BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis dengan ini menjawab rumusan masalah sebagai berikut : Pertama,
terkait
Penerapan
Desentralisasi
Asimetris
Terhadap
Pemerintahan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : 1. Bahwa
sebenarnya
penerapan
desentralisasi
asimetris
sudah
berlangsung sejak lama, hal ini dapat dilihat dari praktik kenegaraan. Faktanya semenjak Indonesia merdeka Pasal 18 dan penjelasan UUDNRI 1945 sebelum amandemen mengamanatkan bahwa negara mengakui dan menghomati daerah yang bersifat istimewa dan mengakui adanya hak asal-usul. Daerah yang diberikan keistimewaan atau kekhususan melalui UU khusus atau istimewa ialah Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta dan DIY; 2. Bentuk penerapan desentralisasi asimetris dalam NKRI yang memiliki dasar hukum dalam UU ada dua macam, yaitu daerah istimewa dan daerah khusus. Hanya saja ketentuan atau parameter dikatakan khusus/istimewa belum diatur secara jelas. Tiap daerah berbeda pemaknaannya; 3. Penerapan desentralisasi asimetris di negara lain dapat menjadi referensi bagi Indonesia, contohnya di negara Tiongkok, Portugal dan Finlandia;
177
4. Prospek dan pengembangan paradigma desentralisasi asimetris harus memperhatikan tantangan dan hambatan dalam NKRI dengan cara pengembangan instrumen pemetaan tantangan, proses deliberatif dan dialogis, serta pertemuan prinsip keberagaman sesuai semboyan NKRI yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Kedua, terkait Kesesuaian Penerapan Desentralisasi Asimetris Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia : 1. Untuk melihat kesesuaian penerapan desentralisasi asimetris bagi NKRI dapat dilihat dari bentuk negara, maksudnya selama daerah yang diberikan kekhususan dan keistimewaan tetap dalam kerangka NKRI, maka penerapan desentralisasi asimetris tersebut sesuai bagi NKRI; 2. Kesesuaian penerapan desentralisasi asimetris bagi NKRI dapat dilihat dan diukur melalui konstitusi dan UU Pemerintahan Daerah. Sejak Indonesia merdeka hingga kini, ruang pemberian kekhususan dan keistimewaan selalu ada dan diatur; 3. UUDNRI Tahun 1945 sebelum amandemen melahirkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tanggal 7 September 1959 tentang Pemerintah Daerah, UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan 178
Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konstitusi dan UU tersebut diatur mengenai daerah istimewa dan swapraja dalam kerangka NKRI. Sehingga penerapan desentralisasi asimetris terhadap Pemerintahan Daerah sesuai bagi NKRI; 4. Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (periode tahun 1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (periode
tahun
1950-1959)
Indonesia
dalam
keadaan
sistem
parlementer sehingga penerapan desentralisasi asimetris jelas diatur khususnya pada UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah, namun khusus pada periode Konstitusi RIS Tahun 1949, penerapan desentralisasi asimetris tidak sesuai bagi NKRI, karena pada saat itu bentuk negara Republik Indonesia adalah federal dengan sebutan Republik Indonesia Serikat. 5. UUDNRI Tahun 1945 sesudah amandemen memberikan landasan yuridis yang kuat melalui Pasal 18B ayat (1) yang melahirkan UU khusus dan istimewa bagi Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta dan DIY. Dalam konstitusi dan UU No. 32 Tahun 2004 diatur mengenai daerah istimewa dan swapraja dalam kerangka NKRI. Sehingga penerapan desentralisasi asimetris terhadap Pemerintahan Daerah sesuai bagi NKRI;
179
Ketiga, terkait Latar Belakang Pengaturan dan Implementasi Urusan Pemerintahan yang dilakukan oleh Pemda DIY dalam NKRI : 1. Latar belakang diberikannya keistimewaan terhadap DIY tidak terlepas dari beberapa alasan, yaitu : alasan filosofis, sosiologis, historis-politis, yuridis. Pada intinya DIY tidak terbantahkan untuk mendapatkan penghormatan dan pengakuan sesuai Pasal 18B ayat (1) dari pemerintah pusat berupa keistimewaan; 2. UU No. 13 Tahun 2012 dalam perumusannya mengalami banyak perdebatan, yang menjadi titik perdebatan ialah masalah pengisian jabatan dan pertanahan; 3. Implementasi urusan pemerintahan yang dilakukan DIY dalam NKRI ialah DIY memiliki dua landasan hukum yaitu UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 untuk urusan wajib dan pilihan atau aturan umum penyelenggaraan pemerintahan daerah dan UU No. 13 Tahun 2012 untuk melaksanakan urusan keistimewaan DIY; 4. Kewenangan dalam urursan keistimewaan DIY sebagai wujud penerapan desentralisasi asimetris meliputi wewenang mengatur mengenai tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil gubernur, kelembagaaan daerah, pertanahan, kebudayaan, dan tata ruang yang semuanya diatur dalam perdais DIY. Untuk sementara ini, belum ada Perdais yang disahkan oleh Pemerintah Daerah DIY dan DPRD DIY mengenai kelima urusan istimewa tersebut, tetapi sudah ada Raperdais yang masih dalam tahap
180
proses penyusunan, utamanya Raperdais mengenai tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil gubernur, serta Raperdais kelembagaaan daerah saat ini sudah dalam tahap penyeberluasan Raperdais kepada masyarakat. 5. Perkembangan DIY pasca berlakunya UU No. 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan DIY cenderung lamban karena baru berjalan ±1 tahun 9 bulan, sehingga masih mencari pola atau bentuk yang ideal, kemudian menggunakan
prinsip
kehati-hatian
mengingat
diberikannya
kewenangan penuh pada daerah untuk mengurus urusan keistimewaan yang dapat didanai oleh dana istimewa yang bersumber dari APBN. Adanya multitafsir mengenai urusan keistimewaan antara masyarakat DIY itu sendiri. B. Saran Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan-kesimpulan pada penulisan hukum ini, penulis menyampaikan saran-saran terhadap Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Pemerintahan Daerah DIY, sebagai berikut: 1. Untuk Pemerintah Pusat, DPR RI, dan DPD RI sebagai pembuat Undang-Undang
dan
Rancangan
Undang-Undang,
sebaiknya
pengaturan mengenai desentralisasi asimetris diperjelas, dengan membuat blue print yang terarah, dipikirkan secara matang dan terukur mengingat keberagaman dan luasnya wilayah NKRI. Kemudian Pasal 18B ayat (1) dibuat undang-undang turunan mengenai kriteria apa
181
yang menjadikan daerah istimewa dan daerah khusus, mengingat selama ini diberikannya kekhususan dan keistimewaan berdasarkan pertimbangan politis dan sejarah. 2. Untuk Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, sebaiknya daerah diterapkan bertingkat dalam artian, daerah yang sudah baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya patut diberikan desentralisasi asimetris, sementara yang belum baik, perlu dievaluasi dan diberikan perhatian khusus agar tercipta tujuan Negara Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. 3. Untuk Pemerintahan Daerah dalam NKRI, sebaiknya DIY dijadikan contoh bagi daerah lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bertujuan mensejahterakan, dan memakmurkan masyarakat. 4. Untuk Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta dan DIY, sebaiknya daerah yang telah memiliki legal yuridis (UU khusus/istimewa) mampu memanfaatkan sebaik-baiknya potensi daerahnya dan mewujudakan cita-cita bangsa Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam hali ini produk hukum yang berupa peraturan khusus sesuai dengan kenyataan daerah yang bersangkutan. 5. Untuk Pemerintahan Daerah DIY, sebaiknya bersinergi dengan baik antara Pemerintah Daerah DIY dan DPRD DIY, dalam merumuskan Raperdais kelima urusan istimewa yang belum selesai, segera kelima Raperdais itu di bahas bersama dan melibatkan masyarakat serta komunitas swasta.
182