190 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 190-201 Tersedia Online di http://journal.um.ac.id/index.php/jph pISSN: 2338-8110/eISSN: 2442-3890
Jurnal Pendidikan Humaniora Vol. 3 No. 3, Hal 190-201, September 2015
Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Soulikhone Simmavong1), M. Huda A.Y2), Imron Arifin2) Savannakhet University Manajemen Pendidikan–Universitas Negeri Malang Naxeng Village, Kaisonphomvihane District, Savannakhet Province, Lao PDR E-mail:
[email protected] 1)
2)
Abstract: The main objective of this research is to know about Monk’s leadership in educational quality improvement in a college. There are (1) educational system that led by Monk; (2) Monk’s leadership in educational quality improvement; (3) Monk’s strategy in educational quality development. Research results about educational system that led by Monk are (1) aspect of vision and mission; (2) aspect of real educational system. In Monk’s leadership in educational quality improvement there are (1) Monk as ecclesiastic; (2) Monk as lecturer. As well as in Monk’s strategy in educational quality development there are (1) strategy in academic sector; (2) strategy in non-academic sector; (3) strategy in finance and (4) strategy in work field. Key Words: monk’s leadership, educational quality Abstrak: Tujuan penelitian adalah untuk memberikan mengetahui kepemimpinan Biksu dalam peningkatan mutu pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai berikut: (1) sistem pendidikan yang Biksu pimpinan; (2) kepemimpinan biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan; dan (3) strategi biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan. Penelitian dirancang menggunakan rancangan studi kasus. Peneliti sebagai instrumen kunci dalam pengumpulan data dari informan utama agar menghasilkan data akurat. Kehadiran peneliti adalah sebagai pengamat sejak awal hingga akhir. Penelitian menemukan sistem pendidikan yang dipimpin biksu meliputi aspek: (1) visi dan misi; dan (2) hakikat sistem pendidikan. Kepemimpinan biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan adalah (1) biksu sebagai rohaniwan; dan (2) biksu sebagai pendidik. Strategi biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan dengan: (1) strategi di bidang akademik; (2) strategi di bidang non akademik; (3) strategi pendanaan; dan (4) strategi lapangan pekerjaan. Kata kunci: kepemimpinan biksu, mutu pendidikan
sekolah dalam mengimplementasikan manajemen sekolah tinggi untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif, efisien, produktif, dan akuntabel. Oleh karena itu, ketua sekolah tinggi memiliki posisi yang sangat penting dalam menggerakkan manajemen sekolah agar dapat berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan kebutuhan zaman, khususnya kemajuan ilmu pengetahun, teknologi, budaya, dan seni. Pentingnya kepemimpinan kepala sekolah ini perlu lebih ditekankan lagi, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan pendidikan yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut. Berkenaan dengan kepemimpinan kepala sekolah tersebut, maka salah satu peran kepala sekolah dalam kepemimpinan adalah memotivasi dosen untuk berprestasi. Adapun prestasi yang diharapkan dari
Sumber daya manusia yang baik tidak lepas dari pengaruh pola kepemimpinan yang diterapkan dalam sebuah organisasi. Kepemimpinan merupakan suatu proses yang mengandung unsur memengaruhi, adanya kerjasama dan mengarah pada suatu hal dan tujuan bersama dalam sebuah organisasi. Kepemimpinan berperan sebagai penggerak segala sumber daya manusia dan sumber daya lain yang ada dalam organisasi. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dimaknai bahwa keberhasilan organisasi sekolah tinggi yang dipimpin oleh seorang Ketua Sekolah Tinggi untuk mencapai tujuan sekolah tinggi yang telah ditetapkan akan sangat tergantung berperannya kepemimpinan. Kinerja kepemimpinan ketua merupakan upaya yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh kepala 190
Artikel diterima 27/11/2014; disetujui 20/07/2015
Volume 3, Nomor 3, September 2015
191 Simmavong, Huda, Arifin–Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan.....191
dosen tersebut, antara lain (1) mahasiswa dapat memahami mata pelajaran yang diajarakannya dengan mudah dan baik, (2) membawa mahasiswanya dapat menjuarai bila ada lomba mata pelajaran di luar sekolah, dan (3) menunjukkan keprofesionalannya dalam kegiatan-kegiatan relevan di luar sekolah. Di antara sejumlah penelitian tentang kepemimpinan kepala sekolah yang efektif, penelitian Austin seperti dikutip dalam Sergiovanni (1987) juga menemukan bahwa sekolah yang prestasi dosen dan mahasiswanya tinggi, memiliki kepala sekolah yang terlibat dalam program pengajaran dibandingkan dengan kepala sekolah yang tidak terlibat langsung. Sementara itu, Rutter dikutip dalam Sergiovanni (1987) dalam Arifin (2008:11) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan bagi peningkatan kualitas dosen dan keluaran mahasiswa. Kepemimpinan adalah cara seseorang pemimpin memengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil keputusan maka akan mengakibatkan adanya diharmonisasi hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Dalam manajemen berbasis sekolah dimana memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola potensi yang dimiliki dengan melibatkan semua unsur stakeholder untuk mencapai peningkatan kualitas sekolah tersebut. Karena sekolah memiliki kewenangan yang sangat luas itu maka kehadiran figur pemimpin menjadi sangat penting. Kepemimpinan yang baik tentunya sangat berdampak pada tercapai tidaknya tujuan organisasi karena pemimpin memiliki pengaruh terhadap kinerja yang dipimpinnya. Kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan merupakan bagian dari kepemimpinan. Konsep kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan konsep kekuasaan. Dengan kekuasaan pemimpin memperoleh alat untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya. Terdapat beberapa sumber dan bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan paksaan, legitimasi, keahlian, penghargaan, referensi, informasi, dan hubungan (Toha, 1990:323). Gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak-gerik atau lagak yang dipilih oleh seseorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Gaya yang dipakai oleh seorang pemimpin satu dengan yang lain berlainan tergantung situasi dan kondisi kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku orang lain.
Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa Batu didirikan pada tahun 2000 oleh Yayasan Dhamadipa Agama dengan Ijin Operasional dari Departemen Agama Republik Indonesia. Setelah 1 tahun perkuliahan berjalan tepatnya pada tanggal 7 Oktober 2002 Departemen Agama Republik Indonesia menetapkan Sekolah Tinggi Agama Kertarajasa dengan Status Terdaftar dengan Program Studi Dharma Achariya Nomor: DJ.V/63/SK/2002 tertanggal 7 Oktober 2002. Berdasarkan kondisi tersebut maka menarik untuk diteliti tentang kepemimpinan pada STAB Kertarajasa, Kota Batu karena lembaga tersebut di bawah naungan yayasan para Biksu. METODE
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan studi kasus yang berusaha mendeskripsikan suatu latar, obyek atau suatu peristiwa tertentu secara rinci dan mendalam (Bogdan dan Biklen, 1982:58). Sebagaimana pula dikemukakan oleh Ary, et.al (1985) sebagai berikut:”In a case study in the investigator attemps to examine an individual or unit in depth. The investigator tries to discover all the variables that are important in the history or development of the subject” Dalam studi kasus penelitian berusaha mengamati individu atau unit secara mendalam dan mencoba menemukan seluruh variabel yang penting dan mencari faktor-faktor yang dapat menjelaskan kondisi subjek sekarang dan pengaruh perubahan waktu dan lingkungan terhadap subjek. Pendapat ini didukung olah Yin (1996) yang menyatakan bahwa studi kasus merupakan strata yang dipilih untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” pelaksanaan atau mengimplementasi sesuatu, jika fokus penelitian berusaha menelaah fenomena yang sekarang dalam konteks nyata. Peneliti berperan sebagai instrumen kunci dalam pengumpulan data kepada informan utama yang jujur agar menghasilkan suatu data yang pasti dan akurat sehingga kehadiran peneliti di lapangan adalah hal yang sangat penting. Kehadiran peneliti di Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Kertarajasa Batu adalah sebagai pengamat penuh sejak awal hingga akhir penelitian karena penelitian lapangan adalah instrumen kunci. Penelitian harus bersikap kritis, rendah hati dan sunguh-sunguh di lapangan karena sekaligus sebagai perencana, pelaksana, pengumpulan, penganalisis, penafsir data dan akhirnya dapat melaporkan
192 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 190-201
hasilnya secara transparansi dan akurat (Moleong, 2007). Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena, jika memanfaatkan alat bukan-manusia dan mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu, hanya manusia sebagai alat saja yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya (Moleong, 2007). Oleh karena itu, saat mengumpulkan data di lapangan, peneliti berperan serta pada situs penelitian dan mencermati kepemimpinan Biksu dalam meningkatkan mutu STAB Kertarajasa, Batu. HASIL
Berdasarkan aspek visi dan misi Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa memiliki tiga makna. Pertama, makna religius karena para pendidik dan mahasiswa selalu ditekankan untuk memahami nilainilai Dharma ajaran Budha dengan baik. Kedua, makna sosial, hal ini berkenaan dengan implementasi dari nilai-nilai religius tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, makna akademis, merupakan nilai kognitif yang dapat membekali para mahasiswa untuk secara nyata mengerti tentang hakikat pendidikan ketika terjun di masyarakat nantinya, baik sebagai tenaga pendidik maupun pembina rohani. Berdasarkan aspek hakikat sistem pendidikan bersumber pada dua hal, yaitu pertama, pendidikan yang bersumber dari tempel, bagi mahasiswa Atthasilani dan Samanera yang berasal dari vihara, yaitu pendidikan moral spiritual Buddhis. Hal ini dilakukan dengan ritual puja bakti berupa doa dan siraman-siraman rohani yang merupakan kegiatan rutin di vihara. Akan tetapi bagi mahasiswa umum, mereka hanya mendapatkan penekanan moral spiritual Budhis tersebut pada saat kegiatan perkuliahan, yaitu seperti doa sebelum dan setelah perkuliahan selesai, ataupun pada saat kegiatan keagamaan berlangsung di tempel. Kedua, pendidikan yang bersumber dari pemerintah, yaitu pelaksanaan kurikulum pembelajaran yang ber-
laku secara umum, baik untuk pendidik maupun bagi mahasiswa semuanya karena kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum nasional yang berasal dari Kementrian Pendidikan, yang dalam hal ini adalah materi-materi pendidikan untuk STAB secara nasional. Kepemimpinan Biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan dapat dicermati dalam dua pandangan, sebagai berikut. (1) Biksu sebagai rohaniwan menekankan kepada mahasiswa yang berasal dari vihara, yaitu para Atthasilani dan Samanera melalui pendidikan di vihara. Dalam hal ini kami menempatkan diri sebagai pembina spiritual mereka. Biksu menekankan pada character building dan moral attitude bagi semua warga, untuk para mahasiswa semua di kampus, maka Biksu menempatkan diri sebagai pendidik dalam hal ini sebagai dosen, dan juga sebagai pembina rohani karena status sebagai Biksu. Biksu dituntut tidak hanya memberikan pemahaman spiritual saja tetapi Biksu juga dapat memberikan pemahaman pendidikan yang pas, sesuai dengan tuntutan akademis dari pemerintah. (2) Biksu sebagai pendidik menempatkan diri sebagai layaknya dosen yang mempunyai tanggung jawab akademis kepada para mahasiswanya, menyelaraskan antara yang diajarkan dalam perkuliahan dengan motivasi spiritual sehingga terjadi keseimbangan, memberikan pemahaman yang luas tentang pentingnya membaca dan bersikap kritis sebagai mahasiswa, hal ini menempatkan posisi mahasiswa sebagai kaum intelektual yang handal, memberikan nasihat kepada semua mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah serta ceramah keagamaan yang akan menjadi kekuatan mereka untuk dikenal di masyarakat dalam rangka mempersiapkan diri menuju kesempatan mencari pekerjaan setelah lulus nanti, dan memberikan motivasi kepada semua warga STAB Kertarajasa, untuk meningkatkan potensi diri dalam pengembangan SDM sehingga dapat menjadi pendukung bagi perkembangan dan kemajuan STAB Kertarajasa. Strategi kepemimpinnan Biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan dapat dicermati dalam empat pandangan, yaitu (1) strategi di bidang akademik terhadap padangan ini Biksu melakukan rapat rutin bulanan guna mengetahui perkembangan STAB Kertarajasa, juga mempererat persaudaraan warga sekolah tinggi tersebut, memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi, maupun kesempatan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi para dosen dan atau tenaga non kependidikan yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan potensi diri serta berguna bagi perkembangan dan kemajuan STAB
Volume 3, Nomor 3, September 2015
193 Simmavong, Huda, Arifin–Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan.....193
Kertarajasa, memberikan sarana dan prasarana perkuliahan yang mewadahi semua mahasiswa, merekrut para dosen yang berkualitas sesuai dengan relevansi ilmu yang akan diajarkan dan dibutuhkan oleh STAB Kertarajasa, mendorong para mahasiswa untuk budaya berdiskusi terhadap ilmu relevan yang sedang dipelajari, mendorong para dosen untuk terlibat dalam mengikuti seminar-seminar yang relevan dalam rangka peningkatan kualitas sebagai dosen, dan mendorong para tenaga non kependidikan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang relevan dengan tugas yang diemban guna meningkatkan profesionalitas kerjanya; (2) strategi di bidang non akademik adalah Biksu memberikan kesempatan kepada para mahasiswa, dosen, atau tenaga non kependidikan yang mempunyai bakat yang dapat dikembangkan sehingga berguna bagi perkembangan dan kemajuan STAB Kertarajasa, wujud kesempatan tersebut berupa kesempatan untuk mengikuti perlombaan-perlombaan relevan atau mendatangkan tenaga ahli yang dapat membantu peningkatan potensi dan bakat yang dimiliki, mengalokasikan anggaran untuk pengembangan minat dan bakat di STAB Kertarajasa, dan mendatangkan sukarelawan (volunteer) yang berkenan untuk membantu dalam pengembangan kemampuan mahasiswa STAB Kertarajasa dalam rangka peningkatan kualitasnya; (3) strategi pendanaan, dalam hal ini, Biksu membangun kerjasama dengan para donator dan pemerintah, pengelolaan keuangan dilakukan dengan sangat hatihati; (4) strategi lapangan pekerjaan dalam hal ini, Biksu menjalin kerjasama dengan para donator, menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti sekolah-sekolah yang ada dan memberikan tugas kepada para mahasiswa untuk membuat makalah yang relevan, dan akan diperiksa oleh para Biksu yang berstatus sebagai dosen, yang selanjutnya makalah tersebut diceramahkan melalui media Dhamma TV Malang atau ceramah-ceramah langsung di masyarakat komunitas Budha, sehingga dengan sendirinya para mahasiswa tersebut telah menanamkan kepercayaan atau kemampuan akademisnya yang akan berguna bagi mereka ketika lulus kuliah nanti. PEMBAHASAN
Sistem Pendidikan Sistem pendidikan adalah suatu strategi atau cara yang akan dipakai untuk melakukan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif mengembangkan potensi
di dalam dirinya yang diperlukan untuk dirinya sendiri dan masyarakat. Lebih lanjut Helen G. Daoglas dalam Samani dan Hariyanto (2011:86) mengemukakan “Education system is a system which is implemented in the school or education institutional in order to reach education goal”. Berkenaan dengan hal tersebut, maka sistem pendidikan di STAB Kertarajasa, memiliki dua pengertian, masing-masing berkenaan dengan peran para Biksu dalam memotivasi para dosen untuk berprestasi dan peran para Biksu dalam bidang keagamaan. Biksu dalam Memotivasi Pendidikan Karakter Helen G. Daoglas dalam Samani dan Hariyanto (2011:41) “character isn’t inherited. One builds its daily by the way one thinks and act, thought by thought, action by action”. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Mengacu dari pernyataan tersebut maka karakter kepemimpinan seorang Biksu dapat dimaknai sebagai sikap kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan yang merupakan pengejawantahan dari kehidupan keagamaannya, pengalaman pekerjaan sebelumnya, dan rasa percaya diri dalam menjalankan tugasnya untuk memimpin warga sekolah tinggi yang dipimpinnya. Reinhartz dan Beach (2004:5) juga mengemukakan “Perhaps one of the most important areas for school for school leaders to address is the need to treat everyone in an ethical manner, with fairness and integrity”. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa kepemimpinan seorang pemimpin pendidikan mampu mengintegrasikan semua potensi sumber daya yang dimiliki oleh sekolah khususnya para pendidik yang dalam penelitian ini adalah para dosen dalam bentuk memberikan motivasi. Motivasi tersebut selanjutnya sebagai semangat bagi para dosen untuk mengerti potensi yang dimilikinya untuk mendedikasikan keilmuannya. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai seorang pemimpin pendidikan, maka karakter kepemimpinan yang dimilikinya akan berpengaruh pada tumbuhnya motivasi berprestasi pada para dosen. Perihal karakter dalam kepemimpinan Tao Te Ching dalam Saskhin & Saskhin (2003:145) mengemukakan
194 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 190-201
“Effective leaders don’t put on a show of being great but, knowing how things work, they can achieve great things”. Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa pemimpin yang efektif tidak cukup hanya menunjukkan seberapa besar kekuasaanya tetapi mengerti semua potensi yang dimiliki oleh orang-orang yang dipimpinnya sehingga terjadi kesinergisan dalam proses kepemimpinannya. Pendapat di atas juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Rivai dan Murni (2009:271) bahwa para pemimpin dan kepemimpinan adalah penting, sebab mereka bertindak sebagai jangkar, menyediakan bimbingan pada waktu perubahahan dan bertanggung jawab untuk efektivitas organisasi. Dalam memberikan motivasi kepada para dosen di STAB Kertarajasa, karakter kepemimpinan Kepala STAB Kertarajasa yang diterapkan pun juga perlu menyesuaikan dengan kondisi STAB serta potensi para dosen yang dapat dikembangkan untuk kepentingan STAB maupun dalam rangka pengembangan dosen itu sendiri. Dengan demikian, maka karakter kepemimpinan Kepala STAB Kertarajasa perlu memerhatikan unsur manusia, unsur sarana, dan unsur tujuan. Unsur manusia berkenaan dengan diri Kepala STAB Kertarajasa, yang dalam hal ini adalah seorang Biksu dan para dosen yang dipimpinnya, unsur sarana berkenaan dengan sarana dan prasarana pendidikan yang ada di STAB Kertarajasa, dan unsur tujuan berkenaan dengan tujuan STAB Kertarajasa yang hendak dicapai melalui kepemimpinannya. Saskhin dan Saskhin (2003) mengemukakan bahwa karakter kepemimpinan dalam menumbuhkan motivasi bagi pengikutnya tidak terlepas dari keterampilan yang dimiliki pemimpin dalam memimpin pengikutnya, yaitu (1) keterampilan konseptual (conceptual skill), yaitu keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi; (2) keterampilan manusiawi (human skill), yaitu keterampilan untuk bekerja sama, memotivasi, dan memimpin; (3) keterampilan teknik (technical skill), yaitu keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, teknik, metode, serta kelengkapan untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Sejalan dengan hal ini, Mulyasa (2011:59) mengemukakan bahwa sikap dan karakter yang perlu dimiliki seorang pemimpin lembaga pendidikan salah satunya adalah menjadi leader yang komunikatif dan motivator bagi stafnya untuk lebih berprestasi, serta tidak bersikap bossy (pejabat yang hanya mau dihormati dan dipatuhi). Selain itu, Reinhartz dan Beach (2004:73) juga mengemukakan bahwa “school leaders must be deligent, fair, consistent, and use job related criteria..”. Hal ini dapat dimaknai bahwa
sebagai seorang pemimpin lembaga pendidikan maka selain mengemban tugas kepercayaan dari lembaga pendidikan yang dipimpinnya, juga dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga dapat diterima dan didengar oleh para dosen. Potensi inilah yang dapat menjadi alat untuk memberi motivasi kepada para dosen di STAB Kertarajasa tersebut. Lebih lanjut untuk dapat memberi motivasi kepada para dosen di STAB Kertarajasa, maka Kepala STAB Kertarajasa dalam menjalankan tugas-tugasnya juga perlu mempunyai perlengkapan tertentu atau kepiawaian dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah tinggi yang dipimpinnya. Soetopo (2010:67) mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan berkemampuan mengorganisir dan membantu dewan guru dalam merumuskan program pembinaan pengajaran. Kemampuan tersebut selanjutnya dapat dimaknai sebagai hal yang mendukung karakter kepemimpinan kepala sekolah dalam member motivasi kepada guru, yaitu antara lain ramah, menghargai pendapat orang lain, bersikap ilmiah, objektif, dan demokratis. Peran Biksu dalam Pendidikan Surya (2012:3–4) mengemukakan bahwa semua biksu mentaati Sila-Sila Biksu yang telah ditetapkan oleh dalam “7 Penyucian”. Adapun ke “7 Penyucian”, yaitu 1) bersadhana empat kali sehari yaitu di pagi hari, siang hari, malam hari, dan sebelum tidur; 2) pikiran selalu diusahakan berada dalam keadaan meditasi; 3) bergembira (berbahagia) atas pahala (keberhasilan) orang lain (muditacitta); 4) bertobat; 5) melimpahkan jasa kepada semua makhluk lain; 6) bernamaskara dan mandala puja (memberi persembahan); dan 7) menyebarkan Dharma. Dari pemahaman di atas maka dapat dimengerti bahwa seorang Biksu disamping melatih diri sendiri, mereka dapat memberikan kedamaian pada orang lain. Menjadi biksu berarti melatih diri untuk mencapai penerangan sempurna dan berusaha menyelamatkan semua makhluk. Dengan kata lain, tak peduli dimana mereka tinggal (bermukim), mereka belajar dan mengajar pada saat yang sama. Selain hadir secara tubuh fisik, para biksu harus memastikan supaya ucapan mereka dan pikiran mereka juga “hadir” sepenuhnya selama keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian para biksu mampu menilai sendiri apakah keputusan mereka masuk di akal atau tidak masuk di akal, apakah keputusan mereka sesuai atau bertentangan dengan Dharma Budha.
Volume 3, Nomor 3, September 2015
195 Simmavong, Huda, Arifin–Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan.....195
Kepemimpinan Biksu dalam Mengembangkan Mutu Pendidikan Saskhin & Saskhin (2003) mengemukakan bahwa pendekatan dari seorang pemimpin kepada anggota organisasi yang dipimpinnya akan memengaruhi kinerja dan motivasi anggotanya dalam bekerja. Pernyataan tersebut dalam organisasi sekolah juga seperti dikemukakan dalam Reinhartz & Beach (2004:18) bahwa “Good school leaders believe they have what it takes to make a difference in their schools”. Perbedaan tersebut dapat dimaknai dalam cara pendekatan yang dilakukan oleh Ketua STAB Kertarajasa khususnya kepada para dosen untuk memberikan motivasi sehingga para dosen dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk berprestasi. Dosen merupakan bagian dari warga sekolah tinggi yang dipimpin oleh ketua sekolah tinggi. Sebagai pemimpin maka Ketua STAB Kertarajasa perlu mempunyai semangat untuk mengetahui situasi dosen yang dipimpinnya sehingga langkah kepemimpinannya, salah satunya adalah memberi motivasi kepada para dosen dapat mudah diterima dan dapat pula dikerjakan dengan baik sehingga memperolah hasil yang maksimal atau setidaknya sesuai dengan visi, misi, dan tujuan dari STAB Kertarajasa, Kota Batu. Lebih lanjut berkenaan dengan wibawa kepala atau ketua lembaga pendidikan, maka Salam (2002:182) mengemukakan bahwa kewibawaan adalah sesuatu yang sangat penting dimiliki oleh seorang pendidik. Oleh karena itu, kewibawaan mempunyai kesungguhan, suatu kekuatan, sesuatu yang dapat memberikan kesan dan pengaruh. Semangat yang dijalankan oleh Ketua STAB Kertarajasa tersebut di atas sejalan dengan yang dikemukakan dalam Mulyasa (2011:17) bahwa perilaku kepala lembaga pendidikan dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap para pendidik, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Selanjutnya dalam melakukan pendekatan dari Ketua STAB Kertarajasa kepada para dosen untuk menumbuhkan motivasi berprestasi, setidaknya perlu memperhatikan empat hal, yaitu (1) kedewasaan seorang pemimpin Ketua STAB Kertarajasa; (2) perilaku kepemimpinan Ketua STAB Kertarajasa; (3) komunikasi antara Ketua STAB Kertarajasa dan dosen; dan (4) gaya kepemimpinan Ketua STAB Kertarajasa. Pertama, berkenaan dengan kedewasaan seorang pemimpin pada lembaga pendidikan, Hersey dan Blanchard (1977: 62) mengemukakan “The worker
in many organizations is expected to act in immature ways rather than as a mature adult. In fact, one of even see it happening in many school systems”. Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa kedewasaan perilaku dan pola pikir Ketua STAB Kertarajasa dalam memimpin warga STAB Kertarajasa khususnya bagi para dosen merupakan faktor yang penting yang perlu dimiliki oleh Ketua STAB Kertarajasa, Batu. Dengan adanya kedewasaan baik dalam perilaku maupun pola pikir tersebut maka akan memudahkan interaksi antara Ketua STAB Kertarajasa dengan para dosen khususnya dalam memberikan motivasi untuk berprestasi. Prestasi tersebut tentunya tidak hanya dalam lingkungan STAB saja, tetapi juga perlu di luar STAB untuk lebih menambah wawasan maupun pergaulan dalam area profesionalisme sebagai dosen yang profesional pula. Kedua, berkenaan dengan perilaku kepemimpinan (leadership behavior) Ketua STAB Kertarajasa, maka terdapat dua orientasi dalam memotivasi para dosen untuk berprestasi, yaitu dengan pendekatan target dan pendekatan nilai-nilai Darma yang diyakini STAB. Sehubungan perilaku kepemimpinan (leadership behavior) yang berorientasi pada ketercapaian taget, Reinhartz & Beach (2004:13), mengemukakan “Achievement-oriented leadership, which emphasizes excellence in task completion and sets goals that are challenging, yet attainable”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Hoy & Miskel (2005:381) juga menegaskan bahwa “Achievement orientation includes a need to achieve, desire to excel, drive to succeed, willingness to assume responsibility, and a concern for task objectives”. Sementara itu, sehubungan dengan perilaku kepemimpinan (leadership behavior) yang berorientasi pada nilai-nilai yang diyakini sekolah, maka nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi sesorang dalam kehidupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Hal ini juga seperti dikemukakan oleh Allport dalam Kadarusmadi (1996:55) yang menyatakan bahwa nilai adalah: “a belief upon which a man acts by preference. It is this a cognitive, a motor, and above all, a deeply propriate disposition.” Pengertian tersebut berarti bahwa nilai itu merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang
196 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 190-201
dipercayainya. Sejalan dengan hal tersebut, Rokeach dalam Danandjaja sebagaimana dikutip oleh Ndraha (1997:20) menyatakan “A value system is a learned organization of principles and rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.” Artinya suatu sistem nilai merupakan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dapat dipelajari dalam suatu organisasi untuk membantu seseorang memilih di antara berbagai alternatif, menyelesaikan konflik, dan membuat keputusan. Ketiga, berkenaan dengan komunikasi antara Ketua STAB Kertarajasa dengan para dosen, maka untuk dapat melakukan pendekatan yang baik dari Ketua STAB Kertarajasa kepada para dosen dalam rangka memotivasi dosen untuk berprestasi, maka faktor komunikasi antara Ketua STAB Kertarajasa kepada para dosen perlu mendapatkan perhatian, karena tanpa adanya komunikasi yang baik dan terarah dari Ketua STAB Kertarajasa kepada para dosen atau sebaliknya dari dosen kepada Ketua STAB Kertarajasa, maka penyampaian motivasi tidak akan tercapai dengan baik. Berkenaan dengan komunikasi tersebut, Reinhartz dan Beach (2004:128) mengemukakan “Good communication involves not only speaking and writing, but reading and listening as well. Effective communication hinges on other people understanding the message and responding in a way that moves the exchange (spoken or written) forward”. Sejalan dengan pernyataan tersebut sebelumnya juga telah dipertegas oleh Harsey dan Blanchard (1977:163) “As the individual or group begins to move into an above average level of maturity, it becomes appropriate for leaders to decrease not only task behavior but also relationship behavior”. Kedua pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa komunikasi yang baik dan efektif yang didukung dengan hubungan individu yang baik merupakan sarana yang dapat mendukung kepemimpinan Ketua STAB Kertarajasa dalam memberikan motivasinya kepada para dosennya untuk berprestasi. Keempat, berkenaan dengan gaya kepemimpinan maka sebagaimana dikemukakan oleh Soetopo (2010:9) bahwa “Di tengah-tengah perjuangan menuju kesuksesan tujuan pendidikan tidak lepas dan sangat membutuhkan tipe-tipe pemimpin sebagai pemimpin pendidikan (official leader), yang cara kerja dan cara bergaulnya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menggerakkan orang lain untuk turut serta mengerjakan sesuatu yang berguna bagi kehidupannya”. Sehubungan dengan gaya kepemimpinan tersebut Graves di Standord University memberikan lapor-
an Group Processes in Training Administration, seperti dikutip dalam Soetopo (2010:9) membagi empat tipe atau gaya kepemimpinan, yaitu (1) tipe atau gaya authoritarian, yaitu gaya kepemimpinan yang lebih bersifat ingin berkuasa, sehingga suasana di sekolah selalu tegang; (2) tipe atau gaya laizzes-faire, yaitu gaya kepemimpinan yang memberikan kebebasan penuh kepada para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya, atau secara tidak langsung segala peraturan, kebijakan (policy) suatu institusi berada di tangan anggotanya; (3) tipe atau gaya demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang selalu mengikutsertakan seluruh anggota kelompoknya dalam mengambil suatu keputusan. Dengan demikian kepala sekolah yang bersifat demokratis tersebut akan selalu menghargai pendapat atau kreasi anggotanya atau guru-guru yang ada dibawahnya dalam rangka membina sekolahnya; dan (4) tipe atau gaya pseudo demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang hanya tampak demokratis saja, tetapi dibalik kata-katanya yang penuh tanggung jawab ada siasat yang sebenarnya merupakan tindakan yang absolut. Strategi Kepemimpinan Biksu dalam Mengembangkan Mutu Pendidikan Strategi kepemimpinan biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan di STAB Kertarajasa terdapat tiga hal, yaitu 1) strategi memotivasi para dosen, berkenaan dengan kegiatan belajar mengajar dan juga untuk terus meningkatkan prestasinya; 2) strategi penanaman pendidikan karakter bagi para mahasiswa dalam proses belajar dan berkehidupan di masyarakat sesuai Darma Budha; dan 3) strategi hubungan komunitas warga umat Budha khususnya atau masyarakat pada umumnya sebagai donator untuk penyelenggaraan STAB Kertarajasa. Strategi Memotivasi Para Dosen Peranan Biksu di STAB Kertarajasa sangat berpengaruh kepada bagaimana para dosen di sekolah tinggi tersebut termotivasi untuk maju dan berprestasi. Maju dalam pengertian mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki, sedangkan berprestasi dalam pengertian memaksimalkan kemampuan yang dimiliki tersebut menjadi potensi untuk mengembangkan ke arah yang lebih kompetitif. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Mulyasa (2011:27) bahwa setiap pemimpin pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya mampu
Volume 3, Nomor 3, September 2015
197 Simmavong, Huda, Arifin–Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan.....197
memberdayakan tenaga kependidikan dan seluruh warga lembaga pendidikan yang dipimpinnya agar mau dan mampu melakukan upaya-upaya untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan tersebut. Hal senada juga seperti ditegaskan oleh Reinhartz dan Beach (2004: 21) bahwa “School leadership has become more important as it has been linked to school success”. Pernyataan tersebut selanjutnya dapat dimaknai bahwa peranan para Biksu di STAB Kertarajasa sangatlah penting untuk membawa kesuksesan dalam pendidikan di STAB yang dipimpinnya, sehingga para Biksu yang berkapasitas sebagai dosen di STAB tersebut mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada, khususnya sesama para dosen untuk dapat memaksimal potensi yang dimilikinya masing-masing. Terry (1972) dalam Mulyasa (2011:47) mengemukakan sehubungan dengan memotivasi guru untuk berprestasi bahwa: Untuk dapat memberdayakan setiap individu dalam tingkat persekolahan, seorang kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberdayaan (create an environment conducsive to empowerment), memperlihatkan idealism pemberdayaan (demonstrates empowerment ideals), penghargaan terhadap segala usaha pemberdayaan (encourages all endeavors toward empowerment), dan penghargaan terhadap segala keberhasilan pemberdayaan (applauds all empowerment successes).
Pernyataan di atas dapat dimaknai bahwa upaya pemberian motivasi kepada para dosen bukanlah hal yang sederhana, melainkan didalamnya membutuhkan kerja keras dan kesungguhan dari Ketua STAB, agar para dosen dapat menerima motivasi tersebut sebagai dorongan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh guru menuju pada pemaksimalan potensi yang kompetitif dan profesional. Lebih lanjut Rivai dan Murni (2009:732) mengemukakan bahwa terdapat dua macam motivasi, yaitu (1) motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan, dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri; dan (2) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul karena pengaruh dari luar individu. Terkait dengan pendidikan di lembaga pendidikan, yang dalam hal ini adalah STAB Kertarajasa, maka faktor pendidikan dan pengalaman Ketua STAB Kertarajasa sangat besar peranannya dalam memberikan kontribusi menumbuhkan motivasi kepada para dosen, baik itu untuk motivasi intrinsik maupun ekstriksik. Hal ini juga seperti ditegaskan oleh Soetopo (2010:67) bahwa pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh pemimpin lembaga pendidikan merupakan faktor yang memengaruhi kepemimpinannya.
Dalam memaksimalkan peranan Ketua STAB Kertarajasa, untuk memotivasi para dosen berprestasi maka setidaknya terdapat tiga peran yang menjadi pokok utama, yaitu (1) peranan Ketua STAB Kertarajasa sebagai pemimpin (leader); (2) peranan Ketua STAB Kertarajasa sebagai manajer (manager); dan (3) peranan Ketua STAB Kertarajasa sebagai pemberi motivasi (motivator). Sebagai pemimpin (leader), maka Ketua STAB Kertarajasa: (1) melakukan hal-hal yang benar yang telah menjadi aturan baku tugas pokok dan fungsinya sebagai Ketua STAB, baik dalam kapasitasnya di lembaga tersebut, maupun kapasitasnya sebagai Biksu atau pemimpin rohani agama Budha; (2) berurusan dengan upaya untuk menghadapi perubahan, yaitu dengan memberikan motivasi berprestasi kepada para dosen untuk melakukan perubahan bagi dirinya sendiri, yaitu memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya untuk dikembangkan menuju potensi yang kompetitif; (3) berfokus pada penciptaan visi bersama, yaitu visi STAB Kertarajasa; (4) sebagai arsitek bagi para dosen, dalam arti membuat dosen untuk menjadi dosen yang handal dari potensi yang dimilikinya, baik dari segi akademis maupun perilaku agamis; (5) peduli terhadap potensi yang dimiliki para dosen untuk berprestasi; (6) memberi motivasi dalam suasana bebas dan kreatif, tetapi tetap dalam disiplin. Berkenaan dengan Ketua STAB Kertarajasa sebagai manajer (manager) maka Ketua STAB Kertarajasa: (1) melakukan hal-hal dengan benar yaitu tugasnya sebagai Ketua STAB Kertarajasa; (2) berurusan dengan upaya untuk menghadapi kompleksitas, yaitu memberikan motivasi kepada para dosen dengan tetap memperhatikan tugas utamanya sebagai pendidik dalam STAB Kertarajasa sesuai jabatan yang diemban di sekolah tinggi tersebut; (3) berfokus pada desain pekerjaan dan berurusan dengan kontrol, yaitu Ketua STAB Kertarajasa selain memberikan motivasi secara kata-kata, juga mendampingi dosen yang diberikan motivasi tersebut untuk terus meningkatkan potensi yang dimilikinya; (4) sebagai pembangun motivasi bagi para dosen di STAB Kertarajasa untuk berprestasi; (5) peduli pada proses dosen untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sebagai pengejawantahan dari motivasi yang diberikan oleh Ketua STAB Kertarajasa; (6) pemberian motivasi dalam kepatuhan, disiplin, dan tidak memberi ruang adanya kesalahan. Sebagai pemberi motivasi (motivator), maka Ketua STAB Kertarajasa: (1) mampu menciptakan lingkungan yang kondusif di STAB Kertarajasa; (2)
198 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 190-201
mampu menciptakan hubungan yang harmonis antar warga sekolah tinggi tersebut dalam suasana yang aman dan nyaman; (3) menciptakan suasana disiplin sehingga dapat menciptakan suasana produktivitas para dosen dalam beraktivitas; (4) memberikan perhatian dalam bentuk pendekatan pribadi (personal approach) agar para dosen dapat dalam suasana tenang menyampaikan keluh kesahnya bila ada masalah yang mengakibatkan terhambatnya dosen untuk berprestasi; (5) memberikan penghargaan (reward) secara relevan dan sesuai kebermanfaatannya. Dari penjelasan di atas maka dapat dimaknai bahwa peranan kepemimpinan Ketua STAB Kertarajasa sangatlah menentukan dan berpengaruh pada pemberian motivasi kepada para dosen untuk dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya menjadi potensi yang kompetitif menuju prestasi. Strategi Penanaman Pendidikan Karakter Bagi Para Mahasiswa dalam Proses Belajar dan Berkehidupan Pada STAB Kertarajasa Batu, internalisasi nilai dan etika menjadi awal dalam proses pembentukan suasana berkarakter dalam sekolah tinggi tersebut, dalam hal ini adalah nilai dasar Darma agama Budha, yaitu Darma cinta kasih. Proses internalisasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh para Biksu saja, tetapi juga semua dosen. Dengan demikian, maka akan lebih menyentuh ke dalam diri para mahasiswa STAB Kertarajasa. Sebagaimana diungkapkan oleh Fraenkel (1973) dalam Welton & Mallan (1981:155) “No one has ever seen a value. Like concepts and ideas, values exist only in our minds. Values are standards of conduct, beauty, efficiency, or worth that individuals believe in and try to live up to or maintain.” Dengan nilai Darma cinta kasih yang ditanamkan pada STAB Kertarajasa, maka hal ini masuk juga dalam pembelajaran tentang pendidikan karakter, yaitu pada keseluruhan komponen struktur dan muatan kurikulum di STAB tersebut. Setiap komponen dalam matakuliah, mempunyai muatan pendidikan karakter yang disiapkan oleh masing-masing dosen. Hal ini juga seperti dikemukakan oleh Hill (1991) dalam Adisusilo (2012:71) sebagai berikut: Values education should seek, as a minimum specification: (1) To enable students: a) to acquire a representative knowledge base concerning the value traditions which have helped to form contemporary culture; b) to enter with empathy into the perceptions and feelings of people who have been strongly commited to these
traditions; c) to develop skills of critical and appreciative values appraisal; d) to develop and put into practice the skills of decision making and value negotiation; and (2). It should encourage them to develop a concern for the community and the care of its members.
Pernyataan Hills tersebut menandaskan bahwa pendidikan nilai harus mampu membuat peserta didik untuk dapat menguasai pengetahuan yang berakar pada nilai-nilai tradisionalnya yang mampu menolong menghadapi nilai-nilai modern; berempati dengan persepsi dan perasaan orang-orang tradisional; mengembangkan keterampilan kritis dan menghargai nilai-nilai tersebut; mengembangkan diri sehingga berketerampilan dalam membuat keputusan dan berdialog dengan orang lain; dan pada akhirnya mampu mendorong peserta didik untuk berkomitmen pada masyarakat dan warganya. Pendidikan karakter tentang Darma cinta kasih dalam agama Budha menjadi rujukan utama (core values) dan menjiwai seluruh proses pendidikan di STAB Kertarajasa, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan karakter, kewirausahaan, dan ekonomi kreatif, dan pendidikan anti korupsi dalam menjawab dinamika tantangan globalisasi. Pendidikan karakter yang bersumber pada ajaran Budha tersebut memberikan warna bagi lulusan STAB Kertarajasa. Khususnya dalam merespons segala tuntutan perubahan dan dapat dipandang sebagai acuan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, dan tidak semata hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian, pendidikan karakter yang bersumber pada Darma cinta kasih dalam agama Buddha menjadi makin efektif dan fungsional, mampu mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan serta dapat menjadi sumber nilai spiritual bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa. Tujuan pendidikan karakter yang ditanamkan di STAB Kertarajasa sebagaimana yang disebutkan di atas juga sejalan dengan tujuan pendidikan agama Buddha yang meliputi tiga aspek dasar, yaitu pengetahuan (pariyatti), pelaksanaan (patipatti), dan penembusan/pencerahan (pativedha). Pemenuhan terhadap tiga aspek dasar yang merupakan suatu kesatuan dalam metode pendidikan karakter Agama Buddha di STAB Kertarajasa, sehingga akan mengantarkan para mahasiswanya kepada moralitas yang luhur, ketenangan dan kedamaian dan akhirnya dalam kehidupan bersama akan mewujudkan perilaku yang penuh toleran, tenggang rasa, dan cinta perdamaian. Salah satu bentuk penanaman pendidikan karakter di STAB Kertarajasa adalah dengan puja bakti/
Volume 3, Nomor 3, September 2015
199 Simmavong, Huda, Arifin–Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan.....199
kebaktian, yang memiliki tujuan yaitu: a) menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Tri Ratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha); b) meningkatkan keyakinan (saddha) dengan tekad (aditthana) terhadap Tri Ratna; c) mengembangkan empat sifat luhur (Brahma Vihara), yaitu cinta kasih, belas kasih, simpati, dan batin seimbang; d) mengulang atau membaca dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Buddha; e) melakukan Anumodana, yaitu membagi perbuatan baik kepada makhluk lain; f) berbagi kebajikan kepada semua makhluk. Hal yang terpenting saat melakukan puja bakti adalah pikiran bersih dan penuh konsentrasi. Tujuannya agar saat membaca doa untuk mengagungkan Tri Ratna, indera-indera terkendali. Doa (paritta) yang dibaca dalam puja bakti berisi doa agar semua makhluk berbahagia. Agar sifat luhur berkembang, dengan melaksanakan meditasi sehingga pikiran menjadi tenang. Selanjutnya puja bakti yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh penghayatan akan bermanfaat besar, yaitu a) keyakinan (saddha) dan bakti kepada Tri Ratnaa kan bertambah; b) empat sifat luhur (brahma vihara) akan berkembang; c) indera (samvara) akan terkendali karena pikiran diarahkan untuk puja bakti; d) menimbulkan perasaan puas (santutthi) karena telah berbuat baik; dan e) menimbulkan kebahagiaan (sukha) dan ketenangan batin. Strategi Hubungan Komunitas Warga Secara etimologis, “hubungan masyarakat” diterjemahkan dari perkataan bahasa Inggris “public relation”, yang berarti hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat, yakni sebagai hubungan timbal balik antara suatu organisasi (lembaga pendidikan) dengan masyarakatnya. Menurut Kindred Leslie, dalam bukunya “School Public Relation” mengemukakan pengertian hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat adalah merupakan suatu proses komunikasi antara lembaga pendidikan dengan masyarakat untuk berusaha menanamkan pengertian warga masyarakat tentang kebutuhan dari karya pendidikan serta pendorong minat dan tanggung jawab masyarakat dalam usaha memajukan lembaga pendidikan tersebut. Jika dilihat dari sisi maknanya, maka hubungan lembaga pendidikan di STAB Kertarajasa dengan masyarakat memiliki pengertian yang sangat luas sehingga dapat dikatakan sebagai hubungan masyarakat dengan STAB Kertarajasa merupakan komuni-
kasi dua arah antara organisasi dengan publik secara timbal balik baik dalam rangka mendukung fungsi dan tujuan manajemen dengan meningkatkan pembinaan kerjasama serta pemenuhan kepentingan bersama. Hal ini sejalan dengan makna adanya ikatan hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat sebagai suatu proses komunikasi dengan tujuan meningkatkan pengertian warga masyarakat tentang kebutuhan dan praktik pendidikan serta berupaya dalam memperbaiki sekolah (Soedjatmoko:2010). Hal ini juga senada seperti dikemukakan oleh Emerson Reck (1993:25) bahwa: Public relation is the continued process of keying policies, service and action to the best interest of those individual and group whose confidence and goodwill and individual or institutions covets, and secondary it is the interpretation of these policies, service and action to assure complete understanding and appreciation.
Public relation dimaknai sebagai sebuah proses penetapan kebijakan, pelayanan serta tindakan-tindakan nyata berupa kegiatan yang melibatkan orang banyak agar orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut memiliki kepercayaan terhadap lembagalembaga yang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Logikanya jika lembaga tersebut tidak melakukan kegiatan, maka masyarakat akan mengalami kesulitan untuk dapat mengenali lembaga tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Rex Harlow (1997:17) yang menyatakan bahwa: Public relation merupakan suatu fungsi dari manajemen yang khas dan mendukung pembinaan, pemeliharaan jalur bersama antara organisasi dengan publiknya terutama menyangkut aktifitas komunikasi, pengertian, penerimaan dan kerjasama; melibatkan manajemen dalam persoalan permasalahan, membantu manajemen menanggapi opini publik, mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif, bertindak sebagai sistem peringatan dini mengantisipasi kecendrungan mempergunakan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai sarana utama.
Ada hal yang menarik dari pengertian di atas bahwa komunikasi hendaknya dilakukan melalui pengkajian penelitian dan pengembangan, hal ini perlu disadari terutama oleh manajemen STAB Kertarajasa bahwa penelitian dan pengembangan adalah sesuatu yang mutlak dilaksanakan oleh lembaga sebab atas dasar inilah maka akan muncul kebutuhan-kebutuhan mendesak yang dirasakan oleh masyarakat dan perlu segera ditanggapi. Hal semacam ini juga diungkapkan oleh Leslie dalam bukunya The School and Community Relations (1984:14) yang meyatakan bahwa “school public relations is a process of communication between the school and community for purpose
200 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 190-201
of increasing citizen understanding of educational needs and practices and encouraging intelligent citizen interest and cooperation in the work of improving the school”. Pengertian tersebut hampir memiliki kesamaan dengan apa yang disampaikan oleh Mamusung (1988:6) yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial yang diselenggarakan dan dimiliki oleh masyarakat seharusnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan sekolah memiliki kewajiban secara legal dan informal untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan serta keadaannya, dan sebaliknya sekolah harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan, dan tuntutan masyarakatnya. Memaknai pendapat-pendapat para ahli di atas, saluran komunikasi merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam pencapain tujuan kaitannya dengan hubungan kerjasama antara STAB Kertarajasa sebagai lembaga pendidikan dengan masyarakat. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Sistem pendidikan di STAB Kertarajasa menekankan pada dua hal, yaitu pendidikan yang bersumber dari kuil dan pendidikan yang bersumber dari pemerintah. Pendidikan yang bersumber dari kuil, bagi mahasiswa (atthaselani dan samanera) yang berasal dari vihara, yaitu pendidikan moral spiritual Budhis. Hal ini dilakukan dengan ritual puja bakti berupa doa dan siraman-siraman rohani yang merupakan kegiatan rutin di vihara, tetapi bagi mahasiswa umum, mereka hanya mendapatkan penekanan moral spiritual Budhis tersebut pada saat kegiatan perkuliahan, yaitu seperti doa sebelum dan setelah perkuliahan selesai, ataupun pada saat kegiatan keagamaan berlangsung di kuil. Pendidikan yang bersumber dari pemerintah, yaitu pelaksanaan kurikulum pembelajaran yang berlaku secara umum, baik untuk pendidik, maupun bagi mahasiswa semuanya karena kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum nasional yang berasal dari Kementerian Pendidikan, dalam hal ini adalah materi-materi pendidikan untuk STAB secara nasional. Berkenaan dengan kepemimpinan Biksu dalam mengembangkan mutu pendidikan di STAB Kertarasaja, maka kepemimpinan Biksu tersebut adalah kaitannya sebagai rohaniwan dan juga sebagai pendidik. Selanjutnya mengingat kedua hal tersebut maka da-
lam mengembangkan mutu pendidikan di STAB Kertarajasa, maka hal yang dilakukan adalah dengan a) menekakan pada character building dan moral attitude bagi semua warga STAB Kertarajasa; b) menempatkan diri sebagai layaknya dosen yang mempunyai tanggung jawab akademis kepada para mahasiswanya; c) menyelaraskan antara yang diajarkan dalam perkuliahan dengan motivasi spiritual sehingga terjadinya keseimbangan; d) memberikan pemahaman yang luas tentang pentingnya membaca dan bersikap kritis sebagai mahasiswa, hal ini agar menempatkan posisi mahasiswa sebagai kaum intelektual yang handal; e) memberikan nasihat kepada semua mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah serta ceramah keagamaan yang akan menjadi kekuatan mereka untuk dikenal di masyarakat dalam rangka mempersiapkan diri menuju kesempatan mencari pekerjaan setelah lulus nanti; f) memberikan motivasi kepada semua warga STAB Kertarajasa, untuk meningkatkan potensi diri dalam pengembangan SDM sehingga dapat menjadi pendukung bagi perkembangan dan kemajuan STAB Kertarajasa. Strategi untuk memotivasi para dosen, dilakukan dengan a) memberikan kesempatan bagi dosen yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi; b) memberikan kesempatan yang luas bagi dosen untuk melakukan penelitian; dan c) memberikan kesempatan yang luas bagi dosen untuk mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar-seminar yang mendukung tugasnya. Strategi penanaman pendidikan karakter bagi para mahasiswa dalam proses belajar dan berkehidupan di masyarakat sesuai darma Budha, dilakukan dengan a) slogan-slogan pendidikan karakter di lingkungan kampus; b) dengan adanya atributatribut atau simbol-simbol keagamaan yang diletakkan baik di dalam ruang kuliah maupun di lingkungan kampus; c) melakukan kegiatan darma atau sanggar keagamaan di komunitas agama Buddha yang berada di daerah pedesaan; dan d) melakukan bakti sosial keagamaan di desa-desa. Strategi hubungan komunitas warga umat Budha khususnya atau masyarakat pada umumnya sebagai donator untuk penyelenggaraan STAB Kertarajasa, dilakukan dengan a) melaporkan hasil prestasi yang dicapai oleh mahasiswa yang mendapatkan beasiswa atau calon mendapatkan beasiswa di lingkungan STAB Kertarajasa; b) melaporkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh para dosen penerima bantuan penelitian; c) melaporkan secara tranparan terhadap penggunaan keuangan yang diterima oleh para donatur.
Volume 3, Nomor 3, September 2015
201 Simmavong, Huda, Arifin–Kepemimpinan Biksu Dalam Peningkatan.....201
Saran Bagi Ketua STAB Kertarajasa, Kota Batu, antara lain a) tetap mempertahankan kualitas penanaman pendidikan karakter; b) diperkuat kembali jalinan kerjasama dengan para donatur dan para alumni untuk ikut serta memajukan lembaga, dan c) mempromosikan keberadaan lembaga, sehingga lebih dikenal lagi di masyarakat luas. Bagi Para Dosen STAB Kertarajasa, Kota Batu, antara lain a) untuk lebih sering melakukan penelitian sehingga dapat mencermati perhatian masyarakat terhadap keberadaan lembaga; b) ikut berperan aktif dalam mempromosikan keberadaan lembaga, sehingga lebih dikenal masyarakat luas; dan c) lebih menggiatkan kepada para mahasiswanya untuk melakukan tugas penelitian mahasiswa sehingga para mahasiswa mempunyai sense of knowledge yang seimbang dengan sense of religion yang dimilikinya. Bagi peneliti lain yang berminat terhadap topik penelitian ini, dapat mengembangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan “Pengaruh Budaya Keagamaan dalam Menumbuhkan Motivasi Guru/Dosen Berprestasi” dalam kawasan kemitraan sekolah tinggi atau sekolah keagamaan, seperti peran kepala sekolah dan komite sekolah dalam hubungannya untuk meningkatkan prestasi guru/dosen. DAFTAR RUJUKAN Adisusilo, S. J. R. 2012. Pembelajaran Nilai Karakter. Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Effektif. Jakarta: Rajawali Pers. Arifin, I. 2008. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Sekolah Berprestasi. Studi Multi Kasus pada MIN Malang I, MI Mamba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu Malang. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. Ary, D., Yacobs, L.C, & Razavich, A. 1985. Introduction to Research inEducation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1982. Qualitative research for Education: An Introduction to Teory and Method. United State of American: Allyn and Bacon, Inc. Harlow, R. 1997. Management for Leadership. Beverly Hill, CA: SAGE Publication Inc. Harsey, P & Blanchard, K.H. 1977. Management of Organizational Behaviour: Utilizing Human Resources. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Hoy, W.K & Miskel, C.G. 2005. Educational Administration. Theory, Research, and Practice. New York: McGrawHill. Kadarusmadi. 1996. Upaya Orangtua dalam Menata Situasi Pendidikan dalam Keluarga. Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung: PPS IKIP Bandung. Leslie, A. 1984. The School and Comminity Relations. London: Prentice & Hall. Mamusung, J.E. 1988. Kebijakan Pendidikan dalam Aturan Sekolah. Jakarta: Rajawali Pers. Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Ramaja Rosdakary, et.ala. Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi & Implimentasi. Bandung: Rosda kary, et.al. Mulyasa, E. 2011. Manajemen & Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Ndraha, T. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. Reck, E. 1993. Public Policy in the Education: Concept and Application. Bevely Hall, CA: SAGE Publications, Inc. Reinhartz, J. & Beach, D.M. 2004. Education Leadership. Changing Schools, Changing Roles. Boston: Pearson Education, Inc. Rivai, V & Murni, S. 2009. Education Management. Analisis Teori dan Praktik. Jakarta: Rajawali Pers Salam, B. 2002. Pengantar Pedagogig. Dasar – Dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Rineka Cipta. Samani, M & Hariyanto. 2011. Pendidikan Karakter. Konsep dan Model. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sergiovanni. 1987. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Newton, MA: Allyn & Bacon. Soedjatmoko. 2010. Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjamoko. Jakarta: Penerbit Buku Kompus. Soetopo, H. 2010. Kepemimpinan Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Surya, R.S. 2012. Aturan Moralitas Budhis. Pengertian, Penjelasan, dan Penerapan. Yogyakarta: Vidyasena Production, Vihara Vidyaloka Toha, M.1990. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Cetakan Keempat. Jakarta: Rajawali Pers. Welton, D. A & Mallan, J. T. 1981. Children and Their World. Strategies for Teaching Social Studies. 2nd Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Yin, R.K.1996 Studi kaus: Desain dan Metode. Terjemahan oleh Djauzi Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo Persada.