46
BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER
Merujuk pada definisi difusi inovasi menurut Rogers dan Shoemaker (1971), terdapat empat unsur dalam proses difusi, yaitu: (1) inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) waktu, dan (4) sistem sosial. Sehubungan dengan itu, bab ini akan menjelaskan keempat unsur difusi tersebut, diikuti
kemudian dengan
penjelasan karakteristik adopter dan laju adopsi inovasi ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa.
6.1 Proses Difusi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa 6.1.1
Inovasi Ponsel Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, inovasi adalah
suatu gagasan, praktek atau objek yang dipandang sebagai baru oleh individu. Inovasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ponsel. Pada umumnya, khususnya bagi masyarakat perkotaan, ponsel bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun, bagi sebagian besar masyarakat perdesaan, terutama desa-desa yang terpencil, ponsel merupakan hal yang masih baru. Begitupun bagi masyarakat di Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, ponsel dianggap sebagai sebuah inovasi. Hal tersebut dikarenakan, sebagian besar penduduk di Desa Kemang dapat mengakses ponsel baru setelah berdirinya BTS XL pada tahun 2008, meskipun sebelumnya mereka telah mendengar/mengenal ponsel. Terkait hal tersebut, sekitar 93 persen adopter menggunakan kartu XL sebagai provider ponsel mereka. Adapun merek ponsel yang sebagian besar digunakan oleh adopter adalah Nokia, yaitu sekitar 76 persen, sementara sisanya adalah ponsel-ponsel produksi Cina (MITO, VISIO, CROSS, dan NEXIAN). Harga ponsel yang dibeli adopter berkisar antara Rp 100.000,00 sampai Rp 2.000.000,00 , dengan harga rata-rata Rp 570.000,00. Secara umum, jenis fitur/fasilitas yang tersedia di dalam ponsel adopter bervariasi, tidak hanya dapat digunakan untuk telepon dan SMS, namun sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti kamera, video, radio, MP3 player, game, dan internet.
47
Sekitar 48 persen adopter, belum pernah mengganti ponselnya dari awal pembelian sampai penelitian dilakukan. Namun demikian, terdapat pula adopter yang telah mengganti ponselnya satu sampai dengan empat kali, dengan persentase berturut-turut sekitar 16 persen (sekali ganti ponsel), 25,33 persen (dua kali ganti ponsel), 6,67 persen (tiga kali ganti ponsel), dan 5,33 persen (empat kali ganti ponsel). Hal tersebut, dilakukan karena ponsel yang digunakan adopter rusak atau hilang. Alasan lainnya adalah mengikuti perkembangan model ponsel yang semakin canggih dan modern, serta ada yang sengaja menjual kembali ponselnya dan menggantinya dengan harga yang lebih murah, khususnya karena masalah ekonomi.
6.1.2
Saluran Komunikasi Mengacu pada Rogers dan Shoemaker (1971), saluran komunikasi adalah
cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Tabel 15 di bawah ini menjelaskan tentang sejumlah sumber informasi inovasi ponsel di kalangan adopter. Ditinjau dari penyebarannya, informasi berkenaan inovasi ponsel lebih banyak diterima adopter dari saluran komunikasi interpersonal, yaitu kelurga inti, teman, dan/atau kombinasi keduanya dengan persentase sekitar 43 persen. Namun demikian, secara umum persentase tertinggi sumber informasi inovasi ponsel bagi para adopter di kedua kampung berasal dari teman serta kombinasi antara teman, media elektronik, dan media cetak dengan persentase yang hampir sama sekitar 24 persen. Sementara, jika dilihat per kampung, sumber informasi inovasi ponsel di Kampung Beber mayoritas berasal dari kombinasi antara teman, media elektronik, dan media cetak, sedangkan di Kampung Cikupa mayoritas berasal dari teman saja. Hal ini karena tingkat status sosial ekonomi adopter di Kampung Beber lebih tinggi dibanding dengan adopter di Kampung Cikupa, sehingga kepemilikan media massa elektronik lebih banyak dimiliki oleh adopter di Kampung Beber.
48
Tabel 15 Distribusi Adopter menurut Sumber Informasi tentang Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) Sumber Informasi Keluarga Inti Teman Media Elektronik Media Cetak Keluarga Inti+Teman Keluarga Inti+Teman+Media Elektronik Keluarga Inti+Teman+Media Elektronik+Media Cetak Keluarga Inti+Media Elektronik Teman +Media Elektronik+Media Cetak Media Elektronik+Media Cetak Total (persen) Total (jumlah)
Beber
Cikupa
Total
5,33 12,00 1,33 0,00 5,33 4,00
6,67 12,00 1,33 1,33 1,33 10,67
12,00 24,00 2,67 1,33 6,67 14,67
1,33
0,00
1,33
10,67 15,99 0,00 56,00 42
1,33 8,00 1,33 44,00 33
12,00 23,99 1,33 100,00 75
Selanjutnya, jika dilihat dari akumulasi saluran komunikasi interpersonal dan media massa, data di atas menunjukkan bahwa saluran komunikasi interpersonal lebih dominan dibanding saluran media massa. Hal ini sesuai dengan pendapat Rogers dan Shoemaker yang menyatakan bahwa saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif mengubah pengetahuan tentang inovasi.
6.1.3
Waktu Inovasi ponsel telah dikenal oleh masyarakat di Kampung Beber dan
Cikupa sejak sekitar 15 tahun lalu, yang ditandai oleh kepemilikan salah satu warga akan ponsel yang pertama kali pada tahun 1995. Warga tersebut adalah mereka yang berhubungan dengan orang di luar desa khususnya di perkotaan, seperti pengusaha. Tabel 16 di bawah ini menunjukkan jumlah individu yang mengadopsi inovasi ponsel setiap tahunnya di kedua kampung.
49
Tabel 16 Jumlah Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa menurut Tahun Adopsinya (dalam persen) Tahun menerapkan inovasi ponsel
Beber
Cikupa
Total
1995 1999 2000 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total (persen) Total (jumlah)
1 0 3 0 5 3 4 16 5 15 4 56 42
0 1 1 1 1 0 15 3 11 7 4 44 44
1 1 4 1 7 3 19 19 16 21 8 100 75
Jika dilihat dari penyebarannya di tiap kampung, data pada Tabel 16 menunjukkan warga yang pertama kali mengadopsi ponsel berasal dari Kampung Beber. Selanjutnya warga di Kampung Cikupa mulai mengadopsi inovasi ponsel meskipun persentasenya sangat rendah. Diketahui pula bahwa adopter ponsel di kedua kampung meningkat sejak memasuki tahun 2005. Hal ini dikarenakan munculnya ponsel dengan berbagai
merek, tipe, dan harga, semakin
mempermudah akses individu terhadap ponsel. Di samping itu, peningkatan jumlah adopter ponsel dikarenakan banyaknya masyarakat desa yang mulai melakukan migrasi sirkuler2 ke perkotaan, baik untuk urusan pekerjaan atau sekolah, kemudian mereka menggunakan ponsel di tempat perantauan. Selanjutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahun 2008, tepatnya pada bulan Agustus, perusahaan XL mendirikan BTS di Desa Kemang, yang letaknya di Kampung Beber. Kehadiran BTS ini telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel dan kemudian memicu masyarakat untuk menggunakan ponsel.
2
Menurut Zelinsky (1986) dalam Rusli (1995), sirkulasi atau migrasi sirkuler adalah berbagai macam gerak penduduk yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dan mempunyai kesamaan dalam hal tidak adanya niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal permanaen. Sirkulasi merupakan gerak “berselang” antara tempat tinggal dan tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk tujuan lain seperti sekolah.
50
6.1.4
Sistem Sosial Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial, karenanya struktur sosial
dalam sistem mempengaruhi pola-pola difusi inovasi. Selanjutnya, di dalam struktur sosial tersebut terdapat peranan-peranan yang dimainkan oleh individuindividu tertentu, khususnya pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya. Tokoh masyarakat yang berperan penting dalam penyebaran inovasi ponsel di Kampung Beber dan Cikupa adalah para pemilik lahan yang meyewakan lahannya kepada perusahaan XL dan Telkomsel sebagai tempat berdirinya BTS, karena mereka telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel. Salah seorang pemilik lahan di Kampung Cikupa yang lahannya disewa oleh perusahaan XL adalah Bapak JLN, Pertama kali perusahaan XL masuk ke Desa Kemang adalah untuk mencari lahan dimana terdapat titik sinyal. Namun, yang datang ke desa bukanlah pihak langsung perusahaan, akan tetapi melalui calo. Sebenarnya, titik sinyal itu berada di area Kantor Desa Kemang, akan tetapi lahan tersebut milik pemerintah. Pihak perusahaan menyatakan malas jika harus berurusan dengan pemerintah, karena prosedurnya yang rumit. Akhirnya, calo yang mewakili perusahaan tersebut mencari lahan kosong yang berjarak sekitar 100 meter dari titik sinyal dan menemukan lahan sawah milik Bapak JLN.. Proses negosiasi pun dimulai antara calo dan Bapak JLN yang diwakili oleh anaknya, Bapak HRL. Penawaran harga sewa tanah pertama adalah 75 juta rupiah per lima belas tahun, akan tetapi pada saat penandatanganan perjanjian di depan notaris, 24 Mei 2008, harga yang disepakati adalah 65 juta rupiah per lima belas tahun. Hal itupun sampai saat ini masih menjadi misteri, namun diduga telah terjadi kecurangan pada pihak perusahaan, karena tidak lama dari proses tersebut, penanggungjawab dari pihak perusahaan dipecat dari pekerjaannya. Proses perjanjian
ini
juga
melibatkan
pihak
kecamatan
dan
desa.
Setelah
penandatanganan perjanjian, pembangunan menara BTS pun dimulai. Tenaga kerja yang digunakan adalah dari masyarakat setempat, akan tetapi untuk bagian
51
konstruksi tenaganya disiapkan dari perusahaan. Proses pembangunan pun berjalan kurang lebih selama empat bulan, dari bulan Mei hingga Agustus 2008. Selain itu, pihak perusahaan pun mengadakan sosialisasi akan bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh menara BTS kepada warga masyarakat yang berdomisili pada radius 60 meter dari wilayah menara BTS. Selanjutnya, kepada mereka diberi uang kompensasi oleh perusahaan sebesar Rp 250.000,00 per jiwa. Selain itu, kepada mereka perusahaan juga memberikan jaminan untuk mengganti atau memperbaiki alat-alat elektronik milik mereka yang rusak akibat berdirinya menara BTS tersebut. Untuk pemeliharaan menara BTS XL, perusahaan menunjuk Bapak HRL dengan memberikan insentif setiap bulannya. Sebagaimana diketahui, di Kampung Beber terdapat dua buah BTS, selain BTS XL berdiri pula BTS Telkomsel yang didirikan di lahan milik Bapak HAS. Proses negosiasi antara perusahaan Telkomsel dan Bapak HAS tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan antara perusahaan XL dan Bapak JLN. Lahan tersebut dipilih karena titik sinyal Telkomsel berada tepat di lahan itu. Penawaran harga sewa pada mulanya sebesar 70 juta rupiah per sepuluh tahun, akan tetapi pada akhirnya harga sewa menjadi 60 juta rupiah per sepuluh tahun, karena sisa dana yang sebesar 10 juta rupiah digunakan untuk insentif tim survei dan dana kompensasi bagi warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lahan yang akan dijadikan tempat pembangunan BTS. Proses survei hingga pembangunan selesai telah menghabiskan waktu sekitar tiga bulan, dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Selain berperan dalam menyewakan lahannya, Bapak HAS juga merupakan tokoh masyarakat yang memiliki ponsel pertama kali di Kampung Beber dan Cikupa. Beliau adalah seorang pengusaha daun pisang yang banyak membantu masyarakat dalam pembangunan desa. Meskipun Bapak HAS berpendidikan tamat Sekolah Dasar (SD), tetapi dia lebih terdedah terhadap media massa, lebih kosmopolit karena lebih sering berkomunikasi dengan agen perubah (perusahaan provider), dalam hal aksesibilitas, serta memiliki partisipasi sosial yang lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya dan lebih inovatif. Secara umum, sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat heterogenitas karakteristik anggota sistim sosial di dua kampung, Beber dan Cikupa, namun
52
demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Mugniesyah (2007), sebagian besar warga di dua kampung tersebut memiliki hubungan sistim kekerabatan yang kuat, baik karena faktor genealogis (keturunan) maupun melalui sistim perkawinan. Hasil studi
Mugniesyah tersebut melaporkan bahwa dari total 125 anggota
rumahtangga di dua kampung tersebut di atas, terdapat 50,4 persen pasangan suami isteri yang berasal dari kampung yang berbeda dan sekitar 16 persen menikah dengan
pasangan yang berasal dari kampung yang sama di Desa
Kemang.
6.2 6.2.1
Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Kurva Penerimaan Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971)
menyatakan bahwa adanya variabel waktu dalam difusi inovasi memungkinkan para peneliti menglasifikasikan kategori adopter dan membuat plot kurva difusi. Dinyatakan oleh kedua ahli komunikasi tersebut, bahwa secara umum jika suatu inovasi diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu, kita akan menemukan bahwa jumlah orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Secara empiris -walaupun tidak semua hasil penelitian demikian- diketahui bahwa jika pengadopsi (adopter) dalam suatu periode waktu tertentu diplotkan menurut frekuensi akan membentuk suatu kurva berbentuk genta (Bell-shape curve), sementara jika diplotkan secara kumulatif akan menghasilkan kurva berbentuk S. Gambar 3 di bawah ini menyajikan kurva penerimaan inovasi ponsel di kalangan adopter, yang dibuat berdasar data pada Tabel 16 di atas.
53
Individu yang menerapkan inovasi ponsel
120 100
100 92
80 71 60
55
40
36
20 14 0
Persen
17
7 6 2 1 1995 1999 2000 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun menerapkan inovasi ponsel
Gambar 3 Kurva Akumulasi Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa pada Periode Tahun 1995-2011 Hasil penelitian yang dilakukan di Kampung Beber dan Cikupa menunjukkan bahwa penerimaan inovasi ponsel menyerupai bentuk Kurva-S (cumulative S-curve). Sebagaimana terihat pada gambar di atas, distribusi adopter ponsel meningkat sangat lambat dari tahun 1995 sampai pada tahun 2007. Hal tersebut dimungkinkan karena pada periode tersebut, akses adopter terhadap ponsel masih sangat terbatas, salah satunya dari aspek jaringan ponsel.
Di
samping itu, harga ponsel, kartu, dan pulsa masih relatif mahal di kala itu, sedangkan secara umum adopter ponsel di kedua kampung tergolong miskin. Selanjutnya, pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. terjadi percepatan peningkatan adopter ponsel sampai maksimum –sampai penelitian berlangsung- ketika hampir separuh dari individu-individu dalam sistem sosial telah mengadopsi inovasi ponsel. Kondisi ini terjadi karena dipicu oleh hadirnya BTS XL dan BTS Telkomsel yang telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel yang memadai. Selain itu, semakin tahun, harga ponsel, kartu, dan pulsa semakin dapat dijangkau oleh masyarakat.
54
6.2.2
Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Rogers dan Shoemaker (1971)
mengemukakan adanya lima kategori
adopter dalam setiap sistem sosial yang ditentukan berdasarkan tingkat keinovativannya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tingkat keinovativan adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu sejak mendengar atau mengenal inovasi ponsel sampai dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan mempertimbangkan kurun waktu sejak diintroduksikannya ponsel ke warga masyarakat (tahun 1995) sampai dengan penelitian ini berlangsung (2011), pengategorian adopter dalam penelitian ini ditetapkan sebagai
berikut: (a)
inovator (innovator), adalah adopter inovasi ponsel pada periode tahun 19951998, (b) Penganut Dini (early adopter), adalah adopter inovasi ponsel pada periode tahun 1999-2001, (c) Penganut Dini Terbanyak (early majority), yakni mereka yang mengadopsi ponsel pada periode tahun 2002-2004, (d) Penganut Lambat Terbanyak (late majority), adalah adopter inovasi ponsel pada periode 2005-2007, dan (e) Penolak (laggards), yakni mereka yang mengadopsi inovasi ponsel pada periode 2008-2011. Dengan kategori tersebut di atas, maka didapatkan jumlah dan kategori golongan penerima inovasi ponsel di kedua kampung seperti pada gambar di bawah ini.
Individu yang Menerapkan Inovasi Ponsel
70 64
60 50 40 30
29
persen
20 10 5 0
Gambar 4
1 Innovator
1 Early Early Late Adopter Majority Majority Kategori Adopter
Laggards
Kurva Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa pada Tahun 2011
55
Kurva kategori adopter yang terbentuk pada Gambar 4 tidak membentuk genta (Bell-shape curve), karena tidak mengikuti suatu sebaran normal, sehingga tidak sejalan dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi diperkenalkan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan menemukan bahwa individu yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Hal ini dimungkinkan karena belum semua warga di dua kampung disurvei, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub-bab 3.4 tentang Kelemahan Penelitian. Persentase pada kategori adopter innovator sebesar satu persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan acuan baku Rogers dan Shoemaker (1971), yaitu 2,5 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi nasional pada saat itu (tahun 1995-1998) sedang mengalami krisis moneter, dimana harga berbagai kebutuhan pokok melonjak tajam. Kondisi tersebut berdampak pada keadaan perekonomian masyarakat Desa Kemang yang semakin lemah. Harga ponsel pun saat itu masih relatif mahal dan hanya terdapat di pusat-pusat kota, sehingga sebagian besar masyarakat tidak mengenal ponsel, kecuali mereka yang tergolong kaya dan berhubungan dengan orang-orang di luar desa. Kategori
adopter
innovator
merupakan
golongan
yang
pertama
menerapkan inovasi ponsel dalam kehidupan sehari-harinya. Dia adalah seorang pengusaha daun pisang setempat yang telah berhasil memenuhi kebutuhan para konsumen daun pisang hingga ke luar provinsi. Dari total adopter di kedua kampung, dia tergolong orang paling kaya dengan penguasaan lahan lebih dari lima hektar dan kepemilikannya atas beberapa benda elektronik dan kendaraan bermotor. Selanjutnya, pada golongan early adopter terjadi peningkatan persentase adopter ponsel sekitar empat persen. Namun kategori ini bukan terdiri dari tokoh masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker (1971). Mereka ini adalah pedagang dan PNS yang memiliki tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi yang tinggi, serta berhubungan dengan orang di luar desa. Kemudian, terjadi penurunan persentase adopter pada kategori early majority yang diduga disebabkan oleh kemampuan adopter ponsel pada saat itu, baik secara finansial maupun informasi terkait ponsel masih sangat terbatas. Selanjutnya, pada kategori late majority dan laggards, terjadi peningkatan persentase adopter yang tinggi. Dimungkinkan hal ini terjadi karena, beberapa
56
dari mereka melakukan migrasi ke luar desa, baik untuk urusan pekerjaan maupun sekolah. Kondisi tersebut didukung oleh masuknya Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Desa Kemang, yang memungkinkan para pelajar SMP dan SMA memiliki informasi tentang inovasi ponsel dari peer group mereka. Di samping itu, sarana dan prasarana di Desa Kemang semakin memadai, dengan dibangunnya BTS yang telah membuka akses adopter ponsel akan jaringan ponsel itu sendiri. Ponsel dengan berbagai merek dan harga, dari yang murah hingga yang mahal juga sudah dapat diakses oleh para adopter, sehingga adopter dengan kondisi ekonomi yang rendah pun dapat menjangkaunya Setiap kategori adopter memiliki ciri-ciri khusus dan berbeda satu sama lain, kecuali kategori adopter early majority, late majority, dan laggards yang memiliki kesamaan baik status sosial ekonomi, pola hubungan maupun sumber informasi inovasi ponsel, seperti yang terlihat pada Tabel 17. Tabel 17 Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi Ponsel Dilihat Menurut Kategori Penerima di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Tahun 2011 Ciri-ciri
Innovator
Tahun 1995-1998 Mengadopsi inovasi ponsel Status sosial tinggi dan ekonomi Pola hubungan lebih komunikasi kosmopolit dari kategori lain
Sumber informasi inovasi ponsel
Kategori Adopter Inovasi Ponsel Early Early Late Laggards Adopter Majority Majority 1999-2001 2002-2004 2005-2007 2008-2011
sedang
lebih lokalit daripada innovator, lebih kosmopolit dari kategori lainnya rekan bisnis rekan bisnis, di perkotaan kerja, dan atau sekolah di perkotaan
sedang
sedang
sedang
lokalit
lokalit
lokalit
rekan bisnis, kerja, dan atau sekolah di perkotaan
keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media massa
keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media massa
Secara umum Rogers dan Shoemaker (1971) membuat generalisasi bahwa kategori adopter innovator memiliki karakteristik pribadi (variabel pengaruh) yang lebih tinggi dibanding kategori adopter early adopter dan kemudian diikuti
57
oleh kategori adopter lainnya. Berdasarkan Tabel 17 dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kategori adopter inovasi ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa sesuai dengan generalisasi Rogers dan Shoemaker, karena pada kategori innovator, status sosial ekonomi berada pada kategori tinggi –yang dilihat dari penguasaan lahan dan kepemilikan sejumlah benda berharga-, pola hubungan lebih kosmopolit, dan sumber informasi inovasi ponsel berasal dari rekan bisnis di perkotaan. Berbeda dengan kategori adopter early adopter, dimana status sosial ekonominya berada pada kategori sedang, pola hubungannya lebih lokalit daripada innovator akan tetapi lebih kosmopolit dibanding kategori adopter lain, dan sumber informasi inovasi ponsel berasal dari rekan bisnis, kerja dan atau sekolah di perkotaan. Sama halnya dengan kategori early adopter, pada kategori early majority, late majority, dan laggards status sosial ekonominya berada pada kategori sedang, namun pola hubungannya lokalit, dan sumber informasi inovasi ponsel memiliki kesamaan, yaitu: keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media massa. Kecuali pada kategori early majority sumber informasi inovasi ponselnya sama dengan pada kategori early adopter.
6.3
Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971), laju adopsi
adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini diukur sebagai jumlah adopter inovasi dalam suatu sistem sosial pada periode waktu tertentu. Tabel 18 di bawah ini menyajikan data adopter di Kampung Beber dan Kampung Cikupa.
Tabel 18 Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa pada Tahun 2011 Kampung Beber Cikupa
Jumlah Rumahtangga Adopter Ponsel 33 25
Total Rumahtangga
Laju Adopsi Ponsel (dalam persen)
118 150
28 17
Data pada Tabel 18 menunjukkan bahwa laju adopsi di kedua kampung rendah, akan tetapi laju adopsi di Kampung Beber lebih tinggi sekitar 11 persen dibanding adopter yang berada di Kampung Cikupa. Hal ini disebabkan karena
58
Kampung Beber merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan di Desa Kemang, di mana warga masyarakat yang bekerja sebagai PNS dan pensiunan PNS serta pedagang pengumpul kelas desa berlokasi. sehingga masyarakatnya diduga lebih terdedah akan berbagai informasi. Selain itu, masyarakat di Kampung Beber sebagian besar berstatus sosial ekonomi menengah sampai tinggi. Akses masyarakat terhadap jaringan ponsel pun lebih terbuka, karena letak BTS XL dan BTS Telkomsel dekat dengan kampung ini. Selanjutnya, Kampung Cikupa memiliki laju adopsi yang lebih rendah diduga karena sebagian besar masyarakatnya berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah dan wilayah kampung ini cukup padat penduduk.