BAB IV TELAAH ATAS SIFAT WAJIB RASUL SEBAGAI PROTOTIPE KEPEMIMPINAN NABI MUHAMMAD DALAM PENDIDIKAN
A. Urgensitas Penerapan Nilai-nilai Sifat Wajib Rasul dalam Menjalankan Kepemimpinan Pendidikan. Islam diturunkan sebagai ajaran yang sempurna dari sumbernya Allah SWT. yang maha sempurna dan akan dipelihara kesempurnaannya hingga akhir zaman. Ajaran ini harus dijadikan pedoman hidup bagi setiap manusia yang menginginkan kemuliaan tidak sekedar di mata manusia tetapi di sisi Allah SWT. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat tidak dapat dihindari pasti membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup ini. Mustahil ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa bantaun dari orang lain, untuk itu mereka membentuk satu kelompok sambil mengaktualisasikan dirinya untuk menemukan jati dirinya. Setiap orang sebagai individu memerlukan bantuan orang lain, bukan menjadi sama dengan orang lain, tetapi justru untuk menjadi berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap orang bilamana dibandingkan dengan orang lain akan terlihat kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap orang mempunyai keinginan, kehendak, pikiran, pendapat, kebutuhan, sifat tingkah laku dan lain-lain yang berbeda-beda. Namun di antara yang berbeda itu terdapat juga yang sama atau memiliki kesamaan sehingga menjadi motivasi untuk mewujudkan kelompok atau organisasi yang memungkinkan orang untuk tergabung di dalamnya meningkatkan efektivitas, memanfaatkan kesamaan itu untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kondisi seperti itu, perbedaan di antara sekolompok orang yang memiliki kesamaan, akan memunculkan orang yang menjadi pemimpin di antara sejumlah orang yang lebih banyak, sebagai pihak yang memerlukan pimpinan. Misalnya kesamaan agama, idiologi, pekerjaan, suku, profesi,
76
77
minat, kegemaran/hobi dan lain-lain memberikan motivasi sejumlah orang untuk membentuk kelompok atau organisasi. Di antara orang-orang itu terdapat seseorang atau beberapa orang yang tampil menjadi pemimpin atau pemimpin-pemimpin, karena memiliki kelebihan-kelebihan terutama berupa berupa kemampuan mewujudkan kepemimpinan. Muhammad al-Buraey mengutip pendapat Hersey dan Blanchaer yang memandang bahwa kepemimpinan sebagai “pengaruh antar pribadi yang dilaksanakan dalam satu situasi dan diarahkan melalui komunikasi, menuju pencapaian tujuan atau tujuan tertentu”.1 Jadi dalam hal ini nampak bahwa adanya hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin karena dalam komunikasi pasti melibatkan dua unsur, dalam hal ini pemimpin dan yang dipimpin (bawahan) keduanya saling menunjang dan bergantung yang terikat atau yang mengikatkan diri dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Tugas dan tanggung jawab pemimpin ialah mengarahkan, menuntun, memberi motivasi dan mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat guna mencapai tujuan, sedangkan tugas dan tanggung jawab yang dipimpin yakni mengambil bagian aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang mengantarnya kepada tercapainya tujuan, di mana di dalamnya memerlukan adanya kesatuan komando (unity of command) dalam setiap organisasi. Tanpa adanya komando yang didasarkan atas waktu perencanaanya dan kebijaksanaan yang jelas, maka jangan diharapkan tujuan akan dapat dicapai dengan baik. Bahkan bisa terjadi kesemerawutan dan anarki dalam pekerjaan yang membuat arah tindakan menjauhi tujuan. Pada titik inilah kewajiban untuk mentaati kebijakan pemimpin dalam peraturan yang telah ditetapkan tidak bisa ditawar-tawar dan menjadi sebuah kewajiban bawahan untuk mentaati pemimpin itu. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 59:
1
A. Muhammad al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Adminditratif Pembangunan, (Jakarta : Rajawali, 1986), hlm. 375
78
ﻷ ْﻣ ِﺮ ﻣِﻨ ُﻜ ْﻢ َ ل َوُأ ْوﻟِﻲ ا َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا َأﻃِﻴﻌُﻮ ْا اﻟّﻠ َﻪ َوَأﻃِﻴﻌُﻮ ْا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ (59 : ل )اﻟﻨﺴﺎء ِ ﻲ ٍء َﻓ ُﺮدﱡو ُﻩ ِإﻟَﻰ اﻟّﻠ ِﻪ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ْ ﺷ َ ﻋ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ ْ َﻓﺈِن َﺗﻨَﺎ َز “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu, maka sekiranya diantara kamu berbantahan dalam suatu perkara, hendaklah kamu kembalikan kepada Allah dan RasulNya” (Q.S an-Nisa :59).2 Ayat ini dengan jelas memerintahkan kepada kita semua untuk taat dan patuh kepada seorang pemimpin, baik dalam segala level kehidupan asalakan pemimpin yang kita ikuti tersebut tidak keluar dari ajaran serta hukum-huku yang terkandung di dalamnya. Apabila terjadi perselisihan diantara mereka hendaklah dikembalikan kepada Allah (Al-Qur'an) dan RasulNya (as-Sunnah). Pembahasan tentang kepemimpinan telah merujuk pada suatu fenomena kemampuan seseorang dalam mengg0rakkan, membimbing dan mengarahkan orang lain dalam suatu kerja sama. Dalam hal ini apabila dipadukan dengan istilah pendidikan maka muncullah istilah kepemimpinan pendidikan. Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan tentang arti dari kepemimpinan yang dikerucutkan pada kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. yang akhirnya dari situ pula diperolah gambaran yang cukup jelas bahwa kepemimpinan yang telah dijalankan Nabi Muhammad saw. banyak mengandung unsur-unsur serta nilai-nilai yang syarat dengan muatan pendidikan. Sehingga kenyataan itulah yang akhirnya menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji secara mendalam dengan usaha menguak dan mancari serta menelusuri sebetulnya faktor apa yang mempengaruhi kesuksesan Nabi Muhammad saw dalam memimpin umatnya itu. Kepemimpinan dari sudut agama Islam secara sederhana oleh setiap pemimpin harus diajalankan sebagai rangkain kegiatan atau proses menyeru agar orang lain di lingkungan masing-masing menjadi manusia beriman, dalam abad modern bukanlah pekerjan yang mudah. Tugas dan kewajiban pemimpin memang tidaklah mudah, membutuhkan berbagai macam unsur 2
Soenaryo, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: al-Wa’ah, 1993), hlm. 128
79
yang mendukung terwujudnya kepemimpinan yang efektif serta mempunyai nilai mulia di sisi Allah Swt. Untuk memenuhi hal itu dibutuhkan seorang pemimpin yang menjunjung pada nilai-niali kebenaran, dan seorang pemimpin yang penuh tanggung jawab, mempunyai loyalitas tinggi, dan dapat menjaga amanah dengan baik. Karakteristik kepemimpinan seperti yang diidealkan tersebut, hanya dapat ditemukan dalam pribadi Nabi Muhammad saw, sebab kepemimpinan beliau berjalan di atas landasan spiritual yang paling tinggi dengan Allah langsung sebagai pembimbingnya. Di sini berarti pula bahwa ketaatan kepada Rasulullah merupakan ketataan kepada Allah. Mengingat tujuan dari kepemimpinan beliau adalah mengajak beriman kepada Allah. Untuk itu, segala perbuatan dan perkataan beliau, dalam memimpin haruslah ditaati. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah sebagai berikut :
(64 : ن اﻟّﻠ ِﻪ )اﻟﻨﺴﺎء ِ ع ِﺑِﺈ ْذ َ ﻻ ِﻟ ُﻴﻄَﺎ ل ِإ ﱠ ٍ ﺳ ْﻠﻨَﺎ ﻣِﻦ ﱠرﺳُﻮ َ َوﻣَﺎ َأ ْر “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah” (Q.S : an-Nisa 64).3
(80 : ع اﻟّﻠ َﻪ )اﻟﻨﺴﺎء َ ل َﻓ َﻘ ْﺪ َأﻃَﺎ َ ﻄ ِﻊ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ِ ﻦ ُﻳ ْ ﱠﻣ “Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (Q.S : an-Nisa 80).4 Dari kedua ayat di atas, Allah dengan serius menekankan kita untuk taat kepada perintah Rasulullah. Dan nilai yang dianjurkan Rasulullah dalam memimpin selayaknya dapat dijadikan contoh dan teladan bagi pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kepemimpinan yang dijalankan. Terlebih lagi menjadi
keharusan bagi seorang pendidikan yang mempunyai peran
sebagai pemimpin bagi anak-anak didiknya untuk memiliki karakteristik yang mencerminkan seorang pendidik yang baik layaknya sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah. 3 4
Ibid, hlm. 129 Ibid., hlm. 132
80
Dari sisi lain umat Islam memerlukan pengorganisasian dengan kepemimpinan yang beriman, untuk mempersatukan agar menjadi kekuatan yang terarah pada perwujudan kegiatan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Demikian halnya dalam sebuah organisasi yang berintikan pada pendidikan haruslah menanamkan jiwa keimanan pada setiap individu pendidik selaku perannya sebagai pemimpin dalam pendidikan. Pemimpin pendidikan di sini bukanlah sekedar seorang yang berada pada pucuk pimpinan seperti kepala sekolah, supervisor atau administrator saja, melainkan seorang guru yang menjadi pendidik bagi anak-anak yang justru perlu menerapkan jiwa kepemimpinannya dalam menanamkan nilai-nilai baik pada anak didiknya. Untuk itu kepemimpinan seorang guru juga tetap harus diterapkan pada masing-masing pendidik sebagai modal dasar membentuk jiwa dan kepribadian yang tangguh pada anak. Kepemimpinan dalam Islam mempunyai aspek tersendiri di antara berbagai aspek kehidupan disorot oleh al-Quran dan al-Hadits. Dalam praktek ibadah formal yang dimanifestasikan melalui ibadah shalat berjamaah yang terdiri dari Imam dan makmum sampai masyarakat terkecil di dalam keluarga, pemimpin dan kepemimpinan berperan penting.5 Terlebih lagi dalam pendidikan, kepemimpinan memegang kunci yang urgen di bawah seorang pemimpin yang benar-benar dapat menerapkan kepemimpinan yang sesuai dengan perkembagan dan kebutuhan pendidikan. Kriteria dan syarat menjadi seorang pemimpin dalam proses memimpin orang lain dibutuhkan individu-individu pemimpin yang memiliki sifat-sifat mulia seperti sifat-sifat yang melekat pada diri Nabi Muhammad saw. terangkum menjadi satu-kesatuan sifat wajib meliputi shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Sifat-sifat rasul akan menjadi sebuah prototipee dan prinsip tersendiri bagi seorang pemimpin pendidikan dalam menjalankan kepemimpinannya dengan menerapkan nilai-nilai luhur ini, di antaranya : 1. Prinsip Kejujuran (shiddiq).
5
Ali Anwar, Wawasan Islam , (Bandung : Pustaka Setia, 2002), hlm. 97
81
Kejujuran merupakan faktor utama seseorang dapat dipercaya orang lain, kejujuran akan melahirkan kepercayaan dari orang lain, sekali tidak jujur akan sulit menimbulkan kepercayaan dari bawahan. Dengan keimanan yang dia miliki, dia akan senantiasa berkata benar dan meneladani kepemimpinan Allah dan Rasulnya. Demikian halnya dalam sebuah kepemimpinan tanpa ada transparasi dari atasan kepada bawahan dapat menghambat hubungan saling menjauh di antara keduanya. Ini disebabkan tidak adanya sikap keterbukaan informasi yang diberikan pemimpin kepada anggotanya, sehingga seolah-olah ada jarak yang memisahkan, yang akibatnya menimbulkan sikap apatis dan tidak peduli dari bawahan pada atasan. Prinsip kejujuaran yang harus dijunjung oleh pemimpin tidak memiliki tendensi apapun, sebab pemimpin yang baik hanya mengharap ridha dari Allah, yang ini berarti pemimpin berusaha untuk jujur di hadapan Allah. Sedangkan jujur terhadap orang lain, yakni tidak sebatas berkata dan berbuat benar, namun berusaha memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi orang lain.6 Sikap jujur terhadap anggota berarti sangat prihatin dan peka melihat penderitaan yang dialami mereka, sehingga sifat shiddiq merupakan sikap empati yang sangat kuat dan mempunyai jiwa pelayanan yang prima. Pelayanan itu dapat diwujudkan melalui sikap pemimpin yang senantiasa membimbing anggotanya dan bertindak sebagai konsultan bagi guru-guru yang dapat membantu memecahkan permasalahan mereka.7 Ia hendaknya berusaha meningkatkan kemampuan staf untuk bekerja dan berfikir bersama. Sikap ini akan memberi pengaruh bawahan menjadi merasa tenang, bahkan akan bertambah sayang dan percaya pada atasan yang akhirnya berdampak pada etos kerja dari bawahan karena perilaku dan sikap atasannya memberi contoh yang baik. Pemimpin pendidikan yang baik selalu mengedepankan prinsip kejujuran dengan menunjukkan 6
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hlm 195. Hendiyat Soetopo dan Wasty Soemanto, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 26 7
82
kepeduliannya pada orang lain dengan mengulurkan tangan demi kemajuan bawahannya.8 Dalam hubungannya dengan pendidikan, sikap dan prinsip shiddiq yang ditampakkan oleh pemimpin akan melahirkan semangat kerja tinggi dan loyalitas yang tinggi dari bawahan kepada pemimpin itu sendiri, karena dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mereka tidak merasa terhambat dengan berbagai kebohongan yang akan merusak dirinya. Sikap mental yang terwujud dalam bentuk kejujuran dari seorang pemimpin pendidikan merupakan krediilitas dan integritas pribadi yang berkumpul dalam satu pribadi pemimpin itu sendiri. Pemimpin pendidikan yang profesional memiliki berbagai kualitas yang terkumpul dalam dirinya, seperti memliki motivasi yang tinggi dan kejujuran. Dua komponen inilah yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin. Seorang yang pintar dan mempunyai motivasi tinggi tetapi tidak jujur tidak layak disebut profesional, sebaliknya seorang yang jujur dan terampil tetapi tidak mempunyai etos kerja yang tinggi juga tidak memenuhi syarat sebagai seorang yang profesional. Kejujuran telah melahirkan sifat kepemimpinan yang berorientasi pada upaya menunjukkan bentuk keteladanan (uswatun hasanah), sebagaimana kerinduan kita kepada Rasulullah yang memberikan begitu banyak mutiara untuk dijadikan suri tauladan. Sebaliknya sikap kebohongan hanya akan merusak hubungan antara pimpinan dan yang dipimpin. Larangan berbuat kebohongan dan ketidakjujuran tertuang dalam hadits Nabi Saw yang berbunyi :
ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ّ أ:ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳْﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل إذاﺣﺪث آﺬب وإذا وﻋﺪ أﺧﻠﻒ وإذا: أﻳﺔ اﻟْﻤﻨﺎﻓﻖ ﺛﻼث: وﺳﻠﻢ ﻗﺎل (اﺋْﺘﻤﻦ ﺧﺎن )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
8
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 196.
83
Dari Abu Hurairah r.a bahwasannya Saw bersabda : tanda-tanda orang yang munafik itu ada tiga. Bila ia berkata (cerita), berdusta, bila ia berjanji tidak menempati janjinya, dan bila dipercayai, ia berkhianat (HR. Muslim).9 Hadits
tersebut
mengisyaratkan
bahwa
orang
yang
suka
bohong/dusta, mengesampingkan kejujuran merupakan indikasi bahwa seorang pemimpin tersebut termasuk dalam golongan munafik, karena tidak transparan terhadap informasi yang diberikan kepada anggotanya, dengan demikian jiwa kepemimpian yang disertai dengan nilai-nilai kejujuran seharusnya dipupuk dan ditanamkan dalam jiwa seorang pemimpin pendidikan yang akan menjadi teladan bagi anggota (bawahannya) dan pada anak didiknya. Lebih tegas lagi Allah berfirman dalam surat az-Zumar 32-33 :
ﺲ ﻓِﻲ َ ق ِإ ْذ ﺟَﺎ َء ُﻩ َأَﻟ ْﻴ ِ ﺼ ْﺪ ب ﺑِﺎﻟ ﱢ َ ﻋﻠَﻰ اﻟﱠﻠ ِﻪ َو َآ ﱠﺬ َ ب َ ﻦ َآ َﺬ ْ ﻇَﻠ ُﻢ ِﻣ ﱠﻤ ْ ﻦ َأ ْ َﻓ َﻤ ﻚ ُه ُﻢ َ ق ِﺑ ِﻪ أُوَﻟ ِﺌ َ ﺻ ﱠﺪ َ ق َو ِ ﺼ ْﺪ وَاﱠﻟﺬِي ﺟَﺎ َء ﺑِﺎﻟ ﱢ. ﻦ َ ى ِﻟ ْﻠﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ ً ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ َﻣﺜْﻮ َ (33-32:ن( )اﻟﺰﻣﺮ َ ا ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘُﻮ “Maka siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang membuat dusta kepada Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang yang membawa kebenaran (Muhammad saw) dan membenarkannya. Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. azZumar : 32 – 33).10 Dari ayat tersebut, dapat diyakini bahwa indikasi seorang pemimpin yang jujur akan melahirkan ketaqwaan, sebagaimana kita temukan yang demikian itu pada diri Nabi Muhammad saw yang terkenal kejujurannya. Dan dari ketaqwaan akan melahirkan jiwa pemimpin yang bermoral dan berakhlak. 2. Prinsip dapat Dipercaya (amanah)
9
Imam Muslim, Shohih Muslim, Jilid I, (Beirut Lebanon: Darul Kutub Ilmiyah, 1994),
hlm. 277.
10
Soenaryo, op. cit., hlm. 750
84
Sikap yang muncul selanjutnya dan sepatutnya dimiliki pemimpin yaitu amanah. Amanah di sini penulis artikan sebagai sikap percaya pada diri sendiri dan mempercayai orang lain. Perwujudan sikap amanah menunjukkan bahwa pemimpin dapat menampakkan sikap yang dapat dipercaya (kredibel), menghormati dan dihormati (honorable). Sikap terhormat dan dapat dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang kita anggap benar sebagai suatu prinsip kebanaran yang tidak dapat diganggu gugat. Pemimpin yang dipercaya, mampu mempercayai orang lain dan memiliki kepercayaan diri, oleh karena itu pemimpin demikian itulah yang dapat disebut sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Dalam menjalankan kepemimpinan pendidikanan yang efektif, pemimpin harus menumbuhkan sikap saling pecaya antara atasan dan bawahan, sehingga kedekatan dan kebersamaan akan selalu dapat dirasakan oleh semua komponen dalam kepemimpinan itu. Semua hal itu dapat terwujud apabila pemimpin memperoleh kepercayaan dan dipercaya oleh bawahan. Dengan demikian seorang pemimpin memperoleh kesempatan untuk menghayati perasaan, pikiran, aspirasi, dan keluhankeluhan yang berkembang di antara anggota organisasinya. Dan pemimpin pendidikan yang dapat dipercaya justru selalu menaruh rasa percaya pada bawahannya
bukan
malah
mengekangnya
sehingga
muncullah
kepemimpinan otoriter, pemimpin yang tidak menaruh percaya pada bawahannya dan memandang bawahannya sebagai orang-orang yang malas dan tidak dapat dipercayai, cenderung lebih bersikap menekan, memaksa dan melakukan kontrol yang ketat. Sebaliknya jika pemimpin menaruh kepercayaan pada bawahannya dan memandang para bawahan sebagai orang yang suka bekerja, dan melihat pekerjaan sebagai sumber kepuasan dan yang besedia untuk tidak saja menerima tapi mencari
85
tanggungjawab, pemimpin cenderung lebih bersikap demokratis dan memberi kebebasan pada bawahan.11 Setiap amanah akan menuntut pertanggung jawaban, sebab amanah sekecil apapun harus dipertanggungjawabkan oleh yang memegang amanah itu, terlebih bagi seorang pemimpin dalam pendidikan yang membutuhkan perhatian tersendiri. Hal ini senada dengan firman Allah surat An-Nisa: 58 :
(58 : ت ِإﻟَﻰ َأ ْهِﻠﻬَﺎ )اﻟﻨﺴﺎء ِ ﻷﻣَﺎﻥَﺎ َ ن اﻟّﻠ َﻪ َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ ُآ ْﻢ أَن ﺗُﺆدﱡو ْا ا ِإ ﱠ “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak”. 12 (Q.S. an-Nisa : 58). Maksud amanat dari ayat ini, adalah semua amanat, sebab amanat itu terdapat di dalam segala sesuatu, yaitu wudhu, shalat, zakat, takaran, puasa, timbangan dan titipan.13 Perlu dikatahui bahwa sesungguhny dalam setiap anggota badan manusia terhadap amanat. Amanat mata ialah tidak menggunakanya untuk memandang yang haram, amanat lidah ialah tidak mempergunakan untuk berbohong, mengumpat, berbuat bid’ah dan sejenisnya. Semua itu adalah amanat dari Allah SWT. Amanat yang berhubungan dengan tugas seorang pemimpin khususnya bagi para pendidik adalah mengajak, membimbing anak didik untuk
mewujudkan
tujuan
pendidikan
dengan
cara
memberikan
pendidikan yang baik dan bermanfaat. Atas dasar itulah menjadi tuntutan bagi pemimpin pendidikan untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan posisi yang dipegangnya yakni sebagai lider dan manajer di sekolahnya. 3. Prinsip Komunikatif (tabligh)
11
Oeteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1986), hlm. 272 12 Soenaryo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Waah, 1993), hlm. 128 13 Ahmad Muhammad al-Hufiy, Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad saw, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 321.
86
Hubungan antara komunikasi dengan kepemipinan sangat erat sekali, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa komunikasi. Komuniksi berperan sangat menentukan dalam berhasil tidaknya suatu kepemimpinan. Seorang pemimpin dikatakan sukses, apabila di antaranya telah berhasil membangun komunikasi yang efektif antara dirinya dengan bawahan. Secara
umum
kepemimpinan
pendidikan
pada
dasarnya
merupakan proses mempengaruhi dan mengajak orang lain menuju tujuan yang diinginkan. Dan dalam proses mempengaruhi orang lain sendiri sebenarnya merupakan proses komunikasi, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan leadership is communication.14 Dalam sebuah kepemimpinan terdapat pemimpin (leader) dan yang dipimpin (follower), yang di antaranya saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk itu di sinilah peran pentingnya komunikasi khususnya dalam menggalang mutual understanding sebagai dasar pokok untuk menumbuhkan sense of belonging dari kelompoknya. Fitrah manusia sejak kelahirannya yakni kebutuhan dirinya kepada orang lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive kecuali ada kehadiran orang lain. Dengan mengutip pendapat filosof Barat bahwa “Cogito Ersgo Sum” aku ada karena aku berfikir, kita dapat mengatakan “Aku ada karena aku memberikan makna bagi orang lain”. Ungkapan ini senada dengan yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa “engkau belum disebut orang yang berimana kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana enkau mencitai dirimu sendiri”. Dari kedua ucapan filosof Barat dan sabda Rasul tersebut memberikan makna bahwa kita tidak mungkin berkembang dan mempunyai kualitas unggul kecuali dalam kebersamaan. Itulah sebabnya, seorang muslim tidak mungkin bersikap selfsh, egois, dan annaniyah hanya mementingkan diri sendiri. Ini berarti bahwa antara manusia satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan. Di sinilah salah satu 14
Toto Tasmara , Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 81
87
peranan dari sikap tabligh yang merupakan salah satu sifat akhlakul karimah dari Rasulullah yaitu menyampaikan kebenaran melalui suri tauladan dan perasaan cinta yang mendalam. Untuk itulah nilai dan prinsip tabligh telah memberikan muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi (communication skill), kepemimpinan (leadarship), pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya insani (human resource development), dan kemampuan diri untuk mengelola sesuatu (managerial skill). Dari keempat kemampuan tersebut, harus terkumpul dalam diri seorang pemimpin pendidikan untuk menentukan keefektifan kepemimpinannya itu. Oleh karena itu tampak bahwa komuniksi dalam mewujudkan kepemimpinan terkhusus kepemimpinan dalam pendidikan mutlak diperlukan. Seorang pemimpin pendidikan yang komunikatif akan selalu berusaha mengembangkan keterampilan untuk berkomunikasi dengan anggotanya baik ketika mengeluarkan maupun menerima komunikasi. Ini berarti mampu dan cakap dalam mereproduksi pikiran-pikiran seseorang dengan perekaman yang jitu melalui cara-cara lisan atau tulisan gambar, gambar grafik-grafik, lukisan gerakan-gerakan badan, ekspresi roman muka aksi dan lainnya.15 Ketika cara-cara ini telah dapat diterapkan dengan baik, maka akan tercipta iklim kepemimpinan yang menyenangkan dalam organisasi sekolah tersebut. Suksesnya pelaksanaan tugas pemimpin itu sebagian besar ditentukan oleh kemahirannya menjalin komunikasi yang tepat dengan semua pihak, secara horizontal maupun vertikal ke atas dan
ke
bawah.16
Dengan
berkomunikasi,
berarti
seorang
ingin
menyampaikan gagasan kemudian gagasannnya dapat diterima oleh komunikan sehingga tumbuhlah perubahan sikap dalam bentuk pengertian, partisipasi, atau tindakan sebagaimana yang diharapkan oleh komunikator/ pemimpin. Demikian halnya dalam pendidikan, diharapkan pemimpin
hlm. 96 hlm. 117
15
Iwa Sukiswa, Dasar-dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986),
16
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003),
88
pendidikan dapat berkomunikasi dan menyapaikan gagasan, pesan dan sebagainya dengan baik tanpa menimbulkan banyak persepsi dari bawahan, sehingga kesulitan yang ada dapat di atasi dengan baik. Timbulnya kesalahan persepsi biasanya diiringi oleh beberapa hal sebagai berikut : a. Kita menilai seseorang menurut tolak ukur kita sendiri (subyektifitas) dan tidak terbuka atas gagasan serta pengaruh dari lawan bicara kita sehingga terjadi konflik batin yang kemudian melahirkan penolakan terhadap pesan yang disampaikan lawan bicara kita. b. Tidak ingin berusaha membuka diri dan memahami keadaan orang lain. c. Tidak menaruh kepercayaan pada lawan bicara sehingga tidak mampu menerima seluruh pesan yang disampaikan secara utuh.17 Melalui komunikasi yang efektif dan terbuka akan memudahkan penjabaran kebijakan pendidikan yang diambil, sekaligus memberikan fasilitas kelancaran kerja bagi anggota. Komunikasi menjadi sarana primer untuk mengubah tingkah laku dengan jalan mempengaruhi bawahan. Sehingga ada dua bentuk komunikasi yang dapat dilaksanakan, yaitu komunikasi satu arah (one way communication) dan komunikasi dua arah (two way communication). Komunikasi satu arah hanya terjadi di antara atasan dan bawahan yang bersifat otoriter, sebagai contoh ketika pimpinan mengeluarkan instruksi, ma’lumat, dan lain-lain. Komunikasi satu arah ini dapat menimbulkan ketidak jelasan, salah faham, penafsiran yang keliru, sentimen dan banyak ketegangan dari bawahan kepada atasan. Sedangkan komunikasi dua arah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengeluarkan umpan balik, mengeluarkan pendapat, berdiskusi apabila pesan yang disampaikan kurang dapat dimengerti. Di samping hal itu ada keuntungan lain dari komunikasi dua arah yakni tumbuhnya suasana dialogis dan demokratis dalam kepemimpinan pendidikan.18 Pemimpin 17 18
Toto Tasmara, Op. Cit., hlm. 224 Kartini Kartono, Op. Cit., hlm. 122 – 123
89
yang mampu berkomunikasi dengan baik berarti telah mampu menciptakan kebersamaan anggota yang merupakan suatu hal yang urgen dalam kepemimpinan. Pemimpin yang komunikatif selalu dapat menjunjung tinggi harmoni, tanggung jawab, kekompakan kelompok sehingga setiap anggota senantiasa saling memperhatikan dan saling mendorong untuk maju bersama yang mengedepankan nilai-nilai persaudaraan, dan musyarawah. Dari sinilah menunjukkan arti pentingnya prinsip komunikatif dalam membangun kepemimpinan, terutama dalam pendidikan untuk diperhatikan oleh pemimpin baik sebagai administrator, manajer, supervisor, bahkan untuk kepala sekolah. 4. Prinsip Intelegensi (Fathanah) Pentingnya sebuah kecerdasan bagi pemimpin mutlak diperlukan agar tujuan kepemimpinan agar tercapai. Seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki kemampuan kepemimpinan. Di samping itu pemimpin harus mengetahui juga seluk-beluk bidang yang dikelola organisasinya, bahkan terdapat juga organisasi yang menuntut pemimpin memiliki keterampilan atau keahlian yang memadai di bidang tersebut. Sehingga pemimpin
akan
mampu
memberikan
bimbingan,
petunjuk,
dan
pengarahan pada anggotanya yang memerlukan. Pada tahab berikutnya kemampuan di bidangnya itu, akan sangat diperlukan dalam melakukan kegiatan pengawasan (kontrol) yang efektif. 19 Pemimpin yang cerdas tidak sekedar mampu menguasai seluk beluk bidangnya saja, namun lebih jauh memiliki dimensi ruhani yang kuat. Keputusan-keputusannya menunjukkan warna kemahiran seorang profesional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang luhur. Seorang yang fathonah itu tidak saja cerdas tetapi juga memiliki kebijaksanan atau kearifan dalam berfikir dan bertindak.
19
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 121
90
Demikian pula seorang pemimpin pendidika haruslah seorang yang mempuyai kecerdasan lebih dibanding orang lain tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai keluhuran seperti yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Tidak cukup seorang pemimpin hanya dibekali dengan kecakapan dan kecerdasan namun memiliki landasan keimanan yang kuat agar tidak mudah tergelincir pada dosa dan kesalahan. Seorang pemimpin harus mampu menganalisa masalah yang dihadapi pemimpin
organisasinya. mengarahkan
Kemampuan pemikiran
itu
memungkinkan
anggotanya
dalam
seorang menyusun
perencanaan dan menetapkan keputusan yang tepat dalam mewujudkan beban tugas organisasinya. Di samping itu pemimpin pendidikan dituntut memiliki kecerdasan yang tidak hanya pada kecerdasan intelektual saja, namun harus mempunyai emosional dan spiritual yang cerdas, sehingga setiap keputusan yang diambil telah mengalami proses yang matang dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang terkait. Pemimpin yang memiliki IQ dan EQ stabil dapat memutuskan kebijakan dengan bijaksana dan adil, sehingga dapat membantu anggota kelompoknya mengatasi kesulitan yang timbul, untuk itu pemimpin akan selalu dibutuhkan kelompoknya bilamana mengahadapi masalah. Membantu di sini bukan diartikan bahwa bawahan selalu tergantung pada pemimpin, namun pemimpin memberikan motivasi dan membantu dalam menemukan alternatif pemecahannya, sehingga bawahan selalu terbiasa mandiri tidak tergantung pemimpin. Pemimpin yang cerdas dapat menempatkan dirinya sebagai fokus perhatian lalu menjadikannya figur teladan (uswatun hasanah), karena keprofesionalan dan kepribadiannya mampu menumbuhkan situasi yang menentramkan. Orang dengan kecakapan seperti ini menurut David Coleman, akan melakukan tindakan-tindakan berikut ini : a. Sadar tentang kekuatan-kekutan dan kelemahannya. b. Menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari pengalaman.
91
c. Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru mau terus belajar, dan mengembangkan diri sendiri. d. Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.20 Pemimpin
pendidikan
yang
mahir
dan
profesional
serta
mempunyai wawasan luas memiliki intuisi yang tajam dalam menganalisis persoalan dan mengambil keputusan yang berani dan percaya diri sehingga keputusan yang diambil dapat menguntungkan seluruh kelompoknya. B. Implementasi Nilai Sifat Wajib Rasul dalam Kepemimpinan Pendidikan. Pemimpin adalah orang yang mempunyai kelebihan dari orang-orang yang lain, seperti orang yang terkuat, terpandai, paling banyak makan garam dan sebagainya. Sifat-sifat inilah yang diidentikkan melekat pada diri seorang pemimpin. Tugas seorang pemimpin, kecualai harus memenuhi kebutuhan kelompoknya, juga harus dapat mempengaruhi kelompok sedemikian rupa sehingga apa yang dirasakan sebagai kebutuhan, benar-benar bersifat realistis yaitu sesuai dengan kenyataan. Dalam proses menjalankan kepemimpinan pendidikan, pemimpin diharapkan memiliki sifat dan karakteristik yang dijiwai oleh nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah saw. melalui sifat mulia Rasulullah saw. yang terdapat dalam sifat wajib Rasul. Artinya, dalam setiap tindakan dalam rangkaian kepemimpinan yang dijalankan seharusnya mengedepankan prinsip shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah.
1. Proses pengambilan keputusan (Decision making). Dalam situasi kepemimpinan, seorang pemimpin tidak akan lepas dari aktifitas pengambilan keputusan. Keputusan pada dasarnya hasil akhir dalam mempertimbangkan sesuatu yang akan dilaksanakan dengan nyata. 20
Toto Tasmara, Op.Cit., hlm. 215
92
Keputusan dapat diartikan juga hasil terbaik dalam memilih satu diantara dua atau beberapa alternatif yang dihadapi. Pengambilan keputusan terjadi apabila seorang pemimpin pendidikan
menghadapi
beberapa
alternatif
pemecahan
problem,
pengambilan keputusan merupakan wewenang (hak dan kewajiban) pucuk pimpinan. Namun fungsi pengambilan keputusan tidak selamanya mudah untuk kepemimpinan. Karena sulitnya itu maka tidak jarang terjadi, bahwa seorang pemimpin yang kurang pandai terpaksa menunda-nunda keputusan yang diambil sehingga masalahnya menjadi terkatung-katung. Sering terjadi pula seorang diangkat menjadi pemimpin karena keberanian dan kepandaiannya dalam mengambil keputusan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pimpinan memiliki keterbatasan, sehingga tidaklah semua keputusan dapat diselesaikan olehnya sendiri. Oleh karena itu dalam memandang hal ini sebaiknya pemimpin mengikut sertakan anggotanya turut dalam mengambil keputusan-keputusan, yang akhirnya akan dapat memperingan tanggung jawab pimpinan, terutama jika keikut sertaannya itu diwujudkan melalui pelimpahan wewenang tanggung jawab secara jelas dan konkrit. Di lingkungan umat Islam pelimpahan wewenang sangat besar manfaatnya. Seorang pemimpin seharusnya memberi kesempatan pada anggota untuk membantu atau meringankan beban tugas dan kewajiban melalui pelimpahan wewenang. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemimpin bukanlah manusia sempurna dan mengetahui segala sesuatu. Di samping itu pemimpin bukanlah manusia yang serba bisa dalam melaksanakan semua volume dan beban kerja organisasinya. Oleh karena itu wewenang dan tanggungjawab perlu dilimpahkan, agar tidak satupun terbengkalai, dikerjakan secara keliru dan tidak berkualitas, karena pimpinan yang manangani bukanlah manusia sempurna. Dalam mengambil suatu keputusan seorang pemimpin pendidikan tidaklah berdasarkan pada pertimbangannya sendiri, namun perlu memperhatikan pendapat, inisiatif dan saran dari anggota dalam bentuk
93
musyawarah,
sehingga
pemimpin
pendidikan
akan
dapat
mempertimbangkan berbagai pendapat yang masuk dengan baik dan pada akhirnya terwujudlah sebuah keputusan yang baik dan tidak merugikan pihak lain. Sebab, agama Islam sangat menganjurkan pada setiap pemimpim
untuk
senantiasa
bermusyawarah
dalam
pengambilan
keputusan. Cara-cara seperti inilah yang sering dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dalam segala hal. Sebagai contoh pada waktu pengambilan keputusan saat perang akan dimulai, beliau beserta sahabat bermusyawarah dahulu untuk mengambil tindakan yang tepat. Hal inilah yang seharusnya perlu dilakukan oleh setiap pemimpin pendidikan dalam mengambil keputusan yang terkait dengan organisasi yang dipimpinnya itu, sehingga dapat memperoleh keputusan yang bermanfaat dan tidak merugikan anggota kelompoknya. Seorang pemimpin pendidikan yang baik tidak boleh menganggap dirinya serba bisa, serba tahu atau tidak pernah berbuat kesalahan. Sikap ini merupakan, penampilan seorang pemimpin yang takabur, egois sebab pada dasarnya manusia tidak luput dari sikap lalai dan lupa dan penuh kekurangan. Oleh karena itu, sekalipun seseorang menganggap bahwa pikirannya benar, keputusannya tepat, dia haruslah bersedia dikritik akan kebenarannya, keputusan yang telah diambilnya. Satu-satunya jalan yaitu musyawarah dengan mendegar pendapat dari anggota. 2. Proses pengendalian Seperti halnya kegiatan administrasi atau manajemen, dalam kegiatan
kepemimpian
juga
membutuhkan
adanya
pengendalian
betapapun sederhananya organisasi tersebut. Langkah yang pertama-tama dilakukan adalah menyusun perencanaan yang dituangkan dalam progam kerja. Dan untuk melaksanakan program kerja perlu melakukan kegiatan pengorganisasian dengan menetapkan pembidangan kegiatan menjadi unit-unit, menempatkan para personil yang memimpin setiap unit. Kegiatan administrasi yang dilakukan ini, selanjutnya akan berfungsi sebagai
kegiatan
pengendalian.
Kegiatan
itu
bermaksud
untuk
94
mendapatkan respon yang bermakna atau sesuai yang diinginkan pemimpin dari semua anggota kelompok organisasi. Kegiataan pengendalian organisasi sangat tergantung pada kemampuan membina dan mengelola orang-orang yang dipimpin. Agar menjadi suatu regu atau tim yang handal, tugas seorang pemimpin pendidikan yaitu dengan jalan memberi kesempatan luas pada anggota untuk
mengeluarkan
pendapat,
inisiatif,
saran
dan
kritik
yang
membangun, sehingga kegiatan pengendalian dapat dengan mudah dilakukan pemimpin, karena setiap anggota akan merasa memiliki yang pada finalnya menumbuhkan semangat dalam mewujudkan keberhasilan kepemimpinan itu sendiri. Sebagaimana
kegiatan
yang
sering
dilakukan
oleh
Nabi
Muhammad saw. dalam kepemimpinannya, beliau sering mengadakan musyawarah, pertemuan-pertemuan dan rapat untuk mencari penyelesaian dari setiap hal dan masalah yang muncul. Dengan adanya rapat akan memungkinkan adanya penyatuan perasaan, pikiran dan tindakan anggota organisasi, agar menjadi satu regu yang kompak dan solid. Rapat atau pertemuan
sebagai
kegiatan
pengendalian
dalam
kepemimpinan
pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan-tujuan berikut : a. Mengumpulkan informasi, pemikiran, fakta-fakta, pendapat dan saran dalam melaksanakan tugas pokok atau program kerja organisasi b. Untuk
mengevaluasi
pelaksanaan
program
kerja/tugas
pokok
organisasi. c. Untuk memecahkan masalah yang dihadapi organisasi dan bahkan mungkin
masalah
anggota
organisasi
yang
perlu
dibantu
penyelesaiannya. d. Untuk menyampaikan informasi, perintah, petunjuk, bimbingan dan pengarahan pada sebagian atau semua anggota organisasi.
95
e. Untuk menghindari jurang komunikasi antara pemimpin dan anggota organisasi.21 Dari sini nampak bahwa adanya rapat/pertemuan sebagai bentuk pengendalian yang efektif, dapat diwujudkan melalui pembinaan perasaan bersatu,
kesetiakawanan
atau
persaudaraan
dan
pemimpin
yang
menghidupkan budaya silaturrahmi di antara pemimpin dengan anggota, anggota dengan anggota lainnya. Pola-pola yang demikian itu menjadi landasan bagi Nabi Muhammad dalam kepemimpinannya. Seorang pemimpin merupakan seorang yang ahli di bidangnya. Mampu menjalin hubungan manusia yang efektif dan juga beriman/bertaqwa kepada Allah. Pemimpin yang demikian itulah yang akan selalu dibutuhkan dalam setiap kepemimpinan pendidikann dalam melaksanakan pengendalian dengan mendasarkan pada nilai-nilai mulia, seperti sikap seorang pemimpin yang jujur, transparan, amanah dan memiliki intelegensi yang memadai. Apabila seorang pemimpin pendidikan dapat melakukan hal sedemikian dengan baik, maka kepemimpinan akan berjalan efektif dan pimpinan akan semakin dihormati dan disukai anggotanya. 3. Proses Pengawasan Pengawasan adalah kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaanpekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.22 Kegiatan pengawasan meliputi juga penelitian, mengawasi berjalan dan dilaksanakannya rencana, memberikan pandangan berdasarkan standar yang ditentukan. Dengan demikian, pengawasan itu adalah keseluruhan kegiatan mulai dari penelitian serta pengamatan yang diteliti terhadap berjalannya rencana dengan menggunakan rencana yang ada serta standar yang ditentukan, serta memberikan dan mengoreksi penyimpangan rencana dan standar,
21 22
Hadari Nawawi, Op. Cit., hlm. 83-86 Ibid., hlm. 93
96
penilaian terhadap hasil pekerjaan diperbandingkan dengan masukan yang ada atau keluaran yang dihasilkan.23 Seorang pemimpin yang benar-benar dapat menjaga amanah atas kepemimpinannya, akan selalu merasa segala ucapan, perbuatan dan tindakannya selalu mendapatkan pengawasan dari Allah oleh karenya dalam menjalankan tugas kepemimpinan selalu dimaknai dengan sungguh-sungguh
untuk
dipertanggungjawabkan
kelak.
Hal
ini
digambakan dalam firman Allah yang menegaskan makan pentingnya pengawasan:
ﻋَﻠ ْﻴﻬِﻢ َ ﺖ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ أَﻥ َ ﻆ ٌ ﺣﻔِﻴ َ ﺨﺬُوا ﻣِﻦ دُو ِﻥ ِﻪ أَوِﻟﻴَﺎء اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻦ ا ﱠﺗ َ وَاﱠﻟﺬِﻳ (6 : ﻞ )اﻟﺸﻮرى ٍ ِﺑ َﻮآِﻴ “Dan orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi perbuatan mereka, dan kamu (ya Muhammad) bukanlah orang yang diserahi menghawasi” (Q.S : as-Syura : 6).24 Dalam proses pengawasan membutuhkan pribadi pemimpin yang amanah, jujur, bertanggungjawab cerdas dan adil agar
dalam proses
kepemimpinan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Seperti yang ditegaskan Allah dalam ayat di atas bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh hamba-Nya senantiasa mendapat pengawasan dari Allah. Dan dengan berpegang pada ayat tersebut, semestinya seorang pemimpin yang bertaqwa akan selalu terkendali segala ucapan dan tidakannya dalam sebuah koridor Islam yang benar.
23
Muchtar Effendi, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam, (Jakarta : Bhratra Karya Aksara, 1996), hlm. 116 24 Seonaryo, op. cit., hlm. 783.