sejak keberadaannya, SK tersebut belum pernah direalisasikan bahkan menimbulkan resistensi dari segenap elemen masyarakat di Poboya. Bahkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah yang sejak awal mendorong rencana penertiban penambangan di Poboya justru berbalik menolak rencana penertiban yang akan dilakukan pihak POLDA, karena dinilai bukan lagi dalam kacamata untuk melakukan penataan pada tambang Poboya, tapi lebih banyak direduksi oleh kepentingan besar, dan PT. Bumi Resources dituding berada di balik berkembangnya polemik tentang aktivitas penambangan di Poboya. 68
REPRESENTASI MASYARAKAT “ADAT” Saat ini tidak ada satu lembagapun yang paling eksis dan paling menentukan di Poboya selain Lembaga adat yang saat ini dipimpin oleh Bapak Ali Jaluddin. Keberadaan lembaga Adat Poboya menjadi pintu masuk untuk mengakses kawasan tambang Poboya. Lembaga Adat menjadi media penyambung aspirasi penambang rakyat dengan pemerintah. Dewan Adat Poboya di satu sisi menuntut pengakuan hak ulayat atas kawasan tambang Poboya dan pada sisi lain juga memiliki fungsi kontrol terhadap aktivitas tambang rakyat Poboya. Dalam UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 67, Dewan adat diakomodir sebagai salah satu pihak yang merekomendir perizinan pengusahaan tambang. Dalam prakteknya Dewan adat menjadi kuat bukan hanya dalam hal rekomendasi tetapi juga dalam
68
Baca : Perang Urat Syaraf, Polisi Mengancam (dalam Seputar Rakyat edisi III tahun 2010)
208 mengatur kehidupan sosial orang-orang yang bekerja di kawasan tambang emas rakyat Poboya. Dalam
menjalankan
tugas
“mengatur”
itu,
dewan
adat
menunjukkan
kepentingannya untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan seperti Biaya melakukan penambangan (berlaku hanya 3 bulan) a)
Penambang lokal Poboya
Rp.
50.000,-
b) Penambang Kota Palu
Rp.
100.000,-
c)
Rp.
250.000,-
Penambang dari luar Sulteng
Menurut penjelasan Ketua adat Poboya (Bapak Ali Djaluddin), semua biaya tersebut nantinya akan digunakan sebagai jaminan keselamatan (security insurance) jika terjadi kecelakaan kerja yang menimpa para penambang. Misalnya ada yang sakit dan dan meminta dipulangkan begitu pula jika ada yang meninggal akan dipulangkan ke daerah asal akan dibiayai oleh adat. Di samping itu pembayaran tersebut juga digunakan untuk membangun Poboya seperti jalan dan sarana ibadah.
infrastruktur di
69
Selain pungutan di atas, Dewan Adat juga menerapkan aturan agar setiap penambang di Poboya memiliki Kartu Anggota Penambang yang berlaku per triwulan. Untuk mendapatkan kartu tersebut, penambang harus membayar Rp. 250.000,- Untuk mencegah hal-hal yang tidak dinginkan masuk ke Poboya maka SATGAS membangun palang pintu masuk ke Poboya di mana setiap orang, penambang atau bukan penambang yang punya kepentingan untuk masuk ke Poboya harus membayar uang masuk sebesar Rp. 10.000. Dalam pelaksanaannya Gerbang Pintu Masuk tersebut dilakukan dengan memberdayakan ibu-ibu rumah tangga sebagai penjaga pintu dan dilakukan secara bergiliran. Bagi ibu-ibu, Pelibatan mereka untuk menjaga palang pintu sangat membantu ekonomi rumah tangga karena mendapat penghasilan tambahan dan setiap ibu-ubu mendapat kesempatan Karena kegiatan tersebut terjadwal. Selain 69
Wawancara dengan Ketua Adat Poboya Bapak Ali Djaluddin (60 th) tanggal 25 Januari 2011 di Poboya
209 Ibu-ibu rumah, terdapat tiga orang petugas yang berasal dari instansi (Dinas Perhubungan) untuk menjaga pos masuk ke lokasi penambangan. Selain menerapkan aturan adat dalam hal tata kelola penambangan, dewan adat juga menerapkan hukum adat untuk mencegah terjadinya konflik sosial di kalangan penambang, misalnya; a.
Dilarang Melakukan perkelahian; jika ada yang melakukan kegiatan perkelahian dan kejadiannya pada malam hari, maka yang melakukan penganiayaan akan dikenakan denda adat berupa 3 (tiga) ekor kambing bulu halus berwarna hitam. Jika kejadiannya pada siang hari maka dendannya sama 3 (tiga) ekor kambing tanpa ada ikatan warna.
b.
Tidak boleh membawa senjata api, bahan peledak, senjata tajam berupa badik atau parang dalam keadaan terhunus
c.
Tidak boleh
membawa minuman keras, Narkoba dan bahan berbahaya
lainnya d.
Tidak boleh membawa perempuan nakal dan berzina
e.
Tidak boleh membuang air besar di Sungai Poboya
f.
Anggota TNI/Polri yang beraktivitas di Poboya tidak diperbolehkan menggunakan pakaian Dinas.
Pelanggaran atas point-point tersebut di atas akan dikenakan sanksi adat. Untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di wilayah hukum adat Poboya, maka Dewan Adat membentuk SATGAS (Satuan Tugas) yang beranggotakan 34 orang. Satgas inilah yang bertugas mengamankan pelaku pelanggaran untuk diadili di Peradilan adat. Besarnya sanksi yang diberikan sangat tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan, misalnya mulai dari sanksi denda 3 ekor kambing sampai pada pengusiran (dipulangkan) ke daerah asal.
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) Kehadiran beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) dalam beberapa kasus di Sulawesi Tengah, termasuk di Poboya adalah bagian dari
210 evolusi pergerakan sosial perlawanan rakyat yang dipicu oleh pertarungan kepentingan atas sumberdaya alam antara komunitas akar rumput dan penyebaran kapital melalui bentuk investasi yang berlangsung selama ini yang dilakukan oleh pemerintah yang berkolaborasi dengan korporasi yang mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan, penyempitan lahan petani, penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tidak dihargainya hak-hak komunitas pribumi. Oleh karena itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan organisasi masyarakat sipil independent hadir untuk menyuarakan sikap kritis atas kepentingan dan hak-hak masyarakat sipil yang menjadi korban pembangunan, seperti Isu-isu yang terkait dengan kegiatan pertambangan yang pro kepada rakyat, kelestarian lingkungan hidup, advokasi hak-hak komunitas lokal. Kehadiran LSM/NGO dalam banyak kerja-kerja sosial, memang cukup berhasil. Mereka mampu menunjukkan eksistensinya dan menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan, seperti yang ditunjukkan pada kasus Lore Lindu dan DongiDongi. Meski lokasi kedua kawasan tersebut jauh dari pusaran media, tapi LSM/NGO dengan perangkat yang dimilikinya mampu menghadirkan kedua kawasan tersebut di depan mata bahkan menjadi perhatian dunia. Tapi meski demikian, kerja-kerja sosial yang dilakukan LSM/NGO akhir-akhir ini cenderung mengalami penurunan, terutama sikap kritis dalam menyuarakan kepentingan komunitas lokal, bahkan disinyalir beberapa LSM/NGO dengan perjuangan yang dilakukan cenderung mempunyai agenda dan kepentingan “sendiri”. Kalau pada masa lalu LSM/NGO mempunyai posisi tawar, tapi untuk saat ini mereka cenderung melakukan posisi “menawar” sehingga sikap kritis dan suara vokal muncul sesat, kemudian meredup dan menghilang.70 Saat ini di Sulawesi Tengah terdapat beberapa LSM/NGO, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR); SPRA (Solidaritas Pembaruan Reformasi Agraria), YMP (Yayasan Merah Putih), Yayasan Tanah Merdeka
70
Penilaian tersebut disampaikan RJ seorang akademisi Fisip Untad/mantan aktivis LSM. (wawancara pada tnggal 15 April 2011).
211 (YTM), Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR), dan lainnya. Dalam melakukan aktivitasnya, LSM/NGO tidak bekerja sendiri-sendiri, mereka membangun kekuatan bersama dalam bentuk aliansi, seperti Aliansi Advokasi Tambang (AAT) atau Koalisi Untuk Keadilan (KUAK) yang merupakan gabungan dari beberapa ORNOP lokal. Demikian juga dengan WALHI menjadi Forum Organisasi Non Pemerintah yang memposisikan diri sebagai wahana yang mensinergikan semua potensi gerakan advokasi lingkungan hidup dan penguatan akses rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dilihat dari strategi dan aktor yang berada di balik LSM tersebut, keterlibatan beberapa LSM / NGO di Poboya lebih pada gerakan mainstream, yang mengusung isu lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia, kesetaraan Gender, community development, pendidikan, komunitas pribumi melalui bentuk organisasi yayasan. Sementara dilihat dari strategi perjuangannya, mereka lebih fokus pada
advokasi kerusakan lingkungan hidup, pelanggaranan Hak Asasi
Manusia, pelayanan bagi rakyat miskin dan advokasi hak bangsa pribumi. Pilihan cara kerja yang dilakukan biasanya melalui pendidikan, kampanye, pelatihan dan pendampingan. Selain itu, mereka berafiliasi ke dalam berbagai jaringan yang lebih besar, yang tidak tersubordinasi, seperti jaringan ORNOP lingkungan yang dimotori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), atau jaringan pembela hak-hak komunitas pribumi yang dimotori oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) [lihat Muin 2009]. Terkait dengan persoalan yang terjadi di Poboya, kehadiran LSM/NGO memberikan respon yang berbeda sesuai ideologi yang diusung. Dua ORNOP terbesar dan mempunyai jaringan di tingkat nasional bahkan internasional WALHI dan JATAM mengusung ideologi hijau, melihat bahwa usaha pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan pemilik Kontrak Karya (KK) hanya merugikan masyarakat dan lingkungan (Forum - Edisi No. 08 Tahun X, 21 Mei 2001). Karena itu dari berbagai siaran pers yang dipublikasikan mereka selalu mendesak pemerintah agar aktivitas pertambangan di Poboya harus dimoratorium, karena melihat kerusakan lingkungan dan
212 kontribusi kepada pemerintah khususnya Pemerintah Daerah tidak sebanding dengan resiko keberlanjutan lingkungan (sustainablilty). Selain
memberikan
tekanan agar dilakukan moratorium di Poboya, WALHI bersama jaringannya juga menawarkan
proposal
tentang
pengelolaan
pengelolaan
tambang
yang
berkelanjutan, berkedailan sosial ekonomi serta berperinsip menjaga daya tahan layanan sosial ekologis (Seputar Rakyat, 2010). Sementara ORNOP seperti Solidaritas Pembaruan Reformasi Agraria (SPRA), Yayasan Merah Putih (YMP), Yayasan Tanah Merdeka (YTM),
Yayasan
Pendidikan Rakyat (YPR) dan lainnya, lebih banyak bergerak pada tataran keberpihakan dan pembelaan hak-hak komunitas lokal. Mereka membangun kekuatan melalui koalisi, aliansi atau berafiliasi dengan ORNOP yang lain dan dengan tegas bersama komunitas lokal melakukan perlawanan dan menolak kehadiran perusahaan PT.CPM di Poboya seperti yang ditunjukkan pada Lembar Fakta empat ORNOP Palu, Kompas (28 April 2001), Gatra.com (22, Mei 2001); Aliansi Advokasi Tambang (AAT) atau Koalisi Aksi Untuk Keadilan - KUAK (Media Alkhairat, Senin 7 Desember 2009). Pada tahun 2011, dalam suatu pertemuan yang digagas Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR)71 bersama mitra koalisi yang terdiri dari beberapa ORNOP lokal kota Palu sedang merancang suatu program yang mereka namakan “Gerakan menjadikan CPM sebagai “musuh bersama”. Program ini sebenarnya ibarat menjemput bola, sebelum bencana akibat penambangan yang dilakukan PT.CPM nantinya maka sejak dini harus dilakukan penolakan dengan membangun kekuatan bersama antara LSM dengan komunitas lokal Poboya. Sebagai catatan,
berikut beberapa kronologi kesepakatan antara pemerintah
dengan ORNOP dalam kerangka penertiban Tambang di Poboya, di antaranya72:
71
72
Peneliti diajak menghadiri pertemuan tersebut di dakan di markas YPR, pada tanggal 9 Juli 2011. Dalam pertemuan itu sedang digagas skenario menjadikan CPM sebagai musuh bersama. Beberapa agenda yang dipersiapkan antara lain bentuk perlawanan, melakukan Konfrensi Pers, dan mempersiapkan tenaga di lapangan untuk koordinasi kegiatan. Kesepakatan dengan sejumlah LSM yang tidak pernah dilaksanakan menjadi bola pAN dalam pengelolaan tambang emas di Poboya (Seputar Rakyat edisi III 2010)
213 (1)
Tanggal 21 Agustus 2009: Kesepakatan moratorium warga, LSM – Jatam, Walhi dan pemerintah di Kampung nelayan.
(2)
Tanggal 5 September 2009: Pertemuan LSM dengan Pemprov secara resmi undangan Gubernur menyepakati Moratorium.
(3)
Tanggal 14 September 2009: Gubernur HBP mengeluarkan SK Penertiban Terpadu Penambang Emas tanpa Izin (Peti) di Provinsi Sulteng
(4)
Tanggal 24 September 2009 pukul 08.30 Wita, HBP bersikukuh akan menertibkan penambangan Poboya di Apel PNS setelah libur nasional.
(5)
Tanggal 24 September pukul 11. 00 Wita, HBP menganulir SK-nya dan siap mendukung penambang Poboya.
(6)
Tanggal 7-9 Oktober Pertemuan yang dilakukan unsur Muspida Provinsi di Gedung Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah yang membahas sosialisasi dan tata laksana penertiban
(7)
Tanggal 9 Oktober 2009 pertemuan di Kantor Polda Sulteng antara masyarakat Poboya dengan Kapolda Sulteng dengan agenda membahas rencana penertiban aktivitas penambangan di Poboya.
(8)
Tanggal 12 November 2009 Tim Penertiban Terpadu (TPT) kembali berencana melakukan penertiban penambangan di Poboya
(9)
Tanggal 22 November 2009, Gubernur HBP membuat kesepakatan bersama dengan
perwakilan
dari
penambang
yang
melahirkan
butir-butir
kesepakatan:
Penambang dilarang melakukan penambangan serta mengelola dan menempatkan tromol atau sejenisnya di wilayah aliran sungai (DAS) atau bentaran sungai. Tromol atau sejenisnya di wilayah pegunungan dan perbukitan akan ditertibkan dan ditata agar tidak berdampak pada kerusakan lingkungan dengn memperhatikan ketentuan yang berlaku dan diatur dalam jangka waktu tertentu.
Setiap pemilik tromol yang telah terdaftar dan telah ada di lokasi, dibatasi jumlahnya maksimal 10 buah tromol. Siapa pun tidak dibenarkan untuk menambah dan atau membangun tromol baru.
Menugaskan aparat/tim penertiban terpadu untuk melaksanakan butirbutir penertiban tersebut yang didahului dengan proses sosialisasi.
214 Semua kesepakatan yang telah dibuat bersama antara pemerintah dengan LSM maupun butir kesepakatan antara pemerintah dengan penambang tradisional, tidak ada tindak lanjut. Rencanan moratorium dan penertiban yang akan dilaksanakan tidak pernah direalisasikan. Atas sikap inkonsistensi pemerintah yang tidak mampu melakukan kontrol atau penertiban penambangan di Poboya menimbulkan pertanyaan di kalangan pemerhati lingkungan (LSM), karena sejak awal kelompok pemerhati lingkungan (LSM) selalu dilibatkan dalam pembahasan tentang penambangan di Poboya, tapi pada tahap pengambilan keputusan yang strategis kelompok LSM sama sekali tidak dilibatkan. Hal inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang aneh (Aristan).73 Saat ini penambangan emas tradisional di Poboya semakin berkembang pesat, butir-butir kesepakatan yang telah dibuat tinggal konsep yang tidak jelas bahkan sudah dilupakan. Penambangan pun semakin tak terkendali, ada 10 ribu orang menggali bongkahan batu, dan di sana-sini terjadi kerusakan alam, korban jiwa sudah terjadi dan konflik sosial mulai mengancam. Apa yang dikhawatirkan kelompok pemerhati lingkungan semakin mendekati kenyataan dan pada saat yang sama terjadi pembiaran oleh pemerintah.
KELEMBAGAAN SWASTA (KORPORASI) Kekayaan sumberdaya alam di Sulawesi Tengah menjadi daya tarik bagi perusahaan asing untuk berinvestasi di bidang pertambangan. Saat ini, terdapat 4 (empat) investor besar yang telah memiliki kontrak karya (KK) di Sulawesi Tengah yaitu PT. Citra Palu Mineral (CPM) anak perusahaan PT. Bumi Resources (Bakrie Grup) yang memiliki hak konsesi tambang emas di kawasan Poboya Palu, PT. Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) yang beroperasi di Kab. Buol, perbatasan Sulawesi Tengah dan Gorontalo melakukan penambangan emas dan; PT. INCO dan PT. Rio Tinto yang memiliki kontrak karya (KK) di Kab. Morowali.
73
Aristan, Ketua Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, (ANTARA, 27 -10- 2009).
215 Khusus di Poboya, mulanya rencana penambangan dilakukan oleh PT. Rio Tinto, sebuah perusahaan raksasa bergerak di bidang pertambangan asal Inggris dan memperoleh Kontrak Kerja (KK) pada tahun 1997 melalui anak perusahaannya PT. Citra Palu Minerals (CPM). Namun perusahaan tersebut mendapat penolakan tidak hanya dari komunitas masyarakat Poboya dan LSM tetapi juga Pemerintah (Prof. Aminuddin Ponulele) pada waktu itu. Karena penolakan itu, maka Newcrest Mining ltd tidak dapat melanjutkan eksplorasi di kawasan Poboya hingga terjadi pergantian kepemimpinan gubernur di Sulawesi Tengah. Pada Masa kepemimpinan HBP, proses eksplorasi kembali dilakukan pada tahun 1998, dan jika mengacu pada Kontrak Kerja 1997, CPM memiliki hak konsesi seluas 138.889 Ha, yang terdiri dari 6 (enam) blok, seperti ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 20. Rencanan Penambangan PT.CPM di Sulawesi Tengah No.
Lokasi Penambangan
1 2 3 4 5 6
Blok I Blok II Blok III Blok IV Blok V Blok VI Jumlah Sumber: Lemlit Untad, 2009
Luas (Ha) 37.020 36.380 5.009 28.420 16,670 15,390 138.889
Dari luasan , blok I tersebut dianggap paling maju dan diperkirakan mengandung potensi emas sekitar 2 juta ons berada pada pada Blok I dari wilayah Kontrak Karya PT. CPM. B;ok I tersebut secara administratif terletak pada 2 wilayah kabupaten, yakni Kota Palu (Poboya) dan Kabupaten Parigi Moutong. Pada peta terlampir diperlihatkan posisi di Kelurahan Poboya.
216
Gambar 12. Peta Kontrak Karya CPM
Dari peta tersebut di satas, area penambangan
PT. CPM yang dianggap
memiliki cadangan emas paling besar berada di
area penambangan Blok I
namun permasalahannya adalah berada dalam kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 461/Kpts-11/1995, pada tanggal 4 September 1995 dengan luas 8.100 Ha, sehingga jika dilakukan aktivitas penambangan akan bertentangan dengan UU nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan UU nomor 5 Tahun 1990 tentang sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Namun hal itu tidak menyurutkan niat PT. CPM untuk melakukan eksplorasi di kawasan tersebut. Berbagai upaya dilakukan, termasuk keinginan merubah tata batas TAHURA yang menjadi hambatan terberat selama ini. Untuk mewujudkan keinginan tersebut CPM menggunakan tangan-tangan pemerintah di daerah sampai di tingkat pusat seperti Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah dengan Surat No. 522/00248/Ro.Ekon, tertanggal 15 Januari 2000 yang meminta pemerintah pusat (Menteri Kehutanan) merubah Tata Batas TAHURA, kemudian ditindak-lanjuti dengan Surat Nomor : 522/2805/Ro.Ekon, tertanggal 25 Juli 2000 yang intinya agar Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan)
217 dapat mempercepat proses pergeseran tata batas Taman Hutan Raya (TAHURA) yang ada di Poboya. Hal yang sama juga dilakukan Bupati Donggala, surat No. 522/0161/Ekon. Tanggal 10 Agustus 2000; Ketua DPRD Kota Palu dengan surat no : 234/VII/DPRD/2000 tanggal 31 Austus 2000. Sementara di tingkat pusat lahir surat Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral dengan surat nomor : 089/20/MEM.P/2001 tanggal 12 Januari 2001, dan yang paling fenomenal surat yang diterbitkan Menteri Kehutanan (Nurmahmudi Ismail) dengan surat nomor 421/Menhut-V/2001 yang dinilai multi tafsir. Kalangan Ornop menganggap bahwa SK Menteri Kehutanan tersebut merupakan persetujuan pelepasan areal TAHURA sebanyak 500 hektar, dan Kebijakan itu cacat hukum karena seharusnya kawasan tersebut cuma bisa dilepas dengan persetujuan DPR.74 Sementara menurut menteri Kehutanan bahwa tidak benar kalau surat tersebut adalah persetujuan pelepasan kawasan TAHURA, itu bukan SK hanya surat biasa yang menanggapi permohonan CPM. Terlepas dari pro-kontra atas izin dari Menteri Kehutanan, pihak CPM tetap bersikukuh akan melakukan eksplorasi di Poboya. Bahkan menurut staf perwakilan CPM di Kota Palu Anas, pihak CPM sudah melakukan studi AMDAL yang melibatkan ITB, UNTAD dan UNISA. Sementara terkait dengan tudingan bahwa perusahaan CPM akan merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat, menurut Anas CPM mempunyai mekanisme pengelolaan lingkungan yang baik, dan masyarakat sama sekali tidak dikorbankan karena pada prinsipnya penambangan ini akan menguntungkan masyarakat. Lahan-lahan masyarakat yang terkena titik pengeboran akan ada ganti rugi bahkan jika ada satu pohon milik masyarakat yang terkena juga akan diganti rugi. 75 Dan hal ini sudah disosialisasikan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Menghadapi penolakan yang kuat dari komunitas masyarakat adat Poboya dan sejumlah LSM, pihak CPM sebenarnya siap menggunakan "kekuatan penuh” untuk masuk ke Poboya, namun hal itu belum dilakukan. Saat ini CPM masih
74
75
Lihat pernyataan Chalid Muhammad, Koordinator Nasional JATAM, Majalah FORUM No.08 Tahun X 21 Mei 2001 Wawancara dengan AN, Perwakilan CPM di Kota Palu, pada tanggal 21 Januari 2011
218 terus mencari jalan keluar yang baik termasuk keinginan menggunakan perguruan tinggi sebagai mediator yang mempertemukan elemen masyarakat yang menolak dengan pihak perusahaan. 76
MASYARAKAT SETEMPAT Selain aktor-aktor yang sudah disebutkan di atas, masyarakat setempat juga merupakan aktor yang punya kepentingan sendiri terhadap penambangan Poboya, bahkan merupakan pemain utama di balik eksploitasi sumberdaya alam di Poboya. Jauh sebelum gerakan penambangan mencuat kepermukaan dan sebelum kedatangan perusahaan asing (Rio Tinto), masyarakat adat sudah eksis di Poboya. Mereka sudah ratusan tahun mengakses SDA di Kawasan Tahura seperti petani bawang, sayur-sayuran, jagung, kacang dan sebagainya. Sebagian memanfaatkan potensi sumberdaya alam seperti rotan, kayu, sirtu bahkan mendulang emas secara tradisional. Namun sejak 2008 ketika penemuan emas mencuat, sebagian besar masyarakat beralih profesi sebagai penambang. Mereka meninggalkan lahan pertanian dan perkebunan yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Sejak dibukanya penambangan emas di Poboya, masyarakat setempat tidak hanya sebagai pengguna (gain), tetapi juga memegang kendali akses (kontrol acces) 77 atas sumberdaya alam di Poboya. Meski kawasan pertambangan tersebut adalah milik CPM, dan berada di kawasan TAHURA, namun dengan menggunakan label “adat” masyarakat setempat mampu mengendalikan penambangan di Poboya bahkan melakukan perlawanan untuk menghambat CPM memasuki Poboya. Dari penjelasan di atas, maka aktor-aktor yang berkepentingan dan wacana konservasi yang dikembangkan di Poboya adalah sbb: 76
77
Keinginan CPM tersebut disampaikan pada pertemuan antara Perwakilan CPM Sulawesi Tengah dengan Pimpinan Pusat Penelitian perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako pada tanggal 19 Mei 2011. Menurut Ribbot dan Peluso (2003) kendali aksees adalah kemampuan untuk memediasi akses yang dimiki pihak lain.
Negara Negara Negara Negara Negara Negara Kolektivitas Sosial Negara Negara Kolektivitas Sosial Kolektivitas Sosial Kolektivitas Sosial Swasta Kolektivitas Sosial Kolektivitas sosial
Jaringan Politik
Jaringan Politik
Jaringan Politik
Jaringan Politik
Jaringan Politik
Komunitas
Jringan Nasional
Jaringan Nasional
Jaringan Lokal
Jaringan Lokal
Jaringan Lokal
Multinasional
Negara
Komunitas
Sumber Kekuatan
Negara
Sumber : data lapangan, 2011 Eko-populis Eko-populis Konservasionis Konservasionis Eko-populis Eko-populis Eko-populis Developmentalis
Menyusun dan menetapkan Perda Mempertahankan hak & identitas Perlindungan SDA Perlindungan SDA Penguatan Penguatan Penguatan Eksplorasi & eksploitasi SDA
Pengguna/penerima
-Eko-populis
-
Developmentalis
Peningkatan PAD
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tambang Poboya
Tahura & Tmbg Poboya
Tambang Poboya
Tambang Ponoya
TAHURA
Tambang Poboya
TAHURA
Kebijakan SDA
Masyarakat
POLDA
CPM
YPR
YMP
YTM
JATAM
WALHI
Komunitas Adat
DPRD Kota
Walikota
Dinas Kehutanan
Gubernur HBP
Gubernur AAL
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH DAERAH
Penertiban PETI
Konservasinis
Pengelolaan & pelestarian Tahura
Kepentingan Developmentalis
Developmentalis
Developmentalis
Karakteristik Aktor
Peningkatan PAD
Pengatur & pengguna SDA Pengadaan Proyek Reboisasi
219
Tabel 21. Karakteristik Aktor dan wacana Konservasi di Poboya ORNOP LOKAL
Isu
Ideologi
Arena Konflik
220 Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa permasalahan yang menjadi isu sentral yang melingkupi Poboya, terkait dengan kepemimpinan elit lokal dapat dipilah menjadi dua. Pertama, terkait dengan rencana pembentukan Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu, pada masa kepemimpinan Gubernur AAL, dengan surat No. 239/591/IX/1987 yang dilanjutkan dengan
Surat No.
522.5/2835/Ro.BKLH/1988 yang meminta percepatan pembentukan TAHURA. Terkait dengan rencana tersebut, pemerintah daerah melakukan klaim secara sepihak sebagai tanah Negara dan melakukan pematokan-pematokan di atas kebun-kebum masyarakat. Pada hal masyarakat setempat adalah Komunitas “adat” Kaili yang hidup ratusan tahun dan turun-temurun mengakses kawan tersebut sebagai sumber kehidupan. Tapi demi untuk mewujudkan kawasan tersebut sebagai TAHURA maka keberadaan komunitas setempat diabaikan. Kemudian rencana pembentukan TAHURA muncul karena pemerintah daerah (pada saat itu) mungkin belum mengetahui adanya cadangan emas di kawasan tersebut sehingga kepentingannya lebih kepada program reboisasi pada saat TAHURA terbentuk. Pertanyaan mendasar adalah apakah usulan yang bernuansa konservasi tersebut (TAHURA) adalah murni dari pemerintah daerah Sulawesi Tengah untuk penyelamatan lingkungan Kawasan Poboya dan sekitarnya, atau karena ada kekuatan dari pusat, mengingat pada masa itu pemerintah Indonesia banyak disorot karena kebijakan pembangunan yang diterapkan pemerintah RI sangat ekspolitatif dan “merusak” lingkungan. Meski tidak ada referensi yang kuat, tapi besar dugaan bahwa kebijakan konservasi untuk TAHURA datang dari Menteri Lingkungan Hidup Pada waktu itu Prof. Emil Salim yang memang mempunyai perhatian yang besar terhadap penyelamatan lingkungan, di samping Prof. Emil Salim adalah Pembina Golkar Sulawesi Tengah pada saat itu. Namun niat baik pemerintah untuk penyelamatan lingkungan melalui konsep TAHURA justru dijadikan lahan subur untuk mendapatkan keuntungan oleh oknum pejabat di daerah melalui proyek reboisasi sehingga muncul kasus yang menyeret Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah pada saat itu ke dalam penjara karena kasus dana reboisasi (Lahandu, 2007). Tapi yang patut dipertanyakan juga adalah
221 sikap pemerintah pusat (Menteri Kehutanan) yang serta-merta merespon usulan gubernur Sulawesi Tengah dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 461/Kpts-II/1995 yang menetapkan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) dan yang agak aneh komunitas lokal tidak melakukan protes pada saat kawasan tersebut ditetapkan sebagai TAHURA sementara mereka mengklaim diri sebagai Komunitas “adat”.78 Kedua, terkait dengan rencana penambangan emas oleh PT. CPM di Kawasan Poboya yang sebenarnya berada dalam kawasan lindung TAHURA. Pada bagian ini terlihat kekuatan relasi dari CPM yang menggunakan tangan-tangan birokrasi, mulai dari tingkat Kelurahan, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai ke tingkat Pusat yang sama-sama mendukung rencana penambangan. Kekuatan relasi PT. CPM terlihat dari dukungan yang mengalir dari elit-elit politik lokal yang mendukung kehadiran CPM seperti ;
HBP selaku Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada saat itu menyurat kepada Menteri Kehutanan dengan surat Nomor 522/00248/Ro.Ekon, tertanggal 15 Januari 200079,
dilanjutkan dengan Surat Nomor :
522/2805/Ro.Ekon, tertanggal 25 Juli 2000 yang intinya agar Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan)
dapat mempercepat proses penyelesaian kepastian
pergeseran batas Taman Hutan Raya (TAHURA) yang ada di Poboya.
RM, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu memberikan rekomendasi dengan surat nomor 234?VIII/DPRD/200080 yang intinya mendukung rencana penambangan Emas oleh New Crast Mining Indonesia (PT. Citra Palu Minerals).
H.N.Bidja, S.Sos, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Donggala dengan surat nomor: 522/0161/Ekon tertanggal 10 Agustus 200081 yang intinya mendukung rencana penambangan yang dilakukan PT. CPM
78
79 80 81
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantra (AMAN) RM, menyatakan bahwa komunitas masyarakat adat tidak melakukan protes pada saat penetapan kawasan TAHURA dikarena kan pada saat itu masih berada pada situasi Orde Baru yang sangat represif, sehingga ada ketakutan di kalangan masyarakat. Surat perubahan tata batas tersebut apat dilihat pada bagian lampiran Surat Rekomendasi tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran Surat dukungan tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran
222 Selain mendapat ‘restu’ dari sejumlah elit politik lokal di atas, CPM juga memegang tokoh-tokoh kunci di level terbawah seperti Lurah82 dan Ketua Adat83. Bahkan yang terakhir ini (adat) adalah kunci utama di Poboya. 84 Kepastian PT.CPM untuk dapat melakukan eksplorasi di Poboya tidak mungkin terlaksana tanpa
jawaban dari pemerintah pusat (Menteri Kehutanan) yang
dengan Surat Nomor : 421/Menhut-V/2001 yang pada prinsipnya menteri Kehutanan akan mempertimbangkan usulan perubahan batas TAHURA SULTENG seluas + 500 Ha untuk kegiatan penambangan oleh PT. Citra Palu Minerals.85 Mencermati kehadiran beberapa aktor dan kepentingannya di Poboya, menunjukkan bahwa aktor elit politik lokal
membangun jaringan relasi
(networking) untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumberdaya alam di Poboya. demikian pula dengan aktor yang lain mempunyai hubungan antara satu aktor dengan aktor yang lain, baik sebagai penentu kebijakan atau sebagai pendukung kebijakan. Yang menarik bahwa hingga saat ini bahwa tidak seperti kasus penambangan ditempat yang lain di mana konflik bersifat terbuka. Tapi penambangan di Poboya adalah konflik semu. Hal ini disebabkan karena aktor yang bermain memperkuat jaringan dan saling melindungi. Kita tidak akan menemukan satu aktor menyerang aktor yang lain. Bahkan terkesan tertutup. Seperti yang terjadi pada pemerintah Kota Palu. Ketika banyak orang mempertanyakan eksistensi Perwali No. 6 dan 7 tentang penambangan rakyat dan hubungannya dengan kerusakan sumberdaya alam di Poboya, tidak semua pejabat di kantor walikota dibenarkan memberikan informasi terkait dengan penambangan Poboya. Informasi tentang Poboya hanya bisa diakses melalui informasi satu pintu, terpusat pada wakil walikota.86
82
83
84 85 86
Agustus 2003, Lurah Poboya menggalang mobilisasi tandatangan massa (sebagian dipalsukan) untuk mendukung legitimasi pembangunan tambang (Muin, 2009) Sebenarnya secara tersirat, Ketua Adat sangat mendukung keberadaan CPM untuk melakukan penambangan di Poboya. Tapi melihat begitu kuatnya pertentangan dari komunitas dan LSM, ketua adat memposisikan diri didepan komunitas yang dipimpinnya menentang CPM. Semua aktifitas yang berkaitan dengan tambang di Poboya berada dibawah kontrol dan kendali adat. Surat tersebut kemudian menjadi referensi untuk pembenaran melakukan eksplorasi di Poboya. Menurut Bapak HR, Sekretaris Dinas Penataan Ruang Kota Palu, ada kesepakatan dari Walikota agar tidak semua pejabat memberikan informasi atau penjelasan tentang kasus Poboya. Informasi tentang
223 Sikap cenderung tertutup juga ditemukan pada ornop lokal,
ketika peneliti
menghadiri pertemuan yang digagas YPR, dengan agenda menjadikan CPM sebagai musuh bersama, peneliti mempertanyakan sikap kritis LSM dengan kerusakan sumberdaya alam yang terjadi di Poboya, siapa sebenarnya yang melakukan pengrusakan dan mengapa menimpakan kesalahan pada CPM yang sebenarnya secara faktual mereka belum melakukan aktivitas penambangan. Pertanyaan kritis tersebut dijawab sederhana bahwa sebaiknya aktivitas yang dilakukan LSM tidak terganggu dengan kegiatan research. Mereka yang berkepentingan melakukan research silahkan diteruskan tapi kegiatan ini juga harus berjalan. Demikian pula pengalaman dengan pihak perusahaan CPM, yang sama sekali tidak bisa dihubungi, bahkan kantornya-pun dikunci rapat-rapat. Dari pengalaman tersebut, menunjukkan bahwa aktor yang bermain di Poboya cenderung melakukan proteksi terhadap komunitasnya, namun hubungan antar aktor dengan aktor yang lain berjalan dengan baik. Dari fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik itu ada, segaja diciptakan dan dikontrol tetapi tidak terlihat (semu). Kecuali pada momentmoment tertentu konflik sengaja dihembuskan untuk mendapatkan reaksi kelompok yang berkonflik dan memperkuat jaringan masing-masing. Tapi pada saat tertentu suara pertentanngan meredup bahkan hilang sama-sekali. Berikut kualitas hubungan antar aktor di Kawasan Poboya;
Poboya hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk, yakni melalui bapak wakil Walikota (wawancara pada tanggal 25 Januari 2011 di Kantor Walikota)
224
Ornop L CPM POLDA
Masyarakat
Komunitas “adat”
POLDA
DPRD Kota
CPM
Walikota
B B B
Ornop L
Dinas Kehutanan
B -
Komunitas “adat”
B
DPRD Kota
Pemerintah Pusat Pemda (AAL) Pemda (HBP)
Walikota
AKTOR
Gubernur AAL Gubernur HBP Dinas Kehutanan
Tabel 22. Hubungan antar Aktor di Poboya
B B B
B B B
K S
K K
B B
B B B
K S
B
B
K
K
-
B
K
B
S
S
B
B
S
S
S
B
B
B
B
K
K
B
K
S
B
B
K K
Masyarakat
Keterangan : B S K -
= = = =
Baik Sedang Kurang baik Tidak ada hubungan
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan/relasi antar aktor selama ini berjalan dengan baik terutama aktor dari pemerintahan. Sedangkan hubungan yang kurang baik lebih banyak ditunjukkan oleh kalangan LSM/NGO lokal yang tidak puas dengan sikap pemerintah yang memihak pada kepentingan perusahaan asing. Demikian juga dengan sikap komunitas lokal (masyarakat adat) yang tidak dapat menerima kehadiran perusahaan (CPM). Namun hubungan yang kurang baik tersebut selama ini belum sampai pada taraf konflik manifest (terbuka/nyata), Konflik yang terjadi saat ini sifatnya latent (terselubung atau semu).
225 Sebenarnya potensi konflik di Poboya sangat besar, tapi konflik tersebut belum muncul kepermukaan secara terbuka, karena setiap orang (aktor) yang terlibat mendapatkan apa yang menjadi keinginannya secara cukup. Sepanjang pemerintah masih memfasilitasi dan memberi ruang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya di Poboya, sepanjang itu konflik tidak akan terjadi, tetapi jika ada kekuatan yang menutup semua akses masyarakat ke sumberdaya maka hanya ada satu jalan bagi mereka yakni “melawan”. Saat ini komunitas masyarakat yang ada di poboya sedang mengalami proses pencerahan di mana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya. Mereka menggalang kekuatan bersama Komunitas “adat” tanpa melihat ras suku, agama. Mereka menyatakan diri sebagai anak dan tunduk kepada “bapak” yakni ketua adat. Figur ketokohan Ketua Adat (Bapak Ali Djaluddin) yang mempunyai tafsir tunggal atas hukum adat menjadi perekat kohesivitas sosial antar warga. Kekuatan itu semakin besar dengan masuknya sejumlah LSM/NGO lokal melakukan advokasi kepada masyarakat adat.
TAHAPAN-TAHAPAN KONFLIK Kelurahan Poboya mempunyai catatan yang panjang tentang konflik sumberdaya alam. Jauh sebelum hiruk-pikuk tentang penambangan emas seperti saat ini, poboya sudah diperhadapkan dengan persoalan konflik. Konflik terjadi antara pemerintah versus komunitas lokal, dan komunitas lokal versus korporasi. Secara umum tahapan konflik tersebut adalah sebagai berikut:
226 Gambar 13. Tahapan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam di Poboya
Sumber : analisa data lapangan, 2011
Pra Konflik : konflik antara pemerintah dan masyarakat terjadi sekitar tahun 1987 di mana pemerintah berkeinginan atau merencanakan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan perlindungan/konservasi yakni Taman Hutan Raya (TAHURA). Alasan ditetapkanya kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai TAHURA (Lahandu, 2007), adalah: a.
Untuk melindungi flora dan fauna eksotik dan endemic yang mendekati kepunahan
b.
Sebagai daerah penyangga (buffer area)untuk kota Palu dan sekitarnya
c.
Sebagai pensuplei air bagi bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, Paneki, Mamara,Ngia dan Vatutela
d.
Keadaan fisik tanah yang labil (lempung berpasir) yang rawan erosi dan gundul
e.
Sebagai pengatur iklim mikro
Namun tujuan dan maksud tersebut menciptakan pertentangan dengan hak-hak penduduk lokal (masyarakat adat) yang hidup di sekitar kawasan.
Konfrontasi :Konflik mulai terasa pada periode 1987-1995 ketika dilakukan persiapan lahan di mana pemerintah secara sepihak mengklaim tanah yang
227 dimiliki dan dikelola masyarakat sebagai tanah milik Negara, sementara tanahtanah tersebut adalah tanah adat, tanah tempat kelahiran yang secara emosional telah menyatu dengan alam lingkungan mereka. Pemerintah dengan kekusaan yang dimilikinya mengabaikan fakta-fakta keberadaan Komunitas “adat” tersebut
dan
tanpa
melibatkan
masyarakat,
pemerintah
Daerah
merekomendasikan usul pembentukan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA) kepada Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan) sesuai dengan surat usulan Gubernur dengan Surat No. 239/591/IX/1987 yang dilanjutkan dengan Surat No. 522.5/2835/Ro.BKLH/1988 yang meminta percepatan pembentukan TAHURA, Berdasarkan usulan Daerah tersebut, Menteri Kehutanan merespon dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 461/Kpts-II/1995 yang menetapkan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu.
Krisis
: Pasca pengukuhan TAHURA Palu tersebut, konflik berlanjut
pada periode 1995-1999 ketika pemerintah melakukan penertiban sebagai konsekuensi status TAHURA sebagai kawasan pelestarian87 yang harus steril dari semua aktivitas manusia dan menutup semua akses masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya di kawasan tersebut. Puncaknya pada kurun waktu 1997-1998 ketika pemerintah berencana melakukan relokasi penduduk yang ada di kawasan TAHURA, komunitas Poboya menilai bahwa rencana pemerintah tersebut adalah bentuk penindasan, dan mereka merasa diusir dari tanah kelahirannya yang berujung pada perlawanan kolektif sehingga rencana relokasi tersebut tidak jadi dilaksanakan. Namun Konflik pemerintah dan komunitas lokal terus berlanjut pada tahun 1999 ketika Pemerintah pusat mengukuhkan Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulteng berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999 tapi pada saat yang sama Pemerintah menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada perusahaan CPM. Sementara yang mereka ketahui
87
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayai dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa yang bisa dilakukan di kawasan TAHURA adalah kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya wisata alam (Pasal 31).
228 Kawasan tersebut tidak boleh dimasuki.88 Kecuali untuk kegiatan penelitian. Sejak saat itu, konflik terus berlanjut hingga 2010, terlebih setelah sejumlah LSM yang memberi penguatan kepada masyarakat adat.
Akibat
: Konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat Poboya
mereda setelah adanya Perwali No.6 dan 7 Tahun 2010 sebagai jalan keluar untuk melegalkan penambangan yang dikelola oleh masyarakat Poboya.
PascaKonflik : Hubungan-hubungan mulai pulih, Pemerintah menunda rencana penertiban, dan lebih mendorong
kearah pembahasan PERDA
Tentang Pertambangan. Sepanjang yang diamati, dalam rapat-rapat anggota dewan yang secara khusus membahas penambangan di Poboya tidak terlihat perbedaan di kalangan anggota dewan. Bahkan ketika sidang paripurna pada tangga 09 Maret 2011 yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Tentang Penambangan Rakyat, semua fraksi yang ada di dewan sepakat untuk menerima rancangan peraturan daerah tentang pertambangan rakyat untuk dibahas. Penelusuran peneliti terhadap Rencana Peraturan Daerah (RAPERDA) tersebut menunjukkan adanya keraguan sejumlah anggota dewan apakah Rancangan Perda tersebut memungkinkan menjadi PERDA, mengingat sebelumnya sebanyak 20 orang anggota Dewan melakukan konsultasi ke Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan. Dari kementerian ESDM diketahui bahwa tidak ada jalan bagi Pemerintah Kota untuk melahirkan PERDA dalam rangka mendukung keberadaan aktivitas tambang rakyat di Poboya (Radar Sulteng, 24 Januari 2011), tidak hanya itu, informasi dari pertemuan dengan kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan di Jakarta menyatakan bahwa baik penambang rakyat maupun CPM tidak dibenarkan melakukan aktivitas penambangan di Poboya. 89
88 89
Informasi dari Ketua Komunitas Adat Poboya, AD 60 th. (Wawancara pada tanggal 25 Januari 2011) Disampaikan Bapak SRA Anggota DPRD Komisi D yang mengikuti pertemuan dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan di Jakarta.
229 BAB VIII
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Penambangan emas secara tradisional sudah dikenal masyarakat Poboya sejak tahun 80-an dengan sistem dulang, Penambangan dengan menggunakan sistem tromol mulai diperkenalkan oleh penambang dari luar kepada masyarakat Poboya pada akhir tahun 2008. Saat ini telah terdaftar sebanyak 762 orang pengusaha lokal yang melakukan usaha pertambangan di kawasan Poboya seperti usaha tromol, Tumbuk-Tumbuk (crusher) dan tong (cyanidasi). Pemohon usaha/pemilik lubang sebanyak 270 orang, pemilik pengusaha tong (cyanidasi) sebanyak 112 orang. Mereka mengoperasikan sebanyak 15.175 unit tromol, 723 unit TumbukTumbuk (crusher) dan 229 unit tong (cyanidasi) dan jumlah lubang galian sebanyak 753l lubang. Secara keseluruhan diperkirakan lebih dari 10 ribu orang yang datang ke Poboya untuk mengadu nasib sebagai penambang. Maraknya penambangan emas di Poboya tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan adat sebagai pintu masuk di Poboya yang memberi ruang dan kesempatan seluas-luasnya kepada orang luar untuk masuk ke Poboya dengan dalih ingin belajar kepada orang luar cara menambang yang baik. Dewan Adat mendapat dukungan dari pemerintah kota, menjadi media penyambung aspirasi penambang rakyat dengan pemerintah maupun dengan segala kebijakan yang terkait dengan tambang di Poboya. Berbeda dengan dewan adat di beberapa tempat
pada umumnya, sebagai
kekuatan yang dapat melindungi komunitas dan lingkungannya dari kehancuran akibat dari ekspansi kekuatan luar dengan bersandar pada aturan-aturan adat yang
230 diwariskan secara turun temurun sebagai bentuk pengetahuan lokal yang penuh dengan kearifan-kearifan dan jauh dari tindakan mencari keuntungan. Untuk kasus penambangan di Poboya, Dewan adat Poboya (mungkin) belum memiliki sistem proteksi terhadap komunitas dan lingkungan dari kehancuran, bahkan dewan adat dengan kekuasaan yang dimilikinya merupakan bagian dari proses terjadinya kerusakan sumberdaya alam yang terjadi selama ini dan kecenderungan untuk mencari keuntungan melalui kelembagaan bentukan adat. Adapun pranata adat yang mengatur komunitas dan lingkungan di kawasan penambangan Poboya selama ini bukan sesuatu yang bersumber dari warisan leluhur, tapi lebih merupakan tafsir tunggal ketua adat atas kebutuhan yang bersifat instan, terutama untuk mencegah terjadinya konflik sosial. Kuatnya pengaruh dewan adat di Poboya, selain karena figur ketua adat yang kharismatik (Bapak Ali Djaluddin) juga karena dukungan beberapa LSM lokal yang memberi penguatan kepada komunitas yang secara terang-terangan mendukung penambangan tradisional dan menentang penambangan oleh swasta. Konflik yang terjadi di kawasan penambangan emas tradisional di Poboya bukalah konflik yang berdiri sendiri, tapi merupakan akumulasi dari kekecewaan komunitas lokal atas peristiwa yang menimpa mereka. Bermula dari Sikap pemerintah yang secara sepihak menetapkan kawasan Poboya sebagai kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA) tanpa melibatkan masyarakat adat. Kebijakan sepihak tersebut berimplikasi pada penutupan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam (tanah) bahkan sampai tindakan pengusiran warga Poboya untuk keluar dari kampung halamannya. Pada hal tanah tersebut diyakini masyarakat setempat sebagai tanah adat di mana sebagian besar warganya menggantungkan hidup selama ratusan tahun mengelola tanah tersebut sebagai sumber kehidupan. Konflik berlanjut ketika pemerintah melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas di kawasan konservasi TAHURA Poboya, tapi pada saat yang sama memberikan izin kepada PT.CPM untuk melakukan eksplorasi.
231 Konflik yang terjadi saat ini berbeda dengan konflik sebelumnya yang berkaitan dengan Taman Hutan Raya (TAHURA). Konflik yang sedang terjadi di Poboya saat ini adalah pertautan antar aktor yang masing-masing mengusung isu yang berbeda seperti aktor legal formal yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan pemberian kesempatan yang besar kepada perusahaan dalam bentuk konsesi. Sementara aktor yang lain LSM lokal (eko-populisme) berorientasi pada keadilan sosial dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Sedangkan aktor yang lain, LSM hijau, berorientasi pada penyelamatan atau perlindungan lingkungan hidup. Para aktor yang berkepentingan di kawasan penambangan emas di Poboya adalah; (1) Pemerintah (pusat) terutama berkaitan dengan regulasi yang memungkinkan Negara melakukan kontrol dan mengambil manfaat atas keberadaan SDA; (2) Pemerintah Daerah (Kepemimpinan AAL) terutama perananya pada pembentukan TAHURA yang memungkinkan mendapatkan megaproyek reboisasi, dan keuntungan lainnya; (3) Pemerintah Daerah (Kepemimpinan HBP; Bupati NBJ, Ketua DPRD Kota RM) terutama berkaitan dengan perubahan tata batas Tahura Poboya dan dukungan mereka terhadap kehadiran CPM sehingga memungkinkan perusahaan (CPM) melakukan eksplorasi dan eksploitasi SDA mineral di kawasan Poboya dan sekitarnya; (4) Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah sebagai pelaksana tugas Tahura; (5) Walikota Palu, terutama dukungan yang diberikan atas perubahan tata batas Tahura maupun pengakuan kepada CPM sebagai pemilik hak konsesi Kontrak Karya; (6) Komunitas masyarakat adat, terutama peranya sebagai pengendali atas semua aktivitas penambangan di Poboya dan mengambil keuntungan atas peran yang dimainkan tersebut; (7) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama perannya atas kontrol SDA di Poboya, yang kemudian disinyalir mempunyai kepentingan sendiri (posisi menawar); (8) Perusaaan (CPM) terutama perannya sebagai pemilik hak konsesi dan Kontrak Karya
untuk menarik keuntungan; (9)
Polda Sulteng, terutama peran yang
dimainkannya sebagai pengamanan objek vital, yang kemudian disinyalir karena desakan dari perusahaanCPM; (10) Masyarakat adat, terutama kepentingannya untuk mendapatkan akses manfaat atas SDA di Poboya.
232 Meski Penambangan emas di Poboya memberi dampak positif kepada masyarakat adat, namun keberadaan tambang tersebut juga menyebabkan dampak negatif berupa kerusakan ekologi. Aktivitas penambangan juga menyimpan sejumlah permasalahan seperti : (1) Arus Migrasi yang besar ke Poboya akan menambah hetereroginitas dan pluralitas masyarakat Poboya, sehingga dapat mempengaruhi perubahan struktur, kultur dan tatanan sosial masyarakat Poboya. Selain karena faktor heteroginitas di atas, konflik di poboya juga dapat berlanjut karena terlalu banyak orang bekerja dalam ruang yang sama dan tidak terdiferensiasi sehingga pekerjaan mengerucut pada satu aktivitas di mana keuntungan masing-masing pihak tidak merata. Perbedaan struktur dan kultur serta adanya kompetisi di antara masyarakat adat dengan para migran tentunya dapat menimbulkan konflik dan ketegangan sosial; (2) Ketimpangan penguasaan Aset Produksi. Secara struktural telah terjadi pola hubungan patronase dalam aktivitas tambang emas di Poboya, di mana sebagian besar dari rantai produksi dikuasai oleh pemodal dari luar kota Palu bahkan dari luar Sulawesi Tengah. Sementara pemodal lokal Poboya jumlahnya tidak lebih 5 persen dari keseluruhan pemilik lubang, Tromol, Tumbuk-Tumbuk (crusher) dan Tong. Ketimpangan aset produksi ini suatu saat akan mengusik sensitivitas kelompok kedaerahan; (3) Lemahnya Aturan dan Kontrol Pemerintah, sehingga membuka ruang konflik terbuka dan adu kekuatan di kalangan
penambang
semakin besar dan pada saat yang sama kerusakan sumberdaya alam semakin masif; (4) Adaptasi Teknologi Produksi, di mana teknologi yang digunakan sangat sederhana dan tidak mempunyai standar pengamanan sehingga sangat membahayakan diri sendiri dan orang lain; (5) Posisi Penambangan di Tengah Kota, penambangan tradisional Poboya merupakan satu-satunya penambangan emas di dunia yang terletak di tengah kota sehingga sulit menghindari panetrasi dari luar yang begitu kuat terutama perubahan gaya hidup (life style) dan perilaku konsumtif di kalangan masyarakat; (6) Representasi Komunitas “adat”. Selama ini kehadiran komunitas “adat” yang seharusnya memproteksi lingkungan dan masyarakatnya dari gangguan dari luar sebagaimana yang terjadi di tempat lain, justru menjadi dilema antara penyelamatan lingkungan dan keberpihakan pada
233 komunitas atau bergerak di luar kelaziman mengejar profit yang menggerus nilainilai adat yang penuh dengan kearifan dan dikenal banyak orang. Selain itu keberadaan dewan adat juga menimbulkan konflik kewenangan antara pemerntah kelurahan dan otoritas adat setempat; (7) Ketidak-jelasan Status Hukum Penambangan. Selama ini akses masyarakat adat terhadap kawasan Poboya dan sekitarnya sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Masyarakat adat
menganggap kawasan tersebut sebagai milik bersama (communal property) sehingga siapa saja dapat memanfaatkan kawasan tersebut (open acses). Tapi saat ini kawasan Poboya dan sekitarnya telah diklaim oleh pemerintah sebagai milik Negara (state property) dan ditetapkan sebagai kawasan lindung Taman Hutan Raya (TAHURA). Kondisi ini lebih rumit karena kehadiran perusahaan PT. Citra Palu Mineral (CPM) juga mengklaim sebagai pemilik hak konsesi pertambangan melalui Kontrak Karya (KK). Dengan demikian masing-masing pihak saling klaim kepemilikan yang berpotensi menimbulkan konflik, tidak hanya konflik vertikal antara komunitas, pemerintah, dan swasta tapi juga konflik horizontal antara sesama penambang, atau antara penduduk lokal dengan pendatang. Meski potensi konflik sangat besar terjadi di Poboya, tapi konflik tersebut belum muncul kepermukaan dalam bentuk kekerasan karena sampai saat ini setiap orang (aktor) yang berkempentingan di Poboya mendapatkan apa yang menjadi keinginannya secara cukup.
Implikasi Kebijakan Berpatokan pada uraian sebelumnya, beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai alternatif solusi dalam bentuk kebijakan ke depan sebagai berikut: 1.
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah sedapat mungkin menyediakan ruang komunikasi sebagai ajang rembuk bagi semua pihak (aktor) yang punya kepentingan di Poboya untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi di Poboya.
234 2.
Menyadari sumbangan penambangan yang begitu besar kepada masyarakat adat, maka isu tentang penertiban (penutupan) tambang yang dikelola masyarakat adat perlu dihindari, tapi tetap melakukan kontrol yang ketat atas penambangan rakyat tersebut sehingga dampak negatif sebagai akibat penggunaan zat kimia yang berbahaya dapat di eliminir dengan asumsi bahwa dampak lingkungan dapat dikendalikan.
3.
Karena begitu kuatnya kampanye perlindungan lingkungan yang dilakukan sejulah LSM/NGO, maka pemerintah daerah dan komunitas masyarakat adat yang ada perlu berkolaborasi merancang sekenario penambangan yang ramah lingkungan sambil melakukan tindakan (action) pemulihan lingkungan melalui penghijauan di sekitar kawasan penambangan.
4.
Pemerintah dan pihak terkait harus menegaskan pembuatan dokumen AMDAL sebagai acuan dalam pelaksanaan penambangan emas, baik oleh pihak perusahaan maupun rakyat.
5.
Terkait dengan rencana penambangan (eksplorasi) yang akan dilakukan perusahaan CPM, maka sebaiknya pemerintah daerah memfasilitasi dengan komunitas lokal untuk menjelaskan rencana aksi, peta kawasan dan kontribusi penambangan kepada masyarakat dan pemerintah daerah.
6.
Menghadapi pertentangan yang kuat dari masyarakat,
hendaknya
pemerintah daerah tidak meresponnya dengan menggunakan kekerasan, karena seperti dikemukakan Camara, kekerasan akan melahirkan kekerasan yang lebih masif.
Epilog: Menakar Antara Masyarakat Adat dan Kelompok ideologis Kawasan Tahura Poboya merupakan sebuah potret kecil runyamnya pengelolaan SDA di mana konflik dan bencana menyatu dalam kehidupan masyarakat. Jika dicermati, sesungguhnya konflik dan bencana bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
235 melainkan “by design” oleh para aktor (individu maupun kelompok) yang punya kepentingan, mulai dari aras Desa, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional bahkan global dengan tujuan akhir yang sama yakni untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan, penguasaan dan pemilikan sumberdaya alam dan lingkungan. Pada konteks pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, setiap aktor mempunyai tujuan tersendiri untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Kepentingan setiap aktor yang sangat heterogen untuk memenuhi kebutuhannya akan sumberdaya alam saling berbenturan, tarik menarik pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (tambang emas) yang semakin kencang dan masing-masing mengembangkan cara-cara atau mekanisme sendiri untuk mencapai tujuan tersebut. Hal yang menarik kemudian adalah kehadiran para aktor yang melahirkan konfigurasi aktor dan kepentingannya dalam struktur sosial ekonomi dan politik yang lebih besar. Kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur sumberdaya (tambang emas) berada di tangan pemerintah. Ketika pemerintah mulai memainkan peran kekuasaannya, tarik-menarik sumberdaya makin kompleks. Apalagi ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah membuka jalan masuk bagi kepentingan-kepentingan swasta untuk ikut mengelola dan menggunakan sumberdaya agraria, disamping kekuatan kekuatan ekstra yang berasal dari kaum intelektual yang sering kali mengambil manfaat dari tarikmenarik kepentingan sumberdaya (tambang emas). Dalam konfigurasi yang demikian itu, kehadiran aktor kepentingan di Poboya yang tidak hanya domain pemerintah (penguasa) dan rakyat (dikuasai) tapi juga kelompok ideologis kepentingan. Hal ini melebihi prediksi Marx yang membagi dua kelas dalam perebutan sumberdaya alam, yakni kelas yang memerintah dan yang diperintah, seperti yang dijelaskan Mosca (1939) yang dikutip dalam Soekanto (1984). Kelas pertama (berkuasa) biasanya terdiri dari orang- orang yang sedikit jumlahnya, menerapkan semua fungsifungsi politik, memonopoli kekuasaan dengan menikmati segala keuntungan dari kedudukan sebagai pemegang kekuasaan. Kelas yang kedua (dikuasai), terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama, dengan cara- cara kurang
236 lebih legal, sewenang-wenang atau dengan kekerasan. Kelas kedua tersebut menyediakan sarana untuk dapat hidup dan bertahan, serta hal- hal lainnya yang sangat penting bagi organisme politik. Dari kelompok-kelompok kepentingan yang “bermain” di Poboya, kehadiran kelompok ideologis (baik yang memediasi masyarakat maupun dalam rangka perlindungan SDA) dan kelompok masyarakat adat patut mendapat perhatian. Terjadinya konflik perebutan SDA di Poboya tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kelompok ideologis maupun kelompok masyarakat adat. Kelompok ideologis awalnya hadir dalam rangka melakukan pendampingan kepada masyarakat yang mengalami marjinalitas akibat dari kebijakan negara yang hegemonik dengan menetapkan kawasan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi TAHURA. Dalam kerangka pendampingan itu, kelompok ideologis mengangkat identitas kultur masyarakat Poboya sebagai “Masyarakat Adat”. Upaya perjuangan kelompok ideologis mengusung masyarakat adat terbilang sukses, setidaknya wacana masyarakat adat mampu melahirkan kesadaran kolektif etnik to Kaili di Poboya, sehingga hampir semua rotasi kehidupan masyarakat berada dibawah kontrol masyarakat adat, atau dengan kata lain masyarakat adat hadir dan memegang peran penting di Poboya. Munculnya kesadaran kolektif etnik to Kaili di Poboya juga tidak lepas dari luka lama ketika ruang interaksi dan sumber kehidupan masyarakat tiba-tiba diklaim sepihak oleh pemerintah sebagai tanah negara, hingga mereka hidup dalam kemiskinan. Terjadinya peralihan isu dari TAHURA ke panambangan menjadi titik balik, untuk merebut hak sebagai komunitas adat. Hal itu semakin menguat dengan perubahan rezim tata kelola SDA, dari sentralistik menuju otonomi daerah. Idealnya dengan potensi sumberdaya alam (emas) yang dimiliki sesungguhnya pertanda baik untuk menata kehidupan yang lebih sejahtera. Setidaknya dengan otonomi daerah membuka ruang kearah tersebut karena tonomi daerah sebenarnya merupakan jalan keluar untuk mendistribusikan rasa keadilan yang selama ini jauh dirasakan masyarakat. Tapi faktanya otonomi daerah tidak membawa perbaikan yang signifikan, Otonomi daerah justru melahirkan “elit amfibian” menjadi ajang perebutan SDA di mana sumberdaya alam dimaknai sebagai lompatan untuk
237 meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) sekaligus penghasilan kelompok. Target pencapaian PAD menyebabkan elit politik di daerah tidak fokus menyelesaikan konflik SDA sebagaimana harapan sejumlah kelompok ideologis dan komunitas adat, tapi justru untuk menguasai sumberdaya alam Poboya, keberadaaan identitas kultur etnik to Kaili sebagai masyarakat adat tidak dihilangkan, melainkan dilestarikan dengan menempatkan orang-orang mantan PNS atau elit-elit desa agar dapat dikendalikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan perubahan sikap sejumah kelompok ideologis yang semula lantang bersuara membela kepentingan komunitas, tapi kemudian suaranya redup dan menghilang karena agenda kepentingan sendiri di balik otoritas masyarakat adat. Dari rankaian narasi di atas, jelas terlihat bahwa Poboya menjadi arena pertarungan kepentingan antar aktor seperti negera, korporasi, komunitas lokal dan kelompok ideologis (LSM). Namun pertarungan yang mereka “mainkan” sifatnya maya. Kehadiran para aktor yang berkonflik tidak sampai melahirkan benturan fisik (konflik semu) atau saling menjatuhkan. Pihak-pihak yang berkonflik hanya menunjukkan eksistensi dan kepentingannya, di mana negara hadir melalui kekuasaan yang ditunjukkan lewat aturan-aturan formal yang mengikat bahwa kawasan tersebut tidak boleh dijarah karena merupakan kawasan lindung (TAHURA), meski pada kenyataannya Negara menerapkan standar ganda karena larangan itu hanya diperuntukkan bagi penduduk lokal (penambang tradisional) tetapi tidak untuk swasta (korporasi), mereka justru mendapat perlindungan dari pemerintah untuk melakukan eksplorasi. Demikian pula dengan kehadiran LSM melalui pendampingan yang kencang menyuarakan aspirasi masyarakat lokal bahkan merebut simpati komunitas, tapi dipertengahan jalan tersirat adanya agenda atau kepentingan sendiri. Upaya mengembalikan hak-hak masyarakat lokal yang “dirampas” oleh negara menjadi sesuatu
yang absur
(impossible)
karena
masing-masing aktor
menjalankan agenda kekuasaan atau kepentingannya sendiri, seperti disindir Dahrendorf (Wallace dan Wolf, 1986), bahwa Kekuasaan yang didapat oleh seseorang atau kelompok yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan
238 bersama, tetapi kenyataannya kekuasaan tersebut malah digunakan untuk memuaskan tujuan sendiri. Celakannya, seperti kritik Escobar (1998) rezim tata kelola di tingkat lokal atau komunitas (pemerintah desa dan tokoh adat) tidak mampu lagi berkuasa dan berwenang dalam pengaturan SDA yang dimilikinya sendiri, dikarenakan, caraberpikir dan ideologi lokal yang dianut oleh para pemegang otoritas lokal (kepala desa dan tokoh desa yang diikuti oleh warga) secara sadar atau tidak telah larutmengikuti logika-rasionalitas atau cara-berpikir yang dianut oleh agensi ekstralokal (TNCs dan TNSs) yang pada akhirnya berujung pada kehancuran SDA. Pertarungan kepentingan itu ibarat sebuah pentas opera Pan Poboya yang sempurna memainkan alur cerita tentang keterbelakangan, kemiskinan dan marjinalitas. Menarik dari pentas opera ini adalah penulis skenario merangkap pemain dan tidak berada di belakang layar tapi tampil di atas pentas didukung oleh aktor-aktor yang punya otoritas dan bersama sama memanfaatkan isu SDA dan marjinalitas Masyarat adat Poboya untuk menawar otoritas negara terhadap sumberdaya alam Poboya. Tapi bagi masyarakat adat Poboya yang sessunggunya yang ada di ujung pelosok negeri Poboya, apa yang mereka dapatkan dari proses “menawar” di pentas opera itu kecuali menggali kuburnya sendiri. Kondisi ini mengingatkan kita pada kasus penambangan emas di Kepulauan Solomon Papua Nugini yang tulis Diana Conyers, (1986) di mana penambangan yang dilakukan secara masif oleh korporat (Rio Tinto) menyebabkan masyarakat setempat mendapatkan reski berlebih karena nilai jual lahan yang tinggi. Penambangan itu menarik banyak orang dari luar untuk bekerja sebagai penambang. Kehadiran penambang dari luar yang terbiasa hidup hemat (menabung) dan kerja keras, berbuah manis dengan peningkatan kesejahteraan. Hal yang sebaliknya, masyarakat lokal yang dengan kekayaan mendadak, hidup dalam kemewahan, poya-poya dan tidak punya budaya menabung, hingga bencana datang ketika tambang emas habis, akhirnya mereka hidup miskin seperti semula, tapi sebaliknya masyarakat pendatang dengan budaya kerja dan pandai menabung hidup sejahtera. Perbedaan gaya hidup berakhir dengan konflik antar pendatang dengan penduduk pribumi karena kecemburuan sosial.
239 Sepenggal cerita dari kepulauan Solomon Papua Nugini tersebut adalah pelajaran berharga yanng bisa menimpa siapa saja, termasuk Masyarakat Poboya. Dan jika itu terjadi bukan mustahil Poboya jatuh dalam perangkap “kutukan sumberdaya alam” seperti yang disampaikan Richard Auty (1993)90. Suatu negeri yang kaya dengan sumberdaya alam (emas) tapi rakyatnya terbelenggu dalam kemiskinan.
90
Teori Kutukan Sumberdaya Alam diperkenalkan pertama kali oleh Richard Auty (1993) yang menggambarkan Negara-negara yang kaya akan sumberdaya alam, khususnya sumber daya terbarukan seperti mineral dan minyaknya, tapi tidak bisa menggunakan kekayaan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Sumber daya alam yang berlimpah jika tidak digunakan secara hati-hati justru bisa menjadi kutukan ketidakmajuan.
240 DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, 2005. Dongi-dongi - Culmination of a Multi-dimensional Ecological Crisis: A Political Ecology Perspective, Inaugural-Dissertation, Universität Kassel _______, 2007. Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia, IPB Bogor Afiff, 2005. Tinjauan atas Konsep ‘Tenure Security’, dengan beberapa Rujukan pada Kasus-Kasus di Indonesia; Wacana, Edisi 20, Tahun VI Alikodra,2003. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas : Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. IKAPI. Jakarta. AMAN, (1999); Catatan Hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Aman, Jakarta Antoro, Kus Sri (2010). Konflik-Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Ksus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Tesis, Pascasarjana IPB, Bogor. Auty, Richard M., 1993, Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse Thesis, Routledge, London. Barker, (2006). Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Berkes, (1995), ‘Traditional Ecological Knowledge, Biodiversity, Resiliece, and Sustainability’, in Perring, C.A., et. al., 1995,Biodiversity Conversation.The Netherland: Kluwer Academic. Blaikie, dan Brookfield, 1987. Land Degradations and Society. Methuen, London Blaikie, 1985. The Political Economy of soil Erosion in Developing Countries. London, Logman. _______,1999. A Review of Political Ecology-Issues, Epistemology and Analytical Narratives. Zeitschrift fűr Wirtschaftsgeographie, Jg. 43 (1999) Heft 3-4, pp. 131-147. Bogdan dan Biklen,1992. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theories and Methods, Fifth Edition, Boston: Ally and Bacon Inc, Boston Bromley and Cernea, 1989. The Management of Common Property Natural Resources: some conceptual and operational fallacies. World Bank Discussion Papers (57). Washington, D.C.: The World Bank Bryant and Bailey, 2001. Third Word Political Ecology, Routledge- London and New York Bryant, 1997. Power, knowledge and Political Ecology in The Third World; A Review. Progress In Physical Geography, Vol 22/1, pp 79-94 Bungin, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif-Aktualisasi Metdologis Ke Arah Ragam varian Kontemporer, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
241 Burgess, and Huston, 1979. Social Exchange in Developing Relationships, Academic Press, New York Camara, 2000. Spiral of Violence Sheed and Ward. Terjemahan Komunitas Apiru: Spiral Kekerasan. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar. Campbell, 2003. Beragam Pandangan Mengenai Kehutanan Masyarakat (Community Forestry di Indonesia), dalam Kemana harus Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Chambers, 1987. Pembangunan Desa ; Mulai dari Belakang, Jakarta LP3ES Citra, 2003. Peranan Lembaga Adat Topomaradia Pada Etnik Tobalesang Dalam Pengelolaan Lingkungan di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah., Antropologi Fisip Untad Palu Comstock, 1980. : A Method For Critical Research, Departement Of Sociology Washington State University, No. 72 Circulate as part of the Transforming Sociology Series by the Red Feather Institute for Advenced Studies in Sociology Contreras, 2008. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia: Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan, dan Tindakan, Bogor World Agroforestry Center dan Forest Trends. Counway, 1987. Agroecosistem Analisis for Research and Development, Bangkok, Winrock International Institut For Agricultural Development. Curry, 2000. On Ecological Ethics : A Critical Introduction, (ECO- On Ecological Ethics: An Introduction, The Campaign for Political Ecology) Dahniar, 2005. Hukum Lokal Sebagai Media Perlawanan Petani (Studi Kasus Gerakan Petani di Kecamatan Kulawi dalam: Tanah Masih di Langit, (2005) Denzin and Lincoln, 2000. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications Diesendorf and Hamilton, 1997. Human Ecology Human Economy: Ideas for an Ecologically Sustainable Future. Allen and Unwin, Riverwood, Australia Dietz,1998. Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam. (terj.) Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar, INSIST Press dan REMDEC. _______,2005. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam : Kontur Geografi Lingkungan Politik. INSIST Press. Yogyakarta Doni, 2005. Konflik Kawasan Hutan Sebagai Refleksi Perbedaan Kepentingan Politik Ekonomi, Tesis Pascasarjana IPB, Bogor. Dharmawan, 2008. Krisis Energi, Pangan, Ekologi, dan Ekonomi Finansial Gobal: Mengantisipasi Indonesia Tahun 2030, Jurnal Agrimedia, Bogor
242 _______2007a, ‘Dinamika Sosio ‐Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik’, dalam Solidality: Jurnal Transdisiplin, Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, Departemen KPM IPB, Volume 1 Nomor 1 April 2007. _______,2007b, Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik. Makalah disampaikan pada “Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan oleh PKSPL, PSP3IPB dan P4W LPPM IPB, dilaksanakan di Kampus Manajemen Bisnis IPB Gunung Gede, Bogor 9-10 Mei 2007. _______,2007c. Mewujudkan Good Ecological Governance Dalam Pengelolaan SDA; http;//kelembagaandas.wordpress.com _______,2007d. Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis SosioBudaya(Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat), Makalah disajikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan PerkebunanWilayah Perbatasan Kalimantan, dengan tema:”Pembangunan Sabuk Perkebunan Wilayah PerbatasanGuna Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Pertahanan Nasional”, Pontianak 10-11 Januari 2007. Escobar, 1999. ‘After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology’ in Current Anthropology, Vol. 40/1, 1999 _______,1998. Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Social Movements. Journal of Political Ecology, Vol. 5, 1998. Esilo, (2010). Media Aspirasi Rakyat, sumber : http://www.ymp.or.id/esilo Fauzi, 1997. Tanah dan Pembangunan, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta _______,2002. Konflik Tenurial: Yang diciptakan Tapi Tak Hendak Diselesaikan, dalam Lounela A. dan Y, Zakaria (eds). Berebut Tanah, Insist Press, Yogyakarta Feeny, 1994. Frameworks for Understanding Resource Management on The Commons dalam “Community Management and Common Property of Coastal Fishereis in Asia and The Paciific, Concepts, Methods and Experiences”, R.S. Pomeroy (ed.) Manila, JCZARM. Fisher, dkk, 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council. Jakarta. Forsyth, 2003. Critical Political Ecology, The Politics of environmental science; Routledge Taylor & Francis Group London and New York Firmansyah, 2004. Studi Konflik Lahan Perkebunan Kopi Rakyat dalam Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu (Tesis, Institut Pertanian Bogor).
243 Fuad dan Maskanah, 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan , Pustaka Latin, Bogor. Hasan, 2003. Interpensi Kolonial Belanda Terhadap Sistem Pemerintahan Tradisional di Sulawesi Tengah: Gagasan, Majalah Ilmiah Universitas Tadulako,Nomor 37 Tahun XVII Hasibuan, 1997. Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta.UII Press. Hidayat, 2010. Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan, Disertasi, Pascasarjana IPB, Bogor. Ismawa, 1999. Risiko Ekologis, di Balik Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta Media Presindo. Jatam, 2010. Babak Baru Kilau Emas Poboya, Media Alkhairat, 08 Maret Kadir, 1991. Komunitas Ammatowa di Kajang Bulukumba, Studi Tentang Kepercayaan dan Pelestarian Lingkungan, Thesis Pascasarjana Unhas, Ujung Pandang. Keraf, 2002. Etika Lingkungan, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta. Kleden,
2005. Kebijakan–Kebijakan Transnational Institutions yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, dalam :Tanah Masih di Langit,(2005) Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi, Yayasan Kemala, Jakarta
Koentjaraningrat, 2000. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan, Jakarta PT. Gramedia, ________, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Kuswijayanti, 2007. Konservasi Sumberdaya Alam Di Taman Nasional Gunung Merapi, Analisis Ekologi Politik, Tesis Pascasarjana IPB Bogor Lahandu, 2007. .Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah. Tesis, Pascasarjana IPB, Bogor. Lawang, 1999. Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat, Pendekatan Sosiologis, UI Press, Jakarta Legendre, .2004. Science, culture and (eco-)ethics, Ethics in science and environmental politics (ESEP) Published May 4 Lemlit, Untad, 2009. Pengkajian Dampak Aktivitas Penambangan Emas di Kawasan Poboya, Lemlit Untad Palu Little, 2000. Environmental and eco-social rationality : Challenges for political economi in late modernity, New Political Economy Vol 5/1
244 Lynch, 2002. Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik?. Studio Kendil, Jakart: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Mahanani, 2001. Sumberdaya Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan) dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No. 2 Juli 2001 Marx, (1905). The Materials Forces and The Relations of Production, Contribution to the critique of Political Economy, dalam Talcot Parson dkk, (1965). Theories of Society, New York. Murray, 1938. Exploration in Personality, Oxford University Press, New York Mattulada, 1985. Sejarah Kebudayaan To Kaili Palu, Tadulako University Press. McCarthy, 2000. The Changing Regime: Forest Property and Reforms in Indonesia, Development and change, vol. 31, hal 91-120. ________, 2005. Between Adat and State: Institutional Arrangements on Sumatra’s Forest Frontier, Human Ecology Vol.33, No.1, February 2005 Micklin and David, (1998) The Ecological Complex A. Conceptual (Continuities in Sociological Human Ecology Elaboration), Plenum Press, Now York and London Muhamad, 2001. Potensi Konflik Dalam Penguasaan Sumber Daya Alam (Studi Pada Masyarakat Lindu Di Taman Nasional Lore Lindu): Tesis, PPs Unpad, Bandung Murray Li, 1999. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics And Tribal Slot dalam “Berkeley Workshop on Environmental Politics Working Papers”. Nababan, (tt). Kearifan Tradisional : Awal Pengabdian Pada Keberlanjutan Kehidupan : http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/Pengelolaan_Hutan_Berbasis.html Nader and Todd, 1978. The Disputing Proses-Law in Ten Societies, Colombia University Press, New York Nightingale, (tt). “Can Social Theory Adequately Address Nature-Society Isues? Do Political Ecology and Science Studies in Geography Incorporate Ecological Change?”,Institute of Geography Online Paper Series : GEO027. Nurjaya, 1993. Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta. Ostrom, 1999. Self-Governance and Forest Resource. Occasional Paper 20. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. _______,1992. ‘The Rudiments of a theory of the origins, Survival, and Performance of Common-Property Institutions’, in Bromley, D. W. (ed) 1992. Making The Commons Work: Theory, Practice, and Policy. International for Contemporary Studies, San Francisco.
245 _______,1990. Governing the Common. The Evolution of Institutions forCollective Action. Cambridge University Press, UK Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat, Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa (Terj). Landung Simatupang, Insist Press, Yogyakarta _______,1992. Rich Forests, Poor People: Resource Kontrol and Resistance in Java. University of California Press, Berkeley Peet and Watts, 1996. Liberation Ecology: Environment, Development, Social Movement. Raoutledge, London and New York. Prayogo, 2008. Konflik Antara Korporasi Dengan Komunitas Lokal: Sebuah Kasus Empirik Pada Industri Geotermal di Jawa Barat. Disertasi, Fisip UI Press, Depok _______, 2010.Anatomi konflik antara korporasi dan komunitas lokal Pada Industri geotermal di Jawa Barat, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, vol. 14, No. 1, Juli 2010: 25-34 Purwanto, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Rahasthera, 2007. Konflik Kepentingan Pada Pengelolaan Jasa Ekosistem Hutan Lindung (SK Pengelolaan Air Antara Pemangku Kepentingan pada Hutan Lindung Sungai Wain, Kotamadya Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur (Tesis, Pascasarjana Universitas Indonesia). Rambo, 1988. Conseptual Approach to Human Ecologi, Honolulu, East- West Environment and Policy In stitute, Repetto, 1989. Wasting Asets: natural resources in the national income accounts.Washington: World Resource Institute. Ribot dan Peluso, 2003. A Theory of Acsess, Rural Sociology, Volume 68 Number 2 Riyanto, 2004. Pengaturan Hutan Adat di Indonesia. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor.
Robinson,1986. Indonesia: The Rise of Capital. Canberra : Asian Studies Association Press. Robbins, 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. Blackwell, Oxford. Ritzer dan Goodman, 2003. Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta. Saleh, 2003. Dari Insidental Ke Perlawanan Terorganisir : Munculnya Gerakan Masyarakat Adat. WALHI. Jakarta. Sanderson, 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi kedua), PT. Raja Grafindo Persada. Sangaji, 2001. Penghancuran Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Sulawesi Tengah, Yayasan Tanah Merdeka, YTM Sulawesi Tengah
246 Satria, 2006. Krisis Ekologi Politik; http://www.korantempo.com/korantempo/2006/04/13/Opini/ _______, 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat,IPB Press, Bogor Sembiring, 2002. Indonesia: Towards Rationalization of State Forest Zone Policy Regulation and Intitutions. Paper for the Word Bank, Jakarta. Sembiring dan Husbani, 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran serta Masyarakat. Perpustakaan Nasional. Jakarta.
Schlager and Ostrom, 1992. Property-Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis, Land Economics, Vol. 68, No. 3 (Aug., 1992), pp. 249-262, University of Wisconsin Press Schubert, 2005. dalam “Political Ecology in Development Research : An Introductory Overview and Annotated Bibliography“.http://www.nccr-northsouth.unibe.ch
Siva, 1993. Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati, Konphalindo, Jakarta Soekardji, 1995. Kearifan Tradisional Dalam Upaya Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Surabaya, Depdikbud.. Sosetarto, 1999. Dialog-Kritis Antara Golongan Elit dan Warga Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa, Disertasi Pascasarjana IPB, Bogor Steward, 1955. Theory of Cultur Change, The Metodology of Multilinear Evolution, University of Illinois, US of America. Sumardi, dkk, 1997. Peranan Nilai Budaya Daerah Dalam Pelestarian Lingkungan HidupDaerah Istimewa Jogyakarta, Yogyakarta, Depdikbud. Sutaryono, 2008. Pemberdayaan Setengah Hati: Sub Ordinasi Masyarakat adat dalam Pengelolaan Hutan, Lapera Utama dan Sekolah Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta Suparlan, 1995. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, Rajawali, Jakarta Tangketasik, 2010. Antara Negara dan Tongkonan: Ruang-Ruang Negoisasi Baru Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia) Toana, 1997. Persekutuan Hidup dan Sistem Pemukiman Masyarakat To Kaili: dalam Gagasan, Majalah Ilmiah Universitas Tadulako, Nomor 28 Tahun XII Januari 1997 Turner, J.H, (1998). The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company. United Nations, 1973. The Determinant and Consequences of Population Trends, New Summary of Finding on Interaction of Demographic, Economic and Social Faktors, Departemen of Economic and Social Affair, Pulation Studies No. 50 : bahan Kuliah)
247 Usman,
2010. Gerakan Lingkungan Hidup: Jangan Hilang Perspektif PolitikKerakyatannya, Disampaikan dalam Seminar “Membangun Gerakan Sosial Lingkungan Hidup untuk Penyelamatan SumberSumberKehidupan Rakyat demi Terwujudnya Perdamaian di Kalimantan Barat” yang diselenggarakan WALHI KalimantanBarat di Gedung PSE Pontianak, 24 Pebruari 2010
Veeger, 1993. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Gramedia Jakarta Warsilah, (2004). Bunga Rampai Peran Kelompok ORNOP dalam Pengelolaan Konflik SDA di Daerah Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI, Jakarta. _______,2003. LSM dan Pengelolaan Konflik SDA: Peran Kelompok ORNOP dalam Pengelolaan (Resolusi) Konflik SDA di Tingkat Masyarakat Adat Kalimantan. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)LIPI, Jakarta. Watkins, 1974. An Analytic Model of Conflict, Speech Monographs, Nomor 41 Tahun 1974 Widianarko, 1999. Ekologi dan Keadilan Sosial, Kanisius, Yogyakarta Wilenius, 1999. Sociology, Modernity and the Globalization of Environmental Change, International Sociology Vol. 14 (1), SAGE (London and New Delhi) Winarto, 2001, Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial Pengelolaan Sumbere Daya Dalam Kemitraan, dalam Jurnal Atropologi, Jakarta, UI Press. Wiradi, 2009. Reforma Alam; Perjalanan yang belum selesai, STPN Press, Yogyakarta. Witter
dan Bitmar, (2005). Between Concervation, Eco-populism and Developmentalism-Discoursein Biodeversity Policy in Thailand and Indonesia, CAPRI Working Paper No. 37, International Food Policy Research Institute, Washington DC
Yabes, 2004. Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Adat Kaili, Studi di Kecamatan Palu Barat Kota Palu, Tesis Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Yayasan Tambuhak Sinta (2010). Studi Kontaminasi Bahan Beracun dari Pertambangan Emas Skala Kecil, Palu Sulawesi Yudhantara (2006) Konflik Antara BP Dengan Komunitas Lokal di Teluk Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Irian Jaya Barat. Tesis Universitas Indonesia
248
249
LAMPIRAN-LAMPIRAN;
1
250
251
2
252
253
3
254
255
4
256
257
5
258
259
6
260
261
7
262
263
8
264
265
266
267
268
269
270
271
9
272
273
274
275
276
277
278
279
280
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
10
0
292
293
11
0
294
295
12
0
296
297
13
0
298
299
14
0
300
301
15
0
302
303
16
0