1
BAB IV MEKANISME KERJA ANALISIS DAN PEMETAANNYA Pada bab I telah dijelaskan metode analisis penelitian yang digunakan, namun pada bab keempat ini akan dijelaskan kembali, agar terasa lebih fungsional dalam proses analisis datanya. 4.1.
Mekanisme Kerja Analisis Kognisi Sosial Proses analisis kognisi sosial terhadap suatu teks dapat dilihat (dikaji) dalam beberapa kategori sebagai berikut : Pertama, Tematik (struktur makro) merupakan makna global dari sebuah teks, yang bisa dipahami dari tema atau topik teks secara global. Kedua, Skematik (super struktur) dimensi ini dapat dikaji dari skema teks yang terdiri dari dalam kategori pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga, Semantik (struktur mikro) dimensi ini dapat dikaji dari makna yang ditekankan dalam teks. Keempat, Sintaksis
(struktur
mikro)
dimensi
dapar
dilihat
dari
pendapat
disampaikan. Kelima, Stilistik (struktur mikro) dimensi ini dapat dilihat dari pilihan kata yang digunakan. Keenam, Retoris (struktur mikro) dimensi ini dapat dikaji dari penekanan dilakukan. Perangkat kerja analisis kognisi sosial ini bisa dipilah-pilahkan, kaitannya dengan fokus masalah yang akan diteliti. Perangkat kerja analisis tematik, skematik dan semantik akan menjawab fokus masalah tentang makna atau gagasan JIL, sedangkan perangkat kerja analisis sintaksis, stilistik dan retoris akan menjawab fokus masalah tentang ekspresi teks JIL.
2
Sedangkan dimensi kognisi sosial dan konteks sosial bisa masuk dalam persoalan ideologi dan kepentingan. Artinya dua perangkat ini nantinya bisa membantu perangkat kerja arkeologi dan genealogi wacana dalam memenukan kepentingan dan ideologi teks, karena perangkat kognisi dan konteks sosial teks belum begitu fungsional dalam analisisnya. Perangkat analisis kognisi sosial dan konteks sosial ini yang akan membantu (sama dengan) perangkat kerja analisis arkeologi dan genealogi, hanya saja kedua yang terakhir ini lebih lengkap dan aplikatif, ketimbang perangkat kognisi dan konteks sosial. Perangkat kerja analisis kognisi sosial sama dengan perangkat basis sosial dan posisi kelas dalam teori arkeologi, sementara perangkat konteks sosial sama dengan perangkat genealogi wacana (pertalian wacana, perkembangan dan relasi kuasanya). Tabel berikut ini akan menjelaskan proses analisis kognisi sosial :
4.2.
Fokus Masalah
Metode
Perangkat Analisis
Makna/Gagasan
Kognisi sosial
Tematik, Skematik, Sematik
Ekspresi
-
Sintaksis, Stilistik, Retoris
Mekanisme Kerja Analisis Arkeologi dan Genealogi Wacana Untuk membedah “sesuatu yang tak terbaca” dalam pemikiran JIL, yaitu berkaitan dengan ideologi dan kepentingan teks (gagasan), peneliti menggunakan perangkat kerja analisis arkeologi dan genealogi wacana.
3
Secara praktis, arkeologi merupakan metode pencarian “makna kebenaran” gagasan atau makna teks, dengan menganalisis sistem-sistem, prosedur-prosedur yang teratur dalam produksi, pengaturan, strategi, dan operasional wacana. Ia digunakan untuk meneliti sejarah-sejarah munculnya
pernyataan
(sejarah
ide),
fundamen-fundamen
yang
membentuknya (perspektif), yang kemudian menjadi sebuah “kebenaran” dan ideologi. Ia bisa membaca teks “yang tak terbaca” yang ada pada suatu gagasan, dan membongkar dokumen-dokumen yang telah dimonumenkan oleh sejarah (rejim kekuasaan, modal, media, intelektual, agama), serta berusaha membuat tafsir-tafsir baru atas monumen (dokumen) itu. Ia digunakan untuk melacak sejarah ide, gagasan, pemikiran, episteme (pengetahuan), apa fundamen (perspektif) yang membentuk ide-ide itu, siapa yang membentuknya, dimana posisi kelasnya, bagaimana basis sosialnya, dan apa ideologinya.1 Tugas genealogi adalah menganalisis hubungan timbal balik antara sistem kebenaran, wacana, pengetahuan, dan sejarah, dengan mekanisme kuasa, rezim yang memproduksi dan menentukan suatu kebenaran. Ia bertugas menganalisa awal mula wacana dan perkembangan kebenaran, serta menganalisis akar pengetahuan, wacana, dominasi, penyingkiran, marjinalisasi, penaklukkan, hubungan kekuatan dan kekuasaan. Ia berurusan dengan kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi kuasa yang dikaitkan dengan praktek diskursif, berfokus pada persoalan power yang 1
Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, (tej. Mukhtar Zurni), Qalam, Yogyakarta, 2002, hlm. 225-244; dan 259-290.
4
bersifat praktis-politis. Ia meneliti tentang bagaimana keterkaitan antara kekuasaan, pengetahuan, dan objeknya. Ia digunakan untuk melacak perkembangan wacana, peneguhan wacana, dominasi, penyingkiran wacana lain, wacana digunakan untuk membela siapa, dan bagaimana relasi kuasa.2 Secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini 3: Fokus Masalah Sesuatu yang tak terbaca pada teks : Ideologi dan Kepentingan
Metode
Arkeologi
Genealogi
Teks/ gagasan JIL dalam perspektif dakwah
Teori Komunikasi & Dakwah
Dimensi Yang Dianalisis - sejarah ide-ide, - fundamen pembentuk ide - argumen ilmiah ide - siapa yang membentuknya, - dimana kelas sosialnya, - apa ideologinya, - menemukan ide-ide (tafsir) baru, - perkembangan wacana, - peneguhan wacana, - penyingkiran (marjinalisasi) ide - hubungan ide dengan kuasa - wacana untuk membela siapa, - untuk kepentingan apa dan siapa, - penentuan kebenaran ide/teks - pesan dakwah, - media dakwah - proses dakwah, - pendekatan dakwah
Contoh cara kerja dalam penelitian ini. Peneliti mengambil salah satu teks Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husani, dalam kitab Kifayatul Akhyar. Ia berpendapat bahwa “perempuan tidak boleh
2
Petrus Sunu Hardiyanta, Michel Foucault : Disiplin Tubuh dan Bengkel Individu Modern. LKIS, Yogyakarta, 1997, hlm. 30 3 Tabel ini merupakan acuan dalam menganalisis teks-teks JIL, kaitannya dengan ideologi dan kepentingan gagasan, serta gagasan-gagasan JIL dalam perspektif dakwah. Karena teori arkeologi dan genealogi, serta teori komunikasi dakwah banyak ragam analisisnya, sehingga peneliti hanya membatasi beberapa dimensi saja, yang akan dijadikan sebagai perangkat analisis.
5
atau tidak sah ketika mengimami laki-laki dalam sholat” (la ya’tammu rojulun bi imroatin).4 Teks (gagasan/pendapat) itu bisa dianalisis dengan menggunakan metode analisis kognisi sosial, arkeologi dan genealogi wacana, ketika kita ingin mencari makna yang sesungguhnya serta ada kepentingan apa dan apa ideologi yang terepresentasikan dalam teks tersebut. Maka ketiga metode itu bias diterapkan. Adapun cara kerjanya sebagai berikut. Pertama, analisa kognisi sosial. Salah satu perangkat analisis ini adalah perangkat semantik. Secara semantik, bahwa teks Imam Taqiyuddin tersebut bermakna bahwa “seorang wanita tidak diperbolehkan menjadi imam atas seorang laki-laki”. Kedua, analisis arkeologi wacana. Dimensi yang dianalisis dari metode ini adalah sejarah kemunculan ide atau teks, bagaimana argummen-argumen ilmiahnya, apa fundamen-fundamen pembentuknya (perspektif dan metodenya), siapa yang membuat ide/teks tersebut, apa posisi kelasnya dan apa ideologinya, serta bagaimana system sosialnya. Sejarah ide imam Taqiyuddin mengalami proses panjang. Ia terkenal sebagai pengikut imam Syafi’i, yang bermazhab Sunni. Metode istimbath-nya pun sama. Ia hidup pada abad ke-9 hijriyah atau 16 masehi. Ia tinggal di Damaskus, Baghdad.5 Atas dasar latar belakang itulah munculnya teks atau pendapat imam Taqiyuddin tentang imam wanita. Kemudian bagaimana argumen-argumen “ilmiah” disampaikan sebagai 4
Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar : fi halli ghoyati al-ikhtishor, Darul Kitab AlIslami, Surabaya, t.th, hlm. 135 5 lihat Imam Taqiyuddin dalam pengantar kitabnya, hlm. 02-05.
6
penguat atas ide tersebut. Imam Taqiyuddin mengutip firman Allah “Alrijalu qowwamuna ‘ala an-nisa’” (laki-laki adalah pemimpin para wanita). Alasan lain ia mengutip sabda nabi, “lan yufliha qowmun wallau amarahum imra’atan” (tidak akan sukses jika urusan diserahkan kepada wanita). Alasan lain juga bahwa wanita adalah aurat dan sumber fitnah.6 Fundamen pembentuk (metode yang digunakan) teks atau idenya adalah metode Qiyas, sebagaimana metode yang digunakan imam Syafi’i. Merode ini digunakan karena memang dalam al-Quran tidak dijelaskan secara jelas dan rinci, sehingga menggunakan metode qiyas. Misalnya ia mengqiyaskan ayat an-nisa tentang “kepemimpinan” dengan imam sholat wanita atas laki-laki. Siapa yang mengeluarkan pendapat itu, apa posisi kelasnya, dan apa ideologinya, menjadi penting dalam hal ini. Imam Taqiyuddin adalah seorang laki-laki dan posisi keasnya adalah sebagai ulama terkenal di dalam dunia Islam. Ia bermazhab (berideologi) sunni, yang lebih terkenal sebagai pengikut (pembela dan penerus ideologi) imam Syafi’i. Sedangkan system sosial saat itu, abad ke-9 hijriyah adalah system budaya fatriarkhi (kekuasaan laki-laki). Secara genealogis, bagaimana perkembangan wacana/teks atau pendapat imam Taqiyuddin tersebut? Pendapat ketidakbolehan seorang wanita menjadi imam sholat bagi laki-laki sampai abad ke 16 masehi (ke-9 hijriyah) tidak jauh berbeda, masih tetap sama, sejak imam Syafi’i sampai
6
lihat Imam Taqiyuddin, loc.cit.
7
kepada pengikutnya, imam Taqiyuddin. Baru-baru ini, akhir tahun 2004, seorang wanita yang bernama Amina Wadud menjadi imam sholat idul fitri, sekaligus menjadi khatib bagi kaum laki-laki. Bagaimana penentuan dan peneguhan kebenaran ide atau teks tersebut? Hal ini bisa dilihat dari argumen yang disampaikan dan metode yang digunakannya. Ayat-ayat al-Qu’an dan hadis nabi yang digunakan sebagai argumen serta metode imam Syafi’i yang digunakannya sebagai perspektif. Secara arkeologis, kepentingan teks imam Taqiyuddin jelas untuk membela ideologi kaum laki-laki dan demi kelanggengan otoritas kaum laki-laki. Wacana-wacana atau pendapat lain, yang membolehkan imam wanita, tidak disebutkan dalam kitabnya, padahal kitabnya itu adalah kitab muqoranah al-mazahib, karena memang saat itu belum ada pendapat yang berbeda, sehingga tidak ada wacana yang disngkirkan atau dimarjinalkan. Kaitannya dengan relasi kuasa, teks itu sangat kental dengan kuasa (otoritas) ulama dan kuasa kaum laki-laki terhadap wanita, yang masih berlangsung sampai saat ini.
Gagasan-Gagasan JIL Dalam Perspektif Dakwah Mekanisme kerja analisis yang berkaitan dengan teks atau gagasangagasan JIL dalam perspektif dakwah, telah peneliti jelaskan dalam kerangka teori tentang teori-teori komunikasi dan dakwah, yang ada kaitannya dengan materi dakwah, juru dakwah, media dakwah dan
8
pendekatan dakwah. Teori-teori itu nantinya akan dijadikan sebagai kaca mata untuk menganalisis teks-teks JIL. Pertanyaan yang akan dijawab, pertama bisakah teks-teks JIL itui dinamakan pesan dakwah?, bisakah penulis JIL itu dinamakan sebagai juru dakwah?, bisakah media yang dijadikan JIL sebagai sosialisasi ide-idenya iti sebagai media dakwah?, dan bisakah ekspresi yang gunakan JIL itu sebagai pendekatan dakwah?.
4.3.
Elaborasi Teori Althusser, Gramsci, Peacheux dan Foucault Dalam proses analisis, nantinya akan dibenturkan dengan teori tentang kelas sosial, ideologi, kepentingan-Michel Pecheux, dan relasi kuasa-Michel Foucault, serta teori ideologi-Louis Althusser, dan teori hegemoni-Antonio Gramsci, yang akan dijadikan sebagai pemetaan lebih lanjut. Dengan demikian, dalam proses analisis penelitian ini, tidak melulu menggunakan teori arkeologi dan genealogi Foucault, melainkan kombinasi dari berbagai teori. Pertama, teori kelas sosial. Apakah (anggota) JIL bersifat borjuis, dan mapan, atau proletar dan miskin. Tipologi ini bisa tentukan oleh basis sosial dan kelas sosial JIL. Secara teoritis, basis sosial dan posisi kelas menentukan sebuah gagasan, cara berpikir dan kemudian menentukan suatu ideologi.7 Dari sinilah muncul asumsi bahwa kelompok-kelompok miskin
7
mempunyai
tipologi
pemikiran
dan
kepentingan
yang
Nurkholik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Galang Press, 2002, hlm. 30
9
diperjuangkan, yang berbeda dengan kelompok-kelompok mapan atau borjuis. Perbedaan tipologi pemikiran itu menunjukkan pula perbedaan ideologi dan kepentingan yang dibelanya. Dengan demikian pertarungan antara posisi kelas tidak hanya dalam perebutan dan penguatan makna “kebenaran wacana”, akan tetapi sesungguhnya perebutan posisi sosial, politis, dan ekonomis dalam posisi kelas.8 Atas dasar itu, dari manakah basis sosial kelompok JIL berasal? Dari kelompok mapan, atau miskin? Kenapa gagasan-gagasan tertentu kampanyekan, dan gagasan-gagasan yang lain tidak? Apa kepentingannya? Siapa dan apa yang sedang dibela JIL?, dan wacana apa yang disingkirkan oleh JIL? Kedua, teori ideologi. Apakah ideologi (ide atau gagasan) JIL bersifat kanan atau kiri, kebebasan atau pembebasan, borjuis atau proletar. Tiga pasang istilah tersebut sebenarnya sama dalam makna. Tipologi itu ditentukan oleh tiga level pembacaan.9 Pembacaan pertama pada level cara berpikir atau mindset yang digunakan. Tipologi borjuis/kanan/mapan adalah cara berpikir untuk membela atau menguntungkan kaum mapan. Sedangkan tipologi pembebasan/kiri/proletar adalah cara berpikir untuk membela kelompok-kelompok miskin, lemah, dan kaum tertindas. Kedua,
pembacaan pada level gagasan-gagasannya.
Tipologi
borjuis selalu mengusung gagasan-gagasan yang sangat elitis dan tidak ada upaya untuk membebaskan kaum lemah, tertindas dan miskin secara 8
Nurkholik Ridwan, Pluralisme Borjuis, hlm. 33 Nurkholik Ridwan, Agama Borjuis : Kritik Atas Nalar Islam Murni, Ar-Ruz, Yogyakarta, 2004, hlm. 3235 9
10
drastis dan struktural. Sedangkan tipologi pembebasan dalam gagasangagasannya selalu untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas. Ketiga, pembacaan pada level metamorfosis gagasannya. Tipologi borjuis akan menghasilkan praksis-praksis elitis, dan menguntungkan kelompok mapan. Sedangkan tipologi pembebasan dalam praksis sosial untuk meneguhkan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas.
Dari tipologi di atas,
pertanyaan yang perlu diajukan, apa tipologi ide (ideologi) JIL?, kanan atau kiri?, dan borjuis atau pembebasan?. Ketiga, teori kepentingan. Apakah gagasan-gagasan JIL itu mempunyai kepentingan, apakah itu untuk kepentingan intelektual, perubahan sosial, politik-praktis, ekonomi (modal) atau untuk kepentingan proyek? Setiap “gagasan yang tampak” di permukaan mempunyai kepentingan atau “sesuatu yang tak tampak”. Apa yang tampak di permukaan
(gagasan)
merupakan
hasil
dari
kepentingan
yang
memunculkan gagasan, baik individu maupun komunitas. “Sesuatu yang tak tampak” (kepentingan) itu justru dipandang sebagai fakta yang menghasilkan gagasan atau yang paling menentukan suatu gagasan.10 Dalam teori Michel Pecheux, gagasan lahir dari individu atau komunitas yang tentunya mempunyai kepentingan dari gagasan itu, sementara individu atau komunitas lahir dari basis sosial yang mempengaruhinya, sehingga gagasan yang dilahirkan akan digunakan untuk membela dan
10
Nurkholik Ridwan, Agama Borjuis, Op.cit. hlm. 37
11
meneguhkan
kepentingannya.11
Dari
teori-teori
tersebut
muncul
pertanyaan, bagaimana basis sosial JIL?, siapa dan kepentingan apa yang JIL bela? Keempat, relasi kuasa. Menurut Foucault, kuasa tidak semata dimaknai sebagai kekuasaan formal (politik) seorang raja atau presiden, melainkan juga hubungan yang bersifat non formal (sosial). Kuasa sosial menyebar dalam masyarakat. Semakin kompleks suatu masyarakat semakin banyak pula kuasa adalah
relasi
12
pengetahuan
Relasi kuasa yang bersifat politis (formal) (gagasan)
dengan
rezim
kekuasaan
(pemerintah), dan perangkat-perangkatnya. Sedangkan relasi kuasa yang bersifat sosial (non-formal) itu misalkan relasi kuasa ekonomi, jenis kelamin (gender), organisasi masyarakat, agama, dan tradisi (budaya). Relasi kuasa yang bersifat sosial juga termasuk kuasa internasional dengan perangkat-perangkatnya. Kaitannya dengan analisis ini, yang akan diungkap adalah kedua kuasa tersebut, kuasa dalam pengertian politik dan sosial. Maka pertanyaan yang akan dijawab, apakah relasi kuasa yang ada pada gagasan JIL itu bersifat politis atau bersifat sosial?. Teori kuasa politik dan sosial tersebut dekat dengan pengertian hakikat ideologi suatu negara menurut Louis Althusser. Menurutnya, ideologi negara menjadi dua hakikat, pertama, refresif (represif state
11
Ibid., hlm. 40-41 Michel Foucault, Op.cit, hlm. ix; lihat juga Ilyas Supena, Dekondtruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 33-35 12
12
aparatus/RSA). Kedua, ideologis (ideological state aparatus/ISA).13 Yang pertama bersifat kekerasan, memaksa dan menindas secara fisik, sedangkan yang kedua bersifat mempengaruhi, tanpa disadari, dan juga menindas, namun penindasan yang diberi arti ideologis, seolah-olah sah dan bernilai. Walaupun keduanya berbeda dalam konsep dan prakteknya, namun sama dalam tujuannya, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam konsep ini, oleh Althusser, media dan teks komunikasi atau suatu gagasan merupakan perangkat negara yang sangat ideologis (ISA), karena media dan teksnya bisa memberikan dasar pembenar atas tindakan yang dilakukan. Dari konsep itu, ideologiskah atau represifkah gagasan-gagasan JIL itu?, apa yang dilakukan JIL dengan gagasan-gagasannya itu terhadap tindakan kuasa (kuasa politi dan sosial)? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar dikemukakan karena JIL mengusung isu-isu atau gagasan-gagasan yang dibaca oleh masyarakat melalui media massa. Teori ideologi Althusser tersebut dekat juga dengan teori “hegemoni” Gramsci. Gramsci dengan teorinya berusaha membangun teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok lain (kelompok yang didominasi) terhadap kehadiran kelompok dominan (pengusa politik dan sosial) berlangsung dalam proses damai, tanpa tindakan kekerasan.14 Teori ini dibangun atas asumsi bahwa pentingnya sebuah ide atau gagasan, dan tidak pentingnya kekuatan fisik dalam kontrol sosial-politik. Dalam proses hegemoni, kelompok yang didominasi tidak merasa bahwa 13
Louis Althusser, Tentang Ideologi : Marxisme, Strukturalisme, Psikoanalisis, Cultural Studies, (terj.Olsy Vinoly Arnop), Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hlm. 18-24 14 Eriyanto, Op.cit, hlm. 103
13
mereka
didominasi
(ditindas),
dan
mereka,
tanpa
disadari,
menginternalisasikan nilai-nilai dan ideologi kuasa, lebih dari itu mereka harus memberikan pembenaran atas subbordinasi mereka.proses hegemoni ini, menurut Gramsci, dibantu oleh kepemimpinan moral (agamawan) dan intelektual.15 Dari teori hegemoni ini, pertanyaan yang perlu diajukan, apakah gagasan-gagasan JIL itu merupakan bentuk hegemoni?, dan apakah tokoh-tokoh JIL merupakan motor penggerak mesin hegemoni itu?
4.4.
Analisis Teks-teks JIL : Menemukan Gagasan dan Ekspresi. Makna teks (gagasan/ide/pemikiran) JIL dapat dikaji dari analisis tematik, skematik dan sintaksis. Pemetaannya sebagai berikut : •
Tematik : Perangkat tematik ini menganalisis teks melalui pemahaman terhadap tema dari sebuah tulisan. Tema yang tampak dalam tulisan Ulil adalah tentang “pentingnya sikap toleransi dan rekonsiliasi dalam kehidupan sosial”. Tema kedua, “aspek sosial dalam perayaan Natal”. Dari tema itu Ulil memberikan judul “Islam, Toleransi dan Rekonsisliasi”. Dalam paragraf-paragraf selanjutnya Ulil menjelaskan makna tentang hakikat Islam, Toleransi dan makna rekonsiliasi. Dalam penjelasan makna Islam, Ulil selalu menjelaskan makna konsep pluralisme, substansialisme dan universalisme. Ketiga konsep inilah, menurut Ulil, yang akan membentuk sikap toleransi.
15
Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 31
14
•
Skematik : Perangkat skematik ini menganalisis teks melalui skema teks yang ada. Mulai dari pendahuluan, isi sampai penutup. Adapun gagasan-gagasan (makna) yang tampak secara skematik adalah : Pertama, Ulil menjelaskan konsep “perbedaan”. Perbedaan merupakan rahmat Allah, yang harus disyukuri, bukan untuk dipertentangkan. Perbedaan itu justru menuntut manusia untuk saling mengenal, belajar, bukan saling acuh tak acuh, tak mau tahu, bermusuhan dan dipertentangkan. Kedua, Ulil menjelaskan konsep “ta’aruf”, sikap saling mengenal antara satu dengan yang lain sehingga kebencian dan kecurigaan menjadi hilang, yang ada hanya kebersamaan pengertian dan kepercayaan. Ketiga, Ulil menjelaskan gagasan “kebenaran”. Kebenaran itu, menurut Ulil, bisa datang dari mana saja, agama apa saja, aliran kepercayaan mana pun, dan bisa jadi dari kelompok yang selama ini kita musuhi dan dianggap sesat. Semua agama adalah benar, yang salah adalah orang yang menggapnya salah. Keempat, Ulil menjelaskan gagasan “sumber kebenaran”. Tuhan adalah sumber kebenaran dan esensi kebenaran itu ada pada semua agama (semua kitab) dan dibawa oleh semua Nabi, meskipun ada perbedaan dalam segi ajaran dan syariatnya. Semua agama adalah benar, karena kebenaran itu dari Tuhan yang satu dan Tuhan pun hadir
15
dalam semua agama. Agama yang satu itu tidak bisa membatalkan atau menghapus agama lain, semata-mata karena agama tertentu datang lebih belakangan. (paragraf 11). Qur’an tidak pernah menyebut dirinya sebagai “kitab pembatal” atas kitab-kitab suci yang turun sebelumnya, karena semua agama merupakan wahyu yang berasal dari satu sumber kebenaran,
yakni
Tuhan.
(paragraf
12).
Untuk
menguatkan
gagasannya, Ulil mengutip surat Ali Imron ayat 85 dan pendapat Abdullah Yusuf Ali, seorang penafsir Qur’an modern, sebagai berikut : "The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all Religion (huruf besar dari Abdullah Yusuf Ali sendiri) is one, for the Truth is one. It was the religion preached by all the ealier prophets." (Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Translation and Commentary, hal. 150, catatan kaki no. 418). (Artinya: Posisi umat Islam sangat jelas. Umat Islam tidak mengaku memiliki agama yang khusus untuk dirinya. Islam adalah bukan sejenis sekte atau agama etnik. Dalam pandangan mereka, semua Agama (dengan "A" besar) adalah satu, sebab kebenaran sejatinya ya hanya satu. Itulah agama yang diwejangkan semua nabi terdahulu).
Kelima, Ulil menjelaskan gagasan tentang “Islam itu agama universal”. Menurutnya, Islam itu agama ketundukan kepada Tuhan, artinya semua agama yang mempunyai konsep ketundukan kepada Tuhan adalah Islam, apapun itu bentuk agamanya, siapa pun Nabinya. Keenam, atas dasar gagasan kelima itu pula, maka Ulil menawarkan gagasan “nikah beda agama”. Nikah beda agama diperbolehkan. Gagasan ini menurut Ulil berdasarkan surat al Ma’idah : 05 (dihalalkannya sembelihan dan perempuan ahli kitab). Ketujuh, Ulil berpendapat bahwa ikut serta dalam perayaan Natal dan mengucapkan “Selamat Natal” diperbolehkan Islam, karena
16
perayaan itu mengandung aspek sosial dan rekonsiliasi antar anggota masyarakat. Baginya, perayaan semua hari raya mengandung aspek ritual dan sosial. Kedelapan, Ulil menjelaskan konsep bid’ah. Ia berpendapat bahwa ikut perayaan natal bukanlah hal bid’ah sebagaimana yang selama ini di anggap bid’ah, sesat dan menyesatkan, serta akan masuk neraka. Alasan kelompok ini karena praktek tersebut tidak pernah dilakukan Rasulullah. Bagi Ulil, bid’ah yang dilarang agama adalah suatu inovasi atau mengadakan hal yang sama sekali baru dalam agama, misalkan menambah rakaat dalam shalat, akan tetapi, inovasi dalam masalah dunia sesuatu yang dianjurkan agama, karena tanpa bid’ah, dalam masalah keduniaan, manusia akan stagnan dan mati. Sungguh tidak bijaksana kalau ada yang mengharamkan ikut perayaan natal, yang sesungguhnya bersifat “keduniaan” yang hukumnya mubah itu. Kesembilan,
Ulil
menjelaskan
konsep
modernisasi.
Ia
berpandangan bahwa kelompok yang melarang ikut perayaan natal, dan termasuk kategori man tasyabbaha biqowmin fahuwa minhum. Pendapat ini tidak masuk akal dan bertentangan dengan prinsip hidup yang selalu berubah. Bagi Ulil, semangat Islam adalah univesal, bahwa kebenaran ada di mana-mana, maka meniru dan mengambil kebenaran bangsa, agama lain, meskipun bukan islam, dalam hal kebaikan jelas
17
dianjurkan sesuai dengan semangat itu. Tambah Ulil, yang dilarang Islam adalah meniru kejelekan dan mengandung mudlarat. Kesepuluh,
Ulil
menjelaskan
konsep
inklusivisme.
Ia
berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang didasarkan pada wawasan yang terbuka, bukan kecurigaan dan kebencian kepada agama lain, sehingga Islam benar-benar menjadi agama rahmatan lil’alamin. Kecurugian akan menimbulkan kerugian serupa pada kelompok lain, dan terus berlanjut tanpa ada habisnya. Lingkaran setan kecurigaan
itu
hanya
bisa
dipotong
secara
tuntas
dengan
mengedepankan ta’aruf yang diajarkan al-Qur’an. •
Semantik : Perangkat semantik ini akan menganalisis teks dengan melihat makna yang ditekankan dalam teks, seakligus makna yang disingkirkan dalam teks tersebut. Adapun makna yang ditekankan dalam teks Ulil sebagai berikut : Pertama, tentang makna “perbedaan, ta’aruf dan kebenaran”. Perbedaan merupakan rahmat dan berkah Tuhan, oleh karena itu manusia dianjurkan untuk ta’aruf, karena kebenaran bisa didapatkan dari mana dan siapa saja. Dari ketiga latar inilah Ulil ingin mengatakan---makna yang kedua---bahwa ikut perayaan natal itu diperbolehkan dengan mengkaitkan tiga konsep itu, perbedaan, ta’aruf dan kebenaran.
18
Ulil
hanya
mengungkapkan
data
yang
mendukung
pendapatnya, yang memperbolehkan ikut perayaan natal, tapi tidak menjelaskan
alasan
pihak
lain
yang
menolaknya,
secara
memadai.Alasan yang diungkapkannya hanya yang menguntungkan baginya dan kelemahan bagi yang lain. Misalnya Ulil secara panjang lebar menjelaskan makna perbedaan, ta’aruf dan kebenaran, ditambah lagi dengan aspek sosial dan rekonsiliasi,
namun ia hanya
menjelaskan sedikit alasan pihak yang kontra dengannya, yaitu dengan alasan bid’ah dan meniru bangsa lain. Hal ini dilakukan Ulil karena ini merupakan
strateginya
untuk
memperkuat
gagasannya
yang
disampaikan, seolah-olah benar dan valid. Ulil mengambil ayat Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat : 13 untuk mendukung makna teks tentang ta’aruf. Ulil juga mengutip surat alBaqoroh ayat 269 untuk menjelaskan tentang kebenaran itu datang dan untuk siapa saja, agama apa saja, dimana pun ia dan pendapat Imam Ali ra. Ulil menjelaskan Islam adalah agama kepasrahan atau ketundukan dengan menyitir surat Ali Imron : 85 yang ditafsiri oleh Abdulloh Yusuf Ali, seorang penafsir Qur’an kontemporer. Dia menolak anggapan bahwa perayaan natal bagi umat Islam sebagai bid’ah dengan menjelaskan secara rinci hadis Nabi : man ahdasa fi amrina ma laisa minhu fahuwa roddun dan antum a’lamu bi umuridunyakum. Semua alasan dan landasan Ulil terhadap Qur’an dan hadis adalah untuk memperkuat apa yang diwacanakan dalam konteks
19
yang ditulisnya. Dengan mengutip dasar normatif agama Islam, ulama, sahabat Nabi itu seolah-olah pendapat Ulil tidak terbantahkan dan dianggap absah. Ketiga, Ulil menjelaskan konsep kebenaran universal. Sumber kebenaran adalah satu, yaitu dari Tuhan. Tuhanlah yang memberikan kebenaran itu kepada siapa yang akan diberinya. Sikap orang beriman yang baik adalah kesediaan untuk bisa menerima kebenaran dari mana pun sumbernya, dari agama mana pun, karena sumber hanya ada satu, yaitu Tuhan yang kuasa. Tidak ada alasan untuk bisa menerima kebenaran agama lain. Islam memandang Tuhan adalah sumber kebenaran. Karena umat islam diharuskan mengimani seluruh kitab suci dan nabi yang pernah diutus di muka bumi. Esensi kebenaran ada pada semua agama. Agama yang satu tidak membatalkan agama yang lain. Keyakinan dan Sikap seperti inilah yang menjadi benih-benih konsep pluralisme dan inklusivisme. Keempat, Ulil menjelaskan hakikat agama Islam. Islam itu sikap ketundukan kepada Tuhan. Islam bukanlah sebuah sekte atau suatu agama yang diformalkan dalam bentuk yang sekarang ini. Artinya orang beragama kristen pun jika memang ia mempunyai sikap “ketundukan” kepada Tuhan, adalah Islam. Jadi Islam ada dimanamana. Untuk menguatkan pendapatnya ia mengutip surat Ali Imron ayat 85, dan mengutip pendapat Abdullah Yusuf Ali.
20
Pada konsep ketiga dan keempat, sebenarnya Ulil ingin menyampaikan
gagasan
“pluralisme
agama”
dan
konsep
“inklusivisme”. Pada konsep ta’aruf, Ulil ingin menyampaikan pentingnya “dialog antar-agama”. Kelima, Ulil menawarkan konsep nikah beda agama. Ia memperbolehkan nikah beda agama, berdasarkan surat al-Maidah ayat 5 dan pendapat Abdullah Yusuf Ali, dan berdasarkan Islam adalah agama ketundukan dan sumber kebenaran. Keenam, Ulil menjelaskan konsep bid’ah. Bid’ah yang dilarang oleh agama adalah inovasi atau mengadakan hal yang sama sekali baru dalam agama. Misalnya menambah rakaat shalat. Namun jika perubahan itu dalam hal duniawi diperbolehkan Islam, bahkan dianjurkan. Dalam hal ini Ulil membedakan bid’ah, ada bid’ah yang bersifat duniawi dan ukhrowi (agama). Ketujuh, konsep bid’ah duniawi lebih dekat dengan konsep modernisasi. Ulil menganjurkan meniru bangsa-bangsa lain dalam hal kebaikan saja, meskipun mereka bukan Islam karena kebaikan dan kebenaran ada dimana-mana. Dengan menjelaskan konsep bid’ah itu sebenarnya Ulil ingin menyampaikan konsep “modernisasi”. •
Sintaksis Perangkat sintaksis ini akan menunjukkan bagaimana ekspresi teks Ulil. Perangkat ini akan mengkaji teks dari sisi pilihan kalimat yang digunakannya.
21
Pertama, bentuk kalimat dalam teks Ulil adalah bentuk induktif, proses berpikir sesuatu yaang khusus ke sesuatu yang umum (inti kalimat). Terlihat ketika Ulil ingin bicara soal “bolehnya ikut perayaan Natal bagi umat Islam”, ia lebih dulu menjelaskan arti perpedaan, ta’aruf, konsep kebenaran hakiki, pembaharuan dalam agama, dan konsep “dua aspek semua hari raya”, yaitu aspek ritual dan sosial, aspek sosial hari raya adalah rekonsiliasi dan ta’aruf. Barulah Ulil bicara soal halalnya umat Islam ikut merayakan Natal bukan dalam aspek ritualnya, namun dalam aspek sosialnya saja. Pola induktif ini mempunyai maksud menyamarkan makna dalam suatu teks dan memperkuat argumen agar tak terbantahkan oleh siapa pun. Kedua, Ulil sebenarnya menolak pendapat banyak kalangan tentang haramnya ikut perayaan Natal, hanya saja ia membahasakan dengan kalimat “perlu disikapi dengan kritis”. Ulil menjelaskan bahwa ikut perayaan Natal adalah boleh, karena setiap hari raya ada aspek sosial, namun bukan aspek ritualnya yang diperbolehkan. Maksud Ulil dengan menyamarkan subyek dalam teks tersebut sebagai “etika dakwah’ atau pendekatan persuasif dan bertujuan meraih simpati dari banyak kalangan. Kata ganti dibuang atau dihilangkan oleh Ulil dimaksudkan untuk hal yang sama. Ketiga,
Ulil
menulis
“bangsa-bangsa
lain’
yang
dimaksudkannya pastilah peradaban Eropa Barat, jika tidak ingin mengatakan Amerika Serikat. Kemudian ia ditegaskan lagi dengan
22
menulis “bangsa Yunani, Rusia, India, dan sumber-sumber yang lain”. Kata “sumber-sumber yang lain” yang dimaksud Ulil siapa? Karena Eropa dan Amerika yang belum disebut, tentulah Eropa dan AS yang dimaksud. •
Stilistik : Perangkat ini akan mengkaji teks dari aspek pilihan kata yang digunakannya. Diksi yang digunakan pada teks Ulil akan menunjukkan sikap dan ideologi yang ia anut. Pertama, pada bagian pembukaan, Ulil menulis kata-kata yang berbahasa Arab, seperti fi kulli adyan, ta’addudal adyan, yang menunjukkan bahwa dirinya seorang penganut paham “pluralisme”, “relativisme”, dan “substansialisme”. Kedua, tidak seperti kebiasaan banyak orang, Ulil tidak hanya mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat, tapi perbedaan itu adalah nikmat dan berkah Tuhan yang harus disyukuri. Selanjutnya Ulil lebih memilih kata “nikmat” ketimbang “rahmat” atau “berkah”. Bagi Ulil, merekalah sesungguhnya yang kufur, tidak mau bersyukur atas nikmat keberbedaan. Dari kata “nikmat“ itu bisa dipahami Ulil adalah seorang yang berideologi liberalisme, sebagaimana tertera pada kata “Jaringan Islam Liberal”, karena belum ada ulama menafsirkan bahwa perbedaan adalah nikmat. Yang ada hanya rahmat. Ketiga, Ulil menggunakan kata “ta’aruf” yang diartikannya sebagai saling mengenal dan belajar bersama dari satu dengan yang lain, bahkan kata ini diambilnya dari al-Qur’an. Dengan kata ta’aruf
23
sesungguhnya, Ulil, ingin menyampaikan paham inklusifisme, toleransi dan dialog antar-agama. Lawan dari ketiga paham itu adalah eksklusifisme dan intoleransi. Inklusifisme adalah paham keterbukaan terhadap perbedaan dan bisa menerima keberbedaan. Keempat, Ulil menulis dengan kata “Tuhan adalah sumber kebenaran” yang sesungguhnya ia ingin menyampaikan paham “Universalisme Islam”, paham yang mengganggap bahwa kebenaran bisa ada dimana-mana. Kebenaran ada pada semua agama, semua agama adalah sama, tidak ada agama menjadi batal dikarenakan agama lain. Kelima,
Ulil
menggunakan
kata
“ketundukan”
untuk
mendefinisikan Islam, yaitu Islam merupakan agama ketundukan, dengan mendasarkan pendapatnya pada surat Ali Imron: 85
dan
penafsir modern, Abdullah Yusuf Ali. Diksi itu bermakna bahwa Ulil sedang menyampaikan paham universalisme dan substansialisme. Keenam, Ulil menulis dengan kata “tak eksklusif” padahal sebagaimana diketahui bahwa persamaan dari kata itu adalah “inklusif”. Inklusif bisa diartikan sebagai paham inklusifisme. Ketujuh, Ulil menulis kata “kritis” (perlu disikapi dengan kritis). Kata ini bermakna bahwa ia menolak pendapat sejumlah ulama yang mengharamkan ikut perayaan Natal. Kedelapan, Ulil membagi dua aspek perayaan Natal (atau semua hari raya agama-agama), yaitu aspek ritual-keagamaan dan
24
aspek sosial-keagamaan. Dua kata ini pada teks Ulil merupakan strategi untuk membedakan mana aspek yang boleh diikuti dan mana yang tidak boleh diikuti oleh umat Islam, sehingga perayaan Natal oleh muslim diperbolehkan jika hanya sekedar mengikuti aspek sosialkeagamaanya. Pihak yang selama ini tidak disebut secara jelas oleh Ulil,
mengharamkan
ikut
perayaan
Natal
tidak
pernah
mengklasifikasikan esensi perayaan hari raya, tanpa ada pemisahan dua aspek itu. Ulil menganggap penting aspek sosial hari raya ketimbang aspek ritualnya dengan menggunakan kata “salah satu makna penting” dari hari raya dalam semua agama. Ulil benar-benar membedakan dua aspek dari hari raya, misalnya ia menulis “dalam aspek-aspek ritual jelas umat Islam tidak boleh ikut campur dan tidak sepantasnya melakukan itu”. Aspek-aspek semacam itu hanyalah menjadi wewenang eksklusif bagi pengikut agama bersangkutan. Sebaliknya aspek sosial hari raya bisa dirayakan secara bersama-sama, termasuk oleh pengikut agama lain sebab, aspek-aspek sosial hari raya itu bersifat duniawi, agama tidak terlalu ikut campur di sana, karena Nabi bersabda, kau lebih tahu dari padaku tentang urusan-urusan keduniaan. Ulil menolak secara halus bahwa ikut perayaan Natal sebagai bid’ah dengan pilihan kata “perlu diluruskan”. Seharusnya Ulil membenarkan bahwa ikut perayaan Natal adalah bid’ah, sesuatu yang baru dan bersifat keduniawian. Ada kontradiksi kata “bid’ah” dan “inovasi”.
25
Kesembilan, kata inovasi juga mengarah pada makna modernisasi. Coba lihat kembali kata “pembaharuan”, artinya pentingnya perubahan dalam syariat agama. Disini jelas Ulil menganjurkan modernisasi dalam agama agar Islam selalu dinamis dan berkembang searah perkembangan zaman, karena Islam itu fleksibel dan gampang. •
Retoris Perangkat retoris akan menganalisis pada aspek grafis dan metafora. Kedua elemen inilah yang menunjukkan ekspresi teks. Pertama, Ulil menulis dalam tulisan pembukaannya dengan ungkapan berbahasa Arab, laiknya teks pembukaan berpidato. Sebenarnya metafora pada pembukaan itu menggambarkan isi pokok tulisannya. Kedua, pada paragraf pertama ungkapan-ungkapan Ulil sungguh memikat dan indah. Aspek metafora dari teks merupakan ekspresi yang tampak. Kemudian pada paragraf pertama sampai kedua, Ulil mengungkapkan pernyataan lagi yang lebih indah, laiknya Ulil sedang berfirman atau bersabda, bukan sedang berbicara, apalagi ngegosip. Ungkapannya adalah : “Sesungguhnya perbedaan adalah rahmat Allah swt yang diberikan kepada umat manusia. Perbedaan adalah "berkah ilahiah" yang sudah semestinya dirayakan oleh umat manusia dan dikembangkan serta dipupuk untuk kemaslahatan mereka. Barangsiapa membenci perbedaan dan menjadikannya sebagai sarana untuk menebarkan kebencian, maka mereka itu adalah orang-
26
orang
yang
tak
mensyukuri
rahmat
dan
nikmat
Tuhan.
Barangsiapa mensyukuri nikmat Tuhan, maka Ia akan memberi mereka tambahan lebih banyak lagi. Barangsiapa mengabaikan nikmat itu, maka sesungguhnya azab-Nya amat pedih bagi orang-orang semacam itu.”
Ketiga, Pada paragraf ketiga, Ulil mengungkapkan alasanalasannya dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 01, tentang makna ta’aruf, kemudian ia mengutip ayat 269 dari surat al-Baqoroh tentang makna kebenaran (hikmah) (paragraf 7), dikuatkan dengan menyandarkannya pada pendapat Imam Ali r.a. (paragraf 8). Ulil juga mengutip surat Ali Imron : 85 dan komentar Abdulloh Yusuf Ali (paragraf 13) serta al-Maidah : 5 (paragraf 1 bag.II). Hal tersebut dilakukan Ulil karena ungkapan-ungkapan dari teks-teks keagamaan merupakan pegangan hidup umat Islam, sehingga sulit umat Islam untuk tidak mempercayai apa yang ditulis oleh Ulil. Inilah strategi wacana yang dilakukan Ulil untuk memperkuat gagasan yang disampaikannya. Keempat, elemen grafis dalam teks Ulil tampak pada setiap kata asing, baik Arab maupun yang lain, pasti ditulis dengan bentuk miring atau diberi tanda kutip. Demikian juga ketika ia menulis istilahistilah yang masih jadi perdebatan, misalnya “berkah ilahiah”, “ta’aruf”, “kitab pembatal”, “tak eksklusif”, “perayaan Natal”, “bid’ah” dan seterusnya.
27
Dari grafis yang ditandai dengan tanda kutip dan cetak miring di atas, Ulil selalu mengajak pembaca untuk mengkaji ulang tentang hal tersebut, karena sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial, serta zaman modern. •
Kognisi Sosial Teks Kognisi Ulil dipengaruhi oleh latar belakangnya sendiri yang terdiri dari pengalaman, status sosial, ekonomi, pendidikan, organisasi, memori dan ideologi. Latar belakang tertentu akan berimplikasi kepada mental penulis, pola pikir, sikap, penafsiran, prasangka dan kepentingan tertentu penulis. Melihat latar belakang organisasi Ulil sebagai koord. JIL, Lakspandam NU dan Direktur ISAI, tergambarkan Ulil adalah seorang sosok intelektual muslim liberal, sehingga mental, pola pikir, sikap dan penafsiran tentunya juga liberal, serta penuh prasangka dan memperjuangkan ideologi dan kepentingan kaum liberal (isme). Dari sisi latar belakang ekonomi, Ulil termasuk keluarga mampu, orang tuanya pengasuh pesantren di Kabupaten Pati dan mertuanya Gus Mus, sehingga ia mampu mengenyam pendidikan pesantren dengan baik, kemudian bisa kuliah di LIPIA, dan sempat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driarkara Jakarta, serta mampu bertahan hidup di Jakarta dan menjadi aktivis di sana. Hal ini juga bisa mempengaruhi mental, ideologi, penafsiran dan nilai yang diperjuangkan oleh Ulil.
28
Melihat latar belakang Ulil dari sisi organisasi dan basic ekonomi, sangat wajar kalau Ulil memperjuangkan kepentingan ideologi dan nilai-nilai liberalisme. Apa yang diperjuangkan oleh Ulil, tentunya mempengaruhi cara Ulil mendefinisikan realitas, menyeleksi, dan membuat teks, serta strategi wacana yang digunakan. Ulil menghalalkan ikut perayaan Natal bagi kaum muslim ketika ia mendefinisikan realitas perayaan Natal bukan sekedar aspek ritual saja, namum bagi Ulil, ada aspek sosialnya, yang kemudian memungkinkan
adanya
ta’aruf
dan
rekonsiliasi
antar-anggota
masyarakat dan toleransi antar umat beragama. Ulil tidak hanya mendasarkan pada tataran realitas tapi juga mengkaji teks-teks keagamaan. Atas dasar itulah Ulil mempunyai sikap menghalalkan ikut perayaan Natal bagi umat muslim. Disamping itu, Ulil juga terdorong oleh pola pikirnya yang liberal, prasangkanya terhadap kelompok-kelompok yang selama ini mengharamkan ikut perayaan natal bagi muslim, dan perasaan muaknya terhadap kelompok-kelompok tersebut. Menurut Ulil, kelompok itu tidak dijelaskan siapa mereka itu, sangat tertutup, jumud dan stagnan, mau benar sendiri, tidak bijaksana, kolot, dan ingkar nikmat. Ulil menginginkan Islam yang toleran, inklusif, dan dinamis di sepanjang masa, serta fleksibel di mana pun dan untuk siapa saja. Sejak meredupnya isu modernisme yang diusung oleh Harun Nasution (60-an) dan puncaknya pada masa Cak Nur (70-an-80-an),
29
isu radikalisme dan fundamentalisme Islam semakin marak. Hal ini akan membahayakan perkembangan semangat rasionalitas dan semakin mengeraskan konservatisme pemikiran keagamaan. Teks Ulil tidak hanya berisikan tentang penghalalan ikut perayaan Natal bagi muslim, ia juga mengusung isu-isu hangat dan mencerahkan, seperti demokrasi, liberalisme, pluralitas, inklusifisme, pembaharuan, dan modernisasi. Hal itu ia lakukan untuk mengimbangi isu-isu kelompok tekstualis, yang mengusung isu Syariat Islam dan Negara Islam. Itulah sekelumit motivasi personal Ulil dan sikapnya. Wacana liberal ini ditulis oleh Ulil karena melihat wacana yang terjadi dan berkembang di masyarakat adalah wacana vis a vis Islam Radikal vs Islam Liberal. Hal ini dilakukan untuk meneguhkan wacana ISLIB dan mengaburkan wacana Islam Radikal sebagai wacana yang dimarjinalkan. Ulil pun yakin bahwa masyarakat banyak yang berpikir liberal, tidak hanya radikal atau konservatif, sehingga ia menulis sesuai selera masyarakat, walaupun banyak juga yang menentangnya.16 Kaitannya dengan strategi wacana, Ulil menyeleksi data-data pendukung seperti konsep ta’aruf, kebenaran, aspek sosial dan bid’ah, kemudian Ulil mereproduksi ulang makna perayaan Natal dan memberikan kesimpulan bahwa halal bagi muslim ikut perayaan Natal.
16
Pro-kontra tentang tulisan Ulil ddi harian Kompas “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, tanggal 11 November 2002 terekam dalam sebuah buku yang berjudul “Pertarungan Wacana Islam Liberal dan Islam Fundamental”, Elsaq, 2003 Cet. II
30
•
Konteks Sosial Teks Ulil ditulis tanggal 26 Desember 2004 (untuk bagian I) dan tanggal 2 Januari 2005 (untuk bagian II) dengan tema yang sama, yaitu “Islam, Toleransi, dan Rekonsiliasi”. Melihat tanggal dan temanya, teks ini ditulis erat kaitannya dengan perayaan Natal pada tanggal 25 Desember 2004, dan upaya penghalalan ikut perayaan Natal bagi muslim dan hal-hal yang berhubungan dengan kelompok lain (agama). Isu yang diangkat sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, karena selama ini banyak pihak yang mengharamkan hal tersebut, misalnya saja MMI, FPI, dan MUI bahkan masih banyak kalangan kyai yang mengharamkannya. Kondisi masyarakat saat ini masih terpengaruh dengan wacana yang selama ini berkembang, yaitu wacana eksklusifisme, sikap tertutup dan intoleransi dari kebenaran pihak lain. Hal ini disebabkan truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim penyelamatan) oleh penafsiran terhadap teks keagamaan dan trauma konflik (politik) antar-agama yang menyejarah sampai saat ini. Hal itu terjadi karena suatu agama potensial menimbulkan konflik, baik konflik internal maupun eksternal. Banyak kasus kerusuhan yang berwajah agama dan yang menarik lagi, konflik yang pada dasarnya tidak berawal dari agama seringkali agama dijadikan kambing hitam
31
untuk menyulut bobot emosi konflik. Hal ini menunjukkan bahwa agama mudah sekali dilibatkan dalam konflik sosial. 17 Agama memang tidak mungkin dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial, karena ia sendiri sebagai realitas sosial, yaitu sebagai hasil pemahaman dan konstruksi masyarakat sendiri. Meskipun secara substansi, bahwa agama bersumber dari suatu realitas tunggal yang mengajarkan cinta kasih, rahmat dan berbuat kebaikan antar-sesama dan tidak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, hanya saja ditingkat eksoteris dipengaruhi oleh gejala kultural, psikologis, politis, ekonomi, dan setting sosial budaya yang melingkupinya. 18 Dua kenyataan di atas (agama yang pada prinsipnya mengajarkan kebaikan dengan kenyataan sosial konflik antar-agama) menunjukkan makna ambivalensi sebuah agama. Persoalannya kenapa terjadi ambivalensi agama? Hal itu terjadi karena agama terdapat kecenderungan absulustik,19 keyakinan bahwa agama yang dianutnya adalah kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini kemudian menciptakan fanatisme, eksklusifisme, truth claim dan salvation claim. Sifat-sifat inilah yang selalu menyulut kerusuhan antar-umat beragama. Kecenderungan kedua setiap agama mempunyai potensi ekspansionistik yaitu kecenderungan penyebarluasan agama kepada 17
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, Rekonstruksi Parenial Agama dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa. ITTAQA Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 67 18 Ibid. 19 Ibid. hlm. 78
32
orang lain. Hal ini tampak ada sebutan “agama dakwah”, “misionaris”.20 Kecenderungan ini akan berimplikasi pada pandangan bahwa agama lain adalah sesat, kafir, dan perlu diluruskan. Tindak pelurusan kembali inilah yang dipandang sebagai “tugas suci agama” yang harus atau wajib dilakukan bagi setiap pemeluk agama. Penyebaran agama adalah konsekuensi dari keberagamaan itu sendiri, atau sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Kecenderungan
demikian
itu
secara
sosiologis,
selalu
menimbulkan kesalahpahaman, bahkan konflik berkepanjangan antarumat beragama. Hal ini tentu merugikan bagi agama dan kehidupan beragama sendiri, serta akan menciptakan keangkuhan-keangkuhan teologis serta dendam sejarah tanpa akhir yang selalu menunggu “bom waktu” diledakan dan memakan korban.21 Konflik antar-umat beragama secara perenial, jelas bukan persoalan agama itu sendiri, tapi persoalan pada perbedaan penafsiran karena faktor kepentingan politik, ekonomi, budaya, dan faktor-faktor sosial lainnya. Meminjam istilah Sufyanto, agama memiliki potensi “standar ganda” (double standart),22 agama bisa menjelma atau berwajah ramah dan damai disatu ketika, bisa menjadi bengis dan tidak ramah di waktu yang lain. 20
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 2005, hlm. 220 21 Samsul Arifin, Op.cit, hlm. 78 22 Sufyanto, “Agama Tuhan dan Problem kemanusiaan”, dalam Pradana Boy (ed.). Agama Empiris Dalam Pergamulan Realitas Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. vi
33
Sampai saat ini masih terjadi konflik yang berbau SARA, terutama agama. Atas dasar itu, Ulil dalam konteks sosial, teks yang ditulisnya menawarkan konsep hakikat perbedaan, ta’aruf, paham pluralisme demi terciptanya sikap toleransi yang kemudian diteruskan dengan tindakan rekonsiliasi antara pemeluk agama. Gagasan itu sesuai dengan semangat setiap perayaan hari raya agama-agama dalam konteks ini adalah perayaan Natal. Ulil menuliskan : “Sumber kebenaran adalah satu, yaitu dari Tuhan. Tetapi, Tuhan berhak memberikan kebenaran kepada siapa pun yang Ia kehendaki. "Yu’til hikmata man yasya’ wa man yu’tal hikmata fa qad utiya khairan katsira," Ia memberikan kebijaksanaan kepada siapa pun yang Ia kehendaki, dan barangsiapa yang diberi kebijaksanaan oleh Tuhan, maka orang itu mendapatkan kebaikan yang sungguh banyak. Sikap orang beriman yang baik adalah kesediaan untuk menerima kebenaran itu dari mana pun sumbernya. Inilah semangat yang pernah dikemukakan oleh Imam Ali r.a., "Al hikmatu dlaallatul mu’min, ainama wajadaha akhadzaha." Kebenaran adalah sesuatu yang hilang dari orang beriman, di mana pun ia menjumpainya, maka ia harus lekas-lekas menjemput dan mengambilnya.
Dalam teks itu Ulil menyamakan “Islam” dengan makna pluralisme, ia menulis “Islam adalah agama ketundukan atau kepasrahan kepada Tuhan secara total”, yang dimaksud Ulil dengan “Islam” disitu bukan Islam yang dibawa Nabi Muhammad, tapi agama universal, sumber kebenaran dari berbagai bentuk agama, baik Islam yang dibawa nabi Muhammad, maupun “Islam” yang dibawa oleh nabi atau agama yang lain. Kaitannya dengan pluralisme, menurut Djohan Effendi, Islam sendiri mengakui dalam al-Qur’an adanya titik temu antar-agama yang
34
bersifat esensial,23 khususnya agama samawi (Ali Imron : 63 dan alBaqoroh:63). Rasululullah pun pernah berkata “barang siapa mengganggu kaum dzimmi (minoritas non-muslim) maka ia mengganggu aku”.24 Sejarah Piagam Madinah juga menunjukkan betapa nabi Muhammad seorang penganut pluralisme, demikian tegas Effendi. Gagasan Ulil di atas nampaknya tidak jauh berbeda atau hanya meneruskan gagasan Nurkholish Madjid, tentang “Teologi Inklusif” dan titik temu (kalimatun sawa’) agama-agama.25 Cak Nur berpendapat bahwa semua agama yang diturunkan sebelum nabi muhammad adalah sama, sama dalam kebenaran dan prinsip-prinsip dasarnya. Cak Nur pun mendefinisikan “Islam” sama dengan pendefinisian Ulil, atau sebaliknya, Ulil yang sama dengan Cak Nur, yaitu Islam sebagai agama ketundukan dan kepasrahan atau sikap pasrah, tunduk patuh kepada Tuhan yang maha esa. “Sesungguhnya agama itu adalah sikap pasrah (Islam), demikian definisi Cak Nur.26 Kemudian Cak Nur menterjemahkan surat Ali Imron ayat 85: “Tidak ada agama selain sikap pasrah (islam), agama tanpa kepasrahan tidaklah sejati, barang siapa mencari selain agama
23
Djohan Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan Agama”, dalam Elga Sarapung dkk, (ed). Dialog, Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta, Interfidei, 2004, Cet. III, hlm. 62-63 24 Ibid, hal. 65 25 Nurkholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm, 72-92 26 Ibid, hlm. 424-449
35
islam (sikap pasrah) maka ia tidak akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”.27
Pendapat Abdullah Yusuf Ali pun dikutip Cak Nur, demikian juga Ulil dalam tulisannya itu.28 Hal ini bisa dikatakan bahwa Ulil adalah muridnya Cak Nur yang setia dan sekaligus sebagai generasi penerusnya, karena disamping itu banyak kesamaan-kesamaan gagasan yang diusung mereka berdua. Konflik antar-agama atau berkedok agama bukan melulu persoalan kesalahpahaman teologi, namun lebih kepada persoalan kepentingan “perut”, ekonomi, politik dan seterusnya.29 Jika demikian adanya, maka gagasan JIL atau pun Cak Nur menjadi sangat tidak nyambung, antara ide yang ditawarkan Ulil (atau Cak Nur) dengan realitas yang ada di lapangan. Bisa dikatakan bahwa gagasan itu sangat outopis, melangit, tidak membumi, tidak ada relevansinya atau mengada-ada. Dalam tataran idealitas, ide tersebut sangat bagus, namun selalu gagap ketika berhadapan dengan kenyataan. Tidak hanya ide itu, bahkan pengusung ide itu sendiri menjadi gagap ketika berhadapan dengan kepentingannya secara pribadi atau kelompoknya. Ia menjadi “rasis” atau “ideologis”. Banyak tokoh NU atau Muhammadiyah atau yang lain, yang punya paham pluralisme dengan bagus, dan ilmiah,
27
Ibid, hlm. 426-449 Ibid, hlm. 428-429, bandingkan dengan tulisan Ulil di Jawa Pos edisi 02 Januari 2005. 29 Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm. 67 28
36
tetapi dalam kenyataan politik secara luas, ia selalu menjadi eksklusif, tertutup, sektarian, ideologis dan bahkan represif, melebihi militer.30 Seharusnya, Ulil atau intelektual yang lain, yang mengusung ide pluralisme, tidak perlu mengkampanyekan ide pluralisme tersebut, karena ide itu sangat kontroversial dan menyulut konflik antar-aliran keagamaan.31 Walau pun maksudnya baik, ide pluralisme agama itu untuk menjalin kerukunan umat beragama, hidup berdampingan, damai dan saling menghargai, namun kenapa harus menimbulkan pro dan kontra internal agama sendir dan bahkan konflik dan anarkhisme. Apalah arti sebuah gagasan kalau hanya menimbulkan ekses negatif? Untuk apa? Sebenarnya tanpa pluralisme pun bisa kerukunan umat beragama itu terwujud. Sikap saling menghormati dan menghargai antar-sesama manusia, atas dasar rasa kemanusiaan, itu lebih penting ketimbang harus mengorbangkan aqidah islamiah yang sangat fundamental. Konteks internasional dari teks Ulil itu adalah disebabkan oleh gerakan fundamentalisme agama kian merebak dan tumbuh subur. Hal ini diakibatkan oleh arus gerakan modernisme yang tidak bersahabat dengan agama, menindas kemanusiaan, dan sangat bebas nilai. Hal ini terjadi tidak hanya di negara-negara berkembang dan negara Islam, ternyata akibat dari modernisme itu di Amerika serikat juga muncul 30
Salahudin Wahid, “Partai Islam di Dalam Bangsa Yang Majemuk”, dalam Abdul Mun’in, (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Penerbit Kompas, 2000, hlm. 109 31 Salah satu bukti Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional ke-7, tanggal 29 Juli 2005, mengeluarkan fatwa sesat dan bertentangan dengan ajaran Islam tentang paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Lihat Kompas/30/07/2005.
37
fundamentalisme Kristen kanan.32 Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, kelompok radikalisme, fundamentalisme, militan, dan ekstrimisme, seperti FPI, JI, MMI, HTI dan sebagainya. Hal ini terjadi disebabkan
oleh
arus
modernitas
yang
mengusung
ideologi
sekularisme, liberalisme dan kapitalisme. Dalam konteks Indonesia, adanya indikasi semakin besarnya gelombang radikalisme dan fundamentalisme agama di Indonesia. Semenjak lengsernya Suharto dari kekuasaan pada tahun 1998, kelomopk-kelompok itu semakin marak dan semakin kuat posisinya, bahkan bisa memasuki dan menduduki kursi-kursi kekuasaan penting melalui paratai politik. Selama kurun waktu 32 tahun, kelompokkelompok bisa dikatakan kelompok yang tidak dapat menikamto kekuasaan. Berbeda denga kelompk islam substansialisme. Kelompok itu bisa dikatakan semacam PKS (partai keadilan sejahtera), PBB (partai bulan bintang), termasuk PPP (partai persatuan pembangunan). Kelompok yang ada pada aras kultural semacam Jamaah Islamiah, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Komite Solidaritas Dunia Islam, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).33 Dalam konteks itulah ulil menawarkan isu-isu pluralisme, inklusivisme, toleransi, liberalisme politik, pemikiran dalam konteks kehidupan 32
yang
majemuk,
seperti
Indonesia
ini.
Hal
ini
Jeffrey K. Handden, “Agama Dan Pencarian Makna dan Tatanan: Paradigma Lama Dan Realitas Baru”, dalam Pradana Boy (ed.), Agama Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 45-46 33 Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002, hlm, 88
38
dimaksudkannya sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi politik dan agama. Teks Ulil erat kaitannya dengan kampanye dunia internasional memerang terorisme. Dunia internasional digegerkan oleh isu terorisme, yang berawal sejak pristiwa 11 september 2001 itu, yaitu tragedi menara kembar, World Trade Centre (WTC) dan Pentagon, kemudian dilanjutkan tragedi-tragedi lainnya, seperti pengeboman Sari Club di Legian Bali (12 Oktober 2002), pengeboman JW Marriott Jakarta (5 Agustus 2003), dan yang paling aktual adalah peledakan bom di London 7 Juli 2005 dan tiga bom diledakkan di Mesir tanggal 23 Juli 2005.34 Isu terorisme selalu dilabelkan pada kelompok-kelompok radikal dan fundamental, ekslusif, seperti Jamaah Islamiah (JI), Jaringan Al-Qaeda, dan jaringan-jaringan yang belum terungkap lainnya.35 Dalam konteks Indonesia, kelompok radikalisme islam, atau dalam bahasa Azyumardi Azra “santri salafi radikal”, selalu dilabelkan kepada para alumni pesantren, seperti Amrozi, alumnus pesantren AlIslam Lamongan Jatim. Ali Imron, Asmar dan al-Ghozi sebagai alumni pesantren al-Mukmin Ngeruki Solo, dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai pengasuhnya.36
34
Kompas/26/07/2005 Aloy Budi Purnomo, “Terorisme dan Violensionisme”, Kompas/15/07/2005 36 Majalah Justisia, edisi 24/XI/2003/hlm. 6-10 35
39
Maraknya gerakan fundamentalisme Islam, di satu sisi, dan kampanye pluralisme agama, inklusivisme, di sisi yang lain, menjadikan adanya kesamaan atau kecocokan antara yang persoalan dan jawaban sebagai solusi yang diberikan. Secara umum, munculnya teks Ulil itu merupakan respon atas semakin membekunya rasionalitas umat setelah era Cak Nur pada tahun 1990-an, dan rasa kekhawatiran akan semakin kuatnya konservatisme pemikiran umat yang akan merambah ke ranah politik. Konteks sosial yang paling praktis, pragmatis dan urgen adalah teks Ulil hadir berkenaan dengan Hari Raya Natal 2004. Ulil melihat bangsa Indoensia merupakan masyarakat yang majemuk, plural, yang terdiri dari suku bangsa, agama, budaya, dan bahasa. Berkaitan dengan pluralitas
masyarakat,
Ulil
memandang
perlu
sikap
saling
menghormati dan menghargai, hidup berdampingan dengan damai, saling menolong dan berbagi kasih. Untuk menciptakan kondisi seperti itu, menurut Ulil, tidak semudah membalik telapak tangan, karena teks-teks keagamaan sangat berperan dan berpengaruh terhadap pola pikir dan sikap seseorang, oleh karena itu, dalam teks tersebut ulil menawarkan konsep taaruf, sikap saling mengenal, saling belajar dari berbagai hikmah perbedaan. Taaruf berlawanan dengan sikap saling tidak peduli, acuh tak acuh, bermusuhan. Sikap ini akan menimbulkan sikap saling curiga, tertutup, mau benar sendiri, tidak mau menerima kelompok lain, dan selalu menimbulkan konflik. Dalam kondisi seperti
40
inilah menurut Ulil perlu dialog antar-umat beragama. Salah satunya adalah melaksanakan konsep taaruf, toleran dan terbuka. Dalam keperluan dialog atau ta’aruf, konsep pluralisme agama merupakan hal penting, karena sikap keterbukaan atau ketertutupan seseorang tergantung dalam pemahaman keagamaannnya. Hambatan dialog yang selama ini terjadi karena sempitnya tentang pemahaman keagamaan, terutama tentang makna kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu Ulil dalam teksnya menawarkan konsep ta’aruf, kebenaran universal,
pluralisme,
hikmah
perbedaan,
dan
pembaharuan
pemahaman keagamaan. Bagi ulil, perayaan hari raya agama apa pun merupakan wahana
rekonsiliasi
antar-umat
beragama,
dan
antar-anggota
masyarakat, yang selama ini saling curiga, dendam, bermusuhan, dengan adanya hari raya bisa saling memaafkan, saling menyadari, menerima perbedaan, dan hidup damai serta bisa hidup berdampingan. Ulil pun mengakui bahwa hari raya, disamping mempunyai aspek ritual, juga ada aspek sosialnya, yaitu rekonsiliasi. Aspek sosial inilah yang bisa dilakukan oleh umat beragama lain. Tentunya aspek ritual itu urusan privat umat agama masing-masing.
41
Tulisan selanjutnya adalah Lufhfi Assyaukanie “Islam, Turisme dan Toleransi” •
Tematik: Pertama, teks ini menunjukkan pentingnya orang Islam bersikap toleran demi mewujudkan kawasan industri turisme yang sukses. Kedua, sikap toleranlah yang bisa mempermudah dalam pengembangan kawansan industri turisme, karena sikap intoleransi bisa mengarahkan kepada sesuatu yang anarkhisme, radikalisme dan terorisme. Jika tindakan itu ada di kawasan turisme, niscaya kawasan itu sepi dari turis, baik manca negara maupun domistik. Disinilah penting sikap toleransi.
•
Skematik : Pertama, Assyaukanie melihat bahwa Ternate-Tidore, Bali dan Lombok merupakan tempat-tempat bersejarah dan bagus untuk dijadikan kawasan industri turisme. Diantara ketiga tempat itu, Bali adalah tempat yang paling berhasil dan sukses serta banyak menyumbangkan devisa bagi pemerintah, baik daerah maupun pusat. Sedangkan yang lainnya tidak berhasil, ada faktor apa?. Secara singkat, Assyaukanie menyimpulkan bahwa keberhasilan Bali karena faktor agama Hindu, dan kegagalan Ternate-Tidore dan Lombok adalah faktor agama Islam. Di Ternate-Tidore, tempat-tempat maksiat seperti kafe, bar, kasino dihancurkan oleh Front Pembela Islam (FPI),
42
sehingga tidak ada turis asing maupun lokal yang berkunjung, sementara di Bali bebas. Kedua, Assyaukanie memberikan solusi agar sukses dalam mengembangkan kawasan industri turisme adalah harus ada sikap toleransi dalam beragama. Tanpa itu, tidak mungkin. Assyaukanie beralasan, bahwa kemaksiatan bukanlah sesuatu yang harus dilarang, apalagi tumpas habis. Karena kemaksiatan adalah fitrah manusia. Sejak nabi Adam dan Hawa, bahkan mereka sendiri pernah maksiat, serta nabi-nabi yang lain juga pernah maksiat. Tidak ada satu manusia pun yang bebas dari maksiat. Ketiga, Assyaukanie menwarkan ide tentang regulasi maksiat. Minuman keras tidak boleh dilarang, tapi diberikan tempat-tempat khusus bagi yag ingin meminumnya. Prostitusi tidak boleh dimusuhi, tapi diberikan tempat khusus, atau lokalisasi. Keempat, Assyaukanie menjelaskan tentang hukum alam. Setiap peradaban, minuman keras dan prostitusi menjadi bagian dan pernik yang tak terhindarkan, termasuk dalam peradaban Islam di masa silam. Kehidupan manusia tidaklah melulu kitab suci, shalat, dan mengaji, tapi juga perlu yang lain, maksiat. Menurutnya, energi kesalehan harus diimbangi dengan energi kemaksiatan, agar tidak meledak dan tercecer di sembarang tempat. • Semantik:
43
Pertama, Assyaukanie dalam teknya menjelaskan sumber daya alam yang potensial bagi pendapatan daerah atau pusat. Ia menunjukkan bahwa fenomena-fenomena keindahan alam dan tempattempat bersejarah yang ada di Indonesia tidak maksimal dalam penglolaannya, terutama menjadikannya sebuah kawasan industri turisme yang berhasil dan sukses. Kedua, Assyaukanie menjelaskan bahwa agama merupakan faktor penghambat dalam pengelolaan kawasan industri turisme. Ia mengungkapkan data tentang faktor-faktor penghambat pengembangan kawasan turisme, dan juga menerangkan secara detail bahwa Bali merupakan kawasan industri yang berhasil, sementara Ternate, Tidore dan Lombok kurang berhasil. Assyaukanie mengatakan bahwa agama merupakan faktor penting bagi keberhasilan industri turisme dan agama Islam dijadikan sebagai penghambat keberhasilan di Ternate dan Tidore, serta keberhasilan Bali karena faktor agama Hindu. Maka demi keberhasilan industri turisme, umat Islam harus toleran dan mau menerima konsekunsi dari industri itu. Assyaukanie melihat bahwa satu-satunya sebab dari kegagalan itu adalah agama, padahal banyak faktor lain yang lebih dominan, misalnya faktor alam yang kurang mendukung, tata ruang kota, faktor sejarah juga akan berpengaruh. Ketiga, Assyaukanie melihat bahwa faktor agama yang menghambat industri turisme di Ternate-Tidore dan Lombok adalah “agama Islam”, khususnya Islam model “Front Pembela Islam” (FPI).
44
Salah satu organisasi yang dianggapnya sebagai organisasi militan dan fundamentalis. Menurutnya, FPI inilah yang menghancurkan tempattempat yang dianggap sebagai tempat maksiat, seperti kafe, club, dan tempat prostitusi lainnya. Keempat,
nampaknya
Assyaukanie
ingin
memisahkan
pengaruh agama dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Misalnya ia menawarkan ide tentang “regulasi maksiat”. Hal ini jelas merupakan gagasan “sekularisme”. Kelima, Assyaukanie berusaha menolak sikap “eksklusivisme” dalam beragama. Misalnya ia mengkritik sikap Front Pembela Islam (FPI) yang menghancurkan tempat-tempat maksiat. Hal dilakukan FPI, menurut Assyaukanie, karena ketakutan dan kebencian terhadap tempat maksiat, serta sikap tertutup dalam beragama. Keenam, Assyaukanie menawarkan konsep “toleransi” sebagai solusi dari sikap eksklusivisme tersebut. Ia memberikan contoh kepada umat Islam, di wilayah Bali misalnya, industri turismenya sukses. Itu karena sikap toleransi mereka terhadap konsekuensi dari industri turisme. Jika umat islam ingin kawasan industri yang sukses, maka sikap toleransi harus ditanam dan dipupuk terus menerus. Ketujuh, Assyaukanie terkesan sebagai sosok pemikir “liberal”, pemikir yang mengusung ide-ide (ideologi) “liberalisme”. Bagaimana tidak, ia mau memisahkan pengaruh agama terhadap kebijakan pemerintah, menganggap maksiat bukanlah sesuatu yang
45
harus dicegah, atau diharamkan, maksiat sesuatu yang alamiah, fitrah kemanusiaan yang harus dihargai, maksiat harus diregulasi, maksiat (minuman keras dan prostitusi) bisa dilokalisasikan. Kedelapan, Assyaukanie, dalam teksnya, jelas membawa kepentingan pemilik modal (kapital) dan pemegang kekuasaan (pemerintah pusat atau lokal). Dengan kata lain, ia adalah pengusung “ideologi kapitalisme” dan “demokrasi liberal”. Hal ini bisa dipahami, secara semantik, ketika ia menawarkan ide “regulasi maksiat”, sebagai solusi dari hambatan indurtri turisme dan “menjauhkan agama dari kehidupan
masyarakat”
(sekularisme).
Ide
tersebut
jelas
menguntungkan pemerintah, baik pusat maupun lokal, dan para kapitalis (pemilik modal) lokal maupun internasional. Kesembilan,
dalam
teks
Assyaukanie
terkesan
ada
“pertarungan Islam Liberal dan Islam Radikal” (fundamental atau militan). Assyuakanie, sebagai kelompok liberal, menuduh dan menghujat kelompok Islam model “Front Pembela Islam” (FPI) sebagai perusak tatanan masyarakat. FPI dianggapnya sebagai organisasi militan dan fundamentalis. Islam model inilah yang menghambat kemajuan rakyat dan negara. •
Sintaksis : Pertama, kata ganti, kata “saya” (dalam paragraf pertama) menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Assyaukanie benarbenar dilakukannya secara personal.
46
Dalam paragraf keempat, kata “saya” bermakna apa yang diperkirakan oleh Assyaukanie bisa saja salah atau benar, namun ia hanya menjelaskan kebenaran atas prediksinya saja, jika ada kemungkinan salah tidak dijelaskan dimana letak kesalahannya. Pada paragraf kelima, kata “saya” menunjukkan bahwa ia benar-benar telah observasi di lapangan atau terjun langsung sehingga kelihatan valid. Kata “salah seorang” (paragrap kelima) ada kesan penyembunyian identitas, dirahasiakan atau memang Assyaukanie hanya merekayasa data, karena sesungguhnya ia ingin mengatakan dirinya sendiri (karena hasil pengamatannya sendiri). Pada paragraf kesembilan, kata “saya” menunujukkan bahwa pendapat itu murni disampaikannya tanpa landasan normatif dan sosial budaya. Kata ganti “kita”, yang dikuatkan lagi dengan kata “semua” guna meyakinkan pembaca dan penulis juga bagian dari pembaca, bahwa maksiat merupakan unsur intrinsik pada diri manusia. Kata ganti “kita” juga ada kesan unsur kompromi atau tidak membuat garis pemisah antara pembaca dan penulis, serta agar tidak ada reaksi dari pembaca, bahkan kata “kita” merupakan justifikasi belaka. Kedua, aspek koherensi teks, antara proposisi satu dengan yang lain sudah tampak pada awal judul tulisan, Islam, Turisme dan Toleransi.
Assyaukanie berusaha menyambungkan tiga term yang
47
sebenarnya berbeda itu, dengan berbagai argumen yang dianggap rasional dan empirik. Secara fundamental, term “Islam, Turisme dan Toleransi” tidak ada koherensinya, sebab Islam dalam pemahaman dasarnya (normatif) sangat toleran, hidup maju dan sukses serta menganjurkan manusia untuk bepergian, melihat fenomena alam dalam rangka mencari pengalaman atau ilmu pengetahuan. Jadi, mengatakan Islam sebagai penghambat keberhasilan kawasan industri Turisme terkesan terburuburu dan ngawur. Namun Assyaukanie berusaha berargumen bahwa jika agama dipahami secara radikal-normatif akan muncul sikap intoleran, eksklusif, dan mau benar sendiri (truth claim). Melihat potensi agama seperti itu, sementara liberalisme dalam industri Turisme sebuah keniscayaan, Assyaukanie memberikan solusi agar adanya sikap toleransi, jika umat Islam menginginkan keberhasilan industri tersebut. Ketiga, elemen bentuk kalimat, teks Assyaukanie berbentuk induktif, yang berarti inti dari pokok kalimat disamarkan atau disembunyikan. Bentuk induktif dalam tata Bahasa Indonesia merupakan pola penulisan yang menempatkan inti kalimat di akhir setelah keterangan tambahan. Assyaukanie sesungguhnya ingin menyampaikan bahwa keberhasilan kawasan wisata ditentukan oleh sikap toleransi (paragraf kedelapan), maka agama harus membuka ruang keterbukaan dan alam demokrasi.
48
Dengan bentuk induktif ini, seolah-olah agama dijadikan “kambing hitam” penyebab ketidakberhasilan kawasan wisata. Proposisi-proposisi yang dideskripsikannya sebagai data tambahan semuanya mengarah kepada kekakuan suatu agama, padahal banyak faktor lain yang sebenarnya bisa mempengaruhi keberhasilan kawasan wisata. Seolah-olah Assyaukanie menutup mata bahwa ada faktor lain itu, misalnya faktor panorama alam yang berbeda antar-tempat, sejarah, kedekatan emosional pengunjung, keilmuan, atau kurang sosialisasi (tidak terkenal). Bisa dikatakan tulisan Assyaukanie ini tidak tuntas dalam pembahasan dan kurang tepat dalam pemberian solusinya. Karena banyak persoalan lain yang harus dikaji, kalau hanya agama yang “dikambinghitamkan” justru mendapat reaksi dan tantangan dari masyarakat. •
Stilistik : Pertama, gaya bahasa yang digunakan Assyaukanie dalam menyampaikan idenya dengan gaya bahasa provokatif dan vulgar serta sangat subjektif, berat sebelah, pembahasan tidak tuntas, dan dipilahpilih sesuai dengan kepentingan pribadinya. Hal itu bisa dilihat dalam pemilihan kata dan gaya bahasa yang digunakannya. Pada paragraf pertama sampai ketiga, gaya bahasa dan pilihan kata masih standar. Pada paragraf keempat, nampaknya Assyaukanie masih ragu atau ada rasa kekhawatiran akan adanya kritikan dari pihak lain, sehingga ia menggunakan diksi ”mungkin”. Kenapa tidak
49
menggunakan kata yang tegas dan tidak berkelit di balik permainan bahasa. Kata ”mungkin”, “menyederhanakan masalah”, “saya kira”, “cukup penting” menjadi tameng perlindungan bagi Assyaukanie. Kedua, terkadang Assyaukanie mengalami ambiguitas, tidak konsisten dalam penggunaan diksi. Misalnya dalam paragraf keenam, “kafe atau bar itu mungkin satu persoalan kecil. Tapi ia merupakan bagian penting dalam industri Turisme”. Kata “persoalan kecil, bagian penting” jelas suatu yang tidak konsisten dan bertentangan antara proposisi satu dengan yang lain. Kata “menghancurkan” atau “dihancurkan” (paragraf kelima) mengasosiasikan bahwa FPI sebagai perusak atau melakukan tindakan kriminal. Proposisi ini jelas menyudutkan kelompok tertentu, padahal banyak kata yang tersedia, kalau hanya untuk mengatakan kafe atau bar itu “ditutup sementara,” atau “diminta tidak beroperasi,” karena belum tentu FPI sampai merusak apalagi sampai meluluhlantahkan kafe atau bar tersebut, sebagaimana digambarkan Assyaukanie. Pada paragraf ketujuh, kata “takut, benci, mengumbar kekerasan, merusak, dan menghancurkan” bermakna negatif dan provokatif. Penggunaan diksi di atas dapat menunjukkan ideologi sang penulis. Dalam teks itu Assyaukanie menyudutkan FPI yang berideologi “Fundamentalisme”. Dalam pemahaman terbaliknya, bahwa Assyaukanie adalah seorang penganut liberalisme, demokrasi, humanisme, inklusif dan pragmatisme.
50
•
Retoris : Pertama, elemen grafis teks, dapat dilihat dalam ilustrasi foto yang terletak di tengah-tengah teks. Ilustrasi itu menggambarkan gagasan yang dimaksud oleh penulis. Secara rinci, tampak dua tangan tanpa badan, yang satu memegang pisau yang kelihatan tajam dan mengerikan, sedangkan yang satunya lagi terdapat tulisan “maksiat” di jari telunjuknya, dibawah pisau yang siap memotongnya. Pembuat teks (pengarang) ingin menyampaikan bahwa untuk memberantas maksiat yang ada pada diri manusia dengan cara memotong salah satu anggota badan,
merupakan
kekejaman
dan
kebodohan
serta
merusak
kemanusian itu sendiri. Sebenarnya isi teks Assyaukanie bisa dilihat dari ilustrasi tersebut. Bisa juga ilustrasi itu dijadikan justifikasi dari gagasan yang dtulisnya. Ilustrasi itu bertentangan dengan apa yang dipahami oleh kelompok Fundamentalisme Islam, yang menginginkan maksiat ditumpas habis sekalipun beresiko besar, kerugian personal dan negara. Ilustrasi itu terkesan sebagai aksi kekerasan, kekejaman, dan sikap kaku kelompok Fundamentalisme Islam, atau memberikan gambaran maksiat itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari setiap manusia. Kedua, Ungkapan hiperbolik pada paragraf kelima, misalnya ungkapan “dulu ada, tapi semua sudah dihancurkan”, padahal belum tentu kafe-kafe itu dihancurkan. Metafora hiperbolik juga tampak pada paragraf kesembilan yang mana metafora itu menyinggung salah satu
51
tokoh dalam agama tertentu. Misalnya ungkapan : “Kita semua belajar maksiat dari Adam dan Hawa, ibu-bapak semua umat manusia. Dan para Nabi juga tak maksum dari kemaksiatan (nabi-nabi agung seperti Nuh, Luth, dan Ibrahim, semuanya pernah bermaksiat kepada Allah)”. Sebenarnya metafora itu bisa disederhanakan tanpa harus menyinggung orang yang selama ini diistimewakan oleh agama tertentu. Dari metafora itu, terkesan ekspresi penulis sangat provokatif dan vulgar. Metafora ironis, penggambaran yang menyudutkan tampak pada banyak teks Assyaukanie, hal ini juga didukung oleh data-data yang dianggap ilmiah. Kata “maksiat” dengan tanda kutip yang berarti bahwa maksiat dalam pandangan penulis masih dipertanyakan atau bukan dalam pengertian umum sebagaimana selama ini dipahami umat Islam. Makna maksiat harus diregulasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan, demikian kira-kira maksud Assyaukanie. •
Kognisi Sosial Luthfi Assyaukanie adalah pengasuh talk-show Jaringan Islam Liberal (JIL) di Radio 68H Jakarta, dia menyelesaikan sarjana muda di Fakultas Syariah di Jordan University dan master di The Internastional Institute Of Islamic Thought And Civilization (ISTAC) Malaysia. Dia juga salah satu penulis tetap di rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos. Sekarang jadi pengajar mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina dan sedang kuliah Melbourne
52
Institute Of Asian Languages And Suciety (MIALS) Australia. Dia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, kakeknya seorang kyai terpandang yang memiliki pesantren dan orang tuanya berlatar belakang Nahdiyyin. Pola pikir dan mental Assyaukaanie merupakan representasi pemikir liberal. Hhal itu dapat dilihat ketika ia merespon realitas sosial keagamaan. Secara tegas ia menawarkan solusi-solusi liberalisasi dan rekonstruksi terhadap pemahaman Islam.
Penafisran-penafsiran
liarnya terhadap doktrin keagamaan yang mapan selalu dengan pendekatan
liberal-dekonstruktif.
Sebagai
contoh
ketika
ia
menafsirkan kata “maksiat” dan solusi yang tawarkannya. Baginya maksiat hal yang lumrah dan fitrah setiap manusia. •
Konteks Sosial “Islam, Turisme, dan Toleransi” ditulis oleh Luthfi Assyaukanie, tgl 16 Januari 2005 tidak lepas dari konteks sosial yang ada di Indonesia dan konteks internasional. Konteks sosial dari teks Kajian Utan Kayu Jawa Pos tidak lepas dari realitas sosial bangsa Indonesia, baik dalam konteks politik, ekonomi,
sosial-budaya
maupun
keagamaan.
Keterbelakangan
pendidikan, krisis ekonomi, konflik kepentingan elit politik, hubungan sosial-budaya, perbedaan aliran keagamaan, sampai pada hubungan antar-agama merupakan realitas sosial yang ada di Indonesia.
53
Assyaukanie mengkritik sikap keberagamaan kelompok Fundamentalisme Islam yang kaku, dan cenderung anarkhis. Bisa dikatakan bahwa konteks sosial teks tersebut adalah pertarungan wacana antara Islam Liberal versus Islam Fundamental. Pertarungan itu tidak hanya pada ranah perbedaan pemikiran Islam, akan tetapi telah masuk pada wilayah politik, ekonomi dan budaya. Konteks sosial teks lainnya, teks Kajian Utan Kayu yang ditulis oleh Assyaukanie menguntungkan para pengelola industri turisme dan pemodal asing (kapitalis), sedangkan yang dirugikan adalah kelompok yang anti maksiat, Islam radikal, Islam fundamental dan rakyat jelata.
54
Analisis teks yang ketiga adalah teks Hamid Bayaib “Ke Turki, Kita Mengaji”. •
Tematik : Dalam teks Basyaib bisa ditarik tema globalnya adalah pentingnya umat Islam untuk mengaji ke Turki tentang sekularisme dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
•
Skematik : Pertama, Basyaib menjelaskan, dalam pendahuluan, bahwa kemenangan besar partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dalam pemilu Turki 03 November 2002 lalu benar-benar mencengangkan, menang mutlak, padahal baru berumur satu tahun, dan baru pertama kali ikut pemilu. Hal tersebut terjadi dikarenakan partai AKP mempunyai citra bersih ditengah kancah politik, ketika Turki dilanda praktek korupsi dan krisis ekonomi berkepanjangan. Kedua, AKP, dijelaskan oleh Basyaib, adalah partai Islam yang bisa dilihat dari tokoh-tokohnya dan latar belakangnya. Ketiga,
bagi
Basyaib,
Turki
bukan
“negara
sekuler”,
sebagaimana dipersepsikan banyak orang. Alasannya, pada masa Mustafa Kamal, rezim tentara itu, mempraktekkan roda politik “sekuler fundamentalis,” anti agama, ekstrim, sehingga banyak aspek-aspek sosial yang berbau agama tidak boleh dijalankan oleh rakyat, misalnya dalam soal kerudung (jilbab), sejak 1997 dilarang keras memakai jilbab di kantor, sekolah pemerintah (negeri), dan tempat umum lainnya.
55
Keempat, pemerintahan Erdogan (dan partai AKP), menyatakan komitmen
pada
prinsip
sekularisme,
bukan
sekularisme
fundamentalisme, karena merupakan prinsip demokrasi. Sekularisme dalam artian imparsialitas negara terhadap semua keyakinan agama, menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, membatasi wewenang negara, bukan individu, individu bebas melakukan apa pun dan negara tidak bisa diatur dengan salah satu keyakinan agama. Kelima, komitmen Erdogan dan prioritas terpenting adalah mengupayakan Turki menjadi anggota Uni Eropa dan reformasi ekonomi. Sejarah panjang sejak tahun 1963, Turki mengajukan keanggotaan Uni Eropa, pada tahun 1999 baru diterima sebagai calon anggota. Pada akhir tahun 2002 Turki diterima sebagai anggota penuh Uni Eropa, itu pun atas desakan AS terhadap anggota Uni Eropa lainnya, sebagai imbalan yang ia janjikan. Basyaib memberikan alasan, kenapa Turki begitu lama dalam proses keanggotaannya diterima? Alasan yang pertama adalah buruknya catatan HAM dan demokrasi di Turki, bukan persoalan wilayah Turki hanya 16% yang masuk wilayah Eropa, atau ada 90% penduduk Turki beragama Islam, atau Turki sebagai bekas kerajaan Islam atau imperium Usmani yang sempat berseteru dengan Eropa. Namun kini Turki mulai membaik, selain hukuman mati dihapus, bahasa suku Kurdi pun dibebaskan. Diterimanya Turki sebagai anggota Uni Eropa merupakan eksprimen penting dalam hubungan Islam-Kristen. Uni Eropa sebagai
56
“Klub Kristen” dan Turki sebagai “Klub Islam”. Keanggotaan penuh Turki dalam Uni Eropa sekaligus NATO itu diharapkan bisa menjadi semacam jembatan kerjasama Kristen dan Islam yang lebih luas. Keenam, menurut Hamid, Erdogan dan partainya, mempunyai visi keIslaman yang cerah dan moderat. Kemenangan AKP adalah kemenangan Islam moderat, serta mempunyai komitmen terhadap sekularisme.
Sekularisme dalam artian Sekularisme Barat, bukan
sekularisme “Fundamentalis”, sekuler yang benar-benar anti agama, memusuhi agama, terbelakang, kuno, indemokratis dan represif, seperti yang dianut oleh Mustafa Kamal A, sampai berjilbab saja tidak boleh. Ketujuh, Basyaib menggambarkan pemerintah AKP merupakan periode bersejarah dalam konteks pemerintahan yang berakar atau berbasis Islam tampil modern, demokratis, sekuler, percaya diri dan sanggup berintegrasi dalam pergaulan antar bangsa. Turki saat ini bisa membiarkan penduduknya mengembangkan budaya dan keyakinan religius mereka secara aman, tanpa tekanan. Turki tidak mungkin diurusi oleh aturan-aturan keagamaan formal, karena mengingat pluralitas masyarakat dan keharusan berinteraksi dalam sistem internasional yang beradab. Kedelapan, bagian terakhir, Turki bisa memberikan sumbangan positif dalam hubungan dunia yang saling bermusuhan itu (Timur dan Barat, atau Islam dan Kristen).
57
•
Semantik. Pertama, Basyaib menawarkan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No!”, sebagaimana ide itu pernah ditawarkan oleh Cak Nur. Untuk menjelaskan konsep itu, ia mengungkapkan data tentang kemenangan partai AKP, karena citranya baik dimata masyarakat, sekuler, demokratis, bersih dari korupsi, humanis, moderat, dan berbasis Islam. Partai AKP bukan partai Islam atau partai yang berideologi Islam, yang ingin menerapkan syariat Islam. Citra keislaman partai AKP dijelaskan secara positif dan berlebihan, sehingga tampak AKP yang sekuler itu sebagai partai yang Islami dan berbasiskan Islam. Citra positif paham “Sekularisme Barat” pun tampak secara berlebihan yang diterapkan
oleh
AKP
itu,
sementara
citra
“Sekularisme
Fundamentalisme” diekspos secara negatif. Kedua, Basyaib menawarkan gagasan “Sekularisme”. Ia memulainya dengan menjelaskan kemenangan partai AKP itu tidak terlepas dari kesan jelek (negatif) sekularisme fundamentalis yang pernah dipraktekkan oleh Mustafa Kamal Attaturk. Atas dasar itu, Basyaib menganggap penting mengkaji sekaligus mempraktekkan “Sekularisme Barat”. Banyak indikator-indikator positif Sekularisme Barat, disamping bisa berintegrasi dengan sistem internasional. Sekelumit alasan itu menjadikan paham sekularisme suatu kebenaran yang harus ditiru. Sikap sepakat Basyaib terhadap sekularisme barata tampak dalam penrnyataannya “dan yang penting AKP tetap
58
berkomitment menjalankan sekularisme, yang mudah-mudahan di masa yang akan datang makin menyerupai Sekularisme Barat”. Basyaib menyampaikan paham “Sekularisme Barat” itu positif dan layak ditiru. Untuk memperkuat maksud itu, dijelaskan bahwa yang selama ini dipraktekkan oleh Mustafa Kamal itu bukanlah sekularisme dalam pengertian di Barat, tapi sekularisme fundamentalis. Ditampilkan juga citra positif pemerintah AKP yang menerapkan dan komitmen terhadap sekularisme. Basyaib mengungkapkan data dalam teks tersebut secara meyakinkan, sehingga terkesan valid. Seperti Basyaib mengutip angkaangka, tanggal dan tahun dalam memperkuat argumennya. Ia juga menggunakan istilah-istilah yang biasa didengar oleh masyarakat, terutama berkonotasi negatif misalnya kata “Fundamentalis”, dengan memaparkan contoh-contoh praktek negatif, misalnya dalam kasus pelarangan memakai jilbab, penghapusan hukuman mati. Basyaib juga mengutip pendapat pengamat politik terkemuka, Cenghis Candar tentang kemenangan AKP adalah kemenangan Islam moderat. Penjelasan yang lebih besar porsinya adalah pengungkapan sejarah pemerintahan Turki dalam skala nasional dan internasional. Ketiga, Basyaib menjelaskan gagasan tentang “demokrasi”. Demokrasi merupakan syarat terpenting dalam menerapkan sekularisme. Negara teokrasi jelas tidak mungkan akan bisa menerapkan prisnsipprinsip sekularisme.
59
Keempat, Basyaib juga menjelaskan konsep “Islam Moderat”. Gagasan ini merupakan solusi dari problem umat islam modern, khususnya berkaitan dengan pola pikir dan sikap. Dalam konteks negara Turki, Islam Moderat cukup bisa diterima oleh rakyatnya, karena selama bertahun-tahun dikuasai oleh rezim yang otoriter dan ekstrim. Hal ini tampak dalam sosok partai AKP, sebagaimana digambarkan oleh Basyaib. Kelima, Basyaib juga menjelaskan pentingnya dialog dan kerjasama antara negara. Tentunya hal itu tidak bisa dibangun jika suatu negara masih bersikap ekstrimis dan fundamentalis. Maka konsep demokrasi dan sekularisme menjadi penting demi terbangunnya sebuah dialog dan kerjasama antar-negara yang sehat. Setidaknya Turki bisa memberikan contoh bagi dunia islam yang lain, karena ia bisa masuk dalam anggota Uni Eropa, bisa berdialog dengan negara-negara Barat. Turki mampu berintegrasi dan bersaing dalam pergaulan global. •
Sintaksis Elemen kalimat dalam teks Basyaib berjenis induktif. Hal itu tampak Basyaib menjelaskan ada beberapa indikator-indikator yang bisa membentuk pemerintahan sekuler yang modern dan demokratis dan menyebut
indikator-indikator
negara
“Sekuler
Fundamentalis”.
Indikator-indikator itu akan mengerucut pada satu kesimpulan di akhir tulisan. Pada awal tulisan, Basyaib menjelaskan indikator bersifat khusus tentang kemenangan besar partai AKP dalam pemilu, partai yang
60
dicitrakan sebagai partai bersih dan berakar pada Islam. Kemudian ada kalimat yang menjelaskan tentang “sekularisme fundamentalis” yang dipraktekkan oleh jenderal Kemalis; misalnya melarang memakai kerudung. Dilanjutkan dengan keterangan bahwa AKP komitmen pada sekularisme dalam artian pengaturan negara bebas dari keyakinan agama dan rakyat diberi kebebasan untuk melaksanakan keyakinannya masingmasing. Ide pokok (inti) dari beberapa kalimat tersebut adalah perlunya membedakan “sekularisme barat” dan “fundamentalis” dan pentingnya menerapkan sekularisme barat, karena pluralitas keyakinan dan kemungkinan akan pergaulan global. Dari uraian di atas dapat diambil suatu makna bahwa Basyaib sedang berkampanye secara tersembunyi tentang paham sekularisme. Hal ini terbaca dari bentuk kalimat tersebut (induktif). Terdapat juga pada paragraf ke-14, Basyaib menulis “tampak bahwa Erdogan punya visi keislaman yang cerah dan moderat, setidaknya dibandingkan partai lain …”. Kata yang digunakan “tampak” dan “setidaknya” apalagi Basyaib tidak menyebut secara rinci visi keislaman AKP itu apa. Ini jelas klaim dan spekulasi penulis saja. Strategi itu dilakukan untuk mengatakan bahwa AKP berbasis Islam. Pada paragraf ke-5, Basyaib menulis bahwa “Turki bukanlah negara sekuler”, yang dimaksud adalah pemerintah kemalisme yang menerapkan sekularisme fundamentalis, bukan Sekularisme Barat.
61
Elemen kata ganti menunjukan representasi subjek. Kata ganti “kita” merepresentasikan orang Indonesia yang mayoritas Islam itu (penulis dan pembaca). Penulis berusaha menjadikan pembaca bagian penting dari apa yang ia sampaikan, yaitu kajian tentang sekularisme di Turki. Umat Islam Indonesia seharusnya meniru sekularisme Turki yang saat ini saja, bukan yang dulu, yang katanya sangar dan mengerikan itu. •
Stilistik Elemen leksikal atau pilihan kata dari awal tulisan kata sudah tampak dalam judul. Hal ini sebagai strategi wacana yang digunakan penulis dengan maksud tertentu. Kata yang digunakan adalah “mengaji”. Konotasi kata mengaji adalah belajar ilmu-ilmu keagamaan, misalnya belajar Qur’an, Hadits, fiqih, kalam dan mendengarkan pengajian. Seolah-olah pengarang hendak mengajak pembaca untuk mengaji tentang apa yang ada di Turki, atau pengarang hendak mengsakralkan apa yang terjadi di Turki (sekularisasi), sekularisme juga bahan pengajian, ia juga bagian penting disamping mengaji ilmu-ilmu agama yang lain. Ada kata sinonimnya, misal kata “belajar, melihat, mengaca, membaca”, dan lain-lain, kenapa yang dipilih kata “mengaji”? Memang kata ini lebih dekat dengan kondisi dan kebiasaan masyarakat, sehingga dipakailah kata ini. Pemilihan kata “kemenangan”, “mencengangkan”, “memikat”, “citra bersih”, “bervisi keislaman”, “moderat” digunakan untuk mengekspresikan citra positif sekularisme Turki di masa pemerintahan
62
Erdogan dan partainya AKP. Sedangkan kata “anti agama”, “isu jilbab”, “militeristik”, “sekuler kuno”, “terbelakang” selalu dilekatkan pada Jendral Kemalis yang menerapkan sekularisme fundamentalis itu. Pemilihan
kata
“sekularisme
Barat”
dan
“sekularisme
fundamentalis” yang dikotomik itu jelas merupakan strategi wacana dalam teks Basyaib. Hal ini dilakukan agar peserta pengajian bisa membedakan mana sekularisme yang baik dan layak ditiru, dan pada akhir bisa membedakan apa yang disampaikan dalam teks, apalagi teks menggambarkan kemajuan semasa pemerintahan Erdogan (AKP) yang menerapkan Sekularisme Barat. Inilah inti dari wacana yang diwacanakan oleh penulis. Kata “meski”, “terkesan”, “tampak”, adalah strategi wacana agar seolah-olah data yang diungkapkan benar dan valid, padahal dengan menggunakan kata tersebut justru terkesan panulis berspekulasi dengan data, intinya data tidak valid. Penggunaan kata “Islam, keIslaman” dalam teks itu pun tidak jelas rujukannya, mengingat Turki banyak model Islam. Pengarang mengajak pembaca agar berkaca (dan pada tahap berikutnya meniru) kepada paham sekularisme dengan kata “mudahmudahan”, (paragraf 16), (paragraf 18) dan kata “sumbangan positif” (paragraf 21).
63
•
Retoris Elemen metafora pada teks Basyaib tampak pada awal tulisan, dengan ungkapan bahasa hiperbolik. Ia mengungkapkan kemenangan partai AKP secara berlebihan (paragraf 1), “Kemenangan besar partai AKP benar-benar mencengangkan, partai yang baru berusia 12 bulan”, tanpa mengungkapkan partai lain yang ikut dalam pemilu. Metafora ironi juga tampak dalam teks, upaya mengungkapkan ungkapan-ungkapan negatif tentang suatu kelompok (objek). Pada paragraf 5-6 penulis menggambarkan sekuler fundamentalis secara negatif. Elemen grafis, sebagaimana judul itu ditulis dengan font besar dibold yang menunjukkan bahwa hal itu penting untuk diperhatikan atau ada makna yang mau disampaikan, sebagaimana tujuan umum dari judul sebuah tulisan. Dari sisi penampilan foto, tampak Erdogan dan wakilnya sedang melakukan shalat. Penampilan itu bermakna bahwa Erdogan sebagai pemimpin AKP yang sekular itu masih berlaku taat pada Islam. Hal itu juga menunjukkan Erdogan dan partainya adalah berakar pada Islam dan bervisi keislaman yang cerah, moderat, walaupun partai sekular. Dalam tampilan foto, juga tampak Erdogan dan yang sekitarnya, tidak memakai serban, jubah, peci, dan tidak berjenggot, bahkan yang tampak sosok liberal dan sekular dengan berpakaian jas, berdasi, berkaca mata (tidak dilepas) dan bertopi. Fenomena itu bermakna bahwa
64
pemimpin Turki tidak ada yang radikal atau fundamental, tapi sekular dan liberal. Kedua elemen ini (grafis dan metafora) merepresentasikan ekspresi yang berlebihan ketika menampilkan sisi positif Turki. •
Kognisi Sosial Teks Latar belakang Basyaib mantan wartawan Republika, Pimred majalah Umat, penerjemah buku, penulis di medan massa, dan hidup di lingkungan masyarakat NU, kecenderungan keluarga kepada mazhab Wahabi dan Muhammadiyah. Ia peminat berat Film Holliwood dan lagu-lagu pop dan jazz. Ia juga seorang kolektor musik klasik, ia juga termasuk orang yang lebih mengedepankan spiritualitas ketimbang ritualitas. Spiritualitasnya bisa bangkit ketika mendengarkan musik, apalagi lewat simfoni ke-6 dan 9 Bethooven yang popular itu37 Ia juga sebagai peneliti di yayasan Aksara dan salah satu editor di redaksi Jaringan Islam liberal (JIL). Latar belakang seperti di atas ikut mempengaruhi pandangan Basyaib terhadap apa yang ia tulis. Ideologi, status sosial, pendidikan, pengalaman, ekonomi, dan memori penulis sangat berpengaruh terhadap pandangan, sikap, pola pikir, penafsiran dan kepentingan ketika mendefinisikan sebuah realitas dan ketika mewacanakan suatu gagasan ke khalayak. Basyaib saat ini lebih pas bila diposisikan sebagai pemikir atau intelektual muslim liberal dari pada yang lain, karena posisinya saat ini
37
Baca wawancara Ulil Abshor-Abdalla dengan Hamid Basyaib di Jawa Pos/8/9/2002.
65
sebagai aktivis JIL dan menulis di rubrik Jil, sebagai editor tetapnya (kerjasama Jawa Pos). Kognisi Basyaib tidak bisa lepas dari komunitasnya itu, sehingga saat ia menulis suatu gagasan sesuai dengan apa yang selama ini dikampanyekan oleh dirinya dan komunitasnya. Salah satu ide JIL adalah gagasan sekularisme. Bagaimana Basyaib memandang realitas, mendefinisikan dan bersikap terhadap sekularisme. Dalam tulisan itu, Basyaib tampak sepakat dengan gagasan sekularisme (dalam pengertian sekularisme barat). Ungkapan-ungkapan memuji dan ke arah positif yang dikuat kepada Erdogan dan partainya, AKP, yang telah (mencoba) mempraktekkan paham sekularisme. Basyaib tidak menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Jenderal Kemalis
adalah
sekularisme
Barat,
akan
tetapi
“Sekularisme
fundamentalis” dan menggambarkannya secara negatif. Atas dasar itu, Basyaib menganjurkan bangsa Indonesia meniru Turki saat ini (bukan masa lalu). •
Konteks Sosial Teks Sejak lengser keprabon Soeharto sejak 21 Mei 1998, peta politik Indonesia berubah terpeta-petakan menjadi beberapa aliran politik dan bentuk atau wadah partai politik. Kepentingan dan aspirasi rakyat tidak
66
bisa lagi difusikan dalam satu wadah, seperti terjadi pada rejim Soeharto. 38 Menurut R. William Lidle, pada era Orba, umat Islam tidak mendapatkan tempat dalam posisi kekuasaan, terutama kelompokkelompok radikal fundamental. Namun pada tahun 70-an, Cak Nur dkk, kelompok substansialis-inklusif bisa memecahkan kebekuan politik Orba. Mereka mendapat posisi yang lebih baik dalam kekuasaan Orba.39 Saat ini, era reformasi, ormas, dan orsospol masing-masing merepresentasikan berbagai kepentingan dan aliran politik yang berbeda-beda, kompetisi dalam berebut kekuasaan. Perbedaan itu berimplikasi kepada ideologi politik dan tujuan politik yang diperjuangkan. Pemetaan terbagi beberapa aliran politik yaitu nasionalis, radikal, eksklusif (fundamental), moderat-inklusif, tradisional, liberalinklusif, religius. Masing-masing aliran politik itu mempunyai konsep negara yang berbeda-beda pula. Pada era reformasi partai politik berbasis Islam terbagi menjadi 35 parpol.40 Sehingga masing-masing parpol mempunyai konsep yang berbeda-beda tentang negara. Ada konsep negara Islam, dan negara demokrasi, dan perbedaan itu tidak
38
Nadhif Alawi, PKB dan Pemilu 2004 Menuju Pemilu 2009, Jakarta, LPP DPD PKB 2005, HLM. 20. Fusi itu terjadi pada tahun 1973, PPP terdiri dari NU, PSU, Parsi, Parmusi guna menjinakkan suara umat Islam dan sekaligus politik pecah belah, Khaman Zada, Op. Cit, hlm. 38 39 M. Hari Zamharin, Agama dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik Cak Nur, Jakarta, Murai Kencana, 2004, hal : 53. 40 Khamani Zada, Islam Radikal, Bandung, Teraja, 2002, hlm. 4.
67
mungkin bisa disatukan, karena berbeda kepentingan, ideologi dan prinsip masing-masing parpol. Dalam konteks itulah, teks Basyaib disampaikan untuk wacana politik, yaitu teks tentang sekularisme dan demokrasi. Wacana-wacana itu dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran tentang konsep negara yang saat ini menjadi perdebatan di parpol, parlemen, diskusi, dan lainlain atau hanya sekedar “jual gagasan”. Masing-masing partai mempunyai konsep yang berbeda, PKS, PPP, PBB, misalnya, mengusung isu Syariat Islam, Golkar, PDIP, PKB, masih konsisten dengan setia pada sistem demokrasi dan sistem sekularisme.41 Sejarah Politik Islam Indonesia, menurut Muktar Mas’ud,42 terpetakan menjadi dua, pertama, Islamisasi negara atau penerapan syariat Islam, dan kedua, Islamisasi masyarakat (penerapan sistem sekularisme). Dalam konteks Internasional, sistem demokrasi dan sekularisme merupakan dua paket negara-negara Eropa yang akan diterapkan di negara-negara dunia ketiga. Pada abad ke-19, pasca perang Dunia ke-2 (1942) atau pasca kemerdekaan dan sebagian negara-negara jajahan, kedua sistem itu
41
Zainal Abidin Annur, Peta Islam Politik Pasca Suharto, Jakarta. LP3ES. 2003. hlm.
11. 42
Mukhtar Mas’ud, “Islamisasi Negara dan Islamisasi Masyarakat”, dalam Arief Affandi, Islam, Demokrasi Atas Bawah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm 75-78.
68
menjadi paket perbaikan negara-negara bekas jajahan.43 Sistem tersebut juga berimplikasi terhadap akomodasi konsep modernisasi dan developmentalisme. Hal di atas itu jika ditinjau dari sisi ekonomipolitik. Jika ditinjau dari sisi sosial politik dan pertarungan antarperadaban, jelas bahwa teks Basyaib itu merupakan kelanjutan dari pertarungan peradaban Barat dan dunia islam. Untuk kepentingan hegemoni dan penguasaan dunia islam, maka diciptakanlah wacanawacana
demokrasi,
sekularisme,
budaya
konsumerisme
dan
individualisme, liberalisme yang dibungkus dengan bahasa-bahasa ilmiah, dan lebih halus lagi diberi “bumbu” ajaran Islamnya.44 Pertarungan isu demokrasi dan negara Islam akan selalu mencari dalih untuk melegitimasi salah satu kekuatan. Bagi dunia Eropa, pelanggaran HAM di negara-negara Timur Tengah selalu dilabelkan dengan kekakuan sistem negara Islam, bahkan dijadikan sebagai kedok untuk menggulingkan rejim tertentu, seperti penyerangan terhadap Irak. Kasus-kasus invansi ke Irak dan “perang Urat” AS dengan pemerintahan baru Iran merupakan kenyataan pahit dunia (yang mayoritas) Islam dan perang peradaban dunia maju dengan dunia ketiga.
43
Mansur Fakih, “Fiqih sebagai Paradigma Keadilan”, dalam Anang Haris Himawan, Epistemologi Syara’ : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal : 135 – 7. 44 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris : Menafsir Agama Untuk Praktis Pembebasan, Jakarta, P3M, 2004, hal : 89-91.
69
Disisi lain, hal-hal di atas juga dikuatkan oleh tesis Samoel Huntington, bahwa Islam adalah musuh negara-negara Barat yang sekuler (demokrasi) selain konfusionisme dan komunisme.45 Konteks sosial teks Basyaib itu tidak bisa lepas dari usaha untuk merubah anggapan (image) negatif terhadap sekularisme, terutama yang pernah terjadi di Turki, di bawah pimpinan kemalisme (mustafa Kamal A). Kenapa Turki yang menjadi contoh? dan kenapa sekularisme yang diunggulkan? Turki adalah bekas kerajaan Islam terakhir, yang kemudian menerapkan sekularisme, sehingga Turki secara kultural, masih erat kaitannya dengan Islam. Hal inilah yang menyambungkan antara teks dan konteksnya, apalagi saat ini Turki telah berhasil menerapkan sekularisme yang lebih humanis, demokratis dan maju. Dari fenomena itu, setidaknya Turki bisa dijadikan “proyek percontohan” penerapan sekularisme bagi negara-negara yang berbasis Islam (mayoritas penduduk Islam) dan masih getol dan komitmen terhadap syari’at Islam. Tentunya sekularisme adalah isu yang menjadi materi kampanye Jaringan Islam liberal.
45
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Perbedaan dan Masa Depan Politik Dunia, (terj, Sadat Ismail), Yogyakarta, Qalam, 2003, Cet VII, hlm. 405-445, 171-205.
70
4.5.
Temuan-Temuan Gagasan dan Ekspresi Teks-teks JIL 1. Liberalisme dan Kebebasan Berekspresi Paham liberalisme dalam JIL adalah paham Islam Liberal, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial, politik, agama, dan budaya yang menindas.46 Paham liberalisme itu secara eksplisit bisa terbaca dalam teks Ulil ketika ia menerangkan makna “Islam”. Baginya, Islam adalah agama (sikap) ketundukan, kepasrahan kepada Tuhan, bukan Islam yang berarti agama formal (dilembagakan oleh umatnya) yang dibawa oleh nabi Muhammad itu.47 Definisi ini sama dengan definisi Cak Nur, tokoh Islam liberal era neo-modernisme. Hal ini tampak Ulil mau keluar dari sekat-sekat teologi atau pemahaman konservatif. Ia mau lepas dari kungkungan struktur nalar agama, budaya dan sosial yang selama ini masih kental dalam nalar mayarakat Islam indonesia. Hal yang sama juga terbaca dalam teks Assyaukanie, ia menuliskkan bahwa “kemaksiatan bukanlah sesuatu yang harus dilarang, apalagi ditumpas habis”48 pernyataan itu merupakan usaha pelepasan diri dari doktrin-doktrin agama, etika, dan budaya bangsa.
46
http://www.islamlib.com Baca artikel Ulil Abshor Abdalla, “Islam, Toleransi dan Rekonsiliasi,” Jawa Pos/26/12/2004 dan Ulil Abshor-Abdalla, “Islam, Toleransi dan Rekonsiliasi,” Jawa Pos/02/01/2005 48 baca tulisan Luthfi Asyaukanie, “Islam, Turisme dan Toleransi”, Jawa Pos/17/01/2005 47
71
Kebebasan berekspresi dan berpikir merupakan prinsip dasar liberalisme. Kebebasan berpikir menurut JIL akan memajukan agama, membuat agama lebih dinamis, bisa hidup dan begelut dengan dunia modern ini. Tanpa liberalisme agama, agama akan mati dan menjadi fosil yang tak berguna, maka ia akan ditinggalkan umatnya. Manusia memang diciptakan untuk berpikir, bukan hanya bisa menerima warisan yang bersifat temporal dan lokalitas. Kebangkrutan dan keterbelakangan dunia Islam disinyalir banyak pemikir muslim disebabkan oleh kemandegan berpikir umat. Oleh karena itu solusi dari semua persoalan umat adalah berpikir maju, modern dan bebas. Liberalisme yang maksudkan JIL juga dalam liberalisme ekonomi, politik, hukum, bukan sekadar liberalisme pemikiran keislaman. Inilah inti dari liberalisme dan kebebasan berpikir bagi JIL. JIL percaya baahwa ijtihad adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus berkembang dan maju, serta bisa bertahan dalam segala cuaca.49
2. Sekularisme dan Demokrasi Sekularisme dan demokrasi, menurut Hamid Basyaib,50 merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan dalam sebuah sistem negara, artinya, ketika ingin menerapkan konsep sekularisme secara 49 50
utuh
maka
harus
menggunakan
konsep
demokrasi.
Jaringan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm. 8 baca tulisan Hamid Basyaib, “Ke Turki Kita Mengaji,” Jawa Pos/07/11/2002
72
Sekularisme merupakan syarat penting bagi sistem demokrasi. Sekularisme adalah prinsip kebebasan dan imparsialitas negara terhadap semua keyakinan agama. Atau konsep yang menganggap tidak pentingnya akan pengaturan negara yang diatur oleh agama tertentu, yang mana masyarakat negaranya sangat majemuk. Demokrasi merupakan elemen penting dalam pemikiran JIL. Demokrasi mereka anggap sebagai salah satu jalan keluar dari keberagaman umat, demi terciptanya kemaslahatan bersama, bukan parsial. Atas dasar itu JIL menolak penerapan syariat Islam di Indonesia. Alasan mereka karena masyarakat indonesia majemuk, dan tidak ada kejelasan tentang syariat Islam, bahkan bagi mereka konsep “Negara Islam” itu tidak ada. Teokrasi islam di masa silam itu hanya merupakan kerajaan islam saja bukan negara islam, nabi pun tidak pernah mengajarkan tentang wajibnya mendirikan negara islam, justru isla atau nabi mengajarkan prinsip-prinsip demokrasi.51 JIL berpandangan bahwa aturan-aturan keagamaan harus dipisahkan dari kehidupan politik (kekuasaan). JIL menentang Teokrasi (Negara Tuhan). JIL yakin bahwa bentuk negara yang sehat dan baik untuk kemaslahatan umat beragama adalah negara sekular dan menerapkan sistem demokrasi liberal.52 Penerapan Syariat Islam tidak realistis, tidak bisa mengatasi problem masyarakat secara keseluruhan, apalagi mengatasi persoalan 51
Saiful Mujani, Syariat Islam Dalam Pandangan Musliom Liberal, Jakarta : JIL, 2003,
hlm. 20-51 52
http://www.islamlib.com
73
disintegrasi bangsa. Belajar dari pengalaman Timur Tengah yang pernah menerapkan Syariat Islam, seperti Taliban, Afganistan, justru menciptakan stigma buruk atas citra agama Islam sendiri. Islam identik dengan kekerasan, pelanggaran HAM, kaku dan tidak modern.53 Bagi JIL, kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. JIL menentang negara Teokrasi (negara agama). Agama hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Agama hanya ada pada ruang privat, tidak publik. Urusan publik harus diselenggarakan dengan konsensus.54
3. Pluralisme, Universalisme dan Substansialisme Ketiga istilah itu sama dalam esensi pengertiannya. Ulil mendefinisikan pluralisme, sebagaimana dalam teksnya, adalah sumber kebenaran itu hanya satu, yaitu Tuhan. Kebenaran itu diberikan kepada siapa saja, agama apa saja, hanya saja keyakinan dan bentuk keyakinan keagamaan (ajaran agama, atau ritual) yang berbeda. Paham pluralisme ini juga disebut Ulil sebagai kebenaran Universal, kebenaran itu milik siapa saja, untuk semua umat. Paham ini pada kesempatan yang lain disebut Ulil sebagai paham substansialisme. Ketiga paham itu memandang bahwa tidak perlunya formalitas dalam beragama, atau memformalkan agama dalam hidup bernegara. 53
Taufiq Adnan Amal, “Pelajaran Berharga Dari Pakistan”, dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta : JIL-TUK, 2002, hlm. 30 54 Jaringan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm.10
74
Esensi kebenaran semua agama adalah sama. Agama yang satu tidak membatalkan agama lain, hanya karena agama tertentu lebih kemudian. Nabi yang satu juga tidak membatalkan adanya nabiyang lain, demikian tulis Ulil dalam teksnya.55 Ketiga paham itu juga mirip dengan paham relativisme agama dan paham esoterisme. Paham relativisme memandang bahwa kebenaran agama itu relatif, bisa ada dimana-mana, kapan dan bagi siapa saja. Hal ini mendasarkan relativitas pemahaman dan penafsiran manusia terhadap kebenaran. Penafsiran adalah sesuatu yang terbatas, terkungkung oleh konteks tertentu, penafsiran ada kemungkinan salah, dan terbuka untuk dikritisi, atau ada kebenaran baru atau kebenaran yang lain.56 Oleh karena itu kebenaran adalah keniscayaan yang sangat plural. Sementara paham esoterisme itu adalah paham yang memandang pentingnya “substansi” atau isi dari pada bentuk formal suatu agama. Oleh karena itu JIL lebih mementingkan maqosid al-syar’iyyah dari pada syar’iyah islamiah.57 Ajaran
pluralisme
mengajarkan
ajaran
cinta
kasih,
persaudaraan, saling menghargai, menghormati, menolong antarsesama manusia. Al-Qur’an sendiri mengajarkan sikap saling mengenal antara sesama manusia walaupun berbeda agama, suku dan bangsa (surat al-Hujurat:10-12). Dalam konteks pluralisme, “Islam”
55
Ulil Abshor Abdalla, “Islam, Toleransi dan Rekonsiliasi,” Jawa Pos/26/12/2004 dan Jawa Pos/02/01/2005 56 Jaringan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm.09 57 http://www.islamlib.com
75
harus dimaknai sebagai agama universal yaitu sikap ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan, bukan sebagai agama formal. Pandangan seperti ini akan memberi ruang sikap toleransi beragama dan perdamaian.58
4. Inklusivisme, Toleransi dan Dialog antar-agama Inklusivisme adalah sikap keterbukaan terhadap realitas keberagamaan (kemajemukan) umat. Toleransi merupakan sikap menerima akan keberbedaan. Kedua sikap itulah yang akan menumbuhkan dan mengembangkan dialog antar-agama. Bahkan JIL meyakini bahwa beragama atau tidak beragama adalah urusan personal yang harus dihargai dan dilindungi. JIL tidak membenarkan penganiayaan atas dasar agama tertentu, atau pendapat.59 Untuk menumbuh-kembangkan sikap keterbukaan dan sikap saling menerima itu, tentunya masing-masing umat beragama harus bisa memahami apa sebenarnya makna agama itu dan untuk apa manusia beragama, kenapa harus berbeda, bagaimana mensikapinya. Apkah beragama beragama untuk saling membunuh?, menyalahkan yang lain?, unjuk kekuatan dengan memperbanyak umat?, benarkah beragama untuk berkonflik?. Disinilah paham pluralisme agama dan kebenaran universal dibutuhkan, agar tercipta sikap saling terbuka dan bisa menerima. Jika hal tersebut terjadi maka tidak sulit untuk 58
Budhy Munawar Rahman, “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam Luthfi Assyaukanie, Op. cit, hlm. 50-52 59 Jaringan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm.10
76
melakukan dialog. Atau sebaliknya, dialog dijadikan sebagai media dialog kerukunan umat beragama.60 Toleransi, menurut Assyaukanie, merupakan syarat utama dalam
keberhasilan
suatu
negara
dalam
mengelola
roda
pemerintahannya, termasuk pengelolaan industri kawasan Turisme. Sebagai
contoh,
di
daerah
Ternate,
Tidore,
dan
Lombok
masyarakatnya sangat tidak toleran dengan hal-hal yang ditimbulkan oleh industri turisme, misalnya night club, kafe, karouke, tempat prostitusi, perjudian atau tempat-tempat hiburan (maksiat) lainnya. Tindakan anarkhisme masyarakat membuat para modal industri ini tidak mau menanamkan modalnya, akibatnya negara dan pemerintah daerah menjadi rugi. Berbeda dengan Bali, masyarakatnya sangat toleran, sehingga industri ini perkembangan pesat, dan bisa menyumbangkan devisa bagi Negara dan Pemda setempat.61
5. Modernisasi (Pembaharuan) dan Ijtihad Ide modernisasi (pemabaharuan) diungkapkan oleh Ulil, bahwa pemabaharuan atau inovasi dalam masalah kedunian adalah sesuatu yang dianjurkan dalam agama. Masyarakat anti modernisasi akan stagnan dan hancur.62 JIL berkeyakinan bahwa ijtihad atas teksteks 60
keagamaan
adalah
jalan
keluar
dari
kebekuan
dan
Ulil Abshor Abdalla, “Islam, Toleransi dan rekonsiliasi,” Jawa Pos/26/12/2004 dan Jawa Pos/02/01/2005 61 Luthfi Asyaukanie, Jawa Pos/17/01/2005 62 Ulil Abshor Abdalla, “Islam, Toleransi dan rekonsiliasi,” Jawa Pos/26/12/2004 dan Jawa Pos/02/01/2005
77
keterbelakangan dan bisa memungkinkan Islam menjadi terus eksis sampai kapan pun. Penutupan pintu ijtihad merupakan ancaman bagi Islam sendiri.63 Dalam ijtihad, JIL berlandaskan kepada semangat keagamaan dan etika al-Qur’an dan al-hadits. Bukan berlandaskan pada teks. Pemahaman secara tekstual hanya akan membusukkan islam dari dalam, tapi kalau berdasarkan relegio-etik, Islam akan terus hidup sampai kapan pun dan berkembang searah perkembangan zaman.64 Ulil bahkan tidak segan-segan mengadopsi peradaban (pengetahuan) Barat, untuk dijadikan metode pengkajian terhadap Islam. Menurutnya, tidak ada salahnya umat Islam meniru peradaban Barat, dan tentunya mengambil hal-hal yang positif saja. Bagi ulil kebenaran ada dimana-mana, di Timur Tengah, Eropa (Barat) dan Yunani, China, dan lain sebagainya. Secara umum, JIL juga melakukan modernisasi dalam bidang politik, ekonomi dan budaya.
6. Nikah Beda Agama Ulil dalam teksnya memperbolehkan nikah antar-agama, dengan mengutip pendapat Abdullah Yusuf Ali, sebagaimana Cak Nur juga memperbolehkannya dengan alasan yang sama. Kebolehan itu merupakan rentetan konsekuensi dari pemahaman pluralisme agama dan paham universalisme Islam. 63 64
Jaringan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm. 08 http://www.islamlib.com
78
Pemahaman tentang agama selain Islam adalah agama Ahlul Kitab merupakan alasan bagi JIL untuk memperbolehkan nikah beda agama, karena Allah memperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab (Ali-Imron :85). Ulil sendiri pernah menjadi saksi nikah beda agama dan yang menjadi penghulunya adalah Zainun Kamal, tokoh muslim liberal Universitas Paramadina Jakarta.65 Nikah beda agama merupakan implementasi dari konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Bagi JIL, manusia punya hak untuk berbuat apa pun, hak untuk meilih agama, atau tidak beragama sama sekali, apalagi hanya sekadar nikah beda agama. Dalam beragama pun tidak ada paksaan di dalamnya.66 Bagi JIL, penerapan Syariat Islam adalah pelanggaran terbesar bagi hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran hak kaum minoritas, non-islam, dan melanggar prinsip-prinsip pluralisme. Bahkan dalam Islam sendiri terdiri dari berbagai macam mazhab. Mazhab yang mana yang akan diterapkan? Jika penerapan hanya salah satu mazhab saja, hal ini jelas pelanggaran HAM.67 Adapun rangkuman dari analisis kognisi sosial tentang Ekspresi teks sebagai berikut. Secara umum, ekspresi teks Kajian Utan Kayu Jawa Pos berupa ekspresi persuasif, provokatif dan bahasa-bahasa atau ungkapan-ungkapan yang melangit, susah 65
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Wihdah Press, 2005, hlm. 189-
199 66
Baca wawancara Nong Darol Mahmada dengan Djohan Effendi, Nurkholish Madjid tentang “Makna Kebebasan Beragama”, dalam Lutfi Assyaukanie, Op.cit, hlm. 135-142 67 Lutfi Assyaukanie (peny.), Op.cit, hlm. 12-13
79
dipahami oleh masyarakat awam. Ekspresi lain juga tampak kritis, vulgar, apologis, dan terkadang sensasional, sehingga ekspresiekspresi itu mendapatkan tanggapan beragam oleh publik, baik yang pro maupun yang kontra. Tanggapan masyarakat itu tidak hanya dikarenakan isi dan penulis teks yang kontroversial, namun persoalan gaya bahasa pun menjadi hal penting untuk ditanggapi. Ungkapan-ungkapan Kajian Utan Kayu Jawa Pos merupakan ungkapan-ungkapan penuh makna dan strategi wacana yang digunakan. Ekspresi-ekspresi itu bisa mempengaruhi seseorang, memanipulasi data dan kesadaran, bisa menindas kelompok lain, dan bahkan lebih represif dan membunuh antar-sesama. Ekspresiekspresi itu ibarat pisau yang tajam, tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk apa ia digunakan. Di media massa, Ulil mendapatkan tanggapan oleh banyak kalangan, baik yang membelanya maupun yang menghujatnya, ketika ia menulis di Kompas dengan tema “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Tanggapan-tanggapan itu tentunya bukan persoalan sepele, akan tetapi ada persoalan makna dan ekspresi Ulil dalam menyampaikan wacana tersebut. dimaksud adalah makna yang di
Mestilah makna yang
luar kebisaan, makna yang
seharusnya tak perlu disampaikan. Ekspresi yang digunakan mestilah
80
ungkapan yang tidak umum bagi sebagian masyarakat, ungkapan yang seharusnya tak perlu diungkapkan.68 Kontroversi tersebut menyebabkan Ulil difatwa “hukuman mati”
oleh
Forum
Ulama
Islam
Indonesia
(FUII),
yang
dikoordinatori oleh KH. Athian Ali Muhammad Dai, serta bisa membidani lahirnya buku “Pertarungan Wacana Islam Liberal Versus Fundamental”. Buku ini memuat ulasan antara pihak yang pro dan kontra dengan Ulil, dan saat ini telah terbit tiga kali cetak.69 Demikian juga tanggapan pro-konta pun terjadi ketika para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) menulis di Jawa Pos, tepatnya di rubrik Kajian Utan Kayu. Dalam banyak buku rubrik ini menjadi sasaran kritikan kelompok yang kontra,
70
sehingga dalam rubrik itu
ada kolom khusus “tanggapan”. Dalam kolom inilah kritikan terhadap JIL hadir walau tanpa diundang. Label kafir, murtad, sesat, fatwa mati, sumpah-serapah dan dukungan merupakan hal biasa dalam kolom itu. Dalam komunikasi sehari-hari, ekspresi merupakan bumbu atau penyedap rasa dan penambah keindahan berkomunikasi. Tanpa ekspresi, komunikasi tak akan bermakna. Akan tetapi jika ekspresi
68
Adian Husaini, dkk. Membedah Islam Liberal : Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia. Syamil Cipta Media, Bbandung, 2003. 69 bukunya : Ulil Abshor Abdallah, dkk. Islam Liberal Dan Islam Fundamental : Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: Elsaq dan Forstudia, 2003, cet. II., dan 2004, cet. III 70 baca buku Luthfi Bashori, Adian Husaini, Abu Abdillah Umar, Zuly Qodir, dan Nur Kholiq Ridwan.
81
berlebihan, juga akan berbahaya dan fatal akibatnya. Inilah gambaran sekilas tentang ekspresi teks JIL yang ada di Jawa Pos. Penggunaan
ekspresi
persuasif
sama
halnya
dengan
komunikasi persuasif, artinya pendekatan yang dilakukan dengan cara menyampaikan gagasan secara meyakinkan pembaca terhadap apa yang disampaikannya, atau menguraikan sesuatu gagasan dengan alasan-alasan yang bertujuan membujuk atau mengajak pembaca ke suatu yang diinginkannya, minimal memberikan sikap pro terhadap gagasannya. Hal itu tampak dalam teks Ulil yang selalu mengutip ayar-ayat al-qur’an, hadits dan pendapat para ulama, dan logikalogika modern. Apa yang dilakukan Ulil hanyalah untuk memperkuat gagasannya dan menyakinkan para pembaca, bahwa teks itu betulbetul kuat dan layak diikuti, atau minimal dibenarkan, tidak reaksioner terhadap pemikirannya. Atau hal itu merupakan upaya Ulil mencari legitimasi dan justifikasi dari berbagai landasan normatif agama, sehingga pendapatnya tidak terbantahkan. Ekspresi provokatif, agitatif dan vulgar dalam teks tersebut adalah ungkapan atau gaya bahasa yang cenderung mengusik kemapanan pemikiran yang selama ini kontra dengan JIL, atau memancing emosi lawan, menghasut serta menantang kesadaran dan sikap umat Islam secara umum. Ekspresi tersebut tampak dalam tulisan Assyaukanie, ketika ia menulis dengan mengatakan FPI sebagai “biang kerok” dari
82
persoalan kebangkrutan industri turisme. FPI dituduh yang merusak tempat-tempat maksiat, kafe, night club, dan lain sebagainya. Ungkapan Assyaukanie mengusik kemapanan keyakinan umat Islam, khususnya yang fundamental. Ia menulis bahwa kemaksiatan bukanlah sesuatu yang dilarang, apalagi ditumpas habis, maksiat sesuatu yang fitrah kemanusiaan, bahkan Adam sendiri, nabi bapak semua manusia, pernah maksiat. Atas pemahaman seperti itu, maka yang perlu dilakukan adalah meregulasi “peraturan perundangan kemaksiatan”, misalnya maksiat harus suka sama suka, tidak ada yang dirugikan dan ada tempat khusus semacam lokalisasi perjudian, pekerja seks, tempat khusus minuman keras, dan lain sebagainya.71 Ungkapan-ungkapan di atas tersebut bisa saja sebuah sensasi, ungkapan yang mengundang banyak perdebatan publik. Ekspresi ini digunakan untuk menaikkan popularitas pembuat teks tersebut. Hal ini justru membuat JIL semakin terkenal dan banyak dikenal masyarakat secara luas. Ungkapan-ungkapan data yang bersifat apologis pun tidak terhindarkan. Hal ini terjadi bisa saja karena ide itu disampaikan dalam sebuah artikel yang sangat terbatas itu. Minim argumentasi, logika yang pendek, dan kutipan-kutipan yang sedikit penjelasan. Sehingga cenderung dan terkesan apologis-justivikatif.
71
Baca tulisan Assyaukanie, “Islam, Turisme dan Toleransi,” Jawa Pos/17/01/2005
83
Ekspresi dalam teks JIL terlalu “melangit”, susah dipahami masyarakat awam. Hal ini seolah-olah gagasan JIL itu hanya diperuntukkan kepada orang-orang tertentu dan kalangan elit, elit politik, elit akademis, elit mahasiswa, dan elit intelektual, elit aktivis, dan elit yang lain. Teks JIL bukan untuk rakyat jelata, tidak berpendidikan, dan tidak punya kemampuan ekonomi. Rakyat kecil tidak boleh tahu. Mereka tidak layak mengkonsumsi istilah-istilah asing yang katanya ilmiah dan kren itu. Sekilas ekspresi teks JIL tampak kritis, untuk tidak mengatakan bahwa JIL sama sekali tidak kritis. Jika dikaji lebih dalam ternyata hanya ungkapan-ungkapan seorang yang liberal saja, tidak lebih dari itu. Hal itu karena JIL tidak jelas dalam gagasanya, ia mengkritik siapa, untuk apa, dan demi siapa? Padahal paradigma kritis (kritisisme) adalah jelas mengkritik struktur-struktur yang mapan dan menindas, tidak adil. Paradigma kritis digunakan untuk membela kaum yang tertindas dan demi keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Misalkan JIL mengusung isu, sekaligus bergerak langsung ke lapangan, membela kaum buruh, kaum miskin kota, anak jalanan, TKI/TKW yang tertindas, dan isu-isu kemanusiaan lainnya. Kekritisan yang tidak jelas itulah bisa dikatakan JIL tidak kritis, tapi sekadar liberal dan penganut ajaran liberalisme.
84
Kedepan JIL sebaiknya lebih mengedepankan bahasa-bahasa yang bisa dipahami oleh orang awam dan jelas dalam paradigmanya, serta
orientasinya,
sehingga
tidak
menimbulkan
kecurigaan-
kecurigaan. Penggunaan bahasa yang santun, beretika, tidak menyinggung kelompok lain adalah ekspresi yang sangat baik untuk diperhatikan. Dan dalam jangka panjang, JIL sebaiknya menerbitkan buku yang komprehensip tentang sejarah, paradigma, visi-misi dan gagasan-gagasan JIL, sehingga tidak terjadi prasangka-prasangka jelek yang menimbulkan fitnah dan tindakan anarkhisme. Bukan hanya buku editorial, terjemahan, apalagi sebuah artikel yang selama ini dikerjakan JIL. Seolah-olah JIL tidak serius untuk melakukan perubahan sosial, sebagaimana dalam visi pembebasannya. Yang tampak, JIL tak lebih dari penyebar konflik, fitnah, “intelektual tukang”, agen asing, dan dari pada tidak ada pekerjaan.
1.6.
Analisis
Arkeologi
dan
Genealogi
:
Menemukan
Ideologi
Kepentingan Gagasan. Untuk menjawab dua fokus masalah ini, peneliti menggunakan metode arkeologi dan genealogi wacana. Setelah peneliti menemukan gagasan JIL, yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu, yang terdiri dari gagasan liberalisme (kebebasan), sekularisasi, demokrasi, pluralisme, modernisasi, ijtihad, dialog antar-agama (peradaban), dan nikah beda agama, peneliti akan melacaknya (menganalisis) secara arkeologis dan
85
genealogis, untuk menemukan ideologi dan kepentingan teks atau suatu gagasan JIL tersebut. Sebagai gambaran mekanisme kerja arkeologi dan genealogi wacana, pertama peneliti akan menjelaskan sejarah-sejarah ide, gagasan atau pemikiran, kemudian, kedua, menjelaskan fundamen-fundamen pembentuk suatu ide, perspektif yang digunakan, argumen-argumen ilmiah secara teoritis-epistemologis. Ketiga, mencari siapa yang membentuk ide, dimana kelas sosialnya, apa ideologinya. Keempat, menjelaskan perkembangan wacana, peneguhan wacana, penyingkiran (marjinalisasi) wacana, hubungan ide dengan kuasa, wacana untuk membela siapa, untuk kepentingan apa dan siapa, serta penentuan kebenaran ide/teks. Kelima, peneliti akan menemukan dan sekaligus membuat tafsir-tafsir baru tentang wacana JIL. Penjelasan masing-masing analisis arkeologis dan genealogis sebagai berikut : a. Analisis Sejarah Ide, Gagasan atau Pemikiran JIL Sejarah gagasan-gagasan JIL sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sejarah gagasan-gagasan pemikir-pemikir liberal Indonesia, seperti Nurkholish Madjid, Djohan Effendy, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib,72 dan pemikir-pemikir liberal Timur Tengah,73 seperti Ali Abdul Raziq, Muhammad Khalaf-Allah, Fatima Mernissi, Abid
72
Untuk mengetahui gagasan-gagasan Islam Liberal Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendy dan Ahmad Wahib bisa dilihat dalam disertasi Greg Berton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1999. 73 Untuk mengetahui gagasan-gagasan Islam Liberal tersebut bisa dilihat dalam kumpulan Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Paramadina, Jakarta, 2003.
86
Al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zaid, Mohamed Arkoun, Abdullah Ahmed an-Naim, Abdul Karim Soros, dan masih banyak lagi, yang kebetulan mengusung gagasan-gagasan liberalisme. Apakah ada kaitannya antara gagasan liberalisme yang diusung JIL dengan pemikir liberal neo-modernisme itu? Pelacakan arkeologi dan genalogi akan menjawabnya. Gagasan-gagasan JIL itu terdiri dari liberalisme (kebebasan berpikir), sekularisme, demokrasi, pluralime, modernisasi, ijtihad, dialog antar-agama atau peradaban, dan nikah beda agama. a) Sejarah Gagasan Liberalisme Menurut Sukidi,74 salah satu kontributor JIL, gagasan liberalisme itu berakar pada gerakan reformasi protestan dan pencerahan dunia Barat, khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat.
Dua
liberalisme.
momentum Reformasi
itulah protestant
yang pada
melahirkan abad
ide-ide
XVI
ini
menumbuhkan benih-benih liberalisme (kebebasan), khususnya dalam teologi, baik kebebasan individu dari cengkraman otoritas imam Gereja yang korup dan hierarkis, maupun kebebasan individu untuk menafsirkan Bibel sesuai dengan semangat reformasi. Zaman prareformasi, Bibel selalu dimonopoli oleh imam Gereja dan tidak boleh diterjemahkan, hanya tersedia dalam bahasa Yunani atau Latin, namun pascareformasi Gereja, Bibel boleh 74
Sukidi adalah salah satu kontributor Jaringan Islam Liberal (JIL), lihat Ulil Abshor Abdalla, dkk. Islam Liberal dan Fundamental, sebuah Pertarungan Wacana. Elsaq. Yogyakarta. 2003. Cet.II. hlm. 36
87
diterjemahkan dalam bahasa lokal. Setiap individu yang bisa membaca boleh menafsirkan Bibel. Kekuasaan imam Gereja telah berpindah ke tiap-tiap individu yang bebas dan berakal. Inilah sebenarnya akar pondasi dari gagasan liberalisme di Barat. Demikian juga gagasan-gagasan liberalisme di Indonesia. 75 Akar gagasan liberalisme yang kedua adalah pencerahan di Perancis, Inggris dan Amerika. Pencerahan perancis terletak pada kemampuan penggunaan akal. Akal merupakan sumber otoritas dan selalu berhadapan dengan tradisi, dogma dan agama yang terlembagakan, yaitu Gereja Katolik saat itu. Itulah yang dilakukan oleh Voltaire (1694-1778), orang yang pertama kali yang meletakkan otoritas akal. Demikian juga yang dilakukan oleh Denis Diderot (1713-1784). Ia menekankan pentingnya akal dari pada wahyu. Menurutnya, akal merupakan sumber kebenaran, toleransi beragama, kebebasan memeluk agama di luar Katolik, dan moralitas otonom dari agama.76 Berbeda dengan Perancis, semangat pencerahan di Inggris tidak terjadi gerakan anti Gereja dan tidak menempatkan akal sebagai
sesuatu
yang
prioritas,
nomor
satu,
melainkan
menempatkan akal di posisi sekunder, setelah “kebajikan sosial dan kebebasan hati nurani.” Para filosof pencerahan Inggris seperti John Locke (1632-1704) dan Adam Smith (1723-1790) meyakini 75
Sukidi, “Teologi Liberal untuk Islam Liberal”, Kompas, rubrik Bentara, 06/08/2005,
76
Ibid.
hlm. 42
88
bahwa
kebajikan
sosial
dapat
mengikat
persatuan
dan
kesejahteraan warga Inggris. Menurut Locke, kebebasan hati nurani merupakan hak natural tiap manusia, agama merupakan pilihan hati nurani individu, toleransi agama sebagai solusi konflik, pemerintah tidak boleh intervensi persoalan privat. Dalam perkembangan selanjutnya, Smith meletakkan dasar pertama tentang konsep liberalisme dalam ekonomi.77 Pencerahan di Amerika Serikat sama dengan pencerahan Inggris, artinya tidak terjadi gerakan anti Gereja dan tidak menempatkan akal sebagai sesuatu yang prioritas, nomor satu. Konsep-konsep utama pencerahannya hak asasi manusia, persamaan, toleransi, kemajuan dan kebebasan (individu) berekspresi.78 Menurut Marx Weber, reformasi protestan dan pencerahan Eropa melahirkan konsep liberalisme, khususnya liberalisme ekonomi dunia Eropa. Gagasan liberalisme inilah kemudian hari berkembang dan melahirkan konsep ekonomi liberal atau ekonomi kapitalisme. Atas dasar latar belakang itulah, menurut Sukidi, gagasan-gagasan JIL dikampanyekan di Indonesia, walaupun ada perbedaan konteks, namun esensinya sama, yaitu mencita-citakan kebebasan
dari
belenggu
fanatisme
agama,
ortodoksi,
mengedepankan rasionalitas, bebas berpolitik, kehidupanpolitik yang dibangun atas dasar konsensus masyarakat, bukan kekuasaan 77 78
Ibid. Ibid.
89
Tuhan.79 Sebagaimana nama JIL itu sendiri, menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan struktur politik yang menindas. 80
b) Sekularisme, Demokari dan Pluralisme. Peneliti akan menjelaskan akar sejarah sekularisme, demokrasi dan pluralisme. Bagaimanakah sejarah kemunculan gagasan
sekularisme,
demokrasi
dan
pluralisme?
Gagasan
sekularisme. Demokrasi dan pluralisme tidak jauh dari sejarah lahirnya gagasan liberalisme, bahkan ketiganya merupakan anak kandung dari liberalisme. Ahmad Sahal, koordinator pada kajian Komunitas Utan Kayu Jakarta,81 menjelaskan bahwa liberalisme merupakan anak dari pencerahan di Eropa, yang kemudian melahirkan banyak gagasan tentang kehidupan sosial. Misalnya gagasan sekularisme, demokrasi dan pluralisme.82 Menurut Sahal, asal muasal lahirnya konsep sekularisme dan demokrasi berawal dari bangsa Eropa yang merayakan kebebasan pribadi dan meninggalkan otoritas Gereja. Bangsa Eropa saat itu mengkudeta otoritas Tuhan, menggantikaanya dengan otoritas rasio. Otoritas Tuhan harus dijauhkan dari kehidupan publik. Konsep ini merupakan konsep sekularisme. Ia 79
Ibid. Jarungan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm. 06 81 Luthfi Assyaukanie (peny.), Op.cit, hlm. 313 82 Ahmad Sahal, “Anti-Liberalisme dari Kanan,” Kompas, rubrik Bentara, 06/08/2005, 80
hlm. 41
90
terkesan anti agama, karena saat itu kekuasaan agama sangat absolut dan otoriter. Sementara kehidupan publik harus dikelola berdasarkan semacam kontrak rasional antara penguasa dan yang kuasai. Hal ini sering dikenal dengan konsep demokrasi. Walaupun kekuasaan rasio manusia ada kelemahan dan tidak menutup kemungkinan melakukan kesalahan, maka dibentuklah mekanisme kontrol dan pengawasan melalui lembaga-lembaga tertentu (yang disebut dengan : demokrasi konstitusional). Demokrasi juga mengakui adanya perbedaan, baik perbedaan pendapat, agama, ras, suku, budaya, aspirasi, ideologi, dan kepentingan. Hal inilah yang dinamakan dengan konsep pluralisme. Karena esensi liberalisme adalah munculnya kesadaran tentang pentingnya hak-hak individe, pemeliharaan pluralisme, sikap toleransi, pembatasan peran negara, dan kehendak mengatur kehidupan politik sebagai kontrak rasional antara penguasa dan yang dikuasai. 83 Demikian juga dengan gagasan sekularisme, demokrasi dan pluralisme JIL jika dikaitkan dengan Indonesia. Pada esensinya sama, walaupun ada perbedaannya. Dalam konteks keindonesiaan, gagasan-gagasan JIL tidak untuk meruntuhkan otoritas keagamaan, seperti yang terjadi di Perancis, namun sekadar memberikan wacana penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat. Karena sejak awal medeka, Indonesia tidak dalam genggaman otoritas
83
Ibid.
91
keamaan tertentu, sehingga tidak terjadi proses liberalisasi dan sekularisasi.84
c) Modernisasi dan ijtihad Peneliti akan menjelaskan asal usul modernisasi dan pentingnya ijtihad. Bagaimanakan sejarah modernisasi dan ijtihad dalam Islam?. Sejarah itu tentunya juga sama dalam konteks JIL, mengapa JIL menganggap penting modernisasi dan ijtihad itu?. Secara umum, zaman modern berawal dari Eropa Barat pasca pencerahan. Hal itu ditandai dengan munculnya gerakan renaissans di Perancis dan dimatengkan oleh gerakan aufklaerung di Jerman, yang di dalamnya mengandung dua hal, yaitu hilangnya kekuasaan Gereja, dan semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan
(mengedepankan
rasionalitas).
Proyek-proyek
modernitas dibangun atas dasar ilmu pengetahuan bukan otoritas Gereja, sehingga perkembangan dunia semakin maju dan pesat. 85 Modernisasi merupakan keniscayaan hidup. Manusia belahan mana pun pasti akan mengalaminya. Karean sifat dasar manusia itu dinamis dan kreatif. Zaman modern ini identik dengan tatanan dunia teknologi dan tatanan sosial baru. Hal ini disebabkan oleh rangsangan revolusi prancis yang lebih mengarah pasa
84
Jaringan Islam Liberal, Sebuah Profil Singkat, hlm. 10 Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, cet. IV, hlm. 71 85
92
perubahan sosial-politik dan pencerahan di Inggris yang cenderung ke arah teknologi canggih (revolusi industri).86 Modernisasi adalah proses perubahan sosial yang bersifat massif, yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-16, pasca pencerahan Eropa. Perubahan dari masayarakat teologis ke masyarakat rasionalis; dan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri-kapitalis.87 Perubahan-perubahan itu berakibat pada perubahan politik, budaya, etika dan agama, serta menimbulkan persoalan-persoalan sosial lainnya. Dari perubahan-perubahan itu menuntut banyak aspek kehidupan menyesuaikan diri, demi bisa lebih eksis dan tahan segala zaman. Dunia politik modern, misalkan, beruasaha membuat sistem yang lebih demokratis dan bisa mewadahi partisipasi rakyat dalam berpolitik. Teknologi modern (bidang infrastruktur) menuntut adanya perubahan dalam pola kerja dan gaya hidup, dan seterusnya. Tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan beragama dan bermasyarakat. kompleks
pula
Semakin
pesat
persoalan
perubahan
zaman,
sosial-keagamaan
yang
semakin hadir.
Modernisasi dalam bidang sosial-keagamaan pun tidak bisa dielakkan. Misalnya, persoalan bayi tabung, apakah Islam
86
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000, Cet. IV,
hlm. 452 87
Bryan Turner, Teori-Teori Sosiologi : Modernitas dan Posmodernitas, (terj. Imam Baihaqi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, cet. II, hlm. 08
93
memperbolehkan? Benarkah Islam itu mengharamkan bunga bank?, benarkah Islam mengharamkan wanita jadi presiden?, dan seterusnya. Masih banyak persoalan-persoalan masyarakat modern yang harus disikapi oleh Islam. Mungkinkah Islam hanya terdiam, padahal Islam merupakan petunjuk bagi umatnya, sementara realitas empiris selalu berubah dan bergerak dinamis?. Di sinilah, bagi para intelektual muslim, menganggap pentingnya ijtihad dan modernisasi.88 Sebenarnya konsep ini tidak hanya digunakan dalam bidang pemikiran keagamaan, tapi berlaku dalam segala aspek kehidupan umat. Demikian juga latar belakang JIL menganggap penting modernisasi dan ijtihad. JIL percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks keislaman akan menciptakan agama Islam yang selalu dinamis, dan bisa bertahan di segala cuaca. Pembatasan, apalagi penutupan pintu ijtihad, hanya akan membuat Islam mandeg dan mati membusuk. Ijtihad harus dilakukan dalam semua aspek kehidupan umat.89
88
Pertanyaan inilah yang mendasari setiap intelektual muslim dalam berijtihad dan melakukan modernisasi. Baca Sumanto al-Qurtuby, Era Baru Fikih Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999, hlm. 53-60; bandingkan dengan Dr. Yusuf Al-Qordhawi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (terj. Abu Barzani), Risalah Gusti, Surabaya, 2000, cet. II, hlm. 05-21 89 Jaringan Islam Liberal, Op.cit, hlm. 08
94
d) Dialog Antar-Agama dan Nikah Beda Agama Peneliti akan mencari akar sejarah dialog antar-agama (peradaban), dan nikah beda agama. Pertama, dialog antar-agama. Gagasan ini disebabkan oleh konflik agama yang berkepanjangan, dan trauma konflik antar-agama yang menyejarah sampai saat ini, sejak pasca perang salib. Hal ini juga disebabkan sifat dasar (potensi) agama itu sendiri, yaitu damai di satu sisi dan seram di sisi yang lain. Meminjam istilah Sufyanto, agama memiliki potensi “standar ganda” (double standart),90 agama bisa menjelma atau berwajah ramah dan damai disatu ketika, bisa menjadi bengis dan tidak ramah di waktu yang lain. Di samping itu setiap agama mempunyai truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim penyelamatan). Suatu agama berpotensi menimbulkan konflik. Banyak kasus kerusuhan yang berwajah agama, dan yang menarik lagi, konflik yang pada dasarnya tidak berawal dari agama, seringkali agama dijadikan kambing hitam untuk menyulut bobot emosi konflik. Hal ini menunjukkan bahwa agama mudah sekali dilibatkan dalam arena konflik sosial. 91 Oleh karena untuk mewujudkan wajah agama yang damai, menurut Djohan Effendi, perlu semacam “teologi kerukunan” umat 90
Sufyanto, Sebuah Pengantar : “Agama Tuhan dan Problem Kemanusiaan”, dalam Pradana Boy (ed.). Agama Empiris dalam Pergamulan Realitas Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. vi 91 Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, Rekonstruksi Parenial Agama dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa. Ittaqa Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 67
95
beragama atau dialog antar-agama.92 Teologi mestilah ada landasan teoritisnya. Menurutnya, gagasan ini harus dibangun atas dasar pondasi gagasan pluralisme agama, inklusivisme dan toleransi.93 Sampai saat ini masih saja terjadi konflik yang berbau SARA, terutama atas nama sentimen agama. Atas dasar itu, Ulil dalam teks
yang
ditulisnya,
menawarkan konsep hakikat
perbedaan, ta’aruf, paham pluralisme demi terciptanya sikap toleransi yang kemudian terjadi dialog antar-agama dan diteruskan dengan tindakan rekonsiliasi antara pemeluk agama.94 Kedua, gagasan nikah beda agama. JIL memperbolehkan nikah antar-agama. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh gagasan pluralisme agama, universalisme islam, konsep ahlul kitab, dan hubungan sosial. Alasan ini bisa dilihat dalam tulisan Ulil,95 ia menjelaskan konsep kebenaran universal, pluralisme agama dan konsep ahlul kitab. Dengan kata lain, Ulil memperbolehkan nikah beda agama berdasarkan surat al-Maidah ayat 5 dan pendapat Abdullah Yusuf Ali, dan berdasarkan Islam adalah agama ketundukan dan sumber kebenaran. Dari sekian banyak gagasan-gagasan JIL itu---liberalisme, demokrasi, sekularisme, pluralisme, modernisasi, ijtihad, dialog 92
Greg Berton, Op.cit, hlm. 237 Ibid. 94 lihat dalam Ulil Abshor-Abdalla, “Islam, Toleransi, dan Rekonsiliasi”, Jawa Pos, 26 Desember 2004 (untuk bagian I) dan tanggal 2 Januari 2005 (untuk bagian II) dengan tema yang sama. 95 Ulil Abshor-Abdalla, “Islam, Toleransi, dan Rekonsiliasi”, Jawa Pos, 2 Januari 2005 (bagian II). 93
96
antar-agama, dan nikah beda agama---tidak ada yang orisinil. Semuanya copy-paste dari pemikir-pemikir pendahulunya (neomodernisme islam), seperti Cak Nur, Djohan Effendi, Azyumardi Azra, Muslim Abdurrahman, Nasarudin Umar, Masdar Farid Mas’udi, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, Gus Dur, dll.. Hal ini bisa dikatakan bahwa JIL hanya sekadar editor, penyunting, atau moderator dalam menyampaikan gagasan-gagasan liberalisme Islam itu. Gagasan-gagasan yang diusung JIL pun tidak jauh berbeda dengan isu-isu dunia modern, atau gagasan-gagasan modernitas, yang merupakan hasil dari buah reformasi protestan dan pencerahan Eropa Barat. Atas dasar itu, JIL adalah penerus atau penjiplak ide-ide dunia modern (modernitas), atau penerus para pemikir neo-modernisme Islam di Indonesia.
b. Fundamen-fundamen Pembentuk Ide/Gagasan, Perspektif yang digunakan dan Argumen-Argumen Ilmiah secara Teoritis. a) Gagasan Liberalisme Secara etimologi, gagasan liberalisme berasal dari kata dasar liber atau free, yang berarti bebas dari kefanatikan atau prasangka tak beralasan, terbuka terhadap ide-ide baru atau usulanusulan pembaharuan.96 Jika pengertian tersebut dikaitkan dengan JIL, maka makna “liberal” dalam kalimat “Jaringan Islam Liberal,”
96
Sukidi, Op.cit, hlm. 42
97
adalah kebebasan berpikir secara rasional, kritis dalam menafsirkan kembali doktrin agama Islam yang membeku dan tidak aplikatif terhadap perubahan zaman dan terbebaskan dari belenggu fanatisme, ortodoksi, dan otoritas keagamaan yang otoriter dan represif. Liberalisme selalu terbuka dan membuka diri terhadap pencarian ide-ide baru yang rasional dan progresif. Oleh karena itu, spirit JIL adalah reform-minded yang selaras dengan semangat perubahan zaman. 97 Secara teoritis, prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan berekspresi (bagi individu), kebebasan berpolitik, beragama, toleransi beragama sebagai solusi konflik, pemerintah tidak boleh intervensi persoalan privat dan pemisahan otoritas agama dari negara. Prinsip-prinsip ini berlandaskan pada konsep humanisme dan rasionalisme, yang keduanya berasal dari pencerahan Eropa.98 Menurut Sukidi, salah satu kontributor JIL, JIL secara akademis mempunyai landasan teoritik, yaitu pertama, JIL harus bebas dari belenggu fanatisme, ortodoksi dan otoritas keagamaan yang otoritarian dan subversif. JIL harus berpikir rasional dalam menafsirkan kembali teks-teks keagamaan yang membeku dan out of date. Kedua, JIL selalu terbuka dan membuka diri terhadap pencarian ide-ide baru yang rasional, progresif dan liberal.99
97
Ibid. Ahmad Sahal, Op.cit, hlm. 41 99 Sukidi, Op.cit, hlm. 42 98
98
Menurut Charles Kurzman,100 Islam liberal bisa dicirikan diantaranya, pertama, mereka melepaskan diri dari tradisi taqlid dan
mementingkan
ijtihad,
melepaskan
otoritas
teks
dan
mengutamakan akan (rasionalitas). Kedua, menghargai modernitas. Kaum liberal melakukan penggabungan disiplin-disiplin keilmuan Barat dalam pengembangan keilmuan dan menghadapi modernitas itu sendiri. Ketiga, mereka yang mempunyai sikap oposan terhadap Islam revivalis. Sedangkan menurut JIL sendiri, sebagaimana terekam dalam “manifestonya,”
nama “Islam Liberal” menggambarkan
prinsip-prinsip yang dianut, yaitu islam yang menekankan kebebasan pribadi, dan pembebasan dari struktur sosial politik yang menindas. Makna “liberal” di sini bermakna dua, kebebasan dan pembebasan.101 Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:102 pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua, mengutamakan semangat relegio-etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan JIL adalah upaya menafsirkan islam berdasarkan semangat relegio-etik al-qur’an dan sunnah, bukan menafsirkan
100
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang IsuIsu Global, (terj. Bahrul Ulum), Paramadina, Jakarta, 2003, hlm. xxiii-xIii. 101 Jaringan Islam Liberal, Op.cit, hlm. 06 102 Ibid, hlm 07-10
99
semata-mata makna literal teks. Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, plural dan terbuka. Keempat, memihak yang minoritas dan tertindas. JIL dalam penafsirannya selalu berpihak pada pihak minoritas, marjinal, dan tertindas. Kelima, meyakini kebebasan agama. JIL meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak personal yang harus dihargai dan dilindungi. Keenam, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan politik. JIL berkeyakinan
bahwa
kekuasaan
agama
dan
politik
harus
dipisahkan. Tujuan JIL adalah menyebarkan gagasan-gagasan Islam liberal kepada masyarakat. JIL lebih memilih bentuk jaringan dari pada organisasi masyarakat dan partai politik. JIL merupakan wadah yang terbuka untuk siapa pun, dan tentunya mempunyai kepedulian terhadap gagasan Islam liberal.103 Adapun misi JIL, pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya, dan menyebarluaskan ke khalayak luas. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang sehat dan bebas dari tekanan konservatisme agama dan politik. Ketiga, mengupayakan struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.104
103 104
Ibid, hlm. 07 Ibid.
100
b) Gagasan Demokrasi, Sekularisme dan Pluralisme Sebagaimana telah penulis jelaskan di atas, bahwa tiga gagasan itu merupakan hasil dari proses sejarah pencerahan Eropa Barat yang dilahirkan oleh gagasan liberalisme.105 Sekaligus proses itu akan mempengaruhi lahirnya sebuah gagasan tentang demokrasi,
sekularisme
dan
pluralisme
secara
teoritis-
epistemologis. Fundamen-fundamen pembentuk gagasan tersebut dapat dilihat dari proses pencerahan Eropa itu sendiri, yang mana proses itu terjadi atas dasar konsep rasionalisme dan humanisme.106 Rasionalisme pada awalnya hanya usaha manusia untuk memberikan sepenuhnya kepada akal atau rasio manusia. Mereka yakin bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia pasti dapat menerangkan gejala alam, persoalan sosial, dan dapat memecahkan semua persoalan kemanusiaan. Namun pada pekembangan selanjutnya rasionalisme menjadi aliran filsafat modern pada abad ke-17.
107
Sedangkan humanisme merupakan pandangan tentang
tingginya harkat dan martabat manusia, maka dari itu harus mementingkan kepentingan manusia dari pada kepentingan teks agama atau Tuhan, dan saling menghargai dan menghormati antarsesama. Pandangan ini juga menganggap manusia merupakan makhluk yang bebas, dan otonom. Ia bisa menentukan mana yang 105
Ahmad Sahal, Op.cit, hlm. 41 Ibid. 107 Rizal Muntasyir, Misnal Munir, Op.cit. hlm. 73-75 106
101
baik dan buruk dengan akalnya. Humanisme menganggap agama telah gagal dalam memberikan jalan hidup bagi manusia. Oleh karena itu agama harus ditinggal, digantikan dengan agama baru, yaitu humanisme.108 Secara umum, Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebagaimana diungkapkan oleh presiden Amerika Serikat yang ke-16, Abraham Licoln (1863). Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit, dan berat. Di dalamnya banyak ketegangan, pertentangan dan kekerasan. Ia tidak dirancang demi efisiensi, tapi demi kepentingan rakyat dan pertanggungjawabannya. 109 Menurut Sadek Jawad Sulaiman,110 demokrasi merupakan pemerintahan rakyat (rule by the people). Dalam sistem ini, kebijakan apa pun harus sesuai dengan suara mayoritas, dan melalui partisipasi langsung atau tak langsung. Adapun prinsip demokrasi adalah persamaan (equality). Sebuah penegasan bahwa semua orang adalah sama. Tidak ada diskriminasi. Ada beberapa karakteristik sistem demokrasi,111 pertama, kebebasan
berbicara
(freedom
of
speech),
berpendapat,
menyampaikan aspirasi tanpa ada rasa takut, dan tidak ada 108
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1998, cet. XI, hlm. 181-186 109 Melvin I. Urofsky, “Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi,” dalam Majalah “Demokrasi”, t.th, hlm. 02 110 Sadek Jawad Sulaiman, “Demokrasi dan Syura”, dalam Charles Kurzman (ed.), Op.cit, hlm. 125 111 Ibid. hlm. 125-127
102
intimidasi dari pihak mana pun. Kedua, melaksanakan pemilihan umum yang bebas (free election) dan demokratis. Melalui pemilu rakyat bisa memilih wakil-wakilnya yang anggap baik. Ketiga, pengakuan terhadap suara atau pemerintahan mayoritas (majority rule) dan hak minoritas (minority right). Keempat, menggunakan sistem multi partai. Kelima, adanya pemisahan eksekutif, yudikatif dan legeslatif. Dengan pemisahan posisi dan fungsi ini diharapkan terjadi check and balance. Keenam, adanya supremasi hukum (rule of law). Ketujuh, kebebasanberbuat (freedom of action). JIL belum mempunyai gagasan tentang demokrasi yang jelas, dan yang ada hanya kumpulan-kumpulan artikel yang masih umum. Paling tidak JIL menetang negara teokrasi (negara agama). JIL berpandangan bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Agama berada di ruang privat. Urusan masyarakat harus dilaksanakan dalam kontrak sosial yang rasional dan dilakukan secara konsensus.
Inilah
inti
prinsip
demokrasi.
Dalam
proses
penyelenggaraan demokrasi, proses aspirasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, diperlukan lembaga-lembaga pengawas dan kontrol agar proses tersebut berjalan dengan baik.112
112
Jaringan Islam Liberal, Op.cit, hlm. 10
103
Sekularisme adalah paham yang ingin memisahkan otoritas agama dari pelaksanaan roda pemerintahan. Menurut Hamid Basyaib,113 sekularisme merupakan ide tentang imparsialitas negara terhadap semua ajaran agama. Pengertian ini berbeda dengan Nurcholish Madjid.114 Cak Nur seolah-olah menyamakan sekularisme dengan paham anti-agama. Di luar dunia tidak ada agama. Sekularisme merupakan ideologi yang tertutup. Ia tidak sejalan dengan Islam. Namun demikian Cak Nur menawarkan konsep
yang
berbeda,
namun
sesungguhnya
sama,
yaitu
sekularisasi. Ide ini memang dekat dengan gagasan sekularisme. Sekularisasi menurutnya, proses penduniawian sesuatu yang sakral, atau pemisahan agama dari negara secara total.115 Secara teoritik, menurut JIL, gagasan sekularisme adalah upaya memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan kekuasaan politik. JIL berkeyakinan bahwa kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Bagi JIL, sekularisme dan demokrasi tidak bisa ditawar lagi, karena mengingat potensi-potensi otoritas keagamaan yang sangat represif dan mengingat fakta kehidupan yang sangat plural.116 Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kehidupan, yaitu keragaman, heterogenitas, 113
Hamid Basyaib, “Ke Turki Kita Mengaji”, dalam Luthfi Asyaukanie (peny.), Op.cit,
hlm. 74 114
Nurcholish Madjid, Op.cit, hlm. 257-257 Greg Berton, Op.cit, hlm. 124; Nurcholish Madjid, Islam Kemodrnan…. hlm. 258 116 Jaringan Islam Liberal, Op.cit, hlm. 10 115
104
dan kemajemukan. Dalam pluralisme, keberbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas.117 Untuk mewujudkan pluralisme dalam sebuah masyarakat yang majemuk, maka diperlukan beberapa syarat,118 pertama, pluralisme harus menghapus absolutisme, klaim kebenaran, dan pembenaran
diri
sendiri
dengan
menafikan
orang
lain.
Absolutisme, dan truth claim tidak pernah akan mengakui kebenaran orang lain. Menurut Cak Nur, absolutisme dan klaim kebenaran harus dinisbikan, karena yang absolut dan benar hanya Allah. Tidak ada pemahaman keagamaan yang absolut dan mutlak benar.119 Kedua, pluralisme mensyaratkan adanya relativisme dalam pemahaman Kebenaran
dan yang
penafsiran
terhadap
ada
masyarakat
pada
realitas adalah
keagamaan. konstruksi
pemahaman masyarakat sendiri, yang sangat ditentukan oleh konteks dan kepentingan tertentu. Relativisme di sini menegaskan bahwa
setiap,
yang
dianggap,
kebenaran
mengandung
kemungkinan salah dan bisa diperbaiki. Kebenaran tidak boleh hanya diukur dari satu perspektif atau dari satu kelompok saja, namun harus menggunakan standar yang umum. Ketiga, pluralisme 117
Nurkholik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Kritik Atas Pemikiran Pluralisme Cak Nur, Galang Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 77 118 Ibid. hlm. 78-92 119 Nurcholish Madjid, “Pengantar : Umat Indonesia Memasuki Zaman Baru”, dalam Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1992, hlm. Ixix-Ixx
105
mensyaratkan adanya sikap toleransi dalam menghadapi fakta yang majemuk, tanpa sikap ini pluralisme tidak akan terwujud. Setiap orang harus bisa menghargai perbedaan yang ada. Bagi Cak Nur, toleransi merupakan kewajiban dalam masyarakat yang plural.120 Suatu masyarakat pasti memiliki perbedaan agama, aspirasi, pendapat, aliran, budaya dan kepentingan. Dalam kondisi sosial seperti itulah konsep pluralisme penting untuk diterapkan. Pluralisme bukan hanya dalam pengertian kebenaran agama, tetapi pluralitas fakta yang empiris dalam masyarakat. Untuk kepentingan itu, JIL juga menawarkan gagasan tentang pluralisme, toleransi, inklusivisme, dan rekonsiliasi.121
c) Modernisasi dan Ijtihad Modernisasi lebih identik dengan pembaharuan yang bersifat duniawi. Modernisasi bisa disamakan dengan rasionalisasi, artinya proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama (tradisional) yang tidak masuk akal, dan menggantikannya dengan pola pikir dan atat kerja yang lebih rasional dan modern.122 Modernisasi bukanlah rasionalisme Barat, apalagi westernisasi, melainkan perombakan yang tidak ada implikasi ideologi.123
120
Nurcholish Madjid, “Pluralisme dan Toleransi,” dalam Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat, Paramadina dan Tabloid Tekad, Jakarta, 2001, hlm. 63-64 121 lihat tulisan Ulil “Islam, Toleransi dan Rekonsiliasi,” Jawa Pos/02/01/2005 122 Nurcholish Madjid, Islam Kemordenan…hlm. 172 123 Ibid. hlm. 187
106
Untuk
keperluan
modernisasi
dalam
semua
bidang
kehidupan, JIL berpandangan bahwa pintu ijtihad masi tetap terbuka untuk siapa saja. Proses modernisasi selalu terhalangi oleh konsep ijtihad yang katanya telah tertutup. Pandangan itu ternyata telah membuat umat Islam terjerumus dalam kejumudan dan kemunduran. Oleh karena itu pembukaan kembali pintu ijtihad adalah hal amat penting demi sebuah kemajuan dan dinamisasi agama Islam sendiri. 124 Namun demikian JIL belum menjelaskan konsep ijtihad secara rinci. Baru gagasan yang masih perlu penjelasan yang lebih dalam.
d) Dialog Antar-Agama dan Nikah Beda Agama Konflik berbau agama yang berkepanjangan, dan selalu mencari celah-celah agar terjadi konflik, serta paham pluralisme agama, inklusivisme dan toleransi inilah yang mendorong terjadinya gagasan dialog antar-agama. Ketiga paham terakhir ini pulalah yang mendorong terjadinya praktek nikah beda agama. Menurut Rachman, secara teoritis, dialog antar-agama didasari dari konsep “kalimatun sawa” (titik persamaan antar-agama). Gagasan ini perkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang kemudian dikenal dengan “teologi inklusif”.125
124
Jaringan Islam Liberal, Op.cit, hlm. 08 Budhi Muanawar Rachman, “Kesatuan Transendental dalam Teologi :Perspektif Islam Kesamaan Agama-Agama”, dalam Elga Sarapung, dkk. (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Institute DIAN/Interfidei, Yogyakarta, 2004, cet. III, hlm. 135-167 125
107
“Kesamaan” yang dimaksud Cak Nur adalah kesamaan pesan dasarnya, bukan persamaan keyakinan agama tertentu dengan agama lain, serta perangkat-perangkat ritualistiknya itu. “Pesan dasar” itu menurut Cak Nur adalah kesamaan pesan tentang taqwa. Pesan takwa ini tidak hanya disampaikan kepada Nabi Muhammad, tapi juga kepada nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa.126 “Pesan dasar” yang dimaksud Cak Nur juga pemahaman tentang makna “Islam”. Menurutnya, makna Islam di sini bukan agama Islam yang dilembagakan, yang lengkap dengan struktur organisasinya itu,
melainkan makna Islam yang paling esensi.
“Islam” dimaknai sebagai “sikap pasrah”, dan sikap “tundukpatuh” kepada Tuhan. Itulah Islam. Berarti semua agama benar selam meiliki sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan. Agama yang salah agama tidak tunduk dan pasrah kepada-Nya.127 Dari dua (konsep taqwa dan islam) pengertian inilah Cak Nur berkesimpulan bahwa semua agama itu benar, dan sama, bersumber dari sumber yang sama pula, yaitu Tuhan. Dalam pandangan Cak Nur, agama yang benar itu adalah agama ahli kitab, nabi-nabi sebelum nabi Muhammad, dan sesudahnya, selama masih mengajarkan ajaran “Islam”, dalam pengertian generiknya, termasuk agama dari India, dan Jepang.128 Pemahaman ini sama dengan pandangan Zainun Kaimal. Ia berpendapat bahwa semua orang yang mempunyai dan 126
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin…..Op.cit, hlm. 492-508 Ibid. hlm. 426-449 128 Budhi Munawar Rachman, Op.cit, hlm. 142 127
108
mempercayai kitab adalah ahli kitab. Mereka termasuk Yahudi, Nasrani, majusi, Zoroaster, Budha, Hindu, Konghucu, Shinto dan setiap agama yang mempercayai salah satu kitab suci dan nabi.129 Pemahaman sepeti itu akan berimplikasi kepada konsep kebenaran semua agama, sehingga dapat mempermudah umat antar-agama melakukan proses dialog, dan menciptakan sikap inklusif dan toleransi sehingga terjadilah kerukunan umat beragama. Pemahaman seperti itu juga dikampanyekan oleh JIL, misalkan
JIL
menawarkan
konsep
relativitas
pemahaman
kebenaran, pluralisme pemahaman agama, keterbukaan sikap atas pemahaman, dialog antar-peradaban atau dialog antar-agama.130 Sebagaiman disebutkan di atas, bahwa kebolehan nikah beda agama adalah atas dasar pemahaman pluralisme agama, kebenaran universal dari makna “Islam”, dan konsep ahlul kitab. Gagasan ini menurut Ulil berdasarkan surat al Ma’idah : 05 (dihalalkannya sembelihan dan perempuan ahli kitab untuk dinikahi), dan mengutip pendapat penafsir al-Qur’an kontemporer, yaitu Abdullah Yusuf Ali, yang mengatakan hubungan sosial dengan agama lain diperbolehkan, termasuk dalam hal perkawinan dengan ahlul kitab.131 Kemudian makna ahlul kitab seperti yang dipahami Cak Nur dan Zainun Kamal inilah yang menjadi referensi 129
Luthfi Assyauknie, Op.cit. hlm. 143-147 Jaringan Islam Liberal, Op.cit, hlm. 09 131 Ulil Abshor-Abdalla, “Islam, Turisme dan Toleransi”, Jawa Pos, 2/1/2005 130
109
JIL, dan menjadi bahan kampanye gagasan nikah beda agama.132 Kebolehan itu, menurut Zainun Kamal, tidak hanya bagi laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab, tapi laki-laki ahlul kitab pun menikahi wanita muslimah.133 Hal ini ternyata tidak hanya sekadar gagasan, akan tetapi dipraktekkan oleh Zainun Kamal, ketika ia menikahkan Karlina Octarany yang muslimah dengan Dedy Corbuzier yang Katolik. Kautsar Azhari Noer pun pernah menikahkan seorang laki-laki Islam dengan wanita Konghucu, sedangkan yang menjadi saksi pernikahan itu dalah Ulil Abshor-Abdalla. Pelaksanaan nikahnya di Yayasan Paramadina Jakarta.134 Nurcholish Madjid pun, tokoh neo-modernisme,
meminjam
menikahkan anaknya sendiri
istilah
Greg
Berton,
pernah
(Nadia) dengan laki-laki (David)
Yahudi Liberal, tepatnya di Washington DC, Amerika Serikat, pada tanggal 29 September 2001.135 Semua gagasan-gagasan JIL di atas, jika dilihat dari sisi fundamen pembentuk gagasan, perspektif dan teori yang digunakan, hampir tidak ada yang orisinil, dan menunujukkan
132
Lihat tulisan Zainun Kamal, “Penganut Budha dan Hindu adalah Ahlul Kitab”, dalam Luthfi Assyaknie, Op.cit. hlm. 143-147; tulisan Zainun Kamal di harian Jawa Pos, pada rubrik Kajian Utan Kayu, 30 Juni 2002 dan 07 Juli 2002, tentang “Nikah Beda Agama: Teks dan Realitas”. 133 Abu Umar Abillah, Islam Liberal: Bangkitnya Islam Protestan, Pustaka Sahabat, Klaten, t.th, hlm. 105-110; lihat wawancara Zainun Kamal dengan Nong Darol Mahmada, di Jawa Pos, 30 Juni 2002 dan 07 Juli 2002, tentang “Nikah Beda Agama: Teks dan Realitas”. 134 Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005, hlm.189-199 135 Hartono Ahmad Jaiz, Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid Sebagai Presiden, Darul Falah, Jakarta, 2003, hlm. 75
110
karakteristik pemikir yang mereka klaim liberal itu. Karena sejak awal gagasan-gagasan JIL itu (dari sisi sejarah ide-ide) merupakan copy-paste dari pendahulunya, neo-modernisme Islam, sehingga tidak ada hal yang baru, baik dari sisi gagasan-gagasan yang diusung, maupun fundamen, perspektif dan teori-teori yang digunakan. Yang ada hanya pengumpulan ide-ide lama yang dikemas lebih agak provokatif dan cepat saji, mudah diakses, dan tampak menyegarkan. Fundamen pembentuk, metode, perspektif atau teori dan epistemologi yang digunakan tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh pendahulunya, yaitu pemikir neo-modernisme Islam dan pencerahan Eropa yang dikontekskan dengan (alam pemikiran) dunia Islam. Buku-buku yang pernah diterbitkan oleh JIL pun hanya sebuah suntingan atau editorial dan terjemehan belaka, tidak ada satu buah buku yang khas membahas satu topik masalah secara mendalam dan tentu dalam perspektif JIL sendiri, bukan kumpulan tulisan yang mereka anggap liberal. Buku suntingan Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam Di Indonesia,136 Abdul Muqsit Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagaman
136
Luthfi Assyaukanie (peny.), Wajah Liberal Islam Di Indonesia, JIL, Utan Kayu, 2002. buku ini terdiri dari beberapa penulisbaik yang berasal dari anggota JIL sendiri, maupun dari luar, yang mereka anggap liberal. Tulisan inipun pernah dipublikasi di berbagai media, kemudian disunting kembali dalam sebuah buku, sehingga tampak tebal dan khas.
111
Yang Dinamis,137 buku Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal,138 buku Menyongsong Yang Lain, Membela Pluralisme,139 dan buku Kritik Atas Jilbab.140 Sekian banyak buku yang diterbitkan JIL itu, tidak ada pembahasan satu tema, kemudian dibahas oleh anggota JIL sendiri. Semuanya kumpulan tulisan atau terjemahan buku lain. Dengan kata lain, JIL hanya sekadar editor bukan the author, atau JIL bukan tempat berkumpunya sosok pemikir liberal, tapi tempat pengumpul ide-ide liberal. Kira-kira demikian.
c. Analisis Basis Sosial dan Posisi Kelas : Representasi Ideologi dan Kepentingannya Pertanyaan “siapa pembentuk suatu ide, dimana basis sosialnya, posisi kelasnya, apa ideologinya, dan apa kepentingnya” ini merupakan dimensi kerja analisis arkeologi yang dibantu oleh teori Pecheux tentang “kelas sosial”, dimana setiap kelas sosial atau kelas sosial atau basis sosial akan mempengaruhi cara berpikir, yang
137
Abdul Muqsit Ghazali (peny.), Ijtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis, JIL, Utan Kayu, 2005. Buku ini sama dengan buku Assyaukanie, satu tema besar dikeroyok bareng-bareng, sehingga tidak ada pembahasan yang fokus dan solutif, hanya gumpalan-gumpalan gagasan yang tidak jelas. 138 Burhanudin (ed.), Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, JIL, Utan Kayu, Jakarta, 2003. Buku ini tidak jauh berbeda buku Ghazali, Assyaukanie. 139 Milad Hanna, Menyongsong Yang Lain, Membela Pluralisme, (terj. M. Guntur Romli), JIL, Utan Kayu, Jakarta, 2005. Buku adalah buku terjemahan dari buku Milad Hanna, pengusung gagasan pluralisme agama, politik, dan sosial. 140 Muhammad Sa’id al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab, (terj. Novriantoni dan Oppei), JIL, Utan Kayu Jakarta, 2003. Buku ini sama dengan buku yang diterjemahkan oleh Guntur Romli, namun buku ini membahas tentang jilbab.
112
kemudian menghasilkan sebuah gagasan, di mana setiap gagasan itu memiliki ideologi dan kepentingan tertentu. Dalam teori Pecheux, setiap gagasan lahir dari cara berpikir individu atau komunitas tertentu, yang tentunya setiap individu atau komunitas itu mempunyai kepentingan dari gagasan-gagasannya itu. Dari teori kelas sosial ini juga muncul asumsi atau hipotesis bahwa kelas sosial JIL bersifat borjuis atau proletar. Tipologi ini bisa tentukan oleh basis sosial dan kelas sosial JIL. Secara teoritis, basis sosial dan posisi kelas menentukan sebuah gagasan, cara berpikir dan kemudian menentukan suatu ideologi dan kepentingan. Dari sinilah muncul asumsi bahwa kelompok-kelompok miskin mempunyai
tipologi
pemikiran
dan
kepentingan
yang
diperjuangkannya, berbeda dengan kelompok-kelompok mapan atau borjuis. Perbedaan tipologi pemikiran itu menunjukkan pula perbedaan ideologi
dan
kepentingan
yang
dibelanya.
Dengan
demikian
pertarungan antara posisi kelas tidak hanya dalam perebutan dan penguatan makna “kebenaran gagasan”, akan tetapi sesungguhnya perebutan posisi sosial, politis, dan ekonomis dalam posisi kelas. Atas dasar itu, dari manakah basis sosial kelompok JIL berasal? Dari kelompok mapan, atau miskin? Kenapa gagasan-gagasan tertentu kampanyekan
dan
gagasan-gagasan
yang
lain
tidak?
Apa
kepentingannya? Apakah ideologi (ide atau gagasan) JIL bersifat kanan atau kiri, kebebasan atau pembebasan, borjuis atau proletar?.
113
Tiga pasang istilah tersebut sebenarnya sama dalam makna. Tipologi itu ditentukan oleh tiga level pembacaan. Pembacaan pertama pada level
cara
berpikir
atau
mindset
yang
digunakan.
Tipologi
borjuis/kanan/mapan adalah cara berpikir untuk membela atau menguntungkan
kaum
pembebasan/kiri/proletar
mapan.
adalah
cara
Sedangkan berpikir
untuk
tipologi membela
kelompok-kelompok miskin, lemah, dan kaum tertindas. Kedua, pembacaan pada level gagasan-gagasannya. Tipologi borjuis selalu mengusung gagasan-gagasan yang sangat elitis dan tidak ada upaya untuk membebaskan kaum lemah, tertindas dan miskin secara drastis dan struktural. Sedangkan tipologi pembebasan dalam gagasan-gagasannya selalu untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas. Ketiga, pembacaan pada level metamorfosis gagasannya. Tipologi borjuis akan menghasilkan praksis-praksis elitis, dan menguntungkan kelompok mapan. Sedangkan tipologi pembebasan dalam praksis sosial untuk meneguhkan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Dari tipologi di atas, pertanyaan yang perlu diajukan, apa tipologi ide atau ideologi JIL?, kanan atau kiri?, dan borjuis atau pembebasan?. Setiap “gagasan yang tampak” di permukaan mempunyai kepentingan atau “sesuatu yang tak tampak”. Apa yang tampak di permukaan (gagasan) merupakan hasil dari kepentingan yang
114
memunculkan gagasan, baik individu maupun komunitas. “Sesuatu yang tak tampak” (kepentingan) itu justru dipandang sebagai fakta yang menghasilkan gagasan atau yang paling menentukan suatu gagasan. Dari asumsi itu muncul apakah gagasan-gagasan JIL itu mempunyai kepentingan?, apakah itu untuk kepentingan intelektual, perubahan sosial, politik-praktis, ekonomi (modal) atau untuk kepentingan proyek?, dan seterusnya. Analisis ini akan mengkaji secara umum semua gagasan JIL, dan kemudian dicari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas itu. Pada bagian ini akan dibahas tentang basis sosial JIL (apakah dari basis sosial NU, Muhammadiyah, Masyumi atau yang lain), dan kemudian bagaimana posis kelasnya (dari kelompok ekonomi kaya, mapan, borjuis, atau dari kelompok miskin dan marjinal). Analisis basis sosial dan posisi kelas JIL ini akan memberikan gambaran tentang gagasan-gagasan yang diusung JIL dan bagaimana gagasan-gagasan JIL itu disampaikan; untuk kepentingan apa gagasan itu; dan apa ideologinya; siapa dan apa yang sedang dibela JIL dari gagasannya itu; kenapa gagasan-gagasan tertentu kampanyekan dan gagasan-gagasan yang lain tidak; apa kepentingannya; apa tipologi ideologi JIL; kanan atau kiri, borjuis atau pembebasan?. Perangkat analisis basis sosial dan posisi kelas hampir sama dengan teori Teun Van Dijk, yaitu “kognisi sosial” penulis, sebagaimana telah dijelaskan pada bab pertama, dalam metode analisis
115
data. Menurutnya, kognisi atau kesadaran, totalitas penulis sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya, yang terdiri dari latar belakang ekonomi, status sosial, pengalaman, pendidikan, organisasi, dan ideologi. Totalitas penulis itu akan berimplikasi pada mental penulis, pola
pikir,
sikap,
penafsiran,
prasangka
dan
ideologi
serta
kepentingannya.141 Seseorang yang berasal dari latar belakang miskin, marjinal, tidak punya akses, akan berbeda dengan pola pikir sesorang yang berstatus sosial kaya, berpendidikan, dan hidup mewah. Penafsiran dan kepentingannya pun akan berbeda, ketika menafsirkan realitas sosial. Ulil Abshor-Abdalla, misalkan, akan berbeda pola pikirnya dengan Adian Husaini, akan berbeda lagi dengan Haidar Bagir, yang mana ketiganya berbeda latar belakangnya. Demikian seterusnya. Pertama, Basis Sosial JIL dan Posisi Kelasnya. Pada bab III telah dijelaskan tentang basis sosial JIL beserta personal-personalnya. JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah jaringan intelektual liberal yang mengusung gagasan-gagasan liberalisme Islam. Jaringan ini adalah jaringan non-profit, nirlaba, namun mendapatkan bantuan dana yang cukup besar dari luar negeri, artinya JIL mempunyai founding, yakni The Asia Foundation. Jaringan ini terbuka untuk siapa saja, selama satu visi dengan JIL. Dakwah gagasan-gagasan JIL ini melalui media cetak, alam maya
141
Eriyanto, Op.cit, hlm. 145
116
(internet), siaran udara (radio), dan siaran tayang (TV). Jaringan ini telah menyebar ke mana-mana, di seluruh kota-kota besar di Indonesia, melalui jaringan aktivis, universitas, LSM, ormas dan lembagalembaga lain yang berkepentingan dengannya. Basis sosial-ekonomi JIL merupakan faktor yang cukup penting dalam merealisasikan cit-citanya dan cukup bisa memberikan kontribusi penting dalam mempertahankan kelangsungan JIL dan eksis sampai kapan pun (karena JIL jaringan nirlaba). Dari sisi identitas sosialnya, sulit untuk menemukan identitas yang
spesifik,
apakah
JIL
merupakan
komunitas
NU
atau
Muhammadiyah, atau Ormas yang lain. Karena personal-personal yang bergabung di dalamnya sangat beragam, di samping itu, visi-misi dan tujuannya tidak ada yang menyamai dengan Ormas (organisasi masyarakat) mana pun, sehingga JIL memang jaringan yang independen dari Ormas tertentu. Ia bukan underbow Ormas tertentu. Namun jika dilihat dari segi nama, tujuan, visi-misi, kemudian gagasan yang diusung, JIL adalah komunitas yang berbasiskan orang-orang yang berpikiran liberal, atau berideologi liberalisme. Walaupun JIL merupakan organisasi atau jaringan nirlaba, posisi kelasnya JIL sangat mapan, atau bisa dikatakan jaringan yang kaya atau mapan. Hal ini bisa dilihat dari bantuan dana yang masuk untuk aktivitas JIL. Aktivitas JIL membutuhkan dana yang cukup besar. Misalkan penerbitan buku, penyiaran radio, tayangan televisi,
117
tayangan alam maya (internet), seminar, diskusi, lokakarya, penerbitan bulletin, dll. Dari mana JIL bisa beraktivitas jika ia tidak ada dana, sementara aktivitas sangat mewah dan membutuhkan dana yang besar. Dengan kata lain JIL bisa dimasukkan ke dalam kelas sosial yang mapan atau kaya. Oleh karena itu JIL selalu mensosialisasikan gagasan-gagasan orang kaya dan mapan (baik mapan secara politik maupun ekonomi), yaitu gagasan-gagasan liberalisme (baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun ekonomi). Kedua, basis sosial dan posisi kelas personal-personal JIL. Kebanyakan basis sosial personal JIL berasal dari basis sosial NU, dan HMI, kecuali Novriantoni yang bukan NU dan HMI dan Ulil sendiri NU dan PMII. Basis sosial Hamid Basyaib dan Luthfi Assyaukanie merupakan gabungan dari kultur NU-Masyumi. Selain Ulil, Hamid, Luthfi, Novri, adalah basis sosialnya NU dan HMI. Gambaran basis sosial personal-personal JIL itu sulit untuk digeneralisir ke dalam suatu kesimpulan. Misalkan personal-personal JIL itu basis sosialnya adalah NU, atau HMI. Kesulitan generalisir ini akan berakibat pada kesulitan menentukan JIL itu mewakili kepentingan basis sosial mana, dan posisi kelas siapa, NU atau Muhammadiyah. Posisi kelas personal-personal JIL tergolong dari keluarga mampu atau kaya (atau paling tidak kelas menengah ke atas), karena melihat dari latar belakang pendidikan mereka, dan keluarganya.
118
Seperti Ulil, dan Luthfi berasal dari keluarga pesantren (punya pondok pesantren), pendidikan sampai ke perguruan tinggi, bahkan bisa studi di luar negeri. Latar belakang mereka dari pendidikan pondok pesantren, yang pemahaman keislamannya tidak diragukan lagi; semuanya pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi; di masa kuliahnya pernah aktif berbagai organisasi, bahkan menjadi tokoh-tokoh organisasi yang mereka geluti; dan yang lebih seragam lagi, dan hal ini nampaknya yang bisa menyatukan mereka dalam satu wadah, yang bernama JIL itu, adalah mereka mempunyai cara berpikir yang sama, yakni liberal; punya sikap yang sama, yakni sikap demokratis, pluralis, toleran, inklusif dan humanis (padahal mereka berasal dari organ yang berbeda, ada yang dari HMI, PMII, NU, Muhammadiyah dan Masyumi. Latar belakang mereka memang beragam, tapi kenapa mereka bisa seragam dalam satu wadah?). Sebagian besar dari mereka adalah dosen pada perguruan tinggi, peneliti pada lembaga penelitian, penulis lepas di media massa, aktif di berbagai organisasi masyarakat (Ormas), aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM), mereka juga dekat dengan---dan sering hadir di---media massa. Hal itu jelas bahwa mereka lebih dekat dengan tokoh-tokoh penting di negeri ini; punya akses ke media dan kekuasaan lebih besar dari pada aktivis-aktivis jalanan, yang hanya bergerak di tataran basis
119
massa dan berjuang untuk kaum miskin kota; mereka lebih besar punya kesempatan mendapatkan beasiswa; dan fasilitas apa pun. Dari gambaran di atas, yang ingin dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mampu dan mapan secara ekonomi, sehingga mereka lebih leluasa bergerak dan beraktivitas, karena tidak ada beban untuk mencukupi ekonominya, dan kebutuhan sehari-harinya. Mereka punya akses lebih besar ke media dan kekuasaan. Mereka bukanlah bagian dari kelompok marjinal, miskin-papa dan tak berpunya, melainkan kelompok mapan yang borjuis, kelompok yang selalu diuntung dari sisi politik dan ekonomi. Dari gambaran basis sosial dan posisi kelas JIL dan anggotanya seperti itu, kemudian muncul beberapa pertanyaan, gagasan-gagasan apa yang diusung JIL; apa kepentingannya; siapa dan apa yang sedang dibela JIL dari gagasannya itu; kenapa gagasan-gagasan tertentu kampanyekan dan gagasan-gagasan yang lain tidak; dan apa tipologi ideologi JIL; kanan atau kiri, borjuis atau pembebasan?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan pondasi paling dasar tentang basis sosial JIL dan kelas sosialnya. Pondasi dasar ini bisa menjelaskan atau menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Dalam teori Pecheux, basis sosial dan kelas sosial sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, ketika ia menghasilkan suatu gagasan dan gagasan-gagasan itu tentunya tidak lepas dari kepentingan dan ideologi yang membuat gagasan. Gagasan merupakan materialisasi
120
ideologi melalui cara berpikir, yang menghasilkan suatu gagasan, atau dengan kata lain, gagasan adalah bentuk dari ideologi yang diwacanakan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pertama yang menjadi landasan bahwa basis sosial JIL adalah komunitas orangorang liberal, bukan komunitas NU-Masyumi, PMII atau HMI. Kedua, posisi kelas mereka adalah orang mampu, kaya dan mapan, bukan orang miskin dan papa-kedana. Dari dua alasan ini, maka gagasangagasan yang mereka usung adalah gagasan-gagasan liberalisme, di mana gagasan-gagasan ini menguntungkan kelompok mereka sendiri, yaitu kelompok liberal dan kelompok mapan, dan kaya (borjuis). Dalam teori Van Dijk, bahwa kognisi sosial para anggota JIL itu berasal dari kelompok liberal dan kalangan mapan dan kaya, bukan kalangan atau berbasisis sosial NU atau Muhammadiyah, bukan HMI atau PMII. Sehingga yang mereka perjuangkan adalah ide-ide liberalisme dan kepentingan orang-orang kaya dan borjuis. Pertanyaan pertama, gagasan-gagasan apa yang mereka usung?. Dari basis sosial dan kelas sosial yang liberal dan borjuis itu, dapat disimpulkan bahwa gagasan-gagasan JIL adalah gagasangagasan yang berkaitan dengan ide-ide liberalisme, baik liberalisme pemikiran keagamaan (modernisasi, ijtihad, relativisme, universalisme, dan pluralisme), sosial politik (sekularisme, demokrasi, kebebasan berekspresi), sosial ekonomi (liberalisme ekonomi, ekonomi pasar),
121
maupun sosial budaya (kritik atas jilbab, nikah beda agama, dialog agama-agama, dan kesetaraan gender).142 Pertanyaan kedua, apa kepentingannya; siapa dan apa yang sedang dibela JIL dari gagasannya itu; kenapa gagasan-gagasan tertentu kampanyekan dan gagasan-gagasan yang lain tidak. Ada beberapa teori yang membantu menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, kepentingan tidak jauh dari komunitas seseorang di mana ia berada. Jika ia di komunitas orang-orang kiri (punya komitmen dan rasa kepemilikan yang tinggi), ketika ia bermain opini, maka kepentingan dalam opininya pun bisa dipastikan kekiri-kirian. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan gagasan-gagasan JIL itu tidak lain adalah untuk membela kepentingan kelompok-kelompok liberal secara politik dan kelompok-kelompok kaya (borjuis) secara ekonomi. Kedua,
setiap
“gagasan
yang
tampak”
di
permukaan
mempunyai kepentingan (sesuatu yang tak tampak). Apa yang tampak di permukaan (gagasan) merupakan hasil dari kepentingan yang memunculkan gagasan, baik individu maupun komunitas. “Sesuatu yang tak tampak” (kepentingan) itu justru dipandang sebagai fakta yang menghasilkan gagasan atau yang paling menentukan suatu gagasan.
142
Namun secara umum gagasan-gagasan JIL antara lain : liberalisme, demokrasi, sekularisme, pluralisme, modernisasi, ijtihad, nikah beda agama, dialog antar-agama, dan kritik atas jilbab.
122
Dari kedua teori itu memunculkan asumsi, apakah gagasangagasan JIL itu mempunyai kepentingan?, apakah itu untuk kepentingan intelektual, perubahan sosial, politik-praktis, ekonomi (modal) atau untuk kepentingan proyek?, kemudian untuk kepentingan apa gagasan-gagasan itu dan apa ideologinya?. Dari sisi basis sosialnya, gagasan-gagasan JIL itu untuk membela kepentingan kelompok liberal dan kaya atau mapan. Apa kepentingan kelompok liberal dan kaya itu? Adalah terwujudnya masyarakat yang liberal, bebas (berpendapat, berekpresi, dan berpolitik), toleran, terbuka, maju, modern; terciptanya tatanan sosialpolitik yang demokratis; tidak adanya fanatisme terhadap suatu agama atau aliran tertentu; bisa menerima kebenaran dari pihak lain; terpisahnya (pengaruh) agama dari kehidupan (struktur) politik; dan bisa menerima konsekuensi-konsekuensi dari persaingan pasar bebas. Sedangkan ideologi yang ada pada gagasan-gagasan tersebut adalah ideologi liberalisme, yaitu liberalisme politik (demokrasi liberal dan
sekularisme),
liberalisme
pemikiran
keagamaan
(ijtihad,
modernisasi, relativisme, pluralisme), liberalisme budaya (kritik atas jilbab, nikah beda agama, dialog agama-agama, dan kesetaraan gender), dan ideologi orang-orang kaya, yaitu ideologi kapitalisme. Benarkah
kepentingan
gagasan-gagasan
JIL
itu
untuk
perubahan sosial umat, pemodal asing (investor), pemerintah dan atau
123
hanya sekadar tuntutan proyek? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam bagian analisis relasi kuasa. Pertanyaan ketiga, apakah ideologi JIL bersifat kanan atau kiri, kebebasan (liberal) atau pembebasan (kritis), borjuis (mapan) atau proletar (miskin)?. Tiga pasang atau tipologi istilah ideologi itu sebenarnya sama dalam tataran makna dan implikasi praksisnya. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, tipologi ideologi itu akan ditentukan oleh tiga level cara pembacaan. Pembacaan pertama pada level “cara berpikir” atau mindset yang digunakan. Tipologi kebebasan/kanan/borjuis adalah cara berpikir seseorang dalam menentukan sebuah gagasan, yang mana gagasan itu untuk membela atau menguntungkan kelompok kaya dan mapan (status quo). Sedangkan tipologi pembebasan/kiri/proletar adalah cara berpikir untuk membela kelompok-kelompok miskin, lemah, dan kaum tertindas. Kedua, pembacaan pada level gagasan-gagasannya. Tipologi kebebasan/kanan/borjuis selalu mengusung gagasan-gagasan yang sangat elitis dan tidak ada upaya untuk membebaskan kaum lemah, tertindas dan miskin secara drastis dan struktural. Sedangkan tipologi pembebasan/kiri/proletar dalam gagasan-gagasannya selalu untuk membela dan membebaskan kaum lemah dan tertindas. Ketiga,
pembacaan
pada
level
metamorfosa
gagasan-
gagasannya. Tipologi kebebasan/kanan/borjuis akan menghasilkan
124
praksis-praksis
politis,
pragmatis,
oportunis,
dan
elitis,
serta
menguntungkan kelompok-kelompok mapan. Sedangkan tipologi pembebasan/kiri/proletar dalam praksis sosial untuk meneguhkan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Tipologi di atas itulah yang peneliti jadikan sebagai landasan baca terhadap ideologi JIL, karena secara sistematik, cara berpikir menentukan sebuah gagasan, sementara gagasan menentukan ke arah mana gagasan itu akan bersimbiosis atau berafiliasi. Cara berpikir liberal akan menghasilkan gagasan yang liberal pula, demikian juga arah simbiosisnya bisa dipastikan kepada kelompok-kelompok liberal di dalam masyarakat, baik liberal dalam pemikiran keagamaan, politik, maupun ekonomi. Pertama, cara berpikir JIL dalam membaca teks dan realitas. Dalam “manifesto” JIL, disebutkan cara berpikir JIL dalam melihat teks dan realitas, yaitu (1). mengutamakan semangat relegio-etik, bukan makna literal teks; dan (2). menggunakan paradigma liberalrasional, atau pendekatan liberatif; (3) cara berpikir yang bercorak pluralisme, relativisme dan substansialisme. 143 Paradigma atau cara berpikir “semangat relegio-etik” itu bisa mengarah kepada prinsip “kondisionalitas”, artinya bisa berubah sesuai dengan konteks sosial, kepentingan, dan ideologi penafsir. Semangat ini menjadi tidak jelas dalam prinsipnya. Sedangkan paradigma liberal
143
Jaringan Islam Liberal, Op.cit. hlm. 08-10
125
lebih dekat dengan paradigma positivisme,
144
dan bermakna kanan,
dari pada kiri, walaupun Assyaukanie sendiri telah menyanggah bahwa Islam Liberal adalah Islam bermakna “Kiri”, bukan “Kanan”, atau liberalisme Barat.145 Jika memang JIL adalah kiri, kenapa tidak memakai istilah Islam Kiri saja, atau Islam Sosialis, Islam Komunis, atau Islam Marxis. Atau jika memang JIL ingin mengatakan dirinya adalah kiri kenapa tidak menggunakan paradigma kritisisme saja, justru paradigma liberalisme dan pluralisme. Dari sisi strategi wacana yang digunakan, nampak JIL sedang bermain istilah yang diputar-balikkan. Kiri menjadi kanan, kanan menjadi kiri. Namun strategi ini terbantahkan juga. Dari analisis di atas jelas bahwa ideologi JIL bercorak atau masuk dalam tipologi kanan. Dengan sendirinya “ideologi kanan” menjadi landasan pikir JIL dalam melihat teks atau realitas. Ideologi kanan dan cara berpikir yang telah dipengaruhi itulah akan melahirkan gagasan yang berbau kanan pula. Penggunaan istilah “Jaringan” pun merupakan problematik. Kalau memang JIL menginkan perubahan sosial terjadi kenapa harus 144
lihat Eriyanto, Opcit. hlm.00, tentang paradigma penelitian teks komunikasi. Ada paradigma positivisme, konstruktivisme dan kritisisme. Eriyanto memasukkan cara berpikir liberal kedalam paradigma positivisme, bukan konstruktivisme, apalagi kritisisme. Paradigma liberalisme itu sama dengan paradigma pluralisme dan positivisme, yang mana jika dalam melihat teks atau realitas dengan kaca mata nertal, obyektif, tidak memihak, sekedar mendiskripsikan teks atau realitas saja, tanpa melakukan kritik sosial, perubahan sosial dan agenda-agenda kerakyatan dan pembebasan. 145 Luthfi Assyaukanie, Op.cit. hlm. 158. Assyaukanie sendiri mengakui bahwa makna liberal di Barat adalah kanan, bukan kiri. Artinya kelompok liberal itu kelompok yang pro terhadap penguasa, baik itu pemerintah, pemodal, maupun media. Sedangkan makna kiri adalah mereka yang menentang penguasa karena dalih penindasan, dan ingin bebas dari penindasan dan menginginkan keadilan.
126
meilih istilah jaringan, yang terkesan non-formal dan instan, kenapa tidak memilih istilah “pergerakan”, yang lebih progresif dan dinamis. Atau mengunakan istilah “lembaga” yang lebih terkesan formal (jelas visi, misi, AD/ART-nya) dan untuk orientasi ke depan, bukan sebuah “forum” yang terkesan serba instan, lantaran ada “proyek intelektual”, dan cepat bubar jika tidak ada dana dan kepentingan. Kemudian yang akan dibahas kedua, adalah gagasan-gagasan JIL yang diusungnya. Analisis gagasan JIL ini bisa menentukan tipologi ideologi JIL yang sebenarnya. Tipologi ideologi JIL itu bisa dilihat dari cara berpikir, gagasan yang diusungnya sendiri, serta simbiosis gagasan-gagasannya. Namun di sini terfokus pada gagasangagasan JIL saja. Gagasan-gagasan itu di antaranya : liberalalisme, sekularisme, demokrasi, pluralisme, toleransi, bebas beragama atau tidak beragama, dan isu-isu modernisme lainnya. Gagasan-gagasan itu jelas merupakan produk-produk liberalisme Barat 146 (yang kanan itu), sehingga ideologi JIL bisa digolongkan ke dalam tipologi ideologi liberalisme Barat atau ideologi Kanan-Kapitalis. Penyebutan JIL sebagai penganut liberalisme Barat adalah tidak berlebihan, karena hal itu bisa dilihat dari gagasan yang diusungnya sendiri. Gagasan-gagasan itu jelas merupakan produkproduk liberalisme Barat (yang kanan itu). Alasan dari mana JIL mau berkilah jika tidak mau dikatakan sebagai kanan (liberal). 146
Lihat Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, cet. VIII, hlm. 40-58
127
Kemudian gagasan-gagasan itu akan diuji dari sisi nilai pembebasannya. Setelah mengkaji teks-teks JIL secara skematik dan semantik (bagian dari analisis kognisi sosial), ternyata hasil itu kerja analisis itu menghasilkan kesimpulan bahwa gagasan-gagasan JIL itu terdiri dari gagasan tentang liberalisme, sekularisme, demokrasi, pluralisme, toleransi, inklusivisme, substansialisme, universalisme, kebebasan beragama atau tidak beragama, modernisme, nikah beda agama, dialog antar-agama.147 Pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah, di mana gagasan tentang pembebabasan itu, padahal secara eksplisit bahwa JIL memaknai “liberal” sebagai kebebasan dan pembebasan. Pembebasan dari struktur politik yang menindas.148 Sedangkan landasan pijak JIL diantaranya adalah memihak pada minoritas yang tertindas.149 Menurut JIL, Islam liberal itu berpihak pada minoritas yang tertindas, dan dipinggirkan. Setiap struktur politik yang mengawetkan praktek-praktek ketidakadilan adalah bertentangan dengan Islam. Minoritas dipahami secara luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik dan ekonomi. Setelah melacak gagasan-gagasan JIL itu dalam teks yang dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian, tidak ditemukan gagasan-gagasan 147
yang
membebaskan
kaum
Lihat kembali hasil analisis kognisi sosial di atas pada bab IV. Jaringan Islam Liberal, Op.cit. hlm. 06 149 JIL, Op.cit. hlm. 09 148
minoritas,
kecuali
128
minoritas agama, sementara minoritas yang (berbau ras, etnik, korban eknomi, politik) lain luput dari perhatian JIL. Demikian juga dalam buku-buku terbitan JIL
150
dan di internet www.islamlib.com, peneliti
tidak menemukan hal yang sama. Hasilnya nihil. Tidak ada gagasan yang membebaskan kaum miskin kota, petani, buruh, TKI/TKW, PRT, korban kekerasan politik, dan kerusakan lingkungan. Gagasan-gagasan yang lebih disukai justru gagasan tentang demokrasi, sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, ide-ide pembaharuan, dialog agamaagama, nikah beda agama, yang mana gagasan-gagasan ini tidak dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan, misalkan, kaum marjinal perkotaan, korban imigrasi, korban politik demokrasi liberalisme, dan ekonomi pasar (kapitalisme global). Karena gagasan-gagasan pembebasan tidak ada dalam gagasangagasan JIL, maka yang mau dikatakan bahwa tipologi ideologi JIL adalah borjuis, kanan, atau pro-kemapanan. Dengan kata lain, JIL mengusung gagasan-gagasan yang sangat elitis dan tidak ada upaya untuk membebaskan kaum lemah, tertindas dan miskin secara drastis dan struktural. Tesis inilah yang mengatakan bahwa JIL sangat borjuis, dan kanan. Dalam logika kebalikannya, ketika dalam gagasan-gagasan JIL itu tidak ada gagasan yang berpotensi membebaskan kaum tertindas dan lemah, maka yang sedang JIL bela kelompok
150
Luthfi Assyaukanie (2002), Wajah Liberal Islam Di Indonesia, Abdul Muqsit Ghazali (2005), Ijtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis, buku Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, (2003). Buku Milad Hanna, Menyongsong yang Lain, Membela Pluralisme, (2005), dan Sa’id Al-Asnami, Kritik Atas Jilbab (2003).
129
kebalikannya, yaitu kelompok mapan secara politik dan ekonomi, elit politik, dan elit pemodal. Gagasan JIL melayani kelompok-kelompok borju dan mapan, bukan untuk membela kaum miskin dan papa kedana. Di samping itu, JIL tidak konsisten dengan apa yang ia jadikan “idealisme” (visi pembebasan) yang tertulis dalam manifestonya itu, bahwa JIL memihak pada minoritas yang tertindas. Mana buktinya. Justru yang dibela orang-orang mapan secara politik dan ekonomi. JIL juga bisa dikatakan menjual orang-orang tertindas atas nama pembelaan minoritas tertindas, tanpa melakukan proses pembebasan terhadap kondisi sosial mereka. Apa JIL sedang “bermain wacana” dengan jargon membela kaum minoritas tertindas, agar mendapat simpati dari publik. Pembacaan ketiga, pembacaan pada level metamorfosa gagasan-gagasan JIL. Pembacaan pada level ini bagaimana melihat gagasan-gagasan JIL itu bersimbiosis dan berafiliasi dalam tataran praksis sosial-politik. Apakah gagasan-gagasan JIL itu bersimbiosis dengan “kekuasaan” atau dengan rakyat. Kekuasaan di sini bermakna luas, artinya pemerintah, pemodal, kuasa internasional, dan kuasa dalam pengertian sosial, misalkan kekuasaan laki-laki terhadap wanita, kekuasaan kulit putuh terhadap kulit hitam, dsb. Tipologi kebebasan/kanan/borjuis akan menghasilkan praksispraksis politis, pragmatis, oportunis, dan elitis, serta menguntungkan
130
kelompok mapan secara sosial politik, ekonomi dan budaya. Sedangkan tipologi pembebasan/kiri/proletar dalam praksis sosial untuk meneguhkan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Mekanisme pelacakannya dengan cara melihat gagasan mana yang bersimbiosis dengan kekuasaan dan mana yang bersimbiosis dengan rakyat tertindas. Artinya suatu gagasan digunakan untuk apa, kelompok mana yang menggunakannya, dan kelompok yang menjadi korban dari suatu gagasan. Pertanyaannya,
gagasan-gagasan
JIL
manakah
yang
menguntungkan kekuasaan (pemerintah, pemodal, kuasa internasional, dan kuasa [dalam pengertian] sosial), dan merugikan kelompok lain?, atau sebaliknya, gagasan mana yang merugikan kekuasaan dan menguntungkan kelompok tertindas?. Gagasan liberalisme ini menganggap manusia adalah sesuatu yang otonom, dan bebas; ia bisa menentukan kebenaran dan kebaikan dengan akalnya sendiri; kehidupan yangbebas dari otoritas agama dan raja.151 Liberalisme ini kemudian terjadi ke dalam semua ranah kehidupan manusia. Ada liberalisme dalam pemikiran keagamaan, liberalisme politik, liberalisme budaya, dan liberalisme ekonomi. Perkembangan liberalisme yang menjalar ke semua aspek kehidupan itu kemudian membuat bentuk gagasan yang berbeda-beda. Liberalisme pemikiran mengambil bentuk gagasan yang bernama 151
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, (terj. Ali Nurzaman), Qalam, Yogyakarta, 2004, hlm. 19-20.
131
“rasionalisme”. Liberalisme politik mengambil bentuk gagasan yang bernama “demokrasi liberal”. Liberalisme ekonomi mengambil bentuk gagasan yang bernama “pasar bebas”. Kaitannya dengan JIL, yang pertama, terjadi liberalisasi pemikiran keagamaan. Liberalisasi pemikiran keagamaan kaitannya dengan gagasan-gagasan JIL adalah gagasan tentang pluralisme agama, universalisme Islam, substansialisme, relativisme, toleransi, inklusivisme, dialog antar-agama, nikah beda agama, modernisasi, ijtihad, dehijabisasi, dan emansipasi wanita.152 Kedua, liberalisasi di bidang politik kaitannya dengan gagasan JIL adalah gagasan tentang sekularisme dan demokrasi, serta gagasan turunan dari kedua gagasan itu, misalkan gagasan konstitusi negara, sistem perlementer, dst.153 Ketiga, liberalisasi di bidang ekonomi dan budaya masih bersifat implisit dalam gagasan-gagasannya. Belum ada gagasan yang secara khusus membahas tentang ekonomi dan budaya, namun secara implisit gagasan-gagasan dalam bidang itu telah dikampenyekan. Misalkan Assyaukanie pernah menulis tentang “Kapitalisme Relegius” dan komentar-komentar anggota JIL tentang isu seputar kasus Inul
152
Lihat kembali hasil analisis kognisi sosial pada bagian awal analisis dan buku-buku terbitan JIL : Wajah Liberal Islam, Ijtihad Islam Liberal, Kritik Atas Jilbab, Syariat Islam dalam Pandangan Muslim Liberal 153 Ibid.
132
Daratista, RUU pornoaksi dan pornografi.154 Hal ini juga menunjukkan bahwa JIL mengusung isu ekonomi dan budaya. Gagasan demokrasi secara konseptual adalah pemerintahan dari rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, atas dasar rasionalitas dan kontrak sosial masyarakat secara bebas dan terbuka. Namun kenyataannya rakyat kecil selalu dijadikan tumbal sistem demokrasi. Gagasan demokrasi merupakan turunan dari gagasan liberalisme (politik), di mana ide ini lebih mengedepankan rasionalitas dan humanitas kemanusiaan ketimbang otoritas keagamaan atau raja. Dalam ide ini, kebebasan manusia dan kompetisi yang sehat antar-individu menjadi idola. Sebuah kenyataan sosial, bahwa dalam setiap masyarakat pasti ada yang mampu (kuasa), dan tidak mampu (lemah), baik secara intelektual, ekonomi, politik, dll. Kenyataan inilah yang dinafikan oleh liberalisme tanpa batas itu, sehingga kelompok lemah tidak mampu berkompetisi dalam meraih hidupnya yang lebih layak, mereka selalu kalah dan menjadi tumbal (dalam alam) demokrasi liberal ini. Kelompok lemah selalu kalah dalam kompetisi bebas itu, dan tidak ada jaminan sosial untuknya. Karena hal itu merupakan konsekuensi dari persaingan yang telah dibangun bersama. Di sini jelas bahwa kelompok miskin dan lemahlah yang dirugikan oleh sistem demokrasi.
154
Lihat wibesite JIL : www.islamlib.com
133
Siapa yang diuntungkan? Jawabannya adalah mereka yang mempunyai “kuasa”, kuasa modal, struktur politik (kuasa kebijakan), budaya, pengetahuan, dan kelas sosial yang tinggi. Dengan demikian gagasan demokrasi (liberal) JIL sangat menguntung kelompok mapan (secara politik dan ekonomi) dan borju. Rakyat miskin dan lemahlah yang tersingkir dengan gagasan yang diusung JIL. Dengan kata lain, bahwa
gagasan
demokrasi
JIL
bersimbiosis
dengan
“rezim
kekuasaan”, termasuk rezim yang punya ambisi untuk menghidupkan demokrasi (demokratisasi) di mana pun, yairu kuasa internasional atau lebih dikenal dengan kapitalisme global. Sistem ini mempunyai egenda untuk menyuburkan ide-ide liberalisme di dunia mana pun, baik liberalisme politik (demokrasi), liberalisme ekonomi (pasar bebas), liberalisme pemikiran (terutama pemikiran keagamaan), liberalisme budaya, dan globalisasi teknologi-informasi. Demikian juga gagasan JIL tentang liberalisme di bidang ekonomi. Hanya saja JIL tidak secara tegas mengatakan bahwa mekanisme pasar atau pasar bebas merupakan sistem yang paling baik, atau menjadi isu yang mereka usung, namun secara eksplisit JIL mengusung isu itu (sebagimana telah dijelaskan di atas), karena merupakan gagasan turunan dari liberalisme itu termasuk liberalisme ekonomi. Jika mengkaji gagasan ekonomi pasar atau pasar bebas lebih detail, akan dijumpai konsep awal dari liebaralisme ekonomi dari
134
Adam Smith.155 Secara epistemologis dalam gagasan Smith, ada poinpoin yang sangat merugikan kaum lemah dan miskin adalah mekanisme ekomomi ditentukan oleh pasar modal, negara tidak boleh intervensi atas proses ekonomi, kebebasan individu, kepemilikan pribadi, dan swatanisasi perdagangan. Jika ditelaah secara mendalam dan melihat kenyataan sosial saat ini, bahwa kaum miskin dan lemah tidak bisa bersaing dalam kompetisi karena tidak mempunyai modal, dan kemudian mereka kalah serta tereksploitasi dari kekalahannya itu. tidak ada jaminan dalam kehidupan sosialnya atas kekalahannya itu, tidak ada alternatif lain, kecuali hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan. Lagi-lagi yang dirugikan dari sistem ekonomi pasar adalah rakyat miskin papa, dan kelompok mapan (politik dan ekonomi) dan kaya yang jelas-jelas diuntungkan. Kelas-kelas mapan akan menjadi kelas penindas baru atas mereka yang kalah dalam kompetisi ekonomi. Maka terjadilah kelas majikan yang menindas dan kelas buruh yang tertindas. Pertanyaan selanjutnya, siapa dan apa yang sedang dibela JIL dari gagasannya itu; kenapa gagasan-gagasan tertentu kampanyekan dan gagasan-gagasan yang lain tidak. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, secara historis, bahwa gagasan liberalisme, sekularisme, demokrasi, toleransi, pluralisme, 155
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, cet. III, hlm. 44-47.
135
kebebasan beragama, dst., itu berasal dari pencerahan Eropa. Kemudian secara, teoritis-epistemologis, dan perspektifnya yang digunakan JIL pun sama dengan penggagas ide-ide liberalisme Eropa Barat. Dari sisi pembentuk gagasan-gagasan JIL pun mereka yang memang liberal dalam berpikir (cara berpikir), dan mapan dan borjuis secara kelas. Dapat dipastikan dari diskripsi di atas bahwa yang sedang dibela JIL adalah lieberalisme itu sendiri, baik dalam pengertian liberalisme pemikiran islam maupun liberalisme barat. Kenapa gagasan lain tidak dikampanyekan oleh JIL?, karena memang bukan kepentingan JIL. Kampanye gagasan tentang ekonomi islam, misalkan, syariat islam, keadilan sosial, ekonomi kerakyatan, membebaskan kaum marjinal dan tertindas, mengkritik pemerintah, dst. Hal ini jelas bukan merupakan agenda JIL.
d. Analisis Hubungan Gagasan dengan Relasi Kuasa : Menemukan Ideologi dan Kepentingan Perangkat ini akan menganalisis kaitannya antara gagasangagasan
JIL
dengan
relasi
kuasa
(kekuasaan);
bagaimana
perkembangannya; serta bagaimana peneguhan dan penyingkirannya terhadap wacana lain. Menurut Foucault, kuasa tidak semata dimaknai sebagai kekuasaan formal (politik) seorang raja atau presiden, melainkan juga hubungan yang bersifat non formal (sosial). Kuasa sosial menyebar
136
dalam masyarakat. Semakin kompleks suatu masyarakat semakin banyak pula kuasa relasi kuasa yang ada. Relasi kuasa yang bersifat politis (formal) adalah relasi pengetahuan (gagasan) dengan rezim kekuasaan (pemerintah), dan perangkat-perangkatnya. Sedangkan relasi kuasa yang bersifat sosial (non-formal) itu misalkan relasi kuasa ekonomi, jenis kelamin (gender), organisasi masyarakat, agama, dan tradisi (budaya). Relasi kuasa yang bersifat sosial juga termasuk kuasa internasional dengan perangkat-perangkatnya. Kaitannya dengan analisis ini, yang akan diungkap adalah kedua kuasa tersebut, kuasa dalam pengertian politik dan sosial. Maka pertanyaan yang akan dijawab, apakah relasi kuasa yang ada pada gagasan-gagasan JIL itu bersifat politis atau bersifat sosial?. Teori kuasa politik dan sosial tersebut dekat dengan pengertian menurut Louis Althusser tentang hakikat ideologi suatu negara. Menurutnya, ideologi negara menjadi dua hakikat, pertama, refresif (represif state aparatus/RSA). Kedua, ideologis (ideological state aparatus/ISA). Yang pertama bersifat kekerasan, memaksa dan menindas secara fisik, sedangkan yang kedua bersifat mempengaruhi, tanpa disadari, tapi juga menindas, namun penindasan yang diberi arti ideologis, seolah-olah sah dan bernilai. Walaupun keduanya berbeda dalam konsep dan prakteknya, namun sama dalam tujuannya, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan.
137
Dalam konsep ini, oleh Althusser, media dan teks komunikasi atau suatu gagasan merupakan perangkat negara yang sangat ideologis (ISA), karena media dan teksnya bisa memberikan dasar pembenar atas tindakan yang dilakukan. Dari konsep itu, ideologiskah atau represifkah gagasan-gagasan JIL itu?, apa yang dilakukan JIL dengan gagasan-gagasannya itu terhadap tindakan kuasa (kuasa politik dan sosial)? Pertanyaanpertanyaan itu wajar dikemukakan karena JIL mengusung isu-isu atau gagasan-gagasan yang dibaca oleh masyarakat melalui media massa. Teori ideologi Althusser tersebut dekat juga dengan teori “hegemoni” Gramsci. Gramsci dengan teorinya berusaha membangun teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok lain (kelompok yang didominasi) terhadap kehadiran kelompok dominan (pengusa politik dan sosial) berlangsung dalam proses damai, tanpa tindakan kekerasan. Teori ini dibangun atas asumsi bahwa pentingnya sebuah ide atau gagasan, dan tidak pentingnya kekuatan fisik dalam kontrol sosial-politik. Dalam proses hegemoni, kelompok yang didominasi tidak merasa bahwa mereka didominasi (ditindas), dan mereka, tanpa disadari, menginternalisasikan nilai-nilai dan ideologi kelomok dominan, lebih dari itu mereka harus memberikan pembenaran atas subbordinasi mereka.
138
Proses
hegemoni
itu,
menurut
Gramsci,
dibantu
oleh
kepemimpinan moral (agamawan) dan intelektual. Dari teori hegemoni ini, pertanyaan yang perlu diajukan, apakah gagasan-gagasan JIL itu merupakan bentuk hegemoni?, dan apakah tokoh-tokoh JIL merupakan motor penggerak mesin hegemoni itu? Asumsi awal bahwa gagasan-gagasan JIL itu ada kaitannya (nyambung) dengan istilah “penjajahan model baru” di Indonesia. Asumsi ini jika diperjelas akan mengatakan begini, bahwa gagasangagasan JIL ada kaitannya dengan ideologi kapitalisme global, ideologi yang menjajah bumi Indonesia saat ini, sebagai penjajah model baru, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Asumsi ini tidak mengada-ada. Perangkat analisis genealogi wacana yang akan menjelaskan bagaimana sebuah gagasan bisa nyambung (ada keterkaitan) dengan gagasan yang lain; antara gagasan di satu sisi, dengan kekuasaan di sisi yang lain. Hal ini bisa disebut dengan, dalam bahasa Foucault,156 relasi kuasa (power relations). Teori ini mengatakan bahwa ada relasi atau keterkaitan antara pengetahuan dengan kuasa; antara pengetahuan dengan kepentingan. Secara genealogis, perkembangan paling awal wacana atau gagasan JIL tersebut tidak bisa dilepaskan dari reformasi Protestan dan pencerahan Eropa pada abad ke-18. Karena dua momen inilah yang melahirkan gagasan tentang liberalisme, yang kemudian melahirkan 156
Michel Foucault, Op.cit, hlm. 225-244; dan 259-290; dan lihat dalam Petrus Sunu Hardiyanta, Op.cit, hlm. 30
139
gagasan demokrasi, sekularisme, pluralisme, toleransi, modernisme, dst. Ide-ide itu kemudian berkembang ke seluruh dunia, yang mana saat itu masih dalam proses reformasi dan pencerahan di belahan dunia Eropa, dan proses kemerdekaan di dunia ketiga. Revolusi Prancis157 menyebabkan perubahan sosial yang sangat pesat di bagian dunia Eropa, perubahan pada tata kehidupan politik, ilmu pengetahuan, hubungan sosial, ekonomi, dan teknologi. Perubahan itu menjalar ke mana-mana, sampai ke belahan dunia bagian Asia, termasuk Indonesia. Perubahan
merupakan
keniscayaan.
Tradisonal
menjadi
modern, kemudian berubah menjadi pos-modern. Itulah dunia yang selalu tumbuh, berkembang dan berubah setiap saat. Teori inilah yang melandasi konsep pertumbuhan dan pembangunan oleh Rostow, dan konsep modernisasi Parsons.158 Teori Rostow dan Parsons ini sangat relevan bagi dunia yang baru merdeka, yang mana di satu sisi, ia ingin berubah dari tradisional ke modern, maju, berkembang secara ilmu pengetahuan, ekonomi, kebebasan politik, dan teknologi. Namun kenyataan saat itu dunia ketiga yang baru merdeka, secara ekonomi, sangat lemah dan butuh bantuan dari luar negeri. Kondisi seperti inilah yang dimanfaatkan oleh
157
Ian Adams, Op.cit, hlm. 29. Dalam revolusi Prancis ini, otoritas monarkhi dan gereja runtuh, digantikan oleh otoritas akal, ilmu pengetahuan dan kebebasan manusia. 158 Mansour Fakih, Op.cit. hlm. 55-56
140
konsep pembangunan dan pertumbuhan, yang sebenarnya anak dari kapitalisme global (liberalisme ekonomi).159 Pada saat yang sama, rezim penjajah (negara-negara kapitalis) pun menyadari akan tuntutan kemerdekaan dari negara-negara jajahan karena perubanahn zaman, maka dibuatlah model baru penjajahan, dari penjajahan secar fisik ke non-fisik, agar mereka tidak kehilangan pengaruh di bekas negara jajahannya, Untuk menyiasati hal itu, negara-negara kapitalis mengadakan pertemuan pada bulan Juli 1944, yang akan merumuskan strategi baru dalam menghadapi negara-negara yang baru dan akan merdeka. Hasil pertemuan itu negara-negara kapitalis sepakat pertama, membentuk lembaga bank dunia (world bank), IBRD (internasional bank for reconstruction and development), IMF (international monetary fund). Lembaga ini berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada negara-negara yang baru merdeka. Kedua, membentuk GATT (general agreement of tariffs and trade). Lembaga ini berfungsi mengatur dan mengembangkan perdagangan dunia agar sesuai dengan kepentingan kapitalis. Ketiga, mendirikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB), lembaga yang mengatur hubungan politik antarnegara dunia.160 Diskursus
pembangunan
(developmentalisme)
kemudian
muncul sebagai tawaran atau solusi dari keterbelakangan dunia bekas jajahan atau dunia ketiga. Term-term tentang penanaman modal asing 159
Ibid. Hasyim Wahid, dkk., Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, LKIS, Yogyakarta, 1999, hlm. 15-16 160
141
(investasi), pinjaman luar negeri, modernisasi, pemberdayaan sumber daya alam, stabilitas nasional, menjadi suatu yang sangat menjanjikan bagi perubahan lebih maju dan modern.161 Gagasan-gagasan kapitalisme global masuk ke dunia ketiga pasca kemerdekaan, melalui proyek-proyek pembangunan dan kerjasama antar-negara Eropa dengan negara-negara ketiga. Gagasangagasannya itu masuk melalui berbagai jalur aspek kehidupan manusia (baca : rakyat Indonesia), yaitu liberalisasi ekonomi, keagamaan, politik, teknologi dan sosial. Liberalisme ekonomi dikemas dengan konsep-konsep
yang
sangat
ilmiah,
lengkap
secara
teoritis-
epistemologisnya. Konsep-konsep Rostow dan Parsons menjadi referensi sebagai resep pembangunan di Indonesia, dan gagasan liberalisme politik (demokrasi) diterapkan oleh semua negara bekas jajahan. 162 Apa yang terjadi selama Orde Baru, yang menerapkan konsep pembangunan itu? Kemiskinan, kerusakan lingkungan, penumpukan hutang luar negeri, pengangguran, eksploitasi, kesenjangan sosialekonomi, kerusuhan sosial-politik, swastanisasi, privatisasi, semua barang serba mahal, dan yang lebih parah lagi adalah Indonesia sebagai negara yang sudah merdeka, saat ini hidupnya bergantung
161
Saiful Arief, Menolak Pembangunan, Pustaka Pelajar dan Puspek Averroes, Yogyakarta, 2000, hlm. 221-225 162 Hasyim Wahid, dkk., Op.cit, hlm. 26-27
142
pada IMF, bank dunia, dan modal asing (investor). Semua kebijakan internal sudah bisa dipastikan adanya intervensi eksternal. 163 Penjajahan non-fisik pun terjadi, penjajahan melalui konsepkonsep yang menjanjikan kesejahteraan rakyat, modernisasi di segala bidang, dan terciptanya keadilan sosial. Namun kenyataannya rakyat semakin melarat, miskin dan tertindas. Kaitannya antara gagasan-gagasan JIL dengan sejarah panjang penjajahan di Indonesia itu apa? Menurut Umaruddin Masdar, untuk memuluskan ideologi pembangunan atau kapitalisme global itu, banyak cara yang dilakukan,164 termasuk dengan cara hegemoni wacana keagamaan. Hegemoni dan bahkan manipulasi wacana keagamaan dalam hal ini adalah gagasan-gagasan Islam Liberal, gagasan-gagasan yang loyal dan pro terhadap pembangunan dan kapitalisme global.165 Secara genealogis, gagasan “Islam Rasional”-nya Harun Nasution, “Islam Liberal”-nya JIL (Ulil), dan bahkan gagasan Islam Modernis-nya Muhammadiyah dan Neo-modernisme Islam-nya Cak Nur,166 sengaja dihadirkan (oleh rezim pengetahuan internasional)
163
Eko Prasetyo, Islam Kiri : Melawan Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan, Pustaka Pelajar-Insist Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 85-161 164 Cara yang dilakukan di dunia ketiga, liberalisasi ekonomi, politik, pemikiran keagamaan, dan liberalisasi kebudayaan. 165 Umaruddin Masdar, Agama Kolonial : Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal. KLIK-R, Yogyakarta, 2003, hlm. 2-8 166 Istilah Islam Liberal dengan Neo-Modernisme Islam ini sangat bebeda jika dilihat dari sisi waktu, tokoh dan basis sosialnya. Klasifikasi ini berbeda dengan Beton (dan Paramadina), yang menyamakan Islam Liberal dan Neo-Modernisme Islam. Lihat Greg Berton, Op.cit. Hal ini bisa dipahami karena saat klasifikasi itu dibuat Islam Liberal (JIL) belum muncul sebagai wacana baru dalam pemikiran Islam Indonesia.
143
bersamaan
dengan
dijalankannya
ideologi
pembangunan
(developmentalisme). Sama halnya dengan gagasan civil society. Ia muncul
bersamaan
dengan
hadirnya
wacana
demokrasi
dan
delegitimasi Orde Baru, yang mulai tidak patuh pada---dan sudah tidak dibutuhkan lagi oleh---kuasa kapitalisme internasional. Islam liberal dihadirkan bersamaan dengan kebijakan liberalisasi politik, ekonomi dan budaya, baik yang dijalankan oleh kapitalisme secara menyeluruh, maupun oleh “boneka” kapitalisme global, termasuk Indonesia (pada masa pemerintahan Orba). 167 Kenapa wacana Islam Liberal, Islam Modernis, atau Islam Rasional perlu dihadirkan kaitannya dengan pembangunan di Indonesia? Hal ini karena mengingat mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam. Islam merupakan ancaman bagi siapa pun yang menjajah. Semangat jihad Islam selalu dikobarkan untuk melawan penjajahan. Oleh karena itu doktrin dan semangat gerakan Islam perlu dilumpuhkan dari dalam Islam sendiri, agar ruh jihadnya berkurang, dan bahkan bisa melegitimasi gerakan pembangunan dan modernisasi di Indonesia. Untuk kepentingan itu, melemahkan doktrin dan gerakan Islam, agen pengetahuan internasional (kapitalisme global) tidak segan-segan mengeluarkan dana cukup besar untuk mensukseskan kepentingannya itu. 168
167
Umaruddin Masdar, Op.cit, hlm. 04 Disinyalir Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Ulil Abshor-Abdalla, dkk., mendapatkan pasokan dana dari luar negeri, yaitu The Ford Fondation, The Asia Fondation, dan lembaga-lembaga internasional lainnya. 168
144
Di samping itu, banyak mahasiswa Indonesia yang dikuliahkan secara gratis di Barat, yang mengambil konsentrasi islamic studies atau economic studies, dan political studies. Tiga dimensi pengetahuan inilah yang diserang oleh sistem pengetahuan internasional dalam rangka hegemoni dan manipulasi kesadaran orang-orang Indonesia. Dengan didikan Barat seperti itu, maka akan menghasilkan pemikir, intelektual, agamawan yang liberal, ekonom yang liberal, pro-pasar bebas, dan teoritisi politik liberal atau politisi praktis liberal yang prodemokrasi dan sekularisme. Dengan cara-cara seperti itulah wacana Islam Liberal menjadi kokoh di Indonesia. Pada bagian analisis terdahulu telah dijelaskan perkembangan gagasan-gagasan JIL, kemudian bagaimana proses peneguhannya serta proses penyingkiran gagasan yang lain. Ketika sejarah ide-ide JIL, fundamen pembentuknya, metode, argumen ilmiah dan perspektif yang digunakan adalah sejarah reformasi protestan dan pencerahan Eropa; teori-teori sosial modern, seperti teori Smith, Locke, Rostow, Parsons, maka gagasan tentang Islam Tradisional dan Islam Fundamental-Radikal akan tersingkir, karena kedua model Islam ini dianggap sebagai penghambat perubahan, pembangunan dan modernisasi. Penyingkiran itu tidak hanya melalui pertarungan wacana antara Islam Liberal versus Islam
145
Tradisional atau Radikal-Fundamental, melainkan melalui represi pemilik modal dan struktur pemerintah yang mendukungnya.169 Dari diskripsi di atas, dapat ditegaskan bahwa ada relasi kuasa antara gagasan Islam Liberal (Islam Rasional, Islam Modernis, JIL) dengan pemerintah Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru, Suharto, sampai saat ini. Ketika Orba berkuasa pada tahun 60-an, ketika itu pula secara bersamaan hadir “Islam Rasional”-nya Harun Nasution, kemudian diteruskan oleh Cak Nur dan Ulil, dkk. (JIL). Demikian juga gagasan-gagasan Islam Liberal ada kaitannya dengan relasi kuasa pengetahuan internasional atau kapitalisme global. Gagasan liberalisme pemikiran keagamaan; Islam dan Demokrasi; Islam dan Pluralisme; Islam dan Toleransi, Inklusivisme, dan dialog antar-agama; Islam dan Modernisasi; Islam dan Jender; Islam dan Sekularisme;
Islam
dan
Relativisme,
Universalisme,
dan
Substansialisme; Islam dan kebebasan berekspresi; Islam dan Jilbab, dan seterusnya itu merupakan isu-isu yang selama ini didengungdengungkan oleh kapitalisme global. Di samping itu, isu demokrasi misalkan. Gagasan ini sangat politis, karena dengan isu ini JIL bisa dikatakan bersebahat atau berafiliasi ke partai politik yang memang memperjuangkan bentuk 169
Untuk membuktikan hal ini bisa dilihat dari kenyataan struktur politik pada masa orde baru, di mana kelompok tradisonal (NU) dan radikal (PKI, PNI) termarjinalkan, sedangkan kelompok modernisme, neo-modernisme, intelektual liberal (didikan Amerika yang tergabung dalam Mafia Berkeley), mendapat perlakuan baik (selalu diuntungkan) dari sisi wacana dan politik. Lihat Hasyim Wahid, Op.cit. hlm. 26-27. Pada abad pencerahan pun terjadi hal yang sama, yaitu kelompok-kelompok agama tidak mendapat tempat dalam pemerintahan rakyat. Agama tidak punya otoritas sama sekali, yang ada hanya kebebasan (liberalisme).
146
negara demokrasi, atau dengan kata lain, JIL tidak bekerjasama dengan partai politik yang pro terhadap syaria’at Islam. Demokrasi bisa dijadikan isu yang menarik bagi partai politik untuk menarik simpati rakyat yang memang plural. Ketika JIL mengkampanyekan isu demokratisasi sementara di sisi lain partai politik tertentu mengkampanyekan isu yang sama, maka secara kasat mata, atau dengan prasangka, bahwa ada kerjasama (simbiosis) antara JIL dengan parpol tertentu. Atau bukan parpol, tapi ada kekuasaan tertentu yang punya kepentingan akan terjadinya proses demokratisasi di seluruh dunia. Sebut saja kapitalisme global. Pada aspek gagasan atau isu, ada kesamaan misi antara kapitalisme global dengan JIL. Setidaknya ada beberapa gagasan yang sama, diantaranya, gagasan liberalisme, demokrasi, sekularisme, pluralisme agama, kesataraan jender, sebagaimana telah dijelaskan di muka. Pertanyaan selanjutnya, kaitannya dengan teori Althusser, ideologiskah atau represifkah gagasan-gagasan JIL itu?. Menurut Althusser,
170
hakikat ideologi negara menjadi dua, pertama, refresif
(represif state aparatus/RSA). Kedua, ideologis (ideological state aparatus/ISA). Yang pertama bersifat kekerasan, memaksa dan menindas secara fisik. Hal ini suatu negara bisa menggunakan tindakan, intimidasi, kekerasan dan bahkan perang. Sedangkan yang kedua bersifat mempengaruhi, tanpa disadari, dan juga menindas, 170
Louis Althusser, Tentang Ideologi : Marxisme, Strukturalisme, Psikoanalisis, Cultural Studies, (terj.Olsy Vinoly Arnop), Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hlm. 18-24
147
namun penindasan yang diberi arti ideologis, seolah-olah sah dan bernilai. Walaupun keduanya berbeda dalam konsep dan prakteknya, namun sama dalam tujuannya, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam konsep ini, oleh Althusser, media dan teks komunikasi atau suatu gagasan merupakan perangkat negara yang sangat ideologis (ISA), karena media dan teksnya bisa memberikan dasar pembenar atas tindakan yang dilakukan. Jika teori Althusser itu dikontekskan dengan gagasan-gagasan JIL yang telah dijelaskan di atas, maka bisa dibahasakan bahwa gagasan-gagasan JIL itu merupakan gagasan-gagasan (yang sangat) ideologis dari sebuah negara. Apalagi sampai menggunakan media massa dan teks-teks komunikasi, sebagaimana dikatakan oleh Althusser, sebagai perangkat ideologis dari suatu negara. Walaupun yang dilakukan JIL itu hanya sekadar mengkampanyekan gagasangagasan yang ideologis (mempengaruhi dan memanipulasi khalayak), tapi sesungguhnya ia sedang mempertahankan dan melanggengkan status quo kekuasaan, baik kekuasaan di tingkat nasional (DemokrasiLiberal), maupun kuasa internasional (Kapitalisme Global). Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan, kaitannya dengan teori hegemoni Gramsci, apakah gagasan-gagasan JIL itu merupakan bentuk hegemoni?, dan apakah (tokoh-tokoh) JIL merupakan motor penggerak mesin hegemoni kekuasaan?
148
Menurut Gramsci, teori hegemoni menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi atas kehadiran kelompok dominan (kuasa ekonomi, politik dan sosial) berlangsung secara damai, tanpa tindakan kekerasan, bahkan terjadi konsensus.171 Teori ini dibangun atas dasar asumsi bahwa pentingnya sebuah ide atau gagasan, dan tidak pentingnya kekuatan fisik dalam kontrol sosial-politik. Dalam proses hegemoni, kelompok yang didominasi tidak merasa bahwa mereka didominasi (ditindas), dan mereka, tanpa disadari, menginternalisasikan nilai-nilai dan ideologi penguasa, bahkan lebih dari itu, mereka harus memberikan pembenaran atas subbordinasi dan marjinalisasi mereka. Proses hegemoni ini, menurut Gramsci, dibantu oleh agamawan, budayawan, politisi, aktivis, akademisi dan intelektual.172 Teori hegemoni Gramsci jika dibenturkan dengan gagasangagasan JIL, sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka bisa diambil pendapat bahwa pertama, gagasan-gagasan JIL itu merupakan bentuk hegemoni penguasa, baik penguasa di tingkat nasional maupun internasional. Kedua, JIL merupakan motor penggerak mesin hegemoni kekuasaan tersebut, yang mana motor itu disetir oleh para intelektual, akademisi, politisi (teoritisi politik), agamawan dan budayawan.
171
Eriyanto, Op.cit, hlm. 103 Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 31 172
149
Analisis ideologi, hegemoni, kepentingan dan relasi kuasa dengan pengetahuan dalam analisis inilah, yang dimaksudkan oleh Van Dijk dengan konteks sosial teks. Di mana teks-teks tersebut bertarung dalam masyarakat demi memenangkan posisinya dan posisi yang mengusungnya.
e. Membuat
Tafsir-Tafsir
Baru
dari
Gagasan-Gagasan
JIL:
Menemukan Ideologi dan Kepentingan Gagasan-Gagasan JIL Penemuan dan pembuatan tafsir baru atas teks-teks JIL ini akan dilakukan melalui analisis yang saling mengkaitkan antara satu dimensi analisis arkeologi dan genealogi dengan beberapa dimensi yang lain. Antara dimensi sejarah suatu ide (gagasan), teoritisepistemologisnya, perkembangan ide, kelas sosial pembentuk ide, peneguhan ide, penyingkiran iden, ideologi, dan kepentingannya, sehingga analisis ini akan menghasilkan satu tafsir baru dari gagasangagasan JIL nantinya. Pertama, dari analisis semantik, skematik, dan tematik (dimensi analisis kognisi sosial) di atas telah ditemukan gagasangagasan JIL, yang terdiri dari gagasan tentang liberalisme, demokrasi, sekularisme, pluralisme agama, toleransi, inklusivisme, relativisme,
150
substansialisme, dialog antar-agama, nikah beda agama, modernisme, ijtihad, dehijabisasi, dan emansipasi wanita.173 Dari sisi sejarah ide-ide, gagasan-gagasan JIL itu berangkat dari reformasi protestan dan pencerahan Eropa, di mana kedua momen ini sangat penting dalam perubahan kehidupan manusia secara menyeluruh dan perkembangan gagasan-gagasan JIL. Gagasan-gagasan yang tampak pun tidak jauh berbeda dengan ide-ide kedua momen itu, ide yang mengedepankan semangat reformasi, pencerahan, humanisme (liberalisme) dan rasionalisme. Tidak
ada
gagasan-gagasan
yang
dikampanyekan
JIL
yang
berdasarkan latar belakang sejarah sosial kemerdekaan, politik, ekonomi bangsa Indonesia. Seharusnya JIL tidak lagi berkutat pada gagasan liberalisme di Indonesia, yang mana Indonesia itu berbeda sejarahnya dengan negaranegara Eropa. Eropa terbelakang disebabkan oleh pemaksaan pemahaman doktrin Gereja yang otoritatif dan kuasa raja yang represif, sedangkan latar belakangan Indonesia disebabkan penjajahan yang berkepanjangan sampai saat ini. Penjajahan bangsa Eropa dan feodalisme yang bekerjasama dengan penjajah. Atas dasar latar belakang sosial Indonesia seperti itu seharusnya gagasan-gagasan JIL itu berkaitan dengan latar belakang sosialnya. Misalnya gagasan-gagasan tentang pembebasan dunia ketiga 173
Dua gagasan terakhir (dehijabisasi dan emansipasi wanita) bisa dilihat dalam buku terbitan JIL; Wajah Liberal Islam di Indonesia; dan Ijtihad Islam Liberal.
151
dari
hegemoni
(penjajahan
model
baru)
kapitalisme
global,
pembebasan kaum tertindas, dan termarjinal dari kebijakan politik, serta menegakkan keadilan sosial ekonomi-politik. Dengan gagasan ini, seharusnya JIL lebih sering melakukan advokasi di lapangan, ketimbang koar-koar di media massa. Akan tetapi kenapa JIL justru mengkampanyekan ide-ide liberalisme itu? Karena ide-ide liberalisme JIL itu, sebagaimana telah disinyalir di atas, merupakan ide “pesanan” dari agen pengetahuan internasional. Ide-ide JIL ini jelas-jelas tidak nyambung dengan realitas masyarakat yang sesungguhnya. Ide-ide JIL sebenarnya ide-ide yang tidak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Artinya, ide yang salah kaprah, tidak membumi dan melangit, berada di awang-awang sana, tidak pernah menyentuh problem masyarakat. Justru ide-ide JIL itu membuat
masalah
belaka
dan
membuat
realitas
baru
yang
sesungguhnya tidak ada. Karena apa tidak nyambung dengan realitas? Karena ide-ide JIL itu memang sudah dari sananya begitu (dipesan paketan). Bisa jadi sesuatu yang tidak ada diada-adakan. Jika JIL mau bertahan lama, menjadi mazhab masa depan yang menggantikan mazhab syafi’i, hambali, maliki, maka gagasan-gagasan JIL semestinya diganti, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bukan gagasan pesanan dari luar. Gagasan-gagasan JIL erat kaitannya kepentingan politik dan ekonomi luar negeri, dalam hal ini adalah kapitalisme global, sehingga
152
bisa dikatakan bahwa gagasan-gagasan JIL itu adalah gagasan pesanan dari agen penyebar ide-ide liberalisme, lewat proyek-proyek yang dilaksanakan JIL itu. Apa yang dilakukan oleh JIL tidak lebih dari pemenuhan tuntutan lembaga donor luar negeri itu,
174
bukan untuk
perubahan sosial yang mengarah pada hal positif, justru menindas secara halus, sistemik dan hegemoni. Tanpa disadari dan tanpa merasa ditindas, tanpa rasa dipaksa atau disakiti. Dalam bahasa Marx, itulah yang dinamakan dengan kesadaran palsu. Inilah kerja-kerja wacana yang ideologis, mempengaruhi khalayak tanpa disadari. Oleh karena itu JIL adalah “penindas” dalam tataran wacana, melakukan “kekerasan wacana” dan memanipulasi kesadaran rakyat di bumi pertiwi ini. Dengan kata lain JIL sedang “menjajah” bangsa sendiri. Walaupun JIL tidak pernah melakukan tindakan kriminal, intimidasi dan anarkhisme, JIL tetaplah bisa dikatakan sebagai “penjajah” bangsa sendiri. Dari sisi gagasan, JIL tidak akan bisa melakukan transformasi sosial, merubah rakyat miskin menjadi kaya, tidak adil menjadi adil, membela minoritas tertindas, kerusakan lingkungan, bencana alam, menolak pasar bebas, mempengaruhi pemilik modal, dan mengkritik pemerintah (birokrasi) yang menindas, karena gagasan-gagasan JIL merupakan
174
pesanan
dari
lembaga
donatur
luar
negeri
dan
Karena JIL mendapat bantuan dana dari The Ford Fondation dan The Asia Fondation, lihat KH. Abdul Hamid Baidowi, Bahaya Islam Liberal, Dewan Murid Bidang Kultum Madrasah Ghazaliyyah Syafi’iyyah Sarang Rembang, Jateng, Jum’at, 22 Agustus 2003.
153
menggunakan paradigma liberal, serta JIL pro dengan globalisasi atau liberalisme. Dengan cara berpikir JIL yang liberal seperti itu, bisa dipastikan
argumen
JIL
tentang
kemiskinan,
keterbelakangan,
kebodohan, pengangguran adalah akibat dari kekalahan dalam kompetisi hidup dan pola pikir yang terkungkung oleh nalar agama yang kaku dan tidak rasional, bukan disebabkan oleh sistem atau struktur (pemerintah dan ideologi) dan kebijakan yang menindas. Cara berpikir liberal ini justru akan mengamini dan melegalkan penindasan itu sendiri, dan bahkan berusaha memompa hembusan angin penindasan itu melalui wacana-wacana yang ideologis dan hegemoni. Jika JIL ingin melakukan perubahan sosial maka JIL seharusnya independen dari ketergantungannya dengan lembaga internasional itu dan menggunakan paradiga kritis (isme). Penggunaan paradigma liberal justru akan melegalkan penindasan itu sendiri. Inilah yang dinamakan oleh Gramsci sebagai hegemoni. Paradigma “kanan” (liberalisme) untuk melakukan pembelaan kaum tertindas, jelas-jelas tidak akan menemukan hasilnya, justru akan melanggengkan penindasan. Kedua, tentang perspektif dan landasan teoritis-epistemologis, JIL selalu menggunakan logika-logika protestan dan pencerahan yang cenderung liberal, positivis dan matematis itu, dan menjadikannya sebagai standar cara berpikir JIL, yang kemudian menghasilkan
154
pemikiran-pemikiran mengdepankan
seperti
aspek
di
atas,
humanisme
pemikiran
(kebebasan
yang manusia)
sangat dan
rasionalismenya. Walaupun bangunan-bangunan epistemologi gagasan-gagasan tidak sepenuhnya ditegaskan atau tidak dibangun oleh anggota JIL sendiri, akan tetapi selalu menghadirkan para pakar, intelektual muslim yang tentunya tidak kalah liberalnya. Sehingga tampak gagasangagasan JIL tidak ada yang baru, semuanya copy-paste dari tokohtokoh Islam Liberal terdahulu, yaitu Neo-Modernisme Islam dan Islam Modernis. Dengan cara berpikir seperti itu (mengdepankan humanismerasionalisme), saat ini, tidak akan menghasilkan gagasan yang membebaskan dari penindasan, justru gagasan-gagasan yang sangat politis dan elitis, karena saat ini bukan zaman pencerahan lagi, tetapi zaman pasca modern (posmodern), zaman yang menentang sisi-sisi negatif modernisme. Dampak negatif dari zaman modern (pasca pencerahan) adalah munculnya penindasan, yang bukan dari otoritas agama atau kerajaan, sebagaimana pada zaman pertengahana yang menyebabkan terjadi reformasi protestan dan pencerahan Eropa itu, melainkan dari struktur politik (sistem demokrasi) mazhab modernisme itu sendiri. Bagaimana mau membebaskan dari struktur penindasan, yang struktur itu dihasilkan dari cara berpikir yang liberal, jika cara berpikirnya masih
155
tetap liberal. Ini sebuah ironisme. Cara berpikir “kanan” (liberal) untuk membela kaum tertindas jelas tidak bisa. Cara berpikir JIL inilah yang semestinya dipikirkan kembali, karena tidak sesuai dengan zaman yang dihadapi umat. Saat ini bukan zaman pencerahan dan juga bukan zaman modern, akan tepai telah memasuka zaman posmodern. Zaman posmodern bagi Indonesia adalah zaman yang mencita-citakan pembebasan dari struktur penindasan secara politik, ekonomi dan kultur. Oleh karena itu cara berpikir yang semestinya dipakai adalah cara berpikir kritispembebasan, bukan liberalisme. Dari cara berpikir JIL yang liberal dan positivistik itu akan menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat elitis dan pragmatis, oportunis, politis dan cenderung menjajah (gagasan neokolonialisme). Karena disadari atau tidak bahwa JIL merupakan agen dari sebuah sistem pengetahuan global yang kemudian membuka jalannya liberalisme di segala sektor kehidupan manusia. Liberalisme di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Ketiga, tentang basis sosial dan kelas sosial JIL dapat dilihat bahwa kebanyakan basis sosial mereka berasal dari kalangan NU dan HMI, ada yang dari PMII (baca: Ulil), ada juga intelektual atau akademisi murni, bukan aktivis organisasi. Sedangkan posisi kelas mereka berasal dari kelas-kelas kaya, mapan dan mampu secara ekonomi dan intelektual (pendidikan).
156
Basis sosial mereka yang sangat beragam itu, mustahil mereka mewakili basis sosial mereka masing-masing, Ulil mewakili NU dan PMII-nya. Hamid, Burhanuddin, Sahal, Mahmada mewakili NU dan HMI-nya, dan seterusnya, melainkan ada basis sosial yang hendak mereka wakili, tentunya adalah “basis sosial liberal”-nya itu. Basis sosial liberal yang dimaksud adalah mereka yang tidak hanya anggota JIL, tapi termasuk orang-orang yang mereka anggap liberal, di mana orang-orang ini mereka jadikan sebagai nara sumber penggagas sekaligus kontributor ide-ide JIL. Orang-orang yang dimaksud seperti Cak Nur, Djohan Effendi, Zainun Kamal, Kautsar Azhari Nur, Sukidi, Komaruddin Hidayat, dst. Kepentingannya pun bukan mewakili NU, Muhammadiyyah, Masyumi, HMI, apalagi PMII, yang mana organisasi-organisasi ini tidak pernah satu dalam ide, apalagi satu kepentingan yang sama. Paling-paling hanya bisa duduk bersama, menggagas satu topik pembahasan (dalam seminar), kemudian selesai. Tidak ada bekas dan tindak lanjutnya sama sekali. Yang jelas kepentingan yang diwakilinya lagi-lagi ideologi liberalismenya itu. Tidak ada lain kecuali ideologi liberalisme, ideologi yang mencita-citakan kehidupan yang bebas, tanpa aturan (nilai) agama, dan kehidupan yang diatur oleh rasionalitas manusia dan konsensus bersama melalui sistem demokrasi liberal (sistem yang
157
selalu menguntungkan kelompok kaya dan punya akses politik yang besar). Jika dirunut lebih jauh bahwa ideologi liberalisme itu masih luas. Ia mencakup liberalisme pemikiran, ekonomi, politik dan sosialbudaya. Keempat aspek inilah yang tercakup dalam ideologi kapitalisme global, ideologi yang tidak hanya mengusung gagasan liberalisme ekonomi atau pasar, namun lebih luas lagi, menyeluruh ke semua aspek kehidupan manusia. Karena apa harus mencakup semua aspek?, karena sistem ekonomi pasar tidak akan bisa besar, kuat dan keluar
sebagai
pemenang
dalam
pertarungan
global
(baca:
komuniasme dan Islam), jika tidak bisa masuk dan mempengaruhi di segala lini kehidupan manusia. Oleh karena semua aspek itu harus dipengaruhi. Dengan kata lain yang sedang diwakili atau diperjuangkan oleh JIL adalah ideologi kapitalisme global, ideologi yang banyak ditentang oleh sebagian aktivis gerakan, ilmuan, akademisi dan politisi. Ideologi yang saat ini menjajah dan menghegemoni semua kebijakan politikekonomi bangsa Indonesia. Kepentingan yang JIL usung adalah kepentingan proyek. Secara logis, jika kepentingan JIL adalah terjadinya perubahan sosial, maka gagasan-gagasan JIL pastilah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti telah diungkap di atas bahwa gagasan JIL itu tidak
158
berangkat dari realitas, atau tidak membumi, karena gagasan JIL itu gagasan “paketan” dari sebuah proyek besar kapitalisme global. Siapa yang dirugikan oleh gagasan-gagasan JIL itu?, rakyat jelata, kaum miskin kota, petani penggarap, nelayan kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan, rakyat yang tidak punya modal (modal ekonomi, modal politik, dan modal sosial), dan akses. Apa hubungannya antara gagasan-gagasan JIL dengan mereka itu? Hubungannya, karena JIL mengusung isu-isu liberalisme, yang ujungujungnya akan memuluskan ideologi kapitalisme global, yang secara rinci mempunyai paket liberalisme ekonomi (pasar), pemikiran, politik dan sosial-budaya. Jika paket-paket itu lolos dan menjadi bagian dari suatu masyarakat, maka merekalah yang akan dirugikan. Merekalah yang akan kalah dalam persaingan global. Karena yang mengatur kehidupan masyarakat bukan lagi negara, tapi pasar dan modal. Negara tidak punya peran yang besar, dan yang lebih menyedihkan lagi, tidak ada jaminan sosial bagi yang kalah dalam kompetisi. Keempat,
tentang
relasi
gagasan-gagasan
JIL
dengan
ke(kuasa)an. Ada dua kuasa yang nyambung dengan gagasan-gagasan JIL itu, yakni kuasa internasional dan pemerintah secara nasional. Relasi kuasa pengetahuan internasional, atau lebih jelasnya adalah rezim kapitalisme global dengan gagasan-gagasan JIL jelas sekali, telah dijelaskan di atas, bahwa yang dibela dan yang diuntungan
159
adalah kapitalisme global, maka hal ini akan menunjukkan bahwa adanya relasi kuasa antara keduanya. Dari sisi gagasan keduanya sama. Cara berpikirnya pun sama. Dari sisi sejarah ide-ide juga sama. Hanya konteknya saja yang berbeda, jika ideologi liberalisme di Eropa digunakan dalam rangka pencerahan dari kegelapan ilmu pengetahuan dan otoritas Gereja, namun ideologi liberalisme JIL di Indonesia dalam rangka hegemoni dan manipulasi kesadaran tentang makna liberalisme dalam pengertian yang lebih luas. Ketika Orde baru, pemerintah Indonesia telah menerapkan konsep pembangunan, di mana konsep ini merupakan konsep turunan dari kapitalisme global. Karena (spirit jihad) agama merupakan ancaman bagi kepentingan kapitalisme, maka agama harus dijinakkan dari dalam, maka muncullah Islam Rasional, Islam Modernis, dan Islam Liberal, model Islam yang pro dan loyal dengan ide-ide pembangunan. Isu-isu yang dimunculkan misalnya, Islam dan pembangunan; Islam dan demokrasi; Islam dan modernisasi, dst. Pada masa pemerintahan Bambang Susilo Yudoyono pun masih kental sekali paham Neo-liberalisme, nama lain dari kapitalisme global. Bisa dilihat dari struktur “Kabinet Indonesia Bersatu” (KIB), adalah mereka yang berideologi Neo-liberalisme, diantaranya, Sri Mulyani Indarwati (menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas), Marie Pangestu (menteri perdagangan),
160
Andung Nitimiharja (menteri perindustrian), Jusuf anwar (menteri keuangan), Purnomo Yusgiantoro (menteri energi dan sumber daya energi), dan Aburizal Bakrie (menko perekonomian). Mereka sangat gandrung dan lebih mengedepankan ekonomi pasar, atau liberalisme ekonomi, demikian analisis Revrisond Baswir.175 Masih dalam analisis Baswir, mereka semua itu adalah pengusung ideologi Neo-liberalisme. Mereka rata-rata pernah bekerja, atau terlibat dalam lembaga-lembaga Neo-liberalisme (seterusnya dibaca: neolib), seperti IMF, World Bank, dan Asia Development Bank. Cengkraman ideologi neolib semakin kuat, karena, di samping masuk melalui agama (Islam liberal, dkk.), neolib masuk lewat perguruan tinggi-perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset kampus, beasiswa luar negeri, lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM),176 sehingga hampir 90 % pola pikir ekonom, dan mahasiswa Indonesia semuanya liberal, menganut paham liberalisme (pro) pasar, lantaran guru dan diktat kulihnya berkiblat pada mazhab liberalisme ekonomi, mazhab yang mempunyai paham bahwa pertumbuhan ekonomi bisa cepat, menciptakan lapangan pekerjaan, bisa menurunkan kemiskinan jika tidak ada intervensi negara, demikian analisis Alexander Irwan, direktur lembaga riset IDEA Yogyakarta.177
175
Revrisond Baswir “Konspirasi Mazhab Ekonomi”, dalam Gatra/no.23/Tahun XI/25/April/2005, hlm. 134-135. Baswir sosok penggagas ekonomi kerakyatan, yang anti-ekonomi pasar. 176 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 101-155. 177 Alexander Irwan, Gatra/no.23/Tahun XI/25/April/2005, hlm.135.
161
Masih dalam analisis Irwan, neolib muncul sejak tergulingnya Sukarno178 dari tampuk kekuasaan, yang kemudian digantikan oleh Suharto.
Suharto,
yang
didukung
Amerika
dan
otoritasnya,
menerapkan konsep pembangunan, yang di dalamnya termasuk liberalisme ekonomi, investasi asing, hutang luar negeri, deregulasi, dan privatisasi BUMN. Pada era Suharto, tim ekonomi pemerintah ditangani oleh orang-orang yang berhaluan neolib, yang lebih dikenal dengan geng “Mafia Berkeley”. Mereka adalah Ali Wardana, Sumitro, Wijojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Radius Prawiro, dan Sumarlin.179 Hal ini tidak jauh dengan apa yang terjadi pada kabinet indonesia bersatu (KIB).180 Hal itu bukan rahasia lagi, tapi telah menjadi rahasia publik, bahkan Rizal Malaranggeng menyebutkan dalam disertasinya, bahwa kelompok-kelompok yang membela episteme liberalisasi dan berperan
178
Sukarno adalah sosok yang sangat anti-liberalisme, anti-hutang luar negeri, dan ekonomi pasar. Sehingga ia tampak sosok yang lebih cenderung ke arah sosialisme. Kemudian di era Suharto diganti dengan kapitalisme. Lihat Gatra, Op.cit, hlm. 138 179 Alexander Irwan, Op.cit. hlm.135 180 Revrisond Baswir, Op.cit, hlm. 134-135. Semangat liberalisasi terus berdentang, ketika MPR membentuk badan pekerjanya untuk mengubah pasal 33 UUD 1945 tentang “cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, yang beranggotakan tujuh orang : Sjahrir, Sri Adiningsih, Didik Rahbini, Sri Mulyani Indrawati, Bambang Sudibyo, Dawam Raharjo, dan Mubyarto. Terjadi perdebatan sengit antara meliberalkan pasal itu dan mempertahankannya seperti semula. Mubyarto, si penggagas ekonomi pancasila itu mengundurkan diri setelah selama 72 hari berdebat, kemudian diikuti oleh Dawam, yang terkenal dengan penggagas ekonomi Islam itu. Mubyarto dan Dawam mempertahankan pasal 33 UUD 1945 itu, sementara Sjahrir, Sri Adiningsih, Sri Mulyani Indrawati pasal itu harus diganti dengan semangat liberalisme-kapitalis. Sementara Didik dan Bambang di posisi mengambang, tidak ada sikap yang jelas, namun keduanya menyadari bahwa kapitalisme, setelah runtuhnya komunisme sejak tahun 1991, ada di semua negara. Lihat dalam Gatra/23/April/2005.hlm. 137
162
dalam liberalisme ekonomi itu adalah Gunawan Muhammad181 (editor Tempo, sekaligus budayawan), Fikri Jufri dari Tempo,
dan Jacob
Oetama dari Kompas, Nono Anwar Makarim (kolomnis), Marie Pangestu, Djisman Simanjuntak, Hadi Susastro (ekonom dan pemimpin lembaga riset pemerintah), Sudrajat Jiwandono (pejabat pemerintah), dan termasuk geng Mafia Berkeley. 182 Dari penerapan konsep developmentalisme, free market, nonintervensionisme, dkk., akibatnya sektor-sektor strategis yang penting bagi kelangsungan negara dan hajat rakyat dikuasai oleh asing dan swasta. Inilah konsekuensi dari konsep pasar bebas dan pembangunan. Di sektor air bersih. Di Indonesia pada akhir tahun 2003, ada 10 PDAM yang telah diprivatisasi (pengelolaan dan kebijakan apa pun dimiliki oleh pihak asing atau swasta). Rencana yang akan diprivatisasi sebanyak 9 PDAM.183 Jika air saja sudah dimiliki oleh perusahaan asing dan swasta, bagaimana para petani untuk mengairi sawahnya yang luas itu; bagaimana masyarakat bisa menikmati air bersih dan hidup sehat sementara harus beli air dengan harga mahal. Di bidang pendidikan pun telah diliberalisasikan. Pendidikan mahal dan yang lebih dipentingkan bagaimana lembaga pendidikan hanya memcetak orang-orang yang siap kerja, tanpa harus melihat sisi
181
Gunawan Muhammad adalah salah satu tokoh pendiri Komunitas Utan Kayu Jakarta Timur, dan Jaringan Islam Liberal-nya Ulil Abshor-Abdalla, dkk. Mengatakan Gunawan Muhammad sebagai agen pengetahuan liberal adalah buka tudingan tanpa alasan. 182 “Perang Pasal Belum Selesai”, dalam Gatra/23/April/2005, hlm. 137 183 P. Raja Siregar, dkk., Politik Air : Penguassan Asing Melalui Utang, WALHI-KAU, Jakarta, 2004, hlm. 108-109.
163
kemanusiaan, agama dan moralnya. Inilah bisnis dalam dunia kapitalisme
pendidikan.
Bidang
yang
paling
penting
adalah
telekomunikasi Indonesia, juga telah dimiliki oleh negara asing, yaitu Singapura. Saat ini apa yang dipunyai oleh Indonesia?. Di samping itu problem pun sosial semakin meningkat dan kompleks, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi, kerusakan alam, polusi, bencana alam, panen gagal, busung lapar, BBM mahal, sampai pada anak putus sekolah, stres, bunuh diri, dan bahkan berani melakukan tindak kriminal. Itulah sekelumit kenyataan sosial Indonesia yang sangat menyedihkan. Hal itu diakibatkan oleh banyak hal, diantaranya oleh ideologi liberalisme yang celaka itu. Di negeri ini, ada beberapa pihak yang harus bertanggungjawab atas persoalan sosial yang ada di Indonesia. Pertama, pemerintah yang menerapkan ideologi liberalisme, baik dalam bentuk liberalisme ekonomi (pasar bebas), maupun liberalisme politik. Kedua, kelompok yang mengusung, mendukung dan bahkan membela ideologi liberalisme tersebut. Kelompok kedua ini mencakup ekonom, intelektual, pemikir, aktivis, politisi, budayawan, kolumnis, peneliti dan agamawan. Kedua kelompok di atas itulah sebenarnya para penjajah di negeri sendiri. Penjajah model baru yang susah untuk dirumuskan dan dilawan. Penjajah bangsa sendiri lebih sulit untuk diperang dari pada
164
bangsa lain. Moga dengan analisis ini akan lebih bisa menjelaskan sebenarnya siapa musuh dan siapa lawan kita? Kalau kita sudah bisa identifikasi musuh-musuh bangsa, maka mudah pulalah kita untuk melawannya.
4.7.
Analisis Gagasan-Gagasan JIL Dalam Perspektif Dakwah Sebelum masuk pada masalah bagaimana teks-teks JIL dalam perspektif dakwah, kiranya perlu menyamakan persepsi tentang ruang lingkup analisis teks-teks (gagasan-gagasan) JIL dalam perspektif dakwah itu. Ruang lingkupnya sebagai berikut : pertama, bagaimana komunikasi JIL melalui media cetak bisa dikatakan sebagai dakwah bil-kitabah?; kedua, bagaimana teks-teks komunikasi JIL bisa dikatakan sebagai teks dakwah?; ketiga, bagaimana penulis teks-teks JIL bisa dikatakan sebagai juru dakwah?; dan keempat, bagaimana ekspresi komunikas teks JIL sebagai pendekatan dakwah?. Untuk
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
itu
perlu
adanya
seperangkat teori dakwah dan komunikasi, yang sebenarnya telah dijelaskan pada bab II, namun di sini tetap diulang kembali secara umum, agar ada kenyambungannya antara teori-teori yang digunakan dengan objek yang dianalisis. Pertama, penyampaian pesan-pesan Islam (komunikasi) melalui media cetak bisa dikatakan sebagai komunikasi islami atau dakwah islamiah, dan surat kabar atau media cetak bisa juga dikatakan sebagai
165
media dakwah. Kedua teori itu berlandaskan pada persamaan pengertian teori komunikasi dan teori dakwah. Menurut Wardi Bachtiar,184dakwah adalah proses penyampaian pesan dengan tujuan mengubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain, yang lebih baik, dan sesuai dengan ajaran Islam. Proses tersebut melibatkan unsur-unsur dakwah yaitu dai, mad’u, maaddah, thoriqoh, dan alat dakwah. Sedangkan komunikasi menurut Wijaya, adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain, dimana proses itu terdiri dari komunikator, komunikan, pesan media dan efek.185 Atas dasar dua pengertian itulah, komunikasi dapat disamakan dengan dakwah, atau menggunakan istilah komunikasi islami,186 hanya saja ada perbedaan materi dan tujuannya. Kalau komunikasi tujuan dan materinya masih (berguna untuk) umum,187 bisa untuk positif dan negatif, sedangkan materi dan tujuan dakwah bersifat khusus, yaitu untuk amar ma’ruf nahi mungkar. 188 Atas dasar itu pulalah, komunikasi melalui media cetak atau surat kabar dapat dinamakan dengan dakwah islamiah melalui media cetak atau dakwah bil-kitabah. Disamping itu memang media massa cetak bisa digunakan untuk berdakwah.189 Kedua, teks-teks (materi komunikasi) yang disampaikan oleh media cetak bisa dikatakan pesan-pesan islami (dakwah) jika memenuhi
184
Wardi Bachtiar, Op.cit, hlm. 31 Widjaya, Op.cit, hlm. 39 186 Toto Tasmara, Op.cit, hlm. 39 187 Onong Uchyana, Op.cit, hlm. 23 188 Toto Tasmara, Loc.cit, 189 Siti Solikhati, Op.cit, hlm. 16 185
166
beberapa syarat, yaitu syarat normatif dan universal. Secara normatif, materi dakwah mencakup pesan yang ada di dalam kitab suci alqur’an, alhadits, pemikiran para ulama-ulama salaf yang dalam kitab-kitab klasik, yang terpilah dalam pembagian materi aqidah, syariah, dan akhlak.190 Syarat universal ini materi dakwah mencakup ilmu pengetahuan umum, pemikiran manusia, pengamalan manusia, etika masyarakat, budaya lokal, dan apapun yang bernuansa islami.191 Telah dijelaskan bahwa perbedaan komunikasi dan dakwah itu terletak pada materi dan tujuan kedua proses tersebut. Bisa dilihat apakah materi dan tujuannya untuk kebaikan atau sebaliknya, atau konspirasi kejahatan. Jika untuk kebaikan, itulah materi dakwah yang sebenarnya.192 Bisa disimpulkan bahwa pesan komunikasi secara umum bisa dikatakan sebagai pesan dakwah, selama masih sesuai dengan kerangka pikir dan nilai-nilai Islam.193 Ketiga, orang yang menyampaikan teks-teks keislaman melalui media cetak adalah penulis muslim atau juru dakwah lewat tulisan. Asumsi ini atas dasar bahwa penulis islami adalah penulis yang dalam aktivitasnya senantiasa memadukan prinsip-prinsip profesionalisme kejurnalistikan dan selalu berdasarkan pada prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar, prinsip yang menyerukan kepada kebaikan dan meninggalkan kenistaan. Penulis
190
Muhammad Daud Ali. Pendidikan Agama Islam. PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta. 2002. Cet. IV. hlm. 133-5 191 Wardi Bachtiar. Op.cit. hlm. 33-34, 39. 192 Toto Tasmara. Op.cit. hlm. 39 dan Onong Uchjana E. Op.cit. hlm 23. 193 Toto Tasmara. Op.cit. hlm. 43.
167
muslim adalah penulis yang selalu mengabarkan kebenaran Islam dan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.194 Penulis islami adalah penulis yang memperjuangkan nilai-nilai Islam. Proses jurnalistik islami adalah proses pemberitaan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan ajaran Islam. Jurnalistik islami tidak lain adalah metode dakwah islamiah itu sendiri, karena mempunyai misi amar ma’ruf nahi munkar. 195 Penulis muslim senantiasa menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan yang tidak islami (pornografi), menjauhkan promosi kemaksiatan,
menghindari
adanya
fitnah,
pemutarbalikkan
fakta,
mendukung kemungkaran dan kezaliman. Penulis islami harus mampu mempengaruhi khalayak agar mengikuti dan berperilaku sesuai dengan norma-norma Islam dan menawarkan solusi atas persoalan ummat.196 Setidaknya ada lima peran penulis islami,197 yaitu, pertama, sebagai
Pendidik
(muaddib).
Kedua,
sebagai
Pelurus
Informasi
(musaddid). Ketiga, sebagai Pembaharu (mujaddid). Keempat, sebagai pemersatu (muwahid). Kelima, sebagai Pejuang (mujahid). Keempat, ekspresi komunikas teks-teks JIL bisa dikatakan sebagi pendekatan
dalam
dakwah.
Asumsi
ini
berdasarkan
pada
teori
strukturalisme,198 manusia bukanlah suatu yang murni dan berdiri sendiri, manusia telah dicemari oleh limbah lingkungan sosialnya. Ia selalu 194
Ibid. hlm. 78 Asep Samsu Romli. Op.cit. hlm.198 196 Sutirman Eka Ardhana. Op.cit. hlm. 80 197 Asep Romli. Op.cit hlm. 88-89 198 Rizal Muntasyir. Filsafat Analitik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001. hlm. 89 195
168
dipengaruhi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Ketidakmurnian manusia diakibatkan oleh proses komunikasi yang saling mempengaruhi. Proses saling mempengaruhi inilah yang dinamakan pendekatan persuasif. Proses interaksi sosial secara tidak langsung juga merupakan pendekatan persuasif. Menurut Toto Jumantoro,199 interaksi sosial merupakan sebuah bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dimana tingkah laku individu satu mempengaruhi, mengubah, memperbaiki tingkah laku individu yang lain. Dalam dakwah dikenal pendekatan personal approach atau pendekatan persuasif. Dalam pendekatan inilah terjadi proses saling mempengaruhi antara da’i dan mad’u. Persuasif diartikan membujuk dengan cara halus, agar yang diajak menjadi yakin dengan cara memberikan alasan dan prospek yang meyakinkan.200 Lebih luas lagi, persuasif digunakan untuk tujuan mengubah pola pikir, sikap dan tingkah laku baik dengan tulisan maupun lisan.201 Dengan demikian pendekatan persuasif dapat dikatakan dengan pendekatan dakwah, yang mana dakwah dilakukan melalui tulisan di media massa maupun secara lisan seperti pidato atau ceramah. Persuasif diartikan sebagai penyampaian informasi yang sesuai dengan situasi psikologis dan sosiologis serta kebudayaan komunikan,
199
Toto Jumantoro. Komunikasi Dakwah dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani. Amzah. Jakarta. 2001. hlm. 84 200 Tim Penyususn Kamus Binaan dan Pengmbangan Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Bina Aksara. Jakarta. 1997. hlm. 760 201 Totok Jumantoro. Op.cit. hlm. 149
169
guna untuk mempengaruhi dan tercapainya tujuan komunikator dari pesan yang disampaikannya itu. 202 Selain pendekatan persuasif ada pendekatan kursif, provokatif, dan agitatif. Ketiga pendekatan ini tidak dikenal dalam dakwah Islam, karena pendekatan itu akan menyebabkan pandangan negatif terhadap Islam itu sendiri. Dakwah islam tidak boleh dengan memaksa, dan dengan hujatanhujatan kasar, apalagi dengan bahasa-bahasa yang mengundang amarah masyarakat. Kaitannya dengan pendekatan dakwah persuasif, ada pendekatan tabsyir (memberikan kabar gembira akan kesuksesan dunia dan mendapat pahala di akhirat) dan tanzir (peringatan akan balasan dunia dan siksa neraka), dua pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang sangat efektif dalam berdakwah. Pendekatan ini sangat penting digunakan bagi masyarakat yang rendah pendidikannya, pemahaman keagamaan yang masih lemah, karena mereka perlu diberi motivasi dan harapan dalam beragama dan hidup; di samping itu karena masyarakat saat ini telah memasuki zaman pasca modern, yang tentunya menghadapi persoalan hidup yang begitu kompleks.203 Jika dikaitkan dengan teks-teks Kajian Utan Kayu Jawa Pos (gagasan-gagasan JIL di Harian Umum Jawa Pos), maka menjadi : Pertama, dari sisi media penyampai gagasan atau teks, maka Jawa Pos merupakan media dakwah, walaupun Jawa Pos bukan media yang 202 203
Ibid. Munzir Suparta. Op.cit. hlm. 263
170
berideologi islam,204 atau tidak digunakan untuk berdakwah secara khusus, namun setidaknya Jawa Pos memberitakan informasi yang santun, obyektif dan tidak menebar fitnah,205 dan menyampaikan pesan-pesan moral, etika agama secara implisit dan universal.206 Persamaan persepsi tentang teori di atas akan berimplikasi pada konsep-konsep selanjutnya, yakni pesan komunikasi (teks) merupakan pesan dakwah, komunikator merupakan juru dakwah dan ekspresi komunikasi sebagai pendekatan dakwah. Kedua, bahwa pesan-pesan teks Kajian Utan Kayu Jawa Pos (selanjutnya ditulis KUK-JP) merupakan pesan-pesan dakwah islamiah. Pada bagian analisis “makna teks” telah peneliti jelaskan bahwa gagasangagasan atau ide-ide JIL yang ada pada teks KUK-JP terdiri dari konsep tentang Islam dan Demokrasi, Islam dan Sekularisme, Islam dan pluralisme agama, Islam dan HAM, Islam dan modernisasi, Islam dan toleransi, Islam dan nikah beda agama. Gagasan-gagasan itu diambil dari hasil analisis teks KUK-JP. Hal itu berarti bahwa gagasan-gagasan JIL adalah pesan-pesan dakwah, karena di muka telah dijelaskan bahwa Jawa Pos, dengan rubriknya KUK-JP, merupakan media dakwah yang memuat materi-materi keislaman, atau materi dakwah, walaupun tentunya ada banyak kekurangan dan perdebatan di sana-sini.
204
Bambang Sadono, Op.cit.hlm. 46 Andi Abdul Muis, Op.cit, hlm. 188 206 Jalaludin Rachmat, Op.cit, hlm. 54 205
171
Secara umum, materi dakwah JIL bisa diklasifikasi menjadi empat pemikiran besar, yaitu gagasan pluralisme agama, modernisasi, demokrasi, dan kebebasan berekspresi.207 Secara khusus, bisa dilihat dalam situs JIL,208 di sana ditulis hal-hal yang diperjuangkan JIL, yaitu pembaharuan hukum islam (ijtihad), mengedepan semangat relegio-etika al-Qur’an, pluralisme, relativisme, inklusivisme, membela yang minoritas yang tertindas, kebebasan beragama, sekularisme, demokrasi dan liberalisme.209 Zuly Qodir menyempitkan lagi bahwa gagasan-gagasan JIL itu menjadi gagasan yang menyangkut masalah Islam dan negara, yang di dalamnya terdapat hubungan Islam dan politik, kebebasan politik warga negara, kebebasan beragama, dan kebebasan berekspresi.210 Melihat materi dakwah atau gagasan JIL tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa JIL sedang melakukan dakwah islamiah, meskipun berbeda dengan materi dakwah yang selama ini didakwahkan oleh para ustadz atau kyai di desa yang cenderung normatif-eskatalogis, atau pun di kota-kota
207
besar
yang
terkenal
dengan
spritualitas-relegius
yang
Muhsin Jamil mengklasifikasi menjadi lima tema besar, yaitu menolak syariat islam, demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme agama, dan kebebasan berekspresi. Lihat Muhsin Jamil, Op.cit, hlm. 144-154. 208 http://www.islamlib.com. Atau lihat A Short Profile Jaringan Islam Liberal. 209 M. Syamsi Ali memetakan pemikiran Islam Liberal diantaranya, pertama, megedepan penafsiran non-literal; kedua, JIL membedakan makna atau nilai dasar islam dengan kreasi budaya islam lokal; ketiga, universalisme manusia; keempat, sekularisme; kelima, keteladanan rasulullah; keenam, wahyu dan pemikiran; ketujuh, islam dan keadilan; dan kedelapan, keberagaman. Lihat Syamsi Ali, “Membedah Pemikiran Islam Liberal Versi Ulil dan JIL”, dalam Adian Husaini, dkk., Op.cit, hlm. 7-30 210 Zuly Qodir, Op.cit, hlm. 153
172
dikedepankan,
sementara
JIL
berdakwah
dengan
mengedepankan
rasionalitas dan intelektualitas. Relevansi materi dakwah JIL jika dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini masih cukup relevan, sebagaimana menurut Zuly Qodir,211 bahwa tujuan JIL adalah terciptanya masyarakat muslim yang modern, maju, dinamis dan toleran. Melihat visi JIL seperti di satu sisi, di sisi yang lain kondisi bangsa yang carut marut dengan konflik dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal inilah yang mempertemukan relevansitas gagasan dengan realitas. Namun JIL melupakan sisi bangsa Indonesia yang lain, bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang dijajah oleh bangsa asing, dan bahkan oleh bangsa sendiri. Cita dan fakta terkadang tidak berjalan beriringan dan setia sekata. Pada kenyataannya gagasan JIL benyak mendapat tanggapan miring dari masyarakat.212 Hal ini menunjukkan bahwa JIL bukan sedang berdakwah, tapi terkesan menebar fitnah di mana-mana. Hal di atas terjadi karena ada beberapa faktor, pertama, materi dakwah atau gagasan JIL ada kekurangannya. Kedua, materi yang ditawarkannya tidak semua kalangan bisa memahaminya. Gagasan itu pastilah diperuntukkan untuk kalangan intelektual, akademisi, politisi, birokarat, aktivis, yang secara keilmuan sudah mapan, seperti penguasaan 211
Ibid, hlm. 139-140 Ulil sebagai koordinator JIL mendapatkan “fatwa mati” dan halal darahnya oleh Forum Ulama Islam Indonesia (FUII) dan baru-baru ini JIL mendapat “fatwa sesat” dan tidak boleh diikuti, dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) karena mendakwahkan gagasan liberalisme, sekularisme dan pluralisme agama. Sukidi, sebagai aktivis JIL, sempat diadukan oleh MMI ke pihak polisi karena dianggap telah memanipulasi ajaran Islam. Sebelumnya juga iklan Islam Warna-Warni sempat disomasi oleh MMI dengan alasan yang sama. 212
173
ilmu-ilmu sosial, filsafat, kalam, politik, ekonomi dan ilmu-ilmu agama yang rumit itu. Sementara kalau melihat kondisi masyarakat awam, saat ini, masih jauh dari cakap dalam penguasaan ilmu-ilmu tersebut. Ketiga, materi dakwah JIL tidak tepat sasaran, tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Gagasan JIL hanya melayani politisi, akademisi, aktivis, dan intelektual. Dari alasan seperti itu bahwa gagasan JIL itu bisa dikatakan sangat elitis dan melangit, artinya materi dakwah JIL sengaja ditujukan kepada kelompok elit tertentu, elit politik, dan elit intelektual. Pada saat yang sama JIL bisa juga dikatakan kelompok yang elitis, dan eksklusif, tertutup, karena tidak terbuka untuk masyarakat umum. Seharusnya JIL menjadi “milik rakyat”, harus menjadi gerakan kerakyatan, ide-ide pembebasan terhadap kepentingan rakyat jelata, bukan kepentingan elit politik kekuasaan, jika JIL ingin dibela oleh rakyat. Anggapan bahwa JIL kelompok elit, agen dan “selundupan” inilah yang selalu menimbulkan kecurigaan dan konflik dalam masyarakat. Gagasan JIL itu sesungguhnya tema-tema diskusi kelompok elit, elit politik, bukan untuk orang awam. Sebenarnya JIL paham dan mengerti bahwa masyarakat awam tidak butuh wacana-wacana yang ditawarkannya, dan sadar bahwa wacana-wacana itu bukan untuk masyarakat awam, dengan alasan bahwa strategi yang gunakan sangat sulit untuk dijangkau oleh masyarakat umum, sangat terbatas, elitis, mahal, dan “intelek”. Kalau masyarakat tidak butuh dan bahkan tidak ditujukan untuk masyarakat, lalu untuk siapa?, dan untuk kepentingan apa? Kalau bukan untuk kepentingan
174
politik-pragmatis, untuk apa lagi! Kalau tidak demikian, JIL harus “membumikan” wacana-wacana tersebut dan menjadikannya menjadi masalah atau wacana milik bersama, serta diperjuangkan secara bersama pula. Kelemahan dan kekurangan gagasan JIL itu karena bahasa yang digunakan tidak merakyat, susah dipahami dan menggunakan media yang sangat terbatas, tidak sampai ke pelosok desa, sulit dijangkau oleh mereka yang ekonomi lemah, susah diakses bagi yang berpendidikan minim, apalagi harus membaca koran dan mengakses internet, ikut seminar, diskusi, lokakarya, baca buku yang cenderung berat dan serius itu. Kaitannya dengan materi dakwah, gagasan-gagasan JIL tersebut terlalu politis dan pragmatis, karena materi-materi dakwahnya semuanya berkaitan dengan tema-tema politik, misalnya demokrasi, sekularisme, pluralisme,
substansialisme,
inklusivisme,
toleransi,
liberalisme
(pemikiran, ekonomi, undang-undang, politik dan budaya), kebebasan berekspresi, dan berpendapat. Dari materi-materi itu terlihat kesan bahwa JIL terlalu politis dan oportunis. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Cak Nur dengan neo-modernismenya.213 Pada bagian analisis ini saya akan mengatakan bahwa JIL tidak lain adalah agen penyebar ide-ide liberalisme, lewat proyek-proyek yang dilaksanakannya itu.214 “Dakwah” JIL tidak lebih dari pemenuhan tuntutan
213
Lihat hasil penelitian Nurkholik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Galang Press, Yogyakarta, 2002. 214 Ulil sendiri yang mengakui bahwa JIL mendapat bantuan dana dari lembaga donor internasional, yakni The Ford Fondation dan The Asia Fondation, yang mana kedua lembaga ini
175
lembaga donor luar negeri itu, bukan untuk perubahan sosial yang mengarah pada hal positif, justru menindas secara halus, sistemik dan hegemoni.215 Tanpa disadari dan tanpa merasa ditindas, tanpa rasa dipaksa atau disakiti. Dalam bahasa Marx, itulah yang dinamakan kesadaran
palsu.
Inilah
kerja-kerja
“wacana”
yang
dengan ideologis,
mempengaruhi tanpa disadari. Oleh karena itu JIL adalah “penindas” dalam tataran wacana, melakukan “kekerasan wacana” dan memanipulasi kesadaran rakyat di bumi pertiwi ini. Dengan kata lain JIL sedang “menjajah” bangsa sendiri. Oleh karena itu bagaimana sikap bangsa Indonesia, yang katanya sudah merdeka, namun saat ini sedang dijajah oleh bangsa sendiri?. Haruskan kita melakukan sesuatu untuk melawan “penjajah” itu, yang mana mereka adalah bangsa kita sendiri? JIL tidak akan bisa melakukan transformasi sosial, merubah rakyat miskin menjadi kaya, tidak adil menjadi adil, membela minoritas tertindas, kerusakan lingkungan, bencana alam, pasar bebas, pemilik modal, dan pemerintah (birokrasi) yang menindas, karena gagasan-gagasan JIL merupakan pesanan dari lembaga donatur luar negeri dan menggunakan paradigma liberal, serta JIL pro dengan globalisasi atau liberalisme. Jika JIL ingin melakukan perubahan sosial maka JIL seharusnya independen dari
ketergantungannya
dengan
lembaga
internasional
itu
dan
dibawah pengaruh Amerika Serikat. Pengakuan itu ia sampaikan pada saat seminar di Surabaya, lihat makalah seminar yang ditulis oleh KH. Abdul Hamid Baidowi, Bahaya Islam Liberal, diterbitkan oleh Dewan Murid Bidang Kultum Madrasah Ghazaliyyah Syafi’iyyah Sarang Rembang, Jateng, Jum’at, 22 Agustus 2003. dan diakui oleh Luthfi Assyaukanie dalam buku yang disuntingnya itu, Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002). 215 Lihat dalam analisis arkeologi dan genealogi pada bagian terdahulu.
176
menggunakan paradiga kritis (isme). Penggunaan paradigma liberal justru akan melegalkan penindasan. Inilah yang dinamakan oleh Gramsci sebagai hegemoni. Paradigma kanan untuk melakukan pembelaan kaum tertindas, jelas-jelas tidak akan menemukan hasilnya, justru akan melanggengkan penindasan. Dari analisis gagasan-gagasan JIL di atas, rasanya sulit untuk mengatakan bahwa JIL sedang berdakwah, melainkan sedang mencari keuntungan dari proyek liberalisme, karena gagasan-gagasan yang disampaikannya itu tidak sesuai dengan cita-cita JIL, kebutuhan masyarakat paling mendasar dan merupakan tuntutan proyek liberalisme yang sedang menancapkan pengaruh ideologi liberalisme dan kapitalisme global di tanah air kita, Indonesia. Jika kesimpulan dari analisis di atas adalah demikian, JIL tidak sedang berdakwah, maka selanjutnya sulit untuk mengatakan bahwa para penulis JIL dikatakan sebagai seorang juru dakwah atau da’i. Namun demikian proses analisis nanti sangat penting dalam mengambil kesimpulan yang benar dan absah. Ketiga, apakah para penulis JIL merupakan juru dakwah. Jika disepakati bahwa proses komunikasi JIL melalui Jawa Pos merupakan proses dakwah islamiah, yang menyampaikan pesan-pesan dakwah, maka para penulis dalam rubrik Kajian Utan Kayu pun merupakan juru dakwah (seorang da’i). Namun demikian, dalam Islam telah digariskan bagaimana seorang da’i yang ideal dalam membimbing umat Islam.
177
Ada istilah “penulis islami”, atau “penulis muslim”. Kedua istilah ini bisa disamakan dengan “juru dakwah” atau “da’i”. Penulis islami selalu memadukan profesionalisme jurnalistik dan mendasarkan pada prinsip-prinsip amar ma’ruf-nahi mungkar. Penulis Muslim selalu mengabarkan kebenaran Islam dan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Juru dakwah selalu menghindari gambar-gambar porno, tidak menebar fitnah, dan memutar balikkan fakta,
tidak berbohong, tidak menebar
gosip, mendukung kemaksiatan dan kezaliman. Beberap teori di atas dapat dikaitkan dengan kenyataan sesungguhnya dari apa yang dilakukan oleh JIL dan tangggapan masyarakat. Secara sekilas, benar jika JIL dikatakan bahwa JIL sedang berdakwah, karena menyampaikan materi-materi dakwah, namun jauh dari konsep yang ideal tentang dakwah islamiah itu sendiri. Bisa dibaca tulisan Assyaukani, yang menghalalkan kemaksiatan, menebar kebencian antarkelompok dalam Islam, dan mengaburkan fakta atau keyakinan umat.216 Demikian juga apa yang ditulis oleh Ulil di Kompas, 18 November 2002, tentang “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Seharusnya seorang penulis muslim itu, walaupun liberal sekali pun, mengindahkan etika, tradisi dan keyakinan objek dakwahnya, karena da’i yang ideal itu adalah dai yang bisa mendidik ummatnya, pelurus informasi, pembaharu yang baik, pemersatu ummat, sekaligus sebagai pejuang keadilan dan pembela Islam. Jika dilihat bahwa yang terjadi justru
216
Baca Luthfi Assyaukanie, “Islam, Turisme dan Rekonsiliasi”, Jawa Pos/16/01/205
178
JIL memecah persatuan umat Islam, memancing emosi umat Islam dan bahkan menebar kebencian antar-umat.217 Dari kenyataan seperti itu, sulit untuk mengatakan bahwa JIL sedang berdakwah, atau penulisnya merupakan seorang juru dakwah. Hal ini dikarenakan pola pikir umat beragam, sehingga ada yang pro dan kontra. Keempat, ekspresi komunikasi islami teks KUK-JP bisa dikatakan sebagai pendekatan dakwah, dengan tujuan agar dakwah bisa diterima oleh khalayak. Atas dasar itu ekspresi komunikasi teks KUK-JP merupakan pendekatan dakwah yang digunakan oleh JIL, atau strategi wacana yang digunakannya. Di atas telah peneliti jelaskan ekspresi komunikasi KUK-JP yang dilakukan atau diterapkan oleh JIL. Ada ekspresi komunikasi persuasif, provokatif, agitatif, kritis, apologis, justivikasi, dan seterusnya, hanya saja dalam bagian ini akan dipilah kembali mana yang termasuk dalam kategori pendekatan dakwah dan mana yang tidak (komunikasi biasa). Menurut Toto Jumantoro, bahwa pendekatan persuasif merupakan pendekatan dalam berdakwah.218 Pendekatan provikatif, agitatif, apalagi kursif bukanlah pendekatan dakwah. Hal itu tidak dikenal dalam Islam. Ajaran Islam tidak mengenal paksaan, fitnah, permusuhan, hasutan dan hal-hal yang sifatnya merugikan orang lain.
217
Hal ini bisa dilihat dalam kasus tulisan Ulil di Kompas, 18 November 2002, dan tulisan Assyaukanie di Jawa Pos, 16 Januari 2005, banyak mendapatkan tanggapan di media massa. Dalam kasus ini Ulil halalkan darahnya dan Assyaukanie dicap sebagai kafir. 218 Toto Jumantoro, Op.cit, hlm. 78
179
Pendekatan persuasif setidaknya bisa mempermudah upaya untuk mengajak, dan mempengaruhi sesorang, ketimbang pendekatan yang lain. Pendekatan ini juga tampak dalam teks Ulil, ketika ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan pendapat para sahabat dan ulama. Pendekatan provokatif dan kritis sebenarnya bisa digunakan dalam pendekatan dakwah, asalkan dengan maksud untuk kebaikan umat. Misalnya untuk memprovokasi kesadaran masyarakat yang selama ini telah terjebak dalam ketidaktahuan dan kebodohan. Tanpa provokasi, masyarakat tidak akan sadar, maka hal itu diperbolehkan, atau bahkan diwajibkan. Pendekatan kritis juga juga bisa digunakan dalam pendekatan dakwah, misalnya untuk mengkritisi ketidakadilan pemerintah terhadap umat Islam atau terhadap umat yang lain. Pemerintah tidak akan berubah selama rakyatnya tidak kritis. Lihat saja kasus pelengseran Suharto. Para mahasiswa sebenarnya, saat itu, sedang melakukan dakwah dengan pendekatan kritis. Memang kedua pendekatan tersebut rentan konflik dan tindakan anarkhisme, akan tetapi di saat-saat tertentu dibutuhkan juga. Kaitannya dengan pendekatan dakwah yang ada pada teks KUKJP, dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang digunakan JIL adalah pendekatan persuasif, namun pendekatan yang lain (provokatif dan liberatif) dalam konteks dakwahnya tidak relevan. Pendekatan kritis JIL tidak pada tempatnya, apalagi pendekatan provokatif. Kedua pendekatan terakhir ini cenderung menimbulkan perdebatan dan konflik, digunakan
180
secara tidak proporsional dan profesional. Oleh karena itu pendekatanpendekatan yang dilakukan JIL semestinya dievalusi kembali, agar dakwahnya tepat sasaran dan tidak menuai hujatan. Dengan kata lain bahwa pendekatan komunikasi JIL tidak efektif dan tidak berhasil mempengaruhi masyarakat secara umum, justru mengundang banyaknya kecaman dan tindakan anarkhis. Di satu sisi memang materi dakwah tidak hanya bersifat informatif, persuasif dan kreatif, namun terkadang dengan sikap dan ungkapan yang kritis dan provokatif. Pendekatan kritis bertujuan agar terciptanya keadilan dan perubahan sosial. Namun mengkritik ada seni dan caranya. Walaupun niatnya baik, ingin membetulkan yang salah, mewujudkan perubahan sosial, keadilan sosial, tapi karena caranya yang salah, fatal pula akibatnya. Mengkritik dengan mencaci maki, memojokkan di muka umum, atau di media massa, bukan lagi nasehat, melainkan laknat, penghinaan, dan menebar permusuhan. Oleh karena itu, dalam penyampaikan dakwah dengan pendekatan kritis harus hati-hati, karena pola pikir dan keyakinan seseoang itu tidak sama. Dalam teks KUK-JP pendekatan kritis dan provokatif terjadi di sana-sini, baik secara halus maupun secara terang-terangan. Pendekatan ini kenyataannya menimbulkan hujatan dan konflik serta tindakan merusak. Hal ini justru tidak menciptakan ruang dialog yang sehat, melainkan kebencian dan permusuhan. Apakah ini yang dinamakan dakwah?.
181
Pendekatan kritis dalam pengertian melawan struktur politik kekuasaan yang menindas pun tidak pernah dilakukan JIL, yang dilakukan JIL hanya kritis terhadap kebekuan nalar keagamaan tertentu. JIL tidak mengkritik kesalahan-kesalahan pemerintah saat ini, apalagi sampai mengkritik ketimpangan praktek-praktek kapitalisme global. Oleh karena itu JIL sebenarnya bukan kritis, melainkan meliberalisasikan nalar keagamaan saja. JIL telah salah kaprah menggunakan paradigma kritis itu. Penguasaan materi secara komprehensip adalah tuntutan dalam dakwah. Jika hal ini tidak dipenuhi, pastilah dakwahnya memunculkan pro dan kontra. Penguasaan materi yang dangkal, tidak dibarengi dengan perangkat metode yang jelas, dan argumentasi yang minim, akan berakibat fatal, akan menimbulkan sikap ketidakpercayaan, sikap apatisme dan skeptisisme. Hal ini sering terjadi dalam teks-teks JIL pada rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos. Hal ini mungkin bisa dipahami karena teks-teks Kajian Utan Kayu Jawa Pos itu sifatnya artikel, yang jauh dari kata “lengkap”, dan bukan buku yang ditulis lengkap dalam satu pembahasan. Kedepan, JIL sebaiknya menyampaikan gagasanya secara lengkap dan utuh dalam sebuah buku, bukan buku editorial, apalagi artikel di media massa. Ini adalah jalan keluar terbaik dari perdebatan yang selama ini terjadi. Dari sekian banyak ekspresi JIL dalam teks-teks KUK-JP dapat diklasifikasikan menjadi pendekatan dakwah. Pertama, pendekatan persuasif. Pendekatan ini layak untuk dijadikan pendekatan dakwah,
182
karena sifatnya yang santun, halus dan simpatik. Kedua, pendekatan kritis dan provokatif. Pendekatan ini bisa dijadikan pendekatan dakwah asalkan sesuai dengan aturan dan menggunakan strategi dan dengan niat yang baik. Pendekatan ini harus profesional dan proporsional, harus mengerti situasi dan kondisi, latar belakang, status sosial dan lain-lain. Pendekatan agitatif, vulgar, apologis, sensasional, selebritis bukanlah pendekatan dakwah islamiah. Hal-hal ini tidaklah menciptakan perubahan sosial, melainkan menuai hujatan dan kebencian, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Kaitannya dengan pendekatan dakwah dalam al-qur’an, atau pendekatan yang paling sesuai dalam Islam, JIL menggunakan pendekatan dakwah persuasif. Pada saat tertentu JIL juga menggunakan pendekatan kritis dan provokatif. Sayangnya pendekatan ini sedikit sekali digunakan JIL, dan yang lebih banyak porsinya justru pendekatan liberatif dan agitatif dan vulgar. Jika ditinjau dari perspektif komunikasi dan dakwah, hal itulah yang menyebabkan dakwah JIL tidak efektif, dan justru mendapat tanggapan miring dari publik. Selain pendekatan dakwah persuasif, ada pendekatan lain dalam Islam, yaitu pendekatan tabsyir, pendekatan dengan memberikan kabar gembira, sukses bagi yang bekerja keras dan berbuat baik, serta mendapat pahala besok di akhirat; dan pendekatan tanzir, pendekatan dengan cara
183
memberikan peringatan akan siksa dunia dan akhirat bagi yang berbuat jahat. Dua pendekatan di atas sangat kurang atau tidak digunakan JIL sama sekali. JIL lebih banyak menggunakan pendekatan liberatif dan provikatif. JIL tidak mempertimbangkan pendekatan-pendekatan yang lebih santun dan bisa dipertanggungjawabkan, sehingga dakwah JIL tidak efektif dan selalu mendapatkan tentangan dari masyarakat.