BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Perilaku Kanibalisme Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi
terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989 dalam Folkvord 1991). Menurut Hecht dan Appelbaum (1988), kanibalisme dapat terjadi pada berbagai spesies ikan yang dipelihara dalam kondisi terkontrol dan diberi pakan sampai kenyang. Perilaku kanibalisme pada ikan ditandai dengan adanya serangan yang dilakukan. Serangan dapat berupa perilaku larva mengejar, menyerang atau mengigit larva lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan perilaku kanibalisme dimulai sejak hari pertama ikan menetas. Ikan zungaro umumnya melakukan penyerangan secara individu, larva menyerang larva lainnya. Penyerangan tidak hanya dilakukan oleh ikan yang berukuran tubuh lebih besar dari larva yang diserang, namun juga dilakukan oleh ikan dengan ukuran tubuh yang sama atau ukuran tubuh yang lebih kecil. Pola penyerangan berkelompok terjadi apabila ikan terkejut dengan suara bising atau pergerakan media pemeliharaan yang terjadi secara mendadak. Pola penyerangan terjadi apabila larva yang terkejut menyerang salah satu bagian tubuh larva lain kemudian dilepaskan kembali dan larva yang melakukan penyerangan akankembali tenang, sedangkan larva yang diserang akan menunjukkan gejala panik seperti berenang agresif dan menyerang larva lainnya. Perilaku kanibalisme pada larva ikan zungaro yang termasuk golongan catfish menunjukkan pola serangan yang sama dengan yang terjadi pada ikan patin. Menurut Marhamah (2010) pola penyerangan pada ikan patin terbagi menjadi 2 macam. Pola pertama yaitu larva mengejar atau mengigit kepala larva lainnya (Gambar 5a) sedangkan pola kedua yaitu larva mengejar dan mengigit bagian ekor larva lainnya (Gambar 5b). Namun pada ikan zungaro terdapat pola penyerangan lain yaitu larva mengejar dan mengigit bagian tubuh larva lain (Gambar 5c), dapat dilihat pada Gambar 5.
22
23
Ikan menyerang bagian kepala ikan lain (a) Ikan menyerang bagian ekor ikan lain
(b) Ikan menyerang bagian tubuh ikan lain
(c)
Gambar 5a-c. Pola Serangan Ikan Zungaro
24
4.2
Intensitas Serangan Berdasarkan pengamatan intensitas serangan dimulai sejak hari pertama
pengamatan. Intensitas serangan menunjukkan keaktifan ikan dalam melakukan perilaku kanibalismenya. Jenis kanibalisme yang terjadi pada larva dibagi menjadi empat jenis. Jenis pertama adalah serangan yang terjadi sebanyak satu kali dimana larva mengejar larva lain tanpa menyebabkan kematian. Jenis kedua adalah serangan terjadi lebih dari satu kali tanpa menyebabkan kematian pada larva yang diserang maupun larva yang menyerang. Pada jenis ini umumnya larva yang diserang akan mengalami cacat fisik seperti bagian tubuh atau bagian ekor yang bengkok. Jenis ketiga adalah serangan yang dilakukan lebih dari satu kali dan menimbulkan kematian, dan jenis keempat serangan yang dilakukan satu kali dan menimbulkan kematian. Pada jenis ketiga umumnya sisa potongan tubuh berupa badan, kepala dan ekor larva yang diserang masih dapat diamati, namun untuk jenis serangan keempat hanya terjadi satu kali dalam pengamatan yaitu larva hilang dari wadah penelitian. Berikut merupakan jenis serangan yang terdapat pada setiap perlakuan: 1. Pada perlakuan A (0 ppt) ditemukan jenis serangan kedua, ketiga dan keempat. Intensitas serangan pada perlakuan A lebih tinggi di bandingkan perlakuan lain. Jenis serangan keempat hanya terjadi satu kali dan terjadi pada hari kelima saat terjadi peningkatan intensitas serangan, hanya terdapat pada perlakuan A (0 ppt). Menandakan bahwa media tanpa salinitas menyebabkan keaktifan ikan dalam melakukan kanibalisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan media yang diberikan salinitas. 2. Pada perlakuan B (5 ppt) ditemukan jenis serangan kedua dan ketiga, larva yang telah mengalami jenis serangan kedua umumnya akan mengalami luka yang menyebabkan cacat pada bagian ekor atau badan. Pada perlakuan ini juga ditemukan pola serangan ketiga yaitu larva melakukan serangan berkali-kali hingga menimbulkan kematian. 3. Pada perlakuan C (10 ppt) ditemukan jenis serangan pertama, kedua dan ketiga. Jenis serangan pertama lebih sering terjadi dibandingkan dengan jenis serangan kedua dan ketiga, tetapi pada perlakuan ini masih dapat
25
ditemukan larva yang mengalami cacat fisik akibat pola serangan kedua dapat dilihat pada Gambar 6 dan kematian yang terjadi akibat pola serangan ketiga. 4. Jenis serangan yang ditemukan pada perlakuan D (15 ppt)adalah jenis serangan pertama, kedua dan ketiga. Serangan pertama dan kedua mendominasi jenis serangan. Jenis serangan ketiga yang ditemukan pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A (0 ppt), B (5 ppt) dan C (10 ppt). 5. Jenis serangan yang ditemukan pada perlakuan E (20 ppt) adalah jenis serangan pertama, kedua dan ketiga. Serangan pertama lebih sering ditemukan daripada jenis serangan lainnya.
Sirip bengkok keatas
Sirip normal
Gambar 6. Cacat Fisik Pada Bagian Sirip
Intensitas serangan mulai terlihat dari hari pertama pengamatan. Intensitas serangan tertinggi terjadi pada perlakuan A ( 0 ppt) sebesar 258 kali yang terjadi pada hari ke 7, sedangkan intensitas terrendah terjadi pada perlakuan E ( 20 ppt)
26
sebesar 91 kali yang terjadi pada hari ke 3 pengamatan. Pada perlakuan A intensitas serangan berakhir pada hari ke 18 sedangkan pada perlakuan E intensitas serangan berakhir lebih cepat yaitu pada hari ke 12, dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 7.
Tingkat Kanibalisme (per hari)
300
A (0 ppt) B (5 ppt)
250
C (10 ppt) 200 D (15 ppt) 150
E (20 ppt)
100
50
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Periode Pengamatan (Hari Ke-) Gambar 7. Grafik Intensitas Serangan Per Hari
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, semakin tinggi salinitas maka intensitas serangan semakin berkurang dan berakhir lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Weingartner (2002) dalam Beux dan Filh (2007) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong perilaku kanibal diantaranya lingkungan, yang dapat dimanipulasi untuk memaksimalkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva. Berikut merupakan grafik rata-rata intensitas serangan:
27
Intensitas Serangan (%)
120
A (0 ppt)
100.6 100
B (5 ppt) 79.4
80
C (10 ppt) 55.15
60
D (15 ppt)
52.7
E (20 ppt) 40 21.45 20 0 0 ppt
5 ppt
10 ppt
15 ppt
20 ppt
Perlakuan
Gambar 8. Rata-rata Intensitas Serangan Antar Perlakuan
Loadman et al. (1986) menyatakan bahwa sifat kanibalisme hanya dapat ditekan bukan dihilangkan. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan, rata-rata intensitas serangan tertinggi diperoleh perlakuan A (0 ppt) sebesar 100,68 kali dan intensitas serangan terendah diperoleh perlakuan E (20 ppt) sebesar 21,52 kali, dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 7. Pada perlakuan E (20 ppt) larva memerlukan lebih banyak energi untuk melakukan osmoregulasi dibandingkan perlakuan lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyamsir (2011) yang menyatakan bahwa didalam sel darah merah untuk memindahkan 1 atau 2 ion Na+ dibutuhkan satu-satu ion ATP (Adenosin Triphosphat) yang dihasilkan dari metabolisme, sehingga semakin tinggi salinitas semakin banyak energi yang harus dikeluarkan untuk osmoregulasi karena semakin banyak ion-ion yang harus di seimbangkan dan intensitas serangan akan berkurang. Menurut De Angelis et al. (1979) masalah yang terjadi untuk beberapa spesies adalah tingkat kanibalisme yang dapat dikaitkan dengan faktor perilaku. Pada penelitian Hamid et al. (2007) diketahui bahwa media yang diberi salinitas dapat mengurangi kanibalisme pada larva patin.
28
4.3
Mortalitas Mortalitas yang terjadi dibagi menjadi dua, mortalitas yang pertama adalah
kematian yang dapat diidentifikasi, kematian jenis ini ditandai dengan ditemukannya sisa potongan tubuh sedangkan mortalitas jenis kedua adalah kematian yang tidak dapat diidentifikasi, kematian ini ditandai dengan hilangnya larva tanpa ditemukan sisa potongan tubuh, dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 10.
Tabel 2. Mortalitas Larva Ikan Zungaro Selama Penelitian (ekor) Salinitas ppt
Mortalitas
Jumlah (ekor)
A (0)
125
Tidak teridentifikasi 1
B (5)
86
0
86
C (10)
77
0
77
D (15)
61
0
61
E (20)
39
0
39
Teridentifikasi
126
Pada Tabel 2 terlihat bahwa mortalitas jenis pertama yang teridentifikasi ditemukan pada semua perlakuan. Sedangkan mortalitas jenis kedua hanya ditemukan satu kali pada perlakuan 0 ppt yang terjadi pada hari kelima pengamatan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan mortalitas jenis kedua umumnya tidak berhasil karena larva yang berusaha menelan larva lain secara utuh akan mati akibat kegagalan saat menelan larva lain. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas yang terjadi umumnya merupakan jenis pertama. Salinitas 20 ppt dapat mengurangi mortalitas yang disebabkan prilaku kanibalisme. Hal ini diduga pada salinitas 20 ppt ikan zungaro lebih banyak menggunakan energinya untuk proses osmoregulasi dibandingkan dengan energi untuk aktivitas. Penggunaan energi yang lebih tinggi untuk osmoregulasi digunakan untuk menyeimbangkan ion-ion yang ada didalam tubuh dengan ionion yang ada diluar tubuh. Tingginya penggunaan energi osmoregulasi akan
29
menurunkan penggunaan energi untuk aktivitas dan menyebabkan ikan menjadi lebih tenang. Hal ini sesuai dengan pendapat Stickney (1978) yang menyatakan bahwa ikan yang dipelihara pada media air yang memiliki salinitas mendekati konsentrasi ion dalam darah, akan menggunakan lebih banyak energi yang dihasilkan melalui makanan untuk pertumbuhan daripada untuk proses osmoregulasi. Semakin rendah salinitas maka semakin sedikit energi yang digunakan
untuk
keperluan
osmoregulasi
karena
ion-ion
yang
harus
diseimbangkan sedikit, sehingga semakin banyak energi yang tersedia untuk metabolisme dan tingkat agresivitas larva tinggi. Sebaliknya ketika salinitas semakin tinggi maka semakin banyak energi yang digunakan untuk keperluan osmoregulasi, semakin sedikit energi untuk metabolisme dan tingkat agresivitas larva akan menurun karena jumlah ion-ion yang harus diseimbangkan semakin banyak. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kematian larva zungaro yang dapat teridentifikasi lebih banyak dibandingkan dengan kematian yang tidak teridentifikasi (tertelan). Hal ini menunjukkan bahwa kematian pada larva zungaro lebih banyak diakibatkan oleh larva yang terluka akibat serangan dari larva lain.
4.4
Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk
mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup, hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup larva ikan zungaro. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kelangsungan hidup larva zungaro selama masa pemeliharaan pada saat baru menetas sampai 20 hari menunjukkan bahwa, perlakuan E (20 ppt) memberi tingkat kelangsungan tertinggi sebesar 78,33%, sedangkan perlakuan A (0 ppt) memberi tingkat kelangsungan hidup terendah, sebesar 30,56% dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 11. Salinitas 20 ppt merupakan salinitas yang baik untuk meningkatkan kelangsungan hidup karena pada salinitas 20 ppt didapatkan kelangsungan hidup tertinggi sebesar 78,33%. Hal ini diduga karena pada salinitas 20 ppt ikan zungaro
30
lebih banyak menggunakan energi untuk osmoregulasi sehingga energi yang sebelumnya hanya digunakan untuk beraktifitas menjadi terbagi karena ion-ion yang harus diseimbangkan semakin banyak dan tingkat agresivitas larva akan menurun sehingga tingkat kelangsungan hidup meningkat.
Gambar 9. Rata-rata Kelangsungan Hidup Larva Zungaro Per Perlakuan
Kelangsungan hidup terendah diperoleh perlakuan A (0 ppt) diduga diakibatkan tingginya tingkat agresivitas larva. Agresivitas larva dipengaruhi penggunaan energi dalam tubuh. Pada perlakuan media bersalinitas, energi yang digunakan untuk osmoregulasi akan meningkat dan menurunkan tingkat agresivitas larva. Menurunnya tingkat agresivitas ini diharapkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Stickney (1979)
yang
menyatakan
bahwa
salinitas
akan
mempengaruhi
proses
osmoregulasi yaitu pada tekanan osmotik dan konsentrasi ion didalam cairan tubuh hewan air, dalam proses tersebut terjadi pertukaran ion antara cairan intra sel dan cairan ekstra sel sehingga komposisi dan konsentrasi ionik seimbang.
31
Pengaturan keseimbangan ion dilakukan secara pengangkutan aktif dan membutuhkan energi. Besar kecilnya penggunaan energi akan menentukan tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, konsumsi makanan dan laju metabolisme. 4.5
Kualitas Air Hasil pengamatan beberapa parameter kualitas air selama penelitian yaitu
suhu, DO (oksigen terlarut), pH (kemasaman) dan amonia menunjukkan kirasan yang menunjang kehidupan larva zungaro (Tabel 3 dan Lampiran 14). Rata-rata suhu selama penelitian cukup stabil pada suhu 24-28 °C dan masih dalam kisaran suhu ideal untuk ikan zungaro menurut Beux dan Filh (2007) yairu 23°C - 28°C.
Tabel 3. Kualitas Air Selama Penelitian Parameter yang diamati Amonia Perlakuan (mg/L) Suhu (˚C) pH DO (mg/L) A 24-28 7,0-7,2 6,8-7,6 0,122-0,136 B 24-28 7,0-7,2 6,6-7,4 0,124-0,138 C 24-28 7,0-7,2 6,5-7,3 0,124-0,138 D 24-28 7,1-7,2 6,4-7,1 0,125-0,141 E 24-28 7,1-7,2 6,4-6,9 0,126-0,138 Standar 23 - 28* 6,5 - 7,2* >3** <0,2** Keterangan: * (Beux dan Filh, 2007) ** (Slembrouck et al. 2005 dalam Marhamah 2010)
Derajat keasaman (pH) selama penelitian antara 7,0-7,2 dan masih dalam kisaran normal untuk ikan zungaro menurut Beux dan Filh (2007) yaitu 6.5 - 7.2. Kandungan DO (oksigen terlarut) selama penelitian antara 6,4-7,4 masih dalam kisaran normal untuk ikan zungaro, menurut Slembrouck et al. (2005) dalam Marhamah (2010) untuk ikan catfish DO (oksigen terlarut) berkisar antara >3 mg/L. Amonia selama penelitian antara 0,122-0,138 dan masih dalam kisaran standar untuk ikan catfish menurut Slembrouck et al. (2005) dalam Marhamah (2010) yaitu <0,2 mg/L. Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa kualitas air pada setiap perlakuan masih dalam kisaran standar yang layak untuk pemeliharaan larva zungaro, sehingga tinggi rendahnya kelangsungan hidup yang diperoleh terutama disebabkan adanya perbedaan pelakuan.