33
Bab IV Hasil Dan Pembahasan
Pada bagian ini dilaporkan hasil sintesis dan karakterisasi dari senyawa-senyawa yang disintesis. Sampel dipreparasi dengan menggunakan proses sonikasi pada campuran material-material awal. Kemudian diikuti oleh proses pemanasan dan menghasilkan material berupa serbuk yang sangat halus. Senyawa-senyawa ini dikarakterisasi dengan menggunakan XRD untuk mengetahui kristalinitas dan kecocokan struktural kristalinnya dengan melihat indeks dari puncak-puncak yang muncul. Selanjutnya data XRD serbuk ini di-refine untuk mengetahui sistem kristal senyawa yang disintesis. Metode yang digunakan dalam refinement data XRD adalah metode Le Bail dengan bantuan perangkat lunak Rietica177. Karakterisasi lain yang dilakukan adalah pemeriksaan morfologi sampel dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pengukuran fotoluminesens dilakukan untuk mengetahui karakter optoelektrik senyawa-senyawa yang disintesis dengan menggunakan spektrofluorometer tipe RF-5301PC. IV.1
Hasil Sintesis dan Analisis Morfologi
Dalam pembahasan hasil eksperimen, semua senyawa hasil sintesis ditunjukkan pada Tabel IV.1 dan diberi label untuk memudahkan pembahasan. Tabel IV. 1 Rumus kimia senyawa-senyawa hasil síntesis. $o. Rumus Kimia Disingkat SrTiO3 STO 1 Ca0,2Sr0,8TiO3 CSTO_20 2 Ca0,4Sr0,6TiO3 CSTO_40 3 Ca0,5Sr0,5TiO3 CSTO_50 4 Ca0,6Sr0,4TiO3 CSTO_60 5 Ca0,8Sr0,2TiO3 CSTO_80 6 CaTiO3 CTO 7 Ca0,5Sr0,5Ti0,95 Pr0,05O3 CSTO:Pr 8 Ca0,5Sr0,5Ti0,95 Eu0,05O3 CSTO:Eu 9 CSTO:Tb 10 Ca0,5Sr0,5Ti0,95 Tb0,05O3
34
Selama proses sintesis, terdapat beberapa catatan penting yang berhasil diamati. Pertama, pada saat pencampuran Ca(OH)2 dan Sr(OH)2 ke dalam air, wadah menjadi panas. Hal ini menunjukkan bahwa kalor pelarutan kedua senyawa ini bernilai negatif (eksoterm). Kelarutan kedua senyawa yang sangat kecil dalam 100 gram air (Ca(OH)2 = 0,16 gram; Sr(OH)2 = 2,25 gram), menyebabkan kesulitan pengamatan dalam membedakan senyawa-senyawa prekursor dengan senyawa target. Sehingga baik sebelum dan sesudah disonikasi tidak terdapat perbedaan secara visual antara senyawa-senyawa prekursor dengan senyawa target. Teramati pula selama proses sonikasi temperatur penangas (water bath) pada sonikator meningkat dari temperatur 26 oC menjadi 30 – 32 oC. Hal ini diakibatkan karena proses sonikasi menggunakan gelombang suara yang dihasilkan dari getaran transducer dalam water bath. Ketika TiIPP berada dalam lingkungan berair, maka dengan cepat menjadi TiO2. Hal ini teramati ketika pencampuran Ca(OH)2 dan Sr(OH)2 di mana larutan hasil pencampuran menjadi lebih kental (viscous). Hal ini pun akan berpengaruh pada saat sonokimia, karena derajat viskositas larutan mempengaruhi kavitasi dalam wadah reaksi sehingga intensitas tumbukan molekul-molekul pereaksi menjadi lebih lambat. Selanjutnya, setelah serbuk putih hasil sonikasi dikeringkan, pola difraksi sinar-X serbuk menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan masih amorf. Untuk meningkatkan kristalinitas sampel-sampel dipanaskan pada berbagai temperatur yaitu 500, 800 dan 1000 oC. Secara fisik tidak terjadi perubahan pada sampel setelah dipanaskan, kecuali pada sampel yang disisipi ion Tb3+, yakni warnanya menjadi coklat muda. Morfologi partikel, yang secara umum terlihat pada Gambar IV.1 menunjukkan bahwa sampel yang dipreparasi menggunakan sonokimia berbentuk bola-bola (spheres). Terlihat pula adanya ketidakhomogenan dalam bentuk dan ukuran partikel pada senyawa CSTO:Pr yang dipanaskan pada temperatur 100 – 800 oC, sementara pada temperatur pemanasan 1000 oC sampel menjadi lebih homogen dan terlihat adanya sintering pada permukaan partikel-partikel berbentuk bola.
35
Gambar IV.1 Foto SEM sampel CSTO:Pr setelah annealling pada 100 oC (A), 500 oC (B) , 800 oC (C) dan 1000 oC (D). IV.2
Pola Diffraksi sinar-X dan Refinement
Dalam pengukuran pola difraksi suatu kristal, ketika ukuran kristalit hampir mendekati ukuran 1 Å, akan terjadi pelebaran yang cukup besar pada puncakpuncak utama difraktogram. Fenomena pelebaran ini teramati pada pola difraksi sinar-X untuk semua sampel. Pelebaran ini berkaitan dengan ukuran sebenarnya partikel. Meskipun tidak dapat digunakan untuk menetukan ukuran partikel sebenarnya, tetapi lebar puncak difraktogram dapat digunakan untuk menentukan ukuran rata-rata partikel. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar aturan ini berlaku yaitu bahwa partikel bebas dari tekanan/regangan, kemudian hanya dilakukan pada satu puncak difraksi. Jenis pelebaran itu sendiri ada beberapa
36
macam: (1) Instrumental Broadening (2) Crystallite Size Broadening (3) Strain Broadening. Dengan mengabaikan jenis pertama dan ketiga, maka ukuran ratarata kristalit dapat dihitung menggunakan rumusan Debye-Scherrer: (IV. 1) Di mana D = ukuran partikel (nm); K = konstanta (0,87-1), dalam laporan ini digunakan nilai K= 0,9; λ = panjang gelombang radiasi (nm); β = integrasi luas puncak refleksi (FWHM, radian). Tabel IV.2 berikut menunjukkan hasil perhitungan ukuran rata-rata kristalit menggunakan rumusan Debye-Scherrer: Tabel IV.2 Hasil perhitungan ukuran rerata kristalit CaxSr1-xTiO3 yang dipanaskan pada temperatur 800 oC berdasarkan Persamaan DebyeScherrer. D (nm) $o Sampel FWHM d220 (rad) STO 0,0046 29,94 1. CSTO_20 0,0061 23,85 2. CSTO_40 0,0021 57,96 3. CSTO_50 0,0057 25,37 4. CSTO_60 0,0036 40,58 5. CSTO_80 0,0028 50,75 6. CTO 0,0028 50,78 7.
Ukuran rata-rata kristalit pada bidang 220 sebelum penggantian kation Sr2+ oleh kation Ca2+ yaitu 29,94 nm. Seiring dengan penggantian kation sampai dengan 50%, ukuran kristalit mengalami penurunan. Sementara pada penggantian di atas 50% ukuran kristalin kembali meningkat. Lebih lanjut, dapat diketahui bahwa untuk sampel CSTO_50 yang disisipi 5% mol kation logam tanah jarang mengalami pengurangan ukuran kristalit seperti ditunjukkan pada Tabel IV.3. Dari Tabel IV.3 terlihat bahwa dengan penyisipan kation logam tanah jarang (RE) menyebabkan penurunan ukuran sekitar 3% dari ukuran kristalit tanpa dopan. Selain itu pada sampel CSTO:Pr dan CSTO:Eu terlihat adanya pengaruh temperatur pemanasan terhadap ukuran. Pada sampel CSTO:Pr peningkatan temperatur pemanasan menyebabkan ukuran semakin kecil kemungkinan
37
disebabkan oleh semakin teraturnya kristal. Sedangkan fenomena penurunan ukuran kristalit sebagai akibat dari penyisipan kation Eu3+ dan Tb3+ belum dapat dengan baik dijelaskan di sini. Karena keduanya menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan kation Pr3+. Tabel IV.3 Hasil perhitungan ukuran rerata kristalit CSTO:RE berdasarkan Persamaan Debye-Scherrer. $o Sampel T (oC) D (nm) CSTO_50 800 25,37 1 CSTO:Pr 500 40,58 2 800 18,46 1000 18,46 CSTO:Eu 500 17,96 3 800 17,96 1000 21,55 CSTO:Tb 500 17,96 4 800 17,96 1000 17,96 IV.2.1 (Ca,Sr)TiO3 Material ini dipreparasi dengan sonokimia dan diikuti dengan perlakuan pemanasan pada temperatur 800 oC selama 2 jam. Pola difraksi dari sampel CaxSr1-xTiO3 (Gambar IV.2) memiliki kemiripan dengan STO berstruktur perovskit hanya saja puncak difraksi pada 2θ = 22 tidak begitu terlihat pada komposisi Ca 0,4 sampai 0,6. Dari Gambar IV.2 dapat dilihat adanya penurunan intensitas dan pergeseran 2θ ke arah yang lebih besar seiring dengan peningkatan subsitusi Sr2+ oleh Ca2+. Hal ini disebabkan karena jejari kation Sr2+ (1,58 Å) sedangkan Ca2+ (1,48 Å), sehingga terjadi kontraksi kisi. Adanya pengaruh substitusi kation Sr2+ oleh Ca2+ terhadap pergeseran kisi dapat dijelaskan dengan Persamaan Bragg yang ditulis dalam Persamaan IV.2. (IV. 2) Persamaan Bragg ini dapat diartikan bahwa ketika terjadi penggantian kation oleh kation lain yang lebih kecil akan menyebabkan penurunan jarak interplanar kisi kristal, dengan demikian kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan nilai θ.(33)
38
# Perovskite peak # Puncak perovskit # TiO2(R)
#
TiO(B)
CaO
TiO2(R)
# #
#
#
#
Gambar IV.2 Pola difraksi sinar-X sampel CxSr1-xTiO3 yang dipreparasi dengan menggunakan sonokimia diikuti dengan pemanasan pada temperatur 800 oC selama 2 jam. # = puncak-puncak khas perovskit, TiO2(R) = rutil, TiO2(B) = brookit. Dengan bantuan perangkat lunak yang berisi data base pola difraksi sinar-X berbagai material, dapat diketahui bahwa terdapat pengotor berupa fasa TiO2. Fasa brookit (JCPDS : 75-1582) dan rutil (JCPDS: 78-2485) diperkirakan muncul karena proses hidrolisis TiIPP pada saat sonikasi terjadi lebih cepat dibanding laju reaksi pembentukan struktur perovskit. Irradiasi ultrasonik dalam preparasi TiO2 dipengaruhi oleh jenis prekursor. Dalam penelitian ini digunakan TiIPP yang menurut Huang akan menghasilkan fasa anatase. Fasa rutil kemungkinan tidak ditemukan sebagai pengotor pada temperatur reaksi rendah, tetapi rutil dapat terbentuk akibat adanya peningkatan temperatur selama sonikasi dan perlakuan pemanasan setelah sonikasi.(34) Pengotor lain yang juga dapat diidentifikasi adalah senyawa CaO (JCPDS: 82-1690). Pengotor ini diduga muncul akibat kelarutan Ca(OH)2 dalam air sangat kecil (0,16 gram/100 gram air) sehingga dengan waktu sonikasi yang relatif
39
sebentar menyebabkan adanya spesi Ca(OH)2 yang belum larut dan dengan perlakuan temperatur (annealing) menyebabkan spesi Ca(OH)2 ini dengan mudah membentuk fasa kristalin CaO, akan tetapi dalam udara lembab fasa ini akan membentuk Ca(OH)2. Dari data diffraksi yang telah dihaluskan (lampiran A), dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan parameter kisi perovskit, di mana ap (parameter sel kubik perovskit ideal) mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar IV.3.
Gambar IV.3 Parameter kisi (a, b, c) dan parameter perovskit (ap) pada senyawa (Ca,Sr)TiO3 sebagai fungsi fraksi mol Ca.
Pada perovskit dengan geometri kubus sempurna, nilai a berkaitan dengan jari-jari ionik kation-kation penyusun perovskit, dengan Persamaan IV.3. (IV. 3) di mana ap = parameter kisi perovskit, rA = jari-jari ionik Ca2+/Sr2+, rB = jari-jari ionik Ti4+, dan rO = jari-jari ionik O2-. Tabel IV.4 menunjukkan perbandingan perhitungan parameter perovskit (ap) hasil eksperimen dengan teoritis. Perbedaan yang cukup signifikan dalam nilai ap hasil
40
eksperimen kemungkinan karena perbedaan geometri molekul yang tidak lagi kubus sempurna. Akan tetapi secara keseluruhan hasil ini menunjukkan kesamaan dalam kecenderungan penurunan nilai parameter perovskit dengan meningkatnya kation Ca2+. Tabel IV.4 Hasil perhitungan parameter perovskit hasil eksperimen dan teoritis. ap exp Sampel ap teoritis STO CSTO_20 CSTO_40 CSTO_50 CSTO_60 CSTO_80 CTO
3,9457 3,9174 3,8891 3,8749 3,8608 3,8325 3,8042
3,9157 3,8994 3,8832 3,8362 3,8674 3,8544 3,8317
*r Sr2+ = 1,44 A; r Ca2+ = 1,34 A; r Ti4+ = 0,745 A; r O2- = 1,35 A (*sumber: www.abulafia.mt.ic.ac.uk/shannon/radius.php) IV.2.2 (Ca,Sr)TiO3:Pr Pola difraksi untuk sampel CSTO yang disisipi kation Pr3+ dapat dilihat pada Gambar IV.4. Sementara hasil dari indeks Miller untuk puncak-puncak untuk sampel CSTO:Pr ditunjukkan pada Tabel IV.5. Tabel IV.5 Puncak-puncak unik dan indeks miller sampel CSTO:Pr yang dipreparasi dengan metode sonokimia dan pemanasan pada temperatur 1000 oC. 2θ (o) D Hkl 23,42 33,03 40,63 47,28 58,65 68,88 78,23
3,7956 2,7067 2,2168 1,9210
(200) (220) (222) (004)
1,5732 1,3616
(224) (404)
1,2202
(062)
Tabel IV.5 menunjukkan posisi puncak-puncak yang muncul dan cocok dengan puncak dengan struktur perovskit. Dilihat dari posisi 2θ pada setiap sampel yang
41
berbeda perlakuan pemanasannya tidak mengalami pergeseran. Akan tetapi intensitas puncak d220 mengalami peningkatan hal ini menunjukkan kristalinitas sampel semakin baik dengan perlakuan pemanasan.
Gambar IV.4 Pola difraksi sinar-X untuk sampel CSTO:Pr dengan perbedaan temperatur pemanasan (A = 100 oC, B = 500 oC, C = 800 oC dan D = 1000 oC). Puncak-puncak pengotor ditandai dengan (T) untuk TiO2 dan (O) untuk CaO, sementara puncak-puncak perovskit ditandai dengan #.
Dari Gambar IV.4 dapat dilihat bahwa masih terdapat beberapa puncak pengotor yang tampak pada semua sampel. Adapun pengotor-pengotor yang berhasil diidentifikasi adalah puncak TiO2 (T) dan CaO (O). Puncak-puncak TiO2 masih muncul terutama setelah disonikasi. Pada pemanasan 100 oC tidak teramati adanya puncak perovskit. Transisi fasa anatase rutil mulai teramati pada temperatur di atas 500 oC, meskipun demikian puncak-puncak pengotor ini hampir menyatu dengan baseline. Transisi fasa yang terjadi ini diakibatkan oleh perlakuan temperatur. Ketika temperatur dinaikkan anatase mengalami kristalisasi dan bahkan pada temperatur tinggi fasa anatase tidak lagi ditemukan.(35) Pada temperatur di atas 500 oC puncak
42
perovskit mulai tampak, dengan kata lain TiO2 terintegrasi dalam struktur perovskit. Adanya fasa TiO2 rutil (non-luminesens material) menyebabkan intensitas PL pada sampel CSTO:Pr yang dipanaskan pada temperatur 100-800 oC menjadi rendah dan dapat juga mengakibatkan pergeseran puncak emisi.(36)
Gambar IV.5 Pola difraksi hasil refinement sampel CSTO:Pr yang dipanaskan pada temperatur 1000 oC. Garis merah (___) menunjukkan pola difraksi hasil perhitungan/model, sementara pola difraksi hasil observasi ditunjukkan dengan bulatan putih (o), puncak-puncak difraksi model ditunjukkan dengan garis vertikal biru (|), selisih atau residu ditunjukkan dengan garis hijau (___).
Pola difraksi sinar-X ini cocok dengan perovskit grup ruang Bmmb di mana residu dari pola difraksi model dengan pola difraksi hasil observasi teramati cukup kecil. Gambar IV.5 menunjukkan hasil difraksi untuk sampel CSTO:Pr yang dipanaskan sampai temperatur 1000 oC. Terlihat bahwa pola difraksi model dengan hasil observasi berhimpit pada setiap puncaknya, dengan menghasilkan residu garis hijau. Tabel IV.6 menunjukkan hasil refinement pola difraksi sinar-X dengan menggunakan metode Le Bail. Dapat dilihat dari nilai residual faktor yang masing-masing menunjukkan harga yang cukup kecil (Rp dan Rwp < 6%). Hal ini menunjukkan kecocokan pola difraksi hasil observasi dengan data hasil perhitungan (Lampiran A).
43
Tabel IV.6
Parameter sel hasil refinement sampel SCTO:Pr dengan metode Le Bail.
Parameter Sel Grup ruang a (Å) b (Å) c (Å) Z Rp (%) Rwp(%) GOF(%)
CSTO:Pr_100 -
CSTO:Pr_500 Bmmb 7,804(3) 7,709(3) 7.758(2) 8 4.487 5.689 0.410
CSTO:Pr_800 Bmmb 7,781(4) 7,776(3) 7,731(3) 8 4.482 5.966 0.395
CSTO:Pr_1000 Bmmb 7,750(4) 7,770(6) 7,764(2) 8 4.388 5.792 0.335
IV.2.3 (Ca,Sr)TiO3:Eu Pola difraksi untuk sampel CSTO:Eu ditunjukkan pada gamabr IV.6. Seperti halnya sampel CSTO:Pr, pola difraksi untuk sampel CSTO:Eu hasil pemanasan pada temperature 100 oC menunjukkan sampel masih dalam fasa amorf.
Gambar IV.6 Pola difraksi sampel CSTO:Eu yang dipreparasi dengan metode sonokimia kemudian dipanaskan pada temperatur 100 oC (A), 500 o C (B), 800 oC (C), dan 1000 oC (D). Puncak-puncak perovskit (#) mulai muncul pada temperatur 500 oC. Sedangkan puncak pengotor yang teridentifikasi adalah TiO2 (T).
Pola difraksi sinar-X mengindikasikan adanya puncak-puncak kristal CSTO:Eu yang muncul setelah pemanasan di atas 500 oC yaitu dengan orientasi pada
44
bidang (200), (220), (222), (004), (224), (404) dan (062) seperti pada puncak CSTO:Pr. Tidak ada puncak yang mengindikasikan adanya oksida dari europium. Jadi host perovskit dan kation europium berada dalam satu fasa. Identifikasi jenis pengotor dalam sampel ini pun masih sama, yaitu puncak-puncak (TiO2) dan CaO masih muncul dalam pola difeaksi sampel CSTO:Eu. Hasil penghalusan dari sampel CSTO:Eu dengan menggunakan metode Le Bail ditunjukkan pada Gambar IV.7 dan parameter sel disajikan dalam Tabel IV.7.
Gambar IV.7 Pola difraksi hasil refinement CSTO:Eu yang dipanaskan pada temperatur 1000 oC (keterangan Gambar sama dengan keterangan pada Gambar II.5). Tabel IV.7 Parameter sel hasil refinement sampel CSTO:Eu dengan metode Le Bail. Parameter sel Grup ruang a (Å) b (Å) c (Å) Rp(%) Rwp(%) GOF, χ, (%) Z
CSTO:Eu_100 -
CSTO:Eu_500 Bmmb 7,816(8) 7,791(3) 7,749(3) 5,411 6,798 0,409 8
CSTO:Eu_800 Bmmb 7.812(5) 7.780(2) 7,747(3) 5,148 6,353 0,391 8
CSTO:Eu_1000 Bmmb 7,761(6) 7,756(2) 7,768(5) 5,506 6,621 0,400 8
Dari hasil penghalusan diperoleh nilai Rp dan Rwp yang berada pada rentang yang dapat diterima untuk suatu proses refine dan puncak-puncak difraksi telah menunjukkan kecocokan bahwa hasil sintesisnya adalah suatu senyawa perovskit.
45
Oksida pengotor berupa TiO2 muncul pada 2θ(o) = 27 dan 45. Puncak pengotor ini semakin berkurang dengan meningkatnya temperatur pemanasan. IV.2.4 (Ca,Sr)TiO3:Tb Gambar IV.8 menunjukkan pola difraksi sinar-X sampel CSTO:Tb yang dipreparasi dengan metode yang sama yakni sonokimia yang diikuti dengan perlakuan pemanasan pada berbagai temperatur.
Gambar IV.8 Pola difraksi sampel CSTO:Tb yang dipreparasi dengan metode sonokimia kemudian dipanaskan pada temperatur 100 oC (A), 500oC (B), 800 oC (C), dan 1000 oC (D). Puncak-puncak teridentifikasi: Perovskit (#), TiO2 (T) dan CaO (O).
Pola difraksi untuk sampel CSTO:Tb setelah dipanaskan pada temperatur 100 oC masih sangat amorf. Di mana puncak-puncak yang mendominasi adalah puncak dari TiO2 brookit (JCPDS:75-1581). Pada temperatur pemanasan yang lebih tinggi terjadi transformasi fasa TiO2 menjadi rutil (JCPDS: 70-0440). Kristalinitas CSTO:Tb semakin tinggi dengan peningkatan temperatur pemanasan hal ini teramati dengan intensitas puncak dengan orientasi 220 yang mengalami kenaikan. Pola difraksi yang dihaluskan menghasilkan parameter sel dan faktor
46
refinement yang sesuai dengan grup ruang Bmmb. Hasil refinement sampel CSTO:Tb ditunjukkan oleh Gambar IV.9.
Gambar IV.9 Pola difraksi hasil refinement CSTO:Tb yang dipanaskan pada temperatur 1000 oC. (keterangan Gambar sama dengan keterangan pada Gambar IV.5). Parameter sel yang dihasilkan dari penghalusan pola difraksi ditunjukkan pada Tabel IV.8. Terlihat bahwa pada pemanasan 1000 oC menyebabkan kristal memiliki geometri mendekati tetragonal. Tabel IV. 8 Parameter sel hasil refinement sampel CSTO:Tb dengan metode Le Bail Parameter sel Grup ruang a (Å) b (Å) c (Å) Rp(%) Rwp(%) GOF, χ, (%) Z
IV.3
CSTO:Tb_100 -
CSTO:Tb_500 Bmmb 7,860(9) 7,780(7) 7,690(8) 6,134 8,096 0.400 8
CSTO:Tb_800 Bmmb 7,815(4) 7,779(2) 7,735(2) 5,370 6,776 0,373 8
CSTO:Tb_1000 Bmmb 7,770(3) 7,767(3) 7,747(3) 5,595 6,793 0,409 8
Fotoluminesensi
IV.3.1 Spektrum Luminesensi (Ca,Sr)TiO3 STO berfasa amorf mengalami fotoluminesens dengan mengemisikan warna hijau pada temperatur kamar setelah di eksitasi dengan panjang gelombang 488 nm. Sementara fasa kristalin (pada bulk crystal) STO tidak menunjukkan spektrum PL.(37) Dalam penelitian ini, STO kristalin menunjukkan spektrum PL setelah
47
dieksitasi dengan panjang gelombang 220 nm seperti ditunjukkan pada Gambar IV.10.
Gambar IV.10 Spektrum luminesensi CaxSr1-xTiO3 yang dieksitasi dengan λ= 220 nm pada temperatur kamar. Dari Gambar IV.10 dapat dilihat spektrum fotoluminesens CSTO yang dipreparasi dengan sonokimia dan dilanjutkan dengan pemanasan pada temperatur 800 oC. Fenomena yang cukup menarik adalah bahwa dengan perbedaan konsentrasi logam Ca, intensitas PL pada 2,6 eV juga berbeda. Secara umum, intensitas pada 2,6 eV menurun dengan adanya substitusi kation Sr2+ oleh Ca2+ di mana intensitas tertinggi dimilki oleh STO (x=0). Anomali teramati pada komposisi x = 5 dan x = 8. Pada komposisi ini keberadaan kation Ca meningkatkan kembali intensitas pada 2,6 eV. Diduga peningkatan ini akibat peningkatan sumbu simetri pada CSTO karena transformasi fasa pada CSTO dari sistem kristal ortorombik (x=5) ↔ kubik (x=8). Emisi pada 3,4 eV menunjukkan intensitas yang cukup kuat. Spektrum ini berada pada daerah celah energi STO. Selain itu emisi warna hijau ditunjukkan dengan spektrum melebar pada daerah 400 – 650 (max = 470 nm (2,6 eV)) yang merupakan ciri khas spektrum untuk transisi elektronik d – d.(37) Menurut Mochizuki nanokristal STO berluminesens pada puncak 2,4 eV setelah di induksi dengan laser argon pada 325 nm dalam kondisi vakum. Akan tetapi pola spektrum
48
yang ditunjukkan berbeda karena spektrum dari hasil penelitian ini selain melebar terdapat juga fine structure yang diprediksi akibat adanya transisi elektronik d – f. Akan tetapi jenis rekombinasi dari keadaan tereksitasi ke keadaan dasar yang terjadi belum dapat diidentifikasi.(38) Spektrum pada 3,2 eV dapat dijelaskan dengan adanya fenomena transfer muatan dari O2- ke Ti4+(38). Diperkirakan bahwa spektrum emisi ini terjadi akibat adanya rekombinasi electron-hole dari eksiton terdelokalisasi dalam Ti3+ – O- dalam kisi oktahedron TiO6. Serta informasi besaran perbedaan energi eksitasi (band to band) dengan energi emisi mengindikasikan adanya relaksasi yang sangat kuat dari eksiton.(3) IV.3.2 Spektrum Luminesensi (Ca,Sr)TiO3:Pr Gambar IV.10 menunjukkan pola spektrum emisi dan eksitasi untuk SCTO:Pr pada temperatur ruang. Gambar IV.10 (a) menunjukkan spektrum emisi sampel setelah di eksitasi dengan λ = 325 nm. Spektrum emisi yang muncul pada 2,06 eV ini merupakan transisi elektonik f-f dari kation Pr3+, yaitu dari tereksitasi 1D2 menuju keadaan dasar 3H4.(5) Sementara transisi dari 3P0 – 3H4 teramati dengan adanya puncak pada 2,5 eV. Untuk spektrum emisi dengan λ eksitasi = 220 dapat dilihat pada Lampiran B.
(a)
(b)
Gambar IV.11 Spektrum fotoluminesens emisi (a) dan eksitasi (b) pada temperatur ruang untuk sampel CSTO:Pr yang dipanaskan pada berbagai temperatur.
49
Sementara dari Gambar IV.11(b) dapat dilihat bahwa untuk mengemisikan foton dengan λ=610 spektrum eksitasi CSTO:Pr muncul pada 3,7 eV. Dari informasi ini dapat di jelaskan bahwa elektron mengalami transisi dari keadaan dasar (3H4) ke keadaan tereksitasi pertama (1G4) kemudian ke keadaan tereksitasi ke dua (1S0) seperti diilustrasikan pada Gambar IV.12.
Gambar IV. 12 Diagram tingkat energi untuk ion Pr3+ λ eksitasi = 325 nm.
Gambar IV.13 Plot grafik pengaruh temperatur pemanasan terhadap parameter kisi CSTO:Pr yang diperoleh dari refinement data XRD dengan spacegroup Bmmb dan Z=8.
50
Dapat dilihat pada Gambar IV.11 (a) terdapat penurunan intensitas pada 2,06 eV setelah sampel dipanaskan sampai temperatur 800 oC kemudian meningkat kembali setelah dipanaskan pada temperatur 1000 oC. Fenomena penurunan intensitas sebagai fungsi temperatur dapat dijelaskan dengan fakta bahwa terjadi penurunan nilai-nilai parameter sel (a, b, c) pada struktur perovskit seperti ditunjukkan oleh Gambar IV.13. Akibatnya sampel yang telah dipanaskan sampai temperatur 1000 oC memiliki paramter kisi yang mendekati stukrtur kubus di mana nilai a, b dan c tidak jauh berbeda. Dalam kasus CSTO:Pr, sampel yang telah dipanaskan pada temperatur 800 oC membentuk kisi tetragonal dan setelah dipanaskan pada temperatur 1000 oC kisi kristal mendekati kubus. IV.3.3 Spektrum Luminesensi (Ca,Sr)TiO3:Eu Gambar IV.14 menunjukkan spektrum fotoluminesens CSTO:Eu yang dieksitasi pada λ = 463 nm. Dapat dilihat bahwa terdapat dua puncak dengan intensitas tinggi yaitu pada 2,02 eV dan 2,09 eV.
Gambar IV.14 Spektrum fotolumunisen emisi pada temperatur ruang untuk sampel CSTO:Eu yang dipanaskan pada berbagai temperatur yang dieksitasi pada λ = 463 nm.
51
Spektrum emisi pada sampel CSTO:Eu berkaitan dengan emisi dari ion Eu3+ yang berasal dari transisi elekronik dari 5D0 menuju 7FJ (J = 1, 2,…) yang berasal dari konfigurasi elektron 4f6 (Transisi dari J = 0 menuju J = 0 dilarang, karena momentum total tidak berubah). Spektrum rendah pada daerah 2,09 eV berasal dari transisi dipol magnetik 5D0 – 7F1 sedangkan emisi yang cukup kuat pada daerah 2,02 eV merupakan transisi dipol hipersensitif elektron 5D0 – 7F2 yang di induksi oleh kekurangan simetri inversi pada site Eu3+.(39) Fenomena pelebaran pada puncak 2,09 dan 2,02 eV dapat dijelaskan sebagai berikut. Jarak antara Ti4+ dengan O2- dalam material berstruktur perovskit biasanya lebih kecil apabila dibandingkan dengan jarak dari kation site A terhadap O2- (jika A bervalensi 2+).(4) Sehingga ketika kation trivalen dari logam tanah jarang seperti Eu3+ disisipkan ke dalam host material CSTO, akan lebih cenderung untuk menempati site kation alkali tanah karena ukuran ionnya. Oleh karena itu jika Eu3+ dapat menempati site Ti4+ akan menyebabkan interaksi yang kuat dengan oksigen terdekat dibandingkan dengan kation alkali tanah (Yamamoto dalam Samantaray).(4) Untuk spektrum emisi dengan λ eksitasi = 220 nm dapat dilihat pada Lampiran B. IV.3.4 Spektrum Luminesensi (Ca,Sr)TiO3:Tb Gambar IV.15 menunjukkan spektrum fotoluminesens CSTO:Tb yang dieksitasi dengan λ 220 nm setelah sampel di panaskan pada berbagai temperatur. Dari Gambar IV.15 dapat dilihat bahwa spektrum fotoluminesens CSTO:Tb memiliki kemiripan dengan CSTO. Sedikit perbedaan terlihat pada daerah 1,7 eV yang memperlihatkan
adanya
transisi
elektronik
yang
lain
pada
CSTO:Tb.
Kemungkinan merupakan transisi elektronik dari elektron pada 4f. jika diamati dengan seksama, spektrum CSTO:Tb memiliki sedikit perbedaan pada puncak 3eV. Pada puncak ini teramati dengan penyisipan kation Tb kemiringan pada spektrum CSTO:Tb lebih meningkat dibandingkan CSTO pada suhu yang sama. Puncak yang muncul pada daerah 3 eV diidentifikasi sebagai puncak yang muncul dari transisi 3D3 – 7F6.
52
Gambar IV.15 Spektrum emisi CSTO:Tb yang di eksitasi dengan λ = 220 nm pada temperatur kamar.
Fenomena yang cukup menarik dari spektrum ini adalah adanya penguatan pada puncak 3,4 eV yang disebabkan adanya penyisipan kation Tb3+. Pada sampel yang dipanaskan 500
o
C, CSTO:Tb memiliki spektrum dua kali lebih kuat
dibandingkan CSTO. Peningkatan intensitas pada puncak 3,4 eV ini diduga akibat adanya penggantian kation Ti4+ oleh Tb3+ yang mengakibatkan populasi transfer muatan dari O2- yang semakin besar.