PENGERTIAN KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN (Telaah Pendekatan Fenomenologis Kritisis Kepemimpinan) Oleh : Abdul Rohman
A. Pendahuluan Sejarah pertumbuhan peradapan manusia banyak menunjukkan bukti bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan organisasi (baca: lembaga pendidikan) adalah kuat tidaknya kepemimpinan. Kegagalan dan keberhasilan suatu organisasi banyak ditentukan oleh pemimpin karena pemimpin merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menunju tujuan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Siagian bahwa arah yang hendak ditempuh oleh
organisasi
menuju
tujuan
harus
sedemikian
rupa
sehingga
mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tetuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh organisasi bersangkutan. Perumusan serta penentu strategi dan taktik adalah pemimpin dalam organisasi tersebut.1 Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang terdapat dalam setiap organisasi merupakan faktor yang berhubungan dengan setiap organisasi merupakan faktor yang berhubungan dengan produktifitas dan efektivitas organisasi. Sutermeister mengemukakan ada beberapa factor determinan terhadap produktifitas kerja antara lain iklim kepemimpinan (leadership climate), tipe kepemimpinan (type of leadership), dan pemimpin (leaders) dari 33 faktor lain yang berpengaruh.2 Agar pembahasan ini tidak bias, maka discursus yang kami lakukan hanya pada persolan pemimpin, dengan merumuskan sebagai berikut: 1
Sondang P. Siagian, Manajemen Strategik (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),49 E. Mulyasa, Menajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 117 2
1
1. Pengertian kepemimpinan pendidikan 2. Komponen-komponen kepemimpinan pendidikan 3. Telaah kritis fenomonologi kepemimpinan pendidikan 4. Spiritual leadership: the problem solver pendidikan
B. Pengertian Kepemimpinan Pendidikan Banyak Definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, tergantung pada perspektif yang digunakan. Kepemimpinan dapat didefinisikan berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis, pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya. Ordway Tead memberikan rumusan "Leadership is the activity influencing people to cooperate some good which they come to find desirable". Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama guna mencapai tujuan tertentu yang diinginkan.3 Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Demikian juga, Slamet santosa mendefinisikan kepemimpinan sebagai "usaha untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka bersedia menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok yang telah disepakati".4 Menurut Ngalim Purwanto "Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi, suatu seni pembinaan kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui 'human relations' dan motivasi yang tepat, sehingga
3 4
Wursanto, Dasar-Dasar Ilmu Organisasi (Yogyakarta: Andi, 2003), 196 Slamet Santosa, Dinamika Kelompok (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),44
2
tanpa adanya rasa takut mereka mau bekerja sama dan membanting tulang memahami dan mencapai segala apa yang menjadi tujuan-tujuan organisasi”5 Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain: Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga. Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Sementara itu berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Th 2003, pendidikan bermakna usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan
proses
mengembangkan
pembelajaran
potensi
dirinya
agar
peserta
untuk
memilki
didik
secara
kekuatan
aktif
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dipeerlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.6 Dus, kepemimpinan dalam pendidikan dapat dimaknai suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan staf sekolah agar dapat bekerja secara efektif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan. Secara sederhana kepemimpinan pendidikan dapat diartikan adalah pihak-pihak yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan undangundang.
5 6
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan (Jakarta, Mutiara Sumber Bening Kecerdasan,1993) 26 UUSPN No. 20 Tahun 2003, bab I, pasal 1
3
Ada serangkaian yang harus dilaksanaka dalam kepemimpinan dalam pendidikan; 1. Proses rangkaian tindakan dalan sistem pendidikan. 2. Mempengaruhi dan memberi teladan. 3. Memberi perintah dengan cara persuasi dan manusiawi tetapi tetap menjunjung tinggi disiplin dan aturan yang pipedomani. 4. Pengikut mematuhi perintah sesuai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing. 5. Menggunakan authority dan power dalam batas yang dibenarkan. 6. Menggerakkan atau mengerahkan semua personel dalam institusi guna menyelesaikan tugas sehingga tercapai tujuan, meningkatkan hubungan kerja di antara personel, membina kerjasama, menggerakkan sumberdaya organisasi, dan memberi motivasi kerja.
C. Komponen Kepemimpinan Dalam Pendidikan Berangkat dari pengertian kepemimpinan dan pendidikan diatas, terdapat 3 komponen yang dominan menentukan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah atau menjadi baik dan tidaknya pendidikan, yaitu pemerintah, kepala sekolah dan guru (ketika di dalam kelas). C.1 Pemerintah, Eksistensi pemerintah dalam prespektif kepemimpinan pendidikan telah termaktub pada pasal 10 UU No. 2 Tahun 2003, pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pada pasal 11 berisikan kewajiban pemerintah untuk memberi pelayanan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermuta dan tidak diskriminatif serta
4
kewajiban pemerintah untuk menjamin tersediannya dana. Pada pasal 59 ayat 1 pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.7
C.2 Kepala Sekolah. Pembaharuan suatu lembaga pendidikan perlu lebih ditekankan pada faktor budaya yang antara lain berupa kepemimpinan kepala sekolah yang kuat (strong leadership). Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang visioner, mampu membangun budaya dan proses organisasi yang efektif dan iklim pembelajaran yang kondusif. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara kepemimpinan pendidikan yang efektif dengan sekolah yang efektif. Penelitian Edmonds mengemukakan, sekolah-sekolah yang dinamis yang senantiasa berupaya meningkatkan prestasi kerjanya dipimpin oleh kepala sekolah yang baik8 dan penelitian Hallinger dan Lithwood menyimpulkan bahwa sekolah yang efektif senantiasa dipimpin oleh kepala sekolah yang efektif pula.9 Kedua penelitian tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kepala sekolah merupakan pemimpin dan salah satu agen perubahan sekolah yang terpenting. Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan yang kuat menurut Blumberg dan Greenfield adalah kepala sekolah yang mampu memerankan diri dalam delapan peran: organisator (the organizer), pengakrobat berdasarkan nilai (the value-based juggler), penolong sejati (the authentic helper), perantara (the broker), humanis (the humanist), katalis (the catalyst), rasionalis (the
7
Ibid. Edmonds. R, Some School Work and More Can, dalam Social Policy, 9 (2), 28-32. 9 F. Hallinger & K. Leithwood, Introduction: Exploring The Impact of Principal Leadeship, School Effectiveness and School Improvement, 206-218 8
5
rationalist), dan politicus (the politician).10 Di negara kita, model sekolah efektif secara kebijakan maupun praktiknya terwadahi dalam program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau MPMBS.11 Kinerja kepemimpinan kepala sekolah dalam kaitannya dengan MBS adalah segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah dalam mengimplementasikan MBS di sekolahnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kreteria berikut: 1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancer dan produktif; 2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan; 3. Mempu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan; 4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah; 5. Bekerja dengan tim menajemen serta; 6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.12
10
A. Blumberg & W. Greenfield, The Effective Principle: Perspectives on School Leadership (Boston: Allyn and Bacon Inc) 11 Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Jakarta: Depdiknas. 2004), 14 12 E. Mulyasa, Menajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, 126
6
C.3 Pendidik (Guru) Dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup : 1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems). 2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems). 3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa,
menafsirkan
pertimbangan
(judgement),
dan atas
akhirnya tingkat
harus
memberikan
keberhasilan
proses
pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya. Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).13
13
Ahmad Sudrajat, Peran Guru Dalam Proses Pendidikan, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com ( 6 Maret 2008)
7
Wina Senjaya mengedepankan peran guru sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.14 Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan gurusiswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam
hubungan
yang
bersifat
“top-down”,
guru
seringkali
diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya15. Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru. D. Telaah fenomenologis kritis kepemimpinan pendidikan 1. Pemerintah Kepemimpinan bisa jadi melahirkan pendidikan, demikian juga pendidikan mampu melahirkan kepemimpinan. Namun, kita tidak bisa memungkiri bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin adalah elemen penting dalam usaha untuk membuat sesuatu. Maka dari tesis diatas bisa ditarik hipotesis bahwa kepemimpinanlah yang berperan membuat pendidikan ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Seiring dengan hak dan kewajiban pemerintah, kepemimpinan pemerintah
selama decade
2000-an dalam pendidikan seringkali
dipersoalkan, contoh sulitnya pemerintah merealisasikan anggaran pendidikan 20 %. Pada akhirnya semuanya berujung pada sebuah pertanyaan apakah pendidikan yang notabene adalah investasi jangka panjang dikesampingkan pemerintah dalam pembangunan 5 tahunnya ? sebab hasil pendidikan ini mungkin tidak akan muncul dalam 5 tahun masa 14
Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008), 56 15 Sindhunata, Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta : Kanisius,2001), 45
8
kepemimpinannya, bisa jadi efeknya baru terasa 10 atau 15 tahun kemudian. Untuk
menghasilkan
sistem
pendidikan
yang
berkualitas,
kepemimpinan yang berkualitas mutlak harus terpenuhi terlebih dahulu. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas kepemimpinan, bisa dilihat dari cara
pandangnya
terhadap
sesuatu,
seperti
pendidikan.
Seorang
pemimpin,akan lebih meperhatikan aspek manusia daripada sistem. Selama ini pemerintah lebih sibuk mengutak – atik sistem pendidikan namun tidak memiliki pengaruh apa–apa terhadap fakta di lapangan. Kita pernah mengalami sistem CBSA, KBK, dan sekarang KTSP serta apa lagi di kemudian hari. Lantas, adakah perubahan yang terjadi selain nama ? adakah peningkatan kualitas pendidikan kita ? Satu hal lagi yang harus dimiliki pemimpin adalah kepemilikan ide dan kefahaman teknis implementasinya. Ide seorang pemimpin dalam pendidikan akan menjadi tujuan pendidikan selama masa pemerintahannya, akan menjadi kredo pendidikannya, sedangkan kefahaman teknis akan memberitahunya perihal jalan yang harus ditempuh untuk realisasi idenya. Yang harus dipertanyakan pada pemerintah sekarang ini adalah adakah ide yang mereka miliki tentang pendidikan, dan bagaimana jalan yang harus ditempuhnya ? namun dari jawaban pemerintah dengan, BHP, KTSP dan UN serta hasil yang diperoleh, nampaknya sudah jelas jawabannya, belum berjalan baik. Khusus persoalaan UN mestinya kewenangan pemerintah hanyalah sebatas melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan, bukan memberikan pengujian. Sebab yang tahu proses pendidikan anak di sekolah adalah guru, jadi hanya guru yang berhak memberikan ujian. Artinya realisasi dari UN itu tidak konsisten dengan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). 9
Peristiwa yang paling actual terkait dengan kebijakan pemerintah adalah lambatnya pencairan dana BOS, terlepas dari siapa yang harus dipersalahkan, dalam prespektif komunikasi politik jelas menunjukkan adanya miss communication antara pemerintah daerah dan pusat. Sementara konsekwensi dari lambatanya pencairan dana BOS tersebut harus diderita oleh sekolah-sekolah selaku garda terdepan pelaksana pendidikan. Kejadian ini sering kali terjadi tidak hanya menyangkut dana BOS, termasuk tunjangan guru dan karyawan yang konsekwensinya secara psyicologis berpengaruh pada kinerja. 2. Kepala sekolah Sebagai pemimpin yang SK-nya ditentukan oleh Pimpinan Daerah TK II (Bupati atau Wali kota), maka kepala sekolah sering kali lebih menunjukkan gaya
sebagai pejabat dari pada
seorang pendidik.
Kecendrungan kepala sekolah menjadi alat politik praktis, seperti kampanye terselubung untuk demi memenangkan calon tertentu marak terjadi. Persoalanya, bagimana kepemimpinan kepala sekolah akan efektif jika sering kali terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan, atau ketidak beranian kepala sekolah membuat terobosan karena mainstream kebijakan sudah diputuskan melalui MKKS (musyawarah kelompok kepala sekolah), yang justru tidak memihak pada nilai-nilai pendidikan akan tetapi lebih memihak pada kepentingan kekuasaan atau yang lain. Kewenangan kepala sekolah sebagai pemimpin tunggal di lembaga, seringkali menciptakan kencendrungan KKN dalam berbagai urusan terutama berkaitan dengan pengelolahan dana. Memang secara teori eksistensi komite sekolah dan juga masyarakat luas punya kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana, namun justru eksistensi komite sekolah seringkali hanya digunakan alat stempel an sich dari kebijakan kepala sekolah. Mestinya di sekolah dibentu dewan legeslatif terdiri atas guru dan tokoh masyarakat dan dipilih oleh civitas sekolah, yang bertugas 10
mengesahkan, mengontrol dan mengawasi
realisasi kebijakan tersebut
sebagaimana di perguruan tinggi ada forum pemilihan rector, sehingga dalam bahasa politik akan terjadi cek and belance . Dengan ini diharapkan kebijakan kepala sekolah akan lebih terarah dan akuntabilitas serta transparansi pengelolaan dana sekolah dapat lebih dipetanggung jawabkan. 3. Guru (Pendidik) Bagi seorang guru, sekalipun sudah bergelar Sarjana, bahkan Doctor, belumlah cukup untuk bisa dikatakan sebagai seorang profesional yang sejatinya, manakala pelayanan pendidikannya belum dirasakan manfaatnya oleh peserta didik. Penelitian Tindakan Kelas adalah salah satu upaya agar pelayanan pendidikan benar-benar dapat lebih dirasakan manfaatnya oleh peserta didik, sebagai costumer utama jasa guru. Dalam PTK terkandung penerapan prinsip Total Quality Management yakni usaha perbaikan praktik pembelajaran secara terus-menerus berdasarkan data, dan semangat kolaboratif untuk membangun learning community. Di samping itu, PTK juga dapat mengembangkan kemampuan dan budaya literer di kalangan guru, yakni mengembangkan kebiasaan membaca dan menuliskan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas-tugas profesionalnya, sebagai wujud dari profesionalismenya. Persoalannya justru PTK, adalah titik kelemahan para guru, jangankan untuk PTK budaya membaca para guru saja sangatlah rendah, bahkan hasil penelitian 2008, tercatat 13 ribu guru di Indonesia menggunakan bukti palsu demi kepentingan sertifikasi guru. Sertifikasi motivasinya adalah meningkatkan keprofesionalitas dan sekaligus kesejahteraan guru, namun ketika prosesnya dilapangan (de sellon) tidak sesuai dengan kerangka idealnya (desain), seperti pembayaran tunjangan yang tertunda-tunda terutama di lingkungan Kemenag, proses rekrutmen yang acak-acakan dan penuh kepentingan 11
baik
ditingkat
sekolah
maupun
ditingkat
dinas
kabupaten/kota,
menyebabkan banyak kalangan guru yang kecewa, yang secara psycologis mempengaruhi kinerja, belum lagi ada guru yang sudah tersertifikasi dan tunjangannya cair sementara yang lain belum, pada hal masa kerjanya sama, ini jelas menimbulkan masalah tersendiri, sehingga ada ungkapan “beda pendapat itu biasa, tapi kalau beda pendapatan itu luar biasa”, artinya embrio kecemburuan social ekonomi itu mulai terjadi.
E. Spiritual Leadership: The Problem Solver Kepemimpinan Pendidikan Memperhatikan kompleksitas masalah kepemimpinan pendidikan, maka urgen dimunculkan dan diimplementasikan gagasan kepemimpinan spiritual. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawah demensi keduniaawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Allah adalah pemimpin sejati yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan menggerakkan hati nurani hamba-Nya dengan cara yang sangat bijaksana melalui pendekatan etis dan
keteladanan.
Karena
itu
kepemimpinan
spiritual
disebut
juga
kepemimpinan yang berdasarkan nilai-nilai etis dan menjunjung tinggi nilainilai religius.16 Mereka melakukan pekerjaan dengan cara yang memuaskan hati lewat pemberdayaan, memulihkan dan menguntungkan siapa saja yang berhubungan dengannya. Mereka tidak hanya mampu menghadirkan uang, tetapi juga hati dan jiwa mereka dalam bekerja. Mereka terlibat sepenuhnya (involve) dalam aktivitas organisasi (bisnis atau lembaga pendidikan) yang dipimpinnya sebagai bentuk komitmennya yang paling dalam yaitu komitmen spiritualis. Kepemimpinan ini didasarkan asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat tiga jenis kecerdasan yaitu kecerdasan inteletual (intellectual
16
Gay Hendricks & Kate Ludeman , The Corporate Mystic: A Guidebook for Visionaries With Their Feet on The Ground (New York: Bantam Book, 1996), 27-28
12
quotient/IQ), kecerdasan emosional (emostional quotient/EQ), dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ), maka menurut Zohar dan Marshal, SQ merupakan fundasi yang diperlukan bagi keefektifan dua kecerdasan yang lain, “SQ is the necessary foundation for the functioning of both IQ and EQ. It is our ultimate intelligence“.17 Dalam prespektif sejarah, kepemimpinan ini telah dicontohkan dengan sangat sempurna oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan integritasnya yang luar biasa, sehingga mendapat gelar al-amiin (terpercaya), Nabi Muhammad SAW mampu mengembangkan kepemimpinan yang paling ideal dan paling sukses dalam sejarah peradapan umat manusia.18 Sifat-sifatnya yang utama yaitu siddiq (integrity), amanah (trust), fatonah (smart) dan tabligh (openly) mampu mempengaruhi orang lain dengan cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi, menyadarkan tanpa menyakiti, membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak tanpa memerintah. Kepemimpinan spiritual diantara model kepemimpinan lainnya digambarkan dalam tabel berikut: TABEL KEPEMIMPINAN SPIRITUAL DIANTARA MODEL KEPEMIMPINAN LAINNYA 19 Uraian
Kepemimpinan Transaksional
Hakekat Fasilitas, kepercayaan kepemimpinan manusia (bawahan) Fungsi
Kepemimpinan Transformasional Amanat dari sesama manusia
Untuk membesarkan diri Untuk memberdayakan
Kepemimpinan Spiritual Ujian, amanat dari Tuhan dan manusia Untuk memberdayakan
17
Danah Zohar & Ian Marhall, SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence (London: Bloomsbury, 2000), 3-4 18 Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 27 19 Thobroni. Spiritual Leadership The Problem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam pendidikan Islam, dalam Makalah Seminar di UMM (29 November 2010)
13
kepemimpinan dan kelompoknya atas biaya orang lain melalui kekuasaan
pengikut dengan kekuasaan keahlian dan dan keteladanan
dan mencerahkan iman dan hati nurani pengikut melalui jihad (pengorbanan) dan amal shaleh (altruistik)
Etos Mendedikasikan usahanya Mendedikasikan Mendedikasikan kepemimpinan kepada manusia untuk usahanya kepada sesama usahanya kepada Allah memperoleh imbalan / untuk kehidupan bersama dan sesama manusia posisi yang lebih yang lebih baik (ibadah) tanpa pamrih apa pun Sasaran Pikiran dan tindakan yang Pikiran dan hati nurani tindakan kasat mata kepemimpinan Pendekatan Posisi dan kekuasaan kepemimpinan
Spiritualitas dan hati nurani
Kekuasaan, keahlian dan Hati nurani dan keteladanan keteladanan
Dalam Kekuasaan, perintah, Kekuasaan keahlian dan mempengaruhi uang, sistem, kekuasaan referensi yang dipimpin mengembangkan interes, transaksional
Keteladanan, mengilhami, membangkitkan, memberdayakan, memanusiakan
Cara Menaklukkan jiwa dan Memenangkan jiwa dan Memenangkan jiwa, mempengaruhi membangun kewibawaan membangun karisma membangkitkan iman melalui kekuasaan Target Membangun jaringan kepemimpinan kekuasaan
Membangun kebersamaan
Membangun kasih, menebar kebajikan dan penyalur rahmat Tuhan
Gaji dan tunjangan20
Imbalan atas pekerjaan dan hak pegawai
Nikmat dari Allah sebagi modal ibadah
Imbalan atas pekerjaan dan hak pegawai
Dengan
konsep
ini,
spiritualitas
yang
dikembangkan
dalam
kepemimpinan adalah spiritualitas asketik yaitu intensitas pengabdian kepada Tuhan yang dijalankan dalam kegairahan kerja, sehingga dapat membuahkan 20
Renungan penulis
14
kesalehan. Dengan semangat tersebut, maka kepala sekolah dan guru akan bekerja
sesuai
profesionalitasnya,
dan
orang
tua
juga
tak
segan
menyumbangkan dana sebagian dari amal infaknya. Sehingga kebutuhan sekolah baik fisik, fasilitas, media pembelajaran, peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan dapat ditingkatkan. Kemajuan sekolah termasuk di dalamnya presasi anak didik adalah instrument untuk melipatgandakan kapital.
F. Kesimpulan Dari uraian mengenai kepemimpinan pendidikan di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Kepemimpinan pendidikan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang
untuk
mempengaruhi,
membimbing,
mengarahkan,
dan
menggerakkan staf sekolah agar dapat bekerja secara efektif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan. 2. Berangkat dari pengertian kepemimpinan pendidikan diatas, maka dapat dinyatakan terdapat 3 komponen yang dominan menentukan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah, yaitu pemerintah, kepala sekolah dan guru (sebagai pemimpin dalam kelas). 3. Dari hasil telaah dengan pendekatan fenomenalogis dapat dinyatakan, betapa dunia pendidikan, khususnya dalam prespektif kepemimpinan masih sarat problematika yang terlahir sebagai konsekwensi atas kepentingankepentingan politik dan budaya yang tidak mencerminkan nilai-nilai educative, etis dan agamis. 4. Spiritual leadership, kepemimpinan dan kerja dengan menyandarkan pada nilai-nilai etis dan spiritual merupakan salah satu solusi terbaik diantara solusi yang mungkin dapat dilakukan.
15
DAFTAR PUSTAKA
A. Blumberg & W. Greenfield. The Effective Principle: Perspectives on School Leadership. Boston: Allyn and Bacon Inc Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas. Danah Zohar & Ian Marhall. 2000. SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence London: Bloomsbury E. Mulyasa. 2003. Menajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Edmonds. R, Some School Work and More Can, dalam Social Policy, 9 (2), F. Hallinger & K. Leithwood, Introduction: Exploring The Impact of Principal Leadeship, School Effectiveness and School Improvement Gay Hendricks & Kate Ludeman. 1996. The Corporate Mystic: A Guidebook for Visionaries With Their Feet on The Ground. New York: Bantam Book Hart, Michael H. 1994. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya Sudrajat, Ahmad. Peran Guru Dalam Proses Pendidikan, dalam http:// akhmad sudrajat.wordpress.com ( 6 Maret 2008) Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta : Kanisius. Santosa, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara. Siagian, Sondang P. 1994. Manajemen Strategik. Jakarta: Bumi Aksara Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Purwanto, M. Ngalim. 1993. Administrasi Pendidikan. Jakarta, Mutiara Sumber Bening Kecerdasan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Bandung Rhusty Publisher Thobroni. Spiritual Leadership The Problem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam pendidikan Islam, Makalah seminar UMM (29 November 2010) Wursanto, 2003. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi Yogyakarta: Andi. 16