BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling rendah terdapat pada perlakuan A (kontrol) yaitu sebesar 45,83% dan tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi diperoleh dari perlakuan B (0,125 ml/L) sebesar 70,83% (Gambar 3).
Gambar 3. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Nila Merah Pada Gambar 3 terlihat bahwa kelangsungan hidup benih ikan nila merah yang diberi bakteri probiotik lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bakteri probiotik pada media pemeliharaan dapat meningkatkan kelangsungan hidup benih ikan nila merah yang dipelihara. Pada konsentrasi 0,250 ml/L (C) dan 0,375 ml/L (D) terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup. Hal ini diduga pemberian bakteri probiotik yang lebih tinggi dari konsentrasi 0,125 ml/L terjadi kompetisi yang ketat karena jumlah bakteri yang masuk pada media pemeliharaan lebih banyak dan mengganggu keseimbangan mikroba dalam media pemeliharaan dan tubuh benih nila merah.
21
22
Nikoskelainen et al., (2001) mengemukakan bahwa penggunaan probiotik pada media pemeliharaan dengan dosis yang tinggi ternyata tidak menjamin perlindungan baik terhadap hewan inang. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian bakteri probiotik pada media pemeliharaan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan nila merah (Lampiran 4).
Tabel 2. Rata-rata Kelangsungan Hidup Nila Merah Selama Penelitian Perlakuan (ml/L) A (Kontrol) B (0,125) C (0,250) D (0,375)
Kelangsungan Hidup (%) Data Data Hasil Transformasi Asli 45,83 42,59 a 70,83 57,34 b 62,5 52,28 b 60,42 51,08 b
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Tingginya tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila merah yang diberi bakteri probiotik dibandingkan dengan perlakuan A (kontrol) disebabkan bakteri probiotik yang mengandung Bacillus sp., Lactobacillus sp., dan Pseudomonas sp., dapat memperbaiki kualitas air, meningkatkan kesehatan ikan, dan mencegah terjadinya serangan penyakit. Sebagaimana pendapat Ali (2000) dalam Reswana (2008) bahwa penggunaan bakteri probiotik ke dalam media pemeliharaan dapat mengubah komposisi bakteri di dalam air dan sedimen sehingga dapat memperbaiki beberapa parameter kualitas air dan meningkatkan kelangsungan hidup benih ikan. Menurut Fuller (1987) dalam Susanto et al., (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme probiotik apabila masuk kedalam tubuh ikan akan berfungsi sebagai immunostimulan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. yang terkandung di dalam probiotik Kusuma Bioplus berperan dalam memperbaiki kualitas air di dalam media pemeliharaan. Selain memperbaiki kualitas air Bacillus sp. juga dapat
23
menekan bakteri patogen di dalam media pemeliharaan. Bacillus sp. akan menghasilkan antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang dominan, juga menghasilkan enzim yang mendegradasi lendir dan biofilm yang dihasilkan bakteri patogen. Bacillus sp. akan berkompetisi dengan bakteri patogen dalam mendapatkan nutrisi dan ruang permukaan dinding usus ikan atau udang. Dengan adanya persaingan ini, bakteri patogen terhambat pertumbuhannya tanpa sempat menghasilkan gen yang resisten (Nurgana 2005). Sedangkan bakteri Pseudomonas sp. mempunyai kemampuan sebagai agen denitrifikasi yang berperan dalam mengubah nitrat (NO3) menjadi nitrogen (N2) ke udara (Samuelsson 1985). Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri probiotik 0,125 ml/L (B), hal ini diduga karena jumlah bakteri yang diberikan telah optimal dalam memperbaiki kualitas air. Pada perlakuan kontrol (A) tanpa pemberian bakteri probiotik, tingkat kelangsungan hidupnya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 45,83%. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan kontrol diduga disebabkan karena tidak adanya bakteri probiotik yang membantu dalam memperbaiki kualitas air sehingga tingkat kadar ammonia lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan probiotik.
4.2 Laju Pertumbuhan Rata-rata bobot individu selama penelitian mengalami peningkatan mulai dari awal hingga akhir penelitian (Lampiran 6). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik sebanyak 0,125 ml/L menghasilkan rata-rata bobot individu tertinggi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik dengan konsentrasi yang berbeda ke dalam media pemeliharaan menghasilkan rata-rata laju pertumbuhan nila yang berkisar antara 0,85-1,33% (Lampiran 6)
24
Gambar 4. Grafik Laju Pertumbuhan Nila Merah Pada Gambar 5 terlihat bahwa rata-rata bobot individu terus mengalami peningkatan mulai dari awal hingga akhir penelitian. Pertumbuhan yang ditandai dengan meningkatnya bobot tubuh menunjukkan bahwa pakan dapat memenuhi kebutuhan bagi pertumbuhan nila. Menurut Hoar (1979) apabila energi yang dihasilkan
dari
perombakan
pakan
melebihi
jumlah
untuk
kebutuhan
pemeliharaan tubuh dan aktivitas harian maka sisanya tersebut akan digunakan untuk pertumbuhan. Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian probiotik dengan konsentrasi berbeda ke dalam media menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan nila. Perlakuan kontrol atau tanpa penambahan probiotik menghasilkan laju pertumbuhan terendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 2).
25
Tabel 3. Rata-rata Laju Pertumbuhan Nila Merah Perlakuan (ml/L) A (Kontrol) B (0,125) C (0,250) D (0,375)
Laju Pertumbuhan (%) Data Data Hasil Transformasi Asli 0,85 0,92 a 1,33 1,15 b 1,15 1,07 b 1,08 1,04 b
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan B (0,125), C (0,250) dan D (0,375) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata dan ketiga perlakuan B (0,125), C (0,250) dan D (0,375) berbeda nyata terhadap perlakuan A (Kontrol). Pada perlakuan B (0,125 ml/L) mampu menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 1,33 %. Hal ini diduga disebabkan karena bakteri Lactobacillus sp. yang ditambahkan ke dalam media pemeliharaan masuk ke dalam saluran pencernaan nila telah mampu berkoloni dan tumbuh di dalam usus dan meningkatkan daya cerna ikan terhadap pakan yang dimakannya dengan cara menghasilkan enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Menurut (Pleczar dan Chan 1986) pada fase logaritma atau eksponensial (log phase) sel bakteri telah membelah dengan laju yang konstan, massa telah menjadi dua kali lipat dengan laju yang sama, aktivitas metabolik konstan, dan pertumbuhannya seimbang. Dengan adanya bakteri Lactobacillus sp. yang membantu proses pencernaan pada ikan maka pakan dapat diserap dengan lebih baik oleh usus. Akibatnya nutrisi yang dikonsumsi ikan melebihi kebutuhan energi untuk pemeliharaan dan aktifitas tubuh yang lain, sehingga kelebihannya dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Pada pemberian probiotik C (0,250 ml/L) dan D (0,375 ml/L) ke dalam media menghasilkan laju pertumbuhan masing-masing adalah 1,15% dan 1,08%. Pada
pemberian
probiotik
tersebut
laju
pertumbuhannya
lebih
rendah
dibandingkan dengan pemberian probiotik sebesar 0,125 ml/L. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah populasi bakteri Lactobacillus sp. yang dapat hidup pada
26
saluran pencernaan mengalami penurunan. Karena semakin banyaknya bakteri probiotik yang ditambahkan ke dalam media sehingga menyebabkan terjadinya persaingan dalam pengambilan nutrisi untuk pertumbuhan bakteri probiotik tersebut. Menurut Pleczar dan Chan (1986) bakteri yang berada pada kondisi kehabisan nutrien menunjukkan ciri pertumbuhan bakteri pada fase statis (stationary phase) yang kemudian akan mengalami fase penurunan/kematian. Pada fase ini diduga terjadinya akumulasi metabolit (asam laktat, peroksida, dan bakteriosin) yang dihasilkan oleh bakteri sebagai mekanisme pertahanan diri karena terdesak oleh tingginya jumlah bakteri yang ada sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Beberapa bakteri akan mati pada fase statis karena kekurangan nutrisi untuk menunjang pertumbuhannya. Jika pertumbuhan bakteri probiotik pada saluran pencernaan telah terhambat maka bakteri probiotik tersebut tidak mampu menghasilkan enzim-enzim yang berperan dalam membantu ketercenaan pakan oleh ikan. Gatesoup (1999) menyatakan bahwa bakteri probiotik membantu proses pencernaan dengan menghasilkan enzim protease yang dapat mengubah protein menjadi asam amino. Fujaya (2004) menyatakan bahwa enzim-enzim pencernaan dapat merombak pakan ke dalam bentuk senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diserap oleh usus ikan. Pada perlakuan A (Kontrol) menunjukkan hasil laju pertumbuhan yang paling rendah dari semua perlakuan yaitu sebesar 0,85%. Hal tersebut diduga karena rendahnya daya cerna ikan dalam menyerap nutrisi dan tidak adanya bakteri probiotik yang mampu membantu proses pencernaan pada ikan dan menekan pertumbuhan bakteri patogen di media pemeliharaan.
4.3 Kualitas Air Selama penelitian dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas air yaitu suhu, pH, DO, ammonia, nitrit dan nitrat. Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkungannya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup ikan (Effendie 1997).
27
Tabel 3. Rata-Rata Kisaran Parameter Kualitas Air selama Penelitian Parameter Perlakuan (ml/L)
Suhu (°C)
pH
DO (mg/L)
Ammonia/NH3 (mg/L)
Nitrit/NO2 (mg/L)
Nitrat/NO3 (mg/L)
A (Kontrol)
28,5-30,4
7,21-7,93
4,57-4,84
0,003-0,02
<0,3
0
B (0,125)
28,7-30,8
7,19-7,52
4,65-4,93
0,003-0,009
<0,3
0
C (0,250)
28,4-30,6
7,23-7,57
4,62-4,85
0,003-0,009
<0,3
0
D (0,375)
28,2-30,4
7,18-7,55
4,66-4,88
0,003-0,009
<0,3
0
Standar Baku 25-30a 7-8b >5c <1d < 0,05e a dan b c,e dan f d Keterangan : Rukmana (1997), Effendie (2003), Mulyanto (1992).
< 0,2f
Hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh selama penelitian memperlihatkan bahwa kisaran suhu rata-rata pada saat penelitian berada pada nilai optimal. Menurut Rukmana (1997) ikan nila dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-30oC dan pada masa berpijah membutuhkan suhu 22-27°C. Derajat keasaman (pH) selama penelitian berada di dalam kisaran pH optimal, dimana menurut Rukmana (1997), pH optimum untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan nila adalah 7-8. Kisaran kandungan oksigen terlarut (DO) pada saat penelitian berada di bawah kisaran optimal, dimana menurut Effendie (2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki konsentrasi oksigen tidak kurang dari 5 mg/L. Kandungan Amonia selama penelitian menunjukkan nilai kisaran 0,0030,02 mg/L, nilai tersebut masih dalam batas aman terlihat pada indikator nilai alat pengukur ammonia. Di daerah tropis seperti Indonesia sebaiknya kandungan ammonia dalam air tidak lebih dari 1 mg/L (Mulyanto 1992).
28
Gambar 5. Grafik Kandungan Ammonia Selama Penelitian
Pada Gambar 7 terlihat kandungan ammonia menunjukkan nilai yang sama sebesar 0,003 mg/L pada setiap perlakuan dari awal penelitian hingga hari ke-20, namun pada hari ke-30 kandungan ammonia mulai mengalami peningkatan hingga akhir penelitian hal ini diduga karena kandungan ammonia sudah terakumulasi dengan jumlah banyak pada media pemeliharaan yang dihasilkan dari penguraian pakan yang tidak termakan dan hasil metabolisme (feces) ikan oleh bakteri dekomposer. Kandungan ammonia pada perlakuan A kontrol (0 ml/L) mencapai nilai yang paling tinggi sebesar 0,02 mg/L dibandingkan dengan perlakuan B (0,125 ml/L), C (0,250 ml/L) dan D (0,375 ml/L) yang hanya mencapai nilai tertinggi sebesar 0,009 mg/L hal ini diduga karena pada perlakuan A kontrol (0 mg/L) tidak terdapat bakteri probiotik yang membantu dalam memperbaiki kualitas air. Kandungan Nitrit (NO2) selama penelitian menunjukkan nilai kisaran kurang dari 0,3 mg/L pada indikator nilai test kit untuk setiap perlakuan. Kandungan nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Dalam perairan kandungan nitrit jarang melebihi 1 mg/L (Sawyer dan McCarty 1978 dalam Effendie 2003), kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat
29
bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore 1991 dalam Effendie 2003). Kandungan Nitrat (NO3) selama penelitian menunjukkan nilai 0 pada indikator nilai test kit untuk setiap perlakuan. Nitrat ini tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik (Effendie 2003).