96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasaran pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa poin yang bisa ditarik sebagai kesimpulan dan sekaligus akan menjawab rumusan masalah, sebagai berikut: 1. Pemikiran Karl Polanyi tentang relasi masyarakat dan pasar Pemikiran Polanyi tentang relasi masyarakat dan pasar bermula dari pemahaman Polanyi tentang makna substantif dari ekonomi. Makna substantif diturunkan dari ketergantungan hidup manusia pada alam dan sesamanya. Berdasarkan pemahaman tersebut, Polanyi memahami bahwa (dahulu) ekonomi (termasuk di dalamnya sistem produksi dan distribusi) dalam masyarakat adalah satu, tidak terpisahkan, ekonomi selalu tertanam dalam hubungan-hubungan sosial. Hal yang demikian itu dikatakan Polanyi sebagai ketertanaman atau embeddedness. Selanjutnya, makna ekonomi yang tertanam itu lambat laun mulai bergeser seiring kemunculan mesin-mesin industri pada abad ke-18 dan berlanjut hingga abad ke-19. Polanyi melihat dengan tajam fenomena yang terjadi pada abad ke-19. Atas apa yang terjadi pada abad ke-19, Polanyi memahami bahwa ekonomi tidak lagi tertanam dalam masyarakat, melainkan mulai tercerabut.
96
97
Ketercerabutan ekonomi menciptakan ruang baru yang dinamakan sebagai pasar swatata. Berbeda dengan pengertian pasar terdahulu (yang di dalamnya terdapat pola resiprositas dan redistribusi), pasar swatata adalah pasar yang mampu meregulasi dirinya sendiri (termasuk di dalamnya produksi dan distribusi) tanpa adanya intervensi dari luar pasar. Kemunculan pasar swatata mengharuskan masyarakat masuk ke dalam logika pasar itu sendiri. Dengan begitu, apapun yang terkait dengan masyarakat, kini, harus bergantung pada pasar. Persoalan mengenai hal ini dipaparkan Polanyi dalam konsep Pasar Swatata atau Self-Regulating Market. Menurut Polanyi, persoalan ini merupakan persoalan krusial. Pasar swatata menimbulkan persoalan baru, yaitu persoalan mengenai apa yang diperdagankan atau diproduksi di dalamnya. Logika pasar swatata mengandaikan pendapatan yang dihasilkan dari semua hal yang diproduksi atau diperdagangkan. Dengan begitu, mengharuskan adanya unsur-unsur produksi, seperti manusia, tanah, dan uang. Ketiga unsur produksi tersebut dijadikan sebagai komoditas dalam pasar swatata. Munculnya logika pasar yang menjadikan ketiga unsur tersebut sebagai komoditas, mengundang ketegasan Polanyi. Polanyi menegaskan ketiga unsur tersebut tidak boleh dijadikan, dan memang bukan, sebagai komoditas. Pandangan ini dipaparkan Polanyi dalam konsep mengenai komoditas fiksi atau semu, yaitu apa yang menjadi syarat bagi berjalannya pasar swatata hanyalah fiksi. Serta pasar-pasar yang timbul atas ketiga unsur produksi tersebut hanya akan mendatangkan bencana bagi masyarakat.
98
2. Konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, yaitu pada pilar pertama Pilar Pertama merupakan salah satu dari empat pilar yang terdapat dalam AEC Blue Print. Demi mewujudkan cita-cita ASEAN – masyarakat ekonomi yang terintegrasi penuh di kawasan – konsep pilar pertama ini hendak menciptakan sebuah sarana pengantar, yaitu Pasar tunggal yang berbasis produksi. Konsep pilar pertama menjadikan liberalisasi sebagai kunci pelaksaanaan. Liberalisasi tersebut dikenakan pada lima elemen, yaitu Barang (Goods), Jasa (Service), Investasi (Investment), Modal (Capital), dan Tenaga Kerja Terampil (Skilled Labour). Liberalisasi dalam pilar pertama diharapakan dapat menghilangkan hambatan-hambatan yang terjadi dalam sebuah perdagangan, terutama pada lima elemen. Serta diharapkan dapat menciptakan daya saing guna merealisasikan MEA. a. Liberalisasi barang atau Free Flow of Goods initnya adalah untuk mempermudah regulasi barang-barang dalam pasar tunggal. Hal tersebut dilakukan dengan tiga upaya, yaitu dengan menghapuskan tarif, menghapus hambatan non-tarif, dan meningkatan fasilitas perdagangan. Yang menjadi dasar dalam liberalisasi barang adalah kesepakatan ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement). b. Liberalisasi jasa atau Free Flow of Service. Liberalisasi ini memiliki tujuan untuk menghapus hambatan penyediaan jasa di setiap negara anggota. Liberalisasi ini didasarkan pada kesepakatan AFAS (ASEAN Framework Agreement on Service).
99
c. Liberalisasi investasi atau Free Flow of Investment. Liberalisasi pada investasi ini memiliki peran yang cukup penting. ACIA menjadi landasan pada liberalisasi ini. Dengan adanya ACIA, diharapkan mampu meningkatkan daya saing kawasan dan mampu menarik Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing langsung. d. Liberalisasi modal atau Free Flow of Capital. Liberalisasi ini didasarkan oleh kesepakatan RIA-Fin atau Roadmap integrasi ASEAN bidang finansial. Tujuannya adalah meningkatkan perdagangan intra kawasan dan memperdalam integrasi ekonomi regional melalui integrasi pasar modal yang meliputi: Pengembangan pasar modal, Liberalisasi neraca modal, Liberalisasi jasa keuangan, dan Kerjasama nilai tukar. e. Liberalisasi tenaga kerja terampil atau Free Flow of Skilled Labour. Liberalisasi ini dimaksudkan untuk memfasilitasi tenaga kerja, yang didasarkan pada kontrak, guna mendukung kegiatan perdagangan dan investasi di sektor jasa. Liberalisasi jasa dilandasi oleh kesepakatan MRA atau Mutual Recognition Agreement.
3. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (Pilar pertama) menurut pemikiran Karl Polanyi tentang relasi masyarakat dan pasar MEA merupakan cita-cita yang hendak dicapai oleh sebuah bentuk kerjasama regional yang dinamakan ASEAN. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, ASEAN membentuk sebuah sarana yang disebut sebagai pasar tunggal berbasis produksi. Sebagai langkah pertama, pasar tersebut menempatkan
100
liberalisasi sebagai pemeran inti. Liberalisasi itu tampak pada pilar pertama dalam AEC Blue Print (yang merupakan pedoman bagi terwujudnya MEA). Liberalisasi dalam pilar pertama dikenakan pada lima elemen, yaitu barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Tujuan pertama adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang biasa terjadi pada kelima elemen tersebut. Tujuan selanjutnya adalah untuk meningkatkan daya saing guna meningkatkan perkembangan ekonomi. ASEAN memiliki asumsi bahwa ketika perekonomian mengalami peningkatan, di situlah akan terdapat kesejahteraan masyarakat. Itulah MEA atau masyarakat ekonomi
ASEAN,
yang memandang kesejahteraan didasarkan pada
peningkatan ekonomi. Asumsi dalam MEA tersebut, memiliki konsekuensi logis yang sesuai dengan pendapat Polanyi bahwa ekonomi telah tercerabut dari masyarakat (pengaturan sosial). Perumusan kebijakan dan perhitungan persentase guna mewujudkan MEA telah menghilangkan pola-pola resiprositas dan redistribusi yang biasa terjadi ketika ekonomi tertanam dalam masyarakat. Ekonomi dalam konsep MEA tidak lagi terkait dengan hubungan sosial, melainkan sebuah spekulasi mengenai prospek dan keuntungan. Pasar tunggal yang menjadi sarana bagi perwujudan MEA menurut Polanyi hanyalah utopis. Menurut Polanyi, hal itu didasarkan atas tiga sebab. Petama, perdagangan eksternal dalam pandangan Polanyi diatur berdasarkan prinsip resiprositas, sementara pasar tunggal telah menghilangkan pola tersebut. Kedua,
101
perdagangan eksternal tidak kompetitif dikarenakan prinsip yang mengatur adalah prinsip timbal balik atau resiprositas. Ketiga, perdagangan eksternal pasar tunggal tidak lebih hanya sebagai perdagangan bisu. Hal itu dikarenakan adanya penghindaran resiko dalam perdagangan yang diatur dan diawasi secara ketat dengan iming-iming perdamaian, kepercayaan, dan keyakinan. Relasi yang tejadi antara masyarakat dan pasar dalam MEA bersifat saling menguasai dan dikuasai atau saling mengatur dan diatur. Masyarakat (pengaturan sosial) tersubordinasi di bawah ekonomi. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat telah diatur oleh pengaturan ekonomi. Pada akhirnya, MEA 2015 menurut perspektif Polanyi tidak benar-benar ditujukan untuk (kesejahteraan) masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu demi kepentingan (peningkatan) ekonomi semata. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul
dari
peningkatan
ekonomi
seperti
mengurangi
kemiskinan,
mempersempit kesenjangan, dan termasuk kesejahteraan itu sendiri, tidak lebih dari sekedar alasan penguat bagi kepentingan ekonomi. Bisa dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dalam MEA telah dipostulatkan.
102
B. Saran
1. Akademis Penelitian tentang MEA tidak hanya bisa dilakukan oleh keilmuan ekonomi, baik oleh para pengamat maupun pemikir ekonomi, melainkan juga terbuka bagi disiplin keilmuan lainnya. Hasil penelitian pun juga tidak selalu bersifat matematis, melainkan juga bisa berupa reflektif yang mendatangkan penyadaran kolektif. Karenanya, kajian tentang MEA sekiranya perlu untuk terus dilakukan. Hal itu mengingat bahwa MEA merupakan sektor riil dalam ekonomi yang juga berkaitan langsung dengan sektor riil kehidupan manusia. Bagi pengembangan keilmuan filsafat, secara khusus, sekiranya perlu diadakan penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan bisa diarahkan baik pada objek material maupun objek formal dari penelitian ini. Terkait objek material, misalnya, MEA dapat ditelusuri dengan pendekatan utilitarianisme. Sementara terkait objek formal, Polanyi ini sendiri merupakan sosok baru dalam penelitian di Fakultas Filsafat UGM. Masih banyak yang bisa ditelusuri terkait dengan perspektif tokoh (Polanyi), misalnya, konsep tentang fasisme, kapitalisme, kebebasan, etika, dan lain sebagainya. Semua hal ini dimaksudkan demi mengembangkan kemampuan filsafat dalam dua hal, pertama dalam keilmuan dan kedua terkait kemampuan untuk terus melakukan kontekstualisasi dengan realitas yang sesungguhnya.
103
2. Masyarakat Masyarakat dahulu berbeda dengan sekarang. Dalam artian, masyarakat sekarang diharapkan untuk tidak terjebak dalam tradisi konservatif, melainkan harus mampu bertindak secara progresif. Tindakan progresif ini tentunya tidak muncul begitu saja, masyarakat sekiranya perlu untuk memperdalam pengetahuan mereka, setidaknya, tentang kondisi yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, sekiranya perlu bagi masyarakat untuk mengetahui dan mempelajari teori-teori, setidaknya teori terkait ekonomi, baik dari para tokoh maupun keilmuan. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat tidak terkubur oleh dominasi yang ada dan mampu untuk membangkitkan kesadaran kolektif.
3. Bagi Pemerintahan Negara Masyarakat adalah salah satu unsur penting bagi eksistensi suatu negara. Karenanya, perlu bagi pemerintahan negara untuk menjadikan masyarakat sebagai tolak ukur utama dalam pengambilan kebijakan. Dalam artian, masyarakat perlu dijadikan prioritas dibanding kepentingan-kepentingan yang ada, baik yang bersifat ekonomis maupun politis.