72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab IV ini, hasil penelitian dijelaskan secara terpisah dengan pembahasan. Dengan kata lain, antara hasil penelitian dan pembahasan tidak dijelaskan pada bagian yang sama atau dibuatkan sub bab sendiri. Oleh karena itu pembahasan hasil penelitian tidak diselipkan di tengah uraian dan pendeskripsian hasil penelitian, sehingga fakta dan temuan penilitian tertentu akan dikaitkan kemudian dengan konsep dan teori terkait.
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian 4.1.1 Profil Aston at Kuningan Suites Aston at Kuningan Suites merupakan boutique hotel dengan konsep serviced apartment yang anggun dengan kepribadian menarik dan berkomitmen untuk memberikan keramahan dengan sentuhan pribadi sekaligus menawarkan berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan wisatawan bisnis yang tinggal sementara serta penghuni yang tinggal untuk waktu yang lama. Terletak sangat strategis di kawasan segitiga emas Jakarta, yaitu di Jl. Setiabudi Utara, Kuningan, dan diapit dua jalan utama Jakarta, Jl. Jend Sudirman dan Jl. HR Rasuna Said. Hotel ini terletak di salah satu lokasi yang paling diidamkan di Jakarta yang disebut
"Golden Triangle" atau segi tiga emas serta menampilkan
pemenang penghargaan restoran Mediterania dan wine bar “PASTIS KITCHEN
73
& BAR”. Berbagai perusahaan multinational, kedutaan besar, hingga mall kelas atas di Jakarta mudah dijangkau, sementara hotel berada di lingkungan yang tenang dan bebas dari kemacetan lalu lintas kota Jakarta. Memiliki 98 unit kamar yang terdiri dari unit satu kamar, dua kamar, tiga kamar dan penthouse, semua unit dapat disewa untuk harian, mingguan, bulanan dan tahunan dan memiliki fasilitas antara lain restoran Pastis Kitchen & Bar, 2 meeting room, rooftop swimming pool dengan 360 degree city view, whirlpool, fitness centre, internet, laundry dan dry cleaning, maintenance, 24 jam in house housekeeping, airport transportation, car parking termasuk valet parking, serta wine shop yang menyediakan 130 jenis wine dari Italy, Perancis, Australia, South Africa, dan masih banyak lagi
4.1.2 Struktur Organisasi
Bagan 3. Struktur Organisasi
74
4.1.3 Logo Aston at Kuningan Suites
4.1.4 Profil Restoran Pastis Kitchen & Bar Setiap hotel berbintang umunya memiliki satu atau lebih restoran yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat dimana tamu sarapan di pagi hari namun juga dirancang sedemikian rupa sehingga namanya tidak kalah besar dari nama hotelnya. Bahkan di beberapa tempat, restoran memiliki daya tarik sendiri untuk menarik minat pengunjung agar datang dan menginap di hotel. Sama halnya dengan restoran-restoran tersebut, Aston at Kuningan Suites sendiri memiliki restoran yang menjadi keunggulannya. Tidak hanya hotel, Pastis juga memiliki pengunjung setia sendiri dan tak jarang memberikan revenue ke perusahaan lebih besar jika hampir setiap hari diadakan acara di restoran ini. Pastis Kitchen & Bar adalah pemenang penghargaan restoran Mediterania yang menawarkan berbagai masakan Mediterania dalam setting yang klasik dan homey untuk dapat memuaskan tamu dengan masakan Italia yang segar dan inovatif, yang dikombinasikan dengan cita rasa Mediterania lainnya. Menu-menu yang disajikan terdiri dari home-made pasta, daging import terbaik yang berasal dari Amerika dan Australia, serta beberapa pilihan
75
makanan Asia, dengan menu favorit seperti Nasi Goreng Ijo dan Fried Squid with Garlic, Chili and Salt. Interior Pastis Kitchen & Bar yang bergaya kolonial dengan sentuhan modern ini, terasa begitu luas dan nyaman pada saat yang bersamaan. Memiliki empat bagian yang berbeda, Pastis Kitchen & Bar terdiri dari Lounge yaitu bagian depan restoran dengan sofa-sofa lembut dan nyaman serta chandelier yang menampilkan klasik, memberikan privasi serta kenyamanan, Dining Area dengan meja besar ditengah ruangan dan serta dekorasi dapur yang unik dan menarik, Bar yang terdiri dari meja bar panjang dan mempunyai beragam jenis minuman alcoholic maupun non-alcoholic, dan area Backyard, yaitu alfresco lounge atau outdoor lounge dengan sofa-sofa empuk dan mengahadirkan suasana yang santai. Pastis menangkap perhatian pelanggan dengan elemen-elemen besar seperti, meja kayu panjang yang berdiri kokoh di tengah dining area, kaca-kaca menjulang yang mengelilingi seluruh bagian restoran yang dilengkapi dekorasi pernak-pernik dapur Amerika, serta menghadirkan konsep dapur terbuka (open kitchen) di bagian utama restoran. Terdapat pula detail-detail restoran seperti rak-rak wine dan rangkaian foto-foto klasik yang menambah kehangatan, dan menyempurnakan pengalaman bersantap di Pastis Kitchen & Bar. Kemeriahan makanan dan minuman berlajut ke Bar, dimana para tamu dapat menemukan berbagai jenis minuman martini dan cocktails dengan racikan yang luar biasa, seperti Chocolate Martini yang di hias dengan bubuk coklat putih dan coklat pekat, serta Kiwi Margarita yang segar. Beragam pilihan wine
76
juga tersedia di Pastis Wine Shop yang memiliki lebih dari 130 jenis wine yang berasal dari berbagai negara, seperti Italia, Afrika Selatan, Perancis, Argentina, Chile, Australia, dan Selandia Baru, yang dapat melengkapi santapan Anda atau bisa juga untuk dibawa pulang. Keindahan arsitektur dan ruangan yang luas dengan kapasitas lebih dari 250 orang, Pastis menjadi tempat yang ideal untuk menyelenggarakan berbagai acara, mulai dari ulang tahun, arisan, gathering, press conference, product launching, dan pernikahan. Pastis Kitchen & Bar buka setiap hari mulai pukul 7 pagi hingga 12 malam, untuk sarapan, makan siang dan makan malam.
4.1.5 Logo Pastis Kitchen & Bar
77
4.1.6 Lokasi Perusahaan
Dari lokasi yang tertera pada gambar diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa lokasi Aston at Kuningan Suites diapit oleh dua jalan besar di Jakarta yang mana menjadi pusat bisnis dan perkantoran serta hiburan bagi warga Jakarta sendiri atau warga yang datang dari luar kota. Beralamatkan di Jalan Setiabudi Utara Kuningan, Jakarta 12910 dan berada di sebelah hotel Four Season Jakarta. Seluruh reservasi baik hotel maupun restoran dapat menghubungi nomor telepon 021-5260260 dan nomor faksimili 021-5260285. Untuk reservasi hotel juga dapat dilakukan melalui email ke alamat
[email protected] [email protected].
dan
reservasi
restoran
ke
alamat
78
4.2 Hasil Penelitian Pada Bab IV ini, hasil penelitian akan dijelaskan untuk menjawab fokus penelitian pada bab sebelumnya. Hasil penelitian akan memaparkan lebih rinci mengenai temuan-temuan di lapangan sekaligus menjawab apa saja yang sudah menjadi pertanyaan peneliti pada saat menyusun fokus penelitian. Di dalam sub bab ini, peneliti akan memasukkan data hasil wawancara mendalam dengan 3 key informan dan 3 orang informan, interpretasi makna dari hasil wawancara tersebut, hasil pengamatan yang didapat dari observasi partisipatif, serta data sekunder yang diperlukan untuk mendukung data atau temuan di lapangan. Selama melakukan penelitian, peneliti menemui beberapa kendala di lapangan yaitu kesulitan melakukan wawancara mendalam dengan subyek penelitian karena hotel sendiri merupakan perusahaan yang dinamis dimana manajemen dituntut untuk mobile atau terbiasa berpindah-pindah tempat sehingga peneliti kesulitan mencari waktu yang tepat. Selain itu, sebagai penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data observasi partisipatif, peneliti tidak selalu dapat mengamati kejadian-kejadian yang terjadi, karena tidak setiap saat peneliti berada di kantor. Terlebih penelitian ini memakan waktu penelitian selama kurun waktu 12 bulan atau sepanjang tahun 2012 terhitung mulai bulan Januari hingga Desember 2012. Panjangnya waktu penelitian mengukuti panjangnya durasi krisis yang terjadi. Tentunya selama durasi tersebut banyak hal yang terjadi, namun tidak selalu peneliti berada di tempat yang sama pada saat kejadian berlangsung.
79
4.2.1 Identifikasi Masalah 4.2.1.1 Polemik Pengangkatan Kedua Manajer Sebagai GM in Charge Tepatnya pada tanggal 2 Januari 2012, General Manager Aston at Kuningan Suites resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Kekosongan posisi tersebut tidak langsung diisi namun dibiarkan terbengkalai untuk beberapa waktu. Selama kekosongan tersebut, rapat pagi atau morning briefing dipimpin oleh Mr A. Selama kekosongan ini pula-lah banyak isu yang berkembang mengenai pengganti GM. Beberapa pihak mengatakan GM yang pertama hotel ini kemungkinan akan dipanggil kembali. Namun yang lainnya mengatakan akan ada GM yang direkomendasikan oleh manajemen pusat. Sampai pada suatu hari, peneliti menerima kabar melalui ADoS bahwa GM baru sudah ditetapkan. Informasi didapat bukan sebagai pengumuman, namun cenderung lebih kepada obrolan pagi.
“…kalian tahu gak sih? GM baru sudah ada. 2 orang lagi. Sudah bisa menebak kan? Siapa lagi kalau bukan Mr A dan Mr B. Keduanya juga sudah diberikan fasilitas setara dengan GM. Mr A dapat kendaraan pribadi dan jatah menginap bersama keluarga setiap akhir pekan. Sementara Mr B, diijinkan untuk in house di kamar GM kita dahulu. Selain itu juga dia dapat kendaraan pribadi…”
Semua staf yang berada di ruangan tersebut terkejut. ADoS yang terus meletakkan kedua tangannya hingga menutupi mulutnya dan sesekali menggigit-gigit bibirnya sendiri menunjukkan betapa pesimisnya ia menanggapi keputusan ini. Ia juga sesekali menaikkan kedua alisnya dengan menutup kedua matanya dan menurunkannya dalam gerakan yang lambat
80
mengekspresikan dirinya tidak ingin terlalu banyak berkomentar soal ini. Seolah-olah mengatakan bahwa ia sendiri sudah tidak berminat lagi membahas topik ini. Hal ini diakui memang sudah menjadi kabar burung sejak beberapa hari setelah kepergian GM sebelumnya. Namun tidak ada yang menyangka bahwa ternyata kabar ini memang benar adanya. Isu itu berkembang semenjak seringnya frekuensi keduanya dipanggil untuk menghadap pemilik hotel. Semua yang melihatnya menyadari bahwa hal ini mungkin menjadi kelu atas GM yang baru. Berbagai reaksi muncul menyusul pengangkatan Mr A dan Mr B yang tidak diinformasikan secara resmi oleh pihak manajemen. Bahkan isu-isu yang tidak terkendalikan itu menyebar cepat hingga seluruh karyawan mulai bereaksi dengan memberikan respon yang negatif. Meskipun keputusan ini datangnya dari pemilik hotel, namun pada akhirnya manajemen menyetujui dan tidak satupun bereaksi secara agresif untuk menolak keputusan tersebut. Mr A yang ditemui ketika peneliti memasuki ruang kerja Mr A untuk memintanya menandatangani room voucher dan Pastis voucher yang nantinya akan dijadikan grand doorprizes pada saat acara Buka Bersama dengan Anak Yatim dan Media, acara CSR tahunan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Agustus 2012 di Pastis Kitchen & Bar, mengatakan reaksinya ketika mengetahui dirinya dipilih oleh pemilik hotel sebagai GM in charge.
“…ya jujur sih ada senangnya ada pusingnya juga. Senangnya ya masa saya nolak sih jika saya bisa mendapatkan fasilitas GM begitu. Kita berkarir ngejar apa sih kalau bukan ngejar jabatan dan kesejahteraan? Tapi ya di sisi lain pusing juga,
81
jadi GM gak gampang. Apalagi saya tahu lah masalah di hotel ini dan di restoran juga gak sedikit. Tapi banyak. Pusing juga kalau harus mengurus dua-duanya. Iya kalau bagus nama kita ikut tersohor, kalau jatuh, apa enggak nama kita juga ikut tersohor juga jeleknya?...”1
Mr A mengakui terkejut dengan keputusan ini meskipun beliau sendiri sudah mengetahui berita ini dari pemilik hotel jauh sebelum pengangkatan ini akhirnya diresmikan. Namun beliau tidak menampik ketika peneliti mencoba menggali lebih dalam lagi alasan mengapa nama jabatan yang tertera di dokumen surat dan sebagainya masih tertulis sebagai manajer keuangan. Demikian reaksi Mr A menanggapi pertanyaan tersebut:
“…itulah. Jadi owner tidak mempercayai saya untuk mengawasi kegiatan operasional. Karena mungkin dipikirnya saya ini dari dulu hanya mengurusi kamar, padahal yang namanya manajer keuangan ya mengurusi seluruh kegiatan administrasi pemasukan dan pengeluaran baik hotel dan restoran. Memang untuk perubahan nama jabatan di suratsurat belum kita lakukan karena memang belum terlalu penting-lah. Yang penting kan kalian semua tau saya ini sekarang GM in charge. Kita belum menuju kesana karena memang untuk perubahan nama jabatan sendiri misalnya menjadi General Manager harus melalui persetujuan dari head office juga...”2
Mr A beranggapan bahwa perubahan nama jabatan di dalam dokumen surat dan sebagainya belum menjadi hal yang harus diprioritaskan. Sementara peneliti melihat bahwa perubahan jabatan secara lisan yang tidak diikuti dengan perubahan secara tertulis membuktikan bahwa isu yang berkembang 1
Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A 2 Ibid
82
berawal dari kebingungan karyawan yang akhirnya berujung pada penciptaan persepsi yang bebas. Dengan santai namun memperlihatkan sedikit kekhawatiran dan lebih banyak senyuman, Mr B menyadari di usia-nya yang tergolong muda di dunia perhotelan memancing opini negatif beberapa rekan manajer lainnya begitu mendengar berita pengangkatannya sebagai GM in charge. Namun Mr B yang merasa dirinya sudah siap bersikap terbuka atas semua reaksi rekan kerjanya mengaku tidak mau ambil pusing dan lebih memilih untuk berserah diri menerima rezeki ini.
“…ya campur aduk, ada senangnya ada takutnya. Senang karena saya merasa di usia saya yang di dunia perhotelan masih tergolong muda, saya diberikan kepercayaan sebesar ini. Bangga juga sih karena saya yakin mungkin banyak yang tidak percaya atau bahkan tidak terima, tapi kan yang saya lakukan itu benar benar saja. Kalau takutnya, sebenarnya bukan takut sih. Lebih kepada saya mengakui tanggung jawab ini semakin berat. Saya orang Islam, jadi saya tahu nanti saya akan diminta pertanggung jawaban atas seratus lebih karyawan yang saya pimpin. Ini hal baru bagi saya, jadi saya wajar kalau merasa sedikit takut…”3
Ia melanjutkan, bahwa masing-masing orang memang bereaksi berbeda. Ia merasa bahwa dirinya sama sekali tidak pernah meminta fasilitas yang ia miliki saat ini, kemudian ketika ia mendapatkannya ia tidak menemukan alasan untuk menolaknya. Baginya penambahan fasilitas ini berbanding dengan penambahan tanggung jawab yang semakin berat pula. Ia mengakhiri pernyataannya dengan mengatakan, “Kalau orang mau bicara apa tentang saya itu sepenuhnya keputusan mereka.” 3
Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B
83
Kegembiraan dan kekhawatiran yang menghinggapi kedua manajer rupanya berbanding terbalik dengan reaksi yang pertama kali muncul di benak informan 1. Dengan mata sedikit melotot dan raut muka yang tampak tegang, ia mengutarakan keterkejutannya sewaktu mendengar berita itu. Dari ekspresi yang muncul, peneliti membaca hal ini seolah seperti tamparan keras untuk manajemen. Manajemen seperti halnya karyawan bawahan. Duduk di ruang meeting tidak menjadikan mereka memiliki hak voting untuk memilih antara setuju atau tidak setuju. Bersuara pun tampaknya hanya membuang energi.
“…Saya terkejut. Jelas. Sangat mengagetkan, terlebih ketika mengetahui mereka langsung diberikan fasilitas setara GM dan seperti keduanya berbagi jatah begitu. Kami selaku HOD tidak pernah merasa ditanya apakah menyetujui keputusan ini. Tahu-tahu kami diinformasikan seperti ini. Ini seperti polemik ya. Kalau Anda dengar ada karyawan yang kurang setuju, begitu pula dengan kami. Tapi kami memang tidak reaktif dalam menanggapi hal ini. Salah salah nanti kami dianggap iri atau bagaimana. Tapi pengangkatan manajer tersebut tidak dapat diterima begitu saja dengan akal sehat, terlebih kepada Mr B. Kita semua ini pernah kerja di hotel, coba Anda sendiri apa iya manajer makanan dan minuman menjadi GM? Logikanya kemana? Tapi kita menyadari betul kita kerja di mana, di tempat seperti apa. Jadi ini tidak mustahil terjadi. Maka pada akhirnya kami mencoba untuk menerima keputusan tersebut…”4
Dirinya mengakui bahwa kala itu orang-orang di dalam ruangan tidak bersikap reaktif. Sambil menunjuk kepalanya, ia mencoba membuat peneliti berpikir apakah pengangkatan ini masuk akal. Terlebih menyoroti pengangkatan Mr B, seorang manajer makanan dan minuman yang tidak
4
Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1
84
banyak mengetahui operasional perhotelan tiba-tiba diangkat menjadi GM in charge. Peneliti seolah diajak merasakan penolakan yang dulu dirasakan oleh narasumber. Senada dengan informan 1, informan 2 memberikan ekspresi yang tidak jauh berbeda. Bahkan lebih ekspresif lagi, narasumber menjawab pertanyaan yang dilontarkan peneliti seraya menegakkan badannya dan melotot lebih lama lagi. Peneliti melihat setelah sekian bulan berlalu ternyata perasaan terkejut itu tidak pernah dilupakan oleh kedua informan narasumber. Dan lagi, informan 2 juga lebih menyoroti pengangkatan Mr B jika dibandingkan dengan Mr A.
“…jujur saya kaget saat itu. Tidak hanya saya, semua orang juga kaget. Bahkan saya sendiri sempat merasa tidak terima. Mr B terlalu muda dan minim pengalaman untuk diangkat sebagai GM in charge. Dan ini juga mengejutkan semua pihak karena ini aneh, meskipun kita terima jika alasanya adalah keduanya tidak bisa menjalankan hotel dan restoran kecuali memang jika keduanya disatukan. Tapi ini aneh, kenapa tidak merekrut GM baru saja? Melihat situasi yang seperti ini dimana owner terlalu banyak terlibat, bagusnya kita memiliki GM yang mampu berkomunikasi dan bermental kuat…”5
Tidak hanya menuai protes yang tidak sempat diutarakan kepada pemilik hotel, informan 3 yang menjabat sebagai Sales Executive selama hampir dua tahun mengatakan dirinya sudah bekerja sebelum Mr A dan Mr B menjadi bekerja di Aston at Kuningan Suites. Informan 3 adalah seorang wanita berumur sekitar 27 tahun, memiliki watak dan gaya bicara yang tegas 5
Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang kerja Informan 2
85
serta tidak segan-segan menutupi perasaannya. Dengan berapi-api ia menjawab,
“…tidak setuju. Sangat tidak setuju. Alasannya, kita semua bisa melihat lah keduanya seperti apa, kualitasnya seperti apa. Kalau untuk memimpin hotel yang saya takutkan keduanya tidak mampu, kalaupun mampu ya tidak memuaskan. Saya melihat Mr A saja tidak mengerti benar mengenai kebutuhan departemen sales & marketing. Kita lihat saja waktu dia mendapatkan jatah kendaraan pribadi, kalau Mr B masih mau meminjamkan mobilnya untuk digunakan sales call dimana departemen SM harus berebut setiap kali mau keluar kantor dengan mobil tamu, tapi Mr A sama sekali tidak mau meminjamkan kendaraannya meski kita meminjamnya dengan alasan pekerjaan. Kalau Mr B, dia sama sekali tidak tahu mengenai hotel…”6
Informan 3 mengungkapkan kekesalannya terhadap Mr A yang digambarkan sebagai pimpinan yang memiliki sikap apatis terhadap kebutuhan karyawannya sendiri. Narasumber menjelaskan sudah sepatutnya Mr A mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadinya. Ini lah yang disebut sebagai sikap pemimpin yang wajib dimiliki para pimpinan perusahaan. Tidak hanya mengkritisi sikap Mr A, narasumber juga mengkritisi Mr B dengan mengklaim bahwa sang manajer tidak mengetahui sama sekali mengenai hotel. Peneliti menyimpulkan ketakutan para informan terhadap ketidakmampuan Mr B dalam memimpin hotel hingga kini masih terbukti.
6
Hasil wawancara dengan Informan 3, Sales Executive pada hari Kamis, 1 November 2012 di ruang kerja departemen sales and marketing
86
Mencoba menjawab tanda tanya para informan terhadap keputusan ini, peneliti mencoba menemui key informan 3 yang tidak lain adalah pemilik hotel yang namanya seringkali disebut dalam wawancara yang dilakukan peneliti dengan narasumber terkait. Peneliti sendiri merasa harus mengetahui alasan ini dari sisi yang berseberangan. Wawancara yang dilakukan di Pastis dalam suasana informal ini cukup menggali informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dalam melengkapi hasil penemuan di lapangan sehingga lebih akurat dan berimbang. Pemilik hotel yang keturunan Tionghoa ini menjawab dengan mengerutkan dahinya. Dibalik kacamatanya, beliau justru melemparkan pertanyaan kepada peneliti tanpa menjawab dengan tegas alasannya.
“…ya kalau kita mengangkat Mr A apakah nantinya dia bisa mengurusi Pastis? Sebaliknya, kalau kita mengangkat Mr B apakah nantinya dia bisa mengurusi hotel?”7
Tidak
puas
dengan
jawaban
narasumber,
peneliti
mencoba
melontarkan kembali pertanyaan yang sama dengan memancing pertanyaan yang lebih menggelitik nalar atau logika si narasumber. Peneliti bertanya jika pemilik hotel mengangkat salah satunya dan membiarkan yang lainnya menjadi HOD bukankah hal itu sama saja? Karena pada dasarnya HOD ada untuk mengurusi departemennya masing-masing, jadi kalau pemilihan keduanya terjadi dengan alasan agar bisa berbagi tugas, bukankah tidak ada salahnya memilih satu dan membiarkan yang lainnya menjalankan tugasnya
7
Hasil wawancara dengan Key Informan 3, Owner Represntative pada hari Jumat, 19 Oktober 2012 di restoran Pastis Kitchen & Bar
87
itu menjadi pilihan yang lebih baik? Dengan perlahan narasumber melepaskan kernyitan yang ada di dahinya dan mencoba untuk membuat peneliti paham dengan berkata,
“…betul. Tapi kita kan tidak bisa memprediksi diantara keduanya mana yang nantinya bisa membawa Aston lebih baik lagi. Kalau berbicara mengenai kualitas, dua-duanya samasama berkualitas. Itulah yang awalnya juga membuat kita kebingungan. Tapi setelah dipertimbangkan dengan matang, kita pikir jika keduanya diangkat tidak ada masalah…”8
Jawaban yang diberikan hanya mengisyaratkan kebingungan yang juga dialami oleh pemilik hotel dalam memilih diantara keduanya yang berujung pada pengangkatan keduanya. Jawaban yang cukup singkat namun lekat dengan persepsi narasumber lainnya yang juga beranggapan bahwa pemilihan keduanya karena masing-masing tidak cukup kuat untuk memimpin hotel sekaligus restoran. Peneliti pun mencoba menghimpun jawaban-jawaban dari opini narasumber terakit alasan dua pemimpin dan bukannya satu saja. Tidak luput dari pengamatan dan wawancara, peneliti pertama kali melontarkan pertanyaan ini kepada Mr A selaku salah satu dari dua orang yang akhirnya ditunjuk oleh pemilik hotel. Menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya, dan meletakkan tangannya di kedua tangan kursi, ia menjawab:
“…ya kamu lihat saja sendiri. Owner lebih sering berada di Pastis. Sekarang yang lebih sering berada di Pastis dan sering 8
Ibid
88
berbicara dengan owner siapa kalau bukan Mr B? Kalau saya ya, ruang kerja saya disini. Jarang yang namanya saya nongkrong di Pastis, kecuali memang makan siang dan seperlunya saya. Kalau saya banyak menghabiskan waktu di Pastis apa gak namanya nanti saya manggabut? Jelas dari situ saja kamu bisa lihat hubungan kedekatan dengan owner sudah berbeda. Dan owner kan jarang masuk-masuk ke kantor kita kalau enggak karena terpaksa sekali, paling ya kita yang disuruh menghadap ke Pastis. Ya mungkin yang ada seolaholah terlihat sekali setiap harinya bekerja itu Mr B, padahal mah saya juga kerja kan disini...”9
Secara tersirat, narasumber berusaha memberikan jawaban se-rasional mungkin bahwa Mr B beruntung bisa dipilih karena dari semua HOD yang ada, ia lah yang paling sering menghabiskan waktu dengan pemilik hotel. Dirinya tidak memungkiri jika kenyataannya hubungan yang terjalin antara dirinya dengan pemilik hotel tidak sekuat rekan sepemimpinannya. Namun Mr A juga mencoba membawa alasan rasional ini agar alasan ini lantas tidak dibenarkan jika kenyataannya ini menjadi alasan yang mendasari keputusan manajemen. Ternyata hal yang sama juga diakui oleh Mr B, justru dengan lebih rinci ia menjabarkan pola pikir pemilik hotel ketika mempertimbangkan keputusan ini.
“…begini lho, dulu owner itu kurang sepaham dengan GM kita terdahulu. Sekarang setelah GM mundur, owner merasa ada kebebasan dalam memilih GM nya sendiri. Karena GM dulu kan dipilih dari head office kita. Nah, kebetulan saya yang memang lebih dekat dengan owner maksudnya saya kan bekerja lebih banyak untuk Pastis dan saya selalu stand by di Pastis sementara kamu lihat sendiri owner lebih sering duduk 9
Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A
89
di Pastis, tidak sekali dua kali kita saling berdiskusi membahas soal Pastis atau soal hotel, mungkin ya dari situ owner merasa “klik” dengan saya begitu. Dan saya lebih bisa berkomunikasi dengan owner, dengan kata lain begini mereka kan sering dulu menyampaikan keinginannya kepada GM kita, tapi tahu sendiri kan GM kita itu dulu amat sangat temperamen dan kurang bisa diajak duduk dan bicara seperti saya dengan owner. Jadi-lah mereka mempercayakan saya untuk memimpin hotel ini. Kalau Mr A jelas lah, kan memang dia yang mengetahui seluk beluk hotel. Kalau Mr A tidak diragukan lagi, dulu sewaktu menjabat di Hotel Sultan juga kan beliau menduduki posisi manajer keuangan sudah sangat lama, bertahun-tahun, jadi kemampuannya dalam mengawasi keuangan hotel tidak diragukan lagi…”10
Sepintas yang terdengar adalah kedekatan hubungan yang mendasari pengangkatan Mr B, sementara Mr A diangkat lebih kepada pengetahuannya yang sudah tidak diragukan lagi mengenai hotel dan restoran dalam urusan keuangan. Dan keduanya diangkat untuk melengkapi satu sama lain. Jawaban yang lebih bijak keluar dari mulut informan 1. Beliau berusaha untuk memberikan jawaban yang tidak terkesan menghakimi kekurangan keduanya, melainkan mengangkat persepsi dari kacamata sang pemilik hotel. Sambil menghela napas, informan 1 mengangkat sedikit kacamatanya yang turun dan berkata,
“…kalau ditanya kenapa ada dua, saya tidak bisa bilang kenapa, saya hanya bisa berpendapat kenapa, mungkin karena kedua-duanya sebenarnya memiliki kemampuan di bidang yang berbeda. Satu di hotel, satu di restoran. Sedangkan Aston Kuningan dengan Pastis sendiri adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan. Jadilah ada dua pimpinan. Kalau GM dulu 10
Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B
90
kan sudah biasa memimpin hotel yang memiliki restoran, bahkan tidak hanya satu restoran…”11
Peneliti melihat bagaimana caranya menempatkan posisinya sebagai pihak pemilik hotel dan mungkin itu kira-kira yang telah dipikirkan oleh pemilik hotel dan memang benar adanya. Di sisi lain, informan 2 menguak opini yang lebih kontroversial. Dirinya meyakini bahwa pemilik hotel dengan segaja merencanakan pengangkatan Mr A yang dimanfaatkan untuk mem-back up Mr B. Melalui hasil wawancara ia menyiratkan pesan bahwa yang sebenarnya fokus pemilik hotel ada pada Mr B, sedangkan Mr A kurang lebih hanya seorang mentor nantinya bagi Mr B. Berikut petikan wawancara dengan informan 2,
“…saya rasa karena owner memiliki kedekatan khusus dengan Mr B. Mr A sendiri sepertinya diangkat untuk mem-back up Mr B dalam menjalankan pekerjaannya...”12
Peneliti sendiri berusaha mengaitkan analisa informan 2 ini dengan temuan di lapangan yang tidak bisa tergambar melalui hasil wawancara. Peneliti menemukan fakta fakta di lapangan yang memang mendukung opini narasumber diatas, yaitu seberapa besar porsi kekuasaan yang kini dimiliki oleh Mr B dibanding Mr A. Pada banyak kasus, Mr B selalu bertindak sebagai pembicara, pemberi instruksi, pengatur kegiatan operasional, bahkan menjadi pembuat keputusan tunggal, sementara Mr A hanya diam mengurusi uang 11
Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1 12 Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang kerja Informan 2
91
yang harus dia keluarkan atau dia laporkan kepada pemilik hotel. Hal ini jelas terlihat sewaktu Mr A menolak pengajuan dana proposal oleh praktisi PR untuk biaya acara Buka Bersama bulan Juli lalu. Proposal yang ditolak tersebut dikonsultasikan oleh praktisi PR kepada Mr B. Dengan segera Mr B mengajak PR menghampiri ruang kerjanya dan memintanya untuk menyutujui proposal tersebut. Mr A yang kala itu membantah menolak dengan alasan ia meminta PR untuk memeriksa kembali proposal tersebut akhirnya menandatanganinya. Peneliti melihat bahwa power Mr B seiring berjalannya waktu semakin kuat dibanding Mr A. Fakta inilah yang dianggap kemudian mendukung opini bahwa sebenarnya keberadaan Mr A tidak lain hanya untuk mempersiapkan Mr B dalam mengoperasikan hotel dan restoran.
4.2.1.2 Peran Public Relations dalam Organisasi Seperti halnya yang kita ketahui, industri perhotelan adalah industri yang bergerak di bidang jasa keramah tamahan yang menjunjung tinggi pelayanan terbaik kepada para pengunjungnya. Keramahtamahan ditunjukkan Aston at Kuningan Suites ketika tamu baru memasuki lobi hotel, memesan kamar, memasuki kamar, selama menginap, sampai ketika tamu melakukan check out di keesokan harinya. Namun apakah keramahtamahan juga dijunjung tinggi di dalam internal komunikasi hotel ini? Praktisi PR hendaknya juga mengambil peran dalam membangun komunikasi yang efektif dan kondusif di dalam kegiatan sehari-hari hotel ini. Namun apakah kegiatan komunikasi internal dibina seiring kegiatan eksternal
92
dilakukan? Sebelum membahas lebih lanjut, peneliti ingin menggambarkan posisi dan peran PR hotel Aston at Kuningan Suites. Sedikit berbeda dengan PR corporate pada umumnya, dimana PR biasanya memiliki departemen sendiri dan memiliki sebutan yang berbedabeda seperti corporate secretary, corporate communication, media relations, dan sebagainya, di industri perhotelan biasanya posisi PR berada pada naungan departemen sales and marketing. Di Aston at Kuningan Suites ini sendiri PR berada tepat dibawah head of department yang disebut dengan Assistant Director of Sales (ADoS). Hal ini disebabkan karena PR dalam hotel memiliki fungsi selain sebagai praktisi kehumasan juga sebagai praktisi marketing yang bertanggung jawab atas semua aktivitas marketing dan bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan publikasi melalui media below the line dan above the line. Untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami struktur di dalam departemen ini, peneliti membuatkan ilustrasi sebagai berikut :
93
Bagan 4. Struktur Departemen Sales & Marketing
Dari bagan diatas, dapat dilihat bahwa kedudukan public relations setara dengan sales executive. Selama penelitian posisi tertinggi, yakni Director of Sales (DoS) memang kosong. ADoS membawahi area sales yaitu sales executive (SE) yang bertanggung jawan melaksanakan sales call atau kunjungan ke perusahaan-perusahaan yang memiliki potensi untuk dijadikan klien tetap, sales coordinator (SC) yang mengkoordinir seluruh kebutuhan administrasi baik berupa penyediaan lease agreement bagi long staying guest (minimal waktu menginap adalah selama satu bulan atau empat minggu) serta laporan mingguan dari masing-masing fungsi yang ada di departemen ini, dan yang terakhir adalah reservationist (Rv) yang melayani pemesanan kamar baik secara langsung, melalui telefon, email, atau booking online. Ketiganya
94
berkoresponden dengan tamu melalui email sebagai bukti yang akan digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan. Sales merupakan jantung pada operasional perhotelan, tanpa sales penjualan kamar jelas tidak dapat dilakukan. Selama penelitian, peneliti melihat komunikasi tidak berjalan dengan positif dan efektif. SE memiliki gaya komunikasi yang tegas, sementara SC dan Rv menganut gaya komunikasi yang lebih tenang. Namun begitu, SE tidak memiliki gaya kepemimpin yang baik. Keluhan SE mengenai SC dan Rv selalu ditumpahkan langsung kepada ADoS tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu kepada bawahannya. Sementara SC dan Rv melihat hal itu sebagai alasan bagi mereka untuk tidak lagi menghargai dan menghormati posisi SE. Keduanya seringkali melakukan hal-hal yang dengan sengaja melanggar peraturan. Namun begitu, ketiganya tetap berusaha untuk bersikap professional selama itu menyangkut perihal pekerjaan. Kondisi diantara ketiganya bisa dengan cepat dirasakan baik itu oleh ADoS sendiri. Meski demikian beliau tidak pernah berusaha untuk memperbaiki hubungan ketiganya. Di lain sisi, ADoS membawahi area marketing yaitu event executive (EE), public relations (PR) dan graphic designer (GD) yang berada dibawah PR. EE memiliki tanggung jawab dalam menangani seluruh acara yang akan diadakan di restoran Pastis Kitchen & Bar. Hal ini disebabkan Aston sendiri tidak memiliki fasilitas ballroom, meski begitu banyak sekali permintaan dari klien yang hendak merayakan atau menyelenggarakan acara di Pastis. Restoran ini sendiri biasa dijadikan tempat untuk press conference, company
95
gathering, talkshow, baby shower, launching product, breakfast meeting, prewedding photo shoot, dan yang paling sering diselenggarakan adalah sebagai tempat untuk resepsi pernikahan yang memiliki konsep casual, santai, dan lebih intim. Praktisi PR pada sebuah hotel termasuk dalam kategori marketing public relations dimana ia tidak hanya sekedar menjalankan fungsinya kehumasannya namun juga melakukan beberapa aktivitas pemasaran produk dan jasanya. Begitu pula dengan PR Aston at Kuningan Suites, ia bertanggung jawab atas brand awareness hotel dan restoran baik secara eksternal maupun internal melalui liputan media yang bisa diukur melalui ROI (return of investment) yang dicantumkan di setiap laporan bulanannya. Umumnya seorang praktisi PR juga selalu mempersiapkan press release atau siaran pers dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa inggris sekurangkurangnya 2 kali dalam sebulan yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi yang memiliki nilai berita bagi para media mengenai aktivitas perusahaan seperti acara tahunan, promosi restoran, paket promosi kamar hotel, acara yang akan dilakukan, perkenalan chef baru, penghargaan hotel atau retoran, paket perayaan pernikahan, dan sebagainya yang didistribusikan melalui email blast ke seluruh media yang ada di database perusahaan. Selain itu, praktisi PR juga bertanggung jawab untuk terus memperbaharui informasi baik berupa status, acara, atau foto di semua akun sosial media seperti facebook dan twitter. Membawahi seorang graphic designer, praktisi PR ini juga harus berkontribusi melalui ide ide yang
96
inovatif, baru, dan segar di dalam keseluruhan alat-alat promosi seperti flyer, poster, billboard, tent card, dan iklan yang ada di media cetak, media elektronik, dan media online. PR akan berkoordinasi oleh seluruh departemen yang ada, khususnya dengan Chef. PR biasanya melakukan diskusi rutin baik dalam situasi formal maupun non formal dalam pembaharuan ide ide promo makanan dan minuman. Salah satunya kegiatan yang paling sering dilakukan bersama dengan Chef adalah ketika PR menerima undangan atau sebaliknya mengundang para jurnalis dari berbagai media yang bermaksud meliput Pastis Kitchen & Bar, menu makanan, promo yang sedang berlangsung, hotel, atau bermaksud untuk meliput profil Chef. Untuk itu PR akan selalu berkoordinasi dengan Chef dan mendampinginya selama proses interview dengan media berlangsung. PR juga melayani permintaan media yang hendak mengajukan proposal pengajuan lokasi foto sesi atau syuting. PR Aston at Kuningan Suites disini juga menjalankan fungsinya sebagai event management yakni menjadi pencetus ide acara, perencana, pelaksana sekaligus tidak jarang juga menjadi master of ceremony atau yang lebih dikenal dengan sebutan MC. Maka beberapa acara yang pernah dilakukan praktisi PR selama penelitian berlangsung adalah program corporate social responsibility perusahaan yakni Buka Bersama Aston at Kuningan Suites dengan Yayasan Anak Yatim dan Media yang diselenggarakan di restoran Pastis Kitchen & Bar. Acara lainnya bertajuk Masquerade Party yang berlangsung pada tanggal 31 Mei 2012 lalu merupakan acara company gathering dimana Aston mengundang para media, perusahaan yang sudah menjadi klien tetap hotel, serta puluhan
97
wedding organizer yang selama ini telah bekerjasama dengan Aston at Kuningan Suites. Baru-baru ini PR juga menyelenggarakan konferensi pers untuk memperkenalkan menu baru yang berjudul “The Menu” sekaligus memperkenalkan Chef baru yang mengusung cita rasa makanan ala bintang 5. Kegiatan hard selling yang dilakukan oleh PR adalah menyusun pertemuan dengan account executive dari media yang bermaksud menawarkan halaman iklan yang biasanya dapat diwujudkan melalui kerjasama semi barter atau full barter (iklan dibayarkan dengan voucher). Selanjutnya jika proses negosiasi harga sudah disepakati kedua belah pihak, maka PR harus melengkapi seluruh berkas yang harus ditanda-tangani oleh kedua belah pihak. Selebihnya PR akan mempersiapkan materi desain yang terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Mr B dan juga dari manajemen pusat, kemudian melakukan media monitoring setiap harinya guna mengontrol bukti iklan diterima dengan baik dan sesuai dengan materi desain yang dikirimkan ke pada pihak media. Dewasa ini kedudukan PR dalam perusahaan sudah semakin kuat, top management mulai meyakini bahwa PR tidak hanya berperan dalam menjaga image, namun juga mengokohkan perusahaan sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, peduli dengan komunitas sekitar, berperan aktif dalam pembinaan hubungan dengan para investor, juga mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun bagaimana dengan Aston at Kuningan Suites sendiri? Memiliki praktisi PR bukan berarti memberikannya posisi
98
yang kuat dalam jajaran top management. Mr A melalui wawancara yang dilakukan menjelaskan peran dan fungsi PR sebagai berikut:
“…ya PR itu yang ketemu media, entertain media, terus kalau hotel kita ada berita yang kurang enak, PR yang bertemu dengan media…”13
Lebih lanjut lagi Mr A menjelaskan pandangannya mengenai peran dan fungsi PR:
“…ya penting lah, kalau tidak ada PR nanti siapa yang akan mengurus media? Yang buat acara misalnya seperti press conference? Atau buka bersama seperti acara mendatang? Nanti yang akan mengurus iklan kita juga siapa? Yang buat desain iklan? Itu semua kan PR. Kalau misalnya kita ada masalah, dan media banyak yang datang untuk meliput, kalau bukan PR siapa yang akan jadi juru bicara perusahaan?...”14
Tidak seperti apa yang kita ketahui di teori maupun pada praktiknya, penjelasan Mr A diatas dapat dikatakan sangat terbatas atau sangat sempit. PR tidak hanya bekerja sebagai staf administrasi atau sekedar menjadi guest relations officer, tidak hanya sekedar menjamu media, PR juga membina dan meningkatkan kualitas dari hubungan itu sendiri. Maka tidak sedikit PR yang akhirnya menjadikan rekan medianya sebagai teman ngobrol begitu pada saat senggang di akhir pekan atau selepas pulang kantor. Tidak sedikit pula yang membawa hubungan professional tersebut ke arah yang lebih santai seperti pertemanan, bahkan tidak menutup kemungkinan pula berubah menjadi 13
Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A 14 Ibid
99
persahabatan. Semakin kuat hubungan antara praktisi PR dengan awak media, akan semakin mudah pula pekerjaan PR ketika ia membutuhkan liputan untuk perusahaannya. Inilah yang seharusnya dilakukan dan didukung sepenuhnya oleh manajemen. Pada level tertentu pula media tidak lagi katakanlah menunggu “entertain” begitu untuk sekedar berkunjung atau meliput perusahaan atau bahkan memasukkan press release kedalam bentuk artikel medianya. Hal ini lah yang tidak dilihat peneliti sebagai fokus manajemen terhadap peran dan fungsi PR itu sendiri. Memang pada kenyataannya peran dan fungsi PR itu mengikuti tempatnya, sebagai contoh PR hotel tidak mungkin bisa disamakan dengan PR BUMN. Di banyak perusahaan BUMN, PR tidak boleh menyentuh ranah marketing. Apapun yang berhubungan dengan marketing atau hard selling pasti akan langsung dilimpahkan ke bagian lainnya. Sedangkan di hotel sendiri, PR masuk kedalam kategori MPR atau yang biasa kita kenal dengan Marketing Public Relations, di mana PR tetap menjalankan fungsinya sebagai praktisi kehumasan, namun ia juga dituntut untuk bertanggung jawab atas pekerjaan marketing yang bermuara pada satu titik yakni revenue. Itu sebabnya pada penjelasan diatas, Mr A mengaitkan peran PR dengan tanggung jawab iklan dengan sangat kuat. Sementara Mr A menjelaskan pandangannya mengenai PR dengan keterbatasan pengetahuan mengenai fungsi PR itu sendiri, Mr B mencoba memberikan penjelasan yang lebih luas, yakni:
“… ya PR rata-rata harus bisa mengerjakan semuanya. Harus pintar dan gak malu-maluin lah kalau ketemu media sewaktuwaktu. PR itu harus bisa foto juga, seperti kenalan saya PR
100
juga. Dan yang jelas PR harus bisa kasih ide untuk desain iklan majalah. Ya fungsi PR menjaga image perusahaan dan image brand juga. Kalau PR nya katakanlah ecek-ecek begitu, ya bagaimana hotelnya mau dianggap bagus oleh media dan konsumen. Intinya seorang PR harus serba bisa…”15
Jika bisa dirangkum dalam kalimat yang sederhana, Mr B mencoba untuk memberi gambaran fungsi PR kurang lebih sebagai “pemanis” perusahaan. Mengapa dikatakan pemanis perusahaan? Karena Mr B dengan gamblang mengatakan bahwa PR tidak boleh malu-maluin dan ecek-ecek. Tidak melihat PR dari sisi yang lebih kompleks, namun meluas ke arah yang salah. PR dipandang sebagai sebuah kemasan. Tidak peduli seperti apa, namun seorang PR harus tampak apik dulu dalam kemasannnya. Namun begitu, Mr B tidak menampik pentingnya peran PR melalui hasil wawancara berikut:
“…ya sangat penting, kalau tidak ada PR siapa nanti yang fokus mengurusi image dan brand kita? Kalau tidak ada PR juga siapa yang fokus melayani media yang ingin meliput atau menawarkan iklan ke kita. Kalau tidak ada PR siapa yang fokus mengurusi iklan di majalah kita. Dan PR juga harus punya selera yang baik lho. Karena PR itu harus memberikan ide terhadap materi desain iklan kita. Kalau buruk seleranya, buruk juga hasilnya nanti…”16 Kesadaran Mr B akan pentingnya peran PR di perusahaan belum didukung dengan kesadarannya terhadap kompleksitas tanggung jawab yang harus diemban oleh praktisi PR. Hal ini dapat dilihat dari praktisi PR sendiri yang sampai saat ini tidak memiliki manager atau staf. PR bekerja seorang diri
15
Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B 16 Ibid
101
tidak dibawahi departemen sendiri. Jadilah pentingnya peran PR hanya sebatas pentingnya posisi tersebut diisi. PR tidak juga difokuskan atau didukung agar melakukan gerakan yang lebih nyata lagi bagi perusahaan. Beda key informan beda pula dengan informan. Informan 1 menjawab dengan lebih diplomatis dengan mengangkat fungsi komunikasi praktisi PR. Informan 1 yang pernah menjabat selama kurang lebih satu tahun enam bulan sebagai Human Resources Department, menjabarkan fungsi dengan peran PR sebagai berikut:
“…PR itu ada di hotel untuk difokuskan kepada mempertahankan citra perusahaan, dan meningkatkannya. PR itu satu-satunya orang yang harus bertemu dengan media. PR yang mengelola bahasa agar tidak terjadi kesalahpahaman antara perusahaan dengan media. Kalau kita yang menghadapi media, bisa jadi kita asal dalam menjawab pertanyaan media, nah kalau PR, dia harus bisa menjaga komunikasi yang baik dengan media. Apalagi media sangat penting bagi pertumbuhan perusahaan. Makanya hubungan dengan media harus dijaga dan dibina dengan sebaik-baiknya. Nah disitulah PR berperan penting. Tidak hanya sampai disitu, PR juga bertanggung jawab atas iklan kita, dari mulai bernegosiasi harga dengan media, sampai kepada memantau iklan kita yang sudah dipasang di media apakah sesuai atau tidak. Seperti itu…. “17
Sebagai seorang manajer HR, informan 1 tentunya memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai tugas pokok dan fungsi praktisi PR, sebab ia yang memutuskan pertama kali apakah pelamar kerja layak untuk dipanggil dan menjalani tes calon karyawan berdasarkan wawancara tahap awal dan hasil tes
17
Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1
102
yang didapat. Tentunya informan 1 sudah memiliki dasar pengetahuan yang kuat dalam menjabarkan kepada calon karyawan apa yang menjadi tanggung jawabnya jika diterima oleh perusahaan. Ditanya mengenai pentingnya peran PR, informan 1 menjawab dengan tegas, yakni:
“… Sangat. Memang terkadang pekerjaan PR itu suka dianggap pekerjaan yang hura-hura. Kebanyakan karena hanya terlihat menjamu media di Pastis, dan seolah-olah tidak terlalu berpengaruh dengan revenue perusahaan. Tapi hanya segelintir orang yang memang jarang bekerjasama dengan PR secara langsung dalam pekerjaannya. Kalau yang jarang kerja bareng ya susah… “18
Informan 2 yang juga pernah menjabat sebagai Executive Chef sebelum pengunduran dirinya pada bulan Agustus 2012 lalu menggambarkan dengan sangat intim mengenai peran PR dalam pekerjaannya sehari-hari, sebagai berikut:
“…oh soal itu tidak perlu dibantah lagi. Seorang Chef dimanapun dia berada akan selalu berkoordinasi dengan yang namanya PR. Chef harus memiliki chemistry dengan PR. Bagi Chef, PR itu gerbang menuju media. Agar baik hotel maupun restoran bisa dikenal lebih luas lagi melalui media, bahkan tidak sering ya, seorang Chef bisa dikenal oleh media, masuk ke media, dan akhirnya dianggap oleh Chef yang lainnya itu melalui usaha dan kerja keras PR juga yang selalu mengenalkan Chef ke media. Chef dan PR itu harus saling melengkapi…”19
18 19
Ibid Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang kerja Informan 2
103
Peneliti menyadari bahwa definisi PR berikut peran dan fungsinya bisa diartikan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Masing-masing tergantung jabatannya dalam struktur organisasi dan intensitas kerjasama yang dilakukan dalam pekerjaannya. Seperti yang dikatakan informan 1, semakin rendah intensitasnya semakin minim pengetahuannya terhadap peran dan fungsi PR dalam organisasi begitu pula sebaliknya. Ini terlihat pada masingmasing jawaban yang diberikan oleh narasumber bagaimana keempatnya memandang PR dari kacamata yang berbeda. namun seharusnya hal ini tidak berlaku pada Mr A dan Mr B. Sebab, mereka berada pada posisi tertinggi di dalam struktur. Informan 2 menggambarkan mengenai chemistry atau yang dimaksud dengan “ikatan” antara keduanya. Informan 2 juga mendeskripsikan PR sebagai gerbang utama perusahaan dapat dikenal oleh media, oleh khalayak luas yang tidak mungkin terjangkau dengan kegiatan sales call dan sejenisnya. Begitu bermanfaatnya PR bagi perusahaan, namun sayangnya tidak semua narasumber memiliki pemikiran yang sama. Dan Lattimore mengemukakan dalam bukunya bahwa ada empat hal yang mendasari terjadinya sebuah krisis. Salah satunya yang jelas terjadi di hotel ini adalah keputusan manajamen. Manajemen terkadang tidak menganggap serius hal yang sedang terjadi, bahkan mereka menganggapnya ini tidak akan diketahui oleh seorangpun. Terlebih jika keputusan tersebut tidak didukung sepenuhnya oleh pihak internal perusahaan. Terkadang pula manajemen tidak mampu melihat potensi krisis yang dapat ditimbulkan dari keputusan tersebut. Besar kecilnya dampak tersebut tergantung pula oleh besar
104
kecilnya keputusan yang dibuat. Semakin besar dan semakin memperngaruhi hajat hidup karyawan banyak, maka semakin besar pula dampak yang akan muncul. Dari paparan hasil observasi sebelumnya dengan jelas peneliti menguak bahwa apa yang menjadi awal dari krisis komunikasi dalam badan PR terjadi karena adanya keputusan manajemen yang disini lebih dimaksudkan pada keputusan pemilik hotel yang pada akhirnya menjadi keputusan manajemen di mata karyawan. Pengangkatan kedua manajer yang jelas tidak memiliki pengalaman yang cukup dan tidak memenuhi kualifikasi inilah yang kemudian memunculkan polemik polemik baru dalam kegiatan komunikasi internal baik antara keduanya maupun kaitannya dengan tugas dan fungsi PR. Krisis dapat tercipta akibat dari kelemahan atau kesalahan suatu sistem manajemen, operasional, pelayanan dan kebijakan yang dikeluarkan lembaga atau perusahaan. Bidang pelayanan jasa pada umumnya lebih rentan terhadap munculnya krisis karena bergantung penuh pada rasa kepercayaan dan kualitas pelayanan yang ditentukan oleh konsumennya, meskipun dalam hal ini tidak ada konsumen (tamu hotel dan restoran) yang dirugikan akibat adanya keputusan ini, namun kerugian yang dirasakan karyawan dalam bentuk berkurangnya kepercayaan terhadap perusahaan dan hilangnya sense of belonging terhadap pekerjaan, dan yang tidak dapat dielakkan lagi adalah tingginya grafik keluar masuk karyawan. Menurut hasil wawancara dengan manajer HRD yang menjabat lebih dari setahun di hotel ini mengatakan
105
bahwa sekurang-kurangnya, 5 – 6 karyawan mengajukan surat pengunduran diri setiap bulannya dengan alasan yang bervariasi namun merucut pada ketidakpuasan karyawan terhadap kebijakan, kepemimpinan, dan tidak dipenuhinya hak hak karyawan secara adil dan konsisten.
“…Anda bisa lihat sendiri di papan tulis di ruangan HR admin. Kalau saya bisa kasih gambaran, memang turn over di hotel sangat tinggi. Tapi di hotel ini sendiri sangat luar biasa. Rata-rata 5-6 orang mengundurkan diri setiap bulannya. Melihat karyawan kita yang hanya 114 karyawan, 5-6 itu merupakan angka yang tinggi. Pengalaman saya kerja di hotel, hanya disini lah yang buat saya kewalahan. Mencari karyawan tidak mudah, harus lebih cermat. Harus cari karyawan dengan mental dan kemauan kerja yang keras. Kalau tidak, 5-6 orang setiap bulannya akan terjadi terus menerus…”20
Hasil penelitian di lapangan pun menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai pengunduran diri karyawan sudah menjadi pembicaraan yang lumrah terjadi bahkan tidak jarang pula dijadikan sebagai ajang bercanda antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lainnya. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang memiliki jejak rekam yang baik terhadap kesejahteraan karyawannya, perihal pengunduran diri sering dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan terlebih lagi dijadikan bahan lelucon. Praktisi PR melihat bahwa keputusan manajemen untuk menyetujui atau menyepakati pengangkatan kedua manajer yang dipilih secara pribadi oleh pemilik hotel menjadi identifikasi awal terjadi krisis ini. Seperti halnya sebuah keputusan, maka keputusan ini pun bersifat memaksa atau dengan kata 20
Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1
106
lain tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan head office yang menjadi manajemen resmi dan terikat kontrak dengan pemilik hotel pun tidak dapat berbuat banyak, maka krisis terjadi akibat adanya perubahan struktur organisasi dalam tingkatan General Manager dan terjadi pada lapisan dimana PR tidak dapat dengan mudah menyentuh atau menyumbangkan pendapatnya. Hal ini diperparah dengan keberadaan PR sebagai praktisi strategis yang tidak diakui dengan baik oleh manajemen. Selanjutnya, fokus mulai diarahkan kepada kedua manajer tersebut. Tidak memenuhi kualifikasi untuk menggantikan posisi GM serta minimnya pemahaman terhadap peran dan fungsi PR hotel menjadikan keduanya tidak memiliki langkah-langkah strategis dalam melakukan perbaikan-perbaikan serta pembaharuan-pembaharuan di seluruh departemen khususnya di badan PR sendiri. Kurang beruntungnya peran PR dalam komunikasi ke atas (upward communication) tidak memberikannya ruang yang cukup leluasa dalam mengajukan gagasan, ide, menyumbang saran, member masukan, dan sebagainya. Kondisi buruk ini didukung dengan sifat-sifat alami yang dimiliki oleh kedua manajer yaitu tidak mampu berkomunikasi secara efektif dan baik dengan PR. Meskipun iklim komunikasi yang tercipta diantara mereka adalah iklim komunikasi yang santai, tidak kaku, tidak formal, namun tetap tidak memberikan keuntungan dalam komunikasi kerja ketiganya.
107
4.2.2 Analisis Krisis 4.2.2.1 Komunikasi Internal dalam Organisasi Berada di bawah ADoS, kenyataan yang dilapangan justru praktisi PR seringkali berdikusi langsung dengan Mr B yang memegang peran GM in charge. Peneliti mengamati bahwa ADoS tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai di bidang marketing khususnya di bidang kehumasan. Di suatu hari pernah terjadi peristiwa dimana peneliti melihat bagaimana ADoS menghambat kerja PR, yakni ketika PR hendak membuat desain kartu ucapan yang akan dikirimkan melalui email keseluruh database baik media, pelanggan, perusahaan maupun hotel-hotel Aston lainnya di Indonesia. ADoS yang melihat hal itu langsung mempertanyakan alasannya mengapa ia membuat itu, ketika PR itu menjawab bahwa hal itu dilakukan untuk memperingati hari besar Tahun Baru China. Saat itu juga, ADoS langsung menyuruhnya menghentikan pekerjaannya dengan mengatakan bahwa hal itu tidak lah penting. PR itu sempat berargumen bahwa hal itu penting karena mayoritas pelanggan hotel dan restoran serta klien lainnya merupakan warga keturunan Chinese, namun hal ini tetap tidak membuat ADoS itu berubah pikiran. Kemudian ia segera menyudahi pekerjaannya karena ia tahu ini akan sia-sia, karena sebelum akhirnya ia dapat mendistribusikannya, ia terlebih dahulu harus mendapat approval melalui email dari ADoS yang kemudian akan diteruskan ke GM. Hal ini jelas menghambat tujuan dari kegiatan komunikasi kehumasan itu sendiri yaitu
108
memelihara hubungan baik khususnya antara perusahaan dengan publik atau pihak eksternalnya. PR hotel umumnya memiliki minimal 2 orang di dalam departemennya sehingga PR dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan maksimal. Tapi tidak di hotel ini, seluruh tanggung jawab yang dipaparkan sebelumnya dilakukan sendiri oleh seorang praktisi PR yang memegang jabatan sebagai Public Relations Officer, bukan Public Relations Manager. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa PR tidak dipandang sebagai posisi yang khusus dan penting sehingga ia tidak diberikan akses untuk dapat berdiskusi langsung pada morning briefing HOD yang dilaksanakan setiap pagi pukul 9 dan tidak pula diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan yang sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan komunikasi internal maupun eksternal perusahaan. Hal ini menyulitkan praktisi untuk dapat menumpahkan keluhan dan gagasan yang sifatnya penting dan harus segera diutarakan. Namun dengan begitu, praktisi PR masih dapat menumpahkannya melalui sales and marketing meeting yang dilaksanakan setiap hari jumat setelah morning briefing dan hanya diadakan dua minggu sekali dimana dihadiri oleh Mr A, Mr B, ADoS, PR, SE (Sales Executive), GD (Graphic Designer) dan Chef. Tidak sekali dua kali Mr B meminta PR untuk mengutarakan opininya dan ia menggunakannya dengan baik yakni mengutarakan apa yang menjadi pendapatnya. Namun sayangnya, hal ini biasanya hanya akan „menguap‟ begitu saja. Mr B selalu membutuhkan masukan dari PR, tapi tidak selamanya Mr B mau mempertimbangkan masukannya. Bahkan tidak sekali dua kali Mr
109
B dengan tegas mengatakan bahwa masukan itu tidak berarti apa-apa karena Mr B lah yang memiliki kuasa. Hal ini yang terkadang membingungkan tidak hanya PR tapi juga seluruh peserta meeting yang hadir pada saat itu. Tapi hal ini kemudian menjadi biasa dan selalu dimaklumi oleh PR karena tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Kadang kala Mr B mengutarakan idenya yang sering terdengar sedikit aneh dan tidak sesuai dengan image perusahaan, sebagai contoh ketika menu Pastis akan diganti kedalam bentuk yang baru yang lebih praktis dan kecil. Pada meeting itu seluruh peserta meeting membahas mengenai mock up menu baru yang sudah dikirimkan oleh supplier. Mr B lantas meminta GD untuk menghubungi supplier dan menggantinya dengan laminating gloss dimana itu akan menimbulkan efek mengkilap dan terkesan murahan. Mendengar hal itu Mr B lantas menanyakannya kepada PR mengenai opininya, dengan tegas PR menjawab bahwa laminating doft lebih bagus karena terkesan mewah dan cocok untuk target pasar restoran hotel bintang 4. Hal ini membuat Mr B tersudut dan merasa dirinya tidak diakui. Bahkan Mr A sendiri sempat menaikkan volume suaranya agar mempertegas apa yang menjadi pendapat seluruh peserta meeting. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Mr B mengatakan ia akan tetap berjalan dengan pilihannya karena itulah yang menurutnya bagus. Kejadian ini berakhir pada 2 minggu sesudahnya ketika supplier mengirimkan mock up seperti permintaannya dan Mr B menyadari bahwa pilihannya kali ini sangat buruk. Ia lantas memintanya kembali ke awal yakni di laminasi doft.
110
Lalu sebenarnya apa arti komunikasi di dalam organisasi yang mereka ketahui dan mereka yakini? Peneliti berhasil menguak fakta mengenai kemampuan subyek penelitian dalam memaknai kegiatan komunikasi internal perusahaan. Mr A mendeskripsikan komunikasi dan tujuannya sebagai berikut,
“…Ya komunikasi itu seperti bicara, ya seperti kita ini. Bisa juga lewat media atau alat komunikasi seperti handphone, email, dan sebagainya. Komunikasi perusahaan ya seperti meneruskan informasi bisa langsung pada saat tatap muka, atau pada saat rapat, atau lewat bbm (blackberry messenger), sms, dan sebagainya. Tujuannya supaya kamu tahu apa yang saya tahu soal hotel misalnya, atau soal product knowledge. Terus supaya saya bisa menginformasikan kepada yang lain tentang apa saja mengenai pekerjaan. Ya komunikasi itu penting intinya. Kalau tidak berkomunikasi ya kita tidak akan bisa menjalankan perusahaan…”21
Mengutip pernyataan diatas mengenai tujuan komunikasi menurut Mr A yakni salah satunya adalah agar subyek penelitian bisa menginformasikan kepada orang lain tentang apa saja mengenai pekerjaan. Mari kita bandingkan jawabannya ketika peneliti melontarkan pertanyaaan mengenai alasan kenapa pengangkatannya tidak diinformasikan secara resmi melalui manajemen kepada semua pihak yang berkepentingan dan berhak mengetahui informasi tersebut.
“…ya kita cuma pernah membahas soal ini di morning briefing, kalau soal penjelasan resmi ya yang seperti apa? Di 21
Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A
111
email kan begitu? Ya kalau itu saya kurang tahu deh. Awalnya kan saya dan Mr B dipanggil untuk menghadap owner, ternyata untuk membicarakan soal ini. Tadinya saya juga disuruh in house disini, saya bilang saya gak mau. Lha saya punya rumah, punya keluarga, kalau Mr B kan memang tinggalnya di Bandung, disini hanya nge-kost. Saya minta jatah menginap saja yang penting disini sama keluarga saya. Selebihnya saya tidak terlalu memikirkan siapa yang seharusnya menginformasikan ini, kalau memang harus diinformasikan secara resmi ya harusnya HR manajer dong yang melakukannya…”22
Berbanding terbalik dengan pernyataan sebelumnya, pernyataan diatas mengukuhkan keacuhannya terhadap pentingnya komunikasi internal sebagai cara untuk menyampaikan informasi. Dengan terang-terangan narasumber menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui bahwa sebaiknya informasi ini disampaikan secara resmi. Tidak hanya itu, dirinya justru melempar kesalahan ini kepada manajer HR atas kelalaiannya tidak menyampaikan informasi ini. Peneliti melihat tidak adanya kesadaran diri di dalam diri pemimpin akan informasi sebagai alat komunikasi dalam organisasi. Bagaimana bisa sebuah organisasi memiliki karyawan dengan etos kerja yang baik, produktivitas yang meningkat setiap tahunnya, dukungan internal, kepercayaan karyawan, dan sebagainya jika karyawan merasa tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap narasumber akan informasi yang akurat yang ingin diketahui oleh mereka. Pengangkatan keduanya memang jelas menimbulkan isu-isu negatif yang berkembang bebas tidak hanya dikalangan karyawan bahkan dikalangan manajer lainnya. Hal ini sepatutnya sudah dapat diprediksi karena sifatnya krusial. Pergunjingan karyawan terhadap keduanya terus terjadi karena dalam 22
Ibid
112
penjabaran yang sederhana, karyawan memiliki pola pikir yang hampir sama bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki pengetahuan lebih luas dibanding karyawannya. Mr B dengan nada diplomatis menjabarkan pemahamannya mengenai pentingnya arti komunikasi di dalam perusahaan. meski tidak sepenuhnya benar sesuai teori, namun narasumber menitikberatkan pada pencegahan kesalahpahaman yang mungkin terjadi akibat dari komunikasi yang tidak berjalan dengan seharusnya. Berikut petikan wawancaranya.
“…komunikasi itu penting. Tanpa komunikasi kita semua hanya akan diam mematung. Tidak bicara, tidak berinteraksi. Dalam hubungan personal antar dua orang saja komunikasi sangat penting, apalagi kita yang satu perusahaan dengan begitu banyak orang? Maknanya sendiri untuk menjaga interaksi dari individu yang satu dengan individu yang lainnya. Caranya bisa langsung tatap muka seperti ini (wawancara), atau bisa juga tidak langsung misalnya lewat bbm, sms, telepon, atau email yang paling sering digunakan di kantor. Tujuan nya sendiri supaya satu sama lain yang ada di kantor ini tidak salah paham terhadap informasi yang beredar. Jadi antara satu orang dengan orang yang lainnya harus menerima informasi yang sama, sehingga tidak ada hal-hal yang sifatnya tidak benar…”23
Peneliti
melihat
bahwa
memaknai
komunikasi
dengan
mengaplikasikannya ternyata tidak berbanding lurus sesuai harapan. Pernyataan para narasumber diatas menunjukkan kemampuan memaknai yang cukup baik namun tidak diiringi dengan kemampuan praktek yang baik pula.
23
Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B
113
Hasil wawancara juga tidak selalu menyatu dengan fakta yang ada di lapangan. Peristiwa lainnya terjadi ketika Mr A dan Mr B meminta PR dan EE (event executive) untuk menyusun program Sales Call Goes to Campus. Hal ini sempat menjadi tanda tanya besar ketika keduanya menjelaskan bahwa nantinya kegiatan yang dilakukan adalah mendatangi PR dari universitasuniversitas terkemuka yang menjadi target pasar Pastis dan mengajaknya bekerja sama dengan memintanya memasukkan iklan Pastis kedalam bulletin kampus dan ijin peletakan brosur atau flyer di tempat-tempat strategis di kampus. Sebagai kompensasinya, pihak Pastis akan mensponsori acara yang biasanya dilaksanakan berupa potongan harga atau voucher makan. Yang menjadi tanda tanya besar adalah karena Pastis sendiri merupakan restoran dan bar dimana di semua alat promosi flyer nya mencantumkan gambar minuman beralkohol yang menjadi promosi harian restoran ini. Hal ini ditentang dengan tegas oleh PR karena dapat menimbulkan efek negatif dimana kampus merupakan lembaga pendidikan dan tidak pantas dijadikan tempat
berjualan
minuman
beralkohol.
Kemudian
hal
ini
menjadi
pertimbangan Mr A yang kemudian memiliki rencana untuk membuat desain baru yang hanya berisikan promo makanan. Ternyata hal ini tidak terjadi pada Mr B, beliau bersikeras untuk memasukkan promo alkohol yang berujung pada situasi meeting yang berubah menjadi tidak kondusif. Ia berkata:
“… saya gak mau tahu, bagaimana caranya supaya kita bisa tetap berjualan promo bir kita di kampus. Gak perlu ganti
114
desain juga, nanti justru makan waktu dan makan biaya untuk cetaknya. Udah gak apa-apa, anak jaman sekarang juga sudah sering minum bir koq. Gak perlu takut. Dulu saya waktu di kuliah juga hampir setiap hari minum bir.”
Mendegar perkataan ini, ADoS langsung memberikan masukan dengan nada sedikit tegas dan marah,
“… bukan begitu, masalahnya ini beda. Dulu kan kita sekolah di sekolah jurusan perhotelan, apalagi Bapak kan kuliah di food and beverage, memang wine atau bir sudah jadi minuman sehari-hari. Tapi ini kan berbeda, kita jangan asal kalo masuk ke lembaga pendidikan, salah salah nanti malah kita apes harus berhubungan dengan pihak kepolisian”
Mr B lantas bertanya kepada PR apa pendapatnya, PR mencoba meyakini Mr BR dengan cara yang lebih halus, ia menjawab,
“… ide Sales Call Goes to Campus ini bisa saja di realisasikan Bapak, tapi kalau menurut saya benar apa yang dikatakan oleh Bapak ADoS, sebaiknya apapun yang berhubungan dengan pihak berwajib harus kita hindari. Ini bukan hanya menyangkut kepentingan publik, ini juga akan mencoreng reputasi perusahaan jika nantinya benar kita tidak beruntung dan harus berurusan dengan pihak berwajib”
Kegiatan Sales Call Goes to Campus ini sendiri pada akhirnya berjalan dengan pasif. PR yang kala itu sudah mendapatkan proposal pengajuan kerjasama full barter dari salah satu universitas swasta di Jakarta, mendapatkan penolakan baik dari Mr A maupun Mr B karena mereka berubah pikiran dengan alasan hal ini tidak memberikan profit bagi restoran. Ketidak
115
konsistensi-an kedua manajer tersebut dalam menyusun program penjualan memberikan penilaian yang buruk bagi karyawan terhadap kualitas keduanya. Seharusnya, PR diarahkan kepada aktivitas yang lebih bermanfaat dan lebih soft selling seperti media visit, bukannya sales call. Namun dibawah kepemimpinan keduanya PR dituntut agar dapat memberikan kontribusi nyata berupa revenue atau pendapatan perusahaan. Kerja keras PR memang tidak dapat diukur kecuali melalui media monitoring dan ROI, namun yang menjadi output dari peran PR sendiri adalah hal yang sifatnya tidak dapat dilihat dengan kasat mata, yaitu citra dan reputasi. Kedua hal inilah yang tidak dipahami dengan baik oleh keduanya dan jelas menjadi masalah bagi praktisi PR. Masalah demi masalah komunikasi terus terjadi antara PR dan Mr B. Memang hubungan komunikasi PR dengan Mr A jarang terjadi karena Mr A menyerahkan hampir seluruh pertanyaan yang diajukan PR kepada Mr B. Masalah yang sering kali terjadi adalah mengenai materi desain promosi. Selama masa kepemimpinan GM sebelumnya materi desain selalu mengikuti aturan atau template yang sudah ditetapkan oleh manajemen pusat. Namun dibawah kuasa Mr B, seluruh materi desain menjadi alat untuk mengeluarkan semua ide kreatifnya. Oleh karenanya seluruh desain tidak lagi mengikuti aturannya. Maka dari itu, PR seringkali mengingatkan Mr B ketika setiap kali melakukan diskusi dengan graphic designer. Sampai suatu ketika manajemen pusat mengirimkan email berupa peringatan kepada PR dan ADoS. ADoS yang menerima email itu bukannya mengadukan ini kepada Mr B, ia lantas
116
memarahi PR dan GD. Minimnya keterlibatan ADoS dalam pembuatan materi desain membuat PR angkat bicara.
“… Bapak, soal ini sudah sering kami utarakan kepada Mr B, bahwa dengan tidak mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh head office dan kita tidak mengacu kepada desain-desain sebelumnya, kita pasti akan bermasalah dengan head office. Namun beliau tidak mengindahkannya. Menurutnya selama ini desain yang sudah ada kurang menarik.”
Hal itu cukup membuat Mr B mempertimbangkan kembali mengenai desain yang masih sedang dalam proses pembuatan. Pada akhirnya seluruh materi desain di-review kembali dan mengalami re-design. Tidak hanya berhenti sampai disitu, peneliti melihat bahwa Mr B cenderung lebih memilih untuk menghindari kontak langsung dengan pihak manajemen pusat. Sebuah email dilayangkan dari pimpinan tertinggi Director of Sales Aston International kepada Mr A, Mr B, dan di-cc kan ke PR. Mr B kemudian meminta PR untuk membalas email tersebut. Hal itu dengan tegas ditolak oleh PR karena ia merasa tidak berada di level yang sama dan tidak memiliki kapasitas untuk menjawab email tersebut. Mr B berkata lebih tegas lagi dan dengan nada yang sedikit marah ia berkata, “Yang harus balas kamulah, kan kamu yang lebih ngerti sama pokok permasalahannya, masa saya?”. PR yang bingung lalu mengkonsultasikannya terlebih dahulu kepada ADoS karena ia mengetahui bahwa GM sebelumnya tidak pernah memperbolehkan dia membalas email yang tidak ditujukan kepadanya terlebih lagi email tersebut datangnya dari manajemen pusat. ADoS yang mendengar berita ini
117
kemudian meminta PR tersebut untuk tidak membalasnya. Namun, hal yang sangat disayangkan kembali terjadi, peneliti melihat ADoS cenderung menghindarik konflik dengan kedua manajer tersebut. Peristiwa ini berakhir dengan Mr A yang membalasnya setelah ADoS melaporkan kejadian ini kepadanya. Kasus ini bisa saja dianggap sepele oleh sebagian pihak seperti Mr B, namun dalam struktur organisasi yang jelas alur komunikasi vertikal baik upward maupun downward communication hendaknya dipatuhi dan dijalankan dengan baik, sehingga komunikasi yang terjadi berjalan dengan efektif. Ini adalah bukti nyata bahwa tidak adanya pemimpin yang tunggal sekaligus tidak memiliki pemahaman akan fungsi serta tanggung jawabnya daapt
menimbulkan
masalah-masalah
komunikasi
yang
sulit
untuk
diselesaikan. Alur pekerjaan yang dulunya bersifat terstruktur kini tidak lagi mengalur. Acara tahunan seperti perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan agenda tahunan hotel dimana pimpinan akan mengumpulkan seluruh manajer dari masing-masing divisi termasuk PR untuk membahas mengenai ide acara dan seluruh kelengkapan yang dibutuhkan. Namun dibawah kepemimpinan Mr A dan Mr B, PR lah yang wajib untuk mencetuskan ide acara dan bertanggung jawab atas keseluruhan acara. Tidak ada sinergi yang terbangun antara masing-masing divisi. Padahal pada acara tahun sebelumnya, seluruh manajer dituntut untuk memberikan ide dan masukannya sehingga dituntut secara aktif dalam rapat yang diadakan GM secara rutin.
118
Awal mula ide acara sudah menjadi hal yang terus diperdebatkan dalam meeting. PR yang sebelumnya berdiskusi dengan rekan kerja lainnya di dalam divisi sales and marketing memutuskan mengambil tema yang tidak berbeda dari sebelumnya. Kemudian PR mengutarakan yang menjadi ide acaranya atas permintaan Mr A dan Mr B, namun yang terjadi justru sebaliknya. Mr B menginginkan acara yang sudah menjadi konsep-konsep acara sebelumnya seperti pada saat hari Valentine, company gathering, dan sebagainya. Tidak hanya itu perdebatan demi perdebatan mengenai acara yang terkesan kurang tematik ini bagi para peserta rapat yang lainnya hanya menjadi hal yang sia-sia karena Mr B sudah menentukan dan memutuskan apa yang menjadi kehendaknya. Dalam hal seperti ini, Mr A memang lebih memilih untuk berdiam diri dan mendengarkan percakapan yang terjadi, bahkan tidak sering pula beliau memutuskan untuk tidak ikut dalam rapat karena merasa dirinya tidak dibutuhkan dalam sumbang saran ide. Melalui wawancara, Mr A menyampaikan keluhannya seputar alasan terkait pasifnya subyek dalam meeting yang diadakan.
“…ya saya kan diundang di meeting, bukan sebagai pemimpin meeting. Yang punya acara kan juga dia, bukan saya. Kalau dia menganggap saya gak mengerti soal seperti ini, ya terserah. Saya paling hanya melihat saja budget nya berapa, berapa yang akan kita keluarkan. Itu hal yang dia tidak pikirkan. Dia bisa buat acara seenaknya saja, yang mengeluarkan uang kan departemen saya. Yang mengurus ke pusat kan accounting. Dia pikir mudah mengajukan uang tunai ke pusat. Saya kan yang harus menjelaskan itu budget akan
119
digunakan untuk apa saja. Nanti kalau uang datangnya telat, dia berpikir saya kurang nge-push pusat…”24
Bagi seorang GM in charge, unek-unek seperti ini saja dipilih untuk dipendam. Kenyataannya, Mr B tidak pernah mengetahui soal ini. Bisa dibayangkan apabila karyawan memiliki keluhan atau protes mengenai manajemen, sudah bisa dipastikan komunikasi upward hanya berkisar soal laporan kerja. Mr B memiliki kecenderungan sifat yang susah ditebak. Sepengamatan peneliti, beliau memiliki inkonsistensi terhadap apa yang sudah menjadi keputusannya. Sifat ini semakin jelas terlihat begitu beberapa waktu kemudian ia menyadari bahwa ide acara ini sama sekali tidak menarik. Tanpa melalui rapat resmi, ia kemudian menghampiri PR untuk mengganti seluruh konten pada materi promosi agar mengacu kepada ide acara yang baru. Kejadian ini menegaskan bahwa iklim komunikasi yang dibangun oleh para pimpinan dengan PR tidak berjalan dengan efektif. Posisi PR dipandang tidak lebih dari sekedar sekretaris yang harus mengikuti apa yang menjadi perintah pimpinan. PR tidak dipandang sebagai posisi yang strategis dimana saran dan pendapatnya harus menjadi bahan pertimbangan sebelum pimpinan pada akhirnya mengambil keputusan. Terlebih lagi jika merujuk kepada struktur organisasi yang sebelumnya sudah dijelaskan, PR berada tidak jauh dari posisi pimpinan. Bahkan pada prakteknya PR akan melaporkan seluruh hasil pekerjaannya langsung kepada GM. Sebelum kepemimpinan kedua manajer 24
Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A
120
ini, GM terdahulu memandang PR sebagai praktisi ahli dibidangnya. Jadi PR bukan hanya sebagai eksekutor namun juga sebagai kreator. Selama kurun waktu penelitian, peneliti melihat bahwa proses pengambilan keputusan ternyata menjadi hal yang bisa dikatakan kurang serius. Karena tidak melalui proses pertimbangan yang matang dan bisa terjadi berkali-kali tergantung perubahan yang terjadi pada pada kedua pimpinan tersebut. Dari hasil wawancara, tanggapan Mr B terhadap kesulitan praktisi PR dalam mengarahkan media yang bermaksud untuk meliput profil GM atau sekedar bertemu sapa adalah PR dituntut harus mampu untuk mengalihkan rekan media untuk meliput profil Chef saja. Kesulitan ini pun ditampik olehnya karena menurutnya hal ini tidak perlu menjadi rumit jika media setuju dengan kesempatan untuk meliput Chef. Dengan ekspresi acuh, Mr B mengatakan, “Ya jangan bingung. Seperti yang tadi saya bilang, arahkan saja ke Chef atau liput restoran saja atau menu makanan kita kan banyak”. Sementara pada prakteknya, banyak media yang sudah meliput baik itu Chef, restoran, menu makanan dan promosi. Sedangkan tidak banyak media yang bisa meliput GM atau pimpinan tertinggi, terlebih lagi beberapa diantaranya memiliki kolom atau rubrik khusus pimpinan-pimpinan perusahaan yang dianggap berprestasi dan patut dijadikan teladan. Mestinya hal ini menjadi batu loncatan bagi Aston agar dapat diketahui dan diterima lebih baik lagi di masyarakat.
121
4.2.2.2 Hubungan Komunikasi Antara Mr A dan Mr B Melalui hasil wawancara, peneliti akan mendeskripsikan bagaimana hubungan komunikasi yang terjadi di antara kedua manajer. Melalui pengamatan langsung di lapangan pula peneliti akan mendeskripsikan fakta fakta yang tidak dapat diungkap melalui wawancara mendalam. Jika dilihat, profil singkat Mr A adalah manajer keuangan dengan pengalaman dibidang accounting selama belasan tahun, sedangkan Mr B berpengalaman di bidang restoran bertahun-tahun lamanya mendukung temuan awal yang menyebutkan bahwa keduanya tidak memiliki kapabilitas untuk menggantikan posisi seorang General Manager. Diperkuat dengan ketidakresmian pengangkatan keduanya berdasarkan kedekatan hubungan dengan pemilik hotel, bukan berdasarkan pemenuhan kualifikasi seperti yang idealnya dilakukan di organisasi-organisasi profit lainnya. Wawancara yang dilakukan dengan Mr A cukup mengagetkan karena dari keseluruhan hasil wawancara dan pengamatan peneliti terhadap bahasa nonverbal yang terjadi selama wawancara berlangsung seperti gerak tubuh, mimik muka, ekspresi yang tampak, dan sebagainya menunjukkan bagaimana Mr A tidak segansegan mengutarakan kurangnya apresiasi beliau terhadap pengangkatan Mr B. Ia mengatakan dibanding Mr B, ia lebih berhak untuk dijadikan pimpinan tunggal karena selain aturan yang ada bahwa jika GM mundur dari jabatannya maka yang berhak menggantikan posisinya adalah posisi manajer keuangan, jika tidak ada manajer keuangan, maka selanjutnya yang berhak ditunjuk adalah manajer sales and marketing, dan manajer makanan dan minuman ada
122
pada daftar terakhir karena dianggap tidak bisa menangani kegiatan baik administrasi maupun operasional hotel. Berusaha tidak terlalu tampak percaya diri, Mr A menutupinya dengan sangat baik dengan berkata,
“…ya kan sudah saya jelaskan, sudah sesuai dengan prosedur tho kalau saya yang seharusnya diangkat? Saya tidak bilang saya yang paling berhak, saya hanya bilang sesuai prosedur seharusnya saya yang diangkat. Manajer yang kerja di sini sekarang kan juga bukan manajer baru, semua sudah pernah kerja di hotel sebelumnya, kalau kamu tanya mereka, pasti mereka menjawab hal yang sama…”25
Mr A melihat bahwa kedekatan hubungan antara Mr B dengan pemilik hotel-lah yang membuat Mr B diberikan fasilitas dan tanggung jawab setara dengan GM. Melalui wawancara, Mr A kemudian memajukan badannya mendekati pinggir meja dan dengan menaikkan volume suaranya berkata,
“…ya kamu lihat saja sendiri. Owner lebih sering berada di Pastis. Sekarang yang lebih sering berada di Pastis dan sering berbicara dengan owner siapa kalau bukan Mr B? Kalau saya ya, ruang kerja saya disini. Jarang yang namanya saya nongkrong di Pastis, kecuali memang makan siang dan seperlunya saya. Kalau saya banyak menghabiskan waktu di Pastis apa gak namanya nanti saya manggabut? Jelas dari situ saja kamu bisa lihat hubungan kedekatan dengan owner sudah berbeda. Dan owner kan jarang masuk-masuk ke kantor kita kalau enggak karena terpaksa sekali, paling ya kita yang disuruh menghadap ke Pastis. Ya mungkin yang ada seolaholah terlihat sekali setiap harinya bekerja itu Mr B, padahal mah saya juga kerja kan disini…”26
25 26
Ibid Ibid
123
Mr A meyakini bahwa posisi yang tidak menguntungkan ini bermula dari seringnya Mr B berada di restoran, tempat dimana pemilik hotel sering menghabiskan waktu disana, sementara Mr A lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya membereskan dokumen-dokumen, menandatangani surat-surat penting, dan mengawasi keluar masuknya uang. Mr A pun mengakui kemampuan berkomunikasi Mr B adalah yang paling baik diantara semua manajer, hal ini tidak diragukan lagi karena Mr B memang sudah lama berkarir di dunia kuliner atau restoran hotel, jadi bertemu dan berbicara dengan orang sudah tidak lagi menjadi hal yang canggung atau sulit baginya. Namun ia menampik jika Mr B tidak bisa serta merta menggantikan posisinya dalam perusahaan mengingat keterbatasan pengalaman dan pengetahuannya di bidang keuangan.
“…ya kurang lebih seperti itu. Mr B ini kan memang kata orang-orang komunikatif, jamannya GM kita dulu juga cuma dia yang dianggap paling bisa “ngobrol” sama owner. Ya kalau kata saya sih wajar, kita kan kerja di dunia hospitality, apalagi dia dari dulu kerja di restoran, wajar sering ketemu banyak orang. Mungkin ya itu, communication skill nya tidak perlu diragukan, apalagi orang melihatnya masih muda, menarik dan segar. Kalau berbicara masalah kualifikasi ya jelas tidak lah. Kalau saya yang jadi manajer restoran, mungkin saya juga kurang bisa tapi setidaknya saya gak cuma tahu soal promo, saya juga tahu soal laporan keuangannya. Lah kalau dia yang menggantikan posisi saya? Mana bisa. Logikanya begitu bukan? Selama menjabat sebagai manajer makanan dan minuman juga bisa dilihat hasil kerjanya apa, semua orang bisa menilai koq…”27
27
Ibid
124
Berbeda dengan Mr A yang cenderung kaku dan peneliti melihat dari semua manajer, Mr A memiliki kemampuan komunikasi terburuk hampir dengan banyak karyawan. Namun mengenai segi kualifikasi, Mr A terangterangan menolak jika disebutkan keduanya bisa disetarakan. Mr A disela-sela wawancara menunjuk tumpukan berkas yang ada di mejanya sambil mengatakan keberatannya karena masih harus mengajari Mr B mempelajari mengenai administrasi hotel. Ia tidak memiliki waktu banyak untuk menghabiskan waktunya dan berharap agar Mr B cepat mengerti. Sementara menanggapi kehadirannya dalam owner meeting yang dilaksanakan setiap hari selasa, Mr A merasa kehadirannya hanya sebagai pendengar saja. Mr B lebih banyak berbicara mengenai rencana kedepan yang akan dilakukan. Menggali lebih dalam lagi, peneliti menemukan fakta dari hasil wawancara bahwa kebijakan dari head office adalah Mr A yang sepatutnya diangkat sesuai dengan prosedur yang ada. Mr A dengan gamblang menceritakan alur prosedur pergantian GM, sebagai berikut:
“…sebenarnya kalau di hotel-hotel yang saya tahu dan hotelhotel tempat kerja saya sebelumnya, kalau GM resign itu orang pertama yang ditunjuk untuk menggantikan posisinya itu ya saya, manajer keuangan. Kenapa saya, karena manajer keuangan itu yang paling dianggap tahu cara menjalankan sebuah hotel. Kan semua keuangan saya yang atur. Jadi ya saya yang dikatakan paling tahu dan paling mampu. Selanjutnya kalau saya tidak ada, yang berhak naik itu ADoS (Assistant Director of Sales), kalau disini ya, kalau ada manajer sales & marketing ya seharusnya dia (DoS – Director of Sales). DoS itu kan memegang peranan penting dalam penjualan kamar dan restoran, jadi dia orang kedua yang dianggap bisa mempertahankan kelangsungan hotel. Kalau DoS tidak ada, yang selanjutnya diangkat naik itu FOM (Front
125
Office Manager). Karena dia orang selanjutnya yang fokus dalam penjualan kamar, kalau departemen sales & marketing kan masuknya ke karyawan back office, kalau resepsionis dibawah FOM masuknya karyawan operasional. Yang bertemu tamu langsung kan mereka, dan tidak menutup kemungkinan mereka juga yang berjualan kamar ke tamu, secara tatap muka lagi. Seterusnya seperti itu sampai akhirnya baru masuk ke manajer makanan dan minuman. Karena yang namanya manajer makanan dan minuman itu tahu-nya ya hanya restoran, bisa dibilang mengenai hotel dia yang paling buta. Nah, kalau hotel yang mengikuti peraturan ya memang harusnya seperti itu. Tapi disini kan sedikit berbeda…”28
Kenyataan lainnya yang terkuak adalah bagaimana head office tidak memiliki andil besar dalam penentuan GM ini karena intervensi yang terlalu kuat dari pihak pemilik hotel. Sebagai manajemen hotel yang telah ditunjuk oleh pemilik, sudah menjadi hak dan kewajiban bagi head office untuk dapat memutuskan atau setidaknya memberikan konsultasi terkait dengan hal ini. Secara sederhana, peneliti beranggapan bahwa yang mengetahui operasional hotel dan cara menjalankan sebuah bisnis hotel adalah manajemen, pemilik adalah penerima profit dari bisnis yang sudah dijalankan. Di banyak hotel lain, pemilik adalah penyokong dana, penerima profit, dan penikmat hasil baik materi maupun reputasi. Di beberapa hotel pun, terdapat kriteria pemilik hotel yang ikut mengatur operasional perusahaan, perekrutan karyawan, pemecatan karyawan, dan sebagainya. Hubungan komunikasi yang terjalin dengan Mr B pun diakui Mr A sering menghadapi kendala-kendala yang tidak jarang dijumpai. Perbedaan umur yang jauh memang menjadikan keduanya berpola pikir yang berbeda
28
Ibid
126
pula. Karakterisktik dan gaya kepemimpinannya pun juga berbeda. Namun Mr A lebih memilih untuk menghindari konflik komunikasi dengan Mr B karena baginya suaranya kurang didengar oleh pemilik hotel. Mr A selalu mengungkit-ungkit keterbatasan pengalaman Mr B dalam mengelola hotel dan mendeskriditkan berdasarkan umur Mr B yang tergolong masih sangat muda. Ia melihat Mr B memiliki sifat yang berkobar-kobar dan kurang bisa membedakan hal-hal yang pantas diutarakan apa tidak. Jiwa mudanya yang bersemangat tidak diimbangi dengan kemampuan analisa yang baik. Sementara Mr A cenderung lebih banyak menganalisa tanpa berbuat apa-apa. Ekspresi wajah yang merendahkan Mr B tampak dominan selama dirinya memberikan pernyataan sebagai berikut:
“…saya sama Mr B itu beda umur, saya ini sudah puluhan tahun kerja di departemen keuangan di hotel bintang 5. Lah kalau dia? Dia dari dulu kan kerja selalu di restoran, ya lebih banyak di restoran lah begitu. Terus dia itu masih muda, anak muda yang gak ngerti apa-apa sekarang punya fasilitas yang seperti ini? Jiwanya memang masih berapi-api, kalau ada keinginan tidak dipikirkan terlebih dahulu, langsung saja di gemborkan di floor. Kalau kita kan yang sudah berpengalaman dipikirkan dulu, kalau memang masuk akal ya kita coba lempar ke morning briefing. Kalau cuma jago ngomong doang mah semua orang juga bisa, tapi kalau kita berbicara mengenai posisi GM, ini posisi yang tidak main-main loh, GM itu bertanggung jawab ke atas, head office dan owner, atas semua masalah yang terjadi di hotel dan restoran…”29
Ia juga sama sekali tidak sependapat dengan promo-promo yang selama ini dilakukan di Pastis. Baginya promosi ini tidak menghasilkan
29
Ibid
127
keuntungan sama sekali, bahkan hanya menambah beban nya sebagai penanggung jawab keuangan. Seperti yang dicontohkan olehnya, promo yang dilakukan setiap hari Senin yakni I Love Monday Beer Festival yang dijual dengan hanya 1 dollar setiap gelasnya yang jika dirupiahkan sekitar 10.800 rupiah, hanya memiliki keuntungan 800 rupiah saja setiap gelasnya. Sebagai manajer keuangan jelas ia pasti akan mendapati pertanyaan seputar profit yang didapat dari hasil penjualan. Peneliti melihat bahwa posisinya sebagai manajer keuangan
hendaknya
dijadikan
konsultan
sebelum
akhirnya
Mr
B
memutuskan rencana promosi yang akan dilakukan mengingat promosi adalah untuk meningkatkan penjualan dan profit juga, bukan hanya menarik pengunjung untuk terus datang. Sebelumnya peneliti memaparkan pandangan Mr A mengenai peran dan fungsi PR sebagai orang yang harus berada paling depan ketika perusahaan mengalami masalah. Hal ini didukung oleh fakta di lapangan yang ditemukan oleh peneliti ketika hotel ini diberitakan di media online mengenai meninggalnya salah satu tamu hotel di kamar mandi. Berita ini cukup mengagetkan karena memang terjadi dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan pihak manajemen. Tamu hotel yang lanjut usia itu rupanya sudah lama menderita penyakit dan ia mengunci dirinya di kamar mandi sementara
anggota
keluarga
lainnya
membiarkannya
begitu
saja.
Kekhawatiran keluarga ketika sang bapak tidak juga keluar kamar mandi setelah sekian lama. Akhirnya staf departemen engineering mencoba untuk mendobrak kamar mandi tersebut dan menemukan tamu tersebut dalam
128
keadaan
pingsan.
Tamu
tersebut
dinyatakan
tidak
selamat
dalam
perjalanannya ke rumah sakit. Pemberitaan media tidak bernada negatif terhadap reputasi hotel ini, namun tetap saja harus ada aksi antisipatif guna menghindari hal hal yang tidak diinginkan. Pada hari itu juga, Mr A memasuki ruangan departemen sales and marketing dan menanyakan siapakah PR nya. Hal ini lantas menjadi perbicangan seluruh orang yang ada di ruangan tersebut yang terkejut bahwa Mr A tidak dapat membedakan antara staf PR dengan staf event. Hal ini dengan cepat menyebar dan menjadi lelucon di kalangan staf. Hal ini mungkin kecil bagi Mr A, tapi tidak bagi karyawan. Seorang pimpinan tidak hanya harus tahu struktur organisasi namun juga harus tahu posisi dan jabatan anak buahnya. Berbeda dengan Mr B yang kurang terbuka mengenai pendapatnya mengenai Mr A, ia cenderung tidak ambil pusing dengan posisi keduanya. Mr B memang sedikit lebih “cuek” atau acuh dengan opini negatif yang banyak dibicarakan karyawan. Ini mungkin terjadi karena usianya yang masih muda. Selama penelitian berlangsung, peneliti juga dapat melihat dengan jelas bahwa Mr B sangat mengikuti apa yang menjadi keputusan pemilik hotel. Tidak seperti GM sebelumnya, yang berargumentasi jika ada hal-hal yang menjadi keputusan pemilik hotel bertentangan dengan peraturan perusahaan. Beberapa kali morning briefing diadakan di ruangan sales and marketing karena ruang meeting sedang digunakan. Seluruh percakapan dapat terdengar dengan jelas oleh staf departemen. Mr B cenderung menyangkal hampir semua keluhan yang disampaikan manajer departemen karena ia beranggapan pemilik hotel
129
tidak akan mendengarkan keluhan mereka. Ia juga terkadang mengatakan akan mendiskusikannya dengan pemilik hotel sementara pada akhirnya jawabannya adalah negatif. Dalam rapat pagi inilah peneliti melihat bahwa Mr B lebih memiliki power dan kepercayaan diri untuk mengatur, memberikan instruksi, menyampaikan amarah, dan sejenisnya dibanding Mr A. meskipun tidak sekali dua kali keduanya saling tumpang tindih untuk mengatur dan mengutarakan kekesalannya. Peneliti melihat, karena berangkat dari level atau tingkatan yang sama, yakni jajaran manajer, maka manajer lainnya pun tidak segan untuk mengutarakan semua yang menjadi keluhan dan harapannya. Berbeda dengan GM terdahulu, kalangan manajer biasanya akan menyaring laporan dan masukan yang akan disampaikan di rapat. Mr B merupakan tipikal orang yang ringan, mudah diajak komunikasi, lebih suka bercanda, namun terkadang ia tidak bisa mengontrol itu semua ketika berada di dalam forum diskusi yang serius. Ia juga terlihat menanggapi dengan ringan perihal pengangkatan keduanya. Baginya hal itu sah saja untuk dilakukan karena ini adalah keputusan dari pemilik hotel. Kesadarannya mengenai struktur organisasi memang kurang dipahami dengan baik. Ia banyak menganggap bahwa hal hal terjadi karena memang begitulah seharusnya. Ia tidak banyak menyangkal jika terjadi pelencengan dari prosedur yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ia lebih santai dalam menganggapi segala sesuatunya. Lain halnya dengan Mr A yang lebih sering mengernyitkan dahi menandakan bahwa ia tidak setuju atau terkejut. Ketika
130
peneliti mewawancarainya dan menanyakan perihal keteguhannya menerima kesempatan yang diberikan pemilik hotel sementara dirinya sendiri menyadari bahwa ini tidak sesuai dengan prosedur, Mr B menggoyangkan kursi kerjanya ke arah depan dan belakang berkali-kali sambil tersenyum dan berkata,
“…ya kenapa juga saya harus tolak? Begini, ada orang yang mempercayakan kepada saya, berarti mereka melihat saya mampu. Nah, saya yang sudah diberikan kepercayaan ya sudah sepatutnya memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Jadi saya tidak mau berfikir terlalu bagaimana. Kan yang mengalami saya. Saya tahu lah apa yang saya lakukan…”30
Wawancara terjadi setelah praktisi PR mengalami kesalahan penyebutan nama jabatan Mr B kepada jurnalis Investor Daily yang ketika itu bermaksud untuk meliput restoran serta menu makanan yang ada di Pastis, ketika itu Mr B datang menghampiri dan praktisi PR bermaksud memperkenalkannya dengan sang jurnalis. PR yang kala itu bingung akhirnya memperkenalkannya sebagai GM hotel. Namun, dengan sigap sambil menatap dalam kepada PR ia mengoreksinya menjadi operational manager. PR yang langsung menangkap maksud sang pimpinan mencoba meleburkan suasana dengan mengatakan maksudnya adalah operational manager. Ketika itu PR bertanya bagaimana bisa ia tidak mengetahui perihal penyebutan nama jabatannya itu, Mr B hanya menanggapi dengan ringan bahwa GM in charge kurang enak didengar, oleh karenanya ia meminta untuk diperkenalkan saja sebagai operational manager. Bermaksud untuk mencegah kesalahan serupa, 30
Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B
131
ia lantas bertanya lalu apa nama sebutan untuk jabatan Mr A. Dengan singkat Mr B hanya menjawab bahwa sebutannya tetap saja manajer keuangan. Untuk lebih memastikan, ia bertanya sekali lagi apakah keduanya tetap sebagai GM in charge, dan Mr B mengangguk. Mr B sendiri mengakui bahwa kedekatannya dengan pemilik hotel lah yang akhirnya membuat sang pemilik mempercayakan tanggung jawab ini kepadanya. Sementara ketika disangkutkan dengan prosedur yang semestinya adalah Mr A yang berhak menggantikan GM, ia hanya berkata bahwa pemilik hotel memiliki hak untuk memilih GM sepenuhnya. Apalagi GM sebelumnya yang diangkat oleh head office sudah membuktikan bahwa chemistry itu penting antara GM dengan pemilik hotel. Berbeda dengan Mr A, Mr B mengatakan bahwa informasi mengenai pengangkatan ini memang sudah selayaknya dilakukan oleh manajer masingmasing, tanpa perlu ada informasi resmi dari top management. Ia juga menegaskan bahwa yang terpenting adalah pada akhirnya seluruh karyawan juga mengetahui informasi ini, tidak penting dari siapa informasi ini mereka ketahui. Peneliti melihat bahwa informasi yang diterima karyawan tidak lebih dari isu-isu yang berkembang yang diyakini oleh banyak orang dan disepakati pada akhirnya oleh mereka.
“…ya mungkin karena ini sebenarnya ini juga tidak mengikuti prosedur, tapi kami membahasnya koq di morning briefing. Kalau ke staf ya paling melalui HOD masing-masing saja. Kalau informasi seperti yang kamu maksud, ya memang dulu harusnya diinformasikan agar tidak terjadi kebingungan. Tapi ya yang penting kan lambat laun semua orang juga tahu.
132
Karena dulu pada saat informasi ini diumumkan juga mengundang pertanyaan dari manajer yang lainnya…”31
Selama kepemimpinannya, tidak sedikit pula perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Mr B. Sebagai seorang yang religious, ia memusatkan perhatiannya kepada kondisi musholla yang berada di basement. Ia memperbaiki, memperbaharui dan menambah fasilitas agar musholla tersebut layak untuk digunakan oleh tamu Pastis. Hal ini mendapat apresiasi dari karyawan karena hal ini tidak pernah menjadi fokus GM sebelumnya yang memang berkeyakinan nasrani. Namun tidak jarang pula kebijakan-kebijakan yang dibuatnya mengundang apresiasi, ada beberapa yang menjadi pergunjingan karyawan seperti keputusannya menyatukan ruang kerja departemennya dengan ruang kerja departemen sales and marketing. Mr A pun pernah membuat kebijakan yang mengundang pertanyaan bagi karyawan ketika ia menyatukan pantry dengan gudang departemen sales and marketing agar ruang pantry sebelumnya dapat digunakan sebagai ruang tunggu supplier. Menjadi seorang GM diusia muda ditanggapinya sebagai rezeki yang tidak di duga. Ia mengakui masih banyak kekurangan khususnya dalam urusan hotel. Tapi berangkat dari pengalaman pengalaman sebelumnya di hotel, ia merasa tidak buta dengan itu. Hanya tinggal perlu diasah lagi saja. Menanggapi isu negatif yang berkembang usai pengangkatannya sebagai GM, Mr B mengatakan bahwa masing-masing manajer memiliki hak sepenuhnya untuk berpendapat. Baginya, fasilitas yang diterimanya sepadan dengan
31
Ibid
133
tanggung jawab yang dipikulnya. Jadi tidak ada kata dimana ia pantas atau tidak pantas. Ia melihat ini sebagai kepercayaan yang sudah diberikan kepadanya. Jadi sebaiknya dia tidak menyia-nyiakan kepercayaan pemilik hotel. Tidak hanya dalam bentuk-bentuk komunikasi sehari-hari secara langsung, praktisi PR mengalami kesulitan pula dalam menunjuk salah satu dari keduanya dalam menjadi pembicara mewakili hotel di setiap event yang diadakan. Pada saat acara company gathering yang diselenggarakan di Pastis, Aston mengundang rekan-rekan media, klien, long staying guest, dan wedding organizer yang selama ini sudah sering kali bekerjasama dengan staf event banquet. PR yang sebelumnya menunjuk Mr A sebagai pembuka acara, terpaksa harus melakukan briefing ulang kepada Mr B karena ia mendadak menolaknya. Mr B yang kemudian ditemui oleh PR untuk diberikan briefing justru balik menolak dengan alasan bahwa Mr A lah yang pantas untuk memberikan kata sambutan. PR yang sudah membaca situasi seperti ini dengan tegas menyatakan bahwa Mr B tidak dapat lagi menolak karena hari pelaksanaan sudah semakin dekat, terlebih lagi Mr A mengatakan bahwa Mr B lebih pandai berbicara di publik. Tidak berhenti disini, pada saat hari pelaksanaan PR terkejut karena pada akhirnya Mr A lah yang maju memberikan kata sambutan. Seusai acara, PR mendistribusikan siaran pers dalam dua bahasa disertai dengan tiga buah foto yang mewakili kemeriahan acara, salah satunya adalah foto dimana Mr B menyerahkan hadiah secara simbolik kepada pemenang busana terbaik. Dengan cepat siaran pers dan foto
134
tersebut menyebar di beberapa media cetak dan media online. Suatu ketika PR menerima telepon dari Mr A yang menanyakan apa yang menjadi keputusannya memilih foto tersebut. PR kemudian menjelaskan secara professional bahwa foto tersebut dipilih karena memiliki angle yang bagus, jernih (tidak blur), dan sangat deskriptif karena semua orang di foto melihat ke arah kamera dan tersenyum dengan gembira. Mr A dengan tanpa rasa ragu memperlihatkan kecurigaan serta kecemburuannya terhadap hal itu. Beliau merasa ini tidak adil karena hanya nama Mr B dengan jelas tertulis di semua media yang meliput acara tersebut. Kejadian serupa kembali terjadi pada saat PR mengadakan acara buka bersama dengan yayasan yatim piatu yang berlokasi tidak jauh dari hotel dan turut mengundang rekan media. PR yang kala itu memutuskan Mr B yang harus memberikan kata sambutan justru ditampik olehnya. Lagi-lagi keduanya sama-sama menolak dan saling tunjuk menunjuk siapa yang akan memberikan kata sambutan. PR yang memilih untuk tidak ambil pusing akhirnya membiarkan mereka memutuskan dan mempersiapkan sendiri pidatonya. Di satu sisi keduanya saling melimpahkan tugas dan perannya sebagai top manajemen di mata publik, di sisi lain keduanya saling berebut tempat sebagai satu-satunya orang yang dipandang di mata publik melalui liputan media dan sebagainya.
135
4.2.2.3 Krisis Manajemen Internal Organisasi Isu yang tidak diredam dan tidak dikendalikan akan berubah menjadi krisis. Namun tidak semua orang mampu menyadari gejala-gejala awal terjadinya krisis. Lebih parahnya lagi, jika gejala gejala yang ada disadari oleh para pelaku organisasi namun tidak dianggap sebagai sebuah krisis. Sikap yang apatis terhadap situasi yang tidak stabil, tidak normal, seringkali dianggap biasa saja. Oleh karena itu, peneliti melalui wawancara mendalam menghimpun makna krisis dan cara subyek penelitian dalam menanggapi krisis tersebut. Namun apa yang didapat oleh peneliti justru bertolak belakang dengan harapan peneliti sendiri. Berikut petikan wawancara dengan beberapa narasumber mengenai pengetahuan mereka akan situasi krisis itu sendiri. Dimulai dengan Mr A, berkarir dan tumbuh dalam departemen accounting sangat mempengaruhi pola pikirnya dalam mempersepsikan krisis,
“…krisis? Ya krisis itu seperti krisis keuangan. Krisis itu yang bisa membuat perusahaan kita gulung tikar. Misalnya hotel sepi, restoran sepi, itu krisis. Atau bisa juga krisis reputasi misalnya di hotel kita ternyata bocor atau semua kamar bau begitu. Atau kalau dari restoran misalnya daging kita daging yang menyebabkan tamu keracunan. Atau bisa juga misalnya ternyata salah satu karyawan kita berhubungan dengan pihak yang berwajib. Apapun yang sifatnya memang berbahaya bagi kelangsungan perusahaan. Kalau bicara soal dampak, selain gulung tikar, misalnya terjadi PHK besar-besaran, penurunan gaji, pemotongan fasilitas karyawan, dan semacamnya…”32
32
Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A
136
Terlihat dengan jelas bahwa krisis disituasikan dalam ruang lingkup yang sangat sempit, yakni materi. Apapun yang tidak mempengaruhi materi maka tidak bisa dikategorikan sebagai krisis. Meski begitu, Mr A memberikan contoh lain mengenai krisis yaitu hukum. Apabila seseorang yang berada di dalam organisasi harus berurusan dengan pihak kepolisian dan itu berpotensi berdampak kepada kepercayaan publik, maka hal tersebut diyakininya sebagai sebuah krisis. Apa yang diutarakan oleh narasumber disini krisis yang berdampak bagi pihak eksternal. Hal ini sama sekali tidak salah, hanya saja keyakinan ini yang membuatnya tidak peka dengan apa yang terjadi di dalam organisasi. Seyogyanya apa yang tercipta dari dalam, maka akan keluar dengan sendirinya. Apabila sendi sendi perusahaan dijaga dan dibina dengan baik maka tidak perlu krisis itu terjadi. Ketika ditelisik lebih jauh mengenai pengangkatan ini apabila dikaitkan dengan krisis manajemen, Mr A dengan lantang membantah dan menolak pernyataan tersebut. Dengan muka tegang dan dahi yang berkenyit, dia lantas bertanya kembali,
“…loh kenapa harus dipandang sebagai sebuah krisis? Memangnya hotel kita sekarang jadi sepi begitu karena yang memimpin ada dua orang? Kan tidak. Kalau ada yang menganggap ini krisis, darimana letak krisisnya? Saya sih tidak peduli kalau ada yang bilang ini krisis, pokoknya selama hotel ini masih berdiri ya kita masih baik-baik saja…”33
Tidak hanya menampik keberadaan krisis tersebut, dengan pemahaman akan krisis yang terbilang minim, ia menunjukkan sikap acuh ketika peneliti
33
Ibid
137
mencoba untuk menanyakan sekali lagi jika dirinya menyadari bahwa situasi ini berpotensi menimbulkan krisis komunikasi atau krisis kepercayaan terhadap perusahaan.
“…ya karyawan kan juga butuh uang untuk hidup, gak mungkin juga dengan seketika mereka melepaskan pekerjaannya cuma karena kita. Kalau kita gak dianggap credible, ya monggo, itu hak semua orang tho untuk menilai. Tapi kan ujungnya tetap mereka butuh pekerjaan. Saya juga disini kan kerja, se-gak sreg nya dengan manajemen, saya tetap butuh kerja…”34
Senada dengan Mr A, Mr B juga tidak jauh berbeda menjelaskan bahwa krisis berada dalam ruang lingkup materi dan image.
“…ya krisis itu yang situasi yang mempersulit perusahaan dalam mencapai target atau profit yang sudah ditetapkan. Krisis ketika secara keuangan kita sudah tidak lagi stabil dan tidak mampu lagi untuk bertahan misalnya sudah tidak mampu lagi menggaji karyawan kita. Atau bisa juga krisis image, misalnya kualitas makanan atau pelayanan kamar kita sangat buruk. Itu bisa juga tuh menyebabkan krisis. Dampaknya sendiri ya itu, collapse. Mati. Lumpuh total. Atau yang lebih ringan lagi, penurunan jumlah kamar yang disewakan. Tamu yang mulai melirik ke kompetitor lainnya. Karyawan mulai di pecat satu per satu. Seperti itulah. Ya intinya berita buruk yang sudah sampai ke kuping media dan akhirnya di blow up dan memunculkan berita buruk tentang hotel kita dan hampir semua media memberitakannya. Itu sudah fatal itu…”35
Memiliki pola pikir yang sama dengan Mr A, Mr B juga menampik jika keberadaan dua pimpinan tersebut dikatakan bisa berujung pada krisis 34 35
Ibid Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B
138
manajemen. Mr B dengan gaya anak muda yang acuh dan tidak kenal takut menekankan bahwa selama ini penjualan kamar dan penjualan makanan tidak dalam situasi yang memprihatinkan.
“…gak lah, hotel baik-baik saja koq. Restoran juga. Jadi kenapa harus takut? Kecuali hotel sepi, restoran sepi, itu baru krisis seperti yang saya sebutkan tadi. Kalau tamu mana mau tahu di hotel ini pimpinannya ada dua misalnya. Yang penting mereka menginap kamar bersih, fasilitas semua berfungsi, makanan enak, restoran nyaman. Iya tho?...”36
Menanggapi dari sisi yang lebih bijak, informan 1 menjawab dengan wibawa,
“…mungkin masih terlalu jauh ya kalau kita bandingkan ini dengan krisis. Bisa juga sih Anda kalau ini berlarut-larut dan manajemen semakin buruk saja. Yang sekarang saja sudah banyak membuat HOD mundur, itu kan berarti ada yang salah dalam manajemen, mungkin kebijakan perusahaan yang menjadi faktor penyebab, atau mungkin karena gaya kepemimpinan yang tidak bisa sejalan dengan budaya kerja masing-masing karyawan. Itu kan hak kita semua. Kita berhak untuk tetap kerja di sini, berhak juga untuk keluar dari sini. Kalau untuk performa hotel mungkin keputusan ini tidak banyak berpengaruh, keduanya boleh kurang memuaskan, tapi kan kita bekerja dengan banyak orang, banyak juga yang produktif, kerja keras, dan bermental kuat, nah performa kita diimbangi dengan keberadaan mereka semua. Tapi kalau berpengaruh dengan kepercayaan terhadap perusahaan, harus diakui Anda, memang ini cukup menguji idealisme kita. Antara mau bertahan atau tidak. Setiap orang kan memiliki pertahanan diri yang berbeda, ada yang kuat ada yang lemah…”37
36 37
Ibid Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1
139
Informan 1 menyebut fakta mengenai beberapa HOD yang mengundurkan diri belakangan ini. Meskti enggan menyebut dengan pasti alasan kenapa HOD-HOD tersebut meninggalkan perusahaan, namun informan 1 menyiratkan dengan pasti bahwa ada keterkaitan hubungan antara keluarnya mereka dengan situasi manajemen yang sekarang sedang dihadapi oleh perusahaan. Namun di lain sisi, ia juga mengatakan bahwa ketidakseimbangan yang terjadi di level non manajemen diimbangi dengan keberadaan karyawan yang memiliki semangat kerja yang tinggi, daya tahan diri yang kuat, dan pekerja keras. Sementara informan 2 yang memiliki kepribadian yang enerjik, komunikatif, dan dekat dengan karyawan meneguhkan posisinya yang berada di pihak karyawan. Memiliki latar belakang yang lebih beragam karena pernah bekerja selama 4 tahun di Abu Dhabi dan pernah bekerjasama dan sudah terbiasa bersosialisasi dengan orang dari berbagai kalangan ditambah dengan kemampuannya dalam menjalin hubungan dengan rekan kerja, media, maupun tamu, ia mendefinisikan krisis melalui pengalaman-pengalamannya selama bekerja di hotel.
“…krisis itu bagi saya situasi di mana semuanya serba sulit. Sederhananya, jika saya sudah tidak mempercayai manajemen, saya sendiri mengalami krisis bukan begitu? Krisis kepercayaan terhadap manajemen. Kalau dalam konteks yang lebih besar lagi, saya memandang krisis itu sebagai ancaman untuk perusahaan. Setiap krisis itu pasti bisa diredam, tapi harus ada yang bergerak. Harus ada yang berperan aktif. Jika
140
dibiarkan akan menumpuk dan kemudian berkembang hingga tidak dapat dikendalikan…”38
Mulai dari mengkategorikan jenis krisis kedalam dua ukuran, yakni kecil dan besarnya krisis. Ia juga memiliki kepekaan terhadap pentingnya sebuah krisis ditangani atau diatasi dengan cara berperan aktif dalam meredamnya. Tanpa ragu ia melanjutkan bahwa situasi yang dihadapi sekarang bisa jadi berimbas pada krisis manajemen yang disebabkan dari kedua pemimpin yang tidak memenuhi kualifikasi. Dirinya juga menyetujui jika krisis ini akan semakin parah jika tidak ada kebijakan baru guna memperjelas posisi keduanya. Dalam melakukan analisis, PR melakukan pengembangan dengan menggunakan formula yang sudah tidak asing lagi dalam dunia PR yaitu 5W + 1H. Hal ini guna mendapatkan hasil analisis yang mendalam, informatif, serta deskriptif.
What? (Apa penyebab krisis itu bisa terjadi?) Keputusan manajemen yang menyepakati keinginan pemilik hotel untuk mengangkat dua manajer untuk menggantikan posisi GM tunggal sebelumnya karena didasari dengan faktor kedekatan dan kebutuhan. Bukan karena didasari faktor kualitas dan kualifikasi untuk menjalankan kegiatan operasional perhotelan. Bahkan alasan kedekatan hubungan ini juga diakui oleh Mr B dalam wawancara yang telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya. Peneliti memanfaatkan situasi dimana kedekatan Mr B dengan 38
Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang kerja Informan 2
141
pemilik hotel seharusnya memang lebih memberikan kesempatan bagi peneliti untuk menggali informasi sedalam-dalamnya. Krisis komunikasi selanjutnya terjadi karena perubahan struktur organisasi dalam tingkatan General Manager oleh dua orang manajer yang tidak memiliki pengalaman yang cukup dan pemahaman yang baik terkait peran dan fungsi PR dalam struktur organisasi Aston at Kuningan Suites.
Why? (Mengapa krisis tersebut bisa terjadi?) Krisis tersebut bisa terjadi akibat tidak adanya tim PR yang fokus dalam menangani krisis ini. PR yang hanya terdiri dari satu praktisi yang menjalankan seluruh fungsi kehumasan serta marketing menunjukkan bahwa PR tidak bisa berkoordinasi dengan anggota tim lainnya yang berada di bawah naungan departemen sales and marketing karena masing-masing jabatan memiliki kesibukan dan kewajiban dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya sendiri. Singkatnya, PR tidak memiliki banyak keuntungan antara lain bekerja seorang diri, tidak memiliki akses komunikasi dalam jajaran top management, tidak hanya fokus pada fungsi kehumasan namun juga dituntut sebagai praktisi marketing, serta tidak diberikannya keleluasaan dalam berkarya.
Where & When? (Kapan dan dimana krisis tersebut bermula?) Krisis ini terjadi pada ranah komunikasi internal organisasi lebih tepatnya terjadi pada komunikasi vertikal (upward and downward
142
communication) antara Mr A, Mr B, dengan praktisi PR. Krisis ini bermula tepat pada saat pengangkatan secara tidak resmi keduanya diketahui oleh praktisi PR melalui isu-isu yang berkembang di kalangan non manajemen. Lebih tepatnya beberapa minggu selepas pengunduran diri GM sebelumnya, yaitu bulan Januari 2012.
How Far? (Sejauh mana krisis tersebut berkembang?) Krisis tersebut berkembang secara internal dan memiliki dampak tidak langsung secara eksternal. PR melihat bahwa tidak hanya ia yang dirugikan atas terjadinya krisis tersebut namun juga terjadi pada publik eksternal, contohnya yang sering dibahas sebelumnya adalah rekan media. Secara tidak langsung beberapa media yang sudah mengajukan proposalnya untuk meliput profil GM tidak berhasil mendapat liputan yang diinginkan akibat kesulitan PR untuk menunjuk salah satu diantara keduanya. Meskipun pada akhirnya PR dapat meredam rasa ingin tahu mereka mengenai hal tersebut dengan mengatakan bahwa liputan tidak dapat dilakukan akibat jadwal tidak tentu sang GM. Namun secara internal, krisis ini sudah berkembang hingga pada pengambilan keputusan yang terkesan tidak serius dan dampak dari kekuatan keduanya dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan.
143
Who? (Siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut? Apa perlu dibentuk suatu tim penanggulangan krisis?) Memandang jauh kebelakang pada awal mula krisis ini terjadi, praktisi PR mengatakan bahwa perubahan struktur jelas ada pada tatanan top management. Kekuasaan untuk mengubah struktur tersebut tentunya ada pada Aston International sebagai manajemen Aston at Kuningan Suites. Namun hal ini tampaknya cukup sulit untuk diwujudkan mengingat intervensi pemilik hotel sudah sangat tidak dapat dikendalikan. Maka yang dapat mengatasi krisis ini adalah pemilik hotel sebagai orang yang pertama kalinya mencetuskan ide ini dan mewujudkannya melalui kuasanya sebagai pemilik hotel. Pertanyaan selanjutnya dipandang oleh praktisi PR sebagai suatu keharusan karena hal ini sendiri disadari oleh banyak pihak baik kalangan manajerial dan non manajerial sebagai situasi yang tidak kondusif. Namun, yang menjadi pertanyaan pentingnya adalah bagaimana caranya membentuk sebuah tim jika PR sendiri berdiri sebagai staf praktisi, bukan sebagai dibawah naungan departemen Public Relations?
4.2.3 Isolasi Krisis Tahapan ini tidak dilakukan oleh praktisi PR mengingat tidak adanya tim khusus penanggulangan krisis. Keterbatasannya dalam menjangkau seluruh lapisan dampak krisis mengakibatkan krisis ini tidak dapat diisolasi sehingga dengan mudah dan cepat menyebar ke segala aspek fungsi PR lainnya. Isolasi
144
krisis juga tidak dilakukan oleh kalangan manajemen mengingat minimnya kesadaran mereka sendiri dalam merespon krisis ini secara aktif dan cepat.
4.2.4 Strategi Meredam dan Mengatasi Krisis Sebelum mengambil langkah-langkah komunikasi, Kasali mengatakan perlu adanya penetapan strategi generik yang harus diambil oleh perusahaan, diantaranya defensif, adaptif, dan dinamis. Sekali lagi keterbatasan PR yang tidak beranggotakan tim satupun membuatnya dengan terpaksa harus mengambil strategi defensif (devensive strategy) dimana ia tidak melakukan apa-apa, mengulur-ulur waktu, dan justru membentengi diri (stone walling). Selain mengatasnamakan keterbatasan tim, hal ini dilakukan karena dianggap paling mudah untuk dilakukan, tidak memakan waktu, tidak membutuhkan proses yang bertahap mengingat waktu yang dimiliki praktisi PR bersamaan dengan kewajiban dalam menyelesaikan pekerjaannya. Strategi ini juga yang diambil oleh kedua manajer dan pemilik hotel. Hal ini diperburuk oleh ketidaksadaran keduanya akan potensi krisis yang mungkin terjadi sebagai hasil keputusan manajemen. Lebih buruk lagi, keduanya tidak mengerti benar konsekuensi dan definisi dari krisis itu sendiri. Lalu sebenarnya apa yang menjadi harapan karyawan terhadap manajemen kedepannya yang lebih baik lagi? Peneliti menghimpun apa yang menjadi harapan beberapa subyek penelitian, seperti yang diutarakan oleh informan 1:
“…ya kita butuh satu pimpinan Anda. Jangan dua begini. Semakin banyak kepala semakin bingung kita. Apalagi kalau pada
145
kenyataannya keduanya tidak memiliki visi misi yang sama, repot itu Anda. Lalu selanjutnya dipilih yang paling mendekati kualifikasi, seperti kita merekrut karyawan juga seperti itu kan? Atau lebih baik lagi GM didatangkan dari pihak luar, jadi ide yang kita miliki lebih fresh lagi…”39
Kemudian harapan dari informan 2 yang bernada serupa,“…langkah pertama adalah adanya satu pimpinan saja. Langkah selanjutnya, pimpinan tersebut harus benar-benar memenuhi kualifikasi yang diinginkan dan harus lebih baik dari yang lalu…”. Harapan lainnya datang dari informan 3, “Satu-satunya jalan keluar adalah adanya GM baru dari luar lingkungan perusahaan. Bukan lagi dari dari dalam lingkungan perusahaan”. Krisis ini sendiri disadari oleh beberapa pihak salah satunya informan 2 yang menyadari keputusan ini memiliki probabilitas untuk berujung menjadi sebuah krisis manajemen. Kedekatan PR dan informan 2 mendorong PR berfikir lebih keras lagi bagaimana strategi bisa dilakukan olehnya tanpa perlu membentuk tim khusus penanggulangan krisis. Ia bahkan tidak sempat lagi untuk memikirkan bagaimana caranya merancang strategi yang adaptif agar krisis dapat diredam melalui langkahlangkah yang nyata sehingga krisis tidak berkembang dan dapat dikendalikan. Namun, rupanya ini tidak menjadi harga mati bagi praktisi PR tersebut. Baginya hal ini akan tetap menjadi momok selama perubahan struktur ini dibiarkan saja. Berangkat dari indektifikasi masalah dan siapa yang bisa menangani krisis ini, maka ia melihat peluang bahwa salah satu cara yang paling tepat digunakan 39
Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1
146
adalah dengan melakukan tindakan persuasif terhadap pemilik hotel, karena ia melihat hanya pemilik hotel lah yang mampu melakukan strategi adaptif dengan menggunakan langkah mengubah kebijakan. Mencoba meyakinkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan atau kuasa akan pengambilan keputusan terhadap perubahan struktur organisasi pada tingkatan general manager, praktisi PR melakukan approach atau pendekatan dengan pemilik hotel. Pendekatan dilakukan dengan berbagai cara, seperti perbincangan yang tidak direncanakan ketika bertemu sapa, namun dengan tetap memperhatikan kesibukan si pemilik hotel dan kenyamanan waktu dan juga tempat. Cara lainnya adalah dengan sengaja menemui pemilik hotel untuk membicarakan perihal restoran dan hotel namun dengan menyisipkan pertanyaan dan pernyataan seputar kedua manajer tersebut. Tidak jarang pula PR memanfaatkan situasi seperti meeting yang memang menghadirkan pemilik hotel. Dimulai dengan mempertanyakan kejelasan jabatan atau posisi yang harus dijawab oleh PR ketika mendapat pertanyaan dari media serta mempertanyakan perihal kemungkinan dibuatnya posisi atau jabatan baru sehingga keduanya tidak hanya dikenal sebagai GM in charge 1 dan GM in charge 2 karena hal ini justru hanya akan memancing media untuk bertanya lebih lanjut dan menggali lebih dalam dan hanya akan memperkeruh situasi dengan memberikan citra kepada media akan ketidak jelasan struktur organisasi hotel ini. Selama pendekatan ini dilakukan praktisi PR melihat adanya peluang untuk lebih meyakinkan pemilik hotel bahwa harus tetap ada langkah yang diambil. Pemilik hotel tidak menolak
147
bahwa apa yang yang menjadi keluhan praktisi PR selama ini memang sesuatu yang harus lebih diperhatikan. Strategi pendekatan ini sejak awal tidak memilki ruang waktu atau batasan waktu, PR hanya melihat peluang kapan strategi ini bisa dilaksanakan dan bagaimana pelaksanaannya. Berhubung PR tidak memiliki “bangku” di dalam rapat pengambilan keputusan, namun ia terus memantau dengan terus memperbaharui informasi yang dapat diperoleh dari manajernya yakni ADoS. PR tidak melaksanakan strategi ini dengan cara yang agresif atau terkesan menyudutkan pemilik hotel. PR melakukannya dengan sangat hati-hati, dengan kata lain pemilik harus benar-benar dalam keadaan yang kondusif dan tenang ketika memutuskan langkah yang harus diambil, namun pemilik juga harus tetap menyadari bahwa PR tidak dapat menunggu untuk beberapa waktu kedepan mengingat media yang berkunjung ke Aston selalu ada setiap minggunya, bahkan setiap harinya. Tepatnya tanggal 1 Desember 2012, strategi ini akhirnya membuahkan hasil, meskipun tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh PR tapi setidaknya ada langkah nyata yang diambil oleh pemilik hotel. Pagi itu PR menerima email yang dikirim oleh manajer departemen human resources yang menyatakan bahwa Mr A dan Mr B secara resmi diangkat menjadi EAM atau Executive Assistant Manager terhitung sejak tanggal 1 Desember 2012. PR menerima bahwa strategi ini bukan tidak membuahkan hasil, namun ternyata strategi ini tidak cukup tepat untuk membantu PR mencapai apa yang ingin diperolehnya. Secara gamblang, PR mengemukakan satu-satunya goal atau
148
harapan melalui strategi ini adalah pengangkatan pemimpin tunggal yang secara resmi diinformasikan melalui media komunikasi aktif yang berlaku di Aston at Kuningan Suites. Namun, apa yang diputuskan pada awal desember ini adalah (tetap) tidak adanya pemimpin tunggal dan tidak adanya perbedaan nama jabatan keduanya meskipun pada akhirnya pengangkatan ini diinformasikan secara resmi oleh pihak manajemen hotel dengan tujuan tidak lagi menimbulkan pertanyaan berulang-ulang yang terus diajukan oleh karyawan. Memperjelas posisi EAM pada struktur organisasi, peneliti mencoba menggambarkan melalui bagan berikut ini :
Bagan 5. Ilustrasi Struktur Organisasi Level Top Management
Dari bagan diatas dapat terlihat bahwa posisi EAM atau Executive Assistant Manager berada dibawah Residence Manager atau disingkat dengan RDM. EAM sendiri berada diatas HOD atau Department Manager. Struktur ini jarang digunakan kecuali pada hotel berbintang 5 atau hotel dengan jumlah kamar yang sangat banyak dan tempat yang luas yang membutuhkan sumber daya
149
manusia lebih banyak dari hotel hotel berbintang lainnya. Biasanya struktur ini kemudian digunakan ketika memang posisi GM tidak ada. Awalnya struktur ini diberikan oleh head office sebagai pilihan kepada pemilik hotel untuk dapat memutuskan akan menempatkan dimana posisi kedua manajer tersebut. Kemudian pemilik hotel memutuskan keduanya berada dalam posisi EAM mengingat pertimbangan bahwa keduanya belum memenuhi kualifikasi sebagai general manager. Pemilik hotel pun mengakui bahwa keputusan ini diambil mengingat sudah banyak pertanyaan seputar jabatan dan posisi keduanya karena tamu bisa dengan bebas bertanya siapa pimpinan hotel atau ketika mereka ingin sekedar mengajukan proposal melalui email dan akan menujukannya kepada pimpinan hotel.
4.2.5 Pengendalian Krisis Mengacu pada strategi yang sudah dilakukan dan membuahkan hasil meski tidak maksimal, kenyataannya tidak diikuti dengan rancangan program pengendalian yang baik. Program pengendalian mengacu pada strategi generik yang sudah diterapkan sebelumnya, maka yang seharusnya melakukan program pengendalian ini adalah pihak manajemen dimana keputusan manajemen yang baru dimana kedua manajer diangkat secara resmi sebagai EAM (Executive Assistant Manager) dan diinformasikan secara resmi tidak dimanfaatkan untuk merancang program pengendalian selanjutnya. Dengan kata lain, krisis yang pada kenyataannya tidak terselesaikan secara sempurna kembali terbengkalai begitu saja.
150
4.3 Pembahasan Pada sub bab pembahasan ini, peneliti akan mengulas hasil analisis data yang telah dipaparkan sebelumnya dengan lebih luas lagi. Lebih jelas lagi peneliti akan membandingkan 5 tahapan manajemen krisis yang telah dilakukan oleh PR Aston at Kuningan Suites di lapangan dengan teori mengenai manajemen krisis yang telah dikemukakan oleh Rhenald Kasali. Peneliti melihat bahwa tahapan manajemen inilah yang paling tepat dijadikan acuan dalam fokus penelitian karena jelas dan sistematis.
4.3.1 Latar Belakang Krisis dalam Aston at Kuningan Suites Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada kedua manajer, tidak satupun dari keduanya mengakui bahwa yang terjadi merupakan suatu krisis atau berpotensi menjadi krisis. Melalui pengamatan pula, peneliti mengasumsikan keduanya memiliki definisi yang sempit terhadap krisis itu sendiri. Krisis masih diartikan sebagai satu satunya hal yang menyebabkan perusahaan gulung tikar. Krisis bukan dipandang sebagai sesuatu yang luas seperti dimana ada hal yang tidak berjalan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang sudah ditetapkan maka hal itu dapat dikatakan sebagai sebuah krisis. Pada saat identifikasi masalah guna menentukan faktor penyebab yang dilakukan oleh praktisi PR dapat dikatakan cukup baik. Ia memulai dengan memutuskan faktor penyebabnya yakni keputusan manajemen seperti yang diungkapkan oleh Dan Lattimore dalam bukungan yang berjudul Public
151
Relations Profesi dan Praktik, sebagai faktor keempat atau faktor terakhir terjadinya krisis dalam sebuah perusahaan. Berbeda dengan faktor lainnya seperti bencana alam, masalah teknis, dan kesalahan manusia dimana ketiganya dapat dikategorikan mutlak sebagai sebuah kesalahan. Namun keputusan manajemen menuntut praktisi PR untuk lebih jeli lagi melihat masalah yang ada. Setiap keputusan manajemen mungkin tidak dipandang sebagai potensi terjadinya krisis. Terlebih jika keputusan diambil tidak dalam keadaan yang terburu-buru atau ketika perusahan dalam keadaan waspada. Ketika pemilik hotel memutuskan pengangkatan kedua manajer, pemilik hotel melakukannya dalam situasi dimana pengangkatan keduanya bukan menjadi suatu keharusan. Justru yang menjadi prediksi karyawan adalah akan datangnya GM baru. Jadi apa yang dirasakan oleh karyawan pengangkatan ini mengejutkan mereka, namun tidak ada yang pernah memprediksi perubahan gaya kepemimpinan mereka di masa yang akan datang. Berbicara mengenai gaya kepemimpinan, peneliti merujuk kepada 6 gaya kepemimpinan yang dinyatakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya. Dari semua gaya kepemimpinan ternyata hanya 4 diantaranya yang secara konsisten memberikan pengaruh yang positif terhadap suasana dan hasil kerja. 6 gaya tersebut antara lain : gaya koersif, gaya otoritatif, gaya afiliatif, gaya demokratis, gaya pacesetting, dan gaya coaching. Berangkat dari deskripsi penemuan di lapangan yang dipaparkan dengan deskriptif sebelumnya, peneliti melihat bahwa kedua manajer memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Mr A yang dideskripsikan sebagai pemimpin yang kaku, terlalu banyak menuntut,
152
dan memilki komunikasi yang buruk dengan bawahan cenderung dikategorikan kedalam gaya pacesetting. Goleman menjelaskan gaya ini sebagai pemimpin yang menetapkan standar kinerja yang amat tinggi dan memberi contoh sendiri. Ia bersikap sangat obsesif mengenai melakukan segala macam hal dengan lebih cepat dan lebih baik namun memintanya dengan menyamaratakan semua orang yang ada di sekelilingnya. Ia tidak suka memberikan feedback dan suka mengambil alih pekerjaan jika melihat pelaksanaan pekerjaan bawahannya di bawah standar. Pimpinan dengan tipe seperti ini menuntut bawahan untuk memahami dan mengerti keinginannya tanpa mensosialisasikannya kemudian menuntut pekerjaan diselesaikan sebelum atau tepat pada waktunya. Gaya pacesetting dapat merusak suasana kerja. Banyak pekerja akan merasa kewalahan dengan tuntutan kesempurnaan dari atasannya, dan semangat kerja mereka akan turun40. Gaya ini paling jelas tergambar ketika morning briefing yang biasa dilakukan di ruang meeting terpaksa harus dilakukan di ruang departemen sales and marketing. Peneliti yang berada di ruangan yang sama dapat menganalisa dan menyadari dengan sangat mudah bagaimana Mr A selalu menuntut pekerjaan diselelesaikan sebelum waktunya atau tepat pada waktunya tanpa bersedia mendengarkan penjelasan manajer departemen yang saat itu mencoba tanpa henti untuk memberikan alasan yang rasional mengapa akhirnya pekerjaan tersebut terbengkalai. Pada akhirnya peneliti banyak mendengar para manajer departemen mengeluhkan hal ini karena mereka merasa kewalahan
40
Daniel Goleman , Kepemimpinan yang Mendatangkan Hasil, Yogyakarta: Amara Books, 2003, 20-42.
153
dengan seluruh tugas yang diberikan namun tidak didukung dengan sumber daya manusia yang cukup. Sementara itu, peneliti mengkategorikan Mr B sebagai pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang koersif. Goleman menjelaskan secara rinci cirri-ciri pemimpin dengan gaya kepemimpinan tersebut diantaranya selalu mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan bawahan. Pimpinan memiliki modus operandi bahwa perintahnya harus dipenuhi dengan segera. Di dalam memimpin biasanya pimpinan dengan tipe seperti ini menanamkan dorongan untuk mencapai tujuan organisasi, memiliki inisiatif dan kontrol di dalam diri bawahannya. Namun gaya kepemimpinan seperti jarang mau menerima ide-ide dari bawahannya, suka mengambil keputusan sendiri dan tidak dapat mentoleransi laporan buruk dari bawahan. Gaya kepemimpinan seperti ini mendapatkan hasil yang maksimal ketika menghadapi suatu krisis, untuk memulai suatu perubahan atau ketika menghadapi masalah dengan pegawai41. Sama halnya dengan Mr A, peneliti melihat ciri-ciri yang telah dijabarkan oleh Goleman di dalam diri Mr B selama rapat dilakukan. Mr B bahkan terkadang terkesan sangat agresif dalam menolak ide-ide dari bawahannya. Ia akan mengajukan pertanyaan balik mengenai ide kepada sang manajer departemen dengan nada sedikit merendahkan. Ia tidak menyukai ide dari orang lain, ia sangat menyukai ide yang muncul dari dalam kepalanya. Kemudian ia tidak menyukai jika idenya ditentang, atau ketika ide orang lain lebih disetujui. Ia secara tersirat menginginkan idenya dipuji, bahkan tidak jarang ia suka
41
Ibid. 20-42
154
mengelu-elukan dirinya sendiri. Dan biasanya orang-orang yang berada disekelilingnya lebih memilih untuk diam atau mengangguk tanda setuju. Jika menerima laporan buruk ia akan dengan cepat menaikkan volume suaranya. Pada awal pengangkatannya, karyawan melihat Mr B sebagai “pemimpin baru” yang rendah hati, tidak banyak cakap karena ia sadar dirinya masih harus belajar. Namun seiring berjalannya waktu, Mr B mulai menunjukkan pemimpin seperti apa dirinya. Hal ini bahkan pernah menjadi obrolan diantara departemen manajer lainnya yang melihat perbedaan signifikan Mr B ketika dulu dan kini. Pada identifikasi masalah, praktisi PR juga sempat menyebutkan mengenai grafik keluar masuknya karyawan yang dirata-ratakan 5 – 6 karyawan mengundurkan diri setiap bulannya. Observasi yang dilakukan di lapangan juga menunjukkan bahwa pengunduran diri karyawan tidak hanya terjadi pada kalangan non manajemen, namun juga terjadi pada kalangan manajemen contohnya HOD. Selama kurun waktu 12 bulan ini, sedikitnya ada 5 dari 9 HOD yang ada mengundurkan diri. Dari kalangan non manajemen sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mengundurkan diri. Fakta menarik justru didapat dari lapangan, yakni pengunduran diri dipandang bagi Mr A dan Mr B sama sekali tidak ada masalah. Justru situasi ini dimanfaatkan keduanya untuk merekrut karyawan baru yang tidak lain adalah teman mereka sendiri. Ironis jika saat ini beberapa karyawan yang berasal tidak dari “perekrutan murni” tampak seperti ingin membalas budi atas kebaikan keduanya yang telah memberikan kesempatan mereka untuk bekerja di Aston at Kuningan Suites. Yang lebih
155
ironis lagi, ketika mereka berada di wilayah abu-abu dan tidak bisa lagi menilai secara objektif mana yang benar dan yang salah. Diperkuat dengan hasil wawancara sebelumnya terkait makna krisis yang dipersepsikan oleh masing-masing subyek penelitian yang menyebutkan bahwa kedua key informan yakni Mr A dan Mr B hanya mampu menyebutkan bahwa krisis adalah situasi yang berdampak buruk terhadap kondisi keuangan dan citra yang berujung pada penurunan angka revenue yang signifikan dan penurunan jumlah tamu dan pelanggan. Kenyataan ini bertolak belakang dengan teori yang di kemukan oleh Fink yang melihat krisis sebagai “an unstable time or state of affairs in which a decive change implending – either distinc possibility of a highly undesirable outcome or one with distinc possibility of a highly desirable and extremely positive outcome”42. Sebuah kondisi yang tidak stabil. Fink adalah salah satu pakar yang melihat bahwa krisis tidak selalu mengantar perusahaan pada kebangkrutan. Kondisi dalam badan PR juga tidak luput dari identifikasi masalah. Hotel berbintang 4 dan berada di wilayah yang strategis di ibu kota, dimana hotel ini diapit oleh dua jalan besar yaitu HR Rasuna Said dan Jenderal Sudirman hanya di kelola oleh satu orang saja praktisi PR. Tidak hanya itu, PR yang tidak berdiri sendiri dalam departemen PR melainkan dibawah naungan departemen sales and marketing. PR sendiri memiliki jabatan sebagai officer. Selayaknya PR memiliki 3 tingkatan jabatan mulai dari PR admin, PR officer, PR executive, hingga PR manager. Bisa dibayangkan apabila seorang PR officer harus
42
I Gusti Ngurah Putra, Manajemen Hubungan Masyarakat, Cetakan 1, Yogyakarta: 1999, 84.
156
bertanggung jawab atas seluruh kegiatan kehumasan dan marketing PR seorang diri. Apa yang dikemukakan Frank Jefkins bahwa agar dapat bekerja secara efektif, humas perlu diberi suatu posisi atau status jabatan resmi yang cukup tinggi sehingga setiap saat ia dapat berhubungan secara mudah dengan pihak manajemen, termasuk dengan para kepala bagian atau pimpinan semua departemen dari organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa PR tidak dipandang sebagai posisi yang khusus dan penting sehingga ia tidak diberikan akses untuk dapat berdiskusi langsung pada morning briefing HOD yang dilaksanakan setiap pagi pukul 9 dan tidak pula diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan yang sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan komunikasi internal maupun eksternal perusahaan. Hal ini menyulitkan praktisi PR untuk dapat menumpahkan keluhan dan gagasan yang sifatnya penting dan harus segera diutarakan. Sebelumnya juga dipaparkan dalam deskripsi penemuan bagaimana PR yang bermaksud melakukan kegiatan komunikasi dengan pihak eksternal dengan mengirimkan ucapan selamat Tahun Baru China dihambat oleh ADoS yang merasa hal itu tidak perlu dilakukan. Hal ini jelas bertentangan dengan teori pemeliharaan hubungan dengan public sebagai salah satu fungsi PR yang dikemukakan oleh Oemi Abdurrachman. Keputusan manajemen yang tidak didukung dengan pemeriksaan yang baik terhadap konsekuensi dan sebagainya, lemahnya posisi PR dalam struktur organisasi, masih harus diperburuk oleh ketidak-pemenuhan kualifikasi dalam diri kedua manajer. Tidak satu atau doa orang yang berpendapat demikian,
157
namun juga 2 informan yang berasal dari kalangan HOD memiliki sudut pandang yang sama. Apa yang sudah menjadi identifikasi tahap awal dilakukan dengan tepat karena praktisi PR memandang ini dari 3 sudut pandang yang berbeda. namun apakah sudah juga dilakukan penanggulangan krisis yang tidak hanya tepat namun juga cepat?
4.3.2 Analisis Kondisi Krisis Pada Aston at Kuningan Suites Selanjutnya peneliti akan mengkritisi analisis krisis yang dilakukan dilapangan dengan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan teori manajemen krisis. Analisis krisis yang dilakukan menggunakan teori dari Steven Fink yaitu menggunakan formula 5W + 1 H. Pada penelitian di lapangan, peneliti menemukan bahwa yang mendasari terjadinya krisis ini adalah tidak berjalannya komunikasi yang baik dan efektif antara pihak manajemen dengan praktisi PR. Dengan kata lain, peneliti menemukan hambatan dalam proses komunikasi yang terjadi diantara mereka. Proses komunikasi memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Pada kasus ini, ada pesan yang diterima secara murni persis seperti pertama kali pesan dikirimkan, namun lebih banyak lagi pesan yang telah mengalami modifikasi dan akhirnya diinterpretasikan oleh si penerima pesan sesuai dengan kerangka struktur sosial dan latar belakang sistem kepercayaan masing-masing. Apa yang ditemukan di lapangan bisa dikaitkan dengan teori mengenai hambatan komunikasi yang menjadi akibat dari perbedaan latar belakang seperti yang bisa dilihat pada profil singkat keduanya di bab sebelumnya. Perbedaan lainnya adalah umur, jenis kelamin dan kelas
158
sosial. Sangat jelas tergambar bahwa keduanya memiliki jenjang umur yang sangat jauh, Mr A berumur diatas 40 tahun, sementara Mr B masih berumur 29 tahun. Umur ini saja sudah memiliki impact yang besar terhadap perbedaan yang lainnya, seperti perbedaan gaya hidup, keduanya lahir dan besar di era yang berbeda. Perbedaan ini didukung dengan status perkawinan dimana Mr A sudah berkeluarga sedangkan Mr B masih lajang. Pola pikir, cara menghabiskan waktu luang, kebutuhan, keinginan sudah sangat jauh berbeda. Mr A memiliki 2 orang anak yang sudah besar, ia lebih suka pulang tepat waktu dengan keinginan dapat menghabiskan waktu bersama keluarganya. Mr B sendiri, selain memang tinggal di hotel, ia juga memiliki hobi bermain basket dan suka menghabiskan waktunya di Pastis hingga larut malam. Pada akhir pekan, Mr B selalu pulang kampung ke Bandung tempat kedua orang tuanya tinggal. Kurangnya rasa saling menghormati tidak kalah penting menjadi faktor penghambat komunikasi keduanya. Peneliti melihat bahwa budaya yang muda tidak mau mengikuti yang tua atau yang tua tidak mau kalah dengan yang muda cukup untuk menggambarkan kondisi komunikasi keduanya. Perbedaan lainnya adalah keahlian berbahasa, didalamnya juga termasuk keahlian dalam berkomunikasi, gaya komunikasi, bentuk komunikasi yang disukai, dan sebagainya. Dari beberapa perbedaan yang dibahas diatas, praktisi PR tidak hanya menghadapi hambatan upward communication namun juga harus menerima dampak dari kerusakan komunikasi keduanya. Seperti penemuan penelitian yang diperoleh bahwa PR seringkali mengalami masalah ketika mengajukan pertanyaan yang sama dan memperoleh jawaban yang berbeda dari
159
keduanya. Hal ini tidak hanya menghambat proses komunikasi namun juga menghambat pekerjaan praktisi PR. Tidak jarang PR memilih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus melibatkan keduanya. Langkah ini diambil untuk mengurangi ketegangan yang terjadi akibat konflik komunikasi yang berpotensi terjadi. Komunikasi PR kepada keduanya juga berkurang seiring dengan komunikasi yang semakin tidak efektif. Neni Yulianita menyebutkan beberapa contoh komunikasi dari bawah ke atas meliputi laporan prestasi kerja, saran, opini, usulan anggaran, hingga laporan negatif karena secara psikologis bawahan akan mempunyai rasa segan bahkan takut jika atasan tidak menyenanginya dan akan menimbulkan konsekuensi yang dapat berakibat fatal bagi dirinya43. Peneliti sendiri berpendapat bahwa budaya mengungkapkan pendapat tidak dibangun sejak awal dan tidak didukung oleh kesadaran diri masing-masing manajer departemen. Padahal budaya menjadikan setiap karyawan berkontribusi aktif terhadap kemajuan perusahaan dapat dibina dengan program-program acara yang bersifat kebersamaan, kekeluargaan dan sebagainya melalui strategi employee relations. Hubungan karyawan yang tidak dibina dengan baik dapat dilihat ketika pada saat acara buka puasa bersama seluruh staf karyawan hanya dihadiri oleh karyawan dari beberapa departemen saja. Bahkan yang mengejutkan ketika seluruh karyawan departemen accounting sama sekali tidak menghadiri acara tersebut dan pulang tepat waktu. Mr A sebagai manajer accounting pun tidak menampakkan batang hidungnya selama acara berlangsung. Ini merupakan sifat
43
Neni Yulianita, Dasar-dasar Public Relations, Bandung: LPPM UNISBA, 2003, 100-102.
160
apatis yang ditunjukkan oleh pimpinan jadi bukan menjadi hal yang besar ketika bawahan meniru dan mencontoh yang dilakukan oleh pemimpin mereka. Hal ini terjadi sebagai akibat dari gaya kepemimpinan keduanya yang tidak berdampak positif bagi karyawan, seperti yang dijelaskan secara rinci oleh Onong Uchjana Effendy mengenai kesamaan kebutuhan karyawan. Gaya kepemimpinan yang dimaksud bukan mengaitkan kepada kebutuhan karyawan akan upah gaji yang memuaskan, namun lebih ditujukan terhadap kebutuhan akan perasaan diakui (sense of belonging), penghargaan atas hasil kerja, dan yang paling penting adalah penyalur perasaan44. Tidak ada media seperti majalah internal yang dapat memuat usul-usul, pendapat-pendapat, saran-saran, atau hasrat-hasrat para karyawan. Selain itu media internal juga dapat menyalurkan bakat mereka dan merupakan medium hubungan batin antara pimpinan dengan karyawan dan antara karyawan dengan karyawan. Majalah internal hendaknya dibuat oleh praktisi PR dalam menjalin dan membina employee relations, namun disini praktisi PR kurang aktif dalam menjalankan aktivitas-aktivitas internal guna mendukung produktivitas karyawan dalam bekerja. Pentingnya kegiatan komunikasi humas internal yang dilaksanakan oleh praktisi PR diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Rosady Ruslan, bahwa kegiatan komunikasi humas internal bertujuan antara lain untuk menghilangkan kesalapahaman atau hambatan komunikasi antara manajemen perusahaan dengan para karyawannya, sebagai sarana saluran atau alat komunikasi dalam upaya menjelaskan tentang kebijaksanaan, peraturan dan ketatakerjaan dalam
44
Onong Uchjana Effendy, Human Relations dan Public Relations, op. cit., 145-148.
161
sebuah organisasi, dan yang terakhir adalah sebagai media komunikasi internal bagi pihak karyawan untuk menyampaikan keinginan-keinginan atau sumbang saran dan informasi serta laporan kepada pihak manajemen perusahaan (pimpinan)45. Dalam paparan observasi sebelumnya, peneliti memaparkan konflik komunikasi yang terjadi ketika Mr B dengan tegas mempertahankan pilihannya dalam bahan material pembuatan menu baru. Mr B memintanya untuk tetap di laminasi gloss, sementara semua orang yang ada di ruang meeting mengatakan laminasi gloss memberikan kesan murahan. Inilah yang disebut Frank Jefkins dalam bukunya yang berjudul Public Relations bahwa PR memiliki manfaat atau kegunaan dalam pengelolaan atau pelaksananaannya, yaitu salah satunya ada identitas perusahaan. Inilah apa yang harus dijaga oleh praktisi PR yang bekerja di perusahaan manapun dan mewakili produk apapun. Bahwasanya identitas perusahaan, terlebih lagi Aston at Kuningan Suites yang berada tepat di sebelah Hotel Four Season ini sudah dikenal baik dan termasuk dalam kategori hotel berbintang, maka sudah sepantasnyalah seluruh kalangan top management menjaga brand atau nama hotel serta restoran itu sendiri. Menjaga nama brand tidak hanya sekedar menjalankan peraturan hotel dan mengikuti peraturan pemerintah, namun juga didalamnya termasuk menjaga level dimana brand itu berada. Kasus lainnya yang juga terjadi selama krisis berlangsung adalah bagaimana Mr B meminta PR dan graphic designer untuk membuat materi 45
Rosady Ruslan, Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, 258-259.
162
desain iklan yang lebih berwarna dan tidak mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh manajemen pusat. Ketika teguran dilayangkan kepada Mr B dan PR, Mr B menolak untuk membalas email tersebut. Rosady Ruslan pernah menyatakan bahwa salah satu fungsi PR dalam manajemen dalan memberikan advice (nasihat) kepada pimpinan organisasi dengan tidak mengabaikan kepentingan umum. Sudah sepatutnya apa yang menjadi advice dari praktisi PR didengar dan dipertimbangkan lebih dahulu sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum. Hal yang patut dikritisi ketika krisis dianalisis dengan menjawab pertanyaan (where and when) kapan dan dimana krisis tersebut bermula? Krisis ini dalam hasil analisis data analisis sebelumnya digambarkan terdeteksi tepat pada saat pengangkatan secara tidak resmi keduanya diketahui oleh praktisi PR melalui isu-isu yang berkembang di kalangan non manajemen atau lebih tepatnya beberapa minggu selepas pengunduran diri GM sebelumnya yaitu bulan Januari 2012. Saat itulah sebenarnya saat yang tepat bagi praktisi PR untuk mengadakan kegiatan komunikasi humas internal untuk menghilangkan kesalapahaman atau hambatan komunikasi antara manajemen perusahaan dengan para karyawan. Setidaknya, hal ini menjadi salah satu alternatif strategi tercepat untuk meredam krisis agar tidak berdampak lebih luas lagi. Dan hanya strategi inilah yang bisa dilakukan dalam level PR mengingat yang mendasari krisis ini adalah keputusan manajemen, maka sebenarnya jajaran manajemenlah yang dianggap paling mampu meredam krisis ini sesuai dengan analisis krisis dalam menjawab pertanyaan siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut
163
(who). Praktisi PR memang belum tentu bisa mengatasi sebuah krisis, tapi setidaknya ia mampu meredam krisis guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
4.3.3 Isolasi Krisis Pada Aston at Kuningan Suites Rhenald kasali mengatakan bahwa krisis itu seperti sebuah wabah penyakit, jika tidak di isolasi maka ia berpotensi untuk menular46. Maka dari itu tindakan isolasi sangat penting dilakukan sebelum penentuan strategi. Strategi meredam isu melalui kegiatan komunikasi humas internal yang dibahas sebelumnya yang seharusnya menjadi langkah untuk menjawab tahapan manajemen krisis selanjutnya yakni meng-isolasi krisis agar tidak menular ke aspek lainnya. Namun hal ini tidak dilakukan sebagaimana teori yang ada. PR mengakui kesulitannya untuk memusatkan perhatian pada krisis ini dengan alasan keterbatasan SDM yang ada di badan PR. Tidak bisa membentuk tim penanggulangan krisis menjadi alasan utama tidak dikelolanya situasi yang kurang menguntungkan ini. Di badan manajemen sendiri, isolasi krisis tidak juga dilakukan mengingat kesadaran manajemen terlebih pada kedua manajer terhadap krisis dan dampaknya sangat kurang. Seperti apa yang sudah dipaparkan bab sub bab sebelumnya, bahwa PR Aston at Kuningan Suites selain menjalankan fungsinya sebagai praktisi kehumasan dan marketing, ia juga menjalankan fungsinya sebagai event management dengan menjadi pencetus ide acara, pelaksana sekaligus tidak jarang juga menjadi master of ceremony atau 46
Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003, 231.
164
yang lebih dikenal sebagai MD. Persis seperti yang juga dikemukakan oleh Oemi Abduracchman dalam bukunya yang berjudul Dasar Dasar Public Relations, bahwa PR bertujuan untuk memelihara hubungan dengan pelanggan, komunitas, serta pers. Bedanya, dalam kasus ini PR bekerja seorang diri.
4.3.4 Strategi Manajemen Krisis Aston at Kuningan Suites Jika ditelusuri kembali jejaknya kebelakang, krisis ini bisa jadi beredar karena sebuah isu yang diabaikan begitu saja. Isu yang berkembang bebas lah yang kemudian dijadikan mind set oleh para karyawan dan rekan HOD yang lainnya. Bagaimana isu keduanya yang berasal dari kalangan manajer biasa dengan latar belakang yang terbilang minim dalam memimpin sebuah hotel kemudian diinterpretasikan secara negatif sebagai pengangkatan yang hanya berlandaskan kedekatan hubungan dan pemanfaatan yang satu untuk mempersiapkan yang lainnya inilah yang kemudian menjadi momok yang lekat dalam ingatan anggota perusahaan. Peneliti menyebutnya sebagai respon yang negatif karena menurut penelitian di lapangan, tidak ada satu pun karyawan yang mengatakan persetujuannya terhadap keputusan manajemen ini. Munculnya sebuah isu menurut US specialist Hainsworth and Meng, yaitu:
“As a consequence of some action taken, or proposed to be taken, by one or more parties which may result in private negotiation and adjustment, civil or criminal litigation, or it can
165
become a matter of public policy through legislative or regulatory action”47
Definisi diatas menjelaskan bahwa sebuah isu muncul sebagai sebuah konsekuensi atas suatu tindakan yang berujung pada negosiasi dan penyesuaian terhadap kebijakan publik. Definisi lain mengenai isu menurut Philip Lesly adalah: “An issue is a matter in dispute; an emerging issues is a matter that shows signs of developing into a dispute. Disputes generally involve differing points of view between adversaries about what should or should not be done, or how some matter of mutual concern should be handled.” 48
Lesly menjelaskan bahwa isu adalah suatu hal yang menunjukkan tandatanda yang akan berkembang ke perpecahan. Hal ini termasuk perbedaan pandangan mengenai apa yang harus atau yang tidak boleh dilakukan, atau bagaimana sebuah persoalan harus ditangani. Jika dalam sub bab deskripsi penemuan diatas digambarkan bagaimana baik praktisi PR maupun manajemen mengambil strategi defensif (devensive strategy) maka sebenarnya isu inilah yang mereka abaikan yang kini berkembang menjadi krisis manajemen. Belum lagi keterbatasan sumber daya manusia yang selalu digarisbawahi sebagai akibat dari kelalaian praktisi PR dalam meredam isu yang muncul, manajemen juga tidak memiliki inisiatif untuk melakukan upaya perbaikan dengan merancang strategi adaptif.
47
Michael Regester, Judy Larkin, Risk Issues and Crisis Management in Public Relation’s, New Delhi, India: Crest Publishing House, 2003, 42. 48 Philip Lesly, Lesly’s Handbook of Public Relations and Communications, 4th edition, Chicago, Illinois: Probus Publishing Company, 1991, 23.
166
Meskipun dapat dikatakan terlambat, namun yang dilakukan praktisi PR dengan “merangsang” pemilik hotel untuk membuat keputusan manajemen sebagai lanjutan dari keputusan sebelumnya sebagai strategi adaptif yang harus dilakukan melalui approaching atau pendekatan personal kepada pemilik hotel cukup bisa mengurangi dampak krisis lebih luas lagi. Dari keempat langkahlangkah strategi adaptif yang dikemukakan oleh Rhenald Kasali, antara lain: mengubah kebijakan, modifikasi operasional, dan meluruskan citra, setidaknya PR berperan dalam melakukan kompromi melalui pendekatan dengan pemilik hotel. Kemudian perubahan kebijakan, modifikasi operasional dilakukan langsung oleh pihak pemilik hotel. Sementara langkah meluruskan citra dilakukan oleh manajer HR yang berinisiatif menginformasikan pengangkatan ini melalui media komunikasi yang resmi dan aktif yaitu email. Kembali kepada apa yang menjadi goal atau tujuan diredamnya krisis ini yaitu, pengangkatan pemimpin tunggal yang secara resmi diinformasikan melalui media komunikasi aktif yang berlaku di Aston at Kuningan Suites, praktisi PR merasa ini tetap menjadi pekerjaan rumah atau PR yang harus diselesaikan. Peneliti melihat pencapaian yang tertinggi belum dicapai mengingat yang menjadi harapan publik internal adalah dipilihnya satu pimpinan yang berasal dari lingkungan luar perusahaan. Seorang pimpinan baru yang membawa angin segar terhadap kualitas manajemen. Sebagai orang yang berhasil “merangsang” terjadinya kebijakan baru atas kejelasan informasi guna
167
memperjelas keduanya, sepatutnya manajemen menaruh perhatian lebih besar lagi terhadap peran dan fungsi PR dalam perusahaan.
4.3.5 Program Aston at Kuningan Suites dalam Mengendalikan Krisis Apa yang dimaksud program pengendalian dalam teori manajemen krisis Rhenald Kasali? Program pengendalian merupakan langkah penerapan yang dilakukan menuju strategi generik yang dirumuskan. Umumnya strategi generik dapat dirumuskan jauh-jauh hari sebelum krisis timbul, sebagai guidance. Sedangkan program pengendalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul. Implementasi pengendalian diterapkan pada perusahaan, industri (gabungan usaha sejenis), komunitas, serta divisi-divisi perusahaan. Program pengendalian yang dimaksud adalah bagaimana manajemen mulai merancang startegi akan kemungkinan krisis baru yang muncul setelah pengangkatan resminya kedua manajer sebagai EAM 1 dan EAM 2. Hal ini tentunya tidak menjadi tanda berhentinya sebuah krisis. Apa yang membedakan situasi sebelumnya dengan saat ini adalah bahwa keduanya kini secara resmi dapat merubah nama jabatan di kartu namanya, dokumen surat, di press release, dan dengan pasti keduanya dapat diperkenalkan ke seluruh publik internal maupun eksternal sebagai EAM. Tidak seperti sebelumnya dimana praktisi PR mengalami kesalahan penyebutan nama jabatan saat memperkenalkan Mr B kepada rekan media yang sedang berkunjung.