BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil penelitian yang dapat disimpulkan setelah dilakukan analisis dan pembahasan dengan metoda PCI, metoda AASHTO (1993) dan metoda Bina Marga (2005), adalah: (1) Hasil analisis metoda PCI menunjukkan bahwa pada ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus yang memiliki nilai PCI kurang dari 40 sebesar 26,09% (1,8 km), nilai PCI antara 40 - 70 sebesar 46,38% (3,2 km), dan nilai PCI lebih besar dari 70 sebesar 27,54% (1,9 km) sedangkan untuk arah Semarang yang memiliki nilai PCI kurang dari 40 sebesar 62,32% (4,3 km), nilai PCI diantara 40 - 70 adalah sebesar 13,04% (0,9 km) dan nilai PCI lebih besar dari 70 sebesar 24,64% (1,7 km). (2) Nilai modulus resilent tanah dasar terendah ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus terdapat pada segmen ke-58 sebesar 10.695,13 psi (nilai CBR 7,13%), sedangkan untuk arah Semarang nilai modulus resilent tanah dasar terendah terdapat pada segmen ke-54 sebesar 8.010,42 psi (nilai CBR 5,34%). (3) Nilai modulus resilient tanah dasar rata-rata ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus adalah 23.862,92 psi (nilai CBR tanah dasar ratarata 15,91%), sedangkan untuk arah Semarang nilai modulus resilient tanah dasar rata-rata adalah 20.428,03 psi (nilai CBR tanah dasar rata-rata 13,62%), hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah dasar pada ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus dan arah Semarang masih cukup baik, sesuai dengan spesifikasi umum edisi 2010 revisi kedua nilai minimum CBR tanah dasar untuk umur rencana 180 juta ESA adalah 6%. (4) Hasil perhitungan kebutuhan tebal overlay dengan metoda AASHTO (1993) cenderung lebih besar daripada hasil perhitungan kebutuhan tebal overlay dengan metoda metoda Bina Marga (2005). Rata-rata kebutuhan overlay ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus menurut hasil analisis
144
145
metoda AASHTO (1993) adalah 13,61 cm dan untuk arah Semarang adalah 18,69 cm, sedangkan menurut hasil analisis metoda Bina Marga (2005) untuk arah Kudus adalah 9,04 cm dan untuk arah Semarang adalah 11,30 cm. (5) Analisis kondisi kerusakan jalan dengan metoda PCI memberikan opsi perbaikan yang lebih detail karena survei tersebut dilaksanakan secara menyeluruh sehingga hasil rekomendasi benar-benar mewakili segmen yang dianalisis, sedangkan analisis kebutuhan tebal overlay dengan metoda AASTHO (1993) dan Bina Marga (2005) memberikan opsi perbaikan kurang optimal karena dalam satu segmen sepanjang 100 meter rekomendasi ditentukan dengan analisis yang berdasarkan pada satu kali uji lendutan. (6) Hasil perhitungan kebutuhan biaya penanganan ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus menunjukkan bahwa total kebutuhan biaya penanganan kerusakan jalan berdasarkan anlisis metoda PCI adalah Rp. 14.121.779.557,10, total kebutuhan biaya overlay yang dianalisis dengan metoda AASHTO (1993) adalah Rp. 12.434.081.811,30, dan total kebutuhan biaya overlay yang dianalisis dengan metoda Bina Marga (2005) adalah Rp.9.070.616.580,89. (7) Hasil perhitungan kebutuhan biaya penanganan ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Semarang menunjukkan bahwa total kebutuhan biaya penanganan kerusakan jalan bedasarkan anlisis metoda PCI adalah Rp. 23.213.034.573,99, total kebutuhan biaya overlay yang dianalisis dengan metoda AASHTO (1993) adalah Rp. 14.170.344.436,20, dan total kebutuhan biaya overlay yang dianalisis dengan metoda Bina Marga (2005) adalah Rp.9.327.251.506,27. (8) Biaya penanganan kerusakan jalan akan optimal apabila penanganan kerusakan jalan dilaksanakan pada saat kerusakan jalan masih memiliki tingkat keparahan rendah (nilai kondisi excellent dan very good). (9) Rasio antara kebutuhan biaya penanganan pemeliharaan rutin dengan biaya kebutuhan overlay metoda AASHTO (1993) sebesar 0,71%, rasio antara kebutuhan biaya penanganan rekonstruksi dengan biaya kebutuhan overlay metoda AASHTO (1993) sebesar 214,44% untuk ruas nomor 017.11(K) jalan
146
by pass Demak arah Kudus, sedangkan untuk arah Semarang rasio antara kebutuhan biaya penanganan pemeliharaan rutin dengan biaya kebutuhan overlay metoda AASHTO (1993) sebesar 2.55%, rasio antara kebutuhan biaya penanganan rekonstruksi dengan biaya kebutuhan overlay metoda AASHTO (1993) sebesar 224,03%. (10) Rasio antara kebutuhan biaya penanganan pemeliharaan rutin dengan biaya kebutuhan overlay metoda Bina Marga (2005) sebesar 0,78%, rasio antara kebutuhan biaya penanganan rekonstruksi dengan biaya kebutuhan overlay metoda Bina Marga (2005) sebesar 321,50% untuk ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus, sedangkan untuk arah Semarang rasio antara kebutuhan biaya penanganan pemeliharaan rutin dengan biaya kebutuhan overlay metoda Bina Marga (2005) sebesar 2.81%, rasio antara kebutuhan biaya penanganan rekonstruksi dengan biaya kebutuhan overlay metoda Bina Marga (2005) sebesar 324,67%. (11) Rasio antara kebutuhan biaya overlay metoda AASHTO (1993) dengan kebutuhan biaya overlay metoda Bina Marga (2005) sebesar 140,46% untuk ruas nomor 017.11(K) jalan by pass Demak arah Kudus, sedangkan untuk arah Semarang rasio antara kebutuhan biaya overlay metoda AASHTO (1993) dengan kebutuhan biaya overlay metoda Bina Marga (2005) sebesar 170,85%. B. Saran Saran-saran yang dapat diberikan dengan mempertimbangkan hasil analisis yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1)
Survei kondisi perkerasan/survei PCI sebaiknya dilaksanakan secara periodik, informasi kondisi perkerasan secara berkelanjutan dapat berguna untuk memprediksi kinerja perkerasan di masa yang akan datang.
(2)
Uji lendutan dengan alat FWD sebaiknya tidak dilakukan setiap jarak seratus meter saja, akan tetapi apabila ditemukan suatu titik dalam satu segmen yang
147
lebih buruk kondisinya dari titik pengamatan, maka titik tersebut juga perlu di uji FWD untuk menghasilkan analisis yang lebih baik. (3)
Pengujian lendutan dengan alat FWD sebaiknya tidak dilakukan hanya 1 (satu) kali dalam setahun, karena musim pada saat pengujian akan sangat mempengaruhi hasil analisis, pada musim kemarau lapisan perkerasan cenderung menguat, sedangkan pada musim hujan lapisan perkerasan cenderung melemah.
(4)
Hasil analisis kebutuhan tebal overlay metoda AASHTO (1993) dan Bina Marga (2005) sebaiknya tidak berdasarkan pada 1 (satu) kali uji lendutan dengan alat FWD, sehingga apabila terjadi kesalahan pada saat pengujian, hasil perhitungan kebutuhan tebal overlay dapat dikoreksi oleh hasil pengujian lainnya.
(5)
Metoda penanganan kerusakan jalan di Indonesia diharapkan menjadi lebih tepat dan optimal, penentuan metoda penanganan kerusakan harus didahului dengan survei penilaian kondisi perkerasan yang bisa dilaksanakan dengan metoda PCI, kemudian apabila metoda PCI merekomendasikan penanganan dengan overlay maka dapat dilanjutkan dengan survei lendutan atau defleksi untuk menghitung kebutuhan overlay dengan metoda AASHTO (1993) atau metoda Bina Marga (2005).
DAFTAR PUSTAKA