50
BAB III PERAN LEMBAGA ADAT DALAM MENYIKAPI PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT ANGKOLA DI KECAMATAN PADANG BOLAK KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA
1.
Pengertian lembaga adat masyarakat Angkola di kabupaten Padanglawas Utara
A. Pengertian Lembaga Adat Indonesia mempunyai banyak wilayah atau daerah. Setiap daerah mempunyai adat istiadat dan hukum adat tersendiri yang dilaksanakan sesuai menurut adat dan kebudayaan daerah itu sendiri. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama. Apabila ingin memahami dan mengetahui segala bentuk hubungun hukum suatu daerah, maka perlu mempelajari masyarakat hukum adat daerah yang bersangkutan. Hukum adat pada umumnya bercorak tradisional artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan diperintahkan oleh masyarakat bersangkutan. Contohnya di tanah adat Padanglawas Utara dimana hukum adatnya mempunyai corak bersifat kebersamaan (komunal) artinya lebih mengutamakan kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. Hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong.
50
Universitas Sumatera Utara
51
Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata lembaga dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literatur tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan.Sehingga lembaga adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan.66Sehingga lembaga adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan. Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasirelasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar.67 Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga adat
diartikan sebagai
lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat atau dalm suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan
66 67
Mohammad Daud Ali,HukumIslam, jakarta: Rajagrafindo persada,2004,Hal.216 Hendropuspito,Sosiologi Agama, yogyakarta: Kanisius,1994, hal.114
Universitas Sumatera Utara
52
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Menurut Ter Haar, lembaga adat lahir dan dipelihara oleh keputusankeputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.68 Dari beberapa pengertian diatas lembaga adat adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu daerah. Masyarakat yang masih berpegang pada adat-istiadat, pemimpin adat yang dikukuhkan melalui hukum adat biasanya memiliki tanda-tanda kepemimpinan resmi dan memegang kewibawaan resmi untuk memimpin masyarakatnya. Tanda-tanda ini merupakan hal yang menaikkan harga diri dari pemimpin adat yang secara langsung mendukung kewibawaan serta kekuasaan pemimpin adat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat, dalam lingkungan daerah adat tertentu atau suatu daerah dipimpin oleh ketua adat yang bertugas
68
Badruzzaman Ismail,2007, Mesjid dan adat Meunasha sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh,MAA, hal.150
Universitas Sumatera Utara
53
memelihara jalannya hukum adat dengan semestinya. Sifat pimpinan ketua adat adalah erat hubungannya dengan sifat dan corak serta suasana adat di daerah tersebut.
B. Fungsi Lembaga Adat Lembaga adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergi program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dalam mensejahterakan masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain:69 a. Menyelesaikan masalah sosial masyarakat, b. Penengah (hakim perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat. Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu: 1. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. 2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya 3. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keadatan dan keagamaan.
69
Peraturan Lembaga Adat Besar Republik Indonesia Nomor: 1 tahun 2009 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan, Dan Pengembangan Adat Istiadat Dan Lembaga Adat Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
54
4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya. 5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. C. Wewenang Lembaga Adat Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi:70 1. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat tersebut. 2. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. 3. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa adat. 5. Sebagi penengah dalam kasus-kasus adaat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa. 6. Membantu penyelengaraan upacara keagamaan, kabupaten/kota desa adat tersebut berada.
70
Ibid
Universitas Sumatera Utara
55
D. Tugas dan Kewajiban Lembaga adat Lembaga adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu:71 1. Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. 2. Memberdayakan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari budaya nasional. 3. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan aparat Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah adat tersebut. 4. Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan/atau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat. 5. Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama pemerintah desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis. 6. Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. 7. Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah. 71
Ibid
Universitas Sumatera Utara
56
8. Mengayomi adat istiadat. 9. Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat 10. Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang di tetapkan. 11. Membantu penyuratan awig-awig. 12. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
2. Peranan Lembaga Adat Angkola Dalam Menyikapi Pergeseran Hukum Waris Adat Angkola Lembaga adat kabupaten Padanglawas utara disebut juga sebagai lembaga adat Dalihan natolu yaitu suatu lembaga yang dibentuk pemerintah daerah tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para pengetua adat yang benarbenar memahami, menguasai, menghayati adat istiadat dilingkungannya. Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha dan kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. Dalihan na tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kultural yang menyangkut masyarakat dan budaya adat Angkola. Dalihan na tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok dalam adat Angkola. Dalihan na tolu terdiri dari tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah: 1. Kahanggi, yaitu pihak atau sekelompok keluarga yang semarga, di toba, pihak ini disebut sebagai dongan tubu atau dongan sabutuha. Kahanggi mempunyai
Universitas Sumatera Utara
57
istilah-istilah lain yang menyangkut kerabat kahanggi antara lain: saama saina, marangkang maranggi, saama, saoppu, saparamaan, saparoppuan, sabona atau sahaturunan.72Suhut dan Kahanggi adalah suatu kelompok keluarga yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama dalam satu huta yang merupakan bonabulu ( pendiri Kampung), suhut dan kahangginya terdiri dari: a. Suhut b. Hombar suhut (kahanggi) adalah kelompok yang kedudukannya dapat ditautkan dengan silsilah keluarga c. Kahanggi Pareban Kelompok orang/seseorang yang kedudukannya menjadi kahanggi, karena sepengambilan (istrinya bersaudara). Didalam suatu kampung dikenal dengan apa yang disebut dengan Harajaon dihuta, yang dimaksud dengan harajaon di huta adalah kerabat kerabat, kahanggi dan raja dihuta, (yang mendirikan huta dan yang masih satu keturunan dan semarga dengannya).73 a.
Suhut adalah mereka yang merupakan tuan rumah didalam pelaksanaan upacara adat. Suhut inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan acara adat tersebut.
72
Basyral Hamidy Harahap, siala sampagul: nilai nilai luhur budaya masyarakat kota Padangsidimpuan,cet,1, Padangsidimpuan: Pemerintah Kota Padangsidimpuan,2004, hal.23 73 Pandapotan nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman,Sumatera Utara:Forkala Prov.Sum.Uatra.hal 83
Universitas Sumatera Utara
58
b. Hombar suhut, adalah keluarga dan kahanggi semarga dengan suhut tetapi tidak satu nenek, hombar suhut ini tidak hanya yang berasal dari huta yang sama, tetapi juga dari luar huta yang masih mempunyai hubungan keluarga dan semarga dengan suhut. c.
Kahanggi pareban adalah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga sama-sama mengambil istri dari keluarga yang sama, dalam status adat kahanggi
pareban
ini
dianggap
sebagai
saudara
Markahanggi
berdasarkan perkawinan.74 2. Anak boru, yaitu pihak atau kelompok yang mengambil istri dari pihak suhut. Pihak ini di toba disebut sebagai boru.Anak boru sebagaimana dengan suhut dibagi atas: a.
Anak boru pusakoadalah anak boru yang karena orang tuanya mengambil istri dari kelompok suhut.
b.
Anak boru topot rata adalah anak boru yang mengambil istri dari keluarga mora.
c.
Anak boru bona bulu ( anak boru asal pangalehenan ni boru) adalah anak boru yang telah mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak pertama kalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang pertama mengambil boru dari keluarga kelompok suhut, anak boru ini bahkan turut membuka huta dan turut bertempat tinggal dengan suhut dihuta tersebut. Anak boru ini dalam paradaton (upacara adat) turut menentukan
74
hasil wawancara dengan tokoh adat Mangaraja Huala Harahap, tanggal 18 november 2016
Universitas Sumatera Utara
59
sesuatunya. Kedudukan anak boru terhadap suhutakan
menjadi
kedudukan anak boru terhadap moranya, jika dipandang dari sudut suhut, maka pendampingnya adalah anak boru. Anak boru dari kelompok ini disebut dengan bayo-bayo magodang (goruk goruk hapinis). 3.
Mora, yaitu pihak yang memberikan istri kepada pihak pertama. Pihak ini ditoba disebut hula-hula. Mora terbagi dalam tiga kelompok: a.
Mora mual adalah kelompok keluarga yang secara turun temurun menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertama kalinya, telah mengambil boru dari kelompok ini. Dalam upacara adat mora mual ini dapat hadir sebagai harajaon.
b.
Mora bako (pangalapan boru) adalah mora tempat kelompok suhut mengambil boru,mora ini adalah kelompok keluarga yang telah pernah memberi boru kepada suhut, oleh karena itu secara turun temurun kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok mora ini.
c.
Mora pambuatan boru adalah kelompok keluarga tempat suhut mengambil istri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru pertama kalinya memberikan boru secara langsung ini menganggap keluarga mora ini sebagai mora pambuatan boru.
d.
Mora soksok adalah kelompok keluarga yang telah memberi boru,atau orang tua dari ibu.
Universitas Sumatera Utara
60
Dalihan natolu diartikan dengan tungku yang berkaki tiga yang sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari kaki tungku tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan lagi. Hal ini dimaksudkan dalam adat yaitu apabila salah satu ketiga unsur dari dalihan na tolu tersebut tidak berperan dalam pelaksanaan suatu acara adat, maka acara adat tersebut tidak akan selesai. Acara acara adat atau disebut horja tersebut mempunyai syarat agar dapat dilaksanakan dengan muasyawarah adat yang dihadiri oleh unsur dalihan na tolu tersebut, apabila salah satu dari ketiga unsur berhalangan hadir acara adat atau horja tersebut tidak akan terlaksana. Musyawarah adat dapat pelaksanaannya telah tertata dan teratur sebagai mana terlihat dalam acara siriaon dan siluluton. Siriaon mempunyai pengertian kegembiraan meliputi acara adat kelahiran, perkawinan dan syukuran, sedang siluluton adalah acara adat duka cita meliputi kematian, tolak bala dan musibah lain.75 Dalihan na tolu sebagai suatu lembaga
merupakan wadah untuk
melaksanakan tujuan bersama, memelihara, dan mempertahankan adat. Semuanya harus terpenuhi agar dapat harmonis dan seimbang, dalam masyarakat Padanglawas di istilahkan dengan “manat-manat markahanggi, elek marboru, hormat mar mora” artinya kita harus menjaga hubungan baik dengan kahanggi, berlaku sayang pada anak boru, dan hormat pada mora. Kedudukan dalam dalihan na tolu dapat berubah, jika pada suatu saat seseorang dapat menjadi mora, dan saat lain pada tempat yang berbeda bisa jadi anak 75
Abbas pulungan,Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi Antara Nilai-Nilai Adat Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing dan angkola Tapanuli Selatan, IAIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta,2003,hal.2
Universitas Sumatera Utara
61
boru, hal ini disesuaikan dengan tuan rumah yang mengadakan horja, dalam masyarakat Padanglawas sering dikatakan ”margotti tutur”. Masyarakat Angkola di kecamatan Padang bolak mayoritas memeluk agama Islam, sehingga dalam pembagian waris banyak menggunakan hukum waris Islam atau yang disebut faraidh, tetapi dalam prakteknya pembagian waris tersebut tidak dilakukan dikarenakan berbagai faktor yang menyebabkan pembagian waris tersebut bergeser dari hukum waris Islam. Banyak terjadi perselisihan dalam hal pembagian waris yang terkadang memicu pertikaian dan keretakan dalam keluarga, hal ini dapat dimengerti karena pembagian warisan sangat mudah menimbulkan sengketa, perselisihan yang terjadi banyak diselesaikan dengan musyawarah keluarga dan sebagian dimusyawarahkan dengan musyawarah adat. Dalam menyelesaikan permasalahan pembagaian waris yang dilakukan dengan musyawarah adat mempunyai tingkatan, musyawarah ini dalam adat Angkola disebut marpokat atau martahi. SKEMA I PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN TAHI GELENG-GELENG ULU TOT
TAHI SABAGAS MARPOKAT/MARTAHI TAHI SAHUTA
TAHI LUAT
Universitas Sumatera Utara
62
Dari skema diatas dapat dilihat tingkatan proses pelaksanaan pembagian warisan dari musyawarah keluarga sampai ke musyawarah adat SKEMA II PELAKSANAAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN AHLI WARIS MARPOKAT
WALI WARIS/SAKSI-SAKSI
MUSYAWARAH SEMUA PIHAK
SARAN DARI LEMBAGA ADAT
Dari skema diatas penyelesaian sengketa pembagian waris, pengetua adat mengumpulkan seluruh ahli waris, mengumpulkan wali waris dan saksi-saksi, musyawarah dilakukan dengan mendengarkan pendapat seluruh pihak atau ahli waris Pengetua adat memberikan jalan keluar terhadap masalah pembagian warisan tersebut. Marpokat atau martahi dahulu dilaksanakan setelah kedatangan boru tetapi saat ini martahi diadakan sebelum datangnya boru, dalam hal ini acara martahi mengalami proses perubahan, perubahan ini terjadi atas kesepakatan dalam musyawarah adat dalihan na tolu di huta. Beberapa tingkatan musyawarah sesuai dengan orang yang ikut dalam musyawarah itu:76
76
Wawancara dengan Bapak Panyambung Harahap tokoh adat di desa Sosopan, tanggal 18 November 2016
Universitas Sumatera Utara
63
a. Tahi geleng-geleng ulu tot, adalah musyawarah yang didahului dalam keluarga diadakan antara suami istri. b. Tahi sabagas adalah musyawarah yang diadakan yang diahadiri pihak kahanggi, anak boru, dan mora, yakni keluarga terdekat c. Tahi sahuta adalah musyawarah yang diadakan yang dihadiri keluarga sekampung, dalam musyawarah ini harus hadir: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kahanggi dan kahanggi hombar suhut Anak boru Pisang raut Mora Hatobangon dihuta Raja dihuta (raja panusunan bulung) Harajaon Orakkaya dihuta Pemerintahan
d. Tahi luat dalam musyawarah ini hadir segala unsur pemerintah adat, raja-raja dan pastak pago-pago di huta antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kahanggi dan hombar suhut Anak boru Pisang raut Mora dongan satahi Hatobangon Harajaon Harajaon torbing bolak Orakkaya luat Raja pamusuk Raja panusunan bulung
Universitas Sumatera Utara
64
Perselisihan mengenai pembagian waris di desa Sosopan dan desa Purbasinomba tidak pernah ke tingkat Pengadilan Negeri,77hal ini disebabkan masih tingginya rasa kekeluargaan dan hatobangon dihuta
serta pengetua adat masih
mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Sengketa dalam pembagian warisan antara ahli waris timbul dikarenakan adanya salah satu pihak yang ingin menguasai atau ingin mendapatkan harta warisan lebih banyak dari ahli waris yang lain, karena faktor ekonomi dan pendidikan yang rendah dari dari ahli waris. Contoh kasus: Bapak R Harahap Menurut penuturan responden keluarga terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan dua anak laki-laki yaitu S Harahap dan A Harahap keluarga responden memeluk agama Islam, setelah ayah responden meninggal dilakukan pembagian warisan. Harta warisan yang ditinggalkan berupa dua bidang sawah, dua lahan kebun dan rumah serta tanahnya. Dalam musyawarah pembagian warisan S Harahap mendapat bagian satu sawah dan sebidang kebun demikian juga dengan A Harahap bagian yang sama, rumah tempat tinggal belum dibagi dikarenakan ibu dari responden masih hidup dan menempatinya, setelah beberapa lama terjadinya pembagian warisan ternyata si S Harahap merasa tidak puas dengan hasil pembagian warisan yang terjadi dengan alasan hasil sawah yang menjadi bagiannya tidak sama dengan hasil sawah bagian A Harahap, perselisihan
77
Hasil wawancara denganBapak Soripada Harahap kepala desa Sosopan dan bapak Damhuri harahap kepala desa Purbasinomba pada tanggal 12 November 2016.
Universitas Sumatera Utara
65
pertama masih ruang lingkup keluarga tetapi tidak mencapai kesepakatan sehingga pihak yang bersengketa berkesimpulan diselesaikan secara adat, lembaga adat memberikan masukan agar kedua belah pihak berdamai dengan menerima hasil pembagian waris dengan hati lapang, tetapi S Harahap tetap tidak mendengarkan masukan dari lembaga adat, sehingga lembaga adat menyarankan kepada A Harahap
untuk mengabulkan permintaan S Harahap, hasil yang
didapatkan, A Harahap yang mempunyai pendidikan dan ekonomi lebih cukup dari S Harahap, menyerahkan bagian warisannya kepada S Harahap dengan cara pertukaran harta warisan, sehingga sengketa waris ini dapat terselesaikan. Dalam wawancara dengan ketua lembaga adat Kecamatan Padangbolak menyatakan bahwa pembagian warisan antara S Harahap dan A Harahap secara adat sudah sesuai, tetapi S Harahap merasa tidak adil dikarenakan bahagian yang dia terima sawahnya tidak menghasilkan atau kurang subur tanahnya, S Harahap merasa iri dengan hasil sawah yang didapatkan A Harahap lebih banyak, ketua adat menyarankan untuk melakukan pertukaran dan diterima A Harahap . Dalam pelaksanaan pembagian waris adat Batak Angkola di kabupaten Padanglawas Utara kecamatan Padang Bolak, Lembaga Adat dan Budaya Padanglawas utara mempunyai peran penting untuk memberikan jalan keluar agar terhindar dari sengketa, dalam hal pembagian waris, lembaga adat dan budaya menyikapi persoalan persoalan yang terjadi dengan memberikan nasehatnasehat ataupun petuah-petuah untuk dapat dipertimbangkan para ahli waris yang akan melakukan pembagian warisan, lembaga adat menyerahkan sepenuhnya
Universitas Sumatera Utara
66
proses pembagian warisan kepada ahli waris dengan catatan berlaku adil terhadap semua ahli waris, lembaga adat dalam hal ini hanya sebagai penengah jika terjadi perselisihan dan menjadi penasehat atau pembimbing jika melakukan pembagian warisan dengan hukum Islam atau dengan hukum adat. Hasil wawancara dengan ketua lembaga adat dan budaya kabupaten Padanglawas Utara bahwa pembagian warisan yang terjadi pada masyarakat Kabupaten Padanglawas utara sangat dipengaruhi oleh hukum Islam, karena mayoritas masyarakatnya beragama islam, dan sengketa yang sering terjadi dan diselesaikan lembaga adat memakai hukum Islam. Ketua lembaga adat dan budaya Kabupaten Padanglawas Utara berpendapat pembagian warisan dilakukan jika si pewaris telah meninggal, meninggalnya si pewaris merupakan hukum tuhan, harta yang ditinggalkan sipewaris menjadi hak milik ahli waris yang dibagi secara hukum tuhan atau hukum Islam.78 Pembagian warisan yang dilakukan memakai hukum Islam ataupun hukum Adat adalah sama asalkan berlaku adil kepada ahli waris yang melakukan pembagian warisan, pembagian warisan merupakan hal yang sensitif yang dapat memicu perselisihan dalam keluarga, peran lembaga adat dalam hal pembagian warisan hanya memberi saran dan menjelaskan tata cara pembagian waris. Dalam hal pelaksanaan pembagian warisan, lembaga adat menyerahkan sepenuhnya kepada ahli waris hukum mana yang akan dilaksanakan, ini
78
Wawancara dengan bapak Ikhwan harahap ketua lembaga adat dan budaya kab. Padanglawas Utara pada tanggal 12 november 2016
Universitas Sumatera Utara
67
dilakukan agar terhindar dari perselisihan antara pewaris, lembaga adat yang merupakan lembaga yang berdiri untuk melestarikan adat dan budaya di kabupaten Padanglawas utara tidak dapat memaksakan hukum adat dalam pembagian warisan, dalam pembagian warisan tugas dan fungsi lembaga adat mengalami pergeseran, menurut pengetua adat dan budaya Kabupaten Padanglawas Utara pergeseran pembagian warisan yang dilakukan dengan tidak memakai hukum adat adalah wajar, karena menurut dia dalam pembagian warisan dengan memakai hukum Islam lebih adil dan menghindari perselisihan antara sesama pewaris. Pergeseran pembagian warisan dari hukum adat ke hukum waris Islam merupakan suatu keputusan yang tepat dan adil.79 Peran lembaga adat dan budaya sebagai penengah sangat penting untuk menyelesaikan persoalan pembagian warisan, persoalan warisan tidak hanya menyangkut harta yang ditinggalkan tetapi juga menyangkut hukum waris apa yang dilakukan apakah hukum waris adat atau hukum waris Islam juga mengenai ahli waris mana yang berhak menerima warisan. Tahapan yang dilalui dalam proses martahi ini adalah:80 a. Pengetua adat mengumpulkan seluruh ahli waris b. Pengetua adat mengumpulkan wali waris dan saksi-saksi c. Musyawarah dilakukan dengan mendengarkan pendapat seluruh pihak atau ahli waris 79
Ibid Wawancara dengan bapak Tongku Adil Harahap Tokoh Adat di desa Purbasinomba pada tanggal 15 november 2016, pukul 14.00 Wib 80
Universitas Sumatera Utara
68
d. Pengetua adat memberikan jalan keluar terhadap masalah pembagian warisan tersebut. Musyawarah yang diadakan dengan kehadiran pengetua adat dilakukan atas undangan keluarga ahli waris yang diadakan di rumah pewaris, dalam penyelesaiannya biasanya diakhiri dengan kesepakatan antara semua ahli waris yang dimediasi oleh pengetua adat.
Universitas Sumatera Utara
69
BAB IV PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT ANGKOLA DIKECAMATAN PADANGBOLAK KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA A. Hukum Waris Adat 1.
Pengertian Hukum Waris Hukum waris merupakan kumpulan peraturan, yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.81 Peraturan-peraturan hukum dengan waris, dipengaruhi oleh perubahanperubahan sosial dan juga oleh peraturan-peraturan hukum asing yang sejenis.82 Hukum waris berlaku apabila terjadi kematian dan harta yang ditinggalkan akan diatur untuk diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Dan juga bagaimana penyelesaian hutang-hutang sipewaris jika ia meninggalkan hutang. Banyak defenisi dari pengertian hukum waris menurut para sarjana. Soepomo menyatakan bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan 81 82
A.Pilio,.1997 Hukum Waris.jakarta:T.PN, hal 1. Soekanto, Meninjau …, Op.cit, Hal.110
69
Universitas Sumatera Utara
70
manusia (generatie) kepada turunannya, proses itu tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengalihan harta benda dan harta bukan benda tersebut.83 Apabila pendapat Soepomo tersebut dapat dijadikan suatu patokan yang sementara sifatnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa saat terjadinya pengalihan harta waris terjadi, pada waktu harta tersebut diberikan kepada ahli waris, yang mungkin terjadi pada saat pewaris masih hidup. Akan tetapi proses semacam itu, sangat cenderung terjadi pada masyarakat-masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, dan frekwensinyapun kadang-kadang sering terjadi atau kadang-kadang juga jarang terjadi, oleh karena hal itu tergantung kepentingan masing-masing pihak.84 Hukum waris berisi seluruh peraturan hukum yang mengatur pemindahan harta milik, barang-barang, harta benda dari generasi yang berangsur mati (yang mewariskan) kepada generasi muda (para ahli waris).85 Wirjono Prodjodikoro, memberikan rumusan warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
83 84
Soerjono Soekanto,Op.cit.hal. 259 Ibid.,hal.270 85 Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia,pustaka yustisia, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
71
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.86 R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan bahwa: Hukum waris adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.87 Dari rumusan tentang hukum waris diatas dapat disimpulkan bahwa: ”Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik hubungan antar mereka dengan mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.88 Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, para umumnya para sarjana hukum sependapat bahwa, “Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peradilan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya”. Kemudian dalam kamus hukum, pengertian warisan adalah harta peninggalan yang berupa barang-barang atau hutang dari orang yang meninggal, yang seluruhnya atau sebagian ditinggalkan atau
86 Wirjono Prodjodikoro, 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Persetujuan Tertentu. Bandung:Sumur Bandung, hal.8. 87 R. Santoso Pudjosubroto, 1964, Masalah Hukum sehari-har. Yogyakarta:HHS, hal.8 88 A.Pitlo.,1981. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut KUHPerdata. Jakarta: Bina Aksara.hal.1
Universitas Sumatera Utara
72
diberikan kepada ahli waris atau orang-orang yang telah ditetapkan menurut surat wasiat.89 a.
Menurut hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.90 Berdasarkan pasal 171 huruf a kompilasi mengenai batasan hukumkewarisan , maka proses peralihan dalam hukumkewarisan mengenal tiga unsur pokok yaitu:91
b.
Pewaris Adalah orang yang pada saat meninggalnya dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
c.
Harta warisan Adalah harta bawaan ditambah bagian bagian dari harta bersam setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.
d.
Ahli waris
89
J.C.T. Simorangkir,S.H.,dkk, Kamus Hukum, hal. 186. Buku II, Hukum Kewarisan, bab I, pasal 171 ayat a. 91 Idris Djkfar, Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam,Pustaka jaya, hal.51 90
Universitas Sumatera Utara
73
Adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan Faraidl.Menurut kitab Ia-natut Tholibin, Faraidl menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan) dan pada syara’ ialah bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris.Faraidl adalah jama’ dari Faraidl yang berarti: suatu bagian tertentu. Dengan demikian Faraidl dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.92 Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang hukum kewarisan terdapat pada surah An-Nisa ayat (1), (7), (8), (11), (12), (33), dan (176), surah AlBaqarah ayat (180), (233) dan (240), surah Al-Anfal ayat (75), dan surah Al-Ahzab ayat (4), (5) dan (6) serta surah ath-Thalaaq ayat (7). Lima belas ayat tersebut secara keseluruhan sudah dapat menggambarkan prinsip-prinsip kewarisan dan sistem kekeluargaan yang khas dari Hukum Kewarisan Islam.Ayat-ayat tersebut demikian terperinci dengan sistematik hukum yang kuat dan hampir semua persoalan kewarisan dapat diselesaikan dengan baik, sehingga wajar kalau dikatakan bahwa hukum kewarisan Islam merupakan ilmu yang standard.93 Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW), hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia ,atau mengatur peralihan harta kekayaan yang
92 93
Ibid.,hal.2 Ibid.,hal.12
Universitas Sumatera Utara
74
ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris.94 Harta warisan terdiri atas:95 a. Harta bawaan atau harta asal Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta itu akan kembali keluarganya bila ia meninggal tanpa anak. b. Harta bersama dalam perkawinan Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha suami-istri selama dalam ikatan perkawinan. c. Harta pusaka Harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris tertentu
karena
sifatnya
tidak
terbagi,
melainkan
hanya
dinikmati/dimanfaatkan bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya. d. Harta yang menunggu Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu tidak diketahui dimana ia berada. 2.
Pengertian Hukum Waris Adat Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak
94 95
Buku II Kitab Undang Undang Hukum Perdata Zainuddin ali, Pelaksanaan …Op.cit .hal.4-5
Universitas Sumatera Utara
75
berwujud benda (immateriele goerderen) dari suatu generasi manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengalihan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan terus, hingga angkatan (generatie) baru, yang dibentuk dengan mencar atau mentasnya anak-anak, yang merupakan keluarga-keluarga baru, mempunyai dasar kehidupan materiil sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang hanya sebagai fundamen.96 Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan materieel dan immmaterieel dari turunan ke turunan. Hanya tinggal ditunjukkan saja sampai dimana berlakunya pengaruh-pengaruh lain-lain aturanaturan hukum atas lapangan hukum waris dalam masing-masing lingkungan hukum. Aturan aturan hukum waris tidak hanya mengalami pengaruh perubahanperubahan sosial dan semakin eratnya pertalian keluarga yang berakibat semakin longgarnya pertalian clan dan suku saja, melainkan juga mengalami pengaruhnya sistem-sistem hukum asing, yang mendapat kekuasaan berdasarkan atas agama karena ada hubungannya lahir yang tertentu dengan agama itu, dan kekuasaan tadi misalnya dipraktekkan atas soal-soal yang concreet oleh hakim-hakim agama,
96
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat,Jakarta, PT Pradnya Paramita, cet ketujuh belas,
hal.84
Universitas Sumatera Utara
76
walaupun pengaruh itu atas hukum waris tidak begitu kentara seperti atas hukum perkawinan, adalah tergantung dari kekuasaan bentuk-bentuknya hukum waris sendiri apakah ia dapat tetap menolak pengaruh itu, ataukah pengaruh itu dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang mendalam atasnya.97 Beberapa pendapat para ahli hukum waris adat antara lain: Menurut Hilman Hadikusuma bahwa, Hukum waris adat hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dan pewaris kepada ahli waris, dengan kata lain hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada turunannya.98 Menurut Imam Sudiyat: Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan da peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.99 Teer Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana abad ke abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.100
97
K.Ng. Poesponoto. Soebakti, Asas-asas dan susunan hukum adat,(jakarta, Pradnya Paramita,cet ke-8), hal.232 98 Hilman Hadikusuma, 1999 Hukum Waris Adat,PT.Citra aditya bakti, Bandung, hal 7 99 Imam sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Azas, Yogyakarta: Liberty, hal.151
Universitas Sumatera Utara
77
Berdasarkan pendapat para ahli hukum adat diatas dapat disimpulkan , Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari tiga pendapat di atas juga terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hukum Waris Adat di dalamnya terdapat adanya kesatuan dan berjenis-jenis dalam Hukum Adat Indonesia, dapat disusun aturan-aturan pokok dan asas-asas yang sangat umum berlakunya, tetapi tidak dapat disusun suatu aturan yang di semua lingkungan hukum berperangai lahir yang sama. Dalam Hukum Adat ini para ahli waris tidak dapat ditetapkan, karena di berbagai daerah itu terdapat bermacam-macam sistem kekeluargaan.Jadi para ahli warisnya digolongkan berdasar sifat kekeluargaan masing-masing.Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak.101 Terdapat tiga unsur dalam hukum waris adat, yaitu: a. Unsur Proses Proses peralihan atau pengoperan pada waris adat sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu masih hidup dan proses itu berjalan terus hingga keturunannya masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri (mentas atau mencar di Jawa), yang kelak pada waktunya mendapat
100
Teer Haar, Beginselen en Stelsel Van het Adatrecht, JB Groningen Jakarta, 1950, hal. 197 Tamakiran S. , Asas Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya, Bandung, 2000, Hlm. 62 101
Universitas Sumatera Utara
78
giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi (keturunan) yang berikutnya. Soepomo selanjutnya menyatakan bahwa meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.102 b. Unsur-unsur benda yang diwariskan Benda-benda yang diwariskan berupa benda berwujud (materiil) dan tidak berwujud (immateriil). Harta warisan materiil, yaitu harta warisan berwujud benda yang diwariskan kepada generasi berikutnya, contohnya rumah, tanah, gedung, perhiasan, dan lain-lain. Harta warisan immateriil, yaitu harta warisan yang tidak berwujud tetapi diwariskan kepada para ahli waris, contohnya gelar ataupun jabatan. c. Unsur Generasi Defenisi tentang hukum waris menyebutkan bahwa proses pewarisan itu berlangsung dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.103Dalam kesatuan rumah tangga, yang akan menjadi ahli waris dari seseorang adalah anak-anak dari orang yang bersangkutan sesuai dengan sistem cara menarik garis keturunan. Hukum waris adat tidak mengenal legitieme portie,akan tetapi hukum waris adat menetapkan dasar persamaan hak. Hak sama ini mengandung hak untuk
102 103
Soepomo, Op.Cit.hal. 79 Djaren Saragih, Pengantara Hukum Adat Indonesia, Transito, Bandung, 1996,hal. 154
Universitas Sumatera Utara
79
diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Selain dasar persamaan hak, hukum waris adat juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian, berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris. Harta warisan dalam hukum waris adat tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris.104 Hukum Waris adat menunjukan corak-corak yang memang typerend bagi aliran pikiran tradisional Indonesia, bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan konkrit dari bangsa Indonesia. 105 Sifat yang lain dalam hukum waris adat diantaranya adalah sebagai berikut: a. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi. b. Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orang tua angkatnya. c. Dikenal sistem “penggantian waris”. d. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris.
104 105
Soerojjo Wignjodipoero, Op.cit, hal 163 Soepomo, Op.Cit,.hal.78
Universitas Sumatera Utara
80
e. Anak perempuan, khususnya di Jawa, apabila tidak ada anak laki-laki, dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan, kakek-neneknya dan saudara-saudara orang tuanya. f. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, soal dan kedudukan hukum dari pada barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.106 Berbicara mengenai sistem pewarisan, tidak dapat lepas dari sistem kekeluargaan yang dianut di negara kita ini. Apabila masyarakat Indonesia yang menganut bermacam agama, kepercayaan, terdiri dari berjenis-jenis suku bangsa, mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dan keturunan yang berbeda-beda. Pada umumnya sistem kekeluargaan yang ada di dalam masyarakat hukum adat Indonesia terdapat tiga jenis yaitu : 1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu masyarakat hukum, dimana anggotaanggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui pihak Bapak, bapak dari bapak
terus
ke
atas
sehingga
dijumpai
seorang
laki-laki
sebagai
moyangnya.Akibat hukum yang timbul dari sistem ini adalah, anak-anak yang lahir dan semua harta kekayaan yang ada adalah milik Bapak atau keluarga bapak. Dapat dikatakan kedudukan pria lebih menonjol dari wanita di dalam pewarisan.
106
Ibid.,hal.164
Universitas Sumatera Utara
81
2. Sistem Matrilineal, yaitu suatu sistem di mana masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. 3. Sistem Parental atau Bilateral, adalah masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis Bapak dan garis Ibu, sehingga dijumpai seorang laki-laki atau seorang perempuan sebagai moyangnya. Ketiga sistem tersebut di atas masih cukup kuat bertahan terutama di daerah pedesaan, sedangkan perkembangan di kota-kota besar pada saat ini nampaknya sudah mengarah ke sistem parental. Adakalanya sistem keturunan yang satu dan yang lain disebabkan karena perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau alternerend.107 3.
Sistem Pewarisan Sistem pewarisan
yang ada di dalam masyarakat hukum adat Indonesia
terdapat tiga jenis yaitu :108 a. Sistem Pewarisan Individual Yang merupakan ciri dari sistem pewarisan individual adalah bahwa harta warisan akan terbagi-bagi hak kepemilikannya kepada ahli waris, hal ini sebagaimana yang berlaku menurut hukum KUHPerdata, dan hukum Islam,
107
I.G.N. Sugangga, Hukum Adat Khusus, Hukum Adat Waris Pada Masyarakat Hukum Adat yang bersistem Patrilineal di Indonesia, Semarang, 1988, hal 11. 108 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, PT.Citra Adtya Bakti, Bandung,1991.hal.15-19
Universitas Sumatera Utara
82
begitu pula halnya berlaku bagi masyarakat dilingkungan masyarakat hukum adat seperti pada keluarga-keluarga masyarakat pacitan yang patrineal dan keluargakeluarga suku Jawa Lainnya yang parental. Kelebihan dari sistem pewarisan individual adalah dengan adanya pembagian harta warisan maka masing-masing individu ahli waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian masing-masing yang telah diterimanya. Kelemahan dari sistem pewarisan individual ini adalah selain harta warisan tersebut menjadi terpecah-pecah, dapat berakibat putusnya hubungan kekerabatan antar keluarga ahli waris yang satu dengan yang lainnya.Hal ini berarti azas hidup kebersamaan dan tolong-menolong menjadi lemah diantara keluarga ahli waris tersebut. Hal ini kebanyakan terjadi dikalangan masyarakat adat yang berada di perantauan, dan telah berada jauh dari kampung halamannya. b. Sistem Pewarisan Kolektif Yang merupakan ciri dari pewarisan kolektif ini adalah bahwa harta warisan itu diwarisi atau lebih tepatnya dikuasai sekelompok ahli waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat (badan hukum adat).Harta peninggalan seperti ini disebut “harta pusaka” di Minangkabau atau “harta menyanak” di Lampung. Dalam sistem ini, harta warisan orangtua (harta pusaka rendah) atau harta peninggalan seketurunan atau suku dari moyang asli (marga geonologis) tidak dimiliki secara pribadi oleh ahli waris yang bersangkutan.Akan tetapi para anggota keluarga/kerabat hanya boleh memanfaatkan, misalnya tanah pusaka
Universitas Sumatera Utara
83
yang digarap bagi keperluan hidup keluarganya, atau rumah pusaka itu boleh ditunggu dan didiami oleh salah seorang dari mereka yang sekaligus mengurusnya.Hal ini sebelumnya dapat diatur berdasarkan persetujuan dan kesepakatan para anggota keluarga/kerabat yang bersangkutan. c. Sistem Pewarisan Mayorat Yang merupakan ciri sistem pewarisan mayorat adalah harta peninggalan orangtua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur kerabat (pusaka tinggi) tetap utuh dan tidak dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris, melainkan dikuasai oleh anak sulung laki-laki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal seperti di Lampung dan juga di Bali, atau tetap dikuasai oleh anak sulung perempuan (mayorat wanita) dilingkungan masyarakat matrilineal Semendo di Sumatera Selatan dan Lampung. Sitem ini hampir sam dengan sistem pewarisan kolektif dimana harta warisan tidak dibagi-bagi kepada ahli waris, melainkan sebagai hak milik bersama. Bedanya pada sistem pewarisan mayorat ini, anak sulung berkedudukan sebagai penguasa tunggal atas harta warisan dengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik-adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat dari para anggota keluarga ahli waris lainnya. Sistem kewarisan mayorat, dikategorikan menjadi dua yaitu: 1.
Mayorat laki-laki apabila anak laki-laki sulung (keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, dimana terjadi didaerah Lampung,
Universitas Sumatera Utara
84
2.
Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, daerahnya di masyarakat tanah Semendo.
Hukum adat waris adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup permasalahan hukum adat yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immateriil, yang mana dari seorang tertentu dapat diserahkan kepada keturunannya sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihan dari harta yang dimaksud.109 4.
Pelaksanaan Pembagian Waris Adat Pada Masyarakat Angkola
a.
Harta Waris Harta waris menurut hukum adat Angkola di kabupaten Padanglawas Utara
adalah keseluruhan harta kekayaan pewaris, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Barang-barang yang berwujud dapat dibagi atas dua bagian yaitu: 1. Harta rumah 2. Harta diluar rumah Harta yang tidak berwujud adalah harta yang tidak dapat di tangkap panca indera, contohnya kedudukan atau pangkat di dalam adat. Dalam masyarakat Angkola di kabupaten Padanglawas utara sumber-sumber dari harta warisan dibagi atas dua jenis yaitu: a. Harta Pusako: adalah harta peninggalan nenek moyang secara turn temurun atau harta bawaaan asal suami di dalam perkawinan yang dibawa kedalam 109
Tolib Setiady, Inti Sari Hukum adat Indonesia, Bandung,:Alfabeta, 2009, hal,281
Universitas Sumatera Utara
85
kehidupan keluarga menjadi harta warisan pusaka, pada umumnya berbentuk sawah, ladang , dan rumah. b. Harta pencarian bersama adalah harta pencarian bersama selama perkawinan, harta pencarian bersama ini dapat berupa barang-barang bergerak seperti hewan-hewan ternak dan lain-lain. Barang-barang tidak bergerak seperti rumah, ladang, sawah dan lain-lain. Harta pusako dalam perkawinan akan menjadi satu dengan harta pencarian sebab harta pusako sudah menjadi hak dari suami yang yang telah melakukan pembagian waris sebelumnya dan sudah hak suami sepenuhnya sehingga akan diteruskan oleh keturunan mereka yang menjadi pewaris harta mereka. 110 Dalam hukum adat Angkola setiap keturunan akan mewariskan marga dari Ayahnya. Dalam pembagian warisan pemberian-pemberian atau yang disebut holong ate yang diberikan kepada istri menjadi hak milik, jika diwariskan kepada keturunannya maka pemberian-pemberian tersebut akan berpindah ke marga lain. Hal ini sepenuhnya akan menjadi hak milik dari turunannya, berbeda dengan hukum adat batak Karo dimana harta tersebut setelah istri meninggal dikembalikan kepada marga asalnya, istri hanya mempunyai hak pakai selama hidupnya. b. Proses Pewarisan
110
Wawancara dengan Tongku Adil harahap, tokoh adat Kabupaten Padanglawas Utara, tanggal 12 november 2016
Universitas Sumatera Utara
86
Proses pewarisan, yaitu proses bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan pemakainya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah pewaris meninggal. Hal ini dapat dijumpai dalam berbagai sistem hukum, baik hukum waris barat, hukum waris Islam dan juga hukum adat. Tetapi dalam hukum adat yang masyarakatnya menganut sistem pewarisan individual, ada dijumpai pengalihan harta waris pada saat pewaris masih hidup atau disebut hibah, seperti pada masyarakat adat Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara, penerusan atau pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anak-anakyang akan mendirikan rumah tangga baru (manjae) misalnya pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah, bidang-bidang tanah ladang, kebun atau sawah untuk laki-laki atau perempuan yang akan berumah tangga. Hibah dilakukan waktu si pewaris masih hidup adalah untuk menghindari pertikaian atau perselisihan diantara para ahli waris setelah pewaris meninggal dunia dimana tujuan harta warisan adalah untuk kelangsungan ahli waris dikemudian hari. Dilihat dari sudut sosiologi perbuatan hibah yang dilakukan antara orangorang yang mempunyai hak saling mewarisi terhadap sistem hukum waris mempunyai prinsip sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
87
1. Pada masyarakat Unilateral, perbuatan hukum hibah itu merupakan tindakan koreksi terhadap hukum warisnya. Dengan perbuatan hibah, maka seseorang menurut sistem hukum warisnya tidak dapat mewariskan kekayaannya sendiri kepada anak-anaknya sendiri. Dengan perbuatan hibah orang-orang itu memberikan bagian-bagian dari kekayaan kepada anak-anaknya sendiri. 2. Pada masyarakat bilateral, maka perbuatan hibah itu berfungsi untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah terjadinya pertengkaran antara ahli-ahli waris. Pewarisan juga mempunyai fungsi lain, yakni mengadakan koreksi dimana perlu, terhadap hukum waris abinvestato menurut peraturan-peraturan tradisional atau agama, yang dianggap tidak memuaskan bagi oleh peninggal warisan. 111 Pengalihan harta waris sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris meninggal dunia dan merupakan proses dalam pembagian warisan setelah pewaris meninggal dunia , hal ini tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu azas atau prinsip pewarisan yaitu menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada sipeninggal harta mati.112
111 112
Soepomo: Adatprivaatrecht van west Java, hal.117 Datuk Usman, Diktat Hukum adat, Bina Saran Balai Penmas SU, Medan, 1988, hal.145
Universitas Sumatera Utara
88
Dengan demikian terhadap harta-harta yang diwariskan sebelum si pewaris meninggal, maka harta tersebut akan diperhitungkan lagi pada waktu diadakan pembagian warisan sesudah si pewaris meninggal. Dalam masyarakat Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara pemberian harta pada saat sipewaris masih hidup tidak akan diperhitungkan lagi pada saat pembagian warisan sesudah sipewaris meninggal, Dalam hukum adat Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara pemberian harta kepada anak semasa orang tua masih hidup ada yang berupa tanah atau ladang, biasanya diberikan kepada anak yang telah berumah tangga untuk di usahainya sebagai tempat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hak seorang anak yang menerima tanah atau ladang tersebut adalah hak milik, hak tersebut tidak diambil kembali dari si anak oleh ahli waris lain ketika pembagian warisan sesudah sipewaris meninggal, harta tersebut sudah beralih haknya pada si anak sebagai hak milik. Pada perempuan pemberian harta warisan semasa orang tua masih hidup berupa perhiasan pada waktu dia melangsungkan pernikahan, harta tersebut berupa emas yang jumlahnya disesuaikan dengan mahar yang diterimanya pada saat melangsungkan pernikahan, hal ini dalam adat Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara merupakan adat kebisaan dimana jumlah emas yang dibawa pengantin wanita disesuaikan dengan mahar yang diberikan pengantin pria. Pembagian warisan dalam masyarakat adat Angkola di Kabupaten Padanglawas utara dapat dilaksanakan sebelum dan sesudah sipewaris meninggal, dalam pelaksanaan pembagian warisan ketika si pewaris masih hidup diadakan
Universitas Sumatera Utara
89
dengan melakukan rapat keluarga untuk menentukan pembagian harta warisan tersebut, setelah semua ahli waris sepakat dan menerima bagian masing- masing, pemanfaatan semua harta warisan ini masih dalam penguasaan orang tua selama masih hidup, pembagian warisan ini dilakukan bertujuan untuk menghindari pertikaian dan perpecahan antara sesama ahli waris jika nanti si pewaris telah meningal dunia.113 Menurut hasil wawancara dengan tokoh adat dan responden pembagian warisan dilakukan apabila kedua orang tua atau pewaris telah meninggal dunia dan semua ahli waris telah berkeluarga, jika salah satu pewaris masih hidup atau salah satu ahli waris belum berkeluarga maka pembagian warisan dalam hukum adat Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara tidak dapat dilaksanakan, kalaupun ada ahli waris yang menuntut agar harta warisan dibagi maka ia diberikan hanya sebagai hak pakai saja. Dalam pembagian warisan setelah pewaris meninggal dilaksanakan rapat keluarga, sebagian masyarakat melakukan setelah tiga hari sipewaris meninggal dalam istilah Angkola disebut Mangabisi Ari, sebagian lagi pelaksanaannya dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari pewaris meninggal. Dalam pelaksanaan pembagian warisan tersebut seluruh harta warisan diperhitungkan kemudian diselesaikan seluruh hutang piutang dari si pewaris agar tidak ada masalah di belakang hari.
113
Wawancara dengan Bapak Ikhwan Harahap Ketua lembaga Adat Kabupaten Padanglawas Utara, tanggal 15 november 2016
Universitas Sumatera Utara
90
Jika ahli waris masih kecil dan telah menjadi yatim piatu maka harta warisan tersebut akan diurus oleh saudara yang akan mengurus atau membesarkan ahli waris sampai dewasa dengan diawasi oleh saudara pewaris tersebut. Dalam pembagian harta warisan dalam adat Angkola di Kecamatan Padangbolak harta yang tidak dapat dibagi yaitu berupa rumah si pewaris, rumah serta perabotan dan tanahnya merupakan bagian yang dipisahkan dari harta warisan yang akan dibagi ,yang menjadi hak milik anak yang paling kecil dari keluarga pewaris, Menurut wawancara dengan responden pembagian harta warisan di dua desa tersebut terdapat tiga cara yaitu: 1. Musyawarah para ahli waris Cara ini sering digunakan penduduk masyarakat adat di dua desa tempat penelitian, dalam musyawarah ini ahli waris semua berkumpul untuk membahas pembagian harta warisan, dalam pembagian harta warisan ini anak laki-laki bermusyawarah untuk melakukan pembagian harta warisan, dalam musyawarah ini ditentukan apakah pembagiannya menurut hukum adat Angkola atau hukum waris Islam. Setelah harta warisan dibagi maka untuk bagian anak perempuan juga biasanya dibagi tetapi lebih kecil dari bahagian anak laki-laki, setelah musyawarah selesai para ahli waris membuat surat pembahagian harta warisan yang disaksikan seluruh ahli waris, tokoh adat dan kepala desa di desa dimana pembagian warisan ini dilakukan. 2. Pembagian secara hukum waris Islam (Faraidh)
Universitas Sumatera Utara
91
Pembagian warisan ini dilakukan sesuai dengan hukum waris Islam yaitu dengan membagi waris bagi ahli waris laki-laki dan perempuan berbanding 2:1 3. Pembagian warisan menurut adat Angkola Kabupaten Padanglawas Utara. Pembagian warisan ini dilakukan sesuai dengan adat Angkola Kabupaten Padanglawas Utara dimana dalam pembagiannya anak perempuan mendapat Holong ate dari jumlah harta warisan, harta warisan rumah dan tanah pekarangannya, menurut kebiasaan adat Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara adalah bahagian anak terkecil. Pembagian warisan ini dilakukan dengaan melibatkan ketua adat, hatobangon dihuta, serta kepala desa dan saksi-saksi, pembagian warisan menurut adat ini dilakukan karena tidak adanya kesepakatan antara ahli waris dalam musyawarah keluarga, pembagian warisan ini jarang dilakukan karena akan membuat malu keluarga ahli waris, masyarakat beranggapan ahli waris tidak mempunyai rasa malu dan dalam kebiasaan di dua desa tersebut mempunyai prinsip jika pembagian harta dengan perselisihan antara ahli waris membuat pewaris atau orang tua yang sudah meninggal tidak mendapat ketenangan di alam kubur.
No
Tabel 6 Cara Pembahagian Harta Warisan Nama desa Jlh responden Cara 1 Cara 2
Cara 3
1
Sosopan
5
5
-
-
2
Purba sinomba
5
5
-
-
Total
10
10
-
-
Universitas Sumatera Utara
92
Dari tabel diatas 100% (seratus persen) respondenmelakukan pembagian warisan dengan cara 1 yaitu musyawarah para waris untuk menentukan bagaimana pembagian waris yang akan diterapkan oleh para ahli waris. c. Pembagian Warisan Kewarisan dalam masyarakat batak berarti hukum mengenai harta benda peninggalan orang mati, jika mencari pengertian yang tepat untuk mendefenisikan hukum warisan ini sebagai keseluruhan, kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa bagian hukum adat ini mempunyai istilah sendiri. Istilah itu kadang tercampur satu sama lain dalam bahasa rakyat. Tetapi hukum bumiputera membuat perbedaan yang jelas antara satu dengan yang lainnya.114 Sistem pewarisan yang ada pada masyarakat adat Angkola di Kecamatan Padangbolak adalah sistem Pewarisan Patrinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih besar pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam pewarisan. Sistem pewarisan sangat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan setempat, di tanah Batak terdapat struktur kemasyarakatan berdasarkan hubungan darah yang ditarik melalui garis keturunan laki-laki, sehingga yang berhak meneruskan garis keturunan hanyalah anak/keturunan lelaki. Sehingga kedudukan anak laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan anak perempuan didalam pewarisan.115
114 115
J.c. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LkiS,Yogyakarta,2004, hal,361 Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat, Bandung,PT.citra Aditya Bakti,1999, hal.24
Universitas Sumatera Utara
93
Dalam pembagian harta warisan pada masyarakat adat Angkola di Kecamatan Padangbolak yang berhak atas harta warisan adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan mendapatkan harta warisan dari keikhlasan hati (holong ate) dari anak laki-laki sebagai tanda kenang kenangan saja. Jika pewaris tidak mempunyai keturunan anak laki-laki hanya anak perempuan saja, maka harta warisan seluruhnya jatuh kepada anak-anak perempuan tersebut tersebut.116 Dalam hukum warisan adat, keturunan darah ayah sebagai titik tolak untuk menyelusuri orang-orang pewaris.Hubungan keluarga terdekat dan jenis kelamin lakilaki adalah golongan yang utama untuk mendapatkan hak waris terhadap harta benda, sehingga golongan laki-laki beserta turunan-turunan harta menurut garis vertikal adalh menjadi golongan yang utama (kesatuan). Dengan demikian jenjang pewarispewaris, tingkatannya antara lain:117 1. Anak laki-laki kandung 2. Cucu laki-laki kandung dan seterusnya 3. Ayah kandung, kalu tidak ada anak cucu atau cucu laki-laki kandung dan seterusnya. Kemudian dari garis horizontal, kita temui:118 1. Saudara laki-laki kandung , kalau tidak ada yang tersebut diatas tadi
116 Wawancara dengan Tongku adil Harahap tokoh adat di kabupaten Padanglawas Utara pada tanggal 23 nov 2016 117 Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Buku Pelajaran adat Tapanuli Selatan Surat Tumbaga Holling-holling, Mitra, 2012, hal.94 118 ibid
Universitas Sumatera Utara
94
2. Anak-anak saudara laki-laki kandung dan seterusnya, kalau tidak ada yang tersebut diatas tadi 3. Istri berhak mendapat pertanggungjawaban penuh atas belanja dan tempat tinggal dan perawatan dari seluruh anaknya yang laki-laki, harta peninggalan si ayah diutamakan untuk mencukupi kebutuhan si ibu selama hidupnya, baru selebihnya untuk dimanfaatkan anak-anaknya. 4. Anak perempuan tidak memperoleh hak waris dengan pembagian kadar tertentu dalam adat, tetapi ada pemberian yan bersifat kasih sayang (holong ate), baik berupa benda bergerak atau tidak bergerak, seperti sawah, kebun dan lain sebagainya, pemberian untuk anak perempuan ini disebut “ulos na so ra buruk” (selimut yang tak usang). Pada umumnya anak perempuan yang sudah kawin selalu mendapat pemberian dari harta peninggalan orangtua berdasarkan kasih sayang (holong ate) berupa benda bergerak seperti perkakas/perabot rumah tangga, barang perhiasan berupa emas dan pakaian, maka pemberian barang barang seperti ini akan menjadi hak milik anak perempuan tersebut demikian juga dengan pemberian harta tidak bergerak seperti sawah atau ladang maka pemberian itu akan menjadi hak milik anak perempuan tersebut.
B. Pelaksanaan Pembagian Warisan Saat Ini Pada Masyarakat Angkola di Kecamatan Padangbolak Kabupaten Padanglawas Utara. Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu
Universitas Sumatera Utara
95
bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual. Dalam adat Angkola dikecamatan Padangbolak sudah mengalami pergeseran dalam adat tersebut karena sudah terpengaruh dengan agama. Dilihat dari jumlah penduduk pada dua desa lokasi penelitian yaitu desa Sosopan dan Purba sinomba 100% menganut kepercayaan agama Islam. Sehingga dalam adat Angkola di Kecamatan Padangbolak hukum yang ditetapkan dalam waris adalah memakai hukum Islam. Menurut wawancara dengan responden menyatakan dengan memakai pembagian waris secara hukum Islam berlangsung secara damai dan mencapai kesepakatan, hukum waris adat pembagiannya sangat tidak adil terutama untuk anak perempuan, sehingga proses pembagian warisan bergeser dari hukum waris adat menjadi hukum waris islam, tetapi ada sebagian ahli waris dengan tujuan untuk menguasai harta warisan memaksakan pembagian warisan tersebut dengan mempergunakan hukum waris adat, pembagian warisan dengan hukum adat biasanya hanya melahirkan perselisihan dan perpecahan antara ahli waris, dalam hal ini ahli waris perempuan merupakan pihak yang sangat dirugikan.119 119
Wawancara dengan bapak Akhiruddin dalimunthe warga masyarakat desa Purba sinomba, tanggal 23 nov 2016
Universitas Sumatera Utara
96
Dalam hukum waris adat anak perempuan hanya mendapatkan warisan sebatas keikhlasan dari anak laki-laki (holong ate),menurutnya lagi hal itu tidak sesuai dan tidak mempunyai rasa keadilan, posisi anak perempuan pada saat ini dibanding anak laki-laki di mata orang tua adalah sama, hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Angkola di desa Sosopan dan desa Purbasinomba beban tanggungan nafkah keluarga sekarang ini bukan lagi sepenuhnya dipikul laki-laki tapi sebagian sudah menjadi urusan perempuan. Masyarakat di kecamatan Padang bolak terutama di dua desa Sosopan dan desa Purbasinomba 100% menganut agama islam, dengan kondisi masyarakat yang demikian menyebabkan hukum yang dipergunakan dalam pembagian warisan adalah hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada Al-Qur’an, asSunnah, dan Ijtihad para ulil amri. Hal ini dapat diketahui dari Firman Allah surah An-Nisa Ayat (59) yang menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri diantara kamu.Kemudian kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ini kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. Perintah mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya, artinya ialah mengikuti AlQur’an dan as-Sunnah, sedang perintah mentaati ulil amri diantara muslimin, artinya
Universitas Sumatera Utara
97
ialah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil amri umat Islam dalam soal pembentukan hukum Syari’at Islam.120 Pada dasarnya
Al-Qur’an adalah kitab hidayat yang berisi norma-norma
menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia. Norma-norma tersebut tersusun secara sistematis dalam suatu totalitas, sehingga mempunyai saling hubungan secara fungsional dalam mengarahkan manusia kepada pembentukan diri menjadi manusia yang sempurna. Manusia secara individual dan kolektif mempunyai tanggung jawab untuk tunduk kepada aturan-aturan normatif Al-Qur’an dalam keseluruhan aspek kehidupannya, sehingga tidak ada perbedaan patokan norma yang sifatnya kontradiktif antara satu segi kehidupan dengan segi kehidupan lainnya. Hukum kewarisan sebagai suatu pernyataan tekstual yang tercantum dalam Al-Qur’an merupakan suatu hal yang absolut dan universal bagi setiap muslim untuk mewujudkan dalam kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal, hukum kewarisan Islam mengandung nilai-nilai abadi dan unsur yang berguna untuk senantiasa siap mengatasi segala kesulitan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Al-Qur’an mengajarkan hukum jauh lebih luas dari apa yang diartikan oleh ilmu hukum, sebab hukum menurut Al-Qur’an tidak hanya diartikan sebagai ketentuanketentuan yang mengatur hidup bermasyarakat, tetapi juga mengatur segala sesuatu yang ada dalam alam semesta raya ini.121
120 121
Prof.H. Idris Djakfar,S.H dan Taufik Yahya,SH.,M.H.Op.cit hal.9 Ibid.hal.2
Universitas Sumatera Utara
98
Pembagian warisan merupakan persoalan krusial yang terkadang memicu pertikaian serta menimbulkan perpecahan dalam keluarga sehingga hukum waris merupakan kunci untuk menghindari perpecahan tersebut.Perpecahan terjadi jika salah satu dari ahli waris merasa dirugikan, menurut responden untuk menghindari hal tersebut masyarakat adat di desa Sosopan dan Purba sinomba memakai hukum waris Islam, karena menurut mereka hukum waris Islam lebih adil dibanding hukum waris adat dan dari segi ajaran Islam sendiri berlaku prinsip bahwa bagi seorang muslim berlaku hukum Islam, sesuai dengan Firman Allah dalam surah Al-ahzab ayat (36) menegaskan: “Dan tidak patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”
No
Tabel 7 Pelaksanaan pembagian warisan Nama Desa Hukum Waris Adat Hukum Waris Islam
1
Sosopan
-
5
2
Purba Sinomaba
-
5
Total
-
10
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa seluruh responden baik dari desa Sosopan dan desa Purba Sinomba memakai hukum kewarisan Islam, penerapan
Universitas Sumatera Utara
99
hukum waris Islam dalam pembagian waris masyarakat Angkola adalah merupakan hasil dari pada kesepakatan para ahli waris pada saat musyawarah para ahli waris.122Namun dalam hal porsi bagian waris masih juga ditemukan masyarakat yang membagi warisan dengan perbandingan seimbang antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing. Hukum kewarisan ini disebut dengan hukum Faraidl. Hukum waris Islam mempunyai prinsip sebagai berikut:123 a. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki, seperti yang berlaku dalam kapitalisme/individualisme, yang melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang sendirinya tidak mengenal sistem warisan. b. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta
122
Musyawarah para ahli waris adalah salah satu cara dalam pembagian waris masyarakat adat angkola di kecamatan Padangbolak 123 Prof.M. Hasballah Thaib,Ph.D. Ilmu Hukum Waris Islam,Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana USU 2011,hal 8
Universitas Sumatera Utara
100
warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim. Namun tidak berarti bahwa ahli waris dibebani melunasi hutang mayit (pewaris). c. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih jauh; yang lebih kuat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan daripada kakek, dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah. d. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris. Misalnya, apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami atau istri, dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan. e. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil, yang baru saja lahir, semuanya berhak atas warisan orang tuanya. Namun, perbedaan besar kecilnya bagian diadakan sejalan dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Misalnya, anak laki-laki yang memikul beban tanggungan nafkah keluarga mempunyai hak lebih besar daripada anak perempuan yang tidak dibebani tanggungan nafkah keluarga.
Universitas Sumatera Utara
101
f. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat hubungannya dengan mayit (pewaris). Bagian tertentu dari harta itu adalah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Ketentuaan tersebut termasuk dalam hal yang sifatnya ibadah yang wajib dilakukan karena telah menjadi ketentuan Al-Qur’an (QS An-Nisaa’13) adanya bagian ahli waris yang sifat Ta’abbudi merupakan salah satu ciri dari hukum waris Islam. Berdasarkan cara pembagian waris di kecamatan Padangbolak, dapat dijelaskan bahwa hukum yang dijadikan dasar masyarakat suku Angkola di kecamatan Padangbolak adalah merupakan bentuk dari penerapan hukum waris islam. Hukum waris Islam dipergunakan sebagai sebagai sarana pembaharuan dalam sistem pewarisan masyarakat suku Angkola. Pengaruh hukum waris Islam sangat terasa terhadap penerapan pembagian waris masyarakat suku Angkola, hal ini terlihat dari hasil kesepakatan pembagian waris dalam masyarakat suku Angkola.
Universitas Sumatera Utara
102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Terjadinya pergeseran pada hukum waris adat Angkola, khususnya di dua desa, (desa Sosopan, dan desa Purbasinomba) kecamatan Padangbolak kabupaten Padanglawas Utara, antara lain disebabkan: Faktor agama, faktor pendidikan, faktor ekonomi. Ketiga faktor tersebut mencerminkan pola pikir yang positif untuk mencapai rasa keadilan dalam hal pembagian waris pada masyarakat adat di Kecamatan Padangbolak Kabupaten Padanglawas Utara.
2.
Dalam hal pembagian waris pada masyarakat adat Batak Angkola kecamatan Padang Bolak
Kabupaten Padanglawas Utara, Lembaga Adat dan Budaya
Padanglawas utara mempunyai peran penting: Jika terjadi sengketa diantara para pewaris Lembaga Adat dan Budaya bertindak sebagai mediator/penengah. Dalam hal pembagian waris Lembaga Adat dan Budaya berperan sebagai pemberi nasehat atau saran bagi para waris dengan membebaskan para waris untuk memilih cara penyelesaian pembagian warisan baik secara adat atau secara faraidh (hukum waris Islam). 3.
Pembagian warisan pada masyarakat Batak Angkola didesa Sosopan dan desa Purba sinomba Kecamatan Padangbolak Kabupaten Padanglawas Utara sebagian sudah menerapkan pembagian warisan secara faraidh yaitu dengan membagi waris bagi ahli waris laki-laki dan perempuan berbanding 2:1
102
Universitas Sumatera Utara
103
B. Saran 1.
Walaupun terjadi pergeseran-pergeseran hukum waris adat menjadi hukum waris Islam, agar tetap mencerminkan pola pikir yang positif untuk mencapai rasa keadilan dalam hal pembagian waris.
2.
Hendaknya lembaga adat dan budaya kecamatan Padangbolak kabupaten Padanglawas Utara melakukan penyuluhan –peyuluhan ke desa- desa agar masyarakat mengerti tentang pentingnya pengetahuan tentang pembagian warisan.
3.
Bagi masyarakat di desa sosopan dan desa Purbasinomba kecamatan Padangbolak kabupaten Padanglawas Utara dalam menjalankan pembagian warisan yang masyarakatnya 100 % beragama Islam agar tetap menjaga nilai nilai dari pelaksanaan hukum waris Islam sehingga tercapai keadilan dalam hal pembagian waris.
Universitas Sumatera Utara