BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Objek Penelitian 4.1.1 Masyarakat Suku Bajo Masyarakat Bajo pada awalnya tinggal di atas perahu yang disebut bido’, hidup berpindah-pindah bergerak secara berkelompok menuju tempat yang berbeda menurut pilihan lokasi penangkapan ikan. Di atas perahu mereka menjalani hidupnya sejak lahir, berkeluarga hingga akhir hayatnya. Oleh sebab itu, orang Bajo nomads
sering disebut sea
(Sopher, 1971) atau sea gypsies (Brown, 1993). Dalam perkembangannya,
sebagian besar dari mereka telah tinggal menetap di pinggir laut. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, mereka hidup menetap di laut atau di pinggir laut. Laut dijadikan sebagai sumber kehidupan ( panamamie ma di lao ). Mereka memiliki prinsip bahwa pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare yang berarti memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke darat (Nasruddin, 1996). Bahkan banyak diantara mereka merasa pusing kepalanya jika tidak mendengarkan gemuruh ombak ( piddi tikolo’na lamong nggai makale le goya ). Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya memisahkan kehidupan mereka dengan laut. Pada masyarakat Bajo, berkembang mitos bahwa Sang Dewata memperuntukkan lingkungan laut bagi orang-orang Bajo. Adanya konsep Sama dapu ma di laok (laut milik orang Bajo) yang berarti pula bahwa lingkungan darat, diperuntukkan bagi orang yang tinggal di darat (Zacot, 1979). Oleh karena itu, pada umumnya orang Bajo memiliki
mata pencaharian utama menangkap ikan atau memanfaatkan sumber daya alam laut, sedangkan lingkungan darat dengan segala potensi sumber daya alamnya kurang mendapat perhatian bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik. Namun dalam perkembangannya, orang Bajo selalu berada dalam sikap yang mendua, khususnya dalam interaksinya dengan orang bagai. Di satu pihak mereka tetap ingin mempertahankan ke”Bajo”annya yang identik dengan kehidupan di laut. Di pihak lain, keterikatannya dengan orang bagai, mengharuskan mereka berinteraksi dengan kehidupan di darat. Oleh sebab itu dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo mengenal dua konsep yang berbeda dalam interaksi sosialnya yakni sama dan bagai. Mereka menyebut dirinya sama (orang Bajo) yang membedakannya dengan orang bukan Bajo (bagai) (Alena, 1975; Haris,1991; Suyuti, 1996; Zacot, 1979). Konsep sama dan bagai bukan hanya merupakan simbol “Bajo” dan “Bukan Bajo”, tetapi juga merupakan simbol kehidupan di “laut” dan “darat” (Suyuti, 2011). Suku Bajo banyak terdapat di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka tersebar di 3 (tiga) Kecamatan dan telah mendiami daerah ini secara turun temurun, yaitu di Wangi-Wangi Selatan (Desa Mola Utara dan Mola Selatan), Kaledupa (Desa Samabahari, Sombano, dan Mantigola), dan Tomia (Desa Lamanggau). Suku Bajo, yang tersebar di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dengan jumlah penduduknya 23,37%, berada di Kecamatan Wangi-Wangi 19,05%, berada di Kecamatan Kaledupa 17,86% berada di Kecamatan Tomia dan 15,01% berada di Kecamatan Binongko. Suku Bajo di Wakatobi mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yang sudah menjadi turun temurun nenek moyang mereka. Bagi Suku Bajo, laut adalah IBU bagi mereka. Suku bajo di sana masih sangat khas dengan tradisional yang masih diwariskan oleh nenek moyang
mereka. Salah satunya adalah dengan menjaga lautan dan tidak merusak flora dan fauna disekitarnya. Bagi para wisatawan, Wakatobi adalah surga laut yang penuh dengan pesona yang begitu indah. Suku Bajo sangat kaya akan keunikan. Di antara keunikannya adalah, Suku Bajo menjadikan perahu atau sampan sebagai tempat tinggal sekaligus alat transportasi utama. Lebih dari itu, sampan juga digunakan sebagai tempat untuk mencari nafkah, yaitu dengan menjual hasil tangkapan laut yang merupakan mata pencaharian utama Suku Bajo. Selain sampan, kaum Ibu di Suku Bajo juga memiliki kerajinan kain tenun tradisional sebagai kegiatan ekonomi mereka. Kain ledja dan kasopa ditenun dengan alatalat tradisional dengan berbagai motif khas Suku Bajo. Suku Bajo lebih percaya kepada kearifan lokal dari pada instrumen-instrumen modern yang berkembang masif di luar kebudayaan laut Suku Bajo di Wakatobi. Dalam hal menangkap ikan, masyarakat Bajo sangat adaptif dengan lingkungan, seperti menjaga terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, bertelur dan tempat makan ikan. Masyarakat Bajo pun memilik kesadaran konservasi cukup baik, seperti terlihat dari adanya larangan taboo, yaitu larangan menangkap teripang yang berdiri karena diyakini sebagai raja teripang, setelah teripang rebah nelayan baru diizinkan untuk menangkap teripang disekitarnya. Secara ilmiah, teripang berdiri tersebut dalam keadaan bertelur, sehingga secara tidak disadari masyarakat Bajo menjaga keberlanjutan sumberdaya teripang. Kearifan
masyarakat Bajo dalam pengelolaan sumberdaya laut juga terlihat dalam kegiatan penangkapan ikan karang hanya pada musim angin timur. Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. Hal ini memberi perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang dihubungkan oleh laut, bukan dipisahkan. Berikut adalah beberapa fakta mengenai Suku Bajo, menurut data WWF Indonesia.
Suku Bajo adalah suku pengembara laut. Mereka kerap kali disebut juga sebagai Suku Bajau.
Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. Hal ini memberi perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang dihubungkan oleh laut, bukan dipisahkan.
Suku Bajo tersebar di berbagai Negara sesuai karakternya yang nomaden.
Alat transportasi yang lazim digunakan oleh Suku Bajo adalah kapal dan sampan.
Sebelum dunia mengenal istilah The World Coral Triangle, Suku Bajo telah terlebih dulu menandai seluas wilayah di area tersebut sekaligus menjaganya sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam tak ternilai. Suku Bajo dan The Coral Triangle adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
Suku Bajo memiliki banyak sekali ritual adat. Salah satunya adalah upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies yang populasinya tengah menurun di saat bersamaan.
Misalnya: melepas penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dan lain-lain.
Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil hasil laut. Mereka selalu memilih dan mengambil ikan yang usianya sudah matang dan membiarkan ikanikan yang masih kecil dan muda untuk tumbuh dewasa. Mereka juga tidak mengambil jenis ikan tertentu yang tengah memasuki siklus musim kawin maupun bertelur untuk menjaga keseimbangan populasi dan regenerasi spesies tersebut.
Dalam tradisi Suku Bajo dan Wakatobi, terdapat perpaduan adat dalam upacara “Pangindaan Ma Kaca” dan “Pangindaan Ma pinah” yang artinya: “Mencari dalam Kaca” dan “Mencari degan daun Pinang”. Upacara ini kerap dilakukan untuk mencari jawaban atas banyak hal. Misalnya untuk mencari orang yang hilang di tengah lautan. Jawaban dapat terlihat dari gelembung-gelembung air yang bergejolak.
Motto yang sering didengar di kalangan Suku Bajo adalah “Di lao' denakangKu” yang berarti “Lautan adalah Saudaraku”. Oleh karenanya, lautan adalah tempatku hidup, mencari nafkah, serta mengadu dalam suka maupun duka yang selalu menyediakan kebutuhan hajat hidupku.
Sebutan yang lazim digunakan oleh Suku Bajo untuk menyapa paman adalah Puto, sedangkan tante atau bibi kerap disapa sebagai Aya.
Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak, antara lain: kurangnya akses menuju pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi, kemiskinan, kelaparan, dan diskriminasi di beberapa lokasi tertentu.
Selain itu, perubahan alam pun menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh suku pengembara laut ini.
Jumlah Suku Bajo di Indonesia cukup banyak, antara lain di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Jawa Timur. Suku Bajo dikenal sebagai suku yang keyakinan Islamnya kuat. Meskipun banyak Suku Bajo yang menetap di seantero Nusantara, bahkan hidup berdampingan dengan masyarakat beragama Kristen, Katolik dan agama lainnya, namun Suku Bajo tetap taat menganut agama Islam hingga saat ini, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. Kebudayaan Islam telah berkembang pesat di Kecamatan Sikka. Menurut catatan sejarah, warga asal Sulawesi Selatan ini menginjakkan kakinya di Geliting pada abad ke18. Menurut Imam Masjid Al-Mujahidin Haji Firdaus Bakuasong, yang pertama yang menyebarkan Islam di tempat tersebut adalah tiga orang yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Perkembangan Islam saat itu juga didukung dengan kerjasama dengan raja di wilayah tersebut yakni Raja Nai. Ketiganya adalah Mahmud, Hasan dan Husein. Ketiganya menggunakan perahu layar untuk mengungsi setelah Gunung Tambora di NTB meletus tahun 1885. Ternyata ketiga orang tersebut berasal dari Gowa dan Bajo Sulawesi Selatan. Setelah itu warga dari Bajo, Gowa dan Bone mulai berdatangan di tempat tersebut. Selain itu, warga Gowa juga mayoritas beragama Islam. ‘Gowan’ adalah sebutan bagi warga Gowa yang beragama muslim. Salah satu bukti sejarah peninggalan pendatang pertama adalah Masjid AlMujahidin yang terletak di Pasar Geliting. Tidak diketahui persis kapan masjid tersebut
dibangun. Tidak tertulis jelas namun masjid ini dibangun sejak awal kedatangan penduduk asal Bima dan Sulawesi Selatan. Awalnya, masjid itu hanyalah Mushola atau Langgar. Namun, awal abad ke-19 dibangun masjid dengan ukuran yang besar di tempat yang sama. Masjid yang diberi nama Al-Mujahidin ini menjadi pusat untuk penganut muslim di Geliting dan sekitarnya hingga ke Nangahale, yaitu sekitar 10 kilometer dari Geliting. Kini masjid yang dibangun di atas lahan sekitar seperempat hektar ini menjadi salah satu masjid bersejarah di Sikka. Seiring perkembangan peradaban Islam, kemudian dibangun masjid-masjid baru di Geliting dan daerah sekitarnya hingga ke Nangahale. Hingga saat ini peradaban Islam masih mendiami wilayah pesisir utara Kabupaten Sikka mulai Nangahale hingga Ndete di Magepanda. Karena kuatnya pengaruh budaya suku-suku dari Sulawesi Selatan maka sebagian besar penganut Islam di Sikka bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Beberapa tahun lalu juga telah ada penelitian mengenai agama yang dianut oleh Suku Bajo, dan hasilnya menyatakan bahwa seluruh masyarakat Bajo di tempat penelitian menganut agama Islam (September 1995). Wilayahnya pun terlihat lengang di hari Jum’at, karena laki-laki dewasa dan remaja putra berada di masjid untuk melaksanakan Shalat Jum’at. Masyarakat Suku Bajo setempat juga dikenal taat agama dan selalu melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Masyarakat Bajo taat melaksanakan ibadah shalat dan ibadah lainnya, itu menunjukkan ketaatan mereka dalam pelaksanaan syari’at agama Islam yang dianutnya.
Namun di lain sisi warga masyarakat Suku Bajo masih tetap percaya kepada makhlukmakhluk gaib dan kekuatan sakti (supernatural power) yang konon kabarnya sangat menentukan keselamatan diri maupun perolehan rezeki bagi pakkaja (nelayan). Selain itu mereka juga masih meyakini adanya mitos-mitos, seperti adanya pengngorong sappa atau penjaga karang. Yang bertempat tinggal digugusan-gugusan karang dari seluruh gugusan karang di sekitar lokasi penangkapan Samoa dan Lamasia dan tabu mendekatinya. Sisi keunikan lain dari Suku Bajo adalah cara berkhitannya. Lazimnya khitan dilakukan oleh seorang dokter atau perawat dan menggunakan peralatan medis yang lengkap. Anak laki-laki Suku Bajo di Kecamatan Soropia, khitan dilaksanakan tanpa dokter atau perawat. Laki-laki Suku Bajo di Kecamatan Soropia justru harus merasakan sakitnya khitanan tanpa tenaga ataupun peralatan medis. Bukan karena pulau ini terisolasi sehingga tidak ada pelayanan kesehatan. Tapi semata-semata karena budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat Bajo di pulau yang sudah mulai mengalami abrasi ini. Di sana kita tidak akan menemukan peralatan-peralatan kesehatan, plester, apalagi obat untuk mengurangi rasa sakit. Yang ada hanya pahat yang berfungsi untuk menggantikan gunting, dua buah hansaplast sebagai pengganti plester, palu-palu yang terbuat dari kayu, dan balok berukuran yang digunakan sebagai alas ketika proses khitanan berlangsung. Kelihatannya peralatan yang digunakan memang sangat sederhana, tapi tentu saja sedikit menakutkan bagi anak-anak yang akan dikhitan. Sebelum proses khitanan berlangsung, seorang pemuka adat yang akan melakukan khitanan terlebih dulu berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Semua peralatan yang akan digunakan dikumpul dan diletakkan menjadi satu dihadapan pemuka adat untuk dibacakan doa. Selain itu ada ritual yang tidak boleh ketinggalan, yaitu memukul gendang. Pemukulan gendang tersebut tidak boleh dihentikan hingga proses khitan selesai. Hal ini diyakini dapat mengurangi rasa sakit pada anak yang dikhitan. Meskipun proses dan peralatan yang digunakan adalah tradisional, namun proses penyembuhannya lebih cepat dari pada yang menggunakan tenaga medis. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepatutnya kita bangga dengan adanya Suku Bajo. Karena hal tersebut membuktikan keanekaragaman budaya, bahasa, serta adat istiadat. Juga dengan adanya warga Bajo yang menetap di Sikka, yang hingga saat ini masih mempertahankan adat dan kepercayaan dari nenek moyang mereka, di samping makin berkembangnya modernitas di Indonesia. Patut disyukuri, kebudayaan yang sudah sepatutnya dijaga dan dipelihara agar tidak punah dimakan usia, dan agar tidak diakui oleh negara lain. Karena itu adalah salah satu keanekaragaman budaya Bangsa Indonesia. Buka hanya itu, Suku Bajo juga turut menjaga dan melestarikan wisata bahari di Indonesia, khususnya Wakatobi.
4.1.2 Sejarah Kepresiden Suku Bajo Di Nusantara Indonesia, selain memiliki bahasa dan bendera yang sama ternyata Suku Bajo juga memiliki seorang Presiden. Presiden Bajo Indonesia bernama Ir. Abdul Manan, MSi, yang juga menjabat Kepala BAPPEDA Kabupaten Wakatobi.
Diharapkan dengan adanya figur Presiden Bajo, bisa memberi warna perubahan untuk kesejahteraan masyarakat Bajo. Disamping itu dibentuk pula Organisasi bersama masyarakat Suku Bajo yang disebut Kekar Bajo atau Kerukuan
Keluarga Bajo
Indonesia. Dengan Organisasi kekar Bajo ini pula diharapkan bisa membawa Suku Bajo untuk tidak lagi menjadi suku yang paling terbelakang namun tetap memegang teguh tradisi budaya leluhur mereka sampai kapanpun. Di Kabupaten Wakatobi-Sulawesi Tenggara bermukim sejumlah komunitas Bajo diantaranya, Bajo Mola di pulau Wangi-Wangi , Bajo Sampela dan Mantigola di Pulau Kaledupa, serta Bajo Lamanggau di Pulau Tomia. Yayasan Sintesa Wakatobi dalam releasenya di dunia maya menerangkan bahwa tahun 2012, penduduk Bajo Wakatobi di tahun 2012 berkisar 20.000 Jiwa dan ini adalah angka populasi Suku Bajo terbesar dari semua komunitas Bajo yang tersebar di Nusantara. Presiden Bajo Indonesia saat ini memang bukanlah Presiden Bajo yang dipilih melalui Kongres resmi Suku Bajo, namun Presiden Bajo saat ini murni dari aklamasi masyarakat Bajo untuk menunjuk satu orang delegasi mereka. Sosok Presiden Bajo yang dipilih dan menjabat hingga saat ini, dinilai karena berasal dari asli suku Bajo, namun memiliki intelektual cukup baik di dunia pendidikan dan punya konsep pengembangan Suku Bajo kearah yang lebih baik. Ir. Abdul Manan, Msi selaku presiden Bajo Indonesia, merupakan asli anak bajo yang kemudian mengenyam pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas Haluoleo Kendari, kemudian melanjutkan tingkat Strata Dua (S2) nya di Thailand, sementara untuk pendidikan Strata Tiganya sedang dijalankan meski sempat masuk ke Universitas Indonesia namun karena
kesibukan baik sebagai Presiden Bajo sekaligus pejabat di pemerintahan Wakatobi, sehingga gelar S3 belum juga sempat diselesaikan. Saat ini Abdul Manan selain sebagai Presiden Bajo Indonesia, juga menjabat sebaghai kepala BAPPEDA Kabupaten Wakatobi. Tahun 2008 dibentuk Organisasi Masyarakat Bajo yang disebut Kekar Bajo dan pembentukan ini setelah Presiden Bajo berdiskusi dengan Komunitas Bajo Malaysia. Kekar Bajo memiliki tingkatan struktur organisasi fungsional yang sederhana yaitu : 1. Ketua dalam hal ini Presiden Bajo 2. Korwil 3. Ketua – Ketua tingkat Provinsi 4. Ketua - Ketua tingkat Kabupaten Menurut Presiden bajo Indonesia, Kekar Bajo dibentuk mengambil fungsi memperkuat wilayah Provinsi atau membina tingkat Provinsi dalam hal bagaimana memperkuat program-program
Masyarakat Bajo. Pada Rapat Kerja Tahunan akan
dikelola isu-isu atau permasalahan tingkat Provinsi untuk Kabupaten-kabupaten. Terkait issu atau permasalahn, jika terjadi di tingkat Kabupaten maka akan di bicarakan tingkat Kabupaten kemudian di koordinasikan ke tingkat Provinsi, namun jika issu tingkat Provinsi akan diambil alih oleh Korwil dan Ketua Kekar Bajo sebagai pengurus Nasional. Inilah fungsi delegasi tingkat atau level masing-masing dalam organisasi Kekar Bajo.
Terkait program kerja, Kekar Bajo diharapkan menjadi simpul silaturahmi bagi kesjahteraan masyarakat bajo. Kekar Bajo diharapkan menjadi delegasi dan mediator untuk issu dan permasalahan-permasalahan yang ada ditengah masyarakat Bajo, dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat Suku Bajo itu sendiri. Bagi orang Bajo memandang sosok Presiden Bajo, sebagai tumpuan atau harapan besar, agar Kekar Bajo Indonesia bisa melakukan penguatan dan tetap menjalin silaturahmi antar semua wilayah lokal maupun lintas Negara dimana warga Bajo berada, sehingga Kekar Bajo membentuk sebuah lembaga Internasional yang diberi nama The Bajo Community Confederation yang melibatkan 3 Negara, yaitu, Indonesia, Malaysia, Philiphine. Sehingga diharapkan lahir bantuan dan kerja sama yang menyangkut kesejahteraan masyarakat Bajo, seperti pendidikan, perdagangan dan sektor lainnya. Dengan memperkuat simpul silaturahmi baik lintas pulau maupun Negara khususnya
sektor
pendidikan
sudah
sangat
terlihat
dampaknya,
dengan
diberangkatkannya sejumlah pemuda Bajo Wakaobi untuk mengenyam pendidikan di daerah lain, bahkan hingga keluar negeri, ini semua bersumber dari Networking yang dibangun melalui kegiatan Kekar Bajo. Pendidikan memang sangat menonjol dalam usaha memajukan masyarakat Bajo, karena diakui angka partisipatif murni yang masih rendah terhadap pendidikan, dan angka buta huruf yang masih tinggi, sehingga jalur atau pengembangan minat pendidikan masyarakat Bajo menjadi perhatian penting dari tahun ketahun. Presiden Bajo membuka kerja sama dengan pihak Canada untuk membangun sebuah sekolah On OFF. Mengapa di beri nama ON Off, pada saat muridnya ada maka
di ON kan atau di aktifkan, namun jika muridnya sedang mencari ikan maka sekolahnya di OFF kan. Sekolah Ini dibentuk dalam rangka mengurangi angka buta huruf untuk semua umur tingkat dasar, sementara tingkat menengah untuk persiapan tamatan setara SMP dan SMA, sementara tingkat umum lebih kepada keterampilan atau lifeskill. Telah dilakukan kerja sama dengan Kementrian Daerah tertinggal, dilakukan pelatihan terhadap masyarakat bajo tentang pembuatan abon ikan, membuat fresto, ikan tanpa tulang, membuat sosis dari ikan tuna dan banyak lagi. Juga Presiden Bajo bersama Kekar Bajo, membuka peluang kerja sama dengan perhotelan di beberapa wilayah di Indonesia untuk menyekolahkan anak-anak Bajo Wakatobi disana, dan sudah ada beberapa orang yang diterbangkan ke Bali terkait hal ini. Di negara Perancis juga ada putra bajo yang sedang disekolahkan untuk mendapat gelar S2. Bantuan Kementrian daerah Tertinggal 2013 sebesar 10 Milyar untuk pemberdayaan suku Bajo di 6 Kabupaten di 4 Provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan kalimantan Timur yang merupakan pusat pemukiman bajo yang cukup besar. Semua ini adalah bentuk kinerja Kekar Bajo dibawah kepengurusan Presiden Bajo Indonesia saat ini dalam mengambil fungsi sebagai Delegasi, mediator ataupun Fasilitator masyarakat bajo Terkait asal usul Orang Bajo, Kekar Bajo Indonesia dibawah kepengurusan Presiden Bajo saat ini tengah melakukan kerja sama riset Ilmiah dengan Universitas Russel Perancis dalam melakukan uji atau tes DNA dengan mengambil sampel Air Liur dan saat ini masih dalam proses pengujian dan menunggu hasil.
Perlunya dilakukan melalui riset ilimiah, karena Orang Bajo pada umumnya ingin tau lebih detil tentang asal usul mereka, disamping itu strategi membangun Bajo kedepan supaya lebih berkembang dan lebih maju namun tidak melespakan dan melupakan budayanya. Dengan diketahuinya asal usul orang Bajo, dapat memperkaya sejarah tentang Bajo itu sendiri, serta bagi orang Bajo akan tau dirinya berasal dari mana.
4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Gaya memberitahu (telling) Masyarakat
Suku
Bajo
diidentikkan
dengan
masyarakat
yang
kurang
memperhatikan pendidikan. Kebiasaan hidup masyarakat yang masih tradisional dengan mengesampingkan pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dilatar belakangi oleh kebiasaan yang diberikan oleh orang tua kepada anak untuk melaut sejak dari usia anak-anak. Kebiasaan ini menjadikan anak merasa bahwa kemapanan ekonomi tidak harus diperoleh melalui jenjang pendidikan. Masyarakat Suku Bajo yang tradisional merupakan masyrakat yang masih konservatif yang mempunyai tingkat selektivitas tinggi. Menyeleksi setiap informasi dan perubahan yang datang, menyesuaikan dengan tradisi dan kebiasaan mereka. Menghadapi dan mengubah masyarakat Suku Bajo dari yang tradisional menuju masyarakat Suku Bajo yang modern diperlukan kerja keras karena mengubah pola pikir masyarakat tradisional haruslah bersumber dari dalam lingkup komunitas masyarakat Suku Bajo. Olehnya itu peran Presiden Suku Bajo sebagai perwakilan dari masyarakat
Suku Bajo tersebut sangat besar yakni mempengaruhi dan mengubah mereka untuk bisa hidup lebih maju dan modern baik dari segi pendidikan maupun teknologi. Presiden Suku Bajo dalam menyampaikan pesan komunikasi kepada masyarakat Suku Bajo dilakukan dengan berbagai cara : 1. Gaya komunikasi formal. Gaya komunikasi formal dilakukan oleh Presiden Suku Bajo ketika ada kunjungan yang sifatnya formal seperti dari Pemda, LSM, dan lainlain maka dilakukukan melalui pertemuan tatap muka secara formal dalam bentuk rapat atau sosialisasi. Presiden Suku Bajo dalam menyampaikan pesan kepadda masyarakat menggunakan bahasa yang mudah dimengerti yakni sebagian besar menggunakan bahasa daerah. Instansi pemerintah ataupun LSM yang berkunjung lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia terkecuali jika difasilitori oleh masyarakat
Bajo sendiri. Saluran
komunikasi yang sering dilakukan adalah melalui komunikasi tatap muka. Hal tersebut dirasakan lebih efektif daripada melalui penggunaan media. Ini mengurangi ketidakmerataan informasi. 2. Gaya komunikasi nonformal. Gaya komunikasi nonformal dilakukan oleh Presiden Suku Bajo ketika ada persoalan internal masyarakat Suku Bajo, misalnya terjadi perselisihan antara masyarakat Suku Bajo atau tukar pendapatan terkait dengan profesi mereka sebagai nelayan. Bahasa yang digunakan oleh Presiden Suku Bajo maupun masyarakat Suku Bajo lebih santai dan mudah dimengerti. Gaya komunikasi yang dilakukan oleh Presiden Suku Bajo tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Abdul Manan selaku Presiden Suku Bajo :
“Jika ada yang harus disampaikan kepada masyarakat terkait dengan programprogram pemerintah dan lain-lain untuk masyarakat Suku Bajo saya tidak hanya lakukan melalui pertemuan langsung secara tatap muka melalui rapat tetapi juga pada saat-saat santai saya biasanya berkumpul bersama mereka untuk membicarakan hal tersebut.”
Akan tetapi dialog tatap muka lebih diutamakan oleh Presiden Suku Bajo dalam rangka memberitahukan masyarakat mengenai program-program pemerintah yang berkenaan langsung dengan kehidupan masyarakat Suku Bajo. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Bapak Hugua selaku Bupati Kabupaten Wakatobi. “Saya biasa melakukan tatap muka dengan masyarakat bajo dengan difasiitasi oleh Bapak Abdul Manan selaku Presiden Bajo di masjid-mesjid setempat apabila ada hal-hal yang ingin diinformasikan kepada mereka. Tatap muka saya kira lebih efektif karena dikhawatirkan bila melalui pihak lain atau media akan menimbulkan kesalahpahaman. Akan lebih baik bila masyarakat mendengar langsung dari pemerintah.”
Kutipan wawancara tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Suku Bajo yang kental dengan nuansa kekeluargaan dan kearifan lokal. Ciri ini melekat pada setiap komunitas Suku Bajo sehingga menjadi identitas diri mereka. Komunikasi secara tatap muka sudah merupakan bagian dari kegiatan yang dilakukan oleh Kekar Bajo. Pertemuan ini merupakan ajang bagi Presiden Bajo sendiri untuk secara langsung berkomunikasi dengan masyarakat Suku Bajo. Di dalam Kekar Bajo sebagaimana yang dilihat peneliti dalam masa penelitian, Presiden Suku Bajo berperan aktif menjadi komunikator dan fasilitator antara masyarakat Suku Bajo dengan segala informasi yang datang dari luar. Presiden Suku Bajo secara teratur memberikan informasi (memberitahu) kepada masyarakat Suku Bajo mengenai segala informasi yang berhubungan dengan kehidupan
mereka, baik itu yang berasal dari pemerintah maupun pihak swasta. Sebagaimana yang diihat oleh peneliti di lapangan, gaya memberitahu secara langsung yang diterapkan oleh Presiden Suku Bajo nampaknya efektif menimalisir terjadinya gangguan atau kesalahpahaman dalam penyampaian informasi.
4.2.2. Gaya mempromosikan (selling) Kehidupan masyarakat Suku Bajo yang unik menjadi menjadi daya tarik tersendiri. Masyarakat Suku Bajo mempunyai kultur hidup yang berbeda dibandingkan dengan suku lain di Indonesia. Suku Bajo adalah salah satu dari sedikit suku di Indonesia yang masih tinggal secara berkelompok, memiliki ikatan kekeluargaan yang erat, dan penganut kearifan lokal yang loyal. Dikarenakan keunikan tersebut Suku Bajo mengundang perhatian banyak pihak, bukan hanya dari dalam negeri melainkan sampai keluar negeri. Presiden Suku Bajo mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memajukan masyarakat Suku Bajo serta memperkenalkan mereka ke mata dunia. Hal ini dilakukan melalui multimedia machine yakni menggunakan media sebagai sarana untuk mengenalkan masyarakat Suku Bajo. Berdasarkan pengamatan peneliti dan dari hasil wawancara, cara yang dilakukan yakni: 1. Media Field Trip
Media filed trip dilakukan dengan cara mengundang media-media lokal untuk mengunjungi perkampungan Bajo dan merasakan langsung kehidupan sehari yang dijalani oleh masyarakat Suku Bajo. 2. Publikasi Untuk memperkenalkan Suku Bajo, Presiden Suku Bajo memanfaatkan media cetak dan elektronik. Contohnya halaman khusus yang disediakan oleh media lokal untuk memuat berita dan informasi mengenai Suku Bajo yang diterbitkan sebulan sekali dan juga acara radio khusus yang disiarkan seminggu sekali yang menjadi jembatan komunikasi bagi Suku Bajo Wakatobi dengan Suku Bajo yang berada diluar Wakatobi. Publikasi ini menjadi wadah masyarakat Suku Bajo ataupun masyarakat diluar Suku Bajo untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi oleh Suku Bajo. Penggunaan media sebagai alat komunikasi ini dimaksudkan selain untuk mengenalkan masyarakat Suku Bajo Wakatobi kepada dunia, juga untuk membantu Suku Bajo Wakatobi mengenali pemasalahan-permasalahan yang tengah mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini sesuai yang di ungkapkan oleh Bapak Abdul Manan sebagai berikut: “Promosi tersebut dilakukan dengan tujuan memperkenalkan Suku Bajo kepada dunia. Dengan cara seperti ini kami berharap agar Suku Bajo dapat maju dan ikut andil serta dalam memajukan kebudayaan bangsa.”
Promosi seperti ini terbukti cukup efektif dalam membantu Suku Bajo Wakatobi untuk dikenal di dunia luar. Hal ini terbukti dengan banyaknya kunjungan wisatawan yang datang untuk mengenal kehidupan msyarakat Suku Bajo Wakatobi; banyaknya
seminar-seminar yang diselenggarakan yang mengangkat topik masalah kepemudaan dan pengembangan masyarakat Suku Bajo baik itu dibidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial; penelitian yang diadakan di Wakatobi seperti penelitian mengenai asal-usul Suku Bajo, kelautan, dan perumahan Suku Bajo; serta bantuan-bantuan dari dalam atau luar negeri bagi pemberdayaan dan peningkatan ekonomi kemasyarakatan Suku Bajo Wakatobi. Kesemuanya itu tak lepas dari peran aktif dari Bapak Abdul Manan selaku Presiden Suku Bajo. “ Fokus kami dalam mempromosikan suku bajo adalah agar potensi masyarakat suku bajo dapat digali dan diperkenalkan kepada dunia luar. Ini tidak hanya berguna pemperkaya khasanah pengetahuan akan tetapi juga dapat mengangkat nilai masyarakat Suku Bajo itu sendiri.”
Masyarakat Suku Bajo merupakan masyarakat yang banyak menyimpan potensi. Baik itu dari segi sumber daya manusia maupun kebudayaan. Dan Presiden Suku Bajo selaku pemimpin dari masyarakat tersebut telah banyak memberikan atau mengatur langkah – langkah promosi untuk mengenalkan masyarakat dan kebudayaan Suku Bajo Wakatobi kepada seluruh dunia. Dari pengamatan peneliti, Presiden Suku Bajo mengambil langkah promosi yang cukup baik. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan media juga kegiatan pemeritah sebagai ajang untuk memperkenalkan masyarakat dan kebudayaan Suku Bajo. Promosi merupakan bentuk komunikasi dari presiden suku bajo baik dari itu kepada orang di luar suku bajo maupun masyarakat suku bajo sendiri.
4.2.3. Berpartisipasi (participating),
Masyarakat Suku Bajo Wakatobi merupakan salah satu dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki akar kekeluargaan yang kuat. Persatuan suku mereka telah diakui di mata dunia. Hal tersebut tidak lepas dari fungsi pemimpin yang menjaga agar mereka tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh nenek moyang mereka. Hal ini diwariskan turun temurun sejak berdirinya pusat pemerintahan Bajo di Sulawesi Selatan sampai bergabungnya mereka di dalam naungan NKRI. Partisipasi Presiden Suku Bajo dalam kehidupan masyarakat Suku Bajo sendiri adalah sebagai fasilitator dan mediator. Beliau mengakomodasi kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat Suku Bajo. Karena kemampuan tanpa keinginan untuk melakukan tugas tidaklah berguna, dan disinilah bentuk partisipasi dari Presiden Suku Bajo. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Abdul Manan, sebagai berikut: “Sebagai pemimpin kami berusaha untuk mendorong dan membangkitkan inisiatif dan prakarsa dari masyarakat sendiri untuk menyelesaikan permasalahan dan isu yang mereka hadapi”
Dari kutipan wawancara di atas diketahui Suku Bajo Wakatobi ditantang untuk proaktif dalam menyelesaikan permasalahan dan isu yang mereka hadapi. Hal ini dilakukan tidak lain untuk mendidik masyarakat yang mempunyai inisiatif dan mandiri. Masyarakat diharapkan mampu mengenali permasalahan hidup mereka dan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Akan tetapi pemerintah tetap ikut mengawasi dan bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan masyarakat Suku Bajo. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Hugua, Bupati Wakatobi, “Kami belajar dari pengalaman proyek-proyek bantuan sebelumnya, banyak proyek yang terhenti ditengah jalan dikarenakan tidak adanya partisipasi dari masyarakat. Hal tersebut menjadi pelajaran tersendiri bagi pemerintah. Oleh karena itu, dengan
bantuan Bapak Abdul Manan kami minta partisipasi masyarakat secara riil. Dengan itu, saat ini program yang berjalan pada umumnya merupakan buah pemikiran langsung dari masyarakat. Apa yang sedang kita kerjakan sekarang ini merupakan hal yang menjadi kebutuhan dan keinginan dari masyarakat Suku Bajo.” Hal serupa juga diungkapkan oleh tokoh pemuda masyarakat Suku Bajo, Guntur. “Sekarang kita jauh lebih banyak ikut dalam program pemerintah. Dengan adanya kekar bajo kami jadi punya wadah mengungkapkan aspirasi dan permasalahan yang kami hadapi. Kayak misalnya masalah air bersih dan masalah melaut,kami bisa komunikasi kan diforum kekar dan pemerintah kemudian dicari solusi bersama. Jadi dampaknya bisa dirasa langsung oleh kami sebagai masyarakat.”
Dari hasil wawancara diketahui bahwa gaya partisipasi dari Presiden Suku Bajo kepada masyarakat suku bajo dalam rangka memperkenalkan mereka ke mata dunia adalah dengan mendorong inisiatif dari masyarakat Suku Bajo, agar mereka berkeinginan untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka. Masyarakat diberi ruang seluas-luasnya untuk menumbuhkan potensi yang telah mereka miliki. Dan Kerukunan Keluarga (Kekar) Bajo bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait memfasilitasi agar masyarakat Suku Bajo bisa memiliki tempat yang lebih baik di mata dunia.
4.2.4. Gaya mewakilkan (delegating) Dalam membangun Kerukunan Keluarga (Kekar) Bajo dilingkup nasional, kekar bajo memiliki koordinator wilayah di provinsi dan kabupaten. Adanya perwakilan memudahkan pendelegasian tanggung jawab. Perwakilan di provinsi dan kabupaten diberi tanggung jawab sendiri agar dapat mengenali permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Niai kemandirian dan tanggung jawab ini merpakan bentuk kepercayaan dari Bapak Abdul Manan selaku Presiden Suku Bajo,
bahwa masyarakat Suku Bajo memiliki kemampuan dan kemauan untuk memajukan kehidupan mereka. Hal tersebut tergambar dalam kutipan wawancara berikut. “Pendelegasian tanggung jawab kepada provinsi dan kabupaten, kami maksudkan agar menjadi perpanjangan tangan dan telinga kami. Mengingat luasnya persebaran masyarakat Suku Bajo, para koordinator provinsi dan kabupaten ini sangat membantu. Kami sebagai pimpinan dapat mengetahui hal dan persoalan yang terjadi di daerahdaerah. Kami percaya bahwa ini adalah langkah efektif dalam mengasah sikap mandiri, tanggung jawab, dan rasa kepedulian yang memang telah tertanam dalam setiap individu Suku Bajo.”
Hal yang hampir serupa dikemukakan oleh Pati selaku tokoh pemuda Bajo Wakatobi. Perwakilan tingkat Provinsi dan Kabupaten merupakan ajang pembuktian kemampuan bagi mereka. Masyarakat Suku Bajo yang dipandang dunia luar sebagai suku yang mengesampingkan pendidikan, membuktikan diri dapat melakukan peningkatan kualitas hidup dengan usaha dan keadaran mereka akan perkembangan zaman. “Adanya perwakilan Kekar Bajo di kabupaten merupakan suatu hal yang baik sekali. Kami sebagai pemuda lebih merasa didengar oleh suku kami sendiri. Kekar juga dengan baik sekali menjadi fasilitator agar isu-isu di provinsi dan kabupaten bisa dapat diselesaikan dengan pembentukkan program kerja sebagai solusi yang konkrit. Ini juga ajang pembuktian kami, bahwa kami sebagai masyarakat bajo dapat memperbaiki kehidupan kami.”
Pendelegasian tanggung jawab semacam ini merupakan suatu bentuk penghargaan tersendiri kepada masyarakat Suku Bajo. Dengan hal ini membuat mereka merasa tidak lagi dipandang sebelah mata. Bahwa kemampuan mereka untuk memajukan sukunya sendiri tidaklah berbeda dengan orang lain. Saat ini mereka hidup bukan hanya berpandang tentang apa yang akan mereka lakukan dan perbuat hari ini, akan tetapi bagaimana mereka mempersiapkan diri menghadapi perkembangan jaman.
Dengan kehadiran Bapak Abdul Manan sebagai Presiden Suku Bajo, merupakan representasi dari eksistesi masyarakat suku bajo itu sendiri. Saat ini Suku Bajo bukanlah suku yang terisolir dan terpencil, mereka memiliki suara dan kemampuan agar dapat diperhitungkan di mata dunia.
4.3 Pembahasan Salah satu suku laut terbesar keberadaannya di Indonesia adalah Suku Bajo, yang sampai sekarang tidak diketahui secara pasti dari mana asal muasalnya. Namun dari berbagai sumber dan informasi dapat diketahui, bahwa masyarakat Bajo konon berasal dari kepulauan Sulu di Filipina Selatan, sejak masa prasejarah menyebar ke kepulauan Riau, Maluku,pesisir Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Jayapura sampai ke Pulau Komoro.Masyarakat Bajo yang tersebar di Nusantara ini adalah satu kesatuan sosial atau kelompok masyarakat yang dapat ditemukan di daerah kepulauan, pesisir pantai dan perairan laut Masyarakat Suku Bajo yang menetap dan hidup di Wakatobi pada umumnya masing-masing merupakan keluarga besar, karena dalam satu rumah rata-rata dihuni 7 sampai 9 orang, jadi bukan keluarga batih. Latar pendidikan orang dewasa masyarakat Bajo pada umumnya hanya tamat SD, kecuali anak-anak remaja cukup memadai, karena tersedianya sarana pendidikan formal yang dapat menampung anak-anak untuk belajar mulai dari SD dan SLTA. Semua orang tua mengharapkan adanya peningkatan kualitas anak-anak mereka dalam memasuki dunia kerja.
Didalam keluarga Bajo selain kepala keluarga, anak yang sudah remaja berkewajiban membantu orang tua yang bekerja sebagai nelayan. Sedangkan peran ibu rumah tangga selain membantu suami menjual tangkapan hasil lautnya ke pasar, membimbing dan mendidik anak-anaknya dalam mengajarkan tentang kearifan lokal, kejujuran, tatakrama, sopan santun, penanaman nilai-nilai agama dan tanggung jawab, terutama kepada anak yang masih usia balita dan remaja. Dari wawancara yang peneliti lakukan diketahui bahwa mereka sudah menetap di wilayah Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi) dan menjadi nelayan sejak tahun 1958. Sebelum tahun 1958 warga Bajo hidup berkelana di sekitar perairan Kepulauan Buton, dari asalnya di Bajoe, Sulawesi Selatan. Artinya mata pencaharian sebagai nelayan cukup lama ditekuni oleh masyarakat Bajo . Pada umumnya kondisi kehidupan masyarakat Bajo dapat digolongkan sebagai warga masyarakat yang berpenghasilan rendah, karena tanpa pekerjaan sampingan. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan di lapangan, mana setiap keluarga tidak memiliki fasilitas rumah yang dilengkapi dengan peralatan/perabot yang memadai, belum lagi ukuran rumah yang sangat sederhana, namun dihuni 5 sampai 7 orang dalam satu rumah, hal ini menandai bahwa kesadaran program Keluarga Berencana (KB) tidak berjalan dengan baik di perkampungan masyarakat Suku Bajo. Menurut Nimmo (dalam A.B. Lapian, 2009: 91-94), susunan masyarakat Bajo Asli yang masih tinggal di perahu dapat dibedakan dalam tiga tingkat, (1) mataan, (2)pagmundah , dan (3) dakampungan. Mataan adalah unit paling kecil yang terdiri dari unit-unit keluarga inti. Beberapa mataan membentuk sebuah pagmundah , dan beberapa buah pagmundah membentuk sebuah dakampungan. Kesatuan kelompok kekerabatan
pagmundah dipimpin oleh seseorang yang potensial di antara mereka yang dikenal nakura. Adapun dakampungan dipimpin oleh panglima. Susunan masyarakat Bajo yang asli tersebut terepresentasikan dalam kesatuan-kesatuan perahu sebagai kelompokkelompok pemukiman terapung dan dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempattempat lainnya, kemudian kembali lagi ke tempat- tempat semula. Di Bajoe Bone, yang merupakan kampung Bajo tertua, stratifikasi sosial masyarakat Bajo pada intinya ada empat, yaitu Lolo Same (bangsawan tertinggi), Ponggawa Same (bangsawan campuran), gallarang (golongan masyarakat biasa), dan Ate (golongan sosial paling rendah) (Saleh, 2004). Di masa lalu, kedua golongan pertama menjadi pemimpin dan tidak terlibat dalam kegiatan melaut. Ketika sistem negara kerajaan berhenti maka mulailah mereka ikut ke laut dan mengembara bersama dengan kedua lapisan di bawahnya. Dari struktur sosial orang Bajo di Sulawesi Selatan tersebut menunjukkan kedekatan hubungan antara orang Bajo dan Bugis-Makassar. Bahkan sangat diduga merupakan hasil proses akulturasi atau adopsi dari stratifikasi sosial kedua etnis besar tersebut. Orang Bajo adalah orang-orang yang menyukai kedamaian, sering berkelana tanpa membawa senjata, dan sering diganggu oleh bajak laut. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri secara terorganisasi, dan faktor itulah yang membuat mereka tersebar hingga ke wilayah yang luas. Menurut para peneliti, bahwa bangsa Bajo memiliki kecenderungan untuk tetap berkelompok, dan menyingkir mencari tempat tinggal lain jika diganggu. Mengakar dalam pandangan orang Bajo bahwa tidak akan bahagia apabila hidup di darat, yang harus menunggu waktu panen relatif lama. Lain halnya di laut, mereka dapat segera memperoleh kebutuhan pangan tiap hari dari hasil tangkapan ikan. Mereka
beranggapan, adalah lebih penting memberikan pelajaran menangkap ikan kepada anakanak mereka daripada menyekolahkannya. Itulah sebabnya banyak anak-anak orang Bajo yang tidak atau putus sekolah sebab mereka diharuskan oleh orangtuanya kembali segera menangkap ikan di laut lalu menjualnya demi pemenuhan kebutuhan hidup sanak keluarganya. Bajo merupakan suatu konsep yang diberikan oleh suku bangsa lain. Orang Bajo sendiri menyebut dirinya sebagai 'sama', sedangkan orang lain (bukan Bajo) disebutnya sebagai 'bagai'. Pengertian sama mengandung makna kesamaan bahasa, tradisi, kebiasaan, dan hidup di atas laut. Sedangkan pengertian bagai mengandung makna berbagai-bagai suku bangsa yang mendiami daratan. Orang Bajo biasanya susah untuk menyatakan dirinya sebagai orang Bajo kepada orang lain. Akan tetapi setelah lawan berinteraksinya menyatakan hal-hal positif tentang orang Bajo, maka barulah mengemukakan hal yang sebenarnya tentang orang Bajo. Secara historis, orang Bajo mendapat stereotipe sebagai perompak atau bajak laut. Selain itu, stereotipe bagi orang Bajo sebagai nelayan yang menggunakan alat tangkap destruktif, seperti bom dan bius. Oleh karena itu, orang Bajo sering dijadikan biang kerok kerusakan ekosistem laut. Kendati demikian, orang Bajo berusaha untuk melakukan resistensi sebagai respon untuk mengubah stereotipe yang selama ini melekat pada dirinya. Interaksi sosial orang Bajo dengan masyarakat di sekitarnya sangat intens. Orang Bajo dikenal mudah beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, dan akan selalu berusaha menuturkan bahasa setempat. Oleh karena itu, orang Bajo sangat fasih berbahasa Bugis,
Buton, Kaledupa dan sebagainya. Dalam jaringan perdagangan, orang Bajo mengembangkan hubungan ekonomi dengan orang-orang yang berada di sekitar tempat mereka menetap. Menyadari ketertinggalan dan termarginalisasi dibanding etnik lain, orang Bajo menyusun gerakan-gerakan untuk pembentukan kesadaran identitas. Gerakan yang dilakukan, misalnya membentuk Persekutuan Orang Bajo yang diakui oleh PBB dan persekutuan tersebut mewadahi seluruh komunitas orang Bajo di dunia. Mereka juga mengangkat presiden sebagai pemimpinnya. Berbicara mengenai Presiden Suku Bajo, maka kita akan mengenal sosok yang bernama Abdul Manan. Abdul Manan merupakan presiden Suku Bajo, ia adalah putra asli Bajo. Ia adalah salah satu dari sedikit anggota masyarakat Bajo yang telah mengenyam pendidikan sampai tingkat S2. Hal yang jarang terjadi ditengah kebiasaan masyarakat Bajo yang bergantung hidup pada laut. Abdul Manan yang juga menjabat sebagai Kepala BAPPEDA Kabupaten Wakatobi diangkat sebagai Presiden Suku Bajo setelah diadakannya pertemuan Suku Bajo Se-Indonesia di Jakarta. Kepemimpinan Abdul Manan yang berwibawa dan tenang memberi sumbangsih tersendiri bagi kemajuan Suku Bajo. Seperti yang diketahui bersama berdasarkan pengamatan peneliti, orang Bajo memiliki tingkat selektivitas yang cukup tinggi sehingga untuk penerimaan informasi yang sifatnya baru memberikan tantangan tersendiri. Dengan karakteristik tersebut, Abdul Manan selaku Presiden Suku Bajo dikenal masyakarat Bajo sebagai pemimpin yang mengerti rakyat. Hal ini terlihat dari
pembawaannya yang tenang dan lembut, serta paham betul dengan karakteristik masyarakat Bajo. Sebagai Presiden Suku Bajo dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, ia cukup tenang dan berusaha sebaik mungkin agar apa yang ia sampaikan dapat dimengerti oleh audiencenya. Menerapkan sikap positif dan demokratis sebagai kunci untuk mempertahan keharmonisan antara pemimpin dan masyarakat Bajo. Presiden Suku Bajo mempunyai tugas untuk membawa masyarakat Bajo sejahtera dari aspek ekonomi maupun sosial. Juga melestarikan kebudayaan Bajo yang terancam punah terkikis oleh dinamika dan perkembangan zaman. Suku Bajo mengangkat pemimpin yang disebut sebagai Presiden dengan maksud agar adanya seorang pimpinan mereka bisa lebih terorganisir sehingga tujuan-tujuan bersama sebagai Suku Bajo bisa tercapai. Dengan hadirnya Kepresidenan Bajo, masyarakat memiliki suara untuk memajukan dan melestarikan kebudayaan mereka. Kepresidenan Bajo bisa secara nyata memberikan kontribusi kepada masyarakat. Membantu peningkatan taraf kehidupan serta pelestarian kebudayaan Bajo. Organisasi tidak dapat mengabaikan arti pentingnya komunikasi, sebab komunikasi merupakan prasyarat terciptanya kerja sama. Tanpa komunikasi tentunya aktivitas organisasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Melihat pentingnya komunikasi dalam organisasi, pada akhirnya dituntut adanya gaya komunikasi yang efektif bagi seorang pimpinan untuk membuat peluang akan hadirnya bentuk hubungan komunikasi yang lebih bersifat partisipatif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini ingin melihat bagaimana gaya komunikasi kepemimpinan Presiden Suku Bajo Wakatobi pada masyarakat Suku Bajo Wakatobi dalam mengangkat masyarakat Suku Bajo ke dunia internasional. Dari
hasil penelitian ini, diketahui bahwa gaya komunikasi presiden suku bajo cukup fleksibel, gaya kepemimpinan situasional. Akan tetapi dalam penelitian ini pun terlihat bahwa mengangkat masyarakat Suku Bajo di mata dunia, tidak selamanya didasari dari faktor gaya komunikasi pimpinan, hal tersebut juga datang dari masyarakat itu sendiri. Dalam suatu organisasi yang diantaranya terdapat pimpinan dan bawahan tentunya memiliki peranan yang sangat kuat di dalam menjalankan fungsi dari organisasi tersebut. Gaya komunikasi seorang pimpinan tentu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu organisasi. Hal tersebut dapat dilihat menurut Veithzal dan Deddy yang mengatakan terdapat 3 aspek kepemimpinan yang efektif yakni: 1. Intelegensi yang cukup tinggi; 2. Kemampuan melakukan analisis situasi dalam mengambil keputusan; 3. Kemampuan mengaplikasikan hubungan manusiawi yang efektif agar keputusan dapat dikomunikasikan. Oleh karena itu, seorang pimpinan berkewajiban memberikan kesempatan pada orang-orang yang dipimpinnya, untuk mencari dan mendapatkan pengalaman di dalam memimpin. Tentunya kesempatan itu terutama diberikan kepada orang-orang yang mempunyai sikap dan sifat bawaan yang mendukung untuk menjadi seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Sikap dan bawaan yang mendukung tersebut misalnya saja gaya demokratik. Gaya komunikasi ini bersifat adanya suatu hubungan manusiawi yang terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang bekerja sama tanpa adanya keterpaksaan ataupun tekanan seorang bawahan didalam mengemban tugasnya.
Berbicara tentang gaya komunikasi maka kita akan membahas tentang kepribadian diri seseorang yang dalam hal ini pimpinan yang tentunya akan berkaitan erat dengan motivasi kerja bawahan itu sendiri dalam konteks komunikasi organisasi. Melalui suatu gaya komunikasi, maka pimpinan akan menciptakan suatu sikap yang tentu saja bersifat postif. Misalkan saja dalam suatu organisasi terdapat pimpinan yang bersifat demokratis dan yang lainnya bersifat otoritas. Pimpinan yang demokratis tentu saja akan bersifat terbuka baik di dalam memberikan informasi maupun menerima berbagai pendapat, ide ataupun saran, tanpa mempertimbangkan jenjang jabatan secara formal, sementara pimpinan otoriter justru melakukan hal yang sebaliknya. Tentu saja hal tersebut akan menciptakan dampak yang berbeda terhadap bawahan yang terdapat di dalam organisasi itu sendiri dan dampak terbesar tentunya yang berhubungan dengan motivasi kerja. Penjelasan di atas pada dasarnya sesuai dengan teori yang telah dipaparkan oleh Model kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard (Masmuh, 2010) memandang bahwa “tingkat
kesiapan
anak
buah”
menjadi
faktor
yang
menentukan
efektivitas
kepemimpinan. Kesiapan artinya, suatu kesediaan dan kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab. Dengan kata lain, jika bawahan memiliki kesediaan untuk dan kemampuan yang baik untuk bertanggung jawab, serta berpengalaman dalam tugas yang dihadapinya,maka gaya kepemimpinan khusus akan lebih efektif daripada jika kesiapan bawahan kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan situasional memberikan kontribusi terhadap usaha komunikasi Presiden Suku Bajo terhadap masyarakat Suku Bajo dalam mengangkat masyarakat Suku Bajo di mata dunia dan Implikasi gaya
komunikasi Presiden Suku Bajo pada masyarakat Suku Bajo yakni penyampaian visi dan misi Kerukunan Keluarga (Kekar) Bajo, menjelaskan tujuannya dengan memberitahukan tugas masing-masing, berusaha membangkitkan semangat dalam bekerja memajukan suku, berusaha mengatasi ketegangan antar anggota kelompok. Abdul Manan selaku Presiden Suku Bajo dikenal tekun memelihara komunikasi dengan masyarakat Bajo. Gaya berbicara dan penyampaian informasinya bisa dikatakan baik. Abdul Manan, berdasarkan pengamatan peneliti, pandai menempatkan diri dan mengerti betul dengan karakteristik masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dengan pemakaian dua bahasa (bahasa Bajo dan Bahasa Indonesia) dalam forum-forum pertemuan dengan masyarakat. Dimaksudkan dengan pemakaian dua bahasa ini masyarakat yang tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia bisa ikut mengerti informasi dan memberikan pendapat di forumforum tersebut, mengingat bahwa tidak banyak masyarakat Suku Bajo yang mengenyam pendidikan tinggi. Komunikasi yang diciptakan harus berfungsi secara tepat dan efektif serta bisa menjalin hubungan baik dengan menciptakan iklim kepercayaan dan keterbukaan dalam penyampaian instruksi, memberikan dukungan serta bantuan dalam pemecahan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat Suku Bajo. Pemimpin mempunyai keterbukaan terhadap informasi bermakna sejauhmana individu dalam organisasi tersebut merasakan penyampaian informasi yang jelas dan akurat, sering atau tidaknya pimpinan mendengarkan pendapat anggota organisasi, tertarik pada ide-ide mereka serta mengajaknya untuk berdiskusi. Ketidakjelasan informasi yang didapat juga menyebabkan perbedaan persepsi terhadap informasi tersebut dan akan mengarah sikap anggota organisasi terhadap visi, misi dan tujuan
organisasi serta gaya kepemimpinan yang diterapkan kurang selaras sesuai dengan pemahaman yang didapat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Presiden Suku Bajo adalah kepemimpinan situasional berkontribusi terhadap masyarakat melalui adanya komunikasi. Seperti yang diketahui bahwa dalam kepemimpinan terdapat beragam yang diterapkan dan menunjukkan kesesuaian antara perilaku dan situasi yang dihadapi untuk mempengaruhi orang-orang yang ada dalam sebuah organisasi. Dari sekian banyak gaya kepemimpinan tersebut tentu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh sebab itu, jika ada pertanyaan: gaya kepemimpinan mana yang lebih efektif? Relatif jawabannya, tergantung situasi dan kondisi yang sedang terjadi saat itu.