Antropologi Gus Dur: Nyleneh dan “Membingungkan”, Benarkah?
Oleh : Marzuki Wahid Direktur Fahmina Institute Cirebon
B
agi segenap pembaca dan pendengar, ada sesuatu yang briliyan dan mencerdaskan dari Gus Dur, sekaligus juga ada yang ‘membingungkan’ dan mengacaukan akal sehat bagi segenap yang lain. Untuk yang terakhir ini, Gus Dur sering dijadikan ‘kambing hitam’ sebagai orang yang membuat keresahan masyarakat akibat pernyataan dan tindakannya yang khariq lil ‘adah (di luar kebiasaan). Berkaitan dengan kesan yang terakhir: betulkah Gus Dur membingungkan sehingga meresahkan masyarakat? Sejumlah kiai “tradisional” NU dan aktivis prodemokrasi yang pernah saya wawancarai, semuanya dapat memahami pernyataan dan tindakan Gus Dur. Tak seorang pun yang bingung dan resah akibat itu. Bahkan mereka dengan sangat baik
menjelaskan mengapa pernyataan dan tindakan itu muncul dan harus dimunculkan dalam kondisi masyarakat Indonesia seperti ini. Jadi, timbul satu pertanyaan: mengapa sering dimunculkan praduga bahwa “Gus Dur membingungkan dan meresahkan masyarakat”? Siapa sebetulnya yang bingung dan siapa yang membuat kebi-ngungan dan keresahan, tidak demikian jelas. Agaknya kita harus cermat betul dengan dua istilah ini: “membingungkan” dan “meresahkan”. Dua istilah itu mempunyai akar sejarahnya sendiri dalam wacana kepolitikan Orde Baru. “Membi-ngungkan” dan “meresahkan” adalah dua stigma sosial yang sering digunakan aparatus Orde Baru untuk menundukkan lawan politiknya. Pemikiran yang cerdas dan kritis terhadap negara Orde Baru saat itu selalu dicap “membingungkan” dan “meresahkan” untuk tidak mengatakan “membahayakan” dan “merongrong” kekuasaannya. Atas na ma pelabelan semacam itu, Orde Baru mempersalahkan mereka, dan bila perlu segera menyeretnya ke penjara. Maka jelaslah, dua istilah itu sangat bernuansa politis-ideologis: untuk mengalienasi dan mendorong orang untuk bersikap anti terhadap Gus Dur. Dengan kata lain, sebuah sikap ‘perlawanan’ atas gagasan,
pemikiran, dan gerakan Gus Dur yang ingin mengubah status quo! Beyond the NU! Lepas dari makna-makna kontroversial yang berkembang, Gus Dur memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak status. Selain populer diakui sebagai seorang intelektual kritis, budayawan pluralis, agamawan inklusif, politisi dan politikus independen. Gus Dur juga akrab dengan dunia metafisik (tasawuf). Meski Gus Dur sendiri menolak, tapi oleh sejumlah kalangan Gus Dur diyakini sebagai waliyullah (the holy person). Gus Dur, dengan demikian, memerankan tokoh yang serba bisa untuk segala urusan. Pemikiran, gerakan, dan wacana yang dikembangkan Gus Dur kadang melampaui Nahdlatul Ulama (beyond the NU), organisasi besar yang dipimpinnya selama lima belas tahun, dan melintas Indonesia (postIndonesia), negara tempat dia menancapkan pakem-pakem demokrasi. Akan tetapi pada saat lain, sejumlah pemikiran dan gerakannya dinilai cenderung bermuatan ideologis karena keberaniannya melawan arus. Namun, di atas semua itu, komitmen Gus Dur terhadap demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia, termasuk keterlibatannya melindungi dan membela kalangan minoritas dan
Edisi V/2010
TELAAH UTAMA
2
yang tertindas, tak diragukan sedikitpun. Dia bahkan telah melintasi sejumlah simbol (beyond the symbols), termasuk simbol-simbol keagamaan, yang kerap digunakan orang-orang yang mengritiknya. la ibarat burung elang yang terbang tinggi di atas awan “simbol-simbol bumi” dan mengepakkan dua sayapnya ke segala penjuru tanpa beban dan batas yang membelenggunya. Gus Dur sendiri pernah mengatakan, “Siapa saya sebenarnya tidak ada yang tahu, karena pada waktu (dianalisis) itu, (saya) berada di luar jangkauan siapa pun.” Apresiasi, pemujaan, di satu sisi, dan kritik, tuduhan, hujatan, di sisi lain merupakan hal yang biasa mengena kepadanya. Tidak saja dari kalangan-dalam NU, basis komunitas tempat pijakannya, melainkan juga dari kalangan internasional dan kelompok-kelompok yang gemar membawa simbol Islam. Membaca semua fenomena itu, dalam pandangan kami, Gus Dur adalah Gus Dur. Gus Dur tidak bisa direpresentasikan atau merepresentasikan apapun. Gus Dur adalah sebuah fenomena otonom, yang seluruh kenyelenehan dan kontroversi pemikiran dan tindakannya hanya bisa dipahami dengan mengungkap secara telanjang semua latar sosial-
intelektual-biografisnya, situasi sosial-politik-budaya kemunculannya, dan makna-makna tersembunyi (makro) di balik gerakannya. Itulah, kira-kira, partikel-partikel antropologis yang penting dijelaskan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang sosok Gus Dur. Kita perlu membongkar arkeologi sosial-pemikiran dan gerakan Gus Dur untuk menjelaskan makna (tafsir) dari sejumlah simbol yang sering digunakan Gus Dur di hadapan publik. Banyak memang pemikiran, gagasan, dan perilaku Gus Dur yang membutuhkan penjelasan ilmiah lebih lanjut secara khusus. Belakangan muncul buku-buku tentang Gus Dur, baik tulisantulisannya sendiri maupun tulisan orang tentang Gus Dur. Akan tetapi, buku yang mencoba menggali penjelasan-penjelasan antropologis dari se-jumlah gerakan, manuver, dan pemikirannya agaknya belum tampak hadir. Kebanyakan buku selain lebih suka membeberkan aspek materiil dari pemikiran dan gerakannya, juga melihat Gus Dur pada sisi politiknya. Tanpa mengurangi kajian literatur dan dokumen, penjelasan Gus Dur dapat diperoleh dari pendapat, komentar, kritik, dan apresiasi para pakar yang mempunyai otoritas pada bidangnya. Saya pernah mencoba menyajikan “sejarah lisan” dari teori
dan pengalaman para ahli tersebut. Ada tujuh fokus kajian tentang Gus Dur, yaitu kajian kebudayaan, politik, agama, ekonomi, gender, dan tasawuf. Masing-masing fokus ini hanya bisa dibedah oleh ahlinya melalui perspektif kritis, nonpositifistik. Bagi saya, Gus Dur adalah sesuatu yang menarik dan sangat berarti bagi pengayaan intelektualisme Indonesia dan catatan biografi sosio-politikointelektual seorang pemikir dan pejuang demokrasi di Indonesia. Hipotesis bahwa Gus Dur adalah tokoh multidimensi—sebagai agamawan, politikus, politisi, budayawan, feminis, dan sufi—hanya bisa diungkap dalam keseluruhan peta pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia. Arkeologi sosial-intelektual Gus Dur, yang saya sebut “narasi-kecil perjalanan sosial-intelektual Gus Dur” merupakan pengetahuan dasar untuk memahami dan mengalisis Gus Dur, setidaknya, karena faktor-faktor ini mempunyai peranan yang signifikan dalam pembentukan jati dirinya dalam konjungtur kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, ‘membaca’ Gus Dur tanpa mempertimbangkan “narasi-kecil perjalanan sosial-intelektual Gus Dur” bisa menghasilkan kesimpulan yang keliru. [G]
Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita
W
afatnya almaghfurlah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada hari Rabu, 30 Desember 2009 adalah kehilangan besar tidak hanya bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) namun juga bagi bangsa Indonesia dan dunia. Doa bersama yang diselenggarakan oleh lintas umat beragama masih terus menggema di mana-mana dan kemungkinan akan terus diadakan pada 40 hari, 100 hari, hingga tiap
Edisi V/2010
Oleh : Zudi Setiawan tahun berupa peringatan haul sebagai bentuk penghormatan terhadap Gus Dur. Para peziarah juga masih memadati makam Gus Dur sejak hari pemakaman hingga sekarang. Gus Dur telah menjadi magnet yang luar biasa sehingga makamnya pun dikeramatkan bahkan disejajarkan
dengan makam Walisongo. Letak makam Gus Dur yang berada di atas makam ayah dan kakeknya menjadi penanda tersendiri bahwa Gus Dur memang istimewa. Menurut penulis, tradisi ziarah Walisongo yang biasa dijalani oleh warga NU kemungkinan akan mengalami sedikit perubahan yaitu dengan dimasukkannya makam Gus Dur sebagai salah satu tujuan ziarah makam wali yang akan dikunjungi.
TELAAH UTAMA Tidak hanya itu, penghormatan masyarakat terhadap Gus Dur diungkapkan dalam beragam bentuk. Salah satunya terlihat dari tuntutan masyarakat luas supaya pemerintah segera memberikan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur yang terus mengalir di berbagai daerah. Ada pula tuntutan supaya nama Gus Dur dijadikan sebagai nama jalan protokol di berbagai kota di Indonesia. Tuntutan lainnya adalah diperingatinya tanggal wafatnya Gus Dur (30 Desember) sebagai Hari Pluralisme, perlunya dibangun patung Gus Dur di lokasi strategis di Jakarta, upaya pendirian Universitas Abdurrahman Wahid, dan masih banyak lagi. Telah begitu banyak gelar dan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luas kepada Gus Dur, di antaranya adalah waliyyullah (kekasih Allah), kiai, guru bangsa, presiden, pahlawan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, dan masih banyak lagi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menyatakan bahwa Gus Dur adalah bapak pluralisme dan multikulturalisme. Pascawafatnya Gus Dur, berbagai penghargaan untuk Gus Dur masih terus mengalir baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejarah mencatat bahwa Gus Dur adalah tokoh yang telah berhasil mengangkat komunitas pesantren dan NU yang sekian lama diremehkan. Bahwa tak ada yang mustahil untuk diraih di Indonesia oleh kaum Nahdliyin, termasuk menjadi presiden. Gus Dur adalah tokoh yang menjadi inspirasi bagi generasi muda NU yang berpikiran maju dan progresif. Peran Gus Dur juga sangat penting dalam mengangkat citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis yang mampu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi oleh bangsa Indonesia maupun masyarakat dunia pada umumnya. Perjuangan paling menonjol Gus Dur semasa hidupnya adalah dalam hal harmonisasi keragaman bangsa ini. Pemikiran dominan Gus Dur mengarah pada sebuah upaya
mempertemukan setiap bentuk keragaman, di antaranya agama, ras, etnis maupun golongan sehingga menjadi harmonis. Gus Dur menjunjung tinggi dan memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Gus Dur dengan tanpa kenal lelah terus memperjuangkan persamaan derajat antara kelompok minoritas dan mayoritas yang ada di negeri ini. Pada masa pemerintahan Gus Dur, diskriminasi terhadap umat beragama Konghucu dihapus. Gus Dur ingin menghilangkan diskriminasi terhadap siapapun yang hidup di Indonesia. Gus Dur menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan Inpres No. 6 Tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 yang mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Pada masa Orde Baru, orang takut bersembahyang di Klenteng atau melakukan acara budaya Tionghoa lainnya. Namun, sejak pemerintahan Gus Dur, setiap warga negara Indonesia apapun agamanya diberikan hak yang sama untuk menjalankan ibadah. Sejak masa pemerintahan Gus Dur, tahun baru Imlek diperingati disertai pertunjukan barongsai. Hal ini tidak terjadi pada masa Orde Baru. Jadi, peran Gus Dur dalam menghilangkan diskriminasi di Indonesia sangat besar. Gus Dur sendiri pernah diangkat sebagai Bapak Tionghoa Indonesia pada 10 Maret 2004 di Klenteng Tay Kak Sie, Semarang. Pengangkatan ini sebagai penghormatan terhadap jasa besar Gus Dur dalam menghilangkan diskriminasi terhadap kalangan Tionghoa serta keberanian dan kesungguhan Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa di Indonesia. Melihat jasa besar Gus Dur dalam memperjuangkan HAM, sejarawan Asvi Warman Adam menyatakan bahwa Gus Dur sangat pantas disebut sebagai pahlawan HAM. Semasa hidupnya, Gus Dur juga seringkali membela kelompokkelompok dan orang-orang yang tertindas. Pada saat sebagian kelompok Islam menyerang Jemaat
3
Ahamadiyah yang dilabeli sesat oleh MUI, Gus Dur datang untuk memberikan pembelaan. Kemudian ketika Inul Daratista dihujat dan direndahkan, Gus Dur pula yang pertama kali menyambangi Inul untuk membelanya. Gus Dur berani mempertaruhkan reputasinya sebagai tokoh panutan ormas Islam terbesar di negeri ini (NU) demi membela kaum yang tertindas. Gus Dur ingin melihat bangsa Indonesia yang sangat plural ini dapat hidup berdampingan sebagai satu kesatuan yang harmonis. Dalam memperjuangkan harmonisasi keragaman ini, Gus Dur seringkali mendapat tantangan dan hambatan. Kelompok-kelompok yang menginginkan keseragaman dan merasa paling benar sendiri adalah pihak yang terus-menerus menyerang Gus Dur. Namun, Gus Dur tetap menghadapinya dengan penuh kesabaran dan keberanian. Perjuangan Gus Dur ini dilakukannya baik semasa masih menjadi aktivis LSM, kemudian ketika menjabat sebagai presiden hingga detik-detik terakhir menjelang kepergian Gus Dur. Hal ini dilakukan karena Gus Dur sangat mencintai Indonesia. Gus Dur juga sangat gigih dalam memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi hidup bangsa Indonesia. Gus Dur pernah mengatakan, “Tanpa Pancasila, negara RI tidak akan pernah ada. Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam”. Terlihat bahwa bagi Gus Dur Pancasila adalah salah satu wujud nyata nilai harmoni dari keragaman bangsa ini. Perjuangan Gus Dur bagi bangsa Indonesia semasa hidupnya memang dilakukan dengan penuh keberanian
Edisi V/2010
ARTIKEL
4 dan ketegaran. Bahkan, di tengah kondisinya yang lemah menjelang kepergiannya pun Gus Dur masih menunjukkan ketegarannya. Gus Dur masih sempat berziarah ke makam ayahnya K.H. Wahid Hasyim dan kakeknya K.H. Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur. Seakan Gus Dur telah mengetahui bahwa dirinya akan segera meninggalkan dunia ini untuk menyusul ayah dan kakeknya. Kemudian, dua hari sebelum wafat Gus Dur juga menyempatkan diri mendatangi kantor PBNU untuk yang terakhir kalinya. Gus Dur telah berpulang dengan meninggalkan banyak warisan pemikiran bagi bangsa Indonesia. Gus Dur telah berada dalam pikiran masyarakat luas, karena memang semasa hidupnya Gus Dur senantiasa memikirkan masyarakat luas. Tak mengherankan apabila banyak orang merasa dekat dengan Gus Dur. Gus Dur telah menjadi milik banyak orang. Jadi, Gus Dur adalah Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita. [G]
NU dan Perihal Pengganti Gus Dur Oleh: Abd Moqsith Ghazali Staf Pengajar Universitas Paramadina Jakarta
Zudi Setiawan Gus Dur telah tiada. Banyak orang Dosen Ilmu Politik FISIP merasa kehilangan atas kepergiannya. Universitas Wahid Hasyim Ia pintar, karismatik, dan jenaka. Tak Semarang ada yang ragu atas keulamaan Gus Dur. Tapi, ia bukan ulama yang hanya digdaya di lingkungan Islam. Resonansi keulamaan Gus Dur juga SUSUNAN PENGURUS WILAYAH terasa di kalangan umat agama lain. LAKPESDAM NU JATENG Banyak anak-anak muda dan tokoh TAHUN 2008-2013 non-muslim yang terinspirasi dari Pembina : 1. Rois Syuriah PWNU tulisan dan pernyataan-pernyataan Jawa Tengah 2. Ketua Tanfidziyah Gus Dur. Itu sebabnya kepergian Gus PWNU Jawa Tengah, Ketua : Drs.H. Dur ke alam baka juga ditangisi oleh Khoirul Anwar, M.Ag, Wakil Ketua : tokoh-tokoh agama selain Islam. Doa lintas iman dan keyakinan untuknya Drs. H. Adib Fathoni, M.Si, dirapalkan di beberapa daerah di Sekretaris : Agus Riyanto, S.Ip, Indonesia. M.Si, Wakil Sekretaris : Iman Jelas, Gus Dur bukan hanya Fadhilah, SHI, MSI, Bidang Kajian pemikir dan ulama yang hanya Dan Pelatihan :1. Ali Furmen, S.Pd, bertafsir dan berteologi dari atas M.Ed 2. Drs. Hasyim Muhammad, M.Ag 3. Zudi Setiawan, S.IP, Bidang menara. Ia adalah seorang aktivis Kerjasama Kelembagaan : 1. Drs. yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi terutama terhadap Ahmad Arif Junaidy, M.Ag 2. Andi kelompok-kelompok yang tertindas, Purwono, S.IP, M.Si 3. Atiq Amjadallah, SE, Bidang Penerbitan, baik dari agama, etnis, maupun Informasi dan Dokumentasi: 1. Tedi gender. Ia akan hadir misalnya ketika buruh dan pedagang kaki lima Kholiludin, SHI, M.Si 2. Safrodin, mengalami ketidakadilan. Ia S.Ag, M.Ag 3. M. Nuh, S.Sos 4. bersumpah akan terus membela hakHarun, S.IP.
Edisi V/2010
hak sipil kelompok Ahmadiyah tatkala hak-hak mereka itu dirampas. Ia akan datang begitu ada rumah ibadah yang dibakar. “Manusia perlu dibela, Tuhan tidak”, kata Gus Dur. Gus Dur seperti punya banyak simpanan energi untuk melakukan pembelaan demi pembelaan. Energi Gus Dur itu kiranya tegak di atas dua kekuatan. Pertama, kapasitas intelektualnya yang mumpuni. Ia meminati banyak disiplin ilmu, mulai dari ilmu-ilmu keislaman seperti fikih, kalam, dan tafsir hingga ilmuilmu sekuler seperti politik, filsafat, sastra, dan film. Ia tak canggung untuk berdiskusi dengan seniman, penyair, dan filosuf. Kedua, Gus Dur memiliki basis kultural yang kuat. Kakek dan ayahnya adalah dua figur ulama yang disegani. Sang kakek, KH Hasyim Asy’ari, adalah guru dari para kiai terutama di tanah Jawa. Rasanya tak ada pesantren di Jawa dan Madura yang tak mempunyai genealogi keilmuan dengan Tebuireng, tempat Mbah Hasyim mengajar. Itu sebabnya dukungan terhadap Gus Dur dari kalangan pesantren cukup besar. Pernyataan-pernyataan Gus Dur yang dianggap kontroversial tak menimbulkan guncangan berarti dari para kiai dan santri. Dengan dua kekuatan itu, Gus Dur sangat percaya diri. Ia bisa beradu argumen dengan para intelektual lain ketika ide-idenya disanggah. Gus Dur kerap terlibat polemik dengan para sejarawan, pemikir politik, sastrawan, dan budayawan. Dan ia juga berani melawan ketika kelompok-kelompok fundamentalis radikal Islam menggunakan penggalangan massa untuk menggertaknya. Ini karena ia yakin bahwa di belakang dirinya ada ribuan mungkin jutaan orang yang siap mendukungnya. Walau kita tahu
WAWANCARA bahwa Gus Dur tak pernah mengijinkan massa pendukungnya untuk melakukan tindak kekerasan, hatta dengan alasan agama sekalipun. Kini ketika Gus Dur wafat, tak sedikit orang yang berfikir tentang figur penggantinya. Tentu tak mudah menemukan figur yang memiliki dua kekuatan seperti Gus Dur; pintar dan punya basis massa. Dari sudut intelektualitasnya sebenarnya banyak tokoh-tokoh NU yang bisa menggantikan Gus Dur. Bahkan, argumen-argumen Gus Dur mengalami pengayaan, pendalaman, dan pencanggihan di tangan sejumlah generasi muda NU. Namun, mungkin karena tak memiliki basis massa yang kukuh, anak-anak muda NU itu tampak kurang percaya diri. Mereka terus dihantui keraguan ketika hendak menyampaikan pemikiran-pemikiran progresifnya. Tak sedikit dari pandangan mereka yang dianggap kontroversial dicabut kembali atau dilunakkan sehingga tak lagi orisinil dan menggelegar. Saya kira tak saatnya kita berfikir mencari figur pengganti Gus Dur.
Bukan hanya karena figur seperti Gus Dur itu sudah langka, melainkan karena perjuangan yang bertunjang pada seorang figur itu kurang relevan dan rapuh. Dari kasus Gus Dur ini kita disadarkan bahwa seorang tokoh atau figur memiliki batas waktu. Sang tokoh akan sakit lalu meninggal dunia. Terang benderang, yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana meninstitusionalisasikan atau melembagakan gagasan-gagasan besar Gus Dur seperti pluralisme, HAM, dan demokrasi itu. Di kalangan anak-anak muda Islam pelanjut Gus Dur sebenarnya telah lama dirintis beberapa lembaga yang mengukuhkan gagasan-gagasan Gus Dur, seperti LKiS (Yogyakarta), LAPAR (Makasar), LK3 (Banjarmasin), YPKM (NTB), eLSA (Semarang), JIL (Jakarta), the Wahid Institute (Jakarta), dan banyak lagi yang lain. Dengan melembagakan gagasan-gagasan besar Gus Dur, kita akan memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, gerakan pluralisme, HAM dan demokrasi akan berjalan lebih sistematis dan terstruktur. Saya membayangkan
WAWANCARA Slamet Thohari (Seorang Difabel)
Gus Dur, Pejuang Kaum Difabel
S
lamet Thohari adalah seorang difabel (different ability, orang dengan kebutuhan khusus). Kakinya terkena polio sejak ia berumur dua tahun. Lelaki kelahiran Kota Kretek Kudus, 19 Nopember 1983 itu harus menggunakan tongkat atau kursi roda agar bisa berjalan. Aksesnya terbatas. Ia tidak bisa seperti orang lain yang begitu mudah mendapatkan akses. Meski begitu, ia tidak pernah mengeluh atas kondisi fisiknya itu. Soal pendidikan tetap Amek (begitu panggilan akrabnya) nomor satukan. Selepas menyelesaikan Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama di Kudus, ia hijrah ke Ponorogo meneruskan studi di SMA setempat sembari belajar di Pesantren meski tidak tuntas. Tahun 2001, ia diterima di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Tak hanya ber kuliah, ia juga menjadi aktifis tulen di kampus itu. Dengan dua tongkat yang selalu ia bawa kemana-mana Amek pernah berderma pada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai Ketua PMII Rayon Filsafat UGM. Amek juga pernah menjabat sebagai Pemimpin
5 sekiranya anak-anak ideologis Gus Dur itu suatu waktu memegang kendali Nahdlatul Ulama (satu ormas Islam terbesar di Indonesia), maka kiranya NU akan kembali menjadi lembaga raksasa yang mengefektifkan gerakan civil society. NU akan menjadi LSM besar yang tak ragu mengadvokasi warga NU secara khusus dan warga bangsa Indonesia secara umum yang mengalami ketidakadilan dan penindasan. Kedua, melalui pelembagaan ini, kaderisasi bisa bergulir dengan lebih baik dan teratur. Penguatan kapasitas individu anakanak muda NU bisa dilakukan secara lebih massif dan berjenjang. Kaderkader muda NU yang memiliki kesadaran pluralisme dan HAM seperti Gus Dur akan tumbuh lebih banyak dari sejumlah kantong dan wilayah di Indonesia. Jika semua ini bergerak secara sinergis, maka cita-cita Gus Dur untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis nir-kekerasan akan wujud dalam kenyataan. Selamat jalan Gus Dur, Bapak Pluralisme.[G]
Redaksi Jurnal Tradem PMII Cabang Sleman. Tahun 2006, ia lulus dari UGM dengan predikat sebagai lulusan terbaik. Sadar sebagai bagian dari kelompok difabel, Amek merasa penting memperjuangkan kelompoknya. Ia berkesempatan menggaungkan hakhak kaum difabel itu di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Tahun 2008, Amek melanjutkan studi di Jurusan Disability Studies, University of Hawaii at Manoa USA. Terkait dengan hak-hak kaum difabel yang kerap dikesampingkan, Amek jelas menyayangkan sikap tersebut. Hampir semua konstruksi pemikiran atau bangunan mesti dibangun diatas nilai-nilai “kenormalan”. Tak ada akses bagi kelompok ini. Dalam situasi tersebut, bagi Amek KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah orang yang memiliki kepekaan terhadap kelompok difabel. Bisa jadi
Edisi V/2010
WAWANCARA
6 hal ini dimungkinkan karena Gus Dur juga seorang difabel, tetapi ketajamannya atas akses kaum difabel sungguh suatu yang luar biasa. Berikut ini petikan wawancara Tedi Kholiludin dari Lakpesdam NU Jawa Tengah dengan Slamet Thohari pada 1 Februari 2010 kemarin. Bagaimana pandangan anda sebagai seorang difabel terhadap Gus Dur? Gus Dur di mataku adalah “pintu gerbang” bagi pemenuhan hak kaum difabel. Mereka mesti berjuang mendapatkan hak-haknya. Perlu diingat bahwa Gus Dur sendiri dihadang naik presiden karena kebutaaannya. Tetapi toh dia tetap ngeyel. Selain itu kebijakn-kebijakan yang dikeluarkan saat Gus Dur menjadi presiden sangat sesuai dengan apa yang diperuangkan oleh kami Seperti apa contoh kebijakan itu? Dua hal yang menurut saya sangat signifikan, GAUN (Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional) dan membubarkan Departemen Sosial. Tentu banyak lagi yang lainnya. Tapi dua hal itu cukup berarti bagi perjuangan kaum difabel. Gus Dur juga memasang aksesibilitas di manamana. Satu contoh misalnya, aksesibilitas di stasiun gambir yang skrg justru diabaikan oleh pemerintah. Bisa digambarkan efek langsung dari GAUN itu terhadap kaum difabel? Efeknya, ya pada akhirnya banyak publik tahu bahwa aksesibilitas itu penting ada orang yang namanya kaum difabel Maksud saya, bisa diceritakan point penting dari GAUN itu yg berimbas langsung kpd kaum difabel? Ya soal aksesibilitas itu. Karena bagi kaum difabel, yang paling utama
Edisi V/2010
dalam aktifitas mereka adalah soal memasang tangga khusus dan alataksesibilitas yang kerap diabaikan. alat khusus lainnya. Lalu apa relevansi pembubaran Departemen Sosial bagi difabel? Mengapa kok ada kaum difabel seperti anda yang tak bersahabat dengan Departemen ini? Bagi kami, Departemen Sosial itu menjadi soal karena meraka adalah kaki tangan pemerintah. Yang lain karena persoalan paradigmatik. Departemen sosial menilai difabel bagian dari masalah sosial. Seharusnya tidak begitu, difabel mesti dibaca dalam analisis Hak Asasi Manusia (HAM), bukan dibaca sebagai “deviance”. Masa, difabel disamakan kayak korban kebanjiran dan lain-lain. Nah, Departemen Sosial itu ibarat “bagian” dari proses “enforcing normalcy”. Apa itu pa slamet? Ya meneguhkan ke-normalan. Asumsi pemerintah kan selama ini menganggap kaum difabel sebagai orang yang tidak normal, maka perlu dikasihani. Nah, departemen Sosial itu sebagai agen untuk itu. Padahal difabel bukan dikasihani tapi diberi haknya. Nah, ketika Gus Dur membubarkan departemen itu, bagi saya ini langkah maju. Apa sebenarnya masalah utama kelompok difabel selain soal akses? Ya dianggap tidak normal itu. Mindset orang-orang “normal” seperti anda mungkin yang menilai bahwa difabel itu tidak normal. Celakanya, bias-bias normalitas ada dimana-mana. Lihat saja Misalnya, apakah gedung di IAIN Semarang ada yang aksesibel. Tidak ada kan? Nah gedung itu sangat bias normal, dibangun dari semangat kenormalan. Kalau seandainya yang bangun itu orang difabel pasti tidak begitu. kalau seandainya alam pikiran masyarakat tahu bahwa ada difabel, maka saya jamin mereka akan
Gus Dur termasuk orang yg peka terhadap hal itu? Begitukah? Iya. Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah gedung paling aksesibel di Jakarta Disana, ada ramp-nya, ada huruf braille di elevatornya ada juga fasilitas suara dan lain-lainnya. Jadi bagi saya kalau ada orang berbicara tentang demokrasi, HAM atau pluralisme sementara Kantornya belum aksesibel, ya percuma. Ada yg tersisa dari perjuangan Gus Dur bagi kaum difabel yg belum terlaksanakan? Gus Dur adalah orang yang sangat peka difabel. Namun, bisa dikatakan beliau belum bisa dibilang sangat serius. Tapi harus diakui dia peka soal itu, dibandingkan presidenpresiden lainnya. Bisa jadi karena dia difabel dan mungkin ada inspirasi dari negara-negara lain yang mempraktekkan hal serupa. Walaupun begitu, gagasan utuh Gus Dur soal difabel belum sepenuhnya terbentuk. Hanya saja dia peka dan mengerti dan terlibat dalam memperjuangkannya. Sementara gagasan utuh soal pemikiranpemikiran difabel dia belum punya. Ada pesan untuk masyarakat NU terkait dengan Gus Dur dan difabel? Lihat sekeliling anda. Mari samasama memberikan hak bagi kaum difabel. Cintai mereka dan lihatlah sebagai manusia biasa, sama seperti kita. [G]
RESENSI Secara kelembagaan, apakah NU sudah memenuhi harapan tersbut? Jelas belum. Contoh kecil ya, sepengetahuan saya belum ada pesantren yang aksesibel. Perbincangan tentang difabel belum banyak dibahas. Tidak ada hokumhukum agama menyentuh ini. Mana ada mesjid yang aksesibel? Dan ini tentu bukan hanya persoalan NU, tapi masyarakat secara umum. Intinya, Indonesia jauh dari pemenuhan hakhak kaum difabel. Soal hukum agama? Apa contohnya? Contohnya, bagaimana hukumnya imam bagi orang tuli. Lalu bagaimana hukumnya membaca dengan tajdwid bagi tuna wicara. Yang lainnya misalnya bisa dicontohkan apakah saya harus wudlu,sementara tempat wudlu licin sekali, padahal kaki saya polio? Bahkan al-Mawardi dalam Al Ahkam alSulthoniyyah melarang difabel jadi pemimpin. Jadi tafsir agama sesungguhnya masih bias “normal”? Ya kurang lebih seperti itu. Lalu apa pesan moral yg ingin dismpaikan oleh aktivis difabel seperti anda bagi organisasi keagamaan sperti NU? NU harus memulai dari bawah. Dengan pelan2 mengajak difabel bersatu dengan masyarakat. NU secara rutin harus mulai mengajarkan masyarakat perlunya hak-hak difabel. Dan itu dimulai dengan memberikan hak yang sama ke akses-akses NU seperti pesantren, madrasah dan lainlain. Dan itu bisa dimulai misalnya dengan mendirikan pesantren yang aksesibel atau madrasah yang aksesibel. Atau menyisipkan kaum difabel dalam pengajian-pengajian, biar masyarakat sadar akan kehadirannya. [G]
PEMBAHARUAN BERBASIS TRADISI ................................................. Judul : A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of A New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama During the Abdurrahman Wahid Era ................................................. Penulis : Djohan Effendi ................................................. Penerbit : DIAN/Interfidei Institute, Jogjakarta ................................................. Tahun Terbit : Agustus 2008 ................................................ Tebal : 314 halaman .................................................
B
uku ini merupakan hasil Disertasi yang diper tahankan oleh Djohan Effendi pada Department of Religious Studies, School of Social Inquiry, Faculty of Arts, Deakin University, Australia. Seibagai karya utuh yang mengeksplorasi gagasan yang muncul pada masa Gus Dur menjadi punggawa Nahdlatul Ulama, karya Djohan ini penting untuk digumuli. Olaf Schumann, dalam pengantarnya mengatakan bahwa Djohan telah melakukan penelaahan yang baik terhadap latar belakang kesejarahan dari sebuah kelompok Islam tradisional yang oleh Schumann digambarkan sebagai “Progressive Traditionalism”. NU bergerak diantara dua karakter sebagai jam’iyyah dan jama’ah. Dengan menjelaskan dua karakter tersebut dalam tubuh NU, Djohan Effendi, kata Schumann, memberikan dasar pemahaman dalam kekuatan internal hingga sampai pada keputusan pada tahun 1984 untuk mereorganisasi NU dari
partai politik menuju organisasi sosial murni, semacam NGO seperti yang dikatakan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Buku Djohan Effendi, kata Schumann diharapkan dapat menginspirasi intelektual di Timur Tengah untuk melakukan riset serupa di wilayahnya untuk m e n g g a m b a r k a n perkembangan Islam. Namun, kata Schumann, penelitianpenelitian tersebut haruslah menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka yang berada di luar kawasan tersebut, seperti yang dilakukan oleh Djohan Effendi. Perkembangan wacana yang diurai oleh Djohan dalam buku ini, sebenarnya berkisar pada tema-tema umum yang ada dalam komunitas NU. Tematema seperti Aswaja, Halaqoh, Bahtsul Masail, Fikih Siyasah, merupakan kajian-kajian yang lekat dengan NU. Pada masa Gus Dur, tema tersebut menemukan signifikansinya dengan sentuhan pembaharuan pada aspek metodologisnya. Bahkan pada masa ini, muncul diskursus baru tentang fiqih perempuan. Tema ini cukup baru dan NU bisa dikatakan berhasil memberikan justifikasi teologis atas argumen kesetaraan gender. Padahal, wacana gender, awalnya masuk ke Indonesia dengan sangat sekuler. Menurut Djohan, perkembangan wacana yang begitu menggeliat, tidak lepas dari dua factor. Pertama, keputusan NU untuk kembali pada Khittah 1926
Edisi V/2010
7
KOMENTAR
8 dan kedua, pilihan untuk memilih duet Gus Dur dan Kiai Achmad Siddik sebagai pimpinan NU. Saat itu, dua tokoh tersebut ,merupakan representasi “tipe lain” dari pimpinan NU yang lebih mendorong NU konsisten di jalur sosial budaya dari pada sosial politik. Kehadiran keduanya membawa semangat intelektual baru diantara generasi muda NU. Salah satu kontribusi Kiai Achmad Siddik adalah membuat tajdid bukan sebagai sesuatu yang perlu ditakuti. Di saat yang sama, Gus Dur menjadi payung bagi generasi muda NU untuk
mengembangkan tradisi intelektual. Ada tiga faktor yang melatarbelakangi perkembangan generasi muda NU saat itu. Pertama, eksistensi pengetahuan yang terformulasikan dalam paradigma mazhabiyyah. Tradisi ini berkembang dalam lingkup pesantren sebagai cultural institution dan ada dalam tradisi bahtsul masail sebagai forum diskursus intelektual. Tradisi bermazhab ini kemudian diberikan sentuhan dengan menggeser paradigm dari bermazhab secara qawli menuju mazhab manhajiy. Kedua, kehadiran pesantren sebagai
infrastruktur cultural yang mendorong kesinambungan institusi local dan tradisional tetapi di saat yang sama terbuka akan perubahan dan pengembangan. Ketiga, Kiai yang memainkan peran tidak hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga pemimpin sosial.Ulasan Djohan dalam buku ini, cukup menarik karena tidak keluar dari pakem. Biasanya penulisan penelitian selalu dirunut secara periodikal. Tetapi ia menawarkan model pemaparan lain, yakni dengan cara tematik.[Tedi Kholiludin]
KOMENTAR “ Diantara beberapa hal yang sangat menonjol dari Gus Dur yang sepantasnya dimiliki oleh generasi penerus bangsa ini adalah keberaniannya untuk berfikir dan menyampaikan idenya yang kritis walaupun itu pedas di telinga orang. Hal ini di tunjang oleh keihklasan Gus Dur dalam berbuat untuk bangsanya, bukan dengan niat keuntungan dan atau popularitas pribadi.” (Zaenuddin, Direktur Center for Cultural and Developmental Studies of West Borneo (CCDS of West Borneo) Pontianak, Kalimantan Barat) Melontarkan sebuah gagasan adalah satu hal, tapi berani mewujudkannya adalah hal lain lagi. Dan Gus Dur telah melakukan keduanya. Tidak hanya pemikirannya yang menggelitik nalar, tetapi juga tindakannya telah menyentuh nurani. Dengan tegas ia berpihak, pada yg kecil, tersisihkan dan ditindas. Histeria dari penjuru nusantara adalah salah satu penandanya. (Rony C. Kristanto, Rohaniwan, Ketua Komisi Dialog Antar Agama Sinode Gereja Isa Almasih) Laiknya pendulum, Gus Dur tidak bisa ditebak. Kadang ke kanan, kadang kiri. Meski ia selalu bergerak, sejatinya Gus Dur mengambil titik se(t)imbang. Saat orang ke kanan, ia ke kiri. Saat penguasa menindas, ia memihak rakyat. Saat mayoritas menghegemoni, ia berdiri di sisi minoritas. Uniknya, Gus Dur punya pijakan di dua sisi: kultural- pesantren dan akademik-liberal; penguasa dan jelata. Ada yang siap melanjutkan? (M. Nasruddin, Editor di Penerbit Jalasutra Yogyakarta)
Edisi V/2010 Edisi V/2010