BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Desa Hulawa tepatnya berada pada kisaran kordinat 0°34'44.63"N dan 123° 2'45.56"E, dengan luas Wilayah 2.385 H. Hulawa adalah salah satu desa diwilayah Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo, sebelah Timur berbatasan dengan Kota Gorontalo melaului batas Sungai Bolango, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pilohayanga dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Luhu. Gambar. 1 Peta Desa Hulawa
Desa Hulawa terdiri atas 4 Dusun dengan jumlah penduduk 3.673 jiwa yang terdiri 1796 jiwa Laki-laki dan 1877 jiwa Perempuan, dan terdapat 2.200 Kepala Keluarga. 4.2 Deskripsi Hasil Penelitian 4.2.1 Kesadaran hukum masyarakat Desa Hulawa dalam mensertifikat hak atas tanah miliknya Kepemilikan tanah dewasa ini menjadi masalah yang kompleks dan bahkan memunculkan banyak peselisihan, mulai dari dominasi pengusaha yang di backup oleh pemerintah, ada juga karena perebutan hak waris semua itu menjadi fenomena biasa dalam lingkungan masyarakat. Gorontalo khususnya, masalah sengketa tanah mulai kelihatan, penyebab utamanya itu karena factor ekonomi masyarakat yang mulai menunjukkan perbaikan sehingga ada sebagian masyarakat yang memiliki modal berupaya untuk memiliki tanah-tanah yang potensial. Terlepas dari itu, lebih khusus seperti halnya yang ada di desa Hulawa Kab. Gorontalo, dalam hasil pengamatan peneliti wilayah administratif tersebut sebagian besar masyarakatnya belum memiliki sertifikat atau hak kepemilikan tanah yang sah. Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti ini dapat diperjelas dengan data-data hasil yang peroleh peneliti di lapangan. Untuk lebih jelasnya, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang berhubugan persoalan tanaha. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pemilik tanah Hasan Tahir (02 – 12 – 12): “Sejujurnya saya belum memahami dengan jelas tentang sertifikat tanah. Tapi yang jelas kami tahu kalau sertifikat tanah bukti kepemilikan atas tanah, hanya begitu saja.” Pernyataan tersebut dapat dapat ditafsirkan sebagai bagian dari pengetahuan masyarakat tentang sertifikat tanah. Jadi, pemahaman tentang sertifikat adalah bentuk bukti resmi bahwa yang seseorang warga masyarakat memiliki sebidang tanah, sehingga pembuktianya adalah
sertifikat. Pernyataan yang disampaikan oleh Hasan Tahir tersebut memiliki persamaan pernyataan dengan beberapa orang warga yang sempat peneliti diskusikan. Berikut kutipan pernyataan Abdul Wahab Ahmad (02 Desember 2012): “yang saya tahu, sertifikat itu bukti kepemilikan tanah. Dan kalau tanah so ada sertifikat sudah jelas tanah itu milikinya seseorang. Jadi kalau mau tanya tentang sertitifat seperti itu, hanya itu yang saya tahu. Dan kalau saya belum ada sertifikat tanah, untuk saya punya lahan itu”. Pernyataan-pernyataan sebagian warga yang sempat peneliti ajak diskusi tentang kesadaran masyarakat terkait dengan sertifikat tanah. Hampir memiliki jawaban yang sama atau dengan kata lain semua yang menjadi responden peneliti dalam masalah penelitian memiliki jawaban yang hampir sama. Disamping itu, ada juga beberapa orang masyarakat yang sejauh ini mengenal kalau sertifikat tanah itu penting, namun tidak memiliki lahan dan aktivitas sebagian masyarakat tersebut hanya pembajak tanah yang ada di Desa Hulawa tersebut. Berikut kutipan pernyataan Rusman Masi dengan beberapa orang masyarakat (02 Desember 2012, pukul 17.15) kepada peneliti disela-sela diskusi bebas: “maaf saja Bu, tidak tahu betul itu sertifikat, hanya saya sering dengar-dengar. Saya belum pernah liat itu model sefirikat, soalnya saya hanya menggarap orang punya lahan, minta maaf cuma itu” Pernyataan tersebut bila dilihat menunjukkan tidak ada bebas dan polos. Sehingga yang terlihat adalah keseriusan seorang petani penggarap tentang aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga masalah-masalah hukum atau seperti legalitas kepemilikan lahan masih kurang memahami dengan benar. Memang golongan masyarakat tersebut pemahaman tentang hukum-hukum masih sangat rendah. Kondisi tersebut khususnya di Desa Hulawa relatif sedikit.
Selanjutnya, peneliti terus mengumpulkan data dengan menginterview beberapa orang masyarakat yang memiliki lahan yang ada di Desa Hulawa. Dalam pengamatan peneliti serta didasarkan informasi dari beberapa orang responden yang telah disebutkan di atas, bahwa tanahtanah yang ada di Desa Hulawa sebagian besar telah memiliki hak kepemilikan, namun bukan dalam bentuk sertifikat tetapi dalam bentuk surat keterangan dengan sepengetahuan pimpinan desa atau kecamatan yang disertai dengan saksi-saksi dari masyarakat sendiri. Untuk membuktikan informasi dari masyarakat tersebut, peneliti melakukan interview dengan beberapa orang warga masyarakat yang memiliki lahan Hamid Y. Mahmud (05 Desember 2012): “sertifikat itu menurut saya bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi saya sebaga warga masyarakat di Desa Hulawa ini memiliki tanah (lahan), dan saat ini saya telah memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah saya. Memang sebelumnya saya belum urus, karena masalah biaya, tetapi karena banyak berita terkait dengan masalah perselisihan tanah, maka saya berusaha mengurus sertifikatnya tahun 2010 lalu”. Pernyataan Hamid Y. Mahmud tersebut telah memberikan penjelasan yang cukup berarti bagi seorang pemilik tanah. Artinya yang bersangkutan telah menyadari eksistensi sahnya memiliki tanah yang dibuktikan dengan sertifikat. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap hokum masih sangat rendah karena memang keterbatasan informasi, dan media televisi sebagai social of control sangat efektif dalam memberikan pendidikan hokum kepada masyarakat, dengan menampilkan kasus-kasus sengketa tanah. Hal ini sebagaimana ditambahkan oleh Hamid Y. Mahmud dalam memperjelas tentang eksistensi sertifikat serta sosilisasi pemerintah yang sangat kurang kepada masyarakat. “Maaf ini yah, sejujurnya dengan sering menonton berita di televisi, itu membuat saya menyadari bahwa sertifikat tanah itu penting. Banyak kasus itu di televisi lahan masyarakat digusur karena sudah dimiliki oleh pengusaha tertentu, padalah tanah itu tanah warisan keluarga. Kami juga masyarakat menyadari, kalau sosialisasi dari pertanahan itu sampai hari ini tidak ada, serta dari desa pun demikian. Mungkin anda harus banyak bertanya lagi, masih banyak juga warga yang belum memiliki
sertifikat, nantilah dicari informasi lagi, dan sebagian dari mereka itu menggunakan surat keterangan dari desa saja”. Pernyataan tersebut memberikan kejelasan tentang kesadaran hukum masyarakat khususnya yang berhubugan dengan hak kepemilikan tanah. Bahkan lebih menarik dari pernyataan tersebut yakni sumber informasi masyarakat tentang eksistensi kepemilikan sahnya tanah sangat kurang. Namun demikian, peneliti melakukan interview dengan informan lain. Berikut kutipan wawancara dengan Abdul Rahman Muhsin (03 Desember 2012): “saya memang memiliki lahan, dan saat ini telah memiliki sertifikat. Saya menyadari benar bahwa sertifikat tanah itu penting. Sehingga itu saya mengurusnya, dan memang proses untuk memilikinya agak lama, karena harus menghadirkan dari pihak pertanahan untuk melakukan pengukuran, serta pihak desa dan saksi. Dan pada intinya saya menyadari bahwa sertifikat itu penting”. Peryataan kedua orang responden tersebut di atas, pada prinsipnya hampir mengalami kesamaan, tetapi substansinya sama. Artinya, bila seseorang mengurus sertifikat tanah berarti menyadari konsekuensi hukum bila tidak memiliki sertifikat. Namun untuk terus mendukung penelitian ini, peneliti terus melakukan wawancara dengan masyarkat lain yang ada di Desa Hulawa ini. Berikut kutipan wawancara dengan Syukrin Zain (04 Desember 2012): “terkait dengan pernyataanyaan anda masalah kesadaran hukum. Pada dasarnya saya sadarlah, buktinya saya memiliki setifikat tanah. Dengan adanya sertifikat tanah ini, menunjukkan bahwa saya sadar hukum, disamping itu setiap tahun saya taat pajak kok, karena saya terus membayarkan pajak tanah dan bagunanan rumah saya. Ini menunjukkan kalau saat ini saya sadar hukum dong. Terkait dengan yang lain belum memiliki sertifikat tanah, dapat dikatakan seperti itu, tetapi mereka juga bayar pajak kok. Tapi sekalipun demikian bagi saya adalah saya memegang sertifikat itu yang terpenting, karena itu bukti pengakuan pemerintah atas tanah yang saya miliki. Bagi masyarakat lain yang belum memiliki sertifikat, belum bisa juga dikatakan tidak sadar hukum tetapi kemungkinan karena factor biaya, sehingga mengurusnya agak terhambat, Karena proses pengurusan sertifikat itu cukup berbelit-belit juga seeh”.
Penjelasan sebagaiman kutipan wawancara dengan Syukrin Zain tersebut, bagi peneliti mengasumsikan bahwa masyarakat yang telah memiliki sertifikat tanah adalah bentuk kesadaran hukum sudah baik. Selanjutnya peneliti melakukan interview dengan masyarakat yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki sertifikat atau hanya menggunakan bukti kepemilikan berdasarkan surat keterangan dari desa. Berdasarkan dari beberapa informasi yang sifatnya menggantung, bahwa tidak serta merta masyarakat yang tidak memiliki tanah tidak sadar hukum, bisa saja masyarakat sadar hukum hanya saja proses untuk mengurus sertifikat mengalami kendala teknis. Untuk memperjelas hal tersebut, berikut peneliti memaparkan hasil interview dengan masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tanah, Sigar Maia (04 Desember 2012): “Sebetulnya bu, kami itu tau kalau sertifikat itu begitu penting, tapi mau saya tidak dapat berbuat banyak, uang terbatas, untuk pengurusan sertifikat jelas perlu uang. Saya juga ingin punya sertifikat itu, tapi untuk pengurusannya tidak tau bagaimana. Sebagai bukti sekrang bahwa tanah saya, ada tanda tangan Ayahanda (Kepala Desa) tahun 1980-an. Jadi bukti itu yang saya pake dan disimpin sebagai hak milik tanah”. Kutipan wawancara tersebut menjadi bagian dari pengakuan warga tentang hak kepemilikan tanah. Dengan demikian, masyarakat intinya memahami arti penting keberadaan sertifikat, dengan demikian kesadaran hukum dimiliki oleh warga masyarkat khususnya yang memiliki tanah di Desa Hulawa. hal ini dibuktikan dengan beberapa kutipan wawancara peneliti dengan beberapa orang masyarakat sebagai informan dalam penelitian ini, diantaranya Hamdan Yusuf (07 Desember 2012) “saya ini punya tanah, tapi tidak ada sertifikat yang ada hanya surat keterangan kepemilikan dari desa. Dan setiap tahun saya membayar pajak ke desa” Hal yang sama sebagaimana pernyataan masayarakat lain yakni, Husain Rajak (07 – 12 2012): “kami ini tidak ada sertifikat, dan kami tau sertifikat itu surat kepemilikan tanah dari pemerintah. Belum ada uang untuk mengurus sertifikat. Jadi hanya bagitu saya punya
tanah ini. Sudah banyak juga tanah yang kami sama orang lain, dan mereka langsung buat sertifikat itu”. Pernyataan-pernyataan tesebut di atas, menunjukkan ada kesamaan substansi, sehingga itu dapat dikatakan bahwa masyarakat umumnya mehamahi dan menyadari hukum atas kepemilikan tanah. Sekalipun saat ini ada sebagian besar masyarakat tidak memiliki lahan, dan pihak-pihak yang tidak memiliki lahan tersebut secara umum tidak memahami dan belum sepenuhnya menyadari hukum atas kepemilikan tanah. Memperjelas beberapa argumentasi yang disampaikan oleh sebagian besar masyarakat tersebut, peneliti akan melakukan interview dengan pihak pemerintah yang secara administratif memiliki pandangan yang rasional pada setiap aktivitas masyarakat yang ada di desa. Berikut kutipan dengan kepala Desa Hulawa Raplin Basiru, S.Sos (10 – 12 – 2012): “berdasarkan data yang kami miliki, tanah-tanah yang ada di Desa Hulawa ini yang hanya memiliki sertifikat kurang lebih 150 lahan. Selain itu kepemilikan hanya berdasarkan surat keterangan dari desa, keterangan jual beli, putusan pengadilan dan lain sebagainya”. Penjelasan dari kepala desa tersebut menunjukkan sekaligus memetakan bahwa yang masyarakat yang sadar dan memahami benar peran sertifikat, tetapi yang patut disesalkan adalah kesadaran yang masih rendah. Selanjutnya, kepala desa dengan memberikan penjelasan lagi yaitu sebagai berikut: “Terkait dengan perntanyaan anda masalah pengetahuan masyarakat, mungkin anda tahu dan telah bercerita dengan mereka. Secara umum mereka memahami dan menyadari itu keberadaan sertifikat, tetapi anggapan mereka bahwa surat keterangan yang mereka miliki itu sudah sah menurut hukum. Jadi kami sebagai pemerintah, tidak ada kompeten untuk mendikte dan mengintervensi mereka terlalu jauh untuk mengurus sertifikat, karena hal tersebut berhubungan dengan financial”. Penjelasan ini semakin menguatkan dari beberapa argumentasi di atas, bahwa pengetahuan masyarakat sudah baik atas pemahaman tentang sertifikat tanah. Bahkan peran
pemerintah desa untuk mengintervensi masyarakat sangat terbatas dan tidak memiliki kewenangan. Memang fakta dilapangan bahwa salah satu factor yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak mengurus sertifikat adalah factor biaya dan birokrasi yang ruwet. Berikut pengakuan kepala desa terkait dengan kendala-kendala yang dialami oleh sebagian masyarakata Desa Hulawa, berikut kutipan wawancaranya: “mungkin jelas yah, hambatan utama mereka itu masalah uang. Kami menyadari kurang sosialisasi dari pemerintah desa, tetapi yang memiliki kompeten itu adalah dari pertanahan, karena secara teknis mereka yang memahami, kami hanya memfasilitasi mereka dengan masyarakat”. Dengan pernyataan tersebut, semakin mempejelas pula kapasitas dan peran pemerintah desa dalam hal berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga masalah-masalah teknis agak sulit untuk diintervensi atau diberikan pemahaman terkait dengan kesadaran hokum masyarakat. Lebih lanjut kepala desa menjelaskan sebagai berikut: “berhubungan dengan keterlibatan saya, hanya memfasilitasi dan ikut memberikan rekomendasi berdasarkan saksi-saksi dan kami pun punya kapasitas untuk bersaksi bila masyarakat melakukan pengurusan sertifikat. Pihak desa khan turut tanda tangan, jadi kapasitas saya menjetujui itupun dari atas informasi dari saksi-saksi di lapangan”. Peran pemerintah desa hanya sebatas fasilitasi kepentingan masyarakat. Namun terkait informasi teknis yang berhubungan dengan sertifikat, menjadi kewenangan pihak pertanahan. Pemerintah desa hanya memberikan informasi yang terbatas sebagai persyaratan teknis. Dari beberapa penjelasan dan pernyataan responden tersebut di atas, maka dapatlah di fokuskan masalah penelitian ini. Pada prinsipnya masyarakat telah mengetahui dan menyadari arti penting sertifikat tanah. Jadi masyarakat yang ada di Desa Hulawa sebagian besar telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang ekistensi sertifikat tanah bagi yang memiliki lahan.
Bahkan konsekuensi-konsekuensi hukum pun sebagian besar masyarakat telah memahami, hanya saja yang belum memahami itu adalah golongan masyarakat yang tidak memiliki lahan resmi.
4.2.2 Pengetahuan masyarakat Desa Hulawa mengenai bukti-bukti kepemilikan hak atas tanah Banyak hal yang mengakibatkan seseorang atau warga masyarakat belum memamahmi atau mengetahuai tentang eksistensi sertifikat tanah khususnya di Desa Hulawa. Pada data-data hasil penelitian di atas, secara umum telah menjelaskan secara singkat tentang kondisi pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang bukti-bukti kepemilikan tanah. Bukti-bukti yang dimaksud dalam masalah penelitian ini adalah bukti sebagai dasar hukum untuk menentukan bahwa seseorang memiliki sebidang tanah, yang didukung oleh pengakuan saksi serta pemerintah desa setempat atau keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan hak kepemilikan. Data hasil penelitian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yakni yang berhubungan dengan hasil interview peneliti dengan kepala desa. Pada dasarnya bahwa masyarakat selama ini hanya menggunakan surat ketarangan tertentu dalam pengakuan hak atas tanah yang dimiliki, dari pada harus memiliki selembar sertifikat. Untuk memperjelas hal tersebut, peneliti memaparkan kutipan hasil wawancara dengan kepala desa (Raplin Basiru, S.Sos, 13 – 12 - 12): “maaf yah, kalau saya tidak salah pertanyaan anda telah saya jelaskan waktu lalu. Tapi baiklah, saya akan jelaskan lebih detail lagi. Khususnya di desa Hulawa, tanahtanah milik warga yang saat ini memiliki sertifikat itu sebanyak 150-an bidang tanah, sisanya (warga) itu ada yang memiliki surat keterangan dari pemerintah desa dengan saksi-saksi kepemilikan tanah, ada yang menggunakan kwintasi jual beli tanah, keterangan tanah warisan, ada juga yang memiliki surat keterangan pengadilan atas penguasaan tanah tersebut. Jadi menurut kami sebagai pemerintah, itu semua legal sebagai hak miliki, tetapi lagi-lagi alangkah lebih baik bila dibuktikan dengan sertifikat tanah dari dinas pertanahan”.
Apa yang dijelaskan oleh kepala desa tersebut, pada prinsipnya mengakumulasi semua fakta lapangan yang ada, sehingga secara implisit memaparkan jenis-jenis surat kesahan kepemilikan sebidang tanah. Sekalipun secara hukum atau bukti kepemilikan tanah ada dalam bentuk keterangan-keterangan tersebut, maka yang terpenting adalah pengakuan secara ketatanegaraan yakni dalam bentuk surat setifikat. Bila warga memiliki surat sertifikat, maka secara penuh nama dalam sertifikat itu yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah. Selanjutnya peneliti pula melakukan wawancara dengan beberapa responden yang berasal dari masayarakat yang saat ini belum memiliki sertifikat tanah. Berikut kutipan wawancara dari (Wawan Tomayahu, 13-12-12): “benar, saya saat ini tidak memiliki sertifikat tanah sebagaimana orang lain. Saya sebetulnya memahami fungsi dari sertifikat itu, dan bahkan itu menjadi kewajiban bagi pemilik tanah sebagai pembuktian kepemilikan tanah. Saya telah merencanakan itu (untuk buat sertifikat) tetapi karena kesibukan juga sehingga sedikit menghambat rencana tersebut. Tetapi yang pokok saat ini saya memegang surat pernyataan jual beli dengan pemilik, serta ada tanda tangan saksi serta pemerintah desa”. Disamping itupula, peneliti juga terus mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan bukti-bukti kepemilikan tanah bagi masyarakat. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan (Ridwan Lihawa, 13-12-12): “Begini Bu, saya ini punya surat bukti kepemilikan tanah, kalau mau dilihat, saya punya bukti surat warisan dari orang tua, hanya itu yang saya punya surat tanah”. Pernyataan Ridwan Lihawa tersebut memberikan kejelasan bahwa, tanah yang dimilikinya saat ini hanya bentuk warisan dari orang tua. Dan bukti terkait dengan kepemilikan tersebut, hanya surat warisan yang diberikan kepada yang bersangkutan. Ridwan Lihawa menambahkan kalau tanah yang dimilikinya saat ini, ada keinginan untuk memperoleh sertifikat, tetapi karena kekurangpahaman
birokrasi
sehingga
yang
bersangkutan
mengurusnya. Berikut ringkasan wawancara dengan peneliti:
mengurungkan
niat
untuk
“iya, ingin tanah saya punya sertifikat, tapi begitu kan, terlalu rumit cara pengurusannya, tidak tahu kalau setelah dari ayahanda harus diurus dimana lagi”. Disamping data-data yang disampaikan oleh sebagian warga yang sempat peneliti interview khususnya yang berhubungan dengan pemahaman tentang bukti-bukti kepemilikan hak atas tanah. Banyak informan yang memberikan gambaran baik dari hasil wawancara resmi dengan responden maupun dengan cara diskusi bebas. Berikut beberapa hasil diskusi dengan berbagai macam responden yang sebagian besar usia mereka di atas 50 tahun. Berikut ringkasan hasil diskusi dengan Taufik Lamadilau (14 – 12 -12). “saya ini Bu, banyak tahu tentang tanah di desa sini. Dan tahun 80-an hampir tidak ada yang memiliki sertifikat, dan mereka memiliki sertifikat itu nanti tahun 90-an. Sebelum itu, tanah-tanah ini tidak ada yang bukti hak kepemelikan, tetapi karena kepercayaan dan masyarakat masih menunjung tinggi kejujuran, sehingga tidak ada yang berasalah dengan tanah”. Pernyataan salah seorang tokoh masyarakat tersebut memberikan kejelasan atas kepemilikan lahan oleh masyarakat yang ada di Desa Hulawa. selanjutnya, Taufik Lamadilau menambahkan bahwa saat ini sebagian besar atau mayoritas masyarakat yang memiliki lahan tidak memiliki sertifikat, dan yang ada hanya berupa surat-surat keterangan dari pemerintah desa. Berikut kutipan sambungan hasil diskusi dengan peneliti: “iya, saya melihat pengetahuan masyarakat terkait dengan dengan bukti-bukti kepemilikan itu sudah ada, hanya saja kesadaran penuh masih relative kurang. Sehingga surat-surat keterangan yang mereka miliki atas kepemilikan lahan itu hanya menggunakan surat keterangan, surat pengadilan, surat keterangan jual beli, dan bahkan ada yang menggunakan surat warisan”. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sebetulnya tidak buta dengan suratsurat keterangan itu, karena hanya 5 % masyarakat yang tidak memiliki surat-surat, dan 95 % masyarkaat memiliki surat keterangan sah kepemilikan, sekalipun bukan dari sertifikat semua,
tetapi dari desa dan pengadilan. Hal ini sebagaimana penjelasan kepala desa hulawa dalam wawancara dengan peneliti (Raplin Basairu, S.Sos 13 – 12 – 12): “kami menyadari memang, bahwa kalau dirata-ratakan, masyarakat yang memiliki surat keterangan resmi kepemilikan lahan baik dari pertanahan, desa maupun pengadilan sebesar 95 % dan yang tidak memiliki surat keterangan sama sekali sebesar 5%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memahami dan mengetahui eksistensi hukum atas kepemilikan lahan di Desa Hulawa ini”. Penjelasan yang disampaikan oleh Kepala Desa Hulawa tersebut, memberikan kejelasan secara administratif dan rasional dalam mendukung pernyataan dari beberapa responden dalam penelitian ini. Yang intinya bahwa dalam penelitian itu masyarakat secara umum telah memahami dan mengetahui dengan baik tentang kepemilikan tanah, baik resiko hukum maupun administratif. Dan bila dilihat dari sisi kewajiban, masyarakat terus memenuhi kewajiban pajak pada setiap tahun. Berikut beberapa kutipan hasil wawancara peneliti dengan responden (Raflin Hipi, 07-12-12): “kami sadar, sebetulnya resiko tidak memiliki keterangan sah tidak nya kepemilikan tanah secara pribadi saya mengerti. Tetapi yang perlu diingat pula bahwa kami setiap tahun memenuhi kewajiban pajak sebagaimana ditetapkan dalam undang-undangan. Jadi kondisi ini menurut saya menjadi sesuatu yang wajar, hanya saja kedepan dengan semakin tingginya permintaan tanah, maka sertifikat perlu dimiliki bagi setiap orang yang memiliki lahan disini”. Pernyataan-pernyataan sebagaimana data hasil penelitian tersebut di atas, menjadi kenyataan. Sesungguhnya masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang keberadaan hak kepemilikan tanah yang dibuktikan dengan surat-surat tertentu yang dianggap resmi oleh masyarakat. Seperti halnya pernyataan dari kepala desa, dimana sertifikat tanah, surat keterangan kepemilikan dari desa, surat warisan, keterangan pengadilan, dan surat ketarangan jual beli
tanah. Semua itu adalah bagian dari bentuk surat-surat yang menjadi dasar atau dianggap legal oleh masyarakat atas kepemilikan tanah. Mengacu pada temuan tersebut di atas, maka peneliti beranggapan bahwa pengetahuan terhadap masalah-masalah hukum, khususnya yang berhubungan dengan kepemilikan tanah bagi masyarakat yang ada di desa Hulawa sudah baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan dimana hampir semua masyarakat memiliki surat keterangan kepemilikan lahan, serta pengakuan-pengakuan atas beberapa responden baik dari unsur pemerintah
maupun tokoh
masyarakat. Disamping itu, bentuk-bentuk surat-surat kesahnya surat kepemilikan tersebut dibuktikan dengan keterangan dari pemerintah desa setempat.
4.2.3 Pengetahuan masyarakat Desa Hulawa tentang tata cara pensertifikat hak atas tanah Prosedur pengurusan sebuah surat keterangan atau hal-hal yang berhubungan dengan administrasi, sudah menjadi fenomena baru dalam system pelayanan yang ada di lingkungan pemerintahan saat ini, proses yang birokratis dapat mempengaruhi psikologi masyarakat atau user untuk menggunakan atau memanfaatkan pelayanan yang dimaksud. System otonomi daerah belum secara tuntas dilaksanakan dengan baik, karena salah satu tujuannya adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Banyak penelitian yang mengupayakan pelayanan berbasis kepuasan kepada masyarakat, tetapi ketika hal tersebut diimplementasikan dilapangan, sepenuhnya konsep pelayanan dimaksud hanya sebuah wacana bagi penyelengara pemerintah. Hal ini dikaitkan dengan masalah dalam penelitian ini yakni pengetahuan masyarakat tentang tata cara atau proses sertifikat tanah. Dalam beberapa pernyataan responden di atas, dapat dikemukakan bahwa proses pengurusan yang tidak dipahami dan dimengerti benar oleh masyarakat, sehingga kesan birokratis kelihatan dalam pelayanan administrasi dimaksud.
Menjawab semua perosalan itu, peneliti mengumpulkan data hasil penelitian dari berbagai sumber atau informan yang dianggap pantas dan layak untuk dimintai tanggapannya terhadap materi atau permasalahan dalam penelitian ini. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang tokoh masyarkaat di Desa Hulawa (Taufik Lamadilau, 13 – 12 – 12): “benar itu, masyarakat saat ini kurang informasi dalam mengurus sertifikat itu. Disamping itu, prosesnya yang tidak dimengerti sehingga rasa ingin tahu untuk mengurus setifikat tersebut tidak dilakukan lagi. Dan ada anggapan dari beberapa orang masayarakat bahwa sulitnya mengurus sertifikat tanah, karena banyak kantor dan pintu untuk dilewati”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa, fenomena pada level pemerintahan saat ini adalah sulit untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sebagaimana yang diharapakan oleh penyelenggaran otonomi daerah. Pernyataan tersebut ada benarnya, karena dalam pengamatan peneliti disaat pelaksanaan penelitian ini. Orang yang berurusan dengan pertanahan cukup banyak khususnya pada unit pelayanan sertifikat. Proses pelayanan yang lambat, mengharuskan masyarakat atau user merasa bosan dengan pelayanan yang ada. Dalam suasana pengamatan tersebut, peneliti melakukan interview dengan beberapa masyarakat yang memang berurusan dengan sertifikat tanah (Sukarman Yusuf, 15-12-12), berikut kutipan wawancaranya: “jujur saja, kami ini tidak tau untuk mengurus sertifikat tanah, dengar-dengar itu ada rekomendasi dari desa, selanjutnya ke pertanahan. Bo itu yang saya tahu. Kebetulan saya lagi ada rencana mau mengurus”. Apa yang dikatakan oleh Sukarman Yusuf tersebut, menjadi bentuk gambaran bahwa secara teknis prosedur pengurusan sertifikat bagi masyarakat belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Terkait dengan itu, peneliti juga mengutip hasil wawancara dengan salah seorang warga yang belum memiliki sertifikat tanah sebagaimana orang lain. Berikut hasil wawancaranya dengan Risman Lamusu (16-12-12):
“saya ini belum ada sertifikat tanah, jadi bulum tahu bagaimana itu proses pengurusan sertifikat. Soalnya di desa hanya memberitahu untuk mengurus, tapi cara mengurusnya mereka tidak sampaikan, jadi bingung juga”. Pernyataan Risman Lamusu tersebut adalah bentuk kebingungan bagi sebagian masyarakat yang belum secara langsung bersentuhan dengan pelayanan di pemerintahan. Dengan demikian, pengakuan-pengakuan dari beberapa responden tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pemahaman terhadap masyarakat. Rata-rata masyarakat yang belum memahami benar proses pengurusan sertifikat tanah, menjadi warga mayoritas yang ada di Desa Hulawa. Hal ini seiring dengan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Desa Raplin Basiru, S.Sos berikut kutipan wawancaranya: “kami dari pemerintah mengakui bahwa sosialisasi terkait dengan pertanahan ini reatif kurang, namun demikian bukan berarti saya (pemerintah desa) tidak menginformasikan kepada masyarakat, tetapi yang terjadi adalah masyarakat terkesan terlalu ‘enteng’ dengan keberadaan sertifikat tanah ini. Alasannya adalah, ada sertifikat dan tidak ada tetap juga bayar pajak dan tidak ada konsekuensi dari pemerintah bila tidak memiliki sertifikat”. Pernyataan tersebut terkesan menghindar dari tanggungjawab, namun secara pikiran rasional ada benarnya, karena memang kurangnya sangsi bagi yang punya tanah. Biasanya upaya pengurusan sertifikat tanah itu terjadi karena tanah digusur untuk jalan, atau menjadi objek proyek pemerintah. Bila kondisi itu terjadi, maka dalam bayang masyarakat adalah dapat menjual tananya kepada pihak lain, dengan harga yang relative menguntungkan. Karena niat menjual tanah, yang terjadi adalah pengurusan sertitifikat tanah. Hal ini dikutip dari ringkasan diskusi yang tidak terbatas dengan pihak dinas pertanahan, berikut ringkasan hasil diskusi (1412-12): “proses pengurusan sertifikat tanah itu, biasanya yang saya alami dan amati warga disini adalah karena adanya upaya untuk menjual tanah mereka kepada pihak ke tiga dengan harga yang menguntungkan. Kondisi ini memang menjadi hal bisa di
lingkungan masyarakat, dan jelas ini yang melukan proses pengurusan sertifikat menjadi hal nyata”. Pernyataan ini pula diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh kepala desa Hulawa (Raplin Basiru, S.Sos 12-12-12): “saya melihat trend pengurusan sertifikat tanah itu terjadi apabila sudah ada tanah yang dijual, dan yang mengurus itu orang yang membeli. Namun demikian, sebetulnya proses pengurussan itu tidak berbelit-sebagaimana yang dipikirkan, kalau memang itu benar-benar hak kepemelikan ada, tinggal meminta pengantar dari desa, dan selanjutnya di bawah ke dinas pertahanan. Selanjutnya pihak pertanahan akan turun di lokasi untuk melakukan pengukuran yang disaksikan pemerintah desa dan masyarakat, baru selanjutnya sambil menungu informasi dari dinas pertanahan”. Pernyataan ini menjelaskan teknis pengurusan sertifikat tanah, oleh karena ini penting, maka mestinya menjadi bagian dari kegiatan sosialisasi dari pemerintah desa itu sendiri. Disisi lain, ketika diskusi dengan pihak yang memahami teknis pengurusan sertifikat tanah yakni dinas pertahanan (Dwi Deddy Tristanto, S.H 14-12-12) berikut ringkasan diskusinya: “kami menyadari memang, tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, jadi sesungguhnya peran kami yang mesti dibantu dengan pihak desa dan masyarakat untuk terus mengkapanyekan sertifikat. Saya kira ini bentuk tanggungjawab pemerintah kepada rakyatnya, memang idealnya seperti itu”. Sangat jelas memang peran pemerintah, tetapi jarang dilaksanakan bahkan tidak ada sosialisasi dari pemerintah. Maka tidak mengherankan masyarakat masih terkesan awam dengan proses pengurusan sertifikat. Hasil-hasil interview di atas menjelaskan bahwa masyarakat Desa Hulawa pengetahuan masyarakat terkait dengan proses pengurusan sertifikat masih rendah. Ini dibuktikan dengan beberapa pernyataan dari pihak pemerintah desa yang secara langsung menangani masyarakat untuk berurusan dengan sertifikat, serta yang memberikan penjelasanpenjelasan teknis pengurusan. Disini juga peran sosialisasi dinas pertanahan tidak pernah dilakukan, sehingga berakibat kurangnya pengetahuan masyarakat dan kemauan untuk mengurus sertifikat sangat rendah.
4.3 Pembahasan Kesadaran hukum dan ketaatan hukum yang sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan dikalangan masyarakat. Masih terasa sulit untuk mengukur tingkat kesadaran hukum apalagi pengetahuan yang berhubungan dengan hukum. Sebetulnya, masalah-masalah klasik di masyarakat ini dapat teratasi kalau semua elemen baik pemerintah, yudikatif serta masyarakat itu terlibat secara langsung dalam proses pendidikan hukum bagi masyarakat. Media televisi menjadi media yang efektif untuk memberikan pembelajaran hukum kepada masyarakat. Sebagai perbandingan bahwa tulisan Rawls (1995) tentang teori keadilan, dimana Rawl dapat memberikan spirit bagi kalangan pemerhati hukum, bahwa untuk mencapai keadilan dalam penyelenggaraan hukum harus terbebas dari kepentingan baik kepentingan politik dan dari sisi kekeluargaan serta dari sisi kepentingan usaha. Dalam realitasnya tiga masalah klasik ini yang dapat memporak-porandakan penyelenggaraan hukum dinegara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Sesungguhnya, apa yang dikakatan oleh Rawls tersebut menjadi pembelajaran penting, artinya penerapan keadilan hukum sebagaimana diharapkan maka harus menjauhkannya dari kepentingan politik, usaha dan kekeluargaan. Bila dikaitkan dengan penelitian ini, sangat relevan, biasanya dalam proses pengurusan administrasi tertentu, bila seseorang yang memiliki jaringan atau keluarga di lembaga pengurusan sertifikat tanah seperti dinas pertahanan maka proses pengurusan sertifikat akan berjalan mulus bahkan lebih cepat dari apa yang seharusnya, sebaliknya bagi orang yang tidak ada keluarga atau kenalan, jelas akan mengalami pelayanan yang cukup birokratis serta membutuhkan waktu yang relatif lama. Intinya bahwa proses pengurusan sertifikat sebagaimana yang diharapkan adalah untuk mencapati keadilan, maka argumentasi Rawls di atas sangat mempengaruhi proses pengurusan sertifikat yang ada di Desa
Hulawa. Hal inipun sejalan dengan pandangan Ujan (2009) lahirnya hukum karena ada fenomena dimasyarkat yang pantas dan patut dan diterima umum. Ujan bahkan menjelaskan halhal manusiawi menjadi pertimbangan dalam hukum, dalam kasus atau pembahasan tentang sertifikat tanah sebagaimana dalam penelitian ini, proses pengurusan sertifikat sebagaimana tersebut bila tidak mengedepankan keadilan dalam pelaksanaannya, maka yang terjadi adalah masyarakat tidak akan memberikan penilaian negatif terhadap pengelola Negara, karena dalam urusan-urusan pengurusan sertifikat berjalan sesuai dengan prosedur yang sebenarnya. Dari penjelasan teoritis tersebut di atas, maka dapatlah dilihat dalam koteks masalah penelitian ini yakni bahwa kesadaran hukum masyarakat Desa Hulawa dalam mensertifikat hak atas tanah miliknya sudah berjalan sebagaiman mestinya atau dapat dikatakan baik, artinya masyarakat telah memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan masalah sertifikat. Pengetahuan yang dimaksud adalah masyarakat secara umum telah menyadari bahwa keberadaan sertifikat tanah atas kepemilikan lahan menjadi kewajiban, dan sertifikat tanah menjadi bukti dari pemerintah bahwa bidang tanah tertentu adalah benar-benar memiliki kepemilikan sah dan resmi, dan segala kebijakan yang akan berakibat pada hak atas kepemilikan tanah tersebut, memiliki konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam UU. Hal ini berarti bahwa, bila tanah digunakan oleh pemerintah atau pihak lain untuk kepentingan umum, maka tanah tersebut memiliki konsekuensi hukum bagi pihak yang menggunakannya. Dan sebaliknya, bila tidak memiliki dokumen jelas atas kepemilikan tanah, maka pemerintah berhak menggunakan kewenangannya tanpa harus mempertimbangkan konsekunsi hukum, karena ketidak adaan sertifikat tanah sebagai pertimbangan utama. Pada titik pengetahuan inilah yang dapat digambarkan oleh peneliti terkait kesedaran masyarakat pada kepemilikan sertifikat tanah. Dengan demikian, masyarakat secara umum memahami dan mengetahui dengan jelas masalah-masalah klasik tersebut,
sehingga itu keinginan untuk mengurus sertifikat resmi dari Pertahanan sangat tinggi, hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat terhadap hak atas kepemilikan tanah, namun karena system dan biaya menjadi kendala utama dalam memenuhi kewajiban tersebut. Selanjutnya untuk masalah penelitian yang berhubungan dengan bukti-bukti kepemilikan hak atas tanah. Pada dasarnya masyarakat yang memiliki lahan atau sebidang tanah di Desa Hulawa Kabupaten Gorontalo telah memiliki bukti kepemilikan tanah, namun bukti kepemilikan yang dimaksud hanya bias digunakan dan diakui pada tingkat desa atau masyarakat desa, tetapi dalam hukum pertanahan yang tidak memiliki sertifikat tanah resmi tidak mendapat pengakuan dari pemerintah. Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk bukti kepemilikan tanah masyarakat berupa surat keterangan dari desa, surat keterangan warisan, putusan pengadilan, keterangan jual beli tanah menjadi pegangan masyarkat, dan bukti-bukti tersebut dinilai telah diakui oleh pemerintah sekalipun tidak memiliki sertifikat tanah sebagaimana yang dimaksud. Surat-surat bukti kepemilikan tanah tersebut, bila dikaji secara administrasi, maka tingkat pengakuan administratif kepemilikan tanah adalah hanya pada tingkat masyarakat di desa, atau dengan kata lain suratsurat bukti kepemilikan tersebut dapat digunakan sebagai persyaratan penting dan menjadi pelengkap dalam proses pengurusan sertifikat tanah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menerangkan bahwa bukti-bukti kepemilikan hak atas tanah oleh masyarakat sebagaiman telah dijelaskan tersebut, belum dapat diakui sepenuhnya oleh lembaga pertanahan atas kepemilikan tanah, karena salah satu bentuk pengakuan kepemilikan oleh Negara adalah telah memiliki nomor registrasi dari lembaga pertanahan. Bukti registrasi dimaksud tercantum dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanahan setempat. Dengan demikian, bila seseorang tidak memiliki sertifikat tanah, maka kepemilikan hak atas tanah belum di akui oleh Negara. Karena pentingnya hal tersebut, maka peran serta pemerintah setempat baik dari Pemerintah Desa
maupun dari Dinas Pertanahan untuk terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat atas eksistensi sertifikat tanah bagi masyarakat yang saat ini belum memiliki sertifikat. Terkait dengan masalah di atas, tentunya masyarakat berkeinginan untuk mengurus sertifikat tanah dimaksud. Dalam penelitian ini, sebagaimana telah dijelaskan oleh beberapa informan dari masyarakat bahwa masalah teknis yang dialami oleh masyarakat terkait dengan pengurusan sertifikat tanah adalah masalah yang cukup birokratis serta membutuhkan waktu yang lama dalam proses pengurusaanya, dan yang terpenting adalah ketidaktahuan masyarakat atas proses pengurusan tersebut. Pernyataan-pernyataan yang rasional dari masyarakat tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa proses pengurusan sertifikat membutuhkan waktu dan tenaga. Pada tahap ini, pemerintah dan dinas yang terkait dengan itu memerlukan keikutsertaan untuk memberikan penyadaran dan pengetahuan kepada masyarakat. Untuk mengurus satu sertifikat, maka salah satu prosedur yang dilewati adalah bukti-bukti kepemelikan tanah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnnya, disamping itu dinas pertanahan yang akan melakukan pengukuran luas tanah yang menjadi objek sertifikat. Proses teknis ini yang menjadi dilemma ditingkatan masyarakat, karena bila dinas pertanahan melakukan pengukuran, beban psikologi dari masyarakat untuk memfasilitasi proses pengukuran tersebut dan pasti membutuhkan biaya yang besar. Animo inilah yang secara psikologi dirasakan oleh masyarakat. Pada tahap ini, masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memfasilitasi pihak pertanahan karena keterbatasan biaya dan himpitan ekonomi sehingga keinginan memiliki sertifikat hanya menjadi sebuah mimpi. Dan informasi itu hanya berkembang dari tingkatan masyarakat, dan belum pernah mengurus administrasi yang dimaksud. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai masalah klasik dan terjadi pada masyarakat yang memiliki keterbatasan dari sisi ekonomi, sehingga perlu keterlibatan Pemerintah Daerah dan
Pertanahan untuk terus memberikan penjelasan dan gambaran yang jelas dalam proses pengurusan sertifikat tanah. Jadi inilah fakta lapangan yang memang selama ini menjadi titik lemah dan ketidak berdayaan masyarakat untuk sadar hukum atas kepemilikan tanah. Disisi lain juga, tata cara pengurusan sertifikat yang masih kabur ditingkatan masyarakat, sehingga terjadi miss komunication antara dinas pertanahan dengan masyarakat berakibat pada ketidaksiapan mental masyarakat untuk melalui proses pengurusan sertifikat tanah dimaksud, dan menjadi bukti bahwa masyarakat kurang peduli atas aspek-aspek hukum, sekalipun Negara ini adalah Negara hukum.