41
BAB IV KLASIFIKASI DAN BENTUK UNGKAPAN LARANGAN PADA MASYARAKAT PETANI TABANAN
Pada Bab II telah dijelaskan bahwa konsep bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup aspek struktur linguistik atau struktur bahasa dari tataran paling rendah sampai dengan tataran paling luas, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana, yang membentuk suatu tuturan yang utuh dalam satu tindak bicara (speech act). Sehubungan dengan hal itu, pada Bab IV ini berturut-turut dibahas klasifikasi ungkapan larangan, pemarkah ungkapan larangan, dan bentuk ungkapan larangan.
4.1 Klasifikasi Ungkapan Larangan Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, ungkapan larangan ini dapat dikatakan sebagai suatu tradisi karena merupakan adat kebiasaan secara turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat (Departemen Pendikan Nasional, 2008: 1482). Ungkapan larangan yang ada pada masyarakat petani Tabanan dapat diklasifikasikan dengan beberapa sudut pandang. Sudut pandang tersebut adalah (1) eksistensi ungkapan larangan dalam masyarakat, (2) urutan unsur-unsur pembentuk ungkapan larangan, (3) ruang lingkup pemakaian ungkapan larangan, dan (4) topik ungkapan larangan.
42
4.1.1 Klasifikasi Ungkapan Larangan Berdasarkan Eksistensinya di Masyarakat Eksistensi atau keberadaan ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan ada yang berupa peraturan dan ada yang berupa bukan peraturan. Kedua tipe atau eksistensi ungkapan larangan tersebut diuraikan sebagai berikut.
4.1.1.1 Ungkapan Larangan yang Berupa Peraturan Peraturan adalah ”tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur” (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 99). Di samping itu, dalam Departemen Pendidikan Nasional (2008: 510) dijelaskan
hukum berarti
peraturan. Dengan demikian, peraturan dapat diartikan sama dengan hukum. Ungkapan larangan yang berupa peraturan sama artinya dengan ungkapan larangan yang berupa hukum, yaitu ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan yang berupa ketentuan yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Sebagai peraturan/hukum, ungkapan larangan ini wajib diikuti oleh anggota masyarakat dan apabila dilanggar ada sanksi nyata yang dikenakan kepada pelanggar. Ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum ini dibedakan menjadi dua, yaitu ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tertulis dan ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tidak tertulis.
1. Ungkapan Larangan yang Berupa Peraturan Tertulis Peraturan tertulis atau hukum tertulis artinya peraturan yang telah dituangkan ke dalam bentuk naskah tertulis. Menurut Artadi (2006: 11), hukum
43
tertulis adalah hukum yang lazimnya ada dalam lingkup hukum positif, yaitu hukum
yang
dinyatakan
berlaku.
Ungkapan
larangan
yang
berupa
peraturan/hukum tertulis adalah ungkapan larangan yang digunakan untuk mengatur masyarakat petani Tabanan yang telah dituangkan ke dalam bahasa tulis dan masih berlaku. Ungkapan larangan tersebut ditemukan dalam naskah AwigAwig, seperti Awig-Awig Desa Adat/Desa Pekraman, Awig-Awig Subak, dan Awig-Awig Subak Abian. Awig-awig awalnya adalah peraturan lisan yang kemudian ditulis seuai dengan aturan bahasa tulis. Contoh ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tertulis adalah sebagai berikut. 4-1 Kulkul Desa/Banjare tan wenang katepak, yan tan manut kadi kentongan Desa/Banjar tidak boleh dipukul, apabila tidak sesuai dengan daging awig-awig. (ADABTK-Pawos 34-3) isi peraturan ’Kentongan desa/banjar tidak boleh dipukul apabila tidak sesuai dengan isi peraturan’ Ungkapan larangan (4-1) merupakan contoh ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tertulis yang terdapat dalam Awig-Awig Desa Adat Batuaji Kawan Pawos 34, butir 3. Ungkapan larangan tersebut digunakan untuk mengatur warga Desa Adat Batuaji Kawan, Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan, dalam hal memukul kulkul ’kentongan’ desa atau banjar. Ungkapan larangan tersebut masih berlaku sampai sekarang. Kulkul ’kentongan’ desa/ banjar tidak boleh dipukul sembarangan dan harus mengikuti aturan yang terdapat pada awig-awig ’peraturan adat’. Berikut adalah contoh lain ungkapan larangan yang berupa peraturan tertulis.
44
4-2
Yan wewalungan kataban padem saking tan kakardinin, sang naban tan apabila hewan ditahan mati karena tidak disengaja, penahan tidak dados ngarsayang prabea pamiara. (ADAJ-Pawos 42-b). boleh minta biaya pemeliharaan ’Apabila hewan ditahan mati karena tidak disengaja, penahan tidak boleh minta biaya pemeliharaan’
4-3 Sahanan sane kasinanggeh leteh manut Agama Hindu, tan wenang wenten segala sesuatu dianggap kotor menurut Agama Hindu, tidak boleh ada ring Kahyangan Pasubakan. (ASSR-Pawos 22) di Pura Subak ’Segala sesuatu yang dianggap kotor menurut agama Hindu, tidak boleh ada di Pura Subak’ Kedua contoh di atas, yaitu (4-2) dan (4-3) merupakan ungkapan larangan berupa peraturan/hukum tertulis. Wacana larangan (4-2) ditemukan dalam AwigAwig Desa Adat Jatiluwih, Kecamatan Penebel, sedangkan ungkapan larangan (43) digunakan dalam Awig-Awig Subak Songot Rejasa, Kecamatan Penebel. Sebagai peraturan/hukum tertulis,
ungkapan larangan (4-2) digunakan untuk
mengatur anggota masyarakat Desa Adat Jatiluwih, dalam hal kematian yang tidak disengaja terhadap hewan piaraan dalam status ditahan. Apabila itu terjadi, yang menahan hewan tersebut tidak boleh menuntut biaya pemeliharaan kepada pemilik hewan. Ungkapan larangan (4-3) digunakan untuk mengatur anggota Subak Songot Rejasa dalam hal meletakkan barang atau sesuatu di Pura Subak. Barang yang dianggap leteh ’kotor secara spiritual’ menurut agama Hindu tidak boleh ada di Pura Subak. Semua anggota Subak Songot Rejasa harus menaati ungkapan larangan itu. Apabila ada yang melanggar, sudah jelas akan mendapatkan sanksi yang nyata sesuai dengan keputusan anggota subak.
45
2. Ungkapan Larangan yang Berupa Peraturan Tidak Tertulis Di samping berupa peraturan/hukum tertulis, ungkapan larangan juga berupa peraturan/hukum tidak tertulis. Peraturan/hukum tidak tertulis adalah hukum yang intinya adalah norma tidak tertulis, tetapi dijalankan sebagai pedoman perilaku yang diabadikan oleh ingatan dari generasi ke generasi (Artadi, 2006: 31). Lebih lanjut dikatakan bahwa hukum tidak tertulis ada dalam wilayah hukum adat dan kebiasaan. Peraturan/hukum
tidak
tertulis
dibuat
berdasarkan
kesepakatan
antaranggota masyarakat dalam suatu organisasi dan pemakaiannya bersifat terbatas. Artinya, peraturan/hukum tidak tertulis yang terdapat pada suatu organisasi belum tentu ada pada organisasi lainnya. Dengan demikian, ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tidak tertulis maksudnya adalah ungkapan larangan yang digunakan untuk mengatur anggota masyarakat petani Tabanan yang dibuat berdasarkan kesepakatan tidak tertulis. Contohnya adalah sebagai berikut. 4-4 Sing dadi nyilih yeh krama subak di luanan, yan nelanggar kena tidak boleh meminjam air warga subak di hulu, kalau melanggar kena denda baas 10 kg. (PSJ) ’Tidak boleh meminjam air warga subak di hulu, kalau melanggar, kena denda 10 kg beras’ Ungkapan larangan (4-4) adalah contoh ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tidak tertulis. Ungkapan larangan itu ditemukan pada Pararem Subak
Jatiluwih,
Kecamatan
Penebel,
Tabanan.
Walaupun
berupa
peraturan/hukum yang tidak tertulis, ungkapan larangan tersebut tetap ditaati oleh warga Subak Jatiluwih dalam menjalankan aktivitasnya sebagai petani. Sebagai
46
peraturan/hukum tidak tertulis, ungkapan larangan (4-4) hanya berlaku bagi warga Subak Jatiluwih dan tidak berlaku bagi anggota subak yang lain. Contoh lain, ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tidak tertulis adalah sebagai berikut. 4-5 Sing dadi manyi yen mesaba di Pura Bedugul Subak. (PSC, PSS, PSJ) tidak boleh panen, kalau upacara di Pura Bedugul Subak ‘Tidak boleh panen, kalau upacara di Pura Bedugul Subak’ 4-6 Sing dadi nandur ngemaluan pengawit, yen ngelanggar tidak boleh menanam mendahului waktu mulai menanam, kalau melanggar kena danda pecaruan di Pura Bedugul. (PSJ, PSC) kena denda upacara korban di Pura Bedugul ‘Tidak boleh menanam mendahului waktu mulai menanam, kalau melanggar kena denda berupa upacara korban di Pura Bedugul’ Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan, baik ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tertulis maupun ungkapan larangan yang berupa peraturan/hukum tidak tertulis, pada prinsipnya bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup antarsesama anggota masyarakat, antaranggota Subak, dan antara anggota masyarakat dan lingkungannya sehingga tercipta ketertiban dan keharmonisan. Sebagai peraturan/hukum, sudah jelas ungkapan larangan itu akan ada sanksinya apabila dilanggar.
4.1.1.2 Ungkapan Larangan yang Bukan Peraturan Ungkapan larangan yang bukan peraturan dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai kebalikan dari ungkapan larangan yang berupa peraturan. Ungkapan larangan yang berupa peraturan memiliki sanksi yang nyata dan digunakan untuk mengatur anggota masyarakatnya. Anggota masyarakatnya wajib mengikuti atau melaksanakannya. Sebaliknya, ungkapan larangan yang bukan
47
peraturan tidak memiliki sanksi yang nyata dan tidak digunakan untuk mengatur masyarakat. Dengan kata lain, ungkapan larangan yang bukan peraturan/hukum tidak wajib dilakukan oleh anggota masyarakat. Ini sangat bergantung pada keyakinan seseorang terhadap ungkapan larangan itu. Contoh ungkapan larangan ini adalah sebagai berikut. 4-7 Sing dadi nektek adegan, nyanan mati dagang uyahe. tidak boleh memotong tiang rumah nanti mati pedagang garam ’Tidak boleh memotong tiang rumah, nanti pedagang garam meninggal’ Ungkapan larangan (4-7) di atas merupakan salah satu contoh ungkapan larangan yang berupa bukan peraturan. Artinya, ungkapan larangan tersebut tidak digunakan untuk mengatur siapa-siapa dan sanksinya juga tidak nyata apabila ungkapan larangan itu dilanggar. Ungkapan larangan seperti ini masih ada, tetapi jarang digunakan oleh masyarakat petani Tabanan. Ungkapan larangan seperti ini digunakan sebagai sarana pendidikan etika sopan santun di tingkat keluarga. Di samping contoh (4-7), terdapat contoh ungkapan larangan lain
yang
berupa bukan peraturan, yaitu ungkapan larangan (4-8) berikut ini. 4-8
Da negakin galeng, nyen busul jite. jangan menduduki bantal, nanti bisul pantatnya ‘Jangan menduduki bantal, nanti bisul di pantat’ Ungkapan larangan tersebut dianggap tidak logis. Artinya, klausa de
negakin galeng ’jangan menduduki bantal’ yang merupakan larangan dan klausa nyen busul jite ’nanti bisul pantatnya’ sebagai akibatnya tidak memiliki hubungan yang bisa diterima oleh akal sehat. Dengan kata lain, apabila ungkapan larangan itu dilanggar, pelanggar tidak merasakan akibat yang nyata. Hal yang sama terjadi pada contoh lainnya, seperti di bawah ini.
48
4-9
Da ngajeng tipat akelan. jangan makan ketupat enam biji ’Jangan makan ketupat enam biji’
4.1.2 Klasifikasi Ungkapan Larangan Berdasarkan Urutan Unsur Pembentuknya Berdasarkan urutan unsur pembentuknya, ungkapan larangan dibedakan menjadi dua, yaitu (1) ungkapan larangan yang disertai akibat dan (2) ungkapan larangan yang tidak disertai akibat. Kedua jenis ungkpan larangan diuraikan sebagai berikut.
4.1.2.1 Ungkapan Larangan yang Disertai Akibat Ungkapan larangan disertai akibat maksudnya ungkapan larangan yang menyebutkan secara eksplisit akibat yang ditimbulkan kalau ungkapan larangan itu dilanggar. Pola ungkapan larangan seperti itu dapat dilihat pada contoh data berikut. 4-10
Sing dadi nektek adegan, nyanan mati dagang uyahe. tidak boleh memotong tiang nanti mati pedagang garam ’Tidak boleh memotong tiang rumah, nanti pedagang garam meninggal’ Contoh ungkapan larangan (4-10) terdiri atas dua klausa. Klausa pertama
menyatakan larangan dan klausa kedua menyatakan akibat yang ditimbulkan apabila larangan itu dilanggar. Dengan demikian, ungkapan larangan ini termasuk ungkapan larangan yang disertai akibat. Klausa pertama adalah sing dadi nektek adegan ‘tidak boleh memotong tiang’ merupakan larangan dan klausa kedua adalah nyanan mati dagang uyahe ‘nanti mati pedagang garam’ merupakan akibat. Apabila ungkapan larangan
49
nektek adegan ‘memotong tiang’ dilanggar, akan menimbulkan akibat, yaitu dagang uyah mati ‘pedagang garam meninggal’. Dalam hal ini, penutur menyebutkan secara eksplisit akibat yang ditimbulkan apabila ungkapan larangan itu dilanggar. Dengan demikian, petutur sudah mengetahui akibat yang ditimbulkan apabila ungkapan larangan itu dilanggar. Apabila dilihat dari jumlah klausanya, ungkapan larangan dengan pola disertai akibat termasuk kalimat majemuk. Berikut ini adalah beberapa contoh lain pola ungkapan larangan yang disertai akibat. 4-11
Ring pasubakan tan wenang wenten barang sane leteh di areal subak tidak boleh ada barang yang kotor secara spiritual manut tatwa Agama Hindu. Yan wenten Wong mamurub wenang sesuai aturan Agama Hindu. Apabila ada orang melanggar harus marisuda manut Desa Kala Patra. (ASSR-Pawos 23) membersihkan sesuai aturan yang berlaku ’Di areal subak tidak ada barang yang kotor secara spiritual sesuai dengan aturan agama Hindu. Apabila ada yang melanggar, harus membersihkan (niskala) sesuai dengan aturan yang berlaku’
4-12
Saluwiring wewangungan tan kepatutang nyayubin kapisaga, setiap bangunan tidak dibenarkan menaungi ke tetangga prade wenten nyayubin, risampun kesadokang ring prajuru apabila ada menaungi setelah dilaporkan ke pemimpin adat keni pamidanda manut pararem. (ADABTK-Pawos 39-1) kena denda sesuai aturan ’Setiap bangunan tidak dibenarkan menaungi tetangga, apabila ada Menaungi, setelah dilaporkan ke pemimpin adat kena denda sesuai dengan aturan’
4-13
Yen kurenan beling sing dadi magunting, apang panake rahayu. kalau istri hamil tidak boleh bercukur, agar anak selamat ‘Kalau istri sedang hamil tidak boleh bercukur, agar anak selamat’
4-14
Da melali kali tepet, nyen pelaibang memedi. jangan bermain siang hari nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain siang hari, nanti dilarikan lelembut’
50
Apabila dilihat dari tingkat kejelasan akibatnya, ungkapan larangan yang polanya disertai akibat, dapat dikelompokkan lagi menjadi dua. Kedua kelompok itu adalah ungkapan larangan disertai akibat yang nyata (logis) dan ungkapan larangan disertai akibat yang tidak nyata (tidak logis).
1. Ungkapan Larangan Disertai Akibat Berupa Peraturan Adat Ungkapan larangan disertai akibat yang berupa peraturan adat, artinya akibat yang ditimbulkan apabila ungkapan larangan itu dilanggar bersifat nyata dan dirasakan langsung oleh pelanggarnya. Berikut ini ditampilkan kembali beberapa contoh di atas, sebagai bahan analisis. 4-15
Ring pasubakan tan wenang wenten barang sane leteh di areal subak tidak boleh ada barang yang kotor secara spiritual manut tatwa Agama Hindu. Yan wenten Wong mamurub wenang sesuai aturan Agama Hindu. Apabila ada orang melanggar harus marisuda manut Desa Kala Patra. (ASSR-Pawos 23) membersihkan sesuai aturan yang berlaku ’Di areal subak tidak ada barang yang kotor secara spiritual sesuai dengan aturan agama Hindu. Apabila ada yang melanggar, harus membersihkan (niskala) sesuai dengan aturan yang berlaku’
4-16
Saluwiring wewangungan tan kepatutang nyayubin kapisaga, setiap bangunan tidak dibenarkan menaungi ke tetangga prade wenten nyayubin, risampun kesadokang ring prajuru apabila ada menaungi setelah dilaporkan ke pemimpin adat keni pamidanda manut pararem. (ADABTK-Pawos 39-1) kena denda sesuai aturan ’Setiap bangunan tidak dibenarkan menaungi tetangga, apabila ada menaungi, setelah dilaporkan ke pemimpin adat kena denda sesuai dengan aturan’ Ungkapan larangan (4-15) menyatakan di areal subak tidak boleh ada
barang yang leteh ’kotor secara spiritual’ menurut ajaran agama Hindu. Akibat yang dinyatakan kalau melanggarnya adalah melakukan upacara pembersihan
51
secara niskala di areal tersebut. Jadi, melakukan upacara pembersihan secara niskala akan dirasakan secara nyata bagi yang melanggarnya. Di samping itu, akibat tersebut bisa diterima oleh akal sehat (logis). Demikian juga pada contoh (4-16). Akibat yang disebutkan apabila melanggar ungkapan larangan bangunan menaungi tetangga pada contoh (4-16) adalah kena denda sesuai dengan aturan yang berlaku. Itu berarti bahwa, akibatnya yang berupa denda dirasakan secara nyata oleh pelanggar ungkapan larangan tersebut dan bisa diterima oleh akal sehat (logis). Di bawah ini adalah beberapa contoh lain ungkapan larangan dengan akibat yang nyata. 4-17 Sing dadi megaenang sampi di Wraspati, nyanan sengkala sampine. tidak boleh mepekerjakan sapi di hari Kamis, nanti berbahaya sapinya ’Tidak boleh mempekerjakan sapi pada hari Kamis, nanti berbahaya bagi sapi itu’ 4-18 Yen kurenan luas ke pasih, somah sing dadi mamitra, . kalau suami pergi ke laut, istri tidak boleh berselingkuh, nyen sengkala nanti kena bencana ’Kalau suami melaut, istri tidak boleh selingkuh, nanti kena bencana’
2. Ungkapan Larangan Disertai Akibat yang Berupa Kepercayaan Ungkapan larangan disertai akibat yang berupa kepercayaan, maksudnya ungkapan larangan yang akibatnya tidak nyata dirasakan oleh yang melanggarnya. Di samping itu, akibat yang disebutkan pada larangan tersebut tidak masuk akal sehingga disebut tidak logis. Hal ini terjadi karena antara larangan dan akibatnya tidak ada hubungan. Sebagai bahan analisis, di bawah ini ditampilkan contohnya.
52
4-19
Yen kurenan beling sing dadi magunting, apang panake rahayu. kalau istri hamil tidak boleh bercukur, agar anak selamat ‘Kalau istri sedang hamil, tidak boleh bercukur agar anak selamat’ Ungkapan larangan (4-19) menyatakan tidak boleh bercukur saat istri
hamil. Ungkapan larangan ini biasanya ditujukan kepada para suami yang istrinya sedang hamil. Akibat yang ditimbulkan apabila larangan itu dilanggar adalah anak dalam kandungan tidak selamat. Apabila dikaitkan antara larangan dan akibat yang ditimbulkannya, hubungannya tidak logis. Artinya, hubungan antara ungkapan larangan bercukur saat istri hamil dan akibatnya, yaitu anak tidak selamat tidak bisa diterima oleh akal sehat. Hal ini disebabkan oleh akibat yang ditimbulkan apabila larangannya dilanggar tidak dirasakan secara nyata. Hal ini juga terjadi pada contoh (4-20) berikut. 4-20
Da melali kali tepet, nyen pelaibang memedi. jangan bermain siang hari nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain siang hari, nanti dilarikan lelembut’ Contoh (4-20) menyatakan ungkapan larangan bermain saat tengah hari
dan akibat apabila melanggarnya adalah dilarikan lelembut. Antara larangan dan akibatnya tidak tidak bisa diterima oleh akal sehat sehingga akibatnya disebut tidak logis. Di samping itu, akibat yang ditimbulkan tidak nyata dirasakan oleh pelanggarnya. Berikut ini disajikan beberapa contoh ungkapan larangan lainnya yang akibatnya tidak nyata (tidak logis). 4-21
4-22
Sing dadi nektek adegan, nyanan mati dagang uyahe. tidak boleh memotong tiang rumah nanti mati pedagang garam ’Tidak boleh memotong tiang rumah, nanti pedagang garam meninggal’ Da negakin galeng, nyen busul jite. jangan menduduki bantal, nanti bisul pantatnya
53
‘Jangan menduduki bantal, nanti bisul di pantat’ 4-23
Da ngecuhin timpal, nyen kadengan awake. jangan meludahi teman nanti tumbuh tahi lalat badannya ’Jangan meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat di badan’
4.1.2.2 Ungkapan Larangan yang tidak Disertai Akibat Ungkapan larangan tidak disertai akibat maksudnya ungkapan larangan yang dalam urutan unsur-unsurnya tidak menyertakan secara eksplisit akibat yang ditimbulkan kalau ungkapan larangan itu dilanggar. Pola ungkapan larangan seperti itu dapat dilihat pada contoh data berikut. 4-24 Sing dadi marengin anak ngiwitin nandur. tidak boleh mengikuti orang mulai menanam padi ‘Tidak boleh mengikuti orang mulai menanam padi’ Ungkapan larangan (4-24) terdiri atas dua klausa yang menyatakan larangan itu sendiri. Klausa yang dimaksud adalah sing dadi marengin ’tidak boleh mengikuti’ yang berupa klausa terikat dan klausa anak ngiwitin nandur ‘orang mulai menanam padi’ sebagai klausa bebas. Secara keseluruhan, ungkapan larangan ini tidak menyertakan akibat yang ditimbulkan atau akibat yang akan terjadi apabila ungkapan larangan itu dilanggar. Artinya, penutur tidak menyebutkan secara eksplisit akibat yang ditimbulkan atau akibat yang terjadi apabila ungkapan larangan itu dilanggar. Dengan demikian, petutur tidak mengetahui secara jelas akibat yang ditimbulkan apabila ungkapan larangan ini dilanggar. Walaupun tidak menyertakan akibat yang ditimbulkan secara eksplisit, itu tidak berarti bahwa ungkapan larangan di atas tidak memiliki akibat. Ungkapan
54
larangan itu memiliki akibat yang ditimbulkan apabila dilanggar, tetapi tidak dimunculkan secara eksplisit. Artinya, petutur bisa menafsirkan sendiri akibat yang ditimbulkan apabila melanggarnya. Pola ungkapan larangan yang tidak disertai akibat juga ditemukan pada contoh-contoh berikut. 4-25 Sing dadi ngajeng tipat akelan. tidak boleh makan ketupat enam biji ’Tidak boleh makan ketupat enam biji 4-25
Da mula gedang renteng di pekarangan. jangan menanam pepaya “renteng” di halaman rumah ’Jangan menanam pepaya “renteng” di halaman rumah’
4-26
Kulkul Subak Abian tan wenang katepak sajawaning wenten kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul kecuali ada pancabaya utawi pituduh prajuru. (ASAPKT-Pawos 14-2) marabahaya atau perintah pemimpin ’Kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul, kecuali ada marabahaya atau perintah pemimpin’
4-27 Taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos ngenaungin pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi utawi ngungkulin pisaga. (ASAMS-Pawos 21-2) atau mengatasi tetangga ’Pohon-pohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi atau mengatasi tetangga’
4.1.3 Klasifikasi Ungkapan Larangan Berdasarkan Lingkup Pemakaian Berdasarkan lingkup pemakaian, ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan dapat dibedakan menjadi dua. Kedua jenis yang dimaksud adalah ungkapan larangan yang digunakan pada lingkup keluarga dan ungkapan larangan yang digunakan pada lingkup di luar keluarga atau masyarakat.
55
4.1.3.1 Ungkapan Larangan pada Lingkup Keluarga Ungkapan larangan jenis ini diketahui oleh masyarakat umum. Namun larangannya lebih banyak menyangkut kehidupan sebuah keluarga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ungkapan larangan seperti itu digolongkan ke dalam ungkapan larangan lingkup keluarga. Berdasarkan data yang ada, berikut disajikan contoh ungkapan larangan lingkup keluarga. 4-28
a. Sing dadi nektek adegan, nyanan mati dagang uyahe. tidak boleh memotong tiang rumah, nanti mati pedagang garam ’Tidak boleh memotong tiang rumah, nanti meninggal pedagang garam’ b. Da nektek adegan, nyen mati dagang uyahe. jangan memotong tiang rumah nanti mati pedagang garam ’Jangan memotong tiang rumah, nanti meninggal pedagang garam’ Konteks pemakaian ungkapan larangan (4-28) adalah dalam lingkungan
keluarga. Anak-anak masyarakat petani Tabanan zaman dahulu banyak menggunakan pisau ketika bermain. Mereka pada umumnya sering usil dan memotong sesuatu yang ada di sekelilingnya termasuk adegan ’tiang’ rumah. Adegan ’tiang’ rumah merupakan bagian yang sangat vital bagi rumah sehingga kalau dipotong, di samping akan kelihatan tidak baik juga bisa membuat rumah roboh.
Untuk melarang anak-anak melakukannya digunakanlah ungkapan
larangan nektek adegan ’memotong tiang’ rumah. Tujuan utama para orang tua menggunakan ungkapan larangan tersebut adalah untuk menasihati anak-anaknya. Ada beberapa contoh lain, ungkapan larangan yang termasuk kelompok ini, seperti berikut ini. 4-29
a. Yen kurenan beling sing dadi magunting, apang panake rahayu. kalau istri hamil tidak boleh bercukur supaya anaknya selamat
56
‘Kalau istri hamil, tidak boleh bercukur supaya anak selamat’ b. Da magunting yen kurenan beling, nyen panake sing rahayu. jangan bercukur kalau istri hamil, nanti anaknya tidak selamat ‘Jangan bercukur kalau istri hamil, nanti anaknya tidak selamat’ 4-30
a. Sing dadi negak di galeng, nyanan jite busul. tidak boleh duduk di bantal, nanti pantatnya bisul ‘Tidak boleh duduk di bantal, nanti pantatnya bisul’ b. Da negakin galeng, nyen busul jite. jangan menduduki bantal, nanti bisul pantatnya ‘Jangan menduduki bantal, nanti pantatnya bisul’
4.1.3.2 Ungkapan Larangan pada Lingkup Luar Keluarga (Masyarakat) Ungkapan larangan yang digunakan pada lingkup luar keluarga maksudnya adalah wacana larangan yang pemakaiannya ditujukan untuk orang banyak atau masyarakat. Contohnya adalah sebagai berikut.
4-31 a. Sing dadi makutu di jalan, nyen kalah bebotohe. tidak boleh mencari kutu di jalan, nanti kalah penjudi ’Tidak boleh mencari kutu di jalan, nanti penjudi kalah’ b. Da makutu di jalan, nyen kalah bebotohe jangan mencari kutu di jalan, nanti kalah penjudi ’Jangan mencari kutu di jalan, nanti penjudi kalah’ 4-32 a. Da nakonin anak maluasang, nyen paling anake jangan menanyai orang pergi ke orang pintar, nanti bingung orangnya ’Jangan menanyai orang pergi ke orang pintar, nanti bingung orangnya’ b. Sing dadi nakonin anak maluasang, nyen paling tidak boleh menanyai orang pergi ke orang pintar, nanti bingung anake orangnya ’Tidak boleh menanyai orang pergi ke orang pintar, nanti bingung orangnya’ Ungkapan larangan (4-31) dan (4-32) di atas adalah data ungkapan larangan lisan. Contoh (4-31) merupakan ungkapan larangan mencari kutu di
57
jalan. Ungkapan larangan ini ditujukan kepada ibu-ibu yang suka mencari kutu di jalan. Ungkapan larangan ini muncul karena pada zaman dahulu masyarakat petani khususnya para ibu sering mencari kutu di jalan. Mereka berkumpul untuk mengisi waktu luang di tempat teduh di pinggir jalan. Ungkapan larangan ini ditujukan untuk orang banyak (ibu-ibu) dan lingkup pemakaiannya di luar keluarga sehingga dikelompokkan ke dalam ungkapan larangan lingkup luar keluarga atau masyarakat (ulasan lebih lengkap data ini disajikan halaman 104-105). Demikian juga, yang terjadi pada contoh (4-32). Ungkapan larangan tidak menanyai seseorang yang akan bertanya kepada orang pintar (meluasang) ini ditujukan kepada masyarakat umum. Artinya, ungkapan larangan itu tidak ditujukan kepada orang per orang, tetapi kepada siapa pun yang bertemu dengan orang meluasang. Di samping berupa data lisan, ungkapan larangan yang termasuk kelompok luar keluarga atau masyarakat juga ditemukan dalam data tulis seperti berikut ini. 4-33
4-34
4-35
Tan wenang nanem utawi nunjel sawa miwah awak-awakan sawa tidak diizinkan mengubur atau membakar mayat serta perwujudnnya ring karang paumahan. (ADABTK-Pawos 38-1) di halaman rumah ’Tidak diizinkan mengubur atau membakar mayat serta perwujudannya di halaman rumah’ Tan wenang ngentungang lulu ke pekarangan anak lian tidak diizinkan membuang sampah ke halaman orang lain kalih ke margi. (ADAJ-Pawos 32-d). dan ke jalan ’Tidak diizinkan membuang sampah ke halaman orang lain dan ke jalan’ Sang durung sah alaki rabi tan wenang ngelaksanayang seseorang belum sah menikah tidak diizinkan melakukan sanggraha. AKDAKA-Pawos 57-2d) kumpul kebo ’Seseorang yang belum sah menikah tidak diizinkan kumpul kebo’
58
Sebagai data tulis, contoh ungkapan larangan (4-33 s.d. 4-35) ditemukan dalam Awig-Awig. Ungkapan larangan (4-33) terdapat dalam Awig-Awig Desa Adat Batuaji Kawan, ungkpan larangan (4-34) ditemukan dalam Awig-Awig Desa Adat Jatiluwih, dan ungkapan larangan (4-35) terdapat dalam Awig-Awig Krama Desa Adat Kesiut Arca. Sebagai hukum adat tertulis, Awig-Awig tersebut berisi aturan yang mengatur anggota masyarakatnya. Demikian juga ungkapan larangan yang ada dalam sebuah Awig-Awig, ditujukan untuk anggota masyarakatnya. Dengan demikian, ungkapan larangan di atas (4-33 s.d. 4-35) termasuk ungkapan larangan yang lingkup pemakaiannya di luar keluarga.
4.1.4 Klasifikasi Ungkapan Larangan Berdasarkan Topik/Masalah Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan apabila dilihat dari topik atau masalahnya, dapat diklasifikasikan menjadi dua. Kedua jenis ungkapan larangan itu adalah (1) ungkapan larangan bertopik pertanian dan (2) ungkapan larangan bertopik umum.
4.1.4.1 Ungkapan Larangan Bertopik Pertanian Ungkapan larangan bertopik pertanian maksudnya ungkapan larangan yang diketahui dan digunakan oleh masyarakat petani yang khusus berkaitan dengan bidang pertanian dalam arti luas. Jenis ungkapan larangan ini ditemukan baik pada data lisan maupun data tulis.
Berikut disajikan beberapa contoh
ungkapan larangan yang bertopik pertanian. 4-36
a.
Da megaenang sampi di Werespati, nyen mati sampine jangan mempekerjakan sapi di hari Kamis, nanti mati sapinya
59
‘Jangan mempekerjakan sapi di hari Kamis, nanti mati sapi itu’ b.
Sing dadi megaenang sampi di Werespati, nyen mati sampine Sing dadi mempekerjakan sapi di hari Kamis, nanti mati sapinya ’Tidak boleh mempekerjakan sapi di hari Kamis, nanti mati sapinya’
4-37
Yen suba luas ke pasih jumah sing dadi nyampat, nyen pocol kalau sudah pergi ke laut di rumah tidak boleh menyapu nanti rugi pejalane perjalanannya ’Kalau sudah melaut, di rumah tidak boleh menyapu, nanti rugi perjalanannya’.
4-38
Sing dadi nandur ngemaluin pengawit, tidak boleh menanam padi mendahului waktu penanaman yen ngelanggar kene danda pecaruan di Pura Bedugul. kalau melanggar dikenai denda upacara korban di Pura Bedugul ’Tidak boleh menanam padi mendahului waktu penanaman, kalau Melanggar, kena denda upacara kurban di Pura Bedugul’
4-39 Ngicalang merana ring panegalan tan kangkat antuk ubad kimia, menghilangkan hama di ladang tidak diizinkan dengan obat kimia inggiang tata cara tradisionil sane margiang dumun, minakadi: ngejuk sebaiknya cara tradisional yang dilaksanakan dulu seperti: menangkap merana antuk maboros, lan nganggen meseh alami. hama dengan berburu dan menggunakan musuh alami (ASAMS-Pawos 24-1) ‘Membasmi hama di ladang tidak diizinkan dengan obat kimia, cara tradisional dijalankan lebih dahulu, seperti berburu dan menggunakan musuh alami’ 4-40 Tanem tuwuh wiadin wewangunan ring tegal pabianan tan dados pepohonan atau bangunan di kebun tidak boleh nyayubin abian krama pengadine. (ASAPKT-Pawos 22-2) menaungi kebun orang di samping ’Pohon-pohonan atau bangunan di kebun tidak boleh menaungi kebun orang di samping’ Ungkapan larangan (4-36 s.d. 4-40) merupakan contoh ungkapan larangan bertopik pertanian dalam arti luas. Ungkapan larangan (4-36 s.d. 4-38) merupakan data ungkapan larangan lisan, sedangkan ungkapan larangan (4-39 s.d. 4-40) adalah data ungkapan larangan tulis. Contoh (4-36) merupakan ungkapan larangan
60
mempekerjakan sapi pada hari Kamis. Ungkapan larangan ini sampai sekarang masih ditaati oleh para petani karena kalau dilanggar, akan mendatangkan bahaya bagi sapi itu.
Ungkapan larangan (4-37) ditemukan pada masyarakat petani
nelayan yang intinya melarang menyapu ketika keluarganya ada yang melaut. Contoh ungkapan larangan (4-38) berhubungan dengan pertanian basah atau di sawah. Masyarakat petani Tabanan mempunyai larangan nandur ’menanam padi’ sebelum adanya pengawit ’hari yang ditentukan untuk mulai menanam padi’. Contoh (4-39) merupakan ungkapan larangan pada pertanian kering (Subak Abian), yang diatur dalam awig-awig. Inti larangan ini adalah tidak boleh membasmi hama dengan obat-obatan kimia. Contoh (4-40) adalah ungkapan larangan yang juga ditemukan dalam Awig-Awig Subak Abian. Inti ungkapan larangan ini adalah melarang tanaman dan bangunan di kebun menaungi kebun orang lain.
4.1.4.2 Ungkapan Larangan Bertopik Umum Ungkapan larangan bertopik umum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ungkapan larangan yang membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat petani di luar bidang pertanian. Dengan kata lain, ungkapan larangan seperti ini menyangkut masalah-masalah kehidupan yang bersifat umum yang ditemukan, baik pada data lisan maupun data tulis. Contoh ungkapan larangan golongan ini adalah sebagai berikut. 4-41
Jadma sane kapastikayang panten olih prajuru tan dados seseorang yang dipastikan turun derajat oleh pemimpin tidak boleh ngeranjing ring Kahyangan Panyiwian Desa/Banjar. (ADABTKmasuk ke Pura milik Desa/Banjar
61
Pawos 12-3d) ‘Seseorang yang telah dipastikan turun derajat oleh pemimpin tidak boleh masuk ke Pura Desa/Banjar’ 4-42
Tan wenang ngentungang lulu ke pekarangan anak lian kalih ke margi. tidak diizinkan membuang sampah ke halaman orang lain dan ke jalan (ADAJ-Pawos 32-d). ‘Tidak diizinkan membuang sampah ke halaman orang lain dan ke jalan’
4-43
a. Sing dadi majujuk di obag-obag jelanan, nyen kapesilih tidak boleh berdiri di pintu nanti dijadikan siluman awake badannya ‘Tidak boleh berdiri di pintu, nanti badannya kemasukan roh’ b.
Da majujuk di obag-obag jelanan, nyen kapesilih jangan berdiri di pintu, nanti dijadikan siluman awake badannya ’Jangan berdiri di pintu, nanti badanmu kemasukan roh’
4-44 a. Sing dadi nguyak banyu, nyan guntingan awake. tidak boleh bermain air cucian beras, nanti bintil-bintil badannya ’Tidak boleh bermain air cucian beras, nanti badan bintil-bintil’ b. Da nguyak banyu, nyan guntingan awake. da bermain air cucian beras, nanti bintil-bintil badannya ’Jangan bermain air cucian beras, nanti badan bintil-bintil’ 4-45 a.
Yen ngajeng de ngambelin piring, nyen teka memedine. apabila makan jangan memukul piring nanti datang lelembut ’Apabila mau makan, jangan memukul piring, nanti lelembut datang’
b. Sing dadi ngambelin piring yen ngajeng, nyen teka memedine. tidak boleh memukul piring apabila makan, nanti datang lelembut’ ’Tidak boleh memukul piring apabila makan, nanti lelembut datang’ Kelima contoh ungkapan larangan di atas membicarakan berbagai masalah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam wacana larangan bertopik umum. Contoh (4-41) membicarakan larangan bagi seseorang yang turun derajat masuk ke Pura Desa/Banjar (Tri Kahyangan). Artinya, seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki berkasta lebih
62
rendah disebut jadma panten dan sebelum yang bersangkutan diupacarai resmi sesuai dengan ketentuan agama Hindu (Widhi Widana) tidak dibolehkan masuk ke Pura Desa/Banjar (Tri Kahyangan). Contoh (4-42) merupakan ungkapan larangan yang membicarakan masalah kebersihan dan lingkungan. Pada contoh itu disebutkan tidak dibolehkan membuang sampah ke pekarangan orang lain dan ke jalan. Jadi, intinya larangan itu bertujuan agar masyarakat menjaga kebersihan lingkungannya. Masalah lain di samping dua contoh di atas ditemukan pada contoh (4-43 s.d. 4-45). Contoh (4-43)
merupakan larangan untuk berdiri di pintu karena
berbahaya bagi yang bersangkutan. Topiknya berkaitan dengan masalah mistis. Topik lain juga ditemukan pada contoh (4-44) dan (4-45) yang masing-masing membicarakan larangan bermain air cucian beras dan memukul piring saat akan makan. Artinya,
contoh
(4-44) dan 4-45) intinya adalah masalah etika sopan
santun dalam keluarga.
4.2 Pemarkah Ungkapan Larangan Berdasarkan konsep larangan yang telah dikemukakan pada Bab II, dapat dikatakan bahwa larangan menyangkut masalah
sikap penutur atau sikap
pembicara terhadap tuturan yang disampaikannya. Artinya, larangan itu digunakan untuk menyatakan ekspresi hubungan antara penutur dan petutur. Karena berkaitan dengan sikap penutur, pembahasan pemarkah ungkapan larangan menggunakan konsep modus dan modalitas sebagai pijakan.
63
Seperti telah disebutkan di depan, ada beberapa jenis modus, yaitu (a) modus desideratif adalah modus yang menyatakan keinginan, (b) modus imperatif adalah modus yang menyatakan perintah atau larangan, (c) modus indikatif adalah modus yang menyatakan sikap objektif atau netral, (d) modus interogatif adalah modus yang menyatakan pertanyaan, (e) modus operandi adalah modus yang menyatakan cara atau teknik yang berciri khusus, dan (f) modus optatif adalah modus yang menyatakan harapan. Berdasarkan jenis modus tersebut, ungkapan larangan termasuk modus imperatif, yaitu modus yang menyatakan perintah atau larangan. Ungkapan larangan yang berupa modus imperatif ditemukan, baik pada ungkapan larangan yang tidak disertai akibat maupun yang disertai akibat. Ungkapan larangan yang berupa modus imperatif memiliki pemarkah atau penanda larangan berupa verba bantu modal (modalitas). Untuk mengetahui pemarkah modalitas dalam ungkapan larangan bermodus imperatif, berikut ditampilkan kembali beberapa contoh yang telah disebutkan di depan. 4-46
Sing dadi marengin anak ngiwitin nandur. tidak boleh mengikuti orang mulai menanam padi ‘Tidak boleh mengikuti orang mulai menanam padi’
4-47
Da mula gedang renteng di pekarangan. jangan menanam pepaya “renteng” di halaman rumah ’Jangan menanam pepaya “renteng” di halaman rumah’ Apabila dicermati pemarkahnya, uangkapan larangan (4-46) dan (4-47)
mempunyai pemarkah modalitas. Akan tetapi, bentuknya berbeda antara ungkapan larangan (4-46) dan (4-47). Pemarkah modalitas ungkapan larangan (446) berupa frasa ingkar sing dadi ‘tidak boleh’, sedangkan pemarkah modalitas
64
ungkapan larangan (4-47) berupa kata imperatif da ‘jangan’. Pemarkah modalitas yang berupa frasa ingkar sing dadi ‘tidak boleh’ akan membentuk kalimat deklaratif, sedangkan pemarkah modalitas berupa kata imperatif da ‘jangan’ akan membentuk kalimat imperatif. Pemarkah modalitas yang berupa frasa ingkar sing dadi ‘tidak boleh’ mempunyai beberapa varian, yaitu tan wenang ‘tidak boleh’, tan kangkat ‘tidak diizinkan’, dan tan kepatutang ‘tidak dibenarkan’. Varian tersebut dapat dilihat pemakaiannya pada contoh ungkapan larangan berikut. 4-48
4-49
Sing dadi ngajeng tipat akelan. tidak boleh makan ketupat enam biji ’Tidak boleh makan ketupat enam biji Kulkul Subak Abian tan wenang katepak sajawaning wenten kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul kecuali ada pancabaya utawi pituduh prajuru. (ASAPKT-Pawos 14-2) marabahaya atau perintah pemimpin ’Kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul, kecuali ada marabahaya atau perintah pemimpin’
4-50 Taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos ngenaungin pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi utawi ngungkulin pisaga. (ASAMS-Pawos 21-2) atau mengatasi tetangga ’Pohon-pohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi atau mengatasi tetangga’ 4-51
Sing dadi nektek adegan, nyanan mati dagang uyahe. tidak boleh memotong tiang nanti mati pedagang garam ’Tidak boleh memotong tiang rumah, nanti pedagang garam meninggal’
4-52
Yen kurenan beling sing dadi magunting, apang panake rahayu. kalau istri hamil tidak boleh bercukur, agar anak selamat ‘Kalau istri sedang hamil, tidak boleh bercukur agar anak selamat’
4-53
Da melali kali tepet, nyen pelaibang memedi. jangan bermain siang hari nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain siang hari, nanti dilarikan lelembut’
65
4-54
Ring pasubakan tan wenang wenten barang sane leteh di areal subak tidak boleh ada barang yang kotor secara spiritual manut tatwa Agama Hindu. Yan wenten Wong mamurub wenang sesuai aturan Agama Hindu. Apabila ada orang melanggar harus marisuda manut Desa Kala Patra. (ASSR-Pawos 23) membersihkan sesuai aturan yang berlaku ’Di areal subak tidak boleh ada barang yang kotor secara spiritual sesuai dengan aturan agama Hindu’
4-55
Saluwiring wewangungan tan kepatutang nyayubin kapisaga, setiap bangunan tidak dibenarkan menaungi ke tetangga prade wenten nyayubin, risampun kesadokang ring prajuru apabila ada menaungi setelah dilaporkan ke pemimpin adat keni pamidanda manut pararem. (ADABTK-Pawos 39-1) kena denda sesuai kesepakatan ’Setiap bangunan tidak dibenarkan menaungi tetangga, apabila ada menaungi, setelah dilaporkan ke pemimpin adat kena denda sesuai dengan kesepakatan’ Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa ungkapan larangan
merupakan modus imperatif karena menyatakan perintah atau larangan. Ungkapan larangan bermodus imperatif memiliki pemarkah berupa verba bantu modal (modalitas), yaitu kata imperatif negatif da ’jangan’ dan frasa ingkar sing dadi ’tidak boleh’ beserta variannya.
4.3 Bentuk Ungkapan Larangan Bentuk mencakup aspek struktur linguistik atau struktur bahasa (struktur lingual) dari tataran paling rendah sampai dengan tataran paling luas, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana, yang membentuk suatu tuturan yang utuh dalam satu tindak bicara. Jadi, bentuk ungkapan larangan maksudnya adalah struktur ungkapan larangan yang bisa berupa morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat.
66
Bentuk ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan ditemukan berupa kalimat. ”Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual dan potensial terdiri atas klausa” (Kridalaksana, 2008: 103). Di samping itu, Alwi dkk. (2003:311)
menyatakan
”Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh”. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya, baik perpaduan maupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!). Lebih lanjut Alwi dkk. (2003: 336) menjelaskan bahwa jenis kalimat dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, yaitu (a) jumlah klausa, (b) bentuk, (c) kelengkapan unsur, dan (d) susunan subjek dan predikat. Pertama, berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kedua, berdasarkan bentuknya, kalimat dibagi menjadi (1) kalimat deklaratif atau kalimat berita, (2) kalimat imperatif atau kalimat perintah, (3) kalimat interogatif atau kalimat tanya, dan (4) kalimat eksklamatif atau kalimat seruan. Ketiga, berdasarkan kelengkapan unsurnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat lengkap atau kalimat mayor dan kalimat tidak lengkap atau aklimat minor. Keempat, kalimat dibedakan berdasarkan susunan subjek dan predikatnya yang melahirkan kalimat berpola biasa (S + P) dan kalimat berpola inversi (P + S).
67
4.3.1 Jenis Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan, ditemukan baik berupa kalimat tunggal maupun kalimat majemuk. Kedua jenis kalimat tersebut dijelaskan di bawah ini.
4.3.1.1 Ungkapan Larangan Berbentuk Kalimat Tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa (Alwi dkk., 2003: 338 ; Kridalaksana, 2008: 106). Lebih lanjut dijelaskan bahwa walaupun kalimat tunggal hanya terdiri atas satu klausa, itu tidak berarti kalimat tunggal selalu berwujud pendek. Kalimat tunggal juga bisa berwujud panjang. Berdasarkan pengertian kalimat tunggal di atas, ungkapan larangan dalam bentuk kalimat tunggal ditemukan pada data ungkapan larangan, baik lisan maupun tulis. Ungkapan larangan berbentuk kalimat tunggal dapat disimak pada data berikut. 4-56
Da ngajeng tipat akelan jangan makan ketupat enam buah ’Jangan makan ketupat enam buah’ Ungkapan larangan (4-56) ditemukan dalam data ungkapan larangan lisan.
Ungkapan larangan tersebut merupakan kalimat tunggal karena terdiri
atas
sebuah klausa. Klausa yang dimaksud adalah da ngajeng tipat akelan ’ tidak boleh makan ketupat enam buah’. Ungkapan larangan (4-56) berbentuk kalimat imperatif yang terdiri atas fungsi P dan O. P berupa frasa verbal da ngajeng ’jangan makan’ dan O berupa
68
frasa nominal tipat akelan ’ketupat enam buah’. Sebagai kalimat imperatif, fungsi gramatikal S memang tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui, yaitu lawan bicara atau petutur. Oleh karena itu, kalimat tunggal di atas terkesan pendek. Di samping contoh di atas, berikut disajikan contoh ungkapan larangan berbentuk kalimat tunggal yang lebih panjang. 4-57 Tenem tuwuh wiadin wewangunan ring tegal pabianan tan dados tanaman atau bangunan di ladang perkebunan tidak boleh nyayubin abian krama pengadine. (ASAPKT-Pawos 22-2) menaungi kebun warga tetangga ’Tanaman atau bangunan di perkebunan tidak boleh menaungi kebun warga tetangga’ Ungkapan larangan (4-57) juga merupakan contoh wacana larangan yang berbentuk kalimat tunggal karena hanya terdiri atas satu klausa. Akan tetapi, klausanya lebih panjang apabila dibandingkan dengan contoh (4-56). Kalimat (457) adalah kalimat deklaratif yang memiliki fungsi gramatikal S, P, dan O. S kalimat (4-57) berupa frasa nominal, yaitu tenem tuwuh wiadin wewangunan ring tegal pabianan ’tanaman atau bangunan di ladang perkebunan’ dan P berupa frasa verbal, yaitu tan dados nyayubin ’tidak boleh menaungi’. P kalimat tersebut diikuti oleh frasa nominal abian krama pengadine ’kebun warga tetangga’ yang berfungsi sebagai O. Dengan kata lain, P kalimat (4-57) adalah berupa frasa verbal aktif transitif karena diikuti oleh O. Jadi, kalimat (4-57) merupakan contoh ungkapan larangan dalam bentuk kalimat tunggal aktif transitif.
69
4.3.1.2 Ungkapan Larangan Berbentuk Kalimat Majemuk Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan di samping berbentuk kalimat tunggal juga ditemukan dalam bentuk kalimat majemuk. Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas beberapa klausa (Alwi dkk., 2003: 337 ; Verhaar, 2010: 275). Hubungan antarklausa dalam kalimat majemuk ada yang bersifat koordinatif dan ada yang subordinatif. Hubungan koordinatif maksudnya hubungan antarklausa yang sejajar atau setara dan menghasilkan kalimat majemuk setara. Hubungan subordinatif adalah hubungan antarklausa yang tidak sejajar atau salah satu klausa menjadi bagian klausa yang lain. Hubungan ini melahirkan kalimat majemuk bertingkat (Alwi dkk., 2003: 386--389). Ungkapan larangan yang berbentuk kalimat majemuk setara dapat dilihat pada data berikut. 4-58
Taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai ngenaungin utawi ngungkulin pisaga. (ASAMS-Pawos 21-2) menaungi atau mengatasi tetangga ’Pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan manungi atau mengatasi tetangga’ Kalimat (4-58) adalah kalimat majemuk yang terdiri atas dua klausa.
Klausa pertama adalah taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos ngenaungin pisaga ’pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai menaungi tetangga’ dan klausa kedua adalah taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos ngungkulin pisaga ’pepohonan khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai mengatasi tetangga’. Hubungan kedua klausa itu setara, karena keduanya merupakan klausa inti. Kedua klausa tersebut dihubungkan oleh
70
konjungi setara utawi ’atau’. Karena hubungan kedua klausa yang membentuk kalimat majemuk
(4-58) bersifat koordinatif atau setara, kalimat itu disebut
kalimat majemuk setara. Dalam klausa pertama dan klausa kedua terdapat unsur-unsur yang sama sehingga saat digabungkan dengan konjungsi utawi ’atau’ terjadi perapatan. Artinya, ketika dibentuk kalimat majemuk dari dua klausa tersebut, unsur-unsur yang sama hanya disebutkan sekali. Unsur yang sama pada klausa pertama dan klausa kedua adalah taneman tuwuh pamekas ring wates tan kangkat nyantos ’pepohonan
khususnya di perbatasan tidak diizinkan sampai’ dan pisaga
’tetangga’. Di samping berupa kalimat majemuk setara, ungkapan larangan juga ditemukan dalam bentuk kalimat majemuk bertingkat. Disebut kalimat majemuk bertingkat karena salah satu klausa pembentuknya merupakan klausa inti dan yang lain merupakan klausa bawahan. 4-59 Kulkul Subak Abian tan wenang katepak sajawaning wenten kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul kecuali ada kapancabaya utawi pituduh prajuru (ASAPKT-Pawos 14-2) marabahaya atau perintah pemimpin ‘Kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul kecuali ada marabahaya atau perintah pemimpin’ Kalimat (4-59) terdiri atas dua klausa, yaitu kulkul Subak Abian tan wenang katepak ‘kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul’ dan sajawaning wenten kapancabaya utawi pituduh prajuru ‘kecuali ada marabahaya atau perintah pemimpin’. Kedua klausa tersebut digabungkan dengan konjungsi sajawaning ‘kecuali’ yang termasuk konjungsi tidak setara. Setelah digabungkan, kedudukan keduanya tidak sama atau tidak sejajar. Klausa pertama, yaitu kulkul
71
Subak Abian tan wenang katepak ‘kentongan Subak Abian tidak boleh dipukul’ merupakan klausa utama atau klausa inti, sedangkan klausa kedua, yaitu sajawaning wenten kapancabaya utawi pituduh prajuru ‘kecuali ada marabahaya atau perintah pemimpin’ merupakan klausa bawahan yang keberadaannya bergantung pada klausa utama atau klausa inti. Karena hubungan antarklausa dalam kalimat (4-59) bersifat tidak sejajar atau subordinatif, kalimat itu digolongkan ke dalam kalimat majemuk bertingkat. Di samping kalimat (4-59) di atas, ungkapan larangan berbentuk kalimat majemuk bertinggkat dapat disimak pada kalimat (4-60) berikut. 4-60 Da melali kali tepet, nyen pelaibang memedi. jangan bermain tengah hari nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain tengah hari, nanti dilarikan lelembut’ Kalimat (4-60) terdiri atas dua klausa, yaitu klausa da melali kali tepet ’jangan bermain tengah hari’ dan klausa nyen plaibang memedi ’nanti dilarikan lelembut’. Hubungan kedua klausa tersebut bersifat subordinatif dan menyatakan sebab akibat. Klausa pertama menyatakan sebab dan klausa kedua adalah akibatnya. Klausa pertama merupakan inti dan klausa kedua merupakan bawahan. Ini terbukti karena klausa pertama bisa berdiri sendiri sebagai kalimat imperatif, sedangkan klausa kedua tidak. Klausa kedua sangat bergantung pada klausa pertama. Jadi, hubungan antara klausa pertama dan kedua tidak setara atau subordinatif sehingga kalimat (4-60) juga disebut kalimat majemuk bertingkat atau kalimat majemuk tidak setara.
72
4.3.2 Jenis Kalimat Berdasarkan Bentuk Berdasarkan bentuknya kalimat dibagi menjadi (1) kalimat deklaratif atau kalimat berita, (2) kalimat imperatif atau kalimat perintah, (3) kalimat interogatif atau kalimat tanya, dan (4) kalimat eksklamatif atau kalimat seruan. Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan ditemukan dalam bentuk kalimat deklaratif dan kalimat imperatif.
4.3.2.1 Ungkapan Larangan Berbentuk Kalimat Deklaratif Kalimat deklaratif atau kalimat berita adalah kalimat yang digunakan oleh penutur atau penulis untuk membuat pernyataan. Oleh karena itu, kalimat ini merupakan berita atau informasi bagi petutur atau pembacanya (Alwi dkk., 2003: 353). Ungkapan larangan yang berbentuk kalimat deklaratif atau kalimat berita dapat disimak pada contoh berikut. 4-61
Sato ageng ngawit saking bawi lantur ring satone agengan hewan besar mulai dari babi sampai dengan hewan yang lebih besar ten dados ngeranjing ring Kahyangan Panyiwian Desa/Banjar. tidak boleh masuk ke Pura Desa/banjar (ADABTK-Pawos 12-3e) ‘Hewan besar mulai dari babi sampai hewan yang lebih besar tidak boleh masuk ke Pura Desa/Banjar’
4-62
Kulkul Desa miwah Banjare tan wenang katepak yan tan manut Kentongan desa atau banjar tidak boleh dipukul apabila tidak sesuai kadi daging awig-awig. (ADAJ Pawos 43-a) seperti isi peraturan adat ‘Kentongan desa atau banjar tidak boleh dipukul apabila tidak sesuai seperti isi peraturan adat’ Ungkapan larangan (4-61) dan (4-62) di atas dikategorikan sebagai kalimat
berita karena kedua kalimat itu isinya bersifat informasi. Kedua kalimat tersebut merupakan data ungkapan larangan tulis. Kalimat (4-61) ditemukan dalam Awig-
73
Awig Desa Adat Batuaji Kawan, Pawos 12 butir 3e sedangkan kalimat (4-62) terdapat dalam Awig-Awig Desa Adat Jatiluwih, Pawos 43-a. Kalimat (4-61) berisi informasi tentang larangan hewan besar mulai dari babi sampai dengan hewan yang lebih besar masuk Pura Desa/Banjar. Informasi itu ditujukan kepada anggota masyarakat Desa Adat Batuaji Kawan karena dituangkan dalam Awig-Awig Desa Adat tersebut. Harapannya, anggota masyarakatnya mengatahui informasi larangan tersebut. Kalimat (4-62) juga berupa kalimat berita. Informasinya adalah mengenai larangan memukul kentongan desa/banjar apabila tidak sesuai dengan awig-awig ’peraturan adat’. Sebagai informasi, tujuannya
memberitahukan anggota
masyarakat Desa Adat Jatiluwih, dengan harapan mereka menjadi tahu akan informasi yang terdapat dalam kalimat tersebut. Apabila dilihat dari kelengkapan unsurnya, kedua kalimat deklaratif di atas (4-61 dan 4-62) termasuk kalimat lengkap. Hal ini disebabkan, kedua kalimat tersebut memenuhi syarat sebagai kalimat lengkap, yaitu kalimat yang memiliki S dan P sebagai fungsi inti sebuah kalimat (Alwi dkk., 2003: 363 ; Kridalaksana, 2008: 105). Artinya, sebuah kalimat dikatakan kalimat lengkap apabila di dalamnya terdapat unsur S dan P baik yang diikuti oleh O maupun yang tidak. Hal ini bisa dijelaskan seperti berikut ini. Kalimat (4-61) terdiri atas fungsi gramatikal S, P, dan K. S berupa frasa nominal, yaitu sato ageng ngawit saking bawi lantur ring satone agengan ’hewan besar mulai dari babi sampai dengan hewan yang lebih besar’, P berupa frasa verbal, yaitu ten dados ngeranjing ‘tidak boleh masuk’, dan K berupa frasa depan
74
(frasa preposisi), yaitu ring Kahyangan Penyiwian Desa/Banjar ‘ke Pura Desa/Banjar’. Kalimat (4-62) juga terdiri atas fungsi gramatikal S, P, dan K. S berupa frasa nominal, yaitu kulkul Desa miwah Banjare ’kentongan desa atau banjar’, P berupa frasa verbal, yaitu tan wenang katepak ’tidak boleh’, dan K berupa frasa, yaitu yan tan manut kadi daging awig-awig ’apabila tidak sesuai seperti isi peraturan adat’. Di samping berupa kalimat lengkap, ungkapan larangan yang berbentuk kalimat deklaratif ditemukan juga berupa kalimat tidak lengkap. Kalimat tidak lengkap pada dasarnya adalah kalimat yang tidak ada subjek dan/atau predikatnya. Hal itu biasa terjadi di dalam wacana karena unsur yang tidak muncul itu sudah diketahui atau disebutkan sebelumnya (Alwi dkk., 2003: 363). Hal ini dapat dilihat pada data ungkapan larangan berikut. 4-63
Sing dadi ngecuhin timpal, nyen kadengan awake. tidak boleh meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat badannya’ ’Tidak boleh meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat di badan’
4-64
Yan mendem sawa, tan dados nginepang bangbang. kalau mengubur mayat, tidak boleh menginapkan lubang kubur (AKDAKA-Pawos 16-1a) ’Kalau mengubur mayat, tidak boleh menginapkan lubang kubur’ Ungkapan larangan (4-63) dan (4-64) merupakan kalimat deklaratif karena
keduanya berisi informasi yang disampaikan kepada lawan bicara atau pembaca. Kalimat (4-63) merupakan data ungkapan larangan lisan yang berisi informasi tentang larangan meludahi teman. Informasi ini disampaikan oleh penutur kepada petutur dengan harapan petutur mengetahui larangan tersebut yang juga disertai akibat yang ditimbulkannya. Kalimat (4-64) merupakan data ungkapan larangan tulis yang terdapat dalam Awig-Awig Krama Desa Adat Kesiut Arca, Pawos 16,
75
butir 1a, yang berisi informasi tentang larangan menginapkan lubang kubur apabila mengubur mayat. Informasi ditujukan kepada anggota masyarakat Desa Adat Kesiut Arca dengan tujuan mereka mengetahui informasi larangan tersebut. Kalimat (4-63) memiliki fungsi gramatikal P, O, dan K. P berupa frasa verbal, yaitu sing dadi ngecuhin ’tidak boleh meludahi’, O terdiri atas sebuah kata, yaitu kata timpal ’teman’, dan K berupa sebuah frasa, yaitu nyen kadengan awake ’nanti tumbuh tahi lalat badannya’. Fungsi gramatikal kalimat (4-64) adalah K, P, dan O. K berupa klausa, yaitu yan mendem sawa ’kalau mengubur mayat’, P berupa frasa verbal, yaitu tan dados nginepang ’tidak boleh menginapkan’, dan O terdiri atas sebuah kata, yaitu bangbang ’lubang kubur’. Kedua kalimat di atas (4-63 dan 4-64) tidak memiliki fungsi gramatikal S. Oleh karena itu, kedua kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang tidak lengkap. Walaupun S tidak disebutkan secara tersurat, keberadaannya secara tersirat sudah diketahui bahwa yang dimaksudkan adalah lawan bicara atau pembaca. Berdasarkan paparan di atas, ungkapan larangan (4-61 s.d. 4-64) berupa pernyataan atau informasi yang disampaikan kepada petutur atau pembaca dengan harapan mereka mengetahui informasi tersebut. Oleh karena itu, kalimat-kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif. Pemarkah ungkapan larangan pada kalimat-kalimat tersebut berupa modalitas frasa ingkar sing dadi ’tidak boleh’ atau variannya. Di samping isinya menyampaikan informasi, kedua kalimat di atas juga memenuhi ciri fisik kalimat berita. Ciri fisik yang dimaksud adalah dalam bentuk tulis kalimat itu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda
76
titik (.), sedangkan bentuk lisan suara berakhir dengan nada turun (Alwi, dkk. 2003: 353).
4.3.2.2 Ungkapan Larangan Berbentuk Kalimat Imperatif Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung intonasi imperatif dan pada umumnya mengandung makna perintah atau larangan (Kridalaksana, 2008: 104, Alwi dkk., 2003: 353). Sejalan dengan pendapat tersebut, Rahardi (2000: 77) menyatakan bahwa kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh si penutur. Oleh karena itu, kalimat imperatif dapat berupa suruhan yang sangat kasar, permohonan yang sangat halus atau santun, suruhan untuk melakukan sesuatu, dan larangan untuk tidak melakukan sesuatu. Ungkapan larangan yang berbentuk kalimat imperatif dapat disimak pada kalimat-kalimat berikut.
4-65
Da magunting yen ngelah kurenan beling, nyen panake sing rahayu! jangan bercukur kalau punya istri hamil, nanti anaknya tidak selamat ‘Jangan bercukur kalau mempunyai istri hamil, nanti anak tidak selamat’
4-66 Da luas ke pasih yen odalan di Pura Segara! jangan pergi ke laut kalau upacara keagamaan di Pura Segara ‘Jangan melaut kalau uapacara keagamaan di Pura Segara’ Kedua kalimat di atas (4-65) dan (4-66) merupakan ungkapan larangan berbentuk kalimat imperatif. Hal ini disebabkan oleh kedua kalimat tersebut mengandung maksud memerintah atau melarang.
Artinya, kalimat-kalimat di
atas digunakan untuk memerintah atau melarang seseorang atau orang lain untuk
77
melakukan sesuatu, seperti yang dimaksudkan dalam kalimat-kalimat tersebut. Kedua kalimat itu menggunakan pemarkah modalitas kata imperatif negatif da ’jangan’. Pada contoh (4-65) penutur memerintah atau melarang petutur untuk melakukan suatu aktivitas yang dalam hal ini adalah memotong rambut /bercukur apabila mempunyai istri sedang hamil. Ungkapan larangan dalam bentuk perintah tersebut juga disertai dengan akibat yang ditimbulkan apabila larangan itu dilanggar. Hal yang sama juga terdapat pada contoh (4-66). Artinya, penutur memerintah atau melarang petutur untuk melakukan aktivitas, yaitu melaut apabila ada upacara di Pura Segara. Akan tetapi, contoh (4-66) tidak menyebutkan akibat yang ditimbulkan apabila larangan itu dilanggar. Ungkapan larangan berbentuk kalimat imperatif juga dapat disimak pada data berikut ini. 4-67 Da nektek adegan, nyen mati dagang uyahe jangan memotong tiang, nanti mati pedagang garam ’Jangan memotong tiang, nanti mati pedagang garam’ 4-68 Da negakin galeng, nyen busul jite jangan menduduki bantal, nanti bisul pantatnya ’Jangan menduduki bantal, nanti bisul pantatnya’ 4-69 Da melali kali tepet, nyen plaibang memedi jangan bermain tengah hari, nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain tengah hari, nanti dilarikan lelembut’
4.3.3 Kalimat Berdasarkan Susunan Subjek dan Predikat Susunan subjek dan predikat yang dimaksudkan di sini adalah urutan keduanya dalam sebuah kalimat. Secara umum kalimat dalam bahasa Indonesia
78
mengikuti pola (a) subjek, (b) predikat, (c) objek (jika ada), dan (d) pelengkap (jika ada). Akan tetapi, ada kalimat yang predikatnya selalu mendahului subjek. Berdasarkan urutan itulah kemudian kalimat dibedakan menjadi kalimat berpola biasa ( S + P) dan kalimat berpola inversi ( P + S) (Alwi dkk., 2003: 363--364). Berdasarkan data yang ada, ungkapan larangan hanya ditemukan dalam pola biasa, yaitu S selalu mendahului P. Ungkapan larangan yang berbentuk kalimat dengan pola biasa ditemukan pada data tertulis. Hal ini disebabkan oleh ungkapan larangan yang memiliki unsur subjek S dan P ditemukan pada data tertulis. Contohnya adalah sebagai berikut. 4-70 Silih sinunggil warga subak abian tan dados ngudik wates pabian. (ASAJ-Pawos 23-1 ’Setiap warga Subak Abian tidak boleh merusak batas kebun’ 4-71 Sahanan rerancangan tan wenang kelaksanayang sebanen kapikukuhan antuk pemutus paruman Desa/Banjar manut dudonan (AKDAKA-Pawos 29-2) ’Setiap rancangan tidak boleh dilaksanakan sebelum dikukuhkan dengan keputusan rapat desa/banjar sesuai dengan aturan’ Ungkapan larangan pada kalimat (4-70) terdiri atas unsur S yang berupa frasa nominal, yaitu silih sinunggil warga
subak abian ‘setiap warga subak
abian’, unsur P berupa frasa verbal ten dados ngudik ‘tidak boleh merusak’, dan unsur O berupa frasa nominal wates pabian ‘batas kebun’. Secara posisi S mendahului P sehingga disebut kalimat berpola biasa. Pola seperti
ini juga
terdapat pada kalimat (4-71). S kalimat (4-71) berupa frasa nominal sahanan rerancangan ‘setiap rancangan’ barada di depan predikatnya (P) yang berupa frasa verbal tan wenang kelaksanayang ‘tidak boleh dilaksanakan’. Kalimat (471) juga memiliki K, yaitu sebanen kapikukuhan antuk pemutus paruman
79
Desa/Banjar manut dudonan ‘sebelum dikukuhkan dengan keputusan rapat desa/banjar sesuai dengan aturan’. Berdasarkan analisis kalimat (4-70) dan (4-71) dapat diketahui bahwa ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan hanya memiliki pola biasa, yaitu S selalu mendahului P. Kalimat (4-70) berpola S + P + O, sedangkan kalimat (4-71) berpola S + P + K.