1
BAB VI KELUHURANKU SEBAGAI CITRA ALLAH Pribadi kita sebagai manusia bergitu berharga. Kita diciptakan Allah sebagai citra-Nya. Pada pembahasan ini, kita diajak bersama melihat kembali, siapakah sebenarnya diri kita, sebagai pribadi yang teramat berharga di hadapan Allah. Semua manusia berharga, untuk itu sepantasnyalah setiap manusia saling menghormati dan mengahargai, walaupun ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan antara yang kaya dan miskin dan antara mereka yang sehat jasmani dan cacat (difabel). Kita juga diajak menyadari bahwa setiap manusia mempunyai keutuhan secara pribadi, tidak hanya fisik semata, tetapi juga rohani. Setiap manusia mempunyai pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan. Segala tindakan manusia tak hanya bersifat fisik atau mekanis, tetapi didasari oleh jiwa yang membuat manusia berperasaan dan berkehendak. Keluhuran martabat inilah yang seharusnya menyadarkan kita untuk selalu mengembangkan dan mempersembahkan segala yang telah dikaruniakan Allah kepada kita dengan sebaik mungkin.
A. Semua Manusia Secitra Allah menganugerahkan berkat pada setiap pribadi tanpa terkecuali, walaupun dengan keterbatasannya masing-masing. Semua manusia adalah satu saudara dan luhur adanya.
2
1. Semua Manusia Sesama dan Saudara dalam Allah Kita semua adalah pribadi manusia yang diciptakan Allah. Setiap dari kita adalah pribadi yang paling luhur. Siapa pun dari kita yang telah dilahirkan di dunia ini, menjadi berkat bagi semuanya. Dalam kitab Nabi Yeremia dikatakan “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan ibumu, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). Kutipan ini begitu indah, betapa Allah telah memberikan karunia keluhuran bagi setiap pribadi. Anugerah yang sudah diberikan sebelum kita dilahirkan di dunia ini. Anugerah, bahwa kita semua berarti dan dipilih oleh Allah, apapun situasinya. Seorang rohaniwan John Hendry Newman, pernah dengan sangat menyentuh memberikan renungan tentang keluhuran pribadi kita, betapa berharganya pribadi kita semua. Ia mengatakan: Allah memandang kita sebagai seorang pribadi sebagaimana kita ada. Dipanggil-Nya kita semua dengan nama yang indah sesuai nama kita. Allah sebagai Pencipta kita, sungguh memahami kita semua apa pun situasinya. Yang ada dalam batin terdalam dikenali-Nya; baik rasa perasaan hati, maupun pikiran, juga watak dan kesukaan atau pun kekuatan dan kelemahan kita. Allah senantiasa turut bergembira di kala sukacita, dan turut duka rasa di hari-hari kelabu yang kadang kita temui. Berbagai harapan dipahami-Nya, juga tiap godaan yang sering dan senantiasa kita alami. Allah ada di dalam setiap kekhawatiran, juga dalam setiap ingatan; baik sewaktu kita
3
begitu bersemangat menyala maupun ketika kita di ambang putus asa. Hal itu menegaskan, bahwa kita semua adalah pribadi yang luhur, hingga Allah memberikan segalanya untuk kita semua.
Semua dari kita , apa pun itu, kekurangan, cacat, kelemahan, tetaplah merupakan pribadi yang bermartabat. Martabat itu tentu bukan diukur dari segi badan atau lahiriah. Tetapi dari siapakah diri kita sebenarnya yaitu pribadi yang telah diciptakan Allah sesuai citra-Nya (seturut gambar dan rupa-Nya). Citra Allah menunjukkan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia, kita menyerupai Allah (bdk. Mzm 8:5). Citra itu pancaran. Manusia mencerminkan atau merupakan pancaran dari Allah. Artinya di dalam martabat setiap pribadi manusia ini kita dapat melihat gambaran atau pantulan rupa Allah. Semua pribadi manusia tercipta baik adanya. Walaupun dalam kecacatan, kekurangan, kemiskinan dia tetap manusia yang bermartabat. Dalam diri setiap manusia, kita semua percaya ada pancaran kebaikan-kebaikan Allah. Tiada seorang pun yang seluruhnya buruk, pasti di setiap pribadi tersirat kebaikan. Kita semua adalah citra Allah, kita hendaknya menghargai sesama manusia bagaimana pun keadaan fisik-lahirianya dan sifat-sifatnya. Kita berkewajiban menjaga dan mengembangkan martabat. Mengembangkan kebaikan-kebaikan diri supaya bermanfaat bagi sesama kita. Untuk itu, tak ada yang bisa meremehkan satu manusia pun dengan alasan apa pun! Karena semua manusia sesama dan saudara dalam Allah.
2. Sikap dan Tindakan Menghargai Sesamaku
4
Kita menyadari, bahwa manusia itu adalah citra Allah. Semua manusia pada dasarnya mempunyai kebaikan dan keluhuran. Namun sering kali pengalaman menunjukkan, bahwa kehidupan bersama, tidak selalu berjalan baik. Kita sering dipertontonkan, baik di media massa, cetak maupun elektronik ataupun di lingkungan kita, menyangkut perselisihan dalam keluarga, konflik antarsuku, perang, kekerasan antargang, penganiayaan, dan lain sebagainya. Banyak peristiwa yang sangat memperihatinkan, manusia tidak dihargai martabatnya. Kita tahu, kehidupan manusia tiada pernah lepas dari konflik. Secarik tutur kisah manusia selalu berujung pada konflik. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa kehidupan manusia adalah monument konflik. Sejarah panjang telah membuktikan tiada pernah dunia ini lepas dari pertikaian dan perseteruan yang berujung pada ratapan tangis yang begitu memilukan. Kita masih diingatkan pada luka lama yang saat ini masih membekas yaitu saat hidup sosial kemasyarakatan di Indonesia pernah diwarani oleh berbagai konflik SARA. Berdasarkan tinjauan sosiologisnya, konflik merupakan suatu proses sosial, antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain, dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Salah satu penyebab konflik adalah perbedaan. Perbedaan itu dibawa oleh setiap individu dalam suatu interaksi. Perbedaanperbedaan tersebut di antaranya menyangkut ciri fisik, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dll. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik dinilai sebagai hal yang wajar. Kita tahu, bahwa dalam setiap masyarakat pasti pernah terjadi konflik, baik antaranggotanya maupun dengan kelompok masyarakat lainnya. Menjadi tidak wajar, jika konflik mengakibatkan manusia menghancurkan keluhuran pribadinya. Konflik yang tidak dapat diolah dan cenderung menghancurkan akan
5
berakibat atau menimbulkan keretakan hubungan antarkelompok. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll. Kerusakan harta benda, hilangnya jiwa manusia dan terjadinya dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. Kita dapat menyaksikan baik di media cetak ataupun televisi. Misalnya konflik Timur Tengah menjadi tidak terkontrol atau tidak terkendali sehingga timbul kekerasan. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus konflik Israel dan Palestina. Begitu juga banyak konflik terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Misalnya konflik Bosnia-Kroasia, konflik di Rwanda, konflik Kazakhstan yang sudah mengarah kepada upaya genosida atau upaya pembumihangusan atau pembasmian etnis tertentu. Jika cara berpikir kita hanya sebatas, bahwa orang lain adalah “obyek” , maka orang lain akan dipandang selalu sebagai “yang lain” (the other). Jika demikian, maka yang terjadi kita akan selalu menolak pribadi orang lain itu sebagai seseorang yang berharga dan sederajat dengan kita. Cara pandang ini akan selalu memandang orang lain lebih rendah, lebih tidak bermartabat, tidak bermoral bahkan berujung bahwa yang berbeda dengan diri saya adalah musuh. Konflik dalam kehidupan sebenarnya bukanlah suatu ancaman melainkan sebuah kesempatan untuk melihat kembali sejauh mana interaksi dan hubungan kita dengan orang lain. Melalui konflik, harusnya kita disadarkan, betapa pentingnya kita saling mengoreksi diri, betapa masih banyak kekurangan hati untuk saling memahami, menjadi titik awal bagaimana sebuah kedewasaan dibangun. Kita hendaknya selalu membangun sikap positif dalam berkomunikasi dengan orang lain artinya menghormati dan menghargai orang lain secara tulus hati sehingga kesalahpahaman dan konflik dapat
6
dihindari. Bersikap dan dan berpikir positif terhadap orang lain, mempunyai unsur-unsur di antaranya kesediaan mendengarkan, menghargai pendapat dan melibatkan diri (berempati). Kesediaan mendengarkan akan membuat seseorang merasa diterima, dimengerti dan dihargai. Orang akan merasa memiliki harga diri sehingga akan membantu menciptakan komunikasi yang bermakna dan mendalam. Sikap ini perlu diperkuat dengan cara pandang kita untuk menjauhkan diri dari sikap yang berlebihan dan sikap ekstrim yang cenderung tertutup. Menghargai kemajemukan dengan berpikir dan bersikap terbuka atau inklusif. Tentu sikap positif yang kita kembangkan perlu didasari dengan ketulusan hati. Kita perlu berempati yakni turut merasakan yang dirasakan orang lain, sehingga dapat memahami pikiran, perasaan dan perilaku orang tersebut. Kesadaran melibatkan diri atau empati ini akan menciptakan suasana solidaritas, saling pengertian dan tenggang rasa satu sama lain. Mengembangkan pola pikir yang sama bahwa jika situasi dibalik, maka kita juga akan merasakan hal yang dirasakan orang lain. Sikap seperti ini perlu terus dikembangkan, jika orang mau menghindari konflik terhadap sesamanya. Akhirnya, orang diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada sesama. Dengan sikap dan tindakan itu, manusia menunjukkan tugasnya yang utama sebagai citra Allah. Allah sendiri adalah kasih. Kita yang secitra dengan Allah seharusnya juga mengungkapkan kasih itu. Dalam suratnya, Rasul Yohanes mengingatkan agar kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita dan kasih-Nya sempurna di dalam kita. Barang siapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (1 Yoh 4:7-21). Kita diharapkan hidup sebagai umat Allah yang tulus memelihara persaudaraan seperti apa yang
7
dikatakan, “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ef 4:32). Dalam situasi dan kondisi kehidupan kita ini, kita senantiasa akan berhasil mengasihi secara benar kalau kita mampu menghindari dari “dendam kesumat, kemarahan dan pertikaian” (Ef 4:30-31) dan dari “egoisme diri”. Sebab hal-hal tersebut dapat menjadi penghalang dan perusak relasi antara kita dengan orang lain bahkan antara kita dengan Allah. Kasih yang benar tidak mengenal batas waktu, tempat dan orang. Semua manusia adalah satu saudara dan luhur adanya.
3. Upaya Menjaga Keluhuranku Sebaagai manusia Hidup kita ini sebagai manusia, merupakan anugerah yang luar biasa yang patut untuk diperjuangkan. Kehidupan demikian besar artinya. “Hidup ditandai ciri yang tak terhapuskan yakni kebenarannya sendiri dengan menerima karunia Allah, manusia wajib mempertahankan hidup dalam kebenaran itu yang memang hakiki baginya” (Evangalium Vitae, atr 48). Perjuangan kita untuk mempertahankan betapa hakikinya kehidupan ini menjadi tonggak yang tidak pernah ada habisnya. Kita menyadari di satu sisi, dewasa ini penuh ancaman penghancuran harkat keluhuran kemanusiaan, namun di sisi yang lain banyak orang yang berjuang untuk mengatasi ancaman tersebut. Ketidakadilan dan penindasan harkat manusia terjadi, di situlah muncul perlawanan atasnya. Kita dapat belajar dari sejarah Amerika Latin, di mana terjadi penindasan terhadap kaum miskin oleh para tuan tanah dan penguasa. Peristiwa itu melahirkan pengorbanan yang begitu besar dengan tertembaknya uskup Oscar Romeo dan beberapa Jesuit serta beberapa perempuan. Peristiwa itu telah melahirkan refleksi yang mendalam betapa
8
perjuangan terhadap keadilan mendapatkan tantangan yang begitu besar bahkan sampai kematian. Uskup Romero pernah menjelaskan tentang arti persembahan hidup demi keadilan dengan mengatakan bahwa: “Membaktikan dan memberikan hidup tidak hanya berarti pengambilan hak atas hidup secara paksa oleh orang lain. Membaktikan dan memberikan hidup berarti mempunyai semangat kemartiran. Pemberian hidup atas tugas seharihari, dalam kesunyian, dalam doa dalam kesetiaan melaksanakan kewajiban dalam kesepian hidup sehari-hari. Pemberian hidup adalah sama seperti seorang ibu yang tanpa banyak keributan tetapi dengan penuh kesederhanaan, kemartiran seorang ibu melahirkan, menyusui, mendampingi anak bertumbuh, mengasuh dan mengiringinya dengan cinta. Itulah persembahan hidup.”
Begitu juga, jika kita ingat perjuangan atas keadilan, selalu ada gelombang perlawanan dan luka pengorbanan, namun justru dari situ lahirlah manusia-manusia perkasa yang dengan hati tulus memberikan hidupnya. Mahatma Gandhi mengusahakan sebuah gerakan “ahimsa”, betapa melalui kekerasan yang begitu besar, kelmbutan dan cinta damai menjadi bagian perjuangan yang harus diangkat. Sekeras, selebarnya samudra kekerasan, akan tertutupi dengan samudra kelembutan dan perdamaian. Ibu Teresa dari Kalkuta, memberikan tangannya dalam mengabdikan diri kepada kehidupan, kepada mereka yang miskin dan tersingkir untuk mengangakat mereka supaya bermartabaat seperti manusia yang lainnya. Pengabdian kepada kehidupan memang sangat mulia dan memerlukan ketulusan hati yang mendalam. Begitu juga Alice
9
Stokes Paul, seorang perempuan yang memperjuangkan dan memimpin kampanye perempuan di Amerika untuk memperoleh hak pilihnya. Perjuangan inilah yang akhirnya membuahkan perlawanan atas dominasi laki-laki waktu itu di bidang hak asasi warga negara, bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih juga. Ia pun dijuluki “perempuan rahang besi” karena memperjuangkan emansipasi perempuan ini. Kehidupan adalah milik Allah sebagai sumber segala kehidupan. Allah senantiasa berbelas kasih kepada manusia untuk mengangkat manusia ke dalam kemuliaan. Melalui misteri inkarnasi, Allah yang berbelas kasih bersatu di dalam penderitaan manusia secara mendalam. Sang Sumber Hidup pun senantiasa berbelas kasih, begitu pun manusia yang berasal dari Allah haruslah senantiasa saling berbelas kasih. Yesus dalam pewartaan-Nya sungguh menegaskan gerakan solidaritas kehidupan, Ia memerintahkan dengan jelas kepada putra-putri Allah, supaya mereka bertingkah laku sebagai saudara satu terhadap yang lainnya. Dalam doa-Nya Ia meminta supaya semua murid-Nya mejadi satu. Ia sendiri wafat dan mengorbankan Diri bagi semua orang, menjadi penebus mereka semua. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13). Gerakan solidaritas merupakan gerakan kehidupan, gerakan di mana manusia saling menghargai di dalam cinta kasih untuk saling mengasihi. Setiap orang menurut kodratnya memiliki hak hidup, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, aman, tempat tinggal yang nyaman dan pelayanan kesehatan yang memadai. Hak untuk tumbuh dan berkembang secara penuh, memperoleh pendidikan dan cinta kasih. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang; hak untuk berpartisipasi dalam keluarga, kebudayaan dan kehidupan sosial. Setiap orang memiliki
10
kesetaraan martabat dan hak asasi di hadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “citra Allah” (lih. Kej 1:27).
B. Aku Memiliki Roh, Jiwa dan Raga yang Berkemampuan Memiliki Pikiran, Perasaan dan Kehendak Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma 12:1-2, mengatakan raga atau tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Keberadaan kita di dunia ini untuk memperbarui budi dan mengetahui serta selalu mencari kehendak Allah dalam menemukan yang baik dan sempurna. Ada beberapa pandangan bahwa kita manusia ini hanya sebatas raga atau tubuh jasmaniah yang tanpa arti. Raga atau tubuh jasmaniah ini hanyalah seonggok daging yang sama dengan makhluk lain tetapi kita perlu melihat lebih dalam bahwa di dalam raga jasmaniah ini ada jiwa dan roh yang selalu membuat kita menjadi sempurna dan baik adanya. Paus Yohanes Paulus II mengajak kita menghargai raga atau tubuh jasmaniah ini dalam satu kesatuan yang mendalam bahwa di dalam tubuh ada kesucian yang harus senantiasa kita junjung karena Allah telah menciptakan kita dengan rencana yang indah, ”.....tubuh sesungguhnya mampu membuat terlihat apa yang tidak kelihatan, yang spiritual dan yang ilahi. Tubuh telah diciptakan untuk menyalurkan ke dalam dunia yang kelihatan ini misteri yang tersembunyi sejak awal dalam diri Allah.......dan karena itu tubuh menjadi tanda bagi misteri itu. Raga atau tubuh jasmaniah merupakan tanda pernyataan dari Allah dan rencanya-Nya bagi umat manusia.”
11
Di dalam raga atau tubuh jasmaniah kita ini, ada jiwa dan roh yang perlu terus kita pelihara. Jiwa dan roh ini yang memungkinkan kita mempunyai perasaan, kehendak dan pemkiran yang membedakan kita dengan binatang. Jika kita lihat kisah kejadian, begitu indaah dilukiskan dari apakah diri kita tercipta. Allah telah “membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Embusan nafas inilah yang memberikan kita kehidupan. Nafas dari yang Mahakuasa” yang memberikan hidup (Ayub 33:4); yang dihembuskanNya ke dalam lubang hidung dari tubuh adam yang belum bernyawa. Nafas inilah yang menjadikan diri kita mempunyai “roh” sehingga membuat kita menjadi manusia yang berjiwa yang hidup. Kita ini sebagai pribadi manusia, mempunyai tiga unsur penting yang tidak bisa dilepaskan yaitu roh, jiwa dan raga. Manusia adalah kesatuan ketiganya. Manusia bukanah dualitas yang dipisahkan satu sama lain antara jiwa-roh dengan raga. Manusia tidak mungkin disebut sebagai manusia jika hanya terdiri atas roh saja. Demikian juga sebaliknya. Jiwaroh atau bisa disebut kerohanian, memberikan makna kepada kita, bahwa pribadi manusia sebagai suatu yang bersifat imani dan suci terhadap raga. Dengan roh-jiwa ini, maka setiap pribadi manusia lebih bermartabat dan luhur. Raga yang kita punyai ini adalah kudus adanya. Walaupun raga ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan alami seperti kecacatan dan rasa sakit, begitu juga raga ini akan renta nantinya, tetapi raga ini adalah Bait Suci kita. Di dalamnya Roh Allah yang bekerja bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi kita. Tentunya Bait Allah adalah kudus dan suci demikian juga dengan tubuh kita harus kudus dan suci. Raga kita adalah tempat di mana Roh Allah diam di dalam hati kita. Raga kita sering oleh
12
Paulus dikaitkan dengan keberadaan Kristus yang begitu dekat dengan kita. Tubuh kita adalah milik Tuhan serta menjadi tempat Tuhan bersemayam dan berkarya menghadirkan karya keselamatan-Nya. Maka untuk memahami tubuh kita yang terdiri atas raga, jiwa dan roh kita perlu memikirkan apa arti hidup ini. Mengapa kita perlu menanyakan hal ini? Karena ketika orang tidak memiliki arti hidup atau salah cara memandangnya, orang juga tidak akan mengerti tubuhnya atau menyalahgunakan tubuhnya ini. Banyak orang hanya ingin bersenangsenang dalam hidup ini maka tubunya (ada jiwa, roh dan raga) juga hanya akan diunakan untuk menikmati kesenangannya saja. Kita sering heran, mengapa orang menyerahkan tubuhnya hanya untuk kepuasan seksual, narkoba, diumbar begitu rupa dan tidak dihormati. Tubuh kita bukan untuk digunakan untuk hal-hal yang tidak berarti dan sia-sia. Beberapa sebutan untuk manusia; Manusia sering disebut sebagai homo sapiens artinya manusia yang arif. Manusia disebut juga sebagai homo faber karena mampu menggunakan berbagai alat yang ada dan menciptakannya. Manusia disebut sebagai homo ludens, yaitu makhluk yang senang bermain. Manusia disebut juga sebagai homo symbollicum dan homo socio-economicus karena manusia mampu mencipta dan bekomunikasi dengan simbolsimbol dan mengelola materi hidupnya.
Perbedaan antara manusia dengan binatang adalah pada cara memandang kebutuhannya. Kebutuhan binatang langsung menyatu
13
dengan kegiatan hidupnya. Sementara manusia membuat kerja atau kegiatan hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya secara lebih luas. Manusia mempunyai pemikiran dan kehendak. Kehendak merupakan: bentuk dorongan hati untuk melakukan sesuatu hal, baik itu dipengaruhi oleh niat-niat positif-kebijakan atau memang negatif. Dorongan ini dapat bersifat murni dari dalam diri tanpa melibatkan atau terpengaruh orang lain tetapi dapat juga dipengaruhi orang lain. Di dalam kehendak ini ada kemauan dan keinginan. Kemauan lebih merupakan : dorongan untuk melakukan sesuatu karena ada pengaruh dari luar diri. Kemauan mengindikasikan adanya sesuatu tindakan yang akan dilakukan sebagai reaksi atas tawaran tertentu dari luar. Sementara keinginan dari kata dasar „ingin‟, menunjukkan: adanya suatu kebutuhan terhadap sesuatu. Bahkan bukan hanya kebutuhan, melainkan juga ada dorongan untuk memuaskan (hasrat) diri. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa kehendak manusia memiliki dua pemahaman. 1. Kehendak itu bersifat dorongan fitrah atau naluriah yang bersifat sosial. Kehendak ini memiliki kesamaan antarsesama manusia, seperti kehendak untuk berbuat kebajikan, bersosialisasi, ber-
14
Tuhan dan beragama secara benar, kehendak menolong sesama, kehendak untuk hidup tenang dan damai, dsb. 2. Pemahaman kedua sering disebut sebagai „keinginan‟. Biasanya menggambarkan kehendak yang bersifat lebih egoistik (untuk kepentingan diri sendiri). Seperti keinginan untuk berkuasa, memperoleh harta benda, mengalahkan orang lain dll. Hal inilah yang sering berpotensi untuk „bertabrakan‟ dengan kehendak orang lain, karena kehendak yang murni itu bergeser menjadi keinginan yang bersifat egois. Pemikiran dan kehendak inilah yang membawa kita menjadi manusia yang juga berperasaan dan sekaligus mampu bertindak. Tentu saja perasaan bukan hanya terbatas pada cinta, marah dan sedih namun ada bermacam-macam perasaan: Perasaan menggambarkan suatu ungkapan hati yang kuat akan sesuatu hal baik yang bersifat menyenangkan atau pun menggelisahkan. Perasaan dapat menjadi informasi atau cermin hati bagi seseorang kepada orang lain. Melalui perasaan kita tahu apa yang telah terjadi atas pikiran dan hati orang lain. Proses perasaan dimulai ketika kita ingin memberikan makna secara pribadi terhadap beberapa kejadian. Misalnya teman kita melakukan tindakan yang menyebabkan kita gagal. Jika kita menilainya sebagai sesuatu hal yang biasa maka mungkin kita tidak emosi. Tapi jika kita menilainya sebagai suaatu tindakan yang melanggar nilai-nilai dan merugikan kita maka sering kali kita emosi.
15
Perasaan inilah yang membuat kita luhur, bermartabat dan unik. Tentu semua itu oleh pikiran dan hati yang ada di dalam diri kita. Setiap perbuatan atau tindakan kita selalu dituntun oleh hati dan pikiran kita. Pikiran yang memerintahkan sesuaatu di dalam diri kita untuk melakukan sesuatu. Apa pun isi perintahnya hati dan pikiran selalu mempengaruhinya. Kualitas tindakan kita sangat bergantung pada kualitas hati dan pikitran kita. Benar atau salahnya ditentukan oleh penilaian pikiran. Baik atau tidaknya berada di bawah wewenang hati. Maka dalam injil Matius 6:22-23 dikatakan, “mata adalah pelita tubuh, jika matamu baik teranglah seluruh tubuhmu, jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu.....”. Pikiran dan hati merupakan “mata” bagi diri kita dalam melalukan tindakan yang berikutnya apakah merupakan tindakan yang baik atau buruk. Tindakan manusia pada hakekatnya akan selalu melibatkan pikiran dan hati. Dengan kesadaran, manusia dapat memahami semua perilaku dan tindakannya. Namun untuk bertindak dan berperilaku baik manusia tidak hanya mengandalkan kesadaran semata tetapi lebih dari itu yaitu kesadaran moral. Atas dasar kesadaran moral itulah manusia dapat memilih tindakan yang baik dan atau buruk tanpa paksaan dan tekanan dari pihak mana pun.
C. Aku Mengembangkan Karunia Allah Setiap orang mempunyai kemampuan dan bakat dalam ukuran dan lingkungan tertentu dengan sifat, karakter, pemikiran dan perasaannya masing-masing. Kemampuan dan bakat yang dimiliki seseorang
16
seharusnya dikembangkan dan digunakan. Kemampuan dan bakat adalah anugerah Tuhan yang luar biasa yang selalu harus dikembangkan.
1. Belajar Mengembangkan Bakat, Pengetahuan, Kerohanian dan Keterampilan Sadarilah bahwa kita mempunyai kekuatan (kemampuan dan bakat), sifat dan karakter pribadi yang unik yang telah ada dan berkembang di dalam diri kita. Segala kemampuan dan bakat tersebut hendaknya senantiasa dikembangkan dan digunakan. Kemampuan (pengetahuan dan kerohanian) dan bakat adalah anugerah dari Allah yang pantas disyukuri. Allah menghendaki agar bakat, kemampuan, kekuatan atau talenta yang kita punyai terus dikembangkan dan digunakan. Dalam Injil Matius (Mat 25:14-30) dikisahkan sebuah perumpamaan tentang seorang tuan yang mempercayakan “talenta” (satu talenta merupakan ukuran jumlah uang yang sangat besar nilainya, yaitu enam ribu dinar, setara dengan upah seorang buruh selama 6.000 hari kerja) kepada ketiga hambanya. Kepada hamba pertama dipercayakan lima talenta, hamba kedua dipercayakan dua talenta dan hamba ketiga dipercayakan satu talenta. Kemudian sang tuan ini pergi. Dalam perumpamaan itu dikisahkan, hamba pertama yang dipercayai lima talenta berhasil memperoleh laba lima talenta sementara hamba kedua yang dipercayai dua talenta berhasil memperoleh laba dua talenta, namun hamba ketiga yang dipercayai satu talenta menyembunyikan talenta (uangnya) itu sehingga ia tidak mendapatkan laba apa pun.
17
Setelah sang tuan kembali dan bertemu dengan hamba pertamanya, maka sang tuan kembali dan bertemu dengan hamba pertamanya, maka sang tuan memberinya tanggung jawab yang lebih besar. Kepada hamba keduanya juga diberikan tanggung jawab yang lebih besar. Tetapi hamba yang ketiga dihukumnya dan uang yang dipercayakan kepadanya diberikan kepada hamba yang pertama. Hal ini dilakukan karena hamba yang ketiga tidak memperoleh laba apa pun dan bahkan menyembunyikannya. Perumpamaan ini menyadarkan kita agar selalu mmperkembangkan segala hal yang sudah kita punyai dan kita dapatkan demi perkembangan diri kita dan juga orang-orang lain di sekitar kita. Kita hendaknya percaya, bahwa kita telah diberkati dengan karunia yang berbeda-beda sesuai kemampuan kita masing-masing. Karunia-karunia itu harus kita gunakan untuk melayani Allah dan sesama kita. Walaupun dalam keterbatasan atau kekurangan kita adalah pribadi yang unik, ada banyak kekuatan tersembunyi yang menunggu dan nantinya akan mendukung kita untuk memperkembangkan karunia-karunia itu. Tuhan menciptakan kita semua baik adanya. Kita hendaknya menerima kehendak Allah yang nyata dalam diri kita. Kita percaya bahwa, Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencananya” (lih. Rm 8:28). Menerima kehendak Allah berarti menerima bimbingan-Nya, karena Dia akan mengantar kita setapak demi setapak melalui keadaan diri dan lingkungan kita menuju keselamatan.itu semua akan terjadi sejauh kita terus mengembangkannya. Tentu di dalam diri kita tak hanya bakat dan keterampilan tetapi juga pengetahuan dan kerohanian kita yang senantiasa harus terus dikembangkan. Seperti yang telah dikatakan oleh rasul Paulus,
18
bahwa kita harus terus mengusahakan pembaharuan akal budi kita agar akal budi ini selalu diresapi oleh nilai-nilai kebaikan. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2). Ctt: baca juga Flp 4:8-9.
2. Bersyukur dan Mempersembahkan Hidup Berdasarkan Karunia Allah Semua orang bisa menjadi yang terbaik dan hal ini bisa saja merupakan dambaan setiap orang. Di dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma 12: 1-8, secara garis besar dapat dikatakan bahwa yang penting bukan menjadi yang terbaik tetapi mempersembahkan yang tebaik dari diri kita untuk Tuhan dan sesama sehingga dapat menjadi berkat. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus, “ Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehinga kamu menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing” (Rm 12:3). Melakukan yang terbaik sesuai dengan talenta atau kemampuan kita merupakan wujud dari rasa syukur atas karunia yang sudah kita terima dari Allah. Kita semua tahu bahwa orang yang selalu melakukan yang terbaik bisa menjadi yang terbaik sebab sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mau melakukan yang terbaik. Kita perlu bersyukur dan mempersembahkan karunia yang kita
19
punyai sesuai dengan panggilan hidup kita. Paus Benediktus XVI menyadarkan kita, bahwa: Panggilan hidup kita adalah inisiatif Allah, prakarsa Allah, anugerah Allah. Manusia menjawab panggilan Allah, bekerja sama dengan rahmat Allah dalam sikap iman, percaya, pasrah diri dan dengan penuh harapan mengusahakan pembaruan secara terus menerus. Kita semua dipanggil untuk menjadi anak Allah. Menjadi Anak Allah sesungguhnya merupakan kasih karunia Allah, bukan hanya karena diciptakan oleh Allah, melainkan karena dicintai dan diberi hidup oleh Allah.