Bendungan Raksasa dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat
Belajar dari pengalaman sebelumnya, semua proyek pembangunan waduk meninggalkan orang-orang yang tergusur yang dihancurkan kehidupannya. Kasus Jatigede berpotensi pada ancaman pelanggaran HAM. Adakah alternatif untuk itu? -----Setelah 46 tahun tertunda, pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu kini hampir usai. Pemerintah merencanakan waduk ini akan mulai diairi pada medio Juni atau Juli 2015. Jika sesuai rencana, waduk akan beroperasi 3 bulan kemudian. Pembangunan Waduk Jatigede tak lepas dari janji kampanye Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2014. Saat itu, Joko Widodo menyampaikan salah satu misinya adalah Indonesia mencapai ketahanan pangan. Untuk itu, Pemerintahan Jokowi-JK berambisi membangun 49 waduk untuk menopang terwujudnya cita-cita ketahanan pangan. Salah satu waduk yang ditargetkan selesai tahun ini adalah Waduk Jatigede yang pembangunannya sebagian besar (90 %) dibiayai oleh Pemerintah Tiongkok dan sisanya dari dana APBN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 juga memprioritaskan pembangunan waduk yang dibanguan di atas lahan seluas 4.891 ha ini. Dalam pengerjaan proyek pembangunan waduk, Sinohydro dan dan empat kontaktor yang tergabung dalam Consortium Indonesian Contractors—yaitu antara lain Wijaya Karya, Waskita Karya, Hutama Karya, dan Pembangunan Perumahan—ditunjuk sebagai kontraktornya. Tak Lolos Uji Publik Pembangunan Waduk Jatigede mulai digagas pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru di penghujung dekade 1960-an. Tapi pembebasan lahan baru dilakukan pada 1982. Namun selama ini pembangunannya terkendala karena menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Menurut Arip Yogiawan, Ketua LBH Bandung yang aktif mendampingi warga yang tergusur, permasalahan muncul antara lain karena warga dirugikan. “Tidak ada proses tawarmenawar terkait pengadaan lahan untuk bendungan. Program transmigrasi yang sempat diwacanakan pun gagal dijalankan,” ucap Arip. Menjelang tahun 2000-an, penolakan warga kian meluas. Kali ini tidak hanya dipicu oleh proses pembebasan lahan yang tidak fair, melainkan juga karena pembangunan waduk akan menenggelamkan lahan-lahan produktif pertanian sawah—yang selama ini menjadi matapencaharian warga—dan cagar-cagar budaya yang terdapat di sana. Namun Hilma Safitri, peneliti Agrarian Resource Centre, Bandung, Jawa Barat, menyebut Program MP3EI-lah yang membangkitkan kembali proyek pembangunan waduk yang semula gagal dan sempat dihentikan ini. Program percepatan pembangunan yang digagas Bappenas dan Menko Perekonomian di era Pemerintahan SBY-Boediono ini membuka jalan yang efektif untuk mempercepat proyek ini. Sebabnya tak lain karena MP3EI melalui mekanisme yang
disebut de-bottlenecking dapat memotong kompas semua peraturan daerah. Pemerintah daerah tak bisa berbuat apa-apa karena pembangunan waduk mengatasnamakan kepentingan nasional. Sayangnya, proses pembangunan waduk dilakukan tanpa melalui tahapan-tahapan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif lantaran menolak untuk dilakukan uji (konsultasi) publik terhadap pembangunan waduk. Padahal, pembangunan waduk akan menggenangi 28 desa yang tersebar di 4 kecamatan dengan jumlah populasi mencapai 11.000 keluarga. Tapi hanya 6 desa yang bakal ditenggelamkan, yaitu Leuwihideung, Cipaku, Jatibungur, Cibogo, Sukakersa, dan Padajaya. Lahan di 6 desa ini umumnya merupakan lahan produktif dengan luas area persawahan yang terhampar di mana-mana. Warga menolak direlokasi karena ganti ruginya tidak fair dan lahan yang akan mereka tempati tidak layak ditinggali. Sementara daerah yang mereka tinggali selama ini merupakan lahan produktif yang menghasilkan produk-produk pertanian (padi) yang bermutu. Dengan begitu, pembangunan Waduk Jatigede akan memicu perubahan kultur dari agraris ke industri. Mengingat daya serap sektor jasa dan industri sangat terbatas, kemungkinan pelaku sektor informal dan TKI akan semakin banyak dan praktik human trafickking juga bakal meningkat. Kenyataan di lapangan, gejolak masih berlangsung terkait pemberian kompensasi ganti rugi dan uang kerahiman yang belum tuntas. Menyadari situasi ini, mengawali tahun 2015, Presiden Joko Widodo langsung menandatangani Perpres No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede pada 2 Januari silam. Dengan terbitnya Perpres ini, setiap KK yang tanah dan tempat tinggalnya terdampak pembangunan waduk dijanjikan mendapat kompensasi Rp 119 juta dan uang santunan sebesar Rp 29 juta untuk setiap kepala keluarga (KK). Hanya saja, terbitnya Perpres No. 1 Tahun 2015 masih menyisakan persoalan. Pasalnya, Perpres ini tidak mengatur secara rinci penyelesaian dampak sosial ketika pembebasan lahan dilakukan antara 1982-1986. Padahal warga menilai masalah ini krusial karena pembebasan lahan pada saat itu dalam prosesnya terjadi salah ukur, salah bayar, salah klasifikasi tanah, serta tanah yang terlewat pembebasan lahan. Sementara dari sisi lingkungan, berdasarkan investigasi Walhi Jawa Barat, pembangunan waduk juga akan menenggelamkan lahan hutan lindung (milik Perhutani). Dari sisi geologis, waduk ini berdiri di atas patahan yang manakala digenangi air di atasnya sangat berisiko mendatangkan bencana. Dadan Ramdan, Ketua Walhi Jabar, mengatakan, ke depannya pembangunan waduk di daerah aliran sungai Cimanuk yang kondisinya sangat kritis ini akan berpengaruh pada pasokan air. “Jadi, secara ekologis, pembangunan waduk tidak memungkinkan sebenarnya terlebih ketika musim kemarau (debit air sangat kurang),” papar Dadan. Tak hanya itu, menurut catatan Walhi Jawa Barat, dengan adanya pembangunan Waduk Jatigede sedikitnya 1.389 hektare hutan produktif yang menopang tatanan ekologis sekitar waduk terancam rusak.
Bagaimanapun, pemerintah masih optimis bahwa proses pemberian kompensasi ini akan berjalan lancar hingga mendekati saat waduk mulai digenangi. Pun tak pernah menyurutkan optimisme pemerintah pada manfaat waduk yang dibangun dengan biaya Rp 2,57 triliun ini di masa yang akan datang. Di benak pemerintah, setidaknya terdapat 3 hal kontribusi besar waduk: mendongkrak produksi ketenagalistrikan (hingga 110 megawatt), menambah pasokan air minum, dan saluran irigasi yang dapat mengairi 100.000 ha sawah. Kendati akan digenangi dalam waktu dekat, hingga Mei ini belum ada relokasi penduduk sama sekali dari keenam desa tersebut. Padahal mereka terancam kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya dalam jangka panjang. Tak ayal, jika mereka menuntut konsep relokasi yang lebih menjamin kehidupan mereka dan pengembangan ekonomi. Sebuah tuntutan yang masuk akal karena sebagian besar warga desa adalah para petani yang belum tentu dapat memperoleh matapencaharian lagi di tempat baru kelak. Ironisnya, Perpres No. 1 Tahun 2015 tentang Pengendalian Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede tidak mengatur sama sekali konsep relokasi dan pengembangan ekonomi bagi warga yang tergusur. Pada titik ini, apakah optimisme pemerintah terkait pembangunan Waduk Jatigede cukup beralasan? Apakah pembangunan waduk Jatigede dan waduk-waduk raksasa lainnya yang akan dibangun pemerintah cukup mempunyai legitimasi moral yang memadai? Dengan kata lain, apakah pembangunan waduk di Indonesia masih relevan? Mengulang kegagalan proyek pemukiman kembali Bank Dunia? Waduk Jatigede hanya salah satu dari 49 waduk yang ditargetkan bakal dibangun pemerintah Jokowi-JK selama 5 tahun ke depan. Di tengah surutnya pembangunan waduk-waduk besar di seluruh dunia, kecenderungan merebaknya kembali pembangunan waduk di negeri ini tergolong aneh. Hal ini mengulang kembali model pembangunan waduk di negera-negara berkembang yang dulu disokong oleh Bank Dunia. Model seperti ini sudah banyak dikritik dan dinyatakan bankrut. Proyek pemukiman kembali yang dirancang Bank Dunia bagi warga yang tergusur pembangunan waduk telah dinyatakan gagal. Sebabnya antara lain banyak di antara warga yang tergusur kembali ke tempat asalnya karena tempat relokasi yang mereka tempati jauh dari memadai. Setelah memuncak pada dekade 1970-80-an, memasuki dekade 1990-an pembangunan waduk di negara-negara dunia ketiga pun mulai surut. Dalam hal ini, sebagaimana penuturan Vandana Shiva dalam Water Wars: Privatization, Pollution, and Profit (2002), kasus di India memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara dunia ketiga yang akan membangun waduk. Selain kontroversi megawaduk Sardar Sarovar yang dibangun di Sungai Narmada yang menyulut gerakan protes massal, proyek pembangunan waduk Kabini di Karnataka juga adalah ilustrasi paling baik tentang bagaimana proyek kontruksi air dapat dengan sendirinya mengganggu siklus hidrologis dan merusak sumber daya air di lembah sungai. Manakala bendungan menggenangi 6.000 hektar tanah, perelokasian penduduk membutuhkan pembabatan 30.000 hektar hutan alam. Curah hujan
lokal turun dari 60 inci menjadi 45 inci, dan tingginya penimbunan lumpur secara drastis mengurangi ketahanan bendungan. Dalam dua tahun, pengurasan air dan tingginya kadar garam menghancurkan sebagian besar perkebunan kelapa dan persawahan di sekitarnya. Demikianlah, protes yang semula hanya merupakan perjuangan untuk mendapatkan pemukiman yang layak bagi warga yang tergusur, seketika berubah menjadi kontroversi besar dalam persoalan lingkungan. Kontroversi itu tidak hanya mempertanyakan metode kompensasi bagi penduduk yang tergusur, tetapi juga pada logika yang melandasi pembangunan waduk raksasa secara keseluruhan. Pembangunan waduk untuk siapa? Ancaman pelanggaran HAM di depan mata Investigasi ilmuwan Vandhana Shiva dan uraian panjang Arundhati Roy dalam “The Greater Common Good” terhadap proses dan dampak pembangunan waduk raksasa di India, serta pengalaman pembangunan waduk-waduk raksasa di negeri ini dan di belahan dunia lain, selalu bermuara pada satu kesimpulan yang sama. Kesimpulan itu adalah bahwa semua proyek pembangunan waduk meninggalkan orang-orang yang tergusur yang dihancurkan kehidupannya. Dalam kasus Jatigede, dampak pada potensi ancaman pelanggaran HAM pun kian di depan mata. Puluhan ribu masyarakat terancam tercerabut dari tanahnya (pelanggaran hak atas tanah), kehilangan tempat tinggal (pelanggaran hak atas papan/tempat tinggal yang layak), dan ancaman kehilangan mata pencaharian (pelanggaran hak atas pekerjaan). Ifdhal Kasim, praktisi HAM dan pengacara publik, memandang seharusnya pembangunan infrastruktur seperti waduk dapat menopang upaya pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hanya masalahnya, bagaimana agar pembangunan infrastruktur ini tidak merampas hak-hak rakyat. Supaya tidak menjadi bagian dari pelanggaran hak asasi, khususnya di bidang hak sipil seperti pemaksaan, intimidasi, dan kriminalisasi, kata Ifdhal, maka harus ada kontrol. Karena tidak semua lahan dimiliki oleh negara, maka harus dirancang cara-cara kompensasi atau pengambil alihan lahan yang berorientasi pada hak asasi manusia. “Tujuan negara ini ‘kan untuk kemakmuran rakyat. Pembangunan infrastruktur jangan sampai memiskinkan tetapi harus mensejahterakan masyarakat. Karena itu, dalam pengadaan lahan harus dirancang cara-cara yang tidak membuat orang kehilangan mata pencaharian,” demikian ungkap mantan Ketua Komisi Nasional Hak Manusia ini. Lebih lanjut Ifdhal mengusulkan, untuk masyarakat yang lahannya diambil, kompensasinya seharusnya tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga misalnya mereka menjadi pemegang saham dari pembangunan infrastruktur tersebut. Misalnya, kalau yang dibangun adalah bandara atau bendungan raksasa, maka masyarakat yang lahannya diambil harus menjadi bagian dari pemegang saham bandara atau bendungan tersebut. Ifdhal menghimbau agar pengadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur tidak meniru seperti yang dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan mengatasnamakan untuk kepentingan
orang banyak, negara seringkali memaksa orang yang punya tanah harus mengalah. “Model seperti ini justru yang memiskinkan orang yang lahannya diambil. Ini akan jadi beban sosial negara lagi. Inilah yang harus dipikirkan dalam pembangunan infrastruktur (waduk),” pungkas Ifdhal.[]