BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF KEBERHASILAN NEGARA INDUSTRI BARU BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI DI ASIA TENGGARA IV.1. Peran Negara Sentral Terhadap Negara Industri Baru (NICs) Mengutip pendapat Raoul Prebisch seorang ekonom politik internasional Argentina dari Economic Commision for Latin America (ECLA) yang mengatakan bahwa : ”Negara
–
negara
industrialisasinya
yang
dengan
sedang
negara
mengejar
maju
pembangunan
sebaiknya
melakukan
pembangunan industrialisasinya pada sektor substitusi impor yaitu dengan melaksanakan pemenuhan kebutuhan domestik tanpa harus mengandalkan impor”70 namun ternyata pendapat yang cukup terkenal ini pada akhirnya harus dinegasikan oleh negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur seperti: Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong dan Singapura. Di pelopori oleh Jepang yang berpendapat bahwa pembangunan yang lebih baik adalah pembangunan yang bersifat mempersiapkan industruri yang berorientasi ekspor (outward looking) karena apabila hanya mengandalkan konsep substitusi impor hanya akan mendatangkan permasalahan baru yaitu quota dan halangan tarif. Berangkat dari paradigma tersebut akhirnya Jepang memulai
melakukan pembangunanya
dengan melakukan kombinasi dua
strategi yaitu : 1. Melakukan pembenahan kepada panduan administratif (administrative guidance).
70
Ankie Hoogvelt, 1997.op.cit. hal.223.
69 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
2. Melakukan pembenahan kepada panduan industrialisasi ( industrialization guidance). Dasar alasannya sederhana, yaitu bila industrialisasi tidak didampingi oleh perbaikan kemampuan kapasitas administrasi dan institusionalisme yang baik dan transparan maka akan dipastikan rapuh. Di dalam perjalanannya Jepang melakukan misi kolonialisme ke kawasan Asia Timur dengan menduduki Taiwan dan Korea Selatan guna memenuhi kebutuhan industri dasar dan sekunder dari proses industrialisasinya sehingga menjadi negara maju yang meng-global dengan berbagai produk nasionalnya sehingga disebut sebagai negara sentral. Sedangkan Taiwan dan Korea Selatan diperlakukan sebagai negara yang dieksploitasi untuk memasok kebutuhan industrialisasi Jepang atau disebut dengan negara pinggiran. Karena hubangan antara negara sentral dengan negara pinggiran itulah maka Taiwan dan Korea Selatan pun banyak terinspirasi meniru Jepang dalam melakukan model pembangunan ekonominya. Walaupun tidak jarang pula karena sifat sentimen sebagai negara terjajah menolak akan warisan konsep dan budi baik Jepang sebagai negara penjajah. Akan tetapi fenomena yang harus diakui bersama adalah kini Taiwan dan Korea Selatan telah berhasil sejajar dengan negara sentralnya di Asia Timur dengan kapitalisasi ekonomi dan rangkaian produk hasil industrinya yang sejajar dengan negara sentral bahkan mengunggulinya. Tahapan besar tersebut di atas jelas merupakan ”benang merah” dari hakekat tujuan teori internasional dependensi yaitu dalam entitas sebuah bangsa pinggiran memerlukan interdependensi dengan tatanan institusi internasional (sekalipun dengan negara sentral) seperti : pemilihan kebijakan yang memihak kepentingan negara, peran institusi dan kemauan politik dari kepemimpinan yang kuat, kriteria tersebut di operasionalisasikan oleh Taiwan dan Korea Selatan melalui
melalui
tahapan
penting
yang
oleh
Theotonio
dikategorisasikan ke dalam tiga tahapan penting :
70 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Dos
Santos
Pertama, tahapan kolonial, dimana Taiwan dan Korea Selatan diekspoitasi pada produk agro industri dan peralatan perang untuk kepentingan industri dan misi ekspansif negara sentral Jepang Kedua, tahapan kapital, sosial dan politik dimana negara sentral Jepang mulai menyadari bahwa eksploitasi negara pinggiran (Taiwan dan Korea Selatan) tidak bisa maksimal bila diperlakukan secara eksploitasi pasip dari sisi sumber daya alam saja tetapi harus dijadikan mitra sejajar yang memiliki hak untuk saling memacu untuk menjadi negara maju. Gambaran umum tentang tahapan ini selaras dengan konsep negara pembangunan yang menekankan kepada lima elemen kunci yaitu pola kepemimpinan yang kuat, hubungan antara sektor publik dengan pihak swasta, adanya investasi langsung (FDI:Foreign Direct Investment), adanya payung keamanan dari Amerika Serikat dan Jepang dan penundaan masa kegembiraan (Deferred Gratification) yaitu dengan digelorakannya Martial Law di Korea Selatan dan Emergency Degree di Taiwan, oleh para pemimpin sentralnya71. Pada tahap ini terjadi tahapan kompromi kepentingan antara kepentingan negara pinggiran dan kepentingan negara sentral, yang pada akhirnya dimulailah tahapan-tahapan pembangunan negara pinggiran melalui aliansi internasional sehingga melahirkan pembagian tata kelola kerja internasional (International Division of Labour) berupa : 1. Investasi melalui paket investasi langsung modal asing (FDI:Foreign Direct Investment) yang dikucurkan untuk pembangunan ekonomi Taiwan dan Korea Selatan. Kebijakan ini dilakukan dengan perhitungan kalkulasi bisnis berupa : - Industrialisasi di dalam negeri Jepang akan mengakibatkan biaya tinggi karena mahalnya lahan sebagai dampak dari terbatasnya tanah, mahalnya biaya buruh, terbatasnya distribusi barang, serta mahalnya biaya transportasi untuk mencapai pasar. 71
Syamsul Hadi, 2005.Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto:Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia.hal.34. Jakarta:Pelangi Cendikia
71 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
- Tingkatan industri yang ada di dalam negeri Jepang sudah harus diperbaharui dengan teknologi yang lebih maju, untuk itu mesin lama yang masih memiliki nilai ekonomis harus direlokasi ke negara pinggiran. - Negera sentral
Jepang akan fokus kepada industri yang lebih
modern sehingga industri yang ada harus direlokasi ke negara pinggiran. 2. Penataan sistem moneter melalui : - kebijakan sistem nilai tukar mata uang. - pembentukan pasar modal, pasar sekunder serta intensifikasi pasar uang dengan membentuk pasar uang resmi dengan tujuan agar dapat memantau pergerakan tingkat bunga dan menjembatani penyaluran dana-dana pasar uang swasta yang tidak terorganisir kepada pihak swasta secara berlebihan serta diberlakukannya liberalisasi tingkat bunga. 3. Peningkatan
kemampuan
administrasi
dan
sumberdaya
manusia:
Bekerja sama dengan negara pinggiran (Taiwan dan Korea Selatan) sebagai negara terjajah untuk mendirikan berbagai pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Sehingga Taiwan dan Korea Selatan berhasil meningkatkan perbaikan kualitas tenaga kerjanya dibarengi dengan pembenahan pelayanan industri yang terintegrasi. 4. Penataan kepastian dan supremasi hukum. Belum adanaya kerangka dan institusi penegakan hukum berdampak pada ketidaktertiban penyelenggaraan bernegara mengakibatkan terganggunya pembangunan ekonomi, untuk itu diterapkan hukumhukum produk kolonial.
72 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Ketiga, ketergantungan teknologi industri : Terdapat perbedaan antara Taiwan dan Korea Selatan di dalam melakukan strategi industrialisasinya sehingga dapat mengejar kesetaraan dengan negara sentral. Taiwan memilih menerapkan pola perubahan struktur industrinya dimana setelah dipercaya sebagai pemasok gula dan beras untuk negara sentral Jepang, Taiwan juga melakukan berbagai peningkatan industri pertanian melalui konsep “Three Pin” dari mulai peningkatan kualitas (pinzi) produk ,diversifikasi varitas (zhongpin) produk hingga memperkuat merek (pinpai) produk agro-bisnis, setelah memiliki kecukupan dalam ketahanan pangan maka starategi berikutnya ditujukan untuk pencapaian laju pertumbuhan berkelanjutan yang bertumpu pada industri yang berorientasi ekspor (export-led growth) melalui peningkatan produksi bahan baku termasuk transformasi ke industri teknologi padat modal seperti industri tekstil, petro kimia, teknologi informasi, permesinan hingga alat elektronik yang kesemuanya itu dibangun melalui konsep penguatan industri skala kecil dan menengah sehingga dominasinya telah menjadikan sebagai backbone pembangunan ekonomi Taiwan, kondisi ini yang membedakan dengan negara maju lainnya yang lebih banyak menggantungkan pembangunan ekonominya kepada industri konglomerat. Kemudian selain intervensi langsung ke pasar modal dan perdagangan luar negeri Taiwan juga melakukan kemudahan untuk investasi industri teknologi maju seperti dibangunnya kawasan industri yang menggunakan teknologi tinggi (science based industrial park). Hasilnya kini Taiwan menjadi negara pemasok terbesar dibidang teknologi informasi global mengalahkan Jepang sekalipun. Sedangkan Korea Selatan lebih memilih untuk memulai kebijakan industrialisasinya yang menitik beratkan kepada pola pengembangan industri berat yang digerakan oleh perusahaan konglomerasi (Chaebol) seperti: industri besi dan baja, Petrokimia, industri perkapalan dan otomotif. pemerintah berperan sebagai fasilitator dengan kebijakan yang memihak kepentingan pelaku indusri seperti diberikannya kredit dengan suku bunga rendah, memperkuat intervensi langsung pemerintah melalui pendirian badan usaha milik negara (BUMN), menerapkan pengendalian atas impor serta pembebasan tarif atas beberapa jenis produk. Hasilnya kini Korea Selatan memiliki industri mobil terbesar ke
73 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
enam di dunia dengan produksi 3 juta72 kendaraan setiap tahunnya diproduksi oleh Hyundai dan KIA, terbesar ketiga dalam industri besi dan baja diproduksi oleh POSCO, teratas dalam industri LCD display dan semikonduktor diproduksi oleh Samsung dan LG73. Yang dimaksud dengan negara sentral dari Taiwan dan Korea Selatan adalah Jepang dan Amerika dimana secara historis banyak melakukan eksploitasi sumber daya. Untuk kasus Jepang, berawal dari pasca Eropa Barat dan Amerika melakukan industrialisasinya, Jepang dapat dikategorikan sebagai negara besar terakhir yang melakukan transformasi industri, akan tetapi untuk kawasa Asia Timur Jepang merupakan negara pertama yang paling berhasil dalam proses transformasi industrinya. Menurut Kazushi dan Rossovsky mengkategorikan bahwa negara – negara Asia Timur yang mulai melakukan industrialisasinya pada dasawarsa 1950-an - 1960-an merupakan negara yang lambat memulai karenanya negara tersebut mengikuti pola industrialisasinya meniru alur yang diterapkan Jepang. Pendapat lain yang menguatkan bahwa untuk menganalisa keberhasilan pembangunan ekonomi di negara industri baru (NICs) tidak bisa terlepas dari faktor Jepang sebagai negara sentral adalah adanya konsep formasi angsa terbang (Flying Geese Formation) yaitu negara industri baru (NICs) di Asia Timur menjalankan pembangunan ekonominya mengikuti pola Jepang sebagai negara sentral yang berada di garis depan industri kapitalis dan dengan berkelompok akan memiliki efek lebih kuat dan ringan dalam mempercepat pembangunan ekonominya dalam mengaruhi “langit” globalisasi. Karakteristik angsa terbang tersebut kemudian muncul juga di dalam proses pembangunan ekonomi pada negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur dalam lingkup yang lebih kecil yaitu melibatkan negara-negara dia Asia Tenggara untuk dijadikan jaringan pemasok kebutuhan industrinya. Korelasi Jepang sebagai negara sentral dengan Taiwan dan Korea Selatan sebagai 72 73
negara
pinggiran
ini
sebenarnya
bisa
dilihat
dari
kontribusi
Korean Overseas Information Service, 2003. Fakta Tentang Korea www.wikipedia.org/wiki/south_korea. Diakses tanggal 11 Mei 2008 pukul 10:45.
74 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
pembangunan ekonomi yang diraih Taiwan dan Korea Selatan yang sangat dominan oleh faktor Jepang, akan tetapi karena sifat khas yang dimiliki negara bekas jajahan terhadap negara bekas penjajah menimbulkan dua sisi mata uang yaitu, pertama ingin belajar dari pengalaman Jepang, sisi lainnya Taiwan dan Korea Selatan menganggap pengalaman Jepang tidak terlalu penting bagi pertumbuhan ekonominya selama ini, persepsi ini terbentuk sebagai bagian dari rivalitas proses industrialisasi. IV.2. Taiwan dan Korea Selatan : Keberhasilan Pembangunan Ekonomi yang telah Teruji. Tolak ukur yang lazim dipakai untuk menguji sebuah keberhasilan apabila ia mampu bertahan atau keluar dari tahap ujian, begitupun dengan keberhasilan Taiwan dan Korea Selatan dapat diukur dari resistensinya terhadap peristiwa krisis keuangan pada tahun 1997, resistensi Taiwan terhadap krisis banyak disebabkan oleh kombinasi antara pola kekuatan ekonomi yang menyebar merata kepada sektor riil yang dikendalikan oleh kelompok usaha kecil dan menengah yang dimiliki oleh masyarakat serta diuntungkan dengan mayoritas hasil manufaktur yang rata-rata berorientasi ekspor dengan menggunakan pembayaran mata uang dollar Amerika serta dinamisnya kultur bisnis yang didukung oleh ketahanan kapital, keduanya terkombinasi dengan kuat menahan berbagai goncangan luar.74 Sedangkan Korea Selatan, paska krisis justru mampu melakukan tata ulang industrinya kepada pola pembangunan ekonomi yang berbasis kepada ilmu pengetahuan dan didukung seluruh potensi masyarakatnya.
74
Mure Dickie,1999. Still Burning Bright (artikel majalah Taiwan Review. hal.28.)
75 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Data tabel berikut ini bisa dipakai sebagai ukuran resistensi terhadap 75
krisis : Tabel IV.1 Pertumbuhan GDP riil pada negara tertentu di Asia setelah krisis Pertumbuhan GDP riil (persen)
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Indonesia
8.4
7.6
4.7
-13.1
0.8
4.9
3.4
3.7
4.1
Korea Selatan
8.9
6.8
5.0
-6.7
10.9
9.3
3.1
6.3
3.1
Malaysia
9.8
10.0
7.3
-7.4
6.1
8.3
0.4
4.2
5.2
Thailand
9.2
5.9
-1.4
-10.5
4.4
4.6
1.9
5.2
6.7
Negara
Pemulihan Spektakuler
Sumber : World Development Indicator, 2003; World Economic Outlook April 2004
75
Stanley Fischer, (Vice Chairman,Citigroup), 2004. A Development Strategy for Asian th Economics: Korean Perspective. Paper seminar pada Korean Seminar of the 37 Annual Meeting of the Asian Development Bank, Korea, May 15 2004.
76 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Cepatnya pemulihan ekonomi tersebut banyak dipengaruhi oleh kuatnya peran kepemimpinan dalam melakukan mobilisasi seluruh kekuatan Korean Society dan kemampuan meyakinkan lembaga donor keuangan internasional (IMF) untuk percaya dengan kapasitas administratif yang ada sehingga mau memberi bantuan secara tunai dalam satu kali gelombang pembayaran sehingga berdampak besar terhadap percepatan proses pemulihan dan kepercayaan publik internasional. Ketahanan
stabilitas
ekonomi-politik
berikutnya,
dibuktian
terhadap
terjadinya gejolak krisis minyak dunia pada tahun 1973 -1975 serta keberhasilan proses transformasi dari tahap industrialisasi substitusi Impor (inward looking) beralih menjadi industrialisasi berorientasi ekspor (outward looking)76. IV.3. Strategi Memaksimalkan Peran Modal Asing Untuk menjelaskan adanya proses perubahan tuntutan dari tahapan negara pinggiran berubah menjadi negara sentral yang melahirkan pola pembagian tata kelola kerja internasional baru (new internasotional division of labour) yang dikembangkan menjadi ”world system theory” oleh Imanuel Wallerstein maka dapat dilihat pada uraian atas kebijakan awal yang dilakukan oleh Taiwan dengan melakukan pencukupan kebutuhan primer dan kemudian pemenuhan kebutuhan sekunder melalui kebijakan substitusi impor secara alamiah. Bersamaan dengan
tahapan ini pada dasawarsa 1950-an Taiwan
menerima bantuan sebesar 90 juta dollar US, Korea Selatan menerima sebesar 200 juta dollar US. Meskipun volume bantuan luar negeri bagi upaya menunjang anggaran belanja itu sangat besar, namun negara-negara donor hampir tidak mempunyai pengaruh terhadap kebijakan ekonomi domestik di negara-negara yang dibantunya. Dalam hal ini pemerintah Amerika Serikat sebagai pemberi modal khawatir dituduh melakukan intervensi kolonial yang berlebihan maka dibuatkan kebijakan untuk membuat panitia bersama bagi rekonstruksi wilayah pedesaan Taiwan atau (JCCR: Joint Commission on Rural Reconstruction) melibatkan staff dari Amerika Serikat dan Taiwan berupaya mengimbangi
76
Robert A. Scalapino, Seizabaro Sato & Jusuf Wanandi, 1990. op.cit.hal.189.
77 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
dampak dari laju sektor industri dan wilayah perkotaan melalui perbaikan produktivitas sektor pertanian77. Bantuan luar negeri yang sifatnya menunjang anggaran belanja dapat mengurangi tekanan bagi upaya mengubah kebijakan fiskal, keuangan dan moneter. Dampak lainnya adalah dapat meningkatkan kecendrungan bagi sektor pemerintah untuk melakukan intervensi di sektor swasta dalam perekonomian, selain itu pemerintah juga dapat mempekerjakan sejumlah besar pegawai negeri hal ini sebagai bukti yang mencerminkan bahwa adanya kecendrungan yang semakin melekat kepada ideologi pembangunan dan munculnya kekuatan yang tidak hanya pembangunan ekonomi tetapi juga sumber perlindungan politik baru. Tahapan kedua dari arus bantuan luar negeri Amerika Serikat terjadi pada tahun akhir dasawarsa 1950-an pada saat itu di Amerika Serikat sedang terjadi persepsi yang mengkritisi ketidakefisienan bantuan luar negeri yang telah disalurkan oleh Amerika Serikat. Seiring dengan kebijakan IMF memperluas fasilitas kreditnya kepada negara berkembang, negara-negara Asia Timur menjadi pelopor dalam penggunaan sumber dana lunak multilateral dari negara maju, artinya bahwa negara-negara berkembang berani membayar ”harga” persyaratan yang telah ditetapkan karena para kreditor multilateral dan sebaliknya para petinggi kreditor multilateral berhasil meyakinkan para teknokrat di negara penerima modal. Situasi yang seperti itu merupakan gambaran dari adanya tarik menarik kepentingan antara pemilik modal dengan negara penerima donor. Situasi saling tarik menarik kepentingan ini sebenarnya sudah lama terjadi semenjak munculnya peran Jepang sebagai negara sentral sejak tahun 18951945, ditinjau dari historis lamanya masa kolonial Jepang tentunya banyak memberikan dampak baik dari sisi ekonomi, kurikulum pendidikan hingga budaya. Dari sisi ekonomi wilayah Taiwan telah dijadikan pemasok utama dari kebutuhan gula dan beras Jepang begitupun dengan fase industrialisasi di
77
Helen Huges, 1992.op.cit.hal.144.
78 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Taiwan seperti tekstil, bahan kimia dan permesinan 90 persen hasil produksinya diserap oleh pasar Jepang. Dengan demikian Jepang telah menempatkan Taiwan sebagai negara pinggiran yang memasok kebutuhan negara sentral. Kebijakan interen Jepang dalam menduduki Taiwan yaitu Jepang hanya fokus kepada pembangunan sektor industri manufaktur dan militer tetapi tidak ikut campur dalam tata kelola sektor pertanian. Sebagai negara kolonial, dalam hal kebijakan perdagangan luar negeri, Jepang telah memberikan tarif yang sangat tinggi dengan negara lain bila hendak melakukan perdagangan dengan Taiwan. Dengan demikian Taiwan tidak mempunyai pilihan kecuali mengadakan perdagangan dengan Jepang. Selama
transaksi
perdagangan
berlangsung,
telah
terjadi
ketidak
seimbangan neraca perdagangan dimana pada tahun 1990-an saja Taiwan mengalami defisit sebesar 6,9 milyar dollar AS, yang diakibatkan oleh adanya kelesuan pasar saham dan stagnan-nya pertumbuhan ekspor. Untuk itu pemerintah Taiwan mengadakan beberapa kebijakan seperti : •
Dikenakannya produk tinggi terhadap masuknya produk Jepang.
•
Adanya larangan meng-impor produk Jepang selama masih adanya alternatif produk lain, kebijakan ini merupakan bentuk dari program penggunaan produk dalam negeri.
•
Diputuskannya beberapa hubungan bisnis dengan importir Jepang di sektor komunikasi dan peralatan kantor.
IV.4. Strategi Proses Transformasi Industri pada NICs Keberhasilan transformasi industri dari kebijakan substitusi impor (inwardlooking) menjadi berorientasi ekspor (outward-looking) juga tidak bisa dilepaskan dari tahapan alamiah yang dilakukan Taiwan seperti yang diklasifikasikan oleh Michael P Todaro yang mengkategorisasikan lebih detail tentang kebijakan strategi perdagangan internasional kedalam empat kategori 78:
78
Michael P Todaro, op.cit. hal.405.
79 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
1. Kebijakan Outward-looking Primer yaitu mendorong ekspor terhadap bahan mentah dan produk agri-kultur. 2. Kebijakan Outward-looking Sekunder yaitu melakukan kegiatan ekspor komoditas hasil manufaktur. 3. Kebijakan Inward-looking Primer yaitu prioritas mencukupi kebutuhan agrikultur sendiri. 4. Kebijakan Inward-looking Sekunder yaitu mencukupi kebutuhan atas komoditas manufaktur melalui substitusi impor. Maka berdasarkan kategorisasi tersebut, tahapan yang dilakukan Taiwan hingga menjadi negara industri baru adalah, tangga tahapan akhir yang dialami Taiwan hari ini adalah tahapan kebijakan outward-looking sekunder yang terlebih dahulu secara alamiah telah melakukan tahapan kebijakan ber-orientasi ekspor (outward-looking) primer kemudian kedua tahapan tersebut terlebih dahulu harus memiliki basis yang kuat yang diawali oleh kebijakan substitusi impor (inwardlooking) primer, kemudian ditingkatkan posisinya menjadi substitusi impor (inward-looking) sekunder. Tahapan alamiah ini berhasil dijalankan oleh Taiwan sehingga berhasil membuat ”bangunan” ekonomi yang kuat menjadi negara industri baru. Untuk Tahapan kebijakan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Korea Selatan bila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Taiwan, terdapat tahapan yang dilakukan secara melompat, yaitu melakukan kebijakan industrialisasi yang berorientasi ekspor (outward-looking) sekunder tanpa harus melalui
tahapan kebijakan yang berorientasi ekspor (outward-looking) primer
terlebih dahulu. Kebijakan outward-looking ini terlebih dahulu dilandasi oleh kebijakan substitusi impor (inward-looking) sekunder tanpa melalui substitusi impor(inward-looking) primer. Dengan demikian membandingkan dengan Taiwan ”bangunan” ekonomi Korea Selatan jelas lebih rapuh Terdapat dua instrumen utama yang dijadikan pijakan dalam mengambil kebijakan substitusi impor yang diterapkan di Taiwan yaitu kebijakan nilai tukar mata uang tahun 1950-an dan kebijakan penetapan harga yang lebih tinggi bagi barang impor terhadap ekspor.
80 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Pada
tahun
1958
diadakan
revisi
sistem
nilai
tukar
sehingga
memungkinkan diadakannya Exchange Settlement Certificate berlaku untuk segala macam kegiatan ekspor dan impor serta menetapkan tingkat harga yang mendekati harga pasar telah menjadikan Taiwan kepada sistem nilai tukar sederhana. Sistem ini kemudian berakhir pada tahun 1963 seiring dengan terjadinya kenaikan harga gula di pasaran dunia yang menyebabkan kenaikan cadangan devisa Taiwan dan menjadi titik akhir terjadinya ”over-valued” pada NT$ (New Taiwan Dollar). Kemudian ditetapkannya instrumen kebijakan penetapan harga yang lebih tinggi yang diberlakukan bagi barang impor terhadap barang ekspor yang dilakukan sejalan dengan pembatasan impor dan penetapan tarif yang tinggi di awal tahun 1950-an, perbandingan harga barang substitusi impor terhadap ekspor meningkat dari 2 : 1 pada tahun 1949-1950 menjadi 5 : 1 pada tahun 1951-1952, pada saat itu di picu oleh adanya produk tekstil sebagai produk impor terpenting Taiwan berhadapan dengan produk beras sebagai komoditi produk ekspor. Selain itu pemberian insentif bagi kebijakan substitusi impor melalui penerapan hambatan tarif dan non tarif serta pembatasan arus barang impor, bertujuan menciptakan pasar yang menguntungkan bagi produsen lokal sebagai bagian dari kebijakan substitusi impor.79 Kebijakan berikutnya adalah diberlakukannya undang-undang pendorong investasi yang memberikan insentif bagi kegiatan investasi, serta pemotongan beberapa komponen pajak yang berlaku di Taiwan sebagai bagian dari kebijakan promosi ekspor yang dilakukan dengan pemangkasan pajak pendapatan. Gejolak meningkatnya harga minyak dunia yang terus meningkat juga telah di antisipasi oleh pemerintah Taiwan dengan menerapkan kebijakan bidang energi guna menekan biaya produksi dan mencegah kehilangan pendapatan nasional dalam jumlah besar yaitu dengan melakukan beberapa hal seperti :
79
Tsiang S.C.,1986. loc.cit.hal.46.
81 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
-
Pengembangan program hemat energi berupa konservasi energi melalui penggunaan peralatan dan mesin – mesin berefisiensi energi tinggi.
-
Peningkatan struktur industri berefisiensi energi tinggi termasuk intensifitas keahlian dan industri bernilai tambah.
-
Diversifikasi penggunaan energi terutama pada pembangkit tenaga listrik seperti dengan pemanfaatan batu bara dan nuklir untuk menggantikan minyak sesuai dengan rencana sepuluh tahunan periode 1980-1989. Pada saat itu jumlah generator bertenaga nuklir bertambah menjadi 29 persen pada tahun 1989, di banding 17 persen pada tahun 1979, yang juga diikuti peningkatan generator bertenaga uap dari 12 persen menjadi 31 persen.
Berbagai upaya antisipasi tersebut diatas, juga didukung dengan penyiapan perangkat fiskal dan moneter penunjang seperti pemotongan pajak dan pinjaman berbunga rendah untuk pembeliaan mesin-mesin dan peralatan yang hemat energi melalui Bank of Communication termasuk meningkatkan harga minyak dalam negeri saat krisis minyak tahun 1973 untuk mendorong penyesuaian struktur industri dalam negeri. Untuk sektor perdagangan dilakukan kebijakan perubahan struktur perdagangan sebagai usaha untuk menyesuaikan tuntutan dengan adanya perubahan kebijakan industri Taiwan dari substitusi impor menjadi orientasi ekspor
yaitu
dengan
melakukan
peningkatan
struktur
industri
melalui
peningkatan kontribusi industri non pertanian bernilai tambah tinggi seperti industri tekstil dan mesin-mesin listrik serta peningkatan kualitas produk serta teknik manajeman agar dapat meningkatkan daya saing produk, selain itu dilakukan pula optimalisasi fungsi perusahaan perdagangan berskala besar untuk mendapatkan inovasi bahan baku dan metoda produksi baru. Terobosan lainnya adalah dengan melakukan berbagi upaya agar dapat mewujudkan efisiensi biaya produksi pada perusahaan domestik peningkatan kualitas
produk
sehingga
dapat
mampu
bersaing
serta
dengan
perusahaan multinasional sejenis, yaitu melalui penerapan intensifitas liberalisasi impor dengan demikian dihindari adanya pembatasan impor dan dipangkasnya 82 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
berbagai komponen pajak seperti : pajak penghasilan, tarif perdagangan, pajak komoditi dan pajak stempel80. Seiring dengan semakin ketatnya kebijakan fiskal yang semakin menipis pada tahun 1980-an maka pemerintah Taiwan mengantisipasinya dengan menekan pengeluaran se-optimal mungkin dengan fokus kepada pembangunan infrastruktur
seperti
transportasi,
pelabuhan,
komunikasi
dan
kegiatan
pengembangan lahan. Untuk kebijakan moneter ditempuh dengan cara pembentukan beberapa instrumen seperti : pengembangan pasar modal dan pasar sekunder, intensifikasi pasar uang dengan membentuk pasar uang resmi pada tahun 1976 dengan tujuan agar dapat memantau pergerakan tingkat bunga dan menjembatani penyaluran dana-dana pasar uang swasta yang tidak terorganisir kepada pihak swasta, serta liberalisasi tingkat bunga. Untuk perbaikan sektor ketenagakerjaan dilakukan peningkatan lulusan pendidikan, dari tahun 1968 hingga 1989 terjadi penurunan lulusan tenaga kerja SLTP dari 86 persen menjadi 66 persen dan sejalan dengan meningkatnya kenaikan lulusan SLTA dari 10 persen meningkat menjadi 22 persen, untuk lulusan perguruan tinggi dari 4 persen menjadi 12 persen kondisi ini mendorong Taiwan untuk melakukan perubahan struktur produksi berteknologi tinggi secara intensif dan penggunaan industri bernilai tambah.81 Sejak tahun 1970-an keberhasilan pembangunan ekonomi pada negara industri baru (NICs) di kawasan regional Asia Timur dibandingkan dengan prestasi negara industri baru pada kawasan lainnya seperti : Argentina, Brazil, Yunani, Israel, Portugal, Spanyol dan Yugoslavia mengalami pertumbuhan yang paling signifikan. Hal tersebut dipacu oleh karena kebijakan industrialisainya yang berorientasi ekspor (Outward-looking) sebagai pilihan karena keterbatasan sumber daya alam, keterangan lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
80 81
Kuo Shirley W.Y, 1983.op.cit.hal. 316 David. Y.S.Tzou, 1993.op.cit.hal. 65
83 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Tabel IV.2 Laju pertumbuhan tahunan terhadap total ekspor dan ekspor barang manufaktur di negara berkembang Asia pada dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an (dalam persen)82
Total Negara
Barang Manufaktur
1970-79
1979-81
1982
1983
1984
1970-79
1979-81
NICs
28.5
19.2
-1.1
8.2
20.1
29.7
19.8
Hong Kong
22.1
19.9
-3.7
4.6
29.0
22.0
19.5
Singapur
28.0
19.3
-0.9
5.0
10.2
33.0
20.8
Korea Selatan
37.9
18.9
2.6
9.1
19.6
39.2
18.6
Taiwan
30.8
18.7
-2.3
13.6
21.3
34.2
2.7
ASEAN
26.2
15.0
-4.1
0.1
9.4
39.4
15.5
Indonesia
34.9
23.6
-6.2
-5.3
3.4
47.4
28.1
Malaysia
23.3
3.1
2.3
17.4
15.3
38.0
28.1
Filipina
17.6
11.5
-12.3
-1.8
9.1
33.8
17.0
Thailan
25.2
15.1
-1.2
-11.3
16.1
47.1
20.0
Asia Selatan
15.7
7.4
1.5
8.2
..
17.2
..
NICs lainnya
20.1
13.2
-5.5
3.7
..
24.1
23.7
kembang lainnya
23.7
16.0
-16.2
-13.1
..
23.5
14.8
Dunia
20.6
10.0
-7.2
-2.4
..
19.7
17.4
Negara ber-
Sumber : ADB (1985); UN (1970-1981); RRC (1982); IMF (1984).
IV.4. Ekonomi Sektor riil dan Pendidikan sebagai pondasi bagi NICS Pada tahap awal industrialisasinya, Taiwan dan Korea Selatan melakukan kebijakan pengendalian impor dan pengendalian kurs berganda sebagai upaya untuk melindungi pasaran domestik, seiring degan itu dilakukan gerakan
82
Helen Hughes, 1992. op.cit.hal.99
84 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
pembaharuan yang mampu merubah sektor ekonomi riil pedesaan yaitu melalui Saemaul Undong di Korea Selatan dan Global Village di Taiwan. Kebijakan substitusi import sebenarnya hanyalah proses pembatasan kemampuan industrialisasi domestik ditambah lagi adanya faktor keterbatasan pasar domistik akan mempercepat kejenuhan pertumbuhan ekonomi, untuk itu Taiwan dan Korea Selatan secara cepat melakukan kebijakan outward-looking Mengenai proses pertumbuhan ekonomi tahapan linier model Rostow sebagai tahapan dasar yang dilakukan Taiwan dan Korea Selatan, peneliti melihat bahwa konsep global village di Taiwan dan konsep saemaul undong di Korea Selatan merupakan langkah awal dalam melakukan pembangunan ekonomi secara alamiah, sehingga yang pertama kali merasakan pertumbuhan dari pembangunan ekonomi adalah masyarakat kelas sosial terbawah, berikut ini beberapa indikatornya: Saemaul Undong83 berperan dalam modernisasi sektor pedesaan Korea Selatan yang pernah ditinggal dibelakang dari gerak kemajuan selama 500 tahun lamanya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa pendapatan pertanian menjadi andalan bagi perkotaan. Dalam tahun 1971 yang merupakan tahun pertama bagi gerakan Saemaul Undong pendapatan rata-rata keluarga perkotaan mencapai 452.000 Won Korea ketika itu mitranya yakni pedesaan telah mencapai pendapatan 356.000 won Korea. Selanjutnya dalam tiga tahun kemudian terjadi perubahan pendapatan di pedesaan, pada tahun 1974 pendapatan di pedesaan telah mencapai 674.000 Won Korea, sedangkan pendapatan bagi masyarakat perkotaan mencapai 644.000 Won Korea, kemudian pada tahun 1974 telah tercatat menjadi tahun beras karena tanaman pokok di Korea Selatan sudah pada tingkat yang berlebihan. Perkembangan sektor pendidikan juga mengalami kemajuan sejak Saemaul Undong digunakan sebagai media pengembangan masyarakat Korea Selatan ke dalam konsep yang utuh khususnya untuk meningkatkan standar hidup di sektor pedesaan. Kemajuan yang paling besar dicapai dalam
83
Park Chang-hoo, Anggoro Sigit Sutanto, et.al., 2002.op.cit. hal.195
85 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
peningkatan pendidikan dan kebudayaan yaitu pada tahun 1969 sampai tahun 1979 dimana kondisi pendidikan 12 persen hingga 13 persen kepala rumah tangga telah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah atau tingkat tinggi, tahun 1979 terdapat 2,5 juta orang atau 30 persen yang drop-out dari sekolah menengah. Beberapa kemungkinan dikarenakan menurunnya populasi orang tua mengikuti pendidikan moderen, sehingga penduduk yang berpendidikan tinggi meninggalkan pedesaan untuk tinggal di daerah perkotaan. Perbandingan penduduk perkotaan yang telah bersekolah dibandingkan dengan populasi (usia 6 tahun sampai dengan usia 24 tahun) adalah 56,4 persen pada tahun 1970, terdapat peningkatan pada tahun 1975 menjadi 57,5 persen. Gambaran ini juga terjadi pada masyarakat pedesaan yang telah berkembang dari 59,0 persen pada tahun 1970 menjadi 71,5 persen pada tahun 1975. Peningkatan ini merupakan potensi pada sektor pedesaan untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial. IV. 5. Faktor Penghambat Pembangunan Ekonomi di Negara Asia Tenggara Terdapat beberapa faktor penghambat
yang perlu diperhatikan bagi
negara-negara di Asia Tenggara untuk dapat mengejar ketertinggalan dalam pembangunan ekonomi dengan negara industri baru di Asia Timur, yaitu sebagai berikut84 : 1.
Ukuran dan taraf urbanisasi. Negara - negara di Asia Tenggara memiliki wilayah pedesaan yang demikian luas guna di tarik kedalam orbit perekonomian yang bersifat moderen dan padat modal, sedangkan wilayah pedesaan di kelompok empat negara industri baru relatif kecil dan proses urbanisasinya berlangsung sangat cepat. Laju pertumbuhan sektor pertanian di negara Asia Tenggara jarang melampaui angka 4-5 persen per tahun.
84
Helen Hughes,1992.op.cit.hal.418
86 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
2.
Warisan undang-undang kolonial. Struktur dan kebijakan ekonomi yang diwarisi dari pemerintah kolonial terdahulu memiliki efek yang menyesatkan serta tidak memadai terhadap syarat-syarat tercapainya pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam tatanan dunia moderen dengan demikian harus dilakukan perubahan menasar terlebih dahulu karena kadangkala menimbulkan kerugian ekonomi ataupun politik yang demikian tinggi (tetapi tidak terlalu diwajibkan di kelompok negara-negara industri baru di Asia Timur).
3.
Sikap Ambivalen Sikap ambivalen terhadap modal asing dan nasionalisme ekonomi yang muncul sehubungan dengan warisan undang-undang kolonial seringkali menimbulkan kesulitan bagi pemerintah negara-negara di Asia
Tenggara
sehingga
memberikan
kendala
bagi
upaya
pembangunan mereka, dimana intensitasnya bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, contohnya dominasi modal Inggris di Malaysia hingga akhir dasawarsa 1960-an dan modal Belanda di Indonesia hingga tahun 1957-1958 tidak terjadi di negara –negara bekas koloni lainnya. Di Filipina, modal Amerika Serikat memiliki bobot simbolik dan psikologis yang jauh lebih besar daripada nilai aktualnya. 4.
Posisi Dominan Kelompok Usaha Asal Cina Situasi ini selalu menjadi masalah yang sangat peka dan sewaktuwaktu dapat membawa masalah politik di seluruh negara di Asia Tenggara, sedangkan berdasarkan pengalaman dari kelompok negara industri baru di Asia Timur tidak satupun yang mengalami masalah ini. Kehadiran berbagai moinoritas Cina di Asia Tenggara membawa beraneka ragam keuntungan . Sementara bakat kewirausahaan
mereka
sangat
bermanfaat
bagi
pembukaan
kegiatan ekonomi dalam daerah atau masyarakat tertentu dimana
87 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
perusahaan ataupun modal pribumi masih langka, masalah sosial dan politik yang muncul sehubungan dengan kehadiran minoritas Cina ini sangat tidak seimbang dengan jumlah mereka yang terlibat karena
status
sosial
ekonomi
mereka
yang
lebih
tinggi.
Pemerintahan di negara-negara Asia Tenggara seringkali harus mengorbankan pertimbangan maksimal efesiensi guna menjalankan kewajibannya menciptakan nasionalisme ekonomi, yang seringkali memuat berbagai kebijakan ekonomi yang kurang menguntungkan bagi etnis Cina. Untungnya bentuk kebijakan diskriminatif semacam ini semakin berkurang selama 20 tahun terakhir (Kecuali Malaysia) bila dibandingkan dengan tahun-tahun awal sesudah perang. Pada kenyataanya hampir semua faktor yang sifatnya memanaskan situasi ini telah lenyap di Thailand maupun di Filipina, akan tetapi dibutuhkan waktu yang cukup panjang sebelum faktor-faktor tersebut
tidak lagi menjadi kendala dalam proses perumusan
kebijakan ekonomi di Indonesia dan Malaysia, dan ini disebabkan oleh makin pentingnya kehadiran etnis Cina atau modal asing di masa kemerdekaan meskipun masalah nasionalisme ekonomi tetap sebagai ancaman laten di negara-negara Asia Tenggara. 5.
Pembentukan modal domestik. Tingkat tabungan domestik telah mencapai angka yang cukup tinggi pada kelompok Negara-negara industri baru di Asia Timur, akan tetapi situasi ini berbeda dengan kelompok negara-negara di Asia Tenggara yang relatif rendah, kecuali selama para pengusaha Cina setempat mampu memobilisasi modal antar kerabat mereka sendiri. Oleh karena itu kelas pengusaha setempat cenderung lebih mengandalkan pemberian kredit dan subsidi oleh pemerintah daripada rekan sejawat mereka yang ada di kelompok negaranegara industri baru di Asia Timur. Implikasi politis dan ideologis dari keadaan ini tentu sangat signifikan dimana para pengusaha yang cenderung memanfaatkan kredit dan subsidi pemerintah umumnya kurang tertarik terhadap doktrin ekonomi baru laissez-fair
88 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
ataupun kekuasaan pasar yang lebih kompetitif, terutama jika yang memperoleh fasilaitas tersebut adalah investor asing ataupun etnis Cina setempat.
IV.6. Keberhasilan Land Reform dan Tantangan Bagi Indonesia Keberhasilan di Taiwan dan Korea Selatan merupakan dua pengalaman dari sekian banyak keberhasilan tentang pelaksanaan
reformasi lahan (land
reform). Hal ini sebuah indikator bahwa bila sebuah negara melaksanakan reformasi lahan pada masa-masa awal pembangunanya terbukti sukses membawa kesejahteraan dan kemajuan ekonomi bagi rakyatnya di kemudian hari , fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa reformasi lahan merupakan dasar dan pondasi penting bagi sistem ekonomi nasional yang sehat, tanpa reformasi lahan pembangunan ekonomi nasional menjadi keropos dan yang paling
mencolok
adalah
mengakibatkan
pembangunan
ekonomi
yang
menghasilakan jurang yang lebar antara kaya-miskin yang biasanya ditandai dengan keterbelakangan pertanian.85 Indonesia pernah menjalankan land reform pada awal tahun 1960-an ketika Indonesia menjalankan pemilu yang pertama pada tahun 1955, pada waktu itu kampanye politik sudah menggunakan issu land reform sebagai daya pikat. Payung hukum yang dipakai adalah Undang-undang pokok agrarian No.5/1960 dan Undang-undang perjanjian bagi hasil No.2/1960 dan berjalan secara efektif antara kurun waktu 1961-1965 meliputi kegiatan: Pendaftaran tanah, penetapan tanah kelebihan dan pembagiannya kepada petani tak bertanah. Sementara itu pelaksanaan UUPBH No.2/1960 belum
sempat
berlaku efektif, karena
pemerintahan Soekarno digulingkan dan diganti oleh pemerintahan “orde baru” Soeharto yang kemudian membekukan pelaksanaan land reform. Orientasi dari orde baru adalah menguatkan tatanan kelas kapitalis yang dibangun atas eksploitasi, akumulasi dan ekspansi modal, bagi “orde baru” 85
Irwan Nirwana, Boy Fidro, et.al, 2002. Land Reform di Desa:Panduan Pendidikan dan Pengorganisasian. hal. 20. Yogyakarta:Read Book.
89 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
ketimpangan produksi alat-alat produksi termasuk sumber-sumber agrarian serta pendapatan tidak perlu dipermasalahkan karena kelak pertumbuhan ekonomi yang baik akan memakmurkan negara dan setelah tercapai baru dipikirkan pola distribusinya artinya bahwa mengutamakan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu dari pada menata ulang ketimpangan pemilikan sumber-sumber agrarian.86 Kebijakan “orde baru” tersebut akhirnya berdampak pada : menyuburkan penghisapan kepada kelas sosial bawah, bekerjanya mesin kekerasan dalam arena sosial-politik para birokrat dan militer menjadi alat pertumbuhan modal bukan untuk melindung kelas sosial bawah, migrasi besar-besaran ke perkotaan karena sudah tidak menarik lagi mengkelola tanah pertanian sehingga menimbulkan kerawanan sosial dan matinya fungsi pedesaan serta agregat kemiskinan
dengan
pemilik
tanah
semakin
melebar
hingga
terjadinya
ketidaksetabilan ekonomi, sosial-politik yang berujung pada kejatuhan rejim “orde baru”. Dari cerita keberhasilan Taiwan dan Korea Selatan serta kegagalan “orde baru” di Indonesia cukup menjelaskan bahwa land reform merupakan prasyarat sebelum memasuki pembangunan ekonomi moderen sebuah negara, bila tidak maka hanya akan mengakibatkan kepincangan karena semakin menajamnya konflik sosial antara yang kaya dan yang semakin miskin. Yang menjadi masalah utama dewasa ini adalah belum tampak adanya keberanian dari pemimpin terpilih untuk menerukan kebijakan land reform padahal belum lama ini pada November 2001 MPR RI telah memperkuat “amunisi” dengan TAP MPR No.IX/2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, khususnya pasal 2 yang dikatakan: ”Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan
penataan
kembali
penguasaan,
pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan
86
Ibid.
90 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia” 87 IV.7. Prospek Pembangunan Ekonomi Indonesia Perubahan orientasi politik Indonesia yang demikian dramatis pada tahun 1965-1966, dari doktrin retorika sosial ala pemerintah Soekarno kapada ideologi “orde baru” yang sangat anti komunis di bawah kepemimpinan Soeharto, telah berhasil membawa negara ini kearah 20 tahun masa pertumbuhan ekonomi yang pesat dan hampir tidak terbayangkan sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa tahapan penting yang telah memberikan banyak implikasi terhadap laju pembangunan ekonomi di Indonesia yaitu sebagai berikut 88: 1. Di
berantasnya
Partai
Komunis
Indonesia
dan
unsur-unsur
pendukung Soekarno (orde lama) oleh koalisi orde baru yang sifatnya lebih longgar pada tahun 1966-1967, yang terdiri atas para mahasiswa yang anti-komunis, kaum intelektual, organisasi Islam dan beberapa tokoh penting dalam jajaran ABRI, dimana koalisi ini secara perlahan dibubarkan pada dasawarsa 1970-an. 2. Kebijakan deregulasi dan ketergantungan yang lebih besar kepada mekanisme harga, yang diambil guna mempertegas kembali kendali atas perekonomian pada saat dimana laju inflasi mencapai 600 persen pertahun selama tahun 1966 dapat ditekan sedemikian rupa sehingga laju inflasi itu berangsur-angsur dapat ditekan hingga ke tingkatan satu digit pada tahun 1969. 3. Arus masuk bantuan luar negeri secara besar-besaran dari dunia barat, yang disusul beberapa tahun kemudian oleh arus kegiatan penanaman modal asing yang tidak terlalu besar. 4. Kenaikan produksi dan penerimaan minyak pada dasawarsa 1970-an, khususnya setelah kenaikan harga minyak OPEC pada tahun 1974 dan 1980, berdampak pada ketersediaan sumber devisa sekaligus sumber anggaran belanja bagi pemerintah Indonesia dengan skala jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga 87 88
Irwan Nirwana, Boy Fidro, et.al, 2002.op.cit.,hal.32 Irwan Nirwana, Boy Fidro, et.al, 2002.op.cit.,hal.441
91 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
dapat memperkuat efektivitas organisasi pemerintah di semua tingkatan. 5. Makin kokohnya otoritas pemerintah yang terus menguat selama periode orde baru berdampak pada adanya tantangan serius dari partai politik ataupun golongan oposisi yang didukung masyarakat, apalagi setelah kelompok-kelompok tersebut terus menerus diisolir dan dibungkam. 6. Kenaikan produksi beras yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 1967 sebagai dampak dari diterapkannya teknologi “Revolusi Hijau” yang menjamin jumlah persediaan pangan yang memadai dan mempertahankan harga bagi para konsumen di wilayah perkotaan pada tingkat yang rendah. Aspek ekonomi politik rejim “orde baru” di Indonesia merupakan pokok permasalahan yang tiada habisnya. Keberhasilan kebijakan ekonomi yang diusulkan oleh kaum teknokrat kepada presiden Soeharto pada tahun 1966 hingga tahun berikutnya berjalan membawa hasil yang spektakuler, kebijakan pembangunan ekonomi tersebut pada awalnya menyulitkan, akan tetapi karena mendapat dukungan penuh dari Soeharto sebagai figur sentral dan dibantu ABRI pada akhirnya dapat berjalan lancar. Beberapa indikator yang menjadikan faktor keberhasilan rejim “orde baru” dalam melakukan pembangunan ekonomi-politiknya adalah sebagai berikut : 1. Tegaknya pemerintahan yang kuat dan otoriter menggantikan pemerintahan lama yang lemah dan kurang efektif setelah hancurnya Partai Komunis Indonesia berikut serikat buruh dan organisasi para petani telah berhasil menekan gerakan oposisi. 2. Kekuatan menarik pinjaman luar negeri dengan naiknya arus bantuan luar negeri secara besar-besaran setelah tahun 1967-1968, disusul oleh arus modal swasta asing yang demikian besar pada awal dasawarsa 1970-an. 3. Adanya kenaikan penerimaan minyak yang sifatnya kebetulan pada akhir dasawarsa tersebut.
92 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
Perbedaan yang sangat dominan pada pembangunan ekonomi era Soekarno adalah karena begitu lemah dan kurang efektif saat dihadapkan pada masalah pengambilan putusan yang sulit dibidang ekonomi dan pemerintahan, padahal situasi tersebut dapat diselesaikan pada era Soeharto, dengan demikian setidaknya unsur kepemimpinan yang kuat pada diri Soeharto sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar untuk disamakan dengan Park Chung-hee di Korea Selatan ataupun Chiang Kai-shek di Taiwan, namun unsur ketidaktransparan, nepotisme serta budaya pemberian upeti kepada aparat birokrasi yang memegang kendali birokrasi, yang hampir mencakup semua aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang pada akhirnya merusak laju pembangunan ekonomi di Indonesia. Masalah lain yang timbul adalah kendali birokrasi sektor pemerintahan yang terlalu besar dan relatif tidak efisien, hal ini dikarenakan hampir semua perkebunan, bank, perusahaan dagang dan sebagainya milik pemerintahan kolonial Belanda yang di nasionalisasi sejak tahun 1958 masih dikuasai oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga para staf birokrasinya jarang sekali bersifat dinamis dan produktif. Dengan demikian masih ditemukan adanya pemahaman oleh para birokratnya bahwa pembangunan ekonomi negara lebih cenderung didefinisikan semata-mata menyangkut “fungsi sosial” dari organisasi dimana mereka bekerja. Situasi yang tidak kondusif pada aspek birokrasi pemerintah terhadap pesatnya pertumbuhan ekonomi nasional ternyata hanya mampu menghasilkan suburnya praktek korupsi, pungutan liar, pemborosan sumber daya negara secara besar-besaran dan lebih memilih situasi nyaman dengan hasil kerja lambat, pokok permasalahan berikutnya adalah melahirkan ambivalensi ideologis ke arah kapitalisme sedangkan maksimalisasi keuntungan semakin identik dengan ketamakan dan persaingan tajam. Kekutan yang menonjol dari rejim Soeharto adalah visi pemerintahannya yang berorientasi kepada pembangunan dan mementingkan pentingnya integrasi nasional guna menghapuskan unsur masalah suku, ras, agama dan antar golongan, visi ini sejalan dengan ciri-ciri pemerintahan kelompok negara-negara industri baru di Asia Timur. 93 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008
IV.7. Prioritas Visi Pembangunan Ekonomi Sebagai Kekuatan Indonesia Salah satu dari banyak faktor yang telah dibahas pada bab sebelumnya dalam tesis ini sehingga memilih Indonesia sebagai negara yang paling cocok meniru prototipe pembangunan ekonomi di Taiwan dan Korea Selatan adalah dikarenakan hanya Indonesia yang memiliki komitmen tegas yaitu, visi pemerintahannya yang berorientasi kepada pembangunan, sedangkan di negara di Asia Tenggara lainnya masih memprioritaskan masalah kerukunan etnis, ketidakstabilan regional dan upaya penguatan suatu rejim. Selain itu pemerintahnya benar-benar telah nyata terlibat dalam proses pembentukan budaya nasional dan terikat untuk apa yang harus dimiliki dimasa mendatang untuk rakyatnya dari pada hanya terus dirundung dengan permasalahan masa lalu. Dalam tahapan ini seharusnya pemerintah tinggal mengkemas nilai-nilai baru yang dijadikan acuan bersama dalam mencapai tujuan pembangunan ekonominya, serta dikendalikan oleh sistem birokrasi yang dijalankan oleh birokrasi yang cakap. Persyaratan tersebut menjadi sangat mutlak kebutuhannya, sebagaimana yang ditekankan oleh Theotonio Dos Santos tentang teori dari tahapan ketergantungan kapitalis dan sosial sehingga tinggal satu tahap lagi yaitu kesetaraan terhadap ketergantungan teknologi industri. Sampai pada tahap ini pun Taiwan dan Korea Selatan telah berhasil melakukannya yaitu melalui semangat Confucian yang dipraktekkan dengan gerakan Saemaul Undong di Korea Selatan dan Global Village di Taiwan.
94 Fenomena keberhasilan..., Ucup Supriyadi, FISIP UI, 2008