BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal ini merupakan sebaran suhu pada lapisan permukaan. Sebaran vertikal diambil berdasarkan perpotongan bujur 112,5oBT dan perpotongan lintang 12,5oLS. Perpotongan bujur dan lintang ini dipilih berdasarkan data sebaran Tuna. 4.1.1.1 Sebaran Horisontal Hasil pengolahan data suhu secara horisontal dilapisan permukaan yang dirata-ratakan secara klimatologi memiliki nilai berkisar antara 23,5oC – 29,5oC dengan rata-rata 26,5oC. Suhu perairan yang mendekati daratan memiliki suhu yang lebih hangat dibandingkan suhu perairan di lepas pantai. Pada Musim Barat suhu di lapisan permukaan memiliki suhu yang cukup hangat yaitu berkisar antara 25 – 29oC dengan rata-rata 27oC (Gambar 10a). Hal ini disebabkan karena pada Musim Barat posisi matahari berada di bumi bagian selatan (BBS), sehingga radiasi matahari yang diterima oleh perairan selatan Jawa lebih besar dibandingkan musim Timur (Wyrkti 1961, Silalahi 2013). Selain itu, tingginya suhu permukaan pada Musim Barat juga diduga akibat berkembangnya Arus Pantai Jawa (APJ) yang mengalir ke perairan selatan Jawa dari perairan barat Sumatera yang membawa massa air hangat (Wilopo 2005). Menurut Quadfasel dan Cresswell (1992) dalam Farita (2006), APJ di lapisan permukaan membawa suhu yang lebih hangat (lebih dari 27,5 ºC) dengan salinitas yang rendah. Massa air hangat yang dibawa oleh APJ di perairan Selatan Jawa – Sumbawa berasal dari Pantai Barat Daya Sumatera dan juga Laut Jawa yang masuk melalui Selat Sunda.
26
27
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 1. Sebaran Suhu Horisontal (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
28
Pada Musim Timur suhu perairan lebih rendah dibandingkan musim lainnya yaitu berkisar antara 24oC – 28,5oC dengan rata-rata 26,25oC (Gambar 10b). Hal ini sesuai dengan pernyataan Wyrkti (1961) yang menyatakan bahwa pada Musim Timur suhu permukaan laut di Selatan Jawa cenderung lebih rendah karena matahari sedang berada di bumi bagian utara (BBU) dimana intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut tidak sebesar musim sebelumnya. Pada Musim Peralihan 1 suhu perairan di lapisan permukaan memiliki suhu yang lebih hangat dibandingkan Musim Peralihan 2. Kisaran suhu pada lapisan permukaan di Musim Peralihan 1 bernilai antara 25,5oC – 29oC dengan rata-rata 27,25oC, sedangkan suhu permukaan pada Musim Peralihan 2 bernilai antara 23,5 – 28oC dengan rata-rata 25,75oC (Gambar 10c dan 10d). Hal ini disebabkan karena pada Musim Peralihan 1 suhu hangat pada Musim Barat cenderung mempengaruhi perairan Samudera Hindia bagian Timur, sedangkan pada Musim Peralihan 2 suhu perairan lebih cenderung dipengaruhi oleh Musim Timur yang bersifat dingin. 4.1.1.2 Sebaran Vertikal a. Suhu Pada Perpotongan Bujur 112,5oBT Sebaran suhu secara vertikal menunjukkan adanya penurunan suhu berdasarkan kedalaman (Gambar 11). Berdasarkan pengukuran suhu secara vertikal dengan menggunakan pemotongan pada bujur 112,5oBT dapat dijelaskan bahwa suhu perairan pada Musim Barat dan Musim Peralihan 1 memiliki suhu yang lebih hangat dibandingkan dengan suhu perairan pada Musim Timur dan Musim Peralihan 2. Hal ini dapat dilihat dari hasil visualisasi bahwa suhu pada kedalaman 0-50 meter saat Musim Barat dan Musim Peralihan 1 mencapai angka 27,5oC, sedangkan saat Musim Timur dan Musim Peralihan 2 suhu dengan kedalaman yang sama hanya menunjukkan angka 25oC.
29
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 2. Sebaran Suhu Vertikal di Perpotongan 112,5oBT pada (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
30
Pada Musim Barat (Gambar 11a) dapat dilihat bahwa suhu lebih hangat ditemukan pada stasiun yang mendekati pantai dibandingkan dengan stasiun di daerah laut lepas. Pada lapisan dekat permukaan suhu cenderung homogen hingga kedalaman sekitar 50 meter dengan suhu 27,5oC kemudian suhu turun secara cepat hingga kedalaman sekitar 300 – 400 meter. Musim Peralihan 1 (Gambar 11b) suhu hangat pada lapisan permukaan berangsur-angsur menipis di bandingkan pada Musim Barat. Hal ini diduga akibat arah angin yang mulai berubah dan berkembangnya Angin Muson Tenggara (Wilopo 2005), kemudian suhu turun secara cepat hingga kedalaman sekitar 300 hingga 400 meter. Pada Musim Timur suhu pada lapisan homogen cenderung lebih dingin dibandingkan pada musim sebelumnya yaitu bernilai 25oC dengan kedalaman mencapai 29 meter pada lintang 10 – 12oLS dan semakin dalam pada lintang 12 – 20oLS yaitu berkisar antara 70 – 100 meter. Pada musim ini juga terlihat kenaikan massa air pada lintang 12oLS yang merupakan indikasi dari fenomena upwelling. Purba et al (1992) dalam Wilopo (2005) menjelaskan bahwa pada Musim Timur upwelling terjadi secara intensif di perairan selatan Jawa. Pada Musim Peralihan 2, kedalaman lapisan homogen berkisar 50 meter dan semakin dangkal pada lintang 18oLS hanya mencapai kedalaman 10 meter dengan suhu 25oC, kemudian suhu turun secara cepat hingga kedalaman maksimal yaitu 410 meter pada lintang 19,5oLS. b. Suhu Pada Pemotongan Lintang 12,5oLS Sebaran suhu pada pemotongan lintang 12,5oLS juga menunjukkan bahwa kisaran suhu semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Suhu perairan pada Musim Barat hingga Musim Peralihan 1 menujukkan suhu yang lebih hangat dibandingkan dengan suhu pada Musim Timur dan Musim Peralihan 2. Hal ini terlihat dari hasil visualisasi yang menunjukkan pada lapisan permukaan di Musim Barat dan Musim Peralihan 1 kisaran suhu mencapai 27,5oC, sedangkan di Musim Timur hingga Musim Peralihan 2 kisaran suhu permukaan hanya bernilai 25oC.
31
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 3. Sebaran Suhu Vertikal di Perpotongan 12,5oLS pada (a) Musim Barat Barat, (b) Musim Peralihan 1, 1 (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
32
Pada Musim Barat, suhu disekitar lapisan permukaan bernilai 27,5oC dan cenderung homogen hingga kedalaman berkisar antara 50 meter kemudian suhu menurun secara cepat hingga kedalaman berkisar antara 380 meter. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purba et al. (1997) yang menjelaskan bahwa ketebalan lapisan homogen di perairan selatan Jawa (bagian dari Samudera Hindia bagian Timur) berkisar antara 40 – 75 meter dengan suhu permukaan laut umumnya lebih dari 27oC. Pada Musim Peralihan 1, kedalaman lapisan homogen mencapai kedalaman 50 – 75 meter dengan suhu 27,5oC. Lapisan termoklin pada musim ini mencapai kedalaman 380 meter. Nybakken (1988) dalam Syafrizal (1991) menjelaskan bahwa lapisan termoklin merupakan zona kejelukan tempat penurunan suhu yang paling cepat. Kedalaman lapisan homogen pada Musim Timur berdasarkan pemotongan lintang 12,5oLS menunjukkan nilai yang cukup dalam yaitu berkisar antara 75 meter hingga 90 meter dengan suhu 25oC. Kemudian suhu menurun cepat pada hingga kedalaman antara 350 hingga 400 meter. Pada Musim Peralihan 2, kedalaman lapisan homogen bervariasi berdasarkan posisi bujurnya. Pada bujur 100oBT kedalaman lapisan ini mencapai 118 meter, namun pada bujur 118oBT kedalamannya hanya mencapai 69 meter dengan suhu sekitar 25oC. Berdasarkan hasil visualisasi pada bujur 104oBT dan 109oBT terlihat indikasi kenaikan massa air atau upwelling. Hal ini mungkin terjadi karena Angin Muson Tenggara yang bertiup di selatan Jawa dimulai sejak bulan Mei dan berakhir pada bulan September (awal Musim Peralihan 2) (Wilopo 2005). Angin Muson Tenggara ini menyebabkan terjadinya upwelling karena angin ini bertiup dari arah tenggara ke arah barat laut sehingga terjadi Transport Ekman yang mengarah menjauhi pantai selatan Jawa, maka akan terjadi kekosongan yang berakibat naiknya air (upwelling) dari bawah menuju lapisan permukaan (Wyrkti 1962 dalam Wilopo 2005; Purba et al., 1992 dalam Wilopo 2005). 4.1.2 Sebaran Salinitas Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran salinitas pada dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal ini merupakan
33
sebaran suhu pada lapisan permukaan. Sebaran vertikal diambil berdasarkan perpotongan bujur 112,5oBT dan perpotongan lintang 12,5oLS. Perpotongan bujur dan lintang ini dipilih berdasarkan data sebaran Tuna. 4.1.2.1 Sebaran Horisontal Hasil pengukuran salinitas secara horisontal di lapisan permukaan pada tahun 1980 – 2010 yang dirata-ratakan setiap musim memiliki nilai berkisar antara 33,5 psu - 35,25 psu dengan rata-rata 34,37 psu (Gambar 13). Secara umum nilai salinitas yang mendekati daratan memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan nilai salinitas yang menuju lepas pantai. Hal ini diduga disebabkan karena salinitas yang mendekati daratan masih mendapatkan pengaruh seperti aliran sungai yang bermuara ke Samudera Hindia bagian Timur, sehingga menyebabkan salinitas disekitarnya menjadi lebih rendah. Supangat dan Susanna (2003) juga menyatakan bahwa salinitas berkurang ke arah lintang tinggi maupun ke arah ekuator akibat adanya air tawar di mulut sungai-sungai besar akibat lelehan es dan salju pada lintang tinggi. Hasil visualisasi juga menunjukkan bahwa adanya massa air dari Selat Sunda yang membawa salinitas rendah masuk ke wilayah kajian. Kejadian ini terlihat hampir sepanjang tahun dari mulai Musim Barat hingga Musim Peralihan 2. Pada Musim Barat, salinitas di perairan Samudera Hindia bagian Timur memiliki nilai berkisar antara 33,5 – 35,25 psu dengan rata-rata 34,37 psu (Gambar 13a) dengan nilai salinitas bertambah ke arah selatan dan tenggara. Pada musim ini terlihat adanya massa air dari Selat Sunda masuk ke wilayah kajian dengan membawa salinitas bernilai rendah yang ditunjukkan dengan garis isohalin 33,5 psu. Pada musim peralihan 1, salinitas di wilayah kajian berkisar antara 33,25 – 35 psu dengan nilai salinitas yang semakin bertambah ke arah selatan. Berdasarkan gambar, salinitas minimum berada pada perairan sekitar Jawa Barat dan pulau Sumatera dengan garis isohalin 33,25 psu, hal ini disebabkan karena adanya pengaruh daratan dan adanya aliran sungai-sungai disekitar perairan yang kemudian terbawa hingga lepas pantai (Anggriandika 2012).
34
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 4. Sebaran Salinitas Horisontal (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
35
Pada Musim Timur dan Musim Peralihan 2, salinitas di perairan Samudera Hindia bagian Timur cenderung homogen. Salinitas minimum pada Musim Timur tercatat 33,25 psu dan salinitas maksimum tercatat 35 psu dengan rata-rata 34,12 psu sedangkan, salinitas minimum pada Musim Peralihan 2 tercatat 33,5 psu dan salinitas maksimum tercatat 35 dengan rata-rata 34,25 psu. Berdasarkan hasil visualisasi sebaran salinitas secara horisontal ini terlihat bahwa pada Musim Timur hingga Musim Peralihan 2 konsentrasi salinitas terlihat adanya peningkatan dibandingkan Musim Peralihan 1. Hal ini diduga disebabkan karena aliran massa air yang disebabkan oleh angin musim. Hadi (2006) dalam Safitri et al. (2012) menyatakan bahwa pada Musim Timur (Juni, Juli, Agustus) diselatan equator dan timur laut di utara equator bertiup angin muson tenggara yang mengakibatkan perairan Indonesia memiliki karakteristik dengan nilai salinitas yang lebih tinggi. 4.1.2.2 Sebaran Vertikal a. Salinitas Pemotongan Bujur 112,5 BT Sebaran salinitas vertikal dengan pemotongan lintang pada 112,5 BT pada setiap musimnya menunjukkan bahwa nilai salinitas semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurhayati (2006) yang menyatakan bahwa secara umum distribusi salinitas di lapisan tercampur permukaan atau mixed layer depth (MLD) menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada di lapisan dalam. Selain itu, distribusi salinitas di suatu perairan dipengaruhi oleh oleh penguapan, jumlah air tawar yang masuk ke perairan tersebut, "run-off" atau aliran permukaan, pasang surut air laut, curah hujan dan musim (Bowden 1980 dalam Nurhayati 2006). Berdasarkan hasil visualisasi sebaran salinitas pada Musim Barat terlihat bahwa nilai salinitas yang lebih tinggi berada pada stasiun yang menuju laut lepas dibandingkan dengan stasiun yang mendekati daratan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeriaatmadja (1957) dalam Anggriandika (2012) yang menyatakan bahwa suplai air tawar dari daratan sekitarnya serta curah hujan selama Musim Barat akan mempengaruhi penurunan salinitas pada perairan yang lebih dekat dengan
36
pantai. Pada musim ini,salinitas minimal berada pada koordinat 9,5oLS dengan garis isohalin 34,25 psu, sedangkan salinitas maksimal berada pada koordinat 17,5oLS – 19,5oLS dengan garis isohalin 35,25 psu dan berada pada kedalaman 150 meter hingga 300 meter,sedangkan rata-rata salinitas di wilayah kajian pada musim inibernilai 34,75 psu (Gambar 14a). Pada Musim Peralihan 1, nilai salinitas bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Salinitas minimal pada musim ini ditunjukkan dengan garis isohalin 34 psu, sedangkan salinitas maksimal berada pada garis isohalin 35,25 psu dengan rata-rata 34,75 psu. Salinitas tertinggi ditemukan pada koordinat 18oLS – 19,5oLS pada kedalaman 150 meter hingga 300 meter (Gambar 14b). Pada Musim Timur, salinitas di wilayah kajian berkisar antara 34,25 psu hingga 35,25 psu dengan rata-rata 34,75 psu. Nilai salinitas pada musim ini bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan hasil visualisasi terlihat bahwa adanya salinitas bernilai tinggi dari Samudera Hindia masuk ke wilayah kajian pada kedalaman 150 – 320 meter dengan garis isohalin 35,25 psu. Nilai salinitas yang masuk ini semakin meningkat hingga Musim Peralihan 2. Pada Musim Peralihan nilai salinitas yang berasal dari Samudera Hindia dan masuk ke wilayah kajian memiliki garis isohalin 35,5 psu dan berada pada kedalaman 200 – 250 meter. Sebaran vertikal salinitas pada Musim Peralihan 2 di stasiun yang berada di lepas pantai memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang mendekati daratan. Hal ini terlihat dari hasil visualisasi yang menunjukkan bahwa garis isohalin di lintang 9,5oLS – 15oLS berkisar antara 34,5 psu, sedangkan garis isohalin di lintang 16oLS – 19oLS berkisar antara 34,75 psu.
37
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 5. Sebaran Salinitas Vertikal di Perpotongan 112,5oBT pada (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
38
b. Salinitas Perpotongan Lintang 12,5 LS Sebaran salinitas vertikal berdasarkan perpotongan pada lintang 12,5oLS menunjukkan salinitas bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berbeda dengan perpotongan bujur, dengan menggunakan perpotongan lintang sebaran vertikal salinitas lebih terlihat homogen meskipun masih terlihat adanya variasi. Pada Musim Barat besaran salinitas berkisar antara 34,5 psu hingga 34,75 psu dengan ratarata 34,62 psu. Pada lapisan permukaan hingga kedalaman berkisar 75 meter salinitas berada pada garis isohalin 34,5 psu dengan kedalaman yang bertambah ke arah timur. Hal ini menunjukkan bahwa salinitas lebih rendah berada pada wilayah timur perairan. Anggriandika (2012) menyatakan bahwa pola sebaran salinitas ini konsisten terjadi pada Musim Barat, dimana massa air salinitas tinggi terlihat semakin tenggelam pada wilayah timur perairan. Pada Musim Peralihan 1, besaran salinitas berkisar antara 34,25 psu hingga 34,75 psu dengan rata-rata 34,5 psu. Besaran salinitas ini bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada koordinat 100,5oBT – 108,5oBT salinitas pada lapisan permukaan hingga kedalaman 30 meter berada pada isohalin 34,25 psu sedangkan wilayah lain berada pada garis isohalin 34,5 psu dan mencapai kedalaman 100 meter. Kemudian di kedalaman 100 meter hingga 400 meter disisi barat terlihat adanya instrusi massa air yang masuk wilayah kajian dengan ditandai garis isohalin 34,75 psu. Pada Musim Timur, besaran salinitas berkisar antara 34,25 psu hingga 34,75 psu dengan rata-rata 34,5 psu. Sebaran salinitas pada musim ini terlihat lebih merata dan besarannya bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Lapisan permukaan hingga kedalaman berkisar antara 75 meter ditemukan garis isohalin 34,25 psu. Pada kedalaman 150 meter hingga 470 meter disisi barat wilayah kajian terlihat adanya instrusi massa air yang masuk dengan ditandai garis isohalin 34,75 psu namun dengan luasan yang lebih sempit daripada Musim Peralihan 1.
39
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 6. Sebaran Suhu Vertikal di Perpotongan 12,5oLS pada (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
40
Pada Musim Peralihan 2, besaran salinitas berkisar antara 34,5 psu hingga 34,75 psu dengan rata-rata 34,62 psu. Garis isohalin 34,5 psu ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 100 meter. Selain itu pada lapisan yang lebih dalam yaitu pada 250 meter ditemukan salinitas dengan garis isohalin 34,75 psu hingga mencapai kedalaman 350 meter disisi barat wilayah kajian. 4.1.3 Sebaran Oksigen Terlarut Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal ini merupakan sebaran suhu pada lapisan permukaan. Sebaran vertikal diambil berdasarkan perpotongan bujur 112,5oBT dan perpotongan lintang 12,5oLS. Perpotongan bujur dan lintang ini dipilih berdasarkan data sebaran Tuna. 4.1.3.1 Sebaran Horisontal Hasil pengukuran oksigen terlarut secara horisontal di lapisan permukaan pada tahun 1980-2010 yang dirata-ratakan setiap musim memiliki nilai berkisar antara 4,2 ml/l – 4,7 ml/l dengan rata-rata 4,45 ml/l (Gambar 17). Secara keseluruhan, sebaran oksigen pada wilayah yang mendekati daratan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lepas pantai. Hal ini diduga karena wilayah mendekati daratan lebih banyak mendapat masukan bahan-bahan organik dibandingkan dengan daerah lepas pantai. Ulqodry et al. (2010) menyatakan bahwa rendahnya kandungan oksigen di suatu perairan salah satunya disebabkan karena masuknya bahan-bahan organik yang masuk ke perairan tersebut sehingga memerlukan banyak oksigen untuk menguraikannya. Pada Musim Barat, sebaran oksigen terlarut di Samudera Hindia bagian timur memiliki nilai berkisar antara 4,4 ml/l hingga 4,7 ml/l dengan rata-rata 4,55 ml/l dan nilai oksigen ini bertambah ke arah lepas pantai. Kandungan oksigen tertinggi pada musim ini ditemukan pada koordinat 100,5 BT – 19,5 LS dengan nilai 4,71 ml/l.
41
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 7. Sebaran Oksigen Horisontal (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
42
Pada Musim Peralihan 1, nilai oksigen terlarut pada wilayah kajian berkisar antara 4,2 ml/l hingga 4,6 ml/l dengan rata-rata 4,4 ml/l. Oksigen terendah ditemukan di daerah pantai selatan Jawa Timur dan Bali yaitu berkisar 4,2 ml/l. Hal ini diduga karena pada daerah tersebut banyak terdapat kegiatan yang menghasilkan limbah organik sehingga menyebabkan mikroorganisme membutuhkan oksigen lebih banyak untuk menguraikan zat organik tersebut. Pada Musim Timur dan Musim Peralihan 2, sebaran oksigen di Samudera Hindia bagian timur mengalami kenaikan di bandingkan dengan Musim Barat dan Musim Peralihan 1. Hal ini ditunjukkan dengan sebaran oksigen dengan nilai yang lebih tinggi tersebar lebih luas dibandingkan dua musim sebelumnya. Kisaran nilai oksigen pada Musim Timur berkisar antara 4,5 ml/l hingga 4,8 ml/l dengan rata-rata 4,65 ml/l. Luasan sebaran oksigen dengan nilai yang cukup tinggi ini terus berlangsung hingga Musim Peralihan 2. Pada Musim Peralihan 2, kisaran oksigen bernilai antara 4,4 ml/l hingga 4,8 ml/l dengan rata-rata 4,6 ml/l. Hal ini diduga karena pada kedua musim ini yaitu Musim Timur dan Musim Peralihan 2 terindikasi fenomena upwelling yang menyebabkan nutrien di lapisan dalam muncul ke permukaan dan menyebabkan lapisan permukaan kaya akan nutrien sehingga banyak terdapat fitoplankton yang kemudian melakukan proses fotosintesis dan menyebabkan kandungan oksigen pada saat itu meningkat. Simanjutak dan Kamlasi (2012) menyatakan bahwa sumber utama oksigen dalam air laut adalah udara melalui proses difusi dan proses fotosintesis fitoplankton. 4.1.3.2 Sebaran Vertikal a. Oksigen Perpotongan Bujur 112,5 BT Sebaran vertikal oksigen terlarut dengan perpotongan bujur 112,5 BT pada setiap musimnya menunjukkan bahwa nilai oksigen terlarut semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 17). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di beberapa perairan Indonesia yang menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut
43
berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman, seperti pada penelitian Simanjuntak dan Kamlasi (2012) di perairan Lamelera, Nusa Tenggara Timur. Selain itu, turunnya kadar oksigen terlarut disuatu perairan disebabkan tingginya suhu, dan salinitas serta terjadinya proses penguraian senyawa organik menjadi senyawa anorganik serta bertambahnya kedalaman laut (Simanjuntak dan Kamlasi 2012). Pada lapisan dalam juga terlihat bahwa kandungan oksigen pada stasiun yang mendekati daratan lebih rendah dibandingkan stasiun di daerah lepas pantai. Berdasarkan hasil visualisasi setiap musim terlihat bahwa terdapat kandungan oksigen dengan nilai yang relatif tinggi pada kedalaman diatas 300 meter pada kisaran lintang 16-19,5oLS. Hal ini diduga disebabkan karena adanya proses remineralisasi yang menghasilkan oksigen yang terjadi di Samudera Hindia dan masuk ke wilayah kajian akibat adanya arus dalam. Pada Musim Barat, besaran kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2 ml/l hingga 4,5 ml/l. Kandungan oksigen di Samudera Hindia bagian timur ini relatif rendah dibandingkan dengan kandungan oksigen pada perairan umumnya yang berkisar antara 5,7-8,5 ml/l (Sidabutar dan Edward 1994 dalam Ulqodry et al. 2010). Hal ini diduga disebabkan karena penghasil oksigen di Samudera Hindia bagian timur lebih sedikit dibandingkan perairan lain. Pada Musim Peralihan 1, kisaran oksigen terlarut pada lapisan permukaan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan lapisan dalam. Kandungan oksigen terlarut pada musim ini berkisar antara 1,5 ml/l – 4,5 ml/l dengan rata-rata 3 ml/l. Pada musim ini terlihat adanya oksigen bernilai antar 4ml/l – 4,5ml/l yang masuk dari arah Samudera Hindia ke wilayah kajian pada kedalaman antara 300-500 meter. Pada Musim Timur, oksigen terlarut di wilayah kajian bernilai antara 2 ml/l hingga 4,5 ml/l dengan rata-rata 3,25 ml/l dan kandungan oksigen terlarut ini menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sama seperti musim sebelumnya, pada musim ini juga ditemukan oksigen yang bernilai tinggi pada lintang 16,5 – 19,5oLS namun kandungan oksigen ini ditemukan pada kedalaman 250 meter hingga
44
500 meter. Kandungan oksigen telarut dengan nilai yang cukup tinggi pada lapisan dalam ini mencapai puncaknya pada Musim Peralihan 2.
(a)
(b)
(c)
(d)
45
Gambar 8. Sebaran Oksigen Vertikal di Perpotongan 112,5oBT pada (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2 Pada musim Peralihan 2 kandungan oksigen berkisar antara 2 ml/l hingga 5 ml/l dengan rata-rata 3,5 ml/l dan nilai 5 ml/l ditemukan pada kedalaman 400 – 450 meter. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan lapisan permukaan yang hanya bernilai 4,5 ml/l. Hal ini diduga disebabkan karena adanya aktivitas downwelling di perairan Samudera Hindia dan masuk ke wilayah kajian akibat adanya arus dalam. Kemudian kandungan oksigen tinggi dilapisan dalam ini kembali berkurang pada Musim Barat hingga Musim Peralihan 1. b. Oksigen Perpotongan Lintang 12,5oLS Sebaran menunjukkan
oksigen kandungan
vertikal oksigen
berdasarkan berkurang
perpotongan seiring
lintang
dengan
12,5oLS
bertambahnya
kedalaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ulqodry et al. (2010) yang menjelaskan bahwa lapisan dasar cenderung memiliki nilai oksigen yang lebih rendah dibandingkan
dengan
lapisan
permukaan
yang diakibatkan
karena
proses
dekomposisi bahan organik yang membutuhkan oksigen lebih tinggi di lapisan dasar. Pada Musim Barat, lapisan permukaan hingga kedalaman 50 meter memiliki kandungan oksigen berkisar antara 4,5 ml/l dan semakin menurun seiring bertambahnya kedalaman hingga mencapai 2,5 ml/l di kedalaman 500 meter. Pada Musim Peralihan 1, kandungan oksigen terlarut pada wilayah kajian terlihat lebih rendah dibandingkan dengan Musim Barat. Hal ini dapat terlihat dari ditemukannya oksigen terlarut dengan nilai 2,5 ml/l sejak kedalaman 200 meter dan hampir merata hingga kedalaman 500 meter. Kisaran oksigen terlarut pada Musim Peralihan 1 berkisar antara 2,5 ml/l hingga 4,5 ml/l dengan rata-rata 3,5 ml/l.
46
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 9. Sebaran Oksigen Vertikal di Perpotongan 12,5oLS pada (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2
47
Pada Musim Timur, lapisan permukaan hingga kedalaman 75 meter memiliki kandungan oksigen berkisar antara 4 ml/l, namun pada kisaran bujur 115,5 – 119,5oBT ditemukan kandungan oksigen bernilai 4,5 ml/l yang berada pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter. Hal ini diduga disebabkan karena pada daerah tersebut banyak ditemukan fitoplankton sehingga menghasilkan banyak oksigen dari hasil fotosintesisnya. Pada Musim Peralihan 2, kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2,5 ml/l hingga 4,5 ml/l dengan rata-rata 3,5 ml/l. Lapisan permukaan hingga kedalaman 50 meter kandungan oksigen terlarut bernilai 4,5 ml/l dan nilai ini berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada bujur 117,5 BT ditemukan kandungan oksigen dengan nilai 2,5 ml/l pada kedalaman 250 meter dan kandungan oksigen ini homogen hingga kedalaman 500 meter. Berbeda dengan wilayah lain, kandungan oksigen terlarut bernilai 2,5 ml/l baru ditemukan pada kedalaman 400 – 500 meter. 4.1.4 Diagram TS a. Musim Barat Diagram T-S pada Musim Barat di perairan Samudera Hindia bagian Timur menunjukkan adanya temperatur 18oC-27oC yang terindentifikasi sebagai massa air Subtropical Lower Water (SLW) Samudera Hindia yang mempunyai karakteristik Smaksimum dengan salinitas 34,0 – 34,6psu dan suhu 16-27oC. Massa air Subtropical Lower Water berasal dari lautan India bagian tengah dan barat laut pada kedalaman 75 m dan menyebar bersama Arus Khatulistiwa Selatan ke arah timur dan tenggelam sampai kedalaman 100-125 m di perairan barat daya sumatera dan di selatan Jawa massa air ini ditemukan pada kedalaman 125-150 m (Wyrtki 1961). Dibawah massa air SLW di temukkan massa air Northern Salinity Minimum (NSM) dan Southern Salinity Minimum (SSM) yang keduanya memiliki karakteristik S-minimum dengan suhu 16-19oC untuk NSM dan 12-17oC untuk SSM, sedangkan nilai salinitas berkisar antara 34,8-35 psu untuk NSM dan 34,5-34,8 psu untuk SSM. Di bawah massa air NSM ditemukan pula massa air Banda Sea Water (BSW) yang
48
memiliki karakteristik S-minimum yaitu 34,5-34,9 psu dan suhu 4,5-6oC. Massa air BSW ditemukan dibagian timur Samudera Hindia pada kedalaman 900 meter dan masuk ke dalam Samudera Hindia timur laut melalui perairan timur kepulauan Indonesia yaitu Laut Timor dan Selat Omai (Wyrkti 1961).
SLW
l w
NSM SSM
BSW
Gambar 10. Diagram Temperatur–Salinitas di Perairan Samudera Hindia Bagian Timur pada Musim Barat. SLW (Subtropical Lower Water), NSM (Northern Salinity Minimum), SSM (Southern Salinity Minimum), dan BSW (Banda Sea Water)
b. Musim Peralihan 1 Pada Musim Peralihan 1 sebaran salinitas dan temperatur pada Gambar 17 menunjukkan adanya suhu antara 20-27oC dengan salinitas 34-34,6 psu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat massa air SLW (Subtropical Lower Water) yang memiliki karakteristik S-maksimum yaitu 34-34,6 psu dan suhu 16-27oC (Wyrkti 1961). Selain itu, pada kolom yang sama ditemukan pula massa air SSM (Southern
49
Salinity Minimum) yang memiliki karakteristik salinitas 34,5-34,8 psu dan suhu 12oC17oC.
SLW
SSM
PGW BSW
Gambar 11. Diagram Temperatur–Salinitas di Perairan Samudera Hindia Bagian Timur pada Musim Peralihan 1. SLW (Subtropical Lower Water), SSM (Southern Salinity Minimum), PGW (Persian Gulf Water) dan BSW (Banda Sea Water) Dibawah massa air SSM ditemukan massa air Persian Gulf Water (PGW) yang mempunyai karakteristik salinitas 34,6-35 psu dan suhu 8-14oC. Massa air PGW berasal dari bagian barat Samudera Hindia pada kedalaman 150-500 meter (Wyrkti 1961). Dibawah massa air PGW ditemukan massa air BSW (Banda Sea Water) dengan karakteristik suhu 4,5-6oC dan salinitas 34,5-34,9 psu yang berada pada kolom antara 27 dan 28. c. Musim Timur Diagram T-S pada Musim Timur di Samudera Hindia bagian timur menunjukkan adanya suhu antara 17-27oC dengan salinitas 34-34,6 psu. Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik dari massa air SLW (Subtropical Lower Water) yang
50
memiliki karakteristik S-maksimum dengan salinitas 34,0 – 34,6psu dan suhu 1627oC (Wyrkti 1961). Dibawah massa air SLW ditemukan massa air dengan suhu 1718oC dan salinitas 34,8-35 psu sehingga sesuai dengan massa air NSM (Northern Salinity Minimum). Karakteristik NSM adalah S-minimum dengan suhu 16-19oC dan salinitas 34,8 – 35 psu. Massa air ini berasal dari Laut Celebes yang terbawa oleh arus Mindano (Wyrkti 1961).
SLW NSM SSM
Sigma t BSW
Gambar 12. Diagram Temperatur–Salinitas di Perairan Samudera Hindia Bagian Timur pada Musim Timur. SLW (Subtropical Lower Water), NSM (Northern Salinity Minimum), SSM (Southern Salinity Minimum), Sigma t dan BSW (Banda Sea Water) Dibawah massa air NSM ditemukan massa air SSM (Southern Salinity Minimum) dengan karakteristik S-minimum yaitu 34,5-34,8 psu, suhu 12-17oC dan kandungan oksigen 1,6-2,5 ml/L. Dibawah massa air SSM ditemukan massa air dengan suhu 6-10oC dan salintas 34,6-34,9 psu. Hal ini sesuai dengan karakter dan ciri dari massa air Sigma t 27,2 – 27,4 yaitu suhu 6-10oC dan salinitas 34.6-35.0 psu.
51
Selain itu, ditemukan pula massa air BSW (Banda Sea Water) pada kolom antara 27 dan 28 dengan karakteristik S-minimum yaitu 34,5-34,8 psu dan suhu 4,5-6oC. d. Musim Peralihan 2 Pada Musim Peralihan 2, diagram T-S dari Samudera Hindia bagian timur menunjukkan bahwa terdapat massa air dengan karakteristik suhu antara 20-27oC dan salinitas 34-34,5 psu. Karakteristik tersebut sesuai dengan karakteristik dari massa air SLW (Subtropical Lower Water) yang memiliki karakteristik S-maksimum dengan salinitas 34,0 – 34,6 psu dan suhu 16-27oC (Wyrkti 1961).
SLW NSM SSM
BSW
Gambar 13. Diagram Temperatur–Salinitas di Perairan Samudera Hindia Bagian Timur pada Musim Peralihan 2. SLW (Subtropical Lower Water), NSM (Northern Salinity Minimum), SSM (Southern Salinity Minimum) dan BSW (Banda Sea Water) Dibawah massa air SLW ditemukkan massa air dengan suhu 16-18oC dan salinitas 34,8 – 35 psu yang merupakan karakteristik dari Northern Salinity Minimum (NSM) yang berada pada kolom antara 25 dan 26. Massa air NSM memiliki karakter dan ciri suhu antara 16-19oC dan salinitas berkisar antara 34,8-35 psu. Selain itu,
52
pada kolom yang sama ditemukan pula massa air Southern Salinity Minimum (SSM) yang memiliki karakteristik S-minimum dengan suhu 12-17oC dan 34,5-34,8 psu. Dibawah massa air SSM yakni pada kolom antara 25 dan 26 ditemukan massa air dengan ciri suhu antara 4,5-6oC dan salinitas 34,5-34,7 psu yang menandakan bahwa massa air tersebut merupakan massa air BSW (Banda Sea Water) yang memiliki karakteristik berupa S-minimum yaitu 34,5-34,9 psu dan suhu 4,5-6oC. 4.2 Variabilitas Mixed Layer Depth (MLD) a. Musim Barat Sebaran lapisan MLD pada Musim Barat di perairan Samudera Hindia bagian Timur dengan menggunakan kriteria MLD ∆T = 0,5oC menunjukkan bahwa lapisan MLD berada pada kedalaman sekitar 22 – 60 dbar (1 dbar = 1,01 meter) berkisar antara 23,5 – 30oC (Gambar 23). Berdasarkan hasil visualisasi dapat dilihat bahwa pada musim ini ketebalan MLD masih dikategorikan cukup dangkal dengan suhu yang relatif hangat. Hal ini mungkin disebabkan karena pada musim ini angin muson bertiup dari barat ke timur dengan kecepatan rendah dan membawa Arus Pantai Jawa (APJ) yang mengalir sepanjang pesisir selatan Jawa dan membawa massa air yang bersuhu relatif tinggi (Panjaitan 2009). Selain itu, Wyrkti (1961) juga menjelaskan bahwa lapisan homogen (MLD) pada Musim Barat berkisar antara 0 – 100 meter. MLD dengan kriteria ∆T = 0,5oC berada pada suhu yang relatif hangat yaitu sekitar 29oC pada wilayah yang masih mendapatkan pengaruh dari daratan dan pada daerah laut lepas suhu untuk lokasi MLD semakin menurun. Hal ini diduga karena pada wilayah laut lepas angin berhembus lebih kencang dibandingkan dengan wilayah yang mendekati daratan sehingga suhu perairan menjadi lebih dingin dan menyebabkan suhu pada daerah MLD juga menjadi lebih dingin. Hasil visualisasi juga menunjukkan bahwa wilayah perairan yang mendapatkan masukan massa air dari Selat Sunda memiliki kedalaman MLD yang cukup tinggi dibandingkan wilayah lainnya yaitu 60 dbar. Wyrkti (1961) juga menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi variasi MLD adalah pergerakan massa air. Selain itu, wilayah yang
53
berada di laut lepas juga memiliki kedalaman yang lebih tinggi dibandingkan wilayah yang mendekati daratan. Hal ini mungkin diakibatkan karena adanya pengaruh dari angin lokal yang berpengaruh terhadap kekuatan proses mixing pada lapisan MLD.
(a)
(b)
Gambar 14. Sebaran MLD ∆T 0,5oC pada Musim Barat berdasarkan (a) suhu dan (b) kedalaman
54
b. Musim Peralihan 1 Pada Musim Peralihan 1, sebaran lapisan MLD kriteria ∆T 0,5oC di Samudera Hindia bagian Timur memiliki kedalaman yang lebih dalam di bandingkan pada Musim Barat. Kisaran kedalaman MLD di musim ini berkisar antara 40 hingga 60 dbar (1 dbar = 1,01 meter). Kedalaman MLD pada stasiun yang mendekati pantai memiliki nilai yang lebih dangkal dibandingkan dengan stasiun di laut lepas. Hal ini mungkin terjadi karena angin yang berhembus di laut lepas memiliki kekuatan yang lebih besar di bandingkan dengan di dekat pantai sehingga proses mixing semakin kuat dan merambah ke lapisan dalam sehingga mengakibatkan lapisan MLD menjadi semakin tebal atau dalam. Harsono (2010) juga menjelaskan bahwa semakin besar energi pembangkitnya maka proses mixing-nya juga semakin merambah ke lapisan yang lebih dalam atau dengan kata lain ketebalan mixed layer ini menjadi lebih besar. Suhu MLD pada musim ini berada pada kisaran suhu yang relatif hangat. terutama di perairan selatan Jawa dan sekitarnya yaitu berkisar antara 28,5 – 29,5oC. Hal ini diduga karena masih ada pengaruh dari Musim Barat yang membawa massa air APJ yang cukup hangat sehingga menyebabkan MLD musim ini berada pada suhu yang relatif hangat pula. Selain itu, suhu MLD pada stasiun yang mendekati daratan memiliki suhu yang lebih tinggi di bandingkan dengan stasiun yang berada di laut lepas. Hal ini terlihat dari hasil visualisasi yang menunjukkan bahwa suhu MLD di stasiun yang mendekati pantai memiliki kisaran suhu antara 28,5 – 29,5oC, sedangkan pada stasiun yang berada di laut lepas kisaran suhunya berkisar antara 25 – 28oC. Hal ini diduga disebabkan karena panas matahari di laut lepas lebih tersebar hingga perairan yang lebih dalam di bandingkan dengan daerah dekat pantai yang kedalaman perairannya cukup dangkal.
55
(a)
(b)
Gambar 15. Sebaran MLD ∆T 0,5oC pada Musim Peralihan 1 berdasarkan (a) suhu dan (b) kedalaman c. Musim Timur Sebaran lapisan MLD kriteria ∆T 0,5oC pada Musim Timur di Samudera Hindia bagian Timur memiliki kedalaman yang lebih dalam di bandingkan dengan dua musim sebelumnya, namun dengan suhu yang lebih rendah. Kisaran kedalaman MLD pada musim ini berkisar antara 60 hingga 100 dbar. Namun, pada perairan
56
sekitar selatan Jawa Timur dan Sumbawa kedalaman MLD hanya 40 dbar atau berkisar antara 40,79 meter (Gambar 25).
(a)
(b)
Gambar 16. Sebaran MLD ∆T 0,5oC pada Musim Timur berdasarkan (a) kedalaman dan (b) suhu Suhu di lapisan MLD pada musim ini memiliki nilai yang cukup rendah dibandingkan dengan dua musim sebelumnya yaitu berkisar antara 23 – 28oC (Gambar 25b). Rendahnya suhu lapisan MLD pada musim ini diduga disebabkan karena adanya pengaruh upwelling yang intensif terjadi di perairan ini. Menurut
57
Nontji (1993) dalam Panjaitan (2009) pada periode musim timur di perairan Samudera Hindia berhembus Angin Muson Tenggara yang membuat Arus Katulistiwa Selatan (AKS) semakin berkembang di sepanjang pantai Selatan Jawa. AKS yang bergerak di sepanjang pantai Selatan Jawa mendorong massa air di perairan tersebut ke arah barat daya, sehingga terjadi kekosongan dan kekosongan ini diisi oleh massa air yang berasal dari lapisan yang lebih dalam atau yang lebih dikenal dengan peristiwa upwelling. Massa air yang dibawa dari lapisan dalam ini memiliki suhu yang relatif dingin. Akibat dari berhembusnya Angin Muson Tenggara yang memiliki kekuatan yang cukup tinggi pada musim ini, berpengaruh terhadap proses turbulensi di lapisan permukaan menjadi semakin kuat sehingga menyebabkan lapisan MLD pada musim ini memiliki kedalaman yang cukup dalam (Gambar 25a). d. Musim Peralihan 2 Pada Musim Peralihan 2, sebaran MLD ∆T 0,5oC di Samudera Hindia bagian Timur memiliki variasi kedalaman dan suhu yang cukup beragam. Berdasarkan hasil visualisasi kedalaman lapisan MLD pada musim ini memiliki nilai yang lebih dangkal dibandingkan dengan Musim Timur dan semakin dangkal hingga Musim Barat. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan MLD dipengaruhi oleh keadaan musiman. Wyrtki (1961) juga menjelaskan bahwa variasi MLD diakibatkan oleh adanya pergerakan massa air dan pergantian angin musim. Kedalaman MLD pada musim ini berkisar antara 20 dbar hingga 80 dbar dengan suhu berkisar antara 23oC hingga 29oC. Pada perairan disekitar selatan Jawa Timur terlihat adanya lapisan MLD dengan kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan wilayah lain yaitu hanya 20 dbar atau 20,39 meter dan memiliki suhu 27,5oC. Hal ini mungkin terjadi akibat adanya kenaikan massa air (upwelling) pada daerah tersebut yang menyebabkan naiknya lapisan termoklin sehingga lapisan diatasnya yaitu MLD menjadi semakin tipis.
58
(a)
(b)
Gambar 17. Sebaran MLD ∆T 0,5oC pada Musim Peralihan 2 berdasarkan (a) kedalaman dan (b) suhu 4.3 Hubungan MLD dengan Indian Ocean Dipole (IOD) Indian Ocean Dipole (IOD) dapat ditentukan berdasarkan dipole mode indeks (DMI). Setelah dilakukan ploting grafik hubungan antara kedalaman MLD dengan DMI serta suhu MLD dengan DMI didapatkan pola seperti pada Gambar 27 dan Gambar 28. Grafik ini hanya menggambarkan pola IOD musiman pada tahun 2001 – 2009 sehingga pola IOD dapat berubah apabila dilakukan terhadap rerata musiman di
59
tahun yang berbeda. Hal ini disebabkan karena IOD tidak terjadi setiap tahun. Berdasarkan grafik hubungan kedalaman MLD dan pola IOD (Gambar 27) terlihat bahwa pada Musim Barat hingga Musim Timur semakin tinggi nilai IOD maka semakin tinggi pula kedalaman MLD pada musim tersebut. Hal ini berbeda dengan hubungan kedalaman MLD dan IOD pada Musim Peralihan 2. Pada musim ini pola IOD berada pada titik tertinggi, namun tidak sebanding dengan kedalaman MLD. Kedalaman MLD pada Musim Peralihan 2 memiliki nilai rata-rata 51,9 dbar atau 52,9 meter sedangkan pola IOD berada pada nilai tertinggi yaitu 0,14. Nilai terendah baik pada kedalaman MLD maupun pola IOD berada pada Musim Barat. Pada musim ini kedalaman MLD memiliki nilai rata-rata 36,6 dbar atau 37,3 meter dan pola IOD memiliki nilai rata-rata -0,07.
Grafik Kedalaman MLD dan DMI 80
0,2
70
0,15
60 0,1
50 40 30
0,05
Kedalaman MLD
0
IOD
20 -0,05
10 0
-0,1 Barat
Peralihan 1
Timur
Peralihan 2
Gambar 18. Grafik Kedalaman MLD dan DMI Berdasarkan grafik suhu MLD dan pola IOD (Gambar 28) terlihat pola yang berbanding terbalik dibandingkan dengan grafik kedalaman MLD dan pola IOD (Gambar 27). Pada Gambar 28 terlihat bahwa semakin rendah suhu MLD justru menyebabkan pola IOD meningkat. Hal ini diduga terjadi karena pada saat DM (+) suhu permukaan laut menjadi menurun (Saji et al. 1999). Berbeda dengan musim
60
lainnya, pada Musim Barat menuju Musim Peralihan 1 terlihat bahwa pola suhu MLD dan pola DMI berjalan sejajar yaitu sama-sama mengalami kenaikan. Suhu MLD pada Musim Barat memiliki nilai rata-rata 28,12oC dan meningkat pada Musim Peralihan 1 menjadi 28,47oC. Hal serupa terjadi pada pola DMI yang mengalami peningkatan pada musim tersebut, pada Musim Barat nilai DMI bernilai -0,07 dan meningkat pada Musim Peralihan 1 menjadi 0,02.
Grafik Suhu MLD dan DMI 29
0,2
28,5
0,15
28 0,1
27,5 27 26,5
0,05
Suhu MLD
0
IOD
26 -0,05
25,5 25
-0,1 Barat
Peralihan 1
Timur
Peralihan 2
Gambar 19. Grafik Suhu MLD dan DMI 4.4 Sebaran Ikan Tuna Sebaran Ikan Tuna pada setiap musim menunjukkan bahwa secara umum Ikan Tuna lebih banyak tersebar pada daerah lintang 10oLS – 15oLS dan bujur 110oBT – 115oBT atau sekitar 90 mil dari pantai (Gambar 29). Adhitya (2012) menyatakan bahwa sebaran Ikan Tuna di perairan Indonesia secara horisontal tersebar pada perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Berdasarkan hasil plot dari data suhu, salinitas dan oksigen (sub bab 4.1) terlihat bahwa kisaran suhu pada wilayah sebaran Tuna berkisar antara 26,5 – 28,5oC, salinitas berkisar antara 34,25 – 34,5 psu dan oksigen berkisar antara 4,3 – 4,5 ml/l. Kisaran ini sesuai dengan kisaran suhu dan
61
salinitas dari distribusi Ikan Tuna yaitu berkisar antara 17 - 31oC untuk suhu dengan salinitas antara 32 – 35 psu (Adhitya 2012).
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 20. Sebaran Tuna pada (a) Musim Barat, (b) Musim Peralihan 1, (c) Musim Timur dan (d) Musim Peralihan 2 Pada Gambar 29 dapat dilihat bahwa penyebaran Ikan Tuna yang lebih luas terlihat pada Musim Timur yakni berada pada lintang 10oLS – 18oLS dan bujur 105oBT – 119oBT, sedangkan pada Musim Peralihan 1 sebaran Ikan Tuna lebih sempit dibandingkan musim lainnya yaitu pada lintang 11oLS - 16oLS dan bujur 105oBT - 117oBT . Pada Musim Barat sebaran Ikan Tuna berada pada lintang 10oLS – 15oLS dan bujur 105oBT – 120oBT sedangkan, Musim Peralihan 2 sebaran Ikan Tuna berada pada lintang 10oLS – 18oLS dan bujur 106oBT – 118oBT. Sebaran Ikan Tuna lebih banyak tersebar pada musim Timur diduga disebabkan karena pada Musim Timur perairan Samudera Hindia bagian timur
62
diidentifikasikan terjadi fenomena upwelling dan menyebabkan perairan menjadi lebih subur dibandingkan dengan musim lainnya (Wyrkti 1961; Silalahi 2013). Upwelling sendiri merupakan proses terangkatnya massa air dalam yang kaya permukaan ke lapisan permukaan (Anggriandika 2011). Ilahude dan Nontji (1990) juga menyatakan bahwa upwelling umumnya menurunkan suhu, menaikan nilai salinitas, oksigen dan juga berbagai unsur hara atau nutrien di tempat terjadinya upwelling. Faizah (2010) juga menyatakan bahwa Ikan Tuna dewasa ditemukan di Samudera Hindia bagian timur pada bulan April hingga September.
Hasil Tangkapan Tuna Jumlah Tangkapan (ekor)
25000 20000 15000 10000 5000 0 Barat
Peralihan 1
Timur
Peralihan 2
Musim
Gambar 21. Grafik Hasil Tangkapan Tuna Setiap Musim Hasil tangkapan Ikan Tuna setiap musim menunjukkan nilai yang sesuai dengan luasan sebaran Ikan Tuna. Semakin luas sebaran Ikan Tuna menghasilkan hasil tangkapan lebih banyak pada musim tersebut. Berdasarkan data penangkapan dari Loka Penelitian Tuna Badan Litbang KP Benoa Bali pada tahun 1997 dan 1999 dapat dilihat bahwa pada Musim Timur jumlah tangkapan yang dihasilkan mencapai 23.162 ekor, sedangkan pada Musim Peralihan 1 jumlah tangkapan hanya berjumlah
63
12.873 ekor (Gambar 30). Hasil tangkapan pada Musim Barat berjumlah 14.421 ekor dan pada Musim Peralihan 2 berjumlah 19.170 ekor. Hasil tangkapan Ikan Tuna ini selain dipengaruhi oleh keadaan musiman, juga dipengaruhi oleh jumlah armada kapal penangkapan dan alat tangkap yang digunakan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah penangkapan Tuna setiap tahun yang didapatkan dari data dari statistik perikanan tangkap Indonesia (Gambar 31). Pada tahun 2007 jumlah alat tangkap rawai Tuna (Longline Tuna) (Lampiran 1) di Selatan Jawa berjumlah 426 unit dengan jumlah armada kapal 3.680 buah dan menghasilkan jumlah tangkapan Tuna sebanyak 10.157 ton, sedangkan pada data statistik perikanan tangkap Indonesia tahun 2008 jumlah alat tangkap rawai Tuna di Selatan Jawa hanya berjumlah 291 dengan jumlah armada kapal 4.566 buah dan menghasilkan jumlah tangkapan Tuna yang lebih sedikit pula yaitu sebanyak 8.283 ton (Gambar 31).
Hasil Tangkapan Tuna Tiap Tahun Jumlah Tangkapan (ton)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2000
2001
2002
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 22. Grafik Hasil Tangkapan Tuna Setiap Tahun Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa komposisi hasil tangkapan Ikan Tuna setiap musimnya, dapat dilihat bahwa Ikan Tuna jenis Big Eye dan Yellow Fin lebih banyak tersebar di perairan Samudera Hindia bagian Timur dibandingkan dengan
64
jenis Albacor dan Bluefin Tuna (Gambar 32). Jumlah ini diduga disebabkan karena Ikan Tuna jenis Big Eye dan Yellow Fin menyukai hidup di lapisan atas termoklin atau biasa disebut dengan MLD sehingga alat pancing seperti Longline Tuna dapat mencapai kedalaman tersebut. Faizah (2010) menyatakan bahwa Ikan Tuna jenis Big Eye bersifat epipelagik, mesopelagik dan berada pada permukaan sampai kedalaman 250 meter. Hasil tangkapan Ikan Tuna jenis Bluefin Tuna memiliki jumlah paling sedikit dibandingkan dengan jenis lainnya yaitu hanya berkisar antara 30 sampai 40 ekor setiap musimnya. Hal ini diduga disebabkan karena Ikan Tuna jenis Bluefin Tuna lebih banyak tersebar di belahan bumi bagian selatan sehingga ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia (Adhitya 2012).
Hasil Tangkapan Tiap Jenis Tuna Jumlah Tangkapan (ekor)
16000 14000 12000 10000 Big Eye
8000 6000
Albacor
4000
Bluefin
2000
Yellowfin
0 Barat
Peralihan 1
Timur
Peralihan 2
Musim
Gambar 23. Grafik Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Tuna Setiap Musim 4.5 Hubungan Variabilitas MLD dengan Tuna 4.5.1 Hubungan Variabilitas MLD dengan Hasil Tangkapan Tuna Setelah dilakukan ploting grafik hubungan antara kedalaman MLD dengan hasil tangkapan Tuna serta suhu MLD dengan hasil tangkapan Tuna, maka dihasilkan gambar grafik seperti dalam Gambar 33 dan Gambar 34. Pengujian korelasi hubungan antara kedalaman MLD dengan hasil tangkapan Tuna menghasilkan nilai
65
koefisien korelasi Pearson sebesar 0,891. Berdasarkan nilai koefisien korelasi Pearson ini menunjukkan bahwa antara kedalaman MLD dan hasil tangkapan Tuna memiliki nilai korelasi linier positif yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dalam lapisan MLD maka semakin banyak pula hasil tangkapan Tuna. Berdasakan grafik, kedalaman rata-rata MLD tertinggi berada pada musim Timur dengan jumlah tangkapan yang tinggi pula. Kedalaman rata-rata MLD pada Musim Timur bernilai 73,18 dbar atau 74,64 meter dan hasil tangkapan Tuna yang didapatkan berjumlah 23.162 ekor. Kedalaman MLD terendah berada pada Musim Barat yang memiliki nilai rata-rata sebesar 36,66 dbar atau 37,39 meter, namun hasil tangkapan Tuna terendah justru berada pada Musim Peralihan 1 yang berjumlah 12.873 ekor. Hal ini mungkin saja terjadi karena hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah kapal dan alat tangkap yang digunakan.
Tangkapan Tuna (ekor)
Korelasi Kedalaman MLD dengan Hasil Tangkapan Tuna 25000
4
20000
y = 269,9x + 3368, R² = 0,794
3
1
15000
Pearson : 0,891 2
10000 5000 0 0
20
40
60
80
Ket : 1 : Barat 2. Peralihan 1 3. Timur 4. Peralihan 2
Kedalaman MLD (dbar)
Gambar 24. Grafik Korelasi antara Kedalaman MLD dan Tangkapan Tuna Hasil sebaliknya terlihat pada grafik hubungan antara suhu MLD dan hasil tangkapan Tuna yang memiliki grafik berbanding terbalik. Pada Gambar 34 terlihat bahwa semakin rendah suhu MLD justru menghasilkan penangkapan Tuna yang semakin tinggi. Pengujian korelasi hubungan antara suhu MLD dengan hasil
66
penangkapan Tuna pun menghasilkan nilai koefisian korelasi Pearson yang tinggi namun dengan nilai negatif yaitu -0,927. Gambar 34 menunjukkan bahwa nilai suhu MLD yang memiliki nilai terendah berada pada Musim Timur dan menghasilkan jumlah tangkapan tertinggi pada musim yang sama. Hal ini diduga disebabkan karena pada Musim Timur perairan Selatan Jawa (bagian dari Samudera Hindia bagian timur) secara intensif mengalami upwelling yang menyebabkan suhu MLD menjadi lebih rendah dan nutrien meningkat sehingga hasil penangkapan Tuna pun meningkat. Nugraha dan Nugroho (2013) menyatakan bahwa umumnya Tuna hidup di perairan seperti pertemuan antara dua arus atau tempat terjadinya upwelling yang merupakan tempat berkumpulnya plankton. Suhu MLD tertinggi berada pada Musim Peralihan 1 yang mencapai nilai rata-rata 28,47oC namun menghasilkan tangkapan yang paling rendah yaitu 12.873 ekor. Hal ini diduga disebabkan karena kandungan oksigen terlarut pada Musim Peralihan 1 di daerah sebaran Tuna (Gambar 16b) memiliki nilai yang cukup rendah, sehingga mengakibatkan jumlah Tuna berkurang. Dahuri (2008) juga menjelaskan bahwa tiga faktor perairan laut yang sangat mempengaruhi kehidupan Ikan Tuna adalah suhu, salinitas dan oksigen terlarut (DO).
Korelasi Suhu MLD dengan Hasil Tangkapan Tuna Tangkapan Tuna (ekor)
25000
y = -4181,x + 13200 R² = 0,860
3
20000
4 15000
Pearson : -0,927
2 1
10000 5000 0 26
27
28
29
Ket : 1 : Barat 2. Peralihan 1 3. Timur 4. Peralihan 2
Suhu MLD (degree Celcius)
Gambar 25. Grafik Korelasi antara Suhu MLD dan Tangkapan Tuna
67
4.5.2 Hubungan Variabilitas MLD dengan Sebaran Tuna a Musim Barat Setelah dilakukan plotting overlay dari variabilitas MLD dengan sebaran Tuna pada Musim Barat terlihat bahwa sebaran Tuna pada musim ini berada pada kisaran kedalaman MLD 40 dbar atau 40,79 meter dengan suhu MLD yang relatif hangat yaitu berkisar 29oC (Gambar 35 dan Gambar 36). Garis merah pada peta menunjukkan batas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dimana perairan selatan Jawa berada pada WPP 573 (Lampiran 6). Berdasarkan hasil visualisasi terlihat bahwa sebaran Tuna lebih banyak berada di luar batas WPP atau berada pada daerah laut lepas. Hal ini menunjukkan bahwa penangkapan Tuna ini lebih banyak dilakukan oleh kapal-kapal besar.
Gambar 26. Overlay Kedalaman MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Barat. Shaded countour menjelaskan kedalaman MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Pada Musim Barat sebaran Tuna tersebar pada lintang 10oLS – 15oLS dan bujur 105oBT – 120oBT. Sebaran Tuna ini cukup luas meskipun dengan kedalaman MLD yang dangkal. Hal ini diduga disebabkan karena proses penangkapan dilakukan di pagi hari sehingga Tuna sedang berada di lapisan MLD untuk mencari makan.
68
Nugraha dan Nugroho (2013) juga menjelaskan bahwa pada saat matahari akan terbit Tuna berada pada lapisan di atas termoklin atau MLD. Sebaran Tuna pada Musim Barat berada pada suhu MLD yang relatif hangat yaitu berkisar antara 29oC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adhitya (2012) yang menjelaskan bahwa distribusi Tuna berada pada kisaran suhu 17 – 31oC.
Gambar 27. Overlay Suhu MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Barat. Shaded countour menjelaskan suhu MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) b. Musim Peralihan 1 Setelah dilakukan plotting pada kedalaman dan suhu MLD dengan sebaran Tuna pada Musim Peralihan 1 didapatka didapatkann hasil seperti pada Gambar 37 dan Gambar 38. Berdasarkan hasil visualisasi terlihat bahwa sebaran Tuna berada pada perairan di luar WPP RI. Hal ini terlihat dari banyaknya sebaran Tuna yang berada di luar batas garis merah yang merupakan batas WPP RI dan lebih mengarah ke Samudera Hindia. Sebaran Tuna pada musim ini berada pada lintang 11oLS - 16oLS dan bujur 105 10 oBT 117oBT.. Hasil visualisasi ini juga menunjukkan bahwa pada Musim Peralihan 1 Ikan
69
Tuna lebih banyak tersebar pada kedalaman MLD berkisar antara 50 – 60 dbar atau sekitar 51 – 61 meter.
Gambar 28. Overlay Kedalaman MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Peralihan 1. Shaded countour menjelaskan kedalaman MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Pada Musim Peralihan 1 juga terlihat bahwa sebaran Tuna berada suhu MLD ML yang relatif hangat yaitu pada kisaran 28,5 – 29oC (Gambar 37). Kisaran suhu ini sesuai dengan kisaran suhu untuk distribusi Tuna yaitu 17 – 31oC (Adhitya 2012). Sebaran Tuna pada musim ini memiliki luasan yang paling sempit dibandingkan dengan musim lainnya nnya meskipun kedalaman MLD pada musim ini bukan merupakan kedalaman MLD yang paling dangkal. Hal ini menunjukkan adanya faktor lain yang mempengaruhi sebaran Tuna selain kedalaman dan suhu MLD, salah satunya adalah oksigen. Berdasarkan Gambar 16b terlihat bahwa kandungan oksigen pada Musim Peralihan 1 memiliki nilai yang cukup rendah.
70
Gambar 29. Overlay Suhu MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Peralihan 1. Shaded countour menjelaskan suhu MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) c. Musim Timur Setelah dilakukan plotting overay pada kedalaman dan suhu MLD dengan sebaran Tuna pada Musim Timur didapatkan hasil seperti Gambar 39 dan Gambar 40. Sebaran Tuna pada musim ini berada pada lintang 10oLS – 18oLS dan bujur 105oBT – 119oBT dan daerah sebarannya lebih banyak berada pada batas luar WPP RI yang dibatasi oleh garis merah. Hasil visualisasi menunjukkan bahwa pada Musim Timur, Tuna lebih banyak tersebar pada kedalaman MLD 70 – 90 dbar atau sekitar 71,39 – 91,79 meter dengan luasan sebaran Tuna yang lebih luas dibandingkan dua musim sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dalam lapisan MLD maka semakin luas pula wilayah penyebaran Tuna.
71
Gambar 30. Overlay Kedalaman MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Timur. Shaded countour menjelaskan kedalaman MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Pada Musim Timur juga terlihat bahwa pada kisaran suhu MLD yang lebih rendah dibandingkan dua musim sebelumnya yakni berkisar antara 26,5 - 27oC, sebaran Tuna terlihat semakin banyak. Rendahnya suhu MLD pada musim ini diduga diakibatkan adanya upwelling, yang mengakibatkan suhu dingin lapisan dalam terbawa hingga lapisan MLD. Naiknya suhu dari lapisan dalam ini juga diikuti oleh naiknya unsur hara dan nutrien ke lapisan MLD, sehingga lapisan MLD menjadi subur. Hal inilah yang menyebabkan sebaran Tuna di lapisan MLD pada Musim Timur memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan musim-musim lainnya.
72
Gambar 31. Overlay Suhu MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Timur. Shaded countour menjelaskan suhu MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) d. Musim Peralihan 2 Pengolahan data overlay antara kedalaman MLD dengan sebaran Tuna serta suhu MLD dengan sebaran Tuna menghasilkan visuaslisasi seperti Gambar 41 dan Gambar 42. Sebaran Tuna lebih banyak tersebar pada daerah luar WPP RI meskipun masih ada yang berada di daerah WPP RI. Sebaran Tuna pada musim ini berada pada koordinat 10oLS – 18oLS dan 106oBT – 118oBT. Berdasarkan hasil visualisasi menunjukan bahwa pada Musim Peralihan 2, Tuna lebih banyak tersebar pada MLD dengan kedalaman 50 – 60 dbar atau 51 - 61 meter. Kedalaman MLD pada musim ini menurun dibandingkan dengan Musim Timur dan hal ini sebanding dengan luas sebaran Tuna yang juga menurun.
73
Gambar 32. Overlay Kedalaman MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Peralihan 2. Shaded countour menjelaskan kedalaman MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Pada Musim Peralihan 2 juga terlihat bahwa sebaran Tuna berada pada MLD dengan suhu berkisar antara 26 – 27oC. Kisaran suhu ini cocok untuk daerah hidup Yellowfin Tuna (Kawai 1967 dalam Abdulkadir 2010). Berdasarkan grafik hasil tangkapan Tuna (Gambar 32) terlihat bahwa Yellowfin Tuna paling banyak ditemukan pada Musim Peralihan 2. Pada musim ini terlihat bahwa sebaran Tuna juga terdapat pada suhu MLD mencapai 29oC yang berada di sekitar perairan dekat pulau Sumba. Hal ini masih mungkin terjadi karena Tuna masih dapat bertahan hidup pada perairan dengan suhu mencapai 31oC.
74
Gambar 33. Overlay Suhu MLD dengan Sebaran Tuna pada Musim Peralihan 2. Shaded countour menjelaskan suhu MLD, titik hitam menjelaskan sebaran tuna serta garis merah menandakan batas garis wilayah pengelolaan perikanan (WPP)