BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Permasalahan yang terjadi pada TKI di Saudi Arabia selama bertahuntahun membuktikan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal dan secara menyeluruh kepada para TKI tersebut. Perlindungan terhadap TKI ini tidak dapat diberikan karena selama bertahuntahun pula Indonesia mengirimkan TKI ke Saudi Arabia tanpa adanya suatu perjanjian yang mengikat antara kedua negara untuk melindungi para TKI dari berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran hak asasinya. Berdasarkan tingginya tingkat kekerasan dan kasus yang terjadi terhadap TKI di Saudi Arabia, maka pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke negara tersebut sejak tanggal 1 Agustus 2011. Dengan diberlakukan moratorium ini diharapkan Indonesia dapat meningkatkan posisi tawarnya dalam upaya perlindungan
TKI
di
negara
tersebut,
bahkan
sampai
kepada
tahap
penandatanganan perjanjian penempatan dan perlindungan TKI antara kedua negara tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari BNP2TKI, pada tahun 2012 dimana ini sudah memasuki masa moratorium, masih terdapat TKI Informal yang dikirim ke Saudi Arabia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia tidak dapat bertindak tegas terhadap kebijakan yang telah diambil. Ketidaktegasan pemerintah Indonesia ini tentu membuat Saudi Arabia merasa seperti tidak mendapatkan hukuman atas
81
kondisi buruk yang terjadi pada TKI selama ini. Meskipun demikian, selama masa moratorium, jumlah permasalahan yang terjadi pada TKI mengalami penurunan. Berdasarkan data BNP2TKI, penurunan permasalahan ini menunjukkan hasil yang signifikan sehingga moratorium yang diberlakukan dapat dianggap berhasil dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang masih sering terjadi terhadap TKI bahkan pada masa moratorium dan memerlukan perhatian serius oleh pemerintah Indonesia adalah PHK sepihak, sakit akibat kerja, majikan bermasalah, penganiayaan,gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, sakit bawaan, dokumen tidak lengkap, kecelakaan kerja, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja. Upaya perlindungan terhadap TKI ini juga mendorong Indonesia untuk memiliki kebijakan dalam realisasi hal tersebut. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi hukum domestik yang mengatur perlindungan terhadap TKI. Dalam undang-undang tersebut diatur hak dan kewajiban berbagai pihak yang memiliki keterkaitan dalam hal penempatan dan perlindungan TKI, begitu juga mengenai hal teknis yang bersinggungan dengan hal tersebut. Meskipun demikian, undang-undang tersebut masih belum dapat mengakomodasi semua bentuk perlindungan yang dibutuhkan oleh para TKI, maka Indonesia meratifikasi United Nations Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, perlu diadakan penyempurnaan UU No. 39 Tahun 2004 tersebut, karena ada beberapa bentuk perlindungan buruh migran yang diatur dalam konvensi tersebut belum tercantum pada hukum domestik Indonesia.
82
Pemberlakuan moratorium juga merupakan sebuah bentuk kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia untuk melindungi TKI di Saudi Arabia. Selain itu, kebijakan yang diambil oleh Indonesia sebagai bagian dari upaya perlindungan TKI adalah pembentukan BNP2TKI. Pembentukan BNP2TKI diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006, dimana pembentukan ini merupakan bukti nyata untuk dari implementasi UU No. 39 Tahun 2004. Fungsi dari BNP2TKI adalah merumuskan, mengkoordinasikan, melaksanakan, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan teknis perlindungan TKI yang meliputi standarisasi, sosialisasi, dan pelaksanaan perlindungan mulai dari prapenempatan, penempatan, dan pemulangan. BNP2TKI memiliki beberapa tindakan sebagai bagian dari upaya perlindungan terhadap TKI, yaitu tindakan preventif – antisipatif, tindakan represif, dan tindakan fasilitatif – rehabilitatif. BNP2TKI juga telah memiliki Crisis Center yang memiliki tugas menerima pengaduan dari keluarga TKI yang ada di Indonesia mengenai permasalahan yang dihadapi atau diduga terjadi pada TKI yang ada di luar negeri tersebut. Penelitian ini melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui langkah diplomasi dengan Saudi Arabia dalam upaya melindungi TKI. Sejak moratorium diberlakukan hingga Februari 2014, peneliti melihat ada tiga bagian diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Indonesia berdiplomasi terhadap Saudi Arabia dalam menanggapi kebijakan amnesti yang diberlakukan Saudi Arabia dari tanggal 11 Mei 2013 – 3 Juli 2013 untuk para buruh migran yang melanggar ketentuan keimigrasian Saudi Arabia, termasuk TKI. Oleh karena besarnya jumlah WNI overstayers di Saudi Arabia
83
dan terlalu singkatnya waktu yang diberikan, serta tidak kooperatifnya pihak keimigrasian Saudi Arabia dalam memberikan exit permit dan memperbaharui dokumen TKI yang tetap ingin bekerja kembali, maka Indonesia melakukan beberapa diplomasi. Adapun diplomasi tersebut seperti melalui surat Presiden RI kepada Raja Saudi Arabia, pembicaraan telepon langsung Menlu RI dengan Menlu Saudi Arabia, pertemuan Wamenlu RI dengan Direktur Jenderal Wilayah Barat Kemenlu Saudi Arabia, pertemuan Direktur PWNI dan BHI Kemlu RI dengan instansi setempat. Selain itu juga diadakan demarche bersama Dubes RI dengan Keppri lainnya Kemenlu Saudi Arabia, demarche bersama Acting Konjen RI dengan Konsul-konsul Jenderal Perwakilan Asing di Jeddah, dan pemanggilan Dubes Saudi Arabia di Jakarta. Melalui berbagai upaya diplomasi yang telah dilakukan, maka Indonesia berhasil untuk memohon perpanjangan masa amnesti tersebut, dimana Saudi Arabia memperpanjang masa amnesti hingga tanggal 3 November 2013. Diplomasi lainnya yang dilakukan adalah Senior Official Meeting dimana telah berlangsung selama empat kali, SOM I diadakan pada tahun 2010, SOM II diadakan pada Oktober 2011 di Yogyakarta, SOM II diadakan pada 1 – 2 Oktober 2012 di Jeddah, dan SOM IV diadakan pada 9 – 13 September 2013. Pada SOM I, Saudi Arabia tidak mau menandatangani ROD, sedangkan pada SOM II, isi dari ROD diubah secara sepihak oleh Saudi Arabia sehingga perjanjian dibatalkan. Diplomasi Indonesia semakin menunjukkan prestasi yang lebih baik lagi dengan
84
melihat keberhasilan dari SOM III & IV, dimana Saudi Arabia sudah menandatangani ROD dan menjalankannya dengan baik. Proses diplomasi yang paling penting pada masa moratorium ini adalah penandatanganan MoU Indonesia – Saudi Arabia mengenai penempatan dan perlindungan TKI. Selama bertahun-tahun tidak ada perjanjian antar kedua negara ini, sehingga tidak ada jaminan hukum yang harus dipatuhi kedua belah pihak untuk melindungi para TKI. Terdapat beberapa kali pertemuan antara kedua negara ini sampai pada akhirnya MoU ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2014. Diharapkan dengan adanya MoU ini, para TKI tidak lagi mengalami hal-hal yang tidak seharusnya terjadi pada mereka. Proses hingga terjadinya kesepakatan mengenai perjanjian ini merupakan suatu keberhasilan besar dari diplomasi Indonesia terhadap Saudi Arabia, dimana selama ini negara ini tidak memiliki aturan hukum untuk melindungi para buruh migran yang bekerja di negaranya. Dalam penelitian ini juga menganalisis beberapa hal yang belum dilakukan pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap para TKI. Perlindungan yang maksimal terhadap TKI, baik pada masa pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan menjadi hal yang belum dilakukan. Apabila pemerintah serius dalam memberikan perlindungan dalam berbagai masa tersebut, maka dapat dipastikan ketidakadilan terhadap TKI dapat direduksi hingga pada titik minimal. Selain itu, belum ada koordinasi yang baik antar kementerian dan lembaga
yang terkait
ketidakmasilan terjadi
dalam penanganan
TKI ini, sehingga berbagai
dalam pemberian perlindungan TKI. Seharusnya
kementerian dan lembaga tersebut saling bekerja sama dalam memberikan
85
perlindungan yang maksimal, tidak saling melemparkan tanggung jawab satu sama yang lainnya. Hal yang belum dilakukan terakhir di dalam penelitian ini adalah upaya penghapusan sistem Kaffalah yang berlaku di Saudi Arabia. Meskipun MoU telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, tetapi apabila sistem Kaffalah ini masih berlaku di Saudi Arabia, maka ada kemungkinan hal-hal yang tidak baik akan menimpa TKI kembali. Dalam menjalankan diplomasi terhadap Saudi Arabia tentunya terdapat tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Tantangan utama yang dihadapi adalah adanya perbedaan budaya antara kedua negara. Selain itu, perbedaan hukum yang sangat mencolok tentu menyulitkan Indonesia untuk melakukan diplomasi untuk melindungi para TKI. Dengan adanya perbedaan budaya dan hukum ini tentu akan menciptakan perbedaan pandangan antara kedua belah pihak dalam menanggapi suatu isu, terutama dalam pemberian perlindungan terhadap TKI. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus memiliki upaya diplomasi yang baik sehingga akhirnya tantangan ini tidak menghalangi pencapaian tujuan dari diplomasi itu sendiri. Dengan dilakukannya diplomasi antara Indonesia dan Saudi Arabia ini diharapkan hubungan bilateral kedua negara dapat semakin lebih baik, terutama dalam konteks buruh migran yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dalam hubungan internasional, diplomasi merupakan soft power yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan internasional yang terjadi. Keberhasilan diplomasi yang telah dilaksanakan dengan Saudi Arabia dapat dijadikan pembelajaran oleh Indonesia kepada negara-negara penerima TKI lainnya yang
86
bermasalah lainnya. Dengan demikian, permasalahan TKI di berbagai negara juga dapat direduksi secara kuantitas sehingga Indonesia dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi negara-negara pengirim buruh migran lainnya.
B. Saran Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap TKI di Saudi Arabia sudah baik. Meskipun demikian melalui penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran, yaitu: 1. Pemerintah Indonesia harus serius dalam mengevaluasi penerapan MoU tersebut di lapangan, sehingga hak para TKI dapat dilindungi dengan baik. Dalam tahap ini, pemerintah Indonesia harus membentuk Joint Working Commitee sehingga semua dapat berjalan maksimal. Bahkan pembentukan ini harus dilakukan jauh sebelum moratorium dicabut dan dilakukan pengiriman TKI kembali ke Saudi Arabia. 2. Pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi PPTKIS yang telah menjadi rekan pemerintah Indonesia dalam menempatkan TKI di Luar Negeri. PPTKIS yang memiliki catatan buruk dan tidak bertanggung jawab dalam pemberian perlindungan terhadap TKI dapat ditindak tegas dan bahkan dicabut Surat Izin Pengerahan-nya. 3. Ketegasan dan keseriusan pemerintah Indonesia juga diperlukan dalam mempersiapkan TKI di dalam negeri. Keahlian dan pengetahuan yang rendah juga menjadi pemicu utama tindak kekerasan terjadi terhadap TKI di Saudi
87
Arabia. Selain itu, pengetahuan TKI mengenai budaya, hukum, dan jika perlu bahasa negara penempatan harus ditingkatkan. 4. Perlu dilakukan perbaikan kinerja dari masing-masing kementerian dan lembaga yang memiliki keterkaitan dalam penempatan dan perlindungan TKI. Tidak hanya kinerja dari masing-masing pihak tersebut, tetapi perlu juga dilakukan perbaikan di dalam koordinasi antar kementerian dan lembaga tersebut, sehingga setiap kementerian/lembaga dapat bekerja secara maksimal. Selain itu diperlukan undang-undang atau hukum yang mengatur kewajiban dan wewenang dari masing-masing kementerian/lembaga sehingga tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab. 5. Pemerintah Indonesia perlu melihat sistem Kaffalah sebagai sebuah ancaman bagi TKI. Sistem Kaffalah yang dapat dilihat sebagai bentuk perbudakan modern, oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu berdiplomasi terhadap Saudi Arabia untuk penghapusan sistem ini. 6. Revisi Undang-undang No. 39 Tahun 2004 harus segera diselesaikan dan disahkan kembali sebagai undang-undang yang dipakai menjadi hukum domestik Indonesia untuk menempatkan dan melindungi TKI. Revisi tersebut harus disesuaikan dengan konvensi internasional mengenai buruh migran dan memasukkan hal-hal yang belum tercantum sebelumnya di dalam aturan domestik Indonesia.
88