BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl2) menggunakan
konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur mikroanatomi hati ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan kerusakan organ semakin berat. Terjadinya suatu perubahan dalam struktur mikroanatomi hati pada ikan tagih merupakan suatu indikator bahwa ikan tersebut telah terkena dampak toksisitas merkuri klorida. Reessang (1984) dan Sudiono (2003) menyatakan kerusakan hati dapat diketahui berdasarkan tingkatan ringan hingga berat. Kerusakan ringan ditandai dengan pembengkakan sel atau degenerasi vakuola, kerusakan sedang meliputi hemoragi dan kongesti, sedangkan tingkat kerusakan berat adalah kematian sel atau nekrosis. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan preparat struktur mikroanatomi hati bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan maka tingkat kerusakannya semakin berat berupa kongesti, hemoragi dan nekrosis. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
33
34
Tabel 2. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi hati ikan tagih Konsentrasi HgCl2 0 ppm
Kerusakan Yang Terjadi
Tingkat Kerusakan
Tidak ditemukan
-
Keterangan -
0,02 ppm
Kongesti
Sedang
-
0,04 ppm
Kongesti
Sedang
-
Hemoragi 0,08 ppm
Kongesti
Hemoragi Nekrosis
-
Berat
-
Vena sentralis tampak kosong dan berbentuk bulat Sinusoid terlihat jelas Sel hepatosit berbentuk polihedral dengan inti berbentuk bulat hingga oval Sitoplasma berwarna merah muda Adanya pembengkakan sel Sinusoid mengalami penyempitan Terjadi pembendungan darah Adanya pembengkakan sel Sinusoid mengalami penyempitan Terjadi pembendungan darah Pecahnya pembuluh darah Darah keluar dari sinusoid Adanya pembengkakan sel Sinusoid mengalami penyempitan Terjadi pembendungan darah Pecahnya pembuluh darah Darah keluar dari sinusoid Dinding sel lisis Inti sel mengkerut dan ada sebagian yang mati
Gambaran struktur mikroanatomi hati pada berbagai uji toksisitas dengan perbesaran mikroskop 10x40 dapat dilihat pada Gambar 4.
35
A1 Normal
A2 Vena sentralis
A3 Hepatosit
A4 Sinusoid
B1 Kongesti
B2 Pembesaran
C1 Kongesti
C2 Pembesaran
C3 Hemoragi
C4 Pembesaran
D1 Kongesti
D2 Pembesaran
D3 Hemoragi
D4 Pembesaran
D5 Nekrosis
D6 Pembesaran
Gambar 4.
Struktur mikroanatomi hati ikan tagih pada berbagai uji toksisitas Keterangan : A : HgCl2 0 ppm N : Nekrosis B : HgCl2 0,02 ppm E : Eritrosit C : HgCl2 0,04 ppm D : Dinding sel D : HgCl2 0,08 ppm Si : Sitoplasma V : Vena sentralis Ps : Pembengkakan Sel S : Sinusoid Sp : Sinusoid pecah H : Hepatosit In : Inti sel normal K : Kongesti Id : Inti sel degenerasi H : Hemoragi
36
Struktur mikroanatomi hati ikan tagih tanpa pemberian merkuri klorida tampak normal seperti yang terlihat pada Gambar 4 A1,2,3,4 ditandai dengan sel hepatosit berbentuk polihedral, sitoplasma setelah dilakukan pewarnaan menunjukan warna merah muda dan terlihat jelas, memiliki inti berbentuk bulat hingga oval terletak di tengah sitoplasma, sinusoid terlihat jelas, dan vena sentralis sebagai pusat lobulus tampak kosong dan berbentuk bulat. Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,02 ppm (Gambar 4 B1,2) mengakibatkan kerusakan struktur mikroanatomi hati berupa kongesti. Kongesti adalah pembendungan darah yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi darah pada sinusoid (Sudiono 2003). Kongesti terjadi akibat adanya pembengkakan sel. Anderson (1995) menyatakan bahwa sel melakukan kestabilan lingkungan eksternal dengan cara mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari sel. Terakumulasinya bahan beracun merkuri klorida di dalam sel hati menyebabkan terganggunya proses metabolisme sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium keluar cukup banyak, akibatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel lebih tinggi dan air dapat masuk kedalam sel. Masuknya air berlebih ke dalam sel menyebabkan terjadinya pembengkakan sel, sehingga ukuran
bertambah yang mengakibatkan sinusoid menyempit. Sinusoid
merupakan suatu rongga yang terdapat pada jaringan hati yang memungkinkan terjadinya pertukaran nutrisi dan zat lainnya antara darah dan hepatosit. Apabila sinusoid menyempit akibat pembengkakan sel, maka darah akan terbendung di dalam jaringan hati sehingga proses pertukaran nutrisi maupun zat lain antara darah dan hepatosit terganggu. Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,04 ppm (Gambar 4 C1,2,3,4) mengakibatkan kerusakan berupa kongesti dan hemoragi. Terjadinya kongesti pada konsentrasi 0,04 ppm lebih banyak ditemukan bila dibandingkan dengan konsentrasi 0,02 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi merkuri korida yang digunakan lebih tinggi sehingga pembengkakan sel pun lebih cepat terjadi. Selain kongesti ditemukan juga kerusakan lain yaitu hemoragi. Menurut Ressang (1984) hemoragi merupakan kerusakan pada jaringan hati berupa keluarnya darah dari sistem sirkulasi kardiovaskuler karena terjadinya kerusakan pada susunan
37
kardiovaskuler (arteri, vena dan kapiler). Hemoragi merupakan tahap kerusakan selanjutnya dari kongesti, karena sinusoid sudah tidak mampu untuk membendung darah dan pada akhirnya pembuluh-pembuluh darah yang ada di sinusoid pecah. Apabila terjadi kerusakan berupa hemoragi maka asupan nutrisi dan zat lain ke hati akan terhenti sehingga sel-sel akan kekurangan nutrisi, dan apabila kerusakan ini berangsur dalam jangka waktu yang lebih lama maka akan menyebabkan sel hati mengalami degradasi atau nekrosis akibatnya hati tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,08 ppm (Gambar 4 D1,2,3,4,5,6) mengakibatkan kerusakan berupa kongesti, hemoragi, dan nekrosis. Pada konsentrasi ini kerusakan lebih sering ditemukan daripada konsentrasi 0,04 ppm, karena konsentrasi merkuri klorida yang diberikan lebih besar. Pada perlakuan ini ditemukan juga kerusakan hati yang sudah memasuki tingkat berat yaitu nekrosis atau degenerasi sel. Nekrosis pada perlakuan ini diduga akibat pembendungan darah atau kongesti yang semakin parah. Kerusakan ini disebabkan karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati ke pusat (vena sentralis) kebanyakan sudah kehilangan nutrien saat sampai di pertengahan lobulus, sehingga sel hati akan kekurangan nutrien dan lama kelamaan akan terjadi degenerasi (Ressang 1984). Selain itu nekrosis diduga disebabkan oleh pembengkakan sel dalam jangka waktu yang lama. Pembengkakan sel ini akan menyebabkan sel kehilangan intergitas membrannya yang berakibat keluarnya materi sel dan mengalami kematian (nekrosis). Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga apabila bahan beracun tidak terdapat dalam sel maka sel dapat kembali normal, tetapi jika pengaruh bahan beracun berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh bahan beracun tersebut. Pemberian merkuri klorida 0,08 ppm (perlakuan D) dengan lama waktu pemaparan 28 hari ikan uji tidak mengalami kematian, hal ini diduga bahwa sel hati masih dapat melakukan proses regenerasi, tetapi apabila dilakukan dengan waktu yang lebih lama diduga ikan akan mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan pernyataan
38
Destiany (2007) yang melakukan uji toksisitas merkuri klorida 0,08 ppm pada minggu ke 5 ikan mengalami kematian. Kerusakan hati akibat logam berat merkuri klorida disebabkan aktifitas logam tersebut dalam mempengaruhi kerja enzim/hormon proteolitik (Lu 1995). Enzim dan hormon terdiri dari protein kompleks yang sistem kerjanya memerlukan adanya aktivator atau kofaktor. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator (berikatan dengan enzim menggantikan aktivator/kofaktor) sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja dan akan menghambat kerja sel yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Hal ini sesuai pernyataan Ochiai dalam Connel dan Miller (1995), bahwa salah satu mekanisme toksisitas ion logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang essensial dalam biomolekul, misalnya protein dan enzim.
4.2
Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl2) menggunakan
konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur mikroanatomi insang ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan kerusakan insang semakin parah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
39
Tabel 3. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi insang ikan tagih Konsentrasi HgCl2
Kerusakan Yang Terjadi
0 ppm
Tidak ditemukan
Tingkat Kerusakan -
Keterangan
-
-
0,02 ppm
Edema
Ringan
-
0,04 ppm
Edema
Sedang
-
Hiperplasia
Teleangiotaksis
0,08 ppm
Edema
-
Berat
-
Hiperplasia
-
Teleangiotaksis
-
Fusi lamela
-
Pada lamela primer terlihat jelas tulang rawan penopang, sel mukus, dan sel-sel interlamela Pada lamela sekunder terlihat jelas butiran eritrosit, sel pillar, epithelium, dan lumen kapiler Adanya pembengkakan sel akibat penimbunan cairan Eritrosit terlihat pecah Adanya pembengkakan sel akibat penimbunan cairan Eritrosit terlihat pecah Penambahan jumlah sel pada lamela primer Penyempitan pembuluh darah Terjadi pembendungan darah pada pangkal lamela sekunder Adanya pembengkakan sel akibat penimbunan cairan Eritrosit terlihat pecah Penambahan jumlah sel pada lamela primer Penyempitan pembuluh Terjadi pembendungan darah pada pangkal lamela sekunder Lamela sekunder saling menempel
Gambaran struktur mikroanatomi insang pada berbagai uji toksisitas dengan perbesaran mikroskop 10x40 dapat dilihat pada Gambar 5.
40
A1 Lamela primer
A2 Lamela sekunder
B1 Edema
B2 Pembesaran
C1 Teleangiotaksis dan edema
C2 Pembesaran
C3 Pembesaran
C4 Hiperplasia
C5 Pembesaran
D1 Fusi lamela
D2 Pembesaran
D3 Hiperplasia dan edema
D4 Pembesaran
D5 Pembesaran
D6 Teleangiotaksis
D7 Pembesaran
Gambar 5.
Struktur mikroanatomi insang ikan tagih pada berbagai uji toksisitas Keterangan : A B C D TP
: HgCl2 0 ppm : HgCl2 0,02 ppm : HgCl2 0,04 ppm : HgCl2 0,08 ppm : Tulang rawan penopang Si : Sel interlamela Sm : Sel mukus L : Lamela
Ep E T H F IE Pc Er Sp
: Epithelium Ps : Penyempitan : Edema sinusoid : Teleangiotaksis Pe : Pembendungan : Hiperplasia eritrosit : Fusi Lamela Pj : Penambahan : Investasi ektoparasit jumlah sel : Penimbunan cairan : Eritrosit : Sel Pilar
41
Berdasarkan pengamatan struktur mikroanatomi insang ditemukan berbagai kerusakan yang terjadi meliputi edema, hiperplasia, teleangiotaksis, dan fusi lamela. Kerusakan ini disebabkan karena permukaan insang bersifat permeable terhadap senyawa kimia seperti merkuri klorida, sehingga senyawa ini akan mudah masuk melalui insang dan terakumulasi (Darmono 1995). Pada insang ikan yang normal, dalam satu lengkung insang terdiri dari beberapa lamela primer, satu lamela primer terdiri dari beberapa lamela sekunder. Insang ikan yang normal hanya terdiri dari dua atau tiga lapis sel epitel yang rata dan terletak di membran basal. Jika lebih atau kurang maka insang tersebut dapat dikatakan abnormal. Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan berpeluang besar terpapar bahan beracun. Di antara sel-sel epitel insang terdapat sel-sel klorid. Sel-sel tersebut berbentuk bulat dan berperan penting dalam osmoregulasi. Gambaran struktur mikroanatomi insang tanpa pemberian merkuri klorida dengan perbesaran mikroskop 10x40 tampak normal (Gambar 5 A1,2). Insang yang normal memiliki bagian-bagian lamela primer dan lamela sekunder masih lengkap dan belum mengalami kerusakan. Pada lamela primer terdapat tulang rawan penopang yang berfungsi sebagai penegak lamela primer. Pada lamela sekunder terdapat selubung epithelium pipih dan sub epithelium yang kaya akan eritrosit. Sel pillar pada lamela sekunder berfungsi sebagai penegak (Lagler et al., 1977). Apabila terjadi kerusakan berupa hyperlasia maka sel pillar ini akan terdorong menyentuh bagian lamela sekunder lain sehingga akan terlipat, tentu hal ini akan mengganggu dalam proses respirasi pada ikan. Gambaran struktur mikroanatomi insang pada konsentrasi 0,02 ppm (Gambar 5 B1,2) terdapat kerusakan berupa edema dan masih dalam kriteria ringan (Tandjung 1982). Edema merupakan suatu gejala awal apabila insang telah terkena suatu bahan toksik berupa merkuri klorida. Edema adalah pembengkakan sel atau penimbunan cairan secara berlebih di dalam jaringan tubuh (Laksman 2003). Edema yang terjadi pada penelitian ini diduga oleh dua hal, pertama yaitu masuknya zat toksik merkuri klorida ke dalam insang yang menyebabkan sel mengalami iritasi sehingga sel membengkak. Proses masuknya merkuri klorida ke
42
dalam insang menurut Palar (1994) yaitu merkuri bersama-sama dengan ion logam lain membentuk ion-ion yang dapat larut dalam lemak. Ion-ion logam yang dapat larut dalam lemak akan mampu melakukan penetrasi pada membran sel insang sehingga akhirnya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam insang. Dugaan kedua yaitu karena hilangnya pengaturan volume pada bagian sel yang menyebabkan terhambatnya pertukaran ion natrium. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya konsentrasi natrium dan masuknya air ke dalam sel (Anderson 1995). Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,04 ppm (Gambar 5 C1,2,3,4,5) mengakibatkan kerusakan struktur mikroanatomi insang berupa edema, hiperplasia dan teleangiotaksis. Pada konsentrasi ini terdapat peningkatan kerusakan dari konsentrasi 0,02 ppm, hal ini sesuai dengan pernyataan Lu (1995) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu bahan beracun di perairan maka kerusakan yang terjadi pun akan semakin banyak. Edema yang terjadi pada bagian lamela primer terlihat hampir pada seluruh tulang rawan penopang yang mengakibatkan eritrosit beresiko pecah karena terdesak oleh cairan di dalam sel. Apabila Hal ini terjadi maka dapat menyebabkan asphyxia yaitu kesulitan bernafas karena kekurangan oksigen, sehingga apabila ikan terpapar dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan kematian. Pengaruh lain yang diakibatkan edema pada konsentrasi 0,04 ppm menyebabkan lamela primer membesar dan lamela sekunder terdorong hingga menabrak lamela yang lainnya sehingga sel pilar sebagai penegak lamela primer patah. Kerusakan lain yang terlihat pada konsentrasi 0,04 ppm yaitu hiperplasia. Laksman (2003) menyatakan bahwa hiperplasia adalah pembentukan jaringan secara berlebih karena bertambahnya jumlah sel. Dengan adanya penambahan jumlah sel menyebabkan tertutupnya sebagian lamela sekunder sehingga proses pertukaran oksigen dalam insang akan terganggu. Selain edema dan hiperplasia ditemukan juga kerusakan berupa teleangiotaksis. Teleangiotaksis adalah pembendungan atau penggumpalan darah akibat terjadinya edema dan hiperplasia. Teleangiotaksis pada Gambar 5 C3 terlihat menggelembung dan didalamnya terjadi pembendungan eritrosit. Kerusakan ini mengakibatkan gangguan fungsi
43
insang dalam proses respirasi karena aliran darah yang membawa oksigen terhambat. Teleangiotaksis akan berakibat fatal jika ikan berada pada kondisi lingkungan yang bersuhu tinggi, karena oksigen terlarut dalam air akan menjadi rendah, sedangkan kebutuhan oksigen metabolik pada ikan akan tinggi. Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,08 ppm (Gambar 5 D1,2,3,4,5,6,7) mengakibatkan kerusakan berupa edema, hyperplasia, teleangiotaksis, dan fusi lamela. Pada konsentrasi ini ditemukan kerusakan struktur mikroanatomi insang yang lebih banyak dari konsentrasi 0,02 ppm dan 0,04 ppm. Menurut Robert (2001) edema pada lamela dapat diakibatkan karena terpaparnya limbah bahan-bahan kimia diantaranya logam berat. Pada gambar juga terlihat lamela primer membesar dan menghimpit lamela sekunder, apabila hal ini terjadi lebih lama maka sel-sel epitel akan mengalami nekrosis atau kematian sel. Hyperplasia dan edema yang berlebih pada konsentrasi 0,08 ppm menyebabkan fusi lamela. Fusi lamela adalah penempelan 2 bagian lamela sekunder. Selain itu fusi lamela juga diakibatkan oleh adanya lendir yang berlebih pada insang sehingga akan menutup lamela sekunder. Lendir yang berlebih ini merupakan salah satu respon kelenjar mukus untuk melindungi insang dari merkuri klorida, namun apabila lendir yang dihasilkan berlebihan tentu akan bersifat negatif sehingga pengambilan oksigen dari air akan terhambat. Pada konsentrasi 0,08 ppm, kerusakan teleangiotaksis yang terjadi sudah cukup parah karena pembendungan darah terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan konsentrasi 0,04 ppm. Selain itu lamela sekunder yang berada di sekitar lamela yang mengalami teleangiotaksis telah menghilang, hal ini disebabkan karena lamela sekunder tersebut telah rusak akibat teleangiotaksis sehingga terlepas dan mati. Lagler (1977) menyebutkan bahwa sebagian besar kematian ikan yang disebabkan oleh bahan pencemar atau bahan beracun terjadi karena kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Lamela insang merupakan organ yang paling lembut diantara struktur insang ikan dan merupakan alat utama bagi kelangsungan proses pernafasan. Insang sebagai organ pernafasan merupakan tempat pertukaran gas oksigen dengan karbondioksida melalui proses infiltrasi air, sehingga ikan dapat berhubungan langsung dengan
44
media hidupnya. Kerusakan insang akibat merkuri klorida adalah adanya degradasi sel atau bahkan kerusakan jaringan insang. Sandi (1994) menyatakan bahwa secara langsung bahan anorganik terlarut menyebabkan iritasi pada insang dan lamella insang menjadi tertutup. Hal ini menyebabkan fungsi insang menjadi tidak normal dan mengganggu proses pernafasan karena insang merupakan organ utama yang terkena langsung oleh merkuri.
4.3
Struktur Misai Ikan Tagih Gambaran Kerusakan misai pada ikan tagih didapat dengan cara
dokumentasi langsung menggunakan kamera. Pengamatan tidak dilakukan pada tingkat struktrur mikroanatomi, melainkan pengamatan langsung secara kasat mata. Hasil pengamatan kerusakan yang terjadi pada misai ikan tagih setelah dilakukan pemaparan merkuri klorida selama 28 hari dapat terlihat pada gambar 6.
Normal
Rusak
Gambar 6. Perbandingan misai normal dan rusak akibat pemberian merkuri klorida Supyan (2011) menyatakan bahwa ikan tagih memiliki 3-4 pasang misai peraba yang panjang dan secara fisik dapat terihat. Misai atau yang biasa disebut sungut ini memiliki peran penting bagi ikan yang biasa hidup di dasar perairan berlumpur dan sedikit cahaya matahari yang masuk. Misai merupakan organ indera khusus bagi ikan sejenis catfish karena berperan penting dalam mendeteksi makanan yang ada di badan perairan. Hasil pengamatan secara fisik, terlihat dengan jelas bahwa misai ikan tagih yang tidak diberi merkuri klorida tampak terlihat normal, ukuran panjang misai sama dan berwarna keabu-abuan. Hal ini
45
menunjukan bahwa misai ikan tagih pada perlakuan kontrol masih berfungsi dengan baik dalam mencari makan. Pada konsentrasi merkuri klorida 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm terdapat kerusakan pada misai. Pada gambar 6 terlihat ada bagian misai yang hilang, terputusnya misai menunjukan bahwa ikan tersebut telah terkena dampak dari merkuri klorida. Terputusnya bagian misai disebabkan karena misai sering terkena merkuri klorida yang mengendap di dasar wadah pemeliharaan, akibatnya sel-sel yang terdapat pada misai ini mengalami nekrosis atau kematian, hal ini sesuai dengan pernyataan Robert (2001) bahwa semakin lama suatu organ terkena dampak dari zat toksik maka sel-sel yang membentuk organ tersebut akan mengalami degenerasi dan lama-kelamaan akan mati atau nekrosis.
4.4
Kualitas Air Hasil penelitian kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kisaran parameter kualitas air pada setiap perlakuan
Parameter
Perlakuan A (0 ppm) 25,5 – 26,5 6,7 – 7,3
Suhu (oC) Oksigen terlarut (ppm) pH 7 – 7,3 * Supyan 2011
Standar
B (0,02 ppm) 25,5 – 26 6,2 – 7,1
C (0,04 ppm) 25 – 26,5 6,8 – 7,2
D (0,08 ppm) 25,5 – 26,5 6,3 – 7,2
7,4 – 7,6
7,1 – 7,5
7,4 – 7,6
24 – 27* Minimal 4 ppm* Normal*
Pada tabel 4 terlihat bahwa kualitas air selama penelitian yang meliputi suhu (oC), oksigen terlarut (ppm), dan pH masih berada dalam kisaran normal bagi pertumbuhan ikan tagih. Suhu selama masa pemeliharaan berkisar antara 25oC – 26,5 oC pada semua perlakuan dan kontrol, kisaran suhu tersebut berada pada kisaran suhu normal untuk ikan tagih, hal ini sesuai dengan peryataan supyan (2011) yang menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan ikan tagih berkisar antara 24oC - 27oC. Suhu air memiliki peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi. Apabila suhu meningkat diluar kisaran toleransi ikan
46
tagih, maka respirasi akan semakin cepat dan akan berpengaruh terhadap uptake rate logam berat di perairan (Connel 1995). Menurut Connel (1995) kenaikan pH di perairan lebih dari 7 cenderung akan menurunkan kelarutan logam berat sehingga logam berat akan mengendap. Logam berat yang mengendap akan lebih cepat terserap oleh ikan tagih, karena ikan ini hidup di dasar perairan. Pada penelitian ini kisaran pH masih berada pada nilai normal yaitu 7,0 – 7,3. Dengan kisaran pH yang normal maka logam berat tidak akan mudah larut dan mengendap. Sama halnya dengan suhu, apabila perairan memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang rendah maka organisme perairan akan melakukan respirasi lebih cepat dari biasanya sehingga mengakibatkan masuknya logam berat ke insang akan lebih cepat (Connel 1995). Kisaran oksigen terlarut selama penelitian ini berkisar antara 6,2 – 7,3 ppm dan masih dalam kisaran yang aman bagi ikan tagih yaitu minimal 4 ppm (Supyan 2011). Apabila dilihat dari ketiga parameter kualitas air ini maka tidak ada yang berpengaruh terhadap uptake rate logam berat pada ikan tagih, sehingga akumulasi logam berat lebih cenderung disebabkan oleh konsentrasi merkuri klorida yang diberikan.