BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel 4.1.1 Pengambilan Sampel Sampel lamun Enhalus acoroidesdan Thalassia hemprichii secara lengkap bagian tegakannya diambil saat keadaan surut maupun pasang dengan menggunakan benda tajam serta peralatan snorkling standar, hal ini untuk memudahkan pengambilan.Karena menurut Susetiono (2004) lamun adalah tumbuhan yang sebagian tubuhnya terbenam dalam pasir.Sampel diambil dari empat lokasi yang berbeda dengan tujuan agar dapat mewakili lamun dari seluruh bagian pulau pramuka (Lampiran 1). Sampel selanjutnya dimasukan kedalam wadah plastik yang berisi sedikit air laut dan direkatkan kemudian dimasukkan kedalam kotak styroform kedap udara, serta ditambahkan beberapa es batu.Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kondisi sampeltetap baik dan tidak rusak selama perjalanan dari lapangan sampai laboratorium (Lampiran 2). 4.1.1 Persiapan Sampel/ Pembuatan Simplisia Ketika sampai di laboratorium, dilakukan pembuatan simplisia (Lampiran 2) dari lamun yang telah diambil. Menurut Agoes (2007), pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan : a. Pengambilan/pengumpulan bahan baku b. Sortasi basah :Pada tahap ini sampel lamun yang memiliki penampang baik yang dipilih untuk dijadikan sampel c. Pencucian :Pada tahap ini sampel lamun dicuci dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan garam serta epifit yang menempel ditubuhnya. d. Perajangan : Pada tahap ini dilakukan pemisahan bagian – bagian tegakan dari sampel lamun
untuk
mempermudah
proses
29
pengeringan,
pengepakan,
dan
30
penggilingan. Namun sebelumnya dilakukan pengeringan pada bagian sampel lamun secara utuh dengan diangin-anginkan terlebih dahulu selama tiga hari. e. Pengeringan :Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak dan dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama. f. Penggilingan/sortasi kering Pada tahap ini, sampel lamun yang telah kering dihaluskan dengan menggunakan alat penghalus.Jika derajat kehalusan simplisis belum cukup baik, maka dilakukan pengeringan ulang selama tiga hari untuk selanjutnya dihaluskan kembali sampai menjadi serbuk.Pada tahap ini juga dilakukan pemisahan benda asing yang tidak diinginkan. g. Pemeriksaan mutu Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kualitas simplisia lamun dan menghindari faktor – faktor yang dapat merusaknya.Menurut Agoes (2007) faktor internal dan eksternal yang dapat merusak atau mengubah kualitas simplisia diantaranya cahaya, oksigen udara, reaksi kimia internal, dehidrasi, penguapan air, pengotoran, serangga, dan kapang. 4.2 Kandungan Metabolit Sekunder Kandungan metabolit sekunder dari tiap bagian tegakan lamun Enhalus acoroides yaitu daun (E.Daun), rimpang (E.Rimpang), akar (E.Akar), daging buah (E.Buah), biji (E.Biji), dan bunga (E.Bunga), kemudian Thalassia hemprichii yang terdiri dari daun (T.Daun) dan Rimpang Akar (T.Rimpang Akar) diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenol hidrokuinon, saponin dan tanin. Analisis
fitokimia
menurut
Harborne
(1987)
dilakukan
untuk
menentukanciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi.Namun tujuan utamanya adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan (Pedrosa et al.. 1978; Farnsworth 1966; Harborne 1966; dalam Mustarichie 2011). Berikut data hasil uji fitokimia yang diperoleh (Tabel 4) :
31
Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Sampel Enhalus Uji Fitokimia
Daun
Rimpang
Akar
Thalassia
Buah
Biji
Bunga
Daun
Rimpang Akar
Alkaloid P.Meyer
+
+
-
-
+
-
-
+
P.Wagner
+
+
-
-
+
-
-
++
HCl
-
-
-
-
-
-
-
-
H2SO4
-
-
-
-
-
-
-
-
NaOH
-
+
+
-
+
-
-
+
Triterpenoid
++
+
+
++
+
++
++
+
Fenol
++
-
+
++
+
+
++
+
Saponin
-
-
-
+
++
-
-
++
Tanin
+
+
-
+
+
+
++
++
Flavonoid
Steroid/
Hidrokuinon
Keterangan tabel : : Negatif + : Positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar ++ : Positif kuat, warna/busa/endapat terlihat jelas
4.2.1 Alkaloid Pada prosedur pengujian alkaloid, dilakukan penambahan larutan encer amonia untuk mengubah garam alkaloid menjadi basa bebas.Kemudiansetelah diperoleh filtrat kloroform dilakukan penambahan asam klorida 2 N untuk mengubah menjadi hidrokloridanya, selanjutnya diuji dengan beberapa pereaksi pengendapan yaitu pereaksi meyer dan wagner yang mengandung unsur logam. Menurut Sastrohamidjojo (1996) dalam Nadjeb (2006) pereaksi yang digunakan didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismuth, atau iood.Pereaksi Meyer dibuat dengan menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan sampai batas 100 ml labu takar.Pereaksi Wagner dibuat dengan cara
32
2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida dilarutkan dengan 10 ml akuades dan diencerkan sampai 200 ml. Hasil dari pengujian alkaloid sampel lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan menggunakan pereaksi meyerdan pereaksi wagner (Gambar 11), sampel E.Daun, E.Rimpang, E.Biji, dan T.Rimpang Akar diketahui positif. MenurutSastrohamidjojo (1996) dalam Nadjeb (2006), pereaksi meyer relatif memiliki sensitivitas paling rendah bila dibandingkan pereaksi wagner dan pereaksi dragendroff. Pada Gambar 11 (a) bagian pertama merupakan sampel yang memberikan respon negatif mengandung senyawa alkaloid dengan menggunakan pereaksi meyer, dan pada bagian keduamenunjukkan hasil yang positif terbentuk endapat putih kekuningan namun samar bila dibandingkan dengan endapat cokelat yang terbentuk dengan mengggunakan pereaksi wagner (b). Endapan yang terbentuk tersebut menurut Mustarichie (2011) diperkirakan adalah kalium-alkaloid. a.Dengan pereaksi meyer b. Dengan Pereaksi Wagner
E.Akar, E.Buah, E.Bunga, T.Daun ( kiri ke kanan) (Atas :E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, ) (Bawah :E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
E.Daun, E.Rimpang, E.Biji, T.Rimpang Akar Gambar 11.Hasil Uji Senyawa Alkaloid
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae), berbiji satu (monokotil)dan tumbuhan tingkat tinggi (Sosetiono 2004). Menurut Cordell
33
(1981) dalam Pranata (1997), sebagian besar sumber alkaloid adalah pada tanaman
berbunga,
angiosperma
(Familia
Leguminoceae,
Papavraceae,
Ranunculaceae, Rubiaceae, Solanaceae,Berberidaceae) dan juga pada tumbuhan monokotil (Familia Solanaceae dan Liliaceae). Hal ini dipertegas dengan pernyataan Harborne (1987), bahwa senyawa alkaloid biasanya tidak terdapat dalam Gymnospermae, paku-pakuan, lumut, dan tumbuhan rendah. Pada hasil uji alkaloid terhadap kedua jenis lamun, tidak semua bagian tegakan lamun mengandung senyawa alkaloid namun hanya pada beberapa bagian lamun saja.Hal ini dapat terjadi karena senyawa alkaloid terkonsentrasi (kaya akanalkaloid) pada bagian tertentu karena dibutuhkan oleh bagian tersebut, namun belum tentu senyawa alkaloid terbentuk pada bagian tersebut.Fungsi alkaloid bagi tumbuhan menurut Rohmansyah (2011) adalah sebagai pertahanan diri, pencegahan infeksi, dan persaingan ruang. Pada tanaman yang mengandung alkaloid menurut Geissman dan Court (1969) dalam Pranata (1997), alkaloid mungkin terlokasi dengan jumlah yang tinggi pada bagian tertentu,sepertispecies Datura dan Nicotiana dihasilkan dalam akar tetapi ditranslokasi cepat ke daun. Contoh lainnya reserpin terkonsentrasi pada akarRauvolfia sp ; Quinin terdapat dalam kulitCinchona ledgeriana; morfin terdapat pada getah atau latex Papaver samniferum, alkaloid secara umum terdapat dalam biji (Nux vomica, Areca catechu), buah (Piperis nigri), daun (Atropa belladona), akar & rhizoma (Atrpa belladona
& Euphorbia
ipecacuanhae) dan pada kulit batang (Cinchona succirubra). 4.2.2 Flavonoid Senyawa fenol (flavonoid) dapat diidentifikasi dalam suasana asam atau basa (Harborne 1987).Oleh karena itu seluruh sampel diuji dengan menggunakan tiga jenis pereaksi.Peraksi asam pertama yang digunakanadalah asam klorida (HCl), semua sampel menunjukkan hasil warna putih bening setelah ditambahkan pereaksi sehingga dikatakan negatif mengandung senyawa flavonoid karena tidak terjadi perubahan warna orange/jingga ataupun buih dengan intensitas
34
banyak.Berikut hasil yang menunjukkan tidak terjadinya perubahan warna pada seluruh sampel pada uji flavonoid dengan menggunakan peraksi ini (Gambar 12) :
Gambar 12. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Pereaksi HCl (kiri ke kanan) (E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Pereaksi asam kedua yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4).Pada uji ini setiap sampel tidak menunjukkan perubahan warna kuning merah namun tetap berwaran hijau/kuning/bening sesuai warna asalnya sebelum ditambahkan pereaksi, maka seluruh sampel dikatakan negatif mengandung senyawa flavonoid.Berikut hasil dari uji flavonoid dengan menggunakan pereaksi ini (Gambar 13):
Gambar 13. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Pereaksi H2SO4 (kiri ke kanan) (Atas : E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah) (Bawah : E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Pereaksi terakhir yang digunakan adalahbersifat basa yaitu Natrium Hidroksida (NaOH) 10%. Berdasarkan pereaksi ini, dari seluruh sampel yang menunjukkan perubahan warna menjadi kuning yaitu E.Rimpang, E.Akar, E.Biji,
35
T.Rimpang sedangkan sampel lainnya tetap berwarna hijau
dan tidak
menunjukkan perubahan warna kuning/merah/coklat . Keempat sampel tersebut dapat dikatakan positif mengandung senyawa flavonoid.Berikut hasil dari uji flavonoid dengan menggunakan pereaksi ini (Gambar 14) :
Gambar 14. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Peraksi NaOH (kiri ke kanan) (Atas : E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah) (Bawah : E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Warna yang terbentuk dalam uji ini adalah garam benzopirilum atau garam flavilium (Achmad 1986 dalam Mustarichiedkk. 2011).Hasil berbeda yang ditunjukkandari setiap sampel pada pereaksi yang berbeda dimungkinkan karena respon dari senyawa flavonoid sampel dapat bereaksi dengan pereaksi cenderung terjadi dalam suasanan basa dibandingkan dengan suasana asam. 4.2.3 Steroid dan Triterpenoid Secara
kimia,
prekursor
pembentukan
triterpenoid/steroid
adalah
kolesterol yangbersifat nonpolar sehingga dapat larut dalam lemak.Senyawa triterpenoid ini terdapat dalam sel tumbuhan dalam sitoplasma(Harborne 1987). Sehingga pada proses pengerjaan, sangatlah mungkin untuk steroid/triterpenoid larut dalam pelarut organik seperti kloroform. Berdasarkan hasil uji fitokimia, dari delapan sampel yang diuji diketahui ada lima sampel yang menunjukkan perubahan warna biru-ungu sehingga dikatakan positif steroid yaitu E.Daun, E.Buah, E.Bunga, T.Daun, dan T.Rimpang Akar. Sampel yang lainnya menunjukkan perubahan warna kemerahan sehingga dapat dikatakan positif triterpenoid yaitu E.Rimpang, E.Akar, dan E, Biji.Jika melihat intensitas warna yang ditunjukkan oleh setiap sampel, maka sampel yang
36
menunjukkan positif senyawa steroid lebih jelas bila dibandingkan sampel yang menunjukkan
positif
senyawa
triterpenoid.
Sampel
yang
paling
jelas
menunjukkan positif senyawa steroid adalah E.Daun, diikuti E.Buah, E.Bunga, kemudian T.Daun dan T.Rimpang Akar yang paling samar. Sedangkan Sampel yang menunjukkan poitif triterpenoid menghasilkan warna yang cukup seragam.Sampel E.Buah dan E.Bunga positif mengandung kedua jenis senyawa yaitu steroid dan triterpenoid karena tetap menunjukkan dua perubahan warna biru-ungu serta kemerahan. Berikut (Gambar 15) perubahan warna yang ditunjukkan oleh tiap sampel pada uji steroid dan triterpenoid :
Gambar 15. Hasil Uji Senyawa Steroid dan Triterpenoid ( kiri ke kanan) (Atas :E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, ) (Bawah :E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Pada penelitian Rumiantin (2011) lamun Enhalus acoroides diketahui mengandung jenis senyawa steroid.Sedangkan penelitian Putri (2011) diketahui bahwa
lamun
Thalassia hemprichii mengandung senyawa
steroid dan
triterpenoid.Menurut Harborne (1987) Senyawa steroid/triterpenoid biasanya terdapat pada daun, buah, kulit, batang, dan getah, sehingga kemungkinan berfungsi untuk menolak serangga dan serangan mikroba bagi organisme penghasil. Kedua senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi seperti lamun contohnya, kemungkinan adalah tiga senyawa yang disebut fitosterol yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Kegunannya untuk manusia biasanya, terpenoid sepertiminyak atsiri sebagai dasar wewangian, rempah-rempah serta
37
sebagai cita rasadalam industri makanan.Sedangkan steroid biasanya digunakan dalam bahan dasar pembuatan obat untuk meningkatkan stamina tubuh. 4.2.4 Fenol Hidrokuinon Hampir semua sampel positif menunjukkan perubahan warna hijau-biru pada uji senyawa ini, dan hanya sampel E.Rimpang yang tidak menunjukkan perubahan warna sehingga dapat dikatakan negatif mengandung senyawa ini.Jika dilihat dari intensitas warna yang paling jelas adalahE.Buah kemudian diikuti T.Daun, E.Daun, dan sampel lainnya.Warna yang terbentuk tersebut menurut Harborne (1987) adalah berasal dari fenolat besi, dan reaksi ini dapat berlangsung hanya dalam suasana asam lemah atau netral.Berikut hasil uji senyawa fenol hidrokuinon(Gambar 16) :
Gambar 16. Hasil Uji Senyawa Fenol Hidrokuinon ( kiri ke kanan) (E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Senyawa ini tersebar luas namun tidak terlalu bermanfaat dalam warna tumbuhan tingkat tinggi, sehingga sering terdapat dalam kulit, akar, atau dalam jaringan lain (misalnya daun) tetapi pada pada jaringan tersebut tertutup oleh pigmen lain.Senyawa ini diduga berpengaruh dalam perkecambahan dan pertumbuhan pucuk dan akar (Harborne 1987). 4.2.Saponin Saponin adalah golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas dapat membentuk larutan koloidal dalam
38
air dan membentuk buih/busa bila dikocok (Harborne 1987).Pada hasil uji fitokimia dari delapan sampel, hanya tiga yang membentuk busa ketika dikocoksehingga positif mengandung senyawa saponin yaituE.Buah, E.Biji, dan T.Rimpang Akar.Jika melihat tinggi busa yang ditunjukkan maka sampel E.Biji adalah yang paling tinggi (3 cm) kemudian diikuti T.Rimpang Akar (2 cm) dan E.Buah (1 cm).Busa ini terlihat stabil tidak hilang pada penambahan HCl 2 N dan tetap ada lebih dari 30 menit.Busa tersebut menurut Rusid (1990), Marlina dkk.(2005) dalam Mustarichie dkk.(2011), menunjukkan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam air, senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon.Berikut hasil uji senyawa saponin (Gambar 17) :
Gambar 17. Hasil Uji Senyawa Saponin ( kiri ke kanan) (E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Saponin bersama dengan senyawa lainnya yaitu tanin dan fenol merupakan senyawa glikosida yang termasuk kelompok aglikon.Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.Glikosida saponin bisa berupa saponin steroid maupun saponin triterpenoid.Saponin ini berasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan (Cheek 2005 dalam Nadjeb 2006) .
39
4.2.6 Tanin Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa hampir semua sampel menunjukkan perubahan warna hijau kehitaman sehingga dapat dikatakan positif mengandung tanin, yaitu E.Daun, E.Rimpang, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, dan T.Rimpang Akar. Namun, hanya E.Akar yang menunjukkan warna kekuningan sehingga dapat dikatan negatif mengandung tanin.Jika melihat intensitas warna yang ditunjukkan, sampel T.Daun dan T.Rimpang Akar menunjukkan perubahan warna hijau kehitaman yang paling jelas kemudian diikuti E.Daun dan sampel lainnya.Warna yang timbul menurut Mustarichie dkk.(2011) adalah terbentuknya senyawa kompleks Fe3+ -tanin dan Fe3+ -polifenol karena penambahan FeCl3.Kemungkinan tanin yang terdapat dalam tumbuhan lamun ini adalah jenis tanin terkondensasi.Berikut hasil uji fitokimia dari senyawa tanin (Gambar 18) :
Gambar 18. Hasil Uji Senyawa Tanin ( kiri ke kanan) (E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin, tanin terkondensasi terdapat di dalam paku-pakuan dan Gymnospermae, serta tersebar luas dalam Angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sedangkan jenis tanin lainnya yaitu tanin terhidrolisis penyebarannya hanya pada tumbuhan berkeping dua. Kedua jenis tanin tersebut dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang sama seperti yang terjadi pada kulit dan daun ek, Quercus. Senyawa ini memang terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae, dan jaringan
40
kayu (Harborne 1987).Tanin dalam tubuh dapat melancarkan sistem pencernaan (Wijayakusuma 2000 dalam Anwariyah 2011). 4.3 Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut (Agoes 2007). Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponenkomponen aktif (Harborne 1984). Dalam ekstraksi yang dilakukan pada sampel lamun mengacu pada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi tanaman obat menurut Agoes (2007) yaitu : 4.3.1 Jumlah Simplisia yang diekstraksi Jumlah
ini
digunakan
untuk
perhitungan
dosis
obat/
nilai
rendemen.Rendemen adalah perbandingan berat ekstrak yang terkandung dalam suatu bahan simplisia dengan berat awalnya.Jumlah simplisia lamun yang digunakan dalam ekstraksi ini adalah 40 g untuk setiap sampel.Berikut perhitungan nilai rendemen menurut(SNI-19-1705-2000 dalam Prabowo 2009): berat ekstrak x 100% berat awal Rendemen yang tinggi menunjukkan banyaknya komponen bioaktif yang Rendemen =
terkandung dalam suatu bahan (Rohmansyah 2011). 4.3.2 Jenis Pelarut yang digunakan
Pemilihan Pelarutdidasarkan pada kemampuannya menarik zat yang diinginkan sehingga mempengaruhi efisiensi proses penarikan zat berkhasiat tersebut dari taman obat. Pemilihan pelarut juga didasarkan pada sifat zat yang akan diekstrak, karena setiap zat memiliki kelarutan yang berbeda pada pelarut yang berlainan (Achmadi 1992 dalam Agustiningrum 2004). Ekstraksi tunggal dengan hanya menggunakan pelarut metanol dipilih karena didasarkan menurut hasil penelitian Sarastani et al. (2002) dalam Permatasari (2011) dengan menggunakan biji atung dan Penelitian Prabowo (2009) yang menggunakan keong mata merah, menunjukkan bahwa rendemen ekstrak dari hasil ekstraksi tunggal jauh lebih besar dibandingkan ekstraksi bertingkat. Sedangkan ekstraksi
41
dengan menggunakan pelarut metanol dipilih berdasarkan kemampuannya sebagai pelarut polar dalam menarik senyawa-senyawa polar yang diinginkan. Menurut penelitian Rumiantin (2011) yang menggunakan lamun Enhalus acoroides dan Putri (2011) yang menggunakan lamun Thalassia hemprichii, diketahui bahwa hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol memiliki nilai rendemen paling tinggi dan kandungan senyawa fitokimia yang paling banyak, sebagian besar adalah senyawa yang bersifat polar. Senyawa tersebut adalah flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tannin. Hal ini diperjelas dengan hasil penelitian Rahayu (2009) yang menggunakan daun ketapang, diketahui bahwa kandungan senyawa polar pada ekstrak etanol lebih banyak yaitu senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, kuinon dan fenolik bila dibandingkan dengan kandungan senyawa polar pada ekstrak etil asetat yaitu senyawa flavonoid, alkaloid, dan saponin. 4.3.3 Lama Perendaman dan Proses Ekstraksi Prinsip yang bekerja pada proses ekstraksi adalah difusi, yaitu perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dan konsentrasi cairan ekstraksi diluar sel. Bahan pelarut mengalir dari luar (konsentrasi tinggi) ke dalam sel (konsentrasi rendah) yang menyebabkan protoplasma membengkak sehingga kandungan senyawa metabolit sekunder yang berada di dalam sel akan mengalir atau berdifusi keluar sel (Achmadi 1992 dalam Agustiningrum 2004). Prinsip ini secara tidak langsung dapat mengakibatkan perbedaan banyaknya filtrat yang dihasilkan dari perendaman dan penyaringan setiap sampel.Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan keterikatan antara pelarut dengan jaringan sel setiap sampel berbeda.Hasil perbedaan ini terdapat pada Tabel 5. Metode maserasi yang digunakan didasarkan pada keunggulan metode ini bila dibandingkan metode ekstraksi lainnya yaitu karena cara ini merupakan metode yang mudah dilakukan danmenggunakan alat-alat sederhana dengan merendam sampel dalam pelarut(Andayani et al. 2008 dalam Rumiantin 2011). Selain itu metode maserasi juga tidak memerlukan suhu yang tinggi, hal ini
42
berkaitan dengan beberapa sifat senyawa yang terkandung yang memiliki sensitivitas terhadap suhu tinggi. Dari
delapan
sampel
lamun
masing-masing
direndam
dengan
menggunakan pelarut metanol dengan rasio perbandingan (1:10) atau (40 g : 400 ml). Perendaman dilakukan selama 3 x 24 jam, setelah disaring dihasilkan filtrat dan residu.Pada residu dilakukan perendaman berulang sampai filtrate berwarna bening dengan tujuan untuk memaksimalkan penarikan senyawa yang terkandung dalam sampel lamun. Menurut Harborne (1987) keberhasilan ektraksi pada jaringan hijau dengan menggunakan pelarut alkohol, berkaitan dengan seberapa jauh klorofil tertarik oleh pelarut itu ditunjukkan bila ampas jaringan pada ekstrasi berulang sama sekali tidak berwarna hijau lagi maka dapat dikatakan semua senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi. Berikut merupakan filtrat hasil maserasi (Gambar 19) :
Gambar 19. Filtrat (kiri ke kanan) (Atas :E.Buah, E.Daun, E.Bunga, T.Daun) (Bawah :E.Rimpang, E.Akar, T.Rimpang Akar, E.Biji)
Berdasarkan hasil pada gambar tersebut, terjadi perbedaan warna filtrat hasil perendaman yang sangat jelas dari setiap sampel. Perbedaan warna filtrat tersebut bila diurutkan berdasarkan kepekatan, maka filtrat E.Daun memiliki
43
warna hijau yang paling pekat kemudian diikuti filtrat T.Daun dan filtrat E.Buah berwarna
hijau
tua,
filtrat
E.Rimpang
berwarna
coklat
tua,
filtrat
E.Bungaberwarna hijaumuda, selanjutnya adalah E.Akar, T.Rimpang Akar, dan E.Biji yang berwarna sama hijau kekuningan. Perbedaan warna ini kemungkinan adalah karena perbedaan kuantitas klorofil/karoten yang terkandung dalam setiap sampel. Menurut Winarno (1997) dalam Masruroh (2004) terdapat hubungan langsung antara derajat kehijauan dalam suatu bahan pangan dengan kadar karoten didalamnya. 4.3.4 Suhu/ Temperatur yang digunakan Filtrat yang telah diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan Rotary evaporator.Tujuannya adalah untuk mendapatkan ekstrak pekat. Menurut Agoes (2007), ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi (menstrum) tertentu pula. Suhu yang digunakan untuk pemekatan ini bukan suhu titik didih pelarut metanol yaitu 65°C namun berkisar anatar 4050°C. Hal ini dilakukan karena berdasarkan Harborne (1987) bahwa beberapa senyawa fenol terutama flavonoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi karena senyawa tersebut tidak tahan panas dan mudah teroksidasi. Setelah mendapatkan ekstrak hasil epavorasi, selanjutnya dilakukan uji kelarutan dengan tujuan untuk meyakinkan ekstrak dalam keadaan murni hanya mengandung senyawa yang diinginkan tanpa adanya garam yang ikut terlarut.Ketika ekstrak metanol sampel tidak dapat larut secara sempurna (Lampiran 3) maka dilakukan penambahan metanol dan penguapan kembali dengan tujuan melakukan prinsip kristalisasi garam untuk memisahkan garam dari ekstrak sampai diperoleh ekstrak pekat yang larut sempurna. Kristalisasi adalah pelepasan pelarut dari zat terlarutnya dalam sebuah campuran homogen atau larutan, sehingga terbentuk kristal dari zat terlarutnya. Caranya adalah dengan penguapan, pendinginan, penambahan senyawa lain dan reaksi kimia. Kristal dapat terbentuk karena suatu larutan dalam keadaan atau kondisi lewat jenuh (supersaturated), karena pelarut (dalam hal ini metanol)
44
sudah tidak mampu melarutkan zat terlarutnya (dalam hal ini garam), atau jumlah zat terlarut (garam) sudah melebihi kapasitas pelarut(metanol). Sehingga kita dapat memaksa agar kristal dapat terbentuk dengan cara mengurangi jumlah pelarutnya, maka kondisi lewat jenuh dapat dicapai (Zulfikar 2011).Berikut merupakan ekstrak pekat yang diperoleh (Gambar 20) :
Gambar 20. Ekstrak Pekat (kiri ke kanan) (Ekstrak pekat metanol E.Daun, E.Bunga, E.Buah, E.Rimpang, E.Akar, E.Biji, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Berdasarkan hasil pada gambar tersebut, ekstrak yang didapat memiliki bentuk yang seragam yaitu pasta namun memiliki warna yang berbeda. Warna tersebut terlihat hampir sama bila dibandingkan dengan filtrat awalnya sebelum dipekatkan. Selain perbedaan warna, berat ekstrak yang dihasilkan oleh setiap sampel bagian lamun juga berbeda sehingga nilai rendemen berbeda pula. Berdasarkan Penghitungan nilai rendemen (Lampiran 4), jika nilai diurutkan maka rendemen paling tinggi yaitu E.Daun sebesar 1,41% diikuti T.Daun 0,94%, E.Biji 0,48%, E.Buah 0,46 %, E.Rimpang 0,27%, E.Akar 0,20%, T.Rimpang Akar
Rendemen %
0,14%, dan yang paling kecil adalah E.Bunga 0,07% (Gambar 21). 1.5 1 0.5
1.41
0.94 0.48
0.46
0.27
0.2
0
Sampel
Gambar 21. Diagram Rendemen Sampel
0.14
0.07
45
Jika dari delapan sampel ini, E.Daun bukan merupakan sampel yang memiliki kandungan bioaktif paling banyak ketika identifikasi kandungan metabolit sekunder pada tahap sebelumnya, tetapi nilai rendemen ekstrak yang tinggi ini dapat disebabkan karena terdapat suatu jenis komponen bioaktif yang mendominasi atau berada dalam jumlah lebih besarpada E.Daun.Hal ini dapat terjadi karena ekstrak yang dihasilkan bukan merupakan ekstrak murni yang hanya mengandung satu jenis komponen bioaktif namun masih berupa ekstrak kasar. Menurut Harborne (1987), jumlah rendemen ekstrak bergantung pada kondisi alamiah senyawa, metode ekstraksi, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu ekstraksi, kelarutan komponen dalam pelarut serta perbandingan sampel dengan pelarut. Berikut merupakan data yang diperoleh dari hasil ekstraksi dari delapan sampel lamun (Tabel 5) Tabel 5. Hasil Ekstraksi lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii NO
Sampel
Berat
Pelarut
Filtrat
Berat
Rendemen
Warna
Awal
(ml)
(ml)
Ekstrak
(%)
ekstrak
1,41
Hijau
(g) 1
E.Daun
40
(g) 400
370
0,5655
kehitaman 2
E.Rimpang
40
400
380
0,1082
0,27
Hijau kecoklatan
3
E.Akar
40
400
366
0,0824
0,20
Coklat
4.
E.Bunga
40
400
382
0,0304
0,07
Hijau
5.
E.Buah
40
400
382
0,1862
0,46
Hijau kehitaman
6.
E.Biji
40
400
386
0,1932
0,48
Hijau kecoklatan
7.
T.Daun
40
400
375
0,3770
0,94
Hijau
8.
T.Rimpang
40
400
381
0,0555
0,14
Coklat
Akar
4.4 Aktivitas Antioksidan Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan.Metode DPPH dipilih untuk uji aktivitas antioksidan ini karena memiliki keunggulan diantaranya sederhana,
46
mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani et al. 2005 dalam Permatasari 2011).Metode uji DPPH juga merupakan
salah
satu
metode
yang
paling
banyak
digunakan
untuk
memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan, dan biasanya dipilih metanol sebagai pelarut yang dapat melarutkan kristal DPPH (Molyneux 2004). Uji aktivitas antioksidan dilakukan pada kedelapan ekstrak dengan membuat larutan stok sebanyak 25 ml dari kedelapan ekstrak tersebut terlebih dahulu dengan konsentrasi yang tidak seragam antar satu sampel dengan sampel lainnya diantaranya 1000 ppm, 800 ppm, 500 ppm, dan 200 ppm, hal ini berkaitan dengan ketersediaan ekstrak yang dihasilkan dari tahap sebelumnya (Lampiran 5). Setelah itu dilakukan pengenceran dengan metode pengenceran dari stokdengan cara semua volume yang digunakan untuk membuat konsentrasi baru berasal dari stok tersebut. Vitamin C juga digunakan sebagai kontrol positif dengan konsentrasi stoknya adalah 5 ppm.Menurut Andarwulan dan Koswara (1992) dalam Masruroh (2004), vitamin C telah dikenal memiliki kemampuan sebagai antioksidan karena memiliki kemampuan sebagai pereduksi yang sangat kuat dan mudah teroksidasi. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas seperti DPPH dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi 2007). Interaksi antioksidan dengan DPPH (Gambar 22) baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akanmembentuk molekul diamagnetik stabil dan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH (Suratmo 2009 dalam Permatasari 2011).
Gambar 22. Reaksi DPPH dengan Antioksidan (Sumber : Astuti 2009)
47
Adanya aktivitas antioksidan dari suatu senyawa dalam sampel dapat mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol dari berwarna violet pekat menjadi kuning (Andayani et al. 2008 dalam Permatasari 2011).Perubahan warna tersebut terjadi karena peredaman radikal DPPH olehsenyawaantioksidan yang dapat memberikanradikal hidrogen kepada radikal DPPH
sehingga
tereduksi
menjadi
DPPH-H(1,1-difenil-2-pikrilhidrazin).
Perubahan warna ini diukur serapannya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum untuk DPPH (Molyneuk 2004).Berikut contoh gambar perubahan warna tersebut (Gambar 23) :
Gambar 23. Aktivitas Antioksidan Melalui Perubahan Warna
Setelah itu dilakukan penghitungan inhibisi setiap konsentrasi (Lampiran 6) sehingga dapat dibuat grafik linier.Grafik linier ini dapat memperlihatkan hubungan peningkatan konsentrasi setiap sampel atau vitamin C terhadap nilai inhibisinya dalam menangkal radikal bebas (Lampiran 7). Berdasarkan penghitungan inhibisi (Lampiran 6) dan grafik liniernya (Lampiran 7) dari setiap sampel, terlihat bahwa penambahan konsentrasi sampel yang mengandung senyawa antioksidan sejalan dengan semakin meningkatnya kemampuan inhibisi dari sampel tersebut dalam menangkal radikal bebas DPPH. Namun kemampuan menangkal radikal bebas DPPH tersebut berbeda dari setiap sampelnya. Sebagai contoh pada batas konsentrasi 200 ppm, hanya sampel ekstrak E.Daun dan kontrol positif vitamin C yang dapat memberikan peredaman radikal bebas DPPH melebihi 50%. Sedangkan sampel lainnya, pada batas konsentrasi
48
tersebut masih memberikan peredaman radikal bebas DPPH dibawah 50%. Seperti ekstrak T.Daun, E.Rimpang, T.Rimpang Akar, E.Biji, dan E.Akar masih memberikan peredaman radikal bebas DPPH pada rentang 10% sampai 20%, dan sampel ekstrak E.Buah dan E.Bunga dibawah 10%. Untuk mengetahui konsentrasi yang tepat dalam menangkal radikal bebas DPPH 50% maka dilakukan perhitungan nilai EC50(Effecient Concentration50%). Nilai EC50ini diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan persamaan regresi linier hasil dari grafik linier sebelumnya (Lampiran 7). Nilai EC50berikut ini merupakan nilai rata-rata dari dua pengulangan pengukuran yang dilakukan/duplo(Tabel 6) : Tabel 6. Nilai EC50 Sampel dan Vitamin C No
Sampel/ Vitamin C
Konsentrasi EC50 (ppm)
1
Vitamin C
3,13
2
E.Daun
136,4
3
E.Rimpang
656,47
4
E.Akar
833,18
5
E.Bunga
1.978,22
6
E.Buah
1.610,03
7
E.Biji
695,04
8
T.Daun
465,87
9.
T.Rimpang Akar
734,61
Besarnya kemampuan setiap sampel yang dibutuhkan sebagai antioksidan dalam meredam radikal bebas DPPH sebesar 50% berbeda, diperlihatkan dengan nilai EC50yang diperoleh. Vitamin C dibutuhkan konsentrasi 3,13 ppm, E.Daun 136,4ppm, E.Rimpang 656,47 ppm, E.Akar 833,18 ppm, E.Bunga 1.978,22 ppm, E.Buah 1.610,03 ppm, E.Biji 695,04 ppm, T.Daun 465,87 ppm, dan T.Rimpang Akar 734,61 ppm. Suatu senyawa dikatakan memiliki kemampuan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai EC50 kurang dari 50 ppm (Kategori pertama), kuat apabila nilai EC50antara 50-100 ppm (kategori kedua), sedang apabila nilai EC50berkisar antara 100-150 ppm (kategori ketiga), lemah apabila nilai EC50berkisar antara 150-200 ppm (kategori ketiga), dan sangat lemah apabila konsentrasi lebih besar daripada
49
itu (kategori keempat) (Molyneux 2004). Berikut merupakan diagram klasifikasi EC50dari kedelapan lapan sampel tersebut (Gambar 25 25) : 1978,22 1610,03
Konsentrasi EC50 (ppm)
2000 1600 1200 800 400 0
656,47 3,13
734,61 695,04 465,87
136,4
833,18 Keterangan : Antioksidan sangat kuat Antioksidan sedang Antioksidan sangat lemah
Sampel
Gambar 24. 24 Klasifikasi NilaiEC50 Sampel dan Vitamin C
Berdasarkan diagram nilai EC50 diatas, maka hasil penelitian ini termasuk kedalam tiga kategori antioksidan. Vitamin C dengan nilai EC E 503,13 ppm masuk kategori pertama sebagai antioksidan sangat kuat. Sampel E.Daun E.Daun dengan nilai EC50 136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel T.Daun, E.Rimpang, E.Biji, T.Rimpang Akar,, E.Akar, E.Buah, E.Bunga dengan nilai EC50berturut-turut turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm, 833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai antioksidan lemah/sangat lemah. Semakin kecil nilai EC E 50 menunjukkan aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneuxx 2004). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya ditunjukkan dengan nilai EC E 50paling kecil yaitu 136,34 ppm telah mampu menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C sebagai kontrol positif dengan nilai EC503,13 ppm maka nilai EC50sampel ekstrak E.Daun ini masih sangat jauh. Potensi E.Daun juga masih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Herawati dkk.(2011) (2011) menggunakan
50
mangrove Sonneratia alba dengan nilai EC5012,2 ppm. Namun hasil ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian Prabowo (2009) yang menggunakan sampel ekstrak keong mata merah dengan nilai
EC50967,89 ppm atau penelitian
Rohmansyah (2011) yang menggunakan karang lunak Sarcophytonsp.hasil transplantasi dengan nilai EC50 1.225,46 ppm. Terlepas dari perbandingan diatas, sampel E.Daun ini tetap berpotensi sebagai sumber antioksidan alami dengan kategori sedang. Ekstrak E.Daun atau T.Daun memiliki aktivitas antioksidan terbaik dikelompoknya.Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kandungan metabolit sekunder yang diproduksi terutama senyawa fenol didalamnya.Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan lamun adalah tumbuhan laut yang sebagian tubuhnya sangat terbenam didalam pasir.Meskipun ketika air laut pasang ataupun surut, bagian batang, akar, dan rimpangnya tetap terbenam, sedangkan hanya Daun yang menegak tumbuh diatas substrat.Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa E.Daun atau T.Daun lebih sering memproduksi senyawa metabolit sekunder, karena
keduanya
membutuhkan
pertahanan
diri
yang
lebih
terhadap
lingkungannya seperti paparan sinar matahari.Namun bagian yang terbenampun memiliki peluang yang besar dalam memproduksi metabolit sekunder, mengingat bagian akar dan rimpang ini terbenam masuk kedalam sedimen perairan sebagai tegakan kokoh.Menurut Lee et al. (2001) dalam Susetiono (2004) Akar dan Rimpang pada tumbuhan laut berfungsi sebagai penahan sedimen dari adukan arus, ombak, dan badai. Sedangkan daun memiliki fungsi sebagai pelindung dasar perairan berikut flora dan faunanya dari kekeringan dan sengatan matahari Berkaitan dengan pemaparan sebelumnya, bahwa metabolit sekunder biasanya diproduksi oleh organisme sebagai bentuk pertahanan diri terhadap lingkungannya.Hal ini dapat menjadi alasan utama bagian daun baik dari lamun Enhalus acoroides maupun Thalassia hemprichii menjadi yang terbaik.Namun jika melihat nilai EC50 kedua sampel, maka E.Daun lebih unggul dibandingkan dengan T.Daun. Menurut Susetiono (2004), lamun Enhalus acoroidesmerupakan satu-satunya lamun diantara vegetasi lainnya yang paling tahan terhadap faktor fisik seperti dasar yang terjal, arus pasang surut, dan tingginya laju siltasi dengan
51
syarat sinar matahari dan unsur-unsur nutrisi masih mencukupi. Lamun Enhalus acoroidesmemiliki daun yang lebih lebat dan lebih tinggi sehingga dapat menaungi lamun yang lebih rendah. Hal ini dapat berkaitan dengan persaingan untuk memperebutkan cahaya, ruang serta nutrisi untuk proses pertumbuhannya. Pada sampel ekstrak E.Buah dan E.Bunga memiliki aktivitas antioksidan yang sangat rendah, bahkan sangat jauh dibandingkan sampel lainnya diperlihatkan dengan nilai EC50yang tinggi.Kedua bagian dari tegakan lamun ini tidak tumbuh sepanjang tahun seperti bagian tegakan lainnya melainkan hanya pada saat musim barat tiba misalnya pada tahun 2013 adalah pada bulan JanuariMaret.Hal ini juga dapat menjadi alasan bahwa produksi senyawa metabolit sekunder untuk pertahanan diri yang dilakukan oleh kedua bagian ini masih rendah. Sampel yang digunakan dalam uji aktivitas antioksidan ini adalah masih ekstrak kasar, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa kemampuan sebagai antioksidan yang dimiliki oleh sampel ini hanya dari suatu senyawa tanpa adanya pengaruh dari senyawa lain. Oleh karena itu dilakukan uji tahap selanjutnya yaitu Uji Total Kadar Polifenol untuk melihat korelasi peningkatan kemampuan antioksidan dari empat sampel yang terpilih dengan kadar total Polifenolnya. Pemilihan ini sebagian berdasarkan nilai EC50yang paling rendah dibanding sampel lainnya.Sampel tersebut adalah E.Daun, E.Rimpang, T.Daun, dan T.Rimpang Akar. 4.5 Uji Total Polifenol Senyawa Fenol yaitu senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil (Harborne 1987). Senyawa ini memiliki sifat oksidasi dalam menangkal radikal bebas (Panovska et al.2005 dalam Rahayu 2009). Senyawa fenoltersebut kemungkinan memberikan elektron atau hidrogennya terhadap radikal bebas DPPH.Menurut Molyneux (2004) Senyawa DPPH merupakan senyawa radikal bebas bersifat stabil dan dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi.
52
Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kandungan semua fenol pada sampel terpilih dan melihat keterkaitannya dengan aktivitas antioksidan dari setiap sampel tersebut. Pereaksi Folin ciocalteu yang digunakan menurut Folin dan Ciocalteu (1944) merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin.Berikut contoh reaksi senyawa fenol dengan pereaksi FolinCiocalteu (Gambar 26)
Gambar 25. Reaksi Senyawa Fenol dengan Pereaksi Folin-Ciocalteu (Sumber : Singleton dan Rossi 1965)
Menurut Singleton dan Rossi (1965) selama reaksi belangsung, gugus hidroksil dari fenol bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru dengan struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat. Berikut hasil pengukuran dan penhitungan kadar polifenol (Lampiran 8), ditampilkan dalam Tabel 7 : Tabel 7. Nilai Total Kadar Polifenol No
Sampel
Kadar Polifenol (%)
1
E.Daun
13,25
2
E.Rimpang
4,58
3
T.Daun
4,86
4
T. Rimpang Akar
3,60
53
Berdasarkan tabel hasil tersebut diatas, maka kadar polifenol yang paling tinggi terdapat dalam sampel E.Daun dengan nilai 13,25% kemudian diikuti T.Daun 4.86%, E.Rimpang 4.58%, dan T.Rimpang Akar 3.60%. Hasil ini dapat memberikan gambaran dari besaran kandungan senyawa fenol yang diduga memiliki aktivitas antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas DPPH yang terdapat dalam sampel.Berdasarkan hasil pada tabel tersebut maka terdapat hubungan antara besarnya senyawa polifenol dengan nilai EC50 yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Dimulai dengan aktivitas antioksidan paling rendah dari sampel T.Rimpang Akar yang memiliki nilai EC50 paling tinggi karena memiliki nilai kadar polifenol paling rendah yaitu 3,60%. kemudian diikuti dengan sampel E.Rimpang yang memiliki nilai kadar polifenol 4,58% dan sampel T.Daun 4,86%. Sampel yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi karena memiliki nilai EC50 paling rendah dimiliki oleh sampel E.Daun yang memiliki nilai kadar polifenol paling tinggi yaiti 13,25%. Bedasarkan hubungan tersebutmaka memperlihatkan bahwa kemampuan yang dimiliki antara sampel E.Daun, kemudian diikuti T.Daun, E.Rimpang, dan T.Rimpang Akar dalam menangkal radikal bebas DPPH mengalami penurunan diperlihatkan dengan nilai EC50 dari masing-masing sampel tersebutmakin tinggi, hal tersebut sejalan dengan penurunan nilai kadar polifenolnya. Hubungan tersebut diperlihatkan seperti grafik dibawah ini (Gambar 27)
Kadar polifenol (%)
14.00 12.00
136,4 ; 13.25
10.00 Keterangan :
8.00 6.00 4.00
465,87; 4.86 656,47; 4.58 734,61;3.60
2.00
E.Daun
E.Rimpang
0.00 0
200
400 Nilai EC50 (ppm)
600
800 T.Daun T.Rimpang Akar
Gambar 26. Korelasi Nilai EC50 dengan Nilai Total Kadar Polifenol
54
Hasil uji tahap ini maka dapat dikatakan bahwa terjadi korelasi atau hubungan yang cukup erat antara nilai EC50 aktivitas antioksidan dari setiap sampel dengan kadar total polifenol yang dimilikinya. Maka meskipun uji total kadar polifenol ini hanya mengambil empat dari total delapan sampel, namun dapat mewakili keterkaitan antara aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh delapan sampel pada pembahasan sebelumnya dengan nilai kadar polifenol sampel tersebut. 4.6 Evaluasi Aktivitas Antioksidan Pada evaluasi aktivitas antioksidan, dipilih satu ekstrak pekat yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi yaitu ekstrak pekat E.Daun. Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak tersebut sebagai contohnya dalam menghambat oksidasi pada minyak yang akan menghasilkan radikal hidrogen peroksida. Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik. Selain itu penyebab ketengikan juga dapat karena ketengikan oleh enzim, dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Oksidasi atau pemanasan minyak oleh oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak dalam waktu yang lama akan meningkatkan persentase hidrogen peroksida yang juga mempercepat proses timbulnya ketengikan tersebut, menurunkan nilai gizi karena kerusakan vitamin dan asam lemak. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu : lamanya pemanasan, suhu, adanya akselerator, dan komposisi campuran asam lemak (Ketaren 1986). Minyak yang digunakan untuk uji ini adalah sampel minyak ikan, minyak goreng baru, dan minyak goreng setelah dipakai.Menurut Departemen Kesehatan RI (1998)
penambahan antioksidan pada produk makanan adalah maksimal
sebanyak 200 ppm. Maka dari itu konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada pemaparan sebelum proses oksidasi adalah 0 ppm (tanpa penambahan ekstrak), 136,40 ppm (nilai EC50) dan 200 ppm (Lampiran 9).Setelah itu dilakukan oksidasi didalam inkubator dengan suhu 40°C untuk mempercepat proses oksidasi pada
55
sampel minyak ikan selama 14 hari, sedangkan minyak goreng baru dan bekas pakai diinkubasi selama satu hari. Dalam titrasi iodometri pada proses ini, terjadi reaksi oksidasireduksi.Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iodin atau senyawa-senyawa iod. Gliserida pada minyak dengan tingkat ketidakjenuhan tinggi akan mengikat iod dalam jumlah besar (Ketaren 1986). Penambahan asam asetat glasial dan kloroform sebagai pelarut bertujuan untuk membuat sistem dalam suasana asam.Dalam suasana asam ini biasanya kalium iodat lebih mudah mengoksidasi ion iodida menjadi iodin. Penambahan Kalium Iodida berlebih (jenuh) bertujuan untuk membantu melarutkan Iodin, karena Menurut (Harjadi 1990 dalam Stefie 2012) Iodin sukar larut dalam air namun mudah larut dalam I- berlebih. Selanjutnya jumlah Iod dalam KI yang dibebaskan/direduksi oleh peroksida dititrasi dengan natrium tiosulfat melalui titrasi iodometri dengan indikator pati.Indikator patidipilih karena menurut Poedjadi (1994) dalam Stefie (2012) merupakan indikator spesifik berantai lurus yang dapat bereaksi membentuk kompleks biru tua dengan iodin.Ketika kompleks biru tua ini terjadi, molekul-molekul iodin bertahan di permukaan β-amilosa dan rantainnya mengambil bentuk opisal. Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk mengikat Iod bebas dalam g lemak yang diselidiki, dihitung untuk melihat nilai bilangan peroksida minyak (Ketaren 1986) (Lampiran 10). Berikut hasilnya (Tabel 8): Tabel 8. Nilai Bilangan Peroksida Pada Evaluasi Aktivitas Antioksidan NO 1
2 3
Sampel Minyak Ikan
Minyak Goreng Baru Minyak pakai
Goreng
Bekas
Konsentrasi Ekstrak Pekat
Nilai Bilangan
E.Daun
Peroksida
Kontrol (0 ppm)
55 meq/kg
EC50 (136.40 ppm)
19 meq/kg
200 ppm
11 meq/kg
Kontrol (0 ppm)
4 meq/kg
200 ppm
1 meq/kg
Kontrol (0 ppm)
10meq/kg
200 ppm
2 meq/kg
56
Berdasarkan hasil pada Tabel 8, dapat dikatakan bahwa penambahan antioksidan ekstrak E.Daun dapat mengurangi ketengikan dari minyak.Hal ini diperlihatkan dengan nilai bilangan peroksida yang diperoleh.Pada perlakuan 0 ppm atau tidak adanya penambahan antioksidan ekstrak E.Daun, nilai bilangan peroksida yang diperoleh menjadi yang paling tinggi yaitu 55 meq/kg. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya penambahan senyawa antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas/ hidrogen peroksida yang terbentuk melalui proses oksidasi pada sampel minyak. Berbeda halnya dengan perlakuan kedua dan ketiga. Pada perlakuan kedua yaitu melalui penambahan antioksidan ekstrak E.Daun sebesar 136,40 (nilai EC50 nya) sebelum pemaparan proses oksidasi, dapat mengurangi ketengikan minyak dengan nilai bilangan peroksida yang ditunjukkan sebesar 19 meq/kg. Nilai bilangan peroksida tersebut diperkirakan akan terus mengalami penurunan sejalan dengan penambahan konsentrasi antioksidan, hal ini diperkuat dengan nilai bilangan peroksida yang diperoleh pada perlakuan ketiga yaitu penambahan antioksidan ekstrak E.Daun sebesar 200 ppm dapat menurunkan hingga 11 meq/kg. Bilangan peroksida ini merupakan salah satu parameter dalam menentukan ketengikan minyak.Minyak yang memiliki kualitas baik adalah maksimal sebesar 5 meq/kg (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2011).Jika bilangan peroksida dalam bahan pangan lebih besar dari 100 meq/kgmaka akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren 1986). Bilangan peroksida pada minyak ikan perlakuan pertama, kedua, dan ketiga, masih dapat dikatakan tengiksebagaimana standar yang telah ditetapkan karena nilai yang diperoleh masih berada diatas angka 5 meq/kg.Secara umum, minyak pada ketiga perlakuan ini masih dapat dimakan karena nilai bilangan peroksida masih dibawah batas nilai 100 meq/kg, jika mengesampingkan bau yang tidak enak. Pada penambahan antioksidan ekstrak E.Daun yang dilakukan pada minyak goreng masih baru dan minyak goreng yang sudah dipakai (bekas), konsentrasi antioksidan yang digunakan adalah 0 ppm dan 200 ppm. Pada sampel
57
minyak goreng baru, penambahan antioksidan ini dapat menurunkan ketengikan hingga empat kali ditunjukkan dengan nilai peroksida pada penambahan antioksidan 200 ppm yaitu 1 meq/kg, empat kali lebih kecil bila dibandingkan dengan tidak dilakukan penambahan antioksidan (0 ppm) yaitu 4 meq/kg. Sedangkan pada sampel minyak goreng bekas, penambahan antioksidan 200 ppm dapat menurunkan ketengikan hingga lima kali, diperlihatkan dengan nilai peroksida pada penambahan antioksidan 200 ppm adalah 2 meq/kg dan tanpa adanya penambahan antioksidan (0 ppm) adalah 10 meq/kg. Sampel minyak goreng ini baik dengan penambahan antioksidan (200 ppm) atau tidak (0 ppm) belum mengalami ketengikan kecuali pada konsentrasi 0 ppm pada minyak goreng bekas telah mengalami ketengikan. Nilai
bilangan
peroksida
juga
dapat
memperlihatkan
kualitas
minyak.Kualitas minyak paling tinggi adalah maksimal 2 meq/kg(Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2011).Maka dengan penambahan antioksidan pada minyak goreng yang masih baru dapat meningkatkan kualitas minyak, hal ini ditunjukkan dengan nilai bilangan peroksida pada 0 ppm adalah 4 meq/kg menjadi 1 meq/kg pada penambahan 200 ppm ekstrak E.Daun. Berikut (Gambar 28) memperlihatkan hubungan penambahan antioksidan ekstrak E.Daun pada ketiga sampel minyak dapat menghambat oksidasi minyak yang dapat mengakibatkan
Nilai Bilangan Peroksida (meq/kg)
ketengikan ditunjukkan dengan penurunan nilai bilangan peroksida : 60
0; 55
50 40 30
Minyak Ikan
136,4; 19
20
200; 11
0; 10
10
200; 2 200; 1
0, 4
0 0
100
200
300
Minyak Goreng Baru Minyak Goreng Bekas
Konsentrasi Antioksidan (ppm)
Gambar 27. Hubungan Penambahan Antioksidan Ekstrak Pekat Metanol E.Daun Terhadap Penurunan Bilangan Peroksida
58
Selain pengaruh konsentrasi ekstrak E.Daun sebagai antioksidan, diperkirakan adanya pengaruh lamanya oksidasi pula. Pada sampel minyak ikan yang mengalami pemaparan oksidasi selama 14 hari setelah ditambahkan 200 ppm ekstrak, nilai bilangan peroksidanya masih tinggi sebesar 11 meq/kg. Pada sampel minyak goreng baru dan bekas yang mengalami pemaparan oksidasi selama 1 hari setelah ditambahkan 200 ppm ekstrak, nilai bilangan peroksida terbilang rendah sebesar 2 meq/kg dan 1 meq/kg. Hal ini juga dapat dilihat pada perlakuan tanpa penambahan ekstrak (0 ppm) pada minyak ikan sangat tengik dengan nilai bilangan peroksida 55 meq/kgdibandingkan pada minyak goreng bekas 10 meq/kg dan minyak goreng baru 4 meq/kg. Suatu senyawa antioksidan dapat menghambat pembentukan hidrogen peroksida yang terbentuk akibat proses oksidasi, melaui reaksi pada tahap inisiasi, propagasi, atau terminasi. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida.Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asamasam lemak bebas(Ketaren 1986).Berikut tiga contoh reaksi pembentukan hidrogen peroksida dan penghambatannya oleh antioksidan (Ketaren1986, Gordon 1990, Winarno 1997 dalam Prabowo 2009): Tahap Inisiasi/Pembentukan: Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal bebas (R*) bila terjadi kontak antara lemak (RH) dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen(Winarno 1997 dalam Prabowo 2009).Radikal lipid inilah yang akan menjadi awal memasuki tahap propagansi reaksi radikal berantai. Namun bila pada tahap ini, radikal lipid tersebut dapat dihambat oleh suatu antioksidan yang memiliki elektron atau ion hidrogen maka akan terbentuk lemak kembali serta radikal antioksidan yang stabil (A*) bila dibandingkan dengan radikal lipid. Berikut gambaran reaksinya : RH + O*-O* panas/cahaya R* (Lemak)
(Oksigen)
(Radikal lipid)
Penghambatan : R* + AH
RH
(Radikal lipid) (Antioksidan)
(Lemak) (radikal antioksidan stabil)
+
A*
59
Tahap Propagasi/Perambatan : Tahap selanjutnya yaitu propagansi, bila radikal lipid (R*) yang terbentuk pada tahap sebelumnya terjadi kontak kembali dengan panas, cahaya, ion metal, atau oksigen maka akan terbentuk radikal peroksida (ROO*) (Gordon 1990). Jika radikal peroksida tersebut kontak dengan mengikat ion hidrogen lemak baru maka akan terbentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan radikal lipida baru (R*). Radikal baru yang terbentuk inilah yang lebih reaktif untuk melakukan reaksi berulang hingga berantai. Namun bila suatu antioksidan dapat menghambatnya pada proses ini dengan memberikan ion hidrogen misalnya maka radikal peroksida (ROO*) yang terbentuk sebelum mengikat ion hidrogen dari lemak, maka akan membentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan radikal antioksidan yang stabil (A*). Berikut gambaran reaksinya : R*
+ O*-O*
(Radikal lipid)
ROO*
(Oksigen)
ROO*
+
(Radikal peroksida)
(Radikal peroksida)
RH
ROOH
(Lemak)
+
R*
(Hidrogen peroksida)(Radikal lipid baru)
Penghambatan : ROO*
+
AH
(Radikal peroksida) (Antioksidan)
ROOH+
A*
(Hidrogen peroksida)(Radikal antioksidan stabil)
Tahap Terminasi/Penghentian : Jika radikal lipid (R*) atau radikal peroksida (ROO*) tidak dapat dihambat pada dua tahap sebelumnya dan memasuki tahap ini yaitu terminasi (penghentian), radikal-radikal tersebut akan menjadi radikal stabil pula yang tidak memiliki cukup energi untuk bereaksi kembali jika bertemu dengan sejenisnya. Misalnya radikal lipid baru (R*) bertemu dengan radikal lipid baru (R*) kembali makaakan terbentuk RR (radikal stabil) dan A* (radikal antioksidan stabil) jika ditambahkan AH (antioksidan). Berikut gambaran reaksinya: R*+R* + AH (Radikal llipid baru) (Antioksidan)
RR + A* (Radikal stabil)(Radikal antioksidan stabil)
R* + ROO* + AH (Radikal lipidbaru)(Radikal peroksida)
ROO + R + A* (Radikal stabil)
ROO* + ROO*+ AH (Radikal peroksida) (Antioksidan)
ROO+ROO + A* (Radikal stabil)
60
Namun jika kedua radikal tersebut bertemu kembali dengan radikal lain yang belum stabil seperti lemak, radikal lipid, radikal peroksida, tanpa adanya antioksidan maka akan terbentuk reaksi berantai yang menghasilkan radikalradikal baru yang lebih reaktif. Pada tahap terakhir ini juga, hidrogen peroksida (ROOH) yang sangat tidak stabil dapat terpecah menjadisenyawa organik berantai pendek seperti aldehid, keton, alkohol, dan asam (Winarno 1997 dalam Prabowo 2009). Golongan fenol termasuk antioksidan yang banyak digunakan karena tidak beracun (Ketaren 1986).Oleh karena itu kandungan Polifenol khusunya tanin yang terdapat pada ekstrak E.Daun ini berpotensi menjadi antioksidan dalam bidang pangan, karena dapat menurunkan ketengikan melalui bilangan peroksida seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Menurut Jati (2008) dalam Rumiantin (2011) tanin bersama senyawa polifenol lainnya merupakan senyawa yangberfungsi sebagai
antioksidan
karena
ketiga
senyawa
tersebut
adalah
senyawa-
senyawafenol, yaitu senyawa dengan gugus –OH (terikat pada cincinaromatik) yang dapat memberikan ion hidrogennya terhadap radikal bebas. Peningkatan kadar tanin dalam suatu bahan kemungkinan dapat ikut meningkatkan kandungan katekinnya, dimana tanin merupakan senyawa turunan dari katekin. Penelitian secara epidemiologis, konsumsi teh hijau yang banyak mengandung
senyawa
polifenol
seperti
katekin
dan
turunannya
dapat
meminimalisir kanker (Yu et al. 1995 dalam), mencegah penyakit jantung dan stroke, menstimulir sistem sirkulasi, memperkuat pembuluh darah, menurunkan kolesterol dalam darah, dan antidiabetes (Yang dan Landau 2000, McKay dan Blumberg 2002, Ikeda 2008, Maeta 2007, dalam Damayanthi dkk. 2008).