BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN BEKERJA PADA HARI MINGGU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELONGUANE E. Hari Minggu Sebagai Hari Yang Disakralkan Larangan bekerja pada hari Mingu merupakan aturan adat yang memiliki keunikan tersendri. Jika dilihat dalam kehidupan masyarakat Melonguane sebagai ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud larangan tersebut yang tetap eksis dan dipatuhi sebagai sebuah aturan adat sungguh merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Di Melonguane pemeluk agama Kristen memiliki persentasi lebih tinggi dibanding pemeluk agama lain. Jika ditelusuri dari sejarah, terlihat bahwa munculnya praturan adat larangan bekerja pada hari Minggu berawal dari masuknya agama Kristen. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas E. O‟Dea bahwa agama dapat memberikan standar nilai dalam suatu masyarakat, mempertahankan dominasi kepentingan dan tujuan kelompok diatas individu dan kedisiplinan kelompok diatas dorongan hati individu.102 Larangan bekerja pada hari Minggu diadopsi oleh masyarakat Melonguane yang sejak abad ke-16 sudah banyak memeluk agama Kristen. Pengaruh
Kekristenan
ini
membentuk
pola
adat
yang
kemudian
diimpelementasikan dalam kehidupan praksis masyarakat Melonguane. Sebagaimana 102
Bdk. Thomas E. O’Dea, (Sosiologi Agama: Suatu Pengantar), hal. 23.
yang dikatakan oleh J. Prins bahwa dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh satu agama memiliki pengaruh besar dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya ia juga mengatakan, agama mempunyai pengaruh besar dalam menentukan bagaimana bunyi hukum dalam suatu masyarakat.103 Larangan bekerja pada hari minggu diberlakukan semenjak masuknya kekristenan di Melonguane yang tetap dipertahankan hingga sekarang tentunya dipahami dari ajaran Kristen itu sendiri. Bagi umat Kristen Minggu merupakan hari yang kudus karena memperingati hari kebangkitan Kristus yakni hari ketiga setelah kematian. Sabat itu sendiri dalam Perjanjian Lama dipahami sebagai hari perhentian Allah dalam melakukan proses penciptaan. Demikianpun karena Allah memberkati hari sabat dan menyucikannya, maka manusia pun harus melakukan hal yang sama terhadap Sabat-Nya. Hari Minggu bagi orang-orang Kristen di melonguane diberikan pengertian sabat karena dijadikan sebagai hari untuk beristirahat dari pekerjaan hingga membentuk konsep larangan bekerja pada hari Minggu, yang diberlakukan secara turun-temurun. Pengaruh kekristenan begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Melonguane. Hal ini dapat dipelajari semenjak kekristenan masuk di Sangir-Talaud sekitar tahun 1859, dimana masyarakat setempat diajak oleh para Zendeling agar seluruh anggota memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Ibadah hari Minggu adalah ibadah yang dikhususkan untuk persekutuan dalam rangka mengumpulkan orang-orang Kristen di
103
Bdk. J. Prins,Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat,(Jakarta: BHRATARA, 1973). 5
tempat itu, dengan tujuan membawa orang-orang kepada kehidupan kekristenan yang memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup.104 Masuknya kekristenan di Sangir-Talaud membawa pengaruh yang kuat bagi kehidupan masyarakat Melonguane. Kebiasaan beribadah pada hari Minggu dalam pengajaran Kristen yang diberikan oleh para Zendeling ternyata dikemudian hari membentuk sebuah kebiasaan. Yang selanjutnya ditetapkan sebagai peraturan adat, bahwa hari Minggu adalah hari beristirahat dari segala aktivitas kecuali kegiatan ibadah dan kegiatan sosial. Dalam peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu terdapat pemisahan hari yang mengandung unsur sakral dan profan. Hal ini Nampak ketika masyarakat Melonguane mensakralkan hari Minggu dan mengkhususkannya untuk kegiatan beribadah dan kegiatan sosial. Menurut Durkheim “Semua kepercayaan religius, yang sederhana maupun kompleks, memperlihatkan satu ciri umum, yaitu mensyaratkan pengklasifikasian antara yang sakral dengan yang profan. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan; hal-hal yang profan adalah hal-hal tempat larangan-larangan itu diterapkan dan harus dibiarkan berjarak dari hal-hal yang sakral.” Dengan demikian, dunia Yang Sakral merupakan bagian terpisah dari dunia Yang Profan. Yang Profan tidak dapat memasuki dunia Yang Sakral. Karena, apabila Yang Profan dapat memasuki dunia Yang Sakral, maka Yang Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu itu menjadi sakral
104
Bdk. Wawancara, Samuel Maengga (Melonguane: 18 Desember 2011)
bila disakralkan oleh masyarakat tertentu.105 Demikian juga hari Minggu dianggap sebagai yang sakral dan bekerja dianggap sebagai yang profan. Jika pada hari Minggu dilaksanakan kegiatan-kegiatan seperti berdagang, bertani, berkebun, menangkap ikan dan sebagainya (hal-hal-hal yang bukan kegiatan soaial), maka hari Minggu sebagai yang sakral menjadi tercemar. Untuk menghindari timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu. Demikian pula dengan hari Minggu. Untuk menjaga kesakralannya, maka hari Minggu tidak diperbolehkan bekerja.106 Karena itulah hari Minggu telah menjadi bagian dari yang sakral dalam masyarakat Melonguane. Hal-hal yang sakral dan Profan memiliki ciri-ciri tertentu. Bagi Durkheim yang sakral
dianggap superior, sangat berkuasa, terlarang dari hubungan yang
normal, pantas mendapatkan penghormatan tertinggi, selalu melibatkan kepentingan besar yaitu kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok umat, berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut komunitas, berperan sebagai titik utama klaim yang mempengaruhi seluruh komunitas wilayah sosial. Sedangkan yang profane bersifat biasa, tidak menarik, masalah kecil, mencerminkan urusan individu sehari-hari, kegiatan dan urusan pribadi yang lebih kecil atau wilayah urusan personal.107 Uraian diatas memberi penjelasan bahwa hal-hal sakral terutama berkaitan dengan sebuah masyarakat atau menyangkut urusan komunitas, sedangkan yang
105
Emile Durkheim, The Elementry Form of Religious Life. (Terj. Joseph Word Swain), (London: George Allen & Uwin Ltd., 1976), 52 106 Elizabeth K. Notingham, AGAMA DAN MASYARAKAT: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 10 107 Emile Durkheim, The Elementry Forms…, 52
profan adalah apa yang menjadi urusan pribadi dari individu. Hari Minggu termasuk sebagai urusan komunitas yang mempengaruhi wilayah kehidupan sosial dan hari lainya sebagai yang profane karena menyangkut wilayah pribadi atau personal masing-masing. Semenjak para Zendeling datang di kepulauan Talaud mengajarkan aturan beribadah pada hari Minggu, orang-orang Kristen pada waktu itu menaati dan meneruskan pada generasi selanjutnya. Sejak itulah masyarakat Talaud menjadikan hari Minggu sebagai objek yang disakralkan. Apa yang dikatakan Emile Durkhaim mengenai sakral dan profane diinternalisasi secara taat oleh orang-orang di tempat ini dengan mengkhususkan hari Minggu sebagai hari yang istemewa dibandingkan harihari biasanya. Keberadaan larangan bekerja pada hari Minggu yang bertahan sampai sekarang dipengaruhi pula oleh jumlah pemeluk agama kristen yang menempati urutan tertinggi dari jumlah pemeluk agama lainnya, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya pada bagian awal bab ini tentunya memiliki peranan yang penting sehingga larangan bekerja pada hari Minggu menjadi bagian orang Melonguane yang tetap eksis, dihormati dan dihargai serta dipatuhi oleh seluruh masyarakat yang ada ditempat ini sebagai aturan dasar bersama dalam melestarikan warisan adat dari generasi sebelumnya. Warisan adat larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane adalah pembuktian dari pengaruh kekristenan yang kuat. Menurut Hilman Hadikusuma proses perkembangan hukum adat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor iklim dan keadaan lingkungan serta sifat watak sesuatu bangsa,
bahkan dipengaruhi oleh kepercayaan magi dan animisme peninggalan zaman leluhur, masuknya pengaruh agama dan oleh adanya kekuasaan pemerintah atasan atau dikarenakan pergaulan dengan orang-orang asing.108 Pengaruh agama khusnya agama kristen yang kuat ini telah melahirkan aturan adat larangan bekerja pada hari Minggu yang melegitimasi kekhususan hari Minggu sebagai hari istimewa dan tidak boleh disamakan atau disejajarkan dengan hari-hari biasa. Pengaruh agama Kristen secara khusus yang ada di Melonguane, telah mewariskan aturan adat bersama. Dengan adanya larangan bekerja pada hari Minggu, aturan adat tersebut diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat sebagai nilai-nilai moral yang memiliki makna mendalam, dan tak hanya dibatasi secara pemahaman Kristen yang eksklusif. Tetapi juga nilai-nilai etika dalam kehidupan bersama. Artinya larangan bekerja pada hari Minggu memiliki muatan kearifan adat untuk harmonisasi masyarakat, dengan memberikan waktu istirahat tubuh jasmani dari kelelahan bekerja selama enam hari. Kesempatan itu boleh dinikmati sebagai hari libur, beribadah, dan bersilaturahmi dengan menggunakan hari Minggu sebagai hari istirahat. Larangan bekerja pada hari Minggu yang diberikan pengertian sabat oleh masyarakat di Melonguane merupakan sebuah aturan adat, juga merupakan hari istirahat yang dapat digunakan secara efektif untuk beribadah dan bersilaturahmi.
108
16.
Bdk, Hilman Hadikusuma, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1980),
Sebagaimana yang tertulis dalam hukum ke empat dari sepuluh hukum yakni pengudusan hari sabat: 109 “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaannmu, tetapi hari ke-tujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu: maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang ditempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isisnya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari sabat dan menguduskannya” (Kel. 20: 8-11). Pada awalnya bangsa Yahudi merayakan Hari sabat sebagai hari perhentian Tuhan dari proses penciptaan-Nya. Berdasarkan keyakinan mereka Tuhan menciptakan segala sesuatu di dunia selama enam hari dan berhenti pada hari ke tujuh. Hari ke tujuh atau disebut dengan sabat menjadi hari yang kudus atau sakral bagi mereka. Karena itu tidak diperbolehkan untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan. Hari sabat benar-benar dikhususkan buat Tuhan dan dipakai sebagai hari untuk berisirahat. Jika terjadi pelanggaran terhadap sabat ini diyakini telah melanggar perintah Tuhan. Secara turun temurun kekudusan hari sabat ini terus dijaga hingga akhirnya Yesus datang untuk merombaknya. Yesus melanggar aturan ini, Dia memperbolehkan bekerja pada hari Minggu selagi pekerjaan yang dilakukan adalah untuk menolong orang lain atau kegiatan-kegiatan sosial. Setelah Yesus mati dan bangkit pada hari ke tiga yakni hari Minggu, disaat itulah umat Kristen sekarang merayakan Hari Minggu sebagai Hari Tuhan. Yang dimaksud disini adalah hari untuk memperingati Kebangkitan Yesus. 109
LAI, Alkitab, (Jakarta: 2009), 92
Beristirahat pada hari Minggu tidak hanya memberikan manfaat rohani bagi umat kristiani yang mempraktekkanya, tapi juga bagi masyarakat umum. Tanpa istirahat misalnya, produktivitas bakal menurun. Namun tak semua pekerjaan dilarang pada hari Minggu. Ada beberapa jenis pekerjaan yang boleh dilakukan, seperti yang telah diuraikan dalam surat ketetapan larangan bekerja pada hari Minggu, yakni kegiatan-kegiatan sosial dan beribadah. Makna mendalam yang ingin disampaikan dalam konteks larangan bekerja pada hari Minggu ini adalah dengan tidak melakukan aktivitas pada hari Minggu tak sekedar menaati aturan adat yang berlaku melainkan juga memiliki waktu untuk beristirahat dari kelelahan jasmani. Larangan ini diberlakukan bagi seluruh masyarakat dengan maksud agar masyarakat memiliki waktu untuk beristirahat dari segala aktifitas. Hal ini bukanlah sesuatu yang buruk karena setelah enam hari bekerja manusia pun butuh satu hari untuk beristirahat dari pekerjaan. Sama seperti Allah ketika melakukan proses penciptaan Dia pun meluangkan waktu sehari untuk beristirahat. Larangan bekerja yang dimaksud bukan berhenti sama sekali dari aktivitas melainkan boleh melakukaukan kegiatan Sosial. Seperti yang dilakukan Yesus, Dia merombak hari Sabat namun bukan berarti Ia meniadakan hari Sabat. tapi pemahamannya mengenai sabat berbeda dengan kaum Farisi. Ketika mereka sungguh-sungguh mematuhi Hari sabat dengan tidak sama sekali melakukan pekerjaan apa pun, bagi Yesus justru berbeda Dia melakukan kegiatan-kegiatan Sosial pada hari tersebut. Dalam larangan bekerja pun demikian, memang terjadi
pelarangan berbagai jenis pekerjaan namun ada pengecualian untuk kegiatan-kegiatan soial dan Ibadah. F. Larangan Bekerja Pada Hari Minggu Sebagai Peraturan Adat Merupakan suatu kewajaran bahwa hakekat manusia adalah untuk mengetahui bagaimana timbulnya gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat. Keingintahuan itu berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui kaidah-kaidah yang secara sadar maupun tidak sadar menjadi pengatur bagi perikelakuan sehari-hari dari manusia. Semenjak lahir, manusia telah dianugrahi suatu naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Akibat adanya naluri tersebut dan atas dasar pikiran, kehendak dan perasaan timbulah hasrat untuk bergaul yang kemudian dinamakan dengan interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tadi mula-mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk perbuatan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok manusia. Tata kelakuan dapat meningkat sehingga menjadi adat istiadat. Adat istiadat merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui dan dihargai akan tetapi juga ditaati.110 Dalam masyarakat
Melonguane, terdapat
perangkat. Mereka sangat
berpengaruh dalam sistem kemasyarakatan di Melonguane. Perangkat adat ini terdiri dari Ratumbanua ( sebagai Kepala Adat), Inangu Wanua (sebagai Wakil Kepala adat) dan Timadu Ruangana (Sebagai kepala ruangan). Fungsi dari perangkat adat ini adalah menjaga dan mendisiplinkan masyarakat Melonguane serta ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketenteraman, perdamaian, keseimbangan 110
Lih. Bab II., (Sistem adat dalam masyarakat, alinea 1)
lahir dan batin, supaya masyarakat tetap memegang dan menaati warisan-warisan adat seperti larangan bekerja pada hari Minggu. Warisan adat larangan bekerja pada hari Minggu ini wajib ditaati oleh masyarakat, karena ketidaktaatan terhadap larangan tersebut akan menerima sanksi. Sanksi yang diterima pertama, berasal dari Tuhan, dimana yang melanggar diyakini berdosa terhadap Tuhan. Keyakinan ini dilatar belakangi oleh sejarah munculnya larangan bekerja pada hari Minggu yang dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak bisa di langgar karena berpatokkan dari hukum sabat. Yang dimaksud dengan hukum sabat ini adalah hukum ke empat dalam sepuluh hukum yaitu mengenai pengudusan hari sabat. hukum ke empat ini di yakini berasal Tuhan dan harus dipatuhi. Selain hukum yang berasal dari Tuhan sanksi yang kedua adalah sanksi moral yakni, mendapat teguran langsung dari perangkat adat. Larangan bekerja pada hari Minggu, sangat di jaga kelestariannya oleh perangkat adat di Melonguane. Hal ini terbukti ketika ada warga masyarakat yang melanggar larangan bekerja pada hari Minggu maka perangkat adat langsung memberikan teguran.111 Melihat dari sisi kedisiplinan yang diberikan oleh perangkat adat, maka hal ini jelas merupakan gambaran dari kuatnya sistem adat yang ada di Melonguane. Pemberlakuan larangan bekerja pada hari minggu bagi seluruh masyarakat di Melonguane, baik pribumi maupun pendatang dalam kondisi yang heterogen merupakan fakta dari kuatnya sistem adat di tempat ini.
111
Bdk. Bab III, Persepsi Masyarakat terhadap larangan bekerja pada hari Minggu, Wawancara, W. Aloo’a (Melonguane: 16 Desember 2011)
Faktor internal maupun eksternal tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi larangan bekerja pada hari minggu. Meskipun disadari di Melonguane sendiri, sudah banyak mengalami perubahan khususnya dengan hadirnya para pendatang yang memilih tempat ini sebagai tempat untuk mengadu nasib. Demikian pula dengan terbentuknya Kabupaten Kepulauan Talaud pada tanggal 2 Juli 2002 yang memberikan banyak perubahan khususnya dalam strukur pemerintahan, ekonomi, sosial dan polotik. Tetapi uniknya meskipun keadaan masyarakat ditempat ini berubah, dari homogen menjadi heterogen peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu tidak mengalami perubahan. Eksistensi larangan bekerja pada hari Minggu begitu kuat tertanam dan dipatuhi masyarakat Melonguane, karena berakarnya sistem adat yang tidak mudah tumbang. Hal itu tercermin dari kehidupan adat setempat. G. Interaksi Sosial dalam Peraturan Adat Larangan Bekerja Pada Hari Minggu Kota Melonguane merupakan ibu kota kabupaten kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Semenjak tahun 2002 dengan adanya pemekaran dari kabupaten kepulauan Sangihe dan Talaud menjadi Kabupaten Kepulauan Talaud, kota Melonguane mengalami perubahan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Keadaan masyarakat yang heterogen, dengan membaurnya masyarakat asli dan pendatang, menjelaskan fakta bahwa terjadinya interaksi sosial dalam peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu, sehingga peraturan adat ini tetap eksis sampai sekarang. Durkhaim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antara manusia, sesuatu yang berada diatas segala-galanya. Ia
bersifat menentukan dalam perkembangannya.112 Eksistensi peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu ini, mendapatkan wadah dalam kehidupan masyarakat, karena masyarakat di tempat ini memberikan peluang bagi bertahannya peraturan adat ini. Mengingat konsep masyarakat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi mereka dengan penduduk diluar batas wilayahnya. Maka dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Konsep ini dijabarkan melalui satu interaksi kehidupan sosial yang besar inter dan antar individu yang bertempat tinggal di suatu wilayah yang sama. Masyarakat asli dan masyarakat pendatang yang ada di Melonguane mengalami interaksi sosial secara bersama, khususnya adat-istiadat setempat yang menjadi pedoman bersama dalam interaksi dipatuhinya peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu. Seperti yang sudah disampaikan dalam bab sebelumnya oleh beberapa tokoh agama baik Kristen maupun non-Kristen yang melihat pula larangan bekerja pada hari minggu sebagai hari libur bersama, yang menyediakan banyak kesempatan bagi warga Kristen untuk beribadah sedangkan bagi yang non Kristen untuk melakukan
112
Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi: Menurut Emile Durkhaim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 28
kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Maka disinilah nilai-nilai interaksi sosial masyarakat terhadap peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu dapat terlihat. Peraturan adat mengenai larangan bekerja pada hari Minggu kalau ditimbang dari segi ekonomi memberikan dampak yang merugikan bagi masyarakat yang bergelut dalam kegiatan usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Meskipun secara ekonomi mereka sedikit mengalami kerugian, tetapi mereka tetap melaksanakan peraturan adat tersebut sebagai wujud dari respon masyarakat terhadap interaksi sosial.113 Kendati pernah terjadi pelanggaran, contohnya penarik becak bermotor (bentor).114 Tetapi dengan mendengarkan teguran dari tokoh adat setempat, ia kemudian menjadi sadar bahwa larangan bekerja pada hari Minggu adalah aturan adat yang ditujukan untuk semua warga, maka yang muncul adalah kesadaran moral untuk melaksanakan aturan adat secara bertanggung jawab. Sikap masyarakat Melonguane seperti inilah, menunjukkan jati diri masyarakat yang taat adat. Sebagai wujud dari interaksi sosial masyarakat dan peraturan adat. Dengan adanya larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane, memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk beristirahat dan meluangkan waktu sejenak bersama keluarga bahkan bisa bersilaturahmi bersama anggota keluarga. Ketika masyarakat di Melonguane, menjadi masyarakat taat adat, mereka membangun interaksi sosial yang baik dengan perangkat adat setempat untuk bersama-sama menjaga warisan budaya leluhur. Dampak positif dari peraturan adat
113 114
Bdk. Wawancara, Mud (Melonguane: 21 Desember 2011) Bdk. Wawancara, W. Aloo’a (Melonguane: 16 Desember 2011)
larangan bekerja pada hari minggu tentunya dirasakan oleh seluruh masyarakat, dengan tersedianya banyak waktu untuk kegiatan beribadah, dan melakukan kegiatankegiatan sosial, yang tidak dapat dialakukan secara penuh pada hari-hari biasa. Sebagai masyarakat yang sudah heterogen, masyarakat Melonguane sudah melestarikan warisan budaya yaitu peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu, yang merupakan keunikan tersendiri. Fakta dari masyarakat ditempat ini adalah dengan tidak pernah terjadi konflik inter dan antar masyarakat yang diakibatkan oleh peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu. Harmonisasi yang terjalin, sangat dirasakan dalam kehidupan keseharian masyarakat di tempat ini. Paradigma warga masyarakat mengenai peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu, tentunya terbentuk melalui interaksi dan relasi mereka dalam kehidupan nyata sehari-hari. Diterbitkannya penetapan peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu tidak hanya dibuat oleh ketua adat sendiri tetapi melibatkan unsur pemerintah Departemen Agama, Tokoh Adat dan Pihak Gereja, adalah memperkuat eksistensi aturan adat larangan bekerja pada hari Minggu untuk diberlakukan terhadap seluruh warga masyarakat Melonguane tanpa terkecuali. Dengan adanya penetapan hukum adat ini, yang melibatkan unsur pemerintah adat dan gereja adalah menunjukkan kerja sama yang baik oleh seluruh elemen di masyarakat Melonguane, sebagai upaya untuk mempertahan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
H. Masyarakat dalam Konteks UUD 1945 BAB X (A) Melihat realitas peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu di Melonguane, sampai sekarang bukanlah menjadi sebuah persoalan yang memicu terjadinya konflik inter dan antar masyarakat. Menganalisis eksistensi larangan bekerja pada hari Minggu sebagai hari yang disakralkan, sebagai peraturan adat dan sumber interaksi sosial maka hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Kondisi ini memang dapat dikatakan sebagai fenomena masyarakat yang relatif kondusif. Hanya saja, ketika kita melihat sebuah realitas dari prespektif terbatas pada kondisi masa sekarang, berarti kita membatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Peraturan adat pada dasarnya adalah bentukan dari sebuah kebiasaan masyarakat yang diakukan secara terus-menerus dan akhirnya disepakati sebagai sebuah aturan hidup bersama dalam lingkup masyarakat adat. Peraturan adat tidak akan menghasilkan sebuah konflik, jika dilakukan berdasarkan rasa keadilan bagi seluruh mayarakat. Kondisi ini bisa berubah ketika peraturan adat itu sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat. Dalam UUD 1945 Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya”.115 Hal ini menjelaskan bahwa yang utama untuk dilakukan adalah manusia ditempatkan sebagai yang utama dalam
115
Wahid Khudori, UNDANG-UNDANG DASAR ’45 Republik Indonesia, (Jakarta: Mahirsindo Utama, 2009), 25
seluruh dimensi kehidupan sosial. Peraturan adat boleh ada tetapi bukanlah hal yang diskriminatif bagi manusia itu sendiri. Kondisi masyarakat Melonguane yang semakin heterogen bisa saja menghasilkan kemungkinan-kemungkinan yang bertentangan dengan peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu dimasa yang akan datang. Meskipun pada saat ini tampaknya paraturan adat ini tetap dipertahankan sebagai warisan budaya turun temurun, dan masih relevan diberlakukan bagi masyarakat setempat. Untuk itu adalah arif dan bijakana, ketika mempertimbangkan jauh ke depan masih relevankan larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane sebagai sebuah aturan adat yang tidak bisa diganggu gugat? Tidaklah menimbulkan sebuah permasalahan jika kebiasaan membatasi diri dari dalam penduduk asli Melonguane untuk bekerja pada hari Minggu yang dianut dan ditaati sebagai bagian dari hukum adat setempat, apa lagi hal itu sudah berlangsung sejak dahulu. Namun yang menjadi persoalan, ketika para pejabat publik116 ikut campur dengan dalih seolah-olah membuat sesuatu kesepakatan berisi larangan seperti dimaksud di atas, beruntung sekali bahwa hasil kesepakatan tersebut belum sempat dituangkan dalam sebuah rancangan Peraturan Daerah (Perda). Karena kalau sampai hal itu terjadi, maka kabupaten Talaud dapat disamakan dengan beberapa Kabupaten lainnya di Indonesia, yang getol membuat “Perda Syariat”. Dan
116
Talaud.
Seperti Asisten Tata Praja Sekda Kab. Kep. Talaud dan Kabag Kesra Setda Kab. Kep.
hal itu bersifat Counter Productive terhadap cita-cita bangsa ini untuk mempertahankan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”. Mengingat masyarakat dinamis bisa berubah kapan saja, maka diperlukan pencegahan agar peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu bukan menjadi sebuah persoalan yang mengabaikan kepentingan Hak Asasi manusia. larangan bekerja pada hari minggu hendaknya hanya merupakan sebuah peraturan adat yang dinamis dan tidak menjadi peraturan yang mengesampingkan Hak Asasi manusia. serta tidak merupakan suatu peraturan yang baku dan dianggap sebagai sebuah peraturan yang dianggap langsung berasal dari Tuhan. Dengan adanya kesepakatan antara pihak-pemerintah, adat dan gereja dalam penetapan larangan bekerja pada hari Minggu, hendaknya hanya terbatas pada lingkup adat dan tidak dilanjutkan pada upaya untuk dimuat dalam peraturan daerah (Perda) setempat. Bahkan hendaknya peraturan ini hanya berlaku bagi orang Melonguane saja.