146
BAB VI DINAMIKA PEMAKAIAN UNGKAPAN LARANGAN PADA MASYARAKAT PETANI TABANAN
Dinamika dapat diartikan sebagai gerak. Misalnya, gerak sosial diartikan gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 328). Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dinamika juga dapat diartikan sebagai perkembangan. Dengan demikian, dinamika pemakaian ungkapan larangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gerak atau perkembangan pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan dari generasi ke generasi. Dalam penelitian ini, dinamika pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan ditinjau dari usianya, yang dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kelompok masyarakat petani yang berumur di atas 50 tahun (generasi tua). Kedua, kelompok masyarakat petani yang berumur 25 s.d. 50 tahun (generasi muda). Selanjutnya, ungkapan larangan yang telah dikalisifikasikan, diklarifikasi kepada kedua kelompok masyarakat petani tersebut. Dengan cara demikian, nantinya diketahui dinamika pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan dari generasi ke generasi. Di samping itu, juga diketahui faktor-faktor yang memengaruhi dinamika pemakaian ungkapan larangan tersebut. Oleh karena itu, dalam Bab VI ini diuraikan dua subbab, yaitu dinamika pemakaian ungkapan larangan berdasarkan kelompok usia
147
dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika pemakaian ungkapan larangan tersebut.
6.1
Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan pada Masyarakat Petani Tabanan Berdasarkan Kelompok Usia Seperti telah disebutkan di atas, untuk mengetahui dinamika pemakaian
ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan berdasarkan usia, masyarakat petani dikelompokkan menjadi dua. Kedua kelompok itu adalah yang berumur di atas 50 tahun (generasi tua) dan yang berumur antara 25 s.d. 50 tahun (generasi muda). Data ungkapan larangan yang diklarifikasi adalah data ungkapan larangan yang digunakan dalam lingkungan keluarga, luar keluarga, dan bertopik pertanian. Hal ini didasari pertimbangan bahwa ungkapan larangan yang digunakan dalam lingkungan keluarga, luar keluarga, dan bertopik pertanian dapat mencakup pengklasifikasian ungkapan larangan dengan sudut pandang yang lain.
6.1.1 Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan pada Masyarakat Petani Tabanan Kelompok Usia di Atas 50 Tahun Untuk mengetahui dinamika pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan pada kelompok usia di atas 50, data ungkapan larangan dalam lingkup keluarga, luar keluarga, dan bertopik pertanian diklarifikasi kepada 66 orang responden. Responden itu ditentukan dua orang dari setiap desa yang diambil secara acak.
148
6.1.1.1 Dinamika Ungkapan Larangan Lingkup Keluarga pada Kelompok Usia di Atas 50 Tahun Hasil klarifikasi ungkapan larangan pada lingkup keluarga kepada responden yang termasuk kelompok usia di atas 50 tahun menunjukkan mereka dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, adalah kelompok yang tahu dan kedua, adalah kelompok yang tidak tahu. Kelompok pertama yang termasuk mengetahui berjumlah 63 orang responden atau 95,5 %, sedangkan 3 orang responden atau 4,5 % termasuk kelompok kedua, yaitu yang menyatakan tidak tahu. Responden yang termasuk kelompok mengetahui diklarifikasi dengan pertanyaan tentang pemahamannya terhadap ungkapan larangan pada lingkup keluarga. Mereka dapat dipilah lagi menjadi kelompok yang tahu, tetapi tidak mengerti maksud ungkapan larangannya dan kelompok yang tahu dan mengerti maksud ungkapan larangannya. Kelompok yang mengetahui, tetapi tidak memahami maksud ungkapan larangannya berjumlah 43 orang atau 68,3 %, sedangkan 20 orang atau 31,7 % termasuk kelompok yang mengetahui dan mengerti maksud larangannya. Dengan demikian, kelompok yang mengetahui, tetapi tidak memahami maksud ungkapan larangannya mendominasi kelompok ini. Ini juga menandakan bahwa mereka yang mengetahui ungkapan larangan pada lingkup keluarga sebatas mengetahui dalam artian pernah mendengar. Di samping diklarifikasi dengan pertanyaan tentang pemahaman terhadap maksud ungkapan larangan, kelompok yang mengetahui ungkapan larangan juga diklarifikasi dengan pertanyaan tentang penggunaannya. Dari klarifikasi ini
149
terbukti bahwa walaupun responden itu mengetahui ungkapan larangan dalam lingkup
keluarga,
mereka
tampaknya
jarang
menggunakannya
atau
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini terbukti dari jawaban responden yang mengatakan pernah menggunakan ungkapan larangan itu dalam kehidupan sehari-hari jumlahnya lebih sedikit daripada yang tidak pernah menggunakannya. Terdapat 30 orang atau 47,6 % responden yang mengetahui dan menggunakan ungkapan larangan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan 33 orang responden atau 52,4 % menyatakan tidak pernah menggunakannya dalam kehidupan sehariharinya.
6.1.1.2 Dinamika Ungkapan Larangan Lingkup Luar Keluarga pada Kelompok Usia di Atas 50 Tahun Ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga ditujukan kepada masyarakat umum. Ungkapan larangan ini membicarakan berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat petani Tabanan sehingga
topiknya bersifat umum. Di
samping itu, ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga ada yang berupa peraturan/hukum dan ada yang berupa bukan peraturan/hukum. Seperti halnya pada ungkapan larangan lingkup keluarga, dinamika pemakaian ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga pada masyarakat petani kelompok usia di atas 50 tahun juga dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang mengetahui dan yang tidak mengetahui. Responden yang mengetahui ungkapan larangan lingkup luar keluarga berjumlah 55 orang atau 83,3 % dan 11 orang atau 16,7 % menyatakan tidak tahu.
150
Di antara responden yang mengetahui ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga, mereka lebih banyak sebatas mengetahui, tetapi tidak memahami maksud ungkapan larangannya. Sebanyak 39 orang responden atau 70, 9 % termasuk kelompok itu dan 16 orang atau 29, 1 % termasuk mengetahui dan memahami maksud ungkapan larangannya. Ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga tampaknya lebih banyak yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari daripada yang tidak digunakan. Hal ini terlihat dari persentase pemakaiannya, ada 35 orang responden atau 63,6 % menyatakan menggunakan ungkapan larangan itu, sedangkan 20 orang responden atau 36,4 % menyatakan tidak melaksanakannya. Mereka yang melaksanakan ungkapan larangan ini dalam kehidupannya karena meyakini kebenarannya. Kalau ungkapan larangan itu dilanggar, akan mendatangkan
bahaya
atau
mendapat
sanksi.
Keyakinan akan
bahaya
berhubungan dengan ungkapan larangan bukan peraturan/hukum, sedangkan sanksi akan diterima kalau mereka melanggar ungkapan larangan berkaitan dengan ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum, baik tulis maupun lisan. Jadi, dalam hal ini walaupun tidak mengetahui maksud ungkapan larangannya, mereka yakin akan akibatnya yang tidak baik atau yang merugikan apabila dilanggar.
151
6.1.1.3 Dinamika Usia Larangan Bertopik Pertanian pada Kelompok Usia di Atas 50 Tahun Ungkapan larangan bertopik pertanian adalah ungkapan larangan yang menyangkut masalah pertanian dalam arti luas. Ungkapan larangan ini ada yang berupa peraturan/hukum, baik tulis maupun lisan, tetapi ada juga yang berupa bukan peraturan. Apabila dipandang dari lingkup pemakaiannya, ungkapan larangan bertopik pertanian ada yang digunakan pada lingkup keluarga dan luar lingkup keluarga. Seperti halnya dinamika pemakaian ungkapan larangan pada lingkup keluarga dan luar keluarga, dinamika pemakaian ungkapan larangan bertopik pertanian pada kelompok usia di atas 50 tahun juga dapat dikelompkkan menjadi kelompok responden yang mengetahui dan responden yang tidak mengetahui ungkapan larangan. Perbedaan jumlah antara responden yang mengetahui dan responden yang tidak mengetahuinya sangat jauh. Responden yang mengetahui ungkapan larangan bertopik pertanian berjumlah
62 orang atau 93,9 %,
sedangkan yang tidak mengetahuinya berjumlah 4 orang atau 6,1 % Berdasarkan tingkat pemahaman terhadap maksud ungkapan larangan, responden yang mengetahui lebih banyak sebatas mengetahui atau pernah mendengar, tetapi tidak memahami maksudnya. Ini tercermin dari persentase pemahaman responden terhadap maksud ungkapan larangan seperti berikut. Responden yang mengetahui, tetapi tidak paham maksud ungkapan larangan berjumlah 35 orang atau 56,5 % serta yang mengetahui dan paham maksudnya berjumlah 27 orang atau 43,5 %. Akan tetapi, dari segi peksanaannya
152
51 orang atau 82,3 % responden mengetahui dan melaksanakan atau menggunakan ungkapan larangan bertopik pertanian dalam kehidupan seharihari. Hanya 11 orang atau 17,7 % mengetahui ungkapan larangan, tetapi tidak melaksanakannya. Hal ini menunjukkan bahwa para petani golongan usia di atas 50 tahun lebih banyak sebatas mengetahui ungkapan larangan bidang pertanian, tetapi tidak paham maksud larangan itu. Walaupun demikian, mereka tidak berani melanggarnya. Mereka tetap meyakini bahwa pelanggaran atas ungkapan larangan itu akan membahayakannya sehingga mereka pun menggunakannya.
6.1.2 Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan pada Masyarakat Petani Tabanan Kelompok Usia 25--50 Tahun Seperti halnya pada masyarakat petani kelompok usia di atas 50 tahun, data ungkapan larangan yang telah diklasifikasikan diklarifikasi pemakaiannya kepada 66 orang petani yang termasuk kelompok usia 25--50 tahun. Data yang diklarifikasi juga data ungkapan larangan yang digunakan dalam lingkungan keluarga, luar keluarga, dan bertopik pertanian.
6.1.2.1 Dinamika Ungkapan Larangan Lingkup Keluarga pada Kelompok Usia 25--50 Tahun Perkembangan pemakaian ungkapan larangan lingkup keluarga di kalangan masyarakat petani kelompok usia 25--50 tahun dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu mereka yang tahu dan mereka yang tidak tahu. Ketika diberikan contoh ungkapan larangan pada lingkup keluarga, dari 66 orang
153
responden, 51 orang responden atau 77,3 % menyatakan mengetahuinya, sedangkan 15 orang atau 22,7 % menjawab tidak tahu. Responden yang mengetahui ungkapan larangan maksudnya responden itu pernah mendengar adanya ungkapan larangan itu. Selanjutnya, responden yang mengetahui ungkapan larangan pada lingkup keluarga dipilah lagi menjadi kelompok yang tahu, tetapi tidak mengerti maksud larangannya dan kelompok yang tahu dan mengerti maksud larangannya. Di antara kedua kelompok ini, kelompok yang tahu, tetapi tidak mengerti maksud larangannya ternyata mendominasi. Ini dibuktikan dari 51 responden yang mengetahui ungkapan larangan 38 orang atau 74,5 % mengatakan tahu, tetapi tidak memahami maksudnya dan 13 orang atau 25,5 % yang menjawab tahu dan mengerti maksud larangannya. Walaupun responden itu tahu ungkapan larangan, mereka tampaknya jarang menggunakannya atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini terbukti dari jawaban responden yang mengatakan pernah menggunakan ungkapan larangan itu dalam kehidupan sehari-hari hanya berjumlah 9 orang atau 17,6 %. Sisanya, 42 orang responden atau 82,4 % menyatakan tidak pernah menggunakannya dalam kehidupan sehari-harinya.
6.1.2.2 Dinamika Ungkapan Larangan Lingkup Luar Keluarga pada Kelompok Usia 25--50 Tahun Seperti telah dijelaskan di depan bahwa ungkapan larangan ini ditujukan kepada masyarakat umum sehingga disebut pemakaian di luar lingkup keluarga.
154
Topik ungkapan larangan ini bersifat umum dan ditemukan, baik dalam data ungkapan larangan lisan maupun tulis. Dinamika pemakaiannya pada masyarakat petani kelompok usia 25--50 tahun juga bervariasi. Artinya, ada responden yang tahu jenis ungkpan larangan kelompok ini dan ada yang tidak tahu. Responden yang mengetahui jenis ungkapan larangan kelompok ini berjumlah 47 orang atau 71,2 % dan 19 orang atau 28,8 % menyatakan tidak tahu. Dari 47 orang responden yang mengetahui ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga, mereka lebih banyak sebatas mengetahui, tetapi tidak memahami maksud larangannya. Mereka yang termasuk kelompok ini berjumlah 33 orang atau 70, 2 %, sedangkan yang lainnya berjumlah 14 orang atau 29, 8 % termasuk mengetahui dan memahami maksud wacana larangannya. Apabila dilihat dari pemakaiannya, dari 47 orang responden yang mengetahui ungkapan larangan ini 39 orang atau 83 % menyatakan melaksanakan ungkapan larangan itu, sedangkan 8 orang atau 17 % menyatakan tidak melaksanakannya. Mereka yang melaksanakan ungkapan larangan ini dalam kehidupannya karena meyakini kebenarannya. Kalau ungkapan larangan itu dilanggar, akan mendatangkan bahaya atau mendapat sanksi. Jadi, dalam hal ini walupun tidak mengetahui maksud larangannya, mereka yakin akan akibatnya yang tidak baik.
155
6.1.2.3 Dinamika Ungkapan Larangan Bertopik Pertanian pada Kelompok Usia 25--50 Tahun Seperti halnya klasifikasi ungkapan larangan terdahulu, pada ungkapan larangan ini pun respondennya ada yang tahu dan ada yang tidak. Akan tetapi, apabila dibandingkan antara yang tahu dan yang tidak, perbedaannya sangat signifikan. Artinya, dari 66 orang responden yang diberikan contoh ungkapan larangan ini 59 orang atau 89,4 % mengatakan mengetahui dan hanya 7 orang atau 10,6 % menyatakan tidak tahu. Apabila dilihat dari tingkat pemahaman terhadap ungkapan larangan memang jumlahnya lebih banyak yang tidak paham dibandingkan dengan yang memahaminya. Yang tahu, tetapi tidak paham maksudnya berjumlah 43 orang atau 72,9 % serta yang tahu dan paham maksudnya berjumlah 16 orang atau 27,1 %. Akan tetapi, dari segi peksanaannya 96,6% atau 57 orang dari responden yang tahu melaksanakan ungkapan larangan ini. Hanya 3,4 % atau 2 orang yang tahu tetapi tidak melaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa para petani golongan generasi muda mengetahui ungkapan larangan bidang pertanian, tetapi tidak paham maksudnya. Walaupun demikian, mereka tidak berani melanggarnya. Mereka tetap meyakini bahwa pelanggaran atas ungkapan larangan itu akan membahayakannya.
156
6.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan pada Masyarakat Petani Tabanan Uraian dinamika pemakaian wacana larangan pada masyarakat petani Tabanan di atas menunjukkan bahwa mereka pada perinsipnya mengetahui adanya ungkapan larangan. Akan tetapi, pada tingkat pemakaian dipengaruhi oleh tingkat keyakinan terhadap ungkapan larangan.
6.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan pada Lingkup Keluarga Berdasarkan uraian dinamika pemakaian ungkapan larangan di atas, dapat diketahui ada beberapa faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut.
6.2.1.1 Masyarakat Petani Tidak Memahami Makna Ungkapan Larangan Sebagai contoh, berikut ditampilkan kembali salah satu variasi ungkapan larangan yang digunakan pada lingkup keluarga. 6-1 Da magunting yen ngelah kurenan beling, nyen panake sing rahayu. jangan bercukur kalau punya istri hamil nanti anak tidak selamat ‘Jangan bercukur kalau mempunyai istri hamil, nanti anaknya tidak selamat’ Ungkapan larangan di atas (6-1) biasanya ditujukan kepada para suami yang istrinya sedang hamil. Akibat yang ditimbulkan apabila larangan itu dilanggar adalah anak dalam kandungan tidak selamat. Walaupun di balik ungkapan larangan itu terkandung makna filosofi kehidupan yang sangat tinggi, kebanyakan responden, baik kelompok usia di atas 50 tahun maupun kelompok
157
usia 25-50 tahun, tidak memahami makna ungkapan larangan itu. Dalam hal ini, mereka sebatas pernah mendengar ungkapan larangan itu, tetapi tidak memahaminya. Apabila dilihat dari tingkat pemakaiannya, masyarakat petani kelompok usia di atas 50 tahun lebih banyak yang menggunakan ungkapan larangan lingkup keluarga daripada kelompok usia 25--50 tahun. Responden kelompok usia di atas 50 tahun yang menggunakan ungkapan larangan lingkup keluarga berjumlah 30 orang, sedangkan responden kelompok usia 25--50 tahun yang menggunakan hanya 9 orang. Akan tetapi, perbandingan antara yang menggunakan dan yang tidak menggunakan pada tiap-tiap kelompok lebih dominan yang tidak menggunakan. Karena tidak tahu maknanya, mereka tidak menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, faktor utama yang menyebabkan mereka tidak menggunakan ungkapan larangan itu adalah ketidaktahuan mereka akan maknanya walaupun pernah mendengarnya. Fenomena pemakaian ungkapan larangan pada lingkup keluarga di atas menunjukkan adanya dinamika penurunan pemakaian ungkapan larangan pada lingkup keluarga dari generasi tua (di atas 50 tahun) ke generasi muda (25--50 tahun). Ketidaktahuan masyarakat petani Tabanan akan makna ungkapan larangan pada lingkup keluarga disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adalah faktor dari dalam diri petani yang memang tidak mau tahu akan ungkapan larangan itu karena dianggap tidak masuk akal. Kedua, adalah faktor dari luar, yaitu keberadaan ungkapan larangan pada lingkup keluarga yang berupa tradisi. Sebagai tradisi, artinya mereka pada umumnya mewarisi hal seperti itu dari pendahulunya secara
158
turun-temurun. Ungkapan larangan itu diterima dari pendahulunya tanpa penjelasan makna. Inilah yang merupakan alasan utama bagi mereka untuk tidak menggunakan atau tidak menaatinya dalam kehidupan sehari-hari.
6.2.1.2 Makna Ungkapan Larangan Dianggap Tidak Logis Dinamika penurunan pemakaian ungkapan larangan lingkup keluarga juga dipengaruhi oleh faktor lain di samping faktor tidak pahamnya mereka terhadap makna wacana larangan itu. Faktor lain yang dimaksud adalah makna ungkapan larangan tersebut dianggap tidak logis. Ketidaklogisannya disebabkan oleh hubungan antara larangan dan akibat yang ditimbulkannya tidak bisa diterima oleh akal sehat. Misalnya, ungkapan larangan (6-1) di atas, tidak ada hubungan yang bisa diterima secara akal sehat (logis) antara suami bercukur saat istri hamil dan keselamatan bayi yang ada dalam kandungan. Artinya, akibat yang ditimbulkan apabila melanggar larangannya, tidak dirasakan secara nyata. Misalnya, tidak ada fakta bayi yang lahir tidak selamat karena suami bercukur saat istrinya hamil.
6.2.1.3 Ungkapan Larangan yang Tidak Sesuai dengan Kondisi Saat Ini Menurunnya dinamika pemakaian ungkapan larangan lingkup keluarga pada masyarakat petani generasi muda juga disebabkan oleh perkembangan zaman dan perubahan lingkungan. Dengan kata lain, ungkapan larangan yang termasuk kelompok lingkup keluarga dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Sebagai contoh adalah wacana larangan berikut.
159
6-2
Da melali kali tepet, nyen pelaibang memedi. jangan bermain tengah hari nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain tengah hari, nanti dilarikan lelembut’ Contoh ungkapan larangan (6-2) berisi larangan bermain saat tengah hari
dan akibat yang disebutkan apabila melanggarnya adalah dilarikan lelembut. Ungkapan larangan ini dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Misalnya, di desa-desa saat ini tidak lagi ditemukan tempat yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohonan yang besar. Tempat yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohonan yang besar biasanya dikatakan sebagai rumah memedi ’lelembut’. Dahulu kondisi ini memang banyak ditemukan di daerah pedesaan, sehingga tepat menggunakan ungkapan larangan (6-2) untuk menakut-nakuti anak-anak. Akan tetapi, saat ini kondisi itu sudah tidak ada lagi. Di desa-desa sudah jarang ada pohon besar dan semak belukar sehingga kesan angker sudah jauh berkurang. Ladang yang dahulu penuh semak belukar dan pohon besar, sekarang sudah dimanfaatkan untuk lahan menanam pohon produktif, seperti cengkeh, vanili, dan cokelat. Jadi, kondisi di desa saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Pohon besar dan semak belukar yang identik dengan habitat memedi ’lelembut’ sekarang sudah jarang ditemukan sehingga ungkapan larangan di atas dianggap tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Di samping itu, hubungan antara larangan dan akibatnya juga tidak logis. Artinya, akibat yang ditimbulkan tidak nyata dirasakan oleh pelanggarnya.
160
6.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan pada Lingkup Luar Keluarga Topik ungkapan larangan yang digunakan pada lingkup luar keluarga bersifat umum. Artinya, topiknya menyangkut berbagai masalah kehidupan. Ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga ada yang berupa peraturan/hukum dan ada juga yang berupa bukan peraturan/hukum. Kondisi inilah yang memengaruhi dinamika pemakaiannya. Baik kelompok usia di atas 50 tahun maupun kelompok usia 25--50 tahun lebih banyak menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari walaupun mereka tidak memahami maksudnya. Kelompok usia di atas 50 tahun yang menggunakan ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga berjumlah 35 responden dari 55 orang responden yang mengetahui wacana larangan tersebut, sedangkan kelompok usia 25--50 tahun yang menggunakan ungkapan larangan luar keluarga berjumlah 39 orang. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh tingkat keyakinan mereka terhadap wacana larangannya. Misalnya, untuk ungkapan larangan berikut. 6-3
Yen kurenan luas ke pasih, somah sing dadi mamitra, . kalau suami pergi ke laut, istri tidak boleh berselingkuh, nyen sengkala nanti kena bencana ’Kalau suami melaut, istri tidak boleh selingkuh, nanti kena bencana’ Ungkapan larangan (6-3) di atas ditemukan pada masyarakat petani
nelayan dan merupakan data ungkapan larangan lisan. Sampai saat ini masyarakat petani nelayan termasuk generasi mudanya tidak berani melanggar ungkapan larangan itu. Hal ini disebabkan apabila ungkapan larangan itu dilanggar,
161
akibatnya nyata dirasakan oleh yang melanggar dan ini sudah pernah terbukti. Oleh karena itu, keyakinan mereka terhadap ungkapan larangan ini sangat kuat. Kondisi ini juga ditemukan pada data ungkapan larangan lisan lain yang digunakan pada lingkup luar keluarga, seperti berikut. 6-4 Sedek meyadnya sing dadi ngelempag cicing. ketika melaksanakan upacara agama tidak boleh memukul anjing, nyen koos yadnyane nanti boros upacaranya ’Ketika melaksanakan upacara agama tidak boleh memukul anjing, nanti upacaranya boros’ 6-5
Yen suba luas ke pasih, jumah sing dadi nyampat, nyen sing maan kalau sudah pergi ke laut, di rumah tidak boleh menyapu, nanti tidak dapat be ikan ’Kalau sudah melaut, di rumah tidak boleh menyapu, nanti tidak dapat ikan’
6-6 Nuju purnama wiadin tilem, sing dadi luas ke pasih saat purnama atau tilem, tidak boleh pergi ke laut ’Saat purnama atau tilem, tidak boleh melaut’
Di samping berupa data ungkapan larangan lisan, ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga juga berupa data ungkapan larangan tulis yang ditemukan dalam Awig-Awig. Seperti telah disebutkan di depan, data ungkapan larangan tulis merupakan peraturan/hukum positif atau hukum yang dinyatakan berlaku. Hukum seperti ini mempunyai sanksi yang jelas apabila dilanggar. Contohnya sebagai berikut. 6-7
Kulkul Subak Abian tan wenang katepak sajawaning wenten kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul kecuali ada pancabaya utawi pituduh prajuru. (ASAPKT-Pawos 14-2) marabahaya atau perintah pemimpin ’Kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul, kecuali ada marabahaya atau perintah pemimpin’
162
Ungkapan larangan (6-7) berupa peraturan/hukum tertulis yang ditemukan dalam Awig-Awig Subak Abian Panca Karya Tani. Ungkapan larangan itu ditujukan kepada anggota Subak Abian Panca Karya Tani. Pada ungkapan larangan itu tidak disebutkan sanksi atau akibat yang ditimbulkan apabila dilanggar. Sanksi bagi yang melanggar biasanya ditetapkan berdasarkan pararem ’keputusan bersama’ anggota organisasi tersebut. Artinya, walaupun tidak disebutkan sanksinya secara eksplisit,
tidak ada anggota Subak Abian yang
berani melanggarnya. Hal ini terjadi karena mereka sudah tahu ada sanksi bagi yang melanggarnya. Dengan kata lain, sanksi atau akibatnya akan nyata dirasakan oleh pelanggar. Kondisi ini juga berlaku untuk ungkapan larangan lain seperti berikut. 6-8 Taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos ngenaungin pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi utawi ngungkulin pisaga. (ASAMS-Pawos 21-2) atau mengatasi tetangga ’Pohon-pohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi atau mengatasi tetangga’ 6-9 Jadma cuntaka saking pademan, sadurung tutug pangelimigian manut seseorang berkabung sejak kematian, sebelum batas penyucian sesuai pararem tan dados ngeranjing ring Kahyangan Panyiwian kesepakatan tidak boleh masuk ke Pura Milik Desa/Banjar. (ADABTK-Pawos 12-3b) Desa/Banjar ’Seseorang berkabung sejak kematian, sebelum batas penyucian sesuai kesepakatan, tidak boleh masuk Pura Desa/Banjar’ 6-10 Sang durung sah alaki rabi tan wenang ngelaksanayang seseorang belum sah menikah tidak diizinkan melakukan sanggraha. AKDAKA-Pawos 57-2d) kumpul kebo ’Seseorang yang belum sah menikah tidak diizinkan kumpul kebo’ Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga banyak digunakan oleh masyarakat petani khususnya
163
generasi muda karena mereka mempunyai keyakinan yang kuat terhadap bahaya yang ditimbulkan apabila melanggarnya. Kondisi itu terjadi pada data ungkapan larangan lisan. Demikian juga pada data ungkapan larangan tulis yang berupa peraturan/hukum. Walaupun tidak paham maksudnya, mereka tidak berani melanggarnya karena ada sanksi nyata yang didapat bagi pelanggar.
6.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Dinamika Pemakaian Ungkapan Larangan Bertopik Pertanian Seperti ungkapan larangan pada lingkup luar keluarga, wacana larangan yang bertopik pertanian ditemukan pada data ungkapan larangan lisan dan tulis, berupa peraturan/hukum dan bukan peraturan/hukum. Dinamika pemakaian ungkapan larangan bertopik pertanian di kalangan generasi tua dan generasi muda masyarakat petani saat ini tampak bahwa walaupun tidak paham maksudnya, mereka tetap tidak berani melanggarnya. Berikut adalah contoh ungkapan larangan lisan bertopik pertanian. 6-11 Da megaenang sampi di Werespati, nyen mati sampine jangan mempekerjakan sapi di Hari Kamis, nanti mati sapinya ‘Jangan mempekerjakan sapi di Hari Kamis, nanti mati sapinya’ Ungkapan larangan (6-10) di atas, sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat petani Tabanan termasuk generasi mudanya. Mereka tidak berani melanggarnya, walaupun tidak memahami makna ungkapan larangan itu. Hal ini disebabkan oleh masyarakat petani memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap akibat yang ditimbulkan apabila melanggarnya. Artinya, akibat yang dirasakan apabila melanggarnya bersifat nyata. Misalnya, pernah terjadi peristiwa kaki sapi
164
patah atau sapi menjadi liar ketika ungkapan larangan itu dilanggar. Hal ini tentu menambah keyakinan sehingga tidak berani melanggarnya. Contoh lain yang sama seperti ungkapan larangan (6-10) di atas adalah sebagai berikut. 6-12
Yen suba luas ke pasih jumah sing dadi nyampat, nyen pocol kalau sudah melaut di rumah tidak boleh menyapu nanti rugi pejalane perjalanannya ’Kalau sudah melaut, di rumah tidak boleh menyapu, nanti rugi perjalanannya’.
6-13
Sing dadi nandur ngemaluan pengawit, tidak boleh menanam padi mendahului waktu penanaman yen ngelanggar kene danda pecaruan di Pura Bedugul. kalau melanggar dikenai denda upacara korban di Pura Bedugul ’Tidak boleh menanam padi mendahului waktu penanaman, kalau melanggar, kena denda upacara kurban di Pura Bedugul’ Keyakinan yang kuat terhadap akibat yang ditimbulkan apabila melanggar
ungkapan larangan bertopik pertanian juga ditemukan pada data ungkapan larangan tulis, seperti berikut. 6-14
Ngicalang merana ring panegalan tan kangkat antuk ubad kimia, menghilangkan hama di ladang tidak diizinkan dengan obat kimia inggiang tata cara tradisionil sane margiang dumun, minakadi: ngejuk sebaiknya cara tradisional yang dilaksanakan dulu seperti: menangkap merana antuk maboros, lan nganggen meseh alami. hama dengan berburu dan menggunakan musuh alami (ASAMS-Pawos 24-1) ‘Membasmi hama di ladang tidak diizinkan dengan obat kimia, cara tradisional dijalankan lebih dahulu, seperti berburu dan menggunakan musuh alami’
6-15 Tanem tuwuh wiadin wewangunan ring tegal pabianan tan dados pepohonan atau bangunan di kebun tidak boleh nyayubin abian krama pengadine. (ASAPKT-Pawos 22-2) menaungi kebun orang di samping ’Pohon-pohonan atau bangunan di kebun tidak boleh menaungi kebun orang di samping’
165
Sebagai bagian sebuah Awig-Awig, contoh ungkapan larangan (6-14) dan (6-15) termasuk data ungkapan larangan tulis yang digunakan untuk mengatur anggotanya. Dengan kata lain, ungkapan larangan (6-14) dan (6-15) berupa peraturan/hukum tertulis. Sebagai peraturan/hukum tertulis, apabila ungkapan larangan itu dilanggar, akan mendapatkan sanksi yang nyata sesuai dengan keputusan bersama dalam organisasi itu. Jadi, sanksinya nyata atau dapat dirasakan langsung oleh pelanggarnya. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dinamika pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan ditinjau dari kelompok usia, sangat dipengaruhi oleh tingkat keyakinan masyarakat petani terhadap ungkapan larangan tersebut. Ungkapan larangan yang tidak diketahui maknanya, akibat kalau dilanggar bersifat tidak logis, dan tidak sesuai dengan kondisi saat ini memiliki tingkat keyakinan yang rendah. Ungkapan larangan seperti ini jarang digunakan. Sebaliknya, ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, memiliki sanksi nyata yang dirasakan oleh pelanggarnya. Oleh karena itu, walaupun tidak dipahami maksudnya, masyarakat petani tidak berani melanggar dan tetap mengikuti.