BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Puskesmas Tirto I Puskesmas Tirto I merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Pekalongan yang terletak di dataran rendah Pantai Utara Pulau Jawa, berada diposisi 109110 BT dan 6-7 LS, luas wilayah 1.738,777 ha. Puskesmas Tirto I terletak di Kecamatan Tirto yang membawahi 16 desa binaan. Kepadatan penduduknya sekitar 3.822 jiwa/km2. Jumlah penduduk pada tahun 2012 adalah 33.352 jiwa. Ketenagaan di Puskesmas Tirto I sejumlah 44 orang, yang terdiri: Kepala Puskesmas 1 orang, dokter umum 1 orang, dokter gigi 1 orang, perawat 7 orang, Bidan 19 orang, asisten apoteker 2 orang, petugas hygine Sanitasi 1, non paramedis 14 orang. Puskesmas Tirto I memiliki 2 unit poli umum,1 unit poli KIA, poli gigi, loket, klinik sanitasi, laboratorium, dan lainnya. Data jumlah kunjungan rawat jalan di Puskesmas Tirto I pada tahun 2012 tercatat 51.427 orang
2. Karakteristik Sampel Jumlah penderita filariasis di Puskesmas Tirto I sebanyak 22 orang. Penelitian ini melibatkan 44 responden pada bulan Mei 2013. Hasil penelitian diuraikan sebagai berikut:
51
52
Tabel 4.1. Distribusi jumlah penderita filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Desa Ngalian Wuled Pucung Dadirejo Sidorejo Tanjung Samborejo Pacar JUMLAH Sumber: Dinas Kesehatan Pekalongan
Jumlah 1 1 1 2 1 3 11 2 22
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penderita terbanyak ditemukan di desa Samborejo yaitu 11 orang. Jumlah responden yang berhasil di wawancarai dalam penelitian ini sebanyak 44 orang yang terdiri dari 22 kasus dan 22 kontrol. Sehingga sesuai dengan yang direncanakan sebelumya.
3. Analisis Univariat Tujuan analisis ini adalah untuk mendiskripsikan karateristik masing-masing variabel yang diteliti, bentuknya tergantung dari jenis datanya. Analisa univariat ini dilakukan pada tiap-tiap variabel penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan data numerik dan kategorik a. Karakteristik Individu Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Diskripsi faktor karakteristik individu dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
53
Tabel 4.2. Distribusi Faktor Karakteristik Individu berupa umur dan jenis kelamin responden di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22) Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%) Kasus Kontrol Kasus Kontrol Usia Muda 6 6 13.64 13.64 Usia Usia Dewasa 8 9 18.18 20.45 Usia Tua 8 7 18.18 15.91 Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan
10 12
9 13
22.73 27.27
20.45 29.55
Dari tabel diatas, diketahui Jumlah responden yang tergolong dalam usia muda (15-24 tahun) sebanyak 12 orang (27.3%) yaitu 6 (13.64%) orang dari kelompok kasus dan 6 (13.64%) orang dari kelompok kontrol, responden yang tergolong dewasa (25-49 tahun) sebanyak 17 (38.6%) yaitu 8 orang (18.18%) dari kelompok kasus dan 9 orang (20.45%) dari kelompok kontrol, serta responden pada tua(>50 tahun) sebanyak 14 orang (31.8%) yaitu 8 orang (18.18%) dari kelompok kasus dan 7 orang (15.91%) dari kelompok kontrol , responden dalam penelitian ini paling banyak berumur 24 dan 20 tahun, masing-masing 3 orang responden. Jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang (43.18%), dengan rincian 10 orang (22.73%) dari kelompok kasus dan 9 orang (20.45%) dari kelompok kontrol dan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang (56.8%) yaitu 12 orang (27.27%) dari kelompok kasus dan 13 orang (29.55%) dari kelompok kontrol.
b. Faktor Perilaku Perilaku individu berkaitan dengan kejadian filariasis, perilaku individu meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Diskripsi faktor perilaku dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
54
Tabel 4.3 Distribusi Faktor perilaku responden berupa pengetahuan, sikap dan tindakan di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22) Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%) Kasus Kontrol Kasus Kontrol Baik 3 13 6.82 29.55 Pengetahuan Kurang 19 9 43.18 20.45 Sikap
Setuju Tidak Setuju
4 18
16 6
9.09 40.91
36.36 13.64
Tindakan
Tidak Dilakukan Dilakukan
5 17
16 6
11.36 38.64
36.36 13.64
Dari tabel diatas, dikatahui jumlah responden yang berpengetahuan baik sebanyak 16 orang (36.4%) yaitu 3 orang (6.82%) dari kelompok kasus dan 13 orang (29.55%) dari kelompok kontrol, dan responden yang berpengetahuan kurang sebanyak 28 (63.6%) yaitu 19 orang (43.18%) dari kelompok kasus dan 9 orang (20.45%) dari kelompok kontrol, 33 responden tidak mengetahui pengertian dari penyakit filariasis dan tidak mengerti bahwa lingkungan rumah yang kurang bersih dapat menjadikan seseorang terkena filariasis, 30 responden kurang begitu paham bahwa semua usia bisa terkena penyakit filariasis.
Jumlah responden yang memiliki sikap setuju dengan upaya pencegahan filariasis sebanyak 20 orang (45.5%) yaitu 4 orang (9.09%) dari kelompok kasus dan 16 orang (36.36%) dari kelompok kontrol, dan responden yang memiliki sikap tidak setuju sebanyak 24 (54.5%) yaitu 18 orang (40.91%) dari kelompok kasus dan 6 orang (13.64%) dari kelompok kontrol. Rendahnya
pengetahuan
masyarakat
mengenai
penyakit
filariasis
menyebabkan sikap mereka pun kurang baik, warga memilih melakukan penyemprotan dari pada melakukan PSN, selain itu warga juga menjauhi warga lain yang mederita filariasis. Warga yang memiliki sikap demikian berjumlah 23 responden. Jumlah responden yang melakukan upaya pencegahan filariasis sebanyak 21 responden yaitu 5 oresponden dari kelompok kasus dan 16 responden dari kelompok kontrol, dan responden yang tidak melakukan tindakan
55
pencegahan sebanyak 23 responden yaitu 17 responden dari kelompok kasus dan 6 responden dari kelompok kontrol. Sebagian besar warga yang menjadi responden dalam penelitian ini tidak memasang kawat kasa pada ventilasi yang ada dirumah mereka, jumlahnya sebanyak 30 responden. c. Faktor Lingkungan Lingkungan berkaitan dengan kejadian filariasis, Faktor lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes. Hospes reservoir dan vektor filariasis yang ada di suatu daerah endemis. Diskripsi faktor lingkungan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4.4 Distribusi Faktor lingkungan berupa tempat istirahat vektor dan tempat berkembangbiak vektor di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22) Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%) Kasus Kontrol Kasus Kontrol Baik 3 14 6.82% 31.82% Tempat Istirahat vector Kurang 19 8 43.18% 18.18% Baik 1 9 2.22% 20.00% Tempat berkembang biak vektor Kurang 21 13 46.67% 28.89%
Dari tabel diatas, diketahui jumlah responden yang dilingkungannya terdapat tempat istirahat vektor dan masuk dalam kondisi kurang baik berjumlah 27 (61.4%) responden yaitu 19 orang (43.18%) dari kelompok kasus dan 8 orang (18.18%) dari kelompok kontrol, sedangkan yang masuk dalam kategori baik berjumlah 17 (38.6%) responden yaitu 3 orang (6.82%) dari kelompok kasus dan 14 orang (31.82%) dari kelompok kontrol. Sebagian besar lingkungan responden terdapat tempat istirahat vektor berupa gantungan baju, jumlah responden yang dilingkungannya terdapat tempat istirahat vektor berupa gantungan baju sebanyak 39 responden. Jumlah responden yang dilingkungannya terdapat tempat berkembang biak vektor dan masuk dalam kategori kurang baik berjumlah 34 responden yaitu 21 responden dari kelompok kasus dan 13 responden dari kelompok kontrol, sedangkan yang masuk dalam kondisi baik berjumlah 10
56
responden yaitu 1 responden dari kelompok kasus dan 9 responden dari kelompok kontrol. Dilingkungan responden sebagian besar terdapat tambak/ kolam keruh, dan kotor, genangan air kotor, jumlahnya sebanyak 40 responden.
4. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dan besarnya nilai odds ratio antara faktor-faktor risiko (variabel independen) dengan kejadian filariasis, (variabel dependen), dengan tingkat kemaknaan 95%. Ada atau tidaknya hubungan antara faktor risiko dengan kejadian filariasis ditunjukkan dengan nilai p < 0,05, sedangkan faktor risiko dengan nilai OR > 1 = mempertinggi risiko, OR = 1 maka dinyatakan tidak terdapat asosiasi dan OR < 1 bersifat protektip atau mengurangi risiko.
a. Hubungan antara umur dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Tabel 4.5 Hubungan antara umur dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22) Umur Kasus Kontrol Total value N % n % OR dg 95%CI Usia Muda 6 27.3 6 27.3 12 0.939 Usia Dewasa 8 36.4 9 40.9 17 Usia Tua 8 36.4 7 31.8 15 Total 22 100 22 100 44
Variabel umur digolongkan menjadi tiga kategori yaitu muda apabila responden berumur 15-24 tahun, dewasa apabila responden berumur 25-49 tahun dan tua apabila responden berumur lebih dari 50 tahun. Berdasarkan tabel silang di atas diketahui bahwa proporsi usia muda pada kelompok kasus sebanyak 6 (27.3%) responden, usia dewasa pada kelompok kasus sebanyak 8 (36.4%) responden dan proporsi usia tua pada kelompok kasus sebanyak 7 (36.4%).
57
Proporsi usia muda pada kelompok kontrol yaitu 6 (27.3%) responden, usia dewasa pada kelompok kontrol sebanyak 9 (40.9%) responden dan proporsi usia tua pada kelompok kontrol sebanyak 7 (31.8%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 0,939>0,05 yang
artinya tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan. Nilai OR usia tidak dapat ditampilkan dikarenkan usia digolongkan menjadi 3 golongan sehingga bentuk tabel 3x2 tidak mendukung nilai OR. b. Hubungan antara Jenis kelamin dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Tabel 4.6 Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22) Jenis Kelamin Kasus Kontrol Total value N % n % OR dg 95%CI Laki-laki 10 45.5 9 40.9 19 1.000 Perempuan 12 54.5 13 59.1 25 1,204 (0,365-3,974) Total 22 100 22 100 44
Variabel jenis kelamin digolongkan menjadi dua kategori yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tabel silang di atas diketahui bahwa proporsi jenis laki-laki kelompok kasus sebanyak 10 (45.5%) responden, dan jenis kelamin perempuan pada kelompok kasus sebanyak 12 (54.5%) responden. Proporsi jenis kelamin laki-laki pada kelompok kontrol yaitu 9 (40.9%) responden, dan jenis kelamin perempuan pada kelompok kontrol sebanyak 13 (59.1%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai value sebesar 1.000>0,05 , OR= 1,204 dengan 95% Cl= 0,365-3,974 yang artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan, jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko kejadian filariasis. c. Hubungan antara Pengetahuan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan
58
Tabel 4.7 Hubungan antara pengetahuan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22) Pengetahuan Kasus Kontrol Total value N % n % OR dg 95%CI Baik 3 13.6 13 59.1 16 0.004 Kurang 19 86.4 9 40.9 28 0,109 (0,25-0,483) Total 22 100 22 100 44
Variabel pengetahuan digolongkan menjadi dua kategori yaitu baik dan kurang, kategori baik skor yang diperoleh > median (5,0) dan kategori kurang skor yang diperoleh < 5,0. Berdasarkan tabel silang diatas diketahui bahwa proporsi responden yang memiliki pengetahuan baik kelompok kasus sebanyak 3 (13.6%) responden, dan responden dengan pengetahuan kurang pada kelompok kasus sebanyak 19 (86.4%) responden Proporsi responden dengan pengetahuan baik pada kelompok kontrol yaitu 13(50.9%) responden, dan responden dengan pengetahuan kurang pada kelompok kontrol sebanyak 9 (59.1%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 0.004<0,05 OR=0,109 dengan 95%
Cl=0,25-0,483 yang artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan pengetahuan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi risiko kejadian filariasis. d. Hubungan antara Sikap dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Tabel 4.8 Hubungan antara sikap dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22) Sikap Kasus Kontrol Total value n % n % OR dg 95%CI Setuju 4 18.2 16 72.7 20 0.001 0,083(0,0020Tidak Setuju 18 81.8 6 27.3 24 0,349) Total 22 100 22 100 44
59
Variabel sikap digolongkan menjadi dua kategori yaitu setuju, skor > 4,00 (median) dan tidak setuju, skor <=4,00 (median). Berdasarkan tabel silang diatas diketahui bahwa proporsi responden yang sikap setuju pada kelompok kasus sebanyak 4 (18.2%) responden, dan responden sikap tidak setuju pada kelompok kasus sebanyak 18 (81.8%) responden Proporsi responden dengan sikap setuju pada kelompok kontrol yaitu 16 (72.7%) responden, dan responden dengan sikap tidak setuju pada kelompok kontrol sebanyak 6 (27.3%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 0.001<0,05 OR=0,083 dengan 95%
Cl=0,02-0,349 yang artinya ada hubungan antara sikap dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan sikap merupakan faktor protektif kejadian filariasis. e. Hubungan tindakan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Tabel 4.9 Hubungan antara tindakan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
Tindakan Dilakukan Tidak dilakukan Total
Kasus n 5 17 22
% 22.7 77.3 100
Kontrol n % 16 72.7 6 27.3 22 100
Total 20 24 44
value OR dg 95%CI 0.002 0,110 (0,28-0,434)
V Variabel tindakan dikategorikan menjadi dua yaitu tidak dilakukan apabila skor 20-49,5%, dan dilakukan apabila skor 49,6-80%. Berdasarkan tabel silang diatas diketahui bahwa proporsi responden yang melakukan tindakan pencegahan pada kelompok kasus sebanyak 5 (22.7%) responden, dan responden sikap tidak melakukan tindakan pencegahan pada kelompok kasus sebanyak 17 (77.3%) responden Proporsi responden yang melakukan pencegahan pada kelompok kontrol yaitu 16 (72.7%) responden, dan responden tidak melakukan pencegahan
60
pada kelompok kontrol sebanyak 6 (27.3%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 0.002<0,05 OR=0,11 dengan 95%
Cl=0,28-0,43 yang artinya ada hubungan antara tindakan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan tindakan merupakan faktor protektif kejadian filariasis. f. Hubungan faktor lingkungan berupa keberadaan tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Tabel 4.10 Hubungan antara tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22) Tempat istirahat Vektor Baik Kurang baik Total
Kasus N 3 19 22
% 13.6 86.4 100
n 14 8 22
Kontrol % 63.6 36.4 100
Total 17 27 44
value OR dg 95%CI 0.002 0,09 (0,02-0,403)
Variabel lingkungan berupa tempat istirahat vektor dikategorikan menjadi dua yaitu baik jika skor yang diperoleh 49,6-80%, dan kurang baik jika skor yang diperoleh 20-49,6%. Berdasarkan tabel silang diatas diketahui bahwa proporsi responden pada kelompok kasus yang lingkungannya terdapat tempat istirahat vektor dan masuk dalam kategori buruk berjumlah 19 (86.4%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai value sebesar 0.002<0,05 OR=0,09 dengan 95% Cl=0,02-0,4 yang artinya ada hubungan antara faktor lingkungan berupa tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan tempat istirahat vektor merupakan faktor protektif kejadian filariasis.
g. Hubungan faktor lingkungan berupa keberadaan tempat berkembang biak vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan
61
Tabel 4.11 Hubungan antara tempat berkembang biak vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22) Tempat istirahat Vektor Baik VKurang baik Total
Kasus n 1 21 22
% 4.5 95.5 100
N 9 13 22
Kontrol % 40.5 59.5 100
Total 10 34 44
value OR dg 95%CI 0.09 0,069 (0,008-0,608)
V Variabel
Lingkungan
berupa
tempat
berkembang
biak
vektor
dikategorikan menjadi dua yaitu baik jika skor yang diperoleh 49,6%80%, dan kurang baik jika skor yang diperoleh 20-49,5%. Berdasarkan tabel silang diatas diketahui bahwa proporsi responden pada kelompok kasus yang lingkungannya terdapat tempat berkembang biak vektor dan masuk dalam kategori kurang baik berjumlah 21 (95.5%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 0.009<0,05 OR=0,069
dengan 95% Cl= 0,008-0,608 yang artinya ada hubungan antara faktor lingkungan berupa tempat berkembang biak vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan tempat berkembang biak vektor merupakan faktor protektif kejadian filariasis.
B. Pembahasan Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dapat diuraikan dalam pembahasan sebagai berikut: 1. Faktor Karakteristik Individu a. Umur Hasil penelitian menunjukkan nilai
value 0,939 yang berarti tidak ada
hubungan antara umur dengan kejadian filariasis. Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Responden penelitian banyak berumur antara 25-49 tahun (dewasa) yang bekerja buruh batik dan garmen diluar dan didalam ruangan kurang pencahayaan dan penuh dengan
62
tumpukan kain garmen tidak rapi. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular
filariasis
apabila
mendapat
tusukan
nyamuk
infektif
(mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Kadarusman (2003) yang menyatakan terdapat hubungan antara umur dengan kejadian filariasis. Sebab variabel umur ini tidak berhubungan dengan kejadian filariasis dimungkinkan karena nyamuk sebagai vektor filariasis ketika mencari makan atau menghisap darah tidak memilih umur, jadi umur berapapun bisa berisiko terkena filariasis. Pada kelompok kasus maupun kontrol kebanyakan usia produktif (15-45 tahun). Penggolongan umur didasarkan pada kemampuan seseorang bekerja.
b. Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukan nilai
value 1.000 OR= 1,24 dengan
95% Cl= 0,365-3,974 yang artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis dan jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko kejadian filariasis. Responden kasus berjenis kelamin laki-laki 10 orang, perempun 12 orang. Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis karena nyamuk tidak pilihpilih ketika menghisap darah atau mencari makan, nyamuk tidak kenal laki-laki maupun perempuan, jadi baik laki-laki maupun perempuan mempunyai risiko yang sama untuk terkena filariasis. Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2008).
63
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Kadarusman (2003) yang menyatakan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis. Pada dasarnya adanya perbedaan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan perempuan dengan laki-laki sehingga penderita filariasis pada penelitian ini hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Secara umum untuk hampir semua penyakit, jenis kelamin perempuan mengalami angka kesakitan tertinggi (Sub. Dit. Surveilans Depkes RI, 2008). 2. Faktor Perilaku a. Pengetahuan Hasil penelitian menujukan nilai Cl=0,25-0,483
value 0,004 OR=0,109 dengan 95%
yang berarti ada hubungan pengetahuan dengan
kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi faktor risiko kejadian filariasis. Hasil penelitian diketahui bahwa 86.4% responden kelompok kasus berpengetahuan kurang. Tiga puluh tiga responden berpengetahuan kurang dalam pengertian penyakit filariasis dan tidak memahami bahwa lingkungan rumah yang kurang bersih dapat menjadikan seseorang terkena penyakit filariasis. Tiga puluh responden tidak memahami bahwa semua usia bisa berisiko tertular filariasis. Kurangnya pengetahuan responden dikarenakan sebagian besar responden berpendidikan rendah, seseorang yang berpendidikan rendah sulit untuk menerima informasi atau pesan-pesan kesehatan yang disampaikan, mereka tidak perhatian dengan hal-hal yang sebenarnya penting. Pemahaman tentang gejala-gejala filariasis sangat penting, kurangnya pengetahuan
mengenai
gejala-gejala
filariasis
menyebabkan
pengobatan penderita sering terlambat. Pada umumnya penderita yang datang ke pelayanan kesehatan sudah masuk ke stadium lanjut, hingga dapat menyebabkan cacat yang menetap, dengan demikian tingkat
64
pengetahuan yang baik akan berpengaruh terhadap kejadian filariasis demikian juga sebaliknya, keadaan ini sesuai dengan teori bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng (Long Lasting) dari pada tidak didasari oleh pengetahuan (Roger , 1974). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasrin (2008) yang menyatakan adanya hubungan pengetahuan dengan kejadian Filariasis. Pengetahuan disini dimaksudkan pengetahuan responden tentang pencegahan filariasis. b. Sikap Hasil penelitian menujukkan nilai
value 0,001 OR 0,083 dengan
95%CI= 0,020-0,349 yang berarti ada hubungan sikap dengan kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi faktor risiko. Dari hasil penelitian 23 responden memilih melakukan penyemprotan dari pada melakukan PSN, selain itu warga juga menjauhi warga lain yang menderita filariasis. Responden menganggap PSN tugas dari jajaran pemerintah dan pemasangan kassa mngeluarkan banyak uang. Sikap adalah anggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahui, tidak dapat dilihat secara nyata, tetapi dapat ditafsirkan sebagai perilaku tertutup. Oleh karena itu sikap masyarakat atau responden yang kurang mengenai penyakit filariasis dikarenakan persepsi atau tanggapan yang keliru tentang sesuatu yang dianggap benar (Notoatmodjo, 2003) Perilaku sikap responden yang setuju terhadap pencegahan filariasis dikarenakan pengetahuan yang cukup akan pencegahan suatu penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia berespon baik secara aktif maupun pasif yang dilakukan
65
sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut sesuai tingkat pencegahan penyakit. Sikap masyarakat yang setuju dengan tindakan pencegahan dan siapa saja yang bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan filariasis berhubungan dengan kejadian filariasis, hal ini dapat dilihat dari jumlah responden pada kelompok kontrol yang memiliki sikap setuju sebanyak 72.7%. dengan adanya sikap yang baik ini akan memunculkan tindakan pencegahan terhadap filariasis. Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Pulungan (2012) yang tidak menemukan adanya hubungan antara sikap dengan kejadian filariasis dikarenakan responden sudah mempunyai kesadaran akan pentingnya sikap pencegahan penyakit. c. Tindakan Hasil penelitian menunjukkan nilai
value 0,002 OR 0,11 dengan
95%CI= 0,28-0,434 yang artinya ada hubungan tindakan dengan kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi faktor risiko. Dari hasil penelitian didapatkan responden yang tidak melakukan tindakan pencegahan pada kelompok kasus sebanyak 77,3% dikarenakan kurang setuju akan sikap pencegahan dengan PSN sehingga tidak melakukan tindakan PSN juga. Tindakan pemberantasan sarang nyamuk merupakan salah satu cara metode pengelolaan lingkungan. Cara pemberantasan sarang nyamuk yang dapat dilakukan adalah dengan membersihkan tanaman air, menimbun genangan air, membersihkan selokan, mengalirkan air yang menggenang. Selain itu kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Pola kebiasaan waktu menggigit nyamuk dewasa yang membentuk dua kali puncak
66
pada malam hari yaitu sesaat setelah matahari terbenam dan menjelang matahari terbit dapat dijelaskan bahwa kondisi tersebut dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara yang dapat menambah atau mengurangi aktivitas menggigit nyamuk dewasa. Oleh sebab itu, responden yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih berisiko dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan tersebut Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Juriastuti (2010), yang menyatakan adanya hubungan antara tindakan mencegah penularan filariasis melalui perantara gigitan nyamuk dengan kejadian filariasis 3. Faktor Lingkungan a. Keberadaan tempat istirahat vektor Hasil penelitian menunjukan nilai
value 0,002 OR 0,09 dengan
95%CI= 0,02-0,403 yang artinya ada hubungan keberadaan tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau merupakan faktor yang bisa mengurangi faktor risiko. Dari hasil observasi lingkungan 70,4% responden kasus didapatkan banyak gantungan baju dan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan disekitar rumah. Keberadaan barang-barang bergantung yang diketahui berhubungan dengan kejadian filariasis ini terkait dengan resting place atau tempat beristirahat nyamuk sebagai vektor dari filariasis. Karena pada umumnya daerah ini bersifat lembab. Kandang ternak merupakan tempat peristirahatan vektor nyamuk sebelum dan sesudah kontak dengan manusia, karena sifatnya terlindung dari cahaya matahari dan lembab. Selain itu beberapa jenis nyamuk yang bersifat zoofilik dan antropofilik atau menyukai darah binatang dan darah manusia.
67
Sehingga keberadaan kandang ternak berisiko untuk terjadinya kasus filariasis. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Kadarusman (2003)) yang menemukan tidak ada hubungan antara keberadaan tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis.
b. Keberadaan tempat berkembangbiak vektor dengan kejadian filariasis Hasil penelitian menunjukan nilai
value 0,009 OR 0,069 dengan
95%CI= 0,008-0,608 yang artinya ada hubungan keberadaan tempat berkembangbiak vektor dengan kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi faktor risiko. Dari hasil observasi yang dilakukan di wilayah Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden memiliki selokan air di sekitar rumah. Kondisi selokan rumah pada saat dilakukan observasi dalam keadaan tergenang air, kotor, banyak terdapat sampah sehingga sangat cocok untuk tempat perkembangbiakan Cx. quinquefasciatus. Rata-rata selokan air pada rumah responden berbentuk terbuka dengan jarak kurang lebih 3 meter dari rumah. Semakin dekat selokan air dengan rumah responden semakin sering responden kontak dengan Cx. Quinquefasciatus. Berdasarkan teori kondisi parit/selokan yang merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding place) adalah parit yang airnya menggenang/tidak mengalir. Saluran air (parit) merupakan tempat bersembunyi bagi larva dan nyamuk Cx. quinquefasciatus. Selain itu genangan air limbah rumah tangga yang mengalir melalui parit menjadi tempat perindukan yang baik sekali bagi Cx. quinquefasciatus karena masih banyak mengandung nutrisi dan bahan organik yang di butuhkan nyamuk Cx. Quinquefasciatus ( Prince PW, 2003 )
68
Cx. quinquefasciatus suka berkembang biak di air keruh dan kotor dekat seperti genangan air, got terbuka, kolam, empang ikan dan selokan yang kotor. Pada penelitian terbukti bahwa selokan yang tersumbat
merupakan
tempat
yang
paling
ideal
untuk
perkembangbiakan nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Muslim, 2005). Genangan air yang kotor seperti air limbah rumah tangga merupakan tempat yang baik sekali bagi perkembangbiakan nyamuk Cx. quinquefasciatus karena pada tempat-tempat tersebut nyamuk Cx. quinquefasciatus mudah mendapatkan nutrisi dan bahan organik untuk perkembangan larva nyamuk. Rawa-rawa merupakan ekosistem dengan habitat yang sering digenangi air tawar yang kaya mineral dengan ph sekitar 6 (asam) kondisi permukaan air tidak selalu tetap dan terdapat tumbuhan air tertentu seperti eceng gondok yang merupakan inang bagi vektor filariasis. Selain itu rawa merupakan tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk berkembang biak, serta mempunyai ukuran yang lebih luas dibandingkan dengan tempat berkembang biak yang lain. Kondisi rawa yang banyak tumbuhan air sangat cocok untuk perkembang biakan nyamuk terutama nyamuk culex. Sebagaimana diketahui bahwa nyamuk culex salah satu spesies nyamuk vektor filariasis. Dengan demikian semakin dekat jarak rawa dengan rumah maka semakin sering pula terjadi seseorang kontak dengan nyamuk. Keberadaan genangan air berhubungan dengan kejadian filariasis, pada genangan air kotor biasanya kita jumpai keberadaan tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air merupakan syarat utama nyamuk vektor filariasis berkembang biak. Culex merupakan salah satu vektor filariasis, telur culex ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir. Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing. Lalu larva dan pupanya melekat pada akar atau batang tumbuhan air
69
dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut, kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet. Sehingga, dengan alat kait itu, baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air.
Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk culex, dan kita tahu bersama kalau spesies nyamuk ini merupakan salah satu vektor penularan dari penyakit kaki gajah. Adapun tumbuhan air yang dijadikan sebagai inang culex sp., antara lain eceng gondok, kayambang, dan lainnya. Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini, selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk culex sp Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Nasrin (2008) yang menemukan adanya hubungan antara keberadaan tempat berkembang biak vektor dengan kejadian filariasis. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dirawa kepadatan nyamuk lebih tinggi, karena rawa merupakan tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk berkembang biak, serta mempunyai ukuran yang lebih luas dibandingkan dengan tempat berkembang biak yang lain. Kondisi rawa yang banyak tumbuhan air sangat cocok untuk perkembang biakan nyamuk terutama nyamuk mansonia. Sebagaimana diketahui bahwa nyamuk Mansonia salah satu spesies nyamuk vektor filariasis. Dengan demikian semakin dekat jarak rawa dengan rumah maka semakin sering pula terjadi seseorang kontak dengan nyamuk.
70
C. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini mencakup proses penelitian dan metode penelitian, dalam kaitannya dengan proses penelitian, penguasaan ilmu dan pengetahuan yang belum cukup yang menjadikan peneliti berusaha untuk memperkaya bacaan melalui kunjungan ke perpustakaan, browsing internet sebelum penelitian ini dimulai dan saat penelitian berlangsung. Sedangkan kaitannya dengan metode penelitian, rancangan studi epidemiologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus kontrol yaitu suatu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dengan penyakit dengan cara membandingkan status paparan pada kontrol. Alur metodologi penelitian ini adalah dengan melihatnya dulu, baru kemudian menyelidiki apa penyebabnya. Oleh karena pemilihan subyek berdasarkan status penyakitnya ketika paparan telah berlangsung, maka studi kasus kontrol ini rawan terhadap berbagai bias diantaranya kontrol adalah orang sehat, biasanya tidak peduli akan status kesehatanya yang memang pada saat wawancara dalam kondisi sehat sehingga kadang-kadang hanya menjawab sekenanya ketika diajukan pertanyaan oleh peneliti.
D. Implikasi Keperawatan Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada petugas kesehatan untuk melakukan pendekatan interpersonal pada penduduk dalam memberikan informasi tentang pentingnya kesehatan lingkungan dalam upaya mencegah terjadinya filariasis. Petugas kesehatan diharapkan membuat suatu media informasi yang menarik seperti leaflet atau poster yang dipasang ditempat-tempat umum di desa dan tempat strategis lainnya, seperti papan informasi, pos siskamling dan balai desa.
71
Pihak Puskesmas Tirto I kabupaten Pekalongan perlu melakukan penyuluhan secara teratur tentang filariasis guna meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang faktor yang dapat berisiko tertular filariasis Masyarakat disarankan menggunakan kelambu atau anti nyamuk sewaktu tidur, memakai pelindung diri (baju dan celana panjang, refelent) waktu keluar rumah pada malam hari. Masyarakat diharapkan dapat meminimalkan adanya tanaman air, guna mengurangi breeding place dan resting place dengan menggalakkan kegiatan kerja bakti.