BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisa terkait konflik pada tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi yang telah dituliskan di bab sebelumnya, maka pada kesimpulan ini diperlukan elaborasi pemetaan konflik untuk mengetahui hal-hal utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah dilakukan pemetaan aktor menggunakan model roda untuk menjadi dasar pemetaan konflik. Pada tahapan akhir ini, sebagai bagian perumusan yang lebih mendalam mengenai pemetaan konflik maka model analisa Conflict Tree1 kemudian dipilih sebagai alat pemetaan konflik. Model pohon merefleksikan interaksi antara faktor yang bersifat laten (akar), manifes (batang), dan dinamis (daun). Faktor dinamis mencakup faktorfaktor yang menyebabkan dinamika konflik seperti pola komunikasi, tingkat eskalasi, pola relasi antar aktor, dan sebagainya. Penanganan dalam konteks ini lebih mengutamakan kecepatan. Sebagai contoh adalah adanya intervensi diplomatik atau transformasi konflik yang mengarahkan interaksi antara pihak yang berkonflik. Faktor manifestasi merupakan pokok persoalan konflik itu sendiri. Faktor laten merupakan dasar munculnya persoalan. Umumnya bersifat relatif permanen dan memerlukan strategi jangka panjang untuk mengatasinya.
1
Simon Mason., Op cit.
128
129
Apabila tidak diselesaikan, permasalahan akan tetap hadir kembali. Hasil analisa konflik pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu sebagai berikut:
Efek
Peningkatan Ekonomi Masyarakat
Pengalihan IUP
Kompensasi Lahan
Pengusahaan Tambang Rakyat
Bagi Hasil
Perubahan Regulasi Daerah dan Pusat
Pemberdayaan Masyarakat
Keuangan Daerah
Perlawanan Masyarakat
Penguatan Lembaga
Ketimpangan Akses Tambang Emas
Isu Utama
Ancaman Putus Kerjasama Regulasi UU4/2009 Kondisi Pemicu
Nilai Ekonomi Tambang Ganti Rezim
Akar Masalah
Modal Asing Ilegal
Tambang Tradisional
Regulasi Tambang Tidak Pro Daerah
Ketidakmerataan Kemakmuran SDM Terbatas
Infrastruktur Daerah Terbatas
Informasi Terbatas
Dampak Lingkungan Hutan Lindung
Gambar 5.1 Skema Conflict Wheel Analisa Konflik Pengelolaan Tambang Emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi
Berdasarkan strategi dan kebijakan dalam menangani permasalahan pengelolaan pertambangan emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi dapat disimpulkan bahwa Bupati Abdullah Azwar Anas berhasil menempatkan konsensus antar aktor yang terlibat dan bersentuhan langsung dengan pertambangan emas Tumpang Pitu. Kondusifnya iklim investasi dan kemajuan pembangunan di Kabupaten Banyuwangi tidak dapat dilepaskan dari aspek
130
manajemen sumber daya yang dilakukan Bupati Abdullah Azwar Anas. Pada konteksnya penulis melihat bahwa permasalahan bagi masyarakat kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu muncul atas interaksi yang terjadi antar kelas kelompok yang bersifat sosial, budaya, dan ekonomi. Adanya kecemburuan sosial yang bersifat materialistik maupun atas akibat adanya interaksi yang tidak harmonis dari setiap kelompok yang terlibat langsung dengan kegiatan industri ekstraktif (sumber daya alam) tersebut merupakan bentuk distorsi sosial. Sejalan dengan pandangan Dahrendorf yang menempatkan masyarakat harus berkonflik untuk memperoleh perubahan-perubahan yang baru. Kelompok kuasi dan kelompok kepentingan yang saling menekan satu sama lain menunjukkan perubahan yang baru dalam mencapai konsensus bersama. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat dilihat dari dekomposisi modal dimana perubahan struktur saham dalam pengelolaan pertambangan emas Tumpang Pitu yang menempatkan Pemerintah Daerah dan Perusahaan (PT BSI) mencapai konsensus. Dekomposisi tenaga kerja dimana kelompok kepentingan melalui aliansi masyarakat menunjukkan terjadinya kerjasama yang mulai dibangun dengan kelompok kuasi dalam akses dan pemberdayaan masyarakat kepada sumberdaya emas Tumpang Pitu. Munculnya kelas menengah baru sebagai bagian dari konsensus yang tercapai menunjukkan naiknya level daya beli ekonomi masyarakat kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu. Melalui cara-cara dan terobosan manajemen konflik di kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu dapat dikatakan mencapai konsensus sehingga setiap kelas kelompok mencapai sinergi. Hal yang perlu digarisbawahi bahwa sesungguhnya pemilikan dan kontrol atas sarana produksi berada di tangan
131
individu-individu yang sama. Hal itu terlihat dari pergantian perusahaan PT Indo Multi Niaga ke PT Bumi Suksesindo seperti menjadi sebuah strategi membangun penguasaan yang baru dengan orang-orang yang sama seperti Reza Nazarudin dan Maya Miranda Ambarsari. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan yang dibangun aktor-aktor tersebut dalam mencapai penguasaan yang mereka inginkan dengan tetap mengakomodasi kepentingan yang hadir dan menekan mereka. Perjuangan masyarakat kawasan tambang emas Tumpang Pitu terlihat tidak menitikberatkan pada pemilikan sarana-sarana produksi, melainkan lebih pada pemilikan kekuasaan, atas hak menguasai kelompok lainnya. Dalam konteks sebagai orang kecil mereka hanya takut lapar bila mereka tidak bisa lagi mengakses sumber ekonomi dan harus menanggung kerugian dari adanya pertambangan. Penulis menilai Bupati Abdullah Azwar Anas sebagai pemimpin Kabupaten Banyuwangi lebih sebagai seorang manajer dan marketer yang membangun otoritas dari sebuah konflik kepentingan (conflict interest) ke arah pembangunan berbasis keberlanjutan masyarakat (management by sustainable community based). Refleksi teoritis dari
pandangan Dahrendorf
yang menempatkan
masyarakat harus berkonflik untuk memperoleh perubahan-perubahan yang baru menunjukkan kesepahaman dengan penulis dan itu sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu. Namun catatan kritis dari studi ini adalah apabila kemudian konflik itu harus terus direproduksi, sesungguhnya akan mengancam integrasi dalam masyarakat, dengan munculnya disintegrasi. Hal ini seperti ditunjukkan dalam penelitian ini, bahwa
132
ada bagian atau kelompok yang tidak dapat masuk ke dalam mekanisme dwi model yang diajukan Dahrendorf. Adanya kelompok yang berbeda tersebut sesungguhnya menunjukkan struktur-struktur kelas dan kasta masyarakat ternyata jauh lebih komplek daripada struktur dwi model yang diajukan oleh Dahrendorf. Berkenaan dengan strategi penyelesaian konflik dengan strategi intervensi berbentuk pemaksaan (coercive) dan konsiliasi dalam penelitian ini karena pada prosesnya Bupati Abdullah Azwar Anas (Pemkab Banyuwangi) memiliki otoritas sebagai pemimpin daerah untuk dapat melakukan kebijakan intervensi dalam upayanya mengendalikan konflik yang berlangsung dan mencapai solusi yang diinginkan. Akar permasalahan yang telah dirumuskan dalam pemetaan di atas menunjukkan bahwa pada tahapan konflik yang terjadi dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu dapat diselesaikan antar aktor yang terlibat, sehingga pilihan konsiliasi yang menempatkan aktor bernegosiasi dapat dilakukan tanpa adanya pihak ketiga sebagai penengah. Walaupun demikian dapat ditemukan bahwa pihak yang berkonflik tetap memerlukan pihak ketiga, namun bukan sebagai penengah untuk menyelesaikan konflik, tetapi sebagai pemberi masukan yang bersifat ahli dalam memberikan informasi dan keabsahan dalam pengambilan keputusan untuk mengelola konflik. Penulis melihat bahwa dalam penyelesaian konflik pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi peran dan otoritas pemimpin daerah diperlukan untuk mencapai win-win solution. Catatan sebagai pertanyaan lanjutan dalam studi ini adalah apabila dalam tahapan pengelolaan dan kesepahaman aktor telah dicapai hingga menghasilkan kebijakan yang baru, maka terdapat hal yang perlu diperhatikan sebagai upaya pencegahan untuk mengantisipasi hal yang
133
terjadi selanjutnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana penggunaan dan alokasi dana bagi hasil tambang emas yang masuk dalam struktur keuangan daerah bagi pembangunan masyarakat khususnya di Kabupaten Banyuwangi?. Tentu saja hal tersebut memerlukan penelitian lanjutan untuk menganalisanya lebih jauh. Hal itu penting untuk dikaji atas dasar upaya pencegahan pada konteks yang dapat memicu terjadinya konflik di masa mendatang.