BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan terbatas bahwa komunitas ini adalah orang Bali dan Hindu. Tidak pula terbatas pada seremoni atau upacara-upacara besar yang menunjukkan eksistensi mereka seperti sebuah negara teater Kampung Bali. Ada sistem sosial di dalamnya yang memfungsikan identitas kebalian mereka – sebuah sistem sosial yang sama kompleksnya dengan identitas itu sendiri sebagai sebuah kesatuan. Picard (1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian sebagai kebudayaan Bali yang merupakan gabungan dari elemen-elemen penting kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat istiadat (tradisi) dan kesenian.
Sistem Sosial - Kemasyarakatan Komunitas Bali Nusa Ciri khas komunitas Bali Nusa di Balinuraga – yang secara umum menjadi ciri khas transmigran Bali – adalah keterikatan sosialnya dengan tanah kelahiran atau tanah leluhur. Ikatan sosial ini yang kemudian menjadi ciri khas atau pengidentifikasian diri mereka sebagai Bali Hindu – tetap menjadi Bali Hindu – meskipun sudah berada di luar Bali. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sistem sosial ini diadaptasi oleh para transmigran agar mereka tetap identik (sama) seperti yang ada di tempat kelahirannya Nusa Penida, Bali. Bagi mereka menjadi Bali setelah berada di Lampung bukan hanya karena mereka berasal dari Bali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana sistem sosial yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kultural-keagamaan (Bali Hindu) tetap berjalan dan berlaku seperti di tempat asal dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan tempat yang baru (Lampung). Keseluruhan sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat dan keagamaan, sistem kekerabatan dan kemasyarakatan, sistem pertanian dan lain-lain – adalah dasar dari kebalian mereka, sekaligus menjadi Lampung (bagian dari masyarakat Lampung). Mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa mereka menjadi Bali (Bali Hindu) setelah berada di Lampung ketika sistem sosial yang ada di tempat asal tetap dijalankan sebagaimana mestinya (dengan melakukan beberapa penyesuaian-penyesuaian
247
berdasarkan konsep kala dan patra) melalui ritual dan upacara adatkeagamaan layaknya di Bali secara eksklusif di dalam komunitasnya (Kampung Bali); dan menjadi Lampung dalam proses interaksi dan relasinya (hubungan sosial) dengan komunitas lain dalam masyarakat Lampung yang majemuk, baik hubungan personal dan kelompok (horisontal) maupun hubungan dengan instansi pemerintahan (vertikal). Dengan kata lain, sistem sosial layaknya di Bali ini yang menjadikan landasan identitas mereka sebagai “Bali Hindu” yang ada di Lampung. Untuk menguraikan sistem sosial komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga ini, maka pembahasannya akan dipilah-pilah menjadi beberapa bagian, meskipun berada dalam sebuah sistem sosial di komunitas ini. Sistem sosial ini adalah sistem yang kurang lebih sama dengan yang ada di tanah kelahiran mereka, khususnya di Nusa Penida, Bali. Ada pun yang menjadi bagian atau elemen-elemen dari sistem sosial yang turut mereka adaptasi di Desa Balinuraga, Lampung Selatan, yang menjadi identitas mereka sebagai Bali Hindu di Lampung adalah sistem adat dan keagamaan dalam bentuk kewajiban-kewajiban terhadap pura tertentu (kahyangan tiga, kawitan, dadia), banjar, krama subak, status sosial dalam sistem warga (sistem kekerabatan dalam satu identitas leluhur), perkumpulan dan keanggotaan seka (baca: seke, sebutan lain sekeha-sekeha) tertentu, dan komunitas adat (banjar, desa adat / desa pakraman)224. Berdasarkan elemen-elemen tersebut, yang dalam adaptasinya dilakukan proses penyesuaian berdasarkan konteks masyarakat Lampung yang majemuk, maka menjadikan komunitas ini sebagai sebuah komunitas yang memiliki ikatan sosial yang kuat ke dalam komunitasnya (melalui komunitas Kampung Bali yang eksklusif, bonding) tapi juga sebagai sebuah komunitas yang memiliki ikatan sosial yang kuat ke luar komunitasnya (bridging, atau bonding dalam ruang identitas yang lebih besar, yaitu ikatan sosial sebagai masyarakat Lampung).
224
Sebagai perbandingan dapat lihat Geertz (1959) “From and Variation in Bali Village Structure”, dalam American Antropoligist Vol. 61. Pp.991-1012, segi-segi kehidupan sosial apa saja yang mengikat masyarakat Bali dalam sistem sosialnya.
248
Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan Sebuah pertanyaan penting guna memastikan eksistensi komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga adalah apa (wujud fisik pura tertentu) yang melegalkan bahwa komunitas ini atau Desa Balinuraga merupakan sebuah komunitas adat-keagamaan Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan? Cukup mudah untuk memastikan dan membuktikan bahwa desa ini merupakan sebuah desa Bali Hindu yang ada di luar Bali, yaitu dengan melihat wujud fisik Pura Kahyangan Tiga: Pura Desa (Pura Bale Agung), Pura Puseh (sebutan lain: Pura Segara), dan Pura Dalem. Keberadaan Pura Kahyangan Tiga ini, yang sejak di tahun-tahun awal mereka bertransmigrasi sudah mulai dibangun dalam bentuk yang sangat sederhana, merupakan elemen penting yang menyatukan komunitas transmigran Bali Nusa dalam satu komunitas adat-keagamaan yang nantinya bernama Desa Balinuraga. Dengan kata lain, eksistensi identitas mereka sebagai sebuah desa atau komunitas Bali Nusa (Bali Hindu) yang mengikat komunitas ini secara adat dan keagamaan dapat dilihat keberadaan Pura Kahyangan Tiga. Fungsi utama dari keberadaan Pura Kahyangan Tiga ini adalah sebagai pemersatu anggota komunitas Desa Balinuraga yang terfragmentasi ke dalam tujuh banjar (dusun) dengan komposisi wargawarga tertentu dan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)225. Meskipun Pura Kahyangan Tiga ini berfungsi sebagai pemersatu dari warga-warga yang tersebar di tujuh banjar, namun ada sebuah kasus menarik yang harus dipaparkan oleh penulis bahwa pertentangan antar warga yang telah dibahas sebelumnya di Bab Lima juga dimanifestasikan dalam salah satu Pura Kahyangan Tiga ini, yaitu adanya dua Pura Puseh (tercakup di dalamnya Pura Penataran Bale Agung). Sejak wafatnya Sri Mpu Suci sebagai patron utama sebagai pemersatu wargawarga, kelompok warga yang bertentangan dengan kelompok warga yang lain berusaha untuk membuat Pura Puseh tersendiri sebagai manifestasi 225
Fungsi lain dari Pura Kahyangan Tiga adalah mengendalikan tiga dasar sifat dan bakat manusia yang dalam ajaran agama Hindu disebut Tri Guna (Wiana 2007), yaitu (1) Sattwam: dasar terbentuknya sifat-sifat baik, tenang, suci, pengasih dan penyayang; (2) Rajas:dasar terbentuknya sifat-sifat aktif bergerak energik; (3) dan Tamas: dasar terbentuknya sifat-sifat lamban, gelap dan malas.
249
Dewa Wisnu (Dewa Pelindung) bagi komunitas (banjar) warga tersebut. Seolah-olah salah satu kelompok warga tersebut tidak mau memiliki satu Pura Puseh, atau ingin memiliki Dewa Pelindung atau Pura Puseh sendiri bagi komunitas warga-nya. Namun, Pura Desa (Pura Bale Agung) dan Pura Dalem tetap satu dalam Desa Balinuraga. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila di dalam catatan statistik Kecamatan Way Panji tahun 2009 tercatat ada empat buah tempat peribadatan atau pura (seharusnya ada tiga pura / Kahyangan Tiga) di Desa Balinuraga226. Realitas pertentangan warga yang turut dimanifestasikan dalam salah satu Pura Kahyangan Tiga ini sebenarnya adalah sebuah dinamika dalam komunitas Bali Nusa di mana setiap kelompok warga memiliki ego tersendiri untuk menunjukkan status siapa tertinggi. Para tokoh atau sepuh sebenarnya menyayangkan kejadian seperti ini, mengapa pertentangan antar warga yang sebenarnya diwakili oleh para elit warga tertentu sampai melibatkan umat. Dalam arti pertentangan elit warga sampai melibatkan dan membawa umat pada tempat peribadatan (Pura Puseh dan Pura Desa) yang berbeda, di mana sebelumnya (sebelum Sri Mpu Suci wafat) mereka tetap beribadat dalam pura yang sama. Muncul kesan dan terkesan ingin mengkotak-kotakan dan memertajamkan perbedaan tersebut atas identitas warga (leluhur), khususnya Warga Pandé dan Warga Pasek, di mana Warga Arya berada di pihak yang netral. Oleh karenanya, keberfungsian Pura Kahyangan Tiga sebagai pemersatu komunitas Bali Nusa tetap berjalan sebagaimana mestinya, meskipun ada perpecahan. Hal ini disebabkan mereka masih memiliki satu Pura Desa dan Pura Dalem bersama-sama, misalnya, dalam upacara Ngaben semua warga menggunakan Pura Dalem yang sama. Dalam kasus tertentu (upacara keagamaan Hindu Dharma) PHDI sebagai wadah umat Hindu Dharma menjalankan fungsinya sebagai penengah, yaitu memutuskan pura mana (Pura Desa) yang akan dijadikan tempat upacara bagi umat Hindu Dharma di Desa Balinuraga, karena PHDI sendiri tidak mau ikut campur mengenai urusan adat, tapi menekankan pada kepentingan umat Hindu Dharma. Bagi PHDI keutuhan dan kesolidan umat Hindu Dharma di Balinuraga lebih 226
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan (2009), Kecamatan Way Panji Dalam Angka Tahun 2008-2009.
250
penting, dan mencegah agar pertentangan adat (warga) tidak merembet ke persoalan umat. Di samping itu, untuk ibadah yang bersifat harian mereka memiliki Pura Keluarga (Rong Telu) sebagai Pura Kahyangan Tiga di level keluarga inti. Realitas yang tidak dapat dihindari dari pertentangan warga ini terhadap bangunan Pura Kahyangan Tiga adalah warga-warga lebih condong (memprioritaskan) renovasi Pura Kawitan warga-nya daripada Pura Kahyangan Tiga milik desa mereka, karena persaingan eksistensi identitas warga mana yang lebih unggul lebih mudah untuk dimanifestasikan – Pura Kahyangan Tiga merupakan milik Desa Balinuraga atau semua kelompok warga-warga, sedangkan Pura Kawitan adalah milik satu kelompok warga tertentu.
251
Gambar 20. Pura Desa dan Pura Puseh I (Atas: Pura Desa dan Puseh tampak depan; Bawah: pintu / gapura depan Pura Desa dan Puseh) (Sumber: Yulianto, 2010)
252
Gambar 21. Pura Desa dan Pura Puseh II (Atas: bagian dalam Pura; bawah: Pura tampak depan menyerong ke kanan) (Sumber: Yulianto, 2010)
253
Gambar 22. Pura Dalem (Atas: bagian dalam Pura diambil dari sisi kiri tembok Pura; bawah: bagian depan Pura) (Sumber: Yulianto, 2010)
Jika Pura Kahyangan Tiga merupakan pura bersama bagi wargawarga di Desa Balinuraga, maka pada level di bawahnya (banjar atau dusun yang mewakili identitas warga tertentu) mereka memilki Pura Kawitan untuk warga-nya yang saat ini sudah membaur di berbagai banjar. Artinya, dalam contoh kasus di Balinuraga, Warga Pandé dan Warga Pasek memilki Pura Kawitan-nya sendiri (Pura Kawitan Warga Pandé dan Pura Kawitan Warga Pasek); berbeda dengan Pura Kahyangan Tiga yang mana digunakan oleh warga-warga. Pura Kawitan Warga (dadia) ini berfungsi sebagai tempat suci (pura) untuk memuja roh suci
254
leluhur sebagai Sang Hyang Atma, dan sebagai pemersatu anggotaanggota komunitas Desa Balinuraga yang tersebar di berbagai banjar berdasarkan identitas warga-nya atau identitas leluhurnya (pada satu leluhur pembentuk klan atau warga tersebut). Oleh karena itu, dalam kasus-kasus tertentu penyelenggaraan upacara atau ritual adat-keagamaan terkadang tidak dilakukan bersama-sama dan dalam waktu yang bersamaan karena setiap warga memiliki Pura Kawitan-nya sendiri. Tidak mengherankan jika di Desa Balinuraga dalam rentang waktu tertentu dan dalam ritual dan upacara adat-keagamaan tertentu dilaksanakan di tempat yang berbeda dengan massa yang berbeda, tapi masih berada dan merupakan masyarakat Desa Balinuraga; dan bagi orang awam yang melihat penyelenggaraan ritual dan upacara tersebut akan menilai bahwa ritual dan upacara adat-keagamaan sepertinya berlangsung terus menerus dengan jeda waktu yang tidak terlalu lama.
Gambar 23. Pura Kawitan Warga (Gapura depan memasuki bagian jero Pura) (Sumber: Yulianto, 2010)
Dasar atau acuan dari pembangunan Pura Kawitan Warga di Desa Balinuraga adalah Pura Kawitan mereka di tanah kelahiran (sebelum mereka bertransmigrasi), yaitu di Nusa Penida. Lebih spesifiknya adalah dalam wilayah adat atau banjar di Nusa Penida, namun tetap dalam satu identitas leluhur (warga) yang sama. Pura Kawitan ini merupakan ikatan
255
sosial atas identitas leluhur dan tempat asal yang tidak dapat mereka lepaskan meskipun mereka sudah berada di Lampung Selatan. Mereka harus dan memiliki kewajiban adat-keagamaan terhadap Pura Kawitan meskipun sudah berada di Lampung. Jati diri dan identitasnya sebagai Bali Hindu ada di dalam Pura Kawitan tersebut. Dalam perkembangannya, khususnya setelah beberapa anggota komunitas Desa Balinuraga merantau ke luar Desa Balinuraga (beralih dari pertanian ke perkebunan), seperti ke Lampung Timur (Tulang Bawang) dan Sumatera Selatan (daerah perbatasan Lampung Timur dan Sumatera Selatan), Pura Kawitan di Balinuraga tetap dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan kewajiban adat-keagamaannya. Istilah orang Balinuraga yang sudah merantau (masih di dalam pulau Sumatera) adalah pulang kampung ke Balinuraga ketika ada upacara dan ritual adat-keagamaan penting yang diselenggarakan di Pura Kawitan di Balinuraga berdasarkan identitas warga-nya sendiri. Bagi mereka yang merantau, maka pulang kampung untuk melaksanakan kewajiban adat-keagamaan sebanyak dua kali: ke Balinuraga, Lampung Selatan dan Nusa Penida, Bali. Contoh kasusnya, dalam upacara penting seperti Ngaben, anggota warga atau keluarga besar dari anggota keluarga warga tertentu pasti akan datang ke Balinuraga untuk menghadiri upacara tersebut. Bagi mereka tidak ada alasan untuk tidak menghadiri upacara tersebut, karena ini merupakan acara yang bersifat sakral bagi mereka, selain sebagai forum silatuhrami (medharma suaka). Oleh karena itu, akar kesolidan (kekompakkan) etnis Bali di Lampung di level bawah (keluarga besar warga), dalam kasus ini Bali Nusa di Balinuraga adalah keberadaan Pura Kawitan. Di level desa adalah keberadaan Kahyangan Tiga, dan di level provinsi (Bali Lampung) adalah keberadaan “Pura Besakih-nya Lampung” atau “pura pemersatu” Bali Lampung yang berada di Way Lunik (Bandar Lampung).
256
Gambar 24. Warga Banjar Bersembahyang di Pura Kawitan Warga saat Upacara Galungan (Atas: warga bersembahyang di bagian jero Pura; bawah: sulinggih memberikan tirta kepada umat) (Sumber: Yulianto, 2010)
Kata “leluhur” (sebutan lain “leluhur”: “wit”) itu sendiri – terkait dengan Pura Kawitan – yang dalam Bahasa Sansekerta disebut “pitr” (pitra) – ibu dan bapak para leluhur yang sudah meninggal – memiliki dua tipe, yaitu bapak, kakek, kumpi (buyut) ke atas, dan leluhur yang menjadi asal dari seluruh umat manusia (Titib 2003). Pura kawitan yang berfungsi sebagai tempat pemujuaan roh suci leluhur – seperti kasus Pura Kawitan
257
Warga di Balinuraga – didirikan oleh pihak keluarga inti, keluarga besar sampai satu klan (satu warga). Karenanya, di dalam sebuah Pura Kawitan Warga di Balinuraga, terdapat beberapa tipe pelinggih (bangunan suci) sebagai tempat pemujaan leluhur (1-5), yaitu (1) sanggah atau merajan sebagai tempat pemujaan leluhur level keluarga inti; (2) merajan kamulan sebagai tempat pemujaan leluhur dengan level beberapa keluarga inti; (3) merajan ibu pertiwi atau merajan Agung sebagai tempat pemujaan leluhur sedikitnya sepuluh keluarga inti; (4) pura Ibu atau pura batur jika sudah mencapai sedikitnya dua puluh keluarga inti; (5) pura dadia atau pura panti jika sudah mencapai empat puluh keluarga inti; (6) pura padharman sebagai tempat pemujaan leluhur untuk satu warga (satu klan) atau seluruh keluarga besar yang berasal dari satu identitas warga. Keenam tipe ini digolongkan sebagai Pura Kawitan227.
Gambar 25. Bagian Dalam (jero) Pura Kawitan (Sumber: Yulianto, 2009)
Banjar, Desa Adat, dan Seka Konsep banjar yang digunakan di Balinuraga memiliki pengertian dan fungsi yang sama seperti konsep banjar yang berlaku umum dalam
227
Untuk uraian singkat mengenai tingkatan atau level Pura Kawitan lihat: Ketut Wiana (2007, hlm. 56-57) dalam “Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu”, Surabaya: Penerbit Paramita.
258
masyarakat Bali, yaitu sebagai kesatuan masyarakat adat. Hanya saja banjar yang diadopsi oleh masyarakat Balinuraga adalah seperti banjar yang ada di Nusa Penida. Seperti contoh banjar pertama yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga, Banjar Pandéarga yang merupakan banjar bagi Warga Pandé yang berasal dari Dusun (banjar) Soyor, Desa Tanglat, yang ada di Nusa Penida. Saat ini Desa Balinuraga memiliki tujuh banjar, yaitu Banjar Sumbersari, Jatirukun, Sukanadi, Sukamulya, Banjarsari, Sidorahayu (baca: Siderahayu), dan Pandéarga. Umumnya setiap banjar memilki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan banjar lain, khususnya banjar yang didominasi keanggotaannya oleh kelompok warga tertentu. Artinya, untuk saat ini anggota dari beberapa kelompok warga sudah membaur, meskipun ada banjar-banjar tertentu yang didominasi keanggotaannya oleh warga tertentu. Misalnya, untuk Banjar Pandéarga keanggotaan di dalamnya terdapat juga anggota dari Warga Pasek dan Arya, meskipun banjar ini tetap dengan ciri khasnya sebagai banjar-nya Warga Pandé; begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang didominasi oleh Warga Pasek. Selain kedua banjar ini yang kental dengan identitas warga-nya dari kelompok warga tertentu, umumnya banjarbanjar lain lebih moderat dan bersifat netral, terutama yang memilki komposisi warga-nya berimbang (Pandé, Pasek, dan Arya). Sama seperti di Bali pada umumnya, banjar di Balinuraga merupakan kesatuan adat sekaligus keagamaan. Aktivitas adat dan keagamaan sebenarnya lebih banyak di lakukan di level banjar daripada di level desa. Jika ada hari raya keagamaan atau ritual adat-keagamaan tertentu, pelaksanaannya terfokus pada setiap banjar. Ini disebabkan setiap banjar memiliki karakteristik atau ciri khas tersendiri, khususnya tradisi adat-keagamaan yang dilaksanakan oleh kelompok warga-warga. Artinya, ritual dan upacara adat-keagamaan di Banjar Pandéarga (Warga Pandé) berbeda dengan Banjar Sidorahayu (Warga Pasek), meskipun hari raya atau jenis upacaranya sama. Terkadang anggota banjar yang warga-nya berbeda bisa melakukan penyelenggaraan ritual dan upacara adatkeagamaan-nya sendiri, atau bergabung dengan banjar lain di mana menjadi basis warga tertentu. Hal ini cukup menarik karena dalam satu hari raya tertentu prosesi ritual dan upacara adat-keagamaan dilakukan dalam waktu yang tidak sama dan dengan cara yang berbeda berdasarkan
259
ciri khas dan karakteristik warga tertentu. Terkadang mereka memilih hari yang lain, agar pelaksanaan ritual dan upacara adat-keagamaan tidak berada di waktu yang sama. Sekaligus untuk menunjukkan eksistensi identitas warga-nya bahwa mereka berbeda dengan warga lain dan mempunyai keunikan tersendiri. Untuk saat ini, yang membedakan banjar di Balinuraga dengan banjar di Bali adalah banjar di Balinuraga tidak otonom secara administratif. Artinya, secara administratif mereka merupakan bagian dari Desa Dinas dengan kedudukan setara dengan Dusun. Awig-awig adatnya bersifat informal (tidak tertulis), sanksinya tidak bersifat mengikat seperti hukum legal (berupa sanksi sosial), dan hanya berlaku dalam banjar itu sendiri. Karena itu, fungsi Desa Adat sebagai Desa Pakraman di Balinuraga sebagai lembaga adat sekaligus keagamaan lebih banyak dimainkan perannya oleh banjar-banjar sebagai komunitas adatkeagamaan di level dusun. Otomatis ketika ketujuh banjar ini menjalankan fungsinya sebagai lembaga adat-keagamaan, maka Desa Adat itu sudah berjalan. Hal ini disebabkan karena Desa Adat di Balinuraga itu sendiri merupakan gabungan dari ketujuh banjar. Ini yang menyebabkan awigawig untuk Desa Balinuraga sebagai “Desa Adat” belum rampung dan masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang, karena kesatuan adatkeagamaan di setiap banjar sudah begitu kuat dan memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri yang mewakili satu kelompok warga tertentu – dan bagi mereka mungkin lebih baik tidak ada awig-awig Desa Adat daripada menimbulkan perdebatan terus menerus. Setiap banjar memiliki awigawig-nya sendiri (tidak tertulis) berdasarkan kelompok warga tertentu, jika dibuat awig-awig Desa Adat maka akan semakin mempertajam pertentangan identitas warga pada setiap banjar. Tentu setiap elit warga yang ada di banjar tertentu ingin mendominasi dalam pembuatan awigawig Desa Adat berdasarkan kepentingan atau dominasi warga-nya. Selain itu, konsep “Desa Adat” Balinuraga menjadi satu dengan Desa Administratif versi pemerintah yang mengakibatkan kerancuan. Bagi mereka yang terpenting adalah komunitas adat-keagamaan di dalam banjar, karena itu merupakan representasi “Desa Adat” Balinuraga dan basis dari komunitas adat-keagamaan Bali Nusa di level desa.
260
Kehadiran tujuh banjar di Balinuraga memberikan satu dinamika tersendiri dalam hubungan antar banjar, khususnya banjar yang didominasi dan menjadi identitas dari kelompok warga yang memiliki pengaruh dominan di Balinuraga: Pasek dan Pandé. Persaingan kedua kelompok banjar dengan identitas warga-nya sangat tampak dalam setiap aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka, terutama terkait dengan adat-keagamaan. Misalnya, persaingan terkait banjar mana yang memiliki kelompok seni (seka gong) dengan permainan gamelan dan pentas tarinya yang paling menawan dengan cita rasa seni yang tinggi berdasarkan konsep dan pemahaman mereka; banjar mana yang dapat menyelenggarakan ritual adat-keagamaan yang paling mewah dan bergengsi dengan massa yang besar; banjar mana yang memilki tim bola voli, bulu tangkis atau sepak bola yang paling kuat; dan lain-lain. Mereka menyebut persaingan ini, yang sebenarnya bukan terletak pada persaingan antar banjar tapi lebih pada persaingan antar warga dalam memperebutkan posisi yang dominan dan berpengaruh di Balinuraga. Patron atau pemersatu banjar yang berbasiskan identitas warga adalah sulinggih. Artinya, sulinggih mana yang pamor dan popularitasnya (kekuatan sekala dan niskala) yang paling besar. Indikatornya adalah seberapa besar jumlah tamu (dari berbagai kelompok etnis) atau pun pejabat penting yang bertamu ke rumah sulinggih tersebut untuk berkonsultasi spiritual untuk berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan asmara, bisnis, karir, atau pun jabatan penting di pemerintahan daerah. Menariknya persaingan ini dinilai oleh mereka bukan sebagai pemecah komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Justru melalui persaingan ini semakin meningkatkan keterampilan kesenian (tari, gamelan, ukiran, lukisan, dan lain-lain) dan perekonomian. Persaingan ini memacu mereka untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan kesenian tradisional Bali, dan memotivasi mereka untuk bekerja lebih agresif di bidang pertanian – di mana sebagian dari mereka merantau ke daerah lain untuk membuka perkebunan karet dan sawit yang hasil lebihnya bisa mereka donasikan untuk kemajuan kelompok seni di banjarnya dan untuk keperluan penyelenggaraan ritual adat-keagamaan penting. Akibatnya, pembangunan khususnya renovasi Pura Kahyangan Tiga menjadi sedikit lebih terabaikan, karena adanya gengsi kelompok banjar dengan identitas warga-nya.
261
Terlepas dari persaingan antar banjar, poin penting dari kehadiran banjar ini adalah bagaimana banjar sebagai salah satu elemen dari sistem sosial bagi komunitas Bali Nusa sebagai Bali Hindu menjadi wadah bagi mereka agar eksistensi adat dan keagamaannya tetap bertahan dan lestari. Hal ini disebabkan karena banjar sebagai kesatuan adat-keagamaan menjadi jati diri mereka setelah berada di Lampung, di mana kewajiban adat-keagamaan mereka laksanakan di dalam komunitas banjar. Ini yang menyebabkan seberapa jauh mereka merantau ke luar Desa Balinuraga, mereka akan berusaha datang ke desa atau banjar-nya jika ada ritual dan upacara adat-keagamaan yang penting. Mereka tidak ingin kehilangan keanggotaannya pada banjar tersebut, karena akan berdampak pada eksistensi mereka sebagai Bali Hindu di Lampung. Begitu pula sebaliknya, jika banjar asal mereka di Nusa Penida sedang melaksanakan ritual dan upacara adat-keagamaan penting. Mereka sebisa mungkin menghadiri kegiatan tersebut, dan mempersiapkan sejumlah dana dari jauh-jauh hari agar bisa datang ke Nusa Penida. Karenanya, tidak mengherankan jika mereka yang ekonominya mapan dan memiliki fisik yang masih prima minimal satu tahun sekali pulang kampung ke Nusa Penida. Terutama setelah hadirnya penerbangan Lampung-Jakarta-Bali, khususnya Lampung-Jakarta, yang jumlah penerbangannya lebih banyak dan dengan harga yang sangat terjangkau. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem sosial yang berasal dari tanah kelahiran mereka di Nusa Penida, Bali, mengikat kuat dan melembaga dalam diri individu Bali Nusa yang ada di Balinuraga. Seperti yang dijelaskan pada Bab Lima, bahwa mereka ingin seidentik mungkin dengan sistem sosial-nya yang ada di Bali, sehingga eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu tetap diakui meskipun sudah berada di luar Bali, khususnya setelah perekonomiannya mereka sudah mapan. Di era reformasi, terutama setelah diterapkannya model “pemilihan langsung” kepala daerah maupun anggota legislatif, banjar baik langsung atau pun tidak langsung telah ikut terjun ke arena politik praktis yang diwakili oleh elit-elit banjar. Semakin kompak dan solid sebuah banjar dengan jumlah massa yang besar sebagai pemilih, maka semakin banyak calon kepala daerah maupun calon legislatif yang berkampanye di banjar tersebut, dan sebagai banjar pertama untuk
262
berkampanye. Model kampanye di Desa Balinuraga bukan berbasis desa, tapi berbasiskan banjar atau dusun. Kekuatan kelompok masyarakat dan massanya berkumpul pada setiap banjar. Karenanya, lebih mudah menyatukan dan menggerakkan massa di level banjar daripada di level desa. Para calon kepala daerah maupun anggota legislatif mengetahui (sebelumnya sudah diberitahu oleh elit-elit setiap banjar) bahwa waktu yang tepat untuk berkampanye adalah saat diselenggarakan upacara penting pada hari raya tertentu, di mana massa berkumpul di setiap banjarnya tanpa dikomandoi oleh siapa pun. Massa yang berkumpul untuk melaksanakan kewajiban adat dan keagamaannya justru dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah atau pun anggota legislatif sebagai ajang untuk berkampanye. Tujuannya sangat jelas: penghematan biaya. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengumpulkan massa, tapi setelah kegiatan upacara dan kampanye selesai setiap calon cukup memberikan sejumlah dana (bantuan) kepada pura dan banjar sebagai kas – alasan klasiknya adalah untuk pembangunan dan renovasi pura. Sebagai catatan, para calon kepala daerah dan legislatif yang berkampanye di level banjar adalah mereka yang saat ini belum memiliki posisi di pemerintahan atau pun di legislatif (non-imcumbent). Calon kepala daerah yang sedang menjabat (incumbent) dan mencalonkan dirinya kembali sudah tentu memanfaatkan posisinya untuk berkampanye pada saat upacara keagamaan besar, di mana massa yang berkumpul adalah massa (umat Hindu Dharma) setingkat kabupaten, seperti saat Upacara Melasti di Pantai Merak Belantung (Maret 2010). Adalah sebuah kesalahan jika para calon berpikir bahwa massa di setiap banjar adalah pemilih yang “penurut”. Umumnya mereka sudah “melek” politik, karena seringnya para calon berkampanye di banjar setiap kali akan digelar pemilihan langsung dengan janji-janji yang hampir sama: “memperjuangkan dan menyuarakan eksistensi identitas kebalian (Bali Hindu) di Lampung”. Para calon kepala daerah dan legislatif yang umumnya berasal dari kalangan non-Bali tidak mengetahui bahwa setiap banjar di Balinuraga sudah bermain politik praktis di level banjar dan desa berdasarkan identitas warga-nya: sebuah pertarungan politik antar warga yang berlangsung lebih dari empat dasawarsa (sejak tahun 1970-an sampai sekarang). Setiap anggota banjar sudah tahu elit warga-nya sendiri dan elit warga lain mana yang dapat dipercaya dan
263
tidak. Mereka pun tanpa segan-segan mengacuhkan elit warga dari banjarnya sendiri jika memang track-record-nya jelek di bidang politik, khususnya yang sangat berambisius untuk berkuasa dan mencari uang dengan “menjual” suara anggota banjar kepada calon tertentu untuk kepentingan politiknya sendiri. Mereka sudah mengetahui bahwa elit di banjar yang berambisi besar tidak layak dipercaya, dan dalam kasus tertentu, jika elit tersebut mencalonkan diri pada jabatan strategis tertentu, maka elit tersebut tidak dipilih (mendapatkan suara yang kecil). Berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan secara turun temurun berdasarkan tradisi Bali Hindu, mereka umumnya mengetahui calon mana yang pantas untuk dipilih, termasuk elit-nya sendiri, apakah pantas dipercaya atau tidak (cara sederhana adalah dengan melihat pesona wajah seseorang). Uniknya, setiap kali ada yang berkampanye di banjar tertentu dalam Desa Balinuraga, setiap banjar berusaha memberikan yang terbaik baik para calon yang berkampanye, meskipun waktu kampanye sebenarnya dilakukan saat penyelenggaraan upacara dan ritual tertentu, yaitu memberikan kata sambutan, memberikan tempat duduk yang khusus, disuguhkan pentas kesenian Bali, makanan dan minuman bagi tamu, dan lain-lain. Sebenarnya, ini bukan berarti mereka akan memilih calon tersebut sebagaimana hangatnya sambutan yang diberikan oleh banjar – dan ini sering disalah-tafsirkan oleh para calon dengan menganggap bahwa mereka akan secara aklamasi mendapatkan dukungan penuh dari anggota banjar – tetapi ini merupakan manifestasi dari pertarungan politik atau perang dingin antar banjar yang menjadi perwakilan dari identitas warga tertentu. Banjar tidak mau memusingkan dirinya dengan janji atau pun jumlah donasi yang diberikan para calon untuk kas pura dan banjar, tapi bagaimana mereka bisa menunjukkan harga diri banjar-nya sebagai banjar dengan identitas warga tertentu, bahwa mereka memiliki prestise yang tinggi, yaitu dengan memberikan sambutan yang hangat, menyuguhkan pentas kesenian Bali, memberikan posisi dan tempat duduk yang baik, menyajikan makanan dan minuman bagi calon sebagai tamu, dan lain-lain.
264
Gambar 26. Calon Kepala Daerah Berkampanye di Banjar di dalam Pura Kawitan Warga (Calon Kepala Daerah Ditampilkan Tari Barong) (Sumber: Yulianto, 2010)
Setiap banjar memilki sebuah bale banjar sendiri, termasuk sekaseka dan krama subak228, serta pemimpin adatnya (klian banjar). Bale banjar merupakan tempat di mana seluruh anggota banjar berkumpul secara rutin dalam periode waktu tertentu untuk membahas berbagai permasalahan sosial-keagamaan. Di dalam bale banjar terdapat lumbung (jineng) bagi krama subak yang ada di setiap banjar – saat sekarang setiap petani yang sudah mapan memiliki lumbung dan penggilingan padi sendiri. Di Balinuraga setiap banjar memiliki kelompok kesenian (seka gong) dan krama subak berdasarkan banjar-nya masing-masing, termasuk kelompok olahraga seperti bulu tangkis, bola voli, dan sepak bola. Secara organisasional seka ini berada di bawah otoritas banjar. Seka (baca: seke), sebutan lainnya sekeha-sekeha, menggunakan definisi Geertz (1977) merupakan: suatu kelompok sosial, dibentuk berdasarkan kriteria yang tunggal dan eksklusif, kriteria keanggotaan, dan dicurahkan untuk mencapi tujuan sosial yang tertentu dan biasanya agak khusus, misalnya 228
Krama diartikan sebagai masyarakat atau anggota masyarakat adat. “Krama Subak” berarti (dalam artian umum) anggota masyarakat adat untuk organisasi Subak. “Krama” ini menjadi kata dasar dari Desa “Pa-krama-an” sebagai persamaan dari Desa Adat.
265
keagamaan, politik, ekonomi, atau apa saja. Dalam kasus yang sampai saat ini masih terjadi, keberhasilan sebuah seka, khususnya seka gong, dalam menampilkan pentas seni (gamelan dan tari Bali), maka akan meningkatkan popularitas sebuah banjar, dan juga status sosial kekompok warga tertentu identik dengan banjar tersebut. Seka gong adalah seka yang paling tua di Balinuraga, dan sampai sekarang masih eksis. Seka gong tertua dimiliki oleh Banjar Pandéarga sebagai banjar pertama yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga. Popularitasnya menjadikan seka gong ini kerap mengisi pentas kesenian Bali untuk komunitas Bali di luar Desa Balinuraga, baik yang ada di Lampung Selatan maupun yang ada di Sumatera Selatan, dan untuk mengisi acara formal di pemerintahan daerah. Saingannya adalah seka gong milik Banjar Sidorahayu, yang dalam kesempatan tertentu juga diminta untuk mengisi acara kesenian di berbagai tempat atas permintaan dari berbagai kalangan tertentu. Biasanya honor yang diterima dari seka gong ini akan digunakan untuk kepentingan banjar, terutama untuk biaya renovasi dan uang kas Pura Kawitan. Selain seka gong masih terdapat seka-seka lainnya, seperti seka tani (krama subak) untuk koordinasi petani dalam satu banjar (dusun), seka untuk kaum lansia (lanjut usia), seka untuk mempelajari keagamaan, seka untuk cabang olahraga tertentu, dan lain-lain. Seka yang dulu pernah populer adalah seka yang beranggotakan para pemuda yang bertugas melakukan inspeksi dan penertiban babi-babi yang sering berkeliaran di jalan desa terutama ketika pemilik sedang bertani. Babi-babi yang tertangkap ketika berkeliaran di jalan desa akan ditangkap, kemudian akan ditahan oleh seka tersebut. Lalu, pihak pemilik diwajibkan untuk menebus atau membayar denda atas babinya jika ingin diambil kembali. Jika sampai waktu tertentu babi tersebut belum ditebus oleh pemiliknya, maka babi akan dijual. Uang denda dan penjualan babi digunakan oleh seka tersebut untuk membiayai seka cabang olahraga tertentu, seperti bulu tangkis, voli, sepak bola, catur, dan lain-lain. Seka lain yang lebih spesifik dan lebih eksklusif adalah seka atau perkumpulan berdasarkan tingkatan keluarga dalam satu identitas warga berdasarkan satu garis keturunan leluhur (wit), misalnya: seka dari keluarga inti dan keluarga besar dari warga tertentu. Selain anggota keluarga inti, keluarga besar, atau warga ini, seseorang tidak dapat menjadi anggota dari seka ini. Tugas dan kewajiban utama dari seka atau
266
kelompok ini, sebuah tugas yang tidak dapat digantikan oleh siapa pun kecuali anggotanya sendiri adalah memilihara dan menjaga Pura Kawitan, serta menyelenggarakan peribadatan (bersembahyang) untuk setiap merajan (keluarga inti), dadia (keluarga besar), yang ada di Pura Kawitan. Seka jenis ini pembentukkan terjadi secara otomatis, tanpa melalui proses perencanaan yang berbelit-belit. Mereka yang berasal dari orang tua yang sama, kakek yang sama, buyut yang sama, leluhur yang sama, secara otomatis memiliki seka-nya, karena setiap tingkatan dari seka tersebut, khususnya di level orang tua atau keluarga inti, di mana tugas dan kewajiban di dalam Pura Kawitan (dalam merajan) tidak dapat digantikan oleh anggota keluarga inti yang lain, meskipun berasal dari kakek yang sama. Di level satu garis leluhur tunggal (wit), keanggotaan seka adalah seluruh anggota keluarga inti yang berasal dari satu identitas leluhur yang sama, atau disebut warga, dengan tugas dan kewajiban yang sama di Pura Kawitan. Seka jenis ini biasanya masih berada di dalam satu banjar tertentu, atau menjadi bagian dari banjar yang mewakili satu identitas warga tertentu. Jenis seka lain yang masih berada di dalam satu banjar, terkadang menjadi identitas sebuah banjar (menjadi satu), adalah seka yang dibentuk berdasarkan keanggotaan keluarganya ketika berada di Nusa Penida dalam satu banjar tertentu, misalnya: seka untuk Warga Pandé yang ada di Dusun Soyor di Nusa Penida.
267
Gambar 27. Salah Satu Bale Banjar (Atas: tampak depan; bawah: gedung utama bale banjar) (Sumber: Yulianto, 2010)
Kembali ke seka sebagai sebuah salah satu sistem sosial dalam masyarakat Bali, seka yang ada di Balinuraga merupakan adaptasi dari seka yang ada di Nusa Penida. Mereka yang sebelum bertransmigrasi merupakan anggota dari seka gong atau seka tani, seka-seka tersebut mereka terapkan lagi setelah bertransmigrasi. Untuk kasus seka gong dan seka tani, mereka yang membentuk seka ini adalah mereka yang dulunya sewaktu di Nusa Penida telah menjadi anggota dari seka tersebut di dalam
268
banjar-nya – dalam perkembangannya keanggotannya menjadi terbuka ketika ada transmigran Bali Nusa (baik Bali Nusa dari Nusa Penida atau pun yang berasal dari Jembrana, Bali Utara) yang bertransmigrasi ke wilayah Balinuraga dalam banjar tersebut dalam transmigrasi gelombang kedua. Kemudian, untuk kasus seka gong, kehadiran seka ini berfungsi sebagai kaderisasi bagi generasi berikutnya untuk mengembangkan dan meneruskan kesenian Bali. Ini yang menyebabkan seka gong tetap eksis di Balinuraga, dan menjadikan desa ini populer akan pentas keseniannya, baik di kalangan komunitas Bali di luar Balinuraga maupun di kalangan pemerintah daerah. Selain sebagai tradisi dalam masyarakat Bali, seka di Balinuraga secara sosial berfungsi untuk mempererat solidaritas anggotanya, khususnya anggota di dalam satu banjar. Umumnya setiap anggota banjar mempunyai keanggotaan di seka tertentu, dan keanggotaannya lebih dari satu seka dalam satu banjar. Mereka akan merasa canggung jika tidak memiliki keanggotaan atau terlibat aktif dalam seka tertentu. Ada sebuah prestise tersendiri, khususnya bagi anak muda di Balinuraga dan orang tuanya (ada regenerasi dari orang tua ke anaknya dalam keanggotaan dan keterampilan seni dalam seka gong), jika menjadi anggota seka gong, terutama memiliki keahlian tertentu di dalam seka gong tersebut, seperti terampil memainkan gamelen Bali dan mementaskan salah satu varian tarian Bali – bagi pemuda ini merupakan nilai tambah untuk memikat seorang gadis Bali, baik di Balinuraga atau pun di luar Balinuraga jika sedang diundang pentas ke perkampungan Bali lain di luar Balinuraga.
269
Gambar 28. Seka Gong sedang Mentas (Di malam hari dalam rangkaian upacara pitra yadnya) (Sumber: Yulianto, 2010)
270
Gambar 29. Anggota dan Logo Seka Gong (sebelah kiri: persiapan mentas Tari Baris saat upacara puncak ngaben pribadi; kanan: logo seka gong yang ada di seragam resmi) (Sumber: Yulianto, 2010)
Subak Sistem subak yang ada di Balinuraga berbeda dengan yang ada di Bali pada umumnya. Hal ini ini disebabkan sawah di Balinuraga tidak
271
menggunakan irigasi, atau sistem irigasi (subak)229, melainkan menggunakan sistem sawah tadah hujan. Sama seperti pola pertanian mereka ketika di Balinuraga yang sangat mengandalkan air hujan, karena sangat terbatasnya air tanah dan curah hujan di Nusa Penida. Dapat dikatakan mereka sudah terbiasa dengan lahan pertanian yang mengandalkan air dari curah hujan. Konsep yang digunakan dalam adopsi sistem subak ini terletak pada krama subak yang keanggotannya berdasarkan banjar tertentu, yaitu dengan membentuk seka tersendiri di masing-masing banjar. Krama subak kurang lebih mirip seperti kelompok tani, atau biasa disebut seka tani. Pembedanya adalah pada dalam proses pertaniannya dilihatnya unsur-unsur adat-keagamaan Bali Hindu yang menjadi ciri khas mereka. Keanggotaannya adalah anggota banjar yang berprofesi sebagai petani (pemilik sawah). Jadi, tidak didasarkan pada identitas warga yang ada di dalam banjar tersebut. Siapa pun bisa menjadi anggota, asalkan berasal dari banjar atau anggota dusun tersebut. Sama seperti banjar, krama subak ini memiliki kekompakkan yang khusus sebagai kelompok tani Bali Nusa. Proses pertanian dimulai dan diakhiri bersama-sama, mulai dari masa pembenihan bibit sampai pada proses panen dan penjualan, dengan waktu yang hampir bersamaan dengan krama subak di banjar lain. Proses ini yang membedakan pola pertanian antara kelompok petani Bali Nusa dengan kelompok petani Jawa. Unsur adat-keagamaan yang dimasukan dalam proses pertanian menjadikan kegiatan bertani sebagai sebuah proses sakral, sekaligus terkesan ribet bagi orang awam (petani Jawa). Penunjuk utama bahwa lahan pertanian (sawah) itu adalah milik petani Bali (Bali Nusa) adalah keberadaan sebuah pura di lahan pertanian – biasa disebut dengan “pura tani”– yang secara rutin mereka sajikan bantenan (sesajen). Salah satu peraturan tidak tertulis (semacam awig-awig) yang berlaku bagi krama subak adalah mereka tidak diperkenankan menjual hasil panennya sesaat setelah panen selesai dilaksanakan. Setelah masa panen mereka wajib melakukan upacara pengucapan syukur, dan menyimpan hasil panennya di dalam lumbung. 229
Sebagai perbandingan bagaimana sistem subak di Bali terkait dengan sistem irigasinya, lihat: Sutawan (2008), Organisasi dan Manajemen Subak di Bali, Denpasar: Pustaka Bali Post.
272
Penjualan dilakukan setelah harga jual gabah atau beras tinggi (harganya pas atau sesuai, tidak nombok), kecuali ada kasus-kasus tertentu seperti padi puso akibat banjir dan serangan hama wereng. Acara puncak dari proses pertanian yang biasanya diselenggarakan dalam sebuah ritual dan upacara yang besar adalah ruwatan hasil panen, khususnya ketika panen besar berhasil diraih oleh krama subak dari banjar tertentu. Terkadang dalam waktu tertentu acara ini turut disponsori oleh perusahaan swasta yang menjual produk bibit, pupuk, dan pembasmi hama, dan juga pemerintah daerah. Ini bukan berarti ketika hasil panen tidak baik dan tidak ada sponsor upacara ini tidak dilakukan. Upacara ini tetap dilakukan secara sederhana oleh mereka secara swakarsa, meskipun panen tidak baik dan tidak ada sponsor. Inti dari upacara ini adalah wujud pengucapan syukur atas anugerah dari Sang Hyang Widhi. Mereka percaya bahwa pengucapan syukur melalui upacara ini akan mendatangkan keberhasilan pada penanaman berikutnya, meskipun misalnya terjadi panen yang tidak baik. Kemudian, pendapatan dari uang penjualan hasil panen ini digunakan oleh mereka untuk berbagai kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak, pembangunan dan renovasi pura keluarga, kawitan, kahyangan tiga, penyelenggaraan upacara adat-keagamaan penting, dan kebutuhan sekunder lainnya. Jadi, ritual dan upacara adat-keagamaan merupakan sebuah kewajiban bagi krama subak dalam menjalankan profesi mereka di bidang pertanian. Mereka percaya dan meyakini bahwa kealpaan dari ritual dan upacara ini akan berdampak pada sanksi niskala, entah hasil panen yang lebih buruk di masa tanam berikutnya, maupun malapetaka yang menimpa anggota keluarganya. Hal penting dari sistem subak yang diadopsi oleh masyarakat Balinuraga pada setiap krama subak di banjar-nya adalah sebagai wadah atau organisasi sosial serta organisasi yang bersifat adatkeagamaan. Berikutnya, yang jauh lebih penting adalah sebagai pemersatu komunitas banjar yang terdiri dari anggota kelompok warga-warga sebagai petani Balinuraga. Tentu, akan menjadi kebanggaan tersendiri jika krama subak dari banjar tertentu mendapatkan hasil panen yang lebih baik dari krama subak di banjar lain.
273
Arti penting dari keberadaan seka tani atau krama subak yang berada di bawah banjar adalah fungsinya sebagai lembaga adat, agama, dan perekonomian (pertanian). Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiga fungsi ini menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, dalam setiap pelaksanaan kegiatan pertanian (ekonomi) krama subak tidak dapat melepaskan kegiatan pertanian tersebut dengan kegiatan adat dan agama. Secara simbolis, eksistensi krama subak dapat dilihat dari berdirinya “Pura Subak” atau “Pura Empelan” sebagai pemersatu krama subak dalam teritori banjar tertentu. Keanggotaan krama subak atau seka tani ini tidak hanya keanggotaannya sebagai petani tapi juga sebagai anggota adat dan keagamaan. Karenanya, di level keluarga inti (petani pemilik lahan), setiap petani memiliki pura tani di lahan pertaniannya. Upacara penting yang melibatkan krama subak – terkait dengan kegiatan pertanian, adat, dan keagamaan – biasanya diselenggarakan di Pura Subak. Bila upacara tersebut merupakan upacara yang besar – seperti ruwatan hasil panen – upacara diselenggarakan di bale banjar, setelah upacara inti diselenggarakan di pura subak. Sistem pertanian tradisional ini (subak) yang menjadi pembeda antara petani Bali (Bali Hindu) dengan petani Jawa. Petani Bali – seperti di Balinuraga – tetap mempertahankan sistem pertaniannya yang tradisional, di mana unsur adat dan agama menjadi satu dengan kegiatan pertanian mereka.
Gambar 30. Pura Tani (Pura Tani di lahan pertanian krama subak) (Sumber: Yulianto, 2008)
274
Gambar 31. Pura Subak / Empelan (Sumber: Yulianto, 2009)
Salah satu inovasi yang dilakukan oleh petani di Balinuraga sebagai solusi mengatasi kekurangan air adalah dengan membangun sumur bor. Ketika musim hujan berdurasi singkat, sedangkan lahan pertanian mereka tadah hujan, maka kehadiran sumur bor ini akan sangat mendukung para anggota krama subak. Umumnya setiap petani memilki sumur bor sendiri. Saat ini tidak membutuhkan biaya yang besar untuk membuat sumur bor. Dengan biaya tiga sampai lima juta (harga paling murah) mereka sudah dapat membangun sumur bor di lahan pertaniannya230. Kendala dari kehadiran sumur bor tersebut yang mulai dirasakan oleh petani Balinuraga adalah sumur tradisional di rumah debit airnya mengalami penurunan yang cukup signifikan ketika kemarau tiba.
230
Dalam kasus tertentu, ada yang menghabiskan sampai puluhan juta rupiah untuk membangun sumur bor, namun hasilnya tidak memuaskan. Ini dikarenakan karena tanah pertaniannya tidak berada pada jalur air tanah yang memiliki debit air yang besar.
275
Gambar 32. Sumur Bor Krama Subak (Sumber: Yulianto, 2008)
Keberhasilan dari kelompok tani (krama subak) di Balinuraga adalah menjadikan desa ini sebagai salah desa penghasil beras di Kabupaten Lampung Selatan. Kesolidan dan kekompakkan krama subak ini yang menjadikan mereka sebagai petani yang diidentikkan dengan petani pekerja keras, tekun, ulet, dan agresif. Bagi mereka tanah dua hektar serasa belum memiliki tanah, karena masih dapat mereka kelola sendiri tanpa menggunakan jasa dari buruh tani. Memiliki tanah lebih dari dua hektar – rata-rata puluhan hektar – baru dianggap memiliki tanah, karena mereka sudah menggunakan buruh tani dan tidak menggarapnya sendiri. Saat musim hujan mulai tiba dan masa pembenihan serta penanaman telah dimulai, Desa Balinuraga seperti kampung kosong sejak dini hari. Hanya sekawanan babi, ayam, dan anjing yang berkeliaran di jalan desa dan pekarangan rumah. Desa mulai ramai kembali di waktu sore hari setelah petani dan beberapa anggota keluarganya telah pulang dari sawah, dan di malam hari diisi dengan kegiatan olahraga atau bermain musik dan berlatih tari dalam seka gong.
Sistem Warga Sebelum membahas sistem warga yang berlaku dalam komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, ada beberapa fakta yang harus dikemukakan terlebih dahulu, yaitu (1) masyarakat Bali Nusa termasuk dalam golongan jabawangsa, yaitu sebuah golongan atau kelompok masyarakat Bali yang
276
berada di luar lingkungan kerajaan (puri) atau triwangsa (brahmana, kesatria, dan weysia). Sebutan lain dari golongan jabawangsa ini – yang bagi sebagian besar anggota kelompok warga yang tidak dimasukkan ke dalam golongan triwangsa di masa kolonial sebagai sebuah sebutan yang merendahkan harkat dan martabat mereka – adalah sudrawangsa atau orang sudra. Dengan kata lain, saat mereka masih berada di Nusa Penida dan setelah berada di Lampung, mereka termasuk golongan jabawangsa. Secara geografis pun keberadaan mereka di Nusa Penida jauh dari lingkaran dan jangkauan kekuasaan puri, di mana puri atau kerajaan terdekat adalah Klungkung. Di samping itu, sejarah di masa kerajaan di mana pulau ini dijadikan sebagai tempat pengasingan atau pembuangan bagi tahanan politik pihak kerajaan yang berkuasa, di mana yang menjadi tahanan politik (sebagian besar) adalah orang-orang penting yang memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi, dan orang-orang buangan karena melakukan praktek ilmu hitam ketika berada di pulau induk, Bali. Mereka yang diasingkan ke Nusa Penida secara otomatis status atau kedudukan sosialnya menjadi hilang. Dengan kata lain, mereka menjadi kawula atau rakyat jelata, yang biasa disebut sebagai orang jaba (orang luar); (2) sebuah realitas bahwa golongan jabawangsa ini terdiri dari beberapa kelompok warga yang berasal dari leluhur yang berbeda, di mana leluhur tersebut menjadi pembentuk dari warga atau klan generasi-generasi berikutnya. Menariknya adalah leluhur dari beberapa kelompok warga tersebut, baik berdasarkan sejarahnya atau pun berdasarkan versi elit-elit warga tersebut, merupakan seseorang yang memiliki peran penting di dalam pemerintahan dan keagamaan. Singkatnya, leluhur-leluhur warga tersebut di masanya termasuk dalam golongan brahmana dan kesatria; (3) konsep warga sebagai sebuah identitas sosial atau status sosial lebih senang mereka gunakan daripada konsep wangsa atau kasta. Mereka lebih sering mengidentifikasikan dirinya sebagai Warga Pasek, Warga Pandé, dan Warga Arya daripada mengidentifikasikan dirinya sebagai jabawangsa atau sudrawangsa. Terkadang mereka yang sudah generasi ketiga secara meyakinkan dapat menyebutkan identitasnya sebagai Warga A, Warga B, atau Warga C, tapi mereka menjadi bingung (belum paham) ketika Warga A, Warga B, atau Warga C itu termasuk dalam kasta atau wangsa apa. Bagi generasi sebelumnya yang sudah sepuh dan mereka yang memahami
277
konsep catur warna dalam agama Hindu, mereka lebih senang dengan konsep warga karena dinilai lebih egaliter, tidak ada pembedaan kelas atau status sosial berdasarkan kelahiran yang bersifat ajeg. Mereka pun bangga dengan status sosial warga-nya, karena leluhur mereka di masanya memiliki perang yang penting di pemerintahan kerajaan dan di bidang keagamaan (sebagai kesatria dan sebagai brahmana). Hal ini diperkuat dengan komposisi masyarakat Nusa Penida di waktu itu (sebelum bertransmigrasi) yang lebih egaliter karena kedudukan pulau tersebut sebagai tempat pengasingan dan lokasinya yang jauh dari pusat kerajaan (puri). Dalam beberapa kasus, (dimungkinkan) terjadi beberapa kesalahan dari beberapa kelompok masyarakat dalam mengidentifikasikan identitas warga atau leluhurnya. Beberapa fakta di atas merupakan dasar bagi berkembanganya sistem warga di Balinuraga. Sistem wangsa yang dulu pernah berlaku di masa kolonial – dan sampai sekarang masih (mungkin) masih berlaku atau dianggap relevan bagi kalangan tertentu di Bali – tidak mereka adaptasi di Balinuraga. Seperti fakta-fakta di atas, memang secara situasional sistem wangsa tidak berkembang di Nusa Penida, baik karena posisi pulau tersebut sebagai pulau pengasingan atau pun karena letaknya yang jauh dari pusat kerajaan. Dengan kata lain, tidak ada bangsawan puri atau raja menetap di Nusa Penida di era kolonial, yang dapat memastikan berjalannya sistem wangsa tersebut atas dukungan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, mereka yang bertransmigrasi dari Nusa Penida ke Lampung Selatan (generasi pertama transmigran Bali Nusa) tidak ada yang berasal dari golongan triwangsa; dengan kata lain seluruh transmigran ini berasal dari golongan jabawangsa atau non-puri. Hal ini dapat dibuktikan dari pemakaian nama yang tidak menggunakan gelar kebangsawan seperti halnya golongan triwangsa, seperti Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda, Gusti, Dewa Agung, dan lain-lain. Nama yang mereka kenakan adalah nama-nama umum seperti yang digunakan masyarakat Bali pada umumnya yang bukan berasal dari golongan puri, seperti: Nyoman, Kadek, Putu, Wayan, Made, Ketut, Komang, dan sebagainya ( kata “I” di depan nama tersebut untuk laki-laki, sedangkan “Ni” untuk wanita). Pemakaian “gelar” bagi kalangan non-sulinggih umumnya hanya dengan nama warga, contohnya dengan menambahkan nama “Pandé” di antara atau di belakang
278
nama “ I Made” menjadi “I Pandé Made Sutra” atau “I Made Pandé Sutra” (biasanya jarang digunakan dan penempatannya tergantung dari orang tua yang memberi nama), dan gelar bagi sulinggih warga seperti “Sri Mpu” atau “Rsi” (sangat terbatas, hanya boleh digunakan oleh sulinggih warga yang sah). Sistem atau konsep warga digunakan atau diadaptasi dalam komunitas Bali Nusa di Balinuraga dikarenakan di dalam konsep warga atau soroh terdapat identitas mereka sebagai Bali. Menurut mereka, bagaimana mungkin bisa mengaku sebagai orang Bali jika (seseorang) tidak tahu berasal dari warga atau soroh apa. Sebagai (orang) Bali mereka harus tahu siapa dan apa leluhur atau warga-nya. Terlebih setelah keberadaan mereka di luar Bali (Lampung Selatan). Mereka butuh kejelasan dan keabsahan dari identitasnya sebagai warga apa dan siapa leluhurnya, agar diakui eksistensi identitasnya sebagai “Bali Hindu” baik di Lampung (dalam komunitasnya) maupun di Bali. Selain itu, di dalam sistem atau konsep warga ini terdapat sebuah status sosial atau prestise tertentu melekat pada setiap anggotanya berdasarkan sejarah kebesaran dari leluhur mereka di masanya yang membentuk klan atau warga tersebut. Karenanya, dalam dinamika hubungan atau relasi sosial di dalam komunitas ini tidak ada pertentangan atau pun konflik kasta antara mereka yang berkasta tinggi (triwangsa) dengan mereka yang berkasta rendah (sudrawangsa). Sebaliknya, pertentangan atau pun konflik tertutup (perang dingin) yang justru terjadi antara warga satu dengan warga lainnya. Dengan kata lain, konflik antar kelompok warga dalam golongan jabawangsa. Inti dari pertentangan atau konflik tertutup ini adalah memperebutkan siapa di antara warga tersebut (khususnya diwakili para elit warga) yang memiliki status sosial yang paling tinggi. Pertentangan klasik dan perang dingin yang masih terjadi sampai saat ini adalah antara Warga Pandé dan Warga Pasek, sedangkan Warga Arya tetap berada di posisi netral, tidak mau terlibat atau ikut campur perselisihan di antara kedua warga tersebut. Terlepas dari persaingan antar warga di Balinuraga, kehadiran sistem warga ini menjadikan masyarakat Balinuraga secara umum lebih egaliter: kedudukan mereka sama, tidak berlaku sistem kasta yang bersifat diskriminatif, tidak ada hirarki sosial vertikal tertutup, dan perlakuan
279
istimewa terhadap kelompok warga tertentu. Setiap warga memiliki sulinggih sendiri – Sri Mpu dan Rsi – yang bertugas sebagai pemimpin spiritual sekaligus sebagai patron bagi komunitas adat-keagamaan warga tersebut. Dengan demikian, mereka tidak bergantung pada peran pedanda (pendeta brahmana) yang harus mereka datangkan dari Bali, karena sulinggih warga memiliki fungsi kependetaan yang sama dengan pedanda dengan pengakuan legal (resmi) dari PHDI sebagai organisasi resmi (semi-pemerintah) agama-kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat Bali secara umum, baik untuk muput ritual dan upacara adat-keagamaan maupun untuk memberikan tirta (air suci) kepada anggota warga (dengan posisi sebagai umat Hindu Dharma) ketika dilangsungkan upacara penting. Secara sosial dan psikologis penggunaan sistem atau konsep warga ini di Balinuraga merupakan pembebasan dari belenggu sistem kasta yang bersifat diskriminatif seperti yang dipraktekan di masa kolonial. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa komunitas mereka yang disebut sebagai jabawangsa atau pun sudrawangsa ini bisa eksis secara komunitas dan mapan secara ekonomi setelah berada di luar Bali – dan beberapa di antaranya berhasil menduduki posisi strategis dalam pemerintahan lokal dan di bidang politik, atau pun memiliki karir yang menjanjikan sebagai profesional muda.
Bahasa Bali Nusa Pembeda yang paling signifikan antara Bali dari Pulau Nusa Penida (Bali Nusa) dengan Bali dari Pulau Bali adalah penggunaan bahasa. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Bali Nusa Penida. Bahasa ini berbeda dengan Bahasa Bali yang biasa digunakan secara umum oleh masyarakat Bali di Bali, meskipun berasal dari satu rumpun yang sama. Selain kosa kata, perbedaan yang mencolok terletak pada logat dan ekspresi mimik wajah ketika berkomunikasi. Bagi masyarakat Bali yang umum menggunakan Bahasa Bali, mereka akan kesulitan untuk memahami Bahasa Bali Nusa Penida. Namun, bagi Bali Nusa mereka tidak cukup kesulitan untuk memahami dan menggunakan Bahasa Bali yang umum digunakan, yaitu Bahasa Bali tingkatan nista (kasar, dalam Bahasa Jawa setingkat ngoko). Untuk kasus tertentu, jika ada orang Bali dari Bali dan orang Bali Nusa sedang berkumpul atau berdiskusi, orang Bali Nusa akan
280
menggunakan Bahasa Bali Nusa untuk berbisik atau menggosipkan lawan bicaranya yang berasal dari Bali. Jadi, cara termudah untuk mengidentifikasikan sebuah Kampung Bali di Lampung apakah ini Bali dari Bali atau Nusa Penida adalah dari bahasa dan logatnya, karena untuk model banjar, subak, seka, warga, ritual dan upacara adat-keagamaan umumnya hampir sama. Sama seperti elemen-elemen dari sistem sosial yang melekat pada masyarakat Bali, Bahasa Bali Nusa untuk sampai saat ini masih melekat setiap anggota komunitas Balinuraga sampai generasi muda (Bali Nusa yang sudah lahir dan besar di Lampung). Hal ini disebabkan Bahasa Bali Nusa masih digunakan sebagai bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari baik di level keluarga maupun dalam pergaulan di lingkup banjar dan Desa Balinuraga. Saat ini penggunaan Bahasa Bali Nusa oleh generasi muda, kosa katanya sudah mulai tercampur dengan kosakata dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (tingkat ngoko), dan menggunakan beberapa kosa kata gaul yang mereka dapatkan dari pergaulan dengan temantemannya yang tinggal di perkotaan. Begitu pula logat bahasanya yang sudah tercampur baur – mengingat ketika mereka bersekolah Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus mereka gunakan dalam berkomunikasi. Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang umum digunakan oleh masyarakat Balinuraga. Bahasa Indonesia biasa digunakan untuk acara formal yang melibatkan komunitas lain non-Bali – umumnya digunakan sebagai kata sambutan. Jika acara formal tersebut dikhususkan untuk komunitas Bali (Bali dan Bali Nusa), maka bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali yang halus, yaitu tingkat tertinggi yang disebut tingkat utama (dalam Bahasa Jawa setingkat krama), dan tingkat mengengah yang disebut tingkat madya . Di samping itu, Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Balinuraga jika mereka bertemu pertama kali sesama orang Bali Nusa yang ada di Lampung. Bahasa Bali Nusa baru mereka gunakan setelah pada percakapan awal dengan Bahasa Indonesia mereka sudah mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah orang Bali Nusa yang bisa menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua cukup disukai pemakaian oleh masyarakat Balinuraga karena bahasa nasional ini lebih egaliter, tidak ada tingkatan dalam berbahasa (berkomunikasi) ketika berbincang dengan lawan bicara dengan
281
kedudukan atau status sosial yang tinggi – sama seperti ketika mereka menggunakan Bahasa Bali Nusa yang tidak menekankan hirarki berbahasa terhadap lawan bicara yang berkedudukan tinggi. Selain itu, pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam acara formal memberikan prestise tersendiri bagi mereka, karena menjadikan mereka lebih Indonesia (perasaan nasionalisme). Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar cum santun yang digunakan oleh para sepuh yang memiliki latar belakang pendidikan mumpuni dan pergaulan yang luas dengan kelompok masyarakat lain dan birokrasi pemerintahan. Sebagian dari mereka juga bisa menggunakan Bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan etnis Jawa. Selain dikarenakan jumlah etnis Jawa jumlahnya besar di Lampung Selatan (khususnya di sekitar Desa Balinuraga), kemampuan mereka berbahasa Jawa dikarenakan pergaulan (pertemanan) atau pun hubungan kerja. Oleh karena itu, meskipun mereka tetap mempertahankan dan menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida di dalam komunitasnya, secara umumnya dialek atau pengucapannya dan pengkomunikasiannya sudah tidak sama persis seperti di Nusa Penida. Lingkungan sosial yang heterogen – dengan berbagai bahasa daerah dari masing-masing komunitas etnis dan satu bahasa nasional – merupakan faktor utama yang menyebabkan Bahasa Bali Nusa Penida tidak menjadi sama persis seperti di Nusa Penida, terutama pada dialeknya. Di samping, di Nusa Penida sendiri pada wilayah tertentu ada penggunaan Bahasa Nusa Penida dengan dialek yang berbeda. Penggunaan Bahasa Bali Nusa Penida di Desa Balinuraga merupakan cerminan dari kuatnya ikatan komunitas Bali Nusa terhadap tanah leluhurnya. Sekaligus menjadi identitas atau jati diri mereka sebagai orang Bali dari Nusa Penida. Ini yang menjadi ciri khas dari Bali Nusa yang ada di Lampung, dalam kasus ini di Balinuraga sebagai satu desa yang mayoritas anggota komunitasnya adalah Bali Nusa. Secara sosial Bahasa Bali Nusa Penida ini berfungsi untuk mempererat dan pemersatu Bali Nusa sebagai sebuah komunitas orang Bali dari Nusa Penida. Samasama orang Bali seperti orang Bali di Kampung Bali lain, tapi mereka adalah orang Bali yang berbeda: orang Bali Nusa. Ada kehangatan dan kedekatan secara psikologis ketika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida dengan sesama Bali Nusa, terutama Bali Nusa dari tempat lain di wilayah
282
Sumatera (perantau) di luar Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini didukung faktor tempat dan posisi mereka yang telah berada di luar Bali (Nusa Penida) dan sebagai pendatang atau perantau (perasaan senasibsepenanggungan). Namun sebaliknya, dalam kasus kecil, ada merasa canggung atau minder (rendah diri) jika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida, dan lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan seseorang itu telah lama merantau ke luar desa atau bekerja di kota, di mana Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan, atau Bahasa Indonesia bercampur Bahasa Jawa lebih banyak digunakan karena bekerja dan bergaul dalam lingkungan yang mayoritas beretnis Jawa kelahiran Sumatera. Perasaan canggung atau minder ini bisa disebabkan karena merasa bahasa ibunya dinilai terlalu tradisional atau tidak “gaul”, dan menggunakan Bahasa Indonesia seperti yang digunakan masyarakat perkotaan memberikan prestise tersendiri bagi seseorang tersebut bahwa dirinya telah menjadi modern atau “orang kota”. Selain itu, dalam kasus yang lebih kecil, ada beberapa orang di Balinuraga yang tidak fasih atau pandai menggunakan Bahasa Indonesia, tapi lebih fasih menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida. Mereka ini adalah para orang tua (usia lanjut) – jumlahnya tinggal sedikit – yang dalam kesehariannya setelah berada di Lampung jarang sekali bergaul atau berinteraksi dengan komunitas lain yang heterogen selain komunitas atau keluarganya sendiri.
Kompleks Perkampungan Bali Serasa seperti di Bali. Ini adalah kesan yang didapatkan jika mengunjungi sebuah perkampungan Bali di Desa Balinuraga – kurang lebih sama seperti mengunjungi perkampungan Bali lainnya yang ada di wilayah Provinsi Lampung. Seseorang (dari kalangan non-Bali) yang belum pernah ke Bali akan mengalami kesan “serasa seperti di Bali” ketika mengunjungi atau melewati Desa Balinuraga. Terlebih jika seseorang tersebut sudah pernah berkunjung ke Bali dan Nusa Penida. Kesan ini bisa langsung didapatkan secara langsung ketika melihat bangunan atau arsitektur Bali Hindu – pelinggih (bangunan suci) atau pura – begitu memasuki Desa Balinuraga. Pelinggih atau bangunan suci – terutama pura – semua didesain dan dibangun sama seperti yang ada di Bali. Detail
283
arsitekturnya bisa beragam antara satu keluarga atau warga yang lain berdasarkan identitas dari warga atau soroh-nya (klan) – meskipun jika dilihat bagi orang awam semua tampak sama seperti bangunan pura lainnya, khususnya rong telu atau rong tiga (pura keluarga yang menjadi khayangan tiga di level keluarga inti) dan Pura Kawitan Warga. Contoh yang paling menonjol adalah penggunaan warna merah (terang) pada pelinggih Warga Pandé sebagai simbol Dewa Api yang melindungi klan mereka sebagai keturunan dari pandai wesi. Bagi mereka yang tingkat perekonomiannya sudah mapan, pelinggih yang dibangun tidak hanya rong telu saja, tapi juga dilengkapi oleh patung-patung dewa-dewi yang mereka percayai sebagai pelindung dan manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa dengan desain yang menawan dan warna-warna yang indah – umumnya ditempatkan masih di dalam kompleks pura keluarga yang berada di depan atau perkarangan rumah yang sudah dilengkapi dengan sebuah taman bunga. Keindahan dan kemegahan pura keluarga yang mereka miliki merupakan sebuah upaya dari mereka bagaimana menempatkan atau mensthana-kan Sang Hyang Widhi Wasa (dalam manifestasinya melalui pura keluarga dan keberadaan patung atau arca dewa-dewi dalam Hindu) dalam sebuah sthana layaknya seperti di khayangan (surga) – memberikan sebuah tempat yang terbaik berdasarkan kemampuan ekonomi mereka di level keluarga inti. Ada pula yang membangun pura keluarga-nya di depan teras lantai rumahnya, sehingga dari kejauhan sudah tampak bangunan pura keluarga. Sama seperti ketika membangun Pura Kawitan, bagaimana Pura Kawitan ini dibangun seindah dan semegah mungkin, tidak hanya sebagai wujud ketaatan mereka sebagai umat Hindu Sang Hyang Widhi Wasa, tapi juga sebagai wujud nyata keeksistensian identitas warga (leluhur atau bhatara) yang diupayakan oleh keturunannya yang telah berada di luar Bali.
284
Gambar 33. Pura Keluarga di Pekarangan Rumah (Sumber: Yulianto, 2010).
Gambar 34. Pura Keluarga di Teras Lantai Atas Rumah (Sumber: Yulianto, 2010).
Dengan jumlah rumah tangga yang mencapai delapan ratus delapan belas keluarga atau 818 KK231 menjadikan Desa Balinuraga 231
Berdasarkan “Jumlah Penduduk Kecamatan Way Panji Menurut Desa, Jenis Kelamin dan Sex Ratio Tahun 2008” dalam Kecamatan Way Panji Dalam Angka 2008/2009 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan 2009).
285
sebagai sebuah desa atau Kampung Bali “seribu pura”. Menyebutkan Desa Balinuraga sebagai “desa seribu pura” (bangunan suci menurut Hindu Bali) sangat beralasan. Setiap kepala keluarga dipastikan memiliki satu pura keluarga, dan setiap kepala keluarga yang memiliki lahan pertanian juga dipastikan memiliki pura tani yang mereka bangun di atas lahan pertaniannya (di samping memiliki pura subak atau pura empelan sendiri untuk setiap krama subak). Termasuk dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura Kawitan berdasarkan identitas warga, dan bangunan suci lainnya berupa tugu, baik yang ditempatkan di titik sentral desa atau pun di tempat-tempat tertentu (biasanya dipersimpangan atau perempatan jalan) yang dianggap keramat atau angker. Jenis bangunan suci lainnya – sama fungsinya seperti pura sebagai tempat ibadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa – adalah meru (bangunan suci yang menjulang ke atas, semakin ke atas semakin mengerucut, berjumlah ganjil dan beratapkan ijuk) yang ada di pura-pura penting, seperti Pura Kawitan dan Pura Kahyangan Tiga.
Gambar 35. Tugu Desa (Sumber: Yulianto, 2008)
286
Gambar 36. Padmasana / Pelinggih di Perempatan Jalan (Sumber: Yulianto, 2010)
Untuk pembangunan pura keluarga bagi sebuah keluarga baru yang memiliki tempat tinggal baru (terpisah dari rumah orang tuanya), mereka mempercayai (dan dipraktekkan) bahwa pura keluarga harus dibangun terlebih dahulu sampai lengkap sebelum rumah atau tempat tinggal mereka dibangun secara permanen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ada rumah yang masih terbuat dari papan (semi permanen) tapi sudah memiliki pura keluarga yang permanen (biasanya keluarga baru, atau pendatang baru yang jumlahnya sangat sedikit mengingat tingkat hunian desa ini sudah padat). Kompleks desa atau perkampungan Bali di Balinuraga sejatinya dirancang atau didesain – awal mulanya oleh Sri Mpu Suci dan keluarganya – sama seperti yang ada di Bali pada umumnya (permukaan tanah yang menjadi tempat hunian dan pertanian relatif lebih datar, sama seperti di Bali, tapi berbeda dengan Nusa Penida yang berbukit-bukit dan bertanah keras). Jalan desa dibuat tidak terlalu lebar. Lebarnya hanya satu jalur, kecuali jalan utama desa yang dibuat dua jalur (seukuran mobil pribadi per jalur) yang menjadi jalan utama penghubung desa lain atau kecamatan. Itu pun jika dilintasi kendaraan besar (ukuran mobil Fuso) mobil dengan ukuran mobil pribadi harus menepi ke pinggir jalan. Kompleks pura-pura penting, seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura
287
Kawitan, dikelilingi atau dipagari oleh tembok (penyeker) dan ada penyangga sudut (paduraksa), sehingga menjadi seperti kompleks atau kawasan tersendiri yang menyatakan bahwa ini merupakan sebuah kompleks suci atau penting bagi mereka sebagai tempat peribadatan. Purapura penting tersebut memiliki areal tanah yang terbilang luas – mengingat saat pembangunannya di tahun 1960-an ketersediaan tanah masih banyak dan murah. Rata-rata untuk kompleks pura penting areanya seluas lapangan sepak bola – sama seperti kompleks bale banjar (sedikit lebih kecil daripada lapangan sepak bola). Untuk kompleks Pura Desa dan Pura Puseh (berada di sebelah barat dari tugu desa, merupakan pura pertama sebelum terjadi pemisahan yang dilakukan oleh warga lain), di depan kompleks pura (di luar tembok yang mengelilingi pura) masih terdapat tanah milik Pura Desa dan Pura Puseh seluas lapangan sepak bola. Di tanah ini pemuda-pemuda Balinuraga memanfaatkannya untuk bermain sepak bola. Kompleks yang lebih luas adalah Pura Dalem. Dikarenakan di luar kompleks Pura Dalem (di luar tembok yang mengelilingi Pura Dalem) terdapat tanah pura (tanah milik pura) yang digunakan sebagai kompleks setra (kuburan) dan tempat untuk prosesi ngaben. Sama seperti di Bali, tanah milik pura tidak dapat diperjualbelikan atau dialihfungsikan. Dengan kata lain, tanah milik pura hanya digunakan untuk kepentingan umat Hindu Dharma yang ada di Desa Balinuraga. Selain bale banjar, Desa Balinuraga juga memiliki beberapa bale bengong. Bale bengong ini dibangun di setiap perempatan jalan atau lokasi tertentu yang dianggap strategis di mana masyarakat mudah untuk berkumpul di sana. Bale bengong ini merupakan bangunan semi permanen dengan rata-rata luas bangunan 3 x 2 m2 (seperti rumah panggung pada bagian fondasi bawahnya sebagai penyangga bangunan), beratapkan genteng tanah liat dan memiliki ruang terbuka di bagian tengah. Di waktu senggang, jika tidak ada kegiatan pertanian, masyarakat berkumpul di bale bengong. Ibu-ibu biasa menggunakannya untuk kumpul-kumpul sambil bergosip. Pemuda-pemuda menggunakannya sebagai tempat “nongkrong” sambil memarkir motor barunya. Sebagian pemuda-pemuda dan bapakbapak menggunakannya untuk bermain kartu (umumnya kartu gaplek atau kartu ceki), baik menggunakan uang sebagai taruhan atau hanya bermain biasa untuk mengisi waktu. Ada pula yang menggunakannya untuk
288
bermain gamelan Bali, atau bernyanyi menggunakan gitar. Juga digunakan untuk tempat bertemu seseorang atau menunggu jemputan (mobil atau ojek). Melalui bale bengong dapat diketahui aktivitas perekonomian dan keagamaan di Balinuraga. Jika sebagian besar bale bengong sepi, tidak ada orang yang duduk-duduk atau bersantai di sana, maka dapat dipastikan masyarakat sedang sibuk di pertanian, atau sedang sibuk untuk mempersiapkan sebuah upacara dan ritual adat-keagamaan penting.
Gambar 37. Masyarakat Berkumpul di Bale Bengong (Sumber: Yulianto, 2010).
Secara umum perumahan masyarakat Balinuraga bersifat terbuka, jarang sekali menggunakan pagar besi atau pagar tembok, kecuali dalam beberapa kasus diperuntukkan untuk pura-pura penting dan pura keluarga. Begitu pula dengan kandang ternak yang tidak disekat atau dipagari secara khusus. Ini yang menyebabkan hewan peliharaan seperti babi (umumnya jenis babi celeng yang berwarna hitam), anjing, dan ayam berkeliaran di jalan-jalan desa tanpa dapat diketahui milik siapa. Biasanya hewan ini akan kembali ke kandangnya masing-masing baik atas perintah pemiliknya atau pun karena keinginannya sendiri. Khusus hewan peliharaan babi, kadang dapat menimbulkan permasalahan antar penduduk. Induk babi dan anak babi yang sering berkeliaran di jalan terkadang – jika bernasib naas – tertabrak oleh kendaraan roda dua atau roda empat. Dalam kasus kecil insiden penabrakan babi bisa menimbulkan pertengkaran antar penduduk, karena nilai ekonomis tinggi dan penjualannya lebih mudah dan cepat.
289
Tidak jarang dijumpai jika pemilik lengah ayam, babi, atau pun anjing bisa dengan masuk ke dalam rumah penduduk dengan mudahnya. Ini yang menyebabkan jika orang non-Bali mendapatkan kesan bahwa rumah orang Bali “kotor”. Dapat dimaklumi mengapa kesan ini muncul di benak mereka, karena bagi komunitas non-Bali – terutama etnis Jawa sebagai mayoritas – jarang yang memilihara anjing, terlebih lagi babi. Ada pun yang mereka pelihara adalah ayam, yang dibuat kandang khusus di belakang rumah, atau dibuat sebuah kandang di tempat lain. Namun, bagi penduduk Balinuraga hal ini adalah hal yang biasa saja, karena di Bali pun juga seperti itu (di kampung halamannya). Justru ini yang menjadi ciri khas atau identitas dari perkampungan Bali yang ada di Lampung: ada babi yang berkeliaran bebas di jalan desa. Memang ada denda atau penyitaan jika ada babi yang berkeliaran di jalan, namun babi yang berkeliaran di jalan tetap saja ada di jalan desa. Di samping tidak dibuat kandang khusus yang mencegah babi tersebut berkeliaran, juga disebabkan babi tersebut kekurangan makanan atau ingin mencari makanan lain di luar kandangnya. Umumnya disebabkan pemilik lupa atau memberikan makanan yang sedikit sebelum pergi ke sawah dari subuh hingga sore hari. Tidak ada sebuah desa atau sebuah perkampungan di Provinsi Lampung yang bisa memelihara babi dan anjing secara bebas tanpa ada protes dari komuntias etnis dan agama lain selain di perkampungan Bali, khususnya di Balinuraga.
290
Gambar 38. Babi yang Berkeliaran (Atas: anak Babi Australia / Babi Impor berkeliaran di jalan desa; bawah: babi celeng berkeliaran di halaman belakang rumah) (Sumber: Yulianto, 2010)
Kompleks perkampungan Bali di Desa Balinuraga, yang dibuat seidentik mungkin dengan yang ada di Bali mulai dari blue print sampai pada pembangunannya (termasuk arsitektur bangunan suci bagi Bali Hindu) dan bersifat eksklusif, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keterikatan yang kuat terhadap perkampungannya yang ada di Bali. Jadi tidak hanya sistem sosialnya saja, tapi juga sampai ke bentuk fisik (bangunan suci dan kompleks perkampungan) yang mencirikan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Keterikatan yang kuat atas tempat asal
291
tersebut yang menjadikan mereka berpandangan bahwa perkampungan mereka adalah yang paling ideal. Mereka tidak mau dibuatkan atau membuat model perkampungan seperti transmigran lainnya, karena itu bukan Bali, dan tidak membuat mereka merasa nyaman dan kerasan untuk bekerja dan menetap di Lampung. Kebebasan untuk mendesain dan membangun perkampungan Bali di Desa Balinuraga mereka dapatkan karena mereka merupakan transmigran swakarsa, tanpa sponsor dari pemerintah. Pembangunannya pun menggunakan pembiayaan dan tenaga secara komunitas (mandiri), terutama infrastruktur-infrastruktur adat dan keagamaan bagi Bali Hindu penting, seperti Pura Kahyangan Tiga, Pura Kawitan, dan Bale Banjar. Oleh karena itu, elemen-elemen atau simbolsimbol fisik yang menandakan identitas mereka sebagai Bali Hindu yang ada di perkampungan mereka di Nusa Penida (atau pun yang ada di Bali) sebisa mungkin untuk mereka penuhi. Dengan kata lain, bagaimana perkampungan Bali yang indah dan asri seperti yang ada di Bali dan Nusa Penida bisa mereka ciptakan setelah ada di Lampung. Tentu, perkampungan mereka di Balinuraga dilihat dari arsitektur dan bahan bangunannya lebih bagus daripada yang ada di Nusa Penida, karena di Nusa Penida mereka memiliki banyak keterbatasan baik tempat atau pun ketersediaan bahan bangunan. Acuannya (model perkampungan) adalah di Bali dan Nusa Penida, dengan tetap melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan konsep kala dan patra (tempat, keadaan dan waktu), tanpa mengurangi hakikatnya.
292
Gambar 39. Perkampungan Balinuraga (Di jalan utama desa menuju tugu desa) (Sumber: Yulianto, 2008)
Gambar 40. Perkampungan Balinuraga Tampak Atas (Sumber: Yulianto, 2010)
293
Gambar 41. Jalan Desa dan Plat Gang Desa (sumber: Yulianto, 2010)
Kedua, menjaga serta mempertahankan kelekatan dan kedekatan emosional dengan kampung halaman. Menjadikan Desa Balinuraga sebagai perkampungan Bali di Lampung berarti semakin mendekatkan dan melekatkan hubungan emosional dengan tanah leluhur. Mereka ingin agar romantisme seperti perkampungan Bali yang ada di Bali ada di tempat mereka yang baru (Lampung Selatan). Salah satu hal yang menyebabkan transmigran Bali Nusa mempunyai keinginan yang kuat untuk kembali ke kampung halamannya, khususnya transmigran pertama, adalah suasana perkampungan Bali yang ada di Nusa Penida. Oleh karena itu, dengan menjadikan Desa Balinuraga seperti perkampungan Bali keinginan yang kuat untuk kembali ke kampung halaman dapat tertahankan. Dengan demikian maka mereka bisa lebih fokus untuk bekerja di sektor pertanian, sehingga dapat secara rutin pulang ke Nusa Penida untuk menunaikan kewajiban adat dan keagamaannya. Ketiga, secara sosiologis perkampungan Bali di Desa Balinuraga sengaja dibuat eksklusif agar mereka dapat menunjukkan eksistensi identitasnya sebagai Bali Hindu dan sebagai Bali dari Nusa Penida. Dikatakan sebagai Kampung Bali karena anggota komunitas merupakan etnis Bali Hindu. Melalui perkampungan Bali mereka dapat menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok pendatang yang berbeda dengan kelompok pendatangan lainnya. Letak perbedaannya adalah bagaimana
294
mereka mempertahankan ciri khas yang selama ini melekat pada dirinya sebagai Bali Hindu: kebudayaan Bali Hindu. Sekaligus menunjukkan bahwa kebudayaan mereka yang luhur tersebut tetap eksis dan bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi yang ada di Lampung, serta tetap terbuka dalam interaksi sosialnya dengan komunitas etnis dan agama lain. Melalui perkampungan Bali komunitas berbasis identitas etnis-keagamaan ini mempererat dan mempersolid komunitasnya. Singkatnya, mereka ingin menunjukkan eksistensi kebudayaan Bali Hindunya setelah berada di Lampung, tidak hanya dalam wujud fisik berupa bangunan suci dengan arsitektur Bali Hindu dan kompleks perkampungan Bali, tapi juga sampai pelaksanaan kegiatan ritual dan upacara adatkeagamaan yang mereka laksanakan dengan runut dan disiplin. Dengan demikian, mereka bisa dihargai dan dihormati sebagai komunitas pendatang yang tidak hanya menjadi pendatang (transmigran) untuk kepentingan ekonomi, tapi turut melestarikan kebudayaan Bali Hindu-nya sebagai identitas pembeda dengan keunikannya yang khas – tanpa membatasi interaksi dan relasi dengan komunitas etnis dan agama lain. Keempat, alasan praktis. Satu desa adat dengan tujuh banjar yang mayoritas anggotanya Bali Nusa sangat mempermudah pelaksanaan kegiatan adat dan keagamaan yang jumlahnya banyak dan jaraknya berdekatan232. Sumbangan tenaga (ngayah) lebih mudah dilakukan karena masih berada dalam satu desa atau satu banjar yang sama, khususnya persiapan dan pelaksanaan upacara besar seperti ngaben. Keuntungannya adalah ada biaya yang bisa dihemat dan ditekan secara ekonomi dalam proses dan pelaksanaan upacara tersebut. Sistem ngayah ini tidak hanya dalam bentuk tenaga, tapi juga dalam bentuk bahan kebutuhan pokok, terutama yang menunjang kinerja para pengayah ketika sedang dalam
232
Dalam Desa Adat Balinuraga seluruh anggotanya adalah etnis Bali dari Nusa Penida – yang berasal dari Bali atau Lombok secara tidak disengaja karena ada urusan pekerjaan dan kemudian menikah dengan penduduk Balinuraga dan menetap di sana. Dalam Desa Administratif, di Desa Balinuaraga ada beberapa orang yang bukan etnis Bali. Mereka secara kebetulan dalam pemetaan desa masuk ke dalam Desa Bali Nuraga secara administratif. Karena itulah, orang nonBali yang masuk secara administratif Desa Balinuaraga tempat tinggalnya berada di pinggir desa atau perbatasan desa.
295
proses persiapan dan pelaksanaan upacara besar. Sistem ngayah ini dapat berjalan efektif di Balinuraga karena satu desa dengan tujuh banjarnya didominasi oleh etnis Bali – satu etnis dan agama. Sistem ini sifatnya mengikat, dan cenderung seperti arisan. Jika seseorang mengayah ke tempat yang tetangganya (baik tenaga maupun sumbangan sembako), maka saat seseorang tersebut sedang melaksanakan upacara besar (seperti ngaben) tetangga tersebut wajib mengayah di tempat seseorang tersebut (sesuai yang dulu pernah diayahkan. Selain itu, menghindari ketersinggungan atau perasaan terganggu dari komunitas etnis lain yang berbeda keyakinan mengingat banyaknya aktivitas keagamaan dan adat yang harus mereka lakukan. Terutama yang menyangkut hewan peliharaan jenis anjing dan babi, di mana bagi komunitas etnis lain dengan kepercayaan tertentu tidak diperkenankan untuk memelihara – apalagi mengonsumsinya – kedua jenis hewan tersebut. Sampai saat ini belum ada kasus di mana anjing dan babi peliharaan penduduk Balinuraga yang berkeliaran atau tersesat sampai ke desa tetangga dari komunitas etnis dan agama lain sehingga menimbulkan keributan, karena jaraknya terlalu jauh dan rata-rata dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas.
Contoh Kasus: Arsitektur Bali Pada Beberapa Jenis Bangunan Suci di Balinuraga Ciri khas perkampungan Bali adalah keberadaan bangunan pura sebagai tempat untuk peribadatan umat Hindu Dharma. Untuk sebuah perkampungan Bali setingkat desa seperti di Balinuraga, keberadaan pura yang ada di setiap rumah dan beberapa kompleks pura penting seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan merupakan penunjuk utama bahwa ini adalah perkampungan atau komunitas Bali Hindu yang ada di luar Bali, Lampung. Dengan kata lain, pura-pura yang ada di perkampungan Bali menjadi identitas mereka secara simbolis bahwa mereka adalah Bali Hindu. Namun, jika ditelusuri dan diamati lagi secara seksama, sebenarnya di setiap pura memiliki ragam bangunan suci atau biasa disebut pelinggih, di mana setiap pelinggih mempunya arti dan fungsinya masing-masing. Bangunan suci atau pelinggih merupakan bangunan tempat men-stana-kan Sang Hyang Widhi, manifestasi-Nya atau roh suci leluhur (Titib 2003). Dalam pemaparan contoh kasus ini, penulis akan menyajikan gambar-
296
gambar ragam pelinggih yang ada di setiap pura di Balinuraga. Ciri khusus dari setiap pelinggih yang ada di Balinuraga – umumnya sama di perkampungan Bali lainnya di Lampung – adalah semen (adukan semen dan pasir) sebagai bahan dasar konstruksi pelinggih. Ukir-ukiran patung, motif, dan lainnya yang ada di pelinggih juga terbuat dari semen: ukirukiran dibuat pada semen cetakan yang masih basah. Ukir-ukiran berbahan semen tersebut ada yang memang diukir, tapi ada juga yang sudah dibuat dari sebuah cetakan. Tergantung dari kemampuan ekonomi pemilik pura. Harga yang cetakan lebih murah daripada yang diukir dengan tangan. Modelnya secara umum mereka tiru dari Bali dan Nusa Penida, tapi ada juga yang sudah dilakukan modifikasi. Jadi, jika dilihat dari jenis dan model pelinggih pada pura, maka dapat dilihat perbedaan dengan yang ada di Bali yang lebih banyak menggunakan batu (batu padas, batu karang laut berwarna putih seperti yang umum digunakan di Nusa Penida, atau batu lahar dari Gunung Agung) sebagai bahan dasar konstruksi pura dan pelinggih di dalamnya. Dengan kata lain, secara umum dapat dikatakan bahwa pura atau pelinggih yang ada di dalam pura di Balinuraga adalah bangunan suci yang khas Bali dari Lampung. Beberapa ragam pelinggih yang ada di dalam (kompleks) pura yang akan penulis sajikan dalam bentuk gambar dan penjelasan singkat mengenai arti dan fungsinya, antara lain sebagai berikut: (1) Prasada; (2) Meru; (3) Padmasana; (4) Gedong; (5) Rong Tiga.
297
Prasada
Gambar 42. Prasada (Prasada yang ada di dalam Pura Kawitan, sebelah kiri diambil dari atas, sebelah kanan dari bawah) (Sumber: Yulianto, 2009)
Prasada merupakan bangunan suci (pelinggih) yang bentuknya menyerupai tugu dengan memiliki tiga bagian utama, yaitu dasar, badan dan atap. Atapnya memakai gelungan mahkota segi empat yang mengecil di bagian atasnya. Tingginya kurang lebih mencapi sepuluh meter. Bahan utama pelinggih ini adalah semen (adukan semen dan pasir) dan batu bata (untuk bagian fondasi). Fungsi prasada adalah sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa atau roh suci233.
233
Lihat: Titib (2003), Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Penerbit Paramita;
298
Meru
Gambar 43. Meru (Gambar pertama sebelah kiri: meru bertumpang sembilan di Pura Kawitan; gambar kedua di tengah: meru bertumpang lima di Pura Desa dan Puseh I; gambar ketga sebelah kanan: meru bertumpang tujuh di Pura Desa dan Puseh II, tumpang tujuh simbol Tujuh Rsi leluhur Warga Pasek) (Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)
Meru merupakan pelinggih yang (hampir selalu ada) di setiap (kompleks) Pura besar. Meru memiliki tiga bagian utama, yaitu dasar, badan dan atap. Ciri khas dari meru adalah atapnya berjumlah ganjil (3, 5, 7, 9, dan 11), atapnya semakin ke atas semakin mengecil, dan (umumnya) atap terbuat dari ijuk. Bagian dasar berbentuk bujur sangkar (sebagai fondasi) yang berbahan batu dan adukan semen-pasir, sedangkan bagian badan berbahan kayu. Meru merupakan simbol alam semesta (andha bhuana) yang terdiri dari tiga bagian: bhurloka, bhuvahloka, dan svahloka. Fungsi meru adalah sebagai tempat pemujaan bagi Sang Hyang Widi Wasa atau manifestasi-Nya dan sebagai tempat pemujaan Devapitara atau Atmasiddhadevata (roh suci leluhur)234.
234
Op.cit. Titib (2003); lihat juga: Dwijendra (2008), Arsitektur Bangunan Suci Hindu, Denpasar: Udayana University Press dan Bali Media Adhikarsa.
299
Padmasana
Gambar 44. Padmasana (Gambar pertama kiri atas: padmasana di Pura Kawitan; gambar kedua tengah: padmasana di Pura Desa dan Puseh I; gambar ketiga kiri: padmasana tampak belakang condong ke kanan di Pura Desa dan Puseh II; gambar keempat bawah: padmasana tampak belakang di Pura Dalem) (Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)
300
Padmasana diartikan sebagai stana Tuhan Yang Maha Esa (padma: teratai merah; asana: tempat duduk). Padmasana terdiri dari tiga bagian, yaitu dasar, badan dan puncak. Ciri khasnya terletak di bagian puncak yang terdapat singhasano (berbentuk kursi). Fungsi padmasana adalah memuja Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atau manifestasinya. Jadi, padmasana tidak difungsikan untuk pemujaan roh suci leluhur235.
Gedong
Gambar 45. Gedong (Sumber: Yulianto, 2009)
Gedong adalah jenis pelinggih yang mudah ditemukan di Pura. Bentuknya berupa bujur sangkar atau persegi panjang. Memiliki tiga bagian, yaitu dasar, badan dan atap. Bagian dasar dan badan gedong di atas menggunakan bahan dasar batu dan adukan semen-pasir, karenanya disetiap sudutnya diberikan ukiran garuda. Bagian atasnya terbuat dari kayu, dengan beratapkan genteng bata dan ijuk. Fungsi gedong di antaranya adalah sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur (atmasidhadevata) dan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa236.
235 236
Op.cit. Titib (2003) dan Dwijendra (2008). Op.cit. Titib (2003) & Dwijendra (2008).
301
Rong Tiga
Gambar 46. Rong Tiga (Sebelah kiri bangunan rong tiga tampak depan beratapkan ijuk, sebelah kanan tampak samping beratap seng) (Sumber: Yulianto, 2009)
Rong tiga atau rong telu bentuk umumnya sama seperti gedong, empat persegi panjang, dengan tiga bagian utama, yaitu dasar, badan dan atap. Rong tiga di atas bagian dasarnya berbahan batu dan adukan semenpasi. Ciri khas dari bangunan rong telu adalah adanya tiga (telu) ruang (rong) di bagian badan (tengah) bangunan yang menghadap ke depan. Atapnya terbuat dari konstruksi kayu dengan atap ijuk atau bahan lain (gambar di sebelah kanan menggunakan atap seng). Rong tiga ini adalah pelinggih yang dapat dijumpai di setiap pura keluarga di Balinuraga, dan biasanya ditempatkan juga di pamarajan atau kamulan. Fungsinya adalah untuk memuja roh suci leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa237.
Kehidupan Sosial-Keagamaan: Tradisionalisasi versus Modernisasi Kehidupan keseharian masyarakat Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan keagamaannya. Artinya, unsur keagamaan 237
Op.cit. Titib (2003) & Dwijendra (2008).
302
Hindu dan tradisi Bali yang menjadi kesatuan selalu mewarnai setiap aktivitas hariannya. Bersembahyang harian tiga kali sehari menjadi kewajiban mereka sebagai umat, selain kewajiban saat hari raya atau upacara besar keagamaan. Waktunya adalah pagi hari (di waktu subuh sebelum bertani), siang hari, dan sore hari (selepas pulang bekerja)238. Sembahyang harian ini mengambil tempat di rong telu atau pura keluarga sebagai manifestasi Pura Kahyangan Tiga. Biasanya di pagi hari ketika udara masih sejuk dan segar, wangi dupa dapat dengan mudah tercium saat berjalan pagi mengelilingi desa. Wangi dupa ini berasal dari pura keluarga yang letaknya di depan perkarangan rumah. Aktivitas sembahyang harian ini dilengkapi dengan pemberian bantenan (sesajen) di tempat-tempat tertentu di rumahnya – tempat yang dianggap sakral (selain di rong telu). Tidak hanya itu, mereka juga punya kewajiban untuk bersembahyang (juga memberikan sesaji) di pura tani yang ada di areal pertanian mereka. Hal yang menarik dalam interaksinya dengan sesama penduduk Balinuraga dan Bali Hindu dari Kampung Bali lain ketika bertemu atau bertamu adalah pengucapan salam om swastiastu – terkadang disingkat dengan menyebutkan swastiastu saja. Sama seperti umat Islam (Muslim) mengucapkan “Assalam‟alaikum” atau “Syalom” bagi umat Kristiani. Salam om swastiastu ini ternyata sudah lama mereka gunakan. Jauh sebelum wacana Ajeg Bali dikumandangkan di seantero Bali, di mana salah satunya dengan mempopulerkan salam om swastiastu239. Salam om 238
Dalam prakteknya sembahyang harian – tiga kali sehari – tidak mutlak sebanyak tiga kali sehari. Di waktu sibuk biasanya hanya dua kali sehari, pagi dan sore hari. Bagi yang “taat” mereka selalu bersembahyang tiga kali sehari (biasanya para orang tua dan sepuh yang aktivitasnya tidak padat), sedangkan yang “kurang taat” (abangan) paling tidak sehari sekali di waktu pagi (alasan praktis lebih ditekankan terkait waktu dan pekerjaan mereka, khususnya anak muda yang bersekolah di luar desa atau pun yang sudah bekerja di luar desa tapi masih tinggal di desa). 239 Schulte Nordholt (2010: hlm.70): “Kebudayaan Bali juga kian ditampilkan sebagai eksklusif Hindu. Ini dicapai dengan menegaaskan kontras dengan Islam dan, ironisnya, meniru gaya Islam. Kontras dengan ucapan salam Islam, Assalam’alaikum, pembawa acara, reporter, dan pemandu acara wicara membuka acara dengan ucapan khidmat Om Swastiastu, dan menutup acara dengan Om Shanti Shanti Shanti Om…” Schulte Nordholt (2010) menambahkan bahwa: “Makin hari makin banyak orang Bali mengucapkan “Om Swastiastu”
303
swastiastu selalu digunakan setiap diselenggarakan acara formal sosialkeagamaan bagi umat Hindu Dharma di Balinuraga dan di tempat lain di Lampung Selatan sebagai salam pembuka; kemudian ditutup dengan salam om Shanti Shanti Shanti om. Selain itu, berdasarkan keterangan dari seorang guru Agama Hindu lulusan Pendidikan Guru Agama Hindu di Lombok yang bertugas di Balinuraga pada tahun 1978 adalah: bahwa masyarakat Balinuraga sudah fasih melafalkan puja trisandya – salah satu doa bagi umat Hindu Dharma – padahal (berdasarkan keterangannya) sebagian penduduk Bali Lombok di Lombok dan sebagai penduduk Bali di Bali puja trisandya belum begitu populer dan secara fasih dilafalkan. Hal ini disebabkan puja trisandya merupakan sebuah doa yang baru bagi kalangan masyarakat Bali – diadaptasi dari India yang diperkenalkan oleh intelektual mudanya yang studi ke berbagai universitas besar di India, kemudian dipopulerkan oleh PHDI.
Gambar 47. Spanduk Bertuliskan Om Swastiastu (Sumber: Yulianto, 2010).
Terkait dengan profesi mereka sebagai petani (profesi mayoritas di Balinuraga), itu pun tidak terlepas dari unsur keagamaan. Ini merupakan kewajiban bagi mereka agar selalu melibatkan ritual dan upacara keagamaan terkait dengan profesinya sebagai petani. Di level individu mereka bisa melakukannya sendiri dengan bersembahyang secara personal di setiap pura tani di areal pertaniannya. Tujuannya adalah untuk meminta perlindungan, berkah, hasil panen yang baik, dan lain-lain kepada Sang sebagai pengganti “Halo” saat menjawab panggilan telepon seluler mereka” (op.cit. hlm. 70 footnote 10).
304
Hyang Widhi Wasa yang dimanifestasikan dalam dewa-dewi sebagai perantara dari doa mereka kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Di level komunitas, dalam krama subak di banjar kegiatan keagamaan terkait dengan pertanian dilakukan secara bersamaan dari seluruh anggota krama subak. Upacara puncaknya adalah ngeruwat atau ruwatan hasil panen. Masyarakat Balinuraga selama ini (secara umum) dikenal dengan keramahannya dalam menerima tamu. Mereka cukup terbuka bagi setiap tamu yang ingin berkunjung ke rumahnya. Filosofi mereka adalah bahwa tamu itu seperti dewa. Seperti yang termuat dalam Kitab Taittiruya Upanisad I.11. yang menyebutkan bahwa ada empat dewa: seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa dan para tamu pun adalah dewa240 (dalam Titib 2003). Karenanya, harus diperlakukan dengan baik dan hangat. Disedikan makanan dan minuman yang baik, meskipun seadanya. Mereka akan canggung saat menerima tamu ketika mereka belum membersihkan diri (khususnya untuk tamu yang baru pertama kali datang). Ada semacam kebanggaan dan prestise tersendiri bagi mereka jika ada banyak tamu yang datang dan sering berkunjung ke rumahnya. Banyak dan seringnya tamu yang berkunjung bukan hanya menunjukkan prestise bahwa seseorang tersebut adalah orang penting, tapi adalah bagaimana manifestasi “dewa” atau “Sang Hyang Widhi Wasa” itu mengunjungi rumahnya. Jadi, tidak mengherankan jika mereka sering mengajak tamu yang sedang bertamu ke tempat saudaranya – ketika itu yang bersangkutan sedang ada di rumah tersebut – untuk bertamu ke rumahnya. Jika tamu tersebut secara rutin bersilatuhrami dan dipercaya, maka tamu tersebut akan diangkat (dianggap) menjadi saudara. Sebenarnya keterbukaan masyarakat Balinuraga terhadap komunitas lain berbeda etnis dan agama yang dilandasi oleh filosofinya bahwa tamu seperti “dewa” mengikis stigma sebagian masyarakat non-Bali yang segan (cenderung takut) jika bertamu atau bermain ke Balinuraga, atau perkampungan Bali pada umumnya. Stigma yang berkembang di masyarakat non-Bali terhadap perkampungan
240
Dalam Bahasa Sansekerta berbunyi: “matrdevo bhava pitrdevobhava, acaryadevo bhava atithidevo bhava” (Taittiriya Upanisad I.11. dalam Titib 2003, “Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu”, Surabaya: Penerbit Paramita).
305
Bali atau masyarakat Bali adalah kekuatan niskala atau kekuatan gaibnya (mistik) yang tersohor. Namun, bagi sebagian kalangan stigma ini dimanfaatkan untuk mencari perlindungan mistik kepada tokoh-tokoh masyarakat Balinuraga yang diyakini memiliki kekuatan gaib tersebut, mulai dari orang biasa sampai pengusaha besar dan pejabat (dari berbagai etnis, termasuk penduduk asli Lampung). Keuntungan dari stigma tersebut menjadikan setiap perkampungan Bali, termasuk Balinuraga, sebagai tempat yang relatif lebih aman dari tindakan kriminal, seperti pencurian. Meskipun stigma tersebut – terkait dengan kekuatan gaib – sulit untuk dibuktikan dan dijelaskan, tapi berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang ada, sulit untuk mengingkari kekuatan niskala yang ada di Balinuraga yang diwakili oleh para sesepuhnya. Agak sulit dibuktikan karena ada perbedaan yang tipis antara kemampuan memberikan sugesti dari seorang sepuh (orang non-Bali menyebutnya sebagai dukun atau paranormal, dalam Bali disebut balian) kepada tamunya yang ingin meminta sesuatu dibandingkan dengan kekuatan transenden yang berasal dari dunia lain. Hal ini disebabkan mayoritas para tamu tersebut sudah percaya seratus persen dengan paranormal tersebut – didukung dengan stigma yang ada – sehingga cukup diberikan sugesti sedikit saja melalui pendekatan psikologis pengabulan permintaan itu terjadi. Jadi terkabulnya permintaan tersebut lebih disebabkan oleh kerja keras tamu tersebut, dan yang dibutuhkannya sebenarnya adalah kepercayaan diri melalui sugesti yang diberikan oleh paranormal. Media sugestinya bermacam-macam. Ada yang cukup diberikan nasihat atau petunjuk, ada yang tersugesti jika diberikan sebuah catatan mantra untuk dirapalkan, ada yang melalui benda-benda tertentu, dan lain-lain.
Tradisionalisasi versus Modernisasi Karakteristik yang khas dari Bali Nusa di Balinuraga – seperti yang telah diuraikan sebelumnya – adalah kuatnya ikatan terhadap apa pun yang menjadi identitasnya sebagai Bali Hindu. Hal ini yang menyebabkan mengapa masyarakat Bali Nusa di Balinuraga – umumnya Bali Nusa di Lampung – dikenal dengan kekolotannya dalam mempertahankan tradisi Bali Hindu-nya. Mereka ini dikenal sebagai golongan kolot atau konservatif. Golongan konservatif ini, yang didominasi oleh orang tua
306
yang pemahaman dan pendidikannya mengenai Hindu Dharma (sebagai Hindu modern) minim, menginginkan bagaimana setiap ritual dan upacara baik adat maupun keagamaan dijalankan seketat mungkin dan harus sebisa mungkin sama seperti yang dilakukan (dan pernah mereka lakukan) di Nusa Penida, Bali. Golongan konservatif ini tidak menghendaki adanya perubahan atau pun modernisasi. Menurut mereka perubahan atau pun modernisasi dalam tata upacara dan ritual berarti ada proses pengurangan tahapan dalam tata upacara dan ritual tersebut. Artinya, jika dilakukan maka mereka percaya akan mengurangi hakikat dan inti dari upacara dan ritual tersebut, dan akan berdampak negatif terhadap mereka (ada sanksi niskala) berupa malapetaka, musibah, atau pun bencana. Kekhawatiran dan ketakutan inilah yang sampai saat ini selalu menimbulkan perdebatan panjang dan perang dingin antar kubu warga yang mengusung tradisionalisme dan modernisasi. Sebaliknya, bagi kubu warga tertentu dan anggota warga lain yang pikirannya sudah maju dengan tingkat pendidikan yang mumpuni di bidang keagamaan (Hindu Dharma), memandang bahwa modernisasi itu perlu dilakukan. Bagi mereka, modernisasi yang dalam prakteknya diadakan standarisasi upacara (bagi golongan konservatif disebut mempersingkat tata upacara dan ritual) sama sekali tidak mengurangi hakikat atau pun esensi dari setiap ritual dan upacara adat dan keagamaan. Modernisasi dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan tantangan zaman yang terus berubah, bukan dimaksudkan untuk mengurangi nilai keluhuran dan kesucian dari ritual dan upacara tersebut. Selain itu, melalui modernisasi masyarakat (umat Hindu Dharma di Balinuraga) dapat melakukan upacara dan ritual besar dengan efektif dan efisien, tidak memakan biaya dan tenaga yang besar serta waktu yang lama. Terpenting adalah tujuan dari ritual dan upacara tersebut dapat tercapai, dan proses pelaksanaannya berhasil. Tema klasik perdebatannya antara kubu konservatif dan modern adalah “kita ikut Hindu dari Bali atau ikut Hindu dari India”. Kubu konservatif menilai bahwa mereka (kubu modern) telah mencampur adukan Hindu Bali dengan Hindu dari India, seolah-olah ingin mengikuti tata cara seperti yang ada di India. Kubu modern berargumen bahwa apa yang mereka modernisasikan adalah tetap Hindu Bali. Namun, poin
307
penting yang dapat diambil dari perdebatan kedua kubu ini intinya adalah bahwa tradisi keagamaan dan adat-istiadat mereka sebagai Bali Hindu (orang Bali yang beragama Hindu) harus tetap ada dan eksis, tidak boleh hilang. Hal ini disebabkan, dari kubu modernis, mereka pun tidak ingin meng-India-nisasikan Hindu Bali mereka, karena jati diri mereka sebagai Bali dan Hindu Bali akan hilang atau terkikis. Oleh karena Bali dan Hindu seperti menjadi kesatuan, maka jangan sampai ketika modernisasi yang dilakukan pada Hindu dapat menghilangkan jati diri Bali, karena di sanalah letak identitas mereka sebagai Bali Hindu. Jadi, tujuan perdebatan dari kedua kubu tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang sama – mempertahankan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Sebenarnya bila diperhatikan seksama inti dari perdebatannya terletak pada tata cara pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan, bukan perdebatan apakah tujuan tersebut melenceng jika diadakan sebuah perubahan tata cara ritual dan upacara keagamaan. Akibatnya, karena kedua kubu tersebut saling mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan mengusung identitas warga, adalah aksi boikot: tidak menghadiri, atau hanya jadi penonton jika kubu yang satu mengadakan sebuah upacara dan ritual adat dan keagamaan penting (misalnya, ngaben). Tidak berhenti sampai pada aksi boikot, tapi juga gosip-gosip yang menyindir satu kelompok warga tertentu. Uniknya, setiap ada perubahan atau inovasi dalam tata upacara atau pun upakara maka di saat yang sama muncul perdebatan, aksi boikot, dan perang dingin; tapi, setelah beberapa waktu (ketika perang dingin mereda), perubahan atau inovasi tersebut diadoptasi oleh kelompok yang menentang. Proses ini telah terjadi sejak tahun 1970-an. Oleh karena itulah, saat ini masyarakat non-Bali (tetangga Desa Balinuraga) menilai bahwa sekarang masyarakat Balinuraga sudah mulai modern, tidak kolot seperti dulu (tahun 1970-an sampai 1990-an). Indikatornya adalah: “mereka tidak jor-joran (habis-habisan) seperti dulu jika ada upacara”. Jika di masa Orde Baru, upacara dilakukan besar-besaran tidak menjadikan perekonomian mereka menurun, karena di masa itu adalah masa-masa emas perekonomian mereka di bidang pertanian: sebuah masa di mana mencari uang tidak sulit. Saat ini upacara dilakukan tetap besar dan megah bagi mereka yang mampu, tapi lebih sederhana – dalam arti lebih efektif dan efisien. Namun, keefektifan dan keefisienan tersebut berguna bagi
308
mereka yang perekonomian pas-pasan, belum mampu menyelenggarakan dalam skala besar. Salah satunya adalah kasus Ngaben Massal, di mana dalam persiapan dan penyelenggaraannya sudah menggunakan manajemen yang sederhana (pembentukan panitia kerja dan pelaksana), bagaimana dengan biaya yang rendah upacara tetap bisa dilaksanakan secara bersamasama, tetap besar dan megah serta tidak mengurangi hakikat dan esensi dari upacara tersebut. Entah disadari atau tidak, karena proses perdebatan dan pertentangan tetap saja terjadi hingga saat ini, pertentangan kubu konservatif dan modernis sebenarnya telah memberikan sebuah perubahan yang mendasar bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga dibandingkan masa-masa awal kepindahan mereka di Lampung Selatan (tahun 1960-an). Artinya, kehidupan sosial-keagamaan mereka telah berubah, dengan tetap menjadi dan tidak kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu. Perubahan ke arah kemajuan ini – karena dilandasi oleh kepentingan dan keuntungan ketika perubahan tersebut dilaksanakan – bersifat spiral: dinamis, sedinamis polemik hubungan dan pertentangan antar warga. Ini yang menyebabkan mengapa Balinuraga kerap-kali dijadikan sebagai trendsetter bagi komunitas Bali Hindu yang ada di tempat lain, terutama perkampungan Bali yang menjadi pecahan dari Balinuraga (masyarakat Balinuraga yang merantau ke tempat lain dan membentuk perkampungan Bali). Misalnya, mengundang seka gong yang ada di Balinuraga ke perkampungan Bali lain unuk mementaskan kesenian Bali, menggunakan jasa pembuat (ahli, tukang) pura dan bangunan suci lainnya (termasuk pembuat bade, wadah, atau patulangan untuk upacara ngaben) dari Balinuraga, serta mengundang tokoh, sesepuh, atau pun sulinggih dari Balinuraga. Termasuk pentas kesenian dalam acara formal pemerintahan dengan mengundang seka gong dari Balinuraga.
Bonding dan Bridging Komunitas Bali Nusa Komunitas Bali Hindu di Lampung dikenal luas oleh masyarakat Lampung sebagai sebuah komunitas yang solid dan kompak. Hidup dalam sebuah perkampungan Bali yang eksklusif, seluruh anggotanya adalah entis Bali Hindu. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung – yang perkampungan Balinya tersebar ke berbagai kabupaten,
309
kecamatan, dan desa dalam Provinsi Lampung – memiliki ikatan sosial dan kekerabatan yang kuat di dalam komunitasnya, atau memiliki bonding komunitas yang kuat: mengikat anggotanya ke dalam sebuah komunitas (di level dusun dan desa) berbasiskan identitas etnisitas dan keagamaan (Bali Hindu). Namun, akar dari kuatnya ikatan ke dalam dari komunitas Bali Hindu di Lampung tidak bisa dilihat utuh sebagai Bali Lampung atau “Orang Bali Hindu yang ada di Lampung”. Mengapa? Karena akar dari kuatnya identitas Bali Lampung tersebut sebenarnya berada di level banjar (setingkat dusun), dan level di atasnya adalah desa pakraman (dipersatukan dengan Pura Kahyangan Tiga). Jadi, untuk menilik lebih jauh bonding komunitas Bali Hindu di Lampung, maka pengkajiannya harus berada di level banjar dan desa pakraman. Dalam penelitian ini penulis mengambil kasus Desa Balinuraga: sebuah Desa Pakraman dengan tujuh banjar yang mayoritas anggotanya merupakan Bali Nusa (Bali Hindu yang berasal dari Pulau Nusa Penida, Bali), di mana ketujuh banjar tersebut dipersatukan menjadi sebuah Desa Pakraman dengan hadirnya Pura Kahyangan Tiga. Model banjar dan desa pakraman komunitas Bali Hindu di Lampung umumnya sama, tidak ada perbedaan yang mendasar, kecuali karakteristik dari tempat asalnya. Sebuah model yang juga kurang lebih sama dengan yang ada di tempat asalnya, Bali dan Nusa Penida, sebagai sebuah sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bersifat mengikat komunitas Bali Hindu setelah berada di luar Bali, Lampung. Dari beberapa kelompok pendatang di Lampung, terutama Jawa dan Bali kedatangannya ke Lampung melalui program transmigrasi, hanya etnis Bali Hindu yang secara konsisten dan ajeg mempertahankan dan mengaplikasikan tradisi Bali Hindu-nya di Lampung – sampai pada pengaplikasian sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang kompleks dan rumit, di mana setiap perkampungan Bali atau banjar memiliki karakteristik yang berbeda dengan banjar yang lain berdasarkan tempat asalnya (banjar tempat asal). Pembahasan sub-bagian ini akan dimulai dari level banjar sebagai basis kebertahanan dan eksistensi tradisi Bali Hindu – dasar dari identitas kebalian mereka di Lampung. Kemudian, Desa Adat atau Desa Pakraman, dan selanjutnya Bali Lampung. Setiap level mempunyai bonding komunitasnya sendiri-sendiri, semakin ke bawah (level banjar) bonding
310
komunitasnya lebih bersifat spesifik dan unik, semakin ke atas (level Bali Lampung), bonding komunitasnya sudah bersifat general.
Banjar Sebagai Akar Bonding Komunitas Berbasikan Identitas Tertentu Untuk melihat Bali Lampung secara utuh, maka yang harus ditilik lebih jauh adalah banjar sebagai kesatuan komunitas adat dan keagamaan (setingkat dusun) berbasiskan tradisi Bali Hindu berdasarkan tempat asal yang menjadi identitas komunitas tersebut. Pada pembahasan sebelumnya mengenai banjar di Desa Balinuraga diketahui bahwa setiap banjar memiliki karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dengan yang lain. Pada banjar tertentu, seperti Banjar Pandéarga dan Sidorahayu, karakteristik dan ciri khas yang melekat adalah identitas warga yang mendominasi anggota banjar tersebut, yaitu identitas Warga Pandé pada Banjar Pandéarga dan identitas Warga Pasek pada Banjar Sidorahayu. Namun, karakteristik dan ciri khas banjar tidak bisa disempitkan pada satu identitas warga tertentu, terutama saat ini di mana komposisi warga sudah membaur. Di dalam Banjar Pandéarga terdapat Warga Pasek dan Arya, begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang di dalamnya terdapat Warga Pandé dan Arya. Faktor berikutnya yang memperkuat komunitas banjar adalah banjar asal mereka di Nusa Penida. Banjar Pandéarga – cikal bakal Desa Balinuraga – adalah turunan (replikasi) dari banjar asal transmigran pertama Nusa Penida (tahun 1963), yaitu Banjar Soyor (Dusun Soyor, Desa Tanglat, Kecamatan Nusa Penida). Komposisi anggota Banjar Pandéarga saat itu bukan seluruhnya Warga Pandé, tapi termasuk di dalamnya Warga Pasek dan Arya. Penamaan Banjar Pandéarga adalah untuk menghormati Sri Mpu Suci yang menjadi pemimpin transmigran pertama yang berasal dari Warga Pandé. Dalam perkembangannya, Banjar Pandéarga diidentikkan sebagai banjar-nya Warga Pandé, meskipun di dalamnya terdapat anggota yang berasal dari warga lain. Kesolidan dan kekompakkan banjar di Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan seka-seka yang ada di dalam banjar. Seka menjadi sebuah perkumpulan komunitas adat-keagamaan dengan spesifikasi tugas yang lebih khusus, seperti seka tani dan seka gong.
311
Sebagai sebuah perkumpulan di bawah otoritas banjar, seka mengikat anggotanya dalam sebuah perkumpulan / komunitas yang eksklusif. Dengan kata lain, seka menjadi fondasi dasar kesolidan dan kekompakkan anggota banjar. Misalnya, seka tani yang keanggotaannya adalah krama subak dari petani memiliki sawah dalam wilayah banjar tersebut. Keanggotaan seka tani ini tidak terbatas pada satu identitas warga, tapi lebih pada keberadaan lahan pertanian petani dalam wilayah banjar (dusun) tertentu. Seka gong keanggotaannya lebih spesifik daripada seka tani. Kasus Banjar Pandéarga dan Banjar Sidorahayu keanggotaannya secara umum adalah anggota banjar, tapi secara khusus berasal dari warga tertentu. Hal ini disebabkan salah tugas seka gong tersebut dalam upacara yang ada di Pura Kawitan yang menjadi identitas warga tertentu. Sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, banjar memiliki struktur organisasi yang salah satunya berfungsi mempersatukan anggota komunitas sebagai anggota banjar dan umat Hindu Dharma. Klian banjar adalah ketua adat sekaligus kepala dusun yang bertugas memimpin masyarakat adat di dalam banjar dan bertugas sebagai administratur pemerintah sebagai kepala dusun. Peran ganda ini menyebabkan jabatan klian banjar atau kepala dusun tidak begitu menonjol, karena lebih banyak memainkan peranan di bidang administratif. Peran yang menonjol justru dimainkan oleh sulinggih warga, pemangku, atau pun para sepuh sebagai tokoh sentral yang memperkuat kesolidan dan kekompakkan banjar sebagai komunitas adat dan agama. Realitas yang menarik adalah jumlah anggota banjar di Balinuraga tidak akan menurun meskipun ada beberapa anggota banjar yang merantau ke daerah lain di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Hal ini disebabkan anggota banjar sudah terikat secara sosial dan emosional dengan banjar lamanya: identitas atau jati dirinya sebagai Bali Hindu di Lampung melekat pada banjar tersebut, khususnya yang lahir dan besar di salah satu banjar di Balinuraga. Artinya, meskipun sudah merantau ke luar Balinuraga, banjar asalnya tetap dianggap sebagai kampung halaman, mereka (pasti) akan pulang ke banjar-nya di Balinuraga jika ada upacara dan hari raya tertentu, misalnya upacara besar seperti pitra yadnya dan Hari Raya Galungan. Mereka yang sudah merantau tetap dianggap sebagai anggota banjar asalnya, dan sebagai konsekuensinya ada kewajiban-
312
kewajiban adat dan agama yang harus mereka laksanakan di banjar tersebut – sama seperti kewajiban yang harus mereka penuhi di banjar leluhurnya di Nusa Penida. Karenanya tidak mengherankan jika ada upacara besar seperti ngaben, jumlah massa yang ada di sebuah banjar, atau jumlah massa di Desa Balinuraga jika upacara ngaben massal, menjadi lebih banyak daripada jumlah massa di hari-hari biasa.
Desa Adat Sebagai Pemersatu Banjar dan Warga yang Bersitegang Desa Balinuraga sebagai desa adat atau desa pakraman, terkait dengan bonding komunitas Bali Nusa, berfungsi sebagai pemersatu ketujuh banjar. Peran desa adat tidak begitu menonjol di Balinuraga, karena peran penting di bidang adat dan keagamaan sudah diambil-alih dan dimainkan dengan baik oleh masing-masing banjar. Jadi, fungsinya sebagai pemersatu ketujuh banjar lebih bersifat simbolis untuk mengidentifikasikan bahwa Desa Balinuraga dengan ketujuh banjar-nya merupakan sebuah desa atau komunitas Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida, Bali. Sama seperti klian banjar, ketua desa adat perannya lebih menonjol sebagai administratur pemerintahan desa dinas atau Kepala Desa. Faktor penting yang mempersatukan ketujuh banjar sebagai komuntias adat dan keagamaan di Balinuraga (level desa) adalah keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai majelis yang mewadahi berbagai kepentingan masyarakat Desa Balinuraga sebagai umat Hindu Dharma. Karena peran banjar sebagai kesatuan adat dan keagamaan sudah menguat, keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai pemersatu komunitas Bali Hindu lebih bersifat simbolis. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perang dingin antar kelompok warga tertentu. Jadi, meskipun keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai pemersatu lebih bersifat simbolis, kehadiran keduanya tetap memiliki nilai penting untuk mempersatukan kedua kubu warga yang bersitegang ini sebagai Bali Nusa dan umat Hindu Dharma. Contoh sederhananya adalah sebagai berikut: meskipun aktivitas adat dan keagamaan lebih banyak difokuskan di Pura Kawitan, tapi masyarakat Balinuraga dalam menyelenggarakan upacara pitra yadnya (ngaben) tetap menggunakan satu Pura Dalem (salah
313
satu dari Pura Kahyangan Tiga) yang sama, khususnya jika diselenggarakan upacara ngaben massal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perang dingin antara kelompok warga yang menyebabkan satu kubu warga membangun Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) untuk kelompok warga-nya sendiri. Sebuah tindakan yang disesalkan oleh para tokoh agama dan masyarakat, karena perang dingin para elit warga sampai memecah umat, dengan memisahkan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh). Dalam kasus ini, kehadiran PHDI sebagai majelis umat Hindu Dharma di Balinuraga sangat penting sebagai penengah sekaligus pemersatu, yaitu menentukan Pura Desa dan Pura Puseh mana yang akan digunakan untuk upacara besar keagamaan yang bersifat formal, sehingga semua umat Hindu Dharma di Balinuraga bisa bersatu dan tidak terpecah belah – biasanya yang dipilih adalah Pura Desa dan Pura Puseh yang pertama kali dibentuk saat berdirinya Desa Balinuraga.
Bali Lampung: Bonding seluruh Komunitas Bali Hindu di Lampung Apa yang mempersatukan seluruh anggota komunitas Bali Hindu (umat Hindu Dharma) yang ada di Lampung, baik Bali Hindu yang berasal dari Bali maupun Nusa Penida dengan berbagai identitas warga-nya? Jawabannya cukup sederhana, yaitu keberadaan Pura Way Lunik, atau biasa disebut oleh umat Hindu Dharma (Bali Hindu) “Pura Kahyangan Kerthi Bhuana”241. Pura ini disebut sebagai “Pura Besakih”-nya atau “Pura Pemersatu”-nya Bali Hindu yang ada di Lampung dan sekitarnya. Pura ini terletak di Kecamatan Way Lunik (daerah Panjang), Bandar Lampung. Eksistensi pura ini sebagai pura pemersatu komunitas Bali Hindu di Lampung biasanya dapat disaksikan saat Hari Raya Kuningan. Massa yang jumlahnya ribuan datang dari berbagai wilayah Lampung. Seluruh umat Hindu Dharma dari etnis Bali berkumpul di Pura ini untuk bersembahyang. Terkadang oleh para pemuda dan pemudi Bali Hindu dijadikan sebagai 241
Pura Way Lunik – panggilaan umum Pura Kerthi Bhuana – termasuk dalam pura kahyangan jagat atau pura untuk tempat pemujaan umum. Sebagai tempat pemujaan umat (Hindu Dharma), pura ini tidak membeda-bedakan asal-usul keluarganya, asal desanya maupun profesinya. Dengan kata lain, pura ini (dapat dikatakan) tergolong pura yang egaliter, sebagai pemersatu umat dengan tidak mempertimbangkan asal usul maupun status umat yang bersifat adat.
314
tempat untuk mencari jodoh, karena semua muda-mudi Bali Hindu dari penjuru Lampung berkumpul di sini. Selain itu, Pura ini menjadi sebuah tempat yang terbuka, orang non-Bali Hindu bisa memasuki tempat ini untuk bermain atau berwisata, dan lokasinya yang berdekatan dengan daerah industri dan pelabuhan menjadikan suasana Pura ini tidak lagi kondusif sebagai tempat suci untuk peribadatan. Ini yang menyebabkan para tokoh agama Hindu dan tokoh masyarakat Bali Hindu memilih opsi lain untuk memindahkan “Pura Pemersatu” ini, agar kesuciannya tetap terjaga dan tidak “dikotori” oleh pihak lain. Secara organisasional, kehadiran organisasi semi-pemerintah – PHDI Provinsi – sangat penting sebagai pemersatu komunitas Bali Hindu secara legal dan resmi di Lampung sebagai umat Hindu Dharma. Melalui cabang organisasinya yang sampai ke tingkat desa, PHDI mampu mewadahi dan mempersatukan umat Hindu Dharma dari perpecahan yang bersifat adat (pertentangan warga) dan perbedaan penafsiran dalam ajaran Hindu Dharma.
Bonding yang Terbuka Jika diperhatikan secara seksama kuatnya bonding komunitas Bali Nusa di level banjar (dan seka-seka di dalamnya) dan level desa adat, serta di level provinsi (Bali Lampung: Bali dan Bali Nusa), bukan sesuatu yang sengaja atau pun tidak disengaja dibentuk untuk memperkuat komunitas mereka, sehingga disegani atau ditakuti oleh kelompok etnis dan keagamaan lain. Komunitas yang solid dan kompak yang berakar dari level banjar merupakan hasil dari sebuah sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan berdasarkan tradisi Bali Hindu yang telah mengikat dengan kuat sampai pada setiap individu, di mana karena kuatnya ikatan sosial tersebut mereka terapkan dan aplikasikan setelah keberadaannya di Lampung. Dalam kasus banjar-banjar yang ada di Balinuraga, keberadaan banjar tersebut merupakan aplikasi dan replikasi dari sistem banjar yang ada di Nusa Penida, Bali – secara umum hampir sama dengan sistem banjar, dan dalam skala lebih luas, hampir sama dengan sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang umum berlaku di Bali.
315
Bonding komunitas Bali Nusa di level banjar merupakan model bonding yang lebih eksklusif, peran dan fungsinya menjadi lebih spesifik pada seka-seka yang ada di dalam banjar tersebut. Namun, bonding di level desa adat (Desa Balinuraga) sifatnya lebih terbuka, karena banjarbanjar dipersatukan dalam sebuah desa adat yang secara simbolis dipersatukan dengan keberadaan dan eksistensi dari Pura Kahyangan Tiga. Identitas warga dan banjar asal di Nusa Penida – yang secara umum menjadi ciri khas banjar di Balinuraga – dipersatukan dalam satu identitas “Desa Balinuraga” sebagai sebuah desanya Bali Nusa, orang Bali Hindu dari Nusa Penida. Sama seperti halnya di level provinsi, identitas yang mempersatukan mereka (mengikat ke dalam komunitas / bonding) lebih bersifat terbuka, yaitu Bali Lampung. Keberadaan Pura Kahyangan Kerthi Bhuana yang terletak di Bandar Lampung (ibukota Provinsi Lampung) mempersatukan semua komunitas Bali Hindu yang tersebar di wilayah Provinsi Lampung dan sekitarnya dengan segala identitas banjar dan warga, yaitu dalam ikatan bonding yang lebih luas sebagai umat Hindu Dharma Provinsi Lampung. Kasus ini menunjukkan bahwa bonding tidak selalu tertutup pada satu identitas tungggal (level banjar), dalam level tertentu yang lebih tinggi bonding sebuah komunitas bersifat terbuka (level desa dan provinsi). Dengan kata lain, dalam bonding di level yang lebih tinggi (desa dan provinsi) di dalam bonding tersebut ada bridging antar kelompok yang berbeda identitas tempat asal, banjar, dan warga (status sosial). Karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat Bali di Lampung terkenal dengan kesolidan dan kekompakkan komunitasnya. Solidaritas mereka telah mengakar kuat sampai di level banjar sebagai basis massa komunitas mereka. Ini yang menyebabkan persatuan masyarakat Bali di Lampung terkenal kuat, sampai ke perkampungan-perkampungan Bali. Contoh konkritnya yang terkenal adalah perang kampung di awal tahun 1990-an. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi komunitas mereka (Bali Hindu) untuk membantu anggota komunitasnya yang menjadi korban kekerasan dari komunitas lain (non-Bali Hindu). Dalam kasus perang kampung, ada beberapa orang dari anggota komunitas yang menjadi korban kekerasan pembegalan motor. Awalnya massa di level banjar dan desa belum mengambil tindakan. Tindakan baru diambil setelah tindakan
316
pembegalan tersebut tidak dapat ditolerir. Massa yang berkumpul tidak hanya massa dari salah satu banjar di Balinuraga yang menjadi korban pembegalan, tapi seluruh massa yang ada di setiap banjar di Balinuraga. Massa menjadi bertambah besar setelah mendapatkan bantuan massa dari perkampungan Bali lain yang ada di Lampung Selatan. Sebagian massa bertugas menjaga kampung untuk menjaga serangan balik, sebagian besar massa bertugas menyerang kampung lain yang menjadi tempat kejadian pembegalan. Dari kasus perang kampung ini menunjukkan solidaritas yang kuat dari komunitas Bali yang ada di Lampung, dalam kasus ini Lampung Selatan. Hal ini menyebabkan pihak militer dan kepolisian segera turun tangan, karena jika tidak, massa (komunitas Bali Hindu) yang berasal dari kabupaten lain (khususnya Lampung Tengah, dengan massa yang lebih besar daripada di Lampung Selatan) sudah siap untuk membantu penyerangan tersebut. Pihak keamanan, khususnya militer, tidak mau ambil resiko lebih jauh, karena peristiwa ini terjadi tidak lama setelah peristiwa berdarah di Talang Sari (1989)242. Sejumlah tokoh yang dilibatkan dalam proses perundingan dan beberapa anggota masyarakat Balinuraga yang turut serta dalam penyerangan mengatakan bahwa jika tindakan kekerasan yang menimpa salah satu anggota komunitas tidak dapat ditolerir lagi, maka massa dari berbagai komunitas Bali akan bergabung untuk mengadakan aksi balasan. Jika ini terjadi, maka akan sulit dibendung, karena rasa solidaritas komunitas Bali Hindu di Lampung sangat kuat – aksi massa seperti meniru semangat puputan (terkesan seperti brutalisme massa). Bagi mereka tindakan pembegalan terhadap anggotanya merupakan sebuah penghinaan harga diri mereka sebagai orang Bali. Menurut mereka, jika sudah menyinggung harga diri, maka massa yang akan bergerak. Kasus perang kampung ini menjadi klimaks bagaimana solidaritas dan kekompakkan Kampung Bali: menjadi lebih disegani bahkan seperti menjadi momok bagi komunitas lain. Ini yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Kampung Bali di Lampung lokasinya relatif lebih aman daripada perkampungan lain. 242
Lihat: Chaidar, Al. (2000), Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan “Negara Intelejen” Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi, Editor: Zulfikar Salahuddin, Muhammad Muntasir, Imam Shalahudin, Taufik Hidayat, Madani Press.
317
Batasan bonding yang terbuka ini adalah (dibatasi) pada ruang lingkup komunitas Bali Hindu (Bali Nusa) di Desa Balinuraga, dan Bali Lampung pada umumnya. Bonding yang terbuka dalam ruang yang lebih luas – terutama dalam interaksi ekonominya dengan komunitas etnis lain – akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Bagian ini menunjukkan bahwa bonding komunitas Bali Nusa – di dalam komunitas Bali Nusa di Dea Balinuraga – bersifat terbuka pada level desa, di mana batasan-batasan identitas banjar dan warga bisa dipersatukan (khususnya) secara simbolis dengan adanya Pura Kahyangan Tiga (dan PHDI sebagai majelis umat dengan perannya sebagai penengah dan pemersatu umat Hindu Dharma dari pertentangan atau perselisihan yang lebih bersifat adat).
Pembangunan Berbasis Identitas Ciri khas sistem perekonomian Desa Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial yang diadaptasi dari Nusa Penida, Bali – sebuah sistem perekonomian tradisional yang secara umum hampir sama dengan yang ada di Bali. Peran banjar di Balinuraga tidak hanya sebagai basis komunitas adat dan agama, tetapi juga sebagai basis perekonomian bagi anggota banjar yang bersangkutan. Peran yang paling menonjol adalah adanya seka tani sebagi bagian dari sistem subak (krama subak) yang ada dalam teritori sebuah banjar. Setiap banjar memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan banjar lain. Perbedaan ini menjadi identitas pada setiap banjar. Identitas yang paling menonjol pada sebuah banjar adalah identitas warga. Banjar sebagai komunitas adat dan agama menjadi berbeda dengan yang lain karena perbedaan identitas warga. Setiap warga memiliki tata cara upacara dan upakara yang berbeda dengan warga yang lain – secara umum sama, tapi memiliki perbedaan pada ritual-ritual tertentu sebagai pembeda, dan bagian pembeda ini (ritual dan tata cara upacara-upakara khas warga) tidak bisa disamakan antara warga satu dengan warga yang lain. Konsekuensinya, sistem ekonomi banjar – sebagai basis perekonomian Desa Balinuraga – menjadi satu dengan sistem sosial yang berlaku dalam banjar tersebut dengan identitas warga-nya. Penulis tidak bermaksud menyempitkan banjar pada satu identitas tunggal sebuah
318
warga tertentu, karena keunikkan setiap banjar tidak hanya pada identitas warga-nya – di mana berpengaruh pada ritual dan upacara adat-keagamaan dalam menjalankan perekonomiannya – tetapi ada identitas lain, seperti kesamaan banjar asal di Nusa Penida tapi dengan identitas warga yang berbeda. Catatan penting yang ingin penulis sampaikan adalah setiap banjar di Balinuraga dapat dikatakan sebagai sebuah komunitas ekonomi yang otonom, di mana komunitas ekonomi ini menjadi kesatuan dengan adat dan keagamaan dalam sebuah banjar. Sistem ekonomi di dalam banjar berjalan seiring dengan sistem adat dan keagamaan dalam sebuah sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali – sebuah sistem sosial yang mereka terapkan dan aplikasikan setelah berada di Lampung. Karenanya, akan menjadi sulit jika menjelaskan sistem ekonomi banjar secara terpisah dengan sistem adat dan keagamaan. Ketiganya saling kaitmengait. Bukti bahwa komunitas ekonomi di dalam sebuah banjar merupakan komunitas ekonomi yang otonom adalah pembangunan infrastruktur sosial-adat-keagamaan yang menjadi tradisi Bali Hindu, yaitu Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura Kawitan Warga, tugu-tugu desa, bale banjar dan desa, jalan desa dan dusun, dan lain-lain. Bangunan penting tersebut dibangun secara swakarsa, khususnya bangunan suci keagamaan. Dana dan tenaga diusahakan secara swakarsa oleh anggota masyarakat desa (banjar-banjar), tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah. Ini yang menyebabkan status Desa Balinuraga sebagai Desa Swakarsa. Singkatnya, sistem ekonomi di dalam banjar berjalan ketika sistem sosial (adat dan keagamaan, termasuk sistem ekonomi itu sendiri) berjalan.
Sistem Sosial dan Ekonomi Poin penting dalam bagian ini adalah bahwa banjar merupakan basis perekonomian Desa Balinuraga, yang perannya dijalankan secara khusus dengan keberadaan seka tani. Keberhasilan ekonomi sebuah banjar di bidang pertanian, dapat digunakan untuk meningkatkan status sosial anggota banjar. Status sosial ini melekat pada identitas warga tertentu, di mana identitas warga tersebut juga menjadi bagian dari identitas banjar. Manifestasinya – sebagai wujud eksistensi dan status sosial warga-nya – adalah pembangunan Pura Keluarga (rong telu) dan Pura Kawitan yang
319
besar dan artistik, dan penyelenggaraan upacara-upacara penting, seperti upacara pitra yadnya. Faktor ini yang menjadi salah satu faktor utama keberhasilan ekonomi level keluarga inti Bali Nusa di Balinuraga – dan Bali Hindu di Lampung pada umumnya. Ini yang menyebabkan mengapa mereka harus bekerja keras, ulet, dan hemat untuk pengeluaran yang tidak ada kaitan langsung dengan urusan adat dan agama.
Seka Tani sebagai Penggerak Perekonomian Banjar Seka tani disebut sebagai penggerak perekonomian banjar dikarenakan profesi utama masyarakat Balinuraga yang tersebar di ketujuh banjar adalah sebagai petani padi lahan kering (sawah tadah hujan)243. Keberadaan seka tani ini, yang merupakan bagian dari sistem subak atau krama subak dari setiap banjar, sangat vital sebagai penggerak ekonomi setiap anggota banjar yang berprofesi sebagai petani. Melalui seka tani ini para petani setiap banjar memiliki waktu pembenihan sampai waktu pemanenan dan penjualan yang serempak, dan waktunya tidak berbeda jauh dengan banjar-banjar yang lain244. Sebagai bagian dari krama subak, anggota dari seka tani ini melakukan ritual dan upacara adat-keagamaan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian mereka. Ritual dan upacara 243
Geertz (1977: 90) menyebutkan bahwa hampir seluruh kehidupan ekonomi di Bali itu terrealisasi lewat salah satu dari seka-seka yang ada. Meskipun ada seka yang memiliki tujuan keagamaan dan politik, namun implikasi-implikasi dan tugas khusus yang bersifat ekonomis dilakukan di dalam seka tersebut (kategori seka jemaah kuil dan kesatuan tempat tinggal). Kategori seka yang kegiatan ekonominya lebih menonjol adalah masyarakat pengairan dan pertanian, kelompok kekerabatan, dan perkumpulan sukarela. Dalam kasus di Balinuraga, seka tani yang paling menonjol kegiatan ekonominya karena terkait dengan profesi mereka sebagai petani, di samping masih ada seka-seka lain yang berperan ekonomi (tidak semenonjol seka tani). Karenanya, seka tani dapat dikatakan sebagai basis ekonomi banjar. 244 Keseragaman waktu dalam pola pertanian ini (pola tanam dan pola panen) yang menyebabkan Desa Balinuraga menjadi seperti desa kosong ketika memasuki masa tanam. Waktu libur, biasanya saat musim kemarau, digunakan untuk mengadakan upacara penting, seperti upacara pitra yadnya, agar tidak mengganggu kegiatan pertanian. Sebuah periode waktu yang sulit diprediksi saat ini, ketika terjadi perubahan cuaca / iklim, di mana pola hujan dan kemarau menjadi tidak jelas.
320
besarnya – Ruwatan Hasil Panen – dilakukan di Pura Subak dan bale banjar, sedangkan ritual harian dilakukan di pura tani yang dimiliki setiap petani di areal pertaniannya. Keanggotaannya bersifat eksklusif pada setiap banjar, khususnya yang areal pertaniannya termasuk dalam teritori banjar atau dusun. Sistem subak di Balinuraga berbeda dengan yang ada di Bali, lebih mirip dengan yang ada di Nusa Penida. Perbedaaan utamanya terletak pada sistem irigasi. Pertanian di Balinuraga merupakan pertanian sawah tadah hujan. Jadi tidak ada sistem pembagian air yang menjadi ciri khas dari subak seperti di Bali. Namun, persamaannya yang bersifat penting adalah fungsi krama subak atau seka tani, yang tidak hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi, tapi juga sebagai lembaga adat dan keagamaan yang berada di bawah naungan banjar – sebagai bagian dari sebuah sistem sosial besar yang berlaku dalam masyarakat Bali pada umumnya. Informasi yang penulis peroleh dari beberapa anggota komunitas non-Bali, khususnya dari etnis Jawa, Tionghua, dan Lampung245, 245
Narasumber dari etnis Jawa di antaranya: (1) seorang pengusaha muda (nasrani) mempunyai usaha penggilingan padi, toko peralatan dan bengkel sepeda motor, yang baru tahun 2010 menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di pemerintahan kabupaten Lampung Selatan; (2) seorang pengusaha muda (muslim), yang sudah diwarisi usaha penggilingan dan pengepul padi. Usahanya merupakan salah satu yang terbesar di kecamatan. Pengusaha muda yang pertama pun, menjual hasil penggilingan padinya ke pengusaha muda ini; (3) seorang PNS senior (nasrani), jabatan Pengawas Sekolah, yang juga memiliki usaha penggilingan padi, beberapa hektar sawah, dan peternakan ikan. Dalam profesinya sebagai pengusaha penggilingan padi, mereka tahu daerah-daerah mana yang merupakan daerah penghasil padi, salah satu daerah penghasil padi yang besar adalah Desa Balinuraga. Terkait dengan profesi tersebut, bukan rahasia umum bagi mereka bahwa petani-petani yang ada di Desa Balinuraga perekonomiannya sudah mapan bila dilihat dari luas sawah dan hasil panennya. Untuk mendapatkan padi dari Desa Balinuraga, para pengusaha ini harus bersaing dengan beberapa pengusaha penggilingan padi yang ada di Balinuraga. Informan lainnya dari etnis Jawa adalah tokoh pemuda (muslim) yang dalam pergaulannya mengetahui bagaimana pola perilaku dari pemuda-pemuda Bali yang ada di Balinuraga, terutama pola konsumerismenya; dan beberapa informan lainnya dari etnis Jawa yang menjadi tetangga dan mengetahui masyarakat Balinuraga. Narasumber dari etnis Lampung di antaranya adalah (1) salah satu tokoh muda yang memiliki pergaulan yang luas. Sebagai salah seorang karyawan di salah satu dealer sepeda motor di pasar
321
menyebutkan bahwa perekonomian masyarakat Balinuraga dapat dikatakan sudah mapan. Dengan kata lain, mereka sudah menjadi petani yang sukses. Terkait dengan kemapanan perekonomian masyarakat Balinuraga, untuk menghindari generalisasi dan subjektivitas berlebihan yang menganggap masyarakat Balinuraga perekonomiannya lebih mapan daripada komunitas lain (meskipun secara umum komunitas lain non-Bali menyebutkan bahwa secara umum perekonomian mereka sudah mapan), maka penulis menggunakan indikator kemapanan ekonomi berdasarkan versi masyarakat Balinuraga. Hal ini didasarkan atas realitas yang ada di Balinuraga, bahwa ada beberapa keluarga (dalam jumlah relatif kecil) yang perekonomiannya belum mapan berdasarkan versi masyarakat Balinuraga sebagai seorang Bali dan Hindu. Biasanya lebih disebabkan faktor individu, yang lain daripada masyarakat Balinuraga pada umumnya, yaitu malas, kurang ulet dalam bertani (sebutan mereka bawaan lahir). Berikut ini adalah beberapa indikator kemapanan berdasarkan versi masyarakat Bali Nusa di Balinuraga: (1) berhasil membangun Pura Keluarga secara permanen yang menjadi manifestasi Pura Kahyangan Tiga di level keluarga inti. Semakin besar Pura Keluarga dan semakin artistik (dicat dengan berwarna, dilengkapi taman yang besar dan indah, serta patung / arca dari beberapa dewa), maka menunjukkan perekonomiannya semakin kecamatan, yang banyak berinteraksi dengan banyak konsumen dan aktivitas ekonomi di pasar kecamatan, pemuda ini mengetahui bagaimana pola ekonomi – khususnya membelanjakan uangnya untuk membeli sepeda motor baru dari dealer – masyarakat Balinuraga; (2) beberapa etnis Lampung yang berprofesi sebagai tukang ojek – sebuah profesi alternatif yang (banyak) ditekuni oleh penduduk asli, karena peran ekonominya sudah banyak tergeser oleh pendatang (khususnya transmigran Jawa dan Bali). Sebagai penduduk asli, mereka sudah mahfum benar bagaimana kematangan perekonomian masyarakat Balinuraga dan perkembangannya – sampai akhirnya menggeser perekonomian mereka sebagai penduduk asli. Narasumber dari etnis Tionghua di antaranya adalah para pedagang di pasar kecamatan. Pedagang Tionghua ini sudah berdagang puluhan tahun di pasar kecamatan. Mereka sudah paham benar konsumennya yang berasal dari masyarakat Balinuraga. Menurut mereka: “Orang Bali pembeli yang loyal. Jika sudah percaya, mereka akan terus belanja di toko itu, dan jarang menawar barang.” Beberapa pedagang memiliki hubungan yang dekat sekali – sudah dianggap seperti keluarga sendiri – dengan tokoh / sesepuh di Balinuraga. Biasanya terkait hubungan “pelancar bisnis”.
322
mapan. Tingkatan yang lebih tinggi adalah memberikan sumbangan dana yang besar bagi pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga (perioritas utama), berikutnya (perioritas kedua) sumbangan untuk Pura Kahyangan Tiga; (2) berhasil membangun rumah permanen. Syarat untuk membangun rumah permanen adalah telah membangun Pura Keluarga. Jika Pura Keluarga pembangunannya belum selesai, maka rumah tidak bisa dibuat permanen, atau dibangun dalam bentuk semi permanen. Rumah yang besar dan artistik berikut dengan Pura Keluarga-nya menunjukkan status sosial dan ekonomi; (3) berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Minimal setingkat SMU. Semakin tinggi jenjang pendidikan anak, maka semakin mapan perekonomiannya; (4) memiliki sawah di atas dua hektar. Menurut mereka, mempunyai tanah dua hektar sama saja belum “memiliki tanah”. Hasil panen dari tanah dua hektar umumnya hanya mencukupi kebutuhan dasar dan kebutuhan penyelenggaraan upacara dan ritual yang bersifat rutin. Ini yang menyebabkan untuk tanah seluas dua hektar, mereka dapat mengerjakannya sendiri, bersama anggota keluarga intinya. Jadi, hasil pertanian baru bisa terlihat atau tampak dalam wujud fisik jika memiliki tanah di atas dua hektar; (5) memiliki hewan ternak utama seperti babi dan sapi. Hewan ternak babi dan sapi adalah bentuk tabungan yang masih tradisional. Untuk mencairkannya menjadi uang tunai, tidak membutuhkan waktu yang lama. Biasanya pengepul akan datang ke rumah masyarakat Balinuraga untuk membeli babi dan sapi. Hasil penjualan babi biasanya digunakan untuk keperluan keluarga yang biayanya relatif kecil, sedangkan hasil penjualan sapi untuk keperluan yang lebih besar, seperti pulang kampung ke Nusa Penida dan menyelenggarakan upacara ngaben. Babi juga dijadikan sebagai persembahan dan hidangan jika ada upacara besar; (6) mampu pulang kampung ke Nusa Penida secara rutin. Paling tidak setahun sekali, atau dua tahun sekali. Minimal mampu pulang kampung ke Nusa Penida ketika ada upacara penting di sana. Pulang kampung adalah indikator kemapanan ekonomi mereka, tidak hanya di lingkungan Balinuraga, tapi keluarga dan kerabat yang masih ada di Nusa Penida; (7) mampu meng-aben-kan anggota keluarganya yang telah meninggal. Upacara ngaben atau pitra yadnya adalah upacara besar dan penting bagi masyarakat Balinuraga sebagai Bali Hindu. Sebuah upacara besar dan penting yang tidak hanya menjadi kewajibaan anggota keluarga
323
yang masih hidup, tapi sebuah upacara yang secara ekonomi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anggaran minimal yang harus disiapkan untuk upacara ngaben pribadi kurang lebih mencapai seratusan juta rupiah, sedangkan upacara ngaben massal biaya yang dibutuhkan per keluarga minimal kurang lebih mencapai puluhan juta rupiah (mulai dari sepuluh sampai lima puluh juta rupiah). Oleh karena itu, hanya keluarga yang perekonomiannya telah mapan yang sanggup menyelenggarakan upacara pitra yadnya ini, khususnya upacara ngaben pribadi, dan jika belum mampu menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, pihak keluarga biasanya menabung terlebih dahulu atau menunggu waktu yang tepat untuk mengikuti upacara ngaben massal. Asumsi dasar dari ketujuh indikator kemapanan versi masyarakat Balinuraga ini adalah bahwa kebutuhan dasar seperti pangan dan pakaian, serta bantenan yang bersifat harian sudah terpenuhi dengan baik. Lalu yang menjadi pertanyaan penting adalah apa yang menjadi kunci kemapanan perekonomian mereka – terkait dengan profesinya sebagai petani? Menurut mereka, kunci keberhasilan ekonomi masyarakat terletak pada eksistensi seka tani atau krama subak yang menjadi basis perekonomian banjar. Unsur adat dan keagamaan yang ada di dalam krama subak yang menjadi satu dengan kegiatan ekonomi mewajibkan mereka untuk melalukan proses pertanian secara serempak. Mulai dari masa pembenihan sampai masa panen dan penjualan. Ada ritual dan upacara bersifat adat dan keagamaan yang harus mereka lakukan pada setiap tahapan proses pertanian. Untuk memulai satu tahapan, misalnya masa tanam, harus didasarkan hari baik dan ada ritual serta upacara yang harus dilakukan. Relevansi ekonomi dari aktivitas adat dan keagamaan dalam seka tani ini adalah pada penjualan hasil panen. Ini yang menjadi pembeda dengan petani dari etnis lain non-Bali Hindu. Mereka tidak diperkenankan menjual hasil panennya di saat masa panen itu berlangsung. Ada upacara besar yang bernama ruwatan hasil panen yang harus dilaksanakan oleh krama subak. Kemudian, ada kebiasaan untuk menunda penjualan hasil panen, yaitu dengan menyimpan hasil panen di lumbung (jineng). Hasil panen umumnya mereka jual setelah masa panen besar dari petani-petani lain (non-Bali) mulai berakhir, atau saat paceklik. Singkatnya, mereka menjual hasil panennya ketika harga jual gabah atau
324
beras mulai naik. Sudah menjadi rahasia umum jika pengepul akan membeli hasil panen dengan harga yang rendah (di bawah harga pasar) saat panen raya, dan ketika pengepul langsung membeli hasil panen di lokasi panen saat panen berlangsung. Sebuah tindakan yang tidak diperkenankan berdasarkan tradisi mereka dan pantang dilakukan (menjual hasil panen saat panen): ada kewajiban untuk mempersembahkan hasil panen kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pengucapan syukur. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan penyelenggaraan upacara ruwatan hasil panen, di mana selama waktu tersebut hasil panen tetap tidak diperkenankan untuk langsung dijual. Paling tidak, selama waktu persiapan dan penyelenggaran upacara tersebut, mereka sudah terhindar dari harga rendah karena sudah melewati masa panen. Harga jual hasil panen yang baik tidak berdampak signifikan atas kemapanan ekonomi mereka jika tidak disertai dengan pola konsumsi atau pola belanja atas pendapatan hasil penjualan panen. Masyarakat Balinuraga dikenal hemat untuk pengeluaran yang tidak perlu, khususnya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan adat dan keagamaan – kecuali untuk kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan anak. Mengingat banyaknya upacara dan ritual adat-keagamaan yang wajib mereka laksanakan, di mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Lalu, pertanyaan berikutnya apa solusi yang harus mereka lakukan selain bekerja keras dan ulet di lahan pertaniannya? Solusinya adalah dengan menambah luas areal persawahannya. Saat ini harga tanah di Balinuraga sudah tinggi, dan sudah tidak memungkinkan (sudah sulit) untuk membuka lahan baru atau menambah lahan baru. Untuk menambah lahan baru di Balinuraga dan wilayah sekitarnya adalah dengan membeli tanah pertanian yang dijual oleh petani lain, dan ini jarang terjadi di Balinuraga karena tanah ini adalah aset ekonomi mereka. Oleh karena itu, solusi yang mereka tempuh adalah dengan melakukan ekspansi lahan pertanian di areal perkebunan di tempat lain, seperti Lampung Timur dan Sumatera Selatan (perbatasan dengan Lampung Timur) yang harga tanahnya di tahun 1980-1990an masih murah dan ketersediaan tanahnya masih sangat luas. Ada yang menjual sebagaian tanahnya di Balinuraga, di mana hasil penjualan tanah tersebut bisa mendapatkan tanah yang lebih luas di tempat lain untuk perkebunan tanaman keras, seperti kelapa sawit
325
dan karet. Ada pula yang menggunakan uang tabungannya untuk membeli tanah perkebunan di tempat lain – tabungan yang berhasil dikumpulkan selama bertahun-tahun dengan pola belanja yang “hemat”. Tabungan ini sangat mudah mereka kumpulkan khususnya di masa Orde Baru, di mana menurut mereka mencari uang relatif lebih mudah daripada pasca Suharto. Masa-masa ini (Orde Baru) ekspansi lahan lebih relatif mudah dilakukan, megingat di tahun 1990-an lahan pertanian di Balinuraga sudah bersifat stagnan (sudah tidak memungkinkan untuk diperluas, kecuali mencari lahan baru di tempat lain). Biasanya tanah perkebunan tersebut tidak mereka kerjakan sendiri, tapi menggunakan jasa orang lain, umumnya berasal dari etnis Jawa. Di samping itu, ada beberapa keluarga yang bertransmigrasi lagi ke tempat lain, tapi tetap menjadi anggota banjar di Balinuraga, untuk menggarap perkebunan. Saat ini, meskipun tahun 2008 harga sawit sempat anjok, tapi secara umum hasil perkebunan seperti kelapa sawit, khususnya karet, memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada bercocok tanam padi tadah hujan. Oleh karena itu, jika melihat keadaan ekonomi mereka yang mapan, terkadang di waktu-waktu tertentu mereka terlihat santai di bale bengong, tapi memiliki rumah dan pura keluarga yang bagus, mampu menyelenggarakan upacara besar dan pulang kampung secara rutin, berhasil menyekolahkan anak dan membelikan sepeda motor terbaru dari dealer sepeda motor; hasil ini bisa mereka peroleh dan nikmati karena memiliki perkebunan tanaman keras di tempat lain, di luar Balinuraga. Namun, fondasi dasar ekonomi mereka di banjar, hingga akhirnya bisa melakukan ekspansi lahan pertanian dan perkebunan guna pemapanan ekonomi di level keluarga inti adalah keberadaan seka tani. Singkatnya, tidak mungkin bisa mencapai kemapanan ekonomi – melihat banyak dan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk kewajiban adat dan keagamaan – tanpa adanya penambahan aset (kapital fisik: tanah). Kemudian, sebagian dari hasil pendapatan ini – yang sudah disisihkan – digunakan untuk membangun banjar. Wujudnya yang paling menonjol adalah pada pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga yang menjadi identitas banjar tertentu. Ini adalah status sosial di level komunitas – kelompok warga – yang dapat ditingkatkan dengan pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga, di mana hanya bisa dilakukan jika perekonomian anggota banjar tersebut (per level keluarga
326
inti) sudah mapan. Untuk anggota warga yang Pura Kawitan Warga-nya tidak terletak di dalam banjar di mana ia tinggal dan tergabung dalam seka tani atau krama subak di banjar tersebut, maka ia tetap memiliki kewajiban ekonomi untuk pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga-nya yang berada di banjar lain, selain kewajiban adat dan agama.
Sistem Sosial sebagai Modal Sosial Dalam sub-bagian ini penulis akan menguraikan konsep modal sosial dalam perspektif lain: bukan berdasarkan perspektif Barat dalam menguraikan konsep modal sosial, yang akhirnya (berakibat) dalam kasus ini hanya akan melakukan pembenaran, tapi perspektif Barat tersebut lebih digunakan sebagai rambu-rambu. Sebuah perspektif lain yang titik pijaknya pada realitas yang ada dalam sebuah sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali Nusa yang ada di Desa Balinuraga: sistem sosial yang mereka adaptasi dan replikasi dengan beberapa penyesuaian berdasarkan konsep kala dan patra. Penguraian ini akan terkait dengan konteks pembangunan komunitas mereka di level banjar dan desa, dan sumbangan perekonomian mereka di level kabupaten sebagai salah satu daerah (desa) penghasil beras (pembangunan tingkat lokal) di Lampung Selatan. Dalam kasus masyarakat di Desa Balinuraga, penulis menyebutkan bahwa sistem sosial – yang tampak dalam realitas sosial masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, baik yang sudah menghasilkan wujud fisik (bangunan suci) atau pun masih dalam bentuk nilai dan norma yang berlaku dalam sistem sosial tersebut – sebagai modal sosial. Ada beberapa poin penting yang akan diuraikan lebih lanjut mengapa sistem sosial yang ada dan berlaku dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga disebut sebagai modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding social capital) dan mengikat ke luar (bridging social capital): Pertama, sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat, keagamaan (religi), sistem pertanian dan ekonomi – menjadi sebuah modal yang berwujud kerja kolektif di level banjar dan desa yang menghasilkan sebuah pembangunan fisik, atau modal sosial. Dalam kasus ini, dikatakan sistem sosial dikatakan sebuah modal sosial karena dalam sistem sosial
327
yang telah mengikat kuat dalam komunitas (dan level individu) berhasil mendorong komunitas ini secara kolektif untuk melakukan sebuah prose pembangunan yang berwujud fisik, yang menjadi sebuah kewajiban atas sistem sosial yang mengikat tersebut. Dikatakan sebagai “modal” karena fungsinya ekonomi dari modal tersebut untuk menghasilkan sesuatu, dalam kasus ini adalah pembangunan fasilitas dan infrastruktur sosial dan keagamaan; dan dikatakan “sosial” karena dikerjakan secara kolektif, dengan kesadaran atas kewajibannya sebagai konsekuensi dari ikatan sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut. Contoh konkretnya: (1) Berdirinya Pura Kahyangan Tiga yang menjadi pemersatu ketujuh banjar di Balinuraga sebagai umat Hindu Dharma. Eksistensi identitas mereka di level desa sebagai masyarakat Bali Nusa di Lampung Selatan dan sebagai umat Hindu Dharma adalah dengan berdirinya Pura Desa (Penataran Bale Agung), Pura Puseh, dan Pura Dalem (Pura Kahyangan Tiga). Pura Kahyangan Tiga ini merupakan infrastruktur keagamaan (dan sosial) untuk komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Kuatnya sistem sosial yang mengikat komunitas ini sampai ke level individu dan kebutuhan eksistensi identitasnya sebagai masyarakat Bali Nusa mendorong mereka untuk membangun Pura Kahyangan Tiga ini. Pembangunannya dilakukan oleh masyarakat secara kolektif dan mandiri, baik dana maupun tenaga. Tidak menggunakan dana atau bantuan dari pemerintah. Pembangunannya didasarkan atas kebutuhan mereka sebagai kesatuan masyarakat di level desa sebagai masyarakat Bali Nusa yang beragama Hindu, dan sebagai kewajiban sosial atas sistem sosial yang telah mengikat dan melekat dalam komunitas dan individu; (2) Berdirinya bale desa dan bale banjar. Ini merupakan infrastruktur sosial dalam sistem sosial yang mengikat tersebut, yang juga berfungsi untuk aktivitas keagamaan. Rapat atau perkumpulan setingkat desa dan setingkat banjar (dusun), baik untuk permasalahan adat dan agama maupun permasalahan yang bersifat administratif, dilaksanakan di dalam bale desa dan bale banjar, di mana setiap banjar memiliki satu bale banjar. Pembangunannya dilaksanakan secara kolektif, baik dana maupun tenaga; (3) Berdirinya bangunan suci di level banjar atau kelompok warga, yaitu Pura Kawitan Warga. Bangunan suci ini merupakan bagian dari sistem sosial tersebut, yang memiliki fungsi utama untuk keperluan adat dan keagamaan. Identitas sosial dan status sosial
328
terletak pada berdirinya Pura Kawitan Warga. Jika seseorang mengaku bahwa identitas dengan warga A, tapi tidak bisa menunjukkan Pura Kawitan Warga-nya, maka seseorang tersebut akan diragukan identitasnya sebagai “Bali Hindu”. Pura Kawitan Warga menjadi simbol identitas di level individu dan kelompok bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama, dan mereka dipersatukan dengan adanya Pura Kawitan Warga. Pembangunnya dilakukan secara bersama-sama oleh anggota kelompok warga yang bersangkutan. Mulai dari dana, tenaga, sampai model dan rancangan arsitektur Pura Kawitan Warga tersebut. Setelah ada perselisihan di antara dua kelompok warga yang berbeda identitas leluhur, pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga lebih menjadi fokus utama. Gengsi dan status sosial individu dan kelompok warga termanifestasikan atau terwakilkan dengan keberadaan Pura Kawitan Warga yang besar dan artistik; (4) Berdirinya Pura Subak yang dibangun secara kolektif oleh anggota banjar yang tergabung dalam seka tani atau krama subak. Ini merupakan kewajiban mereka sebagai anggota dari sistem pertanian (subak) yang menjadi bagian dari sistem sosial yang mereka adaptasi tersebut; (5) Dibangunnya jalan desa dan jalan dusun. Jalan utama desa dan dusun yang ada saat ini merupakan hasil dari kerja kolektif masyarakat Balinuraga, khususnya pembangunan awal dilakukan oleh transmigran pertama dan kemudian secara bertahap dilakukan perbaikan. Fungsi utama pembangunan jalan desa dan jalan dusun ini adalah untuk memperlancar transportasi dalam aktivitas ekonomi dan hubungan sosial dengan komunitas lain; (6) dan bangunan-bangunan fisik lainnya yang mempunyai fungsi sosial dan religius, seperti tugu-tugu (tugu desa dan tugu-tugu yang ada di tempat-tempat yang dianggap keramat) dan bale bengong sebagai tempat untuk bersantai dan berkumpul bersama di waktu senggang. Pembangunan tugu dan bale bengong dibangun secara kolektif (dana dan tenaga) oleh beberapa anggota masyarakat berdasarkan cakupan wilayah tertentu di mana bangunan tersebut didirikan, kecuali tugu desa. Adanya bukti fisik dari bangunan-bangunan fisik tersebut, dan bagaimana cara serta proses pembangunannya, menjadi bukti bagaimana sistem sosial yang mengikat tersebut mampu mendorong kolektifitas kelompok (individu-individu) untuk membangun infrastruktur adat dan keagamaan (termasuk infrastruktur ekonomi). Tujuannya adalah untuk
329
menunjukkan, mempertahankan serta melestarikan eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, di mana melalui pembangunan tersebut sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut dapat terus eksis dan lestari. Dengan kata lain, sistem sosial yang bersifat tersebut berhasil mendorong masyarakat untuk membangun infrastruktur sosial, adat dan keagamaan secara kolektif, guna menjamin keberlangsungan, keberfungsian, kelestarian dan kelancaran dari sistem sosial tersebut. Sistem sosial ini, termasuk bangunan fisik di dalamnya, merupakan simbol dari identitas mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida. Ini adalah sebuah kewajiban yang bersifat mengikat, di mana ikatan tersebut mem-bonding masyarakat Bali Nusa pada level tertentu (banjar dan desa) untuk melakukan proses pembangunan (infrastruktur adat, keagamaan dan ekonomi) yang hasil konkretnya dapat dilihat dan diberfungsikan sesuai dengan sistem sosial yang berlaku tersebut. Kedua, di dalam sistem sosial tersebut ada nilai dan norma yang bersifat mengikat – ada sebuah kewajiban dan hak dari setiap anggota komunitas di level banjar dan desa – di mana nilai dan norma tersebut yang memungkinkan “modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam” ini bisa berfungsi dan terealisasi sampai saat ini. Bukti fisiknya telah diuraikan pada poin pertama. Bukti lainnya dapat dilihat dari contoh kasus upacara ngaben pribadi, di mana setiap anggota banjar memiliki suatu kewajiban – sebagai sebuah nilai dan norma yang harus mereka lakukan – untuk membantu dan bekerja sama secara sukarela – tanpa ada paksaan – untuk menyukseskan persiapan dan penyelenggaraan upacara ngaben pribadi tersebut yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga anggota banjar. Catatan penting di sini, untuk kasus upacara ngaben pribadi dan pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan adalah bahwa trust tidak memainkan peranan penting dalam pelaksanaan modal sosial di dalam komunitas ini246. Justru nilai dan norma yang ada di dalam sistem 246
Hal ini bertentangan dengan konsep modal sosial dalam perspektif Barat (Coleman 1988, Fukuyama 1995 1999 2001, Putnam 1995) di mana unsur trust (kepercayaan) menjadi elemen penting dalam bekerjanya sebuah modal sosial selain norma dan nilai (norms and value), dan jaringan sosial (networks). Konteks Barat tentu berbeda dengan konteks “Indonesia” (dalam kasus ini masyarakat Bali
330
sosial tersebut yang menjadikan modal sosial itu berjalan dan menghasilkan sesuatu. Dorongan mereka untuk bekerja secara kolektif dengan sumbangan dana dan tenaga lebih cenderung karena adanya nilai dan norma dalam sistem sosial yang bersifat “wajib” dan “sukarela” – tidak ada paksaan, tapi jika tidak melakukannya menimbulkan “perasaan tidak enak” dan merasa “dikucilkan”. Trust tidak memainkan peran yang penting dalam pengaplikasian modal sosial yang mengikat ke dalam ini karena setiap anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang ada di dalam desa dan banjar memiliki identitas warga yang berbeda. Setiap warga memiliki status sosial tersendiri yang telah diklaim oleh kelompoknya, khususnya dua kelompok warga yang bertentangan247.
di luar Bali yang masih mempertahankan sistem sosialnya yang tradisional) yang sebagian masyarakatnya masih tradisional, di mana nilai dan norma dalam sistem sosial masyarakat tradisional lebih dominan dalam mengikat komunitas itu maupun dalam mengkonsolidasi aksi (kerja ekonomi kolektif) daripada trust antar anggotanya. Konteks Barat masyarakatnya sudah mencapai tahap masyarakat modern atau urban (masyarakat industri), unsur keprofesionalitasan lebih ditekankan, dan adanya trust dinilai dapat menunjang perekonomian yang lebih bersifat langgeng (sustainable) karena dapat menekan biaya transaksi. Dengan kata lain, tanpa trust yang kuat pun, modal sosial itu tetap berjalan dalam konteks masyarakat tradisional di Indonesia. Mereka yang ngayah atau gotong royong (mungkin) lebih disebabkan karena keterikatan yang kuat dengan komunitas di mana mereka tinggal – ada perasaan tidak enak jika tidak ikut terlibat, bukan masalah trust. 247 Pertentangan identitas warga yang terjadi ini bukan sebuah realitas yang terjadi setelah mereka berada di Lampung, tapi realitas yang juga terjadi di Bali dalam bentuk yang hampir sama dengan, dan yang terpenting adalah berbagai pertentangan identitas tersebut memiliki sejarah yang panjang . Dalam konteks yang lebih luas dan berdasarkan sejarah di masa kerajaan sampai masa kolonial dan pasca kolonial, masyarakat Bali selalu diliputi oleh peperangan dan kekerasan dengan latar belakang identitas yang berbeda. Mulai dari konfik antar masyarakat antar sekte-sekte keagamaan Hindu-Budha, perang penaklukan kerajaan Bali Aga oleh Majapahit, perang antar kerajaan di masa kekuasaan Dinasti Sri Kresna Kepakisan (pasca Majapahit berkuasa atas Bali), perang pihak kerajaan dengan pihak kolonial, konflik antar wangsa di masa kolonial, sampai pembunuhan massal pasca Gerakan 30 September 1965, dan berbagai kekerasan skala kecil di level desa (lihat: Vlekke 2008, Vickers 1966, Robinson 1995, Rossa 2008, Schulte Schulte Nordholt 2007 2009, Pringle 2004, Cribb 2003, Howe 2005, Geertz 1967 1977). Salah satu akar konflik tersebut adalah penguatan identitas antar kelompok
331
Hasrat yang mendalam untuk menunjukkan status sosial warga pada setiap diri individu dan kelompok warga memungkinkan trust tidak dapat menjadi “bahan bakar” berjalannya modal sosial yang mengikat ke dalam ini. Fakta ini tidak dapat dipersalahkan, karena sistem warga atau status sosial warga itu sendiri merupakan salah satu bagian dari sistem sosial tersebut. Status sosial atau identitas warga begitu kuat pada diri individu, karena jati diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu ada di dalamnya 248. Namun, toh modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam ini tetap berjalan dan terbukti berhasil dalam aplikasi dan wujud fisik pembangunannya, bukan disebabkan oleh unsur trust yang mengikat antar identitas warga, tapi lebih disebabkan oleh nilai dan norma dalam sistem sosial tersebut. Unsur dis-trust antar kelompok warga ini dapat dibuktikan dengan adanya dua Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) – seharusnya dalam satu desa hanya satu, tergabung dalam Pura Kahyangan Tiga – di mana dalam pembangunannya tetap dilaksanakan secara kolektif dengan nilai dan norma yang berlaku dalam salah satu kelompok yang bertentangan tersebut. Unsur ketidak-percayaan (distrust) tidak bisa samaratakan bahwa setiap indivu tidak percaya dengan warga lain, sehingga modal sosial yang bersifat ke dalam tersebut tidak berjalan. Dalam kasus upacara ngaben pribadi ada juga beberapa anggota warga yang berbeda dengan warga dari pihak keluarga penyelenggara upacara yang turut serta dalam ngayah (kerja sukarela). Atau, dalam kasus lain, seperti seka tani (bersifat primordial) dengan simbol-simbol identitasnya, namun sebaliknya, melalui penguatan identitas tersebut identitas kebalian mereka tetap bertahan sampai sekarang. Dengan kata lain, berdasarkan fakta sejarah tersebut, dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih feodal, trust mungkin hanya terbatas dalam ikatan komunitas yang lebih kecil dengan persamaan identitasnya. Di luar itu unsur distrust lebih besar, jika tidak, mungkin “paradise” itu adalah paradise yang sesungguhnya. 248 Dalam penelitiannya di Tihingan, Geertz (1967) menyebutkan bahwa konflik atau pertentangan yang sengit perihal status sosial bukan terjadi antara golongan triwangsa dan jaba, melainkan dua klan dari golongan jaba, Pandé dan Pasek. Geertz (1967 & 1977) menambahkan bahwa meskipun jumlahnya kecil, klan Pandé memiliki kekuatan yang solid dan mendapatkan kedudukan yang istimewa terkait keprofesiannya sebagai pandai besi, sehingga memampukan klan ini bersaing dengan klan Pasek sebagai sebuah klan dengan keanggotaan yang besar (mayoritas di Bali).
332
atau keanggotaan krama subak, meskipun pada banjar tertentu didominasi oleh warga mayoritas di banjar tersebut, keanggotaannya pun bersifat demokratis, artinya ada warga lain yang menjadi anggota, keanggotaannya tidak dimonopoli oleh satu warga yang mendominasi banjar tersebut. Secara umum, poin dis-trust, atau unsur trust tidak menjadi begitu berperan dalam modal sosial yang mengikat ke dalam, lebih disebabkan karena adanya identitas warga yang di dalamnya telah mengakar status sosial pada setiap individu. Menariknya tanpa dominannya unsur trust, modal sosial tersebut tetap berjalan karena adanya sistem sosial yang mengikat, di mana unsur nilai dan norma memegang peran dominan bagi berjalannya modal sosial tersebut daripada unsur trust. Dengan kata lain, penulis ingin menyampaikan bahwa untuk salah satu kelompok etnis di Indonesia yang masih memegang erat ketradisionalannya dengan mempertahankan dan melestarikan sistem sosialnya yang terdapat unsur kefeodalan, modal sosial yang mengikat ke dalam karena adanya sistem sosial yang mengikat komunitas tersebut unsur nilai dan norma lebih dominan daripada unsur trust sebagai penggerak modal sosial komunitas tersebut. Hal yang perlu diingat dalam kasus ini adalah komunitas ini termasuk dalam lembaga sosial dengan kelembagaan adat dan agama yang kuat, bukan sebuah lembaga bisnis atau corporate (perusahaan) yang dalam kegiatan bisnisnya (transaksi dan perjanjian bisnis) sangat mengandalkan trust sebagai salah satu cara untuk mengurangi transactional cost dan inisible cost (biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya tidak terlihat dalam proses transaksi bisnis tersebut). Jadi, dalam sistem sosial di dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang menciptakan modal sosial mengikat ke dalam unsur nilai dan norma dalam sistem sosial tersebut lebih dominan dalam keberfungsian modal sosial komunitas. Ketiga, untuk kasus yang spesifik dapat dilihat bagaimana sistem sosial ini berhasil membangun sebuah modal sosial yang mengikat ke dalam. Kasus pertama adalah seka tani yang menjadi basis ekonomi banjar. Krama subak yang ada di dalam seka tani ini berhasil (secara umum) memapankan perekonomian mereka. Modal sosial di dalam komunitas ini dijalankan oleh sistem sosial yang ada di dalam seka tani tersebut. Mengapa? Karena di dalam sistem sosial yang berlaku dalam krama subak
333
mengharuskan para anggotanya tidak hanya fokus pada kegiatan ekonominya di bidang pertanian, tapi juga tetap fokus pada institusi subak itu sendiri – meskipun tidak ada pembagian air irigasi – sebagai lembaga adat dan keagamaan. Kerja kolektif diwujudkan dalam kebersamaan dan kekompakkan dalam melaksanakan kegiatan pertanian (mulai dari penetapan hari baik, tahap pembenihan sampai masa panen dan penjualan), kegiatan adat dan keagamaan krama subak, seperti “kumpul tani” dan pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan dalam krama subak. Lembaga ini lebih demokratis dalam keaanggotaannya – tidak dimonopoli oleh satu warga – dan Pura Subak yang dibangun secara kolektif berfungsi sebagai pemersatu krama subak dari perbedaan identitas warga. Kasus kedua adalah seka gong yang menjadi basis kesenian (lembaga kesenian) banjar. Lembaga ini tidak hanya bergerak di bidang kesenian saja, tapi juga bergerak di bidang keagamaan, karena pentas kesenian dalam tradisi Bali ikut serta dalam kegiatan ritual dan upacara keagamaan, misalnya: Tari Baris (termasuk dalam Tari Wali atau Tari Persembahan) dan Tari Barong. Keanggotaan seka gong bersifat sukarela, tidak ada paksaan. Keunikkan lembaga ini adalah bagaimana para anggotanya membiayai keberlangsungan dan eksistensi lembaga keseniannya dan keseniannya itu sendiri sebagai bagian dari tradisi Bali Hindu, yaitu dengan mentas (tampil pentas) – diundang untuk mementaskan kesenian Bali – di perkampungan Bali lainnya di luar Balinuraga. Modal sosial dalam lembaga ini adalah kesadaran dari setiap anggotanya untuk tetap kompak dan konsisten dalam berlatih kesenian secara sukarela tanpa paksaan agar menghasilkan sebuah pertunjukkan kesenian yang baik dan memukau. Hasilnya secara tidak langsung dari kedisiplinan anggota seka gong tersebut dalam berlatih adalah mendapat undangan mentas (bersifat komersial dan profesional), meskipun kadang kala honor yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Jika ada honor, itu pun tidak dibagikan kepada para anggota, tapi dijadikan sebagai kas banjar atau pura. Bagi anggota seka gong penampilan kesenian yang dipentaskan secara baik dan memukau adalah bagian dari kepuasan batin dan status sosial. Biaya transportasi, uang rokok, dan uang makan yang ditanggung oleh pihak panitia sudah cukup sebagai honor dan penghargaaan, kecuali dalam kasus tertentu pihak panita (pengundang) secara khusus memberikan honor kepada setiap anggota seka gong. Modal
334
sosial yang ada di dalam seka gong, seperti kasus seka gong Banjar Pandéarga (seka gong terbaik yang dimiliki Desa Balinuraga), menjadikan lembaga kesenian ini sebagai lembaga di bawah naungan banjar yang mandiri. Keeempat, sistem sosial masyarakat Bali Nusa di Balinuraga tidak hanya membentuk modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding), tapi juga mengikat ke luar (bridging). Akarnya adalah dari filosofi dan ajaran yang tercakup dalam sistem sosial tersebut, di mana sudah melembaga pada setiap individu. Inti dari filosofi dan ajaran tersebut adalah bagaimana mereka sebagai masyarakat Bali bisa membangun relasi sosial yang harmonis dengan orang lain. Relasi sosial yang harmonis dengan orang lain tersebut – dalam pergaulan dengan masyarakat yang heterogen – yang memungkinkan modal sosial yang bersifat terbuka ini memberikan hasil bagi komunitas Balinuraga, yaitu ikut berpartisipasi, disertakan dan dilibatkan dalam pembangunan di tingkat lokal dan kancah politik praktis sebagai bagian dari masyarakat Lampung (Bali Lampung). Jadi, sistem sosial yang mengikat tersebut bukan hanya menciptakan relasi yang bersifat ke dalam komunitas mereka saja, tapi relasi dengan orang lain di luar komunitasnya (non-Bali Hindu). Berikut ini adalah filosofi dan ajaran umum yang menjadi landasan mereka untuk membangun modal sosial yang bersifat terbuka: (1) filosofi Tri Hita Karana. Arti umum dari Tri Hita Karana adalah “tiga penyebab kebagiaan”. Berasal dari bahasa sansekerta di mana “Tri” berarti “tiga”, “Hita” berarti “kebahagiaan” atau “kebajikan”, dan “Karana” berarti “penyebab”249. Tri Hita Karana ini merupakan ajaran yang mengajarkan agar manusia mengupayakan hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya (Wiana, 2007). Poin penting dari filosofi atau ajaran Tri Hita Karana ini terkait dengan modal sosial terbuka (bridging social capital) adalah bagaimana menjalin hubungan (relasi sosial) yang harmonis dengan anggota atau komunitas lain (non-Bali Hindu). Ajaran ini 249
Lihat: I Ketut Wiana (2007), Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu, Surabaya: Penerbit Paramita; dan Nyoman S Pendit (2001), Membangun Bali: Menggugat Pembangunan di Bali untuk Orang Jakarta melalui Jalur Pariwisata, Denpasar: Pustaka Bali Post.
335
menjadi fondasi bagi mereka untuk membangun hubungan sosial atau pun relasi sosial (berhubungan dengan kegiatan ekonomi) dengan orang lain. Tujuannya menciptakan keharmonisan hubungan dengan liyan, dan tujuan yang bersifat ekonomi adalah terkait profesi mereka di bidang pertanian. Cara umum yang digunakan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang harmonis dengan liyan, baik terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan maupun hubungan ekonomi (bisnis) adalah bersilatuhrami, atau dalam istilah mereka disebut medharma suaka, ke anggota komunitas lain saat hari raya atau hari besar keagamaan tertentu. Menurut Wiana (2007) ajaran dari Tri Hita Karana ini bukan merupakan ajaran yang baru, yang baru adalah penggunaan istilah “Tri Hita Karana” itu sendiri yang baru dipopulerkan di tahun 1960-an di Bali. Lalu, bagaimana istilah ini menjadi populer pada masyarakat di luar Bali seperti di masyarakat Balinuraga? Istilah dan ajaran “Tri Hita Karana” sebenarnya sudah populer di Balinuraga, diperkirakan sejak akhir tahun 1960-an, yaitu melalui proses pendidikan di sekolah darurat dan sosialisasi dari Bimas Hindu-Budha (PHDI) kepada tokoh masyarakat dan guru agama yang bukan berasal dari lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Hindu – lulusan PGA Hindu pertama kali bertugas di Desa Balinuraga pada tahun 1978, tapi guru agama Hindu sudah ada di sekolah darurat di Balinuraga. Kemudian, istilah dan ajaran Tri Hita Karana ini disosialisasikan kepada masyarakat melalui tokoh pendidikan dan tokoh agama yang ada di Balinuraga, bersamaan dengan sosialisasi salam “om swastiastu”, salam penutup “om shanti, shanti, shanti, om”, doa “tri sandya”, sebutan Tuhan Yang Maha Esa “Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Ida Sang Hyang Widhi”, “catur guru bhakti”, “menyama braya” dan lain-lain250. Pada masa-masa ini masyarakat Balinuraga sudah dibentuk untuk menjadi umat Hindu Dharma yang “resmi”, yaitu dengan dilakukannya standarisasi-standarisasi di bidang keagamaan, seperti contoh di atas, di bawah pengawasan PHDI. Ini yang menyebabkan istilah dan ajaran Tri Hita Karana menjadi populer bagi masyarakat Balinuraga (sampai saat ini) sebagai umat Hindu Dharma, dan menjadi landasan bagi mereka untuk membina dan membangun relasi 250
Sampai saat ini, Tri Hita Karana merupakan salah satu bagian wajib yang diajarkan kepada murid-murid sekolah dalam pelajaran Agama Hindu.
336
yang harmonis dengan liyan; (2) konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti. Poin penting dari konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti, dalam hubungannya dengan modal sosial terbuka, adalah terkait dengan resiprositas (reciprocity) atau hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) yang bersifat kelembagaan. Catur Guru Bhakti ini – seperti yang dijelaskan oleh beberapa tokoh pendidikan dan agama di Balnuraga – adalah fondasi penting dalam menjalin hubungan kelembagaan yang baik antara masyarakat Balinuraga dengan pemerintah (dalam konteks ini lebih dekat dengan institusi pemerintahan di level desa, kecamatan, dan kabupaten yang diwakili oleh para pejabat dan administraturnya). Hal ini seperti tertuang dalam ajaran Catur Guru Bhakti di mana salah satu guru yang harus dihormati “Guru Wisesa”, yaitu (diartikan secara khusus) pihak yang berkuasa atau pemerintah; selain Guru Swadhyaya / Swadiaya (yaitu Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa), Guru Rupaka / Rek (yaitu orang tua yang melahirkan / orang tua kandung), dan Guru Pengajian (yaitu guru yang mengajar dan mendidik dalam pendidikan formal). Seperti yang dijelaskan oleh Surpha (2004), kasus desa adat di Bali, bahwa ajaran Catur Guru Bhakti menjadi landasan bagi suksesnya program pemerintah di level desa dan loyalitas masyarakat desa kepada pemerintah251. Sikap hormat dalam menjalin hubungan dengan “Guru Wisesa” atau pemerintah ini yang memberikan efek positif dalam perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi masyarakat Balinuraga, yaitu dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum dan taat terhadap peraturan pemerintah. Efek positifnya adalah mereka turut dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan dan acara formal pemerintahan daerah, khususnya untuk mementaskan kesenian Bali. Melalui hubungan yang baik ini, mereka memiliki posisi tawar kepada pemerintah untuk pembangunan infrastruktur desa, khususnya jalan desa. Ini bukan posisi tawar yang tidak seimbang, dalam artian masyarakat menuntut penuh pembangunan jalan. Dalam kasus ini, pemerintah hanya mengaspalkan jalan desa, karena jalan desa dan fondasi jalannya (jalan berbatu) sudah dibuat oleh masyarakat – hubungan yang saling 251
Lihat: I Wayan Surpha (2004, hlm,9), Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Denpasar: Pustaka Bali Post.
337
menguntungkan karena masyarakat sudah berpartisipasi. Begitu pula dalam hal pembangunan posyandu, puskesmas, dan sekolah negeri (Sekolah Dasar). Masyarakat membuktikan rasa hormatnya kepada pemerintah dengan membayar pajak (kewajiban) dan menjadi salah satu daerah penghasil beras, kemudian kewajiban pemerintah adalah memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat Balinuraga. Jika realisasi pajak tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemungkinan yang terjadi (bersifat umum) dikarenakan prosedur yang berbelit-belit (masalah teknis) dan masalah sosialisasi pembayaran pajak, di mana menyebabkan wajib pajak mengurungkan niatnya atau membatalkan pembayaran pajak. Hubungan mutuaslime (resiprositas) antar lembaga ini terjadi tidak hanya dengan lembaga pemerintahan, tapi juga dengan lembaga swasta, dalam kasus ini adalah perusahaan swasta yang memproduksi dan menjual produk-produk pertanian. Contoh konkretnya antara lain: (1) pembangunan bale bengong yang disponsori perusahaan swasta bibit jagung. Pada atap bale bengong terdapat tulisan / nama (sponsor) perusahaan tersebut; (2) plat atau papan nama “Desa Balinuraga” yang di bawahnya ada nama (sponsor) perusahaan rokok swasta, di mana rokok tersebut menjadi rokok favorit yang dihisap oleh mayoritas masyarakat Desa Balinuraga; (3) pembuatan baju atau kaos untuk panitia penyelenggara upacara ngaben pribadi. Sponsornya dari perusahaan swasta yang memproduksi dan menjual insektisida; (4) dan bentuk-bentuk lainnya yang mendapat sponsor dari perusahaan swasta. Umumnya berupa spanduk-spanduk yang berisikan informasi penyelenggaraan upacara tertentu.
338
Gambar 48. Bale Bengong dan Plat Nama Desa Bersponsor (sebelah kiri: bale bengong dengan atap bertuliskan “Pioneer”; kanan: plat nama desa dengan sponsor “Djarum”) (Sumber: Yulianto, 2010)
339
Kasus Upacara Ngaben di Balinuraga Sama seperti masyarakat Bali pada umumnya, upacara ngaben di Balinuraga merupakan salah satu upacara besar dan penting. Kasus upacara ngaben di Balinuraga perlu diuraikan untuk mengetahui bagaimana identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga sebagai sebuah sistem sosial dalam masyarakat Bali yang mereka adopsi di Lampung. Melalui kasus ini dapat dilihat beberapa persamaan dan perbedaan yang bersifat mendasar atas identitas kebalian komunitas ini di Lampung. Perbedaan inilah yang menjadikan mereka identik dengan Bali: tetap menjadi Bali, tetapi Bali yang ada di Lampung. Upacara Ngaben, atau biasa disebut Pitra Yadnya252, merupakan salah satu upacara sakral dan penting bagi masyarakat Bali Hindu, tidak hanya di Bali, tapi juga bagi masyarakat Bali Hindu yang ada di Desa Balinuraga, Lampung Selatan. Upacara ini merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarganya yang telah meninggal – sebuah kewajiban yang bersifat mengikat sama seperti kelekatan sistem sosial dalam masyarakat Bali yang mereka adopsi setelah berada di Lampung. Dalam arti umum yang telah dikenal oleh masyarakat luas, upacara ngaben adalah upacara pembakaran tubuh orang yang telah meninggal (pitra, jenasah; mageseng: sebutan lain untuk pembakaran pitra) yang berlaku (dan menjadi kewajiban) dalam masyarakat Bali Hindu. Bertujuan untuk menghantarkan arwah yang telah meninggal ke kahyangan (surga), sekaligus membebaskan atau melepaskan keterikatannya dari unsur duniawi (wujud fisik berupa jenasah, badan, atau kerangka tubuh) – yang dimanifestasikan dalam pembakaran jenasah atau kerangka tubuh, menghanyutkan abu-nya ke laut (dikembalikan ke alam),
252
“Pitra Yadnya” adalah sebutan lain untuk upacara ngaben (pembakaran mayat bagi masyarakat Bali Hindu). “Pitra” (baca: pitre) diartikan sebagai jenasah, badan mati; sedangkan yadnya diartikan sebagai (upacara) korban suci.”Pitra Yadnya” merupakan sebutan resmi untuk upacara ngaben, yang bersifat lebih formal dan religius (Hindu). Karenanya, sebutan “pitra yadnya” ini lebih sering digunakan – sifatnya yang lebih halus, formal, dan religius – daripada sebutan “ngaben” yang lebih tradisional Bali. Bagi khalayak – etnis Bali dan etnis lain non-Bali – sebutan “ngaben” sebagai pembakaran jenasah lebih populer daripada sebutan “pitra yadnya”.
340
dan kemudian menempatkan arwah atau atman yang meninggal ke sebuah tempat suci (pelinggih) yang telah disediakan: merajan atau sanggah. Upacara Pitra Yadnya (ngaben) bagi masyarakat Bali Hindu di luar Bali, dalam kasus ini di Desa Balinuraga, tidak bisa dilihat dari sudut pandang sebagai upacara yang sangat sakral dan penting (aspek religiusitas), tapi juga aspek sosiologisnya sebagai masyarakat Bali di luar Bali dalam mempertahankan dan menunjukkan eksistensi identitasnya, dan memperkokoh kesolidan komunitas Bali Hindu dengan identitas kebudayaannya yang unik. Upacara ngaben, baik pribadi atau pun massal, selalu melibatkan partisipasi aktif massa yang besar, khususnya yang paling menonjol adalah di tingkat banjar. Seluruh anggota banjar, meskipun bukan berasal dari keluarga besar dan warga tertentu, memiliki kewajiban yang sangat mengikat untuk ikut terlibat aktif. Termasuk di dalamnya, sebuah realitas yang menarik, adalah kehadiran dan keterlibatan aktif dari kerabat, saudara jauh, atau pun anggota banjar bukan berasal dari keluarga yang dulunya pernah menjadi anggota banjar yang ada di Balinuraga yang sekarang sudah merantau ke tempat lain, serta saudara atau pun teman dekat yang ada di Nusa Penida dan Bali. Dengan kata lain, upacara ngaben di Balinuraga merupakan sebuah upacara yang menyatukan komunitas Bali Nusa yang telah tersebar ke berbagai tempat pada khususnya yang masih berada di dalam wilayah Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan, serta teman dan saudara yang ada di Bali dan Nusa Penida pada umumnya. Kuatnya ikatan ini yang menyebabkan bagaimana sebisa mungkin mereka yang telah menetap di luar Balinuraga (karena alasan pekerjaan) untuk datang dan berpartisipasi aktif saat persiapan dan prosesi upacara dilaksanakan. Meskipun tidak ada sanksi atau pun hukuman jika tidak hadir dan berpartisipasi aktif, kuatnya ikatan persaudaraan (kekerabatan) ini, yang semakin kuat setelah mereka berada di Lampung, menyebabkan mereka merasa bersalah atau pun merasa (dan percaya) akan ada sesuatu (sanksi niskala) jika tidak ikut hadir dan berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut – setidak-tidaknya adalah mereka bisa hadir saat upacara puncak dilaksanakan. Baik langsung atau pun tidak langsung, sengaja atau tidak disengaja, ketidakhadiran seseorang yang memiliki hubungan atau keterikatan dengan komunitas di mana upacara ngaben akan dilaksanakan (kecuali untuk sebuah alasan yang
341
masuk akal dan tidak dapat dielakkan, seperti menderita sakit parah), akan menyebabkan seseorang tersebut disisihkan dari komunitasnya; dengan kata lain, identitasnya akan terkikis atau tidak diakui sebagai bagian dari sebuah komunitas Bali Hindu yang menjadi dasar dari identitasnya sebagai Bali Hindu di Lampung, seperti: hilangnya atau tidak diakuinya keanggotaannya sebagai anggota banjar tertentu, atau didiamkan atau diacuhkan (semacam sanksi sosial) ketika suatu saat seseorang tersebut datang ke banjar asalnya atau pun ketika ia suatu hari nanti menyelenggarakan upacara ngaben.
342
Gambar 49. Krama Banjar Ngayah saat Persiapan Upacara Pitra Yadnya (Atas: kaum laki-laki sedang membuat makanan olahan dari daging babi; bawah: kaum ibu membuat bantenan) (Sumber: Yulianto, 2010)
343
Gambar 50. Tamu Undangan di Hari-H Upacara Pitra Yadnya (Para tamu di antaranya pejabat desa dan kecamatan, pemangku dan sulinggih, tokoh masyarakat, keluarga dan kerabat jauh, dan lain-lain) (Sumber: Yulianto, 2010)
Pemaparan contoh kasus upacara “ngaben pribadi” ini bertujuan menangkap realitas dari sistem sosial masyarakat Balinuraga: pertentangan antara kubu konservatif dan kubu modernis, tata cara upacara dan upakara (sesaji, bantenan), sulinggih yang muput pelaksanaan upacara, manajemen persiapan dan pelaksanaan upacara, keterlibatan aktif anggota banjar dan anggota lain dalam persiapan dan pelaksanaan upacara, kesungguhan dalam pelaksanaan upacara, biaya yang dikeluarkan selama persiapan dan pelaksanaan upacara, dan lain-lain.
Mengapa Ngaben Pribadi? Ngaben Pribadi di Balinuraga merupakan upacara pitra yadnya yang diperuntukkan hanya untuk satu anggota keluarga (yang telah meninggal) dari sebuah keluarga. Berbeda dengan ngaben massal (yang pernah diselenggarakan di Balinuraga) yang melibatkan banyak anggota keluarga dari keluarga-keluarga yang berbeda, termasuk tempat dan asal usul serta identitas warga yang berbeda. Pada perinsipnya, dalam upacara ngaben massal siapa saja boleh mengikutinya, tidak ada syarat atau
344
ketentuan khusus yang membatasi, khususnya (yang diutamakan) mereka yang perekonomian keluarganya pas-pasan. Ngaben Pribadi di Balinuraga yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2010 ini, merupakan upacara ngaben dari salah satu anggota keluarga terpandang di Balinuraga, yaitu istri dari putra laki-laki Sri Mpu Suci, atau menantu perempuan dari Sri Mpu Suci. Kasus ini cukup unik, dan karenanya akan menjadi perdebatan (dibahas pada bagian berikutnya), disebabkan almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, melainkan peranakan Tionghua-Jawa (ayah Tionghua Totok dan ibu Jawa asli asal Yogyakarta) yang menjadi Hindu setelah menikah. Almarhumah meninggal tiga tahun yang lalu (2007) penyakit leukimia. Upacara ngaben baru terealisasi tiga tahun berikutnya (2010) bukan disebabkan ketidakmampuan biaya, tapi dikarenakan faktor-faktor lain yang menghalangi (dibahas pada bagian berikutnya). Sebagai keluarga terpandang di Balinuraga, dengan kemampuan ekonomi dan pengalaman yang memupuni dalam menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga dan tempat lain, waktu tiga tahun adalah waktu yang terlampau lama. Sebuah penantian yang lama – bagi mereka – untuk menyelesaikan berbagai macam polemik karena pihak keluarga sebenarnya sudah siap dan mampu menyelenggarakan ngaben pribadi saat almarhumah meninggal dunia. Kembali ke tema “mengapa ngaben pribadi diselenggarakan?”. Dalam kasus ini, ngaben pribadi diselenggarakan karena beberapa alasan: (1) pihak keluarga merupakan keluarga terpandang, yaitu sebagai keluarga Sri Mpu Suci: tokoh penting yang sangat berjasa membawa transmigran Bali Nusa ke Lampung Selatan dan membentuk Desa Balinuraga. Menurut mereka, anggota dari keluarga terpandang, atau seorang tokoh terpandang, sangat layak dan pantas untuk menyelenggarakan ngaben pribadi, seperti sulinggih Sri Mpu Suci dan Sri Mpu Aji. Untuk sulinggih harus diselenggarakan ngaben pribadi, tidak diperkenankan mengikuti ngaben massal, karena sulinggih merupakan orang yang disucikan menurut kepercayaan mereka. Mereka yang –non-sulinggih bisa menyelenggarakan ngaben pribadi asalkan kemampuan ekonominya mencukupi; (2) pihak keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi untuk terselenggaranya upacara ngaben pribadi, dan biaya dapat dihemat karena
345
anggota keluarga adalah ahli pembuat sarana dan prasaran upacara titra yadnya berpengalaman yang sering mendapatkan proyek di berbagai tempat di Lampung dan Sumatera Selatan; (3) prestise dan status sosial yang tinggi ketika mampu menyelenggarakan ngaben pribadi. Ini didukung dengan kedudukan keluarga terpandang di Balinuraga, kemampuan ekonomi yang mapan, serta pengalaman dalam menyelenggarakan upacara ngaben. Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah manifestasi perang dingin pertentangan antar warga di Balinuraga. Kemampuan menyelenggarakan ngaben pribadi dari keluarga terpandang menunjukkan secara jelas dan menjadi cerminan status sosial dan status ekonomi keluarga tersebut, dan yang lebih penting adalah status sosial dan ekonomi warga. Dengan kata lain, ngaben pribadi seperti “kontes” atau “perang identitas” antar warga untuk mengukuhkan warga mana yang memiliki status sosial paling tinggi; (4) wujud keteguhan hati, ketaatan sebagai umat Hindu Dharma dan sebagai Bali Hindu, kesetiaan dan rasa hormat yang mendalam terhadap atman almarhumah dan juga Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Kekuatan yang Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur. Terlepas dari tiga alasan di atas yang bersifat sosial dan politis, mereka percaya bahwa ngaben pribadi adalah pemberian terbaik dengan hati yang tulus dari mereka sebagai anggota keluarga yang masih hidup agar atman mendapatkan tempat kahyangan (surga) yang terbaik dengan jalan yang indah, sehingga dapat mencapai pembebasan dan kesempurnaan (moksa). Ada kepuasan batin, yang menurut pihak keluarga tidak dapat dihitung atau diganti dengan uang ratusan juta rupiah yang mereka habiskan untuk upacara ngaben pribadi ini – sebuah kepuasan batin yang tidak dapat dihitung dan digantikan dengan uang atau pun harta. Sebagai umat Hindu Dharma dan juga sebagai etnis Bali, upacara ngaben pribadi adalah kewajiban utama yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga yang masih hidup – rasa hormat dan penghargaan yang tinggi yang diberikan kepada atman harus sama seperti ketika masih hidup . Bagi mereka, inilah wujud ketaatan sebagai seorang Hindu dan juga sebagai seorang Bali, terlebih setelah mereka berada di Lampung.
346
Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Ngaben Pribadi: Khas Nusa Penida Upacara ngaben (pribadi dan massal) merupakan sebuah upacara yang membutuhkan waktu persiapan yang lama, baik upacara ngaben di Bali maupun di Lampung. Rata-rata waktu yang dibutuhkan paling cepat untuk persiapan sekitar empat minggu atau satu bulan. Umumnya bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan, khususnya jika upacara ngaben tidak dikoordinasikan atau menggunakan sistem manajemen yang efektif dan efisien. Upacara ngaben pribadi dalam kasus di Balinuraga membutuhkan waktu persiapan kurang lebih enam minggu, efektifnya sekitar empat minggu atau satu bulan. Waktu yang panjang itu digunakan untuk mempersiapkan bantenan (sesajen) yang jumlahnya banyak dan bervariasi berdasarkan kebutuhan dan fungsi dari bantenan tersebut untuk kebutuhan upacara. Selama waktu kurang lebih satu bulan tersebut, semua anggota keluarga (keluarga inti dan keluarga besar) beserta anggota banjar turut berpartisipasi aktif – mulai dari bapak-bapak dan ibu-ibu serta pemuda dan pemudi – untuk membantu persiapan upacara tersebut. Para pria biasanya mengambil tugas-tugas yang bersifat kasar (pekerjaan berat untuk pria), seperti membuat tenda, membantu membuat sarana dan prasarana upacara ngaben, memotong hewan (babi, ayam, dan entok / bebek), piket jaga malam, dan lain-lain. Kaum wanita, ibu-ibu dan pemudi, tugas utamanya adalah membuat bantenan dan memasak (membuat kue dan beragam makanan ringan, minuman kopi, teh dan susu, sarapan, makan siang, dan makan malam). Peran wanita (perempuan) dalam keberlangsungan acara ini sangat penting sekali, karena semua urusan logistik perut kaum pria tergantung penuh dengan pekerjaan kaum wanita. Semua pekerjaan tersebut dilakukan secara terus menerus selama hampir satu bulan penuh. Mereka mulai bekerja dari pagi hingga malam. Dua minggu terakhir saat upacara akan berlangsung kegiatan semakin padat, mereka bekerja hingga larut malam (lembur), dan menjelang “Hari-H” sebagian besar dari mereka, kaum pria, tidak tidur sama sekali guna mempersiapan dan mematangkan pelaksanaan upacara. Sebuah pekerjaan yang melelahkan, tapi bagi mereka ini merupakan sebuah dharma yang harus mereka lakukan untuk karma yang baik. Jadi, dalam satu bulan tersebut kegiatan
347
para anggota banjar yang tinggal di Balinuraga – dalam kasus ini Banjar Pandéarga – terfokus untuk mempersiapkan upacara ngaben. Pembagian tugas sangat penting di sini agar tidak terjadi tumpang-tindih. Artinya, jangan sampai persiapan ini mengganggu kegiatan harian di dalam rumah tangga setiap anggota banjar. Biasanya setelah urusan rumah tangga selesai (peran ibu rumah tangga) di pagi hari – seperti bersembahyang, menyiapkan sarapan bagi anak-anak yang akan ke sekolah, memberikan makanan untuk babi dan ayam – mereka langsung pergi ke tempat keluarga yang sedang mempersiapkan upacara ngaben. Untuk bapakbapak, setelah di waktu subuh sampai pagi hari telah selesai bersembahyang dan mengontrol lahan pertaniannya (sawah), mereka akan langsung pergi ke tempat kegiatan persiapan upacara. Saat kegiatan persiapan ini berlangsung, para anggota banjar umumnya akan sarapan, makan siang dan makan malam di tempat ini. Ibu-ibu umumnya tidak lagi memasak di rumah, tapi memasak di tempat keluarga yang akan melangsungkan upacara. Selama kegiatan ini berlangsung, makanan dan minuman selalu ada dan tidak terputus. Semua bahan-bahan pokok termasuk air mineral berbentuk cup, minuman berenergi sampai bir sudah disimpan guna memenuhi kebutuhan para anggota banjar yang bekerja. Sistem kerja yang kolektif ini dan bersifat mengikat anggota banjar disebut dengan ngayah. Ngayah tidak hanya dalam bentuk tenaga, tapi juga ada yang menyumbangkan sembako, mulai beras, teh, kopi, minyak goreng, gas elpiji, minuman ringan, rokok, ayam, babi, bebek, dan lainlain. Semua sumbangan ini dicatat oleh pihak keluarga bersangkutan. Kurang lebih seperti arisan, sehingga jika ada anggota banjar akan menyelenggarakan upacara ngaben atau upacara lain, maka pihak keluarga yang bersangkutan akan memberikan sumbangan yang sama, termasuk sumbangan tenaga. Sumbangan bahan makanan dan minuman ini sebenarnya wujud dari partisipasi dan solidaritas para anggota banjar. Jumlahnya tidak ditentukan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga anggota banjar, karena sebenarnya tanpa sumbangan ini pun pihak keluarga penyelenggara upacara secara ekonomi sudah mampu memenuhi segala kebutuhan bagi para anggota banjar yang ngayah. Contoh sederhananya, jika anggota banjar melihat bahwa ketersediaan rokok sudah mulai menipis, maka ia akan segera pergi ke
348
warung atau ke mini market terdekat untuk membeli sejumlah rokok untuk kebutuhan para pengayah. Oleh karena itu, sangat dimaklumi jika upacara ngaben membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak biaya yang dikeluarkan, baik biaya yang terlihat dan tidak terlihat, jumlah mencapai ratusan juta rupiah. Ini yang menyebabkan tidak setiap keluarga mampu menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, dan mengambil solusi menyelenggarakan ngaben massal.
Gambar 51. Jenis Makan Siang (Paling tengah dari tiga jejer wadah makanan adalah babi guling: makan khas Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya. Makanan ini menjadi hidangan saat proses persiapan upacara, dan makanan olahan daging babi merupakan menjadi menu utama) (Sumber: Yulianto, 2010)
Waktu dan biaya persiapan dan pelaksanaan upacara ngaben pribadi yang lama dan besar harus sesuai dengan hasil yang diraih. Untuk itu, pihak keluarga telah membuat sistem manajemen yang sederhana agar waktu dan biaya yang telah dikeluarkan tidak sia-sia. Caranya adalah dengan membuat panitia kerja dan pelaksana, di mana ada ketua panitia, pelaksana, dan bendahara. Setiap anggota banjar yang ngayah sudah ditentukan – dan ada yang menentukan sendiri pekerjaan apa yang akan dia lakukan – jenis pekerjaannya dan spesifikasinya. Misalnya, dalam persiapan upacara ada yang bertugas membantu membuat bade, wadah, patuluangan, dan lain-lain (saranan dan prasarana upacara), seperti mengecat, mendekorasi dan membuat konstruksi, kemudian bertugas di bidang transportasi, dokumentasi dan informasi, dan lain-lain. Untuk
349
pekerjaan yang bersifat teknis, seperti membangun fondasi bade, pihak keluarga menggunakan jasa tenaga dari tukang yang selama ini mereka gunakan untuk mengerjakan proyek pembuatan sarana dan prasarana upacara ngaben di tempat lain. Dan ketika, beberapa rangkaian upacara sedang dilaksanakan, beberapa anggota banjar sudah bersiap dan menjalankan tugasnya, seperti keanggotaan seka gong: pemain gamelan, penari tarian wali (tari persembahan / tari wali yang disebut tari baris253), gadis-gadis Balinuraga pembawa banten gebogan / pajegan (bantenan yang disusun vertikal, menjulang ke atas, terdiri dari bahan makanan, bunga dan buah-buahan yang ketika dibawa / dijunjung ditaruh di atas kepala), dan lain-lain. Setiap ketua panita dan anggota memiliki tanggungjawab masing-masing. Tanpa perintah bersifat top-down mereka bekerja dengan baik, karena dalam proses pemilihan jenis pekerjaan, para anggota banjar diperkenankan secara demokratis memilih pekerjaan yang bisa mereka kerjakan dengan baik sesuai dengan keahliannya. Kemudian, ketua panitia dan anggota banjar bertanggungjawab kepada pihak keluarga sebagai penyelenggara. Untuk mempermudah pengidentifikasian para anggota panitia (anggota banjar), pihak panitia dan keluarga telah membuatkan baju khusus (kaus berlengan panjang) yang menandakan bahwa mereka adalah anggota. Baju ini dipersiapkan untuk massa yang mengusung bade ke setra. Uniknya baju tersebut disponsori oleh sebuah perusahaan swasta yang memiliki produk obat pembasmi hama tumbuhan (insektisida multi guna). Bagian depan baju terdapat gambar dan merek produk perusahaan swasta tersebut, dan bagian belakang bertuliskan “upacara pitra yadnya” (di atasnya masih dicantumkan nama perusahaan), logo tungku api yang menyimbolkan upacara pitra yadnya, tanggal upacara, nama almarhumah, dan tempat berlangsungnya upacara tersebut. Hal ini menjadi cukup unik, bahwa pihak perusahaan dan pihak panitia (dari anggota keluarga) samasama melihat bahwa upacara ini sebagai ajang untuk promosi dan 253
Tari baris ini dimainkan oleh para pemuda (lajang) yang menjadi anggota seka gong. Ciri khasnya adalah para penari membawa (senjata) tombak yang terdapat di pura (milik pura / banjar). Tari baris ini dipentaskan saat ngaskara kajang di Pura Kawitan (H -1), dan saat Hari-H sebelum para sulinggih dan pihak keluarga memulai prosesi inti mageseng (pembakaran jenasah).
350
memperkuat relasi dengan konsumennya. Pihak perusahaan tanpa berpikir panjang langsung membuatkan baju tersebut sesuai dengan permintaan pihak panitia upacara, sekaligus sebagai media promosi produknya, karena mayoritas para peserta dan tamu dalam upacara ini adalah petani (yang memiliki lahan pertanian) yang berasal dari berbagai tempat di Lampung dan Sumatera Selatan. Dari pihak perusahaan sendiri, memang sudah disiapkan anggaran untuk pembuatan baju gratis bagi para konsumennya sebagai media promosi, sekaligus menarik minat pembeli dengan hadiah baju. Dari pihak panitia, pengajuan baju ini sebenarnya untuk membuktikan kesetiaan perusahaan terhadap konsumennya, karena jika tidak, masih banyak perusahaan lain yang akan membuatkan baju untuk keperluan upacara sekaligus media promosi. Sebenarnya pihak perusahaan hanya menambahkan nama upacara, tanggal, nama almarhumah, dan tempat di bagian belakang baju, dan tinggal meminta tukang sablon untuk menambahkannya: sebuah hubungan mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Bagi massa, pemberian baju khusus ini seperti semacam penghargaan tersendiri dari pihak keluarga dan pihak panitia, bahwa mereka ikut berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut. Mereka sangat senang dengan baju khusus tersebut, artinya setelah digunakan saat upacara inti (memberangkatkan bade ke setra), baju tersebut dapat digunakan saat bekerja di sawah atau pun sebagai baju santai sehari-hari, sekaligus mengingat keterlibatan mereka dalam upacara tersebut (baju kenang-kenangan dari pihak panitia dan keluarga).
351
Gambar 52. Kaus Panita Bersponsor (Sebelah kiri: bagian belakang kaus; kanan: bagian depan kaus) (Sumber: Yulianto, 2010)
Acara inti dari upacara ngaben pribadi ini berlangsung selama empat hari dengan satu hari acara puncak, yaitu pembakaran pitra dan nganyut abu. Ini bukan berarti upacara dan ritual lain tidak memiliki arti dan nilai penting. Setiap ritual dan acara dalam upacara ngaben pribadi memiliki arti dan nilai penting tersendiri serta keberfungsiannya. Oleh karena itu, pihak keluarga sangat menginginkan persiapan yang memakan waktu efektif satu bulan penuh tersebut dan biaya yang besar berjalan sukses saat berlangsungnya Hari H. Di bawah ini adalah Jadwal Kegiatan Upacara yang disusun oleh panitia upacara ngaben pribadi (dicatat kembali oleh penulis seperti aslinya, tidak ada penambahan dan pengurangan:
352
No. 1
TGL 30 September
KEGIATAN
PEMUPUT
Ngendag Atma ke Setra
Mangku Puniatmaja
A. Ngaskara Kajang ke Pura Kawitan Pandé Soyor
A. Mpu Galuh B. Mangku Guru
2010 2
2 Oktober 2010
Langsung Murwa Daksina Desa
Rsi
B. Ngangget Beringin Pura Soyor C. Ngeringkes / Ngaskara
C. Ide Rsi Tri Windu
D. Merelina / Mati Lampu. Sembahyang Keluarga Besar di
E. Sudama
Mangku
Peyadya E. Meras Wadah 3
3
Oktober
2010
(A)
(A)
A. Pemberangkatan Bade ke Setra B. Upacara Pengiriman / Ngaskara ke
B. Ide Rsi
Setra C. Nganyut Abu
C. Mangku Nata (B)
(B) Ngeroras A. Mecaru / Ngeresi Gana B. Ngulapin Prapatan
Sekah
Kurung
A. Ide Rsi B. Mangku Sana ke
C. Empu Galuh
A. Nganyut Langsung Ngulapin ke Segara
A. Mangku Gita B. Empu Galuh
C. Nyatur 4
4 Oktober 2010
B. Ngelinggihin ke Sanggah Tabel 2. Jadwal Kegiatan Upacara
Jadwal Acara Kegiatan ini dipasang pada dinding bale yang ada di depan rumah, tempat di mana sesaji (bantenan) dan arwah almarhumah ditempatkan (biasa disebut bale semanggen): terdiri dari empat upacara inti, dan satu upacara puncak di tanggal 3 Oktober 2010. Dengan demikian, setiap anggota banjar (anggota panitia) dapat melihat jadwal tersebut. Tujuannya adalah segala persiapan yang dilakukan bisa difokuskan pada setiap rangkaian ritual dan upacara yang telah dijadwalkan. Misalnya, siapa yang bertugas menjemput dan menghubungi
353
sulinggih, menyiapkan sound system, menyiapkan gamelan Bali di teras rumah, koordinator saat rangkaian upacara mulai dilakukan, gladi kotor dan gladi bersih seka gong, massa yang akan mengusung bade dan wadah, menyusun dan mengelompokkan bantenan yang telah dibuat untuk setiap rangkaian ritual dan upacara, dan lain-lain.
Gambar 53. Jadwal Kegiatan Upacara (Sumber: Yulianto, 2010)
354
Gambar 54. Bale Semanggen (Atas: dari sudut depan; bawah: tampak samping) (Sumber: Yulianto, 2010)
355
Rangkaian ritual dan upacara di atas merupakan model umum yang biasa digunakan atau berlaku dalam masyarakat Bali, baik di Bali maupun di Lampung254. Perbedaan yang terjadi biasanya bersifat teknis saat upacara dilaksanakan, untuk mempermudah dan mempersingkat (tidak dijadikan berbelit-belit), tapi inti atau esensi dari upacara tersebut tetap sama. Misalnya, upacara Nyekah (ngaskara/nagaskara, ngeringkes) – upacara penyucian roh leluhur yang disimbolkan dengan daun beringin – yang biasa dilaksanakan setelah upacara ngaben, oleh pihak keluarga dan panitia dilaksanakan sehari sebelum upacara ngaben. Tujuannya agar jadwal kegiatan upacara tidak menumpuk pada satu hari sehingga pelaksanaan upacara menjadi lebih mudah dan fokus serta terealisasi dengan maksimal. Dalam pelaksanaannya ada yang mencirikan atau menjadi ciri khas ngaben versi Nusa Penida. Ini yang membedakan pelaksanaan ngaben yang biasa berlaku di Bali dan Bali di Lampung, yaitu (1) Murwa Daksina Desa, melakukan pawai atau arak-arakan sarana pengusung jenasah (dadong brayut dan gedong) dan patulangan lembu (sarana untuk membakar jenasah) mengelilingi desa, tepatnya di Banjar Pandéarga (Pura Kawitan Warga sebagai pusatnya) dan Tugu Desa (pusat desa). Intinya adalah bagaimana arwah almarhumah yang telah “dihidupkan” dan “disucikan” – disimbolkan dengan ranting / daun beringin yang ada di Pura Kawitan yang telah dibungkus kain putih (ngaskara, sekah, ngangget beringin), setelah sebelumnya ada ritual penghidupan atau pemanggilan arwah oleh anggota keluarga yang dipimpin seorang sulinggih (mpu dari Warga Pandé) – diperkenalkan kembali dengan lokasi tempat tinggalnya sewaktu masih hidup. Diibaratkan arwah tersebut seperti seorang tamu yang sebelum diajak menginap atau tinggal di sebuah tempat (merajan)
254
Ada tiga tahapan dalam upacara pitra yadnya yang bersifat umum (Titib 2003), yaitu (1) ngaben, palebon, atau atiwa-atiwa. Tujuannya untuk membebaskan roh (atma) dari ikatan badan wadag (fisik) melalui pembakaran jenasah, dengan demikian atma akan bebas untuk mencapai kelepasan; (2) nyekah, ngeroras, mamukur atau maligya. Tujuannya menyucikan roh leluhur. Simbol roh dibuat dari daun beringin; (3) atmapratistha, devapitrapratistha atau ngalinggihang dewahyang. Tahapan terakhir dalam upacara, roh leluhur yang sudah dipandang suci disthanakan di tempat suci untuk dipuja oleh anak cucu keturunannya.
356
yang baru, dikenalkan terlebih dahulu dengan tempat atau lokasi yang ada di sekitarnya, agar menjadi lebih familiar dengan daerah tersebut.
Gambar 55. Proses Ngangget Beringin / Ngaskara (Pihak keluarga mengangget daun beringin yang akan digunakan sebagai simbol roh leluhur) (Sumber: Yulianto, 2010)
357
Gambar 56. Pentas Tari Baris di Pura Kawitan saat Upacara Ngaskara (Sumber: Yulianto, 2010)
358
Gambar 57. Pihak Keluarga dan Massa Melakukan Pawai Desa setelah Upacara Ngaskara (Atas: pihak keluarga dan massa menuju Tugu Desa; bawah: pihak keluarga dan massa memutari Tugu Desa) (Sumber: Yulianto, 2010)
359
Ciri khas Nusa Penida dalam ritual ini adalah dalam proses pawai atau arak-arakan. Pawai atau arak-arakan ini diikuti oleh massa banjar, diiringi dengan permainan gamelan Bali oleh seka gong, dengan mengelilingi banjar Pandéarga (pusatnya adalah Pura Kawitan Warga Pandé di Banjar Pandéarga) dan Desa Balinuraga – mengelilingi Desa Balinuraga dimanifestasikan dengan memutari tugu desa yang menjadi sentral Desa Balinuraga, kemudian sulinggih melepaskan anak panah (entas / mengentas) ke tugu desa yang menyimbolkan melepaskan ikatan Panca Maha Bhuta (keterikatan unsur duniawi) yang mengikat atma (bagian dari upacara ngeringkes / ngaskara / pabersihan / upacara penyucian roh). Pawai atau arak-arakan dilakukan dengan suka cita dan antusiasme dari massa yang terlibat dalam arak-arakan ini, yaitu dengan menggoyang-goyangkan petulangan (wadah jenasah yang masih kosong) saat diusung oleh sejumlah orang, dan sorak-sorai saat sulinggih melepaskan anak panah ke tugu desa (mengentas). Menurut mereka, ini merupakan sebuah ritual / rangkaian upacara yang meriah, sama seperti yang dilakukan masyarakat Bali di Nusa Penida; (2) Pemberangkatan bade ke setra (kuburan) yang berlokasi di Pura Dalem Desa Balinuraga. Ini merupakan rangkaian dari acara puncak pembakaran jenasah (mageseng), yaitu membawa bade ke lokasi pembakaran jenasah di Pura Dalem. Ciri khas pemberangkatan bade ke setra yang menjadi ciri khas Nusa Penida adalah: massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang (terdiri dari pria yang berfisik kuat dan sehat) menggotong bade yang beratnya lebih dari lima ton dengan berlari sepanjang setengah kilometer dari rumah keluarga ke lokasi setra di Pura Dalem. Di dalam bade tersebut terdapat sejumlah anggota keluarga dan beberapa sulinggih yang akan memuput upacara pembakaran jenasah serta beberapa orang sambil memainkan gamelan Bali. Pemberangkatan bade yang dilakukan dengan berlari (cukup cepat, sesuai dengan berat dan jumlah massa yang menggotong bade), diikuti dengan massa (masyarakat desa) yang berlari mengikuti arah bade yang menuju Pura Dalem. Kemudian, diikuti oleh beberapa orang yang mengusung dadong brayut, petulangan, dan gedong dengan turut serta berlari mengikuti massa yang menggotong bade dan menggoyanggoyangkannya dengan antusias – bisa digoyang-goyangkan karena beratnya ringan, cukup digotong oleh beberapa orang (lima sampai sepuluh
360
orang). Pemberangkatan bade ke setra ini diiringi dengan seka gong yang memainkan gamelan Bali dengan sangat antusias, dan massa yang bersorak sorai. Pemberangkatan bade ke setra dengan berlari dan diikuti dengan jumlah massa yang besar yang juga ikut berlari serta diringi dengan permainan gamelan Bali yang meriah oleh seka gong dan sulinggih yang berada di atas bade adalah ciri khas prosesi ngaben di Nusa Penida.
361
Gambar 58. Arak-Arakan Massa Memberangkatkan Bade ke Setra (Sumber: Yulianto, 2010)
362
Fakta ini menunjukkan kuatnya ikatan tanah leluhur (Nusa Penida) bagi masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang tetap mereka lestarikan dalam setiap upacara penting. Dalam kasus ini diwujudkan sampai pada persoalan teknis seperti pemberangkatan bade ke setra dengan berlari, karena bagi mereka dalam persoalan teknis tersebut terdapat ciri khas yang mewakili identitas mereka sebagai Bali Nusa yang ada di Lampung dan identitas Bali Hindu pada umumnya (pada upacara ngaben yang mewakili identitas Bali Hindu yang ada di Lampung). Menurut mereka upacara ngaben di Nusa Penida selalu diikuti dengan massa yang besar, meriah dan ramai oleh sorak sorai massa yang berlari, dan tenaga yang diperoleh oleh massa saat menggotong bade yang beratnya berton-ton sambil berlari diperoleh dari kekuatan niskala yang diterima dari Sang Hyang Widhi Wasa; dan ini tetap mereka praktekkan dan lestarikan ketika menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga, Lampung. Massa begitu antusias ketika menggotong / mengangkat sarana dan prasarana ngaben, terutama bade, dikarenakan mereka percaya bahwa ada karma baik yang akan mereka terima dari Sang Hyang Widhi Wasa, dan wujud bakti serta hormat yang mendalam kepada atma almarhumah. Selain itu, ada kebanggaan tersendiri jika mereka bisa memberikan tenaganya untuk mengusung bade yang beratnya berton-ton tersebut. Peristiwa unik yang terjadi saat upacara puncak, mageseng (pembakaran jenasah), adalah turunnya hujan yang sangat deras, disertai dengan angin kencang dan kilatan petir. Sebelum pemberangkatan bade ke setra hujan lebat sudah turun mengguyur Desa Balinuraga. Hujan berhenti saat bade akan diberangkatkan oleh massa ke setra (Pura Dalem). Kemudian, hujan lebat disertasi angin kencang dan kilatan petir turun kembali saat bade sudah sampai di setra, yaitu ketika upacara pembacaan doa dan pentas tari baris dimainkan. Meskipun demikian, upacara pembakaran jenasah tetap dilaksanakan, dan uniknya, hujan semakin menjadi lebat, angin semakin kencang berhembus, dan kilatan petir semakin sering terjadi. Fakta yang terjadi adalah dalam kondisi seperti itu (hujan deras disertasi angin kencang), bade yang di dalamnya sudah terdapat patulangan / tumpangan (tempat jenasah diletakkan) dapat terbakar dengan sempurna – api berhasil menyala dengan besar dan
363
membakar seluruh bade dan pitra. Kejadian ini akan dibahas pada bagian berikutnya, yaitu bagaimana tafsir warga, terutama anggota keluarga, atas peristiwa yang terjadi saat mageseng. Sebuah peristiwa yang sangat langka dan jarang terjadi saat upacara puncak ngaben, mengingat Desa Balinuraga terkenal dengan kekuatan magisnya dalam mendatangkan atau pun menolak hujan. Poin penting yang dalam persiapan dan pelaksanaan upacara ngaben pribadi ini adalah: (1) banjar atau komunitas adat-keagamaan merupakan basis dari kekompakkan dan kesolidan masyarakat Bali Nusa di Desa Balinuraga. Dalam kasus ini dapat dibuktikan dari keterlibatan aktif anggota banjar dalam penyelenggaran upacara ngaben pribadi salah anggota keluarga dari anggota banjar-nya, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan upacara puncak. Melalui upacara ngaben rasa kekeluargaan dan solidaritas semakin diperkuat, dan mengumpulkan kembali “para perantau” asal Balinuraga dari banjar tersebut. Kekuatan massa dari setiap banjar dapat dilihat atau “dipentaskan” kepada khalayak ketika acara puncak dilaksanakan, terutama saat pemberangkatan bade ke setra. Kekuatan massa yang lebih besar “dipentaskan” lebih terbuka ketika upacara ngaben massal, karena melihatkan banyak keluarga dari berbagai banjar dan warga tertentu, baik di Desa Balinuraga maupun dari beberapa perkampungan Bali lain di Lampung dan Sumatera Selatan; (2) sistem manajemen sederhana melalui pembagian tugas dengan pembentukkan panitia telah diadopsi oleh anggota banjar dan pihak keluarga, agar persiapan menjadi lebih efektif dan efisien. Intinya adalah bagaimana biaya besar yang sudah dikeluarkan oleh pihak keluarga tidak semakin membesar – penghematan – dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh panitia sebanding dengan hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hasil yang mereka dapatkan – dari pembuatan sarana dan prasarana ngaben pribadi dan bantenan – bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pihak keluarga (dalam kisaran seratusan juta rupiah) mendapatkan hasil yang lebih baik daripada upacara ngaben massal yang dulu pernah diselenggarakan di Balinuraga dengan menghabiskan biaya ratusan juta rupiah (di atas setengah miliyar rupiah). Menurut pihak panitia dan keluarga, inti dari prosesi ngaben adalah di efisiensi dan efektifitas,
364
baik biaya maupun tenaga tapi dengan hasil yang maksimal. Dalam beberapa diskusi di kalangan mereka, pola ini akan diterapkan jika akan diselenggarakan upacara ngaben berikutnya, massal dan pribadi; (3) konsistensi dan kebulatan tekad dari pihak keluarga dan penyelenggara untuk tetap menyelenggarakan pembakaran jenasah meskipun kondisi alam sangat tidak memungkinan – pembakaran jenasah di tengah hujan lebat disertai angin kencang. Ini menunjukkan kuatnya kepercayaan mereka akan kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa (kekuatan niskala) dan wujud dari konsistensi mereka akan sebuah rencana yang telah mereka susun sejak jauh-jauh hari – waktu persiapan yang lama dan biaya yang besar; (4) upaya rekonsiliasi antar dua kubu warga yang bersitegang. Pihak keluarga selaku pihak penyelenggara upacara dan wakil warga tetap mengundang warga lain yang bersitegang dengan warga dari pihak keluarga. Sebagai penghormatan kepada pihak warga lain tersebut, pihak keluarga memberikan wewenang kepada sulinggih dari warga tersebut untuk ikut muput upacara pitra yadnya, dan diberikan kehormatan menyalakan api suci untuk membakar bade dan jenasa di dalamnya.
Hujan Deras Saat Upacara Pembakaran Pitra Idealnya upacara ngaben dilaksanakan pada hari baik berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan oleh pihak keluarga dan para ahlinya – biasanya diwakili oleh sulinggih warga. Sebuah hari baik berdasarkan kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dikatakan hari baik tidak hanya terkait bahwa di hari tersebut – Hari-H saat berlangsungnya pembakaran jenasah – dipercaya tidak ada halangan dari dunia lain yang merintangi proses perjalanan atma menuju kahyangan (dunia niskala), tapi juga yang terpenting adalah keadaan cuaca yang riil terjadi di Hari-H. Artinya, HariH dikatakan hari baik jika Hari-H yang ditentukan sudah berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam tradisi dan kepercayaan mereka, dan saat Hari-H diberlangsungkan upacara puncak mageseng (pembakaran pitra) cuaca dalam keadaan cerah, tidak turun hujan. Sudah menjadi sebuah kelaziman bagi mereka untuk menghadirkan pawang hujan terutama di saat musim penghujan agar hujan tidak turun saat upacara puncak dilangsungkan. Dalam kasus ngaben pribadi ini, kenyataan yang terjadi adalah hujan deras turun justru di saat
365
pembakaran jenasah dilakukan. Pihak keluarga tidak menghadirkan secara khusus pawang hujan untuk mencegah atau memindahkan hujan ke tempat lain selama proses pembakaran jenasah dilakukan. Mereka pun tidak mengira bahwa hujan deras akan mengguyur lokasi setra yang menjadi tempat pembakaran jenasah dilaksanakan, karena selama persiapan dilakukan dan dua upacara inti dilaksanakan hujan tidak turun. Ini bukan berarti di banjar ini tidak ada yang memiliki kemampuan sebagai pawang hujan, justru dari pihak keluarga ada yang memiliki kemampuan ini. Di samping itu, mereka percaya bahwa hujan tidak akan turun saat upacara pembakaran jenasah dilakukan. Hari pertama dan kedua pelaksanaan upacara inti cuaca sangat kondusif. Penulis melihat sendiri bagaimana awan mendung – yang pasti akan turun hujan – mendadak bergeser ke lokasi lain: gerimis sempat turun beberapa menit, kemudian cuaca menjadi terang. Menariknya hujan turun dilokasi lain yang berdekatan dengan lokasi upacara inti akan dilaksanakan. Bade yang dibuat sedemikian indahnya dengan biaya mencapai ratusan juta rupiah tidak terguyur hujan. Pagi hari di Hari-H tibatiba awan mendung berwarna putih sudah menyelimuti Desa Balinuraga – jika awan mendung berwarna putih maka hujan akan berlangsung lama dengan intensitas deras. Hujan turus dengan derasnya di pagi itu, saat para tamu dan undangan datang ke rumah keluarga untuk menerima kata sambutan dan ikut serta dalam pemberangkatan bade ke setra. Menariknya hujan tiba-tiba berhenti, awan masih mendung putih, ketika massa sudah berkumpul dan bersiap-siap untuk mengangkat bade yang beratnya bertonton tersebut. Hujan tetap tidak turun saat massa memberangkatkan bade ke setra. Hujan deras kembali turun setelah bade sampai ke setra, dan saat prosesi upacara akan dimulai: pentas tari baris, kata sambutan dari pihak keluarga, camat, PHDI, dan sulinggih. Hujan semakin deras dengan hembusan angin kencang dan sambaran kilat (petir) saat upacara inti akan diberlangsungkan (menyalakan api suci ke bade oleh sulinggih dan anggota keluarga, dan pembacaan doa suci “puja siwa” untuk mengiri proses pembakaran jenasah) dan terus terjadi sampai api berhasil membakar keseluruhan bade dan pitra di dalamnya. Akibatnya, massa yang hadir berhamburan keluar dari lokasi pembakaran jenasah, sebagian berteduh di Pura Dalem dan sebagian besar lainnya pulang ke rumahnya
366
masing-masing karena hujan tidak reda dan semakin deras, yang tersisa hanya anggota keluarga, panitia, tamu undangan dan sulinggih. Air versus api. Ini yang menjadi perhatian para anggota keluarga dan sulinggih. Pemenangnya adalah api, yang menyimbolkan Dewa Brahmana, khususnya Dewa Api (Dewa Agni) yang menjadi pelindung dari Warga Pandé sebagai pihak keluarga yang menyelenggarakan ngaben pribadi. Api berhasil membakar bade dan pitra: upacara ngaben pribadi berlangsung sukses di tengah hujan deras yang mengguyur lokasi Pura Dalem (lokasi setra). Api membakar seisi bade dan pitra dengan sempurnanya.
367
368
Gambar 59. Proses Pembakaran Jenasah di Tengah Guyuran Hujan Deras (Mulai dari gambar pertama di sudut kiri paling atas: (1) keluarga mulai menyulut api ke bade; (2) api berhasil menyala kecil; (3) api mulai meyala besar dari bawah ke atas bangunan bade; (4) api mulai berhasil membakar jenasah yang diletakkan di sudut kanan atas bade; (5) api mulai menghanguskan seisi bangunan bade; (6) bade dan jenasah berhasil diabukan oleh api di tengah guyuran hujan deras dan genangan air.) (Sumber: Yulianto, 2010)
Tanpa memihak, tetap bersikap netral dan tidak membawa uraian ke wilayah metafisika, penulis yang menyaksikan kejadian tersebut secara langsung cukup terkejut ketika api berhasil membakar dengan sempurna seisi bade dan pitra di tengah hujan deras dan angin kencang. Keadaan waktu itu yang terjadi adalah bade beserta kayu bakar dan ban bekas sudah basah. Secara ilmiah yang mendukung kesempurnaan kerja api saat pembakaran jenasah dilakukan adalah ban bekas (ban mobil, berbahan dasar karet, bahan yang mudah terbakar), minyak tanah yang jumlah mencapai beberapa galon besar (kurang lebih mencapai seratus liter), dan angin kencang. Sebenarnya inti dari proses pembakaran itu bisa terjadi dengan sempurna setelah ban bekas berhasil terbakar, kemudian secara terus menerus disiram dengan minyak tanah. Ban bekas ditaruh di bagian bawah bade sampai ke bagian atas bade di mana patulangan yang di dalamnya berisi pitra diletakkan. Setelah api sudah mulai berhasil menyala, minyak tanah terus disiram ke seluruh isi bade, terutama di bagian bawah (tempat kayu bakar yang telah basah ditempatkan) dan bagian atas (tempat jenasah di letakkan di dalam wadah / patulangan). Ketika api sudah cukup besar, minyak tanah tetap disiramkan dalam jumlah yang mulai berkurang daripada sebelumnya, tapi api semakin membesar karena dibantu dengan hembusan angin yang besar. Akibatnya, api berhasil berkobar dengan besar di tengah guyuran hujan deras dan membakar seluruh isi bade dan pitra. Artinya, proses pembakaran jenasah berjalan sukses di tengah guyuran hujan deras. Seorang sarjana kimia, yang berasal dari anggota keluarga, mengatakan bahwa ketika api sudah berhasil menyala (istilah mereka: api sudah matang), air hujan sudah tidak berpengaruh, justru (bukan membenarkan, tapi sebuah perkiraan) kandungan hidrogen (H2) dan okigen (O) yang ada di dalam “air” hujan turut membantu proses pembakaran dengan dibantu hembusan angin yang
369
kencang dan ban bekas (bahan karet yang mudah terbakar dan sulit dipadamkan). Spekulasi bermunculan di kalangan anggota keluarga dan banjar (selaku panitia) bahwa hujan ini “sengaja” didatangkan saat upacara puncak (mageseng) oleh pihak tertentu yang selama ini terlibat dalam perang dingin antar dua kubu warga di Desa Balinuraga – mengingat pihak keluarga dan panita tidak menggunakan pawang hujan. Menurut mereka ada pihak yang tidak senang saat upacara ngaben pribadi ini dilangsungkan. Tanpa perlu disebutkan secara jelas, mereka sudah tahu siapa pihak tersebut, karena hanya ada satu warga yang selama ini bersiteru dengan warga yang menyelenggarakan upacara ngaben pribadi. Spekulasi ini semakin kuat ketika sebagian besar warga yang bersiteru tidak hadir saat upacara ini diselenggarakan, sebagian besar hanya menonton arak-arakan massa saat memberangkatkan bade ke setra – meskipun sulinggih dari warga tersebut turut hadir dalam upacara puncak dan diberikan satu kehormatan besar secara simbolis untuk menyalakan “api suci” untuk membakar bade. Pihak keluarga tidak membenarkan (dan tidak juga menyalahkan) spekulasi yang berkembang saat itu, karena tidak ingin mempertajam konflik di antara kedua warga, dan suasana dalam upacara ngaben pribadi ini merupakan suasana duka cita. Bagi pihak keluarga yang terpenting adalah upacara puncak berjalan dengan sukses: “api berhasil mengalahkan air”. Menurut pihak keluarga, kesuksesan upacara ngaben ini sangat besar artinya karena ada rintangan. Tentu tidak dapat dikatakan sukses besar jika upacara ngaben berlangsung dalam cuaca yang kondusif. Bagi mereka, dan dibenarkan oleh para sulinggih, ini adalah wujud dari keteguhan hati umat sebagai Hindu Dharma, dan tidak pada tempatnya berspekulasi menyudutkan pihak lain. Pihak keluarga menambahkan, kesuksesan ini menunjukkan kebesaran Sang Hyang Widhi Wasa, dan menjadi contoh bagi umat Hindu Dharma di Balinuraga bahwa ketulusan hati dan kebulatan tekad dalam penyelenggaran upacara ngaben pribadi ini tidak dapat dihalangi atau dirintangi oleh apa pun termasuk hujan. Hujan adalah ujian atau cobaan bagi mereka. Buktinya adalah upacara puncak berlangsung sukses. Rasa haru dan sorak sorai diekspresikan secara terbuka (meneteskan air mata, bertepuk tangan, dan melompat-lompat kegirangan) ketika api berhasil membakar habis seluruh
370
isi bade dan pitra – dan ketika itu juga, sebenarnya spekulasi tersebut “hancur” (khususnya dari pihak keluarga dan anggota banjar pada umumnya), tidak perlu diperdebatkan dan dipertajam (spekulasi tersebut) karena proses pembakaran jenasah telah berhasil (dan secara ilmiah sejatinya dapat berhasil dilangsungkan).
Bade dan Patulangan versi Kreasi Balinuraga Ciri khas dari upacara ngaben pribadi di Balinuraga ini adalah bentuk dan arsitektur bade yang sudah modern, invotif, dan kreatif – tanpa menghilangkan makna bade tersebut sebagai tempat di mana jenasah ditempatkan di puncak (tumpang) menara bade. Jumlah tumpang tidak dipermasalahkan bagi mereka sebagai golongan jaba. Warga Pandé (biasanya) menggunakan tumpang sembilan, sedangkan Warga Pasek (biasanya) menggunakan tumpang tujuh (simbol Tujuh Pendeta / Rsi yang menjadi leluhur Warga Pasek). Jadi, tidak ada batasan atau perarturan ketat yang melarang mereka (golongan jaba) untuk menggunakan jumlah atap tumpang yang berjumlah ganjil ini (khususnya mulai dari yang tertinggi 9, 7, 5, 3, dan 1; di Bali pada masa kerajaan tumpang 11 biasanya digunakan oleh raja, 9 menteri, dan 7 patih). Menurut mereka, setelah di Lampung mereka bebas berkreasi dan berinovasi, jumlah atap tumpang tidak menjadi perdebatan, asalkan pihak keluarga secara ekonomi mampu membuatnya. Keunikkan bade ini terletak pada desainnya yang modern. Bade dibuat menyerupai bangunan pura dan rumah seperti yang umumnya dimiliki masyarakat Bali Hindu. Jadi, tidak menonjolkan keberadaaan jumlah atap tumpang seperti bale tempo dulu yang digunakan masyarakat Bali pada umumnya. Tingginya atap tumpang ditonjolkan dengan bangunan bade yang tinggi atau susunannya menyerupai menyerupai bentuk atau bangunan pura. Setiap sudut (empat sudut) bangunan bade dibuatkan sebuah paduraksa (penyangga sudut seperti di pura). Di bagian depan bade (bagian bawah atau tingkat pertama dari badan bade) dibuatkan sebuah gapura (biasa disebut: angkul-angkul). Di gapura tersebut terpampang foto dan nama almarhumah, dan tulisan “Upacara Pitra Yadnya”, yang di atasnya (gapura) diberikan sebuah rangkaian bunga. Bagian depan ini dibuat seperti halaman depan perkarangan rumah
371
yang bercorakkan Bali Hindu, yaitu keberadaan sebuah gapura. Unikknya, masih di bagian yang sama, seperti layaknya perkarangan sebuah rumah, dibuatkan sebuah kolam kecil yang bisa diisikan air yang dilengkap dengan taman bunga dan empat buah tempat lampu (sejenis lampu taman yang biasa ada di perkarang rumah, masing-masing berjumlah dua di sisi kiri dan sisi kanan). Kemudian, di samping dinding bade, sisi kiri dan kanan, dipasangkan umbul-umbul dengan kain dasar berwarna emas berlukiskan naga yang berwarna hijau. Bagian kedua dari bangunan bade adalah bagian tengah. Sama seperti di bagian depan, pada bagian tengah ini dibuatkan sebuah gapura, dan dibuatkan sebuah tangga (lima anak tangga) dari bagian depan ke bagian tengah. Bagian tengah ini terdapat sebuah ruang kosong agar nanti pihak keluarga dan sulinggih berserta gamelan Bali bisa menempatinya saat pemberangkatan bade ke setra. Bagian pertama dan bagian kedua dari bangunan bade ini melambangkan dunia atau “alam tengah” (bhuva-loka) atau disebut “gunungan”. Tempat ini merupakan penghubung atau sebagai peralihan antara alam bumi dan surga. Karenanya, di bagian ini (bagian pertama) dibuatkan hiasan yang menyerupai taman atau perkarangan, sebagai simbol “alam tengah” atau “bumi”. Bagian atas adalah bagian utama dari bangunan bade. Biasa disebut “tumpang” yang melambangkan alam surga. Di sisi kiri bagian atas dibuatkan (seperti) bukur (madya) – bentuknya seperti prasada – yang bertumpang sembilan255. Pada bagian belakang bukur pada bagian tengahnya ditempelkan sebuah replika ukiran barong, dan di atasnya (barong) ditempelkan daun enau (jika dilihat dari depan tampak seperti sayap atau mahkota). Di sisi kanan bagian atas dibuatkan replika banguan suci seperti gedong yang bagian tengahnya disediakan satu ruang kosong. Ruang kosong di bagian tengah ini nantinya akan ditempatkanya patulangan lembu (wadah jenasah) yang sudah berisikan jenasah saat upacara pembakaran dimulai. Jadi, bagian atas dari bangunan bade ini merupakan bagian terpenting, di mana jenasah ditempatkan. Pihak 255
Tumpang sembilan tidak secara eksplisit ditonjolkan di dalam bangunan bade. Hal ini dikarenakan modifikasi bangunan bade yang lain daripada yang lain, atau lebih dikarenakan persoalan teknis dan keindahan bangunan bade. Tumpang sembilan biasa digunakan oleh Warga Pandé di Balinuraga.
372
keluarga, yang merupakan arsitek dari bade ini, menciptakan bade dalam bentuk yang lain daripada yang lain, menyerupai sebuah rumah dan pura bertujuan agar atma almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik dan merasa nyaman. Di setiap bagian bagian bade dihiasi dengan berbagai hiasan, baik yang terbuat dari kertas berwarna untuk replika ukir-ukiran, atau pun yang terbuat dari bunga dan daun segar. Hiasan ini berfungsi untuk memperindah bangunan bade agar bisa dinikmati keindahannya oleh semua kalangan. Warna dominan dari bade ini adalah merah terang (merah yang menyala). Ini adalah simbol atau ciri khas dari identitas Warga Pandé: api yang menyimbolkan Dewa Api manifestasi dari Dewa Brahmana. Setiap lantai bangunan bade (lantai dasar, tengah dan atas) beralaskan karpet hijau, dan juga pada dinding bagian bawah. Bagian bawah bangunan bade adalah fondasi bangunan bade yang setinggi pinggang orang dewasa. Fondasi ini terbuat dari bambu tua yang kuat (biasa disebut: sanan) dan kayu balok kualitas terbaik (kuat): kayu balok merupakan penopang atau tiang utama bagunan bade (vertikal), sedangkan bambu adalah fondasi tambahan untuk memperkuat kayu yang ditempatkan horisontal dan bambu yang panjangnya melebar ini digunakan sebagai tempat bagi masing-masing massa untuk memikul bade. Bagian bawah ini, fondasi bade, merupakan lambang dari dunia bawah (bhuhloka). Fondasi ini adalah bagian terberat dari keseluruhan bangunan bade, karena nantinya saat akan diberangkatkan ke setra di atasnya (di dalam bangunan bade) akan diisi oleh beberapa anggota keluarga, panitia (pemimpin massa dari atas dan beberapa anggota seka gong), dan sulinggih – selain berat kayu dan bambu yang menjadi fondasi bade itu sendiri. Setiap jarak kurang lebih setengah meter pada rangka fondasi merupakan ruang dan tempat untuk masing-masing massa agar bisa dengan mudah menggotong bade dan memungkinkan mereka untuk menggotongnya sambil berlari – rangka bade pada bagian luar yang berbahan bambu dibuat memanjang agar tangan dan pundak masingmasing massa bisa memikul berat bade, kecuali di bagian dalam fondasi atau di bawah bangunan bade. Ruang kosong yang disediakan pada fondasi untuk pegangan tangan dan sanggahan bahu masing-masing massa berjumlah kurang lebih seratus buah. Dalam prakteknya, yang menggotong
373
bade ini bisa memuat lebih dari seratus, akibatnya ada yang terhimpit ketika massa mulai membawanya dengan berlari. Oleh karena itu, massa yang bertugas membawa bade ini ke setra dengan jarang kurang lebih setengah kilometer – dari rumah ke setra – harus pemuda atau laki-laki yang sehat dan berfisik kuat. Ruang kosong yang berada di bawah fondasi ini, nantinya ditaruh kayu bakar dan ban bekas saat akan dilakukan upacara pembakaran jenasah. Dari bagian fondasi, bagian paling bawah, disediakan sebuah tangga untuk menuju ke bagian depan (halaman depan, perkarangan depan bangunan bade) bangunan utama bade yang terdapat sebuah gapura, taman, lampu taman, dan umbul-umbul. Bade yang digunakan dalam upacara ngaben pribadi ini merupakan bade yang lain daripada yang umumnya digunakan oleh masyarakat Bali. Sebuah kreativitas, inovasi dan terobosan baru dengan membuat bade seperti layaknya sebuah rumah dan kompleks pura: dilengkapi dengan kolam ikan, taman bunga, lampu taman, penempatan prasada dan padmasana di bagian paling atas bade agar atma mendapatkan tempat tertinggi dan terbaik. Arsiteknya adalah pihak keluarga sendiri, di mana ahli pembuat pura dan sarana-prasarana ngaben, ukir-ukiran dan lukisan. Keahlian keluarga ini, turun termurun, terkenal di berbagai perkampungan Bali di Lampung sampai di Sumatera Selatan. Menurut mereka, kebebasan berkreasi ini belum tentu dapat diterima di Bali, terutama di daerah yang masih sangat kolot, seperti di Nusa Penida. Intinya adalah tidak menyimpang dari ajaran Hindu Dharma, dan sudah sepantasnya anggota keluarga memberikan yang terbaik bagi atma anggota keluarga tercinta yang telah meninggal.
374
375
Gambar 60. Bade (Mulai dari gambar pertama kiri atas: (1) bangunan bade keseluruhan tampak depan; (2) bagian depan bade; (3) sudut kanan depan bade; (4) sudut kanan belakang bade; (5) bade tampak belakang; (6) bagian bawah / fondasi bade) (Sumber: Yulianto, 2010)
Selain bade, sarana upacara ngaben pribadi yang mencolok adalah patulangan: sarana (wadah) di mana jasad atau jenasah ditempatkan saat upacara pembakaran jenasah dilakukan. Patulangan ini disebut juga sebagai tunggangan atau kendaraan bagi atma dalam perjalannnya menuju ke dunia lain yang berwujud hewan tertentu. Baik di Bali atau pun di Nusa Penida, jenis tunggangan ini sudah ada aturannya. Artinya, setiap wangsa atau warga memiliki tunggangan-nya sendiri. Misalnya, “lembu” untuk wangsa brahmana dan singa makampid untuk golongan jaba seperti Warga Pasek dan Warga Pandé. Kasus ngaben pribadi di Balinuraga ini menjadi sangat unik dan menarik, karena patulangan atau tunggangan yang digunakan sebagai kendaraan bagi pitra adalah menggunakan hewan lembu. Lembu tersebut adalah lembu bertanduk emas bermata tajam dengan ekor yang menjulang ke atas lalu menekuk ke bawah, bagian kepalanya telah ditutup selembar kain putih. Lembu ini dicat berwarna merah menyala – sesuai dengan identitas Warga Pandé – dan dikenakan rompi emas pada bagian dada dan setiap sisi kaki serta bulu emas di sepanjang tulang punggung sampai tulang ekor. Ada beberapa alasan mengapa dikatakan unik dan menarik: (1) lembu merupakan jenis hewan yang menjadi patulangan atau kendaraan bagi golongan brahmana. Tidak sembarangan warga atau wangsa yang berhak menggunakannya. Menurut pihak keluarga yang ber-warga Pandé, mereka berhak menggunakan tunggangan lembu, tidak ada permasalahan jika digunakan di Lampung (kecuali di Bali). Leluhur Warga Pandé adalah Mpu Pradah, seorang pendeta brahmana, berarti keturunannya – meskipun almarhumah bukan Bali Hindu, tapi setelah menikah menjadi Hindu dan otomatis menjadi bagian dari keluarga besar Warga Pandé (ikut suami) – berhak menggunakan tunggangan lembu. Dengan kata lain, “Lembu” bukan tunggangan yang dimonopoli satu golongan tertentu, siapa pun berhak menggunakannya asalkan memiliki bukti yang kuat bahwa leluhurnya merupakan seorang pendeta brahmana. Menjadi menarik karena di Bali
376
dan Nusa Penida sendiri, “Singa Makampid” masih menjadi tunggangan yang umum yang digunakan oleh Warga Pasek dan Pandé; (2) lembu yang digunakan adalah lembu yang berwarna merah menyala dan menggunakan rompi berwarna emas (warna merah dan emas adalah warna dominan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, warna merah adalah identitas Warga Pandé: simbol Dewa Brahmana dan Dewa Api. Ini menjadi ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan warna lembu yang biasa digunakan oleh para brahmana (keluarga pandita) di Bali, yaitu lembu petak atau sapi putih. Artinya, “Lembu Merah” atau “Lembu Bang” (“Bang”, baca: “beng” berarti merah, dalam Jawa: “abang”) adalah ciri khas dari lembu-nya Warga Pandé yang ada di Balinuraga. Kasus bade dan patulangan berbentuk lembu ini akan diuraikan lebih lanjut pada subpembahasan berikutnya (masih dalam contoh kasus ngaben pribadi) mengenai “Ketidak-berlakukan Dominasi Triwangsa: Pembebasan Kaum Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa”.
377
Gambar 61. Lembu “Bang” Patulangan (Atas: lembu patulangan yang sudah jadi; bawah: lembu patulangan digotong oleh beberapa pria) (Sumber: Yulianto, 2010)
378
Sarana lain yang menjadi ciri khas Bali Nusa adalah sarana pengusung jenasah bernama dadong brayut256: dua buah orang-orangan seperti wayang orang, yaitu berwujud laki-laki (Pan Brayut) dan perempuan (Men Brayut) yang saling berhadapan, keduanya ditempatkan pada sebuah tempat seperti perahu. Sama seperti wayang orang pada umumnya, di bawah perahu tersebut terdapat dua bilah bambu yang terikat pada bagian tubuh wayang yang berfungsi menggerakkan badannya tersebut, sehingga bisa digerakkan atau dimainkan saat diusung serta digoyang-goyangkan saat melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi desa (upacara ngaskara sebelum Hari-H), dan saat mengiringi pemberangkatan bade ke setra (Hari-H). Sarana pengusung jenasah ini – dadong brayut dan gedong – diusung oleh lima sampai enam pemuda: diusung sambil digoyang-goyangkan, satu orang sambil ikut mengusung berperan memainkan wayang tersebut secara bergantian. Dadong brayut ini selalu digunakan oleh masyarakat Bali di Nusa Penida saat diselenggarakannya upacara pitra yadnya, dan tetap digunakan oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Dadong Brayut ini menyimbolkan keteguhan dan ketabahan hati serta keberhasilan orang tua laki-laki yang bernama Pan Brayut dan orang tua perempuan yang bernama Men Brayut dalam membesarkan kedelapan belas anaknya sehingga menjadi anak yang berhasil dan berguna di dalam masyarakat (khususnya peran Men Brayut sebagai seorang ibu). Dalam kasus ngaben pribadi ini, dadong brayut menyimbolkan keberhasilan almarhumah sebagai Men Brayut yang selama hidupnya berhasil membesarkan dan mendidik anak-anaknya (dan juga suaminya) sehingga menjadi orang yang berhasil. Jadi, jika dalam sebuah upacara pitra yadnya disertakan dadong brayut dalam arak-arakan massa 256
Kata “dadong” adalah sebutan untuk nenek dalam Bahasa Bali, sedangkan “brayut” berasal dari legenda klasik dalam masyarakat Bali (dan juga termasuk / adaptasi dari cerita / legenda Jawa Kuno) yang mengisahkan sepasang suami istri yang bernama Pan Grayut (laki-laki) dan Men Grayut (perempuan) yang memiliki banyak anak (delapan belas). “Brayut” juga diartikan sebagai tokoh perempuan yang mempunyai banyak anak. Inti dari kisah dua sejoli grayut yang hidup dalam kemiskinan ini adalah keberhasilannya membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Sebuah legenda yang berfungsi untuk memberikan pelajaran bagi para orang tua bagaimana seharusnya membesarkan dan mendidik anak-anakanya, dan pelajaran bagi anak-anak bagaimana harus menghormati orang tuanya.
379
yang mengiringi bade, maka dapat dipastikan bahwa upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa, khususnya untuk mengidentifikasikan upacara pitra yadnya (ngaben) masyarakat Bali Nusa yang ada di Lampung. Secara umum fungsi Dadong Brayut sebagai sarana pengusung jenasah. Sarana lain sebagai pengusung jenasah adalah gedong (sanggah, merajan) dalam bentuk replika, dibuat dalam bentuk yang sederhana, terbuat dari bahan kertas dengan warna dominan merah. Sarana ini disertakan saat upacara ngaskara (penyucian roh leluhur) bersamaan dengan patulangan dan dadong brayut, dan disertakan pula secara bersama-sama saat memberangkatkan bade ke setra.
380
381
Gambar 62. Dadong Brayut dan Gedong (Mulai dari gambar pertama di sudut kiri atas: (1) dadong brayut sebelum diberangkatkan untuk Upacara Ngaskara; gambar (2) dan (3) dadong brayut diarak oleh beberapa pria untuk mengiringi bade ke setra; (4) dadong brayut dan gedong yang telah selesai dibuat; gambar (5) dan (6) gedong digotong oleh beberapa pria untuk upacara ngaskara) (Sumber: Yulianto, 2010)
Tanpa bermaksud mengeneralisir, masyarakat Bali Hindu yang ada di Lampung dalam penyelenggaraan setiap upacaranya – dalam kasus ini upacara ngaben pribadi – selalu mempertahankan tradisi yang menjadi ciri khas dari tempat asalnya – dalam kasus ini Nusa Penida, Bali. Meskipun secara umum prosesi upacara tersebut hampir sama, tapi dalam pelaksanaannya ada hal-hal yang bersifat teknis dan non-teknis yang mencirikan tempat asal (Nusa Penida), seperti: membawa bade, patulangan, dadong brayut, gedong dengan berlari dan mengoyanggoyangkannya dengan semangat (sambil berteriak) – massa yang antusias dalam mengusung sarana dan prasarana ngaben pribadi – serta keberadaan dadong brayut yang (hanya) dijumpai dalam pelaksanaan upacara pitra yadnya oleh masyarakat Bali Nusa.
Perdebatan Kubu Konservatif dan Kubu Modernis “Bukan Bali jika masyarakatnya tidak dinamis.” Ungkapan tersebut untuk menggambarkan bahwa perdebatan antara kubu konservatif dan kubu modernis itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat Bali, dalam kasus ini Balinuraga. Masyarakat Balinuraga sendiri mengakui, baik dari pihak konservatif dan modernis, bahwa masyarakat Bali Nusa Penida sangat kolot (konservatif) dalam mempertahankan tradisi Bali Hindu mereka, terutama setelah keberadaan mereka di Lampung. Sebenarnya kedua kubu yang selalu berdebat dan bertentangan ini mempunyai tujuan yang sama: mempertahankan tradisi Bali Hindu sesuai dengan tempat asal mereka di Nusa Penida. Inti dari perdebatan kedua kubu ini sebenarnya terletak pada perbedaaan tafsir. Ada yang menafsirkan berdasarkan cerita dari para orang tua dan sesepuh yang ada di Nusa Penida dan pengalaman pribadi saat mengikuti upacara-upacara tertentu di Nusa Penida, berdasarkan buku teks keagamaan dan tradisi Bali Hindu yang mereka
382
dapatkan dari Bali atau pun sekolah agama (sekolah tinggi teologi), dan berdasarkan realitas atau kenyataan yang ada setelah berada di Lampung. Mereka yang termasuk dalam kubu konservatif dan modernis tidak dapat disempitkan pengertiannya pada satu kelompok warga tertentu. Artinya, menganggap satu kelompok warga sebagai kubu konservatif atau pun modernis. Dalam kasus upacara ngaben pribadi ini mereka yang digolongkan kubu konservatif adalah kelompok atau pun individu yang menolak adanya perubahan dalam tata cara upacara dan upakara yang berlaku dalam tradisi Bali Hindu seperti yang ada di Nusa Penida dan Bali pada umumnya. Masyarakat Balinuraga menyebutnya sebagai orang kolot – kukuh pada aturan adat yang bersifat rumit dan kompleks – yang menganggap perubahan dalam tradisi, meskipun tidak mengubah makna dan nilai dari keluhuran tradisi tersebut, sebagai sebuah ancaman terhadap kelestarian tradisi leluhur. Biasanya yang termasuk dalam golongan ini adalah orang tua yang sudah berusia lanjut (sepuh), yang menganggap tradisi leluhur sebagai sesuatu yang ajeg – tidak boleh dilakukan perubahan karena akan mendatangkan marabahaya. Tapi tidak semua sepuh termasuk kolot, karena ada sepuh yang berpikiran modernis. Faktor pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pemikiran para sepuh ini. Sepuh yang berpendidikan (pernah mengenyam pendidikan formal), pernah mendapat pengetahuan agama Hindu Dharma (melalui buku atau semacam kursus), dan memiliki pergaulan yang luas, umumnya memiliki pemikiran yang lebih terbuka mengenai tradisi Bali Hindu, khususnya melestrasikan tradisi Bali Hindu sesuai dengan konteks kala dan patra di Lampung. Sebaliknya, ada pula golongan muda yang berpikiran kolot meskipun sudah mengenyam pendidikan formal: ke-kolotan-nya didasarkan penafsiran yang sempit atas pengetahuan yang diterimanya dari buku-buku teks yang berisikan tradisi Bali dan Hindu. Begitu pula dengan kubu modernis (berpikiran moderat), tidak dapat disempitkan pada satu kelompok warga tertentu, karena saat ini tidak semua banjar secara keseluruhan anggotanya berasal dari satu identitas warga – umumnya disebabkan perkawinan antar anggota warga yang berbeda. Mereka yang yang digolongkan kubu modernis adalah kelompok atau pun individu yang berpikiran lebih terbuka dalam memaknai dan mengaplikasikan tradisi leluhurnya, dan perubahan adalah salah satu cara bagaimana
383
mendatangkan manfaat positif bagi umat Hindu Dharma dan kelestarian tradisi Bali Hindu mereka sebagai warisan leluhur. Dalam kasus ngaben pribadi ini, perdebatannya sudah berlangsung sejak lama antara pihak keluarga (modernis) dan pihak lain (konservatif), yaitu sejak almarhumah meninggal sampai tiga tahun sesudahnya saat upacara ngaben pribadi akan dilaksanakan oleh pihak keluarga. Berikut ini adalah beberapa tema perdebatan – yang sebenarnya kelanjutan dari perang dingin yang sudah berlangsung sejak tahun 1970-an257 – antara kedua kubu tersebut yang dimulai sejak almarhumah meninggal sampai saat upacara pitra yadnya akan dilaksanakan: Pertama, apakah seseorang yang bukan berasal dari etnis Bali, tapi sudah menjadi Hindu, bisa atau diperkenankan untuk menerima upacara pitra yadnya (ngaben). Kubu konservatif (kolot) berpendapat bahwa ngaben itu adalah tradisinya orang Bali. Menurut mereka apakah orang non-Bali mengenal tradsisi ngaben seperti yang dilakukan orang Bali. Mengingat almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, dan sebelum menjadi Hindu menganut kepercayaan lain (yang tidak memiliki tradisi pembakaran jenasah). Bagi kubu modernis, pendapat kubu konservatif tersebut sangat kolot dan tidak dapat diterima, karena menurut kubu modernis, setiap orang yang sudah menjadi Hindu, meskipun bukan orang Bali, sebagai umat Hindu berhak untuk diupacarakan pitra yadnya (ngaben) oleh pihak keluarganya. Kubu modernis memberikan contoh orang India yang beragama Hindu: orang India bukan orang Bali tapi beragama Hindu, tapi mereka memiliki tradisi yang jauh lebih tua daripada tradisi Bali Hindu untuk melakukan pembakaran jenasah bagi anggota keluarganya yang telah meninggal. Kedua, perdebatan mengenai setra (kuburan Bali Hindu). Perdebatan ini merupakan perdebatan paling panas di antara kedua belah kubu. Akibatnya perang dingin yang sudah berlangsung lama semakin membeku. Pihak 257
Jika pada tahun 1970-an kubu modernis dan konservatif mencerminkan satu identitas warga tertentu, maka saat ini, baik kubu modernis maupun konservatif bisa terdiri dari beberapa anggota masyarakat Balinuraga yang berasal dari identitas warga yang berbeda.
384
keluarga yang mewakili kubu modernis membangun makam almarhumah sesuai dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku pada etnistas keluarga almarhumah (Tiongua-Jawa). Makam dibuat permanen, ada batu nissan, dan dibuat sebuah pendopo yang memayungi makam: sebuah tindakan yang tidak dapat diterima bagi kubu konservatif, karena bagi mereka (sesuai dengan tradisi Bali Hindu) kuburan itu bersifat sementara (kotor) tidak boleh dibuat secara permanen sebab jasad nantinya akan di-aben-kan. Pihak keluarga berargumentasi bahwa pendapat kubu konvervatif itu memang berlaku bagi etnis Bali, tapi almarhumah bukan berasal dari etnis Bali. Pembangunan makam yang bersifat permanen tersebut dimaksudkan untuk menghargai almarhumah, selain itu, pihak keluarga yang sangat mencintai almarhumah ingin agar agar atma almarhumah mendapatkan perlindungan sementara yang benar-benar nyaman: karenanya dibangun pendopo dan makam bersifat permanen yang bagus, lengkap dengan batu nisannya. Nantinya makam ini pun akan dibongkar saat jenasah akan diaben-kan dan setelah mageseng selesai dilaksanakan makam ini akan dihancurkan. Sebagai umat Hindu, almarhumah tetap berhak mendapatkan upacara pitra yadnya dari pihak keluarga, tidak ada persoalan dengan model makam yang modern (anti-konvensional) seperti model setra bagi masyarakat Bali Hindu pada umumnya: makam atau kuburan dibuat apa adanya, pada gundukan tanah tempat jenasah ditempatkan cukup diberikan pagar bambu yang sederhana – sebuah pandangan yang menganggap bahwa makam bersifat sementara karena jenasah nantinya akan di-abenkan.
385
Gambar 63. Setra (Atas: makam pihak keluarga; bawah: makam / setra yang umum digunakan oleh masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya sebelum di-aben-kan; keduanya terletak di areal setra Pura Dalem di Balinuraga) (Sumber: Yulianto, 2010)
Ketiga, perdebatan apakah jenasah (kerangka tubuh / tulang) akan benarbenar bersih (tidak ada daging yang melekat) setelah ditaruh di dalam peti.
386
Hal ini berkaitan dengan peti jenasah yang ditaruh di dalam makam. Model peti jenasah tidak terbuat dari kayu, tapi dari semen, begitu pula dengan penutup petinya. Kaum konservatif berpendapat bahwa dengan peti jenasah seperti itu maka jenasah akan menjadi kotor, daging masih melekat pada tulang, berbeda jika jenasah ditanam di dalam tanah (hanya dibungkus dengan kain putih / kafan). Perdebatan ini akhirnya selesai setelah saat kerangka jenasah diambil oleh pihak keluarga dan panitia dini hari di Hari-H: kerangka jenasah bersih, tidak ada daging yang melekat pada tulang, warna putihnya sempurna seperti tulang jenasah pada umumnya. Kemudian, kerangka jenasah dibersihkan dengan air yang berisikan bunga-bunga segar yang harum – secara praktis agar kerangka jenasah menjadi harum dan bersih, sedangkan secara filosofis untuk membersihkan dan menyucikan jasad fisik(kerangka jenasah) agar siap untuk di-aben-kan atau disucikan (melalui api, sebagai unsur pelepas antara wujud fisik / duniawi dengan atma) dalam proses pembakaran jenasah. Keempat, perdebatan tentang model bangunaan bade dan atap tumpang bade dan jenis hewan yang kendaraan tunggangan jenasah (patulangan). Pembuatan bade yang “lain daripada yang lain” tidak lepas dari perdebatan. Sebuah inovasi, kreasi dan terobosan yang bagi kubu konservatif sebagai sebuah “penyimpangan”, karena telah keluar dari koridor umum yang biasa mereka lakukan dalam pembuatan bade: (1) bade dibuat seperti bangunan rumah dan pura, tidak seperti yang umum digunakan dalam masyarakat Bali; dan akibatnya (2) jumlah atap tumpang bade menjadi tidak jelas: ada yang menafsirkan sembilan dan ada pula yang menafsirkan sebelas. Kemudian, dari jumlah atap tumpang bade muncul perdebatan lagi, apa dasarnya menggunakan jumlah seperti itu. Bagi pihak keluarga yang modernis, permasalahannya bukan pada bentuknya, tapi pada nilai estetika (keindahan dan seni), kreativitas dan inovasi dalam pembuatan dan rancangan bangunan bade. Bagi mereka, fungsi dan nilai filosofinya tetap sama, tidak ada yang menyimpang: memberikan yang terbaik bagi atma, maka diciptakanlah sebuah bade yang bagus dan indah. Selain itu, ini merupakan hasil kreasi dari pihak keluarga sendiri yang merupakan ahli karya seni (termasuk pembuat sarana dan
387
prasarana upacara ngaben) yang dalam proses rancangan dan pembuatan tetap berpedoman pada nilai dan filosofi Bali Hindu dalam pembuatan bade dengan melakukan terobosan dan inovasi baru. Perdebatan berikutnya adalah jenis hewan yang menjadi kendaraan tunggangan jenasah. Kubu konservatif bersikukuh bahwa lembu adalah tunggangan bagi golongan brahmana, dan tunggangan “singa makampid” adalah tunggangan yang umum digunakan oleh Warga Pandé dan Warga Pasek di Nusa Penida dan Bali – meskipun pihak konservatif mengetahui bahwa jika ditelusuri dari silsilah leluhurnya mereka berhak menggunakan lembu sebagai patulangan. Bagi pihak keluarga, mereka berhak menggunakan lembu sebagai kendaraan tunggangan bagi atma dalam prosesi pitra yadnya, karena leluhur mereka (Warga Pandé) berasal dari pandita brahmana. Dengan kata lain, lembu tidak bisa dimonopoli oleh golongan tertentu saja, setiap golongan berhak menggunakannya asalkan dapat memberikan bukti-bukti mengenai sejarah leluhurnya. Terpenting adalah lembu yang digunakan pun adalah lembu khas Warga Pandé dengan warna merahnya sebagai identitas pembeda dengan lembu brahmana (berwarna putih): Lembu Merah atau Lembu Bang. Kelima, perdebatan mengenai versi upacara pitra yadnya (pembakaran jenasah): India versus Bali. Kubu konservatif menilai upacara ngaben pribadi ini lebih berkiblat pada India, sehingga unsur kebaliannya menjadi hilang. Pihak keluarga menilai bahwa upacara ini tetap mengacu pada tradisi Bali Hindu, karena Bali-nya akan hilang jika berkiblat pada India. Inti perdebatan dari kedua belah pihak ini tetap sama: bagaimana mempertahankan tradisi Bali Hindu, jangan sampai hilang hanya karena mengikuti versi upacara pitra yadnya-nya India. Keenam, perdebatan-perdebatan yang bersifat teknis dalam penyelenggaraan upacara mageseng. Misalnya, posisi kepala jenasah apakah searah dengan kepala lembu atau membelakangi kepala lembu. Kedua pihak mempunyai tafsir sendiri. Pihak konservatif menyeletuk bahwa kepala jenasah harus searah dengan kepala lembu, karena itu sesuai dengan buku teks pernah dibacanya. Pihak modernis membalasnya berdasarkan logika dan rasionalitas bahwa jika kepala jenasah searah
388
dengan kepala lembu, maka akan menyulitkan atma saat bangun dari patulangan karena kepalanya akan bertabrakan dengan kepala lembu. Perdebatan teknis lainnya adalah apakah upacara pembakaran tetap dilakukan sesuai waktunya, atau menunda sampai cuaca kembali cerah: tafsirnya adalah apakah prose pembakaran sudah diizinkan oleh Sang Hyang Widhi Wasa atau belum diizinkan karena hujan turun deras. Pihak keluarga tetap berikukuh bahwa upacara pembakaran harus dilakukan sesuai waktunya, karena dengan niat yang tulus mereka percaya pada kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa bahwa proses pembakaran akan berhasil meskipun hujan turun dengan deras. Akhirnya proses pembakaran jenasah tetap dilakukan sesuai dengan waktunya meskipun hujan turun deras, dan proses ini berlangsung sukses. Kedua contoh ini merupakan salah satu dari perdebatan kubu konservatif dan modernis tentang hal-hal yang bersifat teknis. Sebuah perdebatan yang jumlahnya sangat banyak sekali, karena setiap upacara memiliki banyak prosedur teknis sendirisendiri, di mana setiap teknis memiliki arti dan filosofi serta penafsiran sendiri-sendiri. Oleh karena itu, untuk kasus ngaben pribadi ini penulis menyajikan dua contoh perdebatan yang bersifat teknis tersebut. Perdebatan kedua kubu ini tidak dapat disebutkan sebagai perpecahan komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Justru hadirnya kubu konservatif yang berperan sebagai “oposisi” sangat berguna untuk mempertahankan tradisi Bali Hindu yang dimodifikasi oleh kubu modernis agar tetap lestari. Dengan kata lain, kubu konservatif berperan sebagai pemberi rambu-rambu agar modernisasi tersebut tidak menyimpang dari tradisi leluhur mereka sebagai Bali Hindu. Ini merupakan sebuah peran penting bagi masyarakat Bali Hindu (Bali Nusa) di Balinuraga, terlebih setelah keberadaan mereka di Lampung, di mana posisinya sebagai minoritas dan jauh dari pusat yang dapat mengontrol atau meng-ajeg-kan kebudayaaan Bali Hindu. Sisi positif dari hadirnya kedua kubu ini adalah bagaimana masyarakat Bali Hindu di Balinuraga bisa melakukan penyesuaian identitas Bali Hindu-nya setelah di Lampung dengan berbagai inovasi, kreasi dan terobosan penyelenggaraan upacara dan ritual adatkeagamaan – dalam kasus ini upacara ngaben pribadi – agar identitasnya tetap lestari, dan bisa menjawab tantangan dan kebutuhan umat Hindu Dharma – terutama dari prosedur upacara dan ritual yang kompleks dan
389
besarnya tenaga dan biaya yang dikeluarkan, mempertahankan dan sesuai dengan hakikatnya.
dengan
tetap
Sulinggih Warga (Pendeta Warga, Pendeta Jaba) sebagai Pemuput Upacara Realitas menarik yang terjadi dalam kasus upacara ngaben pribadi ini adalah pe-muput (pendeta yang memimpin upacara) adalah sulinggih (pendeta/pandita) warga atau menggunakan sulinggih dari golongan jabawangsa (golongan di luar puri atau kerajaan). Tidak ada perdebatan yang berarti mengenai sulinggih warga yang memuput upacara pitra yadnya ini. Artinya, sudah ada kesepakatan dari semua kubu bahwa sulinggih warga berhak memuput upacara ngaben pribadi, tidak harus menggunakan pendeta brahmana (pedanda). Hal ini serupa dengan Anggaran Dasar PHDI yang menyatakan bahwa sulinggih warga memiliki kedudukan yang sama dengan pedanda (sulinggih brahmana) – yang berarti berhak memuput dan memberikan tirta pengentas dalam upacara pitra yadnya. Ini dibuktikan dengan kehadiran perwakilan dari PHDI sebagai tamu undangan dari pihak keluarga, dan turut serta (juga memberikan kata sambutan dari PHDI sebagai majelis umat Hindu Dharma) dalam prosesi upacara ngaben pribadi ini. Jika melihat “jadwal kegiatan upacara” pitra yadnya pada bagian sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa “yang muput” upacara adalah sulinggih warga atau pendeta dari golongan jaba. Ini dapat dilihat dari gelar yang digunakan: Mpu (Sri Mpu) dan Rsi – secara struktural kedudukan mangku (pemangku) masih di bawah Sri Mpu dan Rsi258. Mereka adalah sulinggih warga dari Warga Pandé, Pasek, Arya, dan Bhujangga Waisana. Berdasarkan peraturan dari PHDI, sulinggih warga ini berhak untuk muput upacara dari warga lainnya, bukan milik satu warga tertentu, terlebih jumlahnya yang sangat terbatas. Bagi masyarakat Balinuraga ada kebanggaan tersendiri 258
Untuk menjadi sulinggih warga (dwijati) – seperti sri mpu dan rsi – tidak semudah menjadi seorang pemangku. Ada prosedur yang cukup sulit dan panjang, serta proses pembelajaran untuk mendalami kitab-kitab dan lontar. Prosedur tersebut bersifat formal – berada di bawah pengawasan PHDI – dan jika berhasil, kedudukannya sebagai sulinggih mendapatkan pengakuan secara resmi oleh lembaga semi-pemerintah tersebut sebagai kepanjangan dari pemerintah.
390
jika menggunakan sulinggih warga, meskipun menggunakan pedanda dari Bali dapat meningkatkan status sosialnya – tapi secara tidak langsung “merendahkan” kedudukan dan kapasitas sulinggih warga-nya dan (terpenting) status sosial dari leluhurnya yang (umumnya: Pandé dan pasek) berasal dari golongan brahmana. Di samping, pertimbangan praktis dan ekonomis, bahwa mengundang pedanda akan merepotkan (harus menyesuaikan dengan jadwal pedanda yang bersangkutan, dan tidak dapat dipastikan apakah pedanda yang umumnya sudah sepuh tersebut mau memuput upacara di Lampung mengingat faktor jarak, kesehatan dan usia) dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, fakta ini menunjukkan bahwa peraturan masa kolonial (masa proyek balinisasi pemerintah kolonial) dan pra-kolonial (masa kerajaan dinasti Sri Kresna Kepakisan / Majapahit) – yang sebagian masih dipraktekkan di Bali sampai sekarang – yang menyatakan bahwa yang berhak memberikan tirta pengentas (air suci) saat upacara pitra yadnya harus berasal dari seorang pendeta brahmana atau pedanda sudah tidak berlaku lagi bagi masyarakat Bali Hindu di luar Bali – dalam kasus ini upacara pitra yadnya di Desa Balinuraga Lampung Selatan.
Ketidak-berlakuan Dominasi Triwangsa: Pembebasan Kaum Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa Contoh kasus upacara ngaben pribadi di Balinuraga, seperti yang dipaparkan di atas, sebenarnya menunjukkan eksistensi dari golongan jaba (sebutan yang kurang mereka sukai adalah: sudra wangsa atau kasta sudra) untuk melepaskan dirinya dari dominasi triwangsa (golongan puri / kerajaan). Hal ini dapat dibuktikan dari: (1) Bagaimana mereka merancang dan membangun bade, tanpa terpaku pada jumlah atap tumpang bade yang harus digunakan oleh golongan jaba dan triwangsa; (2) Jenis hewan kendaraan tunggangan jenasah (patulangan). Dalam kasus ini, menggunakan hewan lembu, dalam ketentuan umum yang berlaku dalam masyarakat Bali pada umumnya, merupakan jenis hewan yang hanya diperbolehkan atau dipergunakan bagi golongan brahmana. Untuk membedakan dari lembu golongan brahmana, mereka menggunakan warna merah menyala (merah api) yang menjadi identitas warga-nya sebagai Warga Pandé: salah satu kelompok warga yang statusnya
391
dipertegas oleh pemerintah kolonial sebagai jaba (golongan di luar triwangsa / puri) atau sudra wangsa; (3) Menggunakan pendeta warga atau sulinggih warga sebagai pemuput (pemimpin) upacara pitra yadnya. Sebuah tindakan yang tidak mungkin (sangat sulit diaplikasikan, dan jika berani melakukannya akan menerima hukuman dari pihak penguasa) dilakukan oleh golongan jaba di masa proyek balinisasi masa kolonial dan di masa kerajaan feodal (pasca runtuhnya kerajaan Bali Aga dan berkuasanya Majapahit atas Bali sampai berkuasanya Pemerintah Kolonial Belanda), di mana masih menjadi konflik dan perdebatan di masa pasca kolonial (pemerintah Republik Indonesia: Orde Lama dan Orde Baru), dan mungkin masih terjadi di Bali – meskipun tidak seketat dulu; (4) Penyelenggaraan upacara pitra yadnya oleh golongan jaba yang melibatkan jumlah massa yang banyak dan menghabiskan biaya yang besar, di mana menjadi tradisi atau kebiasaan dalam upacara pitra yadnya yang diselenggarakan oleh golongan triwangsa (keluarga kerajaan dan keluarga golongan brahmana). Tingkat perekonomian yang sudah mapan setelah bertransmigrasi ke Lampung, dan kesolidan komunitas adatnya (banjar dan desa pakraman) yang ada di wilayah Lampung, memungkinkan mereka (golongan jaba) menyelenggarakan upacara pitra yadnya – khususnya upacara ngaben pribadi – yang menghabiskan biaya yang besar dan jumlah massa yang banyak. Rata-rata (minimal) untuk upacara ngaben pribadi atau pun ngaben massal membutuhkan dana minimal ratusan juta rupiah hingga milyaran rupiah. Untuk upacara ngaben pribadi ini biaya yang dihabiskan (diperkirakan) di atas seratus juta rupiah (sudah dan belum termasuk biaya yang tidak terhitung). Upacara ngaben massal yang pernah diselenggarakan satu tahun sebelumnya mencapai kisaran (perkiraan) di atas lima ratusan juta rupiah. Seorang pengusaha Bali Nusa di daerah Sumatera Selatan (berbatasan dengan Lampung Timur, Tulang Bawang), menghabiskan dana milyaran rupiah (di atas satu milyar) untuk prosesi ngaben pribadi, di mana dalam pelaksanaannya mengizinkan beberapa keluarga lain yang kurang mampu untuk ikut bergabung dalam upacara ngaben tersebut. Kasus ini menunjukkan bagaimana keegaliteran dan kemandirian masyarakat Bali setelah berada di luar Bali dengan tetap mempertahankan dan melestarikan dengan beberapa penyesuaian tradisi Bali Hindu,
392
khususnya masyarakat Bali Nusa di Desa Balinuraga. Mereka berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh golongan triwangsa dan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter. Mereka lebih bebas untuk melakukan terobosan baru bagi keberlangsungan tradisi Bali Hindu tanpa dibatasi aturan-aturan baku yang mengekang kebebasan berekspresi bagi golongan jaba, seperti bangunan bade yang lain daripada yang lain (bentuk yang lebih modern sebagai simbol anti-kemapanan); mempunyai hak yang sama dengan golongan triwangsa untuk menggunakan atap bade bertumpang tinggi; hak yang sama menggunakan hewan “lembu” sebagai kendaraan tunggangan jenasah; dan menyelenggarakan upacara pitra yadnya dalam skala besar, baik jumlah biaya maupun massa.
Kesimpulan Identitas kebalian masyarakat Bali Nusa di Balinuraga merupakan sebuah keutuhan yang bersifat multidemensi. Sebagai sebuah keutuhan yang multidimensi, identitas kebalian di komunitas Balinuraga tidak dapat dilihat secara terpisah. Identitas tersebut menjadi sebuah kesatuan di dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali yang diadopsi oleh komunitas ini dengan berbagai penyesuaian yang ada berdasarkan konsep kala dan patra. Karenanya, tidak cukup hanya memotret komunitas ini secara fisik sebagai sebuah perkampungan Bali yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan suci (pura), tetapi juga (terpenting) bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan Bali di dalamnya sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam identitas kebalian. Misalnya: sistem warga, seka-seka dengan berbagai spesifikasi kerja, pelaksanaan ritual dan upacara penting adat dan keagamaan, dan lain-lain. Picard (1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian ini sebagai kebudayaan Bali atau gabungan dari elemen penting kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat (tradisi) dan kesenian. Sama halnya ketika melihat realitas komunitas Balinuraga yang merupakan golongan jaba (di luar kerajaan) – atau dalam kategorisasi pemerintah kolonial disebut sebagai golongan sudra – identitas mereka sebagai golongan jaba tidak bisa dilihat sebagai satu identitas yang tunggal: kasta sudra. Di Balinuraga ada tiga warga atau klan yang pada masa pemerintah kolonial dicampakkan menjadi golongan jaba, di mana
393
setiap warga memiliki sulinggih tersendiri dan tata-cara adat keagamaan yang khas, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Karenanya, komunitas Balinuraga lebih nyaman menggunakan identitas warga daripada sudra wangsa atau kasta sudra. Sistem warga yang digunakan menjadikan komunitas ini lebih setara (egaliter) dan tidak diskriminatif. Tidak ada yang bisa mendominasi satu dengan yang lain, meskipun setiap warga memiliki kesamaan klaim berdasarkan silsilah leluhurnya bahwa leluhur mereka di masa kerajaan memiliki kedudukan penting (pejabat dan bangsawan kerajaan). Mendudukkan komunitas dengan identitas tunggal – sudra – menjadi tidak tepat dan diskriminatif. Sama seperti yang dilakukan Huntington (1996) ketika mengklasifikasikan peradaban dunia ke dalam identitas tunggal: Barat dan Islam. Sependapat Sen (2007) dan Fukuyama (2006) bahwa identitas memiliki fakta-fakta kesejarahan dan fakta nyata, serta berakarakteristik multidimensi. Pengklasifikasian sebuah kelompok masyarakat atau peradaban ke dalam sebuah identitas tunggal akan menyebabkan gejolak dan benturan di akar rumput. Hasil penelitian Schulte Nordholt (2009) dan Robinson (1995) menunjukkan bahwa kebijakan Balinisasi pemerintah kolonial yang mencampakkan warga-warga (klan-klan) di luar kerajaan (puri) sebagai sudra menimbulkan gejolak dan perlawanan di akar rumput259. Hal ini yang menyebabkan mengapa komunitas Balinuraga lebih nyaman dengan identitas warga-nya daripada kasta sudra. Mengingat di dalam identitas warga mereka mendapatkan kejelasan atas jati diri (identitas) mereka sebagai Bali Hindu melalui identitas kawitannya (warga) yang menjadi dasar identitas kebalian mereka. Proses pembangunan komunitas Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan mereka. Bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan Bali di Balinuraga menjadikan komunitas ini – seperti yang disebutkan oleh Geertz (1980) – sebagai sebuah negara sendiri. Pembangunan dalam komunitas ini baik fisik maupun non-fisik, yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perekonomian, ditopang oleh krama subak atau seka tani. Sistem pertanian ini – dengan beberapa 259
Lihat juga hasil penelitian Vickers (2006), Kerepun (2003, 2007), dan Dwipayana (2001).
394
perbedaan dengan yang ada di Bali – berhasil memapankan perekonomian mereka di bidang pertanian, di mana hasilnya digunakan oleh komunitas Balinuraga untuk membangun komunitasnya sebagai Kampung Bali dengan identitas kebaliannya. Salah satu indikator kemapanan ekonomi mereka sebagai seorang Bali adalah kemampuan ekonomi mereka untuk menyelenggarakan salah satu upacara besar dan penting, yaitu upacara ngaben. Di samping itu, melalui upacara ngaben dapat dilihat bagaimana perkembangan identitas kebalian komunitas Balinuraga. Dari kasus upacara ngaben dapat dilihat pula bagaimana komunitas ini mereposisi kedudukan mereka sebagai golongan jaba melalui atribut-atribut upacara yang digunakan. Menjadi jelas bahwa status sosial dalam komunitas Balinuraga (Bali di Lampung) lebih ditentukan oleh kemampuan ekonominya. Sejak masa kerajaan, upacara ngaben yang besar digunakan untuk menunjukkan status sosial seseorang, terutama dari kalangan pejabat atau bangsawan kerajaan. Kini, setelah perekonomian mereka mapan (golongan jaba), mereka pun bisa melakukannya, tidak hanya yang ada di Bali, tapi juga (secara khusus) yang ada di Lampung, seperti di Balinuraga. Di Bali pergeseran ini digambarkan oleh Dwipayana (2001) sebagai pergeseran dari kasta ke kelas dengan mengkaji pergulatan kelas menengah Bali.
395
396