BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Usaha peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk peternakan (melakukan pemeliharaan ternak) dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha (Bidang Produksi BPS Provinsi Gorontalo, 2007: 20). 1. Peternakan Ayam Risky Layer Peternakan Ayam Risky Layer didirikan oleh Ibu Nurasiah Kadir pada tahun 2006 dengan luas ± 10.458 m2. Jumlah populasi ayam pada tahun 2013 sebanyak 10.000 ekor. Jumlah karyawan di peternakan ayam Risky Layer sebanyak 5 orang dan 4 orang siswa SMK Peternakan yang keseluruhannya berjenis kelamin laki-laki. Batas wilayah Peternakan Ayam Risky Layer : Batas Utara
: 87 m, berbatasan dengan Kebun Samadi Daud
Batas Timur
: 123 m, berbatasan dengan Kebun Suka Padja
Batas Selatan : 81 m, berbatasan dengan Jalan Tutuwoto Batas Barat
: 126 m, berbatasan dengan Kebun Puhi
2. Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya berdiri sejak tahun 2003 oleh Bapak Lian Gim Lung dengan luas ±1.080 m2. Jumlah populasi ayam pada bulan Desember 2012 sebanyak 43.000 ekor, dan pada bulan Maret 2013 sebanyak 52.000 ekor, dimana dilakukan 2 kali pemasokan ayam dalam 1 tahun, pada setiap pemasokan sebanyak 9.000 ekor ayam. Jumlah karyawan
Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya sebanyak 29 orang yang terdiri dari 7 orang perempuan dan 22 orang laki-laki. Batas wilayah Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya Jaya : Batas Utara
: berbatasan dengan Tanah Husain Masyur
Batas Timur
: berbatasan dengan sungai
Batas Selatan : berbatasan dengan Tanah Pakaya Lasudika Batas Barat
: berbatasan dengan Jalan Nani Wartabone
1.2 Hasil Analisis Univariat 1.2.1 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Tabel 4.2.1 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Jenis Kelamin CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer n % n % Laki-laki 9 100,0 22 75,9 Perempuan 0,0 0,0 7 24,1 Jumlah 9 100,0 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Tabel 4.2.1 menunjukkan bahwa dari 38 responden, wilayah peternakan ayam Risky Layer terdapat 9 orang responden (100,0%) berjenis kelamin laki-laki dan tidak ada responden yang berjenis kelamin perempuan. Untuk wilayah peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya terdapat 22 orang responden (75,9%) berjenis kelamin laki-laki dan 7 orang responden (24,1%) berjenis kelamin perempuan.
1.2.2 Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur Tabel 4.2.2 Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Kelompok Umur (Tahun) 16-21 22-27 28-33 34-39 40-45 46-51 52-57 58-63 >63 Jumlah
Peternakan Ayam Risky Layer CV. Malu’o Jaya Jaya n % n % 7 2 0 0 0 0 0 0 0
77,8 22,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
3 7 5 5 4 1 1 2 1
10,3 24,2 17,3 17,3 13,8 3,4 3,4 6,9 3,4
9
100,0
29
100,0
Sumber: Data Primer 2013 Dari tabel 4.2.2 menunjukkan bahwa dari 38 orang responden, untuk wilayah peternakan ayam Risky Layer sebanyak 7 orang responden (77,8%) yang berumur 16-21 tahun dan 2 orang responden (22,2%) yang berumur 22-27 tahun, sementara wilayah peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya terdapat 1 orang responden (3,4%) yang berumur 46-51 tahun, 1 orang (3,4%) berumur 52-57 tahun, dan 1 orang (3,4%) berumur > 63 tahun, 7 orang responden (24,2%) berumur 22-27 tahun.
1.2.3 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Merokok Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Merokok Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Kebiasaan CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer Merokok n % n % Tidak 2 22,2 8 27,6 Ya 7 77,8 21 72,4 Jumlah 9 100,0 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Berdasarkan tabel 4.2.3 menunujukkan bahwa dari 38 orang responden, untuk wilayah peternakan ayam Risky Layer terdapat 2 orang responden (22,2%) yang tidak merokok dan 7 orang responden (77,8%) yang merokok. Wilayah peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya sebanyak 8 orang responden (27,6%) tidak merokok dan 21 orang responden (72,4%) yang merokok. 1.2.4 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Olahraga Tabel 4.2.4 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Olahraga Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Kebiasaan CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer Olahraga n % n % Tidak 7 77,8 24 82,7 Ya 2 22,2 5 17,3 Jumlah 9 100,0 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Tabel 4.2.4 menunjukkan bahwa dari 38 responden, wilayah kerja peternakan ayam Risky Layer sebanyak 7 orang responden (77,8%) tidak mempunyai kebiasaan olahraga dan 2 orang responden
(22,2%) yang mempunyai kebiasaan olahraga, sementara di wilayah peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya sebanyak 24 orang responden (82,7%) yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga dan sebanyak 5 orang responden (17,3%) yang mempunyai kebiasaan olahraga. 1.2.5 Distribusi Responden Menurut Lama Paparan Tabel 4.2.5 Distribusi Responden Menurut Lama Paparan Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Lama CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer Paparan n % n % < 8 Jam 0 0,0 8 27,6 > 8 Jam 9 100,0 21 72,4 Jumlah 9 100,0 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Dari tabel 4.2.5 menunjukkan bahwa dari 9 orang responden melakukan dipeternakan ayam Risky Layer melakukan aktifitas kerja selama lebih dari 8 jam per hari, sementara di peternakan ayam CV. Malu’o Jaya sebanyak 21 orang (72,4%) responden memiliki jam kerja lebih dari 8 jam dan terdapat 8 orang responden (27,6%) memiliki jam kerja kurang dari 8 jam.
1.2.6 Distribusi Responden Menurut Masa Kerja Tabel 4.2.6 Distribusi Responden Menurut Masa Kerja Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Masa Kerja CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer (Tahun) n % n % <1 8 88,9 9 31,1 1-5 1 11,1 17 58,6 6-10 0 0,0 3 10,3 Jumlah 9 100,0 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Tabel 4.2.6 menunjukkan bahwa 38 responden, wilayah kerja peternakan ayam Risky Layer 8 orang responden (88,9%) memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun, dan 1 orang responden (11,1%) memiliki masa kerja 1-5 tahun. Sementara wilayah kerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya terdapat 9 orang responden (31,1%) yang memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun, 17 orang responden (58,6%) yang memiliki masa kerja 1-5 tahun dan 3 orang responden (10,3%) memiliki masa kerja 6-10 tahun. 1.2.7 Distribusi Responden Menurut Penggunaan Masker Tabel 4.2.7 Distribusi Responden Menurut Penggunaan Masker Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Penggunaan CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer Masker n % n % Tidak 5 55,6 18 62,1 Ya 4 44,4 11 37,9 Jumlah 9 100,0 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013
Tabel 4.2.7 menunjukkan bahwa dari 38 responden, wilayah peternakan ayam Risky Layer sebanyak 5 orang responden (55,6%) yang tidak menggunakan masker saat bekerja, dan 4 orang responden (44,4%) menggunakan masker saat melakukan aktifitas kerja. Wilayah peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya sebanyak 18 orang responden (62,1%) tidak menggunakan masker saat bekerja dan 11 orang responden (37,9%) yang menggunakan masker saat bekerja. 1.2.8 Distribusi Responden Menurut Indeks Massa Tubuh Tabel 4.2.8 Distribusi Responden Menurut Indeks Massa Tubuh Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam IMT CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer n % N % Kurus 2 22,2 5 17,3 Normal 7 77,8 21 72,4 Gemuk 0 0,0 3 10,3 Jumlah 9 Sumber: Data Primer 2013
100,0
29
100,0
Tabel 4.2.8 menunjukkan bahwa dari 38 orang responden, di wilayah peternakan ayam Risky Layer terdapat 2 orang responden (22,2%) yang memiliki IMT dalam kategori kurus, dan terdapat 7 orang responden (77,8%) yang memiliki IMT normal. Wilayah peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya terdapat 5 orang responden (17,3%) yang memiliki IMT kategori kurus, sebanyak 21 orang responden (72,4%) memiliki IMT normal dan 3 orang responden (10,3%) yang memiliki IMT kategori gemuk.
1.2.9 Distribusi Responden Menurut Kapasitas Paru Tabel 4.2.9 Distribusi Responden Menurut Kapasitas Paru Berdasarkan Wilayah Kerja Peternakan Ayam di Kabupaten Bone Bolango April 2013 Peternakan Ayam Kapasitas Paru CV. Malu’o Jaya Jaya Risky Layer n % N % Normal 6 66,7 3 10,3 Tidak Normal 3 33,3 26 89,7 Jumlah 9 100 29 100,0 Sumber: Data Primer Hasil penelitian yang disajikan dalam Tabel 4.2.9 menunjukkan bahwa hasil pengukuran kapasitas paru dengan spirometer sebanyak 38 orang responden, yang memiliki gangguan fungsi paru di peternakan ayam Risky Layer dari 9 orang pekerja adalah 3 orang responden (33,3%) dan jumlah responden yang mengalami gangguan fungsi paru di peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya adalah 26 orang (90%) dari 29 orang responden, untuk responden yang memiliki fungsi paru normal pada peternakan ayam Risky Layer sebanyak 6 orang (66,7%) serta jumlah responden yang memiliki fungsi paru normal di peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya adalah 3 orang (10.3%) dengan parameter FVC ≥ 80% dan FEV1 ≥ 70% dikategorikan normal. Jika FVC < 80% dan FEV1 > 70% maka artinya funsi paru tidak normal yang dikategorikan sebagai gangguan restriksi, FVC > 80% dan FEV1 < 70% dikategorikan gangguan fungsi paru (obstruksi), dan jika FVC < 80% dan FEV1 < 70% artinya memiliki gangguan fungsi paru (kombinasi antara restriksi dan obstruksi).
1.2.10 Hasil Pengukuran Kapasitas Paru a. Hasil Pengukuran Kapasitas Paru Pekerja Peternakan Ayam Risky Layer Tabel 4.2.10. Hasil Pengukuran Kapasitas Paru Pekerja Peternakan Ayam Risky Layer Kapasitas Kategori Kapasitas Paru Jumlah Paru n % Normal FVC > 80% & FEV1 > 70% 6 66,7 Restriksi FVC < 80% & FEV1 > 70% 1 11,1 Obstruksi FVC < 80% & FEV1 < 70% 0 0 Kombinasi FVC < 80% & FEV1 < 70% 2 22,2 Jumlah 9 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Berdasarkan tabel 4.2.10 dapat diketahui bahwa dari 9 orang pekerja di Peternakan Ayam Risky Layer sebanyak 6 orang pekerja (66,7%) memiliki kapasitas paru normal, 1 orang (11,1%) memiliki kapasitas paru tidak normal kategori restriksi,dan 2 orang pekerja (22,2%) memiliki kapasitas paru tidak normal kategori kombinasi. Hal ini dapat dilihat pada diagram lingkaran dibawah ini.
Kapasitas Paru Pekerja Peternakan Ayam Risky Layer
22%
Normal
0%
Restriksi 11%
Obstruksi 67%
Kombinasi
Gambar 4. 4.1 Hasil Pengukuran Kapasitas Pekerja Peternakan Ayam Risky Layer Sumber: Data Primer 2013 b. Hasil Pengukuran Kapasitas Paru Pekerja Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya Tabel 4.2. 2.11 Hasil Pengukuran gukuran Kapasitas Paru Pekerja Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya Kategori Kapasitas Paru Kapasitas Jumlah Paru n % Normal FVC > 80% & FEV1 > 70% 3 10,3 Restriksi FVC < 80% & FEV1 > 70% 4 13,8 Obstruksi FVC > 80% & FEV1 < 70% 2 6,9 Kombinasi FVC < 80% & FEV1 < 70% 20 69,0 Jumlah 29 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Tabel 4.11 menunjukk menunjukkan bahwa dari 29 orang ng pekerja terdapat 3 orang (10,3%) (10, memiliki kapasitas paru normal, 4 orang pekerja ekerja (13,8%) (13,8%) memiliki kapasitas paru tidak normal dengan kategorii restriksi, 2 orang pekerja (6, (6,9%) 9%) memiliki kapasitas paru tidak normal kategori obs obstruksi truksi dan 20 orang pekerja (69,0%) (69,
memiliki kapasitas paru tidak normal kategori kombinasi. Hal ini dapat dilihat pada diagram lingkaran di bawah ini. Kapasitas Paru Pekerja Peternakan Ayam CV. Malu'o Jaya
10%
Normal 14% 7%
69%
Restriksi Obstruksi Kombinasi
Gambar 4. 4.2 Hasil Pengukuran Kapasitas Pekerja Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya Sumber: Data Primer 2013 1.3 Hasil Analisis Bivariat 1.3.1 Pengaruh Faktor Jenis Kelamin Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Kapasitas Paru p Total Jenis Tidak Normal Normal value Kelamin n % n % n % Laki-laki 22 71,0 9 29,0 31 100,0 Perempuan 7 100,0 0 0,0 7 100,0 0,164 Total 29 73,3 9 23,7 38 100,0 0 Sumber: Data Primer 2013 Dari tabel 4.3.1 menunjuk menunjukkan kan bahwa terdapat 9 orang (29,0%) (29,0 responden berjenis kelamin laki laki-laki laki yang memiliki kapasitas paru normal, mal, dan terdapat 22 orang (71,0%) responden laki-laki laki memiliki kapasitas paru tidak norm normal, al, serta sebanyak 7 orang (100,0%) (100,0 responden berjenis kelamin perempuan memiliki kapasitas paru tidak
normal dan tidak ada responden perempuan yang memiliki kapasitas paru normal. Analisis chi-square dari data jenis kelamin dengan kapasitas paru peternak ayam memberikan nilai Ρ value lebih besar dari 0,05 (p = 0,164) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. 1.3.2 Pengaruh Faktor Umur Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.2 Hubungan Umur dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Golongan Kapasitas Paru p Umur Total Tidak Normal Normal value (Tahun) n % n % n % 16-40 21 70,0 9 30,0 30 100,0 41-65 7 100,0 0 0,0 7 100,0 0,084 > 65
1
100,0
0
0,0
1
100,0
Total 29 76,3 Sumber: Data Primer 2013
9
23,7
38
100,0
Berdasarkan tabel 4.3.2 menunjukkan pada kelompok umur 1640 tahun dari 30 orang terdapat 9 orang (30,0%) memiliki kapasitas paru normal sementara kelompok umur 41-65 tahun dari 7 orang (100,0%) responden seluruhnya memiliki kapasitas paru tidak normal dan 1 orang responden (100,0%) yang bergolongan umur >65 tahun memiliki kapasitas paru tidak normal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan faktor umur dengan kapasitas paru menggunakan analisis statistik uji chi-square di peroleh nilai p value = 0,084.
1.3.3 Pengaruh Faktor Kebiasaan Merokok Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.3 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Kapasitas Paru p Kebiasaan Total Tidak Normal Normal value Merokok n % n % n % Tidak 8 80,0 2 20,0 10 100,0 Merokok 1 Merokok 21 75,0 7 25,0 28 100,0 Total 29 76,3 9 23,7 38 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Dari tabel 4.3.3 dapat diketahui bahwa dari 10 orang responden yang tidak merokok terdapat 8 orang (80,0%) responden yang memiliki kapasitas paru tidak normal dan 2 orang (20,0%) responden memiliki kapasitas paru normal. Untuk responden yang merokok sebanyak 21 orang (75,0%) dari 28 orang memiliki kapasitas paru tidak normal serta sebanyak 7 orang (25,0%) memiliki kapasitas paru normal. Berdasarkan hasil analisis stastistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh bahwa nilai p value
= 1, yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer.
1.3.4 Pengaruh Faktor Kebiasaan Olahraga Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.4 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Kapasitas Paru p value Kebiasaan Tidak Normal Total Normal Olahraga n % n % n % Tidak 24 77,4 7 22,6 31 100,0 Olahraga 1 Olahraga 5 71,4 2 28,6 7 100,0 Total 29 76,3 9 23,7 38 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 31 orang responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok sebanyak 24 orang (77,4%) memiliki kapsitas paru tidak normal, dan 7 orang (22,6%) memiliki kapasitas paru normal. Untuk 7 orang responden yang memiliki kebiasaan olahraga sebanyak 5 orang (71,4%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal, dan 2 orang (28,6%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Tabel 4.3.4 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji chi-square didapat nilai p value = 1 (> 0,05) yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan olahraga dengan kapsitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer.
1.3.5 Pengaruh Faktor Lama Paparan Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.5 Hubungan Lama Paparan dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Lama Kapasitas Paru p Paparan Total Tidak Normal Normal value n % n % n % < 8 Jam 7 87,5 1 12,5 8 100,0 > 8 Jam 22 73,3 8 26,7 30 100,0 0,650 Total 29 76,3 9 23,7 38 100,0 Sumber: Data Primer 2013 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebanyak 7 orang (87,5%) responden dari 8 orang yang memiliki jam kerja < 8 jam mempunyai kapasitas paru tidak normal, dan dari 30 responden yang memiliki jam kerja > 8 jam sebanyak 22 orang (73,3%) responden mempunyai kapasitas paru tidak normal dan 8 orang (26,7%) mempunyai kapasitas paru normal. Hasil analisis chi-square memberikan nilai p value = 0,650 dimana nilai p lebih besar dari 0,05, yang menunjukkan tidak ada hubungan antara lama paparan dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. 1.3.6 Pengaruh Faktor Masa Kerja Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.6 Hubungan Masa Kerja dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Masa Kapasitas Paru p Kerja Total Tidak Normal Normal value n % n % n % < 1 Tahun 9 52,9 8 47,1 17 100,0 1-5 Tahun 17 94,4 1 5,6 18 100,0 0,006 > 5 Tahun 3 100,0 0 0,0 3 100,0 Total 29 76,3 9 23,7 38 100,0 Sumber: Data Primer 2013
Tabel 4.3.6 menunjukkan dari 17 responden yang memiliki masa kerja < 1 tahun terdapat 9 orang (52,9%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal dan 8 orang (47,1%) responden memiliki kapasitas paru normal. Responden yang memiliki masa kerja 1-5 tahun yang mengalami kapasitas paru tidak normal sebanyak 17 orang (94,4%) dari 18 orang responden, serta seluruh responden yang memiliki masa kerja > 5 tahun yaitu sebanyak 3 orang (100,0%) mengalami kapasitas paru tidak normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer dengan menggunakan analisis statistik uji chi-square diperoleh bahwa nilai p lebih besar dari 0,05 (Ρ value = 0,006). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki masa kerja 1 sampai > 5 tahun lebih beresiko untuk mengalami gangguan kapasitas paru. 1.3.7 Pengaruh Faktor Penggunaan Masker Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.7 Hubungan Penggunaan Masker dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Kapasitas Paru p Penggunaan Total Tidak Normal value Masker Normal n % n % n % Tidak 18 78,3 5 21,7 23 100,0 menggunakan 1 masker Menggunakan 11 73,3 4 26,7 15 100,0 Masker Total 29 76,3 9 23,7 38 100,0 Sumber: Data Primer 2013
Berdasarkan tabel diatas bahwa dari 23 responden yang tidak menggunakan masker saat bekerja terdapat 18 orang (78,3%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal dan 5 orang (21,7%) memiliki kapasitas paru tidak normal. Sebanyak 11 orang (73,3%) responden dari 15 orang yang menggunakan saat masker saat bekerja memiliki kapasitas paru tidak normal dan 4 orang (26,7%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji chi-square diperoleh bahwa nilai p value = 1 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 sehingga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan masker dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. 1.3.8 Pengaruh Faktor Indeks Massa Tubuh (IMT) Dengan Kapasitas Paru Tabel 4.3.8 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kapasitas Paru Peternak Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya dan Risky Layer Kapasitas Paru p IMT Total Tidak Normal Normal value n % n % n % Kurus 7 100,0 0 0,0 7 100,0 Normal 19 67,9 9 32,1 28 100,0 0,040 Gemuk
3
100,0
0
0,0
3
100,0
Total 29 76,3 Sumber: Data Primer 2013
9
23,7
38
100,0
Dari tabel 4.3.8 dapat dilihat bahwa seluruh responden yang memiliki IMT kategori kurus yaitu sebanyak 7 orang (100,0%) memiliki kapasitas paru tidak normal. Dari 28 orang responden yang
mempunyai IMT normal terdapat 19 orang (67,9%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal, dan 9 orang (32,1%) responden memiliki kapasitas paru normal. Seluruh responden yang memiliki IMT kategori gemuk yaitu sebanyak 3 orang (100,0%) mengalami kapasitas paru tidak normal. Dari hasil analisis statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,040. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara IMT dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. 1.4 Pembahasan 1.4.1 Jenis Kelamin Pada tabel 4.3.1 yang menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin laki-laki yang memiliki kapasitas paru tidak normal sebanyak 22 orang (71,0%) dari 31 orang responden, dan sebanyak 9 orang (29,0%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Untuk responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang (100,0%) responden, dimana seluruhnya mengalami kapasitas paru tidak normal. Hasil analisis chi-square diperoleh nilai p lebih besar dari 0,05 yaitu p = 0,164. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. Menurut Lorriane, dan Sylvia (1995) Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan kapasitas residu fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter.
Menurut Guyton (1997) volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil daripada pria, dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Menurut Tambayong (2001) disebutkan bahwa kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8 L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 L. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Siti Yulaekah, 2007) menunjukkan bahwa ada hubungan antara kapasitas paru dengan jenis kelamin laki-laki dengen hasil persentase 22 orang pekerja (75.90%) berjenis kelamin laki-laki ada gangguan fungsi paru, dan 7 orang (24.10%) memiliki kapasitas paru normal. Sementara tidak ada hubungan antara kapasitas paru dengan jenis kelamin perempuan dengan persentase 6 orang pekerja (85.70%) berjenis kelamin perempuan yang memiliki gangguan fungsi paru, dan 1 orang (14.30%) memiliki kapasitas paru normal. Kapasitas paru tidak normal lebih banyak dialami oleh jenis kelamin laki-laki karena aktifitas laki-laki yang lebih banyak terpapar dengan kotoran hewan dan debu yang berasal dari pakan ternak dibandingkan perempuan yang lebih banyak berada di dalam ruangan. Volume paru wanita lebih kecil dibandingkan pria, hal ini dikarenakan oleh perbedaan kekuatan otot maksimum paru, luas permukaan tubuh, kekuatan otot. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji chi-square bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin dengan kapasitas paru peternak ayam, kemungkinan dikarenakan oleh faktor lain seperti masa kerja yang lebih dari 5 tahun serta status gizi
yang tidak normal sehingga meskipun responden berjenis kelamin perempuan yang memiliki volume paru yang kecil tetapi telah bekerja dipeternakan lebih dari 5 tahun akan lebih mudah mengalami gamgguan fungsi paru dibandingkan pekerja berjenis kelamin laki-laki yang baru bekerja kurang dari 5 tahun. 1.4.2 Umur Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel 4.3.2 untuk kelompok umur 16-40 tahun sebanyak 9 orang (30,0%) responden memiliki kapasitas paru normal dari 30 orang responden. Kelompok umur 41-65 tahun seluruhnya mengalami kapasitas paru tidak normal yaitu sebanyak 7 orang (100,0%) responden. Sedangkan kelompok umur > 65 tahun seluruhnya mengalami kapasitas paru tidak normal yaitu 1 orang (100,0%) dengan nilai p = 0,084, sehingga tidak ada hubungan antara umur dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. Menurut Raharjo, 1988 bahwa Faal paru akan meningkat dengan bertambahnya umur, nilai faal paru mulai dari masa kanak–kanak terus meningkat sampai mencapai titik optimal pada usia 22–30 tahun. Sesudah itu terjadi penurunan, setelah mencapai titik pada usia dewasa muda, difusi paru, ventilasi paru, proses inspirasi O2 dan semua parameter paru akan menurun sesuai dengan perubahan usia. Menurut Mengkidi (2006), frekuensi pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa
pernapasan frekuensi pernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anakanak dan bayi. Dalam kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat dari suatu penyakit, pernapasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya. Menurut Khumaidah (2009), faal paru pada tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh usia tenaga kerja itu sendiri. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja. Pada hasil penelitian sebelumnya (Rimba Putra Bintara Kandung, 2013) menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara umur dengan kapasitas paru dengan persentase hasil penelitian dengan umur > 40 tahun mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 4 orang (22,2%) dan tidak mengalami gangguan fungsi paru 2 orang (11,1%). Responden dengan umur
≤ 40 tahun mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 12 orang (66,7%) dan tidak mengalami gangguan fungsi paru 0 (0%). Dari hasil analisis dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,098. Sehingga secara statistik variabel umur pekerja tidak berhubungan dengan kejadian kapasitas fungsi paru. Pekerja yang berumur 30-60 tahun telah mengalami gangguan kapasitas paru dikarenakan penurunan fungsi paru dibandingkan responden yang berumur 16-20 tahun yang diakibatkan oleh bertambahnya umur. Kelompok responden yang berumur 16-20 tahun mengalami peningkatan nilai faal paru sehingga tidak mudah untuk mengalami gangguan fungsi paru. Bertambahanya usia berpengaruh terhadap volume paru dan perubahan
elastisitas paru sehingga rentan untuk mengalami berbagai macam gangguan kesehatan salah satunya gangguan pernapasan. 1.4.3 Kebiasaan Merokok Tabel 4.3.3 menunjukkan bahwa dari 10 orang responden yang tidak merokok terdapat 8 orang (80,0%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal, dan dari 28 orang responden yang merokok sebanyak 21 orang (75,0%) yang mengalami kapasitas paru tidak normal dan 7 orang (25,0%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Berdasarkan hasil analisis chi- square menunjukkan nilai p = 1 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. Mannopo, 1987 menyatakan bahwa Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.
Akibat
perubahan anatomi saluran napas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini merupakan penyebab utama terjadinya PPOM. Menurut Talley & O’connor (1994) bahwa merokok berat dalam jangka waktu 10 tahun dapat menyebabkan penyakit karsinoma paru dan PPOM. Yunus (1997), mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut. Beberapa penelitian tentang bahaya merokok
terhadap kesehatan dan gangguan ventilasi paru dikemukakan oleh Mangesiha dan Bakele (1998), terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan gangguan saluran pernafasan (dalam Khumaidah, 2009:54). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (David Eko Rikmiarif, Eram Tunggul Pawenang, Widya Hary Cahyati, 2012) menunjukkan tidak adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru. Hasil penelitian ini menunjukkan Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi Pearson 1,519 dengan taraf signifikan 0,468. Hasil analsis ini tidak menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru. Kebiasaan merokok dapat menurunkan fungsi paru karena dalam rokok terkandung lebih dari 4000 zat adiktif yang dapat merusak organ tubuh manusia termasuk paru-paru. Responden yang telah lama merokok (5 tahun) dengan frekuensi > 10 batang per hari menyebabkan kapasitas paru tidak normal dibandingkan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Tenaga kerja yang bekerja di lingkungan yang berhubungan dengan gas-gas yang berbahaya, berdebu dan memiliki kebiasaan merokok beresiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan pekerja yang bekerja di lingkungan yang sama tetapi tidak merokok. Kebiasaan merokok bukan hanya mengurangi tingkat pertukaran oksigen dalam darah tetapi juga merupakan faktor penyebab beberapa penyakit paru, seperti kanker paru,
karsinoma paru, bronkhitis, oleh karena itu kebiasaan merokok akan lebih memperberat kejadian gangguan fungsi paru seseorang. Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, kemungkinan disebabkan oleh responden yang meskipun memiliki kebiasaan merokok tetapi frekuensi merokok dalam sehari < 10 batang, dan kebiasaan merokok yang < 10 tahun sehingga dalam pengelompokkan kebiasaan merokok, maka hasil analisis statistik dengan uji chi-square
tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok. Selain itu
kemungkinan adanya riwayat penyakit yang diderita oleh responden. 1.4.4 Kebiasaan Olahraga Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel 4.2.4 dari 31 orang responden yang tidak memiliki kebiasaan olahraga terdapat 24 orang (77,4%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal, dan 7 orang (22,6%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Sementara untuk 7 orang responden yang memiliki kebiasaan olahraga sebanyak 5 orang (71,4%) responden yang memiliki kapasitas paru tidak normal dan 2 orang (28,6%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Menurut Yunus F, 1997 bahwa Kapasitas paru dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang melakukan Olahraga. Pada Olahraga terdapat satu unsur pokok yang penting dalam kesegaran jasmani, yaitu fungsi pernapasan. Berolah raga secara rutin dapat meningkatkan aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan kapiler paru mendapatkan perfusi maksimum, sehingga
O2 dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume lebih besar atau maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal seminggu tiga kali. Menurut Talini, Benvenuti, Petrozzino, dkk (1998), kebiasaan berolahraga akan menimbulkan Force Vital Capacity (FVC) seperti yang terjadi pada seorang atlet FVC akan meningkat 30% sampai dengan 40 %. Menurut Khumaidah (2009), olahraga yang paling baik untuk pernapasan adalah renang dan senam. Di negara berkembang seperti Indonesia, senam merupakan pilihan paling tepat karena jauh lebih murah, mudah dan berguna untuk memperkuat otot pernapasan. Latihan fisik yang teratur akan meningkatkan kemampuan pernapasan dan mempengaruhi organ tubuh sedemikian rupa hingga kerja organ lebih efisien dan kapasitas fungsi paru bekerja maksimal. Hasil penelitian sebelumnya (Dorce Mengkidi, 2007) menunjukkan tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kapasitas paru dimana dari 51 responden yang tidak sering melakukan aktifitas olahraga terdapat 22 orang (43,1%) responden mengalami gangguan fungsi paru dan 29 orang (56,9%) responden yang tidak mengalami gangguan fungsi paru. dan dari 40 orang responden yang melakukan aktivitas olahraga terdapat 25 orang (62,5%) responden yang mengalami gangguan fungsi paru dan 15 orang (37,5%) responden yang tidak mengalami gangguan fungsi paru, dengan nilai p value =0,105.
Kebiasaan olahraga dikategorikan menjadi 2 yaitu, olahraga dan tidak olahraga. Dikategorikan olah raga jika melakukan olahraga jogging dengan frekuensi < 30 menit sampai > 30 menit. Aktifitas olahraga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sistem pernapasan. Latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan faal paru. aktifitas olahraga dapat membantu meningkatkan dan memperlancar aliran darah melalui paru-paru sehingga memudahkan oksigen berdifusi dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar. Seseorang yang melakukan aktifitas olahraga secara teratur akan meningkatkan kebugaran sehingga tidak rentan
untuk
mengalami
gangguan
pernapasan,
disebabkan
adanya
peningkatan faal paru dibandingkan orang yang tidak melakukan aktifitas olahraga. Kebiasaan olahraga memiliki banyak manfaat yaitu meningkatkan kerja dan fungsi paru, jantung dan aliran darah yang ditandai oleh kapasitas vital bertambah, denyut nadi saat istrahat menurun, meningkatkan HDL kolesterol. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara kebiasaan
olahraga
dengan kapasitas
paru,
yang
kemungkinan disebabkan oleh aktivitas olahraga yang tidak rutin, frekuensi < 30 menit dalam sehari, dan jenis olahraga yang dilakukan oleh responden dapat mempengaruhi daya tahan kapasitas fungsi paru. Faktor usia yang mengakibatkan penurunan fungsi paru, serta adanya riwayat penyakit atau faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kapasitas paru pekerja peternakan ayam.
1.4.5 Lama Paparan Tabel 4.3.5 menunjukkan bahwa dari 8 orang responden yang memiliki lama paparan < 8 jam terdapat 7 orang (87,5%) responden mempunyai kapasitas paru tidak normal, dan dari 30 responden yang memiliki jam kerja > 8 jam sebanyak 22 orang (73,3%) responden mempunyai kapasitas paru tidak normal dan 8 orang (26,7%) mempunyai kapasitas paru normal. Dengan nilai p value = 0,650. Berdasarkan hasil observasi dimana jam kerja seluruh pekerja peternakan ayam Risky Layer dari jam 06.30-16.30, sementara untuk pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya Jaya rata-rata memulai pekerjaan pada jam 07.00-17.00. Menurut Budiono, (2007) jumlah jam kerja pada aktivitas pekerja yang terpapar debu dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja tergantung pada lamanya paparan serta konsentrasi debu lingkungan kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat. Menurut
Khumaidah
(2009),
pneumonitis
hipersensitivitas
biasanya merupakan penyakit akibat pekerjaan. Dimana terjadi pemaparan terhadap debu organik yang menyebabkan penyakit paru akut maupun kronik. Keadaan tersebut akan timbul setelah penderita mengalami kontak dalam waktu lama, hal ini terjadi lebih dari 10 tahun dan jarang terjadi dibawah 10
tahun. Sehingga lama paparan mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kejadian gangguan fungsi paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Siti Kaidah, 2012) menunujukkan bahwa tidak ada hubungan lama paparan dengan fungsi paru penambang batu gunung, dimana dari 9 orang responden yang memiliki lama paparan yang pendek terdapat 7 orang (77,8%) responden yang mengalami gangguan fungsi paru dan 2 orang (22,2%) yang memiliki fungsi paru normal. Sementara sebanyak 17 orang (73,9%) responden dari 23 responden yang memiliki fungsi paru tidak normal dengan lama paparan yang panjang dan sebanyak 6 orang (26,1%) responden yang memiliki fungsi paru normal, dengan nilai p lebih besar dari 0,05 (p = 1,000), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan fungsi paru penambang batu gunung di desa Awang Bangkal Barat. Dari 30 responden yang bekerja di dua lokasi peternakan ayam memiliki lama kerja > 8 jam yang berarti telah melebihi jam kerja yang telah ditentukan. Lama papran merupakan jumlah jam kerja yang dihabiskan pekerja dilingkungan kerja. Semakin lama jam kerja seseorang maka kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan akan semakin meningkat terutama di lingkungan kerja yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia, gas-gas yang berbahaya dan memiliki kadar debu yang tinggi dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan. Hal tersebut juga dapat
dipengaruhi oleh konsentrasi gas-gas atau bahan-bahan berbahaya, debu yang ada di lingkungan kerja. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan anatara lama paparan dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam disebabkan oleh masa kerja yang < 1 tahun sehingga belum menunjukkan adanya perubahan fungsi paru responden, faktor usia yang masih muda dan kebiasaan merokok yang < 5 tahun serta frekuensi merokok < 10 batang per hari sehingga meskipun responden yang memiliki jam kerja > 8 jam masih mempunyai kapasitas paru yang normal. 1.4.6 Masa Kerja Berdasarkan tabel 4.3.6 yang menunjukkan bahwa dari 17 responden yang memiliki masa kerja < 1 tahun terdapat 9 orang (52,9%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal dan 8 orang (47,1%) responden memiliki kapasitas paru normal. Responden yang memiliki masa kerja 1-5 tahun yang mengalami kapasitas paru tidak normal sebanyak 17 orang (94,4%) dari 18 orang responden, serta seluruh responden yang memiliki masa kerja > 5 tahun yaitu sebanyak 3 orang (100,0%) mengalami kapasitas paru tidak normal. Hasil analisis chi-square diperoleh nilai p value = 0,006). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki masa kerja 1 sampai > 5 tahun lebih beresiko untuk mengalami gangguan kapasitas paru. Menurut KBBI, (2001) masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada suatu kantor, badan dan sebagainya). Menurut Depkes RI, 1994 bahwa setiap kegiatan industri selalu menggunakan teknologi, baik
teknologi yang canggih ataupun sederhana. Efek samping penggunaan teknologi dapat mengganggu tatanan kehidupan dan lingkungan hidup, khususnya penggunaan teknologi yang dapat berdampak negatif pada tenaga kerja. Menurut Suma’mur, (1996) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Menurut RE. Hyatt, PD. Scanlon & M. Nakamura (2006), pada pekerja yang berada dilingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (dalam Khumaidah, 2009:61). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian sebelumnya (Dorce Mengkidi, 2006 dan Ida Mahdaniar, 2006) yang menunjukkan adanya hubungan antara masa kerja dengan kapasitas paru. Persentase responden dengan masa kerja ≥ 15 tahun mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 33 orang (63,5%) dan tidak mengalami gangguan fungsi paru 19 orang (36,5%). Responden dengan masa kerja < 15 tahun mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 14 orang (35,9%) dan tidak mengalami gangguan fungsi paru 25 orang (64,1%). Hasil penelitian yang dilakukan Ida Mahdaniar, menunjukkan bahwa 25 orang (75.7%) yang mempunyai masa kerja 1-10 tahun memiliki kapasitas paru normal, 3 orang (50.0%) mempunyai masa kerja 11-20 tahun memiliki kapasitas paru normal dan 1 orang (100%) mempunyai masa kerja
21-30 tahun memiliki kapasitas paru normal. Sedangkan 8 orang (24.2%) yang mempunyai masa kerja 1-10 tahun memiliki kapasitas paru tidak normal, dan 3 orang (50.0%) yang mempunyai masa kerja 11-20 tahun memiliki kapasitas paru tidak normal. Masa kerja merupakan keadaan dimana seseorang telah melakukan aktifitas pekerjaan yang ditentukan dalam kurun waktu tertentu. Responden dengan masa kerja yang telah berlangsung 1 hingga > 5 tahun di lokasi pekerjaan yang terpapar dengan berbagai macam gas yang dapat membahayakan kesehatan mempunyai potensi besar untuk mengalami kapasitas paru tidak normal, dosis paparan dari berbagai macam gas dan debu yang terhirup menyebabkan seseorang lebih rentan untuk mengalami gangguan kapasitas paru dibandingkan responden yang memiliki masa kerja < 1 tahun. Semakin lama masa kerja seseorang di lokasi pekerjaan yang telah terpapar gas-gas berbahaya menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap kapasitas paru seseorang. Responden yang memiliki masa kerja 5 tahun di lingkungan kerja yang memiliki kadar debu yang tinggi berpotensi untuk mengalami gangguan obstruksi.
1.4.7 Penggunaan Masker Hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 4.3.7 menunjukkan bahwa dari 23 responden yang tidak menggunakan masker saat bekerja terdapat 18 orang (78,3%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal dan 5 orang (21,7%) memiliki kapasitas paru tidak normal. Sebanyak
11 orang (73,3%) responden dari 15 orang yang menggunakan saat masker saat bekerja memiliki kapasitas paru tidak normal dan 4 orang (26,7%) responden yang memiliki kapasitas paru normal. Menurut Khumaidah (2009), suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif pengendalian (secara tehnik dan administratif) yang bisa dilaksanakan, namun mempunyai beberapa kendala. Pilihan yang sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dijadikan suatu kebiasaan dan keharusan. Menurut Yeung, & Lam Enarson (1999), alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation), apabila pekerja memakai APD merasa kurang nyaman dan pengunaannya kurang bermanfaat bagi pekerja maka pekerja enggan memakai walaupun memakai karena terpaksa atau hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan. Pada penelitian sebelumnya (Tria Damayanti, Faisal Yunus, Mukhtar Ikhsan, Kiki Sutjahyo, 2007) menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara penggunaan APD dengan kapasitas paru. kelainan klinis yang didapatkan pada 10 orang (11,9%) dengan kebiasaan buruk menggunakan APD masker dan 8 orang (8,2%) dengan kebiasaan yang baik menggunakan APD masker namun secara statistik tidak berbeda bermakna
(p=0,399). Kelainan faal paru pada subjek penelitian kelompok yang buruk kebiasaan menggunakan APD masker tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang baik kebiasaan meng-gunakan APD masker (p=0,310). Kelainan foto toraks di-dapatkan pada 2 orang (2,5%) dengan kebiasaan menggunakan APD masker yang buruk dan 3 orang (3,2%) dengan kebiasaan menggunakan APD masker yang baik namun secara statistik tidak berbeda bermakna. Penggunaan APD khususnya masker merupakan salah satu bentuk pencegahan awal terhadap gangguan penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Masker dapat melindungi saluran pernapasan atas terutama hidung agar partikel-partikel misalnya debu tidak terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan dan menyebabkan berbagai macam penyakit. Keamanan dan Keselamatan Kerja (K3) bagi pekerja baik di wilayah Peternakan Ayam Risky Layer dan wilayah Peternakan Ayam CV. Malu’o Jaya Jaya belum diterapkan sepenuhnya. Hal ini terlihat di lapangan, pekerja pada saat mencampur bahan pakan ternak, pembersihan kandang belum dilengkapi dengan alat penutup hidung (masker). Berdasarkan analisis chi-square yang menunjukkan tidak ada hubungan antara penggunaan masker dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ada pekerja yang menggunakan kaos untuk menutup hidung belum sesuai dengan syarat K3 dan kesehatan, responden yang awalnya tidak menggunakan masker saat bekerja akibatnya responden mengalami beberapa macam keluhan seperti
pusing, sakit kepala, sesak napas sehingga respnden mengubah kebiasaan menjadi selalu menggunakan masker dan dapat mempengaruhi hasil penelitian. 1.4.8 Indeks Massa Tubuh (IMT) Dari tabel 4.3.8 dapat diketahui bahwa seluruh responden yang memiliki IMT kategori kurus yaitu sebanyak 7 orang (100,0%) memiliki kapasitas paru tidak normal. Dari 28 orang responden yang mempunyai IMT normal terdapat 19 orang (67,9%) responden yang mengalami kapasitas paru tidak normal, dan 9 orang (32,1%) responden memiliki kapasitas paru normal. Seluruh responden yang memiliki IMT kategori gemuk yaitu sebanyak 3 orang (100,0%) mengalami kapasitas paru tidak normal. Dengan nilai p value = 0,040. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara IMT dengan kapasitas paru pekerja peternakan ayam CV. Malu’o Jaya dan Risky Layer. Menurut Murray & Lopez (2006), status gizi tenaga kerja erat kaitannya dengan ringkat kesehatan tenaga kerja maupun produktifitas tenaga kerja. Zat gizi manusia telah didasarkan kepada: 1) Basal Metabolisme Rate (BMR) dimana jumlah energi yang dibutuhkan seimbang untuk aktifitas vital tubuh, 2) Specific Dynamic Action (SDA) yang merupakan jumlah energi yang dibutuhkan untuk proses pengolahan makanan, 3) Aktifitas fisik adalah kegiatan tubuh yang mebutuhkan energi dan 4) Pertumbuhan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dan jaringan baru. Dalam hal ini gizi baik akan meningkatkan derajat kesehatan tenaga kerja dan akan mempengaruhi
produktifitas
tenaga
kerja
sehingga
dapat
mengalami
peningkatan
produktifitas perusahaan dan produktifitas nasional. Menurut Almatsier, S. (2002) Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan seseorang menurun, sehingga seseorang mudah terkena infeksi oleh mikroba. Berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan, apabila terjadi secara berulang dan disertai batuk berdahak, akan menyebabkan terjadinya bronkhitis kronis. Menurut Supariasa, (2001) kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi seseorang. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status gizi juga berperan terhadap kapasitas paru. Orang dengan postur kurus panjang biasanya kapasitas vital paksanya lebih besar dari orang dengan postur gemuk pendek. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya (Irwan Budiono, 2007) menunjukkan bahwa IMT ada hubungan dengan kapasitas paru. Hasil penelitian Irwan Budiono, menunjukkan responden dengan status gizi tidak normal mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 33 orang (60.0%) dan tidak mengalami gangguan fungsi paru 22 orang (40.0%). Responden dengan status gizi normal mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 9 orang (25.7%) dan tidak mengalami gangguan fungsi paru 26 orang (74.3%). Hasil analsis menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan gangguan fungsi paru (p = 0,0001). Perhitungan rasio prevalensi
menunjukkan besar risiko status gizi tidak normal adalah 2,967 (95% CI = 1,556 – 5,659). Status
gizi
seseorang
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan organ-organ tubuh manusia, dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki stastus gizi buruk maka organ dalam tubuhnya tidak berkembang dan berfungsi dengan baik. Salah satu akibat dari kekurangan gizi yaitu menurunkan imunitas dan anti bodi sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Seseorang yang memiliki status gizi lebih akan mengalami berbagai macam gangguan kesehatan salah satunya adalah gangguan pernapasan yang diakibatkan oleh menumpuknya lemak berlebih dalam tubuh sehingga dapat menghambat proses pernapasan sehingga seseorang dengan kondisi tersebut memerlukan tenaga ekstra dalam melakukan respirasi. Status gizi memiliki kaitan dengan tingkat kesehatan tenaga kerja karena dapat mempengaruhi produktifitas tenaga kerja.