Berbagai Ulasan dan Wawancara bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna Pamuji, Silvia T
1
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
Perempuan Bergerak Edisi III Juli - September 2014
Tantangan Baru Perempuan Pedesaan
4
Bila kita mengupas UU desa itu secara teliti, maka banyak potensi masalah terpendam di dalamnya. Persoalan pertama, sejauhmana otonomi desa itu sendiri berhadapan dengan UU otonomi daerah yang sudah beberapa tahun diberlakukan sejak reformasi 1998 digulirkan? Seperti apa kesesuain di antara kedua UU itu, sinergis ataukah saling bertabrakan?
Perspektif Kebijakan yang Berpihak kepada Perempuan Pedesaan
7
Perspektif keadilan gender dalam undang-undang desa tercipta dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang desa. Diharapkan, UU ini dapat menyelesaikan persoalan ketidak-adilan dan ketimpangan gender yang masih kuat terjadi di berbagai desa di seluruh Indonesia
11
2
Kondisi Perempuan di Pedesaan Di Indonesia, kondisi perempuan di pedesaan pun belum menunjukan perbaikan berarti. Perempuan pedesaan masih memperoleh diskriminasi dalam berbagai sektor. Pada tahun 2012, berbagai organisasi perempuan independen menuliskan laporannya kepada Komite CEDAW terkait dengan kondisi perempuan pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia. ...............................................................................................
14
Berkelompok dan Meningkatkan Pengetahuan
17
Nuryanti, Dukuh Perempuan Pertama di Desa Banjaroya
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
Mengikuti berbagai pertemuan, seperti yang dilakukan siang itu menjadi salah satu alternatif yang mereka pilih untuk menambah pengetahuan. Tetapi lembaga yang peduli terhadap persoalan perempuan pedesaan belum banyak. Karena itu, Kalyanamitra melalui program pendampingan komunitas mencoba masuk mendampingi perempuan .................................................................................................
Sebelum menjadi kepala dusun, Ibu Nuryanti bukanlah sosok yang aktif, hanya dia memang rajin datang dalam pertemuan RT dan pertemuan PKK. Demikian ketika ada undangan, ia berusaha untuk mendatanginya. Ia juga bukan perempuan yang memiliki pendidikan tinggi. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SMA. ............................................................................................
REMBUG PEREMPUAN Perempuan Bergerak Membangun Komunitas Yang Egaliter
Penanggung Jawab: Listyowati Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Rena Herdiyani, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi: Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004713; Email:
[email protected]; Website: www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi.
Perempuan Pedesaan: Apa Yang Mereka Pergumulkan?
B
erbagai diskriminasi saat ini masih terus dihadapi oleh perempuan di pedesaan. Salah satu penyebabnya adalah tradisi dan adat istiadat yang masih meminggirkan perempuan desa. Adat istiadat dan tradisi tersebut kerap merugikan mereka. Berbagai aturan dan undang-undang pun diterbitkan untuk mengatasi masalah diskriminasi yang ada baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, namun segala legalitas itu belum mampu menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan. Terdapat tiga masalah utama diskriminasi yang mereka hadapi, seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Dalam bidang kesehatan, perempuan desa belum dijamin dan diutamakan layanan kesehatannya daripada laki-laki. Lingkungan adat mempertahankan dan mengutamakan laki-laki di atas perempuan, termasuk akses terhadap kesehatan. Dalam bidang pendidikan, banyak masyarakat di pedesaan yang menganggap pendidikan untuk perempuan tidak penting. Mereka mengutamakan anak laki-laki untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Ini karena laki-laki dianggap memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Dalam hal ekonomi, perempuan tidak dianggap sebagai penyokong ekonomi keluarga yang penting. Mereka dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Sebagai contoh, perempuan petani meskipun mereka melakukan pekerjaan seperti petani laki-laki, mereka tidak dibayar. Oleh karena mereka dianggap sekadar membantu suaminya bekerja, sehingga yang memperoleh upah hanya sang para suami mereka. Masalah lainnya yang tengah dihadapi perempuan pedesaan adalah program pembangunan desa yang mengabaikan keadilan gender, karena tidak memberikan manfaat positif bagi mereka. Walaupun banyak program pembangunan di desa, namun sedikit kesempatan bagi mereka terlibat dan berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan dan kendali atas program tersebut di desa. Buletin Perempuan Bergerak kali ini akan mengangkat tema berbagai persoalan yang masih dihadapi perempuan pedesaan. Semoga terbitan ini menambah makna baru bagi kita semua. Selamat membaca!!!
Jakarta, 25 September 2014 Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
3
FOKUS
Tantangan Baru Perempuan Pedesaan
P
ada akhir pemerintahan SBY dan kekuasaan di parlemen diluncurkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum (legitimasi) bagi desa untuk mengelola dan membangun dirinya sendiri dengan kekuatan dan kemampuannya. Maksud hukum ini mendorong agar tercipta kemajuan, kemandirian, dan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya; turut serta dalam citacita kemerdekaan nasional. Pertimbangan hukum lainnya ialah bahwa desa dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia adalah fondasi penting yang memungkinkan wilayah NKRI terkonsolidasi dengan baik. Tanpa unit terkecil semacam desa, maka luasan wilayah Indonesia akan mengalami tantangan kesukaran yang luar biasa. Dalam UU tersebut dipertimbangkan bahwa desa memerlukan kemandirian dalam pengelolaan sistem pemerintahannya
4
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilainilai tradisi ataupun budaya yang berkembang di dalamnya. Semangat UU desa adalah memberikan otonomi kepada penyelenggara desa untuk mengatur dan memerintah desa mereka agar mampu memakmurkan dan mensejahterakan masyarakatnya. Dalam pertarungan pilpres yang lalu, yang berhasil mendudukkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ke tampuk kekuasaan kepresidenan, mereka menjanjikan kepada rakyat Indonesia untuk mendukung pelaksanaan UU desa tersebut, dengan mengalokasikan anggaran
negara yang cukup besar, sekitar Rp 1 milyar per desa. Padahal jumlah desa di Indonesia kini mencapai 80 ribu desa, maka total anggaran negara yang harus disediakan per tahunnya bisa mencapai Rp 80 trilyun. Angka ini tentu cukup besar, apalagi jika dikalikan selama 5 tahun periode kepresidenan JokowiJk, maka ia akan mencapai—secara linear—kurang lebih Rp 400 trilyun. Sungguh fantastis bukan? Bila kita mengupas UU desa itu secara teliti, maka banyak potensi masalah terpendam di dalamnya. Persoalan pertama, sejauhmana otonomi desa itu sendiri berhadapan dengan UU otonomi daerah yang sudah beberapa tahun diberlakukan sejak reformasi 1998 digulirkan? Seperti apa kesesuain di antara kedua UU itu, sinergis ataukah saling bertabrakan? Kedua, dengan adanya desain MP3I yang digulirkan oleh Bappenas yang sudah merancang dan mengalokasi setiap jengkal tanah
FOKUS dan sumberdaya yang ada di dalamnya untuk kepentingan investasi, sebetulnya sejauhmana batas-batas pengelolaan mandiri sumberdaya oleh desa itu sendiri? Ketiga, digulirkannya kelak anggaran desa Rp 1 milyar per desa, apakah seluruh aparat, prasarana, perangkat desa, dan masyarakat desa sudah siap dengan kucuran tersebut? Bagaimana UU keuangan mengaturnya? Bagaimana UU pajak mengaturnya? Bagaimana UU pendapatan daerah mengaturnya? Apakah 80 ribu kepala desa di Indonesia sudah diberikan pembekalan mengenai akuntansi standar menteri keuangan Indonesia? Kalau semua prasyarat yang ada tidak dapat dipenuhi oleh desa yang hendak memperoleh anggaran tersebut, maka kerawanan korupsi akan terjadi di 80 ribu desa dengan potensi kerugian Rp 80 trilyun per tahun. Tentu KPK akan bertambah pekerjaannya untuk menangkapi aparat negara, yang selama ini sudah terjadi di pusat, sekarang akan sampai di tingkat desa. Di segi lain, apabila anggaran tersebut sudah dialokasikan setiap tahun oleh pemerintah untuk setiap desa, namun dengan tidak terpenuhinya standar atau prasyarat oleh desa terkait, maka besar kemungkinan anggaran akan diselewengkan oleh aparat di tingkat pusat, DPRRI, ataupun oleh DPRD atau pemerintah daerah. Isu lain dengan berlakunya UU desa ialah mudahnya investor menanamkan modalnya langsung ke desa-desa tanpa melalui tingkatan kabupaten ataupun provinsi. Andai ini terjadi, maka akan muncul elit desa baru, yang selama ini UU otonomi daerah sudah menciptakan elit provinsi dan kabupaten. Kekacauan sosial dan hukum baru akan berkembang dengan tafsiran hukum atas UU desa yang bisa sewenang-wenang oleh pihakpihak yang akan memanfaatkan keadaan. Semangat UU desa tersebut mungkin saja baik, namun tafsir hukum atasnya bisa beraneka di tingkat lapangan, hal itu pasti akan terjadi apabila masyarakat desa tidak siap menerima dan menjalaninya. Akan lebih berat lagi bila mereka sudah jauh-jauh hari selama ini hidup dalam keapatisan akibat situasi dan kondisi desa yang miskin dan terkebelakang. Mereka merasa dan berpikir bahwa perubahan tidak akan terjadi dengan UU desa yang baru itu, sekalipun anggaran
Faktor akut yang selama ini menjebak desa dalam kemandekan ialah kemiskinan dan budaya kemiskinan (culture of poverty). Kemiskinan desa mungkin bisa akibat minimnya sumberdaya alam, tantangan geografis yang berat, maupun lemahnya kompetensi sumberdaya manusianya.
lumayan besar sudah akan dikucurkan pemerintahan Jokowi-Jk. Dengan tidak siapnya masyarakat desa, akibat keadaan itu, dana-dana yang ada dan potensi perubahan akan lenyap begitu saja. Faktor akut yang selama ini menjebak desa dalam kemandekan ialah kemiskinan dan budaya kemiskinan (culture of poverty). Kemiskinan desa mungkin bisa akibat minimnya sumberdaya alam, tantangan geografis yang berat, maupun lemahnya kompetensi sumberdaya manusianya. Paradigma pengelolaan sumberdaya yang ada selama ini selalu berporos pada kehendak pemerintahan (government based resources management). Padahal UU desa yang ada itu memerlukan paradigma pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (people based resources management). Kemiskinan desa berdampak luas bagi sumberdaya manusianya. Akan terjadi migrasi tenaga kerja besar-besaran dari desa ke wilayah-wilayah lain yang dianggap lebih memberikan kesempatan finansial, misalnya ke perkotaan atau keluar negeri. Menjadi TKI ataupun TKW adalah pilihan ideal untuk mengatasi kemiskinan struktural di desa. Biasanya buruh migrant perempuan akan sangat rentan dan beresiko tinggi mengalami eksploitasi dan diskriminasi akibat ketidakpastian hukum di tanah air dan lemahnya diplomasi hukum internasional kita. Budaya kemiskinan adalah wujud lain dari traumatiknya pengalaman orang akan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari. Orang-orang desa yang bertahun-tahun dan dari generasi ke generasi tidak merasakan perubahan apapun yang signifikan atas kehidupan mereka, cepat atau lambat, akan mempolakan pesimisme terhadap keadaan yang ada. Mereka tidak melihat sinar terang jalan keluar atas masalah-masalah mereka. Ketidakadilan sosial yang tak pernah kunjung tiba memupuskan harapan-harapan yang ada. Perempuan desa sebagai sumberdaya manusia desa memerlukan ruang kiprah yang lebih luas daripada sekadar menjadi ‘konco wingking’, bukan hanya pembantu laki-laki di rumah tangga. Perempuan desa, dengan penerapan UU desa yang baru itu, membutuhkan kekuatan partisipasi politik yang lebih besar di tingkat desa. Mereka harus mampu bernegosiasi dengan aparat dan perangkat desa agar Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
5
FOKUS memperoleh hak-hak dan keadilan sosial yang dijanjikan pemerintah atau negara. Untuk bisa bernegosiasi di lembaga desa atau berkiprah di perangkat desa, mereka harus berlatih bernegosiasi di rumah tangga mereka masing-masing agar terampil berpikir dan bertindak memperjuangkan hak-hak dan keadilan mereka. Mereka harus menuntut hak-hak dan keadilan itu. Peran pendidikan kritis akan diperlukan untuk membekali perempuan desa. Pendidikan itu memerlukan media belajar seperti kelompok-kelompok pengorganisiran. Belajar di dalam kelompok-kelompok akan memperkuat kepercayaan diri dan keberanian diri pribadi-pribadi perempuan desa. Pada akhirnya, pendidikan dapat memperluas wawasan diri, keterampilan berpikir dan bertindak untuk dapat bernegosiasi. Dengan peluncuran UU desa yang baru lalu, perempuan desa harus menjadi subyek hukum dan budaya di desanya. Sebagai pelaku, mereka tidak boleh tunduk kepada kepentingan-kepentingan modal ataupun politik tertentu yang menjebloskan mereka kedalam jurang kemiskinan/ketidakadilan. Kewajiban pemerintah desa untuk membuka ruang demokrasi yang lebih lebar bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam perancangan pembangunan desa, mengendalikan, dan pada gilirannya mengakses perubahan yang ada. Keterlibatan mereka dalam Musrenbang selama ini, misalnya, bukanlah jawaban atas persoalan yang ada, karena corak keterlibatan itu bukanlah keadilan
6
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
dan kejujuran; alias penuh manipulasi. Keikutsertaan perempuan desa dalam pembangunan desa jangan dianggap sebagai pelengkap penderita. Merekalah pelaku dan sasaran perubahan itu sendiri. Akankah UU desa yang baru dapat berjalan beriringan dengan kepentingan perempuan desa, itu sangat bergantung pada tafsir kepentingan yang tepat atas produk hukum itu sendiri. Keterbukaan pemerintah desa untuk berdiskusi dan berdialog dengan masyarakatnya, dengan kalangan perempuan, adalah mutlak untuk dilakukan. Pemerintah desa wajib membuka dialog dengan perempuan desa di atas landasan kesetaraan dan keterbukaan. Prakarsa mereka harus dipandang sebagai pilihanpilihan merdeka yang mempersiapkan jalan keadilan dan demokrasi bagi masyarakat. Pada gilirannya, UU desa sebagai kebijakan negara hendaknya selaras dengan kebijakan sosial
masyarakat desa. Masyarakat desa dengan segala tradisi dan budayanya patut memperoleh ruang kiprah di dalam UU desa yang baru itu, khususnya dalam penerapannya. Untuk dapat mengefektifkan daya dorong bagi perubahan yang adil dan beradab di desa, maka UU desa harus bersinergi dengan kepentingan perempuan secara multi dimensi: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Hanya dengan cara demikian, tantangan baru bagi mereka dengan hadirnya UU desa, dapat mereka hadapi. Bahasa kepentingan mereka haruslah sejajar, bukan diletakkan lebih rendah dari bahasa hukum kebijakan negara, yang terkadang tidak memberikan keadilan apapun. Kebohongan publik bisa saja dilakukan dengan bersembunyi di balik ayat-ayat, pasal-pasal, suatu UU. Demikian pula UU desa, apakah tidak mungkin ada kejahatan terselubung di dalamnya?! *****HG
OPINI
Perspektif Kebijakan yang Berpihak kepada Perempuan di Pedesaan Oleh: Manna Maria Nababan1
S
ebagian besar orang miskin di Indonesia adalah perempuan. Konsep feminisasi kemiskinan dengan jelas menggambarkan ketidakadilan dalam soal keterwakilan perempuan di antara orang miskin dibandingkan dengan laki-laki. Kaum perempuan miskin lebih menderita karena pada sebagian besar masyarakat, perempuan menjadi subjek dari nilai-nilai sosial yang membatasi mereka dalam meningkatkan kondisi ekonomi atau menikmati akses yang sama ke pelayanan umum. Nilai-nilai dalam masyarakat berupa pernikahan di usia muda, keharusan segera memiliki anak, kehamilan berkalikali untuk memperoleh anak lakilaki, dan jam kerja yang panjang di rumah, menjadikan perempuan termarjinalkan. Beberapa hal yang mengakibatkan Ketidak-setaraan gender di Indonesia: 1. Sering terlibat dalam pekerjaan pertanian yang berproduktivitas rendah 2. Minim akses mengikuti pelatihan-pelatihan 3. Menerima upah lebih rendah dalam pekerjaan yang sama 4. Perempuan sering kurang
modal kerja bila ingin membuka usaha 5. Tidak mempunyai hak jaminan atas tanah yang mereka garap karena harus atas nama suami 6. Umumnya berpendidikan lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki, lebih banyak anak perempuan yang tidak sekolah 7. Mempunyai akses lebih sedikit keperawatan kesehatan 8. Menjadi subyek hubungan seks yang tidak aman 9. Kurang terlibat dalam pembuatan keputusan di keluarga 10. Beban terlalu berat di dalam keluarga Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi kemiskinan perempuan dan jumlah perempuan miskin di Indonesia bukan hanya dengan menyediakan sumber daya ekonomi bagi wanita. Jika kita tidak mengubah hubungan ketidak-setaraan gender dalam masyarakat, maka mereka akan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk menggunakan sumber daya yang ada secara efisien. Masih rendahnya akses terhadap layanan dasar di bidang kesehatan, infrastruktur (jalan,
lingkungan, pengelolaan limbah, sampah, sanitasi, air bersih) berakibat meningkatnya beban kerja perempuan dan menurunnya derajat kesehatan mereka dan anak mereka. Seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan, tingginya angka kematian bayi dan balita, meningkatnya jumlah perempuan yang mengalami stress, dan lain-lain merupakan contoh semua itu. Kaum perempuan pedesaan tetap terjebak dalam kemiskinan dan menjadi korban atas keterbatasan layanan yang ada. Di beberapa bidang, nasib perempuan masih terabaikan di bidang pendidikan. Masih banyak perempuan yang buta huruf. Di bidang kesehatan, rendahnya akses perempuan terhadap pangan bergizi. Di bidang ekonomi, upah perempuan dan laki-laki masih dibedakan. Di bidang politik, perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta adanya larangan perempuan menjadi kepala desa atau anggota BPD, dengan alasan adat. Di bidang budaya, ketimpangan terjadi dalam bentuk larangan bagi perempuan sebagai pemimpin adat, misalnya budaya batak tidak memperkenankan perempuan menjadi juru bicara atau menyampaikan pendapat
1 Staf Pokja Reformasi Kebijakan Publik; Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Jl. Siaga 1 No.2B, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 T. 021-79183221/ F.021-79183444, www.koalisiperempuan.or.id; Mobile : 081281796526
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
7
OPINI bila ada acara adat. Laporan Pemerintah menyatakan bahwa tingat kemiskinan terus menurun, namun angka kemiskinan dalam statistik BPS, tidak menggambarkan realitas sesungguhnya di Indonesia. Perbedaan dalam menggunakan indikator garis kemiskinan, sangat berpengaruh pada hasil akhir jumlah dan prosentase kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan tetap merupakan persoalan utama dalam masyarakat. Situasi terberat adalah kemiskinan di pedesaan dan dampaknya paling dirasakan oleh perempuan pedesaan Indonesia. Tak hanya di tingkat nasional, bahkan di tingkat Internasional pun telah menjadi topik yang hangat dibicarakan bahwa problem ketidakadilan gender tetap mendominasi sebagai akar kemiskinan, kekerasan dan berbagai tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Negara, masyarakat maupun individu. Walaupun pemerintah telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women–CEDAW) melalui UU No. 7 tahun 1984 dan kebijakan pengarus utama gender, belum juga menjawab problem yang ada atas adanya diskriminasi gender. Kewajiban negara dalam pasal 14 Cedaw adalah negara peserta wajib memperhatikan masalahmasalah khusus yang dihadapi oleh perempuan pedesaan dan peran penting perempuan pedesaan dalam mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi keluarga termasuk pekerjaan mereka dalam sektor ekonomi yang tidak dinilai dengan uang dan wajib melakukan segala langkah yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan ketentuan konvensi ini bagi perempuan di daerah pedesaan. Informasi yang transparan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan 8
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
Masih rendahnya akses terhadap layanan dasar di bidang kesehatan, infrastruktur (jalan, lingkungan, pengelolaan limbah, sampah, sanitasi, air bersih) berakibat meningkatnya beban kerja perempuan dan menurunnya derajat kesehatan mereka dan anak mereka. Seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan, tingginya angka kematian bayi dan balita, meningkatnya jumlah perempuan yang mengalami stress, dan lain-lain merupakan contoh semua itu. Kaum perempuan pedesaan tetap terjebak dalam kemiskinan dan menjadi korban atas keterbatasan layanan yang ada.
oleh kelompok masyarakat makin menguat. Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan tersebut terjadi sebagai akibat menguatnya politik berbasis identitas, terutama politik yang menggunakan simbol-simbol keagamaan. Kelompok masyarakat yang bekerja dengan ideologi politik identitas ini, menebarkan nilai-nilai fundamentalisme yang anti terhadap keberagaman, toleransi, demokasi dan nilai-nilai standar Hak Asasi Manusia. Berbagai kebijakan di Indonesia pun dilahirkan oleh Pemerintah dalam percepatan pengarusutamaan gender, seperti Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, diharapkan akan memperkuat keberdayaan pemerintahan dan masyarakat Desa, meningkatkan pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sehingga pada gilirannya akan berdampak pada percepatan penghapusan kemiskinan, diskriminasi, ketimpangan sosial dan ketimpangan gender, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta berkontribusi pada tumbuh kembangnya kehidupan yang damai dan demokratis. Perspektif keadilan gender dalam undang-undang desa tercipta dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang desa. Diharapkan, UU ini dapat menyelesaikan persoalan ketidakadilan dan ketimpangan gender yang masih kuat terjadi di berbagai desa di seluruh Indonesia. Dalam ketentuan pasal 63 dinyatakan, bahwa tugas Badan Permusyawaratan Desa, salah satunya adalah melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Undang-Undang Desa dipandang merupakan UU yang sangat strategis untuk dikawal implementasinya, karena menyangkut persamaan kesempatan dan peluang bagi laki-laki dan perempuan untuk berperan dalam pembangunan pedesaan. Hadirnya undang-udang ini seharusnya membawa perubahan
OPINI dalam hal: • Dana pembangunan yang akan dikucurkan langsung ke desa. Sebanyak 72 ribu desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan dana pembangunan setahun 104.6 truliyun rupiah. Tentu pendistribusian dana desa itu akan memperhatikan jumlah penduduk, geografi desa, dan jumlah warga miskin. Dalam pengelolaan dana pembangunan langsung tersebut, BPD akan mengalami penguatan fungsi, yaitu bersama Perangkat Desa mendesain anggaran dan memonitor pelaksanaan pembangunan di desanya. • Para Kades akan mendapatkan gaji rutin setiap bulan, dan jaminan kesehatan. Harapannya perangkat desa dapat bekerja dengan tenang, dan meningkat integritasnya
sebagai pimpinan desa, serta sebagai kompensasi atas beban Desa ini memberi ruang yang luas untuk perubahan pembangunan desa, yang bisa dirancang dan jalankan oleh perangkat desa dan rakyatnya. • Kewenangan perangkat desa menurut UU Desa ini meningkat, makin besar. Sebab mereka perlu mendesain dan menjadi penentu dari pembangunan desanya. Dengan catatan, dalam menjalankan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa itu tidak boleh ada monopoli kebijakan. Kemudian kebijakan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional telah diinstruksikan kepada para Menteri; Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia; Gubernur, Bupati/Walikota, untuk: 1. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang beperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing. 2. Memperhatikan secara sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sebagaimana terlampir dalam intruksi Presiden ini sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender. 3. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; memberikan bantuan
“Perempuan harus terus berupaya meningkatkan kualitas melalui berbagai keterampilan demi peningkatan kesejahteraan”
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
9
OPINI teknis kepada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam melaksanakan pengarusutamaan gender, melaporklan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada Presiden. 4. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing menetapkan ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Intruksi Presiden ini. Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi perempuan mendorong agar disahkan Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender yang diharapkan berpengaruh dalam menciptakan Pengarusutamaan Gender. Dalam beberapa pasal yang diusulkan tentang budaya dan adat, agar selaras dengan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan Gender. Gender menjadi persoalan karena menyebabkan terjadinya perbedaan peran, posisi dan nilai yang diberikan terhadap perempuan dan laki-laki yang menimbulkan ketidakadilan. Untuk itu gender penting untuk
10
dianalisis, karena ketidakadilan yang ditimbulkan mengakibatkan penderitaan. Perempuan adalah kelompok yang paling menderita dari ketidakadilan gender. Gender tidak akan menjadi masalah bila tidak terjadi ketidakadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Negara, agama, budaya dan keluarga sangat berperan dalam ketidakadilan gender ini. Ketidakadilan gender ini adalah persoalan yang telah lama tertanam karena berawal dalam masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarkhi yang menyebabkan segregasi yang tajam antara laki-laki dan perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi yakni: Beban ganda, pada masa moderen pekerjaan di ruang politik tidak hanya dilakukan oleh laki-laki tapi juga perempuan, namun demikian perempuan tetap bertanggungjawab di ruang domestik; Marginalisasi, terhadap perempuan terjadi dalam kultur birokrasi dan progam-program pembangunan sehingga secara sistematis perempuan tersingkir dan dimiskinkan secara sosial dan ekonomi. Tetap saja persoalan diskriminasi terhadap perempuan tidak
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
terselesaikan, bahkan kebijakan yang baru-baru ini secara terangterangan menghambat pemajuan perempuan dalam meraih posisi tertentu, yakni pengesahan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pada Juli 2014. Pengesahan revisi UU MD3 ini menjadi kontroversial tak hanya karena kuatnya muatan kepentingan kelompok, namun juga karena dihapusnya ketentuan keterwakilan perempuan dalam pimpinan alat kelengkapan dewan, padahal jumlahnya di DPR turun terus. Pengesahan ini tak hanya penghancuran komitmen negara terhadap kaum perempuan namun juga menghapus keterwakilan suara perempuan dalam pengambilan keputusan. Padahal keterwakilan perempuan dalam parlemen terus meningkat menjadi 18 persen pada Pemilu 2009. Tetapi pada periode baru DPR RI 2014-2019 hanya 17,32 % atau 97 orang. Artinya, terjadi lagi penurunan keterwakilan perempuan di parlemen. Bagaimana perempuan dapat maju, bila hak suara saja terus di kebiri?
WARTA PEREMPUAN
Kondisi Perempuan di Pedesaan “Secara kolektif, perempuan pedesaan adalah kekuatan yang dapat mendorong kemajuan global,” – Ban Ki Moon, Sekretaris Jendral PBB
T
anggal 15 Oktober diperingati dunia sebagai Hari Perempuan Pedesaan Internasional. Pada momen tersebut, kita diingatkan untuk terus mendukung dan mempromosikan upaya-upaya penguatan perempuan di pedesaan. Sebab hingga saat ini, kondisi perempuan pedesaan di berbagai belahan dunia masih sangat memprihatinkan padahal mereka merupakan salah satu penyokong utama keberlanjutan pembangunan suatu negara di berbagai sektor, seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Di Indonesia, kondisi perempuan di pedesaan pun belum menunjukan perbaikan berarti. Perempuan pedesaan masih memperoleh diskriminasi dalam berbagai sektor. Pada tahun 2012, berbagai organisasi perempuan independen menuliskan laporannya kepada Komite CEDAW terkait dengan kondisi perempuan pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia atas implementasi Pasal 14 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang memuat tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi perempuan di pedesaan yang
belum optimal. Dari laporan tersebut, disebutkan bahwa kondisi perempuan pedesaan masih mengalami berbagai persoalan seperti kemiskinan, kerawanan pangan, kekerasan berbasis gender dan kekerasan berbasis budaya, rendahnya akses terhadap layanan publik (terutama kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil), buruknya instruktur dasar di pedesaan (terutama jalan desa, sumber air bersih yang aman, sanitasi, irigasi dan listrik). Kendati data BPS menyebutkan bahwa grafik penduduk miskin di
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
11
WARTA PEREMPUAN Indonesia mengalami penurunan, yakni 28,28 juta orang per Maret 2014 namun belum ada data terpilah yang pasti terkait dengan jumlah penduduk perempuan yang hidup dalam kemiskinan di pedesaan. Diyakini angka kemiskinan perempuan di pedesaan karena berdasarkan data-data di lapangan, bahwa kondisi perempuan di pedesaan masih terjadi ketimpangan gender serta hak-hak asasinya diabaikan. Dalam hal kesehatan, masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), yakni 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012) sampai saat ini menjadi pekerjaan rumah yang belum teratasi. Angka Kematian Ibu di pedesaan tentu lebih tinggi jumlahnya karena berkaitan dengan persoalan transportasi dan fasilitas kesehatan yang belum memadai terutama di wilayah-wilayah terpencil. Selain itu, adanya disparitas pelayanan kesehatan antara perkotaan dan pedesaan, sehingga ini menjadi cerminan bahwa perhatian terhadap kesehatan perempuan di pedesaan belum optimal. Perempuan di pedesaan juga masih mengalami persoalan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam. Perempuan sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ketika terjadi alih fungsi lahan produksi menjadi kawasan pertambangan misalnya. Sehingga tidak dipikirkan dampaknya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat dan secara khusus terhadap kebutuhan spesifik perempuan. Perempuan menerima dampak langsung atas hilangnya akses terhadap sumber daya alam, misalnya pangan dan air bersih yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Krisis pangan dan air bersih semakin memiskinkan kehidupan masyarakat secara umum. Namun acap kali hal ini tidak disadari oleh para pengambil keputusan di desa yang lebih banyak dikendalikan oleh laki-laki. Selain itu, dalam persoalan upah juga masih terjadi ketimpangan. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan menjadikan 12
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
Berbagai program yang dicanangkan pemerintah yang tujuannya adalah untuk mengatasi kemiskinan dirasa masih belum tepat sasaran. Apalagi menyasar secara langsung untuk mengatasi kemiskinan perempuan di pedesaan. Misalnya, adanya program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) yang telah diluncurkan sejak 2007 yang salah satu bentuknya adalah Simpan Pinjam Perempuan (SPP).
perempuan kehilangan sumber penghidupan sehari-hari. Mau tidak mau, untuk menyambung hidup perempuan juga bekerja sebagai buruh-buruh perkebunan. Upah buruh tani perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, ditambah lagi dengan beban kerja perempuan yang berlapis karena masih tetap diposisikan sebagai pengurus utama dalam rumah tangga. Kondisi serupa juga terjadi pada buruh tani perempuan yang lahan pertaniannya telah beralih dan dikuasai para pemodal. Berbagai program yang dicanangkan pemerintah yang tujuannya adalah untuk mengatasi kemiskinan dirasa masih belum tepat sasaran. Apalagi menyasar secara langsung untuk mengatasi kemiskinan perempuan di pedesaan. Misalnya, adanya program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) yang telah diluncurkan sejak 2007 yang salah satu bentuknya adalah Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Program ini tidak tepat sasaran karena sering perempuan meminjam untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan, dan kesehatan, sehingga akhirnya perempuan akan kesulitan membayarkan pinjaman karena aksesnya terhadap sumber-sumber daya alam telah hilang. Bukannya mengatasi kemiskinan, justru akan menciptakan kemiskinan baru karena banyaknya perempuan yang terjerat hutang pinjaman. Semangat penguatan dan pemberdayaan ekonomi perempuan, sama sekali tidak tercermin dalam program ini. Selain itu, adanya pelibatan perempuan 30% dalam Musrenbangdes tidak menjamin bahwa kebutuhan perempuan akan terakomodir. Sebab dalam prosesnya kerap kali forum masih didominasi oleh laki-laki. Dan di hilir, usulanusulan yang terkait dengan kebutuhan spesifik perempuan diabaikan. Misalnya kepentingan renovasi balai-balai desa lebih diutamakan dibandingkan dengan renovasi dan
WARTA PEREMPUAN pengadaan fasilitas puskesmas atau polindes. Angin segar perubahan kondisi perempuan di pedesaan sebetulnya sangat diharapakan dengan disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Dalam berbagai hal, UU Desa dapat diapresiasi sekaligus diwaspadai. Misalnya dalam hal anggaran. Dalam UU Desa Pasal 72 ayat 4 menyebutkan bahwa alokasi dana yang akan mengalir ke Desa ditetapkan paling sedikit 10% dari dana transfer daerah dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam implementasinya tentu harus dipantau dengan seksama. Sebab seharusnya adanya alokasi dana tersebut harus diprioritaskan pada peningkatan pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Selain itu, tantangan UU Desa juga harus memastikan dan
menjamin pelibatan perempuan dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan dan evaluasi. Karena tanpa pelibatan perempuan dan partisipasi perempuan di berbagai tingkatan, proses pembangunan dan peningkatan kesejahteraan kehidupan perempuan tidak dapat berjalan maksimal. Oleh karena itu, kewajiban negara sesuai dengan yang dimandatkan dalam Pasal 14 CEDAW harus terus ditagih komitmennya, yakni negara wajib mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan pedesaan yang salah satunya melalui pengintegrasian prinsip-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan substantif dan non diskriminasi pada setiap program-programnya mulai dari perencanaan hingga evaluasi
program. Selain itu, negara juga wajib melakukan upaya-upaya secara berkelanjutan untuk menghapus segala bentuk praktik-praktik kebiasaan yang mendiskriminasi perempuan pedesaan.*****(IK) Rujukan: 1. Dokumen Laporan Independen NGO, Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia Pemenuhan Hak Asasi Perempuan Pedesaan pada Pasal 14 CEDAW, oleh Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi. Jakarta: May 2012 2. http://unic-jakarta. org/2014/10/16/menandaihari-sedunia-pbb-sorotiperempuan-pedesaansebagai-kekuatan-yangdapat-mendorong-kemajuanglobal/#more-5789 3. http://www.voaindonesia. com/content/duniadidesak-beri-perhatianpada-nasib-perempuanrdesaan-141934843/105863. html 4. http://www.voaindonesia. com/content/bps-tingkatkeliskinan-indonesiamenurun/1948483.html 5. http://katadata.co.id/ berita/2014/07/01/trenkemiskinan-indonesia-terusmenurun 6. http://pattiro.org/?p=3459
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
13
WARTA KOMUNITAS
Berkelompok dan Meningkatkan Pengetahuan
S
iang itu, matahari baru sedikit bergeser ke arah barat. Sinarnya sangat terik menyengat tiap tubuh yang ada di bawahnya. Pohon-pohon pun banyak yang mulai menggugurkan daun-daunnya yang kering, karena tak menerima asupan air lagi dari batangnya. Debu beterbangan ketika angin bertiup. Maklum, ini masih bulan kemarau, maka siang hari matahari bersinar dengan sangat terik, sementara malam hari dinginnya merasuk hingga ke tulangtulang kita. Di sebuah rumah yang sangat sederhana di dusun Tanjung,
14
Banjaroya, ibu-ibu tengah berkumpul. Satu per satu mereka datang. Ada yang datang secara bergerombol, ada yang datang sendirian. Ada yang datang naik motor, tapi lebih banyak mereka datang dengan berjalan kaki. Padahal jarak yang mereka tempuh tidaklah dekat. Kadang harus mereka lalui medan yang sangat sulit. Dengan jarak yang jauh tersebut, maka dapat mengendari motor sendiri menjadi suatu kebutuhan. Dengan demikian akan mempermudah mobilitas para ibu rumah tangga ini. Namun tak semua orang mampu membeli motor, maka berjalan kaki menjadi
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
satu hal yang dipilih walaupun harus menempuh jarak yang sangat jauh. Dusun Tanjung, menjadi salah satu dusun yang berada di wilayah desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Dusun Tanjung menjadi bagian dari desa Banjaroya yang berada di wilayah atas. Disebut sebagai wilayah atas, karena daerah ini masuk daerah perbukitan. Dusun Tanjung terbagi menjadi 4 RT. Karena berada di wilayah perbukitan, medannya pun sangat berat. Akses dari satu RT ke RT lainnya, biasa dilakukan ibu-ibu dengan berjalan kaki. Kadang
WARTA KOMUNITAS
ditempuh dengan menerobos hutan bukit. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jarak tempuh yang sangat jauh. Karena masuk dalam wilayah perbukitan, maka jalannya pun tidak rata. Kadang terlalu menurun terjal, tapi lebih sering juga sangat menanjak curam. Teriknya mentari siang itu dan jarak yang jauh serta medan yang sulit tidak menyurutkan langkah ibuibu untuk hadir dalam pertemuan kelompok yang sudah disepakati bersama, yang akan dilaksanakan hari itu. Saling bertegur sapa, bertanya kabar dan kegiatan hari itu mewarnai awal pertemuan di rumah salah seorang anggota kelompok. Rumah yang sangat sederhana. Obrolan mereka menyampaikan keterangan bahwa beberapa dari mereka baru pulang kerja untuk proyek perbaikan jalan. Karena hari itu ada agenda pertemuan kelompok, maka ia berangkat kerja lebih pagi yaitu jam 06.00 agar bisa pulang tepat jam 14.00 sehingga bisa
mengikuti pertemuan kelompok. Ada juga yang baru selesai nitis (membuat gula jawa) kemudian datang ke pertemuan. Ada pula yang baru pulang mencari rumput untuk pakan ternaknya. Berbagai kegiatan sehari-hari dilakukan para perempuan tersebut, sebelum datang ke pertemuan kelompok. Tetapi ada pula yang menunda beberapa kegiatan mereka, agar dapat hadir dalam pertemuan tersebut. Tak perlu menunggu lama, hampir 25 orang telah berkumpul di dalam ruangan di rumah yang sederhana itu. Maka acara pun segera dibuka dengan pembacaan doa dan pembacaan agenda yang akan dibahas hari itu. Beberapa agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut antara lain usaha bersama, kondisi kelompok dan diskusi tentang kanker rahim (serviks). Diskusi tentang kanker serviks menjadi topik bahasan dalam pertemuan kali ini karena kanker mulut rahim ini merupakan penyakit
paling banyak diidap perempuan di dunia. Berdasarkan data yang ada, dari banyak penderita kanker di Indonesia, maka penderita kanker serviks mencapai sepertiganya. Dalam data WHO tercatat, setiap tahun ribuan perempuan meninggal dunia karena kanker sekvis ini. Kanker ini menempati peringat teratas sebagai penyebab kematian perempuan di dunia. Sebagai kelompok perempuan yang tinggal di pedesaan, sering informasi-informasi yang didapat sangat terbatas. Akhirnya, masyarakat yang tinggal di pedesaan tidak memiliki wawasan seperti yang tinggal di perkotaan. Selain itu, tingkat pendidikan perempuan pedesaan terbatas. Jarak rumah ke sekolah sangat jauh terutama pada jenjang yang lebih tinggi. Biasanya sekolah-sekolah tingkat bawah atau dasar memang banyak, tetapi masuk ke jenjang yang lebih tinggi, hanya sedikit pilihan sekolah yang tersedia. Maka mereka memutuskan untuk
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
15
WARTA KOMUNITAS berhenti bersekolah dan memilih bekerja membantu orang tua mereka. Mengikuti berbagai pertemuan, seperti yang dilakukan siang itu menjadi salah satu alternatif yang mereka pilih untuk menambah pengetahuan. Tetapi lembaga yang peduli terhadap persoalan perempuan pedesaan belum banyak. Karena itu, Kalyanamitra melalui program pendampingan komunitas mencoba masuk mendampingi perempuan pedesaan. Sebagai pusat komunikasi dan informasi perempuan, Kalyanamitra ingin berbagi informasi dengan perempuan di pedesaan juga. Kegiatan pendampingan komunitas tersebut dimulai awal tahun 2013. Terdapat 20 kelompok perempuan yang didampingi Kalyanamitra, yang berada di 17 dusun. Berbagai kegiatan dilakukan dalam program tersebut: diskusidiskusi rutin dengan berbagai topik menjadi agenda dalam setiap pertemuan. Hal tersebut dilakukan agar kelompok perempuan di pedesaan dapat memperoleh informasi yang sama dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Berbagai topik diskusi Kalyanamitra bahas dalam setiap pertemuan kelompok, misalnya masalah kesehatan reproduksi perempuan dan anak, organ reproduksi, menstruasi, kehamilan dan sebagainya. Tidak mudah memberikan informasi terkait isuisu yang terkadang masih dianggap tabu oleh masyarakat desa tersebut. Sebagai contoh, ketika Kalyanamitra memberikan topik diskusi tentang menstruasi, beberapa anggota kelompok tidak setuju hal tersebut dibicarakan karena dianggap tabu atau pantang (Jawa: saru). Demikian pula ketika pembagian peran dalam rumah tangga dibahas, maka pro dan kontra terjadi di anggota kelompok. Ada yang setuju dengan pembagian peran di dalam rumah tangga, karena selama ini perempuan memiliki porsi yang lebih besar dalam tugas-tugas domestik. Tapi ada juga yang tidak 16
setuju, karena tugas-tugas rumah tangga memang menjadi kewajiban perempuan. Laki-laki yang mau bekerja di dalam rumah akan dianggap tidak punya kekuasaan (Jawa: wibawa). Selain berdiskusi mengenai kesehatan reproduksi, topik lain yang dibicarakan dalam setiap diskusi misalnya kesehatan herbal. Hal ini karena alam telah menyediakan aneka tumbuhan yang dapat dipergunakan sebagai obat, namun seiring berkembangnya zaman, khasiat tanaman obat terlupakan. Padahal tradisi menggunakan tanaman obat sudah dilakukan dari sejak lampau. Topik-topik diskusi yang disampaikan berdasarkan permintaan dan kebutuhan anggota kelompok. Biasanya dalam setiap pertemuan anggota kelompok menyampaikan usulan topik apa yang sebaiknya dibahas untuk pertemuan selanjutnya. Selain topik-topik diskusi yang ada, anggota kelompok juga belajar aneka keterampilan, seperti memasak, meramu herbal, membuat kerajinan tangan dan lainnya. Untuk menyatukan 20 kelompok yang ada di desa Banjaroya, maka setiap 3 bulan ada sarasehan yang dihadiri oleh wakil masingmasing kelompok. Dalam forum ini disampaikan perkembangan kelompok dan dinamika yang terjadi di tiap kelompok. Selain itu, forum ini juga digunakan untuk mengevaluasi kelompok dengan harapan bisa mencapai tujuan bersama. Berkelompok menjadi alternatif yang dilakukan perempuan yang tinggal di desa Banjaroya untuk memperoleh informasi dan pengetahuan baru. Dari pernyataan beberapa orang yang hadir dalam sarasehan, mereka menyampaikan bahwa dengan berkelompok mereka memiliki banyak informasi dan pengetahuan. Contohnya, tadinya tidak tahu bagaimana proses menstruasi, setelah melalui diskusi mereka mengetahui
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
mengapa perempuan setiap bulan harus mengeluarkan darah. Selain itu, mereka juga menjadi lebih tahu tentang aneka tanaman yang berkhasiat obat. Harapannya, mereka tak terlalu tergantung pada obatobatan kimia yang dijual di warungwarung. *****(JK)
SOSOK
Nuryanti, Dukuh Perempuan Pertama di Desa Banjaroya
M
enjadi seorang dukuh atau kepala dusun, bukanlah pilihannya. Masyarakatlah yang telah memilihnya, sehingga ia berhasil menduduki posisi tinggi di Dusun tersebut. Spontan dan modal nekatlah yang mendorongnya untuk ikut dalam bursa pemilihan kepala dusun yang dilakukan pada pertengahan tahun 2008 silam. Namun berkat modal nekat itulah, ia berhasil menduduki posisi tersebut. Padahal dalam sejarah keluarganya, belum ada yang pernah menduduki posisi sebagai kepala dusun. “Awalnya tidak ada rencana, spontan saja. Pada waktu itu, suami saya yang disuruh maju, tetapi ia tidak mau karena yang namanya dukuh tunjangan yang diterima tidak dapat mencukupi kebutuhan
keluarga; sayang kalau disuruh melepas pekerjaan yang sudah keliatan. Terus ditawarkan kepada saya. Warga masyarakat tidak keberatan dengan hal tersebut, dan justru mendukung”, demikian Ibu Nuryanti, kepala dusun atau dukuh di Tonogoro, Banjaroya, menuturkan awal mula ia maju dalam bursa pemilihan Kepala Dusun Tonogoro, yang dilangsungkan pada pertengahan tahun 2008 silam. Karena spontan dan tidak ada rencana, ia pun tidak mempunyai strategi dan persiapan apapun. Bahkan, ia baru mengurus segala persyaratan untuk menjadi calon Kepala Dusun dua hari sebelum batas waktu pendaftaran ditutup. Karena didukung oleh warga sekitar, justru dialah yang terpilih menjadi Kepala Dusun Tonogoro dengan
mengalahkan dua kandidat lainnya, yang keduanya adalah laki-laki. “Calon lainnya laki-laki, yang satu masih bujangan, anak mantan dukuh sebelumnya, dan yang satunya lagi, sudah punya anak dan merupakan ketua kelompok tani”, demikian ia tuturkan. Terpilihnya Ibu Nuryanti sebagai kepala dusun Tonogoro, menjadi sejarah baru dalam kepemimpinan di dusun itu, bahkan di desa tersebut. Karena berdasarkan sejarah, belum ada satu orang perempuan pun yang dipilih sebagai kepala dusun. Selama ini jabatan-jabatan tersebut diduduki oleh laki-laki, mengingat juga jabatan kepala dusun baru akan berakhir setelah yang bersangkutan berusia 60 tahun. Terpilihnya Ibu Nuryanti juga tidak terlepas dari pro dan kontra.
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
17
SOSOK Ada pihak yang mendukung, tetapi juga ada pihak yang menentangnya. Ia melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa. “Ada masyarakat yang tidak setuju, di depan nggak ngomong apa-apa, tetapi di belakang bergunjing. Nendang-nendang. Di mana-mana ada hal tersebut. Pedoman saya mau berjalan di jalan yang benar, kalau ada yang mau nendang ya silahkan. Saya pasrah saja”, ia mengungkapkan. “Dari awal saya disuruh maju, ya silahkan, tetapi ketika nanti ada apaapa harus dibantu, karena kalau tanpa ada bantuan masyarakat, saya tidak bisa apa-apa. Karena perempuan itu banyak sekali yang harus dipikirkan, misalnya apakah di dapur ada bumbu atau tidak, itu perempuan yang mikir, sementara kalau laki-laki tidak ada pikiran seperti itu”, ia menambahkan. Walaupun di desa lain sudah banyak perempuan yang menjadi kepala dusun, namun di Desa
18
Banjaroya, Ibu Nuryanti menjadi satu-satunya kepala dusun perempuan. Maka itu, ketika ada rapat koordinasi khusus dukuh, ia menjadi satu-satunya perempuan. Namun ia menganggapnya menjadi hal yang biasa. Sementara itu menurutnya, rekan sesama dukuh menganggap hal biasa, karena di desa lain sudah banyak perempuan yang menjabat sebagai kepala dukuh. “Ketika rapat PNPM banyak yang perempuan, tapi kalau rapat koordinasi khusus dukuh, menjadi satu-satunya perempuan, dan hal itu biasa karena semua saya anggap teman. Walau kodrat kita perempuan memang beda dengan laki-laki, tetapi semua saya anggap sama, agar kerjanya bisa seperti mereka, kita harus bisa seperti mereka”, ungkapnya. Sebelum menjadi kepala dusun, Ibu Nuryanti bukanlah sosok yang aktif, hanya dia memang rajin datang dalam pertemuan RT dan pertemuan
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
PKK. Demikian ketika ada undangan, ia berusaha untuk mendatanginya. Ia juga bukan perempuan yang memiliki pendidikan tinggi. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SMA. Karena terbentur bea, ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja membantu orang tuanya. Sebelum menikah, ia sempat merantau berapa kali ke kota besar seperti Tangerang, Jakarta dan Jawa Barat. Banyak hal yang telah ia hadapi selama 6 tahun menjabat sabagai kepala dusun. Apalagi sebagai perempuan, banyak hal yang harus dipikirkan, terutama masalah keluarga dan kebutuhan rumah tangga. “Kalau lagi banyak pekerjaan, mikir di dapur saja belum beres, mikir macam-macam, kadang merasa tidak sanggup, tetapi mau bagaimana. Namanya tanggung jawab, jadi harus tetap mengutamakan tugas”, ungkap ibu dua anak ini. Untuk itu, berbagi peran
SOSOK dengan suami menjadi satu hal yang sering ia lakukan, terutama jika harus menghadiri pertemuanpertemuan rutin seperti rapat RT, RW, Mujadahan dan lainnya. Beberapa pertemuan diwakilkan oleh suaminya, ketika ia berhalangan hadir. Hanya pertemuan-pertemuan yang sifatnya seremonial, tetapi kalau pertemuan rapat koordinasi, ia tidak bisa mewakilkan pada suaminya. “Kalau ada pertemuan tidak bisa datang, bapak yang menggantikan. Kemudian kerja bakti juga digantikan oleh bapak. Apalagi setelah memiliki anak kecil. Terus kalau ada pertemuan resepsi atau orang meninggal, bapak yang maju. Tapi ketika belum punya anak kecil, saya yang mengurusi hal-hal tersebut”, ungkap perempuan kelahiran tahun 1972 ini. Sebagai seorang kepala dusun, Ibu Nuryanti diuntungkan dengan proses musyawarah untuk mufakat. Karena dengan demikian, ia tidak harus mengambil keputusan sendiri. Segala keputusan diambil secara musyawarah, maka pertanggungjawabannya pun secara bersama-sama. Walau telah menjabat sebagai kepala dukuh selama kurang lebih 6 tahun, namun Ibu Nuryanti masih merasa belum mampu mengemban tugas itu. Karena hal tersebut adalah tugas, ia tetap menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. “Apapun yang terjadi dihadapi saja, walaupun itu pahit sekalipun tetap harus dijalani, karena tanggung jawab”, ungkap perempuan yang membawahi 4 RT yang ada di dusun Tonogoro. Beratnya beban tugas yang harus ia tanggung pernah membuatnya berpikir untuk meletakan jabatannya. Apalagi hal tersebut sering didukung oleh anaknya yang saat ini sudah duduk di bangku kuliah. Namun, karena jabatan tersebut adalah amanat masyarakat dan menjadi kepala dusun berdasarkan pilihan masyarakat, maka dia tetap berusaha menjalankan tugas dengan sebaik mungkin. Selain
itu, meletakkan jabatan tersebut tidak mudah, karena sudah terikat dengan SK. “Kadang kalau sedang ada banyak pekerjaan, mikir keluarga sendiri saja tidak beres, apalagi harus mikir orang banyak. Tetapi kadang ketika berpikir lagi, harus pelan dan harus lebih sabar. Kalau memang masyarakat sudah tidak mau, ya bisa ditaruh, tetapi selama masyarakat masih mendukung harus tetap dijalankan tugas ini”, jelasnya. Selama menjabat sebagai kepala dusun, ada satu pekerjaan yang dianggap paling berat untuk dikerjakan, yaitu ketika mengerjakan sertifikat tanah. Hal tersebut karena tidak kenal waktu dia harus mondarmandir ke Balai Desa. Terkadang malam pun dia harus ke Balai Desa, padahal jarak rumahnya dengan Balai Desa tidaklah dekat. Hal lainnya yang dirasakan menjadi beban berat baginya ialah ketika harus menagih uang pajak ke warganya. Karena kondisi masyarakat yang pas-pasan, banyak warganya yang tak mampu membayar pajak. Sementara ia tidak bisa terus-terusan harus membayarkan terlebih dahulu. “Sampai sekarang, masih ada yang belum membayar. Semalam rapat pembagian dana pedukuhan. Jadi yang belum membayar langsung dipotong pakai dana tersebut”, ungkapnya. Sebagai seorang perempuan, ia pun mempunyai banyak mimpi. Ia ingin ada banyak perempuan lainnya yang bisa menjabat sebagai kepala dusun, terutama di desanya. Namun dia pun tidak yakin akankah ada perempuan lain yang mau maju dalam bursa pemilihan kepala dusun atau tidak. Atau, maukah masyarakat memilih perempuan untuk menjabat posisi tersebut. Ketika mendengar ada satu perempuan maju dalam pemilihan kepala dusun di desa tersebut, Ibu Nuryanti sangat bahagia. Harapannya cukup sederhana, agar ketika rapatrapat ada teman sesama perempuan. Nyatanya harapan tinggal harapan, karena perempuan tersebut akhirnya
tidak terpilih sebagai kepala dusun di dusunnya. Ibu Nur, demikian ia biasa dipanggil kemudian merasa berkecil hati, jangan-jangan tidak ada lagi penerusnya, yaitu perempuan yang bisa menjadi kepala dusun. Ada banyak harapan yang ingin ia wujudkan sebagai seorang kepala dusun, terutama untuk kaum perempuan. Ia ingin kelompok PKK di dusunnya makin maju. Sebenarnya kalau bisa PKK semakin giat. Inginnya, sebagai perempuan, bisa memelopori kegiatan yang ada di masyarakat. Walaupun tetap susah diangkat. Ibu-ibu susah diajak kumpul-kumpul, karena mungkin waktuya digunakan untuk bekerja”, demikian ia menjelaskan. *****(JK)
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
19
BEDAH BUKU
Kerja Pemberdaya: Catatan Dari Kerja Kemanusiaan
P
erempuan pedesaan sering mengalami berbagai diskriminasi akibat keterbatasan informasi, minim fasilitas kesehatan, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, minim keterlibatan dalam politik dan ruang publik. Dampak persoalan tersebut, perempuan pedesaan jarang dilibatkan dalam penyusunan kebijakan dan program-program pembangunan desa. Akibatnya, misalnya anggaran desa untuk pemberdayaan perempuan sangat kecil dan kebutuhan perempuan jarang diperhatikan dalam programprogram pembangunan. Oleh karena itu, dilakukan pemberdayaan perempuan di pedesaan dengan tujuan agar mereka menyadari hak-haknya sebagai perempuan dan anggota masyarakat, kritis terhadap persoalan sosial di desa, mampu mengadvokasi persoalan tersebut, berperan aktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dan dalam
20
Judul Penulis
: Antologi Kerja Para Pemberdaya : Ridwan Samosir, Ridwan Sipayung, Joko Sulistyo, Ogoyanti Sri Rezeki Susilastuti, Arief Kristianto, dkk Editor : Phutut EA Penerbit : Dewan Koordinator, INSUFA dan YAKKUM PRESS Cetakan : 2012 Halaman : 250 halaman ISBN : 978-602-7561-02-1
pengambilan keputusan desa. Diskriminasi yang terjadi di pedesaan tak hanya dialami perempuan, tetapi secara umum dialami oleh masyarakat yang tinggal di desa. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak program pemberdayaan masyarakat dilakukan pemerintah atau LSM/ NGO. Dalam menjalankan program, tentu banyak aktivitas dijadikan sebagai lessons learned dan best practice. Lessons learned sering digunakan untuk mendiskripsikan praktik-praktik yang bermanfaat. Terminologi ini kerap dipakai untuk mengindikasikan praktik-praktik atau pendekatanpendekatan yang belum terevaluasi seketat “best practicess” , tetapi masih menawarkan ide-ide tentang apa yang bisa berhasil pada situasi tertentu. Lessons learned juga memberikan contoh bagaimana “tidak melakukan sesuatu”, sedangkan untuk best practicess sering dimaknai sebagai yang mengindikasikan telah melewati evaluasi yang ketat, mendemonstrasikan kesuksesan, memiliki dampak dan dapat direplikasi. Namun tak jarang, laporan kerjakerja LSM/NGO sering tidak menarik untuk dibaca. Hal tersebut karena format tulisan yang terkesan kaku dan
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
laporan dibuat hanya untuk memenuhi capaian minimal di permukaan saja. Bahkan capaian itu selalu sering dibuat berdasarkan logika pengeluaran uang. Dengan demikian, sering laporan program hanya bersifat kalkulatif dan meminggirkan cerita-cerita dinamika dialektika batin dan realitas orang-orang yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam proses pelaksanaan program. Cerita-cerita perubahan hanya mengendap dalam benak masing-masing pekerja lapangan. Dinamika perasaan, emosi dan rasio berhenti pada ranah pengalaman personal pendamping lapangan dengan para penerima manfaat. Cerita-cerita itu kemudian hanya sebatas dijadikan dongeng dan tak pernah menjadi basis gerakan perubahan itu sendiri. Cerita-cerita pengalaman pendampingan dan perubahan-perubahan yang terjadi selama pendampingan itulah yang coba diangkat dalam buku Antologi Kerja Pemberdaya. Buku ini bercerita tentang pengalaman pendampingan dari organisasi-organisasi mitra EED yang ada di Indonesia. Ada 18 penulis dari 18 organisasi yang berkontribusi dalam buku ini. Buku terbagi menjadi empat ba-
BEDAH BUKU gian. Bagian pertama buku ini dikemas dalam tema “Risalah Perempuan”. Di bagian ini ada lima cerita tentang kesuksesan seorang perempuan di berbagai setting masyarakat yang berhasil mentransformasikan diri dari perempuan “rumahan” menjadi perempuan pemimpin. Tokoh Turiyah dalam tulisan Joko Sulistyo digambarkan sebagai pemimpin baru perempuan setelah menjalani serentetan pendidikan dan pendampingan.Yang kemudian disambung oleh tulisan Ridwan Samosir, yang membenarkan efektivitas pendidikan kritis perempuan, yang menghantarkan sosok Sorta Sitorus, berhasil menduduki kursi BPD setelah berjuang keras meyakinkan bahwa “Perempuan Bisa” jadi pemimpin. Sementara model pendidikan kritis untuk perempuan terlihat berbeda pada Hilderia Damanik, tokoh utama dalam tulisan Herman Sipayung yang lebih menekankan pada pendekatan “kepedulian praktis” sebagai sisi lain model kepemimpinan perempuan.
Akhirnya, Ogiyanti dan Susilawati memberikan penekanan kembali bahwa perempuan bisa secara efektif bergerak dan melakukan perubahan jika diikat dalam organisasi. Organisasi bukan saja kendaraan perempuan mendapatkan kekuasaan, tetapi tiket masuk dalam pengambilan keputusan di forum-forum formal masyarakat desa ataupun kota. Peran aktif perempuan sangat kental dituturkan dalam cerita-cerita di bagian kedua buku ini yang dikemas dalam tema “Menuju Sehat”. Rupanya, upaya menuju sehat di masyarakat, selain tidak sepi dari peran aktif para pioner-pioner perubahan, juga didukung dengan pendekatan-pendekatan kreatif dan menghargai tradisi berobat di lokal. Hamdan menemukan sosok Sugianto, contoh gerakan melawan “politik obat pabrik” dengan ramuan obat tradisional yang murah dan mujarab. Berbekal pengetahuan pengobatan tradisional dan kepercayaan warga, Sugianto mampu menghadirkan pengo-
batan yang merakyat. Arief Kristianto dan Lasendri Tumanggor memperlihatkan hubungan langsung antara meningkatnya daya jangkau masyarakat dengan status kemampuan masyarakat akan akses kesehatan. Secara sederhana, jika daya jangkau masyarakat meningkat, maka makin mudah mereka mengakses pelayanan kesehatan. Dalam hal konsistensi bertanggungjawab terhadap kehidupan, Heince dan Alvonso menggambarkan bahwa perempuan secara empirik memiliki pengetahuan yang luar biasa dalam mengenali dengan baik simptom dan karakter penyakit, sehingga dari sana dia belajar bagaimana menaklukkannya. Health seeking behavior (perilaku berobat) tidak saja dipengaruhi oleh kesadaran dan kemampuan berobat, tetapi juga secara makro sangat erat hubungannya dengan kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan sosial warganya. Chelvi mengulas tarik menariknya kepentingan akan isu jaminan kesehat-
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
21
an untuk warga. Jaminan kesehatan untuk warga negara harus. Minimal itu alat negara untuk bertanggungjawab atas serentetan kematian warga yang disebabkan oleh bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia, seperti pertambangan. Bagian ke tiga buku ini mengulas tentang status bangsa Indonesia sebagai negara muslim yang paling toleran yang hampir kandas. Rentetan peristiwa kekerasan karena perebutan lahan, perbedaan keyakinan dan agama, juga karena masih kuatnya pendekatan militeristik negara dalam menjawab persoalan perbedaan di masyarakat. Meskipun di tingkat nasional kita sulit mengurai persoalan kebebasan beragama di tanah air, namun dari cerita pinggiran perjuangan Rohimah dari Pondok Bambu Jakarta menanamkan “berbeda itu biasa” dan gigihnya perjuangan Oman, sebagai laki-laki baru dalam menanamkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian di Loji. Dari ulasan Hafidz Gozali, rasanya kita masih bisa berharap akan perubahan. Nur Imroatus membeberkan strategi non violence action yang dikembangkan oleh Sekolah Perempuan untuk Perdamaian, mampu memenangkan pertarungan ideologi kebencian di masyarakat. Matius Pegessong memperkaya strategi adaptasi bekerja di komunitas beda keyakinan dengan menggunakan pendekatan budaya. Ukuran penerimaan dalam tradisi Sulawesi adalah ketika seseorang dipanggil “karaeng”. Dan Matius diberi sebutan “karaeng” oleh komunitas muslim di Jane Ponte. Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Ini mengandung makna mendalam akan kemandirian sebuah bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri. Pangan, adalah benteng pertahanan terakhir sebuah kemandirian 22
bangsa. Jika dalam urusan pangan, kita tidak merdeka, maka petaka akan kita tuai. Luthfi Prasetyo menunjukkan dengan jelas pada kita bahwa gerakan kemandirian pangan, harus dimulai dengan menghapus ketergantungan petani pada pupuk pabrik. Gerakan pertanian organik bukan saja memberikan keuntungan ekonomi pada petani, tapi juga mengajari kita untuk kembali respect pada alam. Ketergantungan kedua yang harus kita hilangkan adalah pada beras. Penyeragaman makan nasi pada masa Orde Baru telah menghilangkan potensi makanan pokok non beras di tanah air. Kimpul, sejenis umbi yang diperkenalkan oleh Kristin Damayanti bisa menjadi pengganti beras yang efektif karena bukan saja tanaman ini mudah dikembangkan, juga karena Kimpul bisa dikelolah menjadi makanan alternatif yang beragam. Akhirnya, hanya pada tanah kita berharap agar kebutuhan hidup dipenuhi. Sehingga setiap jengkal mempertahankan tanah sebagai sumber hidup, adalah perjuangan jihad. Kegigihan perjuangan hak atas tanah tinggal disuguhkan oleh Hawari Hasib sebagai penutup dari buku. Ini memberikan pesan mendalam bagi kita semua bahwa mempertahankan tanah adalah mempertahankan sejarah budaya manusia. Sudah seharusnya perampasan tanah harus mendapatkan ganti untung yang setimpal karena yang dirampas bukan sebidang tanah, tapi sejarah kehidupan pemilik tanah. Kehadiran buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana kerja-kerja pemberdayaan, terutama di daerah pedesaan dilakukan. Dan bagaimana masyarat di pedesaan secara langsung dapat merasakan perubahan setelah adanya kerja pemberdayaan tersebut baik secara indvidu maupun secara kelompok. Dengan kekuatan pada cerita individu tokoh utama,
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
setiap cerita menghadirkan nuansa drama perubahan yang memaksa rasio dalam bekerja dan pada saat yang bersamaan memaksa perasaan kita untuk empati. Buku ini pun diharapkan dapat menyuguhkan dimensi kehidupan yang interdependensi (saling terkait satu dengan yang lainnya). Buku kecil ini terlihat istimewa karena mampu menyuguhkan dua hal sekaligus yaitu praktik dan konsep.*****(JK)
BEDAH FILM
Berubah dari Bawah
F
ilm ini merupakan karya ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil). Film ini berjenis dokumenter dan berdurasi 13 menit. Fillm dibuat berdasarkan pengalaman perempuan-perempuan basis di lima wilayah: Klaten, Kupang, Banda Aceh, Karo, Kota Pontianak. Film ini secara khusus menceritakan dua perempuan yang menjadi basis pendampingan. Mereka memiliki keinginan tercapainya suatu perubahan di tempat tinggalnya, sehingga bergerak untuk mengawasi terwujudnya integritas dan akuntabilitas pemerintah di wilayahnya. Dua perempuan basis di dalam film ini ialah Endang Susilowati, ketua FDPPJ (Forum Diskusi Peduli Perempuan Jatinom), Klaten; dan Herni Selly, ketua Forum Integritas, DS. Noelbaku, Kupang. Berkat insiatif mereka, kelompok masyarakat lainnya ikut terlibat dalam upaya mendorong terwujudnya integritas aparat pemerintahan di desanya. Film dokumenter ini menunjukan bahwa kelompok-kelompok perempuan basis yang selama ini terpinggirkan dalam proses pembangunan telah menunjukan
kemampuan mereka menjadi aktor perubahan di masyarakatnya, khususnya dalam rencana anggaran pembangunan yang berpihak pada masyarakat. Selain itu, film dokumenter ini juga digunakan sebagai media untuk saling berbagi pengalaman bagi kalangan luas yang ingin mendorong tegaknya integritas dan akuntabilitas pemerintah. Secara perlahan perempuan basis mulai terlibat aktif dalam proses perencanaan dan penganggaran di tempat mereka tingggal. Mereka mulai mampu menganalisa persoalan di desanya seperti masalah kemiskinan yang tak kunjung usai, kondisi kesehatan yang memprihatinkan, pungutan bea pendidikan, jalan desa yang tak memadai, dan sulitnya akses terhadap air bersih. Kondisi tersebut telah berdampak nyata terhadap perempuan dan anak. Situasi tersebut yang mendorong para perempuan basis bergerak mendorong terwujudnya pemerintahan desa yang berintegritas dan akuntabel. Dalam hal itu, proses penyusunan penganggaran dan pembangunan harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Tentu, keberhasilan kelompok perempuan basis dalam mendorong semangat di masyarakat, dicapai dengan proses yang panjang. Dalam film ini juga diceritakan pengalaman Endang Susilowati, sebagai perempuan basis dari Klaten, dan Herni Selly, dari Kupang. Mereka sama-sama menjelaskan bahwa cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah di wilayahnya ialah melakukan FGD (Focus Group Discussion). FGD itu bermula dari masyarakat kecil di wilayahnya lebih dulu dan dikhususkan untuk perempuan. Diskusi tersebut mengenai berbagai soal yang dirasakan di wilayahnya. Kemudian hasil diskusi akan dibawa ke tingkat yang lebih
Judul: Berubah dari Bawah Sutradara Darmanto Narator: Paula Elina Penulis M. Firdaus, M.Si. Pemain: Endang Susilowati Herni Selly Musik: Kator: Morning Prayer, Gangga, Sarasvati, Silent, Epilogue Durasi: 13 menit Produksi: ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil)
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
23
BEDAH FILM
tinggi untuk didiskusikan dengan para pihak terkait yang dirasa dapat membantu menyelesaikan berbagai hal dan mereka memang memiliki kewajiban lebih besar untuk menyelesaikannya, seperti DPRD, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan. Endang, ketika menjadi perempuan basis, harus mengoordinir peserta-peserta di beberapa wilayah yang memang mengikuti diskusi tersebut, di antaranya desa Bengking, Tibayan, dan Merangen. Dari diskusi di tiga desa itu disimpulkan bahwa terdapat beberapa masalah, misal minimnya dana posyandu. Kemudian hasil diskusi akan dilaporkan ke kecamatan, karenanya dia dan beberapa perempuan basis di wilayahnya melakukan FGD dengan dinas-dinas terkait, seperti Dinas kesehatan, Dinas pendidikan, dan tidak lupa mendatangkan DPRD. Lebih lanjut, Herni menceritakan bahwa masalah besar yang dirasakan masyarakat di wilayahnya adalah air. Air menjadi suatu yang dianggap cukup berat di desamya, karena salah satu sumber kehidupan yang sangat berdampak besar pada kesehatan dan ekonomi masyarakat. Herni menjelaskan bahwa proses yang dilakukan untuk mengatasi ma24
salah di desanya dimulai dari diskusi di masyarakat kecil yang memang merasakan berbagai hal tersebut. Hasil diskusi dibawa untuk dibahas bersama pihak-pihak terkait. Menurutnya, proses tersebut sangat baik karena berawal dari ketidakmampuan masyarakat kecil. Mereka dilatih agar mampu berbicara untuk memperjuangkan hak-haknya. Upaya mendorong terwujudnya aparat negara yang berintegritas dan akuntabel memang memerlukan upaya semua pihak. Dalam hal ini, perempuan basis telah memberikan pelajaran berharga bahwa perjuangan yang tak kenal lelah dan didukung semua komponen masyarakat, akan menuai hasil bagi secercah perubahan. Dari film ini diharapkan agar masyarakat khususnya kaum perempuan dapat belajar. Kaum perempuan mampu melakukan banyak hal untuk suatu perubahan. Para perempuan basis memang diperlukan sebagai pihak yang bertugas untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan program pemerintah agar dapat tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan aparat negara untuk kepentingan pihak-pihak tertentu!*****(YM/S)
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
PUISI
Aminah
Oleh: WS. Rendra Adalah perempuan jalan di pematang ketika jatuh senjakala. Sawah muda, angin muda tapi langkahnya sangat gontainya. Sebentar nanti bila kakinya yang beralas sandal itu menginjak pelataran rumahnya tentu hari belum gelap trelalu. Ibunya yang tua akan menatapnya dan dua batang kaki kecil akan menjalar dari matanya: Ia akan berkata antara sedannya “Ibu, aku pulang” Dan keduanya akan berpelukan. Maka sementara langit sibuk berdandan untuk pesta malamnya dan diudara terdengar sedan kegirangan yang memancar dari ruma tua, akan terdengar oara tetangga berbisik antara sesamanya dan mata mereka bagai kucing mengintip dari tempat gelap: “Kampung kita yang tenteram Mulai lagi bermusang. Ah, ya betapa malunya! Telah datang ular yang berbisa! Jangan dekati ia!” Adalah perempuan jalan di pematang Ketika jatuh senjakala Sambil memandang tanah kelabu Ia bayangkan dengan tterang Yang bakal menimpa dirinya. Juga sudah terbayangkan olehnya Salah satu bunda cerita pada putranya: “Jauhi Aminah! Kalau bunga, ia bunga bangkai. Kalau buah, ia buah maja. Ia adalah ular beludak Is adalah burung malan. Begini ceritanya: Dulu ia adalah bunga desa Ia harus bagai mawar Tapi sombong bagai bunga mentari. Bila mandi d kali ia adalah ikan yang indah tubuhnya menyinarkan cahaya tembaga. Dan di daratan ia bagai merak berjalan angkuh dan mengangkat mukanya Para pemuda mengandalkan hati untuknya.
Tapi ia kejam dan tak kenal cinta. Ia banyak dengar dongeng tentang putri bangsawan lalu ia bayangkan ia putri lalu ia inginkan kekayaan Mimpi meracuninya. Maka pada suatu ketika seorang lelaki datang dari kota Ia kenakan jas woleta dan arloji emas di tangannya tapi para orang tua sudah tahu matanya tak bisa dipercaya. Mulutnya bagai serigala dengan gigi caya perak dan mutiara. Kata-katanya manis bagai lagu air membawa mimpi tak berakhir. Ketika dikenalnya Aminah dibujuknya ia ke kota bersamanya ia bayangkan kekuasaan ia bayangkan kekayaan ia bayangkan kehidupan putri bangsawan dan pergilah Aminah bersamanya. Jadi terbanglah merak ke dunia mimpinya ia makan mega dan kabut menyapu matanya. Dan semua orang tua yang cendekia sudah tahu sejak sebermula sudah salah jalannya. Maka seolah sudah ditenungkan ketika sepupunya mengoknya ke kota ia jumai Aminah jauh dari mimpinya. Hidup di gang gelap dan lembab tiada lagi ia bunga tapi cendawan. Biru pelupuk matanya mendukung khayal yang lumutan. Wajahnya bagai topeng yang kaku kerna perawannya telah dikalahkan. Maka sepupunya meratap pada ibunya: -“Laknat telah tumpah di atas kepala pamili kita. Bunga bangai telah tumbuh di halamaan. Kalau kita minum adalah tuba di air. Kalau kita makan adalah duri di nasi. Kerna ada antara pamili kita telah jadi perempuan jalang! Kini ularnya sudah pulang dan bisanya sudah terasa di daging kita. Jangan dekati ia! Jangan dekati ia! Ia cantik, tapi ia api! Di kali ia tetap ikan jelitan tapi telah busuk rahimnya Jangan dekati ia! Jangan dekati ia!” Adalah perempuan jalan di pematang
Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
25
PUISI ketika jatuh di senjakala sambil merasa angin di mukanya ia bayangkan yang bakal dikatakan tetangga ia tahu apa yang bisa terduga Ia tahu tak seorang pun akan berkata: “Berilah jalan padanya orang yang naik dari pelimbahan. Sekali salah ia langkahkan kakinya dan ia terperangkap bagai ikan dalam bubu. Berilah jalan pada kambing hitam kerna ia telah dahaga pada hijau. Berilah jalan pada semangat hilang kerna ia telah daha sinar terang” Dengan mudah ia bisa putar haluan tapi air kali hanya kenal satu jalan dan ia telah mengutuki kejatuhannya dan ia telah berniat akan bangkit. Maka ia adalah bunga mentari maka ia adalah merak yang kukuh hati. Adalah perempuan jalan di pematang ketika jatuh senjakala sambil mengenang yang bakal datang ia tetap pada jalannya.
Nyanyian Perempuan di Kali Oleh: WS. Rendra
Kali Solo yang coklat merambat-rambat Oi, dibawanya bau tanah liat! Tujuh ratus tangan nakal merabai sekujur tubuhku Mengembang kain basahan sepenuh mimpi pagi hari. Di mudik para penangguk kerbai-kerbau masuk air menghadang awan-awan berendam. Wahai, bau tanah Lumpur Wahai, bau tanah perunggu! Dengan nuri di mulutmu kucuci bajumu merah, Kanda. tikar pandan petak-petak sampan dari mimpi dan seluruh tubhku bersabun. Berenang anak-anak yang mungil diberkati air leluhur. Wahai, adiknya datang di tahun depan! Dengan mentari di perutnya panjang segala yang terkalahkan dan segala awan-awan yang kembara sungai mengalir pergi jauh pulang dari bundaya. Kali solo yang coklat merambat-rambat. Oi, dibawanya bau tanah liat
26
Perempuan Bergerak Juli - September 2014
POJOK KATA Desa Desa menurut definisi “universal”-nya adalah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, dan Kuwu di Cirebon , Hukum Tua di Sulawesi Utara. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Istilah desa disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari , di Aceh dengan istilah gampong, di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sementara berdasarkan UU No. 06 tahun 2014 tentang Desa, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”
“Desa adalah suatu kumpulan tempat tinggal dan kumpulan daerah pertanian dengan batas-batas tertentu yang luasnya antara 50-1.000 are” (S.D. Misra) “Desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri sebagai berikut: 1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antra ribuan jiwa; 2. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan; 3. Cara berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan” (Paul H Landis)
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa , menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. *****(JK)
Desa menurut ahli “Desa merupakan tempat sebagian besar penduduk yang bermata pencarian di bidang pertanian dan menghasilkan bahan makanan” (Bambang Utoyo) “Desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal-balik dengan daerah lain” (R. Bintarto) “Desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri merupakan pemerintahan terendah di bawah camat” (Sutarjo Kartohadikusumo) “Desa adalah kesatuan organisasi kehidupan sosial di dalam daerah terbatas” (William Ogburn dan MF Nimkoff) Juli - September 2014 Perempuan Bergerak
27
28
Perempuan Bergerak Juli - September 2014