BAB IV STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Mencermati deskripsi pada BAB III khususnya tentang kehadiran imigran dari Watlaar
dan
Haar
di
Ohoiwait,
serta
fenomena
perpindahan
kekuasaan
(kepemimpinan adat) dari penduduk asli kepada para pendatang yang telah mengakibatkan keluarnya penduduk asli dari Ohoiwait sampai pada tindakan pencarian dan membawa kembali penduduk asli ke Ohoi, menimbulkan sebuah pertanyaan menggelitik “apakah ini kisah Tom&Jerry yang walapun sering berkonflik namun saling merindukan?” Tom&Jerry yang dalam lakonnya, mendemonstrasikan ketegangan sandiwara kehidupan manusia antara “benci tapi rindu serta rindu tapi benci” memang mirip dengan pergulatan antara penduduk asli dan pendatang di desa ini. Untuk itu pada bab ini, saya memilih tiga topik utama untuk dikaji lebih mendalam, yakni: 1) Upaya atau strategi Ren-ren dalam mempengaruhi dominasi mel-mel; 2) Faktor-faktor yang mendorong strategi ren-ren; dan 3) Kemampuan mereproduksi wacana: menuju lebenswelt baru;. Ketiga topik tersebut, lebih lanjut diuraikan di bawah ini. 4.1. Strategi Ren-Ren dalam Mempengaruhi Dominasi Mel-Mel Dalam struktur asli masyarakat Kei, fungsi adat yang selalu melekat dan menjadi hak golongan ren-ren adalah tuan tan dan mituduan (imam) atau yang bisanya juga disebut dengan penjaga Luw Sukat. Walaupun demikian, sebelum 110
struktur asli masyarakat Kei mencapai bentuk akhir dengan dibentuknya hukum adat Larvul Ngabal sekitar abad ke-16, semua fungsi dan peran adat di desa Ohoiwait yang didistribusikan kepada marga-marga1 yang ada saat ini, merupakan hak dari penduduk asli yang selalu dikategorikan sebagai ren-ren. Kehadiran para imigran yang berasal dari Watlaar dan Haar di Ohoiwait dan dalam kehidupan bersama penduduk asli, telah menimbulkan fenomena baru yakni, berpindahnya fungsi dan peran adat kepada pendatang. Mula-mula fungsi (kekuasaan) adat pertama yang diambil alih adalah “kepala Ohoi” kemudian merambah pada fungsi-fungsi adat yang lain. Pengambil-alihan fungsi dan peran adat ini berimplikasi pada tidak diakuinya hak-hak kelompok ren-ren, bahkan diwacanakan kelompok ini telah punah. Dalam konteks seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa praktek kepemimpinan dan dominasi berjalan seiring, atau dengan kata lain mel-mel menjalankan hegemoninya terhadap ren. Pertanyaannya adalah apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh kelompok ren-ren untuk setidaknya mengembalikan hak-hak mereka? Menurut Bourdieu, dalam setiap perjuangan aktor membutuhkan strategi. Strategi perjuangan diperlukan aktor untuk memperebutkan modal-modal di dalam ranah (field). Bagi Bourdieu, nilai yang diberikan modal (-modal) dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus. Karena itu, ranah selalu dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Dengan demikian, strategi perjuangan tanpa modal, mungkin tidak akan berhasil.
1
lihat fungsi dan peran adat yang diemban oleh masing-masing marga dalam bab III halaman
78-79
111
Menurut Soerjono Soekanto,2 dalam hubungan sosial jika sarana perjuangan tidak mencakup kekerasan fisik aktual, maka proses tersebut disebut perjuangan damai. Model perjuangan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan yang juga diperjuangkan oleh pihak-pihak lain. Karena itu, perjuangan yang tidak didasarkan atas konflik kepentingan, untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan pribadi disebutnya sebagai seleksi sosial. Sedangkan yang menyangkut pelbagai kemungkinan bertahannya ciri-cri secara turun-temurun, disebutnya seleksi biologis. Dalam perspektif Bourdieu, perjuangan damai ini dapat dimaknai sebagai kemampuan mereproduksi wacana untuk menjadi dominan terhadap pihak lain, selama wacana yang diproduksi itu tidak berimplikasi pada konflik dengan kekerasan. Pierre Bourdieu membedakan lima jenis strategi, yakni investasi biologis, suksesif, edukatif, investasi ekonomi, dan investasi simbolik. Namun jika mencermati pengertian yang diberikan pada masing-masing strategi itu, maka dapat juga dikategorikan menjadi dua jenis strategi, yakni: strategi investasi ekonomi dan strategi investasi simbolik. Untuk itu beberapa sub topik perlu dianalisa secara terpisah demi mendapatkan gambaran yang lebih jelas jentang “strategi ren-ren menghadapi dominasi mel-mel. Beberapa sub topik tersebut, adalah: a. Pewarisan Marga: Sebuah Dilema Bagi Bourdieu pewarisan nama keluarga (marga?) juga merupakan bentuk habitus yang dapat menggerakan tindakan individu maupun sosisl untuk berjuang
2
Soerjono Sukanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002: 48-51
112
memperebutkan modal-modal dalam ranah. Namun bagi saya, jika yang dimaksudkan dengan ‘pewarisan nama keluarga” itu adalah marga, maka ada masalah khususnya dengan kelompok ren-ren. Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua bentuk “pewarisan nama keluarga” dapat memberikan keuntungan bagi yang mewarisinya, terutama pewarisan marga Yahaubun, Kudubun, Notanubun, Ingratubun oleh kelompok ren-ren telah menempatkan mereka pada posisi yang dilematis. Dalam tesisnya, Martinus Ngabalin (2006) memang tidak memberikan argumentasi yang dapat memperkuat pernyataannya bahwa “keturunan penduduk asli telah punah” demikian juga sejarah yang dituturkan oleh Eliazer Rahajaan dan ditulis oleh Melky, tidak memberikan argumentasi tentang punahnya keturunan Reyaur. Sebab itu, sejak awalnya memang sudah saya kritik. Berdasarkan hasil wawancara, satu-satunya alasan yang saya temukan tentang wacana punahnya keturunan penduduk asli itu, diakibatkan oleh pola “pewarisan marga”3 karena itu saya menyebutnya sebuah dilema. Setelah keturunan penduduk asli yang “melarikan diri” dari kampung kemudian kembali lagi dengan perjanjian bahwa mereka boleh mengatur dirinya sendiri, maka ada “harga” yang perlu dibayar kepada mereka yang telah memanggil itu.4 “Harga” itu tampak dalam kerelaan mereka untuk mengikuti marga dari orang yang membujuk mereka untuk kembali. Kerelaan itu merupakan sikap hidup orang Kei yang tahu berterimakasih (tet ya dalam bahasa Kei). Tet ya bermakna “karena 3
Karena itu, argumentasi yang dibangun oleh Melky berdasarkan cerita Eliazer Rahajaan tentu tidak benar, sebab pola pewarisan marga baru terjadi setelah Towowod Rahawarin menikah dan menghasilkan keturunan. Pola pewarisan marga yang saya kemukakan, di satu sisi memberikan catatan tambahan bagi tesis Martinus Ngabalin, namun di sisi lain juga bertujuan meolak tesis Ngbalin itu. 4 Lihat uraian bab III khususnya pada bagian “marga sebagai bentuk asimilasi”
113
kebaikanmu engkau kutempatkan dalam lubuk hatiku untuk lebih dekat denganku.” Disinilah makna mendalam tentang “kakak – beradik” muncul. Masalahnya adalah ren-ren tidak hanya mewarisi satu marga diantara keempat marga (Yahaubun, Kudubun, Notanubun, dan Ingratubun), mereka terbagi, atau mengikuti semua marga itu. Di satu sisi pewarisan marga ini adalah positif untuk menjaga persatuan dan kesatuan Ohoi Nuhu, sebab merasa satu dan tidak lagi ada perbedaan penduduk “asli” dan “pendatang”, namun di sisi lain menjadi salah dimengerti oleh para pendatang yang akhirnya menciptakan dominasi. Dominasi terjadi sebab kepala marga harus berasal dari keturunan asli Yahau, Kud, Notan, dan Ingrat itu. Posisi kepala marga untuk orang Kei dan secara khusus di desa Ohoiwait adalah cukup kuat, sebab “dia” dianggap sebagai representasi adat untuk marganya. Bentuk representasi seperti ini tampak dan diatur dalam pasal 1 hukum adat Larvul Ngabal yang memang sangat ditaati oleh masyarakat Kei. Dalam konteks pewarisan marga (yang tidak satu), tentu akan memunculkan habitus baru. Sejarah asli (awal) terpecah atau terbagi, bahkan terasimilasi dengan habitus lain yang mengakibatkan munculnya habitus baru itu. Walupun habitus baru ini tidak menghilangkan habitus awal, namun produksi dan reproduksi sejarah asli terbagi dalam versi-versi yang berbeda, kecil dan tidak lagi sekuat sejarah awal. Diskursus argumentatif menurut Habermas, atau komunikasi “bebas penguasa” tidak/belum berlaku disini. Untuk sampai pada tingkat diskursus argumentatif itu diperlukan faktor pendukung lain, yakni pendidikan, bukan saja pendidikan formal, namun juga pendidikan nonformal yakni sosialisasi nilai-nilai adat kepada generasi 114
yang siap beradu argumen untuk memimpin. Masalahnya wadah atau situasi yang memungkinkan untuk saling beradu argumen demi memperebutkan modal-modal (atau posisi) belum tercipta dengan baik. Dengan demikian, reproduksi wacana oleh kelompok ren-ren untuk kembali kepada sejarah asli tentu tidak mudah, sebab sejarah asli telah terbagi dalam versiversi akibat pembauran penduduk asli dan pendatang yang menjadi satu marga itu. Kelompok ren-ren khususnya yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun mungkin mampu mereproduksi sejarah asli (tom tad), namun belum tentu diikuti atau diterima oleh semua kelompok ren-ren, sebab penghargaan, pengakuan, relasi dalam kehidupan bersama, serta identitas marga tentu turut mempengaruhi. Pola komunikasi yang intensif antara kepala marga dengan anggota-anggota marga tentu anak mempererat tali persaudaraan anggota marga. Sebab segala urusan yang “dilakukan” anggota marga, entah itu perkawinan, kematian, pembangunan rumah, pencurian, dan pembunuhan adalah menjadi tanggungjawab magra, semua anggota marga akan bermusyawarah (rasdov) untuk memutuskan sesuatu hal, dan kewenangan pengambilan keputusan itu adalah kepala marga. Karena itu, dalam beberapa hal solidaritas marga sangat kuat, sehingga reproduksi wacana tentang sejarah asli (ren-ren) menjadi dinomor sepatu-kan, bahkan oleh kelompok ren-ren sendiri. Walupun mereka sadar bahwa hak-haknya sebagai penduduk asli terabaikan. Kedekatan dan pola komunikasi yang baik memegang peranan penting dalam pembentukan habitus ini.
115
Robert Notanubun dan Daud Rahaningmas mengatakan “perjuangan itu masih butuh waktu dan memang sulit, sebab kita yang di Ohoi Un ini juga kurang bersatu. Namun perlu terus dilakukan terutama dengan cara mewariskan cerita-cerita dari orang tua (leluhur) kepada anak-anak, selain itu anak-anak perlu juga disekolahkan untuk bisa berpikir cerdas.” Kesulitan itu menurut keduanya disebabkan oleh adanya individu-individu tertentu yang mereka sebut dengan istilah Fen (penyu atau teteruga), fen adalah hewan yang bisa hidup di “dua dunia” (air dan darat). Konsep ini digunakan untuk menggambarkan perilaku individu-individu yang selalu “cari aman” artinya bisa diterima dua kelompok (ren dan mel) sekaligus. Selain konsep fen ada juga sebutan naus (gula) bagi orang-orang yang rela “menjual” informasi hanya untuk sekedar bisa minum segelas kopi atau teh.5 Individu-individu seperti inilah yang merusak solidaritas kelompok, atau dapat juga disebut provokator. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa kelompok ren-ren adala mereka yang bertempat tinggal di bagian desa yang disebut Ohoi Un, kadang-kadang untuk menyebut orang atau kelompok orang yang tinggal di tiga bagian kampung (Ohoi Un, Ohoi Ren, dan Ohoi Tanan) dalam interaksi sehari hari, digunakan istilah koko; watwat; dan kotkot6”, seperti: koko Ohoi Un, koko Ohoi Tanan, koko Ohoi Ren, begitu juga ketika kata “koko” diganti dengan “watwat” dan “kotkot” semuanya bermakna “sekelompok orang.” Pemaknaan ini kemudian termanivestasi dalam perilaku, misalnya seorang anak yang tinggal di Ohoi Un ketika berkelahi dengan seorang anak di Ohoi Ren, maka orang akan berkata “kokot Ohoi Un hir bangil” 5
Wawancara dengan Daud Rahaningmas dan Robert Notanubun tanggal 29 Januari 2011 Koko bermakan “laki-laki - dalam jumlah yang banyak”; watwat bermakna “perempuanperempuan”; dan kotkot bermakna “anak-anak” 6
116
(anak-anak Ohoi Un yang memukulnya) atau sebaliknya “kokot Ohoi Ren hir bangil” jadi tindakan satu orang selalu dikaitkan dengan kelompoknya. Begitupun dengan marga, tindakan seseorang (individu) selalu dikaitkan dengan “apa marganya”, karena itu solidaritas kelompok di Kei khususnya di Ohoiwait memang sangat kuat. Dengan demikian, dibutuhkan isu bersama pula yang dapat mengembalikan kesadaran kelompok ren-ren ini. Beberapa isu bersama yang dapat mengembalikan solidaritas kelompok ren-ren ini adalah: a) wacana tentang punahnya keturunan penduduk asli; b) pewarisan nama leluhur dan marga; c) tidak adanya golongan renren Ohoiwait yang menjadi PNS di Maluku Tenggara; dan d) wacana tentang dikategorikannya kelompok ini sebagai Iri-iri. Beberapa isu ini tentu membutuhkan strategi yang tepat untuk mengubah distribusi modal, aturan main dan posisiposisinya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial. Sebab itu faktor pendidikan, terutama pendidikan formal perlu menjadi strategi utama yang dipilih untuk mempersiapkan generasi berikutnya. Pewarisan nama leluhur memang telah dengan sadar dilakukan, misalnya nama-nama seperti: Kanar El, Viktor, Tanaef.7 Sedangkan alasan menggunakan marga “Rahaningmas” sebenarnya juga merupakan bentuk resistensi kepada “Yahaubun” namun sayangnya perubahan marga dari Yahaubun ke Rahaningmas juga diikuti oleh mereka yang mel-mel. Walaupun demikian, mel-mel yang bermarga Rahaningmas ini memang sangat mengerti tentang sejarah asli, mereka mengakui 7
Viktor dan Tanaef adalah nama leluhur penduduk asli, keduanya masuk dalam kategori “Baran Fit”. Viktor adalah nama dari salah satu cucunya Anton Notanubun, sedangkan Tanaef adalah anak Manasye Rahaningmas. Keduanya masih anak-anak, dan Kanar El adalah nama dari salah satu informan. Menurut Anton Notanubun, nama-nama itu tidak pernah digunakan oleh mereka yang dikategorikan sebagai mel-mel itu.
117
bahwa Frans Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, dan Anton Notanubun adalah penduduk asli desa Ohoiwait.8 Bentuk resistensi lain mengenai marga ini adalah yang dilakukan oleh Ganti Notanubun (tinggal di Jayapura, Papua), yang ketika anak pertamanya lahir dan dalam pengurusan akte kelahiran dia mencantumkan marga Rahangiar sebagai marga anaknya dan bukan Notanubun. Rahangiar adalah marga yang masih digunakan di dusun Wetuar. Dengan demikian, jika strategi pewarisan nama keluarga ini terus dilakukan, minimal seperti yang telah dilakukan oleh Ganti Notanubun akan berdampak positif suatu saat nanti. Selain itu, perubahan marga dari Yahaubun ke Rahaningmas juga merupakan hal yang baik, namun belum disertai dengan penjeasan makna dan alasan perubahan itu kepada generasi muda (anak-anak ren-ren) sehingga belum berdampak dalam perilaku kehidupan sehari-hari. b. Strategi Investasi Ekonomi Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa dalam setiap ranah terdapat modalmodal yang siap diperebutkan, jika dikaitkan dengan pemikiran Habermas, maka dapat dirumuskan bahwa modal-modal tersebar dalam setiap lebenswelt sebab itu dibutuhkan strategi argumentasi yang dibedakan dalam bentuk diskursus dan kritik yang bertujuan mempersoalkan klaim kebenaran dan ketepatan demi mendapatkan pengakuan setiap ruang kehidupan sosial. Walaupun demikian, dalam perebututan modal-modal itu, perlu mempersiapkan generasi yang memiliki jiwa kepemimpinan 8
Jumlah Kepala Kekuarga (KK) marga ini di desa Ohoiwait sangat sedikit. Tidak lebih dari lima kepala Keluarga, yakni: Daud Rahaningmas, Nimrot Rahaningmas, Kanar El Rahaningmas, Adam Rahaningmas, dan satu keluarga dari mel-mel adalah Hopni Rahaningmas. Sebagian dari mereka tinggal di Tual, Maluku Tenggara dan berprofesi sebagai PNS maupun swasta, termasuk Manasye Rahaningmas yang bekerja di Suita Hotel.
118
(direction) untuk menggerakkan individu maupun kelompok, ketika berjuang di dalam ranah (field), karena itu saya membutuhkan pemikiran Gramsci tentang hegemoni. Strategi
investasi
ekonomi
menurut
Bourdieu
merupakan
upaya
mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal. Investasi ekonomi sebenarnya merupakan akumulasi modal ekonomi dan modal sosial. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki kelompok ren-ren yakni hubungan-hubungan sosialnya dengan kelompok mel-mel terutama melalui pertukaran uang, pekerjaan, dan perkawinan9 telah menempatkan mereka (ren-ren) pada posisi yang terdominasi. Hubungan sosial yang berkaitan dengan “pekerjaan”10 yang saling membantu atau hamaren. Artinya pekerjaan atau hajatan yang dilakukan oleh salah satu mel-mel, maka anggota marganya (terutama yang ren-ren) wajib hadir untuk membantu atau bekerja atau sekedar memberikan yelim (bantuan berupa bahan pokok–makanan). Karena itu, strategi investasi ekonomi ini juga berhubungan erat dengan pola pewarisan marga, artinya hajatan salah satu anggota marga, akan menjadi tanggungkawab bersama. Kaitan antara stratgi investasi ekonomi dan pola pewarisan marga–selain hubungan-hubungan sosial yang terbangun–misalnya tampak dalam marga Kudubun. Marga ini memiliki beberapa dusun atau petuanan sagu (Er –dalam bahasa Kei ) yang biasa disebut “Er Kudubun” petuanan sagu dimiliki dan “dimakan” bersama. Secara
9
Kedua kelompok ini memang dilarang menikah. Karena itu yang dimaksudkan dengan hubungan sosial perkawinan itu adalah konsep tentang koi maduan yang telah diuraikan dalam bab III 10 Yang saya maksudkan dengan pekerjaan di sini bukanlah pekerjaan yang mendatangkan “gaji tetap” setiap bulannya.
119
adat, ada mekanisme pengaturan yang disepakati, yakni siapa yang pertama memperikan tanda pada salah satu pohon sagu11 maka dialah yang berhak memanen. Selain itu, marga Kudubun (ren-ren) juga memiliki harta warisan (emas) yang disimpan oleh salah satu “pembesarnya” (mel-mel) yang bernama AdK (alm)12 yang sering disebut dengan “Turan Sosial” Namun harta Kudubun ini telah hilang.13 Menurut Christian Kudubun harta itu telah dijual di Bali oleh kakaknya “turan sosial” itu, yang bernama AbK untuk menyekolahkan anak-anaknya. Christian mengemukakan bahwa “AbK mengakui hal ini dihadapan dirinya dan Welhelmus Kudubun, yang didengar langsung oleh anakanaknya, ketika istri AbK meninggal dunia di Tual tahun 2007”14 dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para leluhur Kudubun sudah dengan sadar memperhitungkan strategi investasi ekonomi untuk anak cucu mereka, namun sayangnya harta warisan ini dicuri oleh orang lain untuk kepentingan anak-anaknya tanpa memberitahukan kepada “pemilik barang.”
11
Tanda ini biasanya berupa inisial nama. Contah, “MK” itu artinya pohon sagu tersebut sudah menjadi milik salah seorang berinisial “MK” itu. ‘M’ merujuk pada nama orang dan ‘K’ merujuk pada marga. 12 Selanjutnya nama-nama yang tidak termasuk dalam informan kunci akan digunakan inisial. Nama sebenarnya ada pada peneliti. 13 Harta ini memang dinyatakan telah hilang, sebab menurut informasi dari Christian, Welhelmus, dan Matius sewaktu “turan sosial” sakit-sakitan mereka dipanggil untuk penyerahan kembali harta tersebut. namun waktu tas (kopor) tempat emas tersebut diambil ternyata gembok (kuncinya) telah rusak dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Christian mengatakan, dia baru mengetahui kalau harta tersebut “diambil” turan AbK pada waktu istrinya meninggal itu. 14 Waktu itu saya juga sempat mengikuti upacara pemakaman tersebut. Christian Kudubun mengatakan setelah pemakaman, malam harinya AbK menyuruh anaknya memanggil dirinya, Welhelmus Kudubun, dan Matius Kudubun (namun Matius Kudubun tidak datang di Tual waktu itu), kemudian mereka duduk diruang tamu dan AbK mengatakan kepada anak-anaknya “im lilik tuang yamab hir tel I, hor hirir yanar ubur, tal harta Kudubun ila ya fed mo nan lehar im maskol e” (kalian harus memperhatikan–membantu ketiga orang tua kalian ini (Christian, Welhelmus, dan Matius) serta anak cucu mereka sebab saya sudah jual harta Kudubun itu untuk membiayai sekolah kalian).
120
Mengenai harta Kudubun yang telah dicuri ini, Laurens Kudubun mengatakan bahwa “nanti pada saat acara 100 tahun Injil masuk Ohoiwait (tahun 2013), dia akan memanggil akan-anaknya AbK untuk meminta pertanggungjawaban supaya mereka membayar kembali harta yang telah dijual oleh bapak mereka.”15 Oleh karena harta tersebut telah diambil orang, maka perspektif Bourdieu tantang “modal ekonomi” (harta) milik marga Kudubun ini dapat dikategorikan sebagai “modal simbolis” yang dapat mengangkat prestise maupun status sosial dari Kudubun ren-ren bahwa mereka memililiki “sesuatu” yang didak dimiliki oleh Kudubun mel-mel. Pengakuan akan adanya modal simbolik inilah yang kemungkinan akan diperjuangkan oleh Laurens Kudubun. Sedangkan menyangkut petuanan (kepemilihan lahan/tanah) di Desa Ohoiwait, hasil wawancara dan pengamatan selama penelitian berlangsung membukatikan bahwa kelompok ren-ren khusunya keluarga Anton Notanubun, dan tiga orang kakak-beradik, yakni Frans Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, dan Reinhard Rahaningmas) adalah yang paling besar petuanannya di Ohoiwait. Namun Anton Notanubun telah membagi harta warisan (tanah) miliknya kepada semua anak anaknya.16 Sedangkan ketiga kakak-beradik ini tidak membagi warisan kepada anakanaknya, mereka sepakat untuk makan bersama tanpa ada pembagian. Sebab saat ini, hanya empat orang anak laki-laki dari ketiga bersaudara ini yang tinggal di kampung,
15
Wawancara dengan Laurens Kudubun di Surabaya, tanggal 28 Maret 2011. Anton memiliki 5 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Masing-masing dari anak laki-laki mendapatkan tiga bidang tanah. Sedangkan anak perempuannya tidak mendapatkan apaapa sebab menikah dengan laki-laki dari kampung tetangga. Belum ada sistem pengukuran tanah di desa ini, sehingga tidak diketahui luas dari masing-masing bidang tanah itu. namun berdasarkan hasil observasi dapat diperkirakan bahwa ukuran masing-masing bidang tanah kurang lebih 1 hektar. 16
121
yakni: Kanar El Rahaningmas, Daud Rahaningmas, Nimrot Rahaningmas, dan Adam Rahaningmas. Menurut Edward Kudubun (anaknya Matius Kudubun) “jika tanah milik FR, GR, dan RR ini dibagi lagi kepada anak-anak mereka, maka kepemilikan tanah paling besar/bayak di Ohoiwait adalah bakapnya.17 Itu artinya, Matius Kudubun berada pada urutan ketiga kepemilikan tanah di Ohoiwait. Selain itu, kelompok ren-ren juga memiliki modal budaya yakni pemilikan benda-benda budaya yang bernilai. Salah satu benda budaya yang dimiliki kelompok ini adalah Kasber (meriam) yang tersimpan di gunung Elyaur. Meriam ini memiliki sejarah panjang dengan desa Ohoitel Watraan di Kei Kecil, Meriam ini sebagai tanda bukti (tom tad) yang mengikat kedua desa ini dalam relasi Teabel.18 Gunung ini adalah tempat bersejarah bagi kelompok ren-ren. Pada tahun 2006 Nimrot Rahaningmas dengan rombongan sempat melakukan penggalian di gunung tersebut guna mencari kerangka (tengkorak) leluhur mereka, dan menemukan tiga tengkorak. Tindakan tersebut diketahui oleh Kepala Desa (Librek Ingratubun) dan memanggil Nimrot untuk menghadap. Kemudian Nimrot Rahaningmas, Daud Rahaningmas dan Mathias Rahaningmas19 memenuhi panggilan Kepala Desa tersebut. Kepala Desa lalu mempertanyakan tindakan itu, mengapa mereka tidak melapor sebelum menggali, sebab di gunung itu ada benda pusaka. Nimrot, menguraikan jawabannya kepada kelapa Desa, yakni: 17
Matius Kudubun memiliki 6 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan, dari kesembilan bersaudara ini hanya 2 orang yang tinggal di kampung, yakni, Edward Kudubun dan Tineke Kudubun. Matius Kudubun mengatakan kepada peneliti bahwa “dia tidak akan membagi warisan (tanah) miliknya, sebab kebanyakan dari anaknya tinggal di luar pulau Kei, dan anak-anaknya juga tidak mengingingkan jika warisan itu dibagi. 18 Maknanya sama dengan konsep Pela di Maluku Tengah. 19 Mathias Rahaningmas adalah lulusan Fakultas Hukum, salah satu Universitas di Surabaya, dan saat ini tinggal serta bekerja di Surabaya.
122
“ya her tabe hormat naa o de, ni am ail mem tanat Elyaur raai am ot sa umat rir afa waaidi. Elyaur how kasber raai am mem afa. O laai kapal wel te mu kwas ra nharang Elyaur raai waaidi ” (sebagai kepala desa saya menghormati anda, tapi Elyaur, termasuk Meriam itu adalah milik pusaka kami dan kami sedang menggali tanah/gunung kami dan tidak menggali tanah orang lain. Anda kepala desa, tetapi anda tidak memiliki kekuasaan sampai ke gunung itu, termasuk segala sesuatu yang ada gunung itu). Jawaban yang merupakan pukulan telak bagi kepala Desa tersebut tentu didasari oleh habitus yang mereka miliki, apalagi ketika Mathias Rahaningmas meminta kepala Desa untuk menjelaskan tentang “apakah tindakan mereka telah melanggar Undang-undang, dan kalaupun tindakan itu dikatakan melanggar UU, maka UU Nomor berapa yang dilanggar”?. Tentu pertanyaan itu didaarkan pula atas sebuah skema intelektual sebagai perwujudan dari habitus yang dia miliki. Menurut Nimrot, kepala Desa tidak mampu memberikan penjelasan tentang hal-hal yang mereka kemukakan itu, dan pertemuan itupun berakhir tanpa keputusan. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam memberikan pernyataan yang keras kepada Kepala Desa, didasari oleh habitus yang tampak dalam modal budaya dan modal simbolik yang mereka miliki. Dengan demikian, diskursus komunikatif tetap masih bisa digunakan sebagai strategi mempengaruhi dominasi mel-mel dengan syarat perlu kepemilikan dan pemahaman akan habitus masingmasing dan penguasaan modal-modal dalam ranah menjadi mutlak. Karena itu, maka dapat dikatakan bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, atau suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah, yang telah dengan sadar “dimainkan” oleh Daud Rahaningmas dan adik-adiknya.
123
Sedangkan strategi investasi biologis yang menitik-beratkan pada masalah kesuburan dan pencegahan dalam penelitian yang saya lakukan terdapat perbedaan dengan apa yang dikemukakan Bouerdieu. Kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah anak untuk menjamin transmisi modal. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok ren-ren secara umum tidak membatasi jumlah anak.20 Mereka yang telah menikah rata-rata memiliki lebih dari empat orang anak, selain itu jumlah kelompok ren-ren yang menempati Ohoi Un cukup banyak sehingga tahuan 2009 “pengurus gereja” membagi Ohoi Un menjadi dua unit yakni unit Maria dan unit Elim. Awalnya hanya satu unit, yakni unit Maria. Fakta ini sebenarnya bertentangan dengan logika Pierre Bourdieu. Namun saya sadar bahwa kelompok ini memiliki logikanya sendiri, konsep yang mereka gunakan adalah melraw’ar (tumbuh semakin banyak). Artinya dengan semakin banyak anak mereka berharap akan menguasai kampung, walaupun demikin, tidak hanya soal kuantitas yang mereka pertimbangkan tetapi juga kualitas. Dalam hal kualitas (anak harus sekolah), mereka memanfaatkan modal sosial yang terbangun dengan sesama mereka di luar Tual dan Maluku Tenggara, hubungan ini dimaksudkan agar saudaranya yang berdomisi di luar Kei dapat menampung akananak mereka ketika menempu pendidikan. Mereka berpendapat bahwa golongan melmel yang semakin berkurang di kampung itu sebagai bagian dari “teguran” akibat menjalankan adat dengan tidak tepat.
20
Argumentasi ini didasarkan atas hasil observasi sebab tidak ada data lengkap tentang jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur dan jumlah/tingkat kelahiran per tahun di kantor Desa. Mungkin juga akibat desa ini tidak memiliki kantor desa. Alasan lain yang mendasari argumentasi ini adalah pembagian Ohoi Un menjadi dua unit tahun 2009 oleh gereja.
124
Logika yang berbeda dengan Bourdieu itu, didasari oleh pemahaman bahwa dengan banyaknya jumlah anak yang dimiliki, maka pewarisan nama keluarga akan tetap “hidup” dan berimplikasi pada pembentukan habitus berdasarkan sejarah asli (tom tad). Sebab ada banyak individu (anak-anak–khususnya anak laki-laki) yang akan terus mewarisi tom tad dan akan ikut bersaing memperebutkan modal-modal (baik modal ekonomi, budaya, sosial maupun simbolik) dalam field. Karena itu, mereka (kelompok ren-ren) beranggapan bahwa kuantitas orang juga turut mempengaruhi dan mendukung perjuangan untuk mendapatkan modal-modal itu. Walaupun perjuangan dalam ranah adat demi memperebutkan modal-modal tidak menggunakan sistem voting, namun dukungan moral dari kelompok tentu dibutuhkan. Memang ada masalah, jika strategi investasi biologis dalam hal membatasi jumlah anak diperhadapakan dengan strategi suksesif. Bagi Bourdieu strategi ini bertujuan menjamin pemeliharaan harta warisan antar generasi dengan menekan pemborosan. Strategi ini tampak nyata dalam hal kepemilikan tanah di atas. Keputusan Anton Notanubun untuk membagi warisan (tanah) kepada anak-anaknya tentu akan berdampak negatif dikemudian hari. Sedangkan keputusan atau kesepakatan dari FR, GR, dan RR untuk tidak membagi harta warisan (tanah) mereka dengan pertimbangan bahwa keturunannya akan terus bertambah, dan jika tanah itu dibagi tentu keturunan kesekian anak melarat (miskin). Selain itu, pertimbangan lain yang turut mempengaruhi keputusan itu adalah karena sebagain besar anak-anak mereka memilih untuk tinggal dan menetap di luar Ohoiwait. 125
Berdasarkan penjelasan di atas, saya bersepakat dengan Bourdieu yang mangatakan bahwa “modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran, segala bentuk barang–baik material maupun simbol, tanpa perbedaan–yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.” sebab itu, keterkaitan antara ranah, habitus dan modal bersifat langsung. Dalam konteks seperti ini, maka dalam menjalankan strategi investasi biologis ala kelompok ren-ren perlu juga mempertimbangkan strategi suksesif agar tidak salah kaprah dalam mengambil keputusan
seperti
yang dilakukan
Anton
Notanubun.
Kemampuan
dalam
menjalankan strategi investasi biologis dan strategi suksesif akan membuka jalan pada akumulasi modal ekonomi maupun sosial dan budaya. c. Strategi Investasi Simbolik Dengan memahami pemikiran mendasar Pierre Bourdieu, maka dapat dikatkan bahwa “di dalam ranah, pertarungan sosial selalu terjadi.” Pertanyaannya mengapa kelompok ren-ren tidak mendapatkan hak-hak mereka layaknya penduduk asli jika ada pertrungan dalam ranah?. Untuk memberikan jawaban pada pertanyaan itu, saya merujuk pada salah satu konsep penting Bourdieu, yakni kekerasan simbolik (symbolic violence) yang dimainkan oleh kelompok mel-mel. Konsep ini merujuk pada bentuk kekerasan yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial.
126
Kekerasan simbolik ini tampak dalam bahasa, makna, dan sistem simbol para pemilik kekuasaan yang dalam prakteknya ditanamkan dalam benak individuindividu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Pola seperti ini tampak dalam permainan bahasa yang mereproduksi mel-mel sebagai bangsawan, kaya, dan pintar/pandai yang diperhadapkan dengan ren-ren yang diwacanakan sebagai golongan rendah, tidak pintar/bodoh, miskin, karena itu tidak bisa memimpin apalagi memimpin mel-mel, serta tidak boleh menikah dengan mel-mel. Tentu reproduksi wacana dalam bentuk oposisi biner ini tidak selalu benar. Larangan perkawinan, hasil kesepakatan kedua kelompok ini tidak didasarkan oleh oposisi biner seperti itu. Pada awalnya larangan itu dibuat untuk mengikat tali persaudaraan sebagai kakak dan adik yang tidak boleh menikah. Namun dalam prakteknya, demi mempertahankan status quo kesepakatakan itu “dibunyikan” sesuai kebutuhan yang memimpin. Konsensus seperti ini (sebagai kakak dan adik) terjadi dalam masyarakat Kei mula-mula. Sedangkan di Ohoiwait, pada awalnya kesepakatan itu tidak demikian, leluhur El Umel membuat tomtoma (larangan) perkawinan itu dikarenakan “belum diketahui dengan pasti siapakah para pendatang itu.” Namun seiring dengan berjalannya waktu, tomtoma itu juga “dibunyikan” sesuai selera penguasa yang telah mengambil-alih kepemimpinan Ohoi pasca dibunuhnya Bun Liisa. Kelompok baru yang memimpin itu lalu mengidentifikasi diri sebagai “bangsawan, kaya, dan pintar/pandai” Dengan demikian, terjadi pergeresan makna dari “orang yang tidak diketahui asal-usulnya” menjadi memiliki habitus baru sebagai bangsawan, orang pandai dan kaya. 127
Selain itu, fenomena tentang “kembalinya kelompok ren-ren ke kampung” juga menunjukan bentuk kekerasan simbolik ini. Bujukan dan rayuan yang dilakukan kelompok mel-mel sebagai upaya membawa kembali ren-ren dengan janji ‘otonomi khusus’ tidak terbukti seluruhnya. “Otonomi khusus” itu direspon oleh ren-ren dengan kerelaan mengikuti marga hasil keturunan Towowod Rahawarin telah membawa mereka pada situasi yang dilematis, sebab mel-mel telah mereproduksi habitus baru yakni mengidentifikasikan diri sebagai bangsawan, orang pandai, dan kaya. Karena itu, ketika ren-ren memutuskan untuk mengkuti marga yang telah ada, mereka terjebak pada posisi yang harus dinomor–duakan, atau menjadi “warga kelas dua, bahkan kelas tiga” dibawah mel-mel. Sampai dengan penelitian ini dilakukan belum ada satupun kepala marga yang berasal dari kalangan ren-ren. Mencermati penjelasan di atas, muncul pertanyaan “apa yang harus dilakukan ren-ren untuk melawan bentuk kekerasan simbolik itu?” Antonio Gramsci menawarkan konsep hegemoni. Ren-ren memang sudah terhegemoni, namun perlu melakukan upaya-upaya untuk menghegemoni, upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kepemimpinan (derection) untuk dapat men-dominasi (doninance). Kelompok ren-ren yang dalam terminologi Gramsci dapat dikategorikan sebagai subaltern ini perlu menciptakan dan meningkatkan kesadaran diri mereka untuk berjuang, tentu dibutuhkan faktor lain, yakni: pendidikan dan pemahaman adat harus juga diasah, demi menciptakan pemimpin minimal bagi kelompok mereka. Pierre Bourdieu menawarkan resep reproduksi habitus, strategi edukatif, dan investasi simbolik untuk keluar dari kondisi ketidak-berdayaan itu. Habitus yang 128
merupakan produk sejarah perlu harus diupayakan lewat reproduksi wacana dalam ranah edukatif untuk menginvestasikan modal–modal baik yang telah ada maupun yang sedang diupayakan. Sedangkan Habermas menawarkan upaya komunikatif lewat diskursus argumentatif yang mempersoalkan klaim kebenaran
dan klaim
ketepatan, serta kritik terhadap norma-norma sosial yang objektif (kritik estetisi) dan penyingkapan penipuan dari masing–masing pihak yang berkomunikasi (kritik terapeutis). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam beberapa hal upayaupaya yang ditawarkan oleh ketiga tokoh di atas telah dilakukan, walupun dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Sekalipun demikian, hasilnya belum sampai pada mengembalikan kedudukan mereka pada posisi tuan tan dan luw sukat/mituduan itu. Bourdieu mengungkapkan bahwa stratgi investasi simbolik bertujuan melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi dan kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan property mereka, dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Karena itu, saya mengkategorikan strategi edukatif ke dalam strategi investasi simbolik. Kasus pertama yang menunjukan bahwa pengakuan sosial terhadap kedudukan ren-ren itu terjadi, walau tidak diketahui oleh mel-mel secara umum adalah, ketika Pembangunan Gedung Gereja Elim di Ohoiwait. Hal ini berkaitan
129
dengan praktek adat, yakni “Huan Yaan21” (yang menggali tanah pertama), ini merupakan salah satu fungsi adat yang harus dipegang oleh tuan tan (tuan tanah). Tuan tan saat itu adalah mereka yang bermarga Rahajaan. Menurut cerita yang dikemukakan oleh Mathias Rahaningmas (waktu itu dia masih SD) dan Nimrot Rahaningmas, bahwa mel-mel yang bermarga Rahajaan (tuan tanah), pada suatu pagi datang menemui Gerson Rahaningmas dan memintanya untuk “memegang Huan Yaan” itu. Namun, awalnya Gerson Rahaningmas menolak dengan alasan “im nai im Ohoi duan ikbo im mabran imail waidi?” (katakanya kalian tuan tanah kok tidak berani menggali?). Mathias mengatakan bahwa, ketika mendengar jawaban sekaligus pertanyaan dari bapaknya, kedua orang Rahajaan22 itu menjawab “am kai ramub, afa i omu, am batang wat” (kami tahu diri, ‘barang’ ini kau punya, kamu hanya menjaga saja). Akibat ungkapan itulah Gerson Rahaningmas menyanggupi untuk memegang “Huan Yaan.” Meky Kudubun,23 mengatakan bahwa dirinya memang melihat langsung hal itu, bahwa setelah doa, GR langsung menancapkan linggis ketanah dan kemudian mengangkatnya sebagai tanda penggalian fondasi Gereja dimulai. Bahkan Meky mengatakan bahwa dirinya yang kemudian mengambil linggis ditangan GR dan ikut menggali setelah GR menggali. 21
Secara harfian Huan berarti “Linggis” dan Yaan berarti “Kakak atau Yang Pertama” maknanya adalah “siapa yang berhak memegang linggis dan menggali tanah pertama sebagai simbol dimulainya sebuah pekerjaan – khususnya dalam membangun rumah atau gedung” 22 Mathias mencoba mengingat-ingat wajah dan nama kedua orang itu dan mengatakan, mereka adalah Obetnego Rahajaan dan Eliazer Rahajaan, kedua orang inilah yang datang ke rumahnya pagi itu. 23 Dia adalah satu-satunya ren-ren Ohoiwait yang lolos sebagai PNS (tenaga kesehatanmantri) yang bertugas di Puskesmas Elat Kei Besar. Ketika peneliti masih sekolah SMA di Elat peneliti tinggal bersama dengannya di rumah dinas Puskesman. Wawancara di Elat tanggal 29 Januari 2011.
130
Hal ini membuktikan bahwa ada pengakuan dan legitimasi tentang hak-hak ren-ren sebagai tuan tanah. Masalahnya adalah apakah tindakan kedua orang Rahajaan itu disosialisasikan kepada mel-mel secara umum dan lebih khusus anakanak mereka? Jika melihat tuturan sejarah yang dilakukan Eliazer Rahajaan kepada Melky (yang disebar-luaskan dalam jejaring sosial facebook) maka jawabannya jelas bahwa Eliazer Rahajaan telah memutar-balikan cerita sejarah. Karena itu, jelas juga bahwa dia (mereka) tidak pernah mengisahkan “suasana” pertemuan di rumah Gerson Rahaningmas itu kepada mel-mel yang lain, apalagi kepada ren-ren. Hal kedua yang menunjukan adanya pengakuan sosial dan legitimasi kedudukan ren-ren sebagai tuan tanah sekaligus keturunan penduduk asli adalah, kedatangan Kepala Desa Sathean (salah satu Desa di Kei Kecil) tahun 200424 ke Ohoiwait dalam menapaki sejarah asli. Kepala Desa Sathean, Anton Renyaan adalah keturunan Bun Viktor25 yang berasal dari Ohoiwait dan pergi menetap di Sathean. Ketika melakukan napak tilas sejarah itu, rombongan dari Sathean diantar oleh Kepala Marga Rahajaan (Nehemya Rahajaan) untuk melihat Kasber (meriam) di gunung Elyaur. Anehnya hampir tiga jam mengitari gunung itu mereka tidak menemukan tumpukan batu dimana meriam itu diletakan. Akhirnya mereka memutuskan untuk turun gunung atau pulang saja.
24
Data ini sebenarnya didapat tahun 2007 ketika pengurusan perkawinan Manasye Rahaningmas dengan Margareta Retobjaan. Waktu ini peneliti masih mengajar di salah satu Sekolah Tinggi di Tual, dan bersama rombongan pergi ke Sathean untuk meminta bantuan Anton Renyaan (kepala desa) dalam pengurusan perkawinan itu. dan Anton menceritakan kisah ini. Kemudian pada saat penelitian ini dilakukan, saya mengkonfirmasi kembali hal ini kepada Anton Notanubun 25 Bun Viktor adalah salah satu dari ketujuh orang yang disebut Baran Fit.
131
Ketika sedang dalam perjalanan turun gunung itu mereka bertemu dengan Anton Notanubun yang lagi berada di Hoar Laai (kali/sungai besar), dia lagi berkebun disitu. Kepala marga Rahajaan kemudian bertanya “turan, yau how hir tal Sathean ya am rat mliik afa naa Elyaur ret, am ba ken waaid. Mtuung om how am rat neke” (Opa, saya mengantar orang dari Sathean untuk melihat ‘barang’ di Elyaur tapi kami tidak menemukannya. Tolong antar kami ke atas dulu). Mendengar itu, Anton Notanubun menjawab “im bir afa ret mo, mhuak mhov umat lian rat hir liliki?”26 (apakah ‘barang’ itu punya kalian sehingga kalian mengantar orang lain untuk melihatnya?). Walaupun AN berkata begitu, namun dia tetap memutuskan untuk mengantar mereka, dan akhirnya mereka sampai ke gunung serta menemukan meriam itu. Ketika hal ini dikonfirmasikan (pada saat penelitian) kepada Anton Notanubun, dia menjawab “ya how fo umat tal Sathean wuk hir kai yaau i ohoi duan naa Ohoi i” (saya antar supaya orang dari Sathean itu tahu bahwa saya adalah tuan tanah asli di kampung ini). Mencermati sikap dan perilaku yang tampak dilakukan oleh Gerson Rahaningmas dan Anton Notanubun dalam dua kasus di atas, menunjukan masih ada pengakuan akan keberadaan kelompok ren-ren di Ohoiwait itu. Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa perilaku itu ditujukan pada perubahan hubungan-hubungan sosial tertentu secara sadar atau pencegahan terjadinya maupun kelangsungannya
26
Kepala Desa Sathean mengisahkan kata-kata itu di tahun 2007, dan ketika saya tanyakan mengapa dia masih mengingat kata-kata itu, katanya “sebab moment itu adalah sesuatu yang sangat penting, dan juga menunjukan bahwa tuan tanah asli di Ohoiwait adalah opa itu dan bukan orang yang dari awal mengantar kami.” Setelah mereka kembali ke kampung (Ohoiwait) kepala desa Sathean mengutarakan keinginannya untuk mengunjungi rumah Anton Notanubun, dan kepala marga Rahayaan mempersilakan tanpa bersedia untuk mengantar.
132
secara abadi. Ini artinya tindakan yang dilakukan oleh Gerson Rahaningmas, Anton Notanubun, maupun Daud dan adik-adiknya bertujuan memperlihatkan kepada publik (masyarakat Ohoiwait) bahwa mereka adalah tuan tanah asli dan bukan Rahajaan. Sebab itu, tindakan tersebut perlu dipahami dalam kerangkan menumbuhkan hubungan-hubungan sosial tertentu dalam kondisi-kondisi tertentu dengan mel-mel yang dapat membuka ruang bagi adanya pengakuan sosial dan legitimasi terhadap keberadaan berikut hak-hak mereka (ren-ren). Kasus lain yang dapat mendemonstrasikan strategi investasi sismbolik adalah ketika tahun 2007 (pasca meninggalnya kepala desa Librek Ingratubun), sekretaris desa sekaligus Pelaksan Tugas (Plt) kepala desa Reveldus Kudubun mengangkat Daud Rahaningmas sebagai Sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), inilah pertamakalinya seorang ren-ren di desa Ohoiwait memegang jabatan di pemerintahan desa. Pengangkatan itu sebenarnya didasarkan atas pengalaman Reveldus Kudubun bersama Daud Rahaningmas. menurut sekretaris desa ini, Daud diangkat sebagai sekretaris LKMD sebab memang telah terbukti kemampuannya, dia (sekdes) sering meminta bantuan kepada Daud untuk menyusun dan mengerjakan beberapa program desa, dan ternyata berhasil. Atas dasar itu, sekretaris pernah mengusulkan kepada kepala desa agar saudara Daud diangkat, namun kepala desa masih keberatan tanpa alasan yang jelas. Akhirnya ketika kepala desa meninggal barulah keinginan sekretaris itu terwujud. Daud Rahaningmas dan Reveldus Kudubun (sekdes) dalam kehidupan sehari-hari mereka berteman dekat.
133
Daud Rahaningmas adalah lulusan SMA Negeri I Tual, yang diakui oleh kelompok ren-ren maupun mel-mel sebagai yang juga memiliki wawasan luas. Saat ini dia menjabat sebagai Penatua di gereja Elim Ohoiwait. Trajektori kehidupan yang disertai dengan modal-modal yang dimilikinya, baik ekonomi, budaya, sosial maupun simbolik telah membawa dirinya pada kelas yang sedikit berbeda dari ren-ren lainnya dan menjadi individu yang memiliki pengaruh bagi mel-mel atau khususnya bagi sekretaris desa saat ini. Dalam konteks seperti ini, maka habitus perlu terus diwujudkan, habitus memang selalu berubah-ubah tergantung situasi (waktu) dan kepemilikan modal-modal, sebab kondisi lingkungan sosial objektif bagi setiap generasi tentu tidak sama. Dalam hubungannya (pertemanan) dengan sekretaris desa itu, saling pengaruh serta proses adaptasi atau penyesuaian terhadap lingkungan baru (mel-mel) terjadi dan membentuk habitus baru yang dimiliki dan diakui orang lain. Pengakuan terhadap pembawaannya (Daud) itu turut merembes pada pengakuan akan keberadaan istrinya yang kemudian diangkat sebagai Guru Taman Kanak-kanak (TK) di Ohoiwait. “Kelas baru” berdasarkan trajektori kehidupan muncul dan diakui atas diri dan keluarga Daud Rahaningmas. Disinilah tampak nyata bagaimana perilaku individu ditujukan bagi pembentukan hubungan-hubungan sosial baru yang berimplikasi pada legitimasi kelas (status). Selain itu, strategi edukatif yang bertujuan mengakumulasikan modal simbolik termasuk investasi simbolik, juga dilakukan dengan cukup baik oleh kelompok ren-ren ini, khususnya yang dilakukan oleh keturunan Laurens 134
(Rahaningmas) yang telah digambarkan dalam bab III.27 Tingkat pendidikan menjadi ciri penting sekaligus pembeda dan pembentuk habitus kelas baru. Berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiki telah menciptakan habitus baru, dan menghasilakan perbedaan gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan mereka. Habitus baru berdasarkan strategi edukatif ini telah mengkonfirmasikan kepemilikan modal ekonomi, budaya, sosial, maupun simbolik. Modal ekonomi yang dimiliki tentu muncul tidak hanya berdasarkan kepemilikan tanah di kampung halaman, namun juga berupa uang dan benda-benda berharga lain sebab mereka memilih untuk tinggal dan bekerja di luar Pulau Kei. Sebagian dari modal ekonomi yang mereka miliki digunakan untuk membantu saudara-saudara mereka di kampung. Dalam perspektif Bourdieu hal ini akan turut memperkuat modal simbolik mereka yang tinggal dikampung karena akan muncul pengakuan terhadap prestise maupun status bahwa keluarganya adalah “orang berada”. Selain itu, modal budaya yang merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual juga muncul dan dimiliki kelompok ini. Masyarakat Ohoiwait tahu bahwa Reinhard Rahaningmas adalah dosen Universitas Arilangga Surabaya (UNAIR), dan Laurens Kudubun adalah Pengacara/Advokat yang memiliki kantor sendiri di Surabaya, selain itu semua gelar keserjanaan yang mereka miliki adalah juga didapatkan di Jawa. Tentu kualifikasi intelektual ini menimbulkan prestise, status, dan kehormatan tersendiri bagi diri dan kelompoknya, fakta ini akan membuat masyarakat untuk
27
Lihat uraian Bab III tentang silsilah keturunan, khususnya keturunan Frans, Gerson, Hanggarget, Priskila, dan Reinhard. Dalam silsilah itu, setiap nama telah disertai dengan gelar yang menunjukan tingkat pendidikan. Mereka yang tidak diberi gelar berdasarkan data hasil wawancara, rata-rata memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
135
mengingat bahwa keturunan dari Laurens Rahaningmas itu berhasil dan juga pintar/pandai. Salah satu tradisi orang Ohoiwait (dan ini pasti merupakan kebiasaan setiap orang), adalah kebiasaan untuk “menempelkan” foto-foto keluarga (yang berada di rantau) didinding runag tamu rumahnya, dan kadang-kadang kelihatan narsis sebab yang ditempelkan adalah foto-foto dalam moment-moment tertentu, seperti foto wisudah, seminar, termasuk foto perkawinan, selain itu di atas meja atau lemari di ruang tamu selalu ada album foto yang terkadang menarik perhatian tamu untuk sekedar membukanya. Hal ini tentu berjutuan untuk selalu ingat kepada keluarganya yang berada dirantau, namun juga memiliki efek lain, yakni orang lain yang bertamu ke rumahnya akan terkagum-kagum bahwa keluarganya adalah orang-orang yang berhasil “di luar sana”. Pola seperti ini tentu harus dimaknai sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan pengakuan, prestise dan kehormatan dari orang lain (terutama mel-mel) yang berkunjung ke rumahnya. Pola interaksi antara ren-ren dan mel-mel memang tidak terjadi secara intens, namun mekanisme Gereja tentang ibadah yang dilakukan di rumah-rumah anggota jemaat secara bergilir tentu akan mempertemukan kedua kelompok ini dalam rumah-rumah mereka. Walaupun mekanisme ibadah itu tidak dimaksudkan untuk saling melihat foto atau saling menuji orang, tetapi perbincangan atau pembicaraan sebelum dan setelah ibadah dirumah yang bersangkutan (baik ren maupun mel) pasti memiliki keterkaitan dengan kondisi rumah itu, termasuk keadaan
136
keluarga-keluarganya. Di sinilah saling transfer pengetahuan tentang kondisi masingmasing orang dan keluarga terjadi. Berdasarkan uraian di atas, dan ketika diperhadapkan dengan konteks reproduksi wacana di desa Ohoiwait tentang mel-mel sebagai bangsawan, pintar/pandai, dan kaya, dan ren-ren sebagai orang kelas dua, tidak pandai/bodoh, dan miskin, membawa saya pada sebuah pertanyaan menggelitik “apakah ren-ren itu identik dengan orang-orang yang bodoh dan miskin?” Jawabannya tentu tidak benar. Nimrot Rahanigmas yang menjawab kepala desa menunjukan bahwa itu jawaban orang pandai; Daud Rahaningmas yang diangkat menjadi sekretaris LKMD di Ohoiwait menunjukan bahwa dia tidak bodok; beberapa anak Frans Rahaningmas yang menjadi PNS dan polisi di Papua menunjukan bahwa mereka orang-orang pandai, dan tidak miskin; beberapa anak Louis Notanubun yang menjadi PNS di Papua juga menunjukan bahwa mereka tidak bodoh dan tidak miskin; tidak ada orang bodok yang diangkat sebagai dosen pada universitas sekaliber UNAIR; dan ketika Laurens Kudubun bisa menjadi Pengacara/Advokat dan mampu mendirikan kantornya sendiri di Surabaya, apakah masih bisa dikatakan sebagai orang bodok dan miskin?. Kalaupun jawabannya adalah benar bahawa ren-ren identik dengan bodoh dan miskin, maka saya dapat merumuskan pernyataan bahwa “hanya orang bodok yang mau mengangkat Daud Rahaningmas menjadi sekretaris LKMD di Ohoiwait; pemerintah negeri ini terlalu bodok untuk mengangkat beberapa orang dari anak-anak Frans Rahaningmas serta Louis Notanubun untuk menjadi abdi negara; hanya orang 137
bodok yang mau mengangkat Reinhard Rahaningmas sebagai dosen; dan hanya orang bodoh yang mau menyerahkan kasusnya untuk ditangani oleh Laurens Kudubun. Apakah demikian?. Karena itu, wacana mel dan ren atau kasta di desa Ohoiwait dan lebih umum lagi di Kei perlu didekati dan direproduksi ulang secara lebih cerdas, bahwa masalah pintar/pandai, kaya dan miskin adalah dinamis, dan semua orang, siapapun dia bisa mengalami hal itu. Bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun atau sekelompok orang yang telah ditakdirkan untuk selamanya menjadi bodoh dan miskin, atau pintar dan kaya. Selain itu, saya berkeyakinan bahwa tidak ada bangsawan (dalam pengertian Bangsawan seperti di Jawa) di Kei, yang ada adalah sekelompok orang mengklaim diri sebagai penduduk asli, dan sekelompok lain sebagai pendatang, apakah mereka bangsawan? Tentu tidak. d. Mengharapkan Keajaiban: Sebuah Strategi Bertahan Penjelasa di atas memberikan gambaran bahwa perjuangan ren-ren dalam memperebutkan modal-modal dalam ranah serta mempengaruhi dominasi yang dilakukan mel-mel terhadap mereka, dilakukan dalam suasan tanpa kekerasan. Bahkan dalam beberapa kasus pengakuan tentang kedudukannya sebagai tuan tan atau penduduk asli datang dengan sendiriya. Hal ini sekali lagi memperkuat argumentasi bahwa tesis Martinus Ngabalin (2006) tentang “keturunan penduduk asli Ohoiwait telah punah” adalah tidak tepat, termasuk sejarah tutur yang dikemukakan Eliazer Rahajaan yang mengatakan bahwa keturunan Elyaur telah punah adalah tidak benar. 138
Mengharapkan keajaiban, pemahaman seperti inilah yang dimiliki oleh kelompok ren-ren. Hasil penelitian membuktikan bahwa mereka (ren-ren) sebenarnya sangat sadar adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai tuan tanah dan penduduk asli, namun secara kasat mata mereka tidak juga melawan. Abstraksi terhadap realitas hidup kelompok ini, sampai pada satu titik terbentur pada konsep ‘pasrah” dan “berharap” datangnya keajaiban. Fenomena ini mirip dengan realitas sebagian (mungkin keseluruhan) masyarakat bangsa Indonesia yang terus mengharapkan kedatangan sang Ratu Adil. Perjuangan dengan kekerasan sejak awalnya memang bukan merupakan “jiwa” dari kelompok ren-ren ini. Mereka lebih mengutamakan harmoni tatanan sosial kehidupan bersama. Sebab itu, sejak awalnya ketika terjadi perpindahan kekuasaan adat dengan terbunuhnya Bun Liisa, berlanjut pada masa “kegelapan” atau foar faraha, dan munculnya wacana bahwa mereka telah punah bahkan juga diwacanakan sebagai iri-iri (dalam pengerian budak), mereka pun tetap tidak melakukan perlawanan dalam bentuk fisik dan kekerasan. Maka pertanyaannya apa yang melatarbelakangi sikap seperti itu? Makna Ohoiwait diyakini mempengaruhi pemahaman mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan “keributan” dan merusak tatanan adat. Mereka memahami makna Ohoiwait secara lebih mendalam, tidak sekedar sebagai sebuah ‘kampung baru’ yang berubah nama dari nama awal El Umel28 menjadi Ohoiwait. “Wait” dalam bahasa Kei memiliki dua arti, yakni “baru” dan “hidup”
28
El Umel saat ini hanya digunakan sebagai nama Woma (pusat kampung). El Umel bermakna “di atas (tanah) dataran itu saya tumbuh atau hidup”
139
sebab itu, secara umum masyarakat memankaninya sebagai “hidup di kampung baru” hanya berdasarkan perubahan dari nama kampung itu. Namun oleh kelompok ren-ren tidak hanya sekedar ‘hidup di kampung baru’, mereka mengatakan bahwa kampung itu (Ohoiwait) adalah “kampung yang hidup”, bukan saja orang-orang yang hidup mendiami kampung itu, namun “kampung itu sendiri juga hidup.” Karena itu muncul konsep seperti “Ohoi Nliik” yang bermakna “oleh karena kampung ini hidup maka ‘dia’ bisa melihat perilaku orang-orang hidup yang juga hidup di dalamnya.” Itu artinya orang-orang yang hidup di kampung ini harus berlaku adil dan jujur terhadap sejarah Ohoi Nuhu, tanpa itu mereka akan “ditolak” oleh kampung ini–“Ohoi Ntuak.” Pemahaman seperti itu mengindikasikan bentuk kepercayaan kepada leluhur yang telah mati (meninggal) namun diyakini masih ‘hidup” dan menjaga kampung. Kepercayaan ini tampak dalam konsep “Nit Teten hir bail Ohoi Nuhu” (lelulur yang telah meninggal menjaga kampung halaman), prakteknya disebut “flurut nit atau tai taryoman” yang masih ada sampai sekarang. Misalnya ada anggota keluarga yang pulang kampung, atau hendak pergi meninggalkan kampung untuk merantau, termasuk kegiatan membangun atau membongkar rumah, dan lain-lain, tai taryoman ini selalu dilakukan. Tujuannya adalah memberitahukan segala kegiatan yang akan dilakukan kepada leluhur yang telah mati. Caranya adalah menyiapkan siri, pinang, tembakau, dan uang, dimasukan ke dalam piring kemudian meletakankan di atas pintu atau jendela rumah.29
29
Waktu yang tepat adalah pada pagi dan sore hari, dan biasanya setelah 1-2 jam sudah boleh diturunkan, namun ada juga yang dibiarkan samapi malam atau pagi hari berikutnya. Biasanya uang
140
Kepercayaan dan praktek inilah yang melatarbelakangi tindakan kelompok ren-ren untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat melanggar adat, atau keributankeributan (konflik dengan kekerasan) di Ohoiwait. Sebab mereka sangat yakin bahwa leluhur mereka akan marah. “Kemarahan Leluhur” yang telah mati itu dipahami sebagai tampak dalam sakit-penyakit, lama/tidak menikah, lama/tidak punya anak, dan lain sebagainya. Pemahaman itulah yang membuat kelompok ren-ren selalu mengharapkan datangnya “keajaiban” dan bagi saya (peneliti) “keajaiban” itu tampak dalam rentetan peristiwa yang terjadi, seperti yang telah dijelaskan dalam berbagai strategi memperebutkan modal-modal di atas. “Keajaiban” lain yang terjadi adalah bahwa kelompok ren-ren (dan juga mel-mel) tidak pernah mengerti mengapa sekitar tahun 1960-an (tepatnya tahun 1967) Reinhard Rahaningmas sudah berkuliah di Surabaya, yang selanjutnya diikuti oleh anak-anak dari saudara/saudarinya, termasuk cucucucunya. Dengan demikian, falsafah “adat in ot rat naa dunyai” (terhormat atau tidaknya seseorang tergantung dari perilaku dan tutur katanya), tampak dalam pemahaman ren-ren itu. 4.2. Faktor-Faktor Yang Pendorong Strategi Ren-Ren Berdasarkan penelitian ditemukan beberapa faktor yang mendorong strategi ren-ren menghadapi dominasi mel-mel, diantaranya faktor budaya, sosial, pendidikan dan politik. Harapannya dengan menjelaskan faktor-faktor ini, akan memberikan kontribusi bagi ruang gerak kelompok ren-ren dalam upaya mempengaruhi dominasi
yang digunakan adalah uang logam. Uang ini kemudian harus dibawa ke gereja pada hari minggu sebagai persembahan kepada Duad.
141
mel-mel. Faktor-faktor ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor pendukung atau pendorong berbagai upaya (strategi) yang dilakukan ren-ren untuk keluar atau setidaknya meminimalisasi dominasi mel-mel atas mereka, walaupun terkadang faktor-faktor ini bisa juga menjadi penghambat. Atau dengan kata lain, pendorong dan penghambat tergantung dari bagaimana mengkonstruksikannya. Beberapa faktor tersebut, adalah : a. Faktor Budaya Dalam hidup manusia, kebudayaan secara umum dapat dipahami sebagai arena dimana setiap orang dapat berupaya dengan kemampuannya mengolah realitas demi memperoleh kemajuan serta peningkatan mutu kehidupannya. Karena itu, C.A. van Peursen, mengemukakan bahwa, manusia dalam menghadapi realitas imanennya itu tidak bertopang dagu, tetapi menerobos cengkraman fakta-fakta dengan mengadakan penilaian dan mengangkatnya ke dalam keputusan dan kebijakan (transenden).30 Berdasarkan penjelasan van Peursen di atas, maka faktor budaya yang maksudkan sebagai pendorong upaya ren-ren untuk keluar dari dominasi itu adalah soal interpretasi mereka terhadap hukum adat Larvul Ngabal dalam perspektif tom tad (tuturan sejarah asli). Dalam hukum adat Larvul Ngabal yang memuat tujuh pasal, dan merupakan hukum adat kebanggaan orang Kei, tidak ditemukan satu pasalpun yang menjelaskan tentang kedudukan mel-mel, ren-ren, dan iri-iri. Karena itu, ketika praktek pemerintahan adat yang dasarnya adalah hukum adat ini, kemudian
30
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 10-17
142
harus direcoki dengan sistem kasta yang ketat maka, orang harus bertanya tentang legalitas sistem kasta itu di dalam hukum adat. Ketiadaan legalitas hukum yang mendasari praktek kasta di Ohoiwait, maupun kepulauan Kei secara umum, menjadi motivasi tersendiri bagi kelompok renren bahkan iri-iri untuk bangkit dan mempertanyakan model praktek kasta yang berimplikasi pada terdominasi, terdiskriminasi, bahkan tereliminasinya kelompok ren-ren khususnya di Ohoiwait dari hak-hak mereka. Pembacaan yang lebih cerdas terhadap hukum adat Larvul Ngabal, khususnya pasal 7 yakni, hira ni intub fo ni, it did intub fo it did yang menghendaki atau menuntut sikap jujur dan bermartabat telah mendorong ren-ren Ohoiwait untuk “bergerak” dalam mereproduksi wacana-wacana tandingan bahwa mereka adalah orang atau keturunan pendududk asli yang terabaikan hak-haknya akibat tipu-daya yang dilakukan mel-mel. b. Faktor Sosial Sedangkan faktor sosial yang ditemukan sebagai faktor pendorong strategi ren-ren dalam mempengaruhi dominasi mel-mel, muncul dalam beberapa tipe, yakni: Pertama, modal sosial yang terbangun sejak awanya bahwa mereka adalah keturunan rat Buyai (Kanar El) menciptakan solidaritas kelompok ren-ren sebab memiliki identitas bersama sebagai penduduk asli. Modal sosial ini terutama tampak dalam keputusan yang diambil oleh Anton Notanubun, dan Louis Notanubun dan anak-anak anak-anak untuk tidak berada dibawah penguasaan siapapun, walaupun mereka mengikuti marga Notanubun. Begitu pula dengan yang dilakukan oleh Frans 143
Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, yang tidak juga berada dibawah penguasaan mel-mel walaupun hak-hak mereka sebagai penduduk asli (tuan tanah) juga tidak bisa dijalankan karena telah diambil alih oleh mel-mel. Tipe kedua, bahwa hubungan-hubungan sosial dengan keluarga-keluarga yang berhasil dan hidup menetap dirantau telah memberikan semangat dan kekuatan, sebab hubungan yang terbangun itu secara langsung juga menambah modal-modal seperi ekonomi, budaya, maupun simbolik bagi mereka (ren-ren) yang tinggal di kampung (Ohoiwait). Dengan adanya modal-modal itu, mereka memiliki kekuatan untuk bertarung memperebutkan modal-modal lain dalam ranah-ranah di kampung. Tipe ketiga, adalah ren-ren sebagai identitas di Kei. Dalam masyarakat Kei, ketika orang mengatakan ren-ren, maka ingatan si penutur dan pendengar sedang tertuju pada komunitas pembentuk woma, mereka sebenarnya adalah pusat kehidupan. Artinya, secara kultural (adat) kelompok ren-ren memegang peranan Luw Sukat atau Mituduan sebab mereka adalah tuan tan yang bertugas mendoakan atau memohon keselamatan Ohoi Nuhu (tanah air dan segala isinya) kepada Duan Duad atau kepada Tuhan dan para Leluhur yang telah meninggal dunia. Walupun dalam setiap Ohoi pengakuan hak-hak kelompok ren-ren ini tidak sama, namun masyarakat Kei memahami bahwa yang disebut ren-ren selalu berfungsi sebagai Mituduan yang memegang peranan untuk menghubungkan “dua dunia yang berbeda” lewat doa. Ren sebagai identitas maka ada pengakuan terhadap kedudukannya itu. Pada saat penelitian, saya sempat mengunjungi desa Ohoirenan, Sather, Ohoiel, Waur, dan Ngufit dan secara acak mengajukan pertanyaan “tahukah 144
anda siapa tuan tanah Ohoiwait? 31 kepada orang-orang yang saya temui, jawabanya seragam yakni ren-ren Ohoiwait, dan yang mereka maksudkan dengan ren-ren Ohoiwait adalah mereka yang tinggal di Ohoi Un (ini adalah bagian kampung yang ditempati oleh keturunan rat Kanar El). Pengakuan desa lain terhadap eksistensi kelompok ren-ren sebagai penduduk asli yang tinggal di Ohoi Un itu, bukan hanya baru muncul/tampak ketika penelitian ini dilakukan. Pengakuan itu sudah terjadi sejak lama bahwa yang tinggal di Ohoi Un itu adalah ren-ren dan mereka adalah penduduk asli. Ketiga tipe inilah yang membuat saya untuk menyimpulkan bahwa faktor sosial atau solidaritas bersama ren-ren di Kei mendorong upaya-upaya mereka dalam mempertanyakan hak-haknya. c. Faktor Pendidikan Perjuangan dalam mempengaruhi atau meminimalisir dominasi yang dilakukan oleh mel-mel memang tidak hanya dilakukan oleh generasi muda, sejak awanya upaya-upaya menuju kesetaraan hak itu sudah ada, namun belum terlalu nampak. Upaya-upaya itu mulai muncul kepermukaan atau nampak jelas seiring dengan munculnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak. Itulah sebabnya, mengapa tahun 1967 Reinhard Rahanigmas harus keluar dari Ohoiwait, bahkan Maluku untuk kuliah di Jawa (Surabaya), dan dalam waktu-waktu berikutnya, sekitar tahun 1980–an diikuti oleh Laurens Kudubun dan akhirnya “jalan ini” terbuka lebar bagi anak cucu Renhard Rahaningmas untuk menempuh di 31
Kelima desa ini adalah desa-desa yang terletak disebelah Utara dan Selatan desa Ohoiwait yang dapat ditempuh dengan menggunakan Ojek atau speed dengan waktu antara 10-30 menit. Walaupun secara metodologis, pertanyaan “lepas dan lewat’ seperti itu dapat diperdebatkan keakuratan jawaban dari setiap orang, namun karena jawabannya seragam maka saya berkeyakinan bahwa jawaban itu benar adanya.
145
Surabaya (Jawa). Hasil dari kesadaran akan pentingnya faktor pendidikan sebagai dasar menggerakan komunitas agar mempengaruhi dominasi mel-mel ini mulai nampak sekitar tahun 2000-an, ketika Reinhard dan juga Laurens untuk pertama kalinya pulang ke kampung. Kehadiran untuk pertama kalinya kedua tokoh sentral kelompok ren-ren di Ohoiwait memberi semangat, kekuatan, dan harapan bagi mereka yang tinggal di kampung bahwa ren-ren bukan orang bodoh dan miskin yang hanya bisa tinggal diam dan menerima nasib buruk sebagai kelompok yang dinomor–duakan apalagi dikatakan sebagai iri-iri. Semangat baru kelompok ren-ren muncul untuk berupaya menyekolahkan anak-anak mereka, hasilnya sebagian dari mereka telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Papua, dan beberapa orang lainnya di Ambon, Maluku Tengah. d. Faktor Politik Secara khusus saya melihat bahwa ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Maluku Tenggara, Nomor 03 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi, memunculkan asumsi bahwa perjuangan kelompok ren-ren khususnya di Ohoiwait dalam mengembalikan hak-hak mereka yang selama ini tidak dimilikinya menjadi lebih memiliki dasar pijakan secara politik. Memang ada masalah dengan Perda ini, ketika hendak mengembalikan tatanan pemerintahan adat diperhadapkan dengan fakta pemekaran Kecamatan di Kei Besar dan Kei Kecil yang secara administratif wilayah adat menjadi tidak jelas. Namun saya tidak bermaksud atau berkepentingan untuk mengkaji masalah itu lebih 146
jauh dalam penelitian ini. Kepentingan saya adalah bahwa dengan munculnya Perda tentang Ratshap dan Ohoi membuka ruang gerak bagi kelompok ren-ren. Hal ini berkaitan dengan oposisi biner mel dan ren yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya. Hal menarik dalam Perda ini adalah pada Bagian Ketiga, Syarat dan Cara Pencalonan Orang Kai.32 Isi dari bagian ketiga ini hanya satu pasal, yakni pasal 7 yang terdiri dari 4 ayat. Untuk lebih jelas, maka 4 ayat dari pasal 7 itu adalah: (1) Orong kai ditetapkan melalui pengangkatan atau pemilihan. (2) Untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Orong kai, harus memenuhi persyaratan : a. Warga negara Indonesia; b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; d. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau sederajat; e. Berusia paling rendah 25 (dua) puluh lima tahun dan setinggitingginya 60 tahun; f. Bersedia dicalonkan menjadi kepala pemerintah Orong kai; g. Penduduk Ohoi/Ohoi Rat setempat; h. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun; i. Tidak dicabut hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; j. Memenuhi syarat lain yang ditetapkan untuk itu. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf j diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah (4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak, asal-usul, adat istiadat dan budaya setempat; Berdasarkan keempat ayat di atas, tidak ada ayat yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa Orang kai harus berasal dari kelompok tertentu khusunya mel32
Orang Kai adalah sebutan bagi kepala Ohoi, setelah berubah statusnya dari Desa ke Ohoi akibat ditetapkannya Perda ini. Sehingga sebutan Kepala Desa diganti dengan Orang Kai, yang mungkin lebih bermakna kultural dalam pandangan para anggota legislatif yang menyusun Perda ini.
147
mel. Karena itu, klaim mel-mel bahwa merekalah yang berhak untuk memimpin suatu Ohoi runtuh dengan sendirinya jika mengacu pada Perda ini. Selain itu, ada ketidak jelasan pada ayat (3) yang mengharuskan ketentuan lanjutan dari ayat (1) dan (2) huruf j diatur dalam Peraturan Daerah (mungkin yang dimaksud adalah Peraturan Pelaksana dari Bupati). Sedangkan pada ayat (4) dikatakan bahwa Peraturan Daerah itu “harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak, asal-usul, adat istiadat dan budaya setempat.” Ayat (4) ini menurut saya masih memberikan peluang yang cukup terbuka bagi kelompok ren-ren khususnya mereka yang hak-haknya terabaikan atau tidak diakui untuk berjuang demi mendapatkan kembali hak-haknya itu. Dalam hal ini, maka tuntutan untuk mereproduksi wacana berdasarkan tom tad asli menjadi penting sekaligus mendesak bagi ren-ren Ohoiwait. 4.3. Kemampuan Mereproduksi Wacana: Menuju Lebenswelt Baru Menuju lebenswelt (dunia kehidupan) atau field baru tidak dimaksudkan bahwa kelompok ren-ren harus bangkit melawan, mendominasi dan mengeliminir kelompok mel-mel (atau yang menyebut diri mel-mel) dari semua tatanan sosial dan tatanan pemerintahan adat. Yang saya maksudkan dengan menuju lebenswelt baru adalah sebuah tatanan kehidupan yang masyarakatnya saling bertoleran, saling menghormati, saling menghargai keberadaan yang lain, dan saling mengakui hak dan tanggungjawab individu maupun kelompok dalam kehidupan bersama. Dunia kehidupan seperti ini memang baru bisa diharapkan atau diandaikan, sebab dalam realitas hidup manusia selalu berwatak ingin menguasai. 148
Mengharapkan tatanan kehidupan atau sebuah dunia dengan orang-orang yang mampu hidup seperti yang diutarakan di atas sama saja dengan apa yang diharapkan oleh Habermas tentang “komunikasi bebas penguasa”. Keduanya sama-sama sulit terwujut namun perlu diandaikan. Apabila mencermati pemikiran Bourdieu, Gramsci, dan Habermas, benang merah yang ditawarkan ketiganya adalah mirip atau hampir sama, ketiganya berupaya memberikan sebuah jalan keluar kepada mereka yang terdominasi dan terdiskriminasi, walau dengan gaya yang berbeda. Selain itu, tuntutan yang diisyaratkan oleh ketiganya juga sama yakni pendidikan bagi generasi, walau Bourdieu cukup tegas dalam mengkritik praktek pendidikan sekolah yang menurutnya berkontribusi dalam melanggengkan dominasi kelas penguasa. Namun bagi ketiganya, pendidikan tetap menjadi fator penting untuk mempersiapkan
generasi
yang
mampu
berargumentasi,
sekaligus
mampu
menjalankan strategi-strategi perjuangan demi memperebutkan modal-modal dalam ranah. Pendidikanlah yang mampu mengangkat harkat dan martabat kelompok subaltern untuk mempertanyakan dan mereproduksi kembali wacana kasta di India. Sebab itu demi menuju lebenswelt yang baru di Kei khususnya di Ohoiwait, maka dibutuhkan generasi muda yang cerdas dan mampu berpikir kritis dalam mengkritisi praktek kasta yang tampak dalam pembagian seperti mel-mel, ren-ren, dan iri-iri dengan segala embel-embelnya, yang seolah-olah terberi dan alami sehingga harus diterima begitu saja. Hanya dengan generasi muda yang kritis namun tetap mengapresiasi nilainilai adat sebagai pengetahuan lokal yang mendasari tindakan mereka, maka 149
lebenswelt yang baru secara perlahan akan nampak. Falsafah hidup masyarakat Kei seperti: ain ni ain; vuut ain mehe ni ngifun manut ain mehe ni tilur; dan adat in ot rat naa dunyai, serta yang lainnya semuanya mengerucut pada premis “mangajarkan orang Kei untuk hidup damai dan toleran terhadap yang lain, demi terwujudnya persatuan dan kesatuan orang Kei.” Sebab itu, nilai-nilai adat (budaya) seperti ini jangan sampai “dirusak” oleh reproduksi wacana mel, ren, dan iri yang salah kaprah tersebut. Karena itu, bagi saya jika orang Kei khususnya di Ohoiwait masih mempertahankan wacana kasta seperti itu, maka mereka telah mengalami kemunduran atau degradasi pemikiran dari leluhur mereka yang masih dikategorikan sebagai tradisional dan primitif, atau memang lebih primif dari pada leluhur mereka. Menuju lebenswelt baru yang dasarnya adalah solidaritas, mensyaratkan bentuk komunikasi yang bebas tekanan, bebas penguasa atau dengan kata lain dibutuhkan komunikasi yang setara. Pola komunikasi yang setara ini memang sulit terwujud jika dilakukan oleh “generasi tua”, sebab mereka masih mempertahankan serta mewarisi nilai-nilai lama, yakni wacana kasta yang saya sebut salah kaprah di atas. Pamahaman tentang kasta yang salah kaprah itu hanya bertujuan melanggengkan status quo, karena itu diperlukan pembacaan baru yang lebih kritis terhadap praktek kasta itu. Reproduksi wacana tentang kasta yang perlu dikemukakan adalah soal konsensus persaudaraan sebagai kakak dan adik pada pertemuan mula-mula dua komunitas itu. Selain itu, perlu dikembangkan pemahaman bahwa ‘tidak ada individu atau kelompok yang hadir di dunia ini dengan kodrat sebagai orang bodoh dan 150
miskin; dan yang lain hadir dengan kodrat sebagai pandai dan kaya.” Bahwa bodoh dan pandai, miskin dan kaya adalah konsep-konsep yang dinamis dan tidak terwariskan atau secara alami telah menjadi kodrat ketika seseorang dilahirkan. Diskursus argumentatif dan kritik ala Habermas perlu dimulai lewat “pintu masuk” seperti itu. Klaim kebenaran dan klaim ketepatan perlu selalu didiskursuskan, namun bukan dengan tujuan menciptakan kelompok penguasa baru yang mendominasi dan mengeliminir yang lain. Tetapi tindakan komunikatif itu diupayakan dalam kerangkan mengembalikan tatanan sosial asli masyarakat Kei yang hidup sebagai saudara, yang mengakui hak-hak kelompok lain, yang tidak mengeliminir kelompok lain demi mempertahankan kekuasaan. Dengan berdasar pada falsafah yang telah dikemukakan di atas, dan munculnya generasi muda Kei khususnya di Ohoiwait yang kritis, maka jalan menuju komunikasi yang setara itu terbuka. Minimal hal ini telah dilakukan oleh Daud Rahaningmas dan sekretaris desa Reveldus Kudubun yang telah membuahkan hasil, keduanya tidak saling berkonflik atau membunuh atas nama perbedaan kelas, mereka menjalin pertemanan sejati dalam kehidupan yang damai. Kemampuan mereproduksi wacana kasta untuk menuju lebenswelt yang baru, akan membuka ruang bagi perebutan modal-modal sosial dalam ranah dengan lebih “tertib” dan lebih bermartabat. Dengan demikian akan muncul model-model habitus baru yang tidak lagi berwatak sangar untuk meniadakan yang lain, namun lebih toleren, bermartabat, dan mengakui keberadaan orang lain. Untuk itu, diskursus 151
komunikatif harus dilakukan dengan bentuk kesadaran yang tinggi serta kebulatan tekad untuk berani mengatakan serta mengaplikasikan pasal 7 hukum adat Larvul Ngabal, “hira ni intub fo ni, it did intub fo it did” (mengakui kepunyaan orang lain dan kepunyaan sendiri). Aplikasi pasal ini memang memerlukan kebulatan tekad dan kejujuran. Jujur untuk mengakui bahwa “sesuatu” itu adalah milik orang lain, atau bukan miliknya, sebaliknya “sesuatu” itu miliknya dan bukan milik orang lain. Kejujuran memang menjadi kunci untuk segala sesuatu, dan dalam praktek kasta di Ohoiwait, kejujuran itu seakan hilang atau menjauh dari orang-orang Ohoiwait khususnya mel-mel, seoalah-olah tidak ada Hukum Laevul Ngabal. Atau dengan sedikit bernada keagamaan, bagi mereka yang beragama Kristen seolah-olah (atau memang telah) lupa bahwa Yesus pernah berkata “katakan ya di atas ya, dan tidak di atas tidak”. Sebab itu, ketika kejujuran terhadap diri serta orang lain dan komitmen terhadap tatanan sosial budaya yang asli maupun yang sedang berkembang menjadi dasar mereproduksi wacana kasta di Ohoiwait, serta diskursus komunikatif dapat terbangan antar generasi muda yang memiliki wawasan kritis, maka jalan menuju kehidupan sosial (lebenswelt) yang baru terbuka lebar. Di sinilah falsafah adat in ot rat naa dunyai, diuji.
152